Boks.2 PRODUKSI DAN DISTRIBUSI BERAS DI PROVINSI JAMBI
Latar Belakang Produksi beras di Jambi mencapai 628.828 ton pada tahun 2010. Produksi beras dari tahun ke tahun memang menunjukkan peningkatan dalam hal volume namun dengan laju yang relatif kecil. Berdasarkan sebarannya, daerah penghasil beras terutama terletak di Kabupaten Kerinci dengan total produksi 27% dari produksi provinsi, diikuti dengan Tanjung Jabung Timur (16%) dan Tanjung Jabung Barat (12%). Grafik 1 Produksi Beras Jambi
Grafik 2 Penyebaran Produksi Beras Jambi
700.000 Lainnya 18%
600.000
Kerinci 27%
500.000 Sarolang un 10%
400.000 300.000
Bungo 6%
200.000
Merangi n 11%
100.000
-
Tanjabti m 16% Tanjabba r 12%
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Apabila kita bandingkan dengan jumlah konsumsi, maka Jambi termasuk wilayah yang surplus beras dimana produksi mencapai 628.828 ton sementara konsumsi beras 417.301 ton sehingga terdapat surplus beras sebesar 211.527 ton. Berdasarkan wilayahnya, 6 (enam) wilayah mengalami surplus beras yaitu Kerinci, Tanjabtim, Tanjabbar, Sarolangun, Merangin, dan Batanghari sementara 4 (empat) wilayah lainnya yaitu Bungo, Muaro Jambi, Tebo dan dan Kota Jambi mengalami defisit beras. Grafik 3 Penyebaran Produksi Beras Jambi Kota Jambi
Tebo Muaro Jambi
Bungo Batanghari
Merangin Sarolangun
Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Timur Kerinci (100.000)
(50.000)
-
50.000
100.000
150.000
Karakteristik Petani Beras Untuk mengidentifikasi pola perdagangan antar daerah yang mencakup analisa, mengenai masalah transportasi, sistim logistik (pergudangan), pola konsumsi masyarakat, pola distribusi, dan rantai tata niaga, telah dilaksanakan survei kepada petani maupun pedagang beras. Jumlah responden petani padi yang disurvei sebanyak 19 orang yang tersebar di Kerinci (26%), Batanghari (21%), Merangin (21%), Tanjabbar (21%) dan Sarolangun (11%). Mayoritas petani bekerja pada lahan basah (95%) sementara hanya 5% yang bekerja pada lahan kering. Lahan tersebut sebagian besar sudah dimiliki oleh petani (53%), walaupun masih terdapat 37% petani yang bekerja pada lahan sewa dan 10% yang bekerja pada lahan garapan. Jenis padi yang ditanam adalah padi lokal (48%) diikuti dengan Ciherang (33%) dan IR-64 (14%) dan Inpari (5%). Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa dalam setahun rata-rata petani menanam sebanyak 2 (dua) kali yaitu awal tahun (Maret/April) serta akhir tahun (September) dengan rata-rata luas lahan yang digarap di relatif kecil yaitu 0,1 1 Ha/masa tanam. Masa panen yang terjadi juga cukup merata, dengan hasil panen terbesar pada bulan Januari dan Juni. Dari sisi komponen biayanya, proporsi biaya terbesar yang dikeluarkan selama masa pra panen adalah biaya tenaga kerja (25,88%), diikuti oleh biaya peralatan (24,24%) dan bibit (18,04%). Keseluruhan komponen input tersebut seperti bibit, pupuk, obat pengendalian hama maupun tenaga kerja berasal dari daerah setempat (satu lokasi dengan responden). Seperti halnya biaya pra panen, mayoritas biaya pasca panen adalah untuk biaya tenaga kerja (34,58%), diikuti oleh biaya penggilingan padi (16,40%) dan biaya peralatan panen (15,13%). Tabel 1 Ringkasan Hasil Survei Mengenai Produksi Padi Kategori
Produksi
Keterangan Sebaran Daerah Jenis Lahan Status Kepemilikan Jenis yang ditanam Periode Tanam Periode Panen Pangsa Biaya Terbesar (Tanam) Pangsa Biaya Terbesar (Panen)
Beras Kerinci, Merangin, Batanghari, Tanjab Lahan Basah Milik Sendiri, Sewa Beras lokal Maret/April, September Januari, Juni Tenaga Kerja, Peralatan Tenaga Kerja
Dari hasil survei hanya sedikit responden yang menjual hasil produksi sebelum berlangsungnya panen yaitu sebesar 11%, sementara 89% lainnya memilih untuk menjual setelah panen berlangsung. Pola distribusi padi/beras berdasarkan jawaban responden sebagian besar menjual di kota/kabupaten yang sama terutama melalui pengepul (54%), diikuti konsumen langsung (35%) dan koperasi (11%). Mengingat penjualan kepada konsumen untuk kebutuhan rumah tangga dalam volume yang relatif sedikit, maka dapat disimpulkan dari persepsi responden petani pola distribusi beras kepada konsumen secara luas hanya melalui satu jalur yaitu pengepul di Kab./Kota yang sama (setempat). Pengepul inilah yang nantinya akan membawa beras tersebut ke Kota, Kabupaten ataupun provinsi lainnya.
Tabel 2 Ringkasan Hasil Survei Mengenai Distribusi dan Stok Pergudangan Petani Padi Kategori Distribusi
Keterangan Dijual Sebelum Panen Pola Distribusi Lokasi Penjualan
Beras 11% Petani - Pengepul Kabupaten sama Dijual (37%), Disimpan (32%) dan Dikonsumsi (31%) 1 Responden (5%) Kelurahan Sama 6 - 12 bulan
Penggunaan Bahan Makanan Stok dan Pegudangan
Menggunakan Gudang Lokasi Gudang Lama Penyimpanan
Hasil produksi tersebut sebagian besar (37%) langsung dijual, kemudian 32% hasil produksi disimpan untuk dijual sampai masa panen berikutnya sedangkan sisanya 31% dikonsumsi sendiri oleh petani. Mayoritas hasil panen yang langsung dijual tesebut menunjukkan bahwa petani membutuhkan cashflow yang cukup untuk digunakan sebagai modal penanaman berikutnya. Selanjutnya, hanya 1 (satu) orang responden (5%) mengunakan fasilitas penyimpanan/gudang untuk menyimpan hasil produksi dengan sebaran lokasi gudang hanya pada sekitaran kelurahan yang sama saja dengan jangka waktu penyimpanan selama 6 - 12 bulan. Distribusi Perdagangan Beras Penjualan beras dimulai dari petani kepada pengepul. Pengepul sebagian besar berada di kabupaten/kota yang sama dengan petani yang kemudian melakukan penjualan lintas daerah. Dari pedagang pengepul, beras kemudian mayoritas dijual ke pedagang besar kemudian ke pedagang pengecer dan konsumen. Untuk sumber pasokan beras di Jambi sebagian besar berasal dari pedagang pengepul di luar provinsi Jambi (89%) yang terdiri atas Sumatera Selatan (44%), Lampung (22%), Sumbar (22%) serta dari dalam provinsi Jambi yaitu Kerinci (11%). Selanjutnya, pedagang pengepul menjual beras kepada pedagang-pedagang besar yang mayoritas sudah berada di kota/Kabupaten yang sama (59%). Pedagang besar ini yang akan mendistribusikan beras kepada pedagang pengecer di pasar-pasar. Grafik 4 Jalur Distribusi Beras di Jambi Pedagang Grosir
Petani 7,15% 82,35%
Pengepul
17,65%
80,00%
13,33%
6,67%
Pedagang Besar 26,32% 71,43%
21,05%
Pedagang Grosir
42,85%
Pedagang Pengecer
Konsumen 50%
Tabel 3 Asal Pembelian Beras Asal Pembelian Petani/Produsen Pedagang Pengepul Pedagang Besar Pedagang Pengecer
Kota/Kab Sama 50,00 0,00 59,26 100,00
Provinsi Sama 0,00 11,11 22,22 0,00
Provinsi beda 50,00 88,89 18,52 0,00
Impor
Total
0,00 0,00 0,00 0,00
100 100 100 100
Tabel 4 Sumber Pasokan Beras Petani Padang Sungai Penuh Total Pedagang Pengepul Palembang Lampung Solok, Sumbar Kerinci Total
% 50 50 100 % 44,44 22,22 22,22 11,11 100,00
Terkait dengan infrastruktur, sebagian besar responden mempunyai persepsi terhadap kualitas pelabuhan dan bandara relatif lebih baik dari pada jalan. Responden mempersepsikan bahwa 35% jalan masih dalam kondisi rusak. Berdasarkan kondisi aspal jalan, mayoritas responden (44%) mempersepsikan kondisi jalan aspal baru 50 80%, diikuti dengan 42% responden yang mempersepsikan kondisi jalan aspal sudah lebih dari 80% sementara sisanya berpendapat jalan aspal di Jambi masih kurang dari 50%. Kendala utama dalam perdagangan beras di Jambi adalah infrastruktur (55%). Hal ini terkait dengan produksi beras yang berasal dari daerah-daerah sehingga membutuhkan infrastruktur yang baik dalam distribusinya. Tabel 5 Hambatan Perdagangan Beras
Hambatan Bahan Baku Alam Infrastruktur Biaya Angkut Jumlah angkutan Pungli Lainnya Total
% 5 5 55 10 0 0 25 100
Terkait dengan manajemen stok dan pergudangan, 6 (enam) responden pedagang (15%) menyatakan menggunakan fasilitas penyimpanan stok (gudang) khusus. Lokasi gudang tersebut berlokasi di wilayah sekitar Kabupaten. Margin responden dalam satu tahun terakhir relatif bervariasi (sebanyak 95% responden) dengan besarnya persentase margin sebagian besar pedagang berada dibawah 10% yang dinyatakan oleh 80% responden. Apabila terjadi kenaikan harga,
maka sebagian besar pedagang (92%) akan meningkatkan harga kepada pedagang selanjutnya/konsumen. Disparitas Harga Beras Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi variabilitas harga komoditas beras antar daerah dilakukan estimasi terhadap persamaan disparitas harga dengan model panel data dan hasilnya ditunjukkan pada tabel 6. Dengan memasukkan variabel independen jarak (kepada kota referensi dalam hal ini Jakarta), Infrastruktur (Jalan), Biaya Input, Pendapatan per kapita, diharapkan dapat menjelaskan perilaku disparitas harga. Tabel 6 Hasil Estimasi Disparitas Harga Komoditas Beras
Variabel R-squared - within R-squared - between R-squared - overall Variable Produksi Pendapatan/Konsumsi Infrastruktur Input Cost Jarak
Nilai 0.849 0.4721 0.2161 -0.0046 0.4709 -0.1225 0.3053 0.6463
*** ** *** ***
Koefisien positif pada kenaikan biaya input menunjukkan bahwa kenaikan biaya input akan memperbesar disparitas harga. Kenaikan pendapatan per kapita riil masyarakat daerah penelitian akan meningkatkan disparitas harga dengan kota referensi karena kenaikan permintaan. Masyarakat dengan pendapatan yang lebih tinggi mengkonsumsi kualitas beras yang lebih baik (dengan harga yang lebih mahal). Selanjutnya, koefisien negatif pada variabel Infrastruktur (Jalan) dapat diintrepetasikan bahwa semakin baik kualitas infrastruktur akan berpengaruh pada semakin kecilnya variabilitas harga beras daerah dengan kota referensi. Variabel jarak ke sentra ekonomi yang merupakan proksi dari biaya transportasi mempunyai positif yang berarti bahwa semakin dekat jarak akan menurunkan tingkat disparitas harga daerah dengan kota referensi (Jakarta). Selanjutnya, koefisien negatif pada jumlah produksi menunjukkan bahwa meningkatnya produksi di Jambi akan mengurangi disparitas harga dengan kota referensi sesuai dengan hipotesa awal. Harga beras di seluruh kabupaten/kota di Jambi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah referensi dengan perbedaan relatif mencapai Rp308 – Rp3.168 lebih tinggi per kg. Berdasarkan kabupatennya, disparitas harga di Kerinci dan Tanjabtim merupakan yang terkecil, hal ini sesuai dengan kondisi kedua wilayah tersebut yang menjadi produsen beras terbesar di Jambi. Namun yang menarik adalah kota Jambi yang bukan merupakan daerah penghasil beras memiliki disparitas harga yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan wilayah surplus beras lainnya seperti
Merangin. Pasokan yang cukup baik di wilayah ibukota provinsi menyebabkan aliran barang relatif lebih baik dan terjaga sehingga harga juga rendah. Sementara itu, Muaro Jambi sebagai kabupaten yang mengelilingi Kota Jambi juga mendapatkan manfaat dari aliran barang menuju kota. Dengan demikian, harga beras di kedua daerah tersebut cenderung lebih rendah meskipun bukan merupakan wilayah produsen. Grafik 5 Disparitas Harga Beras Per Kabupaten/Kota Tebo Sarolangun Muaro Jambi Bungo Merangin Kota Jambi Tanjabbar Batanghari Tanjabtim Kerinci 0
1000
2000
3000
4000
Kesimpulan Penelitian yang dilakukan baik berdasarkan yang berasal dari hasil estimasi model maupun survei lapangan telah menghasilkan beberapa temuan empiris antara lain : 1.
2. 3.
Dalam memenuhi kebutuhan bahan makanan, terjadi perdagangan antar wilayah di Kabupaten-Kota. Kondisi ini juga terlihat dari signifikansi koefisien spatial weight matrix yang menandakan terdapat hubungan spasial antar wilayah yang mempengaruhi pembentukan harga lima komoditas. Interaksi antar wilayah tersebut akan mempengaruhi harga di Provinsi Jambi. Dari hasil survei, sebagian besar kebutuhan beras di Jambi didapatkan dari dalam provinsi. Berdasarkan hasil estimasi model disparitas harga, diketahui bahwa faktor jarak ke sentra ekonomi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap disparitas harga. Namun yang menarik, meskipun Kota Jambi bukanlah kota produsen beras yang diteliti ini, namun memiliki disparitas harga yang relatif lebih kecil dibandingkan kabupaten lainnya.
Saran dan Rekomendasi Kebijakan Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan, terapat beberapa hal implikasi kebijakan sebagai yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan defisit pangan di Provinsi Jambi di antaranya : 1.
Optimalisasi kerjasama perdagangan antar daerah mengingat tingginya saling ketergantungan akan kabupaten/provinsi. Kerjasama tersebut meliputi koordinasi
2.
3.
linat instansi/kabuapten terkait jadwal tanam, panen, maupun stok serta kebutuhan masing-masing daerah. Untuk menunjang kegiatan perdagangan antar daerah maka Provinsi Jambi diharapkan dapat memiliki data antara lain sebagai berikut: a. Neraca produksi dan konsumsi kebutuhan bahan makanan di Provinsi Jambi. b. Produksi bahan makanan dan komoditas unggulan termasuk jalur distribusi, waktu produksi, pembeli serta kebutuhan dalam Provinsi Jambi. c. Ketergantungan bahan makanan di Jambi terhadap daerah lain termasuk jalur distribusi, asal daerah produsen, serta kebutuhan di dalam Provinsi Jambi. d. Peta produksi, distribusi dan konsumsi bahan makanan se- Provinsi Jambi. Perbaikan infrastruktur jalan produksi maupun distribusi. Para pedagang terutama komoditi pertanian cenderung mempersepsikan kondisi jalan dalam keadaan kurang baik. Di samping itu, kondisi infrastruktur mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap disparitas harga antar daerah. Untuk itu, infrastruktur jalan yang baik hendaknya menjadi salah satu prioritas pemerintah daerah.