ANALISIS PERAMALAN EKSPOR, KONSUMSI DOMESTIK DAN PRODUKSI CRUDE PALM OIL (CPO)
SKRIPSI
GUSTI DIGJA RAMADHAN H34070053
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ANALISIS PERAMALAN EKSPOR, KONSUMSI DOMESTIK DAN PRODUKSI CRUDE PALM OIL (CPO)
GUSTI DIGJA RAMADHAN H34070053
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN GUSTI DIGJA RAMADHAN. Analisis Peramalan Ekspor, Konsumsi Domestik dan Produksi Crude Palm Oil (CPO). Skripsi. Departemen Agribusines, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan RAHMAT YANUAR) Pola peningkatan permintaan CPO untuk ekspor maupun konsumsi domestik menunjukkan bahwa komoditas non migas ini memiliki potensi untuk dikembangkan. Konsumsi negara-negara tujuan ekspor rata-rata meningkat dengan laju 26,97 persen dari tahun 1980-2010. Tahun 2010 ekspor CPO sebesar 16.480.000 ton . Konsumsi domestik CPO tercatat juga mengalami kenaikkan dari tahun ke tahun, sampai bulan Agustus tahun 2010 konsumsi CPO dalam negeri tetap mengalami kenaikkan hingga 5.240.000 ton. Tahun 2009 produksi CPO Indonesia sebesar 21.000.000 ton dan alokasi untuk ekspor adalah 80 persen yaitu 16.938.000 ton, sedangkan konsumsi domestik terus meningkat dari tahun ke tahun. Karena tidak diimbangi dengan produksi CPO, maka tingginya konsumsi domestik ini mengakibatkan Indonesia harus tetap mengimpor CPO dari negara penghasil CPO lainnya. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis pola data ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia, (2) menetapkan model peramalan tentatif ARIMA yang paling cocok untuk menjelaskan peramalan ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO Indonesia (3) memproyeksikan ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia sampai tahun 2015, dan (5) mengidentifikasi hunungan antara volume ekspor-impor CPO Indonesia terhadap harga CPO internasional dan harga CPO nasional-internasional. Penelitian ini menggunakan data time series ekspor-impor, konsumsi domestik, produksi dan harga CPO dari berbagai sumber yang berhubungan dengan pusat data komoditas kelapa sawit. Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, dilakukan dua tahapan pengolahan data, yaitu : (1) peramalan proyeksi ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO menggunakan alat dan metode peramalan Box-Jenkins (ARIMA), (2) korelasi antara ekspor-impor CPO terhadap harga CPO dengan analisis korelasi Rank Spearman, dan (3) metode deskriptif Combining Forecast. Ekspor CPO Indonesia berhubungan dengan harga CPO Rotterdam, sedangkan impor CPO Indonesia tidak berhubungan dengan harga CPO Malaysia. Proyeksi ekspor CPO menunjukkan pertumbuhan meningkat dari tahun ke tahun dengan tingkat pertumbuhan sebesar 6,661 persen. Begitupun dengan dengan proyeksi konsumsi domestik dan proyeksi produksi yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Masing-masing pertumbuhannya adalah 4,834 persen dan 5,494 persen. Rekomendasi yang peneliti sarankan untuk meminimalisir impor adalah peningkatan produksi melalui (1) perluasan lahan, (2) peningkatan produktivitas dan (3) penguatan kelembagaan dalam bentuk PIR.
Judul Proposal Skripsi
: Analisis Peramalan Ekspor, Konsumsi Domestik dan Produksi Crude Palm Oil (CPO)
Nama
: Gusti Digja Ramadhan
NIM
: H34070053
Disetujui, Pembimbing
Rahmat Yanuar, SP, Msi NIP. 19760101 200604 1 010
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Peramalan Ekspor, Konsumsi Domestik dan Produksi Crude Palm Oil (CPO)” adalah karya sendiri dan belum diajukan bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Gusti Digja Ramadhan H34070053
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bojonegoro pada tanggal 25 April 1989 dari pasangan suami-istri Edi Listijanto dan Siti Nurul Wahyu Ningsih. Penulis memiliki saudara laki-laki bernama Galang Sokomukti yang dilahirkan empat tahun setelah kelahiran penulis. Riwayat pendidikan penulis dimulai sejak tahun 1993 di TK Achmad Yani, Cimanggis Depok. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di SD Sukamaju Baru II pada tahun 1995-2001. Setelah lulus dari SD penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 3 Depok pada tahun ajaran 2001-2004, dan selanjutnya meneruskan ke SMA Negeri 5 Depok hingga lulus pada tahun 2007. Penulis meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor tahun 2007. Selama masa perkuliahan penulis mengikuti organisasi SES-C yang bergerak di bidang Ekonomi Syariah. Peneliti juga mengikuti banyak kepanitian acara-acara kemahasiswaan baik di tingkat Departement Agribisnis maupun di tingkat Fakultas.
UCAPAN TERIMAKASIH Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Rahmat Yanuar, SP, Msi selaku dosen pembimbing skripsi serta pembimbing akademik yang telah memberikan waktunya untuk setiap bimbingan, arahan, motivasi, dorongan menjadi sempurna dan kesabaran kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 2. Ir. Burhanudin, MM dan Dra. Yusalina, MS selaku dosen penguji pada ujian sidang penulis yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 3. Orangtua dan adik tercinta untuk setiap doa yang dipanjatkan serta dukungan yang selalu diberikan dengan ikhlas. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik. 4. Pihak Riset Perkebunan Nusantara yang telah memberikan kesempatan dan informasi tentang kelapa sawit dan perdagangan CPO Indonesia. 5. Seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis, serta teman-teman seperjuangan angkatan 44 yang selalu setia menjadi tempat berbagi dan pembangkit semangat selama penelitian hingga penulisan skripsi ini.
Bogor, Juni 2011 Gusti Digja Ramadhan
KATA PENGANTAR Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Peramalan Ekspor, Konsumsi Domestik dan Produksi Crude Palm Oil (CPO) ”. Penelitian ini bertujuan merekomendasikan kebijakan perdagangan CPO yang bisa diambil untuk meminimalisir impor CPO. Melalui pendekatan analisis hubungan/asosiasi antara ekspor-impor CPO terhadap harga CPO dan pendekatan peramalan ekspor, konsumsi domestik serta produksi CPO serta dianalisis berdasarkan metode Combining Forecast. Namun demikian, bahwa sangat disadari kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan skripsi ini, sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2011 Gusti Digja Ramadhan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. ii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
v
I
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ........................................................................... 11 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... 16 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 17
II
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2.1. Sejarah dan Perkembangan Kelapa Sawit di Indonesia ............................. 2.2. Crude Palm Oil................................................................................... 2.3. Pola Kemitraan Perkebunan Kelapa Sawit ......................................... 2.4. Konsep Perkebunan yang Berkelanjutan ............................................ 2.5. Penelitian Terdahulu ...........................................................................
18 18 18 19 20 21
III KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................... 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis .............................................................. 3.1.1. Konsep Kondisi Keseimbangan Permintaan-Penawaran ................... 3.1.2. Ekspor-Impor dan Perdagangan Internasional .................................. 3.1.2.1. Ekspor ...................................................................................... 3.1.2.2. Impor ........................................................................................ 3.1.2.3. Perdagangan Internasional ....................................................... 3.1.3. Analisis Asosiasi dan Karakteristik Korelasi .............................. 3.1.4. Korelasi Rank Spearman............................................................. 3.1.5. Peramalan .................................................................................... 3.1.6. Identifikasi Pola Data .................................................................. 3.1.7. Metode Peramalan Time Saries ARIMA (Box-Jenkins) ............. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................
25 25 25 25 25 26 27 29 31 32 33 35 37
IV METODE PENELITIAN .......................................................................... 4.1. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 4.2. Metode Pengolahan Data .................................................................... 4.2.1. Metode Peramalan Box-Jenkins (ARIMA) .............................. 4.2.2. Metode Analisis Asosiasi Rank Spearman ............................... 4.2.3. Metode deskriptif Combining Forecast....................................
42 42 43 43 50 52
V
ANALISIS POLA EKSPOR, KONSUMSI DOMESTIK DAN PRODUKSI CPO INDONESIA............................................................. 5.1 Analisis Plot Data ............................................................................ 5.1.1 Ekspor ..................................................................................... 5.1.2 Konsumsi Domestik ...............................................................
53 53 53 55
5.1.3 Produksi ..................................................................................
58
VI IDENTIFIKASI DAN ESTIMASI MODEL PERAMALAN TENTATIF SERTA EVALUASI KELAYAKAN MODEL ............... 6.1. Ekspor ................................................................................................ 6.1.1.Identifikasi Model dan Estimasi Model .................................... 6.1.2. Evaluasi Kelayakan Model ARIMA ........................................ 6.1.3. Persamaan Matematik Model ARIMA (2,2,2) ......................... 6.1.4. Ramalan Ekspor CPO ............................................................... 6.2. Konsumsi Domestik ........................................................................... 6.2.1. Identifikasi Model dan Estimasi Model ................................... 6.2.2. Evaluasi Kelayakan Model ARIMA ........................................ 6.2.3. Persamaan Matematik Model ARIMA (1,2,0) ......................... 6.2.4. Ramalan Konsumsi Domestik CPO ......................................... 6.3. Produksi ............................................................................................. 6.3.1. Identifikasi Model dan Estimasi Model ................................... 6.3.2. Evaluasi Kelayakan Model ARIMA ........................................ 6.3.3. Persamaan Matematik Model ARIMA (0,2,1) ......................... 6.3.4. Ramalan Produksi CPO ............................................................
62 62 62 63 65 66 67 67 69 72 73 74 74 76 78 79
VII ANALISIS HASIL RAMALAN EKSPOR, KONSUMSI DOMESTIK DAN PRODUKSI CPO INDONESIA ......................... 7.1. Proyeksi Permintaan dan Penawaran CPO dari Tahun 2011-2015 . 7.2. Kebijakan Ekspor ............................................................................ 7.3. Kebijakan Konsumsi Domestik ....................................................... 7.4. Kebijakan Produksi ......................................................................... 7.4.1. Perluasan Lahan........................................................................ 7.4.2. Peningkatan Produktivitas ........................................................ 7.4.3. Penguatan Kelembagaan ..........................................................
81 81 82 84 87 87 89 91
VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ....................................................................................... 8.2 Saran .................................................................................................
94 95
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 97
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Ekspor Minyak Kelapa Sawit Menurut Negara Tujuan Utama 2004-2008 (dalam ribu ton)....................................................................
5
2.
Pangsa Konsumsi CPO Terhadap Minyak Nabati Dunia........................
9
3.
Potensi Peremajaan Lahan Kelapa Sawit di Beberapa Provinsi.................................................................................................... 10
4.
Impor dan Nilai Impor CPO Tahun 2000-2009 ...................................... 14
5.
Kelebihan dan Kelemahan Metode ARIMA (Box-Jenkins) .................... 36
6.
Penentuan Ordo AR dan MA Untuk Membentuk Model ARIMA Tentatif Regular dan Seasonal .................................................. 45
7.
Beberapa Kemungkinan Model Berdasarkan Pola ACF dan PACF ..................................................................................................... 46
8.
Korelasi Antara Konsumsi Domestik dan Harga CPO Rotterdam ................................................................................................ 57
9.
Perbandingan Produktivitas Kebun Inti dan Kebun Plasma di Beberapa Daerah di Indonesia ................................................................. 61
10.
Perbandingan Kelayakan Model Antara Lima Model Alternatif dengan Satu Model Tentatif ARIMA (0,2,1) ......................... 64
11.
Perbandingan Model ARIMA (0,2,1) dengan Sembilan Metode Peramalan Lainnya ..................................................................... 65
12.
Hasil Ramalan Ekspor CPO Dari Tahun 2011-2015 .............................. 66
13.
Perbandingan Model Tentatif ARIMA (1,2,1) dengan Enam Model Alternatifnya ................................................................................ 70
14.
Perbandingan Nilai MAPE Antara Model ARIMA (1,2,0) dengan Sembilan Metode Peramalan Lainnya ........................................ 72
15.
Ramalan Konsumsi Domestik CPO Indonesia Tahun 20112015 ..................................................................................................... 73
16.
Perbandingan Model Tentatif ARIMA (0,2,1) dengan Enam Model Alternatifnya .............................................................................. 77
17.
Perbandingan Antara Model ARIMA (0,2,1) dengan Sembilan Metode Peramalan Lainnya ..................................................... 78
18.
Ramalan Produksi CPO Indonesia Tahun 2011-2015............................ 79
19.
Selisih Antara Perkiraan Permintaan dan Penawaran CPO Indonesia Tahun 2011-2015 .................................................................... 81
ii
20.
Korelasi Antara Harga CPO Rotterdam dan Selisih Harga Rotterdam-Medan Terhadap Ekspor CPO Indonesia Tahun 1998-2010 ............................................................................................... 82
21.
Besaran Pajak Ekspor (PE) Berdasarkan Harga Referensi .................... 83
22.
Korelasi Antara Harga CPO Malaysia dan Selisih Harga Medan-Malaysia Terhadap Impor CPO Indonesia Tahun 1998-2010................................................................................................ 86
23.
Prediksi Perluasan Lahan yang Diperlukan Untuk Mengatasi Kelangkaan dan Impor CPO ................................................................... 88
24.
Perkiraan Luas Lahan yang Diperlukan Apabila Produktivitas Meningkat Menjadi 3 ton/Ha/tahun ........................................................ 89
25.
Daftar Perusahaan Benih Kelapa Sawit dan Kapasitas Produksinya ............................................................................................. 90
26.
Perkiraan Luas Lahan yang Diperlukan Apabila Produktivitas Meningkat Menjadi 4,86 ton/Ha/tahun ................................................... 91
iii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Luas Areal Perkebunan Indonesia Menurut PengusahaanTahun 2000-2009 ................................................................. 3
2.
Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit dari Tahun 20052009 (ton/ha/tahun) .................................................................................
4
3.
ProduksiTotal Negara-Negara Pengekspor CPO Tahun 2010 ..............
4
4.
Produktivitas Minyak Nabati Utama Dunia Tahun 2005-2007...............
8
5.
Pola Konsumsi CPO Rata-rata ................................................................ 13
6.
Kurva Keseimbangan Permintaan-Penawaran ........................................ 25
7.
Kurva Impor Penurunan dari Kurva Keseimbangan Pasar ..................... 26
8.
Kurva Keseimbangan Perdagangan Internasional ................................... 28
9.
Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Peramalan Ekspor, Konsumsi dan Produksi CPO Indonesia ................................................. 41
10.
Ekspor CPO Indonesia Tahun 1981-2010 ............................................... 53
11.
Konsumsi CPO Domestik Indonesia Tahun 1980-2010 ......................... 56
12.
Produksi CPO Indonesia Tahun 1980-2010 ............................................ 59
13.
Data Ekspor Differencing Pertama dan Kedua ....................................... 62
14.
Pola Data Konsumsi Domestik Setelah Differencing Sekali................... 67
15.
Pola Data Konsumsi Domestik Setelah Differencing Kedua .................. 69
16.
Pola Data Produksi Differencing Pertama ............................................... 75
17.
Pola Data Produksi Differencing Kedua ................................................. 75
18.
Pola Impor CPO Indonesia dari Tahun 1981-2010 ................................. 85
iv
67
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Tabel Nilai Kritis Koefisien Korelasi Spearman ..................................... 101
2.
Tabel Data CPO Indonesia ...................................................................... 102
3.
Tabel Harga CPO ................................................................................... 103
4.
Daftar Perusahaan-Perusahaan Kelapa Sawit Pemasok CPO untuk Minyak Goreng Menurut Mentan 2007................................ 104
5.
Plot Data Autocorrelation Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF) .......................................................... 106
6.
Backshift Operation dari Model ARIMA yang terpilih .......................... 109
7.
Output Minitab14.1 Model ARIMA Tentatif dan Terpilih ..................... 111
8. 9.
Tabel Data Impor Margarin Tahun 2001-2010 ....................................... 115 Hasil Proyeksi Ekspor, Konsumsi Domestik dan Konsumsi Domestik CPO Indonesia Tahun 2011-2015 .......................................... 116
v
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian dalam arti luas merupakan salah satu sektor ekonomi yang berbasis sumber daya alam dan menjadi tumpuan utama sebagian besar rakyat Indonesia mencari nafkah kehidupan. Hal ini karena sebagian besar usaha pertanian di Indonesia dilakukan oleh petani kecil, baik petani pangan dari palawija dan hortikultura, serta petani perkebunan dan nelayan baik budidaya maupun tangkap. Salah satu subsektor dari sektor pertanian yang menarik adalah subsektor perkebunan. Beberapa dari komoditas subsektor perkebunan memberikan sumbangan devisa yang tinggi bagi Indonesia, sebagai contoh tanaman karet, kopi, kelapa, kakao dan kelapa sawit (Badrun, 2010). Tiga dekade ini komoditas perkebunan yang paling gencar pengembanganya karena permintaannya yang tinggi adalah kelapa sawit. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, dari sembilan komoditas unggulan perkebunan, minyak kelapa sawit (CPO) menempati urutan pertama dalam ekspor di tahun 2009 sebesar 21.000.000 ton, kemudian urutan kedua dimiliki oleh karet sebesar 1.991.533 ton, lalu kakao sebesar 535.236 ton, kopi sebesar 510.898 ton, kopra sebesar 209.646 ton dan selanjutnya diikuti oleh teh, tembakau, lada serta gula tebu hablur. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang menjadi primadona di mata internasional. Hasil olahannya berupa minyak kelapa sawit mentah atau disebut juga crude palm oil (CPO) menjadi unggulan dalam ekspor komoditas pertanian Indonesia (Suprihatini, 2001; Badrun, 2010). Tercatat devisa yang dihasilkan dari ekspor CPO pada tahun 2001 sampai 2006 terus meningkat dengan laju peningkatan sebesar 36,189 persen dan terus meningkat sampai tahun 2010. Kontribusi terhadap total ekspor pun terus meningkat dari 2,6 persen sampai 6,1 persen (Badan Pusat Statistik, 2007). Secara iklim, kondisi lahan, dan tanah, Indonesia sangat cocok untuk pengembangan kelapa sawit. Kelapa sawit mampu tumbuh di Indonesia dengan subur. Letak Indonesia yang berada di bawah garis katulistiwa menyebabkan kelapa sawit memperoleh sinar matahari setiap tahun dan itu sangat sesuai dengan
karakteristik tanaman tersebut. Kondisi lahan yang tidak terlalu berkontur dan curah hujan yang sesuai juga banyak dimiliki Indonesia khususnya di pulau Sumatera dan Kalimantan. Selain itu tanaman kelapa sawit cocok tumbuh di tanah gambut seperti yang dimiliki pulau Kalimantan (Pahan, 2006; Semangun et all, 2005). Pengusahaan kelapa sawit secara komersil dimulai pada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada mulanya dilakukan di Deli, Sumatera Utara (Wahyono, 2003; Semangun et all, 2005). Tercatat dari tahun ke tahun perkembangan perkebunan kelapa sawit terus meningkat, seiring dengan peningkatan kebutuhan CPO bagi industri di dalam maupun di luar negeri. Peningkatan luas lahan pengusahaan kelapa sawit menjadi indikator bahwa kelapa sawit sangat menarik untuk diusahakan secara komersial, baik oleh perkebunan yang dikelola oleh negara maupun swasta, bahkan juga perkebunan rakyat. Pada tahun 1990 ada 1.126.677 ha dan terus meningkat pada tahun 2000 seluas 4.158.077 ha, bahkan pada tahun 2008 mencapai angka 7 juta ha (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Peningkatan luasan kelapa sawit tertinggi dilakukan oleh perkebunan rakyat dengan tingkat pertumbuhan mencapai 185,43 persen dalam sepuluh tahun terakhir, diikuti oleh perkebunan swasta dengan tingkat pertumbuhan 61,67 persen dan terakhir oleh perkebunan negara dengan tingkat pertumbuhan 3,47 persen (Gambar 1). Hal ini disebabkan dukungan pemerintah terhadap pengembangan kelapa sawit cukup baik. Program-program pemerintah seperti bantuan kredit perluasan lahan, pengembangan infrastruktur dan pabrik pengolahan CPO dari tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, memberikan kemudahan bagi perkebunan rakyat untuk semakin berkembang dalam aspek finasial maupun aspek pasar. Selain itu perkembangan ini disebabkan oleh sistem Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun) yang dikembangkan sejak tahun 1978 oleh perkebunan negara dan perkebunan swasta sebagai inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma (Hansen, 2008). Gambar 1 menunjukkan luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia :
2
4.500.000 4.000.000 3.500.000
Hektar
3.000.000 2.500.000
Perkebunan Rakyat
2.000.000
Perkebunan Negara
1.500.000
Perkebunan Swasta
1.000.000 500.000 0
Gambar 1. Luas Areal Perkebunan Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000-2009 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010
Dilihat dari total luasan lahan, pada tahun 2009 perkebunan swasta menempati urutan pertama dengan persentase 51,75 persen, sedangkan perkebunan rakyat 40,14 persen dan perkebunan negara hanya 8,1 persen saja (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Pada tahun yang sama, jika dilihat total produksi sebesar 21.000.000 ton, kontribusi produksi CPO dari setiap perkebunan adalah 50,59 persen untuk perkebunan swasta; 38,88 persen untuk perkebunan rakyat dan 10,52 persen untuk perkebunan negara. Hal ini menunjukkan produktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih rendah, padahal produktivitas ideal kelapa sawit adalah 5,8 ton CPO/ha/tahun (Pahan, 2006; Puwantoro, 2008; Semangun et all, 2005). Dapat dilihat pada Gambar 2 dari tahun ke tahun perkebunan negara memiliki produktivitas yang lebih baik dibandingkan perkebunan rakyat dan swasta. Oleh sebab itu perlu adanya perbaikan dalam peningkatan produktivitas1.
1
Purwantoro. 2008. Sekilas Pandang Industri Sawit. Majalah USAHAWAN LMFEUI edisi No.04/2008
3
4
3,5 ton/ha/tahun
3 2,5
Perkebunan Rakyat
2
Perkebunan Negara
1,5
Perkebunan Swasta
1 0,5 0 2005
Gambar 2.
2006
2007
2008
2009
Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit Nasional Tahun 20052009 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan dan Sawit, 2010 (diolah).
Pusat Pengembangan Kelapa
Produksi CPO Indonesia di dunia adalah yang tertinggi, memang sebelum tahun 2006 volume produksi CPO Indonesia sebesar 14.100.000 ton masih kalah dengan Malaysia dengan volume produksi sebesar 14.962.000 ton (Oil World, 2007). Tetapi pada tahun 2006 sampai 2010 produksi CPO Indonesia nomor satu di dunia. Pada tahun 2010 Indonesia 22.000.000 ton sedangkan Malaysia hanya memproduksi 17.763.000 ton. Menurut Oil World Annual dalam Direktorat Jenderal Perkebunan (2008), diperkirakan posisi Indonesia sebagai produsen CPO dunia berpotensi besar menjadi pemain paling dominan pasar bahkan hingga 50 persen dari pangsa pasar CPO. Pada tahun 2010 produksi CPO yang dihasilkan oleh Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3. 25000
ribu ton
20000 15000
10000 5000 0 Indonesia
Gambar 3.
Malaysia
Thailand
Nigeria
Kolombia
Lainnya
Produksi Total Negara-Negara Pengekspor CPO Tahun 2010 Sumber : United State Departement of Agriculture, 2011
4
Negara-negara tujuan ekspor CPO Indonesia terus meningkatkan permintaannya. Terbukti lebih dari 60 persen hasil produksi dialokasikan untuk ekspor (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2010). Pada tahun 2008 India menempati urutan pertama dalam mengimpor CPO Indonesia dengan total impor sebesar 4,78 juta ton, sedangkan urutan kedua ditempati oleh Cina dengan total impor sebesar 1,76 juta ton dan Belanda pada urutan ketiganya. Ketidaksanggupan negara-negara pengimpor CPO untuk mengembangkan kelapa sawit di negaranya, menjadi peluang bagi Indonesia untuk terus meningkatkan ekspor CPO, seiring dengan peningkatan kebutuhan akan CPO sebagai bahan baku industri dan makanan di negara tujuan ekspor. Negara-negara pengimpor CPO dunia ini ditunjukan pada Tabel 1. Tabel 1. Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara Tujuan Utama Tahun 20042008 (ribu ton) Negara Tujuan
2004
2005
2006
2007
2008
India
2.761,60
2.558,30
2.482,00
3.305,70
4.789,70
Cina
1.083,80
1.354,60
1.758,60
1.441,10
1.766,90
Belanda
799,60
1.101,10
1.212,20
829,30
1.295,90
Pakistan
537,30
850,20
835,00
788,10
409,70
Malaysia Singapura Mesir Bangladesh Srilangka
572,80 396,60 78,40 260,90 40,60
621,40 467,10 151,30 412,70 308,70
660,50 631,60 476,20 466,00 445,00
382,70 624,50 408,50 520,20 246,60
745,50 600,90 495,90 506,80 48,40
Jerman
247,20
340,40
365,50
504,90
404,80
Lainnya
1.882,80
2.210,40
2.768,30
2.823,80
3.226,20
Jumlah
8.661,60
10.376,20
12.100,90
11.875,40 14.290,70
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008.
Namun dalam perkembangannya, perkebunan kelapa sawit tetap perlu memperhatikan aspek lingkungan. Menurut Greenpeace yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari Belanda, menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia dan Malaysia menyumbang emisi CO2 yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global2. Berdasarkan data Kementrian Kehutanan dalam Badrun (2010), saat ini luasan total kawasan hutan seluas 110.842.000 ha. Luasan 2
www.greenpeace.org. 2008. Greenpeace Menantang RSPO untuk Berhenti Menjadi Tameng Hijau Anggota-anggotanya. [28 April 2011]
5
ini termasuk dengan luas hutan suaka dan lindung sebesar 49.928.000 ha serta hutan produksi tetap dan terbatas sebesar 60.915.000 ha. Sedangkan saat ini perkebunan kelapa sawit hanya mengambil 7 juta ha dari total luas kawasan hutan. Tuduhan Greenpeace bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagai penyumbang emisi CO2 sangat berlebihan karena negara-negara industri seperti Amerika dan Eropa-lah yang seharusnya lebih pantas menerima tuduhan ini (Solidaritas Petani Sawit Indonesia, 2010). Isu tentang Renewable Energy Directive (RED) ternyata memiliki kriteria yang dianggap pemerintah merugikan indusri kelapa sawit. Hal ini dapat menjadi hambatan non tarif bagi perdagangan CPO Indonesia ke Eropa. Oleh karena itu pada tahun 2010, Menteri Pertanian Suswono beserta tim melakukan kampanye produk ramah lingkungan dari kelapa sawit ke Madrid, Spanyol dan Paris, Prancis untuk menanggapi isu ini. Akibat isu ini produksi biodiesel akan sulit diekspor ke Eropa3. Bila dibandingkan dengan kedelai, kelapa sawit 9,5-10 kali lebih baik dalam menghasilkan minyak nabati dari tiap satu hektarnya (Pangaribuan et all, 2001; Oil World, 2007). Jadi jauh lebih menguntungkan apabila membudidayakan sawit dibandingkan kedelai dalam memproduksi minyak, selain itu kelapa sawit merupakan tanaman tahunan yang tidak perlu penanaman ulang di tiap tahunnya. Secara logika kontribusi oksigen satu pohon kelapa sawit pasti jauh lebih besar dibandingkan satu tanaman kedelai. Pangsa konsumsi minyak kedelai telah tergeser oleh CPO semenjak tahun 2005 (Oil World, 2008). Hal ini membuat aksi black campaign yang menyudutkan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia (Solidaritas Petani Sawit Indonesia, 2010). Menurut Krisnamurti (2010), penanaman kelapa sawit di lahan yang dahulunya hutan dan dipenuhi alang-alang jauh lebih baik jika ditanami kelapa sawit karena kelapa sawit jauh lebih baik daripada alang-alang. Namun isu-isu yang menyudutkan Indonesia itu, tetap membuat produsen kelapa sawit Indonesia terus peduli kepada lingkungan terutama dalam hal perluasan lahan. Konsep Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) adalah konsep
3
www.sinartanionline.com .2010. Mentan Kampanyekan Sawit Ke Spanyol dan Perancis. [8 Mei 2011].
6
yang menyelaraskan perkembangan perkebunan kelapa sawit dengan konservasi lingkungan (Kementan, 2011)4. Konsep ini bertujuan meningkatkan tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam serta keragaman hayati. Selain isu lingkungan akhir-akhir ini isu tentang penggunaan bahan bakar nabati sangat gencar dibicarakan. Konsep biofuel atau bahan bakar nabati membuat permintaan akan komoditas pertanian yang menjadi sumber bahan baku biofuel meningkat. Salah satu contoh bahan baku dari biofuel adalah minyak kelapa sawit karena rendemennya yang lebih tinggi daripada kedelai, jarak dan tebu. Redemen minyak yang dihasilkan oleh kelapa sawit sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan kedelai (Pangaribuan et all, 2001; Oil World, 2008). Saat ini kebutuhan akan hasil kelapa sawit tidak hanya tertumpu pada hasil secara kuantitas saja tetapi juga kepada mutu minyak, antara lain adalah kandungan dan susunan asam-asam lemak. Kualitas dari CPO berpengaruh terhadap harga jualnya (Subronto et all, 2003). Pemanfaatan CPO tidak hanya sebatas menjadi bahan bakar nabati ataupun minyak goreng saja, tetapi juga berguna bagi industri makanan, kosmetika, dan farmasi. Sebagai contoh produk olahan CPO antara lain margarin, asam lemak, ester, pengemulsi dalam industri susu dan es krim, lilin, sabun mandi, lotion dan cream dalam industri kosmetik, salep dalam industri farmasi dan masih banyak lainnya (Poeloengan, et all, 2000). Pentingnya CPO sebagai bahan baku di berbagai industri ini menandakan bahwa CPO merupakan salah satu komoditas ekspor non migas yang diandalkan di Indonesia.
Menurut
Budiyana
(2005),
faktor-faktor
yang
mendukung
pengembangan CPO Indonesia selain pemenuhan bahan baku industri antara lain : 1) Secara komparatif, lahan untuk perluasan produksi kelapa sawit di Indonesia tersedia luas, 2) Kompetitif, pesaing yang dapat menyamai produksi minyak kelapa sawit Indonesia masih sedikit, dan 3) Produktivitas kelapa sawit adalah yang paling dibandingkan tanaman perkebunan lainnya.
4
www.sinartanionline.com.2010. Indonesia Sustainable Palm Oil Segera Diberlakukan di 2010. [8 Mei 2011].
7
Secara komparatif, Indonesia adalah nomor satu dalam luasan lahan. Terdapat banyak lahan yang sangat sesuai dengan tanaman kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan. Sedangkan dalam hal kompetitif, negara-negara pesaing yang mampu menyamai produksi CPO Indonesia masih belum banyak (Budiyana, 2005). Malaysia sebagai pesaing utama Indonesia memiliki produktivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia, tetapi Malaysia tidak memiliki luasan lahan seluas Indonesia. Hal ini cukup mengkhawatirkan apabila Indonesia tidak segera memperbaiki kelemahan ini, karena bisa jadi Indonesia kembali menempati urutan kedua dalam produksi CPO seperti sebelum tahun 2007. Produktivitas kelapa sawit dalam menghasilkan minyak nabati jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya. Tanaman yang lazim diusahakan sebagai sumber minyak nabati adalah kedelai, bunga matahari, rapeseed, kacang tanah, wijen, zaitun dan kelapa. Perbandingan produktvitas antara tanaman utama penghasil minyak nabati dapat dilihat pada Gambar 4 : 4
ton/ha/tahun
3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5
0
Gambar 4.
Produktivitas Minyak Nabati Utama Dunia Tahun 2005-2007 Sumber : Oil World (2007); International Potash Institute (2005)
Pangsa konsumsi terbesar minyak nabati dunia saat ini dimiliki oleh minyak sawit (CPO). Sejak tahun 2005 pangsa konsumsi CPO menggeser pangsa konsumsi minyak kedelai. Di tahun tersebut pangsa CPO sebesar 33.156.000 ton atau 24 persen, sedangkan minyak kedelai sebesar 32.879.000 ton atau 23 persen dari total perdagangan minyak nabati dunia yang mencapai 138.028.000 ton. 8
Kemudian tahun 2008 pangsa konsumsi CPO sebesar 26 persen sedangkan minyak kedelai 23 persen dari total perdagangan sebesar 159.530.000 ton. Tabel 2 yang menyajikan pangsa konsumsi CPO terhadap minyak nabati dunia : Tabel 2. Pangsa Konsumsi CPO Terhadap Minyak Nabati Dunia (2002-2008) Konsumsi (ribu ton) Tahun
2002
25.595 29.964
13.489
Minyak Bunga Matahari 7.721
2003
28.201 31.246
12.716
8.921
3.322
41.287
125.693
2004
30.050 31.163
14.825
9.583
3.054
42.421
131.100
2005
33.156 32.879
15.914
9.546
3.047
43.666
138.208
2006
36.192 34.670
18.196
10.946
3.047
43.666
146.717
2007
37.892 37.067
19.073
11,174
3.153
45.424
153.783
2008
42.500 37.930
19.125
10.326
3.142
45.907
159.530
CPO
Minyak Kedelai
Minyak Rapeseed
Minyak Kelapa
Lainnya
3.291
41.472
121.532
Dunia
Sumber : Oil World, 2008
Berdasarkan Tabel 2, pangsa konsumsi CPO terus naik dan semakin meninggalkan pesaingnya. Hal ini menjadi peluang bagi industri pengolahan kelapa sawit untuk terus mengoptimalkan produksi CPO Indonesia. Sehingga perlu ada perbaikkan dari dalam hal produksi CPO Indonesia, baik dari segi hulu berupa budidaya dan SOP pengusahaan kebun kelapa sawit sampai panen tandan buah segar (TBS), juga dari segi hilir yaitu kualitas dan kemampuan meningkatkan bargaining power dalam menentukan harga di pasar dunia. Sebagai pemegang pangsa pasar CPO terbesar di dunia, pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan prestasi tersebut dan meningkatkan produktivitas perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Program ini berjalan mulai tahun 2007 sampai 2010, bentuk dari realisasinya adalah perluasan lahan dan peremajaan tanaman kelapa sawit. Pada tahun 2007 perluasan lahan sebesar 354.000 ha, sampai tahun 2010 mencapai 1,37 juta ha. Sedangkan peremajaan kelapa sawit tahun 2007 sebesar 19.000 ha, tahun 2008 sebesar 10.000 ha dan sampai 2010 seluas 50.000 ha (Purwantoro, 2008). Tabel 3 menunjukkan potensi peremajaan lahan kelapa sawit berdasarkan beberapa provinsi di Indonesia :
9
Tabel 3. Potensi Peremajaan Lahan Kelapa Sawit Tahun 2004 di Beberapa Provinsi No.
Propinsi
Pangsa (%)
Areal Peremajaan (ha)
1
Sumatera Utara
33,20
6644 – 16.609
2
Riau
25,70
5144 – 12.860
3
Sumatera Selatan
12,60
2520 – 6300
4
Kalimantan Barat
10,40
2080 – 5200
5
Aceh
8
1600 – 4000
6
Lainnya
10,10
2013 – 5031
Sumber : Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2009
Perencanaan dalam hal produksi sangat penting dilakukan untuk mempertahankan pangsa pasar CPO Indonesia di pasar dunia. Kebutuhan CPO dunia sebagai bahan baku industri, membuat volume ekspor CPO Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu harga yang internasional yang lebih tinggi dari harga CPO nasional menjadi pertimbangan pebisnis untuk terus mengekspor produksi CPO nasional (Hansen, 2008). Namun perlu disadari kebutuhan domestik juga perlu diperhatikan, karena ada banyak perusahaanperusahaan dalam negeri yang memproduksi hasil olahan kelapa sawit dan permintaannya terus meningkat dari tahun ke tahun (Biro Pusat Statistik, 2010). Sampai saat ini kekurangan kebutuhan CPO dalam negeri masih dipenuhi oleh impor, dari negara Malaysia. Peramalan trend adalah salah satu upaya perencanaan yang dapat dilakukan. Melalui peramalan trend, dapat dilihat pergerakan dan kecenderungan yang akan terjadi dari data historis yang telah terjadi di masa lalu sehingga akan mudah untuk memprediksi kemungkinan terbesar apa yang terjadi di masa yang akan datang. Peramalan mengenai kelapa sawit dapat dilakukan dalam aspek ekspor, impor, konsumsi domestik, produksi dan harga. Hasil dari peramalan tersebut dapat menjadi gabungan dari aktivitas perencanaan untuk merumuskan kebijakan pengembangan industri kelapa sawit nasional. Peramalan mengenai CPO dibutuhkan sebagai masukan bagi pemerintah untuk mengantisipasi semua peluang atau tantangan dalam dunia kelapa sawit sehingga dapat menyusun kebijakan yang tepat. Misalnya peramalan terhadap harga yang dilakukan oleh
10
staf Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Sumatera Utara, menjadi acuan pengalokasian anggaran kebijakan pemerintah (Hansen, 2008). 1.2 Perumusan Masalah Pola peningkatan permintaan CPO oleh negara-negara tujuan ekspor menunjukkan bahwa komoditas non migas ini memiliki potensi untuk dikembangkan (Susila, 2007). Konsumsi negara-negara tujuan ekspor rata-rata meningkat dengan laju 26,97 persen dari tahun 1980-2010. Pada tahun 2004 konsumsi negara tujuan ekspor sebesar 8.996.000 ton terus meningkat hingga tahun 2008 sebesar 14.612.000 ton dan meningkat lagi sebesar 16.480.000 ton di tahun 2010 (PPKS, 2011). Ekspor terbesar CPO adalah ke negara India, seperti diketahui jumlah penduduk yang besar dan banyaknya industri dengan bahan baku CPO membuat India menempati urutan pengimpor nomor satu CPO Indonesia. Kemudian menempati urutan kedua adalah Cina, setelah itu negara-negara seperti Belanda, Malaysia, Singapura, Bangladesh, Pakistan, Mesir, Jerman, dan Sri Langka. Sebagaimana diketahui, selain Malaysia, negara-negara tersebut tidak mampu menyediakan CPO secara mandiri sehingga mengandalkan ekspor dari negara-negara produsen CPO seperti Indonesia (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008). Harga yang terbentuk dari CPO dapat dikatakan cukup fluktuatif dengan trend meningkat, terbukti pada periode awal 2008 hingga April 2008 ada kenaikan dan penurunan yang tajam dari level 950 US$/ton sampai ke level 1395 US$/ton tetapi kemudian turun hingga 435 US$/ton di bulan Oktober 2008 (Bloomberg, 2009). Keadaan ini disebabkan oleh El Nino yang melanda negara-negara penghasil CPO seperti Indonesia dan Malaysia, selain itu juga disebabkan cadangan minyak kedelai menurun karena gagal panen di Amerika sehingga permintaan minyak kelapa sawit meningkat dan mendorong peningkatan harga CPO5. Ancaman krisis pangan dunia yang disebabkan anomali iklim dan cuaca terutama di Cina dan Rusia, membuat banyak harga komoditi pertanian berspekulasi meningkat, terutama komoditas pertanian yang masuk dalam
5
Arianto. 2008. Perilaku Harga Minyak Kelapa Sawit. www.strategica.com [21 Januari 2011]
11
perdagangan pasar berjangka seperti CPO6. Namun hal ini tidak membuat permintaan ekspor menurun bahkan trend data menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat di tahun 2008 permintaan ekspor meningkat 15,5 persen dari 12.650.000 ton pada tahun 2007 menjadi 14.612.000 ton pada tahun 2008, dan meningkat lagi hingga 16.480.000 ton di tahun 2009 (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2010). Minyak kelapa sawit (CPO) juga dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk memproduksi berbagai hasil produk turunannya. Konsumsi domestik permintaan CPO tercatat juga mengalami kenaikkan dari tahun ke tahun. Tahun 2007 konsumsi domestik sebesar 4.065.000 ton dan meningkat 10 persen menjadi 4.472.000 ton di tahun 2008. Sampai bulan Agustus tahun 2010 konsumsi CPO dalam negeri tetap mengalami kenaikkan hingga 5.240.000 ton (PPKS, 2011). Namun berdasarkan prediksi Departemen Perindustrian kebutuhan CPO untuk industri makanan tahun 2010 konsumsi CPO akan lebih dari 5.260.000 ton. Berdasarkan fakta tersebut tampak ada selisih, hal ini hanya mampu dipenuhi oleh impor CPO maupun produk turunannya. Ada tiga produk utama dari olahan CPO yang penting, yaitu minyak goreng, margarin dan olein. Peningkatan harga minyak goreng selalu terjadi tiap tahunnya hal ini merupakan efek dari kurangnya pasokan CPO dalam negeri sehingga Indonesia masih impor dan harga CPO impor yang terus naik (Bank Indonesia, 2004). Sedangkan untuk margarin sampai sekarang Indonesia masih mengandalkan impor dari Amerika Serikat, Jerman, Belgia, Korea Selatan, Belanda dan Singapura, karena produksi dalam negeri belum mencukupi. Jika dilihat dari data pada Lampiran 8, volume impor margarin terus meningkat bahkan pada tahun 2010 mencapai sebesar 6.441.366 kg (Biro Pusat Statistik, 2010). Gambar 5 menunjukkan tentang persentase pola konsumsi CPO :
6
Meryani. 2011. Bank Dunia : Kenaikan Harga Pangan Bikin 44 Juta Orang Makin Miskin. http://ekonomy.okezone.com [10 Maret 2011]
12
Margarin, 2%
Sabun , 2%
Oleochemical, 7% Minyak Goreng, 29%
Gambar 5.
Ekspor, 60%
Pola Konsumsi CPO Rata-rata Sumber : Capricorn Indonesia Consult Inc (2008).
Pada tahun 2009 produksi CPO Indonesia sebesar 21.000.000 ton dan alokasi untuk ekspor adalah 80 persen yaitu 16.938.000 ton, sedangkan konsumsi domestik terus meningkat dari tahun ke tahun (PPKS, 2010). Karena tidak diimbangi dengan produksi CPO, maka tingginya konsumsi domestik ini mengakibatkan Indonesia harus tetap mengimpor CPO dari negara penghasil CPO lainnya. Hal ini tentunya sangat ironis sekali dengan status Indonesia yang merupakan negara penghasil CPO nomor satu di dunia, tetapi Indonesia belum mampu menyeimbangkan distribusi CPO untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya dan untuk memenuhi permintaan ekspor. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Indonesia mengimpor 11.861 ton CPO pada tahun 2002, sedangkan pada tahun 2005 Indonesia mengimpor 14.061 ton dan 24.484 ton pada tahun 2009. Rata-rata
Indonesia mengimpor CPO sebesar
13.380 ton per tahun dalam tiga tahun belakangan ini. Bahkan pada tahun 2010 Indonesia mengimpor CPO sebesar 70.000 ton, dan itu setara dengan produksi lahan perkebunan kelapa sawit seluas 23.333,34 ha tiap tahun (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2010). Selain itu nilai impor CPO juga mengalami peningkatan, tercatat pada tahun 2009 nilai impor CPO sebesar 16.822.000 US$ yang jauh lebih besar dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 8.953.000 US$ (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Data impor dan nilai impor CPO Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.
13
Tabel 4. Impor dan Nilai Impor Indonesia CPO Tahun 2000-2009 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-Rata
Impor (Ton)
Nilai Impor (ribu US$) 7.988 5.115 11.861 5.606 7.884 14.067 3.031 4.661 10.994 24.484 9.569,10
6.424 2.524 4.745 3.267 5.094 8.366 2.494 7.036 8.953 16.822 6.572,50
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010
Berdasarkan data di atas tentunya hal ini menjadi permasalahan, karena sebagian besar pengusaha berproduksi CPO dengan orientasi ekspor, sedangkan dalam negeri masih membutuhkan CPO dalam jumlah yang banyak. Dikhawatirkan apabila kondisi ini terus berlanjut produksi CPO Indonesia tidak akan pernah mencukupi kebutuhan dalam negeri dan Indonesia akan terus impor CPO dari Malaysia. Perkembangan harga CPO dunia adalah yang hal paling mempengaruhi perdagangan ekspor-impor CPO Indonesia (Haryanto, 2008). Permintaan dan harga CPO internasional yang lebih tinggi dari harga CPO nasional menjadi hal yang membuat para pebisnis CPO lebih mengutamakan pasar dunia dibandingkan menjual CPO ke dalam negeri. Oleh karena itu pemerintah menerapkan Pajak Ekspor (PE) bagi komoditas CPO (Hansen, 2008). Sebelum tahun 2008 pemerintah telah menetapkan PE CPO sebesar 1,5 persen dan produk turunannya sebesar 0,3 persen, tetapi kebijakan itu diubah karena kenaikkan harga CPO yang luar biasa di awal April 2008 yang menyebabkan semakin banyaknya pengusaha yang menjual CPO mereka ke pasar dunia. Ditetapkan pada tahun 2008 PE CPO ditambah dan untuk produk turunannya menjadi 6,5 persen. Pada tahun 2010 PE yang ditetapkan adalah 12,5 persen, sesuai dengan harga referensi CPO cif. Rotterdam saat itu yaitu 1.025 US$/ton. Namun hal ini terlalu berat untuk eksportir CPO. Oleh karena itu, ada rancangan PE disesuaikan dengan propinsi penghasilnya. Di sisi lain, peningkatan PE CPO dikhawatirkan akan menyebabkan turunnya pangsa pasar CPO Indonesia
14
yang akan berimbas kepada penurunan devisa negara di sektor ini. Berdasarkan kajian yang dilakukan Oil World di Jerman, peningkatan 1 persen PE CPO Indonesia maka akan menurunkan 0,8 persen pangsa pasar CPO Indonesia (cateris paribus) (Hansen, 2008). Hal ini menjadi dilema bagi pemerintah, karena di satu sisi ingin mempertahankan posisi pangsa pasar CPO di dunia tetapi di lain sisi pemenuhan konsumsi domestik juga dipenuhi. Swasembada beras yang terjadi pada tahun 2009 seharusnya dapat dijadikan contoh bagi industri kelapa sawit Indonesia. Mengingat bahwa CPO merupakan bahan baku utama minyak goreng dan minyak goreng adalah salah satu golongan sembilan bahan pokok (Sembako). Keseimbangan antara alokasi produksi CPO yang diekspor dan dikonsumsi sendiri perlu dilakukan untuk mewujudkan kemandirian pangan, dalam hal ini adalah minyak goreng. Untuk itu perlu ada perencanaan yang matang kedepannya untuk mengetahui kemampuan produsen CPO untuk mampu memenuhi permintaan CPO. Sampai saat ini, peramalan mengenai CPO baru dilakukan dalam aspek produksi, harga dan ekspor saja, peramalan konsumsi domestik belum banyak dilakukan. Peramalan produksi dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan mencakup perkiraan produksi Perusahaan Inti Rakyat, Perkebunan Besar Swasta dan Perkebunan Besar Nasional dengan metode Double Exponential Smoothing karena dianggap paling mudah dan mencerminkan realita yang sebenarnya (Hansen, 2008). Sedangkan peramalan mengenai ekspor dapat ditemui di penelitian skripsi mahasiswa IPB dengan metode ARIMA. Oleh karena itu, sangat menarik apabila kajian peramalan yang dapat mempertemukan proyeksi permintaan ekspor, permintaan domestik, dan produksi CPO dalam lima tahun ke depan, sesuai dengan usia panen kelapa sawit. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kesanggupan produsen CPO untuk memenuhi permintaan CPO baik dalam bentuk ekspor maupun konsumsi domestik. Namun perlu juga menganalisis hubungan antara harga CPO internasional dan selisih harga CPO nasional terhadap kecenderungan ekspor-impor CPO. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perilaku ekspor-impor CPO Indonesia, karena prospek harga adalah sinyal untuk melakukan keputusan penjualan dan pembelian, sehingga peneliti dapat merumuskan kebijakan untuk mengimbangi
15
laju ekspor CPO dan laju permintaan domestik. Melalui cara tersebut Indonesia tetap dapat mempertahankan posisi pangsa pasar CPO Indonesia di dunia bahkan meningkatkannya. Namun konsumsi domestik tidak terabaikan, sehingga Indonesia tidak terus impor CPO. Harapannya, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi para pengambil keputusan untuk membuat kebijakan di bidang perkelapasawitan Indonesia. Berdasarkan pemaparan di atas permasalahan yang dapat dibahas adalah : 1) Bagaimana pola data ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia? 2) Apa model peramalan tentatif ARIMA apakah yang paling cocok untuk menjelaskan peramalan ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia? 3) Bagaimana proyeksi ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia sampai tahun 2015? 4) Bagaimana hubungan antara volume ekspor-impor CPO Indonesia terhadap harga CPO internasional dan selisih harga CPO nasionalinternasional? I.3 Tujuan Penelitian Penelitian mengenai analisis peramalan ekspor, konsumsi domestik, dan produksi Crude Palm Oil (CPO) di Indonesia ini memiliki tujuan diantaranya : 1. Menganalisis pola data ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia. 2. Menetapkan model peramalan tentatif ARIMA yang paling cocok untuk menjelaskan peramalan ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia. 3. Memproyeksikan ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia sampai tahun 2015. 4. Mengidentifikasi hubungan antara volume ekspor-impor CPO Indonesia terhadap harga CPO internasional dan selisih harga CPO nasionalinternasional.
16
I.4 Manfaat Penelitian Penelitian tentang analisis peramalan ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO di Indonesia ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang ingin mengetahui lebih mendalam tentang proyeksi perkembangan CPO di masa yang akan datang. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan pengambilan keputusan perkelapasawitan di Indonesia. Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai tinjauan pustaka untuk penelitian lain, sedangkan bagi petani dan pebisnis kelapa sawit dapat menjadikan penelitian ini sebagai pertimbangan untuk meningkatkan produksi atau tidak meningkatkan produksi, karena di dalam penelitian ini ada proyeksi ekspor dan konsumsi domestik sebagai pertimbangan untuk berproduksi secara optimal. Begitupun bagi pemerintah yang menjadi penyusun kebijakan, dapat menyusun kebijakan yang berkaitan tentang kuantitas ekspor melalui kebijakan tarif pajak ekspor (PE), kebijakan impor, atau kebijakan yang berkaitan dengan perluasan lahan guna meningkatkan produksi. Peneliti kelapa sawit, khususnya bagi lembaga-lembaga riset dapat menjadikan penelitian ini sebagai gambaran kondisi perkelapasawitan saat ini dan proyeksinya, sehingga dapat melakukan riset berupa peningkatan produktivitas atau pengoptimalan produk turunan dari CPO.
17
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Sejarah dan Perkembangan Kelapa Sawit di Indonesia Kelapa sawit diperkirakan berasal dari Afrika Barat dan Amerika Selatan.
Tanaman ini lebih berkembang di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan Malaysia. Bibit kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun 1848 yang berasal dari Mauritius dan Amsterdam sebanyak empat tanaman yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan selanjutnya disebar ke Deli, Sumatera Utara (Lubis, 1992). Kelapa sawit diusahakan secara komersil di Afrika, Amerika, Asia Tenggara, Pasifik Selatan, serta beberapa daerah lain dengan skala yang lebih kecil (Semangun et all, 2005). Tanaman kelapa sawit memiliki usia produktif 20-25 tahun, setelah usia tersebut tanaman kelapa sawit sudah tidak dianggap menguntungkan secara ekonomis. Pada tiga tahun pertama kelapa sawit disebut pohon muda karena belum menghasilkan buah yang sempurna atau disebut buah pasir. Kelapa sawit sudah mampu berbuah sempurna pada usia 3,5-4 tahun, di masa ini kelapa sawit sudah mampu menghasilkan tandan buah segar (TBS) dengan potensi 25-30 ton/ha/tahun. Kelapa sawit berproduksi secara optimal pada usia 8-14 tahun setelah itu kelapa sawit akan mengalami penurunan jumlah produksi (PPKS, 2008; Semangun et all, 2005). Karena sebagian besar perkebunan kelapa sawit berkembang pada tahun 1970-an, maka pada saat ini banyak tanaman yang potensial untuk dilakukan peremajaan lahan (Susila, 2007). 2.2.
Crude Palm Oil Crude Palm Oil (CPO) berasal dari buah segar kelapa sawit yang
didapatkan dengan cara mengekstark buah sawit tersebut. Selain berupa minyak sawit sebagai produk utama, proses ini pula menghasilkan produk sampingan berupa tandan kosong yang biasanya diolah menjadi kompos, serat perasan, lumpur sawit/solid, dan bungkil kelapa sawit (Semangun et all, 2005). Buah kelapa sawit yang bermutu akan menghasilkan rata-rata 22 persen minyak kelapa sawit. Potensi produksi minyak kelapa sawit untuk setiap hektarnya adalah 5,28 ton per tahun yang dapat dari 24 ton tandan buah segar (TBS). Minyak kelapa
sawit banyak digunakan sebagai bahan baku makanan. Bahan makanan yang berbahan baku kelapa sawit antara lain : minyak goreng, margarin, lemak nabati untuk susu dan es krim, serta masih banyak lainnya. Sebagai bahan makanan, minyak kelapa sawit memiliki dua aspek kualitas. Aspek kualitas pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak bebas (FFA, Free Fatty Acid), serta kelembaban dan kadar kotor yang terkandung dalam minyak kelapa sawit tersebut. Aspek kualitas yang kedua berhubungan dengan aroma, rasa, kejernihan serta kemurnian dari produk. Minyak kelapa sawit yang bermutu prima (special quality) mengandung asam lemak bebas (FFA) tidak lebih dari dua persen pada saat pengapalan untuk diekspor atau diimpor. Sedangkan untuk kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari lima persen asam lemak bebas. 2.3.
Pola Kemitraan Perkebunan Kelapa Sawit Pola perusahaan inti rakyat (PIR) adalah pola yang sangat cocok dengan
komoditi kelapa sawit (Badrun, 2010). Konsep dari pola ini adalah pola pengembangan perkebunan rakyat di lahan bukaan baru atau di lahan sekitar perkebunan besar dengan mengintegrasikan aktifitas produksi melalui kerjasama yang
saling
membutuhkan
dan
menguntungkan.
Pola
ini
mencoba
menggabungkan keunggulan yang dimiliki oleh perkebunan rakyat dan perkebunan besar dengan azas kemitraan. Pengembangan pola PIR melibatkan petani rakyat dengan kepemilikan penuh lahan minimal dua hektar per kepala keluarga, sebagai petani plasma. Dan perusahaan besar yang menjadi intinya berkewajiban membeli hasil panen dari petani plasma. Pola ini sangat sesuai dengan UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat (3) yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Melalui metode ini hanya dalam 25 tahun sudah mampu memperluas luasan lahan kelapa sawit sebesar 24,5 kali lebih besar dari luas lahan di tahun 1981 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Mengingat bahwa pola ini diterapkan secara simultan pada tahun 1980-an.
19
Pengembangan pola PIR menurut Badrun (2010), telah banyak memberikan perubahan positif pada pola pengusahaan kelapa sawit. Berikut adalah perubahan positif yang dimaksud : 1. Perubahan bentuk usaha, yang semula hanya dilakukan perusahaan besar sekarang dengan PIR perkebunan rakyat dapat dikembangkan. 2. Perubahan
yang
mendorong
terciptanya
kemitraan
sehingga
ada
penggabungan kekuatan dan tidak bekerja sendiri-sendiri. 3. Perubahan arah pengembangan yang dahulu berupa intensifikasi pada lahan yang tetap sekarang mengarah ke perluasan lahan. 4. Tumbuh budaya petani Indonesia yang sadar disiplin, kualitas produk dan paham pasar global. 2.4.
Konsep Perkebunan yang Berkelanjutan Perkembangan kelapa sawit yang memiliki keunggulan kompetitif
terhadap minyak nabati lain dan memiliki manfaat ekonomi, bukan berarti menjadikan Indonesia sebagai produsen CPO nomor satu di dunia melakukan pengusahaan kebun yang tidak layak secara lingkungan. Tudingan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit berdampak merusak sumber daya alam, lingkungan hidup, perubahan iklim dan pemanasan global, menjadi tantangan global yang dapat mengganggu perkembangan kelapa sawit di Indonesia (Badrun, 2010). Oleh karena itu saat ini dikembangkan suatu langkah sistematis tentang pembangunan kelapa sawit yang berkelanjutan yaitu Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Melalui sistem ini diharapkan masalah-masalah lingkungan hidup serta sosial seperti pengangguran dan kemiskinan daerah sekitar perkebunan mampu diatasi. Inti dari perundangan ini mencakup keterkaitan antara berbagai seri perundang-undangan. Adapun perundang-undangan yang menjadi bagian perumusan ISPO antara lain : 1) UUD „45, 2) UU No. 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup, 3) UU No. 19 tahun 1992 tentang budidaya tanaman, 4) UU No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan, serta 4) Tata cara dan langkah dari UU perkebunan dan budidaya tanaman, seperti Permentan No. 26 tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, Permentan No.14 tahun 2009 tentang
20
pemanfaatan lahan gambut untuk kelapa sawit dan masih banyak peraturanperaturan lainnya. Permintaan CPO yang lestari menuntut Indonesia harus menerapkan ISPO secara tegas. Oleh karena itu kepatuhan penerapannya bersifat Mandatory artinya wajib sehingga akan dilakukan penindakan bagi yang melanggar (Badrun, 2010). Sebenarnya ada konsep global tentang perkebunan kelapa sawit yang lestari yaitu Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang bersifat sukarela untuk mematuhinya. Namun bagi beberapa pihak seperti PPKS dan eksportir CPO, RSPO dianggap terlalu mendukung pembeli dari Uni Eropa yang membatasi volume ekspor CPO ke sana, dengan alasan lingkungan1. Sehingga penerapan ISPO cukup strategis dalam memberikan kejelasan hukum yang dianut dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia. 2.5.
Penelitian Terdahulu Penelitian tentang peramalan kuantitatif komoditi kelapa sawit sudah
banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Penelitian peramalan tentang harga produk turunannya CPO yaitu olein di pasar Jakarta dan Rotterdam telah dilakukan oleh Ibrahim (2009) dengan metode Winters-Brown Multiplikatif karena memiliki persentase penyimpangan/ error (MAPE) terkecil dibandingkan dengan metode peramalan lainnya. Ibrahim (2009) menyatakan harga olein dipengaruhi oleh harga CPO karena olein merupakan produk turunan dari CPO. Hasibuan (2010), Jafarudin (2005) dan Suganda (2006) dalam penelitiannya yang berkaitan dengan peramalan menyatakan metode peramalan yang terbaik adalah ARIMA, karena memiliki penyimpangan atau error terkecil dibandingkan dengan metode peramalan lainnya. Menurut Hanke (1996), metode ARIMA mampu menjelaskan dan meramalkan pola data yang memiliki pola trend dan stasioner sehingga sangat cocok untuk deret data yang panjang. Penelitian yang lebih lengkap dilakukan oleh Hansen (2008), tentang peramalan
produksi
dan
ekspor
CPO
dengan
model
ARIMA
untuk
merekomendasikan kebijakan yang akan dilakukan oleh stakeholder yang berada dalam bisnis kelapa sawit. Pada penelitian tersebut, peramalan yang dilakukan 1
Supriyadi. 2010. Soal CPO, Indonesia Tidak Mau Didikte Eropa.www.seputar-indonesia.com [18 April 2011]
21
belum fokus kepada inti permasalahan yang ada di perdagangan CPO yaitu masalah impor CPO yang terus dilakukan yang disebabkan oleh pengutamaan ekspor dibandingkan memenuhi konsumsi domestik Indonesia. Peneliti hanya meramalkan produksi dan ekspor tanpa memperhatikan permintaan domestik dan harga. Penelitian lain yang dilakukan terkait dengan hubungan harga domestik CPO yang menjadi pertimbangan pebisnis untuk menjual CPO kedalam negeri, dilakukan oleh Drajat (2006), Maulana (1996) dan Haryanto (2008). Drajat (2006) menyatakan pergerakan harga CPO di pasar internasional diproyeksikan ke pasar domestik melalui mekanisme pasar, dan secara umum harga CPO domestik searah dengan harga minyak sawit di pasar internasional. Sedangkan menurut Maulana (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi harga domestik CPO adalah permintaan domestik, penawaran domestik dan nilai tukar. Pernyataan yang lebih komperhensif dinyatakan oleh Haryanto (2008), dia menyatakan korelasi antara produksi, volume ekspor, volume impor, dan konsumsi CPO domestik terhadap harga CPO, selain itu dalam penelitian tersebut dia juga menyatakan hubungan harga CPO nasional dengan harga CPO internasional. Berikut adalah pernyataan Haryanto (2008) : 1. Peningkatan produksi dan volume impor CPO akan menurunkan harga domestik, 2. Peningkatan volume ekspor CPO dan konsumsi CPO dalam negeri menyebabkan peningkatan harga CPO dalam negeri, 3. Harga CPO internasional berbanding lurus dengan harga CPO dalam negeri, sesuai dengan yang dinyatakan Drajat (2006). Hampir semua pernyataan Haryanto sesuai dengan konsep permintaan dan penawaran dalam teori ekonomi mikro, namun pada kenyataannya permintaan CPO tidak selalu berbanding terbalik dengan harga CPO. Permintaan CPO terus naik dari dari waktu ke waktu begitupun juga harga CPO namun hal ini tidak mengurangi volume permintaan ekspor dan domestik. Harga CPO ditingkat nasional dan internasional menjadi pertimbangan pebisnis yang mengekspor CPO atau menjual ke dalam negeri. Selain itu peramalan tentang harga CPO di pasar yang berbeda menjadi pertimbangan untuk
22
memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan asumsi tidak dipengaruhi biayabiaya lainnya, seperti biaya transportasi (Suganda, 2006). Askadarimi (2007) menyatakan ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga ekspor (internasional), nilai tukar dan pajak produksi, sedangkan impor dipengaruhi oleh produksi CPO, permintaan domestik, serta pajak ekspor.
Melalui metode 2SLS penelitian
tersebut juga menjelaskan penurunan pajak ekspor lima persen dapat meningkatkan ekspor sebesar 1,19 persen. Penelitian mengenai permintaan ekspor CPO yang dilakukan oleh Mahisya (2004) berdasarkan data ekspor bulanan yang diperoleh dari tahun 1998 sampai 2003, menunjukkan volume ekspor CPO Indonesia membentuk suatu pola yang khas, yaitu dalam satu tahun jumlah tertinggi volume pemintaan ekspor terjadi pada akhir tahun, antara bulan November dan Desember sedangkan volume permintaan ekspor CPO akan turun drastis pada awal tahun yaitu di bulan Januari. Dalam penelitian tersebut Mahisya menyarankan peningkatan ekspor CPO Indonesia ke pasar dunia sebaiknya dihadapi secara strategis dan proporsional karena harus tetap menganalisis dan mengantisipasi ekspor oleh negara lain dalam seperti Malaysia dalam bentuk processed palm oil (PPO) yang memberikan harga ekspor yang lebih tinggi, melalui pengembangan industri pengolahan CPO untuk meningkatkan
produksi
produk
turunannya.
Sedangkan
Hansen
(2008)
menyatakan usaha pemerintah dalam hal menghadapi keseimbangan laju ekspor dan produksi sebagai sumber pemenuhan permintaan CPO domestik, pemerintah harus menerapkan kebijakan Pajak Ekspor (PE). Selain itu petani dan pebisnis perlu meningkatkan produktivitas seperti penggunaan bibit unggul. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian S1 tentang peramalan CPO nasional beberapa ditemukan di perpustakaan IPB, sebagian besar penelitian hanya di tingkat perusahaan saja. Selain itu peramalan dari sisi konsumsi domestik CPO belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini memiliki dasar pemikiran realita impor CPO yang masih dilakukan hingga saat ini, padahal Indonesia adalah pemegang pangsa pasar CPO terbesar di dunia. Berdasarkan isu itu penelitian ini menganalisis pola ekspor dan permintaan domestik untuk mengetahui laju permintaan CPO, kemudian menghubungkannya dengan laju pertumbuhan produksi CPO sebagai
23
laju penawaran CPO. Namun sebelumnya akan dilakukan identifikasi hubungan antara harga dan selisih harga
CPO nasional (Medan) dengan harga CPO
internasional (Rotterdam dan Malaysia), untuk mengetahui kecenderungan ekspor-impor CPO Indonesia. Perbedaan lain yang dimiliki oleh penelitian ini dibandingkan
dengan
penelitian
sebelumnya
adalah
peneliti
berusaha
merumuskan kebijakan yang bisa diambil untuk meminimalisir impor CPO berdasarkan hasil ramalan ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO Indonesia.
24
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1
Konsep Kondisi Keseimbangan Permintaan-Penawaran Keseimbangan antara permintaan dan penawaran ini terjadi ketika kurva
permintaan dan penawaran berpotongan sehingga jumlah yang dijual oleh perusahaan sama dengan jumlah yang dibeli oleh konsumen. Dalam kondisi keseimbangan ini (equibrilium condition), efisiensi ekonomi tercapai karena berapapun output yang dihasilkan oleh perusahaan dapat diserap oleh konsumen melalui pasar. Daerah diatas keseimbangan menunjukkan adanya kelebihan penawaran (excess supply). Sedangkan daerah dibawah titik keseimbangan menunjukkan
kelebihan
permintaan
(excess
demand).
Dalam
negara
perekonomian terbuka hal ini merupakan dasar tercipta hubungan perdagangan dimana kedua kelebihan tersebut dapat ditutupi dengan melakukan ekspor atau impor. Harga (P)
S
PE
E
D 0
Gambar 6.
QE
Jumlah yang dipertukarkan (Q)
Kurva Keseimbangan Permintaan-Penawaran Sumber : Lipsey, et all., 1996
3.1.2. Ekspor-Impor dan Perdagangan Internasional 3.1.2.1.Ekspor Lipsey (1996) menyatakan ekspor adalah aliran perdagangan suatu komoditi dari dalam negeri ke luar negeri. Ekspor dapat diartikan suatu total penjualan barang yang dapat dihasilkan oleh suatu negara, kemudian diperdagangkan kepada negara lain dengan tujuan mendapatkan devisa. Suatu negara dapat mengekspor barang-barang yang dihasilkan pengekspor. Ekspor
merupakan suatu kegiatan yang banyak memberikan keuntungan-keuntungan bagi para
pelakunya,
adapun
keuntungan-keuntungan
tersebut
antara
lain
:
meningkatkan laba perusahaan dan devisa negara, dan membiasakan diri bersaing dengan pasar internasional. Ekspor dapat meningkatkan dan menciptakan pembagian lapangan pekerjaan dan skala setiap produsen domestik agar mampu menghadapi persaingan dari yang lainnya (Salvatore, 1997). 3.1.2.2.Impor Permintaan impor suatu negara terjadi apabila jumlah barang yang diminta oleh konsumen domestik melebihi jumlah barang yang ditawarkan produsen domestik pada suatu barang tertentu (Koo dan Kennedy, 2005). Permintaan dan penawaran domestik melalui analisis keseimbangan pasar. Dapat dilihat di Gambar 6 kurva permintaan dan penawaran saling memotong di titik E dengan harga P0 dan jumlah barang yang diminta dan ditawarkan Q0. Tetapi jika terjadi penurunan harga dari P0 ke P1, penawaran domestik akan terjadi penurunan menjadi QS1 sebaliknya permintaan domestik akan naik menjadi QD1 sebagai transformasi dari mekanisme penyesuaian. Akibat pergerakan tersebut, kelebihan permintaan dapat dititipi dengan impor sebesar a’b’. Dapat dilihat pada Gambar 7 : P
P
E P0 a’b'
P1
c’d’
P2
QS2
Gambar 7.
QS1
Q0
QD
QD
1
2
Q
QD1-QS1
QD2-QS2
Q
Kurva Impor Penurunan dari Kurva Keseimbangan Pasar. Sumber : Koo dan Kennedy, 2005
26
3.1.2.3.Perdagangan Internasional Kondisi keseimbangan menandakan suatu keadaan dengan tidak adanya hubungan perdagangan di dalamnya, dikatakan demikian karena seluruh output yang diproduksi oleh seluruh perusahaan dapat diserap oleh konsumen. Dalam perdagangan, keadaan ini disebut kondisi autarki (no trade) dan dalam perekonomian hal ini menandakan belum terjadinya hubungan perdagangan dengan luar negeri atau disebut juga perekonomian tertutup. Ciri dari perekonomian makro dapat dilihat dari aliran ekonomi makro dan mikronya yang tidak melibatkan pihak luar negeri untuk barang-barang impor dan tidak pula pembayaran dari luar negeri ke produsen domestik untuk barang yang diekspor. Perbedaan penting antara perekonomian terbuka dengan perekonomian tertutup adalah dalam perekonomian terbuka, pengeluaran suatu negara selama periode waktu tertentu tidak perlu sama dengan yang mereka hasilkan dari memproduksi barang dan jasa. Dalam perekonomian tertutup, seluruh output dijual ke pasar domestik dan pengeluaran dibagi menjadi tiga komponen, yaitu konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah. Dalam perekonomian terbuka, sebagian ouput dijual ke pasar domestik, sebagian lagi dijual diekspor ke negara lain sehingga terdapat komponen barang ekspor dalam pengeluaran atau pos pendapatan nasional (Mankiw, 2003). Dasar dari terciptanya hubungan perdagangan internasional ini adalah Hukum Keunggulan Absolut Adam Smith dan Hukum Keunggulan Komparatif dari David Richardo. Keunggulan absolut dapat terjadi apabila negara melakukan spesialisasi pada produk komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukar sebagian output ini untuk memperoleh output yang memiliki kerugian absolut. Sedangkan menurut David Richardo, perdagangan dapat terjadi meskipun salah satu negara kurang efisien dibandingkan negara lainnya dalam memproduksi kedua komoditi. Negara yang kurang efisien harus berspesialisasi dalam produk dan mengekspor komoditi yang kerugian absolutnya lebih sedikit (yaitu komoditi yang memiliki kenggulan komparatif) (Salvatore, 1997). Insentif untuk melakukan ekspor dapat terjadi apabila tingkat harga di luar negeri lebih tinggi daripada tingkat harga di dalam negeri. Sedangkan apabila tingkat harga luar negeri lebih kecil daripada tingkat harga dalam negeri maka
27
suatu negara akan melakukan impor. Dalam model perdagangan internasional, ekspor terjadi ketika suatu negara mengalami kelebihan penawaran (excess supply) yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan dalam negeri dan sisa barang masih ada dan diekspor ke luar negeri. Sebaliknya, impor terjadi dalam kondisi kelebihan permintaan (excess demand) yang ditandai dengan kekuangan kebutuhan dalam negeri sehingga mengharuskan impor dari luar. Model yang menjelaskan hubungan perdagangan ini digambarkan dalam analisis keseimbangan parsial dan analisis keseimbangan umum (general equibrilium analysis). Dalam analisis keseimbangan parsial (pendekatan residual) kita hanya melihat hubungan perdagangan melalui satu pasar komoditi saja, sedangkan dalam analisis keseimbangan umum, kita melihat terjadinya hubungan perdagangan dari dua pasar komoditi. Asumsi yang digunakan dalam analisis keseimbangan parsial adalah dengan nilai tukar (term of trade) sama dengan satu, kondisi pasar persaingan sempurna, tidak ada intervensi dari pemerintah dan negara kecil. Dalam analisis keseimbangan parsial, kita menggunakan kurva permintaan dan penawaran untuk setiap komoditi yang diperdagangkan, kurvakurva itu sendiri merupakan derivasi dari kurva batas kemungkinan produksi dan peta indeferen yang digunakan dalam analisis keseimbangan umum. Penjelasan terjadinya hubungan perdagangan antara dua negara dijelaskan pada kurva dibawah ini : P
SB
P
P
SA
EX
EB
Ed Pw1 EA
DB
IM
Pd = Pw
DA
Q1
Q2 Q3 Negara A
Gambar 8.
Q4
Q1
Qd
Keseimbangan Ekspor-Impor
Q5
Q6
Q7
QB
Negara B
Dunia Kurva Keseimbangan Perdagangan Internasional
Sumber : Salvatore, 1997
28
Diasumsikan bahwa negara A adalah negara kecil yang memproduksi suatu komoditi, kondisi keseimbangan sebelum dibukanya hubungan perdagangan (autarki) terletak pada titik EA. Di titik harga domestik yang berlaku di negara A (Pd) sama dengan harga dunia (Pw) dan jumlah komoditi yang dipertukarkan adalah Q2. Apabila kemudian terjadi kenaikan harga dunia dari Pd = Pw menjadi P1w, maka harga dunia yang lebih tinggi dari harga domestik ini memberikan insentif bagi para produsen di negara A untuk memproduksi lebih banyak. Kelebihan penawaran (excess supply) yang terjadi mendorong produsen untuk menjajaki keuntungan di pasar internasional melalui ekspor. Pada Gambar 8 diatas jumlah yang diekspor adalah sebanyak Q2-Q3 yang sama dengan jumlah di keseimbangan ekspor-impor dunia (0-Q4) dan yang diterima di negara pengimpor B (Q5-Q7). Kurva ekspor dunia (EX) merupakan penjumlahan dari ekspor komoditi sejenis pada negara A dan kurva impor dunia (IM) merupakan penjumlahan dari impor komoditi sejenis pada negara B. Kurva ini dibuat dengan menarik dari titik keseimbangan masing-masing negara. 3.1.3. Analisis Asosiasi dan Karakteristik Korelasi Sepanjang sejarah manusia selalu mencari adanya hubungan atau tidak antara dua hal baik dalam bentuk peristiwa, kejadian atau fenomena. Berbagai usaha dilakukan peneliti untuk membuat berbagai metode yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan ini. Penelitian mengenai hal yang dianggap memiliki hubungan antara satu dengan yang lain disebut analisis asosiasi. Korelasi menunjukan kekuatan hubungan antar dua variabel atau lebih dengan skala-skala data tertentu. Skala-skala tersebut antara lain : 1. Skala nominal, menurut Sarwono (2008) adalah ukuran skala yang paling sederhana, angka tersebut diberikan kepada suatu sebagai suatu label saja dan tidak menunjukkan suatu tingkatan apapun. Ciri-ciri data yang memiliki skala nominal adalah hanya menunjukkan atribut, klasifikasi dan identifikasi atau nama. Data nominal adalah data kontinue yang tidak memiliki urutan. Misalnya tentang pertanyaan “ya” atau “tidak”, “setuju” atau “tidak setuju”. 2. Skala ordinal. Skala data ini memiliki sifat seperti yang dimiliki skala data nominal tetapi juga memiliki peringkat. Skala data ini digunakan untuk
29
mengurutkan atau merangking objek dari yang paling tinggi sampai paling rendah atau sebaliknya. Alat analisis asosiasi yang lazim digunakan adalah Spearman Rank Correlation dan Kendall Tau. 3.
Skala interval. Skala data ini mempunyai sifat-sifat ukuran ordinal dan ditambah satu sifat lain, yakni jarak yang sama pada pengukuran dinamakan data interval. Data ini memperlihatkan jarak yang sama dari ciri atau sifat objek yang diukur. Misalnya tentang nilai ujian 6 orang mahasiswa, yakni A, B, C, D, E dan F diukur dengan ukuran interval pada skala prestasi dengan ukuran 1, 2, 3, 4, 5 dan 6, maka dapat dikatakan bahwa beda prestasi antara C dan A adalah 3 – 1 = 2. Beda prestasi antara C dan F adalah 6 – 3 = 3. Akan tetapi tidak bisa dikatakan bahwa prestasi E adalah 5 kali prestasi A ataupun prestasi F adalah 3 kali lebih baik dari prestasi B.
4.
Skala ratio adalah skala data yang meliputi semua ukuran di atas ditambah dengan satu sifat yang lain, yakni ukuran yang memberikan keterangan tentang nilai absolut dari objek yang diukur dinamakan ukuran ratio. Ukuran ratio ini memiliki titik nol. Karenanya, interval jarak tidak dinyatakan dengan beda angka rata-rata satu kelompok dibandingkan dengan titik nol di atas. Oleh karena ada titik nol, maka ukuran ratio dapat dibuat perkalian ataupun pembagian. Angka pada skala dengan ukuran ratio dapat menunjukkan nilai sebenarnya dari objek yang diukur. Misalnya pertanyaan jumlah tanggungan keluarga : <2, antara 2 dan 5, atau >5. Kekuatan asosiasi atau kekuatan hubungan dapat dilihat melalui koefisien
korelasi (rs). Koefesien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Kisaran koefisien korelasi adalah
dari 0-1 dapat dalam
bentuk positif ataupun negatif. Jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah dan sebaliknya, apabila nilai variabel Y tinggi maka niali variabel X rendah.
30
Berikut ini adalah koefisien korelasi (rs) dalam kisaran korelasi dan interpretasinya (Sarwono, 2008) : 1. Koefisien korelasi (rs) sama dengan nol (0) berarti antara variabel X dan Y tidak ada hubungan yang signifikan pada taraf nyata α. 2. Koefisien korelasi (rs) sama dengan satu (1) berarti antara variabel X dan Y memiliki korelasi sempurna dan signifikan pada taraf nyata α. 3. Koefisien korelasi 0 < rs < 0,25 berarti antara X dan Y memiliki korelasi yang lemah dan signifikan pada taraf nyata α. 4. Koefisien korelasi 0,25 < rs < 0,75 berarti antara X dan Y memiliki korelasi yang kuat dan signifikan pada taraf nyata α. 5. Koefisien korelasi 0,75 < rs < 0,99 berarti antara X dan Y memiliki korelasi yang sangat kuat dan signifikan pada taraf nyata α. 3.1.4. Korelasi Rank Spearman Korelasi rank Spearman adalah metode analisis asosiasi/hubungan yang paling awal dikembangkan dan mungkin paling baik dikenal dengan baik hingga ini. Analisis asosiasi ini menuntut variabel data yang dianalisis sekurangkurangnya adalah skala ordinal, sehingga objek-objek yang ingin diteliti dapat diranking dalam dua rangkaian berurut. Korelasi rank Spearman mengharuskan kita untuk memenuhi asumsiasumsi dasar yang mendukung penggunaan alat anlisis ini. Asumsi-asumsi yang dipakai antara lain : 1. Data untuk analisis merupakan sebuah sample acak yang terdiri atas n pasang hasil pengamatan numerik atau nonnumerik. Setiap pasangan yang berasal dari dua pengukuran terhadap objek atau individu yang sama, disebut unitasosiasi. 2. Jika data terdiri atas hasil-hasil pengamatan dari suatu populasi yang bivariate maka ditetapkan ke-n hasil pengamatan dengan (X1 , Y1), (X2 , Y2),..., (Xn , Yn). 3. Setiap nilai X ditetapkan peringkatnya relatif terhadap semua nilai X yang teramati, dari yang terkecil hingga yang terbesar. Peringkat nilai X ke-i diberi notasi R(X1), dan R(X1) = 1 bila X1 adalah nilai X teramati yang paling kecil.
31
4. Setiap nilai Y ditetapkan peringkatnya relatif terhadap semua nilai Y yang teramati, dari yang terkecil hingga yang terbesar. Peringkat nilai Y ke-i diberi notasi R(Y1), dan R(Y1) = 1 bila Y1 adalah nilai Y teramati yang paling kecil. 5. Jika di antara nilai-nilai X atau Y terdapat angka sama masing-masing nilai yang sama diberi peringkat rata-rata dari posisi-posisi yang seharusnya. 6. Jika data terdiri atas hasil pengamatan nonnumerik bukan angka, data tersebut harus dapat diperingkatkan seperti yang telah dijelaskan. Sedangkan hipotesis-hipotests yang dapat digunakan dalam analisis asosiasi metode rank Spearman antara lain : 1. Dua sisi (A) Ho : X dan Y saling bebas H1 : X dan Y entah saling bertalian langsung atau invers. 2. Satu sisi (B) Ho : X dan Y saling bebas H1 : Ada suatu bertalian langsung antara X dan Y 3. Satu sisi (C) Ho : X dan Y saling bebas H1 : Ada suatu bertalian invers antara X dan Y Jika sampel-sampel berukuran 4 hingga 30, digunakan tabel nilai kritis korelasi rank Spearman (Lampiran 1). Sedangkan untuk memilih hipotesis ada kaidah-kaidah yang harus dipenuhi. Berikut kaidah-kaidah yang harus dipenuhi untuk memilih hipotesis mana yang signifikan : 1. Untuk A (dua sisi)
: Tolak Ho pada taraf nyata α, jika nilai rs hitung lebih
daripada positif nilai rs tabel atau nilai rs hitung lebih kecil daripada negatif nilai rs tabel pada taraf nyata 1-α/2. 2. Untuk B (satu sisi)
: Tolak Ho pada taraf nyata α, jika nilai rs hitung lebih
besar daripada rs tabel pada taraf nyata 1-α. 3. Untuk C (Satu sisi)
: Tolak Ho pada nyata α, jika nilai rs hitung lebih kecil
daripada negatif nilai rs tabel pada taraf nyata 1-α. 3.1.5. Peramalan Peramalan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memprediksi kejadian atau kondisi yang akan terjadi dimasa yang akan datang (Lavenbach, et
32
all., 1981). Peramalan dibutuhkan ketika tidak ada kepastian yang terdapat dalam lingkungan bisnis atau lingkungan bisnis atau ekonomi yang diperlukan dalam perencanaan. Peramalan bukanlah hasil akhir, melainkan sebagai masukan dalam proses pengambilan keputusan. Makridakis et. al. (1999) menyatakan bahwa alasan utama dilakukannya perencanaan dan peramalan adalah adanya selang waktu (time lag) antara kebutuhan mendatang dengan peristiwa yang terjadi sekarang. Dengan semakin meningkatnya aktivitas bisnis, maka peramalan bisnis sangatlah diperlukan. Peramalan yang hanya didasari hanya pada pendugaan peristiwa yang terjadi di masa yang akan datang hanya didasarkan pada intuisi atau kecermatan peramal yang sering bersifat subjektif. Sering kali pengambil keputusan sadar bahwa dugaannya tidak dapat dijadikan patokan utama karena adanya faktorfaktor eksternal lain yang yang mempengaruhi : kondisi makro, kondisi alam, kondisi kebijakan pemerintah dan lain sebagainya (Makridakis, et all., 1999). Untuk itu perlu ada metode peramalan yang cukup akurat yang mampu dikuantitatifkan
berdasarkan
keadaan
historis
pada
menggambarkan
kecenderungan pergerakkan pola data dari data historis yang ada dengan mengasumsikan faktor-faktor eksternal lainnya konstan. 3.1.6. Identifikasi Pola Data Peramalan dilakukan dengan menganalisis data historis yang kita peroleh. Data historis atau deret waktu adalah data yang dikumpulkan dan diamati atas rentang waktu tertentu (Firdaus, 2006). Untuk dapat menentukan metode peramakan yang dapat digunakan dari suatu deret data historis, terlebih dahulu kita perlu mengetahui komponen atau perilaku data sepanjang periode yang kita amati. Kompponen data historis dapat dibedakan menjadi empat pola : a. Pola Trend Trend merupakan komponen data historis yang menunjukkan kenaikkan atau penurunan sekuler jangka panjang dalam data.Kadangkala trend suatu data memiliki pola yang rumit yang tidak berbentuk garis lurus. Ada tidaknya unsur trend dalam suatu data dapat dilihat dengan memplotkan data tersebut dalam suatu grafik dan melalui analisis autocorrelation (Hanke, 1996). b. Pola Musiman (Seasonal)
33
Pola ini terjadi apabila suatu data historis dipengaruhi oleh faktor musiman seperti : harian, mingguan, bulanan, triwulanan, semesteran, dan lain sebagainya. data yang mengandung musiman cenderung akan berulang sepanjang waktu pengamatan yang sama. Biasanya unsur musiman ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya : hari raya, kondisi cuaca, dan lain-lain. c. Pola Siklus (Cycles) Terdapatnya unsur siklus dalam satu deret data historis terjadi karena data dipengaruhi oleh fluktuasi ekonomi jangka panjang yang terjadi pada siklus bisnis. Data yang mengandung pola siklus akan membentuk gelombang di sepanjang trend atau disebut juga musiman jangka panjang yang berulang biasanya lima sampai sepuluh tahun (Firdaus, 2006). Pada kenyataannya, trend dan siklus sering dianggap pola tunggal (Levenbach, et ,al., 1981). d. Pola Acak (Random) Pola acak adalah poladata yang tidak mengandung ketiga pola data yang telah disebutkan diatas. Makridakis et all.(1999), menyatakan bahwa pola data selain trend, musiman, dan siklus adalah pola horizontal yaitu pola data yang terjadi di sekitar nilai rataan data yang konstan atau disebut pola stasioner. Pengamatan terhadap sebaran data ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO dapat diamati secara visual dengan cara memplotkan data tersebut, atau dengan cara melihat plot autokolerasinya. Autokolerasi adalah keterikatan antara variabel dengan data variabel tersebut satu atau beberapa periode ke belakang. Korelasi ini diukur dengan koefisien autokorelasi (rk). Kumpulan dari koefisien autokolerasi inilah yang disebut autocorrelation function (ACF) yang kemudian dapat menunjukkan bahwa data memiliki unsur trend, musiman atau sudah stasioner. Beberapa kemungkinan pola yang terdapat dalam suatu deret data berdasarkan nilai koefisien korelasinya diantaranya : 1. Jika data memiliki deret yang acak/random, maka nilai autokorelasi antara Yt dengan Yt-k untuk setiap selang mendekati nol dan urutan pada deret waktu tidak berkaitan satu sama lainnya.
34
2. Jika data memiliki unsur trend, maka antara Yt dengan Yt-k akan terdapat autokolerasi yang tinggi. Gejala ini terlihat dari nilai koefisien autokolerasi yang berbeda signifikan dari nol untuk beberapa selang waktu pertama dan kemudian menurun seiring peningkatan jumlah periode. Pada nilai rk di selang pertama cenderung tinggi mendekati satu dan tetap tinggi pada selang kedua tetapi lebih kecil daripada selang pertama, begitu juga pada selangselang berikutnya. Pola data dengan pola rk menurun secara perlahan disebut juga dying down (Firdaus,2006). 3. Apabila data mengandung unsur musiman, maka terdapat selang dimana nilai rk mendekati satu dan berulang pada selang waktu kelipatannya. Data yang mengandung unsur trend dan musiman akan menunjukkan kombinasi antara penjelasan pada poin dua dan terdapat kelipatan selang waktu yang menunjukkan nilai koefisien autokolerasinya berbeda nyata dengan nol. 4. Jika data memiliki ragam dan rataan yang konstan sepanjang waktu pengamatan (stasioner), maka nilai koefisien autokolerasi pada ACF akan tinggi mendekati satu pada selang periode pertama dan menurun dengan cepat pada selang berikutnya. Apabila ternyata pada selang ketiga rk kembali mendekati satu, maka data tersebut tetap belum stasioner. Pola rk yang menurun secara cepat antara selang waktu satu dengan selang waktu yang lain disebut cut off (Firdaus, 2006). 3.1.7
Metode Peramalan Time Saries ARIMA (Box-Jenkins) Metode ARIMA merupakan metode peramalan yang menyajikan suatu set
kriteria kelayakan model yang lengkap dan jelas. Metode ini memberikan kajian yang teliti, tidak dapat diterapkan dengan baik apabila tidak dapat dimengerti dengan baik. Hal yang menarik dalam metode ini bahwa dengan nilai p, d, q dan P, D, Q yang kecil, kita dapat menangani bermacam himpunan data (Markidakis, et all, 1999). Output yang ditampilkan dan enam kriteria kelayakan dari metode ini dapat menerangkan signifikansi parameter, kesederhanaan model, tidak adanya autokolerasi dan ketetapan model dengan keadaan yang sebenarnya. Menurut Henke, et all, (2003), kelebihan dan kelemahan metode ARIMA adalah sebagai berikut :
35
Tabel 5. Kelebihan dan Kelemahan Metode ARIMA (Box-Jenkins) Kelebihan Kekurangan jangka
1. Diperlukan data dalam jumlah yang banyak
2. Fleksibel dan dapat mewakili rentang yang lebar dari karakter deret waktu yang terjadi dalam jangka pendek 3. Terdapat prosedur yang formal dalam pengujian kesesuaian model. 4. Interval ramalan dan prediksi sudah mengikuti modelnya.
2. Tidak ada cara memperbaharui model apabila terjadi penambahan data
1. Baik
untuk
peramalan
pendek
3. Pembentukan model yang baik seringkali membutuhkan waktu dan sumberdaya lain yang besar 4. Tidak dapat mengetahui pengaruh variabel-variabel lain terhadap variabel dependent yang diamati di masa yang akan datang selain berdasarkan informasi variabel dependent dari lag sebelumnya.
Sumber : Hanke, et all, 1996
Model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) merupakan gabungan dari auto-regresi dengan rata-rata bergerak yang dapat mewakili deret data yang stasioner maupun non-stasioner. Metode ARIMA tidak mengikuti variabel bebas dalam pembentukan modelnya. Metode ini mengandalkan perilaku masa lalu dari variabel yang diramal dengan menganggap bahwa data antara deret waktu saling berkaitan dan mempengaruhi ramalan di masa depan (Henke, et all, 2003). Model yang terbentuk dari model autoregresive (AR) dan moving average (MA) ini ditulis dalam bentuk ordo menjadi ARIMA (p,d,q) dimana p mewakili AR, d mewakili MA. Bila dalam suatu deret data terdapat komponen musiman, maka untuk
membentuk model dibutuhkan perbedaan musiman beserta ordo
musimannya. Modelnya menjadi ARIMA (p,d,q) (P,D,Q)L dimana P adalah ordo AR musiman (SAR), D adalah perbedaan secara musiman, dan Q adalah odo MA musiman (SMA). Menurut Firdaus (2006), tahapan peramalan dengan menggunakan metode ini adalah : 1. Identifikasi pola data. Tahap ini dilakukan untuk mengetahui pola data, apakah stasioner atau ada pola trend dalam data. Selain itu mengetahui pola Autocorelation function dan Partial Autocorelation function.
36
2. Estimasi. Tahap ini dilakukan untuk nilai-nilai dari parameter atau koefisien dari model tentatif. Estimasi ini dilakukan dengan software Minitab13.2. Estimasi ini dilakukan untuk melihat signifikansi dari suatu parameter. Selain itu tahap ini dilakukan untuk menghitung nilai MSE dan MAPE dari suatu model. 3. Evaluasi model. Model-model tentatif yang dihasilkan kemudian dievaluasi dengan enam kriteria kelayakan untuk memilih model yang paling baik, sebagai model yang digunakan untuk meramalkan kondisi di masa depan. Enam kriteria kelayakan yang dilakukan antara lain : a). Pengecekan residual, b). Kesederhanaan model, c). Signifikansi model, d). Kondisi invertibilitas model dan stasioneritas, e). Interasi konvergen, dan f). MSE terkecil. Apabila semua kriteria kelayakan itu terpenuhi maka pengolahan data dilanjutkan ke tahap selanjutnya. 4. Peramalan. Model yang diperoleh tersebut kemudian dapat dilakukan acuan untuk melakukan peramalan ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Minyak kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu komoditas pertanian yang menjadi unggulan di Indonesia. Tercatat dari tahun ke tahun devisa yang disumbangkan melalui sektor ini memiliki trend yang meningkat (BPS, 2010). Hal inilah yang menjadi dasar pemerintah untuk memberikan perhatian khusus kepada sektor perkebunan ini. Peningkatan fasilitas juga dilakukan oleh pemerintah melalui kredit pinjaman bagi petani yang ingin membuka lahan dan operasional dalam perkebunan rakyat. CPO juga menjadi bahan baku bagi berbagai industri hilir seperti industri minyak goreng, margarin, sabun, kosmetik farmasi, makanan dan sebagainya. Indonesia merupakan pemegang pangsa pasar CPO terbesar didunia. Tercatat 44 persen dari produksi negara penghasil CPO di dunia dikuasai oleh Indonesia, dan urutan berikutnya adalah Malaysia dengan persentase 41 persen. Sebenarnya perbedaan pangsa pasar antara Indonesia dan Malaysia sangat sedikit sehingga perlu ada upaya untuk dapat terus mempertahankan posisi Indonesia sebagai produsen nomor satu CPO dalam hal produksi. Hal ini membuat
37
Indonesia sangat berpengaruh dalam perdagangan CPO dunia. Sebagai produsen nomor satu, Indonesia memiliki kekuatan tawar yang tinggi dalam hal pemasok CPO ke negara-negara dunia, khususnya India dan Cina. Di sisi lain, posisi Indonesia sebagai pemegang pangsa pasar CPO nomor satu di dunia tidak mencerminkan kemampuan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Faktanya sampai sekarang Indonesia masih mengimpor CPO dari Malaysia untuk memenuhi kekurangan pemenuhan kebutuhan dalam negeri Indonesia. Tercatat pada tahun 2010 sebesar 70.000 ton CPO diimpor Indonesia dari salah satu negara penghasil CPO tersebut. Untuk itu perlu ada keseimbangan antara porsi CPO yang diekspor dan digunakan untuk pemenuhan konsumsi domestik. Perencanaan produksi perlu dilakukan agar di masa depan mampu mengimbangi pemenuhan kebutuhan dalam negeri tetapi juga mengutamakan ekspor untuk mempertahankan pangsa pasar Indonesia selain itu juga sebagai sumber devisa dalam negeri. Untuk itu perlu dilakukan peramalan tentang ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO, untuk melihat kesanggupan produsen CPO Indonesia dalam memenuhi permintaan ekspor dan domestik. Namun perlu juga mengetahui hubungan antara ekspor-impor CPO terhadap harga CPO dan selisih harga antara harga nasional (Medan) dengan harga internasional (Rotterdam dan Malaysia). Hal ini perlu dilakukan agar terlihat suatu kecenderungan perdagangan CPO Indonesia, apakah ekspor impor yang dilakukan Indonesia berhubungan dengan selisih harga atau murni karena harga CPO internasional saja. Peramalan ekspor digunakan sebagai dasar untuk melihat trend ekspor yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang. Peramalan konsumsi domestik juga digunakan untuk melihat trend yang akan terjadi di masa yang akan datang. Peramalan produksi digunakan untuk melihat kemampuan produsen memenuhi permintaan CPO baik dari segi ekspor maupun konsumsi domestik. Sedangkan analisis hubungan selisih harga nasional-internasional terhadap ekspor-impor CPO digunakan sebagai pertimbangan untuk menyusun kebijakan di masa yang akan datang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data historis ekspor-impor tahun 1981 sampai 2010, konsumsi domestik dari 1980-2010, dan produksi dari
38
tahun 1967-2010. Sedangkan untuk harga, menggunakan data historis harga pasar Medan dari tahun 1998-2010, harga pasar internasional pasar Rotterdam dari tahun 1998-2010, dan harga pasar Malaysia dari 1998-2010. Data ekspor-impor dan harga dianalisis dengan metode analisis asosiasi/hubungan rank Spearman. Melalui metode analisis asosiasi/hubungan tersebut data ekspor-impor dianalisis untuk dicari hubungannya dengan harga internasional dan selisih harga nasional-internasional. Pertama, data ekspor CPO Indonesia yang terjadi dari tahun 1998-2010 dianalisis apakah memiliki hubungan dengan harga internasional (Rotterdam) dan apakah ekspor CPO juga memiliki hubungan dengan selisih harga
nasional (Medan)-internasional (Rotterdam).
Kedua, dianalisis apakah impor yang terjadi dari tahun 1998-2010 memiliki hubungan terhadap harga internasional (Malaysia) dan apakah impor CPO juga memiliki hubungan dengan selisih harga
nasional (Medan)-internasional
(Malaysia). Data ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO diolah dengan model peramalan kuantitatif time series ARIMA (Box-Jenkins). Adapun langkah-langkah peramalan dilakukan melalui empat tahap, antara lain : 1). Identifikasi pola data, 2). Estimasi 3). Evaluasi kelayakan model, dan 4). Peramalan ekspor, konsumsi domestik dan produksi dari tahun 2011 sampai 2015. Berdasarkan hasil analisis kita dapat mengetahui model yang paling tepat digunakan untuk menjelaskan deret data ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO yang diperoleh. Model yang paling baik dipilih berdasarkan terpenuhinya keenam kriteria kelayakan yang telah dijelaskan sebelumnya. Dari hasil ramalan yang diperoleh tersebut, akan terlihat laju ekspor, laju konsumsi domestik dan laju pertumbuhan produksi CPO. Kemudian laju pertumbuhan ekspor, konsumsi domestik, produksi dan hubungan antara harga serta
selisih harga nasional-internasional terhadap volume ekspor-impor
digunakan sebagai pertimbangan untuk menyusun kebijakan. Perilaku eksportir dan importir CPO yang diperoleh kemudian dianalisis dan menjadi dasar untuk merumuskan kebijakan ekspor-impor CPO. Pada dasarnya kebijakan yang disusun didasari pada tujuan mempertahankan posisi pangsa pasar CPO Indonesia di dunia dan meminimalisir impor CPO.
39
Apabila laju ekspor dan laju konsumsi domestik lebih besar dari laju produksi CPO maka kebijakan yang disusun difokuskan untuk pengoptimalan ekspor tetapi tetap memenuhi konsumsi domestik dengan cara peningkatan produksi
melalui
peremajaan
atau
perluasan
lahan
dan
meningkatkan
produktivitas. Apabila laju ekspor dan laju konsumsi domestik kurang dari laju produksi maka kebijakan yang disusun difokuskan pada peningkatan ekspor untuk mempertahankan posisi pangsa pasar Indonesia di perdagangan intenasional bahkan meningkatkannya, dan peningkatan produksi produk turunannya sebagai nilai tambah dari produk kelapa sawit agar mampu memenuhi konsumsi dalam negeri seperti minyak goreng dan margarin untuk memperkecil kemungkinan melakukan impor produk turunan CPO. Kebijakan yang diambil didasarkan pada pertimbangan laju pertumbuhan produksi dan kecenderungan ekspor-impor terhadap harga dan selisih harga yang terjadi, baik harga nasional (Medan) maupun harga internasional (Rotterdam dan Malaysia). Bagan kerangka pemikiran dalam penelitian ini ditampilkan pada Gambar 9.
40
Indonesia pemegang pangsa pasar CPO nomor satu didunia, masih impor untuk memenuhi konsumsi domestiknya.
Keseimbangan antara porsi ekspor CPO dan porsi konsumsi domestik CPO Indonesia
Ekspor-Impor CPO
Ekspor CPO
Produksi CPO
Konsumsi Domestik CPO
Harga CPO internasional (Rotterdam dan Malaysia)
Selisih harga CPO InternasionalNasional
Proyeksi hingga tahun 2015
Rekomendasi kebijakan untuk meminimalisir impor CPO namun tetap mempertahankan atau terus meningkatkan ekspor CPO
Gambar 9.
Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Peramalan Ekspor, Konsumsi Domestik dan Produksi CPO Indonesia
Keterangan : ....... : proses analisis dan pengolahan : uji analisis hubungan
41
IV. METODE PENELITIAN 1.1
Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data time series
tentang ekspor-impor, konsumsi domestik, produksi dan harga nasional serta harga internasional CPO. Data ekspor-impor, konsumsi domestik dan produksi CPO adalah data yang tercatat dan dilakukan oleh Indonesia dari beberapa pihak, sedangkan data harga CPO nasional dan internasional adalah data dengan berbasiskan pada pasar Medan pada harga CPO nasional dan pasar Rotterdam serta pasar Malaysia pada harga internasional. Pasar Medan merupakan pasar CPO nasional yang menjadi barometer industri kelapa sawit hulu hingga hilir, Medan memiliki PT. Pelabuhan Indonesia (PELINDO) di Belawan yang mengekspor CPO ke negara-negara dunia. Pemerintah provinsi Sumatera Utara dalam workshop North Sumatera Palm Oil Valley (NSPO) telah bekerjasama dengan PTPN II, III, IV, Kementrian BUMN dan Pusat Pengembangan Kelapa Sawit (PPKS) untuk menjadikan Belawan sebagai pelabuhan internasional sebagai pesaing Rotterdam dan Malaysia dalam menentukan harga CPO1. Sedangkan pasar Malaysia merupakan pasar CPO yang menjadi sumber impor CPO Indonesia, dengan mengetahui harga CPO Malaysia penelitian ini dapat membandingkan dengan harga CPO di pasar Medan dan yang terjadi di pasar Malaysia. Sedangkan pasar Rotterdam di Belanda merupakan pasar CPO internasional yang menjadi acuan dunia dalam perdagangan CPO pasar berjangka, bahkan Indonesia masih menjadikan harga CPO Rotterdam sebagai acuan harga CPO dalam Bursa Komoditi Derivatif Indonesia (BKDI). Hal ini disebabkan ekspor CPO ke Uni Eropa memiliki volume yang besar. Data ekspor-impor dimulai dari tahun 1981 sampai 2010 dengan sumber Direktorat Jenderal Perkebunan dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Data konsumsi domestik dimulai dari tahun 1980 sampai 2010 dengan sumber Biro Pusat Statistik dan United State Departement of Agriculture (USDA). Data produksi dimulai dari tahun 1967 sampai tahun 2010 dengan sumber Direktorat Jenderal Perkebunan dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Data harga 1
www.hariansumutpos.com .2009.Medan Pusat Perdagangan CPO /2009/12/21866 [28 Februari 2011]
nasional (Medan) adalah data harga spot market dan harga internasional Rotterdam adalah data harga pasar berjangka yang keduanya dimulai dari tahun 1998 sampai 2010 dengan sumber Badan Pengawas Pasar Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), laporan mingguan Bank Indonesia dan BPS, sedangkan untuk data harga Malaysia bersumber dari www.indexmundi.com dari tahun 1998-2010. Data yang terkumpul diperoleh melalui penelusuran internet, pencarian melalui perpustakaan IPB, perpustakaan Riset Perkebunan Nasional (RPN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 1.2 Metode Pengolahan Data Metode pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti menggunakan tiga metode, yaitu : 1). Metode peramalan Box-Jenkins; 2). Metode analisis asosiasi rank Spearman dan 3) Metode deskriptif Combining Forecast. Ketiga metode ini digunakan untuk menjawab tujuan yang ada pada penelitian ini. Tujuan yang dimaksud adalah : 1. Menetapkan model ARIMA yang paling cocok untuk memproyeksikan ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO Indonesia. 2. Mengidentifikasi hubungan antara volume ekspor-impor CPO Indonesia terhadap harga CPO internasional dan selisih harga nasional-internasional. 3. Memproyeksikan ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO. 4.2.1. Metode Peramalan Box-Jenkins (ARIMA) Metode peramalan yang digunakan adalah metode Box-Jenkins (ARIMA). Metode ini digunakan sesuai dengan hasil analisis autocorrelation data. Menurut Hanke (1996) metode Box-Jenkins (ARIMA) dapat digunakan pada data yang bersifat stasioner, nonstasioner (mengandung unsur trend) dan data yang mengandung komponen musiman. Data yang diperoleh adalah data historis yang cukup panjang menjadi keuntungan dalam pengolahan data menggunakan metode peramalan kuantitatif ini. Tetapi yang penting dalam proses pemilihan metode peramalan adalah penyimpangan atau residual yang dimiliki dari hasil setiap metode yang digunakan. Metode Box-Jenkins (ARIMA) adalah metode terbaik yang memiliki MAPE (Mean Absolute Percentage Error) terkecil, artinya metode
43
ini memiliki persentase penyimpangan hasil ramalan paling kecil dari metode peramalan lainnya. Sedangkan metode yang digunakan untuk meramalkan ekspor, konsumsi domestik serta produksi CPO adalah model peramalan ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Melalui metode ini dihasilkan model-model tentatif yang akan diuji kelayakannya dengan prosedur formal untuk mencari model terbaik yang akan digunakan untuk meramal ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO yang terjadi di masa yang akan datang. Pengolahan data dilakukan dengan software Minitab13.2 . Adapun langkah-langkah yang dijalankan dalam pengolahan data adalah sebagai berikut : 1)
Identifikasi Model Tentatif Hal yang perlu diperhatikan sebelum kita menentukan model awal atau model tentatif dari metode ARIMA adalah melihat komponen pola data. Model ARIMA mengasumsikan bahwa peramalan dapat dilakukan apabila data telah berfluktuasi secara konstan di antara rataan dan ragamnya atau telah stasioner. Untuk melihat kestasioneran data, dapat dilihat melalui plot data dan analisis autokorelasi. Rumus untuk mencari koefisien autokolerasi adalah sebagai berikut (Henke et all., 2003). ∑
Dimana : rk Y Yt Yt-k
( ∑
̅ )( (
̅) ̅)
= koefisien autokorelasi untuk selang k periode (-1 < rk < 1) = mean nilai deret waktu = observasi pada periode waktu t = obsevasi pada k periode waktu lebih awal atau periode waktu t-k
Data yang masih tergabung dalam unsur trend yang tampak apabila diplotkan harus terlebih dahulu dilakukan pembedaan (differencing) secara regular. Sedangkan apabila data mengandung unsur musiman, maka perlu dilakukan pembedaan secara musiman pula. Data yang memiliki ragam yang tidak stasioner (trend yang tidak konstan) dapat diatasi dengan melakukan transformasidengan mengubahnya ke dalam bentuk akar, logaritma, atau logaritma natural (Ln). Rumus pembeda regular dan musiman adalah :
44
a) Pembeda regular
: Zt = Yt – Yt-1
b) Pembeda musiman
: Zt = Yt – Yt-L
Dimana : Zt : nilai pembedaan regular Yt : data pada periode t Yt-1 : data pada satu periode sebelum t L : jumlah periode musiman dalam satu tahun Setelah dilakukan pembedaan, untuk menentukan stasioneritas dari data, kita dapat melihat dari plot Autocorrelation Function (ACF) yang merupakan kumpulan dari koefisien-koefisien autokorelasi (rk). Untuk model ARIMA regular, data dapat disebut stasioner apabila nilai rk sudah menurun mendekati nol pada selang ketiga dalam lima selang pertama. Nilai rk yang kembali berbeda nyata dengan nol setelah selang kelima tidak diperhatikan dan data dianggap sudah stasioner. Setelah
mendapati
data
yang
stasioner,
berikutnya
dilakukan
pembentukan model tentatif yang dilihat dari ACF dan Partial Autocorrelation Function (PACF). ACF mewakili ordo MA dan PACF mewakili ordo AR. Penentuan model ARIMA regular dan seasonal dijelaskan pada Tabel 6. Tabel 6. Penentuan Ordo AR dan MA Untuk Membentuk Model ARIMA Tentatif Regular dan Seasonal. Pola ACF dan
Regular
Seasonal
PACF Pola ACF (MA)
Dilihat dari nilai rk mendekati nol
Dilihat
dari
atau sebelum thit < 2 pada 5 selang mendekati pertama.
nilai nol
rk atau
sebelum thit < 1, 25 pada setiap
selang
periode
musiman L, 2L, 3L, dst. Pola PACF (AR)
Dilihat dari nilai rkk mendekati nol
Dilihat
dari
atau sebelum thit < 2 pada 5 selang mendekati pertama.
nilai nol
rk atau
sebelum thit < 2 pada L+2 atau thit < 1,67 pada selang periode musiman 2L+2, 3L+2, 4L+2 dst.
Sumber : Hanke, et all, 1996
45
Beberapa kemungkinan model yang dapat terjadi dari pola ACF dan PACF diterangkan pada Tabel 7. Tabel 7. Beberapa Kemungkinan Model Berdasarkan Pola ACF dan PACF Model
Pola ACF
Pola PACF
AR (p)
dying down
Cut off setelah selang p (p = 1 atau p = 2)
MA (q)
Cut off setelah selang p
dying down
(p = 1 atau p = 2) ARIMA (p,d,q)
dying down
dying down
Sumber : Hanke, et al, 1996
2)
Estimasi Tahap selanjutnya dalam melakukan peramalan dengan metode BoxJenkins (ARIMA) adalah menentukan nilai-nilai dalam parameter atau koefisien dari model tentatif. Estimasi yang dilakukan dengan bantuan software Minitab13.2 ini juga ditunjukan untuk melihat ignifikansi dari suatu parameter. Suatu parameter dikatakan signifikan atau berbeda nyata dari nol apabila nilai uji slope (thit) lebih besar dari nilai t pada tabel dengan selang kepercayaan tertentu (5 persen). Atau dapat dilihat dari p-value harus lebih kecil dari selang kepercayaan α (p-value < α). Selain itu, pada tahap ini juga dilakukan perhitungan nilai MSE dan MAPE yang bermanfaat bagi pencocokan dan perbandingan model-model yang berbeda (Hanke, et all, 1996).
3)
Evaluasi Model Terdapat enam kriteria yang harus dilihat untuk mengetahui kelayakan model ARIMA, diantaranya (Firdaus, 2006) : a) Proses iterasi harus konvergen. Bila kondisi ini terpenuhi, maka pada sassion output Minitab13.2 akan tampil pernyataan, “relative change in each estimate less than 0,0010”. b) Parameter yang diestiamsi harus sudah signifikan atau sudah berbeda dengan nol. Hal ini dinyatakan dengan nilai p-value dari parameter AR atau MA yang kurang dari 0,05.
46
c) Kondisi inversibilitas dan stasioneritas model terpenuhi. Invertibilitas merupakan kondisi dimana seluruh penjumlahan koefisien parameter MA lebih kecil dari 1. Sedangkan stasioneritas terpenuhi apabila jumlah koefisien parameter AR lebih kecil dari 1. Penjumlahan secara absolut antara koefisien parameter AR dan MA reguler dan seasonal dilakukan secara terpisah. d) Parsimonitas model. Hal ini berarti dari pemilihan model, dipilih model yang memiliki bentuk paling sederhana. Sebagai contoh, model ARIMA (1,1,1) lebih baik daripada model ARIMA (2,1,2). e) Residual (error) peramalan bersifat acak. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah sekumpulan autokolerasi dari nilai sisa telah bersifat acak atau masih memiliki pola. Model yang baik adalah model yang memiliki komponen error-nya tidak dapat digunakan untuk menjelaskan ramalan. Uji ini dilihat dengan menggunakan indikator Ljung-Box Q, apabila pvalue telah lebih besar dari 0,05 maka residual atau error model tersebut telah menyebar acak (random). f)
MSE terkecil. Nilai rataan error kuadrat dari model ARIMA yang kita dapatkan harus menampilkan hasil yang paling kecil apabila dibandingkan dengan model alternatif ARIMA lainnya. Selain dari MSE, evaluasi untuk mendapatkan model terbaik pun dilihat dari nilai Mean Absolute Percentage Error (MAPE) terkecil dan Mean Percentage Error (MPE) yang mendekati nol. Metode peramalan dengan nilai MSE terkecil berarti hasil ramalan lebih mendekati kenyataan dan dapat menjelaskan fluktuasi pola data secara lebih akurat. Nilai MAPE mengindikasikan besarnya penyimpangan yang terjadi antara galat ramalan dibandingkan dengan nilai aktual deret. Sementara nilai MPE digunakan untuk melihat bias tidaknya teknik peramalan, nilai MPE yang baik adalah yang mendekati nol. Apabila nilai MPE positif maka hasil peramalan yang dilakukan mengalami overestimate, sedangkan bila nilai MPE negatif maka ramalan mengalami underestimate (Firdaus, 2006). Rumus untuk menghitung MSE, MAPE dan MPE adalah :
47
∑
∑
∑
̂)
(
|
(
̂
̂
|
)
Dimana : = data aktual untuk periode ke-t ̂ = data ramalan untuk periode ke-t ̂) ( = komponen error untuk pengamatan data ramalan n = banyaknya data Apabila model tentatif yang merupakan model awal tidak memenuhi seluruh atau sebagian kriteria tersebut, maka perlu menentukan model alternatif lain dengan menaikkan atau menurunkan ordo AR atau MA satu per satu (overfitting atau underfitting). Hal ini dilakukan sampai didapat metode yang paling memenuhi keenam kriteria kelayakan model yang telah disebutkan diatas. 4)
Peramalan Model yang telah didapat kemudian dijadikan untuk melakukan peramalan ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO Indonesia. Data yang diperoleh untuk penelitian ini dimulai dari 1981-2010 untuk data ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO, sehingga sudah memenuhi kriteria yang dibutuhkan. Peramalan dilakukan untuk lima tahun kedepan dengan memperhatiakan masa panen kelapa sawit membutuhkan waktu sekitar empat tahun dan mulai optimal pada tahun kelima dari masa tanamnya. Peramalan dengan metode ARIMA dari model yang didapat terdiri dari model autoregessive (AR) dan model moving average (MA). Model autoregressive diterjemahkan dalam persamaan sebagai berikut : EKSPt = φ0 + φ1PRODt-1 + φ2PRODt-2 +....+ φpPRODt-p + εt KONSMt = θ 0 + θ1KONSMt-1 + θ2KONSMt-2 +....+ θpKONSMt-p + εt 48
PRODt = τ0 + τ1PRODt-1 + τ2PRODt-2 +....+ τpPRODt-p + εt Keterangan : EKSPt KONSMt PRODt φ θ τ εt
: ekspor CPO periode ke-t : konsumsi domestik CPO periode ke-t : produksi CPO periode ke-t : parameter atau koefisien model AR untuk ekspor (phi) : parameter atau koefisien model AR untuk konsumsi domestik (theta) : parameter atau koefisien model AR untuk produksi (tau) : komponen error periode ke-t untuk produksi dan ekspor (epsilon)
Sedangkan persamaan matematik untuk bentuk umum model moving average (MA) untuk peramalan adalah sebagai berikut : EKSPt = μt + εt - ω1EKSPt-1 + ω2EKSPt-2 +....+ ωpEKSPt-p KONSMt = μt + εt - υ1KONSMt-1 + υ2KONSMt-2 +....+ υpKONSMt-p PRODt = μt + εt - ρ1PRODt-1 + ρ2PRODt-2 +....+ ρpPRODt-p Dimana : μt : mean konstanta proses ω : parameter atau koefisien model MA untuk ekspor CPO (omega) υ : parameter atau koefisien model MA untuk konsumsi domestik CPO (upsilon) ρ : parameter atau koefisien model MA untuk produksi CPO (rho) Sehingga persamaan dalam bentuk umum dari model ARMA, yang merupakan gabungan dari model autoregressive (AR) dan moving average (MA) adalah sebagai berikut : EKSPt = φ0 + φ1EKSPt-1 + φ2EKSPt-2 + .... + φpEKSPt-p + εt - ω1εt-1 + ω2εt-2 +....+ ωpεt-p KONSMt = θ 0 + θ1KONSMt-1 + θ 2KONSMt-2 + .... + θ pKONSMt-p + εt υ1εt-1 + υ2εt-2 +.... + υpεt-p PRODt = τ0 + τ1PRODt-1 + τ2PRODt-2 + .... + τpPRODt-p + εt - ρ1εt-1 + ρ2εt-2 +....+ ρpεt-p
49
Apabila terdapat pembedaan (differencing), maka variabel dependent harus diubah dalam bentuk pembedanya (Zt) sesuai dengan banyaknya pembedaan yang dilakukan. 5) Backshift Operation Backshift operation digunakan untuk memudahkan pemodelan ARIMA (p,d,q). Pembedaan yang dilakukan dari variabel dependent dapat dengan mudah dituliskan dengan motode ini. Persamaan umum backshift operation dari variabel yang sudah di differencing adalah : Zt = (1-B)dYt Dimana : Zt (1-B) d Yt
: pembedaan (differencing) data : koefisien backshift operation : differencing : data pada periode t
Sehingga persamaan umum untuk model ARIMA (p,d,q) untuk ekspor, konsumsi domestik dan produksi adalah sebagai berikut : (1- φ1B - φ2B2 -....- φpBp ) (1-B)dEKSPt = φ0+ εt - ω1Bεt + ω2B2εt +....+ ωqBqεt (1- φ1B - φ2B2 -....- φpBp ) (1-B)dKONSMt = φ0+ εt - ω1Bεt + ω2B2εt +....+ ωqBqεt (1- φ1B - φ2B2 -....- φpBp ) (1-B)dPRODt = φ0+ εt - ω1Bεt + ω2B2εt +....+ ωqBqεt 4.2.2. Metode Analisis Asosiasi Rank Spearman Metode yang digunakan untuk menyatakan hubungan antara eksporimpor CPO Indonesia terhadap harga CPO Rotterdam dan selisih harga harga nasional-internasional adalah metode analisis asosiasi rank Spearman. Variabelvariabel tersebut merupakan variabel yang diuji berdasarkan teori ekonomi, yang menyatakan jumlah permintaan dan penawaran dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri. Analisis asosiasi rank Spearman adalah salah satu metode analisis asosiasi/hubungan yang menggunakan skala data minimal ordinal. Berikut adalah hipotesis-hipotesis yang diajukan peneliti : 1) Hipotesia antara ekspor CPO terhadap harga CPO Rotterdam H0 : Tidak ada hubungan antara harga CPO Rotterdam dengan ekspor CPO
50
H1 : Ada hubungan antara harga CPO Rotterdam dengan ekspor CPO 2) Hipotesis antara ekspor CPO terhadap selisih harga Rotterdam-Medan H0 : Tidak ada hubungan antara selisih harga CPO Medan-Rotterdam dengan ekspor CPO H1 : Ada hubungan antara selisih harga CPOMedan-Rotterdam dengan ekspor CPO 3) Hipotesis antara impor terhadap harga CPO Malaysia H0 : Tidak ada hubungan antara harga CPO Malaysia dengan impor CPO H1 : Ada hubungan antara harga CPO Malaysia dengan impor CPO 4) Hipotesis antara impor terhadap selisih harga CPO Medan-Malaysia H0 : Tidak ada hubungan antara selisih harga CPO Medan-Malaysia dengan impor CPO H1 : Ada hubungan antara selisih harga CPO Medan-Malaysia dengan impor CPO Kemudian dari data ekspor-impor dan harga nasional-internasional serta selisih antara harga nasional dengan harga internasional di-ranking dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Pengolahan data dilakukan dengan software SPSS 11.5 for Windows. Pengolahan data dengan SPSS 11.5 menghasilkan koefisien korelasi (rs) antara harga dan selisih harga nasional maupun internasional terhadap ekspor-impor CPO yang dilakukan Indonesia. Koefisien korelasi inilah yang menyatakan kekuatan hubungan dari tiap variabel dengan taraf nyata α. Berikut adalah persamaan yang digunakan untuk mencari koefisien korelasi : ∑ (
)
( )
( )
dengan, ∑
∑
Dimana : ( )
R(Yi ) d n
: koefisien korelasi : peringkat untuk sample Xi : peringkat untuk sample Yi : selisih antara Xi dengan Yi : jumlah sample
51
Setelah didapat koefisien korelasi kemudian koefisien korelasi yang diperoleh dibandingkan dengan nilai kritis koefisien korelasi (Lampiran 1) dengan taraf nyata yang telah ditentukan. Sebagai contoh tolak H0 apabila nilai mutlak rs hitung
lebih besar dari nilai mutlak rs tabel dengan taraf nyata α. Artinya, sebagai
contoh, ekspor memiliki hubungan lurus dengan harga internasional. 4.2.3. Metode Deskriptif Combining Forecast Menurut Hanke (1996) salah satu cara untuk menetapkan hal apa yang harus dilakukan di masa sekarang untuk mengantisipasi atau menuju suatu tujuan adalah dengan cara melihat kombinasi dari beberapa hasil ramalan yang telah dilakukan. Metode ini cukup efektif, selain dari beberapa metode peramalan kualitatif lainnya seperti metode Delphi dan metode cluster, karena metode ini berbasis pada metode peramalan kuantitatif yang diintrepetasikan dari beberapa hasil peramalan. Metode ini digunakan untuk mengkombinasikan hasil ramalan ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO serta hubungan antara harga CPO dan volume ekspor-impor CPO Indonesia. Melalui metode ini didapatkan proyeksi permintaan CPO dalam bentuk ekspor dan konsumsi domestik, selain itu juga didapatkan proyeksi penawaran CPO dalam bentuk produksi CPO selama lima tahun kedepan. Dengan demikian dapat dilihat kemampuan produsen CPO untuk memenuhi permintaan CPO dalam bentuk ekspor maupun konsumsi domestik. Proyeksi ini dihubungkan dengan hasil analisis korelasi antara harga CPO terhadap volume ekspor-impor CPO, sehingga diperoleh suatu rekomendasi kebijakan untuk meminimalisir impor CPO dengan cara menyeimbangkan antara permintaan CPO dan penawaran CPO.
52
V. ANALISIS POLA EKSPOR, KONSUMSI DOMESTIK DAN PRODUKSI CPO INDONESIA
5.1. Analisis Pola Data 5.1.1. Ekspor Ekspor CPO Indonesia sudah mulai dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Tetapi plot data yang akan dianalisis hanya beracuan pada data dari tahun 1981-2010. Ekspor CPO Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 26,97 persen di setiap tahunnya.
18000000 16000000 14000000
ton
12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0 198119831985198719891991199319951997199920012003200520072009
Gambar 10. Ekspor CPO Indonesia (1981-2010) Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan dan PPKS, 2010 (diolah).
Berdasarkan Gambar 10 pola ekspor CPO Indonesia memiliki trend meningkat dari tahun ke tahun. Trend peningkatan ekspor tampak cukup fluktuatif, ini berarti selalu ada peningkatan dan penurunan ekspor dari tahun sebelumnya, namun secara garis besar ekspor CPO Indonesia memiliki trend meningkat. Peningkatan ekspor tertinggi terjadi pada tahun 1985 dengan laju peningkatan sebesar 332,36 persen, dari 142.660 ton pada tahun 1984 menjadi 616.815 ton pada tahun 1985. Pergerakan ini diawali dari meningkatnya harga ekspor pada tahun 1984. Pada saat itu pemerintah menanggapinya dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Perdagangan No. 48/KMK/001/84 yang menetapkan pengendalian ekspor CPO dan produk sejenisnya melalui pajak
ekspor sebesar 37,18 persen. Hal ini berdampak langsung terhadap harga CPO dalam negeri yang meningkat sehingga meningkatkan penjualan CPO ke pasar domestik saat itu. Tercatat konsumsi domestik mampu menyerap hingga lebih dari 80 persen dari total produksi CPO saat itu. Tentunya hal ini berakibat penurunan volume ekspor ke negara-negara tujuan seperti Jepang, Cina, India dan Belanda. Tercatat keputusan Mentri Perdagangan ini menurunkan ekspor dari tahun 1983 sebesar 345.777 ton menjadi 142.660 ton. Hal ini menyebabkan kelesuan ekspor CPO Indonesia. Kelesuan ekspor ini ditanggapi oleh pemerintah dengan mengeluarkan keputusan Mentri Perdagangan No.549/KMK.001/86 untuk meningkatkan ekspor CPO. Namun sebenarnya permintaan dalam negeri sudah kembali stabil dan turun pada tahun 1985, sehingga Indonesia kembali meningkatkan ekspor CPO hingga 332,26 persen dari tahun sebelumnya. Selain peningkatan ekspor CPO yang terjadi selama dekade 30 tahun ini, ada juga penurunan ekspor CPO yang terjadi. Penurunan ekspor terjadi pada tahun 1984, 1986, 1989, 1992, 1995, 1998, dan 2003 (Gambar 1). Penurunan ekspor CPO tertinggi terjadi pada tahun 1984 sebesar 58,74 persen, seperti yang dijelaskan sebelumnya hal ini terjadi karena peningkatan harga CPO dunia yang membuat pemerintah menetapkan pajak ekspor sebesar 37,18 persen sehingga konsumsi CPO dalam negeri meningkat drastis yang disebabkan kondisi negara saat itu. Pada perkembangannya tahun 1994 di awal September pemerintah memberlakukan pajak ekspor apabila harga CPO diatas US$ 435/ton saja, sedangkan saat itu pergerakan harga menunjukkan peningkatan harga CPO dunia sebesar US$ 525/ton. Oleh karena itu tindakan pemerintah tersebut berdampak di tahun 1995, yaitu penurunan ekspor CPO sebesar 20 persen (Hansen, 2008). Pada pertengahan tahun 1997, rupiah melemah terhadap dollar dan ini mendorong ekspor CPO besar-besaran karena harga yang diterima eksportir lebih tinggi bila dikurskan ke rupiah. Namun di sisi lain inflasi terjadi di dalam negeri termasuk harga minyak goreng yang melambung dan bahkan langka. Kelangkaan ini diduga merupakan aksi para spekulan yang menimbun untuk memperoleh keuntungan dari harga yang meningkat (Agustian A. et. al., 2002). Sehingga pada tahun 1998 pemerintah melakukan penetapan pajak ekspor sebesar 60 persen untuk mengamankan pemenuhan konsumsi CPO dalam negeri
54
sebagai bahan baku minyak goreng. Hal ini menyebabkan penurunan ekspor pada tahun 1998 (Fauzi, et. al., 2002). Namun hal ini tidak berlangsung lama, hanya hingga April 1998, dan setelah itu pemerintah bersama IMF membuka lagi perdagangan kelapa sawit. Walaupun demikian pajak ekspor tetap di kenakan dari 40 sampai 60 persen berhubung terjadinya kelangkaan CPO di dalam negeri yang mengakibatkan booming harga dan kelangkaan minyak goreng di Indonesia. Hal ini juga diperkuat dengan peningkatan konsumsi CPO domestik sebesar 80 persen, seperti diketahui CPO adalah bahan baku minyak goreng. Harga minyak goreng pada tahun 1998 meningkat hingga 2,5 kali lipat dari harga di tahun sebelumnya1 . Disamping itu beberapa negara konsumen juga meningkatkan bea masuk impornya sehingga semakin mempersulit masuknya ekspor CPO Indonesia ke
negara-negara
tersebut.
Kejadian
ini
tercatat
telah
menimbulkan
ketidakstabilan politik Indonesia (Agustian A. et all., 2002). Pajak ekspor ini kemudian berangsur-angsur dikurangi menjadi 30 persen pada tahun 1999, dan menurun lagi menjadi 5 persen pada tahun 2000, bahkan menjadi 3 persen pada tahun 2001. Hal ini menyebabkan ekspor Indonesia meningkat pada periode tahun-tahun tersebut (Hansen, 2008). Peningkatan ekspor tanpa terjadi penurunan terjadi dari tahun 2000 sampai 2009. Hal ini diakibatkan harga CPO dunia memiliki trend meningkat yang cukup bagus dan tidak terlalu berfluktuasi seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini juga disebabkan produksi CPO dalam negeri memiliki trend meningkat pula. Namun pada tahun 2010 ekspor CPO Indonesia turun sebesar 2,7 persen karena pajak ekspor yang dikenakan naik menjadi
12,5 persen (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 2010). 5.1.2. Konsumsi Domestik Konsumsi CPO Indonesia menunjukkan trend meningkat.Walaupun demikian dapat dilihat pada Gambar 11. peningkatan konsumsi domestik dari tahun 1980-2010 ditandai dengan fluktuasi-fluktuasi yang tajam.
1
Sistem Informasi Terpadu Penembangan Usaha Kecil. 2010. Harga Minyak Goreng. www.bi.go.id. [4 April 2011]
55
6000000
5000000
ton
4000000
3000000
2000000
1000000
0
Gambar 11. Konsumsi CPO Domestik Indonesia Tahun 1980-2010 Sumber :
Biro Pusat Statistik, 2008 dan United State Departement of Agriculture, 2010 (diolah).
Mengacu pada Gambar 11, kenaikan dan penurunan yang tajam dari konsumsi CPO domestik ini merupakan salah satu wujud dari mekanisme pajak ekspor dan fluktuasi harga CPO di pasar Rotterdam selain dari permintaan CPO dalam negeri itu sendiri, sebagai bahan baku industri dalam negeri. Sebagai bukti saat tahun pada tahun 1984 terjadi peningkatan harga CPO dunia yang tinggi dan mendorong ekspor besar-besaran sehingga terjadi kelangkaan CPO dalam negeri pada awal tahun tersebut. Namun pemerintah mengenakan pajak ekspor untuk mengatasi hal tersebut sehingga volume ekspor pada saat itu menurun dan hasil produksi di arahkan pada penjualan ke dalam negeri sehingga konsumsi CPO saat itu naik drastis hingga 68 persen dari konsumsi CPO di tahun sebelumnya. Banyak kejadian yang mirip dengan kejadian pada tahun 1984, sebagai contoh lagi pada tahun 1992, saat itu harga CPO pasar Rotterdam meningkat menjadi 524 US$ dari 463 US$ dan ekspor menurun sebesar 5,8 persen dan konsumsi domestik naik 37,22 persen. Begitupun pada tahun 1994 dan 1998, konsumsi domestik meningkat sebesar 47,66 persen di tahun 1994 dan 73 persen di tahun 1998 (BAPPEBTI, 2011; PPKS, 2010).
56
Sebenarnya harga di pasar Rotterdam dan dunia merupakan acuan pemerintah untuk memutuskan berapa pajak ekspor yang harus dikenakan untuk mengkontrol volume ekspor Indonesia. Kenaikkan dan penurunan volume ekspor menunjukkan besarnya alokasi produksi CPO untuk pasar dalam negeri. Dengan demikian harga CPO Rotterdam dapat dijadikan indikator bagi fluktuasi volume konsumsi CPO domestik. Berikut adalah hasil analisis asosiasi dengan metode rank Spearman yang menunjukkan bahwa harga CPO Rotterdam berhubungan kuat dengan pola pergerakan konsumsi CPO domestik. Tabel 8. Korelasi Antara Konsumsi Domestik dan Harga CPO Rotterdam Correlations HARGA ROTTERDAM
KONSUMSI Spearman's rho
KONSUMSI
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
1,000
,550(*)
.
,034
15
15
,550(*)
1,000
,034
.
15
15
N HARGA ROTTERDAM
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Mengacu pada Tabel 8, terlihat bahwa konsumsi domestik memiliki hubungan yang signifikan di taraf nyata 0,05 dan memiliki hubungan positif satu sama lain. Artinya semakin tinggi harga CPO Rotterdam, semakin tinggi pula konsumsi CPO domestik. Ataupun sebaliknya, semakin rendah harga CPO Rotterdam, semakin rendah pula konsumsi CPO domestik. Namun konsumsi CPO domestik bukan hanya terjadi karena mekanisme pajak ekspor dan harga CPO pasar dunia (Rotterdam), melainkan juga dipengaruhi oleh permintaan dalam negeri itu sendiri. Permintaan industri dalam negeri, sebagai contoh industri minyak goreng sangat berpengaruh pada tingkat konsumsi CPO saat itu. Sebagai contoh pada tahun 1998 harga minyak goreng naik tajam dari Rp. 1527 menjadi Rp. 5449. Hal ini mendorong industri minyak goreng untuk memproduksi lebih banyak lagi dan hal itu tercatat meningkatkan konsumsi domestik sebesar 73,7 persen dari tahun sebelumnya (Bank Indonesia, 2009). Konsumsi CPO domestik dari tahun 2000-2010 tampak memiliki pola data yang tidak terlalu fluktuatif dengan trend meningkat. Hal ini disebabkan pola
57
perdagangan ekspor CPO Indonesia tidak terlalu sensitif terhadap perubahan pajak ekspor yang diakibatkan oleh perubahan harga CPO di pasar dunia (Lampiran 3). Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan permintaan konsumsi CPO sebagai bahan baku minyak goreng terus meningkat selama sebelas tahun belakangan ini. Terbukti dengan semakin banyaknya merk minyak goreng yang bermunculan pada periode 2005-2009, sebagai contoh SunCo, Sania, Tropical, Vico, Fortune, Minyakita, dan Kunci Mas. Daftar perusahaan yang mengolah CPO menjadi minyak goreng tercantum pada Lampiran 4. Selain itu industri pengolahan produk turunan kelapa sawit (selain minyak goreng) yang berorientasi ke pasar domestik maupun ekspor mengalami pertumbuhan. Pada tahun 2005 tercatat ada 420 unit pabrik pengolahan yang tersebar di 20 propinsi yang ada di Indonesia. Selain itu isu biofuel atau bahan bakar nabati gencar dibicarakan pada dekade ini, sehingga permintaan CPO domestik selalu meningkat dari tahun ke tahun. Menurut pedoman Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit edisi dua (Kementan, 2007), alokasi untuk CPO yang direncanakan pada tahun 2014 untuk biodiesel adalah sebesar 6,4 juta Ton. Hal ini tentunya harus dipikirkan secara matang karena produksi CPO juga harus mampu memenuhi konsumsi lain selain konsumsi untuk biodiesel. 5.1.3 Produksi CPO Pertama kali kelapa sawit diusahakan secara komersil di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1911-an. Pada saat itu, muncul ide dari pemerintahan HindiaBelanda untuk mengoptimalkan produksi tanaman dengan cara menyeleksi tanaman unggul yang tumbuh di Bogor dan Deli, untuk ditanam di Deli. Saat periode tersebut muncullah jenis kelapa sawit Deli Dura, yaitu kelapa sawit varietas Dura yang ditanam di Deli, Sumatera Utara. Luas perkebunan pertama yang dibuka di Deli dan Aceh mencapai 5123 Ha. Pola produksi CPO menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Produksi CPO Indonesia tidak pernah turun dari tahun 1980-2010, produksi selalu meningkat dengan laju peningkatan 12,32 Ton/tahun. Hal ini menunjukkan kelapa sawit merupakan salah satu primadona di sub-sektor perkebunan yang
58
pengusahaannya sangat dioptimalkan (Badrun, 2010; Suprihatini, 2001; Susila, 2004). Plot data produksi dapat dilihat pada Gambar 12. 25000000
20000000
ton
15000000
10000000
5000000
0
Gambar 12. Produksi CPO Indonesia Tahun 1980-2010 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010; PPKS, 2010 dan United State Departement of Agriculture, 2011
Pengusahaan kelapa sawit dilakukan oleh tiga pihak. Pertama adalah pihak pemerintah dalam bentuk perkebunan negara (PTPN) yang tersebar di beberapa propinsi di Indonesia. Sampai tahun 2010 perkebunan negara memilik luas areal perkebunan mencapai 616.575 ha dengan kontribusi sebesar 9,4 persen dari total produksi CPO Indonesia. Kedua adalah pihak swasta, perusahaan swasta biasanya memiliki pabrik pengolahan sendiri yang menghasilkan CPO dan produk turunannya seperti palm kernel oil (PKO) dan olein. Bahkan biasanya perusahaan perkebunan swasta memiliki pabrik pengolahan minyak goreng, beberapa diantaranya adalah PT. Sinarmas Group, Wilmar Internasional Group, Astra Agro Lestari Tbk., LONSUM Group, PT Salim Plantation, Asian Agri Group, dan Bakrie Plantation. Semua perusahaan itu ditunjuk oleh Mentri Pertanian pada tahun 2007. Ketiga adalah perkebunan rakyat. Perkebunan rakyat memiliki tingkat pertumbuhan yang tertinggi dibandingkan dengan perkebunan negara dan swasta (mengacu pada Gambar 1.). Luasan lahan yang dimiliki oleh perkebunan rakyat
59
pada tahun 2010 mencapai 3.314.663 ha dan memiliki kontribusi kepada total produksi sebesar 35,33 persen. Perkebunan rakyat tidak memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit sendiri, mereka menjual hasil panennya kepada pabrik pengolahan milik swasta atau negara. Bentuk kerjasama yang dilakukan berupa inti-plasma (PIR-Bun) yang berjalan sejak 1978. Produksi CPO yang terus meningkat dari tahun ke tahun menunjukkan pengusahaan kelapa sawit sangat dioptimalkan. Perluasan lahan selalu terjadi tiap tahunnya, tercatat pada tahun 2010 luasan lahan yang diusahakan adalah sebesar 7.824.623 ha (Lampiran 2). Namun jika dilihat dari produksi CPO yang sebesar 22.000.000 ton, produktivitas Indonesia masih rendah yaitu sebesar 2,8 ton/Ha. Produktivitas Indonesia kalah jauh dengan produktivitas Malaysia yaitu sebesar 4,5 ton/ha. Jika terus dibiarkan maka Indonesia bisa kalah dengan Malaysia, apabila Malaysia melakukan perluasan lahan. Hanya dengan lahan seluas 941.556 ha maka produksi Malaysia akan memiliki produksi yang sama dengan produksi Indonesia. Berdasarkan konsep kerjasama Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIRBun), dengan petani perkebunan rakyat bertindak sebagai plasma dan perkebunan swasta dan negara bertindak sebagai inti. Walaupun demikian tidak semua perkebunan rakyat menjalin bentuk kerjasama ini, ada perkebunan rakyat yang langsung menjual hasil panennya ke pabrik pengolahan kelapa sawit. Menurut Purwantoro (2008) berdasarkan hasil kajian, produktivitas kebun plasma ternyata dibawah kebun inti. Berikut adalah perbandingan produktivitas antara kebun inti dan plasma di beberapa daerah :
60
Tabel 9. Perbandingan Produktivitas Kebun Inti dan Kebun Plasma di Beberapa Daerah di Indonesia Tahun 2008 Produktivitas (ton/Ha/tahun) Daerah No Kebun Inti Kebun Plasma 1
Lampung
2,7
2,3
2
Sumatera Selatan
2,7
2,3
3
Kalimantan Barat
3,3
1,9
4
Kalimantan Timur
3,3
1,9
5
Sumatera Utara
4,8
4
6
Riau
4,8
4
3,6
2,7
Rata-rata Sumber : Purwantoro (2008)
Menurut Purwantoro (2008), perbedaan ini akibat pemeliharaan kebun petani rakyat (plasma) yang tidak sebaik pemeliharaan kebun inti, baik dari segi pemberian input berupa pupuk, bibit unggul dan pengendalian hama, serta dari segi kebersihan tanaman dan pemanenan. Selain itu petani rakyat (plasma) juga sering tidak memegang komitmen dalam penjualan tandan buah segar, petani sering melakukan penjualan ke luar bukan ke intinya, sehingga mengakibatkan kredit plasma tidak terbayar atau tidak lancar. Petani plasma juga banyak yang menjual kebunnya sehingga petani hanya penggarap saja Berdasarkan pola data historis ekspor, konsumsi domestik dan produksi tampak dari tahun ke tahun produksi CPO Indonesia selalu lebih kecil rendah ekspor dan konsumsi domestik CPO. Oleh karena itu perlu ada upaya dari berbagai pihak untuk meningkatkan produksi agar kekurangan ini dapat dipenuhi tanpa Indonesia perlu impor CPO dari luar.
61
VI. IDENTIFIKASI, ESTIMASI MODEL PERAMALAN TENTATIF, EVALUASI KELAYAKAN MODEL DAN HASIL RAMALAN 6.1 Ekspor 6.1.1 Identifikasi Model dan Estimasi Model Data ekspor yang dianalisis dalam penelitian ini memiliki trend meningkat dan tidak ada unsur siklus, sehingga perlu ada differencing untuk membuat pola data yang lebih stasioner. Dapat dilihat pada Gambar 13 data yang sudah dilakukan differencing masih memiliki pola trend sehingga perlu ada dilakukan differencing sekali lagi.
3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 -500000 -1000000 -1500000 -2000000
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28
5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 -1000000 -2000000 -3000000 -4000000
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28
Gambar 13. Data Ekspor Differencing Pertama dan Kedua. Data ekspor yang sudah dilakukan differencing dua kali menunjukkan pola menyebar di sekitar rataannya (stasioner). Setelah itu perlu dilakukan pemeriksaan Autocorrelation Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF). Dari hasil olahan Minitab13.2 (Lampiran 5) pola ACF menunjukkan cut off pada lag pertama, dengan |
| pada lag pertama masih
signifikan yang bernilai 3,04 dan kemudian turun drastis dengan |
| pada nilai
0,19. Sedangkan pada pola PACF menunjukkan pola dying down pada empat lag pertama dengan dua lag pertama masih signifikan (| berikutnya sudah signifikan (|
| > 2) dan dua lag
| < 2).
Dari pengamatan pola lag-lag ACF dan PACF differencing kedua maka diperoleh beberapa model tentatif. Model tentatif/sementara berupa model ARIMA (p,d,q) tanpa unsur musiman karena tidak didapati pada pola data ekspor adanya unsur siklus. Dengan ketentuan yang ada pada pada metode penelitian
didapatkan pola lag ACF cut off dan pola lag PACF dying down maka model tentatif memiliki ordo AR dengan nilai 0 dan memiliki ordo MA dengan nilai 1, setelah dilakukan differencing dua kali. Maka dapat dituliskan model tentatif yang diperoleh untuk ekspor CPO adalah ARIMA (0,2,1). 6.1.2 Evaluasi Kelayakan Model ARIMA (0,2,1) Pemeriksaan
kelayakan
model
ARIMA
(0,2,1)
tanpa
konstanta
menunjukkan bahwa kriteria konvergenitas, stasioneritas, invertibiltas, p-value pada parameter dan Ljung Box-Statistic (LJBQ) telah terpenuhi. Dapat dilihat pada Lampiran 7, model telah berhasil dibentuk setelah mengalami 8 kali interasi tetapi tidak menampilkan kalimat “relative change in each estimate less than 0,0010”tetapi menampilkan kalimat “Unable to reduce sum of square any ferther”. Hal ini berarti pengujian dengan delapan kali interasi tidak membuat data menjadi konvergen. Nilai parameter AR tidak dimiliki sehingga kriteria stasioneritas tidak perlu diuji untuk autoregresive. Untuk parameter MA kriteria invertibilitas terpenuhi karena nilai MA yang sebesar 0,8345 lebih kecil dari satu (1). Sedangkan pemeriksaan p-value pada parameter MA ternyata lebih kecil dari = 0,05. Nilai Ljung Box-Statistic (LJBQ) dalam bentuk p-value yang diamati pada lag ke-12 dan lag ke-24 adalah 0,097 dan 0,520, ternyata semuanya lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti error pada model ini telah menunjukkan pola yang acak. Namun untuk melihat apakah model ARIMA (0,2,1) memiliki nilai Mean Square Error (MSE) terkecil dan kesederhanaan atau parsimoni terbaik maka model tentatif harus dibandingkan dengan adalah beberapa model alternatifnya. Selain itu apakah ada model yang mampu memenuhi kriteria kelayakan yang tidak dimiliki oleh model tentatif tersebut. Membuat model alternatif dengan cara menaikan atau menurunkan nilai ordo AR atau MA model tentatif awal. Modelmodel alternatif yang didapat diantaranya : ARIMA (1,2,1), ARIMA (1,2,0), ARIMA (2,2,1), ARIMA (2,2,2) dan ARIMA (1,2,2). Perbandingan kelayakan model antara lima model alternatif dan satu model tentatif ditunjukkan pada Tabel 10.
63
Tabel 10.
Perbandingan Kelayakan Model Antara Lima Model Alternatif dengan Satu Model Tentatif Model ARIMA
Kriteria
Model ARIMA Alternatif
Tentatif
Kelayakan
ARIMA
ARIMA
ARIMA
ARIMA
ARIMA
ARIMA
(0,2,1)
(1,2,1)
(1,2,0)
(2,2,1)
(2,2,2)
(1,2,2)
Konvergenitas
X
√
√
X
√
X
Stasioneritas
-
√
√
X
√
√
Inversibilitas
√
MSE
7,86x10
√ 11
6,58x10 √
√
p-value Parsimonitas
Memenuhi √
LJBQ
√
11
10,02x10
11
√
5,413x10
√ 11
4,714x10
√ 11
8,492x1011
X
√
X
X
√
X
Memenuhi X
X
Terbaik
Berdasarkan perbandingan model tentatif dan lima model alternatif diatas, diketahui bahwa model ARIMA (0,2,1) bukanlah model terbaik. Model ARIMA (0,2,1) tidak memenuhi semua kriteria kelayakan model. Dapat dilihat model ARIMA (2,2,2) adalah model yang memenuhi semua kriteria kelayakan dan juga memiliki MSE terkecil. Walaupun model ini tidak memenuhi kriteria parsimoni atau kesederhaan model, tetapi hal itu tetap saja menunjukkan bahwa model ARIMA (2,2,2) adalah model terbaik. Sebenarnya prinsip parsimoni dapat dipenuhi oleh model ARIMA (0,2,1) dan ARIMA (1,2,0), tetapi model ini tidak memenuhi kriteria kelayakan konvergenitas dan LJBQ (p-value). Keempat model lainnya tidak dapat memenuhi beberapa kriteria kelayakan model. Sehingga peneliti memutuskan untuk memilih model ARIMA (2,2,2) sebagai model yang akan digunakan pada tahapan selanjutnya. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Model terpilih ARIMA (2,2,2) harus dibandingkan dengan sembilan metode peramalan lainnya. Tabel 11 menunjukkan bahwa model ARIMA (2,2,2) merupakan model terbaik karena memiliki Mean Percentege Absolute Error (MAPE)
terkecil.
Artinya
model
ARIMA
(2,2,2)
memiliki
persentase
penyimpangan/error yang kecil terhadap aktual dibandingkan sembilan metode peramalan lainnya. Berikut adalah Tabel 11 :
64
Tabel 11. Perbandingan Model ARIMA (0,2,1) dengan Sembilan Metode Peramalan Lainnya No.
Metode
MAPE
Model
Urutan MAPE
1
Trend Linier
211
Yt = -3558790 + 532662(t)
10
2
Trend Kuadratik
67
Yt = 1791290 – 470478(t) +
9
2
32359,4 (t ) 3 4
Exponential Growth S-Curve
19,53 19,55
Yt = 203763(1,16635t) 8
Yt = (10 )/(1,07630 +
2 3
592,605(0,845516t-1) 5
Moving Average
26
-
5
6
Single Exponential Smoothing
27
-
6
25
-
4
28
-
7
29
-
8
8,56
Backshift Operation
1
(SES) α = 1,19113 7
Double
Exponential
Smoothing (Model Holt) α = 0,13594; β = 2,41794 8
Winters Multiplikatif α = 0,2; β = 0,2; γ = 0,2
9
Winters Aditif α = 0,2; β = 0,2; γ = 0,2
10
ARIMA (0,2,1)
Berdasarkan Tabel 11, model ARIMA (2,2,2) menempati peringkat pertama dalam nilai Mean Percentage Absolute Error (MAPE). Peringkat kedua dimiliki oleh model Exponential Growth dengan nilai MAPE sebesar 19,53 persen, kemudian peringkat ketiga ditempati model S-Curve dengan nilai MAPE sebesar 19,55 persen. Perbandingan model ARIMA (2,2,2) dengan model-model tersebut menunjukkan bahwa model ini merupakan model yang terbaik untuk meramalkan proyeksi ekspor CPO Indonesia kedepannya. 6.1.3. Persamaan Matematik Model ARIMA (2,2,2) Penulisan model ARIMA (2,2,2) dilakukan dengan menggunakan kaidah backshift operation. Kaidah backshift operation digunakan untuk mempersingkat penulisan dari model ARIMA (2,2,2), penurunan matematis dari persamaan dasar backshift operation dapat dilihat pada Lampiran 6. Di bawah ini adalah backshift operation dari model ARIMA (2,2,2) :
65
Yt = φ0 + εt + BYt(2+φ1) - B2Yt(1 + 2φ1 – φ2) - B3Yt(2φ2 – φ1) + φ2 B4Yt - ω1Bεt + ω2B2εt Sedangkan persamaan matematik model ARIMA (2,2,2) adalah sebagai berikut : ̂
= 1,3211EKSPORt-1 – 0,1889EKSPORt-2 + 0,4145EKSPORt-3 – 0,5467EKSPORt-4 - 0,9179εt-1 + 0,5928εt-2
Terlihat bahwa persamaan matematik dari ekspor CPO Indonesia yang akan datang dipengaruhi oleh ekspor CPO pada tahun sebelumnya (EKSPORt-1), dua tahun sebelumnya (EKSPORt-2), tiga tahun sebelumnya (EKSPORt-3) bahkan hingga empat tahun sebelumnya (EKSPORt-4). Misalnya, untuk mendapatkan angka ramalan ekspor CPO tahun 2011 maka angka ramalan ekspor CPO tersebut dipengaruhi oleh volume ekspor setahun hingga empat tahun sebelumnya, yaitu volume ekspor CPO pada tahun 2010 sampai tahun 2007. Hal ini bukanlah kebenaran mutlak karena secara statistik model ARIMA (0,2,1) ini memiliki ratarata penyimpangan absolut kuadrat sebesar 8,56 persen. 6.1.4. Ramalan Ekspor CPO Peramalan ekspor dilakukan untuk melihat kemungkinan terbesar ekspor yang terjadi di masa yang akan datang. Peramalan ekspor CPO dilakukan sampai lima tahun ke depan dengan data historis adalah data ekspor tahun 1980-2010. Asumsi peramalan dengan model ARIMA (2,2,2) adalah model yang digunakan adalah model yang valid. Model dianggap dapat memprediksi variabel dependent berdasarkan variabel data historis sebelumnya tanpa memperhatikan variabel lain selain waktu. Berdasarkan hasil olahan software Minitab 13.2 diperoleh hasil ramalan ekspor CPO dari tahun 2010 dengan model ARIMA (2,2,2) : Tabel 12. Hasil Ramalan Ekspor CPO Dari Tahun 2011-2015 Tahun 2011 2012 2013 2014 2015
Ramalan Ekspor (Ton) 19.534.366 21.010.440 21.637.678 23.704.065 25.257.527
Pertumbuhan (%)
7,556293355 2,985363467 9,549948012 6,553567922 66
Dapat dilihat dari Tabel 12, bahwa ramalan ekspor CPO Indonesia memiliki trend meningkat sesuai dengan pola data ekspor dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekspor CPO Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan akan sebesar 18,533
persen dari 16.480.000 Ton
menjadi 19.534.366 Ton. Diperkirakan
ekspor CPO Indonesia akan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekspor CPO tampak naik-turun dengan rata-rata sebesar 6,661 persen. Pola ini mirip dengan pola pertumbuhan ekspor CPO di tahun tahun sebelumnya. Pada tahun 2002 ekspor CPO naik 28,932 persen kemudian turun 0,365 persen pada tahun 2003 dan kemudian naik lagi di tahun 2005 sebesar 27,669 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tahap peramalan baik untuk menjelaskan pola pertumbuhan ekspor lima tahun kedepan. 6.2. Konsumsi Domestik 6.2.1. Identifikasi dan Estimasi Model Data konsumsi domestik yang dianalisis tidak memiliki fluktuasi yang jelas dan tidak berulang pada periode yang tertentu. Pada tahun 1999 sampai 2006 pola data naik-turun terjadi setiap dua tahun sekali, namun pada tahun-tahun sebelum dan setelahnya tidak terjadi pola demikian. Bahkan cenderung acak, sehingga pada data konsumsi peneliti menyimpulkan tidak ada pola siklus. Pola data konsumsi domestik CPO menunjukkan trend meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu perlu dilakukan differencing agar data konsumsi domestik CPO menyebar di sekitar rataan (stasioner). Setelah dilakukan differencing sekali, data sudah stasioner, dapat dilihat pada Gambar 14. 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 -500000
1980198219841986198819901992199419961998200020022004200620082010
-1000000 -1500000
Gambar 14. Pola Data Konsumsi Domestik Setelah Differencing Sekali
67
Tahap selanjutnya adalah identifikasi pola lag Autocorrelation Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF) dari data konsumsi domestik yang telah di-differencing sekali. Mengacu pada Lampiran 4, pola lag ACF menunjukkan pola cut off /patah setelah lag pertama. Pada pola ACF, lag pertama menunjukkan bahwa lag ini masih signifikan dengan nilai mutlak thit sebesar 3,53 dan pada lag kedua nilai mutlak thit sebesar 0, 84. Sedangkan pada pola PACF menunjukkan lag pertama sampai seterusnya pola dying down dengan penurunan yang tidak terlalu tajam dari nilai mutlak thit lag pertama sebesar 3,53 turun menjadi 1,95; 0,95; 0,16 dan seterusnya. Berdasarkan pengamatan pola lag ACF dan PACF maka dapat didapatkan model tentatif. Model tentatif/sementara berupa model ARIMA (p,d,q) tanpa unsur siklus karena tidak didapatkan pada pola data konsumsi domestik CPO adanya unsur siklus. Dengan ketentuan yang ada pada pada metode penelitian didapatkan pola lag ACF cut off dan pola lag PACF dying down maka model tentatif memiliki ordo AR dengan nilai 0 dan memiliki ordo MA dengan nilai 1, setelah dilakukan differencing satu kali. Maka dapat dituliskan model tentatif yang diperoleh untuk ekspor CPO adalah ARIMA (0,1,1). Namun setelah dilakukan pengolahan dengan software Minitab13.2, model tentatif ARIMA (0,1,1) memiliki kelemahan karena kriteria tidak konvergen sampai 25 interasi. Begitupun dengan beberapa model alternatifnya, seperti model ARIMA (0,1,2), ARIMA (1,1,1), ARIMA (1,1,2), ARIMA (2,1,1), ARIMA (2,1,2), dan ARIMA (2,1,1). Sebagian besar dari pengujian terhadap beberapa model ARIMA alternatif tersebut muncul kalimat “*Warning* Back forecasts not dying out rapidly” dan “*ERROR* Model cannot be estemated with these data”. Oleh karena itu peneliti mengambil keputusan untuk melakukan differencing satu kali lagi. Setelah differencing sekali lagi plot data sudah tampak stasioner, dapat dilihat pada Gambar 15.
68
3000000 2000000 1000000 0 1980198219841986198819901992199419961998200020022004200620082010 -1000000 -2000000 -3000000 -4000000
Gambar 15. Plot Data Konsumsi Domestik CPO Differencing Kedua Sumber : Output Minitab13.2
Berdasarkan pengamatan pola lag ACF dan PACF differencing kedua dapat memperoleh model tentatif yang baru. Pola lag ACF differencing kedua menunjukkan pola dying down, nilai mutlak thit turun mulai dari lag pertama yaitu sebesar 4,08 dan masih signifikan, lalu pada lag kedua sebesar 1,25; pada lag ketiga 0,40 dan seterusnya. Begitupun juga pola lag PACF differencing kedua menunjukkan pola dying down, nilai mutlak thit turun mulai dari 4,08; 2,96; 2,41; 1,51; 0,22 dan seterusnya. Berdasarkan pengamatan pola lag ACF dan PACF differencing kedua tersebut, maka diperoleh model tentatif. Karena pola ACF dan pola PACF samasama dying down maka model ini memiliki ordo AR dan ordo MA. Untuk menyederhanakan model maka dipilih ordo AR = 1 dan ordo MA = 1 yang dibentuk melalui dua kali differencing. Jadi model tentatif konsumsi domestik CPO dalam bentuk ARIMA (p,d,q) adalah ARIMA (1,2,1). 6.2.2. Evaluasi Kelayakan Model ARIMA (1,2,1) Setelah dilakukan pengolahan melalui software Minitab13.2, model ARIMA (1,2,1) model berhasil dibentuk dengan 15 kali interasi dan telah menampilkan kalimat “relative change in each estimate less than 0,0010”. Nilai parameter AR yang dimiliki bernilai -0,6565 yang nilainya lebih kecil dari satu (1), sehingga kriteria stasioneritas terpenuhi untuk autoregresive. Namun untuk parameter MA kriteria invertibilitas tidak terpenuhi karena nilai MA yang sebesar 69
1,0921 lebih besar dari satu (1). Sedangkan pemeriksaan p-value parameter AR dan MA ternyata lebih kecil dari
= 0,05. Nilai Ljung Box-Statistic (LJBQ)
dalam bentuk p-value yang diamati pada lag ke-12 dan lag ke-24 adalah 0,474 dan 0,925, ternyata p-value kedua lag tersebut lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti error pada model ini telah menunjukkan pola yang acak (Lampiran 7). Selanjutnya untuk melihat apakah model tentatif ARIMA (1,2,1) memiliki rata-rata penyimpangan kuadrat (MSE) terkecil dan memenuhi prinsip parsimoni atau kesederhanaan model maka model tentatif perlu dibandingkan dengan modelmodel alternatifnya. Selain itu untuk melihat apakah model tentatif merupakan model yang paling baik dalam memenuhi kriteria kelayakan, mengingat bahwa kriteria invertibilitas tidak mampu dipenuhi model tentatif ARIMA (1,2,1). Beberapa model alternatif yang dapat dibuat dengan cara menaik-turunkan ordo AR dan ordo MA antara lain : ARIMA (1,2,0), ARIMA (2,2,0), ARIMA (1,2,2), ARIMA (0,2,2), ARIMA (0,2,1) dan ARIMA (2,2,2). Berikut adalah Tabel 13 yang menyajikan perbandingan model tentatif dengan enam model alternatifnya : Tabel 13. Perbandingan Model Tentatif ARIMA (1,2,1) dengan Enam Model Alternatifnya Model Kriteria Kelayakan
ARIMA
Model ARIMA Alternatif
Tentatif ARIMA
ARIMA
ARIMA
ARIMA
ARIMA
ARIMA
ARIMA
(1,2,1)
(1,2,0)
(2,2,0)
(1,2,2)
(0,2,2)
(0,2,1)
(2,2,2)
Convergen
√
√
√
X
X
√
X
Stasionerity
√
√
X
√
-
-
√
Inversibility
X
√
-
X
X
X
√
2,1608x
5,25692x
3,59332x
2,26975x
2,43174x
3,77030x
2,25639x
1011
1011
1012
1011
1011
1011
1011
MSE
√
p-value Parsimoni LJBQ
√
√
X
√
Oke √
√
√
X
Oke √
√
√
X
√
Terbaik
Dapat dilihat pada Tabel 13 perbandingan model tentatif dengan enam model alternatifnya, menunjukkan bahwa model ARIMA (1,2,1) bukanlah model yang terbaik. Berdasarkan analisis kelayakan kriteria model, didapatkan model 70
ARIMA (p,d,q) yang paling memenuhi semua kriteria kelayakan adalah model ARIMA (1,2,0). Setelah dilakukan pengolahan melalui software Minitab13.2, model ARIMA (1,2,0) telah berhasil dibentuk setelah mengalami 8 kali interasi ebih singkat daripada ARIMA (1,2,1) dan telah menampilkan kalimat “relative change in each estimate less than 0,0010”. Nilai parameter AR yang dimiliki model ini bernilai -0,7626 yang nilainya lebih kecil dari satu (1), sehingga kriteria stasioneritas terpenuhi untuk autoregresive. Namun untuk parameter MA modelini tidak memilikinya sehingga tidak perlu ada pengujian untuk kriteria invertibilitasnya. Pada pemeriksaan p-value parameter AR ternyata memiliki nilai yang lebih kecil dari
= 0,05, yaitu sebesar 0,000. Pada nilai Ljung Box-Statistic
(LJBQ) dalam bentuk p-value yang diamati pada lag ke-12 dan lag ke-24 model ini memiliki nilai secara berurut adalah 0,102 dan 0,455 dan ternyata semuanya lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti error pada model ini telah menunjukkan pola yang acak (Lampiran 7). Model ARIMA (1,2,0)
juga memenuhi
kriteria parsimoni
atau
kesederhanaan model. Namun jika dilihat dari nilai MSE, model ini bukanlah model yang memiliki nilai MSE terkecil. Hal itu tidak menjadi masalah karena model-model alternatif lainnya dan bahkan model tentatif tidak dapat memenuhi semua kriteria kelayakan model, sehingga model ARIMA (1,2,0) adalah model terbaik yang diambil oleh peneliti untuk melakukan tahapan selanjutnya yaitu tahap peramalan. Selanjutnya model ARIMA (1,2,0) akan dibandingkan dengan modelmodel peramalan lainnya, khususnya perbandingan nilai rata-rata persentase penyimpangan absolut terkecil (MAPE). Dibawah ini Tabel 14 yang menampilkan perbandingan nilai MAPE antara model ARIMA (1,2,0) dengan sembilan model peramalan lainnya :
71
Tabel 14. Perbandingan Nilai MAPE Antara Model ARIMA (1,2,0) dengan Sembilan Model Peramalan No.
Metode
MAPE
Model
Urutan MAPE
1
Trend Linier
2
Trend Kuadratik
16
Yt = -15842,9 + 164789(t)
3
14,85
Yt = 43631,3 + 153975(t) +
2
2
337,922(t ) 3
Exponential Growth
21,94
Yt = 546931(108603t)
4
S-Curve
16,335
Yt = 108/(20,3496 +
4
205,457(0,848525t-1)) 5
Moving Average
19
-
6
6
Single Exponential Smoothing
19
-
6
19
-
6
17
-
5
17
-
5
8,38
Backshift Operation
1
(SES) α = 1,413 7
Double
Exponential
Smoothing (Model Holt) α = 0,086; β = 8,941 8
Winters Multiplikatif α = 0,2; β = 0,2; γ = 0,2
9
Winters Aditif α = 0,2; β = 0,2; γ = 0,2
10
ARIMA (1,2,0)
Dapat dilihat pada
Tabel 14, bahwa nilai rata-rata persentase
penyimpangan absolut terkecil dari aktual atau MAPE dimiliki oleh model ARIMA (1,2,0). Nilai MAPE model ARIMA (1,2,0) sebesar 8,38 persen berarti model ini memiliki rata-rata penyimpangan absolut terkecil terhadap konsumsi domestik aktualnya sebesar 8,28 persen. Oleh karena itu model ARIMA (1,2,0) adalah model terbaik yang peneliti pilih untuk peramalan proyeksi konsumsi domestik CPO Indonesia tahun tahun-tahun berikutnya. 6.2.3. Persamaan Matematik Model ARIMA (1,2,0) Penulisan model ARIMA (1,2,0) dilakukan dengan menggunakan kaidah backshift operation. Kaidah backshift operation digunakan untuk mempersingkat penulisan dari model ARIMA (1,2,0), penurunan matematis backshift operation dapat dilihat pada Lampiran 6. Berikut adalah backshift operation dari model ARIMA (1,2,0) :
72
Yt = φ0 + (2- φ1) BYt - (1+2 φ1) B2Yt - φ1 B3Yt + εt Sedangkan persamaan matematik model ARIMA (1,2,0) adalah sebagai berikut : ̂
= 1,2374KONSUMSI t-1 + 0,5252KONSUMSI t-2 0,7626KONSUMSI t-3
Persamaan matematik dari konsumsi domestik CPO Indonesia dipengaruhi oleh konsumsi domestik CPO pada tahun sebelumnya (KONSUMSIt-1) bahkan juga dipengaruhi oleh konsumsi domestik CPO yang dilakukan Indonesia dua dan tiga
tahun sebelumnya (KONSUMSIt-2 dan KONSUMSIt-3). Misalnya, untuk
mendapatkan angka ramalan konsumsi domestik CPO tahun 2011 maka angka ramalan konsumsi domestik CPO tersebut dipengaruhi oleh konsumsi domestik setahun dan dua tahun sebelumnya. Yaitu konsumsi domestik CPO pada tahun 2010, tahun 2009 dan 2008. Perhitungan ini tentunya bukanlah hasil baku atau mutlak benar, karena ada nilai penyimpangan absolut rata-rata absolut sebesar 8,38 persen secara statistik. 6.2.4. Ramalan Konsumsi Domestik Peramalan konsumsi domestik CPO Indonesia dari tahun 2011 sampai 2015 diperoleh dari pemodelan ARIMA (1,2,0), model dianggap valid dan mampu menjelaskan variabel depandent dengan variabel indipendent adalah data historis konsumsi domestik CPO Indonesia dari tahun 1980-2010 . Berikut adalah angka ramalan konsumsi domestik CPO Indonesia : Tabel 15. Ramalan Konsumsi Domestik CPO Indonesia Tahun 2011-2015 Tahun
Ramalan Konsumi Domestik (Ton)
Pertumbuhan (%)
2011
5.429.199
2012
5.770.766
6,291296
2013
5.996.138
3,905409
2014
6.310.120
5,236404
2015
6.556.527
3,90495
73
Berdasarkan Tabel 15, konsumsi domestik CPO Indonesia diperkirakan terus meningkat dari tahun 2011 hingga tahun 2015. Pada tahun 2011 permintaan CPO untuk memenuhi konsumsi dalam negeri diperkirakan naik dengan pertumbuhan 3,61 persen dari 5.240.000 Ton menjadi 5.429.199 Ton. Sedangkan pada tahun 2012 konsumsi CPO Indonesia diperkirakan meningkat 6,291 persen dari tahun 2011. Pertumbuhan konsumsi domestik memiliki rata-rata 4,834 persen dari tahun 2011-2015. Dapat dilihat pertumbuhan konsumsi CPO Indonesia memiliki pola naik-turun. Hal ini mirip dengan pola pertumbuhan pada tahuntahun sebelumnya terutama pada periode tahun 2001-2009 (Lampiran 2). Pada tahun 2001 konsumsi CPO naik 20,67 persen kemudian turun 5,589 persen pada tahun 2002 tapi kemudian naik lagi 23,052 persen pada tahun 2003, begitupun seterusnya. Dapat disimpulkan bahwa model ARIMA (1,2,0) mampu menjelaskan angka ramalan konsumsi domestik CPO pada lima periode kedepan setelah tahun 2010 dan mendekati angka aktual sebenarnya, dengan nilai penyimpangan secara statistik sebesar 8,34 persen. 6.3. Produksi 6.3.1. Identifikasi dan Estimasi Model Plot data produksi tahunan dari tahun 1967-2010 memiliki unsur trend yang meningkat dari tahun ke tahun dan tidak menunjukkan unsur siklus. Pada periode tahun 1980-2005 produksi CPO Indonesia terus meningkat tiap tahunnya. Di periode ini, Indonesia masih menjadi urutan kedua terbesar dalam hal produksi setelah Malaysia. Namun hasil produksi yang mengejutkan terjadi pada tahun 2006 yaitu dari 11 juta Ton menjadi 17 juta Ton, dan membuat Indonesia memimpin dalam hal produksi CPO di dunia setelah saat itu. Setelah diketahui bahwa ada unsur trend pada pola data produksi maka perlu dilakukan differencing untuk membuat data ini menyebar di sekitar rataannya (stasioner). Berikut adalah plot data produksi setelah di-differencing sekali.
74
6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 1967 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009
0
Gambar 16. Plot Data Produksi CPO Differencing Pertama
Data produksi CPO yang sudah di-differencing tampak belum stasioner masih tampak ada trend meningkat walaupun sangat tipis. Terlihat data di tahun 1979-2005 menunjukkan trend meningkat. Oleh karena itu, perlu dilakukan differencing satu kali lagi.
6000000 4000000 2000000
1967 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009
0 -2000000 -4000000 -6000000
Gambar 17. Plot Data Produksi CPO Differencing Kedua Pada differencing yang kedua pola data produksi CPO sudah tampak menyebar di sekitar rataannya. Tahapan selanjutnya adalah pengamatan pola lag pada Autocorrelation Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF) differencing kedua. Pada Lampiran 5 menunjukkan pola lag ACF pada data differencing kedua menunjukkan pola cut off. Pada lag pertama nilai mutlak
75
thit sebesar 3,59 menurun cepat menjadi 0,07 pada lag kedua dan seterusnya. Hal ini menunjukkan pola menurun tajam yang disebut pola cut off, sedangkan untuk pola lag PACF menunjukkan pola dying down. Pola ini ditunjukkan oleh plot lag pertama dengan mutlak thit sebesar 3,59 kemudian turun menjadi 0,42 pada lag kedua lalu turun lagi menjadi 0,28 dan turun untuk seterusnya mendekati nol (0). Penurunan yang tidak terlalu tajam ini disebut pola dying down. Berdasarkan hasil intepretasi pola lag ACF dan PACF data produksi CPO yang telah di-differencing dua kali dapat diperoleh model tentatif yang sementara bisa digunakan untuk pada tahapan selanjutnya. Model tentatif yang di bentuk dalam ARIMA (p,d,q). Pola ACF yang cut off
menunjukkan nilai ordo,
sedangkan pola PACF yang dying down menunjukkan bahwa model ini memiliki komponen ordo MA. Untuk mempermudah nilai pembentukkan model maka ordo
MA diberi nilai 1. Model ini diperoleh dengan differencing dua kali.
Sehingga model tentatif/sementara yang dipakai untuk tahap selanjutnya adalah ARIMA (0,2,1). 6.3.2. Evaluasi Kelayakan Model ARIMA (0,2,1) Setelah dilakukan pengolahan melalui software Minitab13.2, model ARIMA (0,2,1) model telah berhasil dibentuk setelah mengalami 14 kali interasi dan konvergen karena menunjukkan kalimat “Relative change in each estimate less than 0,00100”. Nilai parameter MA ( kriteria invertibilitas moving average) terpenuhi karena nilai MA yang sebesar 0,8108 ternyata lebih kecil dari satu (1). Untuk pemeriksaan p-value parameter MA ternyata nilainya lebih besar dari 0,05 yaitu sebesar 0,000. Nilai Ljung Box-Statistic (LJBQ) dalam bentuk p-value yang diamati pada lag ke-12 dan lag ke-24 ternyata juga memiliki nilai lebih besar dari 0,05 yaitu secara berurut adalah 0,977 dan 1,000, ternyata semuanya lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti error pada model ini telah menunjukkan pola yang acak/random (Lampiran 7). Setelah model tentatif ditetapkan maka tahap selnjutnya adalah membandingkan model tentatif ARIMA (0,2,1) dengan model-model alternatifnya untuk melihat apakah model tentatif ini memiliki rata-rata penyimpangan kuadrat (MSE) terkecil dan memenuhi prinsip parsimoni atau kesederhanaan model. Model alternatif diperoleh dengan cara menaik-turunkan nilai ordo AR dan ordo
76
MA. Berikut adalah beberapa model alternatif yang dapat dibuat dengan cara menaik-turunkan ordo AR dan ordo MA antara lain : ARIMA (1,2,1), ARIMA (1,2,0), ARIMA (2,2,0), ARIMA (2,2,1), ARIMA (2,2,2), dan ARIMA (1,2,2). Berikut adalah tabel yang menyajikan perbandingan model tentatif dengan enam model alternatifnya : Tabel 16. Perbandingan Model Tentatif ARIMA (0,2,1) dengan Enam Model Alternatifnya Model Kriteria Kelayakan
ARIMA
Model ARIMA Alternatif
Tentatif ARIMA
ARIMA
ARIMA
ARIMA
ARIMA
ARIMA
ARIMA
(0,2,1)
(1,2,1)
(1,2,0)
(2,2,0)
(2,2,2)
(2,2,1)
(1,2,2)
Convergen
√
√
√
√
X
X
X
Stasionerity
√
√
√
√
X
√
X
Inversibility
√
√
-
-
√
√
√
6,4832x
6,37034x
8,64219x
7,23424x
6,53124x
6,36062x
6,63180x
MSE
10
11
p-value
√
Parsimoni
√
LJBQ
√
10
11
10
X
12
10 √
11
10
11
10
11
1011
√
X
X
X
√
√
√
√
√ √
√
Terbaik
Berdasarkan perbandingan model tentatif ARIMA (0,2,1) dengan keenam model alternatifnya ternyata model tentatif tersebut adalah model terbaik (Tabel 16). Model ARIMA (0,2,1) disebut sebagai model terbaik karena memenuhi semua kriteria kelayakan dan model inilah yang memiliki nilai MSE lebih kecil dibandingkan dengan model alternatif lainnya. Sebenarnya model ARIMA (2,2,0) juga memenuhi semua kriteria kelayakan model tetapi tidak memiliki MSE terkecil, sedangkan model-model alternatif yang lain tidak dapat memenuhi beberapa kriteria kelayakan model. Jadi model ARIMA (0,2,1) inilah yang dipilih oleh peneliti sebagai model yang terbaik untuk dilakukan pengujian ke tahaptahap selanjutnya. Sebelum ke tahap berikutnya, rata-rata persentase penyimpangan absolut kuadrat (MAPE) model ARIMA (0,2,1) harus dibandingkan dengan sembilan
77
metode peramalan lainnya. Berikut adalah tabel yang menyajikan perbandingan antara model ARIMA (0,2,1) dengan sembilan metode peramalan lainnya : Tabel 17. Perbandingan Antara Model ARIMA (0,2,1) dengan Sembilan Metode Peramalan Lainnya No.
Metode
MAPE
Model
Urutan MAPE
1
Trend Linier
314,623
Yt = -4429143 + 3414228(t)
10
2
Trend Kuadratik
118,602
Yt = 2565258 - 498085(t)+
9
2
20273,6(t ) 3 4
Exponential Growth
4,587
S-Curve
4,573
Yt = 135700(1,12495t) 8
Yt = 10 /(0,316198 +
3 2
t-1
596,496(0,887662 )) 5
Moving Average
11
-
6
6
Single Exponential Smoothing
9
-
5
5
-
4
14
-
7
21
-
8
0,4955
Backshift Operation
1
(SES) α = 1,413 7
Double
Exponential
Smoothing (Model Holt) α = 0,086; β = 8,941 8
Winters Multiplikatif α = 0,2; β = 0,2; γ = 0,2
9
Winters Aditif α = 0,2; β = 0,2; γ = 0,2
10
ARIMA (1,2,0)
Berdasarkan
Tabel
17
terlihat
bahwa
nilai
rata-rata
persentase
penyimpangan absolut terkecil dari aktual atau MAPE dimiliki oleh model ARIMA (0,2,1). Nilai MAPE model ARIMA (0,2,1) sebesar 0,4955 persen. Hal ini menunjukkan bahwa model ini memiliki rata-rata penyimpangan absolut terkecil terhadap produksi CPO aktualnya sebesar 0,4,955 persen. Sehingga model ARIMA (0,2,1) adalah model terbaik yang peneliti pilih untuk peramalan proyeksi produksi CPO Indonesia di tahun-tahun berikutnya. 6.3.3. Persamaan Matematik Model ARIMA (0,2,1) Penulisan model ARIMA (0,2,1) dilakukan dengan menggunakan kaidah backshift operation. Kaidah backshift operation digunakan untuk mempersingkat
78
penulisan dari model (Lampiran 6). Berikut adalah backshift operation
dari
model ARIMA (0,2,1) : Yt = 2BYt – B2Yt - ω1Bεt + εt Persamaan matematik model ARIMA (0,2,1) adalah sebagai berikut : ̂
= 2PRODUKSIt-1 - PRODUKSIt-2 – 0,8108εt-1
Persamaan matematik dari produksi CPO Indonesia yang akan datang dipengaruhi oleh produksi CPO setahun dan dua tahun sebelumnya serta dipengaruhi oleh residual terakhir sebelum t. Sebagai contoh, proyeksi produksi CPO Indonesia pada tahun 2011 dipengaruhi oleh produksi CPO pada tahun 2010 dan 2009. Tentunya hal ini bukanlah kebenaran mutlak, akan tetapi secara statistik perhitungan ini akan ada penyimpangan 0,4955 persen dari hasil ramalan yang akan terjadi. 6.3.4. Ramalan Produksi Peramalan produksi CPO mengunakan acuan dasar data historis dari tahun 1967-2010. Peramalan ini dilakukan dengan model ARIMA (0,2,1) untuk memprediksi produksi CPO Indonesia dari tahun 2011-2015. Asumsi yang digunakan pada peramalan produksi CPO Indonesia adalah model ARIMA terpilih dianggap valid untuk memprediksi angka ramalan produksi CPO kedepan. Berikut ini adalah hasil ramalan produksi CPO Indonesia : Tabel 18. Ramalan Produksi CPO Indonesia Tahun 2011-2015 Tahun
Ramalan Produksi (Ton)
Pertumbuhan (%)
2011
23.395.252
2012
24.790.504
5,96382548
2013
26.185.756
5,628171174
2014
27.581.008
5,328286111
2015
28.976.260
5,05874187
Pada tahun 2010 produksi CPO Indonesia sebesar 22.000.000 Ton dan diperkirakan meningkat 6,342 persen menjadi 28.976.260 Ton. Di tahun selanjutnya produksi CPO diperkirakan meningkat menjadi 24.790.504 Ton. Pertumbuhan produksi CPO diperkirakan sebesar 5,494 persen dalam lima tahun
79
kedepan dimulai dari tahun 2011. Namun diperkirakan peningkatan produksi memiliki pola pertumbuhan agak menurun dari tahun ke tahun.
80
VII. ANALISIS HASIL RAMALAN EKSPOR, KONSUMSI DOMESTIK DAN PRODUKSI CPO INDONESIA 7.1.
Proyeksi Permintaan dan Penawaran CPO dari Tahun 2011-2015 Selama ini Indonesia masih melakukan impor CPO dengan tujuan
pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Namun di sisi lain Indonesia adalah pemegang pangsa pasar CPO nomor satu di dunia. Sebenarnya Indonesia bukan sanggup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi Indonesia belum memiliki keseimbangan dalam pemenuhan kedua jenis permintaan tersebut. Ketidakseimbangan antara volume ekspor dan pemenuhan konsumsi dalam negeri menjadi permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini, dengan beberapa rekomendasi kebijakan yang mungkin bisa diambil berdasarkan hasil pembahasan pada penelitian ini. Proyeksi yang dilakukan sampai lima tahun kedepan dari tahun 20102015, menunjukkan pola permintaan CPO dalam bentuk ekspor dan konsumsi domestuk diperkirakan terus meningkat. Apabila kedua jenis permintaan tersebut digabung maka dapat terlihat pada Tabel 19, bahwa penawaran CPO Indonesia dalam bentuk produksi diperkirakan masih belum mampu memenuhi permintaan yang ada. Perbandingan hasil ramalan dapat dilihat pada Tabel 19 : Tabel 19. Selisih Antara Perkiraan Permintaan dan Penawaran CPO Indonesia Tahun 2011-2015 Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 Rata-rata
Permintaan (ton)* Ekspor Konsumsi 19.534.366 5.429.199 21.010.440 5.770.766 21.637.678 5.996.138 23.704.065 6.310.120 25.257.527 6.556.527 22.228.815 6.012.550
Penawaran (ton)* Produksi 23.395.252 24.790.504 26.185.756 27.581.008 28.976.260 26.185.756
Selisih (ton) 1.568.313 1.990.702 1.448.060 2.433.177 2.837.794 2.055.609
Keterangan : * = angka ramalan dengan model ARIMA terpilih Merujuk pada Tabel 19, apabila tidak ada peningkatan produksi dan pengendalian ekspor, maka volume selisih tersebut hanya bisa dipenuhi oleh impor. Dan diperkirakan jumlahnya akan terus meningkat dari tahun ke tahun.
7.2.
Kebijakan Ekspor Proporsi ekspor CPO Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Rata-
rata proporsi CPO yang diekspor adalah 74,46 persen dari tahun 2000 sampai 2010. Hal ini dirasa terlalu besar apabila tidak ada peningkatan produksi CPO. Selama ini pemerintah merumuskan kebijakan pajak ekspor untuk menekan ekspor CPO dilakukan Indonesia. Hal ini sudah tepat berdasarkan hasil analisis hubungan antara keputusan ekspor terhadap harga CPO Rotterdam, yang menyatakan ada hubungan yang keduanya. Hasil analisis hubungan dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Korelasi Antara Harga CPO Rotterdam dan Selisih Harga RotterdamMedan Terhadap Ekspor CPO Indonesia Tahun 1998-2010 Correlations
EKSPOR Spearman's rho
EKSPOR
HARG ROTT
ROTTMEDAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
HARG ROTT
ROTTMEDAN
1,000
,742**
,099
. 13
,004 13
,748 13
,742**
1,000
,500
,004 13
. 13
,082 13
,099
,500
1,000
,748 13
,082 13
. 13
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Keterangan : EKSPOR
: Ekspor CPO Indonesia dari tahun 1998-2010
HARG ROTT
: Harga CPO Rotterdam dari 1998-2010
ROTT-MEDAN
:Selisih harga antara harga CPO Rotterdam dan harga CPO Medan
Berdasarkan Tabel 20 diperoleh nilai koefisien korelasi antara ekspor dan harga Rotterdam sebesar 0,742 dan nilai ini lebih besar dari nilai kritis koefisien korelasi rank Spearman dengan taraf nyata 0,01 yang sebesar 0,673. Karena rs hitung
> rs tabel maka tolak H0 atau terima H1. Artinya, ada hubungan positif yang
kuat antara harga CPO Rotterdam dengan ekspor.
82
Namun jika dilihat dari Tabel 20, diperoleh nilai koefisien korelasi dari hubungan antara ekspor dan selisih harga CPO Rotterdam-Medan sebesar 0,099 dan ternyata nilai ini lebih kecil dari nilai kritis koefisien korelasi rank Spearman dengan taraf nyata 0,01 yaitu sebesar 0,673. Karena rs hitung < rs tabel maka tolak H1 atau terima H0. Artinya, tidak ada hubungan antara selisih harga CPO RotterdamMedan dengan ekspor CPO yang dilakukan Indonesia. Oleh karena itu pemerintah merumuskan kebijakan pajak ekspor berdasarkan perilaku ekspor yang responsif terhadap harga referensinya (Rotterdam).
Pemerintah
dalam
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
223/PMK.011/2008 mengatur tentang besaran tarif pajak ekspor terhadap CPO. Besaran pajak ekspor disajikan dalam Tabel 21 : Tabel 21. Besaran Pajak Ekspor (PE) Berdasarkan Harga Referensi No
Harga Referensi (US$/Ton) 1 700 2 701-750 3 751-800 4 801-850 5 851-900 6 901-950 7 951-1000 8 1001-1050 9 1051-1100 10 1101-1150 11 1151-1200 12 1201-1250 13 1251> Sumber : Peraturan Mentri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2008
PE % 0,0 1,5 3,0 4,5 6,0 7,5 10,0 12,5 15,0 17,5 20,0 22,5 25,0
Berdasarkan hasil ramalan dan analisis hubungan harga terhadap ekspor CPO Indonesia maka kebijakan yang bisa diambil adalah menaikkan besaran pajak ekspor untuk menurunkan ekspor CPO, dan sebagian dari volume CPO dapat dialihkan penjualannya ke dalam negeri. Menurut Askadarimi (2007) meningkatkan pajak ekspor sebesar lima persen dapat menurunkan volume ekspor CPO Indonesia sebesar 1,19 persen, hal ini tidak begitu berpengaruh dengan penurunan pangsa pasar CPO Indonesia di dunia. Hal ini terbukti ketika tahun 2010 ekspor CPO Indonesia turun 2,38 persen karena terjadi peningkatan pajak
83
ekspor sebesar 12,5 persen. Diperkirakan perlu penurunan ekspor sebesar 8,03 persen agar dapat memenuhi selisih antara permintaan dan penawaran CPO tahun 2011. Dengan demikian pajak ekspor yang dikenakan sebesar 40 persen, tetapi hal ini dapat merugikan eksportir dan menurunkan pangsa pasar CPO Indonesi di dunia serta memperbesar peluang Malaysia merebut pangsa pasar CPO Indonesia. Oleh karena itu kebijakan yang perlu diambil bukan saja difokuskan kepada peningkatan besaran pajak ekspor tetapi juga pada pengaturan konsumsi domestik melalui penganekaragaman produk substitusi CPO dan peningkatan produksi CPO Indonesia. 7.3. Kebijakan Konsumsi Domestik Sebagian besar konsumsi domestik CPO Indonesia digunakan sebagai bahan baku utama minyak goreng, dan lebih dari 80 persen minyak goreng yang beredar di Indonesia menggunakan CPO sebagai bahan bakunya (Semangun et all, 2005). Hal ini berarti konsumsi CPO Indonesia secara strategis penting untuk dipenuhi, mengingat minyak goreng adalah salah satu golongan sembilan bahan pokok (Sembako). Peningkatan konsumsi domestik diperkirakan rata-rata sebesar 3,90 persen dalam lima tahun ke depan. Peningkatan ini sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia dan penerapan program biofuel dari CPO oleh pemerintah. Apabila Indonesia kekurangan pasokan CPO maka Indonesia mengimpor CPO dari Malaysia. Tercatat selama 30 tahun ini Indonesia masih impor CPO dan nilainya terus meningkat dari tahun ke tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011). Impor CPO yang dilakukan Indonesia bukanlah strategi pemenuhan bahan baku berdasarkan harga namun benar-benar keputusan yang diambil dengan alasan mendesak. Menurut Badrun (2010), impor CPO yang dilakukan oleh Indonesia disebabkan ketika produksi CPO belum cukup untuk memenuhi konsumsi CPO dalam negeri terutama sebagai bahan baku minyak goreng dalam negeri. Impor yang dilakukan oleh Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan fluktuasi yang tajam. Dapat dilihat pada Gambar 18.
84
450.000 400.000 350.000
ton
300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000
0
Gambar 18. Pola Impor CPO Indonesia dari Tahun 1981-2010 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan dan PPKS (2010)
Merujuk pada Gambar 18, impor CPO yang dilakukan oleh Indonesia tidak memiliki pola yang khas, hal ini berarti keputusan Indonesia untuk impor CPO tidak ada hubungannya dengan harga negara sumber impor karena harga CPO di pasar Malaysia tidak memiliki fluktuasi setajam ini (Lampiran 3). Begitupun dengan selisih harga CPO Medan-Malaysia yang tidak memiliki fluktuasi seperti ini. Menurut Askadarimi (2007), impor CPO dipengaruhi oleh produksi CPO dalam negeri. Diperkuat dengan analisis hubungan pada Tabel 22 yang menunjukkan bahwa impor dilakukan Indonesia tidak ada hubungannya dengan harga di CPO di pasar Malaysia maupun selisih harga Medan-Malaysia.
85
Tabel 22. Korelasi Antara Harga CPO Malaysia dan Selisih Harga MedanMalaysia Terhadap Impor CPO Indonesia Tahun 1998-2010 Correlations
IMPOR Spearman's rho
IMPOR
HARG MALAY
MEDANMALAY
Keterangan : IMPOR HARG MALAY MEDAN-MALAY
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
HARG MALAY
MEDANMALAY
1,000
,418
-,022
. 13
,156 13
,943 13
,418
1,000
,593*
,156 13
. 13
,033 13
-,022
,593*
1,000
,943 13
,033 13
. 13
: Impor CPO Indonesia dari tahun 1998-2010 : Harga CPO Malaysia dari tahun 1998-2010 : Selisih harga antara harga CPO Medan-Malaysia (1998-2010)
Berdasarkan Tabel 22, nilai koefisien korelasi antara impor dan harga CPO Malaysia yaitu sebesar 0,418. Nilai koefisien korelasi tersebut ternyata lebih kecil dari nilai kritis koefisien korelasi rank Spearman yaitu sebesar 0,475 pada taraf nyata 0,05. Karena rs hitung < rs tabel maka tolak H1 atau terima H0. Artinya, tidak ada hubungan yang signifikan antara harga CPO Malaysia dengan impor CPO. Begitupun dengan nilai koefisien korelasi antara impor dan selisih harga CPO Medan-Malaysia yaitu sebesar -0,022, dan nilai mutlak koefisien korelasi tersebut lebih kecil daripada nilai mutlak kritis koefisien korelasi rank Spearman yaitu sebesar 0,475. Karena rs
hitung
< rs
tabel
maka tolak H1 atau terima H0.
Artinya, tidak ada hubungan antara selisih harga CPO Medan-Malaysia dengan impor CPO. Sebenarnya bahan baku minyak goreng bukan hanya berasal dari minyak sawit tetapi juga dari minyak kelapa. Oleh karena itu pengembangan industri minyak kelapa sebagai substitusi bahan baku minyak goreng dapat dilakukan untuk meningkatkan pasokan minyak kelapa, sehingga untuk menstabilkan konsumsi domestik agar peningkatanya tidak terlalu tinggi di tahun-tahun ke depannya. Sebagai contoh merk minyak goreng Sania mengeluarkan produk baru
86
yaitu Sania Royal yang menggabungkan keunggulan minyak goreng berbahan baku kelapa dengan minyak goreng berbahan baku sawit. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan produsen terhadap impor CPO dari Malaysia, selain itu minyak goreng jenis ini memiliki cita rasa yang lebih berkualitas jika dibandingkan dengan minyak goreng berbahan baku sawit saja. Pengembangan biofuel dari CPO juga merupakan alasan peningkatan konsumsi domestik setelah tahun 2007. Penggunaan CPO sebagai bahan baku biofuel sebenarnya dapat disubstitusi dengan penggunaan bahan lain sebagai contoh penggunaan ganggang dan biji nyamplung yang memiliki rendemen lebih tinggi daripada CPO. Dengan demikian konsumsi CPO dalam negeri dapat dikurangi dan pengembangan di sektor lain sebagai sumber bahan baku biofuel lainnya dapat lebih optimal. 7.4. Kebijakan Produksi Selain peningkatan pajak ekspor dan penganekaragaman substitusi CPO sebagai bahan baku minyak goreng dan biofuel, peningkatan produksi dapat dilakukan agar pasokan CPO Indonesia mampu memenuhi permintaan ekspor dan dalam negeri. Menurut Suryana (2007), ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produksi CPO Indonesia antara lain : 1) Perluasan lahan; 2) Peningkatan produktivitas; dan 3) Penguatan kelembagaan dalam bentuk PIR-Bun dan koperasi petani plasma. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Pertanian, Indonesia memiliki 46 juta lahan yang berpotensi dan sesuai dengan tanaman perkebunan terutama kelapa sawit. Semua lahan tersebut tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Saat ini penyebaran areal perkebunan kelapa sawit baru tersebar di 19 provinsi. Persentase terbesar dimiliki oleh Sumatera, yaitu mencapai 74,8 persen diikuti Kalimantan sebesar 21,4 persen dan Sulawesi sebesar 2,6 persen serta sisanya ada di Jawa (Susila, 2004). 7.4.1. Perluasan Lahan Perluasan lahan kelapa sawit adalah salah satu upaya meningkatkan produksi CPO. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian bahwa ada 46 juta lahan yang berpotensi untuk diolah menjadi perkebunan kelapa sawit, perluasan lahan bukanlah sesuatu yang sulit. Dari hasil ramalan diperoleh selisih antara
87
permintaan CPO dan penawaran CPO terus meningkat dari waktu ke waktu. Oleh karena itu perluasan lahan adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan CPO di dalam negeri dan mengurangi impor yang mungkin dilakukan. Berikut adalah prediksi perluasan lahan yang diperlukan untuk mengatasi kekurangan CPO dalam negeri: Tabel 23. Prediksi Perluasan Lahan yang Diperlukan Untuk Mengatasi Kelangkaan dan Impor CPO Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 Rata-rata
Selisih Permintaan dan Penawaran CPO (ton)* 1.568.313 1.990.702 1.448.060 2.433.177 2.837.794 2.055.609
Luasan yang Diperlukan (ha)** 560.111,8 710.965 517.164,3 868.991,8 1.013.498 734.146,1
Keterangan : * Berdasarkan hasil ramalan pada tabel 19. ** Asumsi produktivitas 2,8 ton/ha/tahun dan tidak ada perubahan Dapat dilihat pada Tabel 23, untuk mengantisipasi selisih yang terjadi antara permintaan CPO (konsumsi dan ekspor) dan penawaran CPO (produksi), Indonesia diperkirakan perlu melakukan perluasan lahan pada tahun 2015 seluas 1.013.498 ha (asumsi produktivitas 2,8 ton/ha/tahun). Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan karena potensi perluasan lahan kelapa sawit tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Menurut Taher dalam Susila (2004), ada 2.960.000 ha yang dapat dijadikan areal perluasan lahan kebun kelapa sawit dan tersebar di enam provinsi. Di provinsi Jambi ada 50.000 ha yang bisa dimanfaatkan untuk perluasan lahan, di provinsi Kalimantan Selatan seluas 310.000 ha, di Kalimantan Timur 370.000 ha, di Sulawesi Selatan ada 130.000 ha, di Sulawesi Tengah ada 200.000 ha dan di Papua Barat ada 2.000.000 ha. Namun apabila hanya melalui perluasan lahan dikhawatirkan akan merusak lingkungan, sehingga penerapannya harus diimbangi dengan peningkatan produktivitas dan pelaksanaannya harus dijalankan sesuai dengan konsep Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
88
7.4.2. Peningkatan Produktivitas Menurut Purwantoro (2008), produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia masih rendah. Berdasarkan analisis peneliti produktivitas CPO nasional adalah 2,8 ton/ha/tahun, nilai ini sangat jauh dengan produktivitas yang dimiliki oleh perkebunan kelapa sawit Malaysia yaitu 4,5 ton/ha/tahun. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan cara mengganti tanaman tua yang sudah tidak menguntungkan secara ekonomis dengan tanaman muda yang memiliki produktivitas tinggi hal ini disebut peremajaan lahan (replanting). Potensi permajaan lahan mencapai 20.000-50.000 ha per tahun dan kebutuhan investasi berkisar Rp. 300-750 miliar per tahun (Susila, 2004). Potensi peremajaan terluas dimiliki oleh Sumatera Utara dengan persentase sebesar 33,2 persen. Pada provinsi tersebut luasan lahan yang potensial diremajakan seluas 6644 sampai 16.609 ha. Provinsi Riau menempati urutan kedua dalam potensi peremajaan sebesar 25 persen dengan luasan lahan seluas 5144-12.860. Lalu diikuti oleh Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Aceh dan lainnya masingmasing sebesar 12,6 persen; 10,4 persen; 8 persen dan 10,1 persen (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2009). Pada tahun 2010 ada 91.281 ha lahan kelapa sawit yang perlu untuk diremajakan dan baru berhasil 3.256 ha yang terlaksana. Sehingga pada tahun 2011 masih menyisakan 88.025 ha lahan yang perlu diremajakan (Kementrian Pertanian, 2011). Hal ini diperkirakan akan meningkatkan produktivitas kelapa sawit nasional, dengan kata lain produktivitas menghasilkan CPO akan meningkat pula. Diperkirakan akan menjadi 3 ton/ha/tahun pada tahun 2013. Tabel 24. Perkiraan Luas Lahan yang Diperlukan Apabila Produktivitas Meningkat Menjadi 3 ton/Ha/tahun Tahun
Selisih Permintaan dan Penawaran CPO (ton)*
Luasan yang Diperlukan (ha)**
2011
1.568.313
560.111,79
2012
1.990.702
710.965,00
2013
1.448.060
482.686,67
2014
2.433.177
811.059,00
2015
2.837.794
945.931,33
Rata-rata
2.055.609
702.150,76
89
Keterangan : * Berdasarkan hasil ramalan tabel 19. ** Asumsi produktivitas tetap pada tahun 2011-2012 yaitu 2,8 ton/ha/tahun dan meningkat pada tahun 2013-2015 sebesar 3 ton/ha/tahun. Selain peremajaan lahan, produktivitas sangat dipengaruhi oleh faktor input, budidaya dan pemeliharaan tanaman kelapa sawit. Faktor input perkebunan kelapa sawit yang dapat meningkatkan produktivitas salah satunya adalah penggunaan bibit unggul. Penggunaan bibit unggul sebaiknya yang sudah tersertifikasi dan toleran terhadap hama penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh jamur Ganoderma. Selain itu bibit unggul untuk tanaman kelapa sawit tentunya memiliki potensi produktivitas yang tinggi yaitu 22-25 ton TBS/ha dengan rendemen minyak sebesar 22-24 persen dan memiliki potensi menghasilkan CPO sebesar 4-6 ton/ha/tahun. Selain itu memiliki nilai gizi dengan kadar vitamin A dan vitamin E yang tinggi dengan kandungan Free Fatty Acid yang rendah. Saat ini agribisnis kelapa sawit didukung oleh tujuh produsen benih dengan kapasitas produksi 136 juta per tahun. Berikut ini adalah Tabel 25 yang menyajikan daftar perusahaan-perusahaan yang memproduksi benih unggul tanaman kelapa sawit di Indonesia : Tabel 25. Daftar Perusahaan Benih Kelapa Sawit dan Kapasitas Produksinya. No Nama Perusahaan Kapasitas (benih/tahun) 1
Pusat penelitian Kelapa Sawit (PPKS)
35 juta
2
PT. Socfin
35 juta
3
PT. Lonsum
15 juta
4
PT. Dami Mas
12 juta
5
PT. Tunggal Yunus
12 juta
6
PT. Bina Makmur
25 juta
7
PT.Tania Selatan
2 juta
Total
139 juta
Sumber : Departemen Pertanian, 2008 Prospek harga CPO dunia yang terus meningkat menyebabkan peningkatan permintaan bibit unggul tanaman kelapa sawit. Peningkatan permintaan bibit ini direncanakan untuk peremajaan lahan tanaman tua dan rusak. 90
Hasil optimal dari produktivitas kelapa sawit tentunya juga disertai dengan pemeliharaan tanaman yang baik, dengan cara pemberian pupuk dan pengendalian hama serta penyakit. Penggunaan legume cover crop (LCP) juga dapat meningkatkan kesuburan tanah karena menambah kadar nitrogen di dalamnya yang kemudian meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit (Pahan, 2006). Apabila hal ini dilaksanakan secara terpadu maka menurut Dr. Ir, Ahmad Suryana (Kepala Badan Litbang Pertanian, 2007) akan meningkatkan 71 persen dari potensi produktivitas CPO. Dengan kata lain meningkatkan produktivitas CPO menjadi 4,86 ton/ha/tahun dari potensi maksimalnya yaitu 6 ton/ha/tahun. Tabel 26 menunjukkan luasan lahan yang diperlukan untuk memenuhi selisih antara permintaan dan penawaran CPO apabila produktivitas CPO menjadi 4,86 Ton/Ha/tahun. Diperkirakan luasan lahan yang diperlukan pada tahun 2015 adalah seluas 606.366 ha dengan asumsi produktivitas kelapa sawit saat itu sebesar 4,86 ton/ha/tahun. Berikut adalah Tabel 26 : Tabel 26. Perkiraan Luas Lahan Yang Diperlukan Apabila Produktivitas Meningkat Tahun 2011
Selisih Permintaan dan Penawaran CPO (ton)* 1.568.313
Luasan yang Diperlukan (ha)** 560.111,79
2012
1.990.702
710.965,00
2013
1.448.060
482.686,67
2014
2.433.177
811.059,00
2015
2.837.794
606.366,24
Rata-rata
2.055.609
634.237,74
Keterangan : * Berdasarkan hasil ramalan tabel 19. ** Asumsi produktivitas tetap pada tahun 2011-2012 yaitu 2,8 ton/ha/tahun, pada tahun 2013-2014 sebesar 3 ton/ha/tahun dan meningkat pada tahun 2015 menjadi 4,86 ton/ha/tahun. 7.4.3. Penguatan Kelembagaan Sejak tahun 1978 Indonesia pemerintah menerapkan pola Perusahaan inti rakyat (PIR-Bun). Pola ini bertujuan mengoptimalkan peranan perkebunan rakyat sebagai pilar utama perkebunan Indonesia. Pola ini memposisikan perkebunan rakyat sebagai plasma dan perkebunan besar sebagai inti. Perkebunan plasma
91
memasok hasil produksi kebunnya kepada kebun inti dan kemudian diolah oleh pabrik pengolahan kelapa sawit untuk dijadikan CPO dan produk turunannya. Pola PIR-Bun ini dianggap sebagai pola pengembangan perkebunan kelapa sawit yang paling cocok. Dalam konsep idealnya pola ini menguntungkan dari kedua belah pihak. Namun pada perkembangannya tidak seideal itu. Menurut Purwantoro (2008), produktivitas kebun plasma di wilayah-wilayah produsen utama CPO selalu lebih kecil daripada kebun intinya. Di perkebunan Lampung dan Sumatera Selatan yang menerapkan pola serupa memiliki produktivitas kebun plasma lebih kecil 0,4 dibandingkan kebun inti yang memiliki produktivitas sebesar 2,7 ton/ha/tahun. Hal serupa juga terjadi di Kalimantan Barat dan Timur yang bahkan memiliki produktivitas kebun plasma jauh dibandingkan kebun inti, yaitu kebun plasma sebesar 1,9 ton/ha/tahun sedangkan kebun inti sebesar 3,3 ton/ha/tahun. Begitupun di Sumatera Utara dan Riau, produktivitas kebun plasma selisih 0,8 dari produktivitas kebun inti. Fenomena ini menunjukkan pengusahaan perkebunan kelapa sawit melalui pola PIR-Bun belum menunjukkan prestasi dalam meningkatkan produktivitas. Hal ini diduga karena ketidakseimbangan pemberian faktor input yang dilakukan oleh pengelola kebun inti dan kebun plasma. Kebun plasma lebih cenderung melakukan pemeliharaan yang kurang intensif jika dibandingkan dengan pemeliharaan pada kebun inti. Petani kebun plasma juga memiliki keterbatasan dalam hal pemanenan. Petani plasma sedikit yang memiliki fasilitas berupa truk maupun kendaraan yang bisa mempercepat pengangkutan hasil panen menuju pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PKS). Selain itu petani kebun plasma sering memanen TBS disaat usia TBS belum benar-benar matang sehingga hal ini mempengaruhi besarnya rendemen minyak sawit (CPO) yang dihasilkan. Hal lain yang menggambarkan fenomena ini adalah lemahnya komitmen petani plasma dalam hal menjual hasil penen kepada kebun inti saat harga TBS naik dan lebih tinggi daripada harga yang diberikan kebun inti (Purwantoro, 2008). Semua hal ini yang menyebabkan produktivitas kebun plasma lebih kecil daripada kebun inti. Produktivitas yang dimiliki kebun inti di Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Barat sebenarnya masih jauh dari potensi tanaman kelapa sawit yang sesungguhnya yaitu 5 ton/ha/tahun (Pahan, 2006; Semangun, 2005). Fenomena ini
92
semakin membuat potensi produksi tanaman kelapa sawit semakin jauh dari idealnya. Oleh karena itu, peneliti merekomendasikan untuk lebih diperjelas lagi posisi, peranan, hak dan kewajiban bagi petani kebun plasma. Serta pengawasan yang intensif dalam pemanenan dan pemeliharaan, dengan cara memprioritaskan produktivitas CPO dibanding dengan kuantitas TBS yang dipanen. Standardisasi juga penting agar TBS yang disetor oleh kebun plasma terseleksi dan memiliki harga yang berbeda dilihat dari tingkat kematangan dan bobot TBS yang dipanen. Dalam hal pendanaan dan pemasaran sebaiknya petani kebun plasma membentuk kelembagaan sesama petani plasma agar memiliki bargaining position yang tinggi dalam menegosiasikan harga TBS yang dijual kepada pengelola kebun inti. Juga dengan terbentuknya kelembagaan tersebut, petani plasma dapat mengakses permodalan kepada pemerintah melalui program Kredit Koprasi Primer-Anggota (KKPA) agar hambatan dalam hal pemeliharaan kebun dapat dikurangi karena petani mampu membeli faktor input yang penting bagi kebunnya. Sebagai contoh pembelian pupuk tambahan, obat-obatan, alat-alat dan fasilitas pemanenan.
93
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Kesimpulan yang bisa diperoleh pada penelitian analisis ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO serta hubungan harga CPO terhadap ekspor-impor CPO Indonesia, ini berasal dari hasil pembahasan yang disesuaikan dengan tujuan yang diinginkan pada penelitian ini. Berikut beberapa kesimpulan yang dapat diambil : 1. Berdasarkan identifikasi pola data ekspor CPO Indonesia menunjukkan pola trend meningkat dari tahun 1981-2010. Data konsumsi domestik menunjukkan pola trend meningkat pula dari tahun 1981-2010. Begitupun dengan pola data produksi yang menunjukkan trend meningkat dari tahun 1967-2010. 2. Model ARIMA yang tepat untuk peramalan ekspor CPO adalah model ARIMA (2,2,2). Sedangkan model ARIMA untuk peramalan konsumsi domestik adalah model ARIMA (1,2,0). Dan, model peramalan produksi adalah ARIMA (0,2,1). Model-model ini diperoleh melalui prosedur yang harus dilalui dengan metode Box-Jenkins serta uji kelayakan model ARIMA. 3. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan model ARIMA terpilih maka diperoleh hasil proyeksi ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO selama lima tahun kedepan (2011-2015). Hasil ramalan ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO dapat dilihat pada Lampiran 9. 4. Berdasarkan hasil analisis asosiasi, ekspor CPO Indonesia berpengaruh positif terhadap harga CPO Rotterdam artinya semakin tinggi harga CPO Rotterdam maka semakin besar pula volume ekspor CPO yang dilakukan Indonesia. Namun ekspor CPO tidak berpengaruh secara signifikan terhadap selisih harga CPO Rotterdam-Medan, sedangkan hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa impor tidak memiliki hubungan dengan harga CPO Malaysia maupun selisih harga CPO Medan-Malaysia. Namun impor CPO memiliki hubungan negatif terhadap produksi CPO Indonesia,
artinya semakin besar volume produksi CPO akan semakin kecil volume impor CPO Indonesia. 8.2. Saran Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat diajukan ditujukan kepada pemerintah dan lembaga-lembaga riset kelapa sawit antara lain : 1. Bagi pemerintah khususnya Kementrian Perdagangan dan Keuangan diharapkan membuat rancangan pajak ekspor yang besarannya lebih tinggi dari pajak ekspor dalam ketentuan Peraturan Mentri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2008. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan pasokan CPO di dalam negeri karena diperkirakan akan terjadi peningkatan ekspor CPO yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi CPO. Selain itu untuk meminimalisir terjadinya impor CPO. 2. Bagi pemerintah khususnya melalui Direktorat Jenderal Perkebunan diharapkan mengoptimalkan produksi kelapa sebagai substitusi bahan baku minyak goreng, yang selama ini adalah minyak sawit. Dengan demikian konsumsi dalam negeri CPO dapat dikurangi sehingga meminimalisir terjadinya impor CPO dari Malaysia. 3. Dalam menanggapi program pengembangan biofuel pemerintah sebaiknya mengurangi penggunaan CPO sebagai bahan baku pembuatan biofuel karena masih ada bahan baku alternatif yang memiliki rendemen lebih tinggi dan ketersediaannya yang lebih melimpah jika dibandingkan dengan CPO. Sebagai contoh ganggang laut dan biji nyamplung. 4. Bagi pemerintah khususnya lembaga-lembaga yang berperan menyusun kebijakan perkebunan kelapa sawit disarankan untuk memfokuskan peningkatan produksi karena konsumsi dunia dan domestik diperkirakan selalu meningkat tiap tahunnya. Peningkatan produksi dapat berupa perluasan lahan yang berbasis pada konsep Oil
(ISPO)
agar
dapat
memperhatikan
Indonesia Sustainable Palm lingkungan
hidup
dan
meminimalisir alih fungsi hutan. Namun peningkatan tersebut tentunya harus disertai dengan peningkatan produktivitas lahan, baik lahan bukaan baru ataupun lahan yang sudah ditanami. Peningkatan produktivitas ini
95
dapat dilakukan dengan cara peremajaan lahan, penggunaan bibit unggul dan intensifikasi dalam pemeliharaan dan pemanenan. 5. Bagi perkebunan yang melakukan konsep PIR-Bun diharapkan lebih
memperjelas posisi, peranan, hak dan kewajiban antara pekebun inti dan pekebun plasma, agar tercipta hubungan yang saling menguntungkan yang berkeadilan.
96
DAFTAR PUSTAKA Agustian A, Hadi U. 2002. Analysis of Export Dynamics and Comparative Advantages of Indonesian Crude Palm Oil : Badan Penelitian dan Pertanian Bogor. Askadarimi L. 2004. Peramalan Impor Komoditas Pertanian dan Negara ASEAN [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Badrun M. 2010. Lintasan 30 Tahun Pengembangan Kelapa Sawit. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian Bekerjasama dengan GAPKI. BAPPEBTI. 2011. Harga Komoditi Pertanian_CPO : http ://bappebti.go.id [15 Februari 2011] Ditjenbun. 2011. Data Statistik Ekspor dan Impor Kelapa Sawit http ://ditjenbun. deptan. go. id. [21 Januari 2011] Ditjenbun. 2011. Data Statistik Luas dan Produksi Kelapa Sawit http ://ditjenbun. deptan. go. id. [21 Januari 2011] Djauhari A, Salat M. 1996. Produksi dan Pemasaran Minyak Kelapa Sawit. Di dalam Ekonomi Minyak Goreng di Indonesia, penyunting Beddu Amang et all. Bogor: IPB Press Drajat B. 2006. Gejolak Harga Minyak Goreng. Perlukah Intervensi Pasar ?. Bogor : Lembaga Riset Perkebunan Indonesia Fauzi Y. 2002. Industri Kelapa Sawit Indonesia Menapak Dengan Pasti di Atas Kerikil Tajam : Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit Hanke J, Reitsch A. 1996. Business Forecasting. Engkewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall International Edition Hansen K. 2008. Peramalan Produksi dan Ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia serta Implikasi Hasil Ramalan Terhadap Kebijakan [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Haryanto. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Domestik Minyak Kelapa Sawit (CPO) di Indonesia tahun 1980-2007 [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Hasibuan, MAM. 2010 Manajemen Tenaga Kerja Panen Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Kebun Mentawak PT. Jambi Agro Wijaya, Bakrie
Sumatera Plantation, Sarolangun, Jambi [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ibrahim K. 2009 Analisis Pola Pergerakan Harga Komoditi Olein di Pasar Fisik Jakarta dan Pasar Fisik Rotterdam [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jafarudin M. 2005. Peramalan Volume Produksi TBS Di Kebun Percobaan Betung II [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Koo V, Kennedy. 2005. International Trade and Agriculture. Massachusetts :Blackwell Publishing Lavenbach H, James P. 1981. The Begining Forecaster : The Forecaster Process Through Data Analysis. California : Life Time Learning Publication. Lipsey R. 1996. Pengantar Mikroekonomi. Jakarta : Binarupa Lubis U. 1992. Kelapa Sawit (Elaeis guinensis L.). Medan : Pusat Penelitian Kelapa Sawit Mahisya F. 2004. Analisis Permintaan Ekspor CPO Indonesia : Suatu Pendekatan Error Correction Model [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mankiw NG. 2003. Teori Makroekonomi Edisi kelima, Jakarta : Erlangga Markidakis S,Whellwright, McGee . 1999. Metode dan Aplikasi Peramalan jilid satu. Edisi ke-2. Sumitro, penerjemah. Jakarta : Binarupa Aksara. Maulana T.1996. Analisis Perdagangan Minyak Sawit Indonesia di Pasar Domestik dan Masyarakat Eropa [karya tulis S1]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nicholson W. 2002. Mikroekonomi Intermediet dan Aplikasinya. Jakarta : Erlangga. Oil World. 2010. Statistics. www.oilworld.biz [9 Desember 2010] Pahan I. 2006. Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu Hingga Hilir. Depok : Penebar Swadaya. Pangaribuan Y. 2001. Pengaruh Cekaman Air Terhadap Karakter Morfologi Beberapa Varietas Kelapa Sawit : Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Poeloeng Z, Lalang B, Darnoko. 2000. „Potensi‟ Pengembangan Industri Hilir Sawit Indonesia: Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit
98
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2011. Data Statistik Kelapa Sawit iopri.com. [23 Januari 2011]
: www.
Purwantoro N. 2008. Sekilas Pandang Industri Sawit [disertasi]. Depok:Fakultas, Ekonomi. Universitas Indonesia. Rambe M. 2009. Peramalan Hasil Produksi Kelapa Sawit pada PT. Perkebunan Nusantara III (PERSERO) Sumatera Utara. [tugas akhir]. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga Sarwono J. 2008. Riset Bisnis untuk Mengambil Keputusan. Yogyakarta : CV ANDI OFFSET Semangun H, Mangoensoekarjo S. 2005. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Subronto. 2001. Pengaruh Tinggi Tempat Penanaman dan Umur Tanaman Terhadap Susunan Asam-Asam Lemak Mesokarp Kelapa Sawit. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia Suganda D. 2006. Analisis Harga CPO di Pasar Fisik Medan dan Pasar Berjangka Malaysia serta Rotterdam [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suprihatini R. 2001. Keragaan Nilai Tambah industri Oleokimia Dasar Indonesia. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia Suryana A. 2007. Prospek dan Arah Pengembangn Agribisnis Kelapa Sawit. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Indonesia Susila W. 2007. Mempertanyakan Efektifitas Pajak Ekspor dalam Mempercepat Pengembangan Industri Hilir Perkebunan. Riset Perkebunan Nasional. Swastha B, I.W. Sukotjo. 1997. “Pengantar Bisnis Modern”. Edisi Ketiga. Yogyakarta : Penerbit Liberty United States Department of Agriculture. 2011. www.fas.usda.gov/psdonline [18 Januari 2011] Wahyono T. 2003. Konflik Pengusahaan Lahan Pada Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia
99
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Nilai Kritis Koefisien Korelasi Spearman
n 5 6 7 8 9 10
α = 0,05 0,9 0,829 0,714 0,643 0,6 0,564
α = 0,025 0,886 0,786 0,738 0,683 0,648
α = 0,01 0,943 0,893 0,833 0,783 0,745
α = 0,005 0,881 0,833 0,794
11 12 13 14 15
0,523 0,497 0,475 0,457 0,411
0,623 0,591 0,566 0,545 0,525
0,736 0,703 0,673 0,646 0,623
0,818 0,780 0,745 0,716 0,689
16 17 18 19 20
0,425 0,412 0,399 0,388 0,377
0,507 0,490 0,476 0,462 0,450
0,601 0,582 0,564 0,549 0,534
0,666 0,645 0,625 0,607 0,591
21 22 23 24 25
0,368 0,359 0,351 0,343 0,336
0,438 0,428 0,418 0,409 0,4
0,521 0,508 0,496 0,485 0,475
0,576 0,562 0,549 0,537 0,526
26 27 28 29 30
0,329 0,323 0,317 0,311 0,305
0,392 0,385 0,377 0,370 0,364
0,465 0,456 0,448 0,440 0,432
0,515 0,505 0,496 0,487 0,478
Direproduksi dari E. G. Olds. “Distribusi of sum of squares of rank differences for small sampels,” Ann, Math ., vol. 9 (1938), dengan izin dari editor
101
Lampiran 2. Tabel Data CPO Indonesia Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Konsumsi (Ton) 218271 636987 627407 637288 1076882 761852 792630 1120928 1162682 1595502 1423215 1527785 2544721 1941376 2866675 2898252 3334254 2572599 4468755 3158251 2894831 3493395 3298136 4058439 3567199 4254285 4480422 5016185 4724000 4851000 5240000
Ekspor (Ton) 201251 262035 345777 142660 616815 608748 638420 974566 917291 1173883 1304011 1252813 1907237 1971707 1576423 2013275 3470568 1826287 3896830 4688852 5485144 7072124 7046303 8996000 10436000 12540000 12650000 14612000 16938000 16480000
Impor (Ton) 33325 124 121 60134 38181 8820 165991 302680 412453 26713 55367 325965 155266 137554 54024 110685 94839 18172 2857 7988 5115 11861 5606 7884 14067 3031 4661 10994 24484 70000
Luas (Ha) 29456 318967 329901 405646 512021 597362 60678 728662 862859 973528 1126677 1310996 1467470 1613187 1804149 2024986 2249514 2922296 3560196 3901802 4158077 4713435 5067058 5283557 5284723 5453817 6594914 6766836 7363847 7508023 7824623
Produksi (Ton) 721172 800060 886820 982987 1147190 1243430 1350729 1506055 1713335 1964954 2412612 2657600 3266250 3421449 4008062 4479670 4898658 5448508 5930415 6455590 7000508 8396472 9622345 10440834 10830389 11861615 17350848 17664725 19400000 21000000 22000000
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2010), Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2010), dan United State Departement of Agriculture (2010).
102
Lampiran 3. Tabel Data Harga CPO Harga Harga Harga Kurs Kurs Domestik Rotterdam Malaysia USD/IDR. IDR/MYR. (Rp/Kg) (US$/Ton) (Ringgit/Ton) 1998 1424 678 600,8475 9991,683 2547,059 1999 3943 438 377,2775 7796,808 2052,252 2000 2979 310 261,1442 8371,525 2203,172 2001 2412 276 238,3983 10179,55 2678,903 2002 2049 389 356,745 9320,117 2452,643 2003 2840 449 410,3742 8573,017 2256,056 2004 33565 471 434,7233 8934,017 2351,058 2005 3977,347838 442 367,6867 9713,55 2565,196 2006 4190,098648 507,4 416,8133 9164,242 2499,159 2007 7064,386055 830,9 719,1217 9141,308 2660,808 2008 7938,575823 1004,76 634,285 9658,942 2894,588 2009 6811,072152 680,69 644,0692 10378,78 2941,298 2010 7817,833604 1025 808,907 9081,467 2822,058 Sumber : Badan Pengawas Pasar Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), laporan mingguan Bank Indonesia, www.indexmundi.com, http://fx.sauder.ubc.ca//data.html dan Biro Pusat Statistik. Tahun
103
Lampiran 4. Daftar Perusahaan-Perusahaan Kelapa Sawit Pemasok CPO untuk Minyak Goreng Menurut Keputusan Menteri Pertanian Tahun 2007
Nama Perusahaan Sinar Mas group/PT Golden Agri Resources Wilmar International group PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) IV Astra Agro Lestari group/PT Astra Agro Lestari Tbk Minamas Plantation group Musim Mas group PT Perkebunan Nusa ntara (PTPN) III Asian Agri group/Raja Garuda Mas Duta Palma group Salim group/PT Salim Plantations/Indofood group/PT IndoAgri PT. Perkebunan Nusantara(PTPN) V LONSUM group(PT PP London Sumatera Indonesia)/Napan Group PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII Permata Hijau Sawit group Best Agro group PT Socfindo/Socfin Group PT. ToIan Tiga/SIPEF Group Bakrie Plantation group/PT Bakrie Sumatra Plantations Sungai Budi group Hindoli – Cargill Rea Kaltim
Pasukan CPO (ton)
Total Luas Lahan di Indonesia
Luas Lahan yang ditanami di Indonesia
15.000
320.463
113.562
7.500
210.000
64.700
192.375
125.461
5.000
259.075
96.330
5.000
65.800
25.450
5.000
1.155.745
95.310
245.629
78.944
49.283
23.392
6.675 6.000 6.000 6.000 5.650
4.380 4.000 3.295 3.000 2.000 2.000 1.600 1.200 1.000 1.000 1.000
104
Lanjutan lampiran 4. PT. Tasik Raja Lyhian Agro Group PT. Gema Reksa Mekarsari Makin group Sawindo Kencana group Unggul Widya group Asam Jawa group Triputra Agro Persada group PT. First Mujur Plantation PT. Musirawas PT. Majuma Agro PT. Mopoli Raya Korindo group PT. Paya Pinang PT. Fajar Bajuri Incasi Raya group PT. Kencana Sawit Indonesia Sampoerna Agro group PT. Agro Indomas PT. Gunung Maras Lestari PT. Gunungsawit Binalestari PT. Sime Indo Agro Golden Hope group Kuala Lumpur Kepong Berhad PT. Fetty Mina Jaya
1.000 750 500 500 500 500 300 300 250 200 100 100 100 75 50 1.200 1.000 800 500 450 400 350 350 160 50
Sumber : wikipedia.com
105
Lampiran 5. 1. Ekspor a) Plot Autocorrelation Function (ACF) Differencing Kedua Dari Data Ekspor CPO ACF diff2 ekspor CPO 1981-2009
Autocorrelation
1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 5
Lag
Corr
1 2 3 4 5 6 7
-0,57 0,05 0,19 -0,23 0,26 -0,22 0,06
T -3,04 0,19 0,78 -0,94 1,00 -0,83 0,23
LBQ
15
Lag
10,28 10,35 11,57 13,48 15,89 17,74 17,90
Corr
T
8 0,00 0,01 9 0,08 0,30 10 -0,07 -0,24 11 -0,15 -0,54 12 0,25 0,89 13 -0,19 -0,66 14 0,07 0,23
LBQ
Lag
Corr
17,90 18,20 18,40 19,49 22,70 24,69 24,95
15 16 17 18 19 20 21
-0,04 0,05 -0,02 -0,04 0,05 -0,03 0,02
25 T
-0,14 0,19 -0,05 -0,14 0,17 -0,12 0,08
LBQ
Lag
Corr
25,06 25,26 25,28 25,42 25,66 25,78 25,84
22 23 24 25
-0,02 0,00 0,03 -0,04
T
LBQ
-0,07 0,01 0,10 -0,15
25,90 25,90 26,09 26,64
b) Plot Partial Autocorrelation Function (PACF) Differencing Kedua Dari Data Ekspor CPO
Partial Autoc orrelation
PACF diff2 ekspor 1981-2009 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 5 Lag PAC 1 2 3 4 5 6 7
-0,57 -0,42 -0,02 -0,13 0,17 -0,03 -0,05
T -3,04 -2,24 -0,13 -0,66 0,90 -0,17 -0,27
15 Lag PAC 8 9 10 11 12 13 14
-0,17 0,15 0,08 -0,18 -0,06 -0,08 -0,05
T -0,89 0,80 0,45 -0,97 -0,33 -0,44 -0,25
Lag PAC 15 16 17 18 19 20 21
-0,12 0,11 -0,05 -0,05 -0,04 0,08 -0,08
25 T -0,65 0,56 -0,27 -0,26 -0,22 0,42 -0,43
Lag PAC 22 23 24 25
-0,04 0,00 -0,01 -0,08
T -0,21 0,01 -0,04 -0,45
106
Lanjutan lampiran 5. 2. Konsumsi Domestik a) Plot Autocorrelation Function (ACF) Differencing Kedua Dari Data Konsumsi Domestik CPO
Autocorrelation
ACF Diff2 Konsumsi CPO domestik 1980-2010 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 5 Lag
Corr
1 2 3 4 5 6 7
-0,76 0,34 -0,11 0,07 -0,04 -0,04 0,13
T -4,08 1,25 -0,40 0,25 -0,12 -0,15 0,44
15
LBQ
Lag
Corr
18,41 22,23 22,68 22,86 22,91 22,98 23,64
8 9 10 11 12 13 14
-0,24 0,32 -0,31 0,21 -0,09 -0,04 0,09
T -0,82 1,09 -1,00 0,67 -0,27 -0,13 0,28
LBQ
Lag
Corr
26,06 30,76 35,27 37,57 37,96 38,07 38,57
15 16 17 18 19 20 21
-0,03 -0,04 0,04 -0,01 0,02 -0,03 0,01
25 T
-0,10 -0,11 0,12 -0,04 0,06 -0,08 0,02
LBQ
Lag
38,64 38,73 38,84 38,85 38,88 38,95 38,95
22 23 24 25
Corr
T
-0,00 -0,01 0,01 0,04 -0,01 -0,03 -0,00 -0,01
LBQ 38,96 38,98 39,00 39,01
b) Plot Partial Autocorrelation (PACF) Differencing Kedua Data Konsumsi Domestik
Partial Autocorrelation
PACF Diff2 Konsumsi CPO Domestik 1980-2010 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 5 Lag PAC 1 2 3 4 5 6 7
-0,76 -0,55 -0,45 -0,28 -0,04 -0,07 0,12
T -4,08 -2,96 -2,41 -1,51 -0,22 -0,38 0,66
15 Lag PAC 8 9 10 11 12 13 14
-0,25 -0,13 -0,12 -0,05 0,18 -0,01 -0,21
T -1,35 -0,69 -0,66 -0,27 0,98 -0,07 -1,14
Lag PAC 15 16 17 18 19 20 21
-0,09 -0,09 0,15 0,07 0,08 0,05 -0,08
25 T -0,49 -0,49 0,79 0,39 0,41 0,29 -0,44
Lag PAC 22 23 24 25
-0,02 0,01 0,01 0,07
T -0,10 0,06 0,06 0,40
107
Lanjutan lampiran 5. 3. Produksi a) Plot Autocorelation Function (ACF) Differencing Kedua Data Produksi CPO
Autocorrelation
ACF Diff2 Produksi CPO 1967-2010 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 5 Lag 1 2 3 4 5 6 7
Corr
T
-0,55 -3,59 0,01 0,07 0,06 0,31 -0,03 -0,15 0,07 0,38 -0,09 -0,43 0,04 0,18
15
LBQ
Lag
13,86 13,87 14,05 14,09 14,37 14,74 14,81
8 9 10 11 12 13 14
Corr
T
-0,02 -0,08 0,01 0,06 -0,03 -0,13 0,01 0,05 0,04 0,20 -0,08 -0,41 0,08 0,43
LBQ
Lag
Corr
14,83 14,84 14,87 14,88 14,98 15,40 15,87
15 16 17 18 19 20 21
-0,06 0,04 -0,02 0,00 0,00 -0,01 -0,01
25 T
-0,32 0,21 -0,08 0,01 0,01 -0,03 -0,03
LBQ
Lag
16,16 16,28 16,30 16,30 16,30 16,31 16,31
22 23 24 25
Corr
T
0,01 0,07 -0,01 -0,04 0,00 0,01 -0,00 -0,01
LBQ 16,33 16,34 16,34 16,34
b) Plot Partial Autocorelation (PACF) Differencing Kedua Data Produksi CPO
Partial Autocorrelation
PACF Diff2 Produksi CPO 1967-2010 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 5 Lag PAC 1 2 3 4 5 6 7
-0,55 -0,42 -0,28 -0,23 -0,06 -0,06 -0,03
T -3,59 -2,74 -1,84 -1,51 -0,37 -0,41 -0,21
15 Lag PAC 8 9 10 11 12 13 14
-0,05 -0,04 -0,09 -0,10 -0,02 -0,10 -0,02
T -0,36 -0,28 -0,58 -0,63 -0,16 -0,62 -0,12
Lag PAC 15 16 17 18 19 20 21
-0,06 -0,02 -0,03 -0,01 -0,02 -0,02 -0,05
25 T -0,39 -0,16 -0,21 -0,06 -0,13 -0,10 -0,34
Lag PAC 22 23 24 25
-0,04 -0,05 -0,04 -0,04
T -0,25 -0,32 -0,25 -0,24
108
Lampiran 6. I.
Backshift operation dari ARIMA (2,2,2) Zt = (1-B)2Yt ..... (*)
Zt - φ1Zt-1 - φ2Zt-2 - .... - φpZt-p = φ0 + εt - ω1εt-1 + ω2εt-2 +....+ ωpεt-p
Zt - φ1Zt-1 - φ2Zt-2 = φ0+ εt - ω1εt-1 + ω2εt-2
(1- φ1B - φ2B2)Zt = φ0+ εt - ω1Bεt + ω2B2εt (**)
(1- φ1B - φ2B2) (1-B)2Yt = φ0+ εt - ω1Bεt + ω2B2εt .....subsitusi (*)(**) (1- φ1B - φ2B2)(Yt - 2BYt + B2Yt )= φ0+ εt - ω1Bεt + ω2B2εt Yt - BYt(2+φ1) + B2Yt(1 + 2φ1 – φ2) + B3Yt(2φ2 – φ1) - φ2 B4Yt = φ0 + εt - ω1Bεt + ω2B2εt sehingga, Yt = φ0 + εt + BYt(2+φ1) - B2Yt(1 + 2φ1 – φ2) - B3Yt(2φ2 – φ1) + φ2 B4Yt - ω1Bεt + ω2B2εt II.
Backshift operation ARIMA (1,2,0) Zt = (1-B)2Yt ..... (*)
Zt - φ1Zt-1 - φ2Zt-2 - .... - φpZt-p = φ0 + εt - ω1εt-1 + ω2εt-2 +....+ ωpεt-p
Zt - φ1Zt-1 = φ0 + εt
(1- φ1B) Zt = φ0 + εt (**)
(1- φ1B)(1-B)2Yt = φ0 + εt .....subsitusi (*)(**) (1- φ1B)( Yt – 2BYt + B2Yt) = φ0 + εt Yt – (2- φ1) BYt + (1+2 φ1) B2Yt + φ1 B3Yt = φ0 + εt sehingga, Yt = φ0 + (2- φ1) BYt - (1+2 φ1) B2Yt - φ1 B3Yt + εt
109
Lanjutan lampiran 6. III.
Backshift operation ARIMA (0,2,1) Zt = (1-B)2Yt ..... (*)
Zt - φ1Zt-1 - φ2Zt-2 - .... - φpZt-p = φ0 + εt - ω1εt-1 + ω2εt-2 +....+ ωpεt-p
Zt - 0Zt-1 - 0Zt-2 = φ0 + εt - ω1εt-1
Zt = εt - ω1εt-1 .....(**)
(1-B)2Yt = εt - ω1εt-1 .....subsitusi (*)(**) Yt – 2BYt + B2Yt = εt - ω1εt-1 sehingga, Yt = 2BYt - B2Yt - ω1εt-1 + εt
110
Lampiran 7. I.
ARIMA 0.2.1 Model: Ekspor
ARIMA
model for Ekspor
Estimates at each iteration Iteration SSE Parameters 0 40287568776826 0,100 1 34287122246134 0,250 2 29417157427395 0,400 3 25484625480658 0,550 4 22512489126539 0,700 5 21270302404319 0,850 6 21244455828843 0,833 7 21244260310782 0,835 8 21244171124666 0,835 Unable to reduce sum of squares any further Final Estimates of Parameters Type Coef SE Coef MA 1 0,8345 0,1090
T 7,65
P 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 30, after differencing 28 Residuals: SS = 21234866409307 (backforecasts excluded) MS = 786476533678 DF = 27 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48 Chi-Square 17,4 22,0 * * DF 11 23 * * P-Value 0,097 0,520 * * Forecasts from period 30 Period 31 32 33 34 35
II.
Forecast 17511845 18543690 19575535 20607380 21639225
95 Percent Limits Lower Upper 15773298 19250392 15873817 21213564 16042466 23108604 16219767 24994993 16385705 26892746
Actual
ARIMA 2.2.2 Model: Ekspor
ARIMA model for Ekspor Estimates at each iteration Iteration SSE Parameters 0 45093599545590 0,100 0,100 1 33091486923345 -0,050 0,005 2 30132541479192 -0,057 -0,145 3 26862192812716 -0,033 -0,295 4 23928754375877 0,004 -0,412 5 21181642227883 0,034 -0,502 6 18055393545287 0,012 -0,567 7 15067685299901 -0,138 -0,570 8 13255459388937 -0,288 -0,558 9 12043941220285 -0,438 -0,547 10 11424002939918 -0,588 -0,538 11 11331881436265 -0,669 -0,536
0,100 0,250 0,333 0,470 0,620 0,770 0,913 0,950 0,947 0,943 0,937 0,931
0,100 0,195 0,068 -0,081 -0,230 -0,380 -0,530 -0,576 -0,578 -0,580 -0,581 -0,584
111
Lanjutan lampiran 7. 12 11330428426270 13 11329755449462 14 11329373716415 15 11329148879801 16 11329015990872 17 11328933523689 18 11328884251972 Relative change in each
-0,675 -0,676 -0,677 -0,678 -0,678 -0,679 -0,679 estimate
Final Estimates of Parameters Type Coef SE Coef AR 1 -0,6789 0,2702 AR 2 -0,5467 0,2654 MA 1 0,9179 0,2634 MA 2 -0,5928 0,2362
-0,539 -0,542 -0,543 -0,545 -0,545 -0,546 -0,547 less than
0,927 0,924 0,922 0,921 0,919 0,919 0,918 0,0010
T -2,51 -2,06 3,48 -2,51
P 0,019 0,050 0,002 0,019
-0,586 -0,588 -0,590 -0,591 -0,592 -0,592 -0,593
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 30, after differencing 28 Residuals: SS = 11315446180639 (backforecasts excluded) MS = 471476924193 DF = 24 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48 Chi-Square 11,3 16,9 * * DF 8 20 * * P-Value 0,184 0,660 * * Forecasts from period 30 Period 31 32 33 34 35
III.
Forecast 19534366 21010440 21637678 23704065 25257527
95 Percent Limits Lower Upper 18188277 20880455 19559039 22461840 19715212 23560144 20841460 26566670 21734873 28780181
Actual
ARIMA 1.2.1 Model: Konsumsi
ARIMA model for Konsumsi Estimates at each iteration Iteration SSE Parameters 0 34937292587207 0,100 0,100 -922,131 1 22908149833930 -0,050 0,250 -4,7E+03 2 21262553273279 0,031 0,400 -4,6E+03 3 19510614566763 0,098 0,550 -4,2E+03 4 17543540753324 0,144 0,700 -3,3E+03 5 15262477614138 0,159 0,850 -1,8E+03 6 12965279857651 0,142 1,000 -211,275 7 10560680594255 -0,008 1,005 285,191 8 8578851052773 -0,158 1,019 603,835 9 8040507743018 -0,186 1,057 491,488 10 7438687683190 -0,336 1,095 4820,673 11 6301522991951 -0,451 1,104 7830,282 12 5803099170282 -0,507 1,100 8892,401 13 5702855845104 -0,620 1,094 1,13E+04 14 5696769773451 -0,627 1,092 1,13E+04 15 5681545281223 -0,627 1,092 1,13E+04 Relative change in each estimate less than 0,0010 Final Estimates of Parameters Type Coef SE Coef
T
P
112
Lanjutan lampiran 7. AR 1 MA 1 Constant
-0,6265 1,0921 11298,8
0,1493 0,1247 129,9
-4,20 8,76 87,01
0,000 0,000 0,000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 31, after differencing 29 Residuals: SS = 5618335223642 (backforecasts excluded) MS = 216089816294 DF = 26 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48 Chi-Square 8,6 12,5 * * DF 9 21 * * P-Value 0,474 0,925 * * Forecasts from period 31 Period 32 33 34 35
IV.
Forecast 5408292 5726163 5961617 6260006
95 Percent Limits Lower Upper 4496993 6319591 4779488 6672838 4849963 7073271 5110057 7409955
Actual
ARIMA 1.2.0 Model: Konsumsi
ARIMA model for Konsumsi Estimates at each iteration Iteration SSE Parameters 0 40574604216643 0,100 1 32378821758804 -0,050 2 25743875171762 -0,200 3 20669764455517 -0,350 4 17156489610069 -0,500 5 15204050635418 -0,650 6 14765998661517 -0,755 7 14764029639607 -0,762 8 14764019364690 -0,763 Relative change in each estimate less than
0,0010
Final Estimates of Parameters Type Coef SE Coef AR 1 -0,7626 0,1226
P 0,000
T -6,22
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 31, after differencing 29 Residuals: SS = 14719380143903 (backforecasts excluded) MS = 525692147997 DF = 28 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48 Chi-Square 17,2 23,1 * * DF 11 23 * * P-Value 0,102 0,455 * * Forecasts from period 31 Period 32 33 34 35
Forecast 5429199 5770766 5996138 6310120
95 Percent Limits Lower Upper 4007822 6850576 3509409 8032124 2300619 9691656 1250030 11370209
Actual
113
Lanjutan lampiran 7. 36
V.
6556527
-195788
13308842
ARIMA 0.2.1 Model: Produksi
ARIMA model for Produksi Estimates at each iteration Iteration SSE Parameters 0 46052467588726 0,100 1 39714161628209 0,250 2 34666648905731 0,400 3 30627493906856 0,550 4 27609157598422 0,700 5 26807682988625 0,850 6 26609632324395 0,795 7 26597776806933 0,822 8 26587358865347 0,804 9 26584279447722 0,815 10 26583035748171 0,808 11 26582303549522 0,813 12 26582186441032 0,810 13 26581999042627 0,811 14 26581955741088 0,811 Relative change in each estimate less than
0,0010
Final Estimates of Parameters Type Coef SE Coef MA 1 0,8108 0,0946
P 0,000
T 8,57
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 44, after differencing 42 Residuals: SS = 26581404646718 (backforecasts excluded) MS = 648326942603 DF = 41 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48 Chi-Square 3,7 4,5 5,3 * DF 11 23 35 * P-Value 0,977 1,000 1,000 * Forecasts from period 44 Period 45 46 47 48 49
Forecast 23395252 24790504 26185756 27581008 28976260
95 Percent Limits Lower Upper 21816766 24973737 22337963 27243045 22907294 29464217 23473702 31688314 24020636 33931884
Actual
114
Lampiran 8. Tabel Data Impor Margarin (2001-2010) Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Volume Impor (kg) 2.202.490 2.302.700 2.863.986 3.226.603 3.500.842 5.780.921 4.315.142 5.446.277 5.943.822 6.441.366
Sumber : Biro Pusat Statistik, 2010
115
Lampiran 9. 1. Hasil proyeksi ekspor CPO Indonesia (2011-2015) Tahun 2011 2012 2013 2014 2015
Ramalan Ekspor (Ton) 19.534.366 21.010.440 21.637.678 23.704.065 25.257.527
Pertumbuhan (%)
7,556293355 2,985363467 9,549948012 6,553567922
2. Hasil proyeksi konsumsi domestik CPO Indonesia (2011-2015) Tahun
Ramalan Konsumi Domestik (Ton)
Pertumbuhan (%)
2011
5.429.199
2012
5.770.766
6,291296
2013
5.996.138
3,905409
2014
6.310.120
5,236404
2015
6.556.527
3,90495
3. Hasil proyeksi produksi CPO Indonesia (2011-2015) Tahun 2011
Ramalan Produksi (Ton) 23.395.252
Pertumbuhan (%)
2012
24.790.504
5,96382548
2013
26.185.756
5,628171174
2014
27.581.008
5,328286111
2015
28.976.260
5,05874187
116