Rubrik Utama
MP3EI DAN SWASEMBADA PANGAN BERKELANJUTAN Oleh: Ir. Tri Bastuti Purwantini Peneliti Muda Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor
Agrimedia Agrimedia
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
23 23
Pada tanggal 27 Mei 2011, Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011, telah menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menjadi pedoman pembangunan ekonomi Indonesia hingga tahun 2025. Kehadiran proyek program MP3EI, dapat memberikan nuansa baru pada perekonomian nasional (Anas, 2013). Hal ini bisa dilihat dengan kemajuan perekonomian nasional yang cukup menggembirakan, antara lain Indonesia semakin kuat dalam tingkat pertumbuhan perekonomian. MP3EI merupakan suatu konsep yang komprehensif dengan memadukan berbagai potensi wilayah Indonesia dengan berbagai dinamikanya. Dengan demikian diharapkan MP3EI dapat meningkatkan kegiatan ekonomi melalui investasi untuk memacu produksi dengan penyediaan fasilitas ekonomi. Program MP3EI mengimplikasikan bahwa berbagai kebijakan, bila sesuai rencana, tiap-tiap koridor akan menjadi kawasan ekonomi yang kuat, menjadi penghubung antar kawasan, menarik bagi investor, yang pada akhirnya dapat terjadi trickle down effect (Hermanto et al, 2013). Konsep ini menciptakan pusat pertumbuhan sentralistik yang terus dikembangkan dan diharapkan akan memberikan efek tetesantetesan perkembangan ekonomi ke orde yang lebih rendah, kemudian seterusnya tetesan ini akan sampai pada orde terendah. Berbagai upaya masih diperlukan mengingat koridor Jawa sebagai penyangga pangan nasional, yang menyumbangkan sekitar 55% terhadap produksi pangan nasional. Disisi lain dalam rencana program MP3EI, Koridor Jawa diarahkan sebagai pendorong industri dan jasa nasional. Sementara koridor lain yang memposisikan pertanian sebagai prioritas adalah Sulawesi dan Papua, yang menjadi pertanyaan bagaimana posisi dan peranan
24 24
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
petanian di koridor tersebut ke depan, apakah akan menggeser Jawa, dan menggantikan perannya sebagai sentra pangan. Peluang lain perlu dilihat, Haryono (2012) menyatakan bahwa salah satu potensi bagi pemenuhan pangan ke depan adalah pada lahan suboptimal yang banyak terdapat di Kalimantan. Sementara pada koridor ini perhatian lebih banyak pada usaha pertambangan serta sumber energi lainnya, sehingga dalam beberapa hal tidak sejalan dengan pengembangan pertanian. Oleh karena itu, untuk antisipasi ke depan bagaimana mensinkronkan berbagai pusat produksi, sehingga pertanian dapat terus berkembang terutama di Koridor Sulawesi yang diarahkan ke pusat produksi dan pengolahan pertanian, hal ini merupakan tantangan bagi koridor ini dapat belajar dari kasus di Jawa. Terkait dengan program swasembada pangan yang merupakan salah satu target sukses Kementerian Pertanian (2010-2014), dapat dicapai dengan memperhatikan arah pembangunan khususnya pembangunan pertanian di maising-masing koridor. Capaian dan keberlanjutan swasembada pangan di tingkat nasional sangat tergantung dengan kondisi produksi pangan di wilayah sentra produksi. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis peran pembangunan sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi Indonesia dan menganalisis kondisi ketahanan pangan dari sisi swasembada pangan utama (padi, jagung, kedelai, gula ,dan daging sapi). Selain itu juga menganalisis sampai sejauhmana capaian saat ini dan prospeknya dikaitkan dengan pengembangan program MP3EI yang menempatkan prioritas pembangunan ekonomi yang meliputi enam koridor ekonomi. Dalam konteks MP3EI, ingin mempelajari arah dan pengembangan pangan untuk mencapai dan mempertahankan swasembada pangan berkelanjutan.
Agrimedia Agrimedia
Rubrik Utama Pembangunan Pertanian dan Ekonomi Pangan dalam Konteks MP3EI
kunci utama keberhasilan mewujudkan Indonesia yang Bermartabat, Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur.
Pembangunan pertanian merupakan syarat mutlak bagi pembangunan nasional, khususnya di Negara dunia ketiga (Todaro, 2003). Mengutip dari ringkasan eksekutif dokumen SIPP (Strategi Induk Pembangunan Pertanian) 2013-2045 diungkapkan bahwa Paradigma Pertanian untuk Pembangunan (Agriculture for Development) menyatakan bahwa pembangunan perekonomian nasional dirancang dan dilaksanakan berdasarkan tahapan pembangunan pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai motor penggerak pembangunan (Kementerian Pertanian, 2012). Dalam konteks ini penempatan kedudukan (positioning) sektor pertanian dalam pembangunan nasional merupakan
Pembangunan pertanian memiliki peranan strategis dalam pembangunan nasional dan regional. Peranan tersebut antara lain dalam pengembangan dan penumbuhan ketahanan pangan, produk domestik bruto (PDB), kesempatan kerja, sumber pendapatan, serta perekonomian Regional dan Nasional. Selain itu sektor pertanian berperan sebagai penarik pertumbuhan industri hulu dan pendorong pertumbuhan industri hilir. Kontribusi sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi nasional cukup besar, walaupun pangsanya cenderung menurun. Tabel 1 menjelaskan perkembangan indikator makro pertanian, 2010–2012.
Tabel 1. Capaian Indikator Makro Pertanian Indonesia, 2010–2012 Indikator Makro
2010
2011
2012*)
Konstribusi PDB pertanian (luas) terhadap PDB Nasional
15,31
14,72
14,44
Konstribusi PDB pertanian (sempit) terhadap PDB Nasional
11,46
10,96
10,44
Neraca Perdagangan (US$ miliar)
18,54
22,76
16,69
7 357,0
9 614,5
6 311,7
755,6
1 246,1
1 286,9
41,49
39,33
38,88
Investasi Pertanian 1. PMDN (Rp Milyar) 2. PMA (Rp Milyar) Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian 1. Jumlah tenaga kerja (juta) 2. % terhadap total Angkatan Kerja Nilai Tukar Petani (NTP)
Sumber : Setjen Kementan, 2013 Ket *) Data PDB 2012 data sangat sementara 2012 Data Neraca Perdagangan Investasi dan Tenaga kerja per September 2012
35,6
33,5
32,9
102,75
104,58
105,76
Data NTP 2012 per Oktober 2012
Agrimedia Agrimedia
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
25 25
Tampak bahwa konstribusi pertanian dalam arti luas (termasuk kehutanan dan perikanan/kelautan) menunjukkan trend yang menurun, begitu juga pertanian dalam arti sempit (subsektor pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan dan peternakan serta hasil-hasilnya) laju penurunannya lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian dalam arti luas. Dapat dikatakan bahwa subsektor kehutanan dan perikanan meningkat selama kurun 2010–2012. Hal ini menujukkan bahwa penurunan konstribusi pertanian terutama berasal dari subsektor pertanian tanaman pangan, perkebunan dan peternakan serta hasil-hasilnya, penurunan kontribusi ini antara lain karena nilai tambah di subsektor tersebut relatif kecil dibandingkan subsektor kehutanan dan perikanan/kelautan. Seiring dengan penurunan konstribusi pertanian terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian juga menurun, penurunan ini antara lain para angkatan kerja muda semakin enggan bekerja di pertanian, selain karena produktivitas kerja di sektor semakin menurun (Susilowati et al, 2012). Neraca perdagangan di sektor pertanian berfluktuasi tetapi cenderung menurun, hal ini karena pada beberapa kasus komoditas pertanian masih net impor. Sementara untuk nilai investasi berfluktuasi, dengan dicanangkannya proyek MP3EI diharapkan akan menarik minat para investor untuk berusahan di sektor pertanian.
26 26
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
Disisi lain hasil kajian Mayrowani (2012) mengungkapkan bahwa pembangunan pertanian dianggap oleh sebagian birokrasi dan legislator lokal sebagai bidang yang cost-center yang membutuhkan investasi besar namun return-nya cukup lama, dianggapnya bahwa pembangunan pertanian kurang menarik. Konsep otonomi daerah diharapkan membawa kebaikan meningkatnya pembangunan pertanian. Sehubungan dengan itu program MP3EI memperhatikan perwilayahan atau kawasan sebagai koridor pembangunan ekonomi disesuaikan 3 pilar konsep MP3EI, yang antara lain sejalan dengan potensi dan prioritas pembangunan ekonomi sesuai koridor yang sudah direncanakan. Salah satu strategi program MP3EI dikembangkan enam koridor ekonomi Indonesia (Bappenas, 2011). Keenam koridor tersebut adalah 1) Sumatra sebagai pusat sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional, 2) Jawa sebagai pendorong industri dan jasa Nasional, 3) Kalimantan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional, 4) Sulawesi sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional, 5) Bali-Nusa Tenggara sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional, 6) Papua-Maluku sebagai pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia (SDM) yang sejahtera.
Agrimedia Agrimedia
Rubrik Utama Dalam pembangunan melalui koridor ekonomi, pengembangan kegiatan ekonomi utama ditempuh melalui pusat-pusat pertumbuhan ekonomi disertai penguatan konektivitas antar pusat-pusat ekonomi dan lokasi kegiatan utama serta fasilitas pendukungnya. Mengutip dari tulisan Hermanto et al. (2013) terdapat 4 aspek yang perlu dipertimbangkan dalam konteks ini yaitu 1) pertanian nasional dalam perspektif MP3EI sebagai pedoman pembangunan ekonomi nasional, 2) pertanian nasional dalam perpektif MP3EI, 3) Ekonomi pangan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan dalam konteks MP3EI, dan 4) pembangunan ekonomi pangan dalam konteks pembangunan dan pertumbuhan inklusif. Keempat aspek di atas mempunyai keterkaitan yang kuat dan berkualitas terkait dengan pembangunan ekonomi yang mampu mensinergikan pertumbuhan, kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan. Lebih lanjut bahwa pertanian nasional dalam konteks MP3EI diharapkan mampu sebagai sumber pertumbuhan pada koridor ekonomi khusus. Sementara itu ekonomi pangan (khususnya di Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan) diharapkan dapat tetap berperan penting dalam penciptaan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan. Salah satu sasaran terkait pengembangan ekonomi tersebut adalah tercapainya ketahanan pangan wilayah/nasional yang mengarah ke swasembada dan kemandirian pangan. Peluang dan Tantangan Swasembada Pangan Konsep ketahanan pangan (food security) pertama kali muncul pada World Food Conference tahun 1974. Definisi Ketahanan Pangan menurut UU No 18 tahun 2012 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Definisi ini merupakan pengkayaan cakupan dari definisi dalam UU No 7 tahun 1996 yang memasukan ‘perorangan’ dan ‘sesuai keyakinan agama’ serta ‘budaya’ bangsa. Definisi UU No 12 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO.
Agrimedia
Seiring dengan semakin meningkatnya populasi penduduk dunia, ketahanan pangan semakin mendapat perhatian serius. Tahun 2012 penduduk dunia diperkirakan telah mencapai 7 miliar dan pada tahun 2045 diproyeksikan akan mencapai 9 miliar jiwa. Pada tahun 2012, penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 245 juta jiwa. Kondisi demografi ini tentunya mengandung konsekuensi peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Dengan demikian Indonesia dihadapkan untuk bisa menyediakan pangan bagi penduduknya. Berkaitan dengan hal itu Indonesia telah mencanangkan swasembada pangan utama (beras, jagung, kedelai, daging sapi, dan kedelai) pada tahun 2014. Seperti pemaparan Presiden pada RAPIMNAS dengan Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan Pelaku Usaha di JCC (2011), dikemukakan bahwa “Meskipun dalam sistem perdagangan kita bisa membeli atau menjual, tetapi untuk pangan kita harus menuju kemandirian pangan”. Oleh karena itu, kemandirian pangan merupakan agenda penting untuk dapat diwujudkan. Swasembada pangan berarti kita mampu mengadakan sendiri kebutuhan pangan dengan bermacam-macam kegiatan yangg dapat menghasilkan kebutuhan yang sesuai diperlukan masyarakat, Swasembada pangan harus mengarah ke kemandirian pangan. Definisi kemandirian pangan dalam arti luas yang tercantum dalam UU No 12 tahun 2012 adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi SDA, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara martabat. Tingkat kemandirian dihitung berdasarkan proporsi produksi dalam negeri terhadap ketersediaan, sementara ketersediaan merupakan penjumlahan dari produksi dengan ekspor dikurangi impor. Gambar 1 menunjukkan perkembangan tingkat kemandirian pangan utama selama 10 tahun terakhir (2000-2010).
Volume 18 No. 2, Desember 2013
27
Sumber : Neraca Bahan Makanan, beberapa tahun (BKP, 2012)
Gambar 1. Perkembangan Tingkat Kemandirian Pangan Utama (Padi, Jagung, Kedelai, Gula dan Daging Sapi) Selama 2000–2010 Selama 2000–2010, tingkat kemandirian padi/beras berkisar 93–99%, jagung 89–99%, kondisi ini dapat dikatakan bahwa untuk penyediaan padi berada pada trend tingkat swasembada (swasembada on-trend), hal ini diukur dengan tingkat kemandirian produksi pangan diatas 90%. Pada tingkat ini ketahanan pangan cukup stabil namun masih riskan apabila terdapat goncangan produksi dan bencana yang menyebabkan terganggunya produksi dan distribusi. Oleh karena itu, penyediaan stok pangan antar daerah yang memungkinkan tersedianya suplai pangan secara cepat pada saat kemungkinan kejadian bencana sangat penting (Biro Perencanaan, 2012). Untuk komoditas jagung pada posisi mendekati swasembada on trend, selama 2000–2010, terdapat 4 titik (2000, 2002, 2006 dan 2011) yang tingkat kemandirin < 90%, pada kurun waktu tersebut sebenarnya produksi meningkat, dilain pihak permintaan juga meningkat, sehingga impor pada waktu itu relatif tinggi. Berbeda dengan kedelai, pasokan dari dalam negeri sangat kecil, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dengan melakukan impor, kondisi ini disebabkan karena semakin menurunnya luas areal tanam dan stagnansi produktivitas kedelai (Biro Perencanaan, 2012). Sementara untuk gula, kebutuhan langsung (untuk rumah tangga) maupun tidak langsung (untuk industri) semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, sedangkan produksi relatif stabil. Berbagai program untuk meningkatkan produksi gula, antara lain terkendala terbatasnya lahan untuk usahatani tebu karena persaingan penggunaan lahan dengan komoditas lainnya, juga karena konversi lahan baik untuk komoditas lain maupun untuk nonpertanian, tampaknya rencana aksi yang dimplementasikan 28
Volume 18 No. 2, Desember 2013
di lapang masih belum bisa mencukupi kebutuhan, sehingga impor masih tinggi. Fenomena tersebut juga dijumpai pada daging sapi, selama 2000–2010 tingkat kemandirian komoditas tersebut semakin menurun, selama kurun waktu tersebut produksi daging makin menurun, dan tingkat kemandirian pangan tersebut cenderung menurun. Berbagai rencana aksi untuk meningkatkan produksi komoditas ini tampaknya belum bisa mengimbangi permintaan untuk komoditas tersebut (Biro Perencanaan, 2012). Kondisi 2012, capaian produksi swasembada pangan utama (padi, jagung, kedelai, tebu, dan daging) disajikan pada Tabel 2. Komoditas padi dan jagung sudah mencapai swasembada pada tahun 2012 dengan diindikasikan nilai indeks swasembada komoditas tersebut masing-masing 116,7% untuk padi, dan 131,6% untuk jagung. Sebenarnya sejak tahun 2008 padi sudah swasembada sehingga diharapkan terjaga swasembada berkelanjutan bahkan untuk komoditas ini ditargetkan surplus 10 juta ton pada tahun 2014. Tabel 2.
Capaian Produksi Swasembada Pangan Nasional, Tahun 2012 Produksi (000 Ton) Sasaran 2012
Capaian 2012
Indeks Swasembada (%)
65 757
67 825
68 956
116,7
Jagung
17 643
18 861
18 962
131,6
Kedelai
851
1 000
783
34,3
2 228
2 544
2 581
90,6
292,45 484,07*) 414,87*)
85,7
Komoditas
ATAP 2011
Padi
Tebu Daging
Sumber : Setjen Kementan, 2013
Agrimedia
Rubrik Utama Menteri Pertanian, Suswono (2013) pada Rakor Pangan memaparkan bahwa kondisi tahun 2013 Indonesia tidak impor beras, diprediksi Indonesia surplus kita kira-kira 5,4 juta ton, hal ini menjadi optimis tahun 2014 surplus 10 juta ton beras akan tercapai. Pada tahun 2013 kondisi iklim cukup bersahabat artinya perubahan iklim tidak signifikan berpengaruh pada produksi padi. Dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian dapat terjadi melalui turunnya produktivitas dan atau luas panen (Sumaryanto et al, 2013). Oleh karena itu, antisipasi terhadap perubahan iklim penting untuk diketahui, karena akan berdampak pada kinerja pertanian. Aktivitas utama di sektor pertanian adalah usaha tani, sementara hampir semua usaha tani rentan terhadap variabilitas iklim yang tajam, beberapa ramalan menyatakan kondisi seperti itu akan makin sering terjadi, bila hal itu terjadi maka merupakan salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan ketahanan pangan. Perspektif Swasembada Pangan dalam Konteks Program MP3EI Upaya pencapaian swasembada pangan berkelanjutan selalu menjadi fokus utama pembangunan pertanian nasional sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini (Rachmat et al, 2013). Swasembada pangan berkelanjutan merupakan masalah kebijakan politik Negara, sehingga pemecahan masalah ini menjadi komitmen Negara dan masyarakat, serta tidak dapat diserahkan begitu saja menjadi urusan privat atau mekanisme pasar secara konvensional. Selanjutnya dikemukakan bahwa swasembada pangan berkelanjutan akan sulit diwujudkan jika sistem pertanian hanya dijadikan urusan pilihan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam hal ini diperlukan komitmen pemerintah daerah dalam mengembangkan dan memantapkan pembangunan pertanian di wilayah masing-masing, terutama di daerah sentra produksi pangan.
Agrimedia
Secara konsep makro, MP3EI seakan memiliki arah dan strategi yang tepat membawa ke kemandirian Indonesia. Sementara itu ketahanan pangan merupakan faktor terpenting dalam kemandirian suatu Negara. Oleh karena itu, terciptanya ketahanan pangan yang aman dan terjamin merupakan agenda yang perlu dijawab. Beberapa indikator dapat mencerminkan ketahanan pangan antara lain tercapainya swasembada pangan utama, produksi dan distribusi tidak terganggu, Tidak bisa dipungkiri masalah ketahanan pangan tidak cukup hanya swasembada tetapi mengarah kemandirian pangan, dan banyak aspek yang menjadi masalah dan kendala. Bila tidak di atasi masalah ketahanan pangan saat ini, maka menurut Suripto (2013), permasalahan ketahanan pangan akan lebih parah lagi di masa depan, artinya ketahanan pangan Indonesia semakin terancam. Hal ini setidaknya didasarkan dua alasan penting yakni permasalahan saat ini dan permasalahan masa depan. Permasalahan saat ini adalah rendahya produktifitas sektor pertanian yang disebabkan antara lain berkurangnya lahan pertanian dan jumlah petani. Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk meningkatkan produktifitas pertanian masa depan, tidak hanya ditentukan oleh perluasan lahan, tetapi juga sumber daya manusia (petani) dan teknologi pertanian. Oleh karena itu, kebijakan seyogyanya memperbaiki hal tersebut. Dalam konteks MP3EI, prioritas pembangunan pertanian MP3EI yang hanya memberikan 2 koridor utama untuk pertanian yakni Sulawesi dan PapuaMaluku, pada koridor ini harus optimalkan untuk mendukung terjaminnya ketahana pangan nasional.
Volume 18 No. 2, Desember 2013
29
Penutup Program dan kegiatan MP3EI di Pulau Jawa akan mengarah sejalan dengan potensi wilayah dan aksesbilitas terhadap pusat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pengamanan kondisi pertanian di Pulau Jawa menjadi komitmen pemerintah daerah dan masih perlu perhatian khusus. Sementara itu Sulawesi dan Papua/Maluku yang menjadi pusat pengembangan pertanian pangan perlu didukung sarana dan prasarana, untuk meningkatkan produktivitas, perluasan areal tanam, teknologi pra panen, panen dan pasca panen serta memantapkan kelembagaan petani. Dalam meningkatkan ketahanan pangan, selain mengamankan produksi pangan di Jawa juga seyogyanya mengembangkan sumber pertumbuhan baru seperti di Sulawesi, Kalimantan dan Papua/Maluku. Beberapa upaya mengoptimalkan pengembangan pertanian/pangan antara lain pengembangan regulasi di bidang pertanian pangan, optimalisasi pemanfaatan lahan pangan, komitmen Pemerintah Daerah dalam mengamankan pertanian terutama di daerah sentra produksi. Untuk meningkatkan produktivitas pertanian, khususnya padi antara lain pengembangan alsintan untuk olah tanah (traktor), tanam (transplanter) dibarengi dengan tanam serentak (brigade tanam), dan alat pemanen (rice combine harvester). Dengan menggunakan alsintan antara lain untuk efisiensi baik biaya maupun tenaga kerja, beberapa kajian menyebutkan bahwa tenaga tanam dan panen di beberapa daerah semakin langka. Dengan demikian diharapkan kemandirian pangan akan terwujud. Program MP3EI diharapkan akan berpihak pada sektor pertanian sebagai landasan ketahanan pangan. Artinya pembangunan pertanian tetap sebagai penopang ekonomi Indonesia, seiring dengan makin majunya di sektor industri akan terwujud kesejateraan masyarakat secara umum. Referensi Anas F. 2013. MP3EI dan Kemajuan Ekonomi N a s i o n a l . h t t p : / / s u a r. o k e z o n e . c o m / read/2013/06/20/58/824785/mp3ei-dankemajuan-ekonomi-nasional [23 Juni 2013]. Bappenas. 2011. Sustaining, parthernership. Konektivitas Enam Koridor. Media Informasi
30
Volume 18 No. 2, Desember 2013
Kerja sama Pemerintah dan Swasta. Edisi khusus Konektivitas Nasional 2011. Jakarta: Bappenas Biro Perencanaan. 2012. Laporan Evaluasi Midterm Proram dan Target Pembangunan Pertanian 2010-2014. Jakarta: Kementerian Pertanian. Haryono. 2012. Bahan Pemaparan Koridor Ekonomi Kalimantan. Jakarta: Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Hermanto, E. Jamal, Rusastra IW, Friyatno S, Aguatian A, Hidayat D, Prabowo A,Las I, Syahbuddin H, Mulyandari RSH, Basri S, Setyajid. 2013. Konsorsium Penelitian Prospek Pertumbuhan Pangan dalam Konteks Program MP3EI. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Kementerian Pertanian. 2012. Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013-2045 Menuju Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan. Jakarta: Kementerian Pertanian. Mayrowani H. 2012. Pembangunan pertanian pada Era Otonomi Daerah : Kebijakan dan implementasi. FAE 30(1):31-47 Rachmat M, Pranaji T, Arani M, Muslim C, Adawiyah CR. 2012. Kajian Legislasi Lahan dan Air Mendukung Swasembada Pangan. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Sumaryanto, A. Setiyanto M, Suryadi Y, Supriyatna, Askin A. 2013. Dampak Makro Perubahan Iklim pada Subsektor Pangan Indonesia. Laporan Penlitian. Pusat Penelitian. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Setjen Kementerian Pertanian. 2013. Bahan Paparan Evaluasi Makro dan Produksi Pertanian. Jakarta: Kementerian Pertanian. Suripto. 2013. MP3EI, Tenaga Kerja, Pendidikan dan Ketahanan Pangan http://psioan. lan.go.id/index.php?option=com_ content&view=article&id=51:mp3ei-tenagakerja-pendidikan-dan-ketahanan-pangan [18 Desember 2013]. Susilowati SH, Purwantini TB, Hidayat D, Maulana M, Ar-Rozi AM, Yofa RD, Supriyati, Sejati WK. 2012. Panel Petani Nasional (PATANAS): Dinamika Indikator Pembangunan Pertanian dan Perdesaan di Wilayah Agroekosistem Lahan Kering Perkebunan. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Todaro. 2003. Ekonomi Pembangunan. Jakarta
Agrimedia