KEBIJAKAN TATANIAGA GULA TERHADAP KETERSEDIAAN DAN HARGA DOMESTIK GULA PASIR Sugar Marketing Policy Towards Domestic Supply and the Price of the Commodity Maria Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50711
ABSTRACT As far as history is concerned, sugar-trading in Indonesia is never free from government intervention which for sure, has impacts on the national production, marketing, distribution, availability, import and price of sugar in Indonesia. Sugar-trading is not only concerned with technical problem, but rather a system which consists of many components. That are interlinked with one another, This paper is aimed to test the impact of sugar-trading policy on the supply and prices in Indonesia and to make projection of them to near rather. It uses time series data from 1970 until 2005 and Shazam for Windows Professional to analyze the data. The result indicates that land area, quantity of sugar factory, and difference between domestic price and world price are statistically significant of the supply of sugar. While the trading policies, production, consumption, world price, and exchange roles value are statistically significant in determining domestic price. Sugar trading policies directly influence on domestic price but not on supply of sugar in Indonesia. Experimental model of projection for sugar price shows an increasing trend out guarantee model on sugar production shows declining trend of production. With the analysis trend, in the future of sugar price can keep increasing and decreasing at the production of sugar. Key words : sugar-trading policy, availability, production, domestic price ABSTRAK Sepanjang sejarah, perdagangan gula di Indonesia tidak pernah lepas dari intervensi pemerintah, yang tentunya berdampak pada produksi nasional, pemasaran/ distribusi, ketersediaan, impor, harga gula dalam negeri dan sebagainya. Perdagangan gula bukan hanya masalah teknis, melainkan suatu sistem yang didalamnya banyak komponen yang saling mempengaruhi. Makalah ini bertujuan untuk menguji peranan kebijakan tataniaga gula terhadap ketersediaan dan harga gula domestik gula pasir di Indonesia serta proyeksi (trend) di masa yang akan datang. Data yang digunakan berupa data deret waktu dari tahun 1970 – 2005 yang dianalisis dengan program Shazam for Windows Profesional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan gula pasir secara nyata dipengaruhi luas area, jumlah pabrik gula, dan selisih harga domestik dengan harga dunia. Sedangkan harga gula domestik secara nyata dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga, produksi, konsumsi, harga gula dunia, dan nilai tukar rupiah/US$. Kebijakan tataniaga gula berpengaruh secara langsung terhadap harga domestik tetapi terhadap ketersediaan gula di Indonesia kebijakan ini tidak berpengaruh secara langsung. Dengan menggunakan model proyeksi eksponensial, maka pada beberapa tahun mendatang harga gula domestik (eceran) terus mengalami peningkatan. Di pihak lain, model kuadratik memproyeksikan produksi gula akan kembali mengalami penurunan. Kata kunci : kebijakan tataniaga gula, ketersediaan, produksi, harga domestik
Maria
PENDAHULUAN Gula pasir merupakan salah satu dari sembilan bahan makanan pokok yang berfungsi sebagai sumber energi/kalori bagi yang mengkonsumsinya. Di Indonesia gula pasir ini merupakan komoditas pangan strategis kedua setelah beras. Masyarakat mengkonsumsi gula sebagai sumber kalori atau lebih utamanya sebagai pemanis maupun pengawet. Upaya untuk menjaga ketersediaan gula dalam negeri diwujudkan dalam salah satu program ketahanan pangan (revitalisasi pertanian). Ketahanan pangan pada tatanan nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor. Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa Barat menyatakan perlunya Indonesia membangun ketahanan pangan yang mantap dengan memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, yaitu padi, jagung, tebu, kedelai, dan daging sapi. Harga merupakan salah satu pertimbangan bagi petani untuk memilih komoditas apa yang akan ditanam. Dalam sistuasi harga cenderung kurang menguntungkan atau lebih rendah dibanding biaya produksi, sangat besar kemungkinan petani untuk tidak memilih komoditas tersebut. Dalam konteks gula, sejak gula menjadi komoditas dengan akses ke pasar global sedemikian luasnya, perubahan sekecil apapun pada lingkungan eksternal akan berdampak terhadap terbentuknya harga gula di pasar domestik. Perlindungan petani dan industri gula menjadi sangat penting untuk menghindari perangkap harga gula yang sangat distortif (Sabil, 2004). Krisis moneter tidak hanya mempengaruhi produksi tetapi juga konsumsi gula. Pada saat krisis konsumsi gula mengalami penurunan bahkan mencapai 23,56 persen, rerata konsumsi gula dalam jangka waktu lima belas tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 1,43 persen setiap tahunnya. Penurunan konsumsi gula yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor meningkatnya harga yang menurunkan daya beli masyarakat. Seiring dengan pemulihan atau perbaikan kondisi perekonomian yang terkait dengan pendapatan masyarakat, konsumsi gula juga mengalami peningkatan kembali meskipun masih dibawah nilai konsumsi pada tahun sebelum krisis. Dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir ternyata produksi dalam negeri baru mampu mencukupi 67,02 persen kebutuhan konsumsi nasional, bahkan mulai krisis moneter sampai tahun 2003 produksi hanya 50 persen dari total konsumsi. Dengan demikian impor sekitar 33 persen harus dilakukan untuk mencukupi konsumsi masyarakat. Kebutuhan impor gula tersebut belum termasuk untuk persediaan (stok) jika terjadi lonjakan permintaan menjelang lebaran, bencana alam, dan sebagainya sekalipun tidak sepenting stok pada komoditas beras.
110
Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir
Tabel 1. Konsumsi Gula Nasional Tahun 1991 – 2005 Konsumsi Nasional % Kenaikan (ton) Konsumsi 1991 2.519.732 1992 2.435.166 -3,47 1993 2.691.856 9,54 1994 2.929.123 8,10 1995 3.170.936 7,63 1996 3.067.483 -3,37 1997 3.366.944 8,89 1998 2.724.953 -23,56 1999 2.889.171 5,68 2000 2.989.171 3,35 2001 3.150.866 5,13 2002 3.300.808 4,54 2003 3.300.811 0,00 2004 3.388.808 2,60 2005 3.439.640 1,48 Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia 2006, diolah Tahun
% Produksi terhadap Konsumsi 89,40 94,76 92,23 83,60 66,12 68,27 65,04 54,74 51,52 56,56 54,76 53,18 49,44 60,54 65,17
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, maka permintaan akan gula ini juga mengalami peningkatan. Konsumsi yang semakin bertambah ini harus segera direspon pemerintah tentang bagaimana penyediaannya (dari produksi dalam negeri, impor ataukah keduanya). Untuk memenuhi kebutuhan gula pasir yang terus meningkat, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri melalui berbagai kebijakan antara lain TRI, rehabilitasi pabrik-pabrik gula, penetapan harga provenue, dan sebagainya yang bertujuan menjaga ketersediaan gula dengan melindungi produsen dalam negeri dengan tidak merugikan konsumen. Disamping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula di pasar domestik. Bahkan dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan jauh lebih intensif dibandingkan kebijakan produksi dan input. Diantara kebijakan tersebut, Keppres No 43/1971 merupakan salah satu contoh intervensi pemerintah dalam hal pemasaran gula. Keppres tersebut pada dasarnya memberi wewenang kepada Bulog untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir (Susila, 2002). Makalah ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan-kebijakan tata niaga gula terhadap ketersediaan produksi dan harga domestik gula pasir. Tujuan berikutnya adalah untuk membangun model proyeksi produksi gula jangka pendek (2010) di Indonesia.
METODOLOGI Data Penelitian Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dari Dewan Gula Indonesia, Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik, P3GI, berbagai
111
Maria
terbitan/publikasi lain yang terkait dengan pergulaan baik cetak maupun elektronik (internet). Data yang digunakan berupa data deret waktu dari tahun 1970-2005 yang dianalisis dengan program Shazam for Windows Profesional. Data kuantitatif yang diperlukan meliputi data : produksi gula (hablur), konsumsi, stok/persediaan, impor, rendemen, luas areal tebu, produktivitas tebu, jumlah pabrik gula, harga gula domestik, harga gula dunia, IHK, GDP, nilai tukar rupiah, populasi penduduk Indonesia, dan sebagainya. Sedangkan data kualitatif yang dibutuhkan adalah sejarah/perkembangan kebijakan pergulaan yang pernah diterapkan Indonesia khususnya kebijakan tataniaga gula.
Model Analisis Untuk menganalisis pengaruh kebijakan tataniaga terhadap ketersediaan gula dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Kt = a + b1L + b2PG + b3SP + b4D1 + b5D2 + b6D3 + u Keterangan : Kt = ketersediaan gula (ton) (adalah jumlah gula pasir yang ditawarkan/tersedia di pasar domestik) a = intersep b1-b6 = koefisien regresi L = luas areal (ha) PG = jumlah/kapasitas pabrik gula SP = selisih harga gula domestik dengan harga dunia (Rp/ton) D1 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode Bulog, lainnya 0 D2 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pasar bebas, lainnya 0 D3 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pengendalian impor, lainnya 0 u = galat Untuk mengetahui pengaruh kebijakan tataniaga terhadap produksi gula, hubungan peubah dihipotesiskan sebagai berikut: Q = a + b1L + b2R + b3PG + b4D1 + b5D2 + b6D3 + u Keterangan : Q = produksi gula (ton) a = intersep b1-b6 = koefisien regresi L = luas areal (ha) R = rendemen (%) PG = jumlah/kapasitas pabrik gula
112
Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir
D1 D2 D3 u
= peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode Bulog, lainnya 0 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pasar bebas, lainnya 0 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pengendalian impor, lainnya 0 = galat
Untuk mengetahui pengaruh kebijakan tataniaga terhadap harga domestik, hipotesis yang digunakan adalah : Pd = a + b1Pi + b2ER + b3I + b4Q + b5C + b6D1 + b7D2 + b8D3 + u Keterangan : Pd = harga gula domestik (Rp/ton) (harga eceran yang berlaku yang diriilkan dengan IHK makanan) a = intersep b1-b8 = koefisien regresi Q = produksi gula (ton) C = konsumsi gula (ton) Pi = harga dunia (US$/ton) ER = nilai tukar rupiah terhadap dollar (Rp/US$) I = impor gula (ton) D1 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode Bulog, lainnya 0 D2 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pasar bebas, lainnya 0 D3 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pengendalian impor, lainnya 0 u = galat Untuk menyusun proyeksi produksi gula di masa depan, makalah ini menggunakan fungsi trend kuadratik sebagai berikut : Yt = a + bt + ct Keterangan: Yt = t = a = b,c =
2
produksi (ton) pada waktu t indeks waktu intersep koefisien regresi
dan untuk memproyeksikan harga gula, digunakan model eksternansial : log Yt = a + bt
113
Maria
Keterangan: log = Yt = t = a = b =
logaritma harga (Rp/ton) pada waktu t indeks waktu intersep koefisien regresi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketersediaan Gula Pasir Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien determinasi 0,8146. Ini berarti 81,46 persen keragaman ketersediaan gula dapat dijelaskan oleh beberapa peubah bebas (Tabel 2). Tabel 2. Hasil Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Gula Pasir di Indonesia Variabel Independen D1 D2 D3 Jumlah PG Luas Selisih Harga Konstantan 2 Adj R = 0,8146 F Hitung = 404,13*** F Tabel(1%) = 3,555
Koefisien
Error 6
-0,421.10 6 0,1268.10 -42950 51033* 51122** 0,30358* 7 -0,21.10
T hitung 6
0,3787.10 6 0,3143.10 6 0,3667.10 5 0,2763.10 2,045 1,720 -1,509 DW test = 2,1138 D h stat = -0,6667
-1,1110 0,4034 -0,1171 1,847 2,500 1,720 -1,509
Elastisitas rata-rata -0,1120 0,0077 -0,0021 1,1600 0,6523 0,0537 -0,7628
Hasil uji t menunjukkan bahwa hanya peubah luas, jumlah PG, dan selisih harga saja yang memiliki pengaruh nyata terhadap ketersediaan. Peubah luas dan jumlah kapasitas PG menunjukkan sumber ketersediaan gula dalam negeri, sedangkan selisih harga menunjukkan sumber ketersediaan gula dari luar negeri (impor). Pada tingkat rata-rata 1 persen peningkatan luas area mampu meningkatkan ketersediaan gula nasional sebesar 0,65 persen, peningkatan jumlah/kapasitas PG 1 persen menyebabkan peningkatan ketersediaan gula sebesar 1,16 persen, sedangkan peningkatan 1 persen selisih harga domestik dengan harga dunia menyebabkan ketersediaan gula naik 0,05 persen. Sementara faktor kebijakan tidak berpengaruh sama sekali terhadap ketersediaan gula. Dengan demikian ketersediaan gula Indonesia lebih dipengaruhi oleh faktor dalam negeri yang utamanya dipengaruhi oleh luas area dan efisiensi pabrik gula. Bertambahnya luas area perkebunan tebu diharapkan produksi hablur (gula) nasional akan meningkat, dengan asumsi bertambahnya luas lahan tersebut
114
Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir
disertai dengan peningkatan produktivitas tebu terutama di Jawa yang lahannya relatif lebih terbatas untuk usaha tani tebu jika dibandingkan dengan ketersediaan lahan diluar Jawa. Pemenuhan kebutuhan gula baik untuk konsumsi maupun stok (persediaan) dari produksi dalam negeri lebih elastis daripada impor. Kondisi demikian harus dimanfaatkan karena dengan sedikit perubahan yang positif (peningkatan luas area dan produktivitas, harga gula yang baik, optimalisasi PG yang ada, dukungan pemerintah, dan sebagainya) hasilnya akan jauh lebih besar daripada pemberian dukungan terhadap impor. Sebaliknya, sedikit saja perubahan yang negatif terjadi pada industri gula (hulu-hilir) terutama penurunan luas area maka akan terjadi penurunan yang cukup besar pula pada ketersediaan dari sisi produksi dalam negeri dan langkah yang diambil untuk memenuhi kebutuhan adalah dengan mengimpor. Semakin besar selisih harga gula domestik dengan harga dunia maka impor gula yang dilakukan juga semakin besar dan sebaliknya. Diharapkan pemenuhan konsumsi gula (langsung) adalah dari produksi dalam negeri, jika belum mencukupi maka kekurangan serta kebutuhan industri (konsumsi tidak langsung) dapat dipenuhi dari impor. Impor gula diharapkan dalam bentuk raw sugar sebagai bahan baku industri gula rafinasi. Impor (white sugar) dilakukan jika kondisi gula produksi dalam negeri sudah tidak mampu memenuhi permintaan konsumsi langsung dan stok untuk beberapa bulan yang sudah diperhitungkan.
Produksi Gula Nasional Hasil estimasi produksi menunjukkan bahwa salah satu peubah yang nyata mempengaruhi produksi gula nasional adalah kebijakan tataniaga pada 2 periode pengendalian impor. Ketepatan model ini ditunjukkan dengan nilai R yang disesuaikan yaitu sebesar 0,8893. Artinya 88,93 persen keragaman produksi dapat dijelaskan oleh peubah-peubah bebas independen yang ada dalam model, sedangkan 11,07 persen dijelaskan oleh peubah lain yang tidak dimasukkan dalam model tersebut (Tabel 3). Tabel 3. Hasil Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di Indonesia Peubah bebas D1 D2 D3 Luas Rendemen Jumlah PG Konstantan 2 Adj R = 0,8893 F Hitung = 47,853*** F Tabel(1%) = 3,50
Koefisien
Galat
18786 -56589 277760* 2,9772** 48985 49824** 6 -2,77.10
T hitung 5
1,46.10 5 1,56.10 5 1,63.10 0,9352 4 3,81.10 4 1,64.10 5 9,75.10 DW test = 1,7344 D h stat = 1,1371
0,1286 -0,3634 1,708 3,183 1,286 3,041 -2,842
Elastisitas rata-rata 0,0086 -0,0048 0,0188 0,578 0,2322 1,8636 -1,689
115
Maria
Hasil uji F yang nyata (99%) menunjukkan bahwa kebijakan tataniaga (tiga periode), luas area, rendemen, dan jumlah pabrik gula secara bersama-sama mempengaruhi produksi gula. Untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing peubah bebas dilakukan uji t. Pada tabel dibawah ini diketahui bahwa dari ketiga periode kebijakan tataniaga selama 36 tahun (1970 – 2005) ternyata hanya kebijakan pada periode pengendalian impor (setelah 2002) yang berpengaruh signifikan terhadap produksi gula. Kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor antara lain Kepmenperindag No.643/MPP/Kep/9/2002 yang membatasi importir (hanya Importir Produsen dan Inportir Terdaftar) yang diijinkan melakukan impor untuk melindungi/menjaga harga domestik dan pendapatan petani. Walaupun demikian, pembatasan impor tersebut disisi lain memberi peluang akan adanya impor gula ilegal yang otomatis merusak harga gula domestik. Kebijakan tersebut kemudian direvisi dalam bentuk penetapan harga gula ditingkat petani sebesar Rp 3.410/kg (Kepmenperindag No 527/MPP/Kep/9/2004), Rp 3.800/kg (Peraturan Menteri Perdagangan No. 08/M-Dag/Per/4/2005), dan Rp 4.800/kg (Permendag No. 19/MDag/Per/4/2006). Dari sisi tataniaga, kebijakan penetapan harga diatas memberikan iklim positif bagi produsen. Kebijakan pembatasan impor dilakukan agar harga domestik meningkat (karena harga gula dunia relatif lebih rendah daripada harga domestik) sehingga produsen mendapat insentif untuk meningkatkan produksinya. Dalam kurun waktu tersebut, kebijakan tataniaga didukung oleh kebijakan lainnya yaitu pada tahun 2002 Departemen Pertanian mencetuskan program akselerasi (peningkatan produksi gula) nasional. Program tersebut dilaksanakan dengan mengoptimalkan kinerja pabrik gula yang ada melalui penataan dan rehabilitasi tanaman, peralatan/mesin pabrik, manajemen pabrik gula, maupun penyehatan lembaga penelitian yang ada (P3GI). Kebijakan tataniaga gula pada periode Bulog berdampak positif terhadap produksi meskipun tidak nyata. Pada periode ini kebijakan yang lebih berperan terhadap peningkatan produksi adalah kebijakan TRI berdasarkan Inpres No. 9 tahun 1975 yang berlaku sampai dikeluarkannya UU No. 12 tahun 1992. Walaupun sebenarnya peningkatan produksi bukan dikarenakan peningkatan produktivitas maupun rendemen tetapi lebih dikarenakan oleh perluasan area perkebunan tebu baik TRIS (lahan sawah) maupun TRIT (lahan tegal). Sementara porsi produksi yang dikuasai Bulog dari PG PNP semakin kecil (60-70%) karena Bulog hanya diijinkan untuk membeli gula yang menjadi bagian dari PG PNP. Gula (TRI) dari non PNP bebas dipasarkan (30-40%). Akibatnya terjadi fluktuasi harga akibat spekulasi pedagang disamping stok gula Bulog yang semakin berkurang. Pada tahun 1990-an produksi gula semakin menurun, apalagi setelah dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 1992. Banyak petani tebu yang mengganti komoditas usahataninya dengan komoditas lain terutama beras sebagai bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Disamping itu, semakin terpencarnya lokasi perkebunan tebu yang berpengaruh terhadap produktivitas dan rendemen, kondisi PG yang sudah tua (inefisiensi), biaya pokok produksi mahal terutama pada saat krisis moneter turut memberikan pengaruh negatif terhadap produksi gula.
116
Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir
Kebijakan tataniaga pada periode perdagangan bebas berdampak negatif terhadap produksi gula dalam negeri meskipun tidak nyata (Tabel 3). Pembebasan bea masuk impor gula mengakibatkan impor gula tidak terkendali. Hal ini diperparah dengan tingginya biaya produksi gula dalam negeri akibat krisis moneter tahun 1998. Dari sisi pergulaan dunia pada saat itu terjadi surplus gula dunia (harga dunia rendah) sehingga gula dalam negeri tidak mampu bersaing dalam hal harga. Kondisi demikian mengakibatkan produsen tidak mendapat insentif untuk keberlanjutan produksinya. Luas area merupakan faktor yang nyata mempengaruhi produksi dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Pada tingkat rata-rata (1970-2005) kenaikan 1 persen luas area tebu menyebabkan kenaikan produksi hablur (gula) sebesar 5,58 persen. Artinya, luas area yang meningkat merupakan faktor utama peningkatan produksi gula. Namun demikian, peningkatan luas harus disertai dengan peningkatan produktivitasnya (intensifikasi) mengingat lahan untuk pertanian semakin terbatas, terutama di Jawa serta tebu semakin kalah bersaing dengan komoditas lain. Rendemen menunjukkan kandungan gula yang ada dalam satuan berat tebu. Waktu panen, sistem tebang, lokasi jarak ke PG, iklim serta pengelolaan usahatani sangat mempengaruhi besar kecilnya rendemen. Contoh kasus kemarau panjang akhir tahun 2006 menyebabkan penurunan produksi mencapai 15 persen (perhitungan P3GI). Rendemen tebu yang dihasilkan cukup bervariasi, begitu pula tingkat ketepatan pengukurannya. Pabrik gula yang mengukur rendemen dengan tepat mendorong petani untuk memasok tebu dengan mutu yang baik, sehingga rendemen pabrik gula juga tinggi, karena gula tidak diproduksi di pabrik melainkan ditanaman. Namun demikian dalam kurun waktu 1970 – 2005 ternyata rendemen tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap produksi hablur. Selain luas area, faktor lain yang nyata mempengaruhi produksi adalah jumlah pabrik gula yang masih giling (tingkat kepercayaan 95%). Sekarang ini di Indonesia PG yang masih giling ada 58 buah (46 di Jawa dan 12 di luar Jawa) dengan kapasitas giling rata-rata 195.810 ton tebu/hari. Masa giling biasanya pada bulan Mei sampai Oktober. Rata-rata kenaikan jumlah PG sebesar 1 persen menyebabkan produksi gula meningkat 1,86 persen. Pengaruh ini cukup besar, tetapi perlu dipertimbangkan juga bahwa biaya investasi pabrik sangat tinggi, payback period, dan ketersediaan bahan bakunya, karena luas area perkebunan tebu di Jawa yang semakin berkurang, sementara di luar Jawa banyak kendala yang membatasi perluasan areal (jenis tanah, cuaca, kondisi infrastruktur, faktor sosial ekonomi, dan sebagainya). Dengan demikian lebih baik mengoptimalkan kinerja pabrik gula pada kapasitas terpasang sebagai langkah untuk mengatasi idle capacity.
Proyeksi Produksi Gula Indonesia Dengan menggunakan model trend kuadratik sebagai model proyeksi, diperoleh koefisien determinan 0,773 dan semua peubah bebas adalah nyata secara statistik (Tabel 4).
117
Maria
Tabel 4. Koefisien Trend Kuadratik Indeks Produksi Gula di Indonesia Peubah Koefisien Case Sequence 0,177*** Case Sequence2 -0,003*** Konstanta 0,576** 2 Adj R = 0,773 F Hitung = 56,145*** Sumber : Analisis Data Sekunder Keterangan : *** = signifikan dengan tingkat kepercayaan 99% ** = signifikan dengan tingkat kepercayaan 95%
Std Error 0,023 0,001 0,186
T Hitung 7,609 -5,586 3,091
Dengan menggunakan model trend ini, maka pada tahun mendatang (proyeksi) produksi gula akan kembali mengalami penurunan. Hasil estimasi produksi gula dalam negeri sampai tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini. Agar penurunan produksi tidak kembali terjadi maka pemerintah diharapkan mampu melindungi produsen dengan berbagai kebijakan yang terkait dengan harga ditingkat petani dan pembatasan impor gula, disamping kebijakan ditingkat hulu (usahatani). Hal ini penting karena sebagian besar konsumsi gula dipenuhi dari produksi dalam negeri. Tabel 5. Hasil Proyeksi Indeks dan Produksi Hablur di Indonesia Tahun 2006 – 2010 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : Analisis Data Sekunder
Indeks 3,018 2,970 2,916 2,856 2,790
Produksi (ton) 2.137.695 2.103.696 2.065.447 2.022.948 1.976.199
Pertumbuhan produksi gula relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsinya, apalagi pertumbuhan konsumsi tidak stabil. Produksi gula bersifat musiman (produksi sekali dalam setahun dengan bulan giling pada bulan sekitar Mei-Oktober), sementara konsumsi gula setiap saat yang semakin bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Kondisi demikian mendorong pemerintah untuk melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan.
Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia Dalam sejarahnya kebijakan tataniaga gula yang paling sering dikeluarkan pemerintah adalah mengatur tentang impor dan harga. Hasil regresi model harga
118
Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir
domestik tersebut memiliki koefisien determinasi 0,9826. Artinya 98,26 persen keragaman peubah tak bebas dapat dijelaskan oleh peubah bebas dalam model, sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang belum dimasukkan dalam model (Tabel 6). Nilai F hitung sebesar 92,815 nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Berarti secara bersama-sama kebijakan tataniaga (periode Bulog, perdagangan bebas, dan pengendalian impor), produksi, impor, konsumsi, harga dunia, dan nilai tukar rupiah/US$ mempengaruhi harga domestik gula pasir di Indonesia. Tabel 6. Hasil Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia Peubah bebas D1 D2 D3 Produksi Impor Harga Dunia Konsumsi Nilai Tukar (Rp/US$) Konstanta 2 Adj R = 0,9826 F Hitung = 92,8158 F Tabel(1%) = 3,45
Koefisien 5
Galat
T hitung 5
-2,67.10 ** 1,05.10 5 4 -1,3.10 ** 5,19.10 5 4 2,01.10 *** 4,96.10 -2 -2 9,3.10 *** 3,26.10 -2 -2 -1,17.10 4,2.10 136,62** 58,17 -2 -2 5,49.10 * 3,01.10 61,575*** 14,16 5 38896 1,05.10 DW test = 1,7091 D h stat = 0,50376
-2,538 -2,501 4,503 2,857 -0,2792 2,349 1,825 4,348 0,3701
Elastisitas rata-rata -0,495 -0,0524 0,0648 0,4111 -0,0157 0,1295 0,3281 0,525 0,0973
Setelah dilakukan uji t ternyata peubah kebijakan tataniaga (periode Bulog, perdagangan bebas, dan pengendalian impor), produksi, konsumsi, harga dunia, dan nilai tukar rupiah/US$ berpengaruh nyata terhadap harga domestik. Satusatunya peubah yang tidak nyata pengaruhnya terhadap harga domestik adalah jumlah impor gula. Jadi yang mempengaruhi harga domestik bukan jumlah gula yang diimpor, tetapi lebih cenderung ke harga gula dunia dan nilai tukar (rupiah/US$). Kebijakan tataniaga gula yang mengatur tentang harga dilakukan untuk menjaga stabilitas harga domestik dengan tetap melindungi produsen atau industri pergulaan pada umumnya. Kebijakan tataniaga yang dikeluarkan pada periode Bulog berkorelasi negatif pada tingkat kepercayaan 95 persen. Adanya kebijakan ini (misal : Kebijakan penetapan harga provenue) menyebabkan penurunan harga domestik turun sebesar 49,5 persen. Kebijakan tentang harga dikeluarkan untuk melindungi produsen (jika harga di pasar terlalu rendah) atau melindungi konsumen jika terjadi gejolak harga sebagai pengaruh inflasi dan sebagainya. Kebijakan tataniaga gula periode Bulog merupakan hambatan bukan tarif (impor dan distribusi) yang mengisolasi pasar domestik dari pasar gula dunia. Harga cenderung stabil baik ditingkat konsumen maupun produsen. Namun hal ini menyebabkan inefisiensi karena margin atau selisih harga yang terjadi antara harga tingkat produsen dengan tingkat konsumen cukup besar.
119
Maria
Kebijakan tataniaga gula pada periode perdagangan bebas jelas berpengaruh negatif terhadap harga gula domestik. Dengan diserahkannya tataniaga gula ke mekanisme pasar, gula impor bebas masuk ke Indonesia. Kebijakan ini tidak efektif memproteksi industri gula nasional. Gula dunia yang terdistorsi akibat proteksi yang dilakukan oleh negara-negara produsen dengan subsidi dan sebagainya mengakibatkan harga gula dunia relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga gula domestik. Apalagi dalam kurun waktu periode kebijakan ini terjadi surplus gula dunia. Dengan adanya kebijakan ini harga gula domestik turun pada tingkat rata-rata 0,052 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen (Tabel 6). Kondisi demikian menyebabkan penurunan produksi hablur (gula) dalam negeri meskipun pengaruhnya tidak signifikan. Tidak semua kebijakan memiliki hubungan negatif terhadap harga domestik. Kebijakan tataniaga yang dikeluarkan pada periode pengendalian impor ternyata memiliki pengaruh positif terhadap harga domestik dan pengaruhnya paling nyata (tingkat kepercayaan 99%) (Tabel 6). Kebijakan ini mampu meningkatkan harga domestik 6,48%. Kebijakan tataniaga yang dikeluarkan pada periode ini antara lain : pengendalian impor dengan membatasi hanya Importir Terdaftar (IT) dan Importir Produsen (IP) yang diijinkan melakukan impor gula (Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002) dengan berbagai revisi terkait dengan penetapan harga gula ditingkat petani. Kebijakan terakhir (Peraturan Menteri Perdagangan No.19/M-DAG/PER/4/2006) menetapkan harga gula putih di tingkat petani Rp 4.800/kg. Pembatasan impor dan dukungan positif terhadap harga domestik memberikan insentif bagi produsen gula maupun pelaku industri gula untuk meningkatkan produksinya menuju swasembada gula khususnya untuk konsumsi langsung. Produksi gula memberikan pengaruh cukup nyata (99%) terhadap harga domestik. Setiap peningkatan produksi rata-rata 1 persen akan meningkatkan harga domestik 0,41 persen. Kondisi demikian merupakan anomali dari teori penawaran yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah barang yang ditawarkan maka harga yang terjadi semakin menurun. Tetapi hal ini tidak terjadi pada harga domestik gula pasir di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan ketersediaan gula pasir yang ada sebagian besar dari produksi dalam negeri yang pertumbuhan produksinya relatif lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir rata-rata produksi gula hanya mampu memenuhi 67,02 persen dari total konsumsi gula. Disamping itu pasokan gula dunia pada tahun 2004 menurun akibat kenaikan harga BBM dan reformasi kebijakan pergulaan dunia. Di Eropa negara-negara produsen gula mengkonversi produksi gula menjadi etanol. Hal itulah yang menyebabkan kondisi pergulaan dunia defisit sehingga harga gula dunia meningkat (lebih kompetitif). Harga gula dunia yang meningkat berpengaruh juga pada peningkatan harga domestik. Meskipun produksi gula beberapa tahun terakhir menunjukkan perkembangan positif, tetapi impor masih tetap dilakukan karena belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi (langsung maupun tidak langsung) dan stok. Semakin banyak jumlah impor gula yang dilakukan maka harga domestik semakin turun meskipun pengaruh ini tidak nyata. Harga domestik lebih dipengaruhi oleh harga dunia dan nilai tukar /US$.
120
Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir
Kinerja pergulaan Indonesia tidak terlepas dari kondisi pergulaan dunia dan kebijakannya. Harga gula dunia mempengaruhi harga gula domestik dengan tingkat kepercayaan 95% (Tabel 6). Pada tingkat rata-rata 1 persen kenaikan pada harga gula dunia (US$/ton) meningkatkan harga gula domestik sebesar 0,13 persen (Rp/ton). Disamping adanya peningkatan efektifitas proteksi pasca Kepmenrindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, kebijakan harga dan harga dunia yang lebih kompetitif menyebabkan peningkatan harga gula domestik. Hal ini menunjukkan adanya transimisi harga gula dunia dengan harga domestik dan integrasi pasar gula domestik dan pasar gula dunia. Dalam perdagangan internasional nilai tukar berpengaruh terhadap harga terkait dengan besarnya nilai impor maupun ekspor yang dilakukan antar negara. Nilai tukar rupiah /US$ berpengaruh nyata terhadap harga domestik gula pasir di Indonesia dengan tingkat kepercayaan 99 persen. Rata-rata 1 persen peningkatan pada nilai tukar rupiah/US$ atau pelemahan rupiah menyebabkan harga gula domestik meningkat 0,53 persen. Kondisi melemahnya rupiah terhadap US$ menjadikan pertimbangan importir karena untuk melakukan impor membutuhkan lebih banyak rupiah (harga impor dalam rupiah lebih mahal). Dengan demikian harga domestik yang terjadi pada komoditas gula ini juga meningkat. Harga yang diterima konsumen (harga eceran) mempengaruhi besar kecilnya tingkat konsumsi terhadap suatu barang dan sebaliknya. Namun besar kecilnya pengaruh harga tergantung jenis barang, elastisitas harga, dan sebagainya. Besarnya konsumsi gula dalam analisis ini juga mempengaruhi harga gula domestik dengan tingkat kepercayaan 90 persen. Peningkatan konsumsi gula sebesar 1 persen menyebabkan kenaikan harga domestik sebesar 0,33 persen. Hal ini sesuai dengan teori permintaan, yaitu semakin banyak jumlah barang yang diminta maka harga akan meningkat. Kenaikan konsumsi gula ini dikarenakan kenaikan konsumsi langsung akibat peningkatan populasi (jumlah penduduk) maupun kenaikan konsumsi tidak langsung akibat peningkatan industri makanan, minuman, farmasi, dan sebagainya. Walaupun tidak menutup kemungkinan penggunaan pemanis lain (gula non tebu maupun gula sintetis) juga mengalami peningkatan seiring dengan diversifikasi kebutuhan konsumen. Dari tahun 1975 harga gula ditingkat eceran relatif terus mengalami peningkatan. Pada periode Bulog terlihat harga eceran relatif stabil dengan tingkat pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan pada periode pengendalian impor. Pada masa perdagangan bebas, harga eceran relatif konstan dari tahun sebelumnya. Kenaikan terjadi pada tahun 1998/1999 sebagai dampak dari krisis moneter (inflasi besar-besaran pada semua barang). Kenaikan harga pada periode pengendalian impor (sampai sekarang) relatif lebih besar dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kenaikan ini karena meningkatnya harga provenue (produksi dalam negeri) sebesar Rp 4.800/kg, adanya tarif impor Rp 550/kg untuk raw sugar dan Rp 700/kg untuk white sugar, menguatnya nilai tukar rupiah dan sebagainya. Proyeksi Harga Gula Domestik Untuk mengestimasi harga domestik pada beberapa tahun ke depan dilakukan trend dengan pola eksponensial yang merupakan pola terbaik untuk
121
Maria
series data harga domestik gula pasir di Indonesia. Adapun hasilnya dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini. Tabel 7. Koefisien Trend Kuadratik Indeks Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia Variabel Case Sequence Konstanta
Koefisien
Std Error
0,110*** 1,008***
0,003 0,060
T Hitung 33,830 16,808
2
Adj R = 0,975 F Hitung = 1144,496*** Sumber : Analisis Data Sekunder Keterangan : *** = signifikan dengan tingkat kepercayaan 99%
Dengan mengikuti trend eksponensial maka pada beberapa tahun mendatang harga gula domestik (eceran) terus mengalami peningkatan. Hasil proyeksi sampai tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 8 dibawah ini. Dengan membaiknya harga gula domestik diharapkan bisa menjadi insentif bagi produsen baik petani tebu maupun pelaku industri gula untuk meningkatkan produksi gula menuju swasembada khususnya konsumsi langsung. Tabel 8. Hasil Proyeksi Indeks dan Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia Tahun 2006 – 2010 Tahun
Indeks
Harga Domestik (Rp/ton)
2006 2007 2008 2009 2010
34,04 38,00 42,42 47,35 52,86
5.615.274 6.268.135 6.996.902 7.810.399 8.718.478
Sumber : Analisis Data Sekunder
KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN
Kesimpulan 1. Ketersediaan gula pasir secara nyata dipengaruhi oleh luas area, jumlah pabrik gula, dan selisih harga domestik dengan harga dunia. Pengaruh faktor produksi dalam negeri lebih elastis daripada impor. 2. Faktor yang nyata mempengaruhi produksi gula (hablur) adalah kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor, luas area, dan jumlah pabrik gula yang masih giling.
122
Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir
3. Harga gula domestik secara nyata dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga disetiap periode, produksi, konsumsi, harga gula dunia, dan nilai tukar rupiah/US$. 4. Kebijakan tataniaga gula berpengaruh secara langsung terhadap harga domestik tetapi tidak berpengaruh secara langsung terhadap ketersediaan gula di Indonesia. Kebijakan tataniaga pengaruhnya lebih kepada produksi dan impor gula yang merupakan komponen dari ketersediaan gula nasional. 5. Kebijakan tataniaga gula periode Bulog cenderung untuk stabilisasi (menekan impor dan harga domestik untuk menjaga stabilisasi harga). Kebijakan tataniaga pada periode perdagangan bebas hanya nyata mempengaruhi harga domestik dengan pengaruh negatif. Sedangkan kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor berpengaruh nyata positif baik terhadap produksi maupun harga gula domestik.
Saran Kebijakan 1. Peningkatan intensifikasi dan ekstensifikasi usahatani tebu, efisiensi pabrik gula yang ada dan stabilisasi perekonomian (moneter yang terkait dengan nilai tukar rupiah terhadap US$) sangat diperlukan untuk memperbaiki kondisi pergulaan nasional menuju swasembada gula. 2. Untuk meningkatkan produksi di dalam negeri, dukungan terhadap produsen/industri gula sangat diperlukan. Hal ini dapat dilakukan dengan jaminan harga yang kompetitif, mengingat pengaruh produksi terhadap ketersediaan gula lebih elastis daripada impor (sinergi antara kebijakan tataniaga dengan kebijakan produksi (on farm)). 3. Kebijakan tataniaga pada periode pengendalian impor masih dapat dilanjutkan untuk membatasi impor dan proteksi terhadap produsen/industri gula nasional. Impor gula diupayakan dalam bentuk raw sugar sebagai bahan baku industri khususnya pabrik gula rafinasi maupun untuk memanfaatkan idle capacity yang ada di beberapa pabrik gula saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1997. Studi tentang Pemasaran dan Prospek Industri Gula Indonesia. PT. International Contact Business System Inc. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta. Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2009. Departemen Pertanian. Jakarta.
123
Maria
Dewan Gula Indonesia. 2005. Road Map Swasembada Gula 2005. Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Dewan Gula Indonesia. 2006. Laporan Penyusunan Pengembangan Agribisnis Gula Berbasis Tebu di Jawa Tahun 2005. Kerja sama antara DGI dengan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan. Dewan Gula Indonesia. 2006. Road Map Swasembada Gula 2006. Dirjenbun/Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Granger, C.W.J, 1980. Forecasting in Business and Economics. Academic Press Inc. USA Kholifah, E. 1995. Ekonomi Politik Perdagangan Gula di Indonesia. Tesis. Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Masyhuri, 2005. Analisis Kebijakan Pergulaan Nasional. Dalam Konsolidasi Kebijakan Pergulaan Nasional. Fakultas Pertanian. UGM. Yogyakarta. Sabil, H.M.A, 2004. Industri Gula dalam Perspektif Bisnis : Produksi dan Harga Gula. Mid Kongres IKAGI. Yogyakarta. Susila, W.R, 2002. Kebijakan Pergulaan di Beberapa Negara Produsen dan Alternatif Kebijakan Pergulaan Nasional. Prosiding Pertemuan Teknis P3GI. Pasuruan. Winarno, F.G dan Birowo, A.T, 1988. Gula dan Pemanis Buatan di Indonesia. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Jakarta.
124