ANALISIS PERAMALAN TINGKAT PRODUKSI DAN KONSUMSI GULA INDONESIA DALAM MENCAPAI SWASEMBADA GULA NASIONAL
OLEH NINDYA HERNANDA H14070088
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
NINDYA HERNANDA. Analisis Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula dalam Mencapai Swasembada Gula Nasional (dibimbing oleh SRI MULATSIH)
Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi masyarakat. Produksi industri gula yang semakin menurun dari tahun ke tahun mengakibatkan adanya kesenjangan antara produksi dan konsumsi gula nasional. Perubahan dalam produksi, konsumsi, harga dan pemasaran gula dapat mengundang timbulnya bermacam gejolak dalam masyarakat baik ekonomis maupun politis yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk meredamnya. Tahun 2003 pemerintah kembali mencanangkan program swasembada gula. Salah satu cara untuk mengetahui kemampuan Indonesia dalam swasembada gula adalah dengan melakukan peramalan produksi dan konsumsi gula. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pencapaian swasembada gula 2014 dan menganalisis upaya yang dilakukan melalui skenario peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen tanpa kebijakan penambahan pabrik gula baru dan dengan kenijakan penambahan pabrik gula baru yang diterapkan oleh pemerintah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data time series tahun 1980-2010 yang berasal dari berbagai instansi yang terkait dengan industri gula di Indonesia. Pengolahan data dilakukan menggunakan software Minitab version 14 dengan metode ARIMA untuk meramalkan data produksi dan konsumsi gula nasional. Selain itu digunakan pula software Eviews version 6 untuk melakukan analisis regresi sehingga memperoleh persamaan yang mampu menggambarkan hubungan antara variabel dependen (produksi gula) dengan variabel independen (luas areal, produktivitas dan rendemen). Hasil analisis dengan menggunakan model ARIMA memperlihatkan model ARIMA terbaik yang dapat menggambarkan keragaan produksi gula adalah model ARIMA (2,1,2) dan untuk menggambarkan keragaan konsumsi gula menggunakan model ARIMA (1,1,3). Dari hasil peramalan dengan menggunakan model ARIMA diperoleh data bahwa pada tahun 2011-2014 masih terdapat defisit neraca gula sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2014 Indonesia belum mampu mencapai swasembada gula nasional. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil proyeksi yang dilakukan oleh pemerintah yang juga menunjukkan bahwa pada tahun 2014 Indonesia belum mampu mencapai swasembada gula nasional. Pemerintah melakukan upaya untuk mendorong pertumbuhan industri gula melalui kebijakan penambahan pabrik gula baru yang tertuang dalam roadmap swasembada gula. Dalam penelitian ini dilakukan dua skenario penerapan kombinasi kebijakan dalam upaya pencapaian swasembada gula yaitu (1) skenario 1: Kombinasi peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen tanpa kebijakan
penambahan pabrik gula baru, dan (2) skenario 2: kombinasi peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen dengan kebijakan penambahan pabrik gula baru. Hasil analisis menunjukkan untuk mencapai swasembada gula nasional, luas areal yang harus dicapai pada tahun 2014 dengan menggunakan skenario 1 sebesar 259.577 hektar, lebih kecil dibandingkan dengan skenario 2 yaitu sebesar 267.612 hektar. Produktivitas dan rendemen yang harus dicapai pada skenario 1 adalah sebesar 89,4 ton per hektar dan 9,1 persen. Pada skenario 2, produktivitas dan rendemen yang harus dicapai sebesar 89,4 ton per hektar dan 8,6 persen dengan penambahan pabrik gula baru sesuai alternatif dari pemerintah yaitu (1) 10 unit PG berkapasitas 15.000 TCD, (2) 15 Unit PG berkapasitas 10.000 TCD, atau (3) 25 unit PG berkapasitas 6.000 TCD. Upaya untuk meningkatkan luas areal adalah dengan membuka lahan perkebunan tebu di daerah yang berpotensi di luar pulau Jawa seperti Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Upaya untuk meningkatkan produktivitas tebu salah satunya dengan pemilihan bibit dan sistem budidaya tebu yang tepat. Pemilihan bibit dan budidaya tebu yang tepat juga dapat membantu meningkatkan persentase rendemen, serta dengan adanya teknologi yang baru diharapkan dapat membantu meningkatkan persentase rendemen. Selain itu, pemerintah juga perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif guna menarik investor untuk bergabung dalam industri gula di Indonesia.
ANALISIS PERAMALAN TINGKAT PRODUKSI DAN KONSUMSI GULA INDONESIA DALAM MENCAPAI SWASEMBADA GULA NASIONAL
Oleh NINDYA HERNANDA H14070088
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa
: Nindya Hernanda
Nomor Registrasi Pokok : H14070088 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia dalam Mencapai Swasembada Gula Nasional
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr NIP. 19640529 198903 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2011
Nindya Hernanda H14070088
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Nindya Hernanda lahir pada tanggal 12 April 1989 di Cirebon, sebuah kota kecil yang berada di perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi Jawa Tengah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Herman dan Endang Karyani. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN 1 Mertapada Kulon, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Lemahabang dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 1 Lemahabang dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan kota Cirebon tercinta. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai bagian dari kepanitiaan diberbagai kegiatan kampus seperti Economic Contest 2009, Hipotex-Revolution 2008 dan 2009, Politik Ceria 2009, dan turut menjadi bagian dari kepengurusan Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Kekeluargaan Cirebon. Selain itu penulis juga merupakan salah satu Entrepreuner muda yang menjadi pemenang ‘Program Mahasiswa Wirausaha IPB 2010’ dengan usaha Batik Kontemporer yang digelutinya semenjak duduk dibangku semester lima.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul Skripsi ini adalah “Analisis Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia dalam Mencapai Swasembada Gula Nasional”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, diantaranya: 1. Kedua orang tua, Bapak Herman dan Ibu Endang Karyani, Kakak Ditto Hernanda dan Adik Norma Trisna Hernanda yang selalu memberikan perhatian, semangat, motivasi, dukungan baik moral maupun material serta doa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 3. M. Parulian Hutagaol, Ph.D dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. 4. Obi Ichwan Herdayanto atas perhatian, semangat, motivasi dan kasih sayang serta bantuan yang telah diberikan. 5. Ajeng Endartrianti, Abdul Aziz dan Marthasari Nuringati Agustya sebagai teman satu bimbingan atas bantuan dan kerjasamanya. 6. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 44 atas kebersamaan dan persahabatan selama 4 tahun ini.
7. Teman-teman Wisma Pinky, Adiz, Dewi, Keristina, Norita, Bapak dan Ibu Kos serta Fazrandy yang menemani melewati hari-hari yang penuh dengan pengalaman. 8. Rani, Suhaila, Anggi, Indah, Rini, Fery, Yoga, Ida, Riri, Delta terimakasih atas persahabatan yang menyenangkan. 9. Sahabat-sahabat IKC atas kehangatan keluarga selama ini. 10. Seluruh dosen dan staf departemen Ilmu Ekonomi atas bantuan dan kerjasamanya. 11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan kedepannya.
Bogor, Mei 2011
Nindya Hernanda H14070088
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................. i DAFTAR TABEL ........................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... v I. PENDAHULUAN
II.
1.1 Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah .......................................................................
7
1.3 Tujuan ............................................................................................
10
1.4 Manfaat Penelitian .........................................................................
11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian .............................................................
12
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Karakteristik Tebu .......................................................................... 2.2 Konsumsi dan Produksi Gula ......................................................... 2.3 Swasembada Gula ........................................................................... 2.4 Teori Peramalan .............................................................................. 2.5 Metode Peramalan Time Series ...................................................... A. Metode Naive ........................................................................... B. Metode Smoothing ................................................................... B.1 Metode Rata-rata .............................................................. B.1.1 Metode Rata-rata Sederhana (Simple Average) ....... B.1.2 Metode Rata-rata Bergerak Sederhana (Simple Moving Average) ..................................................... B.2 Metode Eksponensial ......................................................... B.2.1 Metode Pemulusan Eksponensial Tunggal (Single Exponential Smoothing)........................................... B.2.2 Metode Pemulusan Eksponensial Ganda Holt (Holt’s Double Exponential Smoothing) ................................ B.2.3 Metode Pemulusan Eksponensial Ganda Winters (Winters’s Double Exponential Smoothing) ............ C. Metode Box-Jenkins (ARIMA) ................................................ 2.6 Metode Regresi Berganda ............................................................. 2.7 Tinjauan Penelitian Empirik ........................................................... 2.8 Kerangka Pemikiran .......................................................................
14 17 19 21 23 25 25 26 26 26 27 27 28
29 30 33 34 36
III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data ................................................................... 3.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data .......................................... 3.2.1 Metode Box-Jenkins (ARIMA) ............................................ 3.2.2 Metode Regresi Berganda .................................................... IV. PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA DI INDONESIA ............ V. HASIL DAN PEMBAHASAN
38 38 38 46 51
5.1 Model ARIMA untuk Produksi dan Konsumsi Gula Nasional ..... 5.1.1 Penstasioneran Data ............................................................. 5.1.2 Identifikasi Model Sementara .............................................. 5.1.3 Estimasi dan Diagnostic Checking ...................................... 5.1.4 Peramalan Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia ............ 5.2 Implikasi Hasil Peramalan Terhadap Pencapaian Swasembada Gula Nasional ................................................................................. 5.3 Perbandingan Hasil Peramalan dengan Proyeksi Pemerintah ......
55 55 59 61 63 64 67
5.4 Alternatif Kebijakan untuk Mencapai Swasembada Gula Tahun 2014 .................................................................................... 71 5.4.1 Skenario 1: Kombinasi Peningkatan Luas Areal, Produktivitas dan Rendemen Tanpa Kebijakan Penambahan Pabrik Gula Baru ..................................................................................... 73 5.4.2 Skenario 2: Kombinasi Peningkatan Luas Areal, Produktivitas dan Rendemen Dengan Kebijakan Penambahan Pabrik Gula Baru ....................................................................................... 75 VI. PENUTUP 6.1 Kesimpulan .................................................................................... 6.2 Saran .............................................................................................. DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. LAMPIRAN .................................................................................................
80 82 84 86
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1.1 Jumlah Pabrik Gula dan Kapasitas Giling Pabrik Gula di Indonesia Tahun 2010 ........................................................................ 3 1.2 Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula di Indonesia Tahun 2000-2010 ........................................................................................... 4 1.3 Jumlah Impor Gula Indonesia Tahun 2003-2010 ............................... 5 3.1 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6
5.7
5.8 5.9 5.10
Pola ACF dan PACF pada Model ARIMA ........................................ Model ARIMA (2,1,2) untuk Data Produksi Gula Nasional .............. Model ARIMA (1,1,3) untuk Data Konsumsi Gula Nasional ............ Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Gula dalam Bentuk Logaritma Natural (ln)......................................................................... Hasil Peramalan Model ARIMA (2,1,2) Untuk Produksi dan ARIMA (1,1,3) Untuk Konsumsi Gula Nasional (diolah) ................. Sasaran Swasembada Gula Pada Tahun 2014 ................................... Proyeksi Pencapaian Swasembada Gula Nasional Oleh Pemerintah Setelah Dicanangkan Program Swasembada Gula Nasional Tahun 2014 ................................................................................................... Hasil Peramalan dengan model ARIMA dan Proyeksi Pemerintah Terhadap Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Nasional padaTahun 2011-2014 ........................................................................................... Hasil Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula dengan Model ARIMA untuk tahun 2011-2025......................................................... Skenario 1: Upaya Pencapaian Swasembada Gula Melalui Peningkatan Luas Areal, Produktivitas Tebu dan Rendemen ............ Skenario 2: Upaya Pencapaian Swasembada Gula Melalui Program Penambahan Pabrik Gula Baru ............................................
41 62 63 64 64 68
69
70 70 71 73
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman 1.1 Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia Tahun 2000-2010 ............... 8 2.1 2.2 2.3 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5
Proses Pengolahan Tebu Menjadi Gula .............................................. Diagram Pohon Industri dari Tebu ..................................................... Kerangka Pemikiran ........................................................................... Perkembangan Produksi Gula di Indonesia (diolah) .......................... Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia (diolah) ........................ Plot ACF dan PACF Data Produksi (diolah) ...................................... Plot ACF dan PACF data konsumsi (diolah) ..................................... Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia Serta Hasil Peramalan Tahun 2000-2014 .............................................................
16 19 37 56 58 60 60 65
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1. Produksi, Konsumsi, Luas Areal, Produktivitas dan Rendemen Gula Tahun 1980-2010 ...................................................................... 86 2. Nilai Logaritma Natural (ln) Produksi, Konsumsi, Luas Areal, Produktivitas dan Rendemen Gula Tahun 1980-2010 ....................... 87 3. Grafik Plot Data dan Uji Statisitk ADF Pada Level Untuk Data ln Produksi Gula Tahun 1980-2010 ................................................... 88 4. Grafik Plot Data dan Uji Statisitk ADF Pada First Difference Untuk Data ln Produksi Gula Tahun 1980-2010 ............................... 89 5. Uji ACF Data ln Produksi Gula Pada First Difference ..................... 90 6. Uji PACF Data ln Produksi Gula Pada First Difference ...................
90
7. Hasil Evaluasi Model ARIMA Terbaik Untuk Produksi Gula ..........
91
8. Hasil Peramalan Produksi Gula Tahun 2011-2014 Dalam Bentuk Logaritma Natural (ln) ....................................................................... 9. Grafik Plot Data dan Uji Statisitk ADF Pada Level Untuk Data ln Konsumsi Gula Tahun 1980-2010 ..................................................... 10. Grafik Plot Data dan Uji Statisitk ADF Pada First Difference Untuk Data ln Konsumsi Gula Tahun 1980-2010 ............................. 11. Uji ACF Data ln Konsumsi Gula Pada First Difference ...................
91 92 93 94
12. Uji ACF Data ln Konsumsi Gula Pada First Difference ...................
94
13. Hasil Evaluasi Model ARIMA Terbaik Untuk Konsumsi Gula ........
95
14. Hasil Peramalan Konsumsi Gula Tahun 2011-2014 Dalam Bentuk Logaritma Natural (ln) ....................................................................... 15. Uji Regresi Berganda ........................................................................
95 96
16. Uji Multikolinearitas .........................................................................
96
17. Uji Heteroskedastisitas ......................................................................
97
18. Uji Autokorelasi ................................................................................
97
19. Uji Kenormalan .................................................................................
97
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Sebagian besar gula dikonsumsi oleh masyarakat sebagai sumber energi, pemberi cita rasa, dan sebagian lagi digunakan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman (Purwanto, 2006). Gula juga merupakan komoditi strategis yang memiliki kedudukan unik yang berbeda dengan komoditi strategis lainnya seperti beras. Di satu sisi gula merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok yang dikonsumsi masyarakat secara luas. Akan tetapi di sisi lain gula juga termasuk ke dalam komoditi yang masih terkena cukai (Amang, 1993). Keadaan ini memengaruhi kebijakan dan sistem pergulaan yang terjadi baik dari segi konsumsi, pengolahan dan pemasarannya. Posisinya yang strategis menjadikan harga gula sangat sensitif, fluktuasi yang tidak stabil dapat mengganggu perekonomian nasional. Gula memegang peranan penting (setelah beras) dalam sistem ekonomi pangan Indonesia karena menyentuh kebutuhan hidup rakyat banyak. Perubahan dalam produksi, konsumsi, harga dan pemasaran gula dapat mengundang timbulnya bermacam gejolak dalam masyarakat baik dalam hal ekonomi maupun politik yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya (Hasan, 1983). Kebijakan pergulaan yang dilakukan oleh pemerintah pada prinsipnya
mempunyai tujuan untuk menjamin tersedianya gula secara berkelanjutan, kapan saja dan dimana saja serta berupaya untuk menghemat devisa. Produksi gula nasional relatif berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kadangkala produksinya meningkat dan sering juga menunjukkan gejala yang menurun karena berbagai sebab. Akibat produksi gula pasir yang relatif tidak stabil, menimbulkan masalah resiko dan ketidakpastian dalam persediaan gula di Indonesia. Pada tahun 2010 jumlah pabrik gula di Indonesia mencapai 62 unit (Tabel 1.1). Namun produksi total dan hasil per hektar telah merosot dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1930-an dimana industri gula mengalami masa kejayaan. Pada tahuntahun tersebut, Indonesia dikenal sebagai negara yang melakukan ekspor gula terbesar kedua setelah Cuba. Namun keadaan tersebut semakin menurun. Sejak tahun 1966 ekspor sama sekali terhenti dan dalam jumlah tertentu gula telah diimpor (Mubyarto, 1984). Semenjak tahun 2008, kinerja industri gula memang mengalami peningkatan, namun secara agregat kinerja pabrik gula saat ini masih jauh dibandingkan dengan kinerja pabrik gula pada tahun 1930-an dimana industri gula sempat berjaya dibawah pemerintahan Hindia-Belanda. Penyebab utama penurunan industri gula Indonesia adalah kapasitas dan efisiensi pabrik gula (PG) yang sangat rendah dibandingkan dengan industri gula di negara-negara penghasil gula lainnya. Selain itu, inefisiensi di tingkat usaha tani di Indonesia dan perdagangan gula di pasar Internasional yang sangat fluktuatif juga turut memperburuk kondisi industri gula Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah
dan regulasi juga dianggap masih kurang efektif untuk dapat mendorong pertumbuhan industri gula. Tabel 1.1 Jumlah Pabrik Gula dan Kapasitas Giling Pabrik Gula di Indonesia Tahun 2010 Jumlah PG Kapasitas Giling No. Perusahaan / PT. PG (Unit) (Ton/Hari) Jawa: 1 PTPN IX 8 17.707 2 PTPN X 11 39.942 3 PTPN XI 16 39.201 4 PT Rajawali I 2 19.750 5 PT Rajawali II 5 14.000 6 PT Candi 1 2.750 7 PT Madu Baru 1 3.300 8 PT Kebon Agung 2 12.360 9 PT Industri Gula Indonesia 1 1.800 10 PT Pakis Baru 1 4.000 Jumlah Pulau Jawa 48
1 2 3 4 5 6 7 8
Luar Jawa: PTPN II PTPN VII PTPN XIV PT Gunung Madu Plantation PT Sugar Group PT PG Gorontalo PT Pemuka Sakti Manis Indah PT Laju Perdana Indah Jumlah Luar Jawa Jumlah Indonesia
2 2 3 1 3 1 1 1 14 62
7.162 10.986 6.840 12.473 27.000 8.500 5.500 -
Sumber : Dewan Gula Indonesia (2011)
Kondisi industri gula yang semakin menurun dari tahun ke tahun mengakibatkan adanya kesenjangan antara produksi dan konsumsi gula nasional. Disisi produksi, terjadi inefisiensi dari sektor on farm hingga off farm yang mengakibatkan penurunan jumlah produksi gula. Disisi konsumsi, dengan meningkatnya jumlah penduduk, bertambahnya pendapatan per kapita, dan pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman serta perubahan yang
terjadi pada pola konsumsi masyarakat, maka pada tahun-tahun mendatang dapat dipastikan bahwa jumlah konsumsi gula akan terus meningkat. Keterbatasan kapasitas produksi akan mengakibatkan selisih antara produksi dan konsumsi selalu negatif (Tabel 1.2). Tabel 1.2 Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula di Indonesia Tahun 2000-2010 Defisit (ton) Tahun Produksi Gula (ton) Konsumsi Gula (ton) 2000 1.690.004 2.989.170 -1.299.166 2001 1.725.467 3.085.820 -1.360.353 2002 1.755.434 3.190.540 -1.435.106 2003 1.631.919 3.301.872 -1.669.953 2004 2.051.643 3.402.429 -1.350.786 2005 2.241.742 3.436.623 -1.194.881 2006 2.307.027 4.252.793 -1.945.766 2007 2.448.143 4.703.434 -2.255.291 2008 2.668.428 4.341.114 -1.672.686 2009 2.299.504 5.292.110 -2.992.606 2010 2.214.488 4.757.383 -2.542.895 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2011)
Kenaikan konsumsi gula yang lebih cepat dibandingkan dengan kenaikan produksi gula, mengakibatkan perlunya impor gula (Tabel 1.3). Ketimpangan ini perlu segera diakhiri karena mengakibatkan penggunaan devisa negara untuk membeli gula di pasaran dunia yang seharusnya masih dapat dicukupi oleh produksi dalam negeri. Harga gula baik domestik maupun Internasional tidak hanya dipengaruhi oleh komoditi gula tersebut namun juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik para pemangku kekuasaan, hal ini dikarenakan komoditi gula merupakan salah satu komoditi strategis dan sangat fluktuatif perubahan harganya sehingga peningkatan penggunaan devisa guna memenuhi kebutuhan gula nasional akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional.
Pasar gula dunia hanya dikuasai oleh sejumlah kecil negara produsen utama dan pedagang besar. Hal ini menunjukkan struktur pasar yang oligopolistik. Lebih jauh lagi harga gula internasional tidak menggambarkan tingkat efisiensi karena telah terdistorsi oleh berbagai bantuan atau subsidi domestik, pembatasan akses pasar serta subsidi ekspor. Kebijakan pembatasan impor tidak saja dilakukan oleh negara pengimpor tapi juga negara pengekspor (Subari, 2009). Tabel 1.3 Jumlah Impor Gula Indonesia Tahun 2003-2010 Impor (Ton) Tahun Gula Putih Raw Sugar 2003 647.908 673.399 2004 256.589 475.493 2005 453.160 771.555 2006 216.490 462.741 2007 448.681 865.746 2008 49.025 489.290 2009 13.000 254.230 2010 423.092 308.277
Total 1.321.307 732.082 1.224.715 679.231 1.314.427 538.315 267.230 731.369
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2011) Ket: Raw Sugar= bahan baku gula rafinasi untuk industri
Harga gula impor yang lebih murah dengan kualitas yang tidak jauh berbeda dengan gula lokal semakin mempersulit industri gula dalam negeri untuk bersaing. Kesulitan tersebut semakin rumit dengan kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap perkembangan industri gula dalam negeri. Impor gula tidak saja merugikan para pelaku di industri gula namun juga mengancam ketahanan pangan nasional. Semakin tinggi tingkat impor maka semakin tinggi pula ketergantungan terhadap negara lain yang berperan sebagai negara pengimpor. Pemerintah memiliki kekhawatiran yang besar atas tingginya volume impor gula karena dapat mengancam ketahanan pangan. Ketahanan pangan seperti
yang tercantum dalam UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan (food security) sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial (socio security), stabilitas ekonomi, politik, keamanan dan ketahanan nasional. Ketahanan pangan merupakan hal penting bagi negara berkembang yang memiliki banyak penduduk namun daya belinya rendah seperti Indonesia (Subari, 2009). Salah satu upaya pemerintah untuk dapat menjaga ketahanan pangan nasional adalah dengan mencanangkan program swasembada bahan makanan pokok yang salah satunya adalah swasembada gula. Swasembada dicanangkan guna mencapai kemandirian pangan mengingat kondisi di pasar pangan dunia menunjukkan lonjakan harga yang luar biasa. Hal tersebut merupakan dampak dari tindakan defensif dan protektif dari negaranegara produsen utama yang mulai membatasi supply untuk pasar dunia sejak adanya isu pemanasan global. Selain itu, fenomena peralihan bahan bakar fosil menjadi bahan bakar nabati pun ternyata turut menggerek harga beberapa komoditi pangan yang juga merupakan bahan bakar nabati seperti tebu. Faktor lain yang juga turut melejitkan harga pangan dunia adalah terjadinya spekulasi di pasar uang Amerika. Prospek investasi di bidang properti yang memburuk akibat tersandung kredit macet membuat para investor berbondong masuk dalam bisnis komoditas pangan akibatnya terjadilah spekulasi harga pangan. Stok yang menipis dan harga yang melejit mau tidak mau membuat negara importir pangan seperti Indonesia harus mandiri (Rahman, 2008).
Dengan menilik sejarah mengenai perkembangan industri gula, Indonesia sangat berpotensi untuk dapat mengembangkan industri gula sehingga mampu mencapai kejayaannya kembali. Sebagai upaya mendukung pengembangan industri gula dalam negeri, pemerintah menetapkan program pencapaian swasembada gula nasional pada tahun 2014 mendatang. Kebijakan tersebut sebagai upaya pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan nasional mengingat gula merupakan salah satu komoditi strategis dalam perekonomian Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah Peningkatan kebutuhan gula nasional masih belum dapat terpenuhi hanya dengan mengandalkan produksi dalam negeri (Gambar 1.1). Oleh sebab itu, pemerintah masih melakukan impor guna memenuhi permintaan gula dalam negeri yang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan konsumsi gula sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan penduduk dan konsumsi gula per kapita serta perkembangan industri makanan, minuman dan farmasi yang menggunakan gula sebagai inputnya. Sedangkan perkembangan produksi tidak lepas dari perkembangan luas areal perkebunan, produktivitas tebu dan tingkat rendemennya. Besarnya konsumsi gula per kapita tahun 2010 mencapai 12 kg per kapita per tahun dan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,49 persen per tahun (BPS, 2010).
6000 5000
Ribu Ton
4000 3000
Produksi
2000
Konsumsi
1000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
0
Gambar 1.1 Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia Tahun 2000-2010
Industri gula Indonesia dimasa yang akan datang akan menghadapi perubahan lingkungan yang berbeda dan dinamis baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal yang ditandai dengan adanya liberalisasi perdagangan dunia, sedangkan dari sisi internal mulai dari kurang efisiennya industri gula dalam negeri, tuntutan konsumen yang menginginkan harga yang rendah serta tuntutan petani tebu untuk meningkatkan kesejahteraannya (Hafsah, 2003). Menurut Hafsah (2003) kemampuan Indonesia dalam mengelola industri gula dan menjadi produsen gula telah diperhitungkan dunia karena: (1) telah dibuktikan oleh sejarah masa lalu, Indonesia sebagai salah satu eksportir gula dunia, (2) potensi sumberdaya alam berupa tanah, agroekologi cukup tersedia, (3) sumberdaya manusia disamping cukup juga telah berpengalaman dalam usaha tani, pengolahan dan tataniaga gula, (4) potensi pasar dalam negeri cukup tinggi dan (5) teknologi terutama kultur teknis cukup tersedia. Salah satu cara untuk mengetahui kemampuan Indonesia dalam memproduksi gula dan tingkat
konsumsinya adalah dengan melakukan peramalan produksi dan konsumsi gula untuk beberapa tahun yang akan datang. Pemerintah mencanangkan pencapaian program swasembada gula nasional pada tahun 2014. Selain merencanakan program tersebut, pemerintah juga menetapkan sasaran-sasaran yang akan dicapai dalam setiap tahunnya dan melakukan proyeksi serta peramalan untuk melihat kemungkinan pencapaian sasaran-sasaran tersebut. Dalam melakukan peramalan, pemerintah menggunakan asumsi-asumsi yang berkaitan erat dengan kondisi masyarakat yaitu laju peningkatan jumlah penduduk, laju peningkatan daya beli masyarakat, besarnya konsumsi gula per kapita per tahun dan laju peningkatan konsumsi gula untuk industri. Seluruh kebijakan dan langkah-langkah untuk mewujudkan swasembada gula nasional tertuang dalam roadmap swasembada gula. Peramalan yang dilakukan oleh pemerintah yang didasari oleh berbagai asumsi mempunyai keterbatasan salah satunya adalah perbedaan antara asumsi yang digunakan dengan kenyataan di lapangan yang sering terjadi sehingga menyebabkan adanya bias pada hasil peramalan yang dilakukan. Selain itu, hasil peramalan tidak mampu memperlihatkan pola fluktuasi produksi dan konsumsi gula, sehingga diperlukan peramalan dengan memanfaatkan pola yang terjadi pada data produksi dan konsumsi gula untuk mendapatkan hasil peramalan dari sudut pandang lain. Sesuai dengan program pemerintah mewujudkan swasembada gula nasional pada tahun 2014 maka peramalan dilakukan untuk empat tahun yang akan datang. Peramalan dilakukan sebagai informasi dasar untuk menyusun
perencanaan dan pengambilan keputusan di masa mendatang. Diperlukan rumusan kebijakan menyangkut seluruh aspek sosial ekonomi dan teknis pergulaan agar pembangunan industri gula dan perkembangannya dapat terwujud sehingga dapat menempatkan posisi Indonesia sebagai produsen gula terkemuka di dunia. Adanya ketidakpastian dalam produksi dan konsumsi gula yang disebabkan oleh berbagai faktor mengindikasikan bahwa peramalan memang penting dilakukan. Dengan adanya peramalan maka dapat diketahui target produksi gula yang harus dicapai agar pencapaian swasembada gula dapat diupayakan. Berdasarkan
uraian
tersebut,
maka
permasalahan
yang
dibahas,
diantaranya: 1. Bagaimana tingkat produksi dan konsumsi gula di Indonesia, apakah target swasembada gula nasional pada tahun 2014 dapat tercapai ? 2. Alternatif upaya apa yang harus dilakukan untuk mencapai swasembada gula nasional pada tahun 2014?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan melihat bagaimana kondisi tingkat produksi dan konsumsi gula di Indonesia hingga tahun 2014 dan gambaran pencapaian swasembada gula nasional melalui skenario kebijakan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh pemerintah. Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis perkembangan tingkat produksi dan konsumsi gula nasional hingga tahun 2014. 2. Menganalisis upaya yang dapat dijadikan alternatif dalam mendorong pencapaian swasembada gula nasional pada tahun 2014.
1.4 Manfaat Penelitian Secara umum hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi industri gula di Indonesia dan kemungkinan pencapaian swasembada gula nasional pada tahun 2014. Dengan mengetahui kondisi industri gula di Indonesia diharapkan mampu memberikan informasi kepada pemerintah, para pengusaha dan investor di bidang pergulaan serta masyarakat untuk dapat mengambil langkah-langkah tepat guna mendukung perkembangan industri gula Indonesia. Secara khusus manfaat dari hasil penelitian ini adalah: 1. Bagi pemerintah sebagai pembuat dan pengambil kebijakan, penelitian ini berguna sebagai gambaran keadaan industri gula di Indonesia meliputi kapasitas produksi, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia, dan pengaruh perluasan area serta produktivitas yang dapat dijadikan bahan acuan dalam perumusan kebijakan sehingga menghasilkan kebijakan yang tepat dan mampu mendorong pertumbuhan industri gula di Indonesia. 2. Bagi para pelaku usaha, penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran kondisi industri gula Indonesia saat ini sehingga para pelaku usaha mampu
mengambil langkah-langkah yang tepat guna mengembangkan usahanya dalam menghadapi persaingan global. 3. Bagi
penulis,
penulisan ini
berguna sebagai
sarana menambah
pengetahuan tentang kondisi industri gula Indonesia pada saat ini dan permasalahan serta kendala yang dihadapinya sehingga mampu menjawab tantangan-tantangan yang ada dihadapannya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis mengenai tingkat produksi dan tingkat konsumsi gula di Indonesia sehingga dapat melihat dampaknya terhadap pencapaian target swasembada gula di tahun 2014. Analisis diawali dengan melihat pola pergerakan produksi dan konsumsi gula di Indonesia kemudian membuat model yang paling tepat untuk menggambarkan pergerakan tingkat produksi dan konsumsi sehingga dapat dilakukan peramalan apakah pada tahun 2014 dapat dicapai swasembada gula nasional. Selain itu, penelitian ini juga melihat bagaimana kombinasi peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen tanpa kebijakan penambahan pabrik gula baru dan dengan kebijakan penambahan pabrik gula baru yang dicanangkan oleh pemerintah sebagai upaya pencapaian swasembada gula nasional 2014. Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain: 1. Data yang digunakan adalah data tahunan (1980-2010) sehingga model yang dihasilkan tidak mampu menggambarkan fluktuasi bulanan maupun musiman.
2. Adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang sebenarnya mampu menjelaskan permasalahan seputar industri gula tidak termasuk ke dalam variabel yang dijelaskan dalam penelitian ini. Sehingga kebijakan pemerintah diasumsikan ceteris paribus.
II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Karakteristik Produksi Tebu Tebu (Sacharum officanarum) merupakan bahan baku utama produksi gula. Oleh karena itu, peningkatan produksi gula sangat erat kaitannya dengan pengembangan tanaman tebu. Mengetahui karakteristik produksi dan komoditi tebu sangat penting untuk dapat meningkatkan produktivitas dan produksi tebu. Komoditi tebu dihasilkan dalam jumlah yang besar yang tidak dapat disimpan lama (Mochtar, 1982). Penanaman
tebu
dilakukan
pada
bulan-bulan
tertentu
dengan
mempertimbangkan kesesuaian iklim atau lingkungan yang tepat pada masa giling pabrik. Tebu biasanya ditanam pada akhir musim kemarau setelah panen padi musim hujan. Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap mutu tebu khususnya kondisi lahan dan curah hujan. Tanaman tebu membutuhkan banyak air pada masa vegetatif dan membutuhkan lingkungan yang kering pada saat proses pemasakannya. Apabila masa tanam tidak sesuai dengan jadwal tanam yang telah direncanakan, maka kemungkinan akan terjadi resiko keterlambatan tebang atau tebang lebih awal, sehingga tingkat rendemen tebu yang dicapai tidak optimal. Tanaman tebu ditebang pada umur rata-rata 12-14 bulan untuk mencapai kadar sukrosa 10 persen. Semakin lama masa panennya, kadar sukrosa bisa meningkat 14 sampai 15 persen (Mubyarto, 1984). Setelah dipanen sekali, tebu bisa dibiarkan tumbuh kembali untuk dipanen kedua kalinya dengan rumpun tanaman yang sama (rattooning).
Pemanenan tebu merupakan serangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan dari kebun ke pabrik. Dalam pelaksanaannya memerlukan perencanaan yang matang dan koordinasi yang baik untuk mencapai hasil yang maksimal. Penebangan adalah kegiatan penyiapan tebu untuk diangkut ke pabrik, dimana kegiatannya sendiri terdiri dari penebangan, pembersihan dari segala kotoran dan penyiapan tebu ke pengangkutan. Tebu ditebang jika telah masak dan memiliki rendemen cukup tinggi. Kegiatan pengangkutan tebu harus dilakukan dengan cepat dan aman dalam arti tidak menimbulkan kerusakan atau kehilangan nira pada tebu selama pengangkutan, memenuhi target giling setiap harinya, tidak merusak lingkungan dan dalam jangkauan biaya (Mochtar, 1982) Tebu memerlukan pengangkutan yang cepat agar segera dapat digiling. Sifatnya yang tak tahan lama ini berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas gula yang dihasilkan. Tebu yang telah dipotong harus segera sampai di pabrik untuk diproses.
Keterlambatan
akan
mengakibatkan
sulitnya
kristalisasi
atau
pembusukan dan pengasaman tebu (Mubyarto, 1984). Proses tebang, muat, dan angkut dapat mengakibatkan susut rendemen gula yang dihasilkan. Notojoewono (1984) menyatakan bahwa kehilangan gula dari saat tebang sampai akhir pengolahan dapat mencapai 35 persen. Kehilangan yang terjadi pada saat tebang sampai giling berkisar 5 sampai 25 persen. Kehilangan ini terutama disebabkan keterlambatan giling sehingga tebu menjadi rusak. Kerusakan tebu tidak hanya menyebabkan kehilangan gula, tetapi juga menyebabkan pengolahan tebu menjadi lebih sulit.
Menggiling tebu merupakan kegiatan musiman, dimulai bulan Mei atau Juni dan diteruskan sampai September atau Oktober, tetapi beberapa pabrik hanya menggiling beberapa saat saja selama musim giling. Industri gula merupakan industri yang menggunakan labor intensif. Namun kebutuhan tenaga kerjanya terpusat hanya dalam periode tertentu dan jangka waktu yang pendek. Selama masa giling, penanaman dan pemungutan hasil semuanya dikerjakan oleh manusia, hanya sedikit yang menggunakan mesin. Tebu diproses melalui beberapa tahap untuk menghasilkan gula (Gambar 2.1). Akibat pengolahan ini identitas tebu hilang. Kualitas gula yang dihasilkan relatif berbeda antara satu pabrik dengan pabrik lain.
Sumber: Soekartawi (2006) Gambar 2.1 Proses Pengolahan Tebu Menjadi Gula
2.2 Konsumsi dan Produksi Gula Dalam sistem pergulaan nasional kebutuhan gula dibagi dua yaitu untuk konsumsi langsung (rumahtangga) dengan kualitas gula kristal putih (GKP) dan kebutuhan tidak langsung untuk industri makanan, minuman dan farmasi dengan kualitas gula kristal rafinasi (GKR). Konsumsi langsung dapat diartikan bahwa masyarakat mengkonsumsi langsung dalam bentuk gula pasir untuk menu makanan atau minuman sehari-hari, sedangkan konsumsi tidak langsung merupakan konsumsi gula yang dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk makanan atau minuman (produk olahan) yang menggunakan gula pasir atau turunannya sebagai pemanis atau pengawet (Dewan Gula Indonesia, 2006). Kebudayaan mengkonsumsi gula di Indonesia sudah berjalan seiring dengan tumbuhnya budaya bangsa Indonesia. Tinjauan dari aspek perkembangan konsumsi gula pasir di Indonesia sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat yang sangat menentukan keputusan dalam mengkonsumsi gula. Gula pasir merupakan sumber energi karena gula merupakan salah satu dari kelompok karbohidrat yang dapat menghasilkan energi bagi tubuh. Posisi gula pasir sebagai pemanis yang dikonsumsi oleh masyarakat sulit digantikan dengan bahan pemanis alami lainnya yang berasal dari buah-buahan. Selain persepsi masyarakat, jumlah penduduk dan banyaknya industri yang menggunakan gula sebagai bahan bakunya juga sangat memengaruhi tingkat konsumsi gula nasional. Dalam perindustrian gula yang mengolah bahan baku (raw material) tebu menjadi gula pasir akan sangat tergantung pada beberapa faktor. Secara garis besar terdapat dua faktor yang memengaruhi hasil produksi gula (rendemen) yang
akan dihasilkan. Besarnya rendemen 75 persen tergantung dari faktor luar pabrik dan 25 persen tergantung faktor dalam pabrik. Rendemen tebu merupakan nilai persentase kadar gula yang terkandung dalam satu satuan unit berat tebu. Faktor luar pabrik terkait dengan tanaman tebu yaitu kandungan sukrosa, sabut maupun kadar nira dalam tebu pada saat ditebang. Faktor ini merupakan tugas dari bidang tanaman yang meliputi pemilihan varietas tebu dan teknik budidaya tebu yang menyangkut jenis tanah dan cara pengolahannya, masa tanam, pemupukan, pengairan, perlindungan tanaman, masalah panen dan pascapanen. Faktor dalam pabrik, yaitu faktor yang memengaruhi tinggi rendahnya hasil gula yang dicapai mulai dari menggiling tebu, kemudian mengolah nira mentah yang diperoleh sampai menjadi gula (Sumarno, 1996). Komoditi gula mempunyai karakteristik yang unik. Gula (hablur) yang dihasilkan sangat tergantung pada kualitas tebu yang ditanam. Hal inilah yang menyulitkan pemasaran. Selain itu, produk gula juga sangat dipengaruhi oleh musim, sehingga produksi tidak merata sepanjang tahun. Sifat komoditinya relatif homogen perbedaan hanya pada kualitasnya. Akibatnya harga harus identik dengan kualitas sehingga masalah kualitas sangat menentukan dalam pemasaran (Hasan, 1983). Selain menjadi gula, tebu juga menghasilkan hasil sampingan lainnya (Gambar 2.2). Hasil sampingan dari pengolahan tebu tersebut beberapa diantaranya merupakan input bagi industri lain seperti industri makanan ternak. Hal tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara industri tebu dengan industri-industri lainnya.
Sumber: Ditjen Perkebunan (1980) Gambar 2.2 Diagram Pohon Industri dari Tebu
2.3 Swasembada Gula Pengertian umum swasembada untuk suatu produk di suatu negara akan tercapai apabila secara netto jumlah produk dalam negeri minimal mencapai 90 persen dari jumlah konsumsi domestiknya, baik untuk memenuhi konsumsi rumahtangga, industri maupun neraca perdagangan nasional. Dengan pengertian tersebut yang dimaksud swasembada gula adalah produksi gula berbasis tebu
dalam negeri telah mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional baik konsumsi langsung maupun konsumsi tidak langsung dan memenuhi neraca gula nasional (Ditjen Perkebunan, 2006). Pemerintah berupaya untuk mewujudkan swasembada gula di Indonesia dengan sasaran: (a) Jangka Pendek (2010–2014) 1. Tercapainya swasembada gula nasional tahun 2014 (Gula Kristal Putih, Gula Kristal Rafinasi dan Raw Sugar). 2. Berhasilnya revitalisasi program pabrik gula melalui peningkatan mutu dan volume produksi gula kristal putih. 3. Meningkatnya produksi raw sugar dalam negeri. 4. Memberlakukan SNI wajib gula putih. (b) Jangka Menengah (2015–2020) 1. Pemenuhan berbagai jenis gula dari produksi dalam negeri 2. Ekspor gula setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi 3. Restrukturisasi
teknologi
proses
pada
Industri
gula
sesuai
perkembangan yang terjadi. 4. Penghapusan dekotomi pasar gula rafinasi yang dapat pula dijual ke konsumen langsung. (c) Jangka Panjang (2020–2025): Indonesia menjadi negara produsen gula yang mampu memasok kebutuhan gula negara-negara lain di Asia Pasifik.
Tujuan Program Swasembada Gula 1. Memenuhi kebutuhan gula nasional secara keseluruhan, baik untuk konsumsi langsung maupun industri; 2. Mendayagunakan sumberdaya/aset secara optimal berdasarkan prinsip keunggulan kompetitif wilayah dan efisiensi secara nasional; 3. Meningkatkan kesejahteraan petani/ produsen dan stakeholder lainnya; 4. Memperluas kesempatan kerja dan peluang berusaha dikawasan pedesaan, sehingga
secara
nyata
berdampak
positif
terhadap
pemberantasan
kemiskinan (Ditjen Perkebunan, 2006).
2.4 Teori Peramalan Peramalan merupakan dasar untuk penyusunan rencana yang digunakan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Peramalan dilakukan dengan menggunakan berbagai metode sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Peramalan diperlukan karena adanya perbedaan waktu antara kesadaran akan dibutuhkannya suatu kebijakan baru dengan waktu pelaksanaan kebijakan tersebut. Jadi, dalam menentukan kebijakan perlu diperkirakan kesempatan atau peluang yang ada dan ancaman yang mungkin terjadi. Efektif atau tidaknya suatu rencana yang telah disusun sangat ditentukan oleh kemampuan para penyusunnya untuk meramalkan situasi dan kondisi pada saat rencana tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, peramalan sangat diperlukan guna memberi gambaran pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan yang efektif dan efisien (Assauri, 1984).
Dilihat dari sifat penyusunannya, peramalan dapat dibedakan menjadi: (1) Peramalan subjektif, yaitu peramalan yang didasarkan atas perasaan atau intuisi dari orang yang menyusunnya. Dalam hal ini pandangan dari penyusun sangat menentukan baik atau tidaknya hasil peramalan tersebut. (2) Peramalan objektif, merupakan peramalan yang didasarkan atas data yang relevan pada masa lalu, dengan menggunakan teknik-teknik dan metodemetode dalam penganalisaan data tersebut. Jika dilihat dari jangka waktu ramalan yang disusun, peramalan dapat dibedakan menjadi: a. Peramalan jangka panjang, yaitu penyusunan hasil peramalan yang jangka waktunya lebih dari satu setengah tahun atau tiga semester. Misalnya, penyusunan rencana pembangunan suatu negara atau daerah. b. Peramalan jangka pendek, yaitu penyusunan hasil peramalan dengan jangka waktu yang kurang dari satu setengah tahun atau tiga semester. Misalnya, rencana kerja operasional dan anggaran yang disusun sebagai rencana tahunan. Berdasarkan sifat peramalan yang disusun, peramalan dapat dibedakan menjadi: 1) Peramalan kualitatif, yaitu peramalan yang didasarkan atas hasil penyelidikan dari data kualitatif pada masa lalu. Hasil peramalan akan sangat tergantung pada pemikiran para penyusunnya yang bersifat intuisi, judgement atau pendapat dan pengetahuan serta pengalaman dari penyusunnya.
2) Peramalan kuantitatif, yaitu peramalan yang didasarkan atas data kuantitatif pada masa lalu. Hasil peramalan sangat tergantung pada metode yang digunakan dalam peramalan tersebut. Hal yang harus diperhatikan adalah baik atau tidaknya metode yang digunakan. Peramalan kuantitatif hanya dapat digunakan apabila terdapat tiga kondisi seperti (Assauri, 1984): a. Adanya informasi tentang keadaan yang lain b. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data c. Dapat diasumsikan bahwa pola yang lalu akan berkelanjutan pada masa yang akan datang.
2.5 Metode Peramalan Time Series Metode peramalan adalah cara memperkirakan secara kuantitatif apa yang akan terjadi pada masa depan berdasarkan data yang relevan pada masa lalu (Assauri, 1984). Metode time series ini merupakan suatu metode yang mengasumsikan nilai dari suatu peubah pada masa yang akan datang mengikuti pola data peubah tersebut pada waktu sebelumnya. Keberhasilan dari suatu peramalan sangat ditentukan oleh (1) pengetahuan tentang informasi data masa lalu yang dibutuhkan, informasi ini bersifat kuantitatif, (2) teknik dan metode peramalan (Assauri, 1984) Langkah pertama yang dilakukan dalam metode peramalan adalah menentukan jenis data. Jenis pola data dapat dilihat dengan melakukan identifikasi plot data. Hal ini sangat penting dilakukan agar dapat menentukan
metode yang paling tepat untuk menganalisa data tersebut. Penggunaan metode analisis yang tepat akan dapat menjadikan hasil dari analisis akurat dan lebih mudah diinterpretasikan. Plot data dibuat dengan tujuan melihat: a. Keragaan fluktuasi produksi dan konsumsi sebagai pertimbangan awal yang membantu dalam pemilihan metode peramalan kuantitatif didalam pengolahan selanjutnya. b. Membantu melihat pencilan-pencilan data yang disebabkan oleh aspek human error dalam database serial produksi dan konsumsi. Plot data dapat dibedakan menjadi 4 jenis siklis dan trend, yaitu: a. Pola horizontal, terjadi bila nilai data berfluktuasi disekitar nilai rata-rata yang konstan atau stasioner terhadap nilai rata-ratanya. b. Pola musiman, terjadi bila suatu deret data dipengaruhi oleh faktor musiman misalnya kuartalan tahun tertentu, bulanan, atau hari-hari pada minggu tertentu. c. Pola siklis, terjadi bila data dipengaruhi oleh fluktuasi ekonomi jangka panjang seperti yang berhubungan dengan siklus bisnis. d. Pola trend, terjadi bila terdapat kenaikan atau penurunan sekuler jangka panjang dalam data. Setelah menentukan jenis pola data dari data yang akan dianalisa, maka dapat ditentukan model peramalan yang paling tepat digunakan sehingga mampu menghasilkan output yang berkualitas.
Pada dasarnya metode peramalan time series terdiri dari: A. Metode Naive Menurut Mulyono (2000) dalam model naive keadaan sekarang merupakan penjelas yang baik untuk masa yang akan datang. Metode ini menganggap bahwa di masa depan suatu sistem cenderung mempertahankan momentum (enggan berubah dari) masa silam. Model naive merupakan metode yang paling sederhana dan mudah digunakan tanpa bantuan komputer. Pada model naive, nilai data aktual terakhir dijadikan dasar peramalan untuk periode berikutnya. Metode ini cocok untuk pola data horizontal dan relatif konstan dan hanya mampu menghasilkan ramalan satu periode ke depan. Bentuk persamaan umum dari model naive adalah (Hanke, 2005): (2.1) dimana: : nilai ramalan untuk periode satu periode ke depan Yt
: nilai aktual pada waktu ke-t
B. Metode Smoothing Metode smoothing atau pemulusan digunakan untuk mengurangi ketidakteraturan musiman dari data yang lalu maupun keduanya dengan membuat rata-rata tertimbang dari sederetan data yang lalu. Metode ini lebih tepat jika diterapkan dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang menjadi kurang tepat. Data yang dibutuhkan untuk menggunakan metode ini adalah minimum dua tahun atau dua periode waktu. Contoh kasus yang dapat menggunakan peramamalan metode smoothing adalah perencanaan pengendalian
produk dan keuangan. Metode smoothing terdiri dari metode rata-rata dan metode smoothing eksponensial.
B.1 Metode Rata-rata Metode ini menetapkan bahwa rata-rata pada sekelompok data pada masa lalu dapat dijadikan acuan dalam peramalan periode mendatang. Metode ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: B.1.1 Metode Rata-rata Sederhana (Simple Average) Metode ini memakai nilai rata-rata dari seluruh nilai ramalan periode berikutnya. Jika data yang digunakan telah berkisar pada nilai tengahnya atau stasioner, dengan cara tersebut nilai ramalan akan lebih akurat. Metode ini tidak memperhitungkan trend dan musiman, dan hanya mampu memberikan ramalan untuk satu periode ke depan serta tidak praktis karena peramal harus menyimpan semua data historis nilai rata-rata data secara keseluruhan ramalan untuk periode berikutnya. Bentuk umum persamaan metode Simple Average, yaitu: (2.2) dimana :
= nilai ramalan untuk satu periode ke depan Yt
= nilai aktual pada waktu ke-t
B.1.2 Metode Rata-rata Bergerak Sederhana (Simple Moving Average) Mulyono (2000) menjelaskan bahwa metode simple moving average digunakan dengan memodifikasi pengaruh data masa lalu terhadap nilai rata-rata untuk menetapkan seberapa banyak observasi terakhir yang diikutsertakan dalam
peramalan. Jika terdapat observasi baru, maka rata-rata yang baru dapat dihitung dengan menghilangkan data terlama dan menggantinya dengan data terbaru. Persamaan umum untuk metode rata-rata bergerak sederhana adalah: (2.3) dimana: = nilai ramalan untuk satu periode ke depan Yt
= nilai aktual pada waktu ke-t
k
= ordo dari rata-rata bergerak
Yt - k+1 = nilai pada waktu sebelum t dengan ordo selanjutnya (k+1)
B.2 Metode Eksponensial Metode ini dilakukan dengan merevisi nilai ramalan secara terus menerus dengan mempertimbangkan fluktuasi data terakhir untuk dapat menghilangkan komponen random dari data tersebut. Kelebihan metode ini adalah lebih akurat untuk peramalan dalam jangka pendek, lebih mudah dalam penyiapan peramalan, tidak membutuhkan data historis yang besar, dan peramalan untuk periode berikutnya mudah dihitung. Namun, pada tahap awal membutuhkan waktu untuk mendapatkan pembobot yang optimal dan nilai tersebut harus selalu dimonitor. Metode peramalan ini terdiri dari dua kelompok, yaitu: B.2.1 Metode Pemulusan Eksponensial Tunggal (Single Exponential Smoothing) Metode ini cocok digunakan untuk peramalan jangka pendek dengan memanfaatkan data time series tanpa trend. Metode ini memiliki keunggulan yaitu kemudahan penyimpanan data. Kelemahannya terletak pada penentuan nilai
koefisien pemulusan (α) yang optimal. Penentuan tersebut dengan cara melakukan coba-coba secara berulang sampai menemukan koefisien yang optimal. Hal tersebut menjadikan metode ini cukup menyita waktu. Bentuk persamaan umum dari metode eksponensial tunggal adalah:
(2.4) dimana: = nilai ramalan untuk satu periode ke depan = nilai ramalan pada waktu ke-t α
= koefisien pemulusan (0 < α < 1) = nilai aktual pada periode ke-t
B.2.2 Metode Pemulusan Eksponensial Ganda Holt (Holt’s Double Exponential Smoothing) Dalam metode eksponensial berganda Holt, peramalan tidak menggunakan perhitungan pemulusan berganda secara langsung, menghaluskan nilai trend dengan konstanta yang berbeda dari konstanta yang digunakan pada serial data merupakan cara peramalannya. Persamaan yang digunakan dalam metode ini terdiri dari tiga persamaan yaitu persamaan perhitungan untuk smoothing eksponensial data, trend dugaan dan peramalan periode mendatang. Tingkat kerumitan dalam penggunaan metode ini cukup tinggi dimana peramal harus menemukan dua parameter yaitu koefisien pemulusan (α) dan koefisien estimasi trend () yang optimal. Penentuan tersebut dilakukan dengan cara coba-coba.
Tiga bentuk umum persamaan eksponensial ganda Holt yang digunakan, yaitu: 1. Pemulusan eksponensial: (2.5) 2. Estimasi trend (2.6) 3. Peramalan periode ke-p (2.7) dimana: = nilai pemulusan aktual (estimasi level saat ini) = koefisien pemulusan pada level (0 <
< 1)
= nilai aktual pada periode ke-t = koefisien estimasi trend (0 <
< 1)
= estimasi trend = periode peramalan di masa yang akan datang = peramalan untuk periode ke- pada waktu yang akan datang
B.2.3 Metode Eksponensial Ganda Winters (Winters’s Double Exponential Smoothing) Metode ini memperhitungkan adanya trend dan pola musiman. Persamaan yang digunakan dalam metode ini terdiri dari empat persamaan yaitu persamaan perhitungan untuk pemulusan eksponensial data, estimasi trend, estimasi musiman dan peramalan periode mendatang. Dalam metode ini juga diperlukan koefisien untuk pemulusan eksponensial data (α), koefisien untuk estimasi trend () dan koefisien untuk estimasi musiman (). Koefisien-koefisien tersebut ditentukan
dengan cara coba-coba sampai menemukan koefisien yang optimal yang mampu mewakili variabelnya. Empat persamaan yang digunakan dalam metode Winters’, yaitu: 1. Exponentially smoothed series (2.8) 2. Estimasi trend (2.9) 3. Estimasi musiman (2.10) 4. Peramalan untuk periode ke-p (2.11) dimana: = nilai pemulusan aktual = koefisien pemulusan untuk level = nilai aktual pada periode ke-t = koefisien pemulusan untuk estimasi trend = estimasi trend = koefisien pemulusan untuk estimasi musiman = estimasi musiman = periode peramalan di masa yang akan datang = panjang musim = peramalan untuk periode ke-p
C. Metode Box-Jenkins (ARIMA) Metode Box-Jenkins atau ARIMA merupakan metode yang menggunakan dasar deret waktu dengan model matematis, dengan tujuan agar kesalahan yang terjadi dapat sekecil mungkin. Oleh karena itu, penggunaan metode ini
membutuhkan identifikasi model dan estimasi parameternya. Metode ini sangat baik digunakan dalam peramalan jangka pendek. Metode Box Jenkins atau Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) merupakan gabungan dari model Autoregressive (AR) dan Moving Average (MA). Model ARIMA memperlihatkan variabel dependen yang dipengaruhi oleh variabel dependen itu sendiri pada periode-periode sebelumnya. Yang membedakan model AR dan MA adalah pada jenis variabel independennya. Variabel independen pada model AR adalah nilai sebelumnya (lag) dari variabel dependen (Yt) itu sendiri. Sedangkan pada model MA, variabel independennya adalah nilai residual pada periode sebelumnya. Hanke (2005) menjelaskan alasan penggunaan metode ARIMA yaitu: 1. Metode tersebut dapat menghasilkan ramalan akurat berdasarkan uraian pola data historis dibandingkan dengan metode peramalan time series lainnya. 2. Model ARIMA merupakan gabungan autoregressive (AR) dengan moving average (MA) sehingga model ini lebih lengkap dibandingkan dengan metode peramalan time series lainnya. Model ARIMA adalah jenis model linear yang mampu mewakili deret waktu yang stasioner maupun nonstasioner. 3. Dalam peramalan ini tidak mengikutsertakan variabel bebas, seperti harga, produktivitas, daya beli konsumen, dan sebagainya, sehingga model ARIMA hanya menggunakan informasi dalam deret itu sendiri untuk menghasilkan ramalan. Dalam penelitian ini, data konsumsi dan produksi
gula nasional tahunan (1980-2010) akan meramalkan konsumsi dan produksi gula nasional di tahun-tahun yang akan datang (2011-2014). 4. Time series yang memiliki trend sebaiknya menggunakan teknik-teknik peramalan seperti rata-rata bergerak (moving average), exponential smoothing Holt, exponential smoothing Winter’s, regresi linear sederhana, dan ARIMA. Namun, karena rata-rata bergerak hanya dapat meramalkan satu periode ke depan, exponential smoothing tipe Holt lebih cocok untuk data yang stasioner, regresi linear sederhana dapat digunakan jika terdapat variabel bebas, sehingga yang paling tepat dari teknik-teknik peramalan yang ditawarkan untuk data time series dalam penelitian ini adalah model ARIMA.
Pendekatan model ARIMA memiliki keunggulan yaitu merupakan alat yang sangat kuat dalam menyediakan peramalan jangka pendek. Model ARIMA agak fleksibel dan dapat mewakili rentang yang lebar dari karakteristik deret waktu yang terjadi dalam prakteknya. Selain memiliki keunggulan, metode ARIMA juga memiliki keterbatasan dalam penggunaannya. Adapun beberapa kekurangan yang dimiliki oleh model ARIMA adalah: 1. Diperlukan data dalam jumlah yang besar. Untk data nonmusiman dibutuhkan sekitar 30 atau lebih pengamatan. Sementara untuk data musiman diperlukan sekitar 6 atau 10 tahun data, tergantung dari panjangnya periode musim untuk membentuk model ARIMA.
2. Tidak terdapat cara yang mudah untuk memperbaharui model ARIMA begitu data baru tersedia. Model harus secara berkala disesuaikan kembali secara menyeluruh dan kadang model baru harus dikembangkan.
2.6 Metode Regresi Berganda Metode regresi berganda digunakan untuk mengestimasi model yang dapat diguunakan untuk menggambarkan pengaruh variabel independen (luas areal, produktivitas dan rendemen) terhadap variabel dependen (produksi gula). Hasil estimasi model tersebut kemudian diuji melalui uji kriteria ekonometrika untuk mengetahui apakah ada multikolinearitas, heteroskedastisitas, autokorelasi dan normalitas yang dapat memengaruhi interpretasi dari hasil analisis yang diperoleh. Uji kriteria ekonometrika terdiri dari empat uji, yaitu: 1. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas mengacu pada kondisi dimana terdapat korelasi linear diantara variabel bebas sebuah model. Jika dalam sebuah model terdapat multikolinearitas maka akan menyebabkan nilai R-square yang tinggi dan variabel bebas yang tidak signifikan akan lebih banyak dibandingkan dengan yang signifikan mempengaruhi model. 2. Uji Heteroskedastisitas Kondisi heteroskedastisitas merupakan kondisi yang melanggar asumsi dari regresi linear klasik. Heteroskedastisitas menunjukkan nilai varian dari variabel bebas yang berbeda, sedangkan asumsi yang dipenuhi dalam linear klasik adalah mempunyai varian yang sama (konstan) atau homoskedastisitas. Pengujian
masalah
heteroskedastisitas
dilakukan
dengan
menggunakan
White
Heteroscedasticity Test. 3. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu dan ruang. Masalah autokorelasi dapat diketahui dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test. 4. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30 observasi. Pengujian ini dilakukan untuk melihat error term apakah terdistribusi secara normal. Uji ini disebut juga dengan Jarque-bera Test.
2.7 Tinjauan Penelitian Empirik Purwanto (2006) melakukan analisis mengenai peramalan konsumsi dan produksi gula serta implikasinya terhadap pencapaian swasembada gula di Indonesia. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa Indonesia belum mampu melaksanakan swasembada gula pada tahun 2014. Penelitian memberikan gambaran mengenai kombinasi kebijakan pemerintah yang dapat dilakukan untuk mendorong perkembangan industri gula dalam negeri sehingga mampu mencapai target swasembada nasional. Kebijakan tersebut terdiri dari perluasan lahan tanpa penambahan pabrik gula dan perluasan lahan dengan penambahan pabrik gula. Agustina (2010) melakukan analisis mengenai pola distribusi dan integrasi pasar gula pasir di Indonesia dengan menggunakan model IMC. Hasil dari penelitian menunjukkan adanya integrasi yang lemah baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang yang terjadi antara 11 provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara dengan pasar acuan yaitu Jawa Timur. Nugroho (2008) melakukan analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi impor gula di Indonesia dengan menggunakan analisis deskriptif untuk melihat perkembangan impor gula, luas lahan, produktivitas perkebunan tebu, produksi gula, konsumsi gula dan harga gula. Dari analisis tersebut diperoleh kesimpulan bahwa ketika terjadi peningkatan pada produksi gula, harga gula lokal dan harga gula Internasional maka akan berdampak pada penurunan impor gula. Sedangkan ketika konsumsi gula meningkat maka akan terjadi peningkatan pula pada impor gula Indonesia. Farihah (2005) meneliti tentang analisis peramalan produksi dan konsumsi serta implikasinya terhadap pencapaian swasembada beras di Indonesia dengan menggunakan metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Penelitian ini membandingkan antara hasil penelitian BPS dengan hasil penelitian peneliti. Hasil yang diperoleh menunjukkan menurut hasil ramalan BPS, Indonesia dapat mencapai swasembada beras dalam enam tahun yang akan datang. Sedangkan menurut hasil ramalan peneliti dengan menggunakan data produksi dan konsumsi modifikasi menunjukkan bahwa Indonesia masih belum mampu mencapai swasembada beras dalam enam tahun mendatang.
PERBEDAAN PENELITIAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU Penelitian
ini
memiliki
perbedaan
dengan
penelitian-penelitian
sebelumnya. Data yang digunakan merupakan data deret waktu dengan rentang waktu dari tahun 1980 hingga 2010. Pada tahap peramalan, metode yang digunakan adalah ARIMA dengan menggunakan software Minitab version 14 untuk mencari model ARIMA yang paling baik dan menggunakan software Eviews version 6 untuk melakukan analisis regresi berganda sehingga dapat melihat luas areal, produktivitas dan tingkat rendemen yang harus dipenuhi pada pencapaian swasembada gula nasional tahun 2014. Penelitian ini juga memberikan gambaran kepada pemerintah untuk dapat merumuskan kebijakan yang tepat guna membantu mendorong perkembangan industri gula sehingga mampu mencapai target swasembada gula nasional pada tahun 2014.
2.8 Kerangka Pemikiran Industri gula merupakan industri yang memiliki daya saing kuat di pasar Internasional. Hal ini disebabkan karena posisi gula sebagai komoditas agribisnis strategis, baik dari dimensi ekonomi, sosial maupun politik (Agustina, 2010). Diakui atau tidak, ketidakberdayaan dan kehancuran pertanian lebih banyak bersumber pada ketidakjelasan arah politik negara. Hampir semua komoditas pertanian yang sebenarnya dapat diupayakan mencapai peringkat swasembada bahkan ekspor terpaksa berstatus impor. Upaya sistematis memproteksi petani pada kenyataannya belum mampu mendorong perkembanga pertanian selama ini.
Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia
Peningkatan konsumsi gula
Pemenuhan konsumsi gula
Impor gula
Produksi gula dalam negeri
Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Dalam Negeri
Dampaknya terhadap pencapaian swasembada gula Indonesia
Ket: ---- = tidak dibahas dalam penelitian
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
III.
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini mengkaji keragaan industri gula secara nasional. Data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari instansi-instansi yang terkait dengan industri gula Indonesia seperti Direktorat Jenderal Perkebunan, Dewan Gula Indonesia, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian serta data yang berasal dari artikel berbagai media yang terkait dengan penelitian. Data yang dikumpulkan berupa data time series dengan rentang waktu tahun 1980-2010.
3.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan menggunakan software Minitab version 14 untuk meramalkan data produksi dan konsumsi gula nasional. Model peramalan yang digunakan adalah ARIMA. Dari model tersebut didapat hasil peramalan produksi dan konsumsi gula nasional hingga tahun 2014. Selain itu digunakan pula software Eviews version 6 dalam melakukan analisis regresi untuk mendapatkan persamaan regresi yang tepat sehingga mampu menjelaskan dampak fluktuasi produksi dan konsumsi gula nasional terhadap pencapaian swasembada gula nasional tahun 2014.
3.2.1 Metode Box-Jenkins (ARIMA) Metode peramalan Box-Jenkins adalah suatu metode yang sangat tepat untuk menangani atau mengatasi kerumitan deret waktu dan situasi peramalan
lainnya (Assauri, 1984). Kerumitan itu terjadi karena terdapat variasi pada pola data yang ada. Dalam metode Box-Jenkins tidak dibutuhkan adanya asumsi tentang suatu pola yang tetap, yang menjadikan metode ini berbeda dengan metode-metode lainnya.. Model Box-Jenkins atau ARIMA memfokuskan pada prinsip-prinsip regresi dan metode pemulusan (smoothing). Model ARIMA merupakan gabungan dari model Autoregressive (AR) dan Moving Average (MA). ARIMA sangat bermanfaat dalam peramalan jangka pendek. Syarat penting agar suatu data dapat dimodelkan pada metode deret waktu ARIMA
adalah
kestasioneran
data.
Kestasioneran
diperlukan
untuk
mempermudah dalam identifikasi dan penarikan kesimpulan. Data deret waktu dikatakan stasioner jika data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu. Data yang tidak stasioner pada nilai tengah dapat diatasi dengan melakukan pembedaan atau diferensiasi derajat (d) pertama atau kedua. Sesuai dengan diferensiasi derajat berapa data tersebut mencapai kestasioneran. Sedangkan data yang tidak stasioner pada varian diatasi dengan melakukan transformasi. Pendekatan Box-Jenkins ini memberikan informasi secara eksplisit untuk memungkinkan memikirkan atau memutuskan apakah pola yang diasumsikan tersebut adalah tepat atau benar untuk keadaan atau situasi yang telah terjadi. Proses yang dilakukan berulang memungkinkan kita untuk sampai pada suatu model peramalan yang memberikan keoptimisan dalam ukuran pola dasar dan meminimalkan kemungkinan kesalahan.
Dalam peramalannya, ARIMA menggunakan informasi dari variabelnya sendiri karena tidak mengikutsertakan variabel bebas dalam pembentukan modelnya. Peramalan model Autoregressive (AR) didasarkan pada fungsi dari nilai pengamatan masa lalu dalam jumlah terbatas. Sedangkan peramalan model rata-rata bergerak (MA) berdasarkan kombinasi linear galat masa lalu dalam jumlah terbatas pula. Gabungan dari Autoregressive (p) dan Moving Average (q) akan membentuk model ARIMA (p,d,q) dimana p adalah ordo dari AR, d merupakan ordo dari integrasi dan q adalah ordo dari MA. Bentuk dasar dari model ARIMA adalah (Hanke, 2005): Model Autoregressive (AR): (3.1) Model Moving Average (MA): (3.2) Model ARMA (p, q) :
(3.3) Dimana: : variabel dependen pada waktu ke-t , ,
, ... , ,
,....,
: variabel time lag : koefisien yang diestimasi : error term pada periode ke-t : konstanta
,
,..., ,
,...,
: koefisien yang diestimasi : error dari time lag
Model ARIMA dibentuk melalui rangkaian tahapan sebagai berikut: 1. Identifikasi model Dilakukan
dengan
menentukan
kestasioneran
data.
Deret
waktu
nonstasioner terindikasi apabila deret muncul dengan pertumbuhan atau penurunan sepanjang waktu dan autokorelasi sampel tidak dapat menghilang dengan cepat. Deret nonstasioner dapat diubah menjadi deret stasioner melalui proses differencing yaitu dengan mengganti deret asli menjadi deret selisih. Kestasioneran data dapat dilihat dari uji Augmented Dicky Fuller (ADF) melalui pengamatan pola ACF dan PACF. Tabel 3.1 Pola ACF dan PACF pada Model ARIMA Model ACF PACF Terpotong (cut off) setelah lag q Perlahan-lahan MA (q) (q=1 atau q=2) menghilang (dies down) Perlahan-lahan menghilang (dies Terpotong (cut off) AR (p) down) setelh lag q (q=1 atau 2) Perlahan-lahan menghilang (dies Perlahan-lahan ARMA (p,q) down) menghilang (dies down) Sumber: Hanke (2005)
Apabila data yang menjadi input model tidak stasioner, perlu dilakukan modifikasi untuk menghasilkan data yang stasioner. Salah satu metode yang digunakan adalah metode differencing. Second order difference dilakukan apabila pada first order difference data belum juga stasioner (Firdaus, 2006). First order difference
:
(3.4)
Second order difference : (3.5)
2. Estimasi Parameter Model Setelah melalui proses identifikasi model melalui uji ADF, dilakukan estimasi parameter model dengan menentukan terlebih dahulu ordo maksimum dari AR dan MA dengan melihat ACF untuk ordo MA (q) dan PACF untuk ordo AR (p). Ordo dari integrasi (d) juga harus ditentukan. Ada dua cara mendasar yang dapat digunakan untuk melakukan estimasi terhadap parameter-parameter tersebut, yaitu: a. Dengan cara mencoba-coba (trial and error) Melakukan pengujian terhadap beberapa nilai yang berbeda dan memilih diantaranya yang memiliki jumlah kuadrat nilai sisa (galat) yang minimum (sum of squared residuals). b. Perbaikan secara iteratif (pengulangan) Cara ini dilakukan dengan memilih nilai taksiran awal dan membiarkan program komputer untuk memperhalus penaksiran dengan cara iteratif (berulang). Metode ini lebih banyak dilakukan dan telah tersedia algoritma (proses komputer) yang kuat dan dapat digunakan. 3. Pengujian Parameter Model Sebelum menggunakan model untuk peramalan, model hendaknya diperiksa
terlebih
dahulu
kecukupannya.
Pengujian
dilakukan
dengan
menggunakan model-model yang telah diestimasi pada tahap sebelumnya, sesuai dengan kombinasi model ARIMA. Pengujian parameter model terdiri dari: a. Pengujian masing-masing parameter model secara parsial
b. Pengujian model secara keseluruhan 4. Pemilihan model terbaik Model harus memenuhi beberapa kriteria untuk dapat menjadi model yang terbaik, yaitu (Firdaus, 2006): a) Residual bersifat acak dan tersebar normal Model yang sesuai dengan data dapat diindikasikan oleh error yang bersifat acak yang ditunjukkan dengan ACF dan PACF dari residual secara statistik harus sama dengan nol. Untuk menguji autokorelasi residual dapat menggunakan uji statistik Ljung Box (Q). Hipotesis: H0: 1 = 2 = ..... = m = 0 H1: 1 2 ...... m 0 Statistik uji: Q=
(3.6)
Dimana: n = jumlah observasi k = selang waktu m = jumlah selang waktu diuji rk = fungsi autokorelasi sampel dari residual berselang k kesimpulan: bila Q>2α(m-p-q) (disimpulkan tolak H0). Atau apabila nilai p (p-value) terkait dengan statistik Q kecil (misalkan : P < 0,05), maka tolak H0 dan model dipertimbangkan tidak memadai.
b) Berlaku prinsip parsimonious Model yang dipilih merupakan model yang paling sederhana, yang memiliki jumlah parameter terkecil. c) Semua parameter estimasi harus berbeda nyata dari nol Dengan menggunakan t-ratio. Hipotesis: H0 : tidak terdapat autokorelasi pada deret waktu (H0 : k = 0) H1 : terdapat autokorelasi yang nyata pada selang ke-k (H1: 1 0) Statistik uji: t=
, atau sama dengan t =
(3.7)
dimana: k= lag atau selang n= jumlah observasi kriteria uji: Statistik H0 menyebar dengan derajat bebas (n-1). Untuk α tertentu dari tabel Tα/2
(n-1)
atau pada tingkat signifikan 0,05. Berdasarkan
pengalaman dapat menggunakan t-table = 2 sebagai nilai kritis untuk menguji k Kesimpulan: Bila t hitung > Tα/2 (n-1) (disimpulkan tolak H0) atau jika nilai absolut dari t hitung < 2 berarti tidak ada autokorelasi.
d) Harus memenuhi kondisi invertibilitas dan stasioneritas Zt adalah fungsi linier dari data stasioner yang lampau (Zt-1, Zt-2, ....). dengan mengaplikasikan analisis regresi pada nilai lag deret stasioner, maka dapat diperoleh autoregresi karena komponen trend sudah dihilangkan. Data stasioner Zt saat ini adalah fungsi linear dari galat masa kini dan masa lampau. (3.8) Jumlah koefisien MA harus kurang dari 1 Θ1+ Θ2+...+ Θq < 1 (kondisi invertibiliti) Zt = δ + Θ1 Zt-1 – Θ2 Zt-2+..+εt
(3.9) (3.10)
Jumlah koefisien AR harus selalu kurang dari 1 1 + 2 +....+ p < 1 (kondisi stasioner)
(3.11)
e) Proses iterasi harus konvergen Prosesnya harus terhenti ketika telah menghasilkan nilai parameter dengan SSE terkecil. Jika telah memenuhi syarat tersebut maka pada session akan terdapat pernyataan relative change in each estimate less than 0,0010. f) Nilai MSE model harus kecil MSE =
(3.12)
Semakin kecil nilai MSE, menunjukkan model secara keseluruhan lebih baik. Suatu model dikatakan baik apabila model tersebut memenuhi kriteriakriteria yang telah diuraikan. Model tersebut dianggap sebagai model terbaik yang
mampu menggambarkan hubungan antar variabelnya baik variabel dependen dengan variabel independen maupun hubungan antar variabel independen. 5. Peramalan Proses peramalan dilakukan dengan menggunakan model terbaik yang memenuhi kriteria pada poin 4 untuk menjadi model terbaik. Peramalan dilakukan untuk mengetahui nilai pada masa yang akan datang sehingga membantu memberi gambaran keadaan pada masa yang akan datang yang berguna dalam merencanakan suatu kebijakan atau perencanaan.
3.2.2 Metode Regresi Berganda Metode ini merupakan suatu teknik dengan menggunakan analisis hubungan antara variabel yang dicari atau yang diramalakan dengan satu atau lebih variabel bebas yang memengaruhinya. Metode regresi berganda dapat melihat faktor-faktor apa saja yang memiliki pengaruh nyata dan tidak nyata pada produksi dan konsumsi gula. Metode ini digunakan untuk menganalisis pencapaian swasembada gula. Dalam metode regresi berganda, yang digunakan sebagai variabel dependen adalah produksi dan variabel independennya adalah luas areal, produktivitas dan rendemen. Pencapaian swasembada gula dapat diketahui dengan memasukkan hasil dari ramalan konsumsi gula sebagai pengganti nilai produksi pada persamaan regresi. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan minimal swasembada dapat tercapai yaitu jika produksi gula dalam negeri mampu
mencukupi 90 persen dari kebutuhan gula baik gula konsumsi langsung (GKP) maupun gula rafinasi (GKR). Ramalan didasarkan pada penggunaan analisis hubungan sebab akibat yang bersifat konstan antara variabel yang akan diramal dengan satu atau beberapa variabel lain yang memengaruhinya. Metode regresi bertujuan untuk menemukan bentuk hubungan tersebut dan menggunakannya untuk meramalkan nilai mendatang dari variabel tak bebas. Persamaan umum untuk metode regresi linear berganda produksi gula adalah: (3.13) Dimana: Y
: Produksi Gula (ton) : Intersep
X1
: Luas Areal (ha)
X2
: Produktivitas (ton/ha)
X3
: Rendemen (%)
1,
2,
3:
koefisien variabel bebas
Model yang baik merupakan model yang memenuhi asumsi klasik yaitu tidak ada multikolinearitas, homoskedastisitas, tidak ada autokorelasi dan error term menyebar normal. Pengujian untuk memastikan model tersebut memenuhi asumsi klasik dilakukan melalui pengujian ekonometrika yang terdiri dari:
1. Uji Multikolinearitas Menurut Gujarati (2003) masalah multikolinearitas dapat terlihat dari correlation matrix dengan uji akar unit sesama variabel bebas dimana batas tidak terjadi korelasi sesama variabel yaitu tidak lebih dari
. Melalui correlation
matrix ini dapat pula digunakan uji Klein dalam mendeteksi multikolinearitas. Apabila terdapat nilai korelasi yang lebih dari
, maka menurut uji Klein
multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi nilai R-squared (adj) atau R-squared-nya. Multikolinearitas juga dapat dideteksi dengan melihat nilai VIF (variance inflation factor) antar variabel bebasnya. 2. Uji Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan White Heteroscedasticity Test. Penentuannya dilakukan dengan cara melihat probabilitas Obs*R-squared-nya. Hipotesis: H0: δ=0 H1: δ0 Kriteria uji: Probability Obs*R-squared < taraf nyata (α), maka terima H0 Probability Obs*R-squared > taraf nyata (α), maka tolak H0 Jika hasil menunjukkan tolak H0 maka persamaan tersebut tidak mengalami gejala heteroskedastisitas. Sedangkan jika hasil menunjukkan terima H0 maka persamaan tersebut mengalami gejala heteroskedastisitas.
3. Uji Autokorelasi Masalah autokorelasi dapat diidentifikasi dengan menggunakan BreuschGodfrey Serial Correlation Test. Autokorelasi menyebabkan regresi semu yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam interpretasi hasil regresi. Hipotesis: H0 :
0
H1 :
0
Kriteria uji: Probability Obs*R-squared < taraf nyata (α), maka terima H0 Probability Obs*R-squared > taraf nyata (α), maka tolak H0 Apabila nilai probabilitas Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata tertentu (tolak H0), maka persamaan tersebut tidak mengalami autokorelasi. Bila nilai Obs*R-squared-nya lebih kecil dari taraf nyata tertentu (terima H 0) maka persamaan tersebut mengalami autokorelasi. 4. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk melihat distribusi dari error term. Hipotesis: H0: error term terdistribusi normal H1: error term tidak terdistribusi normal Kriteria uji: Probability (P-value) < taraf nyata (α) maka tolak H0. Probability (P-value) > taraf nyata (α) maka terima H0.
Jika terima H0 maka persamaan tersebut memiliki error term yang terdistribusi normal, sedangkan jika tolak H0 maka persamaan tersebut memiliki error term yang tidak terdistribusi normal. Untuk mengetahui bagaimana pencapaian swasembada gula dilakukan analisis kombinasi skenario kebijakan yang dapat diterapkan guna membantu pencapaian swasembada gula nasional. Terdapat dua skenario yang akan dibahas yaitu: (1) tanpa penambahan pabrik gula, dan (2) dengan penambahan pabrik gula. Dari kedua skenario tersebut, akan dianalisis hasil peramalan terhadap upaya pencapaian swasembada gula nasional dengan melihat kemungkinan luas areal, produkktivita tebu, rendemen dan penambahan pabrik gula yang dapat dilakukan guna mencapai tingkat produksi dan konsumsi yang tepat. Dalam menyatakan keakuratan hasil ramalan pencapaian swasembada gula digunakan dua kriteria yaitu nilai koefisisen determinasi (R-squared) dan nilai MSE terkecil. Koefisien determinasi adalah proporsi ragam pada variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. Semakin besar nilai R-squared berarti model semakin akurat dalam meramalkan dan semakin baik suatu model digunakan.
IV.
PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA DI INDONESIA
Perkebunan sebagai bagian atau subsektor dari pertanian mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Usaha perkebunan di Indonesia sangat berkaitan langsung dengan aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Dalam aspek ekonomi, usaha perkebunan telah memberikan peranan dalam penerimaan devisa negara, sumber ekonomi wilayah serta sumber pendapatan masyarakat. Dalam aspek sosial, telah mampu menyerap tenaga kerja yang besar baik sebagai petani maupun sebagai tenaga kerja. Sedangkan dalam aspek ekologi dengan sifat tanaman yang bersifat pohon, usaha perkebunan mendukung pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup seperti sumberdaya air, penyedia oksigen dan mengurangi degradasi lahan. Komoditi perkebunan merupakan salah satu komoditi di luar minyak dan gas alam yang mempunyai potensi dan prospek baik di pasar dunia. Salah satu komoditi perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah tebu. Perkebunan tebu terbagi menjadi dua kelompok, yaitu tebu berpengairan dan tebu tanpa pengairan atau tebu tegalan. Tebu berpengairan terutama diusahakan orang di lahan sawah yang berpengairan teknis atau semi teknis. Tebu tegalan diusahakan di lahan-lahan kering tanpa pengairan (tadah hujan). Tanaman tebu merupakan bahan baku utama bagi industri gula, sehingga perkembangan industri tersebut sangat erat kaitannya dengan kualitas tanaman tebu. Industri gula di Indonesia telah lahir dan berkembang sebagai bagian dari sejarah kolonialisme, dengan berbagai kekuatan perlawanan yang ditimbulkannya
dalam satu jalinan proses kelahiran dan pertumbuhan bangsa Indonesia. Selama bertahun-tahun sebelum perang dunia II, industri gula merupakan salah satu industri terpenting di Indonesia. Pada tahun 1928 menghasilkan tiga perempat dari ekspor Jawa keseluruhan dan industri itu telah menyumbang seperempat dari seluruh penerimaan pemerintah Hindia-Belanda. Pada masa itu terdapat 178 pabrik gula yang mengusahakan perkebunan-perkebunan di Jawa dengan luas areal tebu yang dipanen kira-kira 200.000 hektar dan menghasilkan hampir 3 juta ton gula dimana hampir separuhnya di ekspor. Ketika itu Jawa merupakan eksportir kedua terbesar di dunia yang hanya kalah oleh Cuba (Mubyarto, 1984). Berbagai masalah dialami oleh industri gula di Indonesia. Disamping terbatasnya areal lahan, tersedianya irigasi, melimpahnya tenaga kerja telah melahirkan sistem industri gula yang unik. Karakteristik lain yang melekat pada produksi gula di Indonesia adalah umur tanaman yang relatif panjang, sehingga produksi relatif kurang cepat tanggap terhadap harga.selain itu, karena gula tidak dapat langsung dikonsumsi petani, maka hampir 100 persen gula pasir yang diproduksi masuk ke pasaran (BPPP, 2005). Selain masalah keterbatasan areal, irigasi dan tenaga kerja, produktivitas tebu juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri gula. Faktor yang memengaruhi rendahnya produktivitas tebu antara lain adalah perubahan lahan, banyaknya penggunaan teknik keprasan, mutu bibit, teknis dan budidaya, pengaruh iklim serta tebu tidak dipanen pada saat umur optimal. Perubahan lahan yang dimaksud adalah perubahan dari lahan sawah menjadi tegalan. Semakin banyak tebu dikepras, semakin sedikit tebu yang dihasilkan per satu hektar lahan.
Teknis dan budidaya tebu yang berpengaruh adalah kesesuaian porsi pemupukan dan kecukupan air. Iklim berpengaruh pada fase pertumbuhan tebu dan pemanenan yang tidak sesuai umur optimal akan menghasilkan kadar gula yang rendah. Sampai dengan tahun 2008, pemerintah pernah menerapkan berbagai kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap industri gula Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas dari kebijakan input dan produksi, distribusi serta harga. Diantara berbagai kebijakan produksi dan input, kebijakan yang paling melandasi perubahan dalam industri gula dalam negeri adalah kebijakan TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) yang tertuang dalam Inpres No. 9/1975 yang disahkan pada tanggal 22 April 1975 yang bertujuan meningkatkan produksi gula serta pendapatan petani tebu. Kebijakan tersebut bermaksud menjadikan petani sebagai manajer pada lahannya sendiri dengan dukungan pemerintah melalui kredit bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan melibatkan KUD serta menciptakan hubungan kerjasama antara petani tebu dengan pabrik gula (Hapsari, 2008). Selain kebijakan mengenai input dan produksi gula, pemerintah juga menetapkan kebijakan dalam rangka memperbaiki tataniaga impor gula. Kebijakan tersebut tertuang dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep//9/2002 yang ditetapkan pada tanggal 23 September 2002 mengenai pembatasan pelaku impor gula hanya pada importir gula produsen dan importir gula terdaftar dengan tujuan melindungi produsen dalam negeri dan meningkatkan pendapatan petani.
Kebijakan tersebut kemudian disempurnakan dengan Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 mengenai pengawasan terhadap gula impor ilegal, pembatasan importir gula, ketentuan jenis gula dan peruntukannya berdasarkan batasan icumsa (ukuran kristal gula). Keputusan menteri tersebut juga mewajibkan importir terdaftar menyangga harga pada tingkat tertentu untuk melindungi harga gula domestik dipasaran. Selama ini gula rafinasi bukannya tidak boleh dijual bebas, namun pemasarannya masih diatur oleh Surat keputusan (SK) Menperindag, karena peruntukan gula olahan itu untuk industri makanan dan minuman, penjualannya dibatasi dengan kemasan 50 kilogram. Pemerintah menjamin tidak adanya kebocoran gula rafinasi ke pasaran melalui SK Mendag No.357/2008 tentang penarikan gula rafinasi di pasar tradisional, pasar modern maupun minimarket. Hal tersebut dilakukan guna melindungi produsen gula putih dan harga gula di pasaran. Pada tahun 2008, Kementerian Perindustrian mengeluarkan kebijakan berupa peraturan yang membantu menopang program revitalisasi industri gula dalam rangka mewujudkan swasembada gula nasional. Kebijakan Nomor 91/MIND/PER/11/2008 yang disahkan pada tanggal 21 Nopember 2008 tersebut berisi tentang keringanan pembiayaan restrukturisasi mesin pada pabrik gula. Keringanan tersebut diberikan dengan mengarahkan penggunaan atau penggantian mesin dengan memanfaatkan mesin hasil buatan dalam negeri. Sehingga selain dapat menopang langkah revitalisasi pabrik gula, dapat pula membantu mendorong pertumbuhan industri permesinan dalam negeri.
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Model ARIMA untuk Produksi dan Konsumsi Gula Nasional 5.1.1
Penstasioneran Data Identifikasi data dilakukan dengan cara plot data historis dengan
menggunakan software Minitab versi 14. Data produksi dan konsumsi menunjukkan angka yang cukup tinggi maka untuk mempermudah pemodelan, data terlebih dahulu dibuat dalam nilai logaritma natural (ln) dari satuan ton. Perubahan data ke dalam bentuk logaritma natural dipilih karena nilai logaritma natural mempunyai rentang yang lebih kecil namun tetap dapat memperlihatkan fluktuasi data sehingga tidak memengaruhi terhadap pemodelan dan hasil analisisnya. a. Produksi Gula Grafik plot data dari produksi gula nasional tahun 1980-2010 menunjukkan pola trend yang meningkat meskipun terjadi penurunan yang cukup besar pada tahun 1998 dan 2003 (Gambar 5.1). Data produksi tersebut sangat berfluktuasi dan memiliki trend yang semakin meningkat sehingga termasuk ke dalam data nonstasioner. Data nonstasioner harus distasionerkan terlebih dahulu dengan pembeda satu kali atau first difference untuk memudahkan dalam pemodelan. Dari hasil first difference dapat dilihat bahwa data sudah stasioner yang ditunjukkan pada Lampiran 4.
Produksi Gula di Indonesia 3000000 2500000 2000000 1500000 Produksi
1000000 500000 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
0
Gambar 5.1 Perkembangan Produksi Gula di Indonesia Tahun 1980-2010 (diolah)
Data produksi gula menunjukkan adanya fluktuasi dan trend. Penurunan produksi gula dalam negeri yang cukup tajam terjadi pada tahun 1998 dan 2003 diakibatkan oleh beberapa masalah yang terjadi pada industri gula. Pada tahun 1998 produksi gula mengalami penurunan sebesar 32,34 persen dari tahun sebelumnya. Pada tahun 1997 produksi gula mencapai 2.189.967 ton dan pada tahun 1998 menjadi 1.481.685 ton. Hal ini dikarenakan adanya penghapusan Inpres No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Peraturan tersebut diganti dengan Inpres No. 5 Tahun 1998 yang intinya memberikan kebebasan kepada petani untuk menanam komoditas apa saja (tidak lagi terikat TRI)
yang
memberikan
peluang
bagi
petani
untuk
meningkatkan
pendapatan. Dengan adanya penghapusan peraturan tersebut, masyarakat dapat bebas memilih komoditi yang akan dibudidayakan yang dapat mendatangkan keuntungan maksimal, tidak ada paksaan dari pemerintah untuk menanam tebu. Petani menganggap komoditi tebu tidak menguntungkan bagi mereka, meskipun
harga gula pada saat itu tergolong cukup tinggi. Hal ini berdampak pada kurangnya pasokan tebu ke pabrik gula sehingga produksi gula menurun tajam. Pada tahun 2002, Departemen Pertanian menetapkan program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional yang meliputi program rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu (bongkar ratoon) guna memperbaiki komposisi tanaman dan varietas sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas potensial. Selain itu, pemerintah mulai menata ulang kebijakan tata niaga dalam negeri termasuk kebijakan mengenai sistem pergulaan nasional. Kebijakan mengenai bea masuk dan importir gula mulai diterapkan. Hal ini dilakukan demi melindungi industri gula dalam negeri yang kondisinya kian terpuruk. Dengan pemberlakuan peraturan mengenai impor gula tersebut, pada tahun 2004 industri gula dalam negeri mulai tumbuh dan berkembang. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan produksi gula dari tahun ke tahun secara signifikan. b. Konsumsi Gula Grafik plot data konsumsi gula nasional tahun 1980-2010 menunjukkan trend yang meningkat (Gambar 5.2). Pada tahun 1998-2005 produksi gula cenderung stabil namun trend yang terjadi tetap meningkat. Data konsumsi gula tersebut merupakan data yang nonstasioner, sehingga perlu dilakukan tahap penstasioneran data. Tahap ini dilakukan dengan melakukan pembeda pertama atau first difference pada data tersebut, dan hasilnya data sudah stasioner pada first difference yang dapat dilihat pada lampiran 10.
Konsumsi Gula di Indonesia 6000000 5000000 4000000 3000000 Konsumsi
2000000 1000000 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
0
Gambar 5.2 Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia Tahun 1980-2010 (diolah)
Peningkatan konsumsi gula nasional terjadi seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan perkembangan industri makanan dan minuman yang menggunakan gula sebagai inputnya. Beberapa faktor yang terkait dengan konsumsi gula diantaranya (Dewan Gula Indonesia, 2006): (1) Harga gula, dimana harga gula dalam negeri dipengaruhi oleh harga gula Internasional, (2) Pendapatan per kapita yang merupakan salah satu parameter kesejahteraan masyarakat dan sangat erat kaitannya dengan daya beli masyarakat, (3) jumlah penduduk yang merupakan faktor penting dalam analisis konsumsi karena konsumsi gula akan semakin meningkat jika jumlah penduduk semakin meningkat terutama kaitannya dengan konsumsi langsung, (4) harga barang lain terutama kebutuhan pokok, (5) faktor kesehatan, (6) perubahan selera dan sebagainya. Selain faktor-faktor tersebut, perkembangan industri makanan, minuman dan farmasi yang menggunakan gula sebagai inputnya juga ikut memengaruhi fluktuasi konsumsi gula dalam negeri.
5.1.2
Identifikasi Model Sementara Model ARIMA merupakan model yang terdiri dari Autoregressive (p),
Moving Average (q) dan differencing (d) yang menentukan kombinasi dari model ARIMA tersebut. Identifikasi model sementara dilakukan dengan menganalisis fungsi autokorelasi (ACF) dan fungsi parsial autokorelasi (PACF) untuk menentukan ordo dari AR dan MA. Ordo AR dapat dilihat dengan menganalisis parsial autocorelation function (PACF), sedangkan untuk mengetahui ordo MA optimum dapat dilihat dari autocorelation function (ACF). a. Produksi Gula Pada langkah sebelumnya telah dilakukan plot data produksi gula nasional. Hasil dari analisis tersebut menunjukkan bahwa data stasioner pada first difference yang menunjukkan nilai d adalah 1 (Lampiran 4). Analisis selanjutnya meliputi analisis plot pada Auto Correlation Function (ACF) dan Partial Auto Correlation Function (PACF) dari data yang hasil analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6 (Gambar 5.3). Analisis ACF dan PACF menunjukkan model ARIMA optimum untuk data produksi gula nasional yaitu model ARIMA (3,1,3). Penentuan model ARIMA optimum diperlukan untuk memudahkan mencari kombinasi dari model yang akan dipilih. Model ARIMA yang akan dipilih merupakan salah satu dari kombinasi model pada lag optimum yang memenuhi syarat sebagai model yang mampu memberikan gambaran yang mewakili pergerakan data produksi gula di Indonesia.
Autocorrelation Function for Dproduksi
Partial Autocorrelation Function for Dproduksi (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1.0
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
Partial A utocorrelation
A utocorrelation
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-0.8
-1.0
-1.0 1
2
3
4
5
6
7
1
8
2
3
4
5
6
7
8
Lag
Lag
Gambar 5.3 Plot ACF dan PACF Data Produksi (diolah)
b. Konsumsi Gula Identifikasi model sementarma dilakukan dengan cara melihat autokorelasi data baik fungsi autokorelasi (ACF) maupun fungsi parsial autokorelasi (PACF). Hasil dari analisis ACF dan PACF dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 12. Hasil tersebut menunjukkan model ARIMA optimal yaitu model ARIMA (1,1,3). Partial Autocorrelation Function for DLNKONSUMSI
Autocorrelation Function for DLNKONSUMSI
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1,0
1,0
0,8
0,8
0,6
0,6
Partial A utocorrelation
A utocorrelation
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8
0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8
-1,0
-1,0 1
2
3
4
5 Lag
6
7
8
1
2
3
4
5
6
Lag
Gambar 5.4 Plot ACF dan PACF Data Konsumsi (diolah)
7
8
5.1.3
Estimasi dari Diagnostic Checking Model ARIMA terdiri dari berbagai macam kombinasi p, d, q, yang
merupakan simbol dari AR, MA dan differencing sehingga perlu dilakukan diagnostic checking dengan cara mencoba berbagai macam kombinasi p, d, q, dari model ARIMA untuk mendapatkan model yang terbaik yang memenuhi beberapa kriteria evaluasi model Box-Jenkins berikut (Firdaus, 2006): a) Residual bersifat acak dan tersebar normal Model yang sesuai dengan data dapat diindikasikan oleh error yang bersifat acak yang ditunjukkan dengan ACF dan PACF dari residual secara statistik harus sama dengan nol. Untuk menguji autokorelasi residual dapat menggunakan uji statistik Ljung Box (Q). b) Berlaku prinsip parsimonious Model yang dipilih merupakan model yang paling sederhana, yang memiliki jumlah parameter terkecil. c) Semua parameter estimasi harus berbeda nyata dari nol. Hal ini dapat diamati dengan melihat nilai P-value koefisien yang nilainya harus kurang dari 0,05. d) Harus memenuhi kondisi invertibilitas dan stasioneritas. Hal tersebut dapat terlihat dengan mengamati jumlah koefisien MA atau AR yang masing-masing harus kurang dari 1. e) Proses iterasi harus konvergen Prosesnya harus terhenti ketika telah menghasilkan nilai parameter dengan SSE terkecil. Jika telah memenuhi syarat tersebut maka pada
session akan terdapat pernyataan relative change in each estimate less than 0,0010. f) Nilai MSE model harus kecil Semakin kecil nilai MSE, menunjukkan model secara keseluruhan lebih baik. a.
Produksi Gula
Dari hasil evaluasi model didapat bahwa model yang memiliki kriteria paling baik adalah model ARIMA (2,1,2) dengan nilai SS = 0,280198 yang dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Model ARIMA (2,1,2) untuk Data Produksi Gula Nasional Tipe Koefisien SE Koefisien T P AR 1 -0,3425 0,0228 -15,00 0,000 AR 2 -0,9954 0,0294 -33,87 0,000 MA 1 -0,3464 0,2079 - 1,67 0,108 MA 2 -0,9341 0,2188 - 4,27 0,000 Const 0,04132 0,04417 0,94 0,358
Persamaan model ARIMA (2,1,2) untuk produksi gula adalah:
(5.1) b. Konsumsi Gula Evaluasi terhadap beberapa model menghasilkan model terbaik untuk menggambarkan pola konsumsi gula di Indonesia adalah model ARIMA (1,1,3) dengan nilai SS = 0,153592 yang dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Model ARIMA (1,1,3) untuk Data Konsumsi Gula Nasional Tipe Koefisien SE Koefisien T P AR 1
0,3248
0,2807
1,16
0,258
MA 1
1,0724
0,2524
4,25
0,000
MA 2
- 0,9108
0,1993
- 4,57
0,000
MA 3
0,7535
0,1861
4,05
0,000
Const
0,024278
0,002618
9,27
0,000
Persamaan model ARIMA (1,1,3) untuk konsumsi gula adalah:
(5.2)
5.1.4
Peramalan Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia Hasil pengujian model menunjukkan model terbaik untuk produksi
ARIMA (2,1,2) dan konsumsi gula ARIMA (1,1,3). Setelah dilakukan pemilihan model terbaik yang dapat mewakili keragaan produksi dan konsumsi gula, langkah selanjutnya adalah melakukan peramalan guna mengetahui tingkat produksi dan konsumsi dimasa yang akan datang dan implikasinya terhadap pencapaian swasembada gula yang telah direncanakan pemerintah. Hasil peramalan model ARIMA (2,1,2) untuk produksi ditunjukkan pada Lampiran 8 dan model ARIMA (1,1,3) untuk konsumsi ditunjukkan pada Lampiran 14. Nilai pada hasil peramalan tersebut masih dalam bentuk logaritma natural (Tabel 5.3).
Tabel 5.3 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Gula dalam bentuk logaritma natural (ln). Konsumsi Gula Tahun Produksi Gula 2011 14,7253 15,4259 2012 14,7399 15,4864 2013 14,6614 15,4979 2014 14,7151 15,5258
5.2 Implikasi Hasil Peramalan Terhadap Pencapaian Swasembada Gula Nasional Dari hasil peramalan yang dilakukan pada analisis sebelumnya diperoleh tingkat produksi dan konsumsi gula nasional pada tahun 2011-2014. Nilai hasil peramalan tersebut masih dalam bentuk logaritma natural (ln) sehingga diperlukan perubahan ke dalam bentuk eksponensial untuk mengetahui nilai peramalan yang sesungguhnya (Tabel 5.4) Tabel 5.4 Hasil Peramalan Model ARIMA (2,1,2) Untuk Produksi dan ARIMA (1,1,3) Untuk Konsumsi Gula Nasional (diolah) Peramalan Tahun Defisit Produksi Gula (ton) Konsumsi Gula (ton) 2011 2.483.799 5.022.810 - 2.539.011 2012 2.520.329 5.316.895 - 2.796.566 2013 2.330.049 5.378.392 - 3.048.343 2014
2.458.594
5.530.562
- 3.071.968
Dari hasil peramalan tingkat produksi dengan menggunakan model ARIMA (2,1,2) menunjukkan bahwa produksi gula nasional tahun 2011-2014 sangat berfluktuasi. Pada tahun 2012 diperkirakan terjadi peningkatan produksi dibandingkan dengan tahun 2011. Kenaikan tersebut sebesar 1,47 persen atau 36.530 ton. Namun pada tahun 2013 diperkirakan akan terjadi penurunan tingkat
produksi sebesar 7,55 persen atau sebesar 190.280 ton dan kembali meningkat pada tahun 2014 sebesar 5,52 persen yaitu sebesar 128.545 ton. Peramalan untuk tingkat konsumsi dengan menggunakan model ARIMA (1,1,3) menunjukkan bahwa tingkat konsumsi mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan tersebut disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk yang sangat memengaruhi tingkat konsumsi langsung dan semakin meningkatnya perkembangan industri yang menggunakan gula sebagai inputnya seperti industri makanan, minuman dan farmasi. Dari hasil peramalan menunjukkan bahwa pada tahun 2014 Indonesia belum mampu mencapai swasembada gula. hal tersebut terlihat dari masih terdapat kesenjangan antara produksi dan konsumsi gula nasional (Gambar 5.5). Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa swasembada gula adalah terpenuhinya konsumsi gula domestik oleh produksi dalam negeri, baik konsumsi langsung oleh rumahtangga maupun konsumsi untuk industri serta menutupi neraca gula. 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000
produksi konsumsi
1000000 0
Gambar 5.5 Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia Serta Hasil Peramalan Tahun 2000-2014
Peramalan konsumsi gula menunjukkan data dengan trend yang cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan konsumsi dapat diakibatkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah jumlah penduduk, pendapatan per kapita, dan harga gula. Pendapatan dan jumlah penduduk memengaruhi tingkat konsumsi gula nasional. Pendapatan memengaruhi daya beli masyarakat, sedangkan jumlah penduduk memengaruhi jumlah gula yang dikonsumsi secara langsung. Adanya peningkatan kedua faktor tersebut akan memengaruhi fluktuasi konsumsi gula nasional. Harga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi seberapa besar konsumsi suatu barang yang dilakukan oleh masyarakat. Pada barang normal, semakin tinggi harga barang tersebut maka konsumsi masyarakat terhadap barang tersebut menjadi menurun atau dengan kata lain harga berkorelasi negatif dengan tingkat konsumsi. Hal ini hampir tidak berlaku pada komoditi gula. Posisi gula yang merupakan salah satu kebutuhan pokok mengakibatkan pola yang unik. Pada saat harga meningkat, masyarakat cenderung tidak mengurangi konsumsi secara signifikan karena gula merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari. Harga gula di Indonesia tidak hanya memperlihatkan kekuatan tawar menawar yang terjadi namun juga dipengaruhi oleh harga gula dunia, terlebih lagi Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor gula sehingga tidak bisa menghindari pengaruh harga gula internasional. Peramalan produksi gula menunjukkan adanya fluktuasi peningkatan dan penurunan. Fluktuasi tersebut menunjukkan bahwa kondisi industri gula dalam negeri sangat tidak stabil. Adanya peran pemerintah yang semakin nyata dalam
menangani permasalahan di industri gula akan sangat membantu dalam menstabilkan kondisi industri gula. Program revitalisasi baik pada sektor on farm maupun off farm yang dilakukan oleh pemerintah dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan industri gula nasional. Revitalisasi pada sektor on farm meliputi perluasan area dan peningkatan produktivitas. Sedangkan revitalisasi yang dapat dilakukan di sektor off farm adalah dengan rehabilitasi, peningkatan kapasitas giling, peningkatan efisiensi pabrik gula dan peningkatan kualitas gula. Selain itu, pemerintah juga berencana akan membangun pabrik gula baru yang diharapkan mampu meningkatkan produksi gula dalam negeri. Pemberdayaan penelitian, pengembangan gula dan peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang gula juga merupakan langkah-langkah yang dapat mendorong peningkatan produksi gula dalam negeri.
5.3 Perbandingan Hasil Peramalan dengan Proyeksi Pemerintah Swasembada gula nasional adalah suatu keadaan dimana jumlah produksi dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan konsumsi, baik konsumsi langsung oleh rumahtangga maupun oleh industri. Swasembada sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan suatu negara sehingga pemerintah bertanggungjawab terhadap pelaksanaan dan pencapaiannya. Pemerintah telah menetapkan sasaran yang akan dicapai dalam swasembada gula nasional agar mempermudah penetapan kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung pencapaian swasembada gula (Tabel 5.5).
Tabel 5.5 Sasaran Swasembada Gula Pada Tahun 2014 2014 Kondisi No Uraian Satuan Target Tambahan 2010 1. Jumlah pabrik Gula Unit 62 71-86 9-24 2. Luas Areal Ha 418.259 685.871 267.612 3. Produktivitas Tebu Ton/Ha 81,8 89,4 7,6 4. Rendemen Persen 6,5 8,6 2,1 5. Produksi Gula Ton 2.214.488 5.700.264 3.485.776 6. Hari Giling Hari 150 160 10 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2009)
Selain melakukan penetapan sasaran, pemerintah juga melakukan proyeksi pencapaian swasembada gula nasional pada tahun 2014 mendatang dengan melihat kondisi yang terjadi saat ini. Beberapa asumsi yang mendasari proyeksi pencapaian swasembada gula nasional yang dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut (Ditjen Perkebunan, 2009): a) Pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 1,23 persen per tahun sehingga jumlah penduduk pada tahun 2014 diperkirakan mencapai 250 juta jiwa. b) Peningkatan daya beli masyarakat diasumsikan sebesar 0,6 persen. c) Konsumsi gula per kapita sampai dengan 2014 diproyeksikan 12 kg per kapita per tahun. d) Konsumsi gula untuk industri meningkat dengan laju rata-rata 5 persen per tahun. Berdasarkan asumsi tersebut maka konsumsi gula oleh rumahtangga dan industri sampai tahun 2014 mencapai 5.700.264 ton (Tabel 5.6). Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menambah pabrik gula guna meningkatkan produksi secara signifikan. Pemerintah menyiapkan tiga alternatif kebutuhan pembangunan pabrik gula baru guna mendorong perkembangan
industri gula sebagai upaya untuk mencapai swasembada gula yaitu (1) Pabrik gula dengan kapasitas 15.000 TCD sebanyak 10 unit, (2) Pabrik gula dengan kapasitas 10.000 TCD sebanyak 15 unit, atau (3) Pabrik gula dengan kapasitas 6.000 TCD sebanyak 25 unit. Tabel 5.6 Proyeksi Pencapaian Swasembada Gula Nasional Oleh Pemerintah Setelah Dicanangkan Program Swasembada Gula Nasional Tahun 2014 Variabel
Tahun
2011
2012
2013
2014
GKP
3.125.000
3.250.000
3.350.000
3.540.272
GKR*)
2.094.750
2.199.488
2.309.462
2.424.935
Total
5.219.750
5.449.488
5.659.462
5.965.207
GKP
2.799.724
2.850.959
2.903.132
2.956.259
GKR*)
2.370.375
2.488.894
2.613.338
2.744.005
Total
5.170.099
5.339.853
5.516.470
5.700.264
Luas Areal (Ha) Produktivitas tebu (Ton/Ha)
462.309
467.126
472.326
475.514
85,73
88,08
88,62
89,41
Rendemen (%)
8,1
8,2
8,4
8,6
Produksi Gula (Ton)
Konsumsi Gula (Ton)
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2009) *) Bahan baku impor
Dari hasil peramalan pemerintah terlihat bahwa pada tahun 2014 Indonesia masih belum mampu mencukupi kebutuhan gula dalam negeri yang berarti bahwa rencana pemerintah mencapai swasembada gula pada tahun 2014 tidak tercapai. Hasil Proyeksi tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil peramalan dengan menggunakan model ARIMA yang menunjukkan masih belum tercapainya swasembada gula pada tahun 2014 (Tabel 5.7).
Tabel 5.7 Hasil Peramalan dengan model ARIMA dan Proyeksi Pemerintah Terhadap Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Nasional pada Tahun 2011-2014. Peramalan Model ARIMA Tahun Produksi Konsumsi Defisit Gula Gula Gula (Ton) (ton) (ton) 2011 2.483.799 5.022.810 -2.539.011 2012 2.520.329 5.316.895 -2.796.566 2013 2.330.049 5.378.392 -3.048.343 2014 2.458.594 5.530.562 -3.071.968
Proyeksi Pemerintah Produksi Konsumsi Defisit Gula Gula Gula (Ton) (Ton) (Ton) 3.125.000 5.170.099 -2.045.099 3.250.000 5.339.853 -2.089.853 3.350.000 5.516.470 -2.166.470 3.540.272 5.700.264 -2.159.992
Dari hasil peramalan tersebut terlihat masih adanya defisit pada neraca gula yang semakin meningkat dari tahun 2011-2014 begitu pula dengan tahuntahun selanjutnya (Tabel 5.8). Hal tersebut mengindikasikan bahwa target pemerintah dalam mencapai swasembada gula nasional pada tahun 2014 belum mampu terpenuhi bahkan hingga 15 tahun mendatang. Tabel 5.8 Hasil Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula dengan Model ARIMA untuk tahun 2011-2025. Tahun Produksi (Ton) Konsumsi (Ton) Defisit (Ton) 2011 2.483.799 5.022.810 -2.539.011 2012 2.520.329 5.316.895 -2.796.566 2013 2.330.049 5.378.392 -3.048.343 2014 2.458.594 5.530.562 -3.071.968 2015 2.719.885 5.718.402 -2.998.517 2016 2.595.786 5.922.682 -3.326.896 2017 2.486.036 6.137.942 -3.651.906 2018 2.754.647 6.362.297 -3.607.650 2019 2.893.565 6.594.853 -3.701.288 2020 2.677.248 6.835.909 -4.158.661 2021 2.728.602 7.086.485 -4.357.883 2022 3.052.282 7.346.246 -4.293.964 2023 3.004.134 7.614.767 -4.610.633 2024 2.815.358 7.893.893 -5.078.535 2025 3.048.316 8.182.432 -5.134.116
5.4 Alternatif Kebijakan untuk Mencapai Swasembada Gula Tahun 2014 Dari hasil peramalan dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih belum mencapai swasembada gula pada tahun 2014 yang terlihat dari selisih antara tingkat produksi dan konsumsi yang tinggi. Produksi gula dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan gula nasional. Untuk dapat mencapai swasembada diperlukan adanya proyeksi atau target dengan tujuan meningkatkan volume produksi untuk dapat memenuhi tingkat konsumsi. Diperlukan berbagai alternatif kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan industri gula agar mampu memenuhi kebutuhan gula nasional. Dalam penelitian ini, kebijakan-kebijakan yang dianalisis merupakan kebijakan yang terkait dengan peningkatan produksi yaitu kombinasi dari peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen baik tanpa penambahan pabrik gula (skenario 1) maupun dengan penambahan pabrik gula (skenario 2) yang disesuaikan dengan sasaran yang diargetkan oleh pemerintah dalam roadmap swasembada gula nasional. Swasembada gula diartikan sebagai kemampuan produksi dalam negeri untuk dapat memenuhi kebutuhan gula nasional. Dengan melihat hasil peramalan pada analisis sebelumnya maka minimal produksi dalam negeri harus sama dengan tingkat konsumsinya yaitu sebesar 5.530.562 ton. Dengan menggunakan analisis regresi berganda dapat dilihat hubungan antara variabel dependen (produksi gula) dengan variabel independennya yaitu luas areal, Produktivitas dan Rendemen (Lampiran 15). Hal tersebut dilakukan untuk dapat melihat kombinasi peningkatan variabel yang dapat dijadikan
alternatif kebijakan yang dapat mendorong pencapaian swasembada gula tahun 2014 . Dari hasil regresi, bentuk persamaan untuk produksi gula menjadi:
Ln Yt = -4.594885 + 0.999686 ln LA + 0.998800 ln P + 0.999500 ln R Dimana:
(5.3)
Ln Yt = logaritma natural produksi gula ln LA = logaritma natural dari luas areal ln P
= logaritma natural dari produktivitas
ln R
= logaritma natural dari rendemen
Pengujian terhadap model dilakukan melalui uji ekonometrika yang terdiri dari: 1. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas dalam model dapat diidentifikasi melalui correlation matrix. Dari hasil uji multikolinearitas (Lampiran 16) terlihat bahwa tidak terdapat multikolinearitas dalam model. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi antar variabel tidak ada yang tinggi. 2. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas merupakan keadaan dimana nilai varian dari variabel bebas yang berbeda. Hal ini merupakan penyimpangan dari asumsi klasik yang harus dipenuhi oleh suatu model agar model tersebut mudah diinterpretasikan. Asumsi yang dipenuhi dalam linear klasik adalah mempunyai varian yang sama (konstan) atau homoskedastisitas. Dari hasil uji heteroskedastisitas melalui White Heteroscedasticity Test (Lampiran 17) menunjukkan bahwa asumsi homoskedastisitas sudah terpenuhi dengan melihat nilai probabilitas menunjukkan nilai yang lebih dari taraf nyata 5 persen.
3. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat autokorelasi dalam suatu model. Dari hasil uji terlihat bahwa tidak ada autokorelasi (Lampiran 18). 4. Uji Normalitas Salah satu asumsi klasik yang juga harus dipenuhi oleh suatu model adalah galat atau error menyebar normal. Dari hasil pengujian, terlihat bahwa galat menyebar normal sehingga model dapat menggambarkan hubungan antar variabel dependen dan independen (Lampiran 19). Dari hasil uji ekonometrika terlihat bahwa model telah memenuhi asumsi klasik untuk dapat menjadi model yang terbaik yang dapat menggambarkan hubungan antar variabel didalamnya. Asumsi tersebut diantaranya adalah tidak terdapat multikolinearitas, homoskedastisitas, tidak terdapat autokorelasi dan galat menyebar normal sehingga model tersebut layak untuk digunakan.
5.4.1 Skenario 1: Kombinasi Peningkatan Luas Areal, Produktivitas dan Rendemen Tanpa Kebijakan Penambahan Pabrik Gula Baru Upaya pencapaian swasembada gula dapat optimal dengan melihat berbagai kondisi yang turut mendukung perkembangan industri gula. Faktorfaktor yang sangat mempengaruhi hasil produksi gula diantaranya adalah luas areal, produktivitas dan rendemen. Dengan melihat lonjakan peningkatan yang cukup tajam antara tingkat produksi pada tahun 2010 dengan tingkat produksi yang harus dicapai pada tahun 2014 guna memenuhi kebutuhan gula nasional
pada tahun tersebut. Tingkat produksi gula pada tahun 2010 sebesar 2.214.488 ton dan pada tahun 2014 produksi gula harus mencapai 5.530.562 ton guna memenuhi tingkat konsumsi pada tahun tersebut, maka peningkatan secara bersama-sama terhadap variabel-variabel yang memengaruhi tingkat produksi akan lebih memungkinkan untuk membantu pencapaian target tersebut. Melihat data historis yang ada tahun 1980-2010, Indonesia pernah mencapai tingkat produktivitas tebu sebesar 81,8 ton per hektar pada tahun 2010 dan tingkat rendemen sebesar 9,1 persen pada tahun 1980 dan 1982, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan dapat kembali mencapainya pada tahun 2014. Dengan memasukkan nilai ramalan konsumsi sebesar 5.530.562 ton, produktivitas tebu 89,4 ton per hektar dan rendemen 9,1 persen pada persamaan regresi, didapatkan jumlah luas lahan yang harus dicapai yaitu sebesar 677.836 ha. Luas lahan pada tahun 2010 sebesar 418.259 ha dan luas lahan yang harus dicapai pada tahun 2014 sebesar 677.836 ha. Berarti ada penambahan sebesar 259.577 ha selama kurun waktu antara 2011-2014. Dengan demikian pemerintah harus menambah luas areal tebu sebesar 64.894 ha setiap tahun untuk mencapai swasembada gula. Produktivitas tebu pada tahun 2010 mencapai 81,8 ton per hektar dan produktivitas tebu yang harus dicapai pada tahun 2014 sebesar 89,4 ton per hektar. Berarti ada penambahan sebesar 7,6 ton per hektar selama kurun waktu antara 2011-2014. Dengan demikian pemerintah harus mewujudkan penambahan produktivitas tebu sebesar 1,9 ton per hektar per tahun untuk mencapai swasembada gula nasional.
Rendemen pada thun 2010 sebesar 6,5 persen dan rendemen yang harus dicapai pada tahun 2014 sebesar 9,1 persen. Berarti ada penambahan sebesar 2,6 persen selama kurun waktu antara 2011-2014. Dengan demikian pemerintah harus mewujudkan pertambahan rendemen sebesar 0,65 persen per tahun untuk mencapai swasembada gula nasional. Kombinasi peningkatan luas areal, produktivitas tebu dan rendemen yang dapat dijadikan alternatif kebijakan oleh pemerintah dapat dilihat pada Tabel 5.9. Tabel 5.9 Skenario 1: Upaya Pencapaian Swasembada Gula Melalui Peningkatan Luas Areal, Produktivitas Tebu dan Rendemen. Tahun
Luas Areal (ha)
Produktivitas tebu (ton/ha)
Rendemen (%)
Produksi Gula (ton)
Konsumsi Gula (ton)
2010
418.259
81,8
6,5
2.214.488
4.757.383
2011
483.153
83,7
7,2
3.018.455
5.022.810
2012
548.048
85,6
7,8
3.822.423
5.316.895
2013
612.942
87,5
8,5
4.626.390
5.378.392
2014
677.836
89,4
9,1
5.530.562
5.530.562
Pada
skenario
ini,
pemerintah
dapat
mengupayakan
kombinasi
peningkatan luas areal, produktivitas tebu dan rendemen secara bersama-sama. Hasil pada tabel tersebut merupakan salah satu kombinasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah.
5.4.2 Skenario 2: Kombinasi Peningkatan Luas Areal, Produktivitas dan Rendemen Dengan Kebijakan Penambahan Pabrik Gula Baru Industri gula di Indonesia menghadapi berbagai masalah. Salah satu masalah yang terjadi adalah rendahnya tingkat efisiensi pabrik gula. Inefisiensi
pabrik gula tersebut dikarenakan usia pabrik gula yang sudah tua sehingga kemampuan produksinya menjadi rendah. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi inefisiensi pabrik gula adalah dengan melakukan revitalisasi pabrik gula baik perbaikan fasilitas pabrik gula maupun menambah pabrik gula baru guna meningkatkan produksi secara signifikan. Revitalisasi pabrik gula yang dilakukan pemerintah meliputi beberapa tahap dari mulai on farm, off farm, peningkatan peran industri permesinan, penelitian dan pengembangan serta sarana pendukung lainnya. Alternatif lain yang dapat dilakukan dalam upaya pencapaian swasembada gula nasional adalah mengkombinasikan peningkatan luas areal, produktivitas tebu, rendemen dan penambahan pabrik gula baru. Salah satu upaya pemerintah untuk program revitalisasi pabrik gula adalah menyiapkan tiga alternatif kebutuhan pembangunan pabrik gula baru yaitu (1) Pabrik gula dengan kapasitas 15.000 TCD sebanyak 10 unit, (2) Pabrik gula dengan kapasitas 10.000 TCD sebanyak 15 unit, atau (3) Pabrik gula dengan kapasitas 6.000 TCD sebanyak 25 unit. Berdasarkan hasil analisis menggunakan persamaan regresi, diperoleh kombinasi peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen. Kekurangan produksi dipenuhi oleh pembangunan pabrik gula baru. Pemerintah menetapkan sasaran penambahan luas areal sebesar 267.162 hektar. Dengan penambahan luas areal tersebut, alternatif kebutuhan pembangunan pabrik gula baru yang disiapkan oleh pemerintah dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan produksi gula yang terjadi (Tabel 5.10).
Tabel 5.10 Skenario 2: Upaya Pencapaian Swasembada Gula Melalui Program Penambahan Pabrik Gula Baru Tahun 2010 2011 2012 2013 2014
Luas Areal (Ha) 418.259 485.162 552.065 618.968 685.871
Produktivitas Produksi Tambahan Rendemen Tebu Gula Produksi (%) (Ton/Ha) (Ton) (Ton) 81,8 6,5 2.214.488 82,8 7,0 2.811.722 83,8 7,6 3.515.308 84,8 8,1 4.250.392 89,4 8,6 5.271.131 259.431
Konsumsi Gula (Ton) 4.757.383 5.022.810 5.316.895 5.378.392 5.530.562
Pada skenario kedua, kebutuhan peningkatan luas areal menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan skenario kebijakan tanpa penambahan pabrik gula. Dalam skenario ini selain adanya peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen, juga dilakukan upaya pembangunan pabrik gula baru untuk menutupi defiisit gula yang terjadi. Penambahan pabrik gula tersebut dapat melalui tiga alternatif yaitu pembangunan 10 unit pabrik gula dengan kapasitas 15.000 TCD, pembangunan 15 unit pabrik gula dengan kapasitas 10.000 TCD atau dengan pembangunan 25 unit pabrik gula baru dengan kapasitas 6.000 TCD. Pembangunan pabrik gula baru membutuhkan investasi yang cukup besar. Selain penambahan lahan tanam, juga dibutuhkan dana untuk pembangunannya. Pembangunan pabrik gula dengan kapasitas 6.000 TCD membutuhkan dana Rp 0,6 trilyun, pabrik gula berkapasitas 10.000 TCD membutuhkan dana sebesar Rp 1 Trilyun dan pabrik gula dengan kapasitas 15.000 TCD membutuhkan investasi sebesar Rp 1,5 trilyun. Sehingga jika dijumlahkan, dari masing-masing alternatif yang disiapkan pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp 15 trilyun (Ditjen Perkebunan, 2006).
Dari hasil kombinasi pada dua skenario dapat disimpulkan bahwa penambahan luas areal, peningkatan produktivitas dan tingkat rendemen cukup tinggi, sedangkan waktu pencapaian swasembada sangat pendek yaitu hanya empat tahun yang akan datang sehingga kombinasi peningkatan tersebut cukup sulit untuk dapat diterapkan. Peningkatan lahan akan terkendala pada sistem birokrasi
dan
pembebasan
tanah.
Penetapan
lahan
yang
tepat
untuk
pengembangan tanaman tebu pun membutuhkan waktu. Selain itu penggunaan lahan hutan atau sawah sebagai upaya perluasan areal akan mengakibatkan terganggunya pasokan komoditi lain. Peningkatan produktivitas terkendala pada penelitian mengenai bibit unggul yang membutuhkan waktu. Teknik mekanisasi pada sektor on farm mungkin saja dilakukan namun hal tersebut akan berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja pada industri gula. Industri gula merupakan industri yang labor intensif, penggunaan mesin akan mengurangi penggunaan tenaga kerja manusia yang mengakibatkan pada peningkatan pengangguran terutama di pedesaan. Kondisi pabrik gula yang sudah sangat tua menjadi kendala pada upaya peningkatan tingkat rendemen gula. Lonjakan teknologi sangat dibutuhkan untuk meningkatkan rendemen. Selain itu pemilihan bibit dan teknik panen baik pra panen maupun pascapanen juga perlu diperhatikan. Penambahan pabrik gula yang direncanakan oleh pemerintah membutuhkan dana yang cukup banyak sehingga pemerintah harus mencari cara untuk mendapatkan dana tersebut salah satunya adalah dengan menggandeng investor. Penciptaan iklim investasi yang baik diperlukan guna menarik minat investor untuk bergabung. Pemerintah harus
menyiapkan iklim tersebut salah satunya adalah dengan menyediakan fasilitas dan kemudahan dalam melakukan izin usaha. Pencapaian swasembada yang diprogramkan pemerintah mempunyai banyak kendala, sehingga diperlukan kebijakan-kebijakan yang tepat dan kerjasama antara pemerintah dengan investor dan pemerintah dengan berbagai instansi yang terkait untuk dapat berkoordinasi dengan baik sehingga mampu mewujudkan swasembada gula nasional pada tahun 2014.
VI.
PENUTUP
6.1 Kesimpulan Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Perubahan dalam produksi, konsumsi, harga dan pemasaran gula dapat mengundang timbulnya bermacam gejolak dalam masyarakat baik ekonomis maupun politis yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya. Peramalan konsumsi gula menunjukkan data dengan trend yang cenderung mengalami peningkatan sedangkan produksi gula dalam negeri cenderung berfluktuasi yang menunjukkan bahwa kondisi industri gula dalam negeri tidak stabil. Hasil peramalan produksi dan konsumsi untuk tahun 2011-2014 masih memperlihatkan adanya defisit sehingga dapat disimpulkan bahwa swasembada gula belum mampu tercapai pada tahun 2014 dengan asumsi ceteris paribus. Defisit antara produksi dan konsumsi gula pada tahun 2014 dari hasil peramalan sebesar 3.071.968 ton. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil proyeksi pemerintah yang masih memperlihatkan adanya defisit antara produksi dan konsumsi gula sebesar 2.159.992 ton. Dengan belum tercapainya swasembada gula pada tahun 2014, perlu adanya upaya untuk dapat membantu mendorong perkembangan industri gula. Upaya tersebut tertuang dalam dua skenario yaitu (1) kombinasi peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen
tanpa
kebijakan penambahan pabrik gula baru, dan (2) kombinasi peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen dengan penambahan pabrik gula baru. Dari hasil analisis skenario peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen tanpa kebijakan penambahan pabrik gula baru, diperoleh data bahwa dibutuhkan peningkatan luas areal sebesar 259.577 hektar, produktivitas tebu sebesar 7,6 ton per hektar dan peningkatan rendemen sebesar 2,6 persen selama kurun waktu 2011-2014 untuk dapat mencapai swasembada gula nasional dengan asumsi produksi sama dengan konsumsi. Hasil dari analisis skenario peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen dengan kebijakan penambahan pabrik gula baru menunjukkan kebutuhan peningkatan luas areal pada tahun 2014 sebesar 267.162 hektar, produktivitas yang harus dicapai sebesar 89,4 ton per hektar dan persentase rendemen sebesar 8,6 persen sesuai dengan sasaran pemerintah dalam roadmap swasembada gula serta penambahan pabrik gula baru dengan pilihan alternatif sebanyak 25 PG dengan kapasitas 6.000 TCD, 15 PG dengan kapasitas 10.000 TCD atau 10 PG dengan kapasitas 15.000 TCD. Pembangunan pabrik gula baru membutuhkan investasi yang cukup besar baik untuk lahan tanam maupun pembangunan pabrik gula baru tersebut. Alternatif jumlah pabrik gula yang telah disiapkan oleh pemerintah rata-rata membutuhkan investasi sebesar Rp 15 trilyun (Ditjen Perkebunan, 2006).
6.2 Saran Pemerintah perlu memberikan perhatian yang cukup besar untuk dapat mewujudkan swasembada gula nasional pada tahun 2014. Pemerintah harus berupaya keras untuk mewujudkan program yang telah dicanangkan dengan melihat target produksi yang harus dicapai sangat tinggi. Dari skenario yang dianalisis, dibutuhkan adanya peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen untuk dapat mendorong perkembangan industri gula dalam mencapai swasembada gula nasional. Upaya untuk meningkatkan luas areal adalah dengan membuka lahan perkebunan tebu di luar pulau Jawa karena di pulau Jawa sudah tidak memungkinkan mengingat semakin padatnya populasi di Pulau Jawa. Daerahdaerah lain di luar Pulau Jawa yang berpotensi untuk penambahan luas areal perkebunan tebu adalah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan Barat dan Papua. Upaya untuk meningkatkan produktivitas tebu salah satunya dengan pemilihan bibit dan sistem budidaya tebu yang tepat. Hal ini karena produktivitas tebu sangat tergantung pada kualitas bibit, pengelolaan lahan, pengairan, pemeliharaan tanaman dan manajemen panen. Sebagian besar pabrik gula di Indonesia dibangun pada masa penjajahan Belanda, sehingga teknologi yang digunakan sudah sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan teknologi yang ada pada saat ini. Kondisi mesin-mesin yang ada di pabrik gula tersebut sudah sangat tua dan kemampuannya dalam mengolah tebu menjadi gula sudah sangat berkurang dibandingkan dengan mesin-mesin yang baru. Dengan melihat adanya permasalahan pabrik gula tersebut, pemerintah
perlu melakukan revitalisasi atau pembangunan pabrik gula baru sehingga terjadi transfer teknologi. Dengan adanya teknologi yang baru diharapkan dapat membantu meningkatkan persentase rendemen. Selain itu, pemilihan bibit dan budidaya tebu yang tepat juga dapat membantu meningkatkan persentase rendemen. Salah satu alternatif kebijakan yang ditawarkan pemerintah adalah dengan penambahan pabrik gula baru. Melihat besarnya dana yang dibutuhkan untuk membangun pabrik gula baru, perlu adanya keterlibatan investor baik dari dalam maupun luar negeri dan dukungan pendanaan jangka panjang dari kredit perbankan. Selain itu, pemerintah juga perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif guna menarik investor untuk bergabung. Upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif dapat dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap kebijakan pemerintah sehingga dapat memberikan kemudahan dan jaminan kepastian hukum, perlindungan terhadap penjarahan, pola pengembangan yang jelas, dukungan sarana dan prasarana serta konsistensi dari kebijakan fiskal dan moneter agar tercipta keadaan ekonomi yang stabil dan terus tumbuh positif.
.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, V. 2010. Pola Distribusi dan Integrasi Pasar Gula Pasir di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Amang, Beddu. 1993. Kebijaksanaan Pemasaran Gula di Indonesia. PT Dharma Karsa Utama: Jakarta. Assauri,Sofjan. 1984. Teknik dan Metoda Peramalan: Penerapannya Dalam Ekonomi dan Dunia Usaha, Edisi Satu. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek Pengembangan Agribisnis Tebu. Departemen Pertanian: Jakarta
dan
Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia 2010. Jakarta Dewan Gula Indonesia. 2006. Neraca Gula Indonesia. Jakarta. . 2011. Swasembada Gula Indonesia. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 1980. Pedoman Pelaksanaan Proyek Peningkatan Produksi Perkebunan. Jakarta . 2009. Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula 2010-2014. Jakarta. . 2006. Roadmap Swasembada Gula Nasional. Jakarta. Farihah, S. S. 2005. Analisis Peramalan Produksi dan Konsumsi Beras Serta Implikasinya Terhadap Pencapaian Swasembada Beras di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Firdaus, M. 2006. Analisis Deret Waktu Satu Ragam. IPB Press: Bogor. Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics Fourth Edition. McGraw-Hill: New York. Hanke, J.E dan Wichern, D.W. 2005. Business Forecasting, Eighth Edition. Pearson Education: New Jersey. Hafsah, M. J. 2003. Bisnis Gula di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
Hapsari, N.T. 2007. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Volume Impor Gula Indonesia Periode 1983-2006. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Hasan, I. dan Anas ,R. 1983. Pemasaran Gula di Indonesia. Di dalam :Sigit Sunarto. Perkebunan Indonesia Di Masa Depan; Jakarta, 29 September-01 Oktober 1983. Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika. Hal 221. Mochtar, H. 1982. Permasalahan Kualitas Tebu Sebagai Bahan Dasar Pabrik Sehubungan dengan Teknik Pemanenan, Angkutan, dll. Dewan Gula Indonesia: Jakarta. Mubyarto. 1984. Masalah Industri Gula di Indonesia. BPFE: Yogyakarta. Mulyono, S. 2000. Peramalan Bisnis dan Ekonometrika Edisi ke-1. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Yogyakarta: Yogyakarta. Notojoewono. 1984. Tebu Rakyat Intensifikasi dan Koperasi Unit Desa. BP3G: Pasuruan. Nugroho, H. 2008. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Gula di Indonesia Periode 1985-2006 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Purwanto, E. B. 2006. Analisis Peramalan Konsumsi dan Produksi Gula Serta Implikasinya Terhadap Pencapaian Swasembada Gula di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Rahman, A.E. 2008. Pangan yang Membuat Gundah. Jurnal Agro Observer, 18 : 15-16 Soekartawi. 2006. Agroindustri dalam Perspektif Sosial Ekonomi. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Subari, S. 2009. Politik Pertanian Menakar Peran Pemerintah Dalam Era Globalisasi. Lembaga Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya: Malang. Sumarno. 1996. Pedoman Teknis Penentuan Faktor Rendemen dan Rendemen Metode Djombang. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia: Pasuruan.
Lampiran 1. Produksi, Konsumsi, Luas Areal, Produktivitas dan Rendemen Gula Tahun 1980-2010. Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Produksi (ton) 1.249.946 1.250.117 1.627.545 1.647.071 1.707.315 1.725.179 2.024.171 2.130.611 1.917.709 2.047.191 2.119.509 2.252.666 2.307.602 2.482.107 2.448.833 2.096.472 2.094.195 2.189.967 1.481.685 1.494.333 1.690.004 1.725.467 1.755.434 1.631.919 2.051.643 2.241.742 2.307.027 2.448.143 2.668.428 2.299.504 2.214.488
Konsumsi (ton) 1.621.777 1.748.026 1.635.585 1.992.975 1.702.407 1.889.340 1.983.633 2.093.242 2.298.898 2.256.009 2.389.222 2.526.490 2.440.913 2.723.989 2.941.217 3.343.058 3.073.765 3.366.940 2.724.950 2.889.170 2.989.170 3.085.820 3.190.540 3.301.872 3.402.429 3.436.623 4.252.793 4.703.434 4.341.114 5.292.110 4.757.383
Luas Areal (ha) 188.769 193.148 257.556 293.719 285.563 277.615 317.090 337.146 329.611 339.943 364.977 386.384 404.381 420.687 428.726 420.630 403.266 385.669 378.293 340.800 340.660 344.441 350.723 335.725 344.793 381.786 378.441 428.401 436.516 419.130 418.259
Produktivitas (ton/ha) 72,8 73,8 69,7 75,5 73,9 76,3 79,3 77,1 76,6 78,9 76,9 72,9 79,2 89,4 71,2 71,5 70,9 72,5 71,8 62,8 70,5 73,1 72,8 67,4 77,6 81,6 79,9 77,7 75,5 73,0 81,8
Rendemen (%) 9,1 8,8 9,1 7,4 8,1 8,1 8,1 8,2 7,6 7,6 7,6 8,0 7,2 6,6 8,0 7,0 7,3 7,8 5,5 7,0 7,0 6,9 6,9 7,2 7,7 7,2 7,6 7,4 8,1 7,5 6,5
Lampiran 2. Nilai Logaritma Natural (ln) Produksi, Konsumsi, Luas Areal, Produktivitas dan Rendemen Gula Tahun 1980-2010. Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
ln Produksi 14,04 14,04 14,30 14,31 14,35 14,36 14,52 14,57 14,47 14,53 14,57 14,63 14,65 14,72 14,71 14,56 14,55 14,60 14,21 14,22 14,34 14,36 14,38 14,31 14,53 14,62 14,65 14,71 14,80 14,65 14,61
ln Konsumsi 14,30 14,37 14,31 14,51 14,35 14,45 14,50 14,55 14,65 14,63 14,69 14,74 14,71 14,82 14,89 15,02 14,94 15,03 14,82 14,88 14,91 14,94 14,98 15,01 15,04 15,05 15,26 15,36 15,28 15,48 15,38
ln Luas Areal 12,15 12,17 12,46 12,59 12,56 12,53 12,67 12,73 12,71 12,74 12,81 12,86 12,91 12,95 12,97 12,95 12,91 12,86 12,89 12,74 12,74 12,75 12,77 12,72 12,75 12,85 12,84 12,97 12,99 12,95 12,94
ln ln Produktivitas Rendemen 4,29 2,21 4,30 2,17 4,24 2,20 4,32 2,00 4,30 2,09 4,33 2,10 4,37 2,09 4,35 2,10 4,34 2,03 4,37 2,03 4,34 2,02 4,29 2,08 4,37 1,98 4,36 2,01 4,27 2,08 4,27 1,94 4,26 1,99 4,28 2,06 4,23 1,70 4,14 1,94 4,26 1,95 4,29 1,92 4,29 1,93 4,21 1,98 4,35 2,04 4,40 1,97 4,38 2,03 4,35 1,99 4,32 2,09 4,29 2,02 4,40 1,87
Lampiran 3. Grafik Plot Data dan Uji Statistik ADF Pada Level Untuk Data ln Produksi Gula Tahun 1980-2010 Time Series Plot of LNPRODUKSI 14,8 14,7
LNPRODUKSI
14,6 14,5 14,4 14,3 14,2 14,1 14,0 1983
1988
1993 1998 Tahun
2003
2008
Hasil Uji Unit Root Data ln Produksi Gula Pada Level Null Hypothesis: LNPRODUKSI has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-2.354103 -4.296729 -3.568379 -3.218382
0.3943
Lampiran 4. Grafik Plot Data dan Uji Statistik ADF Pada First Difference Untuk Data ln Produksi Gula Tahun 1980-2010 Time Series Plot of DLNPRODUKSI 0,3 0,2
DLNPRODUKSI
0,1 0,0 -0,1 -0,2 -0,3 -0,4 1983
1988
1993 1998 Tahun
2003
2008
Hasil Uji Unit Root Data ln Produksi Gula Pada First Difference Null Hypothesis: D(LNPRODUKSI) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-5.428418 -4.309824 -3.574244 -3.221728
0.0007
Lampiran 5. Uji ACF Data ln Produksi Gula Pada First Difference Autocorrelation Function for Dproduksi
(with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0 0.8
Autocorrelation
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2
3
4
5
6
7
8
Lag
Lampiran 6. Uji PACF Data ln Produksi Gula Pada First Difference Partial Autocorrelation Function for Dproduksi (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1.0
Partial Autocorrelation
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2
3
4
5 Lag
6
7
8
Lampiran 7. Hasil Evaluasi Model ARIMA Terbaik Untuk Produksi Gula ARIMA (2,1,2) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 MA 1 MA 2 Constant
Coef -0.3425 -0.9954 -0.3464 -0.9341 0.04132
SE Coef 0.0228 0.0294 0.2079 0.2188 0.04417
T -15.00 -33.87 -1.67 -4.27 0.94
P 0.000 0.000 0.108 0.000 0.358
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 31, after differencing 30 Residuals: SS = 0.280198 (backforecasts excluded) MS = 0.011208 DF = 25 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 8.7 7 0.272
24 18.4 19 0.497
36 * * *
48 * * *
Lampiran 8. Hasil Peramalan Produksi Gula Tahun 2011-2014 Dalam Bentuk Logaritma Natural (ln) Forecasts from period 31 95 Percent Limits Period 2011 2012 2013 2014
Forecast 14,7253 14,7399 14,6614 14,7151
Lower 14,5177 14,4458 14,3084 14,3099
Upper 14,9328 15,0339 15,0145 15,1204
Lampiran 9. Grafik Plot Data dan Uji Statistik ADF Pada Level Untuk Data ln Konsumsi Gula Tahun 1980-2010 Time Series Plot of LNKONSUMSI 15,6 15,4
LNKONSUMSI
15,2 15,0 14,8 14,6 14,4 14,2 1983
1988
1993 1998 Tahun
2003
2008
Hasil Uji Unit Root Data ln Konsumsi Gula pada Level Null Hypothesis: LNKONSUMSI has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-3.403976 -4.296729 -3.568379 -3.218382
0.0698
Lampiran 10. Grafik Plot Data dan Uji Statistik ADF Pada First Difference Untuk Data ln Konsumsi Gula Tahun 1980-2010 Time Series Plot of DLNKONSUMSI 0,2
DLNKONSUMSI
0,1
0,0
-0,1
-0,2 1983
1988
1993 1998 Tahun
2003
2008
Hasil Uji Unit Root Data ln Konsumsi Gula pada First Difference Null Hypothesis: D(LNPRODUKSI) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-5.428418 -4.309824 -3.574244 -3.221728
0.0007
Lampiran 11. Uji ACF Data ln Konsumsi Gula Pada First Difference Autocorrelation Function for DLNKONSUMSI (with 5% significance limits for the autocorrelations)
1,0 0,8
Autocorrelation
0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5
6
7
8
Lag
Lampiran 12. Uji ACF Data ln Konsumsi Gula Pada First Difference Partial Autocorrelation Function for DLNKONSUMSI (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1,0
Partial Autocorrelation
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5 Lag
6
7
8
Lampiran 13. Hasil Evaluasi Model ARIMA Terbaik Untuk Konsumsi Gula ARIMA(1,1,3) Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1 MA 2 MA 3 Constant
Coef 0.3248 1.0724 -0.9108 0.7535 0.024278
SE Coef 0.2807 0.2524 0.1993 0.1861 0.002618
T 1.16 4.25 -4.57 4.05 9.27
P 0.258 0.000 0.000 0.000 0.000
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 31, after differencing 30 Residuals: SS = 0.153592 (backforecasts excluded) MS = 0.006144 DF = 25 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 7.5 7 0.376
24 13.7 19 0.801
36 * * *
48 * * *
Lampiran 14. Hasil Peramalan Konsumsi Gula Tahun 2011-2014 Dalam Bentuk Logaritma Natural (ln) Forecasts from period 31 95 Percent Limits Period
Forecast
Lower
Upper
2011 2012 2013 2014
15,4259 15,4864 15,4979 15,5258
15,2758 15,3279 15,2954 15,3054
15,5832 15,6449 15,7103 15,7463
Lampiran 15. Uji Regresi Berganda Dependent Variable: LNPRODUKSI Method: Least Squares Date: 03/18/11 Time: 22:32 Sample: 1980 2010 Included observations: 31 White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNLA LNPRODUKTIVITAS LNRENDEMEN C
0.999686 0.998800 0.999500 -4.594885
0.000595 0.001610 0.001186 0.009392
1681.545 620.4060 843.0665 -489.2352
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.999991 0.999990 0.000615 1.02E-05 187.3873 1022980. 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
14.47981 0.196560 -11.83144 -11.64641 -11.77112 2.366680
Lampiran 16. Uji Multikolinearitas Covariance Analysis: Ordinary Date: 03/22/11 Time: 09:25 Sample: 1980 2010 Included observations: 31 Correlation Probability LNPRODUKSI
LNPRODUKTIV LNRENDEM ITAS EN
LNPRODUKSI 1.000000 -----
LNLA
LNLA
0.821168 0.0000
1.000000 -----
LNPRODUKTIVITAS
0.513001 0.0032
0.140228 0.4518
1.000000 -----
LNRENDEMEN
-0.061955 0.7406
-0.568488 0.0008
0.122024 0.5132
1.000000 -----
Lampiran 17. Uji Heteroskedastisitas Hipotesis: H0: Homoskedastisitas H1: Heteroskedastisitas Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
0.574789 6.127132 2.388327
Prob. F(9,21) Prob. Chi-Square(9) Prob. Chi-Square(9)
0.8026 0.7271 0.9837
Lampiran 18. Uji Autokorelasi Hipotesis: H0: Tidak Ada Autokorelasi H1 : Ada Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.455506 3.233182
Prob. F(2,25) Prob. Chi-Square(2)
0.2524 0.1986
Lampiran 19. Uji Kenormalan Hipotesis: H0: Galat Menyebar Normal H1: Galat Menyebar Tidak Normal 8
Series: Residuals Sample 1980 2010 Observations 31
7 6 5 4 3 2 1 0 -0.0010
-0.0005
0.0000
0.0005
0.0010
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-8.31e-16 -2.23e-05 0.001012 -0.001066 0.000583 -0.061409 2.027690
Jarque-Bera Probability
1.240607 0.537781