i
PRODUKSI DAN KONSUMSI KOMODITI PANGAN STRATEGIS SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA NASIONAL
YURTA FARIDA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produksi dan Konsumsi Komoditi Pangan Strategis Serta Implikasinya Terhadap Swasembada Nasional adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014 Yurta Farida NIM H34114014
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
i
ABSTRAK YURTA FARIDA. Produksi dan Konsumsi Komoditi Pangan Strategis Serta Implikasinya Terhadap Swasembada Nasional. Di bawah bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS. Kementrian Pertanian merencanakan akan merevisi roadmap swasembada komoditi pangan strategis yaitu beras, jagung, dan kedelai. Target roadmap tersebut dirasakan tidak mungkin tercapai dikarenakan produksi riil dari setiap komoditi kurang dari target. Tujuan dari penelitian ini adalah proyeksi terkait swasembada tahun 2014 dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis. Analisis dilakukan dengan regresi berganda dan peramalan time series. Dari hasil penelitian, secara umum semua proyeksi komoditas strategis belum mencapai target seperti dalam Roadmap Kementrian Pertanian. Berdasarkan hasil proyeksi produksi dan konsumsi pada tahun 2014, komoditi beras dan jagung mampu berswasembada. Namun, komoditi kedelai belum mampu berswasembada pada tahun 2014. Hasil analisis regresi menyimpulkan bahwa tidak semua variabel penduga dalam hipotesis berpengaruh secara signifikan pada produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis. Variabel yang memengaruhi semua produksi komoditi adalah areal panen dan anggaran litbang. Sedangkan variabel yang memengaruhi semua konsumsi komoditi adalah jumlah penduduk. Implikasi kebijakan yang perlu diambil terkait peningkatan swasembada dan swasembada berkelanjutan antara lain: perluasan areal panen, peningkatan anggaran litbang, dan penurunan konsumsi per kapita. Kata kunci : Komoditi pangan, konsumsi, produksi, swasembada
ABSTRACT YURTA FARIDA. Production and Consumption of Strategic Food Commodities and The Implications for National Self-Sufficiency. Under direction of MUHAMMAD FIRDAUS. Agriculture Ministry plans to revise the strategic roadmap self-sufficiency of food commodities such as rice, corn, and soybeans. Roadmap target is impossible to achieve as real production of each commodity is less than the target. The purpose of this study is related to self-sufficiency by 2014 projections and analyzes the factors that influence the production and consumption of strategic food commodities. The analysis was performed by multiple regression and time series forecasting. From the research, in general all projections of strategic commodities has not hit the target as the Ministry of Agriculture roadmap. Based on a projection of production and consumption in 2014, commodity that achieve self-sufficient are rice and maize. However, soybean has not been self-sufficient in 2014. The results of the regression analysis concluded that not all of the hypothesized predictor variables significant influence on the production and
consumption of strategic food commodities. Variables that affect all commodity production are harvested acreage and R & D budgets. While the variables that affect all commodity consumption is the total population. Policy implications that need to be taken related to an increase in self-sufficiency and self-sustained, among others : the expansion of harvest area, the increase in R & D budgets, and a reduction in consumption per capita. Keywords : Consumption, food commodities, production, self-sufficiency
i
PRODUKSI DAN KONSUMSI KOMODITI PANGAN STRATEGIS SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA NASIONAL
YURTA FARIDA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
i
Judul Skripsi
: Produksi dan Konsumsi Komoditi Pangan Strategis Serta Implikasinya Terhadap Swasembada Nasional
Nama NIM
: Yurta Farida : H34114014
Disetujui oleh
Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, MSi Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
i
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 sampai November 2013, dengan judul Produksi dan Konsumsi Komoditi Pangan Strategis Serta Implikasinya Terhadap Swasembada Nasional. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Muhammad Firdaus, MSi selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dari proses pembuatan proposal penelitian sampai dengan selesai penulisan, telah meluangkan waktu dan tenaga serta memberikan ilmunya sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Dr. Ir. Netti Tinaprilia, MM dan Dr. Amzul Rifin, SP, MA yang telah banyak memberi saran dan masukan sebagai perbaikan pada saat kolokium dan ujian sidang. Di samping itu, Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas do’a dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2014
Yurta Farida
i
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR LAMPIRAN
iv
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1 1 5 8 8 9
TINJAUAN PUSTAKA Komoditi Pangan Strategis Syarat Tumbuh Tanaman Komoditi Pangan Strategis Syarat Tumbuh Tanaman Padi Syarat Tumbuh Tanaman Jagung Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan Swasembada Pangan Model-model Peramalan Time Series Komoditi Strategis Tinjauan Faktor-faktor yang Memengaruhi Komoditi Pertanian
10 10 11 11 12 13 14 15 16 17
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Produksi Konsep Konsumsi Konsep Peramalan Kerangka Pemikiran Operasional
19 19 19 21 23 24
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Jenis dan Sumber Data Metode Pengolahan dan Analisis Data Variabel dan Definisi Operasional Analisis Peramalan Model Time Series Penerapan Peramalan Model Time Series Pemilihan Model Peramalan Time Series Terakurat Analisis Peramalan Model Kausal Analisis Regresi Berganda Perumusan Model Evaluasi Model Penduga Hipotesis Penelitian Analisis Deskriptif
27 27 27 28 28 29 30 33 33 34 34 36 39 40
ii
PERKEMBANGAN SERTA PROYEKSI PRODUKSI DAN KONSUMSI KOMODITI PANGAN STRATEGIS TERHADAP SWASEMBADA NASIONAL Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia Proyeksi Produksi Beras Proyeksi Konsumsi Beras Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia Proyeksi Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia Proyeksi Produksi Jagung Indonesia Proyeksi Konsumsi Jagung Indonesia Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia Proyeksi Produksi Kedelai Indonesia Proyeksi Konsumsi Kedelai Indonesia
41 41 42 42 44 45 46 46 47 49 50 50 51
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PRODUKSI DAN KONSUMSI KOMODITI PANGAN STRATEGIS SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA NASIONAL Model Produksi Komoditi Beras di Indonesia Model Produksi Komoditi Jagung di Indonesia Model Produksi Komoditi Kedelai di Indonesia Model Konsumsi Komoditi Beras di Indonesia Model Konsumsi Komoditi Jagung di Indonesia Model Konsumsi Komoditi Kedelai di Indonesia Implikasi Terhadap Swasembada Komoditi Pangan Strategis Skenario Pencapaian Swasembada Strategi Kebijakan Peningkatan Swasembada
52 52 54 55 57 59 60 61 64 66
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
75 75 75
DAFTAR PUSTAKA
76
LAMPIRAN
78
RIWAYAT HIDUP
92
iii
DAFTAR TABEL 1 Kontribusi lapangan usaha terhadap PDB atas harga dasar berlaku, 2009-2012 (dalam %) 2 Inflasi tahunan di Indonesia, 2009-2012 (dalam %) 3 Ekspor dan impor pertanian Indonesia menurut sub sektor, 2009-2012 (dalam US$ 000) 4 Roadmap pengembangan produksi komoditas pangan strategis, 20102014 5 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi komoditas pangan strategis, 2010-2012 6 Target perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi komoditas pangan strategis, 2010-2014 7 Data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian 8 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi beras di Indonesia 9 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi beras di Indonesia 10 Proyeksi produksi dan konsumsi beras 11 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi jagung di Indonesia 12 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi jagung di Indonesia 13 Proyeksi produksi dan konsumsi jagung 14 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi kedelai di Indonesia 15 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi kedelai di Indonesia 16 Proyeksi produksi dan konsumsi kedelai 17 Hasil analisis model regresi produksi beras di Indonesia 18 Hasil analisis model regresi produksi jagung di Indonesia 19 Hasil analisis model regresi produksi kedelai di Indonesia 20 Hasil analisis model regresi konsumsi beras di Indonesia 21 Hasil analisis model regresi konsumsi jagung di Indonesia 22 Hasil analisis model regresi konsumsi kedelai di Indonesia 23 Hasil peramalan dan analisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis Indonesia 24 Capaian produksi dan capaian swasembada beras 25 Capaian produksi dan capaian swasembada jagung 26 Capaian produksi dan capaian swasembada kedelai 27 Skenario produksi dan konsumsi dengan peningkatan luas areal tanam, anggaran litbang serta penurunan konsumsi per kapita (dalam ribu ton) 28 Perkembangan produksi padi di 6 provinsi sentra, tahun 2008-2012 29 Perkembangan produksi jagung di 6 provinsi sentra, tahun 2008-2012 30 Perkembangan produksi kedelai di 6 provinsi sentra, tahun 2008-2012 31 Sasaran skor Pola Pangan Harapan (PPH)
3 3 4 6 7 8 27 43 44 44 46 47 48 50 51 51 52 54 56 58 59 60 62 63 63 64
66 67 68 68 73
iv
DAFTAR GAMBAR 1 Perkembangan jumlah penduduk Indonesia, tahun 1971-2010 2 Fluktuasi harga beras, jagung, dan kedelai September 2011–Maret 2013 3 Kurva PT, PR, dan PM 4 Map isoquant 5 Klasifikasi metode peramalan 6 Bagan alur kerangka pemikiran operasional 7 Diagram arus untuk strategi pembentukan Model Box-Jenkins 8 Grafik produksi dan konsumsi beras Indonesia 9 Grafik produksi dan konsumsi jagung Indonesia 10 Grafik produksi dan konsumsi kedelai Indonesia 11 Persentase anggaran litbang tanaman pangan tahun 2006-2012
2 5 20 21 24 26 33 42 45 49 71
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Data yang digunakan dalam model ekonometrika Output analisis metode ARIMA untuk peramalan produksi beras Indonesia Output analisis metode double exponential smoothing untuk peramalan konsumsi beras Indonesia Output analisis metode double exponential smoothing untuk peramalan produksi jagung Indonesia Output analisis Metode ARIMA untuk peramalan konsumsi jagung Indonesia Output analisis metode single exponential smoothing untuk peramalan produksi kedelai Indonesia Output analisis metode double exponential smoothing untuk peramalan konsumsi kedelai Indonesia Output analisis regresi produksi beras di Indonesia Output analisis regresi produksi jagung di Indonesia Output analisis regresi produksi kedelai di Indonesia Output analisis regresi konsumsi beras di Indonesia Output analisis regresi konsumsi jagung di Indonesia Output analisis regresi konsumsi kedelai di Indonesia
78 82 83 83 84 85 85 86 87 88 89 90 91
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar, serta komoditas penting dan strategis, karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Menurut UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pangan didefinisikan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Perubahan iklim global secara ekstrim mengakibatkan masa produksi relatif pendek serta berpengaruh terhadap kondisi pangan global. Misalnya kekeringan yang terjadi di Amerika Serikat, India, dan Cina yang menyebabkan produksi menurun sehingga memicu kenaikan harga pangan dunia 2 . Masalah kekeringan tersebut, negara-negara produsen cenderung mengamankan hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga bagi negara pengimpor hal tersebut merupakan ancaman bagi keamanan pangan negaranya. Dampak negatif paling dirasakan oleh negara-negara miskin di dunia terutama di negara-negara berkembang yang rentan terhadap guncangan keamanan pangan. Pemerintah mencoba mengatasi guncangan tersebut dengan menerbitkan UU No 11 Tahun 2005 yang berisi tentang hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya atas pangan serta setiap orang harus bebas dari kelaparan. Oleh karena itu, untuk menghadapi ancaman krisis pangan global tersebut, setiap negara harus memperkuat ketahanan pangan melalui peningkatan produktivitas pangan, terutama untuk stok nasional bagi negara-negara yang biasanya mengimpor pangan. Penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. masalah pangan nasional mempunyai potensi yang tinggi sebagai pemicu ketidakstabilan baik di tingkat nasional maupun di daerah (Sholahuddin 2009). Masalah penyelenggaraan pangan nasional masih memerlukan keterlibatan pemerintah mengingat masalah ini menyengkut hajat hidup segenap rakyat Indonesia. Salah satu program pemerintah dalam penyelenggaraan pangan adalah swasembada pangan. Namun saat ini tantangan swasembada pangan semakin berat mengingat kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Data Badan Pusat Statistika (2012) berdasarkan Gambar 1 dapat dianalisis bahwa jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 230 juta jiwa dengan rata-rata pertumbuhan 2% per tahunnya. Kondisi tersebut menyebabkan 2
Syafputri, Ella. 2012. Swasembada komoditas strategis, target ketahanan pangan Indonesia [Internet]. [diunduh 2013 April 13]. Tersedia pada: http://www.antaranews.com/berita/337004/ swasembada-komoditas-strategis-target-ketahanan-pangan-indonesia.
2
konsumsi masyarakat juga meningkat. Hal ini harus diimbangi dengan strategi produksi sehingga konsumsi pangan masyarakat dapat terpenuhi. 250000000 237 641 326 200000000 206 264 595 194 754 808 179 378 946 150000000 147 490 298 100000000
119 208 229
50000000
0 1971
1980
1990
1995
2000
2010
Gambar 1 Perkembangan jumlah penduduk Indonesia, tahun 1971-2010 Sumber: BPS (2012)
Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan, maka pemerintah menetapkan target komoditi strategis yaitu dengan mencapai swasembada pangan untuk komoditas strategis seperti padi, jagung, kedelai, gula, dan daging. Penentuan 5 komoditas strategis tersebut telah menjadi peran baru dalam revitalisasi yang akan dilakukan Bulog. Kriteria terhadap komoditas pangan tersebut antara lain komoditas memiliki peran besar dalam perekonomian nasional, komoditas yang bepengaruh besar pada inflasi, dan komoditas yang menguras belanja pengeluaran negara. Instrumen lain yang harus disiapkan ialah cadangan komoditas yang distabilkan sehingga apabila harga naik, pemerintah dapat melakukan operasi pasar, dan apabila harga turun, pemerintah dapat melakukan pembelian dalam jumlah besar. Komoditi pangan seperti beras, jagung, dan kedelai merupakan komoditi yang mempunyai ktriteria komoditi paling strategis dari kelima komoditi strategis. Komoditi pangan strategis tergolong ke dalam lapangan usaha tanaman bahan pangan. Kriteria pertama yaitu komoditas memiliki peran besar dalam perekonomian nasional dapat dilihat data dari Badan Pusat Statistik (2012) pada Tabel 1. Terlihat bahwa kelompok lapangan usaha tanaman bahan pangan memiliki peran besar dalam perekonomian nasional dilihat dari besarnya kontribusi untuk PDB yang lebih besar dari lapagan usaha lainnya seperti kontribusi pada lapangan usaha tanaman perkebunan (komoditi gula), dan peternakan (komoditi daging). Rata-rata kontribusi lapangan usaha tanaman bahan makanan antara tahun 2009-2012 adalah sebesar 7.63% dari keseluruhan PDB nasional. Kontribusi lapangan usaha tanaman bahan makanan adalah hampir mencapai 50% terhadap lapangan usaha pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Hal ini membuktikan bahwa lapangan usaha tanaman bahan makanan yang mencakup pertanian tanaman padi, jagung dan kedelai memiliki peran besar dalam perekonomian Indonesia.
3
Tabel 1 Kontribusi lapangan usaha terhadap PDB atas harga dasar berlaku, 20092012 (dalam %) No 1
Lapangan Usaha 2009 Pertanian, Perkebunan, Peternakan, 15.29 Kehutanan & Perikanan a. Tanaman Bahan Makanan 7.48 b. Tanaman Perkebunan 1.99 c. Peternakan 1.87 d. Kehutanan 0.80 e. Perikanan 3.15 2 Pertambangan & Penggalian 10.56 3 Industri Pengolahan 26.36 4 Listrik, Gas & Air Bersih 0.83 5 Konstruksi 9.90 6 Perdagangan, Hotel & Restoran 13.28 7 Pengangkutan dan Komunikasi 6.31 8 Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan 7.23 9 Jasa-jasa 10.24 Produk Domestik Bruto 100.00 Produk Domestik Bruto Tanpa Migas 91.71 Keterangan: *Angka sementara, **Angka sangat sementara Sumber : Badan Pusat Statistik (2012)
2010
2011*
2012**
15.31
14.72
15.22
7.49 2.11 1.85 0.75 3.10 11.16 24.79 0.76 10.27 13.71 6.57 7.25 10.17 100.00 92.23
7.14 2.07 1.74 0.70 3.07 11.93 24.28 0.75 10.19 13.78 6.61 7.20 10.55 100.00 91.48
8.40 1.47 1.77 0.58 2.99 12.73 23.61 0.75 10.07 13.51 6.60 7.27 10.24 100.00 91.66
Selain mempunyai kontribusi yang paling besar dibandingkan lapangan usaha pertanian yang lainnya, pengaruhnya terhadap perekonomian di Indonesia juga ditunjukkan dari fluktuasi harga dan pasokan yang secara cepat memengaruhi harga-harga komoditi lainnya. Hal ini menjadikan komoditi pangan strategis termasuk dalam komoditi yang menyumbang inflasi seperti yang terlihat pada Tabel 2 yang menunjukan kelompok bahan makanan padi-padian dan kacangkacangan mempunyai nilai inflasi yang cukup besar. Tabel 2 Inflasi tahunan di Indonesia, 2009-2012 (dalam %) No
Kelompok / Subkelompok Umum 1 Bahan makanan Padi-padian, umbi-umbian, dan hasilnya Daging dan hasilnya Ikan segar Ikan diawetkan Telur, susu, dan hasilnya Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Bumbu-bumbuan Lemak dan minyak Bahan makanan lainnya 2 Makanan jadi, minuman, rokok, & tembakau 3 Perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 4 Sandang 5 Kesehatan 6 Pendidikan, rekreasi, dan olahraga 7 Transpor, komunikasi, dan jasa keuangan Sumber : BPS, diolah Pusdatin (2012)
2009 2.78 3.88 6.34 4.23 0.90 3.12 0.17 1.59 -0.80 10.25 14.97 -3.52 3.20 7.81 1.83 6.00 3.89 3.89 -3.67
2010 6.96 15.64 26.91 7.55 3.37 3.18 4.44 19.82 5.07 9.95 48.98 9.01 5.49 6.96 4.08 6.51 2.19 3.29 2.69
2011 3.79 3.64 10.56 4.46 7.00 8.66 5.21 4.61 5.67 0.65 -23.98 5.57 7.04 4.51 3.47 7.57 4.26 5.16 1.92
2012 (TW I) 0.88 0.77 2.74 0.41 3.24 2.32 1.63 -1.62 0.25 -0.47 -7.83 2.33 1.46 1.46 1.02 1.29 0.81 0.30 0.40
4
Pengaruh yang ditimbulkan dari komoditi pangan strategis yang lainnya yaitu komoditas yang menguras belanja pengeluaran negara. Pengeluaran negara dapat dilihat dari nilai impor komoditi. Berdasarkan Tabel 3, beberapa subsektor pertanian, subsektor tanaman pangan memiliki nilai neraca defisit terbesar dibandingkan subsektor lain. Hal ini menunjukan bahwa nilai impor tanaman pangan lebih besar dari nilai ekspor, sehingga pemerintah harus mengeluarkan devisa lebih besar pada subsektor tanaman pangan. Tabel 3 Ekspor dan impor pertanian Indonesia menurut sub sektor, 2009-2012 (dalam US$ 000) No 1
Subsektor 2008 Tanaman pangan Ekspor 812.330 Impor 7.414.295 Neraca -6.601.965 2 Hortikultura Ekspor 524.485 Impor 1.429.967 Neraca -905.482 3 Perkebunan Ekspor 21.378.189 Impor 2.681.456 Neraca 18.696.733 4 Peternakan Ekspor 635.304 Impor 1.065.235 Neraca -429.931 Pertanian Ekspor 23.350.308 Impor 12.590.953 Neraca 10.759.355 Sumber : BPS, diolah Pusdatin (2012)
2009
2010
2011
786.627 7.788.215 -7.001.588
934.321 10.209.752 -9.275.431
807.265 15.363.009 -14.555.744
447.609 1.524.666 -1.077.057
5.289 540.274 -534.985
1.127.428 308.040 819.388
22.089.288 2.963.532 19.125.756
25.061.619 3.191.117 21.870.502
9.887.835 474.036 9.413.799
42.076 406.227 -364.151
48.181 538.615 -490.434
16.170 386.443 -370.273
23.365.600 12.682.640 10.682.960
26.049.410 14.479.758 11.569.652
11.838.698 16.531.528 -4.692.830
Sama seperti komoditas pertanian lainnya, pasokan komoditi pangan strategis dipengaruhi oleh jumlah produksi. Jumlah komoditi yang tersedia tidak selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jumlah produksi yang tersedia bisa melebihi kebutuhan konsumsi masyarakat saat panen raya, tetapi jumlah produksi yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Ketidakseimbangan antara jumlah produksi dan konsumsi sering menjadi sumber permasalahan dalam pasar beras, jagung, dan kedelai. Permasalahan yang muncul saat terjadi ketidakseimbangan adalah adanya fluktuasi harga. Fluktuasi harga menjadi permasalahan penting dalam perekonomian di Indonesia berkaitan dengan pendapatan petani, dan harga yang harus dibayar oleh konsumen. Data dari Kementrian Perdagangan (2012) pada Gambar 2 menunjukan harga komoditi beras, jagung, dan kedelai yang hampir tidak berfluktuasi dikarenakan adanya intervensi harga oleh pemerintah. Pemerintah memelihara cadangan komoditi sehingga apabila harga naik, pemerintah dapat melakukan operasi pasar, dan apabila harga turun, pemerintah dapat melakukan pembelian dalam jumlah besar. Dengan cara tersebut maka harga komoditi pangan strategis dapat distabilkan.
5
12.000
Harga Rp/Kg
10.000 8.000 Beras
6.000
Jagung
4.000
Kedelai 2.000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 2011
2012
2013
Gambar 2 Fluktuasi harga beras, jagung, dan kedelai September 2011–Maret 2013 Sumber: Kementrian Perdagangan (2012)
Kriteria-kriteria yang melekat pada komoditi pangan strategis yaitu beras, jegung, dan kedelai merupakan komoditas strategis yang amat menentukan keberhasilan untuk mewujudkan ketahanan pangan. Selain itu, ketiga komoditi tersebut rentan dan rapuh terhadap gejolak pasar internasional. Salah satu cara mengurangi dampak negatif gejolak pasar internasional adalah dengan memproduksi sendiri atau swasembada. Komoditas pangan strategis yang ditargetkan swasembada. Pemerintah menargetkan peningkatan produksi dari tahun 2011 hingga tahun 2014 sebesar 16% untuk beras, 64% untuk jagung, dan lebih dari 200% untuk kedelai. Adapun operasionalisasi swasembada pangan pada berbagai tingkat pemerintahan di Indonesia yaitu pada tingkat nasional dilakukannya swasembada pada komoditas pangan strategis, pada tingkat propinsi, kabupaten atau kota dan desa dengan melakukan pemanfaatan potensi lokal dan pada tingkat masyarakat dilakukannya peningkatan kemampuan fisik, sosial, politik, dan ekonomi (BKP-Kementrian Pertanian 2009). Ketercapaian swasembada dapat dilihat dari sisi produksi dan konsumsi. Hal ini dikarenakan produksi dan konsumsi merupakan suatu kegiatan yang tidak hanya melihat dari sisi jumlah, tetapi melihat kegiatan apa yang dapat memengaruhi ketercapaian target swasembada. Analisis produksi dan konsumsi komoditi strategis tersebut sangat penting untuk melihat senjang (gap) yang terjadi, sehingga dapat diperoleh informasi dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil langkah kebijakan serta kegiatan yang tepat bagi pemerintah.
Perumusan Masalah Pada dasarnya, permasalahan dalam pengadaan pangan nasional dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi produksi yang berkaitan dengan pengadaan pangan nasional akan semakin kompleks dan sulit. Permasalahan pangan nasional dipilah menjadi permasalahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya kapital, sarana dan prasarana, teknologi, serta sistem insentif. Sementara itu dari sisi konsumsi beras dan bahan pangan lainnya
6
diproyeksikan akan terus meningkat dari tahun ke tahun, peningatan konsumsi bahan pangan ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk Indonesia (Sholahuddin 2009). Pemenuhan kebutuhan akan pangan bisa dipenuhi lewat dua cara, yakni melalui produksi domestik dan impor. Berbagai pihak di dalam negeri berharap pangan bisa dipenuhi lewat produksi domestik (swasembada), dan impor hanya dilakukan jika produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. Pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi komoditi pangan strategis padi, jagung, dan kedelai domestik dewasa ini menemui banyak tantangan. Tantangan utama adalah produktivitas secara nasional telah mengalami penurunan. Selain itu, tingginya tingkat konversi lahan mengurangi secara signifikan lahan potensial untuk produksi ketiga komoditi tersebut merupakan tantangan yang masih belum bisa dikendalikan oleh pemerintah. Kementrian Pertanian merencanakan akan merevisi roadmap swasembada pangan. Hal ini dikarenakan menurut Suswono (2012), target swasembada pangan pemerintah sulit tercapai. Sepanjang tahun 2012 impor beras sudah mencapai 1.95 juta ton, jagung sebanyak 2 juta ton, kedelai sebanyak 1.9 juta ton, gula sebanyak 3.06 juta ton, dan teh sebesar 11 juta dollar3. Keadaan ini memperlihatkan bahwa Indonesia masih mengalami krisis pangan karena masih mengimpor komoditi pangan dari luar negeri. Pemerintah menargetkan Indonesia harus sudah mencapai swasembada beras, kedelai, jagung, gula dan daging sapi pada tahun 2014. Tabel 4 memperlihatkan roadmap pengembangan produksi komoditas pangan strategis tahun 2010 sampai tahun 2014. Tabel 4 Roadmap pengembangan produksi komoditas pangan strategis, 20102014 Komoditas
2010
Beras Luas tanam (ribu ha) 13.520 Luas panen (ribu ha) 13.270 Produktivitas (kw/ha) 48.38 Produksi (ribu ton) 37.222 Jagung Luas tanam (ribu ha) 4.412 Luas panen (ribu ha) 4.200 Produktivitas (kw/ha) 47.14 Produksi (ribu ton) 19.800 Kedelai Luas tanam (ribu ha) 920 Luas panen (ribu ha) 874 Produktivitas (kw/ha) 14.90 Produksi (ribu ton) 1.300 Sumber : Kementrian Pertanian (2012)
2011
Tahun 2012
2013
2014
13,850 13.402 49.05 36.959
14.023 13.538 50.10 38.131
14.593 14.088 51.15 40.514
15.306 14.776 51.82 43.046
4.632 4.400 50.00 22.000
4.850 4.600 52.17 24.000
5.000 4.800 54.17 26.000
5.263 5.000 58.00 29.000
1.088 1.036 15.05 1.560
1.312 1.250 15.20 1.900
1.538 1.465 15.35 2.250
1.830 1.742 15.50 2.700
Dengan menganalisis Tabel 5 yang menunjukkan perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi komoditi pangan strategis dengan roadmap pengembangan produksi komoditi pangan strategis, maka dapat ketahui bahwa 3
Kompas. 2012. Surplus Beras Berbasis Impor [Internet]. [ diunduh 2013 Maret 27]. Tersedia pada: http://www.kompas.com.
7
produksi dari tahun 2010 sampai tahun 2012 di bawah target yang telah ditetapkan. Di samping itu, roadmap produksi yang telah dibuat dari tahun 2010 sampai tahun 2014 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini dirasakan tidak mungkin tercapai karena produksi riil dari setiap komoditi kurang dari target, terutama produksi kedelai yang dari tahun 2010 sampai tahun 2012 mengalami penurunan produksi. Tabel 5 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi komoditas pangan strategis, 2010-2012 Komoditas
2010
Realisasi 2011
Beras Luas panen ( ribu ha) 13.253 13.204 Produktivitas (kw/ha) 50.15 49.80 Produksi (ribu ton) 37.369 36.968 Jagung Luas panen (ribu ha) 4.132 3.865 Produktivitas (kw/ha) 44.36 45.65 Produksi (ribu ton) 16.248 15.641 Kedelai Luas panen (ribu ha) 661 622 Produktivitas (kw/ha) 13.73 13.68 Produksi (ribu ton) 907 851 Sumber : Kementrian Pertanian, diolah (2013)
2012
Senjang Realisasi dan Target 2010 2011 2012
13.472 50.38 38.767
13.240 1.77 37.332
13.190 0.75 36.931
13.458 0.28 38.729
3.967 47.39 16.810
4.128 -2.78 16.228
3.861 -4.35 15.619
3.962 -4.78 16.786
566 13.76 783
660 -1.17 906
621 -1.37 849
565 -1.44 781
Target produksi beras pada 2012 adalah 38.131 ribu ton dari produksi beras riil yang sebesar 38.767 ribu ton, sehingga pemerintah tidak perlu khawatir dengan target produksi beras tahun 2014 mendatang. Namun, hal tersebut belum tentu dapat mencapai target Kementan yang menargetkan surplus beras 10 juta ton. Selisih antara jagung dan kedelai dari target awal (tahun 2010) sampai tahun 2012 masih menunjukkan nilai negatif. Di sisi lain, Indonesia optimis bahwa target produksi jagung 29.000 ribu ton per tahun akan tercapai pada tahun 2014 sehingga Indonesia bisa menjadi negara eksportir jagung. Namun untuk tahun 2012, target sebesar 24.000 ribu ton memang belum bisa tercapai karena produksi hanya mencapai 16.810 ribu ton dikarenakan jumlah produksi jagung masih terpengaruh anomali cuaca tahun lalu. Sedangkan target produksi swasembada kedelai tahun 2014 harus mencapai 2.700 ribu ton. Hal tersebut dirasa tidak realistis mengingat senjang produksi dan target mencapai 1.117 ribu ton pada tahun 2012. Pada tahun 2012 pencapaian target swasembada beras telah mencapai 85.88%, pencapaian jagung sebesar 57.96%, dan pencapaian swasembada kedelai hanya mencapai 29% (Tabel 6). Produksi komoditas strategis seperti padi, jagung, dan kedelai secara umum telah mencapai 85% dari target di tahun 2012. Untuk mencapai target swasembada, maka diperlukan upaya peningkatan produksi dengan berbagai strategi. Hal yang lebih penting adalah bahwa ketergantungan impor yang terus menerus kepada negara-negara pengekspor utama beras, jagung, dan kedelai akan merugikan posisi ekonomi Indonesia sendiri. Impor diduga akan menurunkan harga sehingga dikhawatirkan pada akhirnya akan membuat petani merugi dan menghentikan produksi serta mengalihkan sumber daya yang dimilikinya untuk produksi komoditi lain.
8
Tabel 6 Target perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi komoditas pangan strategis, 2010-2014 Komoditas
2012-2013
Target 2012-2014
Beras Luas panen (Ha) -505 -1 304 Produktivitas (Kw/Ha) -0.77 -1.44 Produksi (Ton) -1 747 -4 279 Jagung Luas panen (Ha) -833 -1 033 Produktivitas (Kw/Ha) -6.78 -10.61 Produksi (Ton) -9 190 -12 190 Kedelai Luas panen (Ha) -899 -1 176 Produktivitas (Kw/Ha) -1.59 -1.74 Produksi (Ton) -1 467 -1 917 Sumber : Kementrian Pertanian, diolah (2013)
2012-2013
Target (%) 2012-2014
-3.58 -1.51 -4.31
-8.83 -2.78 -9.94
-17.35 -12.52 -35.35
-20.66 -18.29 -42.04
-61.37 -10.36 -65.20
-67.51 -11.23 -71.00
Dengan demikian yang menjadi pertanyaan adalah apakah produksi komoditi pangan strategis dapat ditingkatkan dan apakah swasembada komoditi pangan strategis seperti yang diinginkan akan tercapai secara berkelanjutan. Sedangkan masih banyak faktor-faktor yang belum mendukung dalam pencapaian swasembada komoditi pangan strategis. Selain itu, faktor lain yang tidak mendukung yaitu faktor perubahan iklim, anomali iklim saat ini semakin tinggi intensitasnya. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, antara lain : 1. Bagaimana proyeksi jumlah produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis di Indonesia sampai tahun 2014? 2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis di Indonesia, serta implikasinya terhadap swasembada komoditi pangan strategis di Indonesia?
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Memproyeksikan produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis di Indonesia sampai tahun 2014. 2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis di Indonesia serta implikasinya terhadap swasembada komoditi pangan strategis di Indonesia.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk : 1. Bagi pemerintah, semoga dapat memberikan informasi tambahan dalam menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan di masa yang akan datang dalam upaya peningkatan produksi komoditi pangan strategis.
9
2. Bagi pembaca, tulisan ini semoga bermanfaat sebagai refrensi, penyedia informasi, literatur, dan bahan melakukan penelitian lanjutan. 3. Bagi penulis sendiri, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengalaman dan pengembangan wawasan serta dapat dijadikan sebagai aplikasi nyata dari ilmu yang telah didapat selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis di Indonesia yang terdiri dari beras, jagung, dan kedelai serta implikasinya terhadap swasembada nasional. Komoditi beras, jagung, dan kedelai dalam penelitian ini adalah beras, jagung, dan kedelai secara umum bukan dengan jenis atau kualitas tertentu. Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan, namun tujuan penelitian ini masih bisa dicapai dengan memanfaatkan data yang ada. Adapun keterbatasan dari penelitian ini diantaranya: beberapa faktor seperti adanya kebijakan dan nonkebijakan yang berkaitan dengan komoditi beras, jagung, dan kedelai di Indonesia diasumsikan sama (cateris paribus) dan data yang digunakan adalah data tahunan sehingga model yang dirumuskan tidak menggambarkan fluktuasi harga bulanan dan musiman.
10
TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan diuraikan secara ringkas mengenai pengidentifikasian komoditi strategis serta pembahasan beberapa studi ataupun penelitian yang telah dilakukan para peneliti terdahulu, baik yang menyangkut aspek produksi, konsumsi, model peramalan, faktor-faktor yang memengaruhi, maupun pangan dan pertanian. Selain itu, juga akan dapat diketahui pendekatan apa saja yang digunakan para peneliti terdahulu dalam mempelajari fenomena swasembada, serta kelebihan dan kelemahan pendekatan yang digunakan. Uraian dan bahasan tersebut akan menjadi masukan bagi pengembangan kerangka pemikiran dan penyusunan model dalam penelitian ini.
Komoditi Pangan Strategis Indonesia memelopori proposal Special Products pada perundingan multilateral dalam naungan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Special Products yang dimaksud adalah sejumlah komoditas strategis yang penting untuk hajat hidup orang banyak, baik dari segi lapangan kerja, maupun jaminan perolehan pangan yang cukup, perlindungan, dan dinamisasi kehidupan desa secara berkelanjutan, serta pertahanan dan stabilitas sosial-politik yang sesungguhnya merupakan tujuan utama pembangunan pertanian, dikecualikan dari agenda perundingan lanjutan liberalisasi dan deregulasi perdagangan produk pertanian. Menurut Simatumpang (2004), ada 6 indikator dan kriteria obyektif sebagai penciri produk strategis antara lain persentase pangsa dalam nilai total produksi pertanian domestik (peranan dalam perekonomian desa), persentase pangsa dalam penyediaan zat gizi, kalori, dan protein (peranan dalam ketahanan pangan), persentase pangsa dalam total serapan tenaga kerja sektor pertanian (peranan dalam pengentasan kemiskinan atau kehidupan penduduk), ketergantungan terhadap impor (kerentanan), insiden banjir impor (kerapuhan), serta tren pertumbuhan (keberlanjutan). Berdasarkan indikator dan kriteria kuantitatifobyektif, komoditi beras, jagung, dan kedelai merupakan komoditas strategis dalam subsektor tanaman pangan yang amat menentukan keberhasilan dinamisasi perekonomian desa, memantapkan ketahanan pangan, serta mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk, sehingga dapat mewujudkan tujuan utama pembangunan pertanian. Selain itu, ketiga komoditas tersebut rentan dan rapuh terhadap gejolak pasar internasional. Oleh karena itu, ketiga komoditas tersebut layak dijadikan sebagai komoditas pangan strategis bagi Indonesia. Indonesia menetapkan target strategis dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan yaitu dengan mencapai swasembada pangan di tahun 2014 untuk komoditas strategis seperti padi, jagung, kedelai, gula, dan daging. Sampai Oktober 2012, pemerintah telah mendorong produksi beras, jagung, dan kedelai
11
secara umum telah mencapai 85% dari target di tahun 20124. Untuk mencapai target tersebut, Indonesia telah menerapkan revitalisasi pertanian di 7 daerah baik ada aspek tanah, benih dan bibit, fasilitas pendukung, sumber daya manusia, petani pembiayaan, lembaga petani, dan teknologi serta industri hilir. Hal ini mendapat apresiasi dari FAO (Food and Agriculture Organization) karena langkah-langkah Indonesia menghadapi krisis pangan akibat kekeringan panjang di beberapa negara penghasil pangan dunia.
Syarat Tumbuh Tanaman Komoditi Pangan Strategis Tanaman komoditi pangan strategis yang terdiri dari padi, jagung, dan kedelai hampir memiliki kesamaan tumbuh yang sama. Tanaman padi dan jagung mudah beradaptasi dengan lingkungan terutama daerah tropis. Berbeda dengan tanaman kedelai yang pada umumnya kurang cocok di tanam di daerah tropis. Ketiga tanaman tersebut akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik bila syarat-syarat tumbuh terpenuhi. Faktor iklim dan tanah merupakan faktor yang paling dominan bagi syarat tumbuh tanaman.
Syarat Tumbuh Tanaman Padi 1. Iklim Tanaman padi dapat hidup dengan baik di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Dengan kata lain, padi dapat hidup baik di daerah beriklim panas yang lembab. Suhu yang panas merupakan temperatur yang sesuai bagi tanaman padi, misalnya daerah tropis. Tanaman padi membutuhkan curah hujan yang baik, rata-rata 200 mm/bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan. Sedangkan curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1.500-2.000 mm. Curah hujan yang baik akan membawa dampak positif dalam pengairan, sehingga genangan air yang diperlukan tanaman padi di sawah dapat tercukupi. Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik pada suhu 23 0C ke atas, sedangkan di indonesia pengaruh suhu tidak terasa, sebab suhunya hampir konstan sepanjang tahun. Adapun salah satu pengaruh suhu terhadap tanaman padi yaitu kehampaan pada biji. Daerah antara 0-650 meter dengan suhu antara 26.5-22.5 0C termasuk 96% dari luas tanah di Jawa, cocok untuk tanaman padi. Daerah antara 650-1.500 meter dengan suhu antara 22.5-18.7 0C masih cocok untuk tanaman padi (AAK 2003). Musim berhubungan erat dengan hujan yang berperan di dalam penyediaan air, dan hujan dapat berpengaruh terhadap pembentukan buah sehingga sering terjadi bahwa penanaman padi pada musim kemarau mendapatkan hasil yang lebih tinggi daripada penanaman padi pada musim hujan, dengan catatan apabila pengairan baik. Pada musim kemarau, peristiwa peyerbukan dan pembuahan tidak terganggu oleh hujan, sehingga persentase terjadinya buah lebih besar, dan produksi menjadi lebih baik. Namun yang perlu diperhatikan ialah adanya 4
Kompas. 2012. Pemerintah Targetkan Indonesia Capai Swasembada Pangan Tahun 2014 [Internet]. [diunduh 2013 April 27]. Tersedia pada: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/ 2012/10/28/09154127/Pemerintah.Targetkan.Indonesia.Capai.Swasembada.Pangan.Tahun.2014.
12
pengairan untuk kebutuhan hidup tanaman padi. Sedangkan pada musim hujan terjadi sebaliknya, proses penyerbukan dan pembuahan sangat terganggu, sebab membukanya bunga padi juga terganggu, maka produksi pada musim hujan relatif lebih rendah walaupun pengairan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya (AAK 2003). 2. Tanah Tanah merupakan bagian dari permukaan bumi yang dapat digunakan sebagai tempat tumbuh suatu tanaman, sebab pada tanah terkandung zat-zat makanan yang diperlukan oleh tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Apabila pada tanah hanya tersedia makanan dalam jumlah kecil atau tidak ada sama sekali, akibatnya pertumbuhan tanaman tidak normal, seperti kerdil, merana, dan tidak bisa berproduksi. Di samping itu tanah berperan sebagai tempat tegaknya tanaman dan tempat penyediaan udara, sehingga akar bisa bernafas. Di Pulau Jawa, padi dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang ketebalan lapisan atasnya antara 18-22 cm, terutama tanah muda dengan pH antara 4-7. Sedangkan lapisan olah tanah sawah, menurut IRRI ialah dengan kedalaman 18cm. Pada lapisan tanah atas untuk pertanian pada umumnya mempunyai ketebalan antara 10-30 cm dengan warna tanah coklat sampai kehitam-hitaman, tanah tersebut gembur. Tanah tersusun dari beberapa macam bahan, sehingga terdapat rongga-rongga halus dalam tanah yang disebut pori-pori tanah berisi air dan udara. Sedangkan kandungan air dan udara di dalam pori-pori tanah masingmasing 25% (AAK 2003).
Syarat Tumbuh Tanaman Jagung 1. Iklim Menurut Warisno (2004), suhu atau temperatur yang dikehendaki tanaman jagung adalah antara 21-30 0C. Akan tetapi, untuk pertumbuhan yang baik bagi tanaman jagung, suhu yang optimum adalah 23-27 0C. Suhu yang terlalu tinggi dan kelembapan yang rendah akan dapat mengganggu proses persarian. Suhu yang rendah (sekitar 15 0C) akan mengakibatkan perkecambahan tertunda sehingga muncul di atas tanah lebih dari tujuh hari. Suhu sekitar 25 0C akan mengakibatkan perkecambahan biji jagung lebih cepat, yaitu kurang dari tujuh hari. Suhu yang tinggi (lebih dari 40 0C) akan mengakibatkan kerusakan embrio sehingga tanaman tidak jadi kekecambah. Jagung memerlukan air memerlukan air yang cukup untuk pertumbuhan, terutama pada saat berbunga dan pengisian biji. Setelah biji jagung berkecambah, diharapkan hujan tidak terlalu banyak. Semakin bertambah umur tanaman, curah hujan diharapkan semakin banyak dan semakin meningkat sampai semua daun mencapai ukuran penuh. Pada saat keluar malai, kebutuhan air paling banyak, setelah itu, hujan diharapkan berkurang sampai tak ada hujan. Untuk mudahnya curah hujan yang normal untuk pertumbuhan tanaman jagung yang ideal adalah sekitar 85-100 mm/bulan atau 1.000-1.200 mm per tahun, dan yang paling penting adalah distribusinya pada setiap tahap pertumbuhan. Dari hasil penelitian Warisno (2004) juga menjelaskan bahwa intensitas cahaya yang tinggi baik untuk pertumbuhan tanaman jagung. Intensitas cahaya
13
yang rendah (di bawah naungan misalnya) akan berakibat tanaman jagung tumbuh memanjang (tinggi), tongkolnya ringan, dan bijinya kurang berisi. Jagung dapat ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi (daerah pegunungan) yang memiliki ketiggian sekitar 1.000 m atau lebih dari permukaan air laut (dpl). Umumnya jagung yang ditanam di daerah ketinggian kurang dari 800 m dpl akan memberikan hasil yang tinggi. Dan anehnya, jagung yang di tanamn di tanah dengan ketinggian antara 800-1.200 m dari permukaan air laut juga masih bisa berproduksi dengan baik. Keadaan tinggi tempat erat kaitannya dengan suhu udara, kelembapan, dan intensitas penyinaran matahari. Semuanya itu akan saling mempengaruhi terhadap keadaan fisiologis tanaman jagung. Setiap kenaikan 100, suhu akan turun sekitar setengah sampai satu derajat celcius. Suhu dan intensitas cahaya mempengaruhi proses fotosintesis. 2. Tanah Jagung tidak begitu memerlukan persyaratan tanah yang khusus, hampir semua jenis tanah dapat ditanami. Akan tetapi jagung yang ditanam pada tanah yang gembur, subur, dan kaya akan humus dapat memberikan hasil yang baik. Tanah yang mengandung bahan organik cukup banyak akan membuat tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik asalkan ph-nya sesuai. Tanah yang paling baik untuk ditanami jagung hibrida adalah tanah lempung berdebu, lempung berpasir, atau lempung. Derajat keasaman tanah (pH) yang paling baik untuk tanaman jagung adalah ph 5.5-7.0. Pada pH netral, unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman jagung banyak tersedia di dalamnya (Warisno 2004).
Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai 1. Iklim Di indonesia kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (dpl). Meskipun demikian telah banyak varietas kedelai dalam negeri ataupun kedelai introduksi yang dapat beradaptasi dengan baik di dataran tinggi (pegunungan) ±1.200 m dpl. Hasil penelitian balai penelitian tanaman pangan menunjukkan bahwa varietas orba dan galunggung mempunyai adaptasi yang luas sehingga dapat ditanam pada ketinggian ±1.100 m dpl. Demikian pula uji coba pengembangan varietas kedelai edamane dan kedelai hitam (koramame) pada umumnya cocok ditanam di dataran tinggi antara 1.000-1.200 m dpl. Di sentra penanaman kedelai di indonesia pada umumnya kondisi iklim yang paling cocok adalah daerah-daerah yang mempunyai suhu antara 25-27 0C, kelembapan udara (rH) rata-rata 65%, penyinaran matahari 12 jam/hari atau minimal 10 jam/hari, dan curah hujan paling optimum antara 100-200 mm/bulan. Varietas kedelai yang unggul untuk suatu daerah belum tentu menunjukkan keunggulan yang sama di daerah lain, karena faktor perbedaan iklim, tofografi, dan cara tanam. Dari berbagai nara sumber dan bacaan terdapat petunjuk, bahwa varietas kedelai yang berbiji kecil cenderung lebih cocok ditanam di dataran rendah. Sebaliknya, varietas kedelai yang berbiji besar lebih cocok ditanam di dataran tinggi (Rukmana dan Yunarsih 2001).
14
2. Tanah Tanaman kedelai menurut Rukmana dan Yunarsih (2001) mempunyai daya adaptasi yang luas terhadap berbagai jenis tanah. Berdasarkan kesesuaian jenis tanah untuk pertanian, maka tanaman kedelai cocok ditanam pada jenis tanah aluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol. Hal yang penting diperhatikan dalam pemilihan lokasi atau lahan untuk penanaman kedelai adalah tata air (drainase) dan tata udara (aerasi) tanahnya baik, bebas dari kandungan atau wabah nematoda, dan reaksi tanah (pH) 5.0-7.0. Pada tanah yang asam (di bawah pH 5.0) perlu dilakukan pengapuran (liming) dengan kapur pertanian.
Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan Kebijakan pangan meliputi (1) Kebijakan pangan fokus pada pangan, khususnya makanan pokok yg esensial bagi kelangsungan hidup manusia; (2) Kebijakan pangan mencakup juga kecukupan konsumsi pangan dari populasi suatu negara, tidak hanya sekedar produksi pangan; (3) Kebijakan pangan mencakup koreksi ketidakseimbangan antara ketersediaan pangan dan kapasitas masyarakat yang berbeda dlm mengakses pangan; dan (4) Kebijakan pangan memandang masalah kemiskinan dan ketidakseimbangan pendapatan dari risiko yang mereka hadapi dalam penyebaran kurang gizi dan kelaparan di berbagai sektor masyarakat. Tahun 1970-an, negara berkembang mengalami kekurangan pangan, sehingga tujuan utamanya adalah swasembada pangan. Hal tersebut dikarenakan masyarakat tidak seharusnya kelaparan karena ketidakcukupan supply pangan, kasus kelaparan tersebut biasanya karena tidak memiliki kontrol yang cukup atau akses terhadap pangan. Adanya kasus kelaparan tersebut mengakibatkan setiap negara mengembangkan pendekatan terpadu terhadap masalah pangan dan nutrisi: ketahanan pangan (food security)5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17 menyatakan bahwa: “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Ketahanan pangan adalah terpenuhinya pangan, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun kesesuaian dengan sosio kultur, dapat dijangkau secara fisik maupun ekonomi, dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan individu, setiap waktu, untuk sehat, tumbuh dan produktif. Unsur utama dari ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan yang cukup, distribusi yang menjamin setiap individu dapat mengakses, serta mengkonsumsi yang menjamin setiap individu memperoleh asupan zat gizi dengan jumlah dan keseimbangan yang cukup. Menurut Arifin (2005) dan Sholahuddin (2009), pengkajian aspek keseimbangan dalam ketahanan pangan menekankan pada 3 dimensi penting, yaitu: 1. Ketersediaan dan kecukupan pangan juga mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan agar setiap individu dapat terpenuhi standar kebutuhan kalori
5
Harianto. 2013. Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan (Food Policy and Food Security). [diunduh 2013 Maret 25]. Tersedia pada: Handout mata kuliah pembangunan dan politik agribisnis
15
dan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari, melalui: a. Produksi sendiri dengan cara memanfaatkan dan alokasi sumberdaya alam, manajemen dan pengembangan sumberdaya manusia serta aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal. b. Impor dari negara lain asal tidak terlalu berlebihan dan dibenarkan oleh peraturan yang berlaku atau tidak dalam keadaan larangan impor dengan menjaga cadangan devisa negara dari sektor pereknomian untuk menjamin kesehatan neraca keseimbangan. 2. Aksesibilitas masyarakat terhadap pangan dapat dijelaskan misalnya dengan proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan di tingkat rumah tangga tersebut. Semakin besar pangsa pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan, semakin rendah ketahanan pangan rumah tangga yang bersangkutan. 3. Stabilitas harga pangan menjadi salah satu hal yang penting dalam ketahanan pangan karena dapat menimbulkan konsekuensi ekonomi, politik, dan sosial kemasyarakatan yang berat. Negara berkembang,termasuk Indonesia umumnya melakukan intervensi kebijakan untuk menjaga atau mengurangi tingkat fluktuasi harga agar tidak terlalu besar. Menurut Sholahuddin (2009) konsep ketahanan pangan merupakan realitas yang harus dicapai oleh bangsa Indonesia. Salah satu agenda penting untuk meningkatkan ketahanan pangan saat ini adalah mengurangi impor pangan strategis, mencegah penyelundupan dan memacu ekspor pangan yang memiliki keunggulan kompetitif, serta melakukan diversifikasi pangan. Di samping itu, swasembada harus terus diperjuangkan karena ketergantungan impor pangan strategis dapat membahayakan stabilitas nasional dan pemerintah harus melakukan proteksi pada komoditi pangan strategis. Dengan demikian, usaha pencapaian swasembada dan peningkatan ketahanan pangan menjadi salah satu fokus pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling mendasar, kualitas pangan yang dikonsumsi akan menentukan kualitas sumberdaya manusia suatu bangsa, keterkaitan pangan ke depan dan ke belakang.
Swasembada Pangan Ketersediaan pangan memiliki 2 sisi, yaitu sisi pasokan pangan dan sisi kebutuhan pangan penduduk. Pada sisi pasokan, ketersediaan pangan terkait dengan kapasitas produksi dan perdagangan (impor/ekspor) pangan. tergantung pada kapasitas produksi yang dimilikinya, sumber pasokan pangan suatu negara dapat bersumber dari produksi domestik, impor atau kombinasi produksi domestik dan impor. Kapasitas produksi pangan merupakan fungsi gabungan serangkaian faktor, meliputi: luas lahan, agroklimat, infrastruktur, dan teknologi. Semakin besar kapasitas produksi pangan yang dimiliki semakin kecil ketergantungannya pada sumber impor atau bahkan tidak bergantung sama sekali (swasembada). Ketersediaan pangan dapat dicapai salah satunya dengan swasembada (Selfsufficiency) dilakukan untuk menghindari ketergantungan pada pasar pangan dunia yang tidak stabil dan tidak bisa diprediksi. Swasembada dapat diartikan
16
sebagai kemampuan untuk memenuhi segala kebutuhan pangan. Pangan bahanbahan makanan yang di dalamnya terdapat hasil pertanian, perkebuban, dan lainlain. Jadi swasembada pangan adalah keadaan dimana suatu negara dapat memenuhi tingkat permintaan akan suatu bahan makanan sendiri tanpa perlu melakukan impor dari pihak luar. Swasembada domestik butuh biaya tinggi dan metode yang inefisien dalam mencapai ketahanan pangan dari sisi produksi. Swasembada bukan merupakan syarat perlu dan syarat cukup dalam ketahanan pangan. Suatu negara tidak harus dalam kondisi swasembada pangan, karena impor bisa menutupi perbedaan produksi dan konsumsi dalam negeri. Swasembada belum menunjukkan kondisi cukup, karena walaupun berswasembada bisa terdapat kondisi tidak yang tidak tahan pangan, dikarenakan kurangnya control atau akses terhadap pangan. The ASEAN Food Security Information and Training Center menyarankan rasio cadangan pangan terhadap kebutuhan domestik minimal sebesar 20% untuk menstabilkan ketersediaan pangan sepanjang tahun6. Dalam pertumbuhan ekonomi nasional sangat tinggi, ketahanan pangan mempunyai pengaruh yang erat pada ketahanan nasional. Menurut Sholahuddin (2009) sisi pasokan atau produksi, fokus upaya pencapaian swasembada dan ketahanan pangan dilaksanakan dalam bentuk: 1. Peningkatan produksi beras untuk meraih kembali swasembada beras secara nasional 2. Peningkatan produksi komoditas palawija, khususnya jagung dan kedelai guna mendukung pengembangan insdustri pakan domestik dan pengolahan pangan sumber protein nabati. 3. Peningkatan produksi perikanan, peternakan dan hortikultura utama untuk meningkatkan keanekaragaman, keseimbangan dan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat. Hampir semua pemerintah di dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju, selalu melakukan kontrol dan intervensi terhadap komoditas pangan strategis seperti beras untuk ketahanan pangan dan stabilitas politik.
Model-model Peramalan Time Series Komoditi Strategis Pada dasarnya metode peramalan diklasifikasikan menjadi model kuantitatif (objektif) dan model kualitatif (subjektif). Prosedur peramalan kualitatif melibatkan pengalaman, judgements maupun opini dari sekelompok orang yang pakar di bidangnya. Sedangkan model kuantitatif melibatkan analisis statistik terhadap data-data yang lalu (Firdaus 2011). Evaluasi dan peramalan masa depan swasembada beras dapat dilakukan dengan perhitungan nilai penduga parameter setiap persamaan dalam suatu model ekonometrika (Mulyana 1998). Keterkaitan permintaan, penawaran, dan harga beras dapat dirumuskan dengan model dinamis dalam bentuk persamaan simultan. Daya prediksi model ekonometrika penawaran dan permintaan beras dalam penelitian ini telah diuji dengan suatu simulasi dasar untuk periode sampel pengamatan tahun 1984-1996. Serupa dengan penelitian 6
Budastra, I Ketut. 2010. Ketahanan Pangan [Internet]. [2014 Januari 25]. Tersedia pada: http://inspirasi tabloid.wordpress.com/2010/04/30/ketahanan-pangan”/
17
Mulyana, pada kajian mengenai produksi dan konsumsi beras terhadap swasembada yang dilakukan oleh Hessie (2009), penggunaan model persamaan simultan ekonometrika dapat menjelaskan perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia dari tahun ke tahun yang berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia tahun 2009-2013 menunjukan bahwa Indonesia defisit beras hingga tahun 2010 dan surplus beras terjadi pada tahun 2011 sehingga swasembada beras Indonesia dapat tercapai. Penggunaan model-model peramalan meliputi 2 langkah, yaitu analisis deret data dan seleksi model peramalan yang paling cocok dengan deret data tersebut. Pada beberapa studi terdahulu menggunakan metode time series, model yang sering dipakai adalah naive, average, trend, smoothing, exponential, dekomposisi, ARIMA, SARIMA. Melihat keadaan perkedelaian saat ini, Yuwanita (2006) mencoba meramalkan beberapa tahun ke depan produksi dan konsumsi kedelai dengan berbagai model peramalan time series untuk mendapatkan model peramalan terbaik. Hasil penelitiannya menunjukkan model terbaik untuk meramalkan produksi dan konsumsi kedelai adalah model ARIMA. Berbeda dengan Yuwanita, Aldillah (2006) yang meneliti tentang peramalan permintaan dan penawaran jagung nasional. Mereka berpendapat bahwa model ARIMA mempunyai tingkat keakuratan yang lebih tinggi dari model-model peramalan time series lainnya. Menurut Hanke (2003), metodologi Box-Jenkins mengacu pada himpunan prosedur untuk mengidentifikasikan, mencocokan, dan memeriksa model ARIMA dengan data deret waktu. Peramalan mengikuti langsung dari bentuk model disesuaikan. Sehingga dengan konsep inilah penggunaan ARIMA lebih tepat digunakan untuk data dalam penelitian ini dibandingkan dengan teknik peramalan lainnya (Hanke 2003). Dari hasil peramalan menunjukan bahwa permintaan jagung selalu melebihi penawaran, maka kondisi neraca jagung nasional selalu mengalami defisit hingga tahun 2015. Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Aldillah, Maretha (2008) yang meneliti mengenai produksi dan konsumsi kedelai nasional, hanya menggunakan model ramalan ARIMA untuk ramalan produksi dan konsumsi kedelai. Penelitian Yuwanita dan Maretha mengenai analisis kedelai menunjukan hasil yang sama, yaitu Indonesia akan mencapai swasembada kedelai pada tahun 2015 karena nilai produksi (skenario) lebih besar daripada nilai hasil prediksi konsumsi. Dari beberapa model peramalan yang telah digunakan dalam penelitian di atas, penelitian ini akan mencoba menggunakan seluruh model peramalan time series. Alasan menggunakan keseluruhan model mulai dari model naive, model trend, model rata-rata, model penghalusan, model dekomposisi, dan model ARIMA dimaksudkan untuk melihat model terbaik yang nantinya akan digunakan untuk meramal. Penentuan model terbaik dilihat dari nilai mean square error (MSE) terkecil apabila dibandingkan dengan model lainnya.
Tinjauan Faktor-faktor yang Memengaruhi Komoditi Pertanian Menurut Lipsey et al. (1986), penawaran suatu komoditi menunjukkan jumlah komoditas yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu
18
pasar pada tingkat harga tertentu. Beberapa faktor yang memengaruhi penawaran suatu komoditas adalah harga komoditas yang bersangkutan, harga faktor produksi, tingkat teknologi, pajak dan subsidi. Ambarinanti (2007) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia terdiri dari luas areal panen padi Indonesia, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan. Al-Mudatsir (2009) menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi luas areal panen kacang kedelai yaitu harga kacang kedelai, harga jagung, harga kacang tanah, luas areal teririgasi, dan luas areal panen sebelumnya. Sedangkan faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah harga pupuk, upah buruh, dan produktivitas tahun sebelumnya. Hasil penelitian Purnamasari (2006) menunjukan luas areal panen tanaman kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga riil kedelai domestik, harga riil jagung, dan luas areal panen tahun sebelumnya, dimana respon luas areal panen elastis terhadap perubahan harga riil kedelai domestik dan harga riil jagung dalam jangka panjang. Sedangkan Produktivitas tanaman kedelai dipengaruhi oleh curah hujan, harga riil jagung, dan produktivitas tahun sebelumnya. Timor (2008) menunjukan bahwa peningkatan produksi jagung di Indonesia disebabkan oleh peningkatan luas areal dan produktivitas jagung. Luas areal mengalami peningkatan secara fluktuatif dan terkonsentrasi di Pulau Jawa, disamping itu terjadi pergeseran dari lahan kering ke lahan sawah beririgasi pada musim kemarau. Produktivitas jagung di Indonesia masih relatif rendah karena sistem usaha tani belum optimal, yaitu sebagian besar petani masih menggunakan benih varietas jagung lokal, penggunaan pupuk yang belum berimbang, dan masih terbatasnya penggunaan pestisida untuk pengendalian hama. Permintaan merupakan jumlah suatu komoditi yang ingin dibeli oleh konsumen rumah tangga (Lipsey et al. 1986). Hal ini berbeda dengan faktorfaktor yang berpengauh terhadap penawaran, menurut Jumini (2008) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa ada empat variabel yang berpengaruh nyata terhadap permintaan bawang putih impor ke Indonesia, yaitu harga bawang putih lokal, konsumsi bawang putih lokal, produksi bawang putih dalam negeri, dan harga bawang putih impor. Sedangkan Priyanti (2012) diketahui bahwa faktorfaktor yang memengaruhi permintaan rumah tangga terhadap cabai merah yaitu jumlah anggota keluarga, harga beli, pendapatan rumah tangga, frekuensi pembelian, tempat pembelian, dan suku. Berdasarkan penelitian Ambarinanti (2007), Al-Mudatsir (2009) Purnamasari (2006), dan Timor (2008), menunjukkan bahwa hasil signifikansi atau faktor-faktor yang memengaruhi produksi beberapa komoditi pangan seperti beras, kedelai, dan jagung akan dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan strategi atau kebijakan pengembangan komoditi pertanian tersebut. Sedangkan menurut Jumini (2008) dan Priyanti (2012) yang melakukan penelitian mengenai faktor-fakor yang memengaruhi permintaan komoditi bawang putih dan cabai merah, hasil signifikansi akan dijadikan acuan untuk menyusun kebijakan dalam menjaga keseimbangan atau menjaga stabilitas kuantitas pasokan, seperti: pengaturan waktu budidaya, peneapan harga minimal dan maksimal.
19
KERANGKA PEMIKIRAN Dalam bab ini akan dikemukakan kerangka pendekatan untuk menganalisis dan menjawab permasalahan peramalan produksi dan konsumsi komoditi strategis dalam rangka pencapaian swasembada seperti yang telah dirumuskan pada pendahuluan, yaitu mengenai konsep hubungan atau keterkaitan di antara produksi, konsumsi, dan peramalan. Untuk mengetahui hubungan kuantitatif dari kerangka pendekatan tersebut, akan diuraikan pula beberapa teori rumusan fungsional yang relevan dengan masing-masing komponen tersebut.
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari penelusuran teori yang relevan dengan permasalahan yang menjadi topik kajian ini, yaitu konsep produksi, konsep konsumsi, dan konsep peramalan. Adapun kerangka pemikiran teoritis yang digunakan dalam penelitian ini akan dijelaskan pada subbab berikut ini.
Konsep Produksi Lipsey et al. (1986) mengatakan bahwa produksi adalah tindakan dalam membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa. Dalam pertanian, proses produksi begitu kompleks dan terus menerus berubah seiring dengan kemajuan teknologi. Secara umum produksi diartikan sebagai setiap kegiatan atau usaha manusia untuk menghasilkan atau menciptakan, menambah nilai guna suatu barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tidak ada produk yang dihasilkan dengan menggunakan satu input. Dalam produksi banyak digunakan input-input untuk menghasilkan output. Fungsi produksi merupakan hubungan kuantitatif antara masukan dan produksi. Masukan seperti pupuk, tanah, tenaga kerja, modal, dan ikim yang mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Tidak semua masukan yang dipakai untuk dianalisis, hal ini tergantung dari penting tidaknya pengaruh masukan itu terhadap produksi. Jika bentuk fungsi produksi diketahui, maka informasi harga dan biaya yang dikorbankan dapat dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi masukan yang terbaik. Ada banyak hubungan input-output dalam pertanian karena tingkat dimana input diubah menjadi output akan berbedabeda diantara tipe tanah, hewan, teknologi, curah hujan dan faktor lainnya. Tiap hubungan input output menggambarkan kuantitas dan kualitas dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tertentu. Lipsey et al. (1986) juga mengatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan fungsi yang memperlihatkan output maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap input dan oleh kombinasi berbagai input. Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dalam cara yang berbeda; dalam bentuk tertulis, menyebutkan dan menggambarkan tiap input yang berhubungan dengan output; dengan membuat daftar input dan hasil output secara numerik
20
dalam tabel; dalam bentuk grafik atau diagram; dan dalam bentuk persamaan aljabar. Hubungan antara input dan output ini dapat diformulasikan oleh sebuah fungsi produksi, yang dalam bentuk matematis bisa ditulis: Q = f(K,L), dimana Q mewakili tingkat Output yang dihasilkan selama suatu periode tertentu, K mewakili barang modal, dan L mewakili tenaga kerja. Simbol f menggambarkan bentuk hubungan dari perubahan input menjadi output. Hubungan fisik antara faktor produksi dengan produksi dapat digambarkan dalam suatu proses produksi seperti Gambar 3. Y c b PT
a X
0 Y Tahap I
Tahap II
Tahap III
PR X PM
0
Gambar 3 Kurva PT, PR, dan PM Sumber: Nicholson (1998)
Keterangan :
X : Hasil produksi a : PM maksimum Y : Faktor produksi b : PR maksimum PT : Produk total c : MP = 0 PR : Produk rata-rata PM : Produk Marjinal Proses alokasi faktor produksi yang efisien dapat dianalisis melalui Gambar 3 yang menunjukkan 3 tahap penting dari gerakan perubahan nilai produk total, yaitu: 1. Tahap I, sampai pada saat kondisi produk rata-rata maksimum. Sering disebut sebagai daerah rasional atau kenaikan hasil yang selalu bertambah. Pada tahap ini keuntungan maksimum belum tercapai karena produksi masih dapat ditingkatkan dengan pemakaian faktor produksi yang lebih banyak, dengan asumsi cukup tersedia faktor produksi. 2. Tahap II, antara produk rata-rata sampai saat produk marjinal sama dengan 0. Tahap ini juga sering disebut sebagai daerah rasional atau kenaikan hasil tetap.
21
Pada tahap ini keuntungan maksimum akan tercapai karena faktor produksi telah digunakan secara maksimum. 3. Tahap III, saat produk marjinal sudah bernilai kurang dari 0. Tahap III merupakan daerah irrasional atau kenaikan hasil negatif. Pada tahap ini menggambarkan bahwa pemakaian faktor produksi sudah tidak efisien. Nicholson (1998) menyatakan bahwa fungsi produksi memeperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan Tenaga kerja (L). Fungsi produksi dapat digambar dalam 2 dimensi, yaitu dengan menggunakan map isoquant. Sebuah isoquant berarti catatan penggunaan kombinasi input-input yang menghasilkan output yang sama. Pada kurva Q, penggunaan kombinasi input antara modal (K) dan Tenaga kerja (L) berbeda-beda tetapi menghasilkan output yang sama. Semakin kurva isoquant bergeser ke kanan (dari Q1 ke Q2 ke Q3), maka kombinasi penggunaan input (K dan L) semakin meningkat. K
Q3 Q2 Q1 0
L
Gambar 4 Map isoquant Sumber: Nicholson (1998)
Konsep Konsumsi Secara umum konsumsi diartikan sebagai setiap kegiatan memkai, menggunakan atau menikmati barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan. Penentuan pengeluaran atau belanja konsumen sangat penting dalam analisis tingkat Output perekonomian suatu negara. Pengeluaran atau belanja konsumen sebagian besar ditentukan oleh penghasilan pribadi, perkiraan konsumen terhadap masa depan, kekayaan, dan tingkat harga. Konsumsi tidak mungkin dilakukan oleh kebanyakan individu yang tidak mempunyai penghasilan dari pekerjaan atau melalui transfer dari pemerintah atau dunia bisnis, maka penghasilan pribadi menjadi hal penting dari variabel-variabel konsumsi (Salvatore 2009). Perubahan pendapatan disposabel berhubungan erat dengan perubahan konsumsi per kapita. Konsumsi tidak terlalu bereaksi terhadap gejolak pendapatan jangka pendek, sebaliknya gejolak pendapatan jangka panjang mempengaruhi perubahan konsumsi (Hill 2008). Konsumsi, terutama konsumsi rumah tangga memiliki porsi (sekitar 70%) terbesar dalam total pengeluaran agregat (Hill 2008; Rahardja 2008). Konsumsi merupakan sejumlah barang yang digunakan lagsung oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Konsumsi pada saat ini hampir bisa diprediksi dengan sempurna dari konsumsi periode sebelumnya ditambah sedikit pertumbuhan.
22
Teori konsumsi modern memprediksi bahwa kenaikan pajak kontemporer, yang kemudian akan menurunkan pendapatan disposabel, akan memiliki sedikit dampak pada konsumsi dan oleh karenanya sedikit dampak pula pada permintaan agregat. Teori Keynesian awal, menyatakan bahwa konsumsi pendapatan sekarang bergerak dalam pola yang sama tanpa berusaha memisahkan antara perubahan pendapatan sementara dengan perubahan tetap. Keynes membuat dugaan-dugaan tentang fungsi konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi kausal. Dalam Mankiw (2003), 3 dugaan-dugaan Keynes tersebut antara lain: 1. Kecenderungan menkonsumsi marjinal, yaitu jumlah yang dikonsumsi dari setiap dolar tambahan adalah antara nol dan satu. 2. Rasio konsumsi terhadap pendapatan disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata turun ketika pendapatan naik. 3. Pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peran penting. Berdasarkan 3 dugaan tersebut, fungsi konsumsi Keynes ditulis sebagai berikut: C = C0 + cY, C0 > 0, 0 < c < 1, Dimana C adalah konsumsi, Y adalah pendapatan disposabel, C0 adalah konstanta, dan c adalah kecenderungan mengkonsumsi marjinal. Fungsi konsumsi adalah hubungan antara konsumsi dengan pendapatan disposabel, dan menganggap konstan faktor-faktor penentu konsumsi yang lain yang bukan berasal dari penghasilan. Fungsi konsumsi berasumsi bahwa perilaku konsumsi individu pada periode tertentu berhubungan dengan pendapatan pada periode tersebut. Perubahan faktor-faktor penentu konsumsi yang bukan berasal dari penghasilan mengubah pula hubungan antara konsumsi dengan pendapatan disposabel. Banyak faktor yang memengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga. Menurut Rahardja (2008), faktor-faktor yang dapat memengaruhi tingkat konsumsi antara lain: 1. Faktor-faktor ekonomi Berdasarkan faktor-faktor ekonomi, ada beberapa hal yang menentukan tingkat konsumsi, yaitu pendapatan rumah tangga, kekayaan rumah tangga, jumlah barang konsumsi tahan lama dalam masyarakat, tingkat bunga, perkiraan tentang masa depan, dan kebijakan pemerintah mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. 2. Faktor-faktor demografi atau kependudukan Yang mencakup dalam faktor-faktor kependudukan adalah jumlah penduduk dan komposisi penduduk. Dilihat dari jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relatif rendah. Pengaruh komposisi penduduk terhadap peningkatan konsumsi apabila makin banyak penduduk yang berusia kerja atau usia produktif, semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, dan makin banyak penduduk yang tinggal diperkotaan. 3. Faktor-faktor nonekonomi Faktor-faktor nonekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya konsumsi adalah faktor sosial budaya masyarakat. Perubahan pola kebiasaan
23
makan, perubahan etika, dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat lain yang dianggap ideal akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi masyarakat.
Konsep Peramalan Peramalan merupakan kegiatan untuk memerkirakan apa yang akan terjadi. Peramalan dapat menjadi alat bantu yang penting dalam perencanaan yang efektif dan efisien serta bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pengambilan keputusan manajemen (Makridakis et al. 1999). Peramalan penting dalam berbagai situasi perencanaan dan pengambilan keputusan. Ramalan-ramalan yang terutama sangat berguna adalah tentang faktor-faktor perekonomian yang dapat berfungsi sebagai latar belakang bagi semua perencanaan dan pengambilan keputusan yang berlangsung dalam berbagai fungsi yang biasanya disebut sebagai skenario dasar perekonomian yang dipergunakan dalam penganggaran dan perencanaan lainnya. Perubahan yang diproyeksikan dalam harga, biaya, tingkat pertumbuhan, dan sebagainya merupakan unsur-unsur penting dalam asumsi bersama. Menurut Makridakis (1999), persyaratan data untuk berbagai metode peramalan meliputi: 1. Data digunakan untuk menentukan pola perilaku beberapa variabel yang didasarkan pada pengamatan historis 2. Data yang digunakan untuk menyediakan nilai yang akan datang dari variabel bebas yang termasuk dalam suatu model kausal. Sedangkan Hanke (2003) mengatakan bahwa bagian tersulit dan cukup memakan waktu adalah tahap mengumpulkan data yang baik dan dapat diandalkan, karena salah satu faktor yang mempengaruhi keakuratan suatu ramalan adalah data yang digunakan. Berikut merupakan kriteria data yang baik: 1. Data hendaknya dapat diandalkan (reliable) dan akurat. Penanganan yang sesuai harus dilakukan pada data yang dikumpulkan dari sumber-andal dengan memperhatikan keakuratannya 2. Data hendaknya relevan. Data harus mewakili keadaan dimana data tersebut digunakan. 3. Data hendaknya konsisten. Ketika data yang berkaitan dengan definisi berubah, penyesuaian perlu dilakukan untuk memepertahankan konsistensi pola historis. 4. Data hendaknya tepat waktu. Data yang dikumpulkan, dirangkum, dan dipublikasikan berdasarkan ketepatan waktu akan memberikan nilai tertinggi bagi forecaster. Umumnya, ada dua jenis data yang digunakan dalam peramalan. Pertama adalah data yang dikumpulkan dari satu titik waktu (jam, hari, minggu, bulan, dan triwulan) yaitu data cross section. Data ini dikumpulkan dari periode yang sama. Tujuannya adalah untuk menelaah suatu data dan mengekstrapolasi atau memperluas hubungan yang ada pada populasi yang besar. Kedua adalah data yang dikumpulkan, dicatat, atau diamati dari rangkaian waktu tahapan waktu yaitu data time series (deret waktu). Pada bagan klasifikasi metode peramalan yang digunakan untuk menyusun perencanaan dan pengambilan keputusan, mencakup:
24
1. Model peramalan time series (naive, average, trend, smoothing, exponential, dekomposisi, ARIMA, SARIMA, ARCH/GARCH) 2. Model kausal 3. Model peramalan kualitatif Model Peramalan
Model Peramalan Subjektif (Judgmental)
Model Peramalan Objektif
Model Time Series
Model Kausal
Naive Eksponential Smoothing Trend Dekomposisi Average Model ARIMA
Simple Regression Multiple Regression Structural Models
Gambar 5 Klasifikasi metode peramalan Sumber: Makridakis (1999)
Kerangka Pemikiran Operasional Komoditi pangan strategis merupakan komoditi yang banyak dikonsumsi dan diproduksi di Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan masalah yang sangat serius. Konsumsi pangan di Indonesia semakin meningkat terutama dengan pertambahan jumlah penduduk. Namun, produksi pangan terutama komoditas pangan strategis seperti beras, jagung, dan kedelai hingga saat ini belum bisa memenuhi kebutuhan nasional yang besar dan selalu meningkat. Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan kebutuhan pangan menjadi sangat besar pula. Sebagian pengadaan bahan pangan, khususnya untuk komoditi yang dapat dibudidayakan dengan baik di Indonesia, misalnya beras dan jagung hingga kini masih diusahakan. Perkembangan produksi beras, jagung, dan kedelai dapat dilihat juga dari perkembangan luas areal tanam dan produksi. Hal ini disebabkan penerapan teknologi dan efisiensi usahatani yang masih rendah. Meskipun setiap tahunnya produksi komoditi strategis ini mengalami peningkatan, tetapi belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk Indonesia. Desakan pemenuhan kebutuhan komoditi beras, jagung, dan kedelai serta rendahnya produktivitas komoditi pangan strategis menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan impor dibandingkan meningkatkan produksi domestik. Namun saat ini pemerintah berupaya untuk menargetkan swasembada dan swasembada berkelanjutan komoditi pangan strategis pada tahun 2014. Melihat keadaan komoditas pangan strategis bagi Indonesia saat ini, maka dibutuhkan proyeksi produksi dan konsumsi komoditas strategis nasional hingga tahun 2014. Proyeksi tersebut dapat dijadikan infornasi ketercapaian target swasembada pemerintah sehingga dapat dilihat pula apakah terjadi surplus atau defisit. Setelah melihat ketimpangan antara volume produksi dan konsumsi, langkah selanjutnya adalah mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat memengaruhi produksi dan konsumsi tersebut.
25
Ketidaksesuaian antara jumlah produksi dan konsumsi ini dapat berasal dari fluktuasinya jumlah produksi dan konsumsi. Masing-masing jumlah produksi dan konsumsi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berbeda-beda. Misalnya jumlah konsumsi komoditi pangan strategis dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga komoditi tersebut, produksi dunia, dan Gross Domestic Product (GDP). Variabelvariabel tersebut dipilih dengan alasan: (1) Jumlah penduduk merupakan faktor yang memegang penanan sangat penting dalam peingkatan dan penurunan konsumsi; (2) Harga komoditi merupakan faktor yang sering kali dijadikan pertimbangan oleh konsumen dalam membeli suatu komoditi; (3) Produksi dunia secara umum dijadikan indikator oleh penduduk suatu negara untuk menambah atau mengurangi konsumsinya terhadap suatu komoditi; dan (4) GDP mencerminkan kemakmuran penduduk, dengan kemakmuran tersebut penduduk dapat mengkonsumsi suatu komoditi lebih banyak. Sedangkan variabel yang digunakan dalam analisis jumlah produksi yaitu luas areal, curah hujan, anggaran litbang, dan jumlah varietas unggul. Hal ini disebabkan karena dalam fungsi produksi merupakan hubungan kuantitatif antara masukan dan produksi, seperti tanah, modal, dan ikim yang mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Selain itu, hubungan input-output dalam pertanian karena tingkat dimana variabel- variabel yang dipakai (input) diubah menjadi hasil produksi (output) akan berbeda-beda diantara tipe tanah, teknologi, curah hujan dan faktor lainnya. Pemilihan variabel-variabel tersebut berdasarkan: (1) Luas areal panen dijadikan indikator penting dalam fungsi produksi dan merupakan faktor vital dari produksi pertanian, karena tidak mungkin ada hasil produksi tanpa menanam suatu komoditi pada lahan; (2) Curah hujan merupakan salah satu input dalam pertanian komoditi pangan strategis yang menupakan komoditi biologi (makhluk hidup); (3) Anggaran litbang dipakai dalam model karena merupakan implementasi kebijakan pemerintah secara kuantitatif; dan (4) Jumlah varietas unggul menggambarkan perkembangan teknologi yang berpengaruh pada produktivitas dan volume produksi komoditi pangan strategis. Dari berbagai faktor yang diduga memengaruhi jumlah produksi dan konsumsi, tentunya tidak semua faktor memberikan pengaruhnya secara signifikan. Oleh karena itu, pengkajian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang memengaruhi jumlah produksi dan konsumsi penting untuk dilakukan. Hal ini agar dapat diketahui secara pasti faktor apa yang memengaruhi produksi dan konsumsi secara signifikan dan seberapa besar pengaruh yang diberikan. Produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis dalam kajian ini akan dianalisis menggunakan data produksi dan konsumsi yang menggambarkan produksi dan konsumsi komoditi strategis. Adanya permasalahan produksi lokal tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri, akibatnya impor terus meningkat. Permasalahan tersebut merupakan sebuah tantangan dan peluang untuk meningkatkan produksi di masa yang akan datang dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki serta meminimalisir kelemahan yang ada saat ini bagi semua pihak baik kalangan praktisi, akademis maupun pemerintah. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan mengurangi volume impor komoditi perlu adanya kemandirian pangan atau swasembada komoditi pangan strategis. Hal inilah yang mendasari bagaimana hubungan antara metode peramalan dan metode peramalan kausal yang digunakan dalam penelitian ini dengan implikasi pencapaian swasembada nasional. Lebih
26
lanjutnya dari analisis tersebut dapat diambil strategi sebagai implikasi kebijakan yang akan direkomendasikan agar peningkatan swasembada komoditi pangan strategis dapat tercapai. Komoditi Pangan Strategis banyak dikonsumsi dan diproduksi di Indonesia Konsumsi komoditi pangan strategis lebih besar daripada produksi Masalah kerawanan pangan dan ketahanan pangan
Swasembada Komoditi Pangan Strategis
Produksi
Beras
Jagung
Konsumsi
Kedelai
Perkembangan dan proyeksi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis (Metode Peramalan Time Series) Faktor-faktor yang memengaruhi: Jumlah Penduduk Harga Komoditi Produksi Dunia GDP
Faktor-faktor yang memengaruhi: Luas areal Curah hujan Anggaran Litbang Jumlah Varietas Unggul
Pendugaan faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis (Metode Kausal)
Implikasi Kebijakan
Gambar 6 Bagan alur kerangka pemikiran operasional
27
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan dengan mengambil data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementrian Pertanian, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Litbang Pertanian yang berlokasi di Jakarta. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai September 2013.
Jenis dan Sumber Data Data yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang berbentuk data time series tahunan antara tahun 1970-2012. Semua data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementrian Pertanian, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Litbang Pertanian serta literaturliteratur dan situs-situs yang terkait dengan penelitian ini yang menyediakan kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian. Adapun data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data-data yang digunakan dalam analisis peramalan serta analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis di Indonesia, antara lain: Tabel 7 Data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian Data yang digunakan Produksi beras Produksi jagung Produksi kedelai Konsumsi beras Konsumsi jagung Konsumsi kedelai Luas panen padi Luas panen jagung Luas panen kedelai Curah hujan Anggaran Litbang Jumlah varietas unggul padi Jumlah varietas unggul jagung Jumlah varietas unggul kedelai Jumlah penduduk Indonesia Harga beras Harga jagung Harga kedelai Produksi dunia beras Produksi dunia jagung Produksi dunia kedelai PDB
Tahun 1970-2012 1970-2012 1970-2012 1970-2012 1970-2012 1970-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012 1980-2012
Sumber data BPS dan Ditjen Tanaman Pangan BPS Ditjen Tanaman Pangan Kementan Susenas BPS, diolah Pusdatin Susenas BPS Kementrian Pertanian BPS dan Ditjen Tanaman Pangan BPS Ditjen Tanaman Pangan Kementan BMKG Badan Litbang Pertanian Badan Litbang Pertanian Badan Litbang Pertanian Badan Litbang Pertanian BPS Kemendag diolah Pusdatin Kementan BPS BPS dan Kemendag, diolah Pusdatin FAO FAO FAO BPS
28
Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis deskriptif digunakan untuk memberi gambaran produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis yang menyangkut proyeksi swasembada pada tahun 2014. Selain itu juga dapat digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis tersebut. Proyeksi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis dalam penelitian ini dianalisis dengan analisis peramalan model time series. Regresi berganda digunakan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh nyata dalam produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis di Indonesia. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft Excel dan Minitab 14.
Variabel dan Definisi Operasional Variabel merupakan segala sesuatu yang hendak dijadikan sebagai objek pengamatan sebuah penelitian atau fenomena yang menjadi perhatian di dalam penelitian yang diukur atau diobservasi. Agar variabel bisa dioperasionalkan dalam sebuah penelitian, maka harus jelas pengukurannya. Variabel yang diamati dalam penelitian ini merujuk pada literatur yang telah dibaca oleh penulis yaitu variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen (Y) atau variabel terikat adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh satu atau serangkaian nilai variabel lain. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Volume Produksi Beras (PB) Volume produksi beras adalah jumlah total produksi beras nasional dengan nilai konversi gabah kering giling (GKG) ke beras rata-rata nasional adalah 60%. Variabel PB diukur dalam satuan ribu ton. 2. Volume Produksi Jagung (PJ) Volume produksi jagung adalah jumlah total produksi jagung nasional dikurangi rata-rata jagung terecer, bibit, dan pakan sebesar 11.35% . Variabel PJ diukur dalam satuan ribu ton 3. Volume Produksi Kedelai (PK) Volume produksi kedelai adalah jumlah total produksi kedelai nasional. Variabel PK diukur dalam satuan ribu ton. 4. Volume Konsumsi Beras (KB) Volume konsumsi beras adalah perkalian antara konsumsi per kapita/tahun dengan jumlah penduduk. Variabel KB diukur dalam satuan ribu ton. 5. Volume Konsumsi Jagung (KJ) Konsumsi jagung yang dimaksud disini adalah konsumsi jagung basah berkulit dan jagung pipilan kering. Volume konsumsi jagung adalah penjumlahan dari konsumsi langsung (konsumsi rumah tangga) dan konsumsi tidak langsung (permintaan industri). Variabel KJ diukur dalam satuan ribu ton. 6. Volume Konsumsi Kedelai (KK) Konsumsi kedelai terdiri dari konsumsi langsung dan tidak langsung. Konsumsi tidak langsung adalah olahan biji kedelai seperti tempe, tahu, oncom, dan kecap. Volume konsumsi kedelai adalah penjumlahan dari
29
konsumsi langsung dan konsumsi tidak langsung per kapita/tahun dengan jumlah penduduk. Variabel KK diukur dalam satuan ribu ton. Variabel independen (X) atau variabel bebas adalah variabel yang nilainya tidak dipengaruhi oleh perilaku variabel lain dan memiliki serangkaian nilai tertentu. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Luas Panen Dalam penelitian ini luas panen yang digunakan adalah luas areal tanam seluruh lahan pertanian padi (LB), jagung (LJ), dan kedelai (LK) di Indonesia, diukur dalam satuan ribu hektar. 2. Curah hujan (CH) Iklim merupakan syarat tumbuh tanaman padi, jagung, dan kedelai. Variabel ini didekati dengan tingkat curah hujan rata-rata setiap daerah di Indonesia dalam periode waktu 1 tahun dan diukur dalam satuan millimeter per tahun. 3. Anggaran Litbang (AL) Kebijakan pemerintah direfleksikan dalam jumlah dan proporsi anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk sektor pertanian per tahun khususnya subsektor tanaman pangan, diukur dalam juta Rupiah. 4. Varietas Unggul Dalam penelitian ini variabel yang digunakan untuk melihat teknologi didekati dengan variabel varietas unggul padi (VB), jagung (VJ), dan kedelai (VK) yang ditemukan setiap tahun. Diukur dalam satuan tanaman. 5. Jumlah Penduduk (JP) Demografi dan kependudukan merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi masyarakat. Variabel ini didekati dengan jumlah penduduk yang dinyatakan dalam ribu jiwa. 6. Harga Riil Harga riil beras (HB), jagung (HJ), dan kedelai (HK) didekati dengan harga rata-rata beras, jagung, dan kedelai di tingat konsumen. dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram. 7. Produksi Dunia Selera didekati dengan produksi dunia komoditi beras (PDB), jagung (PDJ), dan kedelai (PDK). Dinyatakan dalam satuan ribu ton. 8. Gross Domestic Product (GDP) Variabel ekonomi didekati dengan Gross Domestic Product dinyatakan dalam satuan triliun Rupiah.
Analisis Peramalan Model Time Series Pengolahan data produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis menggunakan model time series. Pengolahan data dengan menggunakan peramalan time series dimaksudkan untuk mendapatkan model peramalan terbaik sehingga dapat memproyeksikan produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis di masa yang akan datang.
30
Penerapan Peramalan Model Time Series Peramalan model time series merupakan metode peramalan kuantitatif. Model dalam penelitian ini hanya membutuhkan data time series atau kuantitatif dari variabel yang akan diramal yaitu data time series tahunan produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis. 1. Model Trend Pada deret waktu bisnis dan ekonomi, trend dapat dilihat sebagai perubahan halus sepanjang waktu. Trend dapat dinyatakan sebagai fungsi sederhana seperti suatu garis lurus disepanjang periode deret waktu yang diobservasi. 2. Metode Dekomposisi Dekomposisi adalah suatu teknik untuk memisahkan komponen data time series. Analisis time series tersebut bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor komponen yang memengaruhi setiap nilai pada deret. Komponen tersebut adalah faktor trend (kecenderungan, siklus, dan musiman). a. Metode Dekomposisi Aditif Metode dekomposisi aditif merupakan model yang memperlakukan nilainilai deret waktu sebagai jumlah dari komponen-komponen. Jika fluktuasi musiman konstan, maka bentuk fungsional yang cocok adalah dekomposisi aditif, yakni: Yt = Trt + Clt + Snt + εt. b. Metode Dekomposisi Multiplikatif Metode dekomposisi multiplikatif merupakan model yang memperlakukan nilai-nilai deret waktu sebagai hasil dari komponen-komponen. Jika fluktuasi musiman membesar secara proporsional terhadap trend, maka bentuk fungsional yang cocok adalah dekomposisi multiplikatif, yakni: Yt = Trt x Clt x Snt x εt. 3. Model Rata-rata Model ini menggunakan suatu bentuk rata-rata tertimbang dari observasi masa lalu dalam memuluskan fluktuasi jangka pendek. Asumsi model ini adalah fluktuasi di masa lampau mewakili selisih acak dari suatu kurva yang mulus. Dengan mengidentifikasi kurva, maka dapat diproyeksikan ke masa depan sehingga menghasilkan suatu ramalan. Ada 2 model rata-rata bergerak, yaitu model rata-rata sederhana dan model rata-rata bergerak. Dalam penelitian ini model rata-rata yang digunakan adalah model rata-rata bergerak (moving average). Rata-rata bergerak dihitung dari rata-rata terkini, setiap pengamatan baru yang tersedia, maka rata-rata baru dihitung dengan menambahkan nilai terkini dan mengeluarkan nilai terlama. Rata-rata bergerak orde k merupakan nilai rata-rata dari k pengamatan berurutan. 4. Model Pemulusan Eksponensial Model pemulusan eksponensial merupakan teknik untuk mengupdate koefisien model trend berdasar pengamatan terbaru. Model dengan prosedur yang bekesinambungan merevisi ramalan berdasarkan pengamatan terkini. Model ini berdasarkan rata-rata (pemulusan) nilai pengamatan yang lama secara menurun (eksponensial).
31
a. Model Pemulusan Eksponensial Tunggal (Single Eksponential Smoothing) Pemulusan eksponensial tunggal dengan tingkat respon yang disesuaikan memiliki kelebihan dalam hal nilai α yang dapat berubah secara terkendali, dengan adanya perubahan dalam pola datanya. b. Model Holt (Double Eksponential Smoothing) Model holt disebut juga sebagai model pemulusan eksponensial ganda. Model holt memuluskan nilai trend (tingkatan) dan slope yang berbeda dari parameter yang digunakan pada deret yang asli secara langsung dengan menggunakan parameter (konstanta) pemulusan yang masing-masing berbeda. Konstanta pemulusan ini menyediakan estimasi dari tingkatan dan slope yang disesuaikan sepanjang waktu begitu observasi yang baru tersedia. Ramalan dari model holt didapat dengan menggunakan dua konstanta pemulusan (dengan nilai antara 0 dan 1) serta 3 persamaan: Update Intercept Update Slope Peramalan c. Model Winters Model winters didasarkan atas 3 persamaan pemulusan, yaitu satu untuk unsur stasioner, satu untuk trend, dan satu untuk musiman. Model winters merupakan pengembangan dari model holt yang dapat mengurangi galat ramalan. Satu tambahan persamaan digunakan untuk estimasi musiman. Model winters yang mengalihkan komponen trend dan musiman disebut multiplikatif, sedangkan yang menambahkan komponen trend dan musiman disebut additif. Berikut persamaan dasar untuk kedua model winters. Pemulusan intersep Winters Multiplikatif (
)
Winters Aditif Pemulusan slope
Winters Multiplikatif = Winters Aditif
Pemulusanomusiman Winters Multiplikatif ( )
Winters Aditif Peramalan
Winters Multiplikatif = Winters Aditif [
]
5. Metode Box-Jenkins (Model ARIMA) ARIMA dikembangkan oleh Box dan Jenkins sehingga disebut ARIMA Box-Jenkins. Model ARIMA merupakan gabungan dari metode pengahalusan, metode regresi, dan metode dekomposisi. Model ini digunakan bila data yang tersedia dalam jumlah yang cukup besar sehingga membentuk runtut waktu yang cukup panjang. Peramalan dengan menggunakan ARIMA dilakukan melalui lima tahap, yaitu tahap pemeriksaan kestasioneran data, pengidentifikasian model, pengestimasian parameter model, pengujian model, dan pengujuan model untuk peramalan Hanke (2003).
32
Metode Box-Jenkins mengacu pada himpunan prosedur untuk mengidentifikasikan, mencocokan dan memeriksa model ARIMA dengan data deret waktu mengikuti langsung dari bentuk model disesuaikan (Hanke, 2003). Metode Box Jenkins secara umum dengan menggunakan backward shift operation dinotasikan sebagai berikut : ARIMA (p,d,q)=(1-B)d (1- Ǿ1 B- Ǿ 2B2-....-Ǿ p BP)P Yt =c+(1-ω1B- ω 2B2-...-ω qBq)εt dimana :
p d q εt c
= = = = =
orde/derajat autoregressive (AR) orde/derajat orde/derajat kesalahan ramalan periode ke-t Konstanta
B Yt = Yt-1 B2Yt = Yt-2 BpYt = Yt-p Bq εt = εt -q
Secara umum notasi model ARIMA yang diperluas dengan memperhatikan unsur musiman atau sering disebut dengan model SARIMA adalah sebagai berikut: ARIMA (p,d,q) (P,D,Q)L dimana L adalah banyaknya periode dalam setahun. Hanke (2003) menjelaskan langkah-langkah peramalan dengan model ARIMA yang sesuai Gambar 11. Tahapan dalam Model ARIMA, sebagai berikut: a. Tahap 1 : Tahap penstasioneran data Dilakukan dengan melihat plot data. Identik dengan model ARIMA, apabila data belum stasioner maka perlu dilakukan pembedaan. Penstasioneran data dilakukan dengan melakukan pembedaan regular. Pembedaan regular: Zt = Yt – Yt-1. b. Tahap 2 : Tahap identifikasi model sementara Setelah data distasionerkan, tahap penting berikutnya dari identifikasi adalah menentukan model ARIMA tentatif. Hal ini dilakukan dengan menganalisis perilaku pola dari ACF dan PACF. c. Tahap 3 : Tahap estimasi parameter dari model sementara Setelah model ditemukan, maka parameter dari model harus diestimasi. Terdapat dua cara yang mendasar dapat digunakan untuk pendugaan terhadap parameter-parameter tersebut, yaitu: 1) Trial and error yaitu dengan menguji beberapa nilai yang berbeda dan memilih diantaranya dengan syarat yang meminimumkan jumlah kuadrat nilai galat (sum square of residuals) 2) Perbaikan secara iteratif yaitu dengan memilih taksiran awal dan kemudian membiarkan program komputer untuk memperhalus panaksiran tersebut secara iteratif. Metode ini lebih disukai dan telah tersedia suatu logaritma (proses komputer). d. Tahap 4 : Tahap diagnosa Pemeriksaan model dilakukan dengan sistem trials and errors, dimana nilai MSE yang dihasilkan dari berbagai macam kombinasi model ARIMA dapat diperoleh, kemudian model ARIMA yang menghasilkan nilai MSE terkecil dipilih, yang kemudian model ARIMA tersebut dapat digunakan hasil peramalannya untuk memprediksi konsumsi dan produksi nasional. e. Tahap 5 : Tahap peramalan Model terbaik telah diperoleh, maka dapat dilakukan peramalan untuk beberapa waktu ke depan. Evaluasi ulang terhadap model perlu dilakukan karena kemungkinan pola data berubah.
33
Postulat Model Kelas Umum Identifikasi Model yang Akan Secara Tentatif Digunakan Estimasi Parameter-parameter secara Tentatif Digunakan Model
Tidak
Pemeriksaan Diagnostik (Apakah model memadai?) Ya Gunakan Model untuk Peramalan
Gambar 7 Diagram arus untuk strategi pembentukan Model Box-Jenkins Sumber: Hanke (2003)
Pemilihan Model Peramalan Time Series Terakurat Tahap selanjutnya adalah pemilihan metode peramalan terbaik. Penilaian terhadap akurasi hasil peramalan dapat dilakukan dengan mengamati besarnya selisih nilai aktual pengamatan dengan nilai estimasi dari ramalan. Perbedaan antara nilai aktual dengan nilai hasil ramalan disebut sebagai residual (error) atau εt, dapat dirumuskan : εt= yt - ŷt dimana :
εt = residual atau galat peramalan yt = nilai deret waktu pada periode t ŷt = nilai ramalan pada periode t
Dari nilai residual tersebut, secara umum bila residual besarnya merata sepanjang pengamatan maka Mean Squared Error (MSE) yang digunakan. Peramalan yang memiliki nilai MSE yang paling kecil, maka hasil ramalan tersebut akan semakin mendekati nilai aktualnya atau semakin akurat (Hanke 2003 dan Firdaus 2011). Nilai MSE terkecil akan memberikan keakuratan peramalan yang tinggi. Untuk itu, di dalam memilih metode peramalan yang terbaik adalah dengan cara membandingkan nilai MSE dan kemudahan dalam penerapan. Nilai MSE dirumuskan : [∑
]
Analisis Peramalan Model Kausal Metode kausal fokus pada identifikasi dan determinasi hubungan antar variabel yang akan diramalkan. Yang tergolong dalam metode ini antara lain teknik regresi, model ekonometrika, dan input Output (Firdaus 2011). Metode kausal merupakan suatu teknik peramalan dengan menggunakan analisis hubungan antara veriabel yang dicari atau yang diramalkan dengan satu atau lebih variabel bebas yang mempengaruhinya dan bukan variabel waktu serta didasarkan pada pengguanaan analisis pola hubungan sebab akibat. Model kausal dalam penelitian ini digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi masing-masing komoditas strategis. Metode regresi berganda digunakan untuk mempresentasikan pola hubungan fungsional, satu variabel
34
dependen yang dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel independen dengan masing-masing variabel mencapai tingkat pengukuran metrik.
Analisis Regresi Berganda Analisis regresi berganda adalah analisis yang berkenaan dengan studi ketergantungan satu variabel (variabel dependen) yang satu atau lebih variabel lain (variabel independen) dengan maksud menaksir dan atau meramalkan nilai variabel dependen berdasarkan nilai yang diketahui dari variabel yang menjelaskan (variabel independen). Model regresi yang terdiri lebih dari satu variabel independen disebut model regresi berganda (Gujarati 2009). Untuk mengidentifikasi apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis, penelitian ini menggunakan metode analisis regresi berganda. Tahapan penyusunan model regresi berganda, antara lain: a. Menentukan variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen (Y) adalah produksi dan konsumsi. Variabel independen produksi antara lain adalah luas lahan, curah hujan, anggaran litbang, dan jumlah varietas unggul. Sedangkan variabel independen konsumsi adalah jumlah penduduk, harga komoditi dalam negeri, produksi dunia, dan Gross Domestic Product (GDP). b. Menentukan metode pembuatan model regresi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode ENTER (dengan bantuan software). c. Menguji sejumlah asumsi-asumsi dasar (evaluasi penduga model) yang biasanya akan diuji pada regresi berganda, yakni linearitas, multikolinieritas, normalitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. d. Menguji signifikansi model setelah model terbentuk. Uji ini digunakan untuk melihat apakah model dapat digunakan untuk melakukan prediksi. Uji yang dilakukan meliputi uji terhadap koefisien regresi seperti, uji t dan uji F. e. Setelah uji asumsi dan signifikansi dilakukan, serta terbukti model yang ada dapat digunakan untuk memprediksi besar variabel dependen berdasar input data dari variabel independen. Analisis model dengan angka R (Koefisien Determinasi) di atas 0.9 menunjukkan bahwa korelasi atau keeratan hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen adalah sangat kuat dan hubungan kuat jika angka R sebesar 0.5.
Perumusan Model Pola hubungan antara variabel dalam analisis regresi berganda diekspresikan dalam sebuah persamaan regresi berganda yang diduga berdasarkan data sampel (Makridakis 1999). Berdasarkan pada kerangka pemikiran teoritis, maka model ekonometrik produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis Indonesia secara umum diduga sebagai berikut: Model dari produksi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut: PB = β0 + β1 LB + β2 CH + β3 AL + β4 VB + εt PJ = β0 + β1 LJ + β2 CH + β3 AL + β4 VJ + εt PK = β0 + β1 LK + β2 CH + β3 AL + β4 VK + εt
35
dimana :
PB PJ PK β0 βi LB LJ LK CH AL VB VJ VK et
= = = = = = = = = = = = = =
produksi beras (ribu ton) produksi jagung (ribu ton) produksi kedelai (ribu ton) Intersep parameter atau koefisien regresi variabel X1 ( i=(1,2,...)) luas panen padi (ribu Ha) luas panen jagung (ribu Ha) luas panen kedelai (ribu Ha) curah hujan (mm per tahun) anggaran litbang (Rp juta) jumlah varietas unggul padi (varietas tanaman) jumlah varietas unggul jagung (varietas tanaman) jumlah varietas unggul kedelai (varietas tanaman) Error
Model dari konsumsi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut: KB = α0 + α1 JP + α2 HB + α3 PDB + α4 GDP + εt KJ = α0 + α1 JP + α2 HJ + α3 PDB + α4 GDP + εt KK = α0 + α1 JP + α2 HK + α3 PDB + α4 GDP+ εt dimana :
KB KJ KK α0 αi JP HB HJ HK PDB PDJ PDK GDP et
= = = = = = = = = = = = = =
konsumsi beras (ribu ton) konsumsi jagung (ribu ton) konsumsi kedelai (ribu ton) Intersep parameter atau koefisien regresi variabel X1 ( i=(1,2)) jumlah penduduk (jiwa) harga beras (Rp/kg) harga jagung (Rp/kg) harga kedelai (Rp/kg) produksi dunia beras (ton) produksi dunia jagung (ton) produksi dunia kedelai (ton) Gross Domestic Product atau GDP (Rp T) Error
Pembentukan model produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis terbilang cukup mudah untuk dianalisis. Tetapi model yang dihasilkan memiliki kelemahan yaitu sulit mengintepretasikan koefisien interceptnya. Untuk mengatasi kelemahan tersebut salah satu teknik yang dapat dilakukan yaitu dengan mentranformasikan model ke bentuk lain. Untuk menghasilkan model terbaik dan sekaligus melihat elastisitas variabel dependen terhadap variabel independen, variabel-variabel yang ada di dalam model atau data yang dianalisis ditransformasi dalam bentuk logaritma natural (Ln). Sehingga akan terbentuk model sebagai berikut. Model dari produksi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut: Ln PB = Ln β0 + β1 Ln LB + β2 Ln CH + β3 Ln AL + β4 Ln VB + εt Ln PJ = Ln β0 + β1 Ln LJ + β2 Ln CH + β3 Ln AL + β4 Ln VJ + εt Ln PK = Ln β0 + β1 Ln LK + β2 Ln CH + β3 Ln AL + β4 Ln VK + εt Model dari konsumsi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut: Ln KB = Ln α0 + α1 Ln JP + α2 Ln HB + α3 Ln PDB + α4 Ln GDP + εt Ln KJ = Ln α0 + α1 Ln JP + α2 Ln HJ + α3 Ln PDJ + α4 Ln GDP + εt Ln KK = Ln α0 + α1 Ln JP + α2 Ln HK + α3 Ln PDK + α4 Ln GDP + εt
36
Transformasi ke dalam bentuk lograitma natural dipilih kerena data yang dihasilkan harus membentuk garis lurus atau merupakan model yang linear. Selain itu, nilai koefisien dalam persamaan merupakan elastisitas, atau dengan kata lain koefisien slope merupakan tingkat perubahan pada variabel Y (dalam persen) bila terjadi perubahan variabel X (dalam persen). Tetapi tidak semua variabel ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural, khususnya variabel independen yang merupakan variabel dummy tidak dilakukan transformasi. Hal ini dikarenakan variabel dummy mengandung nilai nol (0) yang tidak bisa ditransformasikan. Parameter yang digunakan dalam model diatas dapat ditaksir dengan metode Ordinary Least Squares (OLS), dengan syarat asumsi-asumsi model regresi linear berganda ini terpenuhi (Gujarati 2009). Penggunaan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) dapat dilakukan apabila asumsi regresi linear klasik terpenuhi. Beberapa asumsi yang yang harus dipenuhi oleh persamaan regresi linear berganda ini adalah sebagai berikut: 1. Normalitas, regresi linear klasik mengasumsikan bahwa tiap εi mengikuti distribusi normal εi ~ N (0, σ2 ). 2. Non autokorelasi antar sisaan, berarti cov (εi , εj ) = 0, dimana i ≠ j 3. Homoskedastisitas, var (εi) = σ2 untuk setiap i, i = 1, 2,…,n yang artinya varians dari semua sisaan adalah konstan atau homoskedastik. 4. Tidak terjadi multikolinearitas, yang artinya tidak terdapat hubungan linear yang sempurna atau pasti di antara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan model regresi.
Evaluasi Model Penduga Evaluasi model penduga bertujuan untuk mengetahui apakah model yang diduga terpenuhi secara teori dan statistik. Jika asumsi OLS tidak terpenuhi, maka model belum layak digunakan atau data tidak valid. Menurut Gujarati (2009) pengujuan sebagai kriteria statistik yang dilakukan antara lain, yaitu sebagai berikut: 1. Uji Multikolinieritas Tujuan uji multikolinieritas adalah menguji apakah pada sebuah model regresi ditemukan adanya korelasi antar-variabel independen sehingga menghasilkan model yang regresi yang baik. Jika terjadi korelasi, maka dinamakan terdapat problem multikolinieritas. Multikolinearitas berarti ada hubungan linear yang sempurna (pasti) diantara beberapa atau semua variabel independen dari model regresi. Adapun cara pendeteksiannya adalah jika multikolinearitas tinggi, maka akan diperoleh R2 yang tinggi tetapi tidak satu pun atau sangat sedikit koefisien yang ditaksir signifikan secara statistik. Untuk melakukan uji multikolinearitas dapat dideteksi dengan beberapa cara berikut: a. Besaran VIF (Variance Inflation Factor) dan Tolerance. Pedoman suatu model regresi yang bebas multikolinearitas adalah mempunyai nilai VIF kurang dari sepuluh. b. Besaran korelasi antar variabel independen. Pedoman suatu model regresi yang bebas multikolinearitas adalah koefisien korelasi antar variabel bebas
37
2.
3.
4.
5.
haruslah lemah (di bawah 0.1). Jika korelasi kuat, maka terjadi multikolinearitas. Uji Normalitas Asumsi normalitas mengharuskan nilai residual dalam model menyebar atau terdistribusi secara normal. Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah dalam sebuah model regresi error yang dihasilkan mempunyai distribusi normal atau tidak. Selain itu mendeteksi normalitas dapat dilakukan dengan plot probabilitas normal. Melalui plot ini masing-masing nilai pengamatan dipasangkan dengan nilai harapan dari distribusi normal. Jika residual berasal dari distribusi normal, maka nilai-nilai data (titik-titik dalam grafik) akan terletak di sekitar garis diagonal. Peubah bebas atau variabel bebas X1, X2, X3,…,Xk konstan dalam pengambilan sampel terulang dan bebas terhadap kesalahan pengganggu. Uji Homoskedastisitas Tujuan uji asumsi ini adalah ingin mengetahui apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan variabel pada residual (error) dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Uji ini akan menjamin bahwa komponen error pada model regresi memiliki ragam yang sama untuk setiap nilai variabel dependen (homoskedastisitas). Pelanggaran dari asumsi ini adalah heterokedastisitas. Pembuktian kesamaan varian (homoskedastisitas) dapat dilihat dari penyebaran nilai-nilai residual terhadap nilai-nilai prediksi melalui grafik Residuals Versus The Fitted Values. Jika penyebarannya tidak membentuk suatu pola tertentu seperti meningkat atau menurun, maka homoskedastisitas terpenuhi. Uji Autokorelasi Tujuan uji ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada autokorelasi atau bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain manapun. Autokorelasi pada sebagian besar kasus ditemukan pada regresi yang dasarnya adalah time series, atau berdasarkan waktu berkala, seperti bulanan, tahunan, dan seterusnya. Karena itu, ciri khusus uji ini adalah waktu. Autokorelasi terjadi bila terdapat hubungan yang signifikan antara dua data yang berdekatan. Adanya autokorelasi mengakibatkan estimatornya menjadi kosisten, tidak bias, dan tidak valid. Autokorelasi dapat pula dideteksi dengan menggunakan pengujian Durbin-Watson (DW) kemudian dibandingkan dengan nilai di tabel. Pendekteksian ada atau tidaknya autokorelasi dilakukan dengan pengujian Durbin-Watson (DW) dengan ketentuan sebagai berikut: a. 1.7298 < DW < 2.2702, berarti tidak terdapat autokorelasi positif (tolak H0) b. 1.1927 < DW < 1.7298 atau 2.2702 < DW < 2.8073, berarti tidak dapat disimpulkan c. DW < 1.1927 atau DW > 2.8073, berarti terdapat autokorelasi (tolak H0) Uji R2 (Koefisien Determinasi) Uji koefisiern determinasi (R2) merupakan pengujian kecocokan/ketepatan (goodness of fit) yang pada analisis regresi berganda disebut koefisien determinasi berganda (multiple coefficient of correlation). Uji ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar persentase sumbangan masingmasing variabel independen terhadap variasi (naik-turunnya) variabel dependen (Firdaus 2011). Nilai R2 mempunyai interval nilai antara 0 sampai 1
38
(0 ≤ R2 ≤ 1). Interpretasi dari nilai interval tersebut yaitu semakin besar R2 (mendekati 1), maka semakin baik hasil untuk model regresi tersebut. Semakin mendekati 0, maka variabel independen secara keseluruhan tidak dapat menjelaskan variabel dependen. Nilai R2 diperoleh dengan menggunakan rumus berikut : ∑(
)
∑
R2 = Koefisien determinasi Ŷ = Nilai Y yang ditaksir dengan model regresi Ῡ = Nilai rata-rata pengamatan Y = Nilai pengamatan k = Jumlah variabel independen 6. Uji signifikansi Masing-masing Parameter (Uji t) Uji t digunakan untuk menguji ada tidaknya hubungan linear antara variabel independen terhadap variabel dipenden, atau untuk mengetahui variabel bebas yang berpengaruh secara parsial terhadap variabel tak bebas. Adapun hipotesis yang digunakan dalam uji t sebagai berikut : H0 : βij = 0 → Hipotesis ini berarti tidak ada hubungan linier antara variabel independen dan variabel dependen (koefisien regresi tidak signifikan). H1 : βij ≠ 0 → Hipotesis ini berarti ada hubungan linier antara variabel independen dan variabel dependen (koefisien regresi signifikan). Uji nyata setiap variabel dilakukan dengan perbandingan thitung dan tα/2;(n-k) atau ttabel. Ttabel atau t(0.025;29) untuk masing-masing variabel adalah 2.045. Pengambilan kesimpulan pada pengujian hipotesis dilakukan adalah jika thitung > t α/2;(n-k), maka tolak H0 atau jika thitung < t α/2;(n-k), maka terima H0. 7. Uji signifikansi Model Penduga (Uji F) Pengujian kelinearan model atau yang disebut juga evaluasi model dugaan. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan linear antara variabel dipenden dengan beberapa variabel independen. Pada uji ini diperiksa signifikansi regresi yang semuanya disediakan pada standar Output paket software statsitika. Hipotesis yang digunakan adalah: H0 : β1 = β2 =....= βi = 0, → model regresi liniear berganda tidak signifikan atau dengan kata lain tidak ada hubungan linear antara variabel independen terhadap variabel dependen. H1 : paling tidak salah satu βi ≠ 0, i = 1, 2, 3,....., → model regresi linear berganda signifikan atau dengan kata lain ada hubungan linear antara variabel independen terhadap variabel dependen. Hipotesis di atas dikaitkan dengan uji nyata regresi yang diperoleh, maka perhitungan statistik uji yang digunakan adalah: dimana :
Setelah dilakukan uji nyata regresi dengan perbandingan Fhitung dan Fα(k1;n-k) atau F tabel. Ttabel atau t(0.025;29) untuk masing-masing model regresi adalah 2.93. Pengambilan kesimpulannya adalah bila Fhitung > Ftabel, maka tolak H0 atau terima H1 atau bila Fhitung > Ftabel, maka terima H0.
39
Apabila H0 ditolak maka seluruh variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel tidak bebasnya pada tingkat signifikasi tertentu dan derajat bebas tertentu. Jika H0 diterima maka seluruh variabel bebas secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel bebas pada tingkat signifikasi tertentu dan derajat bebas tertentu.
Hipotesis Penelitian Penentuan parameter model regresi berdasarkan teori ekonomi yang ada, kemudian diuji berdasarkan teori ekonomi pula. Teori ekonomi yang digunakan untuk menerangkan hasil analisis ini adalah teori produksi dan konsumsi. Sebelum dilakukan analisa terkait dengan variabel yang memengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis, dilakukan penyusunan hipotesis terhadap masing-masing variabel untuk menduga masing-masing pengaruh variabel. Hipotesis mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi produksi komoditi pangan strategis dan bagaimana pengaruhnya terhadap produksi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut: 1. Luas lahan panen diduga berpengaruh positif pada volume produksi beras, jagung, dan kedelai nasional. Semakin luas lahan panen, maka volume produksi beras, jagung, dan kedelai akan meningkat dan sebaliknya jika luas lahan panen berkurang maka volume produksi beras, jagung, dan kedelai akan berkurang. Lahan panen menunjukkan volume panen masing-masing komoditi (beras, jagung, dan kedelai). Sehingga lahan panen yang semakin luas menunjukkan volume produksi yang semakin meningkat. 2. Curah hujan diduga berpengaruh positif pada volume produksi beras dan kedelai, sedangkan pada volume produksi jagung diduga tidak dipengaruhi oleh curah hujan. Semakin tinggi curah hujan, maka volume produksi beras dan kedelai akan meningkat. Hal ini dikarenakan penanaman padi dan kedelai sangat ditentukan oleh cukup tidaknya persediaan air sehingga curah hujan yang tinggi sangat diperlukan serta membawa dampak positif dalam pengairan. Tanaman jagung juga memrlukan air yang cukup pada saat berbunga dan pengisian biji, tetapi setelah biji jagung berkecambah dan keluar malai, diharapkan hujan berkurang sampai tidak ada hujan. 3. Anggaran litbang tanaman pangan diduga berpengaruh positif pada volume produksi beras, jagung, dan kedelai. Semakin besar anggaran litbang tanaman pangan yang dikeluarkan pemerintah maka produksi beras, jagung, dan kedelai akan semakin meningkat dan sebaliknya jika anggaran litbang tanaman pangan kecil maka volume produksi beras, jagung, dan kedelai akan menurun. Hal ini terjadi karena anggaran litbang tanaman pangan merupakan proporsi anggaran pemerintah yang digunakan untuk mendukung program atau kegiatan empat target sukses Kementrian Pertanian. Program tersebut antara lain peningkatan swasembada, peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai tambah, dan peningkatan daya saing petani. Besarnya alokasi anggaran litbang tanaman pangan mengindikasikan volume produksi beras, jagung, dan kedelai. 4. Varietas unggul yang ditemukan diduga berpengaruh positif terhadap volume produksi beras, jagung, dan kedelai. Semakin banyak varietas unggul yang
40
ditemukan maka volume produksi beras, jagung, dan kedelai akan meningkat. Varietas unggul yang dimaksud adalah varietas tanaman yang mempunyai salah satu atau lebih dari sifat-sifat yang lebih dari pada sifat yang dimiliki varietas lain, misalnya mempunyai produksi tinggi, respon terhadap pemupukan, tahan terhadap hama dan penyakit, umur pendek, dan daya adaptasi luas terhadap berbagai keadaan lingkungan tumbuh. Dengan kata lain banyaknya varietas unggul yang ditemukan mengindikasikan bahwa volume produksi beras, jagung, dan kedelai cukup tinggi. Hipotesis mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi konsumsi komoditi pangan strategis dan bagaimana pengaruhnya terhadap konsumsi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut: 1. Jumlah penduduk diduga berpengaruh positif terhadap volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai. Semakin besar jumlah penduduk, maka volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai akan meningkat. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai nasional tinggi. 2. Harga konsumen diduga berpengaruh negatif atau berbanding terbalik dengan volume konsumsi masing-masing komoditi. Volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai lebih sedikit pada harga yang tinggi, dan volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai lebih banyak ketika harga rendah. 3. Produksi dunia diduga berpengaruh positif terhadap volume konsumsi masing-masing komoditi. Semakin besar produksi beras, jagung, dan kedelai di seluruh dunia, maka akan menyebabkan volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai nasional meningkat. 4. Gross Domestic Product (GDP) diduga berpengaruh positif terhadap volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai. Semakin besar GDP Indonesia , maka volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai nasional semain besar. Sebaliknya, volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai lebih sedikit pada saat GDP kecil.
Analisis Deskriptif Metode deskriptif adalah metode dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu system pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Hal ini dilakukan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat atau hubungan antar fenomena yang diselidiki. Dalam statsitika deskriptif belum sampai pada upaya menarik kesimpulan, tetapi baru sampai pada tingkat memberikan suatu bentuk ringkasan data sehingga khalayak/masyarakat awam dapat memahami apa yang terkandung dalam data. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan penjabaran mengenai perkembangan, proyeksi, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis, serta implikasi kebijakan yang direkomendasikan. Analisis deskriptif ini untuk menganalisis variabel-variabel yang tidak diuji secara statistik.
41
PERKEMBANGAN SERTA PROYEKSI PRODUKSI DAN KONSUMSI KOMODITI PANGAN STRATEGIS TERHADAP SWASEMBADA NASIONAL Komoditi pangan strategis yang dibahas dalam bab ini meliputi beras, jagung, dan kedelai. Perkembangan produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis di Indonesia dapat dilihat dalam Gambar 8 untuk beras, Gambar 9 untuk jagung, dan Gambar 10 untuk kedelai. Grafik-grafik tersebut akan menjelaskan adanya fluktuasi dengan kecenderungan bervariatif tiap tahunnya. Langkah yang dilakukan untuk mengetahui ketercapaian swasembada adalah dengan mengadakan sensus untuk mengetahui jumlah produksi dan konsumsi nasional. Selanjutnya salah satu langkah penting yaitu peramalan atau proyeksi. Proyeksi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis dalam penelitian ini dianalisis dengan analisis peramalan model time series. Metode time series yang digunakan antara lain Tren, Dekomposisi Multiplikatif, Dekomposisi Aditif, Moving Average, Single Eksponential Smoothing, Double Eksponential Smoothing, Winters Multiplikatif, Winters Aditif, dan ARIMA. Alat yang digunakan dalam pembentukan model ini yaitu software minitab versi 14.0. Hasil pengolahan data dapat dilihat pada halaman lampiran.
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia Hingga kini padi masih dianggap sebagai komoditas strategis dan mendapat prioritas yang tinggi dalam program pembangunan nasional. Hal ini disebabkan beras merupakan kebutuhan pangan pokok bagi lebih dari 90% penduduk Indonesia. Selain itu, beras juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Sehingga seringkali beras dianggap sebagai komoditas yang bersifat strategis dan politis. Oleh karena itu, keberadaan dan kecukupannya senantiasa diperhatikan oleh pemerintah. Salah satu upaya pemerintah adalah kebijakan pembangunan tanaman pangan hingga tahun 2014 yang dituangkan dalam Rencana Strategis Ditjen Tanaman Pangan Tahun 2010-2014 yang merupakan strategi yang digunakan dalam upaya peningkatan produksi pangan. Keragaan produksi beras di Indonesia secara umum antara tahun 1970 hingga tahun 2012 dengan tren cenderung terus meningkat (Gambar 8). Produksi beras rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 24.187 ribu ton dengan pertumbuhan rata-rata 2.53%. Produksi dan pertumbuhan produksi beras paling rendah terjadi pada tahun 1973 masing-masing sebesar 12.081 ribu ton dan -15.23%. Tahun 1980 terjadi pertumbuhan produksi beras tertinggi yaitu sebesar 12.82%. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 1990-2012, rata-rata pertumbuhan produksi beras Indonesia hanya berkisar 1.95%. Sementara keragaan rata-rata pertumbuhan produksi beras pada dekade terakhir meningkat sebesar 2.99%. Rata-rata pertumbuhan produksi beras antara tahun 2008 hingga 2012 meningkat menjadi 3.86%. Produksi beras tertinggi mencapai 38.767 ribu ton pada tahun 2012.
42
41.000 38.000
Total (Ribu Ton)
35.000 32.000 29.000 26.000
Produksi Beras
23.000 20.000
Konsumsi Beras
17.000 14.000 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
11.000
Tahun
Gambar 8 Grafik produksi dan konsumsi beras Indonesia Sumber: Kementrian Pertanian, diolah (2012)
Pada Gambar 8 dapat dilihat keragaan konsumsi beras di Indonesia antara tahun 1970-2012 yang menunjukkan pola berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Konsumsi beras rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 26.300 ribu ton dengan pertumbuhan rata-rata 2.23%. Rata-rata konsumsi beras terendah terjadi pada tahun 1972 sebesar 15.685 ribu ton. Rata-rata pertumbuhan konsumsi beras terendah terjadi pada tahun 1982 sebesar -7.82%, sedangkan pertumbuhan konsumsi beras tertinggi sebesar 34.52% di tahun 1985. Pada tahun 1990-2012 rata-rata pertumbuhan konsumsi beras Indonesia sebesar 1.55%. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 2008-2012, rata-rata pertumbuhan konsumsi beras hanya sebesar 0.76%. Sementara keragaan rata-rata pertumbuhan konsumsi beras pada 5 tahun terakhir berkisar 1.36%. Konsumsi beras tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebesar 38.106 ribu ton. Secara umum rata-rata pertumbuhan produksi beras dari tahun 1970-2012 lebih besar daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi beras. Besarnya laju peningkatan produksi pada 10 tahun terakhir diduga karena peningkatan produksi pada periode 5 tahun terakhir sebagai akibat peningkatan produksi baik di wilayah Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Krisis ekonomi diduga menjadi penyebab turunnya konsumsi beras karena terjadinya peningkatan harga berbagai barang dan terjadinya penurunannya daya beli masyarakat. Perkembangan konsumsi beras setelah masa-masa krisis berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami penurunan dengan pertumbuhan yang tidak terlalu tinggi.
Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia
Proyeksi Produksi Beras Berdasarkan Tabel 14, metode peramalan time series terbaik untuk produksi beras di Indonesia adalah metode ARIMA (1,1,0). Hasil analisis ARIMA (1,1,0) dapat dilihat pada Lampiran 2.
43
Tabel 8 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi beras di Indonesia Metode Time Series Terbaik
MSE
Ranking
Tren Dekomposisi Multiplikatif Dekomposisi Aditif Moving Average Single Eksponential Smoothing Double Eksponential Smoothing Winters Multiplikatif Winters Aditif ARIMA (1,1,0)
2 617 206 2 605 873 2 602 745 1 200 015 1 024 470 1 398 027 4 250 795 4 199 137 889 990
7 6 5 3 2 4 9 8 1
Hasil Ramalan 2013 2014 37.236 37.830 37.104 37.954 37.144 37.918 38.767 38.767 39.627 39.627 39.667 40.341 38.250 39.401 38.230 39.343 39.492 40.096
1. Identifikasi Berdasarkan gambar plot ACF dan PACF pada Lampiran 2 terlihat bahwa ACF memiliki pola dying down dan PACF cut off pada lag 1. 2. Estimasi Melihat pola ACF dan PACF model tentatif yang mungkin adalah AR (1). Selain kemungkinan dari model tersebut, tidak menutup kemungkinan untuk model tentatif yang lain. 3. Evaluasi Model (Uji Diagnostik) Setelah dilakukan estimasi parameter model, selanjutnya dilakukan evaluasi untuk memastikan apakah model yang diestimasi sudah baik atau belum. Kriteria dalam evaluasi metode ARIMA antara lain: a. Proses iterasi harus konvergen Hasil pengolahan model ARIMA menunjukkan bahwa proses iterasi telah konvergen (antara suatu model sudah tidak ada beda yang nyata). Proses iterasi telah konvergen ditunjukkan adanya pernyataan relative change in each estimate less then 0.0010. b. Kondisi invertibilitas ataupun stasioneritas harus terpenuhi Kondisi invertibilitas ataupun stasioneritas telah terpenuhi. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah koefisien MA atau AR yang masing-masing kurang dari satu. Dalam Output model terlihat jumlah koefisien untuk AR (1) = 0.1126. c. Residual random Residual dari hasil peramalan dari model juga menunjukkan bahwa residual (forecast error) sudah random. Sebagai indikator residual hasil ramalan telah random, ditunjukkan dengan nilai P-value untuk uji statistik dari residual lebih besar dari 0.05. Selain itu grafik ACF dan PACF dari residual yang memiliki pola cut off menunjukkan bahwa residual telah acak. d. Signifikansi parameter Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value koefisien yang kurang dari 0.05. Terlihat pada Output bahwa P-value koefisien untuk AR (1) = 0.000. e. Model harus parsimonius Keseluruhan model yang telah memenuhi syarat diatas, model ARIMA (1,1,0) adalah model yang relatif sudah dalam bentuk paling sederhana.
44
f. Model harus memiliki MSE terkecil Model ini memiliki nilai MSE terkecil dari keseluruhan model yang dicoba. Model ini memiliki nilai MSE sebesar 889 990. 4. Peramalan Prediksi produksi beras pada tahun 2013 diperkirakan akan mencapai 39.492 ribu ton atau meningkat sebesar 1.87% dari tahun sebelumnya. Sementara prediksi produksi beras tahun 2014 diperkirakan akan mencapai 41.096 ribu ton atau naik 4.06%.
Proyeksi Konsumsi Beras Pada Tabel 9 di bawah ini hasil pengolahan terbaik diperoleh dengan menggunakan metode double eksponential smoothing. Hasil pengolahan data menggunakan double eksponential smoothing menghasilkan nilai MSE terkecil sebesar 2.181.923. Metode ini optimal pada nilai pemulusan level estimasi saat ini sebesar 1.10514 sedangkan untuk nilai pemulusan trend sebesar 0.02324. Hasil proyeksi konsumsi beras Indonesia 2013-2014 diperkirakan menurun 1.38% per tahun, dengan pertumbuhan penduduk diasumsikan sebesar 1.49% pertahun. Hasil proyeksi kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2013 sebesar 38.130 ribu ton atau menurun 2.66% dari tahun sebelumnya dan sebesar 38.558 ribu ton atau naik 1.12% pada tahun 2014. Tabel 9 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi beras di Indonesia Metode Time Series Terbaik
MSE
Ranking
Tren Dekomposisi Multiplikatif Dekomposisi Aditif Moving Average Single Eksponential Smoothing Double Eksponential Smoothing Winters Multiplikatif Winters Aditif ARIMA (1,2,1)
4 640 968 4 619 915 4 625 823 2 435 114 2 332 338 2 181 923 5 103 412 5 075 582 2 452 832
7 5 6 3 2 1 9 8 4
Hasil Ramalan 2013 2014 40 409 41 051 40 562 40 906 40 505 40 959 37 793 37 793 37 731 37 731 38 130 38 558 39 092 39 145 39 055 39 208 38 501 39 244
Berdasarkan hasil produksi total diperoleh bahwa produksi beras tahun 2013 akan mengalami peningkatan 1.53% per tahun, sedangkan konsumsi beras per tahun meningkat 1.12%. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras dibandingkan seperti yang terlihat pada Tabel 10. Tabel 10 Proyeksi produksi dan konsumsi beras Tahun
Produksi Beras (ribu ton)
Konsumsi Beras (ribu ton)
Senjang
2013 2014 Pertumbuhan
39 492 40 096 1.53%
38 130 38 558 1.12%
1 362 1 538
45
Laju pertumbuhan produksi beras sebesar 1.53% lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan konsumsi beras sebesar 1.12%, sehingga ada kemungkinan untuk Indonesia sampai pada keadaan surplus beras. Upaya pemerintah dengan membuat roadmap peningkatan produksi beras nasional menuju swasembada tahun 2014 akan berhasil. Hal ini seperti yang terlihat pada Tabel 10, Indonesia dapat sampai pada surplus beras pada tahun 2013. Dengan melihat hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras pada Tabel 10 Indonesia akan menjadi negara yang surplus beras pada tahun 2013. Produksi dapat memenuhi konsumsi beras dalam negeri, keadaan ini akan mengantarkan Indonesia menjadi negara yang mandiri dalam pemenuhan pangannya. Tetapi surplus pada tahun 2014 belum memenuhi target pemerintah yang merencanakan surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Namun, keadaan tersebut dapat mengurangi impor beras yang selama ini dilakukan sebagai upaya memenuhi konsumsi beras dalam negeri.
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan baik luas panen maupun produktivitas jagung secara nasional. Upaya tersebut sepertinya mulai berhasil dengan meningkatnya produksi jagung mulai tahun 2007. Sebelumnya konsumsi jagung masih lebih tinggi dibandingkan produksi jagung secara nasional. Mulai pada tahun 2007 antara konsumsi dan produksi tidak bersenjang terlalu besar. 20.000 18.000
Total (Ribu Ton)
16.000 14.000 12.000 10.000
Produksi Jagung
8.000
Konsumsi Jagung
6.000 4.000 2.000 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
0
Tahun
Gambar 9 Grafik produksi dan konsumsi jagung Indonesia Sumber: Kementrian Pertanian, diolah (2012)
Pada Gambar 9 dapat dilihat keragaan produksi jagung di Indonesia antara tahun 1970-2012 yang menunjukkan tren dengan kecenderungan meningkat. Produksi jagung rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 6.969 ribu ton dengan pertumbuhan rata-rata 6.23%. Pada tahun 1972 mengalami rata-rata produksi jagung terendah 1.998 ribu ton. Rata-rata pertumbuhan produksi jagung tertinggi terjadi pada tahun 1973 sebesar 63.71%, sedangkan rata-rata pertumbuhan
46
produksi jagung terendah terjadi pada tahun 1982 sebesar -28.25%. Pada tahun 1990-2012 rata-rata pertumbuhan produksi jagung Indonesia sebesar 5.58%. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 2008-2012, rata-rata pertumbuhan produksi jagung hanya sebesar 7.40%. Sementara keragaan rata-rata pertumbuhan produksi jagung pada 5 tahun terakhir berkisar 7.71%. Produksi jagung tertinggi terjadi pada tahun 2012 sebesar 16.810 ribu ton. Keragaan konsumsi jagung di Indonesia secara umum antara tahun 1970 hingga tahun 2012 berfluktuasi dengan tren cenderung terus meningkat (Gambar 9). Konsumsi jagung rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 7.948 ribu ton dengan pertumbuhan rata-rata 6.50%. Pada tahun 1972 mengalami rata-rata konsumsi jagung terendah 2.591 ribu ton. Rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung tertinggi terjadi pada tahun 1973 sebesar 97.19%, sedangkan rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung terendah terjadi pada tahun 1982 sebesar -34.57%. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 1990-2012, rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung Indonesia hanya berkisar 5.51%. Sementara keragaan rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung pada dekade terakhir meningkat sebesar 6.90%. Konsumsi jagung tertinggi mencapai 16.928 ribu ton pada tahun 2007. Rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung antara tahun 2008 hingga 2012 meningkat menjadi -0.15%. Secara umum rata-rata pertumbuhan produksi jagung dari tahun 1970-2012 lebih besar daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung. Rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung 5 tahun terakhir menurun diduga karena konversi penggunaan jagung sebagai bahan pangan menjadi biodiesel.
Proyeksi Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia Proyeksi Produksi Jagung Indonesia Pada Tabel 11 di bawah ini hasil pengolahan terbaik diperoleh dengan menggunakan metode double eksponential smoothing. Hasil pengolahan data menggunakan Double Eksponential Smoothing menghasilkan nilai MSE terkecil sebesar 720.278. Metode ini optimal pada nilai pemulusan level estimasi saat ini sebesar 0.579359 sedangkan untuk nilai pemulusan trend sebesar 0.145900. Tabel 11 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi jagung di Indonesia Metode Time Series Terbaik
MSE
Ranking
Tren Dekomposisi Multiplikatif Dekomposisi Aditif Moving Average Single Eksponential Smoothing Double Eksponential Smoothing Winters Multiplikatif Winters Aditif ARIMA (1,1,1)
2 007 019 1 977 369 1 985 115 926 257 889 384 720 278 911 883 924 831 783 791
9 7 8 6 3 1 4 5 2
Hasil Ramalan 2013 2014 13 830 14 142 13 506 14 444 13 662 14 302 16 810 16 810 16 689 16 689 17 523 18 223 16 976 18 099 16 967 17 925 16 882 17 306
47
Hasil proyeksi pada tahun 2013 produksi jagung Indonesia diramalkan akan meningkat menjadi 17.523 ribu ton atau meningkat sebesar 4.24%. Analisis lebih lanjut untuk proyeksi pada tahun 2014 produksi jagung akan kembali meningkat sebesar 3.99% menjadi 18.223 ribu ton.
Proyeksi Konsumsi Jagung Indonesia Berdasarkan Tabel 12, metode peramalan time series terbaik untuk konsumsi jagung di Indonesia adalah metode ARIMA (1,1,1). Hasil analisis ARIMA (1,1,1) dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 12 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi jagung di Indonesia Metode Time Series Terbaik
MSE
Ranking
Tren Dekomposisi Multiplikatif Dekomposisi Aditif Moving Average Single Eksponential Smoothing Double Eksponential Smoothing Winters Multiplikatif Winters Aditif ARIMA (1,1,1)
2 340 480 2 340 813 2 340 456 2 303 788 2 003 055 1 926 635 2 343 515 2 319 322 1 909 916
7 8 6 4 3 2 9 5 1
Hasil Ramalan 2013 2014 14 532 14 831 14 537 14 827 14 540 14 823 15 638 15 638 15 012 15 012 15 574 15 918 16 420 17 109 16 307 17 056 15 764 16 016
1. Identifikasi Berdasarkan gambar plot ACF dan PACF pada Lampiran 5 terlihat bahwa ACF memiliki pola dying down dan PACF dying down pada lag 1. 2. Estimasi Melihat pola ACF dan PACF model tentatif yang mungkin adalah AR (1) dan MA (1). Selain kemungkinan dari model tersebut, tidak menutup kemungkinan untuk model tentatif yang lain. 3. Evaluasi Model (Uji Diagnostik) Setelah dilakukan estimasi parameter model, selanjutnya dilakukan evaluasi untuk memastikan apakah model yang diestimasi sudah baik atau belum. Kriteria dalam evaluasi metode ARIMA antara lain: a. Proses iterasi harus konvergen Hasil pengolahan model ARIMA menunjukkan bahwa proses iterasi telah konvergen (antara suatu model sudah tidak ada beda yang nyata). Proses iterasi telah konvergen ditunjukkan adanya pernyataan relative change in each estimate less then 0.0010. b. Kondisi invertibilitas ataupun stasioneritas harus terpenuhi Kondisi invertibilitas ataupun stasioneritas telah terpenuhi. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah koefisien MA atau AR yang masing-masing kurang dari satu. Dalam Output model terlihat jumlah koefisien untuk AR (1) = 0.2900 dan MA (1) = 0.7066 adalah 0.9966. c. Residual random Residual dari hasil peramalan dari model juga menunjukkan bahwa residual (forecast error) sudah random. Sebagai indikator residual hasil
48
ramalan telah random, ditunjukkan dengan nilai P-value untuk uji statistik dari residual lebih besar dari 0.05. Selain itu grafik ACF dan PACF dari residual yang memiliki pola cut off menunjukkan bahwa residual telah acak. d. Signifikansi parameter Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value koefisien yang kurang dari 0.05. Terlihat pada Output bahwa P-value koefisien untuk AR (1) = 0.000 dan MA (1) = 0.000. e. Model harus parsimonius Keseluruhan model yang telah memenuhi syarat diatas, model ARIMA (1,1,1) adalah model yang relatif sudah dalam bentuk paling sederhana. f. Model harus memiliki MSE terkecil Model ini memiliki nilai MSE terkecil dari keseluruhan model yang dicoba. Model ini memiliki nilai MSE sebesar 1.909.916. 4. Peramalan Hasil proyeksi konsumsi jagung Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu menjadi sebesar 15.764 ribu ton pada tahun 2013. Sedangkan proyeksi konsumsi jagung tahun 2014 adalah sebesar 16.016 ribu ton. Berdasarkan hasil produksi total diperoleh bahwa produksi jagung ke depan meningkat 3.99% per tahun, sedangkan konsumsi jagung per tahun meningkat 1.60%. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi jagung dibandingkan seperti yang terlihat pada Tabel 13. Tabel 13 Proyeksi produksi dan konsumsi jagung Tahun
Produksi Jagung (ribu ton)
Konsumsi Jagung (ribu ton)
Senjang
2013 2014 Pertumbuhan
17 523 18 223 3.99%
15 764 16 016 1.60%
1 759 2 207
Laju pertumbuhan produksi jagung sebesar 3.99% lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan konsumsi jagung sebesar 1.60%, sehingga ada kemungkinan untuk Indonesia sampai pada keadaan surplus jagung. Upaya pemerintah dengan membuat roadmap peningkatan produksi jagung nasional menuju swasembada tahun 2014 akan berhasil. Hal ini seperti yang terlihat pada Tabel 13, Indonesia dapat sampai pada surplus jagung pada tahun 2013. Dengan melihat hasil proyeksi produksi dan konsumsi jagung pada Tabel 13, Indonesia akan menjadi negara yang surplus jagung pada tahun 2013. Produksi dapat memenuhi konsumsi beras dalam negeri, keadaan ini akan mengantarkan Indonesia menjadi negara yang mandiri dalam pemenuhan pangannya. Tetapi surplus pada tahun 2014 belum dapat memenuhi target pemerintah. Namun, keadaan tersebut dapat mengurangi impor jagung yang selama ini dilakukan sebagai upaya memenuhi konsumsi jagung dalam negeri.
49
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia Sumber protein nabati paling populer bagi masyarakat Indonesia pada umumnya adalah kedelai. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40% dalam bentuk tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain seperti tauco, kecap, dan lain-lain (Susenas BPS 2012). Hal tersebut yang menyababkan kebutuhan Indonesia terhadap kedelai menjadi tinggi. Tingginya kosumsi kedelai ini tidak disertai dengan produksi yang seimbang, sehingga Indonesia masih harus mengimpor dari luar. Peningkatan produksi kedelai baik dari kuantitas maupun kualitas terus diupayakan oleh pemerintah. Pengembangan komoditas kedelai untuk menjadi unggulan subsektor tanaman pangan perlu mendapat dukungan dari semua pihak terkait. Untuk melihat perkembangan komoditas kedelai, berikut Gambar15 menyajikan perkembangan produksi dan konsumsi kedelai Indonesia tahun 1970-2012. 2.100 1.900
Total (Ribu Ton)
1.700 1.500 1.300 Produksi Kedelai
1.100 900
Konsumsi Kedelai
700 500 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
300
Tahun
Gambar 10 Grafik produksi dan konsumsi kedelai Indonesia Sumber: Kementrian Pertanian, diolah (2012)
Keragaan produksi kedelai di Indonesia secara umum antara tahun 1970 hingga tahun 2012 dengan tren cenderung terus meningkat (Gambar 10). Produksi kedelai rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 938 ribu ton dengan pertumbuhan rata-rata 2.25%. Produksi rata-rata kedelai paling rendah terjadi pada tahun 1970 sebesar 497 ribu ton. Tahun 1984 terjadi rata-rata pertumbuhan produksi kedelai tertinggi yaitu sebesar 43.47%. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 1990-2012, rata-rata pertumbuhan produksi kedelai Indonesia hanya berkisar -1.13%. Rata-rata produksi kedelai tertinggi mencapai Produksi kedelai tertinggi mencapai 1.869 ribu ton pada tahun 1992. Rata-rata pertumbuhan produksi kedelai terendah pada tahun 2000 sebesar -26.41. Sementara keragaan rata-rata pertumbuhan produksi kedelai pada dekade terakhir meningkat sebesar 3.21%. Rata-rata pertumbuhan produksi kedelai antara tahun 2008 hingga 2012 meningkat menjadi 7.11%. Pada Gambar 10 dapat dilihat keragaan konsumsi kedelai di Indonesia antara tahun 1970-2012 yang menunjukkan pola berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Konsumsi kedelai rata-rata tahun 1970-2012 mencapai
50
1.394 ribu ton dengan pertumbuhan rata-rata 2.78%. Rata-rata konsumsi kedelai terendah terjadi pada tahun 1970 sebesar 627 ribu ton. Pada tahun 1990-2012 ratarata pertumbuhan konsumsi kedelai Indonesia sebesar 1.05%. Rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai tertinggi terjadi pada tahun 1992 sebesar 19.08%, dan rata-rata konsumsi kedelai tertinggi sebesar 2.096 ribu ton pada tahun 1998. Rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai terendah pada tahun 1999 sebesar 29.78%. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 2008-2012, rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai hanya sebesar 0.31%. Sementara keragaan rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai pada 5 tahun terakhir berkisar 1.85%. Secara umum rata-rata pertumbuhan produksi kedelai dari tahun 1970-2012 lebih besar daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai. Penurunan tertinggi pada 5 tahun terakhir terjadi pada tahun 2008 yang merupakan salah satu masa krisis. Hal ini menunjukkan bahwa kedelai masih terimbas krisis dibandingkan komoditas pertanian lainnya, karena penyediaan kedelai masih tergantung dengan kedelai impor. Sehingga swasembada diperlukan untuk meningkatkan produksi kedelai pada masa mendatang.
Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia Proyeksi Produksi Kedelai Indonesia Pada Tabel 14 di bawah ini hasil pengolahan terbaik diperoleh dengan menggunakan metode single eksponential smoothing. Hasil pengolahan data menggunakan single eksponential smoothing menghasilkan nilai MSE terkecil sebesar 19.469. Metode ini optimal pada nilai pemulusan level estimasi saat ini sebesar 1.13322. Hasil proyeksi produksi kedelai Indonesia menurun dari tahun sebelumnya sebesar -1.02% menjadi 775 ribu ton pada tahun 2013. Sedangkan pada tahun 2014 hasil proyeksi produksi kedelai Indonesia tidak mengalami peningkatan yaitu tetap sebesar 775 ribu ton. Tabel 14 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi kedelai di Indonesia Metode Time Series Terbaik
MSE
Ranking
Tren Dekomposisi Multiplikatif Dekomposisi Aditif Moving Average Single Eksponential Smoothing Double Eksponential Smoothing Winters Multiplikatif Winters Aditif ARIMA (2,2,1)
142 158 142 149 142 164 20 320 19 469 19 987 69 326 68 785 22 421
8 7 9 3 1 2 6 5 4
Hasil Ramalan 2013 2014 1 152 1 161 1 153 1 160 1 151 1 162 783 783 775 775 772 769 711 687 718 690 723 661
51
Proyeksi Konsumsi Kedelai Indonesia Pada Tabel 15 di bawah ini hasil pengolahan terbaik diperoleh dengan menggunakan metode double eksponential smoothing. Hasil pengolahan data menggunakan double eksponential smoothing menghasilkan nilai MSE terkecil sebesar 19.358. Metode ini optimal pada nilai pemulusan level estimasi saat ini sebesar 0.890233 sedangkan untuk nilai pemulusan trend sebesar 0.012814. Hasil proyeksi konsumsi kedelai Indonesia meningkat dari tahun sebelumnya yaitu menjadi 1.755 ribu ton pada tahun 2013. Sedangkan pada tahun 2014 hasil proyeksi konsumsi kedelai Indonesia sebesar 1.773 ribu ton. Tabel 15 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi kedelai di Indonesia Metode Time Series Terbaik
MSE
Ranking
Tren Dekomposisi Multiplikatif Dekomposisi Aditif Moving Average Single Eksponential Smoothing Double Eksponential Smoothing Winters Multiplikatif Winters Aditif ARIMA (3,2,1)
42492 42491 42492 20157 19686 19358 25573 25441 26663
9 7 8 3 2 1 5 4 6
Hasil Ramalan 2013 2014 2 020 2 046 2 020 2 046 2 020 2 046 1 730 1 730 1 729 1 729 1 755 1 773 1 741 1 725 1 740 1 726 1 708 1 714
Berdasarkan hasil produksi total diperoleh bahwa produksi kedelai ke depan tidak mengalami peningkatan, sedangkan konsumsi kedelai per tahun meningkat 1.03%. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi kedelai dibandingkan seperti yang terlihat pada Tabel 16. Tabel 16 Proyeksi produksi dan konsumsi kedelai Tahun
Produksi Kedelai (ribu ton)
Konsumsi Kedelai (ribu ton)
Senjang
2013 2014 Pertumbuhan
775 775 0.00%
1 755 1 773 1.03%
-980 -998
Berdasarkan hasil proyeksi produksi terlihat bahwa hasil proyeksi produksi yang diperoleh jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi. Produksi kedelai tidak mengalami peningkatan, sedangkan laju peryumbuhan konsumsi kedelai setiap tahunnya meningkat sebesar 1.03. Pada tahun 2014 proyeksi produksi sebesar 775 ribu ton dan konsumsi sebesar 1.773 ribu ton. Artinya Indonesia belum bisa mencapai swasembada kedelai pada tahun 2014 seperti yang ditargetkan pemerintah.
52
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PRODUKSI DAN KONSUMSI KOMODITI PANGAN STRATEGIS SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA NASIONAL Pendugaan model mengunakan metode regresi berganda dengan fungsi linier dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis di Indonesia. Alat yang digunakan dalam pembentukan model ini yaitu software minitab versi 14.0. Data yang digunakan merupakan data 33 tahun terakhir yaitu dari tahun 1980 hingga tahun 2012 dengan periode tahunan. Pembentukan model produksi dan konsumsi di Indonesia ini dilakukan dengan menggunakan satu variabel dependen dan empat variabel independen. Untuk menghasilkan model terbaik, variabel-variabel yang ada di dalam model ditransformasi dalam bentuk logaritma natural (Ln). Hasil pengolahan data dengan menggunakan variabel-variabel yang telah ditentukan sebelumnya memberikan informasi seperti yang terlihat pada halaman lampiran.
Model Produksi Komoditi Beras di Indonesia Berdasarkan hipotesis penelitian, semua variabel diduga memengaruhi produksi beras Indonesia. Keseluruhan variabel yang diduga memengaruhi produksi beras Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain lahan panen padi, curah hujan, anggaran litbang, dan varietas unggul yang ditemukan. Tabel 17 Hasil analisis model regresi produksi beras di Indonesia Variabel
Koefisien
Constant -4.8270 LB (luas areal panen padi) 1.5814 CH (curah hujan) 0.0199 AL (anggaran litbang) 0.0182 VB (varietas unggul padi) -0.0010 R-Sq = 96.9% R-Sq(adj) = 96.4% Durbin-Watson statistic = 1.784655 F = 216.14 P-value model = 0.000
Standar Error
T-Hitung
P-Value
VIF
1.6410 0.1840 0.0326 0.0118 0.0007
-2.94 8.60 0.61 2.54 -1.48
0.007 0.000 0.546 0.035 0.149
8.8 1.2 9.0 1.1
Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model produksi beras di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 17. Variabel dependen (PB) dalam model ini merupakan produksi beras di Indonesia per tahun. PB = - 4.83 + 1.58 LB + 0.0199 CH + 0.0182 AL – 0.000980 VB Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perubahan produksi beras bersifat elastis terhadap lahan panen padi, tetapi bersifat inelastis terhadap curah hujan, anggaran litbang, dan varietas unggul. Hasil regresi lainnya menunjukkan variabel lahan panen padi, curah hujan dan anggaran litbang mempunyai korelasi yang positif terhadap produksi beras seperti yang diduga dalam hipotesis. Pada saat lahan panen padi meningkat, maka akan menyebabkan produksi beras Indonesia meningkat. Seperti halnya lahan panen padi, curah hujan tinggi juga akan
53
meningkatkan jumlah produksi beras. Pada musim hujan petani tidak menghadapi masalah pengairan tetapi curah hujan yang sangat tinggi dan udara yang sangat lembab menyebabkan populasi hama dan penyakit tanaman. Sebaliknya pada saat musim kemarau, petani menghadapi masalah pengairan tetapi tidak menghadapi masalah serangan hama dan penyakit, namun pada musim kemarau produksi menjadi lebih rendah dibanding pada musim hujan. Curah hujan yang memengaruhi peningkatan produksi beras ini adalah curah hujan yang sesuai dengan kebutuhan penanaman padi yaitu 1.500-2.000 mm per tahun atau lebih. Produksi beras juga diduga meningkat pada saat anggaran litbang meningkat. Sebaliknya, variabel varietas unggul padi yang ditemukan memiliki korelasi yang negatif terhadap produksi beras dan hal tersebut bertentangan dengan hipotesis. Di dalam hipotesis disebutkan bahwa jika jumlah varietas unggul padi bertambah, maka jumlah produksi padi akan meningkat. Akan tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan hasil regresi yang menunjukkan bahwa penyebab menurunnya jumlah produksi padi adalah bertambahnya varietas unggul padi. Hal ini disebabkan karena adanya degenerasi (kemerosotan atau kemunduran) varietas unggul, diantaranya: perbaruan benih dilakukan lebih dari 3 kali masa tanam sehingga kemurnian kurang terjaga, kurangnya pengawasan sistem penyebaran benih oleh dinas pertanian rakyat, keadaan alam yang berubah, serta percampuran benih dengan lebih dari satu varietas sehingga produksi dari benih unggul tidak sesuai dengan harapan. Permasalahan lain yang dihadapi dalam penyiapan atau pengadaan benih padi adalah viabilitas (kemampuan hidup suatu individu) benih padi yang cepat mengalami penurunan. Sering terjadi viabiltas benih padi menurun sampai kurang dari 80% dalam waktu 2-3 bulan, penyebab tingginya laju penurunan viabiltas benih padi selama penyimpanan adalah (a) Benih padi yang disimpan memiliki vigor (kemampuan benih menghasilkan tanaman normal) awal yang rendah; (b) Benih disimpan atau dikemas pada kadar air yang tinggi; (c) Kondisi penyimpanan yang lembab dan panas; dan (d) Kerusakan benih oleh hama, penyakit terbawa benih dan kerusakan benih secara mekanis (Siregar, 1981). Ada beberapa evaluasi model regresi produksi beras Indonesia (Output minitab tersaji di Lampiran 2). Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Pada Tabel 17 terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas. Untuk mengetahui uji normalitas dapat dilihat dari grafik Normal Probability Plot (Lampiran 8). Titik-titik residual berada pada posisi yang mendekati garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi kriteria uji normalitas. Asumsi homoskedastisitas atau masalah heteroskedastisitas diperiksa menggunakan grafik Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 8). Terlihat pada grafik tidak terlihat berpola baik meningkat maupun menurun, hal ini menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Uji Durbin-Watson menghasilkan nilai sebesar 1.784655 (1.7298
54
model sebesar 96.9% sedangkan sisanya sebesar 3.1% dijelaskan oleh faktorfaktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Berdasarkan uji statistik t menunjukkan bahwa variabel independen lahan panen padi dan anggaran litbang yang memberikan pengaruh nyata terhadap produksi beras Indonesia pada taraf nyata 5% atau thitung > t2.045, sedangkan variabel curah hujan dan varietas unggul tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian bahwa secara bersama-sama semua variabel independen dalam model mampu menjelaskan dengan baik perubahan produksi beras Indonesia.
Model Produksi Komoditi Jagung di Indonesia Keseluruhan variabel hipotesis penelitian yang diduga memengaruhi produksi jagung Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain lahan panen jagung, anggaran litbang, dan varietas unggul jagung yang ditemukan. Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah curah hujan. Tabel 18 Hasil analisis model regresi produksi jagung di Indonesia Variabel
Koefisien
Constant -3.6666 LJ (luas areal panen jagung) 1.2609 CH (curah hujan) -0.1066 AL (anggaran litbang) 0.1812 VJ (varietas unggul jagung) -0.0027 R-Sq = 98.6% R-Sq(adj) = 98.3% Durbin-Watson statistic = 1.78939 F = 477.77 P-value model = 0.000
Standar Error
T-Hitung
P-Value
VIF
0.8892 0.1028 0.0488 0.0093 0.0012
-4.12 12.27 -2.18 19.51 -2.25
0.000 0.000 0.038 0.000 0.032
2.2 1.1 2.3 1.1
Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model produksi jagung di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 18. Variabel dependen (Y) dalam model ini merupakan produksi jagung di Indonesia per tahun. Sedangkan variabel independen untuk menggambarkan model produksi jagung di Indonesia antara lain: lahan panen jagung (LJ), curah hujan (CH), anggaran litbang (AL), dan jumlah varietas jagung yang ditemukan pada periode saat ini (VJ). Bentuk persamaannya yaitu: PJ = - 3.67 + 1.26 LJ + 0.107 CH + 0.181 AL – 0.00273 VJ Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perubahan produksi jagung bersifat elastis terhadap lahan panen jagung, tetapi bersifat inelastis terhadap curah hujan, anggaran litbang, dan varietas unggul. Hasil regresi lainnya menunjukkan variabel lahan panen jagung dan anggaran litbang mempunyai korelasi yang positif terhadap produksi beras seperti yang diduga dalam hipotesis. Pada saat lahan panen padi meningkat, maka akan menyebabkan produksi beras Indonesia meningkat. Produksi beras juga diduga meningkat pada saat anggaran litbang meningkat. Variabel curah hujan sejalan dengan dugaan atau hipotesis yaitu berkorelasi negatif terhadap produksi jagung. Hal tersebut disebabkan
55
karena setelah keluar malai hujan diharapkan berkurang sampai tak ada hujan karena jika curah hujan tinggi akan menyebabkan pembusukan. Sebaliknya, variabel varietas unggul jagung yang ditemukan memiliki korelasi yang negatif terhadap produksi jagung dan hal tersebut bertentangan dengan hipotesis. Di dalam hipotesis disebutkan bahwa jika jumlah varietas unggul jagung bertambah, maka jumlah produksi padi akan meningkat. Akan tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan hasil regresi yang menunjukkan bahwa penyebab menurunnya jumlah produksi jagung adalah bertambahnya varietas unggul jagung. Hal ini disebabkan karena adanya degenerasi (kemerosotan atau kemunduran) varietas unggul seperti tanaman jagung serta kurang baiknya sistem penyebaran benih unggul kepada para petani, sehingga petani memakai benih lebih dari 3 kali masa tanam sehingga kemurnian kurang terjaga. Ada beberapa evaluasi model regresi produksi jagung Indonesia (Output minitab tersaji di Lampiran 9). Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Pada Tabel 18 terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas. Pengujian kenormalan dilakukan dengan melihat grafik Normal Probability Plot (Lampiran 9). Titik-titik residual berada pada posisi yang mendekati garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi kriteria uji normalitas. Pengujian lainnya yaitu asumsi homoskedastisitas diperiksa menggunakan grafik Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 9). Pada grafik tidak ditemukan titik yang berpola sistematik (acak) baik meningkat maupun menurun, hal ini menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Sedangkan uji Durbin-Watson untuk melihat autokorelasi dihasilkan nilai sebesar 1.78939 (1.7298
t2.045, sedangkan variabel curah hujan dan varietas unggul jagung tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian bahwa secara bersama-sama semua variabel independen dalam model mampu menjelaskan dengan baik perubahan produksi jagung Indonesia.
Model Produksi Komoditi Kedelai di Indonesia Semua variabel diduga memengaruhi produksi kedelai Indonesia. Variabel yang diduga berpengaruh nyata adalah lahan panen kedelai, curah hujan, anggaran litbang, dan varietas unggul kedelai yang ditemukan. Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model produksi kedelai di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 19. Variabel
56
dependen (Y) dalam model ini merupakan produksi kedelai di Indonesia per tahun. PK = - 1.83 + 1.15 LK + 0.0195 CH + 0.0937 AL – 0.00132 VK Tabel 19 Hasil analisis model regresi produksi kedelai di Indonesia Variabel
Koefisien
Constant -1.8299 LK (luas areal panen kedelai) 1.1479 CH (curah hujan) 0.0195 AL (anggaran litbang) 0.0937 VK (varietas unggul kedelai) -0.0013 R-Sq = 99.0% R-Sq(adj) = 98.8% Durbin-Watson statistic = 1.85562 F = 661.46 P-value model = 0.000
Standar Error
T-Hitung
P-Value
VIF
0.3821 0.0243 0.0345 0.0054 0.0014
-4.79 47.24 0.57 17.25 -0.97
0.000 0.000 0.576 0.000 0.339
1.6 1.2 1.8 1.1
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perubahan produksi kedelai bersifat elastis terhadap lahan panen kedelai, tetapi bersifat inelastis terhadap curah hujan, anggaran litbang, dan varietas unggul. Hasil regresi lainnya menunjukkan variabel lahan panen kedelai, curah hujan dan anggaran litbang mempunyai korelasi yang positif terhadap produksi kedelai seperti yang diduga dalam hipotesis. Pada saat lahan panen kedelai meningkat, maka akan menyebabkan produksi kedelai Indonesia meningkat. Seperti halnya lahan panen kedelai, curah hujan tinggi juga akan meningkatkan jumlah produksi kedelai. Produksi kedelai menjadi lebih tinggi pada musim hujan dibanhdingkan dengan musim kemarau, hal ini dikarenakan petani tidak menghadapi masalah perairan. Curah hujan yang memengaruhi peningkatan produksi beras ini adalah curah hujan yang sesuai dengan kebutuhan penanaman padi yaitu 1.200-2.400 mm per tahun. Produksi beras juga diduga meningkat pada saat anggaran litbang meningkat. Sebaliknya, variabel varietas unggul kedelai yang ditemukan memiliki korelasi yang negatif terhadap produksi kedelai dan hal tersebut bertentangan dengan hipotesis. Di dalam hipotesis disebutkan bahwa jika jumlah varietas unggul kedelai bertambah, maka jumlah produksi kedelai akan meningkat. Akan tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan hasil regresi yang menunjukkan bahwa penyebab menurunnya jumlah produksi kedelai adalah bertambahnya varietas unggul kedelai. Situasi perbenihan kedelai di Indonesia sudah menjurus pada krisis benih. Hal ini dapat dilihat pada saat musim tanam petani mengalami kesulitan untuk mencari benih unggul, sehingga benih yang ditanam berasal dari pasar atau benih asalan yang memiliki daya tumbuh rendah. Sebagian besar benih untuk tanaman pangan hampir 50% dikuasai oleh perusahaan multinasional. Kondisi seperti ini merupakan bentuk monopoli yang menyebabkan biaya tinggi, akibatnya petani menanggung beban ongkos produksi yang semakin mahal. Sampai saat ini sudah dilepas 70 varietas kedelai namun penyebarannya masih mengalami kendala karena belum teraturnya sistem perbenihan di Indonesia. Disisi lain, upaya pengembangan benih kedelai terhambat atau jalan
57
ditempat7. Adanya benih unggul belum mampu tersebar luas pada petani kedelai sehingga membuat pertambahan varietas unggul benih akan menyebabkan penurunan produksi kedelai. Evaluasi model regresi produksi kedelai Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 10. Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Pada Tabel 19 terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas. Uji normalitas dilakukan dengan melihat grafik Normal Probability Plot (Lampiran 10). Titik-titik residual berada pada posisi yang mendekati garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi kriteria uji normalitas. Asumsi homoskedastisitas atau masalah heteroskedastisitas diperiksa menggunakan grafik Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 10). Pada grafik tidak ditemukan titik yang berpola sistematik (acak) baik meningkat maupun menurun, hal ini menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Uji Durbin-Watson untuk melihat autokorelasi dihasilkan nilai sebesar 1.85562 (1.7298 t2.045, sedangkan variabel curah hujan dan varietas unggul kedelai tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian bahwa secara bersama-sama semua variabel independen dalam model mampu menjelaskan dengan baik perubahan produksi kedelai Indonesia.
Model Konsumsi Komoditi Beras di Indonesia Berdasarkan hipotesis penelitian, keseluruhan variabel yang diduga memengaruhi konsumsi beras Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain jumlah penduduk, produksi beras dunia, dan GDP. Sedangkan variabel yang diduga tidak berpengaruh nyata adalah harga beras. Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model konsumsi beras di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 20. Variabel dependen (Y) dalam model ini merupakan konsumsi beras di Indonesia per tahun. KB = - 30.7 + 3.90 JP – 0.138 HB + 0.355 PDB + 0.156 GDP Pertambahan jumlah penduduk akan mengakibatkan pertambahan konsumsi beras Indonesia, jika jumlah penduduk meningkat maka konsumsi beras Indonesia meningkat. Harga beras memiliki korelasi yang negatif terhadap konsumsi beras, artinya jika harga beras naik maka konsumsi beras Indonesia akan mengalami 7
Purwantoro. Percepatan Penyebaran Varietas Unggul Melalui Sistem Penangkaran Perbenihan Kedelai di Indoenesia [Internet]. [diunduh 2013 November 8]. Tersedia pada: http://balitkabi.litbang.deptan.go.id.
58
penurunan. Konsumsi beras Indonesia akan meningkat jika produksi dunia beras meningkat. Pada saat GDP Indonesia meningkat maka akan meningkatkan konsumsi beras Indonesia. Perubahan konsumsi beras bersifat elastis terhadap variabel jumlah penduduk, tetapi tidak bersifat elastis terhadap harga beras, produksi beras dunia serta GDP. Tabel 20 Hasil analisis model regresi konsumsi beras di Indonesia Variabel
Koefisien
Constant -30.7170 JP (jumlah penduduk) 3.8964 HB (harga beras) -0.1379 PDB (produksi dunia beras) 0.3553 GDP (Gross Domestic Product) -0.1565 R-Sq = 92.5% R-Sq(adj) = 91.5% Durbin-Watson statistic = 1.838268 F = 86.71 P-value model = 0.000
Standar Error
T-Hitung
P-Value
VIF
8.3530 0.5459 0.0664 0.7148 0.0612
-3.68 7.14 -2.08 0.50 -2.56
0.001 0.000 0.047 0.623 0.016
3.2 3.8 4.0 1.2
Ada beberapa evaluasi model regresi konsumsi beras Indonesia (Output minitab tersaji di Lampiran 11). Untuk mengetahui uji linieritas dapat dilihat dari plot variabel-variabel prediksi tidak membentuk suatu pola tertentu (parabola, kubik, dan lain-lain). Terlihat bahwa residual terdistribusi secara random dan terkumpul di sekitar garis lurus, sehingga dapat dikatakan asumsi atau uji linieritas telah terpenuhi oleh model ini. Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Pada Tabel 20 terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas. Untuk mengetahui uji normalitas dapat dilihat dari grafik Normal Probability Plot (Lampiran 11). Titik-titik residual berada pada posisi yang mendekati garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi kriteria uji normalitas. Asumsi homoskedastisitas atau masalah heteroskedastisitas diperiksa menggunakan grafik Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 11). Terlihat pada grafik tidak terlihat berpola baik meningkat maupun menurun, hal ini menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Uji Durbin-Watson menghasilkan nilai sebesar 1.838268 (1.7298 t2.045, sedangkan variabel konsumsi beras dunia tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian bahwa secara bersama-sama semua
59
variabel independen dalam model mampu menjelaskan dengan baik perubahan konsumsi beras Indonesia.
Model Konsumsi Komoditi Jagung di Indonesia Berdasarkan hipotesis penelitian, keseluruhan variabel yang diduga memengaruhi konsumsi jagung Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain jumlah penduduk, produksi jagung dunia, dan GDP. Sedangkan variabel yang diduga tidak berpengaruh nyata adalah harga jagung. Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model konsumsi jagung di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 21. Variabel dependen (Y) dalam model ini merupakan konsumsi jagung di Indonesia per tahun. KJ = - 24,2 + 2,37 JP - 0,135 HJ + 0,344 PDJ + 0,160 GDP Tabel 21 Hasil analisis model regresi konsumsi jagung di Indonesia Variabel
Koefisien
Constant -24.2400 JP (jumlah penduduk) 2.3652 HJ (harga jagung) -0.1354 PDJ (produksi dunia jagung) 0.3444 GDP (Gross Domestic Product) 0.1597 R-Sq = 88.9% R-Sq(adj) = 87.3% Durbin-Watson statistic = 1.79243 F = 55.87 P-value model = 0.000
Standar Error
T-Hitung
P-Value
VIF
10.9000 0.9088 0.1075 0.4053 0.1349
-2.22 2.60 -1.26 0.85 1.18
0.034 0.015 0.218 0.403 0.046
5.4 4.8 4.9 7.2
Pertambahan jumlah penduduk memberikan korelasi yang positif terhadap konsumsi jagung Indonesia, jika jumlah penduduk meningkat maka konsumsi jagung Indonesia meningkat. Harga jagung memiliki korelasi yang positif terhadap konsumsi jagung, artinya jika harga jagung naik maka konsumsi jagung Indonesia akan mengalami peningkatan. Konsumsi jagung Indonesia akan meningkat jika produksi dunia jagung mengalami peningkatan. Pada saat GDP Indonesia meningkat maka akan meningkatkan konsumsi beras Indonesia. Perubahan konsumsi jagung bersifat elastis terhadap variabel jumlah penduduk, tetapi tidak bersifat elastis terhadap harga jagung, produksi jagung dunia serta GDP. Ada beberapa evaluasi model regresi konsumsi jagung Indonesia (Output minitab tersaji di Lampiran 12). Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Pada Tabel 21 terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas. Pengujian kenormalan dilakukan dengan melihat grafik Normal Probability Plot (Lampiran 12). Titik-titik residual berada pada posisi yang mendekati garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi kriteria uji normalitas. Pengujian lainnya yaitu asumsi homoskedastisitas diperiksa menggunakan grafik Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 12). Pada grafik tidak ditemukan titik yang berpola sistematik (acak) baik meningkat maupun menurun, hal ini
60
menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Sedangkan uji Durbin-Watson untuk melihat autokorelasi dihasilkan nilai sebesar 1.79243 (1.7298 t2.045, sedangkan variabel harga jagung dan produksi jagung dunia tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian bahwa secara bersama-sama semua variabel independen dalam model mampu menjelaskan dengan baik perubahan konsumsi jagung Indonesia.
Model Konsumsi Komoditi Kedelai di Indonesia Berdasarkan hipotesis penelitian, keseluruhan variabel yang diduga memengaruhi konsumsi kedelai Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain jumlah penduduk, produksi kedelai dunia, dan GDP. Sedangkan variabel yang diduga tidak berpengaruh nyata adalah harga kedelai. Tabel 22 Hasil analisis model regresi konsumsi kedelai di Indonesia Variabel
Koefisien
Constant -31.2390 JP (jumlah penduduk) 3.7801 HK (harga kedelai) -0.2081 PDK (produksi dunia kedelai) 0.4626 GDP (Gross Domestic Product) 0.0720 R-Sq = 67.8% R-Sq(adj) = 63.2% Durbin-Watson statistic = 1.73353 F = 14.76 P-value model = 0.000
Standar Error
T-Hitung
P-Value
VIF
8.0880 0.7450 0.0890 0.2369 0.0751
-3.86 5.07 -2.34 1.95 0.96
0.001 0.000 0.027 0.061 0.346
4.4 3.5 3.3 1.2
Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model konsumsi kedelai di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 22. Variabel dependen (Y) dalam model ini merupakan konsumsi kedelai di Indonesia per tahun. KK = - 31,2 + 3,78 JP - 0,208 HK + 0,463 PDK + 0,0720 GDP Peningkatan jumlah penduduk berkorelasi positif terhadap konsumsi kedelai Indonesia dan berkorelasi positif, artinya jika jumlah penduduk meningkat maka konsumsi kedelai Indonesia meningkat. Konsumsi kedelai diduga mengalami kenaikan pada saat harga turun. Sedangkan terhadap perubahan produksi kedelai dunia bersifat elastis dan berkorelasi negatif, artinya jika produksi kedelai dunia meningkat maka konsumsi kedelai Indonesia akan mengalami peningkatan. Pada
61
saat GDP Indonesia meningkat maka akan meningkatkan konsumsi kedelai Indonesia. Perubahan konsumsi kedelai bersifat elastis terhadap variabel jumlah penduduk, tetapi tidak bersifat elastis terhadap harga kedelai, produksi kedelai dunia serta GDP. Evaluasi model regresi konsumsi kedelai Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 13. Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Pada Tabel 22 terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas. Uji normalitas dilakukan dengan melihat grafik Normal Probability Plot (Lampiran 13). Titik-titik residual berada pada posisi yang mendekati garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi kriteria uji normalitas. Asumsi homoskedastisitas atau masalah heteroskedastisitas diperiksa menggunakan grafik Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 13). Pada grafik tidak ditemukan titik yang berpola sistematik (acak) baik meningkat maupun menurun, hal ini menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Uji Durbin-Watson untuk melihat autokorelasi dihasilkan nilai sebesar 1.73353 (1.7298 t2.045, sedangkan variabel produksi kedelai dunia dan GDP tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian bahwa secara bersama-sama semua variabel independen dalam model mampu menjelaskan dengan baik perubahan konsumsi kedelai Indonesia.
Implikasi Terhadap Swasembada Komoditi Pangan Strategis Komoditi pangan strategis memiliki peran besar dalam perekonomian nasional, komoditas yang bepengaruh besar pada inflasi, dan komoditas yang menguras belanja pengeluaran negara. Oleh karena itu, komoditi pangan strategis tersebut harus dapat dijaga dengan baik keseimbangannya agar tidak berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Untuk dapat menjaga keseimbangan pasar beras, jagung, dan kedelai tersebut, hal yang paling penting untuk dilakukan yaitu menjaga agar produksi seimbang dengan konsumsi konsumen. Secara ringkas Tabel 23 menyajikan hasil model peramalan produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis (beras, jagung, dan kedelai). Hasil proyeksi tersebut digunakan sebagai dasar dalam analisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis. Hasil regresi berganda yang signifikan akan dijadikan implikasi strategi atau kebijakan dalam meningkatkan swasembada ketiga komoditi tersebut. Strategi tersebut diharapkan dapat
62
meningkatkan swasembada Indonesia pada tahun 2014 dan swasembada yang berkelanjutan pada tahun-tahun berikutnya. Tabel 23 Hasil peramalan dan analisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis Indonesia Variabel Produksi beras
Model time series terbaik ARIMA (1,1,0)
Konsumsi beras
Double Eksponential Smoothing
Produksi jagung
Double Eksponential Smoothing
Konsumsi jagung
ARIMA (1,1,1)
Produksi kedelai
Single Eksponential Smoothing
Konsumsi kedelai
Double Eksponential Smoothing
Hasil proyeksi Meningkat dari tahun sebelumnya Tahun 2013: 39.492 ribu ton Tahun 2014: 40.096 ribu ton o Meningkat dari tahun sebelumnya o Tahun 2013: 38.130 ribu ton o Tahun 2014: 38.558 ribu ton Meningkat dari tahun sebelumnya Tahun 2013: 17.523 ribu ton Tahun 2014: 18.223 ribu ton
o Meningkat dari tahun sebelumnya o Tahun 2013: 15.764 ribu ton o Tahun 2014: 16.016 ribu ton Menurun dari tahun sebelumnya Tahun 2013: 775 ribu ton Tahun 2014: 775 ribu ton o Meningkat dari tahun sebelumnya o Tahun 2013: 1.755 ribu ton o Tahun 2014: 1.773 ribu ton
Keterangan Prediksi mampu berswasembada tahun 2014
Prediksi mampu berswasembada tahun 2014
Prediksi belum mampu berswasembada tahun 2014
Faktor-faktor berpengaruh Anggaran litbang Lahan panen padi o Jumlah penduduk o GDP o Harga beras Lahan panen jagung Curah hujan Varietas unggul jagung Anggaran litbang o GDP o Jumlah penduduk Lahan panen kedelai Anggaran litbang o Jumlah penduduk o Harga kedelai
Jika dilihat dari pencapaian terhadap target sasaran yang ditetapkan oleh Ditjen Tanaman Pangan, pencapaian realisasi produktivitas telah mencapai target, bahkan selama 3 tahun terakhir (tahun 2010-2012) realisasi produktivitas melebihi target yang ditetapkan. Sementara realisasi pencapaian target luas panen tahun 2010-2012 cenderung tidak mencapai target yang ditetapkan dengan kisaran mencapai 0.12-1.49%. Berdasarkan pencapaian target luas panen dan produktivitas tersebut, maka capaian produksi tahun 2010-2012 melebihi angka targetnya yaitu sebesar 100.69%. Tabel 23 menjelaskan bahwa produksi beras hingga tahun 2014 diperkirakan belum mencapai target sasaran yang ditetapkan dan ada trend penurunan pencapaian target yaitu mencapai 98.08% di tahun 2013 dan 95.38% di tahun 2014. Meskipun belum mencapai terget sasaran, proyeksi produksi dan konsumsi beras menunjukkan bahwa tahun 2014 Indonesia telah mampu berswasembada beras. Namun kisaran capaian swasembada yang tidak terlalu besar, sehingga belum dapat menggambarkan ketercapaian swasembada beras yang berkelanjutan. Selain itu, kebijakan penetapan surplus 10 juta ton beras di tahun 2014 diperkirakan belum dapat tercapai serta apabila volume cadangan (20%) ikut dihitung, maka kemampuan swasembada beras pada tahun 2014 hanya berkisar 86%.
63
Tabel 24 Capaian produksi dan capaian swasembada beras Tahun 2013 2014 Pertumbuhan (%)
Target Produksi (Ribu Ton) 40 514 43 046 6.25
Proyeksi (Ribu Ton)
Capaian (%)
Produksi
Konsumsi
Produksi
Swasembada
39 492 40 096 1.53
38 130 38 558 1.12
97.48 93.15
103.57 103.99
Serupa dengan komoditi beras, melihat persentase capaian produksi jagung terhadap sasaran komoditas selama 5 tahun terakhir menunjukkan pencapaian realisasi yang masih jauh dari target yang ditetapkan. Dilihat dari tahun 2012 target produksi 24.000 ribu ton, sementara realisasi produksi berdasarkan hasil proyeksi hanya sebesar 18.223 ribu ton. Berdasarkan pencapaian target luas panen dan produktivitas tersebut, maka capaian produksi tahun 2010-2012 melebihi angka targetnya yaitu sebesar 74.40%. Tabel 24 menjelaskan bahwa produksi jagung hingga tahun 2014 diperkirakan tidak akan mencapai target sasaran yang ditetapkan dan ada trend penurunan pencapaian target yaitu mencapai 67.40% di tahun 2013 dan 62.84% di tahun 2014. Meskipun belum mencapai terget sasaran, proyeksi produksi dan konsumsi jagung menunjukkan bahwa tahun 2014 Indonesia telah mampu berswasembada jagung. Sama dengan komoditi beras, kisaran capaian swasembada jagung pada tahun 2014 yang tidak terlalu besar belum dapat menggambarkan ketercapaian swasembada jagung yang berkelanjutan. Namun, apabila cadangan (20%) ikut dihitung, maka kemampuan swasembada jagung hanya berkisar 94%. Tabel 25 Capaian produksi dan capaian swasembada jagung Tahun 2013 2014 Pertumbuhan (%)
Target Produksi (Ribu Ton) 26 000 29 000 11.54
Proyeksi (Ribu Ton)
Capaian (%)
Produksi
Konsumsi
Produksi
Swasembada
17 523 18 223 3.99
15 764 16 016 1.60
67.40 62.84
111.16 113.78
Sedangkan, capaian produksi kedelai tahun 2012 adalah sekitar 41.21%, yaitu dari target 1.900 ribu ton dapat direalisasikan sebesar 783 ribu ton. Secara umum, penetapan target produksi dan luas meningkat lebih dari 15% per tahunnya. Sementara produktivitas selama 5 tahun ditargetkan berkisar antara 15 kw/ha. Menurut hasil proyeksi produksi kedelai di Indonesia akan turun pada 2 tahun ke depan. Produksi antara tahun 2013 dan 2014 sebesar 775 ribu ton tanpa adanya pertumbuhan dalam 2 tahun tersebut. Angka proyeksi produksi kedelai tahun 2013 hanya mencapai 34.44% dari angka target produksi yang ditetapkan oleh Ditjen Tanaman Pangan. Angka proyeksi tahun 2014 mencapai 28.70% dari sasaran produksi. Berbeda dengan proyeksi produksi beras dan jagung yang menunjukkan capaian produksi yang telah mencapai angka lebih dari 50% dari target produksi sehingga kemungkinan dapat diswasembadakan. Proyeksi produksi kedelai yang masih 50% di bawah target swasembada menggambarkan bahwa tahun 2014 Indonesia belum mampu berswasembada kedelai. Dengan diperhitungkannya cadangan (20%), maka kemampuan swasembada kedelai adalah sebesar 36%.
64
Tabel 26 Capaian produksi dan capaian swasembada kedelai Tahun 2013 2014 Pertumbuhan (%)
Target Produksi (Ribu Ton) 2 250 2 700 20.00
Proyeksi (Ribu Ton)
Capaian (%)
Produksi
Konsumsi
Produksi
Swasembada
775 775 0.00
1 755 1 773 1.03
34.44 28.70
44.16 43.71
Skenario Pencapaian Swasembada Pada skenario pencapaian swasembada komoditi pangan strategis tahun 2014 dilakukan dengan menggunakan model kausal dari hasil analisis regresi berganda sebelumnya. Upaya pencapaian swasembada komoditi pangan strategis sebagaimana hasil yang signifikan atau yang berpengaruh pada poduksi dan konsumsi, yaitu: pada sisi produksi adalah luas areal panen diupayakan dengan peningkatan luas areal tanam sebesar 5-20% dari tahun dasar (tahun 2012), angaran litbang diupayakan meningkat sebesar 5-20% dari tahun dasar (tahun 2012), serta penigkatan luas areal tanam bersamaan dengan peningkatan anggaran litbang sebesar 5-20% dari tahun dasar (tahun 2012). Sedangkan dari sisi konsumsi adalah jumlah penduduk didekati dengan penurunan jumlah konsumsi per kapita sebesar 5-20% dari tahun dasar (tahun 2012). Hasil skenario produksi tersebut dibandingkan dengan hasil proyeksi yang telah diperoleh sebelumnya, misalnya skenario produksi tahun 2013 dibandingkan dengan roadmap Kementerian Pertanian tahun 2013 dan proyeksi konsumsi tahun 2013, begitu pula dengan tahun 2014. Pada Tabel 27 skenario produksi dengan perluasan areal panen, peningkatan anggaran litbang, serta skenario gabungan antara perluasan areal panen dan peningkatan anggaran litbang adalah antara 5-20% pada komoditi beras, jagung, dan kedelai pada tahun 2013 belum melebihi target roadmap Kementerian Pertanian. Akan tetapi, skenario produksi dapat melebihi target roadmap dengan peningkatan luas areal panen sebesar 5% serta perluasan areal panen dan peningkatan anggaran litbang peningkatan sebesar 5% pada komoditi beras. Sebaliknya, skenario produksi dengan perluasan areal panen, peningkatan anggaran litbang, serta keduanya (perluasan areal panen dan peningkatan anggaran litbang) antara 5-20% pada komoditi beras, jagung, dan kedelai pada tahun 2013 telah melebihi proyeksi konsumsi, kecuali peningkatan anggaran litbang pada komoditi beras diperkirakan melebihi 20%. Skenario konsumsi dengan mengurangi konsumsi rata-rata per kapita sebesar 5% pada tahun 2013 telah dapat menempatkan konsumsi beras, jagung, dan kedelai di bawah target roadmap Kementerian Pertanian. Pengurangan konsumsi rata-rata per kapita sebesar 5% juga telah menempatkan jumlah konsumsi komoditi beras, dan jagung di bawah target proyeksi produksi, kecuali pengurangan konsumsi per kapita kedelai diperkirakan melebihi 20% dari proyeksi produksi tahun 2012. Seperti halnya tahun 2013, perluasan areal panen, peningkatan anggaran litbang, serta keduanya (perluasan areal panen dan peningkatan anggaran litbang) antara 5-20% pada komoditi beras, jagung, dan kedelai pada tahun 2014 menghasilkan skenario produksi yang belum melebihi target roadmap
65
Kementerian Pertanian. Akan tetapi, skenario produksi dapat melebihi target roadmap dengan peningkatan luas areal panen sebesar 10% serta perluasan areal panen dan peningkatan anggaran litbang peningkatan sebesar 10% pada komoditi beras. Sebaliknya, skenario produksi dengan perluasan areal panen, peningkatan anggaran litbang, serta keduanya (perluasan areal panen dan peningkatan anggaran litbang) antara 5-20% pada komoditi beras, jagung, dan kedelai pada tahun 2014 telah melebihi proyeksi konsumsi, kecuali peningkatan anggaran litbang pada komoditi beras diperkirakan melebihi 20%. Sama halnya dengan tahuan 2014, skenario konsumsi dengan mengurangi konsumsi rata-rata per kapita sebesar 5% pada tahun 2014 telah dapat menempatkan konsumsi beras, jagung, dan kedelai di bawah target roadmap Kementerian Pertanian. Pengurangan konsumsi rata-rata per kapita sebesar 5% juga telah menempatkan jumlah konsumsi komoditi beras dan jagung di bawah target proyeksi produksi, kecuali pengurangan konsumsi per kapita kedelai diperkirakan melebihi 20% dari proyeksi produksi di tahun 2013. Untuk mengetahui perkiraan seberapa besar persentase peniningkatan yang diperlukan agar skenario produksi dan konsumsi memenuhi roadmap serta proyeksi produksi dan konsumsi, maka dilakukan teknik trial and error pada masing-masing persentase skenario. Pengurangan konsumsi per kapita kedelai pada tahun 2013 dan 2014 dari teknik trial and error adalah 60% agar konsumsi di bawah proyeksi produksi. Sedangkan agar dapat melebihi proyeksi konsumsi beras, maka pada ahun 2013 dan 2014 peningkatan anggaran litbang harus lebih besar dari 35% dan 25%. Hasil dari trial and error yang diperoleh agar melebihi target roadmap Kementerian Pertanian adalah peningkatan anggaran litbang pada tahun 2013 dan 2014 untuk komoditi beras harus lebih besar dari 70% dan 145. Untuk komoditi jagung, perluasan areal panen di tahun 2013 dan 2014 sebesar lebih dari 220% dan 260%, peningkatan anggaran litbang diperkirakan lebih dari 75% dan 90%, serta dengan skenario gabungan adalah 60% dan 70%. Komoditi kedelai yang diperkirakan tidak mencapai swasembada pada tahun 2014 jika dikondisikan hingga mencapai swasembada maka diperlukan skenario yang besar. Seperti halnya perluasan areal panen harus lebih besar dari 2315% pada tahun 2013 dan 3100% di tahun 2014. Peningkatan anggaran litbang pada tahun 2013 dan 2014 sebaiknya lebih besar dari 205% dan 275%. Sedangkan gabungan skenario peningkatan luas areal panen dan anggaran litbang dikonsisikan lebih besar dari 190% dan 250%. Skenario pencapaian swasembada dan swasembada yang berkelanjutan komoditi beras dan jagung dimungkinkan tercapai. Hal ini disebabkan karena kemungkinan direalisasikan skenario produksi dan konsumsi di bawah hasil proyeksi, meskipun dalam pencapaian roadmap dirasakan masih sulit dicapai. Dalam hal yang sama, kemungkinan pencapaian swasembada komoditi kedelai diperkirakan sulit tercapai karena peningkatan produksi dan konsumsi lebih dari 100%. Walau demikian, tetap memerlukan strategi kebijakan yang dapat meningkatkan jumlah produksi serta mengurangi konsumsi agar peningkatan, pencapaian swasembada, dan swasembada berkelanjutan akan terus dapat dilakukan.
66
Tabel 27 Skenario produksi dan konsumsi dengan peningkatan luas areal tanam, anggaran litbang serta penurunan konsumsi per kapita (dalam ribu ton) Skenario Skenario tahun 2013 Roadmap Kementerian Pertanian Proyeksi tanpa skenario Perluasan areal tanam 5% Perluasan areal tanam 10% Perluasan areal tanam 15% Perluasan areal tanam 20% Peningkatan anggaran litbang 5% Peningkatan anggaran litbang 10% Peningkatan anggaran litbang 15% Peningkatan anggaran litbang 20% Perluasan areal tanam & peningkatan anggaran litbang 5% Perluasan areal tanam & peningkatan anggaran litbang 10% Perluasan areal tanam & peningkatan anggaran litbang 15% Perluasan areal tanam & peningkatan anggaran litbang 20% Penurunan konsumsi per kapita 5% Penurunan konsumsi per kapita 10% Penurunan konsumsi per kapita 15% Penurunan konsumsi per kapita 20% Skenario tahun 2014 Roadmap Kementerian Pertanian Proyeksi tanpa skenario Perluasan areal tanam 5% Perluasan areal tanam 10% Perluasan areal tanam 15% Perluasan areal tanam 20% Peningkatan anggaran litbang 5% Peningkatan anggaran litbang 10% Peningkatan anggaran litbang 15% Peningkatan anggaran litbang 20% Perluasan areal tanam & peningkatan anggaran litbang 5% Perluasan areal tanam & peningkatan anggaran litbang 10% Perluasan areal tanam & peningkatan anggaran litbang 15% Perluasan areal tanam & peningkatan anggaran litbang 20% Penurunan konsumsi per kapita 5% Penurunan konsumsi per kapita 10% Penurunan konsumsi per kapita 15% Penurunan konsumsi per kapita 20%
Produksi Skenario Beras Jagung Kedelai 40 514 39 492 40 580 42 392 44 205 46 017 38 890 39 012 39 135 39 257
26 000 17 523 17 025 17 240 17 455 17 670 17 425 18 040 18 655 19 270
2 250 775 786 790 793 796 819 855 891 926
40 702
17 640
822
42 637
18 470
861
44 572
19 300
900
46 507
20 130
939
43046 40 096 41 339 43 185 45 031 46 878 39 617 39 742 39 867 39 992 41 464
29 000 18 223 17 747 17 971 18 195 18 419 18 164 18 805 19 446 20 087 18 388
2 700 775 778 781 785 788 811 846 881 917 814
43 435
19 253
852
45 406
20 118
891
47 377
20 983
929
Konsumsi Skenario Beras Jagung Kedelai
38 130
15 764
1 755
36 224 34 317 32 411 30 504
15 375 14 986 14 597 14 208
1 667 1 579 1 491 1 404
38 558
16 016
1 773
36 630 34 702 32 774 30 846
15 614 15 212 14 811 14 409
1 684 1 595 1 507 1 418
Strategi Kebijakan Peningkatan Swasembada Hasil analisis regresi menyebutkan faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan konsumsi beras, jagung, serta kedelai adalah lahan areal panen,
67
anggaran litbang, dan jumlah penduduk. Berikut ini adalah upaya atau strategi kebijakan yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan capaian swasembada komoditi pangan strategis (beras, jagung, dan kedelai) di Indonesia, diantaranya: 1. Perluasan areal tanam Perluasan areal panen dipengaruhi oleh luas areal tanam sehingga perlu adanya upaya untuk peningkatan luas areal tanam. Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam perluasan areal tanam, antara lain: a. Mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh konversi lahan Konversi lahan merupakan masalah yang serius dalam peningkatan produksi beras nasionalKonversi lahan sawah terus berlangsung dengan laju konversi sekitar 100 ribu hektar per tahun.konversi lahan sawah tersebut terjadi di sekitar kota besar (provinsi dan kabupaten), kota kecil (kecamatan) dan bahkan sampai di tingkat desa, terutama di Pulau Jawa. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha pengendalian dan pencegahan alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian, antara lain dengan penegakan peraturan dan undang-undang yang sudah dibuat. Peraturan yang bertujuan mengendalikan alih fungsi lahan jangan bersifat himbauan tapi sanksi. Selain itu, himbauan Kementrian Pertanian untuk pembukaan lahan pertanian yang baru harus segera dilaksanakan. Semakin besar konversi lahan maka seakin berkurang lahan pertanian. Oleh karena itu, pemerintah saat ini berusaha melakukan perluasan areal dengan melakukan pembukaan lahan atau pencetakan sawah baru. Bahkan pemerintah saat ini dalam revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan mencanangkan lahan pertanian abadi, lahan sawah 15 juta hektar dan lahan kering 15 juta hektar. b. Pencetakan lahan sawah baru Lahan panen padi tahun 2012 sekitar 13.472 ribu hektar, untuk mencapai swasembada beras tahun 2014 harus ada tambahan 1.834 ribu hektar berdasarkan roadmap dan tambahan 5% (674 ribu hektar) dari proyeksi konsumsi. Pencetakan sawah baru difokuskan di luar Pulau Jawa sepeti Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan yang menjadi sentra produksi beras. Karena secara nasional diperkirakan terdapat sekitar 10 juta hektar lahan tidur yang sebagian besar terdapat di luar Jawa terutama di daerah-daerah sentra yang mempunyai kondisi lahan yang sesuai dengan lahan pertanaman padi. Tabel 28 Perkembangan produksi padi di 6 provinsi sentra, tahun 2008-2012 Tahun Provinsi Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Sulawesi Selatan Sumatera Utara Sumatera Selatan Lainnya Indonesia
2008
2009
2010
2011
2012
10 111 10 474 9 136 4 083 3 340 2 971 20 210 60 325
11 322 11 259 9 600 4 324 3 527 3 125 21 241 64 398
11 737 11 643 10 110 4 382 3 582 3 272 21 743 66 469
11 633 10 576 9 391 4 511 3 607 3 384 22 654 65 756
11 403 12 043 10 199 4 872 3 689 3 479 23 271 68 956
Rata-rata
Share (%)
11 241.2 11 199.0 9 687.2 4 434.4 3 549.0 3 246.2 21 823.8 65 180.8
17.25 17.18 14.86 6.80 5.44 4.98 33.48 100.00
Pert. rata-rata (%) 3.20 3.90 2.97 4.55 2.53 4.03 3.59 3.54
Sumber: Kementrian Pertanian, 2012 (diolah)
Lahan panen jagung tahun 2012 sekitar 3.967 ribu hektar, untuk mencapai swasembada jagung tahun 2014 harus ada tambahan 1.296 ribu
68
hektar berdasarkan roadmap dan tambahan 20% (259 ribu hektar) dari proyeksi konsumsi. Pencetakan sawah baru difokuskan di luar Pulau Jawa sepeti Lampung, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara yang menjadi sentra produksi jagung. Tabel 29 Perkembangan produksi jagung di 6 provinsi sentra, tahun 20082012 Tahun Provinsi Jawa Timur Jawa Tengah Lampung Sulawesi Selatan Sumatera Utara Jawa Barat Lainnya Indonesia
2008
2009
2010
2011
2012
5 053 2 679 1 809 1 195 1 098 639 3 844 16 317
5 266 3 057 2 067 1 395 1 166 787 3 891 17 629
5 587 3 058 2 126 1 343 1 377 923 3 913 18 327
5 443 2 772 1 817 1 420 1 294 945 3 952 17 643
5 995 2 990 1 750 1 457 1 369 1 019 4 381 18 961
Rata-rata
Share (%)
5 468.8 2 911.2 1 913.8 1 362.0 1 260.8 862.6 3 996.2 17 775.4
30.77 16.38 10.77 7.66 7.09 4.85 22.48 100.00
Pert. rata-rata (%) 4.47 3.16 -0.28 5.34 5.99 12.64 3.41 4.96
Sumber: Kementrian Pertanian, 2012 (diolah)
Lahan panen kedelai tahun 2012 sekitar 566 ribu hektar, untuk meningkatkan produksi kedelai tahun 2014 harus ada tambahan 1.264 ribu hektar berdasarkan roadmap dan tambahan 5% (28 ribu hektar) dari proyeksi konsumsi. Pencetakan sawah baru difokuskan di luar Pulau Jawa sepeti Nusa Tenggara Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan yang menjadi sentra produksi kedelai. Lahan tidur yang sebagian besar terdapat di luar Jawa terutama di daerah-daerah sentra dengan kondisi lahan sesuai lahan pertanaman kedelai. Tabel 30 Perkembangan produksi kedelai di 6 provinsi sentra, tahun 20082012 Tahun Provinsi Jawa Timur Jawa Tengah Nusa Tenggara Barat Aceh Jawa Barat Sulawesi Selatan Lainnya Indonesia
2008
2009
2010
2011
2012
227 167 95 43 32 29 182 775
335 175 95 63 60 41 205 974
339 187 93 53 55 35 145 907
366 112 88 50 56 33 146 851
316 134 67 57 47 32 130 783
Rata-rata
Share (%)
316.6 155.0 87.6 53.2 50.0 34.0 161.6 858.0
36.90 18.07 10.21 6.20 5.83 3.96 18.83 100.00
Pert. rata-rata (%) 0.04 -0.02 -0.06 0.08 0.12 0.04 -6.73 -0.93
Sumber: Kementrian Pertanian, 2012 (diolah)
c. Optimalisasi lahan dan peningkatan indeks pertanaman Potensi optimalisasi pemanfaatan lahan sawah masih luas mulai dari Indeks Pertanaman (IP) di bawah 100-200 (kurang dari1-2 kali tanam dalam 1 tahun). Permasalahan IP yang belum optimal pada umumnya adalah disebabkan oleh permasalahan air, tenaga kerja, dan budaya petani setempat. Dengan mengetahui permasalahan tersebut, masalah seperti pompa air, traktor untuk mempercepat pengolahan lahan, dan perbaikan jaringan irigasi dapat diatasi sesuai dengan potensi yang ada, sehingga optimalisasi lahan mampu meningkatkan IP. IP dapat ditingkatkan dengan input kegiatan optimalisasi
69
lahan seperti penyediaan paket sarana produksi lengkap, perbaikan jaringan irigasi, pompanisasi, penggunaan alsintan prapanen. d. Menambah dan memperbaiki pengelolaan infrastruktur irigasi untuk budidaya padi Air merupakan faktor utama dalam budidaya, dengan adanya air tanaman mampu tumbuh, sebaran tanam padi bulanan sangat tergantung pada keberadaan air (dapat meningkatkan indeks pertanaman). Irigasi merupakan hal yang penting diperhatikan dalam peningkatan produksi padi, karena kondisi infrastruktur irigasi di Indonesia belum memadai. Lebih dari 20% rusak dan sekitar 80% areal irigasi di daerah sentra produksi nasional rentan terhadap kekeringan sehingga perlu diperbaiki atau bahkan ditambah. Kegiatan pengelolaan air meliputi perbaikan jaringan irigasi, perbaikan dan pembangunan dam parit, pemanfaatan air irigasi permukaan dengan pompa air, dan Pengembangan Irigasi Perdesaan (PIP). Melalui berbagai upaya dengan pendekatan berbagai program tersebut diharapkan kendala dan hambatan peningkatan produksi baik luas panen maupun produktivitas akan dapat diantisipasi. Dengan mengacu pada berbagai usaha peningkatan baik luas panen maupun produktivitas melalui programprogram yang telah dicanangkan serta dengan asumsi kondisi iklim baik, maka pencapaian terget produksi di tahun 2013 dan 2014 optimis akan tercapai. Kementrian Pertanian (2012) menyebutkan bahwa penetapan kebijakan swasembada dapat tercapai dengan tetap mempertahankan laju pertumbuhan area panen berupa strategi program perluasan areal tanam melalui optimalisasi pemanfaatan lahan, cetak sawah baru, pembangunan atau perbaikan Jaringan Irigasi Teknis Usahatani (JITUT), Jaringan Irigasi Desa (JIDES) dan Tata Air Makro (TAM), pembangunan atau perbaikan sumur, serta rehabilitasi dan konservasi lahan pertanian yang dapat memungkinkan petani untuk meningkatkan indeks pertanaman sehingga peningkatan areal tanam akan tercapai. 2. Peningkatan anggaran litbang Faktor yang memengaruhi produksi 3 komoditi pangan strategis (beras, jagung, dan kedelai) sekaligus adalah anggaran litbang. Angaran litbang merupakan salah satu implementasi dari strategi dari kementrian pertanian. Sesuai amanat dalam UU No 17 TAHUN 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, pembangunan pertanian tetap memegang peran strategis dalam perekonomian nasional yang tergambar melalui kontribusi nyata pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi, penyerapan tenaga kerja, sumber devisa negara dan sumber pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah lingkungan. Kegiatan penelitian dan pengembangan dilaksanakan untuk mendukung 4 program pembangunan pertanian yaitu: (1) Program penerapan pemerintahan yang baik; (2) Pengembangan agribisnis; (3) Peningkatan Ketahanan Pangan; dan (4) Peningkatan kesejahteraan petani. Sedangkan alokasi anggaran menurut Program Utama Renstra Badan Litbang Pertanian, sebagian besar difokuskan untuk pelaksanaan program litbang komoditas. Adapun komposisi anggaran untuk implementasi 4 program utama lainnya adalah: untuk mendukung penciptaan
70
inovasi teknologi dan untuk akselerasi pemasyarakatan dan teknologi serta kegiatan pengkajian teknologi spesifik lokasi, pengembangan kapasitas kelembagaan dan komunikasi hasil litbang, program litbang sumberdaya pertanian, untuk implementasi program litbang sosial ekonomi, serta nilai tambah pertanian. Berdasarkan prioritas kegiatan, anggaran litbang dialokasikan untuk mendukung penciptaan inovasi teknologi, dan untuk akselerasi pemasyarakatan dan teknologi dalam rangka mewujudkan pemberdayaan petani dan agribisnis industrial di pedesaan. Kegiatan pengkajian teknologi spesifik lokasi, pengembangan kapasitas dan kelembagaan litbang. Persentase alokasi anggaran termasuk alokasi loan ADB untuk mendanai kegiatan Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi Pertanian (P4MI) dan World Bank untuk kegiatan Farmer Empowerment through Agricultural Technology and Information (FEATI). Alokasi anggaran untuk implementasi kegiatan litbang, diantaranya: litbang tanaman pangan, litbang tanaman hortikultura, litbang tanaman perkebunan, litbang peternakan dan verteriner, litbang sumberdaya lahan pertanian, litbang bioteknologi dan sumberdaya genetik pertanian, penelitian atau analisis ekonomi dan kebijakan pertanian, perekayasaan atau litbang mekanisasi pertanian, litbang pascapanen pertanian, pengembangan perpustakaan dan penyebaran teknologi pertanian, serta untuk dukungan manajemen, fasilitas, dan instrumen teknis dalam pelaksanaan kegiatan litbang. Strategi pemerintah dalam pencapaian swasembada beras, jagung dan kedelai tidak akan berhasil tanpa adanya implementasi berupa dukungan pembiayaan. Berdasarkan rancangan sasaran kegiatan dan anggaran yang diperlukan dari Kementrian Pertanian dan BUMN, maka salah satu dukungan pembiayaan yang diharapkan agar mampu mendukung capaian sasaran produksi roadmap adalah anggaran litbang. Dukungan anggaran terhadap litbang saat ini dirasakan masih kurang bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dana pemerintah untuk bidang litbang di Indonesia sekarang ini hanya 0.025% dari Gross Domestic Product (GDP) setiap tahun. Jumlah ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Jepang dan Malaysia dengan dana litbang mencapai 2.5% dari GDP 8 . Minimnya anggaran litbang yang diberikan pemerintah kepada Balitbang menjadikannya sulit berkembang. Akibatnya hasil penelitian yang dihasilkan kurang mampu digunakan sebagai bahan merumuskan kebijakankebijakan pemerintah baik dalam upaya untuk mengatasi maupun mencegah timbulnya berbagai masalah. Persentase alokasi anggaran litbang tanaman pangan dari seluruh anggaran litbang selama tahun ke tahun mengalami perubahan (Gambar 13). Agar peningkatan swasembada beras, jagung, dan kedelai dapat berjalan lancar dan target swasembada dapat tercapai, maka perlu adanya kebijakan penambahan proporsi untuk anggaran litbang tanaman pangan. Anggaran litbang akan mendukung program pencapaian sasaran produksi seperti: a. Penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana pertanian b. Peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada dan swasembada berkelanjutan c. Pengembangan SDM pertanian dan kelembagaan petani d. Program penciptaan teknologi dan varietas unggul berdaya saing 8
Pusdatin. 2004. Ke Depan Perlu Dukungan Anggaran Besar Untuk Litbang [Internet]. [diunduh 2013 Desember 10]. Tersedia pada: http://www1.pu.go.id/uploads/berita/ppw2906043.htm.
71
e. Peningkatan nilai tambah dan daya saing industri hilir, pemasaran, dan ekspor hasil pertanian f. Dukungan manajemen dan teknis lainnya g. Pengelolaan sumber daya air Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) % 10,00 8,00
8,58
6,00
8,01 6,52
4,00
8,01 6,41
6,03
5,28
2,00 0,00 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012 Tahun
Gambar 11 Persentase anggaran litbang tanaman pangan tahun 2006-2012 Sumber: Badan Litbang Pertanian (2012)
Kementerian Pertanian memperoleh alokasi anggaran Rp.15.470 miliar Rupiah pada Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (ABPP) Kementerian negara/lembaga dan non K/L Tahun Anggaran 2014. Ditjen Tanaman Pangan memperoleh anggaran yang cukup besar, untuk program peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada berkelenjutan sebesar Rp.2.559 miliar Rupiah. Rincian lebih lanjut program Ditjen Tanaman Pangan adalah pengelolaan produksi tanaman aneka kacangkacangan dan umbi (termasuk kedelai) Rp.735.555 juta Rupiah, pengelolaan produksi tanaman serealia (termasuk padi dan jagung) Rp.1.266 miliar, pengelolaan sistem penyediaan benih tanaman pangan Rp.131.455 miliar Rupiah, dan penanganan pascapanen tanaman pangan Rp.216.383 juta Rupiah. Adapun Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyediakan anggaran Rp.518.399 juta Rupiah untuk pengkajian dan percepatan diseminasi inovasi dan teknologi pertanian, penelitian dan pengembangan sumberdaya lahan pertanian Rp.102.947 juta Rupiah, dan pengembangan tanaman pangan Rp.128.422 juta Rupiah. Sedangkan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian mengalokasikan anggaran Rp.341.837 juta Rupiah untuk program peningkatan diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat, didalamnya juga termasuk program pengembangan peganekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan keamanan pangan segar sebesar Rp.194.572 juta Rupiah 9. Berdasarkan hasil analisis maka rata-rata peningkatan anggaran litbang tahun 2014 adalah 80% dari tahun 2012 (79.037 juta Rupiah), dengan tambahan sebesar 63.230 juta Rupiah. Jadi anggaran litbang yang diperlukan untuk 9
Desk Informasi. 2013. Anggaran Kementerian Pertanian 2014: Bantuan Sosial Tersebar di Sejumlah Program [Internet]. [diunduh 2014 Januari 25]. Tersedia pada: Http://www.setkab.go.id/kawal-apbn-11467-anggaran-kementerian-pertanian-2014-bantuansosial-tersebar-di-sejumlah-program. html.
72
meningkatkan swasembada pada tahun 2014 adalah sebesar 142.267 juta Rupiah. Melihat anggaran litbang yang diturunkan pemerintah untuk pengembangan tanaman pangan sebesar Rp.128.422 juta Rupiah, maka pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran untuk tanaman pangan. 3. Pengaturan pola konsumsi per kapita penduduk Faktor yang signifikan dalam hasil analisis regresi berganda dari sisi konsumsi adalah jumlah penduduk. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat, maka kebutuhan terhadap jenis dan kualitas produk makanan juga semakin meningkat dan beragam. Pengendalian konsumsi dari jumlah penduduk ini dapat didekati dengan pengaturan konsumsi per kapita. Oleh karena itu salah satu target Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 adalah peningkatan diversifikasi pangan. Selama tahun 2010-2014, konsumsi beras ditargetkan turun 1,5% per tahun yang diimbangi dengan peningkatan konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, buah-buahan dan sayuran. Menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Dalam upaya mengoperasionalisasikan konsep diversifikasi konsumsi pangan, Food dan Agricultural Organization-Regional Asia Pasific (FAO RAPA) pada tahun 1989 mengadakan pertemuan para ahli pangan dan gizi di Bangkok dengan merumuskan komposisi pangan yang ideal yang terdiri dari 57-68% dari karbohidrat, 10-13% dari protein, dan 20-30% dari lemak. Rumusan ini kemudian diimplementasikan dalam bentuk energi dari 9 kelompok pangan yang dikenal dengan istilah Pola Pangan Harapan. Selain itu juga diupayakan tercapainya pola konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman yang tercermin oleh meningkatnya skor Pola Pangan Harapan (PPH) dari 86.4 pada tahun 2010 menjadi 93.3 pada tahun 2014 (Renstra Kementerian Pertanian, 2010). Menurut Susenas 2011, Rata-rata asupan gizi penduduk berada di bawah standar anjuran (dengan skor pola pangan harapan 83.1 pada tahun 2007). Tingkat Pola Pangan Harapan (PPH) di Indonesia pada periode tahun 2009-2011 mengalami fluktuasi mulai dari 75.7 pada tahun 2009 naik menjadi 77.5 pada tahun 2010, kemudian turun lagi pada tahun 2011 menjadi 77.3 dan tingkat PPH pada tahun 2012 bahkan cenderung mengalami penurunan lagi. Pemerintah melalui kementerian Pertanian pada 2014, menargetkan secara nasional skor untuk PPH penganekaragaman pangan berbasis sumberdaya lokal dapat mencapai 93.3. Pada tahun 2012 persentase pengeluaran untuk makanan sebesar 51.08% dan non makanan sebesar 48.92%, Persentase pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan tahun 2012 terbesar adalah pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi yaitu sebesar 24.90%, disusul padi-padian sebesar 17.90%, tembakau dan sirih sebesar 12.07%, ikan sebesar 8.22%, sayur-sayuran sebesar 7.40%, telur dan susu sebesar 5.88%, sementara kelompok makanan lainnya kurang dari 5%. Data Susenas 1999 pola konsumsi pangan penduduk Indonesia masih jauh dari harapan dan belum memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Tingkat konsumsi energi baru mencapai 84.2% atau 1.852 kal/kapita/hari. Skor PPH yang sebesar 62.6 memperlihatkan pola konsumsi belum beragam karena masih didominasi kelompok padi-padian (56.3%) terutama beras (86.3%).
73
Kecenderungan penurunan konsumsi komoditi pangan sudah mulai terjadi antara tahun 1999-2004 saat pemerintah mencanagkan program diversifikasi. Namun, penurunan tersebut hanya berlaku pada komoditi beras dengan laju penurunan sebesar 4,2% pada periode 1999-2004. Menurut hasil analisis, pengurangan konsumsi rata-rata komoditi pangan strategis sebesar 5% pada tahun 2013 dan 2014 diharapkan dapat mengimbangi proyeksi produksi. Penekanan jumlah konsumsi dapat dilakukan dengan mengalihkan konsumsi masyarakat pada komoditi pangan lain sebagai penganti pemenuhan energi dengan gizi seimbang. Tabel 31 Sasaran skor Pola Pangan Harapan (PPH) Tahun 2010 2011 2012 Padi-padian 54.9 53.9 52.9 Umbi-umbian 5.0 5.2 5.4 Pangan hewani 9.6 10.1 10.6 Minyak dan lemak 10.1 10.1 10.1 Buah/Biji berminyak 2.8 2.9 2.9 Kacangan-kacangan 4.3 4.4 4.6 Gula 4.9 4.9 5.0 Sayur dan buah 5.2 5.4 5.5 Lain-lain 2.9 2.9 2.9 SKOR PPH 86.4 88.1 89.8 Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2013) Makanan
2013 51.9 5.6 11.1 10.0 2.9 4.7 5.0 5.7 2.9 91.5
2014 51.0 5.8 11.5 10.0 3.0 4.9 5.0 5.8 3.0 93.3
Pola Pangan Harapan (PPH) atau desirable dietery adalah suatu komposisi pangan yg seimbang untuk dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk. PPH dpt dinyatakan dalam bentuk komposisi energi (kalori) aneka ragam pangan dan komposisi berat (gram atau kg) aneka ragam pangan yang memenuhi kebutuhan penduduk. PPH mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Tujuan PPH adalah untuk menghasilkan suatu komposisi normal atau standar pangan dalam memenuhi kebutuhan gizi penddk. sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutricional balance), cita rasa (porlability), daya cerna (digestability), daya terima masy (acceptability), kualitas dan kemampuan daya beli (affeadebility). Pola pangan harapan merupakan suatu metode yang digunakan untuk, menilai jumlah dan komposisi atau ketersediaan pangan. Pola pangan harapan biasanya digunakan untuk perencanaan konsumsi, kebutuhan dan penyediaan pangan wilayah. Beberapa kegunaan analisis ini adalah : a. Menilai jumlah dan komposisi konsumsi atau ketersediaan pangan. b. Indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi atau ketersediaan pangan. c. Sebagai baseline data untuk mengestimasi kebutuhan pangan ideal di suatu wilayah. d. Sebagai baseline data untuk menghitung proyeksi penyediaan pangan ideal untuk suatu wilayah. e. Perencanaan konsumsi, kebutuhan dan peyediaan pangan wilayah. Untuk implentasinya, telah dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Menjadi acuan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melakukan perencanaan, penyelenggaraan, evaluasi,
74
dan pengendalian kegiatan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Di tingkat provinsi, kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti melalui surat edaran atau Peraturan Gubernur (Pergub), dan di tingkat kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan surat edaran atau Peraturan Bupati/Walikota (Perbup/Perwalikota)10. Sebagai bentuk keberlanjutan program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumber daya lokal tahun 2010, pada tahun 2013 program P2KP diimplementasikan melalui kegiatan: (1) Optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL); (2) Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L); serta (3) Sosialisasi dan Promosi P2KP.
10
Nugrayasa, Oktavio. 2013. Pola Pangan Harapan Sebagai Pengganti Ketergantungan Pada Beras [Internet]. [diunduh 2014 Januari 13]. Tersedia pada: http://www.setkab.go.id/artikel-7199-.html
75
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras dan jagung tahun 2013-2014, produksi beras dan jagung melebihi konsumsi dengan kata lain Indonesia akan mengalami surplus beras dan jagung. Surpus tersebut menunjukkan ketercapaian swasembada, tetapi belum mampu mencapai target produksi dari Kementrian Pertanian. Sedangkan hasil proyeksi produksi dan konsumsi kedelai tahun 2013-2014 Indonesia masih mengalami defisit kedelai serta belum mampu mencapai target produksi Kementrian Pertanian. Tidak semua variabel penduga dalam hipotesis berpengaruh secara signifikan pada produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis. Faktor-faktor yang memengaruhi produksi komoditi pangan strategis (beras, jagung, dan kedelai) adalah lahan panen dan anggaran litbang. Sedangkan faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi beras, jagung, dan kedelai adalah jumlah penduduk. Upaya kebijakan dalam rangka peningkatan swasembada komoditi pangan strategis, diantaranya perluasan areal tanam, meningkatkan anggaran litbang, serta pengaturan pola per kapita konsumsi penduduk.
Saran Terkait dengan hasil penelitian yang telah disampaikan, beberapa saran yang direkomendasikan penulis kepada berbagai pihak terkait dengan produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis seperti beras, jagung, dan kedelai yaitu: 1. Peningkatan perluasan areal dan pengelolaan lahan, khususnya di daerah sentra produksi beras, jagung, dan kedelai. 2. Kebijakan alokasi anggaran litbang yang ditetapkan pemerintah perlu ditingkatkan pada tanaman pangan strategis dalam rangka ketercapaian kegiatan swasembada. 3. Konsistensi masing-masing pihak (pemerintah pusat dan daerah, industri makanan, LSM, serta masarakat) sebagai bentuk keberlanjutan program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumber daya lokal sehingga pola pangan harapan Indonesia dapat sesuai dengan sasaran. 4. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan pengembangan proyeksi ketercapaian swasembada komoditi pangan yang berkelanjutan sehingga dapat diketahui kapan Indonesia dapat berswasembada secara bekelanjutan.
76
DAFTAR PUSTAKA
[Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Statistik Badan Litbang Pertanian 2012. Jakarta (ID): IAARD Press. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2009. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan Tahun 2010-2014. Jakarta (ID): Badan Ketahanan Pangan. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Data Strategis BPS. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [Kemendag] Kementrian Perdagangan. 2012. Harga-harga Komoditi Pertanian. Jakarta (ID): Pusat Hubungan Masyarakat dan Pusat Data dan Informasi Perdagangan. [Kementan] Kementrian Pertanian. 2012. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor Tanaman Padi. Jakarta (ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementrian Pertanian. [Kementan] Kementrian Pertanian. 2012. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor Tanaman Jagung. Jakarta (ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementrian Pertanian. [Kementan] Kementrian Pertanian. 2012. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor Tanaman Kedelai. Jakarta (ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementrian Pertanian. AAK. 2003. Budidaya Tanaman Padi. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius Aldillah R. 2006. Analisis Peramalan Permintaan dan Penawaran Jagung Nasional serta implikasinya Terhadap Strategi Pengembangan Agribisnis Jagung [Skripsi]. Bogor (ID): IPB. Al-Mudatsir MI. 2009. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Penawaran Kacang Kedelai di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB. Ambarinanti M. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Beras Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB. Arifin B. 2005. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta (ID): Pustaka LP3ES Indonesia. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series Seri Metode Kuantitatif. Bogor (ID): IPB Press. Gujarati D, Porter. 2009. Basic Econometrics International Edition. Ed ke-9. New York (US): Mc Graw-Hill . Hanke JE, Wichern DW, Reitsch AG. 2003. Peramalan Bisnis. Ed ke-7. Jakarta (ID): PT Prenhallindo. Hessie R. 2009. Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri Serta Implikasinya Terhadap Swasembada Beras di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB. Hill M. 2008. Makroekonomi. Ed ke-10. Jakarta (ID): PT Media Global Edukasi. Jumini. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Bawang Putih Impor di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
77
Lipsey RG, Steiner PC, Purvis DD. 1986. Bahan Kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro. Ed ke-2. Bogor (ID): Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Makridakis S, Wheelwright SC, McGee VE. 1999. Metode dan Aplikasi Peramalan. Ed ke-2. Jakarta (ID): PT Gelora Aksara Pratama. Mankiw NG. 2003. Teori Makroekonomi. Ed ke-5. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Maretha D. 2008. Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional serta Implikasinya Terhadap Strategi Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional [Skripsi]. Bogor (ID): IPB. Mulyana A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas Suatu Analisis Simulasi [Disertasi]. Bogor (ID): IPB. Nicholson W. 1998. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions. Ed ke-7. United States (US): The Dryden Press Harcourt Brace College Publishers. Priyanti D. 2012. Analisis Perilaku Permintaan Rumah Tangga dan Jumlah Pasokan Cabai Merah Keriting di DKI Jakarta [Skripsi]. Bogor (ID): IPB. Purnamasari R. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB. Rahardja P. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi. Ed ke-3. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rukmana R, Yuniarsih Y. 2001. Kedelai Budidaya dan Pascapanen. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius Salvatore D, Diulio E. 2009. Prinsip-prinsip Ekonomi. Ed ke-8. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Simatumpang, P. 2003. Justifikasi dan Metode Penetapan Komoditas Strategis. Jurnal Hlm 35-57. Siregar H. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta (ID): PT Sastra Hudaya Solahuddin S. 2009. Pertanian: Harapan Masa Depan Bangsa. Bogor (ID). IPB Press. Suswono. 2008. Menuju Kemandirian Pangan. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008. Hlm 18-19. Timor SD. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Jagung di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB. Warisno. 2004. Budidaya Jagung Hibrida. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius Yuwanita R. 2006. Analisis Kemungkinan Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional dengan Metode Peramalan Deret Waktu [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
78
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data yang digunakan dalam model ekonometrika Produksi Beras (Ribu Ton) 1970 14 206 1971 14 838 1972 14 252 1973 12 081 1974 12 629 1975 12 554 1976 13 100 1977 13 126 1978 14 489 1979 14 776 1980 16 670 1981 18 426 1982 18 881 1983 19 847 1984 21 440 1985 21 944 1986 22 334 1987 22 532 1988 23 430 1989 25 145 1990 25 400 1991 25 124 1992 27 121 1993 27 087 1994 26 222 1995 27 966 1996 28 770 1997 27 760 1998 27 681 1999 28 597 2000 28 149 2001 28 369 2002 28 948 2003 29 312 2004 30 409 2005 30 444 2006 30 615 2007 32 134 2008 33 915 2009 36 205 2010 37 369 2011 36 968 2012 38 767 1970-2012 24 187 1990-2012 30 145 2003-2012 33 614 2008-2012 36 645 Sumber : Data diolah (2013) Tahun
Pert. (%) 4.44 -3.94 -15.23 4.54 -0.60 4.34 0.20 10.38 1.98 12.82 10.53 2.47 5.12 8.03 2.35 1.78 0.88 3.99 7.32 1.01 -1.09 7.95 -0.12 -3.20 6.65 2.87 -3.51 -0.28 3.31 -1.57 0.78 2.04 1.26 3.74 0.12 0.56 4.96 5.54 6.75 3.22 -1.07 4.87 2.53 1.95 2.99 3.86
Produksi Jagung (Ribu Ton) 2 504 2 310 1 998 3 271 2 669 2 574 2 280 2 786 3 572 3 197 3 538 3 997 2 868 4 510 4 688 3 839 5 248 4 571 5 897 5 490 5 970 5 546 7 088 5 727 6 089 7 310 8 251 7 775 9 015 8 159 8 579 8 286 8 497 9 650 9 951 11 103 10 291 11 780 14 465 15 629 16 248 15 641 16 810 6 969 9 907 13 157 15 758
Pert. (%) -7.75 -1.51 63.71 -18.40 -3.59 -11.40 22.20 28.19 -10.50 10.68 12.98 -28.25 57.25 3.95 -18.12 36.72 -12.91 29.01 -6.90 8.74 -7.10 27.80 -19.20 6.33 20.05 12.87 -5.76 15.94 -9.49 5.14 -3.41 2.55 13.57 3.11 11.57 -7.31 14.46 22.80 8.05 3.96 -3.74 7.48 6.23 5.58 7.40 7.71
Produksi Kedelai (Ribu Ton) 497 515 518 541 589 589 521 522 616 679 652 703 521 536 769 869 1 226 1 160 1 270 1 315 1 487 1 555 1 869 1 708 1 564 1 680 1 517 1 346 1 305 1 382 1 017 826 637 671 723 808 747 592 775 974 907 851 783 938 1.118 783 858
Pert. (%) 3.62 0.58 4.44 8.87 0.00 -11.54 0.19 18.01 10.23 -3.98 7.82 -25.89 2.88 43.47 13.00 41.08 -5.38 9.48 3.54 13.08 4.57 20.19 -8.61 -8.43 7.42 -9.70 -11.27 -3.05 5.90 -26.41 -18.78 -22.88 5.34 7.75 11.76 -7.55 -20.75 30.91 25.68 -6.88 -6.17 -7.99 2.25 -1.13 3.21 7.11
79
Konsumsi Beras (Ribu Ton) 1970 16 286 1971 15 833 1972 15 873 1973 15 991 1974 16 075 1975 15 685 1976 15 752 1977 15 905 1978 15 803 1979 16 329 1980 16 483 1981 17 642 1982 16 262 1983 16 446 1984 17 142 1985 23 058 1986 25 724 1987 26 507 1988 25 666 1989 27 230 1990 28 256 1991 28 358 1992 28 414 1993 29 109 1994 28 966 1995 28 196 1996 29 256 1997 28 297 1998 26 666 1999 32 406 2000 33 516 2001 35 314 2002 35 130 2003 35 919 2004 36 124 2005 36 459 2006 36 560 2007 35 387 2008 37 273 2009 36 863 2010 36 834 2011 38 106 2012 37 793 1970-2012 26 300 1990-2012 33 009 2003-2012 36 732 2008-2012 37 374 Sumber : Data diolah (2013) Tahun
Pert. (%) -2.78 0.25 0.74 0.53 -2.42 0.43 0.97 -0.64 3.33 0.94 7.03 -7.82 1.14 4.23 34.52 11.56 3.04 -3.17 6.09 3.77 0.36 0.20 2.44 -0.49 -2.66 3.76 -3.28 -5.77 21.53 3.43 5.36 -0.52 2.24 0.57 0.93 0.28 -3.21 5.33 -1.10 -0.08 3.45 -0.82 2.23 1.55 0.76 1.36
Konsumsi Jagung (Ribu Ton) 3 084 2 832 2 591 5 109 3 607 3 678 3 125 4 022 5 902 4 725 4 705 4 638 3 035 5 299 5 573 7 746 6 930 5 976 5 932 5 654 6 673 6 805 7 008 6 176 7 727 9 473 9 371 9 134 8 406 7 871 9 287 8 759 9 151 11 217 12 501 12 798 12 423 16 928 15 414 15 716 16 664 12 474 15 638 7 948 10 766 14 177 15 181
Pert. (%) -8.19 -8.51 97.19 -29.40 1.97 -15.03 28.71 46.75 -19.96 -0.40 -1.42 -34.57 74.59 5.17 38.99 -10.53 -13.77 -0.73 -4.69 18.03 1.98 2.98 -11.87 25.12 22.60 -1.08 -2.53 -7.97 -6.37 17.99 -5.69 4.48 22.57 11.45 2.38 -2.93 36.26 -8.95 1.96 6.04 -25.14 25.36 6.50 5.51 6.90 -0.15
Konsumsi Kedelai (Ribu Ton) 627 674 723 773 826 880 937 995 1 055 1 116 1 177 1 246 1 314 1 383 1 212 1 273 1 335 1 398 1 462 1 527 1 590 1 647 1 962 1 867 1 713 1796 1 877 1 972 2 096 1 472 1 451 1 588 1 720 1 706 1 554 1 643 1 836 1 919 1 680 1 668 1 672 1 789 1 730 1 439 1 737 1 720 1 708
Pert. (%) 7.48 7.25 7.00 6.80 6.58 6.40 6.21 6.03 5.85 5.42 5.85 5.44 5.29 -12.36 5.01 4.87 4.72 4.59 4.45 4.08 3.64 19.08 -4.84 -8.23 4.87 4.50 5.06 6.28 -29.78 -1.40 9.44 8.27 -0.79 -8.94 5.74 11.73 4.55 -12.48 -0.71 0.25 6.99 -3.28 2.78 1.05 0.31 -1.85
80
Luas Panen (Ribu Ha) Tahun Padi
Jagung
1980 9 005 2 735 1981 9 382 2 955 1982 8 988 2 061 1983 9 162 3 002 1984 9 764 3 086 1985 9 902 2 440 1986 9 988 3 143 1987 9 923 2 626 1988 10 138 3 406 1989 10 521 2 944 1990 10 465 3 158 1991 10 256 2 909 1992 11 084 3 629 1993 10 994 2 940 1994 10 718 3 109 1995 11 421 3 652 1996 11 550 3 744 1997 11 126 3 355 1998 11 716 3 848 1999 11 963 3 456 2000 11 794 3 500 2001 11 490 3 286 2002 11 521 3 109 2003 11 488 3 359 2004 11 923 3 357 2005 11 839 3 626 2006 11 786 3 346 2007 12 148 3 630 2008 12 327 4 002 2009 12 884 4 161 2010 13 253 4 132 2011 13 204 3 865 2012 13 472 3 967 Sumber : Data diolah (2013)
Kedelai 732 810 608 640 859 896 1 254 1 101 1 177 1 198 1 334 1 368 1 666 1 470 1 407 1 477 1 279 1 119 1 095 1 151 824 679 545 527 565 622 581 459 591 723 661 622 571
Curah Hujan (mm) 2 709 2 582 2 428 2 232 2 674 2 227 2 461 2 266 2 752 2 904 2 411 2 169 1 938 2 178 1 512 1 698 1 846 1 551 1 875 1.536 1 821 3 095 2 750 1 470 2 359 1 266 1 296 2 391 2 206 2 392 2 206 2 283 2 278
Anggaran Litbang (Rp juta) 177 413 625 815 981 1 124 1 243 1 340 1 414 1 464 1 491 1 513 2 484 2 613 3 114 3 709 4 731 4 919 8 110 11 300 14 491 17 681 20 872 26 686 32 396 38 855 49 814 50 879 44 482 61 403 74 353 56 782 79 037
Jumlah Varietas Unggul (Tanaman) Padi 5 7 1 21 7 21 15 10 4 15 0 10 6 2 6 3 6 2 1 15 54 33 16 12 3 1 2 7 6 13 20 26 12
Jagung
Kedelai
1 3 0 4 0 8 1 0 0 3 0 1 6 0 0 8 9 13 10 31 15 43 6 2 2 0 1 3 3 15 11 8 1
0 1 2 1 1 1 2 2 1 5 0 4 0 4 0 3 1 0 6 31 1 9 4 2 3 2 0 0 3 0 1 1 1
81
Jumlah Harga (Rp) Penduduk (Ribu jiwa) Beras Jagung Kedelai 1980 147 490 197 119 272 1981 151 107 224 132 304 1982 154 347 250 146 340 1983 157 610 300 161 380 1984 160 879 323 158 528 1985 164 131 318 164 559 1986 167 350 343 180 656 1987 170 530 383 224 761 1988 173 671 466 250 845 1989 176 770 493 265 860 1990 179 379 519 290 1 015 1991 181 384 558 318 1 117 1992 184 491 604 324 1 100 1993 187 589 592 351 1 192 1994 190 676 660 415 1 285 1995 193 750 776 498 1 291 1996 196 807 885 528 1 343 1997 197 410 1 064 560 1 463 1998 200 327 2 099 1 089 3 404 1999 203 456 2 666 1 381 4 073 2000 206 265 2 424 1 466 3 479 2001 208 900 2 537 1 746 3 979 2002 212 000 2 826 2 002 4 283 2003 215 200 2 786 1 738 3 766 2004 219 200 2 851 1 700 4 018 2005 225 100 3 479 1 896 4 661 2006 228 500 4 179 2 163 4 741 2007 229 900 5 031 2 630 5 005 2008 230 980 5 288 3 573 7 385 2009 234 430 5 705 3 868 8 657 2010 237 641 6 755 4 205 8 475 2011 240 780 7 379 4 885 8 814 2012 240 200 8 057 5 258 9 228 Sumber : Data diolah (2013)
Produksi Dunia (Ribu Ton) Beras
Jagung
Kedelai
GDP (Rp T)
459 595 465 177 470 827 476 545 482 333 488 192 494 121 500 123 506 197 512 345 518 568 518 701 528 568 531 000 538 921 547 430 568 914 576 989 579 192 610 948 599 355 599 828 571 386 587 068 607 990 634 392 641 239 657 149 689 043 684 779 672 015 667 974 675 990
396 623 446 772 448 933 347 082 450 449 485 527 478 176 453 115 403 050 476 874 483 372 494 465 533 586 476 770 569 012 517 296 589 270 585 513 615 804 607 177 592 479 615 533 604 861 645 171 728 965 713 609 706 832 789 524 826 806 819 210 840 308 882 323 926 440
81 040 88 525 92 122 79 467 90 753 101 157 94 446 100 103 93 522 107 254 108 456 103 323 114 461 115 148 136 449 126 950 130 206 144 358 160 136 157 779 161 290 178 245 181 678 190 658 205 514 214 483 221 915 219 677 231 218 222 989 261 578 258 267 269 631
49 53 54 59 63 65 69 73 77 84 92 100 107 115 124 134 144 151 131 132 139 165 182 201 230 277 334 395 495 561 645 742 824
Tahun
82
Lampiran 2 Output analisis metode ARIMA untuk peramalan produksi beras Indonesia Estimates at each iteration Iteration 0 1 2 3
SSE 35605494 35599631 35599615 35599614
Parameters 0,100 526,397 0,112 522,432 0,113 522,280 0,113 522,273
Relative change in each estimate less than 0,0010 Final Estimates of Parameters Type AR 1 Constant
Coef 0,1126 522,3
SE Coef 0,1605 145,7
T 0,70 3,59
P 0,487 0,001
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 43, after differencing 42 Residuals: SS = 35599591 (backforecasts excluded) MS = 889990 DF = 40 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 10,2 10 0,424
24 26,0 22 0,252
36 42,9 34 0,141
48 * * *
Forecasts from period 43 95 Percent Period 44 45
Limits Lower Upper 37642,5 41341,4 37329,1 42862,6
Forecast 39491,9 40095,9
Actual
Residual Plots for PB Residuals Versus the Fitted Values
99
2000
90
1000
Residual
Percent
Normal Probability Plot of the Residuals
50 10 1
0 -1000 -2000
-2000
-1000
0 Residual
1000
2000
15000
Histogram of the Residuals
20000 25000 30000 Fitted Value
35000
Residuals Versus the Order of the Data 2000 1000
Residual
Frequency
8 6 4 2 0
0 -1000 -2000
-2000
-1000 0 Residual
1000
1
5
10
15 20 25 30 Observation Order
35
40
83
Lampiran 3 Output analisis metode double exponential smoothing untuk peramalan konsumsi beras Indonesia
Residual Plots for KB Normal Probability Plot of the Residuals 90
4000
50 10
Smoothing Constants Alpha (level) Gamma (trend)
6000
Residual
PJ 43
Percent
Data Length
Residuals Versus the Fitted Values
99
2000 0 -2000
1
-2000
0,579359 0,145900
0
2000 Residual
4000
6000
20000
Histogram of the Residuals
30000 Fitted Value
40000
Residuals Versus the Order of the Data 6000
20
13 708 720278
4000 Residual
MAPE MAD MSD
Frequency
Accuracy Measures
15 10 5 0
2000 0 -2000
-2000
0
2000 Residual
4000
6000
1
5
10
15 20 25 30 Observation Order
35
40
Forecasts Period 44 45
Forecast 17521,8 18222,5
Lower 15788,4 16177,0
Upper 19255,2 20268,0
Lampiran 4 Output analisis metode double exponential smoothing untuk peramalan produksi jagung Indonesia
Residual Plots for PJ
2000
50
1 -2000
0,579359 0,145900
13 708 720278
-1000
Forecast 17521,8 18222,5
2000
0
4000
8000 12000 Fitted Value
16000
Residuals Versus the Order of the Data 2000
9 6 3
1000 0 -1000
-1000 -500
0
500
1000 1500 2000 2500
Residual
Lower 15788,4 16177,0
0
3000
Forecasts Period 44 45
0 1000 Residual
Histogram of the Residuals
0
1000
-1000
12 Frequency
Accuracy Measures MAPE MAD MSD
90
10
Smoothing Constants Alpha (level) Gamma (trend)
3000
Residual
PJ 43
Residuals Versus the Fitted Values
99
Residual
Data Length
Percent
Normal Probability Plot of the Residuals
Upper 19255,2 20268,0
1
5
10
15 20 25 30 Observation Order
35
40
84
Lampiran 5 Output analisis Metode ARIMA untuk peramalan konsumsi jagung Indonesia Estimates at each iteration Iteration
SSE
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Parameters
93006634 0,100 79274614 -0,050 77482794 0,036 75961679 0,127 74819393 0,230 74664645 0,268 74648727 0,281 74646413 0,287 74646068 0,289 74646032 0,290 74646032 0,290
0,100 0,250 0,400 0,550 0,700 0,745 0,759 0,764 0,766 0,766 0,767
269,104 293,655 275,617 256,358 232,102 221,441 217,903 216,525 215,949 215,702 215,704
Relative change in each estimate less than 0,0010 Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1 Constant
Coef 0,2900 0,7066 215,70
SE Coef 0,2512 0,1700 50,19
T 1,15 4,51 4,30
P 0,255 0,000 0,000
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 43, after differencing 42 Residuals: SS = 74486734 (backforecasts excluded) MS = 1909916 DF = 39 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) ChiSquare statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 9,7 9 0,375
24 17,7 21 0,665
36 38,1 33 0,250
48 * * *
Forecasts from period 43 95 Percent Period Actual 44 45
Limits Lower Upper
Forecast 15763,9 16016,1
13054,6 12958,2
18473,1 19074,0
Residual Plots for KJ Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
4000 Residual
Percent
90 50
1 -4000
-2000
0 Residual
2000
-4000
4000
Histogram of the Residuals
5000
10000 Fitted Value
15000
Residuals Versus the Order of the Data
16
4000
12
Residual
Frequency
0 -2000
10
8 4 0
2000
2000 0 -2000
-4000
-2000
0 Residual
2000
4000
-4000
1
5
10
15 20 25 30 Observation Order
35
40
85
Lampiran 6 Output analisis metode single exponential smoothing untuk peramalan produksi kedelai Indonesia
Residual Plots for PK
PK 43
Residuals Versus the Fitted Values
99
400
90
200
Residual
Data Length
Percent
Normal Probability Plot of the Residuals
50 10 1 -400
-200
Smoothing Constant
0 Residual
200
-400
400
Histogram of the Residuals
Accuracy Measures MAPE MAD MSD
11,5 107,0 19468,9
400
12
200
8 4 0
-400 -300 -200 -100 0 Residual
100
200
500
1000 1500 Fitted Value
2000
Residuals Versus the Order of the Data
16
Residual
1,13322 Frequency
Alpha
0 -200
0 -200 -400
300
1
5
10
15 20 25 30 Observation Order
35
40
Forecasts Period 44 45
Forecast 774,722 774,722
Lower 512,616 512,616
Upper 1036,83 1036,83
Lampiran 7 Output analisis metode double exponential smoothing untuk peramalan konsumsi kedelai Indonesia KK 43
Residual Plots for KK Normal Probability Plot of the Residuals
Smoothing Constants
50 10 1
Accuracy Measures 6,3 92,3 19358,2
-400
Forecast 1755,30 1773,25
Lower 1529,07 1451,76
-400
200
500
1000
1500 Fitted Value
2000
Residuals Versus the Order of the Data 200
15 10 5
0 -200 -400 -600
-600
-400
Forecasts Period 44 45
-200 0 Residual
Histogram of the Residuals
0
0 -200
-600 -600
20
Frequency
MAPE MAD MSD
Residual
0,890233 0,012814
200
90
Percent
Alpha (level) Gamma (trend)
Residuals Versus the Fitted Values
99
Residual
Data Length
Upper 1981,54 2094,74
-200 Residual
0
200
1
5
10
15 20 25 30 Observation Order
35
40
86
Lampiran 8 Output analisis regresi produksi beras di Indonesia The regression equation is PB = - 4,83 + 1,58 LB + 0,0199 CH + 0,0182 AL - 0,000980 VB Predictor Constant LB CH AL VB
Coef -4,827 1,5814 0,01993 0,01820 -0,0009802
S = 0,0392284
SE Coef 1,641 0,1840 0,03261 0,01183 0,0006605
R-Sq = 96,9%
PRESS = 0,0589947
T -2,94 8,60 0,61 1,54 -1,48
P 0,007 0,000 0,546 0,035 0,149
VIF 8,8 1,2 9,0 1,1
R-Sq(adj) = 96,4%
R-Sq(pred) = 95,70%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source LB CH AL VB
DF 1 1 1 1
DF 4 28 32
SS 1,33043 0,04309 1,37352
MS 0,33261 0,00154
F 216,14
P 0,000
Seq SS 1,32402 0,00001 0,00300 0,00339
Unusual Observations Obs 1 2 12 21
LB 9,11 9,15 9,24 9,38
PB 9,7214 9,8215 10,1316 10,2453
Fit 9,8197 9,8970 10,0551 10,2705
SE Fit 0,0158 0,0129 0,0088 0,0299
Residual -0,0983 -0,0755 0,0765 -0,0252
St Resid -2,74R -2,04R 2,00R -0,99 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Durbin-Watson statistic = 1,784655 Lack of fit test Possible curvature in variable LB Possible curvature in variable AL
(P-Value = 0,011 ) (P-Value = 0,000 )
Overall lack of fit test is significant at P = 0,000
Residual Plots for PB Residuals Versus the Fitted Values 0,10
90
0,05
Residual
Percent
Normal Probability Plot of the Residuals 99
50 10 1
-0,05
0,00 Residual
0,05
0,10
9,8
10,0
10,2 Fitted Value
10,4
10,6
Residuals Versus the Order of the Data 0,10
Residual
12
Frequency
-0,05 -0,10
-0,10
Histogram of the Residuals
9 6 3 0
0,00
0,05 0,00 -0,05 -0,10
0 5 00 75 50 25 00 02 ,1 ,0 ,0 ,0 0, 0, -0 -0 -0 -0 Residual
0 05 0,
5 07 0,
1
5
10 15 20 25 Observation Order
30
87
Lampiran 9 Output analisis regresi produksi jagung di Indonesia The regression equation is PJ = - 3,67 + 1,26 LJ + 0,107 CH + 0,181 AL - 0,00273 VJ Predictor Constant LJ CH AL VJ
Coef -3,6666 1,2609 0,10658 0,181184 -0,002727
S = 0,0603261
SE Coef 0,8892 0,1028 0,04884 0,009288 0,001211
R-Sq = 98,6%
PRESS = 0,138010
T -4,12 12,27 2,18 19,51 -2,25
P 0,000 0,000 0,038 0,000 0,032
VIF 2,2 1,1 2,3 1,1
R-Sq(adj) = 98,3%
R-Sq(pred) = 98,04%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source LJ CH AL VJ
DF 1 1 1 1
DF 4 28 32
SS 6,9548 0,1019 7,0567
MS 1,7387 0,0036
F 477,77
P 0,000
Seq SS 5,5555 0,0116 1,3693 0,0185
Unusual Observations Obs 22 32
LJ 8,10 8,26
PJ 9,0223 9,6576
Fit 9,0545 9,5335
SE Fit 0,0475 0,0195
Residual -0,0322 0,1241
St Resid -0,87 X 2,17R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Durbin-Watson statistic = 1,78939 No evidence of lack of fit (P >= 0,1).
Residual Plots for PJ Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99 0,10
Residual
Percent
90 50 10 1
0,05 0,00 -0,05 -0,10
-0,10
-0,05
0,00 Residual
0,05
0,10
8,0
Histogram of the Residuals
8,4
8,8 9,2 Fitted Value
9,6
Residuals Versus the Order of the Data
8
Residual
Frequency
0,10 6 4 2 0
0,05 0,00 -0,05 -0,10
-0,10
-0,05
0,00 0,05 Residual
0,10
1
5
10 15 20 25 Observation Order
30
88
Lampiran 10 Output analisis regresi produksi kedelai di Indonesia The regression equation is PK = - 1,83 + 1,15 LK + 0,0195 CH + 0,0937 AL - 0,00132 VK Predictor Constant LK CH AL VK
Coef -1,8299 1,14786 0,01953 0,093690 -0,001318
S = 0,0405935
SE Coef 0,3821 0,02430 0,03449 0,005432 0,001355
R-Sq = 99,0%
PRESS = 0,0681873
T -4,79 47,24 0,57 17,25 -0,97
P 0,000 0,000 0,576 0,000 0,339
VIF 1,6 1,2 1,8 1,1
R-Sq(adj) = 98,8%
R-Sq(pred) = 98,45%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source LK CH AL VK
DF 1 1 1 1
DF 4 28 32
SS 4,3599 0,0461 4,4060
MS 1,0900 0,0016
F 661,46
P 0,000
Seq SS 3,7672 0,0974 0,4937 0,0016
Unusual Observations Obs 1 4 20
LK 6,60 6,46 7,05
PK 6,48004 6,28413 7,23129
Fit 6,38112 6,36397 7,23752
SE Fit 0,02047 0,01686 0,03828
Residual 0,09892 -0,07984 -0,00623
St Resid 2,82R -2,16R -0,46 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Durbin-Watson statistic = 1,85562 No evidence of lack of fit (P >= 0,1).
Residual Plots for PK Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
0,10
Residual
Percent
90 50
0,05 0,00 -0,05
10 1 -0,10
-0,05
0,00 Residual
0,05
-0,10
0,10
Histogram of the Residuals
6,5
7,0 Fitted Value
7,5
Residuals Versus the Order of the Data 0,10
6
Residual
Frequency
8
4
0,00 -0,05
2 0
0,05
-0,10
75 50 25 ,0 ,0 ,0 -0 -0 -0
0 00 0,
5 02 0,
Residual
0 05 0,
5 07 0,
0 10 0,
1
5
10 15 20 25 Observation Order
30
89
Lampiran 11 Output analisis regresi konsumsi beras di Indonesia The regression equation is KB = - 30,7 + 3,90 JP - 0,138 HB + 0,355 PDB + 0,156 GDP Predictor Constant JP HB PDB GDP
Coef -30,717 3,8964 -0,13794 0,3553 -0,15646
S = 0,0777344
SE Coef 8,353 0,5459 0,06644 0,7148 0,06115
T -3,68 7,14 -2,08 0,50 -2,56
R-Sq = 92,5%
PRESS = 0,222540
P 0,001 0,000 0,047 0,623 0,016
VIF 3,2 3,8 4,0 1,2
R-Sq(adj) = 91,5%
R-Sq(pred) = 90,17%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source JP HB PDB GDP
DF 1 1 1 1
DF 4 28 32
SS 2,09584 0,16919 2,26503
MS 0,52396 0,00604
F 86,71
P 0,000
Seq SS 1,97185 0,07264 0,01178 0,03956
Unusual Observations Obs 5
JP 12,0
KB 9,7493
Fit 9,8992
SE Fit 0,0247
Residual -0,1499
St Resid -2,03R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,838268 Lack of fit test Possible interaction in variable JP (P-Value = 0,063 ) Possible interaction in variable PDB (P-Value = 0,073 ) Possible interaction in variable GDP
(P-Value = 0,029 )
Overall lack of fit test is significant at P = 0,029
Residual Plots for KB Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99 0,1
Residual
Percent
90 50 10
-0,1
1 -0,2
-0,1
0,0 Residual
0,1
0,2
9,8
Histogram of the Residuals
10,4
10,6
0,1
6
Residual
Frequency
10,0 10,2 Fitted Value
Residuals Versus the Order of the Data
8
4 2 0
0,0
0,0 -0,1
-0,16 -0,12 -0,08 -0,04 0,00
Residual
0,04
0,08
0,12
1
5
10 15 20 25 Observation Order
30
90
Lampiran 12 Output analisis regresi konsumsi jagung di Indonesia The regression equation is KJ = - 24,2 + 2,37 JP - 0,135 HJ + 0,344 PDJ + 0,160 GDP Predictor Constant JP HJ PDJ GDP
Coef -24,24 2,3652 -0,1354 0,3444 0,1597
S = 0,150108
SE Coef 10,90 0,9088 0,1075 0,4053 0,1349
T -2,22 2,60 -1,26 0,85 1,18
R-Sq = 88,9%
PRESS = 0,947920
P 0,034 0,015 0,218 0,403 0,246
VIF 5,4 4,8 4,9 7,2
R-Sq(adj) = 87,3%
R-Sq(pred) = 83,27%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source JP HJ PDJ GDP
DF 1 1 1 1
DF 4 28 32
SS 5,0354 0,6309 5,6663
MS 1,2589 0,0225
F 55,87
P 0,000
Seq SS 4,9278 0,0066 0,0694 0,0316
Unusual Observations Obs 3 6
JP 11,9 12,0
KJ 8,0180 8,9549
Fit 8,4647 8,6507
SE Fit 0,0662 0,0579
Residual -0,4468 0,3043
St Resid -3,32R 2,20R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,79243 Possible lack of fit at outer X-values (P-Value = 0,094) Overall lack of fit test is significant at P = 0,094
Residual Plots for KJ Residuals Versus the Fitted Values 0,4
90
0,2
Residual
Percent
Normal Probability Plot of the Residuals 99
50 10 1
-0,4 -0,4
-0,2
0,0 Residual
0,2
0,4
8,5
Histogram of the Residuals
9,5
Residuals Versus the Order of the Data 0,2
9
Residual
Frequency
9,0 Fitted Value
0,4
12
6 3 0
0,0 -0,2
0,0 -0,2 -0,4
-0,4 -0,3 -0,2 -0,1 0,0 Residual
0,1
0,2
0,3
1
5
10 15 20 25 Observation Order
30
91
Lampiran 13 Output analisis regresi konsumsi kedelai di Indonesia The regression equation is KK = - 31,2 + 3,78 JP - 0,208 HK + 0,463 PDK + 0,0720 GDP Predictor Constant JP HK PDK GDP
Coef -31,239 3,7801 -0,20809 0,4626 0,07202
S = 0,0920790
SE Coef 8,088 0,7450 0,08898 0,2369 0,07507
R-Sq = 67,8%
PRESS = 0,340244
T -3,86 5,07 -2,34 1,95 0,96
P 0,001 0,000 0,027 0,061 0,346
VIF 4,4 3,5 3,3 1,2
R-Sq(adj) = 63,2%
R-Sq(pred) = 53,90%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source JP HK PDK GDP
DF 1 1 1 1
DF 4 28 32
SS 0,50061 0,23740 0,73801
MS 0,12515 0,00848
F 14,76
P 0,000
Seq SS 0,34523 0,08594 0,06164 0,00780
Unusual Observations Obs 19
JP 12,2
KK 7,6479
Fit 7,3209
SE Fit 0,0413
Residual 0,3270
St Resid 3,97R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,73353 Lack of fit test Possible curvature in variable JP (P-Value = 0,044 ) Possible curvature in variable HK (P-Value = 0,010 ) Overall lack of fit test is significant at P = 0,010
Residual Plots for KK Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
0,3
Residual
Percent
90 50 10 1
0,2 0,1 0,0 -0,1
-0,2
0,0
0,2
0,4
7,1
Residual
Histogram of the Residuals
7,3 7,4 Fitted Value
7,5
Residuals Versus the Order of the Data
16
0,3
12
Residual
Frequency
7,2
8 4
0,2 0,1 0,0 -0,1
0
-0,1
0,0
0,1 Residual
0,2
0,3
1
5
10 15 20 25 Observation Order
30
92
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 11 November 1988 dari Bapak Mohamad Tho’at dan Ibu Soelasih. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN C Demaan III Kudus pada tahun 2001. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri 1 Kudus sampai tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SMA Negeri 1 Kudus dan lulus tahun 2007. Tahun 2008 penulis lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru IPB melalui jalur reguler dan diterima pada Program Studi Diploma III Manajemen Agribisnis dan lulus pada tahun 2011. Kemudian penulis kembali melanjutkan pendidikan di Program Alih Jenis Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor pada tahun 2011. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, seperti aktif dalam kegiatan organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Diploma masa bakti 2009-2010. Penulis turut berkontribusi sebagai sekretaris devisi pendidikan Mipro AKMAPESA IPB tahun 2009-2010, dan organisasi mahasiswa daerah yang bernama Keluarga Kudus Bogor Menara Kota (KKB-MK). Selain itu, penulis mendapat kesempatan mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) yang didanai oleh DIKTI pada tahun 2011. Saat ini, penulis bergabung dalam organisasi Himpunan Alumni Keluarga Kudus Bogor (HA KKB) dan Ikatan Keluarga AKMAPESA (IKAMA).