ANALISIS IMPLEMENTASI SISTEM RESI GUDANG KOMODITI LADA
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2014
RINGKASAN EKSEKUTIF Latar belakang 1.
Pengembangan sektor pertanian merupakan salah satu pondasi utama dalam memperkuat struktur perekonomian Indonesia. Namun demikian, daya saing petani dan pelaku usaha pertanian sebagai aktor penting pengembangan pertanian bangsa masih relatif lemah. Petani/pelaku usaha pertanian masih sulit mendapatkan pembiayaan untuk kesinambungan usaha taninya karena akses terhadap sumber pendanaan guna kesinambungan kegiatan produksinya, seperti perbankan atau lembaga keuangan non bank terkadang memberatkan petani. Di lain pihak, petani juga menghadapi harga produk pertanian yang fluktuatif dan rendah pada saat panen karena pasar akan mengalami kelebihan pasokan komoditi, sehingga petani sulit mendapatkan harga yang layak.
2.
Salah satu alternatif solusi terhadap permasalahan di atas adalah penerapan Sistem Resi Gudang (SRG). Menurut Undang-Undang No. 9 tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang dijelaskan bahwa SRG bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan instrumen yang dibentuk dengan salah satu tujuan untuk memberdayakan petani, dimana komoditi yang dihasilkannya mampu memberikan nilai ekonomis dalam bentuk penjaminan, yang dapat dipergunakannya untuk memperoleh kredit dan bank dan lembaga keuangan non bank, dengan tingkat bunga yang rendah.
3.
Menurut Bappebti (2011), penerapan SRG menawarkan beberapa manfaat bagi petani, dunia usaha, perbankan dan bagi pemerintah antara lain untuk keterkendalian dan kestabilan harga komoditi, keterjaminan modal produksi, keleluasaan penyaluran kredit bagi perbankan dan memberi kepastian nilai minimum dari komoditi yang diagunkan.
Secara definisi Resi Gudang
(Warehouse Receipt) merupakan salah satu instrument penting, efektif dan negotiable (dapat diperdagangkan) serta swapped (dipertukarkan) dalam sistem pembiayaan perdagangan suatu negara. Disamping itu Resi Gudang juga dapat dipergunakan sebagai jaminan (collateral) atau diterima sebagai bukti penyerahan barang dalam rangka pemenuhan kontrak derivative yang jatuh tempo. 4.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 sampai dengan saat ini pemanfaatan Sistem Resi Gudang (SRG) masih terbatas pada komoditi pangan seperti gabah, jagung dan beras serta hasil perkebunan seperti kopi dan kakao. Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, menetapkan lada sebagai salah
LAPORAN AKHIR
i
satu subjek sistem resi gudang, tapi sampai saat ini, tidak seluruh daerah yang merupakan sentra produksi lada telah memanfaatkan sistem resi gudang. 5.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan pada tahun 2012, sebagai komoditi unggulan, lada memiliki total produksi sebesar 75.000 metric ton pada 2012, dimana jumlah yang diekspor mencapai 62.600 metric ton, yang terdiri dari ekspor lada hitam sebesar 49.500 metric ton, dan lada putih sebanyak 13.100 metric ton. Bukan hanya belum memanfaatkan, bahkan Provinsi Bangka Belitung dan Lampung yang merupakan daerah utama penghasil lada Indonesia sampai saat ini belum didirikan gudang SRG, padahal produksi lada di kedua daerah tersebut merupakan penyumbang terbesar bagi total produksi lada Indonesia
6.
Dengan latar belakang masalah tersebut, maka tujuan analisis ini adalah untuk (i) Mengidentifikasi permasalahan dalam mengimplementasikan SRG komoditi lada; (ii) Menganalisis faktor kunci kesuksesan dalam SRG komoditi lada;
(iii)
Menyusun rumusan usulan mengimplementasikan SRG komoditi lada.
Metode Penelitian 7.
Data yang dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan analisis kualitatif deskriptif untuk mengidentifikasi profil komoditas dan permasalahan yang terjadi. Penelitian kualitatif sebagai pendekatan pada kajian ini sangat memanfaatkan wawancara terbuka untuk memahami pandangan, sikap, perilaku individu atau sekelompok orang, dan observasi.Selanjutnya melakukan analisis pelaku pasar dan analisis harga untuk memetakan siapa saja pelaku pasar, pelaku utama, pelaku penunjang, atau pendukung dengan fungsi dan peran masing-masing yang pada akhirnya memberikan kontribusi pada terbentuknya harga komoditas disamping mengkaji perkembangan harga komoditas dari waktu ke waktu dan apa faktor pemicu terjadinya perubahan harga. Terakhir melakukan analisis kelembagaan dan kebijakan terkait dengan perdagangan komoditi dan resi gudang
Pembahasan dan Kesimpulan 8.
Menjadikan Lada sebagai Subjek Resi Gudang didasarkan pemikiran strategik agar nilai komoditi masih berarti dan terhindarnya “petani” dari kerugian akan jatuhnya harga serta dapat menjadikan obyek sebagai agunan untuk memperoleh modal kerja. Surat atau Resi Gudang menjadi berharga atau “menjadi surat berharga” untuk melakukan transaksi dengan lembaga keuangan. Harga lada
LAPORAN AKHIR
ii
yang berfluktuasi 10 tahunan membawa ancaman tersendiri bagi petani lada. Fluktuasi harga yang tinggi selama 20 tahun terakhir terutama periode 1999 – 2006 membuat minat petani untuk bertanam lada menurun bahkan hilang sama sekali. Namun kenaikan harga lada yang stabil dari tahun 2007 hingga saat ini, membuat minat petani untuk bertanam bangkit kembali. Di sisi lain adanya komitmen pemerintah daerah baik Provinsi Lampung maupun Provinsi Bangka Belitung untuk mengembalikan kejayaan lada baik lada hitam atau lada putih Indonesia seperti dahulu, menjadikan komoditi lada merupakan salah satu komoditi yang menjanjikan. 9.
Namun sejak ditetapkan sebagai subyek resi gudang pada tahun 2007 hingga saat ini belum dimanfaatkan oleh para petani. Hal ini disebabkan selain belum tersosialisasikan dengan baik mengenai sistem resi gudang kepada para petani lada di Provinsi Lampung, juga disebabkan sistem yang berkembang saat ini adalah pembiayaan dengan menggunakan Collateral Management Agreement (CMA) yang hampir serupa dengan sistem resi gudang.
10. Pelaku usaha sudah memiliki rantai pasok yang solid yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun. Selain itu juga, permintaan pasar yang tinggi terhadap komoditi ini membuat komoditi tidak sempat disimpan. Selain itu juga fluktuasi harga lada yang tinggi selama 10 tahun terakhir ini membuat para petani lada cukup waspada terhadap perubahan pasar yang ada sehingga yang dibutuhkan petani adalah kepastian untuk menjual komoditinya dengan harga yang layak. 11. Banyaknya lembaga yang terkait dalam implementasi sistem resi gudang yaitu pelaku usaha baik petani, gapoktan, dll; pengelola gudang, lembaga penilai kesesuaian,
asuransi,
pengawas
dan
lembaga
perbankan
memberikan
kelemahan maupun kekuatan. Kelembagaan yang banyak ini di satu sisi merupakan kelemahan tetapi di sisi lain merupakan kekuatan dari sistem resi gudang karena memberikan kepastian hukum. Meskipun memberikan kepastian hukum, pada tataran implementasi, ketersediaan perangkat hukum masih dianggap belum
tersosialisasikan secara luas kepada para pemangku
kepentingan sehingga masih terdapatnya distorsi informasi sehingga belum memahami operasionalisasi dari sistem resi gudang untuk komoditi lain selain gabah dan beras. 12. Berdasarkan analisis kesiapan implementasi sistem resi gudang komoditi lada dari sisi pelaku usaha yang mendapat manfaat dari implementasi sistem resi gudang, kelembagaan dan sarana prasarana, maka agar implementasi SRG komoditi lada dapat terwujud, harus diperhatikan beberapa faktor sebagai berikut.
LAPORAN AKHIR
iii
a. Adanya Komitmen Pemerintah Daerah khususnya Kepala Daerah Komitmen pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi SRG di daerahnya dalam rangka meningkatkan perekonomian lokal sangat dibutuhkan. Komitmen pemerintah daerah bukan hanya secara lisan saja tetapi juga tertulis melalui surat keputusan. b. Terintegrasinya kelembagaan dalam satu tempat Seperti yang telah dijelaskan di atas, kelembagaan dalam sistem resi gudang sangat banyak dan dan setiap lembaga pasti terdapat biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini menjadi tidak efisien bagi pelaku usaha khususnya skala kecil, terlebih lagi jika kelembagaan ini terletak pada tempat yang berbeda sehingga membutuhkan usaha lebih untuk menjangkaunya. Sistem resi gudang menjadi kalah jika dibandingkan dengan CMA (collateral management asset) dimana hanya tiga pihak saja yang terlibat. c. Edukasi dan Sosialisasi kepada Pelaku Usaha Komoditi Lada Edukasi dan sosialisasi secara khusus dilakukan di sepanjang rantai proses komoditi lada mulai dari petani, pengumpul, pedagang, asosiasi baik secara masing-masing maupun secara bersama-sama. Edukasi dan sosialisasi merupakan kegiatan yang terus menerus (kontinue) sehingga terbangun kesatuan pemikiran bagaimana menjamin keberlangsungan produksi dan perluasan areal perkebunan lada sepanjang masa. Hal ini sekaligus menjamin pasokan lada berkualitas dari berbagai jenis. d. Peningkatan Produksi dan Proses Pasca Panen Sistem resi gudang dapat terimplementasi dalam dua kondisi, pertama, harga komoditi lada sedang mengalami penurunan harga
dan kedua, terdapat
surplus produksi yang tidak terserap. Kondisi pertama merupakan kondisi utama yang menyebabkan sistem resi gudang di Indonesia diimplementasikan. Sedangkan apabila harga komoditi sedang mengalami peningkatan, maka kondisi kedua yang harus terpenuhi. e. Terdapat Off Taker/Buyer/ Pasar Lelang untuk Menjual Komoditi yang disimpan Salah satu keresahan para petani ketika menunggu harga jual yang tinggi adalah keberadaan pembeli (buyer) yang akan membeli komoditi di gudang. Keresahan yang sama juga dialami oleh lembaga keuangan selaku yang memberikan dana kredit. Untuk itu perlu dibuat suatu mekanisme atau mengembangkan jejaring untuk menciptakan off taker dari komoditi yang disimpan di dalam gudang. Meskipun jangka waktu penyimpanan komoditi lada
LAPORAN AKHIR
iv
cukup lama (bisa sampai 10 tahun) tetapi jangka waktu pembiayaan relatif singkat maksimal hanya 6 bulan. Sehingga petani memiliki kesempatan untuk mencari pembeli atau melakukan tunda jual selama 6 bulan, setelah itu komoditi harus dijual dalam rangka pelunasan kredit. 13. Berdasarkan analisis yang dilakukan didapat kesimpulan: a. implementasi SRG untuk komoditi lada terutama pada daerah penelitian belum siap baik dari sisi pelaku usaha, kelembagaan maupun sarana dan prasaran yang digunakan. b. Terdapat empat faktor kunci agar implementasi SRG komodti lada dapat terwujud, yaitu adanya komitmen kepala pemerintah daerah, terintegrasinya kelembagaan dalam satu tempat, edukasi dan sosialisasi, peningkatan produksi dan mutu serta terdapatnya offtaker/buyer/pasar lelang.
Rekomendasi kebijakan 14. Untuk meningkatkan kesadaran petani akan manfaat SRG maka perlu dilakukan: sosialisasi teknis pelaksanaan SRG yang melibatkan instansi terkait bukan hanya dinas perdagangan tetapi juga dinas pertanian atau perkebunan. Selain itu, sosialisasi perlu menghadirkan petani yang telah mendapat manfaat dari penggunaan SRG. penyuluhan dan pendampingan bagi petani untuk meningkatkan kualitas dan mutu hasil produksi agar memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan untuk masuk dalam sistem resi gudang. Hal ini juga perlu disinergikan dengan program peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian dari lembaga terkait. penguatan lembaga di tingkat petani, baik dalam bentuk kelompok tani maupun koperasi untuk mencapai skala ekonomis. Hal ini mengingat petani pada umumnya memiliki produksi dibawah 5 ton sehingga kurang memenuhi skala ekonomis untuk diresigudangkan. 15. Gudang-gudang SRG yang telah didirikan perlu dilengkapi sarana penunjang umum seperti listrik, telepon, jalan dan keamanan. Gudang ini juga perlu dilengkapi sarana penunjang khusus seperti dryer, cleaner, blower, pengayak, yang spesifikasinya disesuaikan dengan masing-masing komoditas. Selain itu, perlu dikoordinasikan pembangunan sarana penguji mutu barang di daerah sentra produksi yang belum memiliki sarana tersebut.
LAPORAN AKHIR
v
16. Perlu adanya sinergitas antar lembaga pelaksana SRG seperti pengelola gudang, lembaga pembiayaan, lembaga penjamin mutu, pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam mengimplementasikan SRG berupa: Pemerintah
pusat
memberikan
petunjuk
teknis
operasional
dalam
mengimplementasikan sistem resi gudang kepada pemerintah daerah, pengelola gudang, lembaga penjamin mutu dan lembaga pembiayaan Pemerintah pusat atau daerah perlu menyediakan biaya operasional pengelolaan gudang pada awal pelaksanaan minimal selama dua tahun sampai dengan biaya operasional dapat dibebankan kepada petani. Pemerintah daerah berperan aktif memberikan insentif berupa biaya angkut dari sentra produksi ke gudang SRG dalam rangka efisiensi biaya angkut dan memutus rantai pasok pedagang pengumpul. Pengelola gudang dan lembaga penjamin mutu perlu ditunjuk secara jelas sehingga operasional gudang dapat berjalan. Selain itu juga peranan pengelola gudang tidak hanya secara teknis menjaga mutu produk, pengurusan administrasi, tetapi juga harus memberikan masukan dan informasi kepada petani mengenai kapan harus menyimpan dan kapan harus menjual. Lembaga pembiayaan memfasilitasi petani untuk mendapatkan akses pembiayaan dengan menggunakan sistem resi gudang. Selain itu waktu pencairan kredit dapat dipercepat sehingga petani tidak menemukan kesulitan untuk mengakses pembiayaan. Lembaga pembiayaan, lembaga penjamin mutu dan gudang letaknya harus berdekatan, sehingga tidak menimbulkan biaya ekstra bagi petani untuk memanfaatkan SRG. 17. Perlu adanya pihak yang bertindak sebagai off taker bagi komoditas yang diagunkan untuk memberikan kepastian bagi lembaga pembiayaan dan pengelola gudang misalnya untuk komoditas gabah dan beras, off taker-nya adalah bulog. 18. Pengembangan sistem resi gudang di daerah dilakukan secara simultan dengan pengembangan pasar lelang sehingga apabila tidak terdapat pihak yang bertindak sebagai off taker, masih terdapat kepastian bahwa agunan dapat dijual dengan harga yang layak.
LAPORAN AKHIR
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, sehingga laporan “Analisis Implementasi Sistem Resi Gudang Komoditi Lada” dapat diselesaikan. Analisis ini dilatarbelakangi belum optimalnya pelaksanaan Sistem Resi Gudang, yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2009 melalui penetapan UU nomor 9 tahun 2006 .Hingga saat ini SRG belum terlalu dikenal oleh kalangan para pelaku
komersial,
termasuk
kalangan
perbankan
maupun
kalangan
yang
menggunakan resi gudang itu sendiri (Induk Koperasi Unit Desa). Banyak faktor yang menjadi penentu berkembangnya SRG antara lain: kesiapan infrastruktur, koordinasi para stakeholder dalam sistem resi gudang dan pemilihan komoditi yang diresi gudangkan. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 sampai dengan saat ini pemanfaatan Sistem Resi Gudang (SRG) masih terbatas pada komoditi pangan seperti gabah, jagung dan beras serta hasil perkebunan seperti kopi dan kakao. Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, menetapkan lada sebagai salah satu subjek sistem resi gudang, tapi sampai saat ini, tidak seluruh daerah yang merupakan sentra produksi lada telah memanfaatkan sistem resi gudang. Analisis
ini diselenggarakan
secara
swakelola
oleh
Pusat
Kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri, dengan tim penelitian yang terdiri dari Yudha Hadian Nur sebagai koordinator dan peneliti terdiri dari Firman Mutakin, Riffa Utama, Sri Hartini dan Nasrun. Penelitian ini dibantu oleh tenaga ahli Indria Febriati. Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik ditinjau dari aspek substansi, analisa, maupun data-data yang sifatnya pendukung, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam kesempatan ini tim peneliti menyampaikan terima kasih terhadap semua pihak yang membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan di bidang sarana dan lembaga perdagangan.
Jakarta, Juli 2014 Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
LAPORAN AKHIR
vii
DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................ i KATA PENGANTAR ........................................................................................................vii DAFTAR ISI ..................................................................................................................... viii DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................................xii BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1 1.2. Tujuan Analisis.......................................................................................................... 4 1.3. Keluaran Analisis ...................................................................................................... 4 1.4. Dampak Analisis ....................................................................................................... 4 1.5. Ruang Lingkup .......................................................................................................... 4 1.6. Sistematika Penulisan .............................................................................................. 5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6 2.1. Definisi dan Manfaat Sistem Resi Gudang .............................................................. 6 2.1.1. Sistem Resi Gudang Menurut Undang-Undang ............................................ 6 2.1.2. Manfaat Sistem Resi Gudang Komoditas Pertanian ..................................... 9 2.2. Deskripsi Umum dan Potensi Komoditi Lada di Indonesia .................................... 12 2.3. Kebijakan dan Sistem Tata Niaga .......................................................................... 14 2.3.1. Lembaga-Lembaga Pemasaran................................................................... 16 2.3.2. Saluran Pemasaran ...................................................................................... 17 BAB III. METODE PENELITIAN ..................................................................................... 19 3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................................... 17 3.2. Kerangka Alur Kerja Analisis .................................................................................. 20 3.3. Jenis dan Sumber Data .......................................................................................... 21 3.4. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen ........................................................... 21 3.4.1. Studi Literatur ............................................................................................... 22 3.4.2. Kuesioner...................................................................................................... 22 3.4.3. Wawancara Mendalam ................................................................................. 23 3.4.4. Observasi Lapangan .................................................................................... 23 3.5. Metode Penentuan Sampel .................................................................................... 24 3.6. Lokasi Penelitian ..................................................................................................... 24 3.7. Metode Pengolahan Dan Analisis Data ................................................................. 24
LAPORAN AKHIR
viii
3.7.1. Analisis Kualitatif Deskriptif .......................................................................... 24 3.7.2. Analisis Pelaku Pasar ................................................................................... 26 3.7.3. Analisis Harga............................................................................................... 26 3.7.4. Analisis Kelembagaan Pendukung Sistem Resi Gudang Untuk Komoditi Lada .............................................................................................................. 26 3.7.5. Analisis Kebijakan Perdagangan Yang Mendukung Resi Gudang Daerah dan Pusat ...................................................................................................... 26 BAB IV. PROFIL KOMODITI LADA DI DAERAH.......................................................... 27 4.1. Bangka Belitung ...................................................................................................... 27 4.2. Lampung ................................................................................................................. 33 BAB V. ANALISIS KOMODITI LADA SEBAGAI SUBYEK SRG ................................. 38 5.1. Analisa Komoditi Lada Sebagai Subyek SRG ....................................................... 38 5.1.1. Analisis SWOT.............................................................................................. 38 5.1.2. Sistem Penyimpanan.................................................................................... 40 5.1.3. Kesiapan Komoditi Lada Dalam Rangka Implementasi SRG Komoditi Lada ............................................................................................... 41 5.2. Analisis Implementasi SRG Komoditi Lada Pada Daerah Penelitian .................... 42 5.2.1. Landasan Berpikir ......................................................................................... 42 5.2.2. Analisis Implementasi SRG dari Aspek Hukum/Legalitas ........................... 44 5.3. Analisis Implementasi SRG Berdasarkan Pihak yang Membutuhkan ................... 45 5.4. Kesiapan Lembaga Terkait Dalam Implementasi SRG ......................................... 47 5.4.1. Pengelola Gudang ........................................................................................ 47 5.4.2. Lembaga Penilai Kesesuaian (LPK) ............................................................ 50 5.4.3. Pusat Registrasi............................................................................................ 51 5.4.4. Lembaga Pembiayaan (Bank dan Non Bank) ............................................. 52 5.4.5. Lembaga Penjamin....................................................................................... 55 5.4.6. Asuransi ........................................................................................................ 56 5.4.7. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ........................................................... 56 5.5. Kesiapan Sarana dan Prasarana Dalam Implementasi SRG ................................ 58 5.5.1. Gudang dan Perlengkapannya .................................................................... 59 5.5.2. Infrastruktur Jalan ......................................................................................... 60 5.6. Faktor Kunci Kesuksesan Implementasi SRG Komoditi Lada............................... 60
LAPORAN AKHIR
ix
BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................................................. 64 6.1. Kesimpulan ............................................................................................................. 64 6.2. Rekomendasi .......................................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA
LAPORAN AKHIR
x
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1.1. Produksi Lada Indonesia, Tahun 2008 - 2012 ......................................................... 3 4.1. Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Lada di Bangka Belitung ................................................................................................................... 29 4.2. Luas Areal dan Produksi Lada di Bangka Belitung Tahun 2012 ........................... 31 4.3. Perkembangan Harga Lada di Babel Pada Tingkat Pedagang Besar .................. 33 4.4. Perkembangan Produksi Lada di Propinsi Lampung Tahun 2009 - 2012............. 34 4.5. Luas Areal Perkebunan Lada di Propinsi Lampung .............................................. 34 4.6. Perkembangan Harga Lada di Lampung Pada Tingkat Produsen Tahun 2010, 2011 dan 2013. ................................................................................. 36 5.1. Analisis SWOT Komoditi Lada ............................................................................... 39 5.2. Perbandingan SRG dan CMA ................................................................................ 46 5.3. Kesiapan Kelembagaan Dalam Implementasi SRG Lada ..................................... 57
LAPORAN AKHIR
xi
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
2.1. Saluran Pemasaran Komoditas Pertanian ............................................................. 15 2.2. Saluran Pemasaran Utama Dalam Agribisnis ........................................................ 18 3.1. Kerangka Alur Kerja Analisis .................................................................................. 21 4.1. Grafik Perkembangan Harga Lada di Babel Tahun 2011 - 2013 .......................... 32 4.2. Grafik Perkembangan Harga Lada di Propinsi Lampung Pada Tingkat Peladang Besar Tahun 2010 - 2013 ...................................................................... 36 4.4. Perkembangan Produksi Lada di Propinsi Lampung Tahun 2009 - 2012............. 34 4.5. Luas Areal Perkebunan Lada di Propinsi Lampung .............................................. 34
LAPORAN AKHIR
xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pengembangan sektor pertanian merupakan salah satu pondasi utama dalam memperkuat struktur perekonomian Indonesia. Namun demikian, daya saing petani dan pelaku usaha pertanian sebagai aktor penting pengembangan pertanian bangsa masih relatif lemah. Petani/pelaku usaha pertanian masih sulit mendapatkan pembiayaan untuk kesinambungan usaha taninya karena akses terhadap sumber pendanaan guna kesinambungan kegiatan produksinya, seperti perbankan atau lembaga keuangan non bank terkadang memberatkan petani, misalnya perlunya petani menyerahkan jaminan kredit bank yang berupa fixed asset (aset tetap). Di lain pihak, petani juga menghadapi harga produk pertanian yang fluktuatif dan rendah pada saat panen karena pasar akan mengalami kelebihan pasokan komoditi, sehingga petani sulit mendapatkan harga yang layak. Selama ini ketika panen, petani dihadapkan pada situasi tanpa pilihan kecuali menjual komoditi hasil panennya kepada para pedagang tengkulak, pada saat harga hasil komoditi cenderung turun. Harga dasar yang ditetapkan Pemerintah atas suatu komoditi dalam prakteknya terdistorsi di tingkat pasar dan tidak optimal memberikan manfaat kepada para petani. Nilai yang mereka terima atas hasil penjualan komoditinya seringkali tidak memadai, baik untuk mendukung kehidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, atau lebih jauh lagi menjadi modal produksi/tanam musim selanjutnya. Salah satu alternatif solusi terhadap permasalahan di atas adalah penerapan Sistem Resi Gudang (SRG). Menurut Undang-Undang No. 9 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang dijelaskan bahwa SRG bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan instrumen yang dibentuk dengan salah satu tujuan untuk memberdayakan petani, dimana komoditi yang dihasilkannya mampu memberikan nilai ekonomis dalam bentuk penjaminan, yang dapat dipergunakannya untuk memperoleh kredit dan bank dan lembaga keuangan non bank, dengan tingkat bunga yang rendah. Menurut Bappebti (2011), penerapan SRG menawarkan beberapa manfaat bagi petani, dunia usaha, perbankan dan bagi pemerintah antara lain untuk keterkendalian dan kestabilan harga komoditi, keterjaminan modal produksi, keleluasaan penyaluran kredit bagi perbankan dan memberi kepastian nilai minimum dari komoditi yang diagunkan.
LAPORAN AKHIR
Bab I - 1
Secara definisi Resi Gudang (Warehouse Receipt) merupakan salah satu instrument penting, efektif dan negotiable (dapat diperdagangkan) serta swapped (dipertukarkan) dalam sistem pembiayaan perdagangan suatu negara. Disamping itu Resi Gudang juga dapat dipergunakan sebagai jaminan (collateral) atau diterima sebagai bukti penyerahan barang dalam rangka pemenuhan kontrak derivative yang jatuh tempo, sebagaimana terjadi dalam suatu Kontrak Berjangka. Sistem Resi Gudang (SRG) yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2009 melalui penetapan UU nomor 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, memperlihatkan bahwa SRG masih belum berkembang secara optimal. Hingga saat ini SRG belum terlalu dikenal oleh kalangan para pelaku komersial, termasuk kalangan perbankan maupun kalangan yang menggunakan resi gudang itu sendiri (Induk Koperasi Unit Desa). Banyak faktor yang menjadi penentu berkembangnya SRG antara lain: kesiapan infrastruktur, koordinasi para stakeholder dalam sistem resi gudang dan pemilihan komoditi yang diresi gudangkan. Menyangkut penentuan komoditi Sistem Resi Gudang, pemerintah melalui Permendag No. 08/M-DAG/PER/2/2013 tentang Perubahan Atas Permendag No. 37/M-DAG/PER/11/2011 tentang Barang Yang Dapat Disimpan Di Gudang Dalam Penyelengaraan Sistem Resi Gudang telah menetapkan 10 (sepuluh) komoditas yang dapat diresigudangkan terdiri dari gabah, beras, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut, jagung, rotan dan garam. Dalam Permendag tersebut dipersyaratkan komoditi yang dapat diresigudangkan memiliki 3 (tiga) kriteria yaitu memiliki daya simpan paling sedikit 3 (tiga) bulan, memenuhi standar mutu tertentu dan jumlah minimum komoditi yang disimpan. Berdasarkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Sistem Resi Gudang, pada pasal 9 (1) disebutkan bahwa resi gudang dan derivatifnya dapat diperdagangkan di bursa. Oleh karenanya kriteria barang SRG diatas perlu ditambah memiliki harga yang berfluktuasi, tidak ada intervensi pemerintah, semata-mata atas dasar permintaan dan pasokan, tersedia dalam jumlah yang cukup, bersifat homogen, dan tidak dimonopoli oleh kelompok tertentu, merupakan komoditi potensial dan sangat berperan dalam perekonomian daerah setempat dan nasional. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 sampai dengan saat ini pemanfaatan Sistem Resi Gudang (SRG) masih terbatas pada komoditi pangan seperti gabah, jagung dan beras serta hasil perkebunan seperti kopi dan kakao. Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, menetapkan lada sebagai salah satu subjek sistem resi gudang, tapi sampai saat ini, tidak seluruh daerah yang merupakan sentra produksi lada telah memanfaatkan sistem resi gudang. Berdasarkan data
LAPORAN AKHIR
Bab I - 2
Direktorat Jenderal Perkebunan pada tahun 2012, sebagai komoditi unggulan, lada memiliki total produksi sebesar 75.000 metric ton pada 2012, dimana jumlah yang diekspor mencapai 62.600 metric ton, yang terdiri dari ekspor lada hitam sebesar 49.500 metric ton, dan lada putih sebanyak 13.100 metric ton. Bukan hanya belum memanfaatkan, bahkan Provinsi Bangka Belitung dan Lampung yang merupakan daerah utama penghasil lada Indonesia sampai saat ini belum didirikan gudang SRG, padahal produksi lada di kedua daerah tersebut merupakan penyumbang terbesar bagi total produksi lada Indonesia (tabel 1,1). Tabel 1.1. Produksi Lada Indonesia, Tahun 2008 – 2012
Provinsi Bangka Belitung Lampung Indonesia
2008 15.601 22.311 80.422
2009 15.671 22.164 82.834
2010 18.383 22.236 83.663
2011 28.242 22.121 87.089
(ton) 2012 30.717 22.128 87.841
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012
Adapun pelaksanaan SRG di lapangan memiliki beberapa kendala, seperti yang dinyatakan oleh Direktorat Pembiayaan Pertanian, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian (2011), berdasarkan hasil pemantauan pelaksanaan SRG di beberapa daerah terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan SRG di daerah antara lain: (a) rata – rata lahan yang dimiliki sempit sehingga sulit dalam konsolidasi hasilnya; (b) lemahnya kelembagaan oleh petani maupun petugas pendamping di lapangan; (c) keterbatasan kemampuan pemahaman SRG baik oleh petani maupun petugas pendamping; (d) beban operasional yang memberatkan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa lada merupakan satu dari sepuluh komoditi yang dapat diresigudangkan. Namun, hingga saat ini pemanfaatan SRG masih belum diimplementasikan secara maksimal pada komoditi lada, padahal komoditi ini merupakan salah satu komoditi unggulan dengan jumlah produksi yang terus meningkat setiap tahunnya serta memiliki potensi ekspor yang cukup besar. SRG dapat bermanfaat bagi petani khususnya, serta dunia usaha pada umumnya untuk memberikan kepastian harga serta akses untuk memperoleh tambahan modal usaha. Oleh karena itu, analisis mengenai SRG komoditi lada perlu dilakukan untuk mengetahui hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan SRG di Indonesia khususnya untuk komoditi lada terutama di daerah sentra produksinya, agar pemanfaatan SRG dapat dimaksimalkan sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan tetap meningkatkan gairah para petani lada untuk terus
LAPORAN AKHIR
Bab I - 3
menanam lada yang pada akhirnya dapat membantu meningkatkan perekonomian nasional.
1.2.
Tujuan Analisis
Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah : 1.
Mengidentifikasi permasalahan dalam mengimplementasikan SRG komoditi lada.
2.
Menganalisis faktor kunci kesuksesan dalam SRG komoditi lada.
3.
Menyusun rumusan usulan mengimplementasikan SRG komoditi lada.
1.3.
Keluaran Analisis
Keluaran yang diharapkan dari analisis ini adalah: 1.
Terindentifikasinya permasalahan dalam mengimplementasikan SRG komoditi Lada.
2.
Analisis faktor kunci kesuksesan dalam SRG komoditi lada.
3.
Rumusan usulan implementasi SRG komoditi Lada.
1.4.
Dampak Analisis Hasil analisis diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah
dalam mengimplementasikan SRG komoditi di daerah. 1.5.
Ruang Lingkup
a. Ruang lingkup analisis ini adalah sebagai berikut: 1. Komoditi yang dipetakan adalah Komoditi Lada: Lada putih dan lada hitam 2. Studi
Dokumentasi,
guna
menganalisis
permasalahan
dalam
mengimplementasikan komoditi lada sebagai SRG. 3. Studi Lapangan, melakukan survey ke beberapa daerah untuk melakukan pemetaan permasalahan dan identifikasi faktor-faktor pendukung dalam rangka mengimplementasikan SRG bagi komoditi lada. 4. Gambaran Keadaan Pasar Fisik Komoditi • Aspek Produksi • Kualitas Komoditi • Perdagangan Dalam Negeri • Kebijakan Nasional 5. Kajian Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan resi gudang
LAPORAN AKHIR
Bab I - 4
6. Analisis Manfaat Ekonomi Komoditi • Analisis Pelaku-Pelaku Pasar • Analisis Harga b. Daerah kajian Penelitian Lapangan dilakukan pada dua lokasi penghasil lada terbesar di Indonesia yaitu Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi Lampung
1.6.
Sistematika Penulisan
BAB I
:
Mendeskripsikan latar belakang, tujuan dan keluaran, serta ruang lingkup penelitian yang dilakukan serta sistematika penulisan.
BAB II
:
Menjelaskan tinjauan literatur yang akan digunakan sebagai referensi dalam penelitian.
BAB III
:
Menjelaskan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode pengambilan data dan alat analisis yang digunakan.
BAB IV
:
Memaparkan profil komoditi lada terutama di dua daerah survey yang merupakan daerah produsen lada terbesar.
BAB V
:
Menganalisis pelaksanaan SRG serta permasalahannya dan kesiapan daerah dalam implementasi SRG komoditi lada
BAB VI
:
Memberikan kesimpulan dan implikasi kebijakan
LAPORAN AKHIR
Bab I - 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Manfaat Sistem Resi Gudang Sistem Resi Gudang – SRG diciptakan dalam mendukung pemberdayaan pasar dalam negeri menuju pasar global. Pembangunan institusi pasar lelang baik pasar lelang di dalam satu wilayah
maupun antar daerah sudah saatnya diwujudkan
sehingga memberikan kemudahan akses pasar dan transparan kepada semua pelaku usaha dimanapun berada.
Agar transaksi dan kegiatan perdagangan dapat
ditingkatkan, pasar lelang perlu didukung pendanaan yang lebih kompetitif melalui pendanaan Sistem Resi Gudang. Sistem ini sesungguhnya sudah berjalan lama di Indonesia melalui Warehouse Receipt Financing dimana PT. Sucofindo sebagai collateral manager, dan eksportir Indonesia memperoleh kredit dari bank asing dengan agunan komoditas. Upaya yang dilakukan adalah agar bank dalam negeri dapat berperan dalam skema Resi Gudang. Percontohan SRG telah diluncurkan pada bulan Maret 2003 di Makasar untuk komoditas Kakao, melalui perjanjian tiga pihak yaitu Bank Niaga, eksportir Kakao dan PT. Bhanda Ghara Reksa (pengelola agunan). Beberapa komoditas yang masuk dalam percontohan Resi Gudang adalah kakao di Makasar dan kopi dan lada di Bandar Lampung. Dalam contoh tersebut dijelaskan tentang dana kredit yang sudah disalurkan secara akumulatif yaitu sebesar US$ 11,7 juta telah dimanfaatkan oleh eksportir dalam sebagai modal kerja (laporan PT. Sucofindo 2010).
2.1.1 Sistem Resi Gudang Menurut Undang-Undang Penyelenggaraan sistem resi gudang – SRG menurut Peraturan menteri perdagangan Nomor 37/M-DAG/PER/11/2011; adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan dan penyelesaian transaksi resi gudang. Sedangkan resi gudang adalah dokumen disimpan
bukti
kepemilikan
barang
yang
dalam gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Pihak yang
melakukan usaha pergudangan
(baik gudang milik sendiri atau orang lain)
menyimpan, memelihara dan mengawasi barang yang disimpan oleh pemilik barang disebut pengelola gudang dan berhak menerbitkan Resi Gudang. Pengelola berhak menerbitkan resi gudang untuk setiap penyimpanan barang setelah si pemilik barang menyerahkan barangnya kepada pengelola gudang.
LAPORAN AKHIR
Bab II - 6
Barang yang dapat diterbitkan resi gudangnya memiliki persyaratan: setiap barang
bergerak
yang
dapat
disimpan
dalam
jangka
waktu
tertentu
dan
diperdagangkan secara umum, diutamakan barang yang memiliki nilai strategis, komoditas unggulan, tujuan ekspor dan/atau tujuan ketahanan pangan. Pada pasal 3 Permendag
No.37/M-DAG/PER/11/2011 juga disebutkan persyaratan lain barang
yang dapat disimpan di gudang untuk diterbitkan resi gudang paling sedikit memenuhi persyaratan : a) memiliki daya simpan paling sedikit
3 (tiga) bulan; b) memenuhi
standar mutu tertentu (Indonesia SNI); c) Jumlah minimum barang yang disimpan. Barang yang dapat disimpan di Gudang dalam rangka Sistem Resi Gudang adalah: a. Gabah; b. Beras; c. Jagung d. Kopi e. Kakao f. Lada g. Karet h. Rumput laut i. Rotan; dan j. Garam Jumlah komoditas yang ditetapkan pada permen terbaru berjumlah sepuluh komoditas dengan memasukkan rotan sebagai subyek SRG. Pada saat peraturan menteri No. 37/M-DAG/PER/11/2011 berlaku, maka Peraturan Menteri Perdagangan No. 26/M-DAG/PER/6/2007 tentang barang yang dapat disimpan di Gudang (delapan komoditas) dalam penyelenggaraan SRG dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Penetapan selanjutnya tentang barang dalam rangka SRG dilakukan dengan pertimbangan rekomendasi dari pemerintah daerah, instansi terkait, atau asosiasi komoditas dengan tetap memperhatikan persyaratan sebagai mana disebutkan dalam pasal 3 diatas. Dalam Undang-Undang No. 9 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang dijelaskan secara detail yang dimaksud dengan Resi Gudang, antara lain adalah: 1. Sistem Resi Gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang. 2. Resi Gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di Gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang.
LAPORAN AKHIR
Bab II - 7
3. Derivatif Resi Gudang adalah turunan Resi Gudang yang dapat berupa kontrak berjangka Resi Gudang, opsi atas Resi Gudang, indeks atas Resi Gudang, surat berharga diskonto Resi Gudang, unit Resi Gudang atau derivatif lainnya dari Resi Gudang sebagai instrumen keuangan. 4. Gudang
adalah
semua
ruangan
yang
tidak
bergerak
dan
tidak
dapat
dipindah-pindahkan dengan tujuan tidak dikunjungi oleh umum, tetapi untuk dipakai khusus sebagai tempat penyimpanan barang yang dapat diperdagangkan secara umum dan memenuhi syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri. 5. Barang adalah setiap benda bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan diperdagangkan secara umum. 6. Barang Bercampur adalah barang-barang yang secara alami atau kebiasaan dalam praktik perdagangan dianggap setara serta sama satuan unitnya dan dapat disimpan secara bercampur. 7. Pemegang Resi Gudang adalah pemilik barang atau pihak yang menerima pengalihan dari pemilik barang atau pihak lain yang menerima pengalihan lebih lanjut. 8. Pengelola Gudang adalah pihak yang melakukan usaha pergudangan, baik gudang milik sendiri maupun milik orang lain, yang melakukan penyimpanan, pemeliharaan, dan pengawasan barang yang disimpan oleh pemilik barang serta berhak menerbitkan Resi Gudang. 9. Hak Jaminan atas Resi Gudang, yang selanjutnya disebut Hak Jaminan adalah hak jaminan yang dibebankan pada Resi Gudang untuk pelunasan utang, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap kreditor yang lain. 10. Menteri adalah Menteri yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. 11. Badan Pengawas Sistem Resi Gudang yang selanjutnya disebut Badan Pengawas adalah unit organisasi di bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan Sistem Resi Gudang. 12. Lembaga Penilaian Kesesuaian adalah lembaga terakreditasi yang melakukan serangkaian kegiatan untuk menilai atau membuktikan bahwa persyaratan tertentu yang berkaitan dengan produk, proses, sistem dan/atau personel terpenuhi. 13. Pusat Registrasi Resi Gudang yang selanjutnya disebut Pusat Registrasi adalah badan usaha berbadan hukum yang mendapat persetujuan Badan Pengawas untuk melakukan penatausahaan Resi Gudang dan Derivatif Resi Gudang yang meliputi pencatatan, penyimpanan, pemindahbukuan kepemilikan, pembebanan hak jaminan, pelaporan, serta penyediaan sistem dan jaringan informasi.
LAPORAN AKHIR
Bab II - 8
14. Lembaga Jaminan Resi Gudang yang selanjutnya disebut Lembaga Jaminan adalah badan hukum Indonesia yang menjamin hak dan kepentingan pemegang Resi Gudang atau Penerima Hak Jaminan terhadap kegagalan, kelalaian, atau ketidakmampuan Pengelola Gudang dalam melaksanakan kewajibannya dalam menyimpan dan menyerahkan barang. 15. Penerima Hak Jaminan adalah pihak yang memegang atau berhak atas Hak Jaminan atas Resi Gudang sesuai dengan Akta Pembebanan Hak Jaminan.
2.1.2 Manfaat Sistem Resi Gudang Komoditas Pertanian Secara umum ada beberapa manfaat yang diberikan dengan mengembangkan sistem Resi Gudang untuk komoditas pertanian, perkebunan dan rotan (Bappebti 2011), yakni : A. Memperpanjang Masa Penjualan Hasil Produksi Petani Petani yang menyerahkan hasil panennya ke perusahaan pergudangan yang berhak mengeluarkan Resi Gudang, akan menerima tanda bukti berupa Resi Gudang, yang dapat dijadikan sebagai agunan untuk memperoleh pinjaman jangka pendek di bank. Dengan demikian, para petani tidak perlu tergesa gesa menjual hasilnya pada masa panen yang umumnya ditandai dengan turunnya harga komoditas. Hal ini dilakukan petani, yang berkeyakinan bahwa harga setelah panen akan naik,sehingga dengan menunda penjualan justru akan memberikan hasil yang optimal bagi petani.
B. Sebagai Agunan Bank Pemegang Resi Gudang dapat memperoleh sumber kredit dari bank untuk digunakan sebagai modal kerja seperti pembelian bibit, pupuk dan keperluan lainnya. Surat
Resi Gudang memberikan jaminan adanya persediaan
komoditas dengan kualitas tertentu kepada pemegangnya tanpa harus melakukan pengujian secara fisik. Resi Gudang dapat dimanfaatkan petani untuk pembiayaan proses produksi/budidaya/pemanenan, sedangkan bagi produsen untuk membiayai persediaanya. Bila terjadi penyimpangan dalam sistem ini, para pemegang Resi Gudang dijamin akan memperoleh prioritas dalam penggantian sesuai dengan nilai agunnya. Terkumpulnya persediaan komoditas dalam jumlah besar akan mempermudah memperoleh kredit dan menurunkan biaya untuk memobilisasi sektor agrobisnis.
LAPORAN AKHIR
Bab II - 9
C. Mewujudkan Pasar Fisik dan Pasar Berjangka Yang Lebih Kompetitif Sistem Resi Gudang dapat memberikan Informasi yang diperlukan penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi, yang merupakan dasar untuk melakukan perdagangan komoditas secara luas.
Keberadaan Resi Gudang dapat
meningkatkan volume perdagangan sehingga dapat menurunkan biaya transaksi. Hal ini dimungkinkan karena dalam bertransaksi tidak perlu lagi dilakukan inspeksi terhadap barang yang disimpan, baik yang ada di gudang atau di tempat transaksi dan transaksi umumnya hampir tidak pernah lagi dilakukan di gudang.
Bila transaksi dilakukan untuk penyerahan barang di
kemudian hari (perdagangan berjangka), Resi Gudang dapat dijadikan sebagai instrumen untuk memenuhi penyerahan komoditas bagi kontrak berjangka di Bursa Komoditas yang jatuh tempo. D. Mengurangi Peran Pemerintah Dalam Stabilisasi Harga Komoditas Bila harga komoditas strategi berada dibawah harga dasar, maka pemerintah dapat membeli Resi Gudang, sehingga tidak perlu lagi menerima penyerahan barang secara fisik. Pemerintah dalam rangka pengelolaan cadangan strategis cukup memegang Resi Gudang saja karena adanya jaminan kualitas dan kuantitas komoditas di gudang - gudang penyimpanan. Bila swasta melakukan pembelian, penyimpanan, dan penjualan komoditas melalui mekanisme Resi Gudang dalam jumlah yang besar dan sekaligus melakukan perlindungan nilai di pasar berjangka, maka peran pemerintah dalam stabilisasi harga dapat dihapuskan.
E. Memberikan Kepastian Nilai Minimum Dari Komoditas Yang Dijadikan Agunan Bank dapat memberikan kredit yang lebih besar kepada peminjam yang melakukan lindung nilai (hedging) untuk komoditas yang dipinjamkannya (sampai dengan 80-90 % dari nilai agunan).
Sistem
Resi Gudang
menurut
Keputusan Menteri Perdagangan 2011
merupakan instrumen untuk mengatasi resiko dan akses pembiayaan bagi dunia usaha. Menurut keterangan BAPPEBTI, Sistem Resi Gudang komoditas pertanian dan ketahanan pangan ada beberapa pihak yang mendapat manfaat dari sistem resi gudang diantaranya adalah : Petani, Pedagang, Pengusaha industri pengolahanan produk jadi.
LAPORAN AKHIR
Bab II - 10
Manfaat Sistem Resi Gudang bagi Petani adalah: 1. Peluang mendapatkan harga jual yang lebih baik, dengan menyimpan komoditas di gudang saat panen raya dimana harga umumnya rendah, untuk kemudian menjualnya beberapa bulan kemudian pada saat harga telah kembali normal. 2. Mendapatkan kepastian mutu dan jumlah pada saat awal penyimpanan karena test uji dilakukan oleh Lembaga Penguji yang berdiri sendiri. 3. Serta mendapatkan jaminan keamanan mutu dan jumlah selama masa penyimpanan di gudang. 4. Peluang mendapatkan pinjaman dari bank untuk pembiayaan modal kerja pada musim tanam berikutnya dengan jaminan resi gudang. Manfaat Resi Gudang bagi Pedagang adalah: 1. Peluang mendapatkan jaminan kepastian mutu dan jumlah atas komoditas yang diperdagangkan. 2. Peluang mendapatkan suplai komoditas yang lebih pasti, dikarenakan dapat mengetahui secara pasti jumlah komoditas yang tersimpan di gudang. 3. Peluang mendapatkan pinjaman berulang (revolving loan) dari bank untuk modal kerja. Dengan jumlah modal kerja yang sama, dapat diperoleh omzet perdagangan yang lebih, dengan cara meminjam dari bank atas jaminan resi gudang secara berulang-ulang.
Manfaat Sistem Resi Gudang bagi Industri Pengolahan Menurut Kementerian Perdagangan 1.
Pengamanan pasokan bahan baku industri pengolahan komoditas menjadi produk turunannya (hilirisasi lada).
2.
Mengatur sistem persediaan sesuai dengan kapasitas gudang yang dimiliki dan kebutuhan industrinya.
3.
Mendapat jaminan
kepastian mutu yang baik sesuai SNI dan jumlah yang
dibutuhkan pada waktu yang tepat. 4.
Mendapat tambahan pinjaman berulang dari anggunan surat resi gudang kepada Bank penjamin untuk modal kerja.
5.
Mempermudah mekanisme verifikasi lada dan mengontrol perdagangan lada antar pulau.
LAPORAN AKHIR
Bab II - 11
2.2 Deskripsi Umum dan Potensi Komoditi Lada di Indonesia
Lada merupakan salah satu jenis rempah yang sudah dikenal sejak jaman dahulu kala. Theoprastus dari Yunani (372 – 387 SM) sudah mengenal dua jenis Lada yaitu Piper nigrum (Lada Hitam) dan Piper longum. Tahun 600 – 1500 para pedagang Arab mengangkut biji Lada dari pantai Malabar di India. Hubungan perdagang lada antara Jawa dan Cina tercatat mulai tahun 1500, dan bangsa-bangsa Eropa antara lain Inggris, Spanyol, Portugis dan Belanda menjajah bangsa-bangsa di Asia termasuk Indonesia antara lain disebabkan oleh komoditi rempah dan obat termasuk Lada. Di Indonesia pada masa penjajahan Belanda tanaman Lada pernah menjadi komoditas ekspor utama, tercatat antara tahun 1930 – 1938 rata-rata ekspor Indonesia meliputi 50.000 ton per tahun. Pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1980 s.d saat ini rata-rata ekspor pertahun hanya sekitar 30.000 ton. Penghasil Lada di Indonesia antara lain Lampung, Bangka dan Kalimantan Barat. Lada (Piper nigrum Linn) merupakan salah satu tanaman rempah-rempah yang berasal dari Ghat Barat, India. Kurang lebih 80% hasil lada Indonesia merupakan komoditas ekspor. Untuk dapat bersaing di pasaran dunia, peningkatan kuantitas dan kualitas produksi lada menjadi tuntutan utama. Usaha untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi lada nasional antara lain dilakukan dengan strategi pemanfaatan potensi sumber daya dan pengembangan usaha tani lada. Lada atau merica merupakan salah satu komoditas perdagangan dunia. Lada dikenal dengan sebutan The King of Spice (Raja Rempah-Rempah) menjadi mata dagangan antar Negara (Rukmana, 2003).
Jenis Lada Kementerian Pertanian telah melepas beberapa varietas lada yaitu, Petaling 1, Petaling 2, Lampung Daun Kecil (LDL), Chunuk, Natar 1, Natar 2 dan Bengkayang dengan deskripsi Umum sebagai berikut : 1. Petaling 1 Umur mulai berbunga ± 10 bulan, bentuk buah bulat, warna buah muda hijau, warna buah masak merah jingga, mulai berbunga s/d buah masak ± 9 bulan, ratarata buah pertandan ± 60 butir, persentase buah sempurna ± 64,8%, rata-rata hasil produksi 4,48 ton/ha (± 2,8 kg/pohon) lada putih kering, agak tahan terhadap penyakit kuning, agak peka terhadap busuk pangkal batang. Dapat ditanam
LAPORAN AKHIR
Bab II - 12
ditanah-tanah yang kurang subur, pada tanah yang subur di usia tua pertumbuhannya akan lebih baik. Pemakaian tiang panjat mati dan mulsa lebih cocok. 2. Petaling 2 Umur mulai berbunga 11 bulan, bentuk buah bulat besar, warna buah muda hijau, warna buah masak merah jingga, mulai berbunga s/d buah masak ± 8 bulan, ratarata buah pertandan ± 80 butir, persentase buah sempurna ± 66,1%, rata-rata hasil produksi 4,80 ton/ha (± 3,0 kg/pohon) lada putih kering, agak tahan terhadap penyakit kuning, agak peka terhadap busuk pangkal batang. Dianjurkan tanam di tanah yang bebas penyakit busuk pangkal batang dan penyakit kuning serta tingkat kesuburan sedang sampai tinggi. Tiang penegak mati lebih cocok. 3. Lampung Daun Kecil Umur mulai berbunga 7 bulan, bentuk buah lonjong, warna buah muda hijau tua, warna buah masak kuning kemerahan, mulai berbunga s/d buah masak 196 hari, rata-rata buah pertandan 73,52 butir, persentase buah sempurna ± 48,46%, ratarata hasil produksi 3,86 ton/ha, agak tahan terhadap penyakit kuning, toleran terhadap busuk pangkal batang. Dapat dianjurkan untuk ditanam di daerah yang belum mendapat serangan penyakit kuning. 4. Chunuk Umur mulai berbunga 8 bulan, bentuk buah bulat, warna buah muda hijau, warna buah masak kuning kemerahan, mulai berbunga s/d buah masak 225 hari, rata-rata buah pertandan 66,56 butir, persentase buah sempurna ± 43,39%, rata-rata hasil produksi 1,97 ton/ha, peka terhadap penyakit kuning, toleran terhadap busuk pangkal batang. Dapat dianjurkan tana untuk dibudidayakan sebagai lada perdu. 5. Natar 1 Umur mulai berbunga 10 bulan, bentuk buah bulat, warna buah muda hijau, warna buah masak merah jingga, mulai berbunga s/d buah masak 8 bulan, rata-rata buah pertandan 57,3 butir, persentase buah sempurna ± 66,7%, rata-rata hasil produksi 4,00 ton/ha (± 2,5 kg/pohon) lada hitam kering, agak tahan terhadap penyakit kuning, medium sampai agak tahan terhadap busuk pangkal batang. Dianjurkan tanam di daerah yang tingkat penularan penyakit busuk pangkal batang belum
LAPORAN AKHIR
Bab II - 13
begitu tinggi. Varietas ini responsive terhadap pupuk dan cahaya. Pemangkasan tiang panjat hidup 1 x 4 bulan, setinggi ± 3 meter diperlukan. 6. Natar 2 Umur mulai berbunga ±10 bulan, bentuk buah bulat hingga lonjong, warna buah muda hijau muda, warna buah masak merah jingga, mulai berbunga s/d buah masak ±7 bulan, rata-rata buah pertandan 56 butir, persentase buah sempurna 60%, rata-rata hasil produksi 3,53 ton/ha (± 2,5 kg/pohon) lada hitam kering, agak tahan terhadap penyakit kuning, rendah sampai peka terhadap busuk pangkal batang. Dianjurkan tanam di daerah yang tingkat kesuburan sedang sampai tinggi, belum ketularan penyakit busuk pangkal batang. Untuk lampung tidak boleh tiang penegak hidup terlalu rimbun daunnya. Tiang penegak harus dipangkas 1 x 4 bulan, setinggi ± 3 meter. 7. Bengkayang Umur mulai berbunga ±10 bulan, bentuk buah bulat, warna buah muda hijau muda, warna buah masak kuning kemerahan, mulai berbunga s/d buah masak 189 hari, rata-rata buah pertandan 85,22 butir, persentase buah sempurna 68,30%, rata-rata hasil produksi 4,67 ton/ha, toleran terhadap penyakit kuning, toleran terhadap busuk pangkal batang, dapat dianjurkan untuk ditanam di daerah yang kurang subur. Memakai tiang panjat mati dan mulsa lebih baik 2.3 Kebijakan dan Sistem Tata Niaga Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan ekspor lada sangat mempengaruhi tataniaga lada ditingkat petani/pemungut, dan juga berdampak pada perkembangan industri pengolahan lada menjadi berbagai produk siap pakai. Untuk menganalisis tataniaga lada disentra-sentra produksi serta keterkaitan keseluruh perdagangan lada Indonesia serta fungsi-fungsi pemasaran yang berperan terhadap pengembangan komoditas ini digunakan pendekatan fungsi, kelembagaan dan perilaku pemasaran: Khols dan Uhl (1985) menggunakan beberapa pendekatan dalam menganalisis sistem pemasaran yaitu : A. Pendekatan Fungsi (The Fungsional Approach) Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui fungsi pemasaran apa saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam pemasaran lada. Fungsifungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik
LAPORAN AKHIR
Bab II - 14
(penyimpanan, transportasi, dan pengolahan) dan fungsi fasilitas (standarisasi dan grading, resiko, pembiayaan, dan informasi pasar).
B. Pendekatan Kelembagaan (The Institual Approach) Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui beberapa macam lembaga atau pelaku yang terlibat dalam pemasaran komoditas lada. Pelakupelaku ini adalah pedagang perantara (menchant middleman) yang terdiri dari pedagang
pengumpul,
pedagang
pengecer,
pedagang
spekulatif,
agen,
manufaktur, dan organisasi lainya yang terlibat.
C. Pendekatan Perilaku (The Behavior System Approach) Merupakan pelengkap dan pendekatan fungsi kelembagaan untuk mengetahui aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses pemasaran, seperti perilaku lembaga yang terlibat dalam pemasaran dan kombinasi dari fungsi pemasaran. Pendekatan ini terdiri dari the input-output system, the power system, dan the communication system.
Gambar 2.1 Saluran Pemasaran Komoditas Pertanian Sumber : Khols dan Downey, 1985
Pemasaran pertanian dapat diartikan sebagai semua bentuk kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan hak fisik dari barang-barang hasil kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen, termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang untuk mempermudah penyaluran dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumen (Limbong dan Sitorus, 1997).
LAPORAN AKHIR
Bab II - 15
2.3.1
Lembaga-Lembaga Pemasaran
Hanafi dan Saefudin (1983), menjelaskan bahwa lembaga pemasaran adalah badan-badan yang bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran dimana barang harus bergerak dari produsen sampai ke konsumen. Tugas lembaga pemasaran adalah menjalankan fungsi-fungsi pemasaran serta memenuhi keingainan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga pemasaran berupa margin pemasaran. Limbong dan Sitorus (1987) dalam pemasaran barang dan jasa terlibat beberapa lembaga pemasaran mulai dari produsen, lembaga-lembaga perantara dan konsumen. Karena jarak antar produsen yang menghasilkan barang dan jasa sering berjauhan dengan konsumen, maka fungsi badan perantara sangat diharapkan kehadiranya untuk menggerakan baranga-barang dan jasa-jasa tersebut dari titik produksi ke titik konsumsi. Lembaga pemasaran merupakan suatu lembaga dalam bentuk perorangan, perserikatan, dan perseroan yang akan melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang berusaha untuk memperlancar arus
barang
dari
produsen
sampai
tingkat
konsumen
melalui
beberapa
kegiatan/aktivitas. Lembaga-lembaga pemasaran tersebut juga berfungsi sebagai sumber informasi mengenai suatu barang dan jasa. Dalam sistem pemasaran terdapat lembaga-lembaga pemasaran yang cukup penting yaitu : a. Pedagang pengumpul yaitu pedagang yang membeli dan mengumpulkan barang-barang hasil pertanian dari produsen kemudian memasarkan dalam partai besar kepada pedagang lain. Dalam hal ini pedagang pengumpul biasanya ada di setiap desa.
b. Pedagang besar yaitu pedagang yang membeli dari pedagang pengumpul dalam partai besar dan mendistribusikan ke setiap pedagang pengecer ataupun ke pasar. c. Pengecer yaitu pedagang yang membeli barang dari pedagang besar dan mendistribusikanya barang secara langsung ke konsumen akhir. Menurut Sudiono (2001), lembaga pemasaran menurut penguasaan terhadap komoditas yang diperjual belikan dapat dibedakan atas tiga : a. Lembaga yang tidak memiliki tapi menguasai benda, seperti agen, makelar (broker, selling broker, buying broker). b. Lembaga yang memiliki dan menguasai komoditas-komoditas pertanian yang diperjual-belikan, seperti pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir dan importir. c. Lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan menguasai komoditas-komoditas pertanian yang diperjual-belikan. Seperti perusahaan yang menyediakan fasilitasfasilitas trasnportasi, asuransi pemasaran dan perusahaan penentu kualitas produk pertanian (surveyor).
LAPORAN AKHIR
Bab II - 16
2.3.2 Saluran Pemasaran Saluran pemasaran usaha yang dilakukan untuk menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen yang didalamnya terlibat beberapa lembaga pemasaran yang
menjelaskan
fungsi-fungsi
pemasaran.
Beberapa
faktor
yang
harus
dipertimbangkan dalam memilih aliran pemasaran yaitu a) adanya pertimbangan pasar, yang meliputi konsumen sebagai tujuan akhir mencangkup pembeli potensial, konsentrasi pasar secara geografis, volume pemesanan dan kebiasaan membeli ; b) pertimbangan barang yang meliputi nilai barang per unit, besar dan berat barang, tingkat kerusakan, sifat tekis barang dan apakah barang tersebut untuk memenuhi pasaran; c) pertimbangan internal perusahaan/pengusaha yang meliputi sumber permodalan, kemampuan dan pengalaman penjualan; d) pertimbangan terhadap lembaga perantara, yang meliputi pelayanan lembaga perantara, kesesuaian lembaga perantara dengan kebijakasanaan dari pertimbangan biaya. Panjang pendeknya saluran pemasaran tergantung pada : a) jarak antar produsen dan konsumen dimana semakin jauh jarak antar produsen dan konsumen makin panjang saluran pemasaran yang terjadi. b) skala produksi yang meliputi semakin kecil skala produksi, saluran yang terjadi cendrung panjang karena memerlukan pedagang perantara dalam penyalurannya. c) capat tidaknya produk rusak dimana produk yang mudah rusak menghendaki saluran pemasaran yang pendek, karena harus segera diterima konsumen. d) posisi keuangan pengusaha, dalam hal ini pedagang yang posisis keuangannya kuat cendrung dapat melakukan lebih banyak fungsi pemasaran dan memperpendek saluran. Saluran pemasaran dapat dilihat pada gambar 2.1 di atas dan gambar 2.2 di bawah ini.
LAPORAN AKHIR
Bab II - 17
Gambar 2.2 Saluran Pemasaran Utama dalam Agribisnis Sumber : Downey dan Erickson, 1987
LAPORAN AKHIR
Bab II - 18
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran Sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan No. 26/M-DAG/PER/6/2007 tentang Barang Yang Dapat Disimpan di Gudang, lada termasuk salah satu komoditi yang dapat disimpan di gudang dalam rangka SRG karena telah memenuhi persyaratan : a) memiliki daya simpan paling sedikit 3 (tiga) bulan; b) memenuhi standar mutu tertentu (Indonesia SNI); c) Jumlah minimum barang yang disimpan. Sampai dengan penelitian dilakukan (2014) SRG untuk komoditi lada belum dilakukan, sementara untuk beberapa komoditi lainnya (Padi, Jagung, Rumput Laut, Kopi) telah di SRGkan. Keberhasilan SRG ditentukan oleh banyak faktor. Secara garis besar faktorfaktor yang mempengaruhi keberhasilan SRG ditentukan oleh faktor kelembagaan, pasar dan komoditi. Faktor kelembagaan yang terdiri dari kesiapan pengelola gudang, komitmen pemerintah daerah, serta lembaga penunjang lainnya seperti bank, lembaga penguji, dan sebagainya sangat brpengaruh terhadap keberhasilan SRG. Peran pemerintah sangat diperlukan khususnya untuk memulai ataupun megkoordinir pada awal berjalannya SRG, untuk memsosialisasi SRG, mendanai operasional SRG dan sebagainya. Tidak adanya dana pada awal operasi, tidak adanya sosialisasi, kurang aktifnya koordinasi maupun komitmen dari pemerintah daerah akan menghambat berjalannya SRG. Demikian juga peran dari lembaga lainnya memiliki peran yang penting sesuai dengan fungsinya. Lemahnya peran dari salah satu lembaga akan mempengaruhi kinerja SRG. Kemudian lembaga lain yang tidak dibentuk dalam SRG yaitu hubungan petani dan pedagang. Seberapa kuat ketergantungan petani dengan pedagang juga sangat mempengaruhi keberhasilan keterlibatan petani dalam SRG. Hubungan petani dengan pedagang yang kuat akan menghambat jalannya SRG dan sebaliknya. Dengan adanya SRG diharapkan posii tawar petani menjadi kuat karena petani akan cederung berkelompok dalam bentuk kelompok tani ataupun melalui koperasi. Faktor pasar yang termasuk didalamnya perkembangan harga, struktur pasar dan sebagainya. Fluktuasi harga yang terpola sepanjang tahun merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang berjalannya SRG, jadi tanpa adanya fluktuasi harga yang terpola, penyimpanan barang dalam sistem SRG menimbulkan resiko yang besar karena penyimpanan di gudang SRG memerlukan biaya-biaya tambahan seperti biaya
LAPORAN AKHIR
Bab III - 19
asuransi, pengujian mutu, bunga bank dan sebagainya. Kemudian yang tidak kalah penting adalah struktur pasarnya. Pasar yang pembelinya dikuasai oleh segelintir pemain, ini akan menyulitkan jalannya sistem SRG. Untuk faktor ketepatan komoditi yang terdiri lama disimpan, penyususutan dan mutu produk merupakan faktor penting. Kemampuan lama disimpan dan kecilnya penyusutan merupakan faktor utama produk dapat diresigudangkan. Produk yang tidak tahan lama dan mudah susut kemungkinan akan merugi kalau produk lama disimpan produk akan rusak. Bagi komoditi lada secara komoditi dapat dikatakan sudah memenuhi syarat karena relatif tahan lama disimpan dengan penyusutan yang relatif kecil. Selain itu kandungan kadar air yang dipersyaratkan bagi SRG realtif mudah dipenuhi petani. Kemungkinan yang menjadi penyebab belum berjalannya SRG lada berada pada fluktuasi harga yang tidak terpola, perilaku petani dalam memasarkan produknya dan kesiapan kelembagaannya. Kelembagaan terkait dengan SRG dapat disiapkan dan ini trgantung juga dari komitmen pemerintah daerah.
3.2 Kerangka Alur Kerja Analisis Salah satu komoditas unggulan di Indonesia adalah Lada mengingat Indonesia sebagai penghasil lada terbesar di dunia dengan pasokan sekitar 80 persen. Lada banyak dihasilkan di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan dengan sentra produksi di Provinsi Bangka Belitung dan Lampung. Saat ini lada merupakan salah satu komoditi yang dapat diresi gudangkan, tetapi pada kenyataannya, kondisi ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis mendalam mengenai permasalahan yang terdapat dalam mengimplementasikan SRG bagi komoditi lada. Untuk itu kerangka alur studi yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
LAPORAN AKHIR
Bab III - 20
1. Potensi komoditi lada
2. Analisis Faktor Penghambat dan Pendukung Komoditi Lada sebagai subjek resi gudang
• • •
Anggota /pelaku distribusi Lembaga terkait dan penunjang Informasi Harga
• • •
Jumlah produksi Kualitas Komoditi Potensi Perdagangan
• • • • •
Pelaku distribusi Jenis Produk olahan Struktur pasar Lembaga terlibat Harga
Gambaran Kondisi pasar fisik komoditas
Faktor Kunci Sukses Implemen tasi SRG Komoditi Lada
3. Analisis manfaat Ekonomi • pelaku-pelaku pasar • pergerakan harga dunia • kelayakan ekonomi penyimpanan
4. Analisis Kebijakan Pemerintah Terkait dengan Lada dan Resi Gudang
Gambar 3.1 Kerangka Alur Kerja Analisis
3.3. Jenis Dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam kajian ini dibagi menjadi data primer dan data sekunder baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama individu. Jenis data yang dikumpulkan berupa data terkait dengan lada ditinjau dari produksi, pasar, distribusi, pohon industri, rantai nilai, kelembagaan, dan tata niaga. Data tersebut diperoleh dari beberapa sumber yang dipilih, diantaranya dinas terkait dan pelaku usaha terkait. Data sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer maupun pihak lain seperti dalam bentuk tabel ataupun diagram. Data sekunder yang dikumpulkan berupa Provinsi dalam Angka, dokumen-dokumen terkait dengan hulu dan hilir dari komoditas lada. 3.4. Metode Pengumpulan Data Dan Instrumen Data dan informasi baik primer maupun sekunder yang telah disebutkan di atas, dapat dikumpulkan dengan beberapa metode pengumpulan data dan menggunakan instrumen sebagai berikut:
LAPORAN AKHIR
Bab III - 21
3.4.1. Studi Literatur Kajian Literatur atau Studi pustaka (desk study) merupakan suatu metode pengumpulan data berupa laporan-laporan studi terdahulu, makalah, serta data sekunder yang dibutuhkan dalam mendesain riset, serta menganalisis hasil studi. Studi kepustakaan dapat diartikan sebagai suatu langkah untuk memperoleh informasi dari penelitian terdahulu yang harus dikerjakan, tanpa memperdulikan apakah sebuah penelitian menggunakan data primer atau data sekunder, apakah penelitian tersebut menggunakan penelitian lapangan ataupun laboratorium atau didalam museum. Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Dilaksanakan untuk me-review berbagai regulasi dan kebijakan, tinjauan litertaur, dan pengumpulan data sekunder terkait dengan data/informasi, kerangka teori tataniaga, rantai distribusi , rantai nilai, kajian komoditi lada dan kajian sistem resi gudang untuk komoditi pertanian/perkebunan. Beberapa data dasar tentang kajian komoditi lada, kebijakan pemerintah dan kajian sistem resi gudang, adalah: a. Profil Komoditi Lada, Tataniaga Lada dan peta lahan penghasil lada b. Pemahaman sistem resi gudang dan manfaatnya bagi segenap stakeholder yang terlibat di dalam sistem perdagangan/tataniaga komoditi lada c. Pergerakan harga karena pengaruh kebijakan d. Undang-Undang No 10 Tahun 2011 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi e. Undang-Undang No 9 Tahun 2011 Tentang Resi Gudang f.
Teori tataniaga, sistem resi gudang (warehouses system) dengan biaya-biaya
g. Kajian sistem resi gudang untuk produk pertanian/perkebunan 3.4.2. Kuesioner Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data melalui formulir-formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara tertulis pada seseorang atau sekumpulan orang untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan yang diperlukan oleh peneliti. Cara menjaring data dengan menggunakan kuesioner ini diantaranya ialah dengan mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi sendiri oleh responden, namun dapat pula dilakukan dengan cara wawancara langsung dan hasilnya diisikan ke kuesioner oleh pewawancara. Kuesioner ini digunakan untuk mendapatkan persepsi dari instansi terkait khususnya pelaku perdagangan lada termasuk diantaranya dari asosiasi.
LAPORAN AKHIR
Bab III - 22
3.4.3 Wawancara Mendalam (In-depth interview) Wawancara mendalam merupakan cara menjaring data yang secara langsung menghadapkan pewawancara dengan informan melalui serangkaian kegiatan tanya jawab yang berkaitan dengan pelaku disepanjang rantai pasok dan industri di daerah, termasuk juga wawancara dengan aparatur dari dinas-dinas setempat yang terkait dengan komoditi lada. Wawancara yang dilakukan selain wawancara mendalam, biasanya dikombinasikan dengan wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara pendalamannya tergantung dari pewawancara menggunakan efek snowbowling atas jawaban dari informan dan kejelian dari penanya serta keterbukaan dari informan.
Wawancara akan dilakukan pada pelaku usaha hulu dan hilir dari
industri lada pada lokasi target dan asosiasi terkait. Ada 3 hal yang menjadi kekuatan metode wawancara : • Mampu mendeteksi kadar pengertian subyek terhadap pertanyaan yang diajukan. Jika mereka tidak mengerti bisa diantisipasi oleh interviewer dengan memberikan penjelasan • Fleksibel, pelaksanaanya dapat disesuaikan dengan masing-masing individu • Menjadi satu-satunya
hal yang dapat dilakukan disaat teknik lain
tidak
memungkinkan
Metode wawancara juga memiliki kelemahan, yaitu : • Rentan terhadap bias yang ditimbulkan oleh kontruksi pertanyaan kurang tepat • Rentan terhadap terhadap bias yang ditimbulkan oleh respon yang kurang sesuai • Probing yang kurang baik menyebabkan hasil penelitian menjadi kurang akurat • Ada kemungkinan subjek hanya memberikan jawaban yang ingin didengar oleh pewawancara 3.4.5. Observasi Lapangan Observasi merupakan cara pengumpulan data dengan jalan mengamati langsung. Pengumpul data secara langsung mengamati dan mengukur kejadian yang sedang belangsung, sehingga diperoleh data aktual dan faktual. Pengamatan dilakukan secara sistematik dan tercatat terhadap obyek yang sedang diobservasi. Pada kegiatan ini jenis observasi yang dilakukan ialah jenis observasi langsung ke industri lada dan gudang pengumpul lada.
LAPORAN AKHIR
Bab III - 23
3.5. Metode Penentuan Sampel Penentuan jumlah sampel atau responden merupakan hal yang penting dalam suatu penelitian, karena dibutuhkan sampel yang mewakili karakteristik dari populasi penelitian yang diwakilinya. Menurut Umar (2005), populasi merupakan sekumpulan satuan analisis yang terdapat didalamnya terkandung informasi yang ingin diketahui. Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih untuk dilibatkan dalam penelitian, melalui sampel diharapkan peneliti mengetahui informasi mengenai populasi, dimana metode ini dilakukan dengan mengambil orang-orang yang dipilih langsung oleh peneliti (justifikasi tenaga ahli). Purposive sampling adalah sampel yang dipilih dengan cermat hingga relevan dengan desain penelitian (Nasution, 2003). Sampel dalam kajian ini diambil dari stakeholder terkait/instansi terkait yang berperan pengembangan Industri lada serta para pelaku usaha yang mewakili dari skala kecil, menengah dan besar. 3.6. Lokasi Penelitian Penelitian ini di lakukan di daerah Lampung
dan Bangka, dengan
pertimbangan bahwa kedua daerah ini merupakan sentra penghasil lada di Indonesia.
3.7. Metode Pengolahan Dan Analisis Data Data yang sudah dikumpulkan, baik primer maupun sekunder untuk selanjutnya dianalisis. Metode yang digunakan melakukan analisis data, adalah : 1) Analisis Kualitatif Deskriptif
untuk mengidentifikasi profil komoditas dan
permasalahan yang terjadi 2) Analisis pelaku pasar 3) Analisis Harga 4) Analisis kelembagaan 5) Analisis kebijakan terkait dengan perdagangan komoditi dan resi gudang 6) Analisis faktor pendorong (kebijakan) dan penarik (manfaat secara ekonomis)
3.7.1. Analisis Kualitatif Deskriptif Penelitian kualitatif sebagai pendekatan pada kajian ini sangat memanfaatkan wawancara terbuka untuk memahami pandangan, sikap, perilaku individu atau sekelompok orang, dan observasi. Wawacara ini dapat secara mendalam satu pewawancara dengan informan atau melalui diskusi kelompok terfokus.
Dalam
penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan sisi proses dimana manusia menjadi bagian penting.
Peneliti akan berusaha memahami
arti perstiwa dan kaitannya
terhadap orang yang berada pada situasi tertentu. Analisis kualitatif deskriptif adalah
LAPORAN AKHIR
Bab III - 24
analisis yang menggambarkan suatu data yang akan dibuat baik sendiri maupun secara kelompok. Tujuan dari analisis deskriptif untuk membuat gambaran secara sistematis data yang faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diselidiki atau diteliti (Riduwan dan Akdon, 2008). Ada empat tahap analisis data yang diselingi dengan pengumpulan data yakni analisis domein, analisis taksonomi, analisis komponen dan analisis tema. Analisis domein dilakukan terhadap data yang diperoleh dari pengamatan, wawancara atau analisis deskriptif yang terdapat dalam catatan lapangan. Analisis taksonomi dilakukan setelah selesai analisis domein dengan pengamatan dan wawancara terfokus melalui pengajuan pertanyaan kontras. Sedang analisis komponen adalah mengidentifikasi seluruh kontras yang telah ditemukan, mengidentifikasikan dimensi kontras, menggabungkan dimensi kontras yang berkaitan erat menjadi satu, menyiapkan pertanyaan kontras untuk ciri yang tidak ada dan mengadakan pengamatan terpilih. Terdapat pula menyebutkan melakukan proses triangulasi yakni menarik kesimpulan-kesimpulan yang sama dari informan berbeda, dan mencari keberbedaan sehingga diperoleh kesimpulan yang menyeluruh. Pada kajian ini, triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber data dan teknik pengumpulan data. Triangulasi sumber data yaitu penggunaan beragam sumber data dalam suatu kajian. Sebagai contoh, beberapa informan ditanya pertanyaan yang sama terkait dengan suatu permasalahan yang diteliti. Pertanyaan tersebut bertujuan untuk mendapatkan jawaban atau pandangan yang sama terkait permasalahan yang ditanyakan, sehingga meningkatkan pemahaman peneliti terkait dengan permasalahan tersebut. Dalam kajian ini, setiap informan dari dinas terkait dan pelaku usaha ditanya hal yang sama terkait berbagai kemungkinkan implementasi komoditas lada masuk menjadi
resi
gudang
dengan
berbagai
kemungkinan
terkait
persiapan.
Responden/informan berasal dari dinas terkait (Disperindagkop, Bappeda dan instansi lainnya) dan pelaku usaha. Triangulasi teknik pengumpulan data merupakan usaha mengecek keabsahan data, atau mengecek keabsahan temuan peneIitian. Trianggulasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan lebih dari satu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan data yang sama. Pelaksanaannya dapat juga dengan
cek silang. Pada kajian ini
digunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu kuesioner serta pengumpulan berbagai dokumen terkait, wawancara dan observasi. Berdasarkan data kualitatif tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga bisa dibuat pendekatan dalam penerapan sistem resi gudang bagi komoditas lada
LAPORAN AKHIR
Bab III - 25
3.7.2.
Analisis Pelaku Pasar Dalam mengkaji struktur pasar, maka sekaligus akan dipetakan siapa saja
pelaku pasar, pelaku utama, pelaku penunjang, atau pendukung dengan fungsi dan peran masing-masing yang pada akhirnya memberikan kontribusi pada terbentuknya harga komoditas.
3.7.3. Analisis Harga Bagian ini akan mengkaji perkembangan harga komoditas dari waktu ke waktu dan apa faktor pemicu terjadinya perubahan harga. Apakah harga berubah secara musiman, atau stabil dari waktu ke waktu dan apakah perubahan harga dimaksud dapat diprediksi. 3.7.4. Analisis Kelembagaan Pendukung Sistem Resi Gudang Untuk Komoditi Lada Bagian ini akan mengkaji kesiapan kelembagaan yang dapat mendukung penerapan Sistem Resi Gudang di lokasi-lokasi survei. Kesiapan kelembagaan diperlukan agar pelaksanaan Sistem Resi Gudang dapat berjalan dengan baik. Institusi yang dianalisis termasuk: kelembagaan petani, perbankan dan lembaga keuangan, lembaga penilai kesesuaian, dukungan pemerintah daerah, serta infrastruktur pendukung.
3.7.5. Analisis Kebijakan Perdagangan Yang Mendukung Resi Gudang Daerah dan Pusat Kajian kebijakan perdagangan komoditi yang mendukung pemanfaatan resi gudang perlu dilakukan untuk melihat peluang dan hambatan yang dapat terjadi karena adanya kebijakan pemerintah daerah dan pemerintahan pusat yang saling mendikung atau kebijakan yang secara tidak sengaja menghambat.
LAPORAN AKHIR
Bab III - 26
BAB IV PROFIL KOMODITI LADA DI DAERAH
Lada atau dalam bahasa Latinnya Piper Nigrum, adalah sejenis tanaman merambat yang pada umumnya dimanfaatkan sebagai bumbu makanan. Lada dipasarkan dalam dua jenis yaitu lada hitam dan lada putih. Pada dasarnya, kedua jenis lada tersebut berasal dari tanaman yang sama, namun perbedaannya terdapat pada prosesnya. Untuk menghasilkan lada putih, buah dipetik pada saat buah matang, kemudian dicuci dengan menggunakan air yang mengalir. Sementara itu, untuk menghasilkan lada hitam, pemetikan buah dilakukan pada saat buah masih hijau, kemudian dikeringkan dengan menggunakan terik matahari sampai warnanya berubah menjadi hitam dan setelah itu direndam dengan air sampai kulitnya mudah terkelupas. Propinsi yang penghasil lada hitam adalah Lampung, sedangkan yang menghasilkan lada hitam adalah Bangka Belitung. Terkait dengan Sistem Resi Gudang Lada, keberhasilan pelaksanaannya sangat ditentukan oleh berbagai variabel diantaranya perkembangan harga, kontinuitas pasokan, mutu komoditi, kesiapan kelembagaan dan sebagainya. Bab ini akan menjelaskan lebih detail mengenai profil komoditi lada termasuk perkembangan produksi dan harga lada di dua daerah penelitian yakni Propinsi Bangka Belitung dan Lampung.
4.1. Bangka Belitung Produksi Sebagai komoditi tradisional, perkembangan perkebunan lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah mengalami pasang surut. Meskipun demikian, bagi masyarakat Bangka Belitung, lada merupakan salah satu produk unggulan yang keberadaannya telah membawa sejarah panjang bagi kehidupan masyarakat Bangka Belitung. Bahkan kegiatan bertanam lada telah dilakukan secara turun menurun dan sudah merupakan budaya bagi masyarakat Bangka Belitung. Sejarah telah mencatat bahwa komoditi lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pernah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pertumbuhan perekonomian daerah, hal tersebut ditandai dengan luasnya perkebunan lada pada masa tersebut. Pada tahun 1990 luas perkebunan lada tercatat mencapai 90.000 hektar namun sepuluh tahun kemudian masa kejayaan tersebut cenderung menurun yang ditandai dengan luas areal yang mengalami penurunan. Namun demikian
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 27
semenjak tahun 2006 budidaya lada mulai bergairah kembali, ditandai dengan semakin meningkatnya luas areal perkebunan lada dan sampai dengan tahun 2012 luas areal perkebunan lada telah mencapai 34.379 hektar. Masa surutnya perkebunan lada di Propinsi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor eksternal maupun faktor internal. Salah satu faktor internal penyebab menurunnya produksi lada Bangka Belitung adalah adanya kebijakan Pemerintah setempat melalui Perda No. 6 tahun 2001 Tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, dimana disebutkan bahwa usaha pertambangan dapat dikelola oleh perorangan. Dampak dari kebijakan tersebut adalah meningkatnya pertumbuhan usaha pertambangan perorangan yang membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga petani lada khususnya buruh dan petani kecil banyak beralih menjadi buruh tambang dikarenakan pendapatan yang diperoleh lebih besar dan upah dapat diperoleh setiap hari. Sementara itu untuk mendapatkan penghasilan dari lada membutuhkan waktu relatif lama. Oleh karena itu, banyak perkebunan lada yang tidak lagi dimanfaatkan sehingga luas areal perkebunannya berkurang. Menyusutnya areal perkebunan lada selain dikarenakan penggunaan lahan untuk penambangan timah, juga banyak perkebunan lada yang beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, baik yang dikelola oleh perusahaan besar maupun oleh rakyat. Berdasarkan data dari Tribun News.com, Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit di Propinsi Bangka Belitung mencapai 252.902 hektar yang tersebar di berbagai daerah baik di Pulau Bangka maupun di Belitung. Tercatat perkebunan sawit terbanyak berada di Kabupaten Bangka Selatan yang juga sebagai sentra perkebunan lada sehingga secara otomatis bergesekan dengan areal perkebunan lada. Sementara itu perkebunan sawit milik rakyat diwilayah Bangka Belitung juga cukup luas yaitu mencapai 57.668 hektar. Namun demikian, dalam beberapa tahun belakangan ini, tepatnya sejak tahun 2006, produksi lada di Propinsi tersebut menunjukkan kecenderungan yang meningkat, walaupun produktivitasnya menurun. Luas lahan perkebunan lada pada tahun 2006 tercatat seluas 11.654 hektar dengan produksi 26.369 ton, kemudian pada tahun 2010 meningkat menjadi 18.472 hektar dengan produksi 36.569 ton dan tahun 2012 meningkat lagi menjadi 34.379 hektar dengan produksi sebesar 45.066 ton. Peningkatan luas areal perkebunan lada tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh ketertarikan petani untuk meningkatkan usaha tani ladanya sehubungan dengan adanya perkembangan harga yang meningkat secara signifikan. Harga lada di bulan Januari tahun 2011 ditingkat konsumen sebesar Rp 70.000/kg,
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 28
kemudian pada bulan Desember tahun 2013 meningkat sekitar 70% sehingga menjadi Rp 120.000/kg.
Tabel 4.1. Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Lada Di Bangka Belitung
Tahun
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Produksi (ton)
26.369
35.842
33.739
37.041
36.569
36.165
45.060
Luas (Ha)
11.654
16.424
15.671
15.601
18.472
28.241
34.379
2,26
2,18
2,15
2,37
1,98
1,28
1,31
Produktivitas
Sumber : BPS Prov. Bangka Belitung
Perkebunan lada di Propinsi Bangka Belitung tersebar di berbagai wilayah, Kabupaten Bangka Selatan tercatat sebagai wilayah penghasil utama dengan luas areal 21.141 hektar (46,91%), disusul Kabupaten Belitung dengan luas 7.610 hektar (16,88%) dan Bangka Barat seluas 7.358 hektar (16,32%). Namun demikian, kalau dilihat dari produktivitasnya, Kabupaten Bangka Tengah tercatat sebagai wilayah yang memiliki produktivitas tertinggi yaitu 2,56 ton/hektar, disusul Kabupaten Bangka Barat dengan produktivitas 1,93 ton/hektar dan Kabupaten Belitung 1,44 ton/hektar. Dengan adanya dukungan program-program yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan dan Peternakan Propinsi Bangka Belitung terhadap pengembangan lada, diharapkan produksi lada di Propinsi tersebut dapat terus meningkat di waktu yang akan datang. Program-program pengembangan lada putih di Propinsi Bangka Belitung antara lain : a.
Ektensifikasi yaitu dengan menambah areal pertanaman baru pada tanah yang sesuai dengan pertanaman lada.
b.
Intensifikasi yaitu meningkatkan produktivitas tanaman yang ada melalui penyiangan, pemangkasan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit.
c.
Diversifikasi vertikal dan horizontal. Diversifikasi vertikal yaitu penganekaragaman produk yang dihasilkan oleh setiap jenis tanaman dengan menggunakan inovasi teknologi antara lain pengolahan lada bubuk, minyak lada dan sebagainya. Diversifikasi horizontal yaitu melakukan penganekaragaman produk yang dihasilkan dari usaha tani antara lain integrasi dengan ternak dan tanaman sela.
d.
Peningkatan Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) yaitu peningkatan mutu dan kualitas lada putih dengan melakukan antara lain penyebaran unit pengolahan, sosialisasi standar mutu dan sebagainya.
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 29
e.
Penguatan
kelembagaan
melalui
penguatan
kelompok
tani
agar
dapat
memperbaiki posisi tawar petani.
Selain upaya-upaya tersebut, di Propinsi Bangka Belitung juga telah dibentuk suatu lembaga dalam bentuk Badan Pengelolaan Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) pada tahun 2009. Terbentuknya BP3L ini dilatar belakangi dari sejumlah pelaku usaha Lada di Bangka Belitung yang prihatin atas kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap perkembangan perkebunan lada tersebut. BP3L mempunyai tugas untuk membangkitkan kembali masa kejayaan lada di daerah tersebut. Lembaga tersebut berdiri sendiri dan tidak ada hubungan horizontal dengan dinas yang bertanggungjawab terhadap pengembangan lada, sehingga pendanaan operasionalnya selama ini berasal dari dari program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan yang terpanggil diantaranya PT. Timah. Langkah awal yang dilakukan BP3L antara lain dengan membuka perkebunan lada terpadu di Kabupaten Bangka Selatan. Perkebunan lada terpadu selain memiliki areal perkebunan lada, di dalamnya juga dibangun kebun bibit lada unggul, lantai penjemuran yang bersih, tempat pencucian/pengolahan lada dan kandang-kandang hewan sebagai sumber pupuk organik. Pembibitan lada diperuntukkan bagi siapa saja termasuk petani lada sehingga diharapkan produktivitas perkebunannya meningkat. Tempat penjemuran dan pengolahan juga dapat dimanfaatkan oleh siapa saja termasuk petani sehingga dapat dijadikan sebagai sarana pelatihan bagi petani tentang bagaimana cara memproses lada untuk menghasilkan lada dengan mutu yang baik. Dalam hal pemasaran, BP3L relatif tidak banyak menemui kendala, mengingat anggotanya banyak dari kalangan pengusaha lada. Sementar itu, pasar dalam negeri yang mulai di rintis adalah dengan melakukan kerjasama dengan perusahaan besar seperti Indofood. Dalam hal ini BP3L berencana akan memasok kebutuhan lada ke perusahaan tersebut secara kontinu.
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 30
Tabel 4. 2. Luas Areal dan Produksi Lada di Bangka Belitung Tahun 2012
Kabupaten
Luas (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (ton/ha)
Bangka
3.326
2.813
118
Belitung
7.610
5.255
144
Bangka Barat
7.358
6.167
193
Bangka Tengah
2.347
916
256
Bangka Selatan
21.141
16.789
123
3.282
2.441
134
0
0
0
45.065
34.379
151
Bangka Timur Pangkal Pinang Total
Sumber : BPS Bangka Belitung, 2013.
Perkembangan Harga Perkembangan harga lada di Propinsi Bangka Belitung selalu berfluktuasi. Fluktuasi harga tersebut menunjukkan pola yang tidak menentu sebagaimana pola fluktuasi pada harga tanaman pangan/padi. Biasanya, harga padi pada musim panen cenderung lebih rendah dan sebaliknya pada musim paceklik harga padi meningkat, dan hal ini terjadi hampir di sepanjang tahun. Sementara itu, fluktuasi harga untuk komoditi lada tidak terpola sehingga pada saat musim panen belum tentu harganya menurun. Musim panen lada biasanya terjadi di bulan Juli sampai dengan September. Logikanya pada periode tersebut harga lada akan menurun secara signifikan, namun yang terjadi harga lada justru meningkat pada tahun 2011 dan pada tahun 2012 relatif stabil (Lihat gambar 4.1). Sementara itu pada tahun 2013 pada saat musim panen harga menunjukkan sedikit penurunan. Dengan pola fluktuasi harga yang relatif tidak terpola sepanjang tahun, menjadikan komoditi tersebut kurang menarik untuk diresigudangkan bagi petani apalagi berdasarkan informasi dari BP3L untuk saat ini produk lada relatif langka sehingga pemasarannya menjadi mudah dengan harga yang relatif tinggi. Budaya untuk menyimpan komoditi lada sebenarnya sudah dilakukan oleh sebagian petani, namun penyimpanannya digudang milik sendiri/di rumah sehingga tidak mengeluarkan biaya, sementara itu untuk menyimpan lada di gudang SRG membutuhkan biaya. Fluktuasi harga lada relatif sulit diprediksi karena sebagian besar hasil produksi lada Indonesia (lebih dari 50%) diekspor ke luar negeri, sehingga harga di dalam negeri sangat dipengaruhi oleh harga lada di pasar internasional. Sebagaimana
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 31
diketahui bahwa Indonesia bukan satu-satunya negara penghasil lada di dunia, akan tetapi banyak negara lainnya yang menghasilkan lada seperti China, Vietnam, Brazil dan Malaysia. Disisi lain, petani lada di Bangka Belitung memiliki budaya untuk tidak langsung menjual hasil panennya. Pada saat panen dan harganya tidak menarik, mereka cenderung menyimpan produknya dan mereka akan menjual produk yang disimpan jika harganya sudah meningkat. Petani yang biasa melakukan penyimpanan hasil panen ladanya biasanya adalah petani yang memiliki diversifikasi usaha atau yang memilliki usaha dengan skala.
Gambar 4.1. Grafik Perkembangan Harga Lada Di Babel Tahun 2011 - 2013
Sumber : BPS Bangka Belitung, 2014.
Berdasarkan perkembangan harga bulanan selama tiga tahun terakhir, tercatat bahwa harga lada dari bulan Januari sampai dengan Desember selalu berfluktuasi atau naik turun. Namun demikian, khusus pada bulan Juli selama tiga tahun tersebut selalu mengalami penurunan dan meningkat kembali pada 1 atau 2 bulan berikutnya dengan selisih harga (kenaikan dengan penurunan harga) Rp 49/kg sampai dengan Rp10.241/Kg. Penurunan harga yang terpola tersebut (terjadi sepanjang tahun pada bulan Juli) merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan petani untuk memanfaatkan program SRG. Berdasarkan pengalaman petani padi yang memanfaatkan SRG, biaya penyimpanannya selama 3 bulan berkisar Rp 145/kg untuk 1.500 ton, Rp 158/kg untuk 1.000 ton dan Rp 195/kg per 500 ton (biaya pengelolaan gudang dikelola pemerintah). Dengan asumsi biaya penyimpanan gabah sama dengan lada, maka petani lada akan beruntung memanfaatkan
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 32
SRG kalau selisih penurunan dan kenaikan harga lada dalam 1-2 bulan di atas biaya penyimpanan tersebut dan sebaliknya.
Tabel 4.3. Perkembangan Harga Lada Di Babel Pada Tingkat Pedagang Besar Tahun 2011-2013
Bulan
2011
2012
2013
Januari
47.162 ( t ) 83.090 ( + ) 96.207 ( + )
Februari
50.350 ( + ) 83.160 ( - )
Maret
50.175 ( - ) 83.180 ( + ) 98.600 ( t )
April
51.675 ( + ) 84.050 ( + ) 98.600 ( t )
Mei
56.825 ( + ) 84.000 ( + ) 83.344 ( - )
Juni
58.012 ( + ) 83.910 ( - )
87.411 ( + )
Juli
57.887 ( - ) 83.770 ( - )
84.759 ( - )
Agustus
58.450 ( + ) 84.360 ( + ) 84.759 ( t )
September
59.387 ( + ) 84.680 ( + ) 95.000 ( + )
Oktober
71.762 ( + ) 84.860 ( + ) 95.000 ( t )
November
72.700 ( + ) 84.750 ( - )
Desember
75.537 ( + ) 84.770 ( + ) 85.000 ( t )
98.600 ( + )
85.000 ( - )
Sumber : BPS Bangka Belitung (diolah).
4.2. Lampung Seperti halnya lada putih di Propinsi Bangka Belitung, produksi lada hitam di Propinsi Lampung juga mengalami perkembangan yang pasang surut. Surutnya perkebunan lada biasanya disebabkan oleh jatuhnya harga komoditi tersebut sehingga petani sudah enggan untuk meremajakan tanamannya, produksi lada yang ada hanya dihasilkan dari tanaman yang umurnya sudah tua dengan produktivitas rendah. Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil lada hitam terbesar di Indonesia dengan area potensial tanaman lada terletak di berbagai wilayah. Dalam lima tahun terakhir, produksi lada di Lampung terlihat masih mengalami naik turun, namun semenjak tahun 2011 mengalami peningkatan yang diakibatkan oleh meningkatnya gairah petani untuk menanam lada seiring dengan meningkatnya harga lada secara signifikan. Produksi lada selama lima tahun terakhir mengalami penigkatan yang terjadi pada tahun 2009 dan 2013. Seiring dengan perkembangan harga yang membaik dan didukung oleh kebijakan Pemerintah Daerah yang dituangkan melalui Program Kejayaan Lada
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 33
Lampung, diharapkan pada beberapa tahun kedepan produksi lada Lampung terus meningkat apalagi lada Lampung dikenal memiliki keunikan aroma dan rasa yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Program yang dikembangkan oleh pemerintah daerah antara lain mengembangkan cagar budaya lada lampung yang dilakukan di Kabupaten Lampung Timur. Melalui program tersebut diharapkan lada lampung menjadi terkenal di berbagai daerah. Program pengembangan lada lainnya yang cukup dikenal adalah Model Economic Circle. Pengembangan model ini bertujuan untuk memandirikan petani dari hulu sampai hilir, dari produksi sampai pengolahan hasil dan pemasaran. Dalam hal ini petani lada juga mendapat bantuan ternak sapi, hasil sampingannya berupa kotoran sapi dapat digunakan sebagai pupuk organik. Bantuan ternak sapi tersebut dikenal sebagai program diversifikasi produk petani lada. Tabel 4.4. Perkembangan Produksi Lada Propinsi Lampung Tahun 2009-2012
Tahun
Produksi (ton)
2008
22.164
2009
23.343
2010
22.725
2011
21.905
2012
23.005
Hampir semua wilayah di Propinsi Lampung menghasilkan lada dengan produksi yang bervariasi disesuaikan dengan luas lahannya. Propinsi yang memiliki perkebunan lada terluas berada di Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten Lampung Barat masing-masing memiliki luas areal sebesar 23.752 hektar dan 9.447 hektar. Sementara luas areal perkebunan lada di wilayah lainnya pada umumnya masih dibawah 10 ribu hektar dan yang luas arealnya terkecil adalah Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Tulang Bawang.
Tabel 4.5. Luas Areal Perkebunan Lada Di Propinsi Lampung No
Kabupaten
1
Lampung Barat
2
Luas Areal (Ha)
%
9.447
14,8
Lampung Selatan
223
0,35
3
Lampung Tengah
610
0,95
4
Lampung Timur
LAPORAN AKHIR
8.266
12,95
Bab IV - 34
5
Lampung Utara
6
Pesawara
7
23.752
37,23
687
1,07
Tanggamus
6.246
9,79
8
Pring Sewu
2.312
3,62
9
Tulang Bawang
166
0,26
10
Way kanan
12.081
18,94
Total
63.790
100
Perkembangan Harga Lada Sama halnya dengan harga lada di Bangka Belitung, harga lada di Propinsi Lampung mengalami perkembangan yang pasang surut. Namun demikian dalam beberapa tahun terakhir tercatat bahwa perkembangan lada di Propinsi Lampung mengalami perkembangan yang cenderung meningkat. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Propinsi Lampung, tercatat bahwa harga lada di daerah tersebut pada tingkat produsen mengalami peningkatan. Pada bulan Desember tahun 2010 harga lada sebesar Rp 23.330/kg, kemudian meningkat pada bulan Desember 2013 sebesar Rp 76.150/kg. Peningkatan tersebut tentunya berdampak pada gairah para petani lada untuk kembali menanam perkebunan ladanya. Pergerakan harga lada di Propinsi Lampung ternyata tidak jauh berbeda dengan pola pergerakan harga lada di Propinsi Bangka Belitung. Berdasarkan data selama dua sampai tiga tahun terakhir, terdapat pola pergerakan harga yang tidak menentu di setiap tahunnya. Pada tahun 2011 terlihat bahwa mulai bulan Januari sampai dengan Mei harga mengalami naik turun setiap bulannya, kemudian meningkat pada periode bulan Juni hingga Juli, pada bulan Agustus menurun kembali, pada periode bulan September sampai dengan Oktober kembali meningkat dan bulan Nopember sampai dengan Desember harganya menurun kembali. Harga lada di tahun 2013 dari bulan Januari sampai dengan bulan Juli cenderung stabil, kemudian bulan selanjutnya terus meningkat. Pola pergerakan harga yang demikian akan menyulitkan petani/pelaku usaha untuk meresigudangkan ladanya karena sulitnya memprediksi kapan harga lada akan mengalami penurunan dan peningkatan.
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 35
Gambar 4.2. Grafik Perkembangan Harga Lada Di Propinsi Lampung Pada Tingkat Peladang Besar Tahun 2010-2013
Berdasarkan perkembangan harga bulanan, selama tiga tahun terakhir tercatat bahwa harga lada dari bulan Januari sampai dengan Desember selalu berfluktuasi atau naik turun. Pada masa panen raya yang umumnya terjadi pada bulan Mei – Juli ternyata harga lada mengalami peningkatan kecuali harga lada di bulan Juli tahun 2013. Hal ini mennjukkan bahwa pola naik turunnya harga tidak terpola dan sulit untuk diprediksi. Pola naik turunnya harga lada tersebut akan menimbulkan resiko yang besar apabila sistem resi gudang diterapkan di Propinsi Lampung. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa secara ekonomi komoditi lada belum layak diterapkan di Propinsi Lampung walaupun dalam Pemendag Nomor 26/M-DAG/PER/6/2007 lada merupakan salah satu komoditi yang dapat diresigudangkan.
Tabel 4.6. Perkembangan Harga Lada Di Lampung Pada Tingkat Produsen Tahun 2010, 2011 dan 2013
Bulan
2010
2011
2013
Januari
21.000 ( t ) 35.313 ( + ) 53.300 ( .. )
Februari
22.250 ( + ) 35.000 ( - )
Maret
23.000 ( + ) 37.750 ( + ) 53.100 ( - )
April
22.400 ( - ) 36.188 ( - )
Mei
22.500 ( + ) 39.250 ( + ) 53.150 ( - )
Juni
23.500 ( + ) 40.075 ( + ) 54.000 ( + )
LAPORAN AKHIR
54.000 ( + )
54.000 ( + )
Bab IV - 36
Juli
23.500 ( t )
41.362 ( + )
54.150 ( + )
Agustus
24.000 ( + ) 27.375 ( - )
57.700 ( + )
September
26.000 ( + ) 39.450 ( + ) 58.200 ( + )
Oktober
23.500 ( - ) 61.900 ( + ) 69.850 ( + )
Nopember
23.500 ( t )
60.250 ( - )
72.000 ( + )
Desember
23.330 ( - ) 50.850 ( - )
76.150 ( + )
Sumber : Dinas Perkebunan (diolah).
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 37
BAB V ANALISIS IMPLEMENTASI SISTEM RESI GUDANG
5.1
ANALISIS KOMODITI LADA SEBAGAI SUBYEK SRG Setelah pada bab IV telah dikemukakan profil dan tata niaga komoditi lada, pada
sub bab ini akan dibahas kesiapan komoditi lada sebagai subyek SRG. Kesiapan komoditi lada sebagai subyek SRG dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT dan sistem penyimpanan.
5.1.1
Analisis SWOT Analisis situasi industri Lada pada provinsi Lampung dan provinsi Bangka
dilakukan dengan mengkaji kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dengan tujuan pemetaan secara tajam guna membuat perencanaan di masa depan dalam penyusunan perencanaan, khususnya terkait dengan Resi Gudang Lada. Seperti yang telah dijelaskan dalam bab IV, sejak turunnya harga ladasecara drastis dari tahun 1999 hingga tahun 2006 yang merupakan titik terendah harga lada putih di Provinsi Bangka yaitu Rp. 22.000/kg di tingkat konsumen, dengan asumsi harga di tingkat petani sebesar 70% dari harga di tingkat konsumen maka harga jual petani hanya sebesar Rp. 15.400/kg. Hal ini yang menyebabkan beralih fungsinya areal perkebunan lada menjadi kelapa sawit. Bahkan di Provinsi Bangka, sejak harga lada putih jatuh drastis, hampir sebagian besar petani lada memutuskan untuk menjadi penambang timah ilegal. Hal ini yang membuat produksi lada putih di provinsi Bangka semakin lama semakin menurun, meskipun tetap menjadi provinsi penghasil lada putih terbesar di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada lada hitam di Provinsi Lampung. Pada tahun 2006, lada hitam Lampung mencapai angka tertinggi Rp. 40.000/kg, namun pada tahun 2007 – 2008 turun kembali menjadi 25.000 – 35.000/kg dan harga ini turun kembali menjadi Rp. 20.000/kg pada tahun 2009. Kondisi ini yang menyebabkan banyaknya petani lada di Provinsi Lampung juga mengalihfungsikan sebagian atau seluruh lahannya dengan tanaman lain seperti kopi dan kelapa sawit. Atas kondisi tersebut di atas terjadi penurunan bahkan penutupan areal perkebunan. Areal perkebunan lada 100% dimiliki oleh perkebunan rakyat, tidak ada perkebunan besar baik swasta maupun negara yang mengelola perkebunan ini. Untuk menganalisis komoditi lada secara menyeluruh dilakukan dengan pendekatan SWOT seperti yang terdapat pada tabel di bawah.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 38
Tabel 5.1. Analisis SWOT Komoditi Lada SWOT Kekuatan
Kelemahan
Faktor Pasokan
Keterangan 1. Indonesia masih termasuk 5 besar negara penghasil lada terbesar di dunia. Peringkat dua setelah Vietnam. 2. Kontribusi lada Indonesia terhadap kebutuhan lada dunia berkisar 23 – 36% per tahunnya 3. Provinsi Bangka Belitung sebagai provinsi penghasil lada putih terbesar di Indonesia dengan hasil produksi 31.195 ton per tahun pada tahun 2013. 4. Provinsi Lampung sebagai penghasil lada hitam terbesar di Indonesia dengan jumlah produksi sebsar 22.244 ton per tahun pada tahun 2013. 5. Telah memiliki jejaring petani pemungut hingga pengumpul untuk masing-masing perusahaan pengolahan bahan baku atau eksportir 6. Lada Indonesia memiliki keunggulan dalam hal rasa yang tidak dimiliki oleh negara lain
Sumber Daya dan SDM
1. Memiliki tenaga kerja petani dan pemungut Lada, dengan produktivitas 776 kg/Ha. 2. Khusus untuk di wilayah Provinsi Sulatera selatan dan Bangka Belitung, produktivitas di atas 1.000 kg/Ha 3. Terdapat Badan Pengelolaan Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) di Bangka sehingga dihasilkan hasil yang baik dari Lada. 4. Terdapat industri lada yang mengembangkan menjadi tepung lada, minyak lada dan lada segar dalam kalengan yang menjadi industri hilir dari lada.
Lembaga
Terdapat kelembagaan yang saling terkait dari hulu hingga hilir terdiri dari : 1. Industri pengolah/pembuatan bahan baku menjadi tepung lada, minyak lada maupun lada segar kalengan. 2. Badan Pengelolaan Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) di Provinsi Bangka Belitung yang berusaha mengembalikan kejayan lada putih di Bangka Belitung 3. Industri penunjang seperti teknologi dan perbankan selaku penyedia dana kredit. 4. Asosiasi terkait seperti: AELI, Kompali (Koperasi Masyarakat Lada Putih Indonesia), APLI (Asosiasi Petani Lada Indonesia)
Fasilitas
Terdapat beberapa fasilitas yang dapat mendukung perkembangan lkomoditi lada di Indonesia, seperti: 1. Fasilitas penyimpanan berupa gudang maupun silo. Pada Provinsi Lampung, beberapa gudang sudah dibangun oleh pemerintah daerah. Di Provinsi Bangka Belitung, gudang yang ada adalah milik pribadi atau swasta. 2. Fasilitas BP3L di Provinsi Bangka yang mengkhususkan untuk lada putih dan SMK Negeri 1 Pangkalan Lada yang akan menghasilkan tenga-tenaga di bidang pengolahan tanaman perkebunan. 1. Ketersediaan pasokan dipengaruhi oleh harga lada, dimana untuk mengurangi risiko turunnya harga lada, banyak petani yang melakukan tumpang sari dengan karet, coklat, kopi maupun singkong. 2. Baik lada putih maupun lada hitam rentan terhadap penyakit dan hama. 3. Persaingan petani pemungut Lada dengan peluang dari sektor
Pasokan
LAPORAN AKHIR
Bab V - 39
SWOT
Ancaman
Peluang
Faktor
Keterangan lainnya khususnya tambang dan perkebunan. 4. Modal kerja, mengingat semua kebutuhan pemungutan Lada oleh pemungut harus dipenuhi dan hasil pemungutan dibayar kontan. 5. Tanaman lada baru dapat dipanen setelah 2-3 tahun dan hanya terjadi panen raya satu kali dalam setahun yaitu antara bulan Juli – September. 6. Karena 100% merupakan perkebunan rakyat, maka seringkali tidak terjadi peremajaan tanaman lada.
Sumber Daya Manusia/ SDM
1. Pengolahan lada dari mulai dari perontokon hingga Pembersihan memerlukan sumber daya yang baik seperti air yang mengalir untuk pembersihan yang merupakan masalah di Provinsi Bangka. 2. Tanaman lada memerlukan pupuk organik untuk meningkatkan produktivitasnya, sedangkan saat ini pupuk yang digunakan adalah pupuk kimia atau non organik pada pohon yang sudah tua. 3. Upah rendah petani pemungut Lada dari waktu ke waktu belum mampu memberikan kesejahteraan. 4. Industri hulu lebih mengandalkan fisik orang sehingga diperlukan tenaga prima. 5. Kesadaran dari pelaku usaha di penyiapan bahan baku untuk secara konsisten memelihara mutu.
Fasilitas
Fasilitas yang ada belum sepenuhnya dipergunakan oleh petani lada.
Pesaing
Produsen dan eksportir lada hitam terbesar saat ini adalah Vietnam dengan biaya produksi yang lebih rendah daripada Indonesia
Penyakit dan Hama
Penyakit dan hama menjadi musuh utama bagi tanaman lada yang dapat menyebabkan gagal panen
Alih fungsi
Areal perkebunan dialihfungsikan menjadi areal pertambangan pada beberapa provinsi di Indonesia, misalnya di Provinsi Bangka dan Pulau Kalimantan.
Pasar
1. USA, Belanda, Inggris, Rusia, Perancis, Jepang, dan Singapura.
2. Selain pasar internasional juga terdapat pasar domestik 3. Banyaknya resep makanan yang berbahan dasar lada 4. Selain dibutuhkan untuk makanan juga dibutuhkan sebagai 5.
5.1.2
campuran kosmetik dan obat-obatan tradisional Terdapatnya intervensi pemerintah daerahuntuk menghidupkan kejayaan lada kembali baik di Provinsi Lampung maupun Provinsi Bangka Belitung.
SISTEM PENYIMPANAN Baik lada putih maupun lada hitam, memerlukan perlakuan yang baik untuk
menjaga mutu dan kualitas lada. Untuk itu, penyimpanan lada harus dilakukan dengan baik dan benar sebagai berikut (Deptan, 2009):
LAPORAN AKHIR
Bab V - 40
1. Lada harus disimpan di tempat yang bersih, kering dengan ventilasi udarayang cukup, diatas bale-bale atau lantai yang di tinggikan, ditempat yangbebas dari hama seperti tikus dan serangga. 2. Lada tidak boleh disimpan bersama dengan bahan kimia pertanian atau pupukyang mungkin dapat menimbulkan kontaminasi. Tempat penyimpanan ladaharus mempunyai ventilasi yang cukup tetapi bebas dari kelembaban yangtinggi. 3. Lada yang disimpan harus diperiksa secara berkala untuk mendeteksi adanyagejala kerusakan karena hama atau kontaminasi.
Syarat-Syarat Penyimpanan Lada sangat membutuhkan ketepatan proses pengeringan. Lada harus memenuhi kadar air di bawah 12% atau bila digigit dapat pecah menjadi 6. Lada yang sudah kering dapat dikemas di dalam kantong yang dilapisipolythene untuk mencegah penyerapan air. Atau lada kering yang sudah bersih dapat dikemas dalam kantong yang bersih dan kering atau kemasan lain yang cocok untuk penyimpanan dan pengangkutan seperti karung goni atau sejenisnya. Kantong untuk lada harus diperhatikan kebersihannya agar lada tidak terkontaminasi, khususnya yang disebabkan
karena kantong yang digunakan adalah kantong yang sebelumnya telah
dipergunakan untuk pupuk, bahankimia pertanian atau bahan-bahan lainnya.Kantong harus benar-benar bersih dan bila perlu dilakukan pemeriksaan secaraseksama untuk memastikan bahwa kantong tersebut bebas dari debu atau benda-benda asing.
Penyimpanan lada yang kurang baik mengakibatkan mutu dan kualitas lada menurun. Dengan demikian, manajemen gudang dan pengetahuan mengenai komoditi lada perlu dikuasai oleh Perusahaan Pengelola Gudang. 5.1.3
Kesiapan Komoditi Lada Dalam Rangka Implementasi SRG Komoditi Lada Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, penurunan produksi lada selama
10 tahun terakhir (2004 – 2014) yang disebabkan karena terjadinya penurunan harga secara drastis pada tahun 1999 – 2006 meskipun pada tahun 2007 – 2008 sempat mengalami peningkatan, tetapi pada tahun 2009 mengalami penurunan kembali membuat banyak petani lada baik lada putih maupun lada hitam mengalihkan areal perkebunannya menjadi areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Bangka Belitung dan areal perkebunan kopi, coklat, singkong di Provinsi Lampung. Bahkan di Provinsi Bangka, sebagian besar petani lada meninggalkan mata pencaharian sebagai petani dan memutuskan untuk melakukan penambangan timah. Penurunan areal perkebunan juga diperburuk dengan adanya penurunan produktivitas yang disebabkan tanaman lada yang sudah tua dan juga penggunaan pupuk non organik. Hal ini membuat kontribusi ekspor lada Indonesia terhadap pasar dunia mengalami penurunan, kalah dengan negara tetangga Vietnam. Penurunan ini juga disebabkan mutu lada yang
LAPORAN AKHIR
Bab V - 41
dihasilkan di tingkat petani cenderung rendah bahkan tidak memenuhi mutu yang disyaratkan negara importir. Tinggi kadar kotoran dan terkontaminasi mikroorganisme yang disebabkan proses perendaman dan pengeringan masih dilakukan secara tradisional membuat lada Indonesia kalah secara mutu dibandingkan dengan Vietnam dan Brazil, meskipun demikian lada Indonesia masih memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh negara lain dalam hal rasa dan aroma. Meskipun demikian, sejak tahun 2009, komitmen pemerintah daerah baik pemerintah daerah Provinsi Lampung maupun Bangka Belitung untuk mengembalikan kejayaan lada di daerahnya baik lada hitam di Provinsi Lampung maupun lada putih munthok di Provinsi Bangka Belitung. Selain itu harga lada yang meningkat terus sejak tahun 2010 hingga saat ini membuat petani lada kembali berminat untuk menanam lada yang diharapkan dapat meningkatkan hasil produksi. Areal perkebunan yang sebelumnya digunakan untuk tanaman perkebunan lainnya, sedikit demi sedikit mulai tergantikan oleh lada terutama di Kabupaten Lampung Timur sebagai daerah penghasil lada di Provinsi Lampung. Sedangkan untuk Provinsi Bangka Belitung, karena sebagian besar areal sudah digunakan untuk penambangan timah, maka penambahan luas areal perkebunan sangat sulit dilakukan. Tetapi dengan adanya penelitian dan BP3L di Provinsi Bangka Belitung membuat proses produksi dan pasca panen semakin baik sehingga produktivitas semakin tahun semakin meningkat dengan mutu yang memenuhi standar. Meskipun kalah dengan Vietnam, Indonesia masih menjadi negara eksportir kedua terbesar dengan peningkatan ekspor pada tahun 2012 sebesar 75% secara kuantitas dan 101% secara nilai ekspor. Hal ini disebabkan terjadi peningkatan produksi yang tajam pada tahun 2012 sebesar 83% untuk lada hitam dan 18% untuk lada putih. Berdasarkan analisis kesiapan dari sisi komoditi maka komoditi lada dinyatakan siap untuk diimplementasikan untuk resi gudang di Indonesia. Selain fluktuasi harga yang tinggi untuk periode 8 – 10 tahunan, komoditi lada Indonesia yang sebagian besar diekspor membutuhkan resi gudang untuk memberikan modal kerja kembali kepada petani karena lada baru dapat dipanen setelah 2-3 tahun dan hanya mengalami panen raya selama satu kali yaitu pada bulan Juli – September setiap tahunnya.
5.2
ANALISIS
IMPLEMENTASI
SRG
KOMODITI
LADA
PADA
DAERAH
PENELITIAN 5.2.1
Landasan Berpikir Menjadikan Lada sebagai Subjek Resi Gudang didasarkan pemikiran strategik
agar nilai komoditi masih berarti dan terhindarnya “petani” dari kerugian akan jatuhnya harga serta dapat menjadikan obyek sebagai agunan untuk memperoleh modal kerja. Surat atau Resi Gudang menjadi berharga atau “menjadi surat berharga” untuk melakukan transaksi dengan lembaga keuangan. Harga lada yang berfluktuasi 10 tahunan membawa ancaman tersendiri bagi petani lada. Fluktuasi harga yang tinggi
LAPORAN AKHIR
Bab V - 42
selama 20 tahun terakhir terutama periode 1999 – 2006 membuat minat petani untuk bertanam lada menurun bahkan hilang sama sekali. Namun kenaikan harga lada yang stabil dari tahun 2007 hingga saat ini, membuat minat petani untuk bertanam bangkit kembali. Di sisi lain adanya komitmen pemerintah daerah baik Provinsi Lampung maupun Provinsi Bangka Belitung untuk mengembalikan kejayaan lada baik lada hitam atau lada putih Indonesia seperti dahulu, menjadikan komoditi lada merupakan salah satu komoditi yang menjanjikan. BerdasarkanPeraturan Menteri Perdagangan No. 26/M-DAG/PER/6/2007,Lada telah dinyatakan sebagai Subyek dalam Resi Gudang. Dengan demikian, lada yang disimpan dalam gudang SRG dapat dijadikan sebagai agunan dengan menggunakan resi gudang.Resi gudang komoditi lada memungkinkan terwujudnya pasar komoditi berjangka lada dan sekaligus memberikan manfaat bagi petani. Namun sejak ditetapkan sebagai subyek resi gudang pada tahun 2007 hingga saat ini belum dimanfaatkan oleh para petani. Hal ini disebabkan selain belum tersosialisasikan dengan baik mengenai sistem resi gudang kepada para petani lada di Provinsi Lampung, juga disebabkan sistem yang berkembang saat ini adalah pembiayaan dengan menggunakan Collateral Management Agreement (CMA) yang hampir serupa dengan sistem resi gudang. Berikut ini adalah ada analisis berpikir dari sudut pandang pelaku usaha. Komoditi Lada sebagai komoditi usaha masih dipandang tepat untuk pasar fisik konvensional dimana terjadi transaksi langsung pembeli dan penjual. Ketika dijadikan produk berjangka dengan memenuhi syarat minimum 3 bulan masa simpan di gudang, kondisi tersebut dinilai : 1) Opportunity lost 2) Short term based (produk tidak sempat disimpan), jumlah produksi yang ada saat ini langsung terserap pasar. 3) Ketidaksesuaian permintaan danpenawaran dimana permintaan bahan baku lebih tinggi daripada penawaran bahan baku 4) Belum adanya role model dari petani lainnya yang merasakan manfaat penggunaan sistem resi gudang untuk komoditi lada. 5) Meskipun komoditi lada sudah memiliki SNI Lada, namun dalam prakteknya penilaian mutu komoditi sesuai dengan permintaan buyer.
Dengan kata lain landasan berpikir konseptual Resi Gudang untuk Lada belum sesuai – simetris dengan landasan berpikir pelaku. Pelaku usaha sudah memiliki rantai pasok yang solid yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun. Selain itu juga, permintaan pasar yang tinggi terhadap komoditi ini membuat komoditi tidak sempat
LAPORAN AKHIR
Bab V - 43
disimpan. Selain itu juga fluktuasi harga lada yang tinggi selama 10 tahun terakhir ini membuat para petani lada cukup waspada terhadap perubahan pasar yang ada sehingga yang dibutuhkan petani adalah kepastian untuk menjual komoditinya dengan harga yang layak. 5.2.2
Analisis Implementasi SRG dari Aspek Hukum/Legalitas Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang sesuai dengan
PerdaganganNo. 37/M-DAG/PER/11/2011 yakni
Peraturan Menteri
kegiatan yang berkaitan dengan
penerbitan, pengalihan, penjaminan dan penyelesaian transaksi Resi Gudang. Berdasarkan peraturan menteri dimaksud, manfaat Sistem Resi Gudang Komoditi Pertanian adalah a) memperpanjang produk hasil pertanian dari Petani, b) sebagai agunan bank, c) mewujudkan Pasar Fisik dan Pasar Berjangka yang lebih kompetitif dan d) mengurangi peran pemerintah dalam stabilisasi harga komoditi. Berdasarkan aspek legalitas dan digabungkan dengan landasan berpikir dipandang bahwa: 1.
Aspek legalitas telah kuat terdiri dari Undang-Undang No.9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. Tahun 2011, Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan, Peraturan Menteri PerdaganganNo. 37/M-DAG/PER/11/2011 tentang barang yang dapat disimpan di gudang dalam penyelenggaraan sistem Resi Gudang.
2.
Berdasarkan butir 1 dimaksud, sejumlah pelaku usaha memandang apa yang dilakukan pemerintah sebagai pemikiran strategik dalam: a. Melindungi komoditi Lada dan diperolehnya nilai tambah bagi Negara. b. Kesatuan antara industri dan perdagangan dalam menguatkan Industri Nasional. c. Penatakelolaan perdagangan yang memberikan manfaat bagi petani yang selama ini termarginalisasikan. d. Terdapatnya landasan hukum bagi perdagangan komoditi berjangka. e. Terpelilharanya kepemilikan kompetensi dan komoditi dalam hal perkebunan lada yang dalam hal tertentu hanya terdapat di Indonesia.
3.
Aspek legalitas tersebut telah mencakup peran dan fungsi masing-masing lembaga yakni pelaku, pengelola gudang, penjamin, pengawas dan mekanismenya.
4.
Kelemahan dari aspek legalitas adalah banyaknya lembaga yang terkait dalam implementasi sistem resi gudang yaitu pelaku usaha baik petani, gapoktan, dll; pengelola gudang, lembaga penilai kesesuaian, asuransi, pengawas dan lembaga perbankan. Kelembagaan yang banyak ini di satu sisi merupakan kelemahan tetapi di sisi lain merupakan kekuatan dari sistem resi gudang karena memberikan kepastian hukum.
5.
Meskipun memberikan kepastian hukum, pada tataran implementasi, ketersediaan perangkat hukum masih dianggap belum
tersosialisasikan secara luas kepada para
pemangku kepentingan sehingga masih terdapatnya distorsi informasi sehingga belum
LAPORAN AKHIR
Bab V - 44
memahami operasionalisasi dari sistem resi gudang untuk komoditi lain selain gabah dan beras.
5.3
Analisis Implementasi SRG berdasarkan pihak yang membutuhkan Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan, manfaat SRG sesungguhnya ditujukan
pada pihak yang termarginalkan agar diperoleh manfaat ketika produk ditahan untuk dijual kemudian, dengan peluang mendapatkan dana. Ditinjau dari kepemilikan, lada pada dasarnya miliki petani. Jadi petani dipandang sebagai pihak yang tepat untuk melakukan Resi Gudang, dengan catatan ia adalah pemilik Lada tersebut. Pengumpul perorangan atau kelompok usaha bisa sebagai pihak yang diberi izin, dan karenanya menjadi pemilik Lada. Namun, menurut Undang-undang No. 9 Tahun 2011, tidak hanya dapat digunakan oleh skala kecil saja (petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi) saja tetapi juga dapat digunakan oleh pelaku usaha skala menengah dan besar (pedagang, prosesor, eksportir dan perusahaan perkebunan). Meskipun diprioritaskan bagi pada petani dengan tujuan agar dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan oleh para petani, serta menetapkan strategi jadwal tanam dan pemasarannya. Hal ini terbukti dari hasil lapangan yang menyatakan bahwa kredit resi gudang yang selama ini berjalan adalah berdasarkan Collateral Management Agreement (CMA) yang banyak dilakukan oleh para eksportir dan pelaku usaha skala besar. Perbedaan kredit resi gudang berdasarkan UU Resi Gudang No. 9 Tahun 2006 (SRG) dengan CMA dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut. Kredit resi gudang yang diberikan kepada petani atau pelaku usaha skala kecil mendapatkan fasilitas subsidi bunga. Sedangkan kredit resi gudang yang berikan kepada pelaku usaha skala menengah dan besar tidak mendapatkan subsidi bunga. Manfaat yang diperoleh adalah para pelaku usaha dapat menjadikan komoditi yang disimpan dalam gudang SRG menjadi agunan demi kebutuhan modal kerja. Dengan demikian, berdasarkan dari pihak yang memerlukan kredit resi gudang, maka baik pelaku usaha skala kecil (petani, kelompok tani, gapoktan) maupun skala menengah (pengumpul desa, pengumpul kabupaten) bahkan skala besar (eksportir dan pengusaha besar) menyambut baik adanya sistem resi gudang ini. Namun dalam implementasinya, tentunya pelaku usaha berhitung permasalahan biaya dengan membandingkan sistem resi gudang dengan CMA yang selama ini telah berjalan ataupun sistem “nota titip” yang selama ini berjalan.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 45
Tabel 5.2. Perbandingan SRG dengan CMA Aspek Definisi
Sistem Resi Gudang Pemberian kredit kepada para pemegang resi gudang yang merupakan pemilik barang atau pihak yang menerima peralihan dari pemilik barang
Kelembagaan
Pemilik barang, Pengelola gudang, Lembaga penilai kesesuaian, Asuransi, Pengawas dan Lembaga Pembiayaan
Proses Pembiayaan
1. Pemilik barang menyimpan barang di gudang SRG yang terdapat pengelola gudang 2. Barang yang disimpan dianalisis sertifikasi mutu 3. Barang yang disimpan diasuransikan (asuransi kerugian dan fidelity) 4. Pengelola gudang mendaftarkan barang yang disimpan ke pusat registrasi resi gudang 5. Pengelola gudang menerbitkan resi gudang (atas barang yang disimpan) 6. Pemilik brang mengajikan kredit di bank dengan Jaminan Resi Gudang 7. Bank melakukan cross check keabsahan dan konfirmasi resi gudang ke pusat registrasi 8. Apabila sertifikat resi gudang telah sesuai dan terdaftar kredit dapat diproses lebih lanjut dan dicairkan maksimal plafond kredit adalah 70% dari Nilai Resi Gudang 9. Pengikatan Resi Gudang dan Pencairan Kredit 10.Penurunan/pelunasan plafond kredit dapat dilakukan apabila terjadi pembayaran ke pihak bank (kreditur) 11.Calon pembeli barang milik debitur (pemegang resi gudang) melakukan
LAPORAN AKHIR
CMA Suatu skim kredit dimana bank memberikan fasilitas kredit modal kerja kepada debitur berdasarkan agunan yanng berada pada suatu gudang yang terkontrol secara independen oleh pengelola gudang. Bersifat tripartit yaitu bank, debitur dan pengelola gudang.
1. Pemilik barang menyimpan barang di Pengelola Gudang 2. Pengelola Gudang menerbitkan resi gudang 3. Pemilik barang mengajikan kredit ke bank dengan agunan resi gudang 4. Bank melakukan cross check resi gudang yang dijaminkan ke pengelola gudang 5. Pencairan kredit maksimal 70% dari nilai resi gudang 6. Apabila pemilik barang melakukan pembayaran/ penurunan plafond kredit maka bank menerbitkan Release Instruction (RI) kepada pengelola gudang.
Bab V - 46
Aspek
5.4
Sistem Resi Gudang pembayaran ke bank/kreditur 12.Selanjutnya pihak pembeli menerima Release Instruction (RI) dari bank untuk mengambil barang di pengelola gudang 13.Melakukan penghapusan pengikatan resi gudang.
CMA
Kesiapan Lembaga Terkait Dalam Implementasi SRG Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/11/2011 dibutuhkan
sejumlah perangkat organisasi yakni pemilik barang, pengelola gudang, lembaga penilaian kesesuaian mutu, lembaga keuangan, lembaga penjamin ,asuransi dan pemerintah daerah agar sistem resi gudang khususnya komoditi lada dapat terimplementasi. Berikut adalah kesiapan lembaga yang terkait dalam Implementasi SRG.
5.4.1
Pengelola Gudang Pengelola gudang adalah pihak yang melakukan usaha pergudangan, baik
gudang milik sendiri maupun milik orang lain, yang melakukan penyimpanan, pemeliharaan, dan pengawasan barang yang disimpan oleh pemilik barang serta berhak menerbitkan resi gudang. Pengelola gudang ditunjuk dan diawasi oleh Badan Pengawas. Dalam hal penunjukkan, pengelola gudang harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam UU No. 9 Tahun 2006 pasal 23 tentang Sistem Resi Gudang. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi antara lain: 1. Pengelola gudang harus berbadan hukum dan telah mendapat persetujuan Badan Pengawas dalam hal ini adalah Bappebti 2. Pengelola gudang dilarang menerbitkan lebih dari satu Resi Gudang untuk barang yang sama yang disimpan di Gudang.
Ketentuan pertama adalah pengelola gudang harus berbadan hukum, dalam hal ini yang dapat menjadi pengelola gudang yang memiliki badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi. Persyaratan untuk PT dan koperasi diatur dalam
Peraturan
KepalaBappebti No.
01/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007
tentang
Penunjukkan Pengelola Gudang, antara lain: 1. Perseroan Terbatas (PT) Pengelola gudang yanng berbentuk PT wajib: a. Memenuhi persyaratan modal dasar paling sedikit Rp 1.500.000.000 (satu milyar lima ratus juta rupiah) dengan modal disetor paling sedikit Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).
LAPORAN AKHIR
Bab V - 47
b. Mempertahankan kekayaan bersih paling sedikit Rp 500.000 (lima ratus juta rupiah) atau 15% dari nilai komoditi yang dikelola c. Memiliki pengurus dengan integritas moral dan reputasi bisnis yang baik. d. Menguasai paling sedikit 1 (satu) gudang yang telah mendapat Persetujuan dari Bappebti. e. Memiliki Sertifikat Manajemen Mutu. f.
Memiliki tenaga dengan kompetensi yang diperlukan dalam pengelolaan gudang barang.
2. Koperasi Pengelola gudang yang berbentuk koperasi wajib: a. Memenuhi persyaratan modal sendiri paling sedikit Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah). b. Mempertahankan kekayaan bersih paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) atau sebesar 15% dari nilai komoditi yang dikelola c. Memiliki pengurus dengan integritas moral dan reputasi bisnis yang baik. d. Menguasai paling sedikit 1 (satu) gudang yang telah mendapat persetujuan dari Bappebti. e. Memiliki Pedoman Operasional Baku yang mendukung kegiatan operasional sebagai Pengelola Gudang. f.
Memiliki tenaga dengan kompetensi yang diperlukan dalam pengelolaan gudang dan barang.
g. Memiliki rekomendasi dari pejabat yang berwenang dalam menilai kredibilitas koperasi di tempat kedudukan (domisili) koperasi. Selanjutnya, secara umum, tenaga pengelola gudang baik PT ataupun Koperasi harus memiliki kompetensi sebagai berikut; 1) Memahami peraturan perundang-undangan di bidang SRG; 2) Memiliki keahlian mengenai karakteristik barang yang disimpan; 3) Memiliki keahlian mengenai pemeliharaan barang; 4)Memiliki keahlian mengenai administrasi pengelolaan gudang. Persyaratan ini berhubungan dengan tanggung jawab yang diemban oleh Pengelola gudang, dimana pengelola gudang harus bertanggung jawab atas: 1. Kelayakan gudang untuk penyimpanan komoditas 2. Keabsahan kepemilikan barang 3. Barang diterima sesuai persyaratan (SNI atau SK Bappebti)
LAPORAN AKHIR
Bab V - 48
4. Kebenaran jumlah, nilai, kepemilikan barang yang tercantumdalam Resi Gudang, Resi Gudang Pengganti dan SRG-Online 5. Kebenaran petugas penandatanganan Resi Gudang/ResiGudang Pengganti sesuai spesimen tanda tangan 6. Pengeluaran barang kepada pemilik sah dengan jumlah sesuaidengan Resi Gudang/Resi Gudang Pengganti 7. Kebenaran rekap administrasi kegiatan Sistem Resi Gudangdan SRG-Online 8. Kehilangan/kerugian yang disebabkan karena kelalaianPengelola Gudang 9. Mempertahankan kekayaan bersih minimal
Saat ini, pengelola gudang yang telah mendapatkan persetujuan dari Bappebti untuk mengelola gudang SRG antara lain PT. Bhanda Ghara Reksa (Persero), PT. Petindo Daya Mandiri, Koptan Bidara Tani, PT. Pertani (Persero), PT. Sucofindo (Persero), PT. Reksa Guna Interservice dan PT. Pos Indonesia. Pengelola gudang ini masih akan terus bertambah tidak hanya dari BUMN saja, melainkan dari BUMD dan Kelompok Tani dapat menjadi pengelola gudang. Terkait dengan implementasi SRG untuk komoditi lada di daerah penelitian, untuk Provinsi Lampung, pengelola gudang yang ditunjuk oleh Bappebti pada awal implementasi SRG adalah PT. Pertani pada tahun 2010. Namun dalam implementasinya, PT. Pertani tidak dapat menjalankan pengelolaan gudang SRG di Provinsi Lampung. Sehingga pada tahun 2014 ini, dimana SRG direncanakan akan diimplementasikan di Kabupaten Lampung Selatan pada bulan Mei 2014, pengelola gudang diganti oleh PT. Bhanda Ghara Reksa (Persero). Meskipun demikian, hal ini masih dalam tahap penjajakan dan belum implementasi. Sementara itu, PT. BGR sejak tahun 2008 telah melakukan kerjasama pengelolaan gudang lada milik PT. Pancabinamas Ekamuda dengan sistem CMA. Kerjasama yang terjadi antara PT. BGR- PT Pancabinamas Ekamuda dan PT. Rabobank International Indonesia. Adapun komoditi yang dijadikan agunan dalam perjanjian ini adalah biji lada mentah dan biji lada siap ekspor. Jika dilihat dari sisi pengelola gudang di Provinsi Lampung, dengan pengalamanan dan kompetensi dalam hal manajemen agunan komoditi lada, PT. BGR mampu menjadi pengelola gudang SRG komoditi lada. Hal yang berbeda terjadi di Provinsi Bangka Belitung, dimana belum terdapat pengelola gudang untuk SRG. Gudang yang terdapat di provinsi tersebut sebagian besar milik swasta, dalam hal ini pemilik lahan perkebunan. Dengan demikian belum terdapat pengelola gudang untuk implementasi SRG. Melihat hal ini, sebagai salah satu perangkat utama dalam implementasi SRG komoditi lada belum terpenuhi baik di Provinsi Lampung maupun Provinsi Bangka Belitung. Belum adanya pengelola gudang yang bertanggung jawab atas gudang SRG, disebabkan karena adanya kendala pembiayaan awal bagi para pengelola gudang yang seharusnya diberikan oleh pemerintah daerah sebagai stimulus baik bagi pengelola gudang maupun pada para petani lada.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 49
Pembiayaan pengelolaan gudang SRG yang diajukan oleh PT. BGR kepada Pemda Lampung Selatan sebesar Rp. 17.500.000 per bulan. Pembiayaan ini meliputi penyimpanan, pensortiran, pencatatan dan pelaporan serta penerbitan resi gudang untuk pemilik barang. Selain itu juga terdapat biaya handling barang in & out/ biaya bongkar muat barang dari truk ke gudang sebesar Rp. 35/kg dengan ketentuan minimal 600 ton per tahun.
5.4.2
Lembaga Penilai Kesesuaian (LPK) Lembaga penilai kesesuaian adalah lembaga terakreditasi yang melakukan
serangkaian kegiatan untuk menilai atau membuktikan bahwa persyaratan tertentu yang berkaitan dengan produk, proses, sistem dan/atau personel terpenuhi. LPK bertanggung jawab atas segala keterangan yang tercantum dalam sertifikat untuk barang. LPK ini terbagi dua menjadi LPK Inspeksi Gudang dan LPK Mutu Barang. 1. LPK Inspeksi Gudang Dalam hal menilai kelayakan gudang, memeriksa kebenaran informasi yang tercantum dalam sertifikat untuk gudang, kebenaran petugas penandatangan sertifikat untuk gudang sesuai spesimen tanda tangan, kebenaran rekap administrasi kegiatan SRG dan SRGonline dilakukan oleh LPK Inspeksi Gudang. LPK yang sudah mendapatkan persetujuan adalah PT. Bhanda Ghara Reksa (Persero), PT. Sucofindo (Persero) dan PT. Sawu Indonesia. PT. Bhanda Ghara Reksa (BGR) yang saat ini ditunjuk oleh pemda sebagai pengelola gudang, tidak dapat sekaligus menjadi LPK Inspeksi gudang di Provinsi Lampung. Oleh sebab itu, LPK inspeksi gudang di Provinsi Lampung dilakukan oleh PT. Sucofindo (Persero). PT. Sucofindo melakukan kelayakan gudang yang ada di Provinsi Lampung sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Bappebti untuk menjadi gudang SRG. Biaya untuk uji kelayakan gudang belum diketahui besaran yang harus dikeluarkan karena sesuai dengan anggaran yang diajukan oleh LPK Inspeksi gudang. Pada Provinsi Bangka Belitung juga sudah terdapat LPK inspeksi gudang dengan PT yang sama. Tapi saat ini hanya terbatas pada komoditi timah saja dan bukan lada. Karena gudang yang dikhususkan untuk SRG belum ada.
2. LPK Uji Mutu Komoditi LPKuji mutu komoditi bertanggungjawab untuk memastikan mutu barang yang diterima di gudang, kebenaran hasil analisis mutu yang tercantum dalam sertifikat untuk barang dan SRG-Online, kebenaran petugas penandatangan sertifikat untuk barang sesuai spesimen tanda tangan, kebenaran rekap administrasi kegiatan sistem resi gudang dan SRG-Online dan kehilangan/kerugian yang disebabkan karena kelalaian LPK. LPK mutu barang ini harus mendapatkan persetujuan dari Bappebti. Khusus untuk komoditi lada, LPK yang sudah mendapatkan persetujuan untuk uji mutu komoditi lada putih adalah PT. Sucofindo di wilayah Makasar dan di wilayah Bandar lampung untuk lada hitam. Selain PT. Sucofindo, terdapat BPSMB & Tembakau Surabaya, BPSMB Makssar, PT. Beckjorindo
LAPORAN AKHIR
Bab V - 50
Paryaweksana wilayah Bandar Lampung untuk komoditi Lada Hitam dan BPSMB Medan. Selain LPK mutu barang yang mengajukan diri untuk menjadi LPK uji mutu komoditi, terdapat juga LPK uji mutu komoditi yang ditunjuk oleh Ka. Bappebti. Tetapi untuk LPK uji mutu komoditi yang ditunjuk, hanya untuk komoditi gabah, beras, jagung dan rumput laut. Biaya untuk melakukan uji mutu komoditi sebesar Rp. 20/kg untuk gudang SRG yang diajukan oleh PT. BGR. Angka ini masih dengan asumsi bahwa uji mutu komoditi dilakukan oleh PT. Sucofindo yang berada di wilayah Bandar Lampung. Uji mutu ini dilakukan di gudang SRG oleh laboratorium PT. Sucofindo dan hasilnya disampaikan kemudian harinya pada pengelola gudang. 3. LPK Sertifikasi Sistem Mutu Gudang LPK Sertifikasi Sistem mutu diperuntukkan bagi pengelola gudang. Hal ini untuk menjamin bahwa pengelola gudang menjalankan kegiatan operasionalnya sesuai standar manajemen mutu sesuai dengan ISO 9001:2000.. Dalam hal ini, LPK sertifikasi sistem mutu bertanggung jawab atas pemastian proses kegiatan pengelola gudang sesuai, penerbitan Sertifikat Manajemen Mutu berdasarkanstandar ISO 9001:2000 atau SOB, kebenaran hasil sertifikasi yang tercantum dalamSertifikat Manajemen Mutu sesuai spesimen tanda tangan, kebenaran petugas penandatanganan SertifikatManajemen Mutu, kebenaran rekap administrasi kegiatan Sistem ResiGudang dan kehilangan/kerugian yang disebabkan karena kelalaianLPK Sertifikasi Manajemen Mutu. LPK sertifikasi sistem mutu yang telah mendapatkan persetujuan Bappebti adalah PT. Sucofindo. Kelemahannya, PT. Sucofindo hanya terdapat di ibukota provinsi saja, untuk mencapai kabupaten/kota yang berada di pedalaman masih terkendala masalah transportasi dan geografis dari masing-masing wilayah.
5.4.3
Pusat Registrasi Pusat registrasi adaPusat registrasi memiliki peran dalam hal pencatatan,
penyimpanan dan pelaporan dan catatan kegiatan yang berkaitan dengan sistem resi gudang. Pusat registrasi menyampaikan laporan secara berkala dan/atau sewaktuwaktu kepada Badan Pengawas. Pusat registrasi menurut ketentuan dalam UU No. 9 Tahun 2006 Pasal 34 ayat (1) harus badan usaha berbadan hukum dan mendapat persetujuan Badan Pengawas. Pusat registrasi resi gudang saat ini adalah PT. Kliring Berjangka Indonesia (PT. KBI). Registrasi yang dilakukan oleh pengelola gudang saat ini dapat dilakukan secara online. Dengan demikian, resi gudang yang telah mendapat persetujuan dari Badan Pengawas dapat diterbitkan lebih cepat. Kendala yang terjadi adalah apabila daerah terkait jauh dari ibukota dan tidak mendapat akses internet, sehingga hal ini menjadi permasalahan bagi pengelola gudang untuk menerbitkan resi gudang.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 51
Pusat registrasi ini juga menarik biaya pemeliharaan dari pemilik barang sebesar 0,01% x nilai barang x volume. Biaya ini berarti menambah beban bagi pemilik barang. 5.4.4
Lembaga Pembiayaan (Bank dan Nonbank) Berdasarkan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lembaga pembiayaan
adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal (ojk.go.id, Mei 2014). Lembaga Pembiayaan meliputi: 1. Perusahaan Pembiayaan, adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit. 2. Perusahaan
Modal
Ventura,
adalah
badan
usaha
yang
melakukan
usaha
pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha, dan 3. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur.
Lembaga pembiayaan yang menyediakan dana dapat berbentuk lembaga bank maupun non bank (BUMN 7 BUMD). Khusus untuk lembaga keuangan bank, penggunaan resi gudang sebagai jaminan kredit diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Pada Pasal 46 dinyatakan bahwa resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang merupakan
agunan
yang
dapat
diperhitungkan
sebagai
pengurang
dalam
pembentukan PPA. Pasal 48 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA bagi resi gudang ditetapkan paling tinggi sebesar: a. 70% dari penilaian, apabila penilaian dilakukan dalam 12 bulan terakhir b. 50% dari penilaian, apabila penilaian dilakukan telah melampaui 12 bulan namun belim melampaui 18 bulan c.
30% dari penilaian, apabila penilaian dilakukan telah melampaui jangka waktu 18 bulan namun belum melampaui 24 bulan
d. 0% dari penilaian, apabila penilaian dilakukan telah melampau jangka waktu 24 bulan.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 52
Kredit resi gudang terdapat dua skema yaitu skema subsidi resi gudang dan skema resi gudang. Skema Subsidi Resi Gudang (selanjutnya disebut S-SRG) adalah kredityang mendapat subsidi bunga dari pemerintah dengan jaminan Resi Gudang yangdiberikan
oleh
bank
pelaksana/Lembaga
Keuangan
Non
Bank
kepada
petani,kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan koperasi. S-SRG ini diatur dalamPeraturan Menteri Keuangan No. 171/PMK.05/2009 tentang Skema Subsidi ResiGudang. Untuk
pelaksanaan
MenteriPerdagangan
S-SRG
Republik
tersebut,
Indonesia
telah No.
diterbitkan
Peraturan
66/M-DAG/PER/12/2009
tentangPelaksanaan Skema Subsidi Resi Gudang.Beban bunga kepada peserta SSRG ditetapkan sebesar 6%. Selisihtingkat bunga S-SRG dengan beban bunga peserta S-SRG merupakan subsidipemerintah. Besarnya plafond kredit S-SRG adalah 70% dari nilai resi gudang atau maksimal maksimal Rp. 75.000.000. Jangka waktu kredit maksimal 6 (enam) bulan dan dapat dilakukan perpanjangan waktu dengan analisis dari pihak bank. Bukan hanya bank saja yang dapat memberikan pembiayaan dengan sistem resi gudang, tetapi lembaga non bank juga dapat memanfaatkan sistem ini. Adapun bank dan lembaga keuangan non bank yang telah bekerjasama dengan KBI adalah Bank BRI, Bank Jatim, Bank Kalsel, Bank Jabar & Banten, Bank Yogyakarta, Bank Jateng, Bank CIMB Niaga, PKBL KBI, LPDB dan BPRS Bina Amanah.. Untuk implementasi sistem resi gudang di Provinsi Lampung, khususnya Kabupaten Lampung Selatan menggunakan lembaga pembiayaan Bank BRI. Meskipun perjanjian kredit dengan jaminan Resi gudang bank BRI telah dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran Nose: S.2-DIR/ADK/01/2008 yang mengatur tentang Kredit Modal Kerja Dengan Jaminan Resi Gudang, dan telah diberikan oleh BRI sejak tahun 2010, namun untuk BRI cabang Kabupaten Lampung Selatan belum memahami operasional secara keseluruhnya, khususnya terkait dengan subsidi bunga yang diberikan kepada para debitur nantinya dan mitigasi risiko pasar yang akan ditanggung oleh bank. Dalam ketentuannya, divisi ADK Kantor Pusat BRI, mengharuskan cabang melakukan mitigasi risiko pasar apabila komoditi tidak terjual atau harga turun terus menerus. Dalam hal ini resi gudang akan dilikuidasi untuk pelunasan kredit jika nilai barang turun sampai dengan jumlah tertentu dari nilai barang yanng tercantum dalam resi gudang apabila pemilik barang tidak menambah jumlah komoditas atau menurunkan baki debet pinjamannya (menurunkan jumlah pinjaman dengan melakukan pembayaran sebagian).
LAPORAN AKHIR
Bab V - 53
Dalam pemberian kredit subsidi resi gudang, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh petani antara lain: a. Surat pernyataan bermaterai yang menyatakan sebagai petani dan diketahui oleh Kepala Desa/Lurah Setempat b. Berusia paling rendah 21 tahun atau sudah menikah c.
Tidak sedang memperoleh fasilitas kredit program lainnya dari pemerintah
d. Tidak memiliki tunggakan kartu kredit, kredit program dan/atau kredit komersil baik di BRI maupun di bank/lembaga keuangan lain.
Sedangkan untuk kelompok tani, syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain: a. Tidak memiliki tunggakan kartu kredit,kredit program dan/atau kredit komersilbaik di BRI maupun di bank/lembaga keuangan lain b. Tidak sedang memperoleh fasilitas kredit program lainnya dari pemerintah c.
Melalui ketua yang ditunjuk harus menyerahkan kepada BRI persyaratan:Surat pernyataan bermaterai yang menyatakan sebagai kelompok tanidan diketahui oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat yang berwenang
d. Susunan pengurus kelompok tani yang aktif paling sedikit terdiri dariketua dan sekretaris/bendahara e. Surat kuasa dari anggota kelompok tani yang menunjuk ketuakelompok dari anggota f.
Peraturan kelompok tani yang disepakati oleh seluruh anggota
Syarat untuk memperoleh kredit bagi gabungan kelompok tani adalah sebagai berikut: a. Tidak memiliki tunggakan kredit program dan/atau kredit komersil baik diBRI maupun di bank/lembaga keuangan lain b. Tidak sedang memperoleh fasilitas kredit program lainnya dari pemerintah c.
Melalui ketua yang ditunjuk harus menyerahkan kepada BRI persyaratan:Surat pernyataan bermaterai yang menyatakan sebagai gabungankelompok tani dan diketahui oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat yangberwenang
d.
Susunan pengurus gabungan kelompok tani yang aktif paling sedikitterdiri dari ketua dan sekretaris/bendahara
e. Surat kuasa dari anggota gabungan kelompok tani yang menunjuk ketuakelompok f.
Peraturan gabungan kelompok tani yang disepakati oleh seluruhanggota
Dari persyaratan yang ditetapkan di atas, syarat yang paling berat adalah tidak sedang memperoleh fasilitas kredit program lainnya dari pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar subsidi dapat dinikmati oleh semua orang secara merata. Tetapi hal ini berat untuk dilaksanakan, karena sebagian besar petani lada sudah atau sedang mengambil kredit program sebagai modal kerja, sehingga untuk mendapatkan kredit dengan skema S-SRG tidak mungkin.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 54
Meskipun demikian, petani, kelompok tani dan gabungan petani masih dapat memperoleh kredit resi gudang yang tidak ada subsidi bunga. Sosialisasi dari perbankan mengenai bagaimana cara mendapatkan kredit resi gudang belum dilakukan secara maksimal bagi petani lada, sehingga banyak petani lada baik yang berada di Provinsi Lampung maupun Provinsi Bangka Belitung belum memahami dan memanfaatkannya. Selain itu juga pihak perbankan tidak hanya perlu mensosialisasikan dengan membandingkan kredit modal kerja lainnya, kelebihan dan kekurangan menggunakan kredit resi gudang secara transparan kepada para pemanfaat. Pemberian kredit yang diberikan kepada para pemilik barang tidak terkena biaya provisi, biaya administrasi dan biaya komitmen untuk skema resi gudang subsidi SRG. Untuk kredit resi gudang tanpa subsidi, maka terkena biaya provisi, administrasi, appraisal dan komitmen yang ditanggung oleh debitur.
5.4.5
Lembaga Penjamin Lembaga jaminanmerupakan lembaga independen, transparan dan akuntabel.
Lembaga penjamin merupakan perusahaan yang ditunjuk sebagai penjamin dalam SRG ketika terjadi kegagalan (default) pengelola gudang dalam penyelesaian transaksi resi gudang. Kedudukan lembaga jaminan diatur dalam UU No. 9 Tahun 2011, dimana lembaga jaminan memiliki fungsi untuk melindungi hak pemegang Resi Gudang dan/atau Penerima Hak Jaminan apabila terjadi kegagalan, ketidakmampuan, dan/atau kebangkrutan Pengelola Gudang dalam menjalankan kewajibannya. Lembaga penjamin juga memiliki fungsi untuk memelihara stabilitas dan integritas Sistem Resi Gudang sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam UU No. 9 Tahun 2011 Pasal 37F. Untuk memenuhi amanah yang terdapat dalam UU No. 9 Tahun 2011 akan dilakukan dengan mendirikan Lembaga Dana Jaminan Ganti Rugi (LDJGR). Lembaga ini nantinya akan melindungi baik petani sebagai debitur, pengelola gudang dan bank sebagai kreditur dari risiko-risiko yang disebabkan bukan karena kelalaian pengelola gudang seperti kebakaran, kebanjiran; dan juga risiko yang disebabkan karena pengelola gudang mengalami pailit. Namun sampai dengan saat ini, lembaga dana jaminan ganti rugi belum didirikan. Sehingga sampai saat ini, risiko yang terdapat dalam implementasi sistem resi gudang ditanggung sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat yaitu oleh petani, pengelola gudang dan bank. Padahal keberadaan lembaga penjamin ini sangat diperlukan untuk meningkatkan implementasi SRG di daerah-daerah.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 55
5.4.6
Asuransi Asuransi dalam sistem resi gudang dibebankan pada pemilik barang dan
pengelola gudang. Asuransi yang diwajibkan kepada pemilik barang adalah asuransi kerugian. Asuransi kerugian ditujukan untuk memberikan jaminan keamanan bagi pemilik barang ketika menyimpan barangnya di gudang SRG. Asuransi fidelity (Fidelity Guarantee) adalah suatu jaminan yang diberikan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam resi gudang khususnya lembaga pembiayaan atas
kemungkinan
adanya
kerugian
yang
dideritanya
sebagai
akibat
ketidakjujuran/kecurangan yang dilakukan oleh pengelola gudang. Asuransi ini bersifat optional diminta oleh lembaga perbankan sebagai upaya penghindaran risiko kerugian yang akan terjadi akibat kelalaian pengelola gudang. Saat ini, asuransi kerugian ditutup oleh PT. Jasindo untuk pengelola gudang dari PT. Banda Ghara Reksa yang akan menjadi pengelola gudang di Provinsi Lampung. Produk asuransi yang digunakan adalah asuransi aneka Fidelity Guarantee. Biaya asuransi yang dibebankan kepada para pemilik barang (petani, kelompok tani maupun gapoktan) adalah sebesar 15,5/kg dengan ketentuan minimal penyimpanan 300 ton atau per 300 ton, atau jika setahunkan 600 ton pertahun. Bila penyimpanannya tidak sampai 300 ton maka premi yang harus dibayarkan akan lebih tinggi. 5.4.7
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Peran pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota sangat penting dalam
mempercepat pengembangan sistem resi gudang. Dalam UU No. 9 Tahun 2011 Pasal 33 mencantumkan bahwa di bidang pembinaan sistem resi gudang, pemerintah daerah melakukan pembuatan kebijakan daerah untuk mempercepat pelaksanaan Sistem Resi Gudang, mengembangkan komoditas unggulan di daerag, penguatan peran pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan pelaksanaan sistem resi gudang
dan
pemfasilitasi
pengembangan
pasar
leleng
komoditas.
Dalam
pembianaannya dikoordinasikan dengan Bappebti Beberapa pemerintah daerah yang telah dibangunkan gudang SRG sejak tahun 2009 telah menjalankan tugas yang diamanatkan, tetapi beberapa pemerintah daerah lainnya khususnya pemerintah daerah yang berada di Provinsi Lampung belum menjalankan tugasnya. Terdapat beberapa alasan pemerintah daerah tidak/belum menjalankan amanat yang terdapat dalam UU No. 9 Tahun 2011: a. SDM yang memahami SRG kurang/tidak ada b. Mutasi jabatan yang cepat
LAPORAN AKHIR
Bab V - 56
c. Tidak ada pembiayaan dari APBD d. Tidak adanya komitmen kepala daerah untuk mempercepat implementasi SRG.
Selain
keempat
alasan
di
atas,
pemerintah
daerah
tidak
dapat
mengimplementasikan karena tidak adanya petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis secara tertulis dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah khususnya terkait dengan pembiayaan awal biaya pengelolaan gudang. Selain itu juga pemerintah daerah merasa program yang dijalankan bukan merupakan program daerah dan merupakan program pusat, sehingga dalam hal pendanaannya masih diharapkan berasal dari pusat. Berdasarkan analisis kesiapan kelembagaan diatas, dalam hal implementasi SRG khususnya komoditi lada di Provinsi Lampung, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 5.3. Kesiapan Kelembagaan dalam Implementasi SRG Lada Lembaga Pengelola Gudang
Lembaga yang ditunjuk/disetujui • PT Bhandra Ghara Reksa (BGR) sebagai pengganti PT. Pertani
Kesiapan
Alasan
Siap selama terdapat pembiayaan awal
Pengelola gudang awal membutuhkan investasi awal yang dibiayai oleh APBD pemerintah daerah
LPK Inspeksi Gudang
• Belum ditunjuk
Belum siap
Penunjukan LPK Inspeksi Gudang masih menunggu kepastian adanya Pengelola Gudang
LPK Uji Mutu Komoditi
• PT. Sucofindo
Siap
PT. Sucofindo disetujui untuk melakukan uji mutu lada dan memiliki alat-alat pengujian yang sesuai dengan standar yang ditentukan
Pusat Registrasi
• PT. KBI
Siap
Registrasi resi gudang saat ini sudah dapat dilakukan secara online melalui SRGOnline
Lembaga Pembiayaan
• PT. BRI
Belum siap
Meskipun sudah terdapat panduan dari kantor pusat, tetapi dalam implementasinya masih mempelajari proses bisnis dari SRG
Lembaga Penjamin
• Belum ada
Belum siap
Asuransi
• PT. Jasindo
Belum siap
LPDGR belum didirikan oleh Bappebti Tergantung pada pengelola gudang
Pemerintah Daerah
• Dinas Perdagangan dan Perindustrian
Belum siap
LAPORAN AKHIR
• Kurangnya SDM yang memahami mengenai
Bab V - 57
Lembaga
Lembaga yang ditunjuk/disetujui
Kesiapan
Alasan proses bisnis dari SRG dan terlalu cepat mutasi yang dilakukan oleh pemda. • Kurangnya komitmen dari Pemda untuk mengimplementasikan SRG
Jika dilihat dari aspek kesiapan kelembagaan yang terdapat pada SRG komoditi lada seperti yang ditunjukkan dalam tabel 5.3 di atas, maka dapat dikatakan bahwa kelembagaan utama seperti pemerintah daerah, pengelola gudang, lembaga penjamin, lembaga penilaian kesesuaian (LPK) dan lembaga keuangan yang berada di daerah penelitian Provinsi Lampung belum siap untuk menjalannya. Demikian pula halnya dengan Provinsi Bangka Belitung yang baru pada tahap sosialisasi SRG di provinsi. Selain itu juga keterlibatan lembaga yang demikian banyak menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik komoditas menjadi lebih besar dibandingkan dengan skema CMA. Hal ini menjadi kendala utama ketika implementasi sistem resi gudang dilakukan pada daerah-daerah terpencil yang berpotensi tetapi kelembagaan yang dipersyaratkan tidak dapat dipenuhi di tempat tersebut. Dalam hal komoditi lada, produksi yang dihasilkan oleh petani lada secara kuantitas masih belum mencukupi kebutuhan lada di dunia, sehingga apabila diresigudangkan maka tidak akan efisien karena kuantitas lada yang disimpan oleh petani relatif kecil dan tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan, Belum terimplementasinya sistem resi gudang di Provinsi Lampung baik untuk komoditi lada maupun komoditi lainnya disebabkan pemerintah daerah belum memahami manfaat resi gudang sebagai upaya untuk mengatasi scarcity of cash di tingkat lokal. Hal ini menyebabkan sistem resi gudang masih belum termasuk program prioritas di tingkat lokal. 5.5
Kesiapan Sarana dan Prasarana Dalam Implementasi SRG Kesiapan sarana dan prasarana dalam implementasi SRG juga merupakan hal
penting untuk dianalisis selain kelembaan yang terkait. Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk implementasi sistem resi gudang antara lain gudang dan perlengkapannya dan infrastruktur jalan. 5.5.1
Gudang dan Perlengkapannya Gudang merupakan sarana utama dalam implementasi SRG. Menyadari hal ini,
ketika implementasi SRG dilakukan, maka yang dibangun pertama kali adalah gudang.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 58
Pada tahun 2009, melalui dana stimulus fiskal, Kementerian Perdagangan dalam hal ini Bappebti membangun 41 gudang di 34 kabupaten. Pada tahun 2010, melalui DAK bidang sarana perdagangan, Bappebti mendirikan 11 gudang di 11 kabupaten/kota, sedangkan tahun 2011 mendirikan 14 gudang di 14 kabupaten, pada tahun 2012 mendirikan 14 gudang dan pada tahun 2014 ini direncanakan akan didirikan 23 gudang. Gudang-gudang yang dibangun dilengkapi dengan mesin pengering (dryer) untuk gabah dan dapat digunakan untuk jagung. Dari 78 kabupaten/kota yang terdapat gudang SRG yang dibangun pada tahun 2009 – 2013, baru 60% kabupaten/kota yang telah memanfaatkan fasilitas gudang tersebut dan menerbitkan resi gudang. Kurang termanfaatkannya gudang-gudang ini disebabkan karena beberapa hal: a. Belum adanya penyerahan aset dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk dikelola pemerintah daerah Kondisi ini terjadi pada gudang-gudang yang didirikan pada tahun 2009 dengan menggunakan dana stimulus daerah. Kondisi ini menyebabkan pengelolaan gudang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah pusat masih dalam proses untuk dihibahkan kepada pemerintah daerah yang bersangkutan. Agar tidak menyalahi UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam kaitannya dengan pengelolaan barang milik negara. b. Gudang yang dibangun dengan dana DAK tidak dengan fasilitas Terdapat gudang-gudang yang dibangun tidak memiliki fasilitas sesuai dengan standar yang ditetapkan untuk gudang komoditas. Ketidaksesuaian ini disebabkan karena adanya perencanaan yang kurang matang dari pemerintah daerah ketika membangun gudang. Fasilitas yang belum ada misalnya listrik, air, palet dan lainnya. Fasilitas pengadaan listrik di beberapa daerah seringkali menjadi kendala karena keterbatasan daya dan kapasitas PLN yang berbeda di masing-masing daerah. Demikian juga dengan fasilitas air bersih. Terkait dengan pembangunan gudang di daerah penelitian, Provinsi Lampung, selama tahun 2010 – 2011 telah didirikan enam gudang komoditas pertanian yang nantinya diperuntukkan untuk gudang SRG. Keenam gudang komoditas tersebut terdapat pada kabupaten lampung selatan, lampung barat, lampung tengah, tanggamus, tulang bawang, lampung timur. Kabupaten penghasil lada di Provinsi lampung terdapat di Kabupaten Lampung Barat, Lampung Selatan, Lampung Utara, Lampung Timur, Way Kanan, Tanggamus dan Lampung Tengah. Dari ketujuh
LAPORAN AKHIR
Bab V - 59
kabupaten tersebut, lampung timur merupakan daerah penghasil lada terbesar di Indonesia khusus untuk lada hitam. Keenam gudang yang telah dibangun dengan menggunakan dana DAK dimana 90% pembangunan dibiayai oleh APBN dan 10% didanai oleh APBD belum berjalan. Selain karena ketidaksiapan dari kelembagaan dan pemerintah daerah yang ada, keenam gudang tersebut belum dilengkapi fasilitas listrik dan peruntukannya masih bercampur, sedangkan untuk komoditi lada, sebaiknya dalam penyimpanan di gudang tidak dicampur dengan komoditi lainnya karena standar mutunya akan mengalami penurunan kualitas. Gudang yang dibangun tersebut adalag gudang komoditas pertanian yang akan digunakan untuk gudang SRG. Untuk menjadi gudang SRG harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dan gudang-gudang tersebut harus diuji kelayakan gudang oleh LPK Inspeksi gudang. Hal ini tentunya menimbulkan pembiayaan lagi bagi pemerintah daerah untuk melakukan uji kelayakan gudang, sehingga dianggap dalam pengimplementasiannya tidak mudah dilakukan. Akibat tidak terpakainya gudang menjadi gudang SRG, sebagian gudang ada yang mengalami kerusakan seperti misalnya terdapat burung gereja yang menjadi hama bagi komoditas gabah. Selain itu juga, beberapa gudang yang dibangun memiliki letak yang kurang strategis dan jauh dari sentra produksi. 5.5.2
Infrastruktur Jalan Infrastruktur berupa akses jalan ke gudang merupakan komponen penting
dalam rangka efisiensi biaya transportasi dari sentra produksi ke gudang. Pada daerag penelitian di Provinsi Lampung, akses menuju gudang di Kabupaten Lampung Selatan cukup baik, tetapi terdapat gudang yang belum memiliki akses jalan menuju gudang sehingga jika digunakan akan menimbulkan biaya tambahan baik bagi petani maupun bagi pemerintah daerah. Melihat dua sarana dan prasarana di atas, maka dapat dikatakan bahwa meskipun telah terdapat gudang komoditas pertanian di Provinsi Lampung, tetapi belum tentu dapat digunakan menjadi gudang SRG karena harus melalui persetujuan Bappebti dan dilakukan uji kelayakan gudang. Sedangkan dari sisi prasarana seperti jalan, listrik, perlengkapan penangkal hama, perlengkapan gudang lainnya belum dapat dipenuhi. Oleh sebab itu maka dapat dikatakan provinsi Lampung belum siap mengimplementasikan sistem resi gudang khususnya untuk komoditi lada.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 60
5.6
Faktor Kunci Kesuksesan Implementasi SRG Komoditi Lada Berdasarkan analisis kesiapan implementasi sistem resi gudang komoditi lada
dari sisi pelaku usaha yang mendapat manfaat dari implementasi sistem resi gudang, kelembagaan dan sarana prasarana, maka agar implementasi SRG komoditi lada dapat terwujud, harus diperhatikan beberapa faktor sebagai berikut. 1. Adanya Komitmen Pemerintah Daerah khususnya Kepala Daerah Komitmen pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi SRG di daerahnya dalam rangka meningkatkan perekonomian lokal sangat dibutuhkan. Komitmen pemerintah daerah bukan hanya secara lisan saja tetapi juga tertulis melalui surat keputusan. Faktor ini menjadi faktor kunci utama dalam implementasi SRG di daerah baik untuk komoditi lada maupun komoditi lainnya, karena daerah-daerah yang sudah terimplementasi
SRGnya
adalah
daerah
yang
memiliki
komitmen
untuk
menjalankan. Komitmen yang dibutuhkan dalam rangka implementasi SRG khususnya komoditi lada adalah untuk: a. Menyediakan dana yang berasal dari APBD sebagai pembiayaan awal SRG yang digunakan untuk biaya penilaian kelayakan gudang, biaya pengelolaan gudang SRG, biaya handling barang in & out, biaya pemeliharaan barang, biaya uji mutu komoditi, biaya asuransi dan biaya pusat registrasi resi gudang minimal selama dua tahun awal. Hal ini digunakan untuk menarik minat para petani khususnya petani lada dan merasakan manfaat penggunaan resi gudang. Pendanaan ini juga ditujukan agar terdapat pengelola gudang yang dapat menjalankan gudang yang sudah ada sehingga para petani yang akan menyimpan dapat dengan mudah menemukan penanggungjawabnya. b. Mengurangi biaya transportasi dari petani ke gudang dengan melakukan jemput bola komoditi. Hal ini dimaksudkan untuk memutus rantai pasok yang sudah solid dan pembiayaan dengan menggunakan sistem nota titip yang tidak memiliki jaminan hukum bagi para petani. c. Menyediakan SDM yang kompeten dan tidak melakukan mutasi pegawai dengan cepat sehingga implementasi SRG dapat terlaksana. Apabila mutasi pegawai dilakukan dengan cepat, maka SDM yang kompeten dan memahami proses bisnis akan hilang dan harus memulai dari awal kembali. d. Menyediakan sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan operasional gudang SRG.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 61
2. Terintegrasinya kelembagaan dalam satu tempat Seperti yang telah dijelaskan di atas, kelembagaan dalam sistem resi gudang sangat banyak dan dan setiap lembaga pasti terdapat biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini menjadi tidak efisien bagi pelaku usaha khususnya skala kecil, terlebih lagi jika kelembagaan ini terletak pada tempat yang berbeda sehingga membutuhkan usaha lebih untuk menjangkaunya. Sistem resi gudang menjadi kalah jika dibandingkan dengan CMA (collateral management asset) dimana hanya tiga pihak saja yang terlibat. Banyaknya lembaga dalam SRG ini dimaksudkan agar terdapat jaminan keamanan bagi para pelaku-pelaku yang terlibat. Untuk meniadakan kelembagaan tidak dimungkinkan karena menyangkut keamanan, tetapi bila menyederhanakan dan mengintegrasikan dalam satu tempat, hal ini yang mungkin dilakukan. Pengintegrasian terletak pada gudang SRG, dimana pada gudang yang sudah disetujui terdapat juga lembaga pembiayaan, LPK uji mutu, asuransi. Untuk efisiensi lembaga, dapat dengan melakukan penggabungan fungsi lembaga tersebut dengan tidak meninggalkan sifat independen dan transparansi. Misalnya lembaga pembiayaan dengan asuransi, LPK uji mutu dengan pengelolaan barang, dsb sehingga meskipun banyak, tetapi tidak terlihat banyak. Kredit resi gudang ini khususnya yang bersubsidi, bersaing dengan kredit program modal kerja lainnya yang juga merupakan program pemerintah untuk pelaku usaha skala kecil seperti Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), KUR, kredit program pemda seperti kredit cinta rakyat di Jawa Barat yang samasama memberikan fasilitas dan subsidi bunga seperti kredit SRG. Oleh sebab itu biaya yang ditimbulkan karena menggunakan kredit SRG harus lebih rendah bila dibandingkan dengan kredit modal kerja lainnya.
3. Edukasi dan Sosialisasi kepada Pelaku Usaha Komoditi Lada Edukasi dan sosialisasi secara khusus dilakukan di sepanjang rantai proses komoditi lada mulai dari petani, pengumpul, pedagang, asosiasi baik secara masing-masing
maupun
secara
bersama-sama.
Edukasi
dan
sosialisasi
merupakan kegiatan yang terus menerus (kontinue) sehingga terbangun kesatuan pemikiran bagaimana menjamin keberlangsungan produksi dan perluasan areal perkebunan lada sepanjang masa. Hal ini sekaligus menjamin pasokan lada berkualitas dari berbagai jenis. Materi edukasi dan sosialisasi yang diberikan adalah materi yang sifatnya bukan merupakan teori tetapi langkah-langkah kongkrit untuk memanfaatkan
LAPORAN AKHIR
Bab V - 62
sistem
resi
gudang.
Selain
itu
juga
melakukan
perbandingan
manfaat
menggunakan sistem resi gudang dengan menggunakan sistem modal kerja lainnya. 4. Peningkatan Produksi dan Proses Pasca Panen Sistem resi gudang dapat terimplementasi dalam dua kondisi, pertama, harga komoditi lada sedang mengalami penurunan harga dan kedua, terdapat surplus produksi yang tidak terserap. Kondisi pertama merupakan kondisi utama yang menyebabkan sistem resi gudang di Indonesia diimplementasikan. Sedangkan apabila harga komoditi sedang mengalami peningkatan, maka kondisi kedua yang harus terpenuhi. Dalam hal implementasi komoditi lada, harus terdapat surplus produksi terutama untuk saat ini dimana sebagian besar hasil produksi diekspor dan hanya sedikit yang dikonsumsi secara domestik. Agar terdaoat surplus produksi, maka harus dilakukan perbaikan dan peningkatan proses produksi dan pasca panen yang dilakukan oleh petani dengan bantuan dari lembaga-lembaga penelitian dan pendidikan sekitar.
5. Terdapat Off Taker/Buyer/ Pasar Lelang untuk Menjual Komoditi yang disimpan Salah satu keresahan para petani ketika menunggu harga jual yang tinggi adalah keberadaan pembeli (buyer) yang akan membeli komoditi di gudang. Keresahan yang sama juga dialami oleh lembaga keuangan selaku yang memberikan dana kredit. Untuk itu perlu dibuat suatu mekanisme atau mengembangkan jejaring untuk menciptakan off taker dari komoditi yang disimpan di dalam gudang. Meskipun jangka waktu penyimpanan komoditi lada cukup lama (bisa sampai 10 tahun) tetapi jangka waktu pembiayaan relatif singkat maksimal hanya 6 bulan. Sehingga petani memiliki kesempatan untuk mencari pembeli atau melakukan tunda jual selama 6 bulan, setelah itu komoditi harus dijual dalam rangka pelunasan kredit. Selain off taker, diperlukan mekanisme lainnya untuk mendapatkan harga yang wajar dan diinginkan oleh petani salah satunya dengan membangun dan mempercepat implementasi pasar lelang di daerah. Pasar lelang ini selain dapat digunakan untuk penyerahan saat ini (spot) juga bisa digunakan untuk penyerahan pada masa yang datang (forward). Dengan adanya pasar lelang ini, diharapkan komoditi yang disimpan mendapatkan harga yang tinggi di pasaran.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 63
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada bab sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa: 1. implementasi SRG untuk komoditi lada terutama pada daerah penelitian belum siap baik dari sisi pelaku usaha, kelembagaan maupun sarana dan prasaran yang digunakan. 2. Terdapat empat faktor kunci agar implementasi SRG komodti lada dapat terwujud, yaitu adanya komitmen kepala pemerintah daerah, terintegrasinya kelembagaan dalam satu tempat, edukasi dan sosialisasi, peningkatan produksi dan mutu serta terdapatnya offtaker/buyer/pasar lelang. 6.2
Rekomendasi Melihat permasalahan implementasi SRG untuk komoditi lada berasal dari
seluruh sisi maka rekomendasi yang diusulkan agar SRG dapat berjalan sebagai berikut: 1.
Untuk meningkatkan kesadaran petani akan manfaat SRG maka perlu dilakukan:
sosialisasi teknis pelaksanaan SRG yang melibatkan instansi terkait bukan hanya dinas perdagangan tetapi juga dinas pertanian atau perkebunan. Selain itu, sosialisasi perlu menghadirkan petani yang telah mendapat manfaat dari penggunaan SRG.
penyuluhan dan pendampingan bagi petani untuk meningkatkan kualitas dan mutu hasil produksi agar memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan untuk masuk dalam sistem resi gudang. Hal ini juga perlu disinergikan dengan program peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian dari lembaga terkait.
penguatan lembaga di tingkat petani, baik dalam bentuk kelompok tani maupun koperasi untuk mencapai skala ekonomis. Hal ini mengingat petani pada umumnya memiliki produksi dibawah 5 ton sehingga kurang memenuhi skala ekonomis untuk diresigudangkan.
2.
Gudang-gudang SRG yang telah didirikan perlu dilengkapi sarana penunjang umum seperti listrik, telepon, jalan dan keamanan. Gudang ini juga perlu
LAPORAN AKHIR
Bab VI -64
dilengkapi sarana penunjang khusus seperti dryer, cleaner, blower, pengayak, yang spesifikasinya disesuaikan dengan masing-masing komoditas. Selain itu, perlu dikoordinasikan pembangunan sarana penguji mutu barang di daerah sentra produksi yang belum memiliki sarana tersebut. 3.
Perlu adanya sinergitas antar lembaga pelaksana SRG seperti pengelola gudang, lembaga pembiayaan, lembaga penjamin
mutu, pemerintah
daerah dan
pemerintah pusat dalam mengimplementasikan SRG berupa:
Pemerintah
pusat memberikan
petunjuk
teknis
operasional dalam
mengimplementasikan sistem resi gudang kepada pemerintah daerah, pengelola gudang, lembaga penjamin mutu dan lembaga pembiayaan
Pemerintah pusat atau daerah perlu menyediakan biaya operasional pengelolaan gudang pada awal pelaksanaan minimal selama dua tahun sampai dengan biaya operasional dapat dibebankan kepada petani.
Pemerintah daerah berperan aktif memberikan insentif berupa biaya angkut dari sentra produksi ke gudang SRG dalam rangka efisiensi biaya angkut dan memutus rantai pasok pedagang pengumpul.
Pengelola gudang dan lembaga penjamin mutu perlu ditunjuk secara jelas sehingga operasional gudang dapat berjalan. Selain itu juga peranan pengelola gudang tidak hanya secara teknis menjaga mutu produk, pengurusan administrasi, tetapi juga harus memberikan masukan dan informasi kepada petani mengenai kapan harus menyimpan dan kapan harus menjual.
Lembaga pembiayaan memfasilitasi petani untuk mendapatkan akses pembiayaan dengan menggunakan sistem resi gudang. Selain itu waktu pencairan kredit dapat dipercepat sehingga petani tidak menemukan kesulitan untuk mengakses pembiayaan.
Lembaga pembiayaan, lembaga penjamin mutu dan gudang letaknya harus berdekatan, sehingga tidak menimbulkan biaya ekstra bagi petani untuk memanfaatkan SRG.
4.
Perlu adanya pihak yang bertindak sebagai off taker bagi komoditas yang diagunkan untuk memberikan kepastian bagi lembaga pembiayaan dan pengelola gudang misalnya untuk komoditas gabah dan beras, off taker-nya adalah bulog.
5.
Pengembangan sistem resi gudang di daerah dilakukan secara simultan dengan pengembangan pasar lelang sehingga apabila tidak terdapat pihak yang bertindak
LAPORAN AKHIR
Bab VI -65
sebagai off taker, masih terdapat kepastian bahwa agunan dapat dijual dengan harga yang layak.
LAPORAN AKHIR
Bab VI -66
DAFTAR PUSTAKA
Downey dan Erickson. 1987. Manajemen Agribisnis. Terjemahan oleh Ganda, Rochidayat dan Sirait, Alfonsus. Jakarta: Erlangga Hanafiah dan Saefuddin. 1983. Tataniaga Hasil Perikanan. Universitas Indonesia. Jakarta Kohls, R. L. dan J, N. Uhl. 1985. Marketing of Agricultural products. MacMilan Publishing Company. New York Kohls, R. L. dan W. D. Downey. 1985. Marketing of Agricultural Products. Macmilan Publishing Company. New York Limbong, W.M. dan P. Sitorus. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Bahan Kuliah Jurusan Ilmu Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Bogor IPB Nasution. 2003. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: PT Bumi Aksara Rukmana, Rahmat. 2003. Tanaman Perkebunan: Usaha Tani Lada Perdu.Yogyakarta: Penerbit Kanisius Sudiyono, A. 2001. Pemasaran Pertanian. Edisi Pertama. UUM Press. Penerbitan Universitas Brawijaya Malang. Malang.
LAPORAN AKHIR