Pelita Perkebunan 28 (3) 2012, 166-183
Towaha et al.
Keragaan mutu biji kakao dan produk turunannya pada berbagai tingkat fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali Performance of cocoa bean quality and its derivate products under some fermentation levels: A case study in Tabanan, Bali Juniaty Towaha*1), Dian Adi Anggraini E.2), dan Rubiyo1) 1)
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar, Jalan Raya Pakuwon km 2 Parungkuda, Sukabumi. 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Jalan Bypass Ngurah Rai, Denpasar. *) Alamat penulis (corresponding author):
[email protected] Naskah diterima (received) 30 Oktober 2012, disetujui (accepted) 30 November 2012
Abstrak Penelitian pengaruh tingkat fermentasi biji kakao untuk mendapatkan mutu terbaik serta produk turunannya telah dilaksanakan di Kelompok Subak Abian Pucaksari, Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Tabanan, Bali. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat fermentasi biji kakao terhadap mutu biji dan produk turunannya. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, diulang tiga kali, dengan perlakuan 1) tanpa fermentasi, 2) fermentasi tidak sempurna, dan 3) fermentasi sempurna. Parameter pengamatan meliputi keragaan fisik dan kimia biji, uji organoleptik pasta cokelat, lemak kakao, bubuk kakao, minuman cokelat dan es krim cokelat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tingkat fermentasi berpengaruh nyata terhadap mutu biji kakao. Hasil analisis kimia pasta kakao, lemak kakao, dan bubuk kakao dari biji fermentasi sempurna memenuhi syarat SNI. Uji organoleptik juga menunjukkan bahwa para panelis menyukai pasta cokelat, bubuk kakao, minuman cokelat dan es krim cokelat yang diolah dari biji kakao fermentasi sempurna. Kata kunci: Kakao, fermentasi, mutu biji, mutu produk turunan.
Abstract Research to study the influence of fermentation level of cocoa beans on quality of cocoa beans and its derivative products was carried out in Subak Abian Pucaksari Group, Kauh Mundeh Village, West Selemadeg Subdistrict, Tabanan, Bali. This study aimed to determine the influence of fermentation on cocoa bean quality and its derivative products. The design used was completely randomized design with three replications. The treatments were 1) unfermented, 2) partly fermented, and 3) fully fermented. Parameters observed were physical and chemical characteristics of cocoa beans, including organoleptic quality of cocoa liquor, cocoa butter, cocoa powder, chocolate drink and chocolate ice cream. The results showed that in general, fermentation significantly affected quality of cocoa beans. Results of chemical analysis of cocoa liquor, cocoa butter, and cocoa powder from fully fermented beans meets the requirements of Indonesian National Standard. Organoleptic test also showed that
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
166
Keragaan mutu biji kakao dan produk turunannya pada berbagai tingkat fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali
panelists preferred cocoa liquor, cocoa powder, chocolate drink and chocolate ice cream prepared from fully fermented cocoa beans. Key words: Cocoa beans, fermentation, physical, chemical, organoleptic, derivative products, quality.
PENDAHULUAN Areal pertanaman kakao di Provinsi Bali mengalami perkembangan yang cukup pesat, pada tahun 2011 telah mencapai 14.865 ha dengan sentra pertanaman terdapat di Kabupaten Tabanan seluas 5.063 ha, Jembrana seluas 3.555 ha dan Buleleng seluas 1.258 ha. Areal lainnya 4.989 ha tersebar di Kabupaten Badung, Bangli, Gianyar, Karangasem dan Klungkung (Dinas Perkebunan Bali, 2012). Salah satu permasalahan kakao Indonesia, termasuk di Provinsi Bali sampai saat ini adalah mutu biji yang masih rendah, terutama disebabkan oleh penanganan pascapanen yang belum dilakukan dengan baik dan benar, seperti biji kakao tidak difermentasi atau proses fermentasi yang kurang baik. Biji kakao yang diekspor sebagian besar merupakan kakao yang diolah tanpa fermentasi. Hal ini menyebabkan biji kakao Indonesia kalah bersaing di pasar internasional (APPI, 2002). Harga biji kakao tanpa fermentasi di pasar internasional jauh lebih rendah daripada harga biji kakao yang difermentasi dengan selisih harga sekitar Rp.2.000–2.900 per kg (Indonesian Commercial Newsletter, 2010), yang cukup tinggi untuk mendongkrak pendapatan devisa negara. Di Provinsi Bali, dari luasan 14.865 ha pertanaman kakao yang semuanya merupakan perkebunan rakyat dihasilkan 6.152 ton biji kering. Dari produksi tersebut hanya sedikit saja petani yang melakukan fermentasi yaitu hanya sebanyak 197,25 ton (3,2%) dan sisanya tidak difermentasi (Dinas Perkebunan Bali, 2012).
Proses fermentasi merupakan tahapan pengolahan biji kakao yang vital dan mutlak untuk menjamin dihasilkannya citarasa maupun aroma cokelat yang baik (Beckett, 2008; Lima et al., 2011; Misnawi, 2008; Widyotomo, 2008). Dengan proses fermentasi, selain dapat memperbaiki dan mengembangkan citarasa, juga dapat mengurangi rasa pahit dan sepat serta memperbaiki kenampakan biji kakao (Biehl et al., 1985; Camu et al., 2008; Owosu, 2010; Widyotomo et al., 2004). Di samping itu, fermentasi dapat menghambat proses perkecambahan, kulit biji menjadi longgar dan pulpa biji hancur sehingga akan mempermudah proses pengeringan (Afoakwa et al., 2008; Afoakwa et al., 2012). Oleh karena itu, mengingat bahwa kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional (Balitbang Pertanian, 2005), maka fermentasi yang merupakan inti dari proses pengolahan biji kakao harus dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguatkan penelitian sebelumnya bahwa tingkat fermentasi biji kakao berpengaruh terhadap keragaan biji serta produk turunannya dengan studi kasus di Tabanan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi petani kakao di Provinsi Bali, untuk meningkatkan nilai tambah pendapatannya.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kelompok Subak Abian Pucaksari, Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Tabanan, Bali, dengan melibatkan petani sebanyak
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
167
Towaha et al.
20 orang dengan masing-masing luasan lahan 0,5 ha. Kegiatan penelitian terdiri dari kegiatan di lapangan berupa introduksi teknologi fermentasi dan pengolahan biji kakao kering menjadi produk setengah jadi (pasta, lemak, dan bubuk) serta makanan cokelat (minuman cokelat dan es krim). Kegiatan di laboratorium berupa analisis kimia, fisik, dan organoleptik biji kakao dan produk cokelat, baik produk setengah jadi maupun makanan cokelat.
Fermentasi Kakao Fermentasi kakao menggunakan bak fermentasi yang mengacu pada penelitian Sri-Mulato et al. (1997) dan de Brito (2000). Proses fermentasi dilanjutkan dengan tahap pengeringan biji (penjemuran di bawah sinar matahari) sampai kadar air biji kakao sekitar 7%. Percobaan terdiri dari tiga perlakuan, yaitu: a) tanpa fermentasi, b) fermentasi tidak sempurna (kurang dari lima hari), dan c) fermentasi sempurna (5-6 hari). Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Variabel yang diamati meliputi mutu fisik biji seperti jumlah biji per 100 g biji kering, bobot per biji kering, kadar nib (daging biji) dan kadar kulit ari. Selain itu juga dilakukan analisis kimia berupa kadar air dengan metode gravimetri (AOAC, 2005a), kadar lemak dengan metode ekstraksi soxhlet (AOAC, 2005b) yaitu ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik non-polar yang sebelumnya dilakukan hidrolisis, kadar gula pereduksi dengan metode Fehling (AOAC, 2000a), pH dengan alat pH meter (AOAC, 1998) dan total asam dengan metoda titrasi (AOAC, 1999). Analisis kimia dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Denpasar. Hasil analisis mutu fisik dan kimia yang didapat kemudian dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam.
Apabila terdapat perbedaan nilai rata-rata antarperlakuan diuji dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5%.
Produk Cokelat Setengah Jadi Biji kakao kering dengan tiga perlakuan tingkat fermentasi tersebut kemudian diolah lebih lanjut menjadi produk cokelat setengah jadi, yakni pasta, lemak, dan bubuk kakao. Tahapan pengolahan biji kakao menjadi produk cokelat setengah jadi dapat dilihat pada Gambar 1. Variabel yang diamati adalah mutu kimia produk cokelat setengah jadi, meliputi kadar air, abu, protein, karbohidrat, dan lemak, serta pH untuk bubuk kakao. Hasil analisis mutu kimia yang didapat kemudian dianalisis menggunakan analisis ragam, dilanjutkan dengan uji Duncan jika hasil berbeda nyata. Uji organoleptik dilakukan terhadap produk pasta dan bubuk kakao dengan menggunakan uji deskriptif dilanjutkan dengan uji ranking menggunakan 15 orang panelis. Uji deskriptif dilakukan terhadap karakteristik sensori yang penting seperti warna, aroma, rasa pahit dan tekstur, sehingga didapatkan informasi mengenai intensitas karakteristik tersebut (Soekarto, 1985). Adapun untuk menentukan tingkat kesukaan dilakukan uji ranking yang meliputi tiga ranking mengacu pada Meilgaard et al. (2006), yaitu 1 (sangat suka), 2 (suka) dan 3 (agak suka). Analisis dilakukan di Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Denpasar.
Produk Makanan Cokelat Dalam penelitian ini makanan cokelat yang dibuat adalah minuman cokelat berbasis bubuk kakao dan es krim berbasis bubuk kakao dan lemak kakao. Analisis yang dilakukan adalah uji organoleptik, berupa uji hedonik (uji
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
168
Keragaan mutu biji kakao dan produk turunannya pada berbagai tingkat fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali
Biji kakao (Cocoa beans)
Penyortiran (Sorting)
Penyangraian (Roasting)
Pemisahan kulit (Separation of shell)
Kulit biji (Bean shell)
Daging biji (Nibs)
Pemastaan (Cocoa liquor processing)
Pasta kakao (Cocoa liquor)
Pengempaan (Compression)
Lemak Cokelat (Cocoa butter)
Bungkil kakao (Cocoa press cake)
Bubuk Cokelat (Cocoa powder)
Gambar 1. Tahapan pengolahan biji kakao menjadi produk setengah jadi Figure 1. Stages of cocoa beans processing into semi-finished products
kesukaan) menggunakan tujuh skala hedonik dengan kriteria yaitu 7 (sangat suka), 6 (suka), 5 (agak suka), 4 (netral/biasa), 3 (agak tidak suka), 2 (tidak suka) dan 1 (sangat tidak suka), yang dilakukan terhadap masing-masing produk meliputi: rasa, aroma, mouthfeel, dan warna dengan menggunakan 15 orang panelis (Putra, 1997; Soekarto, 1985). Selain itu, juga dilakukan analisis mutu kimia terhadap produk yang dihasilkan, meliputi kadar air dengan metode gravimetri (AOAC, 2005a), kadar abu dengan metode gravimetri (AOAC, 2000b), kadar
protein dengan metode Kjeldahl (AOAC, 2000c), kadar karbohidrat dengan metode kromatografi (AOAC, 2000d), dan kadar lemak dengan metode ekstraksi soxhlet (AOAC, 2005b). Analisis dilakukan di Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Hasil analisis mutu organoleptik dan kimia yang didapat kemudian dianalisis menggunakan analisis ragam. Apabila terdapat perbedaan nilai ratarata antarperlakuan diuji dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5%.
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
169
Towaha et al.
HASIL DAN PEMBAHASAN Mutu Biji Kakao Kering Hasil analisis mutu fisik biji pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan tingkat fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter mutu fisik biji kakao kering. Walaupun demikian, nilai-nilai parameter memperlihatkan bahwa biji kakao hasil fermentasi sempurna lebih baik daripada fermentasi tidak sempurna dan tidak difermentasi. Biji kakao hasil fermentasi sempurna mempunyai kadar kulit ari yang paling rendah yaitu 12,1%. Lefeber et al. (2011), Nursalam (2005) dan Schwan & Wheals (2004) menyatakan bahwa selama proses fermentasi terjadi penguraian karbohidrat pulpa. Semakin lama proses fermentasi, proses penguraian akan semakin sempurna sehingga sisa pulpa yang masih menempel pada kulit akan semakin sedikit, sehingga kadar kulit ari biji akan semakin rendah. Tingginya kadar kulit ari biji pada perlakuan tanpa fermentasi dikarenakan masih banyaknya pulpa yang melekat pada kulit biji akibat tidak terurainya karbohidrat pada pulpa tersebut. Kadar kulit ari biji kakao hasil fermentasi sempurna tersebut telah memenuhi persyaratan mutu biji kakao
sebagai bahan baku produk cokelat (Puslitkoka, 2008) yang mensyaratkan kadar kulit 12-13%. Dalam hal ukuran berat biji kakao kering, yang dinyatakan dengan jumlah biji per 100 g, maka berdasarkan SNI 2323-2008 (BSN, 2008) biji kakao hasil fermentasi sempurna maupun fermentasi tidak sempurna termasuk golongan AA (maksimal 85 biji per 100 g), sedangkan biji kakao non fermentasi termasuk golongan A (86-100 biji per 100 g). Menurut Widyotomo et al. (2004) ukuran biji kakao yang memenuhi kriteria standar ekspor adalah AA, A dan B (101-110 biji per 100 g). Tingkat fermentasi secara umum berpengaruh nyata terhadap keragaan kimia biji kakao kering (Tabel 2). Adapun parameter yang tidak berbeda nyata adalah kadar air dan kadar gula reduksi. Walaupun demikian, kadar air biji kakao kering hasil fermentasi sempurna maupun fermentasi tidak sempurna lebih kecil daripada tanpa fermentasi yaitu 7,5% sehingga memenuhi SNI 2323:2008 yang mensyaratkan kadar air biji kakao kering maksimal 7,5% (BSN, 2008). Kadar air biji kakao yang lebih dari 8% menyebabkan biji mudah diserang jamur dan serangga, sehingga meningkatkan
Tabel 1. Mutu fisik biji kakao kering tanpa difermentasi, fermentasi tidak sempurna dan fermentasi sempurna Table 1. Physical quality of dried cocoa beans of unfermented, partly fermented and fully fermented Parameter
Tanpa fermentasi
Fermentasi tidak sempurna
Fermentasi sempurna
Parameter
Unfermented
Partly fermented
Fully fermented
Jumlah biji kering per100 g Number of dried beans per 100 g
88.79 a
68.61 a
73.98 a
Bobot per biji kering, g Weight per dried bean, g
1.22 a
1.46 a
1.38 a
Kadar nib, % Nib content, %
84.90 a
86.60 a
87.90 a
Kadar kulit ari, % Shell content, %
15.10 a
13.40 a
12.10 a
Keterangan (Note): Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji menurut uji Duncan pada aras 5% (Numbers followed by the same letter in the same row are not significantly different according to Duncan test at 5% level)
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
170
Keragaan mutu biji kakao dan produk turunannya pada berbagai tingkat fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali
Tabel 2. Keragaan kimia biji kakao kering non fermentasi, fermentasi tidak sempurna dan fermentasi sempurna Table 2. Chemical variability of unfermented, partly fermented and fully fermented dried cocoa beans Tanpa fermentasi Parameter Fermentasi tidak sempurna Unfermented Parameter Partly fermented
Fermentasi sempurna Fully fermented
Kadar lemak, % Fat content, %
42.43 a
44.74 b
51.28 c
Kadar air, % Moisture content, %
7.70 a
7.50 a
7.50 a
pH
6.35 c
5.50 b
5.15 a
Total asam, % Total acid, %
0.94 a
1.46 b
1.98 c
Kadar gula reduksi, % Reduced sugar content, %
0.55 a
0.70 a
0.84 a
Keterangan (Note): Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada aras 5% (Numbers followed by the same letter in the same row are not significantly different according to Duncan test at 5% level)
risiko terhadap kerusakan biji, akan tetapi bila kadar air biji kurang dari 5% akan menyebabkan biji mudah pecah (Basri, 2010). Terkait dengan kadar gula reduksi, walaupun tidak berbeda nyata tetapi memperlihatkan kecenderungan nilai yang meningkat dari non fermentasi (0,55%) hingga fermentasi tidak sempurna (0,70%) dan fermentasi sempurna (0,84%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian de Brito et al. (2000), Camu et al. (2008) dan Afoakwa et al. (2011) bahwa kadar gula reduksi pada biji kakao akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Peningkatan kandungan gula reduksi tersebut disebabkan selama proses fermentasi semakin banyak karbohidrat yang terurai menjadi gula oleh aktivitas enzim (Loppies & Yumas, 2008). Gula reduksi pada biji kakao merupakan salah satu senyawa penting selain asam amino dan peptida yang berperan sebagai prekursor citarasa maupun aroma cokelat (Biehl et al., 1985; Granvogl et al., 2006; Afoakwa et al., 2008; Binh et al., 2012). Pengaruh tingkat fermentasi menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kandungan lemak biji kakao kering. Semakin lama waktu fermentasi kandungan lemak
semakin tinggi, sehingga kandungan lemak tertinggi diperoleh pada biji kakao fermentasi sempurna. Hal tersebut karena pada proses fermentasi terjadi penurunan kandungan bahan bukan lemak seperti protein, polifenol dan karbohidrat yang terurai (de Brito et al., 2000; Camu et al., 2008) sehingga secara relatif kadar lemak akan meningkat. Selama proses fermentasi terjadi pembentukan senyawa aldehid, keton, alkohol, ester yang bersifat mudah menguap (Campos et al., 2011; Campos et al., 2012). Puslitkoka (2008) mensyaratkan kandungan lemak 50-51% untuk biji kakao yang dipergunakan sebagai bahan baku produk cokelat, dan biji kakao hasil fermentasi sempurna pada penelitian ini memenuhi syarat tersebut. Dalam penelitian ini diketahui bahwa tingkat fermentasi menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap pH biji kakao kering, dengan semakin lama waktu fermentasi nilai pH semakin rendah. pH tertinggi diperoleh pada biji kakao tanpa fermentasi yaitu 6,35; sedangkan pH terendah diperoleh pada biji kakao fermentasi sempurna yaitu 5,15. Semakin lama proses fermentasi, pH biji kakao akan semakin menurun, dikarenakan
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
171
Towaha et al.
terbentuknya asam-asam organik seperti asam laktat dan asam asetat (Ardhana & Fleet, 2003; Ramlah & Daud, 2009; Guehi et al., 2010). Namun demikian pH biji kakao tersebut tidak boleh terlalu asam, tetapi harus di atas 5,0 agar mempunyai citarasa yang baik. Keasaman biji merupakan aspek yang sangat penting dalam citarasa cokelat karena tidak saja terkait dengan rasa asam, tetapi juga menentukan jalannya reaksi pembentukan senyawa citarasa, terutama pada saat penyangraian (Cortes et al., 2012; Holm et al., 1993; Noor-Soffalina et al., 2009; Wahyudi et al., 2008). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Biehl et al. (1985) bahwa pembentukan citarasa lebih potensial terjadi pada biji pH 5,0-5,5 daripada pH 4,0-4,5. Keragaan fisik maupun kimia biji kakao terbaik diperoleh dari hasil fermentasi sempurna (5-6 hari), hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Ramlah & Daud (2009) bahwa lama fermentasi lima hari menghasilkan biji kakao dengan nilai warna dan citarasa aromatik terbaik. Ruku (2008) dan Owosu (2010) menyatakan bahwa dengan mutu biji kakao yang baik akan dihasilkan mutu produk turunan yang baik pula, mengingat untuk mendapatkan hasil pengolahan yang optimal didapatkan dari bahan baku biji kakao yang telah difermentasi sempurna.
Pasta Kakao Pasta kakao atau cocoa mass atau biasa disebut cocoa liquor dibuat dari biji kakao kering melalui beberapa tahapan proses yaitu pembersihan, penyangraian dan penghalusan/ pemastaan untuk mengubah biji kakao yang semula padat menjadi semi cair tanpa menghilangkan kandungan lemaknya (Puslitkoka, 2008; Sri-Mulato et al., 2002; Sri-Mulato et al., 2004a). Dalam penelitian ini dari 100 kg biji kakao kering dihasilkan pasta kakao sebanyak 78 kg atau untuk
mendapatkan 100 kg pasta kakao membutuhkan 128 kg biji kakao kering. Dalam penelitian Sri-Mulato et al. (2002) dilaporkan bahwa untuk mendapatkan 100 kg pasta kakao dibutuhkan 120-125 kg biji kakao kering. Perbedaan rendemen tersebut dapat disebabkan oleh spesifikasi biji kakao yang berbeda seperti kadar air, kadar lemak dan kadar kulit (Sri-Mulato et al., 2004b). Hasil analisis statistik pada Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat fermentasi pada umumnya berpengaruh nyata pada mutu kimia pasta kakao. Kadar lemak pasta kakao dari biji hasil fermentasi sempurna memperlihatkan nilai tertinggi yaitu 57,87%, mengingat biji kakao yang merupakan bahan baku mempunyai kandungan lemak tertinggi juga (Tabel 2). Berdasarkan BSN (2009c) kadar lemak tersebut telah memenuhi SNI 3749:2009 yang mensyaratkan kadar lemak pada pasta kakao minimal 48%. Lebih lanjut kadar air pasta kakao dari biji kakao hasil fermentasi sempurna mempunyai nilai yang rendah yaitu 1,57%, suatu nilai yang memenuhi SNI 3749:2009 yang mensyaratkan kadar air pada pasta kakao maksimal 2% (BSN, 2009c). Kadar protein pada pasta kakao dari biji kakao hasil fermentasi sempurna memperlihatkan nilai terendah yaitu 7,52%. Hal ini disebabkan pada fermentasi sempurna terjadi lebih banyak protein yang terurai menjadi senyawa asam amino dan peptida (de Brito et al., 2000; Leal et al., 2008) yang merupakan senyawa yang berperan penting sebagai prekursor citarasa maupun aroma cokelat (Biehl et al., 1985; Granvogl et al., 2006). Pada proses penyangraian terjadi reaksi Maillard yaitu reaksi antara gula reduksi dengan gugus nitrogen asam amino maupun peptida membentuk senyawa citarasa khas cokelat. Senyawa tersebut di antaranya merupakan gugus alcohols, carboxylic acids, aldehydes, ketons, esters, phenols, amines, pyrazines, pyrroles, pyridines, furans,
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
172
Keragaan mutu biji kakao dan produk turunannya pada berbagai tingkat fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali
Tabel 3. Analisis mutu kimia pasta kakao Table 3. Analysis of the chemical quality of cocoa liquor Parameter Parameter
Tanpa fermentasi Unfermented
Fermentasi tidak sempurna Partly fermented
Fermentasi sempurna Fully fermented
Kadar lemak, % Fat content, %
52.77 a
54.84 b
57.87 c
Kadar air, % Moisture content, %
1.35 a
3.19 c
1.57 b
Kadar protein, % Protein content , %
16.42 b
15.86 b
7.52 a
Kadar karbohidrat, % Carbohydrate content, %
26.06 ab
23.11 a
29.82 b
Kadar abu, % Ash content, %
3.40 a
3.00 a
3.22 a
Keterangan (Note): Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji menurut uji Duncan pada aras 5% (Numbers followed by the same letter in the same row are not significantly different according to Duncan test at 5% level)
thiazoles, pyrones dan senyawa sulphur (Afoakwa et al., 2008; Granvogl et al., 2006; Misnawi & Ariza, 2011). Reaksi Maillard menyebabkan berkurangnya kandungan gula reduksi, asam amino dan peptida pada biji kakao, sehingga secara relatif kadar karbohidrat akan meningkat. Beberapa di antara senyawa citarasa yang terbentuk merupakan senyawa volatil. Reaksi tersebut semakin meningkat pada penyangraian biji kakao fermentasi sempurna, sehingga kandungan karbohidrat turut meningkat (de Brito et al., 2000), seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tingkatan fermentasi biji kakao tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata terhadap kadar abu dari pasta kakao, walaupun demikian kadar abu pasta kakao dari biji kakao yang difermentasi (fermentasi tidak sempurna dan fermentasi sempurna) lebih rendah nilainya daripada tanpa fermentasi. Nilai tersebut telah memenuhi SNI 3749:2009 yang mensyaratkan kadar abu pada pasta kakao maksimal 14% (BSN, 2009c). Hasil analisis mutu organoleptik pasta kakao berdasarkan uji deskriptif dan uji
ranking (Tabel 4 dan 5) menunjukkan bahwa secara umum panelis paling menyukai pasta kakao dari biji kakao fermentasi sempurna. Aikpokpodion & Dongo (2010) dan Camu et al. (2008) menyatakan bahwa rasa pahit pada biji kakao disebabkan oleh kandungan polifenol dan alkaloid. Hasil penelitian ini menguatkan bahwa semakin sempurna proses fermentasi akan semakin berkurang kandungan polifenol dan alkaloid. Hal tersebut tergambarkan pada Tabel 4, dengan semakin sempurna proses fermentasi, rasa pahit semakin berkurang ke arah rasa pahit khas cokelat. Menurut deskripsi panelis (Tabel 4) pasta kakao dari biji fermentasi sempurna berwarna cokelat bata (60%), dengan aroma khas cokelat (100%), dan rasa pahit khas cokelat (70%). Uji ranking juga menunjukkan bahwa pasta kakao yang diproses melalui proses fermentasi sempurna menunjukkan kriteria warna, aroma dan rasa pahit yang sangat disukai dibandingkan dengan pasta kakao tanpa fermentasi maupun fermentasi tidak sempurna. Hal ini sesuai dengan penelitian Nursalam (2005) dan Ramlah & Daud (2008) bahwa skor tertinggi citarasa aromatik hasil uji organoleptik diperoleh dari biji kakao hasil fermentasi 5-6 hari. Hasil ini
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
173
Towaha et al.
Tabel 4. Analisis mutu organoleptik pasta kakao (uji deskriptif) Table 4. Analysis of the organoleptic quality of cocoa liquor (descriptive test) Atribut mutu Quality attributes
Tanpa fermentasi Unfermented (%)
Fermentasi tidak sempurna Partly fermented (%)
Fermentasi sempurna Fully fermented (%)
- Cokelat gelap (Dark brown)
70
60
0
- Cokelat bata (Medium brown)
25
0
60
- Cokelat muda (Light brown)
0
5
40
- Lain-lain (Others)
5
35
0
- Khas cokelat (Chocolate characteristic)
60
30
100
- Langu (Unpleasant)
15
35
0
- Tidak ada aroma (No aroma)
0
20
0
- Lain-lain (Others)
25
15
0
- Pahit sekali (Very bitter)
65
5
0
- Pahit (Cocoa bitter characteristic)
30
45
70
- Agak pahit (Slightly bitter)
5
50
30
- Tidak terasa pahit (Not bitter)
0
0
0
- Lain-lain (Others)
0
0
0
Warna (Color) :
Aroma (Aroma) :
Rasa pahit (Bitterness) :
Tabel 5. Analisis mutu organoleptik pasta kakao (uji ranking) Table 5. Analysis of the organoleptic quality of cocoa liquor (rank test) Atribut mutu Quality attributes
Tanpa fermentasi Unfermented
Fermentasi tidak sempurna Partly fermented
Fermentasi sempurna Fully fermented
Warna (Color)
3
2
1
Aroma (Aroma)
2
3
1
Rasa pahit (Bitterness)
3
2
1
Keterangan (Notes): ranking 1 = sangat suka; ranking 2 = suka; ranking 3 = agak suka (rank 1 = most preferred; rank 2 = preferred; rank 3 = slightly preferred)
sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya bahwa semakin sempurna proses fermentasi akan semakin baik pula pengembangan citarasa yang dihasilkan (Owosu, 2010; Misnawi, 2005). Dalam SNI 3749:2009 disyaratkan aroma, rasa dan warna pasta kakao adalah masing-masing khas kakao massa, khas kakao massa dan coklat (BSN, 2009c), sehingga yang memenuhi syarat tersebut adalah pasta kakao yang diolah dari biji kakao fermentasi sempurna.
Lemak Kakao Lemak kakao atau cocoa butter merupakan lemak yang diperoleh dari pasta cokelat melalui pengempaan. Dalam penelitian ini dari 100 kg biji kakao kering dihasilkan lemak kakao sebanyak 24,5 kg. Sebelumnya Sri-Mulato et al. (2004b) melaporkan bahwa dari 100 kg biji kakao mendapatkan 39,1 kg lemak kakao. Perbedaan rendemen tersebut sangat dipengaruhi oleh suhu, kadar air, kadar lemak, kadar kulit ari, ukuran partikel,
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
174
Keragaan mutu biji kakao dan produk turunannya pada berbagai tingkat fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali
Tabel 6. Analisis mutu kimia lemak kakao Table 6. Analysis of the chemical quality of cocoa butter Parameter Parameter
Tanpa fermentasi Unfermented
Fermentasi tidak sempurna Partly fermented
Fermentasi sempurna Fully fermented
Kadar lemak (Fat content), %
97.86 a
98.11 a
99.87 a
Kadar air (Moisture content), %
0.05 a
0.09 b
0.13 c
Kadar protein (Protein content), %
2.09 a
1.80 a
0.00 a
Kadar karbohidrat (Carbohydrate content), %
0.00 a
0.00 a
0.00 a
Kadar abu (Ash content), %
0.00 a
0.00 a
0.00 a
Keterangan (Note): Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji menurut uji Duncan pada aras 5% (Numbers followed by the same letter in the same row are not significantly different according to Duncan test at 5% level)
tekanan kempa dan waktu kempa (Puslitkoka, 2008; Sri-Mulato et al., 2002; Ruku, 2008). Lebih lanjut, menurut Puslitkoka (2008) lemak kakao akan relatif mudah dikempa pada suhu 40°-45°C, kadar air <4% dan ukuran partikel <75 m Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan tingkat fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap hampir semua parameter kimia lemak kakao (Tabel 6). Kadar air yang hanya memperlihatkan perbedaan nyata. Kadar air tertinggi diperoleh dari lemak kakao yang diolah dari biji fermentasi sempurna yaitu 0,13%. Namun demikian nilai tersebut memenuhi SNI 3748:2009 yang mensyaratkan kadar air lemak kakao maksimal 0,2% (BSN, 2009b). Kandungan lemak pada produk lemak kakao yang diolah dari biji kakao fermentasi sempurna memiliki nilai tertinggi yaitu 99,87%. Hal ini dikarenakan biji kakao fermentasi sempurna memiliki kandungan lemak lebih tinggi daripada biji kakao tanpa fermentasi maupun fermentasi tidak sempurna. Dengan kandungan lemak yang tinggi tersebut lemak kakao relatif tidak mudah tengik, di samping mempunyai kadar air yang sangat rendah yaitu <0,2%; juga karena adanya kandungan polifenol dalam biji kakao sekitar 5-6% (Hii et al., 2009). Memang dalam proses pengolahan biji kakao terjadi penguraian senyawa polifenol, sampai tahap penyangraian terjadi pengurangan
polifenol sebanyak ± 43% (de Brito et al., 2000), tetapi kandungan polifenol yang tertinggal masih cukup tinggi sebagai antioksidan yang berfungsi untuk mencegah ketengikan maupun untuk kesehatan manusia (Hii et al., 2009). Walaupun lemak kakao mengandung antioksidan, tetapi dalam SNI 3748:2009 disyaratkan kadar asam lemak bebas yang dihitung sebagai asam oleat tidak melebihi 1,75% sebagai batasan potensi terjadinya ketengikan (BSN, 2009b).
Bubuk Kakao Bubuk kakao merupakan produk yang diperoleh dari bungkil kakao yang diubah bentuknya menjadi bubuk. Dalam penelitian ini dari 100 kg biji kakao kering dihasilkan sebanyak 47,7 kg bubuk kakao. Sri-Mulato et al. (2004b) dalam penelitiannya melaporkan bahwa dari 100 kg biji kakao dihasilkan 41 kg bungkil kakao (nilai yang mendekati rendemen bubuk kakao). Perbedaan rendemen tersebut dapat disebabkan oleh spesifikasi biji kakao, yang berbeda seperti kadar air, kadar lemak dan kadar kulit (Sri-Mulato et al., 2004b). Hasil analisis statistik mutu kimia bubuk kakao menunjukkan bahwa tingkatan fermentasi berpengaruh nyata terhadap hampir semua parameter mutu kimia bubuk kakao (Tabel 7), hanya kadar abu yang tidak berbeda nyata. Pada kadar lemak bubuk
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
175
Towaha et al.
Tabel 7. Analisis mutu kimia bubuk kakao Table 7. Analysis of the chemical quality of cocoa powder Parameter Parameter
Tanpa fermentasi Unfermented
Fermentasi tidak sempurna Partly fermented
Fermentasi sempurna Fully fermented
Kadar lemak (Fat content), %
27.95 a
30.93 b
37.78 c
Kadar air (Moisture content), %
7.94 b
4.66 a
4.38 a
Kadar protein (Protein content), %
19.57 b
13.28 a
16.62 ab
Kadar karbohidrat (Carbohydrate content), %
40.27 a
46.89 b
36.62 a
Kadar abu (Ash content), %
4.23 a
4.26 a
4.60 a
pH
6.30 c
5.85 b
5.35 a
Keterangan (Note): Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji menurut uji Duncan pada aras 5% (Numbers followed by the same letter in the same row are not significantly different according to Duncan test at 5% level)
kakao, pengaruh tingkat fermentasi memperlihatkan perbedaan yang nyata. Bubuk kakao yang diolah dari biji kakao terfermentasi sempurna mempunyai kandungan lemak yang paling tinggi yaitu 37,78%. Nilai kadar lemak bubuk kakao dalam penelitian ini memperlihatkan nilai yang relatif tinggi untuk standar bubuk kakao. Beckett (2008) menyatakan bahwa bubuk kakao yang baik harus mengandung lemak sebesar 10-22%. BSN (2009a) dalam SNI 3747:2009 mensyaratkan kandungan lemak minimal 10%. Saat ini dikenal tiga jenis kakao bubuk, yaitu kadar lemak rendah (10-12%), medium (12-17%) dan tinggi (17-22%) (Puslitkoka, 2008). Nampaknya kadar lemak kakao bubuk yang relatif tinggi pada penelitian ini dapat disebabkan oleh suhu pada saat pengempaan lemak kakao yang kurang dari 35 oC dan tekanan kempa yang kurang kuat, sehingga masih banyak lemak kakao yang belum terekstraksi. Hal ini didukung oleh hasil rendemen lemak kakao yang rendah yaitu 24,5%, bandingkan dengan penelitian Sri-Mulato et al. (2004b) yang mendapatkan rendemen 39,1%. Kadar air bubuk kakao fermentasi sempurna berbeda nyata dengan pH kakao bubuk fermentasi tidak sempurna maupun tanpa fermentasi. Kadar air terendah diperoleh dari cokelat bubuk fermentasi
sempurna yaitu 4,38%. Kadar air tersebut memenuhi syarat SNI 3747:2009 yang mensyaratkan kadar air maksimal 5% (BSN, 2009a). Nilai pH bubuk kakao fermentasi sempurna berbeda nyata dengan kadar air cokelat bubuk fermentasi tidak sempurna maupun tanpa fermentasi, nilai pH terendah diperoleh dari bubuk kakao fermentasi sempurna yaitu 5,35. Hal ini sesuai karena bubuk kakao ini diolah dari biji kakao fermentasi sempurna yang mempunyai pH paling rendah. Menurut Wahyudi et al. (2008) bubuk kakao ini termasuk pada bubuk kakao netral karena mempunyai nilai pH < 6 yang umumnya berwarna coklat muda atau coklat yang biasanya digunakan untuk bahan baku industri roti atau kue. Bubuk kakao alkalis mempunyai pH > 6 karena penambahan garam alkali NaHCO 3 atau KHCO3. Bubuk kakao berwarna coklat gelap bahkan hitam biasanya dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan minuman, puding dan es krim serta pewarna hasil olahan. Berdasarkan deskripsi panelis (Tabel 8), atribut mutu organoleptik bubuk kakao dari biji fermentasi sempurna yang paling disukai adalah sebagai berikut: warna bubuk kakao bata (55%), dengan aroma khas cokelat (60%) dan rasa pahit yang khas cokelat (60%), serta tekstur bubuk yang halus
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
176
Keragaan mutu biji kakao dan produk turunannya pada berbagai tingkat fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali
(55%). Begitupun hasil analisis mutu organoleptik uji ranking (Tabel 9), panelis paling menyukai bubuk kakao dari biji fermentasi sempurna, baik dari segi warna, aroma, rasa pahit (bitterness), dan tekstur. Oleh karena itu berdasarkan kriteria aroma,
rasa dan warna bubuk kakao yang diolah dari biji kakao fermentasi sempurna memenuhi syarat SNI 3747:2009 (BSN, 2009a). Sekali lagi dapat ditegaskan bahwa citarasa bubuk kakao terbaik diperoleh dari biji kakao dengan fermentasi sempurna. Hal
Tabel 8.
Analisis mutu organoleptik bubuk kakao (uji deskriptif)
Table 8.
Analysis of the organoleptic quality of cocoa powder (descriptive) Atribut mutu Quality attributes
Tanpa fermentasi Unfermented (%)
Fermentasi tidak sempurna Partly fermented (%)
Fermentasi sempurna Fully fermented (%)
- Cokelat gelap (Dark brown)
50
0
25
- Cokelat bata (Medium brown)
10
40
55
- Cokelat muda (Light brown)
10
60
15
- Lain-lain (Others)
30
0
5
- Khas cokelat (Cocoa characteristic)
40
50
60
- Langu (Unpleasant)
10
45
35
- Tidak ada aroma (No aroma)
45
0
0
- Lain-lain (Others)
5
5
5
20
0
15
- Pahit (Bitter)
15
45
60
- Agak pahit (Slightly bitter)
55
50
25
10
5
0
0
0
0
60
30
55
35
50
40
5
20
5
0
0
0
Warna (Color):
Aroma (Aroma):
Rasa pahit (Bitterness): - Pahit sekali (Very bitter)
- Tidak terasa pahit (Not bitter) - Lain-lain (Others) Tekstur (Texture) : - Halus (Smooth) - Agak halus (Slightly smooth) - Kasar (Coarse) - Lain-lain (Others)
Tabel 9. Analisis mutu organoleptik bubuk kakao (uji ranking) Table 9. Analysis of the organoleptic quality of cocoa powder (rank test) Atribut mutu Quality attributes
Tanpa fermentasi Unfermented
Fermentasi tidak sempurna Partly fermented
Fermentasi sempurna Fully fermented
Warna (Color)
3
2
1
Aroma (Aroma)
3
2
1
Rasa pahit (Bitterness)
3
2
1
Tekstur (Texture)
2
3
1
Keterangan (Notes): ranking 1 = sangat suka; ranking 2 = suka; ranking 3 = agak suka ( rank 1 = most preferred; rank 2 = preferred; rank 3 = slightly preferred)
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
177
Towaha et al.
ini disebabkan pembentukan komponen penyusun aroma makin sempurna dengan makin lama waktu fermentasi, yang mencapai puncaknya pada fermentasi sempurna (5-6 hari). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Putra (1997) yang mendapatkan penilaian panelis terbanyak yang menyukai aroma dan rasa bubuk kakao yang diolah dari biji kakao fermentasi 5-6 hari. Perubahan biokimia yang terjadi selama fermentasi sempurna memungkinkan terbentuknya komponen prekursor citarasa yang maksimal (de Brito et al., 2000; Campos et al., 2011).
Minuman Cokelat dan Es Krim Hasil analisis mutu organoleptik (uji hedonik dengan skala 7) minuman cokelat menunjukkan bahwa tingkat
fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap warna, aroma, mouthfeel, dan rasa minuman cokelat (Tabel 10). Namun demikian, panelis memberikan skor hedonik yang lebih tinggi untuk aroma, mouthfeel, dan rasa minuman cokelat yang dibuat dari bubuk fermentasi sempurna, yaitu dengan skor 4-5 atau dari netral sampai agak suka. Berdasarkan hasil analisis mutu organoleptik (Tabel 11) es krim cokelat menunjukkan bahwa tingkat fermentasi tidak berpengaruh nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap aroma dan mouthfeel es krim cokelat, namun berpengaruh nyata pada warna dan rasa produk. Warna dan aroma es krim dari bubuk kakao dengan fermentasi tidak sempurna memiliki skor hedonik tertinggi, sementara dari segi rasa dan
Tabel 10. Analisis mutu organoleptik minuman cokelat (uji hedonik) Table 10. Analysis of the organoleptic quality of chocolate drink (hedonic test) Atribut mutu Quality attributes
Tanpa fermentasi Unfermented
Fermentasi tidak sempurna Partly fermented
Fermentasi sempurna Fully fermented
Warna (Color)
3.87 a
4.73 a
4.20 a
Aroma (Aroma)
4.33 a
4.87 a
4.93 a
Mouthfeel
3.93 a
3.40 a
4.10 a
Rasa (Taste) 4.20 a 3.87 a 4.33 a Keterangan (Notes): Skala hedonik 1-7, skala 1 tingkat kesukaan paling rendah, skala 7 tingkat kesukaan paling tinggi. Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji menurut uji Duncan pada aras 5% (Hedonic scale 1-7, scale 1 is low level of preference, scale 7 is highest level of preference. Numbers followed by the same letter in the same row are not significantly different according to Duncan test at 5% level)
Tabel 11. Analisis mutu organoleptik es krim cokelat (uji hedonik) Table 11. Analysis of the organoleptic quality of chocolate ice cream (hedonic test) Atribut mutu Quality attributes
Tanpa fermentasi Unfermented
Fermentasi tidak sempurna Partly fermented
Fermentasi sempurna Fully fermented
Warna (Color)
3.87 a
4.80 b
3.53 a
Aroma (Aroma)
4.53 a
5.07 a
4.60 a
Mouthfeel
4.37 a
4.80 a
5.07 a
Rasa (Taste)
4.30 b
5.40 b
5.47 a
Keterangan (Notes): Skala hedonik 1-7, skala 1 tingkat kesukaan paling rendah, skala 7 tingkat kesukaan paling tinggi. Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji menurut uji Duncan pada aras 5% (Hedonic scale 1-7, scale 1 is low level of preference, scale 7 is highest level of preference. Numbers followed by the same letter in the same row are not significantly different according to Duncan test at 5% level)
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
178
Keragaan mutu biji kakao dan produk turunannya pada berbagai tingkat fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali
Tabel 12. Analisis mutu kimia makanan cokelat dari bubuk kakao dengan fermentasi sempurna Table 12. Analysis of the chemical quality of chocolate foods from perfect fermentation cocoa powder Produk makanan cokelat Chocolate food products
Parameter Parameter
Minuman cokelat Chocolate drink
Es krim Ice cream
Kadar lemak (Fat content), % b/b
8.39
19.60
Kadar protein (Protein content), % b/b
4.40
3.51
Kadar karbohidrat (Carbohydrate content), % b/b
81.65
17.85
Kadar air (Moisture content), % b/b
3.77
58.23
Kadar abu (Ash content), % b/b
1.79
0.81
mouthfeel es krim dari bubuk dengan fermentasi sempurna memiliki skor hedonik tertinggi (agak suka sampai suka). Secara umum hal tersebut sesuai dengan Puslitkoka (2008) yang menyatakan bahwa dari aspek rasa dan aroma, makanan atau minuman cokelat akan sangat baik jika biji kakao yang dipergunakan telah difermentasi secara sempurna lima hari. Hasil analisis mutu kimia makanan cokelat dari bubuk kakao dengan fermentasi sempurna seperti es krim dan minuman cokelat disajikan pada Tabel 12. Pada tabel tersebut terlihat bahwa kadar karbohidrat dan protein pada minuman cokelat lebih tinggi dibandingkan es krim cokelat, sedangkan kadar lemak pada es krim cokelat lebih tinggi dibandingkan dengan minuman cokelat. Pada produk ini padatan cokelat berperan sebagai pemberi citarasa dan warna, sedangkan lemak berperan dalam mengendalikan tekstur produk. Mengingat bahwa penerapan good agricultural practices (GAP) di tingkat petani masih rendah terutama fermentasi biji kakao, maka pemberian penyuluhan dan pelatihan untuk meningkatkan SDM petani harus terus dilakukan. Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao yang salah satu
kegiatannya berupa pembangunan unit fermentasi biji kakao, harus terus ditingkatkan dan diperluas untuk menjangkau semua sentra perkebunan kakao rakyat di seluruh Indonesia.
KESIMPULAN Dari hasil-hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa fermentasi biji kakao selama lima hari (fermentasi sempurna) menghasilkan mutu terbaik, baik mutu fisik, kimia, maupun produk turunannya seperti pasta kakao, lemak kakao, bubuk kakao, minuman cokelat dan es krim cokelat.
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Sdr. Jemy Rinaldy, SP, M.Si peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian berlangsung di lapangan dan analisis mutu kakao di Laboratorium. Ucapan yang sama disampaikan kepada Klian Subak Abian Puncaksari, Desa Munde Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan atas dukungan dan bantuan selama penelitian berlangsung hingga pengolahan biji kakao.
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
179
Towaha et al.
DAFTAR PUSTAKA Afoakwa, E.O.; A. Payterson; M. Fowler & A. Ryan (2008). Flavor formation and character in cocoa and chocolate: a critical review. Critical Reviews in Food Science and Nutrition, 48, 840-857. Afoakwa, E.O.; J. Quao; A.S. Budu; J. Takrama & F.K. Saalia (2011). Effect of pulp preconditioning on acidification, proteolysis, sugars and free fatty acids concentration during fermentation of cocoa (Theobroma cacao) beans. International Journal of Food Sciences and Nutrition, 62, 755-764. Afoakwa, E.O.; Q. Jennifer; S.B. Agnes; S.T. Jemmy & K.S. Fribu (2012). Influence of pulp preconditioning and fermentation on fermentative quality and appearance of Ghanaian cocoa (Theobroma cacao) beans. International Food Research Journal, 19, 127-133. Aikpokpodion, P.E. & L.N. Dongo (2010). Effect of fermentation intensity on polyphenols and antioxidant capacity of cocoa beans. International Journal of Sustainable Production, 5, 66-70. AOAC (1998). Official Method 973.41, Determination pH. Association of Official Analytical Chemistry (AOAC). AOAC (1999). Official Method 942.15, Total Titratable Acidity. Association of Official Analytical Chemistry (AOAC). AOAC (2000a). Official Method 920.190, Sugars Reducing. Association of Official Analytical Chemistry (AOAC). AOAC (2000b). Official Method 972.15, Ash in Cocoa Product. Association of Official Analytical Chemistry (AOAC). AOAC (2000c). Official Method 967.12, Protein Content. Association of Official Analytical Chemistry (AOAC). AOAC (2000d). Official Method 995.13, Carbohydrate Content. Association of Official Analytical Chemistry (AOAC).
AOAC (2005a). Official Method 931.40, Moisture in Cocoa Product. Association of Official Analytical Chemistry (AOAC). AOAC (2005b). Official Method 963.15, Fat in Cocoa Product. Association of Official Analytical Chemistry (AOAC). APPI (2002). Kiat memperkokoh agribisnis kakao Indonesia. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Warta Litbang Pertanian, 24, 1-3. Ardhana, M.M. & G.H. Fleet (2003). The microbial ecology of cocoa bean fermentation in Indonesia. International Journal of Food Microbiology, 86, 87-99. BSN (2008). Standar Nasional Indonesia Biji Kakao. SNI 2323:2008. Badan Standardisasi Nasional. BSN (2009a). Standar Nasional Indonesia Bubuk kakao. SNI 3747:2009. Badan Standardisasi Nasional. BSN (2009b). Standar Nasional Indonesia Lemak Kakao. SNI 3748:2009. Badan Standardisasi Nasional. BSN (2009c). Standar Nasional Indonesia Kakao Massa. SNI 3749:2009. Badan Standardisasi Nasional. Balitbang Pertanian (2005). Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Basri, Z. (2010). Mutu biji kakao hasil sambung samping. Media Litbang Sulteng, III, 112-118. Beckett, S.T. (2008). The Science of Chocolate. 2nd Edition. The Royal Society of Chemistry, Thomas Graham House, Science Park, Milton Road. Cambridge CB4 OWF, United Kingdom. Biehl, B.; E. Brunner; D. Passern; V.C. Quesnel & D. Adomako (1985). Acidification, proteolysis and flavour potential in fermenting cocoa beans. Journal of the Science of Food and Agriculture, 36, 583-598.
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
180
Keragaan mutu biji kakao dan produk turunannya pada berbagai tingkat fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali
Binh, P.T.; T.T. Hoaitram; N.V. Thuong; P.V. Thao; T.T. Thamha & T.T. Hoanganh (2012). Using invertase (Novozyme) in cocoa for improving bean quality and fermentation process in Vietnam. Journal of Agricultural Technology, 8, 93-102. Campos, J.R.; H.B.E. Buendia; I.O. Avila; E.L. Cervantes & E.J. Flores (2011). Dynamics of volatile and non-volatile compounds in cocoa during fermentation and drying processes using principal components analysis. Food Research International, 44, 250-258. Campos, J.R.; H.B.E. Buendia; S.M.C. Ramos; I.O. Avila; E.J. Flores & E.L. Cervantes (2012). Effect of fermentation time and drying temperature on volatile compounds in cocoa. Food Chemistry, 132, 277-288. Camu, N.; T.D. Winter; S.K. Addo; J.S. Takrama; H. Bernart & L.D. Vuyst (2008). Fermentation of cocoa beans: Influence of microbial activities and polyphenol concentrations on the flavour of chocolate. Journal of the Science of Food and Agriculture, 88, 2288-2297. Cortes, T.R.; V.R. Olvera; G.R. Jimenes & M.R. Lepe (2012). Isolation and characterization of acetic acid bacteria in cocoa fermentation. African Journal of Microbiology Research, 6, 339-347. De Brito, E.S.; N.H.P. Garcia; M.I. Gallao; A.L. Cortelazzo; P.S. Fevereiro & M.R. Braga (2000). Structural and chemical changes in cocoa (Theobroma cacao L.) during fermentation, drying and roasting. Journal of the Science of Food and Agriculture, 81, 281-288. Dinas Perkebunan Bali (2012). Kakao fermentasi berpotensi hasilkan nilai tambah Rp23 milyar. Dinas Perkebunan Provinsi Bali. Granvogl, M.; S. Bugan & P. Schieberle (2006). Formation of amines and aldehydes
from parent amino acids during thermal processing of cocoa and model systems: New insights into pathways of the strecker reaction. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 54, 1730-1739. Guehi, T.S.; K.P.B. Koffi & S. Dabonne (2010). Spontaneous cocoa bean heap fermentation: Influence of the duration and turning on the quality of raw cocoa. World Academy of Science, Engineering and Technology, 70, 118-123. Hii, C.L.; C.L. Law; S. Suzannah; Misnawi & M. Cloke (2009). Polyphenols in cocoa (Theobroma cacao L.). Asian Journal of Food and Agro-Industry, 2, 702-722. Holm, C.S.; J.W. Aston & K. Douglas (1993). The effects of the organic acids in cocoa on the flavour of chocolate. Journal of Science of Food and Agriculture, 61, 65-71. Indonesian Commercial Newsletter (2010). Perkembangan agribisnis kakao di Indonesia. Monthly Report Indonesian Commercial Newsletter, Mei, 41-58. Leal, G.A.; L.H. Gomes; P. Efraim; F.C.D.A. Tavares & A. Figuera (2008). Fermentation of cacao (Theobroma cacao L.) seeds with a hybrid Kluyveromyces marxianus strain improved product quality attributes. FEMS Yeast Res., 8, 788-798. Lefeber, T.; M. Janssens; F. Moens; W. Gobert & L.D. Vuyst (2011). Interesting starter culture strains for controlled cocoa bean fermentation revealed by simulated cocoa pulp fermentations of cocoa-specific lactic acid bacteria. Applied and Enviromental Microbiology, 77, 6694-6698. Lima, L.J.R.; M.H. Almeida; M.J.R. Nout & M.H. Zwietering (2011). Theobroma cacao L., the food of the Gods: quality determinants of commercial cocoa beans, with particular reference to the impact of fermentation. Critical
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
181
Towaha et al.
Reviews in Food Science and Nutrition, 51, 731-761. Loppies, J.E. & M. Yumas (2008). Mempelajari proses fermentasi biji kakao dengan penambahan aktivator. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, 3, 25-32. Meilgaard, M.C.; G.V. Civile & B.T. Carr (2006). Sensory Evaluation Techniques. Fourth Edition. CRC Press LLC, 2000 N.W. Corporated Blvd, Boca Raton, Florida 33431. Misnawi (2005). Peranan pengolahan terhadap pembentukan cita rasa cokelat. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 21, 136-144. Misnawi (2008). Physico-chemical changes during cocoa fermentation and key enzymes involved. Warta Review Penelitian Kopi dan Kakao, 24, 47-64. Misnawi & B.T.S. Ariza (2011). Use of gas c h r om a t og r a p h y- ol fa c t om e t r y in combination with solid phase micro extraction for cocoa liquor aroma analysis. International Food Research Journal, 18, 829-835. Noor-Soffalina, S.S.; S. Jinap; S. Nazamid & S.A.H. Nazimah (2009). Effect of polyphenol and pH on cocoa Maillardrelated flavour precursors in a lipidic model system. International Journal of Food Science and Technology, 44, 168-180. Nursalam (2005). Mutu biji kakao lindak pada berbagai lama waktu fermentasi. Jurnal Agrisains, 6, 73-80. Owosu, M. (2010). Influence of Raw Material and Processing on Aroma in Chocolate. Ph.D. Thesis Faculty of Life Science, University of Copenhagen. Puslitkoka (2008). Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Putra, G.P.G. (1997). Profil aroma bubuk kakao selama fermentasi dan hubungannya dengan tingkat kesukaan. Gitayana, 3, 37-42.
Ramlah, S. & D. Daud (2009). Pengaruh lama fermentasi terhadap warna dan citarasa biji kakao. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, 4, 24-30. Ruku, S. (2008). Teknologi pengolahan biji kakao kering menjadi produk olahan setengah jadi. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 5, 37-44. Ruku, S.; Baharuddin; Y. Irawan; Syamsiar & S. Muttakin (2005). Penggunaan alat pengering kakao modifikasi BPTP Sultra. Petunjuk Teknis Teknologi Pertanian, 43-49. Schwan, R.F. & A.E. Wheals (2004). The microbiology of cocoa fermentation and its role in chocolate quality. Critical Reviews in Food Science & Nutrition, 44, 205-221. Soekarto, S.T. (1985). Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Sri-Mulato; O. Atmawinata; Yusianto; Handaka & W. Muehlbauer (1997). Kinerja model unit sentralisasi pengolahan kakao rakyat skala kelompok tani. Pelita Perkebunan, 13, 100-114. Sri-Mulato; S. Widyotomo & Handaka (2002). Disain teknologi pengolahan pasta, lemak dan bubuk kakao untuk kelompok tani. Warta Litbang Pertanian, 26, 1-3. Sri-Mulato; S. Widyotomo & H. Nuraini (2004a). Kinerja alat penghalus pasta cokelat tipe silinderis berputar. Pelita Perkebunan, 20, 37-53. Sri-Mulato; S. Widyotomo; Misnawi; Sahali & E. Suharyanto (2004b). Petunjuk Teknis Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Wahyudi, T.; T.R. Panggabean & Pujiyanto (2008). Panduan Kakao Lengkap, Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya, Jakarta.
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
182
Keragaan mutu biji kakao dan produk turunannya pada berbagai tingkat fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali
Widyotomo, S. (2008). Teknologi fermentasi dan diversifikasi pulpa kakao menjadi produk yang bermutu dan bernilai tambah. Warta Review Penelitian Kopi dan Kakao, 24, 65-82.
Widyotomo, S.; Sri-Mulato & Handaka (2004). Mengenal lebih dalam teknologi pengolahan biji kakao. Warta Litbang Pertanian, 26, 5-6. *********.
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
183