PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI NASIONAL SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP STRATEGI PENCAPAIAN SWASEMBADA KEDELAI NASIONAL
Oleh : DEDY MARETHA A14104530
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN DEDY MARETHA. Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Serta Implikasinya Terhadap Strategi Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional (Dibawah bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS)
Salah satu komoditas tanaman pangan yang terpenting untuk dikonsumsi masyarakat adalah kedelai. Kedelai (Glicine max) adalah tanaman semusim yang termasuk dalam famili Leguminosae, berasal dari Cina dan kemudian dikembangkan keberbagai Negara seperti Amerika, Amerika Latin dan Asia. Kedelai dapat dibudidayakan di daerah sub tropis dan tropis dengan teknis budidaya yang sederhana. Sampai saat ini masih terjadi kesenjangan sangat lebar antara konsumsi kedelai dengan produksi kedelai yang berasal dari produksi dalam negeri. Konsumsi kedelai sebesar 1.832.027 ton terjadi pada tahun 2002, sedangkan produksi kedelai sebesar 673.000 ton terjadi pada tahun 2002, sehingga terjadi defisit yang cukup besar yaitu 1.159.027 ton. Sehingga Penelitian ini bertujuan untuk: Mengidentifikasi pola data historis dan peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional sampai tahun 2015 (2) Mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal yang penting untuk dipertimbangkan (3) Merumuskan alternatif strategi agribisnis kedelai dan identifikasi berdasarkan skala prioritas untuk pencapaian swasembada kedelai nasional. Produksi merupakan gambaran atas suatu hubungan antara masukan dan keluaran yang dinyatakan dalam bentuk fungsi produksi. Faktor yang langsung berpengaruh terhadap produksi adalah faktor luas panen dibanding luas tanam. Permintaan adalah keinginan akan produk-produk tertentu yang didukung oleh suatu kemempuan dan keinginan untuk membelinya. Melihat fenomena perkedelaian saat ini, maka dibutuhkan peramalan konsumsi dan produksi kedelai nasional hingga beberapa tahun ke depan, dalam hal ini yaitu delapan tahun ke depan. Dengan menggunakan metode peramalan ARIMA maka dilhat bagaimana pola data konsumsi dan produksi kedelai nasional beberapa tahun kedepan,peramalan produksi dan konsumsi, skenario pencapaian swasembada kwedelai nasional dibandingkan dengan target Departemen Pertanian dan ARIMA, sehingga dapat dilihat pula apakah terjadi surplus atau defisit. Tahap selanjutnya mengimplikasikan hasil ramalan dalam upaya pencapaian swasembada kedelai nasional untuk delapan tahun ke depan. Dimana hasil ramalan yang diperoleh akan didiskusikan dengan ahli perkedelaian yaitu pihak pemerintah (Departemen Pertanian). Hasil ramalan produksi dan konsumsi dengan mengunakan ARIMA menunjukan nilai sebesar masing-masing 775437 ton dan 2080272 ton, hal ini menunjukan belum tercapainya swasembada kedelai pada tahun 2015. Untuk itulah dibuatlah skenario pencapaian swasembada kedelai tahun 2015 dengan menggunakan Analisis Regresi .
Dari Skenario diperoleh nilai prediksi Produksi pada tahun 2015 sebesar 2.673.225 ton sedangkan hasil prediksi konsumsi ARIMA sebesar 2.080.272 ton dan hasil prediksi konsumsi Departemen Pertanian sebesar 2.341.594 ton. Hal ini menunjukan bahwa sudah tercapainya swasembada kedelai tahun 2015, karena nilai produksi (skenario) lebih besar daripada nilai hasil prediksi konsumsi ARIMA dan hasil prediksi Departemen Pertanian pada tahun 2015. Selanjutnya pembahasan mengenai analisis perumusan strategi alternatif dengan menggunakan Matriks SWOT dan QSPM, maka didapat 4 strategi alternatif terpilih dari 7 strategi alternatif yang diperoleh. Adapun ke 4 strategi alternatif terpilih yaitu sebagai berikut: Strategi alternatif terpilih yang pertama : memberlakukan tarif impor kedelai sebesar lebih dari 20 % serta mengawasi sistem perdagangan kedelai terhadap penyelundupan produk-produk ilegal kedelai serta mengasi pintu-pintu masuk penyelundupan barang dari luar negeri. Strategi alternatif terpilih yang kedua : mengatur alokasi anggaran yang memadai untuk penelitian dan pengembangan perkedelaian, peningkatan kerjasama kemitraan antar lembaga penelitian, serta meningkatkan peran serta masyarakat. Strategi alternatif terpilih yang ketiga : meningkatkan pengembangan dan penyajian benih, bibit unggul dan alsintan, serta peningkatan produktivitas melalui perbaikan genetis dan teknlogi budidaya dan peningkatan efisien penaganan pasca panen dan pengolahan. Strategi alternatif terpilih yang keempat : meningkatkan mutu atau kualitas kedelai nasional, serta meningkatkan keamanan dan higienitas kedelai yang dikonsumsi masyarakat
PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI NASIONAL SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PENCAPAIAN SWASEMBADA KEDELAI NASIONAL
Oleh : DEDY MARETHA A 14104530
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor SSSSss
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi : Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Serta Implikasinya Terhadap Strategi Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional Nama : Dedy Maretha NRP : A14104530
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian IPB
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian: 6 September 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI BERJUDUL ”PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI NASIONAL SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PENCAPAIAN SWASEMBADA KEDELAI NASIONAL” BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA TULIS ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, 6 September 2008
Dedy Maretha A 14104530
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 20 Maret 1983. Penulis adalah anak ke enam dari enam bersaudara atas pasangan Djabaruddin Hasan dan Cik Inung. Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Lahat Sumatera Selatan dan pada tahun yang sama lulus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru di Politeknik Pertanian Universitas Andalas Sumatera Barat Program Studi Budidaya Tanaman Perkebunan Jurusan Budidaya Tanaman Perkebunan.
Kemudian penulis
melanjutkan kuliah di Program Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor hingga tahu 2008.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin saya panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan Ridho-Nya saya dapat menyusun skripsi ini. Sehingga skripsi ini dapat memberikan hasil dan manfaat bagi saya maupun pembaca lainnya, untuk mendapat pengetahuan tentang bagaimana kondisi Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Serta Implikasinya Terhadap Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional Semoga skripsi ini bermanfaat bagi mahasiswa Fakultas Pertanian Khususnya, serta pembaca lainnya.
Bogor, September 2008
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulisan skipsi ini tidak dapat selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Orang tuaku tersayang, dan tercinta atas kasih sayang yang selalu tercurah, do’a dan dukungan secara moril maupun materil, serta: 1.
Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, arahan, semangat, dorongan serta kelancaran dan kemudahan kepada saya dalam penyelesaian skripsi ini.
2.
Bapak DR. Nunung Kusnadi selaku dosen pembimbing sampai saat persiapan kolokium.
3.
Febriantina Dewi, SE, MSc selaku dosen evaluator.
4.
Ir. Harmini MS, sebagai Dosen Penguji Utama.
5.
Rahmat Yanuar ,SP,Msi, sebagai Dosen Penguji Perwakilan Komisi Pendidikan.
6.
Ir. Yayah K. Wagiono, ME.c. ; Ketua Ekstensi Manajemen Agribisnis.
7.
Dr. Ir. Hasanuddin Ibrahim ; Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian.
8.
Ir. Sri Wulan, Msi.; Kepala Bagian Konsumsi Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian- Jakarta.
9.
Para Dosen Ekstensi Manajemen Agribisnis.
10. Rizma Aldillah, SP. atas support dan kasih sayangnya. 11. Marudut Hutabalian sebagai pembahas dalam seminar.
Bogor, 6 September 2008 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR.............................................................................. iv DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... v I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang................................................................................... 1.2.Perumusan Masalah ........................................................................... 1.3.Tujuan Penelitian ............................................................................... 1.4.Kegunaan Penelitian........................................................................... 1.5.Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................
1 5 8 8 9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Budidaya Kedelai............................................................................... 2.2.Syarat Tumbuh................................................................................... 2.3.Teknik Budidaya................................................................................ 2.4.Tinjauan Penelitian Terdahulu............................................................
10 10 10 15
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.Kerangka Pemikiran Teoritis.............................................................. 3.1.1 Konsep Produksi............................................................... 3.1.2 Konsep Konsumsi............................................................. 3.1.3 Konsep Peramalan ............................................................ 3.1.4 Jenis-jenis Peramalan........................................................ 3.1.5 Identifikasi Pola Data Metode Time Series........................ 3.1.6 Metode Arima................................................................... 3.1.7 Metode Kausal.................................................................. 3.1.8 Matriks SWOT dan QSPM ............................................... 3.2.Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................
19 19 24 30 31 31 32 34 35 37
IV. METODE PENELITIAN 4.1.Waktu dan Tempat............................................................................. 4.2.Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 4.3.Alat Analisis ...................................................................................... 4.4.Metode Analisis ................................................................................. 4.4.1 ARIMA (Box Jenkins)...................................................... 4.4.2 Pemilihan Metode Peramalan Terakurat............................ 4.4.3 Regresi Berganda.............................................................. 4.4.4 Menentukan Ramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai..... 4.4.5 Matriks SWOT ................................................................. 4.4.6 Matriks QSPM..................................................................
42 42 43 43 43 47 48 53 53 55
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.Perkembangan Kedelai di Indonesia ................................................... 5.1.1 Produksi Kedelai............................................................... 5.1.2 Konsumsi Kedelai............................................................. 5.1.3 Luas Panen Kedelai .......................................................... 5.1.4 Produktivitas Kedelai........................................................ 5.1.5 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai dibandingkan dengan Target Departemen Pertanian .......... 5.1.6 Skenario Pencapaian Swasembada dengan Peningkatan Produktivitas dan Luas Panen ........................................... 5.2.Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal ........................................... 5.2.1 Faktor Internal .................................................................. 5.2.2 Faktor Eksternal................................................................ 5.3.Alternatif Strategi dengan Matriks SWOT.......................................... 5.4.Pilihan Alternatif Strategi dengan QSPM ...........................................
60 60 62 63 65 67 69 72 73 74 75 77
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1.Kesimpulan........................................................................................ 6.2.Saran..................................................................................................
85 86
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
87
LAMPIRAN ...........................................................................................
90
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
Halaman
Data Konsumsi, Produksi dan Neraca Kedelai Nasional (ton) Tahun 1992–2007.........................................................................
2.
Perkembangan Harga Kedelai Impor, Harga Kedelai Dalam Negeri, Ekspor dan Impor Kedelai Nasional Tahun 1992 –2007 ...
3.
US $ Tahun 1992 – 2007.................................................
6
Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai dibandingkan dengan Target Departemen Pertanian ...........................................
5.
3
Perkembangan Nilai Impor, Ekspor dan Neraca Kedelai Nasional dalam
4.
2
67
Hasil Produksi, Peningkatan Produktivitas sebesar 10 %/tahun dan peningkatan Luas Panen sebesar 15 %/tahun dibandingkan dengan Hasil ramalan ARIMA serta target Departemen Pertanian ............
70
6.
Kekuatan (S) Internal Dalam Agribisnis Kedelai Nasional............
74
7.
Kelemahan (W) Internal Dalam Agribisnis Kedelai Nasional .......
74
8.
Peluang (O) Eksternal Dalam Agribisnis Kedelai Nasional...........
75
9.
Ancaman (T) Eksternal Dalam Agribisnis Kedelai Nasional.........
75
10.
Hasil Analisis Matriks SWOT ......................................................
76
11.
Hasil Nilai Akhir Total Daya Tarik Alternatif strategi Berdasarkan QSPM ..........................................................................................
78
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Elastisitas Produksi dan daerah-daerah Produksi...........................
22
2.
Contoh indifference curva ............................................................
28
3.
Substitusi Sempurna Tiga indifference curve barang X dan Y ......
29
4.
Complement Sempurna Indifference curve barang X dan Y..........
29
5.
Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional...............................
41
6.
Matriks SWOT (Stenght-Weaknesses-Opportunities-Threats) ......
55
7.
Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif (QSPM) ......................
59
8.
Plot Data Produksi Kedelai Indonesia Tahun 1960-2007 ..............
60
9.
Pola Data Konsumsi Kedelai Indonesia Tahun 1969-2007............
62
10.
Pola Data Luas Panen Indonesia Tahun 1969-2007.......................
63
11.
Pola Data Produktivitas Kedelai Indonesia Tahun 1969-2007......
64
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Taksonomi Metode Peramalan Kuantitatif....................................
2.
Tabel Data produksi, Konsumsi,Luas Panen dan Produktivitas Kedelai Nasional Tahun 1969-200786.........................................
3.
90 91
Tabel Daftar Means Square Error (MSE) dengan Kombinasi AR dan MA (Sebelum Differencing; d=0) untuk Konsumsi Kedelai Nasional ..........................................................................
4.
92
Tabel Daftar Means Square Error (MSE) dengan Kombinasi AR dan MA (Setelah Differencing 1 kali ; d=1) untuk Konsumsi Kedelai Nasional ..........................................................................
5.
92
Tabel Daftar Means Square Error (MSE) dengan Kombinasi AR dan MA (Setelah Differencing 2 kali ; d=2) untuk Konsumsi Kedelai Nasional ..........................................................................
6.
93
Tabel Hasil Output Minitab Version 14 untuk Data Konsumsi Kedelai Nasional dari Tahun 1969-2007 dengan Berbagai Macam model ARIMA (p, d, q)....................................................
7.
93
Tabel Daftar Means Square Error (MSE) dengan Kombinasi AR dan MA (Sebelum Differencing; d=0) untuk Produksi Kedelai Nasional ..........................................................................
8.
103
Tabel Daftar Means Square Error (MSE) dengan Kombinasi AR dan MA (Setelah Differencing 1 kali ; d=1) untuk Produksi Kedelai Nasional ..........................................................................
9.
103
Tabel Daftar Means Square Error (MSE) dengan Kombinasi AR dan MA (Setelah Differencing; d=2) untuk Produksi Kedelai Nasional ..........................................................................
10.
104
Tabel Hasil Output Minitab Version 14 untuk Data Produksi Kedelai Nasional dari Tahun 1969-2007 dengan Berbagai Macam model ARIMA (p, d, q)....................................................
104
11.
Tabel Hasil Wawancara dengan Ibu Ir. Sri Wulan, MSi................
114
12.
Hasil analisis Matriks QSPM........................................................
115
13.
Grafik Plot Data Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Sebelum Differencing) ................................................................
14.
Grafik Plot Data Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Setelah Differencing) ..................................................................
15.
27.
121
Grafik Partial Autocorrelation untuk Produksi Kedelai Nasional Tahun 1969- 2007(Setelah Differencing)......................................
26.
121
Grafik Autocorrelation untuk Produksi Kedelai Nasional (Setelah Differencing) ..................................................................
25.
120
Grafik Partial Autocorrelation untuk Produksi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Sebelum Differencing)....................................
24.
120
Grafik Autocorrelation untuk Produksi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Sebelum Differencing)....................................
23.
119
Grafik Plot Data Produksi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Setelah Differencing) ..................................................................
22.
119
Grafik Plot Data Produksi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Sebelum Differencing) ................................................................
21.
118
Grafik Plot Data untuk Peramalan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2008-2015 dengan Model ARIMA (3,0,0) .........................
20.
118
Grafik Partial Autocorrelation untuk Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Setelah Differencing)......................................
19.
117
Grafik Autocorrelation untuk Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Setelah Differencing).................................................
18.
117
Grafik Partial Autocorrelation untuk Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Sebelum Differencing)....................................
17.
116
Grafik Autocorrelation untuk Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Sebelum Differencing)...............................................
16.
116
122
Grafik Plot Data untuk Peramalan Produksi Kedelai Nasional Tahun 2008-2015 dengan Model ARIMA (3,1,2) .........................
122
Hasil Analisis Regresi......................................................................
123
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tanaman Pangan merupakan komoditas penting dan strategis, karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia, hal ini terdapat dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Salah satu komoditas tanaman pangan yang terpenting untuk dikonsumsi masyarakat adalah kedelai. Kedelai (Glicine max) adalah tanaman semusim yang termasuk dalam famili Leguminosae, berasal dari Cina dan kemudian dikembangkan keberbagai Negara seperti Amerika, Amerika Latin dan Asia. Kedelai dapat dibudidayakan di daerah sub tropis dan tropis dengan teknis budidaya yang sederhana. Sampai saat ini masih terjadi kesenjangan sangat lebar antara konsumsi kedelai dengan produksi kedelai yang berasal dari produksi dalam negeri. Konsumsi kedelai sebesar 1.832.027 ton terjadi pada tahun 2002, sedangkan produksi kedelai sebesar 673.000 ton terjadi pada tahun 2002, sehingga terjadi defisit yang cukup besar yaitu 1.159.027 ton.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tahun 1992 sampai tahun 2005 terjadi penurunan produksi kedelai sejalan dengan penurunan luas panen kedelai. Puncak Produksi kedelai terjadi pada tahun 1992 sebesar 1.869.710 ton tetapi sejak 1993 terus menurun. Pada 2003 jumlah kedelai yang hanya 671.600 ton disebabkan gairah petani menanam kedelai turun dipicu masuknya kedelai impor dengan harga murah. Saat itu bea
masuk impor kedelai nol persen. Produksi kedelai pada 2004 hingga 2006 sempat meningkat. Namun pergerakannya sangat lambat, pada 2004 hanya 723.483 ton, 808.353 ton (2005) dan 746.611 ton (2006). Bahkan pada 2007 kembali turun menjadi sekitar 592.381 ton. Tabel 1. Tabel Data Konsumsi , Produksi dan Neraca Kedelai Nasional (ton) Tahun 1992 – 2007 Tahun Konsumsi (ton) Produksi (000 ton) Neraca 2.322.742 1.869.710 1992 -453.032 2.254.820 1.708.530 1993 -546.290 2.085.996 1.564.850 1994 -521.146 2.133.188 1.680.010 1995 -453.178 2.182.590 1.517.180 1996 -665.410 1.794.537 1.356.890 1997 -437.647 1.649.000 1.305.640 1998 -343.360 1.166.574 1.382.850 1999 216.276 2.048.138 1.017.630 2000 -1.030.508 1.200.598 826.930 2001 -373.668 1.832.027 673.060 2002 -1.158.967 1.675.973 671.600 2003 -1.004.373 1.562.901 723.480 2004 -839.421 1.707.176 808.350 2005 -898.826 1.844.193 746.610 2006 -1.097.583 2.000.000 592.381 2007 1.407.619 Sumber : Departemen Pertanian, 2007 Pada tahun 1992 sampai tahun 2005 terjadi penurunan produksi kedelai sejalan dengan penurunan luas panen kedelai. Puncak Produksi kedelai terjadi pada tahun 1992 sebesar 1.869.710 ton tetapi sejak 1993 terus menurun. Setiap tahun terjadi penurunan luas panen kedelai dengan rata-rata penurunan mencapai 6,33 persen per tahun. Perkembangan konsumsi kedelai sejak tahun 1992 sampai dengan tahun 2002 menunjukan kecenderungan menurun, namun pada tahun 2003-2005 terjadi sedikit peningkatan konsumsi kedelai per kapita karena adanya kenaikan harga kedelai. Konsumsi kedelai per kapita tahun 2005 mencapai 7,68 kg/tahun.
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa impor kedelai mulai meningkat setelah setelah krisis moneter, yaitu pada periode tahun 1999 sampai dengan tahun 2004. Pada periode tersebut terjadi tekanan terhadap harga kedelai di pasar domestik dan berpengaruh terhadap penurunan produksi kedelai dalam negeri. Pada tahun 2005 impor kedelai yang menurun mungkin disebabkan oleh kenaikan harga kedelai dunia, kondisi ini merupakan peluang emas bagi Indonesia untuk memacu peningkatan produksi kedelai dalam negeri. Meskipun Indonesia merupakan negara importir kedelai tetapi Indonesia melakukan ekspor, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Tabel 2 juga memperlihatkan bahwa kenaikan harga kedelai yang paling signifikan terjadi pada tahun 1998. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi krisis moneter yang terjadi sejak tahun 1997, yang juga dapat menyebabkan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida turut mengalami lonjakan harga. Hal ini berakibat pada meningkatnya biaya produksi sehingga petani sebagai produsen harus menaikan harga jual kedelai untuk menyesuaikan kenaikan harga sarana produksi tersebut. Tabel 2. Perkembangan Harga Kedelai Impor, Harga Kedelai Dalam Negeri, Ekspor dan Impor Kedelai Nasional Tahun 1992 – 2007 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Harga kedelai dalam negeri (Rp/kg) 3.404,33 4.073,14 3.478,50 3.796,75 4.197,60 3.898,36 3.989,05 4.228,13
Harga Kedelai Impor (Rp/Kg)
Impor(ribu ton)
Ekspor(ribu ton)
2.876,20 1.856,16 2.011,91 2.520,27 2.300,11 2.505,51 3.073,63 3.460,65
1.030,78 2.226,47 2.574,00 2.224,71 1.365,25 2.773,67 2.881,74 1.817,54
0,96 0,13 0,57 1,19 0,00 13,62 18,38 4,92
Sumber : Departemen Pertanian, 2006
Laju impor kedelai dapat diperkecil melalui berbagai strategi, yaitu peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, peningkatan efisien produksi, penguatan kelembagaan petani, peningkatan kualitas dan nilai tambah produk, perbaikan akses pasar dan sistem permodalan, pengembangan infrastruktur, serta pengaturan tataniaga dan insentif usaha. Mengingat penduduk Indonesia cukup besar dan industri pangan berbahan baku kedelai berkembang pesat maka pengembangan kedelai perlu mendapat prioritas dalam pembangunan pertanian nasional. Strategi usaha pertanian hilir yaitu industri tahu, tempe dan kecap membutuhkan kedelai dalam jumlah yang terus meningkat. Pada tahun 2002 saja, kebetuhan kedelai untuk tahu dan tempe mencapai 1,78 juta ton, atau 88% dari total kebutuhan nasional. Industri pakan ternak (unggas) merupakan usaha hilir yang cukup penting dalam agribisnis kedelai. Dalam pembuatan pakan ternak diperlukan bungkil kedelai dengan proporsi 15-20% dari komposisi bahan pakan. Kedelai juga diperlukan sebagai bahan baku industri tepung, pangan olahan dan pati. Industri lainnya membutuhkan kedelai sebanyak 12% dari total kebutuhan nasional. Strategi pengembangan agribisnis kedelai diarahkan untuk pengembangan kedelai dengan tujuan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek-menengah adalah meningkatkan produksi untuk memenuhi 60% kebutuhan. Dengan kata lain, impor kedelai yang saat ini mencapai 60-65% dari total kebutuhan dapat ditekan menjadi 40%.
Tujuan jangka panjang adalah
swasembada kedelai. Upaya peningkatan produksi dibarengi dengan upaya peningkatan efisiensi, kualitas dan nilai tambah produksi, penguasaan pasar, dan
perluasan peranan pengguna. Dalam hal ini diperlukan dukungan dari pemerintah dan swasta. Dengan alasan tersebut maka penelitian ini dilakukan. 1.2. Perumusan Masalah Departemen Pertanian (Deptan) pada tahun ini siap mengembangkan tanaman kedelai di daerah yang bukan produsen padi dan jagung untuk mengimbangi penurunan produksi komoditas tersebut pada tahun 2007. Pengembangan kedelai di daerah sentra produksi padi dan jagung tidak akan maksimal karena akan terjadi persaingan lahan bagi ketiga komoditas pangan itu. Oleh karena itu pada tahun 2008 akan dikembangkan kedelai di daerah yang tidak bersinggungan dengan padi dan jagung. Dimana hal ini terkait dengan target Departemen Pertanian untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai nasional untuk menekan laju impor kedelai hingga 2015. Hal yang memperkuat produktivitas kedelai ditingkatkan adalah karena kedelai merupakan sumber protein nabati yang harganya relatif terjangkau masyarakat luas, sehingga konsumsinya semakin meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk. Sehingga Departemen Pertanian menetapkan angka target produksi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam pencapaian swasembada kedelai nasional, disamping meningkatkan mutu nasional serta meningkatkan kerjasama antara petani dan industri pengolahan. Jika peningkatan produksi kedelai dilakukan dengan pengembangan di Jawa ataupun Lampung, lahannya harus bersaing dengan pertanaman padi dan jagung sehingga tidak akan optimal. Sebelumnya produksi kedelai pada tahun 2007 menurun 18,64 persen dibanding 2006. Salah satu penyebab turunnya produksi kedelai tersebut karena terjadinya kompetisi lahan dengan padi, jagung,
tebu dan tembakau serta rendahnya produktivitas areal pertanaman. Kedelai juga masih dianggap tanaman selingan dalam sistem budidaya tanaman pangan. Tabel 3. Perkembangan Nilai Impor, Ekspor dan Neraca Kedelai Nasional dalam US $ Tahun 1992 – 2007 Ekspor(000 US $) Tahun Impor (000 US $) 147.983,00 399 1990 226.495,00 404 1991 229.042,00 3.307 1992 288.890,00 1.421 1993 364.850,00 4.720 1994 350.657,00 1.080 1995 518.689,00 955 1996 513.597,00 17.239 1997 270.435,00 179 1998 472.211,00 754 1999 557.148,00 159 2000 494.232,00 358 2001 582.475,03 4.509 2002 706.753,13 6.303 2003 967.957,30 6.703 2004 493.212,72 3.153 2005 830.836,02 8.405 2006 Sumber : Departemen Pertanian, 2006
Neraca(000 US $) -147.584,00 -226.091,00 -225.735,00 -287.469,00 -360.130,00 -349.577,00 -517.734,00 -496.358,00 -270.256,00 -471.457,00 -556.989,00 -493.874,00 -577.966,42 -700.449,96 -961.254,19 -490.060,14 -822.431,02
Data Departemen Pertanian mencatat pada 1990 impor kedelai hanya sebesar 546.310.000 ton dengan nilai sebesar 147.983.000 dolar AS. Impor kedelai kemudian meningkat tajam dari tahun ke tahun. Misalnya, pada 2000 mencapai 2.574.000 ton dengan nilai 557.148.000 dolar AS, sedangkan antara dari 2000–2005 rata-rata 2.272.818 ton dengan nilai 633.629.696. Penurunan harga riil diduga menjadi disinsentif yang menyebabkan terjadinya penurunan areal panen kedelai. Persaingan penggunaan lahan dengan palawija lainnya juga diduga sebagai penyebab turunnya areal panen kedelai. Indikatornya adalah kenaikan harga riil jagung. Secara teoritis, kenaikan harga jagung
akan
mendorong
petani
untuk
menanam
komoditas
tersebut.
Konsekuensinya, kenaikan areal tanaman jagung (sebagai komoditas pesaing) dengan sendirinya akan mengurangi areal kedelai, karena lahan yang dugunakan adalah lahan yang sama. Penurunan produksi kedelai antara lain disebabkan oleh produktivitas lahan yang masih rendah, berkurangnya luas areal panen, gagalnya panen karena iklim yang tidak cocok untuk pertumbuhan, juga karena belum dikuasainya teknologi produksi yang maju oleh petani. Sebagai perbandingan produktivitas di negara-negara penghasil utama seperti Amerika Serikat dan Brazil berkisar 2–7 ton/ha. Produktivitas rata-rata kedelai nasional masih rendah, tahun 2007 mencapai 12,1 ku/ha atau 1,2 ton/ha. Rendahnya produktivitas kedelai dikarenakan anjuran teknologi belum diterapkan secara tepat, lemahnya permodalan petani untuk pengadaan saprodi serta masih terbatasnya benih kedelai unggul. Potensi hasil ditingkat penelitian dan percobaan mencapai 2 ton atau lebih, senjang hasil masih tinggi antar ditingkat petani dan penelitian. Menurunnya
gairah
petani menanam
kedelai
karena
dianggap
kurang
menguntungkan. Perkembangan harga kedelai dan jagung merupakan salah satu indikator adanya persaingan penggunaan lahan. Kenaikan harga jagung akan mendorong petani untuk menanam jagung, sehingga akan menurunkan areal tanam kedelai. Dari segi persaingan harga pasar, ternyata harga riil kedelai impor jauh lebih murah daripada kedelai produksi dalam negeri. Hal ini juga merupakan disinsentif bagi petani dalam menanam kedelai. Selama harga kedelai impor masih rendah, arus impor akan makin deras, dan harga kedelai produksi dalam negeri akan turun, sehingga petani tidak bergairah menanam kedelai. Kedua faktor tersebut diduga
merupakan penyebab turunnya areal kedelai secara drastis dalam periode 19902004. Jika kondisi ini terus berlangsung dan tanpa terobosan kebijakan dalam pemasaran kedelai, maka prospek pasar kedelai di indonesia akan suram. Berdasarkan permasalahan kedelai yang telah dipaparkan, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pola data historis dan peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional hingga 2015? 2. Bagaimana kondisi lingkungan internal dan eksternal dari agribisnis kedelai? 3. Bagaimana alternatif strategi agribisnis kedelai nasional untuk pencapaian swasembada kedelai nasional? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi pola data historis dan peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional sampai tahun 2015 2. Mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal yang penting untuk dipertimbangkan. 3. Merumuskan alternatif strategi agribisnis kedelai dan identifikasi berdasarkan skala prioritas untuk pencapaian swasembada kedelai nasional. 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pelaku bisnis sebagai acuan dalam merencanakan strategi pengembangan agribisnis kedelai, baik yang sedang berlangsung maupun yang akan diusahakan. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai aplikasi nyata dari ilmu yang didapat selama kuliah serta dapat menambah keterampilan, kemampuan dan pengalaman.
Sedangkan bagi pembaca penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai tambahan informasi dan literatur untuk penelitian selanjutnya. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini dilakukan peramalan mengenai produksi dan konsumsi kedelai nasional selama 8 tahun ke depan dengan menggunakan metode ARIMA berdasarkan data produksi dan konsumsi kedelai nasional dari tahun 1969 – 2007. Selain itu hasil pencapaian swasembada kedelai nasional dianalisis dengan melakukan sharing dan diskusi dengan para ahli perkedelaian yaitu pemerintah (Departemen Pertanian). Dimana data konsumsi dan produksi tersebut diperoleh dari Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian-Jakarta, yang berdasarkan pada data tahunan. Penelitian ini memiliki keterbatasan, namun tujuan penelitian masih dapat tercapai, diantaranya sebagai berikut: 1. Data yang digunakan tahunan, sehingga model yang dirumuskan tidak menggambarkan fluktuasi bulanan, mingguan, bahkan harian, seperti harga dan tidak menggambarkan fluktuasi musiman. 2. Terdapat beberapa faktor, yaitu data luas panen, harga jual, produktivitas, ekspor impor yang sebenarnya mempengaruhi pola data atau kecenderungan yang terjadi dari peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional. Namun karena keterbatasan waktu dan materiil lainnya, maka diasumsikan faktorfaktor tersebut ceteris paribus. Begitupun dengan faktor kebijakan perkedelaian yang tidak dapat dikuantitatifkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budidaya Kedelai 2.1.1. Syarat Tumbuh Tanaman dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah asalkan memiliki drainase (tata air) dan aerasi (tata udara) tanah cukup baik, curah hujan 100-400 mm/bulan, suhu udara 230C-300C, kelembaban 60%-70%, pH tanah 5,8-7 dan ketinggian kurang dari 600 m dpl. 2.1.2. Teknik Budidaya Teknik budidaya kedelai yang dilukakan sebagian besar petani umumnya masih sangat sederhana, baik dalam hal pengolahan tanah, pemupukan dan pemberantasan hama/penyakitnya, sehingga produksinya masih relatif rendah. Sebagian besar petani tidak melakukan pengolahan tanah (TOT = tanpa olah tanah), terutama tanah bekas padi atau tebu. Tanah hanya dibersihkan dari jerami padi dan daun tebu, yang selanjutnya bibit kedelai ditebar atau ditugal terlebih dahulu untuk lubang untuk penanaman biji kedelai. Selain itu kualitas bibitnya kurang baik, sehingga produksinya relatif rendah. Dalam hal pemupukan, sebagian besar petani belum melakukannya secara intensif atau semi intensif. Tidak menggunakan pupuk sama sekali atau minim sekali jumlahnya. Demikian juga dalam hal pemberantasan hama penyakit dapat dikatakan kurang sekali, sehingga banyak kerugian atau rendahnya produksi akibat serangan hama penyakit. Teknik produksi yang cukup intensif adalah sebagai berikut : a. Seleksi Bibit Kedelai Bibit yang baik adalah berukuran besar, tidak cacat, berwarna seragam (putih, kekuning-kuningan). Jumlah bibit antara 40-50 kg per ha untuk tanaman
monokultur, sedangkan untuk tanaman tumpangsari dengan jagung, yaitu 30 kg biji kedelai dan jagung 20 kg per ha. b. Pengolahan Tanah Di lahan kering dengan tanaman tumpang sari, tanah diolah dua kali dengan alat bajak dan luku, sedangkan di sawah dengan tanaman monokultur, tanah dibersihkan dari jerami, kemudian tanah diolah satu kali.Untuk tanah yang pH-nya rendah, diberi kapur atau dolomit antara 200-300 Kg per ha. Pada saat ini juga tanah diberi pupuk dasar, yaitu pupuk SP-36 sebanyak 100 Kg untuk monokultur, sedangkan bila tumpang sari dengan jagung dosisnya adalah sebanyak 200 kg-250 kg per ha. c. Penugalan Lubang Untuk tanaman monokultur, dibuat lubang dengan tugal dengan jarak 20 x 30 cm, sedangkan untuk tumpangsari dengan jagung lubang untuk kedelai 30 x 30 cm dan untuk jagung 90 x 90 cm. Lubang untuk jagung dibuat terlebih dahulu, dan setelah jagung tumbuh 2-3 minggu kemudian dibuat lubang untuk kedelai. d. Penanaman Kedelai Untuk tanaman monokultur, biji kedelai dimasukan dalam lubangang telah dibuat. Untuk tanaman tumpang sari, biji jagung ditanam terlebih dahulu dan 2 -3 minggu kemudian baru ditanam kedelai. e. Penyiangan dan Pemupukan Penyiangan dilakukan setelah tanaman berumur 30-35 hari, dan setelah itu langsung dipupuk, yaitu untuk tanaman monokultur dengan 50 kg urea dan 50 kg KCl. Bila kondisinya masih kurang baik, maka penyiangan dilakukan lagi pada umur 55 hari. Sedangkan untuk tanaman tumpangsari penyiangan dilakukan pada
umur jagung 40-45 hari dan setelah itu diberi pupuk sebanyak 350 kg urea dan 100 kg KCl. f. Pengairan/Drainase Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik, maka bila kekurangan air, tanaman perlu diberi pengairan, terutama pada umur 1-50 hari. Demikian pula bila tanahnya terlalu banyak air, perlu adanya drainase. g. Panen Panen kedelai dilakukan bila sebagian daunnya sudah kering. Caranya adalah dengan mencabut batang tanaman, termasuk daunnya. Selanjutnya dijemur dan setelah kering, batang berbuah tersebut dihamparkan diatas tikar bambu. Kemudian dipukul-pukul agar bijinya jatuh ketikar. Selanjutnya biji kedelai dimasukkan dalam karung. h. Penjarangan & Penyulaman Kedelai mulai tumbuh kira-kira umur 5-6 hari, benih yang tidak tumbuh diganti atau disulam dengan benih baru yang akan lebih baik jika dicampur Legin. Penyulaman sebaiknya sore hari. i. Pengelolaan Hama dan Penyakit 1. Aphis glycine Kutu ini dapat dapat menularkan virus SMV (Soyabean Mosaik Virus). Menyerang pada awal pertumbuhan dan masa pertumbuhan bunga dan polong. Gejala: layu, pertumbuhannya terhambat. Pengendalian: (1) Jangan tanam tanaman inang seperti: terung-terungan, kapas-kapasan atau kacang-kacangan; (2) buang bagian tanaman terserang dan bakar, (3) gunakan musuh alami (predator
maupun parasit); (4) semprot Natural BVR atau PESTONA dilakukan pada permukaan daun bagian bawah. 2. Kumbang daun tembukur (Phaedonia inclusa) Bertubuh kecil, hitam bergaris kuning. Bertelur pada permukaan daun. Gejala: larva dan kumbang memakan daun, bunga, pucuk, polong muda, bahkan seluruh tanaman. Pengendalian: penyemprotan PESTONA 3. Ulat polong (Ettiela zinchenella) Gejala: pada buah terdapat lubang kecil. Waktu buah masih hijau, polong bagian luar berubah warna, di dalam polong terdapat ulat gemuk hijau dan kotorannya. Pengendalian : (1) tanam tepat waktu. 4. Kepik polong (Riptortis lincearis) Gejala: polong bercak-bercak hitam dan menjadi hampa. 5. Lalat kacang (Ophiomyia phaseoli) Menyerang tanaman muda yang baru tumbuh. Pengendalian : Saat benih ditanam, tanah diberi POC NASA, kemudian setelah benih ditanam, tanah ditutup dengan jerami. Satu minggu setelah benih menjadi kecambah dilakukan penyemprotan dengan PESTONA. Penyemprotan diulangi pada waktu kedelai berumur 1 bulan. 6. Kepik hijau (Nezara viridula) Pagi hari berada di atas daun, saat matahari bersinar turun ke polong, memakan polong dan bertelur. Umur kepik dari telur hingga dewasa antara 1 sampai 6 bulan. Gejala: polong dan biji mengempis serta kering. Biji bagian dalam atau kulit polong berbintik coklat.
7. Ulat grayak (Spodoptera litura) Gejala : kerusakan pada daun, ulat hidup bergerombol, memakan daun, dan berpencar mencari rumpun lain. Pengendalian : (1) dengan cara sanitasi; (2) disemprotkan pada sore/malam hari (saat ulat menyerang tanaman) beberapa Natural VITURA. 8. Penyakit Layu Bakteri (Pseudomonas sp.) Gejala : layu mendadak bila kelembaban terlalu tinggi dan jarak tanam rapat. Pengendalian : Varietas tahan layu, sanitasi kebun, dan pergiliran tanaman. Pengendalian : Pemberian Natural GLIO 9. Penyakit layu (Jamur tanah : Sclerotium Rolfsii) Penyakit ini menyerang tanaman umur 2-3 minggu, saat udara lembab, dan tanaman berjarak tanam pendek. Gejala : daun sedikit demi sedikit layu, menguning. Penularan melalui tanah dan irigasi. Pengendalian; tanam varietas tahan dan tebarkan Natural GLIO di awal. 10. Anthracnose (Colletotrichum glycine ) Gejala: daun dan polong bintik-bintik kecil berwarna hitam, daun yang paling rendah rontok, polong muda yang terserang hama menjadi kosong dan isi polong tua menjadi kerdil. Pengendalian : (1) perhatikan pola pergiliran tanam yang tepat; (2) Pencegahan di awal dengan Natural GLIO. 11.Penyakit karat (Cendawan Phakospora phachyrizi) Gejala: daun tampak bercak dan bintik coklat. Pengendalian: (1) cara menanam kedelai yang tahan terhadap penyakit; (2) semprotkan Natural GLIO + gula pasir.
12. Busuk batang (Cendawan Phytium Sp) Gejala : batang menguning kecoklat-coklatan dan basah, kemudian membusuk dan mati. Pengendalian : (1) memperbaiki drainase lahan; (2) Tebarkan Natural GLIO di awal. 2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu Analisis
keunggulan
kompetitif
dan
komparatif
serta
dampak
kebijaksanaan pemerintah pada pengusahaan kedelai di Indonesia oleh Astuti (2004) bertujuan melihat gambaran umum usahatani kedelai di Indonesia dan permasalahan yang dihadapi, menganalisis keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pengusahaan kedelai di Indonesia, dan menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah pada harga output dan input terhadap perkembangan produksi kedelai di Indonesia. Penelitian mengenai impor kedelai Indonesia dari Amerika serikat dan aliran kedelai ke Indonesia oleh Suriffani (2004) bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi konsumsi impor kedelai dari Amerika Serikat dan menganalisis aliran impor kedelai ke Indonesia serta faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap aliran impor tersebut. Menggunakan graviti model dan analisis model untuk menjawab tujuan penelitian. Penelitian mengenai peramalan pangan yang berjudul analisis peramalan produksi dan produktivitas tanaman pangan utama (padi, jagung, kedelai) di Sumatera dan Jawa oleh Purwanto (2004), yang bertujuan untuk melihat seberapa jauh kecenderungan produksi dan produktivitas tanaman pangan utama (padi, jagung, kedelai) dari tahun 1968–2002 dan meramalkan beberapa tahun kedepan mengenai produksi dan produktivitasnya. Metode peramalan yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode peramalan box-jenkins (ARIMA). Penelitian yang dilakukan oleh Syafa’at
(1995) bertujuan untuk
mempelajari tingkah laku perdagangan wilayah kedelai di Indonesia dengan mengambil kasus di propinsi-propinsi D.I. Aceh, Jawa Barat dan Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukan bahwa selama ini kendala distribusi kedelai dari luar Jawa ke Jawa adalah lemahnya struktur kelembagaan perdagangan antara pusat produksi dengan pusat konsumsi yang memperhatikan kepentingan petani dan industri, apalagi monopoli perdagangan semakin kuat.
Oleh karena itu guna
memperbaiki sistem perdagangan kedelai dari daerah produksi ke daerah konsumsi maka alternatif yang perlu ditempuh adalah membentuk Jaringan Usaha Koperasi (Cooperation Bussiness Network) dengan mengikutsertakan PUSKUD (Pusat Koperasi Unit Desa) di dalamnya. Hal ini mengingat pada setiap propinsi penghasil kedelai terdapat PUSKUD. Penelitian
Rachman
(1988)
bertujuan
untuk
menelaah
diskripsi
pengembangan kedelai nasional dan secara khusus menganalisis secara simultan aspek produksi, permintaan dan penawaran kedelai di pedesaan Jawa. Hasil yang didapat bahwa perubahan harga beras memberi pengaruh yang relatif kecil (nilai elastisitas silang -0,35), sedangkan perubahan pendapatan memberi pengaruh positif (nilai elastis pendapatan 0,39) terhadap permintaan kedelai. Di lain pihak luas lahan yang digunakan untuk tanaman kedelai di Jawa telah melampaui batas optimal. Implikasinya adalah peningkatan produksi kedelai nasional hendaknya ditekankan pada peningkatan usaha intensifikasi di Jawa, sedangkan usaha perluasan areal diarahkan untuk daerah di luar Jawa.
Penelitian Saptana (1993) mengkaji aspek produksi dan pemasaran kedelai di Jawa Tengah . kendala pengembagan aspek produksi yang dihadapi petani kedelai di Jawa tengah adalah rendahnya persepsi dan tingkat adopsi beberapa komponen teknologi seperti benih berlabel, sistem tanam larikan, penggunaan pupuk secara lengkap dan berimbang, dan penyiangan tanaman secara lebih baik. Untuk mengatasi masalah tersebut di Wonogiri telah dihasilkan suatu paket teknologi budidaya kedelai yang dirancang oleh ESCAP CGPRT yang bekerjasama dengan Balittan Bogor dan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Secara umum aspek pemasaran kedelai berjalan cukup baik yang
ditunjukkan oleh pangsa harga yang diterima petani cukup besar (80-90%) dan tidak ada fluktuasi bulanan yang tajam. Permasalahan yang dihadapi dalam aspek pemasaran adalah rendahnya kualitas kedelai. Pemerintah diharapkan berperan dalam menetapkan harga jual dan beli pedagang besar menurut kualitas dikaitkan dengan penyaluran kedelai impor. Analisis kemungkinan pencapaian swasembada kedelai nasional dengan metode deret waktu oleh Rhenna Yuwanita (2006) bertujuan meramalkan produksi dan konsumsi kedelai nasional hingga tahun 2015, dengan menggunakan metode time series, yaitu naive, trend, simple average, simle moving average, single exponensial smoothing, double exponensial smoothing dari holt dan dari brown, serta ARIMA, namun hasil ramalannya untuk dibandingkan akurasi terhadap hasil ramalan dari BPS (Badan Pusat Stattistik). Penelitian ini bermanfaat untuk menunjukan bahwa model ARIMA menghasilkan nilai MSE (Mean Square Error ) terkecil diantara metode time series lainnya, sehingga menghasilkan nilai ramalan paling akurat.
Penelitian Nuryanti (2007) yang berjudul Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kedelai Dengan Kebijakan Tarif Optimal. Bertujuan untuk mengetahui keuntungan usahatani kedelai pada tingkat tarif saat ini, tingkat tarif optimal pada kondisi keuntungan usahatani 25 persen, dan dampak penerapan tarif optimal terhadap keseimbangan pasar domestik.
Keuntungan usahantani kedelai pada
tingkat tarif impor 10 persen adalah 18,85 persen. Tingkat tarif impor optimal untuk kedelai adalah 24,3 persen yang akan meningkatkan keuntungan usahatani menjadi 25 persen. Secara agregat, peningkatan tarif impor kedelai justru akan mengakibatkan kehilangan kesejahteraan sosial sebesar Rp 121,5 milyar. Penelitian Made Oka Adnyana (1999) tentang Potensi Peningkatan Produksi Kedelai Di Indonesia Melalui Penelitian Pengembangan Dan Pemanfaatan sumber Pertumbuhan Produksi. Dalam penelitian ini dikemukakan perkembangan produksi, produktivitas, dan kebutuhan serta perkembangan ekspor dan impor kedelai di Indonesia. Sedangkan tambahan produksi kedelai yang mampu dihasilkan dapat ditempuh dengan pemanfaatan sumber pertumbuhan produksi kedelai; (1) Perluasan areal tanam (ekstensifikasi dan peningkatan indeks pertanaman), (2) Peningkatan produktivitas (hasil/ha), (3) Peningkatan stabilitas hasil per satuan luas, (4) Mempersempit senjang hasil antara teknologi rekomendasi dengan hasil di tingkat petani, dan (5) Menekan kehilangan hasil panen dan pasca panen. Lebih lanjut, juga dibahas tentang kelayakan finansial dan keuntungan kompetitif usaha tani kedelai dibandingkan dengan impor, serta insentif ekonomi kebijaksanaan pemerintah pada usaha tani kedelai di tiga wilayah penelitian pengembangan produksi kedelai yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Lampung.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Produksi Model hubungan antara input dan output adalah formulasi Fungsi Produksi dari bentuk Q = f (K, L, M…), dimana Q merupakan barang keluaran yang punya nilai tambah (value added), K merupakan modal selama periode waktu tertentu, L merupakan input dari tenaga kerja (HOK; Hari Orang Kerja), dan M merupakan penggunaan bahan baku. Nicholson (1990) mengatakan juga bahwa Produktivitas Fisik Marginal adalah salah satu input yang didefinisikan sebagai kuantitas output ekstra yang dibagi oleh pengerjaan satu unit tambahan dari input tersebut ketika pengaruh semua input konstan. Fungsi produksi merupakan hubungan kuantitatif antara masukan dan produksi. Masukan seperti pupuk, tanah, tenaga kerja, modal, dan ikim yang mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Tidak semua masukan yang dipakai untuk dianalisis, hal ini tergantung dari penting tidaknya pengaruh masukan itu terhadap produksi. Jika bentuk fungsi produksi diketahui, maka informasi harga dan biaya yang dikorbankan dapat dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi masukan yang terbaik. Namun biasanya petani sukar melakukan kombinasi ini, menurut Soekartawi, 1990 karena: 1. Adanya ketidaktentuan mengenai cuaca, hama dan penyakit tanaman 2. Data yang dipakai untuk melakukan pendugaan fungsi produksi mungkin tidak benar
3. Pendugaan fungsi produksi tidak hanya diartikan sebagai gambaran rata–rata suatu pengamatan 4. Data harga dan biaya dikorbankan mungkin tidak dilakukan secara pasti 5. Setiap petani dan usahataninya mempunyai sifat yang khusus. Oleh karena itu keputusan penggunaan faktor produksi, baik dalam kuantitas maupun kombinasi yang dibutuhkan dalam suatu tingkat produksi ditentukan oleh petani. Dalam suatu penelitian biasanya faktor–faktor yang relatif dapat dikontrol dimaukkan ke dalam peubah bebas, sedangkan faktor–faktor yang relatif kurang dapat dikontrol biasanya diperhitungkan sebagai galat. Bentuk persamaan matematis dari fungi produksi pada dasarnya merupakan abstraksi dari proses produksi yang disederhanakan, sebab dengan melakukan penyederhanaan kejadian–kejadian atau gejala–gejala alam yang sesungguhnya begitu kompleks dapat digambarkan tingkah lakunya. Dari fungsi produksi dapat dilihat hubungan teknis antara faktor produksi dengan produksinya, serta suatu gambaran dari semua metode produksi yang efisien. Secara matematis, fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut : Y = f (X1, X2, X3,…,Xn) Dimana : Y = Jumlah produksi Xn = Faktor – faktor produksi Pembagian daerah produksi berdasarkan elastisitas produksi dibedakan atas tiga daerah, yaitu : 1. Daerah I (daerah irasional atau kenaikan hasil yang selalu bertambah). Daerah yang elastisitas produksi lebih besar dari 1, sehingga setiap penambahan faktor
produksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penambahan produksi lebih dari satu persen. Pada daerah ini keuntungan masksimum belum tercapai karena produksi masih dapat ditingkatkan dengan pemakaian faktor produksi yang lebih banyak, dengan asumsi cukup tersedia faktor produksi. 2. Daerah II (daerah rasional atau kenaikan hasil tetap). Daerah yang elastisitas produksi antara 0 dan 1, sehingga setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penambahan produksi paling tinggi satu persen dan paling rendah sebesar nol persen. Pada daerah ini keuntungan maksimum akan tercapai karena faktor produksi telah digunakan secara maksimum. 3. Daerah III (daerah irasional atau kenaikan hasil yang negatif). Daerah yang elastisitas produksi lebih kecil dari 0, sehingga setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penurunan produksi sebesar nilai elastisitasnya. Pada daerah ini mencerminkan bahwa pemakaian faktor produksi sudah tidak efisien. Hubungan fisik antara faktor produksi dengan produksi dapat digambarkan dalam suatu proses produksi seperti pada Gambar 1.
c
Y b
PT
a
X
0 Y
0
X PR PM
Gambar 1. Elastisitas Produksi dan Daerah – daerah Produksi (Sumber : Soekartawi, 1990) Keterangan : a
: PM maksimum
c
:e=0
e = 1, PR maksimum
0-b : Daerah I
( EP > 1)
b-c : Daerah II
(0 < EP < 1)
c>>: Daerah III
(EP < 1)
Y : Hasil produksi Xi : Faktor produksi
PT : Produk total PR : Produk rata – rata PM : Produk marginal Soekartawi (1990), mendefenisikan skala usaha sebagai penjumlahan dari semua elastisitas faktor–faktor produksi. Skala usaha dibagai menjadi tiga bagian, yaitu : 1) Kenaikan hasil yang meningkat (Increasing return to scale). Pada daerah ini Ep > 1, yang berarti proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar. 2) Kenaikan hasil yang tetap (Constant return to scale). Pada daerah ini
Ep =
1, yang berarti penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh. 3) Kenaikan hasil yang berkurang (Decreasing return to scale). Pada daerah ini Ep < 1, yang berarti proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi. Untuk mengukur derajat kepekaan setiap peubah tidak bebas pada suatu persamaan dari peubah penjelas, maka digunakan nilai elastisitas. Apabila suatu persamaan : Yt =
0
+
1X1t
+
2X2t
+ …. iXit
Maka nilai elastisitas dihitung sebagai berikut : E(YtXit)=
βi (Xit ) Yt
Dimana : E(YtXit)
= Elastisitas peubah endogen Yt terhadap peubah penjelas Xit
βi
= Parameter dugaan peubah penjelas Xi
Xit
= Rata – rata peubah penjelas Xi
Yt
= Rata – rata peubah tidak bebas Yt Apabila nilai elastisitas antara satu dan tak hingga (1<E< ∞ ) dikatakan
elastis (responsif, karena perubahan satu persen peubah bebas mengakibatkan perubahan terhadap peubah tidak bebas lebih dari satu persen. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0<E<1) dikatakan inelastis (tidak responsif), karena perubahan satu persen peubah bebas akan mengakibatkan perubahan terhadap peubah tidak bebas kurang dari satu persen. Sedangkan jika nilai elastisitas sama dengan nol (E=0) artinya inelastis sempurna, dan jika sama dengan satu (E=1) disebut unitary elastic. Menurut Soekartawi (1990), beberapa model fungsi produksi yang dikenal antara lain model linier, Cobb-Douglas, dan transendental. Model linear berganda dan model Cobb-Douglas merupakan model yang paling sederhana serta mudah dianalisis. 3.1.2. Konsep Konsumsi Konsumsi merupakan sejumlah barang yang digunakan langsung oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Permintaan adalah keinginan akan produk-produk tertentu yang didukung oleh suatu kemempuan dan keinginan untuk membelinya. Untuk menganalisisi konsumsi dapat dilakukan melelui beberapa pendekatan yaitu pendekatan kardinal dan ordinal. Pendekatan kardinal nilai guna kardinal manfaat atau kenikmatan yang diperoleh sesorang konsumen dapat dinyatan dengan angka kuantitatif, sedangkan pada pendekatan ordinal tingkat kepuasan tidak diukur dengan kuantitatif melainkan dengan bantuan kurva yang
disebut kurva indiferens, dimana kurva ini menggambarkan tingkat kepuasan dua barang (jasa) yang disukai konsumen. Semakin tinggi kurva indiferens semakin tinggi pula tingkat kepuasan konsumen. Bentuk kurva ini cembung terhadap titik 0 menunjukkan kepuasan yang didapat dari mengkonsumsi barang yang pertama. Barang pertama lebih disukai dari pada barang yang kedua. Kurva ini mempunyai karakteristik: 1). Selera konsumen terhadap barang tertentu dianggap konsisten, akibat dari asumsi ini adalah kurva indiferens tidak pernah bersinggungan berpotongan satu sama lain. 2). Individu atau konsumen lebih menyukai barang dengan jumlah yang lebih banyak dari pada jumlah yang lebih sedikit, sehingga akibat dari asumsi ini adalah kurva indiferens berslope negatif, yang merefleksikan prinsip umum dimana individu akan mengorbankan baraang untuk mendapatkan barang yang mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi. 3) Kurva indiferens menggambarkan efek subtitusi antara barang satu dengan barang lainnya. Misalnya X dan Y mempunyai efek subtitusi 1:2 maka satu kenaikan barang X akan menyebabkan penrurunan dua unit barang Y. Untuk memahami kurva ini, akan dijelaskan dengan 3 gambar berikut.
Gambar 2. Contoh Kurva indiferens Pada Gambar 2, konsumen lebih memilih
I3 daripada I2, dan I2 lebih
daripada I1, tapi tidak peduli pada posisi yang berada pada kurva indiferens. Kemiringan (slope) dalam nilai absolut, dikenal sebagai marginal rate of substitution, menunjukkan besaran di mana konsumen bersedia mengorbankan suatu barang untuk digantikan dengan suatu kelebihan barang lain.
Pada
kebanyakan barang angka marginal rate of substitution tidak konstan sehingga kurva indiferens curve berbentuk
melengkung. Kurva berbentuk cembung
terhadap sumbu menggambarkan
efek substitusi negatif. Bila harga naik
sementara pendapatan tetap, maka konsumen akan membeli sedikit barang yang mahal dengan menggantinya pada kurva indiferens yang lebih rendah. Sebuah contoh dari fungsi utilitas yang menghasilkan kurva indiferens seperti ini adalah fungsi Cobb-Douglas:
.
Gambar 3. Substitusi Sempurna Tiga Kurva Indiferens barang X dan Y Pada Gambar 3, Jika barang adalah subtitusi sempurna kurva indiferens akan merupakan garis paralel, di mana konsumen akan mau menggantinya pada perbandingan yang tetap.
marginal rate of substitution-nya konstan. Contoh
fungsi kurva utilitas seperti ini adalah
.
Gambar 4: Komplemen Sempurna Kurva Indiferens barang X dan Y. Pada Gambar 4, di mana barang komplemen sempurna, maka
kurva
indiferens akan berbentuk L. Sebagai contoh misalkan kita punya resep kue dengan 3 cangkir tepung dan 1 cangkir gula. Tidak peduli berapapun kelebihan tepung yang dipunyai, kita tetap tidak akan membuat adonan jika tidak ada tambahan gula. Contoh lain adalah sepatu kiri dan kanan. Konsumen tidak akan menambah sepatu kanan jika dia hanya punya satu sepatu kiri. Tambahan satu sepatu kanan, mempunyai nilai marginal nol jika tidak ada sepatu kiri. Sehingga
marginal rate of substitution hanya bernilai nol atau tidak terhingga. Contoh persamaan utilitas yang mempunyai kurva indiferens seperti ini adalah . Kesimpulannya adalah, perubahan harga pada budget line yang mempertahankan konsumen pada titik keseimbangan pada kurva indiferens yang sama. 3.1.3. Konsep Peramalan Makridakis, et al (1999) menyatakan bahwa komitmen tentang peramalan tumbuh karena beberapa faktor. Yang pertama adalah karena meingkatnya kompleksitas organisasi dan lingkungannya. Kedua, dengan meningkatnya ukuran organisasi, maka bobot dan kepentingan suatu keputusan telah meningkat pula. Ketiga, lingkungan dari kebanyakan organisasi telah berubah dengan cepat. Keempat, pengambilan keputusan telah semakin sistematis yang mencakup pembenaran tindakan individu secara eksplisit. Kelima, bahwa pengembangan metode peramalan dan pengetahuan yang menyangkut aplikasinya telah lebih memungkinkan adanya penerapan secara langsung oleh para praktisi daripada hanya dilakukan oleh pra tekhnisi ahli. Peramalan kuantitatif dapat diterapkan bila terdapat tiga kondisi berikut: 1. Tersedia informai tentang masa lalu. 2. Informasi tersebut dapat dikuantitaifkan dalam bentuk data numerik. 3. Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus berlanjut di masa yang akan datang.
3.1.4. Jenis-Jenis Peramalan Makridakis et al (1999) menyatakan ada dua jenis model peramalan utama, yaitu sebagai berikut: 1. Model deret berkala (time series), pendugaan masa depan dilakukan berdasarkan nilai masa lalu dari suatu variabel dan/atau kesalahan masa lalu. Tujuannya adalah untuk menemukan pola dalam deret data historis mengekstrapolasikan pola tersebut ke masa depan. 2. Model kausal (regresi), faktor yang diramalkan menunjukkan suatu hubungan sebab akibat dengan satu atau lebih variabel bebas. Tujuannya adalah menemukan bentuk hubungan tersebut dan menggunakannya
untuk
meramalkan nilai mendatang dari variabel tak bebas. 3.1.5. Identifikasi Pola Data Metode Time Series Makridakis et al (1999) menyatakan bahwa pola data time series dapat dibedakan menjadi empat jenis sebagai berikut: 1. Pola Horisontal (H) terjadi bilamana nilai data berfluktuasi di sekitar nilai rata-rata yang konstan. 2. Pola Musiman (S) terjadi bilamana suatu deret dipengaruhi oleh faktor musiman (misalnya kuartal tahun tertentu, bulanan, atau hari-hari pada minggu tertentu). 3. Pola Siklis (C) terjadi bilamana datanya dipengaruhi oleh fluktuasi ekonomi jangka panjang seperti yang behubungan dengan siklus bisnis. 4. Pola Trend (T) terjadi bilamana terdapat kenaikan atau penurunan sekuler jangka panjang dalam data.
3.1.6. Metode Arima Metodologi Box-Jenkins suatu peramalan sangat berbeda dengan kebanyakan metode, karena model ini tidak mengasumsikan pola tertentu pada data historis deret yang diramalkan. Model ini menggunakan pendekatan iteratif pada identifikasi suatu model yang mungkin dari model umum. Model terpilih kemudian diperiksa terhadap data historis untuk melihat apakah model ini secara akurat menjelaskan deret. Model sangat cocok untuk residual yang kecil. Jika model
yang
diterapkan
tidak
memuaskan,
prosesnya
diulangi
dengan
menggunakan model baru yang dirancang untuk memperbaikinya. Prosedur iteratif berlanjut sampai model yang memuaskan ditemukan. Sampai titik ini, model dapat digunakan untuk peramalan (Hanke, 2003). Model ARIMA adalah model yang dapat menghasilkan ramalan akurat berdasarkan uraian pola data historis, yang merupakan jenis model linier yang mampu mewakili deret waktu yang stasioner dan non stasioner. Model ini juga tidak mengikutkan variablel bebas dalam pembentukannya. Metodologi BoxJenkins
mengacu
pada
himpunan
prosedur
untuk
mengidentifikasikan,
mencocokan, dan memeriksa model ARIMA dengan data deret waktu. Peramalan mengikuti langsung dari bentuk model disesuaikan. Sehingga dengan konsep inilah penggunaan ARIMA lebih tepat digunakan untuk data dalam penelitian ini dibandingkan dengan teknik peramalan lainnya (Hanke, 2003). Pengolahan data sekunder yang berupa data kuantitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software Minitab version 14 untuk meramalkan data produksi dan konsumsi kedelai nasional. Model peramalan yang digunakan adalah ARIMA dengan menggunakan sistem Trials and Errors, yaitu
dengan mencoba berbagai kombinasi model ARIMA sehingga dapat diperoleh nilai MSE dari hasil analisis, dimana dengan model ARIMA yang menghasilkan nilai MSE terkecil, maka peramalan dapat dilakukan.
Sehingga dari model
tersebut didapat hasil peramalan produksi dan konsumsi hingga tahun 2015. alasan penggunaan model ARIMA yaitu karena argumentasi berikut ini, yang mana telah dijelaskan oleh Hanke (2003): 1. Model tersebut dapat menghasilkan ramalan akurat berdasarkan uraian pola historis data dibandingkan dengan model peramalan time series lainnya. 2. Selain itu, model ARIMA merupakan gabungan auto-regresi dengan rata-rata bergerak, sehingga model ini lebih lengkap dibanding model time series lainnya, sehingga model ARIMA adalah jenis model linier yang mampu mewakili deret waktu yang stasioner maupun non stasioner. 3. Dalam penelitian ini tidak mengikutsertakan variabel bebas, seperti harga jual, produktivitas, dan sebagainya, sehingga dengan menggunakan model ARIMA tidak mengikutsertakan variabel bebas dalam pembentukannya, hanya menggunakan informasi dalam deret itu sendiri untuk menghasilkan ramalan, seperti dalam penelitian ini, untuk produksi dan konsumsi kedelai nasional tahunan akan memproyeksikan pola produksi dan konsumsi kedelai nasional historis untuk meramalkan produksi dan konsumsi kedelai nasional di tahuntahun mendatang. 4. Untuk data
time series yang ber-trend, dijelaskan oleh Hanke (2003)
sebaiknya menggunakan teknik-teknik peramalan seperti Rata-rata Bergerak, Exponential Smoothing Tipe Holt, Regresi Linier Sederhana, Kurva Pertumbuhan dan ARIMA. Regresi Linier Sederhana dapat digunakan jika
terdapat variabel prediktor (bebas), kurva pertumbuhan ditunjukan dengan sebuah kurva, sehingga yang paling tepat dari teknik-teknik peramalan yang ditawarkan untuk data time series dalam penelitian ini adalah model ARIMA. Sedangkan alasan penggunaan software Minitab version 14 adalah karena umumnya secara empirik ARIMA lebih akurat dan secara teknik lebih banyak menangkap lebih banyak pola dan biayanya murah serta terjangkau oleh peneliti. 3.1.7. Metode Kausal Metode kausal merupakan suatu teknik peramalan dengan menggunakan analisis hubungan antara variabel yang dicari atau yang diramalkan dengan satu atau lebih variabel bebas yang mempengaruhinya dan bukan variabel waktu. Metode kausal didasarkan pada penggunaan analisis pola hubungan sebab akibat yang bersifat konstan antara variabel yang akan diramal dengan satu atau beberapa variabel lain yang mempengaruhinya (Assauri, 1984). Metode kausal menganggap bahwa gerakan variabel yang diramalkan (dependent variable) dapat diterangkan oleh variabel-variabel lain (independent variable), seperti yang disarankan oleh teori atau logika ekonomi yang dinyatakan dalam suatu hubungan statistic berupa sebuah persamaan structural. Metode ini dikenal dengan metode regresi yang merupakan suatu penyederhanaan pada hubungan suatu variabel dengan satu atau lebih variable lain. Dalam analisis regresi pola hubungan antara variabel diekspresikan dalam sebuah persamaan regresi yang diduga berdasarkan data sampel. Setelah parameter-paremeter diuji secara secara statistik dan mempunyai cirri-ciri sebagai model yang baik maka model siap digunakan untuk peramalan jika variabel bebasnya dapat diketahui.
3.1.8. Matriks SWOT dan QSPM Data primer yang diperoleh dari hasil wawancara diolah dengan Matriks SWOT dan Matriks QSPM. Alasan penggunaan kedua Matriks tersebut adalah karena pada Matriks SWOT telah mencakup seluruh alternatif strategi yang diperoleh dari kekuatan dan kelemahan internal serta ancaman dan peluang eksternal, serta paling mudah penggunaannya untuk penelitian ini, yang tentunya dapat menjawab strategi-strategi alternatif dalam agribisnis kedelai dari informasi (wawancar) yang diperoleh, sedangkan alasan penggunaan Matriks QSPM karena merupakan satu-satunya matriks pada tahap keputusan, dimana strategi yang terpilih merupakan strategi terbaik, seperti yang dijelaskan oleh David (2004). Matriks Threats-Opportunities-Weakness-Strenghts (TOWS) merupakan perangkat pencocokan yang penting yang membantu manajer mengembangkan empat strategi : Strategi SO (Strenghts- Opportunities), Strategi WO (WeaknessOpportunities), Strategi ST (Strenghts- Threats), Strategi WT (WeaknessThreats). Mencocokan faktor-faktor eksternal dan internal kunci merupakan bagian yang sangat sulit dalam mengembangkan Matriks TOWS dan memerlukan penilaian yang baik, namun tidak ada sekumpulan kecocokan yang paling baik (David,2004). Strategi SO atau strategi kekuatan-peluang menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk memanfaatkan peluang eksternal. Strategi WO atau strategi kelemahan-peluang bertujuan untuk memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang eksternal. Strategi ST atau strategi kekuatan-ancaman menggunakan kekuatan perusahaan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal. Strategi WT atau strategi kelemahan-ancaman merupakan
taktik defensif yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal (David,2004). Teori QSPM menentukan daya tarik relatif dari berbagai strategi yang didasarkan sampai seberapa jauh keberhasilan faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal kunci dimanfaatkan atau ditingkatkan. Daya tarik relatif dari masing-masing strategi dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari masing-masing faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal. Setiap jumlah rangkaian strategi alternatif dapat diikutkan dalam QSPM, dan setiap jumlah strategi dapat menyusun suatu rangkaian strategi tertentu. Tetapi, hanya strategistrategi dari suatu rangkaian tertentu yang dinilai relatif terhadap satu sama lain. Sifat positif dari QSPM adalah rangkaian strategi ini dapat diperiksa secara berurutan atau bersamaan. Tidak ada batas untuk jumlah strategi yang dapat dievaluasi atau jumlah rangkaian strategi yang dapat diperiksa sekaligus menggunakan QSPM. Sifat positif lain dari QSPM adalah alat ini mengharuskan perencana strategi untuk memadukan faktor-faktor eksternal dan internal yang terkait ke dalam proses keputusan (David,2004). Menurut David (2004) bahwa dalam mengembangkan QSPM membuat kemungkinannya kecil faktor-faktor kunci terabaikan atau diberi bobot secara tidak sesuai.
Suatu QSPM menarik perhatian akan pentingnya hubungan-
hubungan yang mempengaruhi keputusan-keputusan strategi.
Walaupun
mengembangkan QSPM memerlukan sejumlah keputusan subyektif, membuat beberapa keputusan kecil sepanjang proses akan meningkatkan kemungkinan keputusan strategi akhir adalah yang tebaik untuk organisasi. Suatu QSPM dapat disesuaikan untuk digunakan oleh organisasi kecil dan besar, yang mencari laba
dan nirlaba, serta praktis dapat diterapkan pada tipe organisasi apapun. Suatu QSPM terutama dapat ditingkatkan mutu pilihan strategis dalam perusahaan multinasional karena banyak faktor kunci dan strategi dapat dipertimbangkan sekaligus. Konsep ini juga telah ditetapkan secara sukses oleh sejumlah bisnis kecil. 3.2.Kerangka Pemikiran Operasional Akar krisis kedelai adalah tidak tepatnya sasaran pelaksanaan yang ada di dalam agribisnis perkedelaian nasional. Kebijakan perkedelaian kita berpihak pada impor, bukan pada produksi domestik. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri pada 1998 pemerintah mengenakan tarif impor nol persen. Akibatnya terjadi banjir impor kedelai murah, sehingga petani tidak tertarik lagi menanam kedelai. Produksi kedelai nasional secara pasti merosot, pada 2000 produksi nasional masih sekitar 1,0 juta ton, tapi 2007 hanya 0,5 juta ton. Kemerosotan produksi terjadi karena penciutan luas tanam dan kemandekan produktivitas. Di tingkat
petani,
produktivitas
kedelai
di
bawah
2.0
ton/ha.
Pilihan pada impor ketimbang peningkatan produksi domestik juga memandekkan riset kedelai. Masalahnya, temuan-temuan varietas unggul, dengan produktivitas 3-5 ton/ha, tidak diminati petani karena usaha tani kedelai cenderung merugi. Permasalahan pada tahun 2002, pemerintah menetapkan tarif impor kedelai 10 persen. Indonesia sudah telanjur bergantung pada impor. Selain itu, dengan tarif 10 persen harga kedelai impor masih tetap lebih murah dibanding produksi domestik. Pada 2007 kita mengimpor 70 persen (1,3 juta ton) kedelai untuk
memenuhi kebutuhan nasional (1,9 juta ton). Jelas, kita tidak berdaulat lagi dalam urusan kedelai. Pemenuhan kebutuhan kedelai kita sangat rentan terhadap gejolak pasar dunia. Ketika produksi kedelai dunia merosot antara lain, karena konversi lahan ke pengusahaan jagung untuk bio-fuel, awal tahun ini kita langsung menuai krisis kedelai. Tetapi, untuk mengatasi krisis pemerintah justru kembali me-nolkan tarif impor
kedelai.
Padahal,
sudah
terbukti
kebijakan
serupa
pada
1998
menghancurkan agribisnis kedelai domestik. Untuk keluar dari krisis seharusnya Indonesia belajar dari pemerintah kolonial Belanda. Saat depresi besar pada 1934 melambungkan harga kedelai pemerintah kolonial langsung melarang impor kedelai. Lalu digalakkan program peningkatan produksi domestik yang sukses memenuhikebutuhankedelaisampaitahun1950-an. Pemerintah Indonesia kini tidak perlu secara revolusioner melarang impor kedelai. Yang diperlukan adalah suatu kebijakan peningkatan produksi kedelai domestik yang revolusioner, tepat, dan mendasar. Selama ini kebijakan/strategi peningkatan produksi kedelai terpusat pada dua langkah, yaitu perluasan areal (ekstensifikasi) dan peningkatan teknologi (intensifikasi). Strategi ini sudah terbukti gagal, seperti terjadi pada program pengolahan tanaman terpadu dan optimalisasi lahan tidur perkebunan pada 2007. Melihat fenomena perkedelaian saat ini, maka dibutuhkan peramalan konsumsi dan produksi kedelai nasional hingga beberapa tahun ke depan, dalam hal ini yaitu delapan tahun ke depan. Dengan menggunakan metode peramalan ARIMA maka dilhat bagaimana nilai konsumsi dan produksi kedelai nasional
beberapa tahun kedepan, sehingga dapat dilihat pula apakah terjadi surplus atau defisit. Peramalan yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) menggunakan regresi linear sederhana. Peramalan produksi dan konsumsi BPS memiliki ide dasar yang sama dengan ARIMA yaitu Y
saat ini
= f (Y
yang lalu
). Tetapi modelnya
berbeda karena ARIMA memiliki struktur yang lebih kompleks dan biasanya memiliki akurasi yang tinggi. Dari aspek produksi yang dikaji adalah luas panen dan produktivitas. Variabel Dependen dari regresi luas panen adalah luas panen, sedangkan variabel independen adalah luas panen tahun-tahun sebelumnya. Untuk variabel dependennya dari regresi produktivitas adalah produktivitas, sedangkan independen variabelnya merupakan produktivitas tahun-tahun sebelumnya. Produksi kedelai merupakan hasil perkalian antara luas panen dengan produktivitas. Sehingga perlu adanya metode peramalan alternatif yaitu metode peramalan yang mudah, cepat dalam proses pelaksanaannya karena umumnya secara empirik ARIMA lebih akurat dan secara teknik dapat menangkap lebih banyak pola. serta mampu menghasilkan ramalan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode ARIMA merupakan metode peramalan yang memiliki kriteria tersebut. Diharapkan dengan menggunakan metode ini gap antara produksi dan konsumsi dapat diperkecil atau tidak terjadi gap. Dimana dengan sistem trials and errors yang pada akhirnya dapat ditemukan model peramalan terbaik berdasarkan MSE (Mean Square Errors) terkecil pada metode peramalan ARIMA. Tahap terakhir adalah mengimplikasikan hasil ramalan dalam upaya pencapaian swasembada kedelai nasional untuk delapan tahun ke depan. Dimana
hasil ramalan yang diperoleh akan didiskusikan dengan ahli perkedelaian yaitu pihak pemerintah (Departemen Pertanian). Hubungan antara konsep peramalan dengan konsep strategi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Salah satu hal yang dibutuhkan dalam pembentukan strategi pencapaian swasembada kedelai yang baik bagi pemerintah adalah peramalan terhadap produksi dan konsumsi kedelai nasional pada tahun yang akan datang. 2. Indonesia saat ini masih dihadapkan pada permasalahan rendahnya produktivitas kedelai nasional, sehingga produksi lokal tidak mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri, akibatnya impor terus meningkat. Kondisi ini harus disikapi oleh semua pihak baik kalangan praktisi, akademis maupun pemerintah dengan menjadikannya sebagai sebuah tantangan dan peluang untuk meningkatkan produksi dimasa yang akan datang, dengan menggunakan sumber daya (kekuatan) yang dimiliki, juga meminimalisir kelemahan yang ada saat ini. Hal inilah yang mendasari bagaimana hubungan antara metode peramalan yang digunakan dalam penelitian ini dengan analisis strategi yang keduanya bertujuan untuk pencapaian swasembada kedelai nasional.
Kedelai merupakan komoditas pangan utama setelah padi dan jagung bagi penduduk Indonesia
Peningkatan konsumsi kedelai
Kesenjangan yang lebar antara produksi dan konsumsi sehingga terjadi defisit yang besar
Pemenuhan konsumsi kedelai
Impor kedelai
Produksi kedelai dalam negeri tidak mencukupi
Menganalisis prediksi produksi kedepan untuk mengetahui apakah impor dapat diperkecil atau bahkan bisa surplus kedelai
Dibutuhkan metode peramalan produksi dan konsumsi kedelai untuk menyusun perencanaan dalam upaya pencapaian swasembada kedelai
Metode Kausal untuk SKENARIO Pencapaian Swasembada Kedelai
Metode Time Series Metode ARIMA
Tercapainya swasembada kedelai nasional dengan metode kuantitatif, sehingga dibutuhkan pula keakuratan hasil skenario yang merupakan hasil diskusi dengan pihak terkait, Pemerintah dalam merumuskan kebijakan strategi pencapaian swasembada kedelai nasional secara kualitatif
Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Agribisnis Kedelai Nasional
Metode SWOT
Alternatif Strategi Agribisnis Kedelai Nasional
Metode QSPM
Strategi Alternatif Terpilih dari Agribisnis Kedelai dalam Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional
Gambar 5. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional.
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Desember 2007 dan direncanakan berakhir pada bulan September 2008. Tempat pengambilan data yang berupa data konsumsi dan produksi kedelai nasional tahun 1969-2007 diperoleh dari Badan Ketahanan Pangan-Departemen Pertanian, Jakarta. 4.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer berupa data kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif berupa data produksi dan konsumsi kedelai nasional dari tahun 19692007 . Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara dengan salah satu Direksi Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian-Jakarta. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data produksi dan konsumsi kedelai nasional tahun 1969-2007 yang diperoleh dari Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian-Jakarta, data-data tersebut merupakan jenis data sekunder yang merupakan data deret waktu tahunan. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pihak yang terkait dengan pencapaian swasembada kedelai nasional yaitu Ir. Sri Wulan, MSi.: Kepala Bagian Konsumsi Pangan-Badan Ketahanan Pangan, Departemen PertanianJakarta. Alasan memilih sampel tersebut untuk diwawancara guna memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini karena Departemen Pertanian memberikan informasi mengenai agribisnis kedelai dari sisi on-farm, off-farm dan
faktor penunjang secara lengkap. Departemen Pertanian juga dapat memberikan informasi mengenai faktor eksternal (peluang dan ancaman) dan internal (kekuatan dan kelemahan) yang mempengaruhi agribisnis kedelai, karena Departemen Pertanian melihat dari
berbagai sisi, mulai dari input, on-farm,
produk olahan, serta faktor-faktor penunjang. 4.3. Alat Analisis Data primer yang diperoleh dari hasil wawancara diolah dengan Matriks SWOT dan Matriks QSPM.
Pengolahan data sekunder yang berupa data
kuantitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software Minitab version 14 untuk meramalkan data produksi dan konsumsi kedelai nasional dengan metode ARIMA. Sedangkan untuk menentukan pencapaian swasembada agribisnis kedelai nasional digunakan metode regresi berganda dengan penggunaan Software excel 2007 untuk penyusunan skenario. 4.4. Metode analisis 4.4.1. Arima Metode peramalan yang digunakan untuk menganalisis pola data produksi dan konsumsi kedelai periode 1969-2007 adalah dengan menggunakan model peramalan ARIMA, dimana jika menggunakan analisis secara manual, maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: Metode Box Jenkins secara umum dengan menggunakan bacward shift operation dinotasikan sebagai berikut : ARIMA (p,d,q) = ( 1-B)d (1qB
q
)
t
1
B-
2 2B -....-
p
Bp) Yt = c + (1-
1B-
2 2B -...-
Dimana : p
= orde/derajat autoregressive (AR)
d
= orde/derajat differencing(pembedaan)
q
= orde/derajat moving average (MA) = kesalahan ramalan periode ke-t
t
c
= konstanta
BYt
= Yt-1
B2Yt
= Yt-2
BpYt
= Yt-p
Bq
=
t
t-q
1). Model Autoregressive (AR) Model AR adalah persamaan dimana jika series stasioner adalah fungsi linier dari nilai-nilai lampaunya yang berurutan. Secara umum model ini dapat ditulis sebagai berikut : Yt = b0 + b1Yt-1 + b2 Yt-2 + …bp Yt-p + et Yt
: series yang stasioner
Yt-1, Yt-2 ... Yt-p
: nilai lampau series yang bersangkutan
b0, b1, . . . bp
: konstanta dan koefisien model
et
: kesalahan peramalan yang dihasilkan proses random, diasumsikan mengikuti sebaran bebas dan normal dengan rata-rata nol Tingkat dari model (nilai p) ditunjukan oleh banyaknya nilai lampau yang
diikutsertakan dalam model. Sebagai contoh, AR (1) merupakan model
Autoregressive tingkat satu yang menggunakan satu nilai lampau terakhir dalam model. 2. Model Moving Average (MA) Jika stasioner merupakan fungsi linier dari kesalahan peramalan sekarang dan masa lalu yang berurutan maka persamaan itu dinamakan Moving Average model (MA). Bentuk umum model ini dapat ditulis sebagai berikut: Yt = a0 + et – a1et-1 – a2et-2 - ... – aqet-q Yt
: nilai series yang stasioner
et
: kesalahan
peramalan yang dihasilkan oleh proses
random yang diasumsikan mengikuti sebaran bebas dan normal dengan rata-rata nol et-1, et-2, ... et-q
: kesalahan peramalan masa lalu
a0, a1, a2, ... aq
: konstanta dan koefisien model, mengikuti konvensi diberikan tanda negatif
Tingkat model MA ini (nilai q) ditunjukan dengan banyaknya kesalahan masa lampau yang digunakan dalam model. Jika dalam model digunakan dua kesalahan peramalan pada masa lampau maka dinamakan model moving average tingkat dua, ditulis MA (2). 3). Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) Model ARIMA adalah gabungan dari model AR dan model MA. Pada model ini series stasioner adalah fungsi dari lampaunya dan nilai sekarang serta kesalahan lampaunya. Bentuk umum model ini adalah : Yt = b0 + b1Yt-1 + ... + bp Yt-p + et – a1et-1 - ... aqet-q
Secara
umum
notasi
model
ARIMA
yang
diperluas
dengan
memperhatikan unsur musiman adalah sebagai berikut: ARIMA (p,d,q) (P,D,Q)L dimana L adalah banyaknya periode dalam setahun Tahapan dalam Metode Box-Jenkins (ARIMA) Hanke (2003) menjelaskan langkah – langkah model peramalan ARIMA adalash sebagai berikut : (a). Tahap 1: Identifikasi model Setelah data distasionerkan, tahap penting berikutnya dari identifikasi adalah menentukan model ARIMA tentatif. Hal ini dilakukan dengan menganalisis perilaku pola dari ACF dan PACF. (b) Tahap 2: Estimasi model Setelah model tentatif ditentukan, parameter model tersebut harus diestimasikan. Selain itu, residual mean kuadrat galat yang merupakan estimasi varian galat t juga dihitung. Residual mean kuadrat galat didefinisikan sebagai: n
s2 =
∑e t −1
n
∑ (Y
2 t
n−r
=
t −1
t
− Yt ) 2
n−r
dimana: s2 = mean square error (MSE) et = Yt – Yt = Residual pada saat t n = Jumlah residual r = Jumlah total estimasi parameter
(c) Tahap 3: Pemeriksaan model Pemeriksaan model dilakukan dengan sistem trials and errors, dimana nilai MSE yang dihasilkan dari berbagai macam kombinasi model ARIMA dapat diperoleh, kemudian model ARIMA yang menghasilkan nilai MSE terkecil dipilih, yang kemudian model ARIMA tersebut dapat digunakan hasil peramalannya untuk memprediksi konsumsi dan produksi kedelai nasional hingga tahun 2015. (d) Tahap 4: Peramalan melalui model 1.
Begitu didapat model yang memadai, ramalan satu atau beberapa periode depan dapat dikerjakan.
2.
Semakin banyak data tersedia, maka model ARIMA yang sama dapat digunakan untuk menghasilkan ramalan dari titik awal yang lain.
3. Jika karakter deret muncul berubah sejalan dengan waktu, data baru dapat digunakan untuk mengestimasi ulang parameter model atau jika perlu sama sekali mengembangkan model baru. 4.4.2. Pemilihan Metode Peramalan Terakurat Tahap
selanjutnya
adalah
pemilihan
metode
peramalan
terbaik.
Penggunaan metode peramalan kuantitatif tersebut akan memberikan hasil yang berbeda baik dalam hasil ramalan dan nilai MSE yang bervariasi. Nilai MSE terkecil akan memberikan keakuratan peramalan yang tinggi. Untuk itu, didalam memilih metode peramalan yang terbaik adalah dengan cara membandingkan nilai MSE dan kemudahan dalam penerapan.
Metode peramalan yang memiliki nilai MSE yang paling kecil, mengandung pengertian bahwa semakin kecil nilai MSE suatu peramalan, maka hasil ramalan tersebut akan semakin mendekati nilai aktualnya (forecasting power semakin kuat) (Makridakis et al, 1999). 4.4.3. Model Kausal Model kausal dalam penelitian ini digunakan untuk membuat skenario pencapaian swasembada kedelai nasional pada tahun 2015 dengan melihat faktorfaktor yang mempengaruhi produksi kedelai yaitu produkivitas dan luas panen kedelai dapat ditulis sebagai berikut : Yt = b 0 + b1X1 + b 2X2 + et Dimana: Yt
= produksi kedelai (ton)
b0
= intersep
bi
= parameter atau koefisien regresi variabel Xi (i= (1,2)
X1
= luas panen kedelai (hektar)
X2
= produktivitas kedelai (ton/ha)
et
= error-term (galat) Skenario yang dibuat dengan model kausal ini yaitu dengan
meningkatkan produktivitas dan luas panen sebesar angka tertentu yaitu persentase dari nilai aktual tahun dasar (2007), yaitu nilai X1 dan X 2.
Pengujian Model Penduga Pengujian terhadap model penduga produksi kedelai dilakukan untuk mendapatkan model terbaik dan apakah model yang diduga terpenuhi secara teori dan statistik. Pengujian yang dilakukan antara lain, yaitu sebagai berikut : (1) Uji autokerelasi Uji autokorelasi digunakan untuk melihat apakah ada hubungan linear antara error serangkaian yang diurutkan menurut waktu (data time series). Uji auto korelasi perlu dilakukan apabila data yang dianalisis merupakan data time series (Gujarati, 1997).
d =
∑ (e − e ∑e i
i −1
)2
i
Keterangan : d
= nilai Durbin Watson ei = jumlah kuadrat sisa
(2) Uji Multikolinearitas Masalah multikolinearitas dalam model dapat diketahui dengan melihatnila Varians Inflation Facktor (VIF) pada masing-masing variabel bebasnya.
VIF =
Dimana : R2 = koefisien determinasi
1 2 (1 − Ri )
Apabila nilai VIF kurang dari 10, maka dapat disimpulkan bahwa dalammodel tidak terdapat masalah multikolinearits. Selain itu, untuk melihat korelasi antar peubah bebas dalam model dapat digunakan uji korelasi pearson, dimana nilai yang semakin mendekati satu berarti korelasi peubah bebas semakin kuat. (3) Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas yang menyatakan bahwa variasi dari setiap unsur residual model adalah sama (konstan). Asumsi ini bila dilanggar akan menyebabkan model yang dihasilkan menjadi tidak bias, konsisten, terbaik dan linier tidak efisien (Gujarati, 1997). Untuk menguji ada tidaknya masalah heteroskedastisitas dalam model, dapat dilakukan uji Breusch-Pagamn yaitu dengan cara meregresikan kembali nilai residual yang telah dikuadratkan dengan variabel-variabel bebas dalam model. Hipotesis : H0 = Homoskedastisitas H1 = Heteroskedastisitas Statistik Uji : LM = nR2 Dimana : n = jumlah pengamatan R2 = koefisien determinasi dari auxiliary regression Kriteria Uji :
p- value <
= 0,05 : maka tolak H0 yang berarti masalah heteroskedastisitas atau
jika LM > X2p-1 ( ) dimana p-value >
= 0,05.
= 0,05 : maka terima H0 yang berarti tidak terjadi masalah
heteroskedastisitas atau jika LM < X2p-1 ( ) dimana
= 0,05.
(4) Uji Normalitas Asumsi normalitas mengharuskan nilai residual dalam model menyebar atau terdistribusi secara normal. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov dengan memplotkan nilai standar residual dengan probabilitinya pada tes normalitas. Apabila pada grafik titik-titik residual yang ada tergambar segaris dan p-value lebih besar dari
= 0,05, maka dapat disimpulkan
bahwa residual model terdistribusi dengan normal. (5) Uji model penduga (uji F) Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan laak untuk menduga parameter dari fungsi produksi kedelai. H0 :
1=
2 =....=
i=
0, variabel bebas (Xi) secara serentak tidak
berpengaruh nyataterhadap produksi kedelai. H1 ; paling tidak salah satu
i
0, i = 1, 2, 3,.....,variabel bebas (Xi)
secara serentak berpengaruh nyata terhadap produkri kedelai. Uji statistik yang digunakan adalah uji F :
F-hitung =
( R 2 / k − 1) (1 − R 2 ) / n − k
F-tabel = F (k-1,n-k) Dimana : R2 = koefisien determinasi K = jumlah parameter termasuk intersep N = jumlah observasi Kriteria Uji : F-hitung > F (k-1,n-k), maka tolak H0 F-hitung < F (k-1,n-k), maka terima H0 Jika H0 ditolak maka seluruh variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel bebasnya pada tingkat signifikan tertentu dan derajat bebas tertentu. Jika H0 diterima maka seluruh variabel bebas secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel tak bebas pada tingkat signifikan tertentu dan derajat bebas tertentu. (6) Uji untuk masing-masing parameter Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui
variabel bebas yang
berpengaruh secara parsial terhadap variabel yang tak bebas. Hipotesis : H0 :
ij
=0
H1 :
i
0
Uji statistik yang digunakan adalah uji-t: t-hitung = [ bi –
i
/S(bi) ]
t-tabel = t /2(n-k) Dimana : bi
= koefisien k-i yang diduga
S (bi) i
= standar deviasi parameter bi = parameter ke-i yang diduga
k
= jumlah parameter termasuk intersep
n
= jumlah observasi
Kriteria uji : t-hitung > t /2(n-k), maka tolak H0 t-hitung < t /2(n-k), maka terima H0 Jika t-hitung lebih besar dari t-tabel ( , n-k) maka tolak H0 artinya peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas dalam model pada taraf nyata
persen dan sebaliknya apabila t-hitung lebih kecil daripada t-tabel ( , n-k),
maka terima H0 artinya peubah bebas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas dalam model pada taraf nyata
persen.
4.4.4. Menentukan Ramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Penentuan
ramalan
produksi
dan
konsumsi
dilakukan
dengan
menggunakan metode peramalan ARIMA yang ditentukan dan dipilih berdasarkan kriteria pengukuran akurasi peramalan. Hasil ramalan produksi dan konsumsi kedelai dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan produksi dan konsumsi kedelai untuk delapan yang akan datang. 4.4.5. Matriks SWOT Metode analisis untuk data primer yang dihasilkan dari wawancara berupa data kualitatif dianalisis dengan Matriks SWOT secara manual. Skema yang mewakili Matriks SWOT disajikan dalam Gambar 6. Dimana Matriks SWOT terdiri dari sembilan sel. Seperti terlihat terdapat empat sel faktor kunci, empat sel strategi, dan satu sel yang dibiarkan kosong (sel kiri atas). Empat sel strategi,
dengan label SO, WO, ST, WT, dikembangkan setelah menyelesaikan empat sel faktor kunci, berlabel S, W, O, dan T. Delapan langkah ini dilakukan dalam penelitian untuk menyususn Matriks SWOT, yaitu sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi peluang eksternal dari agribisnis kedelai. 2. Mengidentifikasi ancaman eksternal dari agribisnis kedelai. 3. Mengidentifikasi kekuatan internal dari agribisnis kedelai. 4. Mengidentifikasi kelemahan internal dari agribisnis kedelai. 5. Mencocokan kekuatan internal dengan peluang eksternal dan mencatat Strategi SO dalam sel yang sudah ditentukan. 6. Mencocokan kelemahan internal dengan peluang eksternal dan mencatat Strategi WO dalam sel yang sudah ditentukan. 7. Mencocokan kekuatan internal dengan ancaman eksternal dan mencatat Strategi ST dalam sel yang sudah ditentukan. 8. Mencocokan kekuatan internal dengan peluang eksternal dan mencatat Strategi WT dalam sel yang sudah ditentukan. Tujuan dari setiap perangkat Tahap 2 adalah menghasilkan strategi alternatif yang dapat dijalankan, bukan untuk memilih atau menetapkan strategi mana yang terbaik. Oleh karena itu, tidak semua strategi yang dikembangkan dalam matriks SWOT akan dipilih untuk dijalankan. Pedoman perumusan strategi yang diberikan dapat membantu mempercepat proses pencocokan faktor-faktor eksternal dan internal kunci.
Ketika mengembangkan Matrik SWOT,
menggunakan istilah strategi yang spesifik, tidak boleh meggunakan istilah umum. Disamping itu, amat penting untuk menyertakan catatan dari jenis strategi dibelakang setiap strategi dalam Matriks SWOT (misalnya S5, S9, O3, O7).
Catatan ini
mengungkapkan dasar pemikiran untuk setiap strategi alternatif
(David,2004).
PELUANG - O
ANCAMAN - T
KEKUATAN - S
KELEMAHAN – W
STRATEGI SO Menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang STRATEGI ST Menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman
STRATEGI WO Mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang STRATEGI WT Memnimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
Gambar 6. Matriks SWOT (Stenght-Weaknesses-opportunities-Threats) (Disadur dari David, 2004). 4.4.6. Matriks QSPM Format dasar dari QSPM tersaji dalam Gambar 7. Kolom kiri QSPM terdiri atas faktor-faktor eksternal dan internal, dan baris paling atas terdiri dari strategi alternatif yang dapat dijalankan. Secara spesifik kolom kiri QSPM terdiri atas informasi yang diperoleh secara langsung dari Matriks SWOT. Pada kolom yang berdampingan dengan kolom faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal, dituliskan bobot setiap faktor yang diperoleh langsung dari Matriks QSPM.
Alat-alat pencocokan ini biasanya menghasilkan strategi-strategi
alternatif yang juga dapat dijalankan.
Namun, tidak setiap strategi yang
disarankan oleh teknik-teknik pencocokan harus dinilai dalam QSPM.
Para
perencana strategi juga harus menggunakan penilaian intuitif yang baik dalam memilih strategi-strategi yang akan dimasukan ke dalam QSPM (David,2004). QSPM menggambarkan unsur-unsur: strategi-strategi alternatif, faktorfaktor kunci, bobot, AS = nilai daya tarik, TAS = total nilai daya tarik dan jumlah total nilai daya tarik. Tiga istilah baru, yang baru saja diperkenalkan adalah: (1).
AS = Nilai Daya Tarik, (2). TAS = Total Nilai Daya Tarik, dan (3). Jumlah Total Nilai Daya tarik, didefinisikan dan dijelaskan dibawah ini ketika enam langkah untuk mengembangkan QSPM dijelaskan sebagai berikut : 1. Membuat daftar peluang/ancaman eksternal kunci dan kekuatan/kelemahan internal kunci dari agribisnis kedelai di kolom kiri QSPM. Informasi tersebut diambil langsung dari Matriks SWOT. 2. Memberi bobot pada setiap faktor eksternal dan internal kunci.
Bobot
tersebut disajikan pada kolom sebelah kanan kolom faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal.
Bobot diperoleh langsung dari sampel yang
diwawancarai pada saat identifikasi faktor eksternal dan internal. 3. Menentukan nilai daya tarik (AS) yang diidentifikasikan sebagai angka yang menunjukan daya tarik relatif masing-masing strategi pada suatu rangkaian alternatif tertentu. Nilai daya tarik ditentukan dengan memeriksa masingmasing faktor eksternal dan internal satu per satu, dengan mengajukan pertanyaan, ”Apakah faktor ini mempengaruhi pilihan strategi yang dibuat?”. jika jawaban atas pertanyaan tersebut adalah ”Ya”, maka strategi tersebut harus dibandingkan secara relatif dengan faktor kunci. Khususnya, nilai daya tarik harus diberikan pada masing-masing strategi untuk menunjukan daya tarik relatif suatu strategi terhadap yang lain, dengan mempertimbangkan faktor tertentu. Cakupan nilai daya tarik adalah: 1 = tidak menarik; 2 = agak menarik; 3 = wajar menarik; 4 = sangat menarik.
Jika jawaban atas
pertanyaan tersebut adalah ” Tidak ”, hal tersebut menunjukan bahwa masingmasing faktor kunci tidak mempunyai pengaruh atas pilihan khusus yang dibuat. Oleh karena itu, jangan memberi nilai daya tarik pada strategi-strategi
dalam rangkaian tersebut yang ditandai dengan garis (-) untuk menunjukan bahwa faktor kunci tidak mempunyai pengaruh atas pilihan khusus yang dibuat.
Nilai daya tarik diberikan oleh masing-masing sampel yang
diwawancarai sesuai dengan faktor internal dan eksternal yang diberikannya. 4. Menghitung TAS = Total Nilai Daya Tarik. Total nilai daya tarik didefinisikan sebagai hasil mengalikan bobot (Langkah 2) dengan nilai daya tarik di masing-masing baris (Langkah 4). Total nilai daya tarik menunjukan daya tarik
relatif
dari
masing-masing
strategi
alternatif,
dengan
hanya
mempertimbangkan dampak dari faktor keberhasilan kritis eksternal atau internal yang berdekatan.
Semakin tinggi total nilai daya tarik, semakin
menarik strategi alternatif tersebut (dengan mempertimbangkan hanya faktor keberhasilan kritis yang dekat). 5. Menghitung jumlah total nilai daya tarik. Menjumlahkan total nilai daya tarik di masing-masing kolom strategi QSPM. Jumlah total nilai daya tarik (STAS) mengungkapkan strategi yang paling menarik dalam masing-masing rangkaian alternatif.
Semakin tinggi nilainya menunjukan semakin menarik strategi
tersebut, dengan mempertimbangkan semua faktor kritis eksternal dan internal yang berkaitan yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan strategis. Besarnya perbedaan diantara jumlah total nilai daya tarik dalam suatu rangkaian
strategi-strategi
alternatif
menunjukan
tingkat
relatif
dikehendakinya suatu strategi daripada yang lain. Nilai STAS diperoleh untuk semua strategi alternatif yang ada, maka nilai STAS tertinggi dapat dipilih sebagai strategi terpilih, namun strategi lainnya bukan berarti tidak dapat diterapkan, semua strategi dapat diterapkan, tapi
prioritas terbesar untuk strategi tersebut dijalankan adalah berdasarkan hasil analisis dengan Matriks QSPM yaitu berdasarkan nilai STAS terbesar. Berikut ini merupakan Gambar 7 yang menyajikan model Matriks QSPM yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Faktor-faktor Kunci
Bobot Strategi 1
Strategi 2
Strategi seterusnya..
AS Faktor-Faktor Eksternal Faktor
AS
TAS
AS
TAS
Kunci
peluang
dan
dari
hasil
ancaman
TAS
wawancara
dengan
Departemen
Pertanian,
Badan Penelitian Ternak dan
pengusaha
tahu
/tempe dan petani untuk komoditas kedelai Total Bobot
Faktor-Faktor
Kunci
Internal Faktor
kekuatan
kelemahan
dari
wawancara Departemen
dan hasil
dengan Pertanian,
Badan Penelitian Ternak dan
pengusaha
tahu/tempe dan petani untuk komoditas kedelai Total Bobot Total
Daya
Tarik
(TAS)
Gambar 7. Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif (QSPM) (Disadur dari David,2004).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Perkembangan Kedelai di Indonesia 5.1.1. Produksi Kedelai Peningkatan produksi terjadi pada tahun 1970 sampai dengan 1992 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7,19 persen per tahun.
Peningkatan produksi
terutama terjadi di provinsi-provinsi di luar pulau Jawa dengan rata-rata pertumbuhan 13,74 persen pertahun, sedangkan di Jawa sebesar 5,24 persen. Puncak produksi kedelai terjadi pada tahun 1992 hingga mencapai 1,87 juta ton. Pada tahun tersebut produksi kedelai di Jawa mencapai 57,73 persen dari total produksi Indonesia. Plot Data produksi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 2000000 1750000
Produksi (ton)
1500000 1250000 1000000 750000 500000 4
8
12
16
20 Tahun
24
28
32
36
Gambar 8. Pola Data Produksi Kedelai Indonesia Tahun 1969-2007.
Pada tahun 1979 sampai dengan tahun 1983 produksi cenderung menurun dengan laju pertumbuhan – 4,81 persen pertahun. Produksi kedelai turun dari 679.830 pada tahun 1979 menjadi 536.100 ton pada tahun 1983. Penurunan produksi ini terjadi akibat kemarau panjang pada tahun 1982 dan 1983. Produksi kedelai mulai meningkat tajam pada tahun 1984 sampai tahun 1992. Pada tahun 1984 sebesar 769.380 ton, kemudian meningkat menjadi 1.869.710 ton pada tahun 1992. peningkatan ini terjadi terjadi karena adanya program Opsus (Operasi Khusus) pada tahun 1986. Dari tahun 1997 sampai tahun 2003 terjadi penurunan produksi yang sangat drastis yaitu dari 1.356.890 ton pada tahun 1997 menjadi 671.600 ton pada tahun 2003. Kemudian terus menurun sampai tahun 2007 menjadi sebesar 592.381 ton/ha. Hal ini disebabkan karena penghapusan tata niaga kedelai melalui SK Menperindag No. 406/MPP/Kep/II/1997. Penghapusan tata niaga kedelai yang semula oleh Bulog, maka Importir Umum juga dapat mengimpor kedelai tanpa dikenakan bea masuk (bea masuk 0 %). Sehingga menyebabkan membanjirnya kedelai impor dari berbagai negara seperti Amerika, Brazil dan Argentina dengan harga yang lebih murah apabila dibandingkan dengan kedelai lokal. Dengan demikian tidak ada lagi proteksi terhadap produksi dalam negeri. Setelah tahun 1992 terjadi penurunan produksi sejalan dengan penurunan luas panen. Rata-rata pertumbuhan produksi kedelai Indonesia tahun 1993-2006 turun hingga 5,38 persen per tahun. Dengan demikian total produksi Indonesia tahun 1970 sampai dengan 2007 rata-rata pertumbuhan sebesar 2,30 persen per tahun dimana provinsi-provinsi di Jawa memberikan kontribusi rata-rata sebesar 66,01 persen terhadap produksi nasional.
5.1.2. Konsumsi Kedelai Plot Data Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 2500000
Konsumsi (ton)
2000000
1500000
1000000
500000 4
8
12
16
20 Tahun
24
28
32
36
Ganbar 9. Pola Data Konsumsi Kedelai Indonesia Tahun 1969-2007. Berdasarkan gambar 9 terlihat bahwa dari tahun 1969-1979 dan dari tahun 1982-1992 konsumsi kedelai meningkat, hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk. Dari tahun 1992-1994 konsumsi kedelai menurun karena disebabkan kenaikan harga kedelai, kemudian pada tahun 1994-1996 kesadaran masyarakat semakin besar akan manfaat kedelai dan kecenderungan konsumsi protein kedelai sehingga menyebabkan konsumsi kedelai meningkat dimana tahun 1999-2000 meningkat tajam dan pada tahun 2006-2007 terjadi hal yang sama. Pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2001 terjadi penurunan konsumsi, hal ini disebabkan karena terjadi krisis moneter pada tahun 1997 , serta penghapusan subsidi pupuk dan pestisida pada tahun 1998, sehingga menyebabkan harga kedelai dalam negeri meningkat.
Fluktuasi kenaikan dan penurunan konsumsi kedelai pada tahun 20012006 disebabkan karena kondisi ekonomi Indonesia yang kurang stabil serta terjadi banyak goncangan politik yang menyebabkan hagra pun berfluktuatif dimana ekspor dan impor juga berfluktuatif. Sehingga rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai dari tahun 1969-2007 adalah 2,2 persen pertahun atau dengan kata lain tahun 1969 konsumsi kedelai meningkat sebesar 5,8 kali menjadi dua juta ton pada tahun 2007.
Dimana nilai rata-rata konsumsi kedelai dapat
dikatakan meningkat sebesar 1.275.146,795 ton. 5.1.3. Luas Panen Kedelai Plot Data Luas Panen Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 1750000
Luas Panen (ha)
1500000
1250000
1000000
750000
500000 4
8
12
16
20 Tahun
24
28
32
36
Gambar 10. Pola Data Luas Panen Indonesia Tahun 1969-2007. Berdasarkan gambar 10 terlihat bahwa pada tahun 1969 sampai dengan 2007 luas panen Kedelai Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup berfluktuasi dengan rata-rata laju pertumbuhan mencapai 0,58 persen per tahun. Peningkatan luas panen yang cukup pesat terjadi selama kurun waktu tahun 1969
hingga tahun 1992. Dalam periode tersebut rata-rata pertumbuhan luas panen kedelai mencapai 4,98 persen per tahun dengan luas panen tertinggi terjadi pada tahun 1992 yaitu sebesar 1,67 juta hektar. Secara umum perkembangan luas panen kedelai cenderung lebih berfluktuatif di luar Jawa dibandingkan di Jawa. Meskipun total luas panen lebih tinggi di Jawa, namun rata-rata pertumbuhan luas panen di luar Jawa lebih besar dari pada di Jawa. Pada tahun 1970-1992 rata-rata pertumbuhan luas panen di luar Jawa sebesar 11,30 persen per tahun, sedangkan di Jawa hanya sebesar 2,69 persen per tahun. Hal ini terkait dengan berbagai upaya Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan akan kedelai melalui pelaksanaan beberapa program pengembangan agribisnis
kedelai.
Pada
tahun
1984-1988
Pemerintah
menggalakan
pengembangan kedelai antara lain melelui program menuju swasembada kedelai, program pengembangan kedelai dilahan masam (pengapuran), penerapan anjuran teknologi, penggunaan pupuk biohayati. Setelah tahun 1992 kondisi tersebut berubah dengan drastis. Setiap tahun terjadi penurunan luas panen kedelai dengan rata-rata penurunan mencapai 6,33 persen per tahun. Dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2003 terjadi penuruna luas panen yang cukup drastis, yaitu dari 1.151.080 ha pada tahun 1999 menjadi 526.800 ha. Kemudian pada tahun 2007 luas panen kedelai hanya tertinggal 0,45 juta hektar. Hal ini mengindikasikan bahwa keinginan petani menanam kedelai menurun. Banyak faktor yang mempengaruhi penurunan tersebut, baik dari faktor hulu, ”on farm” maupun hilir. Semua faktor tersebut sangat berkaitan erat dan saling mempengaruhi. Disamping itu kebijakan harga dan impor kedelai juga
merupakan faktor kunci utama yang mempengaruhi gairah petani untuk menanam kedelai. Petani akan bergairah menanam kedelai jika budidaya bertanam kedelai dianggap menguntungkan, jika sarana produksi tersedia dengan kondisi 5 tepat, yaitu tepat jumlah, jenis/varietas, mutu, harga,dan lokasi, serta dapat melaksanakan anuran paket teknologi dengan tepat. Disamping itu kebijakan harga dan impor kedelai juga merupakan faktor kunci utama yang mempengaruhi gairah petani untuk menanam kedelai. Kebijakan tataniaga impor kedelai, yang menyebabkan masuknya kedelai impor dengan harga murah, menyebabkan petani indonesia sulit untuk bersaing. 5.1.4. Produktivitas Kedelai Plot Data Produktivitas Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 13
Produktivitas (kwl/ha)
12 11 10 9 8 7 4
8
12
16
20 Tahun
24
28
32
36
Gambar 11. Pola Data Produktivitas Kedelai Indonesia Tahun 1969-2007. Produktivitas kedelai meningkat secara signifikan, yaitu dari 0,70 ton/ha pada tahun 1969 menjadi 1,3 ton/ha pada tahun 2005 dengan rata-rata
pertumbuhan 1,71 persen per tahun. Kemudian terjadi penurunan untuk tahun berikutnya ,pada tahun 2007 produktivitasnya menjadi 1,21 ton/ha. Produktivitas kedelai dipulau Jawa umumnya lebih tinggi dibandingkan di luar Jawa. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan kesuburan tanah dan ketersediaan sarana produksi yang relatif lebih mudah dan lebih murah di daerah Jawa. Namun demikian
terdapat
kecenderungan
melambatnya
tingkat
pertumbuhan
produktivitas di Jawa tahun 1993-2006 yang sebesar 0,59 persen per tahun sementara di luar Jawa berhasil mencapai 1,55 persen pertahun hal ini disebabkan oleh penggunaan lahan yang kurang efisien serta kurang responnya petani kedelai terhadap perubahan harga yang terjadi. Produktivitas meningkat dari 12,1 kwtl/ha pada tahun 2001 menjadi 12,8 0 kwtl/ha pada tahun 2004. Hal ini disebabkan karena pada periode 2001-2004, Badan Litbang Pertanian telah melepas 11 varietas unggul kedelai. Varietas ijen tahan terhadap ulat grayak. Varietas Tanggamus, nanti, Sibayak, Seulawah dan Rantai adaftif pada lahan kering masam dan non masam. Varietas unggul tersebut berperan penting
dalam
peningkatan produktivitas.
Hal
yang menjadi
permasalahan adalah baru 10 persen areal yang baru ditanami benih varietas unggul.
5.1.5. Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai dibandingkan dengan Target Departemen Pertanian Tabel 4. Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai dibandingkan dengan Target Departemen Pertanian Tahun
Produksi ARIMA(3,1,2)
2008
622928
2009
Hasil Ramalan Konsumsi ARIMA(3,0,0)
Target Deptan Defisit
Produksi
1968552
(426076)
975.000
678941
2024385
(1345444)
1.030.000
2010
726083
2008351
(1282268)
1.030.721
2011
757943
2039908
(1281965)
1.095.592
2012
775485
2037620
(1262135)
1.161.679
2013
781893
2058926
(1277033)
1.236.084
2014
780788
2063808
(1283020)
1.312.452
2015
775437
2080272
(1304835)
1.384.298
Konsumsi 2.098.591 2.225.111 2.233.803 2.266.302 2.283.371 2.295.211 2.327.274 2.341.594
Defisit (1123591) (1195111) (1203082) (1170710) (1121692) (1059127) (1014822) (957296)
Keterangan: Menggunakan data dasar susenas 2002, BPS (pasca krisis ekonomi), target Konsumsi dan Produksi Departemen Pertanian 2008-2015, diolah badan ketahanan pangan dan pusat data dan informasi, Departemen Pertanian
Persamaan fungsi ARIMA Konsumsi (3, 1, 2) terbaik adalah sebagai berikut : t
= Yt-1 – 0,5536 Yt-1 – 0,4328 Yt-2 + 0,2974Yt-3 – 0,0888
t-1 +
0,1890
t-2
Sedangkan Persamaan fungsi ARIMA Produksi (3, 0, 0) terbaik adalah sebagai berikut : t
= Yt-1 + 1,1708 Yt-1 - 0,0470 Yt-2 – 0,1333 Yt-2 Berdasarkan hasil ramalan produksi dengan ARIMA terlihat bahwa hasil
ramalan produksi yang diperoleh jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi. Pada tahun 2015 ramalan produksi sebesar 775437 ton dan konsumsi sebesar 2.080.272 ton. Selisih antara hasil ramalan produksi dan konsumsi adalah sebesar 1.304.835 ton. Begitupun juga apabila dibandingkan dengan target Departemen Pertanian terlihat bahwa hasil ramalan produksi dan konsumsi
dengan menggunakan ARIMA masih jauh lebih rendah daripada target produksi maupun konsumsi Departemen Pertanian. Artinya Indonesia Belum bisa mencapai Swasembada Kedelai pada tahun 2015. Untuk itulah dibuat beberapa skenario pencapaian swasembada
kedelai tahun 2015, supaya antara hasil peramalan
produksi minimal sama dengan hasil ramalan konsumsi ARIMA serta target konsumsi Departemen Pertanian. Upaya untuk meningkatkan produksi kedelai dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber pertumbuhan dari komoditas tersebut (Puslitbangtan, 1991 dan Manwan, 19930. pemanfaatan sumber pertumbuhan tersebut dapat dilakukan dengan lima cara yaitu : 1) Peningkatan produktivitas, 2) Perluasan areal tanam, 3) Peningkatan stabilitas hasil, 4) Mengurangi senjang hasil, 5) Mengurangi kehilangan hasil. Lahan kering merupakan salah satu
alternatif sumber pertumbuhan
produksi kedelai yang potensial untuk perluasan areal tanam. Penanaman kedelai pada lahan kering harus mempertimbangkan berbagai faktor ekologi (bio fisik) secara seksama disamping faktor sosial ekonomi. Seperti ketersediaan air (curah hujan), faktor tanah, topografi dan unsur iklim lainnya serta faktor hama dan penyakit.
Pengembangan potensi lahan kering untuk perluasan areal tanam
sebagai sumber pertumbuhan produksi kedelai harus mempertimbangkan faktorfaktor tersebut secara seksama. Salah satu sumber pertumbuhan produksi kedelai di Indonesia dapat ditempuh dengan memacu produktivitas yang masih rendah yaitu sebesar 1,2 ton/ha pada tahun 2007. Diharapkan dimasa yang akan datang produktivitas dapat ditingkatkan yaitu dengan cara penanaman kedelai dengan menggunakan benih
bersertifikat atau dengan penggunaan benih hasil penelitian yang memiliki produktivitas yang tinggi. Terjadinya instabilitas kedelai per hektar disebabkan oleh cekaman lingkungan biologi dan keadaan iklim yang kurang mendukung, khususnya kekeringan. Hal tersebut menyebabkan petani terlambat dalam penanaman dan juga karena digunakannya varietas kedelai umur dalam. Tingkat stabiitas kedelai per hektar dapat diukur dengan koefisien keragaman (KK), yang merupakan nisbah antara deviasi darui tahun ke tahun. Kehilangan hasil kedelai selama panen dan pasca panen, baik secara kuantitatif maupun kualitatif sering kurang mendapat perhatian. Kehilangan hasil ini merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi kedelai nasional. Kehilangan ini tyerjadi mulai dari panen, pengeringan, pembijian dan pembersihan serta pengangkutan. 5.1.6. Skenario Pencapaian Swasembada dengan Peningkatan Produktivitas dan Luas Panen Pada skenario pencapaian swasembada kedelai tahun 2015 dilakukan dengan menggunakan Metode Kausal (Lampiran 27), sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut : Yt = - 848922 + 1,13 X1 + 74713 X2 Dimana : Yt = produksi (ton) X1= luas panen (hektar) X2= produktivitas (ton/ha) Upaya pencapaian Swasembada kedelai dengan cara peningkatan Produktivitas dan Luas Panen, merupakan upaya yang lebih berpeluang. Dengan
peningkatan Produktivitas sebesar 10 % /tahun serta peningkatan Luas Panen sebesar 15 % /tahun dari tahun dasar (2007) maka Swasembada pada tahun 2015 dapat tercapai. Tabel 5. Hasil Produksi, Peningkatan Produktivitas sebesar 10 %/tahun dan peningkatan Luas Panen sebesar 15 %/tahun dibandingkan dengan Hasil ramalan ARIMA serta target Departemen Pertanian Target Hasil Luas Produktivitas Produksi(ton) Konsumsi Prediksi Panen Tahun (Skenario) (Skenario) Deptan (Skenario) Konsumsi (Kwtl/ha) ARIMA (ha) 2008 741.784 13,31 527.678 1.968.552 2.098.591 2009 930.594 14,64 606.830 2.024.385 2.225.111 2010 1.142.832 16,10 697.855 2.008.351 2.233.803 2011 1.381.406 17,71 802.533 2.039.908 2.266.302 2012 1.649.752 19,49 922.913 2.037.620 2.283.371 2013 1.951.802 21,43 1.061.350 2.058.926 2.295.211 2014 2.290.317 23,56 1.220.553 2.063.808 2.327.274 2015 2.673.225 25,91 1.403.636 2.080.272 2.341.594
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa produksi (Skenario) pada tahun 2015 sebesar 2.673.225 ton sedangkan hasil ramalan konsumsi ARIMA sebesar 2.080.272 ton, selisih antara ramalan produksi (Skenario) dengan ramalan konsumsi ARIMA adalah sebesar 592.953 ton (surplus). Begitupun juga apabila Produksi (Skenario) dibandingkan dengan target Konsumsi Departemen Pertanian juga lebih besar. Nilai produksi (Skenario) adalah sebesar 2.673.225 ton sedangkan target konsumsi Departemen Pertanian adalah sebesar 2.341.594 ton, sehingga selisihnya adalah sebesar 331.631 ton (surplus). Dapat disimpulkan bahwa produksi (skenario) pada tahun 2015 sudah dapat melebihi ramalan Konsumsi ARIMA serta hasil Target Konsumsi Departemen Pertanian, hal ini berarti bahwa pada tahun 2015 Swasembada kedelai sudah dapat tercapai. Peningkatan Luas Panen menjadi 1.403.636 hektar sangat mungkin dilakukan karena pada tahun 1992 Indonesia pernah berswasembada kedelai
dengan Luas Panen sebesar 1.665.710 hektar. Ketersediaan sumber daya lahan yang masih cukup luas sangat memungkinkan Indonesia untuk berswasembada kedelai. Peningkatan luas areal panen dapat dilakukan melalui peningkatan indeks pertanaman (IP) pada lahan sawah irigasi, sawah tadah hujan atau lahan kering. Pengamanan produksi melalui pengendalian hama dan gulma (OPT) secara terpadu dan antisipasi dampak fenomena iklim. Penguatan kelembagaan dan dukungan pembiayaan melalui pemberdayaan kelompok, penyuluh, serta penyediaan kredit/bantuan modal. Selain itu Program dan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk meningkatkan Luas Panen kedelai pada tahun 2008 antara lain : Sekolah Lapang PTT Kedelai seluas 200.000 ha di 70 Kabupaten dan 20 Provinsi, Kemitraan kedelai seluas 100.000 ha di 71 Kabupaten dan 19 Provinsi, Perluasan Areal Tanam Kedelai seluas 160.000 ha pada 206 Kabupaten di 30 Provinsi Peningkatan Produktivitas menjadi 2,5 ton/ha mungkin dilakukan karena sudah ditemukannya varietas kedelai hitam unggulan oleh Tim peneliti Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Varietas yang diberi nama "Mallika" ini diharapkan mampu menjawab tantangan swasembada kedelai Indonesia pada tahun 2015. Tanaman ini memiliki produktivitas cukup tinggi, yakni 2,4 ton per hektar. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata nasional 1,3 ton-1,5 ton per hektar. Disamping itu, kedelai hanya cocok ditanam di daerah subtropis tidak sepenuhnya tepat. Menurut peneliti LIPI, kedelai dapat ditanam di iklim tropis dengan teknologi yang tepat, bahkan akan menghasilkan sekitar 3 ton per hektare atau lebih.
Para pemulia tanaman (breeder) di lingkungan Departemen Pertanian juga telah mampu menghasilkan galur harapan varietas kedelai, yang sekaligus tahan serangan penyakit virus kerdil (SSV=soybean stunt virus). Di tingkat percobaan, produktivitas kedelai galur ini mampu menghasilkan biji kedelai 2,8 ton per ha. Diharapkan pemerintah lebih giat (1) untuk mengembangkan varietas kedelai lokal yang telah dihasilkan oleh peneliti-peneliti terbaik di negeri ini, atau (2) akan terus mengandalkan kedelai impor AS yang sangat mungkin menggunakan benih rekayasa genetika (transgenik) yang kontroversial tersebut. Peningkatan produktivitas kedelai nasional dapat juga dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut : (1) Peningkatan teknologi (2) Penggunaan input yang berkualitas seperti, benih unggul,benih bersertifikasi,kultur jaringan, penggunaan hormon perangsang tumbuh (contoh: Roton, auksin dan giberlin), Penggunaan Rhizobium untuk peningkatan Nitrogen dalam tanah sehingga meningkatkan bintil akar kedelai sehingga dapat merangsang nitrogen pada kedelai untuk meningkatkan produksi., Penggunaan pupuk yang berimbang (Bahan organik seperti kompos,pupuk kandang) Serta N-P-K. (3) Manajemen Pengolahan Lahan (Pola Tanam ; misalnya dari 3x setahun menjadi 4x dalam setahun) 5.2. Identifikasi faktor Internal dan Eksternal Identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal dari agribisnis kedelai didapat dari empat sampel yang diwawancara, dimana secara rinci hasil wawancara serta bobot berdasarkan tingkat kepentingan dari masing-masing sampel yang diwawancara dari setiap faktor internal dan eksternal terdapat pada Lampiran 11. Berikut adalah hasil semua faktor internal dan eksternal dari keempat sampel setelah digabungkan.
5.2.1. Faktor Internal Faktor internal terdiri dari faktor kekuatan dan kelemahan dari agribisnis kedelai.
Berikut daftar faktor internal dari hasil wawancara dengan keempat
sampel yang terdapat pada Tabel 6 yang menyajikan faktor kekuatan dalam agribisnis kedelai dan Tabel 7 yang menyajikan faktor kelemahan dalam agribisnis kedelai. Faktor-faktor kekuatan yang ada pada Tabel 6 berdasarkan hasil wawancara dengan pihak pemerintah berdasarkan agribisnis kedelai pada umumnya,. Adapun faktor kelemahan dari agribisnis kedelai dengan justifikasi yang sama pada faktor kekuatannya terdapat pada Tabel 7. Faktor kelemahan dialami oleh pelaku agribisnis kedelai berdasarkan penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh pihak pemerintah terhadap agribisnis kedelai. Huruf atau angka yang dugunakan di dalam tanda kurung, misalnya (S1) hingga (S4) dan (W1) hingga (W4) adalah sebagai simbol yang akan digunakan di Matriks QSPM, hal ini dilakukan untuk menghemat pembuatan Matriks QSPM Faktor eksternal dan internal berdasarkan hasil wawancara secara ringkas mengenai hulu (ketersediaan saprodi, irigasi), on farm ( peningkatan kesuburan tanah, pengairan, benih, pemupukan, Pengendalian HPT, panen dan pasca panen, kemitraan, penyuluhan), hilir (harga, subsidi, pembatasan impor,tarif impor kedelai, pelabelan pangan transgenik, permodalan).
Tabel 6. Daftar Kekuatan (S) Internal Dalam Agribisnis Kedelai Nasional 1. Komitmen Pemerintah mewujudkan swasembada kedelai tahun 2015 dan menjadikan kedelai sebagai salah satu komoditas strategis nasional. 2. Berbagai benih varietas unggulan kedelai nasional telah berhasil dikembangkan 3. Subsidi sarana produksi dalam pengembangan budidaya kedelai 4. Perdagangan kedelai di pasar dunia, baik dalam bentuk biji kedelai maupun olahannya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatkan penyediaan komoditas pangan sumber protein yang dapat dipilih konsumen. 5. Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai negara agraris dan maritim yang merupakan fondamental per-ekonomian yang perlu didayagunakan melalui pembangunan ekonomi, sehingga menjadi keunggulan yang berdaya saing 6. Terbentuknya sentra produksi kedelai di Jawa, keragaman potensi sumberdaya di P Jawa mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi kedelai
Faktor kelemahan dari agribisnis kedelai secara ringkas mengenai ekonomi, luas lahan, nilai tambah, produksi, konversi, kepemilikan, biaya, jenis hama dan penyakit yang menyerang kedelai, penanaman yang belum merata, tingkat kesuburan lahan, serta kelemahan teknis lainnya dalam agribisnis kedelai. Tabel 7. Daftar Kelemahan (W) Internal Dalam Agribisnis Kedelai Nasional 1. Produktivitas kedelai nasional selama ini masih rendah 2. Kedelai hanya dapat tumbuh pada wilayah dengan iklim tertentu, yaitu tropis dan sub tropis 3. Meningkatnya alih fungsi lahan pertanian, berpengaruh pada upaya pengembangan budidaya kedelai nasional. 4. Kepemilikan lahan petani yang sempit, tidak memungkinkan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan petani kedelai 5. Harga jual kedelai yang tidak sebanding dengan biaya produksinya 6. Pengembangan budidaya kedelai memerlukan spesifikasi dan perawatan lebih rumit daripada tanaman padi dan jagung
5.2.2. Faktor Eksternal Faktor eksternal terdiri dari peluang dan ancaman dari agribisnis kedelai di Indonesia. Daftar faktor-faktor eksternal dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9.
Tabel 8. Daftar Peluang (O) Eksternal Dalam Agribisnis Kedelai Nasional 1. Potensi lahan di luar P Jawa masih memungkinkan untuk pengembangan budidaya kedelai 2. Produk olahan kedelai merupakan alternatif pilihan utama masyarakat sebagai pangan sumber protein yang relatif murah 3. Khasiat kedelai dalam kesehatan, tidak hanya sebagai sumber protein nabati 4. Permintaan pangan olahan kedelai dari tahun ke tahun semakin meningkat 5. Pengembangan industri pengolahan kedelai ke skala yang lebih besar yang mampu menghasilkan produk berkualitas
Tabel 9. Daftar Ancaman (T) Eksternal Dalam Agribisnis Kedelai Nasional 1. Indonesia belum memiliki kemampuan bersaing di pasar dunia 2. Indonesia masih tergantung pada pasar dunia untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Di sisi lain harga kedelai dalam beberapa tahun terakhir semakin meningkat 3. Berkembangnya varietas kedelai transgenik yang berdampak pada melemahnya daya saing kedelai lokal 4. Masuknya kedelai impor sulit dibendung pada era globalisasi
Selain faktor peluang, dalam lingkungan eksternal juga terdapat faktor ancaman pada agribisnis kedelai yang terdapat pada Tabel 9. Begitu pula dengan faktor ancamannya, hasil yang telah didaftar sebagai faktor ancaman dari agribisnis kedelai ini berdasarkan pengalaman yang telah dialami, pengamatan dan penelitian yang telah dilakukan oleh Pemerintah. Huruf dan angka yang digunakan di dalam tanda kurung, misalnya (O1) hingga (O4) dan (T1) hingga (T4) adalah sebagai simbol yang akan digunakan di Matriks QSPM, hal ini dilakukan untuk menghemat pembuatan Matriks QSPM. 5.3. Alternatif Strategi dengan Matriks SWOT Hasil analisis Matriks SWOT yang berguna dalam merumuskan alternatif strategi dari agribisnis kedelai berdasarkan faktor internal dan eksternal yang telah diidentifikasi sebelumnya terdapat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Analisis Matriks SWOT KEKUATAN KELEMAHAN Komitmen Pemerintah 1. Produktivitas kedelai nasional mewujudkan swasembada kedelai selama ini masih rendah tahun 2015 dan menjadikan 2. Kedelai hanya dapat tumbuh kedelai sebagai salah satu pada wilayah dengan iklim komoditas strategis nasional. tertentu, yaitu tropis dan sub tropis 2. Berbagai benih varietas unggulan Meningkatnya alih fungsi lahan kedelai nasional telah berhasil 3. pertanian, berpengaruh pada dikembangkan upaya pengembangan budidaya 3. Subsidi sarana produksi dalam kedelai nasional. pengembangan budidaya kedelai 4. Perdagangan kedelai di pasar dunia, 4. baik dalam Kepemilikan lahan petani yang tidak memungkinkan bentuk biji kedelai maupun olahannya sempit, dapat untuk dapat meningkatkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional kesejahteraan petani kedelai dan meningkatkan penyediaan komoditas pangan sumber protein yang dapat 5. dipilih Harga jual kedelai yang tidak konsumen. sebanding dengan biaya 5. Indonesia mempunyai keunggulan produksinya komparatif sebagai negara agraris 6. Pengembangan budidaya kedelai dan maritim yang merupakan memerlukan spesifikasi dan fondamental per-ekonomian yang perawatan lebih rumit daripada perlu didayagunakan melalui tanaman padi dan jagung pembangunan ekonomi, sehingga menjadi keunggulan yang berdaya saing 6. Terbentuknya sentra produksi kedelai di Jawa, keragaman potensi sumberdaya di P Jawa mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi kedelai 1. Memberlakukan tarif impor kedelai 4. Meningkatkan mutu atau kualitas sebesar lebih dari 20 % serta mengawasi kedelai nasional, serta meningkatkan sistem perdagangan kedelai terhadap keamanan dan higienitas kedelai yang penyelundupan produk-produk ilegal dikonsumsi masyarakat Strategi 4 kedelai serta mengawasi pintu-pintu (W1,2,6 & O2,3) masuk penyelundupan barang dari luar 5. Meningkatkan pengembangan dan penyajian benih, bibit unggul dan negeri.Strategi 1 (S4,5 & O4,5) alsintan, serta peningkatan 2. Mempertahankan penyediaan protein produktivitas melalui perbaikan perkapita minimal 57 gr/hari dan genetis dan teknlogi budidaya dan meningkatkan konsumsi pangan peningkatan efisien penaganan pasca perkapita untuk memenuhi kecukupan panen dan pengolahan Strategi 5 protein sebesar 52 gr/hari, serta (W1,2,4,6 & O1,2,5) meningkatkan kualitas konsumsi pangan mayarakat dengan skor Pola Pangan
1.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
PELUANG Potensi lahan di luar P Jawa masih memungkinkan untuk pengembangan budidaya kedelai Produk olahan kedelai merupakan alternatif pilihan utama masyarakat sebagai pangan sumber protein yang relatif murah Khasiat kedelai dalam kesehatan, tidak hanya sebagai sumber protein nabati Permintaan pangan olahan kedelai dari tahun ke tahun semakin meningkat Pengembangan industri pengolahan kedelai ke skala yang lebih besar yang mampu menghasilkan produk berkualitas
ANCAMAN Indonesia belum memiliki kemampuan bersaing di pasar dunia Indonesia masih tergantung pada pasar dunia untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Di sisi lain harga kedelai dalam beberapa tahun terakhir semakin meningkat Berkembangnya varietas kedelai transgenik yang berdampak pada melemahnya daya saing kedelai lokal Masuknya kedelai impor sulit dibendung pada era globalisasi
Harapan (PPH) minimal 35 gr Strategi 2 (S1,2,3, & O1,2,3) 3. Pengaturan pasokan gas dan air untuk produksi upuk, pengembangan sistem permodalan yang kondusif bagi petani kedelai, srta penyediaan insentif investasi Strategi 3 (S1,3,5,6 & O5) 6. Mengatur alokasi anggaran yang memadai untuk penelitian dan pengembangan perkedelaian, peningkatan kerjasama kemitraan antar lembaga penelitian, serta meningkatkan peran serta masyarakat Strategi 6 (S1,3,5,6 & T3)
7. Meningkatkan pengembangan lumbung kedelai masyarakat, pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana, pemberian subidi transportasi dan BBM bagi daerah sangat rawan dan daerah terpencil Strategi 7 (W1,3,4,5,6 & T2,4)
Tabel SWOT diperoleh dari faktor internal (kekuatan dan elemahan) dan faktor internal (peluang dan ancaman). Faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman diambil dari nara sumber yaitu pihak Pemerintah yaitu Departemen Pertanian (Lampiran 11). Strategi-strategi alternatif yang diperoleh sebanyak 7 macam alternatif strategi yaitu berupa informasi tentang kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang diperoleh dari nara sumber. Seluruh alternatif strategi itu berdasarkan diskusi dengan pihak Badan Ketahanan Pangan-Departemen Pertanian. Selanjutnya, 7 alternatif strategi yang telah didapat dianalisis Matriks QSPM guna mendapat strategi terpilih berdasarkan tingkat prioritasnya, yaitu berdasarkan bobot kepentingannya yang dikalikan dengan nilai daya tariknya terhadap seluruh faktor internal dan eksternal dari agribisnis kedelai 5.4. Pilihan Alternatif Strategi dengan QSPM Tabel 11 adalah hasil pengolahan ke 7 alternatif strategi yang dinilai dari tingkat daya tariknya terhadap tingkat kepentingan dari seluruh faktor internal dan eksternal dari agribisnis kedelai. Sedangkan secara rinci nilai bobot dari seluruh faktor internal dan eksternal dari agribisnis kedelai yang dikalikan dengan nilai daya tarik dari ke 7 alternatif strategi yang diperoleh dapat dilihat pada Lampiran 12.
Tabel 11. Hasil Nilai Akhir Total Daya Tarik Alternatif strategi Berdasarkan QSPM Alternatif Strategi Nilai Akhir Total Daya Keterangan Tarik Strategi pertama 1. Strategi 1 5,57 2,68 2. Strategi 2 2,82 3. Strategi 3 3,29 Strategi keempat 4. Strategi 4 3,85 Strategi ketiga 5. Strategi 5 5,46 Strategi kedua 6. Strategi 6 2,35 7. Strategi 7 Hasil analisis perumusan strategi alternatif dengan menggunakan Matriks SWOT dan QSPM maka didapat 4 strategi alternatif terpilih dari 7 strategi alternatif yang diperoleh. Adapun ke 4 strategi alternatif terpilih yaitu sebagai berikut: 1. Strategi alternatif terpilih yang pertama : memberlakukan tarif impor kedelai sebesar lebih dari 20 % serta mengawasi sistem perdagangan kedelai terhadap penyelundupan produk-produk ilegal kedelai serta mengawasi pintupintu masuk penyelundupan barang dari luar negeri. 2. Strategi alternatif terpilih yang kedua : mengatur alokasi anggaran yang memadai untuk penelitian dan pengembangan perkedelaian, peningkatan kerjasama kemitraan antar lembaga penelitian, serta meningkatkan peran serta masyarakat. 3. Strategi alternatif terpilih yang ketiga : meningkatkan pengembangan dan penyajian benih, bibit unggul dan alsintan, serta peningkatan produktivitas melalui perbaikan genetis dan teknlogi budidaya dan peningkatan efisien penaganan pasca panen dan pengolahan.
4. Strategi alternatif terpilih yang keempat : meningkatkan mutu atau kualitas kedelai nasional, serta meningkatkan keamanan dan higienitas kedelai yang dikonsumsi masyarakat Terkait dengan strategi 1 bahwa memberlakukan tarif impor kedelai sebesar lebih dari 20 % serta mengawasi sistem perdagangan kedelai terhadap penyelundupan produk-produk ilegal kedelai serta mengawasi pintu-pintu masuk penyelundupan barang dari luar negeri diharapkan mampu menghambat laju impor kedelai. Disamping itu diharapkan petani kedelai dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri dengan bantuan serta bimbingan dari pemerintah dan kerjasama dengan pihak swasta serta seluruh masyarakat. Prospek pengembangan komoditas kedelai cukup cerah, mengingat konsumsi kedelai dalam bentuk pangan olahan, terutama tahu, tempe dan kecap, akan terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk. Arah pengembangan komoditas kedelai mencakup pengembangan pada subsistem hulu (faktor produksi), subsistem produksi (on-farm), subsistem hilir, dan subsistem penunjang. Pengembangan komoditas kedelai diharapkan dapat berhasil apabila didukung oleh kebijakan pemerintah yang kondusif. Strategi menaikkan tarif impor 20 persen dapat dilaksanakan jika Pemerintah membuat komitmen dalam merumuskan kebijakan dalam pencapaian swasembada kedelai nasional. Misalnya dengan memberlakukan ”punishment” yang sesuai dengan pelaku impor yang ilegal, memberikan hukuman juga bagi pelaku bea cukai yang melakukan kecurangan terhadap keluar masuknya barang (produk atau komoditi, dalam contoh ini : kedelai) di Indonesia. Sehingga tarif impor sebesar 20 persen dapat berjalan sesuai dengan perencanaan strategis
Pemerintah, hal ini menjadi realistis bagi analisis kebijakan dalam strategi pencapaian swasembada kedelai nasional. Upaya-upaya khusus yang dilakukan melalui (a) perluasan areal tanam (b) pengembangan pusat pertumbuhan (c) pengembangan usaha (d) pengembangan kemitraan. Teknologi utama yang diperlukan dalam peningkatan produktivitas adalah penggunaan benih varietas unggul yang bermutu, pengendalian gulma dan hama (OPT) secara terpadu, perbaikan kesuburan lahan dengan pemupukan sesuai kebutuhan (spesifik lokasi), waktu/musim tanam yang sesuai dan rotasi tanaman. Pengembangan usaha merupakan upaya pengelolaan usahatani yang merupakan upaya pengelolaan usahatani yang menerapkan perpaduan rekayasa sosial, teknologi serta ekonomi dan nilai tambah secara terancana dan berkelanjutan, atas dasar kerjasama antara anggota kelompok tani/perorangan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dengan memanfaatkan potensi sumberdaya secara terpadu. Pengembangan
kemitraan
merupakan
upaya
menumbuhkan
atau
mengembangkan jalinan kerjasama antar petani dengan swasta dan stakeholder lainnya yang bergerak dibidang agribisnis, mulai dari hulu sampai ke hilir (pengusaha saprodi, penangkar benih, perusahaan, pengelola hasil, perdagangan), serta lembaga keuangan lainnya. Dengan adanya koordinasi antar pihak terkait, maka diharapkan hubungan sinergis antara subsistem agribisnis akan berjalan sempurna. Terkait dengan strategi 6 bahwa kegiatan alokasi anggaran yang memadai untuk penelitian dan pengembangan meliputi peningkatan kepedulian berbagai lembaga terkait dalam pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengalokasikan
anggaran memadai untuk penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan teknologi, informasi, peralatan yang menunjang terwujudnya ketahanan pangan dan gizi. Kegiatan untuk meningkatkan kerjasama kemitraan antar lembaga penelitian adalah mengkoordinasikan substansi dan memadukan sumberdaya penelitian untuk menjamin efisiensi dan efektivitas penelitian, serta terlayaninya kebutuhan masyarat yang beragam oleh sumberdaya penelitian yang terbatas. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dengan cara menerapkan sistem penghargaan tingkat nasional kepada mereka yang telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan di bidang pangan dan gizi, untuk memotivasi dan memperluas peran serta lembaga-lembaga pemerintah daerah, lembaga non-pemerintah, organisasi masyarakat maupun perorangan untuk melakukan hal serupa. Perbaikan program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan di bidang pangan meliputi penataan kembali kelembagaan, peningkatan kualifikasi tenaga pengelola dan pelaksana, peningkatan mutu penyelenggaraan, serta pengembangan jaringan kerjasama pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan. Kegiatan penyediaan insentif investasi di bidang pangan meliputi pemberian berbagai kemudahan kepada investor untuk mengurangi biaya dan waktu di bidang tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan, antara lain dalam hal perijinan, penyediaan informasi potensi dan teknologi, kepastian hukum atas penguasaan lahan, perpajakan dan pumungutan lainnya, serta keamanan usaha dari tindak kriminal. Kemudian penguatan penyuluhan kelembagaan petani dan kemitraan meliputi penyuluhan,
penataan
kegiatan penyusunan dan sosialisasi peraturan
kelembagaan,
penyuluhan
pertanian,
peningkatan
ketenagaan
penyuluhan
penyuluhan
pertanian,
pertanian, dan
peningkatan
penyerapan
mutu,
secara
penyelenggaraan
meluas
pendekatan
pemberdayaan/pendampingan kepada kelompok masyarakat kelompok petani. Pengembangan skim permodalan yang kondusif bagi petani meliputi kegiatan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan yang dialami petani dalam mengakses permodalan dari lembaga keuangan perbankan dan non perbankan, baik dalam hal teknis administratif maupun beban finansial yang harus ditangung petani. Berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan seperti pinjaman langsung bergulir
kepada
kelompok
petani,
pengembangan usaha kredit
mikro,
pengembangan koperasi simpan pinjam, dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya agar lebih efektif dalam membantu penyediaan modal usaha dan mendidik kedisiplinan mengelola pinjaman kepada petani. Terkait dengan strategi 5 bahwa pengembangan dan penyediaan benih, bibit unggul dan alsintan dilaksanakan melalui pengembangan benih/bibit induk unggul berkualitas spesifik lokasi, pengembangan usaha penangkaran atau produksi benih/bibit sebar unggul berkualitas yang spesifik lokasi, perakitan serta pengembangan produksi alat dan mesin pertanian untuk meningkatkan efisiensi budidaya pertanian. Kegiatan yang dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas melalui perbaikan genetis dan teknologi budidaya mencakup perakitan teknologi untuk menghasilkan varietas unggul spesifik lokasi untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas usaha pertanian serta untuk pebaikan teknologi budidaya untuk menekan
senjang
hasil
antara
tingkat
penelitian
dan
tingkat
petani,
memperbaiki/mempertahankan kesuburan lahan dan meningkatkan pendapatan petani. Kegiatan peningkatan efisiensi penanganan pasca panen dan pengolahan terdiri atas perakitan dan pengembangan teknologi pasca panen dan pengolahan tepat guna spesifik lokasi untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk, peningkatan kesadaran dan kemampuan petani untuk memanfaatkan teknologi pasca panen dan pengolahan yang tepat untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk, mendorong pemanfaatan teknologi dan peralatan tersebut melalui penyediaan insentif bagi pelaku usaha, khususnya skala kecil. Terkait dengan strategi 4 bahwa peningkatan kesadaran mutu dan keamanan pangan pada konsumen meliputi kegiatan pendidikan dan penyuluhan kepada seluruh lapisan masyarakat, baik melalui jalur formal maupun non formal untuk meningkatkan pemahaman terhadap mutu dan keamanan pangan serta dampaknya terhadap kesehatan tubuh, serta kemampuan untuk menyeleksi pangan yang bermutu dan aman dikonsumsi. Kegiatan pengembangan dan penerapan sistem mutu pada proses produksi, olahan dan perdagangan pangan meliputi perumusan dan penerapan sistem mutu, penyuluhan, pelayanan dan fasilitasi penerapan sistem mutu, pemantauan penerapan sistem mutu serta penghargaan terhadap produsen, pengolahan dan perdagangan dibidang pangan yang telah menerapkan sistem mutu dengan baik. Kegiatan pencegahan dini dan penegakan hukum terhadap pelanggaran aturan mutu dan keamanan antara lain adalah kampanye peningkatan kesadaran masyarakat atas berbagai aturan tentang mutu dan keamanan pangan, penerapan sistem pemantauan terhadap produk pangan yang berpotensi pelanggaran dan
membahayakan, serta penerapan sangsi terhadap pelanggaran. Kesadaran masyarakat atas bahaya pada bahan pangan yang dikonsumsi akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencegahan dini dan pengawasan. Pemberian muatan pangan dan gizi pada pendidikan formal dan non formal. Kegiatan ini meliputi penyusunan program dan kurikulum yang tepat untuk masing-masing segmen dan tingkatan, sosialisasi kepada pihak terkait dan penerapan secara partisipatif dengan seluruh pemangku kepentingan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Hasil ramalan produksi dan konsumsi dengan mengunakan ARIMA menunjukan nilai sebesar masing-masing 775.437 ton dan 2.080.272 ton, hal ini menunjukan belum tercapainya swasembada kedelai pada tahun 2015. Dibuatlah skenario pencapaian swasembada kedelai tahun 2015 dengan menggunakan Model Kausal . 2. Dari Skenario diperoleh nilai prediksi Produksi pada tahun 2015 sebesar 2.673.225 ton sedangkan hasil prediksi konsumsi ARIMA sebesar 2.080.272 ton dan hasil prediksi konsumsi Departemen Pertanian sebesar 2.341.594 ton. Hal ini menunjukan bahwa sudah tercapainya swasembada kedelai tahun 2015, karena nilai produksi (skenario) lebih besar daripada nilai hasil prediksi konsumsi ARIMA dan hasil prediksi Departemen Pertanian pada tahun 2015. 3. Berikutnya dibuat implikasinya terhadap strategi agribisnis kedelai untuk pencapaian swasembada kedelai 2015. Strategi tersebut sebagai berikut : (1) Strategi alternatif terpilih yang pertama : memberlakukan tarif impor kedelai sebesar lebih dari 20 % serta mengawasi sistem perdagangan kedelai terhadap penyelundupan produk-produk ilegal kedelai serta mengasi pintu-pintu masuk penyelundupan barang dari luar negeri. Strategi alternatif terpilih yang kedua : mengatur alokasi anggaran yang memadai untuk penelitian dan pengembangan perkedelaian, peningkatan kerjasama kemitraan antar lembaga penelitian, serta meningkatkan peran serta masyarakat. Strategi alternatif terpilih yang ketiga :
meningkatkan pengembangan dan penyajian benih, bibit unggul dan alsintan, serta peningkatan produktivitas melalui perbaikan genetis dan teknlogi budidaya dan peningkatan efisien penanganan pasca panen dan pengolahan. Strategi alternatif terpilih yang keempat : meningkatkan mutu atau kualitas kedelai nasional, serta meningkatkan keamanan dan higienitas kedelai yang dikonsumsi masyarakat. 5.2. Saran Hasil kesimpulan yang telah dijabarkan di atas, maka dapat diberikan saran kepada pemerintah bahwa pemerintah seharusnya lebih memperhatikan petani kedelai agar petani kedelai termotivasi untuk memproduksi kedelai lebih banyak khususnya di luar pulau Jawa, sedangkan untuk petani kedelai sendiri lebih aktif untuk melakukan pendekatan melalui komunikasi dengan pihak pemerintah dan industri yang dapat membantu mengembangkan usahataninya, sedangkan dari pihak industri lebih kreatif untuk mengembangkan produk olahan kedelai selain tahu dan tempe serta giat mempromosikannya ke seluruh rakyat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M. O. 1999. Potensi Peningkatan produksi Kedelai Di Indonesia Melalui Penelitian Pengembangan Dan Pemanfaatan sumber Pertumbuhan Produksi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian Pengembangan Pertanian Astuti, W. 2004. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Serta Dampak Kebijaksanaan Pemerintah Pada Pengusahan Kedelai di Indonesia. Skripsi. Jurusan ilmu-ilmu Sosil Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Agro Inovasi; Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Jakarta: Departemen Pertanian. Badan Ketahanan Pangan. 2007. Pedoman Umum Percepatan Bangkit Kedelai. Direktorat Jendral Tanaman Pangan. Direktorat Jendral Budidaya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Jakarta : Departemen Pertanian. David, F. R. 2004. Manajemen Strategis: Konsep-konsep, edisi kesembilan. Jakarta : PT. Indeks Kelompok Gramedia. Hanke, E. 2003. Peramalan Bisnis. Jakarta: PT. Prenhallindo. Kasryno, F. Effendi Pasandaran; dan A. M. fafi. 2002. Ekonomi Kedelai Indonesia. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Jakarta : Departemen Pertanian. Kuncoro, M. 2004. Metode Kuantitatif; Teori dan Aplkasi Untuk Bisnis dan Ekonomi; Edisi Kedua. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Lipsey, R. 1995. Pengantar Mikroekonomi; Jilid Satu, Edisi Sepuluh. Jakarta: Binarupa Aksara. Ma’rif, S dan Hendri, T. 2003. Teknik-teknik Kuantitatif untuk Manajemen. Jakarta : Grasindo. Makridakis, S. Wheelwright, S. C. McGee, V. E. 1999. Metode dan Aplikasi Peramalan, Jilid Satu; Edisi Kedua. Jakarta: Binarupa Aksara. Manurung, J. J. Manurung, A. H. Saragih, F, D. 2005. Ekonometrika; Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Manwan, I. 1993. Strategi dan Langkah Operasional Penelitian Tanaman Pangan yang Berwawasan Agribisnis. Makalah disajikan sebagai makalah pokok dan Simposium Penelitian Tanaman Pangan II, 23-25 Jakarta/Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Nachrowi, D .2005. Teknik Pengambilan Keputusan; Dilengkapi Teknik Analisis dan Pengolahan Data Menggunakan Paket Program LINDO dan SPSS. Jakarta: Grasindo; Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nicholson, W.1999. Teori Mikro Ekonomi I dan II , (deliarnov, penyedur), Jakarta :Rajawali Press. Nuryanti, S. 2007. Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kedelai dengan Kebijakan Tarif Optimal. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Purwanto. 2004. Analisis Peramalan Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan Utama (Padi, Jagung, Kedelai) di Sumatera dan Jawa. Skripsi. Jurusan ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pusat Data dan Informasi Pertanian.2006.Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan. Jakarta : Departemen Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 1991. Sumber Pertumbuhan Padi dan Kedelai: Potensi dan Peluang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Rachman, B. 1998. Respons Petani Kedelai di Jawa Terhadap Perubahan Harga. Pusat Penelitian Agro Ekonomi Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian .Departemen Pertanian. Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis; Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sa’id, E. Gumbira dan Prastiwi, Y. E. 2005. Agribisnis Syariah; Manajemen Agribisnis dalam PerspektifSyariah Islam. Jakarta: Penebar Swadaya. Saptana. 1993. Kajian Aspek Produksi Dan Pemasaran Kedelai di Jawa Tengah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Semaoen, I. 1996. Konsep dan strategi Kelembagaan yang Mandiri dalam Menyongsong Perkembangan IPTEK dan Lingkungan Strategis Abad ke21. Paper dalam Seminar Peringatan 50 Tahun UGM. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soekartawi, A, S.1990. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. DirjenPendidikan Tinggi. DepartemenPendidikan dan Kebudayaan. Cetakan ke 3. Jakarta. Subandi, M. S. dan Adi, W. 1988. Kedelai. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Surifani, D.M. 2004. Permintaan Impor Kedelai Indonesia dari Amerika Serikat dan Aliran Impor Kedelai ke Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suryana, A dan Tahlim, S. 1997. Penawaran, Konsumsi Pangan dan Kebiasaan Perilaku Makan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Syafa’at, N. 1995. Perdangan Wilayah Komoditas Kedelai. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian Pengembangan Pertanian.
Lampiran 1. Taksonomi Metode Peramalan Kuantitatif Metode Peramalan A. Deret Berkala
Spesifikasi Pokok Sejarah akan berulang dengan sendirinya, sehingga keadaan mendatang merupakan kelanjutan masa lalu
Metode Utama
Deskripsi Ringkas
1. Naif
Sangat sederhana, misalnya ramalan bulan ini sama dengan observasi tahun lalu untuk bulan yang sama ditambah 10 persen Data deret berkala diuraikan menurut komponennya, yaitu kecenderungan, musiman, siklik dan acak Ramalan diperoleh dari perataan 9smoothing) nilai-nilai pengamatan masa lampau Ramalan diperoleh dari kombinasi nilai-nilai observasi masa lampau dan atau errornya Variasi pada suatu peubah yang akan diramalkan dapat dijelaskan oleh variasi pada suatu peubah lainnya (peubah penjelas)
2.Dekomposisi
3. Time Series sederhana 4. Time Series Lanjutan
B. Kausal
Ramalan dapat 1. Regresi dilakukan Sederhana dengan memahami hubungan sebab akibat, bagaimana variasi faktorfaktor tertentu menjelaskan variasi suatu peubah 2. Regresi Berganda
3. Model Sistem Persamaan 4. Metode Multivariate C. Monitoring
Tracking Signal
Sumber: Ma’arif dab Tandjung (2003)
Variasi peubah yang akan diperkirakan dijelaskan oleh variasi dari beberapa peubah penjelas Peramalan dilakukan dengan pendekatan sistem persamaan simultan. Interdependensi antar semua peubah diperhitungkan Pendekatan statistik yang memungkinkan prediksi melalui analisis multivariate time series. Identifikasi terhadap faktor non random sehingga signal peringatan dapat diperoleh
Lampiran 2. Tabel Data produksi, Konsumsi,Luas Panen dan Produktivitas Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 Produksi Konsumsi Luas Panen Produktivitas(Ku/Ha) Tahun (000 ton) (ton) (Ha) 1969 388,91 346.569 753783 7,02 1970 497,88 441.465 694730 7,17 1971 515,64 463.356 679630 7,59 1972 518,23 462.202 697500 7,43 1973 541,04 448.564 743660 7,28 1974 589,24 519.276 753500 7,82 1975 589,83 527.612 751690 7,85 1976 521,78 628.155 646340 8,07 1977 522,82 551.167 646120 8,09 1978 616,60 678.806 733140 8,41 1979 679,83 770.664 784490 8,67 1980 652,76 684.221 732350 8,91 1981 703,81 633.134 809980 8,69 1982 521,39 469.674 607790 8,58 1983 536,10 695.856 639880 8,38 1984 769,38 1.040.500 858850 8,96 1985 869,72 1.052.084 896220 9,7 1986 1226,73 1.465.104 1253770 9,78 1987 1160,96 1.302.750 1100570 10,55 1988 1270,42 1.645.877 1177360 10,79 1989 1315,11 1.537.624 1198100 10,98 1990 1487,43 1.909.983 1334100 11,15 1991 1555,45 1.995.629 1368200 11,37 1992 1869,71 2.322.742 1665710 11,22 1993 1708,53 2.254.820 1470210 11,62 1994 1564,85 2.085.996 1406920 11,12 1995 1680,01 2.133.188 1477430 11,37 1996 1517,18 2.182.590 1279290 11,86 1997 1356,89 1.794.537 1119080 12,13 1998 1305,64 1.649.000 1095070 11,92 1999 1382,85 1.166.574 1151080 12,01 2000 1017,63 2.048.138 824480 12,34 2001 826,93 1.200.598 678850 12,18 2002 673,06 1.832.027 544520 12,36 2003 671,60 1.675.973 526800 12,75 2004 723,48 1.562.901 565160 12,8 2005 808,35 1.707.176 621540 13,01 2006 746,61 1.844.193 580530 12,88 2007 592,38 2.000.000 458850 12,1 Sumber : Departemen Pertanian, 2007
Lampiran 3. Tabel Daftar Means Square Error (MSE) dengan Kombinasi AR dan MA (Sebelum Differencing; d=0) untuk Konsumsi Kedelai Nasional AR = q MA = p MSE 819247266739 0 1 86277709854 1 0 330608061550 0 2 61932283466 2 0 257806751653 0 3 61167440591 3 0 61930124438 1 2 62148387014 2 1 62881277488 1 3 61433270402 3 1 63544026326 2 3 62947608476 3 2 71972111234 1 1 61870125764 2 2 65019827297 3 3
Lampiran 4. Tabel Daftar Means Square Error (MSE) dengan Kombinasi AR dan MA (Setelah Differencing 1 kali ; d=1) untuk Konsumsi Kedelai Nasional AR = q MA = p MSE 72510252857 0 1 62738527195 1 0 62193850679 0 2 61559282915 2 0 63263960618 0 3 61413347433 3 0 62318287755 1 2 61606344253 2 1 63932459629 1 3 63124455273 3 1 65068887354 2 3 64915456638 3 2 62744404410 1 1 63151163919 2 2 66929690629 3 3
Lampiran 5. Tabel Daftar Means Square Error (MSE) dengan Kombinasi AR dan MA (Setelah Differencing 2 kali ; d=2) untuk Konsumsi Kedelai Nasional AR = q MA = p MSE 91866378652 0 1 90873542003 1 0 75310299550 0 2 74371679256 2 0 66407516524 0 3 73444079867 3 0 64988189695 1 2 94771755481 2 1 64969761997 1 3 65269906072 3 1 61198316852 2 3 61203031330 3 2 64266383722 1 1 70330190755 2 2 64067376509 3 3 Lampiran 6. Tabel Hasil Output Minitab Version 14 untuk Data Konsumsi Kedelai Nasional dari Tahun 1969-2007 dengan Berbagai Macam model ARIMA (p, d, q) ARIMA(0,0,1) Final Estimates of Parameters Type MA 1
Coef -0,7716
SE Coef 0,1051
T -7,34
P 0,000
Number of observations: 39 Residuals: SS = 31131396136094 (backforecasts excluded) MS = 819247266739 DF = 38
ARIMA (1, 0, 0) Final Estimates of Parameters Type AR 1
Coef 1,0014
SE Coef 0,0338
T 29,66
P 0,000
Number of observations: 39 Residuals: SS = 3278552974469 (backforecasts excluded) MS = 86277709854 DF = 38
ARIMA (0,0,2) Final Estimates of Parameters Type MA 1 MA 2
Coef -1,0407 -0,9064
SE Coef 0,1416 0,1357
T -7,35 -6,68
P 0,000 0,000
Number of observations: 39 Residuals: SS = 12232498277339 (backforecasts excluded) MS = 330608061550 DF = 37
ARIMA (2,0,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2
Coef 0,4636 0,5456
SE Coef 0,1379 0,1409
T 3,36 3,87
P 0,002 0,000
Number of observations: 39 Residuals: SS = 2291494488243 (backforecasts excluded) MS = 61932283466 DF = 37
ARIMA (0,0,3) Final Estimates of Parameters Type MA 1 MA 2 MA 3
Coef -1,1546 -1,2021 -0,5876
SE Coef 0,1549 0,2122 0,1896
T -7,45 -5,66 -3,10
P 0,000 0,000 0,004
Number of observations: 39 Residuals: SS = 9281043059508 (backforecasts excluded) MS = 257806751653 DF = 36
ARIMA (3,0,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 AR 3
Coef 0,5576 0,6260 -0,1764
SE Coef 0,1656 0,1563 0,1694
T 3,37 4,01 -1,04
P 0,002 0,000 0,305
Number of observations: 39 Residuals: SS = 2202027861277 (backforecasts excluded) MS = 61167440591 DF = 36
ARIMA (1,0,2) Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1 MA 2
Coef 1,0053 0,4451 -0,3834
SE Coef 0,0271 0,1584 0,1597
T 37,04 2,81 -2,40
P 0,000 0,008 0,022
Number of observations: 39 Residuals: SS = 2229484479775 (backforecasts excluded) MS = 61930124438 DF = 36
ARIMA (2,0,1) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 MA 1
Coef 0,3270 0,6826 -0,1962
SE Coef 0,2207 0,2185 0,2991
T 1,48 3,12 -0,66
P 0,147 0,004 0,516
Number of observations: 39 Residuals: SS = 2237341932507 (backforecasts excluded) MS = 62148387014 DF = 36
ARIMA (1,0,3) Final Estimates of Parameters Type
Coef
SE Coef
T
P
AR MA MA MA
1 1 2 3
1,0055 0,4595 -0,4254 0,1016
0,0260 0,1739 0,1733 0,1751
38,74 2,64 -2,45 0,58
0,000 0,012 0,019 0,565
Number of observations: 39 Residuals: SS = 2200844712067 (backforecasts excluded) MS = 62881277488 DF = 35
ARIMA (3,0,1) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA
1 2 3 1
Coef 1,0709 0,4185 -0,4867 0,5172
SE Coef 0,4788 0,3425 0,2536 0,5230
T 2,24 1,22 -1,92 0,99
P 0,032 0,230 0,063 0,329
Number of observations: 39 Residuals: SS = 2150164464079 (backforecasts excluded) MS = 61433270402 DF = 35
ARIMA (2,0,3) Final Estimates of Parameters Type AR AR MA MA MA
1 2 1 2 3
Coef 0,4485 0,5605 -0,0873 -0,2074 -0,0584
SE Coef 0,7193 0,7192 0,7492 0,3571 0,3861
T 0,62 0,78 -0,12 -0,58 -0,15
P 0,537 0,441 0,908 0,565 0,881
Number of observations: 39 Residuals: SS = 2160496895074 (backforecasts excluded) MS = 63544026326 DF = 34
ARIMA (3,0,2) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA MA
1 2 3 1 2
Coef 1,0784 0,3533 -0,4280 0,5461 -0,0925
SE Coef 0,4816 0,3920 0,4301 0,4980 0,3396
T 2,24 0,90 -1,00 1,10 -0,27
P 0,032 0,374 0,327 0,281 0,787
Number of observations: 39 Residuals: SS = 2140218688201 (backforecasts excluded) MS = 62947608476 DF = 34
ARIMA (1,0,1) Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1
Coef 1,0042 0,3535
SE Coef 0,0211 0,1623
T 47,61 2,18
P 0,000 0,036
Number of observations: 39 Residuals: SS = 2662968115648 (backforecasts excluded) MS = 71972111234 DF = 37
ARIMA (2,0,2) Final Estimates of Parameters
Type AR AR MA MA
1 2 1 2
Coef 0,5019 0,5068 -0,0346 -0,2284
SE Coef 0,3315 0,3359 0,3401 0,2282
T 1,51 1,51 -0,10 -1,00
P 0,139 0,140 0,920 0,324
Number of observations: 39 Residuals: SS = 2165454401743 (backforecasts excluded) MS = 61870125764 DF = 35
ARIMA (3,0,3) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA MA MA
1 2 3 1 2 3
Coef 1,2030 0,2123 -0,4130 0,6647 -0,1652 0,0653
SE Coef 1,0719 0,9797 0,4405 1,0756 0,5283 0,4552
T 1,12 0,22 -0,94 0,62 -0,31 0,14
P 0,270 0,830 0,355 0,541 0,756 0,887
Number of observations: 39 Residuals: SS = 2145654300798 (backforecasts excluded) MS = 65019827297 DF = 33
ARIMA (0,1,1) Final Estimates of Parameters Type MA 1
Coef 0,3464
SE Coef 0,1565
T 2,21
P 0,033
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2682879355696 (backforecasts excluded) MS = 72510252857 DF = 37
ARIMA (1,1,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1
Coef -0,5427
SE Coef 0,1388
T -3,91
P 0,000
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2321325506233 (backforecasts excluded) MS = 62738527195 DF = 37
ARIMA (0,1,2) Final Estimates of Parameters Type MA 1 MA 2
Coef 0,4374 -0,3875
SE Coef 0,1568 0,1592
T 2,79 -2,43
P 0,008 0,020
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2238978624429 (backforecasts excluded) MS = 62193850679 DF = 36
ARIMA (2,1,0) Final Estimates of Parameters
Type AR 1 AR 2
Coef -0,4232 0,2172
SE Coef 0,1647 0,1651
T -2,57 1,32
P 0,014 0,197
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2216134184928 (backforecasts excluded) MS = 61559282915 DF = 36
ARIMA (0,1,3) Final Estimates of Parameters Type MA 1 MA 2 MA 3
Coef 0,4514 -0,4270 0,0956
SE Coef 0,1703 0,1730 0,1724
T 2,65 -2,47 0,55
P 0,012 0,019 0,583
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2214238621621 (backforecasts excluded) MS = 63263960618 DF = 35
ARIMA (3,1,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 AR 3
Coef -0,4573 0,2972 0,1767
SE Coef 0,1678 0,1819 0,1700
T -2,73 1,63 1,04
P 0,010 0,111 0,306
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2149467160145 (backforecasts excluded) MS = 61413347433 DF = 35
ARIMA (1,1,2) Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1 MA 2
Coef -0,4935 -0,0329 -0,2372
SE Coef 0,3349 0,3419 0,2247
T -1,47 -0,10 -1,06
P 0,150 0,924 0,298
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2181140071433 (backforecasts excluded) MS = 62318287755 DF = 35
ARIMA (2,1,1) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 MA 1
Coef 0,0598 0,4936 0,5073
SE Coef 0,4304 0,2266 0,4763
T 0,14 2,18 1,06
P 0,890 0,036 0,294
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2156222048841 (backforecasts excluded) MS = 61606344253 DF = 35
ARIMA (1,1,3) Final Estimates of Parameters
Type AR MA MA MA
1 1 2 3
Coef -0,6114 -0,1473 -0,1908 -0,0874
SE Coef 0,6508 0,6839 0,3327 0,3665
T -0,94 -0,22 -0,57 -0,24
P 0,354 0,831 0,570 0,813
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2173703627402 (backforecasts excluded) MS = 63932459629 DF = 34
ARIMA (3,1,1) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA
1 2 3 1
Coef -0,1800 0,4122 0,1127 0,2863
SE Coef 0,8917 0,3796 0,2937 0,8962
T -0,20 1,09 0,38 0,32
P 0,841 0,285 0,703 0,751
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2146231479268 (backforecasts excluded) MS = 63124455273 DF = 34
ARIMA (2,1,3) Final Estimates of Parameters Type AR AR MA MA MA
1 2 1 2 3
Coef 0,0814 0,4231 0,5484 -0,1037 0,0085
SE Coef 0,9734 0,4187 0,9852 0,4821 0,4266
T 0,08 1,01 0,56 -0,22 0,02
P 0,934 0,320 0,582 0,831 0,984
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2147273282698 (backforecasts excluded) MS = 65068887354 DF = 33
ARIMA (3,1,2) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA MA
1 2 3 1 2
Coef -0,5536 0,4328 0,2974 -0,0888 0,1890
SE Coef 1,6186 0,6264 0,8734 1,6342 1,1608
T -0,34 0,69 0,34 -0,05 0,16
P 0,735 0,494 0,736 0,957 0,872
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2142210069051 (backforecasts excluded) MS = 64915456638 DF = 33
ARIMA (1,1,1) Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1
Coef -0,7076 -0,2303
SE Coef 0,2075 0,2864
T -3,41 -0,80
P 0,002 0,426
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2258798558769 (backforecasts excluded) MS = 62744404410 DF = 36
ARIMA (2,1,2) Final Estimates of Parameters Type AR AR MA MA
1 2 1 2
Coef 0,0612 0,4153 0,5282 -0,1024
SE Coef 0,4532 0,4048 0,4731 0,3363
T 0,14 1,03 1,12 -0,30
P 0,893 0,312 0,272 0,763
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2147139573259 (backforecasts excluded) MS = 63151163919 DF = 34
ARIMA (3,1,3) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA MA MA
1 2 3 1 2 3
Coef -0,5405 0,4391 0,3148 -0,0804 0,1868 0,0343
SE Coef 2,8031 0,6880 0,9358 2,7925 1,3353 0,6478
T -0,19 0,64 0,34 -0,03 0,14 0,05
P 0,848 0,528 0,739 0,977 0,890 0,958
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 2141750100133 (backforecasts excluded) MS = 66929690629 DF = 32
ARIMA (0,2,1) Final Estimates of Parameters Type MA 1
Coef 0,9774
SE Coef 0,0729
T 13,42
P 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 3307189631464 (backforecasts excluded) MS = 91866378652 DF = 36
ARIMA (1,2,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1
Coef -0,8214
SE Coef 0,0951
T -8,64
P 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 3271447512125 (backforecasts excluded) MS = 90873542003 DF = 36
ARIMA (0,2,2) Final Estimates of Parameters Type MA 1 MA 2
Coef 1,3039 -0,3310
SE Coef 0,0907 0,1213
T 14,38 -2,73
P 0,000 0,010
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 2635860484252 (backforecasts excluded) MS = 75310299550 DF = 35
ARIMA (2,2,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2
Coef -1,1928 -0,4521
SE Coef 0,1508 0,1507
T -7,91 -3,00
P 0,000 0,005
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 2603008773947 (backforecasts excluded) MS = 74371679256 DF = 35
ARIMA (0,2,3) Final Estimates of Parameters Type MA 1 MA 2 MA 3
Coef 1,3633 -0,7711 0,3662
SE Coef 0,1308 0,2268 0,1678
T 10,42 -3,40 2,18
P 0,000 0,002 0,036
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 2257855561826 (backforecasts excluded) MS = 66407516524 DF = 34
ARIMA (3,2,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 AR 3
Coef -1,2855 -0,6958 -0,2041
SE Coef 0,1685 0,2523 0,1701
T -7,63 -2,76 -1,20
P 0,000 0,009 0,238
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 2497098715477 (backforecasts excluded) MS = 73444079867 DF = 34
ARIMA (1,2,2) Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1 MA 2
Coef -0,7015 0,7685 0,1854
SE Coef 0,2103 0,2837 0,2936
T -3,34 2,71 0,63
P 0,002 0,010 0,532
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 2209598449633 (backforecasts excluded) MS = 64988189695 DF = 34
ARIMA (2,2,1) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 MA 1
Coef -1,2765 -0,4034 -0,4913
SE Coef 3,7668 2,8498 3,8543
T -0,34 -0,14 -0,13
P 0,737 0,888 0,899
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 3222239686355 (backforecasts excluded) MS = 94771755481 DF = 34
ARIMA (1,2,3) Final Estimates of Parameters Type AR MA MA MA
1 1 2 3
Coef -0,6041 0,8566 -0,0528 0,1637
SE Coef 0,2758 0,2893 0,4273 0,2218
T -2,19 2,96 -0,12 0,74
P 0,036 0,006 0,902 0,466
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 2144002145900 (backforecasts excluded) MS = 64969761997 DF = 33
ARIMA (3,2,1) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA
1 2 3 1
Coef -0,4986 0,2220 0,1327 0,9585
SE Coef 0,1856 0,2179 0,1845 0,0896
T -2,69 1,02 0,72 10,70
P 0,011 0,316 0,477 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 2153906900363 (backforecasts excluded) MS = 65269906072 DF = 33
ARIMA (2,2,3) Final Estimates of Parameters Type AR AR MA MA MA
1 2 1 2 3
Coef -0,8908 -0,2072 0,5608 0,2795 0,2727
SE Coef 1,3984 1,0413 1,3891 1,0942 0,4892
T -0,64 -0,20 0,40 0,26 0,56
P 0,529 0,844 0,689 0,800 0,581
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 1958346139275 (backforecasts excluded) MS = 61198316852 DF = 32
ARIMA (3,2,2) AR AR AR MA MA
1 2 3 1 2
-1,1935 -0,0784 0,2266 0,3096 0,8102
1,3297 0,6812 0,2589 1,2780 1,4134
-0,90 -0,12 0,88 0,24 0,57
0,376 0,909 0,388 0,810 0,570
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 1958497002551 (backforecasts excluded) MS = 61203031330 DF = 32
ARIMA (1,2,1) Final Estimates of Parameters
Type AR 1 MA 1
Coef -0,5729 0,9580
SE Coef 0,1413 0,0712
T -4,05 13,45
P 0,000 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 2249323430284 (backforecasts excluded) MS = 64266383722 DF = 35
ARIMA (2,2,2) Final Estimates of Parameters Type AR AR MA MA
1 2 1 2
Coef -1,1529 -0,3438 0,2599 0,4064
SE Coef 5,5420 3,3629 5,5789 4,4354
T -0,21 -0,10 0,05 0,09
P 0,836 0,919 0,963 0,928
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 2320896294918 (backforecasts excluded) MS = 70330190755 DF = 33
ARIMA (3,2,3) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA MA MA
1 2 3 1 2 3
Coef -1,3009 -0,0798 0,2526 0,1941 0,9637 -0,0567
SE Coef 3,3894 1,3596 1,4017 3,2846 4,4171 1,2189
T -0,38 -0,06 0,18 0,06 0,22 -0,05
P 0,704 0,954 0,858 0,953 0,829 0,963
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 1986088671787 (backforecasts excluded) MS = 64067376509 DF = 31
Lampiran 7. Tabel Daftar Means Square Error (MSE) dengan Kombinasi AR dan MA (Sebelum Differencing; d=0) untuk Produksi Kedelai Nasional AR = q MA = p MSE 305284226005 0 1 20072184354 1 0 119082480770 0 2 20059642725 2 0 84439929233 0 3 20235444004 3 0 20396464704 1 2 19843447402 2 1 20846567647 1 3 20403950660 3 1 21399523502 2 3 20927012962 3 2 20177874561 1 1 20372052505 2 2 21559913743 3 3
Lampiran 8. Tabel Daftar Means Square Error (MSE) dengan Kombinasi AR dan MA (Setelah Differencing 1 kali ; d=1) untuk Produksi Kedelai Nasional AR = q MA = p MSE 20233476912 0 1 20122430213 1 0 20488771346 0 2 20357534757 2 0 20966804517 0 3 20888445338 3 0 20691571007 1 2 20692119579 2 1 21695451863 1 3 21299154910 3 1 20589827594 2 3 19157526630 3 2 20131141758 1 1 21277442952 2 2 21243544366 3 3
Lampiran 9. Tabel Daftar Means Square Error (MSE) dengan Kombinasi AR dan MA (Setelah Differencing 2 kali ; d=2) untuk Produksi Kedelai Nasional AR = q MA = p MSE 20985632060 0 1 26472814153 1 0 21546764580 0 2 25148424228 2 0 22041243455 0 3 24329549262 3 0 22126450881 1 2 26937478395 2 1 22703020782 1 3 26451763279 3 1 20488718156 2 3 26508026648 3 2 21527227127 1 1 22808819624 2 2 21206170899 3 3 Lampiran 10. Tabel Hasil Output Minitab Version 14 untuk Data Produksi Kedelai Nasional dari Tahun 1969-2007 dengan Berbagai Macam model ARIMA (p, d, q) ARIMA(0,0,1) Final Estimates of Parameters Type MA 1
Coef -0,9648
SE Coef 0,0769
T -12,54
P 0,000
Number of observations: 39 Residuals: SS = 11600800588206 (backforecasts excluded) MS = 305284226005 DF = 38
ARIMA (1,0,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1
Coef 0,9964
SE Coef 0,0221
T 44,99
P 0,000
Number of observations: 39 Residuals: SS = 762743005444 (backforecasts excluded) MS = 20072184354 DF = 38
ARIMA (0,0,2) Final Estimates of Parameters Type MA 1 MA 2
Coef -1,5505 -0,9060
SE Coef 0,1088 0,1001
T -14,25 -9,05
P 0,000 0,000
Number of observations: 39 Residuals: SS = 4406051788478 (backforecasts excluded) MS = 119082480770 DF = 37
ARIMA (2,0,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2
Coef 1,1883 -0,1949
SE Coef 0,1646 0,1655
T 7,22 -1,18
P 0,000 0,246
Number of observations: 39 Residuals: SS = 742206780809 (backforecasts excluded) MS = 20059642725 DF = 37
ARIMA (0,0,3) Final Estimates of Parameters Type MA 1 MA 2 MA 3
Coef -1,5732 -1,4065 -0,7529
SE Coef 0,1243 0,1918 0,1344
T -12,66 -7,33 -5,60
P 0,000 0,000 0,000
Number of observations: 39 Residuals: SS = 3039837452385 (backforecasts excluded) MS = 84439929233 DF = 36
ARIMA (3,0,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 AR 3
Coef 1,1708 -0,0470 -0,1333
SE Coef 0,1673 0,2542 0,1688
T 7,00 -0,18 -0,79
P 0,000 0,854 0,435
Number of observations: 39 Residuals: SS = 728475984143 (backforecasts excluded) MS = 20235444004 DF = 36
ARIMA (1,0,2) Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1 MA 2
Coef 0,9916 -0,1401 -0,1173
SE Coef 0,0285 0,1702 0,1713
T 34,78 -0,82 -0,68
P 0,000 0,416 0,498
Number of observations: 39 Residuals: SS = 734272729358 (backforecasts excluded) MS = 20396464704 DF = 36
ARIMA (2,0,1) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 MA 1
Coef 1,8016 -0,8069 0,6600
SE Coef 0,3344 0,3314 0,4247
T 5,39 -2,43 1,55
P 0,000 0,020 0,129
Number of observations: 39 Residuals: SS = 714364106462 (backforecasts excluded) MS = 19843447402 DF = 36
ARIMA (1,0,3) Final Estimates of Parameters Type
Coef
SE Coef
T
P
AR MA MA MA
1 1 2 3
0,9904 -0,1434 -0,1516 -0,0703
0,0316 0,1739 0,1760 0,1755
31,37 -0,82 -0,86 -0,40
0,000 0,415 0,395 0,691
Number of observations: 39 Residuals: SS = 729629867650 (backforecasts excluded) MS = 20846567647 DF = 35
ARIMA (3,0,1) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA
1 2 3 1
Coef 1,7117 -0,6524 -0,0650 0,6088
SE Coef 0,6052 0,8117 0,2421 0,5894
T 2,83 -0,80 -0,27 1,03
P 0,008 0,427 0,790 0,309
Number of observations: 39 Residuals: SS = 714138273093 (backforecasts excluded) MS = 20403950660 DF = 35
ARIMA (2,0,3) Final Estimates of Parameters Type AR AR MA MA MA
1 2 1 2 3
Coef 1,7843 -0,7833 0,6596 -0,0167 -0,0242
SE Coef 0,6084 0,6149 0,6289 0,2174 0,2356
T 2,93 -1,27 1,05 -0,08 -0,10
P 0,006 0,211 0,302 0,939 0,919
Number of observations: 39 Residuals: SS = 727583799058 (backforecasts excluded) MS = 21399523502 DF = 34
ARIMA (3,0,2) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA MA
1 2 3 1 2
Coef 1,3329 0,1327 -0,4731 0,2201 0,3705
SE Coef 3,9901 7,5940 3,6320 4,0481 3,1945
T 0,33 0,02 -0,13 0,05 0,12
P 0,740 0,986 0,897 0,957 0,908
Number of observations: 39 Residuals: SS = 711518440700 (backforecasts excluded) MS = 20927012962 DF = 34
ARIMA (1,0,1) Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1
Coef 0,9948 -0,1327
SE Coef 0,0253 0,1661
T 39,31 -0,80
P 0,000 0,429
Number of observations: 39 Residuals: SS = 746581358767 (backforecasts excluded) MS = 20177874561 DF = 37
ARIMA (2,0,2) Final Estimates of Parameters
Type AR AR MA MA
1 2 1 2
Coef 1,8153 -0,8205 0,6993 -0,0323
SE Coef 0,3691 0,3654 0,4026 0,2104
T 4,92 -2,25 1,74 -0,15
P 0,000 0,031 0,091 0,879
Number of observations: 39 Residuals: SS = 713021837672 (backforecasts excluded) MS = 20372052505 DF = 35
ARIMA (3,0,3) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA MA MA
1 2 3 1 2 3
Coef 1,1404 0,4775 -0,6263 0,0195 0,4953 0,0133
SE Coef 2,4845 4,4407 2,0090 2,4775 1,7667 0,2862
T 0,46 0,11 -0,31 0,01 0,28 0,05
P 0,649 0,915 0,757 0,994 0,781 0,963
Number of observations: 39 Residuals: SS = 711477153530 (backforecasts excluded) MS = 21559913743 DF = 33
ARIMA (0,1,1) Final Estimates of Parameters Type MA 1
Coef -0,1301
SE Coef 0,1650
T -0,79
P 0,435
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 748638645755 (backforecasts excluded) MS = 20233476912 DF = 37
ARIMA (1,1,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1
Coef 0,1631
SE Coef 0,1648
T 0,99
P 0,329
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 744529917898 (backforecasts excluded) MS = 20122430213 DF = 37
ARIMA (0,1,2) Final Estimates of Parameters Type MA 1 MA 2
Coef -0,1335 -0,1149
SE Coef 0,1685 0,1694
T -0,79 -0,68
P 0,433 0,502
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 737595768474 (backforecasts excluded) MS = 20488771346 DF = 36
ARIMA (2,1,0)
Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2
Coef 0,1444 0,1273
SE Coef 0,1677 0,1681
T 0,86 0,76
P 0,395 0,454
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 732871251244 (backforecasts excluded) MS = 20357534757 DF = 36
ARIMA (0,1,3) Final Estimates of Parameters Type MA 1 MA 2 MA 3
Coef -0,1370 -0,1425 -0,0637
SE Coef 0,1718 0,1736 0,1733
T -0,80 -0,82 -0,37
P 0,431 0,418 0,715
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 733838158096 (backforecasts excluded) MS = 20966804517 DF = 35
ARIMA (3,1,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 AR 3
Coef 0,1370 0,1205 0,0509
SE Coef 0,1717 0,1719 0,1732
T 0,80 0,70 0,29
P 0,431 0,488 0,771
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 731095586814 (backforecasts excluded) MS = 20888445338 DF = 35
ARIMA (1,1,2) Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1 MA 2
Coef 0,7936 0,6685 -0,0274
SE Coef 0,4256 0,4521 0,2114
T 1,86 1,48 -0,13
P 0,071 0,148 0,898
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 724204985260 (backforecasts excluded) MS = 20691571007 DF = 35
ARIMA (2,1,1) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 MA 1
Coef 0,7533 0,0322 0,6274
SE Coef 0,6676 0,2529 0,6450
T 1,13 0,13 0,97
P 0,267 0,899 0,337
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 724224185275 (backforecasts excluded) MS = 20692119579 DF = 35
ARIMA (1,1,3) Final Estimates of Parameters Type AR MA MA MA
1 1 2 3
Coef -0,6442 -0,7812 -0,1990 -0,0634
SE Coef 17,1328 17,1514 2,3878 1,9831
T -0,04 -0,05 -0,08 -0,03
P 0,970 0,964 0,934 0,975
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 737645363339 (backforecasts excluded) MS = 21695451863 DF = 34
ARIMA (3,1,1) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA
1 2 3 1
Coef 0,7420 0,0278 0,0103 0,6165
SE Coef 1,0859 0,2554 0,2863 1,0627
T 0,68 0,11 0,04 0,58
P 0,499 0,914 0,972 0,566
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 724171266938 (backforecasts excluded) MS = 21299154910 DF = 34
ARIMA (2,1,3) Final Estimates of Parameters Type AR AR MA MA MA
1 2 1 2 3
Coef -1,8896 -0,9756 -2,0486 -1,3393 -0,2000
SE Coef 0,0768 0,0897 0,0001 0,0561 0,0625
T -24,62 -10,87 -32642,62 -23,89 -3,20
P 0,000 0,000 0,000 0,000 0,003
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 679464310609 (backforecasts excluded) MS = 20589827594 DF = 33
ARIMA (3,1,2) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA MA
1 2 3 1 2
Coef 1,6349 -0,8703 0,1157 1,6331 -0,8918
SE Coef 0,3638 0,3519 0,2465 0,3293 0,1984
T 4,49 -2,47 0,47 4,96 -4,50
P 0,000 0,019 0,642 0,000 0,000
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 632198378789 (backforecasts excluded) MS = 19157526630 DF = 33
ARIMA (1,1,1) Final Estimates of Parameters Type
Coef
SE Coef
T
P
AR MA
1 1
0,8029 0,6590
0,3488 0,4332
2,30 1,52
0,027 0,137
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 724721103302 (backforecasts excluded) MS = 20131141758 DF = 36
ARIMA (2,1,2) Final Estimates of Parameters Type AR AR MA MA
1 2 1 2
Coef 0,1481 0,5126 0,0249 0,3870
SE Coef 2,5516 2,1990 2,6064 1,9517
T 0,06 0,23 0,01 0,20
P 0,954 0,817 0,992 0,844
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 723433060380 (backforecasts excluded) MS = 21277442952 DF = 34
ARIMA (3,1,3) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA MA MA
1 2 3 1 2 3
Coef 1,2919 -1,1459 0,6330 1,1299 -1,2116 0,6995
SE Coef 0,7584 0,4543 0,4267 0,8060 0,3779 0,6341
T 1,70 -2,52 1,48 1,40 -3,21 1,10
P 0,098 0,017 0,148 0,171 0,003 0,278
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 39, after differencing 38 Residuals: SS = 679793419712 (backforecasts excluded) MS = 21243544366 DF = 32
ARIMA (0,2,1) Final Estimates of Parameters Type MA 1
Coef 0,8532
SE Coef 0,0892
T 9,56
P 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 755482754177 (backforecasts excluded) MS = 20985632060 DF = 36
ARIMA (1,2,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1
Coef -0,4927
SE Coef 0,1456
T -3,38
P 0,002
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 953021309500 (backforecasts excluded) MS = 26472814153 DF = 36
ARIMA (0,2,2) Final Estimates of Parameters
Type MA 1 MA 2
Coef 0,8261 0,0485
SE Coef 0,1716 0,1721
T 4,81 0,28
P 0,000 0,780
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 754136760290 (backforecasts excluded) MS = 21546764580 DF = 35
ARIMA (2,2,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2
Coef -0,6347 -0,2815
SE Coef 0,1647 0,1661
T -3,85 -1,69
P 0,000 0,099
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 880194847992 (backforecasts excluded) MS = 25148424228 DF = 35
ARIMA (0,2,3) Final Estimates of Parameters Type MA 1 MA 2 MA 3
Coef 0,8350 0,0074 0,0941
SE Coef 0,1759 0,2242 0,1791
T 4,75 0,03 0,53
P 0,000 0,974 0,603
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 749402277472 (backforecasts excluded) MS = 22041243455 DF = 34
ARIMA (3,2,0) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 AR 3
Coef -0,7058 -0,4460 -0,2513
SE Coef 0,1690 0,1978 0,1706
T -4,18 -2,26 -1,47
P 0,000 0,031 0,150
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 827204674916 (backforecasts excluded) MS = 24329549262 DF = 34
ARIMA (1,2,2) Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1 MA 2
Coef 0,3514 1,1584 -0,2248
SE Coef 1,0711 1,1641 1,0055
T 0,33 1,00 -0,22
P 0,745 0,327 0,824
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 752299329961 (backforecasts excluded) MS = 22126450881 DF = 34
ARIMA (2,2,1) Final Estimates of Parameters
Type AR 1 AR 2 MA 1
Coef -1,4370 -0,5234 -0,9395
SE Coef 0,1689 0,1472 0,1614
T -8,51 -3,56 -5,82
P 0,000 0,001 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 915874265446 (backforecasts excluded) MS = 26937478395 DF = 34
ARIMA (1,2,3) Final Estimates of Parameters Type AR MA MA MA
1 1 2 3
Coef -0,6339 0,1839 0,5377 0,1143
SE Coef 1,2529 1,2520 1,0983 0,1780
T -0,51 0,15 0,49 0,64
P 0,616 0,884 0,628 0,525
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 749199685811 (backforecasts excluded) MS = 22703020782 DF = 33
ARIMA (3,2,1) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA
1 2 3 1
Coef -1,5685 -0,8534 -0,2250 -0,9524
SE Coef 0,2280 0,3164 0,2038 0,1632
T -6,88 -2,70 -1,10 -5,83
P 0,000 0,011 0,278 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 872908188208 (backforecasts excluded) MS = 26451763279 DF = 33
ARIMA (2,2,3) Final Estimates of Parameters Type AR AR MA MA MA
1 2 1 2 3
Coef -1,4641 -0,6632 -0,7655 0,5362 0,8419
SE Coef 0,2095 0,2099 0,1701 0,1614 0,1338
T -6,99 -3,16 -4,50 3,32 6,29
P 0,000 0,003 0,000 0,002 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 655638981001 (backforecasts excluded) MS = 20488718156 DF = 32
ARIMA (3,2,2) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA MA
1 2 3 1 2
Coef -1,6126 -1,3621 -0,5368 -1,0610 -0,5850
SE Coef 0,3367 0,4219 0,1754 0,3847 0,3803
T -4,79 -3,23 -3,06 -2,76 -1,54
P 0,000 0,003 0,004 0,010 0,134
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 848256852727 (backforecasts excluded) MS = 26508026648 DF = 32
ARIMA (1,2,1) Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1
Coef 0,0737 0,8920
SE Coef 0,1955 0,0965
T 0,38 9,24
P 0,709 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 753452949450 (backforecasts excluded) MS = 21527227127 DF = 35
ARIMA (2,2,2) Final Estimates of Parameters Type AR AR MA MA
1 2 1 2
Coef 0,7511 -0,0080 1,5793 -0,6090
SE Coef 0,1938 0,2270 0,0307 0,0881
T 3,88 -0,04 51,53 -6,91
P 0,000 0,972 0,000 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 752691047592 (backforecasts excluded) MS = 22808819624 DF = 33
ARIMA (3,2,3) Final Estimates of Parameters Type AR AR AR MA MA MA
1 2 3 1 2 3
Coef -1,4286 -0,5744 0,0582 -0,7478 0,5869 0,8729
SE Coef 0,2341 0,3665 0,2307 0,1699 0,1844 0,1559
T -6,10 -1,57 0,25 -4,40 3,18 5,60
P 0,000 0,127 0,802 0,000 0,003 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 39, after differencing 37 Residuals: SS = 657391297882 (backforecasts excluded) MS = 21206170899 DF = 31
Lampiran 11. Tabel Hasil Wawancara dengan Ibu Ir. Sri Wulan, Msi 1. Kekuatan Bobot 1. Komitmen Pemerintah mewujudkan swasembada kedelai tahun 2015 0,15 dan menjadikan kedelai sebagai salah satu komoditas strategis nasional. 2. Berbagai benih varietas unggulan kedelai nasional telah berhasil 0,1 dikembangkan 3. Subsidi sarana produksi dalam pengembangan budidaya kedelai 4. Perdagangan kedelai di pasar dunia, baik dalam bentuk biji kedelai maupun 0,075 olahannya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan meningk 0,05 penyediaan komoditas pangan sumber protein yang dapat dipilih konsumen. 5. Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai negara agraris dan maritim yang merupakan fondamental per-ekonomian yang perlu 0,05 didayagunakan melalui pembangunan ekonomi, sehingga menjadi keunggulan yang berdaya saing 6. Terbentuknya sentra produksi kedelai di Jawa, keragaman potensi sumberdaya di P Jawa mempunyai keunggulan komparatif dalam 0,075 memproduksi kedelai
2. Kelemahan 1. 2.
Produktivitas kedelai nasional selama ini masih rendah Kedelai hanya dapat tumbuh pada wilayah dengan iklim tertentu, yaitu tropis dan sub tropis 3. Meningkatnya alih fungsi lahan pertanian, berpengaruh pada upaya pengembangan budidaya kedelai nasional. 4. Kepemilikan lahan petani yang sempit, tidak memungkinkan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan petani kedelai 5. Harga jual kedelai yang tidak sebanding dengan biaya produksinya 6. Pengembangan budidaya kedelai memerlukan spesifikasi dan perawatan lebih rumit daripada tanaman padi dan jagung Total 3. Peluang 1. Potensi lahan di luar P Jawa masih memungkinkan untuk pengembangan budidaya kedelai 2. Produk olahan kedelai merupakan alternatif pilihan utama masyarakat sebagai pangan sumber protein yang relatif murah 3. Khasiat kedelai dalam kesehatan, tidak hanya sebagai sumber protein nabati 4. Permintaan pangan olahan kedelai dari tahun ke tahun semakin meningkat 5. Pengembangan industri pengolahan kedelai ke skala yang lebih besar yang mampu menghasilkan produk berkualitas 4. Ancaman 1. Indonesia belum memiliki kemampuan bersaing di pasar dunia 2. Indonesia masih tergantung pada pasar dunia untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Di sisi lain harga kedelai dalam beberapa tahun terakhir semakin meningkat 3. Berkembangnya varietas kedelai transgenik yang berdampak pada melemahnya daya saing kedelai lokal 4. Masuknya kedelai impor sulit dibendung pada era globalisasi Total
0,1 0,1 0,075 0,075 0,075 0,075 1 0,05 0,075 0,075 0,15 0,15
0,125 0,125 0,125 0,125 1
Lampiran 12. Hasil analisis Matriks QSPM No
Keterangan daftar eksternal dan internal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
S1 S2 S3 S4 S5 S6 W1 W2 W3 W4 W5 W6
total bobot 9 O1 10 O2 11 O3 12 O4 13 O5 14 T1 15 T2 16 T3 17 T4 total bobot TOTAL TAS
bobot 0,15 0,1 0,08 0,05 0,05 0,08 0,1 0,1 0,08 0,08 0,08 0,08
strat 1 as tas 2 0,3 4 0,4 4 0,3 4 0,2 4 0,2 3 0,23 3 0,3 3 0,3 3 0,23 3 0,24 3 0,24 4 0,32
STRATEGI ALTERNATIF strat2 strat3 strat4 as tas as tas as tas 1 0,15 0 0 3 0,45 3 0,3 1 0,1 3 0,3 1 0,08 1 0,08 3 0,23 3 0,15 2 0,1 2 0,1 2 0,1 1 0,05 2 0,1 2 0,15 2 0,15 1 0,08 1 0,1 0 0 1 0,1 2 0,2 0 0 0 0 2 0,15 0 0 0 0 2 0,16 3 0,24 1 0,08 2 0,16 2 0,16 1 0,08 2 0,16 1 0,08 2 0,16
strat 5 as tas 0 0 3 0,3 3 0,23 1 0,05 1 0,05 2 0,15 2 0,2 2 0,2 1 0,08 0 0 1 0,08 1 0,08
strat 6 as tas 3 4 3 3 4 3 3 2 3 3 2 3
strat7 as
tas
0,45 0,4 0,23 0,15 0,2 0,23 0,3 0,2 0,23 0,24 0,16 0,24
2 3 1 3 2 3 1 0 0 1 2 1
0,3 0,3 0,08 0,15 0,1 0,23 0,1 0 0 0,08 0,16 0,08
0,15 0,3 0,24 0,45 0,45 0,38 0,25 0,25 0
2 2 1 0 1 0 3 0 0
0,1 0,15 0,08 0 0,15 0 0,38 0 0
1 0,05 0,08 0,08 0,15 0,15 0,13 0,13 0,13 0,13 1
3 3 3 3 2 3 3 2 0
0,15 0,23 0,24 0,45 0,3 0,38 0,38 0,25 0 5,62
2 2 1 1 1 1 1 0 0
0,1 0,15 0,08 0,15 0,15 0,13 0,13 0 0 2,74
2 3 3 2 2 0 1 2 3
0,1 0,23 0,24 0,3 0,3 0 0,13 0,25 0,38 2,87
1 2 1 2 2 2 1 2 0
0,05 0,15 0,08 0,3 0,3 0,25 0,13 0,25 0 3,18
4 2 4 2 3 3 3 2 0
0,2 0,15 0,32 0,3 0,45 0,38 0,38 0,25 0 3,83
3 4 3 3 3 3 2 2 0
5,48
2,43
Lampiran 13. Grafik Plot Data Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 19692007 (Sebelum Differencing) Time Series Plot of konsumsi 2500000
konsumsi
2000000
1500000
1000000
500000 4
8
12
16
20 Index
24
28
32
36
Lampiran 14. Grafik Plot Data Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 19692007 (Setelah Differencing) Diff 1 Konsumsi 1000000
C2
500000
0
-500000
-1000000 4
8
12
16
20 Index
24
28
32
36
Lampiran 15.
Grafik Autocorrelation untuk Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Sebelum Differencing) AR KONSUMSI SEBELUM DIFFERENCING
1,0 0,8
Autocorrelation
0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Lag
Lampiran 16.
Grafik Partial Autocorrelation untuk Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Sebelum Differencing) MA KONSUMSI SEBELUM DIFFERENCING
1,0
Partial Autocorrelation
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5
6 Lag
7
8
9
10
Lampiran 17.
Grafik Autocorrelation untuk Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Setelah Differencing) AR KONSUMSI SETELAH DIFFERENCING 1
1,0 0,8
Autocorrelation
0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
Lampiran 18.
2
3
4
5 Lag
6
7
8
9
Grafik Partial Autocorrelation untuk Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Setelah Differencing) MA KONSUMSI SETELAH DIFFERENCING
1,0
Partial Autocorrelation
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5 Lag
6
7
8
9
Lampiran 19. Grafik Plot Data untuk Peramalan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2008-2015 dengan Model ARIMA (3,0,0) Time Series Plot for konsumsi (with forecasts and their 95% confidence limits) 3500000 3000000
konsumsi
2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 1
5
10
15
20
25 Time
30
35
40
45
Lampiran 20. Grafik Plot Data Produksi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Sebelum Differencing) Time Series Plot of Produksi 2000000 1750000
Produksi
1500000 1250000 1000000 750000 500000 4
8
12
16
20 Index
24
28
32
36
Lampiran 21. Grafik Plot Data Produksi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Setelah Differencing) Plot Data Produksi Kedelai Differencing 1 400000 300000
Diff 1 Prod
200000 100000 0 -100000 -200000 -300000 -400000 4
Lampiran 22.
8
12
16
20 Index
24
28
32
36
Grafik Autocorrelation untuk Produksi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Sebelum Differencing) AR SEBELUM PRODUKSI DIFFERENCING
1,0 0,8
Autocorrelation
0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5
6 Lag
7
8
9
10
Lampiran 23.
Grafik Partial Autocorrelation untuk Konsumsi Produksi Nasional Tahun 1969-2007 (Sebelum Differencing) MA PRODUKSI SEBELUM DIFFERENCING
1,0
Partial Autocorrelation
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Lag
Lampiran 24.
Grafik Autocorrelation untuk Produksi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007 (Setelah Differencing) AR SETELAH PRODUKSI DIFFERENCING 2
1,0 0,8
Autocorrelation
0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5 Lag
6
7
8
9
Lampiran 25.
Grafik Partial Autocorrelation untuk Produksi Kedelai Nasional Tahun 1969-2007(Setelah Differencing) MA PRODUKSI SETELAH DIFFERENCING 2
1,0
Partial Autocorrelation
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5 Lag
6
7
8
9
Lampiran 26. Grafik Plot Data untuk Peramalan Produksi Kedelai Nasional Tahun 2008-2015 dengan Model ARIMA (3,1,2) Time Series Plot for produksi (with forecasts and their 95% confidence limits) 2000000
produksi
1500000
1000000
500000
0
1
5
10
15
20
25 Time
30
35
40
45
Lampiran 27. Hasil Analisis Regresi Regression Analysis: produksi versus luas panen; produktivitas The regression equation is Produksi = - 848922 + 1,13 Luas Panen + 74713 Produktivitas
Predictor Constant luas panen produktivitas
S = 34359,1
Coef -848922 1,13086 74713
SE Coef 30553 0,01802 2950
R-Sq = 99,4%
T -27,79 62,75 25,32
P 0,000 0,000 0,000
R-Sq(adj) = 99,4%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source luas panen produktivitas
DF 2 36 38
DF 1 1
SS 6,92445E+12 42499733986 6,96695E+12
MS 3,46222E+12 1180548166
F 2932,73
P 0,000
Seq SS 6,16740E+12 7,57049E+11
Unusual Observations Obs 1 18
luas panen 753783 1253770
produksi 388910 1226730
Fit 527990 1299615
SE Fit 10524 8657
Residual -139080 -72885
St Resid -4,25R -2,19R