Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
PEMBANGUNAN DESA BERBASIS KOMUNITAS (KASUS DI PROVINSI BANTEN) DR. Agus Sjafari Prodi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Pakupatan-Serang, Banten E-mail:
[email protected] ABSTRACT Indonesia as an archipelagic country is a rich country with enormous natural resources, whether land resources and marine resources are very abundant. Geographic location and wealth of resources that should be developed for the welfare of the community. Seeing such objective conditions, it's time when the development process in Indonesia is more focused on an agricultural-based development that emphasizes the empowerment of rural communities. The concept of development which has been more focused on the development of urban areas is extremely degraded. This is caused by rapid population growth. Attention to rural development which focuses on the process of renewal of natural resources becomes a necessity that can not be circumvented. Resources in the village is actually very large, but because there is no partiality of government to invest in rural villages finally getting left behind. In the end the massive urbanization of the villagers to urban areas. Therefore it is logical if there is a reorientation of an agrarian-based development that can memberdayaan villagers. Banten Province as one of the new province in Indonesia is an area that needs to get priority-based agricultural development. The objective of Banten has an area of three-quarters of its territory located in rural areas. Thus, in an objective region has a very big agricultural potential which is currently completely untapped. Thus one of the strategies of development that needs to be done to optimize the potential of agrarian owned Banten Province through the construction of model villages with community-based society. Rural community development model can be assessed in terms of economic and social empowerment of the community in Banten Province. Keywords: rural development, community Adanya perhatian pembangunan desa didasarkan kepada suatu kondisi bahwa lebih dari 2/3 penduduk Indonesia berada di daerah pedesaan (baik itu rural village maupun urban village). Di samping itu, bila dilihat dari segi sejarah, terlihat perbedaan pandangan dalam melihat desa antara Indonesia dengan beberapa Negara ‘maju’. Bila pada beberapa Negara ‘maju’ desa hanya merupakan garis belakang (hinterland) yang memberi dukungan pada kota, di Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu desa menjadi titik senteral kehidupan Negara (Rukminto Adi, 2003 : 292). Perhatian kepada pembangunan pedesaan yang menitikberatkan pada proses pembaharuan sumber daya alam menjadi keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Sumber daya di desa sebenarnya sangat besar, namun karena tidak ada keberpihakan pemerintah untuk berinvestasi di desa akhirnya desa semakin tertinggal. Pada akhirnya terjadi urbanisasi besar-besaran penduduk desa ke perkotaan. Oleh karena itu sangatlah logis apabila terdapat reorientasi pembangunan berbasis agraris yang mampu memberdayaan masyarakat desa. Provinsi Banten sebagai salah satu provinsi baru yang ada di Indonesia merupakan wilayah yang perlu mendapatkan prioritas pembangunan yang berbasis agraris. Secara obyektif wilayah Banten memiliki luas wilayah yang tiga perempat wilayahnya berada di wilayah pedesaan. Dengan demikian secara obyektif wilayah tersebut memiliki potensi agraris yang sangat besar yang saat ini sama
1.
PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan sebuah negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat besar, baik itu sumber daya daratan maupun sumber daya lautan yang sangat melimpah. Letak geografis serta kekayaan sumber daya itulah yang seharusnya dapat dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Kekayaan alam seperti halnya kandungan mineral, potensi ikan, nilai pariwisata laut dengan terumbu karang yang luas, gas serta energi yang menyebar di seluruh wilayah nusantara, dimana dua pertiga adalah pertanian yang berada di wilayah pedesaan. Memberi justifikasi terhadap hadirnya Indonesia sebagai negara agraris di dunia, baik secara ekonomi maupun budaya. Dengan kata lain, Indonesia adalah negara yang kuat, makmur dan sejahtera akan tegak bila negeri ini dibangun berdasarkan visi agraris yang didukung oleh sumber daya manusia yang kreatif dan terdidik serta didukung oleh kebijaksanaan pemerintah . Melihat kondisi obyektif yang demikian tersebut, sudah saatnya apabila proses pembangunan di Indonesia lebih menitikberatkan kepada pembangunan berbasis agraris yang menekankan kepada pemberdayaan masyarakat desa. Konsep pembangunan yang selama ini lebih menitikberatkan kepada pembangunan wilayah perkotaan sudah mengalami degradasi yang amat sangat. Hal ini disebabkan karena pesatnya pertumbuhan penduduk.
[118]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Berdasarkan data – data diatas menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan desa di Provinsi Banten menunjukkan laju pertumbuhan yang rendah. Tingkat pembangunan yang terjadi di desa di Provinsi Banten masih tergolong lambat, baik dilihat dari pembangunan fisik desa, perkembangan sumber daya manusia, serta pembangunan sosialnya. Tingkat kemiskinan lebih terpusat di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Meskipun sumber daya alam yang melimpah tanpa ditunjang oleh kualitas sumber daya manusianya, mengakibatkan sumber daya alamnya belum tergali dan termanfaatkan secara optimal. Pola – pola pembangunan tidak hanya terpaku kepada pembangunan fisik desa semata, melainkan perlu adanya rekayasa sosial yang mampu melibatkan partisipasi masyarakat desa untuk menemukan permasalahannya sendiri, merencanakan dan mendesain rencana pembangunannya, melaksanakan sendiri, serta mampu menilai tingkat keberhasilan dari kegiatan pembangunannya tersebut. Program – program pemberdayaan perlu digalakkan dengan melibatkan beberapa pihak terkait di dalam membangun desa. Pemerintah bersama dengan pihak swasta, NGO, dan lembaga pendidikan tinggi perlu bersama – sama terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat desa di Provinsi Banten.
sekali belum tergarap. Dilihat dari pembagian daerah pedesaan di atas bahwa hampir 2/3 desa di Provinsi Banten termasuk ke dalam rural village misalnya saja di wilayah Kabupaten Lebak, Pandegelang, dan sebagian wilayah di Serang dan Cilegon. Sedangkan sisanya yang hanya 1/3 yang termasuk ke dalam urban village yang sebagian besar berada di Kabupaten dan Kota Tangerang. Dengan demikian salah satu strategi pembangunan yang perlu dilakukan guna mengoptimalkan potensi agraris yang dimiliki Provinsi Banten tersebut melalui model pembangunan masyarakat desa dengan berbasis komunitas. Model pembangunan masyarakat desa tersebut dapat dikaji dari sisi pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat di Provinsi Banten. 2.
WAJAH DESA BANTEN Berbicara mengenai kondisi desa di Provinsi Banten memang perlu mendapatkan perhatian yang besar, baik dari segi paembangunan fisik desa maupun pembangunan non fisik (sosial ekonomi) masyarakat desanya. Beberapa data kondisional terkait dengan desa di Provinsi Banten adalah sebagai berikut: a. Sebanyak 764 desa atau 51,52% tergolong dalam desa tertinggal, terdiri dari 458 desa tertinggal di daerah tertinggal dan 306 desa tertinggal di daerah non tertinggal (Suharso, 2010) b. Banyaknya Desa Menurut Keberadaan Penderita Gizi Buruk Dalam 3 Thn Terakhir, Keluarga Penerima Kartu Askeskin dan Keluarga Penerima Surat Miskin/SKTM dalam 1 Thn Terakhir seperti yang tercantum dalam tabel 1.
c.
3.
PROBLEMATIKA MASYARAKAT BANTEN Masyarakat desa pada dasarnya terdiri dari masyarakat yang tingkat pendapatan dan penghasilan ekonominya relatif rendah. Rendahnya tingkat penghasilan dan pendapatan ekonomi keluarga pesisir dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain: 1) Rumah yang tidak permanen; 2) kualitas kesehatan yang sangat buruk; 3) lingkungan keluarga yang tidak sehat; 4) kualitas makanan/kalori yang dikonsumsi tidak memadai dari sisi kesehatan dan sebagainya. Rendahnya pendapatan dan penghasilan ekonomi keluarganya dikarenakan oleh rendahnya atau belum berkembangnya perilaku masyarakat desa tersebut. Rendahnya atau belum berkembangnya perilaku masyarakat desa tersebut ditandai oleh: 1) tingkat pengetahuan yang rendah dikarenakan tingkat pendidikannya yang rendah; 2) Sikap mental masyarakatnya yang masih tradisional tanpa disertai oleh keinginan untuk maju dan berkembang; serta 3) Keterampilan yang tidak mamadai untuk dapat bersaing hidup di kota besar seperti di Propinsi Banten. Kehidupan masyarakat desa di Propinsi Banten tersebut mengakibatkan kehidupannya yang terasing baik secara sosial, ekonomi maupun politik; secara sosial mereka tetap teridentifikasi sebagai masyarakat marginal (terpinggirkan) dan tidak memiliki modal sosial yang mamadai untuk dapat
Data kemiskinan desa di Provinsi Banten dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
[119]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
bersaing dengan masyarakat lainnya yang memiliki modal sosial dan modal ekonomi yang besar. Rendahnya tingkat penghasilan masyarakat desa di Propinsi Banten, yang berdampak terhadap rendahnya kesejahteraan mereka menempatkan mereka (masyarakat desa) sebagai masyarakat yang tingkat kemandiriannya tergolong rendah. Artinya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, sebenarnya mereka masih sangat membutuhkan uluran tangan serta bantuan dari pihak-pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasaan ekonomi yang lebih, misalnya saja orang kaya, pihak pemerintah, pihak swasta dan lain sebagainya. Tanpa bantuan dari pihak-pihak tersebut, menjadikan mereka semakin tidak berdaya dan dalam kondisi yang sangat kekurangan. Dengan demikian guna membangun kemandirian masyarakat desa tersebut, sangatlah perlu ditunjang oleh proses pemberdayaan yang intensif bagi masyarakat desa tersebut.
masih jarang sekali program pemberdayaan masyarakat desa tersebut yang berwujud How to empowering masyarakat desa tersebut agar terbebas dari ketidakberdayaannya tersebut. Pola-pola pemberdayaan dalam bentuk charity tersebut sangatlah memungkinkan untuk menuai kegagalan. Dalam prakteknya pola tersebut hanya akan membantu masyarakat desa tersebut dalam jangka waktu pendek. Setelah bantuan tersebut habis maka mereka (masyarakat desa) akan kembali menjadi miskin dan tidak berdaya. Program PNPM yang selama ini digulirkan oleh pemerintah perlu mendapatkan penilaian yang proporsional. Kritik terhadap program PNPM tidak lain adalah perlunya keberpihakan dari program tersebut untuk lebih menekankan kepada pembangunan aspek sosial dan ekonomi. Proporsi anggaran PNPM sebesar 70% untuk pembangunan fisik desa tertinggal hanya berkontribusi untuk membenahi wajah desa namun bersifat sesaat tanpa menciptakan kemandirian masyarakat untuk menciptakan usaha yang potensial yang dapat dikembangkan oleh keluarga di pedesaan. Alangkah elegannya apabila kepentingan sosial dan ekonomi keluarga juga menjadi perhatian dalam PNPM tersebut.
4.
URGENSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA Pembangunan masyarakat desa yang sekarang disebut juga dengan nama pemberdayaan masyarakat desa, pada dasarnya, serupa dan setara dengan konsep pengembangan masyarakat (Community Development). Menurut Schlippe (Rukminto Adi, 2003 : 393) pada mulanya teori tentang pembangunan masyarakat desa ini tidak ada. Perkembangan teori pembangunan desa dimulai dengan praktek, yaitu dari kebutuhan yang dirasakan di dalam masyarakat terutama dalam situasi social yang dihadapi di dalam negara – negara yang menghadapi perubahan social yang cepat. Secara teoritis proses pemberdayaan bagi masyarakat desa secara umum sangat bergantung pada dua hal yaitu 1) kekuatan yang ada pada internal (diri masyarakat itu sendiri); 2) perlunya intervensi dari kekuatan ekternal yaitu kekuatan yang ada di luar dari dirinya tersebut. Kekuatan yang ada pada dirinya menyangkut segala potensi yang dimiliki oleh masyarakat tersebut misalnya motivasi, keterampilan, kebutuhan, pengetahuan, sikap mental, dan sebagainya. Sedangkan kekuatan yang berasal dari luar dirinya terkait dengan adanya bantuan atau stimulus yang mendorong mereka untuk lebih berdaya antara lain bantuan uang, bantuan alat dan sarana prasarana, kemampuan beradaptasi, kemampuan organisasi dan sebagainya (Sjafari : 2007). Pola pemberdayaan yang selama ini dilakukan, baik oleh pihak pemerintah, pihak swasta ataupun oleh pihak-pihak lainnya lebih menekankan dan menitikberatkan kepada program charity (sumbangan, bantuan dan amal) atau lebih lebih kepada program how to give something seperti halnya Program Bantuan langsung Tunai (BLT) oleh pemerintah, bantuan sarana prasarana, bantuan lahan dan perumahan dan sebagainya. Di sisi lain lain
5.
PEMBANGUNAN BERBASIS KOMUNITAS Berbicara mengenai kegiatan pembangunan khususnya di wilayah pedesaan mengandung kompleksitas yang tinggi dengan melihat beberapa aspek yang diukur dalam keberhasilan pembangunan tersebut. Secara lebih gamblang Mardikanto (1991) mengemukakan bahwa pembangunan merupakan upaya sadar dan terencana untuk melaksanakan perubahan – perubahan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan perbaikan mutu hidup atau kesejahteraan seluruh warga masyarakat untuk jangka panjang, yang dilaksanakan oleh pemerintah yang didukung oleh masyarakatnya, dengan menggunakan tehnologi yang terpilih. Salah satu pola pemberdayaan masyarakat desa yang dinilai mampu memberikan kontribusi dalam jangka panjang adalah melalui pendekatan dan pembelajaran komunitas melalui kelompok atau organisasi. Strategi pendekatan dan pembelajaran komunitas pada masyarakat desa selama ini jarang disentuh. Padahal kita tahu bahwa melalui pendekatan dan pembelajaran komunitas tepatnya melalui pembelajaran kelompok bagi masyarakat desa tersebut, akan memiliki potensi mamampukan mereka di dalam memecahkan problematika hidup yang selama ini mereka hadapi. Mengapa menggunakan pendekatan komunitas ?. Komunitas dalam hal ini merujuk pada warga – warga sebuah desa, kota, suku atau suku bangsa. Soekanto (2000) menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu kelompok baik besar maupun kecil [120]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
yang anggotanya hidup bersama sedemikian rupa sehingga mereka merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memebuhi kepentingan – kepentingan hidup yang utama. Kriteria yang utama bagi adanya suatu masyarakat adalah adanya social relationship antara anggota – anggota kelompok tersebut. Redfield (1963 : 4) menguraikan karakteristik komunitas. Sebagai realitas sosial yang diidentifikasikan sebagai pemukiman kecil penduduk, bersifat mandiri (self contained) dan yang satu berbeda dengan yang lainnya. Beberapa karakteristik komunitas antara lain: a. Komunitas memiliki kesadaran kelompok b. Komunitas tidak terlalu besar sehingga setiap anggota berkesemapatan mengenal secara pribadi satu sama lain, tetapi tidak terlalu kecil sehingga mereka dapat melakukan usaha bersama secara efisien. c. Komunitas bersifat homogen. d. Komunitas hidup mandiri (Self-sufficient). Asumsi yang dibangun adalah melalui penguatan komunitas yang tinggi dan stabil akan lebih menciptakan kemandirian bagi masyarakat desa, khususnya masyarakat desa yang ada di Propinsi Banten. Melalui penguatan komunitas inilah, program-program pemberdayaan bagi masyarakat desa tersebut akan lebih terencana, terprogram dan memiliki tingkat efektivitas yang tinggi. Hal yang terpenting dalan penguatan komunitas tersebut bahwa dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pemberdayaan tersebut di lakukan secara mandiri oleh kelompok-kelompok masyarakat tersebut. Pihak – pihak di luar masyarakat dibutuhkan untuk melakukan proses pendampingan serta membuat kebijakan – kebijakan yang berpihak kepada pembangunan komunitas tersebut. Dalam mengimplementasikan proses pembangunan desa berbasis komunitas, diperlukan adanya sesnsitivitas masyarakat desa di dalam menilai kondisi desanya masing – masing. Pada awalnya setiap anggota masyarakat desa diharapkan mampu menilai dan mengevaluasi setiap kondisi baik secara fisik maupun non fisik desa. Ketika pada elemen tertentu terdapat hambatan-hambatan, maka dengan sesegera mungkin dilakukan perbaikanperbaikan. Terdapat beberapa aspek yang terkait di dalam mengembangkan sumber daya yang ada di desa tersebut. Secara lebih konkrit, implementasi pembangunan desa berbasis komunitas dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Berdasarkan Gambar 1 dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) Pada TAHAP INPUT, rendahnya keberdayaan masyarakat desa pada saat ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: rendahnya karakteristik individu yang di dalamnya terdapat pendidikan formal, pendidikan non formal, usia, dan jumlah keluarga yang semuanya dalam kualitas yang rendah, serta tidak kondusifnya lingkungan fisik dan sosial yang ada di desa. Sebagian besar masyarakat desa juga tidak mampu meningkatkan sumber daya ekonomi dan sumber daya sosialnya. (b) Pada TAHAP PROCESS, bahwa melalui intervensi pemberdayaan masyarakat desa yang menekankan kepada penguatan komunitas akan menciptakan keberdayaan masyarakat desa menjadi lebih tinggi. Pengembangan sumber daya desa meliputi kegiatan mengidentifikasi, memelihara dan menilai sumber daya yang terdiri dari sumber daya fisik dan non fisik. Pengembangan kelompok dan peningkatan intensitas dalam intervensi pemberdayaan merupakan kegiatan yang akan mendukung keberhasilan dalam pengembangan sumber daya desa. Melalui kegiatan pengembangan kelompok dan kegiatan intervensi pemberdayaan, maka setiap anggota masyarakat desa akan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sumber daya yang ada di desa. Artinya kegiatan kelompok yang di dalamnya terdapat kepemimpinan kelompok masyarakat, kedinamisan kelompok masyarakat, dan intensitas komunikasi kelompok masyarakat memberikan pembelajaran kepada masyarakat desa untuk tahu, mau dan mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya desa yang dimiliki. Selama ini tingkat kepedulian anggota masyarakat desa terhadap sumber daya yang ada di desa tergolong sangat rendah. Rendahnya sumber daya desa dipersepsikan sebagai sebuah kondisi yang tidak dapat diperbaiki. Adanya kepedulian anggota masyarakat desa terhadap sumber daya desa akan memudahkan masyarakat desa menjadi lebih berdaya. Keberadaan kelompok akan mendorong masyarakat desa untuk lebih peduli terhadap sumber daya yang ada di desanya. Sedangkan Intervensi pemberdayaan akan memberikan keterampilan bagi masyarakat desa di dalam memanfaatkan sumber daya desa. (c) Pada TAHAP OUTPUT, merupakan hasil yang akan dicapai dengan adanya kegiatan intervensi pemberdayaan masyarakat desa melalui pengembangan sumber daya desa yaitu adanya keberdayaan masyarakat desa yang ditandai dengan tingkat adaptasi masyarakat desa yang [121]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
tinggi, tingkat pencapaian tujuan masyarakat desa menjadi terarah, tingkat integrasi masyarakat desa menjadi semakin tinggi, serta terbentuknya nilai-nilai positif dan maju dalam masyarakat desa yang terkondisikan dalam nilai-nilai laten di masyarakat. (d) Pada TAHAP OUTCOMES, adanya peningkatan keberdayaan masyarakat di atas pada akhirnya berdampak secara langsung terhadap semakin tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat (better society) yang ditandai dengan: semakin tingginya tingkat pendapatan masyarakat, terpenuhinya kebutuhan dasar, terpenuhinya kebutuhan sekunder, terpenuhinya kebutuhan tertier, serta yang tidak kalah pentingnya adalah adanya ketepatan dalam pengelolaansumber daya desa. Terciptanya kondisi kesejahteraan bagi masyarakat desa tersebut secara akumulatif diharapkan akan berdampak kepada terciptanya kondisi desa yang lebih baik (better villages). Kondisi Better villages inilah yang diharapkan dapat tercapai melalui implementasi pemberdayaan komunitas. Pada akhirnya pada tahapan feed back, bahwa better villages inilah yang merupakan bentuk jawaban terhadap pemecahan terhadap kesejahteraan masyarakat yang semakin meningkat tersebut. Implementasi pembangunan desa berbasis komunitas khususnya terhadap masyarakat desa sangat diperlukan untuk mencapai tingkat keberdayaan, yang dilakukan keluarga melalui kegiatan perencanaan program pemberdayaan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: (a) ANALISIS SITUASI. Pada tahapan ini yang dilakukan adalah melakukan pengamatan, observasi, pengumpulan data (faktual dan potensial) serta melakukan analisis situasi yang terkait dengan kondisi masyarakat desa tersebut. (b) MASALAH DAN PERUMUSAN MASALAH. Pada tahapan ini, pihak eksternal yang melakukan pemberdayaan bersama dengan masyarakat desa merumuskan masalah yang jelas pada masyarakat desa dengan maksud untuk menentukan real needs atau dengan kata lain dapat merubah felt needs menjadi real needs. (c) MENENTUKAN TUJUAN PROGRAM. Pada tahapan ini, pihak eksternal yang melakukan pemberdayaan harus mampu melakukan identifikasi dan perumusan program pemberdayaan yang jelas tentang: “Apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari kegiatan pembangunan desa yang akan dilakukan terhadap masyarakat desa tersebut. (d) MENENTUKAN CARA/PROGRAM. Setelah pihak eksternal yang melakukan pemberdayaan tersebut menentukan tujuan dari kegiatan
pembangunan desa secara jelas, maka pada tahap ini diperlukan untuk merancang dan mengimplementasikan programnya tersebut. Apabila semua tahapan di atas dapat dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan bukan tidak mungkin apabila masyarakat desa mampu melakukan perubahan dan perbaikan yang optimal. Aspek sumber daya desa merupakan salah satu faktor yang sangat kuat untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat desa. Sumber daya desa merupakan modal utama yang memungkinkan masyarakat desa menjadi lebih sejahtera. Daftar Pustaka Mardikanto, Totok.1991. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Solo. UNS Press Rukminto Adi, Isbandi.2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Sjafari, Agus. 2007. Pembangunan Masyarakat; Teori dan Implementasi di Era Otonomi Daerah, Bogor. CDI Press Soekanto .2000. Pembangunan Masyarakat, Jakarta :Reineka Cipta Redfield,.1963. Community Organization: Theory, principles dan Practise. Second Edition. New York; haper & Row publishers Suharso, Babar. 2010. Banten Yang Ideal di Era Otonomi Daerah, Bappeda Serang Banten.
Identitas Penulis Agus Sjafari, Lahir di Pamekasan 24 Agustus 1971; menempuh Program Sarjana Ilmu Administrasi Publik di FISIP UNSOED Purwokerto; selanjutnya menempuh Magister Ilmu Administrasi Publik di UNPAD Bandung; kemudian menyelesaikan Program Doktor di Program Penyuluhan Pembangunan di IPB Bogor. Aktif dalam kegiatan pembangunan masyarakat (Community Development). Saat ini menjabat sebagai Sekjen di the Community Development Institute (CDI); Aktif sebagai pemerhati sosial dan pemerintahan; kolomnis di beberapa surat kabar nasional maupun lokal. Saat ini menjabat sebagai Pembantu Dekan Bidang Akademik FISIP Untirta Serang Banten
[122]