ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA
Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A14302003
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
2
RINGKASAN AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN. Analisis Dampak Impor Gula Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia. Dibawah Bimbingan MANGARA TAMBUNAN. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kebijakan impor gula yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia, menganalisis dampak impor gula terhadap harga gula domestik, menganalisis dampak impor gula terhadap industri gula Indonesia, mengetahui dampak kebijakan impor gula yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Model analisis data yang digunakan adalah persamaan simultan. Masing-masing persamaan penelitian ini diduga dengan metode TwoStage Least Square (2SLS) dengan menggunakan program SAS version 8.1. Pendugaan dan pengujian model ekonomi dengan kriteria statistik menunjukkan hasil yang memuaskan. Koefisien determinasi (R2) dari masingmasing persamaan struktural berkisar antara 0,576 sampai dengan 0,9647. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variable) yang ada dalam persamaan struktural mampu menjelaskan dengan baik peubah endogen (endogenous variable). Besaran nilai statistik khususnya uji F umumnya tinggi. Impor yang tinggi serta harga internasional yang murah telah mempersulit posisi sebagian besar pabrik gula untuk bertahan dalam industri gula nasional apalagi untuk berkembang. Impor gula semakin terbuka lebar dan membanjir semenjak pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis termasuk gula dan tarif impor yang ditetapkan sebesar nol persen. Impor gula nasional yang besar telah menarik minat banyak pelaku pasar sehingga menimbulkan kesulitan pengendaliannya. Kemelut pengelolaan impor gula terus berlangsung sehingga mendorong pemerintah melalui Departemen Perdagangan dan Perindustrian mengatur tataniaga dan impor seperti instrumen NPIK (Nomor Pengenal Importir Khusus) sampai penerapan kuota impor. Kebijakan tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun untuk mengontrol volume impor. Menanggapi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan tarif impor melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 230/MPP/Kep/6/1999 yang memberlakukan tarif impor gula sebesar 20 persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar. Apabila terjadi kenaikan impor gula sebesar 86 persen, maka akan meningkatkan harga impor gula, meningkatkan harga gula eceran dalam negeri, penurunan konsumsi gula oleh masyarakat Indonesia. Kenaikan impor gula tersebut juga berdampak pada peningkatan stok gula dalam negeri, meningkatkan harga provenue gula dan mendorong peningkatan luas areal perkebunan tebu serta penurunan produktivitas tebu. Kebijakan menurunkan impor gula sebesar 98 persen akan berdampak pada penurunan harga impor gula dan diikuti oleh penurunan harga gula eceran, konsumsi meningkat serta berdampak pada penurunan stok gula dalam negeri. Kebijakan ini juga menyebabkan harga provenue gula mengalami penurunan serta penurunan luas areal perkebunan tebu. Akan tetapi, produktivitas tebu justru meningkat.
3
Kebijakan mengimpor gula sebesar nol persen akan berdampak positif pada peningkatan produktivitas tebu. Selain itu, kebijakan tersebut juga berdampak pada penurunan harga impor gula dan penurunan harga gula eceran sehingga konsumsi gula dalam negeri meningkat. Dampak lainnya adalah stok gula dalam negeri mengalami penurunan dan harga provenue gula mengalami penurunan. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap perubahan luas areal perkebunan dimana luas areal perkebunan tebu mengalami penurunan. Sementara itu, produktivitas tebu mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil analisis simulasi kebijakan, kebijakan tataniaga impor gula tidak responsif atau bersifat inelastis terhadap perubahan harga gula eceran domestik dan industri gula Indonesia. Apabila impor gula semakin tinggi akan meningkatkan stok gula Indonesia sehingga penawaran gula akan meningkat. Kenaikan penawaran gula tersebut akan menurunkan harga gula eceran dalam negeri. Harga gula domestik berfluktuasi mengikuti dinamika harga internasional yang bergejolak mengikuti harga musiman, dimana harga tertinggi akan terjadi pada periode Mei-Agustus dan terendah pada bulan September-Oktober (Sudana et. al , 2001). Salah satu faktor yang juga mempengaruhi harga gula eceran dalam negeri adalah harga gula impor dimana jika impor gula meningkat maka harga impor gula turun. Menurut Susila (2005), salah satu faktor yang mempengaruhi harga gula eceran dalam negeri adalah harga impor gula yang berhubungan positif terhadap perubahan harga gula eceran. Turunnya harga gula eceran di pasar domestik ternyata membawa pengaruh yang negatif terhadap perubahan konsumsi gula domestik dimana konsumsi gula akan mengalami peningkatan. Kenaikan konsumsi ini tidak mampu dipenuhi sepenuhnya oleh produksi dalam negeri tetapi harus dipenuhi oleh impor gula dari negara lain. Hal ini dibuktikan dimana pabrikpabrik gula di Indonesia pada saat ini tidak efisien lagi berproduksi akibat rendahnya harga gula internasional sehingga sulit bersaing dengan industri gula di luar negeri dan tidak ada perubahan dalam teknologi pergulaan. Dengan dibebaskannya tataniaga gula sejak awal tahun 1998, maka harga gula eceran dalam negeri ditentukan oleh mekanisme pasar yang bersifat lelang (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2005). Seperti yang terjadi pada lelang bulan Agustus 2002 yang hanya mencapai Rp 2.650 per kg, sementara biaya produksi Rp 3.200 per kg sehingga sangat merugikan petani dan pabrik gula. Dalam usaha meningkatkan produksi gula untuk mencapai swasembada gula sebaiknya lebih difokuskan pada peningkatan produktivitas. Sebagai negara importir, orientasi setiap kebijakan tetap diarahkan pada semakin menguatnya daya saing industri gula domestik dalam menghadapi perkembangan liberalisasi pasar gula dunia. Perlunya penguatan organisasi petani melalui model kemitraan antara petani penggarap dengan pabrik gula dalam suatu sistem usaha bersama serta adanya penelitian dan pengembangan sehingga industri gula dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Intervensi pemerintah masih tetap diperlukan untuk mengurangi dampak negatif liberalisasi perdagangan, dengan kata lain pasar gula domestik masih perlu diproteksi oleh pemerintah dari pengaruh fluktuasi harga dunia dan jumlah impor gula Indonesia.
Kata kunci: gula, impor gula, industri gula.
4
ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : Agus Tri Surya Nainggolan A14302003
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
5
Judul : ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA Nama : Agus Tri Surya Nainggolan NRP : A14302003
Menyetujui, Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc NIP. 130 345 010
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr NIP 130 422 698
Tanggal Lulus :
6
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Maret 2006
Agus Tri Surya Nainggolan A14302003
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 17 Agustus 1984. Penulis merupakan anak ke empat dari empat bersaudara pasangan Bapak Drs. Walter Nainggolan dan Ibu Mariani Sitorus. Penulis mengawali pendidikan di SD Katholik Budi Murni 2 Medan pada tahun 1990. Pada tahun 1996, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 10 Medan. Pendidikan sekolah menengah atas ditempuh penulis di SMU Negeri 2 Medan pada tahun 1999-2002. Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis pernah menjadi asisten Mata Kuliah Ekonomi Umum dan Pengantar Ilmu Kependudukan. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen dalam Komisi Pelayanan Anak.
8
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Dampak Impor Gula Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia. Skripsi ini disusun sebagai bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak impor gula terhadap harga gula domestik dan industri gula Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kebijakan impor gula di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir. Penulis berharap semoga hasil yang telah disajikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya penulis sendiri dan bagi yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Bogor, Maret 2006
Penulis
9
UCAPAN TERIMA KASIH
Selama menulis skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, arahan, dan bimbingan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis dan memberikan kritik serta saran dalam menulis skripsi ini. 2. Dr. Ir. Harianto, MS sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran bagi kesempurnaan skripsi ini. 3. Ir. Murdianto, MSi sebagai dosen penguji wakil departemen yang telah memberikan kritik dan saran bagi kesempurnaan skripsi ini. 4. Keluarga tercinta, Papa, Mama, Kak Tetty, Bang Apul, dan Bang Rudi yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis selama proses belajar ini. 5. Adrian Lubis, SP, MSi dan Wahidah, SP, MSi yang memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini. 6. Anggi, Asti, Balduin, Bang Reinhard, Dimas, Dohana, Falentina, Hans Ceisar, Kak Ine, Mia, Nia, Noni, Rika, Tulus, Ury, Vera Lisnan, Viana, Vininta, dan teman-teman EPS’39 yang banyak memberikan dukungan dan bantuan dalam penulisan skripsi ini. 7. Semua pihak yang selama ini telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.
10
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... I.
II.
vii x xi xii
PENDAHULUAN Latar Belakang .................................................................................
1
Perumusan Masalah .........................................................................
5
Tujuan Penelitian .............................................................................
7
Kegunaan Penelitian ........................................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Industri Gula di Indonesia .......................................
8
Kebijakan Pergulaan di Indonesia ...................................................
10
Kebijakan Agribisnis Gula di Negara-Negara Produsen/Eksportir
III.
dan Importir Utama Dunia ...............................................................
13
2.3.1 Brasil .....................................................................................
13
2.3.2 Mesir .....................................................................................
14
2.3.3 India ......................................................................................
15
2.3.4 China .....................................................................................
17
2.3.5 Thailand ................................................................................
19
2.3.6 Jepang ...................................................................................
20
2.3.7 Filipina ..................................................................................
22
2.3.8 Australia ................................................................................
22
2.3.9 Fiji .........................................................................................
23
2.3.10 Kuba ......................................................................................
25
Penelitian-Penelitian Terdahulu ......................................................
27
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teoritis ............................................................................
30
Teori Permintaan dan Penawaran .........................................
30
11
Harga ....................................................................................
33
Teori Perdagangan Internasional ..........................................
34
Keuntungan dan Kerugian bagi Indonesia Sebagai Negara
IV.
Pengimpor Gula ...................................................................
37
Tarif ......................................................................................
39
Kerangka Pemikiran Operasional ....................................................
42
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data ..............................................................................
45
Metode Pengolahan dan Analisis Data ......................................................
46
Model Ekonometrika .................................................................................
47
4.3.1 Produksi Gula Total ..............................................................
49
4.3.2 Produksi Tebu .......................................................................
49
4.3.3 Luas Areal Perkebunan Tebu ................................................
49
4.3.4 Produktivitas Tebu ................................................................
50
4.3.5 Harga Provenue Gula ............................................................
51
4.3.6 Stok Gula Indonesia ..............................................................
52
4.3.7 Konsumsi Gula ......................................................................
52
4.3.8 Impor Gula ............................................................................
53
4.3.9 Harga Impor Gula .................................................................
54
4.3.10 Harga Gula Eceran ................................................................
55
4.4 Hipotesis ...........................................................................................
56
4.5 Identifikasi Model ............................................................................
57
4.6 Pengujian Model dan Hipotesis .......................................................
61
4.6.1
Uji Kesesuaian Model ..........................................................
61
4.6.2
Uji Dugaan Variabel Secara Individu (Uji t) .......................
63
4.6.3
Uji Terhadap Autokorelasi ...................................................
63
4.6.4
Uji Terhadap Heteroskedastisitas .........................................
64
4.6.5
Uji Multikolinieritas .............................................................
65
4.6.6
Konsep Elastisitas ................................................................
66
4.6.7
Validasi Model .....................................................................
67
4.6.8
Simulasi Model Kebijakan ...................................................
68
4.6.9
Definisi Operasional .............................................................
69
12
V.
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kebijakan Impor Gula di Indonesia .................................................
72
5.2 Hasil Dugaan Model ........................................................................
73
5.3 Dugaan Model Ekonometrika ..........................................................
74
5.3.1
Luas Areal Perkebunan Tebu ...............................................
74
5.3.2
Produktivitas Tebu ...............................................................
77
5.3.3
Harga Provenue Gula ...........................................................
79
5.3.4
Stok Gula Indonesia .............................................................
82
5.3.5
Konsumsi Gula .....................................................................
83
5.3.6
Impor Gula ...........................................................................
85
5.3.7
Harga Impor Gula ................................................................
88
5.3.8
Harga Gula Eceran ...............................................................
89
ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN 6.1 Hasil Validasi Model ........................................................................
93
6.2 Evaluasi Dampak Alternatif Kebijakan Impor Gula Tahun 1976-2004 ........................................................................................
94
6.2.1
Kebijakan Menaikkan Impor Gula Sebesar 86 Persen .........
95
6.2.2
Kebijakan Menurunkan Impor Gula Sebesar 98 Persen ......
96
6.2.3
Kebijakan Impor Gula Sebesar Nol Persen ..........................
98
6.3 Dampak Kebijakan Impor Gula yang Diterapkan oleh Pemerintah Indonesia ..........................................................................................
99
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ...................................................................................... 102 7.2 Saran ................................................................................................. 104 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 105 LAMPIRAN .................................................................................................... 108
13
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1. Luas Areal Perkebunan Tebu, Jumlah Tebu, Rendemen, Jumlah Hablur Tahun 1993-2004 ......................................................................................
1
2. Produksi, Konsumsi, dan Impor Gula Indonesia Tahun 1993-2004 .........
3
3. Perubahan Kesejahteraan Sebagai Akibat Pemberlakuan Tarif ................
41
4. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Luas Areal Perkebunan Tebu ....
75
5. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Produktivitas Tebu ....................
77
6. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Provenue Gula ................
80
7. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Stok Gula Indonesia ..................
82
8. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Gula ..........................
84
9. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Impor Gula ................................
86
10. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Impor Gula .....................
88
11. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Gula Eceran ....................
90
12. Hasil Validasi Model Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia Tahun 1976-2004 ......................................................................................
94
13. Dampak Alternatif Kebijakan Menaikkan Impor Gula Sebesar 86 Persen Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia Tahun 1976-2004..................................................................................
95
14. Dampak Alternatif Kebijakan Menurunkan Impor Gula Sebesar 98 Persen Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia Tahun 1976-2004..................................................................................
97
15. Dampak Alternatif Kebijakan Impor Gula Sebesar Nol Persen Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia Tahun 1976-2004 .....
98
14
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional ...........................................
36
2. Perdagangan Internasional di Sebuah Negara Pengimpor ........................
38
3. Dampak Pemberlakuan Tarif ....................................................................
40
4. Diagram Alur Kerangka Berfikir ..............................................................
45
5. Kerangka Model Ekonometrika ................................................................
48
15
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Teks
Halaman
1. Perkembangan Kebijakan Pergulaan Nasional ......................................... 109 2. Hasil Pendugaan Parameter Model Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia dengan Metode 2SLS ....................................................... 111 3. Hasil Validasi Model dan Nilai Simulasi Dasar ........................................ 115 4. Hasil Simulasi Penurunan Impor Gula Sebesar 98 Persen ........................ 118 5. Hasil Simulasi Kenaikan Impor Gula Sebesar 86 Persen ......................... 119 6. Hasil Simulasi Impor Gula Sebesar Nol Persen ........................................ 120
16
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas pangan pokok yang memiliki arti
dan posisi yang strategis di Indonesia. Kedudukan gula sebagai bahan pemanis utama belum dapat digantikan oleh bahan pemanis lainnya, seperti madu, gula merah, atau bahan pemanis buatan lainnya. Hal ini disebabkan gula masih merupakan bahan pemanis dominan yang digunakan baik oleh rumah tangga maupun industri sehingga gula menjadi komoditi pertanian di Indonesia yang mempunyai fungsi permintaan yang cukup besar, bahkan cenderung meningkat tiap tahunnya. Namun, komoditi gula masih menghadapi masalah, yaitu ketidakseimbangan antara produksi dengan kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat. Tabel 1. Luas Areal Perkebunan Tebu, Jumlah Tebu, Rendemen, dan Jumlah Hablur Tahun 1993-2004 Jumlah tebu Jumlah hablur Luas area Rendemen Tahun (ton) (ton/ha) (ton) (ton/ha) (ha) (%) 1993 420.687 32.337.637 76,9 7,60 2.469.589 5,90 1994 428.726 30.486.135 71,1 8,02 2.448.833 5,71 1995 420.630 30.083.264 71,5 6,97 2.096.054 4,98 1996 403.266 28.603.532 70,9 7,32 2.094.195 5,19 1997 385.669 27.953.841 72,5 7,83 2.189.975 5,68 1998 378.293 27.177.766 71,8 5,49 1.491.553 3,94 1999 340.800 21.401.834 62,8 6,96 1.488.599 4,37 2000 340.660 24.031.355 70,5 7,04 1.690.667 4,96 2001 344.441 25.186.254 73,1 6,85 1.725.467 5,01 2002 350.723 25.533.431 72,8 6,88 1.755.434 5,01 2003 335.725 22.631.109 67,4 7,21 1.631.919 4,87 2004 344.793 26.743.179 77,6 7,67 2.051.644 5,95 Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2005
Berdasarkan Tabel 1, produksi gula dalam negeri secara umum mengalami penurunan. Penurunan terbesar terjadi pada tahun 1993-1999. Produksi gula paling rendah tercapai pada tahun 1999, yaitu sebesar 1.488.599 ton. Penurunan
17
produksi gula beberapa tahun terakhir disebabkan oleh 1) penurunan luas areal tebu di sawah, 2) penurunan produktivitas dan rendemen karena cepatnya bergeser areal tebu dari sawah ke lahan kering, serta berkembangnya areal tebu keprasan. Seperti diketahui, produktivitas gula pasir di lahan sawah lebih tinggi dibandingkan dengan di lahan tegalan. Berkurangnya luas areal tebu sebagai akibat dikeluarkannya INPRES No.5/1998 pada tanggal 21 Januari 1998 yang membebaskan petani dari kewajiban petani untuk menanam tebu. Luas areal tebu mengalami penurunan dari 420.687 hektar pada tahun 1993 menjadi 344.793 hektar pada tahun 2004. Rendahnya rendemen industri gula nasional juga turut mempengaruhi penurunan produksi gula. Kondisi pabrik gula yang telah tua dan kesulitan tebang/angkut telah mempengaruhi rendemen dan kualitas tebu sehingga biaya produksi gula lebih mahal. Pada kurun waktu 1930-1940, rendemen gula dapat mencapai 12 persen lebih, sementara saat ini hanya berkisar 5-8 persen. Pada periode 2000-2004, produksi gula dalam negeri mulai mengalami peningkatan dimana pada tahun 2004, produksi gula mencapai 2.051.644 ton. Hal ini disebabkan karena pemerintah mengeluarkan kebijakan, yaitu penetapan harga provenue gula pasir produksi petani yang bertujuan untuk menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi. Selain itu, pemerintah juga menetapkan tarif spesifik untuk impor gula mentah sebesar Rp 550/kg (setara 20 persen) dan gula putih Rp 700/kg (setara 25 persen) yang berlaku hingga sekarang untuk merangsang petani menanam tebu. Walaupun telah dikenakan tarif spesifik, masuknya impor gula ke Indonesia belum dapat dikendalikan. Selain lemahnya pengawasan, tarif bea masuk gula impor saat ini masih sangat rendah ditambah tidak diberlakukannya hambatan non tarif untuk gula impor.
18
Tabel 2. Produksi, Konsumsi, dan Impor Gula Indonesia Tahun 1993-2004 Tahun Produksi (ton) Konsumsi (ton) Impor (ton) 1993 2.469.589 2.699.917 260.791 1994 2.448.833 2.941.217 128.399 1995 2.096.054 3.179.083 687.963 1996 2.094.195 3.073.765 975.830 1997 2.189.975 3.373.522 1.336.563 1998 1.491.553 2.739.295 1.730.473 1999 1.488.599 2.999.872 2.187.133 2000 1.690.667 3.020.312 1.230.835 2001 1.725.467 3.085.822 1.353.070 2002 1.755.434 3.190.539 1.453.105 2003 1.631.919 3.300.811 1.693.377 2004 2.051.644 3.388.808 1.314.626 Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2005)
Tabel 2 menunjukkan bahwa produksi gula dalam negeri tidak seimbang dengan konsumsi dalam negeri. Konsumsi gula secara nasional terus mengalami peningkatan
seiring
dengan
peningkatan
jumlah
penduduk,
pendapatan
masyarakat, dan pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman yang memerlukan gula sebagai bahan bakunya. Pada tahun 2004, konsumsi gula mencapai 3.388.808 ton. Konsumsi gula diperkirakan akan mencapai 3,5 juta ton pada tahun 2005 dan akan terus meningkat jumlahnya di tahun-tahun selanjutnya. Di sisi lain, industri gula nasional belum bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat. Hal ini disebabkan karena penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah. Untuk mencukupi kebutuhan gula tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang tataniaga impor gula yang mulai diberlakukan sejak tahun 1967. Impor gula Indonesia terus mengalami kenaikan. Impor gula naik dari 260.791 ton pada tahun 1993 menjadi 1.314.626 pada tahun 2004. Menurut Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan (2004), tingginya impor gula Indonesia tersebut disebabkan oleh tiga hal, yaitu: 1) rendahnya harga gula di pasar internasional sebagai akibat surplus pasokan dan
19
distorsi kebijakan dari negara-negara eksportir, 2) rendahnya proteksi pemerintah terhadap produk-produk pertanian termasuk gula, dan 3) produksi gula dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Rendahnya harga gula di pasar internasional dibandingkan dengan biaya rata-rata produksi gula dalam negeri, memukul industri gula dan petani tebu di Indonesia dan juga mengindikasikan adanya perdagangan yang tidak adil (unfair trade) pada komoditas gula. Hal tersebut dilakukan negara produsen gula sebagai upaya perlindungan terhadap industri gula domestiknya. Harga gula dunia yang rendah tersebut diakibatkan adanya dumping yang dilakukan oleh negara penghasil gula (produsen gula), pemberian subsidi untuk pembelian sarana produksi dan peralatan pertanian, subsidi ekspor, pemberlakuan tarif impor dan sebagainya. Perubahan harga gula dunia akan diikuti oleh harga gula di Indonesia. Dengan kondisi nilai tukar rupiah yang cenderung fluktuatif dan kondisi produksi gula dalam negeri yang belum dapat memenuhi kebutuhan nasional, pemerintah beranggapan gula impor tetap diperlukan karena produksi gula dalam negeri hanya mampu menyediakan 50 persen kebutuhan nasional (Suhendratno, 2004). Ketergantungan yang besar pada impor gula dapat mengakibatkan ketidakpastian dan ketidakstabilan harga gula domestik yang akan menyebabkan ketidakstabilan pendapatan para petani tebu. Impor gula yang besar juga telah menarik
minat
banyak
pelaku
pasar,
sehingga
menimbulkan
kesulitan
pengendaliannya. Untuk menciptakan medan persaingan yang lebih adil bagi industri gula dalam negeri, pada pertengahan tahun 2002, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen dan importir terdaftar dan
20
membatasi volume gula impor. Importir Indonesia yang dapat melakukan impor gula dari luar negeri adalah PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, dan PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).
1.2
Perumusan Masalah Sebagai salah satu industri manufaktur yang tertua, industri gula Indonesia
pernah mencapai zaman keemasan pada tahun sekitar 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Saat itu, pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14,8 persen dan rendemen mencapai 11-13,8 persen. Namun, perkembangan selanjutnya industri gula Indonesia lambat laun mengalami degradasi struktural dan sulit untuk bangkit kembali, hingga pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu importir gula terpenting di dunia saat ini. Industri gula yang ada sekarang tidak mungkin lagi dapat memenuhi kebutuhan gula nasional yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi sesungguhnya sangat potensial untuk dikembangkan dan dapat memenuhi kebutuhan gula nasional. Ketidakseimbangan pasokan atau produksi dengan permintaan gula nasional tersebut menimbulkan keharusan bagi pemerintah untuk mengimpor gula, sehingga sering terjadi gula impor berlebih di Indonesia termasuk ketika musim giling para importir tetap mendatangkan gula dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena harga gula luar negeri jauh lebih murah dibandingkan harga gula dalam negeri. Sejak diberlakukannya perjanjian pertanian WTO tanggal 1 Januari 1995, perekonomian gula Indonesia makin terpuruk karena membanjirnya impor, terutama sejak krisis ekonomi 1997. Impor gula Indonesia terus mengalami
21
kenaikan semenjak pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk gula. Implikasi terbesar kebijakan ini adalah impor gula terbuka lebar karena pada saat itu tarif impor gula adalah nol persen. Saat itu adalah era membanjirnya gula impor ke pasar Indonesia. Impor yang melebihi kebutuhan semakin menekan harga gula domestik sehingga harga gula domestik menjadi tidak menentu dan cenderung di bawah biaya produksi produsen domestik. Pembatasan impor yang hanya dilakukan oleh produsen adalah usaha pemerintah untuk membatasi dan mengendalikan volume impor sehingga harga gula dalam negeri dan harga gula di tingkat petani dapat ditingkatkan. Kebijakan importir produsen tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume impor. Kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh stok gula dalam negeri yang sudah terlalu banyak dan adanya gula impor ilegal. Situasi ini membuat harga gula di pasar domestik tetap rendah. Sehubungan dengan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalahmasalah antara lain: 1. Bagaimana kebijakan impor gula yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia? 2. Bagaimana dampak impor gula terhadap harga gula domestik? 3. Bagaimana dampak impor gula terhadap industri gula Indonesia? 4. Bagaimana dampak kebijakan impor gula yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia?
22
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan
dengan tujuan: 1. Mengetahui kebijakan impor gula yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. 2. Menganalisis dampak impor gula terhadap harga gula domestik. 3. Menganalisis dampak impor gula terhadap industri gula Indonesia. 4. Mengetahui dampak kebijakan impor gula yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan
kepada: 1. Penulis, penelitian ini berguna untuk melatih kemampuan penulis dalam menganalisis masalah sesuai dengan pengetahuan yang diperoleh selama kuliah dan menambah pengetahuan penulis mengenai industri gula nasional. 2. Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan informasi bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan peningkatan industri gula nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan petani tebu pada khususnya serta mengurangi ketergantungan impor gula. 3. Peneliti-peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan bahan pertimbangan atau perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
23
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perkembangan Industri Gula di Indonesia Industri gula merupakan suatu proses yang mencakup dua kegiatan pokok,
yaitu usaha penanaman tebu dan usaha memperoleh gula kristal dari bahan baku tebu (Balai Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula, 1981). Usaha penanaman tebu merupakan suatu penerapan teknologi budidaya, yaitu melakukan penanaman tebu pada lahan yang sesuai dengan memberikan input sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh hasil tebu dengan kualitas yang cocok untuk diolah menjadi gula serta dengan kualitas yang secara ekonomis dapat bersaing dengan usaha tanaman lain pada lahan yang sama. Usaha pengelolaan tebu menjadi gula merupakan penerapan teknologi maju yang cukup rumit berupa perpaduan teknologi fisikawi dan kimiawi. Sifat-sifat industri gula tersebut menerangkan bahwa pada masa sebelum perang, industri gula hanya ditangani oleh perusahaan-perusahaan besar baik dalam usaha penanaman tebu maupun dalam usaha pengelolaannya. Industri gula di Indonesia sudah dimulai sejak abad 16, mencapai puncak produksinya pada tahun 1930, yaitu sebesar 3 juta ton dengan luas areal 200.000 hektar (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2004). Pada tahun 1930 tercatat ada sekitar 179 pabrik gula. Produksi gula terus meningkat sehingga pada tahun 1931 Indonesia dapat mengekspor gula sebanyak 2 juta ton (Yenni, 2005). Adanya krisis ekonomi dunia pada tahun 1929 berpengaruh negatif pada perkembangan industri gula khususnya di Jawa. Jumlah pabrik gula pada tahun 1935 sebanyak 39 buah dengan tingkat produksi hanya 583.028 ton. Keadaan ini terus berlangsung hingga
pada
masa
pendudukan
Jepang
yang
kurang
tertarik
untuk
24
mengembangkan industri gula di Jawa karena kebutuhan mereka sudah terpenuhi dari Taiwan yang dijajah Jepang sejak akhir abad ke XIX. Di samping itu, merosotnya harga gula dan sulitnya transportasi akibat perang telah memukul industri gula di Jawa. Pada periode 1936-1940, jumlah pabrik masih sekitar 85 buah dengan tingkat produksi antara 1,3-1,7 juta ton. Sejak dicapainya kemerdekaan, sektor industri gula di Indonesia mencoba untuk bangkit kembali. Berdasarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 1975, sistem industri gula dirubah secara mendasar yang bertujuan untuk memantapkan produksi gula nasional dan meningkatkan pendapatan petani dengan peralihan sistem sewa menjadi Tebu Rakyat. Akan tetapi, program tersebut belum berhasil memenuhi permintaan atau konsumsi dalam negeri sebagai akibat dari peningkatan pendapatan masyarakat. Pada beberapa dekade terakhir (1991-2001), industri gula Indonesia mulai me nghadapi berbagai masalah internal dan eksternal yang cukup signifikan. Salah satu indikator masalah internal yang cukup mengkhawatirkan adalah kecenderungan volume gula impor yang terus meningkat dengan laju pertumbuhan 21,62 persen per tahun. Selain itu, adanya Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang membebaskan petani dalam mengusahakan lahannya sehingga menanam tebu tidak lagi merupakan kewajiban tetapi pilihan bebas petani berdasarkan rasional ekonomi. Pabrik gula mengalami kesulitan dalam memperoleh pasokan bahan baku sehingga industri gula semakin tidak efisien. Intervensi dengan intensitas tinggi yang dilakukan oleh negara produsen dan konsumen
merupakan
salah
satu
perkembangan industri gula di Indonesia.
faktor
eksternal
yang
menghambat
25
2.2
Kebijakan Pergulaan di Indonesia Dalam pembangunan industri gula nasional, pemerintah telah menerapkan
beberapa instrumen kebijakan yang diarahkan untuk mendorong perkembangan industri gula Indonesia (Lampiran 1). Kebijakan tersebut mempunyai dimensi cukup luas yang mencakup input, produksi, distribusi, dan harga. Kebijakan yang paling signifikan di antara berbagai kebijakan produksi dan input adalah kebijakan TRI yang tertuang dalam Inpres No. 9/1975 tanggal 22 April 1975. Penerbitan kebijakan ini sebagai respon atas adanya defisit penyediaan gula semakin besar sebagai akibat konsumsi gula yang terus meningkat karena perekonomian nasional tumbuh cukup pesat yang disertai dengan peningkatan jumlah penduduk. Bersamaan dengan itu, harga gula di pasar internasional melambung tinggi. Pada awal tahun 1990-an, kinerja pergulaan nasional terus menurun, baik dari segi areal, prodktivitas maupun produksi. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah
mengeluarkan
Inpres
No.
5/1997
yang
bertujuan
untuk
mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan perkebunan, dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Inpres tersebut juga mempertegas peran Menteri Pertanian dalam pengembangan industri gula, baik melalui penyediaan bibit dan bimbingan teknis, peningkatan peran lembaga penelitian maupun menghilangkan berbagai pungutan yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan tebu rakyat (Sudana et. al, 2000). Namun, Inpres tersebut dicabut dengan Inpres No. 5/1998 yang membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No. 12/1992. Kebijakan produksi yang cukup signifikan pada tahun 2003/2004 adalah pengembangan program akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas gula
26
nasional. Pemerintah mencanangkan tercapainya swasembada gula pada tahun 2007 dengan produksi 3 juta ton dan produktivitas rata-rata 8 ton gula/ha. Di samping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula di pasar domestik. Secara garis besar, dinamika kebijakan distribusi dan perdagangan dapat dibagi menjadi empat tahapan utama, yaitu kebijakan Era Isolasi (1980-1997), Era Perdagangan Bebas (1997-1999), Era Transisi (19992002), dan Era Proteksi dan Promosi (2003-sekarang). Pada Era Isolasi, Keppres No. 43/1971 merupakan salah satu contoh intervensi pemerintah dalam pemasaran gula. Keppres tersebut didukung oleh Surat Mensekneg No. B. 136/APBN Sekneg/3/74 agar berjalan efektif. Keppres tersebut pada dasarnya memberi wewenang kepada BULOG untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir. Kebijakan selanjutnya pada era ini adalah Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987 mengenai harga gula. Instrumen utama kebijakan tersebut adalah penetapan harga provenue dan harga jual gula yang dikelola oleh BULOG. “Era Perdagangan Bebas” terjadi ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia yang ditandai dengan dihapuskannya sekat isolasi pasar domestik. Dalam upaya peningkatan efisiensi ekonomi, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis termasuk gula. Implikasi terbesar dari kebijakan ini adalah impor gula terbuka lebar karena pada saat itu tarif impor gula adalah nol persen. Ketika krisis ekonomi mulai berkurang pada tahun 1999, harga gula di dalam negeri justru menurun secara signifikan. Penurunan tersebut disebabkan
27
oleh terus menurunnya harga gula dunia dan tidak adanya tarif impor. Situasi tersebut merupakan awal dimulainya kebijakan yang bersifat transisi. Untuk melindungi produsen, pada “Era Transisi” ini pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 282/KPTS-IV/1999 yang kembali menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2.500 per kg. Kebijakan ini ternyata tidak efektif karena tidak didukung oleh rencana tindak lanjut yang jelas, misalnya pemerintah tidak mempunyai dana dalam jumlah yang memadai sehingga harga gula petani tetap mengalami ketidakpastian. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Keputusan Menteri No. 364/MPP/Kep/8/1999 sehingga pemerintah dapat membatasi dan mengendalikan volume impor. Kebijakan importir-produsen ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume impor. Menanggapi tekanan ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan tarif impor melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 230/MPP/Kep/6/1999. Tekanan terus-menerus yang dihadapi industri gula domestik serta meningkatnya kesadaran bahwa negara lain melakukan proteksi yang cukup intensif, mendorong pemerintah mengembangkan kebijakan yang dikenal sebagai “Era Kebijakan Proteksi dan Promosi “ yang dimaksudkan untuk menciptakan medan persaingan yang lebih adil bagi industri dalam negeri. Untuk itu, pada pertengahan tahun 2002, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor dan membatasi volume gula impor yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 643/MPP/Kep/9/2002. Pada tanggal 17 September 2004, kebijakan tataniaga impor direvisi untuk mempertegas atau
28
memperkuat dari esensi kebijakan menjadi Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan 522/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula. Importir Terdaftar (IT) gula yang mendapatkan izin impor tidak boleh mengalihkan impor gulanya ke perusahaan lain tetapi dapat bekerja sama. Importir Terdaftar yang mengimpor gula harus menyangga gula di tingkat petani sebesar Rp 3.400/kg.
2.3
Kebijakan Agribisnis Gula di Negara-Negara Produsen/Eksportir dan Importir Utama Dunia
2.3.1 Brasil Brasil merupakan eksportir gula terbesar di dunia, kemudian diikuti oleh Uni Eropa, Australia, Thailand dan Guatemala. Meskipun mengalami pasangsurut jumlah gula yang diekspor, posisi sebagai eksportir terbesar tetap tidak tergantikan oleh negara produsen/eksportir lain. Brasil merupakan salah satu negara penghasil gula yang mempunyai sejarah yang paling panjang, yaitu sekitar 5 abad. Pengalaman yang panjang tersebut tentu saja merupakan pijakan yang sangat kokoh untuk mengembangkan agribisnis gula, baik bagi pemerintah, swasta maupun para petani tebu. Satu hal lagi yang menjadikan industri gula di Brasil sangat efisien adalah industri pengolahan tebu seluruhnya dikelola oleh swasta. Pemerintah Brasil menyediakan bantuan kredit kepada petani maupun pengusaha gula dengan tingkat suku bunga kredit yang lebih rendah dari suku bunga pasar. Hingga pertengahan tahun 1990-an, Brasil pernah menerapkan kebijakan proteksi dan promosi terhadap beberapa komoditi pertanian utama, termasuk tebu, melalui instrumen tarif impor yang tinggi, persyaratan lisensi impor yang rumit serta bantuan pemasaran untuk melindungi sektor pertanian.
29
Untuk produk-produk pertanian utama seperti jagung, kakao, kedelai, beras dan gula, pemerintah Brasil menerapkan kebijakan promosi berupa harga dasar, pengadaan cadangan stok dengan melakukan pembelian langsung pada saat harga komoditi utama tersebut jatuh dan memberikan kredit yang disubsidi kepada para petani. Namun seiring dengan krisis ekonomi yang melanda Brasil pada pertengahan tahun 1990-an dan pemberlakuan era liberalisasi perdagangan, kebijakan-kebijakan tersebut mulai dihilangkan. Pemerintah Brasil melakukan deregulasi yang cukup mendasar pada tahun 1997 untuk komoditas gula dengan memberikan kebebasan penuh kepada setiap pihak yang terkait dalam mata rantai pembudidayaan tebu serta perdagangannya. Pemberlakuan harga minimum ditiadakan dan digantikan dengan mekanisme pasar murni. Sejak Pemerintah Brasil menyerahkan sepenuhnya usahatani tebu pada pasar, maka tidak dikenal lagi pemberian subsidi bagi proses produksi maupun konsumsi. Industri gula Brasil saat ini mempunyai daya saing yang tidak tertandingi di antara negara-negara produsen lainnya sehingga pemerintah Brasil memfokuskan diri pada upaya menciptakan perdagangan internasional yang adil, bebas dari proteksionisme yang berlebihan. 2.3.2 Mesir Pengelolaan gula di Mesir berada di bawah perusahaan Sugar & Integrated Industries Co. (SIIC) yang didirikan pada tahun 1881. Saat ini melalui SIIC, Mesir sedang mengembangkan industri gula baik di dalam maupun di luar Mesir. Pada bulan April 2001, pemerintah Mesir pernah melarang pengusaha swasta untuk mengimpor gula sebagai proteksi terhadap industri gula dalam negeri. Salah satu kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah Mesir untuk mendukung
30
agribisnis gula adalah membeli seluruh produksi gula yang diproduksi di Mesir oleh Kementerian Suplai dan Perdagangan Dalam Negeri untuk dijual di pasar dalam negeri. Kebijakan ini selain untuk membantu kesejahteraan petani juga menjaga stabilitas harga gula di dalam negeri. Pemerintah Mesir juga memberikan subsidi untuk melakukan pembelian tebu petani, membangun infrastruktur, seperti modernisasi jaringan irigasi dan pembangunan sarana transportasi. Pemerintah Mesir telah membentuk Dewan Gula Nasional untuk mendukung pelaksanaan kebijakan agribisnis gula yang dikoordinasikan oleh Departemen Pertanian. Meskipun total produksi dalam negeri masih belum memenuhi kebutuhan pasar domestik, Pemerintah Mesir mengeluarkan kebijakan untuk mengekspor gula berkualitas tinggi yang hasilnya digunakan untuk biaya impor gula dengan harga yang lebih murah. Sejak tahun 2002, Pemerintah Mesir juga telah menurunkan tarif impor raw sugar dari 24 persen menjadi 5 persen dan refinery sugar dari 26 persen menjadi 6 persen. 2.3.3 India India adalah negara keempat terbesar di dunia setelah Rusia, Brasil, dan Kuba dalam memproduksi gula tebu. Kebijakan promosi yang diterapkan oleh pemerintah India antara lain adalah penetapan harga minimum (harga dasar) tebu yang disebut Statutory Minimum Price (SMP) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sementara setiap negara bagian menetapkan State Advised Prices (SAP) yang lebih tinggi dari SMP. Dengan adanya SMP ini, para petani tebu mendapat jaminan harga minimum tertentu dari tebu yang dihasilkan. Selain itu, Pemerintah India juga memberikan dukungan melalui pembangunan infrastruktur jaringan
31
irigasi dan sarana perhubungan untuk memperlancar mobilitas tebu dari lahan petani ke pabrik gula. Kebijakan lain yang cukup penting adalah reservasi daerah tebu (reserved area of the mills). Melalui kebijakan ini, petani tebu diminta untuk memasok tebu ke pabrik gula tertentu dan pabrik tersebut wajib untuk mengolah semua tebu yang diterimanya. Kebijakan ini ditetapkan oleh Pemerintah India untuk mengatur pasokan tebu dari petani ke pabrik gula agar tidak saling berebut dan untuk menghindari ketidakteraturan siklus produksi. Berkaitan dengan kebijakan kredit, Pemerintah India baru-baru ini telah merevisi The Sugar Development Fund Act (1982) agar dapat membayar pengeluaran untuk transportasi internal dan ongkos angkut pengapalan ekspor gula dan memberikan pinjaman dengan suku bunga rendah bagi proyek pengembangan yang menggunakan hasil industri berbahan baku tebu. Kebijakan pemasaran gula di dalam negeri India ada dua, yaitu gula untuk masyarakat berpendapatan rendah dan gula untuk masyarakat berpendapatan menengah ke atas. Untuk mendukung kebijakan gula murah, Pemerintah India mengharuskan setiap pabrik gula untuk menyisihkan sekitar 10 persen dari total gula yang dihasilkan. Gula yang disisihkan dikenal sebagai the levy quota yang dialokasikan ke pemerintah negara bagian untuk Public Distribution System (PDS) dengan harga di bawah harga pasar. Gula murah harganya ditetapkan berdasarkan wilayah dan SMP dari tebu ditambah ongkos konversi yang direkomendasikan oleh The Bureau of Industrial Cost and Prices. Gula di luar levy sugar tidak ada pengendalian harga. Namun, pasokan penjualan gula bebas
32
diatur oleh pemerintah dengan menentukan monthly release quota untuk menjamin stabilitas harga. Untuk mendorong ekspor gula, Pemerintah India juga memberikan subsidi ekspor berupa levy exemption terhadap jumlah gula yang diekspor. Pemerintah pusat juga memberikan pengurangan pajak pembelian tebu untuk gula yang diekspor. Selain itu, Pemerintah India juga memberikan reimbursement terhadap internal transport cost kepada pabrik gula yang akan mengekspor gula yang dihasilkannya. Untuk meningkatkan ekspor gula, Pemerintah pusat India juga telah memutuskan untuk menetralisasi ocean freight disadvantage yang dialami India dengan memberikan reimbursement kepada pabrik gula sebesar Rs. 350 per ton (Rp. 70.000 per ton). Pemerintah India menetapkan tarif impor sebesar 66,4 persen ditambah biaya tambahan sebesar Rs. 85 per kuintal (Rp. 17.000 per kuintal) untuk melindungi produksi gula domestik. Dukungan kebijakan Pemerintah India terhadap agribisnis gula yang terakhir adalah pembentukan buffer stock yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 2 juta ton. Semua biaya penyimpanan ditanggung oleh pemerintah, sehingga pemerintah dapat mengatur jumlah gula di pasar dalam negeri India yang pada akhirnya stabilitas harga dapat dengan mudah dicapai. 2.3.4 China Sejak tahun 1949, RRC telah menjadi negara pengimpor gula karena produksi domestik yang kurang mencukupi. Pada tahun 1991-1993, China sempat mengalami surplus gula hingga mencapai sekitar 1,5 juta ton dan pada saat itu untuk pertama kalinya China melakukan ekspor gula. Mengingat pentingnya komoditas gula, Pemerintah China mengambil kebijakan untuk mengendalikan
33
pengembangan agribisnis gula nasional. Keterlibatan atau campur tangan pemerintah dalam industri gula sangat besar pada masa awal industri gula di RRC Dalam masa dijalankannya kebijakan reformasi dan keterbukaan, Pemerintah RRC menerapkan serangkaian kebijakan untuk mendukung dan mengembangkan industri gula, antara lain: 1) menerapkan sistem tanggung jawab produksi keluarga di wilayah pedesaan yang membangkitkan antusiasme para petani untuk meningkatkan produksi gula, 2) memberikan insentif berupa pangan beras atau serealia lain untuk petani tebu, sehingga menjamin kecukupan pangan para petani tebu untuk menanam tebu, dan 3) memberikan subsidi berupa pembangunan irigasi pada lahan-lahan yang ditanami tebu, menyediakan traktor dan pupuk serta teknik budidaya tebu yang optimal. Sejak tahun 1991, Pemerintah China juga telah melakukan deregulasi perdagangan gula domestik, seperti pembeli dan pabrik gula dapat langsung melakukan transaksi tanpa melalui perantara, sehingga meningkatkan fleksibilitas pemasaran. Selain itu, pemerintah juga telah melepaskan kendali harga gula eceran. Pemerintah China saat ini juga telah melepaskan seluruh kendali pembelian dan kontrak penjualan gula dan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar sehingga harga gula domestik berfluktuasi cukup tajam. Pemerintah China juga sudah tidak memberikan lagi subsidi langsung kepada para petani tebu, bahkan saat ini Pemerintah China menerapkan pajak pendapatan yang cukup tinggi terhadap pabrik gula sebesar 33 persen dan PPN sebesar 17 persen. Kebijakan proteksi yang dilakukan oleh Pemerintah China adalah menerapkan kuota impor pada tahun 2002 sebesar 1,76 juta ton; 1,85 juta ton pada tahun 2003; dan 1,94 juta ton pada tahun 2004 dengan tarif sebesar 30 persen untuk gula putih
34
(white sugar) dan 20 persen bagi gula mentah (raw sugar). Impor di atas kuota yang telah ditetapkan akan dikenakan tarif impor sebesar 76 persen. 2.3.5 Thailand Produksi gula pertama kali di Thailand terjadi dalam masa pemerintahan Kerajaan Sukhotai (1257-1350). Produksi tersebut terus berkembang dan akhirnya berubah dalam skala komersial. Thailand merupakan produsen gula keenam terbesar di dunia dan konsumen gula terbesar ke-12 di dunia. Suksesnya agribisnis tebu di Thailand disebabkan oleh: 1) memadainya harga tebu yang diterima petani, 2) lingkungan industri yang mendukung, dan 3) dukungan pemerintah dalam memperluas dan merealokasi pabrik gula ke beberapa wilayah perkebunan tebu. Kebijakan agribisnis gula di Thailand dijalankan oleh Cane and Sugar Board, yang keanggotaannya terdiri dari para wakil petani (grower), pabrik gula (miller), dan pemerintah. Pemerintah juga memberikan subsidi suku bunga kredit usahatani bagi petani tebu. Berdasarkan Undang-Undang Gula tahun 1984, pemerintah telah menetapkan rumus bagi hasil antara petani tebu dengan pabrik gula, yaitu petani tebu menerima 70 persen pendapatan dari penjualan gula dan molasses di pasar domestik dan internasional, sementara pabrik gula menerima 30 persennya. Sebelum terbentuk Asosiasi Petani Tebu, harga tebu ditentukan langsung oleh pabrik gula berdasarkan kontrak awal yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Namun setelah terbentuk Asosiasi Petani Tebu, harga tebu ditentukan berdasarkan hasil negosiasi antara perwakilan Asosiasi dengan pabrik gula yang biasanya dilakukan satu bulan sebelum mulai panen tebu (bulan OktoberNopember). Pemerintah Thailand juga menetapkan kebijakan pemasaran gula di
35
pasar domestik dan luar negeri berdasarkan sistem kuota. Ada 3 jenis kuota yang telah ditetapkan selama ini. Pertama, Kuota A, yaitu penetapan kuota gula pasir (refined sugar) yang diperuntukkan bagi konsumsi domestik, yang besarnya sekitar 1,9 juta ton per tahun. Besarnya kuota berdasarkan perkiraan kecenderungan pertumbuhan kebutuhan gula domestik pada awal musim tanam tebu. Setiap pabrik gula hanya dapat menjual gula pasir ke pasar domestik sesuai dengan jatahnya. Kedua, Kuota B, yaitu penetapan kuota gula mentah (raw sugar) yang ditujukan untuk keperluan ekspor, yang biasanya ditetapkan sebesar 800 ribu ton per tahun dengan harga referensi ekspor. Ketiga, Kuota C, yaitu kuota yang ditetapkan untuk perusahaan swasta yang akan mengekspor gula, baik prime quality of sugar maupun raw sugar, setelah pabrik gula memenuhi kewajiban melaksanakan kuota A dan B. Untuk melindungi petani dan industri gula dalam negeri, Pemerintah Thailand melakukan proteksi dengan menerapkan kuota tarif impor sebesar 13.700 ton. Tarif impor dalam kuota ditetapkan sebesar 65 persen, sedangkan untuk di luar kuota sebesar 96 persen. Tingkat tarif impor tersebut sama untuk white sugar maupun raw sugar. 2.3.6 Jepang Pemerintah Jepang telah merumuskan kebijakan peningkatan produksi gula melalui: 1) peningkatan permintaan gula di dalam negeri, 2) menjaga kestabilan
produksi
dengan
memperbaiki
kualitas
lahan
pertanian,
3)
meningkatkan efisiensi usahatani tebu melalui mekanisasi pertanian dan penggunaan bibit unggul. Saat ini, Jepang sedang mengalami masalah penurunan permintaan gula tebu di pasar domestik sehingga pendapatan perusahaan juga mengalami penurunan yang cukup tajam. Selain itu, biaya produksi gula juga
36
mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu sekitar 60 persen untuk pengadaan bahan baku dan 40 persen untuk pengolahan dan pengepakan. Untuk menghindari kehancuran industri gula, Pemerintah Jepang kemudian mengambil kebijakan dengan memberikan dana promosi produksi kepada perusahaan gula. Kebijakan ini ternyata mampu mengatasi peningkatan ongkos pengolahan dan pengepakan, sehingga ongkos produksi secara total juga sudah mengalami penurunan yang cukup signifikan karena sekitar 40 persen ongkos produksi gula tebu di Jepang ada pada kegiatan pengolahan dan pengepakan. Kebijakan promosi yang sangat penting di Jepang adalah penetapan harga dasar (harga terendah) yang harus diterima oleh petani tebu dengan mempertimbangkan biaya produksi, supply-demand, harga gula domestik dan situasi ekonomi lainnya. Selain itu, Pemerintah Jepang memberikan bantuan kepada pabrik gula untuk menutup selisih harga jual dengan harga bahan baku dan biaya manufaktur. Harga bahan baku gula tebu 3,9 kali lipat lebih tinggi dari harga jual gula tebu. Bantuan dana yang diberikan kepada pabrik gula ini sekitar 80 persen berasal dari dana regulasi. Sejak tahun 2000, Asosiasi Usaha Promosi Industri Bibit Pertanian juga memberikan subsidi untuk gula domestik senilai harga terendah produsen + biaya standar kargo + biaya manufaktur – harga gula tahun sebelumnya. Selain kebijakan insentif harga dasar, Pemerintah Jepang pada tahun 2003 juga sudah menganggarkan dana untuk beberapa kegiatan, yaitu: 1) memberikan tunjangan kepada petani yang berhasil memperoleh produktivitas tanaman tebu di atas ratarata, 2) pengganti kerugian apabila terjadi bencana angin topan, 3) bantuan promosi gula.
37
2.3.7 Filipina Filipina merupakan salah satu negara yang mencanangkan program swasembada gula, sehingga agribisnis gula merupakan salah satu sektor prioritas yang mendapat perhatian utama pemerintah. Kebijakan umum industri gula di Filipina, antara lain: 1) free enterprise, yaitu baik penduduk lokal maupun asing dapat berpartisipasi dalam perdagangan gula selama mempunyai kapabilitas keuangan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah, 2) gula yang diproduksi di dalam negeri diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan prioritas berikutnya adalah memenuhi kuota ekspor gula ke Amerika Serikat, dan 3) impor gula diusahakan dalam bentuk raw sugar agar dapat memberikan keuntungan pada refiners. Pemerintah Filipina juga membuat kebijakan harga yang melindungi petani tebu sekaligus juga melindungi konsumen gula. Pemerintah Filipina melakukan intervensi pasar agar stabilitas harga terjamin, walaupun tetap juga memperhatikan fluktuasi harga gula di pasar internasional. Kebijakan lain yang cukup penting adalah dukungan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur pertanian, seperti pembangunan jalan, pembangunan jaringan irigasi dan peralatan pendukung untuk mendorong peningkatan produktivitas tebu. Berkaitan dengan perdagangan internasional, Pemerintah Filipina menetapkan tarif impor gula sebesar 65 persen dan sedang diusulkan untuk ditingkatkan menjadi 80 persen. 2.3.8 Australia Australia saat ini merupakan salah satu eksportir gula mentah utama di dunia. Pemerintah Federal (Commonwealth) Australia menyadari pentingnya industri gula bagi wilayah pedesaan maupun nasional dan telah mengeluarkan
38
berbagai kebijakan yang komprehensif untuk membantu industri gula dan para petani tebu. Pemerintah Federal mengeluarkan The Sugar Industry Reform Program (SIRP) yang mengatur agribisnis gula di negara bagian Queensland, New South Wales, dan Australia Barat. SIRP merupakan upaya untuk menangani kebutuhan-kebutuhan industri gula dalam jangka pendek dan jangka panjang berupa bantuan langsung yang mencakup bantuan penghasilan dan subsidi bunga kredit untuk tujuan peremajaan tanaman serta membantu pelaku industri yang akan keluar dari usahanya (exit the sugar industry). Bantuan langsung yang dirancang dalam SIRP antara lain: 1) Income Support Payment, dialokasikan sebesar A$ 36 juta untuk membantu petani tebu dan pemanen tebu, 2) Interest Rate Subsidies, bantuan subsidi suku bunga kredit untuk petani tebu, 3) Regional Projects Assistance, dialokasikan sebesar A$ 60 juta untuk mendukung proses restrukturisasi industri gula jangka menengah dan panjang, 4) Exit Assistance, bantuan kepada petani yang akan meninggalkan bisnis industri gula, yang besarnya A$ 45.000 per petani (dengan syarat asetnya bernilai A$ 167.500). Berkaitan dengan perdagangan internasional, Australia saat ini menerapkan liberalisasi perdagangan secara penuh. Industri dalam negeri sudah tidak menerima subsidi ekspor lagi dari pemerintah dan tata niaga impor sudah ditiadakan. Australia juga sudah tidak membatasi lagi jumlah impor gula dan menerapkan tarif impor gula yang relatif rendah dengan kisaran 0-5 persen. Bahkan untuk beberapa produk gula, dibebaskan dari tarif impor. 2.3.9 Fiji Fiji adalah salah satu negara yang ekonominya sangat tergantung pada sektor pertanian, khususnya agribisnis gula. Namun demikian, masa depan
39
agribisnis gula di Fiji menghadapi beberapa masalah penting yang mau tidak mau harus ditanggulangi. Produksi gula Fiji terancam oleh semakin menurunnya lahan pertanian yang dapat ditanami tebu akibat konversi lahan. Selain itu, kondisi buruk mesin-mesin penggilingan dan penggunaan tenaga kerja yang berlebihan mengakibatkan biaya produksi menjadi tinggi, sehingga mengurangi daya saing gula Fiji di pasar internasional. Masalah yang penting lagi adalah selama ini agribisnis gula bertahan bukan karena kekuatan daya saingnya, namun berkat komitmen Uni Eropa untuk membeli gula Fiji dengan harga khusus (dikenal dengan Sugar Protocol), yaitu pembelian tiga sampai empat kali lipat dari harga pasaran dunia. Namun, penerapan harga khusus ini mendapat tentangan yang keras dari Australia, Brasil, dan Thailand sehingga program ini akan dihentikan pada tahun 2007. Sehubungan dengan itu, Pemerintah Fiji pada tahun 2002 telah memutuskan untuk menata kembali industri gula nasionalnya. Langkah awal yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistem sewa lahan agar lahan yang dapat ditanami tebu tidak mengalami penurunan yang sangat drastis. Selain itu, pemerintah Fiji memberikan bantuan kredit sebesar US$ 5.000 per orang bagi petani yang akan membuka lahan tebu baru dan bantuan bibit unggul tebu. Untuk mengamankan industri gula yang sangat strategis ini, Pemerintah Fiji telah membuat dua Undang-Undang yang berkaitan langsung dengan agribisnis gula, yaitu Sugar Industry Act dan Fiji Sugar Corporation (FSC) Act. Sugar Industry Act yang tujuan utamanya untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terlibat dalam agribisnis gula, baik petani maupun penggilingan. Berkaitan dengan tata niaga ekspor gula, Pemerintah Fiji menetapkan kebijakan untuk mengutamakan ekspor ke Uni Eropa karena memanfaatkan paket
40
preferensi. Namun, secara keseluruhan pasar gula Fiji mengenal ada empat harga, yaitu: 1) preferential market dari Sugar Protocol dan Special Preferential Sugar Agreement dengan Uni Eropa, 2) perjanjian bilateral (saat ini hanya dengan Amerika Serikat), 3) mengikuti harga pasar dunia (ekspor ke Jepang dan Malaysia), dan 4) harga untuk kawasan Pasifik melalui Regional Sugar Arrangement (RSA). Dengan pengaturan harga tersebut, maka harga penjualan untuk keempat pasar dimaksud tidak sama. Sesuai Sugar Protocol, harga gula untuk Uni Eropa ditetapkan sebesar US$ 524-US$ 583 per ton, sementara harga penjualan gula ke Amerika Serikat sebesar US$ 423 per ton dan harga internasional adalah US$ 135 per ton. Untuk pasar regional di kawasan Pasifik, Fiji menetapkan harga sebesar US$ 293 per ton. Untuk melindungi pasar dalam negeri, Fiji juga menetapkan tarif impor sebesar 27 persen ditambah PPN sebesar 12,5 persen. 2.3.10 Kuba Industri gula merupakan sentra pembangunan ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Saat ini, Kuba adalah negara pengekspor gula kelima terbesar di dunia setelah Brasil, Uni Eropa, Australia, dan Thailand, namun peranan industri gula Kuba telah menurun drastis atau semakin terpuruk akibat bubarnya blok sosialis yang selama ini menjadi pasar dan mitra dagang Kuba, meningkatnya harga minyak bumi serta merosotnya harga gula di pasar internasional. Untuk mencegah keterpurukan
lebih
lanjut,
Pemerintah
Kuba
pada
tahun
2002
telah
merestrukturisasi dan memangkas industri gulanya hingga 50 persen. Kebijakan promosi yang ditetapkan oleh Pemerintah Kuba untuk mendukung agribisnis gula, antara lain menyediakan lahan tebu serta
41
infrastrukturnya, seperti jalan usahatani, jaringan irigasi, bibit, pupuk, teknologi budidaya, transportasi, kredit, dan penyuluhan. Sebagian lahan tebu milik pemerintah diserahkan kepada rakyat melalui koperasi. Kebijakan lain yang sangat penting adalah seluruh hasil tebu dibeli oleh pemerintah dan tebu merupakan komoditas yang paling terjamin di Kuba, sehingga banyak petani yang lebih memilih menanam tebu dibandingkan dengan tanaman pangan yang lain. Perkebunan tebu di Kuba ada 2 jenis, yaitu perkebunan pemerintah dan perkebunan rakyat. Walaupun perkebunan tebu pemerintah sepenuhnya juga dikerjakan oleh rakyat, namun ada perbedaan perlakuan yang sangat mendasar dengan perkebunan tebu rakyat yang bukan pemerintah. Petani tebu perkebunan pemerintah mendapat insentif yang lebih besar, berupa gaji bulanan, perumahan, pupuk, bantuan teknis, suku bunga kredit yang lebih rendah (4 persen per tahun), pelayanan sosial, sekolah, dan kesehatan. Selain kebijakan di tingkat usahatani, Pemerintah Kuba juga menetapkan kebijakan di tingkat industri pengolahan tebu. Seluruh industri gula di Kuba adalah milik pemerintah dan pada tahun 2003 telah dialokasikan anggaran sekitar US$ 510 juta untuk industri gula dan bantuan subsidi sekitar US$ 80 juta. Harga gula ditentukan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Harga, sementara alokasi anggaran pengembangan industri gula dirumuskan oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Gula. Tata niaga gula ditentukan oleh Kementerian Perekonomian dan Perencanaan, Kementerian Keuangan dan Harga, dan Kementerian Perdagangan Dalam Negeri. Gula yang dihasilkan oleh pabrik gula dibeli oleh Conazucar, suatu badan usaha pemerintah yang dibentuk oleh Kementerian Gula dan didistribusikan oleh
42
Kementerian Perdagangan Dalam Negeri. Gula yang didistribusikan di dalam negeri diberi subsidi dan dipatok harga sebesar 6 sen peso nasional per pon (450 gram). Setiap warga diberi jatah sebesar 5 pon gula subsidi setiap bulannya. Untuk warga asing dan warga Kuba yang membeli gula melebihi 5 pon dikenakan harga US$ 1,80 per kg. Berkaitan dengan perdagangan internasional, kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kuba saat ini difokuskan pada pemberian subsidi ekspor yang diberikan melalui badan usaha pemerintah yang bernama Cuba Azucar International (CAI S.A).
2.4
Penelitian-Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian mengenai gula telah banyak dilakukan oleh peneliti-
peneliti terdahulu, seperti penelitian mengenai peranan industri gula dalam perekonomian nasional yang dilakukan oleh Arianto (2003). Alat analisis yang digunakan adalah analisis Input-Output yang merupakan salah satu alat analisis yang dapat melihat hubungan antar sektor dalam suatu perekonomian. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa industri gula memiliki keterkaitan ke depan yang rendah dibandingkan dengan keterkaitan ke belakang. Dengan demikian, industri gula merupakan industri yang memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan sektor hulunya tetapi tidak atau kurang memiliki kemampuan untuk mendorong sektor hilirnya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa industri gula merupakan salah satu industri penting yang dapat meningkatkan output, pendapatan, dan lapangan kerja di sektor itu sendiri dan di sektor perekonomian lainnya di Indonesia.
43
Kajian yang dilakukan oleh Suparno (2004) mengenai dampak kebijakan tataniaga gula terhadap kesejahteraan petani tebu di Indonesia menunjukkan bahwa produktivitas tebu sangat responsif terhadap produksi tebu dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Impor gula juga sangat responsif terhadap produksi gula total dan pendapatan riil per kapita dalam jangka pendek dan jangka panjang. Kenaikan pendapatan riil per kapita juga dapat meningkatkan impor gula Indonesia baik jangka pendek maupun jangka panjang. Di sisi lain, harga nominal eceran gula tidak responsif terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek, tetapi responsif dalam jangka panjang. Dampak kebijakan pra liberalisasi perdagangan gula pada tahun 19801994 terhadap keragaan industri gula Indonesia menunjukkan bahwa program ekstensifikasi tanaman tebu dapat meningkatkan produksi gula domestik sebesar 28,7 persen, tetapi belum menyelesaikan masalah ketergantungan pada gula impor. Selanjutnya, dampak kebijakan dan non kebijakan pasca liberalisasi perdagangan gula pada tahun 1995-2002 terhadap keragaan industri gula Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan penghapusan tataniaga gula BULOG dapat menurunkan produksi gula sebesar 40,53 persen karena gula domestik tidak mampu bersaing dengan gula impor yang memiliki harga yang lebih murah. Perubahan kesejahteraan petani tebu pra liberalisasi perdagangan
gula
menunjukkan bahwa kebijakan program ekstensifikasi tanaman tebu mampu meningkatkan kesejahteraan bersih masyarakat secara umum sebesar Rp 10,48 triliun, sedangkan kesejahteraan petani tebu pasca liberalisasi perdagangan gula menunjukkan bahwa kebijakan penghapusan tataniaga gula oleh BULOG menurunkan kesejahteraan bersih masyarakat sebesar Rp 3,44 triliun.
44
Mahardhika (2004) melakukan studi tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor gula Indonesia dengan menggunakan persamaan regresi linier berganda. Penelitian ini menunjukkan bahwa produksi gula nasional dipengaruhi oleh tiga peubah penjelas, yaitu luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, dan harga riil gula domestik tahun sebelumnya. Peningkatan ketiga peubah penjelas tersebut akan meningkatkan produksi gula nasional. Sedangkan untuk model impor gula Indonesia dipengaruhi oleh empat peubah penjelas, yaitu produksi gula domestik tahun sebelumnya, konsumsi gula nasional, harga riil gula internasional, dan tarif impor. Penelitian yang dilakukan oleh Widowati (2004) menelaah tentang pengaruh tarif impor gula terhadap industri gula Indonesia. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan model ekonometrik gula dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS). Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan tarif impor gula sebesar 25 persen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap industri gula Indonesia kecuali terhadap konsumsi. Tarif impor tersebut menyebabkan harga domestik, areal dan produksi lebih tinggi masing-masing 11,11 persen, 10,97 persen, dan 7,47 persen bila dibandingkan dengan tarif meningkat masing-masing sebesar 11,6 persen dan 15 persen. Selain itu, impor gula pada tahun 2000 menurun sebesar 8,41 persen. Meskipun demikian, kebijakan ini menurunkan surplus konsumen sebesar 15,6 persen tetapi mampu menciptakan tambahan lapangan kerja di industri gula sebesar 79,38 ribu orang atau sebesar 10,97 persen.
45
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Teoritis
3.1.1 Teori Permintaan dan Penawaran Permintaan adalah jumlah barang yang sanggup dibeli oleh para pembeli pada tempat dan waktu tertentu dengan harga yang berlaku pada saat itu. Menurut Daniel (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan adalah: 1. Harga barang yang bersangkutan Keadaan harga suatu barang mempengaruhi jumlah permintaan terhadap barang tersebut. Bila harga naik maka permintaan akan barang tersebut akan turun. Sebaliknya, bila harga turun maka permintaan akan barang tersebut akan naik. Hubungan harga dengan permintaan adalah hubungan yang negatif dengan catatan faktor lain yang mempengaruhi jumlah permintaan dianggap tetap. 2. Harga barang lain Terjadinya perubahan harga pada suatu barang akan berpengaruh pada permintaan barang lain. Keadaan ini bisa terjadi bila kedua barang tersebut mempunyai hubungan, apakah saling menggantikan (substitusi) atau saling melengkapi (komplemen). Bila tidak berhubungan, maka tidak akan ada saling pengaruh. 3. Selera Selera
merupakan
variabel
yang
mempengaruhi
besar-kecilnya
permintaan. Selera dan pilihan konsumen terhadap suatu barang bukan
46
saja dipengaruhi oleh struktur umur konsumen, tetapi juga karena faktor adat dan kebiasaan setempat, tingkat pendidikan, atau lainnya. 4. Jumlah penduduk Semakin banyak jumlah penduduk makin besar pula barang yang dikonsumsi dan semakin besar/naik juga jumlah permintaan akan barang tersebut. 5. Tingkat pendapatan Perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi banyaknya barang yang
dikonsumsi.
Secara
teoritis,
peningkatan
pendapatan
akan
meningkatkan konsumsi. Penawaran adalah jumlah suatu barang atau jasa yang rela dan mampu dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan kondisi tertentu (Pappas dan Hirschey, 1995). Jumlah produksi yang ditawarkan di pasaran berasal dari produksi pada waktu tertentu dan persediaan (inventory) dari periode-periode sebelumnya. Perubahan pada penawaran dapat terjadi karena adanya pengaruh dari beberapa faktor, seperti: 1. Harga komoditi itu sendiri Harga komoditi itu sendiri mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah yang ditawarkan, cateris paribus. Semakin tinggi harga suatu komoditi, maka semakin banyak jumlah komoditi yang akan ditawarkan oleh para produsen/penjual. Sebaliknya, semakin rendah harga suatu komoditi, maka semakin sedikit jumlah komoditi yang ditawarkan oleh para produsen/penjual. 2. Harga komoditi lain
47
Berbagai komoditi dapat disubstitusi atau saling komplemen dalam produksi maupun dalam konsumsi. Jika harga komoditi substitusi meningkat, maka penawaran komoditi yang bersangkutan akan menurun. Sebaliknya, penurunan harga komoditi substitusi akan meningkatkan penawaran komoditi yang bersangkutan. Sementara untuk barang komplementer, kenaikan harga komoditi tersebut akan menyebabkan peningkatan komoditi yang bersangkutan. Demikian juga sebaliknya, penurunan harga barang komplementer akan menyebabkan turunnya penawaran komoditi yang bersangkutan. 3. Teknologi Bila terjadi perubahan atau peningkatan pada teknologi dalam proses produksi maka akan terjadi perubahan pada produksi yang cenderung meningkat. Bila produksi meningkat karena perubahan teknologi berarti penawaran pun akan meningkat. 4. Harga input (faktor-faktor produksi) Apabila harga faktor produksi turun, maka produsen akan menambah penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan meningkat. Jika harga faktor produksi meningkat, maka produsen akan cenderung mengurangi penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan menurun. Turunnya hasil/produksi secara otomatis menyebabkan turunnya penawaran. 5. Jumlah produsen Jika jumlah produsen bertambah, maka produksi yang ditawarkan akan meningkat.
48
6. Tujuan perusahaan Dalam teori ekonomi, perusahaan diasumsikan bertujuan untuk mencapai laba yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, terdapat juga perusahaan yang tidak berorientasi kepada maksimisasi laba sehingga perusahaan tersebut dapat meningkatkan ataupun menurunkan produksinya tanpa terlalu memperhitungkan laba atau rugi yang akan diperoleh perusahaan. 7. Pajak dan subsidi Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif untuk berproduksi. Dengan demikian, penawaran komoditi tersebut akan berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan meningkatkan keuntungan sehingga penawaran komoditi tersebut akan meningkat. 3.1.2
Harga Harga barang-barang yang diperdagangkan ditentukan oleh penawaran dan
permintaan (Krugman dan Obstfeld, 2003). Perpotongan kurva permintaan dengan kurva penawaran suatu barang dalam suatu pasar menentukan harga pasar (harga keseimbangan) untuk barang tersebut. Pada kondisi itu, kuantitas barang yang diminta oleh pembeli adalah sama dengan kuantitas yang ditawarkan oleh penjual. Dengan kata lain, keseimbangan harga pasar merupakan hasil interakasi kekuatan penawaran dan permintaan barang di pasar. Dalam perekonomian pasar, harga merupakan tanda atau sinyal yang mengarahkan
keputusan
ekonomi
sehingga
melakukan
alokasi
terhadap
sumberdaya yang langka. Untuk setiap barang dalam perekonomian, harga barang
49
memberikan jaminan bahwa penawaran dan permintaan berada dalam keseimbangan. Menurut Nicholson (1995), harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai: 1) pemberi informasi tentang jumlah komoditi yang sebaiknya dipasok oleh produsen untuk memperoleh laba maksimum dan 2) penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum. Kenaikan dalam permintaan menyebabkan keseimbangan harga meningkat sehingga permintaan mempengaruhi harga secara positif, sedangkan penawaran mempengaruhi harga secara negatif, dimana jika penawaran meningkat maka harga akan cenderung turun disebabkan kuantitas barang yang ditawarkan produsen lebih besar daripada yang dibutuhkan atau yang diinginkan oleh konsumen. 3.1.3 Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional dalam arti sempit merupakan suatu gugus masalah yang timbul sehubungan dengan pertukaran komoditi (fisikal) antar negara (Gonarsyah, 1983). Dengan meningkatnya taraf hidup dan kebutuhan masyarakat, kemajuan teknologi dan komunikasi serta terjadinya perubahan politik di dunia, tidak ada satu negara atau kelompok manapun yang terisolasi dari negara lain. Perdagangan internasional berlangsung atas dasar saling percaya dan saling menguntungkan, mulai dari barter hingga transaksi jual-beli antara para pedagang (traders) dari berbagai belahan wilayah hingga di luar batas negara. Menurut Mahardhika (2004), pada dasarnya faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional dari suatu negara ke negara lain bersumber dari keinginan memperluas pemasaran komoditi ekspor dan memperbesar penerimaan devisa dalam penyediaan dana pembangunan dari negara yang bersangkutan.
50
Perdagangan internasional terutama timbul karena adanya perbedaanperbedaan harga relatif di antara negara (Ball dan McCulloch, 2000). Perbedaanperbedaan ini berasal dari perbedaan dalam biaya produksi, yang diakibatkan oleh: 1. Perbedaan dalam karunia Tuhan atas faktor produksi. Tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan komoditas yang diperdagangkan karena faktor-faktor alam yang tidak mendukung. 2. Kemampuan suatu negara dalam menyerap dan menerapkan teknologi untuk menghasilkan komoditas tertentu pada tingkat yang lebih efisien. 3. Perbedaan dalam efisiensi pemanfaatan faktor produksi. 4. Nilai tukar suatu negara terhadap negara lain. Berdagang
dengan
negara
lain
kemungkinan
dapat
memperoleh
keuntungan, yakni dapat membeli barang yang harganya lebih rendah dan mungkin dapat menjual ke luar negeri dengan harga yang relatif lebih tinggi. Perdagangan internasional juga dapat terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran suatu negara. Permintaan akan sesuatu barang sangat ditentukan oleh selera dan pendapatan. Selera dapat memainkan peranan penting dalam menentukan permintaan akan sesuatu barang antar berbagai negara. Apabila persediaan suatu barang di satu negara tidak cukup untuk memenuhi permintaan, negara tersebut dapat mengimpor dari negara lain. Selain itu, permintaan akan sesuatu barang ditentukan oleh pendapatan. Kita dapat menduga bahwa ada hubungan antara pendapatan satu negara dengan pembelian barang luar negeri (impor). Jika pendapatan naik, maka pembelian barang-barang dan jasa (dari dalam negeri maupun impor) dapat mengalami kenaikan. Teori perdagangan
51
internasional menunjukkan bahwa bangsa-bangsa atau suatu negara akan memperoleh suatu tingkat kehidupan yang lebih tinggi dengan melakukan spesialisasi dalam barang-barang dimana mereka memiliki keunggulan komparatif dan mengimpor barang-barang yang mempunyai kerugian komparatif.
Pasar di Negara 1
Hubungan Perdagangan Internasional
Px
Px
Pasar di Negara 2 Px Sx
A”
P3
A’
P3 Ekspor
Sx
P2
E*
S
B* B
B’
E’
E
P1
Impor A
A*
D
Dx
Dx 0
x
0
x
0
x
Sumber: Salvatore, 1997
Gambar 1. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional Pada Gambar 1, sebelum terjadinya perdagangan internasional, harga di negara 1 adalah sebesar P1 sedangkan harga di negara 2 sebesar P3. Penawaran di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih besar daripada P1, sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari P 3. Pada saat harga internasional sama dengan harga P 2, maka di negara 2 terjadi kelebihan permintaan sebesar A’B’E’. Jika harga internasional sebesar P2, maka di negara 1 akan terjadi excess supply sebesar ABE. Perpaduan antara kelebihan penawaran di negara 1 dan kelebihan permintaan di negara 2 akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional, yaitu sebesar P2. dengan adanya perdagangan tersebut, maka negara 1 akan mengekspor gula
52
sebesar ABE, sedangkan negara 2 akan mengimpor gula sebesar A’B’E’. Besar ABE akan sama dengan A’B’E’ di pasar internasional. Dengan kata lain, besarnya ekspor suatu komoditi dalam perdagangan internasional akan sama dengan besarnya impor komoditi tersebut. Harga yang terjadi di pasar internasional merupakan harga keseimbangan antara penawaran dan permintaan dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan mempengaruhi penawaran dunia, sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi harga dunia. 3.1.4
Ke untungan dan Kerugian bagi Indonesia Sebagai Negara Pengimpor Gula Sebelum adanya perdagangan, harga domestik ternyata lebih mahal/tinggi
daripada harga yang berlaku di pasar dunia. Pada saat perdagangan antar negara dilangsungkan, harga domestik akan bergerak atau langsung turun menyesuaikan dengan harga yang berlaku di pasar internasional (Gambar 2). Pada Gambar 2 tersebut, kurva penawaran menunjukkan produksi gula domestik, sedangkan kurva permintaan menunjukkan kuantitas konsumsi gula domestik. Garis horizontal yang ditarik dari titik harga dunia dapat ditafsirkan sebagai kurva penawaran negara-negara lain. Kurva penawaran ini bersifat elastis sempurna karena Indonesia adalah perekonomian kecil, sehingga berapa pun ia membeli, ia harus tunduk pada harga dunia yang berlaku. Impor sama dengan selisih antara kuantitas permintaan domestik dengan kuantitas penawaran gula di dalam negeri berdasarkan harga dunia atau harga yang berlaku di pasar internasional. Pembukaan hubungan dagang antar negara oleh Indonesia menimbulkan keuntungan dan kerugian serta tidak semua pihak memperoleh keuntungan. Dalam kasus ini, perdagangan membuat harga domestik turun menyamai harga
53
dunia. Para produsen domestik jelas dirugikan karena harga yang mereka peroleh lebih rendah. Sebaliknya, konsumen domestik akan memperoleh keuntungan karena mereka dapat membeli gula dengan harga yang lebih murah.
Harga Penawaran dalam negeri
A
Harga sebelum perdagangan B
Harga sesudah perdagangan
D
IMPOR
C
Harga Dunia
Permintaan dalam negeri
Qs
Qd
Kuantitas
Sumber: Mankiw, 2000
Gambar 2. Perdagangan Internasional di Sebuah Negara Pengimpor Perubahan-perubahan atau surplus konsumen dan surplus produsen yang mengukur kenaikan atau kesejahteraan konsumen dan produsen tersebut juga digambarkan pada Gambar 2. Sebelum hubungan dagang dibuka, surplus konsumennya dilambangkan oleh bidang A, surplus produsen oleh bidang B + D, dan surplus totalnya bidang A + B + C. Pada saat harga domestik turun setelah perdagangan internasional dibuka, surplus konsumen naik menjadi A + B + D, surplus produsennya menjadi C. Dengan demikian, surplus total sesudah perdagangan menjadi A + B + C + D. Kalkulasi tersebut secara jelas menunjukkan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan oleh dibukanya hubungan dagang di sebuah negara
54
pengimpor. Konsumen diuntungkan karena surplus konsumennya bertambah senilai bidang B + D. Sebaliknya, produsen mengalami kerugian karena surplus produsen turun senilai bidang B. Namun karena keuntungan yang diterima konsumen itu melebihi kerugian produsen, yakni senilai bidang D, maka surplus total Indonesia mengalami peningkatan. Menurut Mankiw (2000), analisis terhadap kasus negara pengimpor ini menghasilkan dua kesimpulan pokok sebagai berikut: 1. Jika suatu negara membuka hubungan dagang internasional dan menjadi pengimpor atas suatu barang, maka produsen domestik barang itu akan dirugikan, sedangkan konsumen domestik akan barang itu akan diuntungkan. 2. Pembukaan hubungan dagang itu akan menguntungkan negara yang bersangkutan secara keseluruhan karena keuntungan yang terjadi melebihi kerugiannya. 3.1.5 Tarif Tarif (tariff) adalah pajak yang dikenakan terhadap barang-barang yang diproduksi di luar negeri dan dijual di dalam negeri (Mankiw, 2000). Pemberlakuan tarif terhadap impor gula tidak akan memunculkan dampak yang berarti, jika ternyata Indonesia menjadi pengekspor gula. Jika tidak ada perusahaan atau penduduk Indonesia yang mengimpor gula, maka tentunya tarif impor itu tidak dipersoalkan. Tarif itu akan bernilai penting jika Indonesia menjadi negara pengimpor gula setelah ia menjalin hubungan dagang dengan negara-negara lain. Gambar 3 memperlihatkan situasi pasar gula Indonesia. Jika perdagangan bebas dimungkinkan, maka harga domestik akan sama dengan harga
55
dunia. Penerapan tarif akan memperbesar harga gula impor melebihi harga dunianya dan kelebihannya itu sama dengan besaran tarif yang diterapkan. Dengan adanya tarif itu, para produsen gula domestik dapat menjual produknya dengan harga yang sama dengan harga dunia plus tarif ke pasar domestik. Akibatnya, harga gula baik impor maupun produk domestik di Indonesia akan naik sebanyak tarif tadi sehingga mendekati harga domestik yang berlaku sebelum Indonesia menjalin hubungan dagang dengan negara-negara lain.
Harga Penawaran dalam negeri
A
Harga sesudah penerapan tarif
B
C
Harga sebelum Penerapan tarif
D
E
Tarif
F
Harga Dunia
G
Permintaan dalam negeri QS1 QS 2
QD 2 QD1
Kuantitas
Sumber: Mankiw, 2000
Gambar 3. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor Perubahan harga ini tentu saja mempengaruhi perilaku para penjual dan pembeli domestik. Oleh karena tarif itu menaikkan harga domestik, maka kuantitas permintaan gula domestik pun turun dari QD 1 menjadi QD2, sedangkan kuantitas penawaran domestik naik dari QS1 menjadi QS2. Dengan demikian, penerapan tarif menurunkan kuantitas impor dan mendorong pasar domestik mendekati kondisi equilibrium tanpa perdagangan.
56
Para penjual domestik diuntungkan karena tarif menaikkan harga domestik sedangkan pembeli domestik mengalami kerugian. Di samping itu, pemerintah akan memperoleh pendapatan baru dari tarif itu. Untuk mengetahui berapa banyak keuntungan dan kerugiannya, dapat dilihat dari perubahan-perubahan atas surplus konsumen, surplus produsen, dan pendapatan pemerintah. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perubahan Kesejahteraan Sebagai Akibat Pemberlakuan Tarif Uraian Sebelum Tarif Sesudah Tarif Perubahan Surplus Konsumen A+B+C+D+E A+B - (C + D + E + F) +F Surplus Produsen G C+G +C Pendapatan Pemerintah Surplus Total
Tidak ada
E
+E
A+B+C+D+E +F+G
+B+C+E+ G
- (D + F)
Sumber: Mankiw, 2000.
Sebelum penerapan tarif, harga domestik sama dengan harga dunia. Surplus konsumen, yakni bidang yang terletak antara kurva permintaan dan garis harga dunia, sama nilainya dengan luas bidang A + B + C + D + E + F. Sedangkan surplus produsen, yakni bidang yang terletak antara kurva penawaran dan garis harga dunia, senilai luas bidang G. Pendapatan pemerintah sama dengan nol. Surplus totalnya (penjumlahan surplus konsumen, surplus produsen, serta pendapatan pemerintah senilai luas bidang A + B + C + D + E + F + G. Begitu pemerintah memberlakukan tarif, maka harga domestik melonjak melebihi harga dunia. Surplus konsumen berkurang menjadi bidang A + B. Surplus produsen bertambah menjadi bidang C + G. sedangkan pendapatan pemerintah, yakni tarif impor dikalikan kuantitas impor setelah pajak ditetapkan, adalah bidang E. Jadi, setelah tarif diterapkan, surplus totalnya menjadi A + B + C
57
+ E + G. Untuk mengetahui dampak tarif terhadap kesejahteraan total, perubahanperubahan pada surplus konsumen (yang negatif) dijumlahkan dengan surplus produsen (positif) dan juga pendapatan pemerintah (positif). Ternyata surplus totalnya menyusut senilai bidang D + F. Penyusutan ini merupakan beban baku (deadweight loss) tarif. Bidang D mencerminkan beban baku akibat produksi gula domestik yang berlebihan, sedangkan bidang F merupakan beban baku akibat konsumsi gula yang terlalu rendah. Beban baku total tarif sama dengan penjumlahan kedua bidang segitiga tersebut.
3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Volume impor gula ke Indonesia memiliki kecenderungan yang terus
meningkat. Pada periode 1989-1999, laju impor gula ke Indonesia sebesar 21,62 persen per tahun, sementara laju impor gula pada dekade sebelumnya (1979-1989) hanya 0,98 persen per tahun. Volume impor gula yang terus meningkat disebabkan konsumsi dalam negeri yang terus meningkat, padahal produksi gula dalam negeri justru menurun dengan laju 2,02 persen per tahun. Kondisi ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan kemandirian pangan gula Indonesia. Konsumsi gula yang terus meningkat disebabkan jumlah penduduk yang terus meningkat, peningkatan pendapatan masyarakat, pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman yang berbahan baku gula. Sementara itu, penurunan produksi gula disebabkan oleh penurunan luas areal perkebunan tebu sebagai akibat persaingan yang semakin tinggi dalam penggunaan lahan, khususnya dengan tanaman padi. Pengalihan areal untuk tebu ke padi semakin kuat sebagai akibat bias kebijakan pemerintah ke tanaman padi. Selain itu, dapat
58
juga disebabkan adanya konversi lahan sawah/tebu untuk industri dan perumahan juga memberi kontribusi terhadap menurunnya areal perkebunan tebu di Indonesia. Distorsi perdagangan dunia dan kebijakan tarif impor gula Indonesia yang relatif rendah juga menjadi penyebab berkurangnya minat petani untuk menanam tebu. Distorsi yang dicerminkan oleh intervensi kuat yang dilakukan hampir oleh semua produsen dan negara konsumen menyebabkan harga gula di pasar internasional cenderung fluktuatif dan menurun. Produktivitas tebu, harga provenue, produksi tebu, dan tingkat rendemen juga mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan produksi gula nasional. Jika kecenderungan produksi gula terus berlanjut, sementara konsumsi terus meningkat, maka impor gula dari negara-negara lain akan semakin meningkat dan pada akhirnya industri gula Indonesia akan menghadapi berbagai masalah serius. Dampak dari membanjirnya impor tersebut adalah ketidakpastian dan ketidakstabilan harga gula domestik. Selain itu, gula dalam negeri (domestik) menjadi tidak kompetitif lagi dibandingkan dengan gula impor dan tanaman tebu terhadap pesaing utamanya, yaitu padi. Akibat lebih jauh, sejumlah pabrik gula tutup karena harga gula domestik menjadi lebih rendah daripada harga pokok produksi gula. Berdasarkan uraian di atas, akan dianalisis pengaruh impor gula terhadap harga gula domestik dan industri gula Indonesia. Analisis akan dilakukan dengan menggunakan model persamaan simultan antara industri gula dan harga gula domestik. Model persamaan industri gula Indonesia mencakup produksi gula total, produksi tebu, luas areal perkebunan tebu, produktivitas tebu, harga provenue gula, stok gula, impor gula, harga impor gula sedangkan model
59
persamaan harga gula domestik mencakup harga gula di tingkat eceran. Dari hasil analisis, diharapkan akan diperoleh rekomendasi kebijakan impor gula yang efektif di Indonesia. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, maka penulis membuat alur kerangka pemikiran yang digambarkan dalam Gambar 4.
60
Penurunan Produktivitas Tebu
Penurunan Tingkat Rendemen Pertumbuhan Industri Pengolahan Makanan dan Minuman
Penambahan Jumlah Penduduk
Konversi Lahan Sawah/Tebu ke Industri
Penurunan Areal Perkebunan Tebu
Produksi Gula Dalam Negeri Turun
Konsumsi Gula Meningkat
Peningkatan Pendapatan Masyarakat Harga Gula Internasional Rendah
Tarif Impor Rendah
Impor Gula Meningkat
Pengaruh Terhadap Industri Gula
Pengalihan Areal Tebu ke Padi
Pengaruh Terhadap Harga Gula Domestik
Model Persamaan Simultan
Kebijakan Impor Gula di Indonesia
Gambar 4. Diagram Alur Kerangka Berfikir
61
IV. METODE PENELITIAN
4.1
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam
bentuk time series (deret waktu) dengan periode waktu 30 tahun, yaitu dari tahun 1975-2004 serta hasil wawancara dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan masalah penelitian. Data-data yang dikumpulkan berupa: produksi tebu Indonesia, produksi gula Indonesia, luas areal perkebunan tebu, rendemen gula, konsumsi gula Indonesia, jumlah atau volume impor gula Indonesia, harga impor gula, tarif impor gula, harga gula dunia, harga dasar gabah, harga pupuk urea, jumlah penduduk Indonesia, pendapatan per kapita, permintaan atau jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor perkebunan tebu, nilai tukar Rupiah terhadap USDollar, harga eceran atau harga gula di tingkat konsumen, curah hujan, harga provenue gula, Indeks Harga Konsumen Indonesia. Data tersebut diperoleh dari informasi statistik yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Sekretariat Dewan Gula Indonesia (DGI), Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, dan instansi-instansi lain. Selain itu, data sekunder tersebut juga diperoleh melalui literatur dari berbagai instansi dan penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dalam penelitian ini. Pengambilan data dilaksanakan mulai Bulan November 2005 sampai Januari 2006.
4.2
Metode Pengolahan dan Analisis Data Dalam penelitian ini, pengolahan data pertama dilakukan dengan
perhitungan dengan bantuan alat hitung kalkulator, selanjutnya hasil yang
62
diperoleh dimasukkan dalam tabel sesuai keperluan. Data yang telah ditabelkan dipersiapkan sebagai input komputer sesuai dengan model yang diduga dan asumsi yang digunakan. Data dan informasi yang diperoleh akan dianalisis secara kuantitatif melalui metode deskriptif dan model kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk melihat perkembangan harga gula domestik dan industri gula Indonesia. Sedangkan model kuantitatif dengan persamaan simultan digunakan untuk menganalisis dampak impor gula terhadap harga gula domestik dan industri gula Indonesia. Model analisis data yang digunakan adalah persamaan simultan. Masing-masing persamaan penelitian ini diduga dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS) dengan menggunakan program SAS version 8.1.
4.3
Model Ekonometrika Menurut Koutsoyiannis (1977), perumusan model merupakan langkah
pertama dan paling penting yang harus dilakukan dalam memulai studi atau mempelajari berbagai hubungan variabel-variabel dalam bentuk matematik dimana suatu fenomena ekonomi dapat dipelajari secara empirik. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika. Model ekonometrika adalah suatu model statistik yang menghubungkan peubah-peubah ekonomi dari suatu fenomena yang mencakup unsur stokastik (Suparno, 2004). Suatu model yang baik harus dapat memenuhi kriteria ekonomi, statistik, dan ekonometrika (Koutsoyiannis, 1977).
63
Tingkat Rendemen
Produksi Gula Total Produksi Tebu
Luas Areal Perkebunan Tebu
Lag Produktivitas Tebu
Produktivitas Tebu
Harga Provenue Gula
Harga Dasar Gabah
Curah Hujan
Lag Luas Areal Perkebunan Tebu
Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar
Lag Provenue Gula Jumlah Penduduk
Konsumsi Gula Indonesia
Harga Gula di Tingkat Eceran
Lag Konsumsi Gula Indonesia
Stok Gula
Lag Stok Gula
Impor Gula Tarif Impor Gula
Harga Impor Gula Lag Impor Gula Lag Harga Impor Gula
Lag Harga Gula di Tingkat Eceran
Harga Gula Dunia
Keterangan : Variabel Eksogen
Variabel Endogen
Gambar 5. Kerangka Model Ekonometrika
64
4.3.1
Produksi Gula Total Produksi gula total di dalam negeri atau domestik (QPt) diperhitungkan
dari perkalian antara konversi atau tingkat rendemen proses pengolahan dari tebu menjadi gula (Kt) dan produksi tebu dalam negeri pada tahun tersebut (QPTt). Secara matematis, persamaan produksi gula total dapat dirumuskan sebagai berikut: QPt = Kt*QPTt...........................................................................................(4.3.1) dimana: QPt
= Produksi gula total pada tahun ke-t (ton)
Kt
= Konversi (tingkat rendemen) pada tahun ke-t (persen)
QPTt = Produksi tebu pada tahun ke-t (ton) 4.3.2
Produksi Tebu Produksi tebu (QPTt) merupakan perkalian antara luas areal perkebunan
tebu (LAPTt) dengan produktivitas tebu pada tahun tersebut (Yt). Persamaan produksi tebu dapat dirumuskan sebagai berikut: QPTt = LAPTt *Yt......................................................................................(4.3.2) dimana: QPTt
= Produksi tebu pada tahun ke-t (ton)
LAPTt
= Luas areal perkebunan tebu pada tahun ke-t (ha)
Yt
= Produktivitas tebu pada tahun ke-t (ton/ha)
4.3.3
Luas Areal Perkebunan Tebu Luas areal perkebunan tebu dipengaruhi oleh harga provenue gula
(HPROVt), harga dasar gabah (HDGt), dan luas areal perkebunan tebu
65
sebelumnya (LAPTt-1). Persamaan luas areal perkebunan tebu dirumuskan sebagai berikut: LAPTt
=
a0 + a 1HPROVt + a 2HDGt + a3LAPTt-1 + µ1......................................................................................(4.3.3)
dimana: LAPTt
= Luas areal perkebunan tebu pada tahun ke-t (ha)
HPROVt
= Harga provenue gula pada tahun ke-t (Rp/ton)
HDGt
= Harga dasar gabah pada tahun ke-t (Rp/ton)
LAPTt-1
= Luas areal perkebunan tebu pada tahun sebelumnya (ha)
a0
= Intersep
ai
= Parameter yang diduga (i = 1, 2, 3, 4, 5)
µ1
= Variabel pengganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah: a1 > 0; a 2 < 0; 0 < a 3 < 1 4.3.4
Produktivitas Tebu Produktivitas tebu (Yt) dipengaruhi oleh impor gula (IMGt), tarif impor
gula (TARt), curah hujan (CHt), harga dasar gabah (HDGt), harga impor gula (HRIGt), dan produktivitas tebu pada tahun sebelumnya (Yt-1). Persamaan produktivitas tebu dirumuskan sebagai berikut: Yt = b0 + b 1IMGt + b2TARt + b3CHt + b 4HDG + b5HRIG + b 6Yt-1 + µ2..........................................................................................................(4.3.4) dimana: Yt
= Produktivitas tebu pada tahun ke-t (ton/ha)
IMGt
= Impor gula pada tahun ke-t (ton)
TARt
= Tarif impor gula pada tahun ke-t (Rp/ton)
66
CHt
= Curah hujan pada tahun ke-t (mm/tahun)
HDGt
= Harga dasar gabah pada tahun ke-t (Rp/ton)
HRIGt
= Harga impor gula pada tahun ke-t (Rp/ton)
Yt-1
= Produktivitas tebu pada tahun sebelumnya (ton/ha)
b0
= Intersep
bi
= Parameter yang diduga (i = 1, 2, 3, 4, 5, 6)
µ2
= Variabel pengganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah: b2, b3, b 5 > 0; b1, b 4 < 0; 0 < b6 < 1 4.3.5
Harga Provenue Gula Harga provenue gula (HPROVt) dipengaruhi oleh harga dasar gabah
(HDGt), impor gula (IMGt), harga gula di tingkat eceran (PNEt), harga gula dunia (PWt), dan harga provenue gula pada tahun sebelumnya (HPROVt-1). Persamaan harga provenue gula dapat dirumuskan sebagai berikut: HPROVt = c0 + c 1HDGt + c2IMGt + c 3PNEt + c 4PWt + c5HPROVt-1 + µ3..........................................................................................(4.3.5) dimana: HPROVt
= Harga provenue gula pada tahun ke-t (Rp/ton)
HDGt
= Harga dasar gabah pada tahun ke-t (Rp/ton)
IMGt
= Impor gula pada tahun ke-t (ton)
PNEt
= Harga gula di tingkat eceran pada tahun ke-t (Rp/ton)
PWt
= Harga gula dunia pada tahun ke-t (Rp/ton)
HPROVt -1
= Harga provenue gula pada tahun sebelumnya (Rp/ton)
c0
= Intersep
67
ci
= Parameter yang diduga (i = 1, 2, 3, 4, 5)
µ3
= Variabel pengganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah: c2, c3 > 0; c 1, c4 < 0 < c 5 < 1 4.3.6
Stok Gula Indonesia Stok gula (QSTt) dipengaruhi oleh harga gula dunia (PWt), harga gula di
tingkat eceran (PNEt), konsumsi gula (KGt), dan stok gula pada tahun sebelumnya (QSTt-1). Persamaan stok gula dapat dirumuskan sebagai berikut: QSTt
=
e0 + e1PWt + e 2PNEt + e 3KGt + e4QSTt-1 + µ5...........................................................................................(4.3.6)
dimana: QSTt
= Stok gula pada tahun ke-t (ton)
PWt
= Harga gula dunia pada tahun ke-t (Rp/ton)
PNEt
= Harga gula di tingkat eceran pada tahun ke-t (Rp/ton)
KGt
= Konsumsi gula pada tahun ke-t (ton/tahun)
QSTt-1
= Stok gula pada tahun sebelumnya (ton)
e0
= Intersep
ei
= Parameter yang diduga (i = 1, 2, 3, 4)
µ5
= Variabel pengganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah: e1, e3 < 0; e2 > 0; 0 < e4 < 1 4.3.7
Konsumsi Gula Konsumsi gula Indonesia (KGt) dipengaruhi oleh harga gula di tingkat
eceran (PNEt), jumlah penduduk (POPt), produksi gula total (QPt), dan konsumsi
68
gula pada tahun sebelumnya (KGIt-1). Persamaan konsumsi gula Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: KGt
=
d 0 + d 1PNEt + d2POPt + d3QPt + d 4KGt -1 + µ4.............................................................................................(4.3.7)
dimana: KGt
= Konsumsi gula pada tahun ke-t (ton/tahun)
PNEt
= Harga gula di tingkat eceran pada tahun ke-t (Rp/ton)
POPt
= Jumlah penduduk pada tahun ke-t (jiwa/tahun)
QPt
= Produksi gula total pada tahun ke-t (ton)
KGt-1
= Konsumsi gula pada tahun sebelumnya (ton/tahun)
d0
= Intersep
di
= Parameter yang diduga (i = 1, 2, 3, 4)
µ4
= Variabel pengganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah: d1 < 0; d 2, d 3 > 0; 0 < d 4 < 1 4.3.8
Impor Gula Impor gula Indonesia (IMGt) dipengaruhi oleh tarif impor gula (TARt),
harga gula dunia (PWt), konsumsi gula (KGt), nilai tukar Rupiah terhadap USDollar (ERt), produksi gula total (QPt), dan jumlah impor gula pada tahun sebelumnya (IMGt-1). Persamaan impor gula dapat dirumuskan sebagai berikut: IMGt = f0 + f1TARt + f2PWt + f3KGt + f4ERt + f5QPt + f6IMGt-1 + µ6................................................................................................(4.3.8) dimana: IMGt
= Impor gula pada tahun ke-t (ton)
TARt
= Tarif impor gula pada tahun ke-t (Rp/ton)
PWt
= Harga gula dunia pada tahun ke-t (Rp/ton)
69
KGt
= Konsumsi gula pada tahun ke-t (ton/tahun)
ERt
= Nilai Tukar Rupiah terhadap USDollar pada tahun ke-t (Rp/US$)
QPt
= Produksi gula total pada tahun ke-t (ton)
IMGt-1
= Impor gula pada tahun sebelumnya (ton)
f0
= Intersep
fi
= Parameter yang diduga (i = 1, 2, 3, 4, 5, 6)
µ6
= Variabel pengganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah: f1, f2, f5 < 0; f3, f4 > 0; 0 < f6 < 1 4.3.9
Harga Impor Gula Harga impor gula Indonesia (HRIGt) dipengaruhi oleh impor gula (IMGt),
nilai tukar Rupiah terhadap USDollar (ERt), harga gula dunia (PWt), dan harga impor gula pada tahun sebelumnya (HIGt -1). Persamaan harga impor gula Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: HRIGt = g0+ g1IMGt + g2ERt + g3PWt- + g4HIRGt-1 + µ7.........................(4.3.9) dimana: HRIGt
= Harga impor gula pada tahun ke-t (Rp/ton)
IMGt
= Impor gula pada tahun ke-t (ton)
ERt
= Nilai Tukar Rupiah terhadap USDollar pada tahun ke-t (Rp/US$)
PWt
= Harga gula dunia pada tahun ke-t (Rp/ton)
HRIGt-1
= Harga impor gula pada tahun sebelumnya (Rp/ton)
g0
= Intersep
gi
= Parameter yang diduga (i = 1, 2, 3, 4)
µ7
= Variabel pengganggu
70
Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah: g1, g3 > 0; g2 < 0; 0 < g4 < 1 4.3.10 Harga Gula Eceran Harga gula eceran (PNEt) dipengaruhi oleh harga impor gula (HRIGt), harga gula dunia (PWt), impor gula (IMGt), harga provenue gula (HPROVt), nilai tukar Rupiah terhadap USDollar (ERt), dan harga gula eceran pada tahun sebelumnya (PNEt-1). Persamaan harga eceran gula dapat dirumuskan sebagai berikut: PNEt = h0 + h1HRIGt + h2PWt + h3IMGt + h4HPROVt + h5ERt + h6PNEt-1 + µ8..............................................................................................(4.3.10) dimana: PNEt
= Harga gula di tingkat eceran pada tahun ke-t (Rp/ton)
HRIGt
= Harga impor gula pada tahun ke-t (Rp/ton)
PWt
= Harga gula dunia pada tahun ke-t (Rp/ton)
IMGt
= Impor gula pada tahun ke-t (ton)
HPROVt
= Harga provenue gula pada tahun ke-t (Rp/ton)
ERt
= Nilai Tukar Rupiah terhadap USDollar pada tahun ke-t (Rp/US$)
PNEt-1
= Harga gula di tingkat eceran pada tahun sebelumnya (Rp/ton)
h0
= Intersep
hi
= Parameter yang diduga (i = 1, 2, 3, 4, 5, 6)
µ8
= Variabel pengganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah: H3, h5 < 0; h1, h2, h4 > 0; 0 < h6 < 1
71
4.4
Hipotesis Sesuai dengan perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran
dan model analisis yang telah diuraikan sebelumnya, maka diajukan hipotesis penelitian. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Luas areal perkebunan tebu dipengaruhi oleh harga provenue gula, harga dasar gabah, dan luas areal perkebunan tebu tahun sebelumnya. Harga provenue gula dan luas areal perkebunan tebu tahun sebelumnya berpengaruh positif, sedangkan harga dasar gabah berpengaruh negatif terhadap perubahan luas areal perkebunan tebu. 2. Produktivitas tebu dipengaruhi oleh impor gula, tarif impor, curah hujan, harga dasar gabah, harga impor gula, dan produktivitas tahun sebelumnya. Variabel impor gula dan harga dasar gabah berpengaruh negatif, sedangkan variabel lainnya berpengaruh positif terhadap perubahan produktivitas tebu. 3. Harga provenue gula dipengaruhi oleh harga dasar gabah, impor gula, harga gula eceran, harga gula dunia, dan harga provenue tahun sebelumnya. Semua variabel tersebut berpengaruh positif terhadap perubahan harga provenue gula terhadap perubahan harga provenue gula. 4. Stok gula Indonesia dipengaruhi oleh harga gula dunia, harga gula eceran, konsumsi gula, dan stok gula Indonesia tahun sebelumnya. Harga gula dunia dan konsumsi gula berpengaruh positif, sedangkan variabel lainnya berpengaruh negatif terhadap perubahan stok gula Indonesia. 5. Konsumsi gula dipengaruhi oleh harga gula eceran, jumlah penduduk, produksi gula total, dan konsumsi gula tahun sebelumnya. Harga gula
72
eceran berpengaruh negatif, sedangkan variabel lainnya berpengaruh positif terhadap perubahan konsumsi gula. 6. Impor gula dipengaruhi oleh tarif impor, harga gula dunia, konsumsi gula, nilai tukar, produksi gula total, dan impor gula tahun sebelumnya. Tarif impor, harga gula dunia, dan produksi gula total berpengaruh negatif, sedangkan variabel lainnya berpengaruh positif terhadap perubahan impor gula. 7. Harga impor gula dipengaruhi oleh impor gula, nilai tukar, harga gula dunia, dan harga impor gula tahun sebelumnya. Nilai tukar berpengaruh negatif, sedangkan variabel lainnya berpengaruh positif terhadap perubahan harga impor gula. 8. Harga gula eceran dipengaruhi oleh harga impor gula, harga gula dunia, impor gula, harga provenue gula, nilai tukar, dan harga gula eceran tahun sebelumnya. Impor gula dan nilai tukar berpengaruh negatif sementara variabel lainnya berpengaruh positif terhadap perubahan harga gula eceran.
4.5
Identifikasi Model Masalah identifikasi adalah apakah taksiran angka dari parameter
persamaan struktural dapat diperoleh dari koefisien bentuk yang direduksi yang ditaksir. Masalah identifikasi timbul karena kumpulan koefisien struktural yang berbeda mungkin cocok dengan sekumpulan data yang sama. Berdasarkan Koutsoyiannis (1977), masalah identifikasi muncul hanya untuk persamaanpersamaan yang di dalamnya terdapat koefisien-koefisien yang harus diestimasi
73
secara statistik (dari data contoh). Masalah identifikasi tidak muncul dalam persamaan-persamaan definisi, identitas atau dalam pernyataan tentang kondisi equilibrium karena dalam hubungan-hubungan tersebut tidak memerlukan pengukuran. Dalam teori ekonometrika, terdapat dua kemungkinan situasi dalam suatu identifikasi, yaitu: 1. Persamaan Underidentified Suatu persamaan dikatakan underidentified jika bentuk statistiknya tidak tunggal. Suatu sistem dikatakan underidentified ketika satu atau lebih persamaan-persamaan yang ada dalam sistem tersebut underidentified sehingga tidak mungkin dilakukan pendugaan dari seluruh parameter yang ada dengan teknik ekonometrik manapun. 2. Persamaan Identified Jika suatu persamaan memiliki bentuk statistik tunggal, maka persamaan tersebut dapat diidentifikasi (identified), dan persamaan tersebut bisa exactlyidentified
(identifikasi
tepat)
atau
overidentified
(terlalu
diidentifikasikan). Dalam persamaan yang teridentifikasi, koefisien yang terdapat di dalamnya dapat diduga secara statistik. Jika persamaan exactly identified (identifikasi tepat), maka metode yang sesuai untuk pendugaan adalah Indirect Least Square (ILS) atau metode kuadrat terkecil tak langsung,
sedangkan
jika
persamaan
overidentified
(terlalu
diidentifikasikan), maka salah satu metode yang dapat digunakan untuk pendugaan adalah Two-Stages Least Square (2SLS) Dalam tahap identifikasi, terdapat dua tahap:
74
1. Order Condition (kondisi ordo) Order Condition (kondisi ordo) adalah suatu kondisi yang perlu dari identifikasi yang bertujuan untuk mengetahui apakah persamaanpersamaan yang ada dapat diidentifikasi. Langkah-langkah dalam order condition, yaitu: 1. Bila (K-M) = (G-1), maka persamaan tersebut dapat diidentifikasi. 2. Bila (K-M) < (G-1), maka persamaan tersebut underidentified. dimana: K
= Total variabel dalam model
M
= Total variabel endogen dan eksogen dalam persamaan yang akan diidentifikasi
G
= Total persamaan dalam model
2. The Rank Condition of Identifiability (Kondisi tingkat dari identifiabilitas) The Rank Condition of Identifiability (Kondisi tingkat dari identifiabilitas) digunakan untuk mengidentifikasi persamaan yang setelah dilakukan uji Order
Condition
(kondisi ordo) menghasilkan kesimpulan dapat
diidentifikasi, yang selanjutnya dilihat apakah persamaan tersebut exactlyidentified
(identifikasi
tepat)
atau
overidentified
(terlalu
diidentifikasikan). Langkah-langkah The Rank Condition of Identifiability adalah: 1. Jadikan persamaan simultan yang ada menjadi persamaan yang ruas kanannya nol. 2. Susun matriks koefisien dari semua variabel yang ada untuk persamaan-persamaan tersebut.
75
3. Jika ingin mengidentifikasi persamaan ke-i, maka coret baris persamaan itu dan kolom dari variabel yang ada dalam persamaan tersebut. 4. Dari matriks sisanya, cari semua determinan yang mungkin dapat dihitung. 5. Jika paling sedikit ada satu determinan yang tidak sama dengan nol, maka simpulkan: a. Persamaan tersebut overidentified, bila (K-M) > (G-1). b. Persamaan tersebut exactlyidentified, bila (K-M) = (G-1). Apabila semua determinan sama dengan nol maka persamaan tersebut underidentified. Model persamaan simultan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sepuluh persamaan dengan 25 total variabel di dalam model. Di dalam model terdapat sepuluh variabel endogen dan 15 variabel eksogen. Uji order condition menghasilkan kesimpulan dapat diidentifikasi untuk masing-masing persamaan dalam model dimana hasil pengurangan total variabel dalam model dengan total variabel endogen dan eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi lebih besar dari hasil pengurangan total persamaan dalam model dengan satu. Uji The Rank Condition of Identifiability menghasilkan kesimpulan overidentified untuk masing-masing persamaan dalam model. Hal ini disebabkan tidak semua determinan persamaan yang ada sama dengan nol dan juga dikarenakan hasil pengurangan total variabel dalam model dengan total variabel endogen dan eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi lebih besar dari hasil pengurangan total persamaan dalam model dengan satu. Hasil identifikasi yang
76
menghasilkan kesimpulan overidentified memungkinkan persamaan untuk diestimasi dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS). Penelitian ini menggunakan Two-Stage Least Square (2SLS) karena tergolong metode yang ekonomis, banyak digunakan, pendugaan setiap parameternya unik dan penerapannya relatif mudah meskipun dirancang untuk menangani persamaan yang overidentified. Beberapa alasan digunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS) ini adalah: 1. Metode ini merupakan salah satu metode yang cocok untuk digunakan dalam estimasi parameter model ekonometrika simultan selain 3SLS dan yang lainnya, terutama untuk persamaan simultan. 2. Metode ini lebih efisien digunakan dibandingkan 3SLS dalam kondisi tidak semua persamaan dalam sistem akan diestimasi parameternya (dalam kasus ini hanya delapan persamaan dalam sepuluh persamaan. 3. Metode ini lebih cocok digunakan jika jumlah sampel kecil dibandingkan 3SLS. 4. Metode ini menghindari estimasi yang bias dan tidak konsisten dibandingkan penggunaan OLS.
4.6.
Pengujian Model dan Hipotesis
4.6.1 Uji Kesesuaian Model Pengujian terhadap dugaan persamaan secara keseluruhan dapat dilakukan dengan menggunakan uji F-statistik (Koutsoyiannis, 1977). Uji F-statistik dapat menjelaskan
kemampuan
variabel
eksogen secara bersama-sama
dalam
77
menjelaskan keragaman dari variabel endogen. Hipotesis yang diuji dari pendugaan persamaan di atas adalah variabel eksogen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Hipotesis ini disebut hipotesis nol. Mekanisme uji Fstatistik adalah sebagai berikut: H0 = a 1 = a 2 = a 3 = a4 = ... = ai = 0 (tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel dalam persamaan). H1 = a 1 ? 0, a2 ? 0, a 3 ? 0, a4 ? 0, ..., ai ? 0. (paling sedikit ada satu variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap variabel endogen). Statistik uji yang digunakan dalam uji F: F hitung = SSR / (k-1) SSE / (n-k) dimana: SSR
= Jumlah kuadrat regresi
SSE
= Jumlah kuadrat sisa
k
= Jumlah parameter
n
= Jumlah pengamatan (sampel)
Kemudian dilakukan pengujian dimana Fhitung dari hasil analisis dibandingkan dengan Ftabel. Jika Fhitung > Ftabel, maka Tolak H0 yang berarti minimal ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel endogen. Sedangkan jika Fhitung < Ftabel, maka terima H0 yang berarti secara bersama-sama variabel yang digunakan tidak dapat menjelaskan secara nyata keragaman dari variabel endogen. Uji F juga dapat dilakukan dengan cara melihat output perhitungan komputer dengan melihat nilai P dari Statistik F < a. Apabila nilai P-value < a, maka Tolak H0 yang berarti
78
minimal ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel endogen. 4.6.2
Uji Dugaan Variabel Secara Individu (Uji t) Uji t adalah uji yang biasanya digunakan untuk mengetahui apakah
variabel eksogen yang terdapat dalam model secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Mekanisme uji t adalah sebagai berikut: Hipotesis: H0
= Perubahan suatu variabel eksogen secara individu tidak
berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel endogen. H1
= Perubahan suatu variabel eksogen secara individu berpengaruh
nyata terhadap perubahan variabel endogen. Statistik uji yang digunakan dalam uji t:
thitung = bi S (bi ) dimana: bi
= Koefisien parameter dugaan
S(bi) = Standar deviasi parameter dugaan Kriteria uji: thitung < ttabel
: Terima H0
thitung > ttabel
: Tolak H0
Semakin banyak H0 yang ditolak, maka suatu model akan semakin baik untuk dijadikan model pendugaan persamaan simultan. 4.6.3
Uji Terhadap Autokorelasi Istilah autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota
serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (time series) atau cross-
79
section. Persamaan dalam penelitian ini menggunakan data time series yang mengandung lagged endogenous variable. Dalam Koutsoyiannis (1977), dapat mengakibatkan terjadinya: 1) Varians yang diperoleh dari pendugaan lebih kecil daripada nilai varians yang sesungguhnya, 2) Hasil dugaan dengan metode 2SLS bersifat inefisien, artinya variansnya lebih besar dibandingkan dengan metode ekonometrik lainnya. Uji d (Durbin Watson Statistic) sering digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi. Namun, dikarenakan di dalam persamaan yang diamati terdapat lagged endogenous variable, maka uji d menjadi tidak valid. Sebagai gantinya dalam penelitian ini digunakan statistik dh (durbin-h statistics) untuk menguji serial korelasi. H = [1-0,5d] [n/{1-n (var ß)}]0,5 dimana: d
= nilai statistik Durbin-Watson
n
= jumlah observasi
var (ß) = varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable Apabila h-hitung lebih kecil dari tabel distribusi normal, maka dalam persamaan tidak mengalami serial korelasi. 4.6.4
Uji Terhadap Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang penting dari pendugaan metode kuadrat terkecil
adalah varian residual bersifat homoskedastisitas atau bersifat konstan. Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana asumsi di atas tidak tercapai. Dampak adanya heteroskedastisitas adalah tidak efisiennya proses estimasi, sementara hasil estimasinya sendiri tetap konsisten dan tidak bias. Dengan adanya masalah
80
heteroskedastisitas, akan mengakibatkan hasil uji t dan F dapat menjadi tidak berguna. 4.6.5
Uji Multikolinieritas Multikolinieritas sempurna adalah suatu pelanggaran terhadap asumsi
bahwa tidak ada hubungan sempurna antar variabel eksogen dalam sebuah persamaan regresi. Multikolinieritas sempurna jarang terjadi, yang sering dijumpai adalah multikolinieritas tidak sempurna. Pada dasarnya, semakin tinggi korelasi antara dua atau lebih variabel-variabel eksogen dalam sebuah model yang benar, semakin sulit memperkirakan secara akurat koefisien-koefisien pada model yang benar itu. Menurut Koutsoyiannis (1977), untuk mendeteksi adanya multikolinieritas dalam sebuah model dapat dilakukan dengan membandingkan besarnya nilai koefisien determinasi (R2) dengan koefisien determinasi parsial antar dua variabel bebas (r2). Multikolinieritas dapat dianggap bukan merupakan suatu masalah apabila koefisien determinasi parsial antar dua variabel bebas tidak melebihi nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua variabel secara simultan. Namun, multikolinieritas dianggap sebagai masalah serius jika koefisien determinasi parsial antar dua variabel bebas melebihi atau sama dengan nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua variabel secara secara simultan. Salah satu cara mengukur multikolinieritas yang mudah cara menghitungnya adalah Variance Inflation Factor (VIF). Variance Inflation Factor (VIF) merupakan suatu cara mendeteksi multikolinieritas dengan melihat sejauh mana sebuah variabel penjelas dapat diterangkan oleh semua variabel penjelas
81
lainnya di dalam persamaan regresi. Apabila nilai VIF < 10, maka tidak ada masalah multikolinieritas. 4.6.6
Konsep Elastisitas Nilai elastisitas dapat digunakan untuk melihat derajat kepekaan variabel
endogen pada suatu persamaan terhadap perubahan dari variabel eksogen. Nilai elastisitas jangka pendek (short-run) diperoleh dari perhitungan sebagai berikut: Esr (Yt, Xi) = ai (Xi) / (Yt) dimana: Esr (Yt, Xi)
= Elastisitas jangka pendek variabel eksogen Xi terhadap
variabel endogen Yt ai
= Parameter dugaan variabel eksogen Xi
Xi
= Rata-rata variabel eksogen Xi
Yt
= Rata-rata variabel endogen Yt
Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang (long-run) diperoleh dari perhitungan sebagai berikut: Elr (Yt , Xi ) =
E sr (Yt , Xi ) 1 − ai lag
dimana: Elr (Yt, Xi)
= Elastisitas jangka panjang variabel eksogen Xi terhadap
variabel endogen Yt ai lag
= Parameter dugaan dari lag-endogen variabel
Kriteria Uji: 1. Jika nilai elastisitas lebih dari satu (E>1), dikatakan elastis karena perubahan satu persen variabel eksogen mengakibatkan perubahan variabel endogen lebih dari satu persen.
82
2. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0<E<1), dikatakan inelastis (tidak responsif) karena perubahan satu persen variabel eksogen akan mengakibatkan perubahan variabel endogen kurang dari satu persen. 3. Jika nilai elastisitas sama dengan nol (E=0), dikatakan inelastis sempurna. 4. Jika nilai elastisitasnya tak hingga (E=~), dikatakan elastis sempurna. 5. Jika elastisitasnya sama dengan satu (E=1), dikatakan unitary elastis. 4.6.7
Validasi Model Validasi model dilakukan untuk mengetahui apakah model cukup valid
untuk membuat suatu simulasi kebijakan sehingga dapat menganalisis sejauhmana model tersebut dapat merefleksikan dengan baik atau mewakili dunia nyata. Simulasi kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini berupa simulasi perubahan impor gula ke Indonesia. Kriteria statistik yang sering digunakan untuk validasi pendugaan model ekonometrika adalah Root Mean Squares Error (RMSE), Root Mean Squares Percent Error (RMSPE), dan Theil’s Inequality Coefficient (U) (Pindyck dan Rubinfeld, 1991). Kriteria-kriteria itu dapat dirumuskan sebagai berikut: T RMSE = 1 T Y st − Y at t =1
∑(
)
0, 5
T 2 RMSPE = 1 T ∑ Y st − Y at Y a t t =1
((
U =
)
T 1 T Y st − Y at t =1
∑(
T 2 1 T Y st t =1
∑( )
0 ,5
)
)
0 ,5
T 2 Y at + 1 T t =1
∑( )
0, 5
0, 5
83
dimana: RMSE
= Akar tengah kuadrat terkecil
RMSPE = Akar tengah kuadrat persen galat U
= Koefisien ketidaksamaan Theil
Ys t
= Nilai dugaan model
Yat
= Nilai aktual
T
= Jumlah pengamatan dalam simulasi
Statistik RMSPE berguna untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen). Nilai statistik U berma nfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi historis maupun peramalan. Semakin kecil nilai RMSE, RMSPE, dan U semakin baik pendugaan model. Nilai U berkisar antara 0 dan 1. Jika U = 0, maka pendugaan model sempurna. 4.6.8
Simulasi Model Kebijakan Simulasi kebijakan dilakukan di dalam penelitian ini dengan tujuan
melihat dan mengetahui dampak impor gula terhadap harga gula domestik dan industri gula Indonesia atau terhadap peubah-peubah endogen yang dilakukan secara historis dari tahun 1975-2004. Perumusan simulasi kebijakan ini dilakukan berdasarkan laju impor gula ke Indonesia. Beberapa skenario simulasi kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Kenaikan impor gula sebesar 86 persen Alternatif kebijakan ini didasari pada rata-rata laju atau pertumbuhan impor gula yang terjadi pada periode 1975-2004. 2. Penurunan impor gula sebesar 98 persen
84
Alternatif kebijakan ini didasari pada laju impor gula yang mengalami penurunan terbesar yang terjadi pada tahun 1984. Hal ini disebabkan karena produksi gula domestik mengalami peningkatan yang cukup signifikan. 3. Impor gula sebesar 0 persen atau tidak mengimpor gula Alternatif kebijakan ini dilakukan secara sengaja karena pada periode 1930-an, Indonesia tidak mengimpor gula dan mampu memenuhi kebutuhan konsumsi gula domestik. 4.6.9
Definisi Operasional 1. Gula yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gula tebu khususnya white sugar. 2. White sugar adalah gula berkualitas baik, putih, persen pol > 99,5 dapat untuk dikonsumsi langsung. 3. Produksi gula Indonesia adalah total produksi gula di Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton per tahun. 4. Produksi tebu Indonesia adalah total produksi tebu di Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton per tahun. 5. Luas areal perkebunan tebu adalah luas seluruh areal produktif tanaman tebu di Indonesia dinyatakan dalam satuan hektar. 6. Harga provenue gula adalah kebijakan harga dasar gula yang diterapkan oleh pemerintah untuk melindungi petani tebu yang dinyatakan dalam satuan Rupiah per ton.
85
7. Produktivitas tebu merupakan hasil bagi antara produksi tebu Indonesia dengan luas areal perkebunan tebu yang dinyatakan dalam satuan ton per hektar. 8. Harga dasar gabah adalah kebijakan harga gabah kering yang diterapkan oleh pemerintah untuk melindungi petani. 9. Impor gula adalah jumlah seluruh impor gula yang dijual atau dipasarkan di pasar domestik dan tidak termasuk impor ilegal yang dinyatakan dalam satuan ton. 10. Jumlah penduduk Indonesia adalah banyaknya populasi setiap tahun dinyatakan dalam satuan jiwa. 11. Tarif impor gula adalah tarif yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia terhadap gula dinyatakan dalam satuan Rupiah per ton. 12. Nilai tukar mata uang adalah perbandingan dari perubahan mata uang Amerika Serikat terhadap mata uang negara lain (Indonesia) yang dinyatakan dalam satuan Rupiah per USDollar. 13. Harga gula dunia adalah harga gula di pasar internasional (Pasar London) dideflasi dengan Indeks Harga Perdagangan Besar Amerika Serikat. 14. Harga riil impor gula adalah harga CIF gula Indonesia yang merupakan hasil bagi antara nilai dengan volume impor yang dideflasi (1995 = 100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia dinyatakan dalam satuan Rupiah per ton. 15. Rendemen adalah kadar kandungan gula dalam setiap batang tebu yang dinyatakan dalam satuan persen.
86
16. Persamaan simultan adalah satu himpunan persamaan dengan lebih dari satu variabel yang harus dipecahkan secara bersama untuk mendapatkan solusinya. 17. Variabel eksogen adalah variabel yang tidak dipengaruhi oleh perilaku variabel lainnya dan memiliki serangkaian nilai tertentu. 18. Variabel endogen adalah variabel yang nilai-nilainya ditentukan oleh satu atau serangkaian variabel lainnya. 19. Dalam penelitian ini, harga gula eceran, harga impor gula, harga gula dunia, harga provenue gula, dan harga dasar gabah telah telah dideflasi (1995 = 100) dengan Indeks Harga Konsumen dinyatakan dalam satuan Rupiah per ton. 20. Harga gula domestik yang dimaksud dalam penelitian ini harga gula eceran. 21. Harga dunia merupakan competitive price dimana negara importir maupun eksportir gula dunia tidak ikut campur dalam pasar gula dunia.
87
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Kebijakan Impor Gula di Indonesia Produksi gula dalam negeri semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan
konsumsi sehingga kekurangan tersebut harus ditutupi dengan gula impor yang terus meningkat dari tahun ke tahun sejak 1990. Saat ini, Indonesia telah menjadi negara pengimpor gula terpenting di dunia setelah Rusia. Impor yang tinggi serta harga internasional yang murah telah mempersulit posisi sebagian besar pabrik gula untuk bertahan dalam industri gula nasional apalagi untuk berkembang. Impor gula semakin terbuka lebar dan membanjir semenjak pemerintah mengeluarkan
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No
25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis termasuk gula dan tarif impor yang ditetapkan sebesar nol persen. Impor gula nasional yang besar telah menarik minat banyak pelaku pasar sehingga menimbulkan kesulitan pengendaliannya. Kemelut pengelolaan impor gula terus berlangsung sehingga mendorong pemerintah melalui Departemen Perdagangan dan Perindustrian mengatur tataniaga dan impor seperti instrumen NPIK (Nomor Pengenal Importir Khusus) sampai penerapan kuota impor. Kuota impor gula putih hanya diberikan kepada importir terdaftar yang memenuhi syarat, terutama yang menyerap tebu rakyat lebih dari 75 persen total tebu yang digunakan oleh produsen tersebut. Kuota impor gula putih juga diberikan kepada BULOG, mengingat importir terdaftar belum berpengalaman dalam mengimpor gula serta tidak mempunyai jaringan distribusi seperti halnya BULOG. Kebijakan tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk
88
mengangkat harga gula di pasar domestik maupun untuk mengontrol volume impor. Menanggapi hal tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan tarif impor melalui
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.
230/MPP/Kep/6/1999 yang memberlakukan tarif impor gula sebesar 20 persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar.
5.2
Hasil Dugaan Model Berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, pendugaan dan
pengujian model ekonomi dengan kriteria statistik yang ada menunjukkan hasil yang
memuaskan
dimana
parameter-parameter
dalam
setiap
persamaan
memberikan tanda yang sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi. Koefisien determinasi (R2) dari masing-masing persamaan struktural berkisar antara 0,576 sampai dengan 0,9647. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variable) yang ada dalam persamaan struktural mampu menjelaskan dengan baik peubah endogen (endogenous variable). Besaran nilai statistik khususnya uji F umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 4,981 sampai dengan 227,736 yang berarti variasi peubah-peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural secara bersama -sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya pada taraf a sebesar 0,0001 dan 0,0023. Nilai statistik-t digunakan untuk menguji apakah masingmasing peubah penjelas berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Hasil statistik-t yang diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa peubah penjelas yang tidak signifikan atau tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya pada taraf a sebesar 0,01. Dalam penelitian ini, taraf a yang digunakan cukup fleksibel
89
berkisar antara 0,01 sampai dengan 0,20 dengan masing-masing simbol sebagai berikut: 1. Berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,01 (A) 2. Berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,05 (B) 3. Berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,10 (C) 4. Berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,15 (D) 5. Berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,20 (E) Berdasarkan hasil uji statistik durbin-h, persamaan yang digunakan tidak mengandung adanya autokorelasi karena nilai h-hitung lebih kecil dari tabel distribusi normal. Hasil dalam pendugaan model dalam penelitian ini dapat dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena ekonomi gula di Indonesia.
5.3
Dugaan Model Ekonometrika Setelah melakukan beberapa alternatif spesifikasi model, maka diperoleh
model harga gula domestik dan industri gula Indonesia yang terdiri dari delapan persamaan struktural dengan menggunakan data-data dari tahun 1975-2004. 5.3.1
Luas Areal Perkebunan Tebu Hasil pendugaan parameter luas areal perkebunan tebu di Indonesia dapat
dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, nilai koefisien determinasi (R2) dari model luas areal perkebunan tebu adalah sebesar 0,96467 yang artinya 96,467 persen keragaman luas areal perkebunan tebu dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel eksogen di dalam model, yaitu variabel harga provenue gula, harga dasar gabah, dan luas areal perkebunan tebu tahun sebelumnya sedangkan
90
sisanya dapat dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model tersebut dengan nilai statistik Fhitung sebesar 227,57. Dengan kata lain, bahwa model atau persamaan tersebut mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik. Tabel 4. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Luas Areal Perkebunan Tebu Variabel
Koefisien
thitung
P
Intercep HPROV HDG LLAPT R-Sq Adj R-Sq F Stat DW Stat
31257.32 0.058795 -0.11284 0.898103 0,96467 0,96044 227,57 2,27184
1,48 1,84 -2,21 22,91
0,1506 (E) 0,0781 (C) 0,0366 < 0,0001 (A)
Elastisitas Pendek Panjang 0.18 1,77 -0.15 -1,47 -
Nama Variabel Intersep Harga Provenue Gula Harga Dasar Gabah Lag LAPT
Selain itu, dapat juga diketahui bahwa luas areal perkebunan tebu berhubungan positif dengan harga provenue gula dan luas areal perkebunan tebu tahun sebelumnya. Hasil uji statistik-t menunjukkan bahwa masing-masing variabel,yaitu harga provenue gula, harga dasar gabah, dan luas areal perkebunan tebu tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap luas areal perkebunan tebu pada taraf nyata masing-masing sebesar sepuluh persen, lima persen, dan satu persen. Koefisien dugaan variabel harga provenue gula sebesar 0,058795. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan harga provenue gula sebesar satu Rupiah per ton akan meningkatkan luas areal perkebunan tebu sebesar 0,058795 hektar, cateris paribus. Luas areal perkebunan tebu juga dipengaruhi secara nyata oleh harga dasar gabah yang memiliki hubungan negatif dengan luas areal perkebunan tebu dengan koefisien dugaan sebesar 0,11284. Artinya, jika terjadi penurunan harga dasar gabah sebesar satu Rupiah per ton akan menurunkan luas areal perkebunan tebu sebesar 0,11284 hektar, cateris paribus. Hal ini disebabkan
91
tanaman padi merupakan kompetitor kuat tanaman tebu. Apabila harga dasar gabah meningkat, sementara harga provenue gula tetap, maka petani akan berfikir secara
rasional
untuk
menanam
padi
yang
bertujuan
meningkatkan
penerimaannya. Menurut Soentoro dalam Suparno (2004), dampak perubahan harga komoditas pertanian berpengaruh terhadap perubahan luas areal tanam komoditas tersebut. Artinya, respon petani terhadap perubahan harga dapat dilihat dari perubahan areal tanaman komoditas pertanian itu sendiri. Namun, respon tersebut tidak terlihat langsung pada saat terjadi perubahan harga karena penanaman komoditas pertanian hanya mungkin dilakukan pada musim selanjutnya. Hasil estimasi berdasarkan nilai elastisitas menunjukkan bahwa variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap perubahan luas areal perkebunan tebu adalah harga provenue gula dengan nilai elastisitas yang lebih besar dibandingkan nilai elastisitas variabel lainnya. Nilai elastisitas harga provenue gula di tingkat produsen baik dalam jangka pendek dan jangka panjang masing-masing sebesar 0,18 dan 1,77. Nilai ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan harga provenue gula sebesar satu persen, maka luas areal perkebunan tebu akan meningkat sebesar 0,18 persen dalam jangka pendek dan 1,77 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Nilai tersebut juga menunjukkan bahwa dalam jangka pendek luas areal perkebunan tebu tidak responsif terhadap perubahan harga provenue gula di tingkat produsen (bersifat inelastis) tetapi luas areal perkebunan tebu responsif (bersifat elastis) terhadap perubahan harga provenue gula dalam jangka panjang. Luas areal perkebunan tebu tidak responsif terhadap perubahan harga dasar gabah dalam jangka pendek dan responsif dalam jangka panjang. Hal ini
92
terlihat dari nilai elastisitasnya sebesar -0,15 dalam jangka pendek dan -1,47 dalam jangka panjang. Artinya, jika terjadi kenaikan harga dasar gabah sebesar satu persen, maka luas areal perkebunan tebu akan turun sebesar 0,15 persen dalam jangka pendek dan 1,47 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, luas areal perkebunan tebu juga dipengaruhi secara nyata oleh peubah bedakala. Koefisien dugaan luas areal perkebunan tebu tahun sebelumnya sebesar 0,898103. Artinya, setiap kenaikan luas areal perkebunan tebu tahun sebelumnya sebesar satu hektar akan meningkatkan luas areal perkebunan tebu sebesar 0,898103 hektar, cateris paribus. 5.3.2
Produktivitas Tebu Hasil pendugaan parameter dan elastisitas produktivitas tebu di Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Produktivitas Tebu Variabel
Koefisien
Intercep IMG TAR CH HDG HRIG LY R-Sq Adj R-Sq F Stat DW Stat
62,57156 -0,00001 0,000018 0,002217 -0,00003 4,59x10 -12 0,276116 0,57804 0,46294 5,02 2,304022
thitung 4,17 -2,49 2,08 0,93 -1,39 1,70 1,86
P 0,0004 (A) 0,0209 (B) 0,0491 (B) 0,3629 0,1788 (E) 0,1035 (D) 0,0766 (C)
Elastisitas Pendek Panjang -0,08 -0,11 0,03 0,03 -0,17 -0,23 -0,0004 -0,0005 -
Nama Variabel Intersep Impor Gula Tarif Impor Curah Hujan Harga Dasar Gabah Harga Impor Gula Lag Y
Berdasarkan hasil pendugaan parameter pada Tabel 5, nilai koefisien determinasi (R2) dari model produktivitas tebu sebesar 0,57804 yang menunjukkan bahwa 57,804 persen keragaman produktivitas tebu dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel eksogen, yaitu impor gula, tarif impor, curah hujan, harga dasar gabah, harga impor gula, dan produktivitas tebu
93
tahun sebelumnya, sedangkan sisanya sebesar 42,196 persen dapat dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Koefisien dugaan variabel tarif impor gula sebesar 0,000018 yang menyatakan bahwa setiap kenaikan tarif impor gula sebesar satu Rupiah per ton akan meningkatkan produktivitas tebu sebesar 0,000018 ton per hektar, cateris paribus. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori ekonomi bahwa penerapan tarif akan memperbesar harga gula impor melebihi harga dunianya dan kelebihannya itu sama dengan besaran tarif yang diterapkan sehingga para produsen gula domestik dapat menjual produknya dengan harga yang sama dengan harga dunia plus tarif ke pasar domestik (Mankiw, 2000). Oleh karena itu, para produsen masih mempunyai rangsangan untuk mengusahakan tanaman tebu. Perubahan impor gula berpengaruh nyata secara negatif terhadap produktivitas tebu, namun tidak responsif (inelastis) baik jangka pendek dan jangka panjang dengan nilai elastisitas masing-masing sebesar -0,08 dan -0,11. Artinya, jika impor gula naik satu persen akan menurunkan produktivitas tebu sebesar 0,08 persen dalam jangka pendek dan 0,11 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Hal ini disebabkan impor gula yang meningkat akan mendorong harga gula domestik menjadi turun dengan asumsi permintaan tetap, cateris paribus sehingga para produsen khususnya petani malas menanam tebu dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas tebu. Curah hujan tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan produktivitas tebu. Hal ini diduga disebabkan oleh pengelolaan tataguna air yang mulai membaik. Selain impor gula, harga dasar gabah juga berpengaruh nyata secara negatif terhadap produktivitas tebu dengan nilai elastisitas sebesar -0,17 dalam
94
jangka pendek dan -0,23 dalam jangka panjang. Artinya, jika harga dasar gabah meningkat sebesar satu persen, maka produktivitas tebu akan turun sebesar 0,17 persen dalam jangka pendek dan 0,23 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa harga dasar gabah tidak responsif baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Perubahan tarif impor, harga impor gula berpengaruh nyata secara positif terhadap produktivitas tebu tetapi tidak responsif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian ini juga membuktikan bahwa produktivitas tebu tahun sebelumnya berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas tebu dengan nilai koefisien dugaan sebesar 0,276116. Artinya, jika terjadi kenaikan produktivitas tebu tahun sebelumnya sebesar satu ton per hektar, maka produktivitas tebu akan meningkat sebesar 0,276116 ton per hektar, cateris paribus. 5.3.3
Harga Provenue Gula Koefisien determinasi (R2) dari model harga provenue gula sebesar
0,83394 yang menyatakan bahwa 83,394 persen keragaman harga provenue gula dapat diterangkan oleh variabel-variabel eksogen di dalam model, yakni harga dasar gabah, impor gula, harga gula eceran, harga dunia, dan harga provenue gula tahun sebelumnya sementara sisanya sebesar 16,606 persen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat dalam model tersebut. Hasil dugaan parameter dan elastisitas harga provenue gula dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan tabel tersebut, menunjukkan bahwa secara statistik harga provenue gula dipengaruhi secara nyata oleh harga dasar gabah, impor gula, harga gula eceran, dan harga provenue gula tahun sebelumnya dengan hubungan positif. Kebijakan harga provenue gula mulai diterapkan pemerintah sejak tahun 1975
95
sejalan dengan program TRI. Salah satu argumen penting dalam kebijakan harga provenue gula adalah memberi jaminan harga output untuk mengurangi risiko yang dihadapi oleh produsen gula, khususnya petani tebu. Harga provenue gula biasanya ditetapkan pemerintah menjelang musim tanam tebu dimulai. Dengan demikian, petani memiliki kepastian harga output sehingga petani memiliki informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan menanam tebu atau komoditas lainnya (Susila, 2005). Tabel 6. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Provenue Gula Variabel
Koefisien
thitung
P
Intercep HDG IMG PNE PW LHPROV R-Sq Adj R-Sq F Stat DW Stat
-268208 0,457433 0,063375 0,509195 0,076731 0,254941 0,83394 0,79784 23,10 1,5324
-2,15 1,67 1,71 5,09 1,18 2,05
0,0426 0,1095 (D) 0,0998 (C) < 0,0001 (A) 0,2519 0,0519 (C)
Elastisitas Pendek Panjang 0,21 0,28 0,04 0,06 0,70 0,98 -
Nama Variabel Intersep Harga Dasar Gabah Impor Gula Harga Gula Eceran Harga Gula Dunia Lag HPROV
Berdasarkan nilai elastisitas, harga dasar gabah bersifat inelastis atau tidak responsif baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan nilai elastisitas masing-masing sebesar 0,21 dan 0,28. Hal ini menyatakan bahwa jika terjadi peningkatan harga dasar gabah satu persen, maka harga provenue gula akan meningkat sebesar 0,21 persen dalam jangka pendek dan 0,28 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Harga provenue gula merupakan salah satu kebijakan harga yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka melindungi produsen atau petani tebu sehingga mereka terangsang untuk berproduksi. Menurut Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2005), harga provenue gula selalu lebih besar daripada harga dasar gabah. Oleh karena itu, kenaikan harga dasar gabah akan diikuti juga oleh kenaikan harga provenue gula.
96
Koefisien dugaan variabel impor gula sebesar 0,063375. Artinya, jika terjadi peningkatan impor gula sebesar satu ton, maka harga provenue gula akan meningkat sebesar 0,063375 Rupiah per ton, cateris paribus. Seperti terlihat dari tanda koefisien dugaannya, harga gula eceran di Indonesia berpengaruh positif terhadap harga provenue gula. Hal ini dapat dipahami karena kenaikan harga gula eceran akan mendorong peningkatan harga provenue gula. Dilihat dari nilai elastisitasnya, impor gula bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan nilai elastisitas masing-masing sebesar 0,04 dan 0,06. Artinya, jika impor gula naik sebesar satu persen, maka harga provenue gula akan meningkat sebesar 0,04 persen dalam jangka pendek dan 0,06 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Sementara itu, koefisien dugaan harga gula eceran sebesar 0,509195 yang artinya jika terjadi kenaikan harga gula eceran sebesar satu Rupiah per ton, maka harga provenue gula akan meningkat sebesar Rp 0,509195 per ton, cateris paribus. Harga gula eceran tidak responsif terhadap perubahan harga provenue gula baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal tersebut terlihat dari nilai elastisitasnya yang masing-masing sebesar 0,70 dan 0,98. Artinya, jika terjadi kenaikan harga gula eceran sebesar satu persen, maka harga provenue gula akan meningkat sebesar 0,70 persen dalam jangka pendek dan 0,98 persen dalam jangka panjang. Peubah bedakala berpengaruh nyata terhadap harga provenue gula dengan koefisien dugaannya sebesar 0,254941 yang mengindikasikan bahwa jika terjadi kenaikan harga provenue gula tahun sebelumnya sebesar satu Rupiah per ton, maka harga provenue gula akan meningkat sebesar Rp 0,254941 per ton, cateris paribus.
97
5.3.4
Stok Gula Indonesia Nilai koefisien determinasi dari model stok gula Indonesia adalah 0,75899
yang artinya keragaman dari variabel endogen mampu diterangkan oleh variabelvariabel eksogen di dalam model, seperti harga gula dunia, harga gula eceran, konsumsi gula, dan stok gula Indonesia tahun sebelumnya sebesar 75,899 persen, sedangkan sisanya sebesar 24,101 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas model stok gula Indonesia dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Stok Gula Indonesia Variabel
Koefisien
Intercep PW PNE KG LQST R-Sq Adj R-Sq F Stat DW Stat
-254940 -0,19906 0,844375 -0,12356 0,529362 0,75899 0,71882 18,89 2,28256
thitung -0,85 -1,25 3,51 -2,17 4,55
P 0,4013 0,2223 0,0018 (A) 0,0400 (B) 0,0001 (A)
Elastisitas Pendek Panjang 1,24 2,63 -0,32 -0,68 -
Nama Variabel Intersep Harga Gula Dunia Harga Gula Eceran Konsumsi Gula Lag QST
Berdasarkan hasil pendugaan parameter yang terlihat pada Tabel 7 menunjukkan bahwa harga gula eceran dan stok gula Indonesia tahun sebelumnya berpengaruh nyata secara positif dengan taraf a sebesar satu persen terhadap stok gula Indonesia. Harga gula eceran memiliki nilai elastisitas sebesar 1,24 dalam jangka pendek dan 2,63 dalam jangka panjang sehingga harga gula eceran responsif atau bersifat elastis terhadap perubahan stok gula Indonesia baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Jika terjadi kenaikan harga gula eceran sebesar satu persen, maka stok gula Indonesia meningkat sebesar 1,24 persen dalam jangka pendek dan meningkat sebesar 2,63 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Koefisien dugaan harga gula eceran sebesar 0,844375 yang
98
artinya jika harga gula eceran meningkat sebesar satu Rupiah per ton, maka stok gula Indonesia akan turun sebesar 0,844375 ton, cateris paribus. Berdasarkan Teori Harga, jika harga meningkat maka jumlah yang ditawarkan akan meningkat, cateris paribus dan demikian juga sebaliknya. Konsumsi gula berpengaruh nyata secara negatif dengan taraf a sebesar lima persen terhadap perubahan stok gula Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan koefisien dugaannya sebesar -0,12356. Artinya, jika terjadi kenaikan konsumsi gula sebesar satu ton, maka stok gula Indonesia akan turun sebesar 0,12356 ton, cateris paribus. Dilihat dari nilai elastisitasnya, konsumsi gula bersifat inelastis atau tidak responsif terhadap perubahan stok gula Indonesia baik jangka pendek (0,32) maupun jangka panjang (-0,68). Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan konsumsi gula sebesar satu persen akan menurunkan stok gula Indonesia sebesar 0,32 persen dalam jangka pendek dan 0,68 persen dalam jangka panjang. Penelitian ini juga membuktikan bahwa stok gula Indonesia tahun sebelumnya berpengaruh secara nyata terhadap stok gula Indonesia dengan nilai koefisien dugaannya sebesar 0,529362. Artinya, jika terjadi kenaikan stok gula Indonesia tahun sebelumnya sebesar satu ton, maka stok gula Indonesia akan meningkat sebesar 0,529362 ton, cateris paribus. 5.3.5
Konsumsi Gula Hasil pendugaan parameter dan elastisitas konsumsi gula dapat dilihat
pada Tabel 8. Konsumsi gula dipengaruhi oleh harga gula eceran, jumlah penduduk, produksi gula total, dan konsumsi gula tahun sebelumnya. Hasil dugaan persamaan konsumsi gula menunjukkan bahwa semua koefisien sudah
99
sesuai dengan tanda yang diharapkan dalam hipotesis dan menurut kriteria ekonomi. Tabel 8. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Gula Variabel
Koefisien
thitung
Intercep PNE POP QP LKG R-Sq Adj R-Sq F Stat DW Stat
-416558 -0,40684 0,011077 0,176033 0,475000 0,94860 0,94004 110,74 2,50493
-1,00 -2,09 2,66 1,89 2,93
P 0,3273 0,0478 (B) 0,0136 (B) 0,0711 (C) 0,0074 (A)
Elastisitas Pendek Panjang -0,23 -0,44 8,15 15,52 0,13 0,25 -
Nama Variabel Intersep Harga Gula Eceran Jumlah Penduduk Produksi Gula Total Lag KG
Nilai koefisien determinasi (R2) dari model konsumsi gula adalah 0,94860 yang artinya 94,860 persen keragaman konsumsi gula mampu diterangkan oleh keragaman variabel-variabel eksogen di dalam model, yakni harga gula eceran, jumlah penduduk, produksi gula total, dan konsumsi gula tahun sebelumnya, sedangkan sisanya 5,14 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Harga gula eceran dan jumlah penduduk berpengaruh nyata pada taraf a sebesar 0,05 persen. Produksi gula total berpengaruh nyata pada taraf a sebesar 0,1 persen, sedangkan konsumsi gula tahun sebelumnya berpengaruh nyata pada taraf a sebesar 0,01 persen. Koefisien dugaan variabel harga gula eceran adalah -0,40684. Artinya, jika terjadi kenaikan harga gula eceran sebesar satu Rupiah per ton, maka konsumsi gula akan turun sebesar 0,40684 ton, cateris paribus. Dilihat dari nilai elastisitasnya, harga gula eceran tidak responsif terhadap perubahan konsumsi gula baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan nilai elastisitasnya masing-masing sebesar -0,23 dan -0,44. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan harga gula eceran sebesar satu persen, maka konsumsi gula akan turun
100
sebesar 0,23 persen dalam jangka pendek dan 0,44 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Hal tersebut sesuai dengan Teori Harga yang menyatakan bahwa apabila harga turun maka konsumsi atau jumlah yang diminta akan meningkat. Besarnya jumlah penduduk juga ikut mempengaruhi konsumsi gula. Hasil estimasi membuktikan bahwa variabel jumlah penduduk responsif atau bersifat elastis terhadap perubahan konsumsi gula baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan nilai masing-masing sebesar 8,15 dan 15,52 yang artinya jika jumlah penduduk naik satu persen, maka konsumsi gula akan meningkat sebesar 8,15 persen dalam jangka pendek dan 15,52 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Produksi gula total juga berpengaruh nyata secara positif terhadap perubahan konsumsi gula. Hal ini dapat dibuktikan dengan nilai koefisien dugaannya sebesar 0,176033. Artinya, jika produksi gula meningkat sebesar satu ton, maka konsumsi gula akan naik sebesar 0,176033 ton, cateris paribus. Selain itu, variabel peubah bedakala yaitu konsumsi gula tahun sebelumnya juga mempengaruhi perubahan konsumsi gula dengan nilai koefisien dugaan sebesar 0,475 yang menunjukkan bahwa kenaikan konsumsi gula tahun sebelumnya sebesar satu ton akan meningkatkan konsumsi gula sebesar 0,475 ton, cateris paribus. 5.3.6
Impor Gula Persamaan dari pendugaan parameter respon jumlah impor gula dapat
dilihat pada Tabel 9. Pada tabel tersebut, dapat diketahui bahwa secara statistik jumlah impor gula dipengaruhi secara nyata oleh tarif impor, harga gula dunia, konsumsi gula, nilai tukar, dan produksi gula total. Nilai koefisien determinasi dari persamaan impor gula sebesar 0,91873. Artinya, keragaman dari variabel
101
endogen mampu diterangkan oleh variabel-variabel eksogen di dalam model, yaitu tarif impor, harga gula dunia, konsumsi gula, nilai tukar, produksi gula total, dan impor gula tahun sebelumnya sebesar 91,873 sedangkan sisanya sebesar 8,127 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain di luar model. Tabel 9. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Impor Gula Variabel
Koefisien
thitung
P
Intercep TAR PW KG ER QP LIMG R-Sq Adj R-Sq F Stat DW Stat
384455.9 -0,82948 -0,32900 0,754010 91,65131 -0,89868 0,133854 0,91783 0,89542 40,96 2,33166
1,71 -2,73 -2,00 4,38 2,40 -5,20 0,86
0,1005 (D) 0,0121 (D) 0,0577 (C) 0,0002 (A) 0,0255 (B) < 0,0001 (A) 0,4001
Elastisitas Pendek Panjang -0,15 -0,17 -0,38 -0,44 2,81 3,25 0,46 0,54 -2,46 -2,8 -
Nama Variabel Intercep Tarif Impor Gula Harga Gula Dunia Konsumsi Gula Nilai Tukar Produksi Gula Total Lag IMG
Koefisien dugaan variabel tarif impor gula sebesar -0,82948 yang artinya jika terjadi kenaikan tarif impor gula sebesar satu Rupiah per ton, maka impor gula akan turun sebesar 0,82948 ton, cateris paribus. Jika dilihat dari nilai elastisitasnya, impor gula tidak responsif terhadap perubahan impor gula baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan nilai masing-masing sebesar -0,15 dan -0,17. Artinya, jika terjadi kenaikan impor gula sebesar satu persen akan menurunkan impor gula sebesar 0,15 persen dalam jangka pendek dan 0,17 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Penerapan tarif impor yang dilakukan pemerintah Indonesia bertujuan untuk mengurangi jumlah pasokan impor gula dari negara eksportir dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan melindungi produsen atau petani tebu dari merosotnya harga gula di pasaran domestik meskipun bersifat inelastis baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa harga gula dunia bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini terlihat dari nilai
102
elastisitasnya yang masing-masing sebesar -0,38 dan -0,44. Artinya, peningkatan harga gula dunia sebesar satu persen akan mengurangi impor gula sebesar 0,38 persen dalam jangka pendek dan 0,44 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Pemerintah akan mengimpor gula dari negara lain apabila harga gula dunia lebih murah dari harga domestik sehingga masih memperoleh keuntungan. Koefisien dugaan variabel konsumsi gula sebesar 0,754010 yang artinya kenaikan konsumsi gula sebesar satu ton akan meningkatkan impor gula sebesar 0,754010 ton, cateris paribus. Variabel ini juga responsif terhadap perubahan impor gula karena memiliki nilai elastisitas sebesar 2,81 dalam jangka pendek dan 3,25 dalam jangka panjang. Artinya, jika terjadi kenaikan konsumsi gula sebesar satu persen akan meningkatkan impor gula sebesar 2,81 persen dalam jangka pendek dan 3,25 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Perdagangan internasional juga dapat terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran suatu negara. Apabila persediaan suatu barang di suatu negara tidak cukup untuk memenuhi permintaan, negara tersebut dapat mengimpor dari negara lain. Koefisien dugaan nilai tukar sebesar 91,65131 yang artinya setiap kenaikan nilai tukar sebesar satu Rupiah per Dollar Amerika akan meningkatkan impor gula sebesar 91,65131 ton, cateris paribus. Produksi gula total berpengaruh nyata secara negatif dan bersifat elastis atau responsif terhadap perubahan impor gula. Nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang produksi gula total masing-masing sebesar -2,46 dan -2,8. Artinya, setiap kenaikan produksi gula total sebesar satu persen akan menurunkan impor gula sebesar 2,46 persen dalam jangka pendek dan 2,8 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Apabila
103
persedian gula di dalam negeri tidak cukup memenuhi kebutuhan konsumsi, pemerintah dapat meningkatkan persediaan gula dengan cara mengimpor gula. 5.3.7
Harga Impor Gula Nilai koefisien determinasi dari model harga impor gula adalah 0,70614
yang artinya keragaman dari variabel endogen mampu diterangkan oleh variabelvariabel eksogen di dalam model, seperti impor gula, nilai tukar, harga gula dunia, dan harga impor gula tahun sebelumnya sebesar 70,614 persen, sedangkan sisanya sebesar 29,386 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas model harga impor gula dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Impor Gula Variabel
Koefisien
thitung
Intercep IMG ER PW LHRIG R-Sq Adj R-Sq F Stat DW Stat
-4,38x1011 1042685 -7,215x107 626190,7 0,270526 0,70614 0,65716 14,42 1,4976
-1,66 3,05 -1,37 1,81 1,47
P 0,1099 (D) 0,0055 (A) 0,1827 (E) 0,0835 (C) 0,1546 (E)
Elastisitas Pendek Panjang 100,25 137,14 -35,16 -48,2 69,11 94,73 -
Nama Variabel Intersep Impor Gula Nilai Tukar Harga Gula Dunia Lag HRIG
Pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa secara statistik variabel impor gula, harga gula dunia, harga impor gula tahun sebelumnya berpengaruh nyata secara positif dan variabel nilai tukar berpengaruh nyata secara negatif terhadap perubahan harga impor gula. Impor gula bersifat elastis terhadap perubahan harga impor gula jika dilihat dari nilai elastisitasnya. Impor gula memiliki nilai elastisitas sebesar 100,25 dalam jangka pendek dan 137,14 dalam jangka panjang. Artinya, jika terjadi kenaikan impor gula sebesar satu persen, maka harga impor gula akan meningkat sebesar 100,25 persen dalam jangka pendek dan 137,14 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Koefisien dugaan variabel nilai
104
tukar sebesar -7,215x107 yang menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar sebesar satu Rupiah per Dollar Amerika, maka harga impor gula akan turun sebesar Rp 7,215x107, cateris paribus. Sementara itu, harga gula dunia bersifat elastis terhadap perubahan harga impor gula. Nilai elastisitas harga gula dunia dalam jangka pendek dan jangka panjang masing-masing sebesar 69,11 dan 94,73. Artinya, setiap kenaikan harga gula dunia sebesar satu persen akan meningkatkan harga impor gula sebesar 69,11 persen dalam jangka pendek dan 94,73 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Selain itu, variabel peubah bedakala yaitu harga impor gula tahun sebelumnya juga mempengaruhi perubahan harga impor gula dengan nilai koefisien dugaan sebesar 0,270526 yang menunjukkan bahwa kenaikan harga impor gula tahun sebelumnya sebesar satu Rupiah per ton akan meningkatkan harga impor gula sebesar Rp 0,270526 per ton, cateris paribus. 5.3.8
Harga Gula Eceran Persamaan dari pendugaan parameter respon harga gula eceran dapat
dilihat pada Tabel 11. Pada tabel tersebut, dapat diketahui bahwa secara statistik harga gula eceran dipengaruhi secara nyata oleh harga impor gula, impor gula, harga provenue gula, nilai tukar, dan harga gula eceran tahun sebelumnya. Nilai koefisien determinasi dari persamaan impor gula sebesar 0,76667. Artinya, keragaman dari variabel endogen mampu diterangkan oleh variabel-variabel eksogen di dalam model, yaitu harga impor gula, harga gula dunia, impor gula, harga provenue gula, nilai tukar, dan harga gula eceran tahun sebelumnya sebesar 76,667 persen sedangkan sisanya sebesar 23,333 persen diterangkan oleh faktorfaktor lain di luar model. Berdasarkan Tabel 11, dapat diketahui bahwa harga
105
impor gula memiliki sifat inelastis baik jangka pendek dan jangka panjang dengan nilai elastisitas masing-masing sebesar 0,0004 dan 0,0005. Artinya, jika terjadi kenaikan harga impor gula sebesar satu persen, maka harga gula eceran akan meningkat sebesar 0,0004 persen dalam jangka pendek dan 0,0005 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga impor gula hanya mempunyai dampak yang kecil terhadap harga gula eceran. Impor gula berpengaruh nyata secara negatif terhadap perubahan harga gula eceran dengan koefisien dugaan sebesar -0,14964 yang artinya bahwa setiap kenaikan impor gula sebesar satu ton akan menurunkan harga gula eceran sebesar Rp 0,14964 per ton, cateris paribus. Tabel 11. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Gula Eceran Variabel
Koefisien
thitung
P
Intercep HRIG PW IMG HPROV ER LPNE R-Sq Adj R-Sq F Stat DW Stat
134456,8 9,977x10 -8 0,027953 -0,14964 1,084482 -20,8277 0,200242 0,76667 0,70303 12,05 1,46391
0,61 2,14 0,28 -1,65 6,44 -1,51 1,46
0,5452 0,0434 (B) 0,7849 0,1140 (D) < 0,0001 (A) 0,1453 (D) 0,1595 (E)
Elastisitas Pendek Panjang 0,0004 0,0005 -0,07 -0,08 0,76 0,95 -0,05 -0,06 -
Nama Variabel Intersep Harga Impor Gula Harga Gula Dunia Impor Gula Harga Provenue Gula Nilai Tukar Lag PNE
Sementara itu, impor gula tidak responsif terhadap perubahan harga gula eceran baik dalam jangka pendek dan jangka panjang dimana nilai elastisitasnya masing-masing sebesar -0,07 dan -0,08. Artinya, jika terjadi kenaikan impor gula sebesar satu persen, maka harga gula eceran turun sebesar 0,07 persen dalam jangka pendek dan 0,08 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Hal tersebut sesuai dengan teori ekonomi dimana semakin tinggi penawaran, ma ka harga akan turun.
106
Perubahan harga provenue berpengaruh nyata secara positif terhadap perubahan harga gula eceran yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi harga provenue gula, maka harga gula eceran akan semakin meningkat. Pihak pabrik gula sangat berkepentingan terhadap besar-kecilnya harga provenue gula karena salah satu variabel penjelas terpenting rasio keuntungan setiap pabrik gula adalah harga provenue gula ini. Harga provenue gula juga harus cukup proporsional dan rasional bagi konsumen karena harga provenue gula yang menarik akan mendorong harga gula eceran naik ke atas. Namun, respon harga provenue gula terhadap harga gula eceran bersifat inelastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Nilai elastisitasnya masing-masing sebesar 0,76 dan 0,95. Artinya, setiap kenaikan harga provenue gula sebesar satu persen akan meningkatkan harga gula eceran sebesar 0,76 persen dalam jangka pendek dan 0,95 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Menurut Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2005), harga provenue gula dari tahun ke tahun terus mangalami peningkatan sehingga mendorong harga gula eceran meningkat juga. Koefisien dugaan nilai tukar sebesar -20,8277 yang artinya setiap kenaikan nilai tukar sebesar satu Rupiah per Dollar Amerika akan meningkatkan harga gula eceran sebesar Rp 20,8277 per ton, cateris paribus. Berdasarkan nilai elastisitasnya, variabel nilai tukar tidak responsif terhadap perubahan harga gula eceran baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang dengan nilai elastisitas masing-masing sebesar 0,05 dan 0,06. Artinya, jika terjadi kenaikan nilai tukar sebesar satu persen, maka harga gula eceran akan turun sebesar 0,05 persen dalam jangka pendek dan 0,06 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Menurut Sudana et. al (2001), fluktuasi harga gula
107
eceran juga dipengaruhi oleh kebijaksanaan nilai tukar yang fleksibel yang dianut Indonesia sejak 1997. Akan tetapi, harga gula dunia tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan harga gula eceran dalam negeri. Sementara itu, variabel peubah bedakala yaitu harga gula eceran tahun sebelumnya juga mempengaruhi perubahan harga gula eceran dengan nilai koefisien dugaan sebesar 0,200242 yang menunjukkan bahwa kenaikan harga gula eceran tahun sebelumnya sebesar satu Rupiah per ton akan meningkatkan harga gula eceran sebesar Rp 0,200242 per ton, cateris paribus.
108
VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN
6.1
Hasil Validasi Model Simulasi kebijakan bertujuan untuk menganalisis dampak berbagai
alternatif kebijakan dengan cara mengubah nilai peubah kebijakannya. Sebelum melakukan alternatif simulasi kebijakan, terlebih dahulu dilakukan validasi model untuk melihat apakah nilai dugaan sesuai dengan nilai aktual masing-masing peubah endogen (Sitepu, 2000). Model harga gula domestik dan industri gula Indonesia dalam penelitian ini telah diuji dengan suatu simulasi dasar untuk periode pengamatan tahun 1975-2004. Indikator validasi statistik yang digunakan adalah Root Mean Square Error (RMSE), Root Mean Square Percent Error (RMSPE) yang berguna untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), dan Theil’s Inequality Coefficient (U) untuk mengevaluasi kemampuan model bagi analisis simulasi historis. Suatu penduga model pada umumnya dikatakan valid jika nilai RMSE, RMSPE, dan U-Theil semakin kecil. Nilai U-Theil berkisar antara nol dan satu. Jika U-Theil sama dengan nol, maka pendugaan adalah sempurna. Hasil validasi model harga gula domestik dan industri gula Indonesia dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil validasi menunjukkan semua peubah mempunyai nilai RMSE yang relatif kecil dibandingkan dengan nilai tengah aktualnya. Jumlah peubah endogen yang divalidasi sebanyak delapan peubah. Tabel tersebut juga menyajikan bahwa terdapat enam persamaan yang mempunyai nilai RMSPE lebih kecil dari 50
109
persen dan dua persamaan yang mempunyai nilai RMSPE lebih besar dari 50 persen, yaitu persamaan impor gula dan harga impor gula. Tabel 12. Hasil Validasi Model Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia Tahun 1976-2004 No Variabel RMSE RMSPE U-Theil 1 Luas Areal Perkebunan Tebu 35465,0 14,7873 0,0554 2 Produktivitas Tebu 5,1861 6,6253 0,0348 3 Harga Provenue Gula 137509 16,4956 0,0714 4 Stok Gula Indonesia 349663 47,0816 0,1785 5 Konsumsi Gula 222280 10,3835 0,0441 6 Impor Gula 243099 99,1917 0,1360 7 Harga Impor Gula 4,486x10 11 5330,3 0,2496 8 Harga Gula Eceran 180427 14,4211 0,0664 Selain RMSE dan RMSPE, kevalidan model dapat juga dilihat dari nilai statistik U-Theil yang besarnya pada model persamaan ini berkisar antara 0,0348 hingga 0,2496. Angka ini relatif kecil dan dapat dijadikan indikasi bahwa model cukup valid untuk simulasi. Hasil validasi yang menunjukkan sebagian besar RMSE dan RMSPE relatif kecil dan nilai statistik U-Theil mendekati nol dapat disimpulkan bahwa model penelitian yang dirumuskan dan telah diduga cukup valid digunakan untuk analisis simulasi alternatif kebijakan maupun non kebijakan. Penelitian ini dilakukan simulasi historik untuk periode 1976 sampai dengan 2004.
6.2
Evaluasi Dampak Alternatif Kebijakan Impor Gula Tahun 1976-2004 Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh, dilakukan simulasi kebijakan
pada persamaan harga gula domestik dan industri gula Indonesia. Simulasi kebijakan yang dilakukan antara lain kenaikan impor gula sebesar 86 persen, penurunan impor gula sebesar 98 persen, dan impor gula sebesar nol persen atau tidak mengimpor gula. Simulasi kebijakan yang dilakukan dapat menimbulkan
110
dampak positif maupun dampak negatif terhadap masing-masing peubah endogen dan dapat juga tidak mempunyai dampak terhadap peubah endogen lainnya. 6.2.1
Kebijakan Menaikkan Impor Gula Sebesar 86 Persen Dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri,
pemerintah melakukan impor gula untuk meningkatkan ketersediaan atau stok gula dalam negeri. Hasil simulasi kebijakan menaikkan impor gula sebesar 86 persen dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Dampak Alternatif Kebijakan Menaikkan Impor Gula Sebesar 86 Persen Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia Tahun 1976-2004 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Peubah Endogen Luas Areal Perkebunan Tebu Produktivitas Tebu Harga Provenue Gula Stok Gula Indonesia Konsumsi Gula Impor Gula Harga Impor Gula Harga Gula Eceran
Nilai Dasar 309668 73,5760 950929 923826 2438311 682377 6,397x10 11 1348901
Nilai Simulasi 309798 73,5750 951171 924477 2438059 682601 9,4x1011 1349227
Perubahan 130 -0,001 242 651 -252 224 3,003x10 11 326
Persen 0,04 -0,0014 0,025 0,07 -0,01 0,03 31,95 0,024
Predikat sebagai negara pengekspor gula terbesar kedua setelah Kuba yang disandang Indonesia pada sekitar tahun 1930-an ternyata tidak dapat dipertahankan. Produksi gula tidak dapat mengimbangi jumlah permintaan dalam negeri yang terus meningkat. Ketidakseimbangan pasokan atau produksi dengan permintaan gula nasional tersebut menimbulkan keharusan bagi pemerintah untuk mengimpor gula. Apabila terjadi kenaikan impor gula sebesar 86 persen, maka akan meningkatkan harga impor gula sebesar 31,95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pemerintah berupa pajak maupun bea masuk gula dan hambatan perdagangan lainnya masih sangat berpengaruh untuk memproteksi impor gula tersebut. Kenaikan harga impor tersebut ternyata meningkatkan harga gula eceran dalam negeri sebesar 0,024 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh subsidi
111
gula sudah mulai dihapuskan. Naiknya harga gula eceran ternyata berdampak pada penurunan konsumsi gula oleh masyarakat Indonesia sebesar 0,01 persen. Daya beli masyarakat mengalami penurunan karena kenaikan harga gula tersebut sementara pendapatan per kapita cenderung menurun. Kenaikan impor gula tersebut juga berdampak pada peningkatan stok gula dalam negeri sebesar 0,07 persen dan meningkatkan harga provenue gula sebesar 0,025 persen. Mulai tahun 2001 hingga sekarang, harga provenue gula tidak lagi ditentukan oleh pemerintah melalui BULOG tetapi ditentukan berdasarkan sistem lelang terbuka oleh empat importir, yaitu PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, dan PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Kenaikan harga provenue gula tersebut ternyata mendorong peningkatan luas areal perkebunan tebu sebesar 0,04 persen. Dengan harga provenue gula yang menarik atau meningkat, petani pada areal tertentu tetap mempunyai keuntungan yang layak pada usahatani tebunya. Akan tetapi, peningkatan impor gula ternyata membawa dampak negatif terhadap perubahan produktivitas tebu yang mengalami penurunan sebesar 0,0014 persen. Hal tersebut mungkin disebabkan harga gula di tingkat internasional di bawah biaya produksi gula dalam negeri, penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah. 6.2.2
Kebijakan Menurunkan Impor Gula Sebesar 98 Persen Tabel 14 menggambarkan perubahan peubah endogen yang terjadi akibat
penurunan impor gula sebesar 98 persen. Kebijakan menurunkan impor gula sebesar 98 persen akan berdampak pada penurunan harga impor gula sebesar 0,06 persen. Penurunan harga impor gula tersebut akan diikuti oleh penurunan harga gula eceran sebesar 0,03 persen. Turunnya harga gula eceran akan mendorong
112
konsumen khususnya masyarakat Indonesia untuk meningkatkan konsumsi gulanya sebesar 0,01 persen. Hal ini tentu saja berdampak pada penurunan stok gula dalam negeri sebesar 0,08 persen ditambah impor gula yang turun. Kebijakan ini bias kepada konsumen dan bukan kepada produsen dimana harga provenue gula mengalami penurunan sebesar 0,03 persen. Apabila harga provenue gula mengalami penurunan, maka petani tebu tidak mau mengusahakan atau menanam tebu dan dapat beralih kepada usahatani tanaman padi mengingat tanaman padi merupakan kompetitor kuat tanaman tebu. Penurunan harga provenue gula menyebabkan luas areal perkebunan tebu mengalami penurunan sebesar 0,05 persen. Hal ini tentu saja memukul industri gula Indonesia secara tidak langsung karena dapat mengurangi produksi tebu. Akan tetapi, produktivitas tebu justru meningkat sebesar 0,0018 persen jika impor gula diturunkan sebesar 98 persen. Kenaikan produktivitas tebu tersebut bukan disebabkan oleh perluasan areal tanaman tebu tetapi dapat juga disebabkan oleh pengenaan tarif impor gula yang mulai diberlakukan pada tahun 1999, irigasi yang cukup efisien, penemuan varietas unggul, pemberian kredit usahatani tebu dan lain sebagainya. Tabel 14. Dampak Alternatif Kebijakan Menurunkan Impor Gula Sebesar 98 Persen Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia Tahun 1976-2004 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Peubah Endogen Luas Areal Perkebunan Tebu Produktivitas Tebu Harga Provenue Gula Stok Gula Indonesia Konsumsi Gula Impor Gula Harga Impor Gula Harga Gula Eceran
Nilai Dasar 309668 73,5760 950929 923826 2438311 682377 6,397x10 11 1348901
Nilai Simulasi 309521 73.5773 950654 923085 2438598 682122 6,393x10 11 1348530
Perubahan -147 0,0013 -275 -741 287 -255 -0,004 -371
Persen -0,05 0,0018 -0,03 -0,08 0,01 -0,04 -0,06 -0,03
113
6.2.3
Kebijakan Impor Gula Sebesar Nol Persen Simulasi ini dilakukan ketika Indonesia dalam kondisi tidak mengimpor
gula sama sekali dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri secara mandiri atau berswasembada gula. Perubahan peubah endogen yang terjadi akibat Indonesia tidak mengimpor gula dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Dampak Alternatif Kebijakan Impor Gula Sebesar Nol Persen Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia Tahun 1976-2004 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Peubah Endogen Luas Areal Perkebunan Tebu Produktivitas Tebu Harga Provenue Gula Stok Gula Indonesia Konsumsi Gula Impor Gula Harga Impor Gula Harga Gula Eceran
Nilai Dasar 309668 73,5760 950929 923826 2438311 682377 6,397x10 11 1348901
Nilai Simulasi 309518 73,5773 950648 923070 2438604 682117 6,393x10 11 1348523
Perubahan -150 0,0013 -281 -756 293 -260 -0,004 -378
Persen -0,05 0,0018 -0,03 -0,08 0,01 -0,04 -0,06 -0,03
Kebijakan mengimpor gula sebesar nol persen akan berdampak positif pada peningkatan produktivitas tebu sebesar 0,0018 persen, yang selanjutnya akan meningkatkan produksi gula Indonesia. Selain itu, kebijakan tersebut juga berdampak pada penurunan harga impor gula sebesar 0,06 persen. Hal ini tentu saja berhubungan positif dengan harga gula eceran sehingga harga gula eceran mengalami penurunan sebesar 0,03 persen. Menurunnya harga gula eceran mendorong konsumen untuk meningkatkan konsumsinya baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat industri yang berorientasi gula sebagai bahan bakunya. Konsumsi gula meningkat sebesar 0,01 persen. Dampak lainnya adalah stok gula dalam negeri mengalami penurunan sebesar 0,08 persen karena stok gula dalam negeri sebagian besar dipengaruhi oleh produksi gula dalam negeri sementara untuk impor gula mengalami penurunan. Harga provenue gula mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai
114
pendorong peningkatan produksi gula. Hubungan antara harga provenue gula dan harga
dasar
gabah
merupakan
variabel
penentu
yang
penting
dalam
mengendalikan luas areal perkebunan tebu, khususnya di lahan sawah. Petani tebu dapat meningkatkan penerimaannya jika mereka memperoleh harga provenue gula yang menarik. Kebijakan impor gula sebesar nol persen ternyata membawa negatif terhadap harga provenue gula karena mengalami penurunan sebesar 0,03 persen. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap perubahan luas areal perkebunan dimana luas areal perkebunan tebu mengalami penurunan sebesar 0,05 persen. Sementara itu, produktivitas tebu mengalami peningkatan sebesar 0,018 persen. Kenaikan produktivitas tebu tersebut bukan disebabkan oleh perluasan areal tanaman tebu tetapi dapat juga disebabkan oleh irigasi yang cukup efisien, penemuan varietas unggul, pemberian kredit usahatani tebu, peningkatan upah tenaga kerja, penemuan teknologi modern, dan lain sebagainya.
6.3.
Dampak Kebijakan Impor Gula Yang Diterapkan Oleh Pemerintah Indonesia Kebijakan tataniaga impor gula yang diterapkan oleh Pemerintah
Indonesia bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri. Berdasarkan hasil analisis simulasi kebijakan, kebijakan tataniaga impor gula tidak responsif atau bersifat inelastis terhadap perubahan harga gula eceran domestik dan industri gula Indonesia. Apabila impor gula semakin tinggi akan meningkatkan stok gula Indonesia sehingga penawaran gula akan meningkat. Kenaikan penawaran gula tersebut akan menurunkan harga gula eceran dalam negeri. Menurut Susila (2005), walaupun pasar gula di pasar domestik cukup lama terisolasi oleh pasar internasional akibat peran BULOG sebagai importir tunggal,
115
harga gula di pasar internasional masih mempunyai keterkaitan dengan harga domestik. Harga gula domestik berfluktuasi mengikuti dinamika harga internasional yang bergejolak mengikuti harga musiman, dimana harga tertinggi akan terjadi pada periode Mei-Agustus dan terendah pada bulan SeptemberOktober (Sudana et. al , 2001). Salah satu faktor yang juga mempengaruhi harga gula eceran dalam negeri adalah harga gula impor dimana jika impor gula meningkat maka harga impor gula turun. Dalam hal ini, mengingat Indonesia sebagai negara pengimpor gula, maka harga gula impor memiliki pengaruh besar terhadap terbentuknya harga gula eceran dalam negeri. Menurut Susila (2005), salah satu faktor yang mempengaruhi harga gula eceran dalam negeri adalah harga impor gula yang berhubungan positif terhadap perubahan harga gula eceran. Turunnya harga gula eceran di pasar domestik ternyata membawa pengaruh yang negatif terhadap perubahan konsumsi gula domestik dimana konsumsi gula akan me ngalami peningkatan. Kenaikan konsumsi ini tidak mampu dipenuhi sepenuhnya oleh produksi dalam negeri tetapi harus dipenuhi oleh impor gula dari negara lain. Hal ini dibuktikan dimana pabrikpabrik gula di Indonesia pada saat ini tidak efisien lagi berproduksi akibat rendahnya harga gula internasional sehingga sulit bersaing dengan industri gula di luar negeri dan tidak ada perubahan dalam teknologi pergulaan. Sebagai negara importir besar, Indonesia hanya mampu menyediakan kebutuhan gula sekitar 1,5 juta ton per tahun, sedangkan kebutuhan gula mencapai sekitar 3 juta ton per tahun (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2005). Sejak tahun 1981, tataniaga gula pasir diatur dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 122/KP/III/1981 tentang Tataniaga
116
Gula Pasir Produksi Dalam Negeri yang menyebutkan BULOG melakukan pembelian gula dalam negeri guna disalurkan kepada masyarakat. Dengan dibebaskannya tataniaga gula sejak awal tahun 1998, maka harga gula eceran dalam negeri ditentukan oleh mekanisme pasar yang bersifat lelang (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2005). Seperti yang terjadi pada lelang bulan Agustus 2002 yang hanya mencapai Rp 2.650 per kg, sementara biaya produksi Rp 3.200 per kg sehingga sangat merugikan petani dan pabrik gula. Menurut Susila (2005), agar harga gula di tingkat konsumen masih wajar, pemerintah perlu mengatur jadwal impor sesuai dengan perkembangan harga gula eceran. Hal tersebut bertujuan penawaran gula dalam negeri relatif stabil. Ketika musim giling (MeiNovember), impor gula yang diizinkan dijadwalkan relatif kecil dan demikian juga sebaliknya karena impor gula masih tetap diperlukan mengingat industri gula Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri dalam jangka pendek.
117
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut: 1. Impor yang tinggi serta harga internasional yang murah telah mempersulit posisi sebagian besar pabrik gula untuk bertahan dalam industri gula nasional apalagi untuk berkembang. Impor gula semakin terbuka lebar dan membanjir semenjak pemerintah tidak lagi memberi monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis termasuk gula dan tarif impor yang ditetapkan sebesar nol persen. Kemelut pengelolaan impor gula terus berlangsung sehingga mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan tarif impor gula sebesar 20 persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar. 2. Apabila terjadi kenaikan impor gula sebesar 86 persen, maka akan meningkatkan harga impor gula, meningkatkan harga gula eceran dalam negeri, penurunan konsumsi gula oleh masyarakat Indonesia. Kenaikan impor gula tersebut juga berdampak pada peningkatan stok gula dalam negeri, meningkatkan harga provenue gula dan mendorong peningkatan luas areal perkebunan tebu serta penurunan produktivitas tebu. 3. Kebijakan menurunkan impor gula sebesar 98 persen akan berdampak pada penurunan harga impor gula dan diikuti oleh penurunan harga gula eceran, konsumsi meningkat serta berdampak pada penurunan stok gula dalam negeri. Kebijakan ini juga menyebabkan harga provenue gula
118
mengalami penurunan serta penurunan luas areal perkebunan tebu. Akan tetapi, produktivitas tebu justru meningkat. 4. Kebijakan mengimpor gula sebesar nol persen akan berdampak positif pada peningkatan produktivitas tebu. Selain itu, kebijakan tersebut juga berdampak pada penurunan harga impor gula dan penurunan harga gula eceran sehingga konsumsi gula dalam negeri meningkat. Dampak lainnya adalah stok gula dalam negeri mengalami penurunan dan harga provenue gula mengalami penurunan. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap perubahan luas areal perkebunan dimana luas areal perkebunan tebu mengalami penurunan. Sementara itu, produktivitas tebu mengalami peningkatan. 5. Kenaikan impor gula sebesar 86 persen ternyata lebih baik daripada menurunkan impor gula sebesar 98 persen dan tidak mengimpor gula karena produsen dapat meningkatkan penerimaannya sehingga mendorong untuk
meningkatkan
produksi
tebu
yang
pada
akhirnya
dapat
meningkatkan produksi gula domestik. 6. Berdasarkan hasil analisis simulasi kebijakan, kebijakan tataniaga impor gula tidak responsif atau bersifat inelastis terhadap perubahan harga gula eceran domestik dan industri gula Indonesia. Apabila impor gula semakin tinggi akan meningkatkan stok gula Indonesia sehingga penawaran gula akan meningkat. Kenaikan penawaran gula tersebut akan menurunkan harga gula eceran dalam negeri.
119
7.2.
Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disarankan
beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam usaha meningkatkan produksi gula untuk mencapai swasembada gula sebaiknya lebih difokuskan pada peningkatan produktivitas melalui pengembangan luas areal perkebunan tebu, menyediakan bantuan kredit kepada petani dengan tingkat suku bunga kredit yang lebih rendah dari suku bunga pasar, penetapan harga provenue gula yang menarik, memberdayakan petani untuk meningkatkan kualitas usahatani, fasilitasi penyediaan sarana produksi (pupuk) dengan harga yang wajar, pengenalan varietas bibit unggul serta penyuluhan penerapan inovasi teknologi dan kelembagaan. 2. Sebagai negara importir, orientasi setiap kebijakan tetap diarahkan pada semakin menguatnya daya saing industri gula domestik dalam menghadapi perkembangan liberalisasi pasar gula dunia. 3. Perlunya penguatan organisasi petani melalui model kemitraan antara petani penggarap dengan pabrik gula dalam suatu sistem usaha bersama serta adanya penelitian dan pengembangan sehingga industri gula dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. 4. Intervensi pemerintah masih tetap diperlukan untuk mengurangi dampak negatif liberalisasi perdagangan, dengan kata lain pasar gula domestik masih perlu diproteksi oleh pemerintah dari pengaruh fluktuasi harga dunia dan jumlah impor gula Indonesia.
120
DAFTAR PUSTAKA
Arianto, Muhammad. 2003. Peranan Industri Gula dalam Perekonomian Nasional dengan Pendekatan Model Input-Output. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Departemen Pertanian. Jakarta. Balai
Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula. 1981. Temu Karya Pembangunan Industri Gula. Lembaga Pendidikan Perkebunan. Jakarta.
Ball, Donald dan Wendell H. McCulloch. 2000. Bisnis Internasional. Salemba Empat. Jakarta. Daniel, Moehar. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2004. Statistik Perkebunan Indonesia Tebu 2001-2003. Departemen Pertanian. Jakarta. Doll, John dan Frank Orazem. 1984. Production Economics. John Willey & Sons, Inc. United States of America. Gonarsyah, Isang. 1983. Landasan Perdagangan Internasional. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hafsah, Mohammad Jafar. 2002. Bisnis Gula di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Halwani, Hendra. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Koutsoyiannis. 1997. Theory of Econometrics. Harper & Row Publisher Inc. New York. Krugman Paul R dan Maurice Obstfeld. 2003. Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Mahardhika, Pranaya Yudha. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Gula di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
121
Mankiw, N. Gregory. 2000. Pengantar Ekonomi. Erlangga. Jakarta. Mardianto, Sudi, Pantjar Simatupang, Prajogo U. Hadi. 2005. Peta Jalan (Road Map) dan Kebijakan Pengembangan Industri Gula Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Erlangga. Jakarta. Nopirin. 1999. Ekonomi Internasional. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Pappas, John dan Hirschey. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara. Jakarta. Pindyck, R. S. dan D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Model and Economic Forecasts. McGraw-Hill, Inc. Singapore. Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga. Jakarta. Sawit, M. Husein, P. Suharno, dan Anas Rachman. 1999. Ekonomi Gula di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. 2004. Ekonomi Gula 11 Negara Pemain Utama Dunia. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Jakarta. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. 2004. Industri Gula Indonesia dan Kebijakan Perdagangan. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. 2005. Laporan Bulan Agustus 2005. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Sitepu, Rasidin Karo-Karo. 2002. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan Terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhendratno. 2004. Analisis Peramalan dan Hubungan Antara Impor dan Harga Gula Pasir di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suparno. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Tataniaga Gula Terhadap Kesejahteraan Petani Tebu di Indonesia (Simulasi Kebijakan Pra dan Pasca Liberalisasi Perdagangan Gula). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
122
Susila, Wayan Reda. 2005. Pengembangan Industri Gula Indonesia: Analisis Kebijakan dan Keterpaduan Sistem Produksi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Widowati, Bungsu. 2003. Analisis Pengaruh Tarif Impor Gula Terhadap Industri Gula Indonesia. Skripsi. Jurusan Statistika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Widyastutik. 2005. Mungkinkah Indonesia Mencapai Swasembada Gula Secara Berkelanjutan? Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wirioatmodjo, Boedijono. 1984. Pergulaan di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang. Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula. Pasuruan. Yenni. 2005. Optimalisasi Pengadaan Tebu Sebagai Bahan Baku Gula (Studi Kasus PT. Gunung Madu Plantations, Lampung Tengah). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
123
124
Lampiran 1. Perkembangan Kebijakan Pergulaan Nasional Nomor Perihal Tujuan SK/Keppres/Kepmen Keppres No. 43/1971, 14 Pengadaan, penyaluran, dan Menjaga kestabilan pasokan Juli 1971 pemasaran gula gula sebagai bahan pokok mengenai Surat Mensekneg No. B Penguasaan, pengawasan, Penjelasan 136/ABN SEKNEG/3/74, dan penyaluran gula pasir Keppres No. 43/1971 yang meliputi gula non PNP 27 Maret 1974 Inpres No. 9/1975, 22 Intensifikasi tebu rakyat Peningkatan produksi gula April 1975 (TRI) serta peningkatan pendapatan petani tebu kelancaran Kepmen Perdagangan dan Tataniaga gula pasir dalam Menjamin pengadaan dan penyaluran Koperasi No. negeri gula pasir serta peningkatan 122/Kp/III/81, 12 Maret pendapatan petani 1981 Kepmenkeu No. Penetapan harga gula pasir Menjamin stabilitas harga, 342/KMK/ 011/1987 produksi dalam negeri dan devisa, serta kesesuaian impor pendapatan petani dan pabrik UU No. 12/1992 Budidaya tanaman Memberikan kebebasan pada petani untuk menanamkan komoditas sesuai dengan prospek pasar Inpres No. 5/1997, 29 Program pengembangan Pemberian peranan kepada Deseember 1997 tebu rakyat pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas Inpres No. 5/1998, 21 Penghentian pelaksanaan Kebebasan pada petani Januari 1998 Inpres No.5/1997 untuk me milih komoditas sesuai dengan Inpres No. 12/1992 Kepmenperindag Komoditas yang diatur Mendorong efisiensi dan No.25/MPP/Kep/1/1998 tataniaga impornya kelancaran arus barang Kepmenhutbun No. Penetapan harga provenue Menghindari kerugian 282/Kpts-IX 1999, 7 Mei gula pasir produksi petani petani dan mendorong 1999 peningkatan produksi Kepmenperindag No. Tataniaga impor gula Pengurangan beban 363/MPP/Kep/8/1999, 5 anggaran pemerintah Agustus 1999 melalui impor gula oleh produsen Kepmenperindag No. 230 Mencabut Kepmenperindag MPP/Kep/6/1999, 5 Juni No. 363/MPP/Kep/8/1999 1999 Kepmenkeu No. Perubahan bea masuk 324/KMK. 01/2002
Pembebasan tarif impor gula untuk melindungi industri dalam negeri Peningkatan efektivitas bea masuk
125
Kepmenperindag No. Tataniaga impor gula 643/MPP/Kep/9/ 2002, 23 September 2002
SK 522/MPP/Kep/9/2004
Pembatasan pelaku impor gula hanya menjadi importir gula produsen dan importir gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani/produsen Tentang ketentuan impor Revisi dan mempertegas gula esensi Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002
126
Lampiran 2. Hasil Pendugaan Parameter Model Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia dengan Metode 2SLS The SAS System
15:55 Sunday, February 12, 2006
1
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
LAPT LAPT
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 3 25 28
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 2.313E11 8.4713E9 2.398E11
Mean Square 7.711E10 3.3885E8
18407.8936 310760.690 5.92349
F Value 227.57
R-Square Adj R-Sq
Pr > F <.0001
0.96467 0.96044
Parameter Estimates Variable Intercept HPROV HDG LLAPT
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
31257.32 0.058795 -0.11284 0.898103
21078.85 0.031999 0.051083 0.039208
1.48 1.84 -2.21 22.91
0.1506 0.0781 0.0366 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation The SAS System
2.271847 29 -0.14238
15:55 Sunday, February 12, 2006
2
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
Y Y
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 6 22 28
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept IMG TAR CH HDG HRIG LY
Sum of Squares 473.2543 345.4672 864.1561
Mean Square 78.87571 15.70306
F Value 5.02
3.96271 R-Square 75.27103 Adj R-Sq 5.26459 Parameter Estimates
Pr > F 0.0022
0.57804 0.46296
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1 1 1
62.57156 -0.00001 0.000018 0.002217 -0.00003 4.59E-12 0.276116
15.01869 4.511E-6 8.453E-6 0.002386 0.000018 2.7E-12 0.148589
4.17 -2.49 2.08 0.93 -1.39 1.70 1.86
0.0004 0.0209 0.0491 0.3629 0.1788 0.1035 0.0766
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.304022 29 -0.18648
127
The SAS System
15:55 Sunday, February 12, 2006
3
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
HPROV HPROV
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 5 23 28
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 6.355E11 1.266E11 7.93E11
Mean Square 1.271E11 5.5024E9
74178.2538 952361.773 7.78887
F Value 23.10
R-Square Adj R-Sq
Pr > F <.0001
0.83394 0.79784
Parameter Estimates Variable Intercept HDG IMG PNE PW LHPROV
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1 1
-268208 0.457433 0.063375 0.509195 0.076731 0.254941
124949.4 0.274730 0.036956 0.100009 0.065293 0.124358
-2.15 1.67 1.71 5.09 1.18 2.05
0.0426 0.1095 0.0998 <.0001 0.2519 0.0519
Durbin-Watson 1.532376 Number of Observations 29 First-Order Autocorrelation 0.17322 The SAS System 15:55 Sunday, February 12, 2006
4
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
QST QST
Analysis of Variance Sum of DF Squares 4 2.547E12 24 8.087E11 Corrected Total
Source Model Error
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Mean Square F Value 6.367E11 18.89 3.369E10 28 3.378E12
183560.799 935330.724 19.62523
R-Square Adj R-Sq
Pr > F <.0001
0.75899 0.71882
Parameter Estimates Variable Intercept PW PNE KG LQST
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
-254940 -0.19906 0.844375 -0.12356 0.529362
298356.4 0.158875 0.240439 0.056911 0.116380
-0.85 -1.25 3.51 -2.17 4.55
0.4013 0.2223 0.0018 0.0400 0.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation The SAS System
2.282563 29 -0.16148
15:55 Sunday, February 12, 2006 The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
KG KG
5
128
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 4 24 28
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 1.064E13 5.763E11 1.12E13
Mean Square 2.659E12 2.401E10
154963.615 2433252.24 6.36858
F Value 110.74
R-Square Adj R-Sq
Pr > F <.0001
0.94860 0.94004
Parameter Estimates Variable Intercept PNE POP QP LKG
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
-416558 -0.40684 0.011077 0.176033 0.475000
416560.6 0.195060 0.004159 0.093212 0.162343
-1.00 -2.09 2.66 1.89 2.93
0.3273 0.0478 0.0136 0.0711 0.0074
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation The SAS System
2.504933 29 -0.25564
15:55 Sunday, February 12, 2006
6
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
IMG IMG
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 6 22 28
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 9.276E12 8.305E11 1.01E13
Mean Square 1.546E12 3.775E10
194293.854 677648.793 28.67176
F Value 40.96
R-Square Adj R-Sq
Pr > F <.0001
0.91783 0.89542
Parameter Estimates Variable Intercept TAR PW KG ER QP LIMG
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1 1 1
384455.9 -0.82948 -0.32900 0.754010 91.65131 -0.89868 0.133854
224256.9 0.303480 0.164299 0.172240 38.25983 0.172726 0.155997
1.71 -2.73 -2.00 4.38 2.40 -5.20 0.86
0.1005 0.0121 0.0577 0.0002 0.0255 <.0001 0.4001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
The SAS System
2.331656 29 -0.168
15:55 Sunday, February 12, 2006 The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
HRIG HRIG
7
129
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 4 24 28
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 1.055E25 4.391E24 1.518E25
Mean Square 2.638E24 1.83E23
4.27756E11 6.35679E11 67.29126
F Value 14.42
R-Square Adj R-Sq
Pr > F <.0001
0.70614 0.65716
Parameter Estimates Variable Intercept IMG ER PW LHRIG
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
-4.38E11 1042685 -7.215E7 626190.7 0.270526
2.636E11 341636.4 52576606 346803.5 0.184065
-1.66 3.05 -1.37 1.81 1.47
0.1099 0.0055 0.1827 0.0835 0.1546
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation The SAS System
1.497611 29 0.247074
15:55 Sunday, February 12, 2006
8
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable
PNE PNE
Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square Model 6 6.568E11 1.095E11 Error 22 1.999E11 9.0859E9 Corrected Total 28 8.651E11 Root MSE 95320.1134 R-Square Dependent Mean 1351456.95 Adj R-Sq Coeff Var 7.05314 Parameter Estimates Variable Intercept HRIG PW IMG HPROV ER LPNE
F Value 12.05
Pr > F <.0001
0.76667 0.70303
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1 1 1
134456.8 9.977E-8 0.027953 -0.14964 1.084482 -20.8277 0.200242
218814.0 4.656E-8 0.101162 0.090920 0.168280 13.79254 0.137517
0.61 2.14 0.28 -1.65 6.44 -1.51 1.46
0.5452 0.0434 0.7849 0.1140 <.0001 0.1453 0.1595
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.463912 29 0.267913
Lampiran 3. Hasil Validasi Model dan Nilai Simulasi Dasar The SAS System
14:47 Sunday, February 12, 2006
81
The SIMNLIN Procedure Model Summary
The SAS System
Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
8 8 46 Tahun 8 16 1 14:47 Sunday, February, 2006
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
AL00 HASIL
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
8 1 Tahun 1976 2004 NEWTON 1E-8 3.53E-15 1 29 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
30 1 29 2 30
82
2
Variables Solved For The SAS System
LAPT Y HPROV QST KG IMG HRIG PNE 14:47 Sunday, February 12, 2006
83
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 1976 To 2004 Descriptive Statistics Variable LAPT Y HPROV QST KG IMG HRIG PNE
Variable LAPT Y HPROV QST KG IMG HRIG PNE
N Obs
N
29 29 29 29 29 29 29 29
29 29 29 29 29 29 29 29
Actual Mean Std Dev 310761 92552.5 75.2710 5.5554 952362 168287 935331 347315 2433252 632318 677649 600531 6.357E11 7.364E11 1351457 175771 Statistics of fit
Predicted Mean Std Dev 309668 73.5760 950929 923826 2438311 682377 6.397E11 1348901
65353.8 4.1245 137431 278350 672554 580485 5.446E11 145423
N
Mean Error
Mean % Error
Mean Abs Error
Mean Abs % Error
RMS Error
RMS % Error
R-Square
29 29 29 29 29 29 29 29
-1092.2 -1.6950 -1432.7 -11504.6 5058.6 4728.7 4.0051E9 -2555.6
3.5090 -1.9493 1.8479 10.9824 -0.0388 33.6441 1125.6 1.1305
27759.0 4.0107 110485 299728 190168 189594 3.176E11 150242
10.7229 5.2152 12.5716 37.7762 8.6276 59.4299 1154.0 11.6719
35465.0 5.1861 137509 349663 222280 243099 4.486E11 180427
14.7837 6.6253 16.4956 47.0816 10.3835 99.1917 5330.3 14.4211
0.8479 0.0974 0.3085 -.0498 0.8720 0.8303 0.6156 -.0913
Theil Forecast Error Statistics
Variable LAPT Y HPROV QST KG IMG HRIG PNE
N
MSE
Corr (R)
29 29 29 29 29 29 29 29
1.2578E9 26.8961 1.891E10 1.223E11 4.941E10 5.91E10 2.013E23 3.255E10
0.95 0.50 0.60 0.37 0.94 0.91 0.79 0.36
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist (UM) (UR) (UD) 0.00 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.40 0.06 0.07 0.18 0.12 0.02 0.01 0.20
0.60 0.83 0.93 0.82 0.88 0.98 0.99 0.80
Var (US)
Covar (UC)
0.57 0.07 0.05 0.04 0.03 0.01 0.18 0.03
0.43 0.82 0.95 0.96 0.97 0.99 0.82 0.97
Inequality Coef U1 U 0.1095 0.0687 0.1423 0.3512 0.0885 0.2705 0.4658 0.1324
0.0554 0.0348 0.0714 0.1785 0.0441 0.1360 0.2496 0.0664
3
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 1976 To 2004 Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Variable LAPT Y HPROV QST KG IMG HRIG PNE
N 29 29 29 29 29 29 29 29
Relative Change Corr MSE (R) 0.0246 0.00441 0.0254 0.2691 0.0114 0.8334 11236.9 0.0200
0.72 0.58 0.64 0.42 0.38 0.72 0.16 0.66
Bias (UM)
MSE Decomposition Proportions Reg Dist Var Covar (UR) (UD) (US) (UC)
0.07 0.10 0.00 0.04 0.00 0.08 0.03 0.00
0.75 0.18 0.32 0.72 0.62 0.43 0.01 0.33
0.19 0.72 0.68 0.25 0.38 0.49 0.96 0.67
0.47 0.00 0.03 0.28 0.14 0.14 0.86 0.04
0.46 0.90 0.96 0.68 0.86 0.78 0.11 0.96
Inequality Coef U1 U 1.4600 0.9567 0.9287 1.8010 1.3054 0.9425 0.9867 0.9179
0.4754 0.4662 0.4274 0.5990 0.5372 0.3888 0.9204 0.4193
4
Lampiran 4. Hasil Simulasi Penurunan Impor Gula Sebesar 98 Persen The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 1976 To 2004 Descriptive Statistics Variable LAPT Y HPROV QST KG IMG HRIG PNE
N Obs
N
29 29 29 29 29 29 29 29
29 29 29 29 29 29 29 29
Actual Mean Std Dev 310761 75.2710 952362 935331 2433252 13553.0 6.357E11 1351457
92552.5 5.5554 168287 347315 632318 12010.6 7.364E11 175771
Predicted Mean Std Dev 309521 73.5773 950654 923085 2438598 682122 6.393E11 1348530
65381.8 4.1268 137533 277668 672211 580705 5.449E11 145322
5
Lampiran 5. Hasil Simulasi Kenaikan Impor Gula Sebesar 86 Persen The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 1976 To 2004 Descriptive Statistics Variable LAPT Y HPROV QST KG IMG HRIG PNE
N Obs
N
Mean
Actual Std Dev
29 29 29 29 29 29 29 29
29 29 29 29 29 29 29 29
310761 75.2710 952362 935331 2433252 1260427 6.357E11 1351457
92552.5 5.5554 168287 347315 632318 1116987 7.364E11 175771
Predicted Mean Std Dev 309798 73.5750 951171 924477 2438059 682601 6.4E11 1349227
65329.4 4.1225 137343 278949 672855 580300 5.442E11 145514
6
Lampiran 6. Hasil Simulasi Impor Gula Sebesar Nol Persen The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 1976 To 2004 Descriptive Statistics Variable LAPT Y HPROV QST KG IMG HRIG PNE
N Obs
N
Mean
Actual Std Dev
29 29 29 29 29 29 29 29
29 29 29 29 29 29 29 29
310761 75.2710 952362 935331 2433252 0 6.357E11 1351457
92552.5 5.5554 168287 347315 632318 0 7.364E11 175771
Predicted Mean Std Dev 309518 73.5773 950648 923070 2438604 682117 6.393E11 1348523
65382.3 4.1268 137535 277654 672204 580710 5.45E11 145319