KAJIAN ANALISIS MARGIN PEMASARAN DAN INTEGRASI PASAR GABAH/BERAS DI PROVINSI BANTEN Dewi Haryani dan Tian Mulyaqin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jl. Ciptayasa KM.01 Ciruas Serang-Banten Telp.0254-281055, email :
[email protected]
Abstrak Penelitian bertujuan untuk menganalisis margin pemasaran dan integrasi pasar gabah/beras di Provinsi Banten. Unit analisis adalah kabupaten/kota yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang representatif Kota Serang, serta Kota Tangerang refresentatif Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang serta Kota Cilegon. Kajian lebih rinci didasarkan pada studi mendalam di tingkat kecamatan sentra produksi yang ditemukan adanya pola-pola pemasaran beras dengan berbagai tujuan dan segmen pasar. Selanjutnya dalam satu kabupaten/kota dipilih satu atau dua kecamatan yang dianggap representatif. Hasil penelitian menunjukkan Margin pemasaran (marketing margin) paling tinggi terjadi berturutturut terjadi pada pedagang/penggilingan padi (7,6%), pedagang pengumpul/kongsi (6,75, pedagang pengecer (1,8%) dan pedagang besar/grosir (1,2%). Meskipun margin keuntungan (net benefit margin) di penggilingan hanya mencapai Rp.89,-/kg tetapi jumlah volume penjualannya paling besar yaitu sekitar 1.500 – 2000 ton beras permusim.Sedangkan integrasi pasar secara vertikal pada berbagai saluran pemasaran terintegrasi (pasar berjalan efisien), kecuali antara petani dengan pedagang pengumpul propinsi, dan antara pedagang pengumpul kabupaten dengan pedagang pengecer lokal, tidak terintegrasi. Kata Kunci: Gabah/Beras, Integrasi Pasar, Kebijakan, Margin Pemasaran. PENDAHULUAN Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Beberapa peran strategis sektor pertanian adalah: (1) penyediaan pangan dalam kerangka ketahanan pangan masyarakat, (2) pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), (3) sumber lapangan kerja, (4) penciptaan dan penghematan devisa; (5) pengendalian inflasi, dan (6) penciptaan iklim yang kondusif bagi bergeraknya sektor lain. Peranan baru sektor pertanian i dapat diletakkan dalam kerangka ”3 F contribution in the economy”, yaitu food /pangan, feed /pakan dan fuel /bahan bakar (Daryanto, 2009). Namun apabila kita tidak mampu mengelola pertanian dengan baik, maka akan dapat menciptakan Jebakan Sindrom 3 F (Putri, 2009). Provinsi Banten dikenal sebagai lumbung beras nasional, dengan total luas areal sawah 197.914 hektar, terdiri dari lahan sawah irigasi 108.200 hektar dan sawah tadah hujan
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
56
88.688 hektar serta sawah pasang surut 1.026 hektar (BPS, 2010). Produksi padi Provinsi Banten tahun 2009 sebesar 1,849 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau meningkat sebesar 30,84 ribu ton (1,70 persen) dibandingkan produksi tahun 2008. Tahun 2010 diperkirakan produksi padi marsih terus meningkat sebesar 46,64 ribu ton (2,52 persen) dibandingkan tahun 2009, yaitu mencapai 1,895 juta ton GKG (BPS, 2010). Pada
tingkat
nasional
seperti
diketahui
berkurangnya
jumlah
hasil
panen
menyebabkan menurunnya pasokan yang memacu meningkatnya harga. Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung berimplikasi kepada daya tahan dan ketahanan pangan lokal. Adanya pasokan beras yang mencukupi, stabil dan berkelanjutan akan mendorong harga pada kondisi stabil, sehingga kebutuhan konsumsi masyarakat di Propinsi Banten dapat terpenuhi. Pada kondisi demikian, ketahanan pangan akan lebih ditentukan pada aspek accesibility (daya beli masyarakat) dan kontinyuitas ketersediaan antar musim. Untuk menjaga kedua aspek tersebuti dalam kondisi yang aman, maka intervensi pemerintah melalui kebijakan harga, baik di tingkat produsen (HPP gabah) maupun konsumen secara konseptual masih tetap penting. Kemampuan pemerintah untuk menentukan kebijakan harga yang tepat akan sangat ditentukan oleh pemahaman para pengambil kebijakan tersebut terhadap struktur , tingkah laku , dan keragaan pasar. Pemahaman terhadap deskripsi struktur, tingkah laku dan keragaan pasar yang berpengaruh terhadap efisiensi sistem pemasaran beras ini dinilai bermanfaat dalam mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani. Kinerja pemasaran yang kondusif akanmemberikan insentif petani dalam berproduksi dan mendorong adopsi teknologi oleh petani, serta meningkatkan bagian harga yang diterima oleh petani. Kebijakan yang kondusif dapat meningkatkan produksi, distribusi, pengembangan produk dan insentif yang proporsional bagi pelaku tataniaga dan kesejahteraan petani. Permasalahan utama yang menjadi bottle neck dalam pengembangan agribisnis beras yang berdaya saing adalah aspek pemasarannya.
Permasalahan pokok pemasaran beras
adalah saluran pemasaran yang panjang, margin tataniaga yang tidak terdistribusi secara proporsional, munculnya masalah margin ganda, serta struktur pasar yang tidak sempurna. Sistem distribusi dan pemasaran beras di Provinsi Banten masih lebih banyak menerapkan strategi distribusi dan pemasaran klasik dengan memandang pasar (konsumen) sebagai sesuatu yang homogen (serba sama) dan hampir melupakan keadaan pasar yang heterogen (preferensi
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
57
konsumen berbeda). Beberapa faktor yang diidentifikasi sebagai faktor yang menghambat dalam sistem distribusi gabah atau beras pada aspek pemasaran antara lain : (1) kualitas gabah atau beras yang dihasilkan rendah; (2) harga gabah atau beras berfluktuasi ;dan (3) rendahnya proporsi beras yang terserap BULOG, karena tidak memenuhi standar kualitas yang ditentukan. Dilain pihak, disparitas harga beras yang terjadi antar wilayah disebabkan oleh (1) Lemahnya posisi tawar petani dalam perdagangan gabah karena kemampuan menyimpan gabah yang rendah dan tingginya desakan kebutuhan, (2) nilai tambah pengolahan dan perdagangan beras tidak dinikmati petani, (3) struktur pasar beras belum sepenuhnya kompetitif, dominasi pedagang besar masih menonjol dan (4) sistem penanganan pasca panen belum sepenuhnya efisien. Untuk menjawab permasalahan tersebut diperlukan suatu kajian dengan tujuan untuk mengetahui margin pemasaran dan integrasi pasar beras di Provinsi Banten.
METODOLOGI Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai Nopember 2011.Lokasi Penelitian meliputi Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten. Responden yang dijadikan sampel terdiri dari Dinas dan UPT terkait, Kelompok Tani, dan pelaku Usaha serta pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan pedagang besar. Data dan informasi diperoleh dengan cara wawancara secara group interview dengan menggunakan kata-kata kunci (key word) kepada responden yang telah disebutkan terdahulu. Data dan informasi yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif. Keragaan Pasar dan Analisis margin Pemasaran Keragaan pasar (market performance) mencakup tingkat efisiensi teknis (processes) dan efisiensi alokatif (inputs, resource use), margin pemasaran, kapasitas penggunaan atau pemanfaatan, proses inovasi dan insentif (dalam mengurangi biaya, peningkatan produk, dan kepuasan konsumen). Dahl dan Hamond (1977) menyatakan bahwa marjin pemasaran menggambarkan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan harga-harga yang diterima produsen. Termasuk dalam marjin pemasaran adalah seluruh biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pelaku tataniaga (marketing cost) dan keuntungan yang diterima pelaku tataniaga (marketing profit) mulai dari pintu gerbang produsen ke konsumen akhir. Secara matematis digunakan rumus sebagai berikut:
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
58
M= Dimana :
m
n
i 1
j 1
Ci j M Ci m n
= marjin pemasaran = biaya pemasaran I (I = 1,2,3, … , m) = jumlah jenis pembiayaan j = keuntungan yang diperoleh lembaga niaga j (j = 1,2,3, …,;n = jumlah lembaga niaga yang ikut ambil bagian dalam proses pemasaran tersebut.
Dengan menggunakan persamaan di atas, rata-rata Ci dan j dikumpulkan melalui survei, maka marjin pemasaran dapat dihitung. Dengan demikian bagian yang diterima petani produsen dari harga pedagang besar atau pengecer dapat ditentukan. Dari hasil analisis diatas serta hasil pendalaman studi dan studi pustaka maka akan dicoba menyempurnakan model kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas beras secara efisien dan berdaya saing secara partisipatif. Integrasi Pasar Model yang digunakan adalah sebagai berikut: Pf i (t) = b0 + b1 i Pr j (t) + et Keterangan: Pf i (t) =harga rata-rata di tingkat produsen ke i, pada bulan ke t (Rp / kg); Pr j (t)= harga rata2di tingkat pengecer(konsumen)ke j, pada bulan ke t(Rp / kg) b1i = parameter; b0 = intersep; I = tingkatan produsen; j = tingkatan pembeli; e = error term. Kaidah penerimaan atau penolakan hipotesis: Jika t hitung t tabel, berarti harga pada petani dan konsumen berintegrasi. Jika t hitung t tabel, berarti harga pada petani dan konsumen tidak berintegrasi.
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
59
HASIL DAN PEMBAHASAN Margin Pemasaran / Margin Tata Niaga Margin pemasaran atau margin tataniaga menunjukkan selisih harga dari dua tingkat rantai pemasaran. Margin tataniaga adalah perubahan antara harga petani dan harga eceran . Margin tataniaga hanya merepresentasikan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani, tetapi tidak menunjukkan jumlah kuantitas produk yang dipasarkan. Margin tataniaga merupakan penjumlahan antara biaya tataniaga dan margin keuntungan. Nilai margin pemasaran adalah perbedaan harga di kedua tingkat sistim pemasaran dikalikan dengan kuantitas produk yang dipasarkan. Cara perhitungan ini sama dengan konsep nilai tambah (value added). Pengertian ekonomi nilai margin pemasaran adalah harga dari sekumpulan jasa pemasaran /tataniaga yang merupakan hasil dari interaksi antara permintaan dan penawaran produk–produk tersebut. Oleh karena itu nilai margin pemasaran dibedakan menjadi dua yaitu marketing costs dan marketing charges (Dahl, 1977).
Biaya
pemasaran terkait dengan tingkat pengembalian dari faktor produksi, sementara marketing charges berkaitan dengan berapa yang diterima oleh pengolah, pengumpul dan lembaga tataniaga.
Margin
tataniaga
terdiri
dari
tiga
jenis
yaitu
absolut,
persentase
dan
kombinasi.Margin pemasaran absolut dan persentase dapat menurun, konstan dan meningkat dengan bertambahnya kuantitas yang dipasarkan.Hubungan antara elastisitas permintaan di tingkat rantai tataniaga yang berbeda memberikan beberapa kegunaan analisis.Hubungan bergantung pada perilaku dari margin pemasaran. Margin pemasaran sering digunakan sebagai indikator efisiensi pemasaran. Besarnya marjin pemasaran pada berbagai saluran pemasaran dapat berbeda, karena tergantung panjang pendeknya saluran pemasaran dan aktivitas-aktivitas yang telah dilaksanakan serta keuntungan yang diharapkan oleh lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran. Tabel 1. menunjukkan bahwa pada rantai pemasaran pertama, jenis pembiayaan utama dari pedagang pengumpul/kongsi, grosir dan pedagang pengecer hampir sama seperti biaya transportasi dan bongkar muat. Besarnya pembiayaan masing-masing adalah pedagang pengumpul/kongsi (Rp.42,-), grosir (Rp.17,-) dan pedagang pengecer (Rp.22,-) per kilo gram beras. Biaya pemasaran paling tinggi terjadi pada penggilingan padi, yaitu Rp. 127,- per kilo gram beras. Besarnya pembiayaan tersebut dikarenakan proses pengeringan, penggilingan, pengemasan serta transportasi dan bongkar muat. Margin pemasaran paling tinggi terjadi pada
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
60
pedagang/penggilingan padi (7,6%), selanjutnya pedagang pengumpul/kongsi (6,75%), pedagang pengecer (1,8%) dan pedagang besar/grosir (1,2%). Meskipun margin keuntungan (net benefit margin) di penggilingan hanya mencapai Rp.89,-/kg tetapi volume penjualannya paling besar yaitu sekitar 1.500 – 2.000 ton beras permusim.
Tabel 1. Analisis Margin Pemasaran Gabah/Beras pada rantai Pemasaran Pertama Uraian 1. Petani/Produsen a. Harga Jual GKP 2. Pedagang pengumpul/Kongsi a. Harga Beli b. Margin pemasaran - Biaya pemasaran (2) - Margin keuntungan c. Harga Jual 3. Pedagang/Penggilingan Padi a. Harga Beli b. Margin pemasaran - Biaya pemasaran (3) - Margin keuntungan c. Harga Jual 4. Pedagang Besar/Grosir a. Harga Beli b. Margin pemasaran - Biaya pemasaran (2) - Margin keuntungan c. Harga Jual 5. Pedagang Besar/Grosir a. Harga Beli b. Margin pemasaran - Biaya pemasaran (2) - Margin keuntungan c. Harga Jual Keterangan :
1) 2) 3) 4)
Satuan (Rp/Kg)
Persentase (%)
2.360
82,8(4)
2.360 190 42 148 2.550
82,8 6,7
2.550 216 127 89 2.766
89,5
2.766 34 17 17 2.800
97,1 1,2
2.800 50 22 28 2.850
98,3 1,8
89,5
7,6 97,1
98,3
100,0
Dikonversi keharga beras (53%) Transportasi, Bongkar muat dll Pengeringan, penggilingan, pengemasan, transportasi, bongkar muat dll Harga jual ditingkat pelaku/harga jual ditingkat pengecer x 100%
Pada rantai pemasaran kedua, harga jual gabah petani lebih tinggi 5,9% dibandingkan dengan rantai pemasaran pertama karena gabah dibeli dari para petani disekitar pabrik penggilingan sehingga biaya transportasi rendah dan kualitas gabah umumnya lebih baik. Seperti pada rantai pemasaran pertama, jenis pembiayaan yang dikeluarkan setiap pelaku pasar hampir sama. Pada rantai pemasaran ini, margin pemasaran terbesar diperoleh pada
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
61
penggilingan desa yaitu 7,4%, sementara pengumpul dan pengecer masing-masing 2,5% dan 1,8% (Tabel 2). Ditingkat pengecer, harga beras penggilingan hanya Rp. 2.830,-/kg atau 0,7 persen lebih rendah dibandingkan harga beras penggilingan. Perbedaan dikarenakan mutu beras penggilingan kecil umumnya lebih rendah dibandingkan produk penggilingan besar terutama dari aspek warna kurang putih serta tingginya persentase kandungan bekatul dan beras pecah. Kualitas penggilingan besar (pabrikan) lebih baik dikarenakan memiliki fasilitas pengolahan gabah/beras lebih baik dibandingkan penggilingan kecil (Desa). Pada tingkat kabupaten, produk mereka kalah bersaing dengan beras penggilingan sehingga penggilingan kecil/Desa hanya menyalurkan beras ke pengecer lokal dan pihak-pihak yang telah mengadakan kontrak (karyawan). Tabel 2 menginformasikan bahwa penggilingan desa memperoleh margin keuntungan paling tinggi yaitu sebanyak Rp.85,-/kg sedangkan pedagang pengumpul dan pengecer masing-masing Rp. 48,- dan Rp.28,-/kg. Tabel 2. Analisis margin Pemasaran gabah/Beras pada Rantai pemasaran Kedua Uraian 1. Petani/Produsen a. Harga Jual GKP 1) 2. Pedagang pengumpul/Kongsi a. Harga Beli b. Margin pemasaran - Biaya pemasaran 2) - Margin keuntungan c. Harga Jual 3. Pedagang/Penggilingan Padi a. Harga Beli b. Margin pemasaran - Biaya pemasaran 3) - Margin keuntungan c. Harga Jual 4. Pedagang pengecer a. Harga Beli b. Margin pemasaran - Biaya pemasaran 2) - Margin keuntungan c. Harga Jual 5. Pedagang Besar/Grosir a. Harga Beli b. Margin pemasaran - Biaya pemasaran (2) - Margin keuntungan c. Harga Jual
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
Satuan (Rp/Kg)
Persentase (%)
2.500
88,3(4)
2.500 70 22 48 2.570
88,3 2,5
2.570 210 125 85 2.780
90,8 7,4
2.780 50 22 28 2.830
97,1 1,2
2.800 50 22 28 2.850
98,3 1,8
90,8
98,2
98,3
100,0
62
Keterangan :
1) 2) 3) 4)
Dikonversi keharga beras (53%) Transportasi, Bongkar muat dll Pengeringan, penggilingan, pengemasan, transportasi, bongkar muat dll Harga jual ditingkat pelaku/harga jual ditingkat pengecer x 100%
Struktur Pasar Beras Analisis struktur pasar dalam penelitian dianalisis secara kualitatif. Analisa kualitatif dapat dilihat dari jumlah penjual dan pembeli, diferensiasi produk dan hambatan keluar masuk pasar. Pasar yang bersaing sempurna ditandai oleh banyaknya jumlah penjual dan pembeli, sehingga masing-masing pihak tidak dapat menentukan harga Harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran (mekanisme pasar). Melihat jumlah penjual dan pembeli yang tidak sebanding, maka pemasaran gabah/beras di Provinsi Banten tidak efisien, karena beberapa tingkat pasar mengarah pada pasar oligopsoni, sedangkan pasar luar daerah mengarah pada pasar monopsoni. Pasar gabah/beras di Provinsi Banten dapat dilakukan perubahan bentuk dengan menciptakan nilai tambah oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran, namun sebagian besar petani lebih cenderung menjual secara langsung. Hambatan keluar masuk pasar yang dihadapi oleh sebagian besar petani adalah kurangnya modal dalam berusahatani, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan dan produktivitas. Selain itu, informasi harga yang diterima oleh petani juga kurang. Petani hanya menerima informasi harga dari sesama petani dan pedagang pengumpul yang langsung datang membeli gabah. Kondisi kekurangan modal juga dihadapi oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran gabah/beras. Petani padi memiliki daya tawar-menawar yang lemah dalam perdagangan gabah karena surplus jualnya rendah, kemampuan menyimpan gabahnya rendah, dan desakan kebutuhan akan likuiditas tinggi. Petani umumnya menjual seluruh gabah setelah panen dalam bentuk GKP. Di sisi lain, kualitas gabah petani sangat dipengaruhi oleh cuaca,dimana kualitas GKP sangat buruk pada saat mendung/hujan. Dengan karakteristik demikian, pasar gabah bersifat monopsonistik dan tersegmentasi secara lokal. Sedangkan penawaran gabah petani sangat tidak elastis. Pasar gabah lokal di tingkat petani tidak sempurna, sehingga menciptakan inefisiensi dan sangat tidak adil (merugikan petani, tapi menguntungkan pedagang). Perpaduan antara produksi padi yang fluktuatif, penawaran gabah yang inelastik dan pasar gabah yang monopsonistik menyebabkan fluktuasi harga gabah di tingkat petani amat tinggi dan tidak menentu. Ini berarti, di samping resiko produksi (production risk), petani padi
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
63
juga menghadapi risiko harga (price risk) yang tinggi. Secara keseluruhan, risiko usaha tani padi sangat tinggi. Fluktuasi produksi dan harga gabah juga menjadi risiko usaha bagi pedagang gabah. Namun, daya tawarnya yang tinggi, risiko itu diinternalisasikan pedagang ke ongkos pemasaran yang lebih tinggi. Porsi terbesar nilai tambah peningkatan produktivitas usaha tani dinikmati mereka yang bergerak di luar usaha tani. Akibatnya, pendapatan riil petani kian tertinggal jauh dari pendapatan mereka yang ada pada sektor non usaha tani. Karakteristik yang sama juga terjadi pada pasar beras. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa keterkaitan harga produksi pertanian di tingkat konsumen dan di tingkat produsen (petani) bersifat asimetri (Simatupang, 2001). Ini berarti peningkatan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke harga gabah di tingkat petani. Sedangkan penurunan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan sempurna dan cepat ke harga gabah di tingkat petani.
Sebaliknya, peningkatan harga gabah di tingkat petani
ditransmisikan dengan sempurna dan cepat ke harga beras di tingkat konsumen, sedangkan penurunan harga gabah di tingkat petani ditransmisikan dengan tidak sempurna dan lambat ke harga beras di tingkat konsumen. Artinya, fluktuasi harga beras atau gabah cenderung merugikan petani dan konsumen. Kalau pun ada manfaatnya, itu menikmati pedagang dan penggilingan padi. Mereka inilah yang menikmati disparitas harga gabah dan beras sebesar Rp 1.500 per kg. Pendek kata, pasar gabah dan beras semakin jauh dari sempurna. Struktur pasar seperti itu bersifat tidak adil dan sangat merugikan petani. Di sisi lain, pedagang dan pengusaha penggilingan padi, termasuk Perum Bulog yang mendapat tugas PSO, berpotensi meraup untung besar. Itu berarti, risiko usaha tani padi semakin besar, dan tidak adil sehingga harus dicegah. Ketidakadilan inilah yang menjadi alasan kuat masih perlunya intervensi pasar oleh pemerintah. Intervensi pasar gabah dan beras melalui Inpres No 13/2005 dan lembaga Perum Bulog justru merugikan petani, sehingga kedua instrument itu harus didesain ulang. Dinamika Harga dan Integrasi Pasar Beras Integrasi pasar vertikal dilakukan untuk menganalisis keterkaitan harga suatu pasar dengan harga pasar di bawahnya. Untuk menganalisis integrasi pasar digunakan regresi linear
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
64
sederhana. Keterkaitan harga pada berbagai tingkat pasar dalam penelitian ini dapat ditunjukkan melalui estimasi koefisien regresi linear sederhana seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3.Hasil regresi integrasi pasar pada berbagai saluran pemasaran. Tingkat pasar Petani - Pdg.Kec Petani - Pdg.kab Petani - Pdg.prop Pdg.kec – Pdg.local Pdg.kec - Pdg.kab Pdg kab - Pdg local Pdg.kab -Pdg.prop Pdg.prop -Pdg LD
Koefisien - 0,178 0,183 1,091 0,545 0,500 0,678 0,663 0,286
T - 1,298 1,897 7,065 3,000 1,732 5,861 2,502 0,871
R2 0,061 0,153 0,793 0,818 0,750 0,851 0,862 0,087
R -0,247 0,391 0,891 0,905 0,866 0,923 0,929 0,294
Ket : Pdg.kec = Pedagang Kecamatan ; Pdg.kab = pedagang kabupaten ; Pdg. Prop Pedagang Provinsi ; Pdg.lokal = Pedagang local; Pdg LD = Pedagang Luar daerah
Integrasi harga antara petani dengan
pedagang
=
pengumpul kecamatan dapat
ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = - 0,178 1. Berarti apabila terjadi perubahan harga pada pedagang pengumpul kecamatan sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada petani sebesar Rp 0,178. Berdasarkan perhitungan, nilai t hitung = - 1,298 > t tabel = -2,056. Maka terima H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara petani dengan pedagang pengumpul kecamatan terintegrasi. Integrasi harga antara petani dengan pedagang pengumpul kabupaten dapat ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 0,183 1. Berarti apabila terjadi perubahan harga pada pedagang pengumpul kabupaten sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada petani sebesar Rp 0,183. Berdasarkan perhitungan pada lampiran 9, nilai t hitung = 1,897 < t tabel = 2,086. Maka terima H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara petani dengan pedagang pengumpul kabupaten terintegrasi. Integrasi harga antara petani dengan pedagang pengumpul propinsi ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 1,091 1. Berarti apabila terjadi perubahan harga pada pedagang pengumpul propinsi sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada petani sebesar Rp 1,091. Berdasarkan perhitungan pada lampiran 10, nilai t hitung = 7,065 > t tabel = 2,160. Maka tolak H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara petani dengan pedagang pengumpul propinsi tidak terintegrasi. Integrasi harga antara pedagang pengumpul kecamatan dengan pedagang pengecer lokal ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 0,545 1. Berarti apabila terjadi perubahan harga pada pedagang pengecer lokal sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada pedagang pengumpul
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
65
kecamatan sebesar Rp 0,545. Berdasarkan perhitungan pada lampiran 11, nilai t hitung = 3,000 < t tabel = 4,303. Maka terima H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara pedagang pengumpul kecamatan dengan pedagang pengecer lokal terintegrasi. Integrasi harga antara pedagang pengumpul kecamatan dengan pedagang pengumpul kabupaten ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 0,500 1. Berarti apabila terjadi perubahan harga pada pedagang pengumpul kabupaten sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada pedagang pengumpul kecamatan sebesar Rp 0,500. Berdasarkan perhitungan pada tabel 12, nilai t hitung = 1,732 < t tabel = 12,706. Maka terima H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara pedagang pengumpul kecamatan dengan pedagang pengumpul kabupaten terintegrasi. Integrasi harga antara pedagang pengumpul kabupaten dengan pedagang pengecer lokal ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 0,678 1. Berarti apabila terjadi perubahan harga pada pedagang pengecer lokal sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada pedagang pengumpul kabupaten sebesar Rp 0,678. Berdasarkan perhitungan pada lampiran 13, nilai t hitung = 5,861 > t tabel = 2,447. Maka tolak H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara pedagang pengumpul kabupaten dengan pedagang pengecer lokal tidak terintegrasi. Integrasi harga antara pedagang pengumpul kabupaten dengan pedagang pengumpul propinsi ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 0,663 1. Berarti apabila terjadi perubahan harga pada pedagang pengumpul propinsi sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada pedagang pengumpul kabupaten sebesar Rp 0,663. Berdasarkan perhitungan pada lampiran 14, nilai t hitung = 2,502 < t tabel = 12,706. Maka terima H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara pedagang pengumpul kabupaten dengan pedagang pengumpul propinsi terintegrasi. Integrasi harga antara pedagang pengumpul propinsi dengan pedagang pengecer luar daerah ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 0,286 1. Berarti apabila terjadi perubahan harga pada pedagang pengecer luar daerah sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada pedagang pengumpul propinsi sebesar Rp 0,286. Berdasarkan perhitungan pada tabel 12, nilai t hitung = 0,871 < t tabel = 2,306 Maka terima H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara pedagang pengumpul propinsi dengan pedagang pengecer luar daerah terintegrasi.
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
66
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Struktur aliran tataniaga gabah/beras pada garis besarnya ada dua yaitu : 1) saluran pemasaran pertama, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul, gabah disalurkan oleh pedagang kongsi ke penggilingan padi di penggilingan gabah mulai mengalami perakuan meliputi proses pengeringan, penggilingan dan grading. Beras yang telah dikemas disalurkan kepedagang grosir dan dari grosir di salurkan ke pengecer-pengecer untuk dijual ke konsumen; dan 2) petani menjual gabah langsung kepenggilingan gabah mengalami proses pengeringan, penggilingan dan grading, selanjutnya beras di kemas dan disalurkan ke pengecer untuk dijual ke konsumen. Mayoritas petani (85%) menempuh saluran pemasaran ke dua dan sisanya (15%) menempuh saluran pemasaran pertama. 2. Margin pemasaran tertinggi diperoleh pada pedagang/penggilingan padi (7,6%) dan pedagang pengumpul/kongsi (6,75%), selanjutnya pedagang pengecer (1,8%) dan pedagang besar/grosir (1,2%). Margin keuntungan di penggilingan hanya Rp.89,-/kg, tetapi volume penjualannya paling besar yaitu 1.500 – 2000 ton beras permusim. 3. Hambatan keluar masuk pasar yang dihadapi oleh sebagian besar petani adalah kurangnya modal dalam berusahatani sehingga berpengaruh terhadap pendapatan petani dan produktivitas. Selain itu, informasi harga yang diterima petani juga kurang, dan hanya diperoleh dari sesame petani dan pedagang pengumpul. Kondisi kekurangan modal juga dihadapi oleh lembaga-lembaga pemasaran. 4. Integrasi pasar secara vertikal pada berbagai saluran pemasaran terintegrasi (pasar berjalan efisien), kecuali antara petani dengan pedagang pengumpul propinsi, dan antara pedagang pengumpul kabupaten dengan pedagang pengecer lokal, tidak terintegrasi (pasar berjalan tidak efisien). Hal ini mengindikasikan bahwa pasarnya mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna.
Implikasi Kebijakan Dengan adanya keterpisahan petani dari pasar, segala insentif pasar dan usaha-usaha mensejahterakan petani yang dilakukan melalui kebijakan harga
tidak akan secara efektif
dirasakan oleh petani, karena lebih banyak dinikmati para pelaku tata niaga, khususnya para
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
67
pedagang. Untuk meningkat kesejahteraan petani sebaiknya dilakukan melalui mekanisme kebijakan yang dapat langsung dinikmati kepada petani dan keluarganya tanpa mengintervensi mekanisme pasar seperti kebijakan pemberian kredit usahatani, mengaktifkan lumbung desa, introduksi fasilitas pengolahan hasil yang lebih baik, dan meningkatkan peran pelaku pasar dalam kegiatan pengadaan pangan oleh instansi/BUMN yang ditunjuk pemerintah. Dalam
era
otonomi
daerah
yang
harus
dihindari
adalah
kebijakan-kebijakan
yang
membebankan petani seperti berbagai pungutan dan restribusi pada arus lalu lintas produk pertanian yang bisa menyebabkan terjadinya hambatan dan inefisiensi.
DAFTAR PUSTAKA Abubakar, M. 2009. Kemandirian Pangan : Cadangan Publik, Stabilisasi Harga dan Diversifikasi. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 7, No 2 : 107-129. BPS, 2010. Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Banten. No.26/07/136/Th.IV, 1 Juli 2010. BPS Provinsi Banten. Dahl, Date C. and J.W. Hamound. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries.Mc.Graw Hill. Book Company. USA. Kustari, R. Dan N. Suyanti. 2009. Perubahan Tingkat Harga Komoditas Pangan di Pasar Dunia dan Dampaknya Terhadap Harga di Pasar Domestik dan Konsumsi. Seminar nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan : Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Malian, A. Husni, Sudi Mardiato, Mewa Ariani. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi, dan Harga Beras serta Inflasi Bahan Makanan. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 22 No. 22 2004. Diunduh 10 Juli 2010 dari www.pse.litbang.go.id Maliati, N. 2002. Kelembagaan Pemasaran Pertanian : Permasalahan, Tantangan, dan Alternatif Solusinya. Usese. Jakarta. Nuryanti, Sri. 2005. Analisa Kelembagaan Sistem Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 23 No. 01 2005. Diunduh tanggal 10 Juli 2010 dari www.pse.litbang.deptan.go.id Putri, E. I. K., 2009. Ancaman dan Solusi Krisis Pangan, Energi dan Air serta Peran Keilmuan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan dalam Mengatasi Krisis Tersebut. Orange Book. Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dalam Mengahadapi Krisis Globa. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
68
Saptana, Susmono, Suwarto dan M. Nur, 2004. Kinerja Kelembagaan Agribisnis Beras di Jawa Barat.Monograph No. 25. Diunduh tanggal 10 Juli 2010 dari www.pse.libang.deptan.go.id Rusastra, I W,. B.Rachman, Sumedi dan T. Sudaryanto, 2000. Struktur Pasar dan Pemasaran Gabah-Beras dan Komoditas Kompetitor Utama. Diunduh 10 Juli 2010 dari www.pse.litbang.deptan.go.id
Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013
69