Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia Subandi, A. Harsono, dan H. Kuntyastuti Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang
PENDAHULUAN Produksi kedelai nasional ditentukan oleh dua sumber pertumbuhan utama yaitu areal tanam/panen dan tingkat hasil per satuan luas atau produktivitas tanaman. Areal tanam dapat mencerminkan minat petani terhadap kedelai sedangkan produktivitas pertanaman menggambarkan kesesuaian lahan dan/atau penerapan teknologi produksi oleh petani. Minat petani dalam mengusahakan kedelai ditentukan oleh tingkat kebutuhan kedelai bagi petani, keluarga, dan komunitasnya, yang ini berhubungan erat dengan kebutuhan bahan pangan dan kondisi sosial-budaya masyarakat; tidak ada pilihan komoditas lain karena terkendala oleh kondisi lingkungan antara lain ketersediaan air/iklim; harga kedelai; serta tingkat kompetitif kedelai terhadap komoditas lain yang pada tempat dan saat yang sama juga dapat diusahakan, yang pada akhirnya berujung kepada besarnya pendapatan yang diperoleh per hektar. Karena pertimbangan kebutuhan dan/atau sosialbudaya, pada suatu daerah kedelai tetap diusahakan petani kendatipun harga kedelai menurun dan kalah dibandingkan dengan komoditas lain dalam memberikan pendapatan, sementara di daerah lain, areal tanam kedelai menurun atau bahkan ditinggalkan oleh petani karena harganya rendah atau kalah mendatangkan pendapatan dibandingkan dengan komoditas lain. Biarpun harga kedelai naik dibandingkan waktu sebelumnya, namun minat petani untuk menanam kedelai menurun sebab petani memilih komoditas lain yang harga atau pendapatannya lebih baik. Pada kondisi yang demikian berarti pertimbangan komersial lebih menonjol dibandingkan dengan pertimbangan kebutuhan pangan keluarga atau sosial-budaya. Tingkat produktivitas pertanaman kedelai ditentukan oleh kesesuaian lahan dan iklim serta macam dan tingkat penerapan teknologi produksinya. Tingkat kesesuaian lahan bagi kedelai bervariasi mulai dari sangat sesuai (highly suitable) sampai tidak sesuai (not suitable).
104
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Tabel 1. Areal panen kedelai di Indonesia pada tahun 1992 dan 2004. Provinsi/Regional 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Nanggro Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka-Belitung A. Sumatera
10. 11. 12. 13. 14. 15.
Daerah Khusus Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Daerah Istimewa Yogyakarta Jawa Timur Banten B. Jawa
16. Bali 17. Nusa Tenggara Barat 18. Nusa Tenggara Timur C. Bali + Nusa Tenggara 19. 20. 21. 22.
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur D. Kalimantan
23. 24. 25. 26. 27.
Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo E. Sulawesi
28. Maluku 29. Maluku Utara 30. Papua F. Maluku + Papua Indonesia
Areal panen (ha) 1992
Penurunan areal panen (%) 2004
180.628 45.644 14.519 12.414 9.410 18.559 14.488 185.052 480.714 (28,89%)* 131.176 233.539 66.685 448.250 879.650 (52,86%)* 23.958 121.434 5.472 150.864 (9,07%)* 8.479 4.760 6.352 3.557 23.148 (1,39%)* 35.186 10.517 69.151 9.697 144.854 (6,90%)* 1.137 4.118 5.255 (0,89%)*
24.325 11.706 1.178 1.781 1.815 3.539 3.309 5.139 52.792 (9,34%)* 20.997 79.557 33.552 246.940 3.430 384.476 (68,03%)* 7.958 75.658 2.308 85.924 (15,20%)* 1.063 1.070 4.382 2.074 8.589 (1,52%)* 4.186 1.915 17.986 2.868 934 25.021 (4,43%)* 977 572 3.936 5.485 (1,48%)*
1.664.182
565.155
Penurunan areal panen (%) 86,53 74,35 91,87 85,65 80,71 80,93 77,16 97,22 89,02 83,99 65,93 49,69 44,91 56,29 66,78 37,70 57,82 43,05 87,46 77,52 31,01 41,69 62,90 88,10 81,79 73,99 70,42 78,22 14,07 86,11 4,38 66,04
*= persentase terhadap nasional Sumber: BPS (1992 dan 2005)
Subandi et al.: Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia
105
PERKEMBANGAN DAN DISTRIBUSI AREAL PERTANAMAN Distribusi Wilayah Pulau Jawa merupakan sumber utama produksi kedelai nasional, pada tahun 1992 berkontribusi sekitar 53% dan meningkat menjadi 63% pada tahun 2004 (Tabel 1), kemudian disusul oleh dua sumber terbesar berikutnya adalah Sumatera dan Bali + Nusa Tenggara, yang berkontribusi antara 929%. Selama 15 tahun terakhir, sejak tahun 1990 hingga 2004, produksi kedelai nasional dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang signifikan, secara umum produksi menurun cukup cepat dengan laju 4,12% per tahun (Gambar 1). Dalam kurun waktu tersebut, puncak produksi sebesar 1.666.000 ton dicapai pada tahun 1992, sejak tahun ini produksi kedelai dalam negeri terus menurun hingga tahun 2003 yang hanya mencapai 527.000 ton. Penurunan produksi kedelai tersebut disebabkan oleh penyusutan areal panen, pada tahun 1992 areal panen mencapai sekitar 1.664.000 ha, kemudian terus menyusut tinggal menjadi sekitar 565.000 ha pada tahun 2004. Tingkat penyusutan areal panen kedelai bervariasi antar provinsi maupun regional (Tabel 1). Secara nasional, dibandingkan dengan areal panen tahun 1992, penyusutan areal panen hingga tahun 2004 mencapai 66,02%. Penyusutan areal panen kedelai terjadi di semua regional/pulau, kecuali regional Maluku + Papua, di regional ini areal panen tumbuh 4,38%. Regional yang paling tinggi mengalami penyusutan adalah Sumatera yang mencapai 89,02%, selanjutnya secara berurutan diikuti oleh regional Sulawesi (78,22%),
2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6
Areal (juta ha) Produktivitas (t/ha)
0,4 0,2
Produksi (Juta ton)
0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Gambar 1. Areal panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Indonesia dalam kurun waktu 1990-2005.
106
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Kalimantan (62,90%), Jawa (56,29%), dan Bali + Nusatenggara (43,05%). Pada tingkat provinsi, provinsi yang paling tinggi penyusutannya adalah Lampung yakni 97,22%), sedang yang paling rendah adalah Kalimantan Selatan (31,01%), selanjutnya disusul Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur yang berturut-turut menyusut sebesar 37,70% dan 44,91%.
Distribusi Waktu Wilayah yang luas dengan kondisi agroekosistem yang sangat beragam berdampak kepada keragaman waktu tanam kedelai di Indonesia. Pada setiap waktu atau bulan terdapat pertanaman kedelai di wilayah Indonesia, luasannya bervariasi antar bulan maupun wilayah (pulau/regional)(Tabel 2). Melaui pendekatan, dengan memperhatikan kondisi iklim di masingmasing wilayah, areal pertanaman kedelai dikelompokan menjadi tiga yaitu pertanaman musim hujan (MH), pertanaman musim kemarau I (MK1), dan pertanaman musim kemarau II (MK2). Untuk Sumatera dan Kalimantan: MH pada periode tanam September – Februari, MK1 Maret – Mei, dan MK2 Juni – Agustus; sedangkan untuk Jawa, Bali+Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku+Irian Jaya: MH pada periode tanam Oktober – Februari, MK1 Maret – Mei, dan MK2 pada periode tanam Juni – September. Atas pendekatan tersebut, maka penyebaran pertanaman kedelai di Indonesia berdasarkan periode MH, MK1, dan MK2 adalah seperti pada Tabel 3. Tabel 2. Areal tanam kedelai setiap bulan berdasarkan wilayah (pulau/regional) pada tahun 1998. Bulan
Luas tanam (ha) Sumatera
Jawa
Bali+ Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
17.056 14.026 38.779 10.572 14.017 29.823 18.905 6.051 12.659 20.980 36.616 7.704
14.304 26.719 119.874 117.750 35.696 27.688 101.798 48.979 38.237 107.273 32.023 17.412
Indonesia
227.188
687.753
Maluku+ Irian Jaya
10.066 1.605 4.446 22.543 22.473 10.968 23.001 19.906 2.297 1.940 19.903 23.245
447 809 2.527 1.201 1.340 1.518 1.039 574 2.013 1.863 1.338 2.642
5.042 4.260 1.154 3.847 2.559 2.650 4.583 3.513 4.766 2.182 3.719 4.591
1.442 1.441 588 2.957 1.005 549 530 1.741 1.421 325 620 346
162.393
17.311
42.866
12.965
Sumber: BPS (2000)
Subandi et al.: Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia
107
Tabel 3. Distribusi areal kedelai berdasarkan periode MH, MK1, dan MK2 pada tahun 1998. Wilayah
Areal kedelai (ha) MH
MK1
MK2
Sumatera Jawa Bali + Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku + Irian Jaya
109.041(48%) 197.731(29%) 56.759 (35%) 9.112 (53%) 19.794 (46%) 4.174 (32%)
63.368 (28%) 273.320(40%) 49.462 (30%) 5.068 (29%) 7.560 (18%) 4.550 (35%)
54.77 (24%) 216.702 (31%) 56.172 (35%) 3.131 (18%) 15.512 (36%) 4.241(33%)
Indonesia
396.611(35%)
403.328 (35%)
350.537 (30%)
Secara nasional terlihat bahwa areal pertanaman kedelai yang terluas berada pada periode MK1 yakni 35,09%, kemudian MH 34,50%, dan MK2 30,41%. Untuk wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, areal pertanaman kedelai pada MH adalah yang terluas dibandingkan dengan areal pada MK1 dan MK2; sedangkan di Jawa areal pada MK1 adalah yang paling luas (39,74%) diikuti MK2 (31,51%), sementara MH hanya 28,75%. Data yang demikian memberikan petunjuk bahwa untuk wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi kedelai sebagian besar diusahakan di lahan kering atau dapat juga di lahan sawah pada awal musim hujan; sedangkan di Jawa kedelai terutama dibudidayakan di lahan sawah setelah panen padi, atau dapat juga pertanaman kedua di lahan kering. Distribusi pertanaman kedelai seperti tersebut di depan penting untuk dimengerti sebab akan terkait dengan perencanaan penyediaan sarana produksi di antaranya benih, pupuk, pestisida, dan pascapanen. Pertanaman kedelai pada MH biasanya relatif kurang mendapat gangguan hama/penyakit, tetapi akan menghadapi kesulitan pascapanen karena waktu panen masih banyak hujan, sehingga pengeringan hasil panen akan bermasalah apabila hanya dilakukan dengan penjemuran. Hal yang kontras, adalah pertanaman kedelai pada MK 2, pertanaman ini biasanya menghadapi ancaman hama yang paling hebat, dan kekeringan apabila tanpa fasilitas irigasi baik dari irigasi permukaan maupun irigasi pompa mengambil air tanah.
Distribusi Ekologi Berdasarkan ekologi, diketahui bahwa dewasa ini sebagian besar areal pertanaman kedelai di Indonesia berada pada lahan sawah, yakni berkontribusi sekitar 60% dari total areal, selebihnya 40% menempati lahan kering. Kondisi demikian menunjukkan bahwa areal pertanaman kedelai
108
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
sebagian besar terdapat pada daerah yang infrastrukturnya relatif mapan dan lahannya relatif subur sebab areal persawahan umumnya memiliki infrastruktur dan kesuburan tanah lebih baik daripada lahan kering. Hal ini merupakan sebagian faktor positif dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanaman kedelai yang rata-ratanya masih rendah.
KARAKTERISTIK USAHATANI KEDELAI Prioritas Kedelai Di Indonesia, dalam praktek di tingkat petani, kedelai bukan diusahakan pada suatu wilayah atau daerah yang memang dalam pewilayahannya diperuntukan sebagai areal utama pertanaman kedelai, melainkan diusahakan dengan komoditas lain pada suatu pola tanam di mana kedelai sebagai komoditas tambahan, utamanya pada lahan sawah yang menempatkan padi sebagai komoditas utama dan lahan kering yang mendudukan jagung dan/atau padi gogo pada skala yang lebih tinggi. Kondisinya sangat berbeda dengan yang ada di negara penghasil kedelai dunia, seperti Amerika, di sini kedelai diproduksi di wilayah yang memang peruntukan utamanya bagi pengembangan kedelai, sehingga dipilih wilayah yang tanah dan iklimnya sangat sesuai atau sesuai untuk kedelai (soybean belt). Pertanaman kedelai di Indonesia praktis seluruhnya merupakan milik petani, bukan milik swasta besar atau perkebunan. Karena sifatnya demikian, maka pertanaman individu petani umumnya sempit, sangat jarang yang melebihi 1,0 ha, umumnya < 0,5 ha (Heriyanto et al. 2005). Karena sebagai komoditas tambahan yang diusahakan secara individual oleh petani dengan luas garapan sempit, maka pertanaman kedelai tidak dijumpai dalam hamparan luas, melainkan berada secara spot-spot dengan luasan hanya puluhan hektar atau kurang per hamparan. Hal demikian kurang menguntungkan bagi pengembangan kedelai, diantaranya adalah kesulitan dalam melakukan pembinaan. Upaya perkebunan/swasta untuk mengembangkan kedelai pada skala luas, pernah dilakukan oleh PT Kapas Indah di Provinsi Sulawesi Tenggara dan PT Patra Tani di Sumatera selatan (Sumarno 1999) namun tidak berkelanjutan. Sekarang berkembang pemikiran dan atau minat swasta untuk menanam/mengembangkan kedelai pada lahan perkebunan, khsususnya pada areal sawit dan karet muda, sebagai tanaman sela sebelum komoditas utama (sawit dan karet) menghasilkan, akan tetapi minat tersebut masih sulit terwujud karena pertimbangan rendahnya insentif/keuntungan yang diperoleh dari pertanaman kedelai, mengingat harga kedelai yang rendah. Harga kedelai ditingkat petani pada tahun 2006 bervariasi antartempat dan musim pada kisaran Rp2.300-Rp3.500 per kg biji kering.
Subandi et al.: Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia
109
Pola Pengusahaan Adanya keragaman ekosistem, maka dalam praktek di lapangan terdapat beberapa pola pengusahaan kedelai oleh petani, yaitu: (a) pada lahan sawah irigasi, kedelai ditanam setelah padi pada MK1 maupun MK2, biasanya diusahakan secara monokultur, dalam jumlah jauh lebih sedikit ada yang ditumpangsarikan dengan jagung, populasi jagung rendah; (b) pada lahan sawah tadah hujan, diusahakan pada awal musim hujan secara monokultur maupun tumpangsari dengan jagung, populasi jagung umumnya rendah dan dipanen muda; (c) pada lahan sawah tadah hujan, kedelai diusahakan setelah panen padi MK1 dan MK2, biasanya ditanam secara monokultur; (d) pada lahan kering tegalan, ditanam pada awal musim hujan atau akhir musim hujan, kebanyakan diusahakan secara tumpangsari dengan tanaman palawija lain seperti jagung dan/atau ubi kayu; serta (e) pada lahan kering areal perhutani terutama banyak dijumpai di Jawa, di sini kedelai diusahakan pada awal musim hujan maupun akhir musim hujan, umumnya secara tumpangsari dengan jagung dan/atau ubi kayu. Pada setiap variasi pola pengusahaan tersebut secara spesifik terdapat permasalahan sebagai berikut: (a) kedelai pada lahan sawah irigasi pada MK1, masalah spesifik adalah kelebihan air pada awal pertumbuhan, sedang yang ditanam pada MK2 akan menghadapi gangguan hama yang lebih berat; (b) kedelai pada lahan sawah tadah hujan yang diusahakan pada awal musim hujan, kelebihan air pada sebagian besar masa pertumbuhannya dan saat panen masih banyak hujan sehingga pascapanennya mengalami kesulitan dan mutu hasil panennya rendah; (c) kedelai pada lahan sawah tadah hujan yang ditanam pada MK1, menghadapi ancaman kelebihan air pada awal pertumbuhan, sedangkan yang ditanam pada MK2 akan menghadapi permasalahan kekurangan air pada fase generatif apabila tidak ada suplai pengairan dari pompanisasi (air tanah) dan gangguan hama yang lebih berat; (d) kedelai pada lahan kering tegalan yang ditanam pada awal musim hujan, kelebihan air apabila parit pengatusan (drainase) tidak dibuat secara memadai, terutama pada lahan bertopografi datar dan tanahnya bertekstur halus, sedangkan kedelai yang ditanam pada MK1 akan menghadapi cekaman kekeringan pada fase generatif, utamanya pada lahan yang solum tanahnya tipis, serta (e) kedelai pada lahan kering areal perhutani, permasalahan spesifik bagi pertanaman awal musim hujan dan MK1 adalah sama dengan yang dijumpai pada pertanaman kedelai pada lahan kering tegal.
Teknologi Budi Daya Seperti yang telah disebutkan di depan, bahwa kedelai masih dianggap sebagai komoditas tambahan yang umumnya diusahakan oleh petani kecil 110
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
dengan pemilikan lahan sempit. Kondisi demikian, ditambah dengan risiko yang relatif besar dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya, menyebabkan rendahnya tingkat penerapan teknologi budi daya kedelai oleh petani, sehingga pada gilirannya tingkat produktivitasnya juga rendah. Secara singkat praktek budi daya kedelai oleh petani adalah sebagai berikut: Varietas dan Benih Meskipun sebelumnya dilaporkan bahwa varietas lokal campuran masih banyak ditanam (Sumarno 1999), namun sekarang tampaknya pada sebagian besar areal pertanaman kedelai, petani telah menanam varietas unggul antara lain Wilis, Argomulyo, Anjasmoro, dan Kaba. Secara umum petani lebih meminati varietas kedelai dengan karakter sebagai berikut: (a) berdaya hasil tinggi, (b) berumur genjah sampai sedang (<85 hari), (c) ukuran biji sedang sampai besar (> 10 g/100 biji), (d) kulit biji berwarna kuning sampai coklat, (e) tanaman tidak mudah rebah, (f) tahan/toleran hama dan penyakit, serta (g) polong tidak mudah pecah. Hingga sekarang, sangat sedikit minat swasta untuk menjadi penangkar benih kedelai, karena keuntungan yang kecil. Harga benih kedelai kelas benih sebar (ES) di tingkat penangkar hanya sekitar Rp 5.000-Rp 5.500/kg. Hal yang demikian berujung kepada rendahnya persentase penggunaan benih bermutu, yaitu hanya sekitar 10%, dan yang bersertifikat hanya sekitar 3%. Petani umumnya memperoleh benih dari petani lain, dapat berbeda kecamatan, kabupaten, maupun provinsi, bahkan ada yangTegal, lintas MHpulau, II Februari-April misalnya dari Jawa ke luar Jawa. Untuk lebih menjamin penyediaan benih kedelai yang lebih bermutu, strategi penyediaan benih ditempuh melalui sistem jalur benih antarlapang dan musim atau Jabalsim, yang dilukiskan Tegal, MH I seperti pada Gambar 2. November-Februari
Sawah, MK II Juli-Oktober
Gambar 2. Jabalsim (jalur benih antarlapang dan musim) untuk mendapatkan benih kedelai bermutu (Sumarno et al. 1991).
Subandi et al.: Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia
111
Sawah, MK I April-Juni
Penyiapan Lahan dan Penanaman Untuk budi daya kedelai pada lahan kering, umumnya petani mengolah tanah bagi pertanaman awal musim hujan, sedang jika kedelai sebagai tanaman kedua atau kedelai MK1, umumnya petani tidak mengolah tanah kecuali tanahnya padat atau gulmanya lebat. Di sini, petani menanam secara ditugal dengan jarak teratur maupun tidak teratur. Pengolahan tanah juga umum dilakukan oleh petani dalam menanam kedelai pada lahan sawah tadah hujan menjelang musim hujan, sedangkan bagi pertanaman kedelai MK1 maupun MK2 pada lahan sawah beririgasi maupun tadah hujan, petani tidak mengolah tanah, petani hanya membabat jerami pada permukaan tanah. Jerami ada yang diangkut keluar untuk pakan ternak, dibakar atau digunakan sebagai mulsa pada lahan yang bersangkutan. Pembakaran jerami dilakukan setelah dihampar dulu di permukaan lahan atau masih dalam tumpukan-tumpukan kecil pada lokasi perontokan padi. Mulsa jerami dapat berfungsi untuk: (a) mengawetkan lengas tanah, (b) menekan pertumbuhan gulma, (c) mengurangi serangan lalat bibit, dan sumber bahan organik tanah dan hara tanaman utamanya K. Kedelai pada lahan sawah ditanam secara ditugal maupun disebar. Penanaman dengan cara disebar ditempuh karena dua pertimbangan, yaitu: (a) kekurangan tenaga kerja, dengan disebar tenaga tanam akan jauh lebih sedikit, dan (b) untuk mengoptimalkan penggunaan lengas tanah; pada saat panen sering tanah masih becek/berlumpur sehingga tidak dapat ditugal, jika menunggu kondisi tanah dapat ditugal berarti akan terjadi kehilangan lengas, sehingga benih kedelai ditanam secara disebar pada kondisi lahan masih berlumpur. Pada penanaman secara ditugal, jumlah benih per lubang bervariasi antara 2-6 biji, rata-rata lebih dari 3 biji (Adisarwanto et al. 1992). Perbedaan cara tanam tersebut berkonsekuensi pada kebutuhan benih. Penanaman dengan cara disebar akan membutuhkan lebih banyak, tergantung jarak tanam dan ukuran biji, tanam secara ditugal memerlukan benih 25-40 kg/ha, sedangkan tanam secara disebar membutuhkan 70-80 kg/ha (CGPRT cit. Sumarno et al. 1988, Adisarwanto et al. 1992). Diperkirakan penanaman secara disebar pada saat sekarang mencapai sekitar 20%. Pengendalian Gulma Gangguan gulma merupakan salah satu masalah penting dalam budi daya kedelai. Penurunan hasil kedelai akibat kompetisi dengan gulma berkisar antara 18-68% (Ardjasa dan Bangun 1985). Masalah gangguan gulma potensial lebih besar pada pertanaman kedelai yang diusahakan pada musim hujan dan MK1 baik pada lahan kering maupun sawah, sebab tersedia cukup air/lengas tanah untuk mendukung pertumbuhan gulma. Gangguan gulma pada pertanaman tanpa olah tanah akan relatif lebih berat dibandingkan dengan pertanaman olah tanah. Penggunaan benih yang daya 112
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
kecambahnya rendah juga memicu pertumbuhan gulma, di ruang-ruang kosong karena benihnya tidak tumbuh umumnya gulma tumbuh lebat. Permasalahan gulma akan semakin serius pada daerah-daerah yang relatif kekurangan tenaga kerja efektif, karena penyiangan pada umumnya dilaksanakan secara manual dengan cangkul sabit, maupun peralatan tradisional sejenisnya. Salah satu kekurangan yang sering terlihat di tingkat petani adalah petani terlambat dalam menyiang, gulma yang sudah tumbuh lebat untuk penyiangannya lebih banyak membutuhkan tenaga. Herbisida juga biasa digunakan dalam pengendalian gulma, dilakukan sebagai bagian dari penyiapan lahan yang sebelum kedelai ditanam gulmanya sudah tumbuh (lebat). Pengelolaan Hara dan Pemupukan Di antara komoditas pangan yang relatif banyak diusahakan yaitu padi, jagung, ubi kayu, dan kedelai; kedelai adalah yang paling sedikit menyerap hara dari tanah (Tabel 4). Oleh karena itu, dalam prakteknya, petani jarang atau sedikit memberikan pupuk bagi pertanaman kedelainya, apalagi untuk lahan relatif subur di antaranya lahan sawah intensif yang pada pertanaman padinya petani telah memupuk secara memadai dalam kurun waktu lama. Oleh karena demikian, tanggapan kedelai terhadap pemupukan biasanya tidak senyata pada tanaman padi dan jagung. Adisarwanto et al. (1992) melaporkan bahwa petani NTB memupuk pertanaman kedelainya hanya terbatas pada urea dan TSP saja dengan dosis berturut-turut 10-30 kg dan kurang dari 30 kg/ha. Pada lahan kering suboptimal, seperti lahan kering masam dengan tanah Ultisol atau Podsolik Merah-Kuning, pemupukan N, P, K, dan pengapuran secara nyata dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas kedelai (Taufiq et al. 2004). Jerami padi yang dimanfaatkan dalam bentuk mulsa atau dibakar akan menyediakan hara K dalam jumlah signifikan, karena sekitar 89% dari tatal Tabel 4. Kebutuhan hara N, P, dan K tanaman padi sawah, jagung, ubi kayu, dan kedelai pada tingkat hasil rata-rata nasional 2004. Jenis komoditas Padi sawah Jagung Ubi kayu Kedelai a) b)
Rata-rata hasil nasional (t/ha)a)
Kebutuhan hara (kg/ha)b) N
P
K
4,7 3,3 15,5 1,3
104,6 90,3 62,0 63,7
14,9 16,0 20,7 9,1
123,7 60,8 96,1 27,3
Sumber: BPS (2005) Perhitungan kebutuhan hara per ton didasarkan pada data Cooke (1985)
Subandi et al.: Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia
113
K yang diserap padi terdapat dalam jeraminya (De Datta and Mikkelsen 1985). Pertanaman kedelai pada lahan sawah bertanah Vertisol di Ngawi yang kahat K tanggap terhadap pemberian abu jerami. Secara alamiah tanaman kedelai dapat bersimbiose dengan bakteri penambat N-udara (rhizobium) dalam bintil akar yang mampu menyediakan N bagi tanaman dalam jumlah yang banyak. Melalui mekanisme ini 60% kebutuhan N tanaman kedelai dapat dipenuhi (Shutsrirung et al. 2002). Bagi lahan yang telah biasa ditanami kedelai, secara alamiah keberadaan rhizobium sudah cukup bagi berlangsungnya simbiose tersebut, sehingga meskipun petani pada dewasa ini tidak atau sangat jarang melakukan inokulasi rhizobium, namun tanaman kedelai dapat membentuk bintil akar, dan efektif. Pengelolaan Lengas Tanah dan Pengairan Pengelolaan lengas tanah atau air untuk pertanaman kedelai diperlukan untuk mengatasi masalah kelebihan atau kekurangan lengas/air. Masalah kelebihan air yang umumnya dihadapi oleh pertanaman musim hujan dan MK1 dilakukan dengan membuat parit pengatusan di bidang petakan (kadang-kadang juga dibuat parit di sekeliling petakan) dengan ukuran lebar parit 20-25 cm dan kedalam parit 10-15 cm. Jarak antar parit pada bidang petakan bervariasi antara 3-5 m. Untuk pertanaman kedelai pada MK2 di lahan sawah, pembuatan parit serupa juga dilakukan petani yang tujuannya selain untuk mengantisipasi kelebihan air akibat hujan susulan, juga lebih diperlukan untuk melancarkan penyaluran air irigasi menjangkau seluruh bidang petakan. Air pengairan berasal dari saluran irigasi (irigasi permukaan) maupun dari air tanah dengan pompanisasi. Untuk menghemat atau mengurangi kehilangan lengas tanah karena penguapan, dua upaya yang biasa dilakukan petani adalah segera menanam kedelai setelah padi dipanen dan penggunaan jerami sebagai mulsa. Menanam kedelai genjah secara tidak langsung juga merupakan upaya mengelola lengas tanah, yaitu memanfaatkan lengas tanah menjadi hasil panen. Pengendalian Hama dan Penyakit Kedelai merupakan tanaman yang paling besar menghadapi ancaman serangan hama dan/atau penyakit sejak fase bibit sampai dengan pengisian polong. Hama kedelai meliputi hama bibit, hama daun, hama penggerek batang, dan hama polong. Secara umum ancaman hama lebih serius daripada penyakit. Serangan hama dapat menyebabkan penurunan hasil
114
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
sampai 80%, bahkan tanaman gagal menghasilkan apabila tidak ada upaya pengendalian hama (Marwoto 1999). Dalam pengendalian hama petani mengandalkan kepada penggunaan pestisida buatan yang banyak dijual di pasaran/kios-kios di kota hingga pedesaan. Kelemahan atau kekurangan petani dalam mengendalikan hama kedelai adalah: (a) umumnya petani terlambat mengambil tindakan karena kurang mengamati perkembangan hama dan/atau tidak mengetahui saat yang tepat dalam aplikasi insektisida dalam kaitannya dengan fase pertumbuhan hama, apabila terlambat, ulat atau instar yang sudah tumbuh lanjut lebih tahan terhadap pestisida; (b) jenis pestisida yang diaplikasikan tidak sesuai dengan hama sasaran, atau pestisidanya palsu; serta (c) dosis dan/atau volume semprotnya rendah, hal ini dilakukan karena petani tidak tahu atau ingin menghemat pestisida sebab harga pestisida semakin mahal. Penyakit yang terpenting pada kedelai adalah karat daun. Penyakit sangat merusak bila menyerang mulai tanaman berumur 50 hari atau lebih muda. Selain menanam varietas toleran, pengendalian dengan fungisida dapat dianjurkan bila penyakit belum berkembang, dan tanaman masih berumur kurang dari 60 hari (Sumarno 1995). Panen dan Prosesing Umur panen akan menentukan kuantias dan kualitas hasil/biji kedelai. Waktu panen yang tepat adalah pada saat tanaman pada fase masak fisiologis penuh, ditandai oleh daun menguning dan gugur, batang telah mengering, serta kulit polong berwarna coklat (Rumiati 1982, Sumarno dan Hardono 1983 dalam: Soemardi dan Tahir 1985). Petani kedelai pada umumnya telah mengetahui saat panen yang tepat, namun karena pertimbangan tertentu, petani memanen lebih awal atau terlambat. Karena ingin segera menanam tanaman berikutnya dalam urutan pola tanam, petani mempercepat panen kedelainya. Karena belum tersedia tenaga panen atau cuaca belum memungkinkan untuk menjemur, petani terpaksa menunda panen. Terkait dengan masalah tersebut, untuk mengurangi kerusakan atau kehilangan biji di lapangan, petani menyukai varietas yang polongnya tidak mudah pecah. Panen umumnya dilakukan dengan cara memotong batang dekat permukaan tanah dengan sabit, namun di banyak tempat di NTB utamanya di Lombok, petani memanen dengan cara dicabut. Alasan pasti cara panen petani di Lombok tersebut belum terungkap, mungkin untuk menghindari gangguan pangkal batang yang tertinggal bagi pekerja berikutnya. Brangkasan hasil panen dijemur di lahan atau di halaman/pekarangan rumah, dengan dialas atau tanpa alas. Umumnya dijemur secara dihampar, namun kebanyakan petani di NTB penjemuran dilakukan dengan mengikat
Subandi et al.: Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia
115
batang/brangkasan dalam ukuran kecil-kecil diatur berdiri secara terbalik, akar di atas. Perontokan dilakukan baik secara manual dengan memukulmemukul brangkasan yang telah kering dengan batang kayu, bambu, ataupun pelepah daun kelapa, maupun secara mekanis dengan menggunakan mesin perontok secara pelayanan jasa-sewa. Sekarang, cara perontokan terakhir tampaknya lebih dominan.
PERBAIKAN PRODUKSI KEDELAI PETANI Upaya perbaikan usahatani kedelai diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani kedelai, meliputi manajemen dan proses produksinya.
Konsolidasi Pertanaman Areal tanam kedelai petani yang biasanya berada dalam spot-spot sempit sebaiknya diupayakan agar berada dalam hamparan padu dengan luas setiap hamparan minimal sekitar 50 ha. Dengan hamparan seluas itu akan memudahkan/mengefisienkan dalam melakukan pembinaan oleh petugas atau penyuluh pertanian. Penyiapan Lahan Dari pengamatan di lapangan, diketahui bahwa petani masih kurang tepat dalam pembuatan saluran drainase. Secara umum, saluran drainase dibuat dengan jarak antarsaluran sering agak terlalu jauh atau bedengan agak lebar dan salurannya kurang dalam. Pada lahan dengan kemiringan kurang dari 3%, apalagi untuk lahan sawah yang petakannya lebar dan tanah bertekstur halus, seperti tanah Vertisol, saluran drainase sebaiknya dibuat berjarak sekitar 1,5 m atau kurang antarsaluran, dan dengan kedalaman saluran 15 cm atau lebih. Saluran drainase yang demikian diperlukan untuk mengatasi kelebihan air pada saat banyak hujan dan/atau membantu pemerataan air irigasi pada musim kemarau. Varietas Unggul Varietas unggul sangat menentukan tingkat produktivitas pertanaman dan merupakan komponen teknologi yang relatif mudah diadopsi petani jika benihnya tersedia. Di Indonesia, hingga kini telah dilepas sekitar 64 varietas kedelai dengan karakter yang beragam di antaranya dalam hal umur panen, potensi hasil, ukuran dan warna kulit biji, dan kesesuaiannya terhadap lahan spesifik. Varietas yang dilepas belakangan pada dasarnya merupakan
116
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Tabel 5. Varietas unggul kedelai yang dilepas setelah tahun 2000 dan beberapas varietas yang dilepas pada tahun sebelumnya. Varietas Wilis Argomulyo Burangrang Sinabung Kaba Tanggamus Nanti Sibayak Mahameru Anjasmoro Lawit Menyapa Merubetiri Baluran Ijen Panderman Seulawah Ratai Rajabasa Gumitir Argopuro Cikuray Malika+
Potensi hasil (t/ha)
Umur panen (hari)
Ukuran biji (g/100 biji)
1,60* 2,00 2,50 2,16* 2,13* 1,22* 1,24* 1,41* 2,16 2,25 2,07* 2,03* 2,75 3,00 2,30 2,37 2,05 2,10 2,05* 2,41 3,05 1,70* 2,34*
85-90 80-82 80-82 88 85 88 91 89 84-95 83-93 84 85 95 80 83 85 93 90 82-85 81 84 82-85 85-90
10,0 16,0 17,0 10,7 10,4 11,0 11,5 12,5 17,0 15,0 10,5 9,1 14,0 16,0 11,2 18,5 9,5 10,5 15,0 16,0 17,8 11,5 9,50
Warna biji Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning K. kehijauan Kuning Kuning Kuning Kuning K. kehijauan K. kehijauan Kuning K. kehijauan Kuning Hitam Hitam
Keterangan**
Adaptif LK masam Adaptif LK masam Adaptif LK masam Adaptif LPS
Adaptif LK masam Adaptif LK masam Agak toleran masam
*). Hasil rata-rata, **). LK= Lahan kering, LPS= Lahan pasang surut Sumber: Suhartina (2005); +) Menteri Pertanian Nomor: 78/Kpts/SR. 120/2/2007
perbaikan varietas sebelumnya. Dari sejumlah varietas tersebut, sebagian besar adalah yang kulit bijinya berwarna kuning sampai kuning kehijauan, sedang yang kulitnya berwarna hitam baru dilepas tiga varietas yakni Merapi, Cikuray, dan Malika. Varietas unggul kedelai yang dilepas sebelum dan setelah tahun 2000 yang popoler dan/atau mempunyai karakter spesifik disajikan pada Tabel 5. Kini telah tersedia sejumlah besar varietas unggul kedelai dengan karakter yang beragam, sehingga dapat memberikan banyak alternatif pilihan. Benih Berkualitas Penggunaan benih yang berkualitas tinggi merupakan prasyarat utama dalam budi daya kedelai, karena akan menjamin diperolehnya populasi tanaman sesuai yang dikehendaki (optimal), berkecambah menjadi bibit sehat dan vigor sehingga akan diperoleh tanaman yang tumbuh seragam.
Subandi et al.: Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia
117
Tabel 6. Kualitas benih kedelai varietas Lokon yang dihasilkan dari pertanaman musim hujan di Sukamandi. Variabel mutu a. Mutu fisik • Biji baik (benih) • Biji rusak b. Benih terinfeksi • Cendawan • Bakteri c. Daya kecambah
Persentase 33 67 82,5 27 70
Sumber: Hidayat et al. (1991)
Benih yang berkualitas harus memenuhi syarat sebagai berikut: (a) asal benih atau nama varietasnya jelas, (b) bernas atau tidak keriput, (c) bersih dari kotoran dan tidak bercampur dengan biji tanaman maupun varietas lain, (d) tidak membawa bibit penyakit, serta (e) berdaya kecambah minimal 85%. Jika benih berdaya kecambah rendah (kurang dari 85%) ada tiga permasalahan yang menyebabkan potensi hasilnya tidak optimal dan atau biaya produksi meningkat, sebab: (a) Vigor tanaman/bibit rendah, (b) populasi tanaman di bawah optimal, dan (c) akibat butir a dan b tersebut gulma akan berpotensi kuat untuk bersaing dengan tanaman kedelai dalam memanfaatkan sinar matahari, unsur hara, dan air; serta gulma akan menjadi sarang atau sumber hama dan penyakit. Gulma yang tumbuh lebih lebat dalam penyiangannya membutuhkan tenaga/biaya yang lebih besar. Sehubungan dengan itu, maka proses produksi benih kedelai harus memperoleh perhatian yang serius. Guna memperoleh benih yang berkualitas, benih kedelai hendaknya diperoleh dari pertanaman musim kemarau. Benih yang diperoleh dari pertanaman musim hujan di samping persentase biji yang menjadi benih rendah karena mutu fisiknya buruk, juga daya kecambahnya rendah, dan banyak terinfeksi penyakit (Tabel 6). Setelah dipanen, brangkasan tanaman harus segera dikeringkan, penundaan pengeringan brangkasan lebih dari dua hari akan menghasilkan benih yang berkualitas rendah (Tabel 7). Untuk merangsang tumbuh-berkembangnya penangkar benih kedelai, harga benih kelas benih sebar perlu ditingkatkan, yang sekarang hanya sekitar 1,5 kali ditingkatkan menjadi sekitar 2,5-3,0 kali harga kedelai konsumsi. Untuk mewujudkan sistem perbenihan kedelai yang mampu menyediakan benih yang berkualitas, maka sistem perbenihan Jabalsim harus disertai dengan pembentukan penangkar benih tingkat pedesaan atau produksi benih berbasis komunitas. Dalam sistem perbenihan ini, skala produksi tidak besar mungkin cukup puluhan ton per tahun dengan jumlah penangkarnya dua atau tiga penangkar untuk setiap kabupaten.
118
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Tabel 7. Penundaan pengeringan brangkasan terhadap daya kecambah benih kedelai hasil pertanaman musim hujan. Cara pengeringan
Lama penundaan (hari)
Daya kecambah (%)
a. Alat pengering (Flat-bed dryer)
0 2 3 4 5
91,00 49,20 44,25 0,00 0,00
b. Penjemuran
0 2 3 4 5
91,00 37,75 0,00 0,00 0,00
Sumber: Hidayat et al. (1991)
Waktu Tanam Kedelai setelah Padi Untuk kedelai MK1 dan MK2 pada lahan sawah setelah padi, petani menyiapkan lahan dengan memotong jerami padi dekat dengan permukaan tanah (5-10 cm). Petani tidak perlu mengolah tanah sebab pengolahan tanah selain sedikit atau tidak berpengaruh terhadap hasil kedelai (Tabel 8), pengolahan tanah akan memundurkan waktu tanam yang berakibat pada penurunan hasil (Tabel 9 dan 10), dan tentunya akan menambah ongkos produksi untuk pengolahan tanah. Penurunan hasil tanaman yang terlambat ditanam dapat disebabkan oleh kekeringan, akumulasi hama dan penyakit, dan/atau gangguan gulma yang lebih berat. Pengendalian Hama/Penyakit Gangguan hama/penyakit sebagai permasalahan penting dalam budi daya kedelai sering ditangani secara kurang baik oleh petani. Petani sering bertindak terlambat dan kurang tepat dalam mengambil tindakan. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan petugas atau salah satu petani dari areal sehamparan sekitar 50 ha menjadi pengamat yang memantau perkembangan hama/penyakit. Petugas atau petani tersebut dibekali kemampuan dalam tugasnya melalui pelatihan. Petugas ini yang memberitahu dan mengkoordinasikan saat dan cara pengendaliannya hama/penyakit.
Subandi et al.: Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia
119
Tabel 8. Pengaruh cara pengolahan tanah untuk padi dan pengolahan tanah untuk kedelai terhadap hasil kedelai setelah padi. Hasil biji (t/ha)
Pengolahan tanah pada padi 1 2 2 1 2
x x x x x
bajak, bajak, bajak, bajak, bajak,
1 1 2 2 2
Tidak di olah
Diolah
1,8 1,77 1,8 1,91 2
2,07 2,09 2,07 2,04 2,11
x garu x garu x garu x garu x garu dengan traktor
Sumber : Adisarwanto (1990)
Tabel 9. Hasil kedelai pada dua waktu tanam sesudah padi sawah di Banyuwangi. Varietas
Hasil biji (t/ha) Lima hari setelah panen padi
Wilis Lokal Tidar MLG 2675
1,71 1,64 1,95 1,71
Sepuluh hari setelah panen padi 0,94 0,80 1,88 1,46
Sumber: Sumarno et al. (1990)
Tabel 10. Pengaruh pemunduran waktu tanam terhadap hasil kedelai yang ditanam setelah padi rendengan atau kedelai MK-1 di KP Genteng (Jawa Timur) yang bertipe iklim D2 (klasifikasi Oldeman). Waktu tanam kedelai Dua hari setelah panen padi Tujuh hari setelah panen padi Dua belas hari setelah panen padi
Hasil biji (t/ha)* 2,00 1,31 0,83
Rata-rata dari empat genotipe (Wilis, Samarinda, Tidar, MLG2675) Jenis tanah dan pupuk: Regosol; 50 kg urea+100 kg TSP+100 kg KCl/ha Sumber: Kustyastuti dan Adisarwanto (1995) *
120
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
PELUANG PERTUMBUHAN PRODUKSI DARI PERLUASAN AREAL TANAM Dari berbagai peluang sumber pertumbuhan produksi kedelai yang telah diidentifikasi (Arsyad et al. 1994), perluasan areal tanam pada wilayah yang agroekologinya mendukung merupakan tindakan yang perlu diprioritaskan. Keuntungan perluasan areal tanam kedelai pada wilayah baru adalah sebagai berikut: (1) menambah produksi kedelai nasional secara nyata dan diharapkan akan lebih berkelanjutan, (2) menyediakan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan baru bagi masyarakat, (3) menambah luas areal pertanian subur yang juga dapat dimanfaatkan bagi usaha produksi komoditas lain, (4) mendorong pertumbuhan ekonomoi daerah-daerah yang belum berkembang sebagai dampak ekonomi usaha produksi kedelai. Selain peryaratan kesesuaian agroekologi untuk tanaman kedelai, diperlukan adanya kemauan dan kemampuan masyarakat petani dalam menanam kedelai di wilayah pengembangan baru. Hal ini disebabkan budi daya kedelai memerlukan tenaga kerja yang banyak (labour intensive), yang tidak dimiliki oleh setiap golongan masyarakat petani Indonesia. Perluasan tanam kedelai ke wilayah baru sebaiknya diprioritaskan pada masyarakat petani yang pernah menanam kedelai, atau secara historis biasa bertanam kedelai. Agroekologi yang dapat dimanfaatkan untuk perluasan areal kedelai adalah seperti tertera pada Tabel 11. Namun ketersediaan lahan dengan tanah Ultisol menduduki areal terluas. Perluasan areal tanam kedelai pada lahan masam Podsolik Merah-Kuning (Ultisol) sebenarnya telah tersedia teknologinya (Widjaja-Adhi 1985, Hilman 2005, Sumarno 2005, Maidll 1996). Tabel 11. Agroekologi yang dapat dimanfaatkan untuk perluasan areal kedelai. Tipe Agroekologi
Jenis tanah/ kesuburan tanah
Musim tanam
Lokasi Propinsi
Lahan kering, marginal
Podsolik, Ultisol
MH, akhir MH
Lampung, Sumsel, Jambi, Sumbar, Riau, Bengkulu, Aceh, Kalbar
Lahan kering, relatif subur
Vertisol, Oksisol, dll
MH, akhir MH
Kalbar, Kalsel, Sulsel, Sulteng, Sultra, Gorontalo, Sulut, NTT
Lahan sawah irigasi dan tadah hujan
Entisol, Vertisol, dll
MK, awal MK
Jabar, Lampung, Sumsel, Bengkulu, Jambi, Sumut, Riau, Aceh, Sulsel, Kalbar, Kalsel
Subandi et al.: Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia
121
Belum berhasilnya perluasan kedelai pada tanah masam di Indonesia lebih disebabkan belum adanya program nasional yang ditangani secara sungguh-sungguh. Keberhasilan usaha produksi kedelai di Serdang, Sumatera Selatan dan di Muara Ilir, Jambi, pada lahan masam Podsolik pada tahun 1980-an hingga dapat menghasilkan di atas 2 t/ha merupakan bukti bahwa tanah masam dapat di ubah menjadi lahan yang produktif untuk kedelai (Khol 1983). Penanaman kedelai yang mencapai area lebih 20 juta ha di Brazil hampir seluruhnya dilakukan pada tanam masam. Oxisol dan Ultisol yang semula dianggap tidak sesuai untuk tanaman kedelai, ternyata memberikan produktivitas yang tinggi setelah proses ameliorasi lahan diterapkan (Maidl 1996). Di antara lahan Podsolik di Indonesia yang tersedia cukup luas, lahan di Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau dinilai memiliki peluang terbaik untuk dikembangkan menjadi ladang kedelai. Penyiapan lahan bukaan baru bekas hutan dengan jenis tanah Podsolik (Ultisol) di Muara Ilir, Jambi pada tahun 1980-an oleh bantuan tenaga ahli dari GTZ Jerman, membuktikan bahwa tanah Podsolik dapat diubah menjadi ladang kedelai subur yang produktivitasnya mencapai 2 t/ha atau lebih (Khol 1983). Teknologi pembukaan lahan baru dari hutan primer atau sekunder tanah Podsolik untuk bertanam kedelai yang dinilai sangat berhasil tanpa kerusakan tanah adalah sebagai berikut (Khol 1983) : 1. Kayu besar dan kecil di tebang, pangkal batang dibongkar atau dicabut menggunakan traktor, atau dibakar, sisa kayu dikumpulkan selanjutnya dibakar. 2. Tanah bekas bongkaran pangkal pepohonan diratakan, tanpa merusak lapisan olah tanah, dibuat batas petakan dan jalur pelimpasan air bila diperlukan, guna meminimalisasi terjadinya erosi permukaan. 3. Pemberian 2-4 t/ha batu kapur giling dan batuan phosfat (rock phosphate) sebanyak 500 kg/ha, kemudian dibajak dangkal agar masuk ke dalam tanah. 4. Tahun pertama setelah tanah di kapur ditanami legume penutup tanah seperti Callopogonium sp.; Purazea sp.; Centro Cema sp.; Muccuma sp. Setelah tumbuh subur menutup permukaan tanah (umur 90-120 hari), legume dibenamkan kedelam tanah sedalam 30-40 cm, menggunakan bajak traktor/deep ploughing. Agar mulsa legume tersebut terdekomposisi, ditunggu 30 hari baru tanah diolah untuk yang kedua kali. 5. Untuk memperkaya hara Ca, Mg, dan P, tanah ditebari gypsum (500-700 kg/ha) dan pupuk TSP atau SP36 (100-200 kg/ha) pada saat pengolahan tanah yang kedua.
122
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
6. Setelah tanah diolah, lahan siap ditanami kedelai. Pada tahap ini sifat tanah telah baik, struktur gembur, drainase sedang-baik, kandungan hara makro cukup, kandungan bahan organik tinggi, kejenuhan Al < 15%, dan pH antara 5,6-6,2, cukup optimal untuk pertumbuhan kedelai. Kedalam lapisan olah tanah dengan penyiapan lahan seperti tersebut mencapai 40-50 cm, dan tanah berwarna coklat tua ke arah hitam. 7. Penanaman kedelai pada paruh akhir musim hujan dilakukan inokulasi Rhizobium dengan rotasi: jagung-kedelai-bera. Produktivitas kedelai mancapai 2,0-2,5 ton/ha. Walaupun biaya investasi untuk penyiapan lahan tersebut relatif besar, namun dengan teknik tersebut diperoleh lahan pertanian yang kualitasnya baik dan dapat diusahakan untuk berproduksi kedelai secara berkelanjutan dengan produktivitas tinggi. Petani kecil kemungkinan tidak mampu menyiapkan lahan bukaan baru dengan teknik tersebut, namun semestinya pemerintah pusat atau propinsi dapat melakukan penyiapan lahan bagi petani dengan skema kredit jangka panjang. Tindakan ameliorasi tanah yang tepat tergantung pada karakteristik lahan yang bersangkutan. Apabila pH tanah rendah, tindakan yang paling tepat adalah pemberian kapur atau gypsum untuk menaikkan pH. Hasil penelitian penanaman kedelai pada tanah Ultisol dan Oxisol di Brazil, menunjukkan bahwa tanpa pengapuran hasil kedelai pada tanah masam sangat rendah, disebabkan oleh keracunan Al dan Mn, kahat hara makro dan terhambatnya pembentukan nodul rhizobia (Abruna 1980). Pemberian kapur (CaCO3) sebanyak 2 t/ha pada tanah Ultisol dengan pH awal 4,5, mampu menaikkan pH menjadi 5,6 dan Al dd kurang dari 20%. Bintil Rhizobia pada pH 4,5 tidak terbentuk, namun pada pH 5,6 terbentuk 75 nodul per batang. Kandungan Ca dalam daun kedelai meningkat dan kandungan Mn dalam daun menurun akibat pemberian kapur tersebut. Hasil kedelai juga meningkat drastis dari hanya 62 kg/ha pada tanah tanpa pengapuran, menjadi 2081 kg/ha dengan pemberian kapur. Ratio Ca/Mn dalam daun dapat dijadikan sebagai indeks pengukur kecukupan Ca dalam tanah dan pengukur tanggap kedelai terhadap pengapuran. Maidl (1996) mendokumentasikan perlunya dilakukan tujuh tahapan tindakan dalam pengelolaan lahan masam Ultisol di Brazil hingga dapat dijadikan ladang kedelai yang produktivitasnya mencapai 2,5-3,0 t/ha, sebagai berikut: (1) pengapuran lapisan olah tanah untuk menaikkan pH Pengapuran 1-5 t/ha untuk meningkatkan pH dan mengatasi keracunan Al, menggunakan kapur magnesium atau dolomit. Kapur ditebarkan tiga bulan sebelum tanam, dan dibajak dalam (deep plaughed) agar terbentuk lapisan olah yang dalam.
Subandi et al.: Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia
123
Penghitungan kebutuhan kapur dilakukan berdasarkan kandungan liat (clay), kandungan Al, Ca, dan Mg, sebagai berikut (Maidl 1996): (a) Tanah dengan > 20% liat, dan Ca+Mg < 2 meq/100 cm3: kebutuhan kapur (t/ha) = (2xmeq Al/100 cm3)+(2-meq Ca+Mg/ 100 cm3) (b) Tanah dengan > 20% liat, dan Ca+Mg > 2 meq/100 cm3: kebutuhan kapur (t/ha) = 2xmeq Al/100 cm3 (c) Tanah dengan < 20% liat, kebutuhan kapur (t/ha) = 2-meq Ca+Mg/100 cm3 Dalam praktek, pengapuran pada tanah masam Ultisol dan Oxisol di Brazil dengan pH = 4,5 adalah dengan dosis 3 t/ha, dan diulangi setiap 3-5 tahun. (2) Ameliorasi subsoil menggunakan gypsum Tujuannya adalah untuk menetralisasi Al pada lapisan tanah bagian dalam, karena perakaran kedelai dapat tumbuh mencapai 100-150 cm. Kandungan liat (clay) pada subsoil menentukan dosis gypsum yang diperlukan (Tabel 12). Supaya gypsum dapat masuk ke dalam lapisan subsoil setelah gypsum ditebarkan dilakukan pembajakan dalam. Penggunaan alat chisel (garu bergerigi panjang vertikal) juga dapat dianjurkan untuk memasukkan gypsum ke dalam subsoil sedalam 30-40 cm. (3) Pengkayaan fosfat tanah, dengan pemupukan P dosis tinggi Lahan masam dengan kandungan fosfat rendah, sekitar 4 ppm P, yang disertai kapasitas fiksasi P yang tinggi, pengkayaan fosfat dalam tanah merupakan persyaratan mutlak untuk memperoleh produktivitas kedelai yang tinggi. Dosis pupuk P yang dianjurkan tergantung pada kadar liat (clay) tanah, secara umum yaitu dosis yang dianjurkan 3-5 kg P2O5 setiap 1% liat tanah. Pemupukan P dosis tinggi ini diulangi setial 35 tahun. (4) Pengkayaan bahan organik tanah Lahan masam yang tidak dikelola dengan baik pada umumnya miskin bahan organik, yang berakibat pada aktivitas liat tanah lemah, aktivitas mikroba tanah rendah, dan KTK rendah. Pada tahun pertama diperlukan Tabel 12. Kebutuhan gypsum untuk lapisan subsoil pada kedalaman 20-40 cm. Kandungan liat (%) (C) C atau : C
Kebutuhan dosis gypsum (kg/ha) [300+(20xC)] 50 x C
Sumber: Maidl (1996).
124
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
pengkayaan kandungan bahan organik tanah dengan penanaman legume penutup tanah diikuti dengan pembenaman ke dalam tanah. Apabila kedelai telah ditanam dan tumbuh optimal, maka daun-daun kedelai yang rontok dan sisa tanaman kedelai yang dikembalikan ke dalam tanah (panen menggunakan mesin combine) akan memperkaya bahan organik tanah. (5) Pengkayaan kalium dalam tanah Tanaman kedelai memerlukan K dalam jumlah besar, sedangkan tanah masam umumnya miskin hara Kalium. Pengkayaan K diperlukan apabila ketersediaan K dalam tanah kurang dari 30 ppm dan kandungan liat lebih dari 18%. Kebutuhan pupuk Kalium dapat dihitung berdasarkan kebutuhan untuk mencapai KTK 3-5%, pada pH 7,0% dijenuhkan oleh K. Dalam praktek, takaran pupuk kalium secara umum adalah 100 kg K2O/ha, ditebarkan bersamaan pupuk P dan dimasukkan ke dalam lapisan olah tanah menggunakan bajak. (6) Pengkayaan Hara Mikro Apabila terlihat gejala kahat hara mikro pada tanaman kedelai, terutama Zn, Fe, S,B, Mo, pemberian pupuk mikro dalam bentuk chelat atau fritted trace element (FTE) perlu dilakukan. Tanaman kedelai tergolong peka terhadap kahat unsur mikro Zn, Fe, dan Mo. Pada tanah yang dikapur berlebihan sehingga pH tanah melebihi 7,0 tanaman kedelai sering mengalami khlorosis (daun muda menguning, tanaman kerdil), karena kahat unsur mikro Fe. Pada tanah kalkareous (kapur) dengan pH diatas 7,0 unsur mikro Fe juga tidak tersedia bagi tanaman kedelai, sehingga menimbulkan gejala khlorosis. (7) Pengkayaan Mikroba Bermanfaat dalam Tanah Mikroba Rhizobium sp. harus tersedia dalam tanah agar terjadi simbiosa penambatan nitrogen dari udara. Inokulasi biakan murni Rhizobium sangat diperlukan pada tanaman kedelai yang baru ditanam pertama di lahan masam, dan perlu diulang pada tanaman kedelai II sampai IV, sehingga pembentukan bintil akar optimal. Tindakan tujuh langkah teknik pengelolaan lahan masam tersebut perlu diikuti oleh penanaman kedelai varietas unggul adaptif (terutama yang memiliki perakaran dalam), pengendalian gulma, hama dan penyakit, serta pengelolaan lengas tanah optimal. Teknik pengelolaan lahan masam di Brazil ini semestinya dapat diterapkan di Indonesia, karena permasalahan teknis yang dihadapi sebenarnya hampir sama. Penanaman kedelai pada lahan kering perlu menyesuaikan dengan distribusi dan intensitas curah hujan.Tanam pada awal musim hujan dapat menjamin kecukupan air untuk pertumbuhan tanaman kedelai, tetapi mengalami masalah dalam panen dan penanganan hasil panen. Tanam
Subandi et al.: Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia
125
pada bagian akhir hujan, sehingga selama dua bulan pertama tersedia lengas tanah yang cukup, dan kering pada bulan ketiga, merupakan periode tanam yang optimal bagi tanaman kedelai. Untuk mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri sebanyak 2 juta ton untuk bahan baku tahu, tempe dan kecap, dan 1,5 juta ton bungkil kedelai (soybean meal) untuk bahan baku pakan ternak, dibutuhkan luas panen sekitar 2,8 juta ha per tahun. Luas tanaman kedelai di wilayah produksi tradisional sekitar 0,7 juta ha, sehingga diperlukan tambahan areal tanam pada wilayah produksi baru sekitar 2,0-2,1 juta ha. Apabila pemerintah pusat menginginkan dicapainya swasembada kedelai, maka tidak ada jalan lain kecuali memfasilitasi dan memberikan insentif untuk memperluas areal tanam dengan membuka lahan baru atau memanfaatkan lahan bera, memasukkan tanaman kedelai pada lahan bekas perkebunan dan peremajaan tanaman dan memasukkan kedelai pada pola rotasi/tumpangsari ubi kayu-kedelai, hingga luas panen mencapai 2,8 juta ha. Walaupun tanaman kedelai di Indonesia dapat menghasilkan 2,0-2,5 t/ ha, namun pada areal panen yang luas tingkat produksi tersebut sukar dicapai. Oleh karena banyaknya hambatan produktivitas, termasuk serangan hama, penyakit, kompetisi gulma, cekaman kekeringan atau genangan oleh curah hujan tinggi, penentuan target produktivitas kedelai 1,5 t/ha selama sepuluh tahun mendatang dinilai cukup wajar untuk dijadikan dasar penghitungan produksi. Dengan menggunakan pagu produktivitas kedelai 1,5 t/ha pada tahun 2010-2015 maka kebutuhan luas areal tanaman guna mencapai swasembada dapat ditentukan, untuk selanjutnya disediakan berbagai dukungan kebijakan guna pencapaiannya. Hal terakhir inilah yang dinilai belum dilakukan oleh pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA Abruna, F. 1980. Response of soybean to liming on Acid Tropical soils. p. 3546. In: F.T.Corbin (Ed.), Proc. World Soybeans Res, Conf, II. West view Press. Boulder, USA. Adisarwanto, T. 1990. Dampak cara pengelolaan tanah pada padi terhadap hasil kedelai di lahan sawah, p. 45-54. Dalam: Laporan Tahunan Balitan Malang 1990. Adisarwanto, A. Kasno, N. Saleh, B. Santoso R, Marwoto, dan Sumarno. 1992. Studi sumber pertumbuhan baru produksi kedelai di Nungsa Tenggara Barat. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. 57 p.
126
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Ardjasa, W.S. dan P. Bangun. 1985. Pengendalian gulma pada kedelai, p. 357367. Dalam: Somaatmadja et al.(Eds.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Arsyad, D.M., M.O. Adnyana, dan Irsal Las. 1994. Sumber pertumbuhan produksi untuk swasembada kedelai. Konsultasi Nasional Pemantapan Program Kedelai. Departemen Pertanian. Bogor. 1994. BPS. 1992. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia. 611 p. BPS. 2000. Produksi tanaman padi dan palawija di Indonesia.Survei pertanian. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia. 108 p. BPS. 2005. Statistik Indonesia 2004. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia. 604 p. Cooke, G.W. 1985. Potassium in the agricultural systems of the humid tropics, p. 21-28. Dalam: Potassium in the agricultural systems of the humid tropics. Proceeding of the 19th Colloquium of the International Potash Institute, Held in Bangkok, Thailand. De Datta, S.K & D.S. Mikkelsen. 1985. Potassium nutrient of rice, p. 665-699. Dalam: Munson (Ed.). Potassium nutrition of rice. Heriyanto, Ruly K, Fachrur R, Margono R, Imam S, T. Adisarwanto, Heny K, A. Taufiq, Marwoto, S. Wahyuni I, M. Adie, dan Eriyanto. 2005. Adopsi dan penyebaran varietas unggul kedelai. Laporan akhir tahun anggaran 2004. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Hidayat, J.R., S.A.S. Wityanara, K. Pirngadi, S. Kartaatmadja, dan A. M. Fagi. 1991. Teknik budi daya kedelai di lahan sawah irigasi. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. 63 p. Hilman, Y. 2005. Teknologi produksi kedelai di lahan kering masam. p. 78-86. Dalam: A.K. Makarim et al. (Eds.). Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Sub Optimal. Puslitbangtan Bogor. Khol, G.J. 1983. Pilot Project on Integrated Soya and Food Crops Development. Reports of GTZ. Direktorat Jendral Produksi Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta Kuntyastuti, H dan Adisarwanto. 1995. Tanggap kedelai terhadap perbedaan waktu tanam di lahan sawah, p. 343-357. Prosiding Simposium Meteriologi Pertanian IV. Yogyakarta, 26-28 Januari 1995. Maidl, F.X. 1996. Soil Fertility Management for Crop Production on Acid Soils. Experiment from Brazil.
Subandi et al.: Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia
127
Maidl, F.X. 2000. Soil fertility management for crop production on acid soils. Experiences from Brazil. p. 85-88. Dalam: L.W. Gunawan et al. (Eds.). Penelitian dan pengembangan produksi kedelai di Indonesia. Kerja sama BPPT, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pendidikan, Sains, Riset, dan Terknologi Jerman. Dit.. Teknologi Lingkungan, BPPT. Jakarta. Marwoto. 1999. Rakitan teknologi PHT pada tanaman kedelai, p. 67-95. Dalam: Novianti Sunarlim et al. (Eds.). Strategi pengembangan produksi kedelai. Prosiding Lokakarya Pengembangan Produksi Kedelai Nasional. Bogor, 16 Maret 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Shutgrirung, A., P. Sutigoolabud, C. Santasup, K. Seno, S. Tajima, M. Hisamatu, dan A. Bhromsiri. 2002. Symbiotic efficiency and compatibility of native rhizobia in Nothern Thailand with different soybean cultivar. Soil Sci. Plant Nutr. 48: 491-499. Soemardi dan R. Thahir. 1985. Pascapanen kedelai, p. 429-440. Dalam: Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Suhartina. 2005. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbiumbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian. 154 p. Sumarno, D.M. Arsyad, dan I. Manwan. Teknologi usahatani kedelai. Lokakarya Pengembangan Kedelai. Bogor, 13 Desember 1990. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 48 p. Sumarno, D.M. Arsyad, & I. Manwan. 1991. Teknologi usahatani kedelai, p. 23-49. Dalam: Syam, M. dan A. Musadad (Eds.). Pengembangan kedelai. Potensi, kendala, dan peluang. Risalah Lokakarya. Bogor, 13 Desember 1990. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Sumarno. 1995. Identifikasi teknologi usahatani kedelai. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Sumarno. 1999. Strategi pengembangan produksi kedelai nasional mendukung Gema Palagung 2001, p. 7-20. Dalam: Sunarlim, N. et al. (Eds.). Strategi pengembangan produksi kedelai. Prosiding Lokakarya Pengembangan Produksi Kedelai Nasional. Bogor, 16 Maret 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Sumarno. 2005. Strategi Pengembangan Kedelai di Lahan Masam. p. 37-46. Dalam: Makarim, A.K et al. (Eds.) Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Suboptimal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 128
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Taufiq, H. Kustyastuti, dan A.G. Mansuri. 2004. Pemupukan dan ameliorasi lahan kering masam untuk peningkatan produktivitas kedelai, p. 2140. Prosiding Lokakarya Pengembangan kedelai melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu di lahan kering masam. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung, 30 September 2004. Widjaja, Adhi, I.P.G. 1985. Pengapuran Tanah Masam untuk Kedelai. p. 171188. Dalam: Somaatmadja, S. et al. (Eds.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor.
Subandi et al.: Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia
129