SIMULASI KEBIJAKAN DAYASAING KEDELAI LOKAL PADA PASAR DOMESTIK
DIAN HANDAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
ABSTRACT DIAN HANDAYANI. Simulation of the Local Soybean Competitiveness on Indonesia Agro industrial Market. Under the direction of TAJUDDIN BANTACUT, JONO M. MUNANDAR, and SLAMET BUDIJANTO. Soybean is strategic commodity which is using as raw material for food processing and consume by wide Indonesian people. Soybean demand increase every year as increase of population, understanding of nutrition as source of cheap protein and development of soybean food processing. National demand can not cover by local production, due to import soybean with cheaper price. There is a big opportunity to develop soybean business locally which is supported by widely planting area, suitable climate, and viability of suitable technology, human recourses, market demand and government supported. In the future, anticipating the deficit of local soybean production and increase of competitiveness for local soybean on national market, government policy to control imported soybean and stimulate local soybean production. Base on the research, indicated soybean harvest area was influence by local soybean real price, maize real price and last year harvest area. Soybean productivity was influenced by rainfall, maize real price and last year productivity. Local soybean price was influenced by soybean real price in producer/farmer level, soybean import real price, quantity of soybean import, productivity and last year soybean real price. Soybean real price in producer level was influenced by soybean production, imported soybean quantity, soybean consumption, BULOG monopolize and last year real price in producer level. Soybean import quantity was influenced by production and consumption. Imported soybean price was influenced by international price, exchange rates, and last year import price. Simulation policy increased soybean price in producer level, it will stimulate farmer to increase harvested area and production. Import tariff policy will decrease of import quantity, to increase of local soybean price. Combination policy of increase the soybean price and import tariff 20 percent; it will stimulate the producer to increase harvested area and production. Strategic to increase competitiveness and national soybean production through program of increase the productivity and extended planting area. The priority for increase the production on region which is low yield and apply the suitable technology. Extended planting area conduct to increase cropping index in the better area region. Protection policy by government is still need to control international price fluctuated and policy should tend to strengthen local soybean competitiveness to import.
ABSTRAK DIAN HANDAYANI. Simulasi Kebijakan Terhadap Dayasaing Kedelai Lokal Pada Pasar Agroindustri Indonesia. Dibimbing oleh TAJUDDIN BANTACUT, JONO M. MUNANDAR, dan SLAMET BUDIJANTO. Kedelai merupakan komoditi pangan strategis, karena peranannya sebagai bahan baku utama berbagai produk pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia secara luas. Pengadaan dan pengembangan kedelai sangat penting dan strategis, karena produksi nasional belum mencukupi kebutuhan nasional. Kebutuhan kedelai setiap tahun meningkat seiring peningkatan pertumbuhan penduduk, kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi, sebagai sumber protein yang murah dan berkembangnya industri olahan kedelai. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional dilakukan impor. Potensi pengembangan agribisnis kedelai mempunyai prospek cukup besar, didukung potensi lahan, iklim sesuai, ketersediaan teknologi, SDM, besarnya permintaan dalam negeri dan dukungan pemerintah. Untuk mengatasi defisit produksi kedelai dan peningkatan dayasaing kedelai lokal pada pasar nasional diarahkan pada upaya menekan impor dan meningkatkan produksi kedelai lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas panen kedelai dipengaruhi oleh harga kedelai lokal, harga jagung dan luas panen tahun sebelumnya. Produktivitas kedelai dipengaruhi oleh curah hujan, harga jagung dan produktivitas tahun sebelumnya. Harga kedelai lokal dipengaruhi oleh harga tingkat produsen, harga dan volume impor, produktivitas dan harga tahun sebelumnya. Harga di tingkat produsen dipengaruhi oleh produksi, volume impor, konsumsi, dummy monologi Bulog dan harga tahun sebelumnya. Volume impor dipengaruhi produksi dan konsumsi kedelai. Harga kedelai impor dipengaruhi harga internasional, nilai tukar dan harga impor sebelumnya. Simulasi kebijakan menaikkan harga kedelai tingkat produsen dan tarif impor 20 persen mendorong petani untuk meningkatkan luas panen dan produksi. Kebijakan tarif impor akan menurunkan volume volume impor dan meningkatnya harga kedelai lokal. Dalam upaya meningkatkan dayasaing dan produksi kedelai nasional, strategi yang harus dilakukan adalah program peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. Program peningkatan produktivitas diprioritaskan pada wilayah sentra produksi yang produktivitasnya masih rendah dan penerapan teknologi budidaya tepat guna. Perluasan areal tanam melalui peningkatan indeks pertanaman di wilayah yang potensi sumberdaya lahannya cukup baik. Proteksi pemerintah masih tetap diperlukan dalam menghadapi pengaruh fluktuasi harga internasional dan kebijakan yang mengarah kepada penguatan dayasaing kedelai lokal terhadap impor.
SIMULASI KEBIJAKAN DAYASAING KEDELAI LOKAL PASAR DOMESTIK
DIAN HANDAYANI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Nama Mahasiswa NRP Program Studi
: Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal Pada Pasar Domestik : Dian Handayani : F351020181 : Teknologi Industri Pertanian
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc. Ketua
Dr.Ir. Jono M. Munandar, M.Sc. Anggota
Dr.Ir. Slamet Budijanto, M.Agr Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dr.Ir. Irawadi Jawaran
Tanggal Ujian : 26 Februari 2007
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc.
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Agustus 1965 di Kotabumi, Lampung Utara sebagai anak ke lima dari dua belas saudara dari Ayah bernama Harmani (almarhum) dan Ibu R.A. Kartini (almarhumah). Pendidikan sekolah dasar hingga menengah pertama ditempuh di Metro, Lampung Tengah, dan sekolah menengah atas ditempuh di Bandar Lampung. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Teknologi Hasil Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Lampung pada tahun 1984 dan lulus tahun 1988. Tahun 1989 penulis mulai bekerja di Dinas Peternakan Propinsi Lampung. Sekarang penulis bekerja di Direktorat Budidaya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Pada tahun 2002 penulis memulai pendidikan program Pascasarjana di program studi Teknologi Industri Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Beasiswa Pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Badan SDM Pertanian, Departemen Pertanian.
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Simulasi Kebijakan Terhadap Dayasaing Kedelai Lokal Pada Pasar Domestik “. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada : (1) Komisi Pembimbing : Dr.Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr.Ir. Jono M. Munandar, M.Sc. dan Dr.Ir. Slamet Budijanto, M.Agr. sebagai anggota yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini. (2) Teman-teman Deptan seangkatan (Dewi Darmayanti, Mulyadi dan Napisman), Pak Budi, Rika, Lilis dan andi yang telah banyak memberikan bantuan dan saran kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis. (3) Teman-teman kantor, khususnya di Subdit Kedelai, Direktorat Bukabi yang telah memberikan pengertian dan dorongan moril kepada penulis. (4) Selanjutnya kepada semua pihak yang telah ikut membantu penulis mulai dari usulan penelitian hingga selesainya tesis ini. (5) Tak lupa pula, penulis ucapkan ribuan terima kasih kepada suamiku tercinta Abdul Hamid dan anak-anakku tersayang Irfan dan Surya serta seluruh keluarga atas doa dan pengertiannya mendorong penulis menyelesaikan studi. Akhir kata, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan tesis ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan manfaat tesis ini di kemudian hari.
Bogor,
Maret 2007
Dian Handayani
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal Pada Pasar Domestik adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Maret 2007
Dian Handayani NRP : F351020181
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………. DAFTAR GAMBAR ………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………..
xii xiii xiv
1.
PENDAHULUAN ………………………………………………. 1.1. Latar Belakang ……………………………………………... 1.2. Tujuan Penelitian …………………………………………… 1.3. Ruang Lingkup Penelitian ………………………………….. 1.4. Manfaat Penelitian …………………………………………..
1 1 4 4 5
2.
DAYASAING KEDELAI ….……………………….…………. 2.1. Konsep Dayasaing ..……………………………………….. 2.2. Strategi Bersaing …………………….................................. 2.3. Keunggulan Bersaing ………………………………………. 2.4. Dayasaing Komoditas Pertanian ………………………….... 2.5. Dayasaing Komoditi Kedelai ……..….…………………….
6 6 10 12 14 19
3.
KEDELAI NASIONAL DAN INTERNASIONAL …..………. 3.1. Kedelai Nasional ……….………………………………… 3.1.1. Pengembangan Usahatani Kedelai ……………..…..... 3.1.2. Produksi Kedelai ……………………………………… 3.1.3. Konsumsi kedelai …………………………………….. 3.1.4. Preferensi Bahan Baku Kedelai …………..………....... 3.2. Kedelai Internasional ………………….………………… 3.2.1. Produksi Kedelai ……………………………………. 3.2.2. Konsumsi …….……………………………………… 3.3. Kedelai Nasional Versus Internasional ..……………….
23 23 23 23 24 26 29 29 32 32
4.
KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL …………………..... 4.1. Konsep Kebijakan …………………………..…………. 4.2. Kebijakan Harga …………..…………………………… 4.3. Kebijakan Impor dan Tarif ……………….…………… 4.4. Kebijakan Nilai Tukar ………………………………… 4.5. Efisiensi Pemasaran .…………………………………..
34 34 36 37 41 41
5.
METODOLOGI PENELITAN ……………………………. 5.1. Kerangka Teoritis ……………………………………. 5.1.1. Penawaran dan Permintaan ………………………… 5.1.2. Elastisitas …………………………………………… 5.1.3. Produksi ……………………………………………. 5.1.4. Respon Areal dan Produktivitas Kedelai …………..
44 44 44 47 48 49
5.1.5. Teori Perdagangan Internasional ………………….. 5.1.6. Impor ……………………………………………… 5.1.7. Tarif ………………………………………………. 5.2. Kerangka Pemikiran ……………………………….... 5.3. Teknik Pengumpulan Data ………………………….. 5.4. Waktu dan Lokasi Penelitian ……………………... 5.5. Perumusan Model ..…..……………………………. 5.6. Definisi Operasional ……………..………………… 5.7. Tanda Hubungan Antar Variabel …………………… 5.8. Prosedur Analisis …………………………………..
51 51 52 53 57 57 57 64 65 66
6.
PENDUGAAN MODEL EKONOMETRIKA …………… 6.1. Faktor Penentu Dayasaing ……..………..…………. 6.2. Dayasaing Kedelai Lokal ..……..………..…………. 6.3. Analisis Dayasaing Kedelai ..…..………..…………. 6.3.1. Luas Panen Kedelai ……………..………………… 6.3.2. Produktivitas Kedelai ..………………………….. 6.3.3. Harga Kedelai Lokal ……………………………… 6.3.4. Harga Kedelai Tingkat Produsen ………………..... 6.3.5. Volume Impor Kedelai …………………………… 6.3.6. Harga Impor Kedelai ……………………..……....
73 73 74 75 76 78 81 83 88 90
7.
SIMULASI KEBIJAKAN ………………………………. 7.1. Kebijakan Harga Kedelai Tingkat Produsen ..……… 7.2. Kebijakan Tarif Impor Kedelai ……………………. 7.3. Kombinasi Harga Kedelai Tingkat Produsen dan Tarif Impor …………………………………………..
94 94 98
8.
PROGRAM PENGEMBANGAN KEDELAI …………... 8.1. Analisis Kebijakan …………..…..………..………… 8.2. Strategi Kebijakan Jangka Pendek ..………………… 8.2.1. Penciptaan Teknologi Spesifik Lokasi …………… 8.2.2. Upaya Peningkatan Produksi Kedelai ……….……. 8.2.3. Harga dan Efisiensi Pemasaran .….………………… 8.2.4. Upaya Perbaikan Kualitas Kedelai Lokal …………. 8.2.5. Dampak Keterkaitan Harga Internasional dan Nasional …………………………………………… 8.3. Strategi Kebijakan Jangka Panjang ………………….
100
101 101 106 106 108 109 111 112 113
9. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………….. 9.1. Simpulan …………………………………………….. 9.2. Saran …………………………………..….……….....
118 118 120
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….. LAMPIRAN …………………………………………………....
121 125
DAFTAR TABEL Halaman 1. Rendemen Tahu dari Beberapa Varietas Kedelai Lokal ……… 2. Perkembangan Produksi Kedelai dari Negara Produsen Kedelai 3. Perbandingan Negara Eksportir Kedelai Internasional ………… 4. Perbandingan Negara Importir Kedelai Internasional …………. 5. Luas Tanam, Produksi dan Ekspor di Amerika Serikat ………. 6. Tanda Hubungan Antar Variabel Endogen terhadap Eksogen… 7. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Luas Panen Kedelai …. 8. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Produktivitas Kedelai . 9. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Kedelai Lokal … 10. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Kedelai Tingkat Produsen .……………………………………………. 11. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Volume Impor Kedelai ………………………………..………………. 12. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Kedelai Impor .…………………………………………………………. 13. Simulasi Kenaikan Harga Riil Kedelai Tingkat Produsen …. 14. Simulasi Penurunan Harga Riil Kedelai Tingkat Produsen 15. Simulasi Kebijakan Tarif Impor Kedelai …………………… 16. Kombinasi Simulasi Harga Kedelai Tingkat Produsen dan Tarif Impor Naik Sebesar 20 % ………………………. 17. Dukungan Teknologi Untuk Perluasan Areal Tanam Kedelai
xii
28 29 30 30 32 66 76 79 82 84 89 92 95 98 99 100 109
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5.
Sistem ‘Diamond’ Nasional …..……………………………….. Faktor-faktor Kekuatan yang Mempengaruhi Persaingan Industri Rantai Pemasaran Kedelai di Pulau Jawa ……………………… Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian …………………. Gambar Kerangka Model Ekonometrika Hipotesis Dayasaing Kedelai Lokal ………………………………………………….. 6. Garis Waktu Peramalan ……………………………………….. 7. Gambar Kerangka Model Ekonometrika Dayasaing Kedelai Lokal ……………………………………………………………
xiii
7 8 42 56 63 72 93
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Kriteria Kesesuaian Agroekosistem untuk Tanaman Kedelai …… Pohon Industri Kedelai …………………………………………… Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Kedelai 1975 - 2004 …... Harga Riil Kedelai Lokal, Produsen, Impor dan Internasional 1975 – 2004 …………………………………………………….. Jumlah Pupuk, Harga Jagung, Benih Kedelai, Urea dan Curah Hujan Tahun 1975 – 2004 ……………………………………… Jumlah Penduduk, Konsumsi, Volume dan Tarif Impor, Nilai Tukar dan IHK (1995) 1975 – 2004 ……………………………. Volume, Tarif Impor, dan Nilai Tukar Rupiah 1975 – 2004 …… Output Kedelai Untuk Persamaan Luas Panen Kedelai ...……… Output Syslin Kedelai Untuk Persamaan Produktivitas Kedelai Output Syslin Kedelai Untuk Persamaan Harga Kedelai Lokal Output Syslin Kedelai Persamaan Harga Kedelai Tingkat Produsen Output Syslin Kedelai Untuk Persamaan Volume Impor ………. Output Syslin Kedelai Untuk Persamaan Harga Kedelai Impor … Validasi model ............................................................................. Simulasi Harga Kedelai Tingkat Produsen ……………………. Simulasi Tarif Impor Kedelai …………………………………. Kombinasi Simulasi Harga Kedelai Produsen dan Tarif Impor Hasil Perhitungan Elastisitas ………………………………….. Hasil Observasi ke Industri Tahu ……………………………… Hasil Observasi ke Industri Tempe …………………………… Hasil Observasi ke Industri Kecap ……………………………
xiv
125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 155 160
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dayasaing (competitiveness) sangat penting bagi keberhasilan atau kegagalan suatu industri. Dayasaing merupakan kemampuan usaha suatu industri untuk menghadapi berbagai lingkungan kompetitif. Porter di tahun 1990 memperkenalkan teori dayasaing yang baru, yaitu the diamond model. Menurutnya, negara-negara cenderung berhasil dalam bersaing pada industrinya disebabkan diamond nasionalnya yang saling mendukung. Diamond tersebut memiliki empat komponen yang saling terkait, yaitu : (1) kondisi faktor, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur yang bersaing dalam suatu industri, (2) kondisi permintaan pasar untuk barang dan jasa industri, (3) industri terkait dan industri pendukung secara internasional bersifat kompetitif, serta (4)
strategi perusahaan, struktur dan
persaingan (Cho dan Moon, 2003).
Dalam mencapai kemampuan dayasaing diperlukan strategi untuk mencari posisi bersaing yang menguntungkan dalam suatu industri. Strategi bersaing bertujuan untuk membina posisi yang menguntungkan dan kuat dalam melawan kekuatan yang menentukan persaingan. Daya tarik maupun posisi bersaing akan membuat pemilihan suatu strategi yang menantang dan menarik (Porter, 1990). Salah satu komoditi industri berbahan baku pertanian yang memiliki kemampuan dayasaing adalah kedelai lokal terhadap kedelai impor sebagai bahan baku olahan industri kedelai yang merupakan sumber protein murah yang permintaannya tiap tahun terus meningkat.
Komoditas kedelai (Glicine max) memegang peranan penting dalam ekonomi rumah tangga petani, konsumsi pangan, kebutuhan dan perdagangan pangan nasional. Kedelai merupakan salah satu bahan baku pangan yang telah membudaya di masyarakat Indonesia, khususnya di pulau Jawa (Sudaryanto, 1993). Konstribusi kedelai dalam penyediaan bahan pangan bergizi bagi manusia cukup besar,
2
sehingga kedelai dijuluki Gold from Soil atau Worlds Miracle. Menurut Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan (2001), biji kedelai mengandung gizi yang cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya mencapai + 35 - 38 % yang mendekati kandungan protein susu sapi.
Produk kedelai sebagai bahan olahan pangan berpotensi dan berperan dalam menumbuhkembangkan industri kecil menengah, bahkan berpeluang pula sebagai komoditas ekspor. Berkembangnya industri pangan berbahan baku kedelai membuka peluang kesempatan kerja dalam sistem produksi, mulai dari budidaya, panen, pengolahan, pasca panen, tansportasi, pasar hingga industri pengolahan pangan (Rusastra, 2000).
Kebutuhan kedelai terus meningkat pesat setiap tahunnya, sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi yang ditandai oleh meningkatnya konsumsi per kapita kedelai serta pertumbuhan industri olahan kedelai. Berdasarkan data BPS, konsumsi kedelai perkapita meningkat dari 8,13 kg pada tahun 1998 menjadi 8,97 kg pada tahun 2004 (Suryana, et al., 2005),. Kedelai mendapat perhatian pemerintah karena memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Departemen Pertanian memasukkan kedelai dalam kebijakan pengadaan pangan melalui peningkatan produksi.
Pengadaan dan pengembangan kedelai sangat penting dan strategis,
sebab dewasa ini produksi nasional belum mencukupi kebutuhan nasional.
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah permintaan kedelai terus meningkat, namun tidak dapat diimbangi oleh produksi dalam negeri. Untuk memenuhi permintaan tersebut dilakukan impor yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1975 posisi Indonesia bergeser dari negara eksportir menjadi negara pengimpor kedelai (Amang, 1996). Hal ini disebabkan permintaan kedelai yang begitu cepat, sementara produksi (penawaran) kedelai berkembang lambat dikarenakan produktivitas kedelai lokal masih rendah (Suryana, 2005).
3
Menurut Murkan (2006), saat ini rata-rata kebutuhan kedelai setiap tahunnya + 2.000.000 ton. Produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi + 800.000 ton (+ 40 persen) dari kebutuhan dan selebihnya dipenuhi dari impor yang mencapai + 1.200.000 ton (+ 60 persen).
Pada dasawarsa terakhir terjadi kecenderungan menurunnya luas panen yang berakibat pada menurunnya produksi nasional. Penurunan produksi juga terjadi karena permasalahan harga kedelai yang berpengaruh terhadap keputusan petani dalam memproduksi dan mengusahakan tanaman kedelai. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi kedelai, karena merupakan komoditas penting dalam pencapaian ketahanan pangan masyarakat dan perekonomian nasional. Upaya-upaya dalam peningkatan produksi dan pemenuhan kebutuhan kedelai telah dilakukan pemerintah mulai dari tahun 1986. Namun pada kenyataannya sasaran produksi kedelai belum dapat tercapai karena berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi (Suryana, 2005).
Impor kedelai merupakan jalan pintas untuk memenuhi kekurangan kedelai dalam negeri. Pada umumnya harga kedelai impor selalu lebih rendah daripada kedelai lokal dan kualitasnya lebih baik (Siregar, 2003). Ketergantungan akan konsumsi kedelai yang cukup besar dan telah menjadi tradisi, khususnya di pulau Jawa, tentu akan berdampak pada ketergantungan terhadap impor apabila produksi di dalam negeri tidak
mengalami peningkatan yang nyata (Hadipurnomo,
2000).
Pemanfaatan biji kedelai selain dapat dikonsumsi langsung, juga merupakan bahan baku industri, seperti tahu, tempe, tauge, tauco, oncom, kecap, minyak makan, susu kedelai, soygurt dan pakan ternak (Hermana, 1985).
Penelitian ini diharapkan dapat mempelajari dan menetapkan faktor-faktor penentu dalam meningkatkan dayasaing kedelai lokal terhadap pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen dalam industri berbahan baku kedelai. Selain itu, diharapkan dengan dilakukannya simulasi kebijakan dapat mengetahui peubah yang berpengaruh dalam upaya meningkatkan dayasaing kedelai lokal pada pasar
4
nasional. Hubungan antara faktor-faktor tersebut menjadi acuan dalam menetapkan strategi yang perlu dilakukan dalam meningkatkan dayasaing kedelai lokal.
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : (1)
Mengidentifikasi dan mengkaji faktor-faktor penentu dalam meningkatkan dayasaing kedelai lokal terhadap pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen dalam industri berbahan baku kedelai.
(2)
Menganalisis keragaan kedelai lokal dan impor selama 30 tahun terakhir.
(3)
Melakukan simulasi beberapa kebijakan dalam upaya meningkatkan dayasaing kedelai lokal.
(4)
Merumuskan strategi yang perlu dilakukan dalam meningkatkan dayasaing kedelai lokal dengan menggunakan model ekonometrika.
1.3. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan mengumpulkan data primer dan sekunder yang berkaitan dengan komponen-komponen penentu dayasaing kedelai lokal pada pasar nasional sebagai batasan dalam penelitian ini. Data tersebut berupa : (1) perkembangan luas panen, (2) produksi, (3) produktivitas, (4) harga kedelai riil lokal dan tingkat produsen, (5) harga riil benih kedelai, (6) harga riil jagung sebagai komoditi kompetitor, (7) jumlah penggunaan pupuk, (8) curah hujan, (9) jumlah konsumsi kedelai, (10) populasi penduduk Indonesia, (11) volume dan harga riil impor kedelai impor, (12) tarif impor, (13) harga riil kedelai internasional, (14) nilai tukar rupiah terhadap US dolar, dan (15) kebijakankebijakan. Data kemudian dianalisis dan sebagai bahan rumusan untuk menyusun strategi dalam rangka meningkatkan dayasaing kedelai lokal tersebut. Penelitian ini diarahkan untuk menentukan strategi peningkatan dayasaing kedelai lokal terhadap kedelai impor di dalam pasar nasional.
Penelitian ini akan dibatasi pada kegiatan produksi dan konsumsi kedelai serta dampak berbagai kebijakan pemerintah di bidang ekonomi terhadap pasar komoditi
5
kedelai nasional. Dari sisi produksi, analisis dilakukan dalam simulasi kombinasi berbagai kebijakan yang efektif mendorong pertumbuhan produksi kedelai lokal sekaligus upaya menekan impor kedelai. Dari sisi konsumsi, analisis penggunaan kedelai pada industri pengolahan kedelai, terutama tempe, tahu dan kecap dalam kaitannya dengan berbagai kebijakan pemerintah.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : (1)
Memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi pengambil keputusan pemerintah dan instansi terkait dalam rangka menentukan kebijakan dalam upaya peningkatan dayasaing kedelai lokal.
(2)
Membantu merumuskan strategi dan langkah-langkah perbaikan dalam menunjang peningkatan daya saing kedelai lokal.
2. DAYASAING KEDELAI 2.1. Konsep Dayasaing Dayasaing (competitiveness) sangat penting dalam menentukan keberhasilan bagi suatu industri. Dimensi yang terkandung dalam konsep dayasaing sangat banyak, sehingga pendekatannya dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu dan dalam berbagai aspek. Dalam literatur ilmu manajemen dan pemasaran modern, dayasaing sering diterjemahkan sebagai kemampuan atau keunggulan bersaing. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki atau didapat oleh produsen atau perusahaan tertentu karena kemampuannya menggali potensi pasar, memahami dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan
atau tuntutan
pasar, terutama dilihat dari sudut konsumen (Porter, 1993).
Menurut Tyson dalam Cho dan Moon (2003) dayasaing adalah kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji persaingan internasional
sementara
para
warga
negara
menikmati
standar
berkesinambungan. Porter (1993) mengemukakan bahwa secara nasional dayasaing dipandang sebagai suatu fenomena makroekonomi yang berkaitan dengan
peubah tingkat kurs, tingkat bunga dan defisit pemerintah. Jika
dayasaing diarahkan dengan kebijakan pemerintah
(pentargetan, proteksi,
promosi impor dan subsidi) akan mendorong suatu industri ke dalam keunggulan global. Dayasaing suatu negara merupakan derajat negara tersebut dalam kondisi pasar yang bebas dan adil dapat memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji
pasar internasional secara simultan meningkatkan
pendapatan riil warga negaranya. Dayasaing pada tingkat nasional didasarkan pada kinerja produktivitas yang superior.
Faktor penentu keunggulan bersaing pada industri nasional menurut Porter (1993) yaitu (1) kondisi faktor sumberdaya (factor conditions), (2) kondisi permintaan (demand conditions), (3) industri pendukung dan terkait (related and supporting industries), (4) struktur dan strategi perusahaan (structure of
7
firms and rivalry). Keempat faktor ini didukung oleh peranan kesempatan (chance) dan pemerintah (Goverment) dalam meningkatkan dayasaing industri nasional, bersama-sama membentuk sistem yang disebut the national ”diamond” (Gambar 1).
Governm ent Fac tor Conditions
Dem and Conditions Related and Supporting Industries
Struc ture of Firm s and Rivalry
Chanc e
Gambar 1. Sistem ‘Diamond’ Nasional (Sumber: Porter, 1990) Menurut Porter (1993), kekuatan kompetitif menentukan tingkat persaingan dalam suatu industri, baik domestik ataupun internasional yang menghasilkan barang atau jasa. Dalam aturan persaingan tersebut terdapat lima faktor persaingan, yaitu (1) persaingan diantara perusahaan yang ada, (2) masuknya para pendatang baru (barrier-entry), (3) kekuatan tawar menawar (bargaining power) para pembeli, (4) kekuatan tawar menawar para pemasok, dan (5) ancaman dari barang jasa pengganti (substitusi) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
8
Menurut Gray, et al. (1992) berpendapat bahwa dayasaing merupakan kemampuan produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu cukup baik dan ongkos produksi yang cukup rendah, sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi untuk dapat mempertahankan kelanjutan kegiatan produksinya. Dengan kata lain, dayasaing komoditas tercermin dari harga jual yang bersaing dan mutu yang baik. Pendatang Baru Ancaman Pendatang Baru Daya Tawarmenawar Pemasok
Pesaing Industri
Pemasok
Daya Tawar-Menawar Pembeli Pembeli
Persaingan di Antara Perusahaan yang Ada Ancaman Produk atau Jasa Subtitusi Produk Subtitusi
Gambar 2. Faktor-Faktor Kekuatan yang Mempengaruhi Persaingan Industri (Porter, 1993)
Dalam dayasaing suatu produk sangat terkait erat dengan efisiensi pemasaran dalam menghadapi sistem perdagangan. Efisiensi pemasaran hanya dapat ditingkatkan jika pemerintah dapat memperbaiki infrastruktur transportasi dan mengembangkan sistem informasi harga. Untuk pengembangkan produk pertanian ditingkat on farm, maka masalah produktivitas dan efisiensi pasar perlu ditangani dengan baik, sehingga produk tersebut dapat bersaing, terutama terhadap produk impor (Sharples, et al, 1990).
9
Konsep dayasaing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh Ricardo sekitar awal abad ke-19 yang dikenal dengan Model Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Konsep ini merupakan penyempurnaan dari kelemahan teori keunggulan absolut yang dicetuskan oleh Adam Smith. Konsep keunggulan komparatif maupun keunggulan absolut berasal dari suatu pemikiran yang sama, yaitu bahwa suatu negara akan berspesialisasi dalam produksi barang yang memiliki keunggulan absolut atau yang diproduksi lebih efisien dibandingkan jika diproduksi oleh negara lain.
Kedua negara akan
mendapatkan keuntungan bila masing-masing negara berspesialisasi dalam produksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan melakukan perdagangan antar negara (Salvatore, 1996).
Suatu negara akan cenderung mengekspor komoditas yang biaya produksinya relatif lebih murah dibandingkan dengan negara lain, dengan asumsi bahwa tenaga kerja adalah satu-satunya faktor produksi. Dengan demikian keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh Ricardo hanya didasarkan pada perbedaan produktivitas tenaga kerja antar negara, padahal masih terdapat banyak faktor yang mempengaruhi produksi selain tenaga kerja seperti tanah, modal dan sumberdaya lainnya (Salvatore, 1996).
Teori keunggulan komparatif Ricardo kemudian disempurnakan oleh Haberler (1936) yang mengemukakan konsep keunggulan komparatif berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory). Haberler menyatakan bahwa biaya dari satu komoditi adalah jumlah komoditi kedua terbaik yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama (Salvatore, 1996).
Konsep ini dikembangkan kembali oleh Heckscer-Ohlin dengan melibatkan lebih dari satu faktor produksi. Dengan lebih dari satu faktor produksi, maka suatu negara/wilayah akan menghasilkan dan mengekspor suatu komoditas yang dihasilkan dari faktor-faktor produksi melimpah dengan biaya cenderung
10
murah serta mengimpor komoditas yang faktor produksinya relatif langka dan mahal. Keunggulan suatu negara adalah biaya imbangan (opportunity cost) suatu negara dengan negara lain disebabkan karena adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi yang dimilikinya (karunia alam/ faktor endomend).
Keunggulan komparatif yang dimiliki dalam perdagangan memiliki sifat yang dinamis bukan statis. Sifat yang dinamis tersebut membuat negara yang memiliki
keunggulan
komparatif
di
sektor
tertentu
harus
mampu
mempertahankannya, agar tidak tersaingi oleh negara lain atau digantikan oleh komoditi substitusinya. Konsep yang dikembangkan oleh
Ricardo dan
Heckscer-Ohlin ini merupakan suatu dasar yang sering dipakai dalam menjelaskan alokasi sumberdaya di antara industri dalam suatu negara (Salvatore, 1996). 2.2. Strategi Bersaing Menurut Porter (1980), inti dari persaingan adalah untuk mendapatkan ide memproduksi, menjual, mendistribusikan, dan melayani. Operasional yang efektif adalah dengan meningkatkan daya saing yang lebih baik dan cepat serta menggunakan input lebih kecil dari pesaing. Perusahan yang menerapkan akan mendapat keuntungan sangat besar. Untuk tetap dapat mempertahankan dayasaing tersebut upaya perbaikan terus dilakukan secara berkelanjutan. Operasional yang efektif selalu mengutamakaan produktivitas. Sesuai dengan teknologi yang tersedia, keterampilan, teknik manajemen, menurunkan biaya dan dalam waktu bersamaan juga meningkatkan nilai.
Terdapat tiga prinsip dalam menetapkan strategi bersaing, yaitu : (1)
Strategi merupakan kreasi yang unik dan bernilai dengan melibatkan berbagai kegiatan. Posisi strategi ini muncul dari tiga sumber yang berbeda dalam menyiapkan kebutuhan pelanggan, yaitu : a) menyiapkan sedikit kebutuhan untuk banyak
pelanggan, b) menyiapkan banyak
kebutuhan untuk sedikit pelanggan, c) menyiapkan banyak kebutuhan untuk banyak pelanggan.
11
(2)
Strategi yang menghendaki pengelolanya untuk menutup perdagangan dalam suatu kondisi persaingan untuk memilih apa yang tidak
akan
dikerjakan. (3)
Strategi memilih kecocokan diantara beberapa kegiatan di dalam perusahaan (Porter, 1980).
Strategi bersaing merupakan perpaduan antara tujuan yang diperjuangkan perusahaan atau negara dengan kebijakan perusahaan atau negara tersebut untuk berusaha sampai ke tujuan akhir. Pada dasarnya pengembangan strategi bersaing merupakan pengembangan formula umum mengenai bagaimana bisnis akan bersaing, apa yang seharusnya menjadi tujuan dan kebijakan apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut (Porter, 1993).
Strategi bersaing merupakan upaya untuk mencari posisi bersaing yang menguntungkan bagi suatu perusahaan/negara, sehingga mampu melawan kekuatan yang menentukan persaingan dalam perusahaan/negara. Tujuan akhir dari strategi bersaing adalah menghadapi dan, idealnya, mengubah aturan main persaingan sesuai dengan kepentingan perusahaan/negara. Strategi yang disusun harus mendukung pencapaian misi dan tujuan perusahaan/negara tersebut. Misi perusahaan menjelaskan kegunaan dan alasan mengapa suatu perusahaan itu perlu strategi bersaing. Misi tersebut menggambarkan mengenai ciri pokok produk yang ditawarkan dan teknologi yang digunakan oleh perusahaan, kebutuhan konsumen serta karakter, filosofi diri dan citra perusahaan. Tujuan perusahaan
menyediakan
dasar
untuk
perencanaan,
pengorganisasian,
pemotivasian dan pengendalian (Purnomo dan Zulkieflimansyah, 1996).
Porter (1980) mengatakan bahwa strategi bersaing atau competitive strategy merupakan suatu strategi bisnis yang menggunakan pedoman analisa kompetitif. Strategi bersaing dihubungkan dengan formula umum mengenai bagaimana bisnis akan bersaing dan kebijakan apa yang menjadi tujuannya. Namun, perbedaan antara strategi bisnis dan strategi perusahaan bersifat semu karena keduanya saling berkaitan (Glueck dan Jauch, 1997). Manajemen
12
puncak juga harus menggunakan analisa kompetitif untuk mempertimbangkan apakah akan keluar atau masuk dalam suatu bisnis. Dengan kata lain, banyak perusahaan yang menetapkan strategi bersaing sebagai strategi perusahaan untuk memperjelas cara mencapai misi perusahaan.
Kekuatan kolektif dari kelima faktor persaingan ini menentukan kemampuan perusahaan dalam suatu industri tingkat pengembalian investasi yang melebihi biaya modal. Kekuatan ini berbeda-beda pada masing-masing industri dan dapat berubah dengan berkembangnya industri bersangkutan. Kemampulabaan industri tidak tergantung pada bentuk produk yang dihasilkan atau tingkatan teknologi yang digunakan, melainkan pada struktur industri tersebut. Kelima faktor ini menentukan kemampulabaan industri karena mempengaruhi harga, biaya dan investasi (unsur ROI/ return on investment) yang diperlukan perusahaan. Keunggulan bersaing merupakan hasil kemampuan perusahaan menanggulangi kelima faktor persaingan secara lebih baik dibandingkan para pesaingnya (Porter, 1993).
2.3. Keunggulan Bersaing Menurut Porter (1993), keunggulan bersaing merupakan jantung kinerja industri dalam pasar bersaing. Pesaing pada industri sejenis dapat merupakan ancaman, namun pesaing yang ‘tepat’ justru dapat memperkuat posisi bersaing. Suatu industri tidak akan pernah dapat berpuas diri menghadapi para pesaingnya atau berhenti berusaha mencari jalan untuk memperoleh keunggulan bersaing. Kegagalan industri sebagai akibat ketidakmampuan menjabarkan strategi bersaing yang luas ke dalam sejumlah langkah tindakan spesifik yang diperlukan untuk memperoleh keunggulan bersaing.
Keunggulan bersaing jangka panjang merupakan satu-satunya hal yang dapat diandalkan untuk mencapai kinerja unggul. Hadirnya pesaing yang ‘baik’ dapat membawa berbagai manfaat strategis yang dapat digolongkan dalam empat katagori umum : (1) meningkatkan keunggulan bersaing, (2) memperbaiki
13
struktur industri yang ada, (3) membantu perkembangan pasar, dan (4) menghalangi masuknya pesaing baru (Porter, 1993).
Menurut Glueck dan Jauch (1997), kunci agar tetap berhasil dalam persaingan adalah dengan selalu melakukan inovasi serta riset dan pengembangan sebagai inkubator dari inovasi. Untuk itu setiap persaingan dalam dunia bisnis setiap perusahaan harus melakukan riset dan pengembangan. Persaingan secara global akan terjadi tidak hanya pada perusahaan melainkan juga terhadap negara. Daya saing global tersebut ditunjukkan dengan standar hidup dengan menentukan bagaimana untuk tetap memelihara keadaan saat ini dalam perkembangan ekonomi. Untuk industri negara maju, hal ini mengisyaratkan untuk tetap menjaga inovasi sebagai pengendalian ekonomi (‘driven economi’).
Agar dapat tetap bersaing, industri harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) persaingan dalam pengetahuan dasar, (2) melakukan inovasi, (3) peraturan ekonomi agar industri terus berjalan, (4) komitmen terhadap Riset dan Pengembangan, (5) komitmen terhadap “brand” image (Glueck dan Jauch, 1997).
Analisa lingkungan memegang peranan penting dalam proses manajemen strategi. Semakin gencarnya revolusi informasi dan semakin dekatnya era globalisasi telah menyebabkan lingkungan mengalami perubahan yang luar biasa dengan intensitas yang semakin sering serta sukar diramalkan. Analisa tersebut dikaitkan dengan penelusuran kondisi eksternal dan internal yang dihadapi perusahaan sampai pada pangkalnya. Keputusan yang diambil berdasarkan penilaian pentingnya data hasil analisa lingkungan (Glueck dan Jauch, 1997).
Lingkungan organisasi dapat dikategorikan ke dalam tiga tingkatan yang berbeda, yaitu lingkungan umum, lingkungan industri dan internasional, serta lingkungan internal perusahaan. Lingkungan umum dipengaruhi oleh faktorfaktor ekonomi, sosial, politik, hukum, teknologi dan demografi. Perubahan
14
pada lingkungan tersebut akan berimplikasi pada semua perusahaan yang terlibat dalam industri sehingga pengaruhnya tidak spesifik (Purnomo dan Zulkieflimansyah, 1996). Menurut Porter (1980), persaingan dalam lingkungan industri ini dipengaruhi oleh lima kekuatan seperti diuraikan pada Gambar 1 di atas.
Menurut Cho dan Moon (2003) dalam mengukur dayasaing, data-data dari komponen yang akan diukur memiliki skala yang berbeda-beda, maka langkah pertama adalah melakukan standarisasi semua nilai sub faktor sebagai berikut : Indeks = (Xi aktual - Xi minimal)/ (Xi maksimal - Xi minimal) x 100 Langkah kedua adalah menggunakan suatu rata-rata sederhana dari indeks yang distandarisasi (STD) untuk semua sub faktor di dalam suatu faktor utama untuk mendapatkan suatu indeks keseluruhan dari faktor tersebut. Langkah terakhir adalah memberi ranking berdasarkan indeks keseluruhan. Langkah-langkah perhitungan dapat diringkas sebagai berikut : Data mentah
indeks STD
indeks keseluruhan
ranking
2.4. Dayasaing Komoditas Pertanian Kinerja pembangunan pertanian tidak akan lepas dari lingkungan strategis, baik domestik maupun internasional yang berkembang sangat dinamis. Bentuk perubahan mendasar lingkungan strategis internasional antara lain globalisasi dan liberalisasi perdagangan, penurunan subsidi dan proteksi usaha pertanian. Perubahan mendasar di lingkungan domestik antar lain perubahan struktur demografis dan globalisasi preferensi konsumen. Perubahan ini tentu akan menimbulkan berbagai dampak perubahan pada sisi penawaran dan permintaan (Purwoto, et al., 1998).
Dalam kerjasama perdagangan bebas di negara-negara ASEAN (AFTA) yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2003, Indonesia dihadapkan pada persaingan
15
perdagangan regional yang semakin ketat, khususnya bagi komoditas non migas. Liberalisme ekonomi memang tidak dapat dihindari, terutama dalam perdagangan bebas dunia yang akan dimulai pada tahun 2010. Negara-negara di kawasan ASEAN dayasaing komoditas ini harus benar-benar dipersiapkan agar tidak menjadi obyek dari perdagangan komoditas dan produk negara lain nantinya. Hal ini ditandai dengan keinginan
sejumlah negara untuk
menciptakan perdagangan dunia yang bebas dari praktek-praktek diskriminasi. Dengan demikian, arus barang dan jasa diharapkan dapat mengalir dari dan ke negara tertentu mengikuti aturan dan prinsip liberalisasi perdagangan (Malian, 2000).
Bagi Indonesia secara umum dalam menghadapi AFTA ini relatif masih perlu di persiapan. Dampak krisis ekonomi yang dialami Indonesia beberapa waktu yang lalu masih menyisakan beberapa permasalahan ekonomi pada beberapa permasalahan ekonomi pada berbagai sektor pembangunan. Menurut (Malian, 2000), terdapat dua masalah besar yang dapat merugikan kepentingan makro ekonomi Indonesia. Pertama, adanya krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih serta faktor politik dan keamanan. Kedua, adanya Otonomi Daerah yang mungkin dapat melahirkan sikap-sikap kontra produktif bagi perekonomian lokal dan nasional. Krisis ekopolitan belakangan ini telah membuat perhatian pemerintah hanya tertuju untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Akibatnya, isu tentang AFTA menjadi terabaikan dan boleh jadi tidak masuk dalam agenda prioritas pemerintah, padahal AFTA membutuhkan kesiapan yang mendalam, baik bagi pemerintah maupun pelaku ekonomi swasta.
Menurut Hamdy (2000), etoria Otonomi Daerah juga dapat menimbulkan hal yang dapat menurunkan persaingan. Adanya Otonomi Daerah oleh sebagian Pemda diasosiasikan dengan ‘otonomi wilayah’ sehingga kabupaten dan propinsi dapat secara bebas mengatur daerahnya. Padahal, Otonomi Daerah hakekatnya hanya pendelegasian kewenangan untuk mengurus daerah, namun tetap pada tatanan kepentingan nasional secara keseluruhan. Pandangan demikian telah membuat sebagian daerah menerbitkan berbagai atauran yang
16
terkadang tidak mendukung perekonomian secara keseluruhan bahkan kontra produktif pula dengan AFTA. Misalnya, untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), banyak daerah menerbitkan berbagai peraturan pajak dan retribusi baru yang menyulitkan investor. Langkah ini bukan saja melambankan aktivitas perdagangan, melainkan juga mengurangi minat investasi ke daerahdaerah.
Menurut Siregar (1999), dalam upaya meningkatkan daya saing sektor pertanian perlu dikembangkan produk-produk unggulan yang mampu bersaing di pasar domestik maupun pasar internasional. Pengembangan produk-produk unggulan dilaksanakan melalui serangkaian proses yang saling terkait serta membentuk suatu sistem pra produksi, produksi, pengolahan hasil dan pemasaran
Berdasarkan hasil penelitian Siregar (2003) pemasaran komoditas pertanian sering dipandang tidak efisien karena distorsi yang diakibatkan oleh struktur pasar yang pada akhirnya akan menurunkan dayasaing.
Dalam upaya
meningkatkan dayasaing produk-produk pertanian menurut Risman (2001), terdapat tujuh hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu : (1)
Kualitas produk, perlu terus dikembangkan standar mutu hasil-hasil pertanian, baik yang menyangkut bahan mentah maupun hasil olahannya sesuai dengan tuntutan konsumen akan mutu yang semakin meningkat dengan semakin
meningkatnya taraf hidup penduduk dunia yang
menuntut adanya jaminan mutu sejak awal proses produksi hingga ke tangan konsumen. (2)
Kontinuitas. Jaminan kontinuitas suplai merupakan salah satu persyaratan mutlak bagi kelangsungan perdagangan. Kelangsungan suplai ini akan semakin mempengaruhi pemeliharaan pangsa pasar yang ada.
(3)
Waktu pengiriman. Ketepatan waktu pengiriman
(on time delivery)
barang ekspor merupakan tantangan bagi peningkatan ekspor pertanian. Ketepatan waktu ini penting untuk produk-produk yang nilainya lebih
17
tinggi dalam bentuk segar merupakan produk yang perlu dipacu ekspornya di masa depan. (4)
Teknologi. Dalam sistem agribisnis, peran teknologi hampir selalu dibutuhkan dalam setiap subsistemnya, mulai dari pengadaan sarana produksi, proses usahatani, agroindustri maupun dalam pemasaran hasilnya. Penyediaan informasi berbagai alternatif teknologi baru yang kompatibel merupakan kebutuhan dalam pengembangan agribisnis secara menyeluruh.
(5)
Sumberdaya manusia. Pada sektor pertanian secara keseluruhan dilakukan oleh petani sebagai pelaku utama mencakup seluruh kegiatan subsektor. Kualitas sumberdaya manusia pertanian yang relatif rendah menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas sektor pertanian.
(6)
Negara pesaing Indonesia. Sebagai negara pengekspor produk pertanian, Indonesia memiliki banyak pesaing yang secara tradisional menghasilkan produk yang sama dengan produk-produk Indonesia yang pada umumnya berupa produk pertanian tropis.
(7)
Insentif investasi. Investasi pemerintah di sektor pertanian dapat berupa investasi langsung maupun tidak langsung. Investasi langsung misalnya pembangunan pelabuhan, pengadaan sarana produksi. Investasi tidak langsung yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan produktif, seperti pembinaan sumberdaya manusia, penelitian dan pemasaran hasil pertanian. Selain itu, Pemerintah perlu menggerakkan sektor pertanian yang seimbang dengan pengembangan sektor industri.
Berkaitan dengan upaya peningkatan dayasaing komoditas pertanian di pasar regional, Rusastra (2000) menyatakan bahwa negara-negara lain telah lama menikmati previtage
dari pemerintah, baik untuk menghadapi pasar bebas
maupun untuk melindungi produksi pertaniannya agar kesejahteraan rakyat dapat dinikmati. Proteksi-proteksi untuk komoditas pertanian memang sampai sejauh ini diperlukan untuk perlindungan produksi pertanian Indonesia.
18
Dalam mengantisipasi hal tersebut perlu ditetapkan tarif bea masuk (pajak impor) yang wajar bagi sejumlah komoditas luar yang memang dibutuhkan, tetapi tidak mampu dipenuhi dari hasil produksi pertanian Indonesia. Sebaliknya, bila para petani Indonesia mampu memasok kebutuhan dalam negeri, maka tarif masuk komoditas dari luar harus ditinggikan
Pemberlakuan Otonomi Daerah dan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) menuntut berbagai penyesuaian dan koordinasi anatra Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat untuk menyikapi perkembangan tersebut.
Beberapa hal
penting yang perlu diperhatikan bagi Pemerintah Daerah menurut Malian (2000), antara lain adalah kesadaran peningkatan dayasaing, adanya political will, pengembangan sumberdaya manusia, pembenahan institusi, antara lain melalui pencabutan peraturan yang menurunkan dayasaing, penerapan kebijakan yang kondusif bagi dunia usaha.
Dalam menghadapi persaingan regional maupun internasional, sistem agribisnis yang dapat diandalkan adalah sistem yang dapat menghasilkan produk pertanian yang berdayasaing tinggi di pasaran. Upaya ke arah itu dapat ditempuh melalui modernisasi dan transformasi yang diharapkan dapat meningkatkan dayasaing produktivitas, kualitas, efektivitas dan efisiensi dan jaminan mutu. Hal-hal tersebut berguna untuk meningkatkan dayasaing, sehingga secara langsung memberikan dampak besar bagi perekonomian nasional saat ini maupun di masa datang (Malian, 2000).
Sudaryanto (2004) mengemukakan bahwa sektor pertanian Indonesia tidak mampu menghasilkan produk yang kompetitif dengan harga yang mampu menghasilkan produk yang kompetitif dengan harga yang mampu bersaing di pasar bebas. Produk-produk yang masuk dari negara lain, seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan China akan sangat mempengaruhi produk-produk yang dihasilkan Indonesia. Beberapa produk pertanian Indonesia, termasuk kedelai saat ini benar-benar tidak mampu bersaing di pasaran tanpa adanya proteksi dalam bentuk bea masuk yang dihasilkan Indonesia. Dari aspek kemampuan
19
produksi secara umum hampir semua komoditas pertanian Indonesia dalam kondisi menurun terutama sejak krisis multidimensi beberapa tahun yang lalu.
2.5. Dayasaing Komoditi Kedelai Visi pembangunan pertanian nasional pada periode 2004 – 2009 adalah terwujudnya
sistem
pertanian
yang
berdayasaing,
berkeadilan,
dan
berkelanjutan guna menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat pertanian. Dalam era perdagangan yang semakin liberal dan mengglobal, peningkatan dayasaing harus dilakukan dengan strategi dan kebijakan yang tepat. Dalam mewujudkan visi tersebut, berbagai kebijakan pemerintah diperlukan baik yang bersifat makro maupun mikro, dalam bentuk peraturan perundangan maupun program (Suryana, 2005).
Bentuk visi daya saing tersebut yang bercirikan antara lain berorientasi pasar, meningkatnya pangsa pasar, khususnya pasar internasional dan mengandalkan produktivitas dan nilai tambah melalui pemanfaatan modal (capital driven), pemanfaatan teknologi (innovation driven) serta kreativitas sumberdaya manusia terdidik (skill driven) dan bukan lagi mengandalkan kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (factor driven).
Berkaitan dengan hal diatas pada komoditi kedelai, fakta menunjukkan bahwa kedelai merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang cukup berat dalam menghadapi era liberalisasi perdagangan. Namun dikarenakan kedelai termasuk salah satu komoditi strategis yang diperlukan penduduk Indonesia dalam memenuhi protein pangan yang murah, maka perlu dilakukan upayaupaya peningkatan produksi dan menekan ketergantungan akan kedelai impor.
Penelitian Rusastra (1990) menunjukkan bahwa pengembangan kedelai di Indonesia yang memiliki kelayakan ekonomi hanya di luar Jawa, yaitu di wilayah Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan. Produksi kedelai di Jawa tidak memiliki keunggulan komparatif untuk tujuan substitusi
20
impor (IS) atau untuk perdagangan daerah (IR) apalagi untuk tujuan ekspor (CP). Usahatani kedelai di luar Jawa memiliki keunggulan komparatif marginal untuk tujuan perdagangan antar daerah (IR) atau subsitusi impor (IS), tetapi tidak memiliki keunggulan untuk tujuan ekspor (EP) kecuali di Sulawesi. Kelayakan produksi kedelai di luar Jawa, kecuali Sulawesi, masih rentan terhadap penurunan produktivitas, sehingga memiliki stalilitas kelayakan yang relatif rendah. Penurunan produktivitas dengan kisaran 3,2 – 8,1 persen akan menyebabkan usahatani kedelai tidak lagi memiliki keunggulan komparatif.
Untuk melihat dayasaing komoditas kedelai setelah penghapusan subsidi pupuk dan pestisida pada 1998, Siregar dan Sumaryanto (2003) melakukan analisis yang hasilnya memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah tidak lagi memihak kepada petani. Kebijaksanaan pemerintah telah berubah dari kebijakan protektif menjadi tidak protektif terhadap output kedelai. Pada masa lalu, kebijakan pemerintah yang protektif terhadap output produksi dilaksanakan berupa kebijaksanaan harga dan penetapan jumlah impor kedelai yang dilakukan oleh BULOG.
Siregar dan Sumaryanto (2003) meneliti dayasaing usahatani kedelai dari segi keunggulan kompetitif, komparatif dan finansial. Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran dayasaing (keunggulan) potensial dan dalam artian dayasaing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Keunggulan komparatif suatu komoditi di suatu negara bersifat dinamis. Suatu negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mepertahankan dan bersaing dengan negara lain melalui perumusan kebijakan antisipatif dengan mempertimbangkan perubahan ekonomi dunia, lingkungan domestik dan teknologi.
Untuk kelayakan finansial dilihat dari manfaat suatu aktivitas ekonomi dari sudut lembaga dan dan individu yang terlibat dalam aktivitivas tersebut. Analisis ekonomi menilai suatu aktivitas ekonomi atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan tanpa melihat siapa yang menerima manfaat tersebut
21
(Siregar dan Sumaryanto, 2003). Konsep yang sesuai untuk untuk melihat kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif sebagai pengukur dayasaing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Menurut Siregar dan Sumaryanto (2003), usahatani kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan kompetitif. Dilihat dari segi finansial, komoditi kedelai memiliki keunggulan kompetitif. Dalam keunggulan finansial tersebut terdapat tiga faktor penting yang menentukan dayasaing komoditi kedelai, yaitu harga internasional, nilai tukar mata uang dan produktivitas kedelai.
Berdasarkan hasil estimasi Siregar dan Sumaryanto (2003) memperlihatkan bahwa harga kedelai internasional mempengaruhi dayasaing kedelai lokal karena hambatan non-tarif untuk komoditas kedelai sudah tidak ada (dikenakannya tarif masuk kedelai impor 10 %). Sedangkan titik impas harga internasional (CIF) adalah US $ 244/ton kedelai. Komoditas kedelai lokal akan memiliki dayasaing jika harga internasional tersebut paling sedikit naik 6,5 persen (titik impas) di atas CIF yang berlaku, ceteris paribus.
Faktor lain yang ikut menentukan dayasaing finansial komoditi kedelai adalah nilai tukar dolar terhadap rupiah. Estimasi yang dilakukan Siregar dan Sumaryanto (2003) memperlihatkan bahwa komoditas kedelai akan mempunyai dayasaing finansial jika nilai tukar dolar terhadap rupiah turun paling sedikit 9,2 % (Rp 8.500/US $), ceteris paribus.
Keunggulan finansial dayasaing kedelai dapat pula ditingkatkan jika produktivitas dapat ditingkatkan. Titik impas produktivitas berasal dari hasil bagi antara biaya total dengan harga komoditi. Dengan rumus ini Siregar dan Sumaryanto (2003) memperlihatkan bahwa titik impas produktivitas kedelai sekitar 1,5 ton per hektar. Ini berarti bahwa jika faktor-faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus), maka produktivitas kedelai harus dapat ditingkatkan paling sedikit 27,4 persen agar kedelai dapat memiliki dayasaing finansial. Sebenarnya kenaikan produktivitas sebesar itu tidak sulit untuk dicapai melalui perbaikan teknologi, misalnya dengan penggunaan benih bermutu dan pupuk
22
berimbang. Peningkatan dayasaing kedelai dalam jangka relatif panjang dapat dilakukan melalui pengembangan varietas yang selama ini relatif mengalami stagnasi.
Mengingat kemampuan produksi dalam negeri yang masih rendah, sementara permintaan terhadap kedelai akan meningkat sekitar 2,92 persen per tahun, maka impor kedelai akan meningkat dari 1,04 juta ton pada tahun 2000 menjadi 1,35 juta pada tahun 2004. Karena itu, maka upaya peningkatan produksi kedelai di dalam negeri akan semakin penting. Upaya ini merupakan tantangan yang tidak mudah dikarenakan kebijakan untuk melindungi petani di dalam negeri semakin tidak sesuai dengan dayasaing internasional dan tuntutan perdagangan bebas. Meskipun demikian, pemerintah masih dapat menganjurkan kepada petani untuk bertanam kedelai untuk meningkatkan produksi dalam negeri asalkan dapat memberikan keuntungan yang tinggi. (Sudaryanto, 1996).
Di sisi pertanaman kedelai terhadap tanaman pesaingnya, maka tanaman kedelai harus dapat memberikan keuntungan bersih paling sedikit sama dengan keuntungan bersih tanaman pesaing, seperti jagung. Menurut Siregar (2000), terdapat dua kemungkinan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan dayasaing kedelai tersebut. Kemungkinan pertama adalah dengan peningkatan hasil per satuan luas dengan asumsi bahwa harga input dan output tidak berubah. Kemungkinan kedua adalah peningkatan harga kedelai dengan asumsi bahwa tingkat hasil dan harga-harga input tidak berubah. Pada saat ini kemungkinan kedua ini sulit dilaksanakan karena penerapan harga dasar sulit diterapkan. Meskipun demikian, analisis dayasaing kedelai yang kedua tersebut masih digunakan untuk meramalkan kemungkinan perluasan atau pengurangan pertanaman kedelai, apabila harga-harga dapat diramalkan sebelumnya.
3. KEDELAI NASIONAL DAN INTERNASIONAL
3.1. Kedelai Nasional 3.1.1. Pengembangan Usahatani Kedelai Menurut sejarah, kedelai berasal dari Cina bagian utara pada abad kesebelas SM, kemudian tersebar sampai ke Korea, Jepang, Amerika Serikat, Asia Selatan dan Tenggara (Van der Maesen dan Somaatmadja, 1993). Menurut Adisarwanto, et al. (1993), tanaman kedelai responsif terhadap faktor iklim karena berasal dari daerah subtropis. Namun tanaman kedelai dapat tumbuh subur di daerah tropis apabila berbagai persyaratan teknis penamanan dapat dipenuhi. Masa panen tanaman kedelai di daerah tropis adalah tiga bulan. Tanaman ini tumbuh baik pada tempat terbuka dengan ketinggian 50 – 500 m di atas permukaan laut, pH tanah 5.8 – 6.9, suhu optimal 25 – 28 oC, dan rata-rata curah hujan selama musim tanam 300 - 400 mm per tiga bulan. Pertumbuhan optimal pada musim kering dengan kelembaban tanah rata-rata 65 persen (Soemarno, 1985). Untuk lebih jelasnya diuraikan pada Lampiran 1.
Pengembangan usahatani kedelai dalam upaya peningkatan produksi ditempuh melalui usaha pokok intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi. Menurut Manwan, et al. (1996) sejalan dengan usaha pokok tersebut, pengembangan usahatani, baik dilahan sawah maupun lahan kering dapat ditempuh melalui : (a) perluasan areal tanam, (b) peningkatan produktivitas, (c) pengurangan kehilangan hasil dan (d) sistem produksi yang berlanjutan dan berwawasan lingkungan.
3.1.2. Produksi Kedelai Pengembangan produksi kedelai nasional telah dilakukan pemerintah agar dapat memenuhi kebutuhan pangan dan industri olahan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor teknis, ekonomi dan sosiokultural masyarakat. Pada dasawarsa terakhir ini
24
produksi kedelai cenderung menurun tajam, sejalan dengan merosotnya luas panen kedelai setiap tahunnya. Perkembangan luas panen produksi dan produktivitas kedelai dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik, pada tahun 1976 produksi kedelai 521.777 ton dari luas panen seluas 646.336 ha. Pada tahun 1986 produksi kedelai mencapai 1.226.654 ton dari luas panen seluas 1.253.671 ha. Pada tahun 1992 Indonesia pernah mencapai produksi tertinggi sebesar + 1,87 juta ton, dan di tahun 1999 produksi kedelai mencapai + 1,38 juta ton (turun + 36 %). Setelah itu produksi kedelai menurun terus, bahkan pada tahun 2004 produksi nasional hanya mencapai 0,72 juta ton (turun + 48 %) sebagai akibat penurunan luas tanam yang sangat drastis. Di lain pihak untuk memenuhi kekurangan tersebut dilakukan impor yang terus meningkat, memboroskan devisa dan menghilangkan lapangan kerja yang cukup besar. Perkembangan luas panen, produktivitas, produksi dan impor kedelai tahun 1975 – 2004 dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.
Berdasarkan paket teknologi yang ada sekarang, produktivitas kedelai 1,6 ton/ha secara teknis dapat tercapai. Produktivitas kedelai di petak percobaan dapat mencapai 2.5 – 3 ton/ha, sedangkan di tingkat petani rata-rata 1.3 ton/ha. Penggunaan input sarana produksi di Indonesia adalah penggunaan benih 40 – 50 kg/ha, pupuk hayati yang dapat memghemat dosis urea setengahnya, sehingga penggunaan urea, SP-36 dan KCl masing-masing sebesar 50 kg/ha. Pengelolaan usahatani milik petani masih tradisional dengan menggunakan tenaga manusia dan lahan kepemilikan yang tidak terlalu luas.
3.1.3. Konsumsi Kedelai Sebagian besar konsumsi kedelai nasional untuk bahan makanan dalam bentuk olahan tahu, tempe, kecap, tauco dan susu kedelai. Bila ditinjau dari segi harga, kedelai merupakan sumber protein yang termurah, sehingga sebagian besar kebutuhan protein nabati dapat dipenuhi dari hasil olahan kedelai. Biji kedelai tidak dapat dimakan langsung karena mengandung tripsine inhibitor, namun kandungan ini dapat dinetralkan dengan direbus.
25
Kedelai bernilai gizi tinggi dengan kadar protein + 35 – 38 persen, tertinggi dari semua kacang-kacangan lainnya dan menduduki tempat kelima sebagai sumber protein. Meskipun kadar minyaknya tinggi (+ 18 persen), tetapi lemak jenuhnya rendah. Kandungan asam amino penting di dalam kedelai adalah : Isoleucine, Leucine, Lysine, Methionine, Phenylalanine, Threonin, Thryptophane dan Valine. Disamping itu, kedelai mengandung kalsium, fosfor, besi, vitamin A dan B (Maesen dan Somaatmadja, 1993). Kedelai dapat digunakan untuk berbagai keperluan, yaitu pangan, pakan dan bahan industri. Di Indonesia penggunaan kedelai masih terbatas sebagai pangan dan pakan (Suprapto, 2004). Menurut Sarwono (2004), konsumsi kedelai 95 persen dalam bentuk olahan, 4 persen dikonsumsi langsung dan 1 persen untuk benih. Pemanfaatan biji kedelai selain dapat dikonsumsi langsung, juga merupakan bahan baku industri, seperti tahu, tempe, tauge, tauco, oncom, kecap, minyak makan, susu kedelai, soygurt dan pakan ternak. Dewasa ini telah berkembang industri susu kedelai dan disukai oleh masyarakat. Selain harganya lebih murah dibandingkan susu sapi, nilai gizinya juga tinggi dan tidak mengakibatkan alergi bagi penderita lactose intolerance. Melalui teknologi pengolahan dapat dihasilkan berbagai produk olahan yang bernilai tinggi, seperti digambarkan dalam bentuk pohon industri pada Lampiran 2. Produk-produk olahan kedelai antara lain : (1) Produk hasil fermentasi : kecap, tauco, natto, tempe, dan soyghurt. (2) Produk non-fermentasi : tahu dan produk olahannya, limbah tahu (pakan ternak), susu kedelai, tepung dan bubuk kedelai, isolat protein, konsentrat protein, daging tiruan, serat kedelai, minyak kedelai kasar, dan tauge. (3) Dari minyak kedelai kasar dapat dihasilkan : a. Aplikasi produk pangan : minyak salad, minyak goreng, mayonnaise, margarin, shortening, dan lesitin (pangan, non pangan, kosmetik, dan obatobatan sebagai pengemulsi, penstabil, pelembut, pembasah, dan lain-lain). b. Aplikasi produk non-pangan/bidang teknik : lapisan pelindung, pengenyal, cat, semir, desinfektan, dan lain-lain.
26
Pemanfaatan kedelai di Indonesia memiliki pola berbeda dengan di negara Barat. Di Indonesia harga kedelai relatif mahal jika dimanfaatkan sebagai pakan dan kurang mampu bersaing bila diolah menjadi minyak makan. Karakter industri pangan dari kedelai di Indonesia adalah (1) sebagian besar berproduksi dalam skala industri kecil dan rumah tangga, (2) semua proses pengolahannya diawali dengan perendaman yang membutuhkan banyak air (Suryana, et al., 2005).
Berdasarkan survei SUSENAS oleh Biro Pusat Statistik setiap enam tahun sekali, konsumsi kedelai dalam bentuk biji dan olahan terus meningkat. Tahu dan tempe merupakan produk kedelai yang dominan dikonsumsi penduduk desa maupun kota. Rata-rata konsumsi tahu dan tempe penduduk kota lebih tinggi dari penduduk desa.
3.1.4. Preferensi Bahan Baku Kedelai Industri tahu dan tempe merupakan pengguna kedelai terbesar. Informasi tentang estimasi kebutuhan kedelai untuk industri tahu dan secara akurat masih sulit diperoleh, karena makin berkembangnya industri tersebut dan masih banyak industri-industri kecil yang belum terdata.
Tempe merupakan makanan tradisional yang telah lama dikenal di Indonesia. Indonesia merupakan negara penghasil tempe terbesar di dunia. Pembuatan tempe dilakukan dengan cara fermentasi. Tempe merupakan sumber protein yang relatif murah. Menurut Sarwono (2004), sekitar
57 persen
kedelai
di Indonesia
dikonsumsi dalam bentuk tempe, 38 persen dalam bentuk tahu, dan sisanya dalam bentuk kecap, taoco, kembang tahu, dan lain-lain. Tempe kedelai mengandung protein sekitar 19,5 persen, lemak 4 persen, karbohidrat 9,4 persen, vitamin B12 antara 3,9-5 mgram per 100 gram tempe. Sedangkan dalam 100 gram daging mengandung protein 18,8 gram dan telur 12,2 gram. Menurut hasil penelitian Aryanie (1999), dari 1000 gram kedelai (varietas tidak disebutkan) menghasilkan tempe dari : a) kedelai lokal rata-rata 1.580 gram, b) kedelai impor rata-rata 1.683 gram.
27
Pada tahun 1983 konsumsi kedelai tercatat 1,2 juta ton. Tujuh tahun kemudian, yaitu pada 1990, konsumsi kedelai tercatat 1,8 juta ton dan sekitar 1.048.800 ton (58 persen) dikonsumsi dalam bentuk tempe. Dari data tersebut menunjukkan bahwa jumlah konsumsi kedelai meningkat rata-rata 12 persen per tahun.
Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2000), kebutuhan konsumen dan permintaan pasar perlu juga menjadi pertimbangan dalam memproduksi
kedelai.
Menurut Sumarno dan Harnoto (1983), di Indonesia
industri tempe lebih menyukai biji kedelai yang berwarna kuning dan berukuran besar (+ 12 gram atau lebih/100 biji). Industri tahu lebih menyukai biji kedelai yang berukuran kecil (8-10 gram/100 biji) hingga sedang (10-12 gram/100 biji). Sedangkan di Amerika dan Jepang, kedelai dengan bobot 15 gram/100 biji masih dianggap kecil.
Hasil kajian Saptana (1993) di Wonogiri, Jawa Tengah bahwa produksi kedelai lokal untuk industri tempe dan kecap relatif kecil (+ 10 persen). Sedangkan untuk industri tahu sebagian besar (+ 80 persen) menggunakan kedelai impor dan + 20 persen menggunakan kedelai lokal. Industri kecap memerlukan spesifikasi bahan baku agar diperoleh kualitas kecap yang baik, yaitu dari kedelai berkulit hitam. Rendahnya penggunaan kedelai lokal lebih disebabkan oleh tidak tersedianya bahan baku lokal, sehingga dipenuhi dari impor. Dalam industri tahu, menurut Sarwono dan Saragih (2004), mutu produk ditentukan oleh bahan baku. Teknologi tidak mampu memperbaiki mutu, namun hanya mampu mempertahankan mutu.
Persyaratan
bahan baku utama tahu lebih ketat
dibandingkan dengan bahan baku tempe atau kecap. Jumlah dan mutu protein penting dipertimbangkan saat pemilihan bahan baku yang dilihat dari varietasnya.
Varietas kedelai sangat berpengaruh pada tinggi rendahnya rendemen maupun rasa tahu. Diantara sekian banyak varietas lokal, varietas yang tinggi rendemen tahunya antara lain varietas Dempo dan Shakti. Namun, varietas berendemen tinggi belum tentu mempunyai rasa enak setelah diolah menjadi tahu, kecuali varietas Shakti. Varietas berendemen sedang seperti Wilis, No. 129 dan Galunggung malah
28
menghasilkan tahu bercitarasa baik (Indrasari dan Damardjati, 1991 dalam Sarwono dan Saragih, 2004). Berdasarkan hasil penelitian Indrasari dan Damardjati (1991) dapat dilihat hasil rendemen tahu dari beberapa varietas kedelai lokal, seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Rendemen Tahu dari Beberapa Varietas Kedelai Lokal Rendemen
Varietas
Tinggi (> 220 %)
Dempo, Shakti, Orba, Rinjani
Sedang (190 – 220 %)
Ringgit, No. 129, Lokon, Wilis
Rendah (< 190 %)
Muria, Raung, Tidar
Sumber : Indrasari dan Damardjati (1991)
Menurut hasil penelitian Hartati (1999), dari 1000 gram kedelai : a) lokal varietas No. 129 menghasilkan tahu rata-rata 2590 gram, b) impor dari Amerika menghasilkan tahu rata-rata 2130 gram, b) campuran lokal dan impor menghasilkan tahu rata-rata 2323 gram.
Selain varietas, biji kedelai yang akan dijadikan bahan baku tahu sebaiknya memenuhi syarat : (1) Kedelai masih baru dipanen dan cukup umur. Jika terlalu lama disimpan atau panen muda, rendemen rendah. Selain itu, tahu yang dihasilkan akan lembek dan tidak tahan lama disimpan. Kedelai panen muda ditandai dengan bijinya keriput. (2) Kadar air maksimal 13 persen. Bila kadar airnya mencapai 15 persen, jamur mudah tumbuh selama penyimpanan. Namun bila kadar airnya 9 persen atau kurang, maka biji kedelai akan mudah pecah dan rendemen tahu akan menurun. (3) Biji kedelai harus utuh karena enzim-enzim lipoksidase akan aktif bila kedelai pecah, sehingga menyebabkan kandungan minyak dalam biji akan tengik dan bau tahu kurang enak. (4) Kedelai harus bebas berbagai kotoran (kerikil, pasir, dan sisa tanaman) yang akan membutuhkan waktu dan biaya membersihkannya serta dapat merusak alat penggiling.
29
Dalam industri olahan kedelai, permasalahan yang dihadapi adalah sulitnya ketersediaan bahan baku lokal dalam segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Kebutuhan akan bahan baku kedelai setiap tahunnya terus meningkat. Berdasarkan data Badan Litbang Pertanian, pada tahun 2002 saja, kebutuhan kedelai untuk industri tahu dan tempe mencapai 1,78 juta ton atau 88 persen dari total kebutuhan nasional.
3.2. Kedelai Internasional 3.2.1. Produksi Pada tahun 1999 - 2004 urutan terbesar produksi kedelai dunia adalah 35 persen dari Amerika Serikat, kemudian diikuti oleh Brazil 29 persen, Argentina 18 persen dan China 8 persen,
India 4
persen dan Paraguay 2 persen (USDA, 2004).
Perbandingan persentase produksi kedelai dari negara produsen kedelai di dunia pada perkembangan selama enam tahun dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase Produksi Kedelai dari Negara Produsen Kedelai Negara
% Produksi Kedelai 1998/1999 2003/2004
Amerika Serikat 46 Brazil 19 Argentina 13 China 9 India 4 Sumber : USDA, 2004
35 29 18 8 4
Negara
Paraguay Canada Indonesia Bolivia Lain-lain
% Produksi Kedelai 1998/1999 2003/2004 2 2 1 1 1
2 1 0 1 2
Urutan negara pengekspor kedelai terbesar di dunia pada tahun 2003/2004 adalah Amerika Serikat (40 persen), Brazil (38 persen), dan Argentina (16 persen). Jika dibandingkan tahun 1998/1999 ekspor kedelai Amerika Serikat dan Paraguay mengalami penurunan sebesar 31 persen dan 33 persen, sedangkan Argentina dan Paraguay mengalami peningkatan 77 persen dan 33 persen. Untuk lebih jelasnya persentase negara-negara eksportir kedelai dapat dilihat pada Tabel 3.
30
Tabel 3. Perbandingan Negara Eksportir Kedelai Internasional % Eksportir Kedelai % Eksportir Kedelai Negara 1998/1999 2003/2004 1998/1999 2003/2004 Amerika Serikat 58 40 Paraguay 6 4 Brazil 23 38 Canada 1 1 Argentina 9 16 Bolivia 1 1 Sumber : USDA, 2004 Negara
Urutan negara importir kedelai terbesar di dunia pada tahun 2003/2004 adalah negara-negara Eropa (34 persen), diikuti oleh China (34 persen), Jepang (8 persen), dan Meksiko (7 persen). Jika dibandingkan tahun 1998/1999 impor kedelai ke negara Eropa dan Jepang mengalami penurunan sebesar 13 persen dan 33 persen, sedangkan China mengalami peningkatan cukup besar. Impor kedelai Indonesia sebesar 2 persen. Untuk lebih jelasnya perbandingan persentase negara importir kedelai dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perbandingan Negara Importir Kedelai Internasional % Importir Kedelai 1998/1999 2003/2004 Negara Eropa 39 34 Jepang 12 8 China 10 34 Mexico 10 7 Taiwan 5 4 Korea 4 2 Sumber : USDA, 2004 Negara
Negara Indonesia Thailand Brazil Israel Turki Lain-lain
% Importir Kedelai 1998/1999 2003/2004 3 2 2 3 2 1 1 1 1 1 11 10
Menurut data USDA (2007), pada tahun 2004 produktivitas kedelai Amerika Serikat dan Brazil sebesar 2,5 - 3 ton/hektar dan 2,0 – 2,5 ton/ha. Pada periode yang sama, secara agregat perkembangan produktivitas kedelai dunia rata-rata 1,77 ton/ha. Masa panen kedelai di daerah subtropis selama 6 bulan.
Pemerintah Brazil sangat perhatian dalam upaya meningkatkan produksi kedelainya, karena kedelai merupakan produksi kedua terbesar di negaranya setelah gandum. Kedelai mulai berkembang secara besar-besaran sejak tahun 1990. Akhirakhir ini Balai Penelitian Pertanian di negara tersebut mengembangkan varietas
31
kedelai bioteknologi yang sesuai ditanam di daerah tropis dengan membuat varietas panjang harinya lebih pendek untuk ditanam musim hujan. Produktivitas yang dihasilkan meningkat dari 2.5 ton/ha menjadi 4.7 – 5.4 ton/ha. Peningkatan luas tanam, produksi dan produktivitas di Brazil mendapat dukungan yang begitu besar dari pemerintahnya. Upaya yang ditempuh pemerintah Brazil antara lain : (1) Membangun riset dan pengembangan dalam upaya peningkatan produksi. (2) Hampir 85 persen petaninya diberi bantuan kredit melalui bunga kredit rendah. (3) Pemerintah menjamin untuk membeli kedelai dari petani dengan harga dasar pada saat panen raya. (4) Mengganti lahan-lahan yang tidak produktif, misalnya perkebunan kopi yang tidak produktif menjadi pertanaman kedelai. Program transmigrasi turut mendukung upaya perluasan areal tanam kedelai. (5) Input sarana produksi disubsidi oleh pemerintah. (6) Pemerintahnya membatasi dengan tegas impor input sarana produksi (terutama pupuk dan pestisida) dengan tujuan untuk menghemat devisa negara. Input sarana produksi menggunakan produksi dalam negeri dengan menumbuh kembangkan industri sarana produksi di negaranya.
Di Amerika Serikat benih yang digunakan sebanyak 59,7 kg/hektar. Sedangkan rata-rata pupuk yang digunakan adalah urea sebanyak 123 kg/ha, SP-36 sebanyak 54 kg/ha dan KCl sebanyak 94 kg/ha. Akhir-akhir ini penggunaan urea mulai dikurangi karena adanya unsur Nitrogen yang dihasilkan dari bintil akar. Proses pengolahan tanah sampai pasca panen menggunakan mekanisasi pertanian (Scott and Aldrich, 1983).
Luas tanam kedelai di Amerika Serikat selama tiga tahun terakhir tidak mengalami peningkatan, namun produksinya mengalami peningkatan sebesar 0.2 persen. Ekspor kedelai sebesar 35 persen dari produksinya. Pada tahun 2005/2006 negaranegara yang terbanyak mengekspor kedelai dari Amerika Serikat adalah China sebesar 24,408 juta ton (11.6 persen dari produksi), Meksiko 8,673 juta ton (0.04 persen), Jepang 8,136 juta ton (0.04 persen, Uni Eropa 4,572 juta ton (0.02 persen) dan Taiwan 4,303 juta ton (0.02 persen). Secara jelas diperlihatkan pada Tabel 5.
32
Tabel 5. Luas Tanam, Produksi dan Ekspor di Amerika Serikat Tahun 2004 2005 2006
Luas Tanam (Juta Ha) 30,50 29,20 30,60
Produksi (Juta Ton) 210,12 205,96 214,36
Ekspor (Juta Ton) 73,76 63,68 75,31
3.2.2. Konsumsi Komposisi gizi dari kedelai Amerika terdiri dari protein 35 persen, lemak 21 persen, karbohidrat 34 persen dan kadar abu (mineral) 5 persen. Di negara Barat harga kedelai relatif murah. Kedelai dimanfaatkan terutama sebagai sumber minyak makan dan pakan dalam skala industri besar. Kedelai kurang dimanfaatkan sebagai pangan, kemungkinan disebabkan baunya yang langu dan berbiji keras. Konsumsi kedelai (65 persen dari total produksinya) diproses menjadi produk pangan dan kurang dari 10 persen digunakan untuk produk non pangan. Produk pangan berupa minyak kedelai, shortening, margarin, isolat protein dan
konsentrat, tepung
kedelai, dan berbagai macam olahan pada industri pangan (Scott and Aldrich, 1983).
3.3. Kedelai Nasional Versus Internasional Perbandingan luas tanam dan produksi di Indonesia pada tahun 2004 seperlima puluh bagian dari luas tanam dan produksi di Amerika Serikat. Demikian juga produktivitas kedelai Indonesia seperdua dari Amerika Serikat. Namun masa panen kedelai di negara subtropis selama 6 bulan. Sedangkan di Indonesia masa panen kedelai hanya 3 bulan, sehingga Indonesia memungkinkan untuk tanam kedelai 2 kali setahun.
Pengelolaan usahatani, panen dan pasca panen di Amerika sudah dilakukan secara modern dengan menggunakan alat dan mesin pertanian dikarenakan kepemilikan lahan milik petani cukup luas. Berbeda dengan usahatani di Indonesia yang masih secara tradisional dan kepemilikan lahannya
sempit.
Ukuran benih kedelai
Amerika berbiji besar. Secara nasional, kita memiliki benih berbiji besar seperti
33
varietas Argomulyo dan Burangrang (untuk kebutuhan benih 50 kg/ha) tidak jauh berbeda dengan benih kedelai Amerika (59,7 kg/ha), namun varietas ini masih belum lama dilepas dan perlu banyak dikembangkan, sehingga sebagian besar petani masih menggunakan benih berbiji kecil (40 kg/ha).
Konsumsi kedelai di Indonesia lebih banyak diolah menjadi pangan tradisional dan industri sederhana (tahu, tempe, tauco, makanan ringan) dan sebagian kecil diolah lebih ke arah pabrikasi (misalnya kecap). Sedangkan di Amerika, kedelai diolah menjadi olahan pangan yang lebih modern dan secara industri (minyak, tepung, isolat, dan lain-lain). Kandungan protein kedelai lokal lebih tinggi dibandingkan impor, sehingga jika diolah untuk tahu, maka rendemen lebih banyak dihasilkan dari kedelai lokal dan memiliki cita rasa yang khas. Kedelai impor memiliki ukuran biji besar, seragam dan kadar airnya rendah, sehingga lebih disukai industri tempe karena volume biji impor mengembang lebih banyak dan bobot tempe yang diperoleh lebih banyak. Untuk industri kecap, biji kedelai hitam lokal lebih disukai dari impor, karena memiliki cita rasa khas dan kecap yang dihasilkan lebih gurih.
4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4.1. Konsep Kebijakan Kebijakan dapat diartikan sebagai peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyakarat umum. Dengan kata lain, kebijakan adalah suatu campur tangan pemerintah untuk mempengaruhi suatu pertumbuhan secara sektoral dari suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Karakteristik dari suatu kebijakan adalah : (a) kebijakan tidak eksis secara tunggal, tetapi ganda, (b) keberhasilan suatu kebijakan harus didukung oleh sistem, misalnya baik/buruknya sistem politik, (c) kebijakan yang baik didukung oleh informasi yang lengkap dan akurat (Sanim, 2000).
Kebijakan pembangunan pertanian merupakan keputusan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan pertanian guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional.
Kebijakan pembangunan
pertanian termasuk dalam katagori kebijakan publik, karena berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak. Intervensi pemerintah dalam upaya mencapai tujuantujuan pembangunan sektor pertanian dilakukan dalam bentuk kebijakan produksi, pemasaran dan perdagangan. Kebijakan perdagangan (trade policy) tidak terlepas dari kebijakan produksi dan pemasaran dalam negeri. Di samping itu, kebijakan perdagangan juga berkaitan erat dengan kebijakan harga (Simatupang, 2003).
Secara umum kebijakan ekonomi dapat dibedakan dua katagori, yaitu kebijakan pada tingkat makro dan mikro. Kebijakan pada tingkat makro diarahkan untuk menciptakan kondisi kondusif dalam menumbuhkembangkan produksi pangan, kelancaran distribusi dan meningkatkan akses/kemampuan masyarakat memperoleh pangan yang cukup. Kebijakan ini meliputi kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan tingkat mikro untuk mewujudkan peningkatan produktivitas usaha, efisiensi, pemerataan pendapatan dan peningkatan daya saing (Sudaryanto, et al., 2000).
35
Rosegrant et.al. (1987) berpendapat bahwa kebijakan pemerintah dalam kegiatan perekonomian dapat berupa kebijakan harga, subsidi, perdagangan (impor dan ekspor), nilai
tukar dan tingkat bunga. Sumber utama kebijakan pemerintah
tersebut berasal dari proteksi output dan subsidi harga input.
Bentuk-bentuk
proteksi yang sering dijumpai adalah tarif atau bea masuk, larangan atau kuota impor dan subsidi.
Proteksi
dengan tarif impor ditujukan untuk melindungi
produsen dalam negeri, sedangkan subsidi untuk melindungi konsumen.
Subsidi harga input ditujukan agar produsen dapat membeli input dengan harga lebih murah dan output yang dihasilkan menjadi lebih murah, sehingga konsumen akan membeli produk tersebut dengan harga lebih murah pula. Pada gilirannya upaya tersebut dapat mendorong dayasaing dari output tersebut. Sebaliknya pengenaan tarif terhadap input impor menyebabkan harga input tersebut di dalam negeri menjadi lebih mahal dari harga impor dan menyebabkan
harga output
menjadi lebih tinggi. Hal ini akan menurunkan dayasaing produk yang dihasilkannya (Rosegrant et.al., 1987).
Simatupang (1989) mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah yang terpenting adalah kebijakan yang dapat mendorong pengembangan komoditi yang bersangkutan atau memberikan insentif secara ekonomi. Insentif ekonomi tersebut dapat dilakukan melalui kebijakan harga ouput dan input.
Tujuan kebijakan perdagangan komoditas pertanian dapat berbeda-beda tergantung pada komoditasnya. Misalnya, kebijakan tarif impor atau hambatan-hambatan non tarif bertujuan untuk melindungi komoditas substitusi impor. Sebaliknya, kebijakan pajak atau pembatasan terhadap barang ekspor bertujuan agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi atau mencegah kenaikan harga komoditas tersebut di dalam negeri.
Kebijakan
perdagangan
dalam
negeri
biasanya
bertujuan
untuk
memperlancar atau menghambat pemasaran komoditas antar daerah (Simatupang, 1989).
36
Akhir-akhir ini telah menjadi konsensus nasional bahwa palawija dimasukkan ke dalam kebijakan pangan nasional (CGPRT, 1988). Sedangkan menurut Karama, et.al., (1992) komoditi kedelai menempati peringkat pertama diantara komoditas palawija dalam pengembangan program intensifikasi dan diversifikasi pertanian dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut : (a) biaya produksi rendah, walaupun resiko pengusahaannya tinggi, (b) menguntungkan petani, (c) tingginya tingkat kebutuhan dan ketergantungan terhadap kedelai impor yang semakin besar, (d) kedelai mempunyai ragam kegunaan yang cukup luas.
4.2. Kebijakan Harga Menurut Saliem, et al. (2000), terdapat dua tipe dasar kebijakan pemerintah di bidang pertanian, yaitu bersifat development policy dan compensating policy. Development policy biasanya dilakukan pemerintah untuk mendorong produksi pertanian dengan meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Dalam compensating policy
berkecenderungan menekan produksi dengan tujuan
meningkatkan pendapatan petani. Development policy banyak dilakukan oleh negara yang mengalami defisit suatu produk pertanian, sedangkan compensating policy banyak dilakukan oleh negara yang mengalami surplus dan sulit memasarkan produknya. Kebijakan pemerintah Indonesia masuk dalam katagori development policy, misalnya kebijakan harga dasar dan subsidi pupuk.
Kebijakan harga terhadap komoditas pertanian umumnya bertujuan untuk
(i)
meningkatkan harga domestik, pendapatan petani dan pemerataan pendapatan; (ii) menstabilkan harga dan mencukupi kebutuhan bahan baku agroindustri; (iii) meningkatkan swasembada sehingga mengurangi ketergantungan pada impor; (iv) menghemat devisa dan memperbaiki neraca pembayaran; (v) menjaga kestabilan politik; dan (vi) memperbaiki alokasi sumberdaya domestik sehingga dicapai pertumbuhan ekonomi yang efisien (Saliem, et al., 2000).
Harga merupakan salah satu instrumen penting yang dapat memicu produksi kedelai nasional dan dapat merupakan jaminan bahwa petani kedelai akan
37
memperoleh pendapatan yang layak. Kebijakan harga dasar dapat menjembatani harga di tingkat petani (harga produsen) dan harga konsumen. Terjadinya kesenjangan harga pada tahun-tahun sebelum krisis menunjukkan inefisiensi distribusi/pemasaran dan lemahnya posisi tawar petani kedelai. Oleh karenanya, agar terciptanya sistem jaminan harga bagi petani kedelai, maka perlu dilakukan upaya-upaya
untuk
memberdayakan
kelembagaan
petani
kedelai
serta
mengupayakan kemitraan dengan industri pengolahan dan importir, seperti pemberdayaan peran Inkopti.
Kebijakan harga dasar ditetapkan melalui Inpres sejak tahun 1979/80 sampai akhir tahun 1991. Kebijakan harga dasar telah dihentikan pemerintah sejak tahun 1991 sampai sekarang. Penelitian ini mencoba melakukan simulasi dengan menggunakan harga dasar dengan tujuan untuk meramal dampak kebijakan tersebut terhadap penawaran dan permintaan kedelai.
Untuk menjamin petani produsen mendapatkan keuntungan yang wajar, maka perlu dijaga kestabilan harga jual kedelai di tingkat petani, khususnya saat panen raya. Hal ini dapat dilakukan dengan kebijakan pemerintah melalui penetapan harga. Perkembangan produksi kedelai tidak terlepas dari pengaruh harga kedelai di pasar dan harga kedelai impor. Perkembangan harga kedelai di tingkat produsen dan nasional tahun 1975-2004 dapat dilihat pada Lampiran 4.
4.3. Kebijakan Impor dan Tarif Impor kedelai Indonesia setiap tahun mulai meningkat dan meningkat tajam sejak tahun 1999. Menurut data Ditjen P2HP, Departemen Pertanian (2004), dari tahun 2000 - 2004 urutan ranking terbesar negara pemasok kedelai impor ke Indonesia adalah Amerika Serikat (66 persen), Argentina (5 persen), Malaysia (4 persen), Canada dan Singapura (1 persen). Indonesia makin mengalami peningkatan impor sejak liberalisasi radikal atas tekanan IMF pada tahun 1998. Tingkat ketergantungan impor kedelai saat ini sebesar 55 persen. Padahal komoditi ini menyerap 2.5 juta jiwa tenaga kerja rumah tangga di Indonesia (Sawit, 2003).
38
Situasi perekonomian dunia yang dilanda arus globalisasi ditandai dengan dihapuskannya hambatan perdagangan internasional. Hal ini berarti instrumen tarif sulit diandalkan untuk melindungi produk-produk pertanian kita. Kecenderungan kelompok negara membentuk blok perdagangan bebas merupakan tantangan sekaligus peluang untuk merebut pasar. NAFTA di Amerika Utara, AFTA di Asia ataupun PTE di Eropa akan mendorong Indonesia memasuki persaingan pada pasar dunia. Sebagai konsekuensi, negara kita turut meratifikasi perjanjian General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Word Trade Organization (WTO). Indonesia sejak krisis ekonomi 1998 mengurangi seluruh tarif bea masuk komoditi pertanian dan menghapus semua subsidi kepada petani, kecuali Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk gabah/beras (Sawit, 2003).
Di dalam perundingan Komisi Pertanian pada bulan Juli 2004 dihasilkan “Paket Juli 2004”. Meskipun negara berkembang mendapatkan ketentuan penetapan SP (special product) dan SSM (special safeguard mechanism), ternyata negara maju juga berhasil mendapatkan ketentuan penetapan SP (sensitive product) sebagai upaya mengecualikan beberapa produk pertaniannya dalam perdagangan bebas.
Oleh karena itu, ke depan pemerintah masih perlu mempertimbangkan kebijakan proteksi sekaligus promosi terhadap produk-produk pertanian strategis dan yang menjadi sumber pendapatan petani. Selain itu, pemerintah harus aktif bergabung dalam kelompok negara berkembang untuk melawan arus globalisasi yang merugikan negara berkembang. Kebijakan proteksi yang dapat dilakukan antara lain penetapan tarif impor dan pengaturan impor, sedangkan untuk kebijakan promosi, pemerintah dapat memberikan subsidi sarana produksi, subsidi harga output maupun bunga kredit untuk modal usahatani.
Siap atau tidak menghadapi era globalisasi, pilihannya adalah meningkatkan daya saing komoditi untuk pasar domestik maupun pasar dunia. Selama ini pemerintah telah berupaya mengurangi impor kedelai melalui penetapan tarif impor dan mendukung peningkatan produksi kedelai dalam negeri agar mampu bersaing dengan kedelai impor.
39
Amerika Serikat sebagai pemasok kedelai terbesar di dunia memberikan kemudahan bagi importir kedelai nasional, melalui kredit lunak. Hal ini diberikan karena Amerika melihat lemahnya posisi tawar pelaku agribisnis nasional sebagai akibat rupiah yang terdepresiasi dan menurunnya kredibilitas sistem perbankan pada pertengahan krisis ekonomi di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, harga kedelai impor di pasar domestik lebih murah Rp 600/kg dari kedelai lokal. Insentif kepada importir ini mengakibatkan kedelai lokal menjadi tidak kompetitif dan gairah petani untuk memproduksi kedelai mulai menurun. Sebagai konsekuensi dilepasnya produk kedelai pada pasar bebas, maka fluktuasi harga kedelai internasional sangat berpengaruh pada harga kedelai lokal.
Masuknya kedelai impor yang semakin besar ketika pemerintah melalui Kep Men Perindag No. 406/MPP/Kep/II/1997 menghapus tata niaga kedelai yang semula ditangani oleh Bulog
dialihkan ke Importir Umum. Hal ini sesuai dengan
keinginan World Trade Organization (WTO) dan International Monetary Fund (IMF) dengan alasan untuk membantu Pengusaha Kecil dan Menengah dalam memperoleh bahan baku kedelai (Hadi dan Wiryono, 2005).
Ratifikasi pembentukan WTO dilakukan Pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 tahun 1994. Dengan ratifikasi ini Indonesia berkewajiban memenuhi perjanjian, termasuk perjanjian pertanian Agreement on Agriculture (AoA) yang didalamnya mengatur (a) akses pasar, (b) subsidi domestik dan (c) subsidi ekspor. Sejak awal negara berkembang telah menyadari bahwa AoA-WTO bersifat disinsentif bagi kebijakan pembangunan pertanian di negara-negara berkembang. Hal ini terlihat dari : (a) akses pasar ke negara maju relatif sulit bagi negara berkembang karena memiliki tarif rate yang jauh lebih tinggi, (b) dengan kekuatan kapital yang dimiliki, negara-negara maju telah menyediakan subsidi ekspor dan subsidi lokal yang tinggi untuk mendorong ekspor dari surplus produk pertaniannya, (c) dalam AoA tidak terdapat fleksibilitas yang memadai bagi negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian tarif sejalan dengan perkembangan masalah dan perdagangan komoditas pertanian di negaranya (Malian, 2004).
40
Dengan bebasnya impor kedelai mengakibatkan harga kedelai di pasar domestik mengalami tekanan. Meningkatnya impor kedelai ini berpengaruh terhadap penurunan produksi kedelai dalam negeri. Penurunan produksi dalam negeri terjadi sejak tahun 1993 dan menurun tajam sejak tahun 2000.
Dalam menstabilkan harga kedelai dalam negeri, pada awal tahun delapan puluhan Bulog melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya untuk menjamin ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota KOPTI. Pengadaan kedelai dalam negeri hanya berlangsung pada tahun 1979/80 – 1982/83 dalam jumlah kurang dari 1 persen dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui impor berlangsung tiap tahun dalam jumlah besar dan harga lebih murah. Sebelum krisis ekonomi, harga yang ditetapkan Bulog umumnya sedikit lebih tinggi dari harga impor, sehingga mampu menyangga harga kedelai lokal (Amang, 1996).
Semenjak peran Bulog sebagai agensi perdagangan pemerintah untuk kedelai dicabut pada 1998, semua pelaku agribisnis dapat memperdagangkan kedelai dengan bea masuk 0 persen, Ppn 10 persen dan Pph 2,5 persen. Meskipun sejak Mei 2002 pemerintah menetapkan mekanisme NPIK (Nomor Pengenal Importir Khusus) untuk meredam impor kedelai, namun efektivitas mekanisme NPIK ini masih lemah untuk mengendalikan impor kedelai (Ditjen P2HP, Deptan, 2005).
Kebijakan perdagangan internasional yang lain adalah pengenaan tarif ad-valorem untuk kedelai impor. Tarif tersebut dimulai sejak tahun 1974 sampai 1982 sebesar 30 persen. Sejak tahun 1983 sampai 1993 tarif impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen sejak tahun 1994 sampai 1996. Pada tahun 1997 tarif diturunkan lagi menjadi 2,5 persen dan dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 sampai 2003. Pada tahun 2004 menjadi 5 persen dan sejak 1 Januari 2005 sampai 2010 menjadi 10 persen. Kebijakan pengenaan tarif impor biasanya akan menaikkan harga kedelai dalam negeri termasuk harga produsen (Ditjen P2HP, Deptan, 2005).
41
4.4. Kebijakan Nilai Tukar Sistem nilai tukar (kurs) mata uang pada dasarnya dibagi dalam dua sistem, yaitu nilai tukar tetap dan nilai tukar fleksibel.
Dalam sistem nilai tukar tetap,
pemerintah menetapkan nilai mata uangnya secara tetap terhadap mata uang asing. Sistem nilai tukar fleksibel, pemerintah menyerahkan nilai mata uangnya pada mekanisme pasar.
Pada sistem nilai tukar fleksibel, meskipun nilai mata uangnya diserahkan pada mekanisme pasar, tetapi dalam pelaksanaannya negara mengintervensi
dengan
menggunakan cadangan devisa yang dimiliki untuk menjaga agar nilai mata uangnya tidak naik (apresiasi) terlalu tinggi atau turun (depresiasi) terlalu jauh. Apresiasi yang terlalu tinggi akan mengakibatkan harga produk ekspor terlalu mahal bagi luar negeri yang dapat berakibat turunnya volume ekspor dan produksi serta mendorong terjadinya pengangguran. Sebaliknya depresiasi yang terlalu besar akan menyebabkan harga barang-barang impor menjadi lebih
mahal yang
berakibat terjadinya defisit neraca pembayaran.
Apabila pemerintah turut campur dalam mempengaruhi permintaan dan penawaran mata uangnya di pasar uang, berarti pemerintah menerapkan sistem kurs mengambang terkendali (managed float system). Sistem ini banyak digunakan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
4.5. Efisiensi Pemasaran Pemasaran kedelai di Indonesia umumnya melewati mata rantai yang cukup panjang, seperti diuraikan pada Gambar 3. Rantai pemasaran tersebut sering merugikan petani maupun konsumen. Petani menerima harga rendah, sedangkan konsumen harus membayar dengan harga tinggi. Pada umumnya petani tidak dapat menjual langsung kepada konsumen terutama apabila mereka telah terikat dengan pinjaman modal dalam melakukan usahataninya.
42
Petani biasanya menjual hasilnya kepada pedagang pengumpul di tingkat desa, kemudian pedagang pengumpul desa menjual ke pedagang pengumpul yang lebih besar (tingkat kecamatan atau kabupaten). Setelah itu baru ke pedagang grosir diteruskan ke pedagang pengecer, selanjutnya kepada konsumen. Untuk kedelai, pemerintah belum mempunyai instrumen kebijakan seperti beras. Pemasaran komoditi kedelai diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.
KEDELAI IMPORT
Grosir Daerah Lain
KOPTI
Pabrik Tempe
Pabrik Tahu
Pabrik kecap
55 % 5%
95 % GROSIR PROPINSI
Pedagang Antar Pulau
Grosir Kabupaten
Pabrik Tahu/ Tempe Lokal
Grosir Propinsi Lain
10 % 60 %
Grosir Kecamatan
10 % 40 %
Pengumpul Desa
Pengecer
60 % Petani
Gambar 3. Rantai Pemasaran Kedelai di Pulau Jawa
43
Efisiensi pemasaran diperlukan karena sangat berkaitan erat dengan dayasaing suatu produk. Efisiensi pemasaran hanya dapat ditingkatkan jika pemerintah dapat memperbaiki infrastruktur transportasi, mengembangkan sistem informasi harga, dan memperluas jangkauan kredit bagi mereka yang sedang atau ingin masuk ke dalam bisnis pemasaran kedelai. Apabila ditingkat on farm masalah produktivitas dapat ditangani dengan baik, maka dengan kelengkapan efisiensi pasar, kedelai dalam negeri dapat bersaing dengan kedelai impor.
5. METODOLOGI PENELITIAN
5.1. Kerangka Teoritis 5.1.1. Penawaran dan Permintaan Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa merupakan jumlah komoditi yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Harga dan jumlah yang ditawarkan ini mempunyai hubungan positif, yaitu jika harga naik, maka jumlah komoditi yang ditawarkan semakin banyak. Sumber penawaraan meliputi produksi pada waktu tertentu dan persediaan (stok) pada waktu sebelumnya. Menurut Iswardono (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi dapat digambarkan dengan fungsi sebagai berikut : Qsk = f (Pk, Ps, Pi, G, T, Tx) ………………………………………………..
(1)
dimana : Qsk = Penawaran komoditi Pk = Harga komoditi bersangkutan Suatu hipotesa dasar ekonomi menyatakan bahwa harga sejumlah komoditi mempunyai hubungan positif dengan jumlah yang ditawarkan yaitu semakin tinggi harganya, semakin besar jumlah yang ditawarkan, cateris paribus. Dikarenakan peningkatan harga komoditi menyebabkan peningkatan keuntungan, maka akan memacu peningkatan produksi maupun penjualan hasil produksinya. Jadi peningkatan harga dari suatu komoditi akan menyebabkan peningkatan penawaran komoditi tersebut. Dengan demikian perubahan harga suatu komoditi akan menyebabkan pergerakan sepanjang kurva penawaran. Berbagai komoditi dapat disubtitusi dan memiliki komoditi pendukung, baik dalam produksi maupun konsumsi. Perubahan harga pada komoditi subtitusi dan komplementer (Ps) akan mempengaruhi jumlah penawaran komoditi bersangkutan.
45
Peningkatan harga komoditi subtitusi akan menyebabkan berkurangnya jumlah penawaran komoditi bersangkutan. Dan sebaliknya, penurunan harga komoditi subtitusi
akan
menyebabkan
peningkatan
jumlah
penawaran
komoditi
bersangkutan. Sedangkan peningkatan harga komoditi bersangkutan, dan sebaliknya penurunan pada harga komoditi komplementer akan menyebabkan penurunan pula pada jumlah penawaraan komoditi bersangkutan. Harga suatu faktor produksi (Pi) merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Dengan meningkatkan harga faktor produksi maka keuntungan yang diterima perusahaan akan berkurang. Hal ini menyebabkan perusahaan akan mengurangi jumlah produksinya. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa peningkatan harga faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi suatu komoditi, akan menyebabkan berkurangnya jumlah komoditi yang ditawarkan. Jumlah komoditi yang ditawarkan juga tergantung apa tujuan perusahaan (G). Tujuan suatu perusahaan tidak hanya memaksimumkan keuntungan. Jika perusahaan lebih mementingkan volume produksi, perusahaan dapat menghasilkan dan menjual lebih banyak. Teknologi (T) berkorelasi positif dengan jumlah yang ditawarkan. Jika perusahaan menggunakan teknologi baru, fungsi produksi akan bergeser ke atas yang berarti produksi meningkat dan kurva biaya akan bergeser ke bawah yang berarti biaya produksi berkurang. Keuntungan yang akan diperoleh menjadi lebih besar. Jadi dapat disimpulkan, jumlah komoditi yang ditawarkan dipengaruhi oleh tingkat penggunaan teknologi dalam proses produksinya. Adanya pajak (Tx) seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif untuk berproduksi. Maka penawaran komoditi tersebut akan berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi (Tx) akan mengurangi ongkos produksi dan meningkatkan keuntungan, sehingga penawaran komoditi tersebut akan meningkat.
46
Dalam pasar persaingan sempurna dengan menganggap faktor-faktor lain tetap (cateris paribus) kecuali harga barang atau jasa bersangkutan, perubahan harga komoditi tersebut dapat menyebabkan pergerakan sepanjang kurva penawaran atau terjadi perubahan jumlah komoditi yang ditawarkan dalam biaya produksi yang diakibatkan perubahan teknologi dan faktor lainnya. Menurut Pappas dan Hirschey (1995), permintaan adalah sejumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli konsumen selama periode tertentu sebagai berikut : Qdk = f (Pk, Ps, I, S, Pd)……………………………….…………………….
(2)
dimana : Qdk = Permintaan Komoditi Pk = Harga Komoditi itu sendiri Dengan asumsi cateris paribus, peningkatan harga komoditi bersangkutan akan menurunkan permintaan, dan sebaliknya. Permintaan dan harga komoditi bersangkutan memiliki hubungan negatif. Perubahan harga komoditi subtitusi (Ps) akan mempengaruhi permintaan atas komoditi bersangkutan secara positif. Kenaikan harga komoditi subtitusi akan meningkatkan permintaan atas komoditi yang bersangkutan, dan sebaliknya. Sedangkan perubahan harga barang komplementer dapat mengubah permintaan komoditi bersangkutan secara negatif. Semakin tinggi harga barang komplementer, semakin rendah permintaan atas komoditi yang bersangkutan. Kenaikan pendapatan (I) cenderung meningkatkan permintaan yang berupa barang normal, dan sebaliknya. Salah satu hal yang berpengaruh terhadap permintaan adalah selera (S). Perubahan selera terjadi dari waktu ke waktu, dan cepat atau lambat akan meningkatkan permintaan pada periode tertentu dan tingkat harga tertentu. Peningkatan jumlah penduduk (Pd) dapat meningkatkan permintaan atas suatu komoditi. Hal ini diakibatkan semakin
banyak jumlah penduduk maka
semakin banyak konsumen yang menginginkan suatu komoditi.
47
5.1.2.
Elastisitas
Suatu ukuran daya tanggap yang diperlukan dalam keseluruhan pengambilan keputusan manajerial adalah elastisitas. Elastisitas didefinisikan sebagai persentase perubahan dalam peubah dependen Y yang dihasilkan dari perubahan satu persen nilai peubah independen X. Persamaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : Elastisitas Y terhadap X = persentase perubahan dalam Y ………………… persentase perubahan dalam X
(3)
Sumber : (Pappas dan Hirschey, 1995)
Menurut Tomek dan Robinson (1987), elastisitas penawaran adalah persentase perubahan jumlah yang ditawarkan sebagai respon terhadap perubahan satu satuan harga dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. Bila elastisitas bernilai nol, maka jumlah yang ditawarkan tetap dan tidak ada respon kuantitas terhadap perubahan harga. Kondisi ini disebut inelastis sempurna. Sedangkan penawaran elastis memiliki nilai lebih dari satu dan persentase perubahan kuantitasnya lebih besar dari pada persentase perubahan harganya. Penawaran komoditas pertanian pada umumnya memiliki nilai inelastik disebabkan adanya tenggang waktu antara waktu menanam dengan waktu memanen sehingga jumlah yang ditawarkan tidak segera mengikuti perubahan harga yang terjadi. Nicholson (2002) menjelaskan, nilai elastisitas penawaran terbagi menurut rentang waktu pengambilan keputusan produsen, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Jangka
pendek
mengacu
pada
periode
waktu
dimana
produsen
harus
mempertimbangkan inputnya secara absolut dan tetap dalam mengambil keputusan. Sebaliknya jangka panjang merupakan periode waktu dimana produsen mempertimbangkan seluruh inputnya bersifat peubah dalam membuat keputusan. Sebagai contoh, elastisitas luas areal terhadap harga (EAP) adalah angka yang menunjukan persentase perubahan luas areal akibat perubahan harga sebesar satu persen. Misalnya EAP bernilai 2, berarti setiap peningkatan harga kedelai sebesar satu persen mengakibatkan perubahan peningkatan luas areal sebesar dua persen, atau setiap penurunan harga kedelai satu persen mengakibatkan penurunan luas areal sebesar dua persen. EAP bernilai –2, berarti setiap peningkatan harga kedelai
48
sebesar satu persen mengakibatkan penurunan luas areal sebesar dua persen, atau setiap penurunan harga kedelai sebesar satu persen mengakibatkan peningkatkan luas areal sebesar dua persen.
5.1.3. Produksi Lipsey (1993) mengatakan bahwa produksi adalah tindakan dalam membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa. Dalam pertanian, proses produksi begitu kompleks dan terus menerus berubah seiring dengan kemajuan teknologi. Dalam produksi banyak digunakan input-input untuk menghasilkan output. Tidak ada produk yang dihasilkan dengan menggunakan satu input. Fungsi produksi menggambarkan hubungan antara input dan output, serta tingkat dimana sumberdaya diubah menjadi produk (Doll dan Orazem, 1984). Dalam bidang pertanian, hubungan input output sangat banyak karena tingkat dimana input diubah menjadi output akan berbeda-beda berdasarkan tipe tanah, hewan, teknologi, curah hujan dan faktor lainnya. Tiap hubungan input output menggambarkan kuantitas dan kualitas sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tertentu. Lipsey (1993) juga mengatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan fungsi yang memperlihatkan output maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap input dan kombinasi berbagai input. Nicholson (2002) menyatakan bahwa fungsi produksi memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan tenaga kerja (L). Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dalam cara yang berbeda, tertulis, dan menggambarkan setiap input berhubungan dengan output; dalam bentuk grafik atau diagram dan persamaan aljabar. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut : Y = f (X1, X2, X3, …Xn) ………………………………………………..
(4)
49
Dimana Y adalah
output dan X1, ……. Xn adalah input-input berbeda yang
terlibat dan ambil bagian dalam produksi Y. Simbol f menggambarkan bentuk hubungan dari perubahan input menjadi output (Nicholson, 2002).
5.1.4. Respon Areal dan Produktivitas Kedelai Respon areal adalah perubahan pada areal tanam atau panen, sedangkan respon produktivitas merupakan perubahan dalam hasil per hektarnya. Perubahanperubahan tersebut tidak terlepas dari kondisi lingkungan dinamis yang langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi petani dalam membuat keputusan usaha taninya. Kondisi-kondisi tersebut adalah perubahan harga komoditas itu sendiri (Pq), perubahan harga komoditas alternatif (Pj), perubahan harga input yang berpengaruh pada biaya produksi (Pi), ketersediaan dan perkembangan teknologi (T), perubahan iklim (CH), kebijakan pemerintah (Kb), dan luas areal sebelumnya (ATt – 1) (Tomex dan Robinson, 1987). Masing-masing peubah mempengaruhi areal tanam atau panen secara berbeda-beda dengan berasumsi bahwa produsen berlaku rasional, yaitu mengalokasikan sumber daya produksinya untuk memberikan laba yang lebih besar. Semakin tinggi harga komoditas, semakin luas areal tanam atau areal panennya sehingga produksi akan meningkat. Peubah lain yang juga berpengaruh terhadap respon areal tanam atau panen adalah harga komoditas alternatif, baik substitusi maupun pendukung (komplementer). Dengan semakin tingginya harga komoditas pesaing, maka luas areal tanam komoditas
kedelai
semakin
sempit.
Sebaliknya,
jika
harga
komoditas
komplementer meningkat, maka luas areal tanam kedelai meningkat pula. Tanda elastisitas silang dari fungsi respon areal kedelai akan menunjukkan hubungan antara komoditas kedelai dengan komoditas kompetitif dan komoditas alternatifnya. Peubah lain yang juga berpengaruh terhadap respon areal tanam atau panen adalah harga komoditas alternatif. Komoditas alternatif dapat berupa komoditas pesaing (kompetitif) atau komoditas substitusi maupun pendukung (komplementer).
50
Dengan semakin tingginya harga komoditas pesaing maka luas areal tanam komoditas kedelai akan semakin sempit. Sebaliknya jika harga komoditas komplementer meningkat maka luas areal tanam kedelai akan meningkat pula. Tanda elastisitas silang dari fungsi respon areal kedelai akan menunjukkan hubungan antara komoditas kedelai dengan komoditas kompetitif dan komoditas alternatifnya. Peubah selanjutnya yang turut mempengaruhi luas areal, adalah harga-harga input, karena peubah harga input akan mempengaruhi tingkat penggunaan input. Semakin tinggi harga-harga input, maka penggunaanya akan semakin berkurang, sehingga luas areal tanam yang produktif akan semakin sempit dan output semakin menurun. Menurut Tomek dan Robinson (1987), faktor-faktor lain yang juga berpengaruh terhadap luas areal adalah kebijakan pemerintah seperti pengendalian atau kebijakan harga dan kebijakan pengembangan suatu komoditas. Kebijakan pemerintah mempunyai pengaruh yang langsung dan tidak langsung terhadap mekanisme harga. Dengan adanya kebijakan pemerintah dalam pengembangan suatu komoditas, maka pemerintah akan mencurahkan dana bagi pengembangan areal tanam atau panennya. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi respon luas areal, maka dapat dirumuskan persamaan sebagai berikut : At = a (Pqt, Pjt, Pit, Tt, CHt, Kbt, At-1)
..……………………………...
(5)
Sementara itu, faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kedelai menurut Hadipurnomo (2000), adalah harga kedelai itu sendiri (Pq), luas areal
(A),
teknologi (T), kapital (K), jumlah pemakaian pupuk (F), jumlah pemakaian bibit (V), dan upah tenaga kerja (L) dan produktivitas tahun sebelumnya (Yt-1). Dengan demikian respon produktivitas adalah : Yt = y (Pqt, At, Tt, Kt,Ft, Vt, Lt, Yt-1) …………………...……………
(6)
Oleh karena itu, produksi kedelai ( Q ) dapat dirumuskan sebagai berikut : Qt = At*Yt ………………………………………………………………..
(7)
51
5.1.5. Teori Dasar Perdagangan Internasional Dalam arti sempit, perdagangan internasional adalah merupakan suatu masalah yang timbul sehubungan dengaan pertukaran komoditi antar negara (Gonarsyah, 1984). Pada dasarnya faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional dari suatu negara ke negara lain bersumber dari keinginan memperluas pemasaran komoditi ekspor dan memperbesar penerimaan devisa dalam penyediaan dana pembangunan dari negara bersangkutan. Di
dalam
teorinya
mengenai
timbulnya
perdagangan,
Heckscher-Ohlin
menganggap bahwa negara dicirikan oleh bawaan faktor yang berbeda, sedangkan fungsi produksi di semua negara adalah sama. Dengan menggunakan asumsi tersebut disimpulkan bahwa dengan fungsi produksi yang sama dan faktor bawaan yang berbeda antar negara, maka suatu negara cenderung mengekspor komoditi secara intensif. Teori perdagangan internasional mengkaji dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan perdagangan internasional membahas alasan-alasan serta pengaruh pembatasan perdagangan, serta hal-hal menyangkut proteksionisme baru (new protectionism) (Salvatore, 1997). Harga yang terjadi di pasar internasional merupakan harga keseimbangan antara penawaran dan penerimaan dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan mempengaruhi penawaran dunia, sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi harga dunia.
5.1.6. Impor Permintaan impor suatu negara merupakan selisih konsumsi domestik dikurangi produksi domestik dan dikurangi stok pada akhir tahun lalu. Menurut Purwanti (1995), secara matematik, impor digambarkan sebagai berikut :
52
Mt = Ct – Qt – St-1 …………………………………………….................. dimana : Mt
(8)
= jumlah impor pada tahun ke-t
Ct
= jumlah konsumsi domestik pada tahun ke-t
Qt
= jumlah produksi domestik pada tahun ke-t
St-1 = sisa stok pada tahun ke-t-1 Selain faktor domestik di atas, fungsi impor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar negeri, yaitu nilai tukar atau exchange rate (ERt) dan harga impor (PIt). Dengan demikian, secara teori
fungsi impor dapat komoditas pertanian suatu
negara dapat ditulis sebagai berikut : Mt = f (Qt, Ct, St-1, ERt,PIt) ……………………………………
(9)
Menurut Oktaviani (2000), terdapat beberapa peubah lain dapat mempengaruhi permintaan impor suatu negara seperti biaya transportasi (Bt), tarif (T), selera konsumen (S), distribusi pendapatan (Dp) dan populasi (P) yang dapat menciptakan hasil yang lebih akurat.
5.1.7. Tarif Menurut Nopirin (1999), dalam arti luas kebijakan ekonomi internasional adalah kebijakan ekonomi pemerintah yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi komposisi, arah dan bentuk perdagangan dan pembayaran internasional. Kebijakan ini dapat berupa tarif atau bea masuk, pelarangan impor, kuota dan subsidi. Berdasarkan tujuannya, kebijakan tarif impor (import duty atau import tariff) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a) Tarif proteksi, yaitu merupakan pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk mencegah atau membatasi barang tertentu, b) Tarif revenue, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Menurut Hamdy (2000) jika dilihat dari tujuannya, fungsi tarif bea masuk untuk mengatur perlindungan kepentingan ekonomi dalam negeri (regulated fungtion),
53
dan fungsi pemerataan, yaitu pemerataan distribusi pendapatan nasional. Pemberlakuan tarif ini merugikan konsumen karena konsumen harus membayar harga yang lebih tinggi, namun menguntungkan pihak produsen dan pemerintah. Dalam regim tarif barrier (TB), tarif impor menjadi salah satu instrumen penting dalam perdagangan internasional. Tarif lebih transparan dan pemerintah memperoleh pendapatan dari kebijakan ini dibanding dengan monopoli impor (Sawit, (2001). Sebaliknya bea masuk (tarif impor) belum tentu dapat menjamin berkurangnya impor karena negara kita adalah negara kepulauan dan aparat pelaksana di lapangan masih amat lemah sehingga mudah dihinggapi KKN. Tarif impor digunakan sebagai sumber pendapatan pemerintah dan untuk memproteksi sektor domestik. Tarif impor dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu tarif spesifik, ad valorem dan campuran. Tarif spesifik merupakan pajak impor yang besarnya tetap untuk setiap unit barang yang diimpor, misalnya sekian rupiah per unit barang impor. Tarif ad valorem ditentukan atas dasar persentase dari nilai impor. Tarif spesifik dapat mencegah importir nakal memanipulasi dokumen impor terutama permainan harga, namun tarif ini dinilai kurang “fair” karena terlepas dari nilai dan kualitas barang. Sementara itu, dalam pengenaan tarif ad valorem dibutuhkan adanya aparat yang kompeten dan jujur, karena jenis tarif ini membuka peluang untuk KKN (Sawit, (2001).
5.2. Kerangka Pemikiran Pengkajian dayasaing secara nasional pada komoditi kedelai dapat didekati dari sisi permintaan dan penawaran. Permintaan dan penawaran berkaitan dalam hal pembentukan harga (input maupun output) yang berpengaruh langsung terhadap dayasaing suatu produk.
Penawaran mempunyai pengaruh terhadap dayasaing
melalui produktivitas, efisiensi, mutu produksi dan ongkos produksi. Dengan perbaikan teknologi dan proses produksi yang dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi, serta semakin tinggi mutu produk dan ongkos produksi rendah, maka semakin kuat dayasaingnya.
54
Komoditi kedelai termasuk komoditi primer. Produksi komoditi primer tidak mudah menyesuaikan dengan tuntutan pasar atau keinginan konsumen. Walaupun demikian, keinginan untuk menyesuaikan dengan keadaan di pasar atau keinginan konsumen harus mendapat prioritas utama dari produsen. Salah satu cara memenuhi tuntutan pasar adalah dengan memberikan perlakuan tambahan atau mengolah kedelai lebih lanjut menjadi produk yang sesuai keinginan konsumen. Dari segi produsen, dayasaing didefinisikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh produsen untuk menghasilkan komoditi/produk dengan mutu baik dan biaya yang relatif rendah, sehingga dapat dijual pada tingkat harga yang sesuai, sehingga kegiatan produksi dan usaha terus berlanjut (dipertahankan dalam jangka panjang). Dayasaing ditentukan oleh tingkat persaingan yang terjadi di pasar dan berbagai faktor lain, baik yang bersumber dari pelakunya maupun dari luar. Pasar dapat sebagai acuan untuk menilai kemampuan dayasaing suatu komoditi atau unit usaha yang memproduksi komoditi tersebut. Kondisi aktual yang terjadi di pasar merupakan perpaduan berbagai interaksi antar kekuatan permintaan dan penawaran. Secara ekonomis, tingkat persaingan ditentukan oleh kualitas dan harga komoditi. Pada tingkat harga (dari sisi produsen) dipengaruhi oleh efisiensi produksi, harga bahan baku dan distribusi. Tingkat efisiensi ini ditentukan oleh penggunaan faktorfaktor produksi dan berbagai faktor lainnya. Di lain pihak, terdapat faktor-faktor tertentu, baik langsung atau tidak langsung mempengaruhi dayasaing, namun di luar kontrol produsen (faktor eksternal), yaitu perubahan ekonomi, perubahan teknologi dan berbagai kebijaksanaan pemerintah. Faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan komoditi kedelai adalah kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga katagori, yaitu : (a) kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan output, (b) kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan input, dan (c) kebijakan pemerintah yang terkait dengan keuntungan atau penerimaan. Kebijakan pemerintah tersebut dapat berdampak positif (insentif) atau negatif (desinsentif)
55
terhadap pengembangan suatu komoditi/produk melalui perubahan harga output atau input serta keuntungan yang menyebabkan harga yang diterima atau dibayarkan dapat bertambah atau berkurang apabila tidak ada kebijakan tersebut. Kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan insentif-disinsentif ekonomi dapat berupa kebijaksanaan harga dan subsidi, kebijaksanaan ekspor impor dan berbagai kebijaksanaan ekonomi makro, seperti kebijaksanaan nilai tukar mata uang dan tingkat suku bunga. Pada prinsipnya penawaran kedelai tergantung kepada peubah luas panen dan produktivitas. Penurunan luas panen disebabkan menurunnya harga riil kedelai, persaingan dengan komoditi lain dan lebih rendahnya harga riil kedelai impor dibandingkan dengan harga riil kedelai lokal. Produktivitas kedelai masih rendah dan cenderung stagnan. Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh petani belum seluruhnya menggunakan benih bermutu dan bersertifikasi, lahan yang kurang sesuai, ketersediaan air yang tidak mencukupi saat umur tanam tertentu, gangguan hama penyakit dan belum sempurnanya penerapan teknologi oleh petani. Konsumsi kedelai semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan semakin berkembangnya industri pengolahan dan peningkatan jumlah penduduk, sementara produksi kedelai cenderung menurun semakin memperlebar kesenjangan antara permintaan dan penawaran dalam negeri. Kondisi saat ini ditanggulangi dengan cara memperbesar penawaran melalui kebijakan impor. Jumlah impor kedelai yang semakin meningkat akan menimbulkan masalah dalam neraca perdagangan antara lain mengurangi devisa negara. Selain masalah produksi nasional, pengaruh liberalisasi perdagangan mendorong derasnya impor ke Indonesia. Saat ini kebijakan pemerintah di bidang perdagangan kurang berpihak kepada petani dalam negeri. Hal ini dibuktikan pada tarif impor kedelai yang berlaku tahun 2004 sebesar 5 persen dan sejak tahun 2005 sebesar 10 persen. Sementara negara pengekspor memberikan subsidi bagi petaninya dan memberi kredit lunak bagi importir, sehingga mempertinggi volume impor.
56
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, saat ini dan di masa mendatang untuk mengatasi defisit produksi kedelai dan peningkatan dayasaing kedelai lokal pada pasar nasional diarahkan pada upaya menekan impor dan meningkatkan produksi kedelai lokal, maka diperlukan penelitian mengenai kondisi perkedelaian saat ini, kondisi permintaan dan penawaran kedelai di tingkat nasional, analisis strategi peningkatan dayasaing kedelai lokal serta kebijakan secara keseluruhan. Dengan dilakukannya benchmarking terhadap keragaan dayasaing kedelai lokal terhadap impor, maka akan diperoleh baseline dalam membuat model dayasaing kedelai lokal dan dapat merumuskan strategi peningkatan dayasaingnya. Diagram kerangka pemikiran dari penelitian pada
Gambar 4.
Tahapan penelitian yang perlu
dilakukan adalah mengkaji keragaan kedelai selama 30 tahun terakhir (produksi, harga lokal, volume, harga dan tarif impor, serta konsumsi kedelai nasional).
KONDISI KEDELAI NASIONAL
Produksi Kedelai
Impor Kedelai
ANALISIS DAYASAING KEDELAI LOKAL
Skenario Model Dayasaing Kedelai Lokal
STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING KEDELAI LOKAL
Pemenuhan Kebutuhan Kedelai Nasional
Gambar 4. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
57
5.3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa cara, antara lain : (1)
Penelitian lapangan dengan melakukan pengamatan pada 25 buah industri tahu, 18 buah industri tempe dan 7 buah industri kecap
untuk melihat
langsung sistem produksi, bahan baku, mutu, harga dan faktor pendukung lainnya untuk membandingkan penggunaan bahan baku kedelai lokal dan impor. Pengumpulan data secara langsung dengan observasi dan wawancara di sebagian wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Lampung. (2)
Mengkaji keragaan kedelai dengan rentang waktu (times series) 30 tahun terakhir (1975 - 2004) berupa luas panen, produksi, produktivitas, konsumsi, curah hujan rata-rata, jumlah penggunaan pupuk, harga riil jagung, harga riil pupuk harga riil kedelai lokal dan tingkat produse, jumlah konsumsi kedelai Indonesia, volume, harga, dan tarif impor; harga riil kedelai internasional, nilai tukar dan pengaruh monopoli Bulog.
(3)
Penelitian pustaka, dengan penelusuran buku-buku, hasil-hasil penelitian dan sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti.
5.4. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Nopember 2005 sampai dengan Mei 2006. Penelitian dilakukan dengan (i) menganalisis data-data dari instansi terkait, antara lain Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, instansi lain yang terkait dan studi literatur yang berkaitan faktor-faktor penentu dayasaing kedelai, (2) observasi ke industri tahu, tempe dan kecap.
5.5. Perumusan Model Perumusan model merupakan tahap awal dan paling penting dalam mempelajari hubungan antar peubah-peubah. Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem persamaan simultan (simultaneous-equations system). Supranto (1983) menjelaskan bahwa model persamaan simultan merupakan suatu himpunan persamaan dengan peubah tak bebas dalam satu atau lebih persamaan,
58
juga merupakan peubah bebas dalam beberapa persamaan lainnya. Persamaan suatu peubah dapat sekaligus mempunyai dua peranan, yaitu sebagai peubah tak bebas dan peubah bebas. Misalnya, tidak hanya peubah tak bebas Y yang ditentukan oleh peubah bebas X, tetapi dapat juga X ditentukan oleh Y, sehingga X dan Y nilainya ditentukan secara bersama-sama (jointly of simultaneously determined). Di dalam model persamaan simultan, terdapat dua jenis persamaan, yaitu persamaan identitas dan persamaan struktural. Persamaan struktural menunjukkan pengaruh langsung dari setiap peubah bebas terhadap peubah tak bebas. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dibentuk model persamaan dayasaing kedelai lokal terhadap impor. Model persamaan yang dirumuskan dalam penelitian ini terdiri dari satu persamaan identitas, yaitu fungsi produksi kedelai dan enam persamaan struktural, yaitu fungsi luas panen kedelai, fungsi produktivitas kedelai, fungsi harga kedelai lokal, fungsi harga kedelai di tingkat produsen, fungsi impor kedelai dan fungsi harga kedelai impor. Model persamaan terdiri dari tujuh peubah endogen dan lima belas peubah eksogen. Setiap variabel harga telah dideflasi menggunakan indeks harga konsumen (IHK 1995 = 100). Perumusan model dalam analisis faktor- faktor yang pengaruhi dayasaing kedelai lokal terhadap impor adalah sebagai berikut :
(1) Fungsi Produksi Kedelai Produksi kedelai nasional pada tahun ke-t (QKt) merupakan suatu jumlah tertentu yang diperoleh dari perkalian antara luas areal panen (LPt) dengan produktivitas kedelai (YKt) pada tahun tersebut. Persamaan produksi kedelai nasional dirumuskan sebagai berikut : QKt = LPt * YKt ………………………………..………………………... dimana : QKt = produksi kedelai nasional pada tahun ke-t (ton) LPt = luas panen kedelai pada tahun ke-t (ha) YKt = produktivitas kedelai pada tahun ke-t (ton/ha)
(10)
59
(2)
Fungsi Luas Panen Kedelai
Model fungsi luas panen diduga sebagai proyeksi dari luas tanam yang dihasilkan. Luas panen kedelai nasional (LPt) dipengaruhi oleh harga riil kedelai lokal (PRt), harga riil jagung tahun ke-t (PJt), curah hujan tahun ke-t (CHt), harga riil benih kedelai tahun ke-t (PBt), dan luas panen kedelai tahun sebelumnya (LPt-1). Peubah harga jagung dimasukkan dalam persamaan, karena merupakan kompetitor utama kedelai. Persamaan luas panen kedelai nasional dirumuskan sebagai berikut : LPt = a0 + a1PDt + a2PJt + a3 CHt + a4PBt + a5LPt-1 + µ1 .…………… dimana : LPt
(11)
= luas panen kedelai nasional pada tahun ke-t (ha)
PDt
= harga riil kedelai lokal pada tahun ke-t (Rp/kg)
PJt
= harga riil jagung pada tahun ke-t (Rp/kg)
CHt = curah hujan pada tahun ke-t (mm/tahun) PBt
= harga riil benih kedelai pada tahun ke-t (Rp/kg)
LPt-1 = luas panen kedelai nasional pada tahun sebelumnya (ha) a0
= intersep
ai
= parameter yang diduga (i = 1, 2, 3, 4, 5)
µ1
= peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan a1, a3> 0; (3)
a2, a4< 0; 0
Fungsi Produktivitas Kedelai
Produktivitas kedelai (YKt) dipengaruhi oleh jumlah penggunaan pupuk urea (QFt), curah hujan tahun ke-t (CHt), harga riil jagung (PJt), harga riil kedelai di tingkat produsen (PDt), dan produktivitas kedelai tahun sebelumnya (YKt-1). Persamaan produktivitas kedelai dirumuskan sebagai berikut : YKt = b0 + b1QFt + b2CHt + b3PJt + b4PPt + b5YKt-1 + µ2 …………... dimana : YKt
= produktivitas kedelai nasional pada tahun ke-t (ton/ha)
QFt
= jumlah penggunaan pupuk urea (kg/ha)
CHt
= curah hujan pada tahun ke-t (mm/tahun)
(12)
60
PJt
= harga riil jagung pada tahun ke-t (Rp/kg)
PPt
= harga riil kedelai di tingkat produsen (Rp/kg)
YKt-1 = produktivitas kedelai nasional tahun sebelumnya (ton/ha) b0
= intersep
bi
= parameter yang diduga (i = 1, 2, 3, 4,5)
µ2
= peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan b1, b2, b4 > 0; b3<0; 0
(4)
Fungsi Harga Kedelai Lokal
Harga kedelai lokal riil (PDt) diduga dipengaruhi oleh harga kedelai tingkat produsen (PPt), harga impor kedelai (PIt), jumlah impor kedelai (QIt), produktivitas kedelai (YKt) dan harga riil kedelai lokal tahun sebelumnya (PRt-1). Persamaan luas panen kedelai nasional dirumuskan sebagai berikut : PDt = c0 + c1PPt + c2PIt + c3QIt + a4Ykt + a5PRt-1 + µ3 ……….…….. dimana : PDt
(13)
= harga riil kedelai lokal pada tahun ke-t (Rp/kg)
PPt
= harga riil kedelai tingkat produsen pada tahun ke-t (Rp/kg)
PIt
= harga impor riil kedelai Indonesia (Rp/kg)
QIt
= volume impor kedelai Indonesia (ton)
Ykt
= produktivitas kedelai (ton/ha)
PRt-1 = harga riil kedelai lokal tahun sebelumnya (Rp/kg) c0
= intersep
ci
= parameter yang diduga (i = 1, 2, 3, 4,5)
µ3
= peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan c1, c2, c4>0; c3 < 0; 0
(5)
Fungsi Harga Kedelai di Tingkat Produsen
Harga kedelai tingkat produsen (PPt) diduga dipengaruhi oleh produksi kedelai Indonesia (QKt), volume impor kedelai Indonesia (QIt), jumlah konsumsi kedelai nasional (CKt), dummy monopoli Bulog (DBt), dan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya (PPt-1).
61
Persamaan harga kedelai di tingkat produsen dirumuskan sebagai berikut: PPt = d0 + d1QKt + d2QIt + d3CKt + d4DBt + d5PPt-1 + µ4 ……….
(14)
dimana : PPt = harga riil kedelai tingkat produsen pada tahun ke-t (Rp/kg) QKt = produksi kedelai nasional pada tahun ke-t (Rp/kg) QIt
= volume impor kedelai Indonesia (ton)
CKt = jumlah konsumsi kedelai nasional (ton) DBt = dummy monopoli Bulog, nilai 1 = ada monopoli Bulog, nilai 0 = tidak ada monopoli Bulog PPt-1 = harga riil kedelai tingkat produsen tahun sebelumnya d0
= intersep
di
= parameter yang diduga (i = 1, 2, 3, 4,5)
µ4
= peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan d3, d4 > 0; d1,d2 < 0; 0
(6)
Fungsi Volume Impor Kedelai Indonesia
Jumlah impor kedelai Indonesia (QIt) dipengaruhi oleh harga kedelai internasional (PLt), produksi kedelai lokal (QKt), jumlah konsumsi kedelai Indonesia tahun ke-t (CKt), populasi penduduk Indonesia (POPt) dan jumlah impor kedelai tahun sebelumnya (QIt-1). Persamaan volume impor kedelai dirumuskan sebagai berikut : QIt = e0 + e1PLt + e2QKt + e3CKt + e4POPt + e5DPIT +e6QIt-1+µ5 ... (15) dimana : QIt
= volume impor kedelai Indonesia tahun ke-t (ton)
PLt
= harga kedelai Internasional (Rp/kg)
QKt
= produksi kedelai lokal (ton)
CKt
= jumlah konsumsi kedelai Indonesia tahun ke-t (ton)
POPt = jumlah populasi penduduk Indonesia (jiwa) QIt-1 = volume impor kedelai tahun sebelumnya (ton) e0
= intersep
ei
= parameter yang diduga (i = 1, 2, 3,4,5,6)
µ5
= peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan e1,e2, e5<0; e3, e4 >0; 0<e6>1
62
(7)
Fungsi Harga Impor Kedelai Indonesia Harga impor riil kedelai Indonesia (PIt) dipengaruhi oleh harga kedelai
internasional (PLt), nilai tukar (ERt), dummy monopoli Bulog (DBt), tarif impor kedelai Indonesia (PNt), harga impor riil kedelai Indonesia (PIt-1). Persamaan harga impor kedelai Indonesia dirumuskan sebagai berikut : PIt = f0 + f1PLt + f2ERt + f3DBt + f4PNt + f5PIt-1 + µ6 ………………. (16) dimana : PIt
= harga impor riil kedelai Indonesia tahun ke-t (Rp/kg)
PLt
= harga kedelai Internasional (US $/ton)
ERt
= nilai tukar Rupiah terhadap US Dolar tahun ke-t (Rp/US$)
DBt
= dummy monopoli Bulog, nilai 1 = ada monopoli Bulog, nilai 0 = tidak ada monopoli Bulog
PNt
= tarif impor kedelai Indonesia (%)
PIt-1 = harga impor riil kedelai Indonesia tahun sebelumnya (Rp/kg) f0
= intersep
fi
= parameter yang diduga (i = 1, 2, 3, 4, 5)
µ6
= peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan f1,f2, f3, f4> 0; 0 1. Persamaan fungsi-fungsi ini diperjelas dalam bentuk kerangka model ekonometrika pada Gambar 5.
63
64
5.6. Definisi Operasional (1)
Kedelai yang dimaksud dalam penelitian ini tidak dipisahkan jenisnya dari kedelai warna hitam, coklat, putih, kuning, namun proporsi terbesar adalah kedelai kuning.
(2)
Produksi kedelai Indonesia adalah jumlah total produksi kedelai di Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton.
(3)
Luas panen kedelai merupakan luas seluruh areal produktif atau panen kedelai di Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ha.
(4)
Produktivitas kedelai merupakan hasil bagi antara produksi kedelai Indonesia dengan luas panen kedelai per tahun, dinyatakan dalam satuan ton per ha.
(5)
Volume impor kedelai Indonesia adalah jumlah seluruh impor kedelai yang dipasarkan di pasar domestik setiap tahun, tidak termasuk impor illegal dan dinyatakan dalam satuan ton.
(6)
Harga riil kedelai domestik adalah harga kedelai local atau domestik setelah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram.
(7)
Harga riil di tingkat produsen adalah harga kedelai di tingkat produsen setelah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram.
(8)
Harga riil jagung merupakan harga jagung local atau domestik setelah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram.
(9)
Harga riil pupuk urea yang merupakan pupuk pokok dalam produksi kedelai, yang telah dideflasi setelah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia dan
dinyatakan dalam satuan Rupiah per
kilogram. (10) Harga riil benih kedelai adalah harga benih kedelai yang telah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram. (11) Harga riil kedelai impor Indonesia adalah harga CIF yang merupakan hasil bagi antara nilai dengan volume impor, dideflasi (1995=100) dengan Indeks
65
Harga Konsumen (IHK) Indonesia dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram. (12) Harga kedelai internasional adalah harga kedelai di USA Free on Board dikalikan nilai tukar dideflasi (1995=100), dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram. (13) Nilai tukar mata uang adalah perbandingan dari perubahan mata uang Amerika terhadap mata uang lain, dinyatakan dalam satuan rupiah per dollar Amerika. (14) Tarif impor adalah tarif yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap kedelai, yakni tarif advalorem, dinyatakan dalam satuan persen. (15) Jumlah konsumsi kedelai Indonesia adalah jumlah konsumsi kedelai per kapita dikalikan dengan jumlah penduduk setiap tahun, dinyatakan dalam satuan ton. (16) Jumlah penggunaan pupuk adalah jumlah pupuk urea yang digunakan oleh petani kedelai dalam proses produksi, dinyatakan dengan satuan kg/ha. (17) Jumlah penggunaan benih adalah jumlah bibit kedelai yang digunakan petani dalam proses produksi, yang dinyatakan dengan satuan kg/ha. (18) Indeks harga konsumen adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya perubahan harga tingkat konsumen dari komoditi yang dikonsumsi di suatu negara. (19) Pendapatan perkapita merupakan pendapatan nasional dibagi rata-rata jumlah penduduk Indonesia tahunan dan telah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dinyatakan dalam satuan Rupiah. (20) Curah hujan merupakan curah hujan tiap tahun yang diwakili oleh jumlah curah hujan di sentra produksi kedelai Indonesia.
5.7. Tanda Hubungan Antar Variabel Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran dan fungsi dari model analisis, diduga peubah eksogen memiliki hubungan yang signifikan terhadap peubah endogen, seperti diuraikan pada Tabel 6.
66
Tabel 6. Tanda Pengaruh Variabel Endogen terhadap Eksogen Tanda yang Pengaruh Endogen terhadap Eksogen Endogen Eksogen Diharapkan Luas panen harga riil kedelai lokal (PDt) + kedelai (LPt) curah hujan rata-rata (CHt) + luas panen tahun sebelumnya (LLPt) + harga riil jagung (PJt) harga riil benih (PBt) Produktivitas jumlah pupuk urea (QFT) + kedelai (YKt) curah hujan rata-rata (CHt) + harga riil di tingkat produsen (PPt) + produktivitas tahun sebelumnya (LYKt) + harga riil jagung (PJt) Harga riil harga riil di tingkat produsen (PPt) + kedelai lokal (PDt) harga riil kedelai impor (PIt) + harga kedelai lokal tahun sebelumnya (LPDt) + produktivitas kedelai (YKt) + volume impor kedelai (QIt) Harga riil jumlah konsumsi kedelai (CKt) + tingkat produsen (PPt) dummy monopoli Bulog (DBt) + harga produsen tahun sebelumnya (LYKt) + volume produksi kedelai lokal (QIt) volume impor kedelai (QIt) Volume impor jumlah konsumsi kedelai (CKt) + kedelai (QIt) populasi penduduk Indonesia (POPt) + harga riil kedelai impor (DPIt) + harga kedelai internasional (PLt) produksi kedelai lokal (QKt) Harga riil harga kedelai internasional (PLt) + kedelai impor (PIt) nilai tukar rupiah terhadap dolar (ERt) + dummy monopoli Bulog (DBt) +/tarif impor kedelai (PNt) + harga kedelai impor tahun sebelumnya (LPIt) +
5.8. Prosedur Analisis Peralatan untuk menganalisis dayasaing yang relevan adalah melalui pendekatan ekonometrika. Menurut Lains (2003) ekonometrika digunakan untuk (i) membuat estimasi sebuah fungsi dan parameter-parameternya, (ii) dapat memprediksi dalam menetapkan
kebijaksanaan,
mengambil
keputusan
dan/atau
mengevaluasi
67
kebijaksanaan yang telah ada.
Menurut Intriligator (1978), model ekonometrika
adalah suatu pola khusus dari model aljabar yang setiap prosesnya merupakan hubungan yang terintegrasi satu sama lain. Suatu model dikatakan baik jika model tersebut dapat memenuhi kriteria: (1) Ekonomi (menyangkut arah dan besaran parameter), (2) Statistik (menyangkut uji-uji statistik), (3) Ekonometrik (menyangkut asumsi-asumsi ekonometrika). Dari ketiga kriteria tersebut yang terpenting adalah kriteria ekonomi karena penelitian menyangkut kebijakan ekonomimakro dan performace dari industri komoditi kedelai. Menurut Koutsoyiannis (1977), model ekonometrika merupakan gambaran hubungan masing-masing penjelas (explanatory variables) terhadap peubah endogen (dependent variables). Prosedur analisis dari ekonometrika adalah sebagai berikut : (1)
Identifikasi model
Identifikasi model hanya untuk persamaan-persamaan yang didalamnya terdapat koefisien-koefisien yang harus diestimasi secara statistik dan memerlukan pengukuran. Dalam teori ekonometrika terdapat dua kemungkinan situasi dalam suatu identifikasi, yaitu : a. Persamaan Underidentified Suatu persamaan dikatakan underidentified jika bentuk statistiknya tidak tunggal. Jika suatu persamaan underidentified, maka tidak mungkin dilakukan pendugaan dari seluruh parameter yang ada dengan teknik ekonometrik manapun. b.
Persamaan Identified Jika suatu persamaan memiliki bentuk statistik tunggal, maka persamaan tersebut dapat diidentifikasikan (identified). Persamaan tersebut dapat exactly identified atau overidentified. Dalam persamaan yang teridentifikasi, koefisien didalamnya dapat diduga secara statistik. Jika persamaan exactly identified,
68
maka metode yang sesuai untuk pendugaan adalah Indirect Least Square. Sedangkan jika persamaan overidentified, maka metode yang digunakan salah satunya adalah Two Least Square (2SLS). Berdasarkan Koutsoyiannis (1977), terdapat dua tahap identifikasi, yaitu : a.
Order condition (syarat keharusan) digunakan untuk mengetahui apakah persamaan-persamaan yang ada dapat diidentifikasi atau tidak. Langkah-langkah dalam order condition adalah : (K – M) > (G – 1) persamaan teridentifikasi secara berlebih (overidentified) (K – M) = (G – 1) persamaan teridentifikasi secara tepat (exactly identified) (K – M) < (G – 1) persamaan tidak teridentifikasi (unidentified) Hasil identifikasi untuk setiap persamaan haruslah exactly identified atau overidentified agar dapat menduga parameter-parameternya, yaitu : K = Total peubah dalam model (peubah endogen dan predetermined) M = Total peubah endogen dan eksogen dalam satu persamaan tertentu dalam model G = Total persamaan dalam model/jumlah peubah endogen dalam model
b.
Rank condition (syarat kecukupan) digunakan untuk mengidentifikasi persamaan dimana setelah dilakukan uji order condition menghasilkan kesimpulan yang dapat diidentifikasi. Selanjutnya dilihat apakah persamaan tersebut exactly identified atau overidentified. Jika paling sedikit terdapat satu determinan yang tidak sama dengan nol, maka disimpulkan : Bila (K – M) > (G – 1), persamaan tersebut overidentified Bila (K – M) = (G – 1), persamaan tersebut exactly identified Jika semua determinan sama dengan nol, maka persamaan tersebut underidentified. Kendati suatu persamaan telah memenuhi order condition, namun tetap dilakukan rank condition. Kondisi rank untuk mengidentifikasi determinan persamaan yang bukan nol pada order G –1.
69
(2)
Metode pendugaan parameter
Setelah diperoleh hasil identifikasi model kemudian dilanjutkan dengan pendugaan model yang dilakukan dengan 2SLS (Two Stage Least Squares) menggunakan program SAS version 6,12. Penggunaan 2SLS dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan 2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih mudah dan sederhana (Gujarati, 1999; Sumodiningrat, 1999). Untuk menguji apakah peubah-peubah eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F. Untuk menguji apakah peubah eksogen yang terdapat dalam model secara individu berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen,maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t. Persamaan dalam penelitian ini menggunakan data time series dan model mengandung persamaan simultan dan peubah bedakala (lagged endogenous variable). Pada jenis data ini sering dijumpai masalah autokorelasi dengan terjadinya hubungan error-term antar dua pengamatan. Masalah autokorelasi akan menyesatkan dalam mengambil kesimpulan, terutama mengenai nyata tidaknya setiap parameter dugaan yang diuji. Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi digunakan uji d (Durbin Watson Statistic). Dikarenakan didalam persamaan terdapat peubah bedakala, maka uji d tidak valid, sehingga untuk menguji autokorelasi digunakan uji statistik dh (Durbin-h Statistics), sebagai berikut :
1 n h = 1− d 2 1 − n((var β )) dimana : d n
…………………………………………
(17)
= dh statistik Durbin Watson = jumlah observasi
var β = varians koefisien regresi untuk lag dependent variable Apabila hhitung lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi normal, maka dalam persamaan tidak mengalami autokorelasi.
70
(3)
Validasi Model
Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu validasi model yang bertujuan untuk menganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah : Root Means Percent Square Error (RMPSE), Theil’s Inequality Coefficient (U) (Pindyck dan Rubinfield, 1991). Kriteria-kriterianya dirumuskan sebagai berikut :
RMPSE =
U=
1 n Yt s − Yt a 2 ∑ ( Y a ) ………………………………........................ n t =1 t
1 n (Yt s − Yt a ) 2 ∑ n t =1 n 1 n (Yt s + ∑ (Yt a ) 2 ∑ n t =1 t =1
(18)
…………………………..………………….
(19)
dimana : Ys t = nilai hasil simulasi dasar dari peubah observasi Ya t = nilai aktual peubah observasi n = jumlah periode observasi Statistik RMPSE digunakan untuk mengukur seberapa dekat nilai dugaan mengikuti nilai aktualnya dalam persen. Sedangkan nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 0 dan 1. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U = 1 maka pendugaan model naif. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil simulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R2). Semakin kecil nilai RMPSE dan U-Theil’s serta semakin besar nilai R2, pendugaan model semakin baik (Pindyck dan Rubinfield, 1991).
71
(4)
Pengukuran Elastisitas
Koutsoyiannis (1977) menyatakan bahwa untuk melihat derajat kepekaaan peubah endogen pada suatu persamaan terhadap perubahan dari peubah eksogen dapat digunakan nilai elastisitasnya. Nilai elastisitas jangka pendek (short-run) diperoleh dari perhitungan sebagai berikut : Esr(Yt,Yi) = a1(X i) Yt
………………………………………………………
(20)
dimana : Esr(Yt,Yi) = Elastisistas jangka pendek peubah eksogen Xi terhadap peubah endogen Yt ai
= Paramater dugaan peubah eksogen Xi
Xi
= Rata-rata peubah eksogen Xi
Yt
= Rata-rata peubah eksogen Yt
Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang (long-run) diperoleh dari perhitungan sebagai berikut : Esr(Yt,Yi) = Esr (Yt,X i) ……………………………..……………………... 1-ai lag
(21)
dimana : Esr(Yt,Yi) = Elastisistas jangka pendek variable eksogen Xi terhadap peubah endogen Yt ai lag
= Paramater dugaan dari lag-endogenous peubah.
Dengan kriteria uji elastisitas sebagai berikut : a. Jika nilai elastisitas lebih dari satu (E >1), dikatakan elastis (responsive) karena perubahan satu persen peubah eksogen mengakibatkan perubahan peubah endogen lebih dari satu persen. b. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0<E<1) dikatakan inelastis (nonresponsive), karena perubahan satu persen peubah eksogen akan mengakibatkan perubahan peubah endogen. c. Jika nilai elastisitas sama dengan nol (E=0), dikatakan inelastic sempurna. d. Jika nilai elastisitasnya tak terhingga (E=~), dikatakan elastis sempurna. e. Jika nilai elastisitasnya sama dengan satu (E=1), dikatakan unitary elastis.
72
(5)
Simulasi Model
Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka model tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi. Simulasi/peramalan dapat dibedakan beberapa jenis dan tujuan simulasi, diantaranya adalah ramalan berdasarkan horizon waktu yang dibedakan menjadi ex-post forecasting, ex-ante forecasting dan backcasting (Mulyono, 2000) yang diilustrasikan pada Gambar 6. Forecasting ex-post simulation or Backcasting
historical simulation
ex-post forecasting
ex-ante forecasting
Periode data dugaan Periode dugaan t1
t2
t3 (today)
Gambar 6. Garis Waktu Peramalan (Mulyono, 2000) Pada periode t1 menunjukkan batas waktu dari model yang dihitung dengan data yang ada. Simulasi dibuat diantara t1 ke t2 disebut dengan ex-post simulation atau historical simulation. Ex-post forecasting menunjukkan jika periode dugaan t2 < t3, maka peramalan dapat dilakukan di akhir periode. Pada Ex-ante forecasting yang dimulai dari t3 adalah simulasi nilai dependent peubah yang didasarkan pada peubah bebas dan dapat diteruskan hingga tahun-tahun berikutnya.
6. PENDUGAAN MODEL EKONOMETRIKA 6.1. Faktor Penentu Dayasaing Untuk mempelajari hubungan berbagai peubah-peubah, maka langkah pertama dan penting dalam melakukan penelitian ini adalah merumuskan faktor-faktor penentu dayasaing yang akan dimasukkan dalam model. Model digunakan untuk mewakili hubungan peubah-peubah dalam bentuk matematika dengan suatu fenomena ekonomi yang dapat dipelajari secara empirik (Koutsoyiannis, 1977). Setelah menganalisis beberapa alternatif spesifikasi model, maka akhirnya diperoleh model dayasaing kedelai lokal terhadap impor yang terdiri dari faktorfaktor penentu dayasaing yang dijabarkan dalam tujuh persamaan simultan. Model persamaan terdiri dari tujuh peubah endogen dan lima belas peubah eksogen. Peubah dummy yang digunakan adalah dummy monopoli Bulog, sedangkan dummy krisis moneter tidak dimasukkan, karena setelah olahan data dummy krisis moneter dimasukkan tidak diperoleh model yang baik. Untuk mengetahui pendugaan dari seluruh model hasilnya telah cukup baik, maka dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2) dari masing-masing persamaan struktural yang berkisar antara 0.59 – 0.99. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variable) yang ada dalam persamaan struktural mampu menjelaskan dengan baik peubah endogen (endogenous variable). Besarnya nilai F umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 6.77 sampai 1288.74, yang berarti variasi peubah-peubah eksogen dalam setiap persamaan struktural secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya pada taraf α = 0.01 dan 0.05, disamping itu setiap persamaan struktural mempunyai tanda yang sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi.
74
Nilai statistik-t digunakan untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Hasil statistik-t menunjukkan bahwa ada beberapa peubah penjelas yang tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen pada taraf α = 0.05. Dari peubah penjelas yang nyata disusun kembali model ekonomerikanya. Dalam penelitian ini peubah penjelas yang digunakan pada semua persamaan struktural cukup fleksibel pada taraf α = 0.05, 0.10, 0.15 dan 0.20, dengan simbol sebagai berikut : (a)
berpengaruh nyata pada taraf α = 0.05
(b)
berpengaruh nyata pada taraf α = 0.10
(c)
berpengaruh nyata pada taraf α = 0.15
(d)
berpengaruh nyata pada taraf α = 0.20
Berdasarkan hasil uji statistik durbin-h, persamaan yang digunakan tidak mengandung adanya autokorelasi karena nilai h-hitung lebih kecil dari tabel distribusi normal. Setelah dilakukan uji White heteroskedasticity Test, nilai probalitas yang dihasilkan lebih besar dari taraf α yang digunakan, sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Hasil pendugaan model pada penelitian ini dapat dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena daya saing kedelai lokal terhadap impor di Indonesia. 6.2. Dayasaing Kedelai Lokal Dari analisis yang digunakan, dayasaing kedelai lokal dipengaruhi oleh fungsi luas panen, produktivitas, harga riil kedelai lokal, harga tingkat produsen, volume impor dan harga riil impor. Fungsi luas panen dipengaruhi oleh harga riil kedelai lokal, harga riil jagung, curah hujan, harga riil benih dan luas panen tahun sebelumnya. Untuk meningkatkan luas panen kedelai, maka harga riil kedelai lokal harus diupayakan agar petani menerima harga yang layak dan menguntungkan dibandingkan dengan harga jagung sebagai tanaman kompetitor dan harga riil kedelai impor. Jika usahatani kedelai menguntungkan di tahun sebelumnya, maka akan mempengaruhi luas panen di masa yang akan datang.
75
Upaya peningkatan produktivitas kedelai di Indonesia dipengaruhi oleh faktor penggunaan pupuk, curah hujan, harga riil jagung, harga riil tingkat produsen dan produktivitas tahun sebelumnya. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan meningkatkan kualitas hasil, maka perlu digunakan anjuran pupuk berimbang, sehingga perbandingan penyerapan unsur hara pupuk makro maupun mikro oleh tanaman dapat seimbang. Penggunaan pupuk harus memenuhi unsur 6 tepat, yaitu tepat jumlah, tepat jenis, tepat harga, tepat mutu, tepat waktu, dan tepat lokasi. Dosis anjuran penggunaan pupuk untuk kedelai per hektar umumnya adalah 50 kg urea, 100 kg SP-36 dan 50 kg KCl. Khusus untuk keperluan nitrogen dapat dipenuhi dari bintil akar yang mengandung rhizobium. Dengan demikian penggunaan urea dan SP-36 dapat dikurangi setengah dari anjuran dengan menggunakan pupuk hayati yang mengandung rhizobium, sehingga biaya produksi dapat dihemat. Harga kedelai lokal dipengaruhi oleh harga riil tingkat produsen, harga riil impor, volume impor, produktivitas dan harga riil kedelai lokal tahun sebelumnya. Harga kedelai tingkat produsen dipengaruhi oleh produksi, volume impor, jumlah konsumsi kedelai, dummy monopli bulog dan harga tingkat produsen tahun sebelumnya. Volume impor dipengaruhi oleh harga riil kedelai internasional, produksi, jumlah konsumsi, populasi penduduk Indonesia dan harga impor. Harga kedelai impor dipengaruhi oleh harga internasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar, dummy monopoli Bulog dan harga impor tahun sebelumnya.
6.3. Analisis Dayasaing Kedelai Setelah melakukan beberapa alternatif spesifikasi model, maka akhirnya diperoleh model dayasaing kedelai dan dilakukan analisis sensitivitas dari keenam persamaan struktural tersebut.
76
6.3.1. Luas Panen Kedelai Luas panen kedelai berkaitan dengan produksi dan produktivitas. Luas panen dari tahun 1975 – 2000 menunjukkan trend yang meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan pada tahun 1986 mengalami lonjakan sebesar 40 persen (1.253.671 ha) dari tahun sebelumnya (869.220 ha). Namun sejak tahun 2001 terjadi penurunan luas panen yang cukup berarti dari tahun sebelumnya sebesar 28 persen, dari 1.151.079 ha menjadi 824.484 ha. Berdasarkan analisis yang digunakan, maka luas panen kedelai di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu harga riil kedelai lokal, harga riil jagung, curah hujan, harga riil benih dan luas panen tahun sebelumnya. Hasil pendugaan parameter yang mempengaruhi luas panen kedelai di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Luas Panen Kedelai Variabel INT PDt PJt CHt PBt LLPt R-Sq R-Sq (Adj) F-stat/F-hit D W Stat Dh
Koefisien t- hitung Dugaan -287508 1.00 454.229 (a) 2.84 -702.328 (d) 1.45 59.70 0.18 -7.14 0.07 0.84 (a) 9.69 0.87 0.84 30.05 2.47 -0.67
Elastisitas Probabilitas Pendek Panjang 0.33 0.01 0.58 3.62 0.16 -0.26 -1.64 0.46 0.13 0.87 0.95 -0.01 -0.06 0.00 0.85
Keterangan : (a) nyata pada taraf α = 0.05
Nama Variabel Intersep Harga Riil Kedelai Lokal Harga Riil Jagung Curah Hujan Harga Riil Benih Kedelai Lag Luas Panen Kedelai
(d) nyata pada taraf α = 0.20
Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) dari model luas panen kedelai adalah sebesar 0.87. Hal ini berarti 87.00 persen keragaman luas panen dapat diterangkan oleh keragaman peubah-peubah eksogen di dalam model, yakni peubah harga riil kedelai lokal, harga riil jagung dan luas panen tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya sebesar 13.30 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat di dalam model ini.
77
Dengan menggunakan uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 30.05 yang lebih besar dari F tabel sebesar 2.78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini menunjukkan bahwa peubah-peubah eksogen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap luas panen kedelai. Dengan pengujian t hitung terlihat bahwa variabel harga riil kedelai lokal dan lag luas panen berpengaruh nyata pada taraf lima persen dan peubah harga riil jagung berpengaruh nyata pada taraf dua puluh persen. Sedangkan peubah yang tidak berpengaruh nyata terhadap luas panen adalah curah hujan dan harga riil benih kedelai. Curah hujan tidak berpengaruh nyata terhadap luas panen karena diduga petani telah mengetahui bahwa saat tanam kedelai yang sesuai adalah akhir musim hujan atau awal musim kemarau untuk menghindari gagal panen. Harga riil benih tidak berpengaruh nyata karena diduga sebagian besar petani menggunakan benih hasil penangkaran sendiri, bukan benih varietas unggul dan bersertifikat. Koefisien dugaan peubah harga riil kedelai lokal sebesar 454.23. Hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan harga riil kedelai lokal sebesar satu rupiah per kilogram akan meningkatkan luas panen sebesar 454.23 hektar, demikian sebaliknya, cateris paribus. Koefisien dugaan yang positif menunjukkan bahwa peningkatan harga riil kedelai akan merangsang diperluasnya areal tanam. Kondisi ini menunjukkan bahwa sangat besar pengaruh peningkatan harga kedelai lokal terhadap luas panen di Indonesia. Jika harga riil kedelai lokal menguntungkan bagi usahataninya, maka petani akan memperluas areal tanamnya. Harga riil jagung turut mempengaruhi luas tanam kedelai, namun pengaruh harga riil jagung terhadap luas tanam kedelai adalah negatif. Nilai koefisien dugaan peubah harga riil jagung sebesar -702.33 yang artinya jika terjadi kenaikan harga riil jagung sebesar satu rupiah per kilogram, maka luas panen kedelai akan menurun sebesar 702.33 hektar, demikian sebaliknya, cateris paribus. Dengan rendahnya harga riil kedelai atau keuntungan yang diterima petani lebih rendah, maka akan mempengaruhi petani untuk berpindah dari menanam kedelai ke tanaman jagung. Kondisi ini didukung oleh tipologi lahan dan persyaratan tumbuh yang dibutuhkan
78
jagung tidak jauh berbeda untuk tanaman kedelai, sehingga petani kedelai mudah beralih usaha ke tanaman jagung. Luas panen kedelai juga dipengaruhi secara nyata oleh peubah bedakala. Koefisien dugaan luas panen tahun sebelumnya sebesar 0,84. Hal ini berarti kenaikan luas panen tahun sebelumnya sebesar satu hektar akan meningkatkan luas panen sebesar 0,8395 hektar, demikian sebaliknya, cateris paribus. Jika dilihat nilai elastisitasnya harga riil kedelai lokal dalam jangka pendek dan jangka panjang sebesar 0.58 dan 3.62. Nilai ini menunjukkan jika terjadi kenaikan harga riil kedelai lokal sebesar satu persen akan meningkatkan luas panen sebesar 0.58 persen dalam jangka pendek dan 3.62 dalam jangka panjang. Nilai tersebut juga menunjukkan bahwa dalam jangka pendek luas panen tidak responsif terhadap perubahan harga riil kedelai lokal, namun dalam jangka panjang luas panen kedelai responsif terhadap perubahan harga riil kedelai lokal. Nilai elastisitas pada jangka pendek untuk luas panen kedelai tidak responsif terhadap perubahan harga riil jagung yang ditunjukkan dengan nilai elastisitasnya sebesar – 0.26. Sedangkan untuk jangka panjang luas panen kedelai responsif terhadap perubahan harga riil jagung yang ditunjukkan dengan nilai elastisitasnya sebesar – 1.64.
6.3.2. Produktivitas Kedelai Berdasarkan analisis yang digunakan, maka produktivitas kedelai di Indonesia dipengaruhi oleh faktor jumlah penggunaan pupuk urea, curah hujan, harga riil jagung, harga riil kedelai tingkat produsen dan produktivitas tahun sebelumnya. Hasil pendugaan parameter yang mempengaruhi produktivitas kedelai di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 8. Nilai koefisien determinasi (R2) dari model produktivitas kedelai adalah sebesar 0.97. Hal ini berarti 97.13 persen keragaman produktivitas dapat diterangkan oleh keragaman peubah-peubah eksogen di dalam model, yakni peubah curah hujan,
79
harga jagung, dan produktivitas tahun sebelumnya. Sedangkan 2.87 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Tabel 8. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Produktivitas Kedelai Variabel INT QFT CHT PJT PPT LYKT R-Sq R-Sq (Adj) F-stat/F-hit D W Stat Dh
Elastisitas Koefisien t- hitung Probabilitas Dugaan Pendek Panjang 0.02 0.21 0.83 0.00 0.19 0.85 0.01 1.04 0.00003 (c) 1.50 0.15 0.05 10.31 -0.00018 (d) 1.30 0.20 -0.06 -11.91 0.00 0.08 0.93 0.00 0.70 0.9947 (a) 10.27 0.00 1.00 0.97 0.97 155.71 2.26 -0.07
Keterangan : (a) nyata pada taraf α = 0.05 (d) nyata pada taraf α = 0.20
Nama Variabel Intersep Jumlah Pupuk Urea Curah Hujan Harga Riil Jagung Harga Riil Produsen Lag Produktivitas
(c) nyata pada taraf α = 0.15
Nilai koefisien determinasi (R2) dari model produktivitas kedelai adalah sebesar 0.97. Hal ini berarti 97 persen keragaman produktivitas dapat diterangkan oleh keragaman peubah-peubah eksogen di dalam model, yakni peubah curah hujan, harga jagung, dan produktivitas tahun sebelumnya. Sedangkan 2.87 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Dengan menggunakan uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 155.71 yang lebih besar dari F tabel sebesar 2.78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini menunjukkan bahwa peubah-peubah eksogen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produktivitas kedelai. Hasil uji statistik t menunjukkan bahwa peubah curah hujan, harga riil jagung, produktivitas tahun sebelumnya dan berpengaruh nyata terhadap produktivitas kedelai pada taraf sepuluh, lima belas dan lima persen. Sedangkan peubah yang tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas kedelai adalah peubah jumlah penggunaan pupuk urea dan harga riil tingkat produsen. Penggunaan pupuk yang digunakan hanya pupuk urea, karena yang digunakan dominan adalah pupuk urea dan data series yang diperoleh hanya pupuk urea.
80
Nilai koefisien dugaan varibel harga riil jagung sebesar -0.00018. Hal ini menunjukkan setiap kenaikan harga riil jagung sebesar satu rupiah per kilogram akan menurunkan produktivitas kedelai sebesar 0.00018 ton per hektar, demikian sebaliknya, cateris paribus. Agar dapat bersaing dengan tanaman pesaingnya, dalam hal ini jagung, maka tanaman kedelai harus dapat memberikan keuntungan bersih paling sedikit sama dengan keuntungan bersih jagung. Menurut Siregar (2000), terdapat dua kemungkinan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan dayasaing kedelai melalui peningkatan produktivitas, yaitu (a) dengan peningkatan hasil per satuan luas dengan asumsi bahwa semua harga input dan output tidak berubah, (b) dengan peningkatan harga kedelai dengan asumsi bahwa tingkat hasil dan harga-harga input tidak berubah. Nilai koefisien dugaan peubah curah hujan sebesar 0.000025. Walaupun nilai kooefisien dugaan begitu kecil, namun mempengaruhi produktivitas kedelai. Tanaman kedelai akan tumbuh baik, disamping perlu pH, suhu dan ketinggian tanah yang sesuai, juga membutuhkan curah hujan rata-rata selama musim tanam 300 – 400 mm per tiga bulan. Menurut Sumarno (1985), tanaman kedelai menghendaki penyiraman penuh, minimal 10 jam per hari dengan kelembaban ratarata 65 persen, terutama saat pertumbuhan vegetatif dan pengisian polong. Dalam penelitian ini juga membuktikan bahwa produktivitas tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap produktivitas kedelai dengan nilai dugaan peubah tahun sebelumnya sebesar 0,9947. Artinya jika terjadi kenaikan produktivitas tahun sebelumnya sebesar satu ton per hektar, maka akan meningkatkan produktivitas kedelai sebesar 0,9947 ton per hektar, demikian sebaliknya, cateris paribus. Jika dilihat nilai elastisitas harga riil jagung jangka pendek sebesar –0,063 artinya produktivitas kedelai tidak responsif terhadap harga riil jagung dalam jangka pendek. Sedangkan jangka panjang, produktivitas kedelai responsif terhadap harga riil jagung sebesar – 11.91. Nilai ini menunjukkan jika terjadi kenaikan harga riil jagung sebesar satu persen akan menurunkan produktivitas kedelai sebesar 11.91 persen dalam jangka panjang.
81
Dalam jangka pendek maupun jangka panjang, produktivitas kedelai tidak responsif terhadap jumlah penggunaan pupuk urea yang ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya masing-masing sebesar 0.006 dan 1.04. Kondisi ini menunjukkan bahwa perubahan jumlah penggunaan pupuk tidak terlalu berpengaruh terhadap produktivitas kedelai. Hal ini diduga disebabkan perakaran tanaman kedelai memiliki bintil-bintil akar yang banyak mengandung unsur N, sehingga unsur dasar N dari pupuk urea sebagian dapat dipenuhi dari bintil akar tersebut, kecuali untuk lahan yang terus menerus ditanami dan telah lama tidak menggunakan pupuk atau lahan bukaan baru. Berdasarkan penelitian Kumenaung (1994) dijelaskan bahwa kondisi ini dapat dipengaruhi antara lain : di beberapa daerah tertentu di Indonesia pupuk belum perlu digunakan dan pupuk bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi produksi.
6.3.3. Harga Kedelai Lokal Model pembentukan harga kedelai lokal yang digunakan adalah dengan memhipotesiskan bahwa harga kedelai lokal dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu harga riil kedelai tingkat produsen, harga riil kedelai impor, volume impor kedelai, produktivitas kedelai dan harga riil kedelai domestik tahun sebelumnya. Hasil pendugaan parameter yang mempengaruhi harga kedelai lokal dapat dilihat pada Tabel 9. Nilai koefisien determinasi (R2) dari model produktivitas kedelai adalah sebesar 0.6543. Hal ini berarti 65.43 persen keragaman produktivitas kedelai dapat diterangkan
oleh keragaman peubah-peubah eksogen di dalam model, yakni
peubah harga riil kedelai tingkat produsen, harga riil kedelai impor, volume impor kedelai, produktivitas dan harga riil kedelai lokal tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya 34.57 dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Hasil pendugaan parameter harga kedelai lokal dapat dilihat pada Tabel 9. Dari hasil uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 8.71 lebih besar dari F tabel sebesar 2,78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini menunjukkan bahwa peubah-peubah
82
eksogen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga kedelai tingkat produsen. Hasil uji statistik t pada taraf lima persen menunjukkan bahwa harga riil kedelai impor, volume impor kedelai dan harga riil kedelai lokal tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai lokal. Sedangkan harga kedelai tingkat produsen dan produktivitas berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai lokal pada taraf sepuluh dan dua puluh persen. Tabel 9. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Kedelai Lokal Variabel
Koefisien t- hitung ProbaElastisitas Dugaan bilitas Pendek Panjang INT -300.81 0.73 0.47 PPT 0.3848 (b) 1.87 0.07 0.32 0.53 PIT 0.3799 (a) 2.65 0.01 0.22 0.36 QIT -0.0003 (a) 2.36 0.03 -0.12 -0.20 YKT 511.5931 (d) 1.31 0.20 0.43 0.70 LPDT 0.3898 (a) 3.13 0.00 0.39 R-Sq 0.65 R-Sq (Adj) 0.58 F-stat/F-hit 8.71 D W Stat 1.66 Dh 0.84
Keterangan : (a) nyata pada taraf α = 0.05 (d) nyata pada taraf α = 0.20
Nama Variabel Intersep Harga Riil Tingkat Produsen Harga Riil Kedelai Impor Volume Impor Kedelai Produktivitas Kedelai Lag Harga Riil Kedelai Lokal
(b) nyata pada taraf α = 0.10
Dalam penelitian ini membuktikan bahwa harga riil kedelai tingkat produsen berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai lokal dengan nilai dugaan peubah adalah 0.38, artinya jika terjadi kenaikan kedelai tingkat produsen sebesar satu rupiah per kilogram akan meningkatkan harga riil kedelai lokal sebesar 0.38 rupiah per kilogram. Berdasarkan nilai elastisitasnya, maka harga riil kedelai lokal responsif terhadap perubahan harga kedelai tingkat produsen dengan nilai elastisitas jangka pendek sebesar 0.32 dan jangka panjang sebesar 0.53. Nilai koefisien dugaan variabel harga riil kedelai impor sebesar 0.38. Hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan harga riil kedelai impor sebesar satu ton, maka harga riil kedelai lokal akan meningkat sebesar 0.38 hektar, demikian sebaliknya,
83
cateris paribus. Koefisien dugaan yang positif menunjukkan bahwa peningkatan harga riil kedelai impor akan merangsang peningkatan harga riil kedelai lokal. Kondisi ini menunjukkan bahwa sangat besar pengaruh peningkatan harga riil kedelai impor terhadap harga riil kedelai lokal. Hal ini sesuai dengan observasi di tingkat industri bahwa ketentuan harga kedelai lokal berdasarkan mekanisme pasar dengan mengikuti harga kedelai impor dengan harga kedelai lokal sedikit diatas harga impor. Jika harga kedelai impor murah, maka akan merugikan petani karena kedelainya dihargai murah sehingga tidak dapat menutupi ongkos usahatani. Nilai koefisien dugaan variabel volume kedelai impor sebesar -0.0003. Hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan volume kedelai impor sebesar satu ton, maka harga riil kedelai lokal akan menurun sebesar 0.0003 rupiah per ton walaupun nilai koefisiennya sangat kecil, cateris paribus. Koefisien dugaan bernilai negatif yang berarti peningkatan volume kedelai impor akan menurunkan harga riil kedelai lokal. Hal ini diduga dengan banyaknya kedelai impor yang masuk ke Indonesia dengan harga lebih murah, maka industri olahan lebih memilih kedelai impor yang kualitasnya lebih baik, sehingga harga kedelai lokal sulit bersaing. Peubah bedakala berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai lokal tahun sebelumnya dengan nilai koefisien dugaannya sebesar 0.39. Artinya jika terjadi peningkatan harga riil kedelai lokal pada tahun sebelumnya sebesar satu rupiah per kilogram, maka akan meningkatkan harga riil kedelai lokal sebesar 0.39 rupiah per kilogram, demikian sebaliknya, cateris paribus. Apabila harga kedelai lokal tahun sebelumnya menguntungkan petani, maka di tahun berikutnya petani akan menanam kedelai kembali.
6.3.4. Harga Kedelai Tingkat Produsen Nilai koefisien determinasi (R2) dari model harga kedelai tingkat produsen sebesar 0.5953, artinya keragaman dari variabel endogen mampu diterangkan oleh peubahpeubah eksogen
di dalam model, yakni produksi, volume impor,
konsumsi,
dummy monopoli Bulog dan harga di tingkat produsen tahun sebelumnya sebesar 59.53 persen. Sedangkan sisanya 40.47 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain
84
yang tidak terdapat di dalam model. Hasil pendugaan parameter harga kedelai tingkat produsen dapat dilihat pada Tabel 10. Dari hasil uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 6.77, lebih besar dari F tabel sebesar 2.64 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini menunjukkan bahwa peubahpeubah eksogen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai tingkat produsen. Tabel 10. Hasil Dugaan Parameter Harga Kedelai Tingkat Produsen Elastisitas Koefisien t- hitung ProbaNama Dugaan bilitas Pendek Panjang Variabel INT 721.72 4.00 0.00 Intersep QKT -0.0013(d) 1.42 0.17 -1.25 -1.57 Produksi Lokal QIT -0.0012(d) 1.35 0.19 -0.59 -0.75 Volume Kedelai Impor CKT 0.0012(d) 1.36 0.19 1.75 2.20 Jumlah Konsumsi Nasional DBT 218.644(a) 2.20 0.04 0.23 0.29 Dummy Monopoli Bulog LPPT 0.2022 c) 1.50 0.15 Lag Harga Riil Tingkat Produsen R-Sq 0.60 R-Sq Adj 0.51 F-hit 6.77 D W Stat 2.01 Dh -0.03 Variabel
Keterangan : (a) nyata pada taraf α = 0.05 (d) nyata pada taraf α = 0.20
(c) nyata pada taraf α = 0.15
Dari hasil uji statistik t dapat dilihat bahwa produksi, volume impor dan konsumsi kedelai berpengaruh nyata terhadap harga riil tingkat produsen pada taraf dua puluh persen. Dummy monopoli Bulog dan harga riil tingkat produsen berpengaruh nyata terhadap pada taraf lima dan lima belas persen. Dalam penelitian ini juga membuktikan bahwa peubah produksi kedelai Indonesia sebesar –0.0013. Artinya jika terjadi kenaikan produksi sebesar satu satu ton, maka akan menurunkan harga riil tingkat produsen sebesar 0.0013 rupiah per kilogram, cateris paribus, dan sebaliknya. Produksi kedelai Indonesia bersifat elastis, baik untuk jangka pendek (-1.25) maupun jangka panjang (-1.57). Hal ini menunjukkan bahwa jika produksi naik sebesar satu persen, cateris paribus, maka harga riil di tingkat produsen akan turun sebesar 1.25 dalam jangka pendek dan 1.57 persen dalam jangka panjang.
85
Nilai koefisien dugaan volume impor kedelai Indonesia sebesar -0.0012, artinya apabila volume impor naik sebesar satu ton, maka harga riil di tingkat produsen akan turun sebesar 0.0012 rupiah per kilogram, sebaliknya apabila volume impor turun sebesar satu ton, maka harga riil di tingkat produsen akan naik sebesar 0.0013 rupiah per kilogram, cateris paribus. Berdasarkan nilai elastisnya, maka harga riil di tingkat produsen tidak responsif terhadap perubahan volume impor baik pada jangka pendek (-0.59) maupun jangka panjang (-0.75). Nilai koefisien dugaan konsumsi kedelai Indonesia sebesar 0.0012, artinya apabila konsumsi bertambah sebesar satu ton, maka harga riil kedelai di tingkat produsen akan meningkat sebesar 0.0012 rupiah per kilogram, sebaliknya apabila konsumsi menurun sebesar satu ton, maka akan menyebabkan turunnya harga riil di tingkat produsen sebesar 0.0012 rupiah per kilogram, cateris paribus. Berdasarkan nilai elastisnya, harga riil di tingkat produsen responsif terhadap perubahan konsumsi baik pada jangka pendek (1.75) maupun jangka panjang (2.20). Hal ini berarti jika konsumsi meningkat sebesar satu persen, cateris paribus, maka harga riil di tingkat produsen akan meningkat sebesar 1.75 pada jangka pendek dan 2.20 pada jangka panjang. Konsumsi kedelai ini lebih dititik beratkan pada penggunaan kedelai untuk industri olahan : tahu, tempe dan kecap, karena merupakan konsumsi terbesar. Konsumsi kedelai untuk industri olahan disesuaikan dengan spesifikasi produk yang diminta. Menurut Saptana (1993) dan berdasarkan observasi pada industri olahan bahwa industri tahu menginginkan kedelai yang mengandung sari kedelai yang lebih tinggi dan tidak mempermasalahkan ukuran biji besar sampai kecil. Namun berdasarkan observasi, industri tahu lebih menginginkan kedelai lokal karena kedelainya masih baru dan menghasilkan tahu dengan citarasa khas yang lebih enak (Lampiran 19). Berdasarkan penelitian Hartati (1999), gumpalan sari kedelai yang terbentuk setelah diberi koagulan yang terbanyak dan cepat terbentuk adalah dari kedelai lokal, sehingga tahu yang dihasilkan lebih banyak. Hal ini disebabkan kedelai lokal mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai impor.
86
Berdasarkan analisa proksimat yang dilakukannya, kedelai lokal dan impor masingmasing mengandung kadar air 14.1 dan 11.3, kadar protein 34.1 dan 25.4 dan kadar lemak 19.9 dan 18.1 (persen basis kering). Warna tahu yang dihasilkan dari kedelai lokal dan impor tidak berbeda, walaupun sebagian biji kedelai lokal berwarna hijau. Pada saat pembuatan tahu, kandungan klorofil yang menyebabkan warna hijau tersebut akan larut dalam air. Tahu dari kedelai lokal lebih keras dibandingkan dari kedelai impor dan campuran, dikarenakan protein dari kedelai lokal lebih banyak tergumpalkan, sehingga tahu yang dihasilkan lebih padat. Untuk industri tempe memerlukan biji kedelai yang berukuran sedang sampai besar dengan kualitas baik dan tidak dicampur tanah atau krikil yang diberi warna seperti halnya kedelai. Sebagian besar industri tempe lebih menyukai kedelai impor karena warna biji dan kualitasnya seragam, ukuran biji besar dan kadar airnya rendah, sehingga jika kedelai direndam akan lebih banyak menyerap air (lebih mengembang), sehingga menghasilkan produk tempe lebih banyak (Lampiran 20). Menurut penelitian Aryanie (1999), kedelai lokal dan impor masing-masing mengandung kadar air 15.06 dan 10.92, kadar protein 32.55 dan 29.95 dan kadar lemak 19.60 dan 22.10 (persen basis kering). Berdasar uji organoleptik yang dilakukannya, kedelai impor lebih disukai dari kedelai lokal karena tempe yang dihasilkan bertekstur lebih empuk. Hal ini disebabkan ukuran biji kedelai lokal lebih kecil sehingga dengan satuan volume yang sama, penggunaan kedelai lokal lebih banyak yang mengakibatkan tempe dari kedelai lokal lebih padat dan kurang empuk.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sudaryanto (1996) yang mengatakan
bahwa preferensi konsumen lebih cenderung kepada kedelai impor karena kualitasnya lebih baik, ukuran biji relatif besar dan seragam, serta harganya lebih murah. Industri tempe lebih menyukai kedelai impor, karena rendemennya lebih tinggi, sedangkan industri tahu lebih menyukai kedelai lokal karena kadar sari kedelainya tinggi. Sementara industri kecap menginginkan bahan baku kedelai hitam sesuai dengan keinginan konsumen. Berdasarkan hasil observasi ke beberapa industri kecap,
87
bahan baku yang lebih disukai adalah kedelai hitam lokal, karena kecap yang dihasilkan memiliki citarasa khas (Lampiran 21). Namun data produksi kedelai hitam secara nasional sulit diperoleh dan sebagian besar petani menanam kedelai hitam bermitra langsung dengan industri kecap. Variabel dummy monopoli Bulog juga berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai di tingkat produsen dengan nilai koefisien dugaan positif. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya monopoli Bulog akan menyebabkan harga riil kedelai di tingkat produsen meningkat. Hal ini akan berakibat timbulnya minat petani untuk menanam kedelai kembali dengan harapan akan memperoleh keuntungan yang wajar. Pada awal tahun delapan puluhan Bulog berperan dalam menstabilkan harga kedelai dalam negeri, melalui pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya adalah untuk menjamin ketersediaan kedelai terutama bagi industri tahu dan tempe, khususnya bagi anggota Kopti. Walaupun peran Bulog dalam pengadaan kedelai dalam negeri hanya berlangsung tiga tahun dan jumlahnya sangat kecil atau kurang satu persen dari produksi kedelai dalam negeri, namun dari hasil penelitian menunjukkan peran Bulog berpengaruh positif terhadap harga kedelai di tingkat produsen. Hal ini diduga harga dari Bulog akan menjadi pedoman bagi harga di tingkat produsen diluar transaksi Bulog. Pada masa Bulog masih mengelola kedelai, kebijakan kuota dapat diterapkan, sehingga volume impor dapat dikendalikan. Pada era perdagangan bebas tahun 1998, kebijakan kuota impor tidak dapat lagi diterapkan, sehingga pemerintah hanya dapat memberlakukan kebijakan tarif.
Pemerintah telah melakukan
liberalisasi sepenuhnya atas perdagangan dan distribusi berbagai komoditi yang sebelumnya ditangani Bulog. Pada September 1998, Bulog telah melepaskan kontrolnya atas gula, gandum dan kacang-kacangan impor, termasuk kedelai.
Satu-satunya komoditi yang masih
berada dalam pengawasan Bulog adalah beras, karena merupakan komoditi yang
88
sensitif bagi perekonomian Indonesia. Sejak itu Bulog tidak lagi memonopoli kedelai, maka harga impor kedelai semakin rendah. Sebagai akibatnya banyak industri olahan kedelai
menggunakan kedelai impor. Hal ini mengakibatkan
lesunya produksi kedelai lokal. Peubah lain yang juga berpengaruh nyata adalah harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya, dengan nilai koefisien dugaan sebesar 0.20. Artinya jika terjadi peningkatan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya sebesar satu rupiah per kilogram akan menyebabkan peningkatan harga riil kedelai di tingkat produsen sebesar 0.20 rupiah per kilogram, dan sebaliknya, jika terjadi penurunan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya sebesar satu rupiah per kilogram akan menyebabkan penurunan harga riil kedelai di tingkat produsen sebesar 0.20 rupiah per kilogram, cateris paribus, dan sebaliknya. Pada umumnya produsen/petani akan menanam kedelai jika harga jual di tahun sebelumnya baik, demikian sebaliknya.
6.3.5. Volume Impor Kedelai Nilai koefisien determinasi dari model volume impor kedelai Indonesia sebesar 0.9956 artinya keragaman dari peubah endogen mampu diterangkan oleh peubahpeubah eksogen
di dalam model, yakni harga kedelai internasional, produksi,
konsumsi, populasi penduduk Indonesia dan harga riil impor tahun sebelumnya sebesar 99.56 persen. Sedangkan sisanya 0.44 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil pendugaan parameter volume impor kedelai dapat dilihat pada Tabel 11. Dari hasil uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 1033.80, lebih besar dari F tabel sebesar 2,64 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini menunjukkan bahwa peubahpeubah eksogen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap volume impor kedelai Indonesia.
89
Tabel 11. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Volume Impor Kedelai Variabel
Koefisien t- hitung ProbaElastisitas Dugaan bilitas Pendek Panjang INT -48955.70 0.46 0.65 PLT -39.10 0.73 0.47 -0.05 -0.05 QKT -0.9406(a) 25.96 0.00 -1.93 -1.93 CKT 0.9332(a) 23.44 0.00 2.84 2.84 POPT 0.00 0.97 0.34 0.28 0.28 DPIT -23699.00 1.03 0.31 -33.73 -33.73 R-Sq 1.00 R-Sq Adj 0.99 F-hit 1033.80 D W Stat 2.59 Dh
Nama Variabel Intersep Harga Riil Kedelai Internasional Produksi Kedelai Jumlah Konsumsi Nasional Populasi Penduduk Indonesia Harga Riil Kedelai Impor
Keterangan : (a) nyata pada taraf α = 0.05 Berdasarkan hasil uji statistik t dapat dilihat bahwa produksi dan konsumsi kedelai nasional berpengaruh nyata pada taraf lima persen. Harga kedelai internasional, populasi penduduk Indonesia dan harga impor tidak berpengaruh nyata terhadap volume impor. Untuk volume impor tahun sebelumnya memiliki nilai koefisien dugaan negatif dan lebih dari satu, sehingga fungsi persamaan ini tidak memiliki lag, sehingga nilai elastisitasnya akan sama untuk jangka pendek dan jangka panjang. Dalam penelitian ini juga membuktikan bahwa peubah produksi kedelai nasional memiliki nilai koefisien dugaan sebesar –0.9406. Artinya jika terjadi peningkatan produksi nasional sebesar satu ton, maka volume impor akan menurun sebesar 0.9406 ton, cateris paribus, dan sebaliknya. Volume impor responsif terhadap perubahan produksi kedelai. Hal ini ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya, baik pada jangka pendek maupun jangka panjang sebesar – 1.93. Artinya jika volume impor naik sebesar satu persen, cateris paribus, maka produksi kedelai nasional akan turun sebesar 1.93 persen, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini jelas terlihat dari trend produksi kedelai yang menurun sejak tahun 1999 yang berdampak terhadap volume impor yang semakin meningkat setiap tahunnya dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri. Perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran dalam suatu negara. Apabila
90
produksi dan persediaan barang di suatu negara tidak dapat memenuhi permintaan dalam negeri, maka negara tersebut dapat mengimpor dari negara lain. Nilai koefisien dugaan jumlah konsumsi kedelai Indonesia sebesar 0.9332, artinya apabila jumlah konsumsi meningkat sebesar 1 ton, maka volume
impor akan
meningkat sebesar 0.9332 ton, sebaliknya apabila konsumsi kedelai menurun sebesar satu ton, maka akan menyebabkan turunnya volume impor kedelai sebesar 0.9332, cateris paribus. Berdasarkan nilai elastisnya, dapat dilihat bahwa volume impor kedelai responsif terhadap perubahan konsumsi baik pada jangka pendek maupun jangka panjang sebesar 2.84. Artinya jika konsumsi kedelai meningkat sebesar satu persen, cateris paribus, maka volume impor kedelai akan meningkat sebesar 2.84 baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Jumlah konsumsi kedelai ini lebih ditujukan pada pemenuhan permintaan industri olahan kedelai, khususnya tahu dan tempe. Kedelai pada kedua industri ini merupakan faktor produksi utama, yang artinya bahwa kedelai yang digunakan sebagai bahan baku tidak dapat disubstitusi oleh komoditi lain. Dengan berkembangnya jumlah industri dan produksi tahu dan tempe yang semakin lama semakin meningkat akan diikuti oleh peningkatan jumlah konsumsi kedelai oleh kedua industri tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan, harga impor tidak mempengaruhi volume impor kedelai. Hal ini diduga bahwa impor kedelai tetap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang masih kurang. Harga impor saat ini masih dirasakan murah dibandingkan dengan harga kedelai lokal, dikarenakan negara importir memberikan subsidi bagi petani kedelai dan modal lunak bagi importir.
6.3.6. Harga Kedelai Impor Nilai koefisien determinasi dari model harga riil impor kedelai Indonesia sebesar 0.9954, artinya keragaman dari peubah endogen mampu diterangkan oleh peubahpeubah eksogen di dalam model, yakni harga riil kedelai internasional, nilai tukar Rupiah terhadap dolar, dummy monopoli Bulog, tarif impor dan harga riil impor tahun sebelumnya sebesar 99.54 persen. Sedangkan sisanya 0.45 persen
91
diterangkan oleh faktor-faktor lain di luar model. Fungsi pendugaan parameter harga kedelai impor dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan hasil uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 47.25, lebih besar dari F tabel sebesar 2,78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini menunjukkan bahwa peubah-peubah eksogen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga kedelai impor. Dari hasil uji statistik t dapat dilihat bahwa harga riil kedelai internasional, nilai tukar rupiah, tarif dan harga impor tahun sebelumnya berpengaruh nyata pada taraf nyata lima, dan dua puluh persen. sedangkan dummy monopoli Bulog tidak berpengaruh nyata. Dalam penelitian ini membuktikan bahwa koefisien dugaan harga kedelai internasional sebesar 1.0158. Artinya jika terjadi kenaikan harga kedelai internasional sebesar satu rupiah per kilogram, maka harga riil kedelai impor akan meningkat sebesar 1.0158 rupiah per kilogram, cateris paribus, dan sebaliknya. Berdasarkan elastisitasnya, harga riil impor tidak responsif terhadap perubahan harga internasional baik untuk jangka pendek (0.86) maupun jangka panjang (0.97). Nilai koefisien dugaan nilai tukar rupiah sebesar 0.0535, artinya setiap kenaikan nilai tukar sebesar satu rupiah per kilogram, per dolar Amerika akan meningkatkan harga riil impor sebesar 0.0535 rupiah per kilogram, cateris paribus. Dari nilai elastisitasnya terlihat bahwa harga riil impor tidak responsif untuk jangka pendek (0.23) maupun jangka panjang (0.26).
92
Tabel 12. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Kedelai Impor Variabel Koefisien t- hitung Dugaan INT -400.30 1.19 PLT 1.0158 (a) 8.77 ERT 0.0535 (d) 1.46 DBT 303.73 1.23 PNT 1.3309 (d) 0.74 LPIT 0.1118 (d) 1.37 R-Sq 0.91 R-Sq Ad 0.89 F-hit 47.25 D W Stat 1.88 Dh 0.32
ProbaElastisitas bilitas Pendek Panjang 0.25 0.00 0.86 0.97 0.16 0.23 0.26 0.23 0.32 0.36 0.65 0.026 0.029 0.18 0.11
Keterangan : (a) nyata pada taraf α = 0.05
Nama Variabel Intersep Harga Riil Kedelai Internasional Nilai Tukar Rupiah thd Dolar Dummy Monopoli Bulog Tarif Impor Kedelai Lag Harga Riil Kedelai Impor
(d) nyata pada taraf α = 0.20
Variabel dummy monopoli Bulog tidak berpengaruh nyata terhadap harga impor. Hal ini menunjukkan bahwa monopoli perdagangan kedelai oleh Bulog
tidak
mempengaruhi harga impor di dalam negeri, namun dummy monopoli Bulog lebih berpengaruh terhadap harga tingkat produsen. Koefisien dugaan tarif impor kedelai sebesar 1.3309. Artinya jika terjadi kenaikan tarif impor sebesar satu persen, maka harga riil impor akan meningkat sebesar 1.3309 rupiah per kilogram,
cateris paribus, dan sebaliknya. Berdasarkan
elastisitasnya, harga riil impor tidak responsif terhadap perubahan harga kedelai internasional baik untuk jangka pendek (0.026) maupun jangka panjang (0.029). Sampai saat ini Indonesia cenderung tetap melakukan impor, karena kebutuhan kedelai dalam negeri melebihi jumlah penawaran yang tersedia. Kerangka model dayasaing kedelai dari peubah-peubah yang berbeda nyata dapat dilihat pada Gambar 7.
7. SIMULASI KEBIJAKAN Simulasi dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauhmana pengaruh suatu kebijakan terhadap perubahan dari peubah endogen yang digunakan. Kebijakan hanya berdampak pada peubah tertentu, tetapi tidak kepada peubah-peubah yang lain. Simulasi pada penelitian ini mempertemukan keinginan petani kedelai dan industri pengolahan kedelai untuk mencari kombinasi kebijakan sebagai alternatif yang efektif dalam mendorong peningkatan produksi kedelai nasional. Target yang ingin dicapai dalam simulasi ini adalah penurunan volume impor sekaligus
peningkatan produksi kedelai nasional dan
penghematan devisa negara.
Simulasi pada penelitian ini berdasarkan data selama kurun waktu 5 tahun (2000 – 2004) adalah (1) harga kedelai tingkat produsen, (2) tarif impor dan (3) kombinasi dari kedua kebijakan tersebut. Besarnya persentase naik dan turunnya simulasi ini mendekati harga riil kedelai impor untuk melihat kemampuan dayasaing kedelai tingkat produsen terhadap impor.
7.1. Kebijakan Harga Kedelai Tingkat Produsen Simulasi harga riil kedelai tingkat produsen diupayakan mendekati harga kedelai impor, yaitu apabila harga tingkat produsen sama dengan impor (PPt = PIt) dan bagaimana jika persentase PPt dinaikkan dan diturunkan. Kebijakan menaikkan Pt bertujuan untuk melindungi pihak produsen/petani, sedangkan menurunkan harga kedelai akan menguntungkan pihak konsumen. Dengan menaikkan/menurunkan harga kedelai tingkat produsen secara wajar, maka diupayakan petani akan memperoleh keuntungan secara layak dan konsumen membeli dengan harga yang terjangkau. Dari data rata-rata selama lima tahun dapat dilihat bahwa PPt lebih tinggi 20.9 persen (Rp 1.050/kg) dari harga kedelai impor (Rp 830/kg).
95
Kenaikan PPt yang disimulasi adalah sebesar 5, 10 dan 20 persen. Kenaikan 20 persen dari PIt merupakan persentase yang paling mendekati PPt sesungguhnya. Kebijakan menurunkan PPt sampai 10 persen sulit diterapkan karena petani akan mengalami kerugian yang besar. Hasil simulasi kebijakan menaikkan PPt dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Simulasi Kenaikan Harga Riil Kedelai Tingkat Produsen
Variabel
Simulasi Dasar
Luas Panen Kedelai (ha) Produktivitas kedelai (ton/ha) Produksi Kedelai (ton) Harga Riil Kedelai Lokal (Rp) Volume Impor Kedelai (ton)
783,906 1.23 961,477 1,047.30 1,083,929
% Simulasi PPt = PIt (828.60) -5.02 0.00 -5.02 -1.57 4.24
% Simulasi PPt Naik 5% 10% 20% -3.36 -1.70 1.63 0.00 0.00 0.00 -3.36 -1.70 1.63 -0.56 0.43 2.44 2.85 1.47 -1.31
Keterangan : PPt = harga riil kedelai tingkat produsen PIt = harga riil kedelai impor 828.60 = harga riil tingkat produsen sama dengan harga impor Tabel 13 menunjukkan bahwa dengan simulasi kebijakan PPt sama dengan PIt, maka PPt mengalami penurunan sebesar 1.57 persen (dari Rp 828.60/kg menjadi Rp 783.91/kg), sehingga petani kurang berminat untuk menanam kedelai yang berakibat pada penurunan luas panen dan produksi kedelai sebesar 5.02 persen. Volume impor mengalami peningkatan sebesar 4.2 persen, diduga dengan murahnya harga impor kedelai, maka volume impor kedelai meningkat.
Dengan naiknya PPt menunjukkan adanya peningkatan luas panen, produksi kedelai dan harga riil kedelai lokal. Sebaliknya, semakin besar persentase PPt, maka volume impor semakin menurun. Hal ini diduga dengan membaiknya harga kedelai lokal, maka meningkatnya minat petani untuk menanam kedelai, sehingga luas panen dan produksi kedelai semakin meningkat yang berakibat jumlah kedelai impor yang dibutuhkan akan semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemerintah berupaya untuk meningkatkan produksi kedelai lokal dan pendapatan petani, maka pemerintah perlu
96
mengambil kebijaksanaan penentuan harga dasar kedelai. Kebijaksanaan ini sangat menguntungkan dari sisi penawaran dan petani.
Agar kedelai tingkat produsen dapat memiliki dayasaing, produsen harus meningkatkan kualitas biji dengan mengembangkan benih varietas unggul bermutu dan berbiji besar, sehingga produktivitas
dapat ditingkatkan dan
kualitas biji dapat menyamai kedelai impor. Selain itu perlu dipertimbangkan dari segi harga. Apabila harga kedelai tingkat produsen tidak mampu bersaing dengan kedelai impor yang lebih murah, sedangkan proteksi impor sulit dilakukan, maka perlu dilakukan efisiensi biaya produksi dan segementasi penggunaan kedelai pada industri olahan.
Efisiensi biaya produksi dilakukan dengan pengurangan biaya olah tanah dan penyiangan serta saat panen. Efisiensi pada pertanaman kedelai ditanam di lahan sawah setelah padi dapat dilakukan, karena lahan tersebut tidak perlu diolah kembali, yaitu dengan menggunakan sistem walik jerami dan biji kedelai langsung ditanam dan jerami digunakan untuk menutupi lahan, sehingga gulma tidak dapat tumbuh (Suprapto, 2004).
Efisiensi dengan menggunakan alat dan mesin pertanian (alsintan) olah tanah dan ternak jarang dilakukan untuk pertanaman kedelai, tetapi dilakukan untuk tanaman padi. Kedelai ditanam di lahan sawah dan lahan kering pada saat memasuki musim kemarau. Menurut penelitian Badan Litbang Pertanian dan IRRI (1996) bahwa dalam satu hektar penggunaan traktor dapat menghemat tenaga kerja sebanyak 242 jam atau 30 HOK pada musim hujan dan 129 jam atau 16 HOK pada musim kemarau. Penggunaan ternak pada musim hujan dapat menghemat tenaga kerja sebanyak 130 jam atau 16 HOK pada musim hujan, namum pada musim kemarau penggunaan ternak jarang dilakukan. Kendala yang dihadapi dalam menunjang penggunaan alsintan olah tanah adalah luas kepemilikan lahan petani yang sempit dan tidak adanya jalan menuju petak lahan. Penggunaan traktor dilakukan di lahan-lahan yang luas, seperti pada lahan bukaan baru.
97
Efisiensi lebih tepat dilakukan pada saat penanganan pasca panen dengan menggunakan threser yang akan mengurangi kehilangan hasil panen. Menurut Ananto, et al. (1992) bahwa penggunaan threser mampu menekan kehilangan hasil dari 5 persen menjadi 0.17 persen.
Berdasarkan hasil observasi ke industri tahu, tempe dan kecap, keinginan bahan baku kedelai pada industri olahan (tahu dan tempe) berbeda, sehingga perlu dilakukan
segmentasi
penggunaan
biji
kedelai.
Industri
tahu
lebih
menginginkan kedelai lokal karena rendemen (sari kedelai) yang dihasilkan lebih tinggi, sehingga akan menghasilkan tahu lebih banyak dengan citarasa yang khas (Lampiran 19). Oleh karena itu, pengembangan kedelai lokal lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri tahu. Demikian pula untuk industri kecap lebih menyukai kedelai lokal (Lampiran 21). Industri tempe lebih menyukai biji kedelai berukuran besar dan kualitas seragam yang dipenuhi dari kedelai impor (Lampiran 20), maka segmentasi kedelai impor lebih kepada industri tempe dan perlu dikembangkan penanaman kedelai varietas biji besar.
Untuk mengetahui pengaruh dayasaing kedelai lokal terhadap impor, jika harga kedelai tingkat produsen di bawah harga impor, maka simulasi dilakukan dengan menurunkan PDt sebesar 5 dan 10 persen dari harga riil kedelai impor, seperti pada Tabel 14.
Dari hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan penurunan PPt 5 dan 10 persen dari PMt, maka harga riil kedelai lokal mengalami penurunan sebesar 2.57 dan 3.57 persen, sehingga petani kurang berminat untuk menanam kedelai yang berakibat pada penurunan luas panen dan produksi kedelai sebesar 6.68 dan 8.34 persen. Volume impor mengalami peningkatan sebesar 5.62 dan 7.10 persen. Semakin besar penurunan harga riil kedelai tingkat petani, maka luas panen dan produksi kedelai semakin menurun karena petani tidak berminat menanam kedelai.
98
Tabel 14. Simulasi Penurunan Harga Riil Kedelai Tingkat Produsen % Simulasi % Simulasi PPt Turun Variabel PPt = PIt (828.60) 5% 10% Luas Panen Kedelai (ha) 783,906 -5.02 -6.68 -8.34 Produktivitas Kedelai (ton/ha) 1.23 0.00 0.00 0.00 Produksi Kedelai (ton) 961,477 -5.02 -6.68 -8.34 Harga Riil Kedelai Lokal (Rp) 1,047.30 -1.57 -2.57 -3.57 Volume Impor Kedelai (ton) 1,083,929 4.24 5.62 7.01 Harga Kedelai Impor (Rp) 828.6 9.69 9.69 9.69 Harga Tingkat Produsen (Rp) 799.9 -0.18 0.08 0.31 Keterangan : PPt = harga riil kedelai tingkat produsen PIt = harga riil kedelai impor 828.60 = harga riil tingkat produsen sama dengan harga impor Simulasi Dasar
Penurunan harga ini akan menyulitkan petani, kecuali apabila pemerintah memberikan subsidi sarana produksi (benih dan pupuk), sehingga biaya produksi petani dapat ditekan. Kebijakan harga dasar ini lebih berdampak pada peningkatan luas panen, produksi dan produktivitas daripada peningkatan permintaan dan impor kedelai. Implikasi pada peningkatan luas panen, produksi dan produktivitas adalah persentase peningkatan permintaan tertinggi untuk berusahatani adalah benih. Hal ini disebabkan apabila terjadi peningkatan luas panen, maka kebutuhan penggunaan benih menjadi lebih banyak.
7.2. Kebijakan Tarif Impor Kedelai Kebijakan ekonomi menyangkut perdagangan luar negeri diperlukan, selain untuk melindungi produsen, juga melindungi konsumen dalam negeri. Kebijakan tarif impor kedelai bertujuan untuk melindungi produsen dalam negeri, walaupun pada sisi lain kebijakan ini sering merugikan konsumen dalam negeri. Berdasarkan kesepakatan dengan WTO bahwa tarif impor tidak boleh lebih dari 27 persen. Pemerintah menetapkan tarif maksimal sesuai kesepakatan WTO agar dapat meningkatkan secara efektif penerimaan pemerintah dari pajak. Dengan adanya tarif ini akan menghambat laju volume impor.
99
Berdasarkan model ekonometrika yang telah diuraikan sebelumnya bahwa tarif impor
berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai impor. Hal ini
menunjukkan bahwa harga riil kedelai impor dipengaruhi oleh besarnya tarif impor. Pemerintah memandang tetap perlu melakukan kebijakan pengenaan tarif impor sebelum rencana liberalisasi benar-benar diterapkan pada tahun 2010, guna membendung derasnya kedelai impor masuk ke Indonesia dan dalam upaya meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Namun kondisi saat ini tarif dinaikkan dan harga impor kedelai menjadi lebih tinggi, namun Indonesia cenderung tetap melakukan impor dalam jumlah besar, dikarenakan kebutuhan kedelai dalam negeri melebihi jumlah penawaran yang tersedia. Hasil simulasi tarif impor kedelai dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Simulasi Tarif Impor Kedelai
Variabel Luas Panen Kedelai (ha) Produktivitas Kedelai (ton/ha) Produksi Kedelai (ton) Harga Riil Kedelai Lokal (Rp) Harga Riil Tingkat Produsen (Rp) Volume Impor Kedelai (ton)
Simulasi Dasar 838,285 1.28 1,028,173 1,106.4 784.60 1,021.730
Simulasi Tarif Impor 10% 20% 2.31 6.94 0.00 0.01 2.54 6.94 1.34 5.64 0.71 1.91 (2.16) (5.74)
Dari hasil simulasi dapat dilihat bahwa kenaikan tarif impor sebesar 10 dan 20 persen akan meningkatkan luas panen, produktivitas dan produksi kedelai kedelai. Dengan dikenakannya tarif impor, mengakibatkan meningkatnya harga riil kedelai lokal dan harga riil tingkat produsen, sehingga petani berminat kembali untuk menanam kedelai. Implikasi dari hal tersebut adalah terjadinya peningkatan luas panen dan produksi kedelai.
Jika era globalisasi benar-benar dilaksanakan pada tahun 2010, maka penghapusan tarif impor pada masa yang akan datang berdampak pada peningkatan volume impor dan permintaan kedelai impor. Penghapusan tarif
100
impor akan mengakibatkan harga kedelai impor menjadi lebih murah, sehingga terjadinya peningkatan volume impor.
7.3. Kombinasi Harga Kedelai Tingkat Produsen dan Tarif Impor Dari kedua simulasi yang dapat menghasilkan kombinasi yang memungkinkan untuk dapat diterapkan adalah kebijakan harga kedelai tingkat produsen dan tarif impor naik sebesar 20 persen (Tabel 16). Dari tabel dapat dilihat bahwa semua peubah mengalami peningkatan, kecuali untuk harga kedelai impor mengalami penurunan. Kombinasi kebijakan ini dapat meningkatkan luas panen, produksi dan produktivitas masing-masing sebesar 15.97 persen, 15.97 persen dan 0.01 persen. Demikian pula dengan harga kedelai lokal dan tingkat produsen mengalami peningkatan sebesar 11.09 persen dan 1.91 persen. Volume impor tetap menurun sebesar 13.28 persen. Dengan demikian kombinasi dari kedua kebijakan ini akan mendorong petani produsen untuk meningkatkan luas areal panen dan produktivitasnya.
Tabel 16. Kombinasi Simulasi Harga Kedelai Tingkat Produsen dan Tarif Impor Naik Sebesar 20 %
Variabel
Simulasi Dasar
Luas Panen Kedelai (ha) Produktivitas Kedelai (ton/ha) Produksi Kedelai (ton) Harga Riil Kedelai Lokal (Rp) Harga Riil Tingkat Produsen (Rp) Volume ImporKedelai (ton)
783,906 1.23 961,477 1,047.30 799.90 1,083,929
Simulasi Harga Produsen dan Tarif Impor Naik 20 % Nominal Persentase Perubahan 909,114 15.97 1.23 0.001 1,115,025 15.97 1,163 11.09 781.80 1.91 940,036 -13.28
8. PROGRAM PENGEMBANGAN KEDELAI
8.1. Analisis Kebijakan Kedelai merupakan salah satu komoditi palawija yang termasuk dalam kebijakan pengadaan pangan melalui upaya peningkatan produksi.
Saat ini pemerintah
berencana untuk berswasembada kedelai pada tahun 2011. Pemilihan komoditi kedelai dalam kebijakan pangan didasarkan pada kemampuannya untuk diolah menjadi berbagai macam produk makanan dengan harga yang relatif rendah, sehingga mampu dibeli oleh masyarakat golongan menengah ke bawah.
Kebutuhan kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa faktor penyebab meningkatnya kebutuhan kedelai adalah konsumsi yang terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, membaiknya pendapatan per kapita, meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi makanan dan berkembangnya industri pengolahan berbahan baku kedelai. Produksi kedelai beberapa tahun belakangan ini cenderung menurun tajam, sejalan dengan menurunnya luas panen setiap tahunnya.
Dalam rangka peningkatan produksi, Pemerintah telah berupaya dengan lakukan berbagai macam program. Implementasi berbagai program tersebut diantaranya program Bimas (Bimbingan Masal), Inmas (Intensifikasi Masal), Inmum (Intensifikasi Umum), Insus (Intensifikasi Khusus), Supra Insus, kemudian program Operasi Khusus (Opsus) kedelai yang diterapkan sampai tahun 1986. Program berikutnya adalah Gema Palagung melalui peningkatan Indeks Pertanaman (IP). Terakhir pada tahun 2004 dilakukan program Pengembangan Kedelai Intensif (Bangkit Kedelai) yang direncanakan pada 2011 Indonesia dapat berswasembada kedelai dengan produksi dapat mencapai + 2 juta ton.
Komoditi kedelai mulai mendapat perhatian lebih besar terutama sejak Pelita IV, yaitu setelah pemerintah mampu berswasembada beras pada tahun 1984 dan
102
permintaan kedelai dalam negeri terus meningkat, sehingga untuk memenuhi kekurangannya dilakukan impor.
Upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan produksi kedelai melalui : (1)
Intensifikasi merupakan upaya peningkatan produksi total melalui subsidi input produksi dan penggunaan benih unggul.
(2)
Ekstensifikasi merupakan upaya peningkatan produksi total melalui perluasan areal tanam yang diprioritaskan di lahan sawah irigasi, tadah hujan dan lahan marginal.
(3)
Penetapan harga dasar untuk menciptakan harga yang layak dan menarik bagi petani, sehingga petani tertarik untuk meningkatkan produksinya.
Kebijakan intensifikasi secara nasional pernah dilakukan pemerintah, misalnya pada tahun 1985, sehingga pengelolaan lahan di Jawa, Sumatera dan Sulawesi dilakukan secara intensifikasi. Kebijakan harga dasar pernah dilakukan pemerintah untuk menaikkan harga jual petani, misalnya pada tahun 1980 ditetapkan harga dasar pupuk urea Rp 70/kg dan tahun 1990 menjadi Rp 165/kg. Kebijakan penetapan harga dasar kedelai dilakukan selama lima Pelita dan dilakukan penyesuaian-penyesuaian, yaitu pada tahun 1969, 1973, 1974, 1978, 1979, 1983, 1984, 1988 dan 1990. Pada tahun 1988 harga dasar kedelai Rp 733/kg menjadi Rp 889/kg pada tahun 1990.
Kebijakan perdagangan kedelai pernah dilakukan pemerintah sejak tahun 1997 melalui Bulog dengan melakukan impor terbatas dengan menyesuaikan volume impor dengan kebutuhan. Disamping itu, di dalam negeri pemerintah melalui Bulog melakukan kebijakan perdagangan yang penyalurannya melalui Kopti dan Non Kopti untuk menjaga stabilitas harga dengan tetap memperhatikan tingkat harga dasar agar petani tetap meningkatkan produksinya (Amang, 1996). Dengan pengendalian distribusi kedelai impor mampu mengendalikan harga tingkat petani dan distribusinya. Pengendalian ini dilakukan melalui mekanisme pengendalian kedelai impor, karena keunggulan kualitas dan harga, sehingga harganya lebih tinggi. Namun jika harga kedelai impor lebih murah, maka Bulog dapat
103
mengendalikan harga dengan mengurangi distribusi kedelai impor, sehingga harga kedelai dalam negeri dapat terkendali dengan baik.
Kebijakan lainnya adalah kebijakan pemerintah melalui Bulog terhadap industri olahan kedelai adalah penetapan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 persen dari harga satuan. Pajak ini digeser dari produsen ke konsumen untuk menaikkan harga jual (Amang, 1996). Kenaikan harga jual produk-produk olahan kedelai akan mempengaruhi konsumsi, dan tentunya akan mempengaruhi permintaan kedelai nasional.
Menurut penelitian Siregar (2003), kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, namun mempunyai keunggulan dayasaing dari segi finansial. Terdapat tiga faktor penting yang menentukan daya saing kedelai dari segi finansial, yaitu : (1)
Harga internasional. Titik impas harga internasional (CIF) sebesar US $ 244/ton kedelai akan memberikan dayasaing kedelai lokal, cateris paribus.
(2)
Nilai tukar dolar terhadap rupiah. Komoditi kedelai akan memiliki dayasaing finansial jika nilai tukar dolar terhadap rupiah Rp 7.765/ US $, ceteris paribus.
(3)
Produktivitas. Keunggulan finansial dapat ditingkatkan jika produktivitas kedelai juga dapat ditingkatkan. Titik impas produktivitas kedelai sekitar 1.5 ton/ha, ceteris paribus. Sebenarnya kenaikan produktivitas sebesar itu tidak sulit dicapai dengan dilakukannya perbaikan teknologi, yaitu dengan penggunaan benih unggul bermutu dan pupuk berimbang.
Produktivitas rata-rata nasional yang dicapai saat ini (2004) masih rendah, yaitu 1.28 ton/ha. Hasil penelitian Puslitbangtan menunjukkan bahwa + 13 varietas yang dilepas mempunyai produktivitas 1.5 – 2.5 ton/ha. Menurut Sudaryanto, dkk. (2004) bahwa rendahnya produktivitas aktual komoditi kedelai yang dicapai diduga disebabkan : (1)
Tidak adanya kepastian harga di tingkat petani.
104
(2)
Penghapusan subsidi sarana produksi menyebabkan biaya produksi meningkat.
(3)
Sebagian petani tidak mampu menerapkan teknologi usahatani secara baik.
Berdasarkan hasil kajian Sumarno, dkk. (1998) terdapat lima kendala utama yang menunjukkan masih kurangnya ketersediaan teknologi budidaya spesifik lokasi dan rendahnya adopsi teknologi oleh petani dalam pengembangan kedelai di Indonesia, yaitu : (1)
Hama dan penyakit tanaman. Tanaman kedelai sangat rawan penyakit dari awal penanaman sampai dengan waktu panen.
(2)
Pemupukan tanaman. Sebagian besar petani belum menggunakan pupuk berimbang.
(3)
Kendala genetik. Varietas baru perlu beradaptasi di lingkungan baru.
(4)
Manajemen irigasi dan drainase. Tanaman kedelai rentan terhadap kekurangan air dan sekaligus kelebihan air.
(5)
Cara tanam. Petani melakukan cara tanam disebar dan tidak secara larikan.
Menurut hasil studi dayasaing yang dilakukan Suryana, dkk. (2005) menunjukkan bahwa usahatani kedelai di Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif yang rendah, baik secara tradisional dan komersial untuk rezim pasar pada perdagangan antar wilayah (IRT), substitusi impor (IS) dan promosi ekspor (EP). Hal ini diperlihatkan oleh nilai RCR (Researce Cost Ratio) yang lebih besar dari satu. Artinya untuk memperoleh penerimaan 1 US $ diperlukan biaya lebih dari US $ 1. Untuk usahatani kedelai secara tradisional, RCR dari IRT 1.52; IS 1.43; dan EP 2.18. Untuk usahatani kedelai secara komersial, RCR dari IRT 1.27; IS 1.18; dan EP 1.91.
Menurut Sudaryanto (2001), untuk mencapai titik impas efisiensi ekonomi (RCR = 1) dibutuhkan peningkatan produktivitas sekitar 70 persen. Upaya peningkatan produktivitas merupakan strategi yang memiliki potensi dan peluang yang harus terus diupayakan. Pengembangan kedelai lebih tepat diarahkan pada upaya pemenuhan kebutuhan domestik (substitusi impor) dan arah pengembangannya ke
105
wilayah luar Jawa. Wilayah pengembangan kedelai perlu mempertimbangkan kesesuaian lahan dan faktor sosial ekonomi.
Disamping peningkatan produktivitas, tindakan strategis yang perlu terus diupayakan adalah peningkatan stabilitas hasil dan penekanan kehilangan hasil saat panen dan pengolahan hasil. Pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan manajemen usahatani serta penanganan panen dan pasca panen memiliki potensi dan peluang peningkatan produksi yang cukup besar. Program penyuluhan dan pengembangan kedelai perlu diarahkan untuk ketiga aspek tersebut dalam menunjang keberhasilan pengembangan kedelai.
Untuk memperoleh kemampuan dayasaing yang tinggi, pengembangan kedelai diarahkan pada peningkatan produksi, perbaikan mutu dan dayaguna produk olahan yang mampu bersaing dengan komoditi non kedelai. Disamping itu dibutuhkan dukungan untuk melindungi harga kedelai petani dan kebijakan pemberlakuan tarif impor. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Malian (2004) bahwa pemerintah perlu melakukan proteksi terhadap komoditas substitusi impor, khususnya komoditi yang banyak diusahakan petani agar 80 persen dari kebutuhan nasional dapat dipenuhi dari dalam negeri untuk jangka menengah dan jangka panjang.
Ketergantungan
konsumsi
kedelai
yang
cukup
besar
berdampak
pada
ketergantungan terhadap kedelai impor apabila produksi di dalam negeri tidak mengalami peningkatan secara nyata. Sementara itu kedelai impor disinyalir menggunakan teknologi transgenik yang keamanannya bagi kesehatan manusia masih pro dan kontra. Produk transgenik dalam tubuh akan menyebabkan karsinogenik (kanker) (YLKI, 2002).
Untuk itu, perlu adanya program dan
dukungan nyata bagi peningkatan produktivitas dan produksi kedelai berupa kebijakan-kebijakan strategis. Upaya terobosan sangat diperlukan dalam rangka menghambat laju ketergantungan terhadap impor kedelai. Untuk mencapai hal tersebut perlu disusun strategi kebijakan secara jangka pendek dan jangka panjang.
106
Strategi kebijakan jangka pendek yang dapat ditempuh antara lain dengan: (1) Penciptaan teknologi spesifik lokasi. (2) Peningkatan produktivitas dan produksi kedelai. (3) Perbaikan kualitas kedelai lokal. (4) Pengaturan harga dan efisiensi pemasaran. (5) Pengaturan keterkaitan harga internasional dan nasional. Strategi kebijakan jangka panjang adalah mengupayakan tercapainya swasembada kedelai, yaitu produksi kedelai lokal dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.
8.2. Strategi Kebijakan Jangka Pendek 8.2.1. Penciptaan Teknologi Spesifik Lokasi Penciptaan teknologi spesifik lokasi melalui dukungan penelitian yang mantap diharapkan dapat meningkatkan produksi kedelai dan pada gilirannya diharapkan mampu menekan tingkat ketergantungan terhadap kedelai impor. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2005) di Indonesia terdapat 2,5 juta hektar lahan kering potensial yang dapat diberdayakan untuk pengembangan kedelai. Pada tahun 2001-2004 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan telah melepas varietas unggul yang adaptif pada lahan kering masam di Sumatera dan Kalimantan, yaitu varietas Tanggamus, Sibayak, Nanti, Ratai dan Seulawah yang memiliki potensi produktivitas lebih dari 2 ton/hektar.
Perbaikan kesuburan lahan terutama pada lahan kering masam dapat dilakukan dengan pemberian pupuk hayati yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Kombinasi penggunaan varietas unggul dan penggunaan pupuk hayati ini akan dapat memperluas areal tanam dan meningkatkan produktivitas kedelai.
Kesadaran dan partisipasi petani untuk menerapkan teknologi maju dalam budidaya kedelai perlu ditumbuhkan. Beberapa cara dapat ditempuh untuk mendorong petani mengadopsi teknologi guna meningkatkan produktivitasnya, antara lain : (1) melakukan demplot teknologi maju oleh penyuluh, (2) melakukan pelatihan kelompoktani untuk memahami teknologi budidaya maju oleh penyuluh, (3) diadakannya perlombaan keberhasilan usahatani kedelai, (4) pembentukan
107
semacam ‘gugus kendali mutu’ pada kelompoktani untuk memecahkan permasalahan budidaya secara mandiri, (5) adanya pembinaan berkelanjutan oleh penyuluh dan aparat Pemerintah Daerah. Disamping itu, petani diberi kemudahan mendapatkan sarana produksi oleh pemerintah. Demikian juga, pemasaran hasil panen perlu diawasi/diatur Pemerintah Daerah agar harganya tidak jatuh saat panen raya.
Dalam masalah ketersediaan benih terkadang sulit diadakan pada saat diperlukan. Untuk memperoleh benih dengan daya tumbuh yang masih baik, penyediaan benih kedelai
harus berasal dari penyiapan benih pada musim tanam sebelumnya,
sehingga perlu perencanaan kebutuhan benih yang mantap. Untuk memperlancar proses penyediaan benih hendaknya dapat ditangani oleh penangkar lokal, seperti petani maju dengan bimbingan penyuluh. Penangkar benih lokal harus menyediakan benih dengan memanfaatkan sistem ‘jabalsim’ (jalur benih antarlapang dan antarmusim).
Program peningkatan produksi dan produktivitas perlu didukung perakitan dan pengembangan benih varietas unggul berdaya hasil tinggi (2.5-2.7 ton/ha) dan toleran terhadap cekaman lingkungan. Menurut Marwoto dan Hilman (2005), pada tahun 2001-2004, Badan Litbang Pertanian telah melepas 11 varietas unggul kedelai, yaitu varietas berbiji besar (Anjasmoro, Mahmeru dan Panderman) dan varietas berbiji sedang untuk lahan sawah (Sinabung, Kaba, dan Ijen), untuk lahan kering (Tanggamus, Sibayak, Nanti, Ratai dan Seulawah). Untuk itu dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai, penggunaan benih kedelai harus disesuaikan dengan varietas yang sesuai. Kesadaran dan partisipasi petani perlu ditumbuhkan untuk menerapkan teknologi budidaya maju. Beberapa cara dapat ditempuh untuk mendorong petani mengadopsi teknologi guna meningkatkan produktivitasnya, antara lain dengan melakukan : (1) demplot teknologi maju oleh penyuluh, (2) pelatihan kelompoktani untuk memahami teknologi budidaya maju oleh penyuluh, (3) perlombaan keberhasilan usahatani kedelai, (4) pembentukan semacam ‘gugus kendali mutu’ pada kelompoktani untuk memecahkan permasalahan budidaya secara mandiri, (5)
108
pembinaan berkelanjutan oleh penyuluh dan aparat Pemerintah Daerah. Disamping itu, petani diberi kemudahan mendapatkan sarana produksi oleh pemerintah. Demikian juga, pemasaran hasil panen perlu diawasi Pemerintah Daerah agar harganya tidak jatuh.
8.2.2. Upaya Peningkatan Produksi Kedelai Upaya memenuhi kebutuhan nasional dapat dicapai melalui penambahan luas panen, peningkatan produktivitas dan stabilitas produksi. Untuk itu, sejalan dengan tuntutan pembangunan nasional, pengembangan luas panen secara nasional perlu diarahkan
ke wilayah luar Jawa. Wilayah ini masih memiliki peluang untuk
meningkatkan produktivitas per hektar melalui peningkatan mutu intensifikasi maupun penerapan teknologi spesifik lokasi. Demikian pula potensi perluasan areal panen masih cukup besar, baik di lahan sawah maupun lahan kering yang dilakukan melalui peningkatan indeks pertanaman (IP) dan perluasan areal baru. Upaya perluasan areal tanam perlu dukungan teknologi kedelai yang sangat tergantung jenis lahan dan agroekologi. Dukungan teknologi pada berbagai jenis lahan dapat dilihat pada Tabel 17. Dalam upaya perluasan areal tanam kedelai, kegiatan yang
perlu diutamakan
adalah : (1)
Pemilihan varietas unggul yang sesuai periode tanamnya (crop growing period).
(2)
Penggunaan benih yang bermutu tinggi.
(3)
Penyiapan lahan agar bebas gulma.
(4)
Pengendalian gulma seawal mungkin.
(5)
Sanitasi lingkungan untuk mengurangi semak sebagai sumber hama.
(6)
Penggunaan inokulasi rhizobium untuk mengurangi penggunaan pupuk urea.
(7)
Penyesuaian waktu tanam dengan ketersediaan air.
(8)
Pengendalian hama dan penyakit berdasarkan pemantauan saat pertanaman.
(9)
Penyiapan alat dan tenaga saat panen dan pasca panen.
(10) Ketersediaan pasar dengan harga yang wajar.
109
Tabel 17. Dukungan Teknologi untuk Perluasan Areal Tanam Kedelai Lahan perluasan areal panen Dukungan teknologi Lahan bekas sawah, Varietas unggul adaptif (Wilis, Kerinci, dll) musim kemarau Inokulasi rizobium Teknik budidaya baku kedelai pada lahan sawah (Adisarwanto, et al .,1993; Marwan et al ., 1990) Lahan kehutanan dan perkebunan
Varietas unggul adaptif (Dempo, Raung, Lokon) Inokulasi rizobium Pengapuran bila pH < 5.5 Teknik budidaya baku kedelai pada lahan kering (Sumarno, et al.,1991)
Lahan tegalan terlantar
Varietas unggul adaptif (Wilis, dan lain-lain) Inokulasi rizobium Pemupukan NPK, pupuk organik Pengapuran bila pH < 5.5 Teknik budidaya baku kedelai pada lahan kering
Lahan bukaan baru
Varietas unggul adaptif Inokulasi rizobium Pemupukan NPK Pengapuran bila diperlukan Teknik budidaya baku kedelai pada lahan kering
Lahan tegalan
Varietas unggul genjah Inokulasi rizobium Pemupukan NPK Pengapuran Teknik budidaya baku kedelai pada lahan tegalan Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian (1999)
8.2.3. Harga dan Efisiensi Pemasaran Harga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani untuk melakukan produksi. Harga kedelai hampir tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah karena harga lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar yang terkait dengan permintaan dan persediaan. Harga di tingkat petani berfluktuasi yaitu saat situasi normal harga lebih tinggi daripada saat panen raya.
110
Dari persaingan harga pasar, harga kedelai impor jauh lebih murah daripada kedelai produksi dalam negeri. Hal ini merupakan salah satu desinsentif bagi petani untuk menanam kedelai, disamping kenaikan harga jagung sebagai tanaman kompetitor. Selama harga kedelai impor masih rendah, arus impor masih tinggi, maka harga kedelai petani tetap dihargai murah, sehingga petani tidak bergairah menanam kedelai. Untuk itu perlu adanya kebijakan dalam pemasaran kedelai, sehingga prospek pasar kedelai nasional menjadi baik. Kendala ekonomi lainnya yang sering dihadapi petani adalah masalah fluktuasi harga. Harga kedelai jatuh saat panen raya, terlebih setelah kontrol kedelai impor oleh Bulog dilepas, maka harga kedelai semakin terpuruk.
Harga ini diantaranya dipengaruhi oleh tingkat efisiensi pemasaran komoditas bersangkutan. Efisiensi pemasaran kedelai dapat dilihat dari perbedaan harga jual di tingkat petani terhadap harga beli di tingkat konsumen. Semakin kecil perbedaan harga jual dan harga beli, maka semakin besar tingkat efisiensinya.
Untuk itu, perlu adanya strategi distribusi dan pemasaran untuk memperpendek rantai tata niaga dari petani ke konsumen dalam rangka meningkatkan efisiensi dalam pendistribusian dan pemasaran kedelai. Strategi yang diperlukan adalah (1) meningkatkan efisiensi biaya pemasaran dan posisi tawar petani, sehingga petani memperoleh harga yang wajar, (2) meningkatkan harga jual kedelai di tingkat petani.
Untuk maksud tersebut, maka program pengembangan kedelai mencakup : (1) Pengembangan kemitraan antara petani dengan industri olahan kedelai. (2) Pengendalian impor melalui penerapan kebijakan proteksi, misalnya residual efek kedelai transgenik dengan mencantumkan label bebas transgenik. (3) Peningkatan perdagangan antar pulau dalam rangka memperlancar aliran distribusi produksi. (4) Pengembangan/penguatan kelembagaan pemasaran di tingkat petani.
111
(5) Pengembangan teknologi pengolahan produk berbasis kedelai domestic yang sesuai dengan kebutuhan industri dan pasar.
Program yang perlu dikembangkan ke depan antara lain dengan pembelian kedelai petani oleh pemerintah (proteksi produk) untuk meningkatkan gairah petani untuk berproduksi.
8.2.4. Upaya Perbaikan Kualitas Kedelai Lokal Kualitas kedelai sangat penting dalam pemilihan bahan baku industri. Perbedaan kualitas antara kedelai lokal dengan impor sangat berpengaruh terhadap pemilihan bahan baku untuk industri. Industri tempe membutuhkan kedelai dengan kualitas tinggi terutama di perkotaan, karena penampakan fisik kedelai berpengaruh terhadap kualitas produk tempe yang dihasilkan dan akibatnya indutri tempe cenderung menggunakan kedelai impor. Sementara itu industri tahu yang dibutuhkan adalah sari kedelai (rendemennya) lebih tinggi yang diperoleh dari kedelai lokal, sehingga kualitas kedelai tidak menjadi permasalahan.
Menurut
Siregar (2000), perbedaan kualitas suatu komoditi dapat diukur dari
perbedaan harga (premium kualitas). Nilai premium kualitas akan semakin tinggi apabila perbedaan mutu semakin besar. Peningkatan nilai premium kualitas bersamaan dengan peningkatan harga kedelai impor yang mengindikasikan bahwa daya subsititusi kedelai lokal terhadap impor rendah. Untuk memperbaiki kualitas kedelai lokal, maka penanganan pasca panen di tingkat petani perlu mendapat perhatian serius.
Perbaikan kualitas kedelai lokal ini merupakan masalah dilematik. Produksi kedelai nasional masih jauh di bawah kebutuhan nasional, tentu saja harga kedelai lokal cukup tinggi. Kondisi ini diduga kurang menumbuhkan disintensif bagi petani untuk meningkatkan kualitas dengan melakukan pasca panen yang lebih baik agar produk kedelai yang dihasilkan memperoleh harga lebih tinggi. Sementara itu, pedagang pengumpul desa umumnya tidak memberikan perbedaan harga beli yang
112
memadai terhadap kualitas kedelai yang lebih baik dan kedelai yang dikeringkan secara sempurna atau tidak.
8.2.5. Dampak keterkaitan harga internasional dan nasional Dalam perdagangan global, status Indonesia adalah pengimpor bersih (net importer) dengan proporsi volume impor yang relatif kecil terhadap volume perdagangan dunia. Proporsi volume impor kedelai Indonesia rata-rata sebesar 1- 2 persen dari volume perdagangan kedelai dunia. Hal ini berarti Indonesia tidak dapat mempengaruhi harga di pasar dunia atau Indonesia berada dalam posisi sebagai penerima harga (price taker). Menurut Saliem, et al. (2004), hubungan antara pasar dunia dan pasar nasional bersifat hierarkies, dalam arti pasar dunia merupakan pasar sentral (pemimpin), sedangkan pasar nasional merupakan pasar cabang. Dalam konteks ini, harga di tingkat importir menjadi acuan dalam pembentukan harga di tingkat pedagang besar, selanjutnya harga di tingkat pedagang besar dijadikan acuan dalam pembentukan harga di tingkat produsen maupun pengecer. Dengan demikian, harga kedelai di tingkat petani ditentukan oleh pedagang pengumpul desa yang mengacu kepada harga kedelai impor. Apabila harga kedelai impor murah, maka harga kedelai tingkat petani juga murah, sehingga tidak dapat menutupi biaya usahataninya
Menurut Saliem (2004) pada era perdagangan bebas, persaingan yang semakin ketat merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pengembangan kedelai. Agar dapat menangkap peluang tersebut sebesar-besarnya, sistem pertanian Indonesia harus dapat selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang dinamis dan melakukan efisiensi. Untuk mengatasi berbagai perubahan tersebut, maka arah kebijakan pembangunan sektor pertanian pada umumnya dan khususnya pada pengembangan kedelai, antara lain : (1) dari kebijakan sentralisasi ke arah desentralisasi, (2) dari pendekatan komoditas ke pendekatan yang memperhitungkan keunggulan, (3) dari pendekatan yang berorientasi produksi ke pendekatan yang mengutamakan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani,
113
(4) dari teknologi padat karya ke teknologi padat keterampilan dan penggunaan alat mekanisasi pertanian secara tepat guna, (5) dari strategi substitusi impor ke promosi ekspor yang mempercepat pembangunan, (6) dari pertanian subsistein ke pertanian yang mengandalkan agribisnis dan mengarah pada sistem pasar terbuka dalam era globalisasi. (7) dari produksi komoditas primer ke produksi agroindustri yang meningkatkan nilai tambah, (8) pergeseran pusat-pusat pertumbuhan yang telah ada ke upaya mencari sumber pertumbuhan baru, (9) dari dominasi peran pemerintah kepada meningkatnya partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan pertanian, seiring dengan upaya kebijaksanaan deregulasi yang dilaksanakan secara konsisten dan bertahap.
8.3. Strategi Kebijakan Jangka Panjang Pada tahun 1992, Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai dengan luas tanam mencapai 1.6 juta hektar dan produksi 1.8 juta ton. Walaupun produksi kedelai pada tahun 1974-1999 meningkat namun ternyata belum dapat mengimbangi laju peningkatan konsumsi kedelai, sehingga pemerintah melakukan impor kedelai yang jumlah dan nilainya semakin meningkat setiap tahun. Sejak tahun 2000, impor kedelai meningkat secara drastis seiring dengan penurunan produksi pada tahun tersebut. Penurunan produksi kedelai nasional disebabkan membanjirnya kedelai impor yang masuk ke Indonesia dengan harga lebih murah dan tidak dikenakan tarif/bea masuk impor. Impor selama periode 2000-2003 meningkat dengan laju 14,03% per tahun, Volume impor yang meningkat dengan harga murah ini disebabkan pula oleh rendahnya tingkat efisiensi dalam negeri, sementara adanya subsidi ekspor dari negara eksportir diberikan kepada petani negara impor dan importir (Suryana, 2005). Impor biji kedelai pada tahun 1994 sejumlah 800.460 ton dan sepuluh tahun kemudian (2004) impor meningkat menjadi 1.387.140 ton (+ 60 % dari kebutuhan nasional).
114
Kebutuhan kedelai nasional rata-rata + 2 juta ton/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi + 800.000 ton/tahun (+ 40 persen dari kebutuhan kedelai nasional). Untuk memenuhi kekurangan kedelai tersebut diperoleh dari impor yang mencapai + 1.200.000 ton/tahun (+ 60 persen dari kebutuhan kedelai nasional).
Sebagai akibat dari
besarnya impor tersebut, devisa negara yang hilang sebesar + Rp 3 triliun/tahun dari biji kedelai dan belum termasuk impor bungkil kedelai + 1,2 juta ton (setara dengan Rp 2 triliun/tahun).
Saat ini perlu adanya program pemerintah dalam upaya meningkatkan dayasaing kedelai lokal terhadap kedelai impor, yaitu dengan menekan laju impor dan meningkatkan kesempatan petani untuk melakukan budidaya kedelai secara lebih menguntungkan sehingga dapat menghemat devisa negara sebesar Rp 3 triliun. Untuk itu diperlukan terobosan-terobosan dan upaya khusus untuk dapat meningkatkan produksi kedelai. Upaya teknis dalam meningkatkan produksi kedelai adalah melalui kegiatan perluasan areal tanam kedelai dan peningkatan produktivitas terutama di lokasi sentra-sentra produksi kedelai.
Program
pemerintah saat ini adalah mengupayakan swasembada kedelai tahun 2007 – 2012. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden RI pada bulan Juni 2006 agar mempercepat program swasembada kedelai sebelum tahun 2015.
Upaya pencapaian produksi dan peningkatan produktivitas kedelai dilakukan dengan berbagai upaya antara lain : memberikan bantuan benih unggul kedelai, penyediaan dan pengawasan pupuk bersubsidi, perbaikan jaringan irigasi, perberian peralatan pra dan pasca panen serta pengawalan pengamanan produksi dari serangan Organisme Penggangu Tanaman (OPT).
Dalam upaya mendorong peningkatan produksi dan keberhasilan pencapaian swasembada kedelai tahun 2012, strategi yang perlu dilakukan dari subsistem hulu sampai ke hilir. Pada subsistem hulu (up-stream) perlu perbaikan infrastruktur, kesiapan lahan dan air, modal serta sarana produksi. Dalam subsistem budidaya (on-farm) ditargetkan perluasan areal mencapai + 500.000 hektar dan peningkatan
115
produktivitas sebesar 50 – 100 ku/ha. Pada subsistem hilir (down-stream) perlu penataan tata niaga kedelai, berupa kenaikan tarif impor, peningkatan harga jual dan stabilitas harga. Secara terinci harus diupayakan berbagai regulasi, pelayanan dan kebijakan yang saling mendukung antara lain: (1)
Hulu, yaitu : a.
Ketersediaan sarana produksi (benih, pupuk dan obat-obatan) yang memenuhi enam tepat ( jumlah, jenis, mutu, waktu, lokasi dan harga).
b.
Pembangunan irigasi untuk memenuhi kekurangan air dengan rehabilitasi dan lain-lain.
(2)
On Farm a.
Pengairan pada lahan-lahan bermasalah dengan pembuatan sumur bor/pantek.
b.
Benih. Penggunaan benih bermutu varietas unggul baru + 10 persen. Untuk itu diperlukan kegiatan untuk mendorong pengadaan dan penyaluran benih bermutu varietas unggul dengan mengembangkan industri perbenihan.
(3)
c.
Penyediaan pupuk
d.
Pengendalian hama dan penyakit
e.
Panen dan pasca panen
f.
Kemitraan
Hilir a.
Peningkatan, pengendalian dan stabiliatas harga
b.
Pembatasan impor
c.
Pemberlakuan tarif impor kedelai
d.
Pelabelan pangan transgenik
e.
Permodalan
Upaya peningkatan produksi kedelai lokal merupakan suatu peluang dan tantangan, bila ditinjau dari sisi : (a) kebutuhan akan kedelai semakin meningkat, (b) adanya isue kedelai impor berasal dari kedelai transgenik yang berdampak buruk bagi kesehatan pada jangka panjang, (c) impor kedelai semakin membengkak setiap tahunnya dan devisa negara yang hilang semakin meningkat.
116
Indonesia mempunyai potensi besar dalam upaya peningkatan produksi kedelai, yaitu kita memiliki petani yang berpengalaman dalam teknik budidaya kedelai, potensi lahan memungkinkan untuk pengembangan kedelai, tersedianya teknologi dan varietas yang sesuai dengan spesifik lokasi.
Kegiatan utama yang diperlukan dalam dalam upaya peningkatan produksi kedelai adalah : (1)
Peningkatan produksi dan produktivitas kedelai melalui penyediaan benih unggul bermutu, pupuk organik, pupuk bio hayati dan sarana temu lapang petani sebagai sarana tukar menukar informasi teknologi.
(2)
Pengembangan benih kedelai bersubsidi kepada petani miskin melalui sistem Jabalsim (Jalinan Arus Benih Anatar Lapang dan Antar Musim).
(3)
Penguatan
kelembagaan
kelompoktani,
kelembagaan
perbenihan
dan
pemasaran hasil (4)
Pengendalian organisme pengganggu tanaman kedelai.
(5)
Peningkatan kegiatan perlombaan dan penghargaan kepada petani kedelai berprestasi.
(6)
Pengembangan agroindustri pengolahan tahu/kedelai, dan hasil olahan kedelai lainnya di pedesaan.
(7)
Perbaikan infrastruktur sampai ke tingkat desa.
(8)
Penguatan modal usaha kelompok (PMUK) dan lembaga yang mandiri dan mengakar kepada masyarakat, seperti pondok pesantren atau perusahaan yang perduli dengan upaya peningkatan produksi kedelai.
(9)
Kepastian harga melalui Dana Penguatan Modal, Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan.
(10) Mekanisme penyediaan sarana produksi dan alat mesin pertanian. (11) Penerapan prinsip Good Govermence, kebijakan dan regulasi. (12) Penjaminan kredit pertanian dan subsidi bunga modal investasi.
9. SIMPULAN DAN SARAN
9.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa simpulan adalah sebagai berikut : (1)
Luas panen kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga riil kedelai lokal, harga riil jagung sebagai kompetitor utama dan luas panen tahun sebelumnya.
(2)
Produktivitas kedelai dipengaruhi oleh curah hujan, harga riil jagung dan produktivitas tahun sebelumnya.
(3)
Harga riil kedelai lokal dipengaruhi oleh harga riil kedelai tingkat produsen, harga riil kedelai impor, volume impor kedelai, produktivitas dan harga riil kedelai lokal tahun sebelumnya.
(4)
Harga riil di tingkat produsen dipengaruhi oleh produksi kedelai, volume impor kedelai, konsumsi kedelai, dummy monologi Bulog dan harga riil di tingkat produsen tahun sebelumnya.
(5)
Volume impor kedelai dipengaruhi produksi dan konsumsi kedelai.
(6)
Harga riil kedelai impor dipengaruhi oleh harga riil kedelai internasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar, tarif impor kedelai dan harga riil kedelai impor tahun sebelumnya.
(7)
Elastisitas harga terhadap permintaan kedelai bernilai negatif menunjukkan bahwa kenaikan harga kedelai akan menurunkan jumlah kedelai yang diminta. Sebaliknya elastisitas harga terhadap penawaran kedelai bernilai positif menunjukkan bahwa kenaikan harga kedelai akan merangsang petani untuk meningkatkan produksinya.
(8)
Kebijakan menaikkan harga kedelai tingkat produsen (harga dasar) akan menguntungkan petani. Dengan kenaikan harga dasar, petani akan menerima harga lebih tinggi dan menggairahkan petani untuk meningkatkan produksi sebagai akibat harga yang tinggi dan menurunkan volume impor. Kebijakan kenaikan harga dasar akan efektif apabila diikuti peraturan pendukung dan
118
terobosan teknologi, sehingga terjadi peningkatan produksi sekaligus peningkatan kualitas kedelai. (9)
Simulasi harga riil kedelai tingkat produsen sama dengan harga riil kedelai impor, menunjukkan bahwa harga riil kedelai tingkat produsen mengalami penurunan, sehingga petani kurang berminat untuk menanam kedelai yang berakibat pada penurunan luas panen dan produksi kedelai. Volume impor mengalami peningkatan.
(10) Dengan naiknya harga riil kedelai tingkat produsen dari harga riil kedelai impor menunjukkan adanya peningkatan luas panen, produksi kedelai dan harga riil kedelai lokal. Volume impor mengalami penurunan. Dengan membaiknya harga kedelai lokal, maka minat petani untuk menanam kedelai meningkat, sehingga luas panen dan produksi kedelai semakin meningkat yang berakibat volume impor akan semakin menurun. (11) Kebijakan tarif impor akan meningkatkan luas panen, produktivitas dan produksi kedelai kedelai. Dengan dikenakannya tarif impor, mengakibatkan harga riil kedelai lokal dan harga riil tingkat produsen meningkat, sehingga petani berminat kembali menanam kedelai. Implikasi dari hal ini adalah terjadinya peningkatan luas panen dan produksi. (12) Kombinasi simulasi yang mungkin dapat diterapkan adalah harga kedelai lokal naik 20 % dan tarif impor sebesar 20 % akan mendorong petani untuk meningkatkan luas panen dan produktivitasnya, dikarenakan harga kedelai membaik. (13) Dalam upaya meningkatkan dayasaing kedelai lokal terhadap impor, pemerintah perlu melakukan terobosan dalam upaya meningkatkan produksi melalui kegiatan perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas terutama di lokasi sentra-sentra produksi kedelai. (14) Kedelai lokal dapat memiliki dayasaing dengan kedelai impor dengan meningkatkan kualitas biji kedelai melalui pengembangan benih kedelai varietas unggul bermutu dan berbiji besar, sehingga produktivitas
dapat
ditingkatkan dan kualitas biji dapat menyamai kedelai impor. (15) Perlu dipertimbangkan pula dari segi efisiensi dan segmentasi. Apabila harga kedelai tingkat produsen tidak mampu bersaing dengan impor yang lebih
Lampiran 1. Kriteria Kesesuaian Agroekosistem Untuk Tanaman Kedelai No.
Faktor Agroklimat
Sangat Sesuai
Sesuai
Agak Sesuai
Kurang Sesuai
o 1 Suhu rata-rata C
25 - 28
29 - 35 20 -25
36 - 36 18 - 19
> 38 < 18
2 Curah hujan (mm/th)
1500 - 2500
1000 - 1500
2500 - 3500 700 - 1000
> 3500 < 700
3 Curah hujan selama musim tanam kedelai (mm/3 bulan)
300 - 400
250 - 300
200 - 250
<200
4 Ketersegiaan irigasi pada musim kemarau
5-6 x pengairan
4 x pengairan
2-3 x pengairan
1 x pengairan
5 Tekstur tanah
- lempung
- lempung berpasir - liat berpasir
- pasir berlempung
- pasir
- lempung berliat - lempung berdebu - lempung liat berdebu
- kerikil - liat padat
6 Drainase tanah
baik, sedang
agak lambat
- lambat - sangat cepat
- sangat cepat - sangat lambat
7 Kedalaman lapisan olah (cm)
> 50
30 - 45
15 - 25
< 15
8 Bahan organik tanah
tinggi - sedang
sedang
agak rendah
rendah
9 Kemasaman (pH) tanah
5.8 - 5.9
5.0 - 5.8
4.5 - 5.0
< 4.5 dan > 7
10 N tanah P2O5 tersedia K2O tersedia Ca, Mg Kejenuhan Al (%)
tinggi-sedang tinggi tinggi tinggi <10
sedang sedang sedang sedang 10 - 15
agak rendah agak rendah agak rendah agak rendah 15 - 20
rendah rendah rendah rendah > 20
11 Topografi
datar
< 15 %
15 - 50 %
> 50 %
12 Naungan
tanpa
< 15 %
16 - 30 %
> 30 %
13 Elevasi (m,dpl)
100 - 800
1 - 100 1000 - 1200 800 - 1000 Sumber : Sumarno, Balai Pengkajian Teknologi Karangploso, Jatim (1985)
> 1200
Lampiran 6. Jumlah Penduduk, Konsumsi Kedelai, Volume dan Tarif Impor, Nilai Tukar dan IHK 1975 - 2005 Tahun
Jumlah Penduduk Jumlah Konsumsi (jiwa) Kedelai (ton/thn) 1975 129.967.000 527.611 1976 133.555.000 628.155 1977 136.653.000 551.166 1978 139.824.000 678.806 1979 143.068.000 770.663 1980 146.387.000 684.220 1981 149.783.000 633.133 1982 152.469.000 469.673 1983 155.141.000 695.853 1984 159.475.437 1.040.499 1985 162.899.435 1.052.083 1986 166.357.604 1.465.103 1987 169.849.850 1.302.749 1988 173.415.407 1.645.876 1989 177.247.757 1.537.624 1990 179.247.783 2.027.574 1991 182.940.100 2.229.448 1992 186.042.700 2.558.890 1993 187.544.810 2.431.153 1994 189.675.070 2.364.382 1995 192.712.788 2.290.125 1996 195.524.884 2.263.280 1997 198.675.836 1.972.391 1998 201.537.838 1.649.357 1999 204.783.931 2.683.072 2000 208.436.800 2.293.560 2001 211.063.000 1.960.241 2002 213.722.300 1.983.806 2003 214.374.096 2.015.414 2004 217.072.346 2.015.200 Sumber : Biro Pusat Statistik, 1975 - 2005
Volume Impor
Tarif Impor
Nilai Tukar Rp
(ton)
(%)
(Rp/US $)
IHK (1995)
17.802
30
415,00
11,56
106.378
30
415,00
17,45
28.345
30
415,00
19,37
62.267
30
442,05
20,97
90.838
30
623,06
24,35
31.458
30
626,99
28,73
284,00
30
631,76
32,25
696,00
30
661,42
35,31
159.752
10
909,26
39,47
271.115
10
1.025,94
43,62
182.365
10
1.110,58
45,68
238.449
10
1.282,56
48,34
141.804
10
1.643,85
52,80
375.541
10
1.685,70
57,05
222.722
10
1.770,06
60,75
540.367
10
1.842,81
65,27
674.754
10
1.950,30
71,42
693.548
10
2.026,90
76,83
724.027
10
2.087,10
84,20
800.203
5
2.160,80
91,38
611.033
5
2.248,60
100,00
747.343
5
2.342,30
165,50
616.283
5
2.909,40
115,20
344.407
3
10.013,50
181,70
1.300.224
0
7.855,20
218,90
1.277.683
0
8.421,80
227,00
1.136.419
0
10.265,64
253,27
1.365.253
0
9.261,16
283,35
1.192.717
0
8.571,16
302,02
9.030,41
309,80
1.291.717
5
Lampiran 8. Output Syslin Persamaan Luas Panen Kedelai The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ1 Dependent Variable LPT Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.904E12 3.809E11 18.67 <.0001 Error 18 3.673E11 2.04E10 Corrected Total 23 2.27E12 Root MSE 142845.320 R‐Square 0.83831 Dependent Mean 1060040.71 Adj R‐Sq 0.79340 Coeff Var 13.47546 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐311363 337163.2 ‐0.92 0.3680 PDT 1 367.4531 237.4215 1.55 0.1391 PJT 1 ‐863.223 655.5904 ‐1.32 0.2045 CHT 1 107.3022 98.17990 1.09 0.2888 PBT 1 22.48635 153.9730 0.15 0.8855 LLPT 1 0.887590 0.098388 9.02 <.0001 Correlations of Parameter Estimates Intercept PDT PJT CHT PBT LLPT Intercept 1.0000 ‐0.6395 ‐0.0997 ‐0.6457 0.2172 ‐0.1365 PDT ‐0.6395 1.0000 ‐0.2264 0.3440 ‐0.5869 ‐0.0573 PJT ‐0.0997 ‐0.2264 1.0000 ‐0.3103 ‐0.1481 ‐0.2761 CHT ‐0.6457 0.3440 ‐0.3103 1.0000 ‐0.2360 0.0763 PBT 0.2172 ‐0.5869 ‐0.1481 ‐0.2360 1.0000 0.0385 LLPT ‐0.1365 ‐0.0573 ‐0.2761 0.0763 0.0385 1.0000 Durbin‐Watson 2.291318 Number of Observations 24 First‐Order Autocorrelation ‐0.1892 Dh ‐0.674304
Lampiran 9. Output Syslin Persamaan Produktivitas Kedelai The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ2 Dependent Variable YKT Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 0.455442 0.091088 91.52 <.0001 Error 18 0.017914 0.000995 Corrected Total 23 0.473383 Root MSE 0.03155 R‐Square 0.96215 Dependent Mean 1.01917 Adj R‐Sq 0.95164 Coeff Var 3.09541 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 0.007518 0.102201 0.07 0.9422 QFT 1 0.000126 0.000398 0.32 0.7562 CHT 1 0.000030 0.000021 1.46 0.1621 PJT 1 ‐0.00017 0.000173 ‐0.96 0.3485 PPT 1 0.000017 0.000047 0.37 0.7187 LYKT 1 0.972398 0.119291 8.15 <.0001 Correlations of Parameter Estimates Intercept QFT CHT PJT PPT LYKT Intercept 1.0000 0.3321 ‐0.1862 ‐0.0178 ‐0.7295 ‐0.5464 QFT 0.3321 1.0000 0.2174 0.4583 0.0393 ‐0.8602 CHT ‐0.1862 0.2174 1.0000 ‐0.0913 ‐0.0654 ‐0.2088 PJT ‐0.0178 0.4583 ‐0.0913 1.0000 0.1171 ‐0.6141 PPT ‐0.7295 0.0393 ‐0.0654 0.1171 1.0000 0.1620 LYKT ‐0.5464 ‐0.8602 ‐0.2088 ‐0.6141 0.1620 1.0000 Durbin‐Watson 2.315289 Number of Observations 24 First‐Order Autocorrelation ‐0.16455 Dh ‐0.071199
Lampiran 10. Output Syslin Persamaan Harga Kedelai Lokal The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ3 Dependent Variable PDT Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 431067.0 86213.41 5.95 0.0020 Error 18 260841.8 14491.21 Corrected Total 23 689726.0 Root MSE 120.37944 R‐Square 0.62301 Dependent Mean 1301.84625 Adj R‐Sq 0.51829 Coeff Var 9.24682 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐14.3776 433.4920 ‐0.03 0.9739 PPT 1 0.570319 0.200446 2.85 0.0107 PIT 1 0.495716 0.142294 3.48 0.0027 QIT 1 ‐0.00004 0.000181 ‐0.22 0.8281 YKT 1 157.9764 399.2524 0.40 0.6970 LPDT 1 0.166339 0.183016 0.91 0.3754 Correlations of Parameter Estimates Intercept PD PM IK Y LPR Intercept 1.0000 ‐0.2935 0.2738 0.5576 ‐0.7395 ‐0.5611 PPT ‐0.2935 1.0000 0.3251 0.4697 ‐0.1978 ‐0.2845 PIT 0.2738 0.3251 1.0000 0.5195 ‐0.6337 ‐0.2732 QIT 0.5576 0.4697 0.5195 1.0000 ‐0.8209 ‐0.5298 YKT ‐0.7395 ‐0.1978 ‐0.6337 ‐0.8209 1.0000 0.3124 LPDT ‐0.5611 ‐0.2845 ‐0.2732 ‐0.5298 0.3124 1.0000 Durbin‐Watson 1.612386 Number of Observations 24 First‐Order Autocorrelation 0.158573 Dh 0.834825
Lampiran 11. Output Syslin Persamaan Harga Kedelai Tingkat Produsen The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ4 Dependent Variable PPT Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 405970.5 81194.11 6.94 0.0009 Error 18 210642.3 11702.35 Corrected Total 23 607078.0 Root MSE 108.17740 R‐Square 0.65839 Dependent Mean 1054.38833 Adj R‐Sq 0.56350 Coeff Var 10.25973 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 659.6713 192.6047 3.43 0.0030 QKT 1 ‐0.00253 0.001595 ‐1.59 0.1300 QIT 1 ‐0.00281 0.001623 ‐1.73 0.1000 CKT 1 0.002584 0.001584 1.63 0.1201 DBT 1 269.7351 93.51695 2.88 0.0099 LPPT 1 0.172371 0.135795 1.27 0.2205 Correlations of Parameter Estimates Intercept QK IK C DB LPD Intercept 1.0000 ‐0.4403 ‐0.4435 0.4299 ‐0.2605 ‐0.8351 QK ‐0.4403 1.0000 0.9918 ‐0.9985 ‐0.0874 0.3781 IK ‐0.4435 0.9918 1.0000 ‐0.9968 ‐0.0347 0.3907 CKT 0.4299 ‐0.9985 ‐0.9968 1.0000 0.0700 ‐0.3768 DBT ‐0.2605 ‐0.0874 ‐0.0347 0.0700 1.0000 ‐0.1563 LPPT ‐0.8351 0.3781 0.3907 ‐0.3768 ‐0.1563 1.0000 Durbin‐Watson 2.448499 Number of Observations 24 First‐Order Autocorrelation ‐0.25366 Dh ‐0.03036
Lampiran 12. Output Syslin Persamaan Volume Impor Kedelai The SAS System SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ5 Dependent variable QIT Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 6 1.3791818E13 2.2986363E12 2033.724 0.0001 Error 23 25995972508 1130259674.3 Corrected Total 29 1.3817814E13 Root MSE 33619.33483 R‐Square 0.9981 Dep Mean 525105.93103 Adj R‐SQ 0.9976 C.V. 6.40239 NOTE: The NOINT option changes the definition of the R‐Square statistic to: 1 ‐ (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| PW 1 ‐30.121020 51.616524 ‐0.584 0.5652 QK 1 ‐0.950578 0.029512 ‐32.210 0.0001 C 1 0.944419 0.035304 26.751 0.0001 POP 1 0.000492 0.000385 1.277 0.2144 DPM 1 ‐26028 22464 ‐1.159 0.2585 LTI 1 ‐145.485207 965.399360 ‐0.151 0.8815 Correlation of Estimates CORRB PLT QKT CKT POPT DPM DPIT PLT 1.0000 ‐0.2922 0.3562 ‐0.5763 ‐0.3944 0.4204 QKT ‐0.2922 1.0000 ‐0.8158 0.5280 ‐0.1417 ‐0.6166 CKT 0.3562 ‐0.8158 1.0000 ‐0.8657 0.2331 0.8143 POPT ‐0.5763 0.5280 ‐0.8657 1.0000 ‐0.2776 ‐0.7429 DPIT ‐0.3944 ‐0.1417 0.2331 ‐0.2776 1.0000 ‐0.1107 LPNT 0.4204 ‐0.6166 0.8143 ‐0.7429 ‐0.1107 1.0000 Durbin‐Watson 2.594 (For Number of Obs.) 29 1st Order Autocorrelation ‐0.301
Lampiran 13. Output Syslin Persamaan Harga Kedelai Impor The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ6 Dependent Variable PIT Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1300817 260163.4 75.73 <.0001 Error 18 61835.49 3435.305 Corrected Total 23 1362653 Root MSE 58.61147 R‐Square 0.95462 Dependent Mean 708.10667 Adj R‐Sq 0.94202 Coeff Var 8.27721 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐394.483 373.1545 ‐1.06 0.3044 PLT 1 1.103956 0.107325 10.29 <.0001 ERT 1 0.041406 0.039835 1.04 0.3124 DBT 1 258.7204 271.6521 0.95 0.3535 PNT 1 0.966653 2.889946 0.33 0.7419 LPIT 1 0.129695 0.075080 1.73 0.1012 Correlations of Parameter Estimates Intercept PLT ERT DBT PNT LPIT Intercept 1.0000 0.3586 ‐0.9334 ‐0.9813 ‐0.9066 ‐0.6659 PLT 0.3586 1.0000 ‐0.6058 ‐0.4838 ‐0.4482 ‐0.1805 ERT ‐0.9334 ‐0.6058 1.0000 0.9701 0.8893 0.4705 DBT ‐0.9813 ‐0.4838 0.9701 1.0000 0.8780 0.5757 TI ‐0.9066 ‐0.4482 0.8893 0.8780 1.0000 0.5943 LPIT ‐0.6659 ‐0.1805 0.4705 0.5757 0.5943 1.0000 Durbin‐Watson 2.171613 Number of Observations 24 First‐Order Autocorrelation ‐0.10044 Dh 0.317908
Tabel 14. Validasi Model Ekonometrika Peubah LPT YKT PDT PPT QIT PIT QKT
Peubah LPT YKT PDT PPT QIT PIT QKT
N (2000-2004) 5 5 5 5 5 5 5
Rerata
N (1995-2004) 10 10 10 10 10 10 10
Rerata
626955 1,25 997,374 876,994 1252758 902,972 781755
925228 1,2180 1119 880,0300 988308 891,9990 1114866
Prediksi 945886 1,2277 1217 850,5981 841057 908,9223 1161089
Prediksi 1259915 1,1766 1371 941,3926 573965 902,4566 1480840
MAPE 53,29306 1,99245 24,53752 7,76405 32,84746 11,56821 50,45725
MAPE 53,6094 3,3482 26,4402 15,0726 44,9172 7,6429 48,1541
RMPsE 55,2091 2,4741 27,1894 8,5934 33,262 13,4205 52,031
RMPsE 68,5875 3,7152 32,7253 20,8872 51,4290 10,1152 62,0700
U-Theil 0,203 0,0127 0,1156 0,0423 0,1991 0,0655 0,1956
U-Theil 0,1863 0,0194 0,1195 0,0851 0,2990 0,0464 0,1777
Lampiran 15. Simulasi Harga Kedelai Tingkat Produsen Peubah LPT YKT PDT PPT QIT PIT QKT
Peubah LPT YKT PDT PPT QIT PIT QKT
N (1995-2004) 10 10 10 10 10 10 10
Simulasi Dasar 1259915 1,1766 1370,6 941,4 573965 902,5 1480840
PPT=902,5 Nominal % 1252064 -0,623 1,1766 0,000 1365,6 -0,365 940,1 -0,138 583283 1,623 902,5 0,000 1471476 -0,632
PPT Naik 5 % Nominal % 1257261 -0,211 1,1766 0,000 1368,9 -0,124 940,9 -0,053 577115 0,549 902,5 0,000 1477675 -0,214
N (1995-2004) 10 10 10 10 10 10 10
Simulasi Dasar 1259915 1,1766 1370,6 941,4 573965 902,5 1480840
PPT Turun 5% Nominal % 1246868 -1,036 1,1765 -0,008 1362,2 -0,613 939,2 -0,234 589449 2,698 902,5 0,000 1465279 -1,051
PPT Turun 10 % Nominal % 1241672 -1,448 1,1765 -0,008 1358,9 -0,854 938,3 -0,329 595615 3,772 902,5 0,000 1459082 -1,469
PPT Naik 10 % PPT Naik 15 % PPT Naik 20 % Nominal % Nominal % Nominal % 1262458 0,202 1267655 0,614 1272853 1,027 1,1766 0,000 1,1767 0,008 1,1767 0,008 1372,3 0,124 1375,6 0,365 1378,7 0,591 941,8 0,042 942,7 0,138 943,6 0,234 570946 -0,526 564777 -1,601 558606 -2,676 902,5 0,000 902,5 0,000 902,5 0,000 1483874 0,205 1490074 0,624 1496275 1,042
Lampiran 16. Simulasi Tarif Impor Kedelai Peubah LPT YKT PDT PPT QIT PIT QKT
N (1995-2004) 10 10 10 10 10 10 10
Simulasi Dasar 1259915 1,1766 1370,6 941,4 573965 902,5 1480840
TI = 5% Nominal % 1248809 -0,881 1,1766 0,000 1363 -0,555 942 0,064 587063 2,282 898,9 -0,399 1467657 -0,890
TI = 10% Nominal 1249393 1,1766 1363,4 942 586374 899,1 1468350
% -0,835 0,000 -0,525 0,064 2,162 -0,377 -0,843
TI = 15 % Nominal 1249977 1,1766 1363,8 941,9 585685 899,3 1469044
% -0,789 0,000 -0,496 0,053 2,042 -0,355 -0,797
TI = 20% TI = 30% Nominal % Nominal % 1250562 -0,742 1251731 -0,650 1,1766 0,000 1,1766 0,000 1364,2 -0,467 1365 -0,409 941,9 0,053 941,8 0,042 584995 1,922 583617 1,682 899,5 -0,332 899,8 -0,299 1469738 -0,750 1471125 -0,656
Lampiran 17. Kombinasi Simulasi Harga Kedelai Tingkat Produsen dan Tarif Impor Kedelai Peubah LPT YKT PDT PPT QIT PIT QKT
Peubah LPT YKT
N (1995-2004) 10 10 10 10 10 10 10
Simulasi PPT Naik 5%; TI = 5% PPT Naik 5%; TI = 10% PPT Naik 5%; TI = 15% PPT Naik 5%; TI = 20% Dasar Nominal % Nominal % Nominal % Nominal % 1259915 1246155 -1,092 1246739 -1,046 1247323 -0,999 1247908 -0,953 1,1766 1,1766 0,000 1,1766 0,000 1,1766 0,000 1,1766 0,000 1370,6 1361,3 -0,679 1361,7 -0,649 1362,1 -0,620 1362,5 -0,591 941,4 941,5 0,011 941,5 0,011 941,5 0,011 941,5 0,011 573965 590213 2,831 589524 2,711 588834 2,591 588145 2,471 902,5 898,9 -0,399 899,1 -0,377 899,3 -0,355 899,5 -0,332 1480840 1464491 -1,104 1465185 -1,057 1465878 -1,010 1466572 -0,964
N (1995-2004) 10 10
Simulasi PPT Naik 10%; TI = 5% PPT Naik 10%; TI = 10% PPT Naik 10%; TI = 15% PPT Naik 10%; TI = 20% Dasar Nominal % Nominal % Nominal % Nominal % 1259915 1251352 -0,680 1251936 -0,633 1252520 -0,587 1253105 -0,541 1,1766 1,1766 0,000 1,1766 0,000 1,1766 0,000 1,1766 0,000
PDT PPT QIT PIT QKT
Peubah LPT YKT PDT PPT QIT PIT QKT
Peubah LPT YKT PDT PPT QIT PIT QKT
10 10 10 10 10
1370,6 941,4 573965 902,5 1480840
1364,7 942,4 584045 898,9 1470690
-0,430 0,106 1,756 -0,399 -0,685
1365,1 942,4 583356 899,1 1471383
-0,401 0,106 1,636 -0,377 -0,639
1365,5 942,4 582667 899,3 1472077
-0,372 0,106 1,516 -0,355 -0,592
1365,9 942,3 581977 899,5 1472771
-0,343 0,096 1,396 -0,332 -0,545
N (1995-2004) 10 10 10 10 10 10 10
Simulasi PPT Naik 15%; TI = 5% PPT Naik 15%; TI = 10% PPT Naik 15%; TI = 15% PPT Naik 15%; TI = 20% Dasar Nominal % Nominal % Nominal % Nominal % 1259915 1256549 -0,267 1257133 -0,221 1257717 -0,174 1258302 -0,128 1,1766 1,1767 0,008 1,1767 0,008 1,1767 0,008 1,1767 0,008 1370,6 1368 -0,190 1368,4 -0,161 1368,8 -0,131 1369,2 -0,102 941,4 943,3 0,202 943,3 0,202 943,2 0,191 943,2 0,191 573965 577876 0,681 577187 0,561 576498 0,441 575808 0,321 902,5 898,9 -0,399 899,1 -0,377 899,3 -0,355 899,5 -0,332 1480840 1476889 -0,267 1477583 -0,220 1478277 -0,173 1478970 -0,126
N (1995-2004) 10 10 10 10 10 10 10
Simulasi PPT Naik 20%; TI = 5% PPT Naik 20%; TI = 10% PPT Naik 20%; TI = 15% PPT Naik 20%; TI = 20% Dasar Nominal % Nominal % Nominal % Nominal % 1259915 1261746 0,145 1262331 0,192 1262915 0,238 1263499 0,284 1,1766 1,1767 0,008 1,1767 0,008 1,1767 0,008 1,1767 0,008 1370,6 1371,3 0,051 1371,7 0,080 1372,1 0,109 1372,5 0,139 941,4 944,2 0,297 944,1 0,287 944,1 0,287 944,1 0,287 573965 571706 -0,394 571017 -0,514 570328 -0,634 569639 -0,754 902,5 898,9 -0,399 899,1 -0,377 899,3 -0,355 899,5 -0,332 1480840 1483089 0,152 1483783 0,199 1484477 0,246 1485171 0,292
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T., B.S. Rajit dan Marwoto. 1993. Teknologi Untuk Meningkatkan Hasil Pertanian. Seri Pengembangan Nomor 23/3/93. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang. Amang, B. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. Bogor. _______ 1994. Pengendalian Pangan dan Harga. Darma Karsa Aksara, Jakarta. Aryanie, C.N.M. 1999. Kajian Tekno-Ekonomi Usaha Produksi Tempe Berbahan Baku Kedelai Lokal dan Impor di Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bisnis Indonesia. 2004. Kedelai di Indonesia. http//www: BisnisIndonesia@ kedelai.htm. Cho, D.S. dan H.C. Moon. 2003. From Adam Smith to Michael Porter : Evolusi Teori Daya Saing. Salemba Empat. Jakarta. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. 2002. Prospek dan Peluang Agribisnis Kedelai (Glicine max). Ditkabi, Jakarta. Direktorat Jenderal Pongolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian. 2004. Situasi Perdagangan Internasional Kedelai. Ditjen P2HP. Direktorat Jenderal Pongolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian. 2005. Harmonisasi Tarif Produk Pertanian Periode 2004 - 2010. Ditjen P2HP, Jakarta. Direktorat Jenderal Pongolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian. 2005. Kebijakan Tataniaga Perdagangan Komoditas Kedelai. Ditjen P2HP, Jakarta. Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan. 2001. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Depkes, Jakarta. Doll, J. dan F.Orazem. 1984. Production Economics. John Wiley and Sons, Inc. USA. Glueck, W.J. dan Jauch, L.R. 1997. Manajemen Strategi dan Kebijaksanaan Perusahaan. Terjemahan. Erlangga, Jakarta.
121 Gumbira-Said, E. 2001. Penerapan Manajemen Teknologi dalam Meningkatkan Dayasaing Global Produk Agribisnis/Agroindustri Berorientasi Produksi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hadi, P.U. dan B. Wiryono. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi Beras di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 23 Nomor 2. Pusat Peneltian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Hadipurnomo, T. 2000. Dampak Kebijakan Produksi dan Perdagangan terhadap Penawaran dan Permintaan Kedelai di Indonesia. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Hamdy, H. 2000. Ekonomi Internasional. Buku I. Ghalia. Jakarta. Hardono, G.S. dan A.H.Malian. 2004. Liberalisasi Perdagangan : Sisi Teori, Dampak Empiris dan Perspektif Ketahanan Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 22 Nomor 2. Pusat Peneltian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Hartati. 1999. Kajian Tekno-Ekonomi Usaha Produksi Tahu Berbahan Baku Kedelai Lokal dan Impor di Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Intriligator, M.D. 1978. Econometric Models, Techniques and Application Prentice. Ital International, New Delhi. Ilham, N. 2004. Dampak Kebijakan Stabilisasi Harga Terhadap Stabilitas Ekonomi Makro di Indonesia, Suatu Kajian Indikatif. Working Paper No. 33, Maret 2004. Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Iswardono. 1994. Teori Ekonomi Mikro. Penerbit Gunadarma, Jakarta. Kuntjoro, S.U. 1997. Strategi Pengembangan Kedelai Menuju Swasembada. Orasi Ilmiah. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics. Second Edition. Harper and Row Publishers Inc. New York, USA. Kumenaung,A.G. 1994. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi Pada Industri Komoditi Kedelai di Indonesia. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lains, Alfian. 2003. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi. Jilid I. LP3ES. Jakarta. Lipsey, R. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara. Jakarta.
122 Malian, A.H. 2004. Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 2 Nomor 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Manurung, J. 1993. Model Ekonometrika Industri Komoditi Kelapa Sawit Indonesia; Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Tesis MS PPS, IPB, Bogor. Marubeni. 2001. Global Competitiveness, US Firms Emerge. Economic Report. Munandar, J.M. 2001. Key Determinants of Export Competitiveness of the Indonesian Palm Oil Agro-Industries. University of the Philippines Los Banos, Philipina. Murkan, M. 2006. Pedoman Umum Bangkit Kedelai 2006. Direktorat Kacangkacangan dan Umbi-umbian, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta. Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Erlangga. Jakarta. Nopirin. 1992. Ekonomi Internasional. BPFE. Yogyakarta. Pappas, J. dan M.Hirschey. 1995. Ekonomi Manajerial. Jilid I. Binarupa Aksara. Jakarta. Porter, M.E dan A. Maulana. 1980. Strategi Bersaing : Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing. Terjemahan. Erlangga. Jakarta. Porter, M.E. 1993. Keunggulan Bersaing : Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggul. Terjemahan. Erlangga. Jakarta. Porter, M.E. 2000. What is Strategy? Harvard Business Review OnPoint. http//www:competitiveness clusters-company.htm. Purnomo, S.H. dan Zulkieflimansyah. 1996. Manajemen Strategi : Sebuah Konsep Pengantar. Universitas Indonesia. Jakarta Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1999. Strategi Pengembangan Produksi Kedelai: Prosiding Lokakarya Pengembangan Produksi Kedelai Nasional. Bogor. Rosegrant, M.W., F. Kasryno, L.A. Gonsales, C. Rasahan and Y. Saefudin. 1987. Price and Investment Polices in The Indonesia Foodcrop Sector. International
Food Policy Research Institute, Washington D.C. and Centrefor Agro Econometric Research, Bogor. 123 Salvatore, D. 1996. International Economics, Fifth Edition. Prentice-Hall Inc. New Jersey. Saliem, H.P. dan T. Sudaryanto. 2004. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Ketahanan Pangan Nasional. Pusat Peneltian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sanim,B. 2000. Penilaian Kritis terhadap Kebijakan Mikro dalam Pembangunan Pertanian. Dalam Pertanian dan Pangan. Sinar Harapan, Jakarta. Sarwono, B. 2004. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta. Sarwono, B dan Y.P. Saragih. 2004. Membuat Aneka Tahu. Penebar Swadaya. Jakarta. Schnepf, R.D. 2001. Agriculture in Brazil and Argentina : Development and Prospects for Major Field Crops. USDA Economic Research Service. http//www:ers.usda.gov/news/soybean industry statistics.htm. Scott, W.O. and S.R. Aldrich. 1983. Publications, Inc. Illionois, USA.
Modern Soybean Production. S and A
Semaoen, I. 1992. Ekonomi Produksi Pertanian : Teori dan Aplikasi. ISEI, Jakarta. Simanjuntak, S.B. 1992. Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijaksanaan Pemerintah Terhadap Dayasaing Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siregar, M. 2000. Metode Alternatif Penentuan Tingkat Hasil dan Harga Kompetitif, Kasus Kedelai. Jurnal Pusat Sosial Ekonomi No. 19 Seri 1, Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Sitepu, R.K. dan Sitepu, B.M. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika : Estimasi, Simulasi, Peramalan Menggunakan Program SAS. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suara Merdeka. 2004. Bulog Sebaiknya Tangani Komoditas Nonberas. http//www: [email protected]. 22 Nopember 2004. Suara Pembaharuan. 2004. Jalan Panjang Menuju Swasembada. http//www: [email protected]. In PMB-.htm. Suara Pembaharuan Online.
Sudaryanto, T, B. Rachma dan S. Bachri. 2000. Arah Kebijakan Distribusi/ Perdagangan Beras dalam Mendukung Ketahanan Pangan : Aspek Perdagangan Luar Negeri. Sinar Harapan, Jakarta. 124 Sudaryanto. T, I.W. Rusastra dan Saptana. 2004. Perspektif Pengembangan Ekonomi Kedelai di Indonesia. Working Paper No. 28, Januari 2004. Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Simatupang, P. 2003. Analisis Kebijakan : Konsep Dasar dan Prosedur Pelaksanaan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 Nomor 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Sumarno. 1994. Teknologi Peningkatan Produksi Kacang-kacangan. Dalam Kinerja Penelitian : Kebijaksanaan dan Hasil Utama Penelitian. Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Suprapto, HS. 2004. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. Suparmoko, M dan M.R. Suparmoko. 2000. Pokok-pokok Ekonomika. BPFE, Yogyakarta. Suryana, A. 1980. Keuntungan Komparative Dalam Produksi Ubikayu dan Jagung di Jawa Timur dan Lampung dengan Analisis Penghematan Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suryana, A. 2005. Prospek dan arah Pengembangan Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Tempo. 2001. Kedelai Impor Diminta Dikenai Bea Masuk http//www: Tempointeraktif.com. 06 Februari 2001. Tomek, W.G. dan L. Robinson. 1987. Agricultural Product Price. Printing Cornel University Press, 3th, USA. USDA Economic Research Service. 2006. Production and hhh//www:ers.usda.gov/news/soybean industry statistics.htm.
Trade.
USDA Economic Research Service. 2006. Soybean, Agriculture and Policy in Brazil. http//www:ers.usda.gov/news/soybean coverage.htm. USDA Economic Research Service. 2004. How Does Structural Change in the Global Soybean Market Affect the U.S. Price? http//www: ers.usda.gov/news/soybean coverage.htm.
Waney, N.F.L. 1997. Kajian Dayasaing dan Dampak Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Usaha Perkelapaan di Sulawesi Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.