BIAYA TRANSAKSI SISTEM RESI GUDANG GABAH
DEWI MASITHOH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Biaya Transaksi Sistem Resi Gudang Gabah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016 Dewi Masithoh NIM H351130211
RINGKASAN DEWI MASITHOH. Biaya Transaksi Sistem Resi Gudang Gabah. Dibimbing oleh DWI RACHMINA dan SUHARNO. Biaya transaksi akan selalu hadir di dalam pasar pertukaran ekonomi. Kondisi pasar riil yang tidak terprediksi dapat menyebabkan tingginya biaya transaksi, namun hal tersebut dapat ditekan dengan keberadaan institusi yang dijelaskan pada konsep New Institution Economic (NIE). Pada konsep NIE munculnya suatu kelembagaan bertujuan untuk menurunkan biaya transaksi melalui pengendalian perilaku oportunistik para pelaku pada pasar pertukaran. Sistem Resi Gudang (SRG) merupakan salah satu model kelembagaan pembiayaan yang dirancang pemerintah dan diharapkan mampu menekan biaya transaksi. Secara teori biaya transaksi pada kelembagaan SRG seharusnya lebih rendah dibanding pada pasar namun faktanya kelembagaan SRG ini masih kurang diminati petani. Kajian mengenai biaya transaksi pada SRG perlu dilakukan untuk menjelaskan apakah pelaksanaan SRG sudah sesuai dengan konsep yang dirancang untuk menekan biaya transaksi yang hadir. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis biaya transaksi pada pelaksanaan Sistem Resi Gudang dan menganalisis faktor yang memengaruhi biaya transaksi. Transaction Cost Analysis (TCA) digunakan sebagai alat analisis untuk mengukur biaya transaksi dan metode regresi linier berganda digunakan untuk menganalisis faktor penentu dari biaya transaksi. Penelitian ini menggunakan data dari hasil wawancara mendalam dengan lembaga-lembaga di dalam SRG serta sampel petani peserta Sistem Resi Gudang yang berjumlah 30 orang. Dimana 15 orang merupakan peserta berstatus anggota kelompok tani dan 15 orang berstatus non anggota kelompok tani. Penelitian dilaksanakan di SRG Niaga Mukti, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Sistem Resi Gudang Niaga Mukti dipilih karena merupakan salah satu gudang yang dibangun pemerintah dengan jumlah resi gudang tertinggi di wilayah Jawa Barat. Hasil penelitian menjelaskan terdapat tiga aktivitas transaksi pada SRG yakni transaksi keanggotaan kelompok tani, transaksi kepemilikan resi gudang, dan transaksi pembiayaan berbasis resi gudang. Terdapat perbedaan total biaya transaksi antara peserta SRG yang tergabung dalam kelompok tani dan peserta non kelompok tani. Total besaran biaya transaksi yang dikeluarkan petani anggota kelompok tani lebih rendah (Rp7.87/kg) dibandingkan peserta non kelompok tani (Rp11.11/kg). Rendahnya biaya transaksi pada peserta yang tergabung dalam kelompok tani disebabkan adanya kegiatan transaksi yang dilaksanakan secara kolektif dan adanya sharing sumberdaya berupa informasi secara bersama-sama. Dari beberapa aktivitas transaksi pada program Sistem Resi Gudang, transaksi yang menghasilkan biaya tertinggi adalah transaksi pembiayaan. Pada transaksi pembiayaan terdapat proses negosiasi yang menyebabkan tingginya biaya transaksi. Biaya-biaya tersebut berupa biaya fotokopi, biaya berkas, biaya materai dan biaya korbanan. Sebagian komponen biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kelengkapan persyaratan kontrak kredit Sistem Resi Gudang. Pelaksanaan Sistem Resi Gudang Niaga Mukti memberikan benefit lebih kepada para peserta, yakni keuntungan yang didapat didalam SRG jauh lebih besar dibandingkan biaya transaksi yang dikeluarkan. Hal ini terlihat dari rata-rata
persentase rasio antara biaya transaksi dengan keuntungan yakni sebesar 5.16 persen (<10 persen). Faktor yang berpengaruh negatif terhadap biaya transaksi adalah keanggotaan kelompok tani dan jumlah pinjaman (loan size) sedangkan variabel jangka waktu kredit berpengaruh positif terhadap biaya transaksi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa manajemen dalam pengelolaan gudang serta infrastruktur yang memadai merupakan hal yang sangat krusial didalam pelaksanaan aktivitas transaksi pada program SRG. Oleh karena itu diharapkan untuk SRG di wilayah lain perlu adanya perhatian dan fokus terhadap perbaikan dua hal tersebut untuk memaksimalkan pelaksanaan transaksi SRG kedepannya. Selain itu pada saat sosialisasi program, informasi manfaat (benefit) dan biaya yang harus dikeluarkan harus dipaparkan secara jelas pada peserta SRG. Dengan adanya informasi yang lengkap tersebut diharapkan petani lebih memahami sistem secara menyeluruh sehingga dapat meningkatkan keinginannya untuk berpartisipasi didalam program. Saran terakhir, diharapkan juga bagi pemerintah dan pelaku yang terkait program SRG untuk memperhatikan faktor yang mempengaruhi besar kecilnya biaya transaksi. Hal yang dapat dilakukan seperti meningkatkan sosialisasi SRG kepada kelompok-kelompok tani disekitar yang belum bergabung supaya mau bergabung karena keanggotaan kelompok tani terbukti mampu menekan biaya yang dikeluarkan. Kata kunci: kegiatan kolektif, kelembagaan, kelompok tani, pasar pertukaran, tunda jual
SUMMARY DEWI MASITHOH. Transaction Cost on Grain Warehousing Receipt System. Supervised by DWI RACHMINA and SUHARNO. Transaction costs present in the exchange market of economy. Real market conditions which are unpredictable can lead to the high transaction costs, but it can be suppressed by the existence of institutions that are described in the New Institution Economic (NIE) concept. On the emergence of an institutional NIE concept aims to reduce transaction costs through control the opportunistic behavior of agen in the exchange market. Warehouse Receipt System (WRS) is one of the institutional model designed that expected to reduce transaction costs. In theory transaction costs on institutional of WRS should be lower than the free market but in fact institutional WRS is still less attractive farmers. The study of transaction costs at WRS needs to be analyzed to clarify whether the implementation of the WRS is in conformity with the concept designed to reduce the cost of transactions in attendance. The purpose of this study was to analyze the transaction costs on the implementation of warehouse receipt system and analyze the factors that affect transaction costs. Transaction Cost Analysis (TCA) is used as an analytical tool to measure transaction costs and multiple linear regression method is used to analyze the determining factors of the transaction cost. This study used data from in-depth interviews with the stakeholders in the WRS, as well as samples of farmers participating in the warehouse receipt system which numbered 30 people. Which 15 people were participants with farmers group status and 15 non-group farmer groups status. Research conducted at Niaga Mukti Warehouse, Cianjur district, West Java. Niaga Mukti warehouse was chosen because it is one of the warehouses built by the government with the highest number of warehouse receipts in West Java The results of the study explains that there are three transaction activity on the transaction WRS farmer group membership, ownership of a warehouse receipt transactions, and transaction-based warehouse receipt financing. There are differences in the total cost of the transaction between WRS participants who are farmer groups member and non farmer groups member. The total amount of the transaction costs incurred farmer group members is lower (Rp7.87/kg) than non farmer groups member (Rp11.11/kg). Low transaction costs to participants who are farmer groups member due to the transactions carried out collectively, and the sharing of information resources together. From transaction activities on warehouse receipt system program, a transaction which results in the highest cost is the financing transaction. In financing transactions there is a process of negotiation leading to high transaction costs. These costs represent costs for photocopy, file charges, stamp duty and opportunity cost. Most of these costs were incurred to meet the requirements of completeness of credit contracts of Warehouse Receipt System. Implementation of the warehouse receipt system in Niaga Mukti provides more benefits to the participants, which is a benefit within the WRS is much greater than the transaction costs incurred. This is evident from the average percentage ratio between the cost of the transaction with the benefit of 5.16
percent (<10 percent). Factors that negatively affect the cost of the transaction is the membership of farmers' groups and the amount of the loan (loan size) while the variable credit term positive influence on the cost of the transaction. From this results study revealed that the managing of warehouse as well as adequate infrastructure is very crucial in the implementation of the transaction activity on the WRS program. Therefore expected to WRS in other areas need give attention and focus on the improvement of these two things to maximize the implementation of WRS in the future transactions. Additionally at the socialization of the program, information on the benefits and costs should be clearly presented to the participants WRS. With the present of full information is expected that farmers better understand the system as a whole so as to increase his desire to participate in the program. The last suggestion, is expected also for the government and relevant actors in WRS program to consider factors that affect the size of transaction costs. Things to do as improve socialization WRS to groups of farmers around who are not yet willing to sign up for a membership which farmer groups proved to be able to reduce the cost incurred. Keywords: collective action, delay sales, exchange market, farmer group, institutional
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
BIAYA TRANSAKSI SISTEM RESI GUDANG GABAH
DEWI MASITHOH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Anna Fariyanti, M.Si
Judul Tesis : Biaya Transaksi Sistem Resi Gudang Gabah Nama : Dewi Masithoh NIM : H351130211
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Dwi Rachmina, M.Si Ketua
Dr Ir Suharno, M.ADev Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Tanggal Ujian: 10 Desember 2015
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga tesis yang berjudul Biaya Transaksi Sistem Resi Gudang Gabah berhasil diselesaikan Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Dr Ir Dwi Rachmina, M.Si dan Dr Ir Suharno, M.Adev selaku dosen pembimbing atas arahan dan masukannya yang telah banyak membantu didalam menyelesaikan karya tulis ini; serta Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS, Dr Ir Nunung Kusnadi, MS dan Dr Ir Anna Fariyanti, M.Si selaku penguji dan evaluator yang telah memberikan banyak saran dan masukan untuk menyempurnakan karya tulis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Nana Sukatna selaku pengelola gudang, Bapak Achmad Kustana selaku ketua kelompok tani Mulya Tani, Bapak Warma selaku ketua kelompok tani Hegarmana, Bapak Herman selaku pengurus kelompok tani Sari Tani dan Badan Pengawas Perdagangan Komoditi Berjangka (BAPPEBTI) yang telah membantu selama pengumpulan data. Rasa terima kasih juga tak lupa penulis sampaikan pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas Beasiswa Fresh graduate yang diberikan kepada penulis selama kuliah di Program Studi Agribisnis IPB; kepada bapak, ibu, dan adik-adik atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya; serta seluruh rekan di Magister sains Agribisnis 4, Baiti Jannati dan sahabat-sahabat lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan semangat, doa dan tenaganya di dalam proses penyelesaian penelitian ini. Penulis menyadari bahwa keterbatasan pemahaman yang penulis miliki membuat tesis ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran demi penyempurnaan tesis ini sangat diharapkan. Demikian semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Atas perhatian semua pihak, penulis ucapkan terima kasih.
Bogor, Maret 2016 Dewi Masithoh
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 4 6 6 6
2
TINJAUAN PUSTAKA Biaya Transaksi Terhadap Partisipasi Petani di Pasar Pertukaran Pelaksanaan Sistem Resi Gudang dibeberapa Negara Faktor Penentu Implementasi Sistem Resi Gudang Faktor yang Mempengaruhi Biaya Transaksi
7 7 8 9 12
3
KERANGKA PEMIKIRAN Evolusi Teori Ekonomi Komponen Biaya Transaksi Konsep Kegiatan Kolektif (Collective Action) Kerangka Pemikiran Operasional
14 14 18 22 23
4
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penentuan Sampel Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data
25 25 26 27 27
5
GAMBARAN UMUM PENELITIAN Gambaran Umum Sistem Resi Gudang di Indonesia Profil SRG Niaga Mukti Kabupaten Cianjur Karakteristik Peserta SRG Niaga Mukti Kabupaten Cianjur
32 32 38 42
6
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Komponen dan Analisis Biaya Transaksi SRG Niaga Mukti Analisis Keuntungan Sistem Resi Gudang Gabah Faktor yang Mempengaruhi Biaya Transaksi
44 44 58 63
7
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
66 66 67
DAFTAR PUSTAKA
67
LAMPIRAN
74
RIWAYAT HIDUP
81
DAFTAR TABEL 1 Jumlah resi gudang, volume, harga dan nilai total komoditi pada kegiatan penerbitan resi gudang berdasarkan komoditi (tahun 2008 sampai dengan tahun 2014) 2 Komponen-komponen biaya dari perhitungan biaya transaksi eksplisit dan implisit 3 Data produksi padi di sentra-sentra penghasil padi nasional tahun 2013 4 Jumlah gabah/beras yang tersimpan di gudang SRG yang dibangun oleh pemerintah 5 Komponen-komponen biaya dari proses pelaksanaan transaksi 6 Jumlah resi gudang, volume dan nilai komoditi pada pelaksanaan penerbitan dokumen Sistem Resi Gudang tahun 2008-2014 7 Jumlah gabah yang dikelola, dokumen resi gudang yang diterbitkan dan persentase pembiayaan pada gudang SRG Niaga Mukti Cianjur 20112014 8 Sebaran jumlah dan persentase responden berdasarkan karakteristik responden gabah Sistem Resi Gudang Niaga Mukti Cianjur 9 Sebaran rata-rata jarak ke lokasi transaksi pada pelaksanaan transaksi Sistem Resi Gudang di Kabupaten Cianjur 10 Rata-rata biaya pada pelaksanaan penerbitan dokumen oleh peserta Sistem Resi Gudang di Cianjur berdasarkan komponen transaksi (Rp) 11 Jumlah resi gudang yang terbit, persentase pembiayaan dan lembaga keuangan yang tergabung pada pembiayaan berbasis Resi Gudang di Indonesia tahun 2008-2014 12 Rata-rata biaya pada pelaksanaan transaksi pembiayaan oleh peserta SRG yang merupakan anggota kelompok tani dan non anggota kelompok tani berdasarkan komponen transaksi (Rp) 13 Rata-rata biaya transaksi dari keseluruhan aktivitas transaksi didalam kegiatan Sistem Resi Gudang Cianjur 14 Fluktuasi harga gabah berdasarkan harga GKG (Gabah Kering Giling) tahun April 2014 hingga Maret 2015 15 Biaya yang dikeluarkan dari pelaksanaan penyimpanan gabah di gudang Sistem Resi Gudang Cianjur pada bulan pertama 16 Rata-rata biaya transaksi, biaya penyimpanan, biaya operasional, penerimaan dan keuntungan responden Sistem Resi Gudang 17 Hasil dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi biaya transaksi pada program Sistem Resi Gudang dengan menggunakan metode regresi
3 21 25 26 28 37
41 43 45 50
54
56 57 58 60 61 64
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Teori institusi di dalam pasar pertukaran ekonomi Ruang lingkup dari biaya transaksi Kerangka pemikiran operasional Struktur organisasi lembaga pengelola gudang SRG Niaga Mukti Kabupaten Cianjur
18 22 25 39
5 Fluktuasi harga Gabah Kering Giling (GKG) bulan April 2014 hingga Maret 2015a
60
DAFTAR LAMPIRAN 1 Komponen transaksi pada pelaksanaan Sistem Resi Gudang 2 Dokumentasi Sistem Resi Gudang Niaga Mukti Kabupaten Cianjur 3 Hasil pendugaan model faktor penentu dari biaya transaksi di SRG Kabupaten Cianjur 4 Hasil uji normalitas model faktor penentu dari biaya transaksi di SRG Kabupaten Cianjur 5 Hasil uji heteroskedastisitas model faktor penentu dari biaya transaksi di SRG Kabupaten Cianjur
74 77 78 79 80
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Lembaga pembiayaan sebagai salah satu subsistem jasa penunjang dalam agribisnis berperan penting di dalam penyediaan permodalan bagi sektor pertanian. Pentingnya permodalan bagi sektor pertanian karena penambahan modal dapat berfungsi sebagai peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemacu adopsi teknologi dan pengurangan kemiskinan (Rachmina 1994). Saat ini di Indonesia sektor pertanian dan perkebunan merupakan sektor yang menduduki peringkat pertama dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebesar 38.97 juta jiwa atau 33.9 persen dari jumlah seluruh tenaga kerja (BPS 2014). Walaupun menggembirakan namun berdasarkan laporan data sosial ekonomi pada tahun 2013, mayoritas (55.3 persen) petani sebagai pelaku usaha pertanian merupakan petani gurem (BPS 2014a). Petani gurem merupakan petani dengan kepemilikan lahan yang terbatas yakni kurang dari 0,5 hektar, kondisi tersebut berdampak pada rendahnya kepemilikan aset tetap (fix asset) yang dimiliki. Padahal aset tetap biasanya digunakan oleh petani sebagai agunan kepada pihak pemberi pinjaman untuk mendapatkan tambahan modal usaha. Agunan merupakan sebuah bentuk proteksi terhadap pemberi pinjaman atas kegagalan penerima pinjaman untuk melunasi hutangnya (Balkenhol dan Schuutte 2001). Agunan menjadi dipersyaratkan terutama karena sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki risiko usaha yang tinggi dan hal tersebut akan berpengaruh dalam pengembalian pinjaman. Tingginya risiko tersebut karena pelaku usaha pertanian khususnya para petani sering menghadapi faktor yang tidak terprediksi seperti pada perubahan musim (kemarau panjang/banjir), bencana dan serangan hama. Sementara itu keterjaminan petani terhadap sumber modal merupakan hal yang sangat dibutuhkan di dalam menghadapi ketidakpastian tersebut. Oleh karena itu kebutuhan akan modal segera ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan mendirikan lembaga sumber pembiayaan di titik-titik strategis dengan jumlah yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan. Secara umum, lembaga pembiayaan terbagi dua yakni lembaga pembiayaan formal dan informal (non formal). Dua bentuk lembaga pembiayaan tersebut sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan. Pada pembiayaan formal, kelebihannya terletak pada peraturan yang jelas mengenai hak kewajiban peminjam dan pemberi pinjaman. Pelaksanaannya diatur dalam undang-undang, sehingga jika terjadi pelanggaran maka ada ketentuan hukum yang berlaku. Kerjasama kedua belah pihak menjadi adil dengan kondisi tersebut. Namun adanya aturan yang baku tersebut sekaligus menjadikan kelemahan lembaga formal karena menyebabkan prosedur yang panjang dan rumit (Atieno 2001). Pada lembaga pembiayaan informal, berdasarkan Supriatna (2008) dan Nurmanaf (2007) memiliki kelebihan pada proses transaksi yang lebih mudah karena tanpa dipersyaratkan jaminan (collateral), keberadaannya yang mudah ditemui, prosedur pelaksanaan lebih sederhana serta uang pinjaman cepat cair walaupun dengan konsekuensi adanya bunga tinggi yang dibebankan. Saat ini petani maupun pelaku usaha lebih akses pada lembaga pembiayaan informal dibanding formal (Nurmanaf 2007; Wahid dan Rehman 2014). Hal ini disebabkan
2 pembiayaan formal menghasilkan biaya transaksi yang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan informal serta kesulitan para petani untuk menyediakan agunan fisik sehingga pembiayaan informal cenderung lebih dipilih oleh petani dibandingkan pembiayaan formal (Nurmanaf 2007). Kelebihan dan kekurangan dimasing-masing bentuk lembaga tersebut dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk meluncurkan program pembiayaan yang tepat bagi petani sebagai upaya mendorong kinerja sektor pertanian. Dari beberapa pilihan program yang ada, Sistem Resi Gudang atau disingkat SRG merupakan sebuah program baru yang bertujuan untuk meningkatkan akses petani ke lembaga pembiayaan. Program SRG memberikan solusi permasalahan rendahnya harga saat panen dan mengatasi hambatan petani atas kepemilikan agunan. Rendahnya harga dapat dihadapi dengan pelaksanaan tunda jual. Pada program tunda jual, petani mendapatkan keuntungan dari selisih harga jual dengan harga awal pada saat komoditi disimpan. Dari penelitian Coulter dan Poulton, didapatkan informasi bahwa setelah 6 bulan paska panen, harga komoditas pertanian dapat meningkat hingga 80 persen (Onumah 2003). Dengan adanya pelaksanaan tunda jual, SRG berdampak positif dalam meningkatkan pendapatan petani (Onumah 2003). Manfaat SRG lainnya yakni memfasilitasi petani untuk akses ke lembaga pembiayaan. Keterbatasan kepemilikan agunan dapat diatasi dengan resi gudang. Petani yang menyimpankan komoditinya ke gudang otomatis mendapatkan resi atau dokumen yang secara hukum sah untuk dijadikan sebagai agunan. Kelembagaan dari SRG ini diharapkan mampu mempermudah petani di dalam aktivitas transaksi untuk mendapatkan kredit karena ketersediaan kredit memperlihatkan korelasi yang positif dengan pertumbuhan pertanian dan peningkatan produktivitas (Sharmeen dan Chowdhury 2013). Kelembagaan SRG terdiri dari beberapa unit lembaga yang bekerjasama untuk menyediakan pelayanan permodalan bagi petani. Pelaku yang terkait antara lain pihak pengawas pelaksanaan SRG (Badan Pengawas Perdagangan Komoditi Berjangka/BAPPEBTI), pengelola gudang, pihak penguji kualitas komoditi pertanian (Lembaga Penguji Kesesuaian/LPK), pihak asuransi, pihak perbankan, dan pihak yang terkait dengan jual-beli. Unit lembaga tersebut memiliki peran masing-masing yang sangat penting untuk menjaga pelaksanaan program SRG agar berjalan dengan baik. Terkait pelaksanaan, Sistem Resi Gudang baru mulai terlaksana pada tahun 2011 setelah UU SRG pada tahun 2006 disahkan. Oleh karena itu, SRG dapat dikatakan sebagai sebuah induksi kelembagaan ekonomi yang relatif baru di Indonesia. Saat ini telah dibangun sekitar 117 gudang untuk SRG dibeberapa wilayah Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi dan Sumatra dengan komoditas unggulan untuk disimpan yang berbedabeda sesuai dengan daerahnya (BAPPEBTI 2015). Sesuai dengan ketentuan undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang barang yang dapat disimpan di gudang SRG terdapat 8 macam komoditi. Pada UU Sistem Resi Gudang terbaru yakni No 9 tahun 2011, terdapat penambahan komoditi menjadi 10 komoditas yang tercatat resmi untuk dapat disimpan di gudang SRG yakni gabah, beras, kopi, karet, rumput laut, lada, karet, garam, rotan dan jagung. Dari 10 komoditas tersebut, gabah memperlihatkan jumlah volume penyimpanan dan resi pembiayaan tertinggi (Tabel 1). Tingginya volume gabah karena gabah merupakan produk turunan dari padi dan padi lebih banyak dibudidayakan dibanding komoditas pertanian lainnya.
3 Berbeda halnya dengan beras yang juga merupakan produk turunan padi, jumlah beras yang tersimpan jauh dibawah gabah. Hal ini disebabkan petani lebih cenderung menjual gabah dibanding beras, sehingga komoditi yang mereka simpan masih berbentuk gabah. Berdasarkan Tabel 1 didapatkan pula informasi rata-rata volume komoditi per lembar resi untuk gabah 39.71 ton, beras 62 ton, jagung 71 ton, kopi 1.45 ton dan rumput laut 35 ton. Rata-rata volume komoditi per resi ini berpengaruh didalam pengelolaan gudang. Semakin kecil volume per resi dapat menyebabkan inefisiensi pengelolaan. Tabel 1 Jumlah resi gudang, volume, harga dan nilai total komoditi pada kegiatan penerbitan resi gudang berdasarkan komoditi (tahun 2008 sampai dengan tahun 2014)a Jumlah resi Volume Nilai total Rata-rata harga Komoditi gudang komoditi komoditi (Rp komoditi (Rp) (lembar) (ton) dalam milyar) Gabah 1 401 55 637.89 4 899.539 272.60 Beras 81 5 022.47 7 127.967 35.80 Jagung 65 4 621.39 3 250.104 15.02 Kopi 14 20.39 44 629.72 0.91 Rumput laut 12 420 8 261.905 3.47 Total 1 573 65 722.11 4 988.58 327.86 a
Sumber: BAPPEBTI (2014a)
Dalam rangka menciptakan keefisienan pengelolaan, salah satu cara yang dapat ditempuh yakni meningkatkan keikutsertaan kelompok tani. Melalui kelompok tani, para petani sebagai anggota kelompok diupayakan untuk menghasilkan komoditi dengan kualitas yang seragam sehingga dapat dijadikan satu resi atas nama kelompok. Dengan kualitas yang sama, petani kecil yang hanya memproduksi komoditi dibawah ketetapan penyimpanan akan terfasilitasi untuk menyimpankan komoditinya di gudang SRG bersama-sama anggota kelompok tani yang lain. Jadi secara tidak langsung pemerintah mengarahkan program SRG ini kepada kelompok tani, gapoktan, atau koperasi tani agar menjadi wadah bagi petani untuk bekerjasama mengikuti program SRG secara kolektif. Maka disinilah peran resi gudang atas nama kelompok tani diharapkan terus meningkat karena dapat mengakomodir banyak petani kecil dan menciptakan efisien usaha dalam pengelolaan gudang. Namun untuk menyimpankan komoditi dalam satu resi kelompok tani, petani harus menjadi anggota dari kelompok tani. Keikutsertaan dalam keanggotaan kelompok tani menimbulkan biaya tambahan bagi petani. Aktivitas untuk mendapatkan keanggotaan ini merupakan salah satu pembentuk kemunculan biaya transaksi. Biaya transaksi merupakan biaya yang timbul dari proses antara yang terjadi untuk memberikan/mentransfer hak (right) dari satu pihak kepada pihak lain. Biaya transaksi muncul akibat adanya ketidakpastian di pasar seperti informasi yang tidak sempurna dan rasionalitas para pelaku yang terbatas. Didalam teori New Instutional Economic, dihadirkanlah peran institusi sebagai wujud pengendalian dari kondisi ekonomi yang ada. Institusi bertujuan untuk memfasilitasi tiap individu yang bergabung untuk menghadapi kondisi pasar yang ada sehingga tercipta transaksi yang efektif dan efisien (Williamson
4 1996). Kelembagaan SRG sebagai suatu wadah yang terikat aturan formal diharapkan mampu menekan biaya transaksi sesuai dengan fungsi aturan fomal atau informal (institusi) yang berperan untuk membantu para pelaku pertukaran dalam menghadapi ketidakpastian di pasar ekonomi (North 1990; Williamson 1996; Furubotn dan Richter 2005). Berdasarkan hal tersebut maka kelembagaan Sistem Resi Gudang dan biaya transaksi sangat erat kaitannya. Sistem yang berfungsi dengan baik memiliki potensi untuk mengefisienkan kegiatan transaksi sehingga memunculkan biaya transaksi yang lebih rendah. Besaran biaya transaksi mempengaruhi pilihan (decision) petani untuk mengambil pembiayaan. Hubungan biaya transaksi dan permintaan kredit berbanding terbalik. Semakin kecil biaya transaksi yang muncul maka permintaan pinjaman semakin besar (Abiad et al. 1988). Jika dikaitkan dengan penelitian tersebut, apabila biaya transaksi yang muncul didalam program SRG tinggi maka partisipasi petani yang bergabung semakin rendah. Dipastikan lambat laun SRG akan berhenti karena gagal menjalankan visinya sebagai pemacu peningkatan kesejahteraan petani. Minimalisasi biaya transaksi sebenarnya bukanlah merupakan tujuan utama karena biaya transaksi hanyalah merupakan proses antara. Selama dari biaya transaksi tersebut menghasilkan maksimalisasi profit kepada para pelakunya yang terlihat dari rasio biaya transaksi dan keuntungan yang didapat. Manfaat dari biaya transaksi yang dikeluarkan juga perlu diperhatikan karena walaupun nilai biaya transaksi yang dikeluarkan kecil akan tetapi jika program ternyata tidak memberikan manfaat apapun maka hal tersebut menjadi sia-sia. Salah satu upaya agar kelembagaan pembiayaan berjalan efektif dan efisien maka diperlukan evaluasi terhadap proses transaksi didalam pelaksanaan program. Hal ini dapat mencegah maupun menanggulangi timbulnya biaya transaksi yang tinggi. Dengan demikian berdasarkan deskripsi di atas menunjukkan bahwa proses transaksi dan biaya transaksi penting untuk diteliti karena identifikasi biaya transaksi yang mendalam diharapkan dapat memberikan masukan kebijakan untuk menciptakan transaksi yang efektif dan efisien pada program Sistem Resi Gudang. Perumusan Masalah Biaya transaksi merupakan biaya yang akan selalu hadir di dalam pasar pertukaran ekonomi. Biaya transaksi mulai dikenal akibat pergeseran konsep ekonomi neoklasik menuju ekonomi kelembagaan baru (New Institutional Economics). Konsep ini menjelaskan bahwa biaya yang muncul pada kegiatan ekonomi, tidak saja berpusat pada sisi variabel produksi saja namun ada biaya lain yang muncul namun tidak terhitung yakni seperti biaya pada proses pertukaran yang menggunakan mekanisme harga (biaya transaksi). Konsep ini mengabaikan sebagian asumsi dari teori neoklasik yang menyatakan bahwa di pasar tercipta informasi yang sempurna dan bersifat merata, tidak adanya biaya transaksi (biaya transaksi nol) serta adanya rasionalitas yang lengkap pada para pelaku pasar (North 1990; Williamson 1996; Furubotn dan Richter 2005). Nyatanya pada kondisi riil didalam pasar pertukaran pada sektor apapun pasti akan memunculkan biaya transaksi. Biaya ini akan muncul selama adanya proses pembuatan pilihan ekonomi (economy decision maker) karena pada dasarnya karakter manusia adalah makhluk yang selalu membuat pilihan (Furubotn dan Richter 2005) serta
5 memiliki sifat oportunistik (Williamson 1975). Adanya kondisi pasar riil yang tidak terprediksi (unpredictable) dapat menyebabkan tingginya biaya transaksi yang muncul. Melalui konsep ekonomi institusi baru (new institutional economics) peran institusi (aturan formal dan informal) diharapkan dapat membantu para pelaku pertukaran dalam menghadapi ketidakpastian pada pasar ekonomi. Dengan demikian pelaku mampu menekan munculnya faktor-faktor yang menimbulkan kegagalan pasar yang ada sehingga dapat meminimalisir biaya-biaya transaksi yang tercipta (North 1990). Furubotn dan Richter (2005) menjelaskan bahwa fakta di lapang aturan legal dapat menciptakan suatu kerumitan, dimana dikasus lain mampu menyederhanakan proses yang ada. Maka dari itu penyusunan desain kelembagaan yang tepat dapat mengekonomiskan biaya transaksi yang muncul (Bhatt 1988). Pemerintah telah sangat banyak merancang dan membentuk berbagai kelembagaan sebagai bentuk tanggung jawab untuk memfasilitasi masyarakat ekonomi di negaranya. Salah satu model kelembagaan yang telah dicetuskan oleh pemerintah yakni Sistem Resi Gudang (SRG). Kelembagaan SRG ini menarik untuk diteliti karena sangat bermanfaat bagi dunia pertanian terkait dengan bidang pengadaan pembiayaan, selain itu model kelembagaan ini juga telah banyak diaplikasikan di beberapa negara. Kesuksesan SRG dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat telah dibuktikan oleh beberapa penelitian. Hollinger et al. (2009) memperlihatkan bahwa SRG memiliki manfaat bagi petani dibeberapa wilayah negara transisi antara lain meningkatkan akses pembiayaan di daerah perdesaan. Sistem Resi Gudang dikenal oleh petani sebagai gadai gabah. Saat harga gabah rendah petani dapat menyimpankan hasil panennya di gudang SRG untuk ditunda jual. Pelaksanaan tunda jual memberikan insentif bagi petani, melalui keuntungan dari fluktuasi selisih harga gabah simpan dengan harga gabah jual. Manfaat lainnya berupa pinjaman kredit bersubsidi dengan mengagunkan dokumen resi gudang (tanda bukti gabah yang disimpan). Sistem Resi Gudang sebagai sebuah program dari pemerintah diharapkan mampu memfasilitasi petani di dalam aktivitas transaksi untuk mendapatkan modal. Tujuan tersebut tertuang pada slogan SRG yang dikenal dengan 3 M (mudah, murah dan manfaat). Dijelaskan sebelumnya bahwa secara teori biaya transaksi pada model kelembagaan seharusnya lebih rendah dibanding pada kondisi pasar bebas sehingga hal tersebut berdampak pada tingginya keikutsertaan petani pada kelembagaan SRG. Namun faktanya kelembagaan SRG ini masih kurang diminati petani. Keikutsertaan petani pada SRG di Indonesia masih rendah, hal ini didukung dengan data realisasi volume komoditi yang masuk SRG baru sekitar 41.29 persen (72 464.33 ton) dari total volume kapasitas gudang SRG yang berkisar 175 500 ton (BAPPEBTI 2014b). Kurangnya minat para petani untuk bergabung salah satunya dapat disebabkan oleh tingginya biaya transaksi. Hal tersebut teridentifikasi dari faktor yang diduga mempengaruhi biaya transaksi. Pada penelitian Sugiono (2014) ketidaktersediaannya wifi di gudang SRG menyebabkan penerbitan dokumen resi harus dilaksanakan di lokasi lain sehingga menyebabkan tambahan biaya mobilisasi pelaksanaan transaksi SRG. Selain itu pada penelitian Putri (2013) pada pengajuan kredit SRG di Bank BRI cabang Pekalongan teridentifikasi adanya biaya transaksi yang tinggi. Tingginya biaya transaksi tersebut disebabkan
6 oleh kurangnya pengetahuan dari debitur mengenai pengajuan permohonan kredit SRG baik mengenai syarat, kelengkapan bukti dokumen SRG dan informasi terkait jumlah yang dapat dipinjam sehingga menyebabkannya peserta SRG harus berulang kali datang untuk menyelesaikan proses transaksi. Hal ini tentu saja meningkatkan biaya transaksi yang harus dikeluarkan para peserta SRG akibat kurangnya informasi dan fasilitas yang memadai sehingga dapat berpengaruh terhadap minat petani untuk bergabung terhadap program. Selama ini nilai biaya transaksi pada SRG masih belum terukur secara matematis padahal dalam laporan Bank Dunia disebutkan bahwa biaya transaksi memainkan peran yang signifikan didalam penyediaan program permodalan dibeberapa negara berkembang. Diketahui bahwa biaya transaksi yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan permodalan cukup tinggi, bahkan besarannya ada yang mendekati interest rate (Hosseini 2012). Dari deskripsi di atas maka penting untuk dilakukan kajian mengenai biaya transaksi pada SRG. Perlunya kajian ini dilakukan yakni untuk menjelaskan apakah pelaksanaan SRG sudah sesuai dengan konsep yang dirancang supaya dapat menekan biaya transaksi. Hasil kajian diharapkan mampu menyediakan informasi yang jelas mengenai pelaksanaan transaksi suatu program pembiayaan dari pemerintah dalam rangka pengembangan sistem pembiayaan bagi sektor pertanian Indonesia kedepannya. Dari uraian di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1. Mengapa biaya transaksi pada kelembagaan Sistem Resi Gudang tinggi? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi biaya transaksi? 2. Tujuan Penelitian Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya maka tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Menganalisis biaya transaksi yang harus dikeluarkan petani pada pelaksanaan Sistem Resi Gudang Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi biaya transaksi 2. Manfaat Penelitian 1. 2.
Bagi pemerintah sebagai masukan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan Sistem Resi Gudang Sebagai bahan kajian bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji mengenai sistem Sistem Resi Gudang Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini lingkup penelitian dibatasi pada Sistem Resi Gudang daerah Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian hanya satu unit kelembagaan SRG di wilayah Jawa Barat karena penelitian ini tidak bertujuan untuk membandingkan antar SRG se Jawa Barat. Penelitian yang dilakukan berupa pengukuran biaya transaksi secara mendalam dari informasi para partisipan SRG baik anggota kelompok tani maupun peserta individu dan stakeholder yang berperan di SRG Cianjur seperti BAPPEBTI selaku pengawas, pengelola gudang, pihak BJB selaku lembaga yang memberikan pendanaan serta dinas perdagangan. Nilai dari biaya transaksi didapatkan dari hasil pengukuran
7 dan estimasi (memperkirakan) dengan menggunakan pendekatan transaction cost analysis. Biaya transaksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani saat mengikuti program yang meliputi transaksi keanggotaan kelompok tani, transaksi kepemilikan resi gudang, transaksi pembiayaan berbasis resi gudang. Ketiga aktivitas transaksi tersebut akan dilalui oleh petani yang berpartisipasi hingga proses kontrak/ikatan dengan SRG berakhir. Dalam menganalisa efektifitas program SRG, peneliti hanya mengukur rasio antara biaya SRG dan keuntungan yang didapat dari SRG sehingga terlihat persentase perbandingan biaya yang dikeluarkan dengan keuntungan yang didapat. Selain itu peneliti juga akan menganalisa faktor penentu yang berpengaruh pada besar kecilnya biaya transaksi yang dikeluarkan sehingga dapat menjadi saran bagi pelaksanaan program pembiayaan kedepannya.
2 TINJAUAN PUSTAKA Penelitian mengenai topik biaya transaksi belum begitu familiar dibahas oleh peneliti-peneliti dalam negeri. Padahal topik ini cukup menarik mengingat di lapang dalam kegiatan pasar pertukaran, biaya transaksi sering dikeluarkan walaupun nilainya tidak diperhitungkan. Nilai biaya transaksi yang kecil dibandingkan biaya operasional menyebabkan perhitungannya sering diabaikan oleh para pelaku usaha padahal akumulasi biaya transaksi yang besar dikemudian hari bisa saja menjadi penghambat pelaku usaha untuk mengakses pasar pertukaran. Pada bab ini akan dimulai dengan tinjauan penelitian terdahulu terkait pengaruh biaya transaksi terhadap partisipasi petani ke pasar pertukaran sebagai argumen penunjang mengenai pentingnya biaya transaksi untuk dikaji. Tinjauan berikutnya mengenai perkembangan Sistem Resi Gudang. Secara sederhana, Sistem Resi Gudang dikenalkan oleh petani sebagai kegiatan gadai gabah walaupun dalam kenyataannya mekanisme yang berlangsung terjadi lebih kompleks. Pada kegiatan gadai gabah, dua program yang dapat dimanfaatkan adalah tunda jual dan pembiayaan. Pada bab ini akan memaparkan kondisi kebaharuan dari Sistem Resi Gudang yang telah diteliti peneliti terdahulu dibeberapa negara. Hasil penelitian tersebut mengulas tantangan, kekurangan dan kelebihannya masing-masing SRG. Terakhir akan dipaparkan tinjauan pustaka terkait faktor-faktor yang berpengaruh terhadap biaya transaksi. Biaya Transaksi dan Partisipasi Petani di Pasar Pertukaran Pada pelaksanaan kegiatan di sektor pertanian baik itu pemasaran, usaha tani maupun pembiayaan yang mengadakan transfer kepemilikan jasa/barang maupun informasi pasti memunculkan proses transaksi. Pada kondisi pasar dengan informasi yang tidak sempurna serta rasional yang terbatas, transaksi yang berlangsung akan menghasilkan biaya. Berdasarkan penelitian sebelumnya, besarnya biaya transaksi akan berpengaruh terhadap partisipasi petani di dalam kegiatan-kegiatan pertanian tersebut. Pada penelitian Jagwe (2011) biaya transaksi memiliki pengaruh terhadap keikutsertaan petani kecil untuk terjun ke dalam pasar pertukaran (jual-beli). Adanya kelompok tani diketahui dapat memfasilitasi
8 para petani didalam transfer informasi sehingga mampu mengurangi biaya transaksi yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat meningkatkan kemungkinan petani untuk berpartisipasi kedalam pasar pertukaran. Faktor dari biaya transaksi yang mempengaruhi tingkat partisipasi para petani di pasar pertukaran yakni jumlah anggota keluarga, jarak rumah serta kepemilikan transportasi. Serupa dengan penelitian Alene et al. (2007) adanya biaya transaksi yang tinggi pada petani jagung akan menyebabkan rendahnya partisipasi petani ke pasar. Dari hasil pengukuran biaya transaksi diketahui bahwa semakin tingginya biaya transaksi yang muncul akan menurunkan minat petani untuk berpartisipasi kedalam pasar pertukaran secara langsung. Mereka akan cenderung untuk menjual produk pertaniannya di farmgate (pedagang perantara) dengan biaya transaksi yang lebih murah. Walaupun ketika petani menjual langsung ke pasar harga komoditasnya akan dinilai lebih tinggi, akan tetapi petani lebih memilih untuk menghindari risiko ketidakpastian pasar. Bisa saja ketidakpastian tersebut berdampak pada penurunan insentif yang akan didapatkan petani. Maka hal tersebut membuat para petani cenderung memilih langkah aman yakni melakukan transaksi dengan biaya yang rendah dengan konsekuensi harga jual komoditas yang didapat juga lebih rendah dari pasar. Variabel biaya transaksi yang digunakan untuk mengukur pengaruhnya terhadap partisipasi petani ke dalam pasar pertukaran yakni jarak pasar, kepemilikan alat komunikasi, kepemilikan alat transportasi dan keanggotaan dalam pasar petani jagung. Jarak yang jauh dari pasar, infrastruktur yang buruk, serta kurangnya akses terhadap aset dan informasi akan dimanifestasikan pada tingginya biaya transaksi. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa tingginya biaya transaksi yang muncul akan mempengaruhi minat petani untuk berpartisipasi/ikut serta di dalam kegiatan pertanian. Dengan kata lain semakin besar biaya transaksi yang muncul berpengaruh negatif terhadap partisipasi petani didalam kegiatan pertukaran pada sektor pertanian. Pelaksanaan Resi Gudang di Beberapa Negara Berdasarkan penelitian Höllinger et al. 2009; Onumah 2010; Mahanta 2012 dan Ulas 2007 dipaparkan tingkat pelaksanaan SRG yang berbeda-beda di beberapa negara yang telah menerapkan Sistem Resi Gudang. Terdapat negaranegara yang sukses melaksanakan sistem ini namun tidak sedikit pula yang akhirnya gagal. Variasi capaian dalam implementasi resi gudang ini terjadi akibat berbagai faktor baik itu dari segi hambatan yang dihadapi, dorongan dari berbagai pihak yang berbeda-beda serta beberapa perbedaan realisasi Sistem Resi Gudang yang dijalankan. Menurut hasil penelitian yang ada, negara yang termasuk sukses dalam melaksanakan sistem ini adalah Bulgaria, Kazakhstan, Hungaria, Slovakia, Lithuania, dan Moldova. Negara-negara tersebut telah memiliki kerangka hukum yang kuat serta elemen Sistem Resi Gudang yang mantap selama sekitar 10 tahun dan resi gudang yang telah dikeluarkan benar-benar memiliki peran yang signifikan terhadap pembiayaan berbasis komoditas. Sedangkan negara-negara yang masih dalam tahap berkembang dalam menerapkan Sistem Resi Gudang adalah Polandia, Federasi Rusia, Turki, Ukraina, Rumania, Serbia, Kroasia dan beberapa negara di Afrika. Negara ini sebenarnya telah mengadopsi landasan dasar hukum Sistem Resi Gudang namun karena berbagai alasan pelaksanaan sistem masih belum berkembang secara penuh. Ada
9 beberapa bagian yang masih hilang seperti kerangka kelembagaan yang belum tepat, badan penjamin keuangan yang masih ragu untuk bergabung maupun belum adanya badan yang menginspeksi gudang secara kontinu. Komoditas prioritas yang dapat diterbitkan menjadi resi gudang berbeda-beda di setiap negara, contohnya di Indonesia terdapat 10 komoditas yang diterima untuk jaminan termasuk kakao, padi, jagung, biji kopi, beras, lada, rotan, garam dan rumput laut. Di beberapa negara di Afrika, komoditi yang diterima untuk menjadi resi gudang adalah gandum, kopi dan jagung, di Turki adalah tembakau dan hazelnut (Kurniawan 2009; Höllinger et al. 2009; Onumah dan Coulter 2002). Faktor Penentu Implementasi Sistem Resi Gudang Intervensi dari pemerintah Dengan adanya Sistem Resi Gudang ini diharapkan pemerintah tidak lagi campur tangan terkait pembentukan harga karena harga akan elastis sesuai dengan jumlah permintaan dan penawaran. Dengan adanya SRG maka ketika harga panen rendah, petani memiliki pilihan untuk menunda penjualan hasil panen selagi menunggu harga mulai meningkat. Dari kondisi tersebut maka pemerintah diuntungkan karena biaya subsidi untuk membantu konsumen maupun produsen tidak dibutuhkan. Namun demikian terdapat beberapa negara yang tetap mendapatkan campur tangan dari pemerintah walaupun sudah dijalankannya Sistem Resi Gudang. Di Slovakia, meskipun hukum resi gudang telah dianggap salah satu yang terbaik dari sudut pandang perbankan karena lembaga keuangan diikutsertakan secara penuh di dalam penyusunan kerangka hukumnya. Namun, pemerintah tetap melakukan campur tangan melalui SFMR (State Fund of Market Regulation) yang mencegah berfungsinya sistem. SFMR memberikan subsidi suku bunga pinjaman yang diberikan terhadap resi gudang, dan menjamin pembelian resi gudang yang belum dipasarkan dan belum jatuh tempo pada harga yang ditetapkan. Beberapa tahun akhirnya harga yang tercipta begitu tinggi sehingga mengganggu pasar. Selain itu SFMR juga memberikan bunga pinjaman murah terhadap resi gudang, yang membuat sistem tidak kompetitif pada bank umum yang lain (Hollinger et al. 2009). Di Afrika, komoditas yang dijadikan sebagai jaminan di gudang adalah merupakan komoditas strategis yang sangat sensitif terhadap isu-isu politik. Sebagian besar negara Afrika mengalami gangguan dari kebijakan pemerintah dan hal tersebut mengganggu berjalannya Sistem Resi Gudang (Nordier 2013). Masalah lain terjadi di Tanzania yang gagal menjalankan sisitem resi gudang jagung. Kegagalan disebabkan oleh adanya intervensi dari pemerintah berupa larangan untuk ekspor. Padahal dengan adanya SRG, membaiknya mutu dari komoditi yang disimpan dapat memenuhi kualitas ekspor (Onumah 2010). Selanjutnya di Brazil, pengaruh politik pada pemilik gudang mempengaruhi ketidakberhasilan pelaksanaan SRG. Adanya permainan oleh pemilik gudang menyebabkan sulitnya untuk memperketat peraturan di dalam kegiatan sistem sehingga tidak sesuai SOP (Coulter 2009). Kehilangan momentum dan partisipan yang tidak tepat sasaran Pada awal berdirinya Sistem Resi Gudang di Polandia, negara terlalu fokus pada reformasi hukum dan peraturan. Padahal undang-undang SRG telah dibahas
10 selama beberapa tahun namun belum juga mendapatkan titik temu antara undangundang resi gudang spesifik gandum dan hukum resi gudang umum untuk komoditas pertanian dan non-pertanian. Sampai pada akhirnya diselesaikan dan hukum diberlakukan, namun momentumnya sudah hilang dan tidak ada kekuatan yang mendorong untuk pelaksanaan implementasi sehingga pelaksanaan hanya berdurasi pendek dan berakhir sebelum sistem dapat diterapkan dalam kondisi pasar ri’il (Hollinger et al. 2009). Berbeda dengan di Afrika, pembiayaan resi gudang telah berjalan namun seringkali tidak dapat diakses oleh produsen di perdesaan seperti petani kecil. Resi gudang banyak diakses oleh beberapa pihak peminjam yang besar seperti para importir. Mereka menggudangkan komoditi impor untuk mendapatkan resi gudang yang kemudian dijadikan agunan. Ketidaktepatan sasaran inilah yang menjadi salah satu hambatan berjalannya SRG yang berfungsi sebagai peningkatan kesejahteraan petani. Kurangnya keterampilan yang dibutuhkan Sistem Resi Gudang yang merupakan sistem baru mengharuskan setiap pelaku yang berperan di dalam sistem tersebut untuk mempersiapkan kemampuan yang diperlukan/capacity building. Memberikan pelatihan SDM serta memperluas pembangunan kapasitas gudang dibutuhkan supaya memungkinkan para pengelola gudang untuk memanfaatkan SRG dengan biaya yang efektif. Namun peningkatan tersebut membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar. Ada beberapa negara yang tidak siap terhadap perubahan tersebut sehingga kurangnya keterampilan yang diperlukan sangat membatasi perkembangan Sistem Resi Gudang. Di Bulgaria sebagai salah satu pelaksana SRG terbaik, telah mengirimkan beberapa karyawan yang nantinya akan menjadi petugas penguji (examiner) di dalam Sistem Resi Gudang ke USA untuk mengikuti praktek pelatihan yang didanai oleh USAID. Langkah tersebut dilakukan untuk menghasilkan SDM yang berkualitas dan memiliki kemampuan teknik yang handal sehingga dapat melaksanakan program SRG secara maksimal dan hal ini terbukti memperlihatkan kesuksesan yang nyata pelaksanaan SRG di Bulgaria (Kiriakov 2001). Kurangnya infrastruktur dan partisipasi pemangku kepentingan Terdapat sejumlah kelemahan terkait infrastruktur di dalam pelaksanaan SRG di beberapa negara seperti Indonesia, Ukraina, dan Turki yang berupa keterbatasan gudang/ruang penyimpanan dibandingkan dengan kebutuhan, prosedur pengujian yang tidak efisien, banyaknya lapisan perantara yang ikut, biaya yang tersembunyi, dokumen persyaratan, biaya transportasi yang tinggi dan juga terdapat kekurangan dalam hal pemeliharaan ruang penyimpanan yang ada. Contoh di Brazil pada komoditi SRG kecuali komoditas kopi, fasilitas penyimpanannya tidak didesain dengan baik dan jasa pengawasan yang kurang professional (Ariyani di dalam Ashari 2012; Sugiono 2014; Mor dan Fernandes 2009; Coulter 2009; Hollinger et al. 2009). Selain itu terbatasnya sosialisasi tentang SRG di daerah sentra produksi menyebabkan deposan kurang berminat untuk berpartisipasi karena sedikit kesadaran terhadap manfaat yang akan didapatnya ketika berpartisipasi di dalam SRG (Sugiono 2014). Di Ethiopia kegiatan SRG tidak efisien dan ditutup karena menghadapi banyak masalah seperti keengganan Banker untuk berpartisipasi dalam program ini, tidak adanya suatu pasar terorganisir seperti Ethiopia
11 Commodity Exchange (ECX) dimana komoditas yang disimpan bisa dijual, terjadi peningkatan yang stabil dari komoditas harga pasar, serta operator gudang berstandar sangat ketat yang tak terjangkau oleh petani skala kecil, bahkan karyawan EGTE (Ethiopia Grain Trade Enterprise) tidak bersedia menerima program ini (USAID 2013). SRG merupakan satu kesatuan unit sistem dimana integrasi merupakan hal yang paling penting untuk dimiliki. Komitmen yang terbatas dari masing-masing pemangku kepentingan dapat membuat proses yang terjadi tidak efisien dan program tidak berhasil. Komoditi telah diserap oleh pedagang terlebih dahulu Setiap negara memiliki beberapa masalah dalam menerapkan sistem ini. Menurut Mor dan Fernandes (2009) hambatan yang membuat petani tidak berpartisipasi dalam Sistem Resi Gudang adalah komoditi telah diserap oleh para pedagang terlebih dahulu. Hampir sekitar 30-40 persen dari petani sekitar Kadi telah mengambil pinjaman dari pedagang dengan komitmen untuk menjual komoditas yang ada untuk para pedagang. Pedagang merupakan salah satu sumber pembiayaan informal para petani. Mereka tidak memberikan persyaratan yang rumit serta memiliki hubungan yang cukup dekat karena pedagang berlokasi disekitar tempat petani (Supadi dan Syukur 2004). Jika para petani cenderung lebih tertarik menjual hasil panennya ke para pedagang maka komoditi yang akan masuk ke gudang SRG akan berkurang. Hal ini akan memberikan dampak bahwa kurangnya partisipasi dari petani memberikan penghalang terhadap keberlanjutan sistem ini karena stok komoditi yang seharusnya dapat digudangkan menjadi berkurang. Pengaruh Pembiayaan Terhadap Petani dan Pelaku Usaha Berdasarkan beberapa penelitian mengenai pembiayaan eksternal diketahui bahwa kredit memberikan berbagai macam dampak terhadap petani. Di Bangladesh ketersediaan kredit berkorelasi positif pada pertumbuhan pertanian dan peningkatan produktivitas. Ketersediaan kredit yang diberikan kepada petani miskin dipergunakan sebagai modal yang digunakan untuk membeli input untuk membantu kegiatan usaha tani seperti benih, pupuk dan sebagainya (Sharmeen dan Chowdhury 2013). Begitu pula pada penelitian Kumar (2012) di India memperlihatkan bahwa investasi di sektor pertanian berbentuk kredit harus ditingkatkan untuk menstimulasi peningkatan produktivitas pertanian. Dengan meningkatnya produktivitas maka biaya produksi akan menurun dan harga pasar akan stabil sehingga baik produsen maupun konsumen keduanya akan mendapatkan keuntungan. Pada penelitian Rachmina 2012; Kumar 2012; Marpaung et al. 2013; Annim dan Alnaa 2013; Saeed et al. 2013 diketahui bahwa kredit dapat memberikan dampak positif bagi peminjam dana berupa peningkatan efisiensi keuntungan. Didukung oleh penelitian Wibisono (2011) bahwa kurangnya modal dapat menjadi penghambat dalam mencapai keefisienan produksi dalam usaha tani. Selain meningkatkan efisiensi, kredit juga dapat meningkatkan pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian Marpaung et al. (2013) terkait dampak pemberian kredit dengan pola Grameen Bank di Tuban. Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa kredit menyebabkan
12 terjadinya perbedaan pendapatan antara pengusaha sebelum dan sesudah mengikuti program. Pendapatan pengusaha yang telah mengikuti program menghasilkan angka yang lebih tinggi dibandingkan sebelum mengikuti program. Disimpulkan bahwa pemberian kredit pola Grameen Bank ini memberikan pengaruh yang positif karena dapat meningkatkan pendapatan usaha kecil. Selain meningkatkan pendapatan, kredit mikro juga berdampak positif terhadap pengurangan kemiskinan. Pada penelitian Annim dan Alnaa (2013) mengenai efek dari pembiayaan mikro terhadap pengurangan kemiskinan di Ghana didapatkan hasil bahwa kredit mikro dapat mengurangi angka kemiskinan sebesar 0.1 persen. Dari penelitian tersebut didapatkan pula hasil lain yakni walaupun di daerah yang amat miskin sekalipun keberadaan pembiayaan mikro mampu mengurangi tingkat kemiskinan. Hasil penelitian ini didukung oleh Saeed et al. (2013) dimana pada penelitiannya di Pakistan, pembiayaan mikro memiliki peran yang signifikan untuk mengurangi kemiskinan selama kredit tersebut diberikan dengan biaya yang rendah (bunga rendah). Namun ternyata hasil dari penelitian-penelitian di atas berbeda dengan hasil penelitian Mitiku (2014) yang menganalisis mengenai dampak pembiayaan komersial pertanian terhadap kemiskinan di Ethiopia. Hasil penelitian tersebut justru memperlihatkan bahwa dari 280 petani, 43 persennya merupakan petani miskin yang mana pembiayaan terhadap petani kecil tersebut tidak memberikan dampak apapun terhadap level kemiskinan yang ada. Hal ini diperkuat dengan penelitian dari Sjah et al. (2003) di Lombok bahwa kredit pertanian hanya berdampak kecil bagi produksi dan pendapatan petani. Sekitar separuh dari petani yang diteliti melaporkan bahwa kredit tidak memberikan dampak apapun bagi petani. Dari penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa kredit dapat memberikan dampak bagi peminjam namun bisa pula tidak memberikan pengaruh apapun bagi peminjam. Faktor yang Mempengaruhi Biaya Transaksi Besaran biaya transaksi yang dikeluarkan setiap individu didalam suatu proses pertukaran biasanya sangat bervariasi. Satu pihak dapat menciptakan biaya trasaksi yang tinggi sedangkan pihak lain mampu menciptakan biaya transaksi yang lebih rendah didalam suatu proses transaksi yang sama. Beragamnya besaran transaksi yang muncul dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Terdapat beberapa penelitian yang menganalisa faktor yang mempengaruhi biaya transaksi. Pada penelitian Masuko dan Marufu (2003) diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi biaya transaksi adalah jumlah pinjaman dan pengalaman meminjam. Hal tersebut didukung penelitian Hosseini et al. (2012) dari analisis ekonometrik pada biaya transaksi, diketahui bahwa biaya transaksi akan semakin tinggi seiring besarnya total dana yang dipinjam. Kondisi di lapang memperlihatkan nilai biaya transaksi meningkat seiring jumlah pinjaman yang semakin besar. Hal ini berkaitan dengan proses negosiasi untuk mendapatkan pinjaman yang lebih besar. Pihak pemberi dana akan memberikan persyaratan yang lebih ketat seiring dengan meningkatkan jumlah dana yang dipinjamkan. Berbeda jika dihitung dengan biaya per unit karena peningkatan jumlah pinjaman malah akan menurunkan biaya transaksi per unit pinjaman.
13 Demikian pula dengan pengalaman meminjam, variabel ini dianggap menjadi salah satu faktor penentu biaya transaksi. Diasumsikan bahwa peminjam yang berpengalaman cenderung lebih mudah dalam menghadapi rintangan dalam bernegosiasi dan memperoleh pinjaman dari bank. Hal demikian terjadi karena informasi sebelumnya yang dimiliki peminjam dapat digunakan kembali dalam proses transaksi berikutnya sehingga biaya pencarian informasi dapat ditekan. Selain itu rekam jejak pembayaran yang baik akan menempatkan peminjam pada daftar preferensi bank sehingga proses transaksi berjalan lebih lancar dan cepat. Dengan demikian biaya transaksi yang akan dikeluarkan oleh peminjam yang berpengalaman dapat ditekan. Jadi pengalaman meminjam berpengaruh negatif terhadap biaya transaksi. Menurut Hosseini et al. (2012) variabel yang mempengaruhi biaya transaksi adalah jarak ke lembaga pembiayaan, pendidikan dan usia. Variabel jarak berpengaruh positif terhadap biaya transaksi, semakin jauh jarak untuk melakukan transaksi maka biaya transaksi yang harus dikeluarkan semakin tinggi. Jarak dari tempat tinggal ke lembaga pembiayaan mempengaruhi biaya transaksi karena terkait dengan biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk mengurus proses transaksi. Permasalahan pada jarak dapat diatasi dengan perbaikan infrastruktur dan memperbanyak jumlah cabang dari lembaga keuangan sehingga dapat meringankan beban biaya transportasi untuk bertransaksi bagi petani (Abiad et al. 1988). Variabel berikutnya yang berpengaruh terhadap biaya transaksi adalah variabel usia dan pendidikan. Variabel ini merupakan karakteristik dari petani yang bukan merupakan komponen biaya transaksi namun secara signifikan dapat mempengaruhi besaran biaya transaksi. Hal ini diperkuat oleh Pingali et al. (2005) yang menyebutkan terdapat beberapa variabel dari karakteristik yang berpengaruh terhadap biaya transaksi yakni sikap enggan menghadapi risiko serta ketidakpastian, keterlibatan pada hubungan sosial maupun organisasi, usia, jenis kelamin dan pendidikan. Variabel-variabel tersebut mempengaruhi proses pencarian informasi, negosiasi, monitoring dan penegakan kontrak pada pelaksanaan transaksi sehingga berpengaruh pula pada besaran biaya transaksi. Pada variabel pendidikan, semakin tinggi pendidikan yang didapat oleh seseorang maka perolehan informasi yang dimiliki semakin luas sehingga hal tersebut akan berpengaruh pada perilakunya dalam bertransaksi seperti kelihaian dalam bernegosiasi. Semakin banyak informasi yang dimiliki maka akan semakin mudah proses transaksi yang dilakukan. Pada variabel hubungan sosial pelaksanaan peminjaman modal secara berkelompok juga dapat mengurangi biaya transaksi. Hal ini disebabkan karena dengan bergabungnya beberapa peminjam yang diproses dalam satu transaksi besar menyebabkan biaya yang muncul lebih ringan. Keterlibatan pada hubungan sosial maupun organisasi dapat menekan adanya biaya transaksi karena adanya penggunaan sumberdaya (informasi maupun tenaga) secara bersama-sama. Pada penelitian Abiad et al. (1988) terdapat variabel yang mempengaruhi biaya transaksi yakni tipe bank dan jarak. Variabel jarak telah diuraiankan pada tulisan di atas sedangkan berdasarkan tipe bank, bank khusus sektor pertanian (rural bank) menghasilkan biaya transaksi lebih tinggi dibandingkan tipe bank lain. Bank sektor pertanian merupakan lembaga keuangan yang dibentuk untuk memfasilitasi kredit di wilayah tepi kota. Tingginya biaya terjadi seiring dengan
14 besarnya jumlah supervisi serta program-program penyalur kredit khusus, sejumlah proses dan dokumentasi terkait proses peminjaman. Maka dari itu pemerintah harus menghubungkan dan memfasilitasi pihak lembaga keuangan formal dengan peminjam dari sektor informal untuk mengatasi biaya transaksi yang tinggi. Variabel berikutnya lama pinjaman, variabel ini dapat berpengaruh pada biaya transaksi untuk mendapatkan pinjaman mengingat bahwa peminjam dapat melakukan beberapa kali kunjungan ke bank ketika melakukan transaksi pengembalian pinjaman. Bervariasinya lama pinjaman yang dilakukan oleh nasabah akan mempengaruhi biaya paska transaksi pembiayaan (Olomola 1999). Dari penelitian di atas variabel penentu yang dapat mempengaruhi biaya transaksi yakni jumlah pinjaman, pengalaman meminjam, jarak ke lembaga keuangan, tipe bank, serta variabel karakteristik yang meliputi pendidikan, usia dan hubungan sosial maupun organisasi. Beberapa variabel yang akan digunakan sebagai variabel penentu biaya transaksi pada penelitian ini yaitu jumlah pinjaman, pendidikan, jarak, keanggotaan kelompok tani, lama pinjaman dan pengalaman meminjam.
3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Tinjauan teoritis berikut ini merupakan bahan kajian yang sistematis dan telah diuji kebenarannya yang kemudian akan digunakan sebagai landasan berpikir di dalam penelitian biaya transaksi Sistem Resi Gudang gabah. Evolusi Teori Ekonomi Di dalam aktivitas ekonomi, konsep biaya transaksi telah mengalami berbagai perkembangan, diawali oleh pemikiran Coase (1937) mengenai adanya biaya transaksi yakni biaya yang timbul dalam mengkoordinasikan aktivitas ekonomi yang menggunakan mekanisme harga. Setelah konsep biaya transaksi diintroduksi oleh Ronald Coase, selanjutnya konsep ini terus mengalami perkembangan di tahun 80an hingga tahun-tahun berikutnya oleh Williamson, North, Ostrom dan peneliti lainnya. Biaya transaksi mulai muncul akibat dari adanya pergeseran konsep ekonomi neoklasik dan ekonomi lama menuju ekonomi kelembagaan baru (New Institutional Economics) atau disingkat NIE. Konsep NIE menjelaskan bahwa biaya yang muncul pada kegiatan ekonomi, tidak saja berpusat pada sisi variabel produksi saja namun ada biaya-biaya lain yang biasanya muncul namun tidak terhitung yakni biaya proses pertukaran (biaya transaksi). Konsep ini mengabaikan sebagian asumsi dari teori neoklasik yang menyatakan bahwa di pasar tercipta informasi yang sempurna serta bersifat merata, tidak adanya biaya transaksi (nol) dan adanya rasionalitas yang lengkap (North 1990; Williamson 1996; Furubotn dan Richter 2005). Menurut Furubotn dan Richter (2005) konsep New Institution Economic (NIE) dipengaruhi kuat oleh beberapa konsep dan hipotesis yang tertuang secara singkat sebagai berikut:
15 1.
2.
3.
4.
5.
Individualisme metodologis: Konsep ini berkaitan dengan peran individu yang selalu melakukan pengambilan keputusan (decision maker). Konsep ini menekankan bahwa setiap orang berbeda-beda sehingga akan menghasilkan selera, tujuan dan ide-ide yang berbeda pula. Oleh karena itu, implikasinya adalah bahwa fenomena sosial harus dimulai dengan penjelasan terkait pandangan dan perilaku anggota individu yang tindakannya menimbulkan fenomena yang akan dipelajari. Pemaksimalan (the maximand): Konsep ini menekankan bahwa individu diasumsikan selalu berusaha memenuhi kepentingan mereka sendiri dan memaksimalkan kepuasannya tersebut hingga batasan yang ada. Di dalam teori neoklasik, dimana pada teori consumer choice dan teori of the firm pemaksimalan utilitas berakhir pada batasan pilihan individu (individual choice). Sedangkan pada konsep ekonomi baru pada pembuat keputusan, baik itu seorang manajer sebuah perusahaan kapitalis, birokrat negara, politisi, atau apa pun, diduga dalam membuat pilihan sendiri dan mengejar tujuannya masih berada didalam batas-batas diizinkan oleh struktur organisasi dimana ia beroperasi. Rasionalitas individu: Menurut pakar ekonomi terdapat dua macam literatur terkait pendekatan yang mengungkap mengenai konsep rasionalitas individu. Teori yang pertama sering ditemui dalam tradisional neoklasik ekonomi yakni rasionalitas individu yang sempurna. Asumsinya bahwa seluruh pembuatan keputusan (decision maker) terjadi secara konsisten dan preferensinya stabil baik itu oleh konsumen, interpreneur maupun birokratik sehingga mudah untuk diramalkan keadaan yang akan terjadi dimasa mendatang. Namun untuk pendekatan yang lebih sesuai dengan dunia nyata (real world) maka teori mengenai rasionalitas individu yang tidak sempurna (imperfect individual rasionality) yang dirasa lebih tepat. Dari perspektif ini diketahui bahwa preferensi seseorang untuk membuat keputusan adalah tidak lengkap dan bahwa seseorang cenderung melakukan perubahan keputusan dari waktu ke waktu. Williamson (1975) secara konsisten menekankan bahwa pentingnya biaya transaksi didalam hubungan ekonomi yakni untuk menghadapi keterbatasan rasionalitas dalam pengambilan keputusan akibat dari adanya perilaku-perilaku oportunistik. Perilaku oportunistik: Williamson (1975) berpendapat bahwa beberapa individu cenderung bersifat tidak jujur. Dalam arti bahwa mereka dapat menyamarkan preferensi, mendistorsi data, atau sengaja membingungkan masalah. Sulitnya membedakan aktor yang oportunistik dengan yang tidak menyebabkan pentingnya kontrak yang komprehensif untuk dilakukan didalam pertukaran ekonomi. Masyarakat ekonomi: Dari sudut pandang yang paling umum, masyarakat ekonomi dapat dikatakan melibatkan individu dan seperangkat aturan formal atau informal atau norma yang menetapkan sanksi hak properti (property right) untuk setiap anggota masyarakat. Property right menurut para ekonom secara umum yakni merangkul hak untuk menggunakan dan memperoleh manfaat dari benda-benda fisik maupun karya intelektual dan hak untuk menuntut perilaku tertentu dari orang lain. Hal tersebut menyebabkan adanya pelaksanaan kontrak. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga isi dari perjanjian kinerja kontrak atau perjanjian pinjaman
16
6.
7.
8.
9.
10.
(loan agreement) supaya dipenuhi para pelaku yang terikat kontrak. Masyarakat harus peduli dengan hak-hak kontrak dan pengaturan sosial yang mengatur pengalihan hak milik tersebut. Struktur pemerintahan: Adanya penyusunan hak kepemilikan didalam perekonomian telah ditentukan dan dijamin oleh struktur pemerintahan berupa order (perintah). Maksud “perintah” dapat dipahami sebagai suatu sistem aturan formal atau informal dan ditambah instrumen yang berfungsi untuk menegakkan aturan. Institusi ekonomi biasanya berhubungan dengan sistem yang membatasi kemungkinan perilaku suatu individu melalui adanya penggunaan sanksi. Sanksi dapat ditetapkan sendiri oleh hukum maupun oleh adat (termasuk penegakan sosial kode etik, moral dan perilaku). Institusi: konsep “Institusi” didefinisikan sebagai seperangkat aturan formal dan informal, termasuk pengaturan penegakannya. Tujuan dari aturan (institution) yakni untuk mengarahkan perilaku individu ke dalam arah tertentu. Dalam upaya mewujudkan tujuan ini, “institusi” memberikan struktur yang dapat diterapkan pada aktivitas sehari-hari sehingga dengan demikian mengurangi adanya ketidakpastian didalam hubungan manusia (North 1990). Jika institusi/aturan ini memberikan suatu dampak maka institusi dapat dijadikan sebagai sebuah alat untuk mengurangi ketidakpastian, menyederhanakan pembuatan keputusan dan menganjurkan adanya kerjasama antar agen sehingga biaya koordinasi ekonomi dan aktivitas lainnya dapat ditekan lebih rendah. Evolusi institusi: institusi merupakan produk keluaran dari suatu kegiatan kolektif. Terdapat dua pendekatan untuk menjelaskan yakni institusi sebagai produk yang dikeluarkan secara spontan yang berupa aturan informal dan yang dikeluarkan secara terencana berupa aturan formal. Organisasi: Institusi (aturan formal dan informal) beserta dengan sekelompok orang yang memanfaatkannya maka dapat disebut organisasi. Terdapat organisasi yang bersifat formal (contoh: perusahaan) dan informal (contoh: market community). Faktanya tidak ada organisasi yang murni formal maupun murni informal yang dapat ditemukan di dunia nyata. Jaringan sosial (social network): Jaringan sosial terdiri dari aktor, hubungan/ikatan antar aktor, dan atribut dari aktor. Hubungan ikatan tersebut merupakan bentuk transaksi ekonomi (transaksi bisnis, pengiriman pesan dan lain-lain). Tipe atribut pada aktor dalam studi sosiologis meliputi jenis kelamin, ras, lokasi, perusahaan, dan sebagainya. Hubungan antara pelaku dapat berupa saling membalas atau tidak. Misalnya, terdiri dari pertukaran bilateral sumber daya material antar dua aktor (dari ikatan dua arah) atau dari satu sisi. Bentuk ikatan juga dapat berupa hubungan seperti asosiasi atau afiliasi antar aktor; hubungan legal (hubungan debitur/kreditur); hubungan biologis (kekerabatan, keturunan); hubungan mental (pandangan secara umum, keyakinan, budaya); dan juga kompetisi. Pada institusional ekonomi transaksi yang terjadi antara pasangan aktor dibatasi oleh adanya “perintah”, struktur tata kelola (Williamson 1985), lingkungan institusional atau aturan institusional. Dengan kata lain transaksi bisnis dibatasi oleh “hubungan sosial (social relations) yang berlangsung saat itu.
17 11.
Modal sosial: Didalam pengertian ekonomi, konsep modal sosial memperlihatkan adanya nilai hubungan antara aktor dengan aktor lainnya. Terbangunnya link (hubungan) tersebut menuntut adanya sunk investment didalam hubungan sosial (social relationship). Modal sosial merupakan sebuah hubungan yang baik, dimana terdapat gabungan beberapa pihak membentuk suatu hubungan. Melalui hubungan rekan kerja, teman, atau klien akan mendatangkan peluang untuk mengubah modal keuangan dan manusia (human capital) menjadi sebuah keuntungan bisnis. Hal di atas menjelaskan bahwa konsep NIE meliputi gambaran mengenai setiap aktor ekonomi yang selalu membuat keputusan (decision maker) namun proses pengambilan keputusan tersebut dibatasi oleh informasi, kognisi/pemikiran yang dimiliki, hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya perilaku oportunistik pelaku lain. Kemudian untuk melakukan aktivitas transaksi, mereka melebur didalam masyarakat ekonomi. Terdapat beberapa aktor yang saling membentuk jaringan bisnis untuk meningkatkan nilai ekonomi dari sebuah hubungan adapula yang tidak, dimana para aktor tersebut semuanya akan mendapat batasan mengenai perilakunya yang berbentuk aturan (institution) baik formal maupun informal; aturan yang dibuat pemerintah maupun masyarakat. Aturan juga dapat terbentuk melalui adanya kontrak. Kontrak tersebut dibentuk untuk membatasi para aktor ekonomi dari perilaku oportunistik/curang (Williamson 1985). Maka melalui konsep ekonomi institusi baru (New Institutional Economics) yang merujuk pada teori institusi, diharapkan NIE mampu menekan munculnya faktor-faktor yang menimbulkan kegagalan pasar yang ada sehingga mampu meminimalisir biaya-biaya transaksi yang tercipta (North 1990). Fakta di lapang menjelaskan bahwa informasi yang dibutuhkan untuk pertukaran/transaksi tidak semua tersedia secara sempurna. Contohnya konsumen tidak mengetahui secara menyeluruh informasi mengenai produk yang ditawarkan untuknya atau petani tidak mengetahui informasi secara penuh terkait dengan kredit yang akan diambilnya. Seharusnya dalam proses pertukaran menghadirkan adanya informasi yang sama dan kepastian bahwa informasi tersebut cukup untuk mendukung transaksi sehingga tidak menimbulkan biaya pencarian informasi tambahan. Namun nyatanya yang sering muncul adalah ketidakpastian. Dimana informasi yang tersampaikan tidak sempurna, kemudian adanya rasionalitas yang terbatas, serta perilaku oportunistik dan pasar yang tidak sempurna yang dapat membahayakan struktur pertukaran pasar sehingga hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya kegagalan pasar (menimbulkan inefisiensi). Padahal setiap hari pelaku bisnis akan menghadapi banyak transaksi yang besar kecilnya biaya transaksi tersebut akan bergantung kepada bagaimana pengelolaannya (Shah dan Manoj 2007). Jika tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan kerugian bagi pelaku bisnis tersebut. Proses terbentuknya konsep NIE tersebut tertuang pada Gambar 1.
18 Kondisi pasar: - Informasi - Biaya transaksi - Rasionalitas para pelaku
New institution economics: - Informasi tidak sepenuhnya sempurna - Adanya biaya transaksi - Rasionalitas para pelaku terbatasa
Neoclassical economics: - Informasi sempurna - Biaya transaksi nol - Rasionalitas para pelaku tidak terbatas
Menyebabkan kegagalan pasar(tidak efisien)b Adanya peran institusi untuk menciptakan kesepakatan antar unit ekonomi untuk mengelola kegiatan, sehingga dapat menanggulangi ketiga kondisi keterbatasan pasar di atasc Gambar 1 Teori institusi di dalam pasar pertukaran ekonomi Sumber: aWilliamson 1996.; bFurubotn dan Richter 2005.; cNorth 1990
Komponen Biaya Transaksi Merujuk kepada definisi biaya transaksi sebelumnya, menurut Coase (1937) biaya transaksi yakni biaya yang timbul dalam mengkoordinasikan aktivitas ekonomi yang menggunakan mekanisme harga. Biaya-biaya (costs) yang dikeluarkan ini dapat berupa waktu maupun sumberdaya yang biasanya diukur/dikonversikan dengan satuan mata uang dalam melaksanakan suatu transaksi (pertukaran hak kepemilikan) yang berupa barang, jasa maupun hak intelektual. Definisi transaksi sendiri menurut Zylbersztajn (2003) pada karya tulisnya menyimpulkan transaksi sebagai mekanisme kompleks yang terjadi pada saat pertukaran hak kepemilikan. Transaksi ini meliputi banyak dimensi dan terikat dengan seperangkat norma baik yang bersifat formal maupun informal. Suatu aktivitas dapat dipertimbangkan sebagai sebuah bentuk transaksi yakni pada setiap pertukaran didalam hak kepemilikan/property right yang terlihat/tangible (contoh: tanah, peralatan modal, tenaga kerja) maupun tidak terlihat/intangible (contoh: ide, formula) pada sumberdaya produktif. Beberapa contoh dari transaksi ialah: 1. Transaksi yang dilakukan antara industri kecil dengan pemerintah untuk mendapatkan ijin usaha (license) 2. Transaksi yang dilakukan untuk mendapatkan hak paten suatu penemuan genetik 3. Transaksi yang dilakukan antara dua pemerintahan untuk mendapatkan hak akses pasar (seperti kesepakatan AFTA dan NAFTA) 4. Transaksi yang dilakukan untuk mendapatkan hak mendapatkan akses kredit yang diberikan pemerintah untuk petani kecil.
19 Menurut Zylbersztajn (2003) untuk mempermudah pengukuran dari biaya transaksi berdasarkan komponennya, maka akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai beberapa dimensi yang menjadi ruang lingkup dari biaya transaksi: 1. Dimensi biaya transaksi meliputi biaya sebelum kontrak (ex-ante) dan setelah kontrak (ex-post). Biaya transaksi sebelum kontrak meliputi biaya membuat draf, negosiasi, dan mengamankan kesepakatan. Sedangkan biaya transaksi ex-post meliputi: (1) Biaya kegagalan adaptasi yakni ketika terjadi penyimpangan dari kesepakatan yang telah dilakukan; (2) Biaya negosiasi/tawar-menawar yang dilakukan kedua belah pihak untuk mengoreksi penyimpangan setelah kontrak (ex-post); (3) Biaya untuk mengelola perjanjian secara hukum apabila terjadi sengketa; dan (4) Biaya pengikatan agar komitmen yang telah dilakukan bisa dijamin. 2. Terdapat 3 tipe biaya transaksi yakni biaya transaksi pasar, biaya transaksi manajerial dan biaya transaksi politik. Aktivitas pertukaran individu di dalam usahanya akan menghasilkan biaya transaksi manajerial (managerial transaction costs), sedangkan aktivitas yang berkaitan untuk individu tersebut masuk pasar akan memunculkan biaya transaksi pasar (market transaction costs). Selama kelembagaan yang bersifat hukum turut berperan di dalamnya, maka biaya-biaya yang diasosiasikan untuk menjalankan dan menjaga kerangka kelembagaan berdasarkan hukum agar tetap tersedia, maka transaksi tersebut menciptakan biaya transaksi politik (political transaction costs). 3. Kekompleksan pada mekanisme pemerintahan akan menciptakan dimensi yang beragam dari transaksi. Menurut Furubotn dan Richter (2005) terdapat tiga fase/tahap di dalam transaksi berdasarkan kelompok aktivitas dari biaya transaksi yakni a) Fase prakontraktual (pencarian informasi dan inspeksi), b) Kontrak (the conclusion of contracts), c) Fase paska-kontraktual (menjalankan, mengontrol dan penegakan kontrak). Di dalam ketiga fase tersebut terdapat berbagai proses aktifititas transaksi yakni meliputi kegiatan berupa pencarian informasi, mengevaluasi alternatif pilihan, negosiasi, melaksanakan kontrak, administrasi, memonitoring selama terjadinya pertukaran, pelaksanaan transaksi fisik secara langsung serta menyelesaikan kemungkinan terjadi adanya perselisihan (Shah dan Manoj 2007). Menurut Anggraini (2005) yang menganalisis biaya transaksi pada nelayan dan petani, disebutkan bahwa biaya yang mencakup biaya proses transaksi ada empat yakni pertama, biaya pencarian (search cost) yakni biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan informasi pasar, kedua, biaya negosiasi yakni biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi syarat perundingan yang terkait transaksi/pertukaran, tiga, biaya penegakan (enforcement cost) kontrak yakni biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan kontrak sesuai dengan kesepakatan, dan empat biaya monitoring kontrak yang dibuat. Sedangkan Eggertsson (1990) membagi aktivitas biaya transaksi menjadi enam yakni pencarian informasi, tawar menawar (bargaining), membuat kontrak, memonitor kontrak, penegakan kontrak yang telah disepakati (terhadap pihak kedua) dan proteksi hak kepemilikan (terhadap pihak ketiga). Furubotn dan Richter (2005) juga menjelaskan secara rinci empat aktivitas dari fase transaksi sebagai berikut: 1. Biaya pencarian dan informasi: seorang individu pada saat terjun ke pasar maka akan mempertimbangkan dengan siapa akan melakukan kesepakan
20 dan proses pencarian tersebut akan menimbulkan biaya. Biaya ini bisa saja meningkat seiring gencarnya usaha individu tersebut untuk mendapatkan informasi yang ada (seperti dengan mendatangi prospektif penjual/pembeli secara langsung). Termasuk juga biaya komunikasi antar pihak-pihak yang terkait untuk melakukan pertukaran (contoh biaya surat atau pengeluaran biaya telepon/pulsa). 2. Biaya pertukaran (bargaining) dan pemilihan (decision): biaya yang berhubungan dengan kategori ini yakni pengeluaran yang dikeluarkan ketika kontrak ditulis dan pihak yang terkait akan melakukan tawar menawar serta bernegosiasi mengenai ketentuan dan syarat di dalam kontrak yang dibuat. Tidak hanya waktu yang diperlukan di dalam proses ini namun juga konsultan yang handal (sehingga dibutuhkan biaya nasehat (advice) yang mahal) mungkin dibutuhkan dalam proses. Di dalam kasus informasi yang tidak simetris (adanya pihak-pihak di dalam proses tawar menawar yang memiliki informasi secara privat) dapat menimbulkan hasil yang tidak efisien. Faktanya di lapang terjadi kasus yang berbeda-beda, dimana kontrak yang legal dapat menciptakan suatu kerumitan ataupun malah mampu menyederhanakan proses yang ada. Biaya pembuatan pilihan (decision) meliputi biaya-biaya untuk mengumpulkan informasi-informasi yang ada menjadi informasi yang berguna, biaya kompensasi untuk konsultan (adviser), biaya mencapai keputusan dalam kelompok dan sebagainya. Dapat disimpulkan pula bahwa kekompleksan dan mahalnya kontrak akan ditentukan oleh kondisi persaingannya yang ada. 3. Biaya supervisi dan penekanan (enforcement) kontrak: biaya-biaya ini muncul disebabkan perlunya memonitor kesepakatan yang dilakukan sepanjang waktu yang ditentukan. Informasi berperan penting disini karena perilaku curang serta oportunistik dari salah satu pihak mampu mencederai kontrak kesepakatan yang dibuat dan akan menghasilkan kerugian bagi pihak lain yang dicurangi. Potensi untuk menghindari perilaku oportunistik ini dapat dicegah dengan pengaturan kelembagaan yang tepat serta kekuatan pada proses awal sebelum kontrak dilaksanakan (ex-ante). 4. Biaya investasi hubungan sosial: struktur internal sosial jelas sangat terkait di dalam konsep kelembagaan ekonomi baru. Individu selalu terhubungan dengan hubungan sosial yang kompleks baik secara bisnis maupun nonbisnis, lemah maupun kuat, bernilai rendah maupun tinggi, langsung maupun tidak langsung. Struktur sosial membantu untuk mengurangi ketidakpastian, informasi yang kompleks, dan rasionalitas yang terbatas para pihak. Kuatnya hubungan, prestis serta status individu berpengaruh di pasar. Para pemain baru akan ditantang untuk menempatkan dirinya pada suatu pasar menghadapi pemain lain yang telah berada disana. Membangun hubungan dengan mereka akan menciptakan investasi dalam hubungan sosial (pembentukan modal sosial) dan ini akan mempengaruhi biaya-biaya transaksi yang akan dilakukan dimasa depan. Dari berbagai aktivitas tersebut, akan dibagi lagi menjadi dua macam komponen biaya berdasarkan cara pengukurannya yakni menjadi biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya transaksi eksplisit adalah biaya transaksi yang dapat diperhitungkan bahkan sebelum terjadinya transaksi (Tabel 2). Biaya eksplisit ini
21 terbagi lagi menjadi dua yakni langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Biaya langsung adalah biaya yang dapat dikendalikan pelaku transaksi, biaya ini berupa biaya komisi untuk broker, biaya pasar, biaya kliring maupun biaya kewajiban materai. Sedangkan biaya yang tidak langsung (indirect) adalah biaya yang dapat dipastikan adanya namun tidak dapat dikendalikan oleh pelaku transaksi. Biaya ini berupa biaya ketidakpastian atau risiko yang akan dihadapi saat transaksi berlangsung. Tabel 2 Komponen-komponen biaya dari perhitungan biaya transaksi eksplisit dan implisita Biaya transaksi eksplisit Komisi Broker Upah Pasar (Market Fees) Biaya lelang Kewajiban Pajak/materai
a
Biaya transaksi implisit Selisih harga jual dan beli (Bid-Ask Spread) Pengaruh Pasar (Market Impact) Biaya korbanan operasional Biaya korbanan untuk Market Timing Opportunity Cost Biaya korbanan akibat Missed Trade Opportunity Cost
Sumber: D’Hond dan Giraud (2008)
Berkebalikan dengan biaya eksplisit, biaya implisit merupakan biaya yang tidak dapat ditentukan terlebih dahulu karena cenderung masuk bersama harga dagang (trade price). Biaya ini bergantung kepada karakteristik relatif perdagangan dan kondisi pasar yang berlaku sehingga biaya ini berhubungan secara kuat dengan strategi perdagangan. Sebagai variabel, biaya implisit memberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan kegiatan transaksi melalui strategi dagang para pelaku sehingga menghasilkan biaya yang lebih rendah. Biaya ini memang agak sulit diidentifikasi. Komponen dari biaya implisit salah satunya adalah biaya peluang/kesempatan (opportunity cost) dimana biaya ini berhubungan dengan fluktuasi harga karena ada korbanan waktu. Jadi opportunity cost merupakan pengukuran biaya korbanan dari pelaku transaksi akibat meninggalkan kesempatan lain (D’Hondt dan Giraud 2008). Shah dan Manoj (2007) menjelaskan bahwa terdapat dua cara untuk menghitung biaya transaksi yakni dengan pengukuran (measurement) biaya transaksi dan perkiraan (estimation) biaya transaksi. Pada proses pengukuran (measurement) biaya transaksi, nilai yang akan didapatkan berupa nilai tunggal sama seperti biaya eksplisit. Nilai yang dihasilkan dapat berupa nilai tunggal karena biaya eksplisit merupakan biaya yang prosesnya sudah terjadi. Sedangkan pada penentuan biaya transaksi dengan cara memperkirakan (estimation) dilakukan melalui perhitungan yang berupa memperkirakan kemungkinankemungkinan biaya yang diduga hasil dari transaksi serta parameter risiko yang dihadapi. Proses memperkirakan nilai biaya dilakukan karena memang pelaksanaan transaksi belum terjadi. Dalam menyederhanakan pemahaman, maka pada Gambar 3 terdapat kerangka pemikiran terkait biaya transaksi yang telah dijelaskan oleh berbagai ahli.
22
Unit individu
transaksi
Biaya transaksi
Tujuan: Property Right Transfer - Tangible asset (berwujud): lahan, modal - Intangible asset (tidak berwujud): ide, 2 jasaa
Fase dan aktifitas yang dilakukanb: - Pra-kontraktual: investasi hubungan sosial (social capital), pencarian informasi, evaluasi, tawar-menawar, negosiasi - Kontrak: pelaksanaan, administrasi, pencegahan terjadinya cedera kontrak/proteksi hak milik - Paska-kontraktual: penegakan kontrak, monitoring, kontrol Perhitungan Explisit: dapat langsung dihitungcd
Implisit: tidak dapat langsung dihitung sebelum terjadicd
-Direct:dapat dikendalikan -Indirect:tidak dapat dikendalikan Gambar 2 Ruang lingkup dari biaya transaksi Sumber: aZylbersztajn 2003.; bFurubotn dan Richter 2005.; cShah dan Manoj 2007.; dD’Hond dan Giraud 2008
Besaran biaya transaksi harus dianalisis karena biaya ini dapat merubah investasi yang berkeuntungan tinggi menjadi berkeuntungan rendah ataupun tanpa keuntungan karena munculnya biaya transaksi yang tidak terhitung. Analisis biaya transaksi secara ekonomi terbukti sukses untuk digunakan di dalam membuat pilihan pada suatu kelembagaan. Terutama ketika memilih melakukan suatu kontrak barang maupun jasa di dalam pasar pertukaran, membuat format sebuah strategi aliansi maupun menyusun aktivitas integrasi dengan suatu unit usaha (Nanka-Bruce 2004). Konsep Kegiatan Kolektif (Collective Action) Definisi kegiatan kolektif (collective action) menurut Hardin (1982) adalah kondisi dimana terdapat aktivitas beberapa individu yang bergabung bersama yang bertujuan untuk mencapai kepentingan bersama sehingga bukan hanya sekedar sebuah grup yang terorganisir. Keterkaitan institusi dan collective action adalah bahwa institusi merupakan hasil dari tindakan kolektif. Dalam kondisi nyata, kegiatan kolektif (collective action) dapat dilakukan oleh organisasi petani, asosiasi petani, kelompok tani atau dengan kelompok informal petani karena berbagai alasan, seperti mengurangi biaya transaksi untuk mengumpulkan informasi tentang inovasi (supaya lebih berkelanjutan) pada praktek produksi, untuk mematuhi undang-undang, mengambil peluang pasar yaitu untuk menegosiasikan harga premium dengan saluran distribusi yang besar.
23 Manfaat utama dari kegiatan kolektif adalah kemungkinan berbagi pengetahuan dan pembelajaran bagi para pemangku kepentingan yang berlangsung dalam inisiatif kolektif. Dalam banyak kasus pendekatan kerjasama bergantung pada besarnya pengetahuan yang dimiliki pelaku dan kemungkinan untuk mengintegrasikan pengetahuan ini ke dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, tindakan kolektif selain dapat meningkatkan kredibilitas dan legitimasi pengambilan keputusan, namun juga dapat memudahkan pengumpulan dan berbagi informasi dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan pendekatan secara individual. Sebagai contoh pada pelaksanaan Sistem Resi Gudang, terdapat dua pola cara petani untuk berpartisipasi kedalam program Sistem Resi Gudang. Pertama, petani non kelompok yang berpartisipasi secara individu, umumnya yang memiliki kuantitas gabah simpan dalam jumlah besar. Kedua, petani yang memiliki jumlah gabah sedikit biasanya bergabung atas nama kelompok tani. Melalui kelompok tani, para petani sebagai anggota kelompok diupayakan untuk menghasilkan komoditi dengan kualitas yang seragam sehingga dapat menyimpan gabah dalam satu resi atas nama kelompok. Dengan kualitas yang sama, petani kecil yang hanya memproduksi komoditi dibawah ketetapan penyimpanan akan terfasilitasi untuk menyimpankan komoditinya di gudang SRG bersama-sama (collective) dengan anggota kelompok tani yang lain. Demikian terlihat pentingnya pelaksanaan kegiatan kolektif supaya dapat akses ke suatu program pemerintah. Pelaksanaan kolektif (collective action) tersebut menurut Furubotn dan Richter (2005) merupakan salah satu bentuk dari aktivitas transaksi yang berbentuk investasi berupa modal sosial. Aktivitas tersebut diketahui mampu mengurangi biaya transaksi yang tercipta. Hal tersebut terjadi karena adanya semacam struktur sosial yang dapat membantu dalam mengurangi hambatan yang berupa ketidakpastian, informasi yang kompleks, dan rasionalitas yang terbatas dari berbagai pihak. Demikian dengan keanggotaan kelompok tani, keikutsertaan petani sebagai anggota kelompok dapat menjadi investasi dalam hubungan sosial (pembentukan modal sosial) dan ini akan mempengaruhi biaya-biaya transaksi yang akan dilakukan dimasa depan. Maka dua pola partisipasi tersebut akan dipelajari lebih dalam untuk membuktikan fungsi keanggotaan kelompok tani terhadap besaran biaya transaksi. Kerangka Pemikiran Operasional Dari kerangka pemikiran teoritis dan tinjauan pustaka yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disusun sebuah kerangka operasional untuk penelitian yang dilakukan. Disebutkan bahwa tujuan dari penelitian ini yakni untuk menganalisis biaya transaksi pada kelembagaan Sistem Resi Gudang dan keuntungan Sistem Resi Gudang. Sistem Resi Gudang menarik untuk diteliti karena kemunculan sistem ini merupakan bentuk tanggungjawab pemerintah terhadap kesejahteraan petani khususnya dalam mengatasi permasalahan harga rendah dan keterbatasan akses pembiayaan. Solusi harga rendah dihadapi dengan tunda jual sedangkan keterbatasan akses pembiayaan dihadapi dengan kredit bersibsidi berbasis resi gudang. Dengan solusi tunda jual petani dapat menyimpan hasil panennya sementara dan selagi menunggu harga mulai meningkat petani
24 dapat mengagunkan bukti penyimpanan berupa Resi Gudang (RG) dengan nilai peminjaman sebesar 70 persen dari nilai barang yang disimpan. Kredit berbasis resi gudang ini juga mendapatkan subsidi bunga dari pemerintah sehingga petani hanya membayar bunga sebesar 6 persen pertahun (0.5 persen per bulannya). Dengan kemudahan akses terhadap pembiayaan eksternal ini diharapkan petani mampu memanfaatkan sebaik-baiknya modal yang didapat untuk keberlanjutan usaha selanjutnya. Dalam pelaksanaan program Sistem Resi Gudang terjadi pertukaran property right yang menyebabkan adanya proses transaksi. Maka terlebih dahulu akan diidentifikasi transaksi-transaksi yang terdapat dalam program SRG. Setelah teridentifikasi transaksi yang muncul didalam Sistem Resi Gudang maka berikutnya dilakukan identifikasi proses serta komponen pembentuk biaya transaksi. Setiap transaksi akan melalui proses pencarian informasi, negosiasi, pelaksanaan, monitoring, penegakan kontrak (enforcement) dan proteksi property right (Eggertson 1990 dan Anggraini 2005). Setiap proses diidentifikasi untuk mendapatkan komponen yang menghasilkan biaya transaksi. Berdasarkan Hosseini et al. (2012); Furubotn and Richer (2005) dan Jagwe (2011) komponen biaya transaksi yang muncul dalam setiap proses transaksi bisa berupa biaya transportasi yang digunakan untuk melakukan seluruh proses transaksi bisa berupa uang bensin (jika memiliki kendaraan pribadi) maupun uang transportasi jika menggunakan kendaraan umum, biaya pulsa/komunikasi (upah perantara/fee trader), opportunity cost/korbanan, pajak dan materai (pajak tidak langsung untuk dokumen transaksi), kertas/fotokopi/foto dan berkas/form (paper cost). Dari komponen tersebut terdapat komponen yang dapat dihitung langsung sebelum proses transaksi terjadi (explisit cost) dan ada yang tidak dapat dihitung langsung sebelum proses transaksi berlangsung (implisit cost). Namun karena dalam penelitian ini petani telah melaksanakan proses transaksi didalam Sistem Resi Gudang maka pengambilan data dilakukan wawancara recall untuk menggali kembali data terkait biaya eksplisit maupun biaya implisit. Besaran biaya transaksi harus diperhitungkan karena besar kecilnya nilai tersebut akan berpengaruh terhadap keuntungan yang akan didapat petani. Diperlukan analisis rasio antara biaya transaksi dan keuntungan untuk melihat keefektifan dari sistem. Biaya transaksi yang efektif tercermin dari rasio keuntungan yang tinggi dibanding biaya. Keuntungan pada tunda jual akan diukur dari selisih harga jual dan harga simpan. Selain itu akan dilihat alokasi penggunaan pembiayaan, lebih mengarah ke hal produktif atau konsumtif. Tujuan terakhir akan dianalisis faktor yang mempengaruhi biaya transaksi yang muncul. Menurut Masuko dan Marufu (2003); Abiad et al. (1988); Olomola (1992), Hosseini et al. (2012) dan Pingali et al. (2005) faktor yang mempengaruhi biaya transaksi adalah pengalaman meminjam kredit, persentase biaya transaksi per pinjaman (loan size), jenis bank, jarak ke bank, jangka waktu peminjaman, hubungan sosial dan pendidikan. Hasil yang diperoleh dapat dijadikan masukan bagi para pemegang kepentingan di kelembagaan SRG. Supaya tercipta desain pengelolaan biaya transaksi yang tepat sehingga menjadi biaya yang efektif dan efisien serta mampu memberikan insentif yang tinggi bagi petani.
25
Petani
Faktor-faktor yang memengaruhi biaya transaksi: Pengalaman kredit Pendidikan formal Keanggotaan kelompok tani Besaran kredit Jarak ke bank Jangka waktu kredit
Transaksi Sistem SRG Transaksi keanggotaan kelompok tani Transaksi kepemilikan resi gudang Transaksi pembiayaan berbasis resi gudang
Pelaksanaan Sistem Resi Gudang (SRG)
Biaya transaksi
Keuntungan SRG
Partisipasi SRG: - Tunda jual - Pembiayaan
Masukan dan saran terkait biaya transaksi dan efektifitas program bagi petani untuk keberlanjutan Sistem Resi Gudang (SRG)
Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional
4 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sistem Resi Gudang Niaga Mukti Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat. Pemilihan Jawa Barat dilakukan secara purposive, dengan mempertimbangkan bahwa wilayah ini merupakan daerah yang memiliki produktivitas dan penghasil padi tertinggi di Indonesia pada tahun 2013 (dapat dilihat pada Tabel 3). Sedangkan Sistem Resi Gudang Niaga Mukti dipilih karena merupakan salah satu gudang yang dibangun pemerintah dengan jumlah komoditi simpan tertinggi di wilayah Jawa Barat (Tabel 4) dan masih aktif melakukan kegiatan simpan gabah. Tabel 3 Data produksi padi di sentra-sentra penghasil padi nasional tahun 2013a No. Sentra Produksi 1 2 3 4 5 6 7 a
Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Sulawesi Selatan Sumatra Utara Sumatra Selatan Lampung
Sumber: BPS (2015)
Produktivitas (ku/ha) 59.53 59.15 56.06 51.22 50.17 45.96 50.26
Produksi (ton) 12 083 162 12 049 342 10 344 816 5 035 830 3 727 249 3 676 723 3 207 002
26 Selain itu hal yang membedakan SRG di Cianjur dengan SRG lain di Indonesia adalah pengelolanya berbentuk koperasi. Berdasarkan data yang ada, sebagian besar gudang SRG dikelola oleh PT Pertani yakni sebanyak 37 gudang yang tersebar diberbagai wilayah Indonesia. Jumlah tersebut jauh jika dibandingkan dengan gudang yang dikelola oleh koperasi yakni hanya berjumlah 3 gudang yang berada di Cianjur, Subang dan NTB. Tabel 4 Jumlah gabah/beras yang tersimpan di gudang SRG yang dibangun oleh pemerintah Kabupaten/kota
Jenis gudang
Cianjur Subang Indramayu Losarang Bogor Sumedang tomo a
Flat Flat Flat Flat Flat
Kapasitas 1500 1500 1500 1500 1500
Komoditi Gabah/beras Gabah/beras Gabah/beras Gabah/beras Gabah/beras
Jumlah komoditi (ton) 5 262.88 1 742.40 227.75 95 75
Sumber: BAPPEBTI (2015)
Koperasi Niaga Mukti merupakan koperasi yang pertama mendapatkan ijin untuk menjadi pengelola di tahun 2013. Pengelola yang berbentuk koperasi menarik untuk dikaji karena selaras dengan tujuan utama SRG, koperasi memiliki asas tujuan yang sama yakni untuk mensejahterakan anggotanya. Sehingga diharapkan pengelolaan SRG oleh koperasi dapat memperlihatkan model kelembagaan yang efektif dan efisien yang berdampak pada nilai biaya transaksi yang rendah. Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada bulan MaretAgustus 2015. Metode Penentuan Sampel Pada penelitian ini metode yang digunakan untuk menentukan sampel yakni menggunakan metode probability sampling dengan teknik random sampling. Populasi yang digunakan adalah keseluruhan petani yang menjadi peserta SRG Cianjur yakni petani anggota kelompok tani atau non kelompok yang telah menyimpan gabah ke gudang SRG Cianjur pada periode tahun 2014. Terdapat dua macam peserta yang tergabung didalam SRG, pertama petani non kelompok tani dimana peserta tersebut menyimpankan gabah ke gudang atas nama individu. Kedua peserta yang menyimpankan gabahnya atas nama kelompok tani. Populasi peserta berjumlah 59 petani dengan rincian petani non kelompok yang berjumlah 23 petani dan petani kelompok tani 36. Jumlah sampel ditentukan dengan pendekatan Hair et al. (1998) yakni sebesar 5-20 kali dari jumlah atribut atau variabel yang digunakan dalam penelitian. Pada penelitian ini jumlah variabel yang digunakan adalah 6 variabel sehingga total responden yang digunakan berjumlah 30 responden. Maka diambil sampel 15 orang pada masing-masing jenis peserta SRG. Pemilihan responden dilakukan dengan melakukan random sampling berdasarkan list daftar nama peserta SRG berdasarkan informasi pengelola gudang. Kelompok tani yang mengikuti SRG Cianjur yakni poktan Hegarmanah, poktan Mulya Tani dan
27 poktan Sari Tani. Dua kelompok tani berlokasi di Kecamatan Warungkondang sedangkan satu kelompok tani lainnya berada di Kecamatan Cibeber. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mengggunakan kuesioner dan observasi di lapang kepada para petani responden. Data primer yang diperoleh pada penelitian ini adalah data karakteristik, proses transaksi SRG, biaya yang dikeluarkan pada pelaksanaan transaksi SRG, biaya operasional pelaksanaan SRG, penerimaan yang didapat dari SRG dan kendala dari proses transaksi kegiatan SRG. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka, internet dan lembaga terkait seperti BAPPEBTI, Kantor SRG Niaga Mukti Warungkondang Cianjur, di Dinas perdagangan kabupaten Cianjur, dan PT Pertani. Data-data yang diperoleh dari BAPPEBTI (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) berupa data gudang dan implementasi komoditi SRG yang tersimpan di wilayah Indonesia, nilai pembiayaan berbasis resi gudang, alur kegiatan dan peran stakeholder didalam kelembagaan SRG, perundang-undangan Sistem Resi Gudang, persyaratan untuk menjadi stakeholder di SRG dan rekapitulasi resi gudang tahun 2014. Metode Analisis Data Transactional Cost Analysis (TCA) pada Sistem Resi Gudang Analisis biaya transaksi bertujuan untuk memberikan ukuran operasional biaya-biaya pada proses transaksi yang dikeluarkan ketika melakukan suatu pertukaran kepemilikan (property right). Analisis biaya transaksi dapat membantu para pelaku investasi untuk melihat seberapa baik pilihan yang telah dilakukan dan bagaimana cara agar mereka dapat mengoptimalkan kinerja. Biaya transaksi berkaitan dengan pembuatan pilihan (decision maker). Didalam pengukuran biaya transaksi, tahap-tahapan yang perlu dilakukan yakni pertama melakukan perincian kegiatan/aktivitas transaksi yang dilakukan kemudian mengidentifikasi komponen biaya dari aktivitas tersebut. Dalam penelitian ini terdapat 3 aktivitas transaksi didalam SRG Niaga Mukti yakni transaksi keanggotaan kelompok tani, transaksi penerbitan resi gudang dan transaksi pembiayaan SRG. Dari ketiga transaksi tersebut akan dijabarkan proses-proses transaksi berdasarkan teori dari Eggertson (1990), Lawson (2009) dan Anggraini (2005): pencarian informasi (information searching), tawar menawar (bargaining), membuat kontrak, memonitor kontrak, penegakan kontrak yang telah disepakati (terhadap pihak kedua) dan proteksi hak kepemilikan (terhadap pihak ketiga). Pada setiap aktivitas transaksi pertukaran ekonomi, terdapat proses yang berbeda-beda tergantung kondisi (Anggraini 2005). Maka pada penelitian ini, penelusuran awal mengenai informasi proses transaksi yang berlangsung dalam SRG didapatkan dari BAPPEBTI berdasarkan SOP SRG dan pengelola SRG. Informasi awal tersebut digunakan sebagai kerangka dasar penelusuran komponen SRG. Berikut komponen yang digunakan untuk mengukur besaran biaya transaksi:
28 Tabel 5 Komponen-komponen biaya dari proses pelaksanaan transaksi Komponen Keterangan transaksi Travel costac Biaya transportasi yang digunakan untuk melakukan seluruh proses transaksi bisa berupa uang bensin (jika memiliki kendaraan pribadi) maupun uang transportasi jika menggunakan kendaraan umum Opportunity costa Biaya yang dikorbankan akibat meninggalkan pekerjaan utama (non tunai) Taxa Pajak dan materai (pajak tidak langsung untuk dokumen transaksi) Communication Biaya pulsa/komunikasi (upah perantara/fee trader), b cost Paper costa Kertas/fotokopi/foto dan berkas/form (paper cost) Sumber: aHosseini (2012), bFurubotn and Richer (2005) dan cJagwe (2011)
Setelah komponen pada Tabel 5 didapat dari hasil breakdown proses transaksi, selanjutnya dilakukan pengukuran secara implisit dan eksplisit baik yang bernilai uang maupun waktu korbanan yang muncul dari sebuah transaksi. Dalam melakukan pengukuran maupun penaksiran, sebelumnya harus dibuat asumsi-asumsi dasar untuk mempermudah indikator pengukurannya yang mendekati kondisi di lapang. Jika keseluruhan tahapan telah dilakukan maka nilai biaya transaksi akan didapatkan dan masukan/saran terkait perhitungan dapat dirumuskan. Dalam menghitung besarnya total biaya transaksi (TrC) menurut Anggraini (2005) dirumuskan sebagai berikut: TrC = Σzij . .....................................................................................................(1.1) Dimana: zij = Unit komponen biaya transaksi TrC = Total biaya transaksi Berikutnya guna menentukan alokasi dari masing-masing komponen untuk melihat biaya tertinggi maupun terendah maka dibuat rasio. Rasio merupakan pembagian antara masing- masing komponen biaya transaksi terhadap total biaya transaksi (Z) dihitung dengan menggunakan rumus : Rasio TrC =
zij TrC
; Σzij = 1 .............................................................................. (1.2)
Dimana: zij = Unit komponen biaya transaksi TrC = Total biaya transaksi Agar analisis biaya transaksi dalam kelembagaan SRG semakin kaya maka akan ditambahkan pula pembahasan secara deskriptif karena metode ini diharapkan mampu menjelaskan fenomena di lapang secara naratif. Terutama mengenai pola pengelolaan sistem sehingga menghasilkan sistem yang sekarang.
29 Analisis keuntungan tunda jual dan pembiayaan pada Sistem Resi Gudang Tujuan berikutnya untuk melihat manfaat dari SRG terhadap petani. Di dalam Sistem Resi Gudang terdapat dua program yang dapat dimanfaatkan petani yakni tunda jual dan pembiayaan berbasis resi yang diagunkan. Kedua program tadi akan diukur manfaatnya menggunakan indikator keuntungan. Pada pelaksanaan tunda jual, nilai keuntungan akan didapat melalui pengukuran selisih yang diperoleh petani dari nilai gabah simpan dengan gabah jual. Nilai tersebut kemudian akan dikurangi dengan biaya penyimpankan gabah di gudang. Nilai keuntungan tunda jual dapat dirumuskan sebagai berikut: 𝜇 = TR -TC Dimana: 𝜇 = Keuntungan program Sistem Resi Gudang (SRG) TR = Penerimaan dari selisih harga tunda jual (delay sale) TC = Total biaya pelaksanaan Sistem Resi Gudang (SRG)
𝜇𝑆𝑅𝐺 = 𝑅𝐷𝑆 − 𝑆𝑅𝐺𝐶 − OPC − TC Dimana: µSRG = Keuntungan program Sistem Resi Gudang RDS = Penerimaan dari selisih harga tunda jual (delay sale) SRGC = Biaya Sistem Resi Gudang OPC = Biaya operasional pengangkutan gabah ke gudang TC = Biaya Transaksi Manfaat berikutnya dari program SRG yakni program pembiayaan dan indikator yang digunakan adalah keuntungan bisnis. Dengan deep interview akan ditelusuri perubahan perilaku petani ketika sebelum dan sesudah berpartisipasi dalam Sistem Resi Gudang. Perilaku tersebut diharapkan dapat meningkatkan keuntungan atas partisipasi dengan SRG dengan memanfaatkan kredit dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan hasil wawancara dengan BAPPEBTI, diketahui bahwa salah satu tujuan dari SRG yakni mengubah perilaku petani yang hanya berorientasi budidaya menjadi petani yang berwawasan bisnis. Nilai keuntungan yang didapat akan dipergunakan untuk menentukan tingkat efektifitas program Sistem Resi Gudang. Efektifitas tersebut terlihat dari rasio antara biaya transaksi dan keuntungan petani. Rasio digunakan untuk menggambarkan bahwa biaya transaksi yang tinggi belum tentu mengindikasikan bahwa petani merugi. Bisa saja biaya transaksi tinggi yang dikeluarkan juga berdampak pada peningkatan keuntungan yang tinggi. Maka dari itu analisis efektifitas biaya transaksi perlu dilakukan. Rasio biaya transaksi terhadap keuntungan petani dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini: Rasio biaya transaksi =
TrC µSRG
30 Dimana: TrC = Total biaya transaksi (Rp/pelaksanaan kredit SRG) µSRG = Keuntungan petani dari SRG (Rp/pelaksanaan SRG) Analisis regresi berganda pada faktor yang mempengaruhi biaya transaksi Analisis regresi ganda adalah alat untuk meramalkan nilai pengaruh dua variabel bebas atau lebih terhadap satu variabel terikat (untuk membuktikan ada tidaknya hubungan fungsional atau hubungan kausal antara dua atau lebih variabel bebas). Dalam penelitian ini kegunaan analisis regresi ganda untuk mengetahui faktor penentu yang mempengaruhi biaya transaksi. Pengujian asumi klasik dilakukan terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi data yang ada memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimation). Uji asumsi klasik yang digunakan yakni multikolinieritas, normalitas, heterokedastisitas dan autokorelasi (Gujarati 2004). Berikutnya menaksir nilai aktual berupa Goodness of Fit dari model yang dapat diukur dengan nilai F, uji t, dan nilai koefisien determinasi. Uji F digunakan untuk mengetahui tingkat siginifikansi pengaruh variabel-variabel independen secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel dependen. Pada uji F jika tingkat signifikansi lebih kecil dari 0.05 maka dapat dinyatakan bahwa variabel independen layak digunakan untuk menjelaskan, sehingga dapat dilakukan uji Goodness of Fit selanjutnya. Uji t digunakan untuk menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas/independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen. Ini berarti uji t digunakan untuk menguji signifikansi hubungan antara variabel X dan Y. Kemudian nilai R2 digunakan untuk mengukur seberapa besar variasi dari variabel terikatnya dapat dijelaskan oleh variasi nilai dari variabel-variabel bebasnya. Dengan kata lain nilai-nilai tersebut secara statistik mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang kita gunakan dalam memprediksi nilai variabel terikat atau mengetahui kecocokan (goodness of fit) dari model tersebut. Nilai R2 memiliki rentang nilai antara nol hingga satu (0 < R2 < 1). Semakin mendekati nilai satu maka hampir semua variabel bebas dapat menjelaskan variabel terikat sehingga model tersebut dapat dikatakan semakin baik. Setiap tambahan variabel independen kedalam model, maka R square pasti meningkat tidak peduli apakah variabel independen tersebut berpengaruh secara signifikan atau tidak. Tidak seperti R square, nilai adjusted R square dapat naik atau turun apabila terdapat tambahan variabel independen kedalam model. Oleh karena itu sebaiknya digunakan nilai Adjusted R square untuk mengevaluasi model regresi terbaik. Menurut Masuko dan Marufu (2003); Abiad et al. (1988); Olomola (1992) dan Pingali et al. (2005) faktor yang mempengaruhi biaya transaksi adalah pengalaman meminjam kredit, besaran pinjaman (loan size), jenis bank, jarak ke bank, jangka waktu peminjaman, hubungan sosial dan pendidikan. Guna menentukan faktor penentu dari biaya transaksi SRG maka digunakan model regresi sebagai berikut: Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6D1 + ε Dimana: Y = Persentase biaya transaksi/pinjaman
31 β0 X1 X2 X3 X4 X5 D1 Βi ε
= Intersep = Pengalaman meminjam kredit SRG (kali) = Pendidikan formal (skala) = Besaran pinjaman kredit SRG (Rp) = Jarak peserta ke bank (Km) = Jangka waktu peminjaman kredit SRG (Bulan) = Dummy keanggotaan kelompok tani (1=anggota poktan, 0=bukan anggota poktan) = Parameter dugaan dari variabel independen = Error
Hipotesis yang digunakan dalam model regresi linear berganda faktor-faktor yang memengaruhi biaya transaksi adalah sebagai berikut: 1. Pengalaman meminjam kredit SRG Peminjam yang berpengalaman cenderung lebih mudah dalam menghadapi rintangan dalam bernegosiasi dan memperoleh pinjaman dari bank. Hal demikian terjadi karena informasi sebelumnya yang dimiliki peminjam dapat digunakan kembali dalam proses transaksi berikutnya sehingga biaya pencarian informasi dapat ditekan atau dengan kata lain semakin banyak pengalaman meminjam kredit maka berpengaruh negatif terhadap biaya transaksi. Selain itu rekam jejak pembayaran yang baik akan menempatkan peminjam pada daftar preferensi bank sehingga proses transaksi berjalan lebih lancar dan cepat. 2. Pendidikan formal Pada variabel pendidikan, semakin tinggi pendidikan yang didapat oleh seseorang maka perolehan informasi yang dimiliki semakin luas sehingga hal tersebut akan berpengaruh pada perilakunya dalam bertransaksi seperti kelihaian dalam bernegosiasi. Semakin banyak informasi yang dimiliki maka akan semakin mudah proses transaksi yang dilakukan sehingga berpengaruh negatif terhadap biaya transaksi. 3. Jumlah pinjaman kredit Sistem Resi Gudang Pada penelitian Hosseini et al. (2012) dari analisis ekonometrik pada biaya transaksi, diketahui bahwa biaya transaksi akan semakin tinggi seiring besarnya total dana yang dipinjam. Namun jika dilihat persentase biaya transaksi terhadap pinjaman maka semakin besar jumlah pinjaman maka biaya per unit pinjaman akan mengalami penurunan (Olomola 1992). Dengan kata lain semakin tinggi jumlah pinjaman maka akan menurunkan persentase biaya transaksi/pinjaman atau jumlah pinjaman berpengaruh negatif terhadap biaya transaksi. 4. Jarak peserta ke bank Jarak dari tempat tinggal ke lembaga pembiayaan mempengaruhi biaya transaksi karena terkait dengan biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk mengurus proses transaksi. Pengaruhnya secara positif karena semakin jauh jarak maka akan menghasilkan biaya lebih tinggi. Permasalahan pada jarak dapat diatasi dengan perbaikan infrastruktur dan memperbanyak jumlah cabang dari lembaga keuangan (Abiad et al. 1988).
32 5.
6.
Jangka waktu peminjaman kredit SRG Variabel jangka waktu pinjaman (lama pinjaman) dapat berpengaruh positif pada biaya transaksi. Semakin lama meminjam, kreditur cenderung melakukan beberapa kali kunjungan ke bank ketika melakukan transaksi pengembalian pinjaman (sistem angsuran). Bervariasinya lama pinjaman yang dilakukan oleh nasabah akan mempengaruhi biaya paska transaksi pembiayaan (Olomola 1999). Dummy keanggotaan kelompok tani Petani yang melakukan kegiatan kolektif saat mengambil pembiayaan berpengaruh negatif terhadap biaya transaksi. Menurut Jagwe (2011) dengan adanya kelompok tani diketahui dapat memfasilitasi para petani didalam transfer informasi sehingga mampu mengurangi biaya transaksi yang dikeluarkan.
5 GAMBARAN UMUM PENELITIAN Gambaran Umum Sistem Resi Gudang Indonesia Saat ini Sistem Resi Gudang telah menginjak tahun kedelapan sejak dimulai beroperasinya gudang (pilot project) pada tahun 2008 di beberapa wilayah di Indonesia. Sistem Resi Gudang diharapkan akan terus berkembang secara aktif untuk memberikan solusi pembiayaan karena dunia telah mengakui manfaat besar dari berlakunya penerapan sistem ini. Menurut undang-undang SRG No. 9 tahun 2011 dijelaskan bahwa Sistem Resi Gudang merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan dan penyelesaian transaksi atas resi gudang. Dimana resi gudang sendiri merupakan dokumen yang membuktikan kepemilikan atas barang yang disimpan dan sah sebagai alat instrumen keuangan/pembiayaan. Permendagri (2011) juga mendefinisikan resi gudang sebagai dokumen yang membuktikan kepemilikan komoditas yang disimpan di gudang berlisensi dan dikeluarkan oleh pengelola gudang dimana dokumen tersebut memiliki kekuatan hukum. Tidak berbeda dibeberapa negara lain, di Amerika Serikat, resi gudang juga merupakan dokumen yang memberikan bukti penyimpanan komoditas di gudang dan berlaku dibawah undang-undang. Di Inggris, resi gudang biasanya disebut sebagai surat jaminan (warrant) dimana hak kemilikan dapat ditransfer dari satu pihak ke pihak lain. Di India, resi yang dapat digunakan sebagai agunan adalah resi yang dikeluarkan oleh pengelola gudang milik negara (public warehouse) sedangkan gudang milik pribadi tidak bisa (Mahanta 2012). Hal tersebut dilakukan karena pengalaman terdahulu memperlihatkan adanya risiko kecurangan pada private gudang. Kecurangan dilakukan dengan menerbitkan resi yang nilainya tidak sesuai dengan jumlah riil digudang (Höllinger et al. 2009). Berlanjut kepada para pelaku atau unit lembaga yang memainkan peran penting didalam pelaksanaan Sistem Resi Gudang. Terdapat beberapa pelaku di dalam kelembagaan SRG yakni badan pengawas SRG (BAPPEBTI), petani yang menyimpankan komoditinya di gudang, pengelola gudang, lembaga penilai kesesuaian (LPK), lembaga asuransi, badan registrasi pusat, lembaga keuangan dan pembeli (bisa secara langsung maupun melalui pasar lelang). Setiap pihak
33 yang ada tersebut berkontribusi besar didalam pelaksanaan sistem untuk menghasilkan sebuah kinerja program yang optimal sehingga bermanfaat baik bagi petani maupun bagi seluruh pelaku yang terlibat di dalamnya. Pertama, petani/pemilik komoditas merupakan pelaku yang menyimpankan komoditas mereka ke gudang dan mendapatkan dokumen berupa resi gudang. Pemegang dokumen berhak untuk menarik barang dari gudang dan juga memiliki hak untuk mentransfer kepemilikan kepada pihak lain. Sesuai dengan ketentuan Permendagri (2007) disebutkan bahwa ketentuan komoditas yang disimpan yakni memiliki masa simpan minimal 3 bulan, sesuai dengan ketentuan mutu yang diberikan dan barang yang disimpan memenuhi ketentuan jumlah minimum. Para petani yang menyimpankan komoditinya di gudang memiliki kendali penuh atas proses penjamin maupun pengalihan hak resi gudang kepada pihak lain. Petani memiliki pilihan untuk melakukan pembiayaan berupa pemanfaatan dokumen resi gudang maupun hanya memanfaatkan program tunda jual. Ketika sudah jatuh tempo penyimpanan barang petani juga bebas menjual di lembaga pemasaran yang tersedia. Kedua, operator/pengelola gudang bersertifikat yang bertugas untuk mengelola gudang dalam skema Sistem Resi Gudang. Pengelola harus disetujui oleh badan pengawas dan berbentuk badan hukum. Pengelola gudang dapat berbentuk BUMN/D maupun koperasi. Di Indonesia beberapa pengelola gudang yang telah mendapat persetujuan dari BAPPEBTI adalah PT Bhanda Ghara Reksa, PT Petindo Jaya Mandiri dan PT Pertani (Persero). Terdapat perbedaan pelayanan Sistem Resi Gudang antara satu wilayah dengan wilayah lain. Contohnya di wilayah Kabupaten Tuban ketika petani menyimpankan komoditasnya ke gudang, mereka tidak dikenakan biaya penyimpanan karena pemerintah daerah memberikan subsidi penuh beserta fasilitas truk pengangkut yang mengangkutan komoditi dari lahan ke gudang (Listiani dan Haryotejo 2013). Sedangkan di beberapa daerah lain, penyimpanan tetap dikenakan biaya dengan biaya yang cukup murah. Sekitar Rp45/kg selama sebulan, Rp60/kg per dua bulan dan Rp75/kg per tiga bulan. Dibeberapa negara dunia pembiayaan sistem resi dapat diberikan di bawah beberapa jenis pengelola gudang yang berbeda. Setiap jenis memiliki keunggulan komparatif yang disesuaikan dengan kebutuhan. Berikut ini tiga jenis gudang yang digunakan pada Sistem Resi Gudang: gudang milik swasta atau private warehouse, gudang publik atau public warehouse dan gudang lapang atau field warehouse (Höllinger et al. 2009). Di Indonesia sendiri, gudang yang digunakan untuk program Sistem Resi Gudang bisa berupa gudang SRG yang dibangun pemerintah maupun gudang yang diajukan sebagai gudang SRG melalui dana anggaran daerah. Bagi calon pengelola gudang, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar mendapatkan izin yang dijelaskan dibawah ini: (Merujuk pada peraturan Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) No. 01/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 mengenai Persyaratan dan Tata Cara untuk Memperoleh Persetujuan Sebagai Pengelola Gudang): Pengelola gudang yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT): 1. Memenuhi persyaratan modal dasar paling sedikit 1 500 juta rupiah (satu milyar lima ratus juta rupiah) dengan modal disetor paling sedikit 600 juta rupiah
34 2. 3. 4.
Mempertahankan kekayaan bersih paling sedikit 500 juta rupiah Memiliki pengurus dengan integritas moral dan reputasi bisnis yang baik Menguasai paling sedikit satu gudang yang telah mendapat persetujuan dari BAPPEBTI 5. Memiliki sertifikat manajemen mutu 6. Memiliki tenaga dengan kompetensi yang diperlukan dalam pengelolaan gudang barang. Pengelola gudang yang berbentuk koperasi: 1. Memenuhi persyaratan modal sendiri paling sedikit 250 juta rupiah 2. Mempertahankan kekayaan bersih paling sedikit 200 juta rupiah 3. Memiliki pengurus dengan integritas moral dan reputasi bisnis yang baik 4. Menguasai paling sedikit satu gudang yang telah mendapat persetujuan dari BAPPEBTI 5. Memiliki Pedoman Operasional Baku yang mendukung kegiatan operasional sebagai Pengelola Gudang 6. Memiliki tenaga dengan kompetensi yang diperlukan dalam pengelolaan gudang dan barang 7. Memiliki rekomendasi dari pejabat yang berwenang dalam menilai kredibilitas koperasi di tempat kedudukan (domisili) koperasi. Selain persyaratan di atas, pengelola gudang yang berbentuk BUMN/D maupun swasta juga harus memiliki kompetensi sebagai berikut; 1) Memahami peraturan perundang-undangan di bidang SRG; 2) Memiliki keahlian mengenai karakteristik barang yang disimpan; 3) Memiliki keahlian mengenai pemeliharaan barang; 4) Memiliki keahlian mengenai administrasi pengelolaan gudang (BAPPEBTI 2007). Ketiga lembaga penilai kesesuaian (LPK), dimana salah satu tugasnya sebagai penyeleksi komoditas yang akan masuk ke dalam gudang. Menurut UU No. 9 tahun 2011 mengenai Sistem Resi Gudang, lembaga penilai kesesuaian (LPK) adalah lembaga yang mendapat persetujuan Badan pengawas (BAPPEBTI) untuk melakukan serangkaian kegiatan yang meliputi menilai atau membuktikan bahwa persyaratan tertentu yang berkaitan dengan produk, proses, sistem, dan/ personel terpenuhi secara prosedural. Barang/komoditi yang telah lolos uji oleh lembaga penilai kesesuaian (LPK) secara sah dapat disimpan kedalam gudang dan kemudian diterbitkan dokumen resi gudangnya. Terdapat beberapa lembaga penilai kesesuaian yang telah mendapat persetujuan oleh BAPPEBTI yakni PT Bhanda Ghara Reksa, PT Sucofindo, Perum Bulog dan beberapa lainnya. Selanjutnya keempat lembaga yang penting lainnya adalah lembaga asuransi. Lembaga ini dilibatkan didalam Sistem Resi Gudang untuk menghindari risiko besar dimasa depan serta meningkatkan kepercayaan petani terhadap keamanan penyimpanan. Tugas lembaga asuransi ini sangat penting karena keamanan komoditas yang disimpan merupakan hal yang diharapkan oleh pihak penyimpan dan juga pihak pemberi pinjaman (lender) bahwa barang yang menjadi agunan tersimpan aman. Setiap lembaga yang menerbitkan resi gudang harus memiliki jaminan asuransi profesional. PT Asuransi Kredit Indonesia merupakan salah satu lembaga asuransi yang berpartisipasi di dalam program SRG. Kelima, lembaga yang terkait lainnya adalah badan registrasi pusat. Di Indonesia syarat utama untuk menjadi pusat registrasi adalah sudah berbadan hukum yang berdomisili di Jakarta (ibu kota negara) dan memperoleh persetujuan
35 dari BAPPEBTI. Badan registrasi pusat terhubung ke dalam jaringan masingmasing gudang yang menjalankan Sistem Resi Gudang. Tugas badan registrasi pusat berupa perekaman data/informasi, menyimpan, mentransfer, memuat kepentingan hukum, pelaporan dan penyediaan sistem informasi dan jaringan. Dalam rangka mendapatkan persetujuan BAPPEBTI ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi badan registrasi pusat antara lain: 1) Memiliki tahun pengalaman setidaknya tiga tahun dalam kegiatan pencatatan transaksi dalam kontrak berjangka komoditi dan kliring 2) Memiliki administrasi Sistem Resi Gudang dan derivatif resi gudang yang akurat, aktual (secara online dan real time), aman, handal, dan dapat diandalkan 3) Memenuhi persyaratan keuangan yang ditetapkan oleh BAPPEBTI. Pusat registrasi memiliki peran yang sangat penting sebagai bagian dari resi gudang dan saat ini di Indonesia hanya ada satu entitas tunggal, yaitu PT Kliring Berjangka Indonesia (Doyoharjo 2008). Keenam, lembaga keuangan yang dapat berupa lembaga bank maupun lembaga keuangan non-bank. Lembaga ini bertindak sebagai penyandang dana dari Sistem Resi Gudang. Lembaga keuangan sebagai pihak yang menyediakan dana akan memberikan pinjaman berdasarkan jaminan sesuai dengan kuantitas dan kualitas barang/komoditas yang disimpan di gudang. Di Indonesia pemilik resi gudang akan mendapatkan pinjaman dari bank sebesar 70 persen dari total nilai komoditas yang disimpan. Kepercayaan adalah pondasi utama di dalam pembiayaan resi gudang, karenanya pihak pemberi dana harus memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap sistem sebelum bergabung untuk menjadi lembaga pendanaan. Menurut Hollinger et al. (2009) suku bunga untuk pinjaman resi gudang awalnya 16 persen, dan secara bertahap menurun menjadi 7 persen sampai 8 persen ketika Sistem Resi Gudang telah matang dan mulai muncul kompetisi terhadap pendatang baru yang meningkat. Saat ini suku bunga di Indonesia sendiri untuk mendapatkan pinjaman adalah sekitar 6-7 persen. Saat ini dengan semangat untuk memberikan sistem pembiayaan yang mudah diakses oleh setiap pelaku usaha, khususnya petani yang umumnya menghadapi masalah pembiayaan karena keterbatasan akses dan persyaratan jaminan kredit ke bank. Maka Sistem Resi Gudang (SRG) di Indonesia terus menerus melakukan peningkatan pelayanan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Secara kualitas BAPPEBTI selaku pihak yang bertanggungjawab mengawasi berjalannya Sistem Resi Gudang di Indonesia terus menerus melakukan pengawasan dan pembinaan secara rutin serta berupaya terus mendorong peningkatan pelayanan Sistem Resi Gudang di daerah-daerah Indonesia. Dalam rangka peningkatan kualitas Sistem Resi Gudang, hal yang telah dilakukan BAPPEBTI berupa merubah peraturan pemerintah terkait Sistem Resi Gudang untuk menambah komoditas yang dapat diresi gudangkan dari 8 komoditas menjadi 10 komoditas. Komoditas tersebut yakni gabah, padi, lada, kopi, rumput laut, jagung, kakao, karet, rotan dan garam. Hal ini berdampak pada meluasnya cakupan petani partisipan yang dapat mengikuti sistem ini. Selain itu hal lain yang dilakukan yakni dengan melakukan penambahan kelembagaan lain didalam SRG yakni Lembaga Jaminan Resi Gudang (LJRG). Lembaga ini bertindak sebagai penjamin apabila terdapat pengelola gudang yang mengalami pailit atau melakukan kelalaian dalam pengelolaan (mishandling) sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk mengembalikan barang yang tersimpan
36 di gudang sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang tertera dalam resi gudang karena pihak asuransi yang bekerjasama dengan SRG hanya akan membayarkan ganti rugi jika terjadi kebakaran di gudang. Langkah ini dilakukan untuk menghindari dampak yang lebih besar dari permasalah tersebut yakni berupa menurunnya tingkat kepercayaan para stakeholder yang lain terhadap SRG. Landasan saling percaya merupakan hal yang penting didalam sistem ini sehingga jika tidak dilakukan langkah antisipasi maka dikhawatirkan akan menghambat pelaksanaan sistem yang telah berjalan (BAPPEBTI 2014). Diharapkan dengan adanya lembaga jaminan resi gudang sebagai lembaga tambahan didalam sistem akan menjadi katalisator mempercepat perkembangan SRG dalam memupuk kepercayaan pelaku usaha untuk bergabung karena adanya jaminan terhadap risiko yang mungkin terjadi dimasa depan. Selain peningkatan kualitas, BAPPEBTI juga gencar untuk melakukan peningkatan kuantitas pelayanan pada Sistem Resi Gudang. Pada tahun 2015 telah dibangun setidaknya 117 gudang oleh pemerintah untuk SRG dibeberapa wilayah Indonesia (dari dana stimulus fiskal, APBN-P, dan Dana Alokasi Khusus/DAK). Gudang yang telah dibangun oleh Pemerintah tersebut merupakan gudang SRG yang bertujuan untuk mendorong pelaksanaan Sistem Resi Gudang agar segera terlaksana dan sebagai stimulan untuk terbangunnya gudang-gudang SRG lainnya milik swasta. Dari 117 gudang yang telah terbangun, 53 gudang telah mendapatkan persetujuan untuk beroperasi dan 39 diantaranya telah menerbitkan resi gudang. Selain gudang yang dibangun pemerintah terdapat pula gudang milik swasta yang telah mendapatkan ijin untuk melaksanakan Sistem Resi Gudang ini yakni sebanyak 35 gudang. Maka secara keseluruhan gudang yang telah menerbitkan resi gudang yakni sebanyak 74 gudang. Pengawasan oleh BAPPEBTI ke gudang daerah dilakukan sebanyak 2 hingga 3 kali dalam setahun yang difokuskan pada saat musim panen tiba dan pada wilayah yang gudang SRG sedang aktif melaksanakan kegiatan tunda jual serta pembiayaan. Hal-hal yang dilakukan pada saat pengawasan ke lapang adalah pemeriksaan dari segi administrasi, pencatatan dan audit keuangan, sarana prasarana serta audit barang. Jika ada yang kurang sesuai maka dilakukan pembinaan yang intensif kepada pengelola gudang. Gudang Pemda yang dibangun biasanya dikelola oleh BUMN/BUMD ataupun koperasi. Dalam pengkoordinasian serta proses kerjasama pelaksanaan SRG oleh kedua belah pihak tersebut tidak akan dilakukan intervensi dari pihak BAPPEBTI karena tugas BAPPEBTI hanya mendorong dan mengawasi pelaksanaan. Jika terjadi permasalahan maka BAPPEBTI hanya akan mendorong penyelesaian, memberikan masukan dan alternatif solusi. Pengelola yang terdaftar dan bertanggung jawab dalam mengelola keseluruhan gudang SRG di Indonesia yakni PT Petindo Daya Mandiri, Koptan Bidara Tani, PT Pertani, PT Bhanda Ghara Reksa, Sucofindo, PT Reksa Guna Interservise, koperasi, KOSPERMINDO, PT Pos dan PT Food Station Tjipinang Jaya. Dari keseluruhan pengelola, PT Pertani menjadi pengelola mayoritas didalam kegiatan SRG di Indonesia. PT Pertani sebenarnya diarahkan untuk mengelola gudang SRG milik PT Pertani sendiri. Namun sementara ini pada gudang pemerintah yang masih belum dikelola oleh pengelola lokal (koperasi) akan diserahkan dahulu ke PT Pertani selagi menunggu calon pengganti. Pengajuan gudang untuk SRG dapat dilakukan dengan cara: Pemda bekerjasama
37 dengan PT Pertani/calon pengelola lainnya untuk mengajukan ijin pengelolaan gudang SRG. Persetujuan untuk menjadi pengelola gudang disetujui maksimal 45 hari sejak keseluruhan persyaratan yang diperlukan terpenuhi. Jika terjadi perubahan kelengkapan persyaratan maka BAPPEBTI akan memberitahukan paling lambat 5 hari kerja setelah terjadinya perubahan pedoman terkait persyaratan. Saat ini resi gudang yang telah terbit berjumlah 1873 lembar, dengan volume tertinggi sebesar 21 649.27 ton (Tabel 6). Pembiayaan SRG menunjukkan adanya peningkatan nilai pembiayaan dari tahun ke tahun. Lonjakan tertinggi terjadi pada tahun 2010, dimana terdapat peningkatan volume simpan sebesar 974 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Di tahun 2014 nilai pembiayaan berbasis resi gudang yang terealisasikan sudah mencapai 65 persen dari nilai maksimal peminjaman sebesar 70 persen (Tabel 11). Hal tersebut merupakan nilai pembiayaan tertinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa petani sudah semakin aware terhadap program pembiayaan didalam SRG dan telah memaksimalkan penggunaan kepemilikan resi gudang sebagai alat agunan untuk meminjam kredit di Bank. Pelaksanaan SRG secara bertahap mulai berkembang dan pihak BAPPEBTI mengupayakan untuk terus bersinergi dengan beberapa pihak lainnya. Dalam rangka mengoptimalkan SRG maka BAPPEBTI terus melakukan upaya kerjasama dengan pihak Kementan dan pihak perbankan yang belum bekerjasama didalam SRG seperti Bank Indonesia. Tabel 6
Jumlah resi gudang, volume dan nilai komoditi pada pelaksanaan penerbitan dokumen Sistem Resi Gudang tahun 2008-2014 Penerbitan
Tahun
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Total
Resi gudang Jumlah %*) 16 13 57 271 379 532 605 1873
-19 338 375 40 40 14
Volume (ton) 508.83 214.11 2 299.94 8 895.62 18 144.16 20 796.23 21 649.27 72 508.15
Komoditi %*) Nilai barang (Rp)
%*)
1 431 616 200 -58 552 962 240 974 8 678 733 500 287 40 067 723 608 104 93 183 187 979 15 108 948 556 100 4 116 514 391 200 369 377 170 827
-61 1469 362 133 17 7
*) Prosentase pertumbuhan pada bulan berjalan tahun sebelumnya Sumber: BAPPEBTI (2014c)
Dari beberapa tahun pelaksanaan SRG, berikut ini dipaparkan kendalakendala yang dihadapi dari sudut pandang BAPPEBTI: Pengola gudang yang masih kurang (masih sedikit yang berminat) dan umumnya masih berpusat di Jawa LPK (Lembaga Pengawas Kesesuaian) sebagai salah satu lembaga didalam kelembagaan SRG biasanya berada di lokasi yang berjauhan dengan gudang (sedang disiapkan tim LPK daerah untuk mengatasi hambatan tersebut)
38
Di gudang-gudang daerah dukungan yang diberikan Pemda masih kurang terhadap keberlanjutan program SRG. Operasional gudang dan para pelaku SRG masih belum lengkap dan belum siap Merubah perilaku petani yang hanya berorientasi budidaya menjadi petani yang berorientasi bisnis. Profil SRG Niaga Mukti Kabupaten Cianjur
Sejarah pengalihan pengelola SRG dari PT Pertani ke koperasi Niaga Mukti Secara resmi pada tahun 2011, SRG Cianjur yang dikelola PT Pertani sudah mulai aktif menerbitkan resi gudang. Kemudian secara pribadi oleh permintaan PT Pertani, bapak Nana Sukatna yang saat ini menjadi manajer pengelola SRG telah dilibatkan secara aktif didalam kegiatan Sistem Resi Gudang mulai tahun 2009. Setelah itu Dinas perdagangan daerah mulai mencari pihak pengelola dari daerah yang kiranya mampu mengelola untuk menggantikan PT Pertani. Akhirnya koperasi Niaga Mukti dipilih untuk menjadi pendamping didalam kegiatan Sistem Resi Gudang yang masih dikelola oleh pihak PT Pertani. Pada tanggal 18 Juni 2013 secara resmi Koperasi Niaga Mukti menjadi pengelola Sistem Resi Gudang di Kab Cianjur menggantikan PT Pertani. Koperasi Cianjur merupakan koperasi yang pertama diizinkan untuk mengelola Sistem Resi Gudang pada tahun 2013. Besarnya potensi yang dimiliki Cianjur membuat pengelola optimis mengelola gudang SRG. Hal tersebut dibuktikan dengan kinerja SRG Cianjur yang terus meningkat dari tahun ke tahun hingga pada batas maksimal kapasitas gudang. Lembaga yang bekerjasama dengan SRG Cianjur saat ini yakni koperasi Niaga Mukti selaku pengelola gudang, BAPPEBTI selaku pengawas, dinas perdagangan daerah, lembaga asuransi Jasindo, Bank Jawa Barat (BJB), Bulog selaku lembaga penilai kesesuaian (LPK). Persyaratan yang digunakan untuk menyeleksi lembaga asuransi yang akan bekerjasama dengan SRG yakni jarak asuransi yang dekat, kemudahan dalam hal klaim kepada pihak asuransi, harga lebih murah dan sudah terpercaya. Sedangkan Bank BJB selaku pihak lembaga keuangan, telah bekerjasama didalam SRG dari tahun 2010. Kunci dari lamanya kerjasama tersebut dijelaskan oleh manager bisnis karena adanya komunikasi, keterbukaan, integrasi dan saling percaya antar pihak yang terlibat. Berikut profil pengelola gudang SRG Cianjur, Bapak Nana Sukatna: Bendahara poktan Talaga Sari, 2002 – Sekarang Sekretaris gapoktan Cinta Tani, 2003 – 2005 Ketua gapoktan Cinta Tani, 2005 – Sekarang Anugerah penghargaan sebagai petani terbaik oleh presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudoyono, 2008 Sekretaris Koperasi HEMAN, 2006 – 2011 Manager koperasi serba usaha Niaga Mukti, 2011 - Sekarang Supaya pelaksanaan SRG berjalan dengan lancar terdapat SOP yang harus ditaati oleh pelaku SRG. Berikut Standar Operasional Prosedur (SOP) pengawasan internal di SRG Niaga Mukti Cianjur agar program berjalan sesuai dengan ketentuan : 1. Pengelola gudang wajib membuat laporan bulanan, triwulan dan tahunan yang disampaikan kepada pengurus koperasi niaga mukti
39 2. Laporan bulanan mutasi stock wajib disampaikan kepada pengurus koperasi niaga mukti paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal periode laporan berakhir 3. Setiap menerbitkan resi gudang, pengelola gudang wajib melaporkan penerbitan resi gudang yang dimaksud 4. Pengelola gudang boleh mengeluarkan komoditas/gabah di gudang apabila resi gudang aslinya sudah diterima oleh pengelola gudang untuk pengeluaran komoditas/gabah seluruhnya 5. Pengelola gudang boleh mengeluarkan komoditas/gabah sebagian ataupun dicicil sesuai dengan slip penyetoran ke bank BJB dan sudah dikonfirmasikan terlebih dahulu oleh pengelola gudang dengan bank BJB 6. Pengurus koperasi Niaga Mukti melakukan supervisi administrasi pengelola gudang tiap 3 bulan sekali (triwulan) Kelancaran proses Sistem Resi Gudang selama ini tidak jauh dari peran para pelaku inti didalam mengelola gudang. Di lembaga pengelolaan gudang SRG tidak hanya terdiri dari manajer pengelola gudang namun terdapat pula beberapa pelaku lain yang ikut berpartisipasi. Pelaku-pelaku tersebut yakni petugas lapangan yang membantu pengkondisian gabah untuk masuk ke gudang, petugas administrasi gudang yang bertugas untuk menginput data dan teknis administrasi, petugas keamanan yang menjaga gudang simpan gabah agar aman, mandor yang bertanggung jawab pada proses bongkar muat dan tenaga kebersihan yang selalu bertugas menjaga kebersihan gudang sehingga gabah tidak mengalami penyusutan kualitas akibat menurunnya higienitas gudang. Berikut ini bagan struktur organisasi SRG Niaga Mukti Kabupaten Cianjur:
Pimpinan Pengelola gudang (Kabid Disperindag Kab. Cianjur)
Pengelola gudang Petugas lapangan
Administrasi gudang
Tenaga keamanan
Tenaga kebersihan Mandor Team Gambar 4 Struktur organisasi lembaga pengelola gudang SRG Niaga Mukti Kabupaten Cianjur Sumber: Lembaga Pengelola (2015)
40 Pelaksanaan Sistem Resi Gudang Niaga Mukti Kabupaten Cianjur Pada awal pelaksanaan hanya sedikit petani yang berminat didalam program Sistem Resi Gudang sehingga pengelola terus berpikir agar gudang terus berjalan dan tidak kosong. Maka pengelola mengajak para tengkulak yang ada disekitar gudang untuk menyimpankan gabahnya disana supaya terus terjadi aktivitas di gudang. Seiring waktu dengan meningkatnya keikutsertaan petani untuk menyimpankan gabah di gudang maka pengelola memberikan pembatasan jumlah yang dapat disimpan tengkulak. Lambat laun gudang secara keseluruhan telah diisi oleh gabah milik petani saja. Berikut ini strategi pengelola mengajak petani untuk berpartisipasi didalam Sistem Resi Gudang: Menentukan target sasaran dengan calon penyimpan (skala prioritas) berbasis potensi. Pada awal program SRG telah dilaksanakan 2 kali agenda sosialisasi yang didanai oleh Kemendag dan BAPPEBTI. Di tahun 2014, Dinas Perdagangan daerah ke beberapa lokasi kecamatan di Kabupaten Cianjur dan mengundang para petani untuk mengikuti sosialisasi. Didalam acara sosialisasi tersebut pengelola gudang melihat petani-petani yang antusias untuk berpartisipasi. Mengenali calon penyimpan barang Menjalin komunikasi Setelah mengenali calon petani yang potensial, kemudian pengelola mendatangi secara aktif ke rumah secara langsung (door to door) untuk menciptakan kedekatan dan pemahaman yang menyeluruh mengenai SRG ini. Promosi dengan menyederhanakan bahasa dan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami oleh petani Memberi pelayanan yang cepat, akurat dan memuaskan secara konsisten Selain mencari secara langsung petani yang kiranya dapat diajak bergabung, cara lain yang dilakukan pengelola supaya dapat meningkatkan kesadaran petani untuk ikut didalam SRG yakni menarik perhatian petani melalui adanya jasa pengeringan gabah dan distribusi traktor di lokasi gudang. Petani yang awalnya hanya ingin mengeringkan gabahnya disekitar gudang menjadi penasaran dengan kegiatan SRG. Momen ini kemudian dimanfaatkan oleh pengelola gudang untuk menjelaskan program SRG yang ada terhadap petani-petani yang bertanya. Petani yang memiliki rasa keingintahuan dan bertanya cenderung mau menerima informasi yang diberikan oleh pengelola gudang. Tabel 7 berikut adalah laporan kinerja SRG Cianjur selama 4 tahun terakhir. Di tahun 2013 terjadi penurunan jumlah resi gudang yang diterbitkan yakni sekitar 20 lembar dokumen. Hal ini disebabkan akibat adanya proses peralihan pengelolaan dari PT Pertani dengan Koperasi Niaga Mukti. Nomor gudang untuk menerbitkan resi gudang atas nama PT Pertani berbeda dengan pengelola selanjutnya walaupun gudang yang digunakan sama. Sehingga butuh beberapa waktu untuk menyelesaikan proses administrasi pengalihan hak kelola yang menyebabkan gudang tidak dapat menyimpan gabah milik petani untuk sementara waktu. Namun demikian dari segi persentase pembiayaan, dari tahun 2013 hingga 2014 menunjukkan petani yang berpartisipasi menggunakan pembiayaan SRG secara maksimal yakni sekitar 70 persen (Tabel 7). Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa rata-rata nilai gabah simpan yang diterbitkan dokumen resi gudang yakni
41 sebesar Rp6 262.28. Nilai tersebut cukup tinggi mengingat di tahun 2014 gabah kering giling yang dijual di Jawa Barat berkisar Rp5 159.05. Dahulu sempat muncul wacana adanya subsidi kepada petani agar biaya simpan gudang gratis seperti pada SRG di Kabupaten Tuban. Ketika petani menyimpankan komoditasnya ke gudang, mereka tidak dikenakan biaya penyimpanan karena pemerintah daerah memberikan subsidi penuh beserta fasilitas truk pengangkut yang mengangkutan komoditi dari lahan ke gudang (Listiani dan Haryotejo 2013). Pengelola gudang Cianjur tidak menyetujui hal tersebut diaplikasikan pada SRG Cianjur, hal ini dilakukan supaya petani tidak terlalu bergantung kepada subsidi yang ada. Ketergantungan terhadap subsidi akan berdampak jika suatu saat nanti pemerintah tidak mampu lagi memberikan subsidi maka risikonya petani akan beralih dari program ini. Selain itu jika SRG digratiskan maka apabila suatu saat terjadi kerusakan atas barang yang disimpan, petani tidak dapat menuntut ganti rugi kepada pihak siapapun. Dengan demikian pengelola gudang mengajak para petani untuk mulai berorientasi bisnis. Para peserta SRG mulai diajak untuk memikirkan cara memanfaatkan pelaksanaan program SRG secara maksimal yakni dengan menjadikan pembiayaan SRG yang didapat untuk modal usaha lain sehingga uang terus berputar. Tabel 7 Jumlah gabah yang dikelola, dokumen resi gudang yang diterbitkan dan persentase pembiayaan pada gudang SRG Niaga Mukti Cianjur 20112014 No . 1
2 3
Uraian Pengelolaan Gudang SRG (Unit) Kapasitas Gudang (Ton) Pengelolaan gabah (Kg)
4
Penerbitan Resi Gudang (Lbr)
5
Nilai Barang pada Resi Gudang (Rp) Nilai Pembiayaan Resi Gudang (Rp) Persentase pembiayaan Barang yang Dikelola
6 7 8
2011
2012
2013
2014
1
1
1
1
1 000
1 000
1 000
1 000
1 275 025
2 151 712
39
83
1 453 600 000
9 007 541 000 7 722 242 500
13 474 625 800
1 011 500 000
5 823 079 200 5 405 569 750
9 409 738 060
261 000 17
1 573 245 59
69 %
64%
70%
69.8%
Gabah
Gabah
Gabah
Gabah
Sumber: Lembaga Pengelola (2015a)
Dalam wawancara yang dilakukan oleh pengelola gudang, dari berbagai informasi dari SRG di wilayah Indonesia yang sering menjadi kendala didalam pelaksanaan SRG yakni: Kurang sinergi antara unit lembaga sehingga berpengaruh terhadap kinerja SRG secara keseluruhan
42
Kurang sinergi antara dinas perdagangan daerah dan pusat (Gudang sudah siap dan sosialisasi telah dilaksanakan namun pihak yang terkait belum siap sehingga hal tersebut mengurangi rasa percaya calon petani yang ingin berpartisipasi ke dalam program dan menghilangkan momentum) Pihak lokal lebih memahami potensi daerah daripada pihak luar, PT Pertani lebih baik menjadi pendamping namun seringkali pihak lokal belum tertarik terhadap program ini sehingga PT Pertani yang mengambil alih pengelolaan gudang Kepala bidang Sistem Resi Gudang daerah yang berubah-ubah Karakteristik Peserta SRG Niaga Mukti Cianjur
Pada penelitian ini terdapat 30 responden yang menjadi peserta didalam kegiatan SRG Cianjur. Karakteristik responden merupakan sifat ataupun ciri dari responden yang diteliti dan diberikan pertanyaan berupa kuesioner selama proses dilakukannya wawancara. Karakteristik responden disini adalah petani peserta SRG Cianjur dimana karakternya akan dibahas dan dijelaskan dibawah ini yang meliputi luas lahan, usia, pendidikan, pengalaman SRG dan jenis gabah yang disimpan. Pada Tabel 8 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan luas lahas, responden terbanyak memiliki lahan di atas 0.5 hektar. Peserta non kelompok mendominasi lahan di atas 0.5, dimana hal tersebut juga memperlihatkan kemampuan peserta non kelompok untuk menyimpan gabah di atas batas minimum penyimpanan. Secara tertulis SRG Cianjur tidak memberikan batasan minimal namun petani mampu memperhitungkan sendiri biaya persatuan unit yang menguntungkan mereka ketika menyimpan gabah. Semakin besar gabah yang disimpan sekaligus maka biaya per satuan unitnya semakin kecil. Petani non kelompok yang menjadi responden pada penelitian ini seluruhnya merupakan petani yang memiliki usaha penggilingan. Usaha ini mempermudah mereka untuk mengumpulkan gabah agar sesuai dengan batas minimal penyimpanan gabah. Pada petani yang memiliki lahan kecil cenderung tidak dapat ikut berpartisipasi kecuali dengan cara kolektif bersama anggota kelompok yang lain. Sebaran kepemilikan luas lahan petani kelompok maupun non kelompok yang menjadi partisipan bervariasi dari 0.3 hektar hingga 2.7 hektar. Berdasarkan usia, peserta memiliki kisaran umur di atas 30 tahun ke atas. Separuh responden didominasi usia muda karena mereka lebih terbuka terhadap program baru yang ada. Peserta usia muda sangat komunikatif dan sangat respon terhadap informasi harga gabah. Mereka mau mencoba peluang baru yang ditawarkan seperti pada program Sistem Resi Gudang. Pada tingkat pendidikan peserta, dibeberapa anggota kelompok tani memiliki pendidikan setingkat SD sedangkan petani peserta non kelompok sebagian besar SMP dan SMA. Pada pengurus kelompok tani mayoritas pendidikannya SMP hingga D2. Hal ini memperlihatkan bahwa dengan tingkat pendidikan lebih tinggi terdapat kecenderungan peserta untuk mencari informasi secara lebih luas. Pengalaman petani bergabung didalam SRG cukup bervariasi, jumlah tersebut terhitung berdasarkan resi gudang yang diterbitkannya. Dari responden yang diwawancara, terdapat petani yang sudah bergabung di SRG sejak 2011 semenjak SRG Cianjur masih dikelola oleh PT Pertani. Petani yang bergabung
43 atas nama kelompok tani Hegarmanah baru mulai ikut menerbitkan resi gudang pada tahun 2012 sedangkan dua kelompok lainnya baru mulai bergabung di tahun 2013. Petani non kelompok lebih cenderung konsisten bergabung dalam SRG karena kepemilikan gabahnya yang berjumlah besar dibandingkan peserta kelompok tani. Peserta kelompok tani yang menyimpan gabah ke gudang cenderung berpikir lebih kompleks karena kepemilikan gabah yang sedikit dan melihat kebutuhannya. Tabel 8
Sebaran jumlah dan persentase responden berdasarkan karakteristik responden gabah Sistem Resi Gudang Niaga Mukti Cianjur Karakteristik Partisipan (orang) Persentase (%) Berdasarkan luas lahan milik a. <=0.5 9 30 b. > 0.5 9 30 c. => 1 12 40 Berdasarkan usia a. 30-40 15 50 b. 41-50 8 27 c. 51-60 7 23 d. >61 0 Berdasarkan pendidikan a. SD 11 37 b. SMP 10 33 c. SMA 8 27 d.D1-D3 1 3 Pengalaman SRG (menerbitkan resi gudang) a.<=2 18 60 b.>2 12 40 Jenis gabah yang disimpan a.Ciherang 20 67 b.Sintanur 1 3 c.Pandan wangi 1 3 d.Muncul 8 27 Total 30 100
Berdasarkan jenis gabah yang disimpan, mayoritas gabah yang disimpan oleh petani peserta adalah gabah jenis Ciherang karena di daerah Cianjur, padi jenis inilah yang banyak dibudidayakan oleh petani. Padi Ciherang sering disebut sebagai sentra ramos oleh petani. Masa tanam Padi Ciherang juga lebih singkat dibanding padi Pandan Wangi yang menjadi ikon Cianjur menjadikan petani lebih senang menanam padi ini. Selain Ciherang, terdapat pula gabah jenis lainnya seperti Pandan Wangi, Sintanur, Muncul dan Ketan. Pada setiap gabah yang berbeda jenisnya, karung tidak akan ditumpuk bersamaan walaupun dalam nama kelompok tani yang sama untuk menghindari bercampurnya gabah. Jika gabah tercampur maka akan berpengaruh pada mutu gabah yang disimpan (Lampiran 2).
44
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Komponen dan Analisis Biaya Transaksi Sistem Resi Gudang Niaga Mukti Berdasarkan undang-undang SRG No. 9 tahun 2011 dijelaskan bahwa Sistem Resi Gudang merupakan sebuah program yang meliputi kegiatan terkait dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan dan penyelesaian transaksi atas resi gudang. Tujuan kegiatan-kegiatan ini untuk memberikan dua manfaat penting yang dibutuhkan petani yakni tunda jual dan kredit bersubsidi. Tunda jual dilakukan untuk mendapatkan harga komoditas yang lebih baik sedangkan kredit diberikan untuk mengkompensasi modal tersimpan petani akibat menunda jual komoditas miliknya. Supaya petani memperoleh kredit didalam program SRG, mereka harus memiliki resi gudang terlebih dahulu. Proses untuk mendapatkan resi gudang hingga akhirnya memperoleh kredit akan menyebabkan biaya-biaya transaksi yang akan dikeluarkan. Biaya dari transaksi didalam pasar pertukaran biasanya jarang diperhitungkan padahal biaya transaksi ini dapat menyebabkan jumlah keuntungan yang seharusnya didapatkan menjadi semakin kecil (Tomassen 2004). Selain itu kelembagaan SRG yang terikat oleh institusi/aturan ini memberikan suatu dampak maka SRG dapat dijadikan sebagai sebuah alat untuk mengurangi ketidakpastian, menyederhanakan pembuatan keputusan dan menganjurkan adanya kerjasama antar pelaku didalam transaksi kepemilikan resi gudang dan pembiayaan sehingga biaya koordinasi ekonomi dan aktivitas lainnya dapat ditekan lebih rendah. Dari penjelasan di atas maka penentuan dan perhitungan biaya transaksi untuk mendapatkan dokumen resi gudang maupun kredit dengan skema resi gudang harus dilakukan. Sebelum diperhitungkan maka akan dikelompokkan terlebih dahulu dua macam bentuk petani yang berpartisipasi didalam Sistem Resi Gudang karena berpengaruh terhadap biaya transaksi yang akan dikeluarkan: 1. Petani yang menjadi anggota kelompok tani dan menyimpankan gabahnya atas nama kelompok tani 2. Petani yang belum mengikuti kelompok tani (karena kendala tidak aktifnya kelompok tani yang ada), umumnya petani ini memiliki profesi lain sebagai penggiling. Dalam pelaksanaan Sistem Resi Gudang, transaksi yang dilakukan terbagi menjadi 3 macam transaksi: 1) transaksi keanggotaan kelompok tani, 2) transaksi penerbitan resi gudang, 3) transaksi pembiayaan. Setiap peserta tidak selalu melaksanakan ketiga transaksi tersebut. Petani yang menyimpankan gabahnya secara mandiri/non kelompok tani maka tidak melakukan transaksi untuk menjadi anggota kelompok tani. Umumnya peserta non kelompok merupakan petani yang telah memiliki jumlah gabah yang sesuai dengan kuota minimum untuk disimpan di gudang SRG. Sedangkan pada petani kecil yang hanya memiliki beberapa ton gabah, maka pilihannya adalah bergabung didalam keanggotaan kelompok tani terlebih dahulu. Sebelum akhirnya dapat menyimpan gabah secara kolektif ke gudang SRG dan menyimpan gabah atas nama kelompok tani. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, motivasi utama seluruh peserta untuk bergabung didalam SRG Cianjur adalah supaya mendapatkan pembiayaan/kredit. Diperkuat dengan data pada Tabel 7 yang memperlihatkan
45 persentase pinjaman sebesar 70 persen. Dari data tersebut diketahui bahwa seluruh peserta di SRG Cianjur melakukan transaksi perbitan resi gudang dan transaksi pembiayaan. Sebelum dijelaskan lebih detail mengenai identifikasi transaksi tersebut, berikut dipaparkan tabel statistik mengenai variasi jarak yang menentukan besaran biaya transaksi. Berdasarkan Hosseini et al. (2012) dan Abiad et al. (1988) jarak merupakan komponen penting penentu besaran biaya transaksi. Jarak dari tempat tinggal ke lembaga pembiayaan mempengaruhi biaya transaksi karena terkait dengan biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk mengurus proses transaksi. Semakin jauh jarak maka biaya transaksi yang harus dikeluarkan semakin tinggi. Dari Tabel 9 diketahui bahwa jarak terjauh antara lokasi peserta dengan gudang adalah sekitar 23 km, secara keseluruhan rata–rata jarak yang harus ditempuh peserta ke gudang yakni sekitar 10.51 km. Akses dari lokasi petani ke jalan utama agak sedikit berbatu, sedangkan akses dari jalan utama ke gudang sudah sangat bagus. Pada pelaksanaan transaksi pembiayaan, rata-rata jarak ke bank sekitar 17.35 km. Jarak tersebut cukup jauh karena lokasi bank yang terletak di pusat Kota Cianjur. Bank BJB yang bekerjasama dengan SRG Cianjur adalah Bank BJB Jalan HOS Cokroaminoto. Menurut responden, jarak yang harus ditempuh untuk mendapatkan pembiayaan masih dapat ditolerir. Mengingat manfaat dari kredit sangat dirasakan sekali bagi peserta untuk membeli benih, pupuk, keperluan rumah tangga dan modal usaha. Tabel 9 Sebaran rata-rata jarak ke lokasi transaksi pada pelaksanaan transaksi Sistem Resi Gudang di Kabupaten Cianjur Standar Variabel biaya transaksi Maksimum Minimum Rata-rata Deviasi(σ) Jarak ke gudang 23 km 3 km 10.51 km 5.81 Jarak ke Bank BJB 20 km 12 km 17.35 km 2.83 Jarak ke ketua 0.5 km 0.1 km 0.27 km 0.16 kelompok tani Jarak ke kepala desa 0.6 km 0.2 km 0.47 km 0.11 Dalam transaksi untuk mendapatkan keanggotan kelompok tani jarak ke ketua kelompok menjadi variabel yang mempengaruhi besaran biaya. Responden yang digunakan dalam penelitian ini masih berada di lokasi yang dekat dengan tempat tinggal ketua kelompok. Begitu pula untuk kepengurusan surat keterangan petani yang dibutuhkan dalam penerbitan resi gudang. Jarak kepala desa menjadi variabel penentu besaran biaya. Pada responden yang diteliti, rata-rata jarak petani ke ketua kelompok adalah 0.27 km dan jarak rata-rata ke kepala desa adalah 0.47 km. Jarak tersebut masih cukup dekat untuk dijangkau petani dalam pelaksanaan kegiatan. Pembahasan berikutnya akan dijelaskan mengenai hasil transaction cost analysis berdasarkan aktivitas dalam Sistem Resi Gudang yang terdiri dari 3 transaksi yakni transaksi keanggotaan kelompok tani, transaksi penerbitan resi gudang dan transaksi pembiayaan berbasis resi gudang. Aktivitas transaksi keanggotaan kelompok tani Sebelum petani menjadi anggota kelompok tani (Poktan), ada beberapa proses yang harus dilalui. Dalam penelitian ini, terdapat petani yang berpartisipasi
46 didalam SRG atas nama kelompok tani. Petani-petani tersebut tergabung kedalam tiga kelompok tani yaitu kelompok tani Mulya tani, kelompok tani Sari tani dan kelompok tani Hegarmanah. Setiap kelompok terdiri dari 6 hingga 35 orang petani yang bergabung untuk mengikuti SRG Cianjur. Tidak semua anggota kelompok selalu berpartisipasi dalam SRG, tergantung dari keperluan masing-masing petani. Dari ketiga kelompok tersebut telah terbit 16 nomor dokumen resi gudang pada musim panen. Nilai maksimal pembiayaan atas nama kelompok tani bukan menurut nilai per lembar resi gudang namun per seorangan. Pada setiap individu maksimal plafon pembiayaan yang dapat dipinjam yakni sebesar 75 juta. Biaya transaksi rata-rata yang dikeluarkan petani pada transaksi untuk menjadi anggota kelompok tani adalah Rp99 187.53. Dalam aktivitas transaksi untuk menjadi anggota, petani akan menjalani proses transaksi yang meliputi pencarian informasi terkait keanggotaan kelompok tani, proses negosiasi untuk melengkapi persyaratan yang ditentukan supaya dapat menjadi anggota kelompok tani, pelaksanaan kontrak keanggotaan dan penegakan kontrak. Proses-proses tersebut akan dijelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut: 1. Proses pencarian informasi Sebelum menjadi anggota kelompok tani, terdapat proses yang menyebabkan petani memperoleh informasi terkait keanggotaan kelompok tani. Tidak semua petani secara sengaja mencari informasi terkait keanggotaan kelompok tani. Biasanya mereka mendapatkan informasi dari mulut ke mulut terutama karena masih kuatnya sosialisasi antar warga menyebabkan informasi mengenai kelompok tani mudah didapatkan tanpa mengeluarkan biaya. Namun ada juga beberapa petani yang sengaja mencari informasi keanggotaan kelompok tani supaya mampu memanfaatkan kesempatan dari adanya jaringan berbentuk kelompok tani. 2. Proses negosiasi Berdasarkan perhitungan pada transaksi keanggotan kelompok tani diketahui bahwa komponen yang menghasilkan biaya transaksi terbesar adalah pajak. Pajak yang dimaksud adalah pajak atas sawah yang dimiliki, pajak ini berperan sebagai transfer hak kepemilikan atas sawah kepada pemerintah. Bukti pembayaran pajak menjelaskan bahwa seseorang tersebut adalah petani. Pajak secara tidak langsung merupakan salah satu syarat kelengkapan proses negosiasi didalam transaksi untuk menjadi anggota kelompok tani. Kepemilikan lahan menjadi persyaratan utama petani untuk menjadi anggota kelompok. Setiap tahunnya petani dibebankan biaya pajak yang nilainya bervariasi tergantung dari strategisnya letak lahan. Rata-rata biaya pajak yang dibayarkan petani yakni Rp68 279.16. Pembayaran pajak dilakukan di bank yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal petani. Jarak bank untuk membayar PBB juga menjadi faktor yang mempengaruhi besaran biaya transaksi yang harus dikeluarkan. Hal ini diperkuat dengan penelitian Jagwe (2011) dan Alene et al. (2007) mengenai jarak sebagai faktor yang mempengaruhi besaran biaya transaksi. Selain pajak, syarat lainnya yang harus dipenuhi adalah surat pengajuan keanggotaan kelompok tani dan fotokopi KTP dengan perhitungan biaya yang dikeluarkan untuk komponen paper cost sebesar Rp550. 3. Proses pelaksanaan kontrak keanggotaan kelompok tani Setelah memenuhi persyaratan dan telah melewati proses negosiasi untuk menjadi anggota kelompok tani maka akan selanjutnya dilaksanakan akad kontrak.
47 Biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan proses keanggotaan kelompok tani yakni biaya perjalanan dan biaya korbanan. Biaya perjalanan berupa biaya transportasi untuk untuk mengurus pelaksanaan transaksi keanggotan. Dari perhitungan yang dilakukan, nilai dari transportasi pelaksanaan tersebut tidak terlalu besar yakni Rp 2 825.02 karena jarak petani dan ketua kelompok masih berdekatan. Dari wawancara, terlihat sebaran jarak anggota kelompok hanya berkisar antara 100 meter hingga 500 meter dengan rata-rata 0.27 km. Pada komponen biaya korbananan yang dikeluarkan pada transaksi keanggotaan juga memperlihatkan nilai yang kecil. Biasanya waktu pengurusan keanggotaan poktan sangat fleksibel. Petani umumnya melakukan transaksi selepas kegiatan usaha yakni dilakukan pada sore atau malam hari. Setelah menjadi anggota kelompok, petani dapat berpartisipasi dalam SRG dengan menyimpankan gabah secara kolektif. Kondisi di lapang memperlihatkan bahwa petani yang memiliki gabah kurang dari 5 ton cenderung langsung menjual gabahnya. Namun ada juga beberapa petani yang tetap ikut menyimpankan gabah walau jumlah gabahnya sedikit, salah satunya ketua kelompok tani. Biaya transaksi total yang telah disebutkan sebelumnya sebesar Rp99 187.53 juga hanya dikeluarkan sekali saat pertama kali menjadi anggota dan tidak ada biaya bulanan untuk menjaga kontrak keanggotaan kelompok tani karena dari ketiga kelompok tersebut tidak aktif melakukan rapat rutin setiap bulan. Hasil wawancara juga diketahui bahwasanya perkumpulan kelompok tani hanya diadakan ketika adanya bantuan dari pemerintah ataupun ketika musim panen tiba. Perkumpulan ini bertujuan untuk menentukan jenis padi yang akan ditanam pada musim tanam yang akan datang. Petani yang berstatus anggota kelompok tani, pada aktivitas transaksi SRG yang meliputi transaksi penerbitan resi, penjaminan, penyelesaian keseluruhan maupun sebagian hak jaminan resi, ketua kelompok memiliki peran yang sangat penting. Peran yang dilakukan adalah mewakilkan kepengurusan untuk proses transaksi. Ketua berperan untuk mengkoordinasikan pengumpulan gabah anggota di suatu lokasi penjemuran, melaksanakan transaksi dan melakukan penghitungan biaya. Pelaksanaan kegiatan tersebut juga dibantu oleh pengurus kelompok tani. Dengan keterwakilan tersebut menyebabkan biaya yang dikeluarkan anggota menjadi rendah. Hasil ini sesuai dengan penelitian Pingali et al. (2005) yang menyatakan bahwa peminjaman modal secara berkelompok dapat mengurangi biaya transaksi. Hal ini disebabkan karena dengan bergabungnya beberapa peminjam yang diproses dalam satu transaksi besar menyebabkan biaya yang muncul lebih ringan. Keterlibatan pada hubungan sosial dalam bentuk keanggotaan kelompok dapat menekan adanya biaya transaksi karena adanya penggunaan sumberdaya baik berupa informasi maupun tenaga secara bersamasama. Aktivitas transaksi kepemilikan resi gudang Proses transaksi penerbitan resi gudang merupakan proses awal keterhubungan antara peserta dengan lembaga-lembaga didalam SRG. Lembaga yang terkait didalam proses penerbitan resi gudang antara lain Lembaga Penguji Kesesuaian (LPK), Lembaga Asuransi dan Pusat Registerasi (Pusreg). Pengelola gudang sangat berperan penting karena yang memfasilitasi berlangsungnya proses transaksi dan menciptakan proses transaksi yang efektif dan efisien dari segi biaya
48 maupun waktu. Dalam aktivitas transaksi kepemilikan resi gudang terdapat kegiatan penyimpanan gabah, penerbitan resi gudang serta pembatalan resi gudang. Pada Lampiran 1 terdapat rincian proses dari setiap aktivitas Sistem Resi Gudang. Berikut penjelasan dari proses transaksi pada aktivitas transaksi kepemilikan resi gudang yang berupa penerbitan resi gudang: 1. Biaya pencarian informasi (searching information) Awalnya sebelum petani memutuskan untuk menyimpankan gabah di gudang SRG, terlebih dahulu mereka melakukan transaksi untuk mendapatkan informasi pasar. Setelah informasi terkumpul baru kemudian dilakukan evaluasi terhadap alternatif pilihan. Biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan informasiinformasi tersebut berupa biaya pulsa dan uang bensin/transportasi untuk mendapatkan informasi di pasar maupun di lokasi pelaku lain yang memiliki informasi terkait harga sebelum memutuskan akan menyimpan gabah. Komponen biaya terbesar yang membentuk biaya pada proses pencarian informasi adalah komponen travel cost dan communication cost. Rata-rata biaya tersebut adalah Rp933.3 untuk biaya bensin dan Rp1 243.4 untuk biaya pulsa. Dari kedua komponen tersebut, petani cenderung menggunakan alat komunikasi untuk mencari informasi harga gabah karena lebih fleksibel untuk dilakukan. Selama evaluasi jika petani merasa lebih menguntungkan untuk menyimpan gabah daripada menjual langsung maka petani dapat menghubungi pihak pengelola gudang untuk menanyakan ketersediaan gudang yang kosong. Setelah calon peserta mendapat konfirmasi bahwa kapasitas gudang tersedia maka calon peserta dapat segera memindahkan gabahnya ke gudang. Tahun 2014 jarak terjauh peserta SRG Cianjur yakni sekitar 23 km yakni di Kecamatan Sukaluyu. Peserta anggota kelompok tani lebih sedikit mengeluarkan biaya pencarian informasi dan komunikasi karena adanya pemberian informasi terkait SRG dari pengurus kelompok tani sehingga mereka hanya mengeluarkan biaya komunikasi berupa upah lelah pengurus kelompok tani yang telah mewakilkan proses transaksi kepemilikan resi gudang. 2. Proses negosiasi Pada proses negosiasi untuk transaksi kepemilikan resi gudang komponen yang membentuk biaya transaksi adalah paper cost, opportunity cost dan tax cost. Jumlah biaya transaksi yang muncul dari komponen paper cost yakni Rp130 untuk peserta kelompok tani dan Rp450 untuk peserta non kelompok tani. Biaya tersebut dikeluarkan untuk melengkapi pemberkasan yang disyaratkan dalam proses transaksi. Biaya tersebut yakni merupakan biaya fotokopi KTP, surat pembentukan poktan/gapoktan, dokumen susunan pengurus, surat kuasa dari anggota kepada ketua atau pengurus dan surat izin usaha dari kepala desa setempat/surat keterangan sebagai petani. Komponen biaya berikutnya adalah biaya korbanan (opportunity cost). Komponen ini merupakan biaya yang dikorbankan pelaku transaksi akibat meninggalkan pekerjaan utama (bersifat non tunai). Pada saat gabah yang akan disimpan telah tiba seluruhnya di gudang, dapat segera dilakukan uji mutu oleh LPK. Uji ini dilakukan sebagai syarat mutu supaya gabah dapat disimpankan di dalam gudang SRG sehingga dapat diterbitkan dokumen resi gudangnya. Sesuai ketentuan alur proses pelaksanaan SRG yang tertulis, sebelum kegiatan uji mutu dilaksanakan seharusnya pengelola mengirim surat pengajuan uji mutu ke Bulog selaku LPK. Namun dalam pelaksanaannya agar proses berjalan lebih cepat maka pengelola langsung meminta LPK untuk
49 datang dan surat pengajuan diberikan ketika LPK tiba dikantor SRG. Harus ada komunikasi dan kerjasama yang baik antar pengelola dan lembaga LPK sehingga proses kegiatan ini berjalan dengan lancar. Petugas LPK langsung membawa peralatan serta cap lolos uji sehingga jika gabah dinyatakan lolos uji mutu maka penerbitan dokumen dapat segera diurus dan dilegalkan (Lampiran 2). Uji mutu terdiri dari pengujian terhadap kadar air dan hampa pada sampel gabah. Berdasarkan SNI maksimal kadar air 14 persen dan hampa gabah sebesar 1-3 persen. Setelah pengujian selesai, pengelola langsung mengurus polis asuransi untuk gabah yang disimpan. Dari wawancara oleh pihak pengelola, kendala pelaksanaan transaksi yang kerap dihadapi di SRG lain yakni terkait polis asuransi. Lamanya proses untuk mendapatkan akses nomor polis baru, pihak pengelola harus menunggu selama kurang lebih 2 hari. Mengetahui hal tersebut maka pihak pengelola SRG Cianjur sudah mengantisipasinya dengan memesan terlebih dahulu 50 jenis nomor polis (akan segera mengkonfirmasi jika telah digunakan). Manajemen pengurusan polis ini dapat mempersingkat waktu dalam penerbitan dokumen resi gudang. Setelah mendapatkan nomor polis, proses berikutnya adalah penerbitan resi gudang. Pajak merupakan salah satu komponen biaya dari proses negosiasi. Pajak yang dikeluarkan oleh peserta SRG adalah berupa biaya materai. Materai merupakan bentuk dari pajak tidak langsung untuk dokumen transaksi yang dibuat. Pada Tabel 10 didapatkan hasil bahwa biaya untuk pajak yang dikeluarkan peserta anggota kelompok tani adalah Rp2 400 dan non kelompok tani Rp12 000. Biaya pajak yang dikeluarkan peserta kelompok tani lebih rendah karena pada satu dokumen pajak, biaya materai ditanggung bersama anggota lain yang tergabung gabahnya dalam satu dokumen tersebut. Di lapang pada partisipan non kelompok, selain biaya materai sebenarnya terdapat komponen biaya lain yang menimbulkan biaya transaksi namun tidak dimasukkan kedalam perhitungan yakni adanya biaya pajak untuk proses negosiasi. Dalam proses negosiasi terdapat persyaratan adanya surat keterangan sebagai petani. Persyaratan ini menghadirkan komponen biaya pajak sawah sebagai komponen persyaratan pernyataan sebagai petani ke kepala desa. Persyaratan-persyaratan SRG memang lebih mengarah untuk petani karena terkait dengan pemberian kredit bersubsidi. Pelaku usaha lain dipersilahkan juga untuk menyimpankan gabah ke gudang namun resi yang diterbitkan tidak akan mendapatkan subsidi. Hal ini terkait dengan misi SRG sebagai fasilitator pemberian kredit murah bagi petani untuk keberlanjutan usaha taninya. Partisipan non kelompok mengeluarkan biaya sebesar Rp145 246.67 untuk proses negosiasi penerbitan resi gudang. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa pajak merupakan persyaratan tidak langsung dari proses negosiasi penerbitan resi gudang. 3. Proses pelaksanaan kontrak Setelah proses negosiasi dilakukan dan sudah memenuhi kesepakatan kedua belah pihak maka proses pelaksanaan kontrak. Komponen yang membentuk biaya didalam proses pelaksanaan kontrak adalah travel cost dan opportunity cost. Biaya perjalanan (travel cost) merupakan biaya yang digunakan untuk melakukan seluruh proses transaksi bisa berupa uang bensin (jika memiliki kendaraan pribadi) maupun uang transportasi jika menggunakan kendaraan umum. Pada aktivitas transaksi kepemilikan resi gudang, komponen biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh peserta anggota kelompok tani adalah Rp4 530.54 dan peserta
50 non anggota kelompok tani adalah Rp13 161.45. Biaya tersebut muncul dari biaya pembelian bahan bakar kendaraan untuk mengurus transaksi dari lokasi tempat tinggal dan ke gudang SRG. Proses pelaksanaan transaksi kepemilikan resi gudang dapat terselesaikan dalam waktu kurang dari sehari sehingga rata-rata peserta hanya melakukan satu kali perjalanan untuk mengurus transaksi kepemilikan resi gudang. Berikutnya pada komponen biaya opportunity cost, biaya tersebut dikeluarkan berupa biaya non tunai akibat korbanan pekerjaan utama yang ditinggalkan untuk melakukan pelaksanaan kontrak berupa pembacaan MOU serta penandatanganan kontrak dari kedua belah pihak. Pada Tabel 10 terlihat bahwa biaya korbanan merupakan biaya yang menyumbang nilai tertinggi yakni 62.4 persen dan 63.8 persen dari total biaya pada pelaksanaan keseluruhan aktivitas kepemilikan resi resi gudang. Hal ini diperkuat oleh Hosseini et al. (2012) dan Herath (1994) yang menyatakan bahwa komponen biaya korbanan merupakan komponen biaya tertinggi pada aktivitas proses transaksi. Terutama karena transaksi dilakukan pada jam kerja (pagi hingga sore). Selanjutnya jika kontrak telah terjadi maka pihak pengelola langsung mengkonfirmasikan data gabah yang masuk ke pusat registrasi untuk mendapatkan nomor resi. Saat nomor telah terbit, dokumen resi gudang dapat segera dicetak. Kelebihan lain dalam pengelolaan gudang Cianjur, pengelola langsung mengirimkan scanning dokumen resi yang baru terbit ke pihak perbankkan. Dari bukti scan tersebut pihak BJB dapat segera melakukan proses persiapan untuk memberikan kredit. Hal penting yang menjadi konsen pengelola SRG Cianjur dalam pelaksanaan kegiatan yakni terkait kelengkapan fasilitas yang dimiliki. Di dalam gudang telah difasilitasi CCTV dan dikantor terdapat mesin scanner. Mesin scanner mampu mepercepat proses pra transaksi pembiayaan yang akan dilakukan oleh petani peserta sedangkan CCTV untuk meminimalisir terjadinya kesalahan perhitungan gabah yang masuk gudang saat bongkar muat dilakukan. Tabel 10 Rata-rata biaya pada pelaksanaan penerbitan dokumen oleh peserta Sistem Resi Gudang di Cianjur berdasarkan komponen transaksi (Rp) Peserta SRG Komponen transaksi Anggota Non Rasio Rasio kelompok kelompok Travel cost 4 530.54 18.5 13 161.45 15 Opportunity cost 15 269.80 62.4 55 879.20 63.8 Tax 2 400 9.7 12 000 13.7 Communication cost 2 173.33 8.9 6 146.67 7 Paper cost 130 0.5 450 0.5 Total 24 503.67 100 87 637.32 100 Dari keseluruhan proses, rata-rata membutuhkan waktu sekitar 30 hingga 55 menit pengurusan dokumen resi gudang (hasil wawancara responden). Pada Tabel 10 di atas menjelaskan rincian komponen biaya transaksi dari aktivitas transaksi penerbitan resi gudang. Dari hasil kajian transaksi penerbitan resi gudang di atas, biaya transaksi yang muncul dari partisipan non kelompok lebih besar dibanding
51 dengan partisipan kelompok tani (Tabel 10). Hal tersebut dikarenakan pada pelaksanaan transaksi yang terkait dengan penerbitan resi hanya diwakilkan oleh ketua kelompok atau bendahara saja. Tentu saja pelaksanaan Sistem Resi Gudang secara kolektif menghasilkan biaya yang lebih murah. Pada peserta non kelompok tani, biaya transaksi tertinggi muncul dari komponen waktu korbanan (opportunity cost) karena pelaksanaan transaksi dilakukan dengan mengorbankan usaha lain. Hal ini selaras dengan penelitian Hosseini et al. (2012) yang menyatakan bahwa biaya korbanan berperan signifikan didalam nilai biaya tansaksi. Bersama-sama dengan komponen lain yakni biaya perjalanan (traveling costs) dan biaya keamananan (security) disebutkan membentuk 80 persen dari biaya transaksi total pembiayaan pada penelitian tersebut. a. Proses pengalihan, endorsement, dan pembatalan dokumen resi gudang Pada proses pembatalan dokumen resi gudang, terdapat perbedaan ketentuan proses pelunasan kredit di SRG Cianjur dibanding dengan SRG lain. Perbedaan tersebut yaitu diperbolehkannya peserta SRG melakukan pembayaran secara berkala terhadap gabah yang disimpan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kegagalan pembayaran dalam menebus gabah yang disimpan. Fakta dilapang memperlihatkan bahwa dana yang dimiliki oleh petani untuk menebus gabah tidak bisa sekaligus berjumlah besar. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Widiyani (2014) yang menyebutkan bahwa kendala yang sering dihadapi peserta SRG adalah ketidaksanggupan untuk membayar gabah yang jatuh tempo dalam jumlah besar. Didalam penelitian tersebut pemilik komoditas di gudang dapat mengambil barang yang telah jatuh tempo sebelum melunasi pinjaman. Pengelola gudang hanya meminta surat kesanggupan untuk melunasi pinjam. Padahal hal ini menyalahi prosedur yang ada, yakni pengelola gudang hanya dapat mengeluarkan barang hanya jika ada surat perintah pengeluaran barang dari penerima hak jaminan yaitu pihak bank. Di SRG Cianjur telah ada inisiatif dari pengelola untuk menghindari hal tersebut yakni petani dapat melakukan proses angsuran pembayaran gabah yang terdapat di gudang. Jika resi gudang sedang diagunkan di bank, maka data gabah yang telah diangsurkan akan dirubah secara manual oleh pihak perbankan berdasarkan bukti struk pembayaran. Namun apabila resi gudang sedang dipegang oleh pemilik barang (tidak sedang diagunkan) maka akan dilakukan endorsement di resi gudang miliknya. Proses pembayaran tersebut dapat diperjelas dengan contoh berikut: peserta membayar 10 juta ke rekening, kemudian memberitahukan pihak pengelola gudang bahwa ia telah melakukan penyetoran dana sebesar 10 juta. Pengelola gudang kemudian akan menelepon pihak Bank BJB untuk menginformasikan hal tersebut. Setelah mendapatkan laporan maka oleh bank nomor rekening yang bersangkutan diblokir supaya dana tidak diambil kembali. Setelah mendapatkan persetujuan bank, pengelola gudang dapat mengeluarkan gabah senilai 10 juta tersebut. Dengan begitu permasalahan pada gabah yang jatuh tempo dengan nilai pembiayaan yang sangat besar dapat diatasi. Jadi satu resi biasanya dapat diangsur oleh petani sebanyak 2 hingga 4 kali (desain baru yang mulai dijadikan masukan oleh BAPPEBTI) tergantung kebutuhan dan harga gabah. Pelaksanaan angsuran pembayaran kredit tersebut haruslah dilakukan dengan kerjasama dan komunikasi yang baik antar pihak peserta, pengelola dan bank. Dari wawancara dengan pihak bank, beberapa bank yang masih ragu untuk ikut serta bekerjasama dengan Sistem
52 Resi Gudang dikarenakan belum jelasnya hukum yang ada. Misalnya jika terjadi kehilangan gabah/barang di gudang (dicuri ataupun disalahgunakan oleh pengelola gudang), tindakan lanjutan di ranah hukum masih terkatung-katung dan belum ada SOP yang jelas. Dana tidak dapat dikembalikan oleh pihak asuransi karena asuransi hanya menanggung kerugian yang disebabkan jika terjadi kebakaran saja. Mengenai pemasaran gabah yang disimpan di gudang, pada tahun 2013 sekitar 30 persen petani yang terfasilitasi dalam mencari calon pembeli oleh pengelola gudang. Penyimpanan gabah di satu lokasi gudang dengan jumlah yang sangat besar memberikan manfaat bagi calon pembeli karena adanya informasi yang tersentralisir jika dibandingkan ketika gabah yang tersebar hanya sedikit di sejumlah lokasi petani. Calon pembeli juga dengan mudah mencari informasi barang yang tersedia. Pada tahun 2014 hanya 10 persen petani yang terfasilitasi pemasaran gabahnya, selebihnya telah memiliki pasar masing-masing. Contohnya ada petani yang memiliki pabrik penggilingan beras sehingga ia memiliki calon pembeli sendiri tanpa bantuan para pengelola gudang SRG. Petani melakukan evaluasi sendiri dari beberapa pembeli yang menawar (bergantung dari kondisi kebutuhan petani) jika petani dalam kondisi membutuhkan dana besar segera, maka gabah akan cepat dijual. Gabah biasanya dijual kepada pedagang besar dalam sekali penjualan. Rata-rata petani peserta SRG harus mengeluarkan biaya sebesar Rp26 555.87 pada proses angsuran pembayaran. Komponen biaya tersebut timbul dari proses pencarian informasi dan negosiasi yang dilakukan petani untuk memilih mengambil gabah secara angsur ketika harga meningkat. Biaya ini juga meliputi proses waktu tunggu (opportunity cost) ketika melakukan pembayaran di bank dan proses pelaksanaan perubahan dokumen resi gudang. Jarak lokasi gudang dan bank dari tempat tinggal petani partisipan juga sangat mempengaruhi biaya transaksi yang muncul. Hal ini terkait dengan biaya transportasi dalam pelaksanaan transaksi yang akan dilakukan. Pada proses akhir transaksi untuk membatalkan kepemilikan resi agar gabah dapat diambil, petani partisipan harus menyetorkan keseluruhan dana pinjaman yang diberikan beserta bunga yang dibebankan. Kemudian bukti pelunasan dan dokumen resi gudang di bawa ke gudang untuk dilakukan pembatalan hak kepemilikan resi gudang. Setelah data dikirim ke pusat registrasi (Jakarta) dan terverifikasi, maka gabah yang tersisa dapat dikeluarkan dari gudang. Dengan demikian dokumen resi gudang secara sah dibatalkan/digugurkan kepemilikannya. Selama proses penerbitan, penjaminan dan pembatalan kepemilikan dokumen resi gudang, komponen utama yang penting didalam proses kegiatan ini adalah jaringan internet yang baik. Dokumen resi gudang tidak dapat terbit sebelum mendapatkan nomor SRG. Pihak pengelola juga sangat konsen terhadap ketersediaan jaringan didalam SRG. Pada penelitian Sugiono (2014) pada lokasi SRG lain, ketidaktersediaannya wifi di gudang menyebabkan penerbitan dokumen resi harus dilaksanakan di kantor Pemda, dimana hal tersebut sangat tidak efisien dan menyebabkan biaya mobilisasi yang tinggi bagi peserta untuk melakukan transaksi kepemilikan resi gudang. Maka dari itu kelihaian pengelola untuk melihat celah yang menyebabkan biaya transaksi tinggi sangat dibutuhkan. Hingga akhir pelaksanaan SRG, petani peserta akan dipantau terus oleh pengelola gudang dalam keberhasilan menjual gabah. Jika petani mengalami
53 kerugian pada saat menjual gabahnya maka biaya dari penyimpan SRG akan dikembalikan sejumlah tertentu oleh pengelola gudang. Fleksibilitas tersebut dilakukan untuk menjaga keberlanjutan petani untuk menyimpankan gabah di SRG dan meningkatkan loyalitas serta kepercayaan. Pada pengamatan di lapang, manajemen proses dari pelaksanaan SRG yang diatur dengan baik dapat menciptakan transaksi yang efektif dan efisien. Biaya transaksi yang harus dikeluarkan peserta dapat ditekan dengan beberapa pengelolaan manajemen SRG yang terorganisir dengan baik. Terutama karena SRG merupakan model kelembagaan yang terdiri dari banyak lembaga, berbelit-belitnya proses di dalam satu unit lembaga dapat mempengaruhi kegiatan SRG secara keseluruhan sehingga dapat meningkatkan biaya transaksi yang tidak efektif. Proses transaksi kepemilikan dokumen resi gudang dan transaksi pembiayaan SRG Cianjur yang cepat dan mudah merupakan akibat dari adanya manajemen yang baik, hal ini dapat menjadi solusi dari permasalahan kredit bersubsidi yang ada di Indonesia. Dimana menurut Ashari (2009) lamanya waktu dari proses pengajuan hingga realisasi kredit menjadi salah satu permasalahan besar di dalam program pembiayaan pertanian Indonesia. Sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kemampuan teknik yang handal ketika melaksanakan program SRG sangat berperan besar dalam keberhasilan program. Hal ini dibuktikan oleh kesuksesan yang nyata di Bulgaria. Di negara tersebut, pelatihan-pelatihan SDM dilakukan sebelum program SRG dilaksanakan sehingga saat program telah berjalan mereka dapat bekerja secara maksimal (Kiriakov 2001). Aktivitas transaksi pembiayaan berbasis resi gudang (penjaminan dokumen resi gudang) Lembaga pembiayaan yang bekerjasama dengan Sistem Resi Gudang Cianjur adalah Bank Jawa Barat Cabang Cianjur yang berada di Jl Hoscokroaminoto (dalam kota). Setiap SRG menjalin kerjasama dengan lembaga pembiayaan yang berbeda-beda. Terlihat pada Tabel 11, terdapat lembaga bank dan non-bank yang ikut berpartisipasi dalam sistem ini. Lembaga pembiayaan tersebut bertugas memberikan kredit berbunga rendah bagi partisipan SRG. Berdasarkan Permenkeu No. 171/PMK.05/2009 dan Permendag No. 66/MDAG/PER/12/2009 disebutkan bahwa petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan koperasi tani akan memeperoleh pembiayaan dengan bunga rendah yakni sebesar 0.5 persen. Diharapkan dengan pemberian bunga yang rendah akan memacu petani untuk berpartisipasi pada program ini. Berdasarkan data di Tabel 11 terjadi peningkatan persentase pembiayaan dari tahun ke tahun. Dimana pada tahun 2008 persentase pembiayaan hanya sebesar 21 persen sedangkan di tahun 2014 persentase pembiayaan telah mencapai 65 persen. Tingginya nilai persentase pembiayaan tersebut seiring dengan meningkatnya jumlah resi gudang yang diagunkan ke bank. Tahun 2008 hanya sebanyak 6 lembar dokumen resi gudang yang diagunkan sedangkan tahun 2014 sudah melonjak sebanyak 559 lembar dokumen. Meningkatnya pembiayaan dapat disebabkan oleh makin sadarnya peserta SRG untuk memanfaat pembiayaan berbasis resi gudang yang mudah dan murah. Kemudahan yang diberikan oleh program juga terlihat dari tidak adanya persyaratan agunan untuk meminjam
54 melainkan hanya dokumen resi gudang yang dimiliki. Bunga pinjaman yang disubsidi menjadikan kredit SRG sebagai kredit murah bagi peserta SRG. Tabel 11 Jumlah resi gudang yang terbit, persentase pembiayaan dan lembaga keuangan yang tergabung pada pembiayaan berbasis Resi Gudang di Indonesia tahun 2008-2014 Pembiayaan Tahun
2008
Jumlah resi gudang (lembar) 6
2009 2010
5 35
136 800 000 4 216 023 850
44 2982
2011
218
24 049 719 530
470
60%
2012
334
58 653 918 633
144
62%
2013
446
66 993 206 000
14
61%
2014
559
75 795 102 000
13
65%
Total
1603
Nilai (Rp)
Persentase pembiayaan
%*)
21% BPRS Bina Amanah, BRI,
313 900 000
230 158 670 013
Lembaga keuangan
Bank Jatim
-
24% BRI 48% BRI, Bank Jatim, Bank BJB,
-
Bank Kalsel, PKBL KBI, LPDB LPDB, Bank Jatim, Bank BJB, Bank Kalsel, PKBL KBI, BRI BRI, Bank Jatim, Bank BJB, PKBL, KBI, Bank Jateng BRI, Bank Jateng, Bank Jatim, Bank BJB, PKBL KBI BRI, Bank Jatim, Bank BJB, Bank Kalsel, PKBL KBI
-
*) Prosentase pertumbuhan pada bulan berjalan tahun sebelumnya Sumber: Diolah dari BAPPEBTI (2015a)
Pelaksanaan transaksi pembiayaan berbasis resi gudang dapat dilakukan ketika peserta sudah memiliki dokumen resi yang telah diterbitkan oleh pihak pengelola gudang. Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan peminjam (borrower) yakni berupa upah pelayanan untuk mendapatkan pendanaan, biaya travel, biaya telepon, biaya foto, biaya dokumen fotokopi (paper cost), biaya administrasi dan biaya korbanan yang dihabiskan untuk melaksanakan transaksi pendanaan. Hal ini selaras dengan Olomola (1999) yang menyebutkan komponen yang menyusun biaya transaksi pada pembiayaan yakni biaya administrasi, biaya transportasi untuk pelaksanaan transaksi dan korbanan waktu (opportunity cost) yang dihabiskan untuk negosiasi, mendapatkan dan mengembalikan pinjaman. Berikut penjelasan biaya transaksi berdasarkan proses-proses transaksi yang berlangsung dari aktivitas transaksi pembiayaan: 1. Proses pencarian informasi Pada pelaksanaan aktivitas transaksi pembiayaan SRG, proses pencarian informasi tidak susah dan mahal. Adanya keaktifan pengelola gudang sebagai fasilitator menyebabkan biaya untuk proses pencarian informasi dapat ditekan. Pengelola gudang selalu memberikan informasi mengenai persyaratan apa saja yang harus dimiliki oleh petani untuk meminjam ke bank segera setelah dokumen resi gudang telah dimiliki oleh peserta. Hal ini dilakukan untuk menghindari petani bolak balik dalam mengurus persyaratan yang tidak lengkap.
55 2. Proses negosiasi Persyaratan utama peserta untuk mengikuti Sistem Resi Gudang agar mendapatkan subsidi interest rate (sekitar 6 persen) yakni harus memiliki surat keterangan sebagai petani dari kepala desa setempat. Jika peserta ternyata bukan petani maka boleh saja menyimpankan gabah ke gudang namun tanpa mendapatkan subsidi bunga pinjaman. Komponen biaya yang terdapat pada proses transaksi negosiasi adalah biaya perjalanan, biaya dokumen kelengkapan (paper cost) dan biaya korbanan (opportunity cost). Biaya dokumen kelengkapan berupa pas foto, fotokopi KTP, kepemilikan rekening Bank BJB, lampiran RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kredit) dan fotokopi surat nikah. Biaya tersebut rata-rata sebesar Rp4 330 bagi peserta kelompok tani dan Rp 18 316.66 bagi peserta non kelompok tani. Jika peserta telah menyiapkan seluruh persyaratan maka dapat langsung menuju BJB untuk mengurus berkas peminjaman. Rata-rata pencairan dana SRG hanya berkisar antara 60 hingga 180 menit tergantung antrian. Selama gabah yang akan disimpan oleh petani telah tiba semuanya di gudang, maka proses penerbitan dan penjaminan dokumen resi gudang hanya memakan waktu tidak sampai sehari. Disamping itu, peserta SRG juga mendapatkan kemudahan lainnya berupa pelayanan tambahan jika petani masih melakukan proses peminjaman lebih dari jam kerja (dari jam 3 hingga jam 5 sore). Hal ini dilakukan oleh pihak bank karena hal tersebut dirasa masih dapat dihandle serta memberikan kepuasaan pelayanan bagi nasabah pemegang RG. Secara umum berdasarkan wawancara, komunikasi serta inovasi yang dilakukan oleh pengelola gudang mampu memberikan pelayanan pendanaan yang cepat bagi petani dan sangat bersaing dengan peminjaman melalui para tengkulak. Hal ini sangat berpengaruh sekali terhadap pertisipasi petani seperti yang disebutkan pada penelitian Nurmanaf (2007). Pengawasan dan monitoring juga dilakukan oleh pihak bank terhadap gabah yang dijaminkan di gudang. 3. Proses pelaksanaan kontrak Di SRG Cianjur, pengelola gudang melakukan beberapa inovasi proses kegiatan agar transaksi berjalan lebih singkat. Adanya penggunaan mesin scanner dikantor menyebabkan resi gudang yang baru diterbitkan dapat langsung discan dan dikirim ke Bank BJB sehingga mempercepat proses pelaksanaan transaksi dan pencairan dana sehingga berpengaruh pada komponen biaya korbanan (opportunity cost). Biaya korbanan yang dihabiskan oleh peserta terjadi pada saat menunggu akad kontrak dilakukan, menunggu verifikasi data masuk ke lembaga registrasi pusat dan menunggu pencairan dana. Pada Tabel 12 didapatkan informasi bahwa pada peserta non kelompok tani, komponen biaya terbesar diluar pajak (materai) terdapat pada komponen biaya korbanan (opportunity cost). Untuk pajak berupa materai untuk dokumen kontrak pinjaman, peserta anggota kelompok tani dan non anggota kelompok tani mengeluarkan biaya sebesar Rp12 000 dan Rp60 000. Biaya korbanan total dari pelaksanaan transaksi pembiayaan pada peserta kelompok tani adalah Rp4 920.40 dan peserta non kelompok tani adalah sebesar Rp24 005.60. Pelaksanaan transaksi pembiayaan yang dilaksanakan pada hari kerja berdampak pada waktu yang harus dikorbankan peserta SRG untuk memilih meninggalkan usaha utamanya untuk melakukan proses transaksi. Hal tersebut diperkuat oleh Penelitian Hosseini et al. (2012) dan Herath (1994) bahwa biaya transaksi yang sangat penting pada sisi peminjam adalah waktu yang dihabiskan
56 untuk melaksanakan transaksi pembiayaan dan biaya perjalanan. Biaya perjalanan untuk pembiayaaan SRG tidak terlalu besar karena peserta cenderung langsung melakukan transaksi kontrak di gudang SRG. Jarak antara gudang dan BJB tidak terlalu jauh jarak tempuhnya. Berbeda halnya dengan peserta SRG kelompok tani, biaya terbesar adalah biaya komunikasi, hal ini terjadi karena ada pelaksanaan transaksi secara kolektif. Dimana petani anggota mewakilkan kepengurusan transaksinya kepada pengurus kelompok tani. Mereka hanya mengeluarkan biaya pulsa untuk mencari informasi terkait informasi keberlangsungan pelaksanaan transaksi yang telah diwakilkan serta membayar upah lelah (market fees) kepada pengurus kelompok. Tabel 12 Rata-rata biaya pada pelaksanaan transaksi pembiayaan oleh peserta SRG yang merupakan anggota kelompok tani dan non anggota kelompok tani berdasarkan komponen transaksi (Rp) Peserta SRG Komponen Anggota Non transaksi Rasio Rasio kelompok kelompok Travel cost 550.37 1.2 6 809.04 6.3 Opportunity cost 4 920.40 10.4 24 005.60 22 Tax 12 000 25.4 60 000 54.9 Communication 25 366.67 53.8 cost Paper cost 4 330 9.2 18 316.66 16.8 Total 47 167.44 100 109 131.30 100 4. Proses monitoring dari pihak bank Berdasarkan wawancara dengan pihak manajer didapatkan informasi bahwa setiap bulan pihak bank rutin melakukan pengecekan ke gudang langsung. Monitoring dilakukan dengan membandingan volume gabah, stock opname dan outstanding kredit. Petugas dari bank rutin datang untuk menghitung karung yang ada di gudang apakah sesuai dengan kuantitas yang tertulis di dokumen. Penyusunan karung di SRG Cianjur telah disusun sedemikian rupa sehingga mempermudah proses monitoring. Setiap tumpukan diberikan bendera serta laminating keterangan pemilik gabah (Lampiran 2). Selama terjadi kerjasama antara Bank BJB dengan pengelola gudang didalam pelaksanaan SRG, belum pernah terjadi kredit macet dari para peserta SRG. Perbandingan antara total kredit yang disalurkan bank BJB untuk kredit umum dan SRG adalah sekitar 1 Trilyunan/9 Milyaran pada tahun 2014. Pembiayaan sebesar 9 milyar rupiah merupakan nilai dari 70 persen gabah yang disimpan. Terlihat bahwa tujuan utama keikutsertaan petani didalam SRG adalah untuk mendapatkan bantuan modal/pembiayaan eksternal. Hal ini diperkuat dengan penelitian terdahulu oleh Towo dan Kimaro (2013) bahwa motif utama petani ketika ikut bergabung dengan Sistem Resi Gudang yakni keinginan untuk mendapatkan kemudahan akses pinjaman bagi usaha taninya, tertarik dengan harga dikemudian hari yang akan meningkat dan tertarik dengan pasar yang tersedia. Berdasarkan perhitungan dari ketiga aktivitas transaksi yang ada dalam SRG, pada Tabel 13 berikut ini diakumulasi keseluruhan biaya transaksi yang
57 dikeluarkan petani pada setiap aktivitas transaksi yakni transaksi penerbitan resi gudang dan transaksi pembiayaan. Biaya transaksi keanggotaan kelompok tani tidak diakumulasi bersama dua aktivitas lainnya karena biaya ini tidak dikeluarkan di tahun 2014 karena jika dijumlahkan maka akan menyebabkan over biaya. Nantinya biaya ini akan dibandingkan dengan keuntungan SRG di tahun 2014 berdasarkan penerimaan di tahun 2014 untuk melihat keefektifan biaya transaksi SRG. Tabel 13 Rata-rata biaya transaksi dari keseluruhan aktivitas transaksi dalam kegiatan Sistem Resi Gudang Cianjur Peserta SRG Aktivitas transaksi Anggota Non Rasio Rasio kelompok kelompok 99 187.53 Transaksi keanggotaan a kelompok tani (Rp)
a
Transaksi kepemilikan resi gudang (Rp)b Transaksi pembiayaan b (Rp)
24 503.67
35
87 637.32
44
47 167.44
65
109 131.30
56
Total biaya transaksi (Rp)b
71 671.11
100
196 768.62
100
b
biaya transaksi yang dikeluarkan sebelum tahun 2014, Biaya transaksi pada tahun 2014
Dari dua transaksi SRG yang berupa penerbitan dokumen dan pembiayaan, aktivitas dengan biaya transaksi terbesar pada peserta kelompok dan non kelompok tani terjadi pada saat aktivitas untuk pembiayaan. Hal tersebut telah dijelaskan sebelumnya bahwa tingginya transaksi pembiayaan dikarenakan adanya biaya atas pra-syarat pelaksanaan transaksi (negosiasi), biaya berkas untuk verifikasi, mobilitas serta biaya komunikasi petani untuk melaksanakan proses tersebut. Tingginya biaya pada transaksi pembiayaan tersebut masih dapat ditekan dengan mangelola pelaksanaan transaksi yang dilakukan pengelola gudang. Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa pengelola memfasilitasi penuh terkait pemberian informasi secara lengkap mengenai persyaratan apa saja yang harus dimiliki oleh petani untuk meminjam ke bank. Hal ini dilakukan untuk menghindari petani berulang kali kembali ke bank untuk mengurus persyaratan yang tidak lengkap. Selain itu pengelola terus memantau selama pelaksanaan transaksi berlangsung baik kepada pihak peserta maupun pihak bank. Informasi terbatas yang dimiliki peserta sangat mempengaruhi tingginya biaya transaksi. Hal ini diperkuat oleh penelitian Putri (2013) pada pengajuan kredit SRG di Bank BRI Cabang Pekalongan yang menjelaskan adanya biaya transaksi yang tinggi. Tingginya biaya transaksi tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dari debitur mengenai pengajuan permohonan kredit SRG baik mengenai syarat, kelengkapan bukti dokumen SRG dan banyaknya plafon pinjaman sehingga menyebabkannya peserta SRG harus berulang kali melaksanakan transaksi untuk mendapatkan pembiayaan berbasis resi gudang. Di Sistem Resi Gudang Cianjur, pengelola gudang Cianjur tidak diperbolehkan menyimpankan gabahnya di gudang yang dikelolanya, hal ini dilakukan untuk antisipasi untuk menghindari
58 terjadinya kebijakan ganda. Pada penelitian Coulter (2009) adanya permainan oleh pihak pengelola dapat menyebabkan SRG mengalami kegagalan. Kesalahan pada petani lebih dapat ditolerir daripada kesalahan dari pihak pengelola jika terjadi penyimpangan. Analisis Keuntungan Sistem Resi Gudang Terdapat dua manfaat yang didapatkan petani didalam skema Sistem Resi Gudang. Pertama, berupa selisih/marjin harga jual-beli pada kegiatan tunda jual dan pemanfaatan pembiayaan dengan jaminan resi gudang. Indikator yang digunakan untuk menilai keefektifan SRG diukur dari keuntungan yang didapatkan petani. Keuntungan tersebut berasal dari selisih tunda jual serta keuntungan dari perputaran uang yang didapat dari pembiayaan SRG. Pada kegiatan tunda jual, besar kecilnya selisih/marjin yang akan didapatkan oleh petani bergantung dari fluktuasi harga gabah pada saat mereka menyimpan gabah hingga menjual gabahnya. Semakin mendekati musim paceklik harga gabah akan semakin meningkat. Batas maksimal petani dapat menyimpankan gabahnya di gudang SRG yakni selama 6 bulan, jika telah jatuh tempo masa penyimpanannya maka gabah harus keluar dari gudang. Pada Tabel 14 memperlihatkan fluktuasi harga gabah kering giling (GKG) selama setahun terhitung mulai dari masa awal panen padi di tahun 2014 hingga 2015. Tabel 14 Fluktuasi harga gabah berdasarkan harga GKG (Gabah Kering Giling) tahun April 2014- Maret 2015a GKG (Gabah Kering Giling) Selisih dari bulan Bulan dalam rupiah sebelumnya April 2014a 4 710 a Mei 2014 4 847.22 137.22 a Juni 2014 4 740.38 -106.84 Juli 2014a 4 794.64 54.26 a Agustus 2014 4 833.33 38.69 September 2014a 4 877.78 44.45 a Oktober 2014 5 089.66 211.88 November 2014a 5 216.67 127.01 a Desember 2014 5 486.21 269.54 Januari 2015b 5 790.48 304.27 Febuari 2015b 5 702.27 -88.21 b Maret 2015 5 820 117.73 Jumlah 61 908.64 1110 Rata-rata 5 159.05 100.91 Maksimum harga 5 820 Minimum harga 4 710 Sumber: aDiolah dari BPS (2014a).; bDiolah dari BPS (2015a)
Harga gabah kering giling (GKG) digunakan sebagai dasar awal penentuan nilai harga gabah yang disimpan karena harga tersebut mewakili kualitas gabah yang dapat disimpankan kedalam gudang SRG yakni dengan kadar air maksimal 14 persen. Dari Tabel 14 terlihat fluktuasi harga gabah dari satu bulan ke bulan
59 berikutnya. Program SRG memang lebih tepat ditujukan untuk komoditas yang memiliki fluktuasi harga seperti pada gabah. Demikian juga dengan 10 komoditas lainnya yang tertulis dalam perundang-undangan SRG, karena jika tidak berfluktuasi maka tidak ada nilai tambah (selisih harga) yang dapat diambil. Pada bulan Januari 2015 memperlihatkan nilai selisih tertinggi dengan pengurangan harga pada bulan sebelumnya sebesar Rp304.27. Hal ini terjadi akibat dari pasokan gabah yang mulai menurun/belum musim panen. Sedangkan selisih terendah terjadi pada bulan Juni 2014 sebesar Rp-106.84, hal tersebut terjadi karena musim panen tiba sehingga pasokan melimpah. Pada Gambar 7 di paparkan grafik untuk mempermudah melihat fluktuasi secara umum harga gabah kering giling di Jawa Barat. Pada wawancara kepada responden SRG Cianjur, diketahui bahwa sebagian besar petani menyimpankan gabahnya pada bulan April dan Mei 2014 dengan nilai gabah rata-rata Rp5 126. Dari nilai gabah kering giling, pengelola tidak lantas mencantumkan nilai tersebut kedalam dokumen resi gudang sebagai nilai komoditas simpan. Pengelola akan mempertimbangkan berbagai hal seperti penyusutan akibat kadar air, kualitas gabah, harga kemasan (karung yang digunakan), transportasi menuju ke gudang dan beberapa hal teknis lainnya. Kenaikan nilai gabah biasanya berkisar antara 15 hingga 20 persen dari harga pasar (rata-rata gabah bernilai Rp 5 925/kg). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pelayanan serta memberikan rasa keadilan kepada petani sehingga mereka antusias untuk mengikuti Sistem Resi Gudang. Besarnya nilai komoditas simpan yang tercantum didalam dokumen resi gudang akan berpengaruh terhadap besaran kredit yang akan didapatkan oleh petani. Jika nilai kredit yang dapat dipinjamkan terlalu kecil padahal petani sudah menghabiskan biaya transportasi yang besar untuk mendatangkan barang ke gudang maka hal tersebut tentu saja akan menjadi sebuah kendala tersendiri bagi petani untuk berpartisipasi. Langkah ini merupakan salah satu bentuk keahlian pengelola di Cianjur dalam mengelola gudang SRG. Dapat dikatakan bahwa pengelola gudang merupakan pusat sentral kemajuan pelaksanaan SRG yang sedang berlangsung. Jika terjadi kegagalan atau wanprestasi maka kekayaan pengelola gudang yang dijaminkan. Dari penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa keseluruhan petani yang berpartisipasi dalam Sistem Resi Gudang memiliki motivasi utama yakni untuk mendapatkan kredit/pembiayaan berbasis resi gudang. Kredit ini dapat digunakan petani untuk berbagai hal seperti membeli keperluan usaha tani (pupuk dan benih) karena berdasarkan wawancara petani membutuhkan sekitar 5-6 juta/ha untuk modal menanam berikutnya. Selain itu gabah yang disimpan dalam beberapa bulan memang dirasakan memberikan selisih yang cukup tinggi bagi petani dibanding langsung dijual ketika panen raya. Antusias peserta SRG dalam menggunakan resi gudang sebagai jaminan dalam pembiayaan terbukti dari nilai pembiayaan yang terjadi yakni sebesar 0.69 persen (digenapkan menjadi 70 persen) dari nilai komoditas yang digudangkan yang terlihat pada Tabel 7. Sesuai dengan ketentuan UU SRG, batas kredit yang bisa dicairkan oleh bank dengan jaminan resi gudang yakni maksimal sebesar 70 persen dari nilai resi gudang atas barang yang disimpan di gudang. Hal tersebut memperlihatkan bahwa seluruh petani peserta SRG (100 persen) menggunakan dokumen RG sebagai jaminan ke bank Jawa Barat (BJB).
60 6000 5000
Harga gabah 4000 Rp/kg 3000 2000
Bulan Gambar 5
Fluktuasi harga Gabah Kering Giling (GKG) bulan April 2014 hingga Maret 2015a a
Sumber: Diolah dari BPS (2015b)
Tabel 15 berikutnya merupakan penjelasan mengenai komponen yang menyusun besaran dari biaya pelaksanaan SRG dimana setiap gudang memiliki kebijakan yang berbeda-beda terkait besaran biayanya. Pada biaya pengelolaan gudang, perincian biaya meliputi manajemen pelaksanaan SRG seperti pelayanan selama proses partisipasi, pemantauan terhadap kondisi barang dan penanggung jawab pelaksanaan. Biaya perawatan barang meliputi pengasapan untuk membunuh hama dan biaya keamanan meliputi biaya jasa satpam yang menjaga gabah di gudang. Biaya lainnya meliputi biaya pelaksanaan uji mutu, asuransi, registrasi dimana prosesnya telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Dari perincian biaya di bawah ini, bongkar muat merupakan biaya SRG tertinggi. Hal ini dikarenakan dibutuhkan biaya tenaga kerja tambahan dari luar. Tabel 15 Biaya yang dikeluarkan dari pelaksanaan penyimpanan gabah di gudang Sistem Resi Gudang Cianjur pada bulan pertama Jenis Biaya Pengelolaan gudang Bongkar muat Uji mutu kualitas barang Asuransi barang perawatan barang (fumigasi dan rebagging) Registrasi barang Keamanan barang (Satpam) Total biaya simpan SRG a
Biaya yang dikeluarkan (Rp/kg) 21 24 17 16 6 10 6 100a
selanjutnya dikenakan biaya penyimpanan sebesar 25 rupiah per bulan berikutnya.
Sistem Resi Gudang Cianjur juga memberikan pelayanan untuk pengeringan gabah (drying) dengan biaya diluar biaya simpan SRG yakni sebesar Rp100/kg. Banyak petani yang penasaran terhadap pelaksanaan SRG, salah satunya melalui usaha pengeringan ini. Karena lokasi tempat mesin pengeringan bersebelahan
61 dengan gudang, maka tidak jarang petani yang awalnya hanya ingin mengeringkan gabahnya mulai tertarik untuk ikut serta didalam SRG. Petani yang mencari informasi SRG secara mandiri cenderung lebih terbuka terhadap program dibanding peserta yang langsung di undang sosialisasi. Mayoritas responden menyimpan gabah di gudang selama 6 bulan namun rata-rata dari keseluruhan responden didapatkan data bahwa mereka menyimpan gabah selama 5.4 bulan. Petani cenderung menunggu harga tinggi ketika akan mengeluarkan gabahnya dan saat terjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Tahun 2014, bulan April dan Mei harga gabah cukup rendah sehingga banyak petani yang menyimpankan gabahnya pada bulan-bulan tersebut. Mengenai kuantitas gabah yang disimpan, pada petani non kelompok mayoritas menyimpan gabah pada kuantitas tertinggi untuk mendapatkan maksimal plafon pembiayaan. Pengelola gudang sangat aktif menginformasikan kepada partisipan kelompok dan non kelompok terkait kuantitas dan kualitas yang pada saat tersebut dapat menghasilkan pembiayaan tertinggi. Hubungan pengelola dan para peserta sangat penting dalam pelaksanaan Sistem Resi Gudang ini. Tabel 16
Rata-rata biaya transaksi, biaya penyimpanan, biaya operasional, penerimaan dan keuntungan responden Sistem Resi Gudang Kelompok Non kelompok Rata-Rata Biaya-biaya tani tani Biaya transaksi (Rp) 71 671.11 196 768.61 171 894.87 Biaya penyimpanan (Rp) 2 145 000.00 4 135 000.00 3 140 000.00 Biaya operasional (Rp) 455 200.00 885 150.00 670 175.00 Total biaya (Rp) 2671871.11 5 216 918.61 3 982 069.87 Penerimaan SRG (Rp) Keuntungan SRG (Rp) Keuntungan per Kg (Rp) Rata-rata simpan gabah (kg) Rata-rata TC/gabah simpan (Rp/kg) Rasio total biaya/TR Persentase TC/profit
5 265 777.81 2 494 719.18 284.92 9 104.00
9 356 483.01 4 143 564.39 234.06 17 703.00
7 311 130.00 3 329 060.53 248.37 13 403.50
7.87
11.11
12.82
1.97 2.76
1.79 4.75
1.84 5.16
Pada Tabel 16 memperlihatkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan para peserta dalam kegiatan SRG yang meliputi biaya transaksi untuk mengikuti program tunda jual serta pembiayaan SRG, biaya simpan SRG yang berupa biayabiaya operasional untuk mendukung pelaksanaan kegiatan seperti biaya angkut gabah ke gudang. Keuntungan tunda jual didapat dari selisih pendapatan dikurangi biaya-biaya tersebut. Keuntungan yang didapat peserta SRG anggota kelompok dan non anggota dari tunda jual masing-masing adalah sebesar Rp274.02/kg dan Rp234.06/kg sedangkan rata-rata keuntungan adalah Rp248.37. Besar kecilnya keuntungan per kg tunda jual dipengaruhi oleh lama menyimpan dan fluktuasi harga gabah. Umumnya petani yang berpartisipasi pada SRG menyimpankan gabahnya setahun sebanyak 2 kali. Persentase biaya transaksi per keuntungan
62 masing-masing peserta anggota kelompok dan non anggota adalah 6.85 persen dan 4.75 persen. Besaran biaya transaksi masih dibawah 10 persen dari keuntungan yang didapatkan petani. Dimana dapat diartikan bahwa besaran biaya transaksi pada SRG Cianjur masih digolongkan rendah jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapatkan dalam program ini. Lama masa simpan mempengaruhi biaya transaksi yang dikeluarkan petani. Semakin lama peserta menyimpan, tiap bulannya biaya transaksi cenderung mengalami mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena semakin lamanya petani menyimpankan gabahnya di gudang mereka akan melakukan transaksi lebih banyak pula. Misalnya saja terkait pengangsuran gabah yang dikeluarkan, dalam kurun waktu simpan 6 bulan umumnya petani melakukan 2 hingga 4 kali pengangsuran. Setiap proses pengangsuran, petani melakukan mobilisasi ke bank dan ke gudang guna menyelesaikan transaksi pembiayaan yang berupa penyetoran uang pinjaman. Selanjutnya konfirmasi ke gudang untuk merubah data hingga akhirnya pembatalan hak jaminan resi gudang dan petani dapat membawa gabahnya keluar dari gudang. Keuntungan tunda jual didapat dari selisih pendapatan dikurangi biaya-biaya yang meliputi biaya operasional (angkut gabah), biaya SRG, biaya transaksi. Ratarata keuntungan yang didapat seluruh peserta SRG dari tunda jual adalah sebesar Rp248.37/kg. Umumnya petani partisipan menyimpankan gabahnya setahun sebanyak 2 kali. Walaupun petani peserta menyimpankan hanya 4 bulan ataupun 5 bulan namun kontrak yang dibuat dengan pengelola gudang seluruhnya langsung dicantumkan 6 bulan. Hal ini dilakukan untuk menghindari jatuh tempo yang terlalu cepat, sehingga diantisipasi dengan langsung mencantumkan 6 bulan sebagai masa berlakunya kontrak gabah yang dapat disimpan di gudang. Biaya simpan akan disesuaikan dengan kondisi sesungguhnya ketika gabah keluar dari gudang. Saat ini banyak petani yang menyimpankan gabahnya selamanya 6 bulan (rata-rata 5.4 bulan) karena merasa tepat ketika harga gabah mulai meningkat sebelum musim panen tiba. Pada keuntungan pembiayaan, identifikasi yang dapat dilakukan adalah secara deskriptif. Rata-rata besaran pinjaman yang didapat petani peserta yang merupakan anggota kelompok tani adalah sebesar Rp37 599 520 dan non kelompok sebesar Rp73 113 390. Jumlah tersebut sangat besar karena merupakan nilai dari gabah yang disimpan peserta. Kredit yang didapatkan oleh para peserta akan langsung digunakan untuk membeli keperluan input usaha tani berikutnya, kebutuhan sehari-hari dan modal usaha sampingan. Belum adanya manajemen keuangan yang baik dari para peserta sehingga alokasi kredit untuk usaha dan konsumsi masih digabung. Pada peserta non kelompok yang mayoritas memiliki usaha penggilingan, uang tersebut dipergunakan untuk perputaran pembelian gabah yang akan disimpan di SRG berikutnya. Gabah yang mereka simpan merupakan hasil dari usaha taninya dan juga gabungan dari pembelian gabah dari petani lain. Alokasi kredit yang digunakan untuk membeli gabah adalah selisih dari kebutuhan gabah yang dapat dipenuhi dari usaha taninya untuk mendapatkan pembiaayaan optimal. Tahun 2014, optimal penyimpan untuk mendapatkan kredit maksimal (75 juta rupiah) adalah sekitar 18 000 kg dengan spesifikasi gabah yang sesuai dengan persyaratan simpan (kadar air maksimal 14 persen). Misalkan dari usaha taninya hanya mampu menghasilkan 5 000 kg maka penggunaan kredit akan digunakan untuk membeli sisa gabah agar total penyimpanan gabah sebesar
63 18 000 kg terpenuhi. Berdasarkan wawancara dengan peserta serta pihak pengelola, setidaknya keuntungan dari pembiayaan SRG mampu membayar biaya bunga bank sehingga peserta dapat menikmati keuntungan total dari selisih jual gabah dari mekanisme tunda jual SRG. Faktor yang Mempengaruhi Biaya Transaksi Pada tinjauan penelitian terdahulu diketahui bahwa besarnya biaya transaksi akan berpengaruh terhadap partisipasi petani di dalam kegiatan pertukaran sedangkan tinggi rendahnya biaya transaksi ditentukan oleh beberapa faktor penentu. Dengan mengetahui faktor mana yang menjadi penentu tinggi rendahnya biaya transaksi tersebut maka diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi masukan bagi suatu program khususnya program SRG. Menurut Masuko dan Marufu (2003); Abiad et al. (1988); Olomola (1992) dan Pingali et al. (2005) faktor yang mempengaruhi biaya transaksi adalah pengalaman meminjam kredit, besaran pinjaman (loan size), jarak ke bank, jangka waktu peminjaman, hubungan sosial dan pendidikan. Dengan analisis regresi menggunakan SPSS 17.0 didapatkan nilai signifikansi dari keenam faktor yang mempengaruhi biaya transaksi. Sebelumnya data yang didapatkan telah di uji terlebih dahulu terkait uji normalitas, autokorelasi, multikolinieritas, dan heteroskedastisitas untuk menghindari adanya masalah-masalah dari asumsi klasik. Dari segi kebaikan model, pada model faktor-faktor penentu dari biaya transaksi SRG Cianjur telah terbukti memenuhi syarat model OLS karena lulus dari uji keempat yang telah disebutkan di atas. Uji autokorelasi dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Berdasarkan pengolahan data diperoleh nilai DW sebesar 2.302 (Lampiran 3) yang memenuhi asumsi uji autokorelasi nomor 5 dengan menggunakan tabel DW dengan signifikansi 5 persen. Hasil perhitungannya adalah dL < d < dU (0.812 < 1.698 < 1.707) artinya bahwa ada/tidaknya autokorelasi belum dapat disimpulkan. Berdasarkan output uji normalitas Kolmogrov-Smirnov diketahui bahwa nilai signifikansinya adalah sebesar 0.963, dimana nilai tersebut lebih besar dari 0.05. Maka berdasarkan uji normalitas, dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam perumusan model faktor penentu biaya transaksi pada SRG Cianjur telah menyebar normal (Lampiran 4). Selanjutnya uji multikolinieritas dilakukan untuk melihat ada/tidaknya hubungan antar variabel independen. Indikatornya yang digunakan untuk uji multikolinieritas adalah nilai VIF yang terdapat pada tabel koefisien pendugaan parameter model (Lampiran 3). Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai VIF dari setiap variabel <10 yang menunjukkan tidak adanya gejala multikolinieritas. Terakhir pada uji heteroskedastisitas, scatterplot pada Lampiran 5 memperlihatkan titik-titik data membentuk pola yang menyebar (tidak berpola) sehingga disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah heteroskedasatisitas sehingga model dapat digunakan untuk menganalisis kondisi di lapang pada penelitian biaya transaksi. Model faktor-faktor yang mempengaruhi biaya transaksitelah memenuhi syarat model OLS dan cukup baik untuk dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya yang terjadi di lapang. Hal ini dapat dilihat dari nilai R square yakni sebesar 0.856. Dimana menunjukkan bahwa sebanyak 85.6 persen variasi
64 persentase biaya transaksi dapat dijelaskan oleh variabel–variabel independen yang terdapat di dalam model, sementara 14.4 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model. Nilai p – value dari Uji F fungsi produksi padi sebesar 0.000 menunjukkan bahwa secara bersama–sama faktor pengalaman kredit, keanggotaan kelompok tani, jarak ke bank, jumlah pinjaman, pendidikan dan jangka waktu kredit dapat mempengaruhi biaya transaksi. Berdasarkan hasil analisis yang dipaparkan pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa koefisien dari 4 faktor biaya transaksi bernilai negatif yakni jarak ke bank, besaran pinjaman (loan size), hubungan sosial (keanggotaan kelompok tani) dan pendidikan dan 2 faktor biaya transaksi bernilai positif yakni variabel pengalaman kredit dan jangka waktu pinjaman. Tabel 17 Hasil dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi biaya transaksi pada program Sistem Resi Gudang dengan menggunakan metode regresi Parameter Variabel Standar error Nilai t Pr > [t] dugaan Koefisien Pendidikan Formal Pengalaman kredit Jumlah pinjaman Dummy keanggotaan kelompok tani Jarak ke bank Jangka waktu kredit a
1.682 -0.023 0.018 -2.353a -0.400 a
0.407 0.041 0.047 0.000 0.114
4.138 -0.585 0.387 -8.608 -3.516
0.000 0.585 0.702 0.000 0.002
-0.004 0.130 a
0.012 0.031
-0.319 4.252
0.752 0.000
nyata pada α 0.05
Dari Tabel 17 dapat disimpulkan bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap biaya transaksi adalah keanggotaan kelompok tani, jangka waktu pinjaman dan jumlah pinjaman. Nilai parameter dugaan keanggotaan kelompok tani adalah sebesar -0.400, nilai ini berarti bahwa keanggotaan kelompok tani dapat mengurangi persentase biaya transaksi per pinjaman sebesar 0.4 persen dengan asumsi faktor pengaruh dari biaya transaksi lainnya tetap. Jadi keseimpulannya variabel kelompok tani berpengaruh secara negatif dimana keikutsertaan kelompok tani dapat mengurangi biaya transaksi yang dikeluarkan. Pembuktian bahwa faktor keanggotaan kelompok tani dapat mengurangi biaya transaksi sesuai dengan penelitian Pingali et al. (2005) bahwa hubungan sosial dan organisasi yang berbentuk keanggotaan kelompok tani dapat mengurangi biaya transaksi karena adanya penggunaan sumberdaya secara bersama-sama. Hal ini diperkuat oleh penelitian Jagwe (2011) bahwa adanya kelompok tani diketahui dapat memfasilitasi para petani didalam transfer informasi sehingga mampu mengurangi biaya transaksi yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat meningkatkan kemungkinan petani untuk berpartisipasi ke dalam pasar pertukaran. Pada variabel kedua yang mempengaruhi biaya transaksi secara signifikan yakni variabel jumlah pinjaman. Variabel ini juga berpengaruh secara signifikan negatif terhadap biaya transaksi, artinya semakin besar pinjaman yang diambil maka biaya transaksi per unit semakin menurun. Nilai parameter dugaan jumlah pinjaman adalah sebesar -2.353, nilai ini berarti bahwa peningkatan jumlah
65 pinjaman sebesar satu satuan unit maka akan menurunkan biaya transaksi per pinjaman gabah sebesar 2.353 persen dengan asumsi faktor pengaruh dari biaya transaksi lainnya tetap. Hal ini diperkuat oleh penelitian Olomola (1992) bahwa di dalam pembiayaan kredit pertanian di Nigeria, kenaikan 1 persen pinjaman akan menurunkan biaya transaksi per unit pinjaman sebesar 0.747 cent. Jika variabel terikatnya merupakan biaya transaksi per unit maka peningkatan jumlah pinjaman akan berpengaruh negatif terhadap biaya. Berbeda jika variabel terikatnya merupakan jumlah biaya transaksi, maka akan peningkatan jumlah pinjaman akan menyebabkan peningkatan biaya transaksi. Variabel terakhir yang berpengaruh secara signifikan terhadap biaya transaksi adalah jangka waktu peminjaman. Variabel ini memperlihatkan nilai yang signifikan positif berpengaruh terhadap biaya transaksi. Nilai parameter dugaan jangka waktu pinjaman adalah sebesar 0.130, nilai ini berarti bahwa peningkatan jangka waktu pinjaman sebesar satu satuan unit maka akan meningkatkan persentase biaya transaksi per pinjaman sebesar 0.130 persen dengan asumsi faktor pengaruh dari biaya transaksi lainnya tetap. Kondisi dilapang memperlihatkan bahwa terdapat kendala yang sering dihadapi peserta SRG yakni ketidaksanggupan untuk membayar gabah yang jatuh tempo dalam jumlah besar. Sehingga pengelola SRG cianjur memperbolehkan pembayaran secara angsuran gabah yang disimpan. Semakin lama petani meminjam biasanya semakin sering petani melaksanakan mobilisasi ke bank dan gudang guna menyelesaikan proses transaksi pembayaran kredit SRG yang dipinjam. Hal ini diperkuat penelitian Olomola (1999) yang menyebutkan bahwa bervariasinya lama pinjaman yang dilakukan oleh nasabah akan mempengaruhi biaya paska transaksi pengadaan pembiayaan. Pada penelitian ini variabel lainnya seperti pengalaman kredit, jarak bank dan pendidikan kredit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap biaya transaksi. Padahal menurut Masuko dan Marufu (2003) variabel pengalaman meminjam dianggap menjadi salah satu faktor penentu biaya transaksi. Diasumsikan bahwa peminjam yang berpengalaman cenderung lebih mudah dalam menghadapi rintangan dalam bernegosiasi dan memperoleh pinjaman dari bank. Hal demikian terjadi karena informasi sebelumnya yang dimiliki peminjam dapat digunakan kembali dalam proses transaksi berikutnya sehingga biaya pencarian informasi dapat ditekan. Selain itu rekam jejak pembayaran yang baik akan menempatkan peminjam pada daftar preferensi bank sehingga proses transaksi berjalan lebih lancar dan cepat. Dengan demikian biaya transaksi yang akan dikeluarkan oleh peminjam yang berpengalaman dapat ditekan. Namun dalam keadaan di lapang pada penelitian ini memperlihatkan bahwa peserta yang belum memiliki pengalaman kredit SRG cenderung terfasilitasi oleh bantuan informasi dari pengurus kelompok tani khususnya ketua kelompok. Begitu pula pada peserta SRG non kelompok tani yang banyak merupakan peserta lama. Mereka sudah memiliki pengalaman kredit SRG dan terus didampingi serta diberi informasi yang lengkap oleh pengelola gudang. Dari kondisi tersebut maka menyebabkan lamanya pengalaman kredit tidak berpengaruh terhadap biaya transaksi. Serupa pula pada dua variabel lainnya seperti jarak bank dan pendidikan, variabel-variabel tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap biaya transaksi. Hal tersebut disebabkan karena adanya pemberian informasi dari pihak pengelola
66 gudang yang intens serta bantuan dari pengurus kelompok tani kepada peserta anggota kelompok tani sehingga informasi menjadi mudah dimiliki. Dengan demikian peserta yang memiliki pendidikan tinggi maupun rendah dapat terfasilitasi kemudahan mendapatkan informasi untuk proses transaksi. Pelaksanaan transaksi secara kolektif oleh kelompok tani juga menyebabkan jarak bank bukan menjadi faktor penentu. Peserta yang memiliki jarak yang jauh dengan bank tidak mengeluarkan biaya transportasi yang tinggi untuk transaksi karena proses transaksinya diwakilkan oleh pengurus kelompok sehingga beban biaya yang dikeluarkan lebih rendah. Hal tersebut ditekankan oleh Furubotn dan Richter (2005) yang menjelaskan pentingnya investasi hubungan sosial didalam pasar pertukaran. Keanggotaan kelompok tani merupakan salah satu bentuk investasi hubungan sosial dimana mempengaruhi biaya-biaya transaksi yang akan dilakukan dimasa depan. Keterhubungan seseorang pada struktur sosial dapat membantunya untuk mengurangi ketidakpastian dan keterbatasan rasionalitas para pelaku pasar karena adanya sharing informasi yang didapat dari hubungan sosial yang dijalinnya sehingga dapat memberikan kekuatan informasi dan kekuatan pasar pada anggota yang memiliki keterbatasan dalam segi pendidikan maupun kemampuan untuk langsung terjun ke pasar pertukaran.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Aktivitas SRG yang memunculkan biaya transaksi didalam transaksi kegiatan Sistem Resi Gudang yakni ada 3 aktivitas berupa transaksi keanggotaan kelompok tani, transaksi kepemilikan resi gudang, dan transaksi pembiayaan berbasis resi gudang. Total besaran biaya transaksi yang dikeluarkan petani anggota kelompok tani sebesar Rp7.87/kg dan non kelompok sebesar Rp11.11/kg. Manajemen pengelolaan serta pelaksanaan SRG secara kolektif pada transaksi penerbitan resi gudang dan transaksi pembiayaan pada kelompok tani dapat menekan besaran biaya transaksi yang harus dikeluarkan. Transaksi di Sistem Resi Gudang yang menyebabkan biaya transaksi terbesar yakni pada saat transaksi pembiayaan dengan komponen biaya terbesar yang muncul berasal dari proses negosiasi 2. Persentase rata-rata antara biaya transaksi dengan keuntungan adalah 5.16 persen (<10 persen). Besaran biaya transaksi yang dihasilkan masih sangat rendah jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapat dari program Sistem Resi Gudang 3. Faktor yang mempengaruhi biaya transaksi negatif secara signifikan adalah keikutsertaan dalam kelompok tani, jumlah pinjaman (loan size) sedangkan variabel jangka waktu kredit berpengaruh positif terhadap biaya transaksi.
67 Saran Manajemen pengelolaan serta infrastruktur yang memadai merupakan hal yang sangat krusial didalam pelaksanaan aktivitas transaksi SRG. Oleh karena itu diharapkan untuk SRG di wilayah lain perlu adanya perhatian dan fokus terhadap perbaikan dua hal tersebut untuk memaksimalkan pelaksanaan transaksi pada SRG kedepannya. Pada kesimpulan berikutnya diketahui bahwa biaya transaksi pada SRG terbilang rendah dibanding dengan keuntungan. Oleh karena itu pada saat sosialisasi program, informasi manfaat dan biaya yang harus dikeluarkan harus dipaparkan secara jelas pada peserta SRG. Dengan adanya informasi yang transparan tersebut diharapkan petani lebih memahami sistem secara menyeluruh sehingga dapat meningkatkan keinginannya untuk berpartisipasi didalam program. Saran berikutnya terkait kesimpulan terakhir, diketahui terdapat beberapa variabel yang berpengaruh signifikan terhadap biaya transaksi. Oleh sebab itu, diharapkan pemerintah dan pelaku yang terkait memperhatikan faktor tersebut. Seperti meningkatkan sosialisasi SRG kepada kelompok-kelompok tani di sekitar yang belum bergabung untuk bergabung karena keanggotaan kelompok tani terbukti mampu menekan biaya yang dikeluarkan.
DAFTAR PUSTAKA Abiad VG, Cuevas CE, Graham DH. 1988. Borrower Transaction Costs and Credit Rationing in Rural Financial Markets: The Philippine Case. Agricultural Credit Paper Counsil working paper. 88-17(1988): 1-45. Alene AD, Manyong VM, Omanya G, Mignouna HD, Bokanga M, Odhiambo G. 2007. Smallholder Market Participation under Transactions Costs: Maize Supply and Fertilizer demand in Kenya. Food Policy. 33(2008): 318–328. Anggraini E. 2005. Analisis Biaya Transaksi dan Penerimaan Nelayan dan Petani di Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Annim SK, Alnaa SE. 2013. Access to Microfinance by Rural Women: Implications for Poverty Reduction in Rural Households in Ghana. Journal of Research in Applied Economics. 5(2):19-41. Ashari. 2012. Potentials and Constraints of Warehouse Receipt System to Sustain Agriculture Finance in Indonesia. Forum penelitian Agro ekonomi. 29(2):129-143. Baker D, Jorgensen H. 2012. The Relationship between Financial Transactions Costs and Economic Growth. Center for economic and policy research March 2012. Balkenhol B, Schuutte H. 2001. Collateral, Collateral Law and Collateral Substitutes. Social finance programme. Working Papers. 26(2001):1-75. [BAPPEBTI] Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. 2007. Persyaratan Pengelola Gudang. [Diacu 2013 Desember 18].[Internet]. Tersedia dari: http://www.BAPPEBTI.go.id/en/regulation/decision/4.html.
68 [BAPPEBTI] Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. 2014. Jumlah gudang yang telah dibangun. [Diacu 2014 November 4].[Internet]. Tersedia dari: http://www.BAPPEBTI.go.id/id/news/press_release/detail/3390.html. [BAPPEBTI] Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. 2014a. Buletin BAPPEBTI edisi Juli 2014.[Diunduh 2014 Desember 14].[Internet].Tersedia pada: http://www.google.co.id/#safe=active&q= buletin+bappebti+juli+2014. [BAPPEBTI] Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. 2014b. Rekapitulasi Resi Gudang, Volume dan Nilai Komoditi SRG (2008-2014). Jakarta (ID): BAPPEBTI. [BAPPEBTI] Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. 2014c. Rekapitulasi Sistem Resi Gudang tahun 2008-2014. Jakarta (ID): BAPPEBTI. [BAPPEBTI] Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. 2015a. Refleksi dan Resolusi SRG 2015. Jakarta [ID]. BAPPEBTI. [BAPPEBTI] Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. 2015. Jumlah Gudang SRG dan Kapasitasnya yang Telah Dibangun di Indonesia. Jakarta (ID): BAPPEBTI. [Lembaga Pengelola] Lembaga Pengelola SRG Kabupaten Cianjur. 2015. Struktur Organisasi SRG Niaga Mukti Kabupaten Cianjur. Cianjur (ID): Lembaga Pengelola. [Lembaga Pengelola] Lembaga Pengelola SRG Kabupaten Cianjur. 2015a. Laporan kinerja Sistem Resi Gudang Niaga Mukti Cianjur 2011-2014. Cianjur (ID): Lembaga Pengelola. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Laporan Data Sosial Ekonomi Katalog Badan Pusat Statistik Bulanan Edisi 54 Bulan November.[Diunduh 2014 Desember 14].[Internet].Tersedia pada: http://www.bps.go.id/aboutus.php?pub=1&dse =1&pubs=54.html. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014a. Katalog BPS Bulanan Edisi 44 Bulan Januari. Rumah Tangga Petani Gurem. [Diunduh 2014 Juni 4].[Internet].Tersedia pada: http://www.bps.go.id/aboutus.php?pub=1&dse=1&pubs=44.html. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014b. Perkembangan Index Harga Diterima Tahun 2014. [Internet].[Diunduh 2015 Juli 2015]. Tersedia pada: http://www.bps. go.id/Brs/view/id/1155 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Data Produksi Padi di Sentra-Sentra Penghasil Seluruh Indonesia tahun 2013.[Internet].[Diunduh 2015 Januari 5]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Perkembangan Index Harga Diterima Tahun 2015. [Internet].[Diunduh 2015 Juli 2015]. Tersedia pada: http://www.bps. go.id/Brs/view/id/221. Bhatt N dan Tang SY. 1988. The Problem of Transaction Costs in Group-Based Microlending: An institutional Prespective. 26(4):623-637. Coase R. 1937. The Nature of Firm. Economica, New series. 4(16): 386-405. Coulter J. 2009. Review of Warehouse Receipt System and Inventory Credit Initiatives in Eastern & Southern Africa. Final draft report commissioned by UNCTAD under the All ACP Agricultural Commodities Programme (AAACP).
69 D'Hondt C, Giraud J. 2008. Transaction Cost Analysis A-Z A Step towards Best Execution in the Post-MiFID Landscape. France (FR). EDHEC risk and asset management research centre publication. Doyoharjo A. 2008. Sistem Resi Gudang sebagai Alternatif Sumber Pembiayaan untuk Komoditas Pertanian. Wacana Hukum. 7(1):100-115. Eggertsson T. 1990. Economic Behaviour and Institutions. Cambridge – United Kingdom (GB): Cambridge University Press. Furubotn EG, Richter R. 2005. Institutions and Economic Theory: The Contribution of The New Institutional Economics (Second Edition). Michigan (US):The University of Michigan Press. Gujarati DN. 2004. Basic Econometrics Fourth Edition. United States of America (US): The Mc Graw Hill- Companies. Hair JF, Anderson RE, Tatham RL, Black WC. 1998. Multivariate Data Analysis. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Höllinger F, Rutten L, Kiriakov K. 2009. Receipt Finance in Agriculture in Transition Countries. Working Paper Presented At The World Grain Forum 2009 St Petersburg/Russian Federation. Hosseini SS, Khaledi M, Ghorbani M, Brewin DG. 2012. An Analysis of Transaction Costs of Obtaining Credits in Rural Iran. J. Agr. Sci, Tech. 14(2012): 243-256. Jagwe JN. 2011. The Impact of Transaction Costs on The Participation of Smallholder Farmers and Intermediaries in The Banana Markets of Burundi, Democratic Republic of Congo and Rwanda. [Disertasi]. Pretoria [tZA]: University of Pretoria. Kiriakov K. 2001. Implementation of a System of Licensed Public Warehouses and Warehouse Receipts in Bulgaria. Regional workshop on commodity export diversification and poverty reduction in South and South-East Asia. Kumar S. 2012. Effect of Agricultural Credit on Agricultural Productivity (a Study of India). Journal economy. 6(1):123-125. Kurniawan D. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sistem Resi Gudang oleh Petani Padi Di Kecamatan Palasah, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.[ Skripsi]. Bogor [ID] : Institut Pertanian Bogor. [Laporan Data Sosial Ekonomi] Listiani N, Haryatejo B. 2013. Implementasi Sistem Resi Gudang Pada Komoditi Jagung: Studi Kasus Di Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur. Studi Kasus Kemendag. Madulu. 2011. Improving Access to Credit for Paddy Farmers through Warehouse Receipt Based Agricultural Marketing System in Tanzania. African Crop Science Conference Proceedings. 10(2011):37 – 39. Mahanta D. 2012. Review of Warehouse Receipt as An Instrument for Financing in India. International Journal of Scientific & Technology Research. 1(9):42-45. Marpaung ES, Sarma M, Limbong WH. 2013. Dampak Pemberian Kredit Pola Grameen Bank terhadap Peningkatan Pendapatan Usaha Kecil Masyarakat Pesisir oleh Koperasi Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina di Kabupaten Tuban. Jurnal IPB Manajemen IKM. 8(1):20-26. Masuko L, Marufu D. 2003. The Determinants of Transactions Cost and Access to Credit by SMEs and the Poor In Zimbabwe. IFLIP Research Paper 03-9.
70 Mitiku A. 2014. Impact of Smallholder Farmers Agricultural Commercialization on Rural Households’ Poverty. The International Journal of Applied Economics and Finance. 8(2):51-61. Mor N, Fernandes K. 2009. Warehouse Receipt Finance for Farmers – A Glimpse. Commodity Insight yearbook 2009. Nanka-Bruce B. 2004. From Transaction Cost Economics to Organization Theory. A Review of The Literature. Nordier A. 2013. Framework for Warehouse Receipt Financing in Pakistan. [Thesis]. South Africa (tZA): University of Pretoria. North DC. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge (GB): Cambridge University Press. Nurgiyantoro B, Gunawan, Marzuki. 2009. Statistik Terapan untuk Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (cetakan keempat). Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Nurmanaf AR. 2007. Lembaga Informal Pembiayaan Mikro Lebih Dekat dengan Petani. Jurnal. Analisis Kebijakan Pertanian .5(2):99-109. Olomola AS. 1992. Interlinked Credit Transaction in Nigeria Rural Credit Systems. Technical Report Submitted to the Nigerian Institute of Social and Economic Research. Olomola AS. 1999. Factors Influencing Smallholders' Transaction Cost of Borrowing from The Nigerian Agricultural and Cooperative Bank. Bangladesh J. Agric. Econs. 15(2):45-45. Onumah G. 2003. Improving Access to Rural Finance through Regulated Warehouse Receipt Systems in Africa. Journal of United States Agency for International Development–World Council of Credit Unions conference on Paving the Way Forward for Rural Finance: An International Conference on Best Practices. 1(2003):1-15. Onumah G. 2010. Implementing Warehouse Receipt Systems in Africa Potential and Challenges. Paper. Onumah G, Coulter J. 2002. The Role Of Warehouse Receipt Systems In Enhanced Commodity Marketing And Rural Livelihoods In Africa. Journal of Food Policy. 27(4):319-337. [Permendagri]. 2011. Regulation Of Minister Of Trade Of The Republic Of Indonesia. No. 37 Tahun 2011. [Permendagri]. 2007. Regulation Of Minister Of Trade Of The Republic Of Indonesia. Nomor:26/M-DAG/PER/6/2007. [Diunduh 2014 Juni 4]. [Internet]. Tersedia pada: http://www.BAPPEBTI.go.id/id/regulation/ministry/ detail/151.html. Pingali P, Khwaja Y, Meijer M. 2005. Commercializing Small Farms: Reducing Transaction Costs. ESA Working Paper. Putri EY. 2013. Pelaksanaan Pemberian Kredit dengan Jaminan Resi Gudang (Bank Rakyat Indonesia cabang Pekalongan). Journal of UNNES Law. 2(2): 87- 96. Rachmina D. 1994. Analisis Permintaan Kredit pada Industri Kecil (Kasus Jawa Barat dan Jawa Timur). [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Rachmina D. 2012. Peranan Pembentukan Modal dan Infrastruktur dalam Peningkatan Produktivitas dan Efisiensi Usaha tani Sayuran di Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor [ID] : Institut Pertanian Bogor.
71 Saeed R, Lodhi RN, Saeed ZA. 2013. Effect of Micro Finance on Poverty Reduction of Small Scale Farmers of Pakistan. Scientific Papers Series Management, Economic Engineering in Agriculture and Rural Development. 13(2):363-368. Shah, Manoj. 2007. Analysis of Transaction Cost. Jaipur (IN). Sunrise Publishers. Sharmeen K, Chowdhury ST. 2013. Agricultural Growth and Agricultural Credit in The Context of Bangladesh. Journal Of Bangladesh Research Publications. 8(2):174-179. Sjah T, Cameron D, Russell L. 2003. Factors Contributing to The Performance of Agricultural Credit in Lombok Indonesia. Paper On International Farm Management Congress 2003. Sugiyanto. 2004. Analisis Statistika Sosial. Malang (ID). Bayumedia Publishing. Sugiono AA. 2014. Pengaruh Sistem Resi Gudang terhadap Pendapatan Usaha tani Padi di Kecamatan Perak Kabupaten Jombang Jawa Timur. [ Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Supadi, Syukur M. 2004. Aksesibilitas Petani Terhadap Sumber Permodalan (Kasus Petani Padi Sawah dan Hortikultura di Jawa Barat & Nusa Tenggara Barat). PSEKP Working Paper No. 48:1-22. Supriatna, A. 2008. Aksesibilitas Petani Kecil pada Sumber Kredit Pertanian Di Tingkat Desa: Studi Kasus Petani Padi Di Nusa Tenggara Barat. Journal SOCA (Socio-Economic Of Agriculture And Agribusiness). 8(2):1-15. Tommassen S. 2004. The Effect of Transaction Costs on the Perfomance of Foreign Direct Investments. [Dissertation]. Norwegia [NO] : Norwegian school of Management. Towo NN, Kimaro PJ. 2013. Warehouse Receipt System: A Solution towards Smallholder Farmers Financial Constraints. Working Paper. Moshi University College of Cooperative and Business Studies. Tanzania. Ulas D. 2007. EU Market Access: The Way Of Licensed Warehousing System for Turkish Food Producers and Exporters. Poster Paper. USAID. 2013. Ethiopia Warehouse Receipt System and Regulation: A Case for Expansion. Wahid F, Rehman ZU. 2014. Share of the Informal Loans in Total Borrowing in Pakistan: A Case Study of District Peshawar. Wibisono H. 2011. Analisis Efisiensi Usaha Tani Kubis (Studi Empiris Di Desa Banyuroto Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang). [Skripsi]. Bogor [ID] : Institut Pertanian Bogor. Widiyani M. 2014. Analisis Program Sistem Resi Gudang di Kabupaten Indramayu. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Williamson OE. 1975. Markets and Hierarchies: Analysis and Antitrust Implications. New York (US). Oxford University Press. Williamson OE. 1985. The Economic Institutions of Capitalism. New York (US). Oxford University Press. Williamson OE. 1996. The Mecanism of Governance. New York (US). Oxford University Press. Zylbersztajn. 2003. Costs, Transactions and Transaction Costs: (Are there simple answers for complex question?). Working Paper. Sao Paulo University.
72
73
LAMPIRAN
Lampiran 1 Komponen transaksi pada pelaksanaan Sistem Resi Gudang a. Transaksi keanggotaan kelompoktani Proses transaksi
Komponen
Proses pencarian informasi
pulsa
Negosiasi: Mengajukan permohonan keanggotaan
Bensin
Waktu (menit)
Jarak (km)
Biaya
74 Kertas korbanan waktu Menyatakan secara tertulis dapat memenuhi semua persyaratan dan peraturan Ket sebagai penggarap lahan pribadi (pajak lahan)
Kertas
Pelaksanaan kontrak: Mendapat persetujuan ketua kelompok
Bensin
Pajak PBB
Kertas korbanan waktu Administrasi untuk mendaftar
uang pangkal
Penegakan kontrak: Membayar iuaran bulanan Wajib mengikuti musyawarah yang dilakukan kelompok tani
uang iuran Bensin korbanan waktu
Total waktu Total biaya
b. Transaksi simpan gabah (penerbitan resi gudang, endorsement dan pembatalan resi) Proses transaksi
Komponen
Paska panen padi, rincian: Petani mencari informasi harga pasar
pulsa bensin
Evaluasi pilihan untuk menjual hasil panen
pulsa
Permohonan simpan oleh petani, rincian: Biaya pra kontrak ke gudang
pulsa
Negosiasi permohonan penyimpanan barang
pulsa
Pengelola menyiapkan ruang gudang yang kosong, rincian: Petani memonitor informasi terkait ketersediaan gudang Petani ke gudang untuk proses transaksi
pulsa bensin Korbanan waktu
Sertifikasi dari LPK jika barang sudah sesuai ketentuan, rincian: Kesediaan waktu untuk melaksanakan uji kualitas barang
korbanan waktu
Proses negosiasi kelengkapan persyaratan: Surat pembentukan poktan/gapoktan
kertas
Menyerahkan susunan pengurus
kertas
Surat Kuasa dari anggota kepada Ketua atau Pengurus Surat izin usaha dari kepala desa setempat/surat ket sebagai petani
kertas kertas bensin korbanan waktu
Waktu (menit)
Jarak (km)
Biaya
75 KTP
fotokopi
Pembongkaran barang, penimbangan dan penumpukan barang, rincian: Memonitor proses
korbanan waktu
Asuransi barang, rincian: Pemberian nomor polis
korbanan waktu
Pengelola gudang menginput data melalui RG online, rincian: Menunggu proses penerbitan resi
korbanan waktu
Penerbitan resi gudang, rincian: Biaya pelaksanaan kontrak
korbanan waktu materai
Biaya pajak kontrak (MOU)
Rincian
Komponen
Waktu (menit)
Jarak (km)
Biaya
Pengelola menginformasikan petani bahwa ada pembeli, rincian: Memonitor pengelola agar memberikan pulsa informasi Petani mencari calon pembeli sendiri, rincian: Mencari informasi pedagang yang bersedia membeli gabah petani
bensin korbanan waktu pulsa
Evaluasi pilihan-pilihan calon pembeli yang ada
pulsa korbanan waktu
Kontrak jual-beli di Bank Jawa Barat, rincian: Transportasi ke BJB untuk angsuran, pembatalan jaminan /pengalihan resi gudang
bensin
korbanan waktu Pembatalan hak jaminan resi gudang serta pengembalian dana sisa transaksi jual beli gabah SRG, rincian: Melaksanakan proses pembatalan korbanan waktu jaminan Proses pengalihan resi gudang korbanan waktu Proses pencairan dana ke rekening yang bersangkutan Proses akad selesai
korbanan waktu korbanan waktu
Pengembalian dokumen resi ke gudang dan pengambilan barang Menginformasikan ke pengelola gudang
Pulsa Korbanan waktu
Ke gudang untuk proses pembatalan resi
Bensin Korbanan waktu
Total waktu Total biaya
c. Transaksi pembiayaan berbasis resi gudang Aktivitas
Komponen
Waktu
Jarak
Biaya
76 (menit) Resi gudang dijaminkan ke Bank Jawa Barat (BJB), rincian: Transportasi ke Bank Jabar
(km)
bensin korbanan waktu
Membuat surat pengajuan kredit kepada pihak Bank dengan menyertakan resi gudang, rincian: Pas foto terbaru pemilik resi
foto perbanyakan foto bensin
Foto copy bukti identitas diri (KTP/SIM)
fotokopi
Kepemilikan rekening BJB
biaya adm
Rekapitulasi Komoditi/barang dalam gudang
biaya scan
Peserta/Penerima S-SRG tidak sedang memperoleh fasilitas kredit program dari Pemerintah Bukti berusia paling rendah 21 tahun/sudah menikah Melampirkan rencana definitif kebutuhan kredit/kelompok/koperasi (rdkk). Bank melakukan proses permohonan dengan memverifikasi barang di gudang, rincian: Menunggu verifikasi ke gudang
kertas
fotokopi fotokopi
korbanan waktu
Verifikasi ke badan pusat bahwa resi gudang belum dijaminkan, rincian: Menunggu proses akad
korbanan waktu
Kontrak (akad) pengikatan jaminan resi gudang, rincian: Melakukan kontrak
korbanan waktu
Menjaga kontrak (tanda tangan MOU dan berita acara) Verifikasi hak jaminan ke pusat registrasi, rincian: Menunggu proses verifikasi ke pusreg
materai
Korbanan waktu
Pencairan dana pembiayaan berbasis resi gudang, rincian: Menunggu proses pencairan dana
korbanan waktu
Pengambilan dana
korbanan waktu
Lampiran 2 Dokumentasi Sistem Resi Gudang Niaga Mukti Kabupaten Cianjur
77
Dokumen Resi Gudang
Gudang penyimpanan gabah
Truk pengangkut gabah
Alat ukur/timbangan
Kantor SRG Kabupaten Cianjur
Gabah di gudang SRG
Lampiran 3 Hasil pendugaan model faktor penentu dari biaya transaksi di SRG Kabupaten Cianjur
78 Model Summaryb
Model
R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
.925a
1
Adjusted R
.856
.818
Durbin-Watson
.17640
2.302
a. Predictors: (Constant), Loan_time, Bexp, Group, Distance, Fedu, Lsize b. Dependent Variable: Transaction_cost
ANOVAb Model 1
Sum of Squares Regression Residual Total
df
Mean Square
4.249
6
.708
.716
23
.031
4.964
29
F
Sig.
22.757
.000a
a. Predictors: (Constant), Loan_time, Bexp, Group, Distance, Fedu, Lsize b. Dependent Variable: Transaction_cost
Coefficientsa
Model 1
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std. Error
(Constant)
1.682
.407
Fedu
-.023
.041
Bexp
.018
Lsize
Beta
Collinearity Statistics t
Sig.
Tolerance
VIF
4.138
.000
-.050
-.554
.585
.773
1.294
.047
.032
.387
.702
.906
1.104
-2.353
.000
-1.263
-8.608
.000
.291
3.434
Group
-.400
.114
-.491
-3.516
.002
.321
3.113
Distance
-.004
.012
-.026
-.319
.752
.941
1.062
.130
.031
.385
4.252
.000
.765
1.307
Loan_time
a. Dependent Variable: Transaction_cost
Lampiran 4 Hasil uji normalitas model faktor penentu dari biaya transaksi di SRG Kabupaten Cianjur
79
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N Normal Parametersa,,b
30 Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
.0000000 .15709652
Absolute
.092
Positive
.092
Negative
-.082
Kolmogorov-Smirnov Z
.502
Asymp. Sig. (2-tailed)
.963
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Lampiran 5 Hasil uji heteroskedastisitas model faktor penentu dari biaya transaksi di SRG Kabupaten Cianjur
80
Residuals Statisticsa Minimum Predicted Value
Maximum
Mean
Std. Deviation
N
.0215
1.7038
.4656
.38277
30
-.29531
.53766
.00000
.15710
30
Std. Predicted Value
-1.160
3.235
.000
1.000
30
Std. Residual
-1.674
3.048
.000
.891
30
Residual
a. Dependent Variable: Transaction_cost
RIWAYAT HIDUP
81
Penulis dilahirkan di Pasuruan pada tanggal 14 Januari 1990 dari Bapak Bambang Cahyono dan Ibu Lilik Syafridah. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pada Tahun 2001 penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar di SDN Kutawinangun, Salatiga. Kemudian penulis melanjutkan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Pematang Siantar. Tahun 2008 Penulis lulus dari Al-Zaytun dan pada tahun yang sama pula lulus seleksi masuk Brawijaya melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Selama masa pendidikan penulis pernah menjadi anggota dalam organisasi Unit Aktivis Pers Kampus. Pada tahun 2013 penulis masuk program Magister Sains Agribisnis di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis menerima beasiswa dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas Beasiswa Fresh graduate yang diberikan kepada penulis selama kuliah di Magister Sains Agribisnis IPB.