SISTEM PRODUKSI BENIH KEDELAI DAN PERMASALAHANNYA DI PROVINSI JAMBI Nur Imdah Minsyah dan Adri Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi; Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru, Jambi; email:
[email protected]; Telp. 081274248990
ABSTRAK Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran sistem produksi benih kedelai di Provinsi Jambi dilihat dari aspek kelembagaan perbenihan, produksi dan kebutuhan benih dan proyeksinya kedepan, permasalahan dan strategi pengembangan. Luas lahan yang digunakan untuk pertanaman kedelai relatif kecil dibandingkan dengan luas lahan yang cocok untuk budidaya kedelai. Antara 46,8–80,2% kebutuhan kedelai untuk konsumsi didatangkan dari luar. Untuk mencapai keseimbangan antara produksi dan konsumsi pada tahun 2015–2020, diperlukan luas area dan benih bermutu cukup besar. Luas lahan yang diperlukan berkisar antara 14.294–17.462 ha, sedangkan benih bermutu 571,77–688,14 t. Sementara kemampuan produksinya berada pada kisaran 100 t/tahun. Kata kunci: benih kedelai bermutu, sistem produksi, areal pertanaman.
ABSTRACT Soybean seed production system and the problem in Jambi Province. This paper aims to provide an overview of soybean seed production systems in Jambi Province and views of the role of institutional aspects of seed production and seed projected future needs, problems and development strategies. Area of land used for soybean is relatively small compared to the area of land suitable for the cultivation of soybeans. Between 46.80–80.15 % consumption imported from outside. To achieve a balance between production and consumption in the range of 2015 to 2020 needed wide area planting and quality seeds . For the planting area, the required minimum land area between 14,294 ha–17,462 ha, whereas the 571.77–688.14 tons quality seeds, while the production is in the range of 100 tons/year. Keywords: soybean seed quality, system of production, cropping area
PENDAHULUAN Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, sebagian kebutuhan kedelai untuk berbagai keperluan didatangkan dari luar negeri (impor) yang terus meningkat dan puncaknya terjadi pada tahun 2012 dengan volume 1.452.213 t atau 70,6% dari total kebutuhan domestik (Ruson dkk. 2013). Ketergantungan impor bahan pangan akan menguras devisa negara, pada tingkat tertentu memiliki implikasi yang lebih luas, mulai dari rentannya ketahanan dan kedaulatan pangan sampai pengaruhnya terhadap politik negara (Husodo 2006). Untuk itu, meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri merupakan upaya mutlak yang harus dilakukan walaupun tantangan dan kendala yang dihadapi tidak sederhana (Supadi 2008). Jambi merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi besar sebagai sentra produksi kedelai di luar Pulau Jawa. Di provinsi ini, luas lahan yang berpotensi untuk budidaya kedelai adalah 28.400 ha untuk lahan sawah dan 99.000 ha untuk lahan kering (Arsyad dan Syam 1998 dalam Minsyah 2010). Faktanya, luas tanam dan luas panen Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
575
kedelai di provinsi ini relatif kecil. Pada kurun waktu selama 10 tahun (2000–2010), luas pertanaman kedelai hanya berkisar 1.848–7.290 ha (Distan Provinsi Jambi 2007 dan 2013) dengan produktivitas pada kisaran 1,3 t/ha. Salah satu faktor penyebab relatif sempitnya area pertanaman dan produktivitas kedelai di Provinsi Jambi adalah ketidaktersediaan benih yang dibutuhkan (Jumakir dkk. 2011). Hal ini disebabkan sistem produksi benih yang ada belum mampu menyediakan benih unggul bermutu yang dibutuhkan petani (UPTD Perbenihan Distan Provinsi Jambi 2013). Ketidaktersediaan benih menurunkan minat petani menanam kedelai secara berkelanjutan. Makalah ini memberikan gambaran sistem produksi benih kedelai di Provinsi Jambi dilihat dari aspek kelembagaan perbenihan, teknik budidaya, produksi dan kebutuhan benih dan proyeksi ke depan, permasalahan dan strategi pengembangan.
SISTEM PRODUKSI BENIH Produksi Benih Salah satu masalah klasik yang sampai saat ini masih menjadi kendala bagi upaya peningkatan produksi kedelai di Provinsi Jambi adalah ketidaktersediaan benih unggul bermutu. Pada umumnya petani menggunakan benih yang berasal dari hasil pertanaman musim sebelumnya, baik pertanaman sendiri maupun membeli dari petani lain. Petani baru menggunakan benih unggul bermutu bila ada bantuan dari pemerintah yang umumnya dikaitkan dengan program peningkatan produksi. Program itu sendiri hanya berlangsung dalam waktu yang relatif pendek. Setelah program berakhir, petani kembali menggunakan benih yang kurang bermutu. Hal ini mempengaruhi upaya peningkatan produksi kedelai secara berkelanjutan. Sistem produksi benih kedelai yang ada belum mampu menyediakan benih dalam jumlah yang cukup, tersedia pada waktu dibutuhkan, terdistribusi dengan baik pada seluruh kawasan pertanaman, dan dengan harga yang terjangkau. Sebagai contoh, produksi benih sebar di Provinsi Jambi pada tahun 2012 hanya 90,96 t (BPSB 2013). Produksi benih yang dimaksud berasal dari hasil pemurnian varietas sebanyak 22,28 t, pembinaan penangkar 36,28 t, dan dari kegiatan penangkaran Balai Benih Induk Palawija 32,14 t. Bila terdistribusi dengan baik, sesuai dengan jadwal tanam, penyusutannya nol dan rata-rata benih kedelai yang dibutuhkan untuk area seluas 1 ha adalah 40 kg, maka produksi benih yang dihasilkan mampu memenuhi area pertanaman seluas 2.274 ha atau 80,95% dari luas area pertanaman 2.809 ha (BPS Provinsi Jambi 2013). Selama ini, kebutuhan benih kedelai (benih sebar) program pengembangan sebagian besar didatangkan dari sentra produksi benih daerah lain seperti dari Lampung dan provinsi lain di Pulau Jawa. Dilihat dari beberapa aspek, kondisi ini kurang menguntungkan: (1) harga benih menjadi lebih mahal, karena memerlukan biaya transportasi (angkutan) dari sentra produksi benih ke lokasi program; (2) benih kemungkinan mengalami penurunan mutu cukup besar karena penanganan selama proses pengangkutan kurang baik; (3) kemurnian benih tidak bisa dijamin, dan; (4) benih memerlukan adaptasi dengan lokasi setempat.
576
Minsyah dan Adri: Sistem Produksi Benih Kedelai dan Permasalahannya di Provinsi Jambi
Kelembagaan Penangkaran Benih Sumber perbenihan terdiri atas dua sistem, yaitu sistem perbenihan formal dan informal dengan karakteristik berbeda, sehingga pemahaman terhadap peran keduanya sebagai sumber benih bagi petani akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas penyebaran varietas unggul baru, dalam hal ini varietas unggul kedelai (Nugraha dkk. 2008). Sesuai dengan karakteristiknya, lembaga perbenihan kedelai yang bersifat informal adalah kelompok penangkar yang anggotanya terdiri atas petani, baik yang lahannya terletak dalam satu hamparan maupun tersendiri. Sampai pada tahun 2012, penangkar benih kedelai di Provinsi Jambi berjumlah lima kelompok yang tersebar di empat kabupaten, yaitu dua kelompok di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, satu kelompok di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, satu kelompok di Kabupaten Tebo, dan satu kelompok di Kabupaten Muaro Bungo. Kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok penangkar benih kedelai yang cukup mapan. Kegiatan penangkaran terus berlangsung dan tidak bergantung pada program tertentu. Dalam memproduksi benih, bakal benih diperoleh dari dua sumber, yaitu dari anggota kelompok dan pembelian hasil pertanaman petani lain di luar anggota kelompok. Oleh karena keterbatasan lahan dan modal, kapasitas produksi kelompok penangkar masih kecil. Sebagai contoh, pada tahun 2012 total produksi benih sebar oleh kelima kelompok penangkar hanya 73,7 t (Minsyah dkk. 2012). Selain kelompok-kelompok penangkar tersebut ditemukan beberapa kelompok penangkar dadakan. Kelompok-kelompok ini didirikan hanya untuk memenuhi kebutuhan program, setelah itu tidak berkembang. Lembaga perbenihan formal yang memproduksi berbagai kelas benih kedelai secara defakto hanya satu, yaitu Balai Benih Induk Palawija Sebapo. Balai Benih ini merupakan salah satu UPT Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi. Secara kelembagaan sebenarnya setiap kabupaten memiliki satu lembaga perbenihan (BBI dan atau BBU), namun kekhususannya tidak terlihat, karena sebagian lembaga perbenihan memproduksi berbagai benih tanaman (Minsyah dkk. 2012). Lembaga formal lain yang terlibat dalam perbenihan kedelai di Provinsi Jambi adalah PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani. Keterlibatannya dalam perbenihan kedelai hanya terbatas pada penyaluran benih dan membeli benih dari kelompok penangkar. Benih yang disalurkan tersebut umumnya untuk memenuhi kebutuhan program. Antara lembaga perbenihan tersebut di atas tidak memiliki hubungan kerja yang permanen, hanya bersifat insidental seperti hubungan antara BBI dengan beberapa kelompok penangkar. Dalam hal ini BBI palawija menyediakan benih berlabel unggu untuk diperbanyak menjadi benih berlabel biru. Kerjasama antara PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani cenderung sebagai pihak yang membeli dan yang menjual. Dalam hal ini, PT Shanghyangsri maupun PT Pertani membeli benih dari kelompok penangkar dengan harga yang telah disepakati dipotong dengan biaya sertifikasi.
Alur Perbenihan Balai Benih Induk (BBI) palawija umumnya menggunakan benih sumber kedelai yang berasal dari Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-Umbian (Balitkabi). Hasilnya sebagian didistribusikan kepada Balai-Balai Benih Utama (BBU) Palawija yang ada di
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
577
kabupaten, sebagian lagi digunakan sendiri untuk mendapatkan kelas benih selanjutnya (benih pokok). Hasil penanaman benih pokok, baik oleh BBI maupun oleh BBU, selanjutnya disebarkan untuk memenuhi pesanan beberapa instansi dalam rangka pelaksanaan program maupun disebarkan ke petani penangkar guna menghasilkan benih siap sebar (ekstension seed). Secara skematis sistem produksi dan distribusi benih kedelai di Provinsi Jambi disajikan pada Gambar 1. Benih Penjenis (Breeder Seed)
Balitkabi BBI Plawija
Benih Pokok (Foundation Seed)
BBI palawija BBU
Benih Sebar (Extension Seed)
BBI Palawija BBU Penangkar benih Penangkar Benih
Benih untuk menghasilkan kedelai konsumsi
Petani
Gambar 1. Sistem produksi dan distribusi benih kedelai di Provinsi Jambi.
ESTIMASI KEBUTUHAN AREAL PERTANAMAN DAN BENIH KEDELAI UNTUK SWASEMBADA Estimasi Kebutuhan Areal Pertanaman Pemerintah Provinsi Jambi telah mencanangkan Program Bangkit Kedelai yang sasarannya tidak hanya untuk meningkatkan produksi menuju swasembada melainkan juga menjadikan provinsi ini sebagai salah satu sentra produksi kedelai di Indonesia (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi 2006). Dalam Undang Undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan, swasembada pangan memiliki pengertian kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri yang bertumpu pada produksi sendiri (Anonymous 2011 dan Anonymous 2013). Untuk mencapai status swasembada pangan dalam hal ini kedelai, bila produksi sendiri minimal dapat memenuhi 95% kebutuhan dalam negeri (Andyana 2006). Sesuai dengan pengertian di atas, swasembada kedelai yang ingin dicapai mengandung pengertian bahwa Pemerintah Provinsi Jambi akan berusaha bagi memenuhi kebutuhan kedelai untuk penduduknya yang berasal dari produksi sendiri. Sampai tahun 2012, sebagian besar kedelai yang dikonsumsi penduduk Provinsi Jambi dipasok dari daerah lain, sebagian diantaranya merupakan kedelai impor. Hal ini disebabkan karena kedelai yang dihasilkan secara lokalita belum mampu memenuhi kebutuhan penduduknya, seperti yang disajikan pada Tabel 1. Terlihat bahwa antara produksi dan konsumsi kedelai masih terdapat defisit yang besar. Dengan kata lain, produksi kedelai di Provinsi Jambi masih lebih rendah dari jumlah yang dikonsumsi dengan kisaran 8.035 t pada tahun 2009 dan 13.955 t pada tahun 2012 atau 46,8% dan 80,2%. Defisit 578
Minsyah dan Adri: Sistem Produksi Benih Kedelai dan Permasalahannya di Provinsi Jambi
tersebut menjadi lebih besar bila faktor penyusutan juga diperhitungkan. Penyusutan itu sendiri bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti tercecer, rusak, dan sebagainya. Besaran penyusutan tersebut berada pada kisaran 5–6% (Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jambi 2012). Tabel 1. Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai di Provinsi Jambi, 2006–2012. Tahun
Produksi (t)
Konsumsi (t)
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
3.443 4.314 5.969 9.132 5.320 5.668 3.467
12.944 14.314 15.820 17.167 18.350 17.069 17.462
Defisit T ( 9.501) (10.000) (9.851) (8.035) (13.030) (11.401) (13.995)
% (73,40) (69,86) (62,27) (46,80) (71,01) (66,79) (80,15)
Sumber: Badan Koordinasi Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Provinsi Jambi (2009, 2011 dan 2012) dan diolah (2014).
Untuk mencapai swasembada diperlukan area panen yang cukup luas, lebih besar dibandingkan dengan area panen pada periode 2006–2012. Sebagai contoh, agar tercapai keseimbangan antara produksi dan konsumsi kedelai pada tahun 2015 dibutuhkan area panen minimal 14. 294 ha. Pada tahun-tahun selanjutnya, dengan memperhitungkan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan dan pola konsumsi tidak berubah, pertumbuhan produktivitas dan varietas dominan (Anjasmoro) tetap digunakan, maka area panen yang dibutuhkan semakin meningkat. Estimasi ini tidak berlaku lagi bila terjadi perubahan konsumsi makanan berbasis kedelai dan teknik budidaya yang diterapkan lebih berhasil dan lebih berdaya guna. Secara rinci luas panen minimal yang dibutuhkan agar terjadi keseimbangan antara produksi dan konsumsi kedelai di Provinsi Jambi pada tahun 2015– 2020 disajikan pada Tabel 2. Luas panen yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat swasembada pada periode 2015–2020 jauh lebih besar dibandingkan dengan periode 2006–2012. Peningkatan luas panen ini selain ditempuh dengan meningkatkan indeks pertanamaan Intensifikasi, juga dengan memanfaatkan lahan-lahan yang tidak ditanami padi maupun lahan yang sementara waktu belum diusahakan. Sebagai contoh luas lahan baku sawah irigasi yang tidak ditanami padi pada tahun 2011 adalah 1.443 ha dan sementara waktu belum diusahakan mencapai 5.851.ha (BPS Provinsi Jambi 2012 dalam Endrizal dkk 2013). Tabel 2. Estimasi kebutuhan luas panen minimal dan kenaikan produktivitas serta produksi kedelai di Provinsi Jambi periode 2015–2020. Tahun 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Luas panen (ha) 14.294 14.829 15.349 15.979 16.636 17.203
Produktivitas (t/ha) 1,41 1,42 1,44 1,45 1,46 1,48
Produksi (t) a) 20,155 21,085 22,103 23,170 24,288 25,461
Keterangan: a) setara dengan estimasi kebutuhan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
579
Estimasi Kebutuhan Benih dan Strategi Pencapaian Salah satu faktor yang berkontribusi besar terhadap pencapaian produksi pertanian, termasuk kedelai, adalah penggunaan benih bermutu. Beberapa pakar menyebutkan bahwa kontribusi benih unggul dan bermutu berada pada kisaran 40%. Berdasarkan hal tersebut dan dihubungkan dengan luas panen minimal yang harus terpenuhi untuk menyeimbangkan antara produksi dan konsumsi, maka pada kurun waktu 2015–2020 dibutuhkan benih kedelai dalam jumlah yang relatif besar. Pada tahun 2015 dibutuhkan benih kedelai unggul bermutu sebanyak 571,77 t. Pada tahun-tahun berikutnya sampai tahun 2020, benih kedelai unggul bermutu yang dibutuhkan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya luas area pertanaman minimal agar keseimbangan antara produksi dan konsumsi tetap terjaga. Di sisi lain, kemampuan lembaga perbenihan di Provinsi Jambi dalam menghasilkan benih unggul bermutu yang siap tanam (label biru) relatif kecil. Pada tahun 1998, 1999, dan 2012 total benih kedelai yang dihasilkan masing-masing hanya 110,96 t, 93,23 t, dan 90,96 t. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan benih menuju swasembada kedelai berkelanjutan dalam periode 2015–2020, kapasitas produksi lembaga perbenihan harus ditingkatkan minimal tujuh kali dari kapasitas tahun 2012. Hal ini merupakan tantangan yang tidak kecil, tetapi tidak mustahil untuk dapat dicapai. Untuk memproduksi benih kedelai unggul bermutu yang dibutuhkan pada kurun waktu 2015–2020, dapat ditempuh melalui: (1) peningkatan kapasitas BBI dan BBU Palawija yang ada; (2) membangun jaringan jalur benih antarlapang antarmusim; (3) perbanyakan dan pembinaan yang intensif pada kelompok-kelompok tani penangkar benih, (4) meningkatkan minat petani untuk menjadi penangkar, dan (4) kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang dapat menciptakan iklim usaha perbenihan kedelai yang kondusif.
KESIMPULAN 1.
2.
3.
Ketidaktersediaan benih kedelai unggul dan bermutu merupakan penyebab sebagian besar petani menggunakan benih yang berasal dari hasil pertanamannya sendiri atau membeli dari petani. Hal ini berpangkal dari sistem perbenihan kedelai di Provinsi Jambi yang belum mampu memproduksi benih dalam jumlah yang cukup. Lembaga perbenihan yang memproduksi benih (penangkar) terdiri atas kelompok penangkar benih dan Balai Benih Induk Palawija Sebapo. Lembaga lain yang terlibat dalam perbenihan kedelai di Provinsi Jambi adalah PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani, namun perannya hanya terbatas pada penyaluran dan pembelian benih dari kelompok penangkar. Antarlembaga perbenihan tersebut belum terjalin kerjasama yang permanen, hanya bersifat insidental. Untuk mencapai swasembada kedelai dalam periode lima tahun ke depan (2015– 2020) diperlukan area pertanaman dan benih unggul yang cukup besar. Luas areal pertanaman minimal yang dibutuhkan berkisar antara 14.294–17.462 ha, sedang benih bermutu 571.77–688.14 t.
DAFTAR PUSTAKA Andyana, M.O. 2006. Lintasan dan Marka Jalan Mernuju Ketahanan Pangan. Dalam Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
580
Minsyah dan Adri: Sistem Produksi Benih Kedelai dan Permasalahannya di Provinsi Jambi
Anonymous. 2011. Swasembada Pangan. http://sidikaurora.wordpress.com/2011/04/22/ swasembada-pangan/ diakses tanggal 9 April 2014. Anonymous. 2013. Menilik Program Swasembada Daging Tahun 2014. http://www.livestockreview.com /2013/03/ menilik-program-swasembada-daging-2014/. kses tanggal 9 April 2014. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jambi. 2012. Laporan Analisis Ketersediaan Pangan Provinsi Jambi Tahun 2012. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jambi. Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2013. Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi, Tahun 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, Jambi. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi. 2007. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi, 2006. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi, Jambi. _______________________________ 2013. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi, Jambi. Endrizal., A. Meilin., NI. Minsyah., Adri., Muzirmaan dan A. Yusri. 2013. Analisis Kebijakan Pembangunan Pertanian di Provinsi Jambi. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jambi. Jumakir dan Endrizal. 2012. Produksi Benih Kedelai Varietas Anjasmoro Dalam Penyediaan Benih Unggul Bermutu di Lahan Karing Provinsi Jambi. Dalam Prosiding Seminar Nasional Kemandirian Pangan 2012. Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Minsyah, NI., Suharyon., Firdaus., Masito., Muzirman. 2012. Potensi peningkatan Kapasitas Lembaga Perbenihan Menidukung Peningkatan Produksi Kedelai di Provinsi Jambi. Laporan Kegiatan Pengkajian. Balai Pengkajian teknologi Pertanian Jambi, Jambi. Nugraha, US., S. Wahyuni., MY. Samaullah dan A. Ruskandar. 2008. Sistem Perbenihan Padi. Dalam Padi: Inovasi Teknologi Produksi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Rusuno, R., A. Suandri., A. Chandrawijaya., A. Muharam., I. Martino., Tejaningsih., PU. Hadi., SH. Susilowati., M. Maulana. 2013. Studi Pendahuluan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pertanian 2015 – 2019. Direktorat Pangan dan Pertanian, Badan Perencanaan Pembangunan nasional, Jakarta. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD ) Perbenihan. 2013. Laporan Tahunan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perbenihan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi, Tahun 2012. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi, Jambi. Supadi, 2008. Menggalang partisipasi Petani Untuk Meningkatkan Produksi Kedelai Menuju Swasembada. Dalam Jurnal Badan Litbang Pertanian, 27 (3). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
581