KAJIAN TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH KEDELAI PADA BERBAGAI AGROEKOLOGI LAHAN DI PROVINSI JAMBI
HERY NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Kajian Teknologi Produksi Benih Kedelai pada Berbagai Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.
Bogor,
Juli 2011
Hery Nugroho A254090135
ABSTRACT HERY NUGROHO. Soybean Seed Production Technology Study in Jambi Province. Under direction of MEMEN SURAHMAN and M. RAHMAD SUHARTANTO.
The national soybean production tend to decline in the last decade. This problem requires attention and research to find some solutions. The aim of this research is to Study the characteristic of seed grower of soybean farmers in the three agro-ecological land; Learning the technology that used by the seed grower of soybean farmers in different agro-ecological; Studying the analysis of farming technology that used and the costs incurred; and Studying the relationship between the technology and financial analysis in several agro-ecological land. This research was conducted from October 2010 through January 2011 in East Tanjung Jabung (Swamp Land), West Tanjung Jabung (Wetland irrigation) and Tebo Regency (Dryland). The method used in this research is secondary data collection on soybean seed production technology, that is the recommendation of Legume and Tuber Crops Research Institute. Furthermore, the survey method to collect primary data that obtained through interviews with seed grower directly. Purposive sampling method by seed grower as respondents, were taken of ten seed grower at each region. The results showed that age characteristics of seed grower more productive, low education levels and experience became a certified seed grower is still under four years; the implementation percentage of seed production technology in three different agroecology in the application of technology; financial analysis in three agro-ecological land is valuable as a profitable farm seed production; and there is a strong relationship between the using of seed production technology and the revenue.
Keywords: soybean, technology, seed grower, agroecology
RINGKASAN HERY NUGROHO. Kajian Teknologi Produksi Benih Kedelai pada Berbagai Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi. Di bawah bimbingan MEMEN SURAHMAN dan M. RAHMAD SUHARTANTO.
Luas panen kedelai nasional dalam dekade terakhir cenderung menurun. Hal ini memerlukan perhatian dan pengkajian untuk mendapatkan solusi dari permasalahan yang ada. Kawasan sentra produksi benih kedelai di Jambi berada di tiga kabupaten yang memiliki tiga agroekologi lahan yang berbeda, yaitu lahan pasang surut, lahan sawah irigasi dan lahan kering. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik petani penangkar benih kedelai pada tiga agroekologi lahan; mempelajari teknologi yang digunakan oleh petani penangkar benih kedelai pada agroekologi yang berbeda; mempelajari analisa usahatani teknologi yang digunakan dengan biaya yang dikeluarkan pada agroekologi yang berbeda; dan mempelajari hubungan antara teknologi yang digunakan pada beberapa agroekologi lahan dengan analisis pendapatan dan produksi hasil berupa benih. Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011 di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tebo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengambilan data sekunder mengenai teknologi rekomendasi produksi benih kedelai dari Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Selanjutnya metode survey untuk pengambilan data primer yang didapat melalui wawancara langsung dengan petani di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Lahan Pasang Surut), Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Lahan Sawah irigasi) dan Kabupaten Tebo (Lahan kering) Provinsi Jambi. Metode pengambilan contoh secara purposive dengan petani responden diambil masing-masing tiap daerah 10 petani penangkar. Faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam penggunaan teknologi produksi benih dianalisis secara deskriptif. Perhitungan analisis biaya dan keuntungan dilakukan dengan analisis R/C ratio. Hubungan antara harga, penerimaan dan volume produksi dapat diketahui dengan melakukan analisis break even point (BEP) yang meliputi BEP Price/TIH (Titik Impas Harga) dan BEP Yield/TIP (Titik Impas Produk). Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara teknologi budidaya dengan produksi hasil yaitu berupa benih dan pendapatan dalam produksi benih kedelai dianalisis dengan menggunakan análisis korelasi pada taraf nyata α 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik umur petani penangkar lebih banyak yang berusia produktif sebesar 83,33%, tingkat pendidikan masih rendah yaitu sebesar 56,67%, pengalaman usaha tani kedelai antara 5-10 tahun sebesar 70% dan pengalaman menjadi penangkar benih yang bersertifikat di bawah 4 tahun sebesar 90%. Persentase penerapan teknologi produksi benih di tiga agroekologi lahan masih perlu ditingkatkan, yaitu : 1) di lahan pasang surut persentase penerapan teknologi jarak tanam, pemupukan, pengendalian hama terpadu (PHT), penyimpanan benih dan seleksi generatif; 2) di lahan sawah irigasi persentase penerapan teknologi jarak tanam, pemupukan, PHT, seleksi vegetatif dan generatif, dan penyimpanan benih; dan 3) di lahan kering persentase penerapan
teknologi pengolahan tanah, jarak tanam, pemupukan, PHT, dan penyimpanan benih. Usahatani petani penangkar layak secara finansial dilaksanakan di tiga agroekologi lahan karena menguntungkan, dengan nilai R/C di lahan pasang surut 2,09, lahan sawah irigasi 2,04, dan lahan kering 1,95. Terdapat korelasi positif dan hubungan yang kuat antara persentase penggunaan teknologi dengan pendapatan, semakin banyak presentase petani yang menerapkan teknologi tersebut semakin tinggi pendapatan yang diperoleh di masing masing lahan, yaitu: di lahan pasang surut persentase penerapan teknologi PHT; di lahan sawah irigasi persentase penerapan teknologi penggunaan benih bersertifikat dan pembersihan dan sortasi benih; dan di lahan kering persentase penerapan teknologi pengolahan tanah, pemupukan sesuai rekomendasi, PHT, pembersihan dan sortasi benih, dan roguing. Terdapat korelasi positif dan hubungan yang kuat antara persentase penggunaan teknologi (pengolahan tanah, pemupukan, pembersihan & sortasi biji dan rouging) dengan produksi hasil yang berupa benih di lahan kering. Semakin banyak persentase petani yang menerapkan teknologi tersebut semakin tinggi produksi hasil yang berupa benih. Kata kunci : kedelai, teknologi, penangkar benih, agroekologi.
© Hak cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut Pertanian Bogor. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh hasil karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH KEDELAI PADA BERBAGAI AGROEKOLOGI LAHAN DI PROVINSI JAMBI
HERY NUGROHO
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Magister Profesional Perbenihan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir: Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S.
Judul Tugas Akhir
: Kajian Teknologi Produksi Benih Kedelai pada Berbagai Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi
Nama
: Hery Nugroho
NRP
: A254090135
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Memen Surahman, M.Sc. Agr. Ketua
Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Magister Profesional Perbenihan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 18 Juli 2011
Tanggal Lulus:
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kedelai termasuk salah satu komoditas pangan yang penting di Indonesia. Banyak produk pangan yang menjadi menu sehari-hari masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan yang terbuat dari kedelai seperti tempe, tahu, kecap dan tauco. Bahan pangan ini selain mempunyai rasa yang enak, juga mengandung gizi dan harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Ketersediaan kedelai dapat mempengaruhi ketahanan pangan nasional, apalagi pertumbuhan jumlah penduduk yang relatif masih tinggi yaitu sebesar 1,6% per tahun akan berdampak pada peningkatan permintaan pangan. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Pertanian menjalankan program swasembada berkelanjutan menuju swasembada kedelai tahun 2014. Gubernur Provinsi Jambi telah mencanangkan program Bangkit Kedelai 2007-2011 dengan sasaran menjadikan Provinsi Jambi sebagai salah satu sentra produksi kedelai di Indonesia (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi 2007). Hingga saat ini Provinsi Jambi belum mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhaan benih dan konsumsi kedelai.
Ada tiga elemen yang dapat
meningkatkan produksi kedelai yaitu; 1) adanya kebijakan dari pemerintah daerah, 2) tersedianya teknologi dan 3) tumbuhnya kelembagaan penangkar yang profesional dan mandiri. Rata-rata produktivitas kedelai di Provinsi Jambi 1,2 t/ha (BPS Provinsi Jambi 2009). Rata-rata produktivitas nasional kedelai 1,3 ton/ha dengan kisaran 0,62,0 ton/ha di tingkat petani, sedangkan di tingkat penelitian telah mencapai 1,7-3,2 ton/ha, tergantung pada kondisi lahan dan teknologi yang diterapkan. Angka-angka ini menunjukkan bahwa produksi kedelai di tingkat petani masih bisa ditingkatkan melalui inovasi teknologi (LITBANG PERTANIAN 2008). Produksi kedelai
dalam negeri dapat ditingkatkan melalui upaya-upaya seperti peningkatan luas areal pertanaman (ekstensifikasi) dan juga penerapan teknologi budidaya kedelai yang dapat meningkatkan produktivitasnya (intensifikasi).
2
Pembangunan pertanian secara subtantif melibatkan lima faktor utama yaitu (1) sumberdaya lahan, air dan manusia, (2) modal atau kapital, (3) teknologi pertanian, (4) infrastruktur pertanian, dan (5) kebijakan pemerintah. Pengalaman selama ini telah membuktikan bahwa faktor teknologi memiliki peran yang sangat besar dan menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan dan perkembangan usaha agribisnis untuk berbagai komoditas pertanian. Sumberdaya manusia sebagai penggerak utama industri benih masih lemah terutama sektor perbenihan informal, tenaga pengawas mutu benih dari Balai Sertifikasi Pengawasan Benih (BPSB) masih kurang, produsen benih seperti Balai benih Induk (BBI) dan Balai Benih Utama (BBU) juga masih perlu meningkatkan kinerjanya termasuk sarana dan prasarana produksi benih, seperti lahan dan pengairan. Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya sub-sistem yang ada dalam sistem penyediaan benih bermutu secara berkelanjutan. Sub-sistem tersebut diantaranya 1) penelitian dan pengembangan (R&D), 2) sub-sistem produksi benih, 3) sub-sistem pengawasan mutu dan sertifikasi benih, 4) sub-sistem, penyuluhan dan distribusi benih, 5) sub-sistem pendidikan dan pelatihan, dan 6) sub-sistem pengguna benih (Anwar 2005). Penambahan pengetahuan dan keterampilan petani atau kelompok tani penangkar benih masih lemah dan tidak kontinyu. Tidak konsistennya komitmen pemerintah dalam menumbuh-kembangkan kelompok tani penangkar benih. Hal ini terlihat dari pengadaan benih dari proyek pemerintah (pengguna benih) tidak diarahkan pada benih yang dihasilkan oleh petani setempat. Dalam kaitan tersebut efektifitas dan efisiensi dalam proses penyampaian inovasi pertanian kepada para penggunanya memiliki peranan yang tidak kalah penting (Wirawan 2006). Dalam rangka mempercepat pertumbuhan dan pengembangan berbagai komoditi utama maka Pemerintah Provinsi Jambi memandang perlu menyusun rencana pengembangan kawasan sentra produksi.
Kawasan sentra produksi
berguna untuk meningkatkan pemerataan pembangunan dan sebagai acuan lokasi investasi bagi pemerintah dan swasta, khususnya dalam upaya mencapai efisiensi, efektifitas dan nilai tambah dari investasi di bidang pertanian (BAPPEDA 2000). Pengembangan
kawasan
sentra
produksi
merupakan
suatu
pola
pembangunan dengan pendekatan wilayah terpadu, secara menyeluruh dan
3
komprehensif menganut aspek tata ruang, mekanisme perencananan dan pola koordinasi pembangunan. Kawasan sentra produksi benih kedelai di Jambi berada di tiga kabupaten yang memiliki tiga agroekologi lahan yang berbeda, yaitu lahan pasang surut, lahan sawah irigasi dan lahan kering. Oleh karena itu diperlukan kajian teknologi produksi benih kedelai di berbagai agroekologi untuk mendukung program strategis peningkatan produksi benih kedelai di wilayah Provinsi Jambi.
1.2. Perumusan Masalah Provinsi Jambi belum mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhaan benih dan konsumsi kedelai. Pemerintah mempunyai keterbatasan untuk menyediakan benih unggul bermutu untuk seluruh areal pertanaman kedelai. Jumlah sektor perbenihan baik informal maupun formal masih kurang untuk memproduksi benih sesuai kebutuhan.
Tumbuhnya kelembagaan penangkar yang profesional dan
mandiri diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan benih kedelai. Karakteristik petani penangkar benih memberikan pengaruh yang besar terhadap penyediaan benih kedelai secara enam tepat.
Hal ini apabila tidak
dilihat secara jeli permasalahan yang dihadapi oleh petani penangkar maka akan menghambat program peningkatan produktivitas kedelai dalam kaitannya dengan swasembada kedelai. Pembangunan pertanian secara subtantif melibatkan faktor teknologi pertanian. Teknologi memiliki peran yang sangat besar dan menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan dan perkembangan usaha agribisnis untuk berbagai komoditas pertanian. Kondisi agroekologi yang berbeda akan memberikan pengaruh terhadap teknologi yang akan digunakan. Pengetahuan petani penangkar dalam memproduksi benih masih terbatas. Teknologi yang digunakan dalam memproduksi benih kedelai berbeda dengan untuk tujuan konsumsi. Petani penangkar sebagai produsen benih juga kurang termotivasi untuk memproduksi benih dalam jumlah dan kualitas yang cukup. Efisiensi dan keefektifan dari teknologi tersebut akan saling berhubungan dengan usaha tani secara ekonomi.
4
Permasalahan perbenihan tersebut sebagai indikator bahwa masih lemahnya salah satu atau lebih dari sub-sistem produksi benih. Penelitian ini menggunakan pendekatan agroekologi, agribisnis, dan wilayah.
Penggunaan pendekatan
agroekositem berarti penelitian ini memperhatikan kesesuaian dengan kondisi biofisik lokasi yang meliputi aspek sumber daya lahan, air, wilayah komoditas dan komoditas dominan.
Pendekatan agribisnis berarti dalam implementasi
produksi benih kedelai diperhatikan struktur dan keterkaitan sub-sistem penyediaan input, sistem usahatani, pasca panen dan pengolahan serta pemasaran dan penunjang dalam satu sistem.
Pendekatan wilayah berarti optimasi
penggunaan lahan untuk pertanian dalam satu kawasan (desa atau kecamatan). Cakupan masalah teknologi produksi benih kedelai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik petani penangkar benih kedelai pada tiga agroekologi lahan. 2. Teknologi apa yang digunakan oleh petani penangkar benih kedelai pada agroekologi yang berbeda. 3. Apakah teknologi yang digunakan petani penangkar benih kedelai memenuhi kelayakan usaha tani. 4. Apakah terdapat hubungan antara teknologi yang digunakan dengan analisis finansial pada tiga agroekologi lahan.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1.
Mempelajari
karakteristik petani penangkar benih kedelai pada tiga
agroekologi lahan; 2.
Mempelajari teknologi yang digunakan oleh petani penangkar benih kedelai pada agroekologi yang berbeda;
3.
Mempelajari analisa usahatani teknologi yang digunakan dengan biaya yang dikeluarkan pada agroekologi yang berbeda; dan
4.
Mempelajari hubungan antara teknologi yang digunakan pada beberapa agroekologi lahan dengan analisis pendapatan dan produksi hasil berupa benih.
5
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi teknologi produksi benih yang digunakan oleh petani penangkar pada agroekologi yang berbeda sebagai bahan kebijakan dalam meningkatkan produksi benih kedelai melalui teknologi yang spesifik lokasi.
1.5. Kerangka Pemikiran Provinsi Jambi belum mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan benih dan konsumsi kedelai. Pada tahun 2008 Provinsi Jambi menghasilkan benih 65 ton. Benih yang dibutuhkan untuk menanam kedelai seluas 1 ha adalah 40 kg, maka produksi benih yang dihasilkan tersebut hanya mampu untuk memenuhi pertanaman kedelai seluas 1.625 hektar. (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi 2009). Pada musim tanam 2009 Provinsi Jambi membutuhkan 700 ton benih kedelai untuk sasaran luas pertanaman 17.500 ha. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan benih masih sangat kurang, sehingga kekurangan benih dapat dipenuhi dengan meningkatkan produktivitas kedelai. Ketersediaan teknologi produksi benih kedelai dapat meningkatkan produktivitas kedelai. Pengembangan kedelai di Provinsi Jambi tahun 2009 diantaranya berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (lahan pasang surut), Kabupaten Tanjung Jabung Barat (lahan sawah irigasi), dan di Kabupaten Tebo, Muaro Jambi, Bungo, Merangin dan Sarolangun (lahan kering masam). Kondisi seperti ini masih berpeluang
untuk
diintroduksikan
teknologi
yang
dapat
meningkatkan
produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani. Teknologi yang dapat diintroduksikan merupakan teknologi yang sesuai dengan kondisi biofisik dan lingkungan setempat, sosial ekonomi, sosial budaya dan sesuai dengan kebutuhan pengguna. Penerapan teknologi baik budidaya dan pascapanen diharapkan dapat meningkatkan produktivitas usahatani petani. Kajian teknologi produksi benih kedelai pada berbagai agroekologi tidak terlepas dari teknik budidaya yang digunakan dan usaha tani secara ekonomi. Hal ini disebabkan pada kondisi agroekologi yang berbeda, dimana kondisi tanah dan iklim akan sangat berpengaruh dalam perlakuan teknologi dan modal yang dibutuhkan untuk berusahatani pada petani penangkar yang mempunyai
6
karakteristik yang berbeda pula. Kerangka pemikiran dari kajian teknologi produksi benih kedelai pada berbagai agroekologi lahan dapat dilihat seperti pada Gambar 1. Karakteristik Petani Penangkar − Umur petani − Tingkat pendidikan − Pengalaman Usaha tani
KAJIAN TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH KEDELAI PADA BERBAGAI AGROEKOLOGI LAHAN DI PROVINSI JAMBI
Teknologi Budidaya A. Benih 1. Benih Unggul 2. Benih Sertifikat B. Penyiapan lahan 3. Pengolahan tanah 4. Pembuatan saluran air C. Penanaman 5. Pola tanam 6. Jarak tanam D. Pemupukan 7. Pupuk sesuai rek E. Pengendalian Hama&Penyakit 8. Melakukan PHT. F. Seleksi/roguing 9. Melakukan roguing G. Pasca panen 10. Pengeringan Brangkasan 11. Pembijian 12. Pembersihan dan sortasi 13. Pengemasan benih 14. Penyimpanan benih H. pengujian Mutu 15. Pemeriksaan lapang 16. Pemeriksaan oleh pegawai BPSB 17. Pengujian Laboratorium
Gambar 1. Kerangka pemikiran Keterangan: = Variabel yang diteliti = Hubungan yang diteliti = Hubungan yang tidak diteliti (pembatasan masalah)
A. Produktivitas 1. Produksi benih 2. Produksi Non Benih B. Usaha Tani (Ekonomi) 1. Biaya Produksi 3. Benih 4. Pestisida 5. Tenaga Kerja 6. Panen dan pasca panen 2. Komponen Pendapatan 7. Pendapatan benih 8. Pendapatan Non Benih 3. Penerimaan 9. Keuntungan 4. Analisa Finansial 10. BC Ratio 11. R/C 12. BEP Yield 13. BEP Price
7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebutuhan dan Ketersediaan Benih Kedelai di Provinsi Jambi Kebutuhan kedelai nasional pada saat ini mencapai 2,2 juta ton per tahun, sedangkan produksi kedelai dalam negeri hanya 0,8 juta ton per tahun sehingga untuk memenuhi kekurangan tersebut diperlukan impor sebanyak 1,4 juta ton per tahun yang berdampak menghabiskan devisa negara sekitar 3 triliun rupiah per tahun. Selain itu, impor bungkil kedelai telah mencapai kurang lebih 1,3 juta ton per tahun yang menghabiskan devisa negara sekitar 2 triliun rupiah per tahun (Alimoeso 2006). Menurut
Partohardjono
(2005),
terdapat
berbagai
kendala
untuk
meningkatkan produksi kedelai di Indonesia, antara lain: (a) faktor fisik, seperti tanah dan iklim terutama curah hujan, sebaran hujan, dan suhu udara; (b) faktor biologis, terutama hama, penyakit, dan gulma; (c) faktor sosial yang meliputi rendahnya adopsi teknologi oleh petani yang berakibat beragamnya pengelolaan tanaman kedelai di lapang; (d) faktor ekonomi yang mencakup rendahnya keuntungan (profitabilitas) usahatani dan lemahnya daya saing kedelai terhadap komoditas pertanian lainnya; dan (e) kurang berkembangnya kelembagaan penunjang usahatani kedelai, diantaranya sistem perbenihan, kurang tersedianya sarana produksi penting lainnya seperti penyediaan inokulum rhizobium bagi daerah-daerah pengembangan. Usahatani kedelai di tingkat lapang dijumpai beberapa masalah antara lain: (a) benih bermutu dan varietas unggul yang dianjurkan tidak tersedia; (b) pengolahan tanah tidak optimal, terutama pada lahan tegalan; (c) penyiangan yang tidak sempurna mengakibatkan persaingan berat antara tanaman kedelai dengan gulma; (d) terjadi cekaman kekeringan; (e) keterlambatan pengendalian hama; (f) kurangnya tenaga kerja sehingga budidaya kedelai menjadi ekstensif; (g) perluasan areal kedelai mengarah pada lahan kering masam/pasang surut; dan (h) kurang dipahami teknik budidaya, penyediaan rhizobium, dan minat petani yang rendah.
8
Sentra pertanaman kedelai di Jambi berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (lahan pasang surut) dan di Tebo (lahan kering masam), dengan luas areal masing-masing adalah 1.187 ha dan 490 ha atau 54% dan 22% dari luas areal pertanaman kedelai di Jambi dengan produktivitas 1,0–1,3 t/ha (BPS Jambi, 2006). Berdasarkan peta skala tinjau (1:250.000), di Provinsi Jambi terdapat lahan sawah dan non-sawah yang mempunyai potensi tinggi untuk pengembangan kedelai seluas 24.000 ha, potensi sedang seluas 45.500 ha, dan potensi rendah seluas 669.000 ha (Abdurachman et al. 2007). Peningkatan produksi kedelai baik kuantitas maupun kualitas yang dicanangkan Pemerintah Provinsi Jambi dengan program bangkit kedelainya memerlukan benih bermutu dalam jumlah yang cukup dan waktu yang tepat, serta tidak terlalu menggantungkan kepada sentra produksi dari daerah (provinsi), sehingga di daerah (Provinsi Jambi) ini perlu dibangun sistem produksi benih bermutu yang mampu menyediakan kebutuhannya secara mandiri. Benih kedelai bermutu tinggi dapat diperoleh dengan pengelolaan pertanaman maksimal meliputi pemilihan lokasi yang tepat, musim tanam, kultur teknik, waktu tanam, penanganan pascapanen, dan seleksi yang ketat. Beberapa varietas unggul yang telah dilepas dapat dipilih dan diproduksi untuk memenuhi kebutuhan benih. Pengembangan kedelai di Provinsi Jambi tahun 2009 adalah 18.000 ha, 12.660 ha diantaranya berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (lahan pasang surut), Kabupaten Tanjung Jabung Barat (lahan sawah irigasi), dan di Kabupaten Tebo, Muaro Jambi, Bungo, Merangin dan Sarolangun (Lahan kering masam). Salah satu langkah yang akan ditempuh oleh Dinas Pertanian Provinsi Jambi dalam meningkatkan produksi kedelai tahun 2009 dengan meningkatkan rata-rata produktivitas sampai dengan 1,4 ton/ha. Hasil pengujian menunjukkan bahwa dengan teknik budidaya kedelai yang sesuai rata-rata produktivitas mencapai 2,11 ton/ha atau meningkat 26,3% dibandingkan rata-rata hasil yang dicapai petani (Adie & Yardha 2008). Kebutuhan benih di Provinsi Jambi, terutama benih sebar benih, selama ini sebagian besar didatangkan dari sentra produksi benih daerah lain seperti dari Provinsi Lampung dan Provinsi lain yang ada di Pulau Jawa.
Dilihat dari
9
beberapa aspek kondisi ini kurang menguntungkan, karena: (1) harga benih menjadi relatif lebih mahal, karena memerlukan biaya transportasi (angkutan) dari sentra produksi benih ke lokasi program/proyek; (2) kemungkinan mengalami penurunan mutu karena sistem pengangkutan yang kurang baik, cukup besar; (3) kemurniannya tidak bisa dijamin, dan; (4) memerlukan adaptasi dengan lokasi (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi 2009) Pola pengusahaan perbenihan, terbagi kepada pola pengusahaan perbenihan formal dan non-formal (Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007) yang dibedakan oleh ciri sebagai berikut: A. Pola pengusahaan benih formal: 1. Pola produksi benih dengan memproduksi sendiri. Produksi benih disesuaikan dengan kelasnya.
Produksi benih pokok
menghasilkan benih label ungu, dan produksi benih sebar menghasilkan benih label biru, Produksi benih di lahan sendiri dengan modal perusahaan dan dengan mengikuti aturan-aturan sertifikasi benih. 2. Pola jalinan benih antar lapang dan musim (Jabalsim) Benih dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan benih pada waktu yang bersamaan. Proses penyediaan benih yang cepat tidak lebih dari satu bulan. Biaya proses rendah, harga jual rendah, tingkat keuntungan kecil, label merah jambu, asal usul benih kurang jelas, penyediaan benih tidak teratur, benih tersedia tepat waktu. 3. Pola penyediaan melalui penyimpanan jangka panjang Benih terpenuhi dalam kondisi yang mendadak atau sewaktu-waktu. Benih di simpan dalam waktu yang cukup lama (lebih dari 5 bulan), maka kadar air benih diatur ±9% dan daya tumbuh awal benih harus di atas 90%, supaya daya tumbuhnya masih cukup tinggi pada saat akan digunakan. Pengadaan benih kedelai melalui penyimpanan membutuhkan proses waktu yang cukup lama, biaya proses sangat mahal, harga jual tinggi, tingkat keuntungan cukup tinggi, risiko benih tidak tumbuh cukup besar karena kondisi benih kurang segar, label biru, asal-usul benih jelas, proses sertifikasi standar.
10
B. Pola Pengusahaan Benih non-formal: 1. Operasi lapangan hasil panen Pengusaha benih mendatangi lokasi pertanaman untuk membeli hasil panen kedelai yang bijinya bagus dengan harga (10% di atas harga pasar). Biji kedelai diproses sehingga menjadi benih. 2. Kerja sama dengan petani Pengusaha benih menyediakan benih untuk ditanam oleh petani terpercaya. Hasil panen dibeli pengusaha benih, pembayarannya dipotong harga benih yang ditanam. 3. Penanamani produksi benih sendiri Benih ditanam di lahan sendiri atau sewa seluas 5-10 ha yang sesuai untuk tanaman kedelai, satu musim sebelum tanam raya. 4. Kontrak beli dan mitra usaha dengan petani Pengusaha benih menyediakan sarana produksi tanaman untuk ditanam petani. Petani melakukan penanaman dan pemeliharaan. Pada saat panen, hasil kedelai dibeli oleh pengusaha benih dengan memperhitungkan pemotongan harga kredit sarana produksi. 5.
Pembuatan benih saat panen raya dengan penyimpanan Pada musim panen raya, ketersediaan biji kedelai cukup banyak sehingga pembelian calon benih lebih mudah dan harga sedikit lebih murah. Biji yang terkumpul diproses dan dijemur hingga mencapai kadar air 9-10%. benih dikemas dalam wadah kantong semen dilapisi plastik, kemudian disimpan rapih dan teratur.
2.2. Benih Kedelai Bermutu Menurut Sadjad (1993) mutu benih meliputi mutu fisik, fisiologis dan mutu genetik. Mutu fisik meliputi kebersihan benih dari kotoran dan campuran lain, penampilan benih dan warna kulit benih. Mutu fisiologis dilihat dari kemampuan benih untuk berproduksi dengan normal dalam kondisi yang serba normal pula. Sedangkan mutu genetik yaitu benih yang jelas dan benar identitas genetiknya.
11
Wirawan & Wahyuni (2002) menambahkan bahwa secara fisik, benih bermutu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1.
Benih bersih dan terbebas dari kotoran, seperti potongan tangkai, biji-bijian lain, debu dan kerikil.
2.
Benih murni, tidak tercampur dengan varietas lain.
3.
Warna benih terang dan tidak kusam.
4.
Benih mulus, tidak berbercak, kulit tidak terkelupas.
5.
Sehat, bernas, tidak keriput, ukurannya normal dan seragam. Selain itu benih dianggap bermutu tinggi jika memiliki daya tumbuh (daya
berkecambah) lebih dari 80% (tergantung jenis dan kelas benih) dan nilai kadar air di bawah 13% (tergantung jenis benih). Dalam industri benih, pengendalian mutu memiliki tiga aspek penting yaitu : 1.
Penetapan standar minimum mutu benih yang dapat diterima.
2.
Perumusan dan implementasi sistem dan prosedur untuk mencapai standar mutu yang telah ditetapkan dan memeliharanya.
3.
Pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi sebab-sebab adanya masalah dalam mutu dan cara memecahkannya. Aspek pertama merupakan kewajiban dari lembaga pengawas benih, yang di
Indonesia secara operasional dilakukan oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) dan disebut sebagai Badan Pengendalian Mutu Eksternal. Sedangkan aspek kedua dan ketiga merupakan kewajiban produsen benih yang disebut dengan Pengendalian Mutu Internal (Mugnisjah & Setiawan, 1995). Benih dalam pelaksanaannya memiliki kelas-kelas yang dimaksudkan supaya alur penyebaran benih dari pemulia, penangkar benih sampai petani sebagai konsumen dapat berjalan dengan baik dan benih pun dapat tersedia dalam jumlah yang sesuai. Kelas-kelas benih tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Benih Penjenis (Breeder Seed/BS) yaitu benih yang diproduksi di bawah pengawasan pemulia tanaman yang merakit atau peneliti yang diberi kewenangan untuk mengembangkan benih dari varietas tersebut. Saat ini benih penjenis kedelai dikelola oleh Unit Produksi Benih Sumber (UPBS) Balai
Penelitian
Tanaman
Kacang-kacangan
dan
Umbi-umbian
(BALITKABI) yang berkedudukan di Malang, Jawa Timur. Dalam
12
sertifikasi, benih penjenis kedelai diberi label berwarna kuning yang ditandatangani oleh pemulia dan Kepala Institusi penyelenggara pemuliaan varietas dari benih yang diproduksi. 2.
Benih Dasar (Foundation Seed/FS) yaitu benih yang diproduksi oleh produsen benih, seperti Balai Benih Induk (BBI), Balai Benih Utama (BBU), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), perusahaan benih Badan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta atau penangkar profesional, dan pengendalian mutunya melalui sertifikasi oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) atau Sistem Manajemen Mutu Benih. Benih dasar digunakan untuk perbanyakan benih pokok.
3.
Benih Pokok, BP (Stock Seed, SS) yaitu benih yang diproduksi oleh Balai Benih atau pihak swasta yang telah terdaftar dan diawasi oleh BPSB.
4.
Benih Sebar, BR (Extension Seed, ES) yaitu benih yang diproduksi oleh Balai Benih dan penangkar benih dengan bimbingan, pengawasan dan sertifikasi dari BPSB.
Untuk mendapatkan benih bermutu perlu dilakukan sertifikasi benih, yaitu dengan memberikan persyaratan khusus atau standarisasi pada kelas-kelas benih tersebut dengan pemberian standar di lapangan dan standar di laboratorium (Mugnisjah & Setiawan 1995). Penyediaan benih kedelai yang bermutu secara kontinyu merupakan salah satu permasalahan di Indonesia. Hal ini disebabkan benih kedelai mempunyai ciriciri sebagai berikut : 1.
Daya simpan benih rendah, sehingga benih yang disimpan selama enam bulan mempunyai daya tumbuh yang lebih rendah dari benih yang diperoleh setelah panen.
2.
Bersifat higroskopis, akibatnya kadar air mudah terpengaruh oleh kelembaban udara lingkungan.
3.
Daya tumbuh cepat menurun karena sering terjadi respirasi dalam benih saat kondisi suhu dan kelembaban tinggi.
4.
Kulit benih kedelai amat tipis sehingga mudah terinfeksi oleh cendawan, bakteri dan virus, serta rentan terhadap kerusakan fisik dan mekanik.
13
Benih kedelai akan memiliki daya berkecambah dan vigor tinggi apabila dipanen tepat pada saat matang fisiologis. Oleh sebab itu benih kedelai dipanen tidak pada saat matang fisiologis karena akan menyulitkan dalam pengeringan, akibatnya daya berkecambah benih pun menurun (Sumarno & Harnoto 1995). Benih bermutu dihasilkan melalui prosedur produksi benih yang berawal dari persiapan lahan yang bebas dari kontaminasi genetik, penyediaan benih yang terjamin sumber mutunya, pengolahan benih setelah panen dan penanganannya sampai ke konsumen. Pengadaan benih kedelai yang bermutu masih sulit karena benih kedelai yang beredar pada umumnya benih label merah jambu yang mutunya rendah. Benih kedelai yang di perjualbelikan harus melalui tahapan sertifikasi benih, yaitu untuk menguji viabilitas dan vigor benih tersebut, seperti: kadar air maksimum 11%, daya berkecambah lebih dari 80%, memiliki kemurnian minimal 97%, kotoran benih maksimal 3%, benih varietas lain maksimal 0.5% - 0.7%, memiliki sifat yang unggul dan seragam, memiliki vigor tinggi, sehat tidak terinfeksi cendawan dan tidak terinfeksi virus. Menurut Wirawan & Wahyuni (2002), permasalahan pengadaan benih kedelai yang bermutu dan benar secara berkelanjutan disebabkan kurang tertariknya para investor untuk memproduksi benih kedelai dengan beberapa alasan sebagai berikut: 1.
Produktivitas tanaman kedelai masih rendah sehingga secara usaha tani kurang menguntungkan.
2.
Harga kedelai konsumsi nasional rendah sehingga petani kurang tertarik mengusahakannya.
3.
Masa edar (waktu pemasaran) benih kedelai sangat singkat karena daya simpannya yang sangat singkat.
4.
Harga kedelai impor yang lebih murah dari harga kedelai lokal semakin mengecilkan minat petani dan penangkar benih kedelai.
2.3. Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi Pertanaman kedelai di Indonesia dibudidayakan pada lahan sawah, lahan pasang surut dan lahan kering. Luas lahan kering untuk pertanian di Indonesia
14
diperkirakan mencapai 55,6 juta ha (Hidayat & Mulyani 2002). Sebaran lahan kering tersebut meliputi 41% di Sumatera, 28% di Kalimantan, dan 24% di Sulawesi dan Jawa, dan kira-kira 24,3% lahan kering tersebut didominasi oleh podsolik merah kuning (ultisol). Di Sumatera, luas lahan kering sekitar 5 juta hektar dan lahan terlantar sekitar 2,5 juta hektar (Atman 2006). Lahan merupakan lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai batas tertentu akan mempengaruhi kemampuan
penggunaan
lahan.
Sifat
lahan
menunjukkan
bagaimana
kemungkinan penampilan lahan jika digunakan untuk penggunaan lahan. Sifat lahan akan mempengaruhi keadaan yaitu bagaimana ketersediaan air, peredaran udara, perkembangan akan kepekaan erosi, ketersediaan unsur hara, dan sebagainya.
Perilaku lahan yang menentukan pertumbuhan tersebut disebut
kualitas lahan Dalam rangka mempercepat pertumbuhan dan pengembangan berbagai komoditi utama (andalan) maka Pemerintah Provinsi Jambi memandang perlu menyusun rencana pengembangan kawasan sentra produksi (P-KSP) guna meningkatkan pemerataan pembangunan dan sebagai acuan lokasi investasi bagi pemerintah dan swasta, khususnya dalam upaya mencapai efisiensi, efektifitas dan nilai tambah dari investasi di bidang pertanian (BAPPEDA 2000). Pengembangan KSP merupakan suatu pola pembangunan dengan pendekatan wilayah terpadu, secara menyeluruh dan komprehensif menganut aspek tata ruang, mekanisme perencananan dan pola koordinasi pembangunan. KSP merupakan wadah yang menampung berbagai program kegiatan pengembangan sektor, pengembangan komoditi unggulan, kawasan strategis dan pengembangan sistem prasarana pendukungnya. Pengembangan KSP dilakukan atas dasar upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional sekaligus meningkatkan pemerataan pembangunan wilayah. Dalam jangka pendek, upaya ini diharapkan dapat mendorong pemanfaatan sumberdaya pertanian dan pengembangan infrastruktur penunjang komoditas pangan dan perikanan secara optimal melalui usaha intensifikasi, rehabilitasi, diversifikasi, dan peningkatan produksi hasil pertanian. Dalam jangka panjang diharapkan dapat mendorong perkembangan wilayah dan mempercepat
15
pemulihan perekonomian nasional (BAPPEDA JAMBI 2000). Dalam rangka mendukung rencana P-KSP Provinsi Jambi, maka sangat diperlukan data dan informasi sumberdaya lahan dan sosial ekonomi yang handal dan akurat, sehingga dapat disusun perencanaan pembangunan pertanian daerah yang rasional (Soeharno et al. 1998). Menurut Rencana Induk Pemerintah daerah Provinsi Jambi, Kabupaten Batanghari, Muara Jambi, Bungo dan Tebo merupakan salah satu wilayah KSP Provinsi Jambi Bagian Tengah. Potensi sumberdaya pertanian meliputi ereal 379.078 ha, terdiri dari 329.676 ha lahan kering dan 49.402 ha lahan basah. Jenis tanah terdiri dari Podsolik Merah Kuning, Gley humus, Aluvial dan Hidromofik Kelabu (BAPPEDA Jambi 2000). Dari luas lahan potensial tersebut, yang sudah dimanfaatkan mencapai 235.542 ha atau 62,14%. Sisanya 143.536 ha belum dimanfaatkan dan masih merupakan lahan perladangan dan semak belukar. Dari luas wilayah yang ada 84% adalah dataran rendah (0-100 m dpl) dan hanya 4,5% yang lahannya terletak antara 110-500 m dpl. Beberapa komoditas pertanian dan perikanan yang potensial menjadi unggulan antara lain tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan (kolam dan tambak), serta ternak sapi, kerbau, domba, kambing, dan unggas (BAPPEDA Jambi 2000). Lahan rawa pada umumnya dinilai sebagai ekosistem yang marjinal dan rapuh, namun lahan tersebut memiliki potensi untuk dimanfaatkan bagi pengembangan komoditas tanaman pangan. Menurut Widjaya Adhi et al. (1992) bahwa lahan rawa dibedakan berdasarkan sampainya pengaruh air pasang surut di musim hujan dan pengaruh air laut di musim kemarau, terbagi atas tiga zone yaitu : (1) pasang surut payau/salin (zone I), (2) pasang surut air tawar (zone II) dan (3) non pasang surut/lebak (zone III). Selanjutnya Djafar (1992) mengatakan bahwa lahan pasang surut adalah daerah rawa yang dalam proses pembentukannya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut, terletak dibagian muara sungai atau sepanjang pantai. Lahan pasang surut berdasarkan hidrotopografi dibedakan menjadi empat tipe yang membutuhkan manajemen yang berbeda. Tipe A merupakan daerah rawa yang selalu terluapai air pasang besar maupun pasang kecil. Tipe B adalah lahan yang hanya terluapioleh pasang besar. Tipe C merupakan lahan yang tidak
16
terluapi air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil tetapi kedalaman air tanah kurang dari 50 cm dari permukaan tanah. Tipe D adalah lahan tidak terluapi air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil tetapikedalaman air tanah lebih dari 50 cm dari permukaan tanah. Penataan lahan dan sistem tata air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan pertanian dilahan pasang surut dalam kaitannya dengan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahan. Lahan pasang surut dapat ditata sebagai sawah, tegalan dan surjan
disesuaikan
dengan
tipe
luapan
air
dan
tipologi
lahan
serta
tujuan pemanfaatannya. Menurut Marschner (1995) dan Hidayat & Mulyani (2002) tanah podsolik merah kuning (ultisol) mempunyai tingkat kemasaman tinggi, kandungan hara makro dan mikro rendah. Selain itu sering terjadi kekurangan air terutama pada musim kemarau yang menyebabkan terjadinya cekaman kekeringan. Keadaan ini akan mempengaruhi perkembangan morfologi dan proses fisiologi tanaman kedelai sehingga menyebabkan rendahnya hasil. Keadaan tersebut dapat diatasi dengan melakukan berbagai usaha antara lain, dengan cara budidaya dan mengadakan seleksi terhadap genotip kedelai untuk tanah masam dan tahan kondisi kering. Menurut Zaini (2005), pengembangan pertanaman kedelai dapat diarahkan pada tiga agroekologi utama yaitu lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan, dan lahan kering. Luas lahan kering yang diusahakan di Indonesia dalam bentuk tegalan, kebun, ladang atau huma sekitar 10 juta hektar (DEPTAN 2005). Permasalahan lahan kering ini didominasi oleh tanah masam. Distribusi perakaran tanaman relatif dangkal, sehingga tanaman kurang tahan terhadap kekeringan dan banyak terjadi pencucian hara ke lapisan bawah (Hairiah et al. 2005). Menurut Hilman (2005), pada lahan kering masam, masalah ketersediaan fosfor (P) menjadi kendala utama dalam meningkatkan hasil. Tanaman kedelai memerlukan P lebih besar dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti gandum dan jagung. Cekaman kahat P biasanya terjadi pada fase awal pertumbuhan tanaman, yaitu akar tanaman kurang berkembang sehingga tidak mampu menyediakan seluruh kebutuhan P. Daun tua pada kedelai yang kahat P sering menampakkan warna ungu karena terjadinya akumulasi
17
antosianin (pigmen ungu). Kelarutan almunium meningkat pada tanah bereaksi masam. Kelarutan almunium yang tinggi dapat meracuni tanaman kedelai. Toksisitas pada tanaman kedelai ditandai dengan rusaknya (terganggunya) sistem perakaran. Sumarno (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman kedelai pada tanah masam menderita akibat cekaman abiotik dan biotik, seperti: (a) pertumbuhan vegetatif terhambat sebagai
akibat kekurangan hara makro dan
mikro; (b) keracunan Al atau Mn; (c) pembentukan nodul terhambat; (d) tanaman mudah mendapat cekaman kekeringan; dan (e) pertumbuhan akarnya terhambat. Gejala yang sangat jelas adalah pertumbuhan yang sangat kerdil, daun berwarna kuning kecoklatan, pertumbuhan akar sangat terbatas, bunga yang terbentuk minimal dan jumlah polong juga minimal, produktivitas sangat rendah atau bahkan gagal menghasilkan biji. Gejala tersebut sering terlihat pada pertanaman kedelai di daerah transmigrasi di Sumatera Barat (Kabupaten Dharmasraya) dan Jambi yang tanahnya tidak dikapur dan kandungan organik tanahnya rendah. Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun (Hidayat et al. 2000). Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan sudah sangat berkembang. Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat. Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan. Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan dan upaya lainnya dengan pembukaan lahan. Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman tahunan/perkebunan. Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah satu pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan pangan nasional. Secara umum, lahan kering dapat dibedakan menjadi lahan kering masam dan tidak masam. Lahan kering tergolong masam bila tanahnya memiliki pH < 5 dan kejenuhan basa < 50%. Di Indonesia, penyebaran lahan
18
kering masam cukup luas, terutama pada wilayah beriklim basah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Berdasarkan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000 terbitan Puslitbangtanak tahun 2000, dari sekitar 148 juta ha lahan kering di Indonesia, 102,8 juta ha (69,4%) berupa tanah masam. Lahan kering masam umumnya memiliki pH rendah (< 5,5) yang berkaitan dengan kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni, peka erosi, dan miskin elemen biotic (Adiningsih dan Sudjadi 1993; Soepardi 2001). Kendala teknis tersebut relatif mudah diatasi yaitu dengan pemupukan, pengapuran, serta pengelolaan bahan organik. Kendala teknis lainnya adalah ketersediaan air terutama di musim kemarau, sehingga indeks pertanaman di lahan kering lebih rendah daripada di lahan sawah. Upaya untuk menyediakan air pada musim kemarau dengan memanfaatkan air permukaan atau air tanah (pompanisasi) belum banyak dilakukan sehingga lahan dibiarkan bera. Upaya petani untuk menerapkan teknologi budidaya (pemupukan, konservasi tanah dan air, serta pengairan) terbentur pada modal khususnya untuk usaha tani tanaman palawija, sayuran dan buah-buahan semusim. Lahan kering pada umumnya memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30−60% dalam waktu 10 tahun (Brown dan Lugo 1990 dalam Suriadikarta et al. 2002). Bahan organik memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si (Suriadikarta et al. 2002). Teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang penting salah satunya adalah pemupukan berimbang, yang mampu memantapkan produktivitas tanah pada level yang tinggi. Hasil penelitian Santoso et al. (1995) menunjukkan pentingnya
19
pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara berkala. Penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran tidak seimbang, serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun (Santoso dan Sofyan 2005). Di samping pemupukan, pengapuran juga penting untuk meningkatkan produktivitas tanah masam, antara lain untuk mengurangi keracunan aluminium (Al). Cara untuk menentukan takaran kapur yang perlu diberikan adalah dengan menentukan sensitivitas tanaman dan kemudian mengukur kejenuhan Al dalam tanah dengan analisis tanah (Dierolf dalam Santoso dan Sofyan 2005). Kelangkaan air sering kali menjadi pembatas utama dalam pengelolaan lahan kering. Oleh karena itu, inovasi teknologi pengelolaan air dan iklim sangat diperlukan, meliputi teknik panen hujan (water harvesting), irigasi suplemen, prediksi iklim, serta penentuan masa tanam dan pola tanam. Pemanenan air dapat dilakukan dengan menampung air hujan atau aliran permukaan pada tempat penampungan sementara atau permanen, untuk digunakan mengairi tanaman (Subagyono et al. 2004). Tanaman kedelai dapat diusahakan di lahan pasang surut. Hasilnya cukup memadai, namun cara mengusahakannya berbeda daripada di lahan sawah irigasi dan lahan kering. Tanaman ini tidak tahan genangan. Oleh sebab itu, tidak dianjurkan menanam kedelai di lahan pasang surut yang bertipe luapan air A yang selalu terluapi baik saat pasang besar maupun pasang kecil. Luas lahan rawa pasang surut dan rawa lebak yang sesuai untuk pertanian diperkirakan 5,6 – 9,9 juta hektar, dan dari luas tersebut sekitar 0,9 juta ha berada di Sumatera. Provinsi Jambi merupakan salah satu sasaran kawasan pengembangan kedelai nasional. Sentra pertanaman kedelai di Jambi berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tebo, dengan luas areal masing-masing adalah 1.187 ha dan 490 ha atau 54% dan 22% dari luas kedelai di Provinsi Jambi tahun 2005 dengan produktivitas 1,0– 1,3 ton/ha. Hasil survei kegiatan di Kecamatan Rantau Rasau dan Berbak Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2007 yang dilakukan oleh Balai Penelitian
Tanaman
Kacang-kacangan
dan
Umbi-umbian
(BALITKABI)
menunjukkan bahwa produktivitas kedelai di lahan pasang surut tergolong rendah, yaitu antara 0,7-1,3 t/ha. Rendahnya produktivitas kedelai di lahan pasang surut di
20
Jambi disebabkan oleh banyak hal, yaitu tata air, kualitas benih, pengendalian hama-penyakit, pemupukan, pasca panen, dan harga (Taufiq et al. 2007). Penanaman kedelai di lahan sawah dilaksanakan pada musim kemarau setelah
tanaman
padi
pada
bulan
Mei/Juni
dan
panen
pada
bulan
Agustus/September. Pada musim kemarau tahun 2009 penanaman kedelai dilaksanakan
pada
bulan
Juni/Juli
dan
panen
dilakukan
pada
bulan
Oktober/Nopember. Varietas Unggul Baru (VUB) yang dikembangkan di lahan sawah adalah Anjasmoro. Realisasi Penanaman kedelai pada musim kemarau tahun 2009 dilakukan pada areal seluas 20 ha yang merupakan program Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikulura Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Produktivitas kedelai pada musim kemarau tahun 2009 dengan varietas Anjasmoro adalah 1,5 t/ha. Dengan penggunanan varietas unggul baru yang adaptif dan teknologi yang tepat diantaranya pemupukan, ameliorasi, dan penggunaan pupuk kandang produktivitas kedelai di lahan sawah dapat mencapai lebih dari 2,0 ton/ha (BALITKABI 2007).
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (lahan pasang surut), Kabupaten Tanjung Jabung Barat (lahan sawah irigasi), dan Kabupaten Tebo (lahan kering). Penentuan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa ketiga lokasi tersebut merupakan sentra produksi kedelai di Provinsi Jambi yang dapat mewakili ketiga agroekosistem. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai Januari 2011.
3.2. Penarikan Contoh Jenis responden terdiri atas petani penangkar benih kedelai yang merupakan contoh dalam penelitian ini. Kriteria responden yaitu: 1) melakukan kegiatan penangkaran benih kedelai dua tahun terakhir, 2) menguasai teknologi produksi benih kedelai, 3) mengetahui jadwal musim tanam 4) bersedia untuk dijadikan contoh penelitian. Jumlah petani penangkar pada tiga agroekologi lahan tersebut dipilih secara purposive sebagai daerah yang diambil datanya mewakili agroekologi lahan yang digunakan untuk produksi benih kedelai di Provinsi Jambi. Jumlah responden sebanyak 10 orang petani penangkar di setiap lokasi lahan yang berbeda, yaitu agroekologi lahan pasang surut, sawah irigasi dan lahan kering.
3.3. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari kuesioner yang ditanyakan kepada petani penangkar. Data primer yang diperoleh dengan bantuan kuesioner meliputi: karakteristik penangkar benih, agroekologi lahan yang digunakan, teknologi budidaya, dan analisis usaha tani. Data sekunder diperoleh dari gambaran umum lokasi penelitian. Pengumpulan data yang dilakukan meliputi teknologi rekomendasi dari instansi
22
terkait. seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Balai Pengawasan dan Sertifikasi (BPSB) benih.
3.4. Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode diskriptif dengan SPSS 17 sesuai dengan tujuan penelitian. Perhitungan analisis biaya dan keuntungan dilakukan dengan analisis R/C ratio, dengan rumus sebagai berikut : Total penerimaan R/C ratio = --------------------------Total Biaya Usahatani perbenihan kedelai layak diusahakan jika memiliki R/C ratio lebih besar dari satu, dan semakin besar semakin layak diusahakan. Hubungan antara harga, penerimaan dan volume produksi dapat diketahui dengan melakukan analisis break even point (BEP) yang meliputi BEP Price/TIH (Titik Impas Harga) dan BEP Yield/TIP (Titik Impas Produk). Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara teknologi budidaya dengan produksi hasil yaitu berupa benih dan pendapatan dalam produksi benih kedelai dianalisis dengan menggunakan análisis korelasi pada taraf nyata α 0,05.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Karakteristik Petani Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki seseorang pada
semua aspek dengan lingkungannya. Pemberdayaan masyarakat terhadap sesuatu obyek tertentu serta karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang penting untuk diketahui, dalam rangka mengetahui suatu perilaku dalam masyarakat.
Selanjutnya Nelly (1988) mendefinisikan karakteristik individu
sebagai hasil pembawaan dan lingkungan sosialnya sehingga menentukan pola aktivitas dalam meraih cita-citanya. Karakteristik petani menentukan pemahaman petani terhadap informasi pertanian. Karakteristik individu merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat individual yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan seseorang. Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh individu yang ditampilkan melalui pola pikir, pola sikap dan pola tindakan terhadap lingkungan hidupnya. Karakteristik identitas petani dibedakan menurut umur, pendidikan, dan pengalaman berusahatani kedelai di lokasi kajian. 4.1.1
Umur Petani Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan harus terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman tindakannya berdasarkan usia yang dimiliki (Halim 1992). Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebanyak 83,3% petani responden berumur 30 - 50 tahun yang merupakan umur produktif, dimana di lahan pasang surut sebesar 90%, lahan sawah irigasi 70% dan lahan kering 90%. Umur produktif adalah usia dimana seseorang berada dalam keadaan fisik dan psikis optimal untuk bekerja. Kelompok usia produktif adalah petani yang secara potensial memiliki kesiapan dan menghasilkan
pendapatan
untuk
mendukung
kehidupan
dirinya,
keluarganya dan masyarakatnya. Komposisi petani berumur kurang dari 30 tahun adalah 6,7%, dan 10% petani berumur lebih dari 50 tahun (merupakan umur tidak produktif atau seseorang yang secara fisik tidak senggup lagi untuk bekerja).
24
Tabel 1 Persentase komposisi umur petani penangkar kedelai di lokasi kajian Umur Petani (%) < 30 30 - 50 >50 10,0 90,0 0,0 10,0 70,0 20,0 0,0 90,0 10,0 6,7 83,3 10,0
Agroekologi Lahan pasang surut Lahan sawah irigasi Lahan kering Rata-rata (%)
Total (%) 100,0 100,0 100,0 100,0
Kemampuan kerja petani sangat ditentukan oleh umur petani. Menurut Mulyasa (2003), perkembangan kemampuan berpikir terjadi seiring dengan bertambahnya umur.
Usaha tani di bidang pertanian
idealnya ditekuni oleh petani yang berusia lebih muda. Kecenderungan ini dikarenakan perlunya kekuatan fisik dan proses adopsi inovasi baru, dimana petani yang berumur muda akan lebih tanggap bila dibandingkan dengan petani yang berumur lebih tua. Menurut Wiriaatmadja (1986), bahwa umur petani akan mempengaruhi penerimaan petani terhadap halhal baru. Lebih lanjut Padmowihardjo (1994) mengemukakan bahwa kemampuan umum untuk belajar berkembang secara gradual semenjak dilahirkan sampai saat kedewasaan. Hal ini berarti pada umur lebih lanjut orang akan belajar lebih cepat dan berhasil mempertahankan retensi dalam jumlah besar daripada usia lebih muda. Setelah mencapai umur tertentu, maka kemampuan belajar akan berkurang secara gradual dan terasa nyata diatas 50 tahun dan setelah itu penurunan akan lebih cepat lagi. 4.1.2
Tingkat Pendidikan Petani Pendidikan merupakan proses pembentukan
watak seseorang
sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku (Winkel 1986).
Tingkat pendidikan petani responden di lokasi kajian
tergolong masih rendah yaitu sebanyak 56,7% berpendidikan SD/sederajat, 33,3%
berpendidikan
SLTA/Sederajat (Tabel 2).
SMTP/Sederajat,
dan
10%
berpendidikan
25
Tabel 2 Persentase komposisi petani penangkar kedelai menurut tingkat pendidikan di lokasi kajian Agroekologi
Lahan pasang surut Lahan sawah irigasi Lahan kering Rata-rata (%) Pendidikan
adalah
Pendidikan (%) Tamat Tamat Tamat Total (%) SD / SMTP / SLTA / sederajat sederajat sederajat 50,0 40,0 10,0 100,0 80,0 20,0 0,0 100,0 40,0 40,0 20,0 100,0 56,7 33,3 10,0 100,0 usaha
mengadakan
perubahan
perilaku
berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang sudah diakui masyarakat (Wiriatmadja 1986). Tingkat pendidikan rendah (tamat SD/sederajad) di lahan pasang surut sebesar 50%, lahan sawah irigasi 80% dan lahan kering 40%.
Tingkat pendidikan petani
kedelai yang rendah lebih senang
menerapkan teknik berusaha tani kedelai yang telah biasa mereka lakukan secara turun-temurun. Komposisi tingkat pendidikan tersebut menunjukkan bahwa petani pada agroekologi lahan pasang surut dan lahan kering lokasi kajian dapat dengan mudah mengadopsi teknologi yang lebih modern daripada petani yang berada di agroekologi lahan sawah irigasi.
Pendidikan formal
mempercepat proses belajar, memberikan pengetahuan, kecakapan dan keterampilan yang diperlukan dalam masyarakat. Menurut Mulyasa (2003), bahwa pendidikan berperan dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas, dimana individu-individu memiliki keunggulan yang tangguh, kreatif, mandiri, dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan rendahnya keterampilan, sehingga menyebabkan produktivitas usahatani juga rendah, karena tidak dapat menjangkau dan mengadopsi sumberdaya, teknologi dan keterampilan manajemen. Tingginya tingkat pendidikan seseorang memberikan wawasan pola berpikir yang semakin rasional dan kompeten dalam pengambilan keputusan berusahatani. Pendidikan yang relatif tinggi dan umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis, semakin efisien bekerja dan
26
semakin banyak teknik berusahatani yang lebih baik dan menguntungkan. Selanjutnya Mardikanto (1993) mengatakan bahwa pendidikan petani umumnya mempengaruhi pola pikir petani dalam mengelola usahatani. 4.1.3
Tingkat Pengalaman Usaha Tani Pengalaman berusahatani merupakan faktor yang mempengaruhi aktivitas petani, dimana yang diinginkan petani berdasarkan pengalaman yang baik, mengenai cara bercocok tanam yang baik dan menguntungkan. Menurut Mardikanto (1993) dalam
mengelola
usahatani.
pengalaman seorang petani berpengaruh Petani
yang
memiliki
pengalaman
berusahatani lebih lama cenderung sangat selektif dalam proses pengambilan keputusan. Pada umumnya pengalaman berusahatani kedelai petani responden adalah 5-10 tahun yaitu sekitar 70%, sedangkan kurang dari 5 tahun sebanyak 6,7%, dan yang berusahatani lebih dari 10 tahun sebesar 23,3% (Tabel 3). Kondisi ini menggambarkan bahwa petani penangkar kedelai memiliki pengalaman yang cukup untuk mendukung pengembangan usahatani kedelai. Tabel 3 Persentase komposisi petani penangkar menurut pengalaman usahatani kedelai di lokasi kajian Agroekologi Lahan pasang surut Lahan sawah irigasi Lahan kering Rata-rata (%)
Pengalaman Usaha Tani (%) <5 5 - 10 > 10 0,0 50,0 50,0 10,0 90,0 0,0 10,0 70,0 20,0 6,7 70,0 23,3
Total (%) 100,0 100,0 100,0 100,0
Pengalaman adalah hasil dari proses mengalami oleh seseorang yang mempengaruhi terhadap informasi yang diterima. Pengalaman akan menjadi
dasar
terhadap
pembentukan
pandangan
individu
untuk
memberikan tanggapan dan penghayatan. Middlebrook (1974) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali terhadap suatu objek secara psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tertentu. Bagi orang yang telah lama menggeluti suatu pekerjaan akan
27
lebih terampil dan cenderung menghasilkan suatu hasil yang lebih baik daripada orang yang baru. Berdasarkan pengalaman usahatani untuk menghasilkan benih yang bersertifikat
ternyata
di
semua
agroekologi
lahan
menunjukkan
pengalaman antara 2 - 4 tahun sebanyak 90% sedangan 10 persennya berpengalaman lebih dari 4 tahun (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa petani penangkar yang aktif sekarang relatif masih baru dalam menghasilkan benih kedelai yang bersertifikat. Tabel 4 Persentase komposisi petani penangkar kedelai menurut pengalaman usahatani benih bersertifikat di lokasi kajian Agroekologi Lahan pasang surut Lahan sawah irigasi Lahan kering Rata-rata (%) Menurut
Menghasilkan Benih Sertifikat (%) 2-4 >4 90,0 10,0 100,0 0,0 80,0 20,0 90,0 10,0
Padmowihardjo
(1994)
pengalaman
Total (%) 100,0 100,0 100,0 100,0
adalah
suatu
kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Pengalaman seorang petani akan mempengaruhi dalam mengelola usahatani yang dilakukan. Pengalaman berusahatani memiliki peranan yang sangat penting bagi petani dalam mengembangkan usahataninya, menerima dan menerapkan teknologi baru. Perencanaan usahatani memiliki arti penting bagi keberhasilan proses produksi dan hasil produksi yang diinginkan.
Pengalaman
usahatani benih yang bersertifikat dapat membantu petani dalam mengorganisasikan dan mengoperasikan usahatani dengan maksud untuk meningkatkan produksi dan pendapatan, pemanfaatan sumber-sumber produksi dan dalam menaksir biaya produksi dan pendapatan.
Menurut
Asngari (2001) mengatakan bahwa petani sebagai manajer diharuskan menguasai
ketrampilan
Keterampilan
merupakan
pengelolaan inti
dari
usahatani kompetensi
yang
dilakukan.
seseorang
pada
pekerjaannya, semakin lengkap maka semakin sempurna keterampilan yang dikuasai.
28
Petani penangkar yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru lebih inovatif dari masyarakat yang pasif, sehingga kemampuan petani yang sudah bertahun-tahun lamanya kalau mereka sangat pasif maka benih kedelai yang dihasilkan pun akan sangat beragam. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa pelatihan yang diikuti petani dalam memproduksi benih juga sangat minim pada agroekologi lahan sawah irigasi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan petani untuk berusahatani kedelai di lahan sawah irigasi relatif sangat baru. Tabel 5 Persentase komposisi petani penangkar kedelai yang mengikuti pelatihan produksi benih kedelai di lokasi kajian Agroekologi Lahan pasang surut Lahan sawah irigasi Lahan kering Rata-rata (%)
Pelatihan produksi benih kedelai (%) 2-3 >3 50,0 50,0 100,0 0,0 40,0 60,0 63,3 36,7
Total (%) 100,0 100,0 100,0 100,0
Pengetahuan tentang produksi benih kedelai harus diupayakan, agar tanaman tumbuh sehat dan bebas dari tekanan organisme pengganggu serta harus diikuti oleh teknologi penanganan pascapanen yang benar. Penanganan pra panen sama pentingnya dengan penanganan pasca panen
untuk
tujuan
produksi
benih. Beberapa
hal
yang
perlu
diperhatikan dalam produksi benih kedelai adalah perbenihan dilakukan pada sentra produksi dan dipilih dari lahan yang subur dengan irigasi yang cukup serta bukan daerah endemik hama penyakit, menanam pada waktu yang tepat, pemeliharaan tanaman harus dilakukan optimal supaya tanaman tumbuh normal, dihindari penanaman dari lahan bekas varietas yang berbeda, dan panen tepat waktu serta penanganan pasca panen yang benar. Berbagai kendala yang dihindari dalam peningkatan produktivitas ini diantaranya menyangkut inovasi teknologi yang belum atau kurang sempurna diadopsi oleh petani sebagai pengguna.
Menurut Rogers &
Shoemaker (1971), proses adopsi merupakan proses mental yang terjadi pada
29
diri seseorang sejak mengenal inovasi sampai memutuskan mengadopsi inovasi tersebut. Berkaitan dengan itu Mardikanto (1993) menyampaikan bahwa adopsi adalah proses perubahan perilaku pada seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan sumber informasi, baik media cetak maupun interpersonal. Dengan kata lain mempercepat adopsi inovasi dapat dilakukan dengan menggunakan media komunikasi, baik satu media atau gabungan beberapa media seperti media cetak, media eletronik dan interpersonal. Pengalaman usahatani dapat diperoleh dari peranan media dalam menyampaikan informasi ke petani, namun komunikasi timbal balik tidak terjadi akibatnya tidak ada interaksi diantara sumber dengan pengguna. Khusus untuk tanaman kedelai, petani menerapkan teknologi berdasarkan program dinas, bukan hasil pertimbangan sendiri. Secara umum petani menyukai varietas Anjasmoro, tetapi petani akan menanam varietas lain apabila itu diberikan oleh dinas. Hal ini berarti petani bukan mengadopsi teknologi namun menerapkan teknologi bila itu diberikan secara gratis. Petani kedelai dalam hal proses percepatan adopsi sangat tergantung dengan : musim dan ketersediaan varietas dan sarana. Keberadaan
kelembagaan
penunjang
belum
memadai
untuk
mencapai hasil yang lebih baik dan menyeluruh bagi petani penangkar, sehingga diperlukan perbaikan dan perhatian petani serta pemerintah daerah yang diselaraskan dengan perbaikan teknologi.
Selanjutnya
diperlukan pengkajian teknologi spesifik lokasi, baik yang bersifat komponen maupun berupa paket demi peningkatan produktivitas usahatani pada lahan kering. Teknologi usahatani yang diterapkan petani saat ini perlu perbaikan. Prioritas perbaikan menyangkut teknologi budidaya, termasuk varietas unggul. Perbaikan sistem usahatani meliputi kegiatan perbaikan paket teknologi, perbaikan kelembagaan, pemanfaatan infrastruktur penunjang secara maksimal dan peningkatan kesadaran serta kerjasama antar masyarakat yang semuanya dijalankan dengan pembinaan dan pengawasan yang intensif mutlak diperlukan.
30
Dalam melaksanakan usahatani kedelai, petani masih menerapkan teknologi yang sangat tergantung pada kemampuan pengadaan masukan produksi, sehingga hasil yang diperoleh masih rendah. Sementara adopsi teknologi usahatani secara baik dan utuh akan dapat meningkatkan hasil dan pendapatan. Pencapaian peningkatan produksi akan lebih baik bila pengelolaan lahan terus ditingkatkan.
4.2
Teknologi Produksi Benih Kedelai Tanaman kedelai dapat tumbuh di berbagai agroekosistem dengan jenis
tanah, kesuburan tanah, iklim dan pola tanam yang berbeda, sehingga kendala satu agroekosistem (lahan pasang surut, lahan sawah irigasi dan lahan kering) akan berbeda dengan agro ekosistem yang lain. Teknologi produksi benih kedelai meliputi teknologi penggunaan benih, persiapan lahan, penanaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, seleksi (roguing), pasca panen, dan pengujian mutu benih pada tiga agroekologi lahan. Persentase penggunaan teknologi ini dapat dikategorikan ke dalam kisaran sangat rendah (0 – 20%), rendah (21 – 40%), cukup (41 – 60%), tinggi (61-80%) dan selalu (81-100%) 4.2.1
Teknologi penggunaan benih pada tiga agroekologi lahan Dalam produksi benih kedelai yang baik, diperlukan pengetahuan tentang penanganan benih yang meliputi tiga aspek yaitu aspek genetis, fisiologis dan fisik. Aspek genetis benih artinya benih memiliki sifat-sifat sesuai dengan deskripsi varietas yang bersangkutan, sedangkan untuk mendapatkan mutu fisiologi dan fisik yang tinggi diperlukan penanganan pratanam dan pascapanen yang baik. Benih kedelai yang digunakan, pada dasarnya harus benih yang unggul dan bermutu tinggi. Benih yang unggul dan bermutu tinggi akan menjamin pertanaman yang bagus dan hasil panen yang tinggi, yang dicerminkan oleh tingginya tingkat keseragaman benih, daya tumbuh dan tingkat kemurnian. Gambar 2 menunjukkan bahwa benih bersertifikat selalu digunakan, yaitu pada kisaran 81%-100%. Pada lahan pasang surut sebesar 94%, lahan sawah irigasi sebesar 96% dan lahan kering 92%. penggunaan benih bersertifikat pada lahan sawah irigasi
Persentase lebih tinggi
31
dibanding pada lahan pasang surut dan lahan kering. Secara keseluruhan ketersediaan benih sumber
yang bersertifikat pada ketiga agroekologi
lahan tersebut masih bisa terpenuhi. 97.00
Persentase (%)
96.00 95.00 94.00 L. Pasang Surut
93.00
L. Sawah irigasi 92.00
L. Kering
91.00 90.00 Benih bersertifikat Teknologi benih
Gambar 2 Persentase petani yang menggunakan benih bersertifikat pada tiga agroekologi lahan. Persentase penggunaan benih bersertifikat di lahan kering lebih rendah dikarenakan pola tanam tiga kali dalam setahun, sehingga membutuhkan benih sumber yang bersertifikat yang banyak. Selain itu, lokasi lahan kering tidak mudah dijangkau dibanding lokasi daerah lahan sawah irigasi dan pasang surut. merupakan
faktor
yang
dapat
Penggunaan benih bersertifikat, mempercepat
terjadinya
kenaikan
produktivitas kedelai. Selain itu penggunaan benih bersertifikat yang spesifik lokasi dan perluasan areal dalam skala usaha tani dapat meningkatkan produksi tanaman kedelai. Syarat benih bermutu meliputi kemurnian dan diketahui nama varietasnya, daya tumbuhnya tinggi (minimal 80%) serta vigornya baik, biji sehat, bernas, mengkilat, tidak keriput dan dipanen dari tanaman yang telah matang, dipanen dari tanaman yang sehat, tidak terkena penyakit virus,
tidak terinfeksi cendawan, bakteri atau virus, dan bersih tidak
tercampur biji tanaman lain.
32
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu benih adalah faktor bawaan (kemurnian varietas), fisiologi dan fisik benih, lingkungan, serta perlakuan pascapanen. Faktor fisiologi dan fisik benih meliputi tingkat kematangan benih, dipanen dari tanaman yang sudah matang benar, tingkat kerusakan mekanis benih, tingkat keusangan benih (hubungan antara vigor awal benih dengan lamanya benih disimpan), patogen pada benih, ukuran dan berat jenis benih, dan komposisi kimia benih. Faktor lingkungan meliputi musim tanam, kultur teknik, waktu panen, cara tanam, faktor perlakuan pascapanen, cara penimbunan serta lamanya penimbunan brangkasan sebelum pengeringan dan pembijian, cara pengeringan, keseragaman dan kesehatan benih sebelum disimpan, cara pengepakan (khususnya volume dan jenis kemasan), suhu dan kelembaban tempat penyimpanan, dan proses pengangkutan benih. Rendahnya penggunaan benih bermutu oleh petani bukan penangkar disebabkan karena benih bersertifikat sering tidak tersedia dan untuk mendapatkannya perlu mengeluarkan biaya yang tinggi. Selama ini benih bermutu dari vareitas unggul diproduksi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Shang Hyang Sri dan PT Pertani dan Balai-Balai Benih. Secara kuantitas benih yang diproduksi oleh BUMN dan BalaiBalai benih tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan benih secara nasional (Harnowo et al. 2007). Untuk itu, diperlukan pemberdayaan beberapa petani/kelompok tani sebagai penangkar benih. Sehingga varietas yang digunakan dalam usaha pertanian merupakan varietas unggul yang sesuai (beradaptasi baik) pada lingkungan setempat dan benih sebagai pembawa (carrier) yang tinggi agar ekspresi dari potensi genetik diperoleh secara maksimal. Faktor yang selalu menjadi perhatian dalam pengembangan varietas baru adalah yang berkaitan dengan produktivitas dan kualitas serta efisiensi sistem produksi. Dengan kata lain upaya pengembangan varietas-varietas unggul baru perlu memenuhi kebutuhan perkembangan permintaan konsumen. Kendala yang dihadapi dalam penyebaran varietas – varietas mencakup mulai dari terbatasnya ketersediaan benih sumber, terbatasnya
33
jumlah produsen/penangkar benih, tingginya resiko dan minimalnya keuntungan usaha perbenihan, dan kecederungan petani menggunakan benih seadanya. Pengembangan dan pembinaan kelompok-kelompok tani sebagai penangkar benih atau produsen benih juga dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian petani.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Provinsi Jambi (2008) melaporkan bahwa produktivitas kedelai di Provinsi Jambi baru mencapai 1,267 t/ha dengan luas tanam 4.506 ha. Menurut Sudaryanto & Swastika (2007), sampai tahun 2007 telah dilepas 64 varietas unggul kedelai yang produktivitasnya cukup tinggi yaitu antara 2,00 - 2,50 ton/ha. Keragaan tanaman kedelai di lapangan menunjukkan rata-rata persentase tumbuh tanaman berkisar 80 – 90%. Berarti varietas kedelai Anjarmoro memiliki adaptasi baik terhadap lingkungan di lahan kering. Varietas unggul dan benih bermutu merupakan dua inovasi teknologi yang saling berhubungan. Permasalahan pokok yang membatasi peningkatan produktivitas dan produksi kedelai adalah rendahnya tingkat ketersediaan dan mutu benih pada tingkat petani bukan penangkar di tiga agroekologi lahan. Varietas kedelai toleran tanah masam sudah banyak ditemukan Badan Litbang Pertanian. Menurut Sumarno (2005), pemerintah sering memiliki pengharapan yang terlalu tinggi (over expectation) bahwa permasalahan lahan masam seolah-olah harus dapat diatasi dengan penambahan varietas toleran lahan masam. Lahan masam bukan hanya mengandung Al dan Mn tinggi yang meracuni tanaman kedelai, tetapi kandungan hara Nitrogen, Posfat, Kalium, Calsium, Magnesium, dan hara lainnya rendah. Dalam kondisi lahan masam yang miskin hara, tidak mungkin ada varietas kedelai yang dapat tumbuh dan menghasilkan biji secara normal. Oleh karena itu, perluasan areal tanam kedelai pada lahan masam yang hanya mengandalkan penggunaan ”varietas adaptif dan toleran lahan masam” tidak akan berhasil dengan baik. Penggabungan
34
dengan
aplikasi
teknologi
ameliorasi
tanah
masam
akan
lebih
memungkinkan keberhasilannya. Teknologi persiapan lahan pada tiga agroekologi lahan Pemilihan lahan untuk penangkaran benih kedelai, hendaknya disesuaikan dengan masa tanam di masing-masing lokasi penanaman (agroekologi spesifik).
Mutu benih kedelai yang dihasilkan dari
pertanaman awal musim hujan biasanya kurang baik, disarankan menanam kedelai untuk perbenihan pada saat akhir musim hujan di lahan tegal atau menjelang musim kemarau di lahan sawah. Tanaman kedelai dapat tumbuh, berkembang, dan berproduksi optimum terus menerus diperlukan kesesuaian iklim dan tanaman. Gambar 3 menunjukkan persentase petani penangkar yang melakukan pengolahan tanah rendah (dalam kisaran 21% – 40%). Pada lahan pasang surut persentasenya sebesar 24%, lahan sawah irigasi 24% dan lahan kering 26%. 70.00 60.00 Persentase (%)
4.2.2
50.00 40.00 L. Pasang Surut
30.00
L. Sawah irigasi 20.00
L. Kering
10.00 0.00 Pengolahan tanah
Pembuatan saluran air
Teknologi pengelolaan tanah
Gambar 3 Persentase petani yang melakukan pengolahan tanah dan pembuatan saluran air pada tiga agroekologi lahan. Masalah tanah yang terlihat di daerah pasang surut umumnya disebabkan karena perubahan tata air. Pengurangan massa air dari lapisan tanah akan menyebabkan perubahan-perubahan sifat fisik dan kimia tanah serta menaikkan aktifitas mikroorganisme.
Pengolahan tanah untuk
35
pertanaman kedelai pada tiga agroekologi lahan umumnya tidak dilakukan atau Tanpa Olah Tanah (TOT). Hal ini dikarenakan pada lahan pasang surut dan lahan sawah irigasi merupakan bekas pertanaman padi sehingga tidak diperlukan pengolahan tanah yang intensif. Pada lahan kering masih diperlukan pengolahan tanah, karena penanaman kedelai yang terusmenerus dalam setahun. Pemilihan lahan juga harus memiliki persyaratan seperti: tanahnya cukup subur, pengairannya cukup dan drainase yang baik, dan terdapat sarana angkutan. Lokasi penanaman produksi benih kedelai
hendaknya
bukan bekas tanaman kedelai sebelumnya agar percampuran varietas dapat dihindarkan. Pemilihan lahan harus sesuai dengan persyaratan sertifikasi benih untuk menjamin kelulusan lapang oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih. Pembuatan saluran air bertujuan untuk memperbaiki saluran air di dalam lahan, persentase petani yang membuat saluran air dapat dilihat pada Gambar 3. Persentase petani penangkar yang membuat saluran air pada lahan pasang surut
sebesar 54%, lahan sawah irigasi dan lahan
kering masing-masing 66%. Pembuatan saluran air ini untuk mengatasi air masuk dan keluar dari lahan pasang surut dan lahan sawah, sedangkan di lahan kering untuk mengatasi apabila terjadi hujan dilokasi penanaman. Komponen lahan yang berupa tanah terbentuk dari interaksi antara komponen iklim, bahan induk, topografi, vegetasi, dan waktu. Perbedaan faktor-faktor pembentuk tanah akan menyebabkan perbedaan tanah yang terbentuk. Perbedaan jenis tanah yang terbentuk akan menghasilkan kesuburan tanah yang relatif berbeda, sehingga hasil akhirnya akan menyebabkan perbedaan produktivitas tanah. Sesuai dengan teknologi yang diterapkan dimana tanaman kedelai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan drainase dan air tanah cukup baik dan tersedia selama pertumbuhannya, tetapi kedelai kurang tahan pada tanah masam seperti tanah podsolik yang mempunyai pH rendah
dan
mengandung
banyak
pasir
kuarsa
menambahkan pupuk organik, fosfat dan pengapuran.
sehingga
harus
36
4.2.3
Teknologi penanaman pada tiga agroekologi lahan Usaha tani kedelai dilakukan satu kali musim tanam selama empat bulan. Pola tanam kedelai pada tiga agroekologi lahan berbeda. Pada Gambar 4 dilahan pasang surut penanaman kedelai dilakukan dua kali musim tanam yaitu musim tanam pertama pada bulan Desember sampai Maret dan musim tanam kedua pada Bulan April sampai Juli. Pada lahan sawah irigasi penanaman dilakukan satu kali tanam yaitu pada Bulan Juli sampai Oktober. Sedangkan pada lahan kering penanaman bisa dilakukan tiga kali dalam setahun yaitu musim tanam pertama Bulan Januari sampai April, musim tanam kedua Bulan Mei sampai Agustus, dan musim tanam ketiga Bulan September sampai Desember. Agroekologi
Bulan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
L. Pasang Surut L. Sawah Irigasi L. Kering Keterangan
:
Musim Tanam Pertama Musim Tanam Kedua Musim Tanam Ketiga
Gambar 4 Pola tanam dalam 1 tahun pada tiga agroekologi lahan. Pada lahan pasang surut dan sawah irigasi sangat memperhatikan pola tanam dibanding di lahan kering. Waktu tanam di lahan sawah sebaiknya dilakukan pada bulan April sampai Juli (MK I, awal musim kemarau) atau Juli sampai Oktober (MK II, akhir musim kemarau). Waktu tanam di lahan kering pada akhir musim hujan (MH II) yakni antara bulan Februari sampai Mei. Waktu tanam di lahan pasang surut dilakukan pada akhir musim hujan (MH II) yakni antara bulan Februari sampai Mei (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 1997). Waktu tanam dapat disesuaikan dengan kondisi iklim setempat. Curah hujan yang cukup selama pertumbuhan dan berkurang saat pembungaan dan menjelang pemasakan biji akan meningkatkan hasil kedelai.
37
Gambar 5 menunjukkan bahwa persentase petani penangkar dalam melakukan penanaman selalu menggunakan jarak tanam, di lahan pasang surut sebesar 90%, lahan sawah irigasi sebesar 88% dan lahan kering sebesar 92%. Tidak semua petani penangkar menggunakan jarak tanam sesuai rekomendasi, di lahan pasang surut masuk dalam kategori sering melakukan yaitu sebesar 78%, lahan sawah irigasi dan lahan kering masuk dalam kategori cukup yaitu masing masing sebesar 54% dan 52%. Pada umumnya petani masih menyamakan produksi untuk konsumsi dengan produksi benih. Di tingkat petani populasi tanaman per hektar untuk produksi benih masih diatas 500.000 tanaman/ha. Secara teknis untuk perbanyakan benih kedelai populasi berkisar dari 300.000-500.000
Persentase (%)
tanaman/ha (Darman 2007). 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
L. Pasang Surut L. Sawah irigasi L. Kering
Jarak tanam ditentukan
Jarak tanam sesuai rekomendasi
Jarak tanam
Gambar 5
Persentase petani yang melakukan jarak tanam pada tiga agroekologi lahan.
Cara penanaman benih, baik di lahan sawah maupun di lahan kering secara tugal dengan jarak tanam teratur. Di lahan sawah bekas panen padi (tanpa pengolahan tanah), penugalan dapat dilakukan di samping tunggul jerami padi mengikuti jarak tanam padi (20 x 20 cm) atau di tengah antara tunggul jerami padi. Jarak tanam anjuran: 1). 40 x 10 cm (2 biji per lubang) dengan populasi 500.000 tanam/ha; 2) 40 x 15 cm (2 biji per lubang) dengan populasi 300.000 tanam/ha; dan 50 x 10 cm (2 biji per
38
lubang) dengan populasi 400.000 tanam/ha (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 1997). Teknologi pemupukan pada tiga agroekologi lahan Penggunaan pupuk baik cara ataupun dosis yang dilakukan petani juga belum efektif dan efisien untuk menghasilkan benih yang bermutu. Di daerah lahan pasang surut dan sawah irigasi dilakukan pemupukan meskipun takarannya ada yang melebihi dosis ataupun kurang dari dosis rekomendasi,
sedangkan di daerah lahan kering masih sangat minim
pemberian pupuknya.
Persentase (%)
4.2.4
100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
L. Pasang Surut L. Sawah irigasi L. Kering
Menggunakan pupuk
Sesuai rekomendasi
analisa tanah
Pemupukan
Gambar 6 Persentase petani yang melakukan pemupukan pada tiga agroekologi lahan. Pada Gambar 5 persentase petani yang menggunakan pupuk pada lahan pasang surut dan lahan sawah irigasi tergolong selalu (90%), sedangkan di lahan kering tergolong cukup (42%).
Persentase petani
penangkar yang menggunakan pupuk sesuai rekomendasi di lahan pasang surut termasuk dalam kategori sering (68%), lahan sawah irigasi dalam kategori sering (66%) dan lahan kering dalam kategori rendah (26%). Persentase petani penangkar yang menggunakan pupuk sesuai analisa tanah pada tiga agroekologi lahan termasuk dalam kriteria rendah, di lahan pasang surut sebesar 24%, lahan sawah irigasi dan lahan kering sebesar 28%.
39
Penggunaan pupuk di lahan pasang surut rata rata dalam 1 hektar yaitu: 90,5 kg urea + 75 kg SP-36 + 60 kg KCl + PONSKA 80 kg + Pukan 875 kg + pupuk cair 2,1 liter + kapur 410 kg. Rekomendasi pemupukan dalam 1 hektar pada lahan ini adalah 150 kg PONSKA + 50 kg SP 36 atau 50-75 kg urea + 100 kg SP 36 + 50-100 kg KCl (BALITKABI 2008). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pupuk pada daerah tersebut belum sesuai dengan anjuran (rekomendasi). Penggunaan pupuk pada daerah sawah irigasi rata-rata dalam 1 hektar yaitu : 110 kg Urea + 110 kg SP-36 + 10 kg KCl + Pukan 685 kg + Pupuk cair 0,8 lt + Kapur 410 kg. Rekomendasi pemupukan dalam 1 hektar pada lahan ini adalah tanpa pupuk kandang dan jerami yaitu 50-75 kg urea + 75-100 kg SP-36 dan 100 kg KCl (BALITKABI 2008). Takaran pupuk petani di daerah lahan kering rata-rata dalam 1 hektar yaitu : 4 kg Urea + 4 kg SP-36 + 3,5 kg KCl per hektar + PONSKA 5 kg/ha + Pukan 490 kg/ha + Pupuk cair 1,9 lt/ha. Rekomendasi pemupukan dalam 1 hektar pada lahan ini adalah 75 kg urea + 100 kg SP 36 dan 100 kg KCl (BALITKABI 2008). 4.2.5
Teknologi pengendalian hama dan penyakit pada tiga agroekologi lahan Hasil pengamatan pada tiga agroekologi lahan teryata gangguan hama dan penyakit tidak terlalu berpengaruh pada pertumbuhan tanaman kedelai.
Hal ini disebabkan sudah adanya usaha preventif, sehingga
pengendalian hama dilakukan berdasarkan pemantauan. Pengendalian secara kultur teknis antara lain pergiliran tanaman dan tanam serentak dalam satu hamparan. Jika populasi hama tinggi atau kerusakan daun 12,5%
dan
kerusakan
polong 2,5%,
tanaman
disemprot
dengan
insektisida efektif. Persentase petani penangkar yang melakukan tindakan pencegahan terhadap serangan hama dan penyakit dapat dilihat di Gambar 7. Di lahan pasang surut sebesar 66% (kategori sering) lahan sawah irigasi 88% (kategori selalu), dan lahan kering 60% (kategori cukup). Persentase yang melakukan pengendalian hama secara terpadu di lahan kering termasuk dalam kategori cukup dengan
nilai persentase sebesar 40%, di lahan
40
pasang surut dan lahan sawah termasuk dalam kategori sering dengan persentase masing masing sebesar 80% dan 72%. 100.00 90.00 80.00 Persentase (%)
70.00 60.00 50.00
L. Pasang Surut
40.00
L. Sawah irigasi
30.00
L. Kering
20.00 10.00 0.00 Ada usaha pencegahan
Melakukan PHT
Pengendalaian Hama dan Penyakit
Gambar 7 Persentase petani yang melakukan pengendalian hama dan penyakit pada tiga agroekologi lahan. Organisme Penganggu Tanaman (OPT) merupakan salah satu resiko yang harus dipertimbangkan dalam budidaya tanaman berdasarkan pengamatan OPT di wilayah penelitian, OPT utama yang perlu diwaspadai adalah ulat grayak (Spodoptera litura F.). Ulat grayak mulai muncul pada fase vegetatif (11 hari setelah tanam) sampai dengan fase generatif pada saat pertumbuhan polong dan biji (51-70 hari setelah tanam). Serangan membahayakan bisa terjadi pada fase generatif sebab kondisi tanaman tidak mampu lagi menggantikan daun yang telah dirusak oleh ulat grayak dengan tumbuhnya daun baru. Selain itu serangan pada fase generatif akan sangat menurunkan kemampuan tanaman waktu pengisian polong atau biji. Tingkat serangan ulat grayak rata-rata relatif rendah, di bawah ambang batas pengendalian (<25% - kerusakan daun) proses ini berjalan sampai dengan + 40 hari setelah tanam, sehingga pengendalian yang dianjurkan adalah pengendalian secara mekanis, yaitu dengan cara mengumpulkan ulat dan telur yang masih mengelompok dan sudah
41
tersebar, kemudian dimusnahkan. Berkaitan dengan faktor ketahanan terhadap serangan hama ulat grayak, varietas Anjasmoro tergolong toleran terhadap serangan ulat grayak. Tingkat serangan ulat grayak selalu di bawah ambang batas pengendalian (AP) sampai dengan akhir stadia generatif. Teknologi roguing/seleksi pada tiga agroekologi lahan Seleksi adalah tahapan kegiatan dalam produksi benih yang sangat penting untuk menjaga kemurnian varietas yang akan dihasilkan. Roguing pada fase vegetatif pada tiga agroekologi lahan selalu dilakukan dengan persentase dilahan pasang surut sebesar 92%, lahan kering 98%, lahan sawah irigasi 86% (Gambar 8).
Roguing pada fase generatif pada tiga
agroekologi lahan selalu dilakukan dengan persentase di lahan pasang surut sebesar 86%, lahan kering 84%, lahan sawah irigasi 96% (Gambar 8). 100.00 95.00 Persentase (%)
4.2.6
90.00 L. Pasang Surut
85.00
L. Sawah irigasi L. Kering
80.00 75.00 Roguing pada fase vegetatif
Roguing pada fase generatif
Roguing/Seleksi
Gambar 8 Persentase petani yang melakukan rouging/seleksi pada tiga agroekologi lahan. Hasil pengamatan di lapangan meskipun dilakukan roguing teryata masih belum maksimal, karena pengetahuan tentang deskripsi varietas masih rendah dan waktu pelaksanaannya tidak sesuai rekomendasi. Roguing fase vegetatif dilakukan pada 7-15 hari setelah tanam (HST). Caranya adalah dengan membuang tanaman yang berbeda warna
42
hipokotilnya. Roguing fase generatif dilakukan terhadap seleksi warna bunga dan seleksi bulu. Seleksi warna bunga setiap hari (dari mulai keluar bunga sampai berbunga penuh 100%).
Roguing bulu, dilakukan pada
waktu 1-3 hari pada saat warna bulu sudah jelas benar (menjelang tanaman mencapai matang 90% atau menjelang panen).
Roguing bentuk daun
dilakukan selama pertumbuhan tanaman kedelai. Roguing tipe tanaman dilakukan selama pertumbuhan tanaman, yang diutamakan menjelang matang fisiologis 90% (BALITKABI 2008). 4.2.7 Teknologi pasca panen pada tiga agroekologi lahan Penanganan pascapanen untuk perbenihan kedelai mulai dari pengeringan brangkasan, pembijian, pengeringan biji, pembersihan dan sortasi, pengemasan benih, serta penyimpanan benih. Pada Gambar 9 dapat diketahui bahwa tahapan pasca panen dalam memproduksi benih dilaksanakan semua pada tiga agroekologi lahan. 100.00 90.00 80.00 Persentase (%)
70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Pengeringan brangkasan setelah panen
Pembijian Pembersihan dan dengan mesin sortasi biji
Pengemasan benih
Penyimpanan benih
Teknologi pasca panen L. Pasang Surut
L. Sawah irigasi
L. Kering
Gambar 9 Persentase petani yang melakukan teknologi pasca panen pada tiga agroekologi lahan. Persentase yang melakukan pengeringan brangkasan setelah panen di tiga agroekologi lahan termasuk dalam kategori selalu dilakukan, dengan persentase di lahan pasang surut dan sawah irigasi masing masing sebesar 96% dan dilahan kering sebesar 94%. Persentase pembijian dengan mesin
43
dilahan pasang surut sebesar 88% (selalu), lahan irigasi dan lahan kering termasuk kategori cukup yaitu masing masing 78% dan 76%. Persentase kegiatan pembersihan dan sortasi biji selalu dilakukan di tiga agroekologi lahan. Di lahan pasang surut sebesar 90%, lahan sawah irigasi 94% dan lahan kering 96%.
Persentase kegiatan pengemasan benih termasuk
dalam kategori selalu dilakukan, dilahan pasang surut sebesar 90%, di lahan sawah irigasi sebesar 94% dan lahan kering 92%.
Persentase
penyimpanan termasuk dalam kategori selalu dilakukan, dilahan pasang surut sebesar 84% , lahan sawah irigasi 80% dan lahan kering sebesar 82%. Brangkasan tanaman dijemur dengan beralaskan terpal plastik, untuk memudahkan perontokan biji. Brangkasan tanaman yang tidak langsung dijemur dan dibiarkan lama disimpan akan menurunkan mutu dan daya simpan benih. Penjemuran brangkasan dilakukan hingga kadar air biji kedelai telah menurun sekitar 13-15%. Pembijian kedelai dilakukan dengan menggunakan mesin perontok (thresher),
dengan
cara memisahkan
biji
hasil
perontokan
dari
brangkasannya. Biji kedelai hasil perontokan disimpan untuk langsung dijemur. Pembersihan dan sortasi biji dilakukan setelah pengeringan, atau dilaksanakan sambil melakukan pengeringan. Biji kedelai ditampi atau diayak untuk memisahkan biji bernas dengan ukuran seragam dari kotoran termasuk biji yang kecil, jelek dan keriput atau potongan biji. Seleksi warna polong dilakukan pada saat tanaman menjelang panen (sudah kering panen), dengan cara membuang tanaman yang berbeda warna polong matangnya. Seleksi biji dilakukan pada saat sortasi biji dengan cara membuang biji-biji yang menyimpang (berbeda warna biji, warna hilum dan permukaan biji). Benih disimpan dalam karung plastik dengan kemasan 40-50 kg. Pengemasan benih dilakukan setelah keluar label sertifikat hasil uji yang dikeluarkan oleh BPSB. Identitas mutu benih ditandai dengan label sertifikasi dari BPSB. Penyimpanan dilakukan menggunakan kemasan dengan sistem rapat udara dan kemasan tidak menempel di dinding.
44
Teknologi pengujian mutu benih pada tiga agroekologi lahan Dalam kegiatan produksi benih, pengujian mutu benih memegang peranan yang sangat penting, dimana benih yang akan dihasilkan harus diuji mutunya dari fase vegetatif sampai fase generatifnya.
Pengujian
mutu standar dilakukan melalui pemeriksaan lapang yang dilakukan oleh penangkar sendiri dan petugas Balai Pengujian Sertifikasi Benih. Hasil panen yang dilakukan kemudian dilakukan pengujian mutu di laboratorium yang meliputi kadar air, benih murni, kotoran benih, varietas lain, daya tumbuh dan benih warna lain. Pada Gambar 10 dapat diketahui bahwa kegiatan pengujian mutu dilakukan di tiga agroekologi lahan termasuk dalam kategori selalu dilakukan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas BPSB di tiga agroekologi lahan termasuk dalam kategori selalu dilakukan. Di lahan pasang surut sebesar 92%, lahan sawah irigasi dan lahan kering sebesar 96%.
Pengujian laboratorium di tiga agroekologi lahan termasuk dalam
kategori selalu dilakukan. Persentase kegiatan pengujian laboratorium di lahan pasang surut dan lahan sawah irigasi sebesar 94% dan di lahan kering sebesar 96%. 97.00 96.00 Persentase (%)
4.2.8
95.00 94.00 L. Pasang Surut
93.00
L. Sawah irigasi
92.00
L. Kering
91.00 90.00 Pemeriksaan BPSB
Uji laboratorium
Pengujian Mutu
Gambar 10 Persentase pengujian mutu pada lahan petani penangkar pada tiga agroekologi lahan.
45
Benih bermutu dan bersertifikat, diperlukan sertifikasi yang mencakup pemeliharaan di lapang dan laboratorium. Persyaratan secara umum adalah sebagai berikut: 1.
Produksi benih bersertifikat harus terdaftar di Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB)
2.
Sertifikasi lapang di mulai pada saat penentuan lokasi fase vegetatif, fase generatif dan panen
3.
Petani bukan penangkar benih, dapat memproduksi benih bersertifikat melalui kerjasama dengan penangkar benih, seperti melalui sistem operasi lapangan (Oplap).
4.
Sertifikasi lapangan dilakukan oleh BPSB
4.3 Analisa Usahatani Produksi Benih Kedelai Perkembangan tanaman kedelai selama 10 tahun terakhir menunjukkan penurunan yang cukup besar, lebih dari 50%, baik dalam luasan areal maupun produksinya. Ada dua masalah yang saling terkait dan berpengaruh terhadap perkembangan kedelai, yaitu faktor teknis dan sosial-ekonomi. Faktor teknis yang berpengaruh terhadap perkembangan kedelai yaitu kualitas benih yang ditanam, cara tanam, cara pemeliharaan tanaman, serta panen dan penanganan pascapanen. Faktor social ekonomi yang mempengaruhi usaha tani kedelai di tingkat petani, diantaranya yaitu luas pemilikan lahan, status tanaman kedelai, modal, dan resiko. Kondisi tersebut mencerminkan adanya perbedaan sumber daya yang akhirnya menyebabkan adanya keragaman dalam usaha tani kedelai yang dilakukan oleh petani. Hal ini pula yang menyebabkan biaya dan keuntungan yang diperoleh petani bervariasi. Pengeluaran biaya dalam usaha tani kedelai yang berbeda tersebut antara lain harga benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Biaya yang digunakan pada kegiatan usaha tani adalah jumlah biaya yang dikeluarkan yang
akan berpengaruh terhadap jumlah produk yang dihasilkan. Ini berarti
semakin besar produk yang dihasilkan maka akan semakin besar pula jumlah biaya yang harus dikeluarkan. Dari hasil analisa usaha tani yang diperoleh pada tiga agroekologi lahan (Tabel 6) dapat dilihat bahwa biaya produksi yang digunakan berbeda antara lahan
46
pasang surut sebesar Rp. 5.936.560,- dengan lahan sawah irigasi sebesar Rp. 4.782.500,-
dan lahan kering sebesar Rp. 4.452.650,-.
Hal ini dikarenakan
komponen kebutuhan pupuk, pestisida dan tenaga kerja yang digunakan di lahan pasang surut sangat tinggi. Biaya produksi yang tinggi teryata diikuti dengan hasil yang tinggi pula, dimana penerimaan hasil yang diperoleh di lahan pasang surut sebesar Rp. 11.722.500,-, lahan sawah irigasi sebesar Rp. 9.670.000,- dan lahan kering sebesar Rp. 8.515.000. Tabel 6 Analisa usahatani produksi benih kedelai di tiga agroekologi lahan Peubah pengamatan BIAYA PRODUKSI − Benih (Rp/Ha) − Pupuk (Rp/Ha) − Pestisida (Rp/Ha) − Tenaga kerja (Rp/Ha) − Pasca panen (Rp/Ha) PENERIMAAN (Rp/Ha) KEUNTUNGAN (Rp/Ha)
Lahan pasang surut 5.936.560 516.000 1.340.000 731.560 2.354.000 995.000 11.722.500 5.785,940
Agroekologi Lahan sawah irigasi 4.782.500 675.000 1.096.500 434.000 1.727.000 850.000 9.670.000 4.887.500
Lahan kering 4.452.650 498.000 370.150 497.500 1.997.000 1.090.000 8.515.000 4.062.350
Sumber data : Rekap Data Primer Kajian Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi, 2010
4.3.1
Persentase biaya produksi terhadap pendapatan pada tiga agroekologi lahan. Pendapatan yang diperoleh petani akan dipengaruhi oleh seberapa besar biaya yang dikeluarkan dalan berusaha tani, termasuk persentase biaya yang dikeluarkan dalam satuan luas lahan. Persentase komponen biaya produksi di setiap agroekologi lahan berbeda beda, tergantung pada volume bahan dan satuan harga disetiap agroekologi. Persentase komponen biaya produksi yang digunakan dapat dilihat dari Gambar 11. Di lahan pasang surut komponen biaya produksi dengan persentase besar dalam memproduksi benih secara berurutan yaitu: tenaga kerja (39,65%), pupuk dan kapur (22,57%), panen dan pasca panen (16,76%), pestisida (12,32%) dan benih (8,69%). Di lahan sawah irigasi yaitu: tenaga kerja (36,11%), pupuk dan kapur (22,93%), pasca panen (17,77%), benih (14,11%) dan pestisida (9,07%). Di lahan kering berupa tenaga kerja (44,85%), pasca panen (24,48%), benih (11,18%), pestisida (11,17%) dan pupuk (8,31%).
Prosentase (%)
47
50.00 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
Benih Pupuk & kapur Pestisida Tenaga Kerja Panen & Pasca Panen
Lahan Lahan sawah Lahan kering pasang surut irigasi Agroekologi
Gambar 11 Persentase biaya produksi pada tiga agroekologi lahan.
Introduksi teknologi pada tiga agroekologi lahan dapat didasarkan pada persentase biaya produksi yang digunakan. Kebutuhan tenaga kerja menunjukkan persentase yang lebih tinggi, hal ini dikarenakan pemakaian tenaga kerja pada waktu melakukan penanaman, panen dan pasca panen. Sehingga introduksi teknologi perlu memperhatikan ketersediaan tenaga kerja atau peralatan yang bisa dipakai untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan budidaya produksi benih kedelai. Produktivitas hasil yang tinggi terdapat di lahan pasang surut, yaitu sebesar 2 ton/ha.
Hal ini dipengaruhi oleh persentase petani yang
melaksanakan teknologi pemakaian pupuk, tenaga kerja, pestisida dan teknologi pasca panen yang digunakan dengan persentase yang tinggi. Dosis pupuk tertinggi di lahan pasang surut sebesar 100 kg urea + 100 kg SP-36 + 75 kg KCl + PONSKA 100 kg + Pukan 1000 kg + pupuk cair 2 liter + kapur 500 kg, sehingga memberikan produktivitas hasil yang tinggi pula (Gambar 12).
Hal ini masih dapat ditingkatkan dengan
memperhatikan perawatan yang lebih intensif dengan pengendalian hama penyakit secara terpadu, roguing dan perlakuan pasca panen yang optimal.
48
Produktivitas (ton/ha)
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Petani Penangkar Lahan Pasang Surut
Lahan Sawah Irigasi
Lahan Kering
Gambar 12 Produktivitas kedelai dalam 1 ha pada tiga agroekologi lahan
Di lahan kering kekurangan air menjadi masalah maka di daerah pasang surut, kelebihan air yang merupakan masalah utama. Daerah ini tergenang terutama pada waktu pasang besar di musim penghujan. Sifatsifat tanah di daerah ini serta penyebaran vegetasi jelas sekali dipengaruhi oleh sifat airnya. Produktivitas hasil yang diperoleh di tiga agroekologi lahan menunjukkan bahwa di lahan pasang surut mempunyai fluktuasi yang tinggi dari kisaran 1,0 - 2,0 ton/ha, di lahan sawah irigasi berkisar 1,2 - 1,6 ton/ha, dan di lahan kering berkisar 1,1 - 1,5 ton/ha. Hal ini disebabkan kondisi cuaca di lahan pasang surut yang sangat fluktuatif, sehingga mempengaruhi tata air di dalam lahan. Pada kondisi lahan tergenang air pada pasang tinggi dalam waktu yang lama akan mempengaruhi produksi tanaman kedelai. Sehingga hal ini menjadi pertimbangan di dalam membuat target produksi benih untuk skala yang lebih luas. 4.3.2
Kelayakan usahatani produksi benih kedelai pada tiga agroekologi lahan Industri yang bergerak di sektor benih kedelai telah ada di Jambi, tetapi masih sangat diperlukan pemacuan terhadap optimalisasi penangkar benih dengan meningkatkan efisiensi usahatani dan mengurangi resiko
49
kegagalan. Penanaman tepat waktu dan serempak pada satu hamparan akan mengurangi resiko kegagalan dan berpeluang menekan biaya produksi perbenihan. Pengelolaan gulma dan hama yang dilakukan secara benar dan tepat waktu sangat penting untuk mengefisiensi-kan sistem produksi. Dari aspek kelayakan usaha tani (Tabel 7) dapat dilihat bahwa di Provinsi Jambi produksi benih kedelai dapat dilakukan di tiga agroekologi yang berbeda karena nilai R/C ratio masih diatas satu, yang artinya layak untuk dikerjakan. Nilai R/C ratio pada lahan pasang surut sebesar 2,09, di lahan sawah irigasi sebesar 2,04, dan di lahan kering sebesar 1,95. Tabel 7 Analisis finansial usahatani produksi benih pada tiga agroekologi lahan di Provinsi Jambi Agroekologi Lahan pasang surut Lahan sawah irigasi Lahan kering
Analisis finansial BEP Yield/TIP BEP Price/TIH R/C (Kg/ha) (Rp/kg) 2,09 498,58 3.630,42 2,04 430,23 3.626,44 1,95 415,49 3.532,51
Hasil analisis titik impas produksi (TIP) dan titik impas harga (TIH) usahatani kedelai disajikan pada Tabel 7. Analisis TIH dan TIP dilakukan untuk mengetahui hubungan antara harga, penerimaan dan volume produksi. Produksi dan harga impas pada lahan pasang surut sebesar 498,58 kg dan Rp. 3.630,42 / kg, dilahan sawah irigasi sebesar 430,23 kg dan Rp. 3.626,44 / kg, dilahan kering sebesar 415,49 kg dan Rp. 3.532,51 / kg. Sedangkan produktivitas rata rata di lahan pasang surut sebesar 1.545 kg, lahan sawah irigasi 1.305 kg dan lahan kering 1.235 kg. Harga jual per kg di tiga agroekologi lahan yaitu di lahan pasang surut Rp. 11.250,-, lahan sawah irigasi Rp. 11.000,- dan lahan kering Rp. 10.500,-. Nilai impas di berbagai agroekologi tersebut berada dibawah nilai produksi dan harga aktual berarti usahatani produksi benih kedelai yang dilakukan menguntungkan, sehingga layak untuk dikerjakan.
50
4.4
Hubungan antara Persentase Penggunaan Teknologi Budidaya Produksi Benih dengan Produksi Hasil yang Berupa Benih dan Pendapatan Hubungan antara teknologi produksi benih dengan pendapatan dan produksi
hasil yang berupa benih dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi. Koefesien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefesien korelasi berkisar antara +1 s/d -1. Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan linear dan arah hubungan dua variabel acak. Jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Menurut Sarwono (2006) mengatakan
bahwa untuk memudahkan
melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel penulis memberikan kriteria sebagai berikut: nilai koefisien korelasi 0 artinya tidak ada korelasi antara dua variable, nilai >0 – 0,25 artinya korelasi sangat lemah, nilai >0,25 – 0,5 artinya korelasi cukup, nilai >0,5 – 0,75 artinya korelasi kuat, nilai >0,75 – 0,99 artinya korelasi sangat kuat, dan nilai 1 artinya korelasi sempurna. 4.4.1
Hubungan persentase penggunaan teknologi produksi benih dengan pendapatan. Pendapatan yang diperoleh dari masing masing agroekologi lahan yaitu lahan pasang surut, lahan sawah irigasi dan lahan kering menunjukkan angka yang berbeda. Berdasarkan hasil uji statistik untuk mengetahui hubungan antara teknologi yang digunakan (teknologi penggunaan benih
bersertifikat, pengolahan tanah, pemupukan sesuai
rekomendasi, PHT, pembersihan dan sortasi biji serta roguing) dengan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 8. Di lahan pasang surut, penggunaan teknologi benih bersertifikat, pengolahan tanah, pemupukan sesuai rekomendasi, pembersihan dan sortasi biji serta roguing tidak berhubungan dengan pendapatan yang dihasilkan dalam 1 ha.
Pengunaan teknologi PHT
menunjukkan
hubungan nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,643 (p=0,045). Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan hubungan yang kuat.
51
Tabel 8 Hubungan antara persentase pengguna teknologi dengan pendapatan pada tiga agroekologi lahan
Variabel Teknologi
Lahan Pasang Surut r
1. Benih bersertifikat 2. Pengolahan Tanah 3. Pemupukan sesuai rekomendasi 4. PHT 5. Pembersihan & sortasi biji 6. Roguing
p
Pendapatan (Rp/Ha) Lahan Sawah Irigasi r
p
Lahan Kering r
p
0,309
0,386
0,703*
0,023
-0,215
0,551
0,354
0,316
0,571
0,085
0,690*
0,027
- 0,072
0,843
0,422
0,225
0,690*
0,027
0,643*
0,045
0,601
0,066
0,707*
0,022
0,141
0,697
0,805**
0,005
0,703*
0,023
0,505
0,136
0,575
0,082
0,703*
0,023
Keterangan: p = peluang kesalahan (galat) ** = Berhubungan sangat nyata pada α 0,01 * = Berhubungan nyata pada α 0,05
Di lahan sawah irigasi penggunaan teknologi pengolahan tanah, pemupukan sesuai rekomendasi, dan roguing tidak berhubungan dengan pendapatan yang dihasilkan dalam 1 ha. Sedangkan pengunaan teknologi benih bersertifikat berhubungan nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,703 (p=0,023) dan pembersihan dan sortasi biji berhubungan sangat nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,805 (p=0,005). Nilai koefisien korelasi teknologi benih bersertifikat menunjukkan hubungan yang cukup kuat. Sedangkan nilai koefisien korelasi pembersihan dan sortasi biji menunjukkan hubungan yang sangat kuat. Di lahan kering penggunaan teknologi benih
bersertifikat tidak
berhubungan dengan pendapatan yang dihasilkan dalam 1 ha. Teknologi pengolahan tanah, pemupukan sesuai rekomendasi, teknologi PHT, pembersihan dan sortasi biji, dan roguing berhubungan nyata dengan pendapatan yang dihasilkan dalam 1 hektar. Teknologi pengolahan tanah berhubungan nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,690, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat. Teknologi pemupukan sesuai rekomendasi berhubungan nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar
52
0,690, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat.
Teknologi PHT
berhubungan nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,707, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat. Teknologi pembersihan & sortasi biji berhubungan nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,703, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat. Teknologi roguing berhubungan nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,703, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat. Hubungan antara persentase penggunaan teknologi produksi benih dengan produksi hasil yang berupa benih. Usahatani produksi benih kedelai memberikan hasil yang berupa benih dan non benih. Hasil non benih tetap dijual petani dalam bentuk kedelai konsumsi. Untuk melihat persentase hasil yang berupa benih dari tiga agroekologi lahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 13. 80.00 70.00 60.00 Persentase (%)
4.4.2
50.00 40.00 30.00
Benih
20.00
Non Benih
10.00 0.00 Lahan Pasang Surut
Lahan Sawah Irigasi
Lahan Kering
Agroekologi
Gambar 13 Persentase hasil berupa benih dan non benih pada tiga agroekologi lahan. Persentase hasil yang berupa benih di lahan pasang surut sebesar 68,61% dan non benih sebesar 31,39%. Di lahan sawah irigasi persentase hasil yang berupa benih sebesar 70,50% dan non benih sebesar 29,50%. Di lahan kering persentase hasil yang berupa benih sebesar 63,16% dan hasil berupa non benih sebesar 36,84%. Hal ini menunjukkan persentase produksi berupa benih lebih banyak di daerah lahan sawah irigasi.
53
Kegiatan pasca panen diharapkan dapat meningkatkan keuntungan yang diperoleh, karena dapat menjamin kemurnian benih yang dihasilkan. Produktivitas tertinggi didaerah lahan pasang surut tidak dikuti dengan persentase produksi benih yang tinggi. Namun demikian produktivitas yang tinggi di lahan pasang surut memberikan keuntungan yang tinggi pula.
Hasil uji statistik untuk mengetahui hubungan antara
persentase penggunaan teknologi yang digunakan (teknologi penggunaan benih bersertifikat, pengolahan tanah, pemupukan sesuai rekomendasi, PHT, pembersihan dan sortasi biji serta roguing) dengan produksi hasil yang berupa benih dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Hubungan antara persentase penggunaan teknologi dengan produksi yang berupa benih pada tiga agroekologi lahan
Variabel Teknologi
1. Benih bersertifikat 2. Pengolahan Tanah 3. Pemupukan sesuai rekomendasi 4. PHT 5. Pembersihan & sortasi biji 6. Roguing
Produksi Benih (Kg/Ha) Lahan Pasang Lahan Sawah Surut Irigasi r p r p
Lahan Kering r
p
0,193
0,593
0,395
0,258
-0,223
0,536
0,265
0,459
0,044
0,904
0,715*
0,020
- 0,217
0,548
0,613
0,059
0,715*
0,020
0,503
0,138
0,454
0,188
0,570
0,086
0,212
0,556
0,498
0,143
0,637*
0,048
0,433
0,211
0,498
0,143
0,637*
0,048
Keterangan: p = peluang kesalahan (galat) ** = Berhubungan sangat nyata pada α 0,01 * = Berhubungan nyata pada α 0,05
Di lahan pasang surut penggunaan teknologi benih bersertifikat, pengolahan tanah, pemupukan sesuai rekomendasi, PHT, pembersihan dan sortasi biji serta roguing tidak berhubungan dengan produksi hasil berupa benih yang dihasilkan dalam 1 ha. Hal ini terjadi karena rata-rata penerapan teknologi tersebut di lahan pasang surut sudah dilakukan. Di lahan sawah irigasi penggunaan teknologi benih bersertifikat, pengolahan tanah, pemupukan sesuai rekomendasi, PHT, pembersihan dan
54
sortasi biji serta roguing tidak berhubungan dengan produksi hasil berupa benih yang dihasilkan dalam 1 hektar. Hal ini terjadi karena teknologi yang digunakan teryata menghasilkan persentase produksi yang berupa benih paling tinggi sebesar 70,50% dengan variasi antar penangkar berkisar 800 - 1.150 kg/ha. Di lahan kering penggunaan teknologi benih
bersertifikat tidak
berhubungan dengan produksi benih yang dihasilkan dalam 1 ha. Teknologi
pengolahan
tanah,
pemupukan
sesuai
rekomendasi,
pembersihan dan sortasi biji, dan roguing berhubungan nyata dengan produksi hasil berupa benih yang dihasilkan dalam 1 ha.
Teknologi
pengolahan tanah berhubungan nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,715, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat. Teknologi pemupukan sesuai rekomendasi berhubungan nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,715, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat. Teknologi pembersihan dan sortasi biji berhubungan nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,637, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat. Teknologi roguing berhubungan nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,637, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat. Peningkatan penerapan teknologi akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan. Tanaman kedelai dapat tumbuh di berbagai agroekologi dengan jenis tanah, kesuburan tanah, iklim dan pola tanam yang berbeda, sehingga kendala satu agroekologi akan berbeda dengan agroekologi yang lain. Teknologi yang diterapkan secara teknis meningkatkan hasil dan pendapatan, karena bila teknologi dijalankan maka hasil yang diperoleh sesuai dengan kapasitas dan metode penerapannya yang akhirnya juga akan mempengaruhi pendapatan. Menurut Jumakir & Abdullah Taufiq (2010) penerapan teknologi anjuran baik melalui penerapan varietas unggul potensi produksi tinggi maupun pemupukan, memungkinkan peningkatan produktivitas dan pendapatan.
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. SIMPULAN 1.
Karakteristik umur petani penangkar lebih banyak yang berusia produktif (83,33%), tingkat pendidikan masih rendah (56,67%) dan pengalaman menjadi penangkar benih yang bersertifikat dibawah 4 tahun (90%).
2.
Persentase penerapan teknologi produksi benih di tiga agroekologi lahan masih perlu ditingatkan, yaitu : a. Di lahan pasang surut persentase penerapan teknologi jarak tanam, pemupukan, PHT, penyimpanan benih dan seleksi generatif. b. Di lahan sawah irigasi persentase penerapan teknologi jarak tanam, pemupukan, PHT, seleksi vegetatif dan generatif, dan penyimpanan benih c. Di lahan kering persentase penerapan teknologi pengolahan tanah, jarak tanam, pemupukan, PHT, dan penyimpanan benih.
3.
Usahatani petani penangkar layak secara finansial dilaksanakan di tiga agroekologi lahan karena mengeuntungkan, dengan nilai R/C di lahan pasang surut 2,09, lahan sawah irigasi 2,04, dan lahan kering 1,95.
4.
Terdapat korelasi positif dan hubungan yang kuat antara persentase penggunaan teknologi dengan pendapatan, semakin banyak persentase petani yang menerapkan teknologi tersebut semakin tinggi pendapatan yang diperoleh di masing masing lahan, yaitu: a. Di lahan pasang surut persentase penerapan teknologi PHT b. Di lahan sawah irigasi persentase penerapan teknologi penggunaan benih bersertifikat dan pembersihan & sortasi biji c. Di lahan kering persentase penerapan teknologi pengolahan tanah, pemupukan sesuai rekomendasi, PHT, pembersihan & sortasi biji dan rouging.
5.
Terdapat korelasi positif dan hubungan yang kuat antara persentase penggunaan teknologi (pengolahan tanah, pemupukan, pembersihan & sortasi biji dan rouging) dengan produksi hasil yang berupa benih di
56
lahan kering. Semakin banyak persentase petani yang menerapkan teknologi tersebut semakin tinggi produksi hasil yang berupa benih.
5.2. SARAN 1.
Tanaman kedelai dapat tumbuh di berbagai agroekologi lahan dengan jenis tanah, kesuburan tanah, iklim, dan pola tanam yang berbeda sehingga untuk produksi benih kedelai memerlukan rekomendasi teknologi yang spesifik lokasi.
2.
Diperlukan subsidi output untuk kegiatan usahatani penangkar benih kedelai dan gudang penyimpanan benih yang dapat menampung hasil panen yang berupa benih pada saat hasil melimpah.
57
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman A, Mulyani A, dan Wijanarko A. 2007. Sumberdaya Lahan untuk Kedelai di Indonesia. Dalam Kedelai : Teknik Produksi dan Pengembangannya. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Hal 168 – 184 Adie M. dan Yardha. 2008. Pengembangan Kedelai di Provinsi Jambi Melalui Penyediaan Varietas Spesifik Lokasi. Prosiding Lokakarya Nasional Percepatan Penerapan IPTEK dan Inovasi Teknologi Mendukung Ketahanan Pangan dan Revitaslisasi Pembangunan Pertanian Jambi, 11-12 Desember 2007. Adiningsih, J.S. dan M. Sudjadi. 1993. Peranan sistem bertanam lorong (alley cropping) dalam meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering masam. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Alimoeso, S. 2006. Tahun 2006, Deptan RI Canangkan Program Bangkit Kedelai. Dalam www.jabar.go.id, 1 Juni 2006. Asngari, P.S. 2001. Peranan Agen Pembaharuan/pPenyuluh dalam Usaha Memberdayakan (empowerment) Sumber Daya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Bogor : IPB. Atman. 2006. Pengembangan kedelai di lahan masam. Harian Singgalang, Kamis, 27 Juli 2006. [BALITKABI] Balai Penelitian Tanaman Kacang kacangan dan Umbi-umbian. 2007. Diskripsi Varietas Unggul Kacang kacangan dan Umbi umbian. [BALITKABI] Balai Penelitian Tanaman Kacang kacangan dan Umbi-umbian. 2008. Teknologi Produksi Kedelai, Kacang tanah, Kacang Hijau, Umbi Kayu, dan Umbi Jalar. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jambi. 2000. Rencana Induk/Master Plan Pengembagan Kawasan Sentra Produksi Propinsi Jambi Bagian Tengah 2000-2010. Pemerintah Daerah Provinsi Jambi, Badan Perencanaan Pembangunan. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Jambi Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Ketersediaan Teknologi dalam Mendukung Peningkatan Produksi Kedelai Menuju Swasembada.
58
Darman M. A. 2007. Pemberdayaan Kelompok Tani Sebagai Penangkar Benih Padi dan Palawija. Proseding Lokakarya Nasional Akselerasi Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Pembangunan Berawal dari Desa. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2005. Luas penggunaannya. Dalam www.deptan.go.id. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi. Tanaman Pangan dan hortikultura
lahan
2008.
kering
menurut
Data Pertanian
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi. 2009. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov. Jambi, Jambi. Djafar ZR. 1992. Potensi lahan rawa lebak untuk pencapaian dan pelestarian swasembada pangan. Makalah Seminar Nasional Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. UNSRI Palembang Hairiah K, Widianto, dan Suprayogo D. 2005. Dapatkah pengembangan budidaya tanaman pangan pada tanah masam selaras dengan konsep pertanian sehat?. Dalam Makarim, et al. (penyunting). Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Sub-optimal. Puslitbangtan Bogor, 2005; 87- 116 hlm. Halim N.R. 1992. Hubungan Karakteristik Sosial ekonomi dengan Perilaku Komunikasi Anggota Kelompok Simpan Pinjam KUD dan Pemanfaatan Kredit Pedesaan di Kabupaten Cianjur jawa Barat (tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Harnowo H, Sudaryono, dan Nila Prasetyawati . 2007. Sistem penyediaan benih bermutu, peran kelembagaan tani, dan tata niaga kedelai di Kabupaten Lampung Tengah. Hidayat A, Mulyani A. 2002. Lahan Kering untuk Pertanian. Di dalam: Adimihardja A, Mappaona, Saleh A (Penyunting). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Bogor: Puslitbangtanak. hlm 1-34. Hidayat R, Harnoto, Mahmud M, dan Sumarno. 2000. Teknologi Produksi Benih Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hilman Y. 2005. Teknologi produksi kedelai di lahan kering masam. Dalam Makarim, et al. (penyunting). Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Sub-optimal. Puslitbangtan Bogor, 2005; 78- 86 hlm
59
Jumakir dan Abdullah Taufiq. 2010. Kajian Teknologi Budidaya dan Kelayakan Ekonomi Usahatani Kedelai dengan Pendekatan Pengelolaaan Tanaman Terpadu di Provinsi Jambi. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 13, Nomor 1, Maret 2010 Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Acuan Untuk Pelajar,Mahasiswa, Dosen, Penyuluh, Pekerja Sosial, Penentu Kebijakan, dan Peminat Ilmu/Kegiatan Penyuluhan Pembangunan. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. New York: Academic Press. Middlebrook, 1974. Social Psychology adn Modern Life. Alfred Knopf Inc. New York. Mugnisjah W.Q. dan Setiawan A. 1995. Produksi Benih. Bumi Aksara. Jakarta.130 hal. Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, danImplementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nelly M. 1988. “Hubungan Beberapa Karakteristik Social Ekonomi dan Perilaku Petani Mengadopsi Rumput Unggul di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.” Tesis Magíster Sains, Sekolah Pascasarjana, IPB. Padmowihardjo S. 1994. Psikologi Belajar Mengajar. Materi Pokok LUHT 4232/2SKS/Modul 1-6. Yakarta: Universitas Terbuka. Rogers & Shoemaker (1971) Rogers E. M and F. F. Shoemaker. Communication of Innovations. The free Press. New York.
1971.
Sadjad S. 1993. Dari Benih Kepada Benih PT. Gramedia Widiasarana Indonesia Jakarta. Santoso, D. dan A. Sofyan. 2005. Pengelolaan hara tanaman pada lahan kering. hlm. 73− 100. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Santoso, D., I P.G. Wigena, Z. Eusof, and C. Xuhui. 1995. The Asian land management of sloping lands network: Nutrient balance study on sloping land. p. 103−108. In A. Maglinao and A. Sajjapongse (Eds.). International Workshop on Conservation Farming for Sloping Upland in South East Asia: Challenge, Opportunities, and Prospects. IBSRAM Proc. No. 14. Bangkok, Thailand.
60
Santosa P. B dan Ashari. 2005. Analisis statistik dengan microsof exel dan SPSS. Penerbit Andi Yogyakarta. Soeharno, B; N. Izhar, Mugiyanto, dan A. Irianto. 1998. Karakteristik Kesesuaian Lahan Agroekosistem Wilayah Provinsi Jambi. Instansi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Soepardi, H.G. 2001. Strategi usaha tani agribisnis berbasis sumber daya lahan. hlm. 35− 52. Prosiding Nasional Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Pupuk Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Subagyono, K., U. Haryati, dan S.H. Talao'ohu. 2004. Teknologi konservasi air pada pertanian lahan kering. hlm. 151−188. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Sudaryanto, T. dan Swastika. 2007. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Dalam Kedelai : Teknik Produksi dan Pengembangannya. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Hal 1–23. Sumarno dan Harnoto. 1995. Kedelai dan cara bercocok tanamnya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Buletin Teknik 6:53 hal. Sumarno. 1995. Soybean Variety Development in Indonesia dalam: van Amstel, H., Bottena, J.W.T., Sidik, M., dan Van Santen, CE. Eds. Integrating Seed Systems for Annual Food Crops. Proceedings of a workshop Held in Malang, Indonesia. CGPRT No. 32. Bogor. The CGPRT Centre Sumarno. 2005. Strategi pengembangan kedelai di lahan masam. Dalam Makarim, et al. (penyunting). Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Suboptimal. Puslitbangtan Bogor, 2005; 37-46 hlm. Suriadikarta, D.A., T. Prihatini, D. Setyorini, dan W. Hartatiek. 2002. Teknologi pengelolaan bahan organik tanah. hlm. 183−238. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Taufiq, Wijanarko A, Marwoto, Adisarwanto T, Cipto Prahoro, 2007. Verifikasi Efektifitas Teknologi Produksi Kedelai Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (Ptt) Di Lahan Pasang Surut. Laporan Akhir Penelitian Balitkabi Malang. Widjaya Adhi IPG, K Nugroho, D Ardi dan AS Karama. 1992. Sumber daya lahan rawa :Potensi, keterbatasan dan pemanfaatan. Prosiding: Pengembangan Terpadu PertanianLahan Rawa Pasang Surut dan Lebak
61
Winkel, W.S. 1986. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Wiraatmadja, S. 1990. Pokok-Pokok Penyuluhan Pembangunan. Jakarta: C.V. Jasaguna. Wirawan, B. dan S. Wahyuni. 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat : Padi, Jagung, Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. 120 hal. Zaini, Z. 2005. Prospek pengembangan kedelai di lahan kering masam. Dalam Makarim, et al. (penyunting). Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Sub-optimal. Puslitbangtan Bogor, 2005; 47- 54 hlm.
62
LAMPIRAN
63
Lampiran 1. Deskripsi kedelai varietas anjasmoro Nama varietas Kategori SK Tahun Tetua Potensi hasil Pemulia
Nomor galur Warna Hipokotil Warna epikotil Warna daun Warna Bulu Warna Bunga Warna polong masak Warna kulit biji Warna Hilum Tipe tumbuh Bentuk Daun Ukuran daun Perkecambahan Tinggi Tanaman Jumlah cabang Jumlah buku pada batang utama Umur Berbunga Umur masak Bobot 100 biji Kandungan protein biji Kandungan lemak Ketahanan terhadap kerebahan Ketahanan terhadap karat daun Ketahanan terhadap pecah polong
: Anjasmoro : Varietas ungggul nasional (released variety) : 537/Kpts/TP.240/10/2001 tanggal 22 Oktober tahun 2001 : 2001 : Seleksi massa dari populasi galur murni MANSURIA : 2,25-2,03 ton/ha : Takashi Sanbuichi, Nagaaki Sekiya, Jamaludin M, Susanto, Darman M.Arsyad, Muchlis Adie : MANSURIA 359-49-4 : Ungu : Ungu : Hijau : Putih : Ungu : Coklat muda : Kuning : Kuning kecoklatan : Determinate : Oval : Lebar : 78-76% : 64-68 cm : 2,9- 5,6 : 12,9-14,8 : 35,7-39,4 Hari : 82,5-92,5 hari : 14,8-15,3 gram : 41,78 – 42,05% : 17,12 – 18,60% : Tahan rebah : Sedang : Tahan
64
Lampiran 2 . Karakteristik petani penangkar di lahan pasang surut NO A
URAIAN Usia (tahun)
RESPONDEN 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
4
3
2
2
2
2
3
3
2
3
2
2
2
3
3
2
3
3
3
3
7
4
5
6
4
5
6
4
4
4
5
4
2
4
2
2
4
2
4
2
5
3
2
4
2
2
4
2
3
2
5
4
2
4
2
2
4
2
4
2
1 = < 30 2 = 30 - 50 3 = > 60 B
Pendidikan 1 = Tidak tamat SD 2 = Tamat SD / sederajat 3 = Tamat SMTP / sederajat 4 = Tamat SLTA / sederajat 5 = Tamat S1
C
Jumlah Anggota Keluarga 1=<3 2 = 3-4
D
3=>4 Pengalaman Usaha Tani Kedelai (tahun) 1=<5 2 = 5-10
E
3 = > 10 Pengalaman Usaha Tani Penangkaran Benih Kedelai (tahun) 1=<2 2 = 2-4
F
3=>4 Pengalaman Usaha Tani Benih Besrsertifikat (tahun) 1=<2 2 = 2-4
G
3=>4 Pelatihan Produksi Benih Kedelai (kali) 1=<2 2 = 2-4 3=>4
Sumber data : Data Primer Kajian Produksi Benih Kedelai pada Beberapa Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi, 2010
65
Lampiran 3. Karakteristik petani penangkar di lahan sawah irigasi NO A
URAIAN Usia (tahun)
RESPONDEN 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
2
2
3
2
2
1
3
2
2
3
2
2
2
2
3
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
3
4
3
4
5
6
5
4
5
5
4
4
3
2
4
4
4
3
2
2
4
3
3
2
3
4
4
2
1
2
3
4
3
2
4
4
4
3
2
2
4
1 = < 30 2 = 30 - 50 3 = > 60 B
Pendidikan 1 = Tidak tamat SD 2 = Tamat SD / sederajat 3 = Tamat SMTP / sederajat 4 = Tamat SLTA / sederajat 5 = Tamat S1
C
Jumlah Anggota Keluarga 1=<3 2 = 3-4
D
3=>4 Pengalaman Usaha Tani Kedelai (tahun) 1=<5 2 = 5-10
E
3 = > 10 Pengalaman Usaha Tani Penangkaran Benih Kedelai (tahun) 1=<2 2 = 2-4
F
3=>4 Pengalaman Usaha Tani Benih Besrsertifikat (tahun) 1=<2 2 = 2-4
G
3=>4 Pelatihan Produksi Benih Kedelai (kali) 1=<2 2 = 2-4 3=>4
Sumber data : Data Primer Kajian Produksi Benih Kedelai pada Beberapa Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi, 2010
66
Lampiran 4 . Karakteristik petani penangkar di lahan kering NO A
URAIAN Usia (tahun)
RESPONDEN 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
3
2
2
2
2
2
2
2
2
3
3
3
2
3
2
2
2
4
4
2
2
2
2
2
2
2
2
2
3
8
6
6
6
7
5
6
7
4
6
5
5
5
4
5
3
4
5
2
4
4
4
4
2
3
3
3
3
2
3
5
5
5
4
5
3
4
5
2
4
1 = < 30 2 = 30 - 50 3 = > 60 B
Pendidikan 1 = Tidak tamat SD 2 = Tamat SD / sederajat 3 = Tamat SMTP / sederajat 4 = Tamat SLTA / sederajat 5 = Tamat S1
C
Jumlah Anggota Keluarga 1=<3 2 = 3-4
D
3=>4 Pengalaman Usaha Tani Kedelai (tahun) 1=<5 2 = 5-10
E
3 = > 10 Pengalaman Usaha Tani Penangkaran Benih Kedelai (tahun) 1=<2 2 = 2-4
F
3=>4 Pengalaman Usaha Tani Benih Besrsertifikat (tahun) 1=<2 2 = 2-4
G
3=>4 Pelatihan Produksi Benih Kedelai (kali) 1=<2 2 = 2-4 3=>4
Sumber data : Data Primer Kajian Produksi Benih Kedelai pada Beberapa Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi, 2010
67
Lampiran 5. Tingkat penggunaan teknologi petani penangkar di lahan pasang surut NO A
C
D
E
F
G
H
I
URAIAN Teknologi penggunaan benih 1 Menggunakan benih Unggul 2 Menggunakan benih bersertifikat Persiapan Lahan 3 Melakukan pengolahan Tanah 4 Melakukan Perataan Tanah Penanaman Apakah jarak tanam ditentukan antar 5 baris dan antar benih Jarak tanam sesuai dengan anjuran 6 pemerintah Pemupukan 7 Menggunakan pupuk Pemupukan dilakukan sesuai 8 rekomendasi 9 Pemupukan berdasarkan analisa tanah Pengendalian Hama dan Penyakit Ada usaha untuk pencegahan serangan 10 Hama dan penyakit sebelum menyerang Melakukan PHT (pengendalian hama 11 terpadu) Seleksi 12 Apakah melakukan roguing 13 Melakukan seleksi vegetatif 14 Melakukan seleksi generatif Pasca Panen Pengeringan brangkasan dilakukan 15 setelah panen 16 Melakukan pembijian dengan mesin 17 Melakukan pembersihan dan sortasi biji 18 Melakukan pengemasan benih 19 Melakukan penyimpanan benih Pengujian Mutu 20 Dilakukan pemeriksaan lapangan Pemeriksaan lapangan dilakukan 21 pegawai BPSB Apakah melakukan pengujian 22 laboratorium
RESPONDEN 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
5 5
5 5
5 5
4 5
5 5
5 5
4 4
5 5
4 4
4 4
2 4
1 3
2 4
1 2
1 3
1 2
1 2
1 3
1 2
1 2
5
5
5
4
5
4
5
4
4
4
5
4
5
4
4
3
4
4
3
3
5
5
5
4
5
5
4
4
4
4
4
3
4
3
3
4
3
3
3
4
2
1
2
1
1
1
1
1
1
1
4
4
5
3
4
3
2
3
3
2
5
4
5
4
4
4
4
4
3
3
5 5 5
5 4 5
5 5 5
5 5 5
5 5 4
5 4 5
4 5 4
4 5 4
4 5 3
4 3 3
5
5
5
5
5
5
5
4
5
4
5 5 5 5
5 5 5 3
5 5 5 5
4 4 4 5
5 5 5 5
4 4 4 4
4 4 5 5
5 5 4 3
4 4 4 4
3 4 4 3
5
5
5
4
5
5
5
3
3
3
5
5
5
4
5
5
4
4
5
4
5
5
5
4
5
5
5
5
4
4
Sumber data : Data Primer Kajian Produksi Benih Kedelai pada Beberapa Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi, 2010
Keterangan skoring 1 = Tidak pernah atau rendah sekali 2 = Jarang atau rendah 3 = Kadang – kadang atau cukup tinggi 4 = Sering atau tinggi 5 = Selalu atau sangat tinggi
68
Lampiran 6. Tingkat penggunaan teknologi petani penangkar di lahan sawah irigasi NO A
C
D
E
F
G
H
I
URAIAN Teknologi penggunaan benih 1 Menggunakan benih Unggul 2 Menggunakan benih bersertifikat Persiapan Lahan 3 Melakukan pengolahan Tanah 4 Melakukan Perataan Tanah Penanaman Apakah jarak tanam ditentukan antar baris 5 dan antar benih Jarak tanam sesuai dengan anjuran 6 pemerintah Pemupukan 7 Menggunakan pupuk 8 Pemupukan dilakukan sesuai rekomendasi 9 Pemupukan berdasarkan analisa tanah Pengendalian Hama dan Penyakit Ada usaha untuk pencegahan serangan 10 Hama dan penyakit sebelum menyerang Melakukan PHT (pengendalian hama 11 terpadu) Seleksi 12 Apakah melakukan roguing 13 Melakukan seleksi vegetatif 14 Melakukan seleksi generatif Pasca Panen Pengeringan brangkasan dilakukan setelah 15 panen 16 Melakukan pembijian dengan mesin 17 Melakukan pembersihan dan sortasi biji 18 Melakukan pengemasan benih 19 Melakukan penyimpanan benih Pengujian Mutu 20 Dilakukan pemeriksaan lapangan Pemeriksaan lapangan dilakukan pegawai 21 BPSB Apakah melakukan pengujian 22 laboratorium
RESPONDEN 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
5 5
4 4
4 4
5 5
5 5
5 5
5 5
5 5
5 5
5 5
1 3
1 3
1 3
1 3
2 4
1 4
1 3
2 4
1 3
1 3
5
3
4
4
5
4
5
5
5
4
3
2
2
3
4
3
3
2
2
3
5 3 1
3 3 1
4 3 2
5 3 2
5 4 1
5 4 2
5 3 1
4 3 2
4 3 1
5 4 1
5
3
3
5
5
5
5
4
4
5
4
2
3
4
4
4
4
4
3
4
5 5 5
4 4 3
4 3 3
5 4 5
5 5 5
5 5 4
5 4 5
5 4 5
4 4 4
5 5 3
5
4
4
5
5
5
5
5
5
5
4 5 5 5
3 4 4 4
3 4 4 3
4 5 5 4
5 5 5 5
4 5 5 5
4 4 5 5
4 5 5 3
4 5 4 3
4 5 5 3
5
4
4
5
5
5
5
5
5
5
5
4
4
5
5
5
5
5
5
5
5
4
4
5
5
4
5
5
5
5
Sumber data : Data Primer Kajian Produksi Benih Kedelai pada Beberapa Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi, 2010
Keterangan skoring 1 = Tidak pernah atau rendah sekali 2 = Jarang atau rendah 3 = Kadang – kadang atau cukup tinggi 4 = Sering atau tinggi 5 = Selalu atau sangat tinggi
69
Lampiran 7. Tingkat penggunaan teknologi petani penangkar di lahan kering NO A
C
D
E
F
G
H
I
URAIAN Teknologi penggunaan benih 1 Menggunakan benih Unggul 2 Menggunakan benih bersertifikat Persiapan Lahan 3 Melakukan pengolahan Tanah 4 Melakukan Perataan Tanah Penanaman Apakah jarak tanam ditentukan antar baris 5 dan antar benih Jarak tanam sesuai dengan anjuran 6 pemerintah Pemupukan 7 Menggunakan pupuk 8 Pemupukan dilakukan sesuai rekomendasi 9 Pemupukan berdasarkan analisa tanah Pengendalian Hama dan Penyakit Ada usaha untuk pencegahan serangan 10 Hama dan penyakit sebelum menyerang Melakukan PHT (pengendalian hama 11 terpadu) Seleksi 12 Apakah melakukan roguing 13 Melakukan seleksi vegetatif 14 Melakukan seleksi generatif Pasca Panen Pengeringan brangkasan dilakukan setelah 15 panen 16 Melakukan pembijian dengan mesin 17 Melakukan pembersihan dan sortasi biji 18 Melakukan pengemasan benih 19 Melakukan penyimpanan benih Pengujian Mutu 20 Dilakukan pemeriksaan lapangan Pemeriksaan lapangan dilakukan pegawai 21 BPSB 22 Apakah melakukan pengujian laboratorium
RESPONDEN 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
5 5
5 5
4 4
5 5
4 4
5 5
5 5
4 4
4 4
5 5
2 4
1 3
2 4
1 3
2 3
1 3
1 3
1 4
1 3
1 3
5
5
5
4
5
5
4
5
3
5
4
2
4
2
3
2
2
3
2
2
3 2 3
2 1 1
3 2 2
1 1 1
3 1 1
2 1 1
1 1 1
3 2 2
1 1 1
2 1 1
4
3
3
3
3
3
3
3
2
3
3
2
2
2
2
2
2
2
1
2
5 5 5
5 5 5
5 5 5
5 5 5
5 5 5
4 5 4
5 5 5
5 5 5
4 4 4
5 5 5
5
5
5
4
5
4
5
5
4
5
4 5 5 5
3 5 5 5
4 5 5 4
4 5 5 4
4 5 5 4
4 4 5 4
4 5 4 4
4 5 4 4
3 4 4 3
4 5 4 4
5
4
5
5
5
4
5
5
4
5
5
4
5
5
5
5
5
5
4
5
5
5
5
4
5
5
5
5
4
5
Sumber data : Data Primer Kajian Produksi Benih Kedelai pada Beberapa Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi, 2010
Keterangan skoring 1 = Tidak pernah atau rendah sekali 2 = Jarang atau rendah 3 = Kadang – kadang atau cukup 4 = Sering atau tinggi 5 = Selalu atau sangat tinggi
70
Lampiran 8. Persentase penggunaan teknologi petani penangkar di tiga agroekologi lahan No
Teknologi Budidaya
A
Persentase Penggunaan Teknologi (%) L. Pasang L. Sawah L. Kering Surut irigasi
Benih
C
1. Benih Unggul
94.00
96.00
92.00
2. Benih bersertifikat
94.00
96.00
92.00
3. Pengolahan Tanah
24.00
24.00
26.00
4. Perataan Tanah
54.00
66.00
66.00
5. Jarak tanam ditentukan
90.00
88.00
92.00
6. Jarak tanam sesuai rekomendasi
78.00
54.00
52.00
7. Menggunakan pupuk
90.00
90.00
42.00
8. Sesuai rekomendasi
68.00
66.00
26.00
9. Analisa tanah
24.00
28.00
28.00
10. Ada usaha pencegahan
66.00
88.00
60.00
11. Melakukan PHT
80.00
72.00
40.00
12. Pengeringan brangkasan setelah panen
96.00
96.00
94.00
13. Pembijian dengan mesin
88.00
78.00
76.00
14. Pembersihan dan sortasi biji
90.00
94.00
96.00
15. Pengemasan benih
90.00
94.00
92.00
16. Penyimpanan benih
84.00
80.00
82.00
17. Roguing
92.00
94.00
96.00
18. Seleksi vegetatif
92.00
86.00
98.00
19. Seleksi generatif
86.00
84.00
96.00
20. Pemeriksaan lapangan
86.00
96.00
94.00
21. Pemeriksaan BPSB
92.00
96.00
96.00
Penyiapan Lahan
D
Tanam
E
Pemupukan
G
Pengendalian Hama dan Penyakit
I
Pasca Panen
J
Roguing/Seleksi
G
Pengujian Mutu
22. Uji laboratorium 94.00 94.00 Sumber data : Data Primer Kajian Produksi Benih Kedelai pada Beberapa Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi, 2010
Keterangan : -
Angka
0% -
20 % = Tidak pernah atau rendah sekali
-
Angka 21 % - 40 % = Jarang atau rendah
-
Angka 41 % - 60 % = Kadang kadang atau Cukup
-
Angka 61 % - 80 % = Sering atau tinggi
-
Angka 81 % - 100 % = Selalu atau sangat tinggi
96.00
71
Lampiran 9. Analisis usaha tani produksi benih kedelai di lahan pasang surut No A
Uraian Biaya produksi 1 Bibit: benih (kg) 2 Pupuk dan kapur a. Urea (kg) b. SP-36 (kg) c. KCl (kg) d. Kapur (kg) e. Marshal (g) f. PONSKA (kg) g. Pupuk Kandang (kg) h. Pupuk Cair (liter) 3 Pestisida a. Insectisida (liter) b. Fungisida (liter) c. Herbisida (liter) 4 Tenaga kerja a. Pengolahan tanah (HOK) / Borong HKP HKW b. Perataan tanah (HOK) HKP HKW c. Pemberian kapur (HOK) HKP HKW d. Penanaman (HOK) HKP HKW g. Penyiangan-pembumbunan (HOK) HKP HKW h. Penyemprotan (HOK) HKP HKW i. Pengairan (HOK) HKP HKW j. Menyulam (HOK) HKP HKW k. Memupuk (HOK) HKP HKW 5 Panen dan pasca panen
Volume
RATA RATA H. Satuan
Total 5,936,560 516,000 1,340,000 181,000 187,500 180,000 205,000
43.00
12,000
90.50 75.00 60.00 410.00
2,000 2,500 3,000 500
80.00 875.00 2.10
3,000 300 40,000
5.50 0.00 7.40
80,000 37,300 39,400
0.00 0.00
50,000 40,000
5.80 2.10
50,000 40,000
2.10 0.00
50,000 40,000
4.70 11.20
50,000 40,000
6.20 2.50
50,000 40,000
7.30 0.50
50,000 40,000
0.00 0.00
50,000 40,000
0.00 0.00
50,000 40,000
4.90 3.80 1.00
50,000 40,000 995,000
240,000 262,500 84,000 731,560 440,000 0 291,560 2,354,000 0 0 0 374,000 290,000 84,000 105,000 105,000 0 683,000 235,000 448,000 410,000 310,000 100,000 385,000 365,000 20,000 0 0 0 0 0 0 397,000 245,000 152,000 995,000
1,545.00 1,060.00 485.00
11,250 9,000 4,500
11,722,500 9,540,000 2,182,500
B
Pendapatan Benih Non Benih
C
Keuntungan (Gross Margin)
5,785,940
D
Parameter kelayakan usaha 1 B/C Ratio 2 R/C 3 BEP yield /TIP (kg/ha) 4 BEP Price/TIH (Rp/kg) 5 Margin/kg
0.97 1.97 527.69 3,842.43 3,744.94
Sumber data : Data Primer Kajian Produksi Benih Kedelai pada Beberapa Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi, 2010
72
Lampiran 10. Analisis usaha tani produksi benih kedelai di lahan sawah irigasi No A
Uraian Biaya produksi 1 Bibit: benih (kg) 2 Pupuk dan kapur a. Urea (kg) b. SP-36 (kg) c. KCl (kg) d. Kapur (kg) e. Marshal (g) f. PONSKA (kg) g. Pupuk Kandang (kg) h. Pupuk Cair (liter) 3 Pestisida a. Insectisida (liter) b. Fungisida (liter) c. Herbisida (liter) 4 Tenaga kerja a. Pengolahan tanah (HOK) / Borong HKP HKW b. Perataan tanah (HOK) HKP HKW c. Pemberian kapur (HOK) HKP HKW d. Penanaman (HOK) HKP HKW g. Penyiangan-pembumbunan (HOK) HKP HKW h. Penyemprotan (HOK) HKP HKW i. Pengairan (HOK) HKP HKW j. Menyulam (HOK) HKP HKW k. Memupuk (HOK) HKP HKW 5 Panen dan pasca panen
Volume
RATA RATA H. Satuan
Total 4,782,500 675,000 1,096,500 220,000 253,000 28,000 205,000 0
45.00
15,000
110.00 110.00 10.00 410.00 0.00 0.00 685.00 0.80
2,000 2,300 2,800 500 150 500 60,000
3.20 0.00 3.50
70,000 50,000 60,000
0.00 0.00
50,000 40,000
6.20 0.20
50,000 40,000
2.00 0.00
50,000 40,000
4.00 8.70
50,000 40,000
2.50 2.60
50,000 40,000
4.90 0.00
50,000 40,000
1.70 0.00
50,000 40,000
0.00 0.00
50,000 40,000
3.40 0.80 1.00
50,000 40,000 850,000
342,500 48,000 434,000 224,000 0 210,000 1,727,000 0 0 0 318,000 310,000 8,000 100,000 100,000 0 548,000 200,000 348,000 229,000 125,000 104,000 245,000 245,000 0 85,000 85,000 0 0 0 0 202,000 170,000 32,000 850,000
1,305.00 920.00 385.00
11,000 8,000 6,000
9,670,000 7,360,000 2,310,000
B
Pendapatan Benih Non Benih
C
Keuntungan (Gross Margin)
4,887,500
D
Parameter kelayakan usaha 1 B/C Ratio 2 R/C 3 BEP yield /TIP (kg/ha) 4 BEP Price/TIH (Rp/kg) 5 Margin/kg
1.02 2.02 434.77 3,664.75 3,745.21
Sumber data : Data Primer Kajian Produksi Benih Kedelai pada Beberapa Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi, 2010
73
Lampiran 11. Analisis usaha tani produksi benih kedelai di lahan kering No A
Uraian Biaya produksi 1 Bibit: benih (kg) 2 Pupuk dan kapur a. Urea (kg) b. SP-36 (kg) c. KCl (kg) d. Kapur (kg) e. Marshal (g) f. PONSKA (kg) g. Pupuk Kandang (kg) h. Pupuk Cair (liter) 3 Pestisida a. Insectisida (liter) b. Fungisida (liter) c. Herbisida (liter) 4 Tenaga kerja a. Pengolahan tanah (HOK) / Borong HKP HKW b. Perataan tanah (HOK) HKP HKW c. Pemberian kapur (HOK) HKP HKW d. Penanaman (HOK) HKP HKW g. Penyiangan-pembumbunan (HOK) HKP HKW h. Penyemprotan (HOK) HKP HKW i. Pengairan (HOK) HKP HKW j. Menyulam (HOK) HKP HKW k. Memupuk (HOK) HKP HKW 5 Panen dan pasca panen
Volume
RATA RATA H. Satuan
41.50
12,000
4.00 4.00 3.50 0.00 0.00 5.00 490.00 1.90
2,100 2,500 2,500
2,500 500 45,000
Total 4,452,650 498,000 370,150 8,400 10,000 8,750
12,500 245,000 85,500 497,500 348,000
2.90 0.00 2.30
120,000
0.20 0.00
50,000 40,000
3.60 0.00
50,000 40,000
0.00 0.00
50,000 40,000
9.10 18.80
50,000 40,000
4.00 6.40
50,000 40,000
2.10 0.00
50,000 40,000
0.00 0.00
50,000 40,000
0.00 0.00
50,000 40,000
0.70 0.10 1.00
50,000 40,000 1,090,000
149,500 1,997,000 10,000 10,000 0 180,000 180,000 0 0 0 0 1,207,000 455,000 752,000 456,000 200,000 256,000 105,000 105,000 0 0 0 0 0 0 0 39,000 35,000 4,000 1,090,000
1,235.00 780.00 455.00
10,500 8,000 5,000
8,515,000 6,240,000 2,275,000
65,000
B
Pendapatan Benih Non Benih
C
Keuntungan (Gross Margin)
4,062,350
D
Parameter kelayakan usaha 1 B/C Ratio 2 R/C 3 BEP yield /TIP (kg/ha) 4 BEP Price/TIH (Rp/kg) 5 Margin/kg
0.91 1.91 424.06 3,605.38 3,289.35
Sumber data : Data Primer Kajian Produksi Benih Kedelai pada Beberapa Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi, 2010
74
Lampiran 12. Analisis korelasi antara persentase penggunaan teknologi dengan pendapatan di tiga agroekologi lahan Pendapatan (Rp/Ha) Teknologi Menggunakan benih bersertifikat
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Melakukan pengolahan Correlation Coefficient Tanah Sig. (2-tailed) N Pemupukan dilakukan Correlation Coefficient sesuai rekomendasi Sig. (2-tailed) N Melakukan PHT Correlation Coefficient (pengendalian hama Sig. (2-tailed) terpadu) N Pembersihan dan sortasi Correlation Coefficient biji Sig. (2-tailed) N Apakah melakukan Correlation Coefficient roguing Sig. (2-tailed) N Keterangan: **) sangat nyata pada p ≤ 0.01 *) nyata pada p ≤ 0.05
Pasang Surut Sawah Irigasi .309 .386 10 .354 .316 10 -.072 .843 10 .643* .045 10 .141 .697 10 .505 .136 10
.703* .023 10 .571 .085 10 .422 .225 10 .601 .066 10 .805** .005 10 .575 .082 10
Kering -.215 .551 10 .690* .027 10 .690* .027 10 .707* .022 10 .703* .023 10 .703* .023 10
75
Lampiran 13 Analisis korelasi antara persentase penggunaan teknologi dengan produksi hasil berupa benih di tiga agroekologi lahan Teknologi Menggunakan benih bersertifikat
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Melakukan pengolahan Tanah Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Pemupukan dilakukan sesuai Correlation Coefficient rekomendasi Sig. (2-tailed) N Melakukan PHT (pengendalian Correlation Coefficient hama terpadu) Sig. (2-tailed) N Pembersihan dan sortasi biji Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Apakah melakukan roguing Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Keterangan: **) sangat nyata pada p ≤ 0.01 *) nyata pada p ≤ 0.05
Produtivitas Benih (Kg/Ha) Pasang Surut Sawah Irigasi Kering .193 .593 10 .265 .459 10 -.217 .548 10 .503 .138 10 .212 .556 10 .433 .211 10
.395 .258 10 .044 .904 10 .613 .059 10 .454 .188 10 .498 .143 10 .498 .143 10
-.223 .536 10 .715* .020 10 .715* .020 10 .570 .086 10 .637* .048 10 .637* .048 10
76
Lampiran 14 Standar lapangan sertifikasi benih kedelai Kelas benih Benih Dasar Benih Pokok Benih Sebar Benih Merah Jambu BMJ
Isolasi Jarak (m) Waktu 8 15 8 15 8 15 8 15 8 15
Campuran varietas lain dan tipe simpang maksimum (%) 0,1 0,2 0,5 0,7 1,0
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jambi, 2009
Lampiran 15 Standar laboratorium sertifikasi benih kedelai. Kadar Benih Kotaran Varietas Daya Benih Kelas Benih air murni benih lain tumbuh warnalain (% maks) (% min) (% maks) (% maks) (% min) (% min) Benih Dasar 11 98,0 2,0 0,1 80,0 Benih Pokok 11 98,0 2,0 0,2 80,0 Benih Sebar 11 97,0 3,0 0,5 80,0 Benih Merah 11 97,0 3,0 0,7 70,0 Jambu BMJ 11 97,0 3,0 1,0 70,0 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jambi, 2009
Tabel 16. Jarak tanam kedelai pada berbagai keadaan lingkungan Lingkungan a. Tanah kurus atau air kurang
b. Kesuburan tanah sedang, pengairan cukup
c. Tanah subur, pengairan cukup
Jarak tanam (cm x cm) 10 x 35 10 x 40 20 x 20 15 x 25 10 x 50 5 x 50 10 x 45 15 x 35 15 x 40 20 x 25 20 x 30 15 x 45 7,5 x 45 15 x 50 20 x 35 20 x 40 25 x 25 25 x 30
Keterangan : Ditanam satu benih per lubang tanam Sumber : Sumarno & Harnoto 1998
Populasi Tanaman/Ha 571.428 500.000 500.000 533.333 400.000 400.000 444.444 380.952 333.332 400.000 333.333 296.296 296.296 266.666 285.714 250.000 320.000 266.666
77