LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 45
Bab 1 - 1.2
Swasembada Beras
o o o o o o o o o o o o o o o o o
. Impor Beras, Perlukah? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .46 . Kemelut Harga Beras . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .48 .Bagaimana Swasembada Beras Lagi? . . . . . . . . . . . . . . . .50 .Impor Beras: Jangan Hanya Salahkan Bulog . . . . . . . . . . .52 . Impor Beras Antara Prinsip dan Keluwesan . . . . . . . . . . .54 . Target Produksi Padi Harus Realistis . . . . . . . . . . . . . . . .56 . Padi Hibrida, Padi Masa Depan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .58 .Jangan Kambing Hitamkan Banjir . . . . . . . . . . . . . . . . . .60 .Usahakan Swasembada Beras Berkelanjutan . . . . . . . . . .62 .Hiruk Pikuk Ekspor Beras . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .64 .Persoalan Swasembada dan Ekspor Beras . . . . . . . . . . . .66 .Upaya Swasembada dan Ekspor Beras Berkelanjutan . . . .68 . Keterpaduan Solusi Perberasan Nasional . . . . . . . . . . . . .70 . Membangun Sistem Agribisnis Jagung . . . . . . . . . . . . . .72 .Indonesia Mampu Swasembada Jagung . . . . . . . . . . . . .74 .Kesempatan Baru Pengembangan Kedelai Dalam Negeri 76 . Prospek Agribisnis Florikultura . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .78
Suara Agribisnis
45
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 46
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
28 September – 12 Oktober 2005
Impor Beras, Perlukah? MENTERI PERDAGANGAN, MARI E. PANGESTU, menyatakan akan memberikan izin impor beras sebanyak 250.000 ton. Kebijakan itu bertentangan dengan pendapat Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, seperti diungkapkannya saat diwawancarai AGRINA. Pada 2004 kita berhasil swasembada beras yang ditunjukkan oleh ditutupnya kran impor beras sepanjang tahun. Kenapa sekarang ada kabar akan impor lagi? Pertanyaan saya apakah perlu kita mengimpor beras? Proteksi masih berlangsung, tidak ada El Nino, tidak ada banjir besar, tidak ada serangan hama, dan tidak ada kekeringan, kenapa kita harus impor beras? Saya sendiri juga nggak tahu. Itu harusnya dijawab oleh pemerintah. Menurut data BPS, tahun 2005 memang ada penurunan sekitar 1 juta ton dibandingkan produksi tahun 2004 lebih dari 54 juta ton gabah kering. Jika pemerintah mengimpor berarti pengakuan atas kegagalan peningkatan produksi. Kita mendapatkan sinyal yang bertentangan dari pemerintah. Menteri Pertanian mengatakan cukup walaupun produksi turun, tapi di sisi lain ada upaya impor. Saya juga nggak tahu siapa yang meminta. Bulog dari dulu lebih senang mengimpor daripada membeli dari dalam negeri karena lebih mudah. Mungkin juga keuntungannya lebih besar dari mengimpor. Itu merugikan dari segi kepentingan petani. Bagaimana peran beras bagi masyarakat Indonesia? Beras tidak dapat dilihat dari segi pangan belaka tapi beras ini sudah menjadi semacam kebanggaan. Jadi wajar ada anggapan jika pangan pokok kita saja tidak mampu kita penuhi sendiri, apalagi yang mampu kita penuhi sendiri. Begitulah sederhananya pikiran masyarakat. Oleh karena itu, waktu itu kita sangat hati-hati. Tidak bisa kita katakan, impor aja itu ‘kan cuma makanan. Itu akan mengusik kebanggaan masyarakat. Kalau begitu bagaimana pun kita harus bisa mengusahakan pangan pokok kita sendiri. Dan itu sudah pernah kita peroleh tahun 1984. Tahun 2000 masih 4 juta ton beras kita impor, tahun 2004 tidak ada lagi importasi. Kenapa? Karena produksi beras kita meningkat dan impor kita larang. Jika impor tidak dilarang sekalipun kita sudah swasembada, maka beras impor tetap datang saja. Beras itu di banyak negara disubsidi. Hanya karena dumping beras itu bisa masuk ke Indonesia. Kebijakan apa yang tepat untuk itu? Kebijakan yang kita kembangkan pada masa pemerintahan lalu adalah kebijakan proteksi dan kebijakan promosi. Proteksi itu melarang atau menghambat beras masuk. Kalau kita meningkatkan produksi tanpa ada proteksi, maka harga akan turun. Mulanya kita proteksi melalui tarif. Proteksi tarif ini membuat banyak sekali yang melaku-
46
Suara Agribisnis
kan “separuh nyolong” untuk mengelak dari tarif sehingga keuntungan penyelundup besar sekali. Dari situ kita larang saja impor karena menurut perhitungan produksi dalam negeri cukup. Mulai Januari 2004 kita tutup impor beras. Awalnya saat panen, tetapi sesudah panen yakin cukup, kita tutup saja sepanjang tahun. Karena tidak ada beras impor, harga naik sehingga petani bergairah memproduksi beras. Bagaimana dengan kebijakan promosi? Kebijakan promosi adalah meningkatkan produksi dan daya saing usahatani padi kita. Prinsipnya hanya mensinergikan semua potensi yang ada. Promosi yang kita lakukan seperti memberi subsidi pupuk, Kredit Ketahanan Pangan, bantuan langsung masyarakat, perbaikan irigasi pedesaan secara besar-besaran, perbaikan kualitas benih, introduksi pupuk majemuk, dan cegah kegagalan panen akibat serangan hama penyakit tanaman, kekeringan, dan banjir. Selain itu, juga menghimbau perusahaan pupuk dan pestisida untuk langsung bekerjasama dengan petani. Mengaktifkan Pemda untuk menerima tanggung jawab desentralisasi pembangunan pertanian. Selanjutnya, memperkuat organisasi petani dan penyuluhan kita sinergikan. Jadi konsep untuk mencapai swasembada bukanlah dengan melakukan program atau proyek yang besar-besaran. Kita hanya mengubah yang kecil-kecil. Terbukti produktivitas meningkat dari rata-rata 4,2 ton/ha menjadi 4,6 ton/ha. Sekalipun areal tidak meningkatkan, tetap 11 juta ha setahun, diperoleh peningkatan produksi 4,4 juta ton gabah kering. Apa solusi untuk mempertahankan swasembada beras? Kebijakan proteksi dengan melarang impor beras harus dipertahankan. Dengan demikian harga beras di dalam negeri tidak turun bahkan mungkin naik sehingga ada insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi. Diplomasi kita harus kuat, yakinkan WTO untuk menerima kebijakan kita. Sudah dua tahun ini kita proteksi nggak ada masalah. Memang Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian sangat sibuk untuk menjelaskan pentingnya beras itu buat kita secara bilateral dan multilateral. Sedangkan promosi tidak usah mengada-ada, kita gunakan saja teknologi untuk meningkatkan produktivitas. Saya yakin bila kebijakan lalu diteruskan, kita sudah ekspor sekarang, tapi ternyata produksi kita turun tanpa ada sebab yang pasti. Lalu buruburu ingin impor yang sebenarnya impor merupakan pilihan terakhir. ***
Suara Agribisnis
47
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 46
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
28 September – 12 Oktober 2005
Impor Beras, Perlukah? MENTERI PERDAGANGAN, MARI E. PANGESTU, menyatakan akan memberikan izin impor beras sebanyak 250.000 ton. Kebijakan itu bertentangan dengan pendapat Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, seperti diungkapkannya saat diwawancarai AGRINA. Pada 2004 kita berhasil swasembada beras yang ditunjukkan oleh ditutupnya kran impor beras sepanjang tahun. Kenapa sekarang ada kabar akan impor lagi? Pertanyaan saya apakah perlu kita mengimpor beras? Proteksi masih berlangsung, tidak ada El Nino, tidak ada banjir besar, tidak ada serangan hama, dan tidak ada kekeringan, kenapa kita harus impor beras? Saya sendiri juga nggak tahu. Itu harusnya dijawab oleh pemerintah. Menurut data BPS, tahun 2005 memang ada penurunan sekitar 1 juta ton dibandingkan produksi tahun 2004 lebih dari 54 juta ton gabah kering. Jika pemerintah mengimpor berarti pengakuan atas kegagalan peningkatan produksi. Kita mendapatkan sinyal yang bertentangan dari pemerintah. Menteri Pertanian mengatakan cukup walaupun produksi turun, tapi di sisi lain ada upaya impor. Saya juga nggak tahu siapa yang meminta. Bulog dari dulu lebih senang mengimpor daripada membeli dari dalam negeri karena lebih mudah. Mungkin juga keuntungannya lebih besar dari mengimpor. Itu merugikan dari segi kepentingan petani. Bagaimana peran beras bagi masyarakat Indonesia? Beras tidak dapat dilihat dari segi pangan belaka tapi beras ini sudah menjadi semacam kebanggaan. Jadi wajar ada anggapan jika pangan pokok kita saja tidak mampu kita penuhi sendiri, apalagi yang mampu kita penuhi sendiri. Begitulah sederhananya pikiran masyarakat. Oleh karena itu, waktu itu kita sangat hati-hati. Tidak bisa kita katakan, impor aja itu ‘kan cuma makanan. Itu akan mengusik kebanggaan masyarakat. Kalau begitu bagaimana pun kita harus bisa mengusahakan pangan pokok kita sendiri. Dan itu sudah pernah kita peroleh tahun 1984. Tahun 2000 masih 4 juta ton beras kita impor, tahun 2004 tidak ada lagi importasi. Kenapa? Karena produksi beras kita meningkat dan impor kita larang. Jika impor tidak dilarang sekalipun kita sudah swasembada, maka beras impor tetap datang saja. Beras itu di banyak negara disubsidi. Hanya karena dumping beras itu bisa masuk ke Indonesia. Kebijakan apa yang tepat untuk itu? Kebijakan yang kita kembangkan pada masa pemerintahan lalu adalah kebijakan proteksi dan kebijakan promosi. Proteksi itu melarang atau menghambat beras masuk. Kalau kita meningkatkan produksi tanpa ada proteksi, maka harga akan turun. Mulanya kita proteksi melalui tarif. Proteksi tarif ini membuat banyak sekali yang melaku-
46
Suara Agribisnis
kan “separuh nyolong” untuk mengelak dari tarif sehingga keuntungan penyelundup besar sekali. Dari situ kita larang saja impor karena menurut perhitungan produksi dalam negeri cukup. Mulai Januari 2004 kita tutup impor beras. Awalnya saat panen, tetapi sesudah panen yakin cukup, kita tutup saja sepanjang tahun. Karena tidak ada beras impor, harga naik sehingga petani bergairah memproduksi beras. Bagaimana dengan kebijakan promosi? Kebijakan promosi adalah meningkatkan produksi dan daya saing usahatani padi kita. Prinsipnya hanya mensinergikan semua potensi yang ada. Promosi yang kita lakukan seperti memberi subsidi pupuk, Kredit Ketahanan Pangan, bantuan langsung masyarakat, perbaikan irigasi pedesaan secara besar-besaran, perbaikan kualitas benih, introduksi pupuk majemuk, dan cegah kegagalan panen akibat serangan hama penyakit tanaman, kekeringan, dan banjir. Selain itu, juga menghimbau perusahaan pupuk dan pestisida untuk langsung bekerjasama dengan petani. Mengaktifkan Pemda untuk menerima tanggung jawab desentralisasi pembangunan pertanian. Selanjutnya, memperkuat organisasi petani dan penyuluhan kita sinergikan. Jadi konsep untuk mencapai swasembada bukanlah dengan melakukan program atau proyek yang besar-besaran. Kita hanya mengubah yang kecil-kecil. Terbukti produktivitas meningkat dari rata-rata 4,2 ton/ha menjadi 4,6 ton/ha. Sekalipun areal tidak meningkatkan, tetap 11 juta ha setahun, diperoleh peningkatan produksi 4,4 juta ton gabah kering. Apa solusi untuk mempertahankan swasembada beras? Kebijakan proteksi dengan melarang impor beras harus dipertahankan. Dengan demikian harga beras di dalam negeri tidak turun bahkan mungkin naik sehingga ada insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi. Diplomasi kita harus kuat, yakinkan WTO untuk menerima kebijakan kita. Sudah dua tahun ini kita proteksi nggak ada masalah. Memang Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian sangat sibuk untuk menjelaskan pentingnya beras itu buat kita secara bilateral dan multilateral. Sedangkan promosi tidak usah mengada-ada, kita gunakan saja teknologi untuk meningkatkan produktivitas. Saya yakin bila kebijakan lalu diteruskan, kita sudah ekspor sekarang, tapi ternyata produksi kita turun tanpa ada sebab yang pasti. Lalu buruburu ingin impor yang sebenarnya impor merupakan pilihan terakhir. ***
Suara Agribisnis
47
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 48
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
11 – 24 Januari 2006
Kemelut Harga Beras BEBERAPA BULAN SETELAH IMPOR BERAS DILARANG, Januari 2004, tingkat harga beras/gabah dalam negeri terus membaik. Kejatuhan harga gabah berkurang drastis. ”Ini terus berlangsung seiring dengan pola tanam padi dan musim hujan,” ungkap Prof. Dr Ir Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA Bila sudah ada polanya, mengapa terjadi kemelut harga? Perbedaan harga antarmusim mendorong insentif buat penggilingan padi dan pedagang serta menggerakkan ekonomi pedesaan dan perdagangan antarpulau/wilayah. Aktivitas tersebut melibatkan tidak kurang 12 juta orang, hampir seluruhnya UKM. Aktivitas mereka didorong pula oleh pengadaan dalam negeri yang dilakukan Bulog saat musim panen sehingga menambah persaingan di pasar gabah/beras yang mendongkrak harga gabah. Selain itu, akhir tahun lalu pemerintah mengeluarkan Inpres baru (No.13/2005) yang berlaku Januari 2006 membuat harga pembelian pemerintah (HPP) naik cukup tinggi hampir 30%. Semula diperkirakan harga beras, terutama kualitas medium, akan stabil di sekitar Rp3.400,00—Rp3.500,00/kg, ternyata meleset. Manakala pemerintah - menteri atau pimpinan negara - mengeluarkan berbagai pernyataan tentang kekurangan stok pangan nasional, seperti defisit beras dalam negeri dan impor beras tetap dilarang, telah berpengaruh buruk terhadap stabilitas harga beras. Saya tidak bermaksud menyalahkan yang sedang terjadi, namun mencari alternatif solusinya. Belakangan ini bagaimana kondisinya? Hasil kunjungan ke berbagai tempat di wilayah produsen beras Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur pada akhir 2005 hingga awal 2006 memperlihatkan bahwa harga beras masih tinggi, cenderung naik. Harga memang tinggi pada musim paceklik yang akan berakhir Januari ini. Dan harga beras akan turun pada musim panen raya yang diperkirakan awal Februari mendatang. Pada akhir musim paceklik, stok beras tidak banyak di tangan masyarakat. Petani yang panen langsung menjualnya karena harga baik. Demikian juga pedagang dan penggilingan padi tidak berani menyimpan stok besar, langsung dijual untuk memetik margin pada harga tinggi. Mereka berisiko menyimpan stok yang berlebih di akhir musim paceklik. Harga tinggi itu tidaklah bertahan lama. Bila demikian mengapa harga terus naik, kadang-kadang lebih dari sekali sehari? Salah satu jawabannya pasar beras panik, pengaruh psikologis atas pernyataan petinggi negara. Saat pemerintah menyatakan ingin membeli beras dalam negeri di musim
48
Suara Agribisnis
paceklik seperti ini, dibaca oleh pasar sebagai gambaran gawatnya stok beras pemerintah. Pernyataan terjadi defisit beras nasional juga mendorong harga naik. Pemerintah pun sedang merancang operasi pasar (OP) untuk meredam harga beras di pasar, apabila melewati harga eceran tertinggi (HET). Kebijakan ini sesungguhnya tidak saja merusak mekanisme pasar tetapi juga biayanya mahal. Di samping itu, kebijakan ini kurang adil karena masyarakat umum yang disubsidi. Kelompok miskin tetap saja tidak mampu mengakses beras OP karena harganya masih tinggi. Oleh karena itu, sebaiknya OP tidak perlu dilakukan. Jadi apa yang diperlukan saat ini? Pilihan terbaik adalah percepat menyalurkan beras untuk keluarga miskin (Raskin). Raskin periode 2005 terhenti sejak Desember, dan belum ada kejelasan penyalurannya untuk Januari 2006. Orang miskin tidak bisa menyesuaikan diri dengan administrasi APBN pemerintah yang harus selesai awal Desember. Mereka amat memerlukan Raskin pada musim paceklik seperti sekarang. Proporsi Raskin setiap bulan berkisar antara 10—15% dari kebutuhan beras di masingmasing wilayah produsen, itu cukup penting buat melindungi kelompok miskin sebagai targetnya dan meredam harga beras. Jadi, sebaiknya Raskin disalurkan sekarang juga, digabungkan dengan alokasi Februari. Pada bulan-bulan panen raya, Raskin dihentikan. Pada musim paceklik volumenya diperbesar dan cakupan orang miskin diperbanyak. Sentimen publik terhadap impor beras luar biasa, bukan sekadar kalkulasi ekonomi belaka. Publik tidak menginginkan impor beras. Harga di pasar internasional tidak menggambarkan biaya produksi, terdistorsi dengan berbagai subsidi yang dilakukan oleh negara-negara eksportir. Sebaiknya stok penyangga dan operasional Bulog dibuat optimal, cukup 700.000—750.000 ton, tidak perlu 1 juta ton. Dengan stok awal rendah, maka daya serap beras/gabah dalam negeri oleh Bulog di musim panen raya akan tinggi. Itu berpengaruh positif untuk melindungi petani dari kejatuhan harga gabah/beras. Masyarakat banyak masih menganggap Bulog sebagai Lembaga Pemerintah Nondepartemen (LPND), padahal telah berubah menjadi Perum sejak pertengahan 2003. Bulog harus menutupi ongkos operasional dari sumbernya sendiri. Bulog tidak lagi mendapatkan subsidi kredit untuk pengadaan gabah/beras dalam negeri. Sebaiknya, tugas publik yang diemban Bulog dibiayai dari APBN, sehingga lebih transparan dan masyarakat dapat menuntut kinerja, serta efektivitas biaya program publik dapat ditingkatkan. Bila dalam kemelut harga seperti sekarang, apa yang paling mendesak dilakukan? Pernyataan pemerintah sebaiknya yang dapat menyejukkan pasar. Pemerintah perlu menghindari pernyataan yang terkait dengan kekurangan stok, kekurangan produksi maupun pengadaan di musim paceklik. Pernyataan itu lebih baik tidak keluar dari jajaran pemerintahan. Memang untuk menstabilkan harga, pemerintah perlu menyatakan sikap. Misalnya, apabila harga beras terus naik, digertak dengan menyatakan pasar beras akan dibuka, sekadar mempengaruhi pasar.*** Suara Agribisnis
49
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 48
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
11 – 24 Januari 2006
Kemelut Harga Beras BEBERAPA BULAN SETELAH IMPOR BERAS DILARANG, Januari 2004, tingkat harga beras/gabah dalam negeri terus membaik. Kejatuhan harga gabah berkurang drastis. ”Ini terus berlangsung seiring dengan pola tanam padi dan musim hujan,” ungkap Prof. Dr Ir Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA Bila sudah ada polanya, mengapa terjadi kemelut harga? Perbedaan harga antarmusim mendorong insentif buat penggilingan padi dan pedagang serta menggerakkan ekonomi pedesaan dan perdagangan antarpulau/wilayah. Aktivitas tersebut melibatkan tidak kurang 12 juta orang, hampir seluruhnya UKM. Aktivitas mereka didorong pula oleh pengadaan dalam negeri yang dilakukan Bulog saat musim panen sehingga menambah persaingan di pasar gabah/beras yang mendongkrak harga gabah. Selain itu, akhir tahun lalu pemerintah mengeluarkan Inpres baru (No.13/2005) yang berlaku Januari 2006 membuat harga pembelian pemerintah (HPP) naik cukup tinggi hampir 30%. Semula diperkirakan harga beras, terutama kualitas medium, akan stabil di sekitar Rp3.400,00—Rp3.500,00/kg, ternyata meleset. Manakala pemerintah - menteri atau pimpinan negara - mengeluarkan berbagai pernyataan tentang kekurangan stok pangan nasional, seperti defisit beras dalam negeri dan impor beras tetap dilarang, telah berpengaruh buruk terhadap stabilitas harga beras. Saya tidak bermaksud menyalahkan yang sedang terjadi, namun mencari alternatif solusinya. Belakangan ini bagaimana kondisinya? Hasil kunjungan ke berbagai tempat di wilayah produsen beras Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur pada akhir 2005 hingga awal 2006 memperlihatkan bahwa harga beras masih tinggi, cenderung naik. Harga memang tinggi pada musim paceklik yang akan berakhir Januari ini. Dan harga beras akan turun pada musim panen raya yang diperkirakan awal Februari mendatang. Pada akhir musim paceklik, stok beras tidak banyak di tangan masyarakat. Petani yang panen langsung menjualnya karena harga baik. Demikian juga pedagang dan penggilingan padi tidak berani menyimpan stok besar, langsung dijual untuk memetik margin pada harga tinggi. Mereka berisiko menyimpan stok yang berlebih di akhir musim paceklik. Harga tinggi itu tidaklah bertahan lama. Bila demikian mengapa harga terus naik, kadang-kadang lebih dari sekali sehari? Salah satu jawabannya pasar beras panik, pengaruh psikologis atas pernyataan petinggi negara. Saat pemerintah menyatakan ingin membeli beras dalam negeri di musim
48
Suara Agribisnis
paceklik seperti ini, dibaca oleh pasar sebagai gambaran gawatnya stok beras pemerintah. Pernyataan terjadi defisit beras nasional juga mendorong harga naik. Pemerintah pun sedang merancang operasi pasar (OP) untuk meredam harga beras di pasar, apabila melewati harga eceran tertinggi (HET). Kebijakan ini sesungguhnya tidak saja merusak mekanisme pasar tetapi juga biayanya mahal. Di samping itu, kebijakan ini kurang adil karena masyarakat umum yang disubsidi. Kelompok miskin tetap saja tidak mampu mengakses beras OP karena harganya masih tinggi. Oleh karena itu, sebaiknya OP tidak perlu dilakukan. Jadi apa yang diperlukan saat ini? Pilihan terbaik adalah percepat menyalurkan beras untuk keluarga miskin (Raskin). Raskin periode 2005 terhenti sejak Desember, dan belum ada kejelasan penyalurannya untuk Januari 2006. Orang miskin tidak bisa menyesuaikan diri dengan administrasi APBN pemerintah yang harus selesai awal Desember. Mereka amat memerlukan Raskin pada musim paceklik seperti sekarang. Proporsi Raskin setiap bulan berkisar antara 10—15% dari kebutuhan beras di masingmasing wilayah produsen, itu cukup penting buat melindungi kelompok miskin sebagai targetnya dan meredam harga beras. Jadi, sebaiknya Raskin disalurkan sekarang juga, digabungkan dengan alokasi Februari. Pada bulan-bulan panen raya, Raskin dihentikan. Pada musim paceklik volumenya diperbesar dan cakupan orang miskin diperbanyak. Sentimen publik terhadap impor beras luar biasa, bukan sekadar kalkulasi ekonomi belaka. Publik tidak menginginkan impor beras. Harga di pasar internasional tidak menggambarkan biaya produksi, terdistorsi dengan berbagai subsidi yang dilakukan oleh negara-negara eksportir. Sebaiknya stok penyangga dan operasional Bulog dibuat optimal, cukup 700.000—750.000 ton, tidak perlu 1 juta ton. Dengan stok awal rendah, maka daya serap beras/gabah dalam negeri oleh Bulog di musim panen raya akan tinggi. Itu berpengaruh positif untuk melindungi petani dari kejatuhan harga gabah/beras. Masyarakat banyak masih menganggap Bulog sebagai Lembaga Pemerintah Nondepartemen (LPND), padahal telah berubah menjadi Perum sejak pertengahan 2003. Bulog harus menutupi ongkos operasional dari sumbernya sendiri. Bulog tidak lagi mendapatkan subsidi kredit untuk pengadaan gabah/beras dalam negeri. Sebaiknya, tugas publik yang diemban Bulog dibiayai dari APBN, sehingga lebih transparan dan masyarakat dapat menuntut kinerja, serta efektivitas biaya program publik dapat ditingkatkan. Bila dalam kemelut harga seperti sekarang, apa yang paling mendesak dilakukan? Pernyataan pemerintah sebaiknya yang dapat menyejukkan pasar. Pemerintah perlu menghindari pernyataan yang terkait dengan kekurangan stok, kekurangan produksi maupun pengadaan di musim paceklik. Pernyataan itu lebih baik tidak keluar dari jajaran pemerintahan. Memang untuk menstabilkan harga, pemerintah perlu menyatakan sikap. Misalnya, apabila harga beras terus naik, digertak dengan menyatakan pasar beras akan dibuka, sekadar mempengaruhi pasar.*** Suara Agribisnis
49
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 50
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
8 – 21 Februari 2006
Bagaimana Swasembada Beras Lagi? SIDANG PARIPURNA DPR PADA 24 JANUARI 2006 memutuskan tidak melakukan hak angket dan hak interpelasi tentang impor beras. “Berarti DPR tidak mempersoalkan lagi impor beras yang telah ditetapkan pemerintah,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Jadi pemerintah dan DPR sudah menyetujui impor beras. Apa maknanya ini? Maknanya, pemerintah dan DPR sudah sepakat bahwa swasembada pangan yang sudah dicapai pada 2004 tidak bisa dipertahankan lagi. Maka pemerintah dan DPR mengizinkan impor. Itu suatu pengakuan, walaupun tidak pernah diumumkan ke publik, atas kegagalan mempertahankan swasembada beras yang telah diusahakan dengan jerih payah sejak 2000. Harapan kita, izin impor ini bukanlah hal yang permanen tapi hanya situasional sebagai respon atas kegagalan meningkatkan produksi padi dalam negeri pada 2005. Lantas tidak ada gunanya lagi mempersoalkan impor atau tidak. Itu sudah menjadi kenyataan. Oleh karena itu, energi kita sebagai bangsa sekarang harus diarahkan untuk berusaha agar impor itu tidak terjadi lagi pada masa yang akan datang. Apa mungkin Indonesia bisa tidak mengimpor beras? Impor tidak akan terjadi jika bangsa ini mampu meningkatkan produksi dan produktivitas padi mengikuti tren yang terjadi sejak 2000—2004. Penduduk kita bertambah setiap tahunnya 1,5% dari 220 juta jiwa sehingga produksi padi kita minimal harus meningkat untuk memenuhi kebutuhan tambahan penduduk itu. Pendekatan lain, pengurangan konsumsi per kapita. Konsumsi per kapita bisa dikurangi apabila harga beras di dalam negeri dibiarkan naik. Sebenarnya konsumsi beras kita terlalu tinggi, data BPS 139 kg/kapita/tahun, angka yang sama di Jepang 30 tahun lalu dan kini sekitar 50 kg/kapita/tahun. Hal itu karena harga beras tinggi sekali, sekitar US$ 3/kg. Jadi, naiknya harga beras akan menaikkan produksi dan mengurangi konsumsi. Dengan mudah bisa swasembada, bahkan bisa mengekspor sisanya. Bagaimana dengan konsumen yang tidak mampu? Raskin terus dilanjutkan. Ide pemerintah untuk mengurangi raskin karena ada masalah distribusi sangat disayangkan. Seharusnya biarkan harga beras naik dan konsumen miskin ditolong melalui raskin. Dengan begitu konsumen miskin dan petani tertolong. Hendaknya pemerintah dari pusat sampai kabupaten mempelajari kenapa produksi padi kita yang sejak 2000—2004 secara konsisten produksi dan produktivitasnya naik, pada tahun 2005 lalu produksi menjadi turun? Apa penyebab penurunan itu? Di daerah
50
Suara Agribisnis
mana penurunan itu terjadi? Pada musim apa terjadi? Apakah penurunan itu karena berkurangnya areal? Atau karena menurunnya produktivitas? Kalau pertanyaan-pertanyaan ini bisa dijawab, maka akan dengan mudah diidentifikasi usaha-usaha untuk menaikkan produksi dan produktivitas. Menurut pengalaman, usaha-usaha konkret apa yang bisa dilakukan? Menerapkan kebijakan proteksi dan promosi. Kebijakan proteksi melalui tarif dan larangan impor. Kebijakan promosi di antaranya penggunaan pupuk berimbang dan benih unggul, pengendalian hama terpadu, perbaikan irigasi pedesaan, subsidi pupuk, serta subsidi bunga kredit. Dan semua ini dilakukan melalui kerjasama antara petani dan organisasinya, dunia usaha dan asosiasinya, serta pemerintah daerah provinsi dan kabupaten. Dewan Ketahanan Pangan (DKP) di pusat, provinsi, dan kabupaten melakukan koordinasi yang lebih baik antar-instansi pemerintah dengan dunia usaha seperti pupuk, pestisida, benih, dan bank, serta organisasi petani dan petani. Pemerintah khususnya Departemen Pertanian berperan sebagai fasilitator atas kerjasama tersebut. Di samping itu, dukungan yang kuat dari DPR sangat penting. Yang tidak kalah pentingnya, ada pejabat yang dari hari ke hari menangani masalah beras. Pejabat itu adalah Dirjen Tanaman Pangan. Sayangnya, sudah sekitar 7 bulan ini pejabat yang mengurusi komoditas strategis tersebut hanya pejabat sementara. Perlu segera ditunjuk Dirjen Tanaman Pangan yang definitif. Bagaimana dengan peran Bulog? Bulog dewasa ini bukan lagi Lembaga Pemerintah Non Departemen setingkat menteri. Perum Bulog hanyalah salah satu BUMN di bawah Meneg BUMN. Oleh karena itu Perum Bulog bukanlah pembuat kebijakan, melainkan pelaksana kebijakan. Masalah muncul karena yang seharusnya membuat kebijakan dan memberikan tugas kepada Perum Bulog belum melakukan fungsinya dengan baik sehingga kelihatannya Bulog mengambil alih peranan itu. Bulog mendapatkan tugas dari pemerintah melalui DKP. Karena itu DKP harus diperkuat dan mampu memberi penugasan yang tepat kepada Bulog serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan tugas itu. Untuk itu Perum Bulog harus disediakan dana yang cukup melalui APBN sebatas penugasan tersebut, yaitu menjaga stabilitas harga beras. Di luar penugasan pemerintah, Perum Bulog beroperasi sebagai perusahaan dan mengusahakan dananya sendiri. Bulog harus diaudit secara profesional dalam pelaksanaan tugasnya dan dalam penggunaan uang negara untuk melaksanakan tugasnya. Salah satu penyebab Bulog ngotot untuk mengimpor beras karena kekhawatiran akan stoknya berada di bawah 1 juta ton. Keadaan ini terjadi karena tahun lalu harga pasar beras dan padi di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP), Bulog tidak mampu membeli untuk menambah stoknya. Tapi pada 2006 akan lebih mudah karena HPP sudah dinaikkan sekitar 30% dari angka sebelumnya. Jadi, Bulog akan lebih mudah membeli dari dalam negeri dan kita harapkan keinginan untuk mengimpor itu akan berkurang. *** Suara Agribisnis
51
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 50
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
8 – 21 Februari 2006
Bagaimana Swasembada Beras Lagi? SIDANG PARIPURNA DPR PADA 24 JANUARI 2006 memutuskan tidak melakukan hak angket dan hak interpelasi tentang impor beras. “Berarti DPR tidak mempersoalkan lagi impor beras yang telah ditetapkan pemerintah,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Jadi pemerintah dan DPR sudah menyetujui impor beras. Apa maknanya ini? Maknanya, pemerintah dan DPR sudah sepakat bahwa swasembada pangan yang sudah dicapai pada 2004 tidak bisa dipertahankan lagi. Maka pemerintah dan DPR mengizinkan impor. Itu suatu pengakuan, walaupun tidak pernah diumumkan ke publik, atas kegagalan mempertahankan swasembada beras yang telah diusahakan dengan jerih payah sejak 2000. Harapan kita, izin impor ini bukanlah hal yang permanen tapi hanya situasional sebagai respon atas kegagalan meningkatkan produksi padi dalam negeri pada 2005. Lantas tidak ada gunanya lagi mempersoalkan impor atau tidak. Itu sudah menjadi kenyataan. Oleh karena itu, energi kita sebagai bangsa sekarang harus diarahkan untuk berusaha agar impor itu tidak terjadi lagi pada masa yang akan datang. Apa mungkin Indonesia bisa tidak mengimpor beras? Impor tidak akan terjadi jika bangsa ini mampu meningkatkan produksi dan produktivitas padi mengikuti tren yang terjadi sejak 2000—2004. Penduduk kita bertambah setiap tahunnya 1,5% dari 220 juta jiwa sehingga produksi padi kita minimal harus meningkat untuk memenuhi kebutuhan tambahan penduduk itu. Pendekatan lain, pengurangan konsumsi per kapita. Konsumsi per kapita bisa dikurangi apabila harga beras di dalam negeri dibiarkan naik. Sebenarnya konsumsi beras kita terlalu tinggi, data BPS 139 kg/kapita/tahun, angka yang sama di Jepang 30 tahun lalu dan kini sekitar 50 kg/kapita/tahun. Hal itu karena harga beras tinggi sekali, sekitar US$ 3/kg. Jadi, naiknya harga beras akan menaikkan produksi dan mengurangi konsumsi. Dengan mudah bisa swasembada, bahkan bisa mengekspor sisanya. Bagaimana dengan konsumen yang tidak mampu? Raskin terus dilanjutkan. Ide pemerintah untuk mengurangi raskin karena ada masalah distribusi sangat disayangkan. Seharusnya biarkan harga beras naik dan konsumen miskin ditolong melalui raskin. Dengan begitu konsumen miskin dan petani tertolong. Hendaknya pemerintah dari pusat sampai kabupaten mempelajari kenapa produksi padi kita yang sejak 2000—2004 secara konsisten produksi dan produktivitasnya naik, pada tahun 2005 lalu produksi menjadi turun? Apa penyebab penurunan itu? Di daerah
50
Suara Agribisnis
mana penurunan itu terjadi? Pada musim apa terjadi? Apakah penurunan itu karena berkurangnya areal? Atau karena menurunnya produktivitas? Kalau pertanyaan-pertanyaan ini bisa dijawab, maka akan dengan mudah diidentifikasi usaha-usaha untuk menaikkan produksi dan produktivitas. Menurut pengalaman, usaha-usaha konkret apa yang bisa dilakukan? Menerapkan kebijakan proteksi dan promosi. Kebijakan proteksi melalui tarif dan larangan impor. Kebijakan promosi di antaranya penggunaan pupuk berimbang dan benih unggul, pengendalian hama terpadu, perbaikan irigasi pedesaan, subsidi pupuk, serta subsidi bunga kredit. Dan semua ini dilakukan melalui kerjasama antara petani dan organisasinya, dunia usaha dan asosiasinya, serta pemerintah daerah provinsi dan kabupaten. Dewan Ketahanan Pangan (DKP) di pusat, provinsi, dan kabupaten melakukan koordinasi yang lebih baik antar-instansi pemerintah dengan dunia usaha seperti pupuk, pestisida, benih, dan bank, serta organisasi petani dan petani. Pemerintah khususnya Departemen Pertanian berperan sebagai fasilitator atas kerjasama tersebut. Di samping itu, dukungan yang kuat dari DPR sangat penting. Yang tidak kalah pentingnya, ada pejabat yang dari hari ke hari menangani masalah beras. Pejabat itu adalah Dirjen Tanaman Pangan. Sayangnya, sudah sekitar 7 bulan ini pejabat yang mengurusi komoditas strategis tersebut hanya pejabat sementara. Perlu segera ditunjuk Dirjen Tanaman Pangan yang definitif. Bagaimana dengan peran Bulog? Bulog dewasa ini bukan lagi Lembaga Pemerintah Non Departemen setingkat menteri. Perum Bulog hanyalah salah satu BUMN di bawah Meneg BUMN. Oleh karena itu Perum Bulog bukanlah pembuat kebijakan, melainkan pelaksana kebijakan. Masalah muncul karena yang seharusnya membuat kebijakan dan memberikan tugas kepada Perum Bulog belum melakukan fungsinya dengan baik sehingga kelihatannya Bulog mengambil alih peranan itu. Bulog mendapatkan tugas dari pemerintah melalui DKP. Karena itu DKP harus diperkuat dan mampu memberi penugasan yang tepat kepada Bulog serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan tugas itu. Untuk itu Perum Bulog harus disediakan dana yang cukup melalui APBN sebatas penugasan tersebut, yaitu menjaga stabilitas harga beras. Di luar penugasan pemerintah, Perum Bulog beroperasi sebagai perusahaan dan mengusahakan dananya sendiri. Bulog harus diaudit secara profesional dalam pelaksanaan tugasnya dan dalam penggunaan uang negara untuk melaksanakan tugasnya. Salah satu penyebab Bulog ngotot untuk mengimpor beras karena kekhawatiran akan stoknya berada di bawah 1 juta ton. Keadaan ini terjadi karena tahun lalu harga pasar beras dan padi di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP), Bulog tidak mampu membeli untuk menambah stoknya. Tapi pada 2006 akan lebih mudah karena HPP sudah dinaikkan sekitar 30% dari angka sebelumnya. Jadi, Bulog akan lebih mudah membeli dari dalam negeri dan kita harapkan keinginan untuk mengimpor itu akan berkurang. *** Suara Agribisnis
51
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 52
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
23 Februari – 7 Maret 2006
Impor Beras jangan Hanya Salahkan Bulog BELAKANGAN INI BANYAK DILONTARKAN KRITIK ketidakpuasan atas performa atau tindak-tanduk Perum Bulog. “Saya pikir kritik itu sangat mengena sasarannya karena Perum Bulog memang salah satu stakeholder penting dalam penanggulangan beberapa isu,” ungkap Prof. Dr Ir Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA. Isu apa yang dimaksud? Paling sedikit ada tiga isu pokok. Pertama, Perum Bulog cenderung untuk mengimpor dibandingkan membeli padi dan beras dari dalam negeri untuk cadangannya. Kedua, Perum Bulog gagal menstabilkan harga pasar. Dulu gagal menopang harga pembelian pemerintah (HPP), belakangan ini gagal mencegah membubungnya harga di tingkat konsumen. Dan ketiga, amburadulnya distribusi raskin sampai ke keluarga-keluarga yang pantas mendapatkannya. Namun perlu disadari, Bulog hanyalah salah satu stakeholder dalam suatu sistem yang besar. Dan tampaknya banyak pihak yang belum menyadari secara penuh makna dari perubahan status Bulog. Sejak dikeluarkannya PP No. 7 tahun 2003 tentang Pendirian Perum Bulog, Bulog berubah dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) di bawah pengelolaan Kementerian Negara BUMN. Perubahan ini sangatlah fundamental karena mengubah status Bulog dari salah satu policy maker dan implementer dalam pangan dan perberasan, kini hanya sebagai implementer. Jadi impor beras bukan kebijakan Bulog? Bulog hanya sebagai pelaksana. Dia melaksanakan impor jika diinstruksikan oleh pembuat kebijakan. Dalam hal ini Dewan Ketahanan Pangan (DKP) melalui departemen teknis yang berhubungan dengan impor bahan pangan ini. Memang dari dulu Bulog cenderung mengimpor untuk mengisi cadangan berasnya. Kecenderungan ini bisa dimengerti karena pekerjaannya lebih mudah, lebih cepat, dan barangkali lebih menguntungkan buat institusi ini. Pada 2004, Bulog sama sekali tidak diizinkan untuk mengimpor. Bulog mematuhinya. Apalagi harga padi dan beras dalam negeri sejak 2003 selalu turun dan rendah. Hal ini terjadi karena produksi beras kita sejak 2000 meningkat terus. Turunnya harga sepanjang tahun 2000 sebagai indikator penting bahwa telah terjadi surplus beras yang berasal dari produksi sendiri dan impor. Secara teknis pada 2004 Indonesia telah mencapai swasembada beras lagi. Namun 2005 sedikit berubah, angka ramalan pertama BPS memprediksikan produksi padi tidak
52
Suara Agribisnis
lagi meningkat bahkan menurun. Di sisi lain debat tentang perlu tidaknya impor beras diikuti kenaikan harga beras sejak pertengahan 2005. Bahkan pada akhir 2005 – awal 2006 kenaikan harga ini semakin mengkhawatirkan dengan datangnya musim paceklik. Sebenarnya kenaikan harga beras itu lebih dipicu oleh kenaikan harga BBM dan penetapan baru HPP yang berlaku mulai 1 Januari 2006, Rp3.550,00/kg beras. Kenaikan harga ini menjadi justifikasi yang kuat buat Bulog untuk mengusulkan impor beras. Bagaimana dengan kegagalan menstabilkan harga di tingkat petani dan konsumen? Salah satu penyebab kegagalan itu adalah tidak adanya cadangan Bulog yang cukup untuk melakukan intervensi yang memadai. Barangkali juga ada soal kemampuan mengelola cadangan yang ada agar benar-benar dapat mempengaruhi pasar. Tapi yang lebih parah lagi, kita tidak mempunyai teori stabilisasi itu sendiri. Pada 2004—2005 kasus harga padi di bawah HPP sangat sedikit. Hal itu menjadi salah satu sebab Bulog tidak mampu menambah stok dari dalam negeri karena ia tidak diizinkan membeli di atas HPP. Jadi, kekakuan pemerintah dalam penentuan harga menjadi salah satu hambatan Bulog untuk bisa bekerja secara efektif dan efisien. Jadi agar Bulog bisa efektif untuk stabilisasi harga, dibutuhkan kebijakan HPP yang lebih fleksibel, dan Bulog diizinkan untuk membeli di atas HPP jika stoknya kurang dan harus dibiayai APBN. Dan kenapa distribusi raskin bisa amburadul? Lagi-lagi Bulog hanya sebagai pelaksana. Dan karena dia menggunakan dana APBN, maka dia harus mengikuti aturan-aturan APBN. Semua bujet harus dilaporkan pada akhir November. Jadi raskin Desember digabungkan dengan November, sehingga Desember tidak ada penyaluran, demikian juga Januari. Akibatnya, permintaan beras oleh kelompok miskin itu meningkat. Ini juga salah satu alasan harga beras pada Januari itu naik. Bagaimana jalan keluarnya? Tidak semua masalah itu dapat ditimpakan pada Perum Bulog. Bulog harus beroperasi dalam kerangka kebijakan dan program DKP. Tapi kenyataannya dewan ini belum menunjukkan adanya suatu kebijakan nasional yang komprehensif tentang pangan, perberasan khususnya. Dengan demikian Bulog terpaksa beroperasi dalam kabut ketidakjelasan. Seharusnya Bulog proaktif membuat kejelasan ini. Barangkali Bulog masih terlalu sibuk dalam proses transisinya. Memang perlu diberi acungan jempol bahwa proses itu berjalan lancar, cepat, dan tanpa ada gejolak yang berarti. Bila posisi Bulog sekarang ini tidak kunjung disadari, niscaya Bulog akan disalahkan terus. Sedangkan dia semata-mata pelaksana yang menjalankan kebijakan dari DKP. Pengalaman menunjukkan bahwa Bulog itu pernah bisa dilarang untuk impor beras dan mematuhi larangan itu karena justifikasi impor tidak ada. Intinya, Bulog mempunyai justifikasi untuk impor yang kuat apabila produksi menurun dan harga merangkak naik. Jika produksi beras 2005 dapat ditingkatkan minimal sepadan dengan pertambahan penduduk, maka harga tidak akan naik sehingga tidak ada justifikasi kuat untuk melaksanakan impor beras.*** Suara Agribisnis
53
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 52
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
23 Februari – 7 Maret 2006
Impor Beras jangan Hanya Salahkan Bulog BELAKANGAN INI BANYAK DILONTARKAN KRITIK ketidakpuasan atas performa atau tindak-tanduk Perum Bulog. “Saya pikir kritik itu sangat mengena sasarannya karena Perum Bulog memang salah satu stakeholder penting dalam penanggulangan beberapa isu,” ungkap Prof. Dr Ir Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA. Isu apa yang dimaksud? Paling sedikit ada tiga isu pokok. Pertama, Perum Bulog cenderung untuk mengimpor dibandingkan membeli padi dan beras dari dalam negeri untuk cadangannya. Kedua, Perum Bulog gagal menstabilkan harga pasar. Dulu gagal menopang harga pembelian pemerintah (HPP), belakangan ini gagal mencegah membubungnya harga di tingkat konsumen. Dan ketiga, amburadulnya distribusi raskin sampai ke keluarga-keluarga yang pantas mendapatkannya. Namun perlu disadari, Bulog hanyalah salah satu stakeholder dalam suatu sistem yang besar. Dan tampaknya banyak pihak yang belum menyadari secara penuh makna dari perubahan status Bulog. Sejak dikeluarkannya PP No. 7 tahun 2003 tentang Pendirian Perum Bulog, Bulog berubah dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) di bawah pengelolaan Kementerian Negara BUMN. Perubahan ini sangatlah fundamental karena mengubah status Bulog dari salah satu policy maker dan implementer dalam pangan dan perberasan, kini hanya sebagai implementer. Jadi impor beras bukan kebijakan Bulog? Bulog hanya sebagai pelaksana. Dia melaksanakan impor jika diinstruksikan oleh pembuat kebijakan. Dalam hal ini Dewan Ketahanan Pangan (DKP) melalui departemen teknis yang berhubungan dengan impor bahan pangan ini. Memang dari dulu Bulog cenderung mengimpor untuk mengisi cadangan berasnya. Kecenderungan ini bisa dimengerti karena pekerjaannya lebih mudah, lebih cepat, dan barangkali lebih menguntungkan buat institusi ini. Pada 2004, Bulog sama sekali tidak diizinkan untuk mengimpor. Bulog mematuhinya. Apalagi harga padi dan beras dalam negeri sejak 2003 selalu turun dan rendah. Hal ini terjadi karena produksi beras kita sejak 2000 meningkat terus. Turunnya harga sepanjang tahun 2000 sebagai indikator penting bahwa telah terjadi surplus beras yang berasal dari produksi sendiri dan impor. Secara teknis pada 2004 Indonesia telah mencapai swasembada beras lagi. Namun 2005 sedikit berubah, angka ramalan pertama BPS memprediksikan produksi padi tidak
52
Suara Agribisnis
lagi meningkat bahkan menurun. Di sisi lain debat tentang perlu tidaknya impor beras diikuti kenaikan harga beras sejak pertengahan 2005. Bahkan pada akhir 2005 – awal 2006 kenaikan harga ini semakin mengkhawatirkan dengan datangnya musim paceklik. Sebenarnya kenaikan harga beras itu lebih dipicu oleh kenaikan harga BBM dan penetapan baru HPP yang berlaku mulai 1 Januari 2006, Rp3.550,00/kg beras. Kenaikan harga ini menjadi justifikasi yang kuat buat Bulog untuk mengusulkan impor beras. Bagaimana dengan kegagalan menstabilkan harga di tingkat petani dan konsumen? Salah satu penyebab kegagalan itu adalah tidak adanya cadangan Bulog yang cukup untuk melakukan intervensi yang memadai. Barangkali juga ada soal kemampuan mengelola cadangan yang ada agar benar-benar dapat mempengaruhi pasar. Tapi yang lebih parah lagi, kita tidak mempunyai teori stabilisasi itu sendiri. Pada 2004—2005 kasus harga padi di bawah HPP sangat sedikit. Hal itu menjadi salah satu sebab Bulog tidak mampu menambah stok dari dalam negeri karena ia tidak diizinkan membeli di atas HPP. Jadi, kekakuan pemerintah dalam penentuan harga menjadi salah satu hambatan Bulog untuk bisa bekerja secara efektif dan efisien. Jadi agar Bulog bisa efektif untuk stabilisasi harga, dibutuhkan kebijakan HPP yang lebih fleksibel, dan Bulog diizinkan untuk membeli di atas HPP jika stoknya kurang dan harus dibiayai APBN. Dan kenapa distribusi raskin bisa amburadul? Lagi-lagi Bulog hanya sebagai pelaksana. Dan karena dia menggunakan dana APBN, maka dia harus mengikuti aturan-aturan APBN. Semua bujet harus dilaporkan pada akhir November. Jadi raskin Desember digabungkan dengan November, sehingga Desember tidak ada penyaluran, demikian juga Januari. Akibatnya, permintaan beras oleh kelompok miskin itu meningkat. Ini juga salah satu alasan harga beras pada Januari itu naik. Bagaimana jalan keluarnya? Tidak semua masalah itu dapat ditimpakan pada Perum Bulog. Bulog harus beroperasi dalam kerangka kebijakan dan program DKP. Tapi kenyataannya dewan ini belum menunjukkan adanya suatu kebijakan nasional yang komprehensif tentang pangan, perberasan khususnya. Dengan demikian Bulog terpaksa beroperasi dalam kabut ketidakjelasan. Seharusnya Bulog proaktif membuat kejelasan ini. Barangkali Bulog masih terlalu sibuk dalam proses transisinya. Memang perlu diberi acungan jempol bahwa proses itu berjalan lancar, cepat, dan tanpa ada gejolak yang berarti. Bila posisi Bulog sekarang ini tidak kunjung disadari, niscaya Bulog akan disalahkan terus. Sedangkan dia semata-mata pelaksana yang menjalankan kebijakan dari DKP. Pengalaman menunjukkan bahwa Bulog itu pernah bisa dilarang untuk impor beras dan mematuhi larangan itu karena justifikasi impor tidak ada. Intinya, Bulog mempunyai justifikasi untuk impor yang kuat apabila produksi menurun dan harga merangkak naik. Jika produksi beras 2005 dapat ditingkatkan minimal sepadan dengan pertambahan penduduk, maka harga tidak akan naik sehingga tidak ada justifikasi kuat untuk melaksanakan impor beras.*** Suara Agribisnis
53
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 54
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
20 September – 3 Oktober 2006
Impor Beras Antara Prinsip dan Keluwesan “IMPOR BERAS DUA TAHUN TERAKHIR INI selalu menjadi polemik yang melelahkan bangsa ini. Salah satu penyebabnya, data yang kita miliki mengenai produksi dan konsumsi mengandung banyak kelemahan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Jika demikian, bagaimana kita menarik kesimpulan surplus atau defisit beras? Tergantung cara kita mengisi parameter-parameter yang membentuk produksi dan konsumsi itu. Biasanya parameter yang digunakan tergantung kepentingan orang-orang tentang perlu atau tidaknya impor. Hal ini sudah klasik, sehingga harus ada usaha nasional yang lebih serius mengenai perbaikan data perberasan khususnya dan pangan umumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) harus dibantu untuk memungkinkan melaksanakan pekerjaan ini. Kita masih tertolong untuk mengetahui keadaan perberasan sebenarnya melalui data harga yang dikumpulkan oleh BPS dari seluruh Indonesia. Adanya kenaikan harga secara berturut-turut dalam jangka waktu yang cukup lama, misalnya lebih dari satu bulan, mengindikasikan adanya kelangkaan. Jika penurunan harga juga dalam waktu yang lama mengindikasikan terjadinya surplus beras pada tingkat nasional atau regional. Berarti belakangan ini terjadi kelangkaan sehingga perlu impor? Memang beberapa bulan terakhir ini, harga beras terus naik walaupun secara lambat yang mengindikasikan adanya kelangkaan. Memang harus diakui, kenaikan harga beras belakangan ini juga dipicu oleh kenaikan harga BBM yang luar biasa pada akhir tahun lalu. Namun kenaikan harga beras setahun belakangan ini lebih tinggi dari kenaikan inflasi, itu juga indikasi kelangkaan. Pengalaman sejak lama, tren harga beras dari September hingga Januari tahun depan akan naik terus karena produksi sedikit. Oleh karena itu harus diantisipasi agar tidak terjadi kenaikan harga yang terlalu tinggi. Jika harga beras naik terus bisa menimbulkan dampak sosial politis yang tidak diinginkan, maka harus dicegah. Antisipasinya secara terpaksa mengimpor beras. Profesor setuju dengan impor beras? Bangsa ini harus teguh dalam prinsip tapi luwes dalam pelaksanaan, demikian juga halnya dengan perberasan. Prinsip dalam perberasan, kita harus bisa menyediakan sendiri makanan pokok kita. Dengan kata lain, kita tidak mau mengimpor beras. Justru harus memproteksi perberasan nasional dari perdagangan beras internasional yang tidak adil. Harga beras internasional itu adalah harga dumping, harga yang disubsidi produksi dan ekspornya.
54
Suara Agribisnis
Kendati teguh dalam prinsip, kita harus luwes dalam pelaksanaan. Kelambatan peningkatan produksi beras pada 2005—2006 menyebabkan harga makin tinggi sebagai indikasi kelangkaan. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka barangkali pemerintah dengan terpaksa mengimpor beras. Imporlah sampai batas-batas tidak merugikan petani kita. Dan dijaga agar jumlah yang ditetapkan pemerintah sama dengan jumlah yang masuk. Sebab menurut data BPS sejak 2004—2006 jumlah impor selalu lebih besar dari yang ditetapkan pemerintah. Ini sebagai tanda kebocoran atau “separuh nyolong”. Sebaiknya bangsa ini punya perasaan malu jika makanan pokoknya saja harus diimpor dari luar negeri. Dan malu juga karena tidak bisa melaksanakan prinsip. Sayangnya, kini ada kecenderungan terlalu luwes. Tahun lalu sudah mengimpor, maka tahun sekarang tidak merasa bersalah untuk mengimpor beras lagi. Jumlah impor beras 2006 ini, sebanyak 320.000 ton, sudah hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu. Jadi bagaimana kita menyikapi impor beras yang terjadi terus? Sebaiknya pemerintah bisa lebih rendah hati untuk mengakui keadaan yang terjadi, bahwa pertambahan produksi beras belum berhasil mengikuti pertambahan konsumsi yang diindikasikan dengan terjadinya kenaikkan harga beras. Alangkah baiknya jika pemerintah berani mengatakan, “Maaf, tahun ini produksi beras belum seperti yang kita harapkan, tapi kita bertekad tahun depan untuk memperbaikinya sehingga tidak akan mengimpor lagi.” Kenyataannya, sekarang ini tidak ada yang mengakui kegagalan itu maka seolah-olah tidak ada persoalan sehingga setiap tahun berulang hal yang sama. Dengan pengakuan itu akan datang tekad baru untuk bekerja lebih keras lagi, bekerjasama lagi, dan bekerja lebih cerdas lagi untuk meningkatkan produksi beras. Dengan kerendahan hati pemerintah itu, semua orang akan membantu memberi sumbangan pikiran dan tenaga, seperti DPR, birokrasi, pengamat, dan lainnya. Langkah selanjutnya bersama-sama menetapkan kebijakan, program, dan anggaran untuk meningkatkan produksi tahun depan. Pemerintahan lalu menerapkan kebijakan proteksi dan promosi. Proteksi itu melarang atau menghambat beras masuk ke Indonesia. Jika tidak ada beras impor, harga akan naik sehingga petani bergairah meningkatkan produksi. Kebijakan promosi adalah meningkatkan produksi dan daya saing usahatani padi kita. Promosi yang dilakukan prinsipnya mensinergikan yang ada seperti memberi subsidi pupuk, Kredit Ketahanan Pangan, perbaikan irigasi pedesaan, perbaikan kualitas benih, introduksi pupuk majemuk, serta cegah gagal panen akibat serangan hama penyakit tanaman, kekeringan, dan banjir. Selain itu, mengaktifkan Pemda untuk menerima tanggung jawab desentralisasi pembangunan pertanian serta memperkuat organisasi petani dan penyuluhan. Kebijakan promosi ini berdampak positif kepada petani sehingga mereka juga bersemangat untuk menyukseskannya.***
Suara Agribisnis
55
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 54
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
20 September – 3 Oktober 2006
Impor Beras Antara Prinsip dan Keluwesan “IMPOR BERAS DUA TAHUN TERAKHIR INI selalu menjadi polemik yang melelahkan bangsa ini. Salah satu penyebabnya, data yang kita miliki mengenai produksi dan konsumsi mengandung banyak kelemahan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Jika demikian, bagaimana kita menarik kesimpulan surplus atau defisit beras? Tergantung cara kita mengisi parameter-parameter yang membentuk produksi dan konsumsi itu. Biasanya parameter yang digunakan tergantung kepentingan orang-orang tentang perlu atau tidaknya impor. Hal ini sudah klasik, sehingga harus ada usaha nasional yang lebih serius mengenai perbaikan data perberasan khususnya dan pangan umumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) harus dibantu untuk memungkinkan melaksanakan pekerjaan ini. Kita masih tertolong untuk mengetahui keadaan perberasan sebenarnya melalui data harga yang dikumpulkan oleh BPS dari seluruh Indonesia. Adanya kenaikan harga secara berturut-turut dalam jangka waktu yang cukup lama, misalnya lebih dari satu bulan, mengindikasikan adanya kelangkaan. Jika penurunan harga juga dalam waktu yang lama mengindikasikan terjadinya surplus beras pada tingkat nasional atau regional. Berarti belakangan ini terjadi kelangkaan sehingga perlu impor? Memang beberapa bulan terakhir ini, harga beras terus naik walaupun secara lambat yang mengindikasikan adanya kelangkaan. Memang harus diakui, kenaikan harga beras belakangan ini juga dipicu oleh kenaikan harga BBM yang luar biasa pada akhir tahun lalu. Namun kenaikan harga beras setahun belakangan ini lebih tinggi dari kenaikan inflasi, itu juga indikasi kelangkaan. Pengalaman sejak lama, tren harga beras dari September hingga Januari tahun depan akan naik terus karena produksi sedikit. Oleh karena itu harus diantisipasi agar tidak terjadi kenaikan harga yang terlalu tinggi. Jika harga beras naik terus bisa menimbulkan dampak sosial politis yang tidak diinginkan, maka harus dicegah. Antisipasinya secara terpaksa mengimpor beras. Profesor setuju dengan impor beras? Bangsa ini harus teguh dalam prinsip tapi luwes dalam pelaksanaan, demikian juga halnya dengan perberasan. Prinsip dalam perberasan, kita harus bisa menyediakan sendiri makanan pokok kita. Dengan kata lain, kita tidak mau mengimpor beras. Justru harus memproteksi perberasan nasional dari perdagangan beras internasional yang tidak adil. Harga beras internasional itu adalah harga dumping, harga yang disubsidi produksi dan ekspornya.
54
Suara Agribisnis
Kendati teguh dalam prinsip, kita harus luwes dalam pelaksanaan. Kelambatan peningkatan produksi beras pada 2005—2006 menyebabkan harga makin tinggi sebagai indikasi kelangkaan. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka barangkali pemerintah dengan terpaksa mengimpor beras. Imporlah sampai batas-batas tidak merugikan petani kita. Dan dijaga agar jumlah yang ditetapkan pemerintah sama dengan jumlah yang masuk. Sebab menurut data BPS sejak 2004—2006 jumlah impor selalu lebih besar dari yang ditetapkan pemerintah. Ini sebagai tanda kebocoran atau “separuh nyolong”. Sebaiknya bangsa ini punya perasaan malu jika makanan pokoknya saja harus diimpor dari luar negeri. Dan malu juga karena tidak bisa melaksanakan prinsip. Sayangnya, kini ada kecenderungan terlalu luwes. Tahun lalu sudah mengimpor, maka tahun sekarang tidak merasa bersalah untuk mengimpor beras lagi. Jumlah impor beras 2006 ini, sebanyak 320.000 ton, sudah hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu. Jadi bagaimana kita menyikapi impor beras yang terjadi terus? Sebaiknya pemerintah bisa lebih rendah hati untuk mengakui keadaan yang terjadi, bahwa pertambahan produksi beras belum berhasil mengikuti pertambahan konsumsi yang diindikasikan dengan terjadinya kenaikkan harga beras. Alangkah baiknya jika pemerintah berani mengatakan, “Maaf, tahun ini produksi beras belum seperti yang kita harapkan, tapi kita bertekad tahun depan untuk memperbaikinya sehingga tidak akan mengimpor lagi.” Kenyataannya, sekarang ini tidak ada yang mengakui kegagalan itu maka seolah-olah tidak ada persoalan sehingga setiap tahun berulang hal yang sama. Dengan pengakuan itu akan datang tekad baru untuk bekerja lebih keras lagi, bekerjasama lagi, dan bekerja lebih cerdas lagi untuk meningkatkan produksi beras. Dengan kerendahan hati pemerintah itu, semua orang akan membantu memberi sumbangan pikiran dan tenaga, seperti DPR, birokrasi, pengamat, dan lainnya. Langkah selanjutnya bersama-sama menetapkan kebijakan, program, dan anggaran untuk meningkatkan produksi tahun depan. Pemerintahan lalu menerapkan kebijakan proteksi dan promosi. Proteksi itu melarang atau menghambat beras masuk ke Indonesia. Jika tidak ada beras impor, harga akan naik sehingga petani bergairah meningkatkan produksi. Kebijakan promosi adalah meningkatkan produksi dan daya saing usahatani padi kita. Promosi yang dilakukan prinsipnya mensinergikan yang ada seperti memberi subsidi pupuk, Kredit Ketahanan Pangan, perbaikan irigasi pedesaan, perbaikan kualitas benih, introduksi pupuk majemuk, serta cegah gagal panen akibat serangan hama penyakit tanaman, kekeringan, dan banjir. Selain itu, mengaktifkan Pemda untuk menerima tanggung jawab desentralisasi pembangunan pertanian serta memperkuat organisasi petani dan penyuluhan. Kebijakan promosi ini berdampak positif kepada petani sehingga mereka juga bersemangat untuk menyukseskannya.***
Suara Agribisnis
55
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 56
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
29 Nopember – 12 Desember 2006
Target Produksi Padi Harus Realistis JIKA TARGET PRODUKSI PADI PADA 2007 yang dibuat oleh Mentan itu tercapai, maka itu sesuatu yang luar biasa. Tapi menurut pendapat saya, target itu tidak realistis dan tidak perlu,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004 saat diwawancarai AGRINA. Mengapa target produksi 57,41 juta ton GKG itu kurang masuk akal? Dua tahun pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu berjalan, peningkatan produksi padi rata-rata masih di bawah 1% per tahun. Jadi kalau tahun ketiga menjadi meningkat 5%, saya tidak melihat ada suatu variabel baru yang memungkinkan lonjakan sebegitu besar bisa terjadi. Mengapa saya anggap itu lonjakan? Sebab dari rata-rata kurang dari 1% menjadi 5% per tahun itu artinya peningkatan lebih dari 500% atau lima kali lipat. Kalau produksi nasional kita kecil, misalnya dari 100.000 ton mudah meningkatnya menjadi 200.000 ton, meskipun itu meningkat 100%. Tapi ini kita berangkat dari angka 54 juta ton lebih. Kalau peningkatan 5% itu di suatu daerah sangat mungkin tapi untuk Indonesia yang luas areal sawahnya lebih dari 11 juta ha bukan pekerjaan mudah bahkan mustahil. Dan inisiatif baru yang akan dilakukan agar produksi melonjak dari 1% menjadi 5% tak pernah diinformasikan secara transparan. Oleh karena itu saya tidak melihat alasan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa akan ada rata-rata peningkatan produksi sebesar 5%. Bukankah pemerintah merencanakan subsidi benih untuk 8,2 juta ha sawah, subsidi pupuk Rp5,8 triliun, pengembangan pupuk organik, penambahan sumberdaya manusia, serta perbaikan saluran irigasi? Variabel utama dalam produksi padi adalah benih, pupuk, dan irigasi. Mari kita lihat satu persatu variabel tersebut. Memang ada subsidi benih dalam jumlah yang sangat besar. Walaupun ada subsidi, petani tidak akan menggunakan benih lebih banyak. Apalagi selama ini petani sudah menggunakan benih unggul padi nasional, subsidi yang membantu petani itu tidak akan secara signifikan meningkatkan produksi padi. Selain itu, sekarang sudah ada introduksi padi hibrida tapi penyediaan benihnya masih sangat kecil dibandingkan areal yang ada. Lagi pula produktivitas padi hibrida yang ada sekarang ini di lapangan belum terbukti berbeda dengan padi unggul nasional dalam skala luas. Jadi, benih bukanlah menjadi pemicu bagi peningkatan padi nasional. Selanjutnya, distribusi pupuk bersubsidi sudah semakin kacau belakangan ini. Sistem lama mau diganti tapi yang baru belum jelas. Ditambah lagi dengan rencana Mentan untuk menaikkan harga eceran tertinggi (HET) yang sangat signifikan, sekitar 20—
56
Suara Agribisnis
50%, maka penggunaan pupuk akan berkurang. Dan saya percaya, petani itu rasional dalam penggunaan pupuk. Tidak benar mereka memanfaatkan pupuk secara berlebihan. Menurut pengalaman mereka, kalau tidak pakai pupuk dalam jumlah tertentu, produksinya akan turun. Jadi kalau kenaikan HET itu maksudnya untuk mengurangi penggunaan pupuk, maka produksi akan turun. Ini juga bukan suatu pemicu untuk meningkatkan produksi. Berikutnya irigasi. Tidak ada usaha yang sistematis untuk memperbaiki irigasi dan salurannya. Hal ini terlihat dari dana yang disediakan untuk memperbaiki irigasi tidak meningkat secara signifikan. Andaikan ada benih dan pupuk tapi tidak ada air dari saluran irigasi, maka kurang bermanfaat. Jadi irigasi bukanlah pemicu yang nanti kita harapkan secara signifikan bisa menaikkan produksi beras nasional untuk 2007. Selain variabel yang sudah disebutkan tadi, apakah ada faktor lain yang mempengaruhi produksi padi? Ada, perlu diperhatikan beberapa hal. Misalnya, ketiga variabel tadi perlu dikoordinasikan dan disinkronkan. Belum ada koordinasi yang baik antarprogram dan kebijakan pupuk, benih, dan irigasi. Apalagi koordinasi antarsektor dan antartingkatan pemerintah daerah. Kemudian, konversi lahan pertanian dari sawah yang paling baik ke penggunaan di luar pertanian masih terus berlanjut. Dan belum ada usaha-usaha untuk menggantikannya. Di samping itu, dua tahun terakhir keadaan iklim normal-normal saja. Tidak kekeringan dan kebanjiran yang mencolok atau tidak ada El Nino dan La Nina seperti pada 1997 dan 2001. Padahal fenomena itu datang meski tidak teratur dan kita tidak tahu ramalan 2007. Dalam kondisi iklim normal saja, produksi hanya bertumbuh kurang dari 1% per tahun. Bagaimana sebaiknya target dibuat? Target harus realistis, jangan berlebihan sebab itu mempunyai konsekuensi yang buruk terhadap target-target di bidang lain yang berhubungan dengan padi. Misalnya, kita rencana mau surplus padi padahal tidak, maka inisiatif untuk diversifikasi ke sumber-sumber yang lain tidak direncanakan. Oleh karena itu Deptan harus membuat target yang lebih realistis. Kita akan mengacungkan jempol kalau produksi padi nasional bisa meningkatkan sedikit di atas pertumbuhan penduduk yang besarnya 1,3% per tahun dan berlangsung dalam jangka panjang. Jika produksi meningkat 2% saja, maka harga di tingkat petani sudah mulai akan turun. Dan jika meningkat 5% harga akan anjlok. Pengalaman 2000—2004 pertumbuhan per tahun sekitar 2% saja, harga padi nasional sudah anjlok. Jika harga anjlok sebenarnya untuk siapa peningkatan produksi ini? Harusnya petani tidak dirugikan oleh kebijakan pemerintah dan target-target pemerintah. Kesimpulan saya, peningkatan 5% itu tidak realistis dan juga tidak perlu. ***
Suara Agribisnis
57
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 56
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
29 Nopember – 12 Desember 2006
Target Produksi Padi Harus Realistis JIKA TARGET PRODUKSI PADI PADA 2007 yang dibuat oleh Mentan itu tercapai, maka itu sesuatu yang luar biasa. Tapi menurut pendapat saya, target itu tidak realistis dan tidak perlu,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004 saat diwawancarai AGRINA. Mengapa target produksi 57,41 juta ton GKG itu kurang masuk akal? Dua tahun pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu berjalan, peningkatan produksi padi rata-rata masih di bawah 1% per tahun. Jadi kalau tahun ketiga menjadi meningkat 5%, saya tidak melihat ada suatu variabel baru yang memungkinkan lonjakan sebegitu besar bisa terjadi. Mengapa saya anggap itu lonjakan? Sebab dari rata-rata kurang dari 1% menjadi 5% per tahun itu artinya peningkatan lebih dari 500% atau lima kali lipat. Kalau produksi nasional kita kecil, misalnya dari 100.000 ton mudah meningkatnya menjadi 200.000 ton, meskipun itu meningkat 100%. Tapi ini kita berangkat dari angka 54 juta ton lebih. Kalau peningkatan 5% itu di suatu daerah sangat mungkin tapi untuk Indonesia yang luas areal sawahnya lebih dari 11 juta ha bukan pekerjaan mudah bahkan mustahil. Dan inisiatif baru yang akan dilakukan agar produksi melonjak dari 1% menjadi 5% tak pernah diinformasikan secara transparan. Oleh karena itu saya tidak melihat alasan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa akan ada rata-rata peningkatan produksi sebesar 5%. Bukankah pemerintah merencanakan subsidi benih untuk 8,2 juta ha sawah, subsidi pupuk Rp5,8 triliun, pengembangan pupuk organik, penambahan sumberdaya manusia, serta perbaikan saluran irigasi? Variabel utama dalam produksi padi adalah benih, pupuk, dan irigasi. Mari kita lihat satu persatu variabel tersebut. Memang ada subsidi benih dalam jumlah yang sangat besar. Walaupun ada subsidi, petani tidak akan menggunakan benih lebih banyak. Apalagi selama ini petani sudah menggunakan benih unggul padi nasional, subsidi yang membantu petani itu tidak akan secara signifikan meningkatkan produksi padi. Selain itu, sekarang sudah ada introduksi padi hibrida tapi penyediaan benihnya masih sangat kecil dibandingkan areal yang ada. Lagi pula produktivitas padi hibrida yang ada sekarang ini di lapangan belum terbukti berbeda dengan padi unggul nasional dalam skala luas. Jadi, benih bukanlah menjadi pemicu bagi peningkatan padi nasional. Selanjutnya, distribusi pupuk bersubsidi sudah semakin kacau belakangan ini. Sistem lama mau diganti tapi yang baru belum jelas. Ditambah lagi dengan rencana Mentan untuk menaikkan harga eceran tertinggi (HET) yang sangat signifikan, sekitar 20—
56
Suara Agribisnis
50%, maka penggunaan pupuk akan berkurang. Dan saya percaya, petani itu rasional dalam penggunaan pupuk. Tidak benar mereka memanfaatkan pupuk secara berlebihan. Menurut pengalaman mereka, kalau tidak pakai pupuk dalam jumlah tertentu, produksinya akan turun. Jadi kalau kenaikan HET itu maksudnya untuk mengurangi penggunaan pupuk, maka produksi akan turun. Ini juga bukan suatu pemicu untuk meningkatkan produksi. Berikutnya irigasi. Tidak ada usaha yang sistematis untuk memperbaiki irigasi dan salurannya. Hal ini terlihat dari dana yang disediakan untuk memperbaiki irigasi tidak meningkat secara signifikan. Andaikan ada benih dan pupuk tapi tidak ada air dari saluran irigasi, maka kurang bermanfaat. Jadi irigasi bukanlah pemicu yang nanti kita harapkan secara signifikan bisa menaikkan produksi beras nasional untuk 2007. Selain variabel yang sudah disebutkan tadi, apakah ada faktor lain yang mempengaruhi produksi padi? Ada, perlu diperhatikan beberapa hal. Misalnya, ketiga variabel tadi perlu dikoordinasikan dan disinkronkan. Belum ada koordinasi yang baik antarprogram dan kebijakan pupuk, benih, dan irigasi. Apalagi koordinasi antarsektor dan antartingkatan pemerintah daerah. Kemudian, konversi lahan pertanian dari sawah yang paling baik ke penggunaan di luar pertanian masih terus berlanjut. Dan belum ada usaha-usaha untuk menggantikannya. Di samping itu, dua tahun terakhir keadaan iklim normal-normal saja. Tidak kekeringan dan kebanjiran yang mencolok atau tidak ada El Nino dan La Nina seperti pada 1997 dan 2001. Padahal fenomena itu datang meski tidak teratur dan kita tidak tahu ramalan 2007. Dalam kondisi iklim normal saja, produksi hanya bertumbuh kurang dari 1% per tahun. Bagaimana sebaiknya target dibuat? Target harus realistis, jangan berlebihan sebab itu mempunyai konsekuensi yang buruk terhadap target-target di bidang lain yang berhubungan dengan padi. Misalnya, kita rencana mau surplus padi padahal tidak, maka inisiatif untuk diversifikasi ke sumber-sumber yang lain tidak direncanakan. Oleh karena itu Deptan harus membuat target yang lebih realistis. Kita akan mengacungkan jempol kalau produksi padi nasional bisa meningkatkan sedikit di atas pertumbuhan penduduk yang besarnya 1,3% per tahun dan berlangsung dalam jangka panjang. Jika produksi meningkat 2% saja, maka harga di tingkat petani sudah mulai akan turun. Dan jika meningkat 5% harga akan anjlok. Pengalaman 2000—2004 pertumbuhan per tahun sekitar 2% saja, harga padi nasional sudah anjlok. Jika harga anjlok sebenarnya untuk siapa peningkatan produksi ini? Harusnya petani tidak dirugikan oleh kebijakan pemerintah dan target-target pemerintah. Kesimpulan saya, peningkatan 5% itu tidak realistis dan juga tidak perlu. ***
Suara Agribisnis
57
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 58
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
7 – 20 Februari 2007
Padi Hibrida, Padi Masa Depan “PRODUKTIVITAS RATA-RATA PADI HIBRIDA memang lebih tinggi dibandingkan padi unggul nasional. Untuk mencapai tambahan 2 juta ton beras, program padi hibrida harus disinergikan juga dengan program-program lain,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Bagaimana peran benih dalam agribisnis? Benih adalah blueprint dari agribisnis. Kemajuan agribisnis sangat ditentukan oleh kualitas benih. Jika kualitas benih tidak bagus, maka hasilnya pun tidak akan bagus. Sekalipun kualitas benih yang tidak bagus bisa diatasi dengan teknik agronomis yang luar biasa baik sehingga baru dapat menghasilkan secara baik. Oleh karena itu peran benih sangat strategis. Pada masa pemerintahan yang lalu, Departemen Pertanian banyak mengembangkan benih di dalam negeri melalui penelitian-penelitian dan kemudian dirilis sebagai varietas unggul. Satu kelompok benih yang kita rilis saat itu adalah kelompok benih padi hibrida. Dari 2001—2004 telah dirilis 17 varietas padi hibrida yang berasal dari China, India, IRRI (Filipina), dan Jepang. Bagaimana pendapat Bapak tentang padi hibrida? Memang padi hibrida itu memberikan tingkat produksi relatif lebih baik daripada padi unggul nasional. Tapi padi hibrida hanya lebih baik apabila ditanam pada tempat yang cocok dan dengan praktik agronomis yang ideal. Apabila ditanam di tempat yang tidak cocok dan praktik agronomis yang tidak sempurna, hasilnya tidak lebih baik daripada padi unggul nasional. Suatu hal yang menarik dari pengembangan padi hibrida di Indonesia adalah inisiatifnya datang dari swasta yang berkeinginan untuk mengembangkan benih padi di dalam negeri. Perusahaan swasta waktu itu seperti PT Benih Inti Subur Intani, Mitsui Chemical, Inc., PT Bangun Pusaka, PT Bayer Indonesia, dan PT Karya Niaga Beras Mandiri. Selama ini hanya pemerintah yang mempunyai inisiatif dan pemerintah melalui Balai Besar Penelitian Padi juga sudah menghasilkan 4 varietas padi hibrida. Bagaimana kebijakan pengembangan padi hibrida? Kebijakan mengenai padi hibrida pada waktu itu adalah pemerintah mendukung swasta untuk pengembangan padi hibrida di dalam negeri. Dan mereka diberi izin sementara untuk mengimpor benih. Tujuan impor tersebut untuk percobaan dan bahan dasar pengembangan benih di dalam negeri. Alasannya, kita berpendapat bahwa benih khususnya padi, karena penggunaan sangat luas, sebaiknya dihasilkan di dalam negeri.
58
Suara Agribisnis
Kita bisa mengimpor neneknya, tapi tetua dan benih sebarnya dikembangkan di Indonesia. Kita tidak setuju benih sebar sepenuhnya diimpor dan dalam jumlah besar. Jika tidak dibatasi demikian, benih sebar yang diimpor sangat potensial membawa hama dan penyakit yang belum ada di dalam negeri. Apakah padi hibrida ini akan menggeser padi unggul nasional? Kendati pun padi hibrida itu terlihat lebih unggul daripada padi unggul nasional tetapi kita tidak bisa mengabaikan begitu saja padi unggul nasional. Karena dia sudah lebih teruji daya adaptasinya, lebih toleran terhadap hama penyakit, dan produktivitasnya cukup baik. Beberapa contoh padi unggul nasional adalah Ciherang, Sintanur, dan Fatmawati. Dan penggunaan varietas padi yang beragam dapat mengantisipasi risiko gagal panen bila hanya ditanam satu varietas. Indonesia sekalipun hanya menggunakan benih padi unggul nasional saja sudah termasuk salah satu negeri dengan produktivitas padi per hektarnya paling tinggi di dunia. Kita hanya sedikit di bawah China, Jepang, dan Korea. Produktivitas padi Indonesia lebih tinggi dibandingkan India, Thailand, Filipina, dan negara-negara penghasil beras lainnya. Bagaimana tanggapan Bapak tentang rencana pemerintah memberi subsidi benih? Saya pikir itu ide yang bagus, tetapi menjadi salah kalau subsidi itu digunakan untuk mengimpor benih atau membeli benih impor. Dana itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan dalam negeri mengembangkan benih yang diproduksi di dalam negeri termasuk benih padi hibrida. Kenapa begitu? Pertama, sangat tidak adil jika kita mensubsidi produsen benih di luar negeri. Kedua, sangat tidak bijaksana jika kita menjadi tergantung kepada produsen benih luar negeri dan mengabaikan pengembangan kemampuan sendiri. Akibatnya, kita akan tergantung terus pada luar negeri. Bagaimana dengan rencana pemerintah untuk tambahan produksi beras 2 juta ton pada 2007? Untuk mencapai tambahan 2 juta ton beras pada 2007 memang tidak mudah. Padi hibrida hanyalah salah satu solusi, bukan satu-satunya solusi. Sekalipun kita ingin menanam padi hibrida katakanlah satu juta hektar, apakah benihnya sekitar 15.000 ton tersedia tahun ini? Padi hibrida itu adalah padi masa depan jadi merupakan solusi jangka panjang yang pengembangannya dimulai dari sekarang. Mudah-mudahan target penambahan beras 2 juta ton tahun ini bisa tercapai sekalipun belum pernah kita mengalami tambahan produksi beras sebanyak itu. Jika hal tersebut tercapai, maka akan menjadi sejarah baru dalam peningkatan produksi beras dalam negeri. Dulu saya sudah beberapa kali mengadakan acara tanam dan panen padi hibrida sebagai seorang Menteri Pertanian. Dan saya sangat gembira beberapa waktu yang lalu panen dan tanam padi hibrida secara simbolik dalam rangka pencanangan gerakan tambahan 2 juta ton beras 2007 dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kita harapkan dengan acara simbolik tersebut, pengembangan dan penggunaan benih padi hibrida akan semakin meluas dan semakin dipercepat.*** Suara Agribisnis
59
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 58
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
7 – 20 Februari 2007
Padi Hibrida, Padi Masa Depan “PRODUKTIVITAS RATA-RATA PADI HIBRIDA memang lebih tinggi dibandingkan padi unggul nasional. Untuk mencapai tambahan 2 juta ton beras, program padi hibrida harus disinergikan juga dengan program-program lain,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Bagaimana peran benih dalam agribisnis? Benih adalah blueprint dari agribisnis. Kemajuan agribisnis sangat ditentukan oleh kualitas benih. Jika kualitas benih tidak bagus, maka hasilnya pun tidak akan bagus. Sekalipun kualitas benih yang tidak bagus bisa diatasi dengan teknik agronomis yang luar biasa baik sehingga baru dapat menghasilkan secara baik. Oleh karena itu peran benih sangat strategis. Pada masa pemerintahan yang lalu, Departemen Pertanian banyak mengembangkan benih di dalam negeri melalui penelitian-penelitian dan kemudian dirilis sebagai varietas unggul. Satu kelompok benih yang kita rilis saat itu adalah kelompok benih padi hibrida. Dari 2001—2004 telah dirilis 17 varietas padi hibrida yang berasal dari China, India, IRRI (Filipina), dan Jepang. Bagaimana pendapat Bapak tentang padi hibrida? Memang padi hibrida itu memberikan tingkat produksi relatif lebih baik daripada padi unggul nasional. Tapi padi hibrida hanya lebih baik apabila ditanam pada tempat yang cocok dan dengan praktik agronomis yang ideal. Apabila ditanam di tempat yang tidak cocok dan praktik agronomis yang tidak sempurna, hasilnya tidak lebih baik daripada padi unggul nasional. Suatu hal yang menarik dari pengembangan padi hibrida di Indonesia adalah inisiatifnya datang dari swasta yang berkeinginan untuk mengembangkan benih padi di dalam negeri. Perusahaan swasta waktu itu seperti PT Benih Inti Subur Intani, Mitsui Chemical, Inc., PT Bangun Pusaka, PT Bayer Indonesia, dan PT Karya Niaga Beras Mandiri. Selama ini hanya pemerintah yang mempunyai inisiatif dan pemerintah melalui Balai Besar Penelitian Padi juga sudah menghasilkan 4 varietas padi hibrida. Bagaimana kebijakan pengembangan padi hibrida? Kebijakan mengenai padi hibrida pada waktu itu adalah pemerintah mendukung swasta untuk pengembangan padi hibrida di dalam negeri. Dan mereka diberi izin sementara untuk mengimpor benih. Tujuan impor tersebut untuk percobaan dan bahan dasar pengembangan benih di dalam negeri. Alasannya, kita berpendapat bahwa benih khususnya padi, karena penggunaan sangat luas, sebaiknya dihasilkan di dalam negeri.
58
Suara Agribisnis
Kita bisa mengimpor neneknya, tapi tetua dan benih sebarnya dikembangkan di Indonesia. Kita tidak setuju benih sebar sepenuhnya diimpor dan dalam jumlah besar. Jika tidak dibatasi demikian, benih sebar yang diimpor sangat potensial membawa hama dan penyakit yang belum ada di dalam negeri. Apakah padi hibrida ini akan menggeser padi unggul nasional? Kendati pun padi hibrida itu terlihat lebih unggul daripada padi unggul nasional tetapi kita tidak bisa mengabaikan begitu saja padi unggul nasional. Karena dia sudah lebih teruji daya adaptasinya, lebih toleran terhadap hama penyakit, dan produktivitasnya cukup baik. Beberapa contoh padi unggul nasional adalah Ciherang, Sintanur, dan Fatmawati. Dan penggunaan varietas padi yang beragam dapat mengantisipasi risiko gagal panen bila hanya ditanam satu varietas. Indonesia sekalipun hanya menggunakan benih padi unggul nasional saja sudah termasuk salah satu negeri dengan produktivitas padi per hektarnya paling tinggi di dunia. Kita hanya sedikit di bawah China, Jepang, dan Korea. Produktivitas padi Indonesia lebih tinggi dibandingkan India, Thailand, Filipina, dan negara-negara penghasil beras lainnya. Bagaimana tanggapan Bapak tentang rencana pemerintah memberi subsidi benih? Saya pikir itu ide yang bagus, tetapi menjadi salah kalau subsidi itu digunakan untuk mengimpor benih atau membeli benih impor. Dana itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan dalam negeri mengembangkan benih yang diproduksi di dalam negeri termasuk benih padi hibrida. Kenapa begitu? Pertama, sangat tidak adil jika kita mensubsidi produsen benih di luar negeri. Kedua, sangat tidak bijaksana jika kita menjadi tergantung kepada produsen benih luar negeri dan mengabaikan pengembangan kemampuan sendiri. Akibatnya, kita akan tergantung terus pada luar negeri. Bagaimana dengan rencana pemerintah untuk tambahan produksi beras 2 juta ton pada 2007? Untuk mencapai tambahan 2 juta ton beras pada 2007 memang tidak mudah. Padi hibrida hanyalah salah satu solusi, bukan satu-satunya solusi. Sekalipun kita ingin menanam padi hibrida katakanlah satu juta hektar, apakah benihnya sekitar 15.000 ton tersedia tahun ini? Padi hibrida itu adalah padi masa depan jadi merupakan solusi jangka panjang yang pengembangannya dimulai dari sekarang. Mudah-mudahan target penambahan beras 2 juta ton tahun ini bisa tercapai sekalipun belum pernah kita mengalami tambahan produksi beras sebanyak itu. Jika hal tersebut tercapai, maka akan menjadi sejarah baru dalam peningkatan produksi beras dalam negeri. Dulu saya sudah beberapa kali mengadakan acara tanam dan panen padi hibrida sebagai seorang Menteri Pertanian. Dan saya sangat gembira beberapa waktu yang lalu panen dan tanam padi hibrida secara simbolik dalam rangka pencanangan gerakan tambahan 2 juta ton beras 2007 dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kita harapkan dengan acara simbolik tersebut, pengembangan dan penggunaan benih padi hibrida akan semakin meluas dan semakin dipercepat.*** Suara Agribisnis
59
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 60
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
21 Februari – 6 Maret 2007
Jangan Kambing Hitamkan Banjir “HARGA BERAS NAIK KARENA KEGAGALAN PENINGKATAN PRODUKSI, bukan diakibatkan oleh banjir dan kekeringan. Jangan banjir dijadikan alasan untuk menjustifikasi impor beras. Untuk meningkatkan produksi dalam jangka pendek perlu perbaikan program dan kebijakan peningkatan produksi,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Apakah ada dampak dari bencana banjir terhadap produksi pertanian kita? Dampak banjir dan kekeringan terhadap produksi beras kita selalu ada. Tapi banjir dan kekeringan bukanlah bencana. Jika dikatakan bencana terlalu menakutkan sehingga kita menanggulanginya secara darurat. Saya mengatakan itu dampak dari fenomena alam yang tidak diprediksi. Memang ada yang dirugikan secara langsung, tapi itu tidak pernah pada level nasional ataupun regional, umumnya hanya pada level lokal. Dan peristiwa-peristiwa itu berpindah-pindah. Tahun ini di daerah aliran sungai (DAS) A, tahun berikutnya di DAS B, tahun berikutnya di DAS C, begitu seterusnya, dan kembali lagi ke DAS yang sama setelah beberapa tahun. Areal yang kebanjiran agak luas tapi kerusakannya atau penurunan produksi umumnya kecil, katakanlah sekitar 0,01% dari total areal setahun. Jadi dampaknya tidak makro, hanya mikro. Sekalipun mikro bukan berarti tidak ada masalah. Dampaknya langsung adalah pada mereka yang terkena langsung sehingga gagal panen atau produksinya berkurang. Akibatnya ada orang yang menderita karena dampak kekeringan dan banjir. Mereka perlu dibantu. Mengapa terjadi kekeringan dan kebanjiran di lahan pertanian? Selain fenomena alam, ada juga kesalahan yang kita buat. Pertama, ketidakmampuan mengelola dengan baik daerah hulu DAS. Kesalahan pengelolaan di hulu sehingga terjadi penggundulan hutan, maka pada musim hujan air langsung mengalir ke sungai. Dan daerah hulu sudah tidak mampu menyerap dan menyimpan air hujan yang ada sehingga terjadi kekeringan pada musim kemarau. Kedua, ketidakmampuan mengelola infrastruktur irigasi dan aliran sungai di hilir. Ketidakmampuan satu dan lainnya saling berkaitan. Kurang baiknya pengelolaan daerah hulu sungai mengakibatkan terjadinya erosi. Kemudian erosi menimbulkan pendangkalan aliran sungai dan saluran irigasi. Oleh karena itu sewaktu jumlah air hujan meningkat dan sungai tidak mampu menampungnya, air akan menyebar ke sana ke mari. Ditambah lagi, saluran irigasi kurang terpelihara dan tanggul sungai yang tidak baik. Akibatnya, air yang berlebihan itu masuk ke areal persawahan dan pertanian. Di samping persoalan pengelolaan di hulu dan hilir DAS, masalah yang lebih menda-
60
Suara Agribisnis
sar adalah laju pertambahan penduduk sangat cepat tidak sebanding dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan mata pencarian di luar pertanian. Karena itu pertambahan penduduk harus diserap oleh kegiatan-kegiatan yang menggunakan lahan. Ini yang menyebabkan terjadinya penggundulan hutan. Dari pokok masalah itu, maka penyelesaiannya tidak melulu di pertanian. Penyelesaiannya banyak di sektor-sektor lain, seperti kehutanan, pekerjaan umum, bahkan sektor lingkungan. Bagaimana mengatasi hal tersebut atau paling tidak meminimalkannya? Pengelolaan DAS bukan berdasarkan unit administratif pemerintahan, misalnya kabupaten atau provinsi. Persoalan menjadi lebih parah lagi dengan adanya otonomi daerah. Semakin sulit untuk membuat koordinasi antardaerah kabupaten dan antarprovinsi. Karena itu pendekatan pengelolaan DAS dengan administratif pemerintahan sebagai unit perlu dilengkapi pendekatan wilayah DAS. Seharusnya hal itu bisa dilakukan apabila pemerintah pusat mampu melakukan koordinasi dan mediasi yang lebih baik. Jadi pemecahannya haruslah secara sistematis dan DAS sebagai sistemnya. Kemudian pendekatan berjangka menengah dan panjang tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga sosial ekonomi. Dan koordinasi oleh pemerintah pusat menjadi sangat penting. Berapa besar dampaknya terhadap penurunan produksi beras sehingga harga beras melonjak begitu tinggi? Kalau dilihat dari luas areal setiap tahun yang puso karena banjir dan kekeringan tidak besar. Oleh karena itu pengaruhnya juga kecil. Barangkali pengaruh lain lebih banyak daripada pengaruh fenomena banjir dan kekeringan. Seharusnya dampak banjir dan kekeringan bisa dikompensasi dengan perbaikan pada bidang lain. Misalnya, perbaikan teknik budidaya mulai pemupukan yang benar, penggunaan benih yang tepat, pengelolaan hama penyakit, pengelolaan air, hingga perbaikan pascapanen. Kenaikan harga yang terjadi karena kegagalan peningkatan produksi. Di samping itu, kenaikan harga beras juga disebabkan tingkat pertambahan penduduk masih lebih tinggi daripada peningkatan produksi padi. Larangan impor baru berhasil apabila peningkatan produksi lebih tinggi daripada pertambahan penduduk. Itu yang kita alami pada 2000—2004, rata-rata peningkatan produksi lebih tinggi daripada tingkat pertambahan penduduk. Kendati pun kita larang impor, harga beras tidak naik. Target pemerintah mau menaikkan produksi beras 2 juta ton atau 6% pada 2007 sangat bagus kalau itu bisa tercapai. Sebenarnya hal itu sulit dicapai dan tidak perlu dicapai. Hal ini sulit karena belum pernah terjadi. Dua tahun terakhir peningkatan produksi lebih rendah daripada tingkat pertambahan penduduk. Tidak perlu karena bisa menurunkan harga sangat drastis yang akhirnya merugikan petani. Jika bisa meningkatkan produksi sedikit lebih tinggi daripada tingkat pertambahan penduduk setiap tahunnya secara terus menerus, maka saya yakin harga tidak akan meningkat. ***
Suara Agribisnis
61
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 60
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
21 Februari – 6 Maret 2007
Jangan Kambing Hitamkan Banjir “HARGA BERAS NAIK KARENA KEGAGALAN PENINGKATAN PRODUKSI, bukan diakibatkan oleh banjir dan kekeringan. Jangan banjir dijadikan alasan untuk menjustifikasi impor beras. Untuk meningkatkan produksi dalam jangka pendek perlu perbaikan program dan kebijakan peningkatan produksi,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Apakah ada dampak dari bencana banjir terhadap produksi pertanian kita? Dampak banjir dan kekeringan terhadap produksi beras kita selalu ada. Tapi banjir dan kekeringan bukanlah bencana. Jika dikatakan bencana terlalu menakutkan sehingga kita menanggulanginya secara darurat. Saya mengatakan itu dampak dari fenomena alam yang tidak diprediksi. Memang ada yang dirugikan secara langsung, tapi itu tidak pernah pada level nasional ataupun regional, umumnya hanya pada level lokal. Dan peristiwa-peristiwa itu berpindah-pindah. Tahun ini di daerah aliran sungai (DAS) A, tahun berikutnya di DAS B, tahun berikutnya di DAS C, begitu seterusnya, dan kembali lagi ke DAS yang sama setelah beberapa tahun. Areal yang kebanjiran agak luas tapi kerusakannya atau penurunan produksi umumnya kecil, katakanlah sekitar 0,01% dari total areal setahun. Jadi dampaknya tidak makro, hanya mikro. Sekalipun mikro bukan berarti tidak ada masalah. Dampaknya langsung adalah pada mereka yang terkena langsung sehingga gagal panen atau produksinya berkurang. Akibatnya ada orang yang menderita karena dampak kekeringan dan banjir. Mereka perlu dibantu. Mengapa terjadi kekeringan dan kebanjiran di lahan pertanian? Selain fenomena alam, ada juga kesalahan yang kita buat. Pertama, ketidakmampuan mengelola dengan baik daerah hulu DAS. Kesalahan pengelolaan di hulu sehingga terjadi penggundulan hutan, maka pada musim hujan air langsung mengalir ke sungai. Dan daerah hulu sudah tidak mampu menyerap dan menyimpan air hujan yang ada sehingga terjadi kekeringan pada musim kemarau. Kedua, ketidakmampuan mengelola infrastruktur irigasi dan aliran sungai di hilir. Ketidakmampuan satu dan lainnya saling berkaitan. Kurang baiknya pengelolaan daerah hulu sungai mengakibatkan terjadinya erosi. Kemudian erosi menimbulkan pendangkalan aliran sungai dan saluran irigasi. Oleh karena itu sewaktu jumlah air hujan meningkat dan sungai tidak mampu menampungnya, air akan menyebar ke sana ke mari. Ditambah lagi, saluran irigasi kurang terpelihara dan tanggul sungai yang tidak baik. Akibatnya, air yang berlebihan itu masuk ke areal persawahan dan pertanian. Di samping persoalan pengelolaan di hulu dan hilir DAS, masalah yang lebih menda-
60
Suara Agribisnis
sar adalah laju pertambahan penduduk sangat cepat tidak sebanding dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan mata pencarian di luar pertanian. Karena itu pertambahan penduduk harus diserap oleh kegiatan-kegiatan yang menggunakan lahan. Ini yang menyebabkan terjadinya penggundulan hutan. Dari pokok masalah itu, maka penyelesaiannya tidak melulu di pertanian. Penyelesaiannya banyak di sektor-sektor lain, seperti kehutanan, pekerjaan umum, bahkan sektor lingkungan. Bagaimana mengatasi hal tersebut atau paling tidak meminimalkannya? Pengelolaan DAS bukan berdasarkan unit administratif pemerintahan, misalnya kabupaten atau provinsi. Persoalan menjadi lebih parah lagi dengan adanya otonomi daerah. Semakin sulit untuk membuat koordinasi antardaerah kabupaten dan antarprovinsi. Karena itu pendekatan pengelolaan DAS dengan administratif pemerintahan sebagai unit perlu dilengkapi pendekatan wilayah DAS. Seharusnya hal itu bisa dilakukan apabila pemerintah pusat mampu melakukan koordinasi dan mediasi yang lebih baik. Jadi pemecahannya haruslah secara sistematis dan DAS sebagai sistemnya. Kemudian pendekatan berjangka menengah dan panjang tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga sosial ekonomi. Dan koordinasi oleh pemerintah pusat menjadi sangat penting. Berapa besar dampaknya terhadap penurunan produksi beras sehingga harga beras melonjak begitu tinggi? Kalau dilihat dari luas areal setiap tahun yang puso karena banjir dan kekeringan tidak besar. Oleh karena itu pengaruhnya juga kecil. Barangkali pengaruh lain lebih banyak daripada pengaruh fenomena banjir dan kekeringan. Seharusnya dampak banjir dan kekeringan bisa dikompensasi dengan perbaikan pada bidang lain. Misalnya, perbaikan teknik budidaya mulai pemupukan yang benar, penggunaan benih yang tepat, pengelolaan hama penyakit, pengelolaan air, hingga perbaikan pascapanen. Kenaikan harga yang terjadi karena kegagalan peningkatan produksi. Di samping itu, kenaikan harga beras juga disebabkan tingkat pertambahan penduduk masih lebih tinggi daripada peningkatan produksi padi. Larangan impor baru berhasil apabila peningkatan produksi lebih tinggi daripada pertambahan penduduk. Itu yang kita alami pada 2000—2004, rata-rata peningkatan produksi lebih tinggi daripada tingkat pertambahan penduduk. Kendati pun kita larang impor, harga beras tidak naik. Target pemerintah mau menaikkan produksi beras 2 juta ton atau 6% pada 2007 sangat bagus kalau itu bisa tercapai. Sebenarnya hal itu sulit dicapai dan tidak perlu dicapai. Hal ini sulit karena belum pernah terjadi. Dua tahun terakhir peningkatan produksi lebih rendah daripada tingkat pertambahan penduduk. Tidak perlu karena bisa menurunkan harga sangat drastis yang akhirnya merugikan petani. Jika bisa meningkatkan produksi sedikit lebih tinggi daripada tingkat pertambahan penduduk setiap tahunnya secara terus menerus, maka saya yakin harga tidak akan meningkat. ***
Suara Agribisnis
61
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 62
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
24 Desember 2008 – 6 Januari 2009
Usahakan Swasembada Beras Berkelanjutan “RILIS PEMERINTAH BELAKANGAN INI mengatakan kita swasembada beras pada 2008. Jika benar itu merupakan hal yang menggembirakan dan hadiah akhir tahun buat bangsa Indonesia. Dan selamat kepada pemerintahan Presiden SBY dan Wapres JK,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA. Mengapa Profesor mengatakan jika benar? Kita harus menunggu kepastiannya sampai 2008 berakhir. Statistik mengenai produksi beras baru sebatas ramalan, maka statistik surplus juga masih ramalan. Selain itu, kita melihat hal yang kontradiktif pada minggu-minggu belakangan ini, yaitu harga beras merayap naik. Bila surplus dengan kuantitas seperti diumumkan pemerintah yang jutaan ton itu, menurut hukum ekonomi, harga pada tingkat produsen, distributor, pengecer, dan konsumen akan jatuh. Seberapa penting swasembada beras itu bagi bangsa Indonesia? Sangat penting, bukan hanya dari kacamata ekonomi dan ketahanan pangan tetapi juga dari segi harga diri bangsa. Sangat ironis bila negara agraris tidak mampu menyediakan makanan pokoknya sendiri. Jadi, setiap peristiwa swasembada beras adalah peristiwa yang sangat membanggakan. Sebenarnya kita sudah mengalami beberapa tahun swasembada, yakni pada pemerintahan Orde Baru 1984 dan akhir pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada 2004. Dan menyusul sekarang ini 2008. Selayaknya sejak 2004 sampai 2008 ini kita bisa terus swasembada. Namun 2005, 2006, dan 2007 keadaan swasembada itu terkoreksi. Dan syukurlah pada 2008 ini bisa dicapai lagi. Apa perbedaan pencapaian swasembada 1984, 2004, dan 2008? Swasembada 2004 kita peroleh pada saat harga beras sangat rendah baik di dalam maupun luar negeri, sehingga insentif buat petani untuk meningkatkan produksi sangatlah rendah. Di samping itu, bujet pemerintah untuk pembangunan pertanian saat itu kecil, sedikit kurang dari Rp3 triliun. Dan kebijakan subsidi pupuk yang sudah dipreteli pada masa akhir Orde Baru kita mulai lagi sekalipun hanya Rp1,3 triliun. Sedangkan pada 2008 ini harga beras sudah sangat tinggi yang peningkatannya dimulai sejak 2005. Barangkali itu salah satu sebabnya produksi bisa meningkat karena petani memperoleh insentif. Ini adalah pelajaran yang sangat baik tentang pentingnya insentif harga buat petani untuk meningkatan produksi dan mencapai swasembada. Tapi harga yang tinggi ini sangat memberatkan para konsumen. Swasembada 2008 bukan hanya mahal buat konsumen tapi juga mahal buat pemerin-
62
Suara Agribisnis
tah. Bujet Departemen Pertanian 2008 sudah lebih dari Rp9 triliun dan subsidi pupuk Rp10 triliun. Angka-angka tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah saat ini untuk mencapai swasembada beras, dan juga menunjukkan mahalnya biaya mencapai swasembada. Tak beda dengan swasembada 1984 butuh biaya sangat tinggi melalui Program Bimas dan Inmas. Kenapa kita sulit untuk swasembada beras itu? Swasembada memang pekerjaan sulit karena ada beberapa hal. Pertama, penduduk masih terus bertambah sekitar 1,3% per tahun atau sekitar 3 juta jiwa. Di samping itu, konsumsi beras per kapita per tahun masih tinggi. Oleh karena itu, tekanan pertumbuhan konsumsi sering lebih besar daripada kemampuan pertumbuhan produksi. Kedua, diversifikasi pangan ke non-beras masih berjalan sangat lambat. Diversifikasi sering menjadi sangat sulit karena kebijakan yang membuat harga beras secara artifisial murah. Dan ketiga, swasembada lebih banyak berorientasi pada produksi di level on-farm dan kurang mengutak-katik aspek konsumsinya. Seolah-olah pencapaian swasembada beras itu hanya menjadi tugas Departemen Pertanian. Padahal menyangkut juga masalah konsumsi yang melibatkan banyak departemen, seperti Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, dan Kementerian Riset dan Teknologi. Bagaimana membuat agar swasembada beras bisa berkelanjutan? Ada konsistensi, perbaikan dan peningkatan, serta koreksi terhadap kebijakan sebelumnya. Jangan pejabat berganti lantas kebijakan, program, dan sumberdaya manusianya menjadi berubah tanpa analisis kekuatan dan kelemahan dari kebijakan, program, dan sumberdaya manusia sebelumnya. Konsumsi beras per kapita harus turun. Konsumsi beras per kapita kita disebutkan 139 kg/kapita/tahun sama dengan konsumsi di Jepang sekitar 40 tahun lalu. Sekarang di Jepang konsumsinya sekitar 60 kg dan Thailand sekitar 80 kg sehingga mereka bisa swasembada. Bila kita bisa mencapai konsumsi beras seperti masyarakat Jepang dan Thailand sekarang, maka produksi beras kita surplus dan bisa mengekspornya. Dari sisi produksi kita masih bisa mengupayakan peningkatan indeks penanaman dan produktivitas, penelitian varietas padi berumur lebih pendek, mempertahankan areal sawah beririgasi, dan memperbaiki saluran irigasi yang ada. Namun peningkatan produksi ada limitnya. Oleh karena itu diversifikasi pangan ke non-beras harus dilakukan. Kita harus mengupayakan peningkatan produksi sumber karbohidrat lain dengan harga relatif lebih murah daripada beras. Dan pengembangan teknologi untuk membuat pangan non-beras itu menjadi lebih enak, lebih bergizi, dan lebih bergengsi.***
Suara Agribisnis
63
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 62
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
24 Desember 2008 – 6 Januari 2009
Usahakan Swasembada Beras Berkelanjutan “RILIS PEMERINTAH BELAKANGAN INI mengatakan kita swasembada beras pada 2008. Jika benar itu merupakan hal yang menggembirakan dan hadiah akhir tahun buat bangsa Indonesia. Dan selamat kepada pemerintahan Presiden SBY dan Wapres JK,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA. Mengapa Profesor mengatakan jika benar? Kita harus menunggu kepastiannya sampai 2008 berakhir. Statistik mengenai produksi beras baru sebatas ramalan, maka statistik surplus juga masih ramalan. Selain itu, kita melihat hal yang kontradiktif pada minggu-minggu belakangan ini, yaitu harga beras merayap naik. Bila surplus dengan kuantitas seperti diumumkan pemerintah yang jutaan ton itu, menurut hukum ekonomi, harga pada tingkat produsen, distributor, pengecer, dan konsumen akan jatuh. Seberapa penting swasembada beras itu bagi bangsa Indonesia? Sangat penting, bukan hanya dari kacamata ekonomi dan ketahanan pangan tetapi juga dari segi harga diri bangsa. Sangat ironis bila negara agraris tidak mampu menyediakan makanan pokoknya sendiri. Jadi, setiap peristiwa swasembada beras adalah peristiwa yang sangat membanggakan. Sebenarnya kita sudah mengalami beberapa tahun swasembada, yakni pada pemerintahan Orde Baru 1984 dan akhir pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada 2004. Dan menyusul sekarang ini 2008. Selayaknya sejak 2004 sampai 2008 ini kita bisa terus swasembada. Namun 2005, 2006, dan 2007 keadaan swasembada itu terkoreksi. Dan syukurlah pada 2008 ini bisa dicapai lagi. Apa perbedaan pencapaian swasembada 1984, 2004, dan 2008? Swasembada 2004 kita peroleh pada saat harga beras sangat rendah baik di dalam maupun luar negeri, sehingga insentif buat petani untuk meningkatkan produksi sangatlah rendah. Di samping itu, bujet pemerintah untuk pembangunan pertanian saat itu kecil, sedikit kurang dari Rp3 triliun. Dan kebijakan subsidi pupuk yang sudah dipreteli pada masa akhir Orde Baru kita mulai lagi sekalipun hanya Rp1,3 triliun. Sedangkan pada 2008 ini harga beras sudah sangat tinggi yang peningkatannya dimulai sejak 2005. Barangkali itu salah satu sebabnya produksi bisa meningkat karena petani memperoleh insentif. Ini adalah pelajaran yang sangat baik tentang pentingnya insentif harga buat petani untuk meningkatan produksi dan mencapai swasembada. Tapi harga yang tinggi ini sangat memberatkan para konsumen. Swasembada 2008 bukan hanya mahal buat konsumen tapi juga mahal buat pemerin-
62
Suara Agribisnis
tah. Bujet Departemen Pertanian 2008 sudah lebih dari Rp9 triliun dan subsidi pupuk Rp10 triliun. Angka-angka tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah saat ini untuk mencapai swasembada beras, dan juga menunjukkan mahalnya biaya mencapai swasembada. Tak beda dengan swasembada 1984 butuh biaya sangat tinggi melalui Program Bimas dan Inmas. Kenapa kita sulit untuk swasembada beras itu? Swasembada memang pekerjaan sulit karena ada beberapa hal. Pertama, penduduk masih terus bertambah sekitar 1,3% per tahun atau sekitar 3 juta jiwa. Di samping itu, konsumsi beras per kapita per tahun masih tinggi. Oleh karena itu, tekanan pertumbuhan konsumsi sering lebih besar daripada kemampuan pertumbuhan produksi. Kedua, diversifikasi pangan ke non-beras masih berjalan sangat lambat. Diversifikasi sering menjadi sangat sulit karena kebijakan yang membuat harga beras secara artifisial murah. Dan ketiga, swasembada lebih banyak berorientasi pada produksi di level on-farm dan kurang mengutak-katik aspek konsumsinya. Seolah-olah pencapaian swasembada beras itu hanya menjadi tugas Departemen Pertanian. Padahal menyangkut juga masalah konsumsi yang melibatkan banyak departemen, seperti Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, dan Kementerian Riset dan Teknologi. Bagaimana membuat agar swasembada beras bisa berkelanjutan? Ada konsistensi, perbaikan dan peningkatan, serta koreksi terhadap kebijakan sebelumnya. Jangan pejabat berganti lantas kebijakan, program, dan sumberdaya manusianya menjadi berubah tanpa analisis kekuatan dan kelemahan dari kebijakan, program, dan sumberdaya manusia sebelumnya. Konsumsi beras per kapita harus turun. Konsumsi beras per kapita kita disebutkan 139 kg/kapita/tahun sama dengan konsumsi di Jepang sekitar 40 tahun lalu. Sekarang di Jepang konsumsinya sekitar 60 kg dan Thailand sekitar 80 kg sehingga mereka bisa swasembada. Bila kita bisa mencapai konsumsi beras seperti masyarakat Jepang dan Thailand sekarang, maka produksi beras kita surplus dan bisa mengekspornya. Dari sisi produksi kita masih bisa mengupayakan peningkatan indeks penanaman dan produktivitas, penelitian varietas padi berumur lebih pendek, mempertahankan areal sawah beririgasi, dan memperbaiki saluran irigasi yang ada. Namun peningkatan produksi ada limitnya. Oleh karena itu diversifikasi pangan ke non-beras harus dilakukan. Kita harus mengupayakan peningkatan produksi sumber karbohidrat lain dengan harga relatif lebih murah daripada beras. Dan pengembangan teknologi untuk membuat pangan non-beras itu menjadi lebih enak, lebih bergizi, dan lebih bergengsi.***
Suara Agribisnis
63
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 64
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
4 – 17 Februari 2009
Hiruk-Pikuk Ekspor Beras “PADA 2009 INI ADA POTENSI KITA UNTUK SURPLUS BERAS. Sekalipun surplusnya nanti akan kita ekspor, tidak perlu sampai harus hiruk-pikuk. Sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah hal tersebut berhubungan dengan agenda demokrasi yang meningkat pada 2009?” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000– 2004, saat diwawancarai AGRINA. Apakah ini merupakan ekspor beras pertama Indonesia? Sebenarnya kita sudah pernah melakukan ekspor beras pada 2005 yang merupakan akumulasi surplus beras sejak 2004. Jadi, swasembada beras sudah kita capai pada 2004, terbukti dengan efektifnya kita menerapkan kebijakan larangan impor beras pada tahun tersebut. Selayaknya sejak 2004—2008 ini dan seterusnya kita bisa swasembada. Dan sejak 2005 kita sudah menjadi eksportir beras. Sayangnya, pada 2006, 2007, dan 2008 keadaan surplus dan ekspor beras itu terkoreksi, bahkan impornya yang membesar hingga 2007. Dan syukurlah jika pada 2008 kita kembali swasembada dan 2009 ini bisa mengekspor beras lagi. Apa maknanya bagi pembangunan pertanian dan pangan Indonesia? Sebenarnya bangsa ini selama empat lima tahun terakhir tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam prestasi pembangunan pertanian dan pangan. Kita kelihatannya sibuk tapi sebenarnya tidak beranjak ke mana-mana, baik dari segi pemikiran maupun implementasi pemikiran itu. Jadi, hiruk-pikuk ini merupakan gambaran stagnasi pemikiran dan implementasi pemikiran itu dalam pembangunan pertanian dan pangan kita. Secara konsepsional, empat lima tahun terakhir ini hampir tidak ada terobosan-terobosan baru dalam inisiatif pembangunan pertanian dan pangan kita. Memang digulirkan konsep revitalisasi tapi tidak ada implementasi yang menunjukkan kelebihan dari apa yang sudah kita lakukan pada waktu-waktu sebelumnya. Sekalipun bujet pembangunan pertanian dan pangan menjadi lebih besar mulai dari pusat sampai daerah tapi prestasi dalam pertumbuhan produksi tidak dapat meninggalkan secara nyata pertumbuhan penduduk kita. Demikian pula halnya terhadap peningkatan pendapatan petani. Salah satu contohnya, surplus beras yang sudah kita mulai sejak 2004 baru bisa dicapai kembali pada 2009. Itu artinya selama empat tahun lebih kita berjalan di tempat, bahkan kadang-kadang mundur ke belakang. Oleh karena itu, barangkali hiruk-pikuk mengenai ekspor beras sekarang ini merupakan refleksi dari stagnasi pembangunan pertanian dan pangan. Suatu simbol bahwa selama empat tahun lalu kita tidak meneruskan kebijakan yang lalu dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik.
64
Suara Agribisnis
Bagaimana agar kita terus swasembada dan dapat mengekspor beras secara berkelanjutan? Sebaiknya ada konsistensi, perbaikan, dan peningkatan, serta koreksi terhadap kebijakan sebelumnya. Jangan pejabat berganti lantas kebijakan, program, dan sumberdaya manusianya menjadi berubah tanpa analisis kekuatan dan kelemahan dari kebijakan, program, dan sumberdaya manusia sebelumnya. Alangkah eloknya melanjutkan kebijakan yang sudah baik dan mencari terobosan-terobosan baru untuk peningkatan produktivitas dan produksi. Kita tidak hanya memikirkan mengekspor tahun ini tapi kita harus punya horizon jangka panjang dan jangka menengah, bagaimana kita melihat 5—10 tahun yang akan datang. Karena itu kita harus melihat variabel-variabel jangka panjang, yaitu mengenai kondisi sumberdaya manusia, sumberdaya lahan, sumberdaya air, bahkan pengembangan teknologi. Jangan hanya melihat indikator produksi agregat tapi kita harus bagi dengan jumlah penduduk sehingga diperoleh produksi per kapita. Kemudian dibandingkan konsumsi per kapita sehingga dapat dilihat apakah produksi lebih besar daripada konsumsi. Memang produktivitas beras kita menurut catatan IRRI 2002 yang tertinggi di Asia Tenggara, tapi produksi kita per kapita relatif rendah, yaitu 228 kg GKG per kapita. Bandingkan dengan negara pengekspor beras seperti Thailand 354 kg GKG per kapita dan Vietnam 383 kg GKG per kapita. Selain peningkatan produksi, kita harus menurunkan konsumsi. Konsumsi kita disebutkan 139 kg per kapita per tahun sama dengan Jepang sekitar 40 tahun lalu. Sekarang di Jepang konsumsinya sekitar 60 kg dan Thailand sekitar 80 kg. Dan mengembangkan diversifikasi pangan ke non-beras dengan harga relatif lebih murah, tapi dengan pengembangan teknologi membuat pangan non-beras itu menjadi lebih enak, lebih bergizi, dan lebih bergengsi. Secara lambat laun mengubah struktur pertanian dan perekonomian kita yang pertaniannya didominasi oleh petani-petani gurem, penguasaan lahan sempit, modal minimal, dan penerapan teknologi sangat terbatas. Karena itu secara perlahan-lahan sebagian tenaga kerja pertanian harus pindah ke sektor jasa dan industri. Ini ide mengenai reformasi agraria yang dikaitkan dengan perubahan struktur perekonomian nasional, khususnya struktur penyerapan tenaga kerja. Misalnya, jika PDB pertanian hanya 14%, jangan penyerapan tenaga kerjanya 50%. Hal itu merupakan salah satu kesulitan pemerintah sekarang untuk merealisasikan reformasi agraria dan kegagalan usaha land reform pada masa Orde Lama dan Orde Baru.***
Suara Agribisnis
65
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 64
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
4 – 17 Februari 2009
Hiruk-Pikuk Ekspor Beras “PADA 2009 INI ADA POTENSI KITA UNTUK SURPLUS BERAS. Sekalipun surplusnya nanti akan kita ekspor, tidak perlu sampai harus hiruk-pikuk. Sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah hal tersebut berhubungan dengan agenda demokrasi yang meningkat pada 2009?” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000– 2004, saat diwawancarai AGRINA. Apakah ini merupakan ekspor beras pertama Indonesia? Sebenarnya kita sudah pernah melakukan ekspor beras pada 2005 yang merupakan akumulasi surplus beras sejak 2004. Jadi, swasembada beras sudah kita capai pada 2004, terbukti dengan efektifnya kita menerapkan kebijakan larangan impor beras pada tahun tersebut. Selayaknya sejak 2004—2008 ini dan seterusnya kita bisa swasembada. Dan sejak 2005 kita sudah menjadi eksportir beras. Sayangnya, pada 2006, 2007, dan 2008 keadaan surplus dan ekspor beras itu terkoreksi, bahkan impornya yang membesar hingga 2007. Dan syukurlah jika pada 2008 kita kembali swasembada dan 2009 ini bisa mengekspor beras lagi. Apa maknanya bagi pembangunan pertanian dan pangan Indonesia? Sebenarnya bangsa ini selama empat lima tahun terakhir tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam prestasi pembangunan pertanian dan pangan. Kita kelihatannya sibuk tapi sebenarnya tidak beranjak ke mana-mana, baik dari segi pemikiran maupun implementasi pemikiran itu. Jadi, hiruk-pikuk ini merupakan gambaran stagnasi pemikiran dan implementasi pemikiran itu dalam pembangunan pertanian dan pangan kita. Secara konsepsional, empat lima tahun terakhir ini hampir tidak ada terobosan-terobosan baru dalam inisiatif pembangunan pertanian dan pangan kita. Memang digulirkan konsep revitalisasi tapi tidak ada implementasi yang menunjukkan kelebihan dari apa yang sudah kita lakukan pada waktu-waktu sebelumnya. Sekalipun bujet pembangunan pertanian dan pangan menjadi lebih besar mulai dari pusat sampai daerah tapi prestasi dalam pertumbuhan produksi tidak dapat meninggalkan secara nyata pertumbuhan penduduk kita. Demikian pula halnya terhadap peningkatan pendapatan petani. Salah satu contohnya, surplus beras yang sudah kita mulai sejak 2004 baru bisa dicapai kembali pada 2009. Itu artinya selama empat tahun lebih kita berjalan di tempat, bahkan kadang-kadang mundur ke belakang. Oleh karena itu, barangkali hiruk-pikuk mengenai ekspor beras sekarang ini merupakan refleksi dari stagnasi pembangunan pertanian dan pangan. Suatu simbol bahwa selama empat tahun lalu kita tidak meneruskan kebijakan yang lalu dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik.
64
Suara Agribisnis
Bagaimana agar kita terus swasembada dan dapat mengekspor beras secara berkelanjutan? Sebaiknya ada konsistensi, perbaikan, dan peningkatan, serta koreksi terhadap kebijakan sebelumnya. Jangan pejabat berganti lantas kebijakan, program, dan sumberdaya manusianya menjadi berubah tanpa analisis kekuatan dan kelemahan dari kebijakan, program, dan sumberdaya manusia sebelumnya. Alangkah eloknya melanjutkan kebijakan yang sudah baik dan mencari terobosan-terobosan baru untuk peningkatan produktivitas dan produksi. Kita tidak hanya memikirkan mengekspor tahun ini tapi kita harus punya horizon jangka panjang dan jangka menengah, bagaimana kita melihat 5—10 tahun yang akan datang. Karena itu kita harus melihat variabel-variabel jangka panjang, yaitu mengenai kondisi sumberdaya manusia, sumberdaya lahan, sumberdaya air, bahkan pengembangan teknologi. Jangan hanya melihat indikator produksi agregat tapi kita harus bagi dengan jumlah penduduk sehingga diperoleh produksi per kapita. Kemudian dibandingkan konsumsi per kapita sehingga dapat dilihat apakah produksi lebih besar daripada konsumsi. Memang produktivitas beras kita menurut catatan IRRI 2002 yang tertinggi di Asia Tenggara, tapi produksi kita per kapita relatif rendah, yaitu 228 kg GKG per kapita. Bandingkan dengan negara pengekspor beras seperti Thailand 354 kg GKG per kapita dan Vietnam 383 kg GKG per kapita. Selain peningkatan produksi, kita harus menurunkan konsumsi. Konsumsi kita disebutkan 139 kg per kapita per tahun sama dengan Jepang sekitar 40 tahun lalu. Sekarang di Jepang konsumsinya sekitar 60 kg dan Thailand sekitar 80 kg. Dan mengembangkan diversifikasi pangan ke non-beras dengan harga relatif lebih murah, tapi dengan pengembangan teknologi membuat pangan non-beras itu menjadi lebih enak, lebih bergizi, dan lebih bergengsi. Secara lambat laun mengubah struktur pertanian dan perekonomian kita yang pertaniannya didominasi oleh petani-petani gurem, penguasaan lahan sempit, modal minimal, dan penerapan teknologi sangat terbatas. Karena itu secara perlahan-lahan sebagian tenaga kerja pertanian harus pindah ke sektor jasa dan industri. Ini ide mengenai reformasi agraria yang dikaitkan dengan perubahan struktur perekonomian nasional, khususnya struktur penyerapan tenaga kerja. Misalnya, jika PDB pertanian hanya 14%, jangan penyerapan tenaga kerjanya 50%. Hal itu merupakan salah satu kesulitan pemerintah sekarang untuk merealisasikan reformasi agraria dan kegagalan usaha land reform pada masa Orde Lama dan Orde Baru.***
Suara Agribisnis
65
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 66
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
18 Februari – 3 Maret 2009
Persoalan Swasembada dan Ekspor Beras “INFORMASI DI MEDIA MASSA yang bersumber dari pemerintah bahwa pada 2008 kita sudah swasembada beras. Dan diproyeksikan pada 2009 Indonesia secara potensial akan mengalami surplus beras 5 juta ton. Semua ini dapat menjadi berita yang menggembirakan, namun, ...,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA. Mengapa informasi tersebut berkualifikasi namun? Berita mengenai swasembada masih sedikit meragukan karena indikasi mengenai harga beras masih jauh lebih tinggi daripada keadaan sebelum swasembada. Harusnya jika benar swasembada maka harga tidak akan naik, bahkan menurun secara drastis. Namun realita di lapangan tidak demikian. Oleh karena itu, berita mengenai swasembada masih perlu dicek kesahihannya. Apalagi berita mengenai potensi surplus yang begitu besar juga mencengangkan. Dan jika itu benar, secara teoritis harga beras dalam negeri akan anjlok luar biasa. Dan informasi selanjutnya, karena alasan surplus yang begitu besar, maka pemerintah akan melakukan ekspor beras. Namun banyak hal yang perlu diperhatikan jika memang pemerintah melalui Perum Bulog berencana untuk melakukan ekspor. Apa saja hal yang perlu diperhatikan untuk mengekspor beras? Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab. Perlu dicatat, harga beras dalam negeri termasuk harga pembelian pemerintah (HPP) saat ini sudah lebih tinggi daripada harga rata-rata beras kelas medium internasional. Dengan kondisi seperti itu, jika kita melakukan ekspor berarti jual rugi. Tidak hanya jual rugi, hal ini juga dapat berakibat tuduhan dumping. Indonesia menjual harga ke pasar internasional pada harga lebih rendah daripada harga di dalam negerinya. Hal ini bisa menimbulkan perselisihan dagang internasional. Namun ada hal lain lagi, beras yang dibeli Perum Bulog itu bukanlah beras Perum Bulog melainkan beras milik pemerintah dan negara karena dibeli menggunakan uang negara. Perum Bulog bukanlah pemerintah apalagi negara, Perum Bulog hanyalah perusahaan pemerintah. Oleh karena itu penjualan beras milik negara melalui Perum Bulog potensial menimbulkan persoalan hukum, sebab Perum Bulog menjual barang negara. Beras yang dibeli Perum Bulog tujuannya untuk stok nasional yang akan disalurkan dengan tujuan sebagai raskin. Apabila Perum Bulog mau menggunakan stok beras itu untuk keperluan lain, seperti tujuan ekspor, maka harus dipastikan bahwa Perum Bulog memiliki dasar hukum yang kuat dalam melakukannya. Salah-salah bisa menjadi Bulog-gate baru. Agar hal yang
66
Suara Agribisnis
tidak diinginkan itu tidak terjadi, barangkali lebih baik ekspor beras itu diserahkan saja kepada pihak swasta. Tapi dalam kondisi harga beras di pasar internasional lebih rendah dibandingkan harga di dalam negeri, tidak ada pihak swasta yang ingin mengekspor. Jadi, secara kalkulasi ekonomi, mengekspor beras itu tidak menguntungkan, tapi kelihatannya dipaksakan. Mengapa bisa terjadi harga beras di dalam negeri lebih tinggi dibandingkan pasar internasional? Rupanya cara kita untuk mencapai swasembada beras saat ini masih terlalu mahal. Jadi kita menghasilkan beras untuk swasembada dengan biaya yang tinggi daripada negara lain, walaupun rata-rata produktivitas per hektar kita lebih tinggi dibandingkan negara lain. Kemungkinannya kita baru efisisen dalam penggunaan lahan, tapi belum efisien dan efektif dalam penggunaan benih, pupuk, pestisida, air, dan tenaga kerja. Hal tersebut dapat dikatakan demikian karena harga jual beras kita merupakan refleksi dari biaya produksi dan distribusi. Maka tugas kita pada masa yang akan datang adalah bagaimana mencapai swasembada dengan biaya per unit beras itu kompetitif dibandingkan negara eksportir yang lain. Jika hal itu belum kita dapatkan, maka usaha ekspor beras sebenarnya inisiatif yang boros, salah kaprah, dan hanya gagah-gagahan. Jadi saat ini barangkali belum waktunya kita menjadi pengekspor beras. Jadi apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas swasembada? Pekerjaan kita yang mendesak saat ini adalah bagaimana menghasilkan beras dengan biaya produksi rendah tanpa mengabaikan pendapatan petani padi. Bila hal itu dapat kita capai, Indonesia akan menjadi negara swasembada beras dengan biaya rendah dan negara pengekspor beras yang membanggakan. Jadi kita bisa menjadi negara pengekspor beras yang berkelanjutan hanya apabila mampu menghasilkan beras lebih murah daripada harga internasional. Selain itu, produksi per kapita kita sudah lebih besar daripada konsumsi per kapita. Hal ini belum kita capai. Sambil berupaya mencapai swasembada beras berkelanjutan dengan biaya produksi rendah, sebagian dari sumberdaya yang digunakan untuk mencapai swasembada barangkali sudah saatnya dapat dialihkan untuk komoditas lain. Sehingga kita pun dapat berswasembada secara berkelanjutan pada komoditas lain, seperti jagung, kacangkacangan, singkong, dan tebu.***
Suara Agribisnis
67
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 66
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
18 Februari – 3 Maret 2009
Persoalan Swasembada dan Ekspor Beras “INFORMASI DI MEDIA MASSA yang bersumber dari pemerintah bahwa pada 2008 kita sudah swasembada beras. Dan diproyeksikan pada 2009 Indonesia secara potensial akan mengalami surplus beras 5 juta ton. Semua ini dapat menjadi berita yang menggembirakan, namun, ...,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA. Mengapa informasi tersebut berkualifikasi namun? Berita mengenai swasembada masih sedikit meragukan karena indikasi mengenai harga beras masih jauh lebih tinggi daripada keadaan sebelum swasembada. Harusnya jika benar swasembada maka harga tidak akan naik, bahkan menurun secara drastis. Namun realita di lapangan tidak demikian. Oleh karena itu, berita mengenai swasembada masih perlu dicek kesahihannya. Apalagi berita mengenai potensi surplus yang begitu besar juga mencengangkan. Dan jika itu benar, secara teoritis harga beras dalam negeri akan anjlok luar biasa. Dan informasi selanjutnya, karena alasan surplus yang begitu besar, maka pemerintah akan melakukan ekspor beras. Namun banyak hal yang perlu diperhatikan jika memang pemerintah melalui Perum Bulog berencana untuk melakukan ekspor. Apa saja hal yang perlu diperhatikan untuk mengekspor beras? Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab. Perlu dicatat, harga beras dalam negeri termasuk harga pembelian pemerintah (HPP) saat ini sudah lebih tinggi daripada harga rata-rata beras kelas medium internasional. Dengan kondisi seperti itu, jika kita melakukan ekspor berarti jual rugi. Tidak hanya jual rugi, hal ini juga dapat berakibat tuduhan dumping. Indonesia menjual harga ke pasar internasional pada harga lebih rendah daripada harga di dalam negerinya. Hal ini bisa menimbulkan perselisihan dagang internasional. Namun ada hal lain lagi, beras yang dibeli Perum Bulog itu bukanlah beras Perum Bulog melainkan beras milik pemerintah dan negara karena dibeli menggunakan uang negara. Perum Bulog bukanlah pemerintah apalagi negara, Perum Bulog hanyalah perusahaan pemerintah. Oleh karena itu penjualan beras milik negara melalui Perum Bulog potensial menimbulkan persoalan hukum, sebab Perum Bulog menjual barang negara. Beras yang dibeli Perum Bulog tujuannya untuk stok nasional yang akan disalurkan dengan tujuan sebagai raskin. Apabila Perum Bulog mau menggunakan stok beras itu untuk keperluan lain, seperti tujuan ekspor, maka harus dipastikan bahwa Perum Bulog memiliki dasar hukum yang kuat dalam melakukannya. Salah-salah bisa menjadi Bulog-gate baru. Agar hal yang
66
Suara Agribisnis
tidak diinginkan itu tidak terjadi, barangkali lebih baik ekspor beras itu diserahkan saja kepada pihak swasta. Tapi dalam kondisi harga beras di pasar internasional lebih rendah dibandingkan harga di dalam negeri, tidak ada pihak swasta yang ingin mengekspor. Jadi, secara kalkulasi ekonomi, mengekspor beras itu tidak menguntungkan, tapi kelihatannya dipaksakan. Mengapa bisa terjadi harga beras di dalam negeri lebih tinggi dibandingkan pasar internasional? Rupanya cara kita untuk mencapai swasembada beras saat ini masih terlalu mahal. Jadi kita menghasilkan beras untuk swasembada dengan biaya yang tinggi daripada negara lain, walaupun rata-rata produktivitas per hektar kita lebih tinggi dibandingkan negara lain. Kemungkinannya kita baru efisisen dalam penggunaan lahan, tapi belum efisien dan efektif dalam penggunaan benih, pupuk, pestisida, air, dan tenaga kerja. Hal tersebut dapat dikatakan demikian karena harga jual beras kita merupakan refleksi dari biaya produksi dan distribusi. Maka tugas kita pada masa yang akan datang adalah bagaimana mencapai swasembada dengan biaya per unit beras itu kompetitif dibandingkan negara eksportir yang lain. Jika hal itu belum kita dapatkan, maka usaha ekspor beras sebenarnya inisiatif yang boros, salah kaprah, dan hanya gagah-gagahan. Jadi saat ini barangkali belum waktunya kita menjadi pengekspor beras. Jadi apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas swasembada? Pekerjaan kita yang mendesak saat ini adalah bagaimana menghasilkan beras dengan biaya produksi rendah tanpa mengabaikan pendapatan petani padi. Bila hal itu dapat kita capai, Indonesia akan menjadi negara swasembada beras dengan biaya rendah dan negara pengekspor beras yang membanggakan. Jadi kita bisa menjadi negara pengekspor beras yang berkelanjutan hanya apabila mampu menghasilkan beras lebih murah daripada harga internasional. Selain itu, produksi per kapita kita sudah lebih besar daripada konsumsi per kapita. Hal ini belum kita capai. Sambil berupaya mencapai swasembada beras berkelanjutan dengan biaya produksi rendah, sebagian dari sumberdaya yang digunakan untuk mencapai swasembada barangkali sudah saatnya dapat dialihkan untuk komoditas lain. Sehingga kita pun dapat berswasembada secara berkelanjutan pada komoditas lain, seperti jagung, kacangkacangan, singkong, dan tebu.***
Suara Agribisnis
67
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 68
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
27 Mei – 9 Juni 2009
Upaya Swasembada dan Ekspor Beras Berkelanjutan “SEBENARNYA KITA SUDAH MENGALAMI TIGA KALI SWASEMBADA BERAS, yaitu pada 1984, 2004, dan 2008. Harapannya, kita terus swasembada sekaligus mempersiapkan diri menjadi eksportir beras,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA. Apakah kita bisa swasembada beras secara berkelanjutan? Bisa. Tapi kadang-kadang kita lengah dan tidak mau belajar dari masa lalu. Mari kita tinjau apa yang terjadi pada swasembada 1984, 2004, dan 2008. Pada 1984, swasembada beras dicapai dengan all out. Maksudnya, pembangunan waktu itu adalah pembangunan padi atau beras. Memang berhasil tapi sesudah 1984 kita melupakan kerja besar yang lalu, dan mulailah mengimpor beras yang volumenya semakin besar. Sampai pada 1998, saat krisis moneter dan keuangan, kita menjadi importir beras terbesar di dunia, mencapai 6 juta ton. Salah satu tugas pemerintahan reformasi waktu itu adalah secara lambat laun mengurangi impor. Dan impor beras berhasil kita stop sama sekali pada 2004. Keberhasilan swasembada beras pada 2004 beda dengan 1984. Periode 2000—2004 adalah masa pemulihan dari krisis, dan pemerintah tidak punya uang tapi kita ingin swasembada beras. Dan kita mampu mewujudkannya pada 2004 dengan bujet Deptan sekitar Rp3 triliun. Beda lagi dengan swasembada 2008, bukan hanya mahal buat konsumen tapi juga mahal buat pemerintah. Bujet Deptan 2008 sudah lebih dari Rp9 triliun dan subsidi pupuk Rp10 triliun. Angka-angka tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah untuk mencapai swasembada beras, dan juga menunjukkan mahalnya biaya mencapai swasembada. Bagaimana bisa mewujudkan swasembada 2004 dengan bujet yang kecil? Yang paling penting kita mengetahui konteks, problema, kekuatan, kelemahan, dan apa peluang yang ada. Dari situ kita rumuskan paradigma, kebijakan, dan cara melaksanakan kebijakan itu. Kita mengubah paradigma dari pembangunan pertanian menjadi pembangunan agribisnis. Jika pada pembangunan pertanian yang memiliki program adalah pemerintah, sedangkan pada pembangunan agribisnis yang memiliki program adalah dunia usaha, sementara pemerintah hanya fasilitator. Jadi masa 2000—2004 pembangunan agribisnis itu dibiayai oleh dunia usaha, yaitu petani dan pengusaha. Lalu dibuat kebijakan proteksi sekaligus promosi karena kita berprinsip, pembangunan pangan Indonesia adalah tanggungjawab kita, bukan tanggungjawab IMF atau Bank Dunia. Kebijakan proteksi membuat dunia usaha bergairah untuk berproduksi lebih
68
Suara Agribisnis
tinggi sehingga produksi meningkat. Kebijakan promosi untuk peningkatan produktivitas dan kualitas melalui subsidi, kredit, dan perbaikan infrastruktur. Bagaimana agar kita mampu berswasembada dan ekspor beras berkelanjutan? Kita harus mengubah mindset (pola pikir) tidak hanya sekadar mencapai swasembada tapi swasembada beras yang berkelanjutan. Dan menjadi eksportir beras yang juga berkelanjutan. Untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, jangan hanya peningkatan produksi. Sekarang ini bila ingin swasembada, upayanya tingkatkan produksi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Sedangkan biaya peningkatan produksi itu makin lama makin mahal. Bila dulu hanya lahan yang mahal, tapi sekarang air, pupuk, pestisida, benih, dan tenaga kerja pun mahal. Jika biaya produksi mahal, bagaimana kita mau mengekspor, kecuali jika mau mengekspor secara rugi. Jadi pendekatan hanya dari segi produksi saja tidak membuat kita aman. Kedua, pendekatan dari segi permintaan. Konsumsi kita saat ini 139 kg per kapita per tahun, sama dengan konsumsi masyarakat Jepang 40 tahun lalu. Sekarang konsumsi mereka 60 kg per kapita per tahun, turun lebih dari 50%. Karena itu bujet untuk pangan tidak semuanya diberikan ke Deptan, tetapi juga kepada departemen lain yang terkait buat menurunkan konsumsi. Sehingga kita dapat berharap tingkat konsumsi yang 139 kg turun menjadi 60 kg secara lambat laun, paling tidak dalam tempo 25 tahun. Jadi pada 2035 kita tidak hanya swasembada tetapi sudah menjadi eksportir beras terkemuka di dunia. Ketiga, reforma agraria. Dari sekarang harus dipikirkan bagaimana petani dapat memproduksi beras dengan cara yang lebih efisien. Tentunya perlu reforma agraria agar kepemilikan petani bukan hanya 0,25 ha. Di Thailand dan Vietnam, tiap keluarga petani itu mengusahakan 5 ha. Bagaimana petani kita yang hanya 0,25 ha bisa bersaing dengan petani yang mengelola 5 ha? Keempat, reorganisasi usaha tani. Reorganisasi usaha tani bisa terjadi hanya apabila sebagian besar petani padi kita sudah pindah dari usaha tani padi, bahkan sudah keluar dari pertanian. Sehingga jumlah petani sedikit dan skala usaha mereka besar-besar. Dengan demikian, mungkin biaya produksi menjadi turun, dan pendapatan petani meningkat. Kelima, buat perencanaan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang sampai 25 tahun. Dengan demikian pembangunan agribisnis dapat berkelanjutan. Tidak seperti sekarang ini kebijakan bergantu-ganti seiring dengan pergantian pejabat pembuat kebijakan.***
Suara Agribisnis
69
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 68
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
27 Mei – 9 Juni 2009
Upaya Swasembada dan Ekspor Beras Berkelanjutan “SEBENARNYA KITA SUDAH MENGALAMI TIGA KALI SWASEMBADA BERAS, yaitu pada 1984, 2004, dan 2008. Harapannya, kita terus swasembada sekaligus mempersiapkan diri menjadi eksportir beras,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA. Apakah kita bisa swasembada beras secara berkelanjutan? Bisa. Tapi kadang-kadang kita lengah dan tidak mau belajar dari masa lalu. Mari kita tinjau apa yang terjadi pada swasembada 1984, 2004, dan 2008. Pada 1984, swasembada beras dicapai dengan all out. Maksudnya, pembangunan waktu itu adalah pembangunan padi atau beras. Memang berhasil tapi sesudah 1984 kita melupakan kerja besar yang lalu, dan mulailah mengimpor beras yang volumenya semakin besar. Sampai pada 1998, saat krisis moneter dan keuangan, kita menjadi importir beras terbesar di dunia, mencapai 6 juta ton. Salah satu tugas pemerintahan reformasi waktu itu adalah secara lambat laun mengurangi impor. Dan impor beras berhasil kita stop sama sekali pada 2004. Keberhasilan swasembada beras pada 2004 beda dengan 1984. Periode 2000—2004 adalah masa pemulihan dari krisis, dan pemerintah tidak punya uang tapi kita ingin swasembada beras. Dan kita mampu mewujudkannya pada 2004 dengan bujet Deptan sekitar Rp3 triliun. Beda lagi dengan swasembada 2008, bukan hanya mahal buat konsumen tapi juga mahal buat pemerintah. Bujet Deptan 2008 sudah lebih dari Rp9 triliun dan subsidi pupuk Rp10 triliun. Angka-angka tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah untuk mencapai swasembada beras, dan juga menunjukkan mahalnya biaya mencapai swasembada. Bagaimana bisa mewujudkan swasembada 2004 dengan bujet yang kecil? Yang paling penting kita mengetahui konteks, problema, kekuatan, kelemahan, dan apa peluang yang ada. Dari situ kita rumuskan paradigma, kebijakan, dan cara melaksanakan kebijakan itu. Kita mengubah paradigma dari pembangunan pertanian menjadi pembangunan agribisnis. Jika pada pembangunan pertanian yang memiliki program adalah pemerintah, sedangkan pada pembangunan agribisnis yang memiliki program adalah dunia usaha, sementara pemerintah hanya fasilitator. Jadi masa 2000—2004 pembangunan agribisnis itu dibiayai oleh dunia usaha, yaitu petani dan pengusaha. Lalu dibuat kebijakan proteksi sekaligus promosi karena kita berprinsip, pembangunan pangan Indonesia adalah tanggungjawab kita, bukan tanggungjawab IMF atau Bank Dunia. Kebijakan proteksi membuat dunia usaha bergairah untuk berproduksi lebih
68
Suara Agribisnis
tinggi sehingga produksi meningkat. Kebijakan promosi untuk peningkatan produktivitas dan kualitas melalui subsidi, kredit, dan perbaikan infrastruktur. Bagaimana agar kita mampu berswasembada dan ekspor beras berkelanjutan? Kita harus mengubah mindset (pola pikir) tidak hanya sekadar mencapai swasembada tapi swasembada beras yang berkelanjutan. Dan menjadi eksportir beras yang juga berkelanjutan. Untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, jangan hanya peningkatan produksi. Sekarang ini bila ingin swasembada, upayanya tingkatkan produksi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Sedangkan biaya peningkatan produksi itu makin lama makin mahal. Bila dulu hanya lahan yang mahal, tapi sekarang air, pupuk, pestisida, benih, dan tenaga kerja pun mahal. Jika biaya produksi mahal, bagaimana kita mau mengekspor, kecuali jika mau mengekspor secara rugi. Jadi pendekatan hanya dari segi produksi saja tidak membuat kita aman. Kedua, pendekatan dari segi permintaan. Konsumsi kita saat ini 139 kg per kapita per tahun, sama dengan konsumsi masyarakat Jepang 40 tahun lalu. Sekarang konsumsi mereka 60 kg per kapita per tahun, turun lebih dari 50%. Karena itu bujet untuk pangan tidak semuanya diberikan ke Deptan, tetapi juga kepada departemen lain yang terkait buat menurunkan konsumsi. Sehingga kita dapat berharap tingkat konsumsi yang 139 kg turun menjadi 60 kg secara lambat laun, paling tidak dalam tempo 25 tahun. Jadi pada 2035 kita tidak hanya swasembada tetapi sudah menjadi eksportir beras terkemuka di dunia. Ketiga, reforma agraria. Dari sekarang harus dipikirkan bagaimana petani dapat memproduksi beras dengan cara yang lebih efisien. Tentunya perlu reforma agraria agar kepemilikan petani bukan hanya 0,25 ha. Di Thailand dan Vietnam, tiap keluarga petani itu mengusahakan 5 ha. Bagaimana petani kita yang hanya 0,25 ha bisa bersaing dengan petani yang mengelola 5 ha? Keempat, reorganisasi usaha tani. Reorganisasi usaha tani bisa terjadi hanya apabila sebagian besar petani padi kita sudah pindah dari usaha tani padi, bahkan sudah keluar dari pertanian. Sehingga jumlah petani sedikit dan skala usaha mereka besar-besar. Dengan demikian, mungkin biaya produksi menjadi turun, dan pendapatan petani meningkat. Kelima, buat perencanaan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang sampai 25 tahun. Dengan demikian pembangunan agribisnis dapat berkelanjutan. Tidak seperti sekarang ini kebijakan bergantu-ganti seiring dengan pergantian pejabat pembuat kebijakan.***
Suara Agribisnis
69
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 70
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
21 Maret – 3 April 2007
Keterpaduan Solusi Perberasan Nasional ”MASALAH PERBERASAN KITA SUDAH AGAK GAWAT. Dalam dua tahun terakhir ini harganya meningkat dahsyat,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA. Seberapa besar peningkatan harganya sehingga dikatakan sudah agak gawat? Jika akhir 2004 harganya masih Rp2.200 per kilogram, maka pada akhir 2005 sudah menjadi Rp4.400,00, dan akhir 2006 sebesar Rp6.000,00. Itu pun untuk beras kelas ratarata. Barangkali karena persoalannya semakin rumit, Presiden dan Wakil Presiden mengambil alih persoalan. Presiden mengatakan, kita harus mencapai peningkatan produksi 2 juta ton. Wakil Presiden berucap, kita harus impor 500.000 ton. Dengan demikian sudah dua kali dilakukan impor sebesar masing-masing 500.000 ton dalam tempo tiga bulan terakhir ini. Beras merupakan makanan pokok rakyat, jika bermasalah apakah tidak memberi implikasi yang luas? Tapi apakah perlu Presiden dan Wakil Presiden menangani itu secara langsung? Lantas apa fungsinya menteri koordinator, Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan, dan para menteri terkait dalam bidang ini? Ini gambaran kabinet sudah tidak bisa menjalankan fungsinya di bidang perberasan dengan baik. Seharusnya para menteri yang menyelesaikan masalah ini. Jika mereka tidak berhasil, maka lebih mudah buat presiden dan wakil presiden untuk memikirkan kembali yang lebih pantas menyelesaikan persoalan ini. Tapi jika presiden dan wakilnya sudah mengambil alih, dan gagal, berarti kepala negara dan wakil kepala negara yang gagal. Ini keadaan yang kurang baik, dan mengandung risiko yang terlalu besar. Sebenarnya apa masalah perbesaran kita saat ini? Penanganan masalah beras belakangan ini seolah dilihat sebagai urusan mengimpor atau tidak mengimpor. Padahal persoalannya adalah kenaikan konsumsi akibat pertambahan penduduk yang lebih tinggi daripada tingkat pertambahan produksi padi dan beras nasional. Ini sudah terjadi selama dua tahun terakhir. Permintaan bertambah, pasokan juga bertambah tapi kalah cepat dibanding dengan permintaan, maka harga naik. Kenaikan harganya akan menjadi lebih besar lagi karena larangan impor. Dalam keadaan seperti sekarang kalau kita tidak mengimpor namanya bodoh. Sebab itu bisa bunuh diri. Kenapa begini produksi beras nasional kita? Kita sudah punya tema pembangunan pertanian yang bagus dengan nama revitalisasi pertanian. Tapi tema ini harus diterjemahkan ke dalam kebijakan, program, dan strate-
70
Suara Agribisnis
gi. Itu memang sudah dilakukan, tapi oleh masing-masing sektor. Departemen Pertanian punya kebijakan, program, dan strateginya, demikian juga Departemen Perdagangan, Badan Urusan Logistik, Departemen Perindustrian, dan Departemen Keuangan, bahkan juga gubernur, bupati dan walikota. Yang kita tidak miliki adalah program dan kebijakan nasional yang konsisten dan terintegrasi satu sama lain. Program pangan dari Deptan, Depdag, Bulog, Depkeu, Pemda, dan instansi lain itu belum sempat dipersatukan menjadi kebijakan dan program nasional yang sistematis, konsisten, dan terpadu. Oleh karena itu, tidak heran bila kita dengar Deptan menyuarakan bahwa persediaan beras nasional aman, sementara Bulog mengatakan cadangan beras sudah gawat. Lalu bagi Depdag, jika cadangan beras sudah gawat, maka izin impor akan keluar. Juga karena tidak punya program yang sistematik, konsisten, dan terpadu, maka ada ikrar “meningkatkan produksi beras 2 juta ton pada 2007”. Menjadi pertanyaan, bagaimana 2008 dan tahun-tahun selanjutnya? Jadi, program kita bukanlah jangka menengah, bahkan bukan juga satu tahun, mungkin cuma satu musim. Horizon kebijakan yang hanya satu musim ini membuat revitalisasi berjalan sepotongsepotong, dan ini menuntut penambahan biaya. Waktu saya meninggalkan Deptan pada 2004, anggarannya sedikit kurang dari Rp3 triliun. Kini, 2007, anggaran Deptan meningkat secara fenomenal menjadi Rp8,2 triliun. Sementara performance dalam dua tahun lebih ini tidak membaik. Mengandalkan hanya pada uang juga menimbulkan kebingungan di kalangan birokrasi karena harus berjaga-jaga terhadap KPK, BPK, BPKP yang menyoroti dengan ketat. Bagaimana langkah ke depan? Langkah selanjutnya bersama-sama menetapkan kebijakan, program, strategi, dan anggaran untuk meningkatkan produksi jangka menengah dan panjang. Pada pemerintahan lalu menerapkan kebijakan proteksi dan promosi. Proteksi itu melarang atau menghambat beras masuk ke Indonesia. Jika tidak ada beras impor, harga akan naik sehingga petani bergairah meningkatkan produksi. Ini prinsip yang harus diperjuangkan. Namun untuk sementara harus luwes dalam pelaksanaan. Kebijakan promosi adalah meningkatkan produksi dan daya saing usahatani padi kita. Promosi yang dilakukan prinsipnya mensinergikan yang ada, seperti memberi subsidi pupuk, Kredit Ketahanan Pangan, perbaikan irigasi pedesaan, perbaikan kualitas benih, introduksi pupuk majemuk, serta mencegah gagal panen akibat serangan hama penyakit tanaman, kekeringan, dan kebanjiran. Selain itu, mengaktifkan Pemda untuk menerima tanggung jawab desentralisasi pembangunan pertanian serta memperkuat organisasi petani dan penyuluhan. Kebijakan ini berdampak positif kepada petani sehingga mereka bersemangat untuk menyukseskannya. Langkah selanjutnya adalah kepemimpinan. Dalam perberasan banyak sekali pihak yang terlibat sehingga diperlukan pemimpin yang dapat mensinergikan antarpihak. Pemimpin ini pula yang membuat kebijakan, program, dan strategi perberasan skala nasional. Pemimpin ini bisa menteri koordinator atau ketua harian Dewan Ketahanan Pangan.*** Suara Agribisnis
71
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 70
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
21 Maret – 3 April 2007
Keterpaduan Solusi Perberasan Nasional ”MASALAH PERBERASAN KITA SUDAH AGAK GAWAT. Dalam dua tahun terakhir ini harganya meningkat dahsyat,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA. Seberapa besar peningkatan harganya sehingga dikatakan sudah agak gawat? Jika akhir 2004 harganya masih Rp2.200 per kilogram, maka pada akhir 2005 sudah menjadi Rp4.400,00, dan akhir 2006 sebesar Rp6.000,00. Itu pun untuk beras kelas ratarata. Barangkali karena persoalannya semakin rumit, Presiden dan Wakil Presiden mengambil alih persoalan. Presiden mengatakan, kita harus mencapai peningkatan produksi 2 juta ton. Wakil Presiden berucap, kita harus impor 500.000 ton. Dengan demikian sudah dua kali dilakukan impor sebesar masing-masing 500.000 ton dalam tempo tiga bulan terakhir ini. Beras merupakan makanan pokok rakyat, jika bermasalah apakah tidak memberi implikasi yang luas? Tapi apakah perlu Presiden dan Wakil Presiden menangani itu secara langsung? Lantas apa fungsinya menteri koordinator, Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan, dan para menteri terkait dalam bidang ini? Ini gambaran kabinet sudah tidak bisa menjalankan fungsinya di bidang perberasan dengan baik. Seharusnya para menteri yang menyelesaikan masalah ini. Jika mereka tidak berhasil, maka lebih mudah buat presiden dan wakil presiden untuk memikirkan kembali yang lebih pantas menyelesaikan persoalan ini. Tapi jika presiden dan wakilnya sudah mengambil alih, dan gagal, berarti kepala negara dan wakil kepala negara yang gagal. Ini keadaan yang kurang baik, dan mengandung risiko yang terlalu besar. Sebenarnya apa masalah perbesaran kita saat ini? Penanganan masalah beras belakangan ini seolah dilihat sebagai urusan mengimpor atau tidak mengimpor. Padahal persoalannya adalah kenaikan konsumsi akibat pertambahan penduduk yang lebih tinggi daripada tingkat pertambahan produksi padi dan beras nasional. Ini sudah terjadi selama dua tahun terakhir. Permintaan bertambah, pasokan juga bertambah tapi kalah cepat dibanding dengan permintaan, maka harga naik. Kenaikan harganya akan menjadi lebih besar lagi karena larangan impor. Dalam keadaan seperti sekarang kalau kita tidak mengimpor namanya bodoh. Sebab itu bisa bunuh diri. Kenapa begini produksi beras nasional kita? Kita sudah punya tema pembangunan pertanian yang bagus dengan nama revitalisasi pertanian. Tapi tema ini harus diterjemahkan ke dalam kebijakan, program, dan strate-
70
Suara Agribisnis
gi. Itu memang sudah dilakukan, tapi oleh masing-masing sektor. Departemen Pertanian punya kebijakan, program, dan strateginya, demikian juga Departemen Perdagangan, Badan Urusan Logistik, Departemen Perindustrian, dan Departemen Keuangan, bahkan juga gubernur, bupati dan walikota. Yang kita tidak miliki adalah program dan kebijakan nasional yang konsisten dan terintegrasi satu sama lain. Program pangan dari Deptan, Depdag, Bulog, Depkeu, Pemda, dan instansi lain itu belum sempat dipersatukan menjadi kebijakan dan program nasional yang sistematis, konsisten, dan terpadu. Oleh karena itu, tidak heran bila kita dengar Deptan menyuarakan bahwa persediaan beras nasional aman, sementara Bulog mengatakan cadangan beras sudah gawat. Lalu bagi Depdag, jika cadangan beras sudah gawat, maka izin impor akan keluar. Juga karena tidak punya program yang sistematik, konsisten, dan terpadu, maka ada ikrar “meningkatkan produksi beras 2 juta ton pada 2007”. Menjadi pertanyaan, bagaimana 2008 dan tahun-tahun selanjutnya? Jadi, program kita bukanlah jangka menengah, bahkan bukan juga satu tahun, mungkin cuma satu musim. Horizon kebijakan yang hanya satu musim ini membuat revitalisasi berjalan sepotongsepotong, dan ini menuntut penambahan biaya. Waktu saya meninggalkan Deptan pada 2004, anggarannya sedikit kurang dari Rp3 triliun. Kini, 2007, anggaran Deptan meningkat secara fenomenal menjadi Rp8,2 triliun. Sementara performance dalam dua tahun lebih ini tidak membaik. Mengandalkan hanya pada uang juga menimbulkan kebingungan di kalangan birokrasi karena harus berjaga-jaga terhadap KPK, BPK, BPKP yang menyoroti dengan ketat. Bagaimana langkah ke depan? Langkah selanjutnya bersama-sama menetapkan kebijakan, program, strategi, dan anggaran untuk meningkatkan produksi jangka menengah dan panjang. Pada pemerintahan lalu menerapkan kebijakan proteksi dan promosi. Proteksi itu melarang atau menghambat beras masuk ke Indonesia. Jika tidak ada beras impor, harga akan naik sehingga petani bergairah meningkatkan produksi. Ini prinsip yang harus diperjuangkan. Namun untuk sementara harus luwes dalam pelaksanaan. Kebijakan promosi adalah meningkatkan produksi dan daya saing usahatani padi kita. Promosi yang dilakukan prinsipnya mensinergikan yang ada, seperti memberi subsidi pupuk, Kredit Ketahanan Pangan, perbaikan irigasi pedesaan, perbaikan kualitas benih, introduksi pupuk majemuk, serta mencegah gagal panen akibat serangan hama penyakit tanaman, kekeringan, dan kebanjiran. Selain itu, mengaktifkan Pemda untuk menerima tanggung jawab desentralisasi pembangunan pertanian serta memperkuat organisasi petani dan penyuluhan. Kebijakan ini berdampak positif kepada petani sehingga mereka bersemangat untuk menyukseskannya. Langkah selanjutnya adalah kepemimpinan. Dalam perberasan banyak sekali pihak yang terlibat sehingga diperlukan pemimpin yang dapat mensinergikan antarpihak. Pemimpin ini pula yang membuat kebijakan, program, dan strategi perberasan skala nasional. Pemimpin ini bisa menteri koordinator atau ketua harian Dewan Ketahanan Pangan.*** Suara Agribisnis
71
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 72
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
11 – 24 Juni 2008
Membangun Sistem Agribisnis Jagung “SEKARANG INI ADALAH MASA YANG SUDAH LAMA DITUNGGU-TUNGGU PETANI JAGUNG. Inilah masanya Indonesia untuk swasembada bahkan potensial untuk mengekspor jagung,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Mengapa bisa demikian? Hal ini dipicu oleh permintaan dalam dan luar negeri yang besar. Ini mengakibatkan harga jagung nasional dan global meningkat secara signifikan dalam pengertian jauh di atas biaya produksi. Harga yang sedemikian tingginya sehingga memberikan marjin cukup menarik buat para petani jagung. Masa sekarang ini dapat dikatakan masa keemasan jagung karena selain harganya sangat baik, juga pasar sangat besar, sumberdaya lahan tersedia, sarana tersedia, tenaga kerja sudah terlatih, dan teknologi budidaya sudah kita dikuasai. Masalahnya hanya pada organisasi dan sistem yang belum terbentuk. Perlu kita upayakan sistem yang bersinergi sehingga berlangsung secara efektif dan efisien. Sebelum peristiwa ini, insentif untuk mengimpor sangat tinggi apalagi dalam jumlah besar dan secara teratur karena secara global jagung over suplai. Namun keadaan itu sudah berubah, secara global sudah terjadi permintaan berlebih (excess demand) yang membuat harganya tinggi dan berdampak juga pada harga jagung di dalam negeri. Excess demand yang kita alami ini bukanlah bersifat musiman tapi zaman, artinya bisa berlangsung beberapa tahun. Oleh karena itu, kini masa untuk mengembangkan sistem agribisnis jagung nasional yang berkelanjutan dan memberikan keuntungan kepada semua pelakunya dalam sistem agribisnis jagung. Dan sudah masanya pula untuk membangun sistem agribisnis jagung yang komplet, efektif, dan efisien. Jika kita ingin membangun sistem agribisnis jagung faktor apa yang paling penting dibenahi? Selama ini kita mengandalkan pada impor, maka sistem yang paling lemah adalah sistem pengeringan dan penyimpanan lokal serta pembelian dan penjualan lokal. Dalam keadaan demikian itu petani selalu kecewa karena sewaktu harga tinggi mereka tidak mendapatkannya. Akibatnya, pada musim berikutnya dia berhenti menanam, maka suplai dalam negeri berkurang. Hal tersebut terjadi secara berulang-ulang. Selanjutnya para petani jagung cenderung mencari alternatif selain jagung sehingga membuat impor jagung makin lama makin besar. Jadi, bila kita ingin membangun sistem agribisnis ini, bagian paling lemahlah yang pertama sekali ditanggulangi. Untuk itu perlu kerjasama yang baik dalam jangka pan-
72
Suara Agribisnis
jang antara pembeli besar, seperti pabrik pakan ternak, dengan para enterpreneur dan pedagang lokal, serta organisasi petani. Jika hal ini tidak dibenahi, zaman keemasan jagung itu tidak pernah dinikmati oleh para pelaku dan kita tidak akan mungkin swasembada, apalagi untuk mengekspor. Bagaimana agar sistem agribisnis itu bisa terbentuk? Agar sistem agribisnis jagung ini bisa terbentuk, efektif, dan efisien, maka dibutuhkan semacam agribusiness coordinator. Agribusiness coordinator bisa datang dari berbagai pihak tergantung pada situasi lokal, bisa dari pabrik pakan ternak, pedagang regional dan lokal, organisasi petani, atau pemerintah daerah. Agribusiness coordinator berperan sebagai dirigen dalam sebuah orkestra sistem agribisnis mulai dari hulu sampai hilir sekaligus menjadi fasilitator agar timbul saling percaya antara para pelaku. Dia juga harus mampu memfasilitasi agar setiap pelaku dalam sistem agribisnis itu tidak hanya memikirkan keuntungan jangka pendek baginya semata. Tapi selalu memikirkan keuntungan yang diterima oleh keseluruhan sistem agribisnis dalam jangka panjang. Jika ada ketidakpercayaan dari satu pihak, itu akan menghambat bergeraknya sistem itu. Bagaimana pengembangan sistem agribisnis jagung? Untuk mengembangkan sistem agribisnis jagung ini harus dipisahkan agribisnis jagung untuk kepentingan feed (pakan ternak) dan food (makanan manusia). Dan jagung untuk makanan manusia dipisahkan lagi antara jagung pipilan, jagung manis, dan jagung muda. Memang semua namanya jagung tapi sebenarnya jagung yang berbeda. Karena jagungnya berbeda, maka pengembangan agribisnis dan catatan statistiknya juga harus terpisah-pisah. Ini perlu disepakati dulu khususnya di pemerintahan. Sedangkan pengembangan jagung untuk bahan bakar (fuel) masíh jauh. Untuk food dan feed saja kita sudah kewalahan memenuhinya. Pengembangan biofuel di Indonesia lebih cocok dari kelapa sawit dibandingkan jagung. Satu hal yang menarik, pengembangan agribisnis jagung ini membutuhkan dukungan dari lembaga keuangan baik untuk petani, pedagang, maupun industri. Oleh karena itu Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang selama ini ditekankan pada beras dan gula juga sudah masanya dikembangkan untuk jagung. Selain itu, peranan pemerintah daerah juga dibutuhkan. Jagung bisa ditanam hampir di seluruh wilayah Indonesia, tapi sentra jagung hanya di beberapa provinsi. Oleh karenanya peranan pemerintah daerah di sentra produksi sangat penting untuk memfasilitasi bertumbuhnya sistem agribisnis yang bersinergi. Peranan pemerintah daerah yang sangat penting adalah menyediakan infrastruktur lokal seperti jalan, irigasi, lembaga keuangan daerah, dan pasar. ***
Suara Agribisnis
73
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 72
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
11 – 24 Juni 2008
Membangun Sistem Agribisnis Jagung “SEKARANG INI ADALAH MASA YANG SUDAH LAMA DITUNGGU-TUNGGU PETANI JAGUNG. Inilah masanya Indonesia untuk swasembada bahkan potensial untuk mengekspor jagung,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Mengapa bisa demikian? Hal ini dipicu oleh permintaan dalam dan luar negeri yang besar. Ini mengakibatkan harga jagung nasional dan global meningkat secara signifikan dalam pengertian jauh di atas biaya produksi. Harga yang sedemikian tingginya sehingga memberikan marjin cukup menarik buat para petani jagung. Masa sekarang ini dapat dikatakan masa keemasan jagung karena selain harganya sangat baik, juga pasar sangat besar, sumberdaya lahan tersedia, sarana tersedia, tenaga kerja sudah terlatih, dan teknologi budidaya sudah kita dikuasai. Masalahnya hanya pada organisasi dan sistem yang belum terbentuk. Perlu kita upayakan sistem yang bersinergi sehingga berlangsung secara efektif dan efisien. Sebelum peristiwa ini, insentif untuk mengimpor sangat tinggi apalagi dalam jumlah besar dan secara teratur karena secara global jagung over suplai. Namun keadaan itu sudah berubah, secara global sudah terjadi permintaan berlebih (excess demand) yang membuat harganya tinggi dan berdampak juga pada harga jagung di dalam negeri. Excess demand yang kita alami ini bukanlah bersifat musiman tapi zaman, artinya bisa berlangsung beberapa tahun. Oleh karena itu, kini masa untuk mengembangkan sistem agribisnis jagung nasional yang berkelanjutan dan memberikan keuntungan kepada semua pelakunya dalam sistem agribisnis jagung. Dan sudah masanya pula untuk membangun sistem agribisnis jagung yang komplet, efektif, dan efisien. Jika kita ingin membangun sistem agribisnis jagung faktor apa yang paling penting dibenahi? Selama ini kita mengandalkan pada impor, maka sistem yang paling lemah adalah sistem pengeringan dan penyimpanan lokal serta pembelian dan penjualan lokal. Dalam keadaan demikian itu petani selalu kecewa karena sewaktu harga tinggi mereka tidak mendapatkannya. Akibatnya, pada musim berikutnya dia berhenti menanam, maka suplai dalam negeri berkurang. Hal tersebut terjadi secara berulang-ulang. Selanjutnya para petani jagung cenderung mencari alternatif selain jagung sehingga membuat impor jagung makin lama makin besar. Jadi, bila kita ingin membangun sistem agribisnis ini, bagian paling lemahlah yang pertama sekali ditanggulangi. Untuk itu perlu kerjasama yang baik dalam jangka pan-
72
Suara Agribisnis
jang antara pembeli besar, seperti pabrik pakan ternak, dengan para enterpreneur dan pedagang lokal, serta organisasi petani. Jika hal ini tidak dibenahi, zaman keemasan jagung itu tidak pernah dinikmati oleh para pelaku dan kita tidak akan mungkin swasembada, apalagi untuk mengekspor. Bagaimana agar sistem agribisnis itu bisa terbentuk? Agar sistem agribisnis jagung ini bisa terbentuk, efektif, dan efisien, maka dibutuhkan semacam agribusiness coordinator. Agribusiness coordinator bisa datang dari berbagai pihak tergantung pada situasi lokal, bisa dari pabrik pakan ternak, pedagang regional dan lokal, organisasi petani, atau pemerintah daerah. Agribusiness coordinator berperan sebagai dirigen dalam sebuah orkestra sistem agribisnis mulai dari hulu sampai hilir sekaligus menjadi fasilitator agar timbul saling percaya antara para pelaku. Dia juga harus mampu memfasilitasi agar setiap pelaku dalam sistem agribisnis itu tidak hanya memikirkan keuntungan jangka pendek baginya semata. Tapi selalu memikirkan keuntungan yang diterima oleh keseluruhan sistem agribisnis dalam jangka panjang. Jika ada ketidakpercayaan dari satu pihak, itu akan menghambat bergeraknya sistem itu. Bagaimana pengembangan sistem agribisnis jagung? Untuk mengembangkan sistem agribisnis jagung ini harus dipisahkan agribisnis jagung untuk kepentingan feed (pakan ternak) dan food (makanan manusia). Dan jagung untuk makanan manusia dipisahkan lagi antara jagung pipilan, jagung manis, dan jagung muda. Memang semua namanya jagung tapi sebenarnya jagung yang berbeda. Karena jagungnya berbeda, maka pengembangan agribisnis dan catatan statistiknya juga harus terpisah-pisah. Ini perlu disepakati dulu khususnya di pemerintahan. Sedangkan pengembangan jagung untuk bahan bakar (fuel) masíh jauh. Untuk food dan feed saja kita sudah kewalahan memenuhinya. Pengembangan biofuel di Indonesia lebih cocok dari kelapa sawit dibandingkan jagung. Satu hal yang menarik, pengembangan agribisnis jagung ini membutuhkan dukungan dari lembaga keuangan baik untuk petani, pedagang, maupun industri. Oleh karena itu Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang selama ini ditekankan pada beras dan gula juga sudah masanya dikembangkan untuk jagung. Selain itu, peranan pemerintah daerah juga dibutuhkan. Jagung bisa ditanam hampir di seluruh wilayah Indonesia, tapi sentra jagung hanya di beberapa provinsi. Oleh karenanya peranan pemerintah daerah di sentra produksi sangat penting untuk memfasilitasi bertumbuhnya sistem agribisnis yang bersinergi. Peranan pemerintah daerah yang sangat penting adalah menyediakan infrastruktur lokal seperti jalan, irigasi, lembaga keuangan daerah, dan pasar. ***
Suara Agribisnis
73
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 74
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
28 Juni – 11 Juli 2006
Indonesia Mampu Swasembada Jagung “DENGAN KONDISI HARGA ENERGI YANG MELAMBUNG menjadikan Indonesia potensial swasembada bahkan menjadi eksportir jagung. Namun ada beberapa permasalahan terutama tentang data statistik jagung yang perlu diperbaiki,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004. Mungkinkah kita swasembada jagung? Saya yakin kita bisa swasembada jagung dan tidak perlu menunggu dalam waktu lama lagi. Salah satu alasannya, makin mahalnya biaya transportasi karena harga energi yang sangat melambung belakangan ini dan tampaknya belum ada kemungkinan untuk turun, maka mengimpor jagung dari daerah yang jauh seperti AS dan Amerika Latin menjadi terlalu mahal. Karena itu, produksi dalam negeri harus ditingkatkan untuk memberi keuntungan yang lebih menarik buat para petani. Bahkan Indonesia potensial menjadi eksportir jagung untuk negara-negara Asia Tenggara. Kita juga akan kesulitan mengekspor terlalu jauh karena biaya transportasinya mahal. Kenyataannya jagung telah ditanam oleh petani kita sejak dulu tapi kenapa sampai sekarang tetap impor? Tahun 1970-an kita pernah menjadi eksportir jagung, tapi mulai 1980-an kita menjadi importir jagung. Salah satu penyebab utamanya ialah apresiasi rupiah yang terjadi secara artifisial mengakibatkan mengimpor menjadi lebih murah daripada memproduksi sendiri. Tapi nilai rupiah yang secara artifisial kuat itu sudah dikoreksi sejak terjadi krisis ekonomi dan keuangan. Maka persentase impor jagung kita semakin lama semakin kecil dibandingkan kebutuhan dalam negeri. Apa hambatan mempercepat produksi sampai sama dengan kebutuhan dalam negeri? Kita masih banyak masalah. Masalah utama yang sangat mendasar adalah belum tersedianya statistik dalam bidang sistem agribisnis jagung yang komprehensif, mencakup on-farm, downstream, dan upstream. Tidak ada data detail yang memilah-milah statistik jagung untuk keperluan pakan ternak, makanan manusia, dan keperluan industri lain. Kemudian untuk makanan manusia juga tidak ada pemisahan antara baby corn, sweet corn, dan jagung pipilan. Karena tidak dipilah seperti itu, maka sering terjadi silang pendapat mengenai cukup atau tidak produksi jagung dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik. Selain itu, dibutuhkan juga data akurat yang dicatat dengan benar dan satuan-satuannya konsisten. Dan data ini harus dibuat selalu up to date supaya kita bisa mengetahui perkembangan yang terakhir. Keadaan data yang tersedia saat ini belum seperti yang diharapkan sehingga sulit untuk merumuskan kebijakan, program, dan rencana aksi
74
Suara Agribisnis
yang relevan dengan keadaan untuk setiap saat. Kelemahan dalam data ini membuat perusahaan swasta juga mengalami kesulitan untuk merumuskan strategi operasi mereka secara efektif dan efisien. Dan dari kacamata petani, data yang kurang baik tadi juga menyebabkan mereka sangat sulit mengambil keputusan untuk menanam atau tidak menanam pada waktu-waktu tertentu. “Pekerjaan rumah” yang pertama dari bangsa ini kalau mau swasembada apalagi eksportir jagung ialah perbaiki data sistem agribisnis jagung. Kesulitan kita dalam hal data ini sebenarnya tidak hanya pada jagung termasuk juga komoditas-komoditas lain kecuali padi, tebu, dan kelapa sawit. Apakah ada hal yang membuat kita optimis untuk berswasembada jagung? Ada. Suatu hal yang sangat menggembirakan, kita sudah punya Dewan Jagung Nasional. Kebetulan DJN ini dipimpin oleh seorang gubernur (Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad) dengan latar belakang bisnis yang baik. Dewan ini harus membantu pemerintah merumuskan kebijakan nasional yang komprehensif tentang pengembangan sistem agribisnis jagung. Kebijakan dan program itu harus bersifat nasional artinya mencakup seluruh nusantara dan mencakup seluruh subsistem agribisnis jagung dan melibatkan semua stakeholder mulai dari petani, pengusaha, pemerintah, media, penelitian, hingga pendidikan. Selanjutnya, merumuskan rencana detail yang menjangkau wilayah-wilayah produksi. Dan tak kalah pentingnya melobi sumber pendanaan untuk pengembangan agribisnis jagung melalaui APBN, APBD, dan juga dari lembaga keuangan dan pembiayaan. Bagaimana strateginya untuk mewujudkan keinginan tersebut? Strategi utamanya adalah mengintroduksi benih unggul khususnya jagung hibrida. Sekarang hanya sekitar 30% area produksi yang menggunakan benih hibrida, secara lambat laun harus ditingkatkan sampai mendekati 100%. Tentunya para produsen benih perlu diberi kemudahan-kemudahan dalam memproduksi benih unggul. Selanjutnya, introduksi benih unggul menjadi sia-sia jika tidak disertai penyediaan pupuk, pestisida, serta alat dan mesin pertanian yang dibutuhkan dalam produksi jagung. Semua faktor penunjang ini harus tersedia di wilayah-wilayah produksi pada waktu dan jumlah yang tepat. Lagi-lagi di sini peranan DJN untuk mengorkestra semua komponen. Sebenarnya semua komponen agribisnis jagung saat ini di Indonesia sudah komplet. Namun yang menjadi masalah, mereka belum terkait dan bersinergi dengan baik. Apabila DJN bisa mensinergikan mereka, maka akan timbul insentif berproduksi buat para petani karena keuntungan yang diperoleh lebih besar. Jadi, jangan terpesona dengan “megaprogram” yang butuh biaya besar. Misalnya, corn estate. Lebih baik mengembangkan wilayah jagung yang selama ini sudah merupakan sentra jagung. Model seperti itu sudah berhasil diterapkan pada padi sehingga mencapai swasembada pada 2004 (Impor Beras, Perlukah?). Selain padi, juga pada tebu yang tidak lama lagi akan swasembada (Hati-hati Preteli Kebijakan Gula).***
Suara Agribisnis
75
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 74
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
28 Juni – 11 Juli 2006
Indonesia Mampu Swasembada Jagung “DENGAN KONDISI HARGA ENERGI YANG MELAMBUNG menjadikan Indonesia potensial swasembada bahkan menjadi eksportir jagung. Namun ada beberapa permasalahan terutama tentang data statistik jagung yang perlu diperbaiki,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004. Mungkinkah kita swasembada jagung? Saya yakin kita bisa swasembada jagung dan tidak perlu menunggu dalam waktu lama lagi. Salah satu alasannya, makin mahalnya biaya transportasi karena harga energi yang sangat melambung belakangan ini dan tampaknya belum ada kemungkinan untuk turun, maka mengimpor jagung dari daerah yang jauh seperti AS dan Amerika Latin menjadi terlalu mahal. Karena itu, produksi dalam negeri harus ditingkatkan untuk memberi keuntungan yang lebih menarik buat para petani. Bahkan Indonesia potensial menjadi eksportir jagung untuk negara-negara Asia Tenggara. Kita juga akan kesulitan mengekspor terlalu jauh karena biaya transportasinya mahal. Kenyataannya jagung telah ditanam oleh petani kita sejak dulu tapi kenapa sampai sekarang tetap impor? Tahun 1970-an kita pernah menjadi eksportir jagung, tapi mulai 1980-an kita menjadi importir jagung. Salah satu penyebab utamanya ialah apresiasi rupiah yang terjadi secara artifisial mengakibatkan mengimpor menjadi lebih murah daripada memproduksi sendiri. Tapi nilai rupiah yang secara artifisial kuat itu sudah dikoreksi sejak terjadi krisis ekonomi dan keuangan. Maka persentase impor jagung kita semakin lama semakin kecil dibandingkan kebutuhan dalam negeri. Apa hambatan mempercepat produksi sampai sama dengan kebutuhan dalam negeri? Kita masih banyak masalah. Masalah utama yang sangat mendasar adalah belum tersedianya statistik dalam bidang sistem agribisnis jagung yang komprehensif, mencakup on-farm, downstream, dan upstream. Tidak ada data detail yang memilah-milah statistik jagung untuk keperluan pakan ternak, makanan manusia, dan keperluan industri lain. Kemudian untuk makanan manusia juga tidak ada pemisahan antara baby corn, sweet corn, dan jagung pipilan. Karena tidak dipilah seperti itu, maka sering terjadi silang pendapat mengenai cukup atau tidak produksi jagung dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik. Selain itu, dibutuhkan juga data akurat yang dicatat dengan benar dan satuan-satuannya konsisten. Dan data ini harus dibuat selalu up to date supaya kita bisa mengetahui perkembangan yang terakhir. Keadaan data yang tersedia saat ini belum seperti yang diharapkan sehingga sulit untuk merumuskan kebijakan, program, dan rencana aksi
74
Suara Agribisnis
yang relevan dengan keadaan untuk setiap saat. Kelemahan dalam data ini membuat perusahaan swasta juga mengalami kesulitan untuk merumuskan strategi operasi mereka secara efektif dan efisien. Dan dari kacamata petani, data yang kurang baik tadi juga menyebabkan mereka sangat sulit mengambil keputusan untuk menanam atau tidak menanam pada waktu-waktu tertentu. “Pekerjaan rumah” yang pertama dari bangsa ini kalau mau swasembada apalagi eksportir jagung ialah perbaiki data sistem agribisnis jagung. Kesulitan kita dalam hal data ini sebenarnya tidak hanya pada jagung termasuk juga komoditas-komoditas lain kecuali padi, tebu, dan kelapa sawit. Apakah ada hal yang membuat kita optimis untuk berswasembada jagung? Ada. Suatu hal yang sangat menggembirakan, kita sudah punya Dewan Jagung Nasional. Kebetulan DJN ini dipimpin oleh seorang gubernur (Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad) dengan latar belakang bisnis yang baik. Dewan ini harus membantu pemerintah merumuskan kebijakan nasional yang komprehensif tentang pengembangan sistem agribisnis jagung. Kebijakan dan program itu harus bersifat nasional artinya mencakup seluruh nusantara dan mencakup seluruh subsistem agribisnis jagung dan melibatkan semua stakeholder mulai dari petani, pengusaha, pemerintah, media, penelitian, hingga pendidikan. Selanjutnya, merumuskan rencana detail yang menjangkau wilayah-wilayah produksi. Dan tak kalah pentingnya melobi sumber pendanaan untuk pengembangan agribisnis jagung melalaui APBN, APBD, dan juga dari lembaga keuangan dan pembiayaan. Bagaimana strateginya untuk mewujudkan keinginan tersebut? Strategi utamanya adalah mengintroduksi benih unggul khususnya jagung hibrida. Sekarang hanya sekitar 30% area produksi yang menggunakan benih hibrida, secara lambat laun harus ditingkatkan sampai mendekati 100%. Tentunya para produsen benih perlu diberi kemudahan-kemudahan dalam memproduksi benih unggul. Selanjutnya, introduksi benih unggul menjadi sia-sia jika tidak disertai penyediaan pupuk, pestisida, serta alat dan mesin pertanian yang dibutuhkan dalam produksi jagung. Semua faktor penunjang ini harus tersedia di wilayah-wilayah produksi pada waktu dan jumlah yang tepat. Lagi-lagi di sini peranan DJN untuk mengorkestra semua komponen. Sebenarnya semua komponen agribisnis jagung saat ini di Indonesia sudah komplet. Namun yang menjadi masalah, mereka belum terkait dan bersinergi dengan baik. Apabila DJN bisa mensinergikan mereka, maka akan timbul insentif berproduksi buat para petani karena keuntungan yang diperoleh lebih besar. Jadi, jangan terpesona dengan “megaprogram” yang butuh biaya besar. Misalnya, corn estate. Lebih baik mengembangkan wilayah jagung yang selama ini sudah merupakan sentra jagung. Model seperti itu sudah berhasil diterapkan pada padi sehingga mencapai swasembada pada 2004 (Impor Beras, Perlukah?). Selain padi, juga pada tebu yang tidak lama lagi akan swasembada (Hati-hati Preteli Kebijakan Gula).***
Suara Agribisnis
75
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 76
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
5 – 18 Maret 2008
Kesempatan Baru Pengembangan Kedelai Dalam Negeri “Solusi masalah kedelai harus berdasarkan pendekatan sistem, yaitu sistem agribisnis mulai dari hulu hingga hilir. Selain itu, pendekatan bisnis pasti jalan karena harga kedelai yang tinggi sangat ini,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Apa penyebab naiknya harga kedelai secara signifikan tersebut? Penyebab pertama, prestasi pertumbuhan ekonomi China dan India yang konsisten menyebabkan peningkatan konsumsi protein, termasuk protein nabati yang berasal dari kedelai. Contohnya China, tahun lalu mengimpor sebanyak 20 juta ton kedelai, tahun ini meningkat menjadi 30 juta ton. Penyebab kedua, harga minyak bumi yang terus beranjak naik merangsang upaya mencari energi alternatif, salah satunya etanol yang dihasilkan dari jagung. Hal tersebut membuat perluasan penanaman jagung berdampak mengurangi penanaman kedelai. Masalah kedelai ini adalah masalah global excess demand. Apa yang dapat kita lakukan untuk menghadapi kondisi global itu? Saat ini adalah kesempatan yang luar biasa besarnya untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Belum pernah ada kesempatan sebaik ini yang kita alami karena harga internasional sudah meningkat sangat tinggi dan tidak ada tanda-tanda harga itu akan menurun. Jadi masalah kenaikan harga kedelai ini adalah masalah jangka panjang, masalah perubahan zaman, bukan masalah musiman. Karena itu kita perlu berpikir dan bertindak secara jangka panjang. Namun masalah kedelai ini tidaklah serumit masalah beras yang bersifat nasional. Produksi kedelai cenderung bersifat lokal sehingga peran pemerintah daerah menjadi lebih strategis. Bagaimana solusinya? Kenaikan harga kedelai yang sangat tinggi secara potensial telah tersedia insentif buat para petani kita untuk meningkatkan produksinya. Apalagi teknologi untuk peningkatan produksi kedelai sudah kita miliki. Benih sudah lama kita kembangkan, teknik budidaya dan pascapanen sudah semakin sempurna, dan lokasi-lokasi potensial untuk penanaman kedelai sudah diketahui. Jika benih lokal tidak tersedia, untuk jangka pendek bisa saja kita impor benih kedelai. Solusi jangka panjangnya, pertama, tugas kita sekarang adalah membantu para peta-
76
Suara Agribisnis
ni dan stakeholder agribisnis kedelai untuk bisa bekerja keras, bekerjasama, dan bekerja secara cerdas. Tentunya dengan fasilitas dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Fasilitas pemerintah dapat berupa mempertemukan semua stakeholder agribisnis kedelai agar dapat bekerjasama untuk menangkap kesempatan ini secara menguntungkan bagi semua pihak. Atau untuk daerah-daerah tertentu membantu menyediakan infrastruktur, seperti irigasi, bibit dan pupuk bersubsidi, serta kredit bersubsidi. Kedua, harga kedelai setinggi sekarang ini akan merangsang petani menanamnya. Namun petani harus diberikan informasi untuk mendapatkan benih, pupuk, pestisida, dan menanggulangi kekeringan melalui irigasi atau sprinkle irigation guna menghemat air. Semua input tersebut akan mampu dibayar petani. Input yang maksimal niscaya produktivitas petani akan optimal. Mungkin saja pada masa yang lalu produktivitas petani rendah karena tidak mampu membeli bahan input. Ketiga, petani belum tentu menerima harga tinggi itu karena masalah pemasaran. Masalah pemasaran selama ini tidak pernah muncul karena kita lebih banyak mengimpor. Masalah pemasaran kedelai dalam negeri dapat kita selesaikan dengan bekerjasama. Contohnya, institutional consumer (koperasi tahu tempe, asosiasi pakan ternak) harus secara proaktif membina kerjasama dengan petani kedelai. Institutional consumer harus membina pemasaran kedelai yang efisien dan efektif dari petani sampai kepada mereka. Perusahaan-perusahaan penyedia input seperti benih, pupuk, pestisida, dan juga secara proaktif membina hubungan dengan para petani dan organisasi petani. Keempat, agar semua itu dapat berjalan dengan lancar diperlukan koordinasi. Siapa yang menjadi koordinatornya sangat tergantung situasi lokal. Koordinator bisa dari industri pakan ternak, koperasi tahu tempe, asosiasi petani kedelai, atau pemerintah daerah. Tugas koordinator untuk mengorkestra kegiatan produksi, pemasaran input, pemasaran output, dan pembiayaannya. Koordinator tidak perlu menguasai itu semua, apalagi memilikinya, tapi bisa menciptakan hubungan yang harmonis dari semua stakeholder itu untuk kepentingan bersama.***
Suara Agribisnis
77
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 76
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
5 – 18 Maret 2008
Kesempatan Baru Pengembangan Kedelai Dalam Negeri “Solusi masalah kedelai harus berdasarkan pendekatan sistem, yaitu sistem agribisnis mulai dari hulu hingga hilir. Selain itu, pendekatan bisnis pasti jalan karena harga kedelai yang tinggi sangat ini,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Apa penyebab naiknya harga kedelai secara signifikan tersebut? Penyebab pertama, prestasi pertumbuhan ekonomi China dan India yang konsisten menyebabkan peningkatan konsumsi protein, termasuk protein nabati yang berasal dari kedelai. Contohnya China, tahun lalu mengimpor sebanyak 20 juta ton kedelai, tahun ini meningkat menjadi 30 juta ton. Penyebab kedua, harga minyak bumi yang terus beranjak naik merangsang upaya mencari energi alternatif, salah satunya etanol yang dihasilkan dari jagung. Hal tersebut membuat perluasan penanaman jagung berdampak mengurangi penanaman kedelai. Masalah kedelai ini adalah masalah global excess demand. Apa yang dapat kita lakukan untuk menghadapi kondisi global itu? Saat ini adalah kesempatan yang luar biasa besarnya untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Belum pernah ada kesempatan sebaik ini yang kita alami karena harga internasional sudah meningkat sangat tinggi dan tidak ada tanda-tanda harga itu akan menurun. Jadi masalah kenaikan harga kedelai ini adalah masalah jangka panjang, masalah perubahan zaman, bukan masalah musiman. Karena itu kita perlu berpikir dan bertindak secara jangka panjang. Namun masalah kedelai ini tidaklah serumit masalah beras yang bersifat nasional. Produksi kedelai cenderung bersifat lokal sehingga peran pemerintah daerah menjadi lebih strategis. Bagaimana solusinya? Kenaikan harga kedelai yang sangat tinggi secara potensial telah tersedia insentif buat para petani kita untuk meningkatkan produksinya. Apalagi teknologi untuk peningkatan produksi kedelai sudah kita miliki. Benih sudah lama kita kembangkan, teknik budidaya dan pascapanen sudah semakin sempurna, dan lokasi-lokasi potensial untuk penanaman kedelai sudah diketahui. Jika benih lokal tidak tersedia, untuk jangka pendek bisa saja kita impor benih kedelai. Solusi jangka panjangnya, pertama, tugas kita sekarang adalah membantu para peta-
76
Suara Agribisnis
ni dan stakeholder agribisnis kedelai untuk bisa bekerja keras, bekerjasama, dan bekerja secara cerdas. Tentunya dengan fasilitas dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Fasilitas pemerintah dapat berupa mempertemukan semua stakeholder agribisnis kedelai agar dapat bekerjasama untuk menangkap kesempatan ini secara menguntungkan bagi semua pihak. Atau untuk daerah-daerah tertentu membantu menyediakan infrastruktur, seperti irigasi, bibit dan pupuk bersubsidi, serta kredit bersubsidi. Kedua, harga kedelai setinggi sekarang ini akan merangsang petani menanamnya. Namun petani harus diberikan informasi untuk mendapatkan benih, pupuk, pestisida, dan menanggulangi kekeringan melalui irigasi atau sprinkle irigation guna menghemat air. Semua input tersebut akan mampu dibayar petani. Input yang maksimal niscaya produktivitas petani akan optimal. Mungkin saja pada masa yang lalu produktivitas petani rendah karena tidak mampu membeli bahan input. Ketiga, petani belum tentu menerima harga tinggi itu karena masalah pemasaran. Masalah pemasaran selama ini tidak pernah muncul karena kita lebih banyak mengimpor. Masalah pemasaran kedelai dalam negeri dapat kita selesaikan dengan bekerjasama. Contohnya, institutional consumer (koperasi tahu tempe, asosiasi pakan ternak) harus secara proaktif membina kerjasama dengan petani kedelai. Institutional consumer harus membina pemasaran kedelai yang efisien dan efektif dari petani sampai kepada mereka. Perusahaan-perusahaan penyedia input seperti benih, pupuk, pestisida, dan juga secara proaktif membina hubungan dengan para petani dan organisasi petani. Keempat, agar semua itu dapat berjalan dengan lancar diperlukan koordinasi. Siapa yang menjadi koordinatornya sangat tergantung situasi lokal. Koordinator bisa dari industri pakan ternak, koperasi tahu tempe, asosiasi petani kedelai, atau pemerintah daerah. Tugas koordinator untuk mengorkestra kegiatan produksi, pemasaran input, pemasaran output, dan pembiayaannya. Koordinator tidak perlu menguasai itu semua, apalagi memilikinya, tapi bisa menciptakan hubungan yang harmonis dari semua stakeholder itu untuk kepentingan bersama.***
Suara Agribisnis
77
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 78
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
9 – 22 Desember 2009
Prospek Agribisnis Florikultura “INDONESIA YANG MEMILIKI POTENSI untuk mengembangkan florikultura tropis dan subtropis memperoleh kesempatan besar untuk memasuki berbagai segmen pasar domestik dan pasar internasional,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA. Pada masa lalu, dengan kebijakan kurs rupiah yang overvalued membuat keunggulan komparatif Indonesia di sektor agribisnis hampir tidak termanfaatkan. Kurs rupiah yang overvalued menjadikan produk agribisnis Indonesia menjadi lebih mahal dalam mata uang asing, sebaliknya produk agribisnis asal impor menjadi relatif murah dalam mata uang rupiah. Sehingga ekspor produk agribisnis mengalami disinsentif sementara impor produk agribisnis memperoleh insentif. Akibatnya, agribisnis Indonesia kurang berkembang dan pengusahaan agribisnis pun kurang menarik pada masa lalu. Pada masa yang akan datang kesempatan berusaha yang terbuka luas di sektor agribisnis umumnya dan florikultura khususnya. Agribisnis florikultura adalah keseluruhan kegiatan bisnis yang terkait dengan bunga-bungaan. Prospek agribisnis florikultura di Indonesia dapat dilihat dari sisi permintaan (potensi pasar) maupun dari sisi penawaran (potensi sumberdaya). Dari sisi potensi sumberdaya, prospek agribisnis florikultura ini antara lain ditunjukkan hal-hal berikut. Pertama, Indonesia merupakan wilayah tropis yang memiliki agroklimat tropis (wilayah dataran rendah) dan agroklimat mirip subtropis (wilayah dataran tinggi). Dengan kedua agroklimat yang demikian, hampir seluruh komoditas agribisnis florikultura yang terdapat di dunia dapat dikembangkan di Indonesia. Kedua, Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman sumberdaya florikultura yang cukup besar, baik jenis florikultura dataran rendah maupun dataran tinggi. Keragaman tersebut memungkinkan untuk memenuhi hampir semua segmen pasar florikultura internasional. Ketiga, Indonesia masih memiliki lahan yang relatif luas sehingga ruang gerak pengembangan agribisnis yang relatif bersifat land based seperti umumnya florikultura masih cukup besar. Keempat, teknologi dan sumberdaya manusia untuk pengembangan florikultura relatif tersedia. Pusat-pusat teknologi florikultura baik di lembaga penelitian pemerintah maupun di perguruan tinggi telah berkembang. Demikian juga sumberdaya manusia, keberagaman sumberdaya manusia bukan kendala bagi pengembangan agribisnis melainkan potensi karena setiap kualifikasi tenaga kerja memiliki relung pada agribisnis florikultura.
78
Suara Agribisnis
Bagaimana dari segi potensi pasar? Prospek agribisnis florikultura masih cukup cerah baik di pasar domestik maupun pasar mancanegara. Pertama, dengan jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar dan cenderung pendapatannya meningkat merupakan pasar yang besar. Apalagi saat ini Indonesia masih tergolong negara dengan konsumsi per kapita florikultura terendah di dunia. Kedua, terdapat sejumlah perubahan yang membuka kesempatan bagi agribisnis florikultura Indonesia. Perubahan yang dimaksud adalah, pertama, Kawasan Asia Pasifik khususnya kawasan ASEAN dan Asia Timur merupakan lokomotif perekonomian dunia menggeser kawasan Atlantik. Pertumbuhan kawasan tersebut diikuti pertumbuhan kawasan pemukiman, perkantoran, dan pusat belanja lainnya yang cukup besar. Pertumbuhan tersebut akan meningkatkan permintaan terhadap tanaman hias. Kedua, meningkatnya pendapatan masyarakat serta meningkatnya pengetahuan masyarakat akan kesegaran dan keindahan juga akan meningkatkan pemintaan akan bunga potong. Bagaimana cara memanfaatkan peluang pasar tersebut? Potensi pasar itu tidak bisa dimasuki oleh agribisnis florikultura kita jika tidak aktif membuka pasar. Karena itu, strategi pengembangan ke depan untuk menangkap peluang pasar tersebut dengan mengembangkan pasar dalam pengertian perluasan area maupun menciptakan pasar baru. Penciptaan pasar baru sangat penting mengingat produk florikultura merupakan produk yang sangat tergantung pada selera konsumen sehingga masa hidupnya di pasar cenderung sangat cepat. Oleh karena sangat dipengaruhi selera dan tren konsumen, maka pemanfaatan media massa menjadi sangat efektif untuk melakukan berbagai promosi florikultura, baik sebagai bahan baku usaha lanjutan maupun produk akhir yang dikonsumsi oleh masyarakat. Jadi, dilihat dari segi potensi sumberdaya maupun potensi pasar, pengusahaan agribisnis di bidang florikultura di Indonesia memiliki prospek yang cerah, baik yang berorientasi pasar domestik maupun ekspor. Tantangannya adalah bagaimana mengubah dan mengembangkan kebiasaan masyarakat Indonesia agar terbiasa memanfaatkan produk bunga-bungaan dalam kehidupan sehari-hari, seperti kata pepatah “say it with flower”.***
Suara Agribisnis
79
LO Buku Bs 1.2
4/6/10
10:23 AM
Page 78
Bab 1.2 Swasembada Beras
Bab 1.2 Swasembada Beras
9 – 22 Desember 2009
Prospek Agribisnis Florikultura “INDONESIA YANG MEMILIKI POTENSI untuk mengembangkan florikultura tropis dan subtropis memperoleh kesempatan besar untuk memasuki berbagai segmen pasar domestik dan pasar internasional,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA. Pada masa lalu, dengan kebijakan kurs rupiah yang overvalued membuat keunggulan komparatif Indonesia di sektor agribisnis hampir tidak termanfaatkan. Kurs rupiah yang overvalued menjadikan produk agribisnis Indonesia menjadi lebih mahal dalam mata uang asing, sebaliknya produk agribisnis asal impor menjadi relatif murah dalam mata uang rupiah. Sehingga ekspor produk agribisnis mengalami disinsentif sementara impor produk agribisnis memperoleh insentif. Akibatnya, agribisnis Indonesia kurang berkembang dan pengusahaan agribisnis pun kurang menarik pada masa lalu. Pada masa yang akan datang kesempatan berusaha yang terbuka luas di sektor agribisnis umumnya dan florikultura khususnya. Agribisnis florikultura adalah keseluruhan kegiatan bisnis yang terkait dengan bunga-bungaan. Prospek agribisnis florikultura di Indonesia dapat dilihat dari sisi permintaan (potensi pasar) maupun dari sisi penawaran (potensi sumberdaya). Dari sisi potensi sumberdaya, prospek agribisnis florikultura ini antara lain ditunjukkan hal-hal berikut. Pertama, Indonesia merupakan wilayah tropis yang memiliki agroklimat tropis (wilayah dataran rendah) dan agroklimat mirip subtropis (wilayah dataran tinggi). Dengan kedua agroklimat yang demikian, hampir seluruh komoditas agribisnis florikultura yang terdapat di dunia dapat dikembangkan di Indonesia. Kedua, Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman sumberdaya florikultura yang cukup besar, baik jenis florikultura dataran rendah maupun dataran tinggi. Keragaman tersebut memungkinkan untuk memenuhi hampir semua segmen pasar florikultura internasional. Ketiga, Indonesia masih memiliki lahan yang relatif luas sehingga ruang gerak pengembangan agribisnis yang relatif bersifat land based seperti umumnya florikultura masih cukup besar. Keempat, teknologi dan sumberdaya manusia untuk pengembangan florikultura relatif tersedia. Pusat-pusat teknologi florikultura baik di lembaga penelitian pemerintah maupun di perguruan tinggi telah berkembang. Demikian juga sumberdaya manusia, keberagaman sumberdaya manusia bukan kendala bagi pengembangan agribisnis melainkan potensi karena setiap kualifikasi tenaga kerja memiliki relung pada agribisnis florikultura.
78
Suara Agribisnis
Bagaimana dari segi potensi pasar? Prospek agribisnis florikultura masih cukup cerah baik di pasar domestik maupun pasar mancanegara. Pertama, dengan jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar dan cenderung pendapatannya meningkat merupakan pasar yang besar. Apalagi saat ini Indonesia masih tergolong negara dengan konsumsi per kapita florikultura terendah di dunia. Kedua, terdapat sejumlah perubahan yang membuka kesempatan bagi agribisnis florikultura Indonesia. Perubahan yang dimaksud adalah, pertama, Kawasan Asia Pasifik khususnya kawasan ASEAN dan Asia Timur merupakan lokomotif perekonomian dunia menggeser kawasan Atlantik. Pertumbuhan kawasan tersebut diikuti pertumbuhan kawasan pemukiman, perkantoran, dan pusat belanja lainnya yang cukup besar. Pertumbuhan tersebut akan meningkatkan permintaan terhadap tanaman hias. Kedua, meningkatnya pendapatan masyarakat serta meningkatnya pengetahuan masyarakat akan kesegaran dan keindahan juga akan meningkatkan pemintaan akan bunga potong. Bagaimana cara memanfaatkan peluang pasar tersebut? Potensi pasar itu tidak bisa dimasuki oleh agribisnis florikultura kita jika tidak aktif membuka pasar. Karena itu, strategi pengembangan ke depan untuk menangkap peluang pasar tersebut dengan mengembangkan pasar dalam pengertian perluasan area maupun menciptakan pasar baru. Penciptaan pasar baru sangat penting mengingat produk florikultura merupakan produk yang sangat tergantung pada selera konsumen sehingga masa hidupnya di pasar cenderung sangat cepat. Oleh karena sangat dipengaruhi selera dan tren konsumen, maka pemanfaatan media massa menjadi sangat efektif untuk melakukan berbagai promosi florikultura, baik sebagai bahan baku usaha lanjutan maupun produk akhir yang dikonsumsi oleh masyarakat. Jadi, dilihat dari segi potensi sumberdaya maupun potensi pasar, pengusahaan agribisnis di bidang florikultura di Indonesia memiliki prospek yang cerah, baik yang berorientasi pasar domestik maupun ekspor. Tantangannya adalah bagaimana mengubah dan mengembangkan kebiasaan masyarakat Indonesia agar terbiasa memanfaatkan produk bunga-bungaan dalam kehidupan sehari-hari, seperti kata pepatah “say it with flower”.***
Suara Agribisnis
79
LO Buku Bs 1.2
80
4/6/10
Suara Agribisnis
10:23 AM
Page 80