33
IV. DINAMIKA PEMBANGUNAN SDM DI PROVINSI BANTEN 4.1. Kependudukan Provinsi Banten mempunyai luas 9.018,64 Km2. Secara administrasi wilayah ini dibagi menjadi empat kabupaten dan empat kota dan terdiri dari 154 kecamatan serta 1.535 desa/kelurahan. Wilayah Provinsi Banten berada pada batas astronomis
105.01’11”-106.07’12”BT
dan 5.07’50”-7.01’1”LS, serta
mempunyai posisi strategis pada lintas perdagangan nasional dan berbatasan langsung dengan Ibu Kota Negara. Batas wilayah Provinsi Banten adalah: sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, sebelah selatan dengan Samudera Hindia dan, Sebelah barat dengan Selat Sunda. Informasi kependudukan sangat diperlukan bagi perencanaan dan evaluasi pembangunan. Hal ini dikarenakan paradigma pembangunan telah bergeser, yang semula pembangunan hanya bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi tetapi saat ini juga peningkatan kualitas SDM. Jumlah penduduk di suatu daerah, sebenarnya merupakan suatu aset dan potensi yang besar bagi pembangunan apabila penduduk tersebut berkualitas, sebaliknya apabila jumlah penduduk yang besar tersebut mempunyai kualitas yang rendah, maka akan menjadi beban bagi proses pembangunan yang dilaksanakan. Pada Gambar 4 ditunjukkan perkembangan jumlah penduduk Banten yang terus meningkat dari tahun 1961 sampai 2009. Kecenderungan penduduk yang terus bertambah dari tahun ke tahun ini bukan hanya disebabkan pertambahan penduduk secara alamiah, tetapi juga tidak terlepas migran baru yang masuk yang disebabkan daya tarik Provinsi Banten. Daya tarik wilayah Banten, adanya daerah industri di sekitar Tangerang, Serang dan Cilegon, terutama industri pengolahan yang memberikan kontribusi 48,75 persen terhadap PDRB di provinsi ini. Penelitian Iskandar at. al., 2007 menyatakan, industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik urbanisasi yang cepat di kawasan Asia sejak dasawarsa 1980-an. Berbeda dalam kasus industri berbasis sumber daya (resource-based industries), industri manufaktur cenderung berlokasi di dalam dan di sekitar kota.
34
4,000,000 3,500,000 3,000,000
Kab. Pandeglang
2,500,000
Kab. Lebak Kab. Tangerang
2,000,000
Kab. Serang
1,500,000
Kota Tangerang
1,000,000
Kota Cilegon
500,000 1961*
1971*
1980*
1990*
2000*
2009**
Sumber : Sensus Penduduk : *, Susenas : **.
Gambar 4. Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 1961– 2009 Penduduk Provinsi Banten yang termasuk kelompok penduduk muda, dengan kelompok usia 0-14 tahun sebanyak 29,93 persen, kelompok usia 15-44 tahun sebanyak 53,66 persen, kelompok usia 45-60 tahun sebanyak 11,81 persen dan kelompok 60 tahun keatas sebanyak 4,59 persen (Gambar 5). 75+ 70-74 65-69 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14 5-9 0-4
100
50
0
0
50
100
Sumber : BPS, 2011 (data diolah)
Gambar 5. Piramida Penduduk Provinsi Banten Tahun 2010 Komposisi penduduk usia produktif yang sangat besar merupakan potensi sekaligus juga tantangan tersendiri bagi pemerintah. Penduduk usia produktif yang banyak, maka angkatan kerja juga menjadi tinggi. Angkatan kerja yang tinggi merupakan modal yang potensial untuk pembangunan daerah, jika
35
dilengkapi dengan keterampilan dan keahlian yang memadai atau berkualitas. Keberhasilan ekonomi China tidak terlepas dari SDM yang dimiliki. Penduduk yang struktur umurnya mengelompok di usia kerja dan mempunyai ketrampilan, serta adanya dukungan pemerintah yang cukup tanggap dalam merespon gejolak yang ada, yaitu dengan menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga mampu menggerakkan roda perekonomian (Manson dan Wang, 2005). Proses penciptaan lapangan pekerjaan sangat berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi angka pertumbuhan ekonomi maka semakin marak kegiatan perekonomian yang berarti semakin banyak pula tenaga kerja yang diperlukan untuk mengerakkan roda perekonomian. Untuk Provinsi Banten, gambaran tentang proporsi penduduk yang masuk dalam pasar kerja (bekerja atau mencari pekerjaan) dapat diketahui melalui angka tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) seperti yang tercantum dalam Tabel 5. Dari tabel tersebut diperoleh bahwa TPAK Banten pada tahun 2009 adalah sebesar 63,74 persen, artinya porsi penduduk usia kerja (penduduk usia 10 tahun keatas) yang terlibat dalam kegiatan ekonomi di provinsi ini hanya 63,74 persen. Jika diamati menurut wilayah, pada tahun 2009 tampak bahwa penduduk Kota Tangerang yang terlibat dalam kegiatan ekonomi mempunyai porsi paling tinggi dengan TPAK sebesar 68,51 persen. Sedangkan Kota Cilegon TPAK-nya masih dibawah 60 persen, yaitu sebesar 60,69 persen (Tabel 5). Tabel 5. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten Tahun 2008 - 2009 Kabupaten/Kota
2008
2009
Kab. Pandeglang
65,44
63,52
Kab. Lebak
67,62
67,69
Kab. Tangerang
65,89
62,12
Kab. Serang
60,14
60,78
Kota Tangerang
66,00
68,51
Kota Cilegon
59,99
60,09
Provinsi Banten
64,80
63,74
Pertumbuhan TPAK Sumber: BPS Provinsi Banten, 2009
- 1,64
36
Berkaitan dengan penduduk yang masuk dalam pasar kerja perlu dilihat juga
komposisi
pendidikan
kepala
rumah
tangga
(KRT).
KRT
yang
pendidikannya lebih tinggi, biasanya akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan di sektor unggulan karena tenaga kerja yang berpendidikan biasanya produktivitasnya relatif lebih baik. KRT yang mampu menyelesaikan pendidikan SMP/sederajat keatas, didominasi oleh Kota Tangerang, Kota Cilegon dan Kabupaten Tangerang, dengan rata-rata sebesar 72 persen, 66 persen dan 55 persen, sedangkan Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak dibawah 50 persen (Gambar 6). 90
Persen
80 70
Kab Pandeglang
60
Kab Lebak
50
Kab Tangerang
40
Kab Serang
30
Kota Tangerang
20
Kota Cilegon
10 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Sumber : BPS, 2009 (data diolah)
Gambar 6. Persentase KRT Berpendidikan SMP/Sederajat Keatas Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2002-2009 Penduduk yang berbadan sehat relatif mampu melakukan kegiatan sehariharinya lebih baik dari pada yang sakit-sakitan, sehingga produktivitasnya akan lebih baik. Salah satu ukuran besarnya penduduk yang mengalami kesakitan dapat dilihat dengan indikator angka kesakitan. Setiap tahunnya hampir semua penduduk kabupaten/kota se Provinsi Banten mengalami kenaikan dalam angka kesakitannya. Terdapat empat kabupaten yang mulai menurun angka pesakitannya pada tahun 2009, yaitu: Kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang, Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak (Gambar 7).
Persen
37
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 -
Kab Pandeglang kab Lebak kab Tangerang Kab serang Kota Tangerang Kota Cilegon
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Sumber : BPS, 2011 (data diolah)
Gambar 7. Persentase Angka Kesakitan Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun 2002 - 2009 Perkembangan pendidikan dan kesehatan tenaga kerja dan keluarganya di Provinsi Banten, sangat tergantung pada pembangunan ekonomi dari tahun awal terbentuknya provinsi ini. Pembangunan ekonomi dapat membentuk kegiatan ekonomi sehingga memungkinkan penduduk meningkatkan pendapatannya atas fungsinya sebagai tenaga kerja. Pendapatan penduduk akan semakin meningkat disaat perekonomian semakin membaik, sehingga rumah tangga dalam mengalokasikan pendapatannya untuk biaya pendidikan dan kesehatan menjadi lebih banyak. 4.2. Perkembangan Perekonomian Pembangunan ekonomi Provinsi Banten mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, selama periode 2002 sampai 2009. Pada tahun 2002 pertumbuhannya 4,11 persen dan terus meningkat menjadi 4,69 pada tahun 2009 (Gambar 8). 7 6
5.63
Persen
5.57
5.82
5.07
5 4
6.04
5.88
4.69
4.11
3 2 1 0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Sumber: BPS Provinsi Banten (data diolah), 2009
Gambar 8. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten Tahun 2002–2009
2009
38
Jika dicermati lebih lanjut pada tingkat Kabupaten/Kota, terlihat bahwa Kota Tangerang memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi, yaitu 6,32 persen per tahun, sedangkan Kabupaten Tangerang rata-rata pertumbuhan ekonominya paling rendah hanya 3,95 persen per tahun (Tabel 6). Tabel 6. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kabupaten/Kota se Provinsi Banten Tahun 2007-2009 Kabupaten/Kota
2007
2008
2009
Rata-rata
Kab. Pandeglang
4,48
4,29
3,97
4,25
Kab. Lebak
4,90
4,06
4,10
4,35
Kab. Serang
6,48
5,51
4,40
5,46
Kab. Tangerang
4,71
3,95
3,18
3,95
Kota Tangerang
6,86
6,37
5,74
6,32
Kota Cilegon
6,25
5,63
5,44
5,77
Provinsi Banten
6,04
5,77
4,69
5,50
Sumber: BPS Provinsi Banten (data diolah)
Pertumbubahan ekonomi Banten tidak terlepas dari peran sektor unggulan yaitu sektor industri. Sektor ini menyumbang lebih dari 40 persen PDRB Provinsi Banten. Sektor unggulan berikutnya adalah sektor perdagangan dan jasa (Gambar 9), namun melihat rata rata penyerapan tenaga kerja kedua sektor ini relatif sama dengan sektor yang bukan unggulan, yaitu sektor pertanian. 100% 9. JASA-JASA
90%
8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN 7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
80% 70%
6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 5. B A N G U N A N
60% 50%
4. LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH
40%
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
30%
2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
20%
1. PERTANIAN
10% 0% 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006 2007
2008
Sumber: BPS Provinsi Banten (data diolah) Gambar 9. Persentase Distribusi sembilan Sektor Kegiatan Ekonomi di Provinsi Banten 2000 – 2008 Rata-rata PDRB perkapita Provinsi Banten tahun 2002–2009 sebesar 10,11 juta per tahun (BPS Provinsi Banten, 2009). Gambar 10 menunjukkan bahwa dari 8 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, hanya ada dua daerah yang
39
memiliki rata-rata PDRB perkapita diatas nilai tersebut, yaitu Kota Tangerang dan Kota Cilegon dengan nilai rata-rata masing-masing 15,19 juta rupiah dan 29,42 juta rupiah. Kedua kota ini merupakan daerah perindustrian, sehingga pendapatan perkapitanya besar. Sedangkan empat Kabupaten/Kota lainnya memiliki PDRB perkapita dibawah nilai rata-rata. Terlihat bahwa terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Banten (Gambar 10). 35.00 30.00 Jutaan Rupiah
pandeglang 25.00
lebak
20.00
kab.tangerang
15.00
serang kot.tangerang
10.00
cilegon
5.00 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
tahun
Sumber: BPS Provinsi Banten (data diolah)
Gambar 10. Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi Banten 2002 – 2009 Perbedaan pendapatan penduduk antar kabupaten/kota juga menunjukan pola konsumsi yang berbeda pula. Kota Tangerang merupakan salah satu daerah yang pola konsusmsi non makanan lebih mendominasi dibanding konsumsi makanan yaitu sebesar 60,8 persen dibanding 39,2 persen. Kabupaten Tangerang juga merupakan daerah yang hampir sama pola konsumsinya dengan Kota tangerang, dan empat kabupaten/kota lainnya, pola konsumsinya masih didominasi oleh pengeluaran untuk konsumsi makanan (Tabel 7). Tabel 7. Persentase Pengeluaran Perkapita Sebulan Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Pengeluaran, Tahun 2009 Kabupaten/Kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Provinsi Banten Sumber: BPS Provinsi Banten (data diolah)
Jenis Pengeluaran Makanan Non Makanan 66,7 33,3 64,4 35,6 47,4 52,6 59,6 40,4 39,2 60,8 53,4 46,6 49,4 50,6
40
Ketimpangan masyarakat Kabupaten/Kota se Provinsi Banten dapat juga dilihat dengan indikator indeks gini rasio. Daerah yang rata rata ketimpangan paling besar dari tahun 2002 sampai dengan 2009 adalah Kabupaten Tangerang dengan ketimpangan individu sebesar 0,30. Ketimpangan ini sebenarnya sudah mulai menurun dibandingkan antara tahun 2002 (0,34) dan tahun 2009 (0,32). Ketimpangan individu terbesar pada tahun 2009 adalah Kota Tangerang, lalu Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon. Nilai indeks gini rasio yang besar di ketiga daerah tersebut, menunjukkan bahwa daerah tersebut terjadi kesenjangan pendapatan yang lebih besar dibandingkan tiga kabupaten/kota lainnya. Hanya Kabupaten Serang dan Kabupaten Lebak yang indeks gini rasionya mulai menurun pada tahun 2009 dibanding tahun 2008 (Gambar 11). 0.40 0.35 Kab Pandeglang
Persen
0.30
Kab Lebak
0.25
Kab Tangerang
0.20
Kab Serang
0.15
Kota Tangerang
0.10
Kota Cilegon
0.05 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Sumber: BPS Provinsi Banten (data diolah), 2010
Gambar 11. Perkembangan Indeks Gini Rasio Kabupaten/Kota di Provinsi Banten 2002 – 2009 4.3. Kebijakan Pembangunan SDM Meningkatnya perekonomian (Gambar 8) masih belum dinikmati semua masyarakat Banten, dimana masih banyak penduduk yang tidak tertampung dalam kegiatan usaha ekonomi, atau masih banyak penggangguran (Tabel 3). Banyaknya pengangguran berdampak pada banyaknya rumah tangga miskin. Hasil survei sosial ekonomi nasional (BPS, 2009) menyatakan bahwa rumah tangga miskin sebagian besar pendapatannya digunakan untuk konsumsi makanan sedangkan pengeluaran untuk sektor bukan makanan proporsinya lebih kecil sehingga tidak semua rumah tangga di Banten mampu membiayai anaknya sekolah dan bahkan untuk medis.
41
Agar masyarakat dapat mendapatkan fasilitas pendidikan dan kesehatan perlu adanya campur tangan pemerintah untuk mencukupinya. Banyaknya permintaan kedua fasilitas sosial di masyarakat maka perlu peningkatan alokasi pengeluaran pemerintah untuk kedua bidang sosial tersebut. Hal ini sesuai dengan program pemerintah pusat yang sedang gencar penggalakkan bidang kesehatan dan pendidikan. Investasi dalam hal pendidikan mutlak dibutuhkan, sehingga pemerintah harus dapat membangun suatu sarana dan sistem pendidikan yang baik. Alokasi anggaran pengeluaran pemerintah terhadap pendidikan merupakan wujud nyata dari investasi untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Pengeluaran pembangunan pada sektor pendidikan dapat dialokasikan untuk penyediaan infrastruktur pendidikan dan menyelenggarakan pelayanan pendidikan kepada seluruh penduduk Indonesia secara merata. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen merupakan wujud realisasi pemerintah untuk meningkatkan pendidikan. Bidang kesehatan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia, tanpa kesehatan masyarakat tidak dapat menghasilkan suatu produktivitas bagi negara. Negara sedang berkembang seperti Indonesia mengalami tahap perkembangan menengah, dimana pemerintah harus menyediakan lebih banyak sarana publik seperti kesehatan untuk meningkatkan produktivitas ekonomi. Sarana kesehatan dan jaminan kesehatan harus dirancang sedemikian rupa oleh pemerintah melalui pengeluaran pemeritah. Menurut penelitian yang dilakukan Haryanto (2005) menunjukkan bahwa sektor kesehatan, tingkat persalinan yang ditolong tenaga medis dan persentase pengeluaran pemerintah untuk kesehatan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kematian balita. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor kesehatan terbukti cukup besar pengaruhnya terhadap peningkatan kinerja sektor tersebut. Mengingat besarnya pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap peningkatan kinerja dari kesehatan maka perlu adanya
upaya
secara
bertahap
dari
pemerintah
untuk
meningkatkan
pengeluarannya pada sektor kesehatan. Kondisi umum pendidikan di Provinsi Banten ditandai oleh rendahnya kualitas SDM (SDM); sekitar 50 persen dari penduduk usia 10 tahun keatas hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau kurang (Gambar 12). Pada saat yang
42
sama, hanya 5 persen yang berpendidikan tinggi.
5.5
Tidak/Belum Tamat SD/MI/Sederajat
25.9
20.7
SD/MI/Sederajat SLTP/Sederajat SLTA/SMK/Sederajat
18.1
29.7
Universitas
Sumber: BPS, 2009
Gambar 12. Persentase Penduduk Usia 10 tahun Keatas Berdasarkan Pendidikan pada Tahun 2009 Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 disebutkan bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus mengalokasikan 20 persen anggaran untuk bidang
pendidikan.
Namun
pemerintah
menghadapi
kendala
dalam
mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan, karena ada trade off dengan pengeluaran sektor lain yang erat kaitannya dengan pembangunan manusia, misalnya sektor kesehatan. Selama periode 2002-2009 rata-rata pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan lebih dari 20 persen kecuali, pada tahun 2002 terdapat 3 Kabupaten/Kota yang masih dibawah 20 persen. Lonjakan yang terjadi pada tahun 2005 disebabkan oleh munculnya UU No. 23 Tahun 2003 yang mengharuskan pemerintah mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen (Gambar 13).
% pengeluaran bidang
pendidikan dan kesehatan
70.00 60.00 pandeglang
50.00
lebak
40.00
kab.tangerang
30.00
serang kot.tangerang
20.00
cilegon
10.00 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
tahun
Sumber: Departemen Keuangan, 2010
Gambar 13. Persentase Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Kesehatan Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2002 - 2009
43
Meningkatnya fasilitas bidang pendidikan dan kesehatan (Tabel 8 dan 9) diharapkan mampu meningkatkan pelayanan sosial untuk mewujudkan kebutuhan dasar sehingga menjadikan manusia yang berkualitas dari sisi pendidikan dan kesehatan, dan terwujudnya pembangunan manusia yang diharapkan. Tabel 8. Jumlah Sekolah Berdasarkan Jenjang Pendidikan Menurut Kabupaten/ Kota Tahun 2007 - 2009 2007
SD 2008
2009 2007
Kab. Pandeglang
880
874
868
59
95
110
Kab. Lebak
761
756
752
63
64
Kab. Tangerang
962
965
956
63
Kab. Serang
930
1030
1410
Kota Tangerang
377
378
Kota Cilegon
149
149
Kabupaten/Kota
Provinsi Banten Pertumbuhan (%)
SMU 2008
2009
17
18
18
140
22
29
26
71
74
34
41
44
70
76
164
22
29
50
378
21
24
24
14
15
15
149
10
11
12
5
5
5
286
341
524
114
137
158
4.059 4.152 4.513 11,18
SMP 2008 2009 2007
83,21
38,59
Sumber: BPS, 2009
Fasilitas jumlah SD sampai SMU yang berada di Provinsi Banten meningkat secara signifikan, pembangunan jumlah SMP untuk mencukupi kebutuhan lulusan SD yang ingin melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi cukup besar yaitu meningkat sebesar 83,21 persen (Tabel 8). Pembangunan fasilitas kesehatan yang ada juga mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu sebesar 71,79 persen. Peningkatan kedua fasilitas tersebut merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan pendistribusian pendapatan secara tidak langsung. Tabel 9. Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2007-2009 Rumah Sakit Puskesmas Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2007 2008 2009 Kab. Pandeglang 2 2 2 34 36 36 Kab. Lebak 3 3 3 35 37 40 Kab. Tangerang 12 19 28 40 47 49 Kab. Serang 2 5 7 38 38 34 Kota Tangerang 18 21 23 25 25 30 Kota Cilegon 2 2 4 8 8 8 Provinsi Banten 39 52 67 180 191 197 Pertumbuhan (%) 71,79 9,44 Sumber: BPS, 2009
44
4.4. Pencapaian Pembangunan Manusia Sampai dengan tahun 2009 tingkat pembangunan manusia regional cukup baik, seperti tampak berkurangnya kemiskinan dan membaiknya tingkat harapan hidup dan melek huruf (BPS, 2009). Pencapaian pembangunan manusia di Provinsi Banten, tidak terlepas dari peran tingkat Kabupaten/Kota, sebagai wilayah otonomi yang melakukan sebagian proses pembangunan dan swadaya masyarakat setempat. Hasil dari seluruh upaya pembangunan manusia dapat dilihat dari beberapa indikator yang ada. Angka harapan hidup dapat menggambarkan tingkat kesehatan yang telah dicapai masyarakat. Semakin baik tingkat kesehatan masyarakat diharapkan kesempatan untuk hidupnya cenderung semakin besar/lama. Sebaliknya tingkat kesehatan yang buruk akan cenderung memperpendek usia hidup. Indikator angka harapan hidup juga dapat digunakan untuk mengukur pembangunan di bidang kesehatan. Meningkatnya angka harapan hidup dapat berarti adanya perbaikan pembangunan di bidang kesehatan yang biasanya ditandai dengan membaiknya kondisi sosial ekonomi penduduk, membaiknya kesehatan, lingkungan dan lain sebagainya . Tabel 10. Angka Harapan Hidup dan Indeksnya Menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 2008-2009 Kabupaten/Kota
Angka Harapan Hidup 2008
2009
Indeks 2008
2009
Kab. Pandeglang
63,28
63,52
63,80
64,21
Kab. Lebak
63,14
63,21
63,57
63,68
Kab. Tangerang
65,44
65,61
67,40
67,69
Kab. Serang
62,65
63,08
62,75
63,46
Kota Tangerang
68,29
68,33
72,14
72,22
Kota Cilegon
68,49
68,53
72,48
72,56
Banten
64,60
64,75
66,00
66,25
Sumber: BPS, 2009
Angka harapan hidup Provinsi Banten pada tahun 2009 menunjukkan angka 64,75 meningkat dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 64,60. Artinya, bayi yang dilahirkan pada tahun 2009 mempunyai harapan hidup sampai berusia 64,75 tahun. Sedangkan indeks harapan hidup sebesar 66,25 pada tahun 2009
45
meningkat dari 66,00 pada tahun 2008. Rata-rata angka harapan hidup Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Cilegon memiliki harapan hidup yang lebih besar diatas rata-rata Provinsi Banten (Gambar 14) 69
68.53
68.33
68 67 66
65.61
65 64
64.75 63.52
63.21
63.08
63 62 61 60
Kab Serang
Kab Lebak
Kab Pandeglang
Banten
Kab Tangerang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Sumber: BPS, 2009
Gambar 14. Angka Harapan Hidup menurut Kabupaten/Kota di Banten, 2009 Indikator tingkat melek huruf dan rata-rata lama sekolah penduduk dewasa (usia 15 tahun ke atas) dapat menggambarkan tingkat keberhasilan dan perkembangan pembangunan di bidang pendidikan. Dua indikator ini dipandang dapat mengukur tingkat pengetahuan masyarakat, sehingga digunakan dalam penghitungan IPM sebagai indikator derajat pendidikan masyarakat. Tabel 11. Angka Melek Huruf dan Rata-Rata Lama Sekolah dan Indeksnya Menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 2008-2009
Kabupaten/Kota
Angka Melek Huruf (%) 2008
2009
Rata- Rata Lama Sekolah (Tahun) 2008
2009
Indeks Pendidikan 2008
2009
Kab. Pandeglang
96,29
96,30
6,38
6,44
78,37
78,51
Kab. Lebak
94,10
94,55
6,20
6,22
76,51
76,86
Kab. Tangerang
95,34
95,66
8,90
8,93
83,34
83,61
Kab. Serang
94,58
94,93
7,00
7,04
78,61
78,93
Kota Tangerang
98,34
98,35
9,82
9,95
87,39
87,69
Kota Cilegon
98,70
98,71
9,64
9,66
87,22
87,27
Banten
95,60
95,95
8,10
8,15
81,73
82,08
Sumber: BPS, 2009
46
Angka melek huruf diambil dari data kemampuan baca tulis, yang dipandang sebagai modal dasar yang perlu dimiliki setiap individu, agar mempunyai peluang yang sama untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pembangunan. Tingkat pengetahuan dan ketrampilan lainnya secara umum dapat digambarkan melalui rata-rata lama sekolah. Diharapkan dua indikator tersebut dapat menggambarkan kualitas pendidikan secara umum. Pada tahun 2009, angka melek huruf Provinsi Banten mencapai 95,95 persen meningkat dari 95,60 persen pada tahun 2008. Ini menunjukkan bahwa penduduk Banten sudah cukup baik dalam hal baca tulis mengingat untuk mencapai 100 persen angka melek huruf suatu wilayah sangat sulit karena ada sebagian penduduk usia tua yang tingkat pendidikannya sangat rendah bahkan ada yang belum sekolah sehingga mereka tidak mempunyai kemampuan baca tulis (Gambar 15).
82.08 81.73
Banten
87.27 87.22
Kota Cilegon
87.69 87.38
Kota Tangerang 78.93 78.61
Kab Serang
2009
Kab Tangerang Kab Lebak
76.86 76.51 78.51 78.37
Kab Pandeglang 70.00 72.00
2008
83.61 83.34
74.00 76.00
78.00 80.00
82.00
84.00 86.00
88.00
Sumber: BPS, 2009
Gambar 15. Indeks Pendidikan Menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 20082009 Kabupaten/Kota paling tinggi angka melek hurufnya pada tahun 2009 adalah Kota Cilegon yang mencapai 98,71 persen. Sedangkan Kabupaten/Kota paling rendah adalah Kabupaten Lebak yang mencapai 94,55 persen. Kondisi yang sama pada tahun 2008, yaitu paling tinggi adalah Kota Cilegon dan paling rendah Kabupaten Lebak. Rata-rata lama sekolah penduduk Banten pada tahun 2009 mencapai 8,15 tahun. Ini berarti rata-rata penduduk Banten bersekolah sampai kelas 3 SMP tapi belum sampai tamat SMP. Angka ini cukup meningkat dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 8,10 tahun. Kabupaten/Kota paling
47
tinggi rata-rata lama sekolahnya pada tahun 2009 adalah Kota Tangerang yang mencapai 9,95 tahun. Sedangkan Kabupaten/Kota terendah adalah Kabupaten Lebak yang mencapai 6,22 tahun. Berdasarkan kedua indikator pendidikan diatas, maka indeks pendidikan pada tahun 2009 Provinsi Banten mencapai 82,08, angka ini meningkat dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 81,73. Unsur dasar pembangunan manusia lainnya yang diakui secara luas adalah daya beli masyarakat. Komponen ini mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan beberapa variabel seperti keterampilan, kesempatan kerja dan pendapatan. Pengukuran komponen daya beli didekati dengan besarnya konsumsi perkapita yang telah disesuaikan. Pemakaian variabel konsumsi riil dimaksudkan untuk mengeliminir perbedaan dan perubahan harga (inflasi) yang terjadi, sehingga angka yang dihasilkan dapat dibandingkan antar daerah dan antar waktu. 66 65 64 63 2008 2009
62 61 60 59 Kab Kab Lebak Pandeglang
Kab Kab Serang Kota Tangerang Tangerang
Kota Cilegon
Banten
Sumber: BPS, 2009
Gambar 16. Indeks Daya Beli menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 2008-2009 Daya beli masyarakat dapat menggambarkan tingkat kemampuan masyarakat untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan baik makanan maupun non makanan. Tapi angka ini bukan merupakan bukan angka riil pada tahun berjalan, melainkan pada tahun dasar penghitungan awal angka IPM yaitu pada tahun 1996. Tahun 2009 daya beli masyarakat meningkat 0,34 persen yaitu dari 625,52 ribu pada tahun 2008 menjadi 627,63 ribu pada tahun 2009. Ini berarti ada peningkatan daya beli masyarakat Banten namun masih cukup rendah. Sehingga diperlukan upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan daya beli
48
masyarakat sehingga akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Kabupaten/Kota paling tinggi daya beli masyarakatnya pada tahun 2009 adalah Kota Cilegon. Sedangkan Kabupaten/Kota paling rendah adalah Kabupaten Lebak. Nilai indeks daya beli Provinsi Banten pada tahun 2009 mencapai 61,85 meningkat dari tahun 2008 yang mencapai 61,36 (Tabel 12). Tabel 12. Daya Beli dan Indeksnya Menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 2008-2009 Kabupaten/Kota
Daya Beli 2008
Indeks 2009
2008
2009
Kab. Pandeglang
624,33
625,06
61,09
61,25
Kab. Lebak
625,08
627,49
61,26
61,82
Kab. Tangerang
631,19
632,77
62,67
63,04
Kab. Serang
628,50
630,08
62,05
62,42
Kota Tangerang
639,44
640,27
64,58
64,77
Kota Cilegon
641,75
641,88
65,11
65,14
Banten
625,52
627,63
61,36
61,85
Sumber: BPS, 2009
Angka IPM suatu daerah memperlihatkan jarak yang harus ditempuh untuk mencapai nilai ideal (100). Angka ini dapat diperbandingkan antar daerah di Indonesia. Tantangan bagi semua daerah adalah bagaimana menemukan cara yang tepat, dalam hal ini program pembangunan yang diterapkan masing-masing daerah. Tabel 13. IPM dan Rangking IPM Menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 2008-2009 Kabupaten/Kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Banten Sumber: BPS, 2009
IPM
Peringkat
2008
2009
2008
2009
67,75 67,11 71,14 67,80 74,70 74,94 69,70
67,99 67,45 71,45 68,27 74,89 74,99 70,06
5 6 3 4 2 1 23
5 6 3 4 2 1 23
49
Nilai IPM Provinsi Banten pada tahun 2009 sebesar 70,06 meningkat dibandingkan tahun 2008 yang sebesar 69,70. Kabupaten/Kota paling besar nilai IPM pada tahun 2009 adalah Kota Cilegon. Ini menunjukkan Kota Cilegon merupakan wilayah yang sangat potensial dari sisi pembangunan manusianya. Kabupaten/Kota terendah adalah Kabupaten Lebak yang mencapai 67,45. Bila dilihat berdasarkan peringkat, pada dasarnya tidak terjadi perubahan posisi antar Kabupaten/Kota. 76 74.89
74.99
74 72
71.45 70.06
70 68
67.45
67.99
68.27
66 64 62 Kab Lebak
Kab Kab Serang Pandeglang
Banten
Kab Tangerang
Kota tangerang
Kota Cilegon
Sumber: BPS, 2009
Gambar 17. IPM Menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 2009 Klasifikasi tingkat pembangunan manusia yang direkomendasikann UNDP berdasar angka IPM, ada tiga yaitu: kelompok rendah, menengah atau tinggi. IPM Kabupaten/Kota dan IPM Provinsi Banten yang berkisaran antara 67,45 – 75,01 masuk dalam kelompok menengah. Pencapaian tersebut segera mendapatkan tantangan ketika mulai tahun 2004 rangking IPM Provinsi ini mulai menurun, akibatnya pada tahun 2009 IPM Provinsi Banten menduduki rangking 23 diantara Provinsi se Indonesia (Tabel 14). Tidak terjadi perubahan dibandingkan tahun 2008. Ini menunjukkan secara umum, peningkatan nilai IPM pada semua Provinsi relatif sama walaupun ada yang meningkat dan ada yang menurun (Tabel 14).
50
Tabel 14. Perkembangan IPM Regional Periode 2002, 2004 dan 2009 Provinsi NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Irian Jaya Barat Papua
2002 IPM Rank 66,0 15 68,8 7 67,5 8 69,1 5 67,1 10 66,0 16 66,2 14 65,8 18 65,4 20 75,6 1 65,8 17 66,3 13 70,8 3 64,1 25 66,6 11 67,5 9 57,8 30 60,3 28 62,9 27 69,1 6 64,3 23 70,0 4 71,3 2 64,4 22 65,3 21 64,1 26 64,1 24 66,5 12 65,8 19 60,1 29
2004 IPM Rank 68,7 18 71,4 7 70,5 9 72,2 5 70,1 10 69,6 13 69,9 11 68,4 19 69,6 12 70,8 8 75,8 1 69,1 14 68,9 17 72,9 3 66,8 23 67,9 20 69,1 15 60,6 33 62,7 31 65,4 27 71,7 6 66,7 24 72,2 4 73,4 2 67,3 22 67,8 21 66,7 25 65,4 28 64,4 29 69,0 16 66,4 26 63,7 30 60,9 32
2009 IPM Rank 71,3 17 73,8 8 73,4 9 75,6 3 72,4 13 72,6 10 72,5 12 70,9 21 72,5 11 74,5 6 77,3 1 71,6 15 72,1 14 75,2 4 71,0 18 70,0 23 71,5 16 64,6 32 66,6 31 68,7 28 74,3 7 69,3 26 75,1 5 75,6 2 70,7 22 70,9 20 69,5 25 69,7 24 69,1 27 70,9 19 68,6 29 68,5 30 64,5 33
Sumber: BPS, UNDP, 2010
Gambar 18 juga memperlihatkan bahwa kemajuan IPM ternyata tidak didominasi oleh Provinsi-Provinsi di Pulau Jawa atau Indonesia bagian barat saja, tetapi relatif menyebar. IPM tertinggi setelah DKI adalah Provinsi Sulawesi Utara dan diikuti oleh Riau, hal ini dimungkinkan diluar Jawapun mulai sadar pentingnya pembangunan manusia.
51
80 75
ipm
70 65
60
DK I
ja k Ri au Ka ltim Ka lte n Su g m ba r Ba be l Ja m bi ja ba r NA D M al uk La u m pu n Ba g Su nte ltn n gg ar a Su lb ar M al ut NT T Pa pu a
55
provinsi
Gambar 18. Perkembangan Rangking IPM Provinsi se Indonesia Tahun 2009 Perkembangan IPM ditentukan oleh perkembangan indikator-indikator kompositnya. Kurun waktu sepuluh tahun umumnya indikator tersebut berkembang secara steady, kecuali indikator paritas daya beli (Gambar 11). Indikator ini seperti telah dibahas sebelumnya berkaitan langsung dengan income penduduk, yang dipengaruhi oleh kinerja perekonomian. Jika iklim perekonomian kondusif, maka akan tercipta perekonomian yang prospektif. Selanjutnya, diharapkan akan terbuka kesempatan bagi penduduk untuk meningkatkan pendapatannya, dan pada gilirannya akan meningkatkan daya beli masyarakat. Kondusif tidaknya perekonomian yang dimaksud terutama ditentukan oleh perkembangan harga (inflasi). Inflasi tinggi akan langsung menurunkan daya beli masyarakat. Pengendalian terhadap laju inflasi menjadi sangat penting dalam hal menjaga dan menumbuhkan purchasing power parity masyarakat. Turunnya rangking IPM Banten sebagai akibat dari faktor daya beli masyarakat. Peran nilai PPP paling rendah, tetap mengalami peningkatan namun tidak secepat komponen lainnya. Bahkan indeks pendidikan yang direpresentasi oleh adult literacy rate (tingkat melek huruf dewasa) dan mean years schooling (rata-rata lama sekolah) menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Mengamati perkembangan purchasing power parity (Gambar 19), sampai dengan tahun 2009 mengalami pertumbuhan, tetapi sejak tahun 2006, peningkatannya lebih rendah
52
dibandingkan tahun lainnya. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Oktober 2005 merupakan salah satu penyebab terjadinya inflasi tahun 2006. Tingginya inflasi berpengaruh langsung terhadap kemampuan daya beli masyarakat. Inilah yang menyebabkan mengapa purchasing power parity tahun 2006 mengalami peningkatan namun tidak sebesar tahun sebelum dan sesudahnya.
90.00 80.00 70.00 2002 60.00
2003 2004
50.00
2005 40.00
2006 2007
30.00
2008 2009
20.00 10.00 Indeks AHH
Indeks Pengetahuan
Indeks PPP
IPM
Sumber: BPS, 2009
Gambar 19. Perkembangan Indikator-Indikator Komposit IPM Periode 2002-2009
53
V. FAKTOR -FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBANGUNAN SDM DI PROVINSI BANTEN Penelitian ini menggunakan model regresi data panel untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap IPM, yang berarti pula mempengaruhi pembangunan manusia. Model ini menggunakan data sekunder dari BPS dan Departemen Keuangan dan UNDP. Data yang dianalisis meliputi 6 wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten selama tahun 2002-2009. Terdapat keterbatasan data pada kota baru hasil pemekaran (Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan), masih bergabung dengan kabupaten induknya. Hasil uji Hausman (Tabel 15), menghasilkan nilai Hausman-hitung 17,66. 2
Dibandingkan dengan nilai X Tabel maka Ho diterima atau menolak H1. Artinya, model yang tepat digunakan untuk menganalisis data pada penelitian ini adalah FEM. Sehingga FEM merupakan model yang lebih baik dibandingkan dengan metode Pooled Ordinary Least Square (Pooled OLS) ataupun REM. 5.1. Hasil Uji Model Pengujian ada tidaknya autokorelasi pada model terpilih (FEM) dilakukan dengan Wooldridge Test for Serial Correlation in Panel Data Models (Drukker, 2003). Persamaan menunjukkan nilai peluang yang sama, yaitu 0,0000 yang berarti menolak hipotesis (tidak terdapat autokorelasi pada order pertama). Hal ini berarti bahwa FEM yang terpilih sebagai model terbaik di persamaan melanggar asumsi terbebas dari autokoreasi. Demikian juga dengan uji heteroskedastisitas di model terpilih dengan menggunakan Modified Wald Statistic (Greene, 2002). Nilai peluang sebesar 0,0000 di persamaan berarti menolak hipotesis adanya varian yang sama antar individu (homoskedastisitas). Sehingga dapat disimpulkan bahwa model FEM yang terpilih sebagai model terbaik untuk persamaan tersebut melanggar asumsi homoskedastisitas atau dengan kata lain model FEM tersebut mengandung heteroskedastisitas. Permasalahan
heteroskedastisitas
dan
autokorelasi
pada
model
mempengaruhi perkiraan nilai parameter yang tidak akan memenuhi sifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimate). Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model terpilih memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model dengan menggunakan pendekatan Panel-Corrected Standard Error (PCSE) (Greene,
54
2002 dan Hardin, 1995). Berdasarkan model PCSE ini berarti telah dilakukan koreksi atas permasalahan heteroskedastisitas, contemporaneously correlated across panel, and first order autokorelasi (ar1). Hasil perkiraan model dengan PCSE dari persamaan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPM Variabel PDRB Perkapita (INC) Indeks Gini Rasio (GR) Pengeluaran pemerintah Sektor Pendidikan dan kesehatan (GOV) Persentase KRT berpendidikan SMP/sederajat Keatas (EDU) Angka Kesakitan (HLTH) F-Test R-Square
Persamaan Koefisian
P-value
0,00014
0,000
-2,29
0,480
0,03
0,012
16,71
0,000
4,76
0,000
474,47
0,000
0,98
17,66 0,001 Hausman Test Berdasarkan hasil perkiraan regresi data panel pada Tabel 15, semua indikator berpengaruh terhadap IPM, yang berarti pula semua faktor berpengaruh terhadap pembangunan manusia. Walaupun tidak semua faktor berpengaruh secara signifikan terhadap IPM, akan tetapi tanda pada koefisien dapat menunjukkan arah hubungannya terhadap IPM. Peningkatan PDRB perkapita, pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dan kesehatan, KRT berpendidikan SMP/sederajat keatas dan angka kesakitan pada persamaan berpengaruh positif terhadap peningkatan IPM. Demikian juga dengan Indeks gini yang memiliki tanda koefisien negatif, namun tidak signifikan. 5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembangunan SDM 5.2.1. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Pembangunan SDM Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan memiliki kontribusi dalam memajukan pendidikan melalui penyediaan infrastruktur maupun operasionalnya. Dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan dan kesehatan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien
55
sebesar 0,030 memiliki arti peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan dan kesehatan sebesar 1 persen akan dapat meningkatkan IPM sebesar 0,030 (ceteris paribus). Penelitian ini sejalan dengan Ramires, et. al (2000) dan Brata, 2004 temuan mereka juga menunjukkan peningkatan realisasi pengeluaran APBD akan berdampak pada peningkatkan IPM. Peningkatan realisasi pengeluaran APBD akan meningkatkan kemampuan pemerintah terutama pemerintah daerah dari segi pendanaan dalam rangka mengatasi masalah pengeluaran investasi publik di daerah seperti investasi infrastruktur, serta invetasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Sejak tahun 2005 pemerintah sudah mulai melakukan pengumpulan informasi penduduk miskin, dimana pada tahun itu akan dilakukan pengalihan subsidi atas bahan bakar minyak (BBM) dan sebagai informasi pada tahun selanjutnya. Pada tahun 2006 dan 2007, pemerintah melakukan langkah konsolidasi berbagai program bantuan untuk penduduk miskin dan hampir miskin. Program
tersebut
diwujudkan
kedalam
bantuan
program
bantuan
dan
perlindungan sosial, yang ditujukan untuk perlindungan dan pemenuhan hak atas pendidikan, kesehatan, pangan, sanitasi dan air bersih. Program ini diwujudkan dalam bentuk beras miskin (raskin), jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), Jamkesda, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Melalui program bantuan dan perlindungan sosial diharapkan terjadi peningkatan pada tingkat pendidikan dan kesehatan penduduk miskin dan hampir miskin. Bantuan langsung diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin dan memiliki kesempatan yang lebih untuk pengeluaran di bidang pendidikan dan kesehatan. Sedangkan untuk jangka panjang, melalui program PKH diharapkan terjadi perubahan pola pikir dan perilaku terhadap kesehatan dan pendidikan. Pemerintah juga menerapkan wajib pendidikan dasar 9 tahun bagi anak usia sekolah dan membangun sarana dan prasarana pendidikan terutama di wilayah perdesaan, daerah tertinggal dan daerah bencana. Akses bagi anak usia sekolah untuk mengenyam pendidikan juga diperluas melalui BOS pada jenjang SD dan SLTP agar dapat membebaskan anak-anak dari pungutan sekolah terutama dari keluarga miskin. Berbagai beasiswa bagi siswa kurang mampu juga
56
disediakan pemerintah untuk tingkat SLTA hingga Perguruan Tinggi agar tetap dapat melanjutkan pendidikannya. Mengingat pentingnya peran pemerintah dalam meningkatkan SDM, yaitu dalam memfasilitasinya melalui anggaran dibidang pendidikan dan kesehatan dan beberapa program yang telah dijelaskan diatas terlihat
bahwa di Kabupaten
Tangerang dan Kota Tangerang memiliki persentase anggaran diatas rata-rata se Provinsi Banten. Hasil pembangunan SDM dengan indikator IPM juga lebih tinggi dari rata-rata se Provinsi Banten. Jadi terlihat bahwa persentase anggaran bidang pendidikan dan kesehatan di dua kabupaten tersebut dapat meningkatkan pembangunan manusianya. Kabupaten Lebak, Serang dan Pandeglang merupakan Kabupaten yang sudah mulai meningkatkan anggaran bidang tersebut namun masih terlihat bahwa peningkatan IPM masih dibawah rata-rata. Satu-satunya kota yang anggaran dibawah rata rata namun IPMnya diatas rata rata adalah Kota Cilegon. Modal awal dari masing masing Kabupaten/Kota di Provinsi Banten ini memang berbeda, Kabupaten/Kota yang memiliki PDRB perkapita rendah, belum mampu meningkatkan pembangunan manusianya dibanding Kabupaten/Kota yang memiliki PDRB perkapita yang tinggi. Kabupaten Lebak, Serang dan Pandeglang merupakan Kabupaten yang PDRB perkapita dibawah rata rata (Gambar 20). Kabupaten/kota yang pengeluaran anggaran pendidikan dan kesehatan sudah diatas rata-rata, namun angka IPM masih rendah, maka perlu adanya evaluasi lebih lanjut terhadap pengalokasian belanja di daerah tersebut.
57
90 Ko Tg 3 Cil 2
Ko Tg 8
Ko Tg 2
Ko Tg 9
Cil 7
Cil 9
Cil 8 Ko Tg 6
85
Ka Tg 2
Ka Tg 9
Ka Tg 7
Ka Tg 6
Ka Tg 8
Ka Tg 5
Ka Tg 4
IPM
Ka Tg 3
80
Srg 7
Srg 6
Srg 9
Srg 8 Pdg 9
Srg 5 Srg 4
Srg 3 Pdg 8 Pdg 6
Pdg 2 Lbk 7
Srg 2
Lbk 8
Pdg 5 Lbk 6
Lbk 5
Lbk 9
Lbk 4 Pdg 3
75 Lbk 3 Lbk 2
70
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
APBD_Pendidikan_Kesehatan Sumber: BPS, 2009
Gambar 20. IPM dan Pengeluaran Pemerintah Bidang Kesehatan dan pendidikan Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2002 - 2009 5.2.2 Pengaruh PDRB Perkapita terhadap Pembangunan SDM Ketimpangan pendapatan menjadi masalah yang terus-menerus menjadi agenda dan sasaran kebijakan pembangunan yang disusun pemerintah. Pemerintah pada masa orde baru memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dibandingkan masalah distribusi pendapatan. Pemerintah mengandalkan “trikle down effect” sebagai strategi mencapai pemerataan. Pada akhirnya juga terjawab bahwa strategi menetes ke bawah tersebut kurang efektif. Dikaitkan dengan pembangunan manusia, indeks gini rasio dalam konteks penelitian ini lebih menilik aspek ekonominya. Ini perlu dipertegas mengingat distribusi pendapatan dipengaruhi juga oleh aspek sosial lainnya. Pengeluaran masyarakat terdeteksi oleh IPM melalui indikator PPP, melalui mekanisme
58
penurunan indeks gini rasio dan peningkatan pendapatan perkapita akan menurunkan IPM melalui indikator PPP. Dengan demikian, Indeks gini rasio berpengaruh negatif terhadap pembangunan manusia dan pendapatan perkapita berpengaruh positif. Besarnya pengaruh PDRB Perkapita terhadap IPM yang berarti pula berpengaruh terhadap pembangunan manusia dapat dilihat pada nilai koefisien parameternya. Persamaan menunjukkan bahwa peningkatan PDRB Perkapita memiliki pengaruh yang nyata terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien PDRB Perkapita sebesar 0,00014 pada model berarti peningkatan PDRB Perkapita sebesar 1 juta rupiah akan meningkatkan IPM sebesar 0,14 dengan asumsi ceteris paribus. Hasil ini menunjukkan peran penting PDRB Perkapita terhadap peningkatan IPM, yang menjadi salah satu indikator pembangunan Manusia. Dengan terlihat pentingnya PDRB perkapita ini maka sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya (Ramires, et.al. 2000) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi selalu menjadi modal awal dalam pembangunan manusia, dimana dengan semakin berkembangnya pembangunan ekonomi, maka akan tercipta lapangan pekerjaan, dan penduduk sebagai factor produksi akan mendapatkan penghasilan, sehingga semakin majunya perekonomian maka panghasilannya pun akan meningkat sehingga dalam mengalokasiakan pendapatannya dapat memilih sesuai dengan keinginannya. Hal ini sesuai dengan tujuan dari Pembangunan Manusia yaitu bebas dalam menentukan pilihan (UNDP, 2000) PDRB perkapita yang meningkat dan diikuti pembangunan manusia yang tinggi, terlihat pada beberapa kabupaten kota. Kota Tangerang dan Kota Cilegon adalah dua wilayah yang konsisten dalam melakukan peningkatan pembangunan manusia dari segi pendapatannya tersebut (Gambar 21).
59
90 Ko Tg 3 Ko Tg 9 Ko Tg 2
Cil 3
Ko Tg 7 Ko Tg 8
Ko Tg 4
Cil 2
Ko Tg 6
Cil 5
Cil 7 Cil 6
Cil 9 Cil 8
Cil 4
85 Ka Tg 9
Ka Tg 8
Ka Tg 5 Ka Tg 6
Ka Tg 3
IPM
Ka Tg 2
80
Srg 7 Srg 8
Pdg 9
Srg 9
Srg 5 Pdg 6 Lbk 8 Lbk 6
Srg 4 Srg 3 Srg 2
75 Lbk 3 Lbk 2
70
0
10000
20000
30000
PDRB_Perkapita
Sumber: BPS, 2009
Gambar 21. IPM dan PDRB Perkapita Menurut Kabupaten/Kota tahun 2002 2009 Satu hal yang sering dikaitkan dengan pembangunan manusia adalah pertumbuhan ekonomi (Ramires, 1998). Para ahli ekonomi banyak mengamati sejauh
mana
hubungan
dan
pengaruh
pertumbuhan
ekonomi
terhadap
pembangunan manusia. UNDP yang menyatakan bahwa hingga akhir tahun 1990an, pembangunan manusia di Indonesia terutama ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk wilayah tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota. Pertumbuhan PDRB akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Pada penelitian sebelumnya (Ramires, et.al 2000) menemukan adanya pengaruh yang sifgnifikan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia. Tetapi ada baiknya juga untuk mengetahui bagaimana kondisi yang terjadi antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
60
manusia pada era 2000-an di Provinsi Banten. Perkembangan IPM regional dan pendapatan regional domestik bruto (PDRB) relatif kurang seirama. Perkembangan PDRB yang tinggi tidak selalu diikuti oleh perkembangan IPM yang tinggi pula. Sebaliknya, pertumbuhan PDRB yang rendah belum tentu diikuti oleh perkembangan IPM yang rendah pula. Pada Tabel 16. tampak jelas bahwa DKI memiliki prestasi terbaik dalam menerjemahkan pertumbuhan ekonomi ke dalam pembangunan manusia, dengan hanya urutan 2 pada PDRB perkapita tetapi mencapai urutan 1 pada IPM. Provinsi Banten dengan PDRB perkapita menempati urutan 9, tetapi hanya menempati urutan rendah (23) pada IPM. Ini adalah bukti bahwa sumber perekonomian yang begitu besar yang dimiliki Provinsi Banten kurang dinikmati oleh sebagian besar rakyatnya. Tabel 16. Perkembangan PDRB Perkapita dan IPM Rank Tahun 2009 Provinsi Kalimantan Timur DKI Jakarta Riau Papua Sumatera Selatan Jawa Timur Sumatera Utara Jawa Barat Banten Jawa tengah Indonesia
PDRB perkapita (Rp) 101.858.132,29 73.451.722,84 53.264.969,58 26.614.941,88 18.464.110,15 16.670.563,24 16.147.738,35 14.513.849,73 13.281.736,64 11.043.454,30 18.397.946,18
Ranking PDRB Perkapita 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ranking IPM 5 1 3 33 10 18 8 15 23 14
Sumber : BPS, 2010
5.2.3 Pengaruh Indeks Gini Rasio Terhadap Pembangunan SDM Besarnya pengaruh ketimpangan terhadap IPM dapat dilihat pada nilai koefisien parameternya. Persamaan menunjukkan bahwa penurunan indeks gini rasio memiliki pengaruh terhadap peningkatan IPM, namun hanya mampu menjelaskan dengan tingkat kesalahan sebesar 50 persen. Nilai sebesar -2,29306 pada model berarti penurunan indeks gini rasio sebesar 0,1 akan meningkatkan
61
IPM sebesar 22,93 dengan asumsi ceteris paribus. Hasil ini menunjukkan peran penting indeks gini rasio terhadap peningkatan IPM, yang menjadi salah satu indikator pembangunan Manusia. Faktor ketimpangan pendapatan yang didekati dengan nilai indeks gini digunakan dalam estimasi persamaan faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia dengan pendekatan IPM. Walaupun koefisien dari indeks gini tidak signifikan pada tingkat 5 persen, tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa penurunan ketimpangan pendapatan yang dinyatakan dengan peningkatan nilai indeks gini akan berpengaruh terhadap peningkatan IPM. Walaupun Indeks Gini yang membaik bukan berarti akan akan meningkatkan IPM. Namun dengan ditemukan bahwa ketimpangan berpengaruh terhadap peningkatan IPM ini, maka terlihat bahwa pengeluaran pendapatan oleh masyarakat Banten sudah merata dengan terlihat semakin menurunnya indeks gini rasio dan sejalan dengan pula dengan pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia. Salah satu cara yang perlu dilakukan adalah bagaimana meningkatkan pemerataan pendapatan, menuju pendapatan yang tinggi. Harapan berhasilnya peningkatan tersebut maka masyarakat akan mempunyai peluang yang sama dalam mendapatkan pendidikan atau kesehatan yang sama (seiring semakin meningkatnya biaya kedua bidang tersebut). Semakin mampunyai pendapatan masyarakat akan mampu membayar fasilitas tersebut secara merata maka suatu wilayah akan memiliki SDM yang unggul secara bersama. SDM yang berpendapatan meningkat maka berbagai penyakit sosial seperti kriminalitas akan berkurang pula dan ini akan membuka peluang bagi Provinsi Banten untuk mendatangkan investasi dari luar, dengan melihat kondusifnya keamanan di Provinsi ini, dan akan mendapatkan perkembangan pembangunan ekonomi yang lebih baik. 5.2.4
Pengaruh KRT Berpendidikan SMP/Sederajat Keatas terhadap Pembangunan SDM Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan berbangsa
dan bernegara adalah ” mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tujuan ini hanya akan dapat dicapai melalui pendidikan, oleh karena itu pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa: setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan
62
kemudian dalam ayat 2 ditegaskan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Untuk mengaktualisasikan amanah
UUD
1945
tersebut,
maka
pemerintah
Indonesia
mengatur
penyelenggaraan pendidikan melalui undang-undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional (DIKNAS, 2010). Pendidikan di Indonesia diselenggarakan sesuai dengan sistem pendidikan nasional yang ditetapkan dalam UU No. 20 tahun 2003. Pendidikan nasional adalah pendidikan berdasarkan UUD dan Pancasila yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat yang berperan meningkatkan kualitas hidup. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, semakin baik kualitas sumber dayanya. Dalam pengertian sehari-hari pendidikan adalah upaya sadar seseorang untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, serta memperluas wawasan. Pada dasarnya pendidikan yang diupayakan bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat dan keluarga. Secara nasional pendidikan yang menekankan pengembangan SDM menjadi tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tingkat
pencapaian
program
pembangunan
pendidikan
dalam
meningkatkan taraf pendidikan masyarakat secara umum, biasa diukur melalui perubahan dan perkembangan yang berhasil dicapai masyarakat pada waktu tertentu. Hasil pembangunan pendidikan dapat dilihat melalui monitoring pencapaian pendidikan antara lain; angka partisipasi sekolah, angka buta huruf, dan rata-rata lama sekolah. Mengidentifikasi faktor penyebab suatu keadaan harus mempertimbangkan kemungkinan adanya rangkaian pengaruh antar variabel. Rendahnya taraf pendidikan penduduk di suatu daerah, misalnya kemungkinan terjadi karena rendahnya partisipasi sekolah. Partisipasi sekolah kemungkinan dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain penilaian orang tua terhadap nilai pendidikan anak. Di lain pihak, rendahnya penilaian itu kemungkinan berkaitan dengan tipologi daerah dimana mayoritas penduduk bertempat tinggal; andaikan
63
saja, mayoritas penduduk berusaha sebagai petani di kawasan yang agak terpencil. Seorang anak bersekolah atau tidak bersekolah, berhasil atau gagal dipengaruhi oleh determinan sosial budaya dan ekonomi antara lain: faktor orang tua, pengaruh lingkungan, pembiayaan dan nilai pendidikan. Pendidikan tidak semata mata tugas dari pendidik atau yang lebih dikenal dengan istilah guru di sekolah/pergururan tinggi, tidah terlepas dari masaalah pendidikan adalah peran dari orang tua. Dikatakan bahwa selain guru ada yang lebih penting yaitu peran orang tua dan lingkungan. Peran orang tua adalah melakukan pengecekan ulang terhadap kegiatan anaknya disekolah dimana orang tua perlu membantu apabila terdapat kesulitan oleh anak dalam mengikuti kegiatan sekolah. Begitu juga dalam melakukan pilihan sekolah peran orang tua tidak dipungkiri
lagi bahwa kemampuan dalam pilihan mengalokasikan
pengeluaran rumah tangga perlu kebijakan dan menatap masa depan. Semua hal diatas perlu adanya pendidikan KRT yang semakin tinggi, sehingga dapat berfikir lebih bijaksana dalam menentukan pilihan pilihan. Maryama, 2005. dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh variabel sosial ekonomi teradap tingkat penerimaan kepala rumah tangga pada program wajib belajar 9 tahun menyatakan bahwa, tanggapan kepala rumah tangga yang berpendidikan lebih rendah akan merepon kurang dibanding kepala rumah tangga yang pendidikannya diatasnya. Salah satu Indikator yang digunakan dala penelitian ini adalah persentase Kepala Rumah Tangga yang ber berpendidikan SLTP/sederajat keatas. Angka yang diperoleh digunakan untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan penduduk dengan menggunakan pendidikan dasar menengah sebagai batasan minimal. Tingkat pendidikan yang digunakan dalam estimasi ini, sebagai suatu indikator semakin tinggi pendidikan KRT maka akan semakin lebih bijak dalam mengalokasikan pendapatannya untuk anggaran yang lebih penting untuk keluarga.
Indikator
pendidikan
yang
didekati
dengan
persentase
KRT
berpendidikan SMP/sederajat keatas. Variabelnya signifikan pada tingkat α = 5 persen dalam mempengaruhi IPM, dengan nilai peluang koefisien sebesar 0,000. Nilai koefisien sebesar 16,71 memiliki arti peningkatan KRT berpendidikan SMP/sederajat keatas dari total KRT sebesar 1 persen akan dapat meningkatkan IPM sebesar 16,71 persen.
64
Suparno (2010) juga menyatakan bahwa pentingnya peran pendidikan sebagai investasi modal manusia dalam rangka mengurangi kemiskinan. Rendahnya
tingkat
pendidikan
akan
berpengaruh
terhadap
rendahnya
produktifitas, sehingga output dan pendapatan juga rendah, selanjutnya terjadi kemiskinan. Sehingga peningkatan pendidikan akan memberikan kesempatan untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya dan keluar dari kondisi miskin. Siregar dan Wahyuniarti (2007) menemukan variabel yang signifikan dan relatif paling besar pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan adalah pendidikan. Geda, et. al. (2005) menemukan tiga hal yang berpengaruh terhadap kemiskinan di Kenya, salah satunya yaitu tingkat pendidikan dari kepala rumah tangga, dan tingkat pendidikan kaum perempuan. Semakin rendah tingkat pendidikan kepala rumah tangga akan semakin besar memberikan peluang bagi rumah tangga menjadi miskin. Asep (2010), menurutnya terjadi korelasi antara pendidikan dengan pendapatan dan tampak lebih signifikan di negara yang sedang membangun. Sementara itu melihat pendidikan menjadikan sumber utama SDM mempunyai bakat yang terampil dan terlatih. Pendidikan memegang peran penting dalam penyediaan tenaga kerja. Pendidikan yang merupakan salah satu jalur utama dalam mencerdaskan kehidupan manusia, dengan pendidikan yang lebih tinggi akan dapat berfikir lebih kedepan. Kepala rumah tangga yang berpendidikan akan dapat membantu keluarganya untuk memikirkan kehidupan kedepannya, mungkin dengan pendapatannya akan mengolokasikan dana untuk pendidikan yang lebih baik, penanganan kesehatan yang lebih awal dengan harapan anak anaknya ataupun keluarganya akan lebih baik kedepannya. Berdasarkan (Gambar 22.) terlihat bahwa Kabupaten yang memliki KRT yang berpendidikan lebih rendah dibanding Kabupaten yang memiliki KRT berpendidikan lebih banyak, hasil pencapaian pembangunan manusia dengan indikator IPM nya dibawah rata rata. Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang merupakan Kabupaten yang memiliki KRT berpendidikan SMP/sederajat keatas dibawah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Secara umum dapat dikatakan bahwa pentingnya pendidikan untuk penduduk yang akan melangsungkan pernikahan, jangan sampai dengan pendidikan yang kurang dan tetap melakukan pernikahan dan mempunyai
65
anak, dengan tanggungan yang semakin banyak akan mengurangi fasilitas pendidikan dalam keluarga, sehingga pembangunan manusia memalui jalur pendidikan akan kurang dapat tercapai (Gambar 22). 90 Ko Tg 3 Cil 9
Ko Tg 8
Cil 3
Cil 8 Cil 7 Ko Tg 6
Cil 2
Cil 6
Cil 5
Ko Tg 2 Ko Tg 5
85 Ka Tg 7 Ka Tg 4
Ka Tg 9 Ka Tg 8 Ka Tg 6
IPM
Ka Tg 3
80
Srg 7 Pdg 8
Pdg 9
Pdg 7
Pdg 3 Lbk 8
Srg 9
Srg 6
Pdg 5 Lbk 9
Ka Tg 2
Srg 5
Lbk 6
Srg 4
Srg 2
75 Lbk 3 Lbk 2
70
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
KRT_Pendidikan_SMP_Keatas Sumber: BPS, 2009
Gambar 22. IPM dan KRT Berpendidikan SMP/Sederajat Keatas Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2002-2009 Banyak cara untuk mengevaluasi hasil pembangunan manusia dari bidang pendidikan ini. Berkaitan dengan pendistribusian pendidikan yang kurang merata, atau kurang dirasakan oleh penduduk miskin, maka solusi utama yang perlu diperhatikan adalah pendidikan kepala rumah tangga untuk Kabupaten/Kota yang dibawah rata rata. 5.2.5 Pengaruh Angka Kesakitan terhadap Pembangunan SDM Undang-undang Dasar 1945 dan Konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
66
menetapkan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia yang merupakan hak fundamental setiap warga. Dalam Undang-undang nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) juga dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing, maka kesehatan bersama-sama dengan pendidikan dan peningkatan daya beli keluarga/masyarakat adalah tiga pilar utama untuk meningkatkan kualitas SDM dan IPM Indonesia. Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan dalam tiga tahun terakhir telah berhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara bermakna. Derajat kesehatan masyarakat telah menunjukkan perbaikan seperti dapat dilihat dari angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan dan angka harapan hidup. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan didukung dengan ketersediaan berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, rumah sakit pemerintah dan swasta puskesmas. Selain itu terdapat berbagai fasilitas pelayanan kesehatan milik swasta atau perorangan, seperti: praktik dokter, klinik, apotek, laboratorium, rumah sakit, perusahaan farmasi, dan asuransi kesehatan (DINKES, 2010) Sasaran pembangunan kesehatan yang akan dicapai pada tahun 2025 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, yang ditunjukkan oleh indikator dampak yaitu: meningkatnya angka harapan hidup (AHH) dari 69 tahun pada tahun 2005 menjadi 73,7 tahun pada tahun 2025. Menurunnya angka kematian bayi dari 32,3 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2005 menjadi 15,5 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2025. Menurunnya angka kematian ibu dari 262 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2005 menjadi 74 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2025. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita dari 26 persen pada tahun 2005 menjadi 9,5 persen pada tahun 2025. Keberhasilan pembangunan kesehatan tidak semata-mata ditentukan oleh hasil kerja keras sektor kesehatan, tetapi sangat dipengaruhi pula oleh hasil kerja serta kontribusi positif berbagai sektor pembangunan lainnya. Optimalisasi hasil kerja serta kontribusi positif tersebut, harus dapat diupayakan masuknya wawasan kesehatan sebagai asas pokok program pembangunan nasional. Kesehatan sebagai salah satu unsur dari kesejahteraan rakyat juga mengandung arti terlindunginya
67
dan terlepasnya masyarakat dari segala macam gangguan yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan pada umumnya masih menempatkan masyarakat sebagai objek, bukan sebagai subjek pembangunan kesehatan. Pengetahuan, sikap dan perilaku serta kemandirian masyarakat untuk hidup sehat masih belum memadai. Tingkat kesehatan yang digunakan dalam estimasi ini sebagai suatu indikator semakin baiknya suatu pelayanan kesehatan bagi masyarakat, yaitu itu indikator kesehatan yang didekati dengan angka kesakitan. Variabelnya signifikan pada tingkat α = 5 persen dalam mempengaruhi IPM, dengan nilai peluang koefisien sebesar 0,000. Nilai koefisien sebesar 4,76796 memiliki arti peningkatan angka kesakitan sebesar 1 persen akan dapat meningkatkan IPM sebesar 4,76796. Semakin majunya pelayanan publik dibidang kesehatan salah satunya adalah peran dari pelayan dalam kesehatan. Dengan semakin meningkatnya para dokter dan tenaga medis lainnya, maka pelayanan akan kesehatan akan semakin meningkat. Fasilitas dari pemerintah yang sering tertulis dalam spanduk pentingnya kesehatan untuk masa depan bangsa dan negara. Salah satu tujuan utama dalam penanganan kesehatan diatas bahwa penanganan dini atau keluhan kesakitan merupakan hal yang perlu dilakukan, sehingga semakin tahun semakin banyak masyarakat yang peduli terhadap kesehatanya salah satu indikatornya adalah semakin banyak penduduk untuk mengikuti program asuransi, semakin banyak orang yang melakukan medical chek up di beberapa pelayananan publik di RS ataupun jasa kesehatan lainnya dan bahkan banyak masyarakat yang mulai memeriksakan dini apakah dalam tubuhnya terdapat penyakit dan dana untuk Jamkesmas mengalami peningkatan. Indikasi semakin pedulinya masyarakat dalam kesehatannya adalah keluhan kesakitan, yang dicatat sehingga ditahun tahun mendatang dapat ditangani lebih cepat. Penduduk Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak terlihat dua tahun terakhir ini menunjukkan peningkatan angka kesakitan. Peningkatan ini (seperti telah dijelaskan diatas) menunjukkan kesadaran dalam pengaksesan fasilitas kesehatan secara medis di kabupaten/kota (Gambar 23).
68
90 Ko Tg 3 Cil 3
Cil 2
Ko Tg 7
Cil 5
Cil 9
Ko Tg 9
Ko Tg 2 Cil 6
Cil 4 Ko Tg 6
Ko Tg 4
Ko Tg 8
Cil 8
Cil 7
85 Ka Tg 7
Ka Tg 5 Ka Tg 4
Ka Tg 8
Ka Tg 6
Ka Tg 3
Ka Tg 9
IPM
Ka Tg 2
80
Srg 7
Srg 6
Srg 8 Pdg 5
Srg 5
Srg 4
Pdg 9
Pdg 8
Pdg 6
Pdg 4
Srg 3 Lbk 4
Srg 9
Srg 2
Lbk 5 Pdg 2
Lbk 9
Lbk 7 Lbk 6
Pdg 7
Lbk 8
75 Lbk 3 Lbk 2
70
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
Angka_Kesakitan Sumber: BPS, 2009
Gambar 23. IPM dan Angka Kesakitan Menurut Kabupaten/Kota tahun 2002 2009 Dengan semakin banyak orang peduli terhadap kesehatannya tersebut ternyata berdampak terhadap pembangunan manusia, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kepedulian penduduk terhadap kesehatannya berdampak dalam menggunakan fasilitas kesehatan, sehingga semakin banyak orang menggunakan fasilitas kesehatan maka penduduk di Banten sudah mulai dalam kondisi sehat sehingga IPM di Banten akan semakin tinggi. Namun tidak menutup kemungkinan seandainya semua orang sudah peduli akan kesehatannya dan angka kesakitan masih menunjukkan peningkatan maka dapat dikatakan bahwa dimasa mendatang muncul permasalahan baru yang perlu dilakukan tinjauan seperti apakan muncul penyakit baru. Munculnya penyakit-penyakit baru, disebabkan kurang peduli terhadap lingkungan. Pencemaran tanah, udara dan air terkadang akibat kegiatan ekonomi
69
yang terus menerus, namun tidak peduli terhadap limbah yang dihasilkan. Angka kesakitan yang semakin meningkat, perlu lebih diketahui lebih lanjut apa yang menjadi penyakit utama di masing masing daerah. Rata rata penyakit yang paling sering mengganggu diwilayah Banten adalah batuk, pilek dan diiringi panas (Lampiran 17). Pemerintah daerah akan mudah mengetahui dalam pendistribusian obat, tenaga medis yang berkaitan dengan penyakit tersebut dan dalam penanganan dini terhadap penyebab penyakit tersebut akan ditanggulangi secepatnya dan kerusakan lingkungan dapat segera diatasi. 5.3. Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan sebelumnya, maka disarankan beberapa kebijakan, antara lain: 1. Pembangunan ekonomi merupakan syarat utama dalam pembangunanpembangunan dibidang lainnya, pembangunan SDM merupakan salah satu bidang tersebut. Salah satu indikator hasil pembangunan ekonomi yang secara langsung digunakan dalam pembangunan SDM melalui masyarakat adalah indikator PDRB perkapita. PDRB perkapita sebagai salah satu indikator pendapatan dari penduduk, apabila semakin meningkat maka pengeluaran belanja masyarakat akan bergeser ke bukan makanan, sehingga konsumsi untuk pendidikan dan kesehatan akan meningkat. Tingginya PDRB perkapita di Kota Tangerang dan Kota Cilegon diikuti pula meningkatnya konsumsi pendidikan dan kesehatan, sehingga angka IPM di kedua kota tersebut termasuk yang tertinggi. Hasil penelitian PDRB perkapita merupakan salah satu variabel yang berpengaruh secara positif dalam peningkatan IPM. Untuk itu perlu adanya peningkatan PDRB perkapita. Peran pemerintah Provinsi Banten dan kabupaten/kota perlu segera untuk meningkatkan PDRB perkapita terutama terhadap wilayah yang masih kecil PDRB perkapitanya. 2. Pengeluaran pemerintah untuk bidang pendidikan dan kesehatan merupakan salah satu komitmen pemerintah dalam turut serta dalam pembangunan manusia. Mendirikan sekolah, sehingga murid dekat dalam aksesnya, dana BOS, agar masyarakat miskin tetap mampu untuk sekolah, belanja aparatur pendidikan agar pelayanan guru terhadap muridnya meningkat. Pelayanan
70
kesehatan oleh pemerintah adalah mulai dibangunnya rumah sakit daerah, puskesmas dan mengirimkan tenaga medis tingkat desa/kelurahan. Persentase pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan dalam penelitian ini ternyata berpengaruh posistif dan signifikan dalam peningkatan IPM. Peran pemerintah yang perlu dilakukan adalah peningkatan anggaran untuk kedua bidang tersebut agar lebih maksimal dalam pelaksanaannya. Namun dengan melihat adanya daerah kabupaten/kota di Provinsi Banten yang persentasenya sudah besar namun IPM yang dihasilkan masih kecil, maka perlu adanya evaluasi yang lebih terhadap program-program yang kurang tepat sasaran. 3. Penduduk yang berkualitas salah satu indikatornya adalah KRT berpendidikan.
Bermodal
pendidikan
maka
produktivitasnya
akan
meningkat, untuk mencari pekerjaan akan mudah sehingga pendapatannya akan naik dan berlanjut mudah dalam akses sosial dan akhirnya dalam keluarganya menghasilkan anak-anak yang berpendidikan dan sehat. Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak merupakan daerah yang memiliki KRT berpendidikan SMP/sederajat keatas yang masih dibawah rata rata Provinsi Banten, dan tidak dipungkiri IPM di kedua daerah itupun yang terkecil diantara kabupaten/kota se Provinsi Banten. Temuan dalam penelitian ini adalah KRT berpendidikan SMP/sederajat keatas berpengaruh positif dan signifikan meningkatkan IPM. Peran pemerintah yang diharapkan dapat memacu daerah-daerah yang KRTnya masih berpendidikan dibawah SMP dan mendorong penundaaan pernikahan dini bagi yang pendidikannya masih rendah. Untuk itu perlu strategi pembangunan yang dilakukan perlu dibuat menjadi lebih pro-poor, dengan cara memberi akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang lebih luas, sehingga penduduk miskin bisa berpartisipasi dalam pembangunan dan mendapatkan manfaatnya. 4. Pembangunan dibidang kesehatan sudah mencapai pelosok Provinsi Banten, hal ini berhasil meningkatkan pelayanan medis terjangkau oleh masyarakat, dan untuk masyarakat yang kurang mampu diberikan berbagai program Jamkesmas, Jamkesda, PKH yang sudah berjalan beberapa tahun yang lalu. Kesadaran Masyarakat terhadap kesehatannya sudah mulai terlihat, salah
71
satunya data penolong kelahiran yang dilakukan medis meningkat dibandingkan non medis, banyak puskesmas yang didatangi masyarakat untuk memperoleh pengobatan. Salah satu indikator kesehatan yang diharapkan menurun adalah angka kesakitan, namun di Provinsi Banten angka kesakitan terus mengalami peningkatan. Peningkatan angka kesakitan di Provinsi Banten diharapkan merupakan salah satu kepedulian masyarakat yang sudah mulai sadar terhadap kesehatnnya, yaitu: sudah mulai beralih berbagai pengobatan ke tenaga medis sehingga sudah mulai tercatat dan ini berakibat angka kesakitan meningkat, dan dengan banyaknya tenaga medis di setiap desa/kelurahan mereka mampu memberi penjelasan tentang pentingnya kesehatan. Berdasarkan penelitian ini angka kesakitan berperan positif dan signifikan dalam peningkatan pembangunan manusia. Peran pemerintah yang dapat dilakukan adalah dengan mencari berbagai penyakit yang dominan di Provinsi Banten, sehingga pendistribusian obat dan tenaga medis yang sesuai dengan penyakit tersebut. Salah satu penyebab munculnya penyakit adalah limbah akibat kegiatan ekonomi, untuk itu perlu adanya peraturan daerah yang jelas dan tegas dalam mengatasi masalah limbah ini. 5. Pembangunan manusia sangatlah penting dilaksanakan secepatnya, namun perlu kerjasama dari semua lapisan, masyarakat, pihak swasta maupun pemerintah.
Berbekal
informasi
karakteristik
sosial
masing-masing
kabupaten/kota dan adanya koordinasi yang berkesinambungan antar dinas yang kompeten menangani bidang tersebut, serta adanya komitmen bersama Insya Allah pembangunan berkelanjutan yang akan menghasilkan SDM berkualitas di Provinsi Banten akan berhasil.