ANALISIS PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PRODUKSI DALAM PENCAPAIAN SWASEMBADA KEDELAI 2014
CAHYANA DEPTA WIJAYANTI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul analisis peramalan produksi dan konsumsi serta faktor-faktor yang memengaruhi produksi dalam pencapaian swasembada kedelai 2014 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014 Cahyana Depta Wijayanti NIM H14080031
ABSTRAK CAHYANA DEPTA WIJAYANTI. Analisis Peramalan Produksi dan Konsumsi serta Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi dalam Pencapaian Swasembada Kedelai 2014. Dibimbing oleh TANTI NOVIANTI. Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan utama yang penting untuk dikonsumsi masyarakat. Konsumsi kedelai mengalami kenaikan sepanjang tahun akan tetapi produksi kedelai nasional tidak mampu memenuhi keseluruhan konsumsi tersebut. Pemerintah terpaksa melakukan impor untuk menutupi defisit yang terjadi. Impor terus menerus dalam jumlah yang besar dapat menguras devisa negara serta mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia. Untuk memutus ketergantungan impor, pemerintah mencanangkan program swasembada kedelai 2014. Peramalan produksi dan konsumsi kedelai diperlukan untuk mengetahui gambaran pencapaian swasembada di masa depan. Hasil ramalan membuktikan bahwa swasembada kedelai belum tercapai tahun 2014 maupun sebelas tahun setelahnya. Analisis terhadap produktivitas, luas panen, harga kedelai dan jagung di tingkat petani, harga benih kedelai, impor kedelai, dan dummy subsidi benih kedelai diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi produksi kedelai. Semua variabel kecuali variabel dummy yang dianalisis menggunakan metode regresi berganda menunjukkan hasil berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 90%. Untuk mengetahui seberapa besar perubahan masing-masing variabel terhadap produksi kedelai maka dapat dilihat dari nilai elastisitas produksi. Hubungan elastis ditunjukkan oleh masing-masing variabel produktivitas dan luas panen terhadap produksi kedelai. Sedangkan harga riil kedelai di tingkat petani, harga riil jagung di tingkat petani, harga benih kedelai, dan impor kedelai menunjukkan hubungan inelastis terhadap produksi kedelai. Kata kunci: kedelai, konsumsi, produksi, swasembada ABSTRACT CAHYANA DEPTA WIJAYANTI. Forcasting Analysis of Production and Consumption with Factors that Influence Production in Soybean Self-sufficiency Attaiment at 2014. Supervised by TANTI NOVIANTI. Soybean is one of major food commodities for consumed by Indonesian people. The soybean consumption increased during the years but the national production did not able to cover up all consumption. The goverment was forced to import for cover up deficits. Bulk import continually can deplete foreign exchange and threat food security also food sovereignty in Indonesia. To cut off soybean import dependence, the goverment targeting soybean self-sufficiency in 2014. Forecasting production and consumption of soybean was needed to know highlight of future self-sufficiency attainments. The result of forecast showed soybean self-sufficiency has been attain neither in 2014 or eleven years later. Analysis of production, harvested area, soybean and corn price at farmer level, seed of soybean price, import of soybean, and dummy of soybean seed subsidy
was needed to know factors that influence soybean production. The data were analyzed using multiple regression method. The result showed that all of independent variable except dummy variable were significant at 90% confidence level. To know how much changes that happened between each variable to soybean production can be seen from production elasticity. Elastic relation was showed by productivity and harvested area to soybean production. Whereas soybean’s and corn’s real price at farmer level, seed of soybean price, and import of soybean showed inelastic relation to soybean production. Key words : consumption, production, self-sufficiency, soybean
ANALISIS PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PRODUKSI DALAM PENCAPAIAN SWASEMBADA KEDELAI 2014
CAHYANA DEPTA WIJAYANTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Analisis Peramalan Produksi dan Konsumsi serta Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi dalam Pencapaian Swasembada Kedelai 2014 Nama : Cahyana Depta Wijayanti NIM : H14080031
Disetujui oleh
Dr Ir Tanti Novianti, M.Si Pembimbing I
Diketahui oleh
Dedi Budiman Hakim, PhD Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak tahun 2012 ini ialah swasembada, dengan judul analisis peramalan produksi dan konsumsi serta faktorfaktor yang memengaruhi produksi dalam pencapaian swasembada kedelai 2014. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Tanti Novianti, M.Si selaku pembimbing, skripsi serta Dr Ir Wiwiek Rindayati, M.Si dan Dr Muhammad Findi A selaku dosen pembimbing dan penguji skripsi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, serta seluruh keluarga dan teman atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Cahyana Depta Wijayanti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
ABSTRAK
ii
PRAKATA
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
v
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
6
Kedelai
6
Teori Penawaran
7
Teori Produksi
7
Teori Konsumsi
9
Elastisitas Produksi
10
Metode Box-Jenkins (ARIMA)
12
Metode Regresi Berganda
13
Tinjauan Penelitian Empirik
14
Kerangka Pemikiran
16
Hipotesis Penelitian
18
METODE
19
Jenis dan Sumber Data
19
Alat
19
Metode Analisis Data
19
Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN
27 28
Perkembangan Kedelai di Indonesia
28
Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai
33
Faktor - Faktor yang Memengaruhi Produksi Kedelai Nasional
34
Elastisitas Produksi Kedelai
38
KESIMPULAN DAN SARAN
39
Simpulan
39
Saran
40
DAFTAR PUSTAKA
42
LAMPIRAN
45
RIWAYAT HIDUP
53
DAFTAR TABEL 1 Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai nasional tahun 20002011 2 Perkembangan volume dan nilai ekspor dan impor kedelai tahun 20042011 3 Pola ACF dan PACF pada ARIMA 4 Perbandingan hasil permalan produksi dan konsumsi kedelai dengan target Kementan 5 Hasil estimasi persamaan produksi
2 2 21 33 34
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Kurva elastisitas produksi Kerangka pemikiran Pola data produksi kedelai Indonesia tahun 1969-2011 Pola data konsumsi kedelai Indonesia tahun 1969-2011 Pola data luas panen kedelai Indonesia tahun 1969-2011 Pola data produktivitas kedelai Indonesia tahun 1969-2011
11 17 29 30 31 32
DAFTAR LAMPIRAN 1 Uji ARIMA 2 Uji Regresi Berganda
45 51
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia karena pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dimana dalam pemenuhannya menjadi tanggung jawab bersama. Jika dikaitkan dalam suatu lingkup negara maka pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak setiap rakyat Indonesia sebagaimana telah diamanatkan oleh UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyediaan, keterjangkauan, pemenuhan konsumsi pangan dan gizi, serta kemanan pangan dengan melibatkan peran serta antara pemerintah dan masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaanPasal 50 UU No. 7 Tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan lahan produktif. Salah satu komoditas pangan utama yang penting untuk dikonsumsi oleh masyarakat adalah kedelai. Bahkan pemerintah juga memandang penting komoditas ini sehingga telah dimasukkan dalam program pangan nasional sejak PELITA IV, yaitu setelah pemerintah mampu berswasembada beras pada tahun 1984. Kedelai menjadi penting untuk dikonsumsi karena mengandung protein nabati yang tinggi, sumber lemak, vitamin, dan mineral, serta kadar kolesterol yang rendah sehingga apabila tersedia dalam jumlah yang cukup di dalam negeri akan mampu memperbaiki gizi masyarakat. Harga yang terjangkau juga menjadikan kedelai sebagai komoditas pangan rakyat. Selain itu, kedelai adalah salah satu komoditas utama kacang-kacangan yang menjadi andalan nasional karena kelebihannya sebagai sumber protein nabati penting untuk diversifikasi pangan dalam mendukung ketahanan pangan nasional seperti yang diungkapkan oleh Hasanuddin et al (2005) dalam Atman dan Hosen N (2008). Kebutuhan komoditas kedelai di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun baik untuk konsumsi bahan pangan utama, pakan ternak maupun sebagai bahan baku industri skala besar (pabrik) hingga skala kecil (rumah tangga). Beberapa produk pangan yang dihasilkan dari kedelai antara lain tempe, tahu, susu kedelai, kecap, minyak makan, es krim, dan tepung kedelai. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, diperoleh informasi bahwa rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia setiap tahunnya sekitar 2 300 000 ton. Padahal jika melihat ARAM II tahun 2012, produksi komoditas kedelai baru mencapai 780.16 ribu ton atau 30.30% dari total kebutuhan. Kondisi seperti ini memaksa pemerintah untuk menutupi defisit dalam pemenuhan kebutuhan kedelai dengan melakukan impor. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa selalu terjadi defisit kebutuhan kedelai yang cukup besar dari tahun 2000 sampai tahun 2010. Defisit terbesar terjadi pada tahun 2007 yaitu mencapai 2 086 727 ton karena pada saat itu produksi kedelai
2 sedang mengalami penurunan cukup drastis dan didukung dengan melonjaknya tingkat konsumsi. Tabel 1 Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai nasional tahun 2000-2011 Produksi Konsumsi Defisit Pertumbuhan Pertumbuhan Tahun (%) (%) (ton) (ton) (ton) 2000 1 017 634 (26.410) 2 133 687 (15.060) (1 116 053) 2001 826 932 (18.740) 1 817 399 (14.824) (990 467) 2002 673 056 (18.608) 1 890 009 3.995 (1 216 953) 2003 671 600 (0.216) 1 724 576 (8.753) (1 052 976) 2004 723 483 7.725 (1.374) 1 700 879 (977 396) 2005 808 353 11.731 1 751 569 2.980 (943 216) 2006 747 611 (7.514) 1 733 348 (1.040) (985 737) 2007 592 634 (20.730) 2 679 361 54.577 (2 086 727) 2008 776 491 31.024 1 787 010 (33.305) (1 010 519) 2009 974 512 25.502 2 117 639 18.502 (1 143 127) 2010 907 000 (6.928) 2 476 000 16.923 (1 569 000) 2011 844 000 (6.946) 2 740 000 10.662 (1 896 000) Total Pertumbuhan (%) (30.110) (33.28) Sumber : FAO (diolah) dari berbagai tahun Keterangan : ( ) nilai negatif
Pada Tabel 2 dapat dilihat perkembangan volume impor Indonesia terhadap kedelai pada tahun 2004 sampai tahun 2011 yang cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 2010, volume impor komoditas kedelai mencapai angka 1 772 663 399 kg atau setara dengan nilai US$ 871 173 016. Sebagian besar impor tersebut berasal dari negara Amerika Serikat, yaitu sebesar 1 585 429 ton atau senilai US$ 745 945 000. Impor kedelai tertinggi pernah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 3 761 092 486 kg dengan nilai sebesar US$ 1 200 950 532. Kemudian mengalami penurunan yang drastis pada tahun berikutnya menjadi sebesar 1 203 034 981 kg atau setara dengan nilai US$ 732 721 934, meskipun pada akhirnya volume impor kedelai tetap mengalami kenaikan di tahun-tahun berikutnya. Tabel 2 Perkembangan volume dan nilai ekspor dan impor kedelai tahun 2004 – 2011 Volume Kedelai (kg) Nilai Kedelai (US$) Tahun Ekspor Impor Ekspor Impor 2004 18 380 870 2 881 735 423 6 703 110 967 957 301 2005 9 151 378 2 982 986 373 6 564 363 801 778 855 2006 8 789 070 3 279 257 322 8 405 986 809 055 654 2007 21 727 177 3 761 092 486 32 049 014 1 200 950 532 2008 9 013 798 1 203 034 981 8 252 100 732 721 934 2009 9 724 384 1 343 009 481 8 030 426 647 702 910 2010 8 652 815 1 772 663 399 9 978 512 871 173 016 2011 8 738 000 2 125 511 000 11 390 000 1 290 078 693 Sumber : BPS 2012
3 Dibandingkan dengan beberapa komoditas tanaman pangan lainnya, seperti beras, jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, dan gandum, volume impor komoditas kedelai menempati posisi kedua terbesar setelah komoditas gandum. Besarnya impor yang harus dilakukan oleh pemerintah tersebut menyebabkan negara kehilangan devisa yang cukup besar dan mengganggu stabilitas ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu pemerintah berupaya untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ketergantungan impor dengan mengeluarkan kebijakan Swasembada Kedelai Tahun 2014. Kebijakan ini merupakan salah satu kontrak kerja yang dilakukan antara Menteri Pertanian dengan Presiden RI. Langkah swasembada harus ditempuh karena ketergantungan yang semakin besar pada impor bisa menjadi musibah terutama jika harga kedelai dunia sangat mahal karena stok yang menurun. Target yang dicanangkan pemerintah untuk program swasembada kedelai pada tahun 2014 nanti adalah produksi kedelai nasional dapat mencapai 2.7 juta ton. Oleh karena itu, seluruh pihak terkait diharapkan berkomitmen tinggi dalam mendukung program swasembada kedelai ini dapat terwujud.
Perumusan Masalah Peningkatan kebutuhan kedelai sepanjang tahun terus terjadi. Namun peningkatan kebutuhan kedelai nasional tersebut belum dapat terpenuhi hanya dengan mengandalkan produksi dalam negeri. Oleh sebab itu, pemerintah masih melakukan impor untuk menutupi defisit kebutuhan konsumsi dalam negeri. Padahal, seperti yang dikemukakan oleh Rasahan (1999) dalam Supadi (2009) bahwa ketergantungan kepada bahan pangan dari luar negeri dalam jumlah besar akan melumpuhkan ketahanan nasional dan mengganggu stabilitas sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini tidak boleh dianggap sebagai suatu masalah kecil karena ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dapat berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan rakyat. Pemerintah melakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan impor kedelai melalui swasembada kedelai tahun 2014. Di Indonesia, kedelai merupakan komoditas yang strategis sehingga upaya untuk berswasembada tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga untuk mendukung agroindustri dan menghemat devisa negara serta mengurangi ketergantungan yang semakin besar terhadap impor. Swasembada kedelai harapannya dapat terwujud pada tahun 2014 yaitu setidaknya konsumsi dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri dimana pemerintah telah mentargetkan produksi kedelai sebesar 2.7 juta ton. Sebenarnya, dalam roadmap swasembada kedelai telah disusun skenario pencapaian swasembada kedelai hingga tahun 2014. Peningkatan produksi ditempuh melalui upaya peningkatan hasil/ha, peningkatan luas areal, pengamanan produksi, dan peningkatan kelembagaan. Ditjen Tanaman Pangan dalam Pusdatin Kementan (2012) telah menetapkan sasaran produksi kedelai sebesar 1.3 juta ton (2010); 1.56 juta ton (2011); 1.9 juta ton (2012); 2.25 juta ton (2013); dan 2.7 juta ton (2014). Selain itu telah ditetapkan juga targetan luas tanam, yaitu: 920 000 ha (2010); 1.088 juta ha (2011); 1.312 juta ha (2012); 1.538 juta ha (2013); dan 1.830 juta ha (2014).
4 Pencapaian swasembada kedelai dapat diketahui sejak awal dengan melihat hasil ramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional. Peramalan ini sangat bermanfaat untuk mempersiapkan kebijakan-kebijakan pendukung jika hasil ramalan menunjukkan bahwa swasembada belum bisa tercapai. Kebijakankebijakan yang akan diupayakan untuk mendorong pencapaian swasembada juga harus memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi kedelai itu sendiri. Perkembangan produksi kedelai nasional tidak terlepas dari adanya pengaruh perkembangan luas panen, produktivitas, harga kedelai dan jagung di tingkat petani, harga benih kedelai, impor kedelai, dan dummy subsidi benih kedelai. Elastisitas produksi kedelai terhadap faktor-faktor yang berpengaruh nyata juga penting untuk diketahui supaya dapat diketahui besarnya respon atau ketanggapan produksi kedelai nasional terhadap setiap faktor tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang dibahas diantaranya: 1. Bagaimana hasil ramalan tingkat produksi dan konsumsi kedelai nasional di masa yang akan datang hingga tahun 2014? 2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi jumlah produksi kedelai nasional? 3. Bagaimana elastisitas produksi kedelai nasional terhadap faktor-faktor yang memengaruhinya?
Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan melihat bagaimana kondisi tingkat produksi dan konsumsi kedelai di Indonesia hingga tahun 2014. Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis perkembangan tingkat produksi dan konsumsi kedelai nasional hingga tahun 2014 berdasarkan hasil peramalan. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi jumlah produksi kedelai nasional. 3. Menganalisis elastisitas produksi kedelai nasional terhadap faktorfaktor yang memengaruhinya.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini secara umum diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pencapaian swasembada kedelai tahun 2014 yang dapat dilihat melalui perkembangan produksi dan konsumsi kedelai nasional hingga tahun 2014. Dengan mengetahui kondisi kedelai nasional, diharapkan mampu memberikan informasi kepada pemerintah, para pengusaha, dan investor di bidang komoditas kedelai serta masyarakat untuk dapat mengambil langkah-langkah dan melakukan perencanaan yang tepat guna mendukung perkembangan industri kedelai Indonesia. Secara khusus manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi pemerintah selaku pembuat dan pengambil kebijakan, penelitian ini berguna sebagai gambaran mengenai keadaan komoditas kedelai di
5 Indonesia meliputi kapasitas produksi dalam negeri, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia, dan pengaruh luas area panen, produktivitas, harga kedelai dan jagung di tingkat petani, serta harga benih kedelai yang dapat dijadikan sebagai beberapa bahan acuan dalam perumusan kebijakan sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu kebijakan yang tepat dan mampu mendorong pertumbuhan industri kedelai di Indonesia. 2. Bagi para pelaku usaha, penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran kondisi komoditas kedelai Indonesia saat ini sehingga para pelaku usaha mampu mengambil langkah-langkah yang tepat guna mengembangkan usahanya dalam menghadapi persaingan global. 3. Bagi penulis, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan pengetahuan mengenai kondisi komoditas kedelai Indonesia dan permasalahan yang dihadapi sehingga mampu menjawab tantangan-tantangan yang ada di hadapannya.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis mengenai tingkat produksi dan tingkat konsumsi kedelai di Indonesia sehingga dapat melihat dampaknya terhadap pencapaian swasembada kedelai nasional di tahun 2014. Analisis diawali dengan melakukan peramalan terhadap perkembangan produksi dan konsumsi kedelai nasional dari tahun 1969 sampai tahun 2011 menggunakan metode ARIMA untuk mengetahui tingkat produksi dan konsumsi kedelai 3 tahun kemudian (2012-2014). Dari hasil peramalan tersebut akan dapat dilihat apakah swasembada kedelai nasional tahun 2014 dapat tercapai. Jika pada tahun tersebut hasil menunjukkan swasembada belum tercapai maka akan dilakukan peramalan 11 tahun ke depan yaitu tahun 2015-2025 untuk mencoba melihat apakah swasembada bisa tercapai dalam kurun waktu tersebut. Selanjutnya digunakan metode regresi berganda untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi produksi kedelai yaitu produkivitas, luas panen kedelai, harga kedelai dan harga jagung di tingkat petani, harga benih kedelai, impor kedelai, dan dummy subsidi benih kedelai. Penelitian ini memiliki keterbatasan, antara lain: 1. Data yang digunakan merupakan data tahunan (1969-2011) sehingga model yang dirumuskan tidak mampu menggambarkan fluktuasi bulanan, mingguan, bahkan harian maupun fluktuasi musiman. 2. Terdapat beberapa faktor, seperti data luas panen, produktivitas, harga, serta ekspor-impor yang sebenarnya mempengaruhi pola data atau kecenderungan yang terjadi dari peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional. Namun karena keterbatasan waktu dan materiil yang lainnya maka diasumsikan faktor-faktor tersebut ceteris paribus. Begitu pula dengan faktor kebijakan tentang perkedelaian yang tidak dapat dikuantifikasikan.
6
TINJAUAN PUSTAKA Kedelai Kedelai dengan nama latin Glycine max (kedelai kuning) dan Glycine soja (kedelai hitam) merupakan tumbuhan serbaguna dan sebenarnya bukanlah tanaman pangan asli dari Indonesia melainkan berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Sejarah masuknya tanaman pangan ini belum diketahui dengan pasti, namun kemungkinan besar dibawa oleh para pedagang Cina pada abad ke 13. Di negeri asalnya, Cina, tanaman kedelai telah dibudidayakan sejak 1000 tahun sebelum Masehi. Kedelai mulai dibudidayakan di Indonesia mulai abad ke-17 sebagai tanaman makanan dan pupuk hijau. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kedelai merupakan tanaman serbaguna. Hal ini dikarenakan akarnya memiliki bintil pengikat nitrogen bebas. Selain itu, kedelai merupakan tanaman dengan kadar protein yang tinggi sehingga tanamannya dapat digunakan sebagai pupuk hijau dan pakan ternak. Namun, pemanfaatan utama kedelai adalah dari bijinya. Biji kedelai banyak mengandung protein dan lemak serta beberapa bahan gizi penting lain seperti vitamin (asam fitat) dan lesitin. Pada tahun 1750, Rumphius melaporkan bahwa kedelai telah banyak ditanam di Jawa dan Bali, serta sedikit ditanam di pulau lainnya. Menurut Romburgh (1892) dalam Manwan dan Sumarno (Ekonomi Kedelai di Indonesia 1996), kedelai telah menjadi pangan penting di samping padi, jagung, ubi kayu, serta ubi jalar dan merupakan bagian usaha pertanian yang mantap di Pulau Jawa pada penghujung abad ke-19. Sejak awal abad ke-20, konsumsi produk olahan biji kedelai, seperti tempe, tahu, tauco, dan kecap juga telah berkembang. Hal ini dikarenakan harga kedelai dan olahan pangannya yang terjangkau sehingga bisa dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat. Bahkan saat ini mulai berkembang produk-produk olahan lainnya seperti sabun, plastik, kosmetik, resin, tinta, krayon, pelarut, dan biodiesel yang semuanya diambil dari bentuk minyak kedelai. Bagi orang yang sensitif laktosa, susu kedelai juga bisa menjadi alternatif sebagai pengganti konsumsi susu sapi. Pada tahun 1896, Kebun Raya Bogor memulai percobaan varietas dan pemupukan serta penanaman kedelai, namun ternyata usaha pengembangan kedelai secara massive pada waktu itu belum berhasil dilaksanakan. Hal ini dikarenakan adanya beberapa hambatan, antara lain : budaya dan penerimaan petani, serta teknologi produksi yang ketika itu merupakan faktor utama dalam menentukan pengembangan usaha tani kedelai. Masyarakat suku Jawa adalah yang paling awal mengadopsi tanaman kedelai. Alasan pasti tentang hal ini belum ada yang mengetahui tetapi mungkin karena pada masa itu adanya hubungan perdagangan antara pedagang Cina dengan masyarakat Jawa. Selain itu, kedelai cocok dengan tipe usaha tani menetap dan intensif serta kondisi agroekologi yang sesuai bagi jenis tanaman ini. Tingginya kebutuhan akan kedelai sejak puluhan tahun yang lalu ditunjukkan oleh sudah adanya impor kedelai yang dimulai pada tahun 1928 dan 1929 berturut-turut sebanyak 63 000 ton dan 68 000 ton dimana jumlah impor pada tahun-tahun berikutnya terus meningkat. Blokhuis dan Libbenstein (1932) dalam Manwan dan Sumarno (Ekonomi Kedelai di Indonesia 1996) juga
7 menjelaskan bahwa Indonesia pernah melakukan impor sebesar 90 500 ton dari Manchuria karena produksi kedelai pada waktu itu sebesar 127 700 ton belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Namun, pada tahun 1934, akibat resesi ekonomi maka impor kedelai dilarang dan perlu diimbangi dengan upaya peningkatan produksi melalui perluasan lahan. Jadi, masalah penyediaan kedelai untuk mencukupi kebutuhan nasional sebenarnya sudah timbul sejak tahun 1920an.
Teori Penawaran Lipsey et al. (1995) menyatakan bahwa banyaknya suatu komoditas yang akan dijual oleh perusahaan disebut jumlah atau kuantitas yang ditawarkan dimana dinyatakan dalam berapa banyak per periode waktu tertentu. Dalam kebanyakan komoditas, harga komoditas dan jumlah yang ditawarkan berhubungan secara positif dengan semua faktor yang lain tetap sama. Dengan demikian, semakin tinggi harga suatu komoditas, maka semakin besar jumlah komoditas yang akan ditawarkan, begitu pula sebaliknya, semakin rendah harga maka semakin kecil jumlah komoditi yang ditawarkan. Faktor-faktor yang memengaruhi penawaran adalah sebagai berikut, yaitu harga komoditas itu sendiri, harga input, tujuan perusahaan atau produsen, dan tahap perkembangan teknologi. Dimana dapat disederhanakan dalam bentuk fungsi : Qsk = f (Pk, Ps, Pi, G, T) …………………………………………………(1) Keterangan : Qsk = Penawaran komoditas Pk = Harga komoditas itu sendiri Ps = Harga komoditas lain (substitusi dan atau komplementer) Pi = Harga input (faktor produksi) G = Tujuan perusahaan T = Teknologi
Teori Produksi Produksi adalah proses dalam membuat suatu komoditas baik berupa barang maupun jasa. Dalam pertanian, proses produksi begitu kompleks dan terus mengalami perubahan seiring dengan kemajuan teknologi. Model hubungan antara input dan output adalah formulasi fungsi produksi dari bentuk Q = f (K, T, M,…), dimana Q merupakan barang keluaran yang punya nilai tambah (value added) selama periode waktu tertentu, K merupakan modal, T merupakan input dari tenaga kerja, dan M merupakan penggunaan material atau bahan baku. Fungsi produksi adalah hubungan fisik atau hubungan teknis antara jumlah faktor-faktor produksi yang dipakai dengan jumlah produk yang dihasilkan per satuan waktu (misalnya dalam waktu satu jam, satu hari, satu tahun, dan sebagainya). Secara singkat Lipsey et al. (1995) menjelaskan bahwa fungsi produksi adalah hubungan antara input yang digunakan dalam proses produksi dengan kuantitas output yang dihasilkan. Beberapa contoh input yang bisa digunakan misalnya pupuk, tanah, modal, tenaga kerja, iklim, teknologi, dan lain-lain yang
8 dapat mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Tidak semua input digunakan dalam analisis, hal ini tergantung dari penting tidaknya pengaruh input terhadap produksi. Dalam suatu penelitian, biasanya input yang relatif bisa dikontrol akan dimasukkan sebagai peubah bebas namun bagi input yang relatif kurang bisa dikontrol biasanya diperhitungkan sebagai galat. Bentuk persamaan matematis dari fungi produksi pada dasarnya merupakan abstraksi dari proses produksi yang disederhanakan, sebab dengan melakukan penyederhanaan kejadian-kejadian atau gejala-gejala alam yang sesungguhnya begitu kompleks dapat digambarkan tingkah lakunya. Dari fungsi produksi dapat dilihat hubungan teknis antara faktor produksi dengan produksinya, serta suatu gambaran dari semua metode produksi yang efisien. Secara matematis, fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut : Y = f (X1, X2, X3, . . . , Xn)………………………………………………………(2) dimana : Y : jumlah produk yang dihasilkan X1, X2, X3, . . . , Xn : faktor-faktor produksi yang digunakan Persamaan di atas adalah gambaran secara umum mengenai hubungan antara produk dan faktor produksi. Fungsi di atas hanya menyebutkan bahwa produk yang dihasilkan tergantung dari faktor-faktor produksi tetapi belum memberikan hubungan kuantitatif yang terjadi antara produk dan faktor-faktor produksi tersebut. Untuk dapat memberikan hubungan kuantitaif fungsi produksi tersebut harus dinyatakan dalam bentuk yang khas, salah satunya adalah bentuk fungsi Cobb-Douglas dimana Y = aX1bX2cX3d. Y adalah produk yang dihasilkan dan X1, X2, X3 adalah faktor produksi yang dipakai. Di dalam fungsi Cobb-Douglas, setelah variabel-variabelnya dinyatakan dalam logaritma, maka fungsi itu menjadi fungsi linier. Fungsi Cobb-Douglas merupakan fungsi produksi yang paling mudah untuk dianalisis. Proses produksi umumnya membutuhkan berbagai macam faktor produksi atau input. Setiap proses produksi pasti memiliki kombinasi input tertentu yang akan dipergunakan untuk menghasilkan output. Jika input X1 yang dipergunakan dalam proses produksi ditambahkan terus penggunaanya sedangkan input yang lain tetap. Kemudian output yang awalnya mengalami penambahan yang semakin besar namun dalam jangka waktu cepat atau lambat akhirnya penambahan output tersebut semakin kecil atau berkurang. Kasus ini dikatakan sebagai Hukum Kenaikan Hasil yang Semakin Berkurang atau Law of Diminishing Returns. Hukum ini menyatakan bahwa jika satu macam input ditambah terus penggunaannya sedangkan input lain penggunaannya tidak berubah maka tambahan output yang dihasilkan dari setiap tambahan satu input tersebut awalnya akan meningkat tetapi dalam waktu cepat atau lambat pasti akan menurun. Lipsey et al. (1995) mengungkapkan tentang Law of Diminishing Returns bahwa jika semakin banyak jumlah suatu faktor variabel ditetapkan untuk sejumlah tertentu faktor yang tetap, akhirnya akan tercapai situasi dimana setiap tambahan unit faktor variabel tersebut menghasilkan tambahan produk total dalam jumlah yang lebih sedikit daripada yang dihasilkan unit sebelumnya. Selanjutnya, input atau faktor produksi yang terus ditambahkan tersebut dinamakan input variabel. Tambahan atau perubahan output yang diperoleh karena adanya tambahan satu unit input tersebut dinamakan Marginal Physical Product (MPP) atau Marginal
9 Product (MP). Jadi hubungan antara produk marjinal dan input variabel dapat dirumuskan sebagai berikut : MP(X1) = Jika hubungan antara tambahan output dan input variabel digambarkan dalam suatu grafik maka akan diperoleh suatu kurva yang dinamakan kurva Total Physical Product (TPP) atau Total Product (TP). Kurva TP ini didefinisikan sebagai kurva yang menunjukkan tingkat produksi total (Y) pada berbagai tingkat penggunaan input variabel dimana input yang lain dianggap konstan. Kurva lain yang dapat diturunkan dari kurva TP adalah kurva Produk Marginal (MP) dan kurva Produk Rata-Rata (AP). Kurva MP adalah kurva yang menggambarkan perubahan dalam Produk Total (TP) karena adanya tambahan penggunaan satu unit variabel. Secara matematis MP dapat ditulis sebagai berikut : MP
=
=
1
TP 1
Kurva AP adalah kurva yang menunjukkan hasil rata-rata Produk Total (TP) per unit input variabel pada berbagai tingkat penggunaan input tersebut. Dengan kata lain produksi rata-rata adalah produk total dibagi jumlah unit input variabel yang digunakan untuk memproduksinya dimana secara matematis dapat ditulis : AP
=
=
TP
Teori Konsumsi Konsumsi merupakan kegiatan menggunakan sejumlah barang secara langsung oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Konsumsi kedelai terdiri dari dua macam, yaitu konsumsi langsung dan tidak langsung. Konsumsi langsung adalah konsumsi dalam bentuk kedelai tanpa diolah dimana pengkonsumsi jenis ini hanya terdapat sekitar 1% dari total konsumsi kedelai. sedangkan konsumsi tidak langsung adalah konsumsi terhadap kedelai yang diolah lebih lanjut menjadi suatu produk tertentu untuk konsumsi maupun yang lainnya. Pusdatin Kementan (2012) menyebutkan olahan biji kedelai dapat dibuat menjadi berbagai bentuk seperti tempe, tahu (tofu), bermacam-macam saus penyedap (salah satunya kecap yang aslinya dibuat dari kedelai hitam), tepung kedelai, minyak (dari sini dapat diolah menjadi sabun, plastic, kosmetik, resin, tinta, krayon, pelarut, dan biodiesel), serta taosi atau tauco. Dikarenakan data konsumsi kedelai tidak langsung tersedia maka diperlukan pengolahan terhadap data yang ada. Data konsumsi diperoleh dari penghitungan terhadap data ketersediaan kedelai untuk konsumsi dari Neraca Bahan Makanan (NBM) dimana merupakan selisih dari produksi ditambah impor dikurangi ekspor, benih, dan terbuang.
10 Elastisitas Produksi Untuk mengukur derajat kepekaan setiap peubah tidak bebas pada suatu persamaan dari peubah penjelas, maka digunakan nilai elastisitas. Apabila suatu persamaan : Yt = β0 + β1X1t + β2X2t + …. + βiXit ……………………………………………(3) maka nilai elastisitas dihitung sebagai berikut : bi ̅̅̅̅ it E(YtXit)= ( ̅̅̅ ) t
dimana : E(YtXit) = elastisitas peubah endogen Yt terhadap peubah penjelas Xit bi = parameter dugaan peubah penjelas Xi ̅̅̅̅it = rata – rata peubah penjelas Xi ̅̅̅t = rata – rata peubah tidak bebas Yt Epp dan Malone (1981) dalam Hardana (2012) menyatakan bahwa elastisitas produksi merupakan rasio antara perubahan relatif dari jumlah output yang dihasilkan dengan perubahan jumlah input yang dipergunakan. Selain itu dapat pula dikatakan bahwa elastisitas produksi mengukur tingkat kepekaan perubahan jumlah output yang dihasilkan terhadap perubahan jumlah input yang dipergunakan. Dengan notasi Ep, elastisitas produksi dapat didefinisikan sebagai berikut : perubahan jumlah barang yang dihasilk n (output) p perubahan jumlah barang yang dipergunakan (input) =
= dimana : Ep = elastistas produksi Y = perubahan jumlah output X = perubahan jumlah input X = input Y = output Hubungan antara MP dan AP yang sudah dijelaskan sebelumnya dapat menjelaskan tentang elastisitas produksi. Jika elastisitas produksi dikaitkan secara matematis dengan produk total (TP) maka akan diperoleh rumus : Ep =
̅̅̅
/ ̅
=
= Karena
atau TPP
=MP dan Y/X = AP maka Ep = MP/AP.
11 Hubungan antara marginal produk, produk rata-rata, dan produk total terkait elastisitas produksi dapat digambarkan dalam grafik seperti pada Gambar 1.
Gambar 1 Kurva elastisitas produksi Sumber : Lipsey et al (1995) diolah Keterangan : A : MP maksimum B : AP maksimum dimana MP=AP ; EP = 1 C : MP = Ep = 0 0-B : Daerah I ( EP > 1) B-C : Daerah II (0 < EP < 1) C>> : Daerah III (EP < 0) Y : Hasil produksi X : Faktor produksi atau input TP : Produk total AP : Produk rata–rata MP : Produk marginal Pembagian daerah produksi berdasarkan elastisitas produksi dibedakan atas tiga daerah, yaitu : 1. Daerah I (Eprod >1 sampai Eprod = 1). Pada daerah ini setiap penambahan faktor produksi sebesar 1% akan mengakibatkan penambahan produksi lebih dari 1% dan paling rendah sebesar 1%. Pada daerah ini pendapatan maksimum belum tercapai karena pendapatan masih dapat terus diperbesar dimana produksi masih dapat ditingkatkan dengan pemakaian faktor produksi yang lebih banyak, selama produk rata-rata masih terus naik.
12 2. Daerah II (Eprod = 1 sampai Eprod = 0). Daerah yang memiliki nilai elastisitas produksi antara 0 dan 1 (0 < E < 1), sehingga setiap penambahan faktor produksi sebesar 1% akan mengakibatkan penambahan produksi paling tinggi 1% dan paling rendah sebesar 0%. Pada daerah ini pendapatan maksimum akan tercapai karena faktor produksi telah digunakan secara maksimum. 3. Daerah III (Eprod = 0 sampai Eprod < 0). Daerah yang elastisitas produksi lebih kecil dari 0, sehingga setiap penambahan faktor produksi sebesar 1% akan mengakibatkan penurunan produksi sebesar nilai elastisitasnya. Pada daerah ini mencerminkan bahwa pemakaian faktor produksi sudah tidak efisien. Soekartawi et al. (1984), mendefinisikan skala usaha sebagai penjumlahan dari semua elastisitas faktor–faktor produksi. Skala usaha dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1) Kenaikan hasil yang meningkat (Increasing return to scale). Pada daerah ini Ep > 1, yang berarti proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar. 2) Kenaikan hasil yang tetap (Constant return to scale). Pada daerah ini Ep = 1, yang berarti penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh. 3) Kenaikan hasil yang berkurang (Decreasing return to scale). Pada daerah ini Ep < 1, yang berarti proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih kecil.
Metode Box-Jenkins (ARIMA) Peramalan adalah kegiatan memperkirakan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Menurut Assauri (1984), peramalan merupakan suatu proses memperkirakan secara sistematis tentang apa yang paling mungkin terjadi di masa depan berdasarkan informasi yang dimiliki dari masa lalu dan sekarang agar kesalahan dapat diperkecil. Salah satu metode peramalan untuk data time series adalah metode ARIMA. Metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) dikembangkan oleh George Box dan Gwilyn Jenkins. Metode peramalan Box-Jenkins adalah suatu metode yang tepat untuk menangani atau mengatasi kerumitan deret waktu dan situasi peramalan lainnya (Assauri 1984). ARIMA bermanfaat dalam menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat. Hal pertama yang perlu diperhatikan dalam membangun suatu model time series seperti ARIMA adalah kestasioneran dari data. Suatu data dapat dimodelkan pada metode deret waktu ARIMA apabila data tersebut stasioner. Kestasioneran data tersebut diperlukan untuk mempermudah dalam identifikasi dan penarikan kesimpulan. Suatu data dikatakan stasioner apabila rataan dan variannya (relatif) konstan dari suatu periode ke periode. Model ARIMA tidak mengikutkan variabel bebas dalam pembentukan model. Model ini menggunakan informasi dalam deret itu sendiri dalam menghasilkan suatu ramalan. Misalnya model ARIMA untuk penjualan tahunan akan memproyeksikan pola penjualan historis untuk meramalkan penjualan tahun depan. Pada model ini, variabel dependen pada waktu ke-t adalah fungsi dari masa lalunya serta nilai kesalahan sekarang dan masa lalunya. Model ARIMA
13 merupakan gabungan dari model Autoregressive (AR) dan Moving Average (MA). Peramalan model Autoregressive (AR) didasarkan pada fungsi linier dari nilai pengamatan masa lalu yang berurutan. Sedangkan peramalan model Moving Average (MA) didasarkan pada fungsi linier dari error masa lalu yang berurutan. Pengolahan data sekunder yang berupa data kuantitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software Eviews 7 untuk meramalkan data produksi dan konsumsi kedelai nasional. Model peramalan yang digunakan adalah ARIMA dengan menggunakan sistem trials and errors, yaitu dengan mencoba berbagai kombinasi model ARIMA sehingga dapat diperoleh nilai MSE dari hasil analisis. Peramalan ARIMA akan menggunakan nilai MSE yang terkecil karena hasil peramalannya akan semakin mendekati nilai aktualnya. Model ARIMA akan dapat menunjukkan hasil peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional hingga tahun 2014. Terdapat beberapa alasan penggunaan ARIMA sebagaimana telah dijelaskan oleh Hanke et al. (2003), antara lain : 1. Model tersebut dapat menghasilkan ramalan akurat berdasarkan uraian pola historis data dibandingkan dengan model peramalan time series lainnya. 2. Model ARIMA merupakan gabungan dari Autoregressive dan Moving Average sehingga lebih lengkap dibandingkan peramalan time-series lainnya. 3. Model ARIMA tidak mengikutsertakan variabel bebas dalam pembentukannya, melainkan hanya menggunakan informasi dari deret waktu yang akan diramal itu sendiri untuk menghasilkan ramalan. Penelitian ini juga tidak mengikutsertakan variabel bebas lain dalam peramalan selain data produksi dan konsumsi kedelai itu sendiri. Sehingga produksi dan konsumsi kedelai nasional tahunan akan memproyeksikan pola produksi dan konsumsi kedelai nasional historis untuk meramalkan produksi dan konsumsi kedelai nasional di tahun-tahun mendatang. 4. Data time-series yang ber-trend sebaiknya menggunakan teknik-teknik peramalan seperti Moving Average, Exponential Smoothing Tipe Holt, Regresi Linier Sederhana, Kurva Pertumbuhan, dan ARIMA. Sedangkan teknik peramalan yang paling sesuai dengan data time-series pada penelitian ini adalah ARIMA seperti yang telah dijelaskan pada nomor 3.
Metode Regresi Berganda Metode bentuk regresi ini juga biasa disebut dengan metode kausal. Metode kausal merupakan suatu teknik peramalan dengan menggunakan analisis hubungan antara variabel yang dicari dengan satu atau lebih variabel bebas yang mempengaruhinya dan bukan variabel waktu. Metode kausal didasarkan pada penggunaan analisis pola hubungan sebab akibat yang bersifat konstan antara variabel yang akan diramal dengan satu atau beberapa variabel lain yang memengaruhinya (Assauri 1984). Dalam penelitian ini, variabel bebas yang digunakan berjumlah lebih dari satu sehingga bentuknya adalah metode regresi berganda. Dalam analisis regresi pola hubungan antara variabel diekspresikan dalam sebuah persamaan regresi yang diduga berdasarkan data sampel.
14 Pada pembahasan metode regresi berganda ini akan dibuat persamaan regresi produksi. Jadi, pada analisis regresi berganda ini variabel dependen (Y) yaitu produksi sedangkan variabel independennya (X) adalah luas panen, produktivitas, harga kedelai di tingkat petani, harga jagung di tingkat petani, dan harga benih kedelai. Pada persamaan produksi, selanjutnya dilakukan uji validasi yang terdiri dari uji deskriptif (R-sq) dan uji statistik (uji F dan uji t). Selain itu juga dilakukan uji diagnostik seperti tidak adanya autokolerasi, multikolinearitas, dan heteroskedastisitas. Jika ketiga jenis uji tersebut sudah dianalisis dan variabel yang signifikan telah diperoleh maka dapat dilanjutkan pada tahap selanjutnya. Tahapan selanjutnya akan menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan memengaruhi produksi kedelai.
Tinjauan Penelitian Empirik Tastra, Ginting, dan Fatah (2012) melakukan penelitian mengenai penerapan kebijakan yang strategis dalam upaya menuju swasembada kedelai. Di dalam penelitian tersebut digunakan model simulasi sistem dinamik swasembada kedelai dimana diperoleh 15 skenario menuju swasembada kedelai yang sesuai dengan agroekosistem daerah yang pernah menjadi sentra produksi kedelai. setelah dilakukan verifikasi model simulasi menggunakan data produksi tahun 2009-2010, akhirnya terpilih skenario swasembada yang terdiri dari kombinasi input perluasan areal (PPA) 15%/tahun, laju peningkatan produktivitas (LAJUY) 4%/tahun, sasaran pengurangan hasil pasca panen (KHKDL) 2%, laju peningkatan jumlah penduduk (KB) 1.5%/tahun, dan laju peningkatan konsumsi kedelai (LAJUK) 1.0%/tahun. Hernanda (2011) melakukan analisis mengenai peramalan tingkat produksi dan konsumsi gula Indonesia dalam mencapai swasembada gula nasional. Pada penelitian ini metode peramalan yang digunakan adalah ARIMA dengan menganalisis deret waktu mulai dari tahun 1981-2007. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa swasembada gula belum dapat tercapai pada tahun 2014, sebagaimana yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Namun, swasembada gula baru akan tercapai pada tahun 2015. Aji (2008) melakukan penelitian mengenai peramalan produksi dan konsumsi ubi jalar nasional dalam rangka rencana program diversifikasi pangan pokok. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbagai metode peramalan time series serta metode peramalan kausal dengan analisis regresi berganda. Dari hasil penelitian diperoleh metode peramalan yang akurat untuk meramalkan produksi ubi jalar adalah model SARIMA {ARIMA (1,0,1)(0,0,1)3}. Sedangkan metode peramalan yang akurat untuk meramalkan konsumsi ubi jalar adalah model Tren Linear (Yt = 2 415 – 14.7t). Skenario peningkatan produksi ubi jalar untuk mencapai target dilakukan dengan meningkatkan luas tanam ubi sebesar 264 617.596 ha dimana 2% lahan padi dikonversi menjadi lahan ubi. Sedangkan skenario peningkatan konsumsi ubi jalar untuk mencapai target dilakukan dengan meningkatkan konsumsi per kapita ubi jalar sebesar 8.479 kg atau sebesar 10% dari konsumsi per kapita ubi jalar tahun 2006.
15 Maretha (2008) melakukan penelitian mengenai peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional serta implikasinya terhadap strategi pencapaian swasembada kedelai nasional. Dalam penelitian ini digunakan data produksi dan konsumsi kedelai nasional mulai tahun 1969 sampai tahun 2007 dengan menggunakan metode peramalan ARIMA. Dari hasil peramalan menggunakan ARIMA diperoleh nilai produksi dan konsumsi pada tahun 2015 masing-masing sebesar 775 437 ton dan 2 080 272 ton dimana dari nilai tersebut terlihat bahwa swasembada kedelai belum dapat tercapai. Kemudian dibuatlah skenario pencapaian swasembada kedelai tahun 2015 menggunakan metode kausal pada produksi kedelai dengan meningkatkan luas panen dan produktivitas kedelai. Dari hasil skenario diperoleh nilai prediksi produksi kedelai tahun 2015 sebesar 2.673.225 ton. Hal ini menunjukkan bahwa dapat tercapainya swasembada kedelai tahun 2015 karena nilai prediksi produksi hasil skenario lebih besar dibandingkan nilai prediksi konsumsi ARIMA (2 080 272 ton) dan nilai prediksi konsumsi Departemen Pertanian (2 341 594 ton). Yuwanita (2006) melakukan analisis kemungkinan pencapaian swasembada kedelai nasional dengan metode peramalan deret waktu. Penelitian ini menggunakan pola data produksi dan konsumsi kedelai mulai tahun 1969 sampai tahun 2004. Beberapa metode peramalan time series yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Naïve, Trend, Simple Average, Simple Moving Average, Single Exponential Smoothing, Double Exponential Smoothing dari Brown, Double Exponential Smoothing dari Holt dan metode ARIMA (1,2,0). Dari hasil penerapan metode peramalan time series, didapatkan metode peramalan yang paling akurat untuk meramalkan produksi dan konsumsi kedelai adalah metode ARIMA (1,2,0). Sedangkan dari hasil peramalan produksi dan konsumsi kedelai tersebut didapatkan hasil bahwa Indonesia belum bisa mencapai swasembada kedelai pada tahun 2010 dan diramalkan baru bisa tercapai pada tahun 2015. Sahara dan Gunawati (2012) melakukan analisis permintaan kedelai di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi permintaan kedelai, elastisitas permintaan jangka pendek, dan elastisitas permintaan jangka panjang sehingga dapat diketahui status kedelai di daerah tersebut merupakan barang normal atau inferior. Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data time series 10 tahun dari tahun 1994 sampai tahun 2003. Fungsi permintaan kedelai diestimasi oleh variabel jumlah penduduk, pendapatan per kapita, harga kedelai, dan harga jagung menggunakan analisis regresi berganda. Berdasarkan hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa permintaan kedelai di Kabupaten Banyumas dipengaruhi oleh harga kedelai, jumlah penduduk, dan harga jagung. Sedangkan pendapatan dan permintaan tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata secara statistik. Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian sebelumnya adalah periode waktu yang digunakan dalam peramalan lebih lama dan adanya penambahan beberapa variabel dalam menganalisis faktor-faktor yang dapat memengaruhi variabel produksi kedelai nasional. Selain itu, dilakukan analisis lebih lanjut mengenai besarnya pengaruh variabel-variabel yang terbukti signifikan terhadap variabel produksi kedelai nasional tersebut.
16 Kerangka Pemikiran Pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia setidaknya juga ikut mendorong pertumbuhan sektor pertanian terutama di bidang pangan. Peningkatan jumlah penduduk dapat mendorong peningkatan terhadap konsumsi. Oleh karena itu diperlukan pemenuhan terhadap konsumsi dalam negeri. Swasembada merupakan jalan yang perlu ditempuh dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga dapat mengurangi impor. Perubahan karakteristik demografis penduduk seperti tingkat pendidikan yang semakin tinggi dan pendapatan yang meningkat berimplikasi terhadap kebiasaan masyarakatnya yang semakin sadar terhadap kesehatan dan peningkatan mutu gizi. Kedelai sebagai salah satu komoditas pangan yang penting bagi masyarakat Indonesia karena kedelai memiliki nilai gizi tinggi dan sehat. Di Indonesia, kedelai menjadi salah satu alternatif konsumsi umum bagi berbagai lapisan masyarakat. Peningkatan permintaan terhadap kedelai tidak hanya datang dari konsumen individu dan industri pengolahan seperti tempe, tahu, tauco, dan kecap tetapi juga dari industri pakan ternak. Peningkatan konsumsi dalam negeri sampai saat ini belum dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri saja. Hal ini mengakibatkan defisit yang besar karena kesenjangan lebar yang terjadi antara produksi dan konsumsi kedelai tersebut. Selama ini pemerintah melakukan impor kedelai yang jumlahnya semakin lama semakin meningkat untuk menutupi kesenjangan tersebut. Dalam jangka panjang, impor kedelai yang terus meningkat dapat mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia. Kecenderungan impor kedelai ini perlu segera diatasi yaitu dengan kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah terkait swasembada kedelai tahun 2014 dimana Indonesia akan berusaha mencukupi kebutuhan konsumsi kedelai dalam negeri. Oleh karena itu diperlukan peramalan terhadap produksi dan konsumsi kedelai dalam negeri agar dapat diketahui gambaran pencapaian swasembada pada tahun 2014. Jika pada tahun tersebut belum dapat tercapai, maka dapat dibuat kebijakan pendukung pencapaian swasembada kedelai tersebut. Dalam melakukan peramalan, langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi pola data produksi dan konsumsi kedelai. Metode peramalan yang digunakan adalah metode time series dimana dalam penerapannya metode tersebut adalah metode ARIMA. Dengan metode ARIMA tersebut, selanjutnya dilakukan peramalan produksi dan konsumsi untuk tiga tahun ke depan untuk diketahui apakah swasembada kedelai dapat tercapai. Jika hasil peramalan menunjukkan swasembada belum tercapai maka perlu maka diperlukan analisa terhadap faktor-faktor yang memengaruhi produksi kedelai untuk dapat disiapkan kebijakan pendukung dalam upaya pencapaian swasembada kedelai. Untuk mengetahui besarnya respon perubahan masing-masing faktor yang secara signifikan memengaruhi produksi kedelai maka dapat dilihat melalui nilai elastisitasnya.
17 Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang penting bagi masyarakat Indonesia Terjadi defisit yang besar karena adanya kesenjangan antara produksi dan konsumsi
Peningkatan konsumsi kedelai
Masalah Ketahanan dan Kedaulatan Pangan
Pemenuhan konsumsi kedelai
Impor kedelai
Produksi kedelai
Pemerintah mengadakan Program Swasembada Kedelai Nasional 2014 Dibutuhkan metode peramalan produksi dan konsumsi kedelai untuk mengetahui pencapaian swasembada kedelai
Identifikasi pola data produksi dan konsumsi kedelai nasional
Metode ARIMA untuk mengetahui pencapaian Program Swasembada Kedelai Produksi
Konsumsi
Analisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi kedelai Metode Regresi Berganda untuk mengetahui faktorfaktor yang memengaruhi produksi kedelai
Elastisitas produksi kedelai
Kebijakan pencapaian swasembada kedelai
Keterangan : Dianalisis Tidak dianalisis Gambar 2 Kerangka Pemikiran
18 Hipotesis Penelitian Berdasarkan hubungan antara tujuan penelitian serta kerangka pemikiran terhadap rumusan masalah penelitian, maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut : 1. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi menunjukkan swasembada kedelai belum tercapai sampai tahun 2014. 2. Luas panen berpengaruh nyata dan memiliki hubungan positif terhadap produksi kedelai karena semakin luas areal panen maka hasil panen yang diperoleh artinya juga semakin banyak. 3. Produktivitas berpengaruh nyata dan memiliki hubungan positif terhadap produksi kedelai karena semakin tinggi produktivitas tanaman maka hasil panen yang bisa diperoleh juga semakin banyak. 4. Harga kedelai di tingkat petani berpengaruh nyata dan memiliki hubungan positif terhadap produksi kedelai. Harga merupakan faktor yang sensitif dalam memengaruhi tingkat produksi suatu komoditas. Hal ini dikarenakan jika harga kedelai yang diterima petani tinggi maka petani sebagai produsen akan semakin termotivasi untuk memproduksi kedelai lebih banyak. Dengan demikian, jumlah produksi kedelai nasional juga akan mengalami peningkatan. 5. Harga jagung di tingkat petani berpengaruh nyata dan memiliki hubungan positif terhadap produksi kedelai. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Sahara dan Gunawati (2012), hasil menunjukkan bahwa jagung merupakan barang komplementer terhadap kedelai. Sehingga apabila terjadi peningkatan terhadap harga jagung di tingkat petani maka produksi terhadap kedelai cenderung mengalami peningkatan. Fakta juga menunjukkaan bahwa di beberapa daerah seperti Sumatera, usaha tani kedelai dan jagung dilakukan dengan sistem tumpangsari untuk memaksimalkan areal lahan sehingga produksi kedua komoditas tersebut berjalan beriringan. 6. Harga benih kedelai berpengaruh nyata dan memiliki hubungan negatif terhadap produksi kedelai. Apabila terjadi kenaikan harga benih kedelai maka daya beli petani sebagai produsen terhadap kedelai akan cenderung menurun. Karena berkurangnya jumlah benih yang bisa dibeli oleh petani maka benih yang bisa digunakan untuk produksi akan berkurang sehingga pada akhirnya jumlah produksi kedelai juga akan berkurang. 7. Impor kedelai berpengaruh nyata dan berhubungan negatif terhadap produksi kedelai. Apabila terjadi peningkatan impor kedelai maka akan menurunkan jumlah produksi kedelai nasional. Hal ini karena kedelai lokal kalah bersaing dengan kedelai impor yang harganya lebih murah. Sehingga petani mengalami kerugian dan tidak ingin berproduksi kedelai lagi. 8. Dummy subsidi benih kedelai berpengaruh nyata dan memiliki hubungan positif terhadap produksi kedelai nasional. Hal ini dikarenakan dengan adaya kebijakan subsidi benih kedelai maka biaya produksi yang perlu dikeluarkan oleh petani lebih rendah dengan asumsi ceteris paribus. Petani akan mampu membeli benih dalam
19 jumlah yang lebih banyak sehingga akan mendorong produksi kedelai meningkat.
METODE Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Datadata tersebut meliputi data produksi kedelai, konsumsi kedelai, luas panen kedelai, produktivitas kedelai, harga kedelai dan jagung di tingkat petani, serta harga benih kedelai. Data-data tersebut bersifat kuantitatif yang berasal dari instansi-instansi terkait seperti Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian (Pusdatin Kementan), FAO, World Bank, dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang digunakan untuk peramalan produksi dan konsumsi kedelai serta analisis faktorfaktor yang memengaruhi produksi berupa data time series. Rentang waktu peramalan adalah tahun 1969-2011 sedangkan rentang tahun untuk analisis faktor yang memengaruhi produksi adalah 1986-2010.
Alat Pengolahan data sekunder yang berupa data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan software Minitab 14 untuk meramalkan data produksi dan konsumsi kedelai nasional. Model peramalan yang digunakan adalah model ARIMA. Dari model tersebut akan diperoleh hasil peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional sampai tahun 2014 (sampai tahun 2025 apabila hasil ramalan menunjukkan swasembada tidak tercapai pada tahun 2014). Sedangkan untuk dapat menentukan faktor-faktor yang memengaruhi produksi kedelai nasional dilakukan analisis regresi berganda yang menggunakan software Eviews version 7.
Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan informasi-informasi yang terkandung dalam data hasil analisis. Analisis kuantitatif digunakan untuk melakukan analisis terhadap peramalan produksi dan konsumsi kedelai serta faktor-faktor yang memengaruhi produksi kedelai. Analisis kuantitatif menggunakan ARIMA dan analisis regresi berganda. Box Jenkins (ARIMA) Analisis diawali dengan melakukan peramalan terhadap perkembangan produksi dan konsumsi kedelai nasional dari tahun 1969 sampai tahun 2011 menggunakan metode ARIMA untuk mengetahui tingkat produksi dan konsumsi
20 kedelai hingga tahun 2014(hingga tahun 2025 apabila hasil ramalan menunjukkan swasembada tidak tercapai pada tahun 2014). Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa gabungan dari Autoregressive (p) dan Moving Average (q) akan membentuk model ARIMA (p,d,q) dimana p adalah ordo/derajat dari AR, d merupakan ordo/derajat differencing, dan q adalah ordo/derajat dari MA. Tingkat dari model AR (nilai p) ditunjukkan oleh jumlah observasi atau pengamatan masa lalu yang akan dimasukkan ke dalam model untuk meramalakan periode yang akan datang. Misalnya, AR (2) merupakan model Autoregressive tingkat dua yang menggunakan dua nilai masa lalu terakhir dalam model. Komponen model I (d) menunjukkan pembedaan data yang dilakukan untuk menghasilkan kestasioneran data (Aritonang 2009). Hal ini dapat juga dikatakan bahwa banyaknya perlakuan differencing (d) menunjukkan tingkat diferensiasi model. Misalnya, Yt tidak stasioner sehingga perlu distasionerkan dengan proses differencing Zt = Yt – Yt-1. Tingkat model MA (nilai q) ditunjukkan oleh banyaknya error masa lalu yang digunakan dalam model dalam peramalan periode yang akan datang. Misalnya, jika dalam model digunakan tiga error peramalan pada masa lalu maka dinamakan model Moving Average tingkat tiga dimana bisa juga ditulis MA (3). Bentuk dasar dari model AR, MA, dan ARIMA adalah sebagai berikut : Model AR (p): Yt = b0 + b1 Yt-1 + b2 Yt-2 + . . . + bp Yt-p + εt ……………………………………..(4) Model MA (q): Yt = a0 + εt a1 εt-1 a2 εt-2 . . . aq εt-q ………………………………………(5) Model ARIMA (p,d,q): Yt = b0 + b1 Yt-1 + b2 Yt-2 + . . . + bp Yt-p + εt a1 εt-1 a2 εt-2 . . . aq εt-q ……(6) dimana: Yt : variabel dependen/ tak bebas pada waktu ke-t Yt-1, Yt-2, …, t-p : variabel time lag / masa sebelumnya b0, b1, b2, …, bp : konstanta dan koefisien model yang diestimasi εt : error pada waktu ke-t a0, a1, a2, …, aq : konstanta dan koefisien model yang diestimasi εt-1, εt-2, …, εt-q : error dari time lag / masa sebelumnya p, q : bilangan asli tak terhingga (1, 2, 3, … dst) Tahapan dalam peramalan menggunakan metode ARIMA adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi Model Identifikasi model dapat dilakukan dengan menentukan kestasioneran data. Data time series dapat dikatakan stasioner jika data tersebut memenuhi kondisi sebagai berikut (Firdaus 2006) : 1. Nilai tengah atau rataan series konstan untuk setiap periode pengamatan. Hal ini dapat dituliskan E(Zt) = untuk setiap t 2. Ragam atau varian series konstan untuk setiap periode pengamatan. Hal ini dapat dituliskan Var (Zt) = E [(Zt - )2] = untuk setiap t 3. Koragam atau kovarian dua series konstan untuk setiap periode pengamatan. Hal ini dapat dituliskan Cov (Zt, Zt-k) = E [(Zt - )( Zt-k )] = untuk setiap t
21 Data yang stasioner dapat juga disebut sebagai data yang tidak mengandung trend. Kestasioneran data dapat dilihat dari uji Augmented Dicky Fuller (ADF) melalui pengamatan pola ACF dan PACF. Model MA (q) AR (p) ARMA (p,q)
Tabel 3 Pola ACF dan PACF pada model ARIMA ACF PACF Terpotong (cut off) setelah lag q Perlahan-lahan menghilang (q=1 atau q=2) (dies down) Perlahan-lahan menghilang Terpotong (cut off) setelah (dies down) lag q (q=1 atau q=2) Perlahan-lahan menghilang Perlahan-lahan menghilang (dies down) (dies down)
Sumber : Hanke et al. (2003)
Data yang rata-ratanya tidak stasioner dapat ditransformasi (distasionerkan) dengan metode pembedaan atau differencing, yaitu data yang asli (Yt) diganti dengan mengurangi nilai dua pengamatan yang berurutan pada data asli tersebut atau dirumuskan t t t – t-1. Jika data sudah stasioner maka I(1) itu dapat digunakan dalam model ARIMA, namun jika belum stasioner maka perlu dilakukan differencing sesuai dengan direfensiasi derajat berapa data tersebut mencapai kestasioneran. First order difference : Yt= Yt – Yt-1………………………………...(7) Second order difference : Yt = (Yt) = (Yt – Yt-1) = Yt–2Yt-1+ Yt-2………………………..(8) Ketidakstasioneran varian mungkin terjadi karena adanya varian musim. Varian dapat distasionerkan dengan mentransformasikan data menjadi bentuk logaritma atau pangkat, misalnya Yt diubah menjadi bentuk logaritma log Yt. Jika varian masih belum stasioner maka dapat dicoba logaritma natural (ln). Contoh (ln) pada data perbedaan pertama adalah ln (Yt) – (Yt-1). Kadangkala, data yang dilogaritmakan adalah data pembedaan pertama atau kedua agar rata-rata dan variannya bisa stasioner sekaligus (Aritonang 2002). 2. Estimasi dan Pengujian Model Setelah model diindentifikasi melalui uji ADF, kemudian dilakukan estimasi parameter model. Hal yang terlebih dahulu perlu dilakukan adalah menentukan ordo maksimum dari AR (p) dengan melihat PACF dan ordo maksimum dari MA (q) dengan melihat ACF. Ordo dari differencing (d) juga harus ditentukan. Ada dua cara mendasar yang dapat digunakan untuk melakukan estimasi terhadap parameter model, antara lain : a. Cara mencoba-coba (trial and error) Pengujian terhadap beberapa nilai yang berbeda dan memilih diantara nilai-nilai tersebut yang memiliki jumlah kuadrat nilai sisa (galat) (sum of squared residuals) yang minimum. b. Perbaikan secara iteratif (pengulangan) Memilih nilai taksiran awal dan membiarkan program komputer untuk memperhalus penaksiran tersebut secara iteratif (berulang). 3. Pemilihan Model Terbaik
22 Pada tahap ini dilakukan uji diagnostik dalam upaya untuk memastikan apakah model yang diestimasi sudah baik atau belum. Model harus memenuhi beberapa kriteria untuk dapat menjadi model yang terbaik, yaitu (Firdaus, 2006): a. Residual peramalan bersifat acak dan tersebar normal Suatu residual dapat dikatakan tidak berpola atau tersebar acak apabila tidak terdapat autokorelasi dan parsial autokorelasi yang signifikan pada pola ACF dan PACF. Pola ACF dan PACF dari residual ini , jika dalam grafik menunjukkan pola cut off atau secara statistik harus sama dengan nol. Jika tidak, kondisi ini mengindikasikan bahwa model yang digunakan belum sesuai dengan data. Untuk menguji autokorelasi residual dapat menggunakan uji statistik Chi-square (X2) berderajat bebas -r yang diuji menggunakan uji Ljung Box (Q). Hipotesis: H0: ρ1 ρ2 . . . . ρm = 0 H1: ρ1 ≠ ρ2 ≠ . . . . ≠ ρm ≠ 0 Statistik uji: 2 m rk (e) Q = n(n+2) ∑k 1 n-k
dimana: n = jumlah residual = selang waktu k m = jumlah selang waktu yang disertakan dalam pengujian r = jumlah total parameter estimasi dalam model ARIMA (p - q) ( ) = fungsi autokorelasi sampel dari residual keKesimpulan: Jika Q > X2α(m-r) atau apabila nilai P (P-value) terkait dengan statistik Q kecil (misalnya P < 0,05) maka tolak H0 dan model dipertimbangkan tidak memadai. b. Berlaku prinsip parsimonious Model yang dipilih merupakan model dalam bentuk yang paling efisien dimana memiliki jumlah parameter paling sedikit. c. Parameter yang diestimasi harus berbeda nyata dari nol Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value kooefisien yang kurang dari 0.05. Jika ingin menguji k menggunakan uji-t pada tingkat signifikan 0.05 maka dapat digunakan nilai t-table = 2 sebagai batas nilai kritis dengan hipotesisnya adalah H0 : k = 0 H1 : k ≠ 0 H0 : tidak terdapat autokorelasi pada deret waktu H1 : terdapat autokorelasi yang nyata pada selang waktu ke- k Statistik uji: rk - ρ k rk - ρ k rk t= , atau t = , atau t = 1 ( ) √variance √1+2 ∑ r2j √n
23 dimana: rk = koefisien autokorelasi antara dua set data S (rk ) = galat baku autokorelasi selang k k = lag atau selang n = jumlah observasi j 1, …, k – 1, dan j < k Kriteria uji: Statistik H0 menyebar dengan derajat bebas (n – 1) untuk = 5% dari Tabel. Kesimpulan: Bila t hitung < T /2 (n-1) atau jika nilai mutlak dari t hitung |t| < 2 dapat disimpulkan tidak tolak H0 dimana artinya tidak terdapat autokorelasi ( k = 0). d. Harus memenuhi kondisi invertibilitas dan stasioneritas Hal ini ditunjukkan oleh jumlah koefisien masing-masing AR atau MA harus kurang dari 1. Zt adalah fungsi linier dari data stasioner yang lampau (Zt-1, Zt-2, …). Dengan mengaplikasikan analisis regresi pada nilai lag deret stasioner, maka dapat diperoleh autoregresi karena komponen trend sudah dihilangkan. Data stasioner Zt saat ini adalah fungsi linier dari galat masa kini dan masa lampau. Zt µ + ε t – θ1εt-1 – θ2εt-2 –…– θqεt-qs………………...(9) Jumlah koefisien MA harus kurang dari 1 θ1 + θ2 + … + θq < 1 (kondisi invertibiliti) Zt δ + θ1Zt-1 – θ2Zt-2 +…+ εt………………………………...(10) e. Proses iterasi harus konvergen Proses harus berhenti ketika telah menghasilkan nilai parameter dengan Sum Square Error (SSE) terkecil. Apabila syarat tersebut telah terpenuhi maka pada sessioen akan terdapat pernyataan relative change in each estimate less than 0.0010. f. Nilai MSE model harus kecil 1 n 2 MSE = ∑t 1 εt n Metode peramalan yang memiliki nilai MSE paling kecil menunjukkan bahwa hasil peramalan tersebut akan semakin mendekati nilai aktualnya (forecasting power semakin kuat) dimana artinya model secara keseluruhan lebih baik. Model yang telah memenuhi kriteria-kriteria yang dijelaskan di atas dapat dikatakan sebagai model terbaik. Model terbaik ini mampu menggambarkan hubungan antar variabelnya baik variabel dependen dengan variabel independen maupun hubungan antar variabel independen. 4. Peramalan Model Ketika kriteria-kriteria di poin nomor 3 telah terpenuhi sehingga dihasilkan model yang terbaik maka proses peramalan untuk satu atau beberapa periode yang akan datang dapat dilakukan. Peramalan dilakukan untuk mengetahui nilai pada masa yang akan datang dan dapat memberi gambaran keadaan pada masa yang akan datang tersebut sehingga dapat berguna bagi masa sekarang untuk mempersiapkan suatu kebijakan atau perencanaan terbaik dalam menghadapi keadaan yang telah diramalkan nantinya. Evaluasi ulang terhadap model perlu
24 dilakukan terhadap model yang dipilih kerena kemungkinan terdapat perubahan pada pola data. Dari hasil peramalan tersebut akan dapat dilihat apakah swasembada kedelai nasional tahun 2014 dapat tercapai. Metode Regresi Berganda Selanjutnya dilakukan metode kausal dengan bentuk regresi berganda untuk menentukan faktor-faktor yang berpengaruh (nyata dan tidak nyata) pada produksi kedelai yang selanjutnya digunakan untuk melihat elastisitas terhadap beberapa faktor yang signifikan. Dalam swasembada kedelai jumlah produksi yang diminta untuk dapat memenuhi kebutuhan permintaan merupakan produksi dari lokal atau dalam negeri sehingga dapat dikatakan jumlah produksi yang dimaksud tersebut sama dengan jumlah penawaran dalam negeri. Persamaan umum metode regresi berganda untuk produksi kedelai adalah: PRODKt β0 + β1PRDVt + β2LPt + β3HRKPt + β4HRJPt + β5HRBt + β6IMPKt + β7DSUBKt + εt………(11) dimana : PRODK : produksi kedelai (ton) β0 : intersep PRDV : produktivitas (ton/ha) LP : luas panen (ha) HRKP : harga riil kedelai di tingkat petani (Rp/kg) HRJP : harga riil jagung di tingkat petani (Rp/kg) HRB : harga riil benih (Rp/kg) IMPK : impor kedelai (ton) DSUBK : dummy subsidi benih kedelai β1, β2, β3, β4, β5, β6, β7 : koefisien regresi variabel bebas (independen) : galat ε t : time series (tahun) Model yang baik hendaknya memenuhi asumsi klasik yaitu tidak ada multikolinearitas, tidak ada heteroskedastisitas, tidak ada autokorelasi, dan error term (galat) menyebar normal. Pengujian asumsi klasik dimaksudkan agar estimator-estimator yang diperoleh dengan metode Ordinary Least Square (OLS) memenuhi syarat Best Linier Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian terhadap pelanggaran asumsi klasik dilakukan melalui : 1. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas yaitu adanya hubungan linear antar variabel independen dalam model regresi. Pada pembahasan ini akan dilakukan uji Klein untuk melihat ada tidaknya multikolinearitas. Apabila korelasi antar peubah bebas/independen masih lebih kecil dari nilai R-square maka tidak terdapat multikolinieritas. 2. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas menyatakan bahwa variasi dari setiap unsur residual model adalah sama (konstan). Untuk menguji ada tidaknya masalah heteroskedastisitas dalam model dapat dilakukan uji Breusch-Pagamn yaitu dengan cara meregresikan kembali nilai residual yang telah dikuadratkan dengan variabel-variabel bebas dalam model. Hipotesis :
25 H0 = Homoskedastisitas H1 = Heteroskedastisitas Statistik uji : LM = nR2 n = jumlah pengamatan R2 = koefisien determinasi dari auxiliary regression Kriteria uji : p-value < α 0.05 atau LM > X2P-1(α) dimana α 0.05 maka tolak H0 yang berarti ada masalah heteroskedastisitas. p-value > α 0.05 atau LM < X2P-1(α) dimana α 0.05 maka tidak tolak H0 (terima H0) yang berarti tidak ada masalah heteroskedastisitas. 3. Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi digunakan untuk melihat apakah ada hubungan linear antara serangkaian error yang diurutkan menurut waktu (data time series). Uji autokorelasi perlu dilakukan apabila data yang dianalisis merupakan data time series (Gujarati dan Porter 2011). d=
∑ (ei - ei-1 )
2
∑ ei
Keterangan : = nilai Durbin Watson d ∑ ei = jumlah kuadrat sisa 4. Uji Normalitas Asumsi normalitas mengharuskan nilai residual dalam model menyebar atau terdistribusi secara normal. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov dengan memplotkan nilai standar residual dengan probabilitasnya pada tes normalitas. Apabila pada grafik titik-titik residual yang ada tergambar segaris dan p-value > α dimana α 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa residual model terdistribusi dengan normal. Selain melakukan uji asumsi klasik di atas, diperlukan juga pengujian untuk mengetahui pengaruh variabel bebas baik secara keseluruhan maupun secara parsial terhadap variabel tidak bebas. Pengujian tersebut, antara lain : 1. Uji F Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan layak untuk menduga parameter dari variabel tidak bebas. H0 : β1 β2 . . . βi = 0, variabel bebas (Xi) secara serentak tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (produksi atau konsumsi kedelai) H1 : minimal salah satu βi ≠ 0, i 1, 2, 3, . . ., variabel bebas ( i) secara serentak/bersama berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (produksi atau konsumsi kedelai) Uji statistik : R2 ) k-1 1-R2
(
F-hitung =
n-k
F-tabel = Fα(k-1,n-k)
26 dimana : R2 = koefisien determinasi k = jumlah parameter termasuk intersep n = jumlah observasi Kriteria uji : F-hitung > Fα(k-1,n-k), maka tolak H0 F-hitung < Fα(k-1,n-k), maka tidak tolak H0 (terima H0) Jika tolak H0 artinya seluruh variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel tidak bebas pada tingkat signifikan tertentu dan derajat bebas tertentu. Jika terima H0 artinya seluruh variabel bebas secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel tidak bebas pada tingkat signifikan tertentu dan derajat bebas tertentu. 2. Uji t Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui variabel bebas yang berpengaruh secara parsial terhadap variabel tidak bebas. Hipotesis : H0 : βij = 0 H1 : βi ≠ 0 Uji statistik : t-hitung = [bi − βi / S (bi)] t-tabel = tα 2(n-k) dimana : bi = koefisien ke-i yang diduga S (bi) = standar deviasi parameter bi βi = parameter ke-i yang diduga k = jumlah parameter termasuk intersep n = jumlah observasi Kriteria uji : t-hitung > tα 2(n-k) maka tolak H0 t-hitung < tα 2(n-k) maka tidak tolak H0 (terima H0) Jika t-hitung > t-tabel (α, n-k) maka tolak H0, artinya peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas dalam model pada taraf nyata α % dan begitu pula sebaliknya. Apabila t-hitung < t-tabel (α, n-k) maka tidak tolak H0 (terima H0), artinya peubah bebas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas dalam model pada taraf nyata α %. Elastisitas Elastisitas digunakan untuk mendapatkan ukuran respon suatu fungsi terhadap faktor-faktor yang memengaruhinya. Jadi, elastisitas produksi kedelai nasional mengukur ketanggapan atau kepekaan kuantitas yang diproduksi terhadap perubahan faktor-faktor yang memengaruhinya. Rumus nilai elastisitas adalah sebagai berikut (Pindyck dan Rubinfeld dalam Nugroho 2013) : βt( t) ( t) E (Yt,Xt) dimana : E (Yt,Xt) = elastisitas variabel penjelas Xt terhadap variabel produksi Yt βt = parameter estimasi variabel penjelas Xt Xt = rata-rata variabel independen Xt
27 Yt = rata-rata variabel produksi Yt Kriteria uji : 1. Jika nilai elastisitas elastisitas sama dengan nol (E = 0) maka dikatakan inelastis sempurna 2. Jika nilai elastisitas elastisitas kurang dari 1 (E < 1) maka dikatakan inelastis (tidak responsif) karena perubahan 1% variabel independen mengakibatkan perubahan variabel dependen kurang dari 1% 3. Jika nilai elastisitas elastisitas sama dengan satu (E = 1) maka dikatakan unitary elastis 4. Jika nilai elastisitas elastisitas lebih dari satu (E > 1) maka dikatakan elastis (responsif) karena perubahan 1% variabel independen mengakibatkan perubahan variabel dependen lebih dari 1% 5. Jika nilai elastisitas elastisitas tidak terhingga (E = ∞) maka dikatakan elastis sempurna Definisi Operasional Definisi operasional dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Produksi kedelai (PRODK) adalah variabel yang menunjukkan banyaknya jumlah kedelai dalam negeri yang dihasilkan tiap tahun. Di dalam penelitian ini, produksi kedelai adalah representasi dari penawaran komoditas. Jadi, produksi kedelai merupakan perkalian variabel luas panen kedelai dan variabel produktivitas atau produksi kedelai per hektar. Variabel ini diukur menggunakan satuan ton. 2. Konsumsi kedelai (KONSK) adalah variabel yang menunjukkan banyaknya jumlah kedelai yang dikonsumsi dalam negeri tiap tahun. Variabel ini diukur dalam satuan ton. 3. Luas panen kedelai (LPK) adalah variabel yang menunjukkan nilai luas areal panen kedelai sebuah negara dalam tahun tertentu. Variabel ini diukur dalam satuan hektar (ha). 4. Produktivitas kedelai (PRDVK) adalah variabel yang menunjukkan tingkat produksi per hektar sebuah negara dalam tahun tertentu. Variabel ini diukur dalam satuan ton per hektar (ton/ha). 5. Harga kedelai di tingkat petani (HRKP) adalah variabel yang menunjukkan nilai harga kedelai yang diterima petani di sebuah negara dalam periode tahun tertentu. Variabel ini diukur dalam satuan rupiah (Rp/kg). 6. Harga jagung di tingkat petani (HRJP) adalah variabel yang menunjukkan nilai harga jagung yang diterima petani di sebuah negara dalam periode tahun tertentu. Variabel ini diukur dalam satuan rupiah (Rp/kg). 7. Harga benih kedelai (HRB) adalah variabel yang menunjukkan nilai harga benih kedelai di sebuah negara dalam periode tahun tertentu. Variabel ini diukur dalam satuan rupiah (Rp/kg). 8. Impor kedelai (IMPK) adalah variabel yang menunjukkan banyaknya jumlah impor kedelai dari luar negeri yang masuk ke dalam negeri tiap tahun. Variabel ini diukur dalam satuan ton.
28 9. Dummy subsidi benih kedelai (DSUBK) adalah variabel yang menunjukkan ada atau tidaknya kebijakan subsidi benih kedelai yang dilakukan pemerintah tiap tahun. Apabila pada tahun tersebut pemerintah menerapkan kebijakan subsidi maka nilai dummy pada tahun tersebut adalah 0. Namun, apabila pada tahun tersebut pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan subsidi maka dummy pada tahun tersebut bernilai 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kedelai di Indonesia Produksi Kedelai Secara keseluruhan, produksi kedelai di Indonesia pada periode 1969-2010 cenderung berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3.298% per tahun. Menurut data ARAM II BPS tahun 2012, produksi kedelai sebesar 783.16 ribu ton atau turun sebesar 68.13 ribu ton (8.00%) dibandingkan tahun 2011. Penurunan produksi lebih besar dialami oleh wilayah di luar Jawa yaitu sebesar 34.07 ribu ton (12.29%), sedangkan di Jawa sebesar 34.06 ribu ton (5.93%). Produksi kedelai mulai tahun 1969 sampai 1975 menunjukkan peningkatan dari 388 907 ton menjadi 589 831 ton. Produksi meningkat sebesar 51.7% dengan laju pertumbuhan sebesar 7.583%. Pada periode berikutnya terjadi fluktuasi produksi dengan rata-rata produksi sebesar 618 779 ton per tahun. Pada periode ini, ratarata produksi meningkat sebesar 98 669 ton per tahun dari periode sebelumnya. Dalam rentang tahun 1979 sampai tahun 1983, produksi kedelai cenderung menurun dengan laju pertumbuhan -4.815% per tahun. Produksi kedelai turun dari 679 825 ton pada tahun 1979 menjadi 536 103 ton pada tahun 1983. Penurunan produksi pada periode ini terjadi akibat adanya kemarau panjang pada tahun 1982 dan 1983 (Yuwanita 2006). Meskipun terjadi penurunan, rata-rata produksi kedelai pada periode ini masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata produksi pada periode sebelumnya. Berdasarkan plot data pada Gambar 3, produksi kedelai nasional mulai meningkat tajam pada periode tahun 1984 sampai tahun 1992, namun mengalami penurunan kembali pada tahun-tahun berikutnya. Pada periode 1984 sampai tahun 1988 terjadi peningkatan produksi sebesar 65.12%, yaitu dari 769 384 ton menjadi 1 270 418 ton. Produksi rata-rata pada periode ini juga meningkat menjadi 1 059 442 ton per tahun. Peningkatan ini terjadi karena adanya program Operasi Khusus (Opsus) pada tahun 1986. Keberhasilan program ini berdampak dengan meningkatnya pertumbuhan produksi kedelai mencapai 20.334% per tahun. Bahkan pada saat itu Indonesia termasuk produsen utama kedelai di Asia Tenggara.
29
1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011
Produksi Kedelai (ton)
2000000 1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 Tahun Gambar 3 Plot data produksi kedelai Indonesia tahun 1969-2011 Pada tahun 1989 sampai tahun 1993 rata-rata produksi mencapai 1 587 248.4 ton per tahun. Walaupun pernah terjadi penurunan produksi pada tahun 1993 namun dalam periode ini produksi meningkat 29.92%. Dalam rentang periode tersebut dan bahkan hingga tahun sekarang, produksi kedelai tertinggi terjadi pada tahun 1992, yaitu mencapai 1 869 713 ton. Hal ini dikarenakan pada tahun 1992 terjadi luas panen tertinggi, yaitu sebesar 1 665 710 hektar. Namun demikian, tingkat produksi ini masih jauh di bawah tingkat produksi negara produsen kedelai terbesar di Asia, yaitu Cina yang mencapai sepuluh juta ton. Setelah tahun 1992, produksi kedelai Indonesia cenderung mengalami penurunan sampai tahun 2007 yaitu dari 1 665 710 ton menjadi 592 634 ton. Penurunan produksi yang dratis selama periode ini disebabkan karena adanya penghapusan tata niaga kedelai melalui SK Menperindag No. 406/MPP/Kep/II/1997. Di dalam SK tersebut tata niaga kedelai yang semula oleh BULOG dihapuskan dan Importir Umum juga dapat mengimpor kedelai tanpa dikenakan bea masuk (0%) (Maretha 2008). Hal ini menyebabkan banyaknya arus kedelai impor dengan harga yang lebih murah dari berbagai negara seperti Amerika, Brazil, dan Argentina. Dengan demikian tidak terdapat proteksi impor terhadap produksi kedelai dalam negeri. Penurunan produksi paling besar terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 26.41%. Angka penurunan ini juga merupakan penurunan terbesar yang terjadi sejak tahun 1969 hingga sekarang. Seperti halnya yang mempengaruhi tingginya produksi pada tahun 1992, penurunan produksi secara drastis pada tahun 2000 ini juga disebabkan oleh menurunnya luas panen kedelai sebesar 28.373% dari tahun sebelumnya. Menurut Pusdatin Kementan (2012), perkembangan selama 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa produksi secara rata-rata meningkat sebesar 1.89% per tahun. Dalam rentang 43 tahun, produksi kedelai Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup besar dimana propinsi-propinsi di Jawa memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap produksi nasional dibandingkan propinsi-
30 propinsi di luar Jawa. Rata-rata produksi kedelai Indonesia selama 43 tahun sebesar 930 233 ton. Konsumsi Kedelai Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa kecenderungan konsumsi kedelai tahun 1969-2010 oleh masyarakat Indonesia terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk. Peningkatan konsumsi kedelai juga dipengaruhi oleh peningkatan pengetahuan masyarakat, salah satunya dalam bidang kesehatan sehingga kesadaran akan pentingnya gizi yang terdapat dalam kedelai sudah mulai muncul.
Konsumsi Kedelai (Ton)
3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011
0
Tahun Gambar 4 Pola data konsumsi kedelai Indonesia tahun 1969-2011 Berdasarkan gambar, tingkat konsumsi kedelai tertinggi terjadi pada tahun 2007 yang mencapai 2 679 361 ton. Meskipun pada tahun tersebut terdapat goncangan ekonomi dari eksternal seperti lonjakan harga minyak dunia dan krisis subprime mortgage di AS tetapi karena stabilitas makroekonomi maka dampaknya dapat diminimalkan. Selain itu pada paruh pertama tahun 2007, daya beli masyarakat yang sempat menurun pada tahun 2006 pasca kenaikan harga BBM tahun 2005 berangsur membaik sehingga mendorong konsumsi swasta. Di dalam Laporan Bank Indonesia tahun 2007 dijelaskan juga bahwa pertumbuhan konsumsi swasta terus tumbuh dengan tren meningkat sejak awal tahun hingga menjadi 5% pada tahun 2007 dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 3.2%. Pertumbuhan konsumsi swasta ini terjadi baik pada komponen makanan (termasuk kedelai) dan bukan makanan. Peningkatan drastis pada konsumsi kedelai juga pernah pada tahun 1999 dimana konsumsi kedelai mencapai 2 511 987 ton. Hal ini terjadi karena pada tahun tersebut terjadi depresiasi nilai rupiah yang cukup besar akibat adanya krisis moneter sehingga kebutuhan akan protein yang biasanya terpenuhi dari protein hewani tersubstitusikan oleh protein nabati dimana dalam hal ini adalah kedelai. Dalam rentang 43 tahun (1969-2011), konsumsi kedelai mengalami fluktuasi tetapi cenderung meningkat dimana rata-rata konsumsi sebesar 1 453 652 ton
31 dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 6.961 % per tahun. Konsumsi kedelai Indonesia sejak tahun 1969 sampai 2011 menunjukkan peningkatan sebesar 7.89 kali lipat. Luas Panen Kedelai
1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011
Luas Panen (hektar)
Seperti halnya pada produksi, secara umum luas panen kedelai di Indonesia periode 1969-2010 berfluktuasi namun cenderung mengalami kenaikan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0.75 % per tahun. Menurut Pusdatin Kementan tahun 2012, keragaan luas panen kedelai baik di Jawa maupun di luar Jawa terus meningkat pada periode tahun 1980-an sampai awal tahun 1990-an. Meskipun total luas panen di Jawa lebih tinggi namun ternyata rata-rata pertumbuhan luas panen di luar Jawa lebih besar. Pada tahun 1970-1992, rata-rata pertumbuhan luas panen di luar Jawa sebesar 11.30 % per tahun sedangkan di Jawa hanya sebesar 2.69 % per tahun.
Tahun Gambar 5 Pola data luas panen kedelai Indonesia tahun 1969-2011 Hal ini terkait dengan berbagai upaya pemerintah pada periode tersebut untuk memenuhi kebutuhan akan kedelai melalui beberapa program pengembangan agribisnis. Maretha (2008) menjelaskan bahwa pada tahun 19841988, pemerintah menggalakkan pengembangan kedelai, antara lain melalui program menuju swasembada kedelai, program pengembangan kedelai di lahan masam (pengapuran), penerapan anjuran teknologi, dan penggunakan pupuk biohayati. Luas panen mulai menunjukkan penurunan sejak tahun 1992 bahkan pada tahun 2001 luas panen yang dicapai berada di bawah pencapaian luas panen yang pernah terjadi pada tahun 1970-an. Luas panen kedelai tertinggi yang pernah dicapai adalah 1 665 710 hektar pada tahun 1992. Apabila dibandingkan tahun 1969, luas panen kedelai tahun 2011 mengalami penurunan sebesar 131 533 hektar. Produktivitas Kedelai Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa produktivitas kedelai pada periode 1969-2010 di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan rata-rata produktivitas sebesar 1.043 ton per hektar dimana rata-rata
32 pertumbuhannya 1.69 % per tahun. Berdasarkan data Pusdatin Kementan 2012, keragaan produktivitas kedelai di Jawa selama kurun waktu 1970-2012 menunjukkan rata-rata pertumbuhan lebih tinggi, yaitu 1.60 % per tahun, sementara di luar Jawa adalah 1.58 % per tahun. Namun, pada periode 2007-2011, rata-rata pertumbuhan di Jawa hanya sebesar 0.44 % dimana angka ini lebih rendah dibandingkan luar Jawa yaitu 0.52 %. Produktivitas kedelai dari tahun 1969 sampai tahun 1973 mengalami fluktuasi dengan rata-rata produktivitas 0.73 ton per hektar dimana produktivitas hanya meningkat 4 %. Pada periode selanjutnya, yaitu pelita II (tahun 1974-1978) produktivitas kedelai meningkat sekitar 8 % dengan rata-rata produktivitas sebesar 0.805 ton per hektar. Pada periode 1994 sampai 1998, produktivitas kedelai mengalami peningkatan dari 1.112 ton menjadi 1.192 ton. Menurut data FAO, pada periode ini, Indonesia berada pada posisi ke enam sebagai Negara penghasil kedelai terbesar di dunia setelah USA, Brazil, Argentina, Cina, dan India. Dalam rentang waktu 42 tahun, produktivitas kedelai berhasil meningkat sebesar 96 %. Produktivitas (ton/hektar)
1,600 1,400 1,200 1,000 0,800 0,600
0,400 0,200 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011
-
Tahun Gambar 6 Pola data produktivitas kedelai Indonesia tahun 1969-2011 Pusdatin Kementan (2012) merinci 7 provinsi di Indonesia yang menjadi sentra kedelai jika ditinjau dari produksinya. Ketujuh provinsi yang menyumbang 87.32 % produksi kedelai nasional tersebut adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Menurut ARAM II 2012, Ditjen Tanaman Pangan Kementan menyatakan bahwa secara rata-rata selama 5 tahun terakhir (20082012), Jawa Timur merupakan provinsi dengan sumbangan produksi terbesar yaitu sekitar 38.57 % terhadap produksi nasional. Dua provinsi dengan sumbangan produksi yang cukup besar selanjutnya adalah Jawa Tengah dan NTB dimana masing-masing sebesar 18.11 % dan 10.24 %. Apabila produksi dari ketiga provinsi ini digabungkan maka diperoleh angka kontribusi produksi sebesar 66.92 % atau lebih dari 50 % total produksi kedelai Indonesia.
33 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Tabel 4 Perbandingan hasil peramalan produksi dan konsumsi kedelai dengan target Kementan Hasil Ramalan
Target Kementan
Produksi Konsumsi Defisit Produksi Konsumsi Defisit ARIMA ARIMA (2,1,2) (1,1,0) 2012 752 909.3 2 806 925 (2 054 015) 1 560 000 2 574 505 (1 014 505) 2013 776 149.2 2 973 053 (2 196 904) 1 900 000 1 893 168 6 832 2014 907 546.4 3 103 993 (2 196 447) 2 250 000 2 315 922 (65 922) 2015 991 723.9 3 260 855 (2 269 131) 2 700 000 2 234 440 465 560 2016 919 329.6 3 416 407 (2 497 077) 2017 826 454.4 3 583 319 (2 756 865) 2018 857 863.3 3 756 882 (2 899 019) 2019 999 789.5 3 939 640 (2 939 851) 2020 1 082 734 4 130 876 (3 048 142) 2021 1 001 791 4 331 394 (3 329 603) 2022 907 455.7 4 542 100 (3 634 644) 2023 948 085.5 4 762 580 (3 814 494) 2024 1 100 858 4 993 762 (3 892 904) 2025 1 182 096 5 236 165 (4 054 069) Sumber : Data target produksi dan konsumsi Kementerian Pertanian 2011-2014 diolah Ditjen Tanaman Pangan dan Pusat Data dan Informasi, Kementerian Pertanian Keterangan : ( ) nilai negatif Tahun
Persamaan fungsi ARIMA produksi (2,1,2) terbaik adalah sebagai berikut : Ŷt = Yt-1 + 0.5931 Yt-1 – 0.9859 Yt-2 + 0.4193 εt-1 – 0.9236 εt-2 Sedangkan persamaan fungsi ARIMA konsumsi (1,1,0) terbaik adalah sebagai berikut: Ŷt = Yt-1 – 0.4325 Yt-1 Berdasarkan hasil ramalan tahun 2014-2025 dengan ARIMA terlihat bahwa hasil ramalan tingkat produksi yang diperoleh jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat konsumsi. Pada tahun 2014, sebagai tahun target swasembada kedelai, proyeksi tingkat produksi hanya mencapai 907 546.4 ton sedangkan konsumsi mencapai 3 103 993 ton. Pada tahun tersebut, swasembada jelas terlihat belum dapat terlaksana dan justru mengalami defisit sebesar 2 196 447 ton. Bahkan proyeksi pada tahun 2025 (11 tahun setelah tahun target swasembada kedelai 2014) masih menunjukkan jumlah defisit yang besar dimana jumlah produksi sebesar 1 182 096 ton dan konsumsi sebesar 5 236 165 ton. Jika dibandingkan dengan target Kementan, terlihat bahwa hasil ramalan produksi dengan menggunakan ARIMA masih jauh lebih rendah dengan target produksi Kementan. Di sisi lain, hasil ramalan konsumsi dengan menggunakan ARIMA justru cenderung lebih tinggi dibandingkan proyeksi konsumsi dari Kementan. Berdasarkan ulasan di atas, dapat dilihat bahwa Indonesia masih belum bisa mencapai swasembada kedelai pada tahun 2014 maupun 11 tahun setelahnya (tahun 2025).
34 Faktor - Faktor yang Memengaruhi Produksi Kedelai Nasional Sebelum menganalisis elastisitas produksi kedelai nasional maka diperlukan analisis terlebih dahulu terhadap faktor-faktor yang berpengaruh signifikan pada produksi kedelai nasional. Dengan menggunakan metode regresi berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kedelai, diperoleh hasil estimasi persamaan produksi kedelai yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil estimasi persamaan produksi kedelai Peubah Koefisien t-hitung Probabilitas Keterangan PRDV 1 108 924 16.16436 0.0000 Signifikan LP 1.199073 90.93346 0.0000 Signifikan HRKP -26.67617 -2.135223 0.0476 Signifikan HRJP 65.40365 2.514282 0.0223 Signifikan HRB -10.37822 -5.569485 0.0000 Signifikan IMPK -0.019163 -2.081572 0.0528 Signifikan DSUBK 25 480.94 1.692842 0.1087 Tidak Signifikan C -1 291 120 -13.16004 0.0000 R-squared 0.999295 Mean dependent var 1164843. F-statistic 3 441.058 Prob(F-statistic) 0.000000 Keterangan : *) Signifikan pada taraf nyata 10%
Berdasarkan Tabel 5, hasil analisis regresi diperoleh nilai R2 sebesar 0.999295. Hal ini berarti 99.9295% keragaman dalam produksi kedelai dapat dijelaskan oleh variabel produktivitas, luas panen, harga riil kedelai dan jagung di tingkat petani, harga riil benih kedelai, impor kedelai, dan dummy subsidi benih kedelai sedangkan 0.0717% dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Untuk mengetahui tingkat pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen digunakan uji-F. Berdasarkan uji-F, dari hasil analisis diperoleh F-statistik (0.000000) < α (10%) yang artinya variabel independen yaitu produktivitas, luas panen, harga riil kedelai di tingkat petani, harga riil jagung di tingkat petani, harga benih kedelai, impor kedelai, dan dummy subsidi benih kedelai bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen yaitu produksi kedelai nasional pada taraf nyata 10%. Sehingga model penduga tersebut layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Selanjutnya, untuk menguji pengaruh masing-masing variabel independen terhadap produksi kedelai maka dilakukan uji-t dengan melihat nilai probabilitas pada masing-masing variabel independen terhadap taraf nyata 10%. Enam variabel independen (produktivitas, luas areal panen, harga kedelai dan jagung di tingkat petani, harga benih kedelai, dan impor kedelai) menunjukkan hasil signifikan terhadap produksi kedelai nasional. Sedangkan dummy subsidi benih kedelai menunjukkan hasil tidak signifikan karena nilai probabilitasnya lebih dari taraf nyata 10%. Model regresi berganda yang baik hendaknya memenuhi asumsi klasik yaitu tidak ada multikolinearitas, tidak ada heteroskedastisitas, tidak ada autokorelasi, dan error term (galat) menyebar normal.
35 Uji multikolinearitas digunakan untuk melihat adanya hubungan linear antar variabel independen dalam model regresi. Hasil Uji Variance Inflation Factors menunjukkan bahwa nilai VIF kurang dari 10 maka berdasarkan hasil Uji VIF dapat dinyatakan tidak terdapat multikolinearitas. Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat jika varians residual tidak berubah dengan berubahnya satu atau lebih variabel independen. Apabila asumsi ini terpenuhi maka residual disebut homoskedastisitas, begitu pula sebaliknya. Pengujian heteroskedastisitas yang digunakan adalah Breusch-Pagan Test. Hipotesis null : tidak adanya heteroskedastisitas dapat diterima dengan p value sebesar 0.7626 dimana lebih besar dari taraf nyata 10%. Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat sifat residual regresi yang bebas atau tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya. Jika residual regresi tidak bebas maka terdapat autokorelasi. Pengujian autokorelasi dapat menggunakan Breusch-Godfrey Test. Nilai p value yang dihasilkan sebesar 0.5746 dimana lebih besar dari taraf nyata 10% sehingga hipotesis null : tidak adanya autokorelasi dapat diterima. Uji normalitas dilakukan untuk melihat error term terdistribusi secara normal atau tidak. Nilai probabilitas hasil pengujian sebesar 0.1827 lebih besar dari taraf nyata 10%. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi error term terdistribusi secara normal terpenuhi. Produktivitas Dari hasil uji-t pada pengaruh produktivitas (PRDV) terhadap produksi kedelai, diperoleh p value (0.0000) < α (10%), artinya produktivitas berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai pada taraf kepercayaan 90%. Nilai koefisien untuk parameter PRDV sebesar 1 108 924 artinya kenaikan produktivitas 1 ton/ha mampu meningkatkan produksi kedelai nasional sebesar 1 108 924 ton dengan asumsi ceteris paribus. Produktivitas memiliki koefisien positif sehingga semakin tinggi produktivitas kedelai nasional maka produksi nasional kedelai akan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal bahwa produktivitas berhubungan positif terhadap produksi kedelai nasional. Pusdatin Kementan 2012 menyatakan bahwa proyeksi penawaran direpresentasikan berdasarkan variabel produksi yang merupakan perkalian dari variabel luas panen dan produktivitas sehingga selain sesuai dengan hipotesis awal, hasil regresi juga sesuai dengan teori. Luas Panen Luas panen merupakan aset sumber daya alam yang berperan penting bagi produksi kedelai nasional. Semakin luas areal panen kedelai maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya kenaikan produksi kedelai nasional. Dari hasil uji-t pada pengaruh luas panen (LP) terhadap produksi kedelai, diperoleh p value (0.0000) < α (10%), artinya luas panen berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai dan memiliki arah hubungan positif jika dilihat dari nilai koefisiennya. Nilai koefisien untuk parameter LP sebesar 1.199073 artinya kenaikan luas panen 1 ha mampu meningkatkan produksi sebesar 1.199073 ton atau 1 199.073 kg dengan asumsi ceteris paribus. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, luas panen merupakan salah satu faktor perkalian dari variabel produksi. Hal ini menunjukkan bahwa hasil regresi sesuai dengan hipotesis awal dimana luas panen memiliki hubungan positif terhadap produksi kedelai nasional berdasarkan teori yang ada.
36 Harga Kedelai di Tingkat Petani Dari hasil uji-t pada pengaruh harga riil kedelai di tingkat petani (HRKP) terhadap produksi kedelai, diperoleh p value (0.0476) < α (10%), artinya harga riil kedelai di tingkat petani berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai. Nilai koefisien untuk parameter HRKP sebesar -26.67617 artinya kenaikan harga riil kedelai di tingkat petani Rp 1.00/kg mampu menurunkan produksi sebesar 26.67617 ton dengan asumsi ceteris paribus. Harga kedelai di tingkat petani memiliki nilai koefisien negatif yang berbeda dari hipotesis awal. Harga kedelai di tingkat petani yang bernilai negatif memiliki arti bahwa semakin tinggi harga yang diterima petani maka produksi kedelai nasional cenderung menurun. Hal ini dikarenakan perubahan yang terjadi pada harga kedelai di tingkat petani dapat memberikan dua efek yang berbeda. Oleh karena itu, harga kedelai di tingkat petani tidak selalu menjadi pendorong bagi kenaikan produksi kedelai nasional. Menurut data FAO, harga produsen kedelai Indonesia berada pada level yang tinggi jika dibandingkan dengan 5 negara penghasil kedelai terbesar dunia. Disparitas harga yang cukup tinggi antara harga produsen di dalam negeri dan harga internasional dapat membawa dampak rendahnya harga kedelai impor sehingga kedelai dalam negeri sulit untuk bersaing. Jika harga kedelai di tingkat petani mengalami kenaikan maka para tengkulak akan memilih untuk mengurangi kuantitas kedelai yang dibeli dari para petani dan kemungkinan akan memilih kedelai impor sebagai substitusinya. Jika hal ini berlanjut, maka petani akan kesulitan memasarkan dan terjadi kelebihan stok di tingkat petani. Untuk menjaga agar harga kedelai di tingkat konsumen tidak ikut turun dan berakibat semakin ruginya para petani, maka petani akan memilih untuk menurunkan produksinya. Hal inilah yang akan menyebabkan penurunan produksi kedelai nasional. Dengan demikian dapat dilihat bahwa hubungan antara harga kedelai di tingkat petani dengan produksi kedelai tidak sesuai dengan teori. Harga Jagung di Tingkat Petani Dari hasil uji-t pada pengaruh harga riil jagung di tingkat petani (HRJP) terhadap produksi kedelai, diperoleh p value (0.0223) < α (10%), artinya harga riil jagung di tingkat petani berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai. Nilai koefisien untuk parameter HJRP sebesar 65.40365 artinya kenaikan harga riil jagung di tingkat petani Rp 1.00/kg mampu meningkatkan produksi kedelai nasional sebesar 65.40365 ton dengan asumsi ceteris paribus. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Sahara dan Gunawati, hubungan harga jagung dan permintaan kedelai menunjukkan arah yang negatif dimana jika terjadi kenaikan harga jagung maka permintaan kedelai akan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas jagung dan kedelai adalah barang komplementer. Misalnya dalam pembuatan tempe, biasanya produsen tempe akan mencapur kedelai dengan jagung. Jadi, jika harga jagung di tingkat petani meningkat maka petani akan lebih termotivasi untuk meningkatkan produksinya untuk mendapatkan semakin banyak keuntungan dari kenaikan harga yang diterimanya. Petani juga akan meningkatkan produksi kedelai karena keduanya merupakan barang komplementer. Selain itu, dalam beberapa usahatani kedelai di beberapa jenis lahan sawah, petani biasanya menerapkan sistem tumpangsari antara kedelai dengan jagung untuk memaksimalkan areal lahan. Dengan
37 demikian, jika produksi jagung meningkat maka produksi kedelai juga akan meningkat. Harga Benih Kedelai Dari hasil uji-t pada pengaruh harga riil benih kedelai (HRB) terhadap produksi kedelai, diperoleh p-value (0.0000) < α (10%), artinya harga riil benih kedelai berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai. Nilai koefisien untuk parameter HRB sebesar -10.37822 artinya kenaikan harga riil benih kedelai Rp 1,00/kg mampu menurunkan produksi sebesar 10.37822ton dengan asumsi ceteris paribus. Hubungan negatif antara harga benih kedelai dengan produksi kedelai sesuai dengan hipotesis awal. Benih kedelai merupakan salah satu input yang sangat penting bagi produksi kedelai. Oleh karena itu apabila harga benih kedelai naik maka jumlah benih yang mampu dibeli oleh petani kedelai akan berkurang dari jumlah yang sebelumnya. Dengan kata lain, meningkat harga benih kedelai akan mengurangi permintaan terhadap benih kedelai karena daya beli petani menurun. Apabila jumlah benih kedelai yang dimiliki petani lebih sedikit dari sebelumnya maka hasil produksi kedelai pun juga akan berkurang. Impor Kedelai Impor kedelai (IMPK) berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai nasional. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas IMPK sebesar 0.0528 < α (10%). Nilai koefisien IMPK sebesar -0.019163 yang artinya apabila impor kedelai meningkat sebesar 1 ton maka produksi kedelai nasional akan mengalami penurunan sebesar 0.019163 ton. Hubungan negatif yang ditunjukkan antara IMPK dan PRODK sesuai dengan hipotesis awal. Apabila jumlah impor kedelai yang masuk ke dalam pasar dalam negeri terus meningkat, mengingat harga kedelai impor juga lebih murah, maka akan semakin banyak konsumen kedelai lokal yang akan beralih membeli kedelai impor baik untuk konsumsi langsung maupun untuk konsumsi tidak langsung. Pada kondisi demikian, kedelai lokal semakin tidak memiliki tempat di dalam pasar dalam negeri sendiri sehingga akan merugikan pihak petani kedelai. Kondisi ini akan menurunkan motivasi para petani kedelai lokal untuk berproduksi sehingga produksi kedelai nasional akan mengalami penurunan. Dummy Subsidi Benih Kedelai Benih memegang peran kunci dalam proses produksi kedelai. Kebijakan subsidi benih kedelai terus dilakukan oleh pemerintah setiap tahun kecuali pada tahun 2009. Subsidi benih tidak diberikan pada tahun tersebut karena harga kedelai sudah tidak tinggi lagi. Berdasarkan hasil uji-t ternyata variabel dummy subsidi benih kedelai tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai nasional yang ditunjukkan dengan p-value 0.1087 > α (10 ) . Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), subsidi benih diberikan kepada benih kedelai bersertifikat yang diproduksi oleh PT Sang Hyang Seri (SHS) dan PT Pertani (Persero). Dalam penyaluran benih bersubsidi, BUMN produsen benih yang ditunjuk pemerintah, yaitu PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani, diberi tugas memproduksi benih sesuai kebutuhan. Benih tersebut didistribusikan melalui kios-kios yang ada dan petani atau kelompok tani dapat membeli sesuai dengan harga penyerahan (HP). Presentase jumlah benih
38 bersubsidi, baik yang gratis maupun subsidi harga, sebenarnya lebih kecil dibandingkan kebutuhan total benih petani sehingga peran benih bersubsidi cukup kecil dalam produksi kedelai nasional. Selain itu, sudah rahasia umum di kalangan petani bahwa mutu benih bersubsidi hampir semuanya buruk. Penolakan terhadap kebijakan subsidi benih semakin sering disuarakan petani karena kebijakan ini dipandang hanya mengamankan dan menguntungkan produsen benih. Padahal petani sebenarnya memiliki kapasitas memproduksi benih sendiri. Santosa (2013) dalam Santoso (2013) menyatakan bahwa banyak kelompok tani di sentra produksi pangan di wilayah atau provinsi di Indonesia memiliki kemampuan, pengetahuan, serta menguasai teknik pemuliaan tanaman dan penangkaran benih yang sama dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian, maupun perusahaan. Tidak ada catatan yang menyatakan bahwa kualitas benih yang dihasilkan petani buruk. Benih yang mereka hasilkan justru sangat potensial meningkatkan produksi pangan Indonesia karena adaptif dengan lingkungan lokal dan tahan terhadap cekaman lingkungan, hama, dan penyakit. Pola ini sekaligus akan menyelamatkan berbagai varietas karya petani dan varietas lokal. Elastisitas Produksi Kedelai Untuk mengetahui ketanggapan atau besarnya kepekaan perubahan produksi kedelai nasional terhadap faktor-faktor yang memengaruhinya maka diperlukan penghitungan elastisitas produksi. 1. Elastisitas produksi kedelai terhadap produktivitas Elastisitas produksi terhadap produktivitas memiliki hubungan elastis dengan nilai sebesar 1.1402%. Perubahan peningkatan produktivitas sebesar 1% akan meningkatkan perubahan penambahan produksi kedelai sebesar 1.1402%. Koefisien elastistitas produktivitas lebih dari satu (1 < E) menandakan bahwa permintaan kedelai bersifat elastis. Dengan kata lain kenaikan produktivitas diikuti oleh kenaikan jumlah kedelai yang diproduksi dalam porsi yang lebih besar seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. 2. Elastisitas produksi kedelai terhadap luas panen Nilai elastisitas produksi terhadap luas panen untuk sebesar 1.0241%. Koefisien elastisitas menunjukkan hasil lebih dari satu (1 < E) menandakan bahwa produksi kedelai nasional bersifat elastis terhadap luas panen. Karena nilai elastisitasnya lebih dari satu artinya setiap 1% perubahan penambahan faktor produksi luas panen maka perubahan peningkatan produksi nasional juga lebih dari 1% yaitu sebesar 1.0241%. 3. Elastisitas produksi kedelai terhadap harga riil kedelai di tingkat petani Hubungan elastisitas antara produksi terhadap harga riil kedelai di tingkat petani adalah inelastis. Ini ditunjukkan dari nilai elastisitas sebesar 0.0985%. Nilai elastisitas produksi negatif (E < 0) artinya jika terjadi perubahan peningkatan harga 1% maka justru akan menyebabkan penurunan produksi kedelai nasional sebesar 0.0985%. 4. Elastisitas produksi kedelai terhadap harga riil jagung di tingkat petani Hubungan inelastis ditunjukkan antara produksi nasional kedelai terhadap harga riil jagung di tingkat petani. Hal ini bisa dilihat dari nilai elastisitas
39 produksinya sebesar 0.0838%. Persentase elastisitas produksi menunjukkan nilai kurang dari satu (1 < E) artinya peningkatan harga riil jagung di tingkat petani sebesar 1% akan menyebabkan perubahan penambahan produksi kedelai nasional kurang dari 1% seperti yang tertera pada nilai elastistasnya. 5. Elastisitas produksi kedelai terhadap harga benih kedelai Nilai elastisitas produksi terhadap harga benih kedelai sebesar -0.0268%. Nilai elastisitas produksi yang negatif menunjukkan bahwa apabila ada perubahan peningkatan harga benih kedelai 1% maka akan menyebabkan penurunan produksi kedelai sebesar 0.0268%. Nilai elastisitas produksi yang negatif (E < 0) juga menandakan bahwa hubungan yang terjadi adalah inelastis. 6. Elastisitas produksi kedelai terhadap impor kedelai Nilai elastisitas produksi terhadap impor kedelai sebesar -0.0154%. Nilai elastisitas produksi yang negatif menunjukkan bahwa apabila ada perubahan peningkatan impor kedelai 1% maka akan menyebabkan penurunan produksi kedelai sebesar 0.0154%. Nilai elastisitas produksi yang negatif (E < 0) juga menandakan bahwa hubungan yang terjadi adalah inelastis.
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional tahun 2014 menggunakan ARIMA menunjukkan nilai masing-masing sebesar 907 546.4 ton dan 2 806 925 ton. Hal ini menunjukkan bahwa swasembada kedelai nasional tahun 2014 belum dapat terlaksana. Setelah dilakukan proyeksi bahkan sampai 11 tahun berikutnya yaitu tahun 2025, hasil ramalan tetap menunjukkan bahwa jumlah konsumsi kedelai masih tetap lebih tinggi dibandingkan jumlah produksi kedelai. Hasil ramalan yang diperoleh berbeda jauh dengan targetan Kementan yang telah dibuat dimana Indonesia dapat mencapai swasembada kedelai pada tahun 2014. Oleh karena itu pemerintah dan seluruh pihak terkait perlu mengambil tindakan terkait peningkatan produksi kedelai nasional supaya Indonesia bisa segera berswasembada kedelai. Sebelum membuat kebijakan terkait peningkatan produksi kedelai nasional, perlu diketahui terlebih dahulu faktor-faktor yang memengaruhi produksi nasional dari komoditas kedelai tersebut. Berdasarkan hasil analisis, faktor-faktor yang memengaruhi produksi kedelai nasional antara lain, produktivitas kedelai, luas areal panen, harga kedelai di tingkat petani, harga jagung di tingkat petani, harga benih kedelai, dan impor kedelai. sedangkan dummy subsidi kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai nasional. Kepekaan perubahan masing-masing faktor terhadap produksi kedelai menunjukkan hubungan yang berbeda dimana produktivitas dan luas panen menunjukkan hubungan elastis. Sedangkan harga kedelai di tingkat petani, harga jagung di tingkat petani, harga
40 benih kedelai, dan impor kedelai menunjukkan hubungan inelastis terhadap produksi kedelai. Setelah diketahui faktor-faktor yang memengaruhi produksi kedelai nasional dan besarnya nilai elastisitas masing-masing faktor maka diharapkan selanjutnya pemerintah dan pihak terkait dapat membuat kebijakan pencapaian swasembada kedelai dengan upaya peningkatan produksi. Saran Setelah diketahui hasil ramalan dan faktor-faktor yang dapat memengaruhi produksi kedelai nasional, maka diharapkan pemerintah dapat membuat kebijakan pencapaian swasembada dimana lebih banyak terkait tentang bagaimana meningkatkan produksi kedelai nasional. Kebijakan yang dapat dijadikan pertimbangan bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan produksi kedelai nasional dapat dilihat dari hasil analisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi kedelai nasional. Hasil regresi menyatakan bahwa apabila variabel produktivitas, luas panen, dan harga jagung di tingkat petani ditingkatkan maka akan meningkatkan produksi kedelai nasional. Sedangkan variabel harga kedelai di tingkat petani dan harga benih kedelai memiliki hubungan negatif dengan produksi kedelai nasional. Produktivitas kedelai dapat ditingkatkan dengan cara menggunakan benih varietas unggul dengan tingkat produktivitas tinggi. Oleh karena itu, diperlukan lebih banyak lagi penciptaan dan penelitian terhadap varietas unggul kedelai. Upaya peningkatan produktivitas kedelai yang dapat dilakukan selanjutnya adalah dengan pengelolaan lahan, hara, dan air secara terpadu. Selain itu, penggalakan penyuluhan agar teknologi yang diaplikasikan petani dapat lebih baik dan meningkatkan produktivitas kedelai. Penambahan areal panen telah sukses dilaksanakan di India dengan perbandingan 60% lahan bukaan baru dan 40% mengganti tanaman. Sedangkan Brasil hampir 100% tambahan areal merupakan lahan bukaan baru. Jadi, penambahan areal panen di Indonesia dapat dilakukan dengan pembukaan lahan baru, peningkatan indeks pertanaman, dan pelaksanaan tumpang sari antara kedelai dengan tanaman lain. Sasaran penambahan areal panen dapat dikonsentrasikan pada jenis lahan sawah, lahan kering, dan lahan pasang surut. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menambah areal panen kedelai di beberapa lahan sasaran tersebut tetap harus mempertimbangkan kembali faktor ekologi dan sosial ekonomi. Jagung merupakan komoditas komplementer bagi kedelai. Oleh karena itu, apabila harga jagung di tingkat petani meningkat maka akan memotivasi petani jagung untuk meningkatkan produksinya sehingga mendorong produksi kedelai untuk meningkat. Apabila pemerintah menetapkan harga dasar jagung di tingkat petani yang baik dan jika dimungkinkan bisa lebih tinggi dari tingkat harga saat ini maka petani akan semakin lebih termotivasi untuk meningkatkan produksinya. Namun, perlu juga diperhatikan supaya harga yang diterima oleh para pengrajin tempe (sebagai pengguna komoditas jagung dan kedelai sebagai bahan baku komplemeter pembuatan tempe) tidak terlalu tinggi karena dapat memicu pengurangan produksi tempe sehingga muncul multiplier effect yang akhirnya menyebabkan penurunan produksi kedelai nasional.
41 Harga produsen kedelai di Indonesia berada pada level yang lebih tinggi dibandingkan harga internasional sehingga kedelai lokal kalah bersaing. Keputusan penurunan harga produsen dirasa kurang bijak karena dapat mengurangi kesejahteraan para petani kedelai Indonesia. Peraturan Presiden No 32 Tahun 2013 menetapkan bahwa pemerintah menugaskan kepada Perusahaan Umum BULOG untuk melaksanakan pengamanan harga dan penyaluran kedelai. Selain itu, untuk mendukung fungsi stabilisasi kedelai, BULOG juga diberikan kewenangan untuk melakukan impor kedelai yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Perdagangan. Impor yang dilakukan tersebut tidak menggunakan dana APBN. Penetapan Harga Pokok Penjualan (HPP) kedelai ditetapkan juga oleh Kemendag berdasarkan harga pasar. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan patokan harga tertentu yang tidak merugikan baik pengrajin tahu dan tempe ataupun petani kedelai. Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI No 18/MDAG/PER/3/2014 tentang penetapan harga pembelian kedelai petani sebesar Rp 7 500.00/kg dalam rangka pengamanan harga kedelai di tingkat petani. Dengan demikian, BULOG diharapkan benar-benar dapat menjadi importir dan distributor tunggal kedelai tanpa ada campur tangan swasta serta semakin banyak kebijakan yang berpihak terhadap petani dapat terealisasi secara benar. Peningkatan harga benih kedelai akan menyebabkan penurunan produksi kedelai nasional. Namun, jika harga benih kedelai diturunkan akan menyebabkan penurunan kesejahteraan bagi para produsen benih kedelai tersebut. Keputusan pemerintah untuk memberikan subsidi harga benih kedelai yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sudah baik karena akan membantu mengurangi biaya produksi dari petani sehingga mereka bisa lebih termotivasi meningkatkan produksi kedelainya. Jika dimungkinan, diharapkan subsidi harga benih kedelai per kg yang diberikan pemerintah pada tahun berikutnya bisa lebih besar. Impor kedelai yang terus masuk ke pasar dalam negeri akan dapat menurunkan produksi kedelai nasional. Oleh karena itu, hendaknya tata niaga kedelai terutama tentang penyaluran kedelai impor di pasar dalam negeri dapat dikontrol penuh oleh pemerintah melalui BULOG sebagai Importir dan Distributor Tunggal. Pemerintah harus mengurangi keterlibatan pihak swasta dalam pengadaan atau pendistribusian kedelai karena berperan sebagai pemicu praktik kartel yang menyebabkan harga kedelai melambung. Hal ini sangat merugikan petani kedelai maupun pengrajin tempe dan tahu. Oleh karena itu, komoditas kedelai harus dikuasai oleh negara. Kebijakan subsidi benih kedelai yang tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan produksi kedelai nasional diharapkan bisa menjadikan bahan pelajaran dalam pembuatan kebijakan pendukung pencapaian swasembada. Kebijakan subsidi benih dapat diperbaiki dengan memperbaiki mutu kedelai bersubsidi. Kemampuan para petani penangkar benih sebenarnya bisa menghasilkan benih yang baik namun memiliki posisi tawar yang rendah karena hanya menjadi buruh perusahaan benih. Oleh karena itu, subsidi benih perlu dialihkan sebagian melalui kerja sama produksi benih langsung antara petani kedelai dengan petani pemulia/penangkar benih. Pemerintah diharapkan bisa terus menunjukkan keberpihakannya terhadap para petani pemulia benih, petani kedelai lokal maupun pengrajin tempe dan tahu
42 melalui kebijakan yang dibuat. Jika pemerintah ingin mencapai swasembada maka harus ada kestabilan harga dan pasokan kedelai. Dalam penelitian selanjutnya diharapkan adanya penambahan dalam metode peramalam swasembada dan variabel lain yang dapat mewakili faktor yang memengaruhi produksi kedelai nasional.
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto T. 2010. Strategi Peningkatan Produksi Kedelai Sebagai Upaya untuk Mememnuhi Kebutuhan di Dalam Negeri dan Mengurangi Impor. [Catatan Penelitian]. Pengembangan Inovasi Pertanian. 3(4): 319-331. Aji NK. 2008. Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Jalar Nasional dalam Rangka Rencana Program Diversifikasi Pangan Pokok [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Ariefianto MD. 2012. Ekonometrika : Esensi dan Aplikasi dengan Menggunakan Eviews. Jakarta (ID) : Erlangga. Aritonang LR.2009. Peramalan Bisnis. Jakarta (ID) : Ghalia Indonesia. Ariwibowo T. 1997. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 406/MPP/KEP/11/1997 [Internet]. 1997; [diunduh 2013 Sep 29]. Tersedia pada:http://rulebook-jica.ekon.go.id/indonesia/251.industry&trade_4061997-I.html. Assauri S. 1984. Teknik dan Metode Peramalan Penerapannya dalam Ekonomi dan Dunia Usaha. Edisi I. Jakarta (ID) : LP FE UI. Atman,
Hosen N. 2008. Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Pengembangan Tanaman Kedelai di Sumatera Barat [Catatan Penelitian]. J Ilimiah Tambua. 7(3): 347-359.
[BI] Bank Indonesia. 2007. Laporan Perekonomian Indonesia 2007 : Menjaga Stabilitas, Mendukung Pembangunan Ekonomi Negeri. Jakarta (ID) : BI. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Komoditas Pangan Tahun 2004-2010. Jakarta (ID) : BPS. [FAO] Food and Agricultural Organization Statistic Division. 2014. Food Balance Sheets [Internet]. Roma (IT) : FAO [diunduh 2014 Agust 22]. Tersedia pada : http://faostat.fao.org/site/368/DesktopDefault.aspx?PageID=368#ancor Pusdatin, Biro Hukum dan Humas Kementerian Pertanian. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 [Internet]. Jakarta
43 (ID): Kementan [diunduh 2012 Sept 25]. Tersedia pada http://perundangan.pertanian.go.id/admin/p_pemerintah/PP-68-02.pdf
:
Pusdatin, Biro Hukum dan Humas Kementerian Pertanian. 2012. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 [Internet]. Jakarta (ID): Kementan [diunduh 2013 Sept 11]. Tersedia pada : http://perundangan.pertanian.go.id/admin/p_pemerintah/PP-68-02.pdf Firdaus M. 2006. Analisis Deret Waktu Satu Ragam, Arima, Sarima, Arch-Garch. Bogor (ID) : IPB Pr. Gujarati DN, Porter DC. 2011. Dasar-Dasar Ekonometrika. Volume ke-2. Ed ke5. Jakarta (ID). Salemba Empat. Hanke JE, Winchern DW, Reitsch AG. 2003. Peramalan Bisnis. Ed ke-7. Jakarta (ID) : Prenhallindo. Hardana A. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Salak di Kota Padang Sidimpuan [Tesis]. Medan (ID) : Universitas Negeri Medan. Hernanda N. 2011. Analisis Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia dalam Mencapai Swasembada Gula Nasional [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID) : IPB Pr. [Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2014. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 18/M-DAG/PER/3/2014 Tentang Penetapan Harga Pembelian Kedelai Petani dalam Rangka Pengamanan Harga Kedelai di Tingkat Petani [Internet]. Jakarta 2014; [diunduh 2014 Sep 3]. Tersedia pada: http://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2014/03/28/18mdagper32014-id-1396587247.pdf Lipsey RG, Courant PN, Purvis DD, Steiner PO. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Ed ke-10. Jakarta (ID) : Binarupa Aksara. Manwan I, Sayaka B, Soemarno. 1996. Sistem Usahatani Kedelai [Bibliografi]. Amang B, Sawit MH, Rachman A, Editor. Dalam : Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor (ID) : IPB Pr. Manwan I, Soemarno. 1996. Perkembangan dan Penyebaran Produksi Kedelai [Bibliografi]. Amang B, Sawit MH, Rachman A, Editor. Dalam : Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor (ID) : IPB Pr. Maretha D. 2008. Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional serta Implikasinya Terhadap Strategi Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Nugroho GB. 2014. Dampak Tarif Impor Terhadap Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
44 [Pusdatin Kementan] Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. 2012. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor Tanaman Pangan : Jagung. Jakarta (ID) : Pusdatin Kementan. _________________. 2012. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor Tanaman Pangan : Kedelai. Jakarta (ID) : Pusdatin Kementan. Rachman A, Rusastra IW, Supanto A. 1996. Kedelai dalam Kebijaksanaan Pangan Nasinal [Bibliografi]. Amang B, Sawit MH, Rachman A, Editor. Dalam : Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor (ID) : IPB Pr. Sahara D, Gunawati ES. 2012. Analisis Permintaan Kedelai di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah [Catatan Penelitian]. SOCA. 5(3):1-9. Santoso B. 2013. Kebijakan Subsidi Benih [Internet]. Kompas, 21 Jan 2013; [diunduh 2014 Sep 3]. Tersedia pada : http://budisansblog.blogspot.com/2013/01/kebijakan-subsidi-benih.html Soekartawi, Soeharjo A, Dillon JL, Hardaker JB. 1984. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID) : UI Pr. Supadi. 2009. Dampak Impor Kedelai Berkelanjutan Terhadap Ketahanan Pangan [Catatan Penelitian].Bul Analisis Kebijakan Pertanian. 7(1):87102. Tastra IK, Ginting Erlina, Fatah GSA. 2012. Menuju Swasembada Kedelai Melalui Penerapan Kebijakan yang Strategis [Catatan Penelitian]. Bul Iptek Tanaman Pangan. 7(1):47-57. World Bank. 2012. World Development Indicators [Internet]. [diunduh 2012 Okt 3]. Washingtng DC (US) : World Bank. Tersedia pada : http://www.data.worldbank.org/country/indonesia#cp_wdi Yuwanita R. 2006. Analisis Kemungkinan Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional dengan Metode Peramalan Deret Waktu [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
45
LAMPIRAN Uji ARIMA Produksi Time Series Plot of Produksi 14.50 14.25
Produksi
14.00 13.75 13.50 13.25 13.00
4
8
12
16
20 24 Index
28
32
36
32
36
40
Plot Data Produksi Time Series Plot of PRODKD1 0.4 0.3
PRODKD1
0.2 0.1 0.0 -0.1 -0.2 -0.3 4
8
12
16
20 24 Index
28
Plot Data Produksi (First Difference)
40
46 Autocorrelation Function for PRODKD1
(with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0 0.8
Autocorrelation
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2
3
4
5
6 Lag
7
8
9
10
11
10
11
Plot ACF Partial Autocorrelation Function for PRODKD1 (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1.0
Partial Autocorrelation
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2
3
4
5
6 Lag
Plot PACF
7
8
9
47 MODEL ARIMA (2,1,2) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 MA 1 MA 2 Constant
Coef SE Coef T P 0.5931 0.0781 7.59 0.000 -0.9859 0.0764 -12.90 0.000 0.4193 0.1193 3.51 0.001 -0.9236 0.1110 -8.32 0.000 0.02585 0.03535 0.73 0.469
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 43, after differencing 42 Residuals: SS = 0.854232 (backforecasts excluded) MS = 0.023087 DF = 37 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 7.7 15.1 24.6 Chi-Square DF 7 19 31 P-Value 0.357 0.716 0.784
48 * * *
Forecasts from period 43 95 Percent Limits Period Forecast Lower Upper Actual 44 13.5317 13.2338 13.8296 45 13.5621 13.1027 14.0214 46 13.7185 13.1338 14.3032 47 13.8072 13.1416 14.4727 48 13.7314 13.0094 14.4535 49 13.6249 12.8427 14.4070 50 13.6622 12.8052 14.5193 51 13.8153 12.8859 14.7446 52 13.8950 12.9135 14.8766 53 13.8173 12.7963 14.8383 54 13.7184 12.6533 14.7836 55 13.7622 12.6408 14.8837 56 13.9116 12.7346 15.0885 57 13.9828 12.7647 15.2009
48 Konsumsi Time Series Plot of Konsumsi 15.0
Konsumsi
14.5
14.0
13.5
13.0
4
8
12
16
20 24 Index
28
32
36
40
Plot Data Konsumsi Time Series Plot of KONSKD1 0.50
KONSKD1
0.25
0.00
-0.25
-0.50 4
8
12
16
20 24 Index
28
32
Plot Data Konsumsi (Fisrt Difference)
36
40
49 Autocorrelation Function for KONSKD1
(with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0 0.8
Autocorrelation
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2
3
4
5
6 Lag
7
8
9
10
11
10
11
Plot ACF Partial Autocorrelation Function for KONSKD1 (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1.0
Partial Autocorrelation
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2
3
4
5
6 Lag
Plot PACF
7
8
9
50 MODEL ARIMA (1,1,0) Final Estimates of Parameters Type Coef SE Coef T P AR 1 -0.4325 0.1425 -3.04 0.004 Constant 0.06793 0.02684 2.53 0.015
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 43, after differencing 42 Residuals: SS = 1.21007 (backforecasts excluded) MS = 0.03025 DF = 40
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic 12 24 36 Lag Chi-Square 10.1 24.6 35.7 DF 10 22 34 0.433 0.315 0.386 P-Value
48 * * *
Forecasts from period 43 95 Percent Limits Period Forecast Lower Upper Actual 44 14.8476 14.5066 15.1886 45 14.9051 14.5130 15.2971 46 14.9482 14.4792 15.4171 47 14.9975 14.4753 15.5196 48 15.0441 14.4687 15.6194 49 15.0918 14.4698 15.7139 50 15.1391 14.4728 15.8054 51 15.1866 14.4792 15.8941 52 15.2340 14.4875 15.9805 53 15.2814 14.4980 16.0649 54 15.3289 14.5100 16.1477 55 15.3763 14.5235 16.2290 56 15.4237 14.5384 16.3090 57 15.4711 14.5544 16.3879
51 Uji Regresi Berganda Dependent Variable: PRODK Method: Least Squares Date: 09/04/14 Time: 07:12 Sample: 1986 2010 Included observations: 25 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PRDV LP HRKP HRJP HRB IMPK DSUBK C
1108924. 1.199073 -26.67617 65.40365 -10.37822 -0.019163 25480.94 -1291120.
68603.06 0.013186 12.49339 26.01285 1.863408 0.009206 15052.17 98109.17
16.16436 90.93346 -2.135223 2.514282 -5.569485 -2.081572 1.692842 -13.16004
0.0000 0.0000 0.0476 0.0223 0.0000 0.0528 0.1087 0.0000
R-squared 0.999295 Adjusted R-squared 0.999004 S.E. of regression 11943.34 Sum squared resid 2.42E+09 Log likelihood -265.3509 F-statistic 3441.058 Prob(F-statistic) 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1164843. 378502.3 21.86807 22.25811 21.97625 1.996084
Uji Normalitas 6
Series: Residuals Sample 1986 2010 Observations 25
5
4
3
2
1
0 -25000
-20000
-15000
-10000
-5000
0
5000
10000
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
5.04e-10 1777.119 13613.65 -24911.96 10051.82 -0.897490 3.204332
Jarque-Bera Probability
3.399693 0.182712
15000
H0 : Residual menyebar normal H1 : Residual tidak menyebar normal Dari hasil Uji Normalitas diperoleh p-value (0.1827) > 0,10 maka (tidak tolak) terima H0 artinya asumsi residual menyebar normal terpenuhi.
52 Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.751338 4.694293
Prob. F(4,13) Prob. Chi-Square(4)
0.5746 0.3201
H0 : Tidak ada Autokorelasi H1 : Ada Autokorelasi Dari hasil Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test diperoleh p-value (0.5746) > 0,10 maka (tidak tolak) terima H0 artinya asumsi tidak ada autokorelasi terpenuhi. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
0.580356 4.821949 2.457466
Prob. F(7,17) Prob. Chi-Square(7) Prob. Chi-Square(7)
0.7626 0.6817 0.9303
H0 : Homoskedastisitas H1 : Heteroskedastisitas Dari hasil uji Breusch-Pagan-Godfrey diperoleh p-value (0.7626) > 0,10 maka (tidak tolak) terima H0 artinya asumsi homoskedastisitas terpenuhi. Uji Multikolinearitas Variance Inflation Factors Date: 09/04/14 Time: 07:14 Sample: 1986 2010 Included observations: 25 Variable PRDV LP HRKP HRJP HRB IMPK DSUBK C
Coefficient Uncentered Centered Variance VIF VIF 4.71E+09 0.000174 156.0848 676.6684 3.472290 8.48E-05 2.27E+08 9.63E+09
1190.999 34.18532 511.4391 267.4297 10.89449 16.16260 1.588350 1686.970
7.645455 4.021313 5.326770 3.529505 5.406000 3.214401 1.524816 NA
Berdasarkan uji Variance Inflation Factors didapat nilai VIF < 10 maka dapat dikatakan tidak terdapat Multikolinearitas.
53
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 1 Maret 1990 dari ayah bernama Sudarmanto dan Ibu Sri Subenowati. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA N 1 Kediri. Pada tahun yang sama, penulis lulus Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan maupun organisasi di dalam dan di luar kampus. Tingkat Persiapan Bersama, penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Sunda Gentra Kaheman dan Garden and Decoration Club - Asrama Putri. Pada saat di fakultas, penulis aktif di Lembaga Dakwah Fakultas Forum Mahasiswa Muslim dan Studi Islam (LDF FORMASI). Tahun 2009 sebagai sekretaris dan bendahara divisi keputrian kemudian pada tahun 2010 sebagai ketua divisi keputrian. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Selain itu, penulis juga pernah mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dan menjadi salah satu peserta penerima dana Program Mahasiswa Wirausaha (PMW). Kegiatan di luar kampus yang diikuti adalah menjadi tentor dan pengurus Yayasan Semangat Yatim Sejahtera (SYS) yang baru 2 tahun berdiri serta pernah menjadi pengajar di Lembaga Bimbingan Belajar Simple.