KERAGAAN HASIL DAN KOMPONEN HASIL BIJI KEDELAI PADA BERBAGAI AGROEKOLOGI M. Muchlish Adie dan Ayda Krisnawati Pemulia Kedelai Balitkabi, Kotak Pos 66 Malang
ABSTRAK Hasil biji kedelai merupakan karakter kuantitatif yang ekspresivitasnya ditentukan bersama oleh potensi genetik, kondisi lingkungan tumbuh, dan manajemen budidaya. Sebanyak 17 galur kedelai generasi lanjut dan tiga varietas pembanding IAC 100, Anjasmoro dan Grobogan diuji keragaan hasil dan komponen hasilnya di KP Genteng, KP Muneng, dan KP Ngale pada MK 2012. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok, dengan 20 perlakuan dan diulang tiga kali. Analisis ragam tergabung untuk hasil dan komponen hasil dari 20 genotipe kedelai menunjukkan lokasi, galur, dan interaksi antara galur dengan lokasi (G x L) nyata untuk seluruh karakter yang diamati. Artinya keunggulan setiap karakter tanaman berbeda pada setiap lokasi. Rata-rata komponen hasil di KP Muneng adalah umur masak 79 hari, tinggi tanaman 61,1 cm, bobot 100 biji 11,3 g dan hasil biji 2,04 t/ha. Di KP Genteng, rata-rata umur masak 79 hari, tinggi tanaman 53,5 cm, bobot 100 biji 14,4 g dan hasil biji 1,84 t/ha. Di KP Ngale, umur masak di bawah 80 hari, tinggi tanaman mencapai 66,9 cm, bobot 100 biji 15,2 g dan hasil biji 2,09 t/ha. Hasil biji varietas pembanding IAC 100, Anjasmoro dan Grobogan masing-masing 1,66; 1,68 dan 1,65 t/ha, lebih rendah dibandingkan rata-rata umum hasil biji (1,99 t/ha). Dengan batas seleksi 2,63 t/ha di Muneng hanya terseleksi satu galur, yakni Sinabung/Malabar-16, di Genteng dengan batas seleksi 2,16 t/ha hanya terseleksi satu galur, yaitu L.Jateng/Sinabung-85. Di Ngale dengan batas seleksi 2,09 t/ha, terpilih sebanyak tiga galur, yakni Sinabung/Argomulyo-10, Malabar/Sinabung-82, dan L.Jateng/Sinabung-85. Galur terseleksi pada masing-masing lokasi perlu diuji adaptasi pada beberapa sentra produksi kedelai. Kata kunci: Glycine max, kedelai, komponen hasil, hasil biji, batas seleksi
ABSTRACT Soybean yield performance and seed yield component on various agro ecology. Soybean yield is a quantitative character whose expression is determined by genotypic potential, environmental conditions, and management practice. A total of 17 advanced soybean lines and check varieties of IAC 100, Anjasmoro and Grobogan were checked for its variability and yield components in Muneng, Genteng, and Ngale Research Station during dry season 2012. Experiments using a randomized block design, with 20 treatments with three replicates. The combined analysis showed that lines, locations, and the interaction of lines and locations (G x L) were significantly different for all the observed characters, indicating that the superiority of each character was different at each location. The average of yield components in Muneng Research Station were 79 days for maturity day, 61.11 cm for plant height, 100 seed weight of 11.30 g and grain yield was 2.04 t/ha. At Genteng Research Station, the average of maturity was 79 days, 53.50 cm of plant height, 100 seed weight of 14.44 g and seed yield was 1.84 t/ha. At KP Ngale, maturity day of all tested genotypes were under 80 days, 100 seeds weight was 15.17 g and seed yield was 2.09 t/ha. The seed yields of all check varieties (IAC 100, Grobogan and Anjasmoro) were 1.66; 1.68 and 1.65 t/ha, respectively, and it was lower than the general average yield (1.99 t/ha). Based on the limit selection of 2.63 t ha, in Muneng was selected only one line that was Sinabung/Malabar-16. At Genteng, where the selection limit was 2.16 t/ha, selected only one line, that was L.Jateng/Sinabung-85. While in Ngale with a greater selection limit (2.09 t/ha) was selected three lines namely Sinabung/Argomulyo-10, Malabar/SiProsiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
7
nabung-82 and L.Jateng/Sinabung-85. The selected lines for each location is needed to be tested their adaptation at various soybean production centers in Indonesia. Keywords: Glycine max, soybean, yield component, seed yield, selection limit
PENDAHULUAN Sebagian besar varietas kedelai yang dilepas di Indonesia dirakit melalui proses persilangan (36 varietas), dan sisanya diperoleh melalui seleksi terhadap galur introduksi (19 varietas), seleksi terhadap varietas lokal (11 varietas) dan sebanyak tujuh varietas sisanya diperoleh melalui iradiasi. Hal ini menandakan bahwa perakitan varietas melalui persilangan lebih banyak. Secara umum tujuan dari pemuliaan kedelai di Indonesia adalah untuk meningkatkan potensi hasil dan menghasilkan stabilitas hasil yang maksimal. Hasil biji kedelai merupakan karakter kuantitatif yang sangat penting dalam pemuliaan kedelai yang bergantung kepada potensi genetik (G), kondisi lingkungan tumbuh (L) dan manajemen budidaya (M). Artinya, potensi genetik varietas kedelai (hasil biji) akan terekspresikan secara maksimal jika berada pada kondisi lingkungan yang sempurna. Namun kenyataan di lapang, menunjukkan kondisi tersebut jarang didapatkan, sehingga potensi hasil yang sebenarnya sangat bervariasi, paralel dengan kondisi lingkungan dan manajemen budi daya. Secara teoritis, produktivitas kedelai dapat mencapai >3 t/ha, yang didasarkan pada jumlah energi cahaya yang tersedia di lapang (Specht et al. 1999). Produktivitas kedelai dunia pada tahun 2011 rata-rata 2,32 t/ha (USDA 2013). Angka tersebut belum dicapai di negara-negara tropis seperti Indonesia yang memiliki produktivitas rata-rata nasional 1,36 t/ha (BPS 2012). Menurut Board et al. (1997), hasil kedelai pada dasarnya ditentukan oleh komponen hasil yang terdiri dari ukuran biji dan jumlah biji. Jumlah biji ditentukan oleh jumlah biji per polong dan jumlah polong. Jumlah polong dipengaruhi oleh jumlah polong per buku reproduktif, jumlah buku reproduktif, persentase buku reproduktif, dan jumlah buku. Dalam suatu varietas, superioritas tiap komponen hasil bervariasi, dan hasil biji merupakan kombinasi komponen hasil. Menurut Salimi dan Moradi (2012) karakter yang bernilai penting terhadap hasil biji kedelai adalah jumlah biji per tanaman. Beberapa kajian lain menyatakan bahwa jumlah polong per tanaman sebagai karakter penting menentukan hasil (Showkat dan Tyagi 2010; Machikowa dan Laosuwan 2011; Haghi et al. 2012). Ngalamu et al. (2012) menyebutkan bahwa jumlah polong per tanaman, jumlah biji per polong, luas daun, dan jumlah cabang merupakan karakter agronomi yang berkontribusi terhadap hasil. Pada dasarnya, dampak kemajuan genetik terhadap hasil biji kedelai telah dicapai melalui metode pemuliaan konservatif yang melibatkan hibridisasi dan seleksi fenotipik (Coryel et al. 1999). Pengujian galur harapan kedelai sangat penting untuk memastikan keunggulannya terhadap varietas yang telah ada dalam hal hasil maupun adaptasi pada lingkungan tertentu. Hasil biji merupakan karakter yang bersifat kompleks dan terdiri dari komponen sifat kuantitatif, yang ekspresinya ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan serta interaksinya. Oleh karena itu, variabilitas sifat kuantitatif disebabkan oleh variabilitas genetik, lingkungan, dan interaksi genetik dan lingkungan (Bos dan Caligari 1995). Genotipe ideal akan dievaluasi pada lingkungan yang berbeda sebagai dasar pemilihan galur yang diinginkan. Untuk dapat mengidentifikasi galur ideal tersebut, interaksi genotipe dan lingkungan menjadi perhatian para pemulia karena dapat mengacaukan pemilihan
8
Adie dan Krisnawati: Keragaan hasil biji kedelai pada berbagai agroekologi
genotipe unggul dengan mengubah produktivitas relatifnya dalam lingkungan yang berbeda (Eagles dan Frey 1977). Interaksi genotipe dan lingkungan untuk karakter hasil maupun komponen hasil telah banyak dilaporkan (Tyagi dan Khan 2009; Jandong et al. 2011; Tukamuhabwa et al. 2012). Menurut Baihaki dan Wicaksana (2005), ada atau tidak adanya interaksi antara genotipe dengan lingkungan yang luas, atau dengan wilayah spesifik merupakan hal yang sangat penting bagi para pemulia dalam menentukan genotipe tanaman yang akan digunakan atau digunakan dalam estimasi komponen varians suatu karakter tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk menilai keragaan hasil biji dan komponen hasil beberapa galur kedelai generasi lanjut.
BAHAN DAN METODE Bahan penelitian terdiri dari 17 galur kedelai generasi lanjut dan tiga varietas pembanding yaitu IAC 100, Anjasmoro dan Grobogan. Penelitian dilaksanakan di KP Genteng, KP Muneng, KP Ngale pada MK 2012. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok, dengan 20 perlakuan dan diulang tiga kali. Lahan yang digunakan adalah lahan sawah bekas tanaman padi atau lahan kering (tegal). Pada lahan kering dilakukan pengolahan tanah secara intensif, sedangkan pada lahan sawah bekas tanaman padi tanpa pengolahan tanah. Penanaman dilakukan pada kelembaban tanah yang ideal. Saluran irigasi dibuat antarulangan dan sekeliling petak penelitian. Pengendalian gulma menggunakan herbisida dan manual. Ukuran plot 2,4 m x 4,5 m, jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman per rumpun. Pupuk 75 kg ZA+100 kg SP 36+75 kg KCl/ha dan pupuk kandang 5 t/ha atau 250 kg Ponska/ha + 100 kg SP 36 dan pupuk kandang 5 t/ha diberikan seluruhnya pada saat tanam. Pengendalian hama, penyakit, dan gulma dilakukan secara intensif. Pengamatan dilakukan terhadap umur berbunga, umur masak, tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah buku, jumlah polong isi, bobot 100 biji dan hasil biji/plot.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sidik Ragam Sidik ragam tergabung untuk hasil dan komponen hasil dari 20 genotipe kedelai menunjukkan lokasi, galur, dan interaksi antara galur dengan lokasi (G x L) nyata untuk seluruh karakter yang diamati (Tabel 1). Nilai KK beragam antara 1,23–14,27%. Umur masak memiliki nilai KK terendah, yang memperlihatkan ragam umur masak antargenotipe maupun antarlokasi relatif seragam. Sebaliknya jumlah cabang memiliki KK terbesar yang mencerminkan ragam hasil berbeda antarlokasi maupun antargenotipe. Interaksi GxL untuk hasil biji hampir selalu diperoleh pada kedelai (Krisnawati dan Adie 2009; Gatut-Wahyu dan Adie 2010), sehingga seleksi galur berdaya hasil tinggi perlu diseleksi pada setiap lokasi. Pengaruh genotipe nyata untuk hasil biji di Muneng, Genteng dan Ngale dengan nilai KK hampir sepadan, sekitar 11% (Tabel 2).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
9
Tabel 1. Sidik ragam tergabung hasil dan komponen hasil genotipe kedelai. Jawa Timur, MK 2012. Kuadrat tengah
Karakter
BNT 5%
KK (%)
Lokasi (L)
Galur (G)
LxG
Umur berbunga (hr)
279,9125 **
23,1982 **
2,7765 **
0,6443
2,24
Umur masak (hr)
215.7166 **
17,2728 **
6,5412 **
0,7720
1,23
Tinggi tanaman (cm)
3612,2899 **
553,2201 **
57,0184 **
3,7477
7,68
0,8100 *
1,9977 **
0,4838 **
0,3558
14,27
Jumlah cabang/tanaman Jumlah buku/tanaman
1712.5959 *
29,2489 **
10,2108 **
1,4874
13,37
Jumlah polong isi/tanaman
7605,9416 **
171,8962 **
66,9275 **
3,3133
9,25
Berat 100 biji (g)
338,5810 **
57,0990 **
2,9399 **
0,8626
7,84
1,4504 **
0,6461 **
0,4663 **
0,1818
11,34
Hasil biji (t/ha)
KK = koefisien keragaman, BNT = beda nyata terkecil, *, ** dan tn = nyata p = 0,05; p = 0,01 dan tidak nyata
Tabel 2. Sidik ragam hasil biji pada setiap lokasi. Jawa Timur, MK 2012. Lokasi KP Muneng, Probolinggo KP Genteng, Banyuwangi KP Ngale, Ngawi
Kuadrat tengah Ulangan Genotipe 0,3832 ** 1,0739 ** 0,0870 tn 0,3234 ** 0,6067 ** 0,1815 **
BNT 5%
KK (%)
0,3664 0,2928 0,3276
11,65 11,26 11,06
KK = koefisien keragaman, BNT = beda nyata terkecil. *, ** dan tn = nyata p = 0,05; p = 0,01 dan tidak nyata.
Umur Tanaman Rata-rata umur berbunga dari 20 genotipe di tiga lokasi adalah 36 hari (rentang 28–36 hari). Grobogan memiliki umur berbunga lebih cepat dibandingkan galur lainnya. Rentang umur berbunga dari 17 galur adalah 35–37 hari (Tabel 3). Umur berbunga di Muneng (37 hari) adalah terlama, diikuti oleh Genteng (36 hari) dan Ngale (34 hari). Rata-rata umur masak dari 17 galur berkisar antara 76–78 hari. Umur masak varietas pembanding IAC 100, Anjasmoro dan Grobogan masing-masing 80 hari, 80 hari, dan 75 hari (Tabel 3). Tidak satupun galur yang lebih genjah dari varietas Grobogan. Galur Malabar/Sinabung-67 memiliki umur masak 76 hari. Rata-rata umur masak di Muneng 79 hari, sama dengan rata-rata umur masak di Genteng, dan umur masak di Ngale 76 hari. Di Muneng dan Ngale, varietas Grobogan lebih genjah dibandingkan dengan 19 genotipe yang diuji. Namun di Genteng, galur Malabar/Sinabung-67 memiliki umur masak 75 hari sedangkan varietas Grobogan 76 hari.
10
Adie dan Krisnawati: Keragaan hasil biji kedelai pada berbagai agroekologi
Tabel 3.
Umur berbunga dan umur masak dari 20 genotipe kedelai di tiga lokasi. Jawa Timur, MK 2012.
Genotipe Malabar/Anjasmoro-1 Sinabung/Argomulyo-8 Sinabung/Argomulyo-10 Sinabung/Malabar-16 Sinabung/Malabar-19 Sinabung/lL.Jateng-24 Argomulyo/Sinabung-34 Argomulyo/G 100 H-100 Argomulyo/Sinabung-46 Argomulyo/Sinabung-47 Argomulyo/Sinabung-52 Malabar/Sinabung-66 Malabar/Sinabung-67 Malabar/Sinabung-68 Malabar/Sinabung-82 L.Jateng/Sinabung-85 Argomulyo/Sinabung-98 IAC-100 Anjasmoro Grobogan Rata-rata
Umur berbunga (hari) Mng Gtg Ngl Rerata 37 38 36 37 37 37 33 36 36 36 31 35 37 36 32 35 37 36 33 35 36 37 32 35 37 37 33 36 39 37 36 37 37 37 34 36 37 37 35 37 37 38 34 36 37 36 33 36 38 37 34 36 37 38 35 36 37 37 33 36 36 37 33 35 37 37 36 37 38 37 35 37 37 37 35 36 34 30 28 31 37 36 34 36
Mng 78 78 79 78 78 78 80 83 78 79 78 79 78 78 79 78 79 82 81 75 79
Umur masak (hari) Gtg Ngl Rerata 79 76 78 79 76 78 78 76 78 78 76 77 79 76 78 78 76 77 78 75 78 79 76 79 76 76 76 80 76 78 81 76 78 77 76 77 75 76 76 81 76 78 79 76 78 78 76 78 78 76 78 83 76 80 81 76 80 76 74 75 79 76 78
Mng = KP Muneng, Gtg = KP Genteng, Ngl = KP Ngale.
Tinggi Tanaman dan Jumlah Polong Isi Tinggi tanaman tidak hanya menjadi karakter yang terkait dengan jumlah cabang dan jumlah buku, tetapi juga seringkali sebagai indikator keoptimalan keragaan tanaman. Rentang tinggi tanaman dari 20 genotipe di tiga lokasi berkisar antara 43,6–68,9 cm dengan rata-rata 60,5 cm (Tabel 4). Tinggi tanaman IAC 100, genotipe introduksi dari Brasil, memiliki tinggi tanaman yang lebih pendek (43,7 cm), diikuti oleh varietas Grobogan dengan tinggi tanaman mencapai 46,8 cm dan Anjasmoro 66,7 cm. Galur yang diuji lebih tinggi dibandingkan dengan varietas pembanding. Varietas Ajasmoro memiliki daya adaptasi luas, sedangkan Grobogan akan optimal pada lokasi tertentu.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
11
Tabel 4. Tinggi tanaman dan jumlah polong dari 20 genotipe kedelai di tiga lokasi. Jawa Timur, MK 2012. Genotipe
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah polong isi/tanaman
Mng
Gtg
Ngl
Rerata
Mng
Gtg
Ngl
Rerata
Malabar/Anjasmoro-1 Sinabung/Argomulyo-8 Sinabung/Argomulyo-10 Sinabung/Malabar-16 Sinabung/Malabar-19 Sinabung/lL.Jateng-24 Argomulyo/Sinabung-34 Argomulyo/G 100 H-100 Argomulyo/Sinabung-46 Argomulyo/Sinabung-47 Argomulyo/Sinabung-52 Malabar/Sinabung-66 Malabar/Sinabung-67 Malabar/Sinabung-68 Malabar/Sinabung-82 L.Jateng/Sinabung-85 Argomulyo/Sinabung-98 IAC-100 Anjasmoro Grobogan
74,40
61,30
71,10
68,93
59,67
39,65
52,50
50,61
59,13
58,50
66,80
61,48
55,73
31,70
40,45
42,63
58,93
46,65
59,55
55,04
58,60
28,85
42,70
43,38
63,07
55,20
66,90
61,72
54,33
40,30
47,55
47,39
69,87
61,00
72,65
67,84
52,87
40,45
52,35
48,56
64,47
52,60
62,25
59,77
52,20
28,00
48,45
42,88
59,33
57,10
69,15
61,86
53,47
35,05
45,95
44,82
45,07
43,25
60,85
49,72
55,00
35,60
49,25
46,62
62,40
52,00
70,80
61,73
57,87
36,65
45,40
46,64
63,00
55,10
72,70
63,60
47,40
35,55
53,35
45,43
60,87
65,25
66,65
64,26
47,20
32,75
41,85
40,60
60,87
52,10
68,60
60,52
50,87
25,85
38,45
38,39
58,93
52,20
68,35
59,83
53,20
31,35
42,20
42,25
64,67
60,85
72,30
65,94
49,93
28,90
41,90
40,24
63,53
53,25
68,30
61,69
55,47
34,80
52,45
47,57
65,13
57,30
68,20
63,54
52,93
37,60
50,35
46,96
61,87
60,70
73,45
65,34
46,27
30,15
47,40
41,27
50,80
32,30
47,85
43,65
51,67
37,40
56,45
48,51
62,93
58,25
79,10
66,76
45,87
37,45
58,55
47,29
53,00
35,05
52,35
46,80
43,93
21,70
43,25
36,29
Grobogan
61,11
53,50
66,90
60,50
52,22
33,49
47,54
44,42
Mng = KP Muneng, Gtg = KP Genteng, Ngl = KP Ngale.
Di Ngale, tinggi tanaman rata-rata 66,9 cm, lebih tinggi dibandingkan dengan di Muneng (61,1 cm) maupun di Genteng (53,5 cm). Secara umum, galur yang diuji di Muneng lebih tinggi daripada ketiga varietas pembanding, kecuali galur Argomulyo/G 100H-100 yang hanya memiliki tinggi tanaman 45,1 cm. Penggunaan tetua G100H nampaknya cukup kuat menekan tinggi tanaman, sehingga kurang optimal. Di Genteng, tinggi tanaman berkisar antara 32,3–61,3 cm dengan rata-rata 53,5 cm. Pola konsisten juga diperoleh di Genteng di mana penampilan galur yang diuji lebih optimal dibanding varietas pembanding. Rata-rata tinggi tanaman di Ngale 66,9 cm (rentang 47,8–79,1 cm). Keragaan tinggi tanaman varietas Anjasmoro (79,1 cm) di Genteng sangat optimal, dan terdapat enam galur yang juga memiliki tinggi tanaman 70,8–73,4 cm. Jumlah polong isi/tanaman memiliki peran penting dalam menentukan hasil biji kedelai. Peran jumlah polong ditentukan oleh polong bernas (polong berisi) dan polong hampa. Semakin banyak polong isi dan semakin sedikit jumlah polong hampa akan tinggi hasil biji. Rata-rata jumlah polong dari 20 genotipe di tiga lokasi adalah 44,4 polong/ tanaman, sedangkan jumlah polong varietas pembanding IAC 100, Anjasmoro, dan Grobogan masing-masing 48,5; 47,3; dan 36,3 polong/tanaman (Tabel 4). Rentang jumlah polong dari 17 galur berkisar antara 38,3–50,6 polong/tanaman. Terlihat bahwa varietas Grobogan memiliki jumlah polong paling sedikit, dan jumlah polong galur yang diuji hampir sama dengan varietas pembanding. 12
Adie dan Krisnawati: Keragaan hasil biji kedelai pada berbagai agroekologi
Rata-rata jumlah polong dari 20 genotipe kedelai di Muneng mencapai 52,2 polong/tanaman, lebih banyak dibandingkan dengan di Genteng (33,5 polong/tanaman) maupun di Ngale (47,5 polong/tanaman). Jumlah polong varietas Grobogan hanya 43,9 buah, hampir semua galur yang diuji memiliki jumlah polong di atas 50 buah, lebih tinggi dari jumlah polong Anjasmoro (45,9 buah) dan setara dengan jumlah polong IAC 100 yang mencapai 51,7 polong/tanaman. Ukuran Biji Ukuran biji berdasarkan bobot 100 biji, berkisar antara 11,7–21,7 g/100 biji (rata-rata 13,6 g/100 biji) (Tabel 5). Ukuran biji varietas pembanding IAC 100 adalah 12,2 g/100 biji,Anjasmoro 15,7 g/100 biji dan Grobogan 21,7 g/100 biji. Ukuran biji dari 17 galur berkisar antara 11,7–15,0 g/100 biji. Jika batas ukuran biji besar adalah 14 g/100 biji maka terdapat tiga galur yang berukuran biji besar, yaitu Sinabung/L.Jateng-24, Malabar/Sinabung-66, dan Argomulyo/Sinabung-98. Di Muneng, rata-rata ukuran biji relatif lebih kecil (11,3 g/100 biji) dibandingkan dengan dua lokasi lainnya yakni, di Genteng (14,4 g/100 biji) dan Ngale (15,2 g/100 biji). Varietas Grobogan konsisten memiliki ukuran biji paling besar dibanding 19 genotipe lainnya. Jika dibandingkan dengan ukuran biji Anjasmoro (12,0 g/100 biji) maka di Muneng terdapat tiga galur yang ukuran bijinya setara. Di Genteng hanya galur Sinabung/L.Jateng-24 (16,3 g/100 biji) yang ukuran bijinya lebih besar daripada Anjasmoro (16,2 g/100 biji). Cerminan ukuran biji yang sesungguhnya nampaknya lebih tercermin dari penelitian di Ngale. Rata-rata ukuran biji di Ngale 15,2 g/100 biji. Ukuran biji IAC 100, Anjasmoro dan Grobogan masing-masing 13,9; 18,9; dan 23,2 g/100 biji, sedangkan rentang ukuran biji dari 17 galur adalah 12,8–17,00 g/100 biji. Artinya terdapat 12 galur yang berukuran biji besar, walaupun lebih kecil dibandingkan dengan biji Anjasmoro, apalagi Grobogan. Ukuran biji kedelai memang beragam antarnegara. Di daerah tropis Indonesia, semakin besar ukuran biji semakin beragam ukuran biji dalam satu tanaman. Implikasinya, di Indonesia ukuran biji kedelai besar adalah 14–16 g/100 biji.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
13
Tabel 5. Bobot 100 biji dari 20 genotipe kedelai di tiga lokasi. Jawa Timur, MK 2012. Genotipe Malabar/Anajasmoro-1 Sinabung/Argomulyo-8 Sinabung/Argomulyo-10 Sinabung/Malabar-16 Sinabung/Malabar-19 Sinabung/L.Jateng-24 Argomulyo/Sinabung-34 Argomulyo/G 100 H-100 Argomulyo/Sinabung-46 Argomulyo/Sinabung-47 Argomulyo/Sinabung-52 Malabar/Sinabung-66 Malabar/Sinabung-67 Malabar/Sinabung-68 Malabar/Sinabung-82 L.Jateng/Sinabung-85 Argomulyo/Sinabung-98 IAC-100 Anjasmoro Grobogan Rata-rata
Muneng 9,95 10,26 10,16 10,16 10,45 12,88 11,68 11,36 9,36 11,65 11,65 12,06 10,78 11,75 9,47 10,56 12,41 9,98 12,05 17,31 11,30
Bobot 100 biji (g) Genteng Ngale 14,97 14,29 13,46 15,63 14,16 14,22 12,69 13,86 12,87 13,28 16,30 15,87 13,63 13,78 13,77 14,69 11,81 14,25 13,87 14,39 13,50 14,47 15,43 16,98 12,78 13,47 13,47 14,19 12,90 12,82 14,43 15,61 15,30 15,59 12,82 13,87 16,15 18,91 24,62 23,20 14,44 15,17
Rerata 13,07 13,12 12,85 12,23 12,20 15,02 13,03 13,27 11,81 13,30 13,21 14,82 12,34 13,14 11,73 13,53 14,43 12,22 15,70 21,71 13,64
Hasil Biji Rata-rata hasil biji 20 genotipe di tiga lokasi adalah 1,99 t/ha, sedangkan rata-rata hasil di Muneng, Genteng dan Ngale masing-masing 2,04 t/ha, 1,84 t/ha dan 2,09 t/ha (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa penelitian yang di Genteng pada MK2 tahun 2012 kurang produktif dibandingkan dengan di Muneng maupun Ngale. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa di Genteng selalu menampilkan hasil biji yang produktif. Penyebabnya adalah pengelolaan tanaman terutama penyiangan di awal pertumbuhan kurang intensif, diikuti oleh terjadinya kelangkaan air menjelang fase pengisian biji. Kedua fase tersebut dinilai rentan terhadap pertumbuhan dan perolehan hasil biji kedelai.
14
Adie dan Krisnawati: Keragaan hasil biji kedelai pada berbagai agroekologi
Tabel 6. Hasil biji dari 20 genotipe kedelai di tiga lokasi. Jawa Timur, MK 2012. No
Genotipe
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Malabar/Anajasmoro-1 Sinabung/Argomulyo-8 Sinabung/Argomulyo-10 Sinabung/Malabar-16 Sinabung/Malabar-19 Sinabung/lL.Jateng-24 Argomulyo/Sinabung-34 Argomulyo/G 100 H-100 Argomulyo/Sinabung-46 Argomulyo/Sinabung-47 Argomulyo/Sinabung-52 Malabar/Sinabung-66 Malabar/Sinabung-67 Malabar/Sinabung-68 Malabar/Sinabung-82 L.Jateng/Sinabung-85 Argomulyo/Sinabung-98 IAC-100
Muneng 1,93 1,90 2,03 2,73s 2,41 2,32 2,33 0,94 2,39 2,36 2,48 1,85 2,10 2,49 2,18 2,30 1,92 1,93
Hasil biji (t/ha) Genteng Ngale 1,84 2,03 1,92 1,85 1,57 2,37s 1,80 2,27 2,09 2,16 1,61 1,66 2,10 1,97 1,69 1,98 1,64 1,98 2,01 2,04 2,07 2,10 1,57 2,12 1,82 1,97 2,07 2,10 2,02 2,35s 2,21s 2,55s 2,12 2,05 1,27 1,79
Rerata 1,93 1,89 1,99 2,27 2,22 1,86 2,13 1,54 2,00 2,14 2,21 1,85 1,96 2,22 2,18 2,35 2,03 1,66
Peringkat 12 13 10 2 3 14 7 19 9 6 4 15 11 3 5 1 8 17
19
Anjasmoro
0,59
2,09
2,36s
1,68
16
20
Grobogan Rata-rata Batas seleksi 10%
1,58 2,04 2,63
1,23 1,84 2,16
2,13 2,09 2,34
1,65 1,99
18
Hasil biji ketiga varietas pembanding IAC 00, Anjasmoro dan Grobogan masingmasing 1,66; 1,68 dan 1,65 t/ha, lebih rendah dari rata-rata umum hasil biji (1,99 t/ha). Fakta ini memberikan dua pemikiran, yang pertama adalah daya hasil ketiga varietas pembanding di tiga lokasi kurang optimal dan yang kedua adalah terdapatnya peluang untuk memperoleh galur berdaya hasil tinggi dari 17 galur yang diuji. Rentang hasil biji dari 17 galur berkisar 1,54–2,35 t/ha, atau terdapat 11 galur yang hasil bijinya lebih tinggi daripada rata-rata umum. Rata-rata hasil biji di Muneng adalah 2,04 t/ha dan di lokasi ini hasil tertinggi diberikan oleh galur Sinabung/Malabar-16 (2,73 t/ha). Di Genteng dengan rata-rata hasil biji 1,84 t/ha diperoleh dari galur L.Jateng/Sinabung-85 dengan hasil biji tertinggi 2,21 t/ha. Ratarata hasil biji di Ngale 2,09 t/ha dan galur yang berhasil memperoleh hasil biji tertinggi adalah L.Jateng/Sinabung-85 (2,55 t/ha). Diperolehnya interaksi G x L untuk hasil biji dibuktikan oleh urutan keunggulan hasil biji yang berbeda pada setiap lokasi dan sekaligus menyarankan seleksi galur berdaya hasil tinggi dilakukan pada masing-masing lokasi. Dengan batas hasil biji 2,63 t/ha di Muneng hanya terseleksi satu galur yakni Sinabung/Malabar-16. Pola serupa juga terjadi di Genteng, dimana dengan batas seleksi 2,16 t/ha, hanya terseleksi satu galur, yaitu L.Jateng/Sinabung-85. Di Ngale dengan batas
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
15
seleksi yang lebih besar, yaitu 2,09 t/ha terpilih tiga galur dan varietas Anjasmoro memiliki hasil biji di atas batas seleksi 10%. Galur L.Jateng/Sinabung-85 terpilih di Genteng dan Ngale. Galur terseleksi pada masing-masing lokasi perlu diuji adaptasi pada beberapa sentra produksi kedelai.
KESIMPULAN 1. Hasil biji kedelai ditentukan oleh interaksi berbagai komponen hasil yang saling bersinergi, khususnya tinggi tanaman, jumlah buku, jumlah polong isi, dan ukuran biji. 2. Faktor lingkungan yang berkonstribusi terhadap hasil biji kedelai adalah kompetisi dengan gulma pada fase vegetatif dan kelembaban tanah. Hasil biji kedelai di KP Ngale (musim kemarau, dataran rendah, kelembaban tanah baik) lebih tinggi dibandingkan dengan di KP Genteng (kompetisi dengan gulma tinggi dan kelembaban tanah baik) dan KP Muneng (kompetisi dengan gulma tinggi, terjadi kekeringan pada fase generatif). 3. Diperoleh empat galur yang memiliki hasil biji 2,21–2,35 t/ha, lebih tinggi dibandingkan dengan galur yang diuji bahkan lebih tinggi dari Anjasmoro dan Grobogan. Keempat galur terpilih perlu diuji di berbagai sentra produksi kedelai.
DAFTAR PUSTAKA Baihaki, A., N. Wicaksana. 2005. Interaksi genotip x lingkungan, adaptabilitas, dalam pengembangan tanaman varietas unggul di Indonesia. Zuriat 16:1–8. Board, J. E., M. S. Kang and B.G. Harville. 1997. Path analyses identify indirect selection criteria for yield of late-planted soybean. Crop Sci 37: 879–884. Bos, I. and P. Caligari. 1995. Selection methods in plant breeding. Chapman & Hall, London, UK, 100–132. BPS (Badan Pusat Statistik). 2012. Produksi padi, jagung, dan kedelai (angka tetap 2011 dan angka ramalan I 2012). Berita Resmi Statistik 43(07): 1–10. Coryeel, V. H., H. Jessenm, J. M. Schupp, D. Webb and P. Keim. 1999. Allele-specific hybridization markers for soybean. Theor. Appl. Genet. 98: 690–696. Eagles, H.A. and K.J. Frey, 1977. Repeatability of the stability variance parameter in oats. Crop Sci. 17: 253–256. Haghi, Y., P. Boroomandan, M. Moradin, M. Hassankhali, P. Farhadi, F. Farsaei, and S. Dabiri. 2012. Correlation and path analysis for yield, oil and protein content of soybean (Glycine max L.) genotypes under different levels of nitrogen starter and plant density. Biharean Biologist 6(1): 32–37. Jandong, E.A., M.I. Uguru and B.C. Oyiga. 2011. Determination of yield stability of seven soybean (Glycine max) genotypes across diverse soil pH levels using GGE biplot analysis. J. of Appl. Biosci. 43: 2924–2941. Machikowa, T and P. Laosuwan. 2011. Path coefficient analysis for yield of early maturing soybean. Songklanakarin J. Sci. Technol. 33(4): 65–368. Ngalamu, T., S. Meseka and M. Ashraf. 2012. Performance of soybean (Glycine max L Merrill) genotypes under different planting dates in Sennar State of the Sudan. J. Appl. Biosci. 49: 3363–3370. Salimi, S and S. Moradi. 2012. Effect the correlation, regression and path analysis in soybean genotypes (Glycine max L.) under moisture and normal condition. Intl. J. Agron. Plant. Prod. 3(10): 447–454.
16
Adie dan Krisnawati: Keragaan hasil biji kedelai pada berbagai agroekologi
Showkat, M and S. D. Tyagi. 2010. correlation and path coefficient analysis of some quantitative traits in soybean (Glycine max L. Merrill.). Res. J. of Agric. Sci. 1(2):102– 106. Specht, J. E., Hum, D. J., and Kumidini, S. V. 1999. Soybean yield potential-A genetic and physiological perspective. Crop Sci. 39: 1560–1570. Tukamuhabwa, P., M. Asiimwe, M. Nabasirye, P. Kabayi and M. Maphosa. 2012. Genotype by environment interaction of advanced generation soybean lines for grain yield in Uganda. African Crop Sci. J. 20(2): 107–115. Tyagi, D.S. and M. H. Khan. 2009. Genotype x environment interaction and stability analysis for yield and its components in soybean [(Glycine max L.) Merrill]. http://www.soygenetics.org/articleFiles/66Khan191109%20doc%20-%20Final.pdf (akses 11 April 2012). USDA (United States Department of Agriculture). 2013. World Agricultural Production. Circular Series, WAP 13–3. http://www.fas.usda.gov/wap/current/ (akses 5 Maret 2013).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
17