PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BANTEN
NINDYA ULFILIANJANI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2014 Nindya Ulfilianjani NIM H14100075
ABSTRAK NINDYA ULFILIANJANI. Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran keberhasilan dari pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat kemiskinan yang rendah mengindikasikan bahwa suatu daerah memiliki kesejahteraan masyarakat yang baik. Untuk memperoleh kondisi tersebut, diperlukan peran pemerintah dengan melakukan belanja daerah yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan perkembangan belanja pemerintah daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Banten dan menganalisis pengaruh belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan data panel pada 8 kabupaten dan kota di Provinsi Banten dalam kurun waktu tahun 2009 hingga tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja pemerintah daerah terus meningkat. Berdasarkan model dalam analisis, belanja barang dan jasa dan belanja modal berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan. Kata Kunci : belanja daerah, data panel, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi
ABSTRACT NINDYA ULFILIANJANI. The Influence of Government Expenditure on Economic Growth and Poverty in Regency/City of Banten Province. Supervised by BAMBANG JUANDA. Economic growth is one measure of economic development. The high economic growth and low poverty indicates that an area has good public prosperity. To get the high economic growth and low poverty required the maximum role of government, by government expenditure. The purpose of this study was to explain the development of government expenditure and analyzed the influence of government expenditure on economic growth and poverty in Banten Province. This research uses descriptive method and panel data on 8 districts/cities in Banten Province in the periode of 2009-2012. The result indicate that the government expenditure in Banten Province always increase. Based on the model in analysis, goods and service expenditure and capital expenditure have a positive effect and significant contributions to the regional economic growth and also have a negative effect and significant contributions to the poverty. Keywords: economic growth, government expenditure, panel data, poverty
PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BANTEN
NINDYA ULFILIANJANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini adalah Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. selaku pembimbing yang telah sabar dan selalu memberi arahan kepada penulis, kepada Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. sebagai dosen penguji utama dan Bapak Dr. Muhammad Findi, M.E. sebagai dosen dari komisi pendidikan yang telah bersedia menguji penulis dan memberi masukan yang bermanfaat bagi perbaikan dalam penyusunan skripsi ini. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayahanda Ikarianto Haryadi, ibunda Neni Isnaeni, adik Tyanka Pujisyadzani serta seluruh keluarga yang telah memberikan kasih sayang, doa serta dukungan kepada penulis. Terima kasih untuk teman satu bimbingan Efita, Elli, Gagas dan Lundu yang selalu berdiskusi dan memberi masukan selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada sahabat-sahabat SMA Zahra, Dessy, Okristiana, Mutiara, Faitha, Yessie dan Nabila yang selalu memberi nasihat dan motivasi selama penyusunan skripsi. Terima kasih juga kepada sahabat-sahabat Irgandhini, Rengganis, Dita, Feby, Rahman, Penny, Rahayu, Hardyani, Ayu, Afanina, Nabilah, Cynthia, Fitria, Elis, Selly, Meliana, Ema, Riana, Uke, Chika dan Dwi yang telah tulus membantu, memberi nasihat serta dukungan selama masa perkuliahan. Teman-teman Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan 47, teman-teman TPB A.21, HIPOTESA FEM IPB 2013 dan PSM IPB Agria Swara terima kasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014 Nindya Ulfilianjani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
METODE PENELITIAN
10
Jenis dan Sumber Data
10
Metode Pengolahan dan Analisis Data
10
GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
18
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Banten
18
Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten
20
Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Banten
22
Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
25
Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan
28
SIMPULAN DAN SARAN
31
Simpulan
31
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
32
LAMPIRAN
34
RIWAYAT HIDUP
42
DAFTAR TABEL 1 Jenis dan sumber data 2 Jumlah penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012 3 Penduduk bekerja, pengangguran, jumlah angkatan kerja dan bukan angkatan kerja Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2012 4 Persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012 5 Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2) Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012 6 Uji model pertumbuhan ekonomi terbaik (Pooled Least Square, Fixed Effect Model, dan Random Effect Model) 7 Hasil estimasi Fixed Effect Model pada model pertumbuhan ekonomi 8 Uji model kemiskinan terbaik (Pooled Least Square, Fixed Effect Model, dan Random Effect Model) 9 Hasil estimasi Random Effect Model pada model kemiskinan
10 16 17 20 21 25 27 29 30
DAFTAR GAMBAR 1 Pertumbuhan ekonomi 6 Provinsi di Pulau Jawa tahun 2009-2012 2 Perkembangan persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Banten dan Nasional tahun 2009-2012 3 Realisasi belanja daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012 4 PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga Konstan 2000 tahun 2009-2012 5 Distribusi PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2012 6 Struktur alokasi belanja pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2012 7 Realisasi belanja daerah Provinsi Banten tahun 2009-2013 8 Komposisi belanja lainnya Provinsi Banten tahun 2012 dan 2013
1 2 3 18 19 22 24 25
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil Uji Chow pada model Pertumbuhan Ekonomi 2 Hasil Uji Hausman pada model Pertumbuhan Ekonomi 3 Hasil Estimasi pada model Pengaruh belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan model Fixed Effect 4 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Pertumbuhan Ekonomi 5 Hasil Uji Normalitas pada model Pertumbuhan Ekonomi 6 Hasil Uji Chow pada model Kemiskinan 7 Hasil Uji Hausman pada model Kemiskinan 8 Hasil Estimasi pada model Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan Provinsi Banten dengan model Random Effect 9 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Kemiskinan 10 Hasil Uji Normalitas pada model Kemiskinan
34 35 36 37 37 38 39 40 41 41
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan ekonomi nasional yang tujuannya mendorong kemampuan daerah mengelola sumber daya ekonomi untuk kemajuan daerah itu sendiri dan kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah merupakan strategi dalam pembangunan daerah yang sesuai dengan perkembangan dan kondisi masyarakat Indonesia yang berazas demokrasi. Otonomi daerah memiliki hubungan yang erat dengan desentralisasi fiskal dalam mencapai efektifitas pelayanan publik. Hal ini diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah, yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, yang memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tujuan dan ukuran keberhasilan dari pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan ekonomi akan memperlancar proses pembangunan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat ditunjukan oleh nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB Indonesia. Tahun 2009 kontribusi Pulau Jawa terhadap PDB Indonesia sebesar 58.6%, lalu kontribusinya menurun menjadi 58.1% pada tahun 2010 dan 57.59% di tahun 2011. Tahun 2012 kontribusinya kembali meningkat menjadi 57.63%. Tingginya kontribusi Pulau Jawa terhadap PDB nasional didukung oleh laju pertumbuhan ekonomi enam provinsi di Pulau Jawa, terutama Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. 8 DKI Jakarta
Persentase (%)
7 6
Jawa Barat
5 Banten
4 3
Jawa Tengah
2 1 0 2009
2010
2011
2012
DI Yogyakarta Jawa Timur
Tahun Sumber: Badan Pusat Statistik RI, 2013 (diolah).
Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi 6 Provinsi di Pulau Jawa tahun 2009-2012 Seperti yang terlihat pada Gambar 1, pertumbuhan ekonomi keenam provinsi di Pulau Jawa cenderung mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi
2 Provinsi Banten mengalami penurunan di tahun 2012 dan berada di peringkat ke 5 setelah Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Nilai persentase yang relatif kecil dibandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Jawa, menunjukkan bahwa Provinsi Banten belum dapat memberikan kontribusi yang maksimal untuk Pulau Jawa. Selain pertumbuhan ekonomi, aspek pembangunan lainnya yang menjadi fokus pemerintah daerah adalah kemiskinan. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah menempatkan penurunan kemiskinan sebagai salah satu prioritas pembangunan. Persentase penduduk miskin di Banten mengalami penurunan sejak tahun 2009 hingga tahun 2012, namun angkanya masih relatif kecil. Nilai persentase penduduk miskin Kota Tangerang Selatan pada tahun 2012 merupakan yang terendah sebesar 1.33%, sementara Kabupaten Pandeglang memiliki nilai persentase penduduk miskin tertinggi sebesar 9.27%. Masih tingginya angka kemiskinan ini menunjukkan bahwa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah belum mampu untuk menjangkau masyarakat miskin.
Kota Tangerang Selatan
Kabupaten/Kota
Kota Serang Kota Cilegon
2009
Kota Tangerang
2010 Kab. Serang
2011 Kab. Tangerang
2012
Kab. Lebak Kab. Pandeglang
0
5
10
15
Persentase (%) Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 2 Perkembangan persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Banten dan Nasional tahun 2009-2012 Salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan adalah meningkatkan jumlah belanja pemerintah daerah. Belanja pemerintah daerah merupakan bentuk stimulus yang dilakukan pemerintah untuk memacu perkembangan perekonomian daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan implementasi dari otonomi daerah, sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengelola sumber penerimaan dan melakukan pembelanjaan yang sesuai dengan tujuan pembangunan daerah. Peningkatan jumlah belanja daerah idealnya disertai
3 dengan peningkatan program pencapaian pembangunan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Realisasi belanja Provinsi Banten pada Gambar 2 menunjukkan perkembangan jumlah belanja pemerintah yang terus meningkat setiap tahunnya. Alokasi belanja pegawai masih mendominasi belanja pemerintah dan alokasinya lebih besar dibandingkan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Belanja modal yang diharapkan dapat memacu perkembangan pembangunan ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan ternyata masih memiliki proporsi yang kecil meskipun mengalami peningkatan setiap tahun, sehingga peningkatan jumlah belanja daerah belum dapat optimal mendukung pembangunan. Dapat dilihat pada Gambar 3, realisasi belanja modal pada tahun 2010 mengalami penurunan karena dilakukan penghematan sebagian alokasi belanja modal untuk membiayai belanja pegawai. Menurut Kementrian Keuangan, penghematan idealnya dilakukan dengan tidak memotong belanja modal dengan jumlah besar atau meminimumkan pemotongan belanja modal. Seharusnya penghematan dilakukan dengan mengurangi alokasi belanja barang dan jasa. 7,000
Miliar rupiah
6,000
B.Pegawai
5,000 B.Modal 4,000 B.Barang &Jasa B.Lainnya
3,000 2,000 1,000 0 2009
2010
2011
2012
Tahun Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 3 Realisasi belanja daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012 Perumusan Masalah Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat tergantung pada kebijakan pemerintah daerah melalui alokasi belanjanya. Seharusnya alokasi belanja modal dan belanja barang dan jasa di era desentralisasi ini memiliki porsi yang lebih besar, karena kedua belanja tersebut merupakan belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah (Kemenkeu 2011). Selain itu, peningkatan jumlah belanja pemerintah Provinsi Banten tidak memberikan dampak yang sama pada laju pertumbuhan ekonomi Banten, yang justru menurun di tahun 2012. Ketika penurunan angka kemiskinan dikaitkan dengan besarnya pengeluaran yang direalisasikan, kenyataannya hal ini tidak sesuai karena penurunan angka kemiskinan di Banten sangatlah kecil apabila dibandingkan dengan anggaran yang
4 disediakan. Seharusnya belanja daerah yang berkualitas diharapkan dapat mendukung pemerataan pembangunan dan terselenggaranya pelayanan publik sesuai dengan tujuan desentralisasi. Ketidakselarasan antara pengeluaran pemerintah dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Banten ini yang menjadi masalah dalam penelitian. Apabila tujuan utama anggaran pemerintah untuk pembangunan ekonomi, maka kualitas belanja daerah seharusnya menjadi aspek yang perlu dipenuhi. Jika proses pembangunan dapat berjalan dengan semestinya, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan persentase penduduk miskin mengalami penurunan sehingga dapat memacu pembangunan daerah. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, permasalahan pokok yang muncul untuk dianalisis dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perkembangan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan belanja pemerintah daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Banten? 2. Bagaimana pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan perkembangan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan perkembangan belanja pemerintah daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Banten. 2. Menganalisis besarnya pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten. Manfaat Penelitian Di samping untuk menjawab permasalahan yang ada, adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan fiskal pemerintah maupun instansi terkait di Provinsi Banten. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan yang dapat memberi manfaat bagi pembacanya. 3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian berikutnya. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah kabupaten/kota Provinsi Banten dengan periode waktu penelitian tahun 2009 sampai tahun 2012. Hal ini dikarenakan pemekaran Kota Tangerang Selatan diresmikan pada tahun 2009.
5
TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Ekonomi Menurut Bappenas (1999) Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumber daya, informasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan global. Selanjutnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata dan berkeadilan. Pembangunan juga dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan peningkatan kualitas hidup manusia yang merupakan perubahan perubahan ekonomi dan sosial. Menurut Todaro dan Smith (2006) Perubahan ekonomi dan sosial dapat dicapai dengan cara yang berbeda tergantung dari tujuan pembangunan tersebut. Pada umumnya tujuan pembangunan mencangkup hal-hal pokok seperti meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat, meningkatkan kesempatan kerja, dan meningkatkan pembangunan antar daerah. Salah satu ukuran yang digunakan untuk melihat keberhasilan suatu pembangunan ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian makro adalah penambahan nilai Produk Domestik Bruto riil (PDB) atau peningkatan pendapatan nasional. Badan pusat statistik menggunakan pendekatan PDB dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk menggambarkan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah yang mencerminkan pertumbuhan ekonomi. PDRB dihitung dengan dua cara, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan. Menurut Todaro (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas produksi dalam suatu perekonomian secara terus menerus sepanjang waktu untuk menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin besar. Terdapat tiga faktor utama dalam menentukan pertumbuhan ekonomi, yaitu: 1. Akumulasi modal, merupakan semua bentuk investasi baru yang ditanamkan seperti tanah, peralatan listrik serta sumber daya manusia melalui peningkatan di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan. 2. Pertumbuhan jumlah penduduk, yang akan menyebabkan pertumbuhan angkatan kerja 3. Kemajuan teknologi, yang merupakan sarana untuk memudahkan pekerjaan.
6 Kemiskinan Kemiskinan menurut Mudrajad Kuncoro (2000) adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Permasalahan standar hidup yang rendah berkaitan pula dengan jumlah pendapatan yang sedikit, perumahan yang kurang layak, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sehingga berakibat pada rendahnya sumber daya manusia dan banyaknya pengangguran. Tingkat standar hidup dalam suatu negara bisa diukur dari beberapa indikator antara lain Gross National Product (GNP) per capita, pertumbuhan relatif nasional dan pendapatan per kapita, distribusi pendapatan nasional, tingkat kemiskinan, dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Todaro (2006) menjelaskan bahwa kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut didefinisikan sebagai ketidakmampuan pemenuhan sumberdaya pokok untuk kesejahteaan, termasuk makanan, air, perumahan, tanah, kesehatan dan pendidikan. Sementara kemiskinan relatif merupakan kondisi yang disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang belum dapat menjangkau masyarakat secara merata sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan kebutuhan dasar untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal tersebut adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2,100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Pengeluaran Pemerintah Daerah Pengeluaran pemerintah merupakan suatu tindakan untuk mengatur jalannya perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran pemerintah setiap tahunnya, yang tercermin dalam dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk nasional dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk daerah. APBD merupakan acuan bagi pemerintah dalam melaksanakan kegiatan ekonomi ke depan yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Alokasi anggaran ke dalam pos-pos pengeluaran akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian. Pengeluaran pemerintah merupakan proxy terhadap kebutuhan daerah yang diperlukan untuk menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan, pengeluaran yang menyediakan polisi dan tentara, pengeluaran gaji untuk pegawai pemerintah, dan pengeluaran untuk mengembangkan infrastruktur yang dibuat untuk kepentingan masyarakat. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten dan kota. Format belanja dikelompokan ke dalam dua bentuk yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja
7 tidak langsung merupakan belanja yang tidak digunakan secara langsung oleh pelaksanaan program dan kegiatan yang terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Sementara belanja langsung merupakan belanja yang digunakan untuk pelaksanaan program dan kegiatan yang terkait secara langsung. Belanja langsung merupakan pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan fisik dan non fisik, yang terdiri atas: 1. Belanja Pegawai. Merupakan belanja kompensasi baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada Pejabat Negara, PNS dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. 2. Belanja barang dan jasa. Merupakan pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja barang ini terdiri dari belanja pengadaan barang dan jasa-jasa, belanja pemeliharaan, dan belanja perjalanan. 3. Belanja modal. Merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang dilakukan dalam rangka memperoleh atau menambah asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain, belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan belanja modal fisik lainnya. Dalam konsep makroekonomi dan pembangunan ekonomi, PDB(Y) terdiri dari konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan net ekspor (XM) atau (Y = C + I + G + (X-M)). Belanja pemerintah mengarah kepada konsumsi (C). Teori Pengeluaran Pemerintah Dalam teori ekonomi pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah mempunyai hubungan timbal balik yang positif. Hukum Wagner menyebutkan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pertumbuhan ekonomi meningkat maka pengeluaran pemerintah juga akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State”, dimana analogi untuk Hukum Wagner ini adalah dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka kebutuhan akan penyediaan barang publik juga akan meningkat sehingga dibutuhkan pembiayaan melalui penerimaan pemerintah yang pada akhirnya pengeluaran pemerintah juga akan meningkat atau dapat diartikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga akan mencerminkan besarnya dana pengeluaran pemerintah untuk membiayai kebutuhan layanan jasa pemerintah. Namun Aliran Keynesian menggambarkan sebaliknya, bahwa dengan adanya peningkatan
8 pengeluaran pemerintah akan mendorong peningkatan permintaan barang dan jasa secara agregat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. Model Rostow dan Musgrave Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi lebih besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan sarana dan prasarana, seperti misalnya pendidikan, kesehatan, dan prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menyatakan bahwa pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. Penelitian Terdahulu Sodik (2007) dalam penelitiannya menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di 26 provinsi Indonesia. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi data panel dengan metode fixed effect model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pemerintah, konsumsi pemerintah, tenaga kerja dan tingkat keterbukaan ekonomi provinsi memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional, namun variabel investasi swasta tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Siti Anni Makhrifah (2010) melakukan penelitian untuk menganalisis pengaruh pengelolaan keuangan daerah terhadap pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan metode analisis Vector Auto Regressive (VAR). Berdasarkan hasil penelitiannya, belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan IPM baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sementara belanja pegawai hanya berpengaruh dalam jangka pendek. Belanja pegawai dan belanja lain berpengaruh positif terhadap kemiskinan, artinya jika jenis belanja ini naik maka kemiskinan juga akan naik. Nur Saidah (2011) dalam penelitiannya menganalisis pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal dengan menggunakan teknik analisis data panel. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel belanja fungsi pelayanan umum dan lainnya memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, sedangkan belanja fungsi kesehatan dan pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
9 pertumbuhan ekonomi. Sementara itu variabel angkatan kerja tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Haryanto (2013) dalam penelitiannya menganalisis mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data panel dengan metode fixed effect model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk belanja langsung dan belanja tidak langsung secara bersama-sama berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kerangka Pemikiran Menciptakan pembangunan yang merata merupakan tujuan akhir dari desentralisasi fiskal. Agar dapat menciptakan pembangunan tersebut, diperlukan komposisi belanja daerah yang berkualitas agar penyerapan dana pemerintah dapat mendorong aspek-aspek pembangunan secara stabil dan merata. Dengan keleluasaan kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya, diharapkan pemerintah daerah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi persentase penduduk miskin. Hal inilah yang menjadi panduan untuk menganalisis pengaruh belanja daerah terhadap pembangunan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Banten. Sistematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 3. Desentralisasi Fiskal
Pendapatan Pemerintah
Belanja Pemerintah
Belanja Pegawai
Belanja Modal
Pertumbuhan Ekonomi
Belanja Barang dan Jasa
Kemiskinan
Analisis Deskriptif dan Data Panel
Gambar 3 Kerangka pemikiran
10 Keterangan: : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak dimasukkan ke dalam penelitian
Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Belanja Modal dan belanja barang dan jasa diduga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara positif dan mempengaruhi persentase penduduk miskin secara negatif. 2. Belanja pegawai diduga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara negatif dan mempengaruhi persentase penduduk miskin secara positif.
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dengan yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Kementrian Keuangan. Data cross section yang digunakan terdiri dari 8 kabupaten dan kota di Provinsi Banten serta data time series tahunan periode 2009 hingga 2012. Referensi pendukung lainnya berupa buku, jurnal, dan artikel diperoleh dari Perpustakan BPS, Perpustakaan IPB dan internet yang relefan dengan penelitian ini. Tabel 1 Jenis dan sumber data Jenis Data Belanja Pegawai Belanja Modal Belanja Barang dan Jasa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Persentase Penduduk Miskin
Sumber Kemenkeu: Realisasi APBD Kemenkeu: Realisasi APBD Kemenkeu: Realisasi APBD BPS Provinsi Banten BPS Provinsi Banten
Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum hasil penelitian secara sederhana dalam bentuk gambar dan tabel. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perkembangan belanja pemerintah daerah serta perkembangan pertumbuhan ekonomi dan
11 kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Banten dalam kurun waktu tahun 2009 hingga tahun 2012. Analisis kuantitatif data panel digunakan untuk menganalisis pengaruh belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten. Pengolahan data panel dilakukan menggunakan software Microsoft Excel dan Eviews 6. Menurut Gujarati (2005), data panel (pooled data) merupakan gabungan antara data time series dan data cross section. Data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap satu individu dan data cross section merupakan data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu. Menurut Baltagi (2005), penggunaan data panel dapat mengendalikan heterogenitas data individual, dapat menyajikan data yang lebih informatif, bervariasi, memiliki kolineritas antar variabel yang kecil, memiliki derajat kebebasan yang lebih besar, dan lebih efisien. Data panel juga lebih unggul dalam mengidentifikasi dan mengestimasi efek yang tidak terdeteksi secara sederhana pada model cross section dan model time series. Data panel lebih sesuai untuk menguji model perilaku yang kompleks dibandingkan dengan model data cross section dan model time series. Terdapat tiga teknik yang dapat digunakan untuk mengestimasi data panel, yaitu Pooled Least Square, metode efek tetap atau Fixed Effect dan metode efek acak atau Random Effect. Gujarati (2003) 1. Metode Pooled Least Square (PLS) Metode PLS merupakan metode yang paling sederhana yang memiliki intersep dan slope konstan. Model PLS didefinisikan sebagai berikut: Yit = α i + β Xit + uit dimana i merupakan kabupaten/kota yang diobservasi dalam data cross section dan t merupakan periode tahun pada data time series. Metode ini memiliki keterbatasan, karena intersep dan slope dari setiap variabel siasumsikan konstan untuk setiap data yang diobservasi.
2. Fixed Effect Model (FEM) Pada metode fixed effect model, intersep dibedakan antarindividu karena setiap individu dianggap memiliki karakteristik sendiri. dalam membedakan intersepnya, dapat menggunakan peubah dummy, sehingga metode ini dikenal dengan model Least Square Dummy Variable (LSDV). Persamaan model sebagai berikut: Yit= β 0i + β 1X1it + β 2X2it +.....+ β nXnit + uit dimana β 0i merupakan intersep dan β 1, β 2 merupakan slope. Diasumsikan bahwa slope konstan tetapi intersep berbeda untuk setiap individu, i menggambarkan intersep berbeda antar kabupaten/kota namun intersep masingmasing kabupaten/kota tidak berbeda antar waktu (time invariant). 3. Random Effect Model (REM) Pada metode random effect model, intersep tidak lagi dianggap konstan, melainkan dianggap sebagai peubah random. Nilai intersep dari masing-masing individu didefinisikan sebagai berikut:
12 β 0i = β 0 + ei ; dengan i = 1,2,...,N dimana merupakan sisaan acak (error term) dengan rata-rata = 0 dan ragam = σ ². Sehingga persamaan dalam model sebagai berikut: Yit = β 0 + β 1X1it + β 2X2it + eit + uit
Pengujian Kesesuaian Model Untuk memilih metode yang akan digunakan, perlu dilakukan uji kesesuaian model sebagai berikut: 1. Chow Test Uji Chow dilakukan untuk memilih apakah model yang lebih baik digunakan adalah model Pooled Least Square atau model Fixed Effect. Hipotesis uji Chow sebagai berikut: H0 : Model Pooled Least Square (Restricted) H1 : Model Fixed Effect (Unrestricted) Sebagai dasar penolakan H0 dapat digunakan perbandingan statistik Hausman dengan Chi-square atau dengan melihat p-value. Apabila nilai p-value lebih kecil dari nilai α = 5%, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model FEM. 2. Hausman Test Setelah melakukan uji Chow, untuk memilih model fixed effect atau random effect yang lebih baik digunakan dalam penelitian, dengan asumsi terdapat atau tidak korelasi antara regressor dan efek individu, dilakukan uji Hausman. Hipotesis Uji Hausman sebagai berikut: H0 : Random Effect Model H1 : Fixed Effect Model Sebagai dasar penolakan H0 dapat digunakan perbandingan statistik Hausman dengan Chi-square atau dengan melihat p-value. Apabila nilai p-value lebih kecil dari nilai α = 5%, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model FEM. Pengujian Kriteria Ekonometrika 1. Multikolinearitas Suatu model yang terbebas dari multikolinearitas artinya tidak ada hubungan linear antara variabel-variabel bebas dalam persamaan regresi berganda. Salah satu cara untuk memastikan ada atau tidaknya multikolinearitas, dapat dilihat dari koefisien korelasi antara peubah bebas dalam model. Jika nilai
13 masing-masing koefisien korelasinya lebih besar dari rule of thumb (0,8) dan R² maka model tersebut memiliki masalah multikolinearitas. 2. Heteroskedastisitas Suatu model yang terbebas dari heteroskedastisitas artinya variant dari error bersifat konstan atau bersifat homoskedastis. Menurut Gujarati (2006), apabila masalah heteroskedastisitas terjadi maka pengujian hipotesis tidak bisa diandalkan karena memungkinkan penarikan kesimpulan yang menyesatkan. Salah satu cara untuk melihat ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas dengan menggunakan metode GLS Weight Cross-section. Apabila nilai Sum Square Resid Weighted lebih kecil dibandingkan dengan nilai Sum Square Resid Unweighted, maka dapat disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas. 3. Autokorelasi Suatu model dikatakan bebas dari masalah autokorelasi apabila pengamatan satu dan pengamatan lainnya tidak memiliki keterkaitan atau bersifat saling bebas. Uji yang dilakukan untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji Durbin-Watson. Nilai statistik Durbin-Watson yang diperoleh dari hasil estimasi pada program Eviews dibandingkan dengan nilai DW pada tabel. Model dikatakan terbebas dari masalah autokorelasi apabila nilai statistik Durbin-Watson berada di area nonautokorelasi. Selang statistik Durbin-Watson adalah sebagai berikut: 0 < DW < DL D L < DW < DU DU < DW < 4 - DU 4 - DU < DW < 4 - DL 4 - DL < DW < 4
: : : : :
ada autokorelasi positif tidak ada keputusan tidak ada autokorelasi tidak ada keputusan ada autokorelasi negatif
4. Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term terdistribusi secara normal atau tidak. Pengujian asumsi normalitas dapat dilakukan dengan uji Jarque-Bera. Hipotesis pengujian normalitas adalah: H0 : Residual terdistribusi normal H1 : Residual tidak terdistribusi normal Dasar penolakan H0 dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas Jarque-Bera dengan taraf nyata lima persen. Apabila nilai probabilitas JarqueBera lebih besar dari taraf nyata lima persen, maka dapat dikatakan tidak cukup bukti untuk menolak H0 yang artinya residual terdistribusi normal. Model Penelitian Analisis regresi dengan metode data panel pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis pengaruh belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan persentase penduduk miskin di kabupaten dan kota Provinsi Banten. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi. Estimasi model pengaruh belanja daerah terhadap
14 pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Banten dituliskan sebagai berikut: PDRBit = α + β (PEGAWAI) + β (MODAL) + β (BARANG) + u 1 it 2 it 3 it it dimana: PDRB PEGAWAI MODAL BARANG
αi βi
: Produk Domestik Regional Bruto daerah ke-i tahun ke-t (miliar rupiah) : Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah) : Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah) : Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah) : intersep : koefisien regresi : kabupaten/kota Provinsi Banten : periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012 : error term
i t
uit
Estimasi model yang digunakan untuk melihat pengaruh belanja daerah terhadap persentase penduduk miskin kabupaten dan kota di Provinsi Banten dituliskan sebagai berikut: PPMit = α + β 1 (PEGAWAI)it + β 2 (MODAL)it + β 3 (BARANG)it + uit dimana: PPM PEGAWAI MODAL BARANG
αi βi
: Persentase Penduduk Miskin daerah ke-i tahun ke-t (persen) : Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah) : Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah) : Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah) : intersep : koefisien regresi : kabupaten/kota Provinsi Banten : periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012 : error term
i t
uit
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian berbeda satuan sehingga di-logaritmanatural-kan. Dengan model ini, hasil regresi yang diperoleh akan lebih efisien karena ragam konstan dan residual error menyebar normal serta mudah diinterpretasikan dalam satuan persen. Adapun model yang telah dilogaritmanatural-kan adalah sebagai berikut. lnPDRBit = α + β 1 ln(PEGAWAI)it + β 2 ln(MODAL)it + β 3 ln (BARANG)it + uit dimana: lnPDRB lnPEGAWAI lnMODAL
: Produk Domestik Regional Bruto daerah ke-i tahun ke-t (%) : Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (%) : Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (%)
15 lnBARANG
αi βi
: Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (%) : intersep : koefisien regresi : kabupaten/kota Provinsi Banten : periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012 : error term
i t
uit
PPMit = α + β ln(PEGAWAI) + β ln(MODAL) + β ln(BARANG) + u 1 it 2 it 3 it it dimana: PPM lnPEGAWAI lnMODAL lnBARANG
αi βi i t
uit
: Persentase Penduduk Miskin daerah ke-i tahun ke-t (persen) : Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (%) : Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (%) : Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (%) : intersep : koefisien regresi : kabupaten/kota Provinsi Banten : periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012 : error term
GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN Keadaan Geografis Provinsi Banten merupakan daerah pemekaran yang terbentuk tahun 2000. Pada tahun 2000 Provinsi Banten terdiri dari empat kabupaten dan dua kota yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Kemudian terjadi pemekaran di wilayah Kabupaten Serang menjadi Kota Serang pada tahun 2007 dan Kabupaten Tangerang menjadi Kota Tangerang Selatan tahun 2008. Secara astronomis, Provinsi Banten terletak pada 5°-7’50”-7°1’1” Lintang Selatan dan 105°1’11” - 106°7’12” Bujur Timur. Wilayah Banten memiliki luas wilayah sebesar 9.662,92 km atau sekitar 0,51 persen dari luas wilayah Indonesia. Letak geografis Provinsi Banten berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah selatan, sebelah timur berbatasan dengan Selat Sunda dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Posisi yang strategis ini mendukung wilayah Banten pada lintas perdagangan. Wilayah bagian Selatan tepatnya di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak merupakan kawasan pertanian yang subur, sedangkan wilayah bagian utara seperti Kota Tangerang dan Cilegon merupakan pusat industri yang mendukung perekonomian Provinsi Banten.
16 Kependudukan Penduduk memiliki peranan penting dalam proses pembangunan ekonomi sebagai objek pembangunan dan sekaligus sebagai subjek pembangunan. Jumlah penduduk di kabupaten dan kota Provinsi Banten terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas), jumlah penduduk Banten pada tahun 2009 sebanyak 9.78 juta jiwa dan bertambah tahun 2012 menjadi 11.25 juta jiwa. Persebaran penduduk di Provinsi Banten tidak terkonsentrasi secara merata. Dapat dilihat pada Tabel 4, persebaran penduduk selama empat tahun terakhir masih didominasi pada beberapa daerah saja, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Jumlah penduduk Kabupaten Tangerang tahun 2012 sebanyak 3 juta jiwa dan jumlah penduduk Kota Tangerang sebesar 1.9 juta jiwa. Tingginya jumlah penduduk ini terkait dengan letak daerah Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang yang berbatasan langsung dengan Kota DKI Jakarta, sehingga menjadi daerah tujuan utama imigran. Sensus Penduduk tahun 2010 mencatat tingkat tingkat imigran masuk ke perkotaan Banten mencapai 41%, sementara untuk tingkat kabupaten/kota, Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang merupakan kota dengan tingkat migrasi masuk sebesar 66.2% dan 53.7%. Hal inilah yang menyebabkan kepadatan penduduk antar wilayah di Provinsi Banten menjadi tidak merata dan kedua daerah tersebut merupakan daerah dengan tingkat kepadatan penduduk terbesar. Tabel 2 Jumlah penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012 Kabupaten/Kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten
Jumlah Penduduk (jiwa) 2009 1 099 746 1 258 893 3 676 684 1 345 557 1 554 827 349 162 497 910
2010 1 149 610 1 204 095 2 834 376 1 402 818 1 798 601 374 559 577 785
2011 1 172 179 1 228 884 2 960 474 1 434 137 1 869 791 385 720 598 407
2012 1 181 430 1 239 660 3 050 929 1 448 964 1 918 556 392 341 611 897
1 042 026
1 290 322
1 355 926
1 405 170
9 782 779
10 632 166
11 005 518
11 248 947
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013.
Ketenagakerjaan Penduduk dapat berperan sebagai penggerak pembangunan apabila dapat menciptakan nilai tambah dalam kegiatan ekonomi. Sebaliknya, apabila jumlah penduduk banyak namun tidak disertai dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, maka akan menjadi penghambat pembangunan. Jumlah penduduk yang terserap dalam dunia kerja di Provinsi Banten tahun 2012 terus mengalami
17 peningkatan sebesar 76 187 jiwa dan penduduk yang menganggur mengalami penurunan sebesar 161 354 jiwa. Berdasarkan tabel, pada tahun 2012 Kabupaten Tangerang memiliki jumlah angkatan kerja tertinggi sebesar 1.3 juta jiwa dan persentase pengangguran sebesar 29.32%. Sedangkan Cilegon merupakan daerah yang memiliki jumlah angkatan kerja terendah di Banten sebesar 180 ribu jiwa dan persentase pengangguran sebesar 3.92%. Banten merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat pengangguran terbuka tinggi. Tahun 2012 tingkat pengangguran terbuka Banten sebesar 10.13%, nilai ini lebih tinggi dari tingkat nasional sebesar 6.14% dan DKI Jakarta sebesar 9.87%. Faktor penyebab utama tingginya tingkat pengangguran di Banten adalah urbanisasi, dimana banyak pendatang baru yang masuk ke wilayah Banten karena menganggap Banten merupakan daerah yang menjanjikan sehingga menjadi tujuan pencari kerja. Faktor penyebab lainnya adalah pertumbuhan penduduk dan ketersediaan tenaga kerja tidak sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini juga berkaitan dengan persebaran penduduk yang tidak merata di Provinsi Banten. Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak yang terletak di bagian selatan Provinsi Banten merupakan daerah pedesaan yang kegiatan perekonomiannya didominasi oleh pertanian. Tenaga kerja yang terserap pada sektor tersebut umumnya merupakan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga jumlah pengangguran di daerah tersebut relatif tinggi. Tabel 3 Penduduk bekerja, pengangguran, jumlah angkatan kerja dan bukan angkatan kerja Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2012 Angkatan Kerja (jiwa) Kabupaten/Kota Bekerja Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten
517 943 508 065 1 175 846 582 314 840 092 159 670 234 786 587 131 4 605 847
Pengangguran 53 131 50 687 152 235 86 715 76 134 20 360 28 420 51 528 519 210
Jumlah Angkatan Kerja (jiwa) 571 074 558 752 1 328 081 669 029 916 226 180 030 263 206 638 659 5 125 057
Bukan Angkatan Kerja (jiwa) 256 379 325 859 760 579 367 131 456 581 93 811 150 076 345 442 2 755 858
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013.
Sementara itu, wilayah Banten bagian utara, yaitu Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan merupakan daerah sektor perindustrian yang dominan, sehingga menjadi daerah yang menyerap banyak tenaga kerja. Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang merupakan daerah yang paling berkembang, perkembangan di daerah tersebut didukung oleh perkembangan sektor industri, perdagangan, dan sektor jasa. Dari sisi lapangan usaha, rata-rata penduduk Provinsi Banten yang bekerja di sektor industri sekitar 25% dari total penduduk yang bekerja, pembangunan proyek industri tersebut
18 menyerap tenaga kerja dengan cukup signifikan. Sektor industri sebagai sektor yang mampu menyerap tenaga kerja paling banyak diharapkan dapat memberi kontribusi dalam ketersediaan lapangan pekerjaan. Meskipun sektor industri menyerap sebagian besar tenaga kerja, jumlah penggangguran yang terdapat di Kabupaten Tangerang jumlahnya masih relatif besar. Hal ini terjadi karena jumlah angkatan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang teredia.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Banten
Miliar rupiah
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk mengukur kinerja pembangunan daerah. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, dapat digunakan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) untuk nasional dan nilai Domestik Regional bruto (PDRB) untuk tingkat daerah. Nilai PDRB yang digunakan adalah jenis PDRB atas dasar harga konstan karena tidak memperhitungkan tingkat perkembangan inflasi yang ada, sehingga PDRB atas dasar harga konstan menggambarkan pertumbuhan riil barang dan jasa pada periode tertentu. 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0
2009 2010 2011 2012
Kabupaten/Kota Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 4 PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga Konstan 2000 tahun 2009-2012 Besar kontribusi PDRB setiap wilayah di Banten menyumbang dalam pertumbuhan ekonomi regional. Gambar 4 menunjukkan bahwa Kota Tangerang merupakan daerah yang memiliki nilai PDRB tertinggi di antara kabupaten dan kota lainnya di Banten sebesar 33 428 miliar rupiah, kemudian disusul oleh Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon dengan nilai PDRB masing-masing sebesar 20 951 miliar rupiah dan 19 470 miliar rupiah. Tingginya PDRB yang dihasilkan ketiga daerah ini disebabkan oleh pusat perekonomian dan pusat industri yang berada di wilayah tersebut. Sementara itu kabupaten dan kota
19
Disribusi Sektoral
lainnya memiliki nilai PDRB kurang dari 10 000 miliar rupiah. Kabupaten Pandenglang dan Kabupaten Lebak merupakan pusat sentra kegiatan pertanian. Nilai tambah pada sektor pertanian yang relatif kecil dibandingkan dengan nilai tambah sektor industri menyebabkan kecilnya nilai PDRB yang dihasilkan kedua daerah tersebut. Besar nilai PDRB Banten tidak terlepas dari peran sektor-sektor yang menyumbang nilai PDRB tersebut. Karakteristik alam, sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda pada masing-masing wilayah menyebabkan produktivitas ekonomi yang dihasilkan juga berbeda. Nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu sektor menunjukan tingkat ketergantungan suatu daerah pada sektor tersebut. Semakin besar nilai tambah suatu sektor, maka tingkat ketergantungannya pun semakin besar. Nilai PDRB Banten sangat dipengaruhi oleh tiga sektor yang memiliki kontribusi paling besar, yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor transportasi dan komunikasi. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Jasa-jasa Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Pengangkutan dan Komunikasi Perdagangan, Hotel dan Restoran Bangunan Listrik, Gas dan Air Bersih Industri Pengolahan Pertambangan dan Penggalian
Kabupaten/Kota Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 5 Distribusi PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2012 Gambar 5 menjelaskan besaran persentase kontribusi setiap sektor dalam PDRB kabupaten dan kota Provinsi Banten pada tahun 2012. Sektor pertanian menyumbang kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak dengan besaran diatas 30%. Sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki kontribusi terbesar kedua sebesar 25% dan sektor jasa memiliki kontribusi sebesar 12%. Kemiripan nilai PDRB yang dihasilkan kedua daerah ini disebabkan oleh letak geografis kedua daerah yang berada di bagian selatan Provinsi Banten dan merupakan pusat kegiatan pertanian. Sementara itu Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon menyumbang nilai PDRB sektor industri dengan besaran diatas 45%. Keempat daerah ini merupakan pusat kegiatan industri yang menjadi penggerak utama perekonomian Banten dari sisi sektoral hingga saat ini. Nilai PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran di Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan menyumbang kontribusi diatas 25%. Besar nilai PDRB yang dihasilkan sektor tersebut dipengaruhi oleh letak strategis kedua wilayah ini yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta.
20 Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tingkat kesejahteraan daerah dapat diukur dari persentase penduduk miskin di daerah tersebut. Jumlah penduduk miskin di Banten tahun 2012 mencapai 648 ribu jiwa dan menurun sebesar 42 ribu jiwa dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada tahun 2011 yang sebesar 690 ribu jiwa. Apabila dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Banten selalu berada dibawah angka nasional, hal ini menunjukkan tingkat kemiskinan di Banten jauh lebih baik dibandingkan tingkat nasional dengan tren yang menurun sejak tahun 2009 hingga tahun 2012. Tabel 5 menunjukkan sebaran kemiskinan berdasarkan kabupaten dan kota di Banten masih terpusat di Banten bagian selatan, yakni Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang. Tahun 2012 persentase penduduk miskin di Kabupaten Pandeglang sebesar 110 ribu jiwa dengan persentase penduduk miskin 9.27%. Sementara itu, Kota Tangerang Selatan memiliki persentase penduduk miskin yang terkecil sebesar 1.33% dengan jumlah penduduk miskin 18 ribu jiwa. Tabel 4 Persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012 Kabupaten/Kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
Persentase Penduduk Miskin (%) 2009 2010 2011 2012 12.01 11.14 9.80 9.27 10.63 10.38 9.20 8.62 6.55 7.18 6.42 5.71 5.8 6.34 5.63 5.28 6.42 6.88 6.14 5.55 4.14 4.46 3.98 3.81 6.19 7.03 6.25 5.69 1.75 1.67 1.50 1.33
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013
Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Selain upaya memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan penanggulangan kemiskinan juga terkait dengan bagaimana mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan yang terkait dengan kesejahteraan penduduk miskin. Nilai indeks (P1) menunjukkan rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, maka semakin besar rata-rata kesenjangan terhadap garis kemiskinan. Indeks ini digunakan sebagai dasar penghitungan berapa subsidi yang diperlukan untuk mengentaskan penduduk miskin. Sementara itu nilai indeks (P2) menunjukkan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Serang mengalami penurunan pada tahun 2012. Penurunan indeks (P1) di tahun 2012 menunjukkan rata-rata jarak kedalaman kemampuan konsumsi penduduk miskin di wilayah tersebut bergerak naik mendekati garis kemiskinan. Sementara itu Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kota Cilegon dan Kota
21 Tangerang Selatan mengalami peningkatan, yang artinya rata-rata jarak kedalaman kemampuan konsumsi penduduk miskin di wilayah tersebut bergerak turun menjauhi garis kemiskinan. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kabupaten Serang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan mengalami peningkatan di tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa variasi pengeluaran konsumsi penduduk miskin di ketiga wilayah tersebut semakin tidak merata atau ketimpangannya semakin tinggi. Sementara itu, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Serang mengalami penurunan, yang artinya variasi pengeluaran konsumsi penduduk miskin di wilayah tersebut semakin merata atau ketimpangannya semakin menurun. Tabel 5 Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2) Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012 Kabupaten/Kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) 2009 2010 2011 2012 1.33 1.20 1.51 1.20 1.29 2.34 1.45 1.18 1.02 1.31 1.09 0.78 0.64 0.74 0.61 0.75 1.21 1.10 0.85 0.67 0.48 0.84 0.37 0.63 0.67 1.06 0.81 0.74 0.37
0.35
0.09
0.14
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) 2009 2010 2011 2012 0.22 0.23 0.36 0.30 0.24 0.27 0.37 0.24 0.23 0.36 0.29 0.21 0.12 0.13 0.12 0.15 0.34 0.45 0.18 0.13 0.10 0.22 0.09 0.14 0.12 0.23 0.17 0.16 0.12
0.11
0.01
0.03
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013.
Seperti yang dapat dilihat pada tabel 4 dan 5, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki tingkat kemiskinan dan nilai indeks kemiskinan yang relatif tinggi dibandingkan dengan kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Banten. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab kemiskinan di Banten yang terpusat pada kedua daerah tersebut. Pertama, rendahnya pendidikan sebagian masyarakat mendorong kemiskinan di Banten. Berdasarkan publikasi Bank Indonesia, pada tahun 2009 lebih dari 50% penduduk miskin di Banten tidak lulus Sekolah Dasar (SD) dan tingginya jumlah anak putus sekolah mencapai 9 ribu siswa serta penduduk buta huruf mencapai 500 ribu orang. Kedua, penurunan kontribusi sektor pertanian di pedesaan juga mendorong kemiskinan tersebut, dimana rata-rata pekerja pertanian di desa berpendidikan rendah dan sektor industri tidak tumbuh di daerah-daerah selatan Banten karena keterbatasan akses dan infrastruktur yang kurang memadai. Ketiga, inflasi yang tinggi di Banten selatan menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Inflasi ini disebabkan oleh buruknya infrastruktur jalan menuju Banten Selatan sehingga distribusi barang menjadi mahal dan langka. Jenis kemiskinan yang dialami Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak merupakan kemiskinan rural atau kemiskinan pedesaan. Kemiskinan ini
22 terjadi terutama di negara berkembang karena kegiatan utamanya merupakan kegiatan pertanian yang memiliki nilai tambah sektoral yang relatif kecil. Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Banten Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK), rata-rata alokasi belanja pegawai di Kabupaten dan Kota Provinsi Banten tahun 2012 sebesar 50%, namun Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan memiliki alokasi belanja pegawai kurang dari 50%. Penyerapan anggaran belanja pegawai rata-rata mencapai 96% dari total pagu anggaran. Tingkat penyerapan ini berada di atas rata-rata penyerapan anggaran belanja pegawai tingkat nasional yang sebesar 95.67%. Penyerapan anggaran belanja pegawai mempunyai sifat yang konstan sesuai dengan jadwal pembayaran gaji secara rutin setiap bulan. Tingkat penyerapan belanja pegawai hampir tidak pernah mengalami permasalahan. Kenaikan maupun penurunan realisasi belanja tidak tergantung pada kelancaran pelaksanaan kegiatan, namun hanya karena kenaikan jumlah pegawai maupun kenaikan angka gaji per pegawai. Lonjakan realisasi belanja pegawai biasanya terjadi pada bulan tertentu yang disebabkan karena kenaikan gaji pokok dan pembayaran gaji ke-13. Belanja barang mempunyai sifat yang berbeda bila dibandingkan dengan belanja pegawai. Alokasi belanja barang berkisar antara 13% hingga 30% dari total belanja. Pelaksanaan pembangunan masing-masing daerah tergantung kebijakan pemerintah daerah yang dimanifestasikan dalam alokasi belanja daerah. Sebab pada dasarnya alokasi belanja yang disusun mencerminkan pola-pola kebijakan, prioritas-prioritas dan program-program untuk setiap tahun (Priyarsono, 2008) 100%
persentase alokasi
90% 80%
B.Lainnya
70% 60% B.Barang &Jasa
50% 40% 30%
B.Modal
20% 10% B.Pegawai
0%
Kabupaten/kota Sumber: DJPK Kementrian Keuangan, 2013 (diolah).
Gambar 6 Struktur alokasi belanja pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2012 Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk belanja modal. Belanja modal yang
23 dilakukan oleh pemerintah daerah dapat berkontribusi pada perekonomian regional apabila benar-benar diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur di daerahnya. Infrastruktur merupakan investasi penunjang yang menjadi salah satu faktor penentu pembangunan ekonomi. Belanja modal sangat erat kaitannya dengan investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Alokasi belanja modal berkisar antara 20% hingga 60% dari total belanja daerah. Kota Tangerang Selatan memiliki rasio belanja modal yang lebih besar dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Hal ini terjadi karena sejak Kota Tangerang Selatan berdiri menjadi kota sendiri, diperlukan banyak dana untuk membangun infrastruktur yang dapat mendukung pelaksanaan pembangunan ekonomi. Hal ini didukung oleh teori Rostow, yang menyatakan pada awal pembentukan daerah, alokasi belanja sebagian besar akan digunakan untuk belanja pembangunan. Untuk Kota Serang serta Kota Cilegon, belanja modal mendapat porsi yang kecil, kurang dari 20%. Hal ini disebabkan infrastruktur di kedua kota tersebut relatif sudah lebih baik dibandingkan daerah-daerah lain di Provinsi Banten. Pengeluaran pemerintah dapat dinilai berkualitas atau tidak dapat ditinjau dari besar alokasi belanja yang digunakan untuk membiayai pembangunan daerahnya. Menurut Kementrian Keuangan, kualitas belanja diartikan sebagai suatu ukuran atas belanja yang mempunyai karakteristik dengan suatu derajat ekslensi yang tinggi. Sesuai dengan prinsip keuangan negara, dalam PP No. 58 Tahun 2005 tentang asas umum pengelolaan keuangan daerah pasal 4 ayat 1, disebutkan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan dapat bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepanutan, dan manfaat untuk masyarakat. Belanja daerah lebih diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah untuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum yang layak. Maka secara umum, belanja daerah yang berkualitas merupakan kriteria belanja yang dialokasikan berdasarkan prioritas pembangunan daerah yang dilakukan secara efektif dan efisien. Berdasarkan proporsi alokasi belanja modal serta belanja barang dan jasa yang digunakan sebagai investasi pemerintah untuk pembangunan Provinsi Banten, Kota Tangerang Selatan memiliki persentase alokasi terbesar untuk belanja tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas belanja yang baik terdapat pada Kota Tangerang Selatan. Hal ini didukung oleh adanya pembangunan infrastruktur perhubungan darat yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan ekonomi di kota tersebut, sehingga rasio belanja modal terhadap total belanja tinggi. Sedangkan kualitas belanja yang kurang baik terdapat pada Kabupaten Pandeglang yang memiliki alokasi belanja pegawai paling besar dan alokasi belanja modal terendah. Kabupaten Pandeglang sendiri merupakan daerah yang sangat memerlukan keseimbangan pendanaan karena kemampuan fiskal daerahnya yang relatif kecil dan dibawah rata-rata nasional, sehingga perlu ditinjau kembali mengenai alokasi belanja yang diperlukan untuk membantu pembangunan.
24 3,500 3,000
Miliar rupiah
2,500 2,000
B. Pegawai B. Modal
1,500
B. Barang 1,000
B. Lainnya
500 0 2009
2010
2011 Tahun
2012
2013
Sumber: DJPK Kementrian Keuangan, 2013 (diolah).
Gambar 7 Realisasi belanja daerah Provinsi Banten tahun 2009-2013 Dapat dilihat pada Gambar 7, realisasi belanja pemerintah Provinsi Banten memiliki alokasi yang berbeda dengan realisasi belanja pemerintah kabupaten dan kota. Pada tahun 2012 dan 2013 proporsi belanja terbesar adalah belanja lainnya. Realisasi belanja barang mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun 2011, namun mengalami penurunan di tahun 2012. Sementara itu realisasi belanja modal mengalami penurunan di tahun 2011 dan kembali menunjukkan tren meningkat di tahun 2012 dan kembali menurun di tahun 2013. Meskipun proporsi belanja modal mengalami penurunan, nilai riilnya relatif stagnan pada kisaran 800 miliar rupiah. Realisasi belanja pegawai pemerintah provinsi menunjukkan alokasi yang relatif rendah dibandingkan dengan alokasi belanja pemerintah kabupaten dan kota. Alokasi belanja yang besar justru ditunjukkan oleh peningkatan belanja lainnya yang signifikan. Proporsi belanja lainnya pada tahun 2012 dan 2013 untuk belanja hibah senilai 1.3 triliun rupiah. Sementara itu alokasi untuk belanja bagi hasil pada tahun 2013 meningkat menjadi 1.3 triliun rupiah. Alokasi belanja bantuan keuangan menurun menjadi 36 miliar rupiah. Belanja bantuan keuangan dialokasikan untuk bantuan keuangan kepada kabupaten/kota dan pemerintahan desa. Menurut laporan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD), alokasi belanja hibah sebagian diperuntukkan bagi bantuan operasional sekolah dan sebagian lainnya disalurkan kepada penerima dana hibah yang diusulkan melalui satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Penggunaan belanja hibah senantiasa mengandung berbagai permasalahan, terutama dalam sistem akuntabilitasnya.pemberian dana hibah harus disertai dengan sinkronisasi kebijakan agar tidak terjadi tumpang-tindih dan perlu pengawasan ketat agar tepat sasaran.
25 Belanja Bantuan Keuangan 14% (410 miliar)
Belanja Bantuan Keuangan 7% (190 miliar)
2012
Belanja Hibah 44% (1.2 triliun) Belanja Bagi Hasil 41% (1.1 triliun)
Belanja Bantuan Sosial 1% (39 miliar)
Belanja Bagi Hasil 46% (1.3 triliun)
2013
Belanja Hibah 46% (1.3 triliun)
Belanja Bantuan Sosial 1% (36 miliar)
Sumber: DJPK Kementrian Keuangan, 2013 (diolah).
Gambar 8 Komposisi belanja lainnya Provinsi Banten tahun 2012 dan 2013 Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Analasis data panel dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk menentukan model yang akan digunakan, dilakukan uji kesesuaian model. Variabel bebas yang digunakan adalah belanja pegawai (PEGAWAI), belanja barang dan jasa (BARANG), dan belanja modal (MODAL). Uji Chow dilakukan untuk memilih model yang terbaik antara pooled least square dan fixed effect. Hasil Uji Chow diperoleh nilai probabilitas (0.0000) lebih kecil dari α = 5%, sehingga menolak hipotesis nol untuk menggunakan pooled least square dan menerima hipotesis untuk menggunakan fixed effect. Selanjutnya dilakukan Uji Hausman untuk memilih model Fixed Effect dan random effect. Hasil Uji Hausman menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0012 signifikan pada taraf nyata lima persen (p-value < 5%), sehingga dapat diputuskan tolak H0 dan menerima hipotesis untuk menggunakan fixed effect. Perbandingan hasil Uji Chow dan Uji Hausman dapat dilihat pada tabel 6. Berdasarkan hasil estimasi untuk melihat pengaruh belanja daerah Tabel 6 Uji model pertumbuhan ekonomi terbaik (Pooled Least Square, Fixed Effect Model, dan Random Effect Model) Uji Model Terbaik Uji Chow Uji Hausman
Probabilitas Chi-Square 0.0000 0.0012
terhadap pertumbuhan ekonomi menggunakan metode fixed effect, diperoleh nilai R² sebesar 0.998249. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan oleh variabel bebas sebesar 99.8249% sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistik yang
26 signifikan yaitu pada tingkat α = 5% yaitu sebesar 0.000000 yang artinya masingmasing variabel berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Hasil estimasi model dapat dilihat pada tabel 7. Tahap selanjutnya adalah menguji apakah model memenuhi asumsi model linear klasik atau tidak, yang artinya model tersebut terbebas dari masalah multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas, serta apakah residual error terdistribusi normal dalam model. Tahap uji asumsi yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Multikolinearitas Untuk melihat ada atau tidaknya multikolinearitas dapat dilihat dari nilai matriks korelasi antar variabel bebas. Berdasarkan hasil pengujian, nilai masingmasing koefisien korelasi antar peubah bebas tidak lebih besar dari 0.8 yang merupakan rule of thumb dari ada atau tidaknya multikolinearitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah multikolinearitas yang artinya tidak ada hubungan linier antara peubah bebas. Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada Lampiran 4. 2. Autokorelasi Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh pada tabel, diperoleh nilai statistik Durbin-Watson sebesar 1.560497 pada tabel Durbin-Watson dengan taraf nyata lima persen, untuk n = 32 dan k = 3 maka diperoleh nilai batas bawah (DL) sebesar 1.244 dan batas atas (Du) sebesar 1.650. Syarat model terbebas dari masalah autokorelasi, nilai statistik Durbin-Watson harus berada diantara nilai (DU < DW < 4 - DU) atau berada pada selang 1.244 < DW < 2.756 oleh karena itu dapat disimpulkan model tidak mengalami autokorelasi positif atau negatif. 3. Heteroskedastisitas Berdasarkan hasil estimasi menggunakan metode Generalized Least Square (GLS) pada tabel, nilai Sum squared resid (SSR) weighted sebesar 0.168780 lebih kecil dari nilai Sum squared resid (SSR) unweighted sebesar 0.185775, sehingga dapat dikatakan bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas yang berartivariansi error bersifat konstan. Menurut Winarno (2007), heteroskedastisitas dapat menyebabkan estimator tidak lagi BLUE karena mempunyai varians yang minimum, perhitungan standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena estimasi regresi yang dihasilkan tidak efisien serta uji hipotesis yang didasarkan pada uji F tidak dapat dipercaya. Jika model mengalami masalah ini, dengan menggunakan metode Generalized Least Square (GLS) atau cross-section weighting masalah sudah teratasi. 4. Normalitas Berdasarkan hasil estimasi Fixed Effect Model, nilai probabilitas JarqueBera sebesar 0.204141. Nilai probabilitas tersebut lebih besar dari nilai α = 5%, maka dapat disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk menolak H0 yang artinya residual error terdistribusi normal dalam model. Hasil uji normalitas disajikan pada lampiran 5.
27 Tabel 7 Hasil estimasi Fixed Effect Model pada model pertumbuhan ekonomi Variabel LNPEGAWAI LNMODAL LNBARANG C R-squared Adjusted R-squared Prob(F-statistic) Sum squared resid weighted Sum squared resid unweighted Durbin-Watson stat
Koefisien -0.018705 0.068912 0.063792 27.55154
Probabilitas 0.3646 0.0006 0.0081 0.0000 0.998249 0.997416 0.000000 0.168780 0.185775 1.560497
Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh pada tabel 7, variabel belanja pegawai tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien sebesar -0.018705. walaupun tidak signifikan pada taraf nyata 5% maupun taraf nyata 10%, pengaruhnya negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian, dimana kenaikan jumlah belanja pegawai justru akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut disebabkan oleh komposisi jenis belanja pegawai yang bersifat tidak produktif, seperti belanja tunjangan pegawai. Belanja pegawai sebagai komposisi pengeluaran konsumsi pemerintah hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja yaitu pegawai negeri sipil (PNS) dan tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan publik sehingga peningkatan belanja pegawai tidak berdampak pada peningkatan output sehingga tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Banten. Hasil penelitian didukung oleh hasil penelitian Barro (1991) yang mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah memiliki dampak yang negatif terhadap pertumbuhan. Hasil estimasi menunjukkan variabel belanja modal serta variabel belanja barang dan jasa secara signifikan positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada taraf nyata 5%. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian, dimana belanja modal dan barang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Nilai koefisien variabel belanja modal adalah sebesar 0.068912, artinya kenaikan satu persen belanja modal dapat langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Banten sebesar 0.069% dengan asumsi ceteris paribus. Sedangkan nilai koefisien belanja barang dan jasa sebesar 0.063792 memiliki pengertian, setiap kenaikan satu persen belanja barang dan jasa secara langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Banten sebesar 0.064% dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini menunjukkan hasil estimasi yang sesuai dengan hipotesis yaitu peningkatan belanja modal dan belanja barang dan jasa menyebabkan pertumbuhan ekonomi meningkat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Barro (1990) dan penelitian Folster dan Henrekson (1999) yang menyatakan bahwa kontribusi pengeluaran yang produktif memiliki hubungan positif terhadap pertumbuhan, dan sebaliknya pengeluaran yang tidak produktif memiliki hubungan yang negatif terhadap pertumbuhan.
28 Belanja modal serta belanja barang dan jasa akan secara langsung berdampak positif terhadap pertumbuhan. Jenis belanja yang termasuk dalam jenis belanja barang dan jasa adalah belanja pengadaan barang dan belanja pemeliharaan serta perbaikan. Apabila suatu barang diinvestasi dan dipelihara dengan baik, maka akan menambah jangka waktu operasi barang tersebut. Sementara belanja modal yang dilakukan untuk belanja investasi dengan sifatnya yang tidak habis pakai akan menambah modal dan berpengaruh langsung pada penambahan PDRB. Semakin tinggi angka rasionya, semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sodik (2007), yang menemukan pengeluaran investasi pemerintah daerah berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Belanja modal serta belanja barang dan jasa merupakan proxy dari pengeluaran pembangunan yang bersifat produktif. Penelitian yang dilakukan Barro (1991) juga mendukung bahwa pengeluaran investasi memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Teori Rostow dan Musgrave yang menyatakan bahwa pada tahap pembangunan diperlukan investasi pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Investasi pemerintah yang dimaksud adalah belanja modal serta belanja barang dan jasa. Berdasarkan hasil analisis, jenis belanja yang memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi adalah belanja modal dan belanja barang dan jasa. Hal ini berarti apabila ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka alokasi belanja modal serta barang dan jasa perlu mendapat perhatian lebih. Dengan adanya peningkatan belanja modal serta barang dan jasa maka porsi belanja untuk pembangunan fasilitas pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur akan semakin besar, sehingga dapat memperlancar proses kegiatan ekonomi dan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Banten. Penyerapan belanja modal melalui pembangunan infrastruktur akan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi sehingga menghasilkan output yang lebih besar. Semakin pesat pertumbuhan perekonomian Banten, akan mendorong pemerintah daerah Provinsi Banten untuk memperbaiki struktur APBD. Melalui alokasi yang lebih besar untuk anggaran belanja modal dan belanja barang dan jasa akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkepanjangan. Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan Analisis data panel yang kedua dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap kemiskinan. Pada hasil Uji Chow diperoleh nilai probabilitas (0.0000) lebih kecil dari α = 5%, sehingga menerima hipotesis untuk menggunakan fixed effect. Pada hasil Uji Hausman menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.6712. Karena nilai p-value lebih besar dari taraf nyata lima persen maupun sepuluh persen, maka diputuskan tidak cukup bukti untuk menolak H0 dan menerima hipotesis untuk menggunakan model random effect. Perbandingan hasil Uji Chow dan Uji Hausman dapat dilihat pada tabel 8.
29 Tabel 8 Uji model kemiskinan terbaik (Pooled Least Square, Fixed Effect Model, dan Random Effect Model) Uji Model Terbaik Uji Chow Uji Hausman
Probabilitas Chi-Square 0.0000 0.6712
Hasil estimasi untuk melihat pengaruh belanja daerah terhadap kemiskinan dapat dilihat pada tabel. Berdasarkan hasi estimasi, diperoleh nilai R² pada Random Effect Model sebesar 0.721909. Hal ini menunjukkan keragaman persentase penduduk miskin dapat dijelaskan oleh variabel belanja daerah sebesar 0.72%, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Penggunaan Random Effect Model menyatakan bahwa minimal terdapat satu di antara variabel belanja daerah yang signifikan mempengaruhi persentase penduduk miskin. Hal tersebut didasari oleh nilai F-statistik (0.0000) yang signifikan pada taraf nyata lima persen. Uji kriteria ekonometrika dilakukan untuk menguji asumsi klasik yang ada seperti normalitas, multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. Tahap uji asumsi yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Multikolinearitas Berdasarkan hasil pengujian multikolinearitas, nilai masing-masing koefisien korelasi antar peubah bebas tidak lebih besar dari 0.8 (rule of thumb) dan R². Sehingga dapat disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah multikolinearitas yang artinya tidak ada hubungan linier antara peubah bebas. Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada Lampiran 9. 2. Autokorelasi Berdasarkan hasil estimasi model random effect, diperoleh nilai statistik Durbin-Watson sebesar 1.822662. Syarat model terbebas dari masalah autokorelasi, dengan nilai statistik Durbin-Watson berada diantara (DU < DW < 4 - DU) atau berada pada selang 1.244 < DW < 2.756 terpenuhi, maka dapat disimpulkan model tidak mengalami masalah autokorelasi. 3. Heteroskedastisitas Berdasarkan hasil estimasi pada tabel, nilai Sum squared resid (SSR) weighted sebesar 6.517820 lebih kecil dari nilai Sum squared resid (SSR) unweighted sebesar 201.4148, sehingga dapat disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas yang artinya variansi error bersifat konstan. 4.
Normalitas Berdasarkan hasil estimasi, nilai probabilitas Jarque-Bera sebesar 0.480845 lebih besar dari nilai α = 5%, maka dapat disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk menolak H0 yang artinya residual error terdistribusi normal dalam model. Hasil uji normalitas disajikan pada lampiran 10.
30 Tabel 9 Hasil estimasi Random Effect Model pada model kemiskinan Variabel LNPEGAWAI LNMODAL LNBARANG C R-squared Adjusted R-squared Prob(F-statistic) Sum squared resid weighted Sum squared resid unweighted Durbin-Watson stat
Koefisien 0.150669 -0.762993 -1.136091 39.96471
Probabilitas 0.5744 0.0016 0.0000 0.0000 0.721909 0.692113 0.000000 6.517820 201.4148 1.822662
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 9, dapat dilihat bahwa variabel belanja pegawai tidak berpengaruh signifikan terhadap persentase penduduk miskin dengan koefisien sebesar 0.150669. Selain tidak signifikan pada taraf nyata 5% maupun taraf nyata 10%, pengaruhnya positif terhadap persentase penduduk miskin, sehingga kenaikan jumlah belanja pegwai justru akan meningkatkan persentase penduduk miskin. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian, dimana kenaikan jumlah belanja pegawai justru akan meningkatkan presentase penduduk miskin. Belanja pegawai sebagai komposisi pengeluaran konsumsi pemerintah hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja yaitu pegawai negeri sipil (PNS) dan tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan publik. Peningkatan belanja pegawai tidak dapat meningkatkan daya beli masyarakat sehingga tidak berpengaruh pada penurunan penduduk miskin. Sementara itu, hasil estimasi untuk belanja modal dan belanja barang dan jasa berpengaruh negatif signifikan terhadap persentase penduduk miskin di Banten. Nilai koefisien dari belanja modal adalah sebesar -0.762993, hal ini berarti bahwa kenaikan satu persen alokasi belanja modal akan menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 0.76%. Sementara itu, nilai koefisien untuk belanja barang dan jasa sebesar -1.136091, artinya kenaikan satu persen alokasi belanja barang dan jasa akan menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 1,14%. Hal ini juga sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa bertambahnya jumlah alokasi belanja modal dan belanja pegawai akan mengurangi persentase penduduk miskin Provinsi Banten. Berdasarkan ketiga jenis belanja yang dibahas pada penelitian, belanja barang dan jasa memiliki pengaruh paling besar terhadap pengurangan kemiskinan dibandingkan dengan belanja modal. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur dan fasilitas publik seperti rumah sakit dan sekolah di kabupaten dan kota Provinsi Banten lebih memerlukan perbaikan dibandingkan dengan pembangunan gedung-gedung baru. Hal ini juga sesuai dengan kondisi fasilitas umum dan infrastruktur yang kurang memadai di kabupaten dan kota Provinsi Banten, terutama di bagian selatan Provinsi Banten yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.
31 Rasio penurunan penduduk miskin mencerminkan korelasi antara pertumbuhan belanja kesejahteraan dibandingkan dengan penurunan persentase penduduk miskin. Secara ideal, rasio pertumbuhan belanja modal dan barang bertolak belakang dengan penurunan penduduk miskin. Dengan adanya peningkatan belanja modal dan belanja barang, maka alokasi yang digunakan untuk pengadaan infrastruktur publik semakin meningkat. Adanya peningkatan fasilitas kesehatan dan pendidikan akan meningkatkan taraf hidup masyarakat sehingga akan berdampak pada peningkatan pendapatan dan tingkat kemiskinan akan menurun. Belanja pemerintah daerah diharapkan akan mendorong pengentasan kemiskinan dengan penyediaan kebutuhan masyarakat melalui pelayanan publik. Semakin tinggi rasio belanja modal terhadap total belanja, maka semakin besar dampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai pengaruh belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan Provinsi Banten, dapat disimpulkan bahwa: 1. Perkembangan PDRB selama kurun waktu 2009-2012 di kabupaten dan kota Provinsi Banten semakin meningkat dan didukung oleh tiga sektor utama yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor transportasi dan komunikasi. Perkembangan kemiskinan selama kurun waktu 2009-2012 di kabupaten dan kota Provinsi Banten mengalami penurunan namun Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki tingkat kemiskinan dan nilai indeks kemiskinan tertinggi. Sementara itu perkembangan belanja pemerintah selama kurun waktu 2009-2012 di kabupaten dan kota Provinsi Banten mengalami peningkatan dengan alokasi terbesar untuk belanja pegawai, kemudian belanja modal dan belanja barang. Kualitas belanja daerah yang baik terdapat pada Kota Tangerang Selatan, dengan rasio belanja modal tertinggi, sementara kualitas belanja yang kurang baik terdapat pada Kabupaten pandeglang dengan rasio belanja modal terendah dan alokasi belanja pegawai tertinggi di Banten. 2. Belanja modal dan belanja barang dan jasa sebagai bentuk investasi pemerintah memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, karena dengan alokasi yang besar akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Banten. Belanja modal dan belanja barang dan jasa berpengaruh negatif dan signifikan terhadap persentase penduduk miskin, sehingga peningkatan belanja modal dan barang akan mengurangi persentase penduduk miskin. Sedangkan belanja pegawai sebagai bentuk konsumsi pemerintah tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan.
32 Saran 1. Perlu dihitung jumlah pegawai negeri sipil daerah (PNSD) ideal di Kabupaten/Kota Provinsi Banten yang hasilnya akan digunakan sebagai dasar dalam alokasi belanja pegawai maksimal. Hal ini perlu dilakukan untuk penyesuaian alokasi belanja, sehingga dapat memperbesar porsi belanja modal dalam APBD yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Penyerapan belanja modal melalui pembangunan infrastruktur akan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan kegiatan perekonomian. 2. Perlunya upaya pemerintah daerah untuk menyelaraskan pola alokasi belanja ke daerah dengan target kesejahteraan masyarakat. Usaha untuk pencapaian target tersebut dapat berupa pembangunan serta perbaikan fasilitas publik dan infrastruktur di daerah yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Alokasi belanja modal dan belanja barang yang besar diharapkan dapat memacu produktivitas tenaga kerja sehingga dapat menekan tingkat kemiskinan di daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA [BI] Bank Indonesia. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Banten. http://www.bi.go.id [3 Maret 2014] [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Banten Dalam Angka, Berbagai Edisi. Banten (ID). BPS Provinsi Banten. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. PDRB Kabupaten/Kota di Indonesia, Berbagai Edisi. Jakarta (ID). BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Keuangan Pemerintahan, Berbagai Edisi. Jakarta (ID). BPS. [Kementrian Keuangan RI] Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Daerah Kementrian Keuangan RI. 2013. Realisasi APBD, Berbagai edisi. Jakarta (ID). Kementrian Keuangan RI. [Kementrian Keuangan RI] Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. 2013. Deskripsi dan Analisis APBD 2012. Jakarta (ID). Kementrian Keuangan RI. Barro, Robert J. 1990. Government Spending in a simple Model of Endogenous Growth. [Jurnal]. Journal of Political Economy. Barro, Robert J. 1991. Economic Growth in a Cross section of Countries. [Jurnal]. Journal of Economy. Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID): IPB Pr. Gujarati, D.N. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika Ed Ke-3. Julius A Mulyadi [penerjemah]. Jakarta (ID): Erlangga. Haryanto, T. P. 2013. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2011. [Jurnal]. Economic Development Analysis Journal [IPB] Institut Pertanian Bogor. 2012. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Ed Ke-3. Bogor (ID): IPB Pr.
33 Jhingan, M.L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. D. Guritno [penerjemah]. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Pr. Juanda B, Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu. Bogor (ID): IPB Pr. Makrifah, S. A. 2009. Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya terhadap Pembangunan Ekonomi di Era Desentralisasi Fiskal [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi Ed Ke-5. Imam Nurmawan [penerjemah]. Jakarta (ID): Erlangga. Saidah, Nur. 2010. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertinggal [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sodik, J. 2007. “Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional”. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 12 (1): 27-36. Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Todaro MP, Stephen CS. 2006. Pembangunan Ekonomi Ed Ke-9. Haris Munandar [penerjemah]. Jakarta (ID): Erlangga. [RI]. Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Jakarta (ID): RI [RI]. Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta (ID): RI [RI]. Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): RI [RI]. Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta (ID): RI
34
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Uji Chow pada model Pertumbuhan Ekonomi Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F
514.096139
d.f.
Prob.
(7,21)
0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: LNPDRB Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/17/14 Time: 13:14 Sample: 2009 2012 Periods included: 4 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 32 Use pre-specified GLS weights Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPEGAWAI LNMODAL LNBARANG C
0.662973 0.135734 0.120180 12.74988
0.156157 0.172706 0.226143 2.424120
4.245541 0.785926 0.531436 5.259590
0.0002 0.4385 0.5993 0.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.698252 0.665922 1.019310 21.59760 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
65.35785 33.82964 29.09179 0.820232
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.524614 9.449022
Mean dependent var Durbin-Watson stat
29.74656 0.538545
35 Lampiran 2 Hasil Uji Hausman pada model Pertumbuhan Ekonomi Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
15.803250
3
0.0012
Random
Var(Diff.)
Prob.
-0.004097 0.082974 0.067689
0.000039 0.000013 0.000004
0.0007 0.3397 0.5262
Test Summary Cross-section random
Cross-section random effects test comparisons: Variable LNPEGAWAI LNMODAL LNBARANG
Fixed -0.025246 0.086427 0.066373
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LNPDRB Method: Panel Least Squares Date: 05/17/14 Time: 13:19 Sample: 2009 2012 Periods included: 4 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 32 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNPEGAWAI LNMODAL LNBARANG
27.28587 -0.025246 0.086427 0.066373
0.807215 0.050298 0.041374 0.043034
33.80248 -0.501934 2.088924 1.542350
0.0000 0.6209 0.0491 0.1379
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.990764 0.986366 0.093497 0.183574 37.16796 225.2784 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
29.74656 0.800736 -1.635498 -1.131651 -1.468487 1.500497
36 Lampiran 3 Hasil Estimasi pada model Pengaruh belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan model Fixed Effect Dependent Variable: LNPDRB Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/11/14 Time: 23:06 Sample: 2009 2012 Periods included: 4 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 32 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPEGAWAI LNMODAL LNBARANG C
-0.018705 0.068912 0.063792 27.55154
0.020186 0.017210 0.021811 0.341583
-0.926644 4.004072 2.924715 80.65844
0.3646 0.0006 0.0081 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.998249 0.997416 0.089650 1197.470 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
65.35785 33.82964 0.168780 1.560497
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.990654 0.185775
Mean dependent var Durbin-Watson stat
29.74656 1.432534
37 Lampiran 4 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Pertumbuhan Ekonomi Covariance Analysis: Ordinary Date: 05/11/14 Time: 23:10 Sample: 2009 2012 Included observations: 32 Correlation LNPDRB LNPEGAWAI LNMODAL LNBARANG
LNPDRB LNPEGAWAI 1.000000 0.750274 1.000000 0.555597 0.723419 0.527655 0.634383
LNMODAL
LNBARANG
1.000000 0.620433
1.000000
Lampiran 5 Hasil Uji Normalitas pada model Pertumbuhan Ekonomi 9
Series: Standardized Residuals Sample 2009 2012 Observations 32
8 7 6 5 4 3
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
3.02e-16 -0.222185 1.264871 -0.986570 0.749302 0.406020 1.686985
Jarque-Bera Probability
3.177890 0.204141
2 1 0 -1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
38 Lampiran 6 Hasil Uji Chow pada model Kemiskinan Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F
190.842601
d.f.
Prob.
(7,21)
0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: PPM Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/17/14 Time: 13:24 Sample: 2009 2012 Periods included: 4 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 32 Use pre-specified GLS weights Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNBP LNBM LNBB C
-1.400380 1.336810 -0.286202 10.22458
1.062438 0.948253 1.029432 16.25157
-1.318081 1.409761 -0.278020 0.629144
0.1982 0.1696 0.7830 0.5344
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.075126 -0.023968 3.428281 0.758129 0.527050
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
9.312343 5.315609 329.0870 0.206898
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
-0.227023 270.2006
Mean dependent var Durbin-Watson stat
6.446875 0.190172
39 Lampiran 7 Hasil Uji Hausman pada model Kemiskinan Dependent Variable: PPM Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 05/17/14 Time: 13:24 Sample: 2009 2012 Periods included: 4 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 32 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNBP LNBM LNBB C
0.150669 -0.762993 -1.136091 39.96471
0.265114 0.218674 0.227872 4.385192
0.568316 -3.489187 -4.985652 9.113559
0.5744 0.0016 0.0000 0.0000
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
2.965419 0.495489
Rho 0.9728 0.0272
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.721909 0.692113 0.482472 24.22878 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.536731 0.869514 6.517820 1.822662
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.085344 201.4148
Mean dependent var Durbin-Watson stat
6.446875 0.058982
40 Lampiran 8 Hasil Estimasi pada model Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan Provinsi Banten dengan model Random Effect Dependent Variable: PPM Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 05/11/14 Time: 22:57 Sample: 2009 2012 Periods included: 4 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 32 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNBP LNBM LNBB C
0.150669 -0.762993 -1.136091 39.96471
0.265114 0.218674 0.227872 4.385192
0.568316 -3.489187 -4.985652 9.113559
0.5744 0.0016 0.0000 0.0000
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
2.965419 0.495489
Rho 0.9728 0.0272
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.721909 0.692113 0.482472 24.22878 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.536731 0.869514 6.517820 1.822662
0.085344 Mean dependent var 201.4148 Durbin-Watson stat
6.446875 0.058982
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
41 Lampiran 9 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Kemiskinan Covariance Analysis: Ordinary Date: 05/11/14 Time: 22:59 Sample: 2009 2012 Included observations: 32 Correlation PPM LNBP LNBB LNBM
PPM 1.000000 -0.344411 -0.366046 -0.201622
LNBP
LNBB
LNBM
1.000000 0.634383 0.723419
1.000000 0.620433
1.000000
Lampiran 10 Hasil Uji Normalitas pada model Kemiskinan 7
Series: Standardized Residuals Sample 2009 2012 Observations 32
6 5 4 3 2 1 0 -6
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
9.02e-15 -0.189777 3.929845 -5.263611 2.548971 -0.141911 1.991158
Jarque-Bera Probability
1.464422 0.480845
42
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Nindya Ulfilianjani, lahir di Bogor pada tanggal 5 Desember 1992. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dan merupakan putri dari pasangan Bapak Ikarianto Haryadi dan Ibu Neni Isnaeni. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Al-Azhar Jambi tahun 1998, kemudian melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SD Adhyaksa Jambi hingga tahun 2000 dan menamatkan pendidikan di SD Pengadilan 1 Bogor tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis menamatkan pendidikan di SMP Negeri 2 Bogor kemudian melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 5 Bogor dan menamatkannya tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kampus. Pada masa kepengurusan 2011-2012 penulis menjabat sebagai Bendahara Umum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) IPB Agria Swara, Ketua Coast Vocal Grup FEM IPB, dan anggota Divisi Event Organizer CEPHOT FEM IPB. Pada periode 20122013 penulis dipercaya untuk menjadi Bendahara Umum pada Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan anggota divisi Kesejahteraan Anggota UKM IPB Agria Swara. Selain aktif dalam organisasi, penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan baik yang didakan oleh Departemen, Fakultas maupun Unit Kegiatan Mahasiswa. Penulis pernah mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa Bidang Penelitian tahun 2013 dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Permintaan Peningkatan Upah Buruh : Kasus Karyawan Industri Kabupaten Bogor”.