PERLUNYA RESI GUDANG UNTUK MENSTABILKAN HARGA BERAS DI PROVINSI BANTEN Dewi Haryani, Viktor Siagian dan Tian Mulyaqin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jln.Ciptayasa KM.01 Ciruas Serang (42182) Banten Telp.0254-281055, Email:
[email protected]
ABSTRAK Petani padi masih sering dihadapkan pada masalah harga jual padi yang tidak stabil pada musim panen hingga pada tingkat harga yang tidak menguntungkan petani. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menunda jual hasil panennya, namun petani membutuhkan uang tunai untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. Makalah ini bertujuan memberikan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah Provinsi Banten bahwa resi gudang merupakan salah satu alternatif solusi yang layak diterapkan untuk mengatasi masalah harga dan permodalan yang dihadapi oleh petani padi. Pengkajian ini menggunakan metode survey terstruktur dengan menggunakan analisis secara deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa Provinsi Banten memerlukan Sistem Resi Gudang (SRG) untuk mengantisipasi surplus beras yang cukup besar dengan harga yang berfluktuatif dan sangat rendah pada musim tertentu. Rekomendasi untuk Provinsi Banten adalah 1) pengelola SRG dapat diserahkan kepada pihak koperasi dan swasta, 2) perlu adanya kejelasan pasar dengan membuat jaringan pasar dan jaringan informasi harga, 3) sarana dan prasarana pertanian harus dimiliki oleh petani atau kelompok tani agar kualitas produk yang akan disimpan bisa sesuai dengan standar yang ditentukan, sehingga perlu adanya kebijakan khusus dari Pemerintah terutama dalam segi pembiayaan dan subsidi bunga Bank, 4) perlu dibangunnya SRG disetiap kabupaten. Kata Kunci: Sistem Resi Gudang, Stabilitas Harga, Petani Padi PENDAHULUAN Pangan merupakan kebutuhan manusia yang azasi, sehingga ketersediannya
bagi
masyarakat harus selalu terjamin. UU No 7 tahun 1996 tentang pangan mengamanatkan, bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab mewujudkan ketahanan pangan. Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman merata dan terjangkau
oleh
daya
beli
masyarakat.
Selanjutnya
masyarakat
berperan
dalam
menyelenggarakan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi , serta sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang aman dan bergizi. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi Provinsi Banten tahun
2010 sebesar 2,05 juta ton Gabah Kering Giling. Jumlah tersebut meningkat sebesar 199,04
Buletin IKATAN Vol. 3 No. 2 Tahun 2013
50
ribu ton (10,76 persen) dibandingkan produksi padi tahun 2009, sedangkan ditahun 2009 meningkat sebesar 25,21 ribu ton (1.39 persen) dibandingkan produksi padi tahun 2008. Melihat kondisi ini produksi padi Provinsi Banten dari tahun-ketahun terus meningkat. Peningkatan produksi di Propinsi Banten paling banyak didukung dari peningkatan produksi dari kabupaten Pandeglang, Lebak dan Serang. Pada tahun 2011, Propinsi Banten mentargetkan produksi Gabah Kering Giling (GKG) sebesar 2.089.382 ton. Namun peningkatan produksi yang diperoleh tidak memberikan insentif yang baik bagi petani sebagai produsen. Pada saat panen raya padi, petani sering dihadapkan pada masalah anjloknya harga gabah hingga pada tingkat yang tidak menguntungkan. Petani sebetulnya bisa saja menyiasatinya dengan menunda menjual hasil panennya, tetapi mereka dihadapkan pada kondisi yang sulit karena harus memiliki uang tunai untuk musim tanam berikutnya atau untuk mencukupi keperluan hidup rumah tangganya. Keterbatasan prasarana pascapanen, seperti lantai jemur, juga sering menjadi masalah. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut sudah pernah dilakukan, antara lain melalui koperasi dengan sistem “gadai gabah” bagi anggotanya. Namun, cara ini
terkendala oleh
keterbatasan dana. Salah satu alternatif untuk mengatasi kerugian petani akibat anjloknya harga gabah adalah dengan menerapkan sistem resi gudang (warehouse receipt). METODOLOGI Pengkajian ini merupakan studi literatur dan didukung oleh beberapa informasi dari sumber data primer yang relevan terhadap kajian ini. Data dan informasi diperoleh melalui survey terstruktur di 4 (empat) kabupaten (Pandeglang, Lebak, Serang dan Tangerang) dan gabungan kota. Dilaksanakan pada bulan Agustus 2011 dengan fokus sampel adalah data Provinsi Banten. Data yang diperoleh dianalis dan disajikan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Produksi Padi di Provinsi Banten Provinsi Banten memiliki luas wilayah 9.662 km2, dengan penduduk pada tahun 2009 berjumlah 9.782.779 jiwa. Letak Banten sangat strategis karena merupakan pintu gerbang dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera. Disamping itu Banten merupakan salah satu lumbung pangan di Indonesia. Luas panen padi pada tahun 2009 seluas 366.138 ha dengan produksi 1.849.008 ton atau dengan produktivitas 5,05 ton gkg/ha. Pada Tahun 2010 produksi padi di
Buletin IKATAN Vol. 3 No. 2 Tahun 2013
51
Banten berjumlah 2.048.047 ton dengan produktivitas 5,04 ton gkg/ha (Ditjen Tanaman Pangan, 2011). Menurut Afia (2010), tingkat konsumsi beras per kapita di Provinsi Banten sebesar 140 kg/tahun
berarti
kebutuhan beras sebesar 1.369.589 ton, dengan demikian
masih surplus 678.458 ton. Surplus ini relatif besar dan jika tidak diserap oleh Bulog atau dijual ke luar Provinsi Banten akan menyebabkan turunnya harga jual. Umumnya gabah dijual ke luar daerah Banten dan dijual lagi ke daerah Banten dalam bentuk beras (Anonim, 2010a). Surplus umumnya dijual ke daerah lain seperti DKI Jakarta. Jika dilihat pada Tabel 1. Produksi padi tertinggi pada tahun 2010 adalah Kabupaten Pandeglang,
kemudian
yang kedua adalah Kabupaten Lebak dan selanjutnya adalah
Kabupaten Serang. Jika dilihat dari letak geografis, maka Kabupaten Pandeglang adalah yang memiliki luas panen dan produksi tertinggi di wilayah selatan sedangkan di wilayah utara adalah Kabupaten Serang. Dari hasil Rapat Kerja Koordinasi Bidang Pangan dan Ternak (Rakorbid Tannak) tahun 2011, produksi beras tahun 2011 berjumlah 1.963.505 ton (turun 4,1%). Tabel 1.Luas Panen,Produktivitas dan Produksi Padi di Provinsi Banten Tahun 2010 Kabupaten Luas panen (ha) Pandeglang Lebak Serang Tangerang Gab. Kota Total
128.721 97.295 81.837 78.960 19.598 406.411
2010 Produkti vitas (ton/ha) 4.89 5.01 5.13 5.19 5.20 5.04
Produksi (ton) 630.188 487.122 419.791 409.452 101.494 2.046.047
Sumber: BPS Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2011. Perkembangan Harga Gabah di Provinsi Banten Harga gabah di Provinsi Banten berfluktuatif sebagaimana di daerah lain. Berdasarkan data BPS (2008) harga rata-rata GKP di tingkat petani
pada
bulan Maret dan April 2008
sebesar Rp 1.867/kg dan Rp. 1.887/kg ( dibawah Harga Pembelian Pemerintah/HPP yaitu Rp 2.000/kg), sedangkan pada bulan Januari, Februari, Mei-Desember 2008 harga GKP ditingkat petani berada diatas Harga Pembelian Pemerintah/HPP. Pada Bulan Februari-April dan JuniSeptember 2009 harga rata-rata GKP di tingkat petani berada dibawah HPP hanya pada bulan Mei dan Oktober-Desember 2009 harga rata-rata GKP berada di Atas HPP Demikian juga dengan Harga rata-rata GKP ditingkat petani pada tahun 2010 mengalami fluktuasi harga yang cukup signifikan dimana pada bulan Maret, April dan Juli harga rata-rata GKP ditingkat petani
Buletin IKATAN Vol. 3 No. 2 Tahun 2013
52
berada di bawah HPP sedangkan pada bulan lainnya yaitu Januari, Februari, Mei, Juni, AgustusDesember 2010 harga rata-rata GKP ditingkat petani diatas HPP. Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat dijelaskan pada bulan-bulan
Agustus-Desember
yaitu pada masa paceklik harga relatif bagus yaitu harga padi cenderung lebih tinggi dari HPP sedangkan pada masa panen raya yaitu pada bulan Maret-April harga cenderung di bawah harga HPP. Adanya fluktuasi harga ini akan merugikan petani. Untuk itulah pentingnya petani melakukan tunda jual agar mendapatkan harga yang sesuai atau yang menguntungkan. Sebagian petani sebelumnya sudah melakukan ini melalui lumbung desa, tapi lembaga ini sudah mulai menghilang di perdesaan. Salah satu instrumen untuk melakukan itu adalah melalui Resi Gudang. Tabel 2. Perkembangan Harga Gabah di Provinsi Banten Tahun 2008 – 2010 Bulan Dibawah HPP Sama/diatas HPP 2008 2009 2010 2008 2009 Januari 2.500 Februari 2.189 2.333 Maret 1.867 1.929 2.261 April 1.887 2.277 2.553 Mei 2.213 2.600 Juni 2.350 2.447 Juli 2.319 2.413 2.200 Agustus 2.290 2.372 September 2.361 2.342 Oktober 2.264 2.425 Nopember 2.333 2.796 Desember 2.300 2.596
Sumber: 1. BPS Provinsi Banten, 2008 – 2011.
2010 2.961 2.746 2.740 2.757 2.814 2.914 3.087 3.300 2.889
Konsep Resi Gudang dan Kebutuhannya Definisi Resi Gudang menurut Undang-Undang No. 9 tahun 2006 adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Sistem Resi Gudang (SRG) adalah kegiatan
yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan,
penjaminan, dan penyelesaian transaksi resi gudang. Kegunaanya adalah 1) petani dapat melakukan tunda jual untuk mendapatkan harga terbaik, 2) membentuk petani menjadi petani pengusaha dan mandiri, 3) memperpendek tataniaga pertanian (Anonim, 2010b).
Dengan
demikian terdapat kestabilan harga, dan resi gudang dapat dijadikan surat jaminan untuk pengajuan kredit ke perbankan. Skema pelaksanaan resi gudang disajikan pada Gambar 1. Komodoti yang dapat disimpan di gudang dalam SRG sesuai Peraturan Menteri Perdagangan No. 26/2007 adalah: gabah, beras, kopi, kakao, lada,karet, rumput laut, jagung.
Buletin IKATAN Vol. 3 No. 2 Tahun 2013
53
Gambar 1. Skema Pelaksanaan Resi Gudang Resi gudang merupakan dokumen yang membuktikan bahwa suatu komoditas, misalnya gabah, dengan jumlah dan kualitas tertentu telah disimpan pada suatu gudang (warehouse), dan dokumen tersebut dapat ditransaksikan karena mirip dengan surat berharga. Dengan resi gudang,
petani
dapat
mengajukan
pembiayaan
ke
lembaga
keuangan
(perbankan/
nonperbankan) yang sudah terikat kerja sama (kontrak) untuk memenuhi kebutuhan uang tunai. Dalam pola resi gudang, petani menyimpan gabahnya ke pengelola gudang (dalam hal ini milik UPJA), selanjutnya petani mendapat bukti penyimpanan dalam bentuk resi gudang. Resi gudang selanjutnya dijadikan jaminan (seperti surat berharga) ke lembaga keuangan untuk mendapatkan talangan dana. Petani mendapatkan dana senilai 70% dari total harga gabah yang dititipkan di gudang dengan harga yang berlaku di pasar saat itu. Setelah berjalan beberapa waktu (3-4 bulan), yaitu pada masa paceklik atau harga gabah di pasar cukup tinggi, pemilik dana serta manajer/pengurus UPJA menjual gabah milik petani. Penjualan biasanya dilakukan dengan sistem lelang untuk mendapatkan harga tertinggi. Dari hasil penjualan tersebut petani dapat menebus dan mengembalikan pinjaman ke lembaga keuangan. Selanjutnya setelah dikurangi harga penjualan gabah petani (harga pasar pada saat
Buletin IKATAN Vol. 3 No. 2 Tahun 2013
54
perjanjian resi gudang), akan terdapat selisih harga atau keuntungan. Keuntungan tersebut selanjutnya dibagi ke semua pihak yang terikat kontrak pola resi gudang dengan proporsi sesuai dengan kesepakatan. Dari pengalaman yang telah berjalan di Indramayu
Jawa Barat proporsi pembagian
keuntungan adalah petani 54%, pengelola gudang 8%, pengelola dana 19%, dan lembaga keuangan 19%. Menurut Ketua UPJA, pola resi gudang sangat ideal dan menguntungkan petani. Pola resi gudang dapat menjadi alternatif sistem pemasaran karena potensi keuntungan yang dapat diraih cukup tinggi selain mengandung misi sosial untuk membantu petani. Oleh karena itu resi gudang adalah merupakan instrument surat berharga dan ini dapat diperdagangkan, diperjualbelikan, dipertukarkan ataupun digunakan untuk pengiriman barang dalam transaksi derifat seperti halnya kontrak serah (futures contract). Sistem resi gudang baru mulai berkembang di Indonesia dan belum banyak kalangan pelaku ekonomi yang mengetahui tentang resi gudang ini. Sosialisasi oleh Kementerian Perdagangan dan pemerintah provinsi/kabupaten diperlukan agar semua pelaku ekonomi khususnya petani mengetahuinya. Di Indonesia awal tahun implementasi Sistim Resi Gudang (SRG) adalah tahun 2008. Pada tahun 2009 pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan melakukan
pembangunan gudang SRG di 34 kabupaten yang tersebar di 10
provinsi. Sampai tahun 2010 jumlah resi gudang di Indonesia sebanyak 85 buah dengan volume 2.971,88 ton dan nilai barang Rp 10,452 milyar (Anonim, 2011). Salah satu Sistim Resi Gudang (SRG) yang telah dibangun di Indonesia terdapat di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah yang diresmikan tanggal
30 Agustus 2007.
Gudang ini berkapasitas 3.000 ton dengan 5 pengering (dryer) dikelola oleh PT. Petindo Jaya Mandiri dengan melibatkan Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Banyumas serta kelompok tani dari tiga kecamatan yaitu Rawalo, Purwojati, dan Jatilawang. Pemerintah Kabupaten Bantul juga baru meresmikan SRG dengan kapasitas 1400 ton dengan ukuran gudang 700 m2 dan luas tanah 4500 m2. Biaya penitipan barang Rp 100/kg per 3 bulan, dan total biaya penitipan plus bunga bank tidak melebihi Rp 300 ribu/3 bulan, artinya seorang petani hanya menitipkan maksimal 3 ton gabah per 3 bulan. Petani dapat mengajukan pinjaman kredit ke bank maksimal 70% dari agunan barang di gudang. Bank penjamin adalah Bank Bantul, BPD Jawa Tengah, BNI-46, Bank Mandiri dan BRI (Anonim, 2007). Dengan mengacu kepada hal di atas maka Pemerintah Provinsi Banten dapat membangun gudang berkapasitas 1000 – 3000 ton di tiap kabupaten (4 kabupaten) sehingga
Buletin IKATAN Vol. 3 No. 2 Tahun 2013
55
dapat dikelola oleh koperasi unit desa dan perusahaan swasta. Sebagai acuan di Bantul, luas bangunan gudang adalah 500 m – 1500 m2 dengan biaya pembangunan sesuai anggaran Rp 10 milyar. Biaya pembangunan gudang Rp 2 juta/m2 maka biaya gudang SRG Rp 1.000 – 3.000 juta/ gudang, diluar biaya pembelian tanah, lantai jemur dan dryer. Sehingga satu gudang SRG ukuran 1500 ton (750 m2) menelan biaya Rp 2,5 milyar berikut lantai jemur, tanah, dryer dan kenderaan roda empat maka dapat dibangun 3 – 4 gudang SRG. KESIMPULAN Sistim Resi Gudang (SRG) diperlukan di Provinsi Banten karena Provinsi Banten memiliki surplus beras yang relatif besar dan harga yang berfluktuatif, sedangkan dengan adanya sistem resi gudang petani atau kelompok tani dapat melakukan tunda jual untuk mendapatkan harga yang lebih baik. Pengelolaan Sistim Resi Gudang dapat diberikan kepada koperasi dan swasta, dan SRG dibangun di setiap kabupaten. Sistem resi gudang akan bisa berjalan apabila masing-masing pihak dan lembaga yang terlibat bisa bersinergis dan memegang komitmen sesuai dengan yang tertuang dalam UndangUndang tentang Resi Gudang (UU no 9 tahun 2006). Kejelasan pasar sangat penting untuk menghilangkan keraguan petani dalam melaksanakan Resi Gudang serta jaringan pasar dan jaringan informasi harga harus segera dibuat. Sarana dan prasarana pertanian harus dimiliki oleh petani atau kelompok tani agar kualitas produk yang akan disimpan bisa sesuai dengan standar yang ditentukan. Untuk itu perlu adanya kebijakan khusus dari Pemerintah terutama dalam segi pembiayaan dan subsidi bunga Bank. Selain itu juga pemerintah Provinsi Banten dapat membangun gudang berkapasitas 1000 – 3000 ton di tiap kabupaten (4 kabupaten) sehingga dapat dikelola oleh koperasi unit desa dan perusahaan swasta DAFTAR PUSTAKA Afia.
2010. Memperbaiki Nasib Petani Banten. www. regional.kompasiana.com/ 2010/12/07/memperbaiki-nasib-petani-banten/. Diakses tanggal 6 April 2011.
Anonim. 2011. Analisis Perkembangan Harga Komoditi. www.bappebti.go.id. Diakses tanggal 6 April 2011. Ditjen Tanaman Pangan. 2011. Program dan Kegiatan Pembangunan Tanaman Pangan Tahun 2011 dan Kebijakan Perencanaan Pembangunan Pertanian Tahun 2012. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. Jakarta.
Buletin IKATAN Vol. 3 No. 2 Tahun 2013
56
Anonim. 2010a. Pemprov Banten Berencana Beli Gabah Petani Untuk Antisipasi Cadangan Pangan. www.indopers.com. Diakses tanggal 5 April 2011. Anonim. 2010b. Sistem Resi Gudang Solusi Bagi Petani. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, Kementerian Perdagangan, Jakarta. Anonim, 2007. Sistem Resi Gudang Menolong Petani dari Kerugian. www.bantulbiz.com. Diakses tanggal 6 April 2007.
Buletin IKATAN Vol. 3 No. 2 Tahun 2013
57