ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI BERAS DALAM NEGERI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA BERAS DI INDONESIA
RETHNA HESSIE
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN RETHNA HESSIE, Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri serta Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia. Dibimbing Oleh ADI HADIANTO Pangan merupakan kebutuhan yang vital bagi manusia. Saat ini dunia sedang mengalami krisis pangan yang ditandai dengan meningkatnya harga-harga pangan, seperti beras yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat dunia. Permintaan impor bahan pangan dari negara-negara penghasil bahan pokok semakin meningkat. Produksi bahan pangan dunia pun sedang menurun akibat banyaknya bencana alam yang melanda darerah-daerah produktif serta alih fungsi lahan sawah ke non sawah.Untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, Indonesia harus dapat mengurangi ketergantungannya terhadap impor, yang salah satu caranya ialah dengan melakukan swasembada beras, karena bagi sebagian besar bangsa Indonesia beras telah menjadi bahan pangan pokok yang sangat penting sejak berabad-abad yang lalu. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis produksi dan konsumsi beras di Indonesia. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia, dan (3) memproyeksikan produksi dan konsumsi beras di Indonesia untuk lima tahun mendatang (2009-2013), serta implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data time series selama 38 tahun (1969-2006). Jawaban untuk tujuan pertama digunakan analisis deskriftif dan untuk menjawab tujuan kedua digunakan analisis persamaan simultan dengan metode pendugaan 2SLS (Two Stage Least Squares), sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian ketiga menggunakan parameter elastisitas yang diperoleh dari hasil pendugaan model untuk menghitung proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia serta implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia dianalasis secara deskriptif. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft office Excel dan Eviews 5.0. Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia dari tahun ke tahun berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami peningkatan tiap tahunnya. Selama kurun waktu 37 tahun Indonesia masih belum dapat menutupi konsumsi beras total, sehingga pemerintah masih mengimpor beras. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi (yang direpresentasikan dari luas areal panen dan produktivitas) padi adalah rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, luas areal intensifikasi dan trend waktu. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi beras adalah harga beras dan populasi, sedangkan harga beras hanya dipengaruhi secara nyata oleh harga riil beras tahun sebelumnya. Hasil Proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia tahun 2009-2013 menunjukan bahwa Indonesia defisit beras hingga tahun 2010 sehingga untuk menutupi kebutuhan akan beras pemerintah dapat mengimpor beras dalam jangka pendek atau meningkatkan luas areal panen pada tahun 2009 seluas 195,20 ribu Ha dan pada tahun 2010 seluas 77,40 ribu Ha. Pada tahun 2011 Indonesia dapat mencapai swasembada beras dalam arti surplus beras.
i
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI BERAS DALAM NEGERI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA BERAS DI INDONESIA
RETHNA HESSIE H44052269
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ii
Judul
: Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri serta Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia
Nama
: Rethna Hessie
NRP
: H44052269
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Adi Hadianto, SP NIP: 19790615 200501 1 004
Mengetahui, Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc NIP: 19620421 198603 1 003
Tanggal Lulus:
iii
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI BERAS DALAM NEGERI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA BERAS DI INDONESIA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN
KECUALI
SEBAGAI
BAHAN
RUJUKAN
YANG
DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2009
Rethna Hessie H44052269
iv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1987 di Bandung. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari keluarga Bapak Tarmizi dan Ibu Mimi Kuswati. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Gunung Batu 01, pada tahun 1993 sampai tahun 1999. Pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 4 Bogor. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Kemudian diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa IPB penulis aktif dalam organisasi Resource and Environmental Economic Student Association (REESA) sebagai staf Study Research and Development (SRD) periode 20072008.
v
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri serta Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini membahas tentang perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia. Skripsi ini juga membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia serta membahas mengenai proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia tahun 2009-2013 serta implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih terdapat kekurangan karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
vi
UCAPAN TERIMAKASIH Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan petunjuk dan hidayah-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua dan segenap keluarga, serta penghargaan pada berbagai pihak yang yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini, terutama kepada: 1. Bapak Adi Hadianto, SP. Selaku dosen pembimbing yang telah memberi bimbingan dan dorongan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Dosen penguji utama Bapak Ir. Nindyantoro, MSP dan dosen penguji wakil departemen Bapak Novindra, SP. Terimakasih atas kritik dan masukannya dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Adi Setyanto, terimakasih atas masukan dan bantuannya dalam penyusunan skripsi ini. 4. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, FEM IPB. Terimakasih atas ilmu dan jasa yang telah diberikan selama ini. 5. Teman-teman seperjuangan yang telah setia mendukung dan memberi semangat dalam penyusunan skripsi ini Murti, Ratih, Tri, Rindra, Eva, Nani, Sapto serta seluruh keluarga besar ESL 42 terimakasih atas kerjasama dan kebersamaan yang pernah ada. 6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuan dan dukungannya. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kebaikannya.
vii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .........................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN ...............................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................
iii
PERNYATAAN KEORISINILAN ......................................................
iv
RIWAYAT HIDUP .............................................................................
v
KATA PENGANTAR ...........................................................................
vi
UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................
vii
DAFTAR ISI .........................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................
xii
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1 Latar Belakang....................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 1.5 Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian ..................................
1 1 4 7 7 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1 Beras Sebagai Komoditas Pangan Pokok .............................. 2.2 Kebijakan Perberasan ............................................................ 2.3 Revitalisasi Pertanian ........................................................... 2.4 Konsep Produksi .................................................................... 2.5 Konsep Konsumsi .................................................................. 2.6 Model Persamaan Simultan ................................................... 2.7 Penelitian Terdahulu..............................................................
9 9 10 16 17 21 23 23
III. KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................... 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................... 3.1.1 Penawaran Beras..................................................... 3.1.2 Permintaan Beras .................................................... 3.1.3 Harga dan Intervensi Pemerintah............................ 3.1 Kerangka Pemikiran Operasional .........................................
27 27 27 30 31 35
IV. METODE PENELITIAN ............................................................... 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data........................................................... 4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................. 4.3.1 Perumusan Model .................................................. 4.3.1.1 Luas Areal Panen Tanaman Padi ............
39 39 39 40 40 42
viii
4.3.1.2 Produktivitas Padi .................................... 4.3.1.3 Produksi Padi ......................................... 4.3.1.4 Produksi Beras ......................................... 4.3.1.5 Konsumsi Beras ....................................... 4.3.1.4 Harga Beras ............................................ 4.3.1.4 Surplus/Defisit Beras ............................... 4.3.2 Identifikasi Model .................................................. 4.3.3 Evaluasi Model ..................................................... 4.3.3.1 Kesesuaian Model.................................... 4.3.3.2 Uji-f ........................................................ 4.3.3.3 Uji-t ........................................................ 4.3.3.4 Uji Autokorelasi dan Heteroskedastisitas 4.3.4 Pengukuran Elastisitas ............................................ 4.3.5 Validasi Model ..................................................... 4.3.6 Definisi Operasional ...............................................
43 44 44 44 45 46 46 49 49 50 51 52 53 55 57
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 5.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia 5.1.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode 1970-1979 ................................. 5.1.2 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode 1980-1989 ................................. 5.1.3 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode 1990-1999 ................................. 5.1.4 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode 2000-2006 ................................. 5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia ................................................................. 5.2.1 Dugaan Model Ekonometrika ................................ 5.2.1.1 Luas Areal Panen Tanaman Padi ............. 5.2.1.2 Produktivitas Padi .................................... 5.2.1.3 Konsumsi Beras ....................................... 5.2.1.4 Harga Beras ............................................. 5.3 Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras tahun 2009-2013 serta Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia 5.3.1 Hasil Validasi Model .............................................. 5.3.2 Proyeksi Produksi Padi ......................................... 5.3.3 Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras ................. 5.3.4 Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia ..............................................................
59 59
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 6.1 Kesimpulan ............................................................................ 6.2 Saran .....................................................................................
86 86 87
DARTAR PUSTAKA ............................................................................
89
LAMPIRAN ...........................................................................................
92
.
62 64 66 68 70 71 71 73 75 77 78 78 79 80 81
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Stok Pangan Dunia (Juta Ton) 2006-2007................................
2
2.
Posisi Indonesia dalam Impor Pangan di Tingkat Dunia Tahun 2001-2005 ....................................................................
3
Ketersediaan dan Konsumsi Beras (Ton) Tahun 2005-2008 ....................................................................
5
Program Peningkatan Produksi Padi dan Paket Teknologi Anjuran ....................................................................................
11
5.
Jenis dan Sumber Data Penelitian.............................................
39
6.
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia.....
60
7.
Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 1970- 1979...................................................................
63
Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 1980-1989....................................................................
64
Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 1990-1999....................................................................
67
Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 2000- 2008 .................................................................
68
11.
Hasil Dugaan Parameter Luas Areal Panen Tanaman Padi .....
72
12.
Hasil Dugaan Parameter Produktivitas Tanaman Padi .............
73
13.
Hasil Dugaan Parameter Konsumsi Beras Domestik ...............
75
14.
Hasil Dugaan Parameter Harga Beras Domestik......................
77
15.
Proyeksi Luas Areal Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Padi ..........................................................................
79
16.
Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras ...................................
80
17.
Lahan yang Sesuai untuk Budidaya Sumber Bahan Pangan (Juta Ha).......................................................................
83
3. 4.
8. 9. 10.
x
DARTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Elastisitas Produksi dan Daerah-Daerah Produksi ...................
20
2.
Kurva Indifferens......................................................................
22
3.
Kuurva Penawaran Menurut Nilai Elastisitas Harga dari Penawaran yang Berbeda ........................................................
29
Permintaan dan Penawaran dengan Harga Dasar pada saat Panen Raya ....................................................................
33
Permintaan dan Penawaran dengan Harga Atap pada saat Paceklik ..........................................................................
34
6.
Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional .........................
38
7.
Bagan Kerangka Model Ekonometrika ....................................
41
8.
Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1970-1979 .................................................................
62
Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1980-1989......................................................................
65
Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1990-1999......................................................................
66
Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 2000-2006 .................................................................
69
4. 5.
9. 10. 11.
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Data yang Digunakan Dalam Model Ekonometrika.................
93
2.
Output Komputer Dugaan Model Ekonometrika ....................
96
3.
Output Komputer Hasil Uji Autokorelasi ................................
98
4.
Output Komputer Hasil Uji Heteroskedastisitas.......................
102
5.
Output Komputer Hasil Validasi Model ................................
106
xii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kehidupan manusia tidak terlepas dari kebutuhan akan pangan, maka urusan pangan menjadi suatu kebutuhan yang vital bagi manusia. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (BKP- Departemen Pertanian, 2008). FAO (2008) dalam Suryana (2008) menyatakan bahwa, pangan merupakan kebutuhan dasar manuasia (HAM), pemerintah wajib menyediakan pangan yang layak. Hal ini tertuang dalam Deklarasi Roma tahun 1996 pada KTT Pangan Dunia dan Deklarasi Millenium (MDGs) tahun 2000 yang menyepakati penurunan jumlah penduduk lapar hingga setengahnya pada tahun 2015, dan International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICOSOC) yang diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005 yang berisi tentang; Pertama, Hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya atas pangan. Kedua, Setiap orang harus bebas dari kelaparan. Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi demi keberlangsungan hidup manusia. Jika terjadi kelangkaan dalam kebutuhan vital ini maka keseimbangan dalam kehidupan manusia juga akan terganggu. Saat ini dunia sedang mengalami krisis pangan yang ditandai dengan meningkatnya harga-harga sektor pangan, khususnya harga makanan pokok dunia. Harga beras dan gandum kian melambung dengan permintaan atas komoditi tersebut juga semakin meningkat. Permintaan impor bahan pangan dari negara-
1
negara penghasil bahan pokok pun semakin meningkat. Produksi bahan pangan dunia pun sedang menurun akibat banyaknya bencana alam yang melanda darerah-daerah produktif serta alih fungsi lahan produksi pangan menjadi lahan produksi komoditi lain. Adapun stok pangan dunia pada tahun 2006-2007 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Stok Pangan Dunia (Juta Ton) 2006-2007 No. Komoditi 2006/2007 2007/2008 ∆ (%) 1. Beras 105,5 105,0 -0,47 2. Jagung 119,4 103,0 -13,70 3. Kedelai 61,1 47,3 -22,57 4. Gandum 159,5 144,5 -9,40 5. Sawit 5,4 5,7 5,00 Sumber : FAO food outlook dalam Suryana (2008) Keterangan : Stok jagung adalah perkiraan tahun 2008 dan ramalan tahun 2009. Berdasarkan Tabel 1 kita dapat melihat bahwa stok pangan dunia yang terdiri dari beras, jagung, kedelai dan gandum mengalami penurunan pada tahun 2008. Untuk itu membangun ketahanan pangan harus menjadi prioritas utama untuk mengatasi krisis pangan, karena kondisi krisis pangan mempunyai dampak besar bagi suatu bangsa dan berimbas pada sektor-sektor lain. Sektor yang berhubungan erat adalah sektor ekonomi. Krisis pangan akan menyebabakan produktivitas rendah dan memicu krisis ekonomi, krisis pangan juga akan mengakibatkan tingginya harga komoditas tersebut. Hal ini juga akan berakibat pada kehidupan sosial masyarakat bangsa Indonesia pada khususnya, karena akan meningkatkan kemiskinan yang akhirnya memicu keresahan/kerusuhan. Selain itu krisis pangan pun dapat mempengaruhi stabilitas politik suatu bangsa menjadi instabil. Semua negara di dunia memandang penting ketahan pangan dan gizi, begitupun negara Indonesia. Pemerintah Indonesia yang terdiri dari Presiden,
2
Gubernur, Bupati/Walikota pada berbagai dokumen pembangunan nasional menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas pembangunan. Karena membangun ketahanan pangan merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh suatu negara, pembangunan ketahanan pangan memerlukan cakupan luas, keterlibatan lintas sektor, multidisiplin, dan penekanan pada basis sumberdaya lokal (impor pangan; the last resort). Adapun operasionalisasi ketahanan pangan pada berbagai tingkat pemerintahan di Indonesia yaitu pada tingkat nasional dilakukannya swasembada pada komoditas strategis, pada tingkat propinsi, kabupaten/kota dan desa dengan melakukan pemanfaatan potensi lokal dan pada tingkat masyarakat dilakukannya peningkatan kemampuan fisik, sosial, politik dan ekonomi (BKP-Departemen Pertanian, 2008). Negara Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pangannya masih tergantung pada negara lain, seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Posisi Indonesia dalam Impor Pangan di Tingkat Dunia Tahun 2001- 2005 Komoditas
Rata-Rata Impor Peringkat 5 Tahun (000 Ton) Impor di Dunia
Beras 437,99 Jagung 962,24 Kedelai 1.180,55 Daging sapi 13,60 Gula 822,76 Sumber : FAO dalam Suryana (2008)
13 22 11 33 2
Negara Pengimpor Terbesar di Dunia Nigeria Japan China USA Belgium
Untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, Indonesia harus dapat mengurangi ketergantungannya terhadap impor, yang salah satunya yaitu melalui pencapaian swasembada pangan, khususnya beras yang merupakan bahan pokok yang sangat penting. Oleh karena itu, swasembada pangan yang dalam hal ini adalah swasembada beras harus terwujud seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dalam rangka mencapai ketahanan pangan nasional.
3
Ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras dipengaruhi oleh budaya dimana padi merupakan tanaman asli Asia. Selain itu sebagian besar masyarakat Indonesia sangat percaya, bahwa padi adalah anugrah dari Yang Maha Pencipta sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Membudidayakan tanaman padi adalah wujud rasa syukur dan penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dilihat dari sisi produksi, meskipun selama kurun waktu 37 tahun mengalami trend meningkat, namun dengan terjadinya konversi lahan sawah ke non sawah, banyaknya bencana alam dan perubahan iklim yang saat ini sering terjadi akan berdampak terhadap produksi beras nasional. Analisis produksi dan konsumsi beras sangat penting untuk melihat senjang (gap) yang terjadi, sehingga dapat diambil langkah kebijakan yang tepat dalam rangka pencapaian swasembada beras di Indonesia. Oleh karena itu, maka dalam penelitian ini akan dilihat perkembangan produksi dan konsumsi beras yang telah terjadi di Indonesia selama 37 tahun terakhir, sehingga diperoleh informasi yang dapat mendukung tercapainya swasembada beras di Indonesia dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia, sehingga dapat diperkirakan bagaimana senjang antara produksi dan konsumsi beras di Indonesia pada masa yang akan datang, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil langkah kebijakan yang tepat bagi pemerintah untuk meraih swasembada beras di Indonesia. 1.2. Perumusan Masalah Pada masa lalu Indonesia berhasil maningkatkan produksi padi dengan kenaikan yang sangat mengesankan sehingga mengantarkan Indonesia menjadi
4
negara yang swasembada beras pada tahun 1984, namun setelah itu kondisi Indonesia mengalami kemunduran dibidang ketahanan pangan. Ketergantungan terhadap beras sebagai pangan pokok menyebabkan pemenuhan kebutuhan akan beras harus dipenuhi melalui impor beras. Saat ini Indonesia kembali mengupayakan swasembada beras yang pada masa lalu pernah dicapainya. Di saat dunia sedang mengalami krisis keuangan global, Indonesia tidak mengalami krisis pangan sebagaimana yang dialami sebagian negara-negara di dunia, karena menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2008 Indonesia mencapai swasembada beras, produksi tahun ini meningkat 3,12 juta ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat 5,46 persen dari tahun 2007. Indikator swasembada beras juga ditunjukan pula dengan keberhasilan Indonesia untuk tidak mengimpor beras selama tahun 2008 berlangsung. Bahkan Indonesia secara tidak langsung telah berpartisipasi menurunkan harga beras dunia akibat stok beras dunia tidak dibeli Indonesia. Dengan dijualnya cadangan beras yang semula dicadangkan untuk Indonesia ke pasaran internasional, maka harga beras dunia mulai menurun. Meningkatnya produksi padi nasional dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Ketersediaan dan Konsumsi Beras (Ton) Tahun 2005-2008 No Uraian 2005 2006 2007 1. Produksi padi 54.151.097 54.454.937 57.157.435 (GKG) 2. Ketersediaan beras 30.668.730 30.840.811 32.371.384 3. Konsumsi 30.592.434 30.995.189 31.398.084 4. Impor beras 189.000 437.889 1.293.980 5. Stok akhir 2.035.324 2.318.835 4.586.114 Sumber : BPS, diolah BKP dalam Suryana (2008)
2008 60.279.897 34.139.805 31.799.017 6.926.902
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada data empat tahun terakhir produksi beras nasional menunjukan perkembangan yang signifikan. Pada tahun 2005
5
produksinya mencapai 54.151.097 Ton, maka pada tahun 2006, 2007, 2008 masing-masing produknya meningkat menjadi 54.454.937 Ton (0,56%), 57.157.435 Ton (4,96%), 60.279.897 Ton (5,46%). Meskipun sudah diakui keberhasilan poduksi padi yang terus meningkat, namun masih ada sejumlah kendala yang menjadi tantangan. Pertama, jumlah pupuk bersubsidi yang tersedia belum dapat memenuhi kebutuhan yang diusulkan daerah. Kedua, masih ada penyimpangan penyaluran pupuk bersubsidi diluar peruntukannya. Ketiga, pabrik pupuk masih beroperasi dibawah kapasitas terpasang, karena keterbatasan pasokan bahan baku gas maupun non gas. Keempat, belum optimalnya pelaksanaan pengawasan di daerah. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan adalah apakah kemajuan produksi beras dapat dipertahankan dan apakah swasembada beras seperti yang diinginkan akan tercapai secara berkelanjutan. Sedangkan masih banyak faktorfaktor yang kurang mendukung dalam pencapaian swasembada beras diantaranya yaitu keterbatasan lahan petani serta minimnya infrasrtruktur irigasi dan waduk. Menurut Notohadiprawiro (1998) dalam Sisworo (2006) berdasarkan data yang ada, di pulau Jawa setiap tahun terjadi alih guna lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian seluas 15.000-20.000 Ha. Di Indonesia, kepemilikan lahan hanya 358 m2 per orang jauh dibandingkan Thailand yang mencapai 1.500 m2 per orang. Sementara itu infrastruktur yang ada belum memadai, lebih dari 20% irigasi rusak dan sekitar 80% areal irigasi di propinsi sentra produksi nasional rentan terhadap kekeringan (BKP-Departemen Pertanian, 2008). Selain itu faktor lain yang tidak mendukung yaitu faktor perubahan iklim, anomali iklim saat ini semakin tinggi intensitasnya.
6
Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini : 1. Bagaimana perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia? 2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia? 3. Berdasrkan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia, berapa jumlah produksi dan konsumsi beras dalam lima tahun mendatang (2009-2013), serta bagaimana implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia. 3. Memproyeksikan produksi dan konsumsi beras di Indonesia dalam lima tahun mendatang (2009-2013), serta implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk : 1. Bagi pemerintah, semoga dapat memberikan Informasi tambahan dalam menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan dimasa yang akan datang dalam upaya mengatasi masalah beras. 2. Bagi pembaca, tulisan ini semoga bermanfaat sebagai referensi, penyedia informasi, literatur, dan bahan melakukan penelitian lanjutan.
7
3. Bagi penulis sendiri, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengalaman dan pengembangan wawasan serta dapat dijadikan sebagai aplikasi dari ilmu yang telah didapat selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis produksi dan konsumsi beras di Indonesia serta implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia. Data yang digunakan merupakan data time-series tahun 1969-2006. Komoditi beras dalam penelitian ini adalah beras secara umum bukan beras dengan jenis atau kualitas tertentu. Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan, namun tujuan penelitian ini masih bisa dicapai dengan memanfaatkan data yang ada. Adapun keterbatasan dari penelitian ini diantaranya; beberapa faktor seperti adanya kebijakan dan nonkebijakan perberasan di Indonesia diasumsikan sama (cateris paribus) dan data yang digunakan adalah data tahunan sehingga model yang dirumuskan tidak menggambarkan fluktuasi harga bulanan dan musiman.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Beras sebagai Komoditas Pangan Pokok Pangan pokok adalah pangan yang muncul dalam menu sehari-hari, mengambil porsi terbesar dalam hidangan dan merupakan sumber energi terbesar. Sedangkan pangan pokok utama ialah pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk serta dalam situasi normal tidak dapat diganti oleh jenis komoditas lain (Khumaidi, 1997). Beras adalah hasil olahan dari produk pertanian yang disebut padi (Oryza sativa). Beras merupakan komoditas pangan yang dijadikan makanan pokok bagi bangsa Asia, khususnya Indonesia, Thailand, Malaysia, Vietnam, Jepang, dan Myanmar (Ambarinanti, 2007). Beras merupakan komoditas unik, tidak saja bagi Indonesia tetapi juga bagi sebagian besar negara Asia. Menurut Dawe (1997) dan Tsuji (1998) dalam Amang dan Sawit (1999) karakteristik beras adalah sebagai berikut : 1) 90% produksi dan konsumsi beras dilakukan di Asia, hal ini berbeda dengan gandum dan jagung yang diproduksi oleh banyak negara di dunia. 2) Beras yang di perdagangkan di pasar dunia tipis (thin market) yaitu antara 4%5% total produksi, berbeda sekali dengan sejumlah komoditas lainnya seperti gandum (20%), jagung (15%), dan kedelai (30%). Pada umumnya volume beras yang diperdagangkan merupakan sisa konsumsi dalam negara. Semakin tidak stabilnya harga beras dunia (atau harga beras dalam negeri suatu negara), semakin besar tingkat self-sufficiency yang dianut oleh suatu negara, demikian juga rumah tangga tani di Asia. 3) Harga beras sangat tidak stabil dibandingkan komoditas pangan lainnya, misalnya gandum.
9
4) 80% perdagangan beras dikuasai oleh enam negara yaitu; Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, Pakistan, China, dan Myanmar. Oleh karena itu pasar beras internasional tidak sempurna, harga beras akan ditentukan oleh kekuatan oligopoli tersebut. 5) Indonesia merupakan negara net importir terbesar beras pada periode 19971998 yaitu sekitar 31% dari total beras yang diperdagangkan dunia. 6) Hampir banyak negara Asia, memperlakukan beras sebagai wage goods dan political goods. Pemerintah akan goncang apabila harga beras tidak stabil dan tinggi. 2.2. Kebijakan Perberasan Beras merupakan komoditas strategis,
sehingga kebijakan perberasan
menjadi penentu kebijakan pangan nasional dalam pemenuhan hak pangan dan kelangsungan hidup rakyat. Kebijakan perberasan juga merupakan bagian penting kebudayaan serta penentu stabilitas ekonomi dan politik Indonesia. Hampir semua pemerintah di dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju, selalu melakukan kontrol dan intervensi terhadap komoditas pangan strategis seperti beras untuk ketahanan pangan dan stabilitas politik. Adapun kebijakan perberasan di Indonesia terdiri dari: 1) Kebijakan Peningkatan Produksi Padi/Beras Untuk memenuhi kebutuhan akan beras maka pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi padi dalam negeri. Upaya meningkatkan produksi padi telah dilakukan sejak awal kemerdekaan Indonesia. Secara ringkas perubahan kebijakan peningkatan produksi padi dapat dilihat pada Tabel 4.
10
Tabel 4. Program Peningkatan Produksi Padi dan Paket Teknologi Anjuran Program Tahun Hard Technology Soft Technology Evaluasi Padi Sentra 1959 Varietas Si gadis, Komando Operasi Tidak berhasil, Jelita, Dara dan Gerakan Makmur kurang partisipasi Bengawan petani Bimbingan Masal
1965
Varietas Si Gadis, Perbaikan Jelita, Dara dan kelembagaan dan Bengawan kredit
Intensifikasi Masal
1968
Pengenalan varietas PB5 dan PB8 (IRRI)
Sama dengan padi Gagal karena sentra, tanpa masalah kredit pendanaan
Bimas Gotong Royong
1969
Penggunaan varietas PB5 dan PB8
Penguatan kelembagaan modal swasta
Munculnya Koperasi Unit Desa (KUD)
Supra Intensifikasi Khusus
1987
Sapta Usahatani
Penguatan kelompok tani
Kurang berhasil, produksi stagnan
SUPTA
1995
Varietas Cibodas dan Membramo
Diversifikasi pertanian
Tidak Berhasil
INBIS
1997
Varietas Cibodas dan Membramo
Pendampingan Petani
Gagal karena El Nino
Gema Palagung
1998
Sapta Usaha Tani
Kredit Usaha tani (KUT)
Kurang berhasil, kredit macet
Corporate Farming
2000
Varietas Cibodas dan Membramo
Konsolidasi Petani sehamparan
Gagal karena kesalahan persepasi petani
Proyek Ketahanan Pangan
2000
Varietas Cibodas dan Membramo
Bantuan dana langsung
Kurang berhasil, petani sulit dimonitor
Perpaduan Sumberdaya
Kelompok usaha agribisnis dan penguatan modal
Kurang berhasil, tekanan kerjasama luar negeri
Bantuan benih, Pupuk bersubsidi, pupuk organik, perbaikan irigasi
Pengendalian OPT, manajemen pasca panen dan kelembagaan
Berhasil meningkatkan produksi 2,6 juta ton
Pengelolaan 2001 tanaman dan Sumberdaya Terpadu Program 2007 Peningkatan Beas Nasional Sumber: Pratiwi (2008)
Varietas unggul meluas
11
Melalui berbagai kebijakan tersebut, produksi padi nasional terus mengalami peningkatan akibat peningkatan produktivitas dan luas areal panen. Peningkatan itu mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia berswasembada beras. 2) Kebijakan Harga Beras Harga-harga komoditas pertanian memegang peranan penting baik secara ekonomi maupun politik karena mempunyai pengaruh yang besar bagi pendapatan petani dan kesejahteraan konsumen. Telah banyak upaya dilakukan pemerintah dalam meningkatkan produksi pertanian dan sekaligus memperbaiki tingkat kesejahteraan petani melalui berbagai macam program intensifikasi dan ekstensifikasi, namun berdasarkan pengalaman selama ini, bagaimanapun bagusnya konsep-konsep yang mendasari semua program tersebut, selama harga jual yang diterima petani tidak turut diperbaiki oleh pemerintah, usaha-usaha pemerintah tersebut tidak akan membawa hasil yang optimal. Rangsangan ekonomi dalam bentuk tingkat harga yang menguntungkan merupakan faktor paling penting bagi petani untuk meningkatkan produksinya, seperti juga yang berlaku bagi setiap produsen disektor lainnya. Petani pada akhirnya akan merasa tidak ada untungnya memperluas lahan garapan, menerapkan teknologi baru dan menggunakan pupuk berkualitas baik apabila semua hal tersebut tidak menambah penghasilan netonya (Tambunan, 2003). Untuk memberikan jaminan pada para petani bahwa hasil produksinya akan dibeli pada harga yang ditetapkan pemerintah atau perusahaan yang telah ditunjuk, pemerintah mengeluarkan kebijakan harga dasar gabah dan beras (floor price). Kebijakan ini juga berfungsi sebagai insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi.
12
Penetapan harga dasar gabah, sudah dilakukan sejak 1969. Pemerintah menunjukan perhatian yang besar untuk dapat merangsang produksi. Dampak positif ini terlihat bahwa kenaikan produksi beras selama tiga pelita dicapai karena peran insentif harga dasar dan harga pupuk serta pestisida sebesar 40%. Sedangkan faktor-faktor yang lain seperti benih unggul, irigasi dan pengetahuan dari petani secara bersama-sama menyumbang sebesar 60% bagi kenaikan produksi padi (Amang dan Sawit, 1999). Melalui Impres No.9 Tahun 2002, pemerintah dengan sangat halus merubah istilah Harga Dasar Gabah (HDG) menjadi Harga Dasar Gabah Pembelian Pemerintah (HDPG) atau lebih dikenal dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Perubahan ini sekilas tidak terlalu berbeda, akan tetapi sebenarnya sangat mendasar. Dengan kebijakan HPP pemerintah hanya menjamin harga gabah pada tingkat tertentu dilokasi yang telah ditetapkan, tidak lagi menjamin harga gabah minimum di tingkat petani. HPP berlaku di gudang Bulog, bukan di tingkat petani sebagaimana kebijakan HDG, sehingga tidak lagi memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi padi (Pratiwi, 2008). Untuk melindungi konsumen, pemerintah (Bulog) menetapkan harga eceran tertinggi lokal. Untuk memenuhi permintaan pada suatu saat dan pada suatu tempat, Bulog melakukan penyebaran persediaan di seluruh Indonesia. Orientasi Bulog dalam distribusi pangan adalah harga, sesuai dengan tugas pokok Bulog untuk menstabilkan harga. Penyediaan persediaan pangan oleh Bulog memiliki tujuan yaitu menjaga variasi harga antar musim dan antar tempat (Amang dan Sawit, 1999).
13
Bentuk price policy yang lain pada beras yang masih berlaku hingga kini adalah Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM merupakan bagian dari general price subsidy yang digunakan pada saat harga beras terlalu tinggi akibat excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara pemotongan harga sekitar 10% – 15% di bawah harga pasar. Sedangkan OPK merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan awal dari OPK adalah penyaluran bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan saat krisis tahun 1998 akibat tidak efektifnya OPM. OPK masih terus dilakukan Bulog hingga sekarang dengan target masyarakat miskin. Tahun 2002, OPK diubah namanya menjadi Raskin ( Beras untuk Keluarga Miskin). Program Raskin juga masih terus dilakukan sebagai salah satu jaring pengaman sosial yang volumenya semakin meningkat dari tahun ke tahun karena adanya kecenderungan kenaikan harga beras di tingkat konsumen (Pratiwi, 2008). 3) Kebijakan Impor Kebijakan impor bertujuan untuk menekan jumlah dan mengurangi tingkat ketergantungan impor beras Indoesia. Kebijakan impor diimplementasikan melalui dua instrumen pokok yaitu hambatan tarif dan restriksi nontarif. Adanya liberalisasi pertanian pada tahun 1998 diwujudkan dengan menghapus berbagai instrumen kebijakan, diantaranya dengan pencabutan monopoli impor beras oleh Bulog pada akhir tahun 1999 dan impor terbuka bagi siapa saja, serta adanya pembebasan bea masuk impor, sehingga mendorong banjirnya impor beras. Hal ini menyengsarakan petani Indonesia, terutama petani kecil. Pada tahun 2000, pemerintah melakukan kebijakan protektif dengan menetapkan tarif impor spesifik sebesar Rp 430/kg (30% ad volarem). Nilai tarif ini ternyata lebih kecil dari tariff line yang telah dicatatkan di WTO yaitu sebesar
14
40%, kacuali untuk beras bound rate (160%) dan gula (95%) untuk periode 19952004. Kemudian nilai tarif tersebut dikoreksi kembali pada akhir tahun 2004 menjadi sebesar Rp 450/Kg yang berlaku mulai awal 2005. Ternyata pengenaan tarif spesifik tersebut tidak efektif mengangkat harga beras dalam negeri dan justru mendorong terjadinya penyelundupan beras ke Indonesia (Pratiwi, 2008). Sebagai alternatif dari kebijakan tarif, pemerintah menerapkan kebijakan pengaturan impor beras berdasarkan kepmen Perindag No. 9/MPP/Kep/1/2004 yang mengatur pelarangan impor beras satu bulan sebelum dan dua bulan setelah panen raya, sehingga beras impor dilarang masuk ke wilayah Indonesia pada bulan Januari-Juni, dan pada periode di luar panen raya beras impor dapat masuk dengan pengaturan jumlah, tempat (pelabuhan), kualitas dan waktu. Proteksi non tarif juga dilakukan melalui quota tarif dan pengawasan jalur perdagangan. 4) Kebijakan Distribusi Kebijakan distribusi bertujuan untuk menjamin ketersediaan pangan sepanjang tahun secara merata dan terjangkau di seluruh lapisan masyarakat. Distribusi beras mutlak diperlukan dalam menjaga ketahanan pangan karena beras memiliki ciri membutuhkan waktu dalam penyediaannya. Lag penyediaan beras terjadi karena produksi padi sangat tergantung musim tanam. Karena itu pada bulan-bulan tertentu, terutama pada musim panen raya (Februari-Mei), pasokan beras melimpah. Sedangkan pada musim paceklik (Agustus-September) pasokan beras cenderung berkurang, bahkan sering terjadi kerawanan pangan pada daerahdaerah tertentu. Persediaan beras antar daerah tidak merata karena kemampuan produksi antar wilayah tidak sama. Sehingga pengaturan distribusi pangan yang baik sasngat diperlukan.
15
Proses distribusi beras di Indonesia dilakukan dengan dua cara yaitu melalui Bulog dan mekanisme pasar. Bulog hanya menguasai sekitar 10% market share beras, sedangkan sisanya melalui mekanisme pasar. Bulog hanya berperan sebagai stabilisator harga untuk pengadaan beras dalam negeri, bukan sebagai penentu harga pasar beras secara keseluruhan. Pembelian gabah secara nasional bertujuan memberikan harga yang wajar pada petani terutama pada saat panen raya melalui HPP, sebagai sumber pengadaan dalam negeri. Kemudian gabah dan beras hasil pengadaan dalam negeri akan menjadi persediaan yang tersimpan dalam gudang-gudang (Divre) di seluruh tanah air sebagai Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1-1,5 juta ton (buffer stock) yang dapat digunakan pemerintah sebagai sumber bantuan sosial, operasi pasar, keperluan darurat dan suplai pasar tertentu. Untuk menjaga kualitas dan kuantitas CBP, pemerintah menugaskan Bulog untuk mendistribisikannya kepada keluarga miskin melalui Raskin. Dibandingkan dengan jumlah konsumsi total, besarnya CBP tersebut belum merepresentasikan pengaruh Bulog terhadap distribusi beras dalam negeri. Sebagian besar distribusi beras di Indonesia (lebih dari 90%) melalui mekanisme pasar. 2.3. Revitalisasi Pertanian Dalam rangka pemantapan ketahanan pangan masyarakat, pemerintah kabinet Indonesia Bersatu pimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membangun strategi revitalisasi pertanian yang merupakan salah satu dari strategi tiga jalur (triple-track strategy) yang berazas pro-growth, pro-employment, dan pro-poor. Selengkapnya, ketiga jalur strategi itu adalah: (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5% per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor, (2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan
16
kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, (3) revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan, sebagaimana disebut sebelumnya (Arifin, 2007). Strategi
tersebut
telah
dijabarkan
lebih
lanjut
dalam
Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Selanjutnya masing-masing departemen atau lembaga merumuskan secara spesifik program masing-masing sesuai tugas dan fungsinya dalam bentuk Rencana Strategis (Renstra) dengan mengacu pada kedua dokumen tersebut. Revitalisasi pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan konstektual, dalam arti menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain (Deptan, 2005). 2.4. Konsep Produksi Model hubungan anatara masukan dan keluaran diformulasikan dengan fungsi produksi yang berbentuk q = f(K, L, M....), dimana q mewakili keluaran untuk suatu barang tertentu dalam satu periode, K mewakili penggunaan modal selama periode tersebut, L mewakili jam masukan tenaga kerja. M mewakili bahan mentah yang dipergunakan, dan notasi ini menunjukan kemungkinan variabel-variabel lain mempengaruhi proses produksi. Menurut Nicholson, (1991) juga mengatakan produk fisik marginal dari sebuah masukan adalah keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan tersebut sambil mempertahankan semua masukan lain tetap konstan.
17
Fungsi produksi merupakan hubungan kuantitatif antara masukan dan produksi. Masukan seperti pupuk, tanah, tenaga kerja, modal, dan iklim yang mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Tidak semua masukan yang dipakai dianalisis, hal ini tergantung penting tidaknya pengaruh masukan itu terhadap produksi. Jika bentuk fungsi produksi diketahui, maka informasi harga dan biaya yang dikorbankan dapat dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi masukan yang baik. Namun biasanya petani sulit melakukan kombinasi ini, menurut Soekartawi, (1990) karena: 1) Adanya ketidaktentuan mengenai cuaca, hama, dan penyakit tanaman. 2) Data yang dipakai untuk melakkukan pendugaan fungsi produksi mungkin tidak benar. 3) Pendugaan fungsi produksi tidak hanya diartikan sebagai gambaran rata-rata suatu pengamatan. 4) Data harga dan biaya yang dikorbankan mungkin tidak dilakukan secara pasti. 5) Setiap petani dan usaha taninya mempunyai sifat yang khusus. Oleh karena itu keputusan penggunaan faktor produksi baik dalam kuantitas maupun kombinasi yang dibutuhkan dalam satu tingkat produksi ditentukan oleh petani. Dalam suatu penelitian biasanya faktor-faktor yang relatif dapat dikontrol dimasukan kedalam peubah bebas, sedangkan faktor-faktor yang relatif kurang dapat dikontrol biasanya diperhitungkan sebagai galat. Bentuk persamaan matematis dari fungsi produksi pada dasarnya merupakan abstraksi dari proses produksi yang disederhanakan, sebab dengan melakukan penyederhanaan kejadian-kejadian atau gejala-gejala alam yang sesungguhnya begitu kompleks dapat digambarkan tingkah lakunya. Dari fungsi
18
produksi dapat dilihat hubungan teknis antara faktor produksi dengan produksinya, serta suatu gambaran dari semua metode produksi yang efisisen. Secara matematis, fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut : Y = f(X1, X2, X3,....Xn) Dimana: Y
= Jumlah produksi
Xn
= Faktor-faktor produksi Pembagian daerah produksi berdasarkan elastisitas produksi dibedakan
atas tiga daerah yaitu : 1) Daerah I (daerah rasional atau kenaikan hasil yang selalu bertambah). Daerah dengan elastisitas produksi lebih besar dari satu, sehingga setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen mengakibatkan penambahan produksi lebih dari asatu persen. Pada daerah ini keuntungan maksimum belum tercapai karena produksi masih dapat ditingkatkan dengan pemakaian faktor produksi yang lebih banyak, dengan asumsi cukup tersedia faktor produksi. 2) Daerah II (daerah rasional atau kenaikan hasil tetap). Daerah dengan elastisitas produksi antara 0 dan 1, sehingga setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penambahan produksi paling tinggi satu persen dan paling rendah sebesar nol persen. Pada daerah ini keuntungan maksimum akan tercapi karena faktor produksi telah digunakan secara maksimum. 3) Daerah III (daerah irasional atau kenaikan hasil negatif). Daerah yang elastisitas produksi lebih kecil dari nol, sehingga setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penurunan produksi sebesar
19
nilai elastisitasnya. Pada daerah ini mencerminkan bahwa pemakaian faktor produksi sudah tidak efisien. Hubungan fisik antara faktor produksi dengan produksi dapat digambarkan dalam suatu proses produksi seperrti yang tergambar dibawah ini : Y
c b PT a
X
0 Y
PR X
0 PM Keterangan : a : PM maksimum b : e = 1, PR maksimum c :e=0 0-b : Daerah I (EP > 1) b-c : Daerah II (0 < EP < 1) c >> : Daerah III (EP < 1)
X Y PT PR PM
: Hasil Produksi : Faktor Produksi : Produk Total : Produk Rata-Rata : Produk Marginal.
Sumber : Soekartawi, 1990
Gambar 1. Elastisitas Produksi dan Daerah-Daerah Produksi
20
Menurut Soekartawi (1990), beberapa model fungsi produksi yang dikenal antara lain model linier, Cobb douglas, dan transendental. Model linear berganda dan model Cobb-Douglas merupakan model yang paling sederhana serta mudah dianalisis. 2.5. Konsep Konsumsi Konsumsi merupakan sejumlah barang yang digunakan langsung oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Keynes menyatakan bahwa konsumsi sangat bergantung pada pendapatan sekarang. Karena itu para ekonom terbaru menyatakan bahwa konsumen memahami kalau mereka menghadapi keputusan antar waktu. Konsumen menatap sumberdaya dan kebutuhan masa depan mereka, yang menunjukan fungsi konsumsi yang lebih komleks dibanding fungsi konsumsi yang Keynes berikan. Keynes menyatakan bentuk fungsi konsumsi : Konsumsi = f (pendapatan sekarang) Sedangkan studi terbaru menyatakan : Konsumsi = f (pendapatan sekarang, kekayaan, pendapatan masa depan yang diharapkan, tingkat bunga) Dengan kata lain pendapatan sekarang hanya merupakan salah satu determinan dari konsumsi agregat (Mankiw, 2003). Preferensi konsumen dapat ditunjukan oleh kurva indifferens, dimana kurva ini menggambarkan tingkat kepuasan dua barang (jasa) yang disukai konsumen. Semakin tinggi kurva indifferens semakin tinggi pula tingkat kepuasan konsumen. Bentuk kurva ini cembung terhadap titik nol menunjukan kepuasan yang didapat dari mengkonsumsi barang yang pertama. Konsumsi barang pertama lebih disukai daripada tingkat konsumsi yang kedua. Kurva ini memiliki karakteristik :
21
1) Selera konsumen terhadap barang tertentu dianggap konsisten, akibat dari asumsi ini adalah kurva indifferens tidak pernah bersinggungan dan berpotongan satu sama lain. 2) Individu atau konsumen lebih menyukai barang dengan jumlah yang lebih banyak daripada jumlah yang lebih sedikit, sehingga akibat dari asumsi ini adalah kurva indiferens berslope negatif, yang merefleksikan prinsip umum dimana individu akan mengorbankan barang untuk mendapatkan barang yang mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi. 3) Kurva Indifferens menggambarkan efek subtitusi antara barang satu dengan barang yang lainya. Misalnya X dan Y mempunyai efek subtitusi 1 : 2 maka satu kenaikan barang X akan menyebabkan penurunan dua unit barang Y. Good Y
I1 I2 I3
Good X Sumber: Nicholson, 1991
Gambar 2. Kurva Indifferens Pada Gambar 2, konsumen lebih memilih I3 daripada I2 dan lebih memilih I2 daripada I1, tetapi tidak peduli pada posisi yang berada pada kurva indifferens. Kemiringan (slope) dalam nilai absolut, dikenal dengan marginal rate of subtitution, menunjukan besaran dimana konsumen bersedia mengorbankan suatu barang untuk digantikan dengan suatu kelebihan yang lain. Pada kebanyakan
22
barang angka marginal of subtitution tidak konstan sehingga kurva indifferens berbentuk
melengkung.
Kurva
berbentuk
cembung
terhadap
sumbu
menggambarkan efek subtitusi negatif. Bila harga naik sementara pendapatan tetap, maka konsumen akan membeli sedikit barang yang mahal dengan menggantinya pada kurva indiferens yang lebih rendah (Nicholson,1991). 2.6. Model Persamaan Simultan Salah satu model ekonometrika yang sering digunakan dalam menganalisis peubah-peubah ekonomi yang lebih kompleks, yaitu model persamaan simultan. Menurut Gujarati (1997), persamaan simultan adalah model yang terdapat lebih dari satu variabel tak bebas dan lebih dari satu persamaan. Suatu ciri unik dari sistem persamaan simultan adalah bahwa variabel tak babas dalam satu persamaan mungkin muncul sebagai variabel yang menjelaskan dalam persamaan lain dari sistem. Menurut Pyndick dan Rubinfeld (1998), Sistem persamaan simultan dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang dunia nyata dibandingkan dengan model persamaan tunggal. Hal ini disebabkan karena peubah-peubah dalam persamaan satu dengan yang lainnya dalam model dapat berinteraksi satu sama lain. Suatu model ekonomi biasanya mengandung beberapa hubungan yang merupakan sebuah sistem persamaan simultan. Karena itu dalam sistem persamaan simultan ada kalanya tidak mudah membedakan antara peubah bebas dengan peubah tak bebas dalam setiap persamaan. 2.7. Penelitian Terdahulu Pratiwi (2008) dalam studinya mengenai efektifitas dan perumusan strategi kebijakan beras nasional, memperoleh hasil bahwa prioritas pertama peningkatan produksi padi adalah dengan membangun sarana irigasi berkoordinasi dengan
23
Pemda terkait. Hal ini karena masih tingginya potensi peningkatan produksi di masa mendatang tetapi ketersediaan sarana irigasi sangat terbatas. Prioritas kedua adalah mengadopsi teknologi sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal dan yang terakhir adalah memperketat aturan alih fungsi lahan dan pemberian insentif bagi pemilik lahan sehingga tingkat konversi lahan pertanian dapat dikurangi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Sari (2007), mengenai analisis dampak kenaikan harga beras terhadap pola konsumsi beras rumah tangga, studi kasus di Cipinang Jakarta Timur. Menyimpulkan bahwa beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia dan belum ada bahan pangan lain yang menggantikannya, sehingga setinggi apapun harga beras, rumah tangga akan tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhannya terhadap beras. Farihah (2005) dalam penelitiannya, memperoleh hasil ramalan produksi dan konsumsi beras dengan menggunakan data BPS menunjukan Indonesia dapat mencapai swasembada beras untuk enam tahun yang akan datang (2006-2011). Sedangkan dengan menggunakan deret data modifikasi Indonesia belum dapat mencapai swasembada beras. Malian dkk (2004) dalam studinya yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras, serta perubahan harga beras domestik dan indeks harga bahan makanan. Dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari BPS, Deptan dan Bulog yang diananlisis dengan menggunakan model ekonometrika. Hasil analisis menunjukan bahwa kebijakan harga dasar gabah tidak akan efektif apabila tidak diikuti kebijakan perberasan lainnya. Faktor determinan yang teridentifikasi memberikan pengaruh adalah: (1) Produksi padi dipengaruhi oleh luas panen padi tahun sebelumnya,
24
impor beras, harga pupuk urea, nilai tukar riil dan harga beras dipasar domestik. (2) Konsumsi beras dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga beras dipasar domestik, impor beras tahun sebelumnya, harga jagung pipilan di pasar domestik, dan nilai tukar riil. (3) Harga beras di pasar domestik dipengaruhi oleh nilai tukar riil, harga jagung pipilan dipasar domestik dan harga dasar gabah. Adnyana (!999) berdasasrkan studinya mengenai penerapan model penyesuaian Nerlove dalam proyeksi produksi dan konsumsi beras, diperoleh hasil proyeksi luas areal panen padi cenderung menurun dalam 14 tahun kedepan (2000-2014) sebesar 0,013% per tahun, namun produksi padi cenderung meningkat karena persentase peningkatan produktivitas lebih besar dari penurunan luas areal panen. Dalam periode yang sama, konsumsi beras per kapita diperkirakan menurun 0,014% per tahun. Bila tidak ada upaya khusus dalam meningkatkan produksi padi dalam 14 tahun kedepan maka Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan defisit rata-rata 7,628% per tahun. Mulyana (1998) menemukan bukti empirirs dari hasil penelitiannya, bahwa ada beberapa respon dari para petani Jawa dan Bali dengan para petani diluar Jawa dan Bali (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Lainnya) dalam meningkatkan areal panen. Untuk Jawa dan Bali harga gabah mempunyai pengaruh posotif terhadap areal dalam
bentuk rasio terhadap harga pupuk.
Sedangkan di luar Jawa dan Bali, yang berpengaruh positif terhadap areal panen hanya harga gabah secara tunggal. Selain itu konversi lahan yang terjadi di Jawa dan Bali berpengaruh negatif terhadap perluasan areal panen. Elastisitas rasio harga gabah terhadap harga pupuk dalam jangka pendek di Jawa dan Bali sebesar 0,006 dan dalam jangka panjang sebesar 0,011. Sedangkan di Sumatra elastisitasnya meningkat menjadi 0,020 dan 0,057. Begitu pula dengan
25
Kalimantan dan Sulawesi masing-masing untuk jangka pendek sebesar 0,188 dan 0,137 dan untuk jangka panjang sebesar 1,944 dan 0,759. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyana (1998), menunjukan hasil evaluasi dengan simulasi diketahui bahwa dalam periode 1984-1996 swasembada beras sebenarnya dapat dipertahankan apabila diterapkan kebijakan tunggal menaikan haga dasar gabah 15,38%, menambah areal irigasi 3,61%, areal intensifikasi 5,25% atau mendevaluasi rupiah 100% dari kecenderungan perubahannya. Kebijakan harga dasar atau devaluasi rupiah akan meningkatkan kesejahteraan petani, namun mengurangi kesejahteraan konsumen. Sebaliknya kebijakan penambahan areal irigasi dan intensifikasi lebih berpihak kepada konsumen dan akan merugikan petani karena bertambahnya produksi padi tidak diiringi dengan peningkatan pengadaan secara proporsional sehingga harganya turun. Tabor et all (1989) dalam Ritonga (2004), mengungkapkan bahwa rendahnya
elastisitas
harga
beras
memberikan
petunjuk
bahwa
usaha
mempertahankan harga beras tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan beras. Permintaan beras lebih ditentukan oleh pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan daripada perubahan harga. Respon areal panen yang diteliti oleh Lokollo (1986) dengan menggunakan data series Indonesia 1969-1983 menemukan hasil bahwa faktorfaktor yang signifikan dalam areal panen adalah penggunaan varietas unggul, harga pupuk dengan koefisisen elastisitas input masing-masing 0,3952 dan -1,5434. Sedangkan dalam respon hasil produktivitasnya ditemukan tiga peubah yang signifikan, yaitu: harga padi (0,127), penggunaan varietas unggul (0,463) dan harga pupuk urea (-0,738).
26
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis Pada bagian ini akan dijelaskan teori yang berhubungan dengan penelitian
antara lain mengenai penawaran beras, permintaan beras, serta harga dan intervensi pemerintah. 3.1.1. Penawaran Beras Penawaran disektor pertanian adalah banyaknya komoditas pertaian yang diproduksi/ditawarkan oleh para petani/produsen. Dalam hukum penawaran dinyatakan bahwa semakin tinggi harga dari suatu barang semakin banyak jumlah barang tersebut yang ditawarkan oleh produsen, karena rangsangan ekonominya tinggi. Sebaliknya, semakin rendah harganya semakin sedikit jumlah yang ditawarkan dengan sayarat bahwa faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi penawaran, seperti luas tanah, cuaca, dan sebagainya tidak berubah (cateris paribus) (Tambunan, 2003). Produksi suatu komoditas pertanian (Qg) dalam model agregat merupakan fungsi dari masukan utama lahan (A), modal (K) tenaga kerja (L) dan masukan lainnya (Z), yaitu : Qg = p(A, K, L, Z) ................................................................................. (1) Penentuan
keputusan
produksi
itu
didasarkan
atas
pilihan
(1)
meminimumkan biaya, (2) memaksimumkan produksi pada ketersediaan tertentu. Kedua pilihan itu ditujukan untuk mencapai keuntungan maksimum dan hasil pemecahannya akan sama (Handerson dan Quand, 1980 dalam Mulyana, 1998), maka fungsi keuntungan produsen dapat dirumuskan sebagai berikut: Π = Pg*q(A,K,L,Z) – Pa*A – Pk*K – PL:*L - Pz*Z - Bt ...................... (2)
27
Dimana Pg adalah harga komoditi (dalam penelitian ini adalah gabah), Pa harga masukan A, Pk harga masukan K, PL harga masukan L, Pz harga masukan Z dan Bt adalah biaya tetap. Dengan melakukan penurunan secra prosedur matematika, sehingga dari persamaan akan dihasilkan: NPMi = Pi ................................................................................................ (3) NPMi nilai produksi marjinal dari masukan i, dan i adalah A, K, L, Z, sementara Pi adalah harga masukan i. Kemudian dari persamaan (3) dapat diturunkan fungsi permintaan masing-masing masukannya yaitu: A = a(Pa, Pg, Pk, PL, Pz) ......................................................................... (4) K = k(Pk, Pa, Pg, PL, Pz) ......................................................................... (5) L = l(PL, Pa, Pg, Pk, Pz) .......................................................................... (6) Z = z(Pz, Pa, Pg, Pk, PL) ......................................................................... (7) Dengan mensubtitusikan persamaan (4) hingga (7) ke persamaan (1) maka menurut pendekatan masukan produksi akan diperoleh persamaan penawaran sebagai berikut: Qg = g(Pg, Pa, Pk, PL, Pz) ....................................................................... (8) Jadi penawaran merupakan fungsi dari harga gabah (Pg) dan harga faktor produksi (Pa, Pk, PL, dan Pz). Besar kecilnya pengaruh harga komoditas pertanian terhadap jumlah yang diproduksi tergantung pada nilai elastisitas harga dari penawaran. Semakin besar niali elastisitasnya, semakin besar perubahan penawaran atau lebih besar daripada perubahan (Gambar 3A). Sebaliknya, jika nilai elastisitasnya semakin kecil, perubahan jumlah barang yang ditawarkan juga semakin kecil, atau persentase perubahannya lebih kecil daripada persentase perubahan harganya, atau jumlah
28
yang ditawarkan tidak berubah sama sekali jika nilai elastisitasnya nol (Gambar 3B) (Tambunan, 2003). (A)
(B)
P
S
P
P1 P0
Q0
Q1
Q
Sumber : Tambunan (2003)
Gambar 3. Kuurva Penawaran Menurut Nilai Elastisitas Harga dari Penawaran yang Berbeda. Produksi padi dipengaruhi oleh luas areal panen dan produktivitas. Faktor –faktor yang mempengaruhi luas areal panen selain harga gabah (Pg) adalah harga masukan (Pi), upah tenaga kerja (W) luas areal irigasi (I). Maka fungsi luas areal panen tersebut, sebagai berikut: At = a( Pgt, Pit, Wt, It) ............................................................................. (9) Sementara itu faktor-faktor yang mempengaruhi produktivityas padi adalah harganya sendiri (Pg), upah tenaga kerja (W), jumlah penggunaan masukan (M), dan Luas areal intensifikasi (N). Dengan demikian fungsi Produktivitas dapat dituliskan sebagai berikut : Yt = y(Pgt, Wt, Mt, Nt) .......................................................................... (10) Karena itu pula produksi padi dapat dirumuskan sebagai berikut: Qgt = At*Yt ........................................................................................... (11)
29
Produksi beras merupakan hasil pengolahan (penggilingan) gabah, yaitu produksi padi/gabah dikalikan dengan suatu faktor konversi (K), yang nilainya sebesar 0,63 sesuai dengan angka yang berlaku saat ini. Qbt = Kt*Qgt ......................................................................................... (12) 3.1.2. Permintaan Beras Permintaan suatu komoditi pertanian adalah banyaknya komoditi pertanian yang dibutuhkan dan dibeli oleh konsumen (Soekartawi, 2002). Menurut Koutsoyiannis (1977) secara konseptual, permintaan merupakan suatu fungsi yang dipengaruhi oleh banyak peubah (multivariate), faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi permintaan adalah harga barang yang bersangkutan, harga barang lain, pendapatan serta selera. Fungsi permintaan beras diturunkan dari fungsi utilitas konsumen. Fungsi utilitas dapat dirumuskan sebgagai berikut: U = u (Qd, Qn) ..................................................................................... (13) dengan kendala: Y = Pb*Qd + Pn*Qn …………………………………………………. (14) dimana : U
= Tingkat utilitas konsumen
Qd
= Jumlah konsumsi beras
Qn
= Jumlah konsumsi non beras
Y
= Tingkat pendapatan
Pb
= Harga beras
Pn
= Harga konsumsi non beras Dari persamaan (13) dan (14) dapat dirumuskan fungsi kepuasan yang
akan dimakasimumkan sebagai berikut:
30
L U = u(Qd,Qn) + λ(Y – Pb*Qd + Pn*Qn) …...…...………..……..… (15) dimana λ adalah koefisien pengganda Lagrange. Diasumsikan bahwa syarat turunan kedua dari L untuk maksimisasi berkendala dipenuhi, yaitu matriks Hessian-nya bernilai lebih besar dari nol. hasil penyelesaian akhir dari penurunan tersebut adalah fungsi perminataan kedua komoditas (Silberberg, 1981 dalam Mulyana,1998). Qd = q( Pb, Pn, Y) ................................................................................ (16) Qn = q(Pn, Pb, Y) ……………………………………………………. (17) Pada persamaan (16) menunjukan bahwa permintaan beras dipengaruhi oleh harga beras, harga komoditi lain dan pendapatan. Pada kenyataannya permintaan beras tidak hanya dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut saja, melainkan dipengaruhi juga oleh jumlah penduduk (O) dengan pengaruh yang cukup besar. Dengan demikian kurva konsumsi beras dapat dituliskan: Qdt = q(Pbt, Pnt, Yt, Ot) ……………………………………………..… (18) dimana: Qdt
= Jumlah beras yang diminta
Pbt
= Harga beras
Pnt
= Harga komoditas pengganti/pelengkap
Yt
= Tingkat pendapatan
Ot
= Jumlah penduduk.
3.1.3. Harga dan Intervensi Pemerintah Beras dipandang sebagai bahan pokok yang harganya tidak bisa diserahkan kepada pasar bebas, sehingga membutuhkan intervensi kebijakan harga. Perkembangan politik berperan penting dalam penentuan harga beras. Meski demikian pertimbangan ekonomi menjadi tolak ukur dasar, terutama dalam
31
memprediksi konsekuensi dari intervensi yang diambil. Konsekuensi dari intervensi harga diantaranya; stabilitas harga, surplus-defisit ketersediaan produk, volume perdagangan, harga konsumen, dan biaya yang ditanggung pemerintah. Tomek dan Robinson (1990) menyebutkan tujuan dari kebijakan harga antara lain (1) untuk meningkatkan pendapatan petani, (2) melindungi petani (terutama petani kecil) dan menekan tingkat eksodus dari desa ke kota, (3) mencapai swasembada pangan dan mengurangi ketergantungan impor, (4) mengurangi instabilitas harga produk, (5) menekan biaya konsumen dan meningkatkan konsumsi pangan. Kebijakan harga yang diatur oleh pemerintah terdiri dari kebijakan harga dasar atau harga lantai (floor price) dan harga tertinggi atau harga atap (ceiling price). Harga dasar diperlukan untuk menjaga agar harga pasar pada saat panen tidak menurun jauh kebawah dari yang seharusnya diterima oleh produsen dan diupayakan agar harga pasar minimal sama dengan harga dasar. Sebaliknya, harga atap tetap diperlukan khususnya pada musim-musim paceklik, saat persediaan produksi terbatas. Dengan demikian kebijakan harga sangat efektif apabila harga pasar berada diantara harga dasar dan harga atap. Dengan kata lain, kebijakan harga dimaksudkan untuk melindungi produsen dari tekanan pasar yang tidak berfungsi sempurna. Dalam keadaan harga pasar berada diantara harga dasar dan harga atap, maka baik produsen maupun konsumen masing-masing tidak dirugikan (Soekartawi, 2002). Penerapan kebijakan harga dasar gabah dapat dijelaskan melalui kasus dibawah ini, misalnya dalam kedaan panen raya, produksi sangat melimpah sehingga harga pasar berada di bawah harga keseimbangan. Karena itu diperlukan kebijakan harga dasar yang lebih tinggi dari harga pasar tersebut. Jadi andaikan
32
harga pasar adalah Pm dan harga dasar adalah Pf, maka Pf lebih besar daripada Pm. Dengan berlakunya harga dasar ini, konsekuensinya pemerintah harus membeli kelebihan produksi. Tentu saja kalau pasar dikehendaki bekerja pada harga dasar. Hal ini dapat dijelaskan melalui Gambar 4. Pada gambar tersebut terlihat bahwa OQ0 adalah besarnya produksi yang diminta masyarakat pada harga pasar (Pm) Yang berada dibawah harga dasar (Pf). Bila harga dasar diberlakukan, maka jumlah permintaan adalah sebesar OQ1. Namun agar harga dasar dapat berfungsi dengan baik, maka pemerintah perlu membeli kelebihan produksi (penawaran) sebesar Q1Q2. Dalam situasi seperti ini maka jumlah produksi yang seharusnya dijual produsen adalah sebesar OQ2, yang dijual untuk konsumsi masyarakat adalah sebesar OQ2 dan yang dibeli oleh pemerintah adalah sebesar Q1Q2 Harga D
S’
Pf Pm S 0
D’ Q1
Q0
Q2
kuantitas
Sumber : Soekartawi, 2002
Gambar 4. Permintaan dan Penawaran dengan Harga Dasar pada saat Panen Raya Selain harga di tingkat petani, dalam hal ini beras yang mekanisme pasarnya banyak diintervensi pemerintah, perkembangan harga yang juga menjadi
33
perhatian adalah harga di tingkat konsumen. Untuk itu perlu diketahui bagaimana perilaku harga beras dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, sebagai berikut: Pbt = pb(Qbt, Qdt, Pbt-1) ........................................................................ (20) Harga beras (Pb) dipengaruhi oleh jumlah beras yang diproduksi (Qb), jumlah konsumsi beras (Qd) dan harga beras yang berlaku periode sebelumnya. Untuk melindungi konsumen, pemerintah menetapkan harga maksimum atau harga atap (ceilling price), yaitu harga tertinggi yang boleh diterapkan pedagang kepada konsumen. Pada situasi paceklik yaitu pada saat jumlah produksi yang tersedia terbatas, sementara jumlah konsumen tetap atau bahkan terus bertamabah. Dalam keadaan seperti ini, harga pasar cenderung tinggi atau lebih tinggi dari harga keseimbangan bila saja tidak diberlakukan harga atap. Keadaan pada saat paceklik ini merupakan kebalikan dari situasi panen raya. Bila pada saat panen raya pemerintah harus membeli sejumlah kelebihan produksi, pada saat paceklik pemerintah harus menjual persediaan atau cadangan (Stock) beras. Harga
D
S’
Pm Pc S D’ 0
Q1
Q0
Q2
kuantitas
Sumber : Soekartawi, 2002
Gambar 5. Permintaan dan Penawaran dengan Harga Atap pada saat Paceklik
34
Pada Gambar 5 terlihat bahwa OQ0 adalah jumlah produksi yang dijual dan akan dibeli oleh konsumen bila tidak diberlakukan harga atap (Pc). Disini terlihat bahwa Pc lebih tinggi dari Pm. Bila tidak diberlakukan harga atap, maka perbedaan Pc dan Pf akan semakin tinggi. Bila diberlakukan harga atap, maka jumlah produksi yang dijual adalah sebesar OQ1, pada saat itu harga pasar (Pm) melebihi harga dasar. Agar harga atap tersebut berfungsi pada posisi Pm, maka pemerintah perlu menjual stock sebesar Q1Q2. Dengan demikian situasinya adalah sebagai berikut; komoditi pertanian yang berada di pasar sebesar OQ2 (yang terbeli pada harga pasar) yang terdiri dari produksi yang dijual produsen sebesar OQ1 dan yang disuplai oleh pemerintah sebesar Q1Q2. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Saat ini dunia sedang mengalami krisis keuangan global, karena itu sebagian negara
di dunia
mengalami krisis pangan. Bahkan pada tahun
2007/2008 terjadi lonjakan harga komoditas, baik di pasar domestik maupun internasional. Harga beras di Thailand bahkan melambung hingga 800 dollar AS per ton, beras Vietnam mencapai 600 dollar AS per ton. Begitu pula beras China, India, dan Pakistan turut melonjak. Lonjakan harga komoditas memicu ketakutan di negara-negara pengekspor beras. China, India dan Pakistan bahkan menghentikan ekspor sementara waktu. Akibatnya suplai beras ke pasar dunia merosot. Melihat gejala buruk itu, pemerintah Indonesia berkomitmen meningkatkan produksi tanaman beras, jagung dan kedelai (Kompas, Desember 2008) Untuk menjaga ketahanan pangan, saat ini pemerintah Indonesia mengupayakan sawasembada beras, karena swasembada pangan bagi negara Indonesia dapat diartikan juga sebagai swasembada beras, karena beras
35
merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Perlu diingat bahwa sejak munculnya Undang-Undang No.12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman, sejak itu tidak ada lagi kemampuan pemerintah mengontrol budidaya pertanian. Petani bebas memilih komoditas apa yang akan mereka tanam tanpa ada tekanan atau paksaan untuk menanam komoditas tertentu yang diinginkan pemerintah. Sejak itu impor beras terus meningkat dan puncaknya tahun 1999, dimana impor beras mencapai 4,7 juta ton atau tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Melalui Undang-Undang itu pula, era liberalisasi budidaya pertanian dimulai, karena tidak ada kendali pemerintah atas usaha tani. Satusatunya faktor yang menjadi acuan petani memilih komoditas yang akan mereka tanam adalah faktor keuntungan. Dalam rangka memberikan insentif kepada petani untuk menanam padi, pemerintah menaikan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras, baik di tingkat petani maupun usaha penggilingan, dengan begitu diharapkan keuntungan petani meningkat dan muncul kegairahan untuk menanam padi. Hasil yang diperoleh, luas tanam padi musim hujan periode Oktober 2007-Maret 2008 mencapai 7,86 juta hektar atau 3,4% diatas pencapaian luas tanam pada periode sama 2006/2007 (Kompas, Desember 2008). Produktivitas sawah Indonesia sekarang ini menduduki peringkat ketiga dunia, setelah China dan Vietnam, yaitu sebesar rata-rata 4,6 ton/ha. Sementara itu negara Thailand yang telah berhasil mengekspor beras, tingkat produktivitasnya hanya sebesar 3 ton/ha. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa faktor yang kurang mendukung produktivitas sawah di Indonesia diantaranya, suplai pupuk tahun 2007/2008 nyaris tanpa perubahan. Kelangkaan pupuk urea terjadi dimanamana sehingga banyak petani yang kesulitan mendapatkan pupuk. Akibatnya
36
banyak
tanaman
padi milik
petani
yang terlambat
dipupuk sehingga
pertumbuhannya tidak optimal. Dari 5,8 juta ton kebutuhan pupuk urea, pemerintah hanya mampu mengalokasikan 4,3 juta ton pada musim tanam 2008 (kompas, Desember 2008). Selain itu faktor perubahan iklim yang tidak menentu juga dapat menghambat produktivitas. Selain hambatan dari faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas, tingginya laju konversi lahan pertanian ke nonpertanian, serta minimnya infrasrtruktur irigasi dan waduk juga akan menghambat swasembada beras di Indonesia. Dengan beberapa faktor yang kurang mendukung diatas, hingga saat ini masih ada komitmen yang kuat terutama dari pemerintah untuk swasembada beras. Untuk itu dalam penelitian ini akan menguraikan perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia dalam kurun waktu 37 tahun terakhir. Setelah itu akan diduga faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan simultan. Setelah melakukan identifikasi dan evaluasi model, akan dilakuakan analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia. Tahap selanjutnya dalam penelitian ini adalah melakukan proyeksi produksi dan konsumsi beras dalam negeri, dalam lima tahun ke depan 20092013. Parameter elastisitas yang diperoleh dari pendugaan model produksi dan konsumsi beras di Indonesia, digunakan untuk membuat proyeksi produksi dan konsumsi beras untuk lima tahun kedepan. Setelah itu akan dianalisis implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat menjadi input dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pemerintah dalam rangka pencapaian swasembada beras di Indonesia.
37
Masalah kerawanan pangan dan ketahanan pangan
Dunia
Diperlukan upaya swasembada pangan
Ketersediaan beras dunia terus menyusut
Beras merupakan komoditas pangan utama penduduk Indonesia
Diversifikasi pangan Masih sulit diterapkan
Program swasembada beras
Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia
Pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia
(Metode analisis deskriptif) (Persamaan Simultan dengan metode pendugaan 2SLS)
Diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia serta parameter elastisitasnya Proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia tahun 2009-2013
Hasil dan implikasi terhadap pencapaian swasembada beras di Indonesia Keterangan :
: Dianalisis
: Tidak dianalisis
Gambar 6. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional
38
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dengan mengambil data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian yang berlokasi di Jakarta dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian yang berlokasi di Bogor. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Agustus 2009. 4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang berbentuk data time series. Semua data diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian serta literatur-literatur dan situs-situs yang terkait dengan penelitian ini yang menyediakan kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian Adapun data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data-data yang digunakan dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia, antara lain: Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Penelitian No. Jenis Data 1. Luas Areal Panen (Ribu Ha) 2. Produktivitas (Ton/Ha) 3. Produksi Padi (Ton/ha) 4. Produksi Beras (Ribu Ton) 5. Konsumsi Beras (RibuTon) 6. Luas Areal Irigasi (Ribu Ha) 7. Luas Areal Intensifikasi (Ribu Ha) 8. Harga Gabah di tingkat petani (Rp/kg) 9. Harga Beras (Rp/kg) 10. Harga Jagung (Rp/kg) 11. Harga Pupuk Urea (Rp/Kg) 12. Upah Buruh Tani (Rp/HOK) 13. Jumlah Penggunaaan Pupuk Urea (Kg/Ha) 14. Jumlah Penduduk Indonesia (Ribu Jiwa) 15. PDB Indonesia (Rp.T) 16. Indeks Konsumen
Sumber Data BPS, Deptan BPS, Deptan BPS, Deptan Deptan Deptan Deptan Deptan Deptan BPS BPS BPS BPS BPS BPS BPS BPS
39
4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis deskriptif dengan tabulasi sederhana digunakan untuk tujuan penelitian pertama yaitu menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia. Analisis deskriptif dalam penulisan digunakan untuk memberikan penjelasan serta interpretasi atas informasi dan data hasil penelitian. Tujuan penelitian kedua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia dianalisis menggunakan persamaan simulatan, dan tujuan penelitian ketiga yaitu dengan menggunakan parameter elastisitas yang diperoleh dari hasil pendugaan model produksi dan konsumsi beras di Indonesia akan dilakukan proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia untuk lima tahun kedepan serta implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia dianalisis secara deskriptif. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft office Excel dan Eviews 5.0. 4.3.1. Perumusan Model Perumusan model merupakan langkah pertama dan langkah paling penting yang harus kita lakukan dalam memulai studi atau mempelajari berbagai hubungan antar variabel. Model digunakan untuk mewakili hubungan variabelvariabel dalam bentuk matematik dimana suatu fenomena ekonomi dapat dipelajari secara empirik (Koutsoyiannis, 1997). Salah satu model pendekatan yang dapat dipakai dalam menganalisis suatu fenomena ekonomi adalah dengan menggunakan model ekonometrika. Model ekonometrika merupakan suatu pola khusus dari model aljabar yang bersifat stokastik, mencakup satu atau lebih variabel pengganggu yang memperhitungkan unsur-unsur yang sifatnya random.
40
Luas Irigasi (LIRt)
Trend
Luas Areal Panen (LAPt)
Harga Urea (HPUt)
L.Intensifikasi (LINt)
Produktivitas Padi (PVt)
Rasio Harga Gabah dan Upah Tani
(HG t/UBTt) Konversi (Kt)
Jumlah Pupuk (JPUt) (HGt) Produksi Padi (PPt)
Produksi Beras (PBt) Lag Prod.Beras (PBt-1)
Lag Harga Beras (HBt-1) (HGt)
Surplus/Defisit Beras (SDt) Populasi (POPt)
Harga Beras (HBt) Konsumsi Beras (KBt) Pert. Konsumsi (PKBt)
Harga Jagung (HJt) PDB riil (PDBt)
Variabel Endogen :
Variabel Eksogen :
Gambar 7. Bagan Kerangka Model Ekonometrika
41
Dalam membangun model ekonometrika ada empat tahap utama yang harus dijalani yaitu: (1) spesifikasi, (2) pendugaan, (3) validasi, (4) penerapan model (Koutsoyinanis, 1977). Spesifikasi model merupakan tahap yang paling penting, karena pada tahap ini peneliti harus menspesifikasi model yang akan digunakan dalam penelitian atas dasar gamabaran ekonomi, teknis, dan kelembagaan dari fenomena ekonomi yang dipelajari ke dalam hubungan matematik dan statistik. Tahap spesifikasi menurut Koutsoyiannis (1997) meliputi penentuan (1) variabel dependen (dependent variables) dan variabel penjelas (explanatory variables) yang akan dimasukan dalam model, (2) harapan teoritis apriori mengenai tanda dan besaran parameter dari setiap persamaan. Dasar definisi apriori adalah pengetahuan mengenai teori, logika, dan fakta empiris yang ada dari hubungan ekonomi antar variabel dependen dan penjelas yang dipelajari, dan (3) bentuk matematis dari model (linier atau non linier, jumlah persamaan). Pada Gambar 7 dirumuskan persamaan-persamaan struktural yang menggambarkan hubungan antara variabel eksogen dengan variabel endogen ataupun antara variabel endogen tersebut. Akan dikemukakan pula tanda besaran parameter yang diperkirakan secara apriori berdasarkan pemahaman teori ekonomi dan hasil analisis empiris yang telah dilakukan peneliti terdahulu. Persamaan luas areal panen tanaman padi, produktivitas padi, konsumsi beras, dan harga beras adalah persamaan operasional yang telah mengalami respesifikasi dan menghasilkan tanda parameter dugaan yang sesuai dengan harapan. 4.3.1.1. Luas Areal Panen Tanaman Padi Luas areal panen tanaman padi diduga dipengaruhi oleh rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan upah riil buruh tani, luas areal irigasi, harga pupuk
42
urea dan trend waktu. Persamaan luas areal panen tanaman padi dirumuskan sebgai berikut : LAPt = a0 + a1HGt/UBTt + a2 LIRt + a3HPUTt + T + εt Dimana: LAPt = Luas areal panen tanaman padi tahun ke-t (Ribu Ha) HGt
= Harga riil gabah di tingkat petani tahun ke-t (Rp/Kg)
UBTt = Upah riil buruh tani tahun ke-t (Rp/HOK) LIRt
= Luas areal irigasi tahun ke-t (Ribu Ha)
HPUt = Harga riil pupuk urea tahun ke-t (Rp/Kg) T
= Trend waktu
a0
= Intersep
ai
= Parameter yang diduga (i = 1,2,3)
εt
= Error
Nilai dugaan yang diharapkan a1, a2>0 ; a3 < 0 4.3.1.2. Produktivitas Padi Produktivitas padi diduga dipengaruhi oleh rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, dan luas areal intensifikasi. Persamaaan produktivitas ditulis sebagai berikut : PVt
= b0 + b1HGt/UBTt + b2JPUt + b3 LINt + εt
Dimana : PVt
= Produktivitas padi padi tahun ke- t (Ton/Ha)
HGt
= Harga riil gabah di tingkat petani tahun ke-t (Rp/Kg)
UBTt = Upah riil buruh tani tahun ke-t (Rp/HOK) JPUt
= Jumlah penggunaan pupuk Urea tahun ke-t (Kg/Ha)
LINt
= Luas areal intensifikasi tahun ke-t (Ribu Ha)
43
bi
= Parameter yang diduga (i = 1,2,3)
εt
= Error
Nilai dugaan yang diharapkan; b1,b2,b3 > 0 4.3.1.3. Produksi Padi Produksi padi pada tahun ke-t (PPt) merupakan perkalian antara luas areal panen (LAPt) dengan produktivitas padi pada tahun tersebut (PVt). Persamaan produksi padi dirumuskan sebgai berikut : PPt
= LAPt x PVt
Dimana : PPt
= Produksi padi pada tahun ke-t (Ribu Ton)
LAPt = Luas areal panen padi tahun ke-t (Ribu Ha) PVt
= Produktivitas padi tahun ke-t (Ton/Ha)
4.3.1.4. Produksi Beras Produksi beras (PBt) merupakan perkalian antara konversi atau tingkat rendemen pengolahan dari padi menjadi beras (Kt) dan produksi padi pada tahun tersebut (PPt). Secara empiris persamaan produksi beras dirumuskan sebgai berikut: PBt
= Kt x PPt
Dimana : PBt
= Produksi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)
Kt
= Angka konversi padi ke beras sebesar 0,63
PPt
= Produksi padi pada tahun ke-t (Ribu Ton)
4.3.1.5. Konsumsi Beras Jumlah konsumsi beras di Indonesia diduga dipengaruhi oleh harga beras, jumlah penduduk Indonesia, PDB riil Indonesia dan harga jagung sebagai salah
44
satu subtitusi pangan pengganti beras. Pada kenyataannya diversifikasi pangan penduduk Indonesia lebih terarah pada konsumsi gandum berupa (tepung terigu, roti terutama mie), namun karena ketrbatasan data time series untuk gandum, maka penelitian ini menggunakan jagung sebagai salah satu subtitusi pangan pengganti beras. Persamaan konsumsi beras di Indonesia dapat dituliskan sebhgai berikut : KBt
= c0 + c1HBt + c2POPt + c3PDBt + c4HJt + εt
Dimana: KBt
= Konsumsi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)
HBt
= Harga riil beras pada tahun ke-t (Rp/Kg)
POPt = Jumlah penduduk pada tahun ke-t (Ribu Jiwa) PDBt = PDB riil Indonesia pada tahun ke-t (Rp.T) HJt
= Harga riil jagung pada tahun ke-t (Rp/Kg)
c0
= Intersep
ci
= Parameter yang diduga (i = 1,2,3,4)
εt
= Error
Nilai dugaan yang diharapkan; c1,c3<0; c2,c4>0 4.3.1.6. Harga Beras Harga beras diduga di pengaruhi oleh produksi beras pada tahun sebelumnya, pertumbuhan konsumsi beras, harga beras pada tahun sebelumnya serta trend waktu. Persamaan harga beras dapat dituliskan sebagai berikut : HBt
= d0 + d1PBt-1 + d2PKBt + d3HBt-1 + T + εt
Dimana : PBt-1
= Produksi beras pada tahun ke- t-1 ( Ribu Ton)
PKBt = Pertumbuhan konsumsi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)
45
HBt-1 = Harga riil beras pada tahun sebelumnya (Rp/Kg) d0
= Intersep
di
= Parameter yang diduga (i = 1,2,3)
Nilai dugaan yang diharapkan; d1 < 0 ; d2 > 0 ; 0
= Produksi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)
KBt
= Konsumsi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)
4.3.2. Identifikasi Model Masalah identifikasi muncul hanya untuk persamaan-persamaan yang didalamnya terdapat koefisien-koefisien yang harus diestimasi secara statistik (dari data contoh). Masalah identifikasi tidak muncul dalam persamaan-persamaan definisi, identitas atau dalam pernyataan tentang kondisi equilibrium, karena dalam hubungan-hubungan tersebut tidak memerlukan pengukuran (Kotsoyiannis, 1977). Berdasarkan koutsoyiannis (1977), dalam teori ekonometrika terdapat dua kemungkinan situasi dalam suatu identifikasi, yaitu : 1) Persamaan Underidentified Suatu persamaan dikatakan underidentified jika bentuk statistiknya tidak tunggal. Suatu sistem dikatakan underidentified ketika satu atau lebih
46
persamaan-persamaan yang ada dalam sistem tersebut underidentified. Jika suatu persamaan atau model underidentified maka tidak mungkin dilakukan pendugaan dari seluruh parameter yang ada dengan teknik ekonometrik manapun. 2) Pesamaan Identified Jika suatu persamaan memiliki bentuk statistik tunggal maka persamaan tersebut dapat diidentifikasi, dan persamaan tersebur bisa exactly identified atau overidentified. Dalam persamaan yang teridentifikasi, koefisien yang terdapat didalamnya dapat diduga secara statistik. Jika persamaan exactly identified maka metode yang sesuai untuk pendugaan adalah Indirect Least Square (ILS). Sedangkan jika persamaan overidentified maka metode yang dapat digunakan salah satunya adalah Two-Stages Least Square (2SLS). Dua tahapan identifikasi menurut Koutsoyiannis (1977), yaitu : 1) Order Condition Order condition digunakan untuk mengetahui apakah persamaan-persamaan yang ada identified atau underidentified. Langkah-langkah dalam order condition, yaitu : a.) Bila (K – M) ≥ (G – 1), maka persamaan tersebut identified. b.) Bila (K –M) < (G – 1), maka persamaan tersebut underidentified. Dimana : K = Total variabel dalam model M = Total variabel endogen dan eksogen dalam persamaan yang akan diidentifikasi G = Total persamaan dalam variabel.
47
2) Rank Condition Rank condition digunakan untuk mengidentifikasi persamaan yang setelah dilakukan uji order condition menghasilkan kesimpulan dapat diidentifikasi, yang untuk selanjutnya dilihat apakah persamaan tersebut exactly identified atau over identified. Langkah-langkah rank condition adalah : a) Jadikan persamaan simultan yang ada menjadi persamaan yang ruas kanannya nol. b) Susun matriks koefisien dari semua variabel yang ada untuk persamaanpersamaan tersebut. c) Jika kita ingin mengidentifikasi persamaan ke-i, maka coret baris persamaan itu dan kolom dari variabel yang ada dalam persamaan tersebut. d) Dari matriks sisanya cari semua determinan yang mungkin dapat dihitunng. e) Jika paling sedikit ada satu determinan yang tidak sama dengan nol maka simpulkan : i) Persamaan tersebut over identified, bila (K – M) > (G – 1) ii) Persamaan tersebut exactly identified, bila (K –M) = (G – 1). Jika semua determinan sama dengan nol maka persamaan tersebut under identified. Model persamaan simultan yang terdiri dari 7 persamaan dengan 20 total variabel dalam model. Di dalam model terdapat 7 variabel endogen dan 11 variabel eksogen dan 2 variabel lag. Uji Order condition menghasilkan kesimpulan dapat diidentifikasi untuk masing-masing persamaan dalam model, dimana hasil pengurangan total variabel dalam model (K) dengan total variabel
48
endogen dan eksogen dalam persamaan (M) yang diidentifikasi lebih besar dari hasil pengurangan total persamaan (G) dalam model dengan satu. Uji rank condition menghasilkan kesimpulan over identifikasi untuk masing-masing persamaan dalam model, hal ini dikarenakan tidak semua determinan persamaan yang ada sama dengan nol dan juga dikarenakan hasil pengurangan total variabel dalam model (K) dengan total variabel endogen dan eksogen dalam persamaan (M) lebih besar dari hasil pengurangan total persamaan dalam model (G) dengan satu. Hasil identifikasi yang menghasilkan kesimpulan overidentifikasi memungkinkan persamaan untuk diestimasi dengan Two-Stage Least Squares (2SLS). 4.3.3. Evaluasi Model Terdapat tiga kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi model ekonometrika yaitu: (1) kriteria ekonomi, (2) kriteria satistik, (3) dan kriteria ekonometrika (Koutsoyiannis, 1977). Berdasarkan kriteria ekonomi, model dievaluasi dengan melihat apakah tanda dan besarnya parameter dugaan variabelvariabel penjelas dalam persamaan sesuai dengan hipotesis. Berdasarkan kriteria statistik, akan dilihat besarnya nilai koefisien determinasi (R2), nilai uji-f dan uji-t. Pada kriteria ekonometrik yang digunakan ialah dengan melihat adanya Autokorelasi dan Heteroskkedastisitas. Berikut serangkaian evaluasi model yang dilakukan: 4.3.3.1. Kesesuaian Model Kesesuaian model (Goodness Of Fit) dihitung dengan nilai koefisien determinasi R2. koefisien determinasi R2 bertujuan untuk mengukur keragaman variabel dependen yang dapat diterapkan oleh variabel independen. R2
49
menunjukan besarnya pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut : R2 =
jumlah kuadrat regresi jumlah kuadrat galat = 1jumlah kuadrat total jumlah kuadrat total
Selang R2 yang digunakan adalah 0
50
a = dugaan parameter Statistik uji yang digunakan dalam uji-f : f hitung =
SSR / (k - 1) SSE / (n - k)
Dengan derajat bebas = (k – 1), (n – k) Dimana : SSR
= jumlah kuadrat regresi
SSE
= jumlah kuadrat sisa
k
= jumlah parameter
n
= jumlah pengamatan
Kemudian dilakukan pengujian dimana f-hitung dari hasil analisis dibandingkan dengan f-tabel. Jika f-hitung > f-tabel maka tolak H0 berarti ada minimal satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel endogen. Sedangkan jika f-hitung < f-tabel maka terima H0 yang berari secara bersama-sama variabel yang digunakan tidak bisa menjelaskan secara nyata keragaman dari varibel endogen. 4.3.3.3. Uji-t Uji parsial (uji-t) bertujuan untuk mengetahui apakah variabel eksogen yang terdapat dalam model secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Mekanisme uji staristik t adalah seperti berikut : Hipotesis : H0
= Perubahan satu variabel eksogen secrara individu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel endogen.
H1
= Perubahan satu variabel eksogen secara individu berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel endogen.
51
t tabel = t (α/2), (n-k-1) Statistik uji yang dapat digunakan dalam uji-t : t hitung =
bi S (bi )
Dimana : bi
= koefisien parameter dugaan
S (bi) = standar deviasi parameter dugaan Kriteria uji : t hitung < t tabel ; maka terima h0 t hitung > t tabel ; maka tolak h0, dan terima h1 Semakin banyak h0 yang ditolak maka suatu model akan semakin baik untuk dijadikan model pendugaan persamaan simultan. 4.3.3.4. Uji Autokorelasi dan Heteroskedastisitas Persamaan dalam penelitian ini menggunakan data time-series yang mengandung lagged endogenous variable. Pada jenis data seperti ini sering ditemukan masalah autokorelasi, dimana terjadi hubungan error-term antar dua pengamatan.
Dalam
Koutsoyiannis
(1977),
adanya
autokorelasi
dapat
menyebabkan terjadinya : 1 ) Varians yang diperoleh dari pendugaan lebih kecil daripada nilai varians yang sesungguhnya. 2 ) Hasil dugaan dengan metode 2SLS bersifat inefisien, artinya variansnya lebih besar dibandingkan dengan metode ekonometrik lainnya. Uji yang sering digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi adalah uji d (Durbin Watson Statistic). Namun dikarenakan dalam
52
persamaan yang diamati terdapat lagged endogenous variable maka uji d menjadi tidak valid. Sehingga dalam penelitian ini untuk menguji autokorelasi digunakan Breusch – Godfrey Serial Correlation LM Test. Dimana jika nilai probability Breusch – Godfrey Serial Correlation LM Test lebih besar dari taraf α yang digunakan maka dapat disimpulkan dalam persamaan tersebut tidak terdapat masalah autokorelasi. Sedangkan untuk masalah heteroskedastisitas, dalam penelitian ini menggunakan White Heteroskedastisity Test. Dimana jika nilai probability White Heteroskedastisity Test lebih besar dari taraf α yang digunakan maka disimpulkan tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. 4.3.4. Pengukuran Elastisitas Pengukuran elastisitas dilakukan untuk melihat seberapa besar derajat kepekaan variabel endogen pada suatu persamaan terhadap perubahan yang terjadi pada variabel eksogen yang mempengaruhinya. Nilai elastisitas diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :
Esr Yt , Xi =
ai Xi ( Yt)
Dimana :
Esr Yt , Xi
= Elastisitas variabel Yt terhadap Variabel Xt
ai
= Parameter dugaan variabel eksogen Xi
Xi
= Rata-rata variabel eksogen Xi dalam periode pengamatan
Yt
= Rata-rata variabel endogen Yt dalam periode pengamatan
53
Kriteria uji : 1) Jika nilai elastisitas lebih dari satu (E > 1), dikatakan elastis (responsive) karena perubahan satu persen variabel eksogen mengakibatkan perubahan variabel endogen lebih dari satu persen. 2) Jika nilai elastisitas antara nol dan satu ( 0 < E< 1), dikatakan inelastis (tidak responsive),
karena
perubahan
satu
persen
variabel
eksogen
akan
mengakibatkan perubahan variabel endogen kurang dari satu persen. 3) Jika nilai elastisitas sama dengan nol (E = 0), dikatakan inelatis sempurna. 4) Jika nilai elastisitasnya tak hingga (E = ∞), dikatakan elastis sempurna. 5) Jika nilai elastisitasnya sama dengan satu (E = 1), dikatakan unitary elastis. Selanjutnya, untuk kepentingan proyeksi, digunakan parameter elastisitas yang diperoleh dari hasil pendugaan fungsi areal panen dan fungsi produkstivitas. Dengan demikian proyeksi areal panen, produktivitas dan produksi suatu komoditas (Adnyana,1999) dapat dirumuskan sebagai berikut: Ait
= Ait-1(1 + єiρi + Σєizρz)
Yit
= Yit-1(1 + ωiρi + Σψkwk)
Qgit
= Ait x Yit
Dimana : Ait
= Luas areal panen padi pada waktu t,
Ait-1
= Luas areal panen padi pada waktu t-1,
єi
= Elastisitas areal panen terhadap harga sendiri (gabah),
ρi
= Laju pertumbuhan harga riil gabah,
єiz
= Elastisitas areal panen terhadap faktor lainnya z,
ρz
= Laju pertumbuhan faktor lain z,
Yit
= Produktivitas padi pada periode t,
54
Yit-1
= Produktivitas padi pada periode t-1,
ωi
= Elastisitas hasil terhadap harga sendiri (gabah),
ψk
= Elastisitas hasil terhadap input lainnya k,
wk
= Laju pertumbuhan input lainnya k,
Qgit
= Total produksi padi pada tahun t.
Proyeksi produksi beras dilakukan dengan mengalikan produksi padi dengan angka konversi padi ke beras. Sedangkan proyeksi konsumsi beras dilakukan dengan menggunakan elastisitas permintaan (konsumsi) beras terhadap perubahan harga beras dan jumlah penduduk. Model proyeksi permintaan beras dapat dirumuskan sebagai berikut: Qdit
= Qdit-1(1 + ηiρi + σiτi)
Diaman: Qdit
= Permintaan beras pada wakktu t,
Qdit-1 = Permintaan beras pada waktu t-1 ηi
= Elastisitas permintaan terhadap harga sendiri (beras),
ρi
= Laju pertumbuhan harga riil beras,
σi
= Elastisitas permintaan beras terhadap jumlah penduduk
τi
= Laju pertumbuhan penduduk.
4.3.5. Validasi Model Untuk mengetahui apakah model yang diduga dapat merefleksikan dengan baik realitas dan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk memenuhi tujuan aplikasi model dan peramalan atau proyeksi maka sebelum diaplikasi model terlebih dahulu divalidasi. Kriteria statistik yang sering digunakan untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika adalah Root Mean Square Percent Error
55
(RMSPE) dan Theil’s Coefficient (U) (Pyndick dan Rubinfeld,1998) adalah sebagai berikut :
1 T Y e Y a RMSPE = t a t Yt T t 1
2
1 T e a 2 T Yt Yt t 1
U=
1 T e 2 T Yt t 1
0 .5
0 .5
0 .5
2 1 T Yt a T t 1
0 .5
Dimana : RMSPE
= Akar tengah kuadrat persen galat
U
= Koefisien ketidaksamaan Theil
Yt e
= Nilai dugaan model
Yt a
= Nilai pengamatan contoh
T
= Jumlah pengamatan dalam simulasi Statistik RMSPE digunakan untuk mengetahui seberapa jauh nilai-nilai
peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dapat nilai-nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Sementara statistik U juga untuk mengukur besarnya penyimpangan nilai-nilai dugaan tersebut yang bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien ketidaksamaan Theil (U) berkisar antara 0 dan 1. Jika U = 0, maka pendugaan model adalah sempurna, dan jika U = 1 maka pendugaan model adalah naif. Pada dasarnya semakin kecil nilai RMSPE dan U semakin baik pendugaan model.
56
4.3.6. Definisi Operasional 1)
Data time series adalah data yang dikumpulkan dari beberapa tahapan waktu secara kronologis pada serangkaian variabel yang diamati pada interval waktu tertentu, misalnya mingguan, bulanan, dan tahunan.
2)
Gabah atau padi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gabah kering giling (GKG).
3)
Beras adalah semua hasil total dari konversi padi dalam satuan ribu ton.
4)
Produksi beras adalah jumlah total produksi beras di Indonesia dalam satuan ribu ton.
5)
Konsumsi beras adalah konsumsi beras total yang terdiri dari konsumsi untuk pangan, konsumsi untuk industri pangan dan non pangan, konsumsi benih setara beras dan konsumsi lainnya yang dinyatakan dalam satuan ribu ton.
6)
Luas areal panen merupakan luas seluruh areal produktif atau panen tanaman padi di Indonesia dinyatakan dalam satuan ribu Ha.
7)
Produktivitas padi merupakan hasil bagi antara produksi padi Indonesia dengan luas areal panen tanaman padi.
8)
Harga riil gabah merupakan merupakan harga gabah ditingkat petani yang dideflasi dengan indeks harga konsumen (tahun 2000=100) dinyatakan dalam satuan Rp/Kg.
9)
Harga riil beras merupakan harga beras medium setelah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun 2000=100) dinyatakan dalam satuan Rp/Kg.
57
10 ) Harga riil jagung merupakan harga jagung setelah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun 2000=100) dinyatakan dalam satuan Rp/Kg. 11 ) Harga riil pupuk urea merupakan harga pupuk urea setelah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun 2000=100) dinyatakan dalam satuan Rp/Kg. 12 ) Upah riil buruh tani merupakan upah yang dibayarkan kepada pekerja tani setelah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun 2000=100) yang dinyatakan dalam satuan Rp/HOK. 13 ) Luas areal irigasi merupakan luas keseluruhan areal sawah yang memperoleh air irigasi dinyatakan dalam satuan ribu Ha. 14 ) Luas areal intensifikasi merupakan luas keseluruhan areal sawah yang memperoleh program intensifikasi, dinyatakan dalam satuan ribu Ha. 15 ) Swasembada Beras merupakan suatu keadaan dimana produksi total beras domestik melebihi tingkat konsumsi beras total, minimal tingkat produksi yang diperoleh sama dengan tingkat konsumsinya.
58
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia seperti yang terlihat pada Tabel 6 dari tahun ke tahun terlihat adanya fluktuasi dengan kecenderungan mengalami peningkatan tiap tahunnya. Akibat adanya peningkatan produktivitas dan luas areal tanaman padi, produksi padi nasional mengalami trend yang terus meningkat. Selama kurun waktu 37 tahun produksi beras nasional mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 2,8% per tahun dengan rata-rata produksi sebanyak 26.725,78 ribu ton per tahun. Upaya meningkatkan produksi beras untuk mencapai swasembada beras telah dilakukan sejak tahun 1968/9, selain mengembangkan Bimas Gotong Royong dengan Panca usaha taninya pemerintah juga membangun industri pupuk berkapasitas
besar,
menetapkan
harga
eceran
tertinggi
(HET)
dan
mendistribusikan pupuk bersubsidi. Sarana irigasi dibangun dan diperbaiki, baik yang berskala besar, sedang maupun kecil. Kebijakan stabilisasi harga gabah dan beras dibuat dengan menetapkan harga dasar, stabilisasi harga dalam negeri. Stabilisasi harga dilakukan oleh Bulog dengan hak monopoli pengadaan dalam negeri, impor, penyimpanan dan penyaluran beras. Dukungan program yang lengkap, besar dan sentralistis memungkinkan produksi padi Indonesia meningkat. Peningkatan itu mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia berswasembada beras, namun setelah tahun 1984, dukungan pembangunan perberasan nasional semakin berkurang. Pembangunan nasional diarahkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan industri. Sebagai akibatnya produksi padi tidak pernah dapat memenuhi kebutuhan nasional dan menyebabkan Indonesia kembali menjadi importir beras.
59
Tabel 6. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1970-1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1980-1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 1990-1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2000-2006 Rata-rata
Produksi Beras (Ribu Ton) 12.893,78 13.466,73 12.935,53 14.333,50 14.989,50 14.900,25 15.541,73 15.572,54 17.189,66 17.530,53 14 935.38 19.777,82 21.860,38 22.400,33 23.547,11 25.437,01 26.034,97 26.497,75 26.732,15 27.798,01 29.831,96 24 991,75 30.134,23 29.807,06 32.176,09 32.136,79 31.109,88 33.179,34 34.084,70 32.934,50 32.816,29 33.927,88 32.230,68 34.615,96 33.657,35 34.343,63 34.736,58 35.005,29 35.287,86 35.570,44 34.745,30 26.725,78
Pert. (%) 4,4 -3,9 11 4,6 -0,6 4,3 0,2 10 2 3,6 13 11 2,5 5,1 8 2,4 1,8 0,9 4 7,3 5,5 1 -1,1 7,9 -0,1 -3,2 6,7 2,7 -3,4 -0,4 3,4 1,4 2 -2,8 2 1,1 0,8 0,8 0,8 0,7 2,8
Konsumsi Beras Total (Ribu Ton) 13.507,14 14.638,32 15.118,85 15.490,67 15.911,09 17.014,91 17.459,94 17.773,04 18.465,41 20.120,41 16.549.98 20.359,07 21.792,65 23.296,86 23.545,36 24.473,10 25.812,37 25.780,52 27.643,28 28.815,52 29.893,19 25.141.19 30.741,01 30.848,90 31.533,19 32.174,38 32.811,99 34.950,98 33.839,26 34.302,63 35.799,43 37.641,75 33.464.35 36.924,78 36.558,67 36.725,34 36.126,95 36.053,94 35.901,68 35.675,91 36.281,04 27.859,14
Pert. (%) 8,4 3,3 2,5 2,7 6,9 2,6 1,8 3,9 9 4,6 1,2 7 6,9 1,1 3,9 5,5 -0,1 7,2 4,2 3,7 4,1 2,8 0,4 2,2 2 2 6,5 -3,2 1,4 4,4 5,1 2,4 -1,9 -1 0,5 -1,6 -0,2 -0,4 -0,6 -0,7 2,6
Selisih produksi dan konsumsi -613,36 -1.171,59 -2.183,32 -1.157,17 -921,58 -2.114,66 -1.918,21 -2.200,50 -1.275,75 -2.589,88 -1.614,60 -581,25 67,73 -896,53 1,75 963,91 222,60 717,23 -911,13 -1,017,51 -61,23 -149,44 -606,78 -1.041,84 642,90 -37,59 -1.702,11 -1.771,64 245,44 -1.368,13 -2.983,14 -3.713,87 -1.233,68 -2.308,82 -2.901,32 -2.381,71 -1.390,37 -1.048,65 -613,81 -105,47 -1.535,74 -1.133,36
Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.
60
Tahun 1998 merupakan tahun penting bagi sejarah perberasan nasional. Banjir yang sebagai akibat El-Nino menyebabkan produksi padi merosot hingga 4%. Pada saat yang sama terjadi krisis ekonomi yang membuat banyak penduduk kehilangan pekerjaan serta pendapatannya menurun sehingga tingkat kemiskinan meningkat tajam. Dalam situasi tersebut datang saran IMF untuk meliberalisasi sektor pertanian. Liberalisasi pertanian diwujudkan dengan menghapus berbagai instrumen kebijakan beras seperti subsidi input, monopoli Bulog, dan subsidi lainnya. Subsidi pupuk dicabut yang diikuti dengan liberalisasi pupuk yang sebelumnya dimonopoli Pusri. Monopoli impor beras oleh Bulog dicabut pada akhir tahun 1999 dan impor terbuka bagi siapa saja sehingga tidak terkontrol. Pertengahan periode tahun 2000-2006, produksi padi kembali ditingkatkan dengan upaya revitalisasi pertanian, dari itu secara perlahan prosuksi padi mulai meningkat kembali. Kondisi konsumsi beras di Indonesia, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun, kebutuhan akan beras juga turut meningkat baik untuk konsumsi pangan maupun sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan, konsumsi benih dan konsumsi lainnya. Selama kurun waktu 37 tahun pertumbuhan rata-rata konsumsi beras sebesar 2,6% per tahun dengan rata-rata konsumsi tiap tahunnya sebanyak 27.859,14 ribu ton. Secara keseluruhan selama kurun waktu 37 tahun ini konsumsi beras rata-rata per tahun lebih tinggi dibandingkan produksi beras rata-rata per tahun, karena itu produksi beras domestik seringkali masih belum
menutupi konsumsi beras domestik,
sehingga untuk menutupi kekurangan tersebut pemerintah mengimpor beras dari luar negeri. Peningkatan konsumsi beras domestik selain karena laju pertumbuhan penduduk, juga dikarenakan beralihnya penduduk Indonesia yang tadinya bukan
61
konsumen beras menjadi konsumen beras. Meskipun demikian, seperti yang terlihat pada Tabel 6 laju pertumbuhan konsumsi beras domestik tiap dekadenya mengalami penurunan, hal ini menunjukan adanya pergeseran selera konsumen dari beras terhadap komoditas yang lebih beragam seiring dengan peningkatan kesejahteraan penduduk Indonesia. 5.1.1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode 1970-1979 Pada periode 1970-1979 perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia mengalami fluktuasi dengan rata-rata produksi sebanyak 14.935,38 ribu ton per tahun dan rata-rata pertumbuhannya sebesar 3,6% per tahun. Karena laju pertumbuhan penduduk yang cukup pesat, konsumsi beras pada periode ini memiliki angka rata-rata yang lebih tinggi dari produksi yaitu sebanyak 16.549,98 ribu ton per tahun, dengan laju pertumbuhan rata-rata yang juga lebih tinggi dari
000 Ton
laju pertumbuhan produksi yaitu sebesar 4,6% per tahun 21,000.00 20,000.00 19,000.00 18,000.00 17,000.00 16,000.00 15,000.00 14,000.00 13,000.00 12,000.00 11,000.00 10,000.00 1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
Tahun Produksi
Konsumsi
Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.
Gambar 8. Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1970-1979 Produksi padi rata-rata pada periode ini juga menunjukan pertumbuhan yang sangat lambat, hal ini dapat dilihat pada Tabel 7 rata-rata pertumbuhan luas areal panen hanya 0,99% per tahun, bahkan produktivitas memiliki rata-rata pertumbuhan 0,47 % per tahun, sehingga rata-rata pertumbuhan produksi padi
62
hanya 1,43% per tahunnya. Bahkan pada tahun 1972 terjadi penurunan produksi beras yang cukup tajam hingga 3,9% yang disebabkan oleh gagal panen karena pengaruh musim, yang pada masa itu Indonesia bagian tengah megalami musim kering yang hebat, sehingga produksi padi menurun karena luas areal panennya menurun hingga 3,97%. Tabel 7. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 19701979 Tahun 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 Ratarata
Areal panen (000 Ha) 8.135,08 8.324,39 7.993,98 8.403,60 8.518,60 8.495,10 8.368,76 8.359,57 8.929,17 8.803,56
Pert. (%)
Produktivitas (Ton/ha)
Pert. ( %)
1,52 2,33 -3,97 5,12 1,37 -0,28 -1,49 -0,11 6,81 -1,41
3,11 3,17 3,21 3,34 2,64 2,63 2,78 2,79 2,89 2,99
5,68 2,06 1,26 4,14 -21,03 -0,42 5,90 0,32 3,33 3,43
Produksi padi (000 ton) 25.269,24 26.392,18 25.351,11 21.489,24 22.464,38 22.330,65 23.300,94 23.347,13 25.771,57 26.282,.66
8.433,18
0,99
2,95
0,47
24.199.91
Pert. (%) 7,28 4,44 -3,9 -15 4,54 -0,6 4,35 0,2 10,4 1,98 1,34
Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah. Penurunan produksi padi tersebut menyebabkan pada tahun 1972 Indonesia mengalami krisis beras yang ditandai dengan kenaikan harga beras secara tajam di pasaran. Krisis beras tahun 1972 ini terjadi karena adanya optimis yang berlebihan dalam produksi dan supply beras, yaitu akan terjadi kenaikan produksi yang berarti pada tahun 1972, karena produksi tiga tahun sebelumnya melebihi target, sehingga pemerintah mengurangi impor beras, dan ternyata aktivitas pembelian dalam negeri dari Bulog tidak cukup. Selain itu krisis beras yang terjadi tahun 1972 juga disebabkan oleh faktor luar negeri yakni keadaan dunia yang juga mangalami kekurangan beras. Setelah tahun 1972 produksi beras kembali mengalami peningkatan, namun krisis beras yang mulai muncul di kuartal penghabisan tahun 1972 ini berlanjut sampai kuartal penghabisan tahun 1973
63
(Hurabarat, 1974). Sampai pada periode 1974/1975 luas areal panen dan produktivitas belum dapat ditingkatkan karena hama wereng, sehingga terjadi penurunan produksi padi hingga 0,6%. Tahun 1975 mulai ditanam varietas baru yang tahan hama wereng yaitu PB 24, sehingga produksi padi kembali meningkat untuk tahun-tahun berikutnya. Pada dasawarsa ini seperti yang terlihat pada Gambar 8 garis konsumsi selalu berada di atas garis produksi beras, sehingga dapat disimpulkan bahwa produksi beras dalam negeri belum cukup untuk memenuhi konsumsi beras total di Indonesia, dengan kata lain Indonesia mengalami defisit beras. 5.1.2. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode 1980-1989 Dengan tersedianya cukup banyak ragam varietas baru pada pelita III, program intensifikasi berjalan lancar, disamping Insus (Intensifikasi Khusus) untuk daerah berpengairan baik, dilakukan pula Opsus (Operasi Khusus) untuk daerah yang memiliki berbagai hambatan dalam program intensifikasi. Tabel 8.Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 19801989 Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 Ratarata
Areal panen (000 Ha) 9.005,07 9.381,84 8.988,46 9.162,47 9.763,58 9.902,29 9.988,45 9.922,59 10.138,16 10.521,21
Pert. (%)
Produktivitas (Ton/ha)
Pert. ( %)
2,29 4,18 -4,19 1,94 6,56 1,42 0,87 -0,66 2,17 3,78
3,29 3,49 3,74 3,85 3,91 3,94 3,98 4,04 4,11 4,25
10,32 6,07 6,96 3,13 1,38 0,92 0,89 1,48 1,86 3,38
Produksi padi (000 ton) 29.651,91 32.774,18 33.583,68 35.303,11 38.136,45 39.032,95 39.726,76 40.078,20 41.676,17 44.725,58
9.677,41
1,84
3,86
3,64
37.468,90
Pert. (%) 12,8 10,5 2,47 5,12 8,03 2,35 1,78 0,88 3,99 7,32 5,53
Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.
64
Pada Tabel 8 produktivitas padi pada periode ini memiliki pertumbuhan rata-rata yang lebih besar dari periode sebelumnya yaitu sebesar 3,86 % per tahun, peningkatan pertumbuhan produktivitas juga diiringi dengan peningkatan luas areal panen sebesar 1,84 % per tahun, sehingga pertumbuhan produksi padi dapat ditingkatkan hingga 5,55% per tahun. Produksi beras dalam negeri periode 1980-1989 terus mengalami peningkatan dengan rata-rata produksi sebanyak 24.911,75 per tahun. Pada puncaknya tahun 1984 produksi padi meningkat hingga 8,04% dari tahun sebelumnya, sehingga produksi beras dalam negeri dapat menutupi konsumsi beras domestik hingga mencapai surplus sebanyak 963,91 ribu ton, sehingga pada
000 Ton
tahun ini Indonesia berswasembada beras untuk pertama kalinya. 32,000.00 31,000.00 30,000.00 29,000.00 28,000.00 27,000.00 26,000.00 25,000.00 24,000.00 23,000.00 22,000.00 21,000.00 20,000.00 19,000.00 1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
Ta hun P roduk s i
K ons um s i
Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.
Gambar 9. Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1980-1989 Swasembada beras yang dicapai hanya dapat dipertahankan sampai tahun 1986 yang pada saat itu produksi beras mengalami surplus sebesar 717,23 ribu ton, setelah itu Indonesia kembali mengalami defisit beras. Hal ini karena laju pertumbuhan penduduk yang cukup pesat sehingga rata-rata konsumsi beras masih lebih tinggi dari rata-rata produksi yaitu 25.141,19 ribu ton per tahun, dengan laju pertumbuhan rata-ratanya sebesar 4,6% per tahun. Apabila
65
dibandingkan periode sebelumnya tahun 1970-1979, periode ini jauh lebih baik karena dapat mengantarkan Indonesia pada swasembada beras untuk pertama kalinya. 5.1.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode 1990-1999 Pada periode 1990-1999 seperti yang terlihat pada Gambar 10 produksi dan konsumsi beras Indonesia sangat berfluktuasi, dengan rata-rata pertumbuhan produksi sebesar 1,4 % per tahun dan rata-rata produksi sebanyak 32.230,68 ribu ton. Rata-rata pertumbuhan konsumsi beras masih lebih besar dari rata-rata pertumbuhan produksi beras yaitu sebesar 2,4 % per tahun, dengan konsumsi rata-
000 Ton
rata per tahunnya sebanyak 33.464,35 ribu ton. 39,000.00 38,000.00 37,000.00 36,000.00 35,000.00 34,000.00 33,000.00 32,000.00 31,000.00 30,000.00 29,000.00 28,000.00 1990 1991 1992 1993 1994
1995 1996 1997 1998 1999
Ta hun P roduksi
konsum si
Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.
Gambar 10. Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1990-1999 Pada pada tahun 1992 dan 1996 produksi beras melebihi kebutuhan konsumsi beras total, masing-masing mengalami surplus sebesar 642,90 ribu ton dan 245,44 ribu ton. Hal tersebut dapat diraih karena pada tahun 1992 ada peningkatan luas areal panen hingga 7,99% dari tahun sebelumnya, sehingga produksi padi dapat ditingkatkan hingga 7,95%. Pada tahun 1996, luas areal panen dan produksivitas masing-masing meningkat 1,14% dan 1,59%, sehingga produksi padi meningkat 2,87%. Pada periode ini juga terjadi beberapa kali El Nino yaitu
66
pada tahun 1991, 1994 dan 1997 sehingga menurunkan luas areal panen masingmasing sebesar 2,10%, 2,53% dan penurunan yang paling tinggi terjadi pada tahun 1997 sebesar 3,71%, yang mengakibatkan penurunan produksi beras masing-masing sebesar 1,1 %, 3,2 % dan yang terparah saat terjadi krisis beras pada tahun 1997 penurunan sebesar 3,4%, namun konsumsi beras tetap meningkat. Karena itulah pada tahun 1997 Indonesia kembali mengalami krisis beras. Tabel 9. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 19901999 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 Ratarata
Areal panen (000 Ha)
Pert. (%)
Produktivitas (Ton/ha)
Pert. ( %)
Produksi padi (000 ton)
Pert. (%)
10.502,36 10.281,52 11.103,32 11.012,78 10.733,83 11.438,76 11.569,73 11.140,59 11.730,33 11.963,20
-0,18 -2,10 7,99 -0,82 -2,53 6,57 1,14 -3,71 5,29 1,99
4,30 4,35 4,35 4,38 4,35 4,35 4,42 4,43 4,20 4,26
1,22 1,02 -0,02 0,69 -0,69 0,09 1,59 0,32 -5,30 1,41
45.178,75 44.688,25 48.240,01 48.181,09 46.641,52 49.744,14 51.173,51 49.377,05 49.236,69 50.866,39
1,01 -1,1 7,95 -0,1 -3,2 6,65 2,87 -3,5 -0,3 3,31
11.147,64
1,36
4,34
0,03
48.332,74
1,36
Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah. Saat trjadi krisis beras pada tahun 1997/1998, untuk mengisi kekurangan tersebut pemerintah terpaksa mengimpor dalam jumlah yang cukup besar yaitu 5,78 juta ton, merupakan rekor tertinggi selama 30 tahun. Mulai bulan September 1998, impor beras tidak lagi dimonopoli oleh Bulog, pihak swasta diperkenankan mengimpor beras. Pihak swasta memperoleh perlakuan yang sama dengan Bulog bila mereka mengimpor beras, sehingga dalam kurun waktu empat bulan pihak swasta telah mengimpor sebanyak 1,3 juta ton, sehingga impor Indonesia secara keseluruhan berjumlah 7,1 juta ton pada tahun 1998, padahal kekurangan dalam negeri hanya 3,2 juta ton. Sejak itu, pihak swasta selalu mengimpor lebih banyak
67
dari pemerintah (Bulog). Pada
tahun 1999 produksi beras nasional kembali
membaik, produksi padi meningkat 3,4 % disebabkan faktor iklim yang kondusif (Suryana dkk, 2001). 5.1.4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode 2000-2006 Periode 2000-2006 produksi padi ditingkatkan melalui revitalisasi pertanian, sehingga produksi yang diperoleh seperti yang terlihat pada Tabel 10. Tabel 10. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 20002008 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Ratarata
Areal panen (000 Ha)
Pert. (%)
Produktivitas (Ton/ha)
Pert. ( %)
Produksi padi (000 ton)
11.793,48 11.500,00 11.530,68 11.452,60 11.922,97 11.839,06 11.786,43
-1,42 -2,49 0,27 -0,68 4,11 -0,70 -0,44
4,41 4,39 4,47 4,54 4,54 4,57 4,62
3,59 -0,48 1,82 1,57 -0,04 0,84 1,01
50.069,26 50.460,78 51.489,69 52.137,60 54.088,47 54.151,10 54.454,94
-1,6 0,78 2,04 1,26 3,74 0,12 0,56
11.689,32
-0,19
4,51
1,19
52.407,41
0,98
Pert. (%)
Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah. Pada periode ini produksi padi lebih ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas, dengan rata-rata pretumbuhan produktivitasnya sebesar 1,19% per tahun. Sedangkan luas areal panen pada periode ini cenderung menurun dengan rata-rata penurunan sebesar 0,19% per tahun. Karena persentase peningkatan produktivitas masih lebih tinggi dari persentase penurunan luas areal panen, maka produksi beras masih meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 0,98 % per tahun. Seiring dengan perkembangan produksi padi, produksi beras pada periode 2000-2006 memiliki pertumbuhan rata-rata sebesar 0,7% per tahun, dengan produksi rata-rata sebesar 34.745,3 ribu ton. Sedangkan laju konsumsi beras pada periode ini menunjukan hal yang berbeda dengan periode sebelumnya. Konsumsi
68
beras total cenderung mengalami penurunan dengan laju -0,7% per tahun, namun rata-rata konsumsi per tahunnya masih lebih tinggi dari rata-rata produksinya
000 Ton
yaitu sebesar 36.281,04 ribu ton per tahun. 37500 37000 36500 36000 35500 35000 34500 34000 33500 33000 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun Produksi
Konsumsi
Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.
Gambar 11. Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 2000-2006 Pada periode ini hampir tiap tahunnya terjadi penurunan konsumsi beras sehingga pertumbuhan laju konsumsi beras terus menurun hingga mencapai angka negatif. Menurut Pusat Data Informasi Pertanian (2005) dalam Adriana (2007) penurunan tersebut merupakan dampak dari keberhasilan program diversifikasi pangan, serta beralihnya selera penduduk ke komoditas lain sebagai sumber alternatif karbohidrat seperti gandum, kentang, dan umbi-umbian lainnya. Penurunan konsumsi beras menunjukan keberhasilan diversifikasi pangan jika penduduk beralih ke alternatif pangan lain seperti kentang atau umbi-umbian lain seperti ubi atau singkong yang merupakan pangan lokal Indonesia, sehingga diharapkan akan berimplikasi pada penurunan ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras. Pada kenyataannya diversifikasi pangan kita lebih terarah pada konsumsi gandum berupa (tepung terigu, roti dan terutama mie). Oleh karena itu, hal ini tidak dapat dikatakan suatu keberhasilan, karena tanaman gandum merupakan tanaman subtropis, bukan pangan lokal Indonesia sehingga tidak
69
cocok untuk dibudidayakan di Indonesia. Penurunan konsumsi beras yang trjadi di Indonesia dikarenakan adanya pergeseran selera penduduk terhadap pangan yang lebih beragam seiring dengan peningkatan kesejahteraan. 5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Hasil dugaan model dalam penelitian ini cukup baik. Nilai koefisien determinasi (R2) masing-msing persamaan struktural berkisar antara 0,75 sampai 0,96. Dengan demikian secara umum peubah-peubah penjelas yang ada dalam persamaan struktural mampu menjelaskan dengan baik setiap peubah endogennya. Selain itu, semua peubah penjelas tersebut memiliki parameter dugaan yang tandanya sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi. Besarnya nilai f statistik umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 25,03 sampai 224,06, maka dapat diinterpretasikan bahwa peubah-peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya. Nilai statistik t digunakan untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas secara individual berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Hasil statistik-t yang diperoleh menunjukan bahwa sebagian besar peubah penjelas signifikan pada taraf α yang digunakan yaitu 0,05-0,15. Pengujian masalah autokorelasi dapat dilakuakan dengan uji Durbin Watson (D.W) statistic, karena dalam persamaan terdapat variabel lag maka uji D.W satistic menjadi tidak valid, maka dalam penelitian ini mnggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Corelation LM Test. Nilai probability Obs*R-squared dari Breusch-Godfrey Serial Corelation LM Test yang diperoleh dari hasil analisis
70
(Lampiran 3) lebih besar dari taraf α yang digunakan yaitu 0,05-0,15, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi. Pengujian heteroskedastisitas yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan White Heteroskedasticity test. Hasil analisis (Lampiran 4) menunjukan bahwa pada persamaan luas areal panen dan harga beras tidak terdapat masalah heteroskedastisitas, karena nilai probability Obs*R-squared dari White Heteroskedasticity test lebih besar dari taraf α yang digunakan, sedangkan untuk persamaan produktivitas padi dan konsumsi beras menghasilkan nilai probability Obs*R-squared dari White Heteroskedasticity test yang kurang dari dari taraf α yang digunakan, sehingga disimpulkan terdapat masalah heteroskedastisitas. Pada dasarnya pengujian heteroskedastisitas lebih cenderung digunakan untuk data cross section, karena dalam penelitian ini menggunakan data time series maka masalah heteroskedastisitas tidak mempengaruhi validasi estimasi. Untuk masalah multikolinieritas, dalam persamaan simultan dapat diabaikan jika nilai koefisien sesuai dengan teori atau logis dari sudut pandang teori ekonomi. Multikolinieritas dipandang sebagai gejala dalam persamaan simultan yang tidak mempengaruhi validasi estimasi. 5.2.1. Dugaan Model Ekonometrika Setelah dilakukan beberapa spesifikasi model, akhirnya diperoleh model produksi dan konsumsi beras dalam negeri yang terdiri dari empat persamaan struktural sebagai berikut: 5.2.1.1. Luas Areal Panen Tanaman Padi Hasil dugaan persamaan luas areal panen tanaman padi menunjukan bahwa semua tanda parameter dugaan sesuai dengan yang diharapkan dan dapat
71
dilihat pada Tabel 11. Koefisien determinasi menunjukan nilai 0,9607 yang berarti bahwa keragaman luas areal tanaman padi sebesar 96,07% dapat dijelaskan oleh keragaman rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan upah riil buruh tani, luas areal irigasi, harga riil pupuk urea dan trend waktu. Sedangkan sisanya 3,93% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukan dalam model. Tabel 11. Hasil Dugaan Parameter Luas Areal Panen Tanaman Padi Variabel Koefisien t-hitung P Elastisitas Nama Variabel C 5692,800 4,366888 0,0001 Intersep HGt/UBTt 3577,304 2,117356* 0,0421 0,0419 Rasio harga G/U LIRt 0,340971 1,589206 0,1218 Luas teririgasi HPUt -24,43849 -0,754560 0,4560 Upah tani T 137,3534 15,81934* 0,0000 Trend waktu R-sq 0,960731 Adj R-sq 0,955822 F-stat 195,7219 Prob(F0,000000 statistic) Keterangan: * = Nyata pada taraf 5% Berdasarkan uji-f menunjukan bahwa, keragaman rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani, luas areal irigasi, harga riil pupuk urea dan trend waktu secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman luas areal panen tanaman padi dan secara statistik nyata pada level 0,0000. Sedangkan berdasarkan uji-t menunjukan bahwa, secara individu luas areal panen tanaman padi dipengaruhi secara nyata oleh rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani dan trend waktu. Terdapat pengaruh positif perkembangan teknologi yang diwakili oleh variabel trend terhadap luas areal panen padi yaitu dengan parameter dugaan sebesar 137,3534. Rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani berhubungan positif dan berpengaruh nyata terhadap luas areal panen padi. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan harga gabah memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan luas areal panen padi, dalam bentuk rasio antara harga riil gabah
72
dengan upah riil buruh tani. Nilai parameter dugaan yang diperolaeh sebesar 3577,304 yang berarti jika rasio harga riil gabah dan upah riil buruh tani meningkat satu satuan maka luas areal panen akan meningkat 3577,304 ribu Ha, cateris paribus. Nilai elastisitas luas areal panen padi terhadap rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani sebesar 0,0419, berarti luas areal panen padi tidak responsif terhadap perubahan rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani. Apabila rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani meningkat satu persen maka luas areal panen hanya akan meningkat 0,0419%, cateris paribus. 5.2.1.2. Produktivitas Padi Hasil dugaan persamaan produktivitas padi Indonesia menunjukan bahwa semua tanda parameter dugaan telah sesuai dengan yang diharapkan dan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Dugaan Parameter Produktivitas Tanaman Padi Variabel Koefisien t-hitung P Elastisitas Nama Variabel C -0,454467 -0,772051 0,4456 Intersep HGt/UBTt 4,621644 3,999916* 0,0003 0,1421 Rasio harga G/U JPUt 0,003777 1,852695** 0,0729 0,1250 Jumlah urea LINt 0,000630 5,225209* 0,0000 0,8520 Luas intensifikasi R-sq 0,8415 Adj R-sq 0,8271 F-stat 58,41498 Prob(F0,000000 statistic) Keterangan: * = Nyata pada taraf 5% ; **=Nyata pada taraf 10% Nilai koefisien determinasi dari model produktivitas padi adalah sebesar 0,8415. Artinya 84,15% keragaman produktivitas padi dapat diterangakan oleh keragaman peubah-peubah penjelas yang terdiri dari rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, serta luas areal intensifikasi. Sedangkan sisanya sebesar 15,85 % dijelaskan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam model.
73
Dengan menggunakan uji-f diperoleh bahwa keragaman rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, dan luas areal intensifikasi secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman produktivitas padi dan secara statistik nyata pada level 0,0000. Hasil uji-t menunjukan bahwa secara individu produktivitas padi dipengaruhi secara nyata oleh rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, dan luas areal intensifikasi. Rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani berhubungan positif dan berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan harga riil gabah dapat meningkatkan produktivitas padi dalam bentuk rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani. Nilai parameter dugaan yang diperoleh sebesar 4,621644 yang berarti jika rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani meningkat satu satuan maka produktivitas akan meningkat 4,621644 Ton/Ha, cateris paribus. Nilai elastisitas produktivitas padi terhadap rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani sebesar 0,1421, berarti produktivitas padi tidak responsif terhadap perubahan rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani. Apabila rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani meningkat satu persen maka produktivitas padi hanya meningkat 0,1421%, cateris paribus. Banyaknya penggunaan pupuk urea pada takarannya berhubungan positif dan berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi. Nilai parameter dugaan sebesar 0,003777 menunjukan bahwa jika penggunaan pupuk urea meningkat satu Kg/Ha, maka produktivitas padi akan meningkat 0,003777 Ton/Ha, cateris paribus. Nilai elastisitas produktivitas padi terhadap jumlah penggunaan pupuk sebesar 0,1250, menunjukan bahwa produktivitas padi tidak responsif terhadap
74
perubahan jumlah penggunaan pupuk urea. Apabila jumlah penggunaan pupuk urea meningkat satu persen maka produktivitas padi hanya meningkat 0,1250%, cateris paribus. Variabel luas areal intensifikasi berhubungan positif dan berpengaruh nyata pada terhadap produktivitas padi. Nilai parameter dugaan 0,000630 yang berarti jika luas areal intensifikasi meningkat seribu hektar, maka produktivitas padi meningkat sebesar 0,000630 Ton/Ha, cateris paribus. Nilai elastisitas produktivitas padi terhadap luas areal intensifikasi sebesar 0,8520, menunjukan bahwa produktivitas padi tidak responsif terhadap luas areal terintensifikasi. Apabila luas areal intensifikasi meningkat satu persen maka produktivitas hanya akan meningkat 0,8520%, cateris paribus. 5.2.1.3. Konsumsi Beras Hasil dugaan persamaan konsumsi beras menunjukan bahwa semua tanda parameter dugaan sesuai dengan yang diharapkan dan dapat dilihat pada Tabel 13. Koefisien determinasi menunjukan nilai 0,9653 yang berarti bahwa keragaman luas areal tanaman padi sebesar 96,53% dapat dijelaskan oleh keragaman harga beras, populasi, PDB riil dan harga jagung. Sedangkan sisanya 3,47 % dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukan dalam model. Tabel 13. Hasil Dugaan Parameter Konsumsi Beras Variabel Koefisien t-hitung P Elastisitas C -23882,63 -3,280358 0,0025 HBt -305,3941 -1,672872*** 0,1041 -0,2133 POPt 0,326100 5,899774* 0,0000 2,6614 PDBt -4,836930 -1,346653 0,1876 HJt 460,6333 1,149004 0,2591 R-sq 0,9653 Adj R-sq 0,9610 F-stat 224,0560 Prob(F0,000000 statistic) Keterangan: * = Nyata pada taraf 5% ;***= Nyata pada taraf 15%
Nama Variabel Intersep Harga beras Populasi PDB riil Harga jagung
75
Berdasarkan uji-f menunjukan bahwa keragaman harga beras, populasi, PDB riil dan harga jagung secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman konsumsi beras dan nyata secara statistik pada level 0,0000. Hasil uji t menunjukan bahwa secara individu konsumsi beras dipengaruhi secara nyata oleh harga beras dan populasi. Sedangkan PDB riil dan harga jagung tidak berpengaruh nyata. Harga beras berhubungan negatif dan berpengaruh nyata terhadap konsumsi beras. Nilai parameter dugaan yang diperoleh -305,3941 yang berarti jika trjadi kenaikan harga beras satu Rp/Kg maka konsumsi beras akan menurun 305,3941 ribu ton, cateris paribus. Nilai elastisitas konsumsi beras terhadap perubahan harga beras sebesar -0,2133, menunjukan bahwa konsumsi beras tidak responsif terhadap perubahan harga beras. Apabila harga beras meningkat satu persen maka konsumsi hanya akan menurun 0,2133%, cateris paribus. Konsumsi beras tidak responsif terhadap perubahan harga beras, karena beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia yang hingga saat ini belum dapat digantikan oleh komoditas lainnya, sehingga berapapun harga beras, tidak akan terlalu banyak mempengaruhi penduduk Indonesia untuk tidak mengkonsumsi beras. Banyaknya populasi berhubungan positif dan berpengaruh nyata terhadap konsumsi beras. Nilai parameter dugaan 0,326100 yang berarti jika terjadi kenaikan jumlah penduduk sebanyak seribu jiwa maka konsumsi beras akan naik 326,100 ton. Nilai elastisitas konsumsi beras terhadap perubahan populasi sebesar 2,6614, menunjukan bahwa konsumsi beras responsif terhadap perubahan populasi. Apabila populasi meningkat satu persen maka konsumsi beras akan meningkat 2,6614%, cateris paribus.
76
PDB riil berhubungan negatif dan tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi beras. Semakin tinggi PDB riil maka konsumsi beras
cenderung
menurun karena seiring dengan peningkatan kesejahteraan penduduk, permintaan terhadap makanan semakin beragam. Untuk variabel harga jagung yang berhubungan positif tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi beras karena, walaupun harga jagung lebih murah dari harga beras, penduduk Indonesia tidak serta merta beralih mengkonsumsi jagung. 5.2.1.4. Harga Beras Hasil dugaan persamaan harga beras domestik menunjukan bahwa semua tanda parameter dugaan sesuai dengan yang diharapkan dan dapat dilihat pada Tabel 14. Koefisien determinasi menunjukan nilai 0,7578 yang berarti bahwa keragaman harga beras sebesar 75,78% dapat dijelaskan oleh keragaman produksi beras tahun sebelumnya, pertumbuhan konsumsi beras dan harga beras pada tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya 24,22% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukan dalam model. Tabel 14. Hasil Dugaan Parameter Harga Beras Domestik Variabel Koefisien t-hitung P Elastisitas C 3,112823 1,016503 0,3170 PBt-1 -3,23E-05 -0,193308 0,8479 PKBt 0,095552 0,787086 0,4370 HBt-1 0,747394 5,895602* 0,0000 T 0,116259 1,027490 0,3119 R-sq 0,7578 Adj R-sq 0,7275 F-stat 25,03203 Prob(F0,000000 statistic) Keterangan: * = Nyata pada taraf 5%
Nama Variabel Intersep Lag Prod. beras Pert. Konsumsi Lag harga beras Trend waktu
Nilai uji-f yang dihasilkan menunjukan bahwa peubah-peubah penjelas yang terdapat dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik. Nilai uji-t yang diperoleh menunjukan bahwa yang
77
berpengaruh nyata terhadap harga beras adalah harga beras tahun sebelumnya. Produksi beras tahun sebelumnya, pertumbuhan konsumsi beras dan trend waktu tidak berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik. Tanda yang diperoleh untuk variabel produksi beras tahun sebelumnya dan pertumbuhan konsumsi beras, sesuai dengan terori penawaran dan permintaan, yang dalam hal ini produksi sebagai penawaran berhubungan negatif terhadap harga beras, menunjukan bahwa ketika produksi beras pada tahun sebelumnya yang dalam penelitian ini berperan sebagai penawaran naik atau berlimpah maka harga beras akan turun, sedangkan konsumsi beras yang dalam penelitian ini sebagai komponen permintaan bertanda positif yang memiliki arti ketika konsumsi naik, harga akan naik. Peubah bedakala berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik dengan nilai koefisien dugaannya sebesar 0,747394. Artinya jika terjadi peningkatan harga beras domestik tahun sebelumnya sebesar satu Rp/Kg maka harga beras akan naik sebesar 0,747394 rupiah per kilogram, cateris paribus. Parameter peubah bedakala harga beras yang berbeda nyata dan mendekati satu berarti harga beras memerlukan tenggang waktu yang relatif lambat dalam menyesuaikan berbagai perubahan situasi ekonomi yang memepengaruhinya. 5.3.
Proyeksi Produksi dan Konsumsi beras tahun 2009-2013 serta Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia
5.3.1. Hasil Validasi Model Setelah melalui uji validasi model (Lampiran 5), diperoleh nilai RMSPE dibawah lima puluh persen untuk persamaan produktivitas sebesar 0,250. Nilai RMSPE diatas lima puluh persen terjadi pada persamaan harga beras sebesar 1,682, persamaan luas areal panen sebesar 258,290 dan persamaan konsumsi beras
78
sebesar 1462,340. Nilai koefisien ketidaksamaan Theil (U) yang diperoleh yaitu 0,013 untuk persamaan luas areal panen, 0,032 untuk persamaan produktivitas, 0,026 untuk persamaan konsumsi beras dan 0,044 untuk persamaan harga beras. Dari hasil validasi yang diperoleh menunjukan bahwa secara keseluruhan pendugaan model cukup baik, sehingga dapat digunakan untuk proyeksi. 5.3.2. Proyeksi Produksi Padi Setelah diperoleh pendugaan model yang baik, maka dilanjutkan pada proses proyeksi untuk mengetahui seberapa besar penawaran beras dalam negeri pada tahun-tahun berikutnya. Proyeksi penawaran beras dalam bahasan ini lebih difokuskan pada kemampuan produksi dalam negeri untuk mengimbangi konsumsi beras domestik. Proyeksi produksi padi dihitung atas perkalian areal panen dan produktivitas tanaman padi. Dalam kurun waktu 5 tahun kedepan (2009-2013), areal panen padi diperkirakan akan meningkat sebesar 0,01% per tahun begitu juga dengan produktivitas dapat ditingkatkan rata-rata 3,05% per tahun sehingga produksi padi masih dapat ditingkatkan rata-rata 3,06% per tahun. Tabel 15. Proyeksi Luas Areal Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Padi Luas Areal Panen Produktivitas Produksi Padi Tahun (000Ha) (Ton/Ha) (000 Ton) 2009 11790,52 5,06 59610,80 2010 11791,88 5,21 61436,32 2011 11793,24 5,37 63317,75 2012 11794,60 5,53 65256,79 2013 11795,97 5,70 67255,21 Pert. 0,01% 3,05% 3,06%
Kondisi ini memberi gambaran yang optimis terhadap produksi padi di Indonesia. Luas areal panen tanaman padi dan produktivitas padi terus meningkat tiap tahunnya, sehingga produksi padi terus maningkat dalam lima tahun kedepan, sehingga diharapkan dapat mengantarkan Indonesia pada keadaan surplus beras.
79
5.3.3. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Proyeksi produksi beras diperoleh dari hasil produksi padi dikali dengan angka konversi dari padi ke beras sebesar 0,63 dengan alasan karena angka inilah yang berlaku saat ini sebagai angka rendemen dari padi ke beras. Proyeksi konsumsi beras menggunakan asumsi pertumbuhan penduduk tiap tahunnya meningkat 1,24% dan diasumsikan pertumbuhan trsebut menurun 0,03% per tahun. Berdasarkan hasil proyeksi konsumsi beras total diperoleh bahwa konsumsi beras kedepan meningkat 1,95% per tahun. Dengan demikian konsumsi beras untuk 5 tahun kedepan akan meningkat seperti yang terlihat pada Tabel 16. Tabel 16. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Produksi Beras Konsumsi Beras Tahun (000 Ton) (000 ton) 2009 37554,81 38176,55 2010 38704,88 38958,94 2011 39890,18 39732,40 2012 41111,78 40495,78 2013 42370,78 41247,89 Pert. 3,06% 1,95%
Senjang -621,74 -254,05 157,78 615,99 1122,89
Laju pertumbuhan produksi beras sebesar 3,06% lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan konsumsi beras sebesar 1,95%, sehingga ada kemungkinan untuk Indonesia sampai pada keadaan surplus beras. Seperti yang terlihat pada Tabel 16. Tahun 2009 hingga 2010 Indonesia masih mengalami defisit beras, namun apabila ada upaya yang keras dalam mepertahankan bahkan meningkatkan produksi padi yang telah diraih sekarang, Indonesia dapat sampai pada posisi surplus beras pada tahun 2011. Dengan melihat hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras pada Tabel 16 Indonesia akan menjadi negara yang surplus beras pada tahun 2011. Produksi
80
dapat memenuhi konsumsi beras dalam negeri, keadaan ini akan mengantarkan Indonesia menjadi negara yang mandiri dalam pemenuhan pangannya, sehingga impor beras untuk menutupi konsumsi beras domestik dapat dikurangi. 5.3.4. Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia Senjang antara produksi dan konsumsi beras dihitung beradasarkan kemampuan memproduksi di dalam negeri untuk mengimbangi permintaan atau konsumsi beras. Khusus beras, volume produksi dalam negeri dikonversi dari produksi gabah kering panen dengan satu faktor konversi yang berlaku saat ini yaitu 0,63. Senjang yang disajikan dalam bahasan ini mencerminkan kondisi akhir dari kedua sisi produksi dan konsumsi beras. Berdasarkan hasil proyeksi yang diperoleh, dalam kurun waktu lima tahun (2009-2013), Indinesia mengalami defisit beras hingga tahun 2010. Untuk menutupi kebutuhan beras dalam jangka pendek pemerintah dapat mengimpor beras dengan kecenderungan menurun, namun ekspornya juga akan meningkat, karena produksi beras domestik terus meningkat hingga tahun 2013 dengan angka pertumbuhan yang lebih tinggi dari angka pertumbuhan konsumsi beras domestik yaitu 3,06% per tahun. Jika pemerintah ingin tidak mengimpor beras untuk mengatasi defisit beras pada tahun 2009 dan 2010, berdasarkan hasil proyeksi dengan asumsi produktivitas meningkat 3,05% per tahun, maka pada tahun 2009 luas areal panen yang harus ditambah seluas 195,20 ribu Ha dan pada tahun 2010 luas areal panen harus ditambah seluas 77,40 ribu Ha sehingga kebutuhan konsumsi beras dalam negeri dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Dalam rangka meningkatkan luas areal panen salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah ialah dengan memberi insentif pada petani dengan meningkatkan harga gabah di tingkat petani.
81
Swasembada beras dalam arti surplus beras berdasarkan hasil proyeksi dapat diraih pada tahun 2011. Dalam rangka meraih swasembada tersebut tentunya banyak hal yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam rangka meningkatkan produksi padi. Dalam meningkatkan pertumbuhan produksi padi, dapat dilakukan dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan, berupa pengembangan areal tanam melalui ekstensifikasi dan intensifikasi, berikut ini adalah upaya yang dapat dilakukan dalam jangka panjang untuk meraih swasembada beras di Indonesia diantaranya: 1) Mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh konversi lahan Konversi lahan pertanian merupakan masalah yang serius dalam peningkatan produksi padi nasional, karena sebagian besar terjadi di pulau Jawa yang memiliki lahan pertanian dengan tingkat produktivitas tinggi. Menurut Adriana (2007) pada tahun 1993 Pulau Jawa memiliki pangsa lebih dari 60% produksi beras nasional, namun kini akibat konversi lahan yang besar di Jawa, pada tahun 2006 Pulau Jawa mengalami penurunan pangsa produksi padi nasional yakni sebesar 55%. Proporsi konversi lahan di Pulau Jawa sebesar 79,3%. Dari total konversi lahan pertanian secara nasioanal, 68,3% diantaranya adalah lahan sawah. Berdasarkan data (BPS, 1995) dalam Ilham et all (2005) menemukan bahwa di Jawa semua jenis irigasi mengalami konversi, dimana sawah tadah hujan menempati urutan pertama (310.000 Ha), diikuti oleh sawah irigasi teknis (234.000 Ha) dan sawah irigasi sederhana (167.000 Ha). Dengan semakin tingginya konversi lahan sawah ke non sawah menimbulkan upaya pengembangan areal sawah melalui ekstensifikasi sulit untuk dilakukan, namun berdasarkan data, masih tersedia lahan yang sesuai untuk
82
menanam padi yang belum diupayakan, sehingga potensi ekstensifikasi masih ada, seperi yang terlihat pada Tabel 17. Tabel 17. Lahan yang Sesuai untuk Budidaya Sumber Bahan Pangan (Juta Ha) Penggunaan Lahan Lahan yang Lahan yang sudah Potensi sesuai digunakan Ekstensifikasi Sawah dan lahan basah 24,5 8,5 16,1 Tegalan 25,2 30,1 -4,8 Tanaman tahunan 50,9 25,5 25,4 Total 100,7 64,1 36,7 Sumber : Badan Litbang Pertanian 2004 Sepeti yang terlihat pada Tabel 17, potensi ekstensifikasi untuk tanaman padi memang masih ada, namun jika dilihat proporsinya terhadap tanaman lain, produksi padi tetap memiliki keterbatasan dalam sumberdaya lahan. Untuk itu teknologi budidaya pada lahan marginal dan kurang subur, baik dilahan kering maupun pada agroekosistem lainnya seperti di lahan pasang surut yang sudah banyak ditemukan oleh Balit/Puslit lingkup Badan Litbang Pertanian maupaun oleh perguruan tinggi perlu dikembangkan dan mulai diterapkan. Dengan demikian upaya perluasan areal tanam khususnya diluar pulau jawa masih dapat diupayakan. Karena secara nasional diperkirakan terdapat sekitar 10 juta hektar lahan tidur yang sebagian besar terdapat di luar Jawa terutama Sumatera dan Kalimantan. 2) Menambah dan memperbaiki infrastruktur irigasi Menurut Adnyana (1999) pengoptimalan pemnafaatan air baik yang bersumber dari irigasi maupun air hujan/air tanah dapat meningkatkan indeks pertanaman (IP). Untuk itu irigasi merupakan hal yang penting diperhatikan dalam meraih swasembada beras, karena kondisi infrastruktur irigasi di Indonesia belum memadai. Lebih dari 20% irigasi rusak dan sekitar 80% areal irigasi di propinsi sentra produksi nasional rentan terhadap kekeringan (Deptan, 2008). Dengan
83
demikian bila pemerintah masih berkomitmen untuk berswasembada beras maka infrastruktur irigasi perlu diperbaiki atau bahkan ditambah, karena pengairan sangat berpengaruh terhadap produksi padi. 3) Meningkatkan produktivitas dan inovasi teknologi Peningkatan intensifikasi dalam rangka pencapaian swasembada beras masih sangat diperlukan. Dalam upaya intensifikasi dapat diterapkan diantaranya dengan meningkatkan indeks pertanaman dan produkstivitas lahan disemua daerah penghasil padi baik dilahan sawah maupun dilahan kering. Produktivitas dapat ditingkatkan dengan penerapan teknologi yang tersedia. Menurut Suryana (2006) dalam Adriana (2007) selama periode 19952005 telah dilepas 58 Varietas Unggul Baru (VUB) yang telah menghabiskan dana 12-25 miliar/tahun. Dampak ekonomi dari penerapan varietas baru tahun 2005 diperkirakan mencapai sekitar 2,07 triliun serta meningkatkan produktivitas padi sebesar 9,8-34,3%. Adanya perkembangan inovasi trsebut merupakan suatu sinyal positif bagi peningkatan produktivitas. Menurut Adnyana (1999) salah satu upaya terobosan yang diharapkan mampu meningkatkan produksi padi
nasional secara cepat yaitu dengan
meningkatkan intensitas pertanaman menjadi 2-3 kali setahun atau IP 200-300, terutama pada sawah irigasi. Penerapan teknologi pemanfaatan dan pemanenan air pada lahan kering dapat mendukung usaha peningkatan indeks pertanaman tersebut. 4) Perbaikan penyampaian (delivery) dan penerimaan (receiving) inovasi teknologi di tingkat petani. Pengadaan inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang juga harus diiringi dengan perbaikan subsistem penyampaian (delivery) dan penerimaan
84
(receiving) agar adopsi teknologi dan difusi inovasi ditingkat petani berjalan efektif sehingga berdampak positif terhadap produktivitas padi. Hal ini perlu diperhatikan karena menurut penelitian Mundy (2000) dalam Adriana (2007), diperlukan sekitar dua tahun sebelum teknologi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian diketahui oleh 50% dari PPS (Penyuluh Pertanian Spesialis) dan enam tahun sebelum 80% PPS mendengar teknologi tersebut. Tenggang waktu sampainya informasi dan adopsi teknologi tersebut oleh petani tentu lebih lama lagi. Untuk menjembatani permasalahan tersebut, maka pada tahun 2004 Departemen Pertanian melalui Badan Litbang merumuskan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi teknologi Pertanian (Prima Tani). Menurut Simatupang (2004) dalam Adriana (2007) tujuan utama Prima Tani adalah untuk mempercepat waktu dalam meningkatkan dan memperluas adopsi teknologi yang dihasilkan oleh Badan Litbang. Pelaksanaan program ini dilakukan pada tahun 2005 pada 14 propinsi dan tahun 2006 menjadi 25 propinsi. Dalam perkembangannya program ini menunjukan sinyal positif, untuk itu perlu adanya komitmen yang kuat dari segala pihak yang terkait program ini untuk melaksanakan program ini secara konsisten agar berjalan efektif dan efisien.
85
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1)
Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu 37 tahun (1970-2006), pertumbuhan produksi beras di Indonesia 2,8% per tahun. Angka ini lebih tinggi dari pertumbuhan konsumsi beras yang sebesar 2,6% per tahun. Pertumbuhan produksi beras per tahun memang lebih tinggi dari konsumsi beras, namun rata-rata konsumsi beras per tahun masih lebih tinggi dari ratarata produksi beras yaitu sebanyak 27.859,14 ribu ton sedangkan rata-rata produksi beras per tahun hanya 26.725,78 ribu ton. Karena itu secara umum produksi beras Indonesia selama kurun waktu 37 tahun terakhir ini masih belum dapat menutupi konsumsi beras, sehingga pemerintah masih mengimpor beras.
2)
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi (yang direpresentasikan dari luas areal panen dan produktivitas) padi adalah rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, luas areal intensifikasi dan trend waktu. Sementara itu, faktor yang mempengaruhi konsumsi beras adalah harga beras dan populasi.
3)
Hasil proyeksi luas areal panen, produktivitas, dan produksi padi cukup optimis. Luas areal panen cenderung meningkat dalam 5 tahun kedepan (2009-2013) dengan laju peningkatan sebesar 0,01 % per tahun dan produktivitas memiliki laju peningkatan yang lebih tinggi sebesar 3,05 % per tahun, sehingga pertumbuhan produksi padi/beras meningkat 3,06% per tahun. Dalam periode yang sama, konsumsi beras dalam negeri untuk 5 tahun ke depan diperkirakan meningkat 1,95% per tahun. Berdasarkan hasil
86
proyeksi pada tahun 2009-2010 Indonesia masih mengalami defisit beras, sehingga untuk menutupi kebutuhan akan beras, pemerintah dapat mengimpor beras dalam jangka pendek atau meningkatkan luas areal panen pada tahun 2009 seluas 195,20 ribu Ha dan pada tahun 2010 seluas 77,40 ribu Ha dengan asumsi produktivitas meningkat 3,05% per tahun. Pada tahun 2011 produksi beras domestik melebihi konsumsi beras, dengan kata lain Indonesia akan mengalami surplus beras. Untuk meraih swasembada beras dalam
jangka
panjang
upaya
yang
dapat
dilakukan
diantaranya;
memanfaatkan lahan tidur, khususnya yang terdapat di luar Jawa, menambah dan memperbaiki infrastruktur irigasi, meningkatkan produktivitas dan inovasi teknologi serta melakukan perbaikan penyampaian (delivery) dan penerimaan (receiving) inovasi teknologi di tingkat petani. 6.2. Saran 1)
Selain meningkatkan luas areal irigasi dan intensifikasi dalam rangka meningkatkan produksi padi, perlu juga diperhatikan kebijakan yang memberi insentif dan meningkatkan pendapatan petani misalnya, penetapan kebijakan pada harga dasar gabah yang dapat mempengaruhi harga gabah dan selanjutnya harga gabah di tingkat petani tersebut dapat memacu petani untuk meningkatkan produksi padi.
2)
Terus dikembangkannya penelitian dibidang pertanian untuk menemukan teknologi baru yang dapat meningkatkan hasil produksi padi, sehingga pelandaian produktivitas pertanian akibat terobosan teknologi yang stagnan tidak terus terjadi.
3)
Perlu dikembangkan sistem deteksi dini dalam mengantisipasi fenomena anomali iklim, El nino dan curah hujan yang semakin sering terjadi.
87
4)
Kebijakan harga input khususnya subsidi pupuk sebaiknya dilakukan untuk menghindari tingginya biaya produksi bagi petani, karena penggunaan pupuk sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas padi, selain itu distribusi pupuk sebaiknya lebih diperhatikan dalam proses penyebaranya karena beberapa daerah di Indonesia masih mengalami kelangkaan pupuk.
5)
Dari sisi konsumsi, upaya yang dapat dilakukan ialah dengan memperbaiki pola pangan harapan di Indonesia menjadi pola pangan harapan yang ideal dengan komposisi pangan yang seimbang, sehingga konsumsi beras dapat ditekan.
88
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O. 1999, Penerapan Model Penyesuaian Nerlove dalam Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras.WWW. ejournal. 2009 (berkala sambung jaring) http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(6)%20soca-oka-adnyanamodel%20penyesuaian(1).pdf (5 Maret 2009) Adriana, R. 2007. Penawaran Beras Dunia dan Permintaan Impor Beras Indonesia serta Kebijakan Perberasan di Indonesia. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Amang, B dan Sawit, M.H. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional Pelajaran dari Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta: IPB Press. Ambarinanti, M. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Beras Indonesia. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Arifin, B. 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. [BPS]. 1969-2006. Indikator Ekonomi. Jakarta. .1969-2006. Statistika Harga Produsen Sektor Pertanian Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik .1969-2006. Statistika Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statisitk .1969-2006. Struktur Ongkos Usaha Tani Padi. Jakarta: Badan Pusat Statisitik [Deptan]. 1969-2006. Data Based Komoditas Padi. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. .1969-2006. Neraca Bahan Makanan. Jakarta: BKP, Departemen Pertanian Republik Indonesia. . 2005. Revitalisasi Pertanian. WWW. Agribisnis.deptan. 2005. (berkala sambung jaring) http://agribisnis.deptan.go.id/Pustaka/revitalisasi20pertanian202005.pdf ( 5 Maret 2009) Farihah, S.S. 2005. Analisis Peramalan Produksi dan Konsumsi Beras serta Implikasinya terhadap Pencapaian Swasembada Beras di Indonesia. Skripsi. Sarjana Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
89
Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. Jakarta : Erlangga Hutabarat, A. 1974. Usaha Mengatasi Krisis Beras. Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers Hutauruk, J. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Harga Dasar Padi dan Subsidi Pupuk terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. Tesis. Magister Sains Pascasarjana IPB. Khumaidi, M. 1997. Beras Sebagai Pangan Pokok Utama Bangsa Indonesia, Keunikan dan Tantangannya. Dalam Orasi Ilmiah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. [Kompas]. 2008. Setelah Swasembada Beras, Lalu Apa Lagi?. WWW. Kompas. 2008 (berkala sambung jaring) http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/16/09544795/setelah.swasemb ada.beras.lalu.apa.lagi (5 Maret 2009). Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics. The Macmillan Press. Ltd. London. Lokollo, E.M. 1986. Penawaran Beras Indonesia (Suatu Analisis Kontribusi Peubah Penentu Produksi Beras Indonesia Selama Pelita I – Pelita III). Tesis. Magister Sains Pascasarjana IPB. Malian, A.H dkk. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi, dan Harga Beras serta Inflasi Bahan Makanan. Di dalam Jurnal Agro Ekonomi. Volume 22 Nomor 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi kelima. Terjemahan. Jakarta: Erlangga. Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas suatu Analisis Simulasi. Disertasi. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nicholson, W. 1991. Teori Mikroekonomi. Terjemahan. Jakarta: Binarupa Aksara Pindyck, R.S and D.L. Rubinfeld. 1998. Econometric Models and Economic forecasts. Fourth Edition. Mc Graw-Hill. New York Pratiwi, P. 2008. Efektifitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Ritonga, E. 2004. Analisis Keefektifan Kebijakan Harga Dasar Beras. Tesis. Magister Sains Pascasarjana IPB.
90
Sari, N.T. 2007. Analisis dampak Kenaikan Harga Beras terhadap Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga, di Cipinang Jakarta Timur. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bgor. Sisworo, W.H. 2006. Swasembada Pangan dan Pertanian Berkelanjutan Tantangan Abad Dua Satu: Pemanfaatan IPTEK Nuklir. Badan Tenaga Nuklir Nasional. Situmorang, M.T, 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Beras Indonesia. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Soekartawi, dkk. 1990. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Cetakan ke-3 .Jakarta: Universitas Indonesia Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Suryana, A. 2008. Kebijakan dan Kendala Pengembanagn Sumberdaya Pangan. Di dalam: Akuntansi Sumberdaya Alam: Pangan, Energi dan Air. Prosididng Seminar Nasional, Jakarta, 10 Desember. Jakarta. Badan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Tambunan, 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia Tomek,W.G dan K.L. Robinson.1990. Agricultural Prodauct Prices. Edisi Ketiga. Comel University Press. Itacha and London.
91
LAMPIRAN
92
Lampiran 1. Data yang Digunakan Dalam Model Ekonometrika
Tahun
1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber
Luas Areal
Produktivitas
Produksi Gabah
Produksi Beras
Harga Gabah
LAPt
PVt
PPt
PBt
HGt
(000 Ton) 8.013,62 8.135,08 8.324,39 7.993,98 8.403,60 8.518,60 8.495,10 8.368,76 8.359,57 8.929,17 8.803,56 9.005,07 9.381.84 8.988,46 9.162,47 9.763,58 9.902,29 9.988,45 9.922,59 10.138,16 10.521,21 10.502,36 10.281,52 11.103,32 11.012,78 10.733,83 11.438,76 11.569,73 11.140,59 11.730,33 11.963,20 11.793,48 11.500,00 11.530,68 11.452,60 11.922,97 11.839,06 11.786,43 BPS Deptan
(Ton/Ha) 2,94 3,11 3,17 3,21 3,34 2,64 2,63 2,78 2,79 2,89 2,99 3,29 3,49 3,74 3,85 3,91 3,94 3,98 4,04 4,11 4,25 4,30 4,35 4,35 4,38 4,35 4,35 4,42 4,43 4,20 4,26 4,41 4,39 4,47 4,54 4,54 4,57 4,62 BPS Deptan
(000 Ton) 23.553,85 25.269,24 26.392,18 25.351,11 21.489,24 22.464,38 22.330,65 23.300,94 23.347,13 25.771,57 26.282,66 29.651,91 32.774,18 33.583,68 35.303,11 38.136,45 39.032,95 39.726,76 40.078,20 41.676,17 44.725,58 45.178,75 44.688,25 48.240,01 48.181,09 46.641,52 49.744,14 51.173,51 49.377,05 49.236,69 50.866,39 50.069,26 50.460,78 51.489,69 52.137,60 54.088,47 54.151,10 54.454,94 BPS Deptan
(000 Ton) 14.838,92 12.893,78 13.466,73 12.935,53 14.333,50 14.989,50 14.900,25 15.541,73 15.572,54 17.189,66 17.530,53 19.777,82 21.860,38 22.400,33 23.547,11 25.437,01 26.034,97 26.497,75 26.732,15 27.798,01 29.831,96 30.134,23 29.807,06 32.176,09 32.136,79 31.109,88 33.179,34 34.084,70 32.934,50 32.816,29 33.927,88 34.615,96 33.657,35 34.343,63 34.736,58 35.005,29 35.287,86 35.570,44 Data Deptan
(Rp/Kg) 36,73 38,33 40,70 48,85 49,98 51,32 62,62 74,63 79,15 82,36 106,27 121,27 134,96 149,72 168,41 175,04 189,73 167,27 184,73 232,08 267,31 299,08 303,70 284,05 325,83 419,81 432,75 498,27 933,01 1.234,10 1.080,86 1.141,22 1.255,46 1.249,33 1.258,31 1.572,50 1.554,99 1.641,53 Data Deptan
93
Tahun 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber
Harga Jagung HJt (Rp/Kg) 24,20 26,23 20,44 27,32 35,62 46,73 58,75 65,13 62,51 65,73 82,72 70,73 96,28 125,75 122,69 129,13 132,25 147,62 164,32 189,89 212,20 233,17 257,07 264,31 286,04 325,37 367,74 427,86 459,53 632.26 1.045,37 1.028,65 1.138,52 1.212,10 1.255,21 1.366,81 1.410,49 1.477,93 Deptan BPS
Areal teririgasi LIRt (000 Ha) 3.014,04 3.070,56 3.091,90 3.133,81 3.306,22 4.035,63 4.149,66 4.245,76 4.328,80 4.343,81 4.461,01 4.570,22 4.620,13 4.949,85 4.948,88 5.111,19 5.206,27 5.202,08 5.196,56 4.729,22 4.710,29 4.698,80 4.641,22 4.603,32 4.588,02 4.582,01 4.580,79 4.518,39 4.419,77 4.446,38 4.468,38 4.400,95 4.290,86 4.113,20 4.053,18 4.005,86 3.893,67 3.484,06 Data Deptan
Areal Intensifikasi LINt (000 Ha) 2.416,57 2.764,20 2.957,46 2.796,85 3.024,66 3.689,41 3.862,19 3.867,43 4.101,56 4.364,05 4.552,59 4.904,36 5.254,60 5.107,58 5.269,48 5.865,91 5.869,95 5.988,63 5.871,18 5.633,86 6.318,43 5.888,03 5.817,38 6.303,80 5.757,07 5.723,17 6.322,06 6.155,21 6.091,15 6.330,61 6.335,51 6.237,42 6.075,55 6,009.67 5.949,72 6.101,91 6.018,75 5.828,49 Data Deptan
Pupuk Urea JPUt (Kg/Ha) 32,41 53,39 51,57 49,66 36,39 57,04 67,59 58,00 88,69 81,40 74,90 68,70 122,37 137,23 164,54 132,34 147,90 168,51 186,83 186,22 164,78 159,16 202,83 171,90 144,39 157,02 144,83 124,48 157,45 190,41 154,31 125,04 170,85 167,06 154,29 148,96 161,66 166,99 Deptan BPS
Harga Upah TK UBTt (Rp/HOK) 87,36 107,10 117,37 143,39 211,85 332,08 393,49 489,44 596,79 712,27 994,24 1.414,00 1.714,00 1.932,00 2.158,00 2.371,00 2.553,00 2.757,00 3.098,00 3.441,00 3.807,00 4.013,00 4.294,00 5.034,00 5.560,00 6.136,00 7.128,00 8.301,00 9.799,00 11.064,60 12.502,83 14.253,48 16.678,80 17.475,84 19.986,24 21.488,64 23.270,28 24.977,22 Deptan BPS
94
Konsumsi Beras
Populasi
Tahun
1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber
KBt (000 Ton) 12.749,58 13.507,14 14.638,42 15.118,85 15.490,67 15.911,09 17.014,91 17.459,94 17.773,04 18.465,41 20.120,41 20.359,07 21.792,65 23.296,86 23.545,36 24.473,10 25.812,37 25.780,52 27.643,28 28.815,52 29.893,19 30.741,01 30.848,90 31.533,19 32.174,38 32.811,99 34.950,98 33.839,26 34.302,63 35.799,43 37.641,75 36.924,78 36.558,67 36.725,34 36.126,95 36.053,94 35.901,68 35.675,91 Data Deptan
POPt (000 Jiwa) 117.721 120.532 123.402 126.328 129.305 132.326 135.383 138.470 141.584 144.725 147.900 151.107 154.347 157.610 160.879 164.131 167.350 170.530 173.671 176.770 179.828 182.846 185.822 188.756 191.658 194.540 197.410 200.270 203.121 205.969 208.825 211.692 214.574 217.465 220.354 223.224 226.063 228.864 BPS
PDB Riil (2000 = 100) PDBt (Rp. T) 214,78 232,29 248,54 268,13 294,35 318,65 338,35 358,61 389,59 425,45 455,62 495,38 535,74 541,66 587,43 629,56 651,45 690,31 726,89 773,09 843,33 919,24 1.001,31 1.073,61 1.151,49 1.238,31 1.342,28 1.44487 1.512,78 1.314,20 1.324,59 1.389,77 1.442,98 1.506,12 1.579,55 1.660,57 1.681,21 1.683,07 BPS
Harga Beras HBt (Rp/Kg) 41,26 43,53 43,87 48,78 81,36 95,34 104,68 126,38 130,79 138,30 168,37 196,60 223,86 250,29 300,50 322,95 317,76 342,76 383,43 465,81 493,02 518,69 557,84 603,68 592,25 660,37 776,49 884,52 1.063,80 2.099,03 2.665,52 2.449,00 2.537,09 2.826,06 2.919,85 2.852,03 3.378,32 4.322,21 BPS
Harga Pupuk Urea HPUt (Rp/Kg) 21,45 21,51 22,91 25,83 30,67 50,89 69,61 71,33 71,18 71,18 72,72 72,01 72,11 81,89 92,66 96,24 100,21 105,57 126,93 135,90 169,25 215,61 227,08 246,62 263,26 292,48 318,07 376,04 443,88 572,56 1.088,40 1.352,81 1.334,29 1.400,32 1.596,87 1.626,77 1.758,06 1.865,46 Deptan BPS
Indeks Harga Konsumen (2000=100) IHK 2,33 2,62 2,74 2,91 3,82 5,37 6,39 7,66 8,51 9,20 10,69 12,62 14,16 15,51 17,33 19,15 20,05 21,22 23,19 25,05 26,66 28,74 31,45 33,82 37,09 40,25 44,05 47,56 50,52 80,02 96,41 100,00 111,50 124,75 132,97 141,27 150,03 161,22 BPS
95
Lampiran 2. Output Komputer Dugaan Model Ekonometrika 1) Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Padi Dependent Variable: LAPT Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/21/09 Time: 16:08 Sample (adjusted): 1970 2006 Included observations: 37 after adjustments Instrument list: KT RHGU HPUT LIRT T JPUT LINT POPT PDBT HJT HBT(-1) PBT(-1) PKBT Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHGU LIRT HPUT T
5692.800 3577.304 0.340971 -24.43849 137.3534
1303.629 1689.515 0.214555 32.38776 8.682626
4.366888 2.117356 1.589206 -0.754560 15.81934
0.0001 0.0421 0.1218 0.4560 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
2) Persamaan
0.960731 0.955822 280.6165 195.7219 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
10119.12 1335.091 2519860. 1.600874
Produktivitas Padi
Dependent Variable: PVT Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/21/09 Time: 16:38 Sample (adjusted): 1970 2006 Included observations: 37 after adjustments Instrument list: KT RHGU HPUT LIRT T JPUT LINT POPT PDBT HJT HBT(-1) PBT(-1) PKBT Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHGU JPUT LINT
-0.454467 4.621644 0.003777 0.000630
0.588650 1.155435 0.002038 0.000121
-0.772051 3.999916 1.852695 5.225209
0.4456 0.0003 0.0729 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.841533 0.827127 0.266201 58.41498 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
3.865973 0.640243 2.338472 1.122364
96
3) Persamaan Konsumsi Beras Dependent Variable: KBT Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/21/09 Time: 16:14 Sample (adjusted): 1970 2006 Included observations: 37 after adjustments Instrument list: KT RHGU HPUT LIRT T JPUT LINT POPT PDBT HJT HBT(-1) PBT(-1) PKBT Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C HBT POPT PDBT HJT
-23882.63 -305.3941 0.326100 -4.836930 460.6333
7280.495 182.5568 0.055273 3.591817 400.8981
-3.280358 -1.672872 5.899774 -1.346653 1.149004
0.0025 0.1041 0.0000 0.1876 0.2591
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.965346 0.961014 1582.564 224.0560 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
27176.29 8015.098 80144255 0.363146
4) Persamaan Harga Beras Dependent Variable: HBT Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/21/09 Time: 16:10 Sample (adjusted): 1970 2006 Included observations: 37 after adjustments Instrument list: KT RHGU HPUT LIRT T JPUT LINT POPT PDBT HJT HBT(-1) PBT(-1) PKBT Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PBT(-1) PKBT HBT(-1) T
3.112823 -3.23E-05 0.095552 0.747394 0.116259
3.062287 0.000167 0.121399 0.126771 0.113149
1.016503 -0.193308 0.787086 5.895602 1.027490
0.3170 0.8479 0.4370 0.0000 0.3119
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.757811 0.727537 1.809449 25.03203 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
18.74028 3.466512 104.7714 1.410791
97
Lampiran 3.Output Komputer Hasil Uji Autokorelasi 1) Persamaan Luas Areal Panen Padi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
34.43460
Probability
0.153774
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/25/09 Time: 12:57 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHGU LIRT HPUT T RESID(-1) RESID(-2) RESID(-3) RESID(-4) RESID(-5) RESID(-6) RESID(-7) RESID(-8) RESID(-9) RESID(-10) RESID(-11) RESID(-12) RESID(-13) RESID(-14) RESID(-15) RESID(-16) RESID(-17) RESID(-18) RESID(-19) RESID(-20) RESID(-21) RESID(-22) RESID(-23) RESID(-24) RESID(-25) RESID(-26) RESID(-27)
-1503.690 0.168497 0.160888 124.2407 -13.62610 -0.690761 -0.898502 -0.523960 -0.557947 0.020856 0.221014 0.243169 -0.180870 -0.543430 -0.909601 -1.035604 -1.084502 -1.250824 -0.789879 -0.358528 -0.489582 -0.366717 -0.319766 0.025098 -0.676112 -0.343735 -0.456296 -0.316569 -0.604432 -0.600714 -0.039899 0.507131
682.5832 0.186164 0.139237 50.51809 18.80924 0.289258 0.315429 0.378921 0.334156 0.342075 0.321464 0.328616 0.366344 0.457049 0.636068 0.743877 0.778477 0.797059 0.850692 0.756360 0.638926 0.715832 0.858808 1.036735 1.201167 1.360749 1.499140 1.462488 1.169957 0.929404 0.775852 0.612688
-2.202940 0.905103 1.155494 2.459330 -0.724437 -2.388043 -2.848513 -1.382766 -1.669722 0.060968 0.687523 0.739981 -0.493715 -1.188997 -1.430039 -1.392170 -1.393107 -1.569299 -0.928513 -0.474018 -0.766257 -0.512295 -0.372337 0.024209 -0.562879 -0.252607 -0.304372 -0.216459 -0.516627 -0.646343 -0.051426 0.827715
0.0788 0.4069 0.3001 0.0573 0.5013 0.0625 0.0359 0.2253 0.1558 0.9537 0.5223 0.4926 0.6424 0.2878 0.2121 0.2226 0.2224 0.1774 0.3958 0.6555 0.4781 0.6303 0.7249 0.9816 0.5978 0.8106 0.7731 0.8372 0.6274 0.5465 0.9610 0.4455
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.930665 0.500787 186.9304 174714.9 -209.0106 2.615013
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
2.25E-12 264.5678 13.02760 14.42083 2.164952 0.198554
98
2) Persamaan Produktivitas Padi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
15.72265
Probability
0.204272
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/25/09 Time: 13:00 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHGU JPUT LINT RESID(-1) RESID(-2) RESID(-3) RESID(-4) RESID(-5) RESID(-6) RESID(-7) RESID(-8) RESID(-9) RESID(-10) RESID(-11) RESID(-12)
0.152206 -0.109113 0.002178 -7.91E-05 0.476107 -0.193387 0.333009 -0.330274 -0.032738 0.079102 0.065552 -0.079285 0.164593 0.067286 0.224357 -0.008190
0.324461 0.142200 0.002688 0.000112 0.223529 0.244575 0.243499 0.252859 0.268429 0.313610 0.270690 0.275848 0.280601 0.285223 0.281184 0.272991
0.469105 -0.767319 0.810048 -0.707143 2.129952 -0.790704 1.367595 -1.306156 -0.121962 0.252232 0.242166 -0.287422 0.586574 0.235906 0.797900 -0.030001
0.6438 0.4514 0.4270 0.4873 0.0452 0.4380 0.1859 0.2056 0.9041 0.8033 0.8110 0.7766 0.5637 0.8158 0.4339 0.9763
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.424937 0.014177 0.253055 1.344770 8.821135 1.935908
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
1.19E-15 0.254868 0.388047 1.084660 1.034514 0.461436
99
3)
Persamaan Konsumsi Beras
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
36.15328
Probability
0.169142
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/25/09 Time: 13:22 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C HBT POPT PDBT HJT RESID(-1) RESID(-2) RESID(-3) RESID(-4) RESID(-5) RESID(-6) RESID(-7) RESID(-8) RESID(-9) RESID(-10) RESID(-11) RESID(-12) RESID(-13) RESID(-14) RESID(-15) RESID(-16) RESID(-17) RESID(-18) RESID(-19) RESID(-20) RESID(-21) RESID(-22) RESID(-23) RESID(-24) RESID(-25) RESID(-26) RESID(-27) RESID(-28) RESID(-29)
8388.701 -1.377879 -0.130326 9.041984 698.0020 -0.828626 0.003140 -0.136811 -0.645838 -0.468246 -0.164662 -0.840051 -0.113277 -0.207503 -1.422643 -0.209739 0.796596 -1.076586 -1.699459 0.063986 -0.031711 -1.125552 -0.042470 0.078953 -2.711687 -1.662833 0.953768 -1.565328 -3.878989 -1.041468 3.152187 -0.505224 -2.563393 -0.538819
17125.85 2.673825 0.169338 17.53518 469.4557 0.719733 0.472900 0.545248 0.609013 0.499185 0.503400 0.616598 0.604772 0.956825 1.060963 0.790942 1.201224 1.682321 2.150562 1.222607 1.234560 1.900298 2.103182 1.941179 2.165260 2.060277 2.128182 2.783539 4.050489 2.656663 3.083629 3.814303 4.165304 2.604726
0.489827 -0.515321 -0.769618 0.515648 1.486832 -1.151297 0.006640 -0.250914 -1.060467 -0.938021 -0.327099 -1.362397 -0.187305 -0.216866 -1.340897 -0.265177 0.663153 -0.639941 -0.790239 0.052335 -0.025686 -0.592303 -0.020193 0.040673 -1.252361 -0.807092 0.448161 -0.562352 -0.957659 -0.392021 1.022233 -0.132455 -0.615416 -0.206862
0.6578 0.6419 0.4976 0.6417 0.2338 0.3330 0.9951 0.8181 0.3667 0.4174 0.7651 0.2663 0.8634 0.8422 0.2724 0.8081 0.5546 0.5677 0.4871 0.9616 0.9811 0.5953 0.9852 0.9701 0.2992 0.4787 0.6844 0.6132 0.4089 0.7212 0.3819 0.9030 0.5818 0.8494
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.977116 0.725387 781.8895 1834054. -252.5065 2.262442
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
1.77E-12 1492.055 15.48684 16.96714 3.881625 0.144651
100
3) Persamaan Harga Beras Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
36.07083
Probability
0.171510
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/25/09 Time: 13:03 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PBT(-1) PKBT HBT(-1) T RESID(-1) RESID(-2) RESID(-3) RESID(-4) RESID(-5) RESID(-6) RESID(-7) RESID(-8) RESID(-9) RESID(-10) RESID(-11) RESID(-12) RESID(-13) RESID(-14) RESID(-15) RESID(-16) RESID(-17) RESID(-18) RESID(-19) RESID(-20) RESID(-21) RESID(-22) RESID(-23) RESID(-24) RESID(-25) RESID(-26) RESID(-27) RESID(-28) RESID(-29)
0.000472 -0.001003 -0.333061 1.050914 0.293585 -0.786393 -1.062699 -1.019915 -1.094221 -0.387272 -0.966145 -0.458217 -0.224990 -0.425492 -0.267363 0.020739 -0.102253 0.372431 0.125775 -0.053353 0.207231 0.230475 0.042291 0.545113 0.219658 0.541615 -0.228202 -0.032439 -0.355067 0.156535 -0.664888 0.017771 0.211428 0.204503
0.000314 0.000319 0.190696 0.247981 0.160614 0.298655 0.256502 0.296887 0.260219 0.357190 0.247792 0.316021 0.266311 0.199393 0.209403 0.225810 0.214763 0.278383 0.222549 0.255315 0.215876 0.210690 0.212820 0.262306 0.305895 0.374679 0.238993 0.255180 0.261463 0.571450 0.352912 0.352027 0.279815 0.277986
1.503620 -3.149031 -1.746555 4.237874 1.827887 -2.633116 -4.143039 -3.435368 -4.205003 -1.084218 -3.899023 -1.449959 -0.844837 -2.133934 -1.276786 0.091843 -0.476121 1.337835 0.565155 -0.208971 0.959954 1.093909 0.198719 2.078160 0.718082 1.445543 -0.954849 -0.127124 -1.358002 0.273926 -1.884005 0.050482 0.755601 0.735658
0.2297 0.0513 0.1790 0.0241 0.1650 0.0781 0.0255 0.0414 0.0246 0.3576 0.0299 0.2429 0.4603 0.1226 0.2915 0.9326 0.6665 0.2733 0.6115 0.8479 0.4079 0.3540 0.8552 0.1292 0.5246 0.2441 0.4101 0.9069 0.2676 0.8019 0.1561 0.9629 0.5048 0.5152
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.974887 0.698649 0.936497 2.631081 -3.595545 3.005834
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
3.67E-15 1.705965 2.032192 3.512495 3.529151 0.162966
101
Lampiran 4. Output Komputer Hasil Uji Heteroskedastisitas 1) Persamaan
Luas Areal Panen Padi
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.443393 8.142430
Probability Probability
0.940105 0.881774
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/25/09 Time: 12:57 Sample: 1970 2006 Included observations: 37 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHGU RHGU^2 RHGU*LIRT RHGU*HPUT RHGU*T LIRT LIRT^2 LIRT*HPUT LIRT*T HPUT HPUT^2 HPUT*T T T^2
8293475. -15920762 3697994. 1685.971 942105.3 -73598.43 -2544.778 0.197295 86.77854 2.019730 -411803.3 -6183.412 2354.881 -38913.51 429.4339
13010660 48087695 32076014 8715.208 955148.3 293220.5 4017.727 0.304257 97.99292 36.91583 523231.2 7043.461 4312.222 198476.2 1016.365
0.637437 -0.331078 0.115288 0.193452 0.986345 -0.251000 -0.633388 0.648447 0.885559 0.054712 -0.787039 -0.877894 0.546094 -0.196061 0.422520
0.5304 0.7437 0.9093 0.8484 0.3347 0.8041 0.5330 0.5234 0.3854 0.9569 0.4397 0.3895 0.5905 0.8464 0.6767
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.220066 -0.276256 82884.08 1.51E+11 -461.9154 1.810231
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
68104.32 73367.25 25.77921 26.43228 0.443393 0.940105
102
2) Persamaan
Produktivitas Padi
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.950233 14.57681
Probability Probability
0.086916 0.103236
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/25/09 Time: 13:00 Sample: 1970 2006 Included observations: 37 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHGU RHGU^2 RHGU*JPUT RHGU*LINT JPUT JPUT^2 JPUT*LINT LINT LINT^2
-2.892749 18.19492 -22.71503 0.029266 -0.003042 -0.017658 -1.91E-05 3.83E-06 0.001124 -1.21E-07
5.081264 20.55921 21.65824 0.042638 0.003534 0.011806 2.11E-05 2.26E-06 0.001647 1.36E-07
-0.569297 0.885001 -1.048794 0.686370 -0.860685 -1.495710 -0.903600 1.697504 0.682798 -0.886361
0.5739 0.3840 0.3036 0.4983 0.3970 0.1463 0.3742 0.1011 0.5006 0.3832
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.393968 0.191957 0.083533 0.188397 45.18148 2.362577
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.063202 0.092926 -1.901702 -1.466318 1.950233 0.086916
103
3) Persamaan
Konsumsi Beras
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
5.475852 28.74960
Probability Probability
0.000214 0.011296
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/25/09 Time: 13:02 Sample: 1970 2006 Included observations: 37 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C HBT HBT^2 HBT*POPT HBT*PDBT HBT*HJT POPT POPT^2 POPT*PDBT POPT*HJT PDBT PDBT^2 PDBT*HJT HJT HJT^2
3.72E+08 -14217182 160214.7 94.78945 -7881.631 -163828.7 -4044.879 0.009485 -1.884278 123.6959 345697.1 107.8414 -10285.48 -14943882 272794.8
3.55E+08 7648189. 96891.26 66.90231 4414.793 324897.5 4810.854 0.016653 2.245014 217.0230 336525.0 83.00847 16656.43 31168956 653235.9
1.049008 -1.858895 1.653551 1.416834 -1.785278 -0.504247 -0.840782 0.569557 -0.839317 0.569967 1.027255 1.299162 -0.617508 -0.479448 0.417605
0.3056 0.0765 0.1124 0.1705 0.0880 0.6191 0.4095 0.5747 0.4103 0.5745 0.3155 0.2073 0.5432 0.6364 0.6803
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.777016 0.635118 2048155. 9.23E+13 -580.5837 1.839063
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
2166061. 3390676. 32.19371 32.84679 5.475852 0.000214
104
4) Persamaan
Harga Beras
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.331888 16.97364
Probability Probability
0.265733 0.257585
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/25/09 Time: 13:04 Sample: 1970 2006 Included observations: 37 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PBT(-1) PBT(-1)^2 PBT(-1)*PKBT PBT(-1)*HBT(-1) PBT(-1)*T PKBT PKBT^2 PKBT*HBT(-1) PKBT*T HBT(-1) HBT(-1)^2 HBT(-1)*T T T^2
-108.3462 0.011707 -5.21E-07 -0.000298 8.00E-05 0.000734 2.543947 0.077391 -0.182529 0.385496 9.394599 -0.343556 0.118178 -13.77971 -0.210517
119.1007 0.011393 4.94E-07 0.000259 0.000491 0.000671 4.745758 0.179694 0.156958 0.187804 9.329619 0.171942 0.292569 8.129905 0.223209
-0.909702 1.027524 -1.054391 -1.150911 0.162900 1.093820 0.536046 0.430681 -1.162915 2.052647 1.006965 -1.998088 0.403934 -1.694941 -0.943138
0.3728 0.3153 0.3031 0.2621 0.8721 0.2859 0.5973 0.6709 0.2573 0.0522 0.3249 0.0582 0.6902 0.1042 0.3559
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.458747 0.114313 5.566388 681.6629 -106.4026 2.618148
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
2.831658 5.914710 6.562305 7.215380 1.331888 0.265733
105
Lampiran 5. Output Komputer Hasil Validasi Model 1) Hasil Validasi Persamaan Luas Areal Panen Padi 13000 Forecast: LAPTF Actual: LAPT Forecast sample: 1969 2006 Included observations: 38
12000 11000
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
10000 9000 8000
258.2908 219.5763 2.182493 0.012721 0.000159 0.013357 0.986485
7000 1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
LAPTF
2) Hasil Validasi Persamaan Produktivitas Padi 5.5 Forecast: PVTF Actual: PVT Forecast sample: 1969 2006 Included observations: 38
5.0 4.5
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
4.0 3.5 3.0 2.5
0.250089 0.196485 5.272810 0.032123 0.000423 0.052053 0.947524
2.0 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 PVTF
106
4) Hasil Validasi Persamaan Konsumsi Beras 44000 Forecast: KBTF Actual: KBT Forecast sample: 1969 2006 Included observations: 38
40000 36000 32000
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
28000 24000 20000 16000
1452.340 1089.522 3.879318 0.025944 0.000003 0.005342 0.994655
12000 8000 1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
KBTF
5) Hasil Validasi Persamaan Harga Beras 32 Forecast: HBTF Actual: HBT Forecast sample: 1969 2006 Adjusted sample: 1970 2006 Included observations: 37
28 24
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
20 16 12 8 1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
1.682753 1.212579 6.089308 0.044254 0.000000 0.069219 0.930781
2005
HBTF
107