STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL: IMPLEMENTASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS PEMBERDAYAAN DI KABUPATEN SIDOARJO Yulita Indah Prasetiari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Jl. MT Haryono No. 163 Malang
Abstract: Local Economic Development Strategy: Implementation Planning Based Empowerment In Economic Development District Sidoarjo. Local Economic Development (LED) strategy in Sidoarjo regency uses a business cluster approach. This is marked by the making of several clusters, one of them is ”Kampoeng Batik Jetis”. The research is based on the initial assumption that the making of this cluster is not well planned, by not concerning such factors as implementing agent, supporting institution and facilitator. The research uses a descriptive method and qualitative approach. The data is analyzed using domain analysis. The research shows that the implementation of LED at Kampoeng Batik Jetis is on the partisipatory phase, which mean empowerment process come from both government and people, by government and people and to the people. On this phase, people is actively involved in the development. Unfortunately, the existing condition in Kampoeng Batik Jetis is not supported by the most crusial infrastucture that is parking area. Proven that the making of this cluster to be a tourism destination is not well planned. Keywords: Local Economic development, Empowering, Cluster Abstrak: Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal: Implementasi Perencanaan Pembangunan Ekonomi Berbasis Pemberdayaan Di Kabupaten Sidoarjo. Strategi Pembangunan Ekonomi Lokal (LED) di Kabupaten Sidoarjo menggunakan pendekatan klaster bisnis. Hal ini ditandai dengan pembuatan beberapa cluster, salah satunya adalah "Kampoeng Batik Jetis". Penelitian ini didasarkan pada asumsi awal bahwa pembuatan klaster ini tidak direncanakan dengan baik, dengan tidak berkenaan dengan faktor-faktor seperti menerapkan agen, lembaga pendukung dan fasilitator. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan pendekatan kualitatif. Data dianalisis dengan menggunakan analisis domain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan LED di Kampoeng Batik Jetis pada fase partisipatory, yang berarti proses pemberdayaannya berasal dari pemerintah dan masyarakat, oleh pemerintah dan rakyat, dan untuk rakyat. Pada fase ini, orang-orang secara aktif terlibat dalam pengembangannya. Sayangnya, kondisi yang ada di Kampoeng Batik Jetis tidak didukung oleh infrastruktur yang paling penting yaitu area parkir. Terbukti bahwa pembuatan cluster yang menjadi tujuan wisata ini tidak direncanakan dengan baik. Kata kunci: Pengembangan Ekonomi Lokal, Empowering, Cluster
PENDAHULUAN Dalam pengembangan ekonomi wilayah, selama ini model atau pendekatan yang diterapkan adalah melalui pendekatan perwilayahan dan penetapan pusat-pusat pertumbuhan, sentra-sentra produksi, termasuk kawasan pengembangan
ekonomi terpadu yang disusun dan ditetapkan dari Pusat. Salah satu potensi lokal yang yang patut mendapat perhatian adalah usaha atau industri kecil dan menengah. Kegiatan pengembangan atau pemberdayaan ekonomi yang berbasis potensi lokal saat ini lebih dikenal dengan istilah Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) 183
Yulita, Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal .... 184
telah tercantum dalam program pembangunan RPJPN 2000-2025. Dimana disana disebutkan bahwa pembangunan bidang UKM, secara eksplisit ditujukan pada upaya untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing dalam rangka memperkuat perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global (Hariyoga, 2007). PEL pada hakekatnya merupakan proses kemitraan antara pemerintah daerah dengan peran stakeholders termasuk sektor swasta dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia maupun kelembagaan secara lebih baik melalui pola kemitraan dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi daerah dan menciptakan pekerjaan baru. Ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah pada titik beratnya pada kebijakan “endogenous development" mendayagunakan potensi sumber daya manusia, institutional dan fisik setempat. Orientasi ini mengarahkan kepada fokus dalam proses pembangunan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi. Di Kabupaten Sidoarjo strategi yang digunakan untuk mendukung PEL adalah melalui pembentukan sentra-sentra UKM yang disebut dengan desa wisata industri, dimana tiap kecamatan diharapkan memiliki satu produk unggulan. Strategi ini diambil dalam rangka membangkitkan kembali roda perekonomian di Kabupaten Sidoarjo yang terpuruk akibat bencana lumpur lapindo. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sidoarjo pada empat tahun terakhir adalah 5,38% tahun 2006, 4,99% tahun 2007 dan tahun 2008 tercatat sebesar 4,82%, tahun 2009 terjadi peningkatan meski tidak terlalu signifikan yakni menjadi 4,91%.Selain akibat krisis global, penurunan ini lebih banyak diakibatkan dampak bencana lumpur lapindo. Bencana ini mengakibatkan tenggelamnya beberapa desa/kelurahan yang ada di 3 Kecamatan yaitu Porong, Tanggulangin dan Jabon. Dampak yang cukup dahsyat tidak hanya
terjadi di ketiga kecamatan tersebut. Efek domino (multiplier effect) yang ditimbulkannya sangat mengganggu perekonomian di Kabupaten Sidoarjo. Sebagai upaya mendongkrak kembali pertumbuhan ekonominya, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mencanangkan program ”Sidoarjo Bangkit” dimana salah satu tujuannya adalah pembangunan berbasis pemberdayaan. Program PEL adalah salah satu implementasi dari tujuan tersebut, karena hal ini sejalan dengan salah satu misi Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam bidang ekonomi yaitu meningkatkan peluang investasi dan usaha berbasis potensi perekonomian rakyat yang berdampak peningkatan ekonomi masyarakat, dan dilakukan melalui : 1. Pengembangan inovasi regulasi, sistem permodalan, dan pemberian insentif yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif menuju kemandirian keuangan; 2. Pengembangan kawasan usaha yang mendukung perekonomian Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan koperasi dengan memberikan perlindungan (proteksi) bagi usaha mikro dari kekuatan ekonomi yang lebih besar; 3. Peningkatan perluasan kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja. Upaya - pengembangan ekonomi lokal yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo antara lain dengan dicanangkannya sentra UMKM sebagai sentra wisata industri di beberapa kecamatan. Adapun sentra-sentra tersebut adalah sebagai berikut : a. Pencanangan Sentra Batik di Kecamatan Sidoarjo atau “Kampoeng Batik Jetis” yang diresmikan oleh Bupati Sidoarjo pada tanggal 3 Mei 2008 dengan jumlah pengrajin batik sebanyak 30 orang. b. Pencanangan Sentra Krupuk “Kampoeng Kroepoek” di Desa Kedungrejo Kecamatan Jabon yang diresmikan oleh Sidoarjo pada tanggal
185 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Volume 13, Nomor 2, Nopember 2012, hlm. 183-194
19 Desember 2008 dengan jumlah pembuat krupuk sebanyak 52 orang. c. Pencanangan Sentra sepatu-sandal “Kampoeng Sepatu” MojosantrenKemasan Krian yang diresmikan oleh Menteri Koperasi dan UKM Republik Indonesia pada tanggal 22 Desember 2008 dengan jumlah pengrajin sebanyak 70 orang. d. Pencanangan Sentra Makanan Olahan “Kampoeng Jajanan” di Desa Kedungsumur Kecamatan Krembung yang diresmikan oleh Bupati Sidoarjo pada tanggal 24 Desember 2008 dengan jumlah pembuat jajanan sebanyak 35 orang. Salah satu sentra yang cukup menarik untuk diteliti adalah “Kampoeng Batik Jetis”. Perkampungan ini telah menjadi sentra pengrajin batik sejak tahun 1675. Melihat potensi yang ada di kampung Jetis maka kampung ini dijadikan sentra batik oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Berbagai program pendukung seperti bantuan permodalan, bantuan peralatan, pelatihan, pemasaran, promosi, jalinan kemitraan, bahkan anjuran untuk menggunakan Batik Sidoarjo bagi PNS dan karyawan BUMN/BUMD di Kabupaten Sidoarjo telah dilakukan. Program tersebut dijalankan dengan melibatkan tiga pilar pembangunan, yaitu pemerintah, masyarakat dan swasta. Namun sayang pencanangan sentra ini menjadi desa wisata industri tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai. Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pelaksanaan PEL yang ada di desa wisata industri ”Kampoeng Batik” di Kabupaten Sidoarjo?, (2) Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi pendorong dan penghambat Pengembangan Ekonomi Lokal di desa wisata industri ”Kampoeng Batik”?, (3) Bagaimanakah dampak PEL di terhadap perekonomian masyarakat di desa wisata industri ”Kampoeng Batik”?
METODE PENELITIAN Penelitian kualitatif ini menghasilkan gambaran (deskripsi) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Sidoarjo. Lokasi penelitian adalah tempat peneliti dapat mengungkap keadaan yang sebenarnya dari obyek yang diteliti. Lokasi penelitian, yaitu : Bappeda, Kabupaten Sidoarjo, Bagian Perekonomian dan Kecamatan Sidoarjo khususnya di Kampoeng Batik Jetis. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa kecamatan tersebut merupakan pilot project Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Sidoarjo. Untuk menguji keabsahan data, penelitian ini mengacu pada empat kriteria yang dikemukakan Lincoln dan Guba (Hamidi 2004:8-83 ; Moleong, 2010:324), yaitu: standar kepercayaan, standar keteralihan, standar ketergantungan, dan, standar kepastian. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Dalam penelitian ini analisis data kualitatif menggunakan proses seperti yang disebutkan dalam Moleong (2010:248), dan dilengkapi dengan model Spreadly dalam Bungin (2005:85-89), yakni teknik analisis domain (Domain Analisis). Peneliti dalam menganalisa data adalah berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan agar lebih memudahkan dalam pelaksanaannya. PEMBAHASAN Pelaksanaan PEL di desa wisata industri ”Kampoeng Batik” di Kabupaten Sidoarjo Pengembangan Ekonomi Lokal di Kampung Batik Jetis Kampung Jetis berada di Kelurahan Lemah Putro Kecamatan Sidoarjo. Luas wilayah kelurahan ini sebesar 88,54 hektar dengan jumlah penduduk sebanyak 13.908 jiwa. Kelurahan Lemah Putro berada di daerah perkotaan yang cukup padat,
Yulita, Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal .... 186
sehingga di wilayahnya tidak terdapat daerah pertanian sama sekali. Daerah ini merupakan cikal bakal Sidoarjo, karena dulunya alun-alun kota berada di sini. Alun-alun merupakan pusat pemerintahan dan keagamaan, oleh karenanya masjid tertua yang ada di Sidoarjo berada di sini dan Kampung Jetis berada di belakang masjid tersebut. Dari hasil penelitian di lapangan, diperoleh informasi bahwa batik Jetis telah ada sejak tahun 1675. Batik tersebut dibawa oleh Mbah Mulyadi, keturunan Raja Kediri, namun perkembangan usaha batik tulis Jetis baru nampak pada tahun 1950-an. Tahun 1950-an perusahaan batik Ny. Wida sudah resmi berdiri dan banyak orang Jetis ikut kerja di tempat tersebut. Nama Widiarsih atau yang akrab dipanggil Ny. Wida cukup terkenal di kalangan masyarakat Jetis kala itu. Wanita tersebut pemilik perusahaan batik tulis terbesar. Batik Jetis mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1970-an. Dinamakan batik Jetis karena berada di kampung Jetis. Batik Jetis ini berkembang di kawasan sekitar masjid Jami, serta mencapai masa keemasan pada 1975. Pada masa itu industri batik menjadi salah satu tiang penopang ekonomi utama dari hampir seluruh rumah tangga di Kampung Jetis. Sebagian besar (sekitar 90%) dari penduduk di Jetis, khususnya kaum perempuan, bekerja sebagai pengrajin, pengrajin atau pekerjaan lain yang terkait dengan batik. Namun demikian, pada masa sekarang diperkirakan kurang dari 10% penduduk perempuan yang masih bekerja sebagai pembatik. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya penutupan usaha yang mengancam kelestarian usaha dan budaya batik Sidoarjo. Usaha batik di Jetis pada tahun 70-an jumlahnya tidak kurang dari 100 perajin, dan kini telah merosot tajam menjadi hanya sekitar 30-an pengrajin dan hanya 20 pengrajin yang memiliki merk dan showroom sendiri. Sejak pengukuhan batik Indonesia sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi
(Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh United Nation Education Scientific and Cultural Organization (Unesco) pada 2 Oktober 2009, Batik Jetis Sidoarjo semakin diminati. Peresmian Kampung Batik Jetis pada 3 Mei 2008 lalu sebagai tempat perkampungan batik tulis Jetis, semakin menambah daya minat masyarakat untuk memasuki kampung itu. Gerai di Kampung Batik Jetis mulai ramai pengunjung. Kawasan yang dekat dengan akses jalan raya pusat kota, juga mempunyai nilai plus tersendiri. Ketua Koperasi Batik Tulis Sidoarjo, Nurul Huda, mengungkapkan bahwa perkembangan Batik Tulis Jetis meningkat pesat, bahkan bisa disebut meroket. Menurutnya, meroketnya perkembangan batik di tempat itu karena dukungan pemerintah pusat memerjuangkan batik, serta dukungan Pemkab Sidoarjo mengembangkan budaya daerahnya. Perajin batik tulis di Sidoarjo, yang baru saja bangkit, kini resah kembali. Pasca bangkit sejak dua tahun ini, kini harus bersaing dengan batik China yang harganya lebih murah. Batik Indonesia selembar seharga kurang lebih Rp 100 ribu, sedangkan batik China harganya Rp 60 ribu. Batik yang berasal dari China tersebut tidak bisa disebut sebagai batik, melainkan hanyalah kain yang bermotif batik. Esensi dari batik adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam baik tulis maupun printing, sedangkan batik China merupakan hasil fabrikasi dengan motif menyerupai batik. Pada aspek penjualan, umumnya pengrajin Batik Jetis masih memiliki pemasaran yang masih terbatas. Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemasaran antara lain: daerah pemasaran, segmen pasar, teknik pemasaran, volume pemasaran, dan jaringan distribusi serta promosi. Pada saat ini daerah pemasaran Batik Jetis masih terbatas di Jawa Timur, seperti Malang, Probolinggo, Jember, Surabaya dan Madura. Selama ini mayoritas hasil produksi pengrajin Batik
187 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Volume 13, Nomor 2, Nopember 2012, hlm. 183-194
Jetis dijual di Pasar Pabean Surabaya. Pembeli terbesar adalah dari Madura, sedangkan konsumen yang dibidik adalah masyarakat kelas menengah. Volume produksi Industri Batik Jetis, sebagian besar masih tergantung pada pesanan. Tentu saja hal ini sangat besar pengaruhnya pada kemajuan usaha tersebut. Suatu usaha yang berproduksi dengan hanya mengandalkan pesanan, maka usaha tersebut, tidak akan mampu berkembang dan bersaing dengan usaha lain. Upaya-upaya yang telah ditempuh oleh para pengrajin batik di Sidoarjo dalam meningkatkan pemasaran adalah dengan melakukan promosi. Memang diakui bahwa kegiatan promosi tersebut masih sangat terbatas, karena kemampuan pengrajin batik di Sidoarjo sangat terbatas. Umumnya pengrajin industri kerajinan batik masih melaksanakan promosi lewat kartu nama. Sebagian kecil sudah mempunyai merk, kemasan produk dan papan nama, namun masih banyak yang sama sekali belum melaksanakan promosi dan belum memiliki label. Meskipun demikian usahanya masih dapat berjalan dengan lancar. Dari tiga proses pemberdayaan, menurut Prijono (196:30), maka pelaksanaan PEL di Kampung Batik Jetis tergolong fase partisipatoris. Pada fase ini masyarakat sudah terlibat secara aktif dalam kegiatan pembangunan untuk menuju kemandirian. Hal ini terlihat dari adanya inisatif memberdayakan diri dari para pengrajin Batik Jetis dengan membentuk Paguyuban Batik Sidoarjo (PBS), dan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo memberi respon positif dengan mencanangkan Kampung Jetis menjadi daerah wisata industri “Kampoeng Batik Jetis”. Pengembangan cluster yang dilaksanakan dibawah strategi PEL terkait dengan beberapa pendekatan, antara lain (Munir, 2007:25-26) : 1) Pengembangan network atau jaringan. 2) Mengembangkan upaya pemasaran bersama klaster.
3) Menyediakan informasi yang spesifik untuk klaster. 4) Mendukung riset bersama. 5) Mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan. 6) Pemerintah daerah berkolaborasi secara regional, menjadi fasilitator dari networking antar industri, dan katalis yang menjalin tiap pelaku ekonomi untuk bekerjasama. Dilihat dari beberapa pendekatan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam pengembangan Kampoeng Batik Jetis menggunakan pendekatan yang terakhir. Peran Pemerintah dalam hal ini sebagaimana pendapat Cornelis dan Miar (2005:84), adalah untuk memfasilitasi dan memberdayakan para pengusaha/pengrajin yang belum berdaya menuju ke tingkat lebih berdaya, dan yang sudah berdaya dikembangkan kearah yang lebih maju serta diharapkan mampu mengangkat para pengusaha yang belum berdaya tersebut dan tentunya harus ada peran aktif serta partisipasi masyarakat didalamnya serta dapat memberikan hasil yang lebih baik. Melihat kondisi eksisting di Kampoeng Batik Jetis yang belum didukung oleh infrastruktur yang sangat vital yaitu area parkir dan belum adanya pengolahan limbah, terlihat bahwa tidak ada perencanaan yang matang dalam pencanangan Kampoeng Batik ini. Apabila menginginkan suatu sentra dijadikan daerah tujuan wisata, maka perlu dipikirkan segala aspek penunjangnya. Untuk itu kedepan dalam merencanakan pembentukan suatu sentra perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam. Dalam perencanaan sentra UKM atau kluster industri seperti Kampoeng Batik Jetis, perlu dipertimbangkan tiga faktor utama, yaitu: implementing agent, supporting institution dan facilitator. 1) Implementing agent adalah SKPD yang bertanggung jawab atas perkembangan sentra, sehingga program dan kegiatan bagi sentra yang telah dibentuk dapat berkesinambungan dan tidak bersifat
Yulita, Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal .... 188
insidentil. Hal ini penting mengingat fenomena yang ada saat ini yaitu pembentukan sentra-sentra tanpa disertai adanya program lanjutan, seakan-akan dengan diresmikannya sebuah sentra maka semua hal akan berjalan lancar dengan sendirinya. SKPD ini juga bertanggung jawab untuk melakukan monitoring dan evaluasi agar perkembangan sentra dapat dipantau. 2) Supporting Institution adalah dukungan kelembagaan yang dalam hal ini terkait dengan masalah kepastian hukum, aparatur dan pelayanan, keuangan daerah dan peraturan daerah. Di dalamnya telah mencakup segala aspek yang dibutuhkan bagi perkembangan sentra UKM seperti kemudahan perijinan, pelayanan sertifikasi HAKI, pelayanan penyediaan infrastruktur dan lain sebagainya. 3) Facilitator adalah orang yang dapat dijadikan tempat bertanya bagi para anggota sentra. Orang tersebut bisa berasal dari aparatur atau pihak ketiga, yang menguasai seluk beluk permasalahan di dalam sentra dan dapat mencarikan solusi terbaik bagi perkembangan sentra. Program-Program dan Layanan yang Telah Dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam Pemberdayaan Kampoeng Batik Jetis Rencana pembangunan daerah di Kabupaten Sidoarjo dijabarkan dalam program-program pembangunan yang ada dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) 2006-2010. Salah satu misi yang terkait dengan kampung batik adalah pembangunan ekonomi daerah dengan misi: ”Meningkatkan peluang investasi dan usaha berbasis potensi perekonomian rakyat yang berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah”, dengan strategi pembangunan sebagai berikut :
1) Pengembangan inovasi regulasi, sistem permodalan, dan pemberian insentif yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif menuju kemandirian keuangan. 2) Pengembangan kawasan usaha yang mendukung perekonomian usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan Koperasi dengan memberikan perlindungan (proteksi) bagi usaha mikro dari kekuatan ekonomi yang lebih besar. 3) Peningkatan perluasan kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja Faktor Pendorong dan Penghambat Perkembangan Kampoeng Batik Jetis Terkait dengan perkembangan Kampoeng Batik Jetis, ada beberapa aspek yang menjadi faktor pendorong sekaligus penghambat perkembangan, yaitu: kondisi geografis, SDM, permodalan dan kelembagaan. Letak geografis atau lokasi Kampung Jetis berada di pusat kota Sidoarjo. Jarak dari alun-alun kota sekitar 2 km. Lokasinya juga dekat dengan Bandara Juanda dan Terminal Purabaya. Rute wisata yang cukup populer di kalangan biro perjalanan seperti Surabaya-Bromo juga melewati kampung ini, bahkan angkutan umum jurusan Surabaya-Malang pun melewatinya. Hal ini merupakan faktor pendorong bagi perkembangan Kampoeng Batik Jetis. Lokasi yang sangat strategis ini sayangnya tidak didukung dengan infrastruktur pendukung yaitu area parkir. Hal ini merupakan penyebab utama mengapa biro perjalanan enggan singgah di Kampoeng Batik Jetis. Biasanya mereka lebih memilih untuk singgah di pusat oleholeh khas Sidoarjo seperti terasi, krupuk, bandeng asep dan lain-lain. Padahal batik juga dapat dijadikan buah tangan yang barangkali lebih berkesan karena tahan lama dan bisa dijadikan kenang-kenangan. Dari aspek Sumberdaya Manusia, para pengrajin Industri Batik Jetis, sebagian besar sudah memiliki pengetahuan tentang ketrampilan membatik secara turun
189 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Volume 13, Nomor 2, Nopember 2012, hlm. 183-194
menurun. Ini merupakan modal utama dan merupakan faktor pendorong majunya industri Batik Jetis. Kurangnya regenerasi, produktivitas yang rendah, kemampuan manajerial serta kurangnya inovasi merupakan faktor penghambat kemajuan Kampoeng Batik Jetis. Oleh sebab itu dalam perkembangan usahanya banyak yang cenderung stagnan dan lamban. Selain itu kesadaran untuk menerima halhal yang baru kurang dapat cepat ditanggapi, serta kurang adanya kepercayaan diri dalam mengelola usahanya. Pada aspek permodalan, para pengrajin industri Batik Jetis, sebagian besar menggunakan permodalan dengan modal sendiri dan jarang yang menggunakan pinjaman dari perbankan. Kondisi permodalan pengrajin di Kampoeng Batik Jetis sangat beragam. Faktor ketersediannya modal usaha nampaknya merupakan kendala atau faktor penghambat dalam kegiatan industri kerajinan Batik Jetis. Kini modal bukan lagi penghalang, karena ada berbagai kemudahan yang bisa didapat oleh pengusaha kecil. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo telah menyediakan dana bergulir, dengan kisaran dana pinjaman Rp. 5 - 10 juta. Dari pihak perbankan juga ada beberapa bank yang telah berkomitmen untuk memberikan kredit kepada UKM dengan kisaran pinjaman sampai dengan Rp. 100 juta. Terlebih kini ada himbauan dari Bank Indonesia untuk bank-bank komersial berupa skim-skim khusus bagi UKM. Adanya kemudahan dari lembaga keuangan seperti perbankan dapat menjadi faktor pendorong tumbuh kembangnya industri kerajinan batik tulis di Kampoeng Batik Jetis. Pada aspek penjualan, umumnya pengrajin Batik Jetis masih memiliki pemasaran yang masih terbatas. Daerah pemasaran masih berkisar regional Jawa Timur. Meski kini permintaan pasar cukup tinggi karena adanya dampak positif dari
penerapan program wajib batik Sidoarjo bagi PNS dan karyawan BUMN/BUMD di Kabupaten Sidoarjo serta banyaknya permintaan dari sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai menengah atas baik negeri maupun swasta, namun daerah pemasaran yang tidak berkembang akan menjadi faktor penghambat kemajuan. Upaya yang harus dilakukan adalah memperluas pasar. Peluang pasar nasional dan internasional masih sangat terbuka lebar. Terlebih kini merupakan era globalisasi dan pasar bebas dimana dunia menjadi borderless state, sehingga tidak ada lagi batasan dalam perdagangan. Hal ini dapat menjadi faktor pendorong majunya industri Batik Jetis, mengingat ciri khas yang dimilki sangat unik dan tidak dimiliki negara lain. Sedangkan dari aspek kelembagaan, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mempunyai goodwill untuk mengembangkan potensi masyarakat yang dimiliki dengan membuat sentra-sentra industri kecil. Berbagai program dan kegiatan pembangunan juga telah dilaksanakan bagi perkembangan sentra UKM. Program dan kegiatan yang telah dilaksanakan termasuk di Kampoeng Batik Jetis, antara lain: kemudahan perijinan, pelayanan sertifikasi HAKI, pelayanan penyediaan infrastruktur dan lain sebagainya. Hal ini merupakan faktor pendorong bagi perkembangan sentra Batik Jetis. Sayangnya hal ini belum didukung oleh adanya struktur yang jelas dalam birokrasi sebagai administrative unit. Hal ini dapat menjadi penghambat pertumbuhan Kampoeng Batik Jetis. Salah satu hal yang sangat terlihat adalah dari tidak adanya leading sector, yaitu SKPD yang bertanggung jawab atas perkembangan sentra. SKPD ini juga bertanggung jawab untuk melakukan monitoring dan evaluasi agar perkembangan sentra dapat dipantau, juga untuk memastikan bahwa program dan kegiatan tidak bersifat insidentil dan dapat berkesinambungan. Hal ini juga diperlukan
Yulita, Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal .... 190
untuk mengurangi ego sektoral. Harus diakui bahwa cukup banyak upaya pembinaan dan pemberdayaan bagi sentrasentra industri kecil. Hanya saja upaya pembinaan ini sering tumpang tindih dan dilakukan sendiri-sendiri. Perbedaan persepsi menyebabkan pembinaan usaha kecil masih terkotak-kotak atau sector oriented, di mana masing-masing instansi pembina menekankan pada sektor atau bidang binaannya sendiri-sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa faktorfaktor tersebut diatas merupakan tipikal UKM di Indonesia. Artinya hampir semua UKM di Indonesia memiliki permasalahan serupa. Dalam konteks ini menurut Kuncoro (2004) ada dua langkah strategis yang bisa dilakukan, yaitu demand pull strategy dan supply push strategy. Demand pull strategy mencakup strategi perkuatan sisi permintaan, yang bisa dilakukan dengan perbaikan iklim bisnis, fasilitasi mendapatkan HAKI (paten), fasilitasi pemasaran domestik dan luar negeri, dan menyediakan peluang pasar. Langkah strategis lainnya adalah supply push strategy yang mencakup strategi pendorong sisi penawaran. Ini bisa dilakukan dengan ketersediaan bahan baku, dukungan permodalan, bantuan teknologi/ mesin/alat, dan peningkatan kemampuan SDM. Dampak Ekonomi Pelaksanaan PEL di Kampoeng Batik Jetis Kampoeng Batik Jetis telah dua tahun diresmikan. Dampak signifikan yang terlihat adalah kerapian Kampung Jetis. Kampung Jetis yang dahulu terlihat kumuh, kini menjadi lebih cantik. Masyarakat atas kemauan mereka sendiri, swadana dan swadaya berbenah menghias kampung. Mereka seakan ingin menunjukkan bahwa mereka mendukung sepenuhnya usaha Pemerintah Kabupaten Sidoarjo untuk mengangkat daerah mereka menjadi daerah tujuan wisata. Mereka melukis tembok-tembok di kampung ini dengan lukisan khas Batik Jetis. Lukisan ini sangat menarik dan eye catching
membuat orang yang memandang menjadi senang, sehingga sedikit mengurangi kepenatan karena harus berjalan cukup jauh untuk menyusuri kampung ini. Dampak yang lain adalah dampak ekonomi yang dirasakan oleh para pengrajin Batik Jetis. Dengan mengetahui nilai usaha suatu perusahaan, bisa diketahui kemampuan perusahaan tersebut. Nilai usaha suatu perusahaan tergantung pada banyaknya transaksi penjualan yang telah dilakukan, semakin banyak transaksi maka semakin tinggi pula nilai usaha sebuah perusahaan. Berikut ini tabel hasil observasi dan wawancara tentang nilai usaha dengan para pengrajin Batik Jetis yang sudah diolah. Kenaikan omzet di kalangan pengrajin Batik Jetis meningkat hingga 3 kali lipat atau 300%. Mereka yang berada di tingkat terbawah adalah pengrajin yang sempat menghentikan usahanya akibat krisis ekonomi di tahun 1997. Tingginya permintaan akan batik tentu saja akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Ini berarti mengurangi jumlah pengangguran dan menambah pendapatan masyarakat sekitar. Kondisi industri Batik Jetis yang ada saat ini, meskipun pengrajin yang memiliki jumlah tenaga kerja 20-99 lebih banyak yaitu 18 pengrajin dari 35 pengrajin, tetapi rata–rata assetnya satu tahun belum ada 1 Milyar, sehingga mayoritas masih tergolong industri kecil dan hanya beberapa pengrajin saja yang masuk dalam industri menengah. Hal tersebut sebagaimana kriteria yang dikemukakan oleh Kuncoro (2004:205). Untuk menganalisis gambaran objek secara umum namun utuh tentang Kampoeng Batik Jetis, maka peneliti menggunakan Teknik Analisis Domain. Melalui analisis ini diharapkan akan memperoleh gambaran seutuhnya dari objek yang diteliti dalam penelitian. Penggunaan hubungan semantik yang bersifat universal dalam analisis domain yaitu, jenis (strict inclution), ruang (spatial), sebab akibat (cause-effect),
191 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Volume 13, Nomor 2, Nopember 2012, hlm. 183-194
rasional (rationale), lokasi kegiatan (location for action), cara ke tujuan (means-end), fungsi (function), urutan (sequence), atau atribut (attribution). Mengingat penelitian ini mengenai kluster, maka hubungan yang digunakan adalah spatial. Sebagai sebuah kluster, pemberdayaan di Kampoeng Batik Jetis dapat diilustrasikan sebagai berikut: Gambar 1. Model Kluster Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Pemberdayaan di Kampoeng Batik Jetis
Kerajina n Batik
Bank Jatim), UPN Veteran dan kluster pengembangan pariwisata sebagai kluster penerima kerajinan Batik Jetis yang merupakan mata rantai pemasaran sampai ke tangan konsumen (customer) kemudian keuntungan yang diperoleh akan kembali ke pengrajin Batik Jetis sebagai mata rantai pemberdayaan. KLUSTER EKSTERNAL
: Pemerintah Daerah, Media Massa dan Kelompok Seni dan Budaya (sanggar seni) merupakan kluster yang memberdayakan Batik Jetis agar mendapatkan apresiasi dan dukungan untuk pengembangan dan kesinambungan keberadaan Batik Jetis (sustainable). AGLOMERASI
Perbank an Pentas Seni dan
Perg urua n
Bat ik Jet
Biro perja lana
Showroo Pengem bangan Pariwisa
Pemerintah Media Massa Kelompok Seni &
Sumber: diadaptasi 1997:235)
dari
Spreadley,
Keterangan Gambar: :jejaring (network) pemberdayaan nilai inti (core value) sebagai rantai nilai (value chain) dari core competence Batik Jetis : hubungan timbal balik (channel) kerjasama kemitraan (saling membutuhkan dan saling menguntungkan KLUSTER INTERNAL
: meliputi kluster pengrajin batik, biro perjalanan wisata SurabayaBromo, hotel dan restoran yang memajang dan menjual Batik Jetis sebagai souvenir, gerai atau toko, pentas seni dan budaya (fashion show, pagelaran guk dan yuk, dll), perbankan (BPR Delta Artha dan
: kumpulan berbagai kluster yang mempunyai aktivitas usaha industri yang bergerak di sektor yang sejenis, yaitu Batik Jetis. Model kluster merupakan pengelompokan industri yang secara geografis dan sosial dalam wilayah lokasi yang sama, yang memiliki usaha sejenis mudah memperoleh bahan baku, tersedia tenaga kerja, mudah membentuk jaringan usaha, sarana transportasi yang saling berdekatan secara geografis. Model ini merupakan life cycle proses pemberdayaan di Kampoeng Batik Jetis melalui kemitraan strategis dimulai dari usaha inti (core value) yaitu Batik Jetis itu sendiri. Mereka yang memiliki kompetensi inti (core competence) adalah pengrajin Batik Jetis yang harus diberdayakan dengan membentuk jaringan kemitraan strategis dengan usaha hilir, usaha hulu, usaha terkait, usaha pendukung dan lembaga pendukung (supporting institution) yang membentuk channel sehingga kerajinan Batik Jetis sampai ke pelanggan (customer). Kemitraan strategis merupakan jaringan kerjasama saling menguntungkan dari para stakeholders untuk pemberdayaan di Kampoeng Batik Jetis. Usaha-usaha yang berada dalam kluster dikategorikan sebagai usaha inti, usaha hilir, usaha hulu, usaha terkait,
Yulita, Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal .... 192
usaha pendukung dan lembaga pendukung, dengan penjelasan sebagai berikut: 1) Usaha inti, adalah usaha yang merupakan fokus utama kegiatan, dicirikan dengan potensi inti yang paling memungkinkan untuk dikembangkan (core competence). Adapun usaha inti di Kampoeng Batik Jetis adalah kerajinan Batik Jetis. 2) Usaha hilir, adalah usaha yang merupakan pemasok bahan dasar/baku/tambahan dari usaha inti. Usaha hilir untuk usaha kerajinan Batik Jetis antara lain: kain, bahan pewarna, malam dan bahan kimia lainnya. 3) Usaha hulu, dapat berupa pasar atau pembelian langsung yang potensial, antara lain: wisatawan baik dalam negeri maupun manca negara, pemerintah daerah lain yang sedang melakukan kunjungan kerja, kolektor, sekolah-sekolah, atau masyarakat umum yang datang pada saat pameran. 4) Usaha terkait, adalah usaha yang tidak langsung dalam usaha inti, akan tetapi menggunakan sumberdaya dari sumber yang sama. Bisa berupa usaha komplementer atau usaha substitusi. Dalam hal ini antara lain: usaha kerajinan asesoris rumah tangga (tudung saji, sarung bantal kursi, dan lain-lain), usaha suvenir, usaha percetakan dan lain sebagainya. 5) Usaha pendukung, dapat berupa usaha dalam bidang jasa yang mendukung perkembangan usaha inti, seperti: hotel, rumah makan, biro perjalanan dan usaha penerbangan. 6) Lembaga pendukung, adalah institusi yang mendukung pengembangan kluster, yaitu: Pemerintah Kabupaten Sidoarjo (administrative unit), media massa, asosiasi profesi, LSM serta kelompok seni dan budaya. Kondisi yang ada saat ini memang masih jauh dari ideal, namun bukan tidak mungkin untuk terwujud. Dengan komitmen dan kerjasama dari kekuatan state (Pemerintah Daerah), political
community (DPRD), corporate economy (kelompok ekonomi) dan civil society (masyarakat) untuk memberdayakan Kampoeng Batik Jetis bukan mustahil akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini selaras dengan visi Kabupaten Sidoarjo, yaitu ”Sidoarjo Berkembang Menjadi Kawasan Jasa, Perdagangan, Industri dan Sentra Agrobisnis Berbasis Kerakyatan dengan Mengedepankan Pemenuhan Hak Sosial Dasar.” KESIMPULAN Pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) di Kampoeng Batik Jetis berada pada fase partisipatoris, dimana proses pemberdayaan berasal dari pemerintah bersama masyarakat, oleh pemerintah bersama masyarakat dan diperuntukkan bagi rakyat. Pada fase ini masyarakat sudah terlibat secara aktif dalam kegiatan pembangunan untuk menuju kemandirian. Namun sayangnya, melihat kondisi eksisting di Kampoeng Batik Jetis yang belum didukung oleh infrastruktur yang sangat vital, yaitu area parkir dan belum adanya pengolahan limbah, terlihat bahwa tidak ada perencanaan yang matang dalam pencanangan Kampoeng Batik ini. Dalam perencanaan sentra UKM atau kluster industri seperti Kampoeng Batik Jetis, perlu dipertimbangkan tiga faktor utama, yaitu: implementing agent, supporting institution dan facilitator. Faktor-faktor yang menjadi pendorong sekaligus penghambat dari perkembangan Kampoeng Batik Jetis, antara lain: Kondisi geografis, aspek SDM, aspek permodalan., dan aspek pemasaran Dari keempat faktor tersebut, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo telah melakukan dua langkah strategis, yaitu demand pull strategy dan supply push strategy dalam mengembangkan Kampoeng Batik Jetis, meski efektivitasnya masih perlu dikaji lebih lanjut. Demand pull strategy mencakup strategi perkuatan sisi permintaan, yang
193 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Volume 13, Nomor 2, Nopember 2012, hlm. 183-194
bisa dilakukan dengan perbaikan iklim bisnis, fasilitasi mendapatkan HAKI (paten), fasilitasi pemasaran domestik dan luar negeri, dan menyediakan peluang pasar. Langkah strategis lainnya adalah supply push strategy yang mencakup strategi pendorong sisi penawaran. Ini bisa dilakukan dengan ketersediaan bahan baku, dukungan permodalan, bantuan teknologi/ mesin/alat, dan peningkatan kemampuan SDM. Dampak ekonomi Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) terhadap masyarakat di Kampoeng Batik Jetis sangat signifikan. Hal ini dapat dilihat dari omzet pengrajin yang meningkat sampai 300% atau tiga kali lipat dibanding sebelum peresmian Kampoeng Batik Jetis. Peningkatan ini tentu saja berdampak pada penyerapan tenaga kerja, yang berarti pula pengurangan pengangguran. Keberhasilan ini menumbuhkan kembali rasa percaya diri dan semangat berusaha di kalangan masyarakat Jetis. Ini terlihat dari munculnya pengrajin baru, diversifikasi produk dan pengembangan usaha yang ditandai dengan dibukanya gerai baru. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah kenyataan bahwa peningkatan yang terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh keberhasilan implementasi PEL di Kampoeng Batik Jetis, namun lebih banyak diakibatkan oleh adanya himbauan dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo untuk menggunakan batik khas Sidoarjo kepada PNS dan karyawan BUMD. Hal ini sangat berbahaya karena pasar yang terbatas sangat rentan untuk jenuh. Untuk itu perlu adanya dibuat langkah-langkah strategis dalam rangka pengembangan pasar agar terjadi kesinambungan atau sustainability pada produksi Batik Jetis. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Dalam perencanaan pembentukan sentra UKM atau kluster industri seperti Kampoeng Batik Jetis perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam dan harus mempertimbangkan tiga faktor utama,
yaitu: implementing agent, supporting institution dan facilitator. 2. Agar perencanaan yang akan dilakukan lebih baik dan tepat sasaran, maka perlu didukung pula dengan pendataan yang lebih baik. Dalam hal ini termasuk pembuatan data base, sehingga kondisi industri Batik Tulis Jetis dapat dilihat secara jelas serta lebih mudah untuk penentuan sasaran yang dituju dalam pelaksanaan program-program maupun kegiatan. Program dan kegiatan yang dibuat harus disesuaikan dengan sentra, agar upaya pembinaan tidak tumpang tindih dan dapat mereduksi ego sektoral. 3. Sejalan dengan adanya perkembangan teknologi informasi, perlu adanya upaya membuka peluang pasar baru untuk menghindari kejenuhan pasar regional melalui jaringan internet dengan membuka website tentang Batik Jetis. 4. Upaya memberdayakan Batik Tulis Jetis melalui fasilitasi forum dialog/diskusi dan kemitraan antara pengusaha, masyarakat, investor, perbankan, LSM, dan pemerintah, hendaknya dapat lebih dioptimalkan agar semua komponen masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam proses pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA Bryson, John M. 2007. Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial. Judul asli Strategic Planning for Public and Nonprofit Organizations: A Guide Strengthening and Sustaining Organizational Achievement. Diterjemahkan oleh M. Miftahuddin. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta Conyers, Diana. 1992. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Suatu Pengantar. Diterjemahkan oleh Susetiawan SU. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Yulita, Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal .... 194
David, Fred R. 2010. Strategic Management: Manajemen Strategis Konsep. Buku 1. Edisi 12. Judul asli: Strategic Management 12th Edition. Diterjemahkan oleh Dono Sunardi. Penerbit Salemba Empat Jakarta. Dharmawan, DNA. 2009. Perencanaan Pembangunan Bidang Pertanian Studi Kasus Upaya Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi dalam Memberdayakan Peternak Sapi Potong. Tesis. Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang Miles, Matthew B dan A Michael Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif. Diterjemahkan oleh Tjejep Rohendi Rohidi. Jakarta: UIP. McLarney, Carolan . 2001."Strategic planning-effectiveness-environment linkage: a case study", Management Decision, Vol. 39 Iss: 10 pp. 809 - 817 Nurfatriani, Fitri dan Doddy S. Sukadri. 2001. Pengelolaan Hutan di Masa Depan : Berdasarkan Paradigma Pembangunan Kehutanan di Abad 21 (Forest Management in the Future : Based on Forestry Development Paradigm in the 21th Century). Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001 di down load pada tanggal 9 Juli 2012 di http://www.dephut.go.id/index.php?q =id/node/355 Riyadi dan Dedi Supriadi Bratakusumah. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah. Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Siagian, Sondang P. 1998. Manajemen Strategik. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta
Siagian, Sondang P. 2004. Filsafat Administrasi. Penerbit PT Gunung Agung, Jakarta