Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai 1
Didik Harnowo1, J. Rachman Hidajat2, dan Suyamto2 Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor
PENDAHULUAN Varietas unggul yang dirakit sesuai dengan tujuan penggunaannya merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Sejalan dengan itu, ketersediaan benih dari varietas unggul yang memenuhi syarat enam tepat (varietas, mutu, jumlah, waktu, lokasi, dan harga) sangat diperlukan guna mendukung keberhasilan budi daya tanaman. Dampak penggunaan varietas unggul terhadap peningkatan produksi dan kualitas produk akan terasa bila varietas unggul tersebut ditanam dalam skala luas. Hal ini perlu didukung oleh sistem perbenihan yang andal. Dengan demikian, varietas unggul yang disukai konsumen dan sistem perbenihan sebagai mekanisme penyaluran (delivery mechanism) akan menjadi komponen esensial dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Industri benih dan penyalurannya merupakan bagian dari sistem perbenihan yang berperan penting untuk menyediakan benih varietas unggul yang memenuhi syarat ’enam tepat’ bagi petani. Secara spesifik, penggunaan benih bermutu tinggi berdampak terhadap pertumbuhan tanaman yang baik dan hasil panen yang tinggi. Syarat benih bermutu adalah: (1) murni dan diketahui nama varietasnya; (2) daya tumbuh tinggi (minimal 80%) dan vigornya baik; (3) biji sehat, bernas, tidak keriput, dipanen pada saat biji telah matang; (4) dipanen dari tanaman yang sehat, tidak terinfeksi penyakit (cendawan, bakteri dan virus); dan (5) benih tidak tercampur biji tanaman lain atau biji rerumputan. Benih merupakan the carrier of technology, sekaligus sebagai the translator of input technology dalam pertanian yang mengusahakan produksi (hasil) dan mutu hasil yang tinggi. Benih dapat berperan sebagai agen perubahan mental petani dan masyarakat untuk lebih semangat berusaha dan bahkan perubahan suatu negara dari kekurangan pangan menjadi kecukupan pangan (Sadjad 2006). Usaha di bidang perbenihan sebenarnya sangat menguntungkan, manakala mendapat dukungan dari pemerintah, dalam hal kebijakan penyediaan sarana produksi, kemudahan dalam memperoleh modal usaha, harga, dan petani sudah sadar terhadap pentingnya penggunaan varietas unggul dengan benih bermutu tinggi. Pasar benih kedelai bermutu di Indonesia belum ditangani secara optimal. Hal tersebut disebabkan oleh
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
383
belum berkembangnya usaha di bidang industri perbenihan kedelai. Sebagian besar petani di Indonesia menggunakan benih dari hasil panen sendiri pada musim sebelumnya, dari petani lain di dalam atau luar wilayah, atau membeli ke pedagang hasil bumi yang mendapatkan benih dari wilayah lain musim panen sebelumnya. Arus benih demikian disebut sebagai jalur benih antarlapang dan musim atau disingkat Jabalsim (Sumarno 1998). Pada sistem Jabalsim belum dipertimbangkan aspek pengendalian mutu, yang diperkirakan ikut berkontribusi terhadap tinggi rendahnya produksi dan produktivitas kedelai di tingkat petani (Nugraha et al. 1995). Sebagai pembanding, di Amerika Serikat misalnya, varietas kedelai yang ditanam petani adalah varietas unggul yang adaptif pada lokasi spesifik sesuai dengan golongan umur, dan seluruh kebutuhan benih diproduksi oleh perusahaan profesional yang memberikan jaminan mutu benih (Sumarno 1997). Hal penting untuk membangun industri benih kedelai di Indonesia adalah: (1) menjamin suplai sumber benih secara lebih baik, (2) kebanyakan petani masih menggunakan benih seadanya sehingga perlu penyadaran penggunaan benih bermutu, dan (3) pembinaan industri benih yang telah ada agar menjadi lebih profesional. Masalah yang dihadapi untuk mencapai sasaran tersebut digambarkan oleh Douglas (1980) bahwa kebanyakan dari program benih yang sukses bermula dari usaha yang kecil tetapi dengan mutu yang baik. Tulisan ini membahas: (1) sistem perbenihan nasional, (2) kebutuhan benih kedelai saat ini dan prakiraan kebutuhan masa depan, (3) teknologi produksi benih kedelai, (4) industri benih kedelai di Inonesia, (5) pengendalian mutu benih secara internal dalam industri benih, (6) sistem pengadaan benih saat ini dan permasalahan dalam pengembangan industri benih kedelai, dan (7) kebijakan dan strategi pengembangan industri benih kedelai.
SISTEM PERBENIHAN NASIONAL Subsistem Penelitian dan Pengembangan Penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan perbenihan adalah pengelolaan plasma nutfah, kegiatan pemuliaan, perlindungan varietas tanaman, serta pendaftaran dan pelepasan varietas. Fungsi penelitian yang meliputi pengelolaan plasma nutfah dan pemuliaan kedelai untuk menghasilkan varietas baru dilaksanakan oleh lembaga penelitian, baik pemerintah seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian) Departemen Pertanian, BATAN, dan Perguruan Tinggi.
384
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Untuk perakitan varietas unggul baru kedelai, Indonesia sudah memiliki sejumlah koleksi sumber genetik/aksesi/populasi varietas yang tersimpan di bank-bank plasma nutfah milik UPT-UPT Badan Litbang Pertanian, LIPI, dan Perguruan Tinggi. Untuk mengatasi terbatasnya sumber genetik yang dimiliki, kegiatan eksplorasi dan koleksi serta introduksi dari negara lain masih terus dilakukan. Berkaitan dengan keplasmanutfahan, Indonesia juga sudah meratifikasi Perjanjian Internasional Sumber Daya Genetik Tanaman Pangan dan Pertanian, yang akan mempermudah dalam memperoleh plasma nutfah dari negara lain (Deptan 2006). Galur-galur calon varietas baru, kemudian diuji adaptasi atau diobservasi pada berbagai kondisi agroekologi untuk mengetahui keunggulan dan interaksi galur tersebut dengan lingkungan. Uji adaptasi/observasi dapat dilakukan oleh institusi penyelenggara pemuliaan tanaman, BPSB, BPTP, dan institusi perbenihan lain yang bekerjasama dengan institusi penyelenggara pemuliaan tanaman. Keunggulan suatu varietas diakui secara resmi setelah dilepas oleh Menteri Pertanian dan ditetapkan dengan Keputusan Menteri (Kepmen) atas rekomendasi Badan Benih Nasional (BBN). Lembaga penelitian/institusi penyelenggara pemuliaan yang melepas varietas baru wajib memproduksi benih penjenisnya dalam jumlah cukup/ sesuai kebutuhan.
Subsistem Produksi dan Peredaran Benih Benih varietas-varietas publik, termasuk kedelai, yang dihasilkan oleh lembaga publik, umumnya diproduksi dan diedarkan oleh pemerintah (Badan Usaha Milik Negara/BBI/BBU) dan swasta. Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah dalam menerapkan otonomi daerah, saat ini kewenangan pengelolaan Balai Benih telah diserahkan kepada masing-masing Pemerintah Daerah. Tercatat sebanyak 24 Balai Benih Induk (BBI) yang telah ditetapkan statusnya sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perbenihan dan sebanyak 450 Unit Balai Benih Utama (BBU) dan Balai Benih Pembantu (BBP) ditetapkan dalam bentuk yang beragam, seperti Balai Benih Kabupaten, Kebun Bibit, dan sebagainya (Ditjen Tanaman Pangan 2005). Alur produksi benih sumber kedelai di bawah kelas benih penjenis, yakni benih dasar (foundation seeds) dan benih pokok (stock seeds), umumnya terputus, sehingga persyaratan enam tepat (varietas, mutu, jumlah, waktu, lokasi, dan harga) dalam produksi dan peredaran benih sumber kedelai belum terpenuhi. Ini merupakan permasalahan utama dalam produksi benih sumber. Masalah lain yaitu kurangnya adopsi varietasvarietas unggul baru oleh petani karena kurang gencarnya sosialisasi dan
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
385
promosi. Dengan demikian sistem/sosialisasi dan promosi varietas-varietas unggul baru kedelai perlu lebih ditingkatkan (Deptan 2006). Selain Balai Benih, muncul sejumlah penangkar benih kedelai yang cukup andal di beberapa daerah. Para penangkar ini perlu terus dibina dan dikembangkan di daerah-daerah lain. Seringkali penyediaan benih kedelai justru terbanyak dari para penangkar ini.
Subsistem Pengendalian Mutu Sertifikasi benih merupakan mekanisme pengendalian mutu yang wajib diterapkan terhadap semua lot benih yang diedarkan (UU 12/1992, PP 44/ 1995). Saat ini pelaksanaan sertifikasi dilakukan tanpa memperhatikan kekuatan pasar, sehingga menimbulkan beban biaya yang besar, khususnya untuk benih-benih yang nilai komersialnya kurang. Sertifikasi benih kedelai dilaksanakan oleh Pemerintah, yakni Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSBTPH) yang ada di masing-masing provinsi. Pengembangan dapat pula dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum yang telah mendapat ijin dari Pemerintah. BPSBTPH yang pada awalnya merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat, telah diserahkan kewenangan pengelolaannya kepada Pemerintah Daerah, dan sebagian besar juga telah ditetapkan sebagi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). UPTD BPSBTPH di seluruh Indonesia beserta laboratorium benihnya berjumlah 30 unit, sembilan laboratorium di antaranya telah diakreditasi, yaitu BPSB Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bali, Lampung, dan Sulawesi Selatan.Balai Pengembangan Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPMB-TPH). BPMB-TPH yang mempunyai tugas melaksanakan pengembangan dan pengujian mutu benih tanaman pangan dan hortikultura. Diharapkan UPTD ini menjadi acuan bagi laboratorium benih yang ada di Indonesia (Ditjen Tanaman Pangan 2005). Mekanisme pengendalian mutu yang secara formal memiliki landasan hukum adalah: (1) sertifikasi dan pengujian benih berdasarkan OECD Scheme dan International Seed Testing Association (ISTA) Rules (UU 12/ 1992, PP 44/1995) dan (2) sistem standardisasi pertanian yang mencakup antara lain standardisasi produk, sertifikasi sistem mutu, sertifikasi produk, akreditasi laboratorium, akreditasi LSSM, dan akreditasi LsPro (PP 102/2000). Namun demikian, persepsi tentang sertifikasi benih belum sama, sehingga penerapannya di berbagai daerah masih cukup beragam. Standar mutu adalah spesifikasi benih yang baku dan dibuat oleh pemerintah, sehingga standar mutu benih perlu disosialisasikan agar dapat
386
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
menjadi acuan dalam memproduksi atau pengawasan benih yang beredar. Dengan demikian, para pelaku perbenihan kedelai mempunyai pedoman atau aturan dalam menghasilkan benih bermutu. Penerapan standar mutu benih kedelai diharapkan dapat dilakukan secara mandiri, dengan pengawasan tetap dilakukan oleh pemerintah.
KEBUTUHAN BENIH KEDELAI SAAT INI DAN PRAKIRAAN KEBUTUHAN MASA DEPAN Penyediaan benih bermutu yang dapat memenuhi enam tepat merupakan persyaratan utama dalam mendukung usaha peningkatan produksi kedelai. Istilah benih bermutu di kalangan petani identik dengan benih sebar (BR). Kebutuhan benih sebar (BR/ES/Extension Seed) biasanya paralel dengan luas areal penanaman. Untuk mengetahui kebutuhan benih kedelai pada masa sekarang maupun masa mendatang diperlukan data luas areal tanam atau luas panen. Pada tulisan ini, kebutuhan benih kedelai hanya dibatasi pada tingkat provinsi dan nasional selama kurun waktu 2001-2005 dan proyeksi kebutuhan benih hingga tahun 2010. Selain benih kelas BR/ES (Benih Sebar) akan dibahas pula mengenai kebutuhan benih sumber kelas di atasnya yakni BP/SS (Stock Seed/Benih Pokok), BD/FS (Foundation Seed/ Benih Dasar), dan BS (Breeder Seed/Benih Penjenis). Kebutuhan benih kedelai kelas BR berfluktuasi antarprovinsi dan tahun sesuai dengan perubahan luas tanam. Tabel 1 menyajikan kebutuhan benih kedelai mulai tahun 2001 hingga 2005 untuk setiap provinsi dan kumulatif nasional. Kebutuhan benih kedelai secara nasional per tahun adalah sebesar 23.705.820 kg (dihitung berdasarkan rata-rata penggunaan benih 45 kg/ha). Empat provinsi sebagai areal terluas penanaman kedelai yakni Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memerlukan benih paling banyak. Secara umum, kebutuhan benih kedelai menurun sejak tahun 2001 hingga 2005 akibat menurunnya luas tanam, kecuali di NTB, Jawa Barat, dan Sulawesi Utara. Kenaikan kebutuhan benih untuk ketiga provinsi tersebut masing-masing adalah 18%, 41%, dan 124% (Tabel 1). Beralihnya fungsi lahan subur untuk keperluan nonpertanian atau kompetisi tanaman kedelai dengan tanaman lain (misalnya jagung, ubi kayu, dll), akibat oleh harga kedelai yang kurang menarik, termasuk penyebab terjadinya kecenderungan penurunan luas tanam dan luas panen kedelai di Indonesia. Perkiraan kebutuhan benih kedelai secara nasional hingga tahun 2014 disajikan pada Tabel 2.
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
387
Tabel 1. Kebutuhan benih kedelai di setiap provinsi dan nasional dalam periode 2001-2005 (dihitung berdasarkan data luas areal panen dengan asumsi rata-rata penggunaan benih kedelai 45 kg/ha). Propinsi
Kebutuhan benih kedelai (t/tahun) 2001
2002
2003
2004
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Riau Kepulauan DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat
2.296,0 450,1 185,2 90,3 97,7 214,2 67,7 547,9 0,2 1.285,1 5.031,4 2.043,2 12.629,4 74,7 379,9 3.050,2 90,5 80,3 150,9 232,5 90,0 133,6 91,7 651,2 73,9 83,0 85,9 341,6 -
774,4 436,7 74,5 103,3 155,7 146,8 92,5 270,9 0,1 1.022,1 4.007,5 1.932,2 10.716,1 177,9 343,8 2.365,6 162,6 73,6 84,7 261,1 82,5 66,9 85,6 651,7 104,2 68,3 18,4 2.23,8 -
653,4 446,0 72,6 64,0 131,0 179,0 103,9 190,4 0,1 673,7 4.417,3 1.634,7 1.009,5 110,3 259,4 2.907,4 160,7 45,9 64,3 227,5 93,9 85,6 65,9 764,6 93,9 24,3 55,7 20,8 149,9 -
1.148,2 485,7 62,4 90,9 131,4 148,5 152,1 242,1 947,3 3.587,9 1.507,0 11.182,2 176,2 384,8 3.427,9 147,1 46,5 41,5 200,0 79,5 191,8 90,8 742,0 122,0 25,9 40,1 22,4 206,3 -
1.107,6 603,4 66,8 124,3 125,9 164,0 135,9 190,4 927,1 4.452,0 1.512,3 11.623,5 68,8 364,1 4.024,4 87,5 59,9 33,0 90,0 87,9 206,8 98,1 760,4 146,6 91,3 18,7 53,7 43,7 120,8 90,8
Indonesia
30.548,2
24.503,5
23.705,8
25.630,6
27.497,7
388
2005
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Tabel 2. Perkiraan kebutuhan benih kedelai kelas benih sebar (extension seed/ BR) secara nasional dalam periode 2007-2014. Tahun
Sasaran produksi (000 ton)*)
Produktivitas (t/ha)*)
Luas areal tanam (000 ha)
Kebutuhan benih (ton)
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1.093 1.263 1.458 1.652 1.818 1.999 2.199 2.419
1,49 1,57 1,65 1,70 1,70 1,70 1,70 1,70
734 805 884 972 1.069 1.176 1.294 1.423
33.030 36.225 39.780 43.740 48.105 52.920 58.230 64.035
Dihitung berdasarkan target sasaran luas areal tanam dan produktivitas data diambil dari Deptan (2005).
*)
TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH KEDELAI Usahatani kedelai di Indonesia dilakukan pada berbagai agroekologi yang spesifik. Produksi benih kedelai seyogyanya dilakukan pada sentra produksi. Namun demikian, berdasarkan pertimbangan teknis, tidak semua agroekologi usahatani kedelai sesuai untuk produksi benih. Secara umum terdapat empat tipe agroekologi untuk kedelai (Sumarno 1998) yaitu: 1. Lahan tegal pada awal musim hujan (MH I) 2. Lahan tegal pada akhir musim hujan (MH II) 3. Lahan sawah pada awal musim kemarau (MK I) 4. Lahan sawah pada pertengahan musim kemarau (MK II) Masing-masing agroekologi tersebut memiliki sifat-sifat khusus (Tabel 3). Untuk memperoleh hasil benih secara maksimal, perlu tersedia varietas yang paling sesuai bagi masing-masing agroekologi tersebut. Namun demikian, apabila varietas kedelai yang dianjurkan harus beradaptasi pada masing-masing lingkungan spesifik tersebut diperlukan varietas kedelai yang sangat banyak. Hingga kini hal tersebut belum dapat dipenuhi karena upaya perakitan varietas unggul kedelai belum dilakukan secara intensif. Pertumbuhan tanaman kedelai secara fisiologis terutama dipengaruhi oleh suhu dan panjang hari. Pengaruh kedua faktor tersebut sangat dominan, terutama terhadap pertumbuhan vegetatif, tinggi batang, umur berbunga, dan umur panen (Tabel 4). Berdasarkan pertimbangan teknis mengacu pada Tabel 3 dan 4, maka agroekologi yang ideal untuk produksi benih kedelai adalah pada MK I dan MK II.
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
389
Tabel 3. Karakteristik agroekologi/musim tanam untuk produksi benih kedelai di Indonesia. Uraian
Karakteristik agroekologi MH I
MH II
Diolah Okt.-Nop. Tegal/sawah tadah hujan Berlebihan, kurang pada awal pertumbuhan Mendunghujan panas Kadang kurang atau berlebih Sedang Kurang Kurang
Olah minimal Jan.-Pebr. Tegal
TOT Maret-April Sawah irigasi terbatas Kekeringan Berlebihan pada fase pada awal, generatif kurang pada fase generatif Agak mendung- Cerahagak panas agak panas Kekeringan Becek, drainase buruk Sedang Banyak Sedang Banyak Sedang Kurang
Pemeliharaan
12+ Rendahsedang Intensif
12+ Rendahsedang Agak intensif
12Sedangtinggi Agak intensif
Perkiraan hasil (t/ha)
1,0-1,2
0,7-0,9
1,7-2,0
Penyiapan lahan Saat tanam Lahan Status air
Cuaca Kelembaban tanah Gulma Hama Penyakit Panjang hari (jam) Hara
MK I
MK II TOT Juni-Juli Sawah irigasi Umumnya kekurangan air Cerah, panas Kering, drainase baik Banyak Banyak Sedangbanyak 12Sedangtinggi Sedangintensif 1,5-2,0
TOT = tanpa olah tanah Sumber: Sumarno (1998).
Tabel 4. Pengaruh suhu dan panjang hari terhadap pertumbuhan kedelai. Faktor
Pengaruh terhadap pertumbuhan/fisiologi kedelai
Suhu rendah, < 180C
Umur berbunga panjang, umur panen lambat (dalam), batang lebih tinggi, biji lebih bernas Umur berbunga normal, tanaman pada tanah subur tumbuh optimal Tanaman tumbuh normal dan baik asal kelembaban tanah cukup Tanaman tumbuh pendek, cepat berbunga, bila air kurang tanaman merana Tanaman cepat berbunga, cepat panen, tumbuh pendek Pertumbuhan normal, umur berbunga normal, umur panen normal Tanaman tunbuh tinggi, berbunga lambat, panen lambat, hasil biji meningkat Pertumbuhan vegetatif subur, tanaman tidak dapat berbunga
Suhu kardinal, 190-240C Suhu agak tinggi, 250-360C Suhu tinggi, 300-360C Panjang hari < 12 jam Panjang hari 12 -12,5 jam Panjang hari 12,5-13,5 jam Panjang hari > 14 jam Sumber: Sumarno (1998).
390
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Teknik Produksi Benih Teknik produksi benih kedelai pada dasarnya sama dengan teknik produksi untuk konsumsi. Persyaratan ideal untuk memperoleh benih bermutu tinggi, selain mengacu pada uraian yang sudah disebutkan di atas, adalah sebagai berikut:
•
Daerahnya mempunyai iklim yang cocok, yakni curah hujan sedang (150-200 mm per bulan) pada masa pertumbuhan, curah hujan < 50 mm per bulan pada saat pematangan, dan suhu harian tidak lebih dari 30oC pada saat pematangan. Kelembaban udara yang rendah (+ 70%) pada saat pematangan polong juga menguntungkan.
•
Tanah subur dan air cukup tersedia sehingga diperoleh tanaman yang subur, sehat, dan menghasilkan biji bernas.
•
Pertanaman bebas dari gangguan hama, terutama hama yang merusak biji. Pada umumnya semua jenis hama mempengaruhi mutu benih kedelai yang dihasilkan.
•
Bebas gangguan penyakit. Pertanaman perbenihan yang tertular penyakit akan menghasilkan biji yang kurang normal, tidak bernas, atau terinfeksi patogen yang dapat menular bila benihnya ditanam.
• •
Bebas dari gulma, sejak kedelai tumbuh hingga masa panen.
•
Dipanen pada saat tanaman telah matang, diproses, dan dibijikan. Biji segera dikeringkan hingga mencapai kadar air 10%.
Jarak tanam teratur, dan sebaiknya agak jarang agar tanaman tumbuh optimal.
Penyiapan Lahan a. Tanam awal musim kemarau (MK 1) Produksi benih pada lahan bekas tanaman padi tidak memerlukan pengolahan tanah (tanpa olah tanah = TOT). Pada lahan tegal perlu pengolahan tanah secara intensif (biasanya dua kali bajak dan sekali diratakan). Apabila lahan masih tergenang air, perlu dibuat saluran drainase setiap 4-5 m dengan kedalaman 25-30 cm dan lebar 30 cm. Saluran tersebut berfungsi untuk mengurangi kelebihan air sekaligus sebagai saluran irigasi pada saat tidak ada hujan. b. Tanam pertengahan musim kemarau (MK 2) Pada lahan bekas tanaman padi gadu 1, penanaman kedelai untuk produksi benih hampir sama dengan MK 1. Bila menggunakan lahan bekas tanaman
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
391
kedelai atau palawija lainnya, perlu dilakukan pengolahan tanah terlebih dahulu, agar sisa biji kedelai tidak tumbuh dan menjadi campuran benih. Varietas Unggul Semua varietas unggul yang telah dilepas mempunyai potensi hasil sekitar 1,8-2,5 t/ha. Selain itu, ada beberapa varietas lokal yang dianjurkan karena mempunyai potensi hasil yang cukup tinggi dan cocok dikembangkan di daerah tertentu seperti varietas Lumajang Bewok di Jawa Timur dan Kipas Merah atau Kipas Putih di Aceh). Saat ini telah tersedia sejumlah varietas baru kedelai yang sesuai untuk lahan sawah dan lahan kering (Kaba, Sinabung, Ijen, dan Panderman) dan lahan masam (Tanggamus, Seulawah, dan Ratai). Pilihan varietas perlu disesuaikan dengan preferensi pengguna, dengan kebutuhan benih berkisar antara 40-50 kg/ha. Waktu Tanam Waktu tanam kedelai di lahan sawah irigasi biasanya dua kali, yakni awal musim kemarau-MK 1 (Februari/Maret) dan pertengahan kemarau-MK 2 (Juni/Juli). Di lahan sawah tadah hujan hanya dilakukan penanaman satu kali, yaitu pada bulan Februari/Maret, dan pada lahan sawah setengah irigasi teknis dilakukan pada bulan Juni/Juli. Untuk mendukung keberhasilan produksi benih perlu dilakukan beberapa hal berikut:
•
Waktu tanam optimal kedelai pada bulan Februari/Maret atau Juni/Juli harus memperhitungkan umur panen padi, sesuai dengan rencana tanam yang ketat.
• •
Setelah padi dipanen, kedelai segera ditanam, tidak lebih dari tujuh hari.
•
Benih ditanam secara tugal dengan kedalaman 2-3 cm, jarak tanam 40 x 15 cm (1-2 biji/lubang tanam).
Penanaman untuk satu hamparan minimal 100 ha harus serempak. Keterlambatan waktu tanam akan menurunkan hasil sampai 50%, karena terjadinya akumulasi hama.
Pemupukan Pada lahan sawah dengan kesuburan rendah-sedang dilakukan pemupukan dengan takaran 50 kg urea, 75 kg SP36, dan 50 kg KCl/ha. Pada tanah Vertisol yang mengalami kahat kalium, takaran pupuk KCl dinaikkan menjadi 100 kg/ha. Pada tanah Hidromorf, pupuk yang diberikan adalah 50-100 kg urea, 75-100 kg SP36, dan 50-100 kg KCl/ha. Dianjurkan pemberian inokulasi Rhizoplus/Nodulin pada daerah yang belum ditanami kedelai.
392
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Mulsa Jerami Padi Pada lahan sawah diberikan mulsa jerami sebanyak 5 t/ha, dihamparkan merata dengan ketebalan < 10 cm. Mulsa jerami dapat mengurangi kegiatan penyiangan. Pada daerah yang selalu terancam serangan lalat kacang, pemberian mulsa dapat menekan serangan hama tersebut. Jika gulma tidak menjadi masalah, jerami dapat dibakar pada hamparan lahan. Cara ini dapat lebih menyeragamkan pertumbuhan awal kedelai. Pengairan Fase pertumbuhan tanaman yang sangat peka terhadap kekurangan air adalah awal pertumbuhan vegetatif, yaitu15-21 hari setelah tanam (HST), saat berbunga (25-35 HST), dan saat pengisian polong (55-70 HST). Pada fase-fase tersebut tanaman perlu diairi secara berkala dan mencukupi. Pengendalian Hama Epidemi hama selalu ada pada setiap musim tanam kedelai, hanya intensitasnya yang berbeda. Serangan hama pada pertanaman MK 1 biasanya lebih ringan dibanding MK II. Untuk mengantisipasi serangan hama, konsep Pengendalian Hama Terpadu harus diterapkan. Pengkayaan musuh alami, tanaman perangkap, dan penggunaan insektisida secara bijaksana dapat diterapkan dalam pertanaman produksi benih kedelai. Pengendalian dengan insektisida sering dilaporkan tidak efektif karena beberapa hal, antara lain: • Tidak ada persediaan insektisida pada saat terjadi eksplosif hama, sehingga terjadi keterlambatan pengendalian. • Insektisida yang digunakan kurang/tidak efektif atau dosisnya kurang benar. • Volume semprot tidak sesuai dengan anjuran. • Alat semprot, kurang memadainya alat semprot dan cara penyemprotan kurang benar. • Waktu penyemprotan tidak tepat. Pengendalian Penyakit Penyakit utama pada kedelai adalah karat daun Phakopsora pachyrhizi, busuk batang dan akar Schlerotium rolfsii, dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus. Penggunaan fungisida dilakukan sejak gejala mulai nampak, umumnya 3-4 kali penyemprotan menggunakan Bayleton, Anvil, Benlatte atau Dithane. Kehilangan hasil karena penularan karat daun berkisar antara 30-70%. Pengendalian virus dilakukan dengan cara mengendalian vektornya, yaitu kutu aphid, menggunakan insektisida Decis. Waktu pengendalian adalah pada saat tanaman berumur 14, 28, dan 42
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
393
HST, atau menyemprot berdasarkan populasi hama/vektor. Usaha pencegahan lain adalah dengan cara: • Tanam secara serempak. • Rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang penyakit virus. • Menanam benih sehat. • Membasmi tanaman inang. • Membuang tanaman sakit.
Pemeliharaan Mutu Genetik Pemeliharaan mutu genetik untuk setiap kelas benih dilakukan sejak sebelum tanam (sumber benih dan lahan yang akan digunakan untuk produksi benih harus jelas), di pertanaman, dan selama prosesing. Selama di pertanaman, pemeliharaan mutu genetik dilakukan dari tanaman ke tanaman, yakni dengan cara rouging (membuang tanaman dengan tipe menyimpang). Terdapat tiga fase pengamatan tanaman untuk membuang tanaman yang menyimpang, yakni berdasarkan karakter kualitatif sebagai pembeda utama, yaitu pada fase juvenil, berbunga, dan masak fisiologis. Fase Juvenil (Tanaman Muda) Rouging pada fase ini dilakukan pada saat tanaman berumur 15-20 HST. Karakter-karakter yang dapat dijadikan pedoman adalah: (a) warna hipokotil (hijau atau ungu), (b) ukuran keping biji dan daun bertiga pertama (trifoliat), di mana biji yang berukuran besar memiliki keping biji dan trifoliat berukuran besar, dan (c) bentuk daun, biji berbentuk bulat akan diikuti oleh daun yang makin mendekati bulat. Fase Berbunga Apabila pada fase juvenil belum mampu membedakan adanya campuran varietas lain, maka rouging dapat dilakukan lagi pada fase berbunga. Pedoman yang dapat dipakai adalah: (a) warna bunga, tanaman dengan hipokotil berwarna ungu akan memiliki bunga berwarna ungu dan tanaman dengan hipokotil berwarna hijau akan memiliki bunga berwarna putih; (b) saat berbunga, tanaman yang waktu berbunganya sangat menyimpang perlu dibuang; (c) warna dan kerapatan bulu pada tangkai daun; (d) ketegapan batang dan posisi daun pada batang secara keseluruhan; (e) reaksi terhadap penyakit.
394
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Fase Masak Fisiologis Fase masak fisiologis adalah fase di mana pengisian biji berakhir dan polongpolong mulai berubah warna menjadi coklat (warna polong matang). Halhal yang perlu diperhatikan dalam rouging pada fase ini adalah: (a) keragaan tanaman secara keseluruhan (posisi daun, polong, dan bentuk daun); (b) kerapatan dan warna bulu; panjang/pendek, kerapatan, dan warna bulu (putih atau coklat) pada batang dan daun; dan (c) umur masak polong, tanaman yang kemasakan polongnya terlalu menyimpang perlu dicabut.
Panen dan Pascapanen Untuk menghasilkan benih bermutu tinggi, perbaikan mutu fisik, fisiologis maupun mutu genetik juga dilakukan selama penanganan pascapanen. Menjaga mutu fisik dan genetik terutama dilakukan selama prosesing, sedangkan menjaga mutu fisiologis dilakukan mulai saat panen hingga penyimpanan dan bahkan hingga benih siap ditanam. Panen Panen hendaknya dilakukan pada saat mutu fisiologis benih maksimal, yang ditandai bila sekitar 95% polong telah berwarna coklat (warna polong masak) dan sebagian besar daun sudah rontok. Panen dilakukan dengan cara memotong pangkal batang. Brangkasan kedelai hasil panen langsung dikeringkan (dihamparkan) di bawah sinar matahari dengan ketebalan sekitar 25 cm selama 2-4 hari (bergantung cuaca) menggunakan alas terpal plastik, tikar atau anyaman bambu. Pengeringan dilakukan hingga kadar air benih mencapai sekitar 14%. Menumpuk brangkasan basah lebih dari dua hari sangat tidak dianjurkan karena akan menyebabkan biji berjamur sehingga mutunya rendah. Pada musim hujan, di mana sinar matahari kurang, brangkasan/polong perlu diangin-anginkan secara dihampar (tidak ditumpuk). Untuk mempercepat proses penurunan kadar air benih, disarankan brangkasan dihembus dengan udara panas dari pemanas buatan. Perontokan Brangkasan kedelai yang telah kering (kadar air sekitar 14%) secepatnya dirontok. Perontokan dapat dilakukan secara manual (geblok) atau secara mekanis menggunakan threser (pedal threser atau power threser). Apabila digunakan power threser, kecepatan putaran silinder perontok disarankan tidak lebih dari 400 rpm (putaran per menit). Perontokan perlu dilakukan secara hati-hati untuk menghindari banyaknya benih pecah kulit, benih retak, atau kotiledon terlepas, yang dapat mempercepat laju penurunan daya tumbuh dan vigor benih dalam penyimpanan.
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
395
Pembersihan dan sortasi Benih hasil perontokan perlu dibersihkan dari kotoran benih (antara lain: potongan batang, cabang tanaman, dan tanah), dapat dilakukan secara manual atau mekanis (menggunakan blower). Untuk mendapatkan keseragaman ukuran benih, sortasi perlu dilakukan yakni dengan memisahkan sekitar 5% biji berukuran kecil dan tidak dimasukkan ke dalam kelompok (lot) benih. Selain itu, pada tahapan proses ini juga dilakukan pemisahan biji dengan tipe menyimpang dalam rangka memperbaiki mutu genetik kelompok benih dari varietas yang diproduksi, yakni biji yang tidak memiliki sifat seperti yang tercantum dalam deskripsi varietas, antara lain warna hilum, warna kulit biji, dan bentuk biji. Membuang biji dengan tipe menyimpang dilakukan dari benih ke benih (seed-to-seed). Tahapan ini memerlukan waktu relatif lama, agar benih tidak berada pada kadar air yang masih relatif tinggi. Oleh karena itu, sangat dianjurkan bahwa setelah perontokan benih perlu segera dikeringkan hingga kadar air 10-11%. Pengeringan Benih yang sudah bersih dan seragam ukurannya selanjutnya segera dikeringkan lagi hingga mencapai kadar air sekitar 9%. Pengeringan dapat dilakukan di bawah sinar matahari, menggunakan alas terpal plastik atau tikar pada lantai jemur yang kering, dengan ketebalan sekitar tiga lapis benih. Selama pengeringan perlu dilakukan pembalikan benih setiap 2-3 jam agar benih kering secara merata. Pengeringan diakhiri pada sekitar pukul 12.00 untuk menghindari sengatan sinar matahari yang terlalu panas. Untuk mencapai kadar air sekitar 9% diperlukan waktu pengeringan sekitar 4 jam sehari (pukul 8.00-12.00) selama 1-2 hari. Setelah dikeringkan, benih perlu diangin-anginkan sekitar 1-2 jam untuk menyeimbangkan suhu benih dengan suhu udara sekitarnya, sebelum benih dimasukkan ke dalam karung/wadah tertutup. Pengemasan Benih dikemas menggunakan bahan pengemas kedap udara untuk menghambat masuknya uap air dari luar kemasan ke dalam benih. Kantung plastik benih yang bening atau buram (kapasitas 2 atau 5 kg) dengan ketebalan 0,08 mm satu lapis atau 0,05 mm dua lapis cukup baik digunakan untuk mengemas benih kedelai hingga delapan bulan pada kondisi ruang simpan alami (tanpa AC) dengan kadar air benih awal sekitar 9%. Kemasan yang telah berisi benih harus tertutup rapat. Caranya adalah, kemasan diikat menggunakan tali plastik atau dipres dengan kawat nikelin panas. Kemasan kantung plastik kedap udara besar (kapasitas 30-40 kg) juga baik digunakan untuk penyimpanan benih kedelai. Selain itu, penggunaan kaleng/blek bertutup rapat dengan kapasitas 10-15 kg dapat juga digunakan untuk menyimpan benih kedelai. 396
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Penyimpanan Benih dalam kemasan dapat disimpan di dalam ruangan beralas kayu atau pada rak-rak kayu, agar kemasan tidak bersinggungan langsung dengan lantai/tanah. Benih dalam penyimpanan harus terhindar dari serangan tikus atau hewan pengganggu lain yang dapat merusak kemasan maupun benih. Menyimpan benih sebaiknya pada ruangan tersendiri (tidak bercampur dengan pupuk atau bahan-bahan lain yang menyebabkan ruangan menjadi lembab). Dengan cara dan tahapan-tahapan tersebut, maka benih kedelai dengan daya tumbuh pada awal penyimpanan 95% dan kadar air pada awal penyimpanan sekitar 9% dapat dipertahankan hingga delapan bulan dengan daya tumbuh lebih dari 80%. Pengelolaan benih dalam rangka mempertahankan mutu fisiologis tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus secara menyeluruh dan sistematis dengan menerapkan kaidah pengelolaan benih secara benar, mulai saat panen hingga penyimpanan. Tidak terdapat perbedaan pengelolaan pascapanen benih, baik untuk benih penjenis (BS), benih dasar (FS), benih pokok (SS) maupun benih sebar (ES) untuk mempertahankan mutu fisiologis. Benih kedelai termasuk benih yang cepat turun mutu fisiologisnya setelah panen, maka tindakan secara cepat dan benar harus dilakukan. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah, mutu benih yang tinggi pada awal penyimpanan merupakan syarat penting bagi keberhasilan pengelolaan mutu fisiologis benih selama penyimpanan. Bagaimanapun idealnya kondisi penyimpanan, tidak dapat memperbaiki mutu benih seperti pada awal penyimpanan.
Sertifikasi dan Standar Mutu Benih Beberapa terminologi perlu dipahami kaitannya dengan sertifikasi benih. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian, pengawasan, dan memenuhi semua persyaratan yang berlaku. Sertifikat adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian antara hasil kegiatan sertifikasi dengan persyaratan yang ditentukan. Standar mutu benih adalah spesifikasi teknis benih yang baku, mencakup mutu fisik, genetik, fisiologis, dan atau kesehatan benih. Benih bina adalah benih dari varietas unggul yang telah dilepas, yang produksi dan peredarannya diawasi. Label adalah keterangan tertulis yang diberikan pada benih atau benih yang sudah dikemas yang akan diedarkan dan memuat antara lain tempat asal benih, jenis dan varietas tanaman, kelas benih, data hasil uji laboratorium, dan akhir masa edar benih (Hartono 2004). Instansi penyelenggara sertifikasi benih kedelai adalah Balai Pengawasan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSBTPH). Proses
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
397
sertifikasi benih dapat diserahkan kepada produsen, sesuai dengan tingkat profesionalisme dan kredibilitas mereka. Peran pemerintah terutama pada pembinaan, pengendalian mutu eksternal, dan pengawasan peredaran benih bina. Bagi perorangan, badan hukum, atau lembaga pemerintah yang akan melakukan sertifikasi mandiri harus mendapatkan sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu (LSSM) yang ditetapkan Menteri Pertanian dan telah mendapat akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional Lembaga Sertifikasi (Deptan 2006). Terkait dengan sertifikasi benih, berdasarkan mutu genetik, fisik dan fisiologis, benih kedelai terdiri atas empat kelas, yaitu: 1. Benih penjenis (breeder seed) atau disingkat BS, diproduksi dan dikendalikan langsung oleh pemulia (breeder) yang menemukan atau diberi kewenangan untuk mengembangkan varietas tersebut. Saat ini benih penjenis dikelola oleh UPBS di Balai Penelitian Komoditas, untuk kedelai di Balitkabi, Malang. Dalam sertifikasi, benih penjenis dicirikan oleh label berwarna kuning yang ditandatangani oleh pemulia dan Kepala Institusi penyelenggara pemuliaan tersebut (Badan Litbang Pertanian 2007). Benih penjenis terutama digunakan sebagai benih sumber untuk produksi atau perbanyakan benih dasar (FS/BD). 2. Benih dasar (foundation seed/FS), disingkat BD, adalah benih sumber ysng diproduksi oleh produsen benih (BBI, BPTP, BUMN/Swasta yang profesional) dan pengendalian mutunya melalui sertifikasi benih (BPSB atau Sistem Manajemen Mutu). Benih dasar merupakan benih sumber untuk perbanyakan/produksi benih pokok (SS/BP). Benih dasar ditandai dengan label putih. 3. Benih pokok (stock seed/SS), disingkat BP, merupakan benih sumber yang diproduksi oleh produsen/penangkar benih di daerah dan pengendalian mutunya melalui sertifikasi benih (BPSB atau Sistem Manajemen Mutu). Benih pokok ditandai dengan label ungu. 4. Benih Sebar (Extension Seed/ES), disingkat BR, merupakan keturunan dari BP, yang diproduksi oleh produsen/penangkar dan pengendalian mutunya melalui sertifikasi benih (BPSB atau Sistem Manajemen Mutu). Benih sebar ditandai dengan label biru. Untuk menghasilkan benih bermutu diperlukan sertifikasi yang mencakup tahap pemeliharaan di lapangan dan laboratorium. Standar mutu benih sesuai ketentuan dalam sertifikasi benih kedelai disajikan pada Tabel 5 dan 6. Kriteria standar pengamatan kecambah untuk pengujian mutu fisiologis (daya tumbuh) benih pada pengujian di laboratorium tertera pada Tabel 7.
398
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Tabel 5. Persyaratan standar lapang dalam produksi benih kedelai bersertifikat. Saat ini
Kelas Benih
Toleransi yang diberikan
CVL maks. (%)
Isolasi jarak*)
CVL maks. (%)
Isolasi jarak*)
0,1 0,2 0,5
8m 8m 8m
0,2 0,5 1,0
3m 3m 3m
Benih dasar Benih pokok Benih sebar
CVL = Campuran varietas lain *) Isolasi jarak: jarak antarpetakan pertanaman produksi benih kedelai dengan pertanaman kedelai (varietas lain). Sumber: Departemen Pertanian 2007. Tabel 6. Persyaratan standar laboratorium dalam sertifikasi benih kedelai. Kelas benih
Benih murni min. (%)
Benih dasar Benih pokok Benih sebar
98,0 98,0 97,0
Kotoran Kadar benih CVL air maks. (%) maks. (%) maks. (%) 2,0 2,0 3,0
0,2 0,5 1,0
11,0 11,0 11,0
Daya Masa berlaku tumbuh label min. (%) (bln) 80,0 80,0 70,0
4-9 4-9 4-9
CVL = Campuran varietas lain Sumber: Departemen Pertanian 2007. Tabel 7. Kriteria standar pengamatan kecambah normal dan tidak normal pada uji perkecambahan atau daya tumbuh benih. Subyek Pengamatan Akar Hipokotil
Kotiledon Epikotil
Kriteria kecambah pada uji daya tumbuh benih Normal
Tidak normal
Akar primer atau satu set akarakar sekunder cukup kuat untuk menambatkan bibit pada tanah. Panjang atau pendek, tetapi tumbuh baik tanpa ada pecahan dalam yang mungkin disebabkan oleh jaringan pengangkut yang rusak.
Tidak ada akar primer/ sekunder yang tumbuh kuat/ baik (a). Pecah dalam yang terbuka memanjang masuk ke dalam jaringan pengangkut (b). Cacat, berkeriput dan membengkak/busuk Keduanya hilang dan bibit lemah sehingga tidak vigorus
Satu kotiledon hilang, sedangkan bagian-bagian lainnya baik dan vigorus. Paling kurang ada satu daun primer atau satu tunas ujung yang sempurna.
(a). Tidak ada daun primer/ tunas ujung (b). Ada 1 atau 2 daun primer, tetapi tak ada tunas ujung. (c). Epikotil membusuk pembusukan menyebar dan bibit juga lemah
Sumber: ISTA 2003.
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
399
PENYEDIAAN INDUSTRI BENIH KEDELAI DI INDONESIA Hingga saat ini, sebagian besar petani kedelai menggunakan benih hasil panen musim sebelumnya, atau dari hasil panen sendiri, atau membeli benih ke pedagang hasil bumi yang mendapatkan kedelai dari hasil panen di wilayah lain dari musim panen sebelumnya (sistem Jabalsim), sebagaimana juga ditemui di negara-negara berkembang lain (Almekinders et al. 1994). Pedagang benih yang demikian biasanya melakukan pembersihan dan sortasi benih agar kenampakan biji menjadi lebih baik. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh tambahan keuntungan karena harga ‘benih’ dapat lebih tinggi daripada harga biji maupun calon benih tanpa dilakukan pembersihan dan sortasi. Penggunaan benih kedelai oleh petani melalui cara-cara tersebut diperkirakan mencapai lebih dari 90%, yang berarti penggunaan benih kedelai bermutu (bersertifikat) kurang dari 10% (Baihaki 2002; Nugraha et al. 1995). Ditinjau dari sisi petani sebagai pengguna benih, cara memperoleh benih melalui sistem Jabalsim merupakan cara termudah dan termurah. Selain itu, petani tidak menyangsikan mutu fisiologis (daya tumbuh) benih yang diperoleh dengan cara tersebut karena merupakan benih baru (benih hasil panen dari musim sebelumnya). Masalah yang sering ditemui adalah benih yang diperoleh melalui sistem Jabalsim memiliki campuran varietas lain yang cukup tinggi, bahkan jauh di atas persyaratan maksimal benih kedelai bersertifikat. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya pemasukan benih sumber ke dalam pola tanam dan belum adanya perhatian/pembinaan yang cukup dari pemerintah dalam menangani pengadaan benih kedelai melalui sistem Jabalsim (Harnowo dan Adie 1998). Petani belum merasakan pentingnya sertifikasi benih dalam pengadaan benih kedelai. Hal ini dinilai sebagai salah satu faktor penyebab penangkar/ produsen dan industri benih kedelai sulit berkembang di Indonesia. Ditinjau dari aspek penggunaan dan pengembangan varietas unggul baru, Hidajat dan Partohardjono (2005) menyatakan bahwa dengan pola penyediaan benih sistem Jabalsim, pendekatan pengembangan varietas spesifik bagi masing-masing agroekologi mudah dilaksanakan. Penyediaan benih kedelai secara informal adalah melalui sistem Jalur Benih Antarlapang dan Musim (Jabalsim). Jabalsim adalah suatu sistem pengadaan dan penyaluran benih kedelai yang berlangsung secara tradisional dan merupakan suatu proses mengalirnya benih antardaerah atau jalinan dinamis berdasarkan azas saling keterkaitan dan ketergantungan, sehingga merupakan suatu sistem yang dapat memenuhi kebutuhan benih unggul bermutu di suatu daerah. Faktor pendorong terjadinya Jabalsim kedelai adalah: (a) benih kedelai mudah rusak dan cepat turun daya tumbuhnya, sehingga memerlukan cara penanganan yang cepat, tepat, dan 400
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
teliti; (b) biji kedelai panenan baru, daya tumbuh dan vigornya tinggi; (c) hasil panen kedelai cenderung cepat dijual (kedelai sebagai cash crop; (d) petani merasa bangga bahwa desa/daerahnya sebagai penghasil benih bagi daerah lain untuk kelangsungan siklus usahatani kedelai; (e) harga benih terjangkau sehingga peminatnya banyak; (f) membuka kesempatan kerja bagi sekelompok masyarakat tertentu (tengkulak/ pedagang hasil bumi) yang sekaligus berjasa dalam pengadaan dan penyaluran benih antardesa/ kecamatan/kabupaten secara tepat waktu; dan (g) agroekologi yang memungkin-kan untuk produksi dan distribusi benih, yaitu tipologi lahan dan iklim. Pola penyediaan benih secara Jabalsim disajikan pada Gambar 1. Pola penyediaan benih kedelai seperti digambarkan di atas dapat terjadi di dalam satu desa, antardesa (dalam satu kecamatan), antarkecamatan (dalam satu kabupaten), antarkabupaten (dalam satu provinsi), dan bahkan antarprovinsi maupun antarpulau (Harnowo et al. 1994). Untuk kondisi sekarang sistem Jabalsim untuk tanaman kedelai dinilai sesuai untuk dikembangkan oleh penangkar benih lokal maupun perusahaan benih komersial, karena: • benih kedelai tidak tahan disimpan, sehingga masalah yang sering timbul akibat penyimpanan dapat diatasi; • benih kedelai tidak memiliki dormansi, sehingga semakin baru benih makin bagus daya tumbuh dan vigornya; • prosesing dan penyimpanan benih menjadi lebih sederhana, pengeringan cukup hingga kadar air + 13%, dan tidak diperlukan fasilitas penyimpanan khusus; • pengemasan menjadi lebih sederhana, tidak perlu wadah kedap udara; dan • cita-cita penyediaan benih kedelai berdasarkan enam tepat mudah dicapai. Agar penyediaan benih sistem Jabalsim dapat berhasil dengan baik perlu dipilih varietas-varietas yang cocok dengan tipe agroekologinya. Varietas Wilis, Lokon, Raung, Kerinci, Tidar, dan Lompobatang cocok dikembangkan pada lahan sawah.
TEGAL (MH I)
Nov-Feb
TEGAL (MH II)
Feb-Apr SAWAH (MK I) Apr-Juni
SAWAH (MK II)
Juli-Okt
Gambar 1. Arus benih kedelai mengikuti Jabalsim.
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
401
Namun, pola penyediaan benih kedelai secara Jabalsim memiliki kekurangan, antara lain: (a) asal usul benih tidak jelas, (b) mutu benih beragam dan tidak terkontrol, (c) penyediaan benih tidak dapat dipastikan, (c) peran pedagang sangat dominan, dan (d) teknis budi daya dan prosesing benih seadanya (tidak optimal). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan penangkar benih adalah informal dan tidak berkembang. Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam penyediaan benih kedelai sistem Jabalsim juga dapat dilakukan sertifikasi sistem mutu oleh BPSB, sehingga benih dimaksud dapat diberi label biru. Keuntungan yang didapat dengan pengembangan pola Jabalsim seperti ini adalah (a) benih dapat disalurkan tepat varietas dengan mutu terjaga dan harga terjangkau, (b) benih yang beredar berlabel biru, yang berarti adanya peningkatan mutu benih dan pertanaman, (c) jika usulan kebijakan ini dapat terealisasi, maka penyediaan benih juga akan dilaksanakan tepat waktu, dan (d) sasaran swasembada kedelai lambat laun akan dapat dicapai karena sebagian besar pola Jabalsim mendominasi sistem pengadaan dan penyaluran benih kedelai di masyarakat. Permasalahan utama yang dijumpai dalam pengembangan perbenihan kedelai adalah: 1. Sebagian varietas unggul yang dilepas belum sesuai dengan kebutuhan spesifik lokasi. 2. Kontinuitas ketersediaan Benih Sumber yang sesuai dalam hal varietas, jumlah, waktu, dan lokasi yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan industri benih belum terjamin. Hal ini antara lain disebabkan oleh masih rendahnya produksi benih di Balai Benih, sebagai institusi penghasil benih sumber. 3. Kemampuan penyerapan pasar benih relatif masih terbatas. Hal ini antara lain disebabkan oleh: a. Budaya dan pengetahuan petani dalam penerapan teknologi usahatani, khususnya dalam penggunaan benih, sangat beragam. b. Kebutuhan benih kedelai bersifat musiman dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti iklim, organisme pengganggu tanaman, daya beli petani, dan pasar benih. c. Tanaman kedelai bersifat self-pollinated, sehingga sebagian petani merasa mampu memproduksi benih sendiri tanpa kawatir akan terjadi pencampuran varietas akibat penyerbukan silang. d. Benih bermutu kurang tersedia, kalaupun ada, benih yang tersedia seringkali kurang sesuai dengan yang dibutuhkan petani, terutama dalam hal varietas dan jumlah. e. Industri benih kedelai memiliki karakteristik khusus, yakni berisiko tinggi karena benih merupakan benda hidup dan benih kedelai sangat cepat turun mutu fisiologisnya (daya tumbuh dan vigor) 402
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
setelah panen, terutama apabila penanganan pascapanennya kurang optimal. f. Kebijakan pemerintah belum sepenuhnya kondusif yang dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya peran sektor swasta dalam pengembangan industri benih. g. Petani selama ini sudah merasa puas dengan cara memperoleh benih melaui sistem Jabalsim karena dipandang cukup mudah, harga benih relatif murah, dan mutu benih dianggap cukup bagus. h. Bagi penangkar/produsen benih, tidak ada jaminan bahwa benih yang diproduksi dapat terjual, apalagi belum ada/belum terealisasinya subsidi benih kedelai, sehingga penangkar/produsen harus menanggung risiko kerugian akibat tidak terjualnya benih yang sudah dihasilkan.
Sistem Perbenihan vs Industri Benih Sistem perbenihan dapat diartikan sebagai peraturan yang harus diikuti dan program yang harus dilaksanakan untuk mencapai produksi dan distribusi benih dengan kualitas dan kuantitas yang direncanakan (Douglas 1980). Dalam sistem perbenihantercakup peran semua subsistem, seperti pemuliaan tanaman, perusahaan benih (BUMN atau Swasta), pengawas mutu (BPSB), penangkar benih sebar, pengelolaan benih, dan pemasaran benih. Douglas (1980) membagi perkembangan sistem perbenihan menjadi empat tahap, yaitu: Tahap I : Petani masih menggunakan benih sendiri, varietas, dan mutu benih serta cara budidayanya tradisional. Tahap II : Beberapa petani menggunakan benih bermutu, mulai terdapat pengusaha benih secara komersial, varietas unggul mulai menggantikan varietas lokal. Tahap III : Beberapa komponen sistem perbenihan telah dilaksanakan, penyediaan benih bermutu hampir cukup, varietas unggul dengan cepat mengganti varietas lokal, tetapi petani belum semuanya menggunakan benih bermutu. Tingkat penggantian benih per musim tanam atau seed replacement rate berkisar antara 30-60%, sedang sisanya masih dipenuhi oleh benih yang diperoleh dari hasil panen petani sendiri (saved seeds). Tahap IV : Pada tahap ini sistem perbenihan sudah sangat maju dan berjalan lancar. Peraturan perbenihan telah dijalankan, kebijakan dalam perbenihan jelas dan umumnya mendukung perkembangan produksi dan pemasaran benih secara komersial. Pada tahap IV ini usahatani bersifat komersial penuh, budi daya menerapkan teknik maju yang baku, dan terdapat deferensiasi fungsi komponen usahatani. Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
403
Hubungan antara tahap pekembangan perbenihan dengan tingkat usahatani petani secara ringkas disajikan pada Tabel 8. Hubungan antara tahap perkembangan perbenihan dengan tingkat usahatani adalah bersifat timbal-balik, bukan yang satu menentukan yang lain. Tingkat industri benih yang ada pada suatu periode tertentu sangat berkaitan dengan status teknologi usahatani pada periode tersebut. Berdasarkan tahapan tersebut, Sumarno (1998) memprediksi bahwa sistem perbenihan kedelai di Indonesia baru mencapai pada Tahap II. Namun demikian, pada saat ini sistem perbenihan kedelai nampak adanya tanda-tanda mengarah ke Tahap III. Penyebab lambatnya perkembangan perbenihan kedelai antara lain adalah (Sumarno 1998): 1. Usahatani kedelai bersifat sampingan, bukan utama, sehingga petani belum memikirkan penggunaan benih bermutu sebagai komponen utama. 2. Usahatani pada setiap petani skalanya sempit, tersebar dalam areal yang terpencar, musim tanam terbagi dan tidak serempak sehingga tidak kondusif untuk pasar industri benih kedelai. 3. Musim tanam kedelai, utamanya MH I (awal musim hujan) berbarengan dengan ’musim paceklik’, petani tidak memiliki modal untuk membeli benih kedelai, sehingga lebih suka menggunakan benih sendiri. 4. Benih kedelai yang diproduksi oleh pengusaha benih formal dinilai mahal oleh petani. Tabel 8. Hubungan antara tingkat perkembangan sistem perbenihan dengan kemajuan usahatani. Tahap sistem perbenihan1)
Industri benih nasional
Tingkat usahatani
Budi daya tanamam
Penggunaan benih
Tahap I
Belum ada
Tradisional, subsisten
Tradisional, seadanya
Asal petani
Tahap II
Permulaan, kecil
Agak maju, prakomersial
Agak maju, mulai menerapkan komponen teknologi
Sebagian petani menggunakan benih bermutu
Tahap III
Tumbuh, jumlahnya agak banyak
Semi komersial/ komersial
Maju, menerapkan paket teknologi
20-30% benih yang ditanam bermutu
Tahap IV
Berkembang maju, banyak
Komersial/ agribisnis
Teknologi maju, optimasi input
70-100% benih berupa benih bermutu
Sistem perbenihan yaitu pelaksanaan produksi dan distribusi benih, serta pelaksanaan peraturan perbenihan yang berlaku. Sumber: Sumarno 1998. 1)
404
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
5. Jaminan mutu benih bersertifikat dalam hal daya tumbuh, vigor, kemurnian, dan kesehatan benih belum dapat meyakinkan petani. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut agar sistem perbenihan kedelai dapat berkembang pada prinsipnya adalah penumbuhan usaha perbenihan perlu menyesuaikan dengan perkembangan usahatani kedelai. Strategi yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut (Sumarno 1998): a. Mendorong terbentuknya penangkar benih informal di sentra produksi kedelai. b. Memberdayakan kelompok tani di sentra produksi kedelai melalui pelatihan, magang, dan sekolah lapang teknis produksi kedelai. c. Mendorong salah satu anggota kelompok tani di sentra produksi kedelai menjadi penangkar benih, pada tahap awal menyediakan benih untuk kelompoknya, selanjutnya berkembang untuk petani lain di wilayahnya. d. Membimbing penangkar benih informal untuk menjadi perusahaan benih formal skala kecil, berbasis modal anggota kelompok atau koperasi. e. Menjadikan perusahaan benih formal kecil di sentra produksi kedelai sebagai kekuatan sistem perbenihan kedelai nasional. f. Membentuk Asosiasi Perusahaan Benih dan mengusahakan kemitraan antara perusahaan benih berskala kecil dengan berskala besar seperti PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, PT Pioneer, dan sebagainya. g. Menjadikan usaha perbenihan sebagai bagian integral dari agribisnis di pedesaan. Apabila tahapan perkembangan sistem perbenihan sudah mencapai Tahap III, pengadaan benih kedelai yang dekat dengan petani dan memenuhi persyaratan enam tepat akan dapat dicapai.
Pengendalian Mutu Benih secara Internal dalam Industri Benih Pentingnya Pengendalian Mutu Benih secara Internal Guna menjamin terpenuhinya penyediaan benih bermutu dari varietas unggul, maka sistem perbenihan yang tangguh perlu dibangun. Sistem dimaksud meliputi subsistem makro dan subsistem mikro. Subsistem makro lebih bersifat managerial dan kebijakan, sedangkan subsistem mikro lebih bersifat teknis produksi benih di lapang, penanganan benih setelah panen, penyimpanan dan pemasaran benih. Sebuah industri benih merupakan gambaran dari subsistem mikro dalam sistem perbenihan, yang di dalamnya terdapat unsur pengawasan (pengendalian) mutu secara spesifik, yakni
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
405
pengawasan mutu benih internal (internal seed quality control). Untuk menjamin dihasilkannya benih bermutu tinggi (mutu genetik, fisik, dan fisiologis), maka unsur pengawasansecara internal menempati posisi sentral dalam industri benih, baik dalam industri benih BS (breeder seeds), FS (foundation seeds), SS (stock seeds) maupun ES (extension seeds). Penggunaan istilah ‘industri benih’ sebagai pengganti istilah yang umum digunakan yakni ‘perbanyakan benih’ pada tulisan ini semata-mata dimaksudkan untuk lebih memberi bobot yang lebih besar bahwa usaha produksi BS dari NS (nucleous seed), FS dari BS, SS dari FS maupun ES dari SS atau dari FS, bukan semata-mata memperbanyak benih kelas tertentu dari kelas di atasnya, melainkan merupakan industri benih yang utuh, yang di dalamnya harus ada unsur/unit pengawasan mutu benih internal. Unit/ divisi pengawasan tersebut seharusnya berkontribusi dan bahkan ikut bertanggung jawab dalam menghasilkan benih bermutu tinggi. Aspek Pengendalian Mutu Benih Sistem pengadaan benih bermutu dan tahapan-tahapan dalam pengendalian mutu benih secara internal disajikan pada Gambar 2. Sesuai dengan aspek mutu genetik, mutu fisik, dan mutu fisiologis, maka pengendalian
Program pemuliaan tanaman (breeder/pemulia)
Pelepasan varietas (benih penjenis/BS)
Produksi benih
Panen
Prosesing (perontokan, pengeringan, sortasi)
Penyimpanan
Distribusi
Pengguna
Gambar 2. Komponen dalam sistem pengadaan benih bermutu dan mekanisme pengendalian mutu benih secara internal dalam industri benih.
406
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
mutu benih internal harus mencakup ketiga aspek mutu tersebut. Pengendalian mutu benih yang menyangkut aspek genetik perlu dilakukan sebelum benih ditanam, yakni menyangkut pengecekan terhadap legalitas dan kepastian genetik benih sumber yang akan diperbanyak, sejak pertanaman calon benih berada di lapang hingga prosesing benih (pembuangan campuran varietas lain). Kegiatan ini lebih banyak menjadi tanggung jawab pemulia tanaman, karena itu tidak banyak dibahas pada makalah ini. Untuk menghasilkan benih dengan mutu fisik yang tinggi (sesuai persyaratan) dapat dilakukan dengan cara prosesing benih secara cermat, yakni membersihkan benih dari benda-benda selain tanaman utama. Tiga syarat yang diperlukan adalah waktu, tenaga, dan peralatan. Dengan terpenuhinya ketiga persyaratan tersebut, maka upaya menghasilkan benih dengan mutu fisik yang tinggi akan dapat dicapai. Aspek pengendalian mutu benih internal yang tidak kalah pentingnya adalah pengendalian mutu fisiologis benih. Kalau pada pengendalian mutu genetik dan mutu fisik nampak jelas tanaman atau benih-benih off type dan benda selain benih, maka pada pengendalian mutu fisiologis sasaran pengendalian tidak nampak, kecuali melalui pengujian. Pengendalian yang keliru pada suatu proses pengadaan benih tidak dapat diperbaiki pada proses berikutnya, sebab menyangkut proses deteriorasi dan kehidupan benih yang menjadi penciri utama dari produk industri benih, yakni viabilitas benih. Benih sebagai komoditas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dari industri benih pada hakikatnya adalah produk mutu. Para pengguna benih lebih percaya risiko dari penggunaan benih dengan mutu fisiologis rendah (misalnya daya tumbuh < 80%) akan jauh lebih besar daripada benih dengan tingkat kemurnian varietas (mutu genetik 100%). Artinya, tanpa mengurangi arti pentingnya mutu genetik dan fisik benih, pengguna benih bersedia membayar lebih mahal terhadap benih yang bermutu fisiologis tinggi. Seperti halnya pada pengendalian mutu genetik, pengendalian mutu fisiologis pada dasarnya dimulai sejak benih sebelum ditanam (menyangkut aspek kesehatan benih), misalnya adanya penyakit virus atau penyakit lain yang bersifat seed born diseases, hingga panen dan distribusinya ke pengguna. Pada tahapan produksi di lapang pada pertanaman perbanyakan/ produksi benih, aspek pengendalian mutu fisiologis menyangkut penyediaan unsur hara yang cukup, pengairan, pengendalian hama/penyakit dan gulma. Pada prinsipnya adalah mengupayakan agar proses perkembangan benih berjalan normal sehingga tidak ada gangguan terhadap proses perkembangan mutu benih atau seed quality development. Menjelang panen, perlu ditentukan saat panen yang ideal/optimal yang dapat menghasilkan vigor benih maksimal pada saat panen. Aspek ini merupakan modal dasar dalam menghasilkan benih yang tahan lama disimpan. Pengawasan mutu pada tahap prosesing menyangkut penentuan cara panen, pengeringan
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
407
dan perontokan brangkasan, sortasi dan pengeringan benih. Kekurangtepatan penanganan benih pada tahap ini akan berakibat rendahnya mutu fisiologis sebelum benih memasuki periode penyimpanan dalam gudang atau selama distribusi. Dalam kaitan ini perlu diingat salah satu kaidah dalam penyimpanan benih, yakni penyimpanan tidak dapat memperbaiki mutu benih seperti sebelum disimpan. Dengan kata lain, penyimpanan tidak akan banyak berarti apabila pada awal penyimpanan mutu benih (terutama vigor) sudah rendah. Hal tersebut menegaskan arti pentingnya pengawasan mutu fisiologis benih selama penanganan pascapanen, utamanya selama prosesing benih. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengawasan mutu benih pada tahap penyimpanan dalam gudang adalah kadar air benih sebelum disimpan, bahan pengemas, cara, dan kondisi ruang penyimpanan. Secara ringkas, benih siap disimpan apabila kadar airnya berkisar antara 9-10% dan benih dalam kondisi tidak panas. Pada industri benih atau produsen benih, bahan pengemas dianggap baik apabila berupa kantung plastik dengan ketebalan 0,05-0,08 mm. Produsen benih perlu melengkapi ruang simpan benih dengan peralatan pendingin (AC) suhu dan kelembaban ruang simpan harus stabil (suhu 18-200C dan kelembaban tidak lebih dari 60%). Untuk mengevaluasi proses penanganan benih yang mungkin kurang tepat, yang tercermin dari hasil pengujian mutu yang kurang memenuhi syarat, maka petugas yang langsung menangani setiap proses produksi benih, mulai benih ditanam hingga didistribusikan kepada pengguna, menjalankan prinsip pelaksanaan manajemen mutu, yakni mencatat apa yang dikerjakan dan mengerjakan apa yang tertulis dalam pedoman yang telah ditentukan memegang peranan penting. Hal tersebut juga sangat penting artinya untuk mengevaluasi efektivitas fungsi pengawasan mutu benih secara internal. Pengawasan atau pengendalian mutu benih internal yang efektif dalam industri benih akan menjamin kepuasan pelanggan (pengguna benih) sebagai tujuan akhir dari produk industri benih, yakni benih dengan kualitas prima. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap efektifnya fungsi pengawaan benih internal. Akan tetapi, secara teknis, pihak-pihak yang terlibat dalam pengawasan mutu minimal memahami betul faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mutu benih.
Mekanisme dalam Pengendalian Mutu Benih secara Internal Pada dasarnya mekanisme pengendalian mutu benih internal dalam industri benih adalah pelaksanaan pengendalian mutu yang berawal dari program
408
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
penelitian tanaman, terutama tentang pencapaian target keunggulan varietas yang dilepas dan pengembangannya melalui perbanyakan benih awal hingga keseluruhan proses produksi, pengeringan, prosesing, dan distribusi. Secara ringkas mekanisme dan tahapan kegiatan pengendalian mutu benih adalah sebagai berikut:
•
Pada tahapan produksi: pemupukan secara tepat dan berimbang, penyediaan air irigasi secara mencukupi, penerapan isolasi jarak sesuai anjuran, rouging secara benar dan tepat waktu, panen pada saat yang tepat dan dengan cara yang benar.
•
Pada tahap pengeringan: penggunaan cara/metode dan lama pengeringan secara tepat.
•
Pada tahap prosesing/penanganan pascapanen: perhatian yang lebih diberikan kepada upaya peningkatan persentase benih murni (peningkatan kemurnian varietas), menghindari bahan-bahan campuran/ kotoran benih, meminimalisasi kerusakan benih, memberikan perlakuan benih seed treatment (bila perlu), dan menyimpan benih dalam kemasan/wadah yang baik dengan kadar air benih yang aman untuk penyimpanan.
•
Pada tahap penyimpanan: pengaturan lot-lot benih secara benar dalam ruang penyimpanan untuk memudahkan pencarian lot benih tertentu, monitoring kondisi ruang penyimpanan untuk menghindari penurunan mutu fisiologis dan kerusakan benih.
Pada tahap distribusi: berhati-hati selama transportasi benih untuk menghindari kerusakan fisik maupun naiknya temperatur dan kelembaban benih, menghindari kontaminasi dan menjaga identitas lot benih hingga benih dijual. Menjaga kualitas benih agar tetap tinggi melalui keseluruhan tahapan tersebut memerlukan pengetahuan/pemahaman tentang apa, kapan, dan bagaimana cara mengerjakannya. Hal yang lebih penting lagi adalah dedikasi yang tinggi para pelaksana (staf) dalam sebuah industri benih untuk mencapai mutu benih yang tinggi. Berjalannya mekanisme pengawasan mutu benih internal secara baik dan benar akan menjamin pelaksanaan program sertifikasi benih dan pemberlakuan peraturan perbenihan secara efektif. Pada perusahaan benih yang besar, tenaga ahli di bidang pengendalian mutu benih akan berbuat sesuatu sehingga ia yakin bahwa pada setiap dan keseluruhan tahapan proses pengadaan benih, mulai produksi di lapangan hingga distribusinya, keseluruhan langkah/prosedur teknis maupun administratif dilaksanakan secara benar dan tepat waktu. Pada perusahaan benih yang kecil, manager biasanya bertanggung jawab atas keseluruhan tahapan dalam pengendalian mutu benih.
•
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
409
Pada industri benih kacang-kacangan (utamanya kedelai), pelaksanaan tahapan-tahapan produksi hingga penanganan pascapanen benih secara tepat dan benar berpengaruh terhadap pencapaian benih bermutu tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan karakteristik benih kedelai itu sendiri yang mudah rusak akibat deteriorasi. Kecepatan dan ketepatan langkah/tindakan dalam penanganan pascapanen merupakan hal yang sangat penting, sebab akan berdampak besar terhadap pemeliharaan mutu (terutama mutu fisiologis) benih selama penyimpanan (Harnowo 2005). Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa divisi pengendalian mutu benih secara internal dalam industri benih kedelai menempati posisi sangat sentral. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan tenaga ahli dengan pengetahuan yang memadai tentang pengelolaan benih dan memiliki perhatian tinggi terhadap mutu benih. Untuk efektivitas pelaksanaan pengendalian mutu benih secara internal, prosedur operasional baku (Standard Operational Procedure/SOP) untuk pelaksanaan produksi benih berkualitas harus ada dan dilaksanakan secara konsekuen. Hal ini berkaitan dengan upaya ke arah Praktek Bertani Secara Benar (Good Agriculture Practices/GAP), meskipun untuk tanaman pangan belum merupakan keharusan (Sumarno 2006).
KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI BENIH KEDELAI Arah dan strategi sistem perbenihan tanaman nasional telah disusun (Deptan 2006). Kebijakan dan strategi pengembangan perbenihan (industri benih) tanaman pangan (termasuk kedelai) di Indonesia juga telah disusun (Ditjen Tanaman Pangan 2005) dengan mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku (Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, PP No. 44 tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman Pangan, dan Keputusan Menteri Pertanian di bidang perbenihan tanaman pangan). Halhal yang menyangkut kebijakan dan strategi pengembangan industri benih kedelai di Indonesia dijelaskan di bawah ini.
Kebijakan Pengembangan Industri Benih Kedelai Pada dasarnya kebijakan pemerintah di bidang perbenihan tanaman pangan diarahkan untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya sektor swasta dalam usaha perbenihan. Hal tersebut berimplikasi bahwa pengadaan benih atau industri benih pada dasarnya diserahkan kepada masyarakat dan swasta, sedangkan pemerintah berperan memberikan pembinaan. Kebijakan tersebut meliputi:
410
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
a. Pemerintah senantiasa berupaya menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya peran sektor swasta. b. Setiap industri/produsen benih diberikan peluang yang sama untuk bersaing secara sehat dalam melayani kebutuhan petani. c. Pengguna atau petani bebas menetapkan pilihannya dalam menggunakan benih berlabel, sepanjang benih yang dikembangkan tidak merugikan masyarakat, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. d. Benih yang diperdagangkan harus senantiasa memenuhi persyaratan (UU, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri), e. Plasma nutfah untuk pemuliaan tanaman dapat berasal dari dalam maupun luar negeri.
Strategi Pengembangan Industri Benih Strategi pengembangan perbenihan tanaman pangan (termasuk kedelai) ditempuh melalui lima pendekatan, yakni: (a) pemantapan sistem perbenihan, (b) pengembangan usaha agribisnis perbenihan, (c) pemantapan kelembagaan perbenihan, (d) pengembangan potensi pasar, dan (e) penumbuhan kemitraan. Pemantapan Sistem Perbenihan Pemantapan dilakukan terhadap empat subsistem perbenihan, meliputi:
•
Subsistem penelitian, pemuliaan dan pelepasan varietas. Kegiatan penelitian dan pemuliaan varietas dilakukan oleh pemerintah (Badan Litbang Pertanian dan Perguruan Tinggi) dan swasta, dan pelepasannya sebagai varietas unggul nasional (VUN) merupakan kewenangan Pemerintah. Dalam jangka pendek, industri benih swasta yang belum mampu menyelenggarakan kegiatan penelitian/pemuliaan didorong untuk bermitra dengan Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi. Pendidikan dan Pelatihan dalam basic research serta Breeding Program difasilitasi oleh Pemerintah.
•
Subsistem produksi dan distribusi. Dalam sistem produksi, benih sumber yang dihasilkan oleh pemerintah (Balai Benih) dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh industri benih swasta/penangkar benih. Agar ketersediaan benih sumber dapat memenuhi kebutuhan sektor swasta, baik jumlah, varietas, waktu dan lokasi, pemerintah akan terus berupaya memantapkan kelembagaan Balai Benih. Dalam jangka panjang industri benih swasta akan didorong pengembangannya agar mampu memenuhi kebutuhannya sendiri akan benih sumber. Dalam aspek distribusi, industri benih swasta dapat menjalin kemitraan dengan perusahaan pengolah produk maupun dengan pengguna benih lainnya.
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
411
•
Subsistem pengawasan mutu dan sertifikasi benih. Agar benih yang dihasilkan senantiasa memenuhi standar mutu dan ketentuan yang berlaku, maka dalam proses produksi benih dilakukan sertifikasi oleh pemerintah (BPSB-TPH). Agar proses sertifikasi dapat berlangsung secara optimal, maka industri/produsen benih harus menjalin komunikasi dan koordinasi yang optimal dengan BPSB. Pemerintah juga telah membentuk Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu (LSSM) yang berfungsi melakukan sertifikasi sistem mutu kepada pelaku agribisnis/produsen benih. Produsen benih yang memenuhi persyaratan akan dapat sertifikat mandiri dalam proses produksi benih.
•
Subsistem penunjang (peraturan perundangan, sumber daya manusia, dan sarana/prasarana). Dalam rangka menjadikan industri benih berkembang di negeri sendiri dan bahkan dapat menjangkau pasar luar negeri, perlu terus-menerus dilakukan perbaikan dan penyempurnaan peraturan perundangan, peningkatan pengetahuan dan keterampilan di bidang R/D (Research and Development), produksi, distribusi, peningkatan mutu, dan mengupayakan kelengkapan sarana dan prasarana kelembagaan perbenihan.
Pengembangan Usaha Agribisnis Perbenihan Mendorong dan memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada sektor swasta untuk berperan dalam perbenihan baik pada kegiatan di hulu (penciptaan varietas), kegiatan produksi benih sumber, kegiatan produksi benih sebar maupun pada kegiatan di hilir (distribusi/pemasaran). Pemantapan Kelembagaan Perbenihan Kelembagaan Badan Benih Nasional (BBN), Balai Benih (BBI, BBU dan BBP), Balai Pengawasan, dan Sertifikasi Benih (BPSB), dan Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu (LSSM) terus didorong untuk dapat berfungsi secara optimal dalam mendukung pengembangan tanaman pangan (termasuk kedelai). Oleh karena itu, akan terus dilakukan evaluasi dan penyesuaian, baik dalam struktur organisasi maupun mekanisme kerja. Pengembangan Potensi Pasar Penyerapan/penggunaan benih bermutu terus ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan, antara lain melalui sosialisasi penggunaan benih bermutu dari varietas unggul, terutama pada daerah-daerah yang tingkat penggunaan benih berlabelnya masih rendah agar dapat mendorong berkembangnya industri benih. Peran mantri tani kecamatan, PPL, pengamat hama, dan pengawas benih sangat besar dalam penyuluhan perbenihan ini.
412
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
SUPLIER PUPUK DAN PESTISIDA • Benih Sumber/ Materi Induk • Bimbingan Teknis
SAPRODI BENIH BERLABEL SAPRODI INDUSTRI/ PERUSAHAAN BENIH
KELOMPOK PENANGKAR BENIH
PASAR/ KELOMPOK TANI
CALON BENIH
IPCA1 BANK/LEMBAGA KEUANGAN
Gambar 3. Skema mekanisme kemitraan dalam mengembangkan industri benih tanaman pangan, termasuk kedelai (Dirjen Tanaman Pangan 2005).
Penumbuhan Kemitraan Untuk meningkatkan produksi dan distribusi benih, terus didorong kerja sama yang saling menguntungkan antara kelompok penangkar dengan industri/produsen benih melalui pola kemitraan. Gambar 3 menyajikan mekanisme kemitraan yang banyak diterapkan dalam produksi dan distribusi benih padi dan jagung oleh industri/perusahaan benih dengan kelompok penangkar benih, yang di masa-masa mendatang diharapkan dapat diterapkan untuk benih kedelai melalui sistem penangkaran benih berbasis komunitas.
DAFTAR PUSTAKA Almekinders, C.J.M., N.P. Louwaars, and G.H. de Bruijn. 1994. Local seed systems and their importance for an improved seed supply in developing countries. Euphytica 78: 207-216. Badan Litbang Pertanian, Deptan. 2007. Pedoman umum produksi benih sumber kedelai. 29p. Baehaki, A. 2002. Review pemuliaan tanaman dalam industri perbenihan di Indonesia. p. 1-6. Dalam: E. Murniati et al. (Eds.). Industri Benih di Indonesia: Aspek Penunjang Pengembangan. Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, BDP-Faperta IPB, Bogor.
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
413
Douglas, J.E. 1980. Succesful Seed Programs: A Planning and Management Guide. Westview Press. Inc. USA. 302p. Deptan. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Departemen Pertanian RI. 45p. Deptan. 2006. Arah dan Strategi Sistem Perbenihan Tanaman Nasional. Departemen Pertanian. Jakarta. 53p. Deptan. 2007. Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SP.120/3/2007 tentang Pedoman Produksi Benih Kedelai. Direktorat Budi Daya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2006. Program bangkit kedelai menuju swasembada tahun 2006-2010. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2005. Kebijakan perbenihan tanaman pangan. p. 1-17. Dalam: E. Murniati dan T. Budiarti (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Peran Perbenihan dalam Revitalisasi Pertanian. Bogor, 23 Nopember 2005. Direktorat Perbenihan Dirjentan. 2006. Program pengembangan perbenihan tanaman pangan tahun 2007. Harnowo, D. dan M. M. Adie. 1998. Teknologi pengolahan dan penyimpanan benih kedelai. p. 80-93. Dalam: Roesmiyanto et al. (Eds.). Prosiding Lokakarya Sistem Produksi dan Peningkatan Mutu Benih Kedelai di Jawa Timur. Harnowo, D., N. Saleh, Marwoto, A. Harsono, dan Purwanto. 1994. Perakitan sistem produksi benih kedelai di lahan sawah dan lahan tegal. p. 1-17. Dalam: Dahlan, A. Kasno, N. Saleh dan A. Winarto (Eds.). Teknologi untuk Menunjang Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Balittan Malang. Harnowo, D. 2005. Jabal system: performance and its potential for soybean seed provision and agribusiness. Makalah pada Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Bogor, 7-8 September 2005. 13 p. Hartono, S.Y. 2004. Pedoman sertifikasi benih padi dan pelabelan benih padi berlabel merah jambu. Makalah pada Pelatihan Benih Dasar di Balitpa, Sukamandi, 28 Juni-1 Juli 2004. 21p. ISTA. 2003. Rules for seed testing. International Seed Testing Association. Zurich, Swiszerland. Hidajat, J.R. dan S. Partohardjono. 2005. Pemilihan varietas adaptif dan penyediaan benih bermutu untuk perluasan areal kedelai. p. 83-95. Dalam: Partohardjono, S. et al. (Eds.). Analisis dan Opsi Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Monograf No. 2 2005. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. 414
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Nugraha, U.S., H. Smalders, and N. Saleh. 1995. Seed quality of secundery food crops in Indonesia. Paper at the Workshop on Integrated Seed Systems for Low-Input Agriculture, 24-27 October 1995 RILET Malang, Indonesia. 23 p. PT Sang Hyang Seri Cabang Jawa Timur dan Bali. 1998. Sistem produksi benih kedelai secara formal oleh perusahaan benih. Prosiding Lokakarya Sistem Produksi dan Peningkatan Mutu Benih Kedelai di Jawa Timur. JICA-BPTP Jawa Timur-Diperta Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Timur. Bedali, Malang. p. 34-41. Sadjad, S. 2006. benih yang membawa dan dibawa perubahan. IPB Press. bogor. 240 p. Sumarno. 1997. Tinjauan sekilas usahatani kedelai di USA. Makalah pada Seminar Intern Balitkabi, 27 Maret 1997. 8 p. Sumarno. 2006. Good agriculture practices: perlukah diterapkan pada sistem produksi tanaman pangan?. Dalam: Wijono, A. et al. (Eds.). Risalah Seminar 2005 Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. p. 1-18. Sumarno. 1998. Penyediaan benih berdasarkan adaptasi varietas kedelai pada agroklimatologi spesifik. Prosiding Lokakarya Sistem Produksi dan Peningkatan Mutu Benih Kedelai di Jawa Timur. JICA-BPTP Jawa Timur-Diperta Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Timur. BedaliMalang. p. 1-12. Susilo, S.E. 2006. Menanti kebijakan yang lebih progresif. p. 14-27. Agrotek, edisi Januari-Pebruari 2006. Sutrisno, O., G. Kustiono, dan I. Sumono. 1997. Manfaat penggunaan benih bermutu tinggi dalam budi daya kedelai. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian 2:19-23. Suyamto. 2006. Arah kebijakan sistem perbenihan nasional Agrotek, edisi Januari- Februari 2006. p. 14-27.
Harnowo et al.: Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai
415