i
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI DOMESTIK DALAM RANGKA MENCAPAI SWASEMBADA KEDELAI DI INDONESIA
ABIDA HADI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik dalam Rangka Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013 Abida Hadi NIM H44090065
1
RINGKASAN Tanaman pangan yang menjadi fokus utama dalam target swasembada pangan tahun 2014, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Padi dan jagung sudah berada dalam posisi swasembada, sedangkan kedelai belum berada pada posisi tersebut. Tahun 2011, kedelai domestik hanya mampu memenuhi 29 persen dari jumlah kebutuhan kedelai, dan sisanya 71 persen dipenuhi oleh kedelai impor, disamping itu permintaan kedelai akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi, pengetahuan, peningkatan jumlah penduduk, dan pendapatan. Berdasarkan kondisi tersebut, tujuan penelitian ini adalah menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik, memproyeksikan produksi dan konsumsi kedelai domestik untuk melihat target pencapaian swasembada kedelai tahun 2014 di Indonesia, serta menyusun strategi kebijakan dan implikasinya dalam upaya pencapaian swasembada tersebut. Analisis perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik menggunakan metode analisis statistik deskriptif, sedangkan peramalan produksi dan konsumsi kedelai domestik menggunakan metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Hasil peramalan menjelaskan bahwa konsumsi kedelai di Indonesia lebih besar dibandingkan produksi kedelai domestik dalam negeri. Persentase laju pertumbuhan rata-rata produksi kedelai domestik selama kurun waktu tahun 1981 hingga 2011 hanya sebesar 2,10 persen, sedangkan laju pertumbuhan rata-rata konsumsinya sebesar 7,85 persen. Rendahnya pertumbuhan produksi kedelai domestik menjadi salah satu pemicu ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai. Berdasarkan proyeksi produksi dan konsumsi kedelai menggunakan ARIMA bahwa Indonesia belum mampu untuk swasembada kedelai pada tahun 2014. Pada tahun 2014 produksi kedelai domestik mencapai 672.020 ton, sedangkan konsumsinya sebesar 2.661.406 ton, sehingga Indonesia diperkirakan akan melakukan impor kedelai sebesar 1.989.386 ton. Strategi kebijakan untuk mengatasi masalah ketergantungan impor adalah kebijakan peningkatan produksi kedelai melalui program perluasan areal tanam dan atau peningkatan produktivitas. Jika program perluasan areal tanam dilakukan maka pemerintah harus menyediakan lahan baru sebesar 1.323.218,22 ha dengan asumsi lahan
2 tersebut satu kali panen kedelai dalam setahun. Jika hanya program peningkatan produktivitas yang dilaksanakan, maka produktivitas harus mencapai 4,28 ton per ha, namun peningkatan produktivitas sebesar nilai tersebut sangat sulit dicapai, karena rata-rata peningkatan produktivitas kedelai setiap tahunnya rendah, sehingga program ini baru bisa terlaksana bila dilakukan bersamaan dengan perluasan areal tanam, yaitu peningkatan produktivitas sebesar 2 ton per ha dan perluasan areal tanam baru sebesar 708.449 ha dengan asumsi lahan tersebut satu kali panen kedelai dalam setahun. Berdasarkan hasil proyeksi diharapkan minimal mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai dalam jangka pendek dan bisa mencapai target swasembada dalam jangka panjang.
iv
ABSTRAK ABIDA HADI. Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik dalam Rangka Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia. Dibimbing oleh ADI HADIANTO. Tanaman pangan yang menjadi fokus utama dalam target swasembada pangan tahun 2014, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Padi dan jagung sudah berada dalam posisi swasembada, sedangkan kedelai belum berada pada posisi tersebut. Tahun 2011, kedelai domestik hanya mampu memenuhi 29 persen dari jumlah kebutuhan kedelai, dan sisanya 71 persen dipenuhi oleh kedelai impor, disamping itu permintaan kedelai akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi, pengetahuan, peningkatan jumlah penduduk, dan pendapatan. Berdasarkan kondisi tersebut, tujuan penelitian ini adalah memproyeksikan apakah swasembada kedelai pada tahun 2014 akan tercapai sesuai dengan target pemerintah dan strategi apa yang harus dilakukan untuk mendukung pencapaian swasembada kedelai tersebut. Proyeksi yang dilakukan meliputi peramalan produksi dan konsumsi kedelai domestik menggunakan metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Hasil peramalan menjelaskan bahwa Indonesia belum mampu swasembada kedelai pada tahun 2014. Proyeksi produksi kedelai domestik sebesar 672.020 ton, sedangkan konsumsinya sebesar 2.661.406 ton, maka dibutuhkan strategi peningkatan produksi kedelai domestik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kedelai di dalam negeri.Upaya dalam peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan melalui peningkatan luas areal tanam dan peningkatan produktivitas. Kata Kunci : Kedelai, Konsumsi, Produksi, Swasembada
ABSTRACT ABIDA HADI. Analysis of Production and Consumption Domestic Soybeans in Order to Achieve Soybeans Self Sufficiency in Indonesia. Supervised by ADI HADIANTO. Crops are used as the main focus of the food self-sufficiency target in 2014 are rice, corns, and soybeans. Rice and corns have been in self-sufficiency position, while soybeans have not been yet. In 2011, the domestic soybeans were only able to meet 29 percent of the soybeans demand, and the remaining, 71 percent were filled by the imported soybeans. Besides that, the soybeans demand will continue to increase along with the development of tecnology and knowledge, and the increasing population and income. Under these conditions, the purposes of this study were to forecast whether soybeans self-sufficiency in 2014 will be achieved in accordance with the government's target and what strategy should be taken to support the achievement of self-sufficiency in soybeans. The Projection covered forecasting of production and consumption domestic soybeans using ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). The forecasting results explained that Indonesia had not been able to achieve soybeans self-sufficiency in 2014. Forecasting of production domestic soybeans were 672.020 tons, while consumption domestic soybeans were 2.661.406 tons. It needed strategy increasing domestic soybeans production to meet the need of soybeans consumption. Efforts to increase soybeans production could be done by increasing the cultivated area and productivity. Keywords: Consumption, Production, Self-Sufficiency, Soybeans
v
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI DOMESTIK DALAM RANGKA MENCAPAI SWASEMBADA KEDELAI DI INDONESIA
ABIDA HADI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
vi
Judul Skripsi Nama NIM
Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik dalam Rangka Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia Abida Hadi H44090065
Disetujui oleh
Adi Hadi to SP M.Si
Pembimbing
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
0 4 SEP 2013
vii Judul Skripsi Nama NIM
: Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik dalam Rangka Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia : Abida Hadi : H44090065
Disetujui oleh
Adi Hadianto, SP, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
viii
ix
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 hingga Juni 2013 ini ialah Ekonomi Pertanian, dengan judul Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik dalam Rangka Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto, SP, MSi selaku dosen pembimbing. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Bapak Novindra SP, MSi selaku dosen penguji utama dan Ibu Hastuti SP, MP, MSi selaku dosen penguji Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Di samping itu, Penghargaan penulis sampaikan kepada Staf Pegawai di Pusat Data dan Informasi di Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pusat Statistik yang telah membantu dan mendukung selama pengumpulan data. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Direktorat Kemahasiswaan yang telah memberikan beasiswa pendidikan selama menjalani perkuliahan di IPB, selanjutnya terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Pini Wijayanti, SP, MSi selaku wali akademik selama menjalani perkuliahan dan ungkapan terima kasih tak terhingga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik, serta seluruh keluarga atas segala doa, kata-kata penyemangat, dan kasih sayangnya. Terimakasih kepada Ka Irfan, Toro dan Vita STK 46 yang telah membantu dalam penyusunan skripsi saya. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala dukungan dari temanteman seperjuangan Lia Nur Alia Rahmah, Susan Dwi Putri, Fajar Cahya Nugraha, sahabat-sahabat tercinta Rizka Ayu Lestari, Gressayana Suciari, Octaviana Debhora S, Sylvie Suryadi, Hildalina Purnamasari, Nurul Latifah, Aisya Nadhira Melati serta rekan-rekan ESL 46 IPB, CENTURY IPB 2009 2012, dan REESA IPB 2011 - 2012. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, September 2013
Abida Hadi NIM H44090065
x DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL.............................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... x I.
PENDAHULUAN………………………………………………............... 1 1.1 Latar Belakag.……………………......................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah……………………..……………………............... 6 1.3 Tujuan Penelitian………………………..…………………………....... 8 1.4 Ruang Lingkup Penelitian………………..……………………............. 8
II. TINJAUAN PUSTAKA.….….………………........…………………...... 9 2.1 Komoditas Kedelai Indonesia…………………......…………............... 9 2.2 Produksi dan Konsumsi……………………………………………….. 12 2.3 Swasembada Pangan.………………………………………………….. 13 2.4 Metode Peramalan................................................................................... 14 2.5 Penelitian Terdahulu……………..………………………………......... 18 2.6 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu………………………………. 21 III. KERANGKA PEMIKIRAN…………………………...………….......... 22 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis…………..………………….................... 22 3.1.1 Analisis Statistika Deskriptif...……………...………................... 22 3.1.2 Metode Peramalan Box Jenkins (ARIMA)….……………........... 22 3.2 Kerangka Operasional……………………………...………………...... 25 IV. METODE PENELITIAN………………………………………........….. 28 4.1 Jenis dan Sumber Data.........……………………………………….…. 28 4.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data.................................................. 28 4.2.1 Metode Analisis Statistik Deskriptif……………………………. 28 4.2.2 Metode ARIMA…………………….…………...….................... 29
xi V. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………….. 33 5.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik………....... 33 5.2 Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik………....... 45 5.2.1 Analisis Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik………………………………………………………... 46 5.2.2 Strategi Kebijakan dan Implikasinya dalam Upaya Pencapaian Swasembada Kedelai Tahun 2014................................................ 49 VI. SIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 57 6.1 Simpulan…………………………………………………………….... 57 6.2 Saran………………………………………………………………….. 57 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... 60 LAMPIRAN....................................................................................................... 65 RIWAYAT HIDUP............................................................................................ 84
xii DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah) Tahun 2007 – 2011 di Indonesia......................................... 1
2.
Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2004 – 2011 di Indonesia…………………………………... 2
3.
Jumlah Impor Kedelai di Indonesia Tahun 2007 – 2011............................... 4
4.
Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1995 – 2010.......................................... 5
5.
Jumlah Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun 2007 – 2011.. 7
6.
Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan……………… 14
7.
Perkembangan Harga Kedelai di Indonesia Tahun 2002 - 2011.................. 37
8.
Jumlah Kedelai Domestik dan Impor Tahun 2002 - 2011............................ 38
9.
Luas Serangan OPT Utama Pada Tanaman Kedelai Rerata 5 Tahun (2006 - 2009), Tahun 2010 - 2012................................................................ 40
10. Jumlah Konsumsi Langsung Kedelai Tahun 2007 - 2011............................ 42 11. Permintaan Kedelai oleh Industri Tahu Tempe Tahun 2002 – 2011............ 43 12. Angka Partisipasi Sekolah di Indonesia Tahun 2002 – 2011....................... 44 13. Pendapatan Domestik Bruto Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2002 - 2010........................................................................................ 45 14. Kesenjangan Hasil Peramalan Antara Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik Tahun 2012 – 2014....................................................................... 46 15. Dampak Konversi Lahan Terhadap Penurunan Produksi Kedelai Domestik Tahun 2012 - 2014........................................................................................ 47 16. Dampak OPT Utama Terhadap Penurunan Produksi Kedelai Domestik Tahun 2012 - 2014........................................................................................ 47 17. Dampak Peningkatan Jumlah Penduduk Terhadap Peningkatan Konsumsi Langsung Kedelai Domestik Tahun 2012 - 2014......................................... 48 18. Total Permintaan Kedelai Domestik Berdasarkan Permintaan Langsung dan Permintaan Industri............................................................................... 48 19. Jumlah Impor Kedelai Tahun 2005 – 2014.................................................. 49 20. Kebutuhan Lahan Baru untuk Swasembada Kedelai Tahun 2014............... 50 21. Kebutuhan Sarana Produksi per Hektar dalam Usahatani Kedelai.............. 51 22. Kebutuhan Produktivitas Kedelai Domestik Untuk Swasembada Kedelai Tahun 2014................................................................................................... 52 23. Varietas Unggul Kedelai Yang Memiliki Potensi Lebih Besar dari 3 Ton per Hektar..................................................................................................... 52
xiii 24. Kebutuhan Lahan Baru untuk Swasembada Kedelai Tahun 2014 Disertai dengan Peningkatan Produktivitasnya.......................................................... 53 DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Metode Peramalan Box-Jenkins.................................................................... 24
2.
Alur Pemikiran Operasional.......................................................................... 27
3.
Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Luas Areal Panen Kedelai Domestik Tahun 1981 – 2011....................................................................... 34
4.
Perkembangan Produktivitas Kedelai Domestik Tahun 2002 – 2011.......... 35
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Tabel Data Produksi, Konsumsi, Luas Panen, Dan Produktivitas Kedelai Domestik Tahun 1981 - 2011....................................................................... 65
2.
Hasil Uji ADF Untuk Penstasioneran Data Produksi Dan Konsumsi Kedelai Domestik Pada Tingkat Level......................................................... 66
3.
Hasil Uji ADF Untuk Penstatisoneran Data Produksi Dan Konsumsi Kedelai Domestik Pada First Difference...................................................... 67
4.
Hasil Uji ADF Untuk Penstatisoneran Data Produksi Dan Konsumsi Kedelai Domestik Pada Second Difference.................................................. 68
5.
Hasil Analisis Plot ACF Dan PACF Data Produksi Kedelai Domestik pada First Difference.................................................................................... 69
6.
Hasil Analisis Plot ACF Dan PACF Data Produksi Kedelai Domestik pada Second Difference................................................................................. 70
7.
Hasil Analisis Plot ACF Dan PACF Data Konsumsi Kedelai Domestik pada First Difference.................................................................................... 71 Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Produksi Kedelai Domestik dari Tahun 1981 - 2011 dengan Minitab 14 (000 Ton)................ 73
8. 9.
Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Konsumsi Kedelai Domestik dari Tahun 1981 - 2011 dengan Minitab 14 (000 Ton)................ 79
10. Hasil Analisis Residual ACF Dan PACF Untuk Produksi Kedelai Domestik....................................................................................................... 82 11. Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Konsumsi Kedelai Domestik………………………………………………………………….. 83
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah (Mega Biodiversity). Biodiversity darat Indonesia merupakan terbesar nomor dua di dunia setelah Brasil, sedangkan bila termasuk kelautan maka Indonesia nomor satu di dunia. Keanekaragaman hayati yang didukung dengan sebaran kondisi geografis, serta keanekaragaman jenis tanah memungkinkan dibudidayakannya aneka jenis tanaman dan ternak asli daerah tropis maupun komoditas introduksi dari daerah subtropis secara merata sepanjang tahun di Indonesia. 1 Keunggulan-keunggulan tersebut memberikan peluang besar bagi Indonesia dalam mengembangkan sektor pertaniannya. Sektor ini memiliki peranan penting dalam penyediaan lapangan kerja, penyediaan pangan, penghasil energi, dan penyumbang devisa negara. Tabel 1. PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah) Tahun 2007 – 2011 di Indonesia Tahun Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDB
2007
2008
2009
2010
2011*
271.509,30
284.619,10
295.883,80
304.777,10
315.036,80
171.278,40
172.496,30
180.200,50
187.152,50
189.761,40
538.084,60
557.764,40
570.102,50
597.134,90
633.781,90
13.517,00
14.994,40
17.136,80
18.050,20
18.921,00
121.808,90
131.009,60
140.267,80
150.022,40
159.993,40
340.437,10
363.818,20
368.463,00
400.474,90
437.199,70
142.326,70
165.905,50
192.198,80
217.980,40
241.298,00
183.659,30
198.799,60
209.163,00
221.024,20
236.146,60
181.706,00
193.049,00
205.434,20
217.842,20
232.537,70
1.964.327,30
2.082.456,10
2.178.850,40
2.314.458,80
2.464.676,50
Sumber : Badan Pusat Statitik, 2012 Keterangan : *angka sementara
Sumbangan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) dari sektor pertanian sebesar Rp 315.036,80 Miliar pada tahun 2011. Sektor ini merupakan 1
Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. http://setjen.deptan.go.id/admin/download/rancangan%20renstra%20deptan%2020102014%20lengkap.pdf. Akses pada tanggal 4 Desember 2012.
2 penyumbangan
PDB
terbesar
ketiga
setelah
Industri
Pengolahan,
dan
Perdagangan, Hotel, dan Restoran (Tabel 1). Sektor ini juga menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2, data menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar selama kurun waktu 2007 – 2011 dan mencapai 39.328.915 orang dalam penyerapan tenaga kerja pada tahun 2011 (Tabel 2). Sektor pertanian yang ada di Indonesia terdiri dari subsektor – subsektor, yaitu subsektor hortikultura, tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan (Badan Pusat Statistik, 2012). Tabel 2. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2004 – 2011 di Indonesia Lapangan Pekerjaan Utama Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik. Gas dan Air Konstruksi Perdagangan. Rumah Makan dan Jasa Akomodasi Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi Lembaga Keuanga,. Real Estate, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa Kemasyarakatan. Sosial dan Perorangan Total
Tahun 2007
2008
2009
2010
2011
41.206.474
41.331.706
41.611.840
41.494.941
39.328.915
995
1.070.540
1.155.233
1.254.501
1.465.376
12.368.729
12.549.376
12.839.800
13.824.251
14.542.081
174.884
201.114
223.054
234.07
239.636
5.252.581
5.438.965
5.486.817
5.592.897
6.339.811
20.554.650
21.221.744
21.947.823
22.492.176
23.396.537
5.958.811
6.179.503
6.117.985
5.619.022
5.078.822
1.399.940
1.459.985
1.486.596
1.739.486
2.633.362
12.019.984
13.099.817
14.001.515
15.956.423
16.645.859
99.930.217
102.552.750
104.870.663
108.207.767
109.670.399
Sumber : BPS, 2012
Salah satu sub sektor yang sangat penting untuk pemenuhan gizi dan keberlanjutan hidup masyarakat Indonesia, yaitu sub sektor tanaman pangan. Sub sektor tanaman pangan terdiri atas beras, jagung, kacang-kacangan, serta umbiumbian. Ketersediaan pangan ini wajib terpenuhi, karena pangan merupakan kebutuhan dasar utama manusia. Sumber karbohidrat sebagai sumber energi manusia didapat dari kandungan gizi tanaman pangan. Sesuai dengan aturan yang tercantum dalam UU (Undang - Undang) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional.
3 Ketersediaan pangan menjadi salah satu masalah di banyak negara berkembang, salah satunya di Indonesia, walaupun tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi, namun masalah pangan masih tetap menjadi prioritas tinggi, padahal kondisi geografi Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan memiliki keragaman sosial, ekonomi, dan potensi daerah. Berdasarkan keragaman ini pola produksi pangan masyarakat secara potensial cukup besar, karena didukung dengan keberadaan lahan yang luas dan memiliki tingkat kesuburan yang relatif bagus (Amang, 1993). Permasalahan pangan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kualitas sumberdaya manusia. Kurangnya ketersediaan pangan menyebabkan sulitnya mendapatkan pangan untuk konsumsi pemenuhan gizi masyarakat, sehingga mewujudkan mutu sumberdaya manusia yang tinggi sebagai generasi penerus bangsa juga menjadi sulit. Adanya keterkaitan antara pangan, gizi, dan upaya peningkatan mutu sumberdaya manusia menjadi tantangan dalam mewujudkan swasembada pangan (Menteri Urusan Negara Urusan Pangan, 1993). Swasembada pangan dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menyediakan beragam pangan secara mandiri, dengan jumlah yang mencukupi kebutuhan untuk konsumsi menurut norma gizi, tersedia merata setiap waktu, dan terjangkau oleh semua lapisan, dengan mengutamakan kemampuan produksi dalam negeri (Suhardjo, 1993). Pemerintah Indonesia khususnya dalam Kementerian Pertanian menargetkan swasembada pangan pada tahun 2014 dalam rangka peningkatan produksi pertanian. Kementerian Pertanian memfokus pada peningkatan 39 komoditas unggulan nasional. Komoditas unggulan nasional tersebut terdiri dari 7 komoditas tanaman pangan, 10 komoditas hortikultura, 15 komoditas perkebunan, dan 7 komoditas peternakan. Komoditas tanaman pangan unggulan nasional yang ditargetkan untuk swasembada, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Dua komoditas pangan utama (padi dan jagung) sudah dalam posisi swasembada, sehingga ditargetkan ke depan adalah mempertahankan posisi swasembada tersebut (swasembada berkelanjutan), sedangkan kedelai ditargetkan bisa mencapai swasembada pada tahun 2014.2 2
Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. http://setjen.deptan.go.id/admin/download/rancangan%20renstra%20deptan%2020102014%20lengkap.pdf. Diakses pada tanggal 4 Desember 2012.
4 Berdasarkan kondisi salah satu komoditas pangan utama yang belum mencapai swasembada, maka penelitian ini dikhususkan pada komoditas kedelai sebagai objek penelitian. Kedelai merupakan komoditas pangan yang dijadikan sebagai salah satu sumber penghasilan petani. Kedelai juga merupakan sumber protein nabati bagi sebagian besar penduduk, terutama bagi penduduk yang berpendapatan rendah (Kuntjoro, 1997), disamping itu makanan olahan kedelai seperti tahu dan tempe sudah menjadi makanan sehari-hari yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tabel 3. Jumlah Impor Kedelai di Indonesia Tahun 2007 - 2011 Tahun
Jumlah Impor Kedelai (Ton)
Pertumbuhan Impor (%)
2007 2008 2009 2010 2011
2.673.188 2.261.509 1.314.620 1.740.505 2.088.616
21,26 -15,40 -41,87 32,40 20,00
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012a (diolah)
Kondisi perkembangan kedelai domestik belum menunjukkan hasil yang menuju kepada target swasembada. Dilihat pada sisi ketersediaan, ketersediaan kedelai domestik didominasi oleh kedelai impor. Tabel 3 menunjukkan bahwa selama periode 2007 - 2011 terjadi peningkatan terhadap impor kedelai. Rata-rata laju peningkatan impor kedelai di Indonesia sebesar 3,28 persen. Dominasi impor kedelai di Indonesia yang terjadi diantaranya terlihat dari banyaknya industriindustri tahu dan tempe yang menggunakan kedelai impor, karena harganya lebih murah dan kualitasnya tidak jauh berbeda dengan kedelai lokal. Data BPS (Badan Pusat Statistik) 2011 menunjukkan Indonesia hanya mampu memenuhi 29 persen dari jumlah kebutuhan kedelai dalam negeri dan sisanya 71 persen dipenuhi oleh kedelai impor dengan jumlah impor kedelai sebesar 2.088.616 ton. Impor kedelai terbesar Indonesia tahun 2011 berasal dari Amerika Serikat dan berjumlah 1.847.900
ton.
3
Tingginya
jumlah
impor
kedelai
mengindikasikan
ketidakmampuan kedelai lokal dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri.
3
Masuk akal, Penetapan HET untuk Kedelai. http://sains.kompas.com/read/2012/07/27/18000578/Masuk.Akal.Penetapan.HET.untuk.Kedelai. Diakses pada tanggal 15 Desember 2012.
5 Semakin tingginya impor akan menyebabkan semakin menjauhnya target swasembada kedelai. Tabel 4. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1995 – 2010 Tahun
Jumlah Penduduk (orang)
Pertumbuhan Penduduk (%)
1995 2000 2005 2010
194.754.808 206.264.595 219.205.000 237.641.326
8,57 5,91 6,27 8,41
Sumber : BPS, 2012b
Kebutuhan kedelai masyarakat Indonesia akan semakin bertambah, karena jumlah penduduk Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan Tabel 4, jumlah penduduk pada tahun 2010 mencapai 237.641.326 orang dengan tingkat pertumbuhan sebesar 8,41 persen. Semakin bertambahnya jumlah penduduk berarti semakin tinggi pula jumlah barang yang diperlukan untuk dikonsumsi, sehingga tingginya jumlah penduduk dan terus terjadinya peningkatan jumlah penduduk pada setiap tahunnya akan menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah komoditas kedelai yang dibutuhkan untuk konsumsi. Pemanfaatan komoditas kedelai sebagai konsumsi masyarakat di Indonesia juga telah berkembang pesat. Komoditas kedelai tidak hanya lagi dimanfaatkan untuk konsumsi langsung maupun konsumsi bagi para produsen tahu dan tempe yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku utama. Di Indonesia telah banyak berkembang industri-industri pengolahan makanan lain yang berbahan baku kedelai, selain itu kedelai juga sudah mulai dimanfaatkan untuk kebutuhan pakan ternak dan juga keperluan energi (biodiesel), sehingga untuk tahun-tahun mendatang permintaan akan komoditas kedelai akan terus meningkat seiring bertambahnya kebutuhan akan kedelai. Berdasarkan hal tersebut, jika Indonesia tidak berupaya untuk meningkatkan produksi kedelainya, maka ketergantungan impor kedelai akan terus berkepanjangan untuk memenuhi tingginya konsumsi kedelai domestik. Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya sesungguhnya memiliki potensi dan peluang yang besar untuk mencapai swasembada kedelai. Adanya varietas-varietas unggul kedelai seperti Anjasmoro, Kaban, Sinabung, Argumuyo dan Grobogan yang juga merupakan varietas
6 populer yang ditanam petani akan memberikan prospek yang baik untuk pencapaian swasembada, bahkan Anjasmoro dalam sistem pengelolaan tanaman terpadu kedelai bisa panen dalam umur 85 - 90 hari, produksinya 1,80 - 2,20 ton per ha, sedangkan di Amerika umur panen 160 - 170 hari dan produksinya 2,90 ton per ha4. Besarnya potensi yang ada memberikan peluang bagi produksi kedelai domestik untuk didorong peningkatannya dan bukanlah hal yang tidak mungkin bahwa swasembada kedelai akan dapat tercapai. Didukung dengan adanya penetapan target swasembada pangan pada tahun 2014 oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia menjadi pemicu untuk pelaksanaan segala upaya yang dapat dilakukan untuk pencapaian target tersebut, selain itu diperlukan pula strategi dan kebijakan-kebijakan pendukung program swasembada agar target swasembada pangan 2014 secara efektif dapat terlaksana.
1.2 Perumusan Masalah Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian mencanangkan program swasembada pangan pada tahun 2014. Salah satu yang menjadi target swasembada adalah tanaman kedelai. Kedelai merupakan salah satu komoditas yang strategis disamping beras dan jagung, namun pada perjalanannya menuju target swasembada, kondisi produksi komoditas kedelai domestik memiliki pertumbuhan yang rendah. Produksi kedelai terus mengalami penurunan pada tahun 2010 - 2011. Pada tahun 2010, produksi kedelai mengalami penurunan sebesar 6,92 persen atau sebesar 67.481 ton, sedangkan pada tahun 2011 produksi kedelai mengalami penurunan sebesar 6,15 persen atau sebesar 55.745 ton (Tabel 3). Ramalan BPS (Badan Pusat Statistik) menyatakan bahwa produksi kedelai 2012 (ARAM II) diperkirakan sebesar 783,16 ribu ton biji kering, menurun sebanyak 68,13 ribu ton (8,00 persen) dibandingkan 2011. Penurunan produksi kedelai tahun 2012 tersebut diperkirakan terjadi di Jawa dan di luar Jawa masingmasing sebesar 34,06 ribu ton dan 34,07 ribu ton (Departemen Pertanian, 2013). Berbeda hal dengan keadaan konsumsi kedelai di Indonesia. Berdasarkan data konsumsi pada Tabel 3, laju pertumbuhan konsumsi terus mengalami 4
Varietas Lokal Sudah Sesuai untuk Indonesia. http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/1257/. Diakses pada tanggal 14 Desember 2012
7 peningkatan selama periode tahun 2007 - 2011. Peningkatan konsumsi yang diiringi penurunan produksi menyebabkan gap yang semakin besar antara produksi dan konsumsi kedelai. Fluktuasi yang terjadi dalam produksi kedelai dan mengalami penurunan pada tahun 2010 - 2011 menyebabkan kekurangan persediaan kedelai dalam negeri. Kekurangan yang terjadi ditutupi dengan jalan melakukan impor kedelai. Gap yang semakin besar memberikan dampak peningkatan impor terhadap kedelai. Peningkatan ini menyebabkan pengeluaran belanja negara semakin tinggi. Defisit belanja negara yang semakin besar berdampak pada peningkatan hutang pemerintah untuk menutupi kekurangan biaya. Kebijakan impor ini memberikan dampak yang negatif terhadap kondisi negara Indonesia. Berdasarkan hal tersebut untuk mengevaluasi rencana strategis pemerintah mengenai pencapaian swasembada kedelai tahun 2014, maka dibutuhkan penelitian mengenai analisis produksi dan konsumsi kedelai domestik dalam rangka mencapai swasembada kedelai di Indonesia. Tabel 5. Jumlah Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia 2007 - 2011 Tahun 2007 2008 2009 2010 2011
Produksi (Ton) 592.534 775.710 974.512 907.031 851.286
Konsumsi (Ton) 1.613.033 1.745.590 2.045.775 2.319.379 2.583.061
Sumber : BPS, 2012c (diolah)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah dengan adanya kesenjangan yang terjadi antara produksi dan konsumsi yang semakin melebar, swasembada kedelai pada tahun 2014 dapat tercapai. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan peramalan produksi dan konsumsi hingga tahun 2014 yang nantinya menghasilkan perkiraan target produksi yang harus dipenuhi agar swasembada kedelai 2014 dapat tercapai. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat memberikan masukan mengenai strategi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai domestik dalam pencapaian swasembada kedelai pada tahun 2014 di Indonesia sesuai target yang telah dicanangkan Kementerian Pertanian.
8 Berdasarkan pemaparan diatas, maka perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik?
2.
Berapakah besarnya produksi dan konsumsi kedelai domestik tahun 2014 untuk melihat target pencapaian swasembada kedelai di Indonesia, serta bagaimana strategi kebijakan dan implikasinya dalam upaya pencapaian swasembada tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai proyeksi produksi dan konsumsi komoditas kedelai hingga tahun 2014, sehingga hasil dari penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan produksi yang harus diraih dan strategi kebijakan apa yang harus dilakukan agar target swasembada kedelai dapat tercapai. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini, yaitu: 1.
Menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik.
2.
Memproyeksikan produksi dan konsumsi kedelai domestik untuk melihat target pencapaian swasembada kedelai tahun 2014 di Indonesia, serta menyusun strategi kebijakan dan implikasinya dalam upaya pencapaian swasembada tersebut.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan suatu kajian terhadap permasalahan yang dihadapi dalam bidang pertanian khususnya pada komoditas kedelai di Indonesia. Penelitian ini dimulai dengan menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi komoditas kedelai domestik di Indonesia hingga tahun 2014, lalu melakukan proyeksi terhadap produksi dan konsumsi komoditas kedelai sehingga didapatkan ramalan target produksi yang harus dipenuhi agar swasembada kedelai pada tahun 2014 dapat tercapai. Terakhir, dirumuskan langkah strategis kebijakan yang tepat untuk dapat dipertimbangkan dalam rangka upaya pencapaian swasembada kedelai di Indonesia. Keterbatasan dalam penelitian ini diantaranya; data yang digunakan adalah data tahunan sehingga model yang dirumuskan tidak
9 menggambarkan fluktuasi bulanan dan musiman. Komoditi kedelai dalam penelitian ini adalah kedelai secara umum bukan kedelai dengan jenis dan kualitas tertentu.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komoditas Kedelai di Indonesia Kedelai di Indonesia sudah diketahui sejak zaman Kerajaan Denmark melalui perdagangan orang-orang di Pesisir Pulau jawa dengan Pedagang Cina. Sekitar tahun 1700, orang-orang Belanda mendirikan loji dagang di Jepara. Saat itu pula, kedelai sudah menjadi tanaman pangan yang cukup popular di Indonesia. Banyak dari orang-orang Belanda yang membawa kedelai ke negerinya, sehingga akhirnya oleh Rum-phius, kedelai diberi nama latin Cadelium. Oleh para taksonomi lainnya, kedelai diberi nama Soja max, Glycine max, dan Glycine soja. Banyaknya nama alias tersebut membuktikan bahwa tanaman kedelai cukup dikenal dan tersebar luas di dunia. Hasil olahan makanan dari kedelai dapat berupa keripik, tahu, tempe, serta minuman seperti bubuk dan susu kedelai. Kedelai mengandung protein 35 persen, bahkan pada varietas unggul, kadar proteinnya dapat mencapai 40 - 43 persen. Dibandingkan dengan beras, jagung, tepung singkong, kacang hijau, daging, ikan segar, dan telur ayam, kedelai mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi, hampir menyamai kadar protein susu krim kering (Cahyadi, 2009). Kedelai termasuk famili Leguminosae (kacang-kacangan). Klasifikasi lengkapnya sebagai berikut (Cahyadi, 2009): Species
: Max
Genus
: Glycine
Sub famili
: Papilonideae
Famili
: Leguminosae Ordo
: Polypetales
Jenis kedelai dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu kedelai kuning, kedelai hijau, kedelai hitam, dan kedelai coklat. Bentuk biji kedelai bergantung pada kulivarnya, dapat berbentuk bulat, gepeng, dan sebagian besar bulat telur, sedangkan vesar dan bobotnya dibedakan menjadi tiga, yakni : 1. Kedelai berbiji besar, apabila bobot 100 biji lebih dari 13 gram. 2. Kedelai berbiji sedang, apabila bobot 100 biji antara 11 – 13 gram. 3. Kedelai berbiji kecil, apabila bobot 100 biji antara 7 – 11 gram.
11 Indonesia merupakan negara beriklim tropis, sehingga sangat cocok bagi pertumbuhan tanaman kedelai karena kedelai membutuhkan udara yang cukup panas. Adapun beberapa persyaratan tumbuh yang diperlukan oleh tanaman kedelai adalah sebagai berikut (Suprapti, 2005): 1.
Tempat Tumbuh Kedelai dapat tumbuh dengan baik di daerah bersuhu panas dengan ketinggian maksimal 500 meter di atas permukaan laut.
2.
Iklim Tanaman kedelai memerlukan kondisi yang seimbang antara suhu udara dengan kelembapan (yang dipengaruhi oleh curah hujan). Pada umumnya, tanaman kedelai memerlukan kondisi dengan suhu udara yang tinggi dan curah hujan (kelembapan) yang rendah. Sementara, apabila suhu udara rendah
dengan
curah
hujan
(kelembapan)
yang
berlebihan
akan
menyebabkan penurunan kualitas kedelai yang dihasilkan. 3.
Tanah Tempat tumbuh tanaman kedelai memerlukan tanah alluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol. Berdasarkan praktik di lapangan, sering menggunakan pedoman sebagai berikut: apabila tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik pada suatu jenis tanah maka jenis tanah tersebut juga cocok bagi pertumbuhan tanaman kedelai. Persyaratan tanah yang diperlukan oleh tanaman kedelai agar dapat tumbuh dan berproduksi optimal adalah tanah yang subur dan gembur; kaya humus atau bahan organik; dan pH (derajat keasaman) antara 5,8 – 7,0. Tanah berpasir juga dapat ditanami kedelai apabila air dan unsure hara memadai. Sementara, apabila tanah yang akan ditanami kedelai adalah tanah liat perlu dilakukan perbaikan sistem drainase agar pada saat hujan, tanaman tidak tergenang air dan tidak kekurangan oksigen.
4.
Penanaman Pertumbuhan optimal tanaman kedelai dapat dicapai pada bulan-bulan kering, yaitu pada saat tanah cukup lembap dan suhu udara lebih dari 210C. pada saat ini, pertumbuhan biji dapat terjadi secara lebih cepat. Waktu
12 penanaman kedelai yang tepat pada beberapa daerah dengan kondisi yang berbeda, akan berbeda pula. Salah satu faktor pembatas produksi kedelai di daerah tropis adalah cepatnya kemunduran benih selama penyimpanan hingga mengurangi penyediaan benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai dalam jumlah yang memadai dan tepat pada waktunya sering menjadi kendala karena daya simpan yang rendah. Sementara itu, pengadaan benih bermutu tinggi merupakan unsur penting dalam upaya peningkatan produksi tanaman. Pengadaan benih sering dilakukan beberapa waktu sebelum musim tanam, sehingga benih harus disimpan dengan baik agar mempunyai daya tumbuh yang tinggi saat ditanam kembali (Purwanti, 2004). Tercapainya tingkat produksi kedelai merupakan hasil keterpaduan partisipasi petani dalam penanaman, penerapan teknologi budi daya, kerja sama dalam kelompok yang ditunjang oleh kelancaran pelayanan dan penyuluhan. Pemerintah mengharapkan petani melakukan intensifikasi dalam penanaman kedelai. Menanam kedelai dengan teknologi budi daya anjuran menunjukkan partisipasi petani dalam pengembangan kedelai. Keberhasilan intensifikasi kedelai bertitik tolak dari tiga anggapan dasar, yaitu: 1) perlu upaya yang lebih baik untuk mengikutsertakan petani dalam pengembangan produksi kedelai, 2) petani banyak yang meninggalkan usaha tani kedelai karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, dan 3) petani dengan bantuan pemerintah dan pihak terkait lainnya akan memainkan peranan penting dalam pengembangan kedelai (Supadi, 2008).
2.2 Produksi dan Konsumsi Menurut Rahim et al (2007), Produksi dapat dinyatakan sebagai perangkat prosedur kegiatan yang terjadi dalam penciptaan komoditas berupa kegiatan usaha tani maupun usaha lainnya (penangkapan dan berternak). Sebelum dilakukan proses produksi di lahan pertanian, terlebih dahulu dilakukan proses pengadaan saprodi (sarana produksi) pertanian berupa industri agro-kimia (pupuk dan pestisida), industri agro-otomotif (mesin dan peralatan pertanian), dan industri pembenihan dan pembibitan. Faktor-faktor produksi yang dapat digunakan untuk proses produksi diantaranya; lahan, tenaga kerja, modal, pupuk, pestisida dan
13 teknologi. Proses produksi itu sendiri atau yang dikenal dengan budidaya tanaman atau komoditas pertanian merupakan proses usaha bercocok tanam atau budidaya di lahan untuk menghasilkan bahan segar. Bahan segar tersebut dijadikan bahan baku untuk menghasilkan bahan setengah jadi (work in process) atau barang jadi (finished product) di industri-industri pertanian atau dikenal dengan nama agroindustri (agrifood industry). Konsumsi merupakan suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Salah satu tingkah laku yang diperankan oleh seorang individu dalam suatu sistem ekonomi adalah individu sebagai konsumen. Konsumen merupakan individu yang mengonsumsi barang dan jasa. Seseorang mengonsumsi berbagai macam barang dan jasa untuk memperoleh kepuasan (Nicholson, 1995). Keynes menyatakan bahwa konsumsi sangat bergantung pada pendapatan sekarang. Oleh karena itu, ekonom menyatakan bahwa konsumen memahami kalau mereka menghadapi keputusan antar waktu. Konsumen menatap sumber daya dan kebutuhan masa depan mereka, yang dinyatakan dalam fungsi konsumsi yang lebih kompleks dibanding fungsi konsumsi yang keynes berikan. Keynes menyatakan bentuk fungsi konsumsi: Konsumsi = ƒ(pendapatan sekarang), Sedangkan studi terbaru menyatakan: Konsumsi = ƒ(pendapatan sekarang, kekayaan, pendapatan masa depan yang diduga, tingkat bunga), dengan kata lain pendapatan sekarang hanya merupakan salah satu determinan dari konsumsi agregat (Mankiw, 2007).
2.3 Swasembada Pangan Pengertian umum swasembada untuk suatu produk di suatu negara akan tercapai apabila secara netto jumlah produk dalam negeri minimal mencapai 90 persen dari jumlah konsumsi domestiknya, baik untuk memenuhi konsumsi rumah tangga, industri maupun neraca perdagangan nasional. Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan swasembada pangan adalah produksi
14 pangan dalam negeri mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. Tujuan swasembada pangan, yaitu memenuhi kebutuhan pangan nasional secara keseluruhan, baik untuk konsumsi langsung maupun industri; mendayagunakan sumberdaya atau aset secara optimal berdasarkan prinsip keunggulan kompetitif wilayah dan efisiensi secara nasional; meningkatkan kesejahteraan petani atau produsen dan stakeholder lainnya; memperluas kesempatan kerja dan peluang berusaha dikawasan pedesaan, sehingga secara nyata berdampak positif terhadap pemberantasan kemiskinan5. Konsep swasembada pangan sering kali diidentikkan dengan konsep ketahanan pangan (Hanani, 2009). Menurut FAO (1997) dalam (Hanani, 2009), ketahanan pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Perbedaan swasembada pangan dengan ketahanan pangan dapat dilihat pada Tabel 6. Swasembada pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan ruang lingkup wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif. Tabel 6. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan Indikator Swasembada Pangan Lingkup Nasional Sasaran Komoditas Pangan
Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Individu Manusia Peningkatan ketersediaan pangan, akses pangan, dan penyerapan pangan
Strategi
Substitusi Impor
Output
Peningkatan Produksi Pangan
Status gizi (penurunan : kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk)
Outcome
Kecukupan Pangan oleh Produksi Domestik
Manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi)
Sumber : Hanani, 2009
2.4 Metode Peramalan Metode peramalan adalah cara memperkirakan secara kuantitatif apa yang akan terjadi pada masa depan berdasarkan data yang relevan pada masa lalu 5
Untuk Mewujudkan Swasembada Gula Pemerintah akan Melakukan Revitalisasi Pabrik Gula. http://ditjenbun.deptan.go.id/berita-202-untuk-mewujudkan-swasembada-gula-pemerintah-akanmelakukan-revitalisasi-pabrik-gula.html. Diakses pada tanggal 31 Juli 2013
15 (Assauri, 1984). Model peramalan secara umum dapat dikemukakan sebagai persamaan Yt = pola + error, sehingga data dapat dibedakan menjadi komponen yang dapat diidentifikasi (pola) dan yang tidak dapat diidentifikasi (error) (Aritongan, 2009). Peramalan diperlukan karena adanya perbedaan waktu antara kesadaran akan dibutuhkannya suatu kebijakan baru dengan waktu pelaksanaan kebijakan tersebut. Setiap kebijakan ekonomi maupun kebijakan perusahaan tidak akan terlepas dari usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau meningkatkan keberhasilan perusahaan untuk mencapai tujuannya pada masa yang akan datang dimana kebijakan tersebut dilaksanakan, oleh karena itu perlu dilihat dan dikaji situasi dan kondisi pada saat kebijakan tersebut dilaksanakan. Usaha untuk melihat dan mengkaji situasi dan kondisi tersebut tidak terlepas dari kegiatan peramalan. Metode peramalan sangat berguna untuk dapat memperkirakan secara sistematis dan pragmatis atas dasar data yang relevan pada masa lalu, dengan demikian metode peramalan dapat memberikan objektivitas yang lebih besar. Metode peramalan juga memberikan urutan pengerjaan dan pemecahan atas pendekatan suatu masalah dalam peramalan, bila digunakan pendekatan yang sama atas permasalahan dalam suatu kegiatan peramalan, maka akan didapat dasar pemikiran dan pemecahan yang sama, karena argumetasinya sama. Tingkat keberhasilan dari suatu peramalan sangat ditentukan oleh: 1. pengetahuan teknik tentang informasi yang lalu yang dibutuhkan, informasi ini bersifat kuantitatif. 2. teknik dan metode peramalan, sehingga baik tidaknya suatu peramalan yang disusun, disamping ditentukan oleh metode yang digunakan, juga ditentukan oleh baik tidaknya informasi kuantitatif yang dipergunakan. Kualitas dan mutu dari hasil peramalan yang disusun, sangat ditentukan oleh proses pelaksanaan penyusunannya. Peramalan yang baik adalah peramalan yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah atau prosedur penyusunan yang baik. Pada dasarnya ada tiga langkah peramalan yang penting, yaitu: 1.
Menganalisa data yang lalu, tahap ini berguna untuk pola yang terjadi pada masa lalu. Analisa ini dilakukan dengan cara membuat tabulasi dari data yang lalu, dengan tabulasi data, maka dapat diketahui pola dari data tersebut.
16 2.
Menentukan metode yang dipergunakan. Masing-masing metode akan memberikan hasil peramalan yang berbeda. Metode peramalan yang baik adalah metode yang menghasilkan penyimpangan antara hasil peramalan dengan nilai kenyataan yang sekecil mungkin.
3.
Memproyeksikan data yang lalu dengan menggunakan metode yang dipergunakan, dan mempertimbangkan adanya beberapa faktor perubahan. Faktor-faktor perubahan tersebut antara lain terdiri dari perubahan kebijakan-kebijakan yang mungkin terjadi, termasuk perubahan kebijakan pemerintah, perkembangan potensi masyarakat, perkembangan teknologi, dan penemuan-penemuan baru, dan perbedaan antara hasil ramalan yang ada dengan kenyataan, dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut maka akan dapat ditentukan hasil ramalan yang terakhir. Hasil inilah yang dipergunakan sebagai dasar untuk perencanaan dan pengambilan keputusan. Peramalan dibedakan atas peramalan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini
lebih menekankan pada peramalan kuantitatif, karena didasarkan atas data kuantitatif pada masa lalu. Pada dasarnya metode peramalan kuantitatif ini dapat dibedakan atas: 1.
Metode peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola hubungan antara variable yang akan diperkirakan dengan variable waktu yang merupakan deret waktu atau time series.
2.
Metode peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola hubungan antara variable yang akan diperkirakan dengan variable lain yang mempengaruhinya, yang bukan waktu, yang disebut metode korelasi atau sebab akibat (causal methods). Metode-metode peramalan dengan menggunakan analisa pola hubungan
antara variable yang akan diperkirakan dengan variable waktu, atau analisa deret waktu terdiri dari: 1.
Metode Smoothing yang mencakup metode data lewat (past data), metode rata-rata kumulatif, metode rata-rata bergerak (moving averages) dan metode exponential smoothing. Metode ini digunakan untuk mengurangi ketidakteraturan musiman dari data yang lalu maupun kedua-duanya, dengan membuat rata-rata tertimbang dari sederetan data yang lalu.
17 Biasanya metode ini digunakan untuk perencanaan dan pengendalian produksi dan persediaan, perencanaan keuntungan, dan perencanaan keuntungan, dan perencanaan keuangan lainnya. 2.
Metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) menggunakan dasar deret waktu dengan model matematis, agar kesalahan yang terjadi dapat sekecil mungkin. Oleh karena itu, penggunaan metode ini membutuhkan identifikasi model dan estimasi parameternya. Metode ini dipergunakan untuk peramalan dalam perencanaan dan pengendalian produksi, dan persediaan serta perencanaan anggaran.
3.
Metode dengan proyeksi trend dengan regresi, merupakan dasar garis trend untuk suatu persamaan matematis, sehingga dengan dasar persamaan tersebut dapat diproyeksikan hal yang diteliti untuk masa depan. Metode ini selalu digunakan untuk peramalan bagi penyusunan rencana penanaman tanaman baru, perencanaan produk baru, rencana ekspansi, rencana investasi, dan rencana pembangunan suatu negara dan daerah. Metode-metode peramalan dengan menggunakan analisa pola hubungan
antara variabel yang diperkirakan dengan variabel lain yang mempengaruhi, yang bukan waktu, atau dikenal dengan metode sebab akibat (causal methods) atau korelasi, terdiri dari: 1.
Metode regresi dan korelasi didasarkan pada penetapan suatu persamaan estimasi menggunakan teknik least square. Hubungan yang ada pertamatama dianalisis secara statistic. Metode ini banyak digunakan untuk peramalan penjualan, perencanaan keuntungan, peramalan permintaan, dan peramalan keadaan ekonomi.
2.
Metode ekonometrik didasarkan atas peramalan pada sistem persamaan regresi yang diestimasikan secara simultan. Metode peramalan ini selalu digunakan untuk peramalan penjualan menurut kelas produk, atau peramalan keadaan ekonomi masyarakat, seperti permintaan, harga, dan penawaran.
3.
Metode input-output dipergunakan untuk menyusun proyeksi trend ekonomi jangka panjang. Model ini banyak digunakan untuk peramalan penjualan
18 perusahaan, penjualan sektor industri dan subsektor industri, produksi dari sektor industri dan subsektor industri (Assauri, 1984).
2.5 Penelitian Terdahulu Mursidah (2005) melakukan penelitian mengenai perkembangan produksi kedelai nasional dan upaya pengembangannya di Propinsi Kalimantan Timur. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder menurut deret waktu (time series). Penelitian dilakukan dengan mengadakan studi pustaka dan analisis deskriptif untuk menggambarkan perkembangan impor kedelai, produksi, potensi dan harga kedelai Indonesia dan pengembangan kedelai di Propinsi Kalimantan Timur. Hasil penelitian ini adalah: 1. Ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun, 2. Produksi kedelai dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri, padahal potensi pengembangannya di dalam negeri sangat bagus. Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah dalam rangka memenuhi swasembada kedelai, 3. Kegiatan pengembangan usaha tani kedelai di Kalimantan Timur masih sangat rendah. Padahal hasil per hektar kedelai di Kalimantan Timur masih jauh lebih bagus daripada hasil per hektar dalam negeri secara umum. Maretha (2008) melakukan penelitian mengenai peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional serta implikasinya terhadap strategi pencapaian swasembada kedelai nasional. Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini adalah terjadi kesenjangan sangat lebar antara konsumsi kedelai dengan produksi kedelai yang berasal dari produksi dalam negeri. Konsumsi kedelai sebesar 1.832.027 ton terjadi pada tahun 2002, sedangkan produksi kedelai sebesar 673.000 ton terjadi pada tahun 2002, sehingga terjadi defisit yang cukup besar yaitu 1.159.027 ton. Berdasarkan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi pola data historis dan peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional sampai tahun 2015, 2. Mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal yang penting untuk dipertimbangkan, 3. Merumuskan alternatif strategi agribisnis kedelai dan identifikasi berdasarkan skala prioritas untuk pencapaian swasembada kedelai nasional. Metode yang digunakan adalah metode peramalan ARIMA, Analisis Regresi Berganda, dan Matriks SWOT dan
19 QSPM. Hasil ramalan produksi dan konsumsi dengan mengunakan ARIMA menunjukan nilai sebesar masing-masing 775.437 ton dan 2.080.272 ton. Hal ini menunjukan belum tercapainya swasembada kedelai pada tahun 2015. Dibuat skenario pencapaian swasembada kedelai tahun 2015 dengan menggunakan
Analisis Regresi. Berdasarkan Skenario diperoleh nilai prediksi Produksi pada tahun 2015 sebesar 2.673.225 ton sedangkan hasil prediksi konsumsi ARIMA sebesar 2.080.272 ton dan hasil prediksi konsumsi Departemen Pertanian sebesar 2.341.594 ton. Hal ini menunjukan bahwa sudah tercapainya swasembada kedelai tahun 2015. Strategi alternatif terpilih dengan matriks SWOT dan QSPM, yaitu sebagai berikut: Strategi alternatif terpilih yang pertama: memberlakukan tarif impor kedelai sebesar lebih dari 20 persen serta mengawasi sistem perdagangan kedelai terhadap penyelundupan produk-produk ilegal kedelai serta mengasi pintu-pintu masuk penyelundupan barang dari luar negeri. Strategi alternatif terpilih yang kedua : mengatur alokasi anggaran yang memadai untuk penelitian dan pengembangan perkedelaian, peningkatan kerjasama kemitraan antar lembaga penelitian, serta meningkatkan peran serta masyarakat. Strategi alternatif terpilih yang ketiga : meningkatkan pengembangan dan penyajian benih, bibit unggul dan alsintan, serta peningkatan produktivitas melalui perbaikan genetis dan teknlogi budidaya dan peningkatan efisien penaganan pasca panen dan pengolahan. Strategi alternatif terpilih yang keempat: meningkatkan mutu atau kualitas kedelai nasional, serta meningkatkan keamanan dan higienitas kedelai yang dikonsumsi masyarakat. Aji (2008) melakukan penelitian mengenai Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Jalar Nasional dalam rangka Rencana Program Diversifikasi Pangan Pokok. Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini bahwa ubi jalar sangat prospektif untuk dijadikan pangan lokal alternatif, namun dalam segi produksi dan konsumsi ubi jalar mempunyai kecenderungan pola tren yang menurun, sehingga penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ramalan jumlah produksi dan konsumsi ubi jalar nasional di masa depan, menganalisis faktorfaktor apa yang berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi dan konsumsi ubi jalar nasional serta menganalisis implikasi faktor-faktor yang berpengaruh dengan hasil ramalan produksi dan konsumsi ubi jalar terhadap rencana program
20 diversifikasi pangan pokok. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbagai metode peramalan Time Series serta metode peramalan Kausal dengan analisis Regresi Berganda. Peramalan sampai 10 tahun kedepan (tahun 2016) menunjukkan bahwa produksi (1.671.280 ton) dan konsumsi (1.653.014 ton) ubi jalar tidak bisa memenuhi target yang diharapkan. Skenario peningkatan produksi ubi jalar dengan analisis regresi berganda, agar mencapai target dilakukan dengan meningkatkan luas tanam ubi jalar sebesar 264.617,596 ha. Peningkatan luas tanam ubi dilakukan dengan melakukan konversi lahan padi ke lahan ubi sebesar 2 persen. Alternatif strategi yang bisa dilakukan antara lain pendekatan kewilayahan terpadu (sub terminal agribisnis) dengan konsep pengembangan agribisnis, lahan sawah yang kurang produktif dialihkan ke usaha budidaya ubi jalar, serta pemberdayaan lahan pasang surut sebagai lahan tambahan untuk menanam padi sehingga luas lahan padi untuk konversi lahan padi ke lahan ubi tidak berkurang. melakukan rekayasa sosial terhadap pola konsumsi masyarakat melalui kerjasama dengan industri pangan; diversifikasi produk ubi jalar dengan pendirian industri tepung dan pasta ubi jalar; promosi, kampanye dan sosialisasi tentang manfaat ubi jalar secara komprehensif dan kontinyu; pemberian insentif untuk konsumsi pangan nonberas serta penghargaan ketahanan pangan bagi para masyarakat. Sari (2011) melakukan penelitian mengenai Analisis Daya saing dan Strategi Pengembangan Kedelai Lokal di Indonesia. Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini bahwa Tingginya permintaan kedelai di dalam negeri tidak diikuti dengan produksi kedelai lokal yang hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, sehingga impor terus dilakukan. Derasnya impor kedelai dengan harga murah membuat pasar kedelai di dalam negeri didominasi oleh kedelai impor. Hal ini yang membuat petani kedelai lokal semakin terhimpit sehingga gairah petani untuk menanam kedelai semakin berkurang, sehingga tujuan dari penelitian ini adalah 1. menelaah sistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia, 2. menganalisis daya saing agribisnis kedelai lokal Indonesia, 3. merumuskan strategi pengembangan dan arsitektur strategik agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Alat analisis yang digunakan untuk mengetahui daya saing adalah Porter’s Diamond Theory, sedangkan untuk merumuskan strategi maka digunakan alat analisis SWOT dan arsitektur strategik.
21 Hasil analisi berdasarkan Porter’s Diamond Analyse diperoleh bahwa daya saing komoditas kedelai Indonesia lemah. Berdasarkan analisis SWOT, diperoleh sepuluh alternatif strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan agribisnis kedelai lokal di Indonesia: 1. Peningkatan produksi kedelai lokal, 2. Pengembangan industri pengolahan berbasis kedelai lokal 3. Penguatan Kelembagaan 4. Membentuk kerjasama dengan lembaga permodalan non bank 5. Mengatur ketersediaan benih dan pupuk pada sentra produksi kedelai 6. Meningkatkan peran kelompok tani dalam mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia, 7. Melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis kedelai lokal, 8. Melakukan bimbingan dan pembinaan petani kedelai lokal, 9. Pembatasan volume impor 10. Membentuk Lembaga Stabilitas Harga kedelai. Dari sepuluh strategi tersebut dihasilkan program-program untuk mencapai sasaran tersebut dengan menghadapi tantangan yang ada selama pelaksanaan program. Program-program tersebut dilakukan secara bertahap dan rutin yang dipetakan ke dalam rancangan arsitektur strategi.
2.6 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Data yang digunakan dalam penelitian ini lebih terbaru, yaitu data tahun 1981 hingga tahun 2011. Tujuan dalam penelitian ini didasarkan pada Rencana Strategis Kementerian Pertanian untuk Swasembada Pangan Tahun 2014. Analisis perkembangan
produksi
dan
konsumsi
kedelai
domestik,
tidak
hanya
dideskripsikan namun juga menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan ataupun peningkatan dalam produksi dan konsumsi kedelai. Peramalan swasembada kedelai tahun 2014 tidak hanya sebatas meramalkan, namun juga menganalisis implikasi kebijakan yang digunakan untuk pencapaian swasembada kedelai. Rekomendasi yang diberikan berisikan pula rekomendasi teknis dalam menjalankan peranan pemerintah daerah.
22
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep kajian ilmu sebagai acuan alur berfikir dalam melakukan penelitian. Teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini antara lain konsep analisis statistika deskriptif dan metode Box Jenkins (ARIMA). 3.1.1 Analisis Statistik Deskriptif Analisis statistik deskriptif adalah teknik statistik yang memberikan informasi hanya mengenai data yang dimiliki dan tidak bermaksud untuk menguji hipotesis dan kemudian menarik inferensi yang digeneralisasikan untuk data yang lebih besar atau populasi. Statistik deskriptif hanya dipergunakan untuk menyajikan dan menganalisis data agar lebih bermakna dan komunikatif dan disertai perhitungan-perhitungan sederhana yang bersifat lebih memperjelas keadaan dan atau karakteristik data yang bersangkutan (Nurgiantoro et al, 2009). Statistik deskriptif juga mencakup perhitungan-perhitungan sederhana yang biasa disebut sebagai statistik dasar, yang antara lain meliputi perhitungan frekuensi, frekuensi kumulatif, persentase, persentase kumulatif, tingkat persentil, skor tertinggi dan terendah, rata-rata hitung, simpangan baku, pembuatan tabel silang, lain-lain. Berbagai perhitungan statistik dasar tersebut berfungsi lebih memperlengkap informasi dan atau pemerian tentang keadaan suatu data yang ditampilkan (Nurgiantoro et al, 2009). Nilai-nilai data yang terdeskripsikan dalam bentuk daftar, tabel, diagram, atau grafik, serta rekaman-rekaman lainnya, maknanya
akan
sangat
bervariasi,
tergantung tingkat
pemahaman
dan
pemanfaatan informasi (Siregar, 2004). Perhitungan-perhitungan statistik dasar yang mana dilakukan pada umumnya tergantung pada kebutuhan dan tujuan dilakukannya penelitian atau pihak pengguna (Nurgiantoro et al, 2009).
3.1.2 Metode Peramalan Box Jenkins atau ARIMA (Autoregressive Intergrated Moving Average) Metode peramalan Box Jenkins adalah suatu metode yang sangat tepat untuk menangani atau mengatasi kerumitan deret waktu dan situasi peramalan lainnya.
23 Kerumitan yang terjadi karena terdapatnya variasi dari pola data yang ada, sehingga diperlukan pendekatan untuk meramalkan data dengan pola rumit tersebut dengan menggunakan beberapa aturan yang relatif baik, disamping itu metode ini juga dapat dipergunakan untuk meramalkan data historis dengan kondisi yang sulit dimengerti pengaruhnya terhadap data secara teknis. Alasan dikembangkannya metode ini, karena metode yang ada selalu mengasumsikan atau dibatasi hanya untuk macam-macam pola tertentu dari data. Metode Box Jenkins tidak dibutuhkan adanya asumsi tentang suatu pola yang tetap. Pendekatan Box Jenkins dimulai dengan mengadakan asumsi adanya pola percobaan atau tentatif yang disesuaikan dengan data historis, sehingga kesalahan dapat diminimalisasikan. Pendekatan Box Jenkins ini memberikan informasi secara eksplisit untuk memungkinkan peneliti memikirkan atau memutuskan apakah pola yang secara tentatif diasumsikan tersebut adalah tepat atau benar untuk keadaan atau situasi yang telah terjadi. Jika hal ini telah dilakukan, maka peramalan dapat langsung disusun dan jika tidak sesuai pola yang diasumsikan, maka pendekatan Box Jenkins akan memberikan lebih jauh tanda-tanda untuk mengidentifikasi pola yang benar. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa pendekatan ini sesungguhnya merupakan pendekatan yang sangat tepat secara statistik. George Box dan Gwilyn Jenkins telah mengembangkan suatu diagram skema untuk dapat menggambarkan pendekatan ini bagi penyusunan ramalan. Diagram tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Pendekatan ini membagi masalah peramalan dalam tiga tahap yang didasarkan pada postulasi atas kelas yang umum dari model-model peramalan. Tahap pertama, suatu model tertentu dapat dimasukkan secara tentatif sebagai suatu metode peramalan yang sangat cocok untuk keadaan yang diidentifikasi. Tahap kedua, mencocokkan model tersebut untuk data historis yang tersedia dan melakukan suatu pengecekan untuk menentukan apakah model tersebut sudah cukup tepat. Jika tidak tepat, maka pendekatan ini kembali lagike tahap pertama dan suatu model alternatif diidentifikasikan. Bila suatu model sudah cukup tepat, kemudian diisolasikan dan tahap ketiga dilakukan penyusunan ramalan untuk beberapa periode yang akan datang.
24 Postulasi suatu kelas yang umumdari model-model
Tidak
Identifikasi model yang dapat dimasukkan secara tentatif.
Tahap 1
Pengestimasian parameter dalam model yang dimasukkan secara tentatif.
Tahap 2
Pengecekan diagnostik: metode itu cukup tepat
Tahap 3
Menggunakan model-model untuk peramalan. Gambar 1. Metode Peramalan Box Jenkins Pada dasarnya ada dua model dari metode Box Jenkins, yaitu model-model linear untuk deret yang statis (stationary series) yang disebut dengan model ARMA (autoregressive-moving average) dan model-model linear untuk deret yang tidak statis (nonstatsionary series) yang disebut dengan model ARIMA (autoregressive integrated moving average). Model ARIMA telah terbukti menjadi model peramalan jangka pendek terbaik untuk macam-macam deret waktu. Dalam banyak pengkajian, peramalan dengan model ARIMA sering mempunyai kemampuan pengerjaan atau penggunaan yang lebih luas dan lebih rumit dari sistem ekonometri untuk sejumlah deret ekonometri. Dalam model ARIMA, hasil yang terbaik dapat dicapai bila digunakan sekurang-kurangnya data 5 sampai dengan 10 tahun, sehingga dapat ditunjukkan dengan tepat adanya deret data dengan pengaruh musim yang kuat. Keuntungan nyata dari model-model ARIMA adalah bahwa ramalanramalan yang dilakukan dapat dikembangkan untuk periode-periode yang sangat pendek. Lebih banyak waktu yang dipergunakan untuk memperoleh atau mendapatkan data yang berlaku, daripada waktu untuk penyusunan modelnya.
25 Oleh karena itu, dalam praktek, model ARIMA sering dipergunakan (Assauri, 1984).
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai lebih dari 230 juta jiwa. Tingginya jumlah penduduk Indonesia menyebabkan konsumsi pangan untuk negara ini juga tinggi, namun tingginya konsumsi pangan di Indonesia, belum mampu ditutupi oleh jumlah produksi pangan dalam negeri. Ketimpangan antara produksi dan konsumsi pangan ini sudah menjadi salah satu masalah dalam banyak negara berkembang, dan salah satunya di Indonesia. Permasalahan dalam penyediaan pangan merupakan masalah yang tidak bisa dikesampingkan, karena pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus terpenuhi bagi kesehatan masyarakat,
sehingga
permasalahan
pangan
menjadi
persoalan
yang
membutuhkan perhatian khusus. Persoalan ini terjadi salah satunya pada tanaman pangan, yaitu komoditas kedelai. Fluktuasi yang terjadi pada pertumbuhan produksi kedelai dalam negeri, dan terus meningkatnya konsumsi kedelai menjadi masalah yang harus dapat dipecahkan agar kebutuhan kedelai domestik untuk masyarakat dapat terpenuhi. Menurut Supadi (2008) menyatakan bahwa beberapa penyebab penurunan produksi kedelai, antara lain: kebijakan perdagangan yang terlalu liberal dan tidak berpihak kepada petani, serta dicabutnya wewenang Bulog sebagai lembaga stabilisasi harga pangan menjadi penyebab rontoknya benteng ketahanan pangan nasional. Rontoknya sektor pangan Indonesia merupakan dampak dari Letter of Intent (LOI) dengan IMF (International Monetary Fund) pada Januari 1998, yang antara lain mencakup: 1. dihapuskannya tarif impor pangan menjadi 0%, 2. dicabutnya monopoli impor Bulog, 3. dikuranginya peran Bulog, dan 4. pelarangan pemberian kredit likuiditas bagi Bulog, disamping itu lemahnya sistem manajemen dalam usahatani kedelai pada petani-petani lokal juga merupakan penyebab dalam rendahnya produksi kedelai dalam negeri. Hal ini berkaitan dengan sistem informasi, penggunaan teknologi, teknik budidaya, dan teknik pasca panen (Zakiah, 2012)
26 Melihat dari persoalan yang ada, Pemerintah sudah memiliki rencana dalam usaha peningkatan produksi pangan, khususnya kedelai. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menargetkan swasembada kedelai dalam rancangan rencana strategis Kementerian Pertanian tahun 2010 - 2014. Berdasarkan target tersebut, penelitian ini dilakukan untuk memberikan kemudahan kepada pemerintah ataupun khayalak umum dalam mendapatkan informasi mengenai kondisi komoditas kedelai di Indonesia, selanjutnya dapat dijadikan referensi untuk pemerintah dalam pelaksanaan upaya peningkatan produksi kedelai untuk ke depannya. Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai dideskripsikan dengan menggunakan konsep analisis statistika deskriptif. Langkah berikutnya, dibutuhkan pula peramalan produksi dan konsumsi sebagai input dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pemerintah untuk membentuk suatu kebijakan yang sesuai nantinya sebagai dasar upaya pelaksanaan pencapaian target swasembada kedelai. Peramalan produksi dan konsumsi kedelai digunakan metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) dengan membangun suatu model peramalan ARIMA. Peramalan ini dilakukan guna untuk memproyeksikan keadaan produksi dan kondisi komoditas kedelai hingga tahun 2014. Peramalan ini dilakukan untuk menjawab apakah pada tahun tersebut Indonesia dapat berswasembada kedelai seperti yang telah ditargetkan oleh pemerintah. Jika hasil ramalan menunjukkan konsumsi lebih besar daripada produksi, maka swasembada kedelai masih belum dapat tercapai. Apabila hasil ramalan menunjukkan produksi sama dengan atau lebih besar daripada konsumsi, maka swasembada kedelai dapat tercapai. Tahap
selanjutnya,
mengimplementasikan
hasil
peramalan
untuk
pengupayaan swasembada kedelai sampai 2014. Jika hasil peramalan yang didapatkan adalah berhasil mencapai swasembada kedelai, maka pemerintah melanjutkan kebijakan yang sudah ada secara berkelanjutan, dan apabila hasil peramalan adalah belum dapat mencapai swasembada kedelai, maka dilakukan perumusan strategi kebijakan dan mengidentifikasi implikasinya. Strategi kebijakan tentunya sesuai dengan batas kemampuan dan potensi yang ada di dalam negeri. Kebijakan tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pemerintah untuk membentuk suatu kebijakan sebagai langkah
27 upaya pencapaian swasembada kedelai sesuai target yang dicanangkan pemerintah melalui Kementerian Pertanian. Adapun alur kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Penurunan Produksi Kedelai Domestik Peningkatan Konsumsi Kedelai Domestik Pemenuhan Kekurangan Pasokan Kedelai dalam Negeri Melalui Impor kedelai. Target Pemerintah Swasembada Kedelai Tahun 2014 Dibutuhkan Peramalan Apakah Swasembada Kedelai Dapat Dicapai atau Tidak
Identifikasi Perkembangan Komoditas Kedelai : Analisis Statistik Deskriptif
Hasil Ramalan : Swasembada Tercapai tercapai. Melanjutkan Kebijakan yang Sudah Berjalan
Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai hingga Tahun 2014 : Metode ARIMA
Hasil Ramalan : Swasembada Tidak Tercapai tercapai. Strategi yang Dapat Dilakukan untuk Upaya Pencapaian Swasembada Pangan
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 2. Alur Pemikiran Operasional
28
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini mengkaji kondisi produksi dan konsumsi komoditas kedelai domestik. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang digunakan meliputi data luas areal panen kedelai, produktivitas kedelai, produksi kedelai, konsumsi kedelai, jumlah impor kedelai, dan jumlah penduduk Indonesia. Data-data ini didapatkan dari Badan Pusat Statistik, buku ataupun artikel yang terkait dengan penelitian ini dan media lain seperti internet. Data yang terkumpul berupa data time series dengan periode waktu, yaitu tahun 1981 – 2011. 4.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data Dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Eviews 6 dan Minitab version 14 untuk memproyeksikan data produksi dan konsumsi kedelai domestik secara nasional. Model peramalan yang digunakan adalah metode ARIMA. Proyeksi dan analisis data dilakukan pada periode tahun 2013 – 2014.
4.2.1 Metode Analisis Statistik Deskriptif Metode analisis statistik deskriptif digunakan untuk menyajikan dan menganalisis data agar lebih bermakna dan komunikatif, disertai dengan perhitungan sederhana untuk memperjelas keadaan atau karakteristik data yang bersangkutan (Nurgiantoro et al, 2009). Metode ini digunakan untuk menganalisis perkembangan kedelai domestik dan strategi kebijakan dan implikasinya dalam upaya pencapaian swasembada kedelai tahun 2014. Pada perkembangan kedelai domestik akan dijelaskan penyebab rendahnya produksi kedelai dan tingginya konsumsi kedelai berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Strategi kebijakan dan implikasinya akan dijelaskan mengenai proyeksi kebutuhan akan peningkatan luas areal tanam dan produktivitas kedelai berdasarkan hasil peramalan produksi dan konsumsi kedelai domestik dan menjelaskan kebijakan yang diperlukan untuk pencapaian swasembada.
29
4.2.2 Metode ARIMA (Autoregressive Intergrated Moving Average) Metode ARIMA digunakan untuk memproyeksikan produksi dan konsumsi kedelai domestik hingga tahun 2014. Hasil proyeksi nantinya akan dianalisis dengan membandingkan hasil tersebut dengan hasil perhitungan sederhana dari beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan produksi dan konsumsi kedelai domestik seperti konversi lahan, OPT (Organisme Penggangu Tanaman) utama, jumlah penduduk, dan permintaan industri terbesar pengguna kedelai. Analisis ini digunakan untuk mempermudah dalam memperkirakan penyebab penurunan ataupun peningkatan produksi dan konsumsi kedelai domestik dari hasil proyeksi ARIMA tersebut. Metode ARIMA memanfaatkan sepenuhnya data masa lalu dan data sekarang untuk menghasilkan peramalan yang akurat. Metode ARIMA berbeda dari metode peramalan lain karena metode ini tidak mensyaratkan suatu pola data tertentu supaya model dapat bekerja dengan baik, dengan kata lain metode ARIMA dapat dipakai untuk semua tipe pola data. Metode ARIMA akan bekerja dengan baik apabila data runtut waktu yang digunakan bersifat dependen atau berhubungan satu sama lain secara statistik (Sugiarto et al, 2000). Model Box-Jenkins secara umum dirumuskan dengan notasi ARIMA (p,d,q), dalam hal ini, p menunjukkan orde/derajat Autoregressive (AR), d menunjukkan orde/derajat Differencing (Pembedaan), dan q menunjukkan orde/derajat Moving Average (MA) (Sugiarto et al, 2000).
1.
Model Autoregressive (AR) Model ini menggambarkan bahwa variabel dependen dipengaruhi oleh
variabel dependen itu sendiri pada periode-periode atau waktu-waktu yang sebelumnya. Secara umum model Autoregressive (AR) mempunyai bentuk sebagai berikut: Yt = Ø0 + Ø1Yt-1 + Ø2Yt-2 +... + ØpYt-p + εt................................... (6) dimana Yt
= nilai variabel dependen pada waktu t.
30 Yt-p
= variabel independen yang dalam hal ini merupakan lag (beda waktu) dari variabel dependen pada satu periode sebelumnya hingga p periode sebelumnya.
Ø0
= intersep
Ø1,Ø2,...,Øp
= koefisien atau parameter dari model autoregressive.
εt
= residual pada waktu t Orde dari model AR (yang diberi notasi p) ditentukan oleh jumlah periode
variabel independen yang masuk dalam model.
2.
Model Moving Average (MA) Secara Umum model Moving Average mempunyai bentuk sebagai berikut: Yt = ω0 + εt – ω1εt-1 – ω2εt-2 - ... – ωqεt-q ........................................ (7)
dimana Yt
=
variabel dependen pada waktu t
εt-1,εt-2,...,εt-q
=
nilai residual sebelumnya (lag)
ω0
=
intersep
ω1,ω2,ωq
=
koefisien model Moving Average yang menunjukkan bobot.
εt
=
residual
Perbedaan model Moving Average dengan model Autoregressive terletak pada jenis variabel independen. Bila variabel independen pada model Autoregressive adalah nilai sebelumnya (lag) dari variabel dependen (Yt) itu sendiri, maka pada model Moving Average sebagai variabel independennya adalah nilai residual pada periode sebelumnya. Orde dari model MA (yang diberi notasi q) ditentukan oleh jumlah periode variabel independen yang masuk dalam model.
3.
Model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) Model AR dan MA dapat dikombinasikan untuk menghasilkan model
ARIMA dengan bentuk umum: Yt = Ø0 + Ø1Yt-1 + Ø2Yt-2 + ... + ØpYt-p – ω1et-1 – ω2et-2 - ... – ωqet-q + εt............(8) Model ARIMA menggunakan baik nilai sebelumnya (lag) dari variabel dependen (Yt) maupun nilai residual periode sebelumnya, dengan penggabungan
31 ini diharapkan model ARIMA dapat mengakomodasi pola data yang tidak dapat diidentifikasi secara sendiri-sendiri oleh model MA arau model AR. Penerapan metode Box-Jenkins mempunyai tiga tahap yang terpisah, yaitu (Arsyad, 2001): Tahap 1: Identifikasi model Langkah pertama dalam tahap identifikasi model adalah menentukan apakah data runtut waktu yang akan digunakan bersifat statsioner atau tidak. Jika data runtut waktu tersebut tidak statsioner, biasanya dapat dikonversi menjadi data runtut waktu yang statsioner dengan menggunakan metode pembedaan (Differencing method). Proses ini dapat dilakukan satu kali yang disebut pembedaan pertama atau first differencing dengan rumus (Firdaus, 2006): ∆Yt = Yt– Yt-1......................................................... (9) Bila dengan pembedaan pertama data masih belum statsioner maka dilakukan pembedaan kedua (Second Differencing) dengan rumus: ∆2Yt = (Yt – Yt-1) – (Yt-1 – Yt-2) ....................................... (10) Pendeteksian kestasioneran data dapat dilakukan dengan
uji Akar Unit
(Unit Root Test) dengan pilihan jenis uji adalah Augmented Dickey Fuller (ADF) dengan menggunakan software Eviews version 6. Jika |nilai ADF test statistics| lebih besar dari |nilai titik kritis pada taraf nyata 5 persen| maka data tersebut stasioner, dan sebaliknya (Juanda et al, 2012). Jika data runtut waktu sudah statsioner, selanjutnya mengidentifikasi bentuk model yang akan digunakan. Tahap ini dilaksanakan dengan membandingkan koefisien autokorelasi (ACF) dan koefisien autokorelasi parsial (PACF) data tersebut dengan distribusi untuk berbagai model ARIMA. Pada umumnya, Tahap ini harus mengidentifikasi autokorelasi yang secara eksponensial menjadi nol. Jika autokorelasi secara eksponensial melemah menjadi nol berarti terjadi proses AR. Jika autokorelasi parsial melemah secara eksponensial berarti terjadi proses MA. Jika keduanya melemah berarti terjadi proses ARIMA, dengan menghitung jumlah ACF dan PACF yang secara signifikan berbeda dari nol, maka kemudian dapat menentukan derajat proses MA dan atau AR. Tahap 2: Pengestimasian dan Pengujian Model Setelah model sementara dipilih maka parameter model tersebut harus diestimasi. Setelah diestimasi perlu dilakukan kelayakan model tersebut. Langkah
32 ini dilakukan dengan menguji residual (error term): εt = Yt – Yt’, selisih antara data dengan hasil peramalannya untuk meyakinkan bahwa residual bersifat random (Arsyad, 2001). Jika nilai-nilai koefisien autokorelasi dari residual untuk berbagai time lag tidak berbeda secara signifikan dari nol, model dianggap memadai untuk dipakai sebagai model peramalan (Sugiarto et al, 2000). Kelayakan suatu model dapat pula diuji dengan pemenuhan syarat kriteria model terbaik. Model terbaik didasarkan pada enam kriteria dalam model BoxJenkins, yaitu (Firdaus, 2006): 1.
Model Parsimonious. Model yang diperoleh menunjukkan bahwa model relatif sudah dalam bentuk paling sederhana.
2.
Parameter yang diestimasi berbeda nyata dengan nol. Hal ini dapat dilihat dari nilai ρ-value koefisien yang kurang dari 0,05 (taraf nyata).
3.
Kondisi Invertibilitas ataupun stasioneritas harus terpenuhi. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah koefisien AR atau MA dimana masing-masingnya harus kurang dari 1.
4.
Proses iterasi harus convergence. Bila terpenuhi maka pada session terdapat pernyataan relative change in each estimate less than 0,0010.
5.
Model harus memiliki MSE (Mean Squared Error) yang kecil.
6.
Melihat residual dari kolegram ACF dan PACF. Nilai ρ-value untuk uji statistik lebih besar dari 0,05 yang dapat dilihat pada indikator Ljung-Box (LB) Statistic yang menunjukkan bahwa residual sudah acak, selain itu grafik ACF dan PACF dari residual menunjukkan pola cut off yang berarti bahwa residual memang sudah acak.
Tahap 3: Peramalan dengan Model 1.
Setelah model yang sesuai diperoleh maka dapat membuat peramalan untuk satu atau beberapa periode mendatang, didalam estimasi ini interval keyakinan dapat ditentukan. Umumnya, semakin jauh peramalan maka interval keyakinan akan semakin besar. Peramalan dan interval dihitung dengan program Box-Jenkins.
2.
Semakin banyak data yang tersedia, model yang sama dapat digunakan untuk mengubah peramalan dengan cara memilih waktu awal yang lain.
33
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan utama setelah padi dan jagung. Komoditas ini memiliki kegunaan yang beragam, terutama sebagai bahan baku industri makanan kaya protein nabati dan sebagai bahan baku industri pakan ternak. Selain sebagai sumber protein nabati, kedelai merupakan sumber lemak, mineral, dan vitamin serta dapat diolah menjadi berbagai makanan seperti tahu, tempe, tauco, kecap, dan susu (Zakaria, 2010a). Banyaknya kegunaan kedelai menyebabkan konsumsi terhadap komoditas ini cenderung meningkat dalam setiap tahunnya, namun dari sisi produksi kedelai domestik mengalami pertumbuhan yang cenderung rendah, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelai domestik. Perkembangan produksi kedelai nasional pada tahun 1981 hingga 2011 dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan gambar, terjadi pertumbuhan yang fluktuatif dari perkembangan produksi kedelai domestik, sedangkan untuk perkembangan konsumsi kedelai menunjukkan pertumbuhan yang cenderung terus meningkat. Pada gambar grafik pula terlihat garis kurva konsumsi berada diatas garis kurva produksi. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan kedelai lebih besar dibandingkan produksi kedelai domestiknya. Garis kurva konsumsi yang semakin menjauhi garis kurva produksi, semakin memperjelas bahwa terdapat kesenjangan yang tinggi antara konsumsi dan produksi kedelai domestik di Indonesia. Kesenjangan tersebutlah yang merupakan besarnya kekurangan jumlah pasokan kedelai yang dibutuhkan dalam negeri, sehingga penyediaan pasokan kedelai untuk menutupi kekurangan dipenuhi melalui impor. Laju pertumbuhan rata-rata produksi kedelai domestik selama kurun waktu tahun 1981 hingga 2011 hanya sebesar 2,10 persen, sedangkan laju pertumbuhan rata-rata konsumsinya sebesar 7,85 persen. Rendahnya pertumbuhan kedelai domestik menjadi salah satu pemicu ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai.
34 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
0
Konsumsi (Ton)
Produksi (Ton)
Luas Areal Panen (Ha)
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian (Kementan), 2012
Gambar 3.
Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Luas Areal Panen Kedelai Tahun 1981 – 2011
Perubahan yang terjadi pada produksi kedelai domestik didominasi oleh pengaruh dari perubahan yang terjadi pada luas areal panennya. Hal ini ditunjukkan oleh garis kurva perkembangan luas areal panen yang mengikuti pola garis kurva produksinya (Gambar 3), sedangkan produktivitas kedelai hanya berpengaruh kecil terhadap produksi kedelai, karena rata-rata peningkatan produktivitas kedelai rendah, yaitu sebesar 0,02 ton per hektar per tahunnya dengan laju pertumbuhan produktivitas kedelai rata-rata selama tahun 1981 hingga 2011 sebesar 1,63 persen (Gambar 4). Berdasarkan perkembangan produksi kedelai domestik yang lebih rendah dibandingkan
perkembangan
konsumsinya,
maka
dilanjutkan
dengan
menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan ataupun peningkatan pada produksi kedelai domestik, selain itu diperlukan pula analisis faktor-faktor yang menyebabkan tingginya konsumsi kedelai di Indonesia, sehingga Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya yang menyebabkan harus melakukan impor kedelai untuk mengatasi kekurangan pasokan kedelai dalam negeri.
35 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
0.00
Produktivitas (ton/Ha) Sumber: BPS, Kementan, 2012
Gambar 4. Perkembangan Produktivitas Kedelai Domestik Tahun 1981 – 2011 Tahun 1981 hingga 1990, laju peningkatan produksi rata-rata kedelai domestik sebesar 10,58 persen. Produksi kedelai domestik pada tahun 1981 sebesar 703.811 ton, meningkat menjadi 1.487.433 ton pada tahun 1990. Menurut Manwan dan Sumarno (1996), peningkatan produksi ini dipengaruhi oleh peningkatan luas areal usaha dan adanya keragaman produktivitas yang cukup besar yang dicapai oleh seluruh Indonesia, yaitu antara 0,50 – 3,00 ton per ha. Besarnya keragaman dikarenakan besarnya variasi kondisi agroekologi, teknologi yang diterapkan, kendala produksi di masing-masing lokasi, dan tingkat pengelolaan yang diterapkan oleh petani. Selain itu, didukung pula oleh adanya program Intensifikasi Khusus (INSUS), Intensifikasi Umum (INMUM), dan Operasi Khusus (OPSUS) yang digalakkan pada tahun 1989 hingga 1993. Tahun 1991 hingga tahun 2000, laju pertumbuhan kedelai domestik sebesar -2,94 persen. Produksi kedelai pada tahun 1991 sebesar 1.555.453 ton menurun menjadi 1.017.634 ton pada tahun 2000. Penurunan produksi disebabkan oleh luas areal panen kedelai terus menurun (Lampiran 3). Disisi lain tidak terjadi peningkatan produktivitas yang lebih tinggi. Penurunan areal panen kedelai di Indonesia antara lain disebabkan oleh usahatani kedelai berisiko tinggi terhadap gangguan hama dan penyakit, sehingga memerlukan perhatian khusus dan biaya relatif tinggi (Manwan dan Sumarno, 1996). Menurut Harsono (2008), dalam kurun waktu 1995 hingga 2000 harga kedelai juga tidak memadai, sehingga usahatani kedelai kurang menguntungkan dibanding usahatani palawija lain.
36 Turunnya harga kedelai ini disebabkan oleh adanya kebijakan tarif impor nol persen yang diberlakukan sejak tahun 1994 sampai tahun 2004. Kebijakan perdagangan bebas membuat harga kedelai lokal turun akibat harga impor lebih murah, disamping itu kebijakan penghapusan subsidi pupuk serta tidak tersedianya kredit lunak usaha tani palawija akiba krisis ekonomi tahun 1998 menyebabkan meningkatnya biaya produksi, sehingga meningkatkan keengganan para petani dalam menanam kedelai (Fizzanty et al, 2010) Tahun 2001 hingga tahun 2011, laju pertumbuhan produksi rata-rata kedelai sebesar -5,27 persen. Penurunan produksi kedelai ini masih disebabkan oleh harga kedelai yang kurang memadai hingga tahun 2007 (Harsono, 2008). Pada tahun 2010 terjadi keterlambatan masa tanam kedelai dan perubahan cuaca, dimana musim hujan lebih panjang daripada musim kemarau. Jika curah hujan tinggi, maka produksi kedelai tidak akan besar, sehingga petani enggan untuk menanam kedelai. Penurunan produksi yang terjadi pada tahun 2011, bahwa penurunan terjadi karena penurunan luas areal lahan kedelai yang disebabkan oleh harga kedelai yang tidak kompetitif, sehingga terjadi persaingan lahan dengan jagung dan padi yang harganya lebih kompetitif dan terjadinya perubahan iklim yang mengakibatkan intensitas serangan OPT (Organisme Penggangu Tanaman) lebih tinggi dari tahun 2010 (Kementerian Pertanian, 2011). Terdapat berbagai faktor yang menjadi pemicu terjadinya penurunan atau rendahnya produksi kedelai di Indonesia. Kegiatan produksi dilihat dari sisi produsen sebagai pelaku yang melakukan kegiatan produksi dalam penyediaan kebutuhan konsumsi. Sisi produsen yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah petani kedelai. Keputusan petani dalam mengusahakan suatu jenis komoditas dipengaruhi oleh besarnya keuntungan yang akan diperoleh, karena tujuan dari produsen adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari berbagai sumber mengenai penyebab rendahnya produksi kedelai, bahwa rendahnya produksi kedelai domestik terutama dipengaruhi oleh harga kedelai itu sendiri, selain itu dipengaruhi pula oleh aspek pemasarannya, cara pembudidayaan kedelai, konversi lahan ke non-pertanian, dan faktor iklim. Meninjau dari segi persaingan harga pasar, harga kedelai domestik cenderung lebih mahal daripada harga kedelai impor (Tabel 7). Menurut Marwoto,
37 et al (2005), harga kedelai hampir tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah. Harga kedelai ditentukan oleh mekanisme pasar yang ditentukan oleh permintaan dan persediaan (demand dan supply). Berdasarkan hal tersebut, maka rendahnya harga kedelai impor akan menyebabkan harga kedelai domestik ikut mengalami penurunan. Berdasarkan Tabel 7, harga kedelai impor lebih rendah dibandingkan harga kedelai lokal selama tahun 2002 hingga tahun 2011. Hal ini menjadi indikator disinsentif bagi petani dalam menanam kedelai, karena harga kedelai yang rendah dengan biaya produksi yang tetap akan mengurangi keuntungan yang petani peroleh atau bahkan merugikan petani, sehingga petani enggan untuk menanam kedelai. Selain itu, harga kedelai impor yang lebih murah menyebabkan konsumen lebih memilih untuk membeli kedelai impor dibandingkan kedelai lokal, sehingga kedelai lokal menjadi kurang diminati. Tabel 7. Perkembangan Harga Kedelai di Indonesia Tahun 2002 – 2011 Tahun 2002 2003 2004 2005
Harga Kedelai Lokal (Rp/kg) 3.532,01 3.746,12 4.267,52 4.893,37
Harga Kedelai Impor (Rp/kg) 3.315,05 3.523,34 4.070,46 4.591,64
2006
5.085,61
4.748,46
2007 2008 2009 2010 2011
5.405,70 8.514,28 8.657,07 8.475,12 8.814,04
5.199,29 8.118,50 7.952,65 8.095,89 8.289,34
Sumber :Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis, 2013
Menurut Fizzanty et al (2010), turunnya harga kedelai ini disebabkan oleh adanya kebijakan tarif impor nol persen yang diberlakukan sejak tahun 1994 sampai tahun 2004. Kebijakan perdagangan bebas membuat harga kedelai lokal turun akibat harga impor lebih murah, selain itu sejak tahun 1998 impor kedelai tidak lagi ditangani oleh Bulog, namun diserahkan kepada importir umum. Hal ini disepakati berdasarkan kesepakatan dengan IMF (International Monetary Fund). Kondisi ini diduga memberikan peluang impor yang semakin besar, sehingga harga kedelai dalam negeri turun, sebagai akibatnya banyak petani yang lari untuk menanam tanaman lain (Fizzanty et al, 2010). Selama harga kedelai impor rendah dan arus impor kedelai cukup besar, petani enggan menanam kedelai (Marwoto et
38 al, 2005). Akibatnya petani akan memutuskan beralih untuk menanam tanaman substitusi dari kedelai, seperti padi, jagung, atau tanaman pangan lainnya yang lebih menguntungkan. Disinsentif petani terhadap kedelai menyebabkan luas panen kedelai berkurang, karena pengalihan fungsi guna lahan ke tanaman subsitusi dan pada akhirnya menyebabkan penurunan produksi kedelai domestik. Tabel 8. Jumlah Kedelai Domestik dan Kedelai Impor Tahun 2002 - 2011 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Kedelai Domestik (ton) 673.056 671.600 723.483 808.353 747.611 592.534 775.710 974.512 907.031 851.286
Kedelai Impor (ton) 1.365.253 1.192.717 1.117.790 1.086.178 1.132.144 2.240.795 1.173.097 1.314.620 1.740.505 2.088.616
Sumber : BPS, 2013a
Masalah dalam aspek pemasaran kedelai domestik bahwa kedelai lokal tidak menguasai pasar. Pada Tabel 8, jumlah impor selama kurun waktu tahun 2002 2011 cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata laju peningkatan impor dari tahun 2002 hingga 2011 sebesar 12,13 persen dan besarnya persediaan kedelai di Indonesia dalam kurun waktu yang sama juga didominasi oleh kedelai impor dengan besar persentase melebihi 50 persen. Hal ini membuktikan bahwa pangsa pasar di dalam pasar domestik sangat dikuasai oleh kedelai impor, sehingga industri–industri berbahan baku kedelai, seperti industri tahu dan tempe cenderung membeli kedelai impor dibandingkan kedelai domestik, disamping harganya lebih murah. Rendahnya penguasaan kedelai domestik di pangsa pasar menyebabkan kecilnya peluang petani mendapatkan keuntungan yang layak dalam usahatani kedelai. Hal ini disebabkan karena petani memiliki daya tawar dan informasi pasar yang lemah dalam kegiatan pemasaran kedelai, sehingga harga di tingkat petani lebih banyak ditentukan oleh pedagang (Suryana, 2007). Pasar domestik yang didominasi kedelai impor akan berdampak pada terciptanya harga pasar kedelai yang lebih rendah mengikuti harga kedelai
39 impor, sehingga harga kedelai yang terbentuk dari mekanisme pasar mendorong pedagang untuk membeli kedelai domestik dari petani dengan harga yang rendah pula. Faktor selanjutnya adalah cara pembudidayaan kedelai yang dilakukan petani. Sebagian besar petani menanam kedelai pada lahan sawah dan lahan kering. Pada penanaman di lahan sawah, tanaman kedelai ditanam pada lahan bekas tanaman padi, dan merupakan tanaman kedua setelah tanaman padi. Penentuan pola tanam didasarkan atas tipe lahan, curah hujan, dan musim. Di lahan sawah irigasi pada MK I (Maret-Juni), kedelai diusahakan dalam pola padi palawija - sayuran atau padi - palawija - palawija, sedangkan pada MK II (JuliSeptember) diusahakan dalam pola padi - padi - palawija. Penanaman kedelai di lahan sawah tadah hujan dilakukan pada MH (Nopember-Februari) dalam pola palawija - padi dan pada MK I (Maret-Juni) dalam pola padi - palawija. Di lahan kering pada MH I (Nopember-Februari), kedelai ditanam dalam pola palawija palawija dan pada MK I (Maret-Juni) dalam pola padi gogo - palawija atau sayuran – palawija (Puslitbang, 2006). Melihat pola tanam kedelai, tidak adanya lahan permanen bagi tanaman kedelai menjadi sangat mudah bagi petani untuk tidak memilih menanam kedelai, sehingga ketika harga kedelai dirasakan petani kurang menguntungkan maka petani akan mengubah jenis tanamannya dari kedelai ke jenis tanaman palawija lainnya yang nilai ekonominya lebih tinggi atau menguntungkan. Pemilihan tanaman palawija lain yang dilakukan oleh petani, akan mengurangi luas areal tanam kedelai, sehingga dapat menyebabkan produksi kedelai mengalami penurunan. Proses produksi kedelai yang dilakukan petani pada umumnya masih kurang sesuai dengan aturan penanaman yang benar. Kebanyakan petani belum menggunakan pemupukan secara berimbang (Zakaria, 2010b). Disamping itu, dalam hal menghadapi OPT, petani pada umumnya terlambat mengambil tindakan karena kurang mengamati perkembangan hama atau tidak mengetahui saat yang tepat dalam aplikasi insektisida dalam kaitannya dengan fase pertumbuhan hama, jenis pestisida yang diaplikasikan tidak sesuai dengan hama sasaran, serta dosis atau volume semprotnya tidak sesuai dari yang seharusnya (Subandi, 2007). Dalam hal ketepatan waktu penanaman juga, banyak petani yang tidak
40 mengetahui waktu yang tepat untuk penanaman kedelai, padahal ketepatan waktu tanam sangat menentukan keberhasilan usahatani kedelai. Hal ini terkait dalam efisiensi penggunaan tenaga kerja dan biaya produksi (Balitkabi, 2008). Perkembangan produksi kedelai domestik dominan dipengaruhi oleh perkembangan luas areal panen, sehingga apabila terjadi konversi lahan kedelai ke non-pertanian akan berdampak negatif terhadap pembangunan pertanian, khususnya tanaman kedelai. Sebagian besar tanaman kedelai yang ditanami pada lahan sawah, jika lahan sawah tersebut mengalami konversi lahan ke non pertanian, maka terjadi pengurangan petani yang menanam padi sekaligus kedelai. Luas lahan sawah yang menurun akibat dari adanya alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non pertanian mencapai 50 - 70 ribu hektar (ha) per tahun, padahal pencetakan sawah hanya seluas 20 - 40 ribu ha per tahun (Menteri Pertanian, 2011)6. Alih fungsi lahan pertanian ke lahan non-pertanian bersifat irreversible, jika alih fungsi lahan ini terjadi maka sangat sulit untuk dapat dialihfungsikan kembali untuk pertanian. Tumbuhnya sektor di luar pertanian seperti membangun pabrik, rumah, jalan, pasar, dan fasilitas lainnya akan membutuhkan lahan yang lebih banyak seiring meningkatnya jumlah penduduk. Konversi lahan pertanian ke lahan non-pertanian akan menyebabkan penurunan kapasitas produksi pertanian. Faktor penyebab terjadinya konversi lahan ini disebabkan oleh adanya perubahan paradigma petani tentang lahan, dan perubahan nilai dari status pekerjaan sebagai petani dinilai tidak bergengsi, terutama bagi generasi muda. Mereka cenderung dengan mudahnya melepaskan lahan yang dimiliki, selain itu disebabkan pula oleh tidak terlaksananya peraturan tentang konversi lahan secara konsisten (Rachmat, 2011). Tabel 9. Luas Serangan OPT Utama Pada Tanaman Kedelai Rerata 5 Tahun (2005 - 2009), tahun 2010 - 2011 Tahun (2005-2009) 2010 2011
Luas Serangan OPT Utama (Ha) Terkena 6.156 5.247 9.956
Puso 46 8 0
Sumber : Kementan, 2013 6
Hingga Tahun 2025, Kebutuhan Lahan Untuk Pangan Capai 13,17 Juta Ha. http://www.deptan.go.id/news/detail.php?id=914&awal=0&page=&kunci=konversi%20lahan. Diakses pada tanggal 5 Juni 2013
41 Perubahan iklim yang ekstrim sering terjadi karena pengaruh globalisasi perkembangan jaman yang dikenal dengan isu pemanasan global. Akibatnya perubahan iklim mengalami perubahan yang tidak menentu dan petani sukar memprediksinya. Perubahan iklim berkorelasi positif pada kerentanan tanaman terkena hama dan penyakit. Tanaman kedelai merupakan jenis tanaman yang beresiko tinggi terhadap serangan gangguan hama dan penyakit. Terbukti pada tahun 2010 dan 2011 produksi kedelai mengalami penurunan yang salah satunya dikarenakan
serangan
OPT
(Organisme
Pengganggu
Tanaman)
yang
mengakibatkan luas panen mengalami penurunan (Kementerian Pertanian, 2011). Berdasarkan Tabel 9, terjadi peningkatan luas serangan OPT pada tahun 2005 hingga tahun 2011 dengan rata-rata laju peningkatan sebesar 37,49 persen. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2011 dengan luas areal yang terkena serangan OPT seluas 9.956 ha dan laju peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 89,75 persen. Semakin tinggi serangan OPT terhadap lahan tanam kedelai, maka produksi kedelai akan mengalami penurunan. Karakteristik kedelai yang memiliki resiko tinggi terhadap serangan hama dan penyakit akan menyebabkan disinsentif pula bagi petani untuk tahun selanjutnya dalam menanam kedelai jika perubahan iklim tidak mendukung seperti tahun sebelumnya, sehingga petani akan memilih untuk menanam tanaman lain yang memiliki resiko lebih rendah dan tetap menguntungkan, seperti padi atau jagung. Menurut Manwan et al (1996), padi dan jagung memberikan keuntungan yang tinggi dengan tingkat resiko yang jauh lebih rendah dibanding tanaman palawija lain baik dari harga panen maupun gangguan alam seperti kekeringan serta serangan hama dan penyakit. Pola
data
konsumsi
cenderung
terus
mengalami
peningkatan.
Kecenderungan peningkatan yang terjadi dalam konsumsi kedelai ini terutama disebabkan oleh jumlah penduduk Indonesia yang terus mengalami peningkatan pada setiap tahunnya, sehingga kebutuhan konsumsi akan bahan makanan akan terus bertambah (Sudaryanto, 1996). Tahun 1997 dan 1998 konsumsi kedelai sempat mengalami penurunan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh terjadinya krisis moneter di Indonesia, sehingga harga kedelai melambung tinggi. Daya beli masyarakat menurun drastis menyebabkan semakin berkurangnya
42 konsumsi barang yang bisa dibeli oleh masyarakat. Penurunan juga terjadi pada masa tahun 2001, penurunan konsumsi mencapai -44,44 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh penurunan yang cukup tinggi dari ekspor Indonesia yang mencapai -9,80 persen, sedangkan penurunan impornya hanya sebesar -1,14 persen saja (BPS, 2002). Hal ini menyebabkan meningkatnya pendanaan untuk penyediaan kebutuhan dalam negeri yang pasokannya berasal dari luar negeri. Akibatnya pasokan kedelai yang berasal dari impor berkurang, sehingga ketersediaan kedelai di dalam negeri sangat terbatas. Konsumsi kedelai di Indonesia dilihat dari sisi konsumen sebagai pelaku dari kegiatan mengonsumsi barang atau jasa. Sisi konsumen disini adalah seluruh masyarakat Indonesia. Besarnya konsumsi kedelai dilihat dari besarnya permintaan masyarakat terhadap kedelai. Penyebab tingginya konsumsi kedelai di Indonesia dipengaruhi oleh jumlah penduduk, selera konsumen, dan pendapatan. Tabel 10. Jumlah Konsumsi Langsung Kedelai Tahun 2007 - 2011 Tahun
Jumlah Penduduk
Konsumsi Langsung Kedelai (Ton)
2007 2008 2009 2010 2011
227.508.251 230.898.124 234.338.506 237.641.326 241.499.037
11.830,43 12.006,70 12.185,60 12.357,35 12.557,95
Sumber: BPS, Kementan, 2013
Faktor jumlah penduduk merupakan faktor utama dalam menggambarkan peningkatan konsumsi kedelai domestik. Peningkatan jumlah penduduk disertai dengan peningkatan dalam usia kerja atau usia yang semakin tua akan meningkatkan jumlah output yang dibutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi terhadap suatu barang memiliki korelasi positif terhadap jumlah penduduk (Sudaryanto, 1996), maka semakin meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun akan meningkatkan konsumsi terhadap komoditas kedelai. Peningkatan konsumsi langsung kedelai akibat peningkatan penduduk Indonesia dapat dilihat pada Tabel 10.
43 Tabel 11. Permintaan Kedelai oleh Industri Tahu Tempe Tahun 2002 - 2011 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Permintaan Kedelai (Ton/tahun) 1.446.592,90 1.442.982,70 1.306.698,25 1.367.129,71 1.540.618,00 1.584.287,83 1.414.112,47 1.402.082,43 1.401.002,56 1.507.292,09
Sumber : BPS, 2013b (diolah)
Kebanyakan konsumsi kedelai dikonsumsi dalam bentuk makanan olahan, seperti kecap, tauco, oncom, dan terutama dikonsumsi dalam bentuk tahu dan tempe. Konsumen terbesar kedelai di Indonesia adalah industri tahu tempe. Lebih dari 50 persen ketersediaan kedelai di Indonesia, dikonsumsi oleh para produsen tahu tempe sebagai bahan baku. Pada Tabel 11, permintaan produsen tahu tempe terhadap kedelai periode tahun 2002 hingga tahun 2011 memiliki rata-rata laju pertumbuhan yang positif, yaitu sebesar 0,71 persen. Peningkatan permintaan kedelai dalam industri tahu tempe tidak luput dari pengaruh adanya peningkatan jumlah penduduk. Semakin tingginya jumlah penduduk menyebabkan permintaan terhadap produk turunan kedelai meningkat pula. Besarnya permintaan kedelai yang berasal dari industri tahu tempe melebihi satu juta ton kedelai, sedangkan produksi kedelai domestik belum sampai menyentuh angka satu juta ton dalam kurun waktu tahun 2002 hingga 2011. Hal ini membuktikan pula bahwa untuk kebutuhan industri tahu tempe sebagai konsumen terbesar kedelai di Indonesia belum mampu dipenuhi oleh produksi kedelai domestik, sehingga memerlukan kedelai impor. Selera konsumen menjadi faktor yang cukup berpengaruh dalam peningkatan konsumsi kedelai domestik. Perubahan selera menjadi lebih menyukai suatu komoditas akan meningkatkan permintaan terhadap komoditas tersebut. Perubahan Selera konsumen dipengaruhi oleh perubahan karakteristik demografis, seperti tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan kebiasaan (Sudaryanto, 1996). Membaiknya tingkat pendidikan dan semakin tingginya
44 aktivitas pekerjaan mendorong kecenderungan masyarakat untuk lebih sadar akan menjaga kesehatan, sehingga meningkatkan kecenderungan untuk mengonsumsi bahan pangan yang berkualitas tinggi seperti kedelai. Dilihat dari kondisi pendidikan,
Tingkat
pendidikan
masyarakat
Indonesia
terus
mengalami
peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada peningkatan persentase angka partisipasi sekolah yang terjadi pada periode tahun 2002 hingga tahun 2011 yang ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12. Angka Partisipasi Sekolah di Indonesia Tahun 2002 - 2011 Indikator Pendidikan Partisipasi Pendidikan Formal Angka Partisipasi Sekolah (APS) 7-12 th Angka Partisipasi Sekolah (APS) 13-15 th Angka Partisipasi Sekolah (APS) 16-18 th Angka Partisipasi Sekolah (APS) 19-24 th
Tahun 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
96,10
96,42
96,77
97,14
97,39
97,60
97,83
97,95
97,97
97,49
79,21
81,01
83,49
84,02
84,08
84,26
84,41
85,43
86,11
87,58
49,76
50,97
53,48
53,86
53,92
54,61
54,70
55,05
55,83
57,57
11,62
11,71
12,07
12,23
11,38
12,20
12,43
12,66
13,67
13,91
Sumber: BPS, 2013c
Analisis selanjutnya terhadap faktor pendapatan. Pendapatan digunakan sebagai indikator untuk mengukur kemampuan daya beli masyarakat. Pada Tabel 13 menyajikan perkembangan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) per kapita dari periode tahun 2002 hingga tahun 2011. Tabel 13 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan per kapita dengan rata-rata peningkatan pendapatan per kapita sebesar 3,95 persen. Semakin besarnya pendapatan masyarakat, kecenderungan masyarakat dalam mengonsumsi barang akan meningkat pula. Namun peningkatan konsumsi masyarakat terhadap kedelai memiliki proporsi yang rendah, karena komoditas kedelai merupakan jenis barang inelastis. Ketika pendapatan seseorang mengalami peningkatan satu persen, maka peningkatan orang tersebut dalam mengonsumsi kedelai akan kurang dari satu persen dengan asumsi cateris paribus, dengan demikian faktor pendapatan dapat mempengaruhi besarnya konsumsi kedelai domestik, namun pengaruh peningkatan konsumsinya
45 dari sudut analisis pendapatan tidak begitu besar, karena kedelai merupakan barang yang memiliki sifat inelastis. Tabel 13. Pendapatan Domestik Bruto per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2002 - 2011 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011*
Pendapatan Domestik Bruto per Kapita 7.061.207,41 7.287.245,70 7.538.530,99 7.847.599,75 8.154.508,73 8.541.259,06 8.842.701,15 9.190.669,38 9.616.611,75 10.102.168,25
Tingkat Pertumbuhan (%) 2,92 3,20 3,45 4,10 3,91 4,74 3,53 3,94 4,63 5,05
Sumber : BPS, 2013d Keterangan :*angka sementara
5.2 Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan ARIMA, didapatkan model terbaik untuk produksi dan konsumsi kedelai domestik berturut-turut adalah ARIMA (1,2,0) tanpa konstanta dan ARIMA (2,1,0). Hasil pengolahan data dapat dilihat pada Lampiran 2 hingga Lampiran 11. Hasil menunjukkan bahwa kedua model sudah memenuhi syarat kriteria model terbaik, yaitu model relatif sudah merupakan model yang memiliki bentuk sederhana, nilai ρ-value koefisien yang kurang dari 0,05 (taraf nyata), jumlah koefisien AR atau MA kurang dari 1, terdapat pernyataan relative change in each estimate less than 0,0010, model memiliki MSE terkecil (Lampiran 8 dan Lampiran 9), dan ACF dan PACF dari residual menunjukkan pola cut off (Lampiran 10 dan Lampiran 11). Persamaan fungsi ARIMA (1,2,0) tanpa konstanta untuk proyeksi produksi kedelai domestik adalah: (Yt – Yt-1 – Yt-2)
= -0,4439(Yt-1 – Yt-2 – Yt-3) + εt.......................................(11)
Yt
= 0,5561Yt-1 + 1,4439Yt-2 + 0,4439Yt-3 + εt.................... (12)
46 sedangkan persamaan fungsi ARIMA (2,1,0) untuk proyeksi konsumsi kedelai domestik adalah: (Yt – Yt-1)
= 114,65 – 0,4350(Yt-1 – Yt-2) – 0,4207(Yt-2 –Yt-3) + εt... (13)
Yt
= 114,65 + 0,5650Yt-1 + 0,0143Yt-2 + 0,4207Yt-3 + εt..... (14) Berdasarkan persamaan fungsi ARIMA (1,2,0) tanpa konstanta untuk
proyeksi produksi kedelai domestik, hasil menunjukkan bahwa produksi kedelai nasional selama tahun 2012 hingga 2014 akan mengalami pertumbuhan yang negatif. Rata-rata pertumbuhan produksi selama tahun 2012 hinggga 2014 sebesar -7,79 persen dan produksi pada tahun 2014 mencapai 672.020 ton, sedangkan hasil proyeksi konsumsi melalui model ARIMA (2,1,0) menunjukkan bahwa konsumsi kedelai selama periode tahun 2012 hingga tahun 2014 akan mengalami pertumbuhan yang positif. Rata-rata pertumbuhan konsumsi selama periode tersebut sebesar 3,86 persen dan konsumsi pada akhir tahun 2014 mencapai 2.661.406 ton (Tabel 14). Tabel 14. Kesenjangan Hasil Proyeksi Antara Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik Tahun 2012 - 2014 Tahun 2012 2013 2014
Hasil Proyeksi Produksi (Ton) 790.331 731.689 672.020
Konsumsi (Ton) 2.467.893 2.521.705 2.661.406
Senjang (Ton) 1.677.562 1.790.016 1.989.386
5.2.1 Analisis Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik Analisis pada hasil proyeksi dengan ARIMA, penurunan produksi diduga diakibatkan oleh adanya konversi lahan. Menurut Arifin (2012), laju konversi lahan pertanian sebesar 100.000 ha per tahun7. Total luas lahan pertanian yang efektif untuk produksi pertanian pada tahun 2011 hanya 45 juta ha8, sehingga ratarata laju konversi lahannya sebesar -0,22 persen. Jika diperhitungkan berdasarkan 7
Pertanian Formal Versus Pragmatisme. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=12738&coid=2&caid=30&gid=2. Diakses tanggal 1 Juni 2013. 8
Hingga Tahun 2025, Kebutuhan Lahan untuk Pangan Capai 13,17 Juta Ha.http://www.deptan.go.id/news/detail.php?id=914&awal=0&page=&kunci=konversi%20lahan. Diakses tanggal 1 Juni 2013
47 sumber data tersebut diasumsikan laju konversi lahan untuk penanaman kedelai sebesar -0,22 persen, maka pada tahun 2014 lahan tanam kedelai menyusut menjadi sebesar 558.721,39 ha. Laju produktivitas kedelai rata-rata selama kurun waktu 1981 hingga 2011 sebesar 1,63 persen. Hal tersebut mengakibatkan produksi kedelai domestik menurun menjadi sebesar 794.946,69 ton pada tahun 2014 (Tabel 15). Tabel 15. Dampak Konversi Lahan Terhadap Penurunan Produksi Kedelai Domestik Tahun 2012 - 2014 Tahun 2012 2013 2014
Luas Areal Panen (ha) 619.551,21 588.978,16 558.721,39
Produktivitas (ton/ha) 1,38 1,40 1,42
Produksi (ton) 855.679,92 826.024,53 794.946,69
Diduga pula penurunan produksi diakibatkan oleh pengaruh OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Persentase laju peningkatan rata-rata luas areal tanam kedelai terkena OPT utama sebesar 9,16 persen selama tahun 2005 hingga tahun 2012, sehingga apabila terjadi peningkatan pengaruh OPT utama hingga tahun 2014, maka produksi kedelai pada tahun tersebut akan menurun kembali menjadi sebesar 788.716,62 ton (Tabel 16). Penurunan produksi akan dapat terjadi pada jumlah yang lebih besar lagi mendekati pada hasil proyeksi, karena penurunan produksi dipengaruhi pula oleh rendahnya harga kedelai, ketidaktetapan dalam hal penanaman kedelai oleh petani, rendahnya tawar menawar petani dengan pedagang, dan faktor lainnya. Tabel 16. Dampak Peningkatan OPT Utama Terhadap Penurunan Produksi Kedelai Domestik Tahun 2012 - 2014 Tahun 2012 2013 2014
Luas Areal yang Terkena OPT Utama (ha) 5.228,00 5.707,09 6.230,07
Produksi (ton) 850.451,92 820.317,44 788.716,62
Peningkatan konsumsi berdasarkan hasil peramalan ARIMA diduga dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk. Persentase laju peningkatan ratarata penduduk Indonesia tahun 1995 - 2010 sebesar 1,62 persen dan persentase rata-rata konsumsi langsung per kapita terhadap kedelai sebesar 0,06 kg per kapita
48 per tahun selama tahun 2002 - 2011, sehingga permintaan kedelai pada tahun 2014 diduga sebesar 15.714,02 ton (Tabel 17). Tabel 17. Dampak Peningkatan Jumlah Penduduk Terhadap Peningkatan Konsumsi Langsung Kedelai Domestik Tahun 2012 - 2014 Tahun 2012 2013 2014
Jumlah Penduduk (orang)
Permintaan Kedelai (ton)
245.419.371,22 249.403.345,68 253.451.993,33
15.216,00 15.463,01 15.714,02
Permintaan kedelai oleh produsen tahu tempe diduga menjadi penyebab utama peningkatan konsumsi kedelai domestik di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan produsen tahu tempe merupakan konsumen terbesar dalam mengonsumsi kedelai. Rata-rata konsumsi per kapita produsen tahu tempe terhadap kedelai selama tahun 2002 - 2011 sebesar 6,38 kg per kapita per tahun, sehingga didapatkan dugaan jumlah permintaan kedelai yang berasal dari produsen tahu tempe pada tahun 2014 sebesar 1.618.287,18 ton. Total permintaan kedelai berdasarkan permintaan langsung ditambah dengan permintaan kedelai oleh industri tahu tempe menghasilkan total konsumsi kedelai pada tahun 2014 sebesar 1.634.102,58 ton (Tabel 18). Hasil jumlah konsumsi kedelai pada tahun 2014 dapat menjadi lebih besar dari dugaan yang dihasilkan, karena konsumsi kedelai domestik dipengaruhi pula oleh industri-industri pengolahan makanan selain tahu dan tempe, penggunaan sebagai bibit dan pakan ternak, pengaruh dari peningkatan selera, serta pendapatan. Tabel 18. Total Permintaan Kedelai Domestik Berdasarkan Langsung Dan Permintaan Industri Tahun 2012 - 2014
Permintaan
Tahun
Permintaan Langsung Kedelai (Ton)
Permintaan Kedelai oleh Industri (Ton)
Total Permintaan Kedelai (Ton)
2012 2013 2014
15.314,17 15.562,77 15.815,40
1.566.999,00 1.592.436,62 1.618.287,18
1.582.313,17 1.607.999,39 1.634.102,58
Hasil perhitungan dari variabel produksi dan konsumsi berdasarkan dua faktor yang mempengaruhi masing-masing variabel telah menunjukkan bahwa konsumsi kedelai domestik (1.634.102,58 ton) lebih besar dibandingkan produksi domestiknya (788.716,62 ton). Hal ini sejalan dengan
hasil proyeksi yang
49 dihasilkan dengan metode ARIMA, hasil menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu swasembada kedelai pada tahun 2014 (Tabel 14), karena besarnya produksi kedelai domestik lebih rendah dibandingkan konsumsinya. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan kedelai domestik dalam negeri belum mampu terpenuhi hanya dari produksi kedelai domestik. Kesenjangan yang terjadi antara produksi dan konsumsi kedelai domestik terlihat semakin besar dalam kurun waktu tiga tahun peramalan. Hal ini akan menyebabkan pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri melalui impor sebesar 1.989.386 ton kedelai pada tahun 2014. Kemampuan Indonesia dalam memproduksi kedelai pada tahun 2014 hanya sebesar 25 persen saja dan sisanya 75 persen dipenuhi oleh impor kedelai. Berdasarkan pada kondisi impor kedelai tahun-tahun sebelumnya, impor kedelai masih sangatlah dominan. Begitu pula pada jumlah impor berdasarkan peramalan, hasil proyeksi menunjukkan bahwa Indonesia akan terus mengalami ketergantungan terhadap impor kedelai dalam jumlah yang besar hingga tahun 2014 (Tabel 19), sehingga bila tidak ada upaya kebijakan yang dilakukan, maka Indonesia akan ketergantungan terhadap impor kedelai dalam jangka panjang. Upaya untuk menghindari hal tersebut, maka dibutuhkan strategi kebijakan yang sesuai dalam pencapaian swasembada kedelai tahun 2014 mendatang agar produksi kedelai domestik dapat meningkat dengan jumlah minimal sama dengan besar konsumsi masyarakat terhadap kedelai. Tabel 19. Jumlah Impor Kedelai Tahun 2005 - 2014 Tahun Jumlah Impor Kedelai (Ton) 2005 1.086.178 2006 2.204.533 2007 2.673.188 2008 2.261.509 2009 1.314.620 2010 1.740.505 2011 2.088.616 2012 1.677.562 2013 1.790.016 2014 1.989.386
50 5.2.2 Strategi Kebijakan dan Implikasinya dalam Upaya Pencapaian Swasembada Kedelai Tahun 2014 Hasil proyeksi produksi dan konsumsi kedelai domestik menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu untuk swasembada kedelai pada tahun 2014. Hal ini ditunjukkan oleh semakin besarnya kesenjangan yang terjadi antara produksi dan konsumsi (Tabel 14). Semakin besarnya kesenjangan mengindikasikan bahwa semakin besarnya impor yang harus dilakukan untuk menutupi kekurangan pasokan kedelai di Indonesia. Menindaklanjuti masalah tersebut, maka dibutuhkan kebijakan peningkatan produksi kedelai domestik, agar tujuan swasembada dapat terealisasikan dan Indonesia dapat mengurangi ketergantungannya terhadap kedelai impor. Kebijakan peningkatan produksi kedelai domestik dapat ditempuh melalui dua program, yaitu perluasan areal tanam dan atau peningkatan produktivitas (Simatupang et al, 2005). Berdasarkan Tabel 20, swasembada kedelai tercapai apabila minimal jumlah produksi kedelai domestik sama dengan jumlah konsumsinya. Jika program perluasan areal tanam dilakukan, maka didasarkan pada hasil peramalan produksi dan konsumsi kedelai domestik akan dibutuhkan luas areal panen kedelai pada tahun 2014 sebesar 1.945.472,22 hektar (ha), sehingga dibutuhkan luas areal tanam kedelai yang baru paling sedikit sebesar 1.323.218,22 ha dengan asumsi luas areal tanam tersebut mengalami satu kali panen setahun dan produktivitas kedelai tetap. Tabel 20. Kebutuhan Lahan Baru untuk Swasembada Kedelai Tahun 2014 Produktivitas Tahun Produksi (Ton) Luas Areal Panen (Ha) (Ton/ha) 2011 1,37 851.286,00 622.254,00 2014 1,37 1.945.472,22 2.661.406,00 Luas Areal Panen Baru yang Dibutuhkan 1.323.218,22 Kebutuhan akan luas areal tanam yang baru masih memungkinkan untuk dikembangkan. Menurut Menteri Pertanian Suswono (2012), Badan Pertanahan Nasional memiliki lahan terlantar (hutan belukar, semak belukar, dan padang alang-alang atau rumput) yang berpotensi untuk pengembangan komoditas kedelai
51 seluas 7,20 juta ha 9 , selain itu lahan sawah dan lahan kering (tegal, kebun campuran, dan perkebunan) merupakan lahan yang potensial pula untuk pengembangan kedelai. Luas lahan sawah yang sesuai untuk pengembangan kedelai mencapai 4,40 juta ha dan lahan kering 4,30 juta ha yang tersebar di 17 provinsi di Indonesia (BBSDLP, 2008a). Menurut Hermanto (2008), pengembangan kedelai pada lahan kering masam dapat dilakukan dengan sistem tumpang sari pada areal pertanaman ubi kayu, kelapa sawit atau karet muda. Dengan penerapan teknologi maju, kedelai yang ditumpangsarikan dengan ubi kayu dapat menghasilkan produktivitas kedelai sekitar 2 ton per ha (Subandi, 2007), namun dalam perluasan lahan menggunakan lahan kering masam ataupun lahan pasang surut diperlukan pendampingan bagi petani, karena petani belum terbiasa menggunakan lahan jenis tersebut (Mulyani, 2008). Menanggapi peluang besar dalam pengembangan lahan penanaman kedelai, maka implikasinya adalah pemerintah sebagai perencana dan pelaksana dalam pencapaian swasembada pangan dapat melakukan upaya pelaksanaan program ini dengan melakukan penambahan luas lahan tanam kedelai bagi petani seluas 1.323.218,22 ha. Jika ditunjang dengan adanya sarana produksi yang mendukung, maka akan dibutuhkan penyediaan benih sebesar 77.818,89 ton, penyediaan pupuk urea dan NPK masing-masing sebesar 97.273,61 ton dan 194.547,22 ton, serta pestisida sebanyak 3.890.944,44 liter. Besarnya perhitungan kebutuhan akan benih, pupuk, dan pestisida didasari pada perhitungan kebutuhan sarana produksi kedelai per satuan hektar pada Tabel 21 yang disesuaikan pada ketersediaan lahan baru seluas 1.945.472,22 ha. Tabel 21. Kebutuhan Sarana Produksi per Hektar dalam Usahatani Kedelai Sarana Produksi Volume per Ha Volume yang dibutuhkan Benih 0,04 ton 77.818,89 ton Urea 0,05 ton 97.273,61 ton NPK 0,10 ton 194.547,22 ton Pestisida 2,00 liter 3.890.944,44 liter Sumber : Direktorat Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Kementerian Pertanian, 2009(diolah)
9
Mentan: Idealnya Lahan Kedelai 1,5 Juta Hektar. http://berita.plasa.msn.com/article.aspx?cpdocumentid=250559577. Diakses pada tanggal 5 Juni 2013
52 Program selanjutnya melalui peningkatan produktivitas, jika diasumsikan bahwa luas areal panen kedelai tidak mengalami peningkatan, maka dibutuhkan produktivitas rata-rata kedelai pada tahun 2014 sebesar 4,28 ton per ha (Tabel 22). Besarnya produktivitas tersebut sebagai acuan agar produksi kedelai mencapai pada tingkat jumlah yang sama dengan besar jumlah konsumsinya. Tabel 22. Kebutuhan Produktivitas Kedelai untuk Swasembada Kedelai Tahun 2014 Tahun 2011 2014
Produksi (Ton) 851.286 2.661.406
Luas Areal Panen (Ha) 622.254 622.254
Produktivitas (Ton/Ha) 1,37 4,28
Berdasarkan pada hasil perhitungan, terlihat bahwa swasembada kedelai pada tahun 2014 melalui program peningkatan produktivitas saja akan sulit untuk dicapai, karena produktivitas varietas unggul untuk tanaman kedelai saat ini paling besar adalah 4,20 ton per ha yang bernama Mutiara I (Tabel 23) dan hasil rata-rata varietas ini sebesar 2,40 ton per ha, selain itu rata-rata produktivitas kedelai di Indonesia pada tahun 2011 hanya sebesar 1,37 ton per ha dengan ratarata peningkatan produktivitas pada setiap tahunnya adalah sebesar 0,02 ton per ha. Melihat kecilnya peningkatan produktivitas kedelai pada setiap tahunnya periode tahun 1981 hingga tahun 2011, maka akan cukup sulit juga untuk meningkatkan produktivitas walaupun sebesar 4 ton per ha saja selama kurun waktu dua atau tiga tahun untuk mencapai produksi sebesar 2.661.406 ton. Tabel 23. Varietas Unggul Kedelai yang Memiliki Potensi Lebih Besar dari 3 ton per Ha No Nama Varietas Potensi Hasil (Ton/ha) Umur (Hari) 1 Mutiara 1 4,20 75 - 90 2 Kipas Merah Bireun 3,50 85 - 90 3 Detam 1 3,45 84 4 Grobogan 3,40 76 5 Kaba 3,25 85 Sumber : Kementerian Pertanian, 2012b
Peningkatan produktivitas dalam kebijakan peningkatan produksi kedelai domestik dapat dilakukan bila dilaksanakan secara bersamaan dengan program perluasan areal tanam. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
53 (2009), berdasarkan potensi sumberdaya lahan dan inovasi teknologi yang tersedia, produktivitas kedelai di Indonesia dapat ditingkatkan dari rata-rata nasional 1,20 ton menjadi 2 ton per ha, dengan nilai produktivitas tersebut akan dibutuhkan perluasan areal tanam kedelai sebesar 708.449 ha. Implikasinya pemerintah dapat melakukan peningkatan produktivitas bersamaan dengan perluasan areal tanam melalui upaya peningkatan produktivitas kedelai hingga 2 ton per ha dengan menyediakan lahan baru untuk penanaman kedelai sebesar 708.449 ha dengan asumsi luas areal tanam baru mengalami satu kali panen setahun (Tabel 24). Tabel 24. Kebutuhan Lahan Baru dan Produktivitas Kedelai untuk Swasembada Kedelai Tahun 2014 Tahun 2011 2014
Produktivitas (Ton/Ha) Produksi (Ton) 1,37 851.286 2,00 2.661.406 Luas Areal Panen Baru yang Dibutuhkan
Luas Areal Panen (Ha) 622.254 1.330.703 708.449
Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui inovasi teknologi varietas
unggul
dan
perbaikan
proses
produksi.
Program
peningkatan
produktivitas dapat dilakukan melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu Pengelolaan tanaman secara terpadu (PTT). PPT adalah salah satu pendekatan dalam usaha tani, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan pendapatan petani, serta melestarikan lingkungan produksi. Dalam implementasinya, PTT mengintegrasikan komponen teknologi pengelolaan lahan,air, hara, tanaman, dan organisme pengganggu tanaman secara terpadu (Balitkabi, 2008). Pelaksanaan program ini cukup efektif. Di Ngawi, Jawa Timur, hasil kedelai yang diusahakan dengan pendekatan PTT mencapai 1,95 - 2,20 ton per ha. Pada lahan kering masam Lampung, hasil kedelai yang dibudidayakan dengan pendekatan PTT berkisar antara 1,76 - 2,02 ton per ha, lebih tinggi daripada hasil kedelai rata-rata Provinsi Lampung yang hanya 1,10 ton per ha. Di Sumatera Utara, hasil kedelai yang dibudidayakan dengan pendekatan PTT berkisar antara 1,92 - 2,03 ton per ha. Pada lahan pasang surut tipe luapan C di Jambi, hasil kedelai yang dikembangkan dengan pendekatan PTT mencapai 2,10 ton per ha (Balitkabi, 2008). Selain itu, program tersebut juga mampu meningkatkan produksi kedelai pada tahun 2009. Pada tahun tersebut produksi kedelai domestik
54 mencapai 974.512 ton dengan produktivitas sebesar 1,35 ton per ha, yang pada tahun sebelumnya sebesar 775.710 ton dengan produktivitas 1,31 ton/ha. Dengan begitu, dibutuhkan keberlanjutan program PTT ini secara merata di berbagai daerah di Indonesia agar produktivitas kedelai di setiap masing-masing daerah budidaya kedelai dapat meningkat, sehingga produktivitas rata-rata Indonesia mengalami peningkatan. Perluasan areal tanam maupun peningkatan produktivitas saja tidak cukup untuk meningkatkan produksi kedelai domestik, namun juga harus ada upaya meningkatkan minat petani dalam menanam kedelai. Menurut Purwantoro (2013), dalam pembinaan kelompok tani harus dilihat kesiapan atau minat petani apakah sudah memiliki kelembagaan yang baik, karena hal ini menentukan tingkat keberhasilan dalam pembinaan yang dilakukan. Meningkatkan minat petani dalam berproduksi kedelai salah satunya melalui perbaikan harga jual kedelai. Menurut Subandi (2007), perbaikan harga jual kedelai di pasar domestik menjadi kunci utama untuk meningkatkan minat petani untuk bertanam kedelai. Peningkatan harga jual secara riil akan meningkat keuntungan yang diperoleh petani, jika perolehan keuntungan dirasa besar oleh petani, maka petani akan meningkatkan minatnya untuk bertanam kedelai. Kebijakan yang menunjang dalam pelaksanaan perbaikan harga jual, yaitu Kebijakan dalam menentukan harga dasar kedelai dalam negeri, mengurangi impor melalui penerapan tarif, dan subsidi sarana ptoduksi. Menurut Kuntjoro (1997) bahwa kebijakan harga dasar dimaksudkan untuk mengamankan pendapatan petani terhadap fluktuasi harga produk, sehingga merangsang petani untuk berusaha meningkatkan produksinya. Keadaan harga jual kedelai seperti yang sudah dijelaskan pada analisis sebelumnya mengalami penurunan beberapa tahun ke belakang. Hal ini disebabkan membanjirnya kedelai impor di pasar domestik dengan harga yang juga lebih murah (Tabel 7), sehingga harga pasar kedelai menjadi rendah, maka pemerintah harus menetapkan batas harga minimum kedelai di pasar domestik dengan nilai yang masih memberikan keuntungan kepada petani, sehingga tidak mengurangi minat petani untuk bertanam kedelai. Kebijakan harga dasar akan efektif apabila harga pasar lebih rendah dari pada harga dasar yang ditetapkan. Dengan adanya kebijakan harga
55 dasar, maka kesejahteraan petani dalam memperoleh keuntungan dapat tetap pada kondisi yang layak. Pemerintah melakukan impor kedelai untuk menutupi kekurangan persediaan kedelai di dalam negeri, namun longgarnya aturan mengenai perdagangan kedelai menyebabkan menjadi sangat ketergantungan terhadap impor kedelai, sehingga dibutuhkan kebijakan penetapan tarif impor kedelai yang sesuai. Adanya tarif impor terhadap kedelai akan mengurangi keinginan pengimpor kedelai untuk menjual kedelainya ke Indonesia, karena ada biaya yang harus dikeluarkan oleh pengimpor ketika melakukan pengimporan kedelai. Peningkatan biaya akan mempengaruhi besarnya keuntungan yang diperoleh bagi pengimpor. Disamping itu, dengan adanya tarif impor pula harga kedelai impor akan meningkat di pasar domestik, sehingga keseimbangan harga pasar kedelai menjadi lebih kompetitif. Peningkatan harga pasar kedelai dapat mendorong petani untuk meningkatkan produksi kedelainya. Pemberian subsidi kepada petani merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan oleh pemerintah. Subsidi pertanian di Indonesia berupa subsidi harga input usaha tani, yaitu subsidi pupuk, benih, dan bunga kredit. Penyediaan sarana produksi dengan adanya subsidi berdampak pada penurunan biaya produksi, sehingga harga kedelai domestik mampu bersaing dengan harga kedelai yang terkenal lebih murah. Subsidi ini menghasilkan manfaat yang positif tetapi juga dampak negatif, namun manfaat yang dapat dinilai lebih besar yakni dampak sosial politik, khususnya dalam pemantapan ketahanan pangan, dan pengentasan kemiskinan10. Menurut Zakaria (2010b) menyatakan bahwa pada dasarnya, pelaksanaan program pengembangan agribisnis kedelai yang ditujukan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat petani melalui peningkatan penguasaan teknologi usahatani, dengan dukungan ketersediaan sarana produksi, penguasaan teknologi pasca panen, serta melakukan pembenahan, dan peningkatan efisiensi sistem pemasaran merupakan faktor kunci keberhasilan, akan tetapi selama ini kebijakan tersebut tidak konsisten, sehingga keberhasilannya hanya dicapai pada 10
Ringkasan Eksekutif, Kajian Issu Kebijakan dan Kinerja Pembangunan Pertanian. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ANJAK_RE_Kebijakan&Kinerja%20Pertanian.pdf. Diakses pada tanggal 5 Juni 2013
56 saat program berlangsung saja. Didukung pula dengan pernyataan Subandi (2007) yang menyatakan bahwa kedelai sebagai salah satu komoditas yang memperoleh prioritas dalam pengembangannya, konsistensi program termasuk pendanaannya juga harus mendapat perhatian dan alokasi yang sepadan. Dengan begitu, dibutuhkan pula konsistensi dalam pelaksanaan program-program dalam kebijakan peningkatan produksi kedelai agar tujuan swasembada kedelai pada tahun 2014 dapat tercapai. Berdasarkan hasil perhitungan dari kedua program dalam strategi kebijakan peningkatan produksi kedelai, yaitu perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas kedelai dengan didasari oleh hasil proyeksi jangka pendek produksi dan konsumsi kedelai domestik diharapkan minimal mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai dan diharapkan dalam jangka panjang akan mampu untuk mencapai target swasembada kedelai.
57
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 1. Konsumsi kedelai di Indonesia lebih besar dibandingkan produksi kedelai domestik dalam negeri. Persentase laju pertumbuhan rata-rata produksi kedelai domestik selama kurun waktu tahun 1981 hingga 2011 hanya sebesar 2,10 persen, sedangkan laju pertumbuhan rata-rata konsumsinya sebesar 7,85 persen. Rendahnya pertumbuhan produksi kedelai domestik menjadi salah satu pemicu ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai. 2. Berdasarkan proyeksi produksi dan konsumsi kedelai menggunakan ARIMA bahwa Indonesia belum mampu untuk swasembada kedelai pada tahun 2014. Pada tahun 2014 produksi kedelai domestik mencapai 672.020 ton, sedangkan konsumsinya sebesar 2.661.406 ton, sehingga Indonesia diperkirakan akan melakukan impor kedelai sebesar 1.989.386 ton. Strategi kebijakan untuk mengatasi masalah ketergantungan impor adalah kebijakan peningkatan produksi kedelai melalui program perluasan areal tanam dan atau peningkatan produktivitas. Jika program perluasan areal tanam dilakukan maka pemerintah harus menyediakan lahan baru sebesar 1.323.218,22 ha dengan asumsi lahan tersebut satu kali panen kedelai dalam setahun. Jika hanya program peningkatan produktivitas yang dilaksanakan, maka produktivitas harus mencapai 4,28 ton per ha, namun peningkatan produktivitas sebesar nilai tersebut sangat sulit dicapai, karena rata-rata peningkatan produktivitas kedelai setiap tahunnya rendah, sehingga program ini baru bisa terlaksana bila dilakukan bersamaan dengan perluasan areal tanam, yaitu peningkatan produktivitas sebesar 2 ton per ha dan perluasan areal tanam baru sebesar 708.449 ha dengan asumsi lahan tersebut satu kali panen kedelai dalam setahun. Berdasarkan hasil proyeksi diharapkan minimal mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai dalam jangka pendek dan bisa mencapai target swasembada dalam jangka panjang. 6.2 Saran 1. Rendahnya laju pertumbuhan produksi kedelai sebaiknya ditingkatkan dengan melakukan peningkatan produktivitas melalui pengadaan penyuluhan kepada
58 petani, dan melakukan penelitian serta pengembangan teknologi komoditas kedelai. 2. Pelaksanaan program perluasan areal tanam baru lebih diutamakan di daerah luar jawa. Perluasan areal tanam pada potensi sumberdaya lahan yang cukup baik seperti di Sumatera Barat, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Lampung, NTB, Aceh, dan Sulawesi Tenggara. 3. Program peningkatan produktivitas diprioritaskan di wilayah-wilayah yang produktivitas kedelainya masih tergolong rendah, di mana tingkat penerapan teknologi oleh petani masih kurang. Wilayah-wilayah yang sesuai untuk program ini antara lain adalah beberapa kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. 4. Pemberdayaan BULOG bagi komoditas kedelai dalam pengaturan stabilitas harga dan pasokan kedelai di pasar dengan harapan memberikan insentif bagi usaha tani. 5. Penetapan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) kedelai sebagai upaya pelaksanaan kebijakan harga dasar untuk perbaikan harga jual kedelai. 6. Insentif Pembiayaan bagi usahatani kedelai dengan akses permodalan melalui kredit perbankan ataupun koperasi yang mudah dan suku bunga yang rendah. 7. Perbaikan infrastruktur penunjang usahatani kedelai, seperti irigasi, listrik, jalan, dan alat transportasi. 8. Kerja sama dan Komunikasi yang baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, organisasi non pemerintah, sektor swasta, dan petani, sehingga penyebaran informasi terkait dalam upaya peningkatan produksi kedelai bisa tersalurkan dengan baik dan merata. 9. Peningkatan Peranan Aktif Pemerintah Daerah dalam tujuan meningkatkan produksi pertanian daerahnya, khususnya kedelai harus sesuai dengan UU no. 18 tahun 2012 tentang pangan sehingga upaya dalam peningkatan hasil pertanian lebih terfokus pada masing-masing daerah. 10. Penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi komoditas kedelai domestik dalam ruang lingkup daerah ataupun secara umum di Indonesia diperlukan sehingga lebih fokus dalam mengkaji
59 faktor-faktor yang menyebabkan naik turunnya produksi dan konsumsi kedelai. 11. Penelitian lanjutan mengenai analisis efisiensi produksi dan tingkat pendapatan petani dalam usahatani kedelai diperlukan juga untuk mengetahui tingkat pendapatan yang layak untuk diterima petani, karena pendapatan petani menjadi salah satu faktor rendahnya produksi kedelai di Indonesia.
60 DAFTAR PUSTAKA Aji, Novie Krishna. 2008. Peramalan Produksi Dan Konsumsi Ubi Jalar Nasional Dalam Rangka Rencana Program Diversifikasi Pangan Pokok. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Amang, Beddu. 1993. Kebijakan Harga, Pengadaan Dan Distribusi Dalam Rangka Swasembada Pangan. Prosiding Seminar Kebijakan dan Strategi Menuju Tercapainya Swasembada Pangan; 1993 Juni 5. Bogor, Indonesia. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan Dan Gizi, Lembaga Penelitian IPB. Hlm 59 71. Aritongan, Lerbin R. 2009. Peramalan Bisnis. Jakarta: Ghalia Indonesia. Arsyad, Lincolin. 2001. Peramalan Bisnis. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Assauri, Sofjan. 1984. Teknik dan Metoda Peramalan. Jakarta: Falkultas Ekonomi Universitas Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan. 2006. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Jakarta: Kementerian Pertanian. Badan Pusat Statistik. 2012. Subsektor-subsektor dari Sektor Pertanian. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2012a. Jumlah Kedelai Impor Indonesia Tahun 2000 – 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________. 2012b. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1990 – 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian. 2012. Data Produksi, konsumsi, luas areal panen, dan produktivitas kedelai domestik tahun 1981 - 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2013a. Jumlah Kedelai Domestik dan Impor Tahun 2001 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________. 2013b. Permintaan Industri Tahu Tempe Terhadap Kedelai Tahun 2009 – 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________. 2013c. Angka Partisipasi Sekolah di Indonesia Tahun 2007 – 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. _________________. 2013d. Pendapatan Domestik Bruto per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2007 - 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian. 2013. Jumlah Konsumsi Langsung Kedelai Tahun 2007 - 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian.
61 Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. 2009. Peta Potensi dan Ketersediaan Sumberdaya Lahan Mendukung Swasembada Kedelai 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (Balitkabi). 2008. Teknologi Produksi Kedelai: Arah dan Pendekatan Pengembangan Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian [Internet]. 17 April 2013; 30(1):5 6. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (Balitkabi). 2012. Pengembangan Sistem Perbenihan Kedelai Berbasis Komunitas [Internet]. Malang: Kementerian Pertanian. 8 Juni 2013 Cahyadi, Wisnu. 2009. Kedelai: Khasiat dan Teknologi. Jakarta: Bumi Aksara. Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis. 2013. Perkembangan Harga Kedelai di Indonesia Tahun 2003 – 2012. Jakarta: Kementerian Perdagangan. Direktorat Budidaya Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. 2009. Roadmap Peningkatan Produksi Kedelai 2010 – 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian. Firdaus, Muhammad. 2004. Ekonometrika Sutau Pendekatan Aplikatif. Jakarta: Bumi Aksara. _________________. 2006. Analisis Deret Waktu Satu Ragam. Bogor: IPB Press Fizzanty, Trina dan Erman Aminullah. 2010. Model Kestabilan Dinamis Penyediaan Pangan Kedelai di Indonesia: Posisi Penting Iptek. Jakarta: LIPI Press. Hanani, Nuhfil. 2009. Pengertian Ketahanan Pangan [Internet]. http://nuhfil.lecture.ub.ac.id/files/2009/03/2-pengertian-ketahanan-pangan2.pdf. Malang: Universitas Brawijaya. 31 Juli 2013. Hermanto. 2008. Menggenjot Produksi Kedelai dengan Teknologi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian [Internet]. 17 April 2013; 30(1):1 – 2. Juanda, Bambang dan Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan Aplikasi. Bogor: IPB Press. Kementerian Pertanian. 2009. Rencana Strategis Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2010 - 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian. 2011. Laporan Kinerja Kementerian Pertanian Tahun 2011. Jakarta: Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian. 2012a. Data Konsumsi Kedelai Tahun 1981 - 2011. Jakarta: Kementerian Pertanian.
62 Kementerian Pertanian. 2012b. Varietas Unggul Kedelai yang Memiliki Potensi Lebih Besar dari 3 Ton per Hektar. Jakarta: Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian. 2013. Data Luas Serangan OPT Utama pada Tanaman Kedelai Rerata 5 Tahun (2005 - 2009) dan Tahun 2010 – 2012. Jakarta: Kementerian Pertanian. Kuntjoro, Sri Utami. 1997. Strategi Pengembangan Kedelai Menuju Swasembada. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Mankiw, N. Gregory. 2007. Macroeconomics 6th edition. New York: Worth Publisher. Manwan, Ibrahim dan Sumarno. 1996. Perkembangan dan Penyebaran Kedelai. Di dalam: Beddu Amang, M. Husen Sawit, Anas Rachman, editor. Ekonomi Kedelai di Indonesia; 1996 Oktober 3; Jakarta, Indonesia. Bogor: IPB Press. Hlm 69 – 150. Manwan, Ibrahim, Sumarno dan Bambang Sayaka. 1996. Sistem Usahatani Kedelai. Di dalam: Beddu Amang, M. Husen Sawit, Anas Rachman, editor. Ekonomi Kedelai di Indonesia; 1996 Oktober 3; Jakarta, Indonesia. Bogor: IPB Press. Hlm 69 – 150. Maretha, Dedy. 2008. Peramalan Produksi Dan Konsumsi Kedelai Nasional Serta Implikasinya Terhadap Strategi Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Marwoto, P. Simatupang, dan Dewa K. S. Swastika. 2005. Pengembangan Kedelai dan Kebijakan Penelitian di Indonesia. Di dalam: Achmad Winarto, Bambang Sri Kuncoro, editor. Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Sub-optimal; 2005 Juli 26 - 27; Malang, Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hlm 1 – 15. Mason, Robert D dan Douglas A. Lind. 1999. Teknik Statistika untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Erlangga. Menteri Negara Urusan Pangan. 1993. Prospek dan Tantangan dalam Mencapai Swasembada Pangan. Prosiding Seminar Kebijakan dan Strategi Menuju Tercapainya Swasembada Pangan. 1993 Juni 5; Bogor, Indonesia.Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan Dan Gizi, Lembaga Penelitian IPB. Hlm 22 – 31. Mulyani, Anni. 2008. Potensi dan Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Kedelai di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian [Internet]. 17 April 2013; 30(1):3 – 34. Mursidah. 2005. Perkembangan Produksi Kedelai Nasional dan Upaya Pengembangannya di Propinsi Kalimantan Timur. EPP [Internet]. 1 Februari 2013; 2(1):39 - 44. Nicholson, Walter. 1995. Teori Mikroekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan, Jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara.
63 Nurgiantoro, Burhan, Gunawan, dan Marzuki. 2009. Statistik terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Purwanti, Setyastuti. 2004. Kajian Suhu Ruang Simpan Terhadap Kualitas Benih Kedelai Hitam dan Kedelai Kuning. Ilmu Pertanian [Internet]. 1 Februari 2013; 11(1):22 - 31. Purwantoro. 2013. Percepatan Penyebaran Varietas Unggul Melalui Sistem Penangkaran Perbenihan Kedelai Di Indonesia [Internet]. Malang: Kementerian Pertanian. 9 Juni 2013 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbang). 2006. Prospek dan Arah Pengembangan Agrbisnis Kedelai. Jakarta: Kementerian Pertanian. Rachmat, Muchjidin. 2011. Kebijakan Lahan dalam Membangun Kemandirian Pangan. Di dalam: Sahat M. Pasaribu, Handewi P. Saliem, Haryono Soeparno, Effendi Pasandaran, Faisal Kasryno, editor. Konversi dan Fragmentasi Lahan, Ancaman Terhadap Kemadirian Pangan. Jakarta, Indonesia. Bogor: IPB Press. Hlm 190 – 203. Rahim, Abd dan Diah Retno Dwi Astuti. 2007. Pengantar, Teori, dan Kasus Ekonomika Pertanian. Jakarta: Penebar Swadaya. Sari, Dinar Frihastika. 2011. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisni Kedelai Lokal di Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Simatupang, P, Marwoto, dan Dewa K. S. Swastika. 2005. Pengembangan Kedelai dan Kebijakan Penelitian Di Indonesia. Lokakakarya Pengembangan Kedelai di Lahan sub Optimal. 2005 Juli 2006; Malang, Indonesia. Hlm 168 – 189. Siregar, Syafaruddin. 2004. Statistik Terapan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Subandi. 2007. Lima Strategi Pengembangan Kedelai. Sinar Tani [Internet]. 1 Februari 2013. Sumber: Koran Sinar Tani Edisi 30 Mei - 5 Juni 2007. Sugiarto dan Harijono. 2000. Peramalan Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sudaryanto, Tahlim. 1996. Konsumsi Kedelai. Di dalam: Beddu Amang, M. Husen Sawit, Anas Rachman, editor. Ekonomi Kedelai di Indonesia; 1996 Oktober 3; Jakarta, Indonesia. Bogor: IPB Press. Hlm 69 – 150. Suhardjo. 1993. Seminar Kebijakan Dan Strategi Menuju Tercapainya Swasembada Pangan. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan Dan Gizi, Lembaga Penelitian IPB.
64 Supadi. 2008. Menggalang Partisipasi Petani Untuk Meningkatkan Produksi Kedelai Menuju Swasembada. Jurnal Litbang Pertanian [Internet]. 1 Februari 2013; 27(3):106 - 111. Suprapti, Lies. 2005. Kecap Tradisional. Yogyakarta: Kanisius. Suryana, Achmad. 2008. Kebijakan dan Program Penelitian Mendukung Tercapainya Swasembada Kedelai dan Ubi Kayu. Di dalam: Achmad Winarto, Bambang Sri Kuncoro, editor. Inovasi Teknologi KacangKacangan dan Umbi-Umbian Mendukung Kemandirian Pangan dan Kecukupan Energi. 2007 November 9 - 10; Malang, Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hlm 1 – 15. Zakiah. 2012. Preferensi dan Permintaan Kedelai pada Industri dan Implikasinya terhadap Manajemen Usaha Tani. MIMBAR [Internet]. 1 Februari 2013; 28(1):77 - 84. Zakaria, Amar K. 2010a. Program Pengembangan Agribisnis Kedelai dalam Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian [Internet]. 17 April 2013; 29(4):147 – 153. Zakaria, Amar K. 2010b. Kebijakan Pengembangan Budidaya Kedelai Menuju Swasembada Melalui Partisipasi Petani. Jurnal Litbang Pertanian [Internet]. 17 April 2013; 8(3):259 – 272.
65
LAMPIRAN
66 Lampiran 1. Tabel Data Produksi, Konsumsi, Luas Panen, dan Produktivitas Kedelai Domestik Tahun 1981-2011 Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Produksi (000 Ton) 703,811 521,394 536,103 769,384 869,718 1.226,727 1.160,963 1.270,418 1.315,113 1.487,433 1.555,453 1.869,713 1.707,126 1.564,179 1.679,092 1.515,937 1.356,108 1.304,950 1.382,848 1.017,634 826,932 673,056 671,600 723,483 808,353 747,611 592,534 775,710 974,512 907,031 851,286
Konsumsi Luas Panen (Ha) (000 Ton) 633,227 810.095 532,258 607.708 727,379 639.876 1.032,112 858.854 1.023,265 896.220 1.459,941 1.253.767 1.297,666 1.098.565 1.633,927 1.177.000 1.548,390 1.198.000 1.878,098 1.334.021 2.022,620 1.368.000 2.318,370 1.666.000 2.199,342 1.468.316 2.120,143 1.406.038 2.124,827 1.476.284 2.162,374 1.277.736 1.775,471 1.118.140 1.267,046 1.094.262 2.498,418 1.151.079 2.133,378 824.484 1.180,431 678.848 1.834,005 544.522 1.681,203 526.796 1.649,668 565.155 1.711,797 621.541 1.593,836 580.534 1.613,033 459.116 1.745,590 590.956 2.045,775 722.791 2.319,379 660.823 2.583,061 622.254
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian, 2012
Produktivitas (Ton/Ha) 0,869 0,858 0,838 0,896 0,970 0,978 1,057 1,079 1,098 1,115 1,137 1,122 1,163 1,112 1,137 1,186 1,213 1,193 1,201 1,234 1,218 1,236 1,275 1,280 1,301 1,288 1,291 1,313 1,348 1,373 1,368
67 Lampiran 2.
Hasil Uji ADF untuk Penstasioneran Data Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik pada Tingkat Level
Null Hypothesis: PRODUKSI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.283712 -3.670170 -2.963972 -2.621007
0.6239
t-Statistic
Prob.*
-2.711369 -4.296729 -3.568379 -3.218382
0.2394
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: KONSUMSI has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
68 Lampiran 3.
Hasil Uji ADF untuk Penstasioneran Data Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik pada First Difference
Null Hypothesis: D(PRODUKSI) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.896799 -4.309824 -3.574244 -3.221728
0.0025
t-Statistic
Prob.*
-6.151825 -4.323979 -3.580623 -3.225334
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(KONSUMSI) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
69 Lampiran 4.
Hasil Uji ADF untuk Penstasioneran Data Produksi Kedelai Domestik pada Second Difference
Null Hypothesis: D(PRODUKSI,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-4.987774 -4.356068 -3.595026 -3.233456
0.0024
70 Lampiran 5.
Hasil Analisis Plot ACF dan PACF Data Produksi Kedelai Domestik pada First Difference
Autocorrelation Function for Differencing 1 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
1,0 0,8
Autocorrelation
0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5
6
7
8
Lag
Partial Autocorrelation Function for Differencing 1 (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1,0
Partial Autocorrelation
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5 Lag
6
7
8
71 Lampiran 6.
Hasil Analisis Plot ACF dan PACF Data Produksi Kedelai Domestik pada Second Difference Autocorrelation Function for differencing 2 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
1,0 0,8
Autocorrelation
0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4 Lag
5
6
7
Partial Autocorrelation Function for differencing 2 (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1,0
Partial Autocorrelation
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4 Lag
5
6
7
72 Lampiran 7.
Hasil Analisis Plot ACF dan PACF Data Konsumsi Kedelai Domestik pada First Difference Autocorrelation Function for Differencing 1 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
1,0 0,8
Autocorrelation
0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5
6
7
8
Lag
Partial Autocorrelation Function for Differencing 1 (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1,0
Partial Autocorrelation
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5 Lag
6
7
8
73 Lampiran 8.
Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Produksi Kedelai Domestik dari Tahun 1981-2011 dengan Minitab 14 (000 Ton)
ARIMA Model: Produksi ARIMA (1,2,1) Estimates at each iteration Iteration 0 1342257 1 1082429 2 1037457 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
SSE 0,100 -0,050 0,048 984505 919322 843061 800465 765807 749430 743908 729288 726668 724692 724214 724060 724058
0,100 0,250 0,400 0,129 0,170 0,118 0,133 0,156 0,122 0,120 0,094 0,088 0,089 0,079 0,081 0,081
Parameters 4,021 4,819 4,276 0,550 3,557 0,700 2,228 0,849 -1,379 0,948 -3,495 1,012 -3,947 1,026 -4,981 1,053 -5,042 1,050 -5,247 1,052 -5,374 1,059 -5,573 1,056 -5,451 1,055 -5,447 1,055 -5,449
Unable to reduce sum of squares any further Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1 Constant
Coef 0,0806 1,0550 -5,449
SE Coef 0,1891 0,1125 1,162
T 0,43 9,37 -4,69
P 0,673 0,000 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 31, after differencing 29 Residuals: SS = 651641 (backforecasts excluded) MS = 25063 DF = 26 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 14,2 9 0,114
24 22,6 21 0,365
36 * * *
48 * * *
Forecasts from period 31
Period 32 33 34
Forecast 768,50 678,08 581,60
95 Percent Limits Lower Upper 458,14 1078,85 233,53 1122,63 44,25 1118,94
Actual
74 Lampiran 8.
Lanjutan
ARIMA Model: Produksi ARIMA (1,2,0) Estimates at each iteration Iteration 0 1471000 1 1287683 2 1163063 3 1097058 4 1085706 5 1085563 6 1085561 7 1085561 8 1085561
SSE 0,100 -0,050 -0,200 -0,350 -0,433 -0,443 -0,444 -0,444 -0,444
Parameters 4,021 4,961 5,180 4,623 3,616 3,243 3,186 3,179 3,178
Relative change in each estimate less than 0,0010 Final Estimates of Parameters Type AR 1 Constant
Coef -0,4437 3,18
SE Coef 0,1721 37,13
T -2,58 0,09
P 0,016 0,932
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 31, after differencing 29 Residuals: SS = 1079553 (backforecasts excluded) MS = 39983 DF = 27 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 13,4 10 0,204
24 22,1 22 0,457
36 * * *
48 * * *
Forecasts from period 31
Period 32 33 34
Forecast 793,51 739,81 687,49
95 Percent Limits Lower Upper 401,51 1185,51 14,68 1464,95 -472,41 1847,39
Actual
ARIMA Model: Produksi ARIMA (0,2,1) Estimates at each iteration Iteration 0 1237514 1 1112374 2 1013535 3 4 5 6 7
SSE 0,100 0,250 0,400 934149 875046 847665 835124 820652
Parameters 4,468 4,280 3,868 0,550 2,963 0,700 1,112 0,801 -1,485 0,856 -2,797 0,908 -3,682
75 Lampiran 8. Lanjutan 8 9 10 11 12
789575 754286 712310 702705 702685
0,975 1,027 1,087 1,087 1,087
-4,605 -5,228 -6,824 -6,792 -6,787
Relative change in each estimate less than 0,0010 Final Estimates of Parameters Type MA 1 Constant
Coef 1,0870 -6,787
SE Coef 0,0872 1,980
T 12,46 -3,43
P 0,000 0,002
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 31, after differencing 29 Residuals: SS = 625766 (backforecasts excluded) MS = 23177 DF = 27 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 14,8 10 0,139
24 24,0 22 0,347
36 * * *
48 * * *
Forecasts from period 31
Period 32 33 34
Forecast 772,65 687,24 595,03
95 Percent Limits Lower Upper 474,21 1071,10 283,11 1091,37 121,64 1068,42
Actual
ARIMA Model: Produksi ARIMA (1,2,1) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration Iteration 0 1342810 1 1082536 2 1037081 3 4 5 6 7 8 9 10 11
SSE 0,100 -0,050 0,048 983353 917771 847687 831827 824168 819227 818102 817988 817986
Parameters 0,100 0,250 0,400 0,128 0,550 0,170 0,700 0,128 0,850 0,109 0,906 0,122 0,937 0,137 0,956 0,146 0,963 0,150 0,966 0,151 0,966
Unable to reduce sum of squares any further
76 Lampiran 8. Lanjutan Final Estimates of Parameters Type Coef SE Coef T AR 1 0,1513 0,1972 0,77 MA 1 0,9660 0,0826 11,69
P 0,450 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 31, after differencing 29 Residuals: SS = 791000 (backforecasts excluded) MS = 29296 DF = 27 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 13,6 10 0,194
24 20,4 22 0,557
36 * * *
48 * * *
Forecasts from period 31
Period 32 33 34
Forecast 835,44 825,63 816,73
95 Percent Limits Lower Upper 499,90 1170,98 305,27 1345,99 148,93 1484,53
Actual
ARIMA Model: Produksi ARIMA (1,2,0) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration Iteration 0 1471612 1 1288188 2 1163435 3 1097354 4 1085988 5 1085850 6 1085848 7 1085848
SSE Parameters 0,100 -0,050 -0,200 -0,350 -0,434 -0,443 -0,444 -0,444
Relative change in each estimate less than 0,0010 Final Estimates of Parameters Type AR 1
Coef -0,4439
SE Coef 0,1690
T -2,63
P 0,014
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 31, after differencing 29 Residuals: SS = 1079699 (backforecasts excluded) MS = 38561 DF = 28
77 Lampiran 8.
Lanjutan
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 13,4 11 0,269
24 22,1 23 0,514
36 * * *
48 * * *
Forecasts from period 31
Period 32 33 34
95 Percent Limits Lower Upper 405,37 1175,29 19,63 1443,75 -466,96 1811,00
Forecast 790,33 731,69 672,02
Actual
ARIMA Model: Produksi ARIMA (0,2,1) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration Iteration 0 1237978 1 1112630 2 1013419 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
SSE Parameters 0,100 0,250 0,400 933442 0,550 874132 0,700 849840 0,802 844421 0,841 842262 0,863 841049 0,877 840201 0,889 839514 0,898 838891 0,907 838276 0,915 837638 0,923 836969 0,930 836305 0,937 835723 0,943 835312 0,948 835095 0,952 835019 0,954 835014 0,956
Unable to reduce sum of squares any further Final Estimates of Parameters Type MA 1
Coef 0,9559
SE Coef 0,0761
T 12,55
P 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 31, after differencing 29 Residuals: SS = 802699 (backforecasts excluded) MS = 28668 DF = 28 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag
12
24
36
48
78 Lampiran 8. Lanjutan Chi-Square DF P-Value
16,6 11 0,122
25,2 23 0,340
* * *
* * *
Forecasts from period 31
Period 32 33 34
Forecast 846,02 840,76 835,50
95 Percent Limits Lower Upper 514,10 1177,95 360,89 1320,64 234,88 1436,12
Actual
79 Lampiran 9.
Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Konsumsi Kedelai Domestik dari Tahun 1981-2011 dengan Minitab 14 (000 Ton)
ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (2,1,0) Estimates at each iteration Iteration 0 4828072 1 4057097 2 3536106 3 3265881 4 3224803 5 3224654 6 3224653
SSE 0,100 -0,050 -0,200 -0,350 -0,430 -0,435 -0,435
Parameters 52,076 67,441 84,723 103,149 113,749 114,592 114,654
0,100 -0,045 -0,191 -0,337 -0,416 -0,420 -0,421
Relative change in each estimate less than 0,0010 Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 Constant
Coef -0,4350 -0,4207 114,65
SE Coef 0,1768 0,1777 63,08
T -2,46 -2,37 1,82
P 0,021 0,025 0,080
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 31, after differencing 30 Residuals: SS = 3220844 (backforecasts excluded) MS = 119291 DF = 27 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 6,0 9 0,737
24 14,8 21 0,835
36 * * *
48 * * *
Forecasts from period 31
Period 32 33 34
Forecast 2467,89 2521,70 2661,41
95 Percent Limits Lower Upper 1790,80 3144,98 1744,02 3299,39 1851,61 3471,21
Actual
ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (1,1,0) Estimates at each iteration Iteration 0 4577172 1 4160582 2 3933475 3 3887391 4 3887204 5 3887203 6 3887203
SSE 0,100 -0,050 -0,200 -0,298 -0,304 -0,305 -0,305
Parameters 58,585 67,084 76,511 83,583 84,390 84,459 84,465
80 Lampiran 9.
Lanjutan
Relative change in each estimate less than 0,0010 Final Estimates of Parameters Type AR 1 Constant
Coef -0,3048 84,46
SE Coef 0,1809 68,01
T -1,68 1,24
P 0,103 0,225
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 31, after differencing 30 Residuals: SS = 3884889 (backforecasts excluded) MS = 138746 DF = 28 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 9,5 10 0,486
24 12,8 22 0,938
36 * * *
48 * * *
Forecasts from period 31
Period 32 33 34
95 Percent Limits Lower Upper 1856,94 3317,38 1781,02 3559,73 1670,16 3788,80
Forecast 2587,16 2670,38 2729,48
Actual
ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (2,1,0) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration Iteration 0 4915416 1 4203686 2 3758383 3 3581749 4 3578706 5 3578695 6 3578695
SSE 0,100 -0,050 -0,200 -0,350 -0,370 -0,371 -0,371
Parameters 0,100 -0,046 -0,192 -0,341 -0,363 -0,364 -0,364
Relative change in each estimate less than 0,0010 Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2
Coef -0,3713 -0,3643
SE Coef 0,1791 0,1807
T -2,07 -2,02
P 0,048 0,053
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 31, after differencing 30 Residuals: SS = 3576394 (backforecasts excluded) MS = 127728 DF = 28
81 Lampiran 9.
Lanjutan
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 5,1 10 0,884
24 12,6 22 0,943
36 * * *
48 * * *
Forecasts from period 31
Period 32 33 34
Forecast 2385,50 2362,80 2443,19
95 Percent Limits Lower Upper 1684,87 3086,13 1535,20 3190,40 1568,91 3317,48
Actual
ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (1,1,0) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration Iteration 0 4680965 1 4299596 2 4112869 3 4092397 4 4092336 5 4092336
SSE Parameters 0,100 -0,050 -0,200 -0,265 -0,269 -0,269
Relative change in each estimate less than 0,0010 Final Estimates of Parameters Type AR 1
Coef -0,2689
SE Coef 0,1804
T -1,49
P 0,147
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 31, after differencing 30 Residuals: SS = 4091652 (backforecasts excluded) MS = 141091 DF = 29 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 9,5 11 0,576
24 13,0 23 0,953
36 * * *
48 * * *
Forecasts from period 31
Period 32 33 34
Forecast 2512,16 2531,22 2526,10
95 Percent Limits Lower Upper 1775,79 3248,53 1619,04 3443,40 1438,87 3613,33
Actual
82 Lampiran 10. Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Produksi Kedelai Domestik ACF of Residuals for Produksi
(with 5% significance limits for the autocorrelations) 1,0 0,8
Autocorrelation
0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4 Lag
5
6
7
6
7
PACF of Residuals for Produksi
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations) 1,0
Partial Autocorrelation
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4 Lag
5
83 Lampiran 11. Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Konsumsi Kedelai Domestik ACF of Residuals for Konsumsi
(with 5% significance limits for the autocorrelations) 1,0 0,8
Autocorrelation
0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4 Lag
5
6
7
6
7
PACF of Residuals for Konsumsi
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations) 1,0
Partial Autocorrelation
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4 Lag
5
84
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 22 Desember 1990 dari Bapak Hadi Wahyudi dan ibu Irna Holiyani. Penulis adalah putri pertama dari 6 bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor pada tahun 2009. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program mayor Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Selain itu, penulis juga melengkapi mandat dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan dengan mengambil program Minor Ilmu Ekonomi di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis menerima beasiswa dari Direktorat Kemahasiswaan IPB dari tahun pertama sampai menyelesaikan kuliah di IPB. Penulis juga aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan di IPB seperti Anggota di Organisasi Century (Center of Entrepreneurship Development for Youth) IPB periode tahun 2009 - 2010, Kepala Divisi Promosi dan Pemasaran Century IPB periode tahun 2010 – 2011, dan menjadi Dewan Komisaris Century IPB periode tahun 2011-2012. Selain itu penulis juga menjadi sekretaris divisi ID (Internal Development di Organisasi REESA (Resources and Environmental Economics Student Association) periode tahun 2010 - 2011 serta aktif di berbagai kepanitiaan dan kegiatan lainya di IPB. Selain aktif di organisasi kemahasiswaan, penulis juga aktif sebagai asisten praktikum ekonomi umum TPB di Departemen Ilmu Ekonomi, FEM IPB dari tahun 2010 – 2013.