4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4.1. Konsep Kebijakan Kebijakan dapat diartikan sebagai peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyakarat umum. Dengan kata lain, kebijakan adalah suatu campur tangan pemerintah untuk mempengaruhi suatu pertumbuhan secara sektoral dari suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Karakteristik dari suatu kebijakan adalah : (a) kebijakan tidak eksis secara tunggal, tetapi ganda, (b) keberhasilan suatu kebijakan harus didukung oleh sistem, misalnya baik/buruknya sistem politik, (c) kebijakan yang baik didukung oleh informasi yang lengkap dan akurat (Sanim, 2000).
Kebijakan pembangunan pertanian merupakan keputusan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan pertanian guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional.
Kebijakan pembangunan
pertanian termasuk dalam katagori kebijakan publik, karena berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak. Intervensi pemerintah dalam upaya mencapai tujuantujuan pembangunan sektor pertanian dilakukan dalam bentuk kebijakan produksi, pemasaran dan perdagangan. Kebijakan perdagangan (trade policy) tidak terlepas dari kebijakan produksi dan pemasaran dalam negeri. Di samping itu, kebijakan perdagangan juga berkaitan erat dengan kebijakan harga (Simatupang, 2003).
Secara umum kebijakan ekonomi dapat dibedakan dua katagori, yaitu kebijakan pada tingkat makro dan mikro. Kebijakan pada tingkat makro diarahkan untuk menciptakan kondisi kondusif dalam menumbuhkembangkan produksi pangan, kelancaran distribusi dan meningkatkan akses/kemampuan masyarakat memperoleh pangan yang cukup. Kebijakan ini meliputi kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan tingkat mikro untuk mewujudkan peningkatan produktivitas usaha, efisiensi, pemerataan pendapatan dan peningkatan daya saing (Sudaryanto, et al., 2000).
35
Rosegrant et.al. (1987) berpendapat bahwa kebijakan pemerintah dalam kegiatan perekonomian dapat berupa kebijakan harga, subsidi, perdagangan (impor dan ekspor), nilai
tukar dan tingkat bunga. Sumber utama kebijakan pemerintah
tersebut berasal dari proteksi output dan subsidi harga input.
Bentuk-bentuk
proteksi yang sering dijumpai adalah tarif atau bea masuk, larangan atau kuota impor dan subsidi.
Proteksi
dengan tarif impor ditujukan untuk melindungi
produsen dalam negeri, sedangkan subsidi untuk melindungi konsumen.
Subsidi harga input ditujukan agar produsen dapat membeli input dengan harga lebih murah dan output yang dihasilkan menjadi lebih murah, sehingga konsumen akan membeli produk tersebut dengan harga lebih murah pula. Pada gilirannya upaya tersebut dapat mendorong dayasaing dari output tersebut. Sebaliknya pengenaan tarif terhadap input impor menyebabkan harga input tersebut di dalam negeri menjadi lebih mahal dari harga impor dan menyebabkan
harga output
menjadi lebih tinggi. Hal ini akan menurunkan dayasaing produk yang dihasilkannya (Rosegrant et.al., 1987).
Simatupang (1989) mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah yang terpenting adalah kebijakan yang dapat mendorong pengembangan komoditi yang bersangkutan atau memberikan insentif secara ekonomi. Insentif ekonomi tersebut dapat dilakukan melalui kebijakan harga ouput dan input.
Tujuan kebijakan perdagangan komoditas pertanian dapat berbeda-beda tergantung pada komoditasnya. Misalnya, kebijakan tarif impor atau hambatan-hambatan non tarif bertujuan untuk melindungi komoditas substitusi impor. Sebaliknya, kebijakan pajak atau pembatasan terhadap barang ekspor bertujuan agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi atau mencegah kenaikan harga komoditas tersebut di dalam negeri.
Kebijakan
perdagangan
dalam
negeri
biasanya
bertujuan
untuk
memperlancar atau menghambat pemasaran komoditas antar daerah (Simatupang, 1989).
36
Akhir-akhir ini telah menjadi konsensus nasional bahwa palawija dimasukkan ke dalam kebijakan pangan nasional (CGPRT, 1988). Sedangkan menurut Karama, et.al., (1992) komoditi kedelai menempati peringkat pertama diantara komoditas palawija dalam pengembangan program intensifikasi dan diversifikasi pertanian dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut : (a) biaya produksi rendah, walaupun resiko pengusahaannya tinggi, (b) menguntungkan petani, (c) tingginya tingkat kebutuhan dan ketergantungan terhadap kedelai impor yang semakin besar, (d) kedelai mempunyai ragam kegunaan yang cukup luas.
4.2. Kebijakan Harga Menurut Saliem, et al. (2000), terdapat dua tipe dasar kebijakan pemerintah di bidang pertanian, yaitu bersifat development policy dan compensating policy. Development policy biasanya dilakukan pemerintah untuk mendorong produksi pertanian dengan meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Dalam compensating policy
berkecenderungan menekan produksi dengan tujuan
meningkatkan pendapatan petani. Development policy banyak dilakukan oleh negara yang mengalami defisit suatu produk pertanian, sedangkan compensating policy banyak dilakukan oleh negara yang mengalami surplus dan sulit memasarkan produknya. Kebijakan pemerintah Indonesia masuk dalam katagori development policy, misalnya kebijakan harga dasar dan subsidi pupuk.
Kebijakan harga terhadap komoditas pertanian umumnya bertujuan untuk
(i)
meningkatkan harga domestik, pendapatan petani dan pemerataan pendapatan; (ii) menstabilkan harga dan mencukupi kebutuhan bahan baku agroindustri; (iii) meningkatkan swasembada sehingga mengurangi ketergantungan pada impor; (iv) menghemat devisa dan memperbaiki neraca pembayaran; (v) menjaga kestabilan politik; dan (vi) memperbaiki alokasi sumberdaya domestik sehingga dicapai pertumbuhan ekonomi yang efisien (Saliem, et al., 2000).
Harga merupakan salah satu instrumen penting yang dapat memicu produksi kedelai nasional dan dapat merupakan jaminan bahwa petani kedelai akan
37
memperoleh pendapatan yang layak. Kebijakan harga dasar dapat menjembatani harga di tingkat petani (harga produsen) dan harga konsumen. Terjadinya kesenjangan harga pada tahun-tahun sebelum krisis menunjukkan inefisiensi distribusi/pemasaran dan lemahnya posisi tawar petani kedelai. Oleh karenanya, agar terciptanya sistem jaminan harga bagi petani kedelai, maka perlu dilakukan upaya-upaya
untuk
memberdayakan
kelembagaan
petani
kedelai
serta
mengupayakan kemitraan dengan industri pengolahan dan importir, seperti pemberdayaan peran Inkopti.
Kebijakan harga dasar ditetapkan melalui Inpres sejak tahun 1979/80 sampai akhir tahun 1991. Kebijakan harga dasar telah dihentikan pemerintah sejak tahun 1991 sampai sekarang. Penelitian ini mencoba melakukan simulasi dengan menggunakan harga dasar dengan tujuan untuk meramal dampak kebijakan tersebut terhadap penawaran dan permintaan kedelai.
Untuk menjamin petani produsen mendapatkan keuntungan yang wajar, maka perlu dijaga kestabilan harga jual kedelai di tingkat petani, khususnya saat panen raya. Hal ini dapat dilakukan dengan kebijakan pemerintah melalui penetapan harga. Perkembangan produksi kedelai tidak terlepas dari pengaruh harga kedelai di pasar dan harga kedelai impor. Perkembangan harga kedelai di tingkat produsen dan nasional tahun 1975-2004 dapat dilihat pada Lampiran 4.
4.3. Kebijakan Impor dan Tarif Impor kedelai Indonesia setiap tahun mulai meningkat dan meningkat tajam sejak tahun 1999. Menurut data Ditjen P2HP, Departemen Pertanian (2004), dari tahun 2000 - 2004 urutan ranking terbesar negara pemasok kedelai impor ke Indonesia adalah Amerika Serikat (66 persen), Argentina (5 persen), Malaysia (4 persen), Canada dan Singapura (1 persen). Indonesia makin mengalami peningkatan impor sejak liberalisasi radikal atas tekanan IMF pada tahun 1998. Tingkat ketergantungan impor kedelai saat ini sebesar 55 persen. Padahal komoditi ini menyerap 2.5 juta jiwa tenaga kerja rumah tangga di Indonesia (Sawit, 2003).
38
Situasi perekonomian dunia yang dilanda arus globalisasi ditandai dengan dihapuskannya hambatan perdagangan internasional. Hal ini berarti instrumen tarif sulit diandalkan untuk melindungi produk-produk pertanian kita. Kecenderungan kelompok negara membentuk blok perdagangan bebas merupakan tantangan sekaligus peluang untuk merebut pasar. NAFTA di Amerika Utara, AFTA di Asia ataupun PTE di Eropa akan mendorong Indonesia memasuki persaingan pada pasar dunia. Sebagai konsekuensi, negara kita turut meratifikasi perjanjian General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Word Trade Organization (WTO). Indonesia sejak krisis ekonomi 1998 mengurangi seluruh tarif bea masuk komoditi pertanian dan menghapus semua subsidi kepada petani, kecuali Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk gabah/beras (Sawit, 2003).
Di dalam perundingan Komisi Pertanian pada bulan Juli 2004 dihasilkan “Paket Juli 2004”. Meskipun negara berkembang mendapatkan ketentuan penetapan SP (special product) dan SSM (special safeguard mechanism), ternyata negara maju juga berhasil mendapatkan ketentuan penetapan SP (sensitive product) sebagai upaya mengecualikan beberapa produk pertaniannya dalam perdagangan bebas.
Oleh karena itu, ke depan pemerintah masih perlu mempertimbangkan kebijakan proteksi sekaligus promosi terhadap produk-produk pertanian strategis dan yang menjadi sumber pendapatan petani. Selain itu, pemerintah harus aktif bergabung dalam kelompok negara berkembang untuk melawan arus globalisasi yang merugikan negara berkembang. Kebijakan proteksi yang dapat dilakukan antara lain penetapan tarif impor dan pengaturan impor, sedangkan untuk kebijakan promosi, pemerintah dapat memberikan subsidi sarana produksi, subsidi harga output maupun bunga kredit untuk modal usahatani.
Siap atau tidak menghadapi era globalisasi, pilihannya adalah meningkatkan daya saing komoditi untuk pasar domestik maupun pasar dunia. Selama ini pemerintah telah berupaya mengurangi impor kedelai melalui penetapan tarif impor dan mendukung peningkatan produksi kedelai dalam negeri agar mampu bersaing dengan kedelai impor.
39
Amerika Serikat sebagai pemasok kedelai terbesar di dunia memberikan kemudahan bagi importir kedelai nasional, melalui kredit lunak. Hal ini diberikan karena Amerika melihat lemahnya posisi tawar pelaku agribisnis nasional sebagai akibat rupiah yang terdepresiasi dan menurunnya kredibilitas sistem perbankan pada pertengahan krisis ekonomi di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, harga kedelai impor di pasar domestik lebih murah Rp 600/kg dari kedelai lokal. Insentif kepada importir ini mengakibatkan kedelai lokal menjadi tidak kompetitif dan gairah petani untuk memproduksi kedelai mulai menurun. Sebagai konsekuensi dilepasnya produk kedelai pada pasar bebas, maka fluktuasi harga kedelai internasional sangat berpengaruh pada harga kedelai lokal.
Masuknya kedelai impor yang semakin besar ketika pemerintah melalui Kep Men Perindag No. 406/MPP/Kep/II/1997 menghapus tata niaga kedelai yang semula ditangani oleh Bulog
dialihkan ke Importir Umum. Hal ini sesuai dengan
keinginan World Trade Organization (WTO) dan International Monetary Fund (IMF) dengan alasan untuk membantu Pengusaha Kecil dan Menengah dalam memperoleh bahan baku kedelai (Hadi dan Wiryono, 2005).
Ratifikasi pembentukan WTO dilakukan Pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 tahun 1994. Dengan ratifikasi ini Indonesia berkewajiban memenuhi perjanjian, termasuk perjanjian pertanian Agreement on Agriculture (AoA) yang didalamnya mengatur (a) akses pasar, (b) subsidi domestik dan (c) subsidi ekspor. Sejak awal negara berkembang telah menyadari bahwa AoA-WTO bersifat disinsentif bagi kebijakan pembangunan pertanian di negara-negara berkembang. Hal ini terlihat dari : (a) akses pasar ke negara maju relatif sulit bagi negara berkembang karena memiliki tarif rate yang jauh lebih tinggi, (b) dengan kekuatan kapital yang dimiliki, negara-negara maju telah menyediakan subsidi ekspor dan subsidi lokal yang tinggi untuk mendorong ekspor dari surplus produk pertaniannya, (c) dalam AoA tidak terdapat fleksibilitas yang memadai bagi negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian tarif sejalan dengan perkembangan masalah dan perdagangan komoditas pertanian di negaranya (Malian, 2004).
40
Dengan bebasnya impor kedelai mengakibatkan harga kedelai di pasar domestik mengalami tekanan. Meningkatnya impor kedelai ini berpengaruh terhadap penurunan produksi kedelai dalam negeri. Penurunan produksi dalam negeri terjadi sejak tahun 1993 dan menurun tajam sejak tahun 2000.
Dalam menstabilkan harga kedelai dalam negeri, pada awal tahun delapan puluhan Bulog melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya untuk menjamin ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota KOPTI. Pengadaan kedelai dalam negeri hanya berlangsung pada tahun 1979/80 – 1982/83 dalam jumlah kurang dari 1 persen dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui impor berlangsung tiap tahun dalam jumlah besar dan harga lebih murah. Sebelum krisis ekonomi, harga yang ditetapkan Bulog umumnya sedikit lebih tinggi dari harga impor, sehingga mampu menyangga harga kedelai lokal (Amang, 1996).
Semenjak peran Bulog sebagai agensi perdagangan pemerintah untuk kedelai dicabut pada 1998, semua pelaku agribisnis dapat memperdagangkan kedelai dengan bea masuk 0 persen, Ppn 10 persen dan Pph 2,5 persen. Meskipun sejak Mei 2002 pemerintah menetapkan mekanisme NPIK (Nomor Pengenal Importir Khusus) untuk meredam impor kedelai, namun efektivitas mekanisme NPIK ini masih lemah untuk mengendalikan impor kedelai (Ditjen P2HP, Deptan, 2005).
Kebijakan perdagangan internasional yang lain adalah pengenaan tarif ad-valorem untuk kedelai impor. Tarif tersebut dimulai sejak tahun 1974 sampai 1982 sebesar 30 persen. Sejak tahun 1983 sampai 1993 tarif impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen sejak tahun 1994 sampai 1996. Pada tahun 1997 tarif diturunkan lagi menjadi 2,5 persen dan dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 sampai 2003. Pada tahun 2004 menjadi 5 persen dan sejak 1 Januari 2005 sampai 2010 menjadi 10 persen. Kebijakan pengenaan tarif impor biasanya akan menaikkan harga kedelai dalam negeri termasuk harga produsen (Ditjen P2HP, Deptan, 2005).
41
4.4. Kebijakan Nilai Tukar Sistem nilai tukar (kurs) mata uang pada dasarnya dibagi dalam dua sistem, yaitu nilai tukar tetap dan nilai tukar fleksibel.
Dalam sistem nilai tukar tetap,
pemerintah menetapkan nilai mata uangnya secara tetap terhadap mata uang asing. Sistem nilai tukar fleksibel, pemerintah menyerahkan nilai mata uangnya pada mekanisme pasar.
Pada sistem nilai tukar fleksibel, meskipun nilai mata uangnya diserahkan pada mekanisme pasar, tetapi dalam pelaksanaannya negara mengintervensi
dengan
menggunakan cadangan devisa yang dimiliki untuk menjaga agar nilai mata uangnya tidak naik (apresiasi) terlalu tinggi atau turun (depresiasi) terlalu jauh. Apresiasi yang terlalu tinggi akan mengakibatkan harga produk ekspor terlalu mahal bagi luar negeri yang dapat berakibat turunnya volume ekspor dan produksi serta mendorong terjadinya pengangguran. Sebaliknya depresiasi yang terlalu besar akan menyebabkan harga barang-barang impor menjadi lebih
mahal yang
berakibat terjadinya defisit neraca pembayaran.
Apabila pemerintah turut campur dalam mempengaruhi permintaan dan penawaran mata uangnya di pasar uang, berarti pemerintah menerapkan sistem kurs mengambang terkendali (managed float system). Sistem ini banyak digunakan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
4.5. Efisiensi Pemasaran Pemasaran kedelai di Indonesia umumnya melewati mata rantai yang cukup panjang, seperti diuraikan pada Gambar 3. Rantai pemasaran tersebut sering merugikan petani maupun konsumen. Petani menerima harga rendah, sedangkan konsumen harus membayar dengan harga tinggi. Pada umumnya petani tidak dapat menjual langsung kepada konsumen terutama apabila mereka telah terikat dengan pinjaman modal dalam melakukan usahataninya.
42
Petani biasanya menjual hasilnya kepada pedagang pengumpul di tingkat desa, kemudian pedagang pengumpul desa menjual ke pedagang pengumpul yang lebih besar (tingkat kecamatan atau kabupaten). Setelah itu baru ke pedagang grosir diteruskan ke pedagang pengecer, selanjutnya kepada konsumen. Untuk kedelai, pemerintah belum mempunyai instrumen kebijakan seperti beras. Pemasaran komoditi kedelai diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.
KEDELAI IMPORT
Grosir Daerah Lain
KOPTI
Pabrik Tempe
Pabrik Tahu
Pabrik kecap
55 % 5%
95 % GROSIR PROPINSI
Pedagang Antar Pulau
Grosir Kabupaten
Pabrik Tahu/ Tempe Lokal
Grosir Propinsi Lain
10 % 60 %
Grosir Kecamatan
10 % 40 %
Pengumpul Desa
Pengecer
60 % Petani
Gambar 3. Rantai Pemasaran Kedelai di Pulau Jawa
43
Efisiensi pemasaran diperlukan karena sangat berkaitan erat dengan dayasaing suatu produk. Efisiensi pemasaran hanya dapat ditingkatkan jika pemerintah dapat memperbaiki infrastruktur transportasi, mengembangkan sistem informasi harga, dan memperluas jangkauan kredit bagi mereka yang sedang atau ingin masuk ke dalam bisnis pemasaran kedelai. Apabila ditingkat on farm masalah produktivitas dapat ditangani dengan baik, maka dengan kelengkapan efisiensi pasar, kedelai dalam negeri dapat bersaing dengan kedelai impor.