II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia pada dasarnya bersifat sebagai price taker. Kondisi ini menunjukan bahwa harga gula di tingkat enceran dipengaruhi oleh harga gula di pasar Internasional. Dengan kata lain, ketika terjadi guncangan pada sisi permintaan dan penawaran di pasar dunia maka akan mempengaruhi kondisi harga gula di dalam negeri. Oleh karena itu, lebih baik pasar gula di tingkat domestik tidak sepenuhnya dilepaskan pada mekanisme pasar Internasional. Hal ini untuk menjaga fluktuasi harga gula yang tajam di pasar domestik dengan berbagai kebijakan domestik yang dilakukan pemerintah. Namun kebijakan ini diharapkan tidak menimbulkan distorsi dalam pasar domestik yang berlebihan seperti terlalu besarnya perbedaan harga domestik dan harga internasional. Oleh karena itu, berbagai kebijakan domestik juga dapat mempengaruhi harga gula di pasar domestik. Menurut Hafsah (2002), penetapan harga gula yang dilakukan oleh pemerintah secara teoritis terdiri dari tiga pendekatan yaitu : 1. Hubungan antara harga input dengan harga output. Hubungan ini menunjukan bagaimana input seharusnya dialokasikan untuk mendapatkan tingkat produksi yang memberikan keuntungan yang maksimal. Hal ini menunjukkan bahwa harga output harus lebih besar daripada biaya produksi agar biaya produksi yang dihasilkan tidak mengalami kerugian dan petani dapat mengusahakan komoditi tersebut secara layak. 2. Hubungan antara produksi suatu komoditi tidak merugikan dibandingkan dengan mengusahakan alternatif komditi lain. Hubungan ini mengarah agar sumberdaya yang ada harus digunakan untuk memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan komparatif terbesar. Oleh karena itu, dengan mempengaruhi suatu harga komoditi terhadap
9
komoditi lain maka keseimbangan produksi antar komoditi dapat dipengaruhi. 3. Hubungan antar komoditi di pasar domestik dan pasar internasional. Hubungan ini mengambarkan tingkat efisiensi dalam memproduksi komoditi di dalam negeri dan sebagai kontrol agar harga komoditi tersebut tidak mahal dibandingkan dengan harga internasional. 2.2. Tataniaga Gula Adanya pengusahaan gula dengan sistem HGU (Hak Guna Usaha) dan sistem tebu rakyat menyebabkan gula yang dihasilkan terdiri dari gula milik pabrik gula dan gula milik petani. Pada akhir proses produksi gula, pada sistem tebu rakyat pola kemitraan dilakukan pembagian hasil gula, yaitu 66 persen milik petani dan 34 persen milik pabrik gula sebagai pihak pengelola. Pasca dihapuskannya monopoli Bulog, penjualan gula milik petani dan pabrik gula dilakukan dengan dua cara yaitu mekanisme lelang dan mekanisme jual lepas. Terdapat petani yang mendukung dan tidak mendukung dengan dibebaskannya sistem tataniaga atau pemasaran gula. Petani yang mempunyai lahan yang luas mendukung sistem tersebut karena mempunyai akses pasar yang luas sehingga tidak merasa kesulitan dalam menjual gulanya. Namun petani yang memiliki lahan yang sempit dan tidak memiliki akses pasar merasa kesulitan dalam menjual gulanya. Hal ini diperburuk apabila harga gula yang terjadi di pasar mengalami fluktuasi. 2.3. Permintaan Gula Domestik Konsumsi gula dibedakan menjadi dua yaitu konsumsi langsung dan konsumsi tidak langsung. Konsumsi langsung adalah konsumsi gula oleh rumah tangga. Konsumsi tidak langsung adalah konsumsi gula yang terkandung di dalam makanan dan minuman yang dihasilkan oleh industri pengolahan makanan dan minuman. Menurut Abidin (2000) meningkatnya konsumsi gula disebabkan oleh beberapa faktor : 1. Petumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan konsumsi gula juga semakin meningkat baik yang dikonsumsi langsung maupun tidak langsung. 10
2. Perdagangan gula yang semakin meluas sejalan dengan penyebaran penduduk. Aktivitas perdagangan biasanya memerlukan sejumlah stok yang cukup untuk menjamin kelancaran aktivitas. Dengan semakin meluasnya pusat-pusat konsumen perkotaan, atau terbukanya daerahdaerah baru sebagai akibat perbaikan sistem transportasi maka permintaan gula untuk kepentingan perdagangan juga meningkat. 3. Berkembangnya industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku gula. Semakin maju suatu negara, konsumsi gula secara tidak langsung cenderung terus meningkat. Persentase konsumsi tidak langsung tersebut di negara maju mencapai sekitar 60-70 persen seperti Uni Eropa. Bank Dunia mencatat bahwa tingkat konsumsi gula oleh industri makanan dan minuman di Indonesia diperkirakan hanya sekitar 21 persen dan konsumsi langsung oleh konsumen sebesar 79 persen. 2.4. Kebijakan Impor Gula Indonesia Saat ini Indonesia menjadi negara pengimpor gula walaupun pernah menjadi negara produsen gula nomor dua di dunia. Swasembada gula yang dicapai pada tahun 1984 ternyata tidak dapat dipertahankan. Pada tahun 1985 Indonesia kembai melakukan impor gula hingga sekarang. Dengan konsumsi gula dalam negeri yang besar, pemerintah terpaksa melakukan impor gula untuk memenuhinya. Pada tahun 1999 impor gula Indonesia mencapa 55 persen dari kebutuhan gula nasional yang jumlahnya mencapai 3,4 juta ton per tahun (Haryanto 1999). Berdirinya World Trade Organisation (WTO) dan Kesepakatan Uruguay atau General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1994 menandakan dimulainya era perdagangan bebas dengan pengurangan secara bertahap berbagai bentuk hambatan tarif, non tarif, dan subsidi pertanian. Komiten Indonesia pada perundingan Uruguay Round mengandung tiga hal penting yaitu : 1. Keharusan Indonesia untuk membuka akses pasar terhadap gula impor sebesar 148.000 ton dengan bea masuk 60 persen. 2. Impor gula diatas jumlah tersebut dikenakan tarif sebesar 110 persen. 11
3. Bulog selaku State Trading Entreprise (STE) sesuai ketentuan GATT, tetap boleh berperan sebagai importir tunggal. Salah satu ketentuan yang harus dipenuhi yaitu Bulog harus mampu menjaga perbedaan harga domestik dan harga internasional tidak melebihi tarif yang diajukan sebesar 110 persen (Amang 1993). Krisis moneter pada tahun 1997 mempengaruhi perekonomian Indonesia termasuk industri gula. Melalui program pinjaman Internasional Monetary Fund (IMF), pemerintah melakukan kesepakatan dengan menandatangani Letter of Intent (LoI). IMF mensyaratkan tata niaga impor barang termasuk gula dibebaskan kepada mekanisme pasar. Untuk memenuhi kesepakatan tersebut pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan, antara lain : 1. SK Menperindag No.975/MPP/9/1998 : pemerintah membebaskan bea masuk gula dari 60 persen menjadi nol persen. 2. SK Menperindag No.505/MPP/kep/X/1998 : Impor gula dibebaskan kepada swasta tanpa bea masuk. 3. SK Menperindag No.364/MPP/kep/8/1999 : Impor gula hanya dilakukan oleh pabrik gula di Pulau Jawa untuk gula kasar dan gula putih untuk importir podusen. 4. SK Menperindag No.717/MPP/kep/12/1999 tanggal 28 Desember 1999 : Pencabutan tata niaga impor gula dimana pemerintah kembali mengenakan bea masuk impor gula sebesar 25 persen, berlaku sejak 1 Januari 2000. Berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah mendorong semakin besarnya jumlah gula impor ke Indonesia. 2.5. Penelitian Terdahulu Sunandar (2007) melakukan penelitian mengenai analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan komoditas karet alam. Hasil pada matriks kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa penguasaan karet alam di Sumatera Selatan mempunyai daya saing yang tercermin dari nilai Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio/PCR) dan keuntungan privat sebesar Rp 6.903,94 per kilogram. Nilai PCR yang kurang dari satu menunjukkan bahwa karet alam memiliki keunggulan kompetitif dan secara privat menguntungkan. Keunggulan 12
komparatif tercermin dari nilai Rasio Sumberdaya Domestik (Domestic Resources Ratio/DRC) yang kurang dari satu dan keuntungan sosial yang bernilai positif yaitu Rp 2.782,39 per kilogram. Dampak kebijakan pemerintah dalam bidang input pengusahaan karet alam di Sumatera Selatan ditunjukan oleh indikator Transfer Input (IT) dan Koefisisen Proteksi Input (Nominal Protection Coefisien on Tradable Input/NPCI). Berdasarkan nilai kedua indikator tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada penguasaan komoditas karet di Sumatera Selatan terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable. Kebijakan tersebut menguntungkan produsen karet dan merugikan produsen input tradable. Kebijakan output terlihat dari indikator Tranfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefisien on Output/NPCO). Hasil analisis menunjukkan bahwa harga output karet di pasar domestik lebih rendah dibandingkan harga yang berlaku di pasar internasional. Kebijakan input-output ditunjukkan oleh nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Tranfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan rasio subsidi produsen. Berdasarkan analisis dari nilai indikator yang dihasilkan dapat diketahui bahwa petani karet memperoleh sedikit manfaat subsidi sebagai akibat adanya kebijakan pemerintah yang kurang melindungi petani. Di samping itu, petani karet di Sumatera Selatan mendapatkan keuntungan lebih tinggi dengan adanya kebijakan pemerintah. Penelitian mengenai daya saing karet penting untuk dikaji sebagai tinjauan pustaka karena karet merupakan komoditas unggulan perkebunan Indonesia yang menyumbang devisa terbesar kedua dari subsektor perkebunan. Kondisi perkebunan Indonesia yang hampir sama mendasari asumsi bahwa daya saing tebu Indonesia sebagai komoditas perkebunan tidak akan jauh berbeda. Rahmiati (2007) menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan manggis dengan sistem perkebunan pada CV Buah Asi di Kecamatan Sukamakmur Bogor. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengusahaan manggis dengan sistem perkebunan pada CV Buah Asi tidak memiliki daya saing. Hal ini tercermin dari nilai keuntungan privat dan ekonomi yang bernilai negatif. Salah satu penyebabnya adalah dari 2000 pohon manggis yang ada, hanya 10 persen saja yang telah berbuah. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan
lebih
besar
daripada
penerimaannya.
Indikator
lain
yang 13
mencerminkan pengusahaan manggis di lokasi penelitian tidak berdaya saing baik dari keuntungan komparatif maupun kompetitifnya adalah rasio biaya dan rasio biaya sumberdaya domestik. Hasil analisis mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah lebih meningkatkan efisiensi produsen dalam berproduksi manggis. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dianalisis dari indikator transfer input, transfer faktor, dan koefisien nominal proteksi input efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable menguntungkan produsen manggis yang menggunakan input tersebut. Begitu pula dengan input domestik, tidak ada kebijakan pemerintah yang melindungi produsen input domestik. Kebijakan input dan output mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah dalam melindungi produsen manggis berjalan dengan efektif. Selain itu, kebijakan pemerintah yang ada menyebabkan produsen manggis membayar biaya produksi lebih rendah dari harga ekonominya. Penelitian yang dilakukan Anapu et al. (2003) yang diacu dalam Pearson et al. (2004) mengenai Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, membagi responden ke dalam tiga kelompok berdasarkan luas lahan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ketiga sistem usahatani yang menjadi fokus penelitian menerima keuntungan privat positif, yang sebagian besar disebabkan oleh kebijakan tarif impor. Keuntungan sosial menjadi negatif ketika biaya sosial lahan yang didefinisikan sebagai keuntungan sosial dari komoditas alternatif terbaiknya diperhitungkan. Hal ini bisa terjadi karena usahatani kacang tanah, memiliki keuntungan sosial yang lebih besar dari padi. Kabupaten Minahasa memiliki keunggulan komparatif dalam usahatani kacang tanah, dan kebijakan perberasan saat ini, yang dimaksudkan sebagai insentif bagi usahatani padi, mendistorsi sumberdaya sehingga jauh dari alokasi efisiennya. Selain itu Wiendiyati et al. (2002) yang diacu dalam Pearson et al. (2004) juga melakukan penelitian mengenai Dampak Kebijakan Tarif Impor dan Biaya Transportasi Antar Pulau terhadap Keuntungan Usahatani Kedelai di Kabupaten Ngada, Nusa Tengara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak intervensi pemerintah, yaitu berupa pemberlakuan tarif terhadap kedelai impor untuk merangsang produksi domestik. Analisis PAM menunjukkan bahwa 14
usahatani kedelai baik secara privat maupun sosial. Petani memiliki insentif yang tinggi untuk memproduksi kedelai, dan kedelai memiliki keunggulan kompetitif atas komoditas alternatifnya kacang merah. Kedelai juga menguntungkan secara sosial menunjukkan bahwa Kabupaten Ngada lebih memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi kedelai dibanding kacang merah. Selain itu, tingkat keuntungan yang positif menunjukkan bahwa penerapan tarif impor kedelai tidak diperlukan, dan hanya menciptakan distorsi bagi sektor pertanian. Koerdianto (2008) juga melakukan penelitian mengenai Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Sayuran Unggulan (Kasus Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung dan Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat). Hasil analisis dengan menggunakan PAM menunjukkan bahwa usahatani tomat dan cabe merah di kedua tempat penelitian menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi. Dampak kebijakan output terhadap usahatani tomat dan cabe merah menyebabkan usahatani tomat dan cabe merah di kedua tempat penelitian menerima harga aktual output lebih kecil dari harga sosialnya. Hasil analisis terhadap kebijakan input menunjukan bahwa pemerintah memberikan subsidi atas input asing (tradable) dan domestik (nontradable), sehingga petani menerima harga aktual input tersebut lebih murah dari yang seharusnya dibayarkan jika tanpa adanya kebijakan. Secara umum kebijakan pemerintah terhadap input-output yang ada lebih menguntungkan usahatani kedua komoditas tersebut di Kecamatan Lembang. Persamaan penelitian ini dengan ketiga penelitian diatas adalah penggunaan Policy Analysis Matriks (PAM) untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditi. Perbedaannya terletak pada komoditi yang menjadi objek penelitian serta lokasi penelitian. Sedangkan penelitian mengenai daya saing tebu pernah dilakukan oleh Saptana et al. (2002) dengan judul Efisiensi dan Daya Saing Usahatani Tebu dan Tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berdasarkan analisis dengan menggunakan Policy Analysis Matriks (PAM), diketahui biaya usahatani dan keuntungan menunjukkan bahwa usahatani tebu pada berbagai tipe irigasi dan sistem tanam memberikan keuntungan yang cukup memadai, namun masih lebih kecil dari keuntungan normal atau 20 persen dari biaya produksi. Kebijakan yang 15
terlalu protektif terhadap industri gula yang tidak dibarengi peningkatan efisiensi dan produktivitas di semua lini agribisnis dalam industri gula akan bersifat kontra produktif. Usahatani tebu baik di pedesaan contoh Kediri, Ngawi, dan Klaten tidak memiliki keunggulan komparatif dengan koefisien DRC yang lebih besar dari satu, namun masih memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan koefisien PCR yang lebih kecil dari satu. Namun keunggulan kompetitif yang dimiliki petani tebu lebih disebabkan oleh kebijakan yang cenderung protektif. Implikasinya adalah apabila tanaman tebu akan terus dikembangkan maka perlu adanya terobosan dalam menghasilkan varietas unggul bermutu, penggunaan pupuk berimbang, peningkatan efisiensi dalam industri pengolahan melalui manajemen standarisasi mutu, peningkatan efisiensi dalam distribusi melalui pengurangan berbagai distorsi yang ada serta melalui kebijakan pemerintah yang kondusif. Meskipun terdapat beberapa persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Saptana et al. (2002), tetapi penelitian ini lebih menekankan pada efek kebijakan penurunan tarif impor gula terhadap daya saing komoditi tebu. Berbedanya lokasi penelitian juga dapat memungkinkan perolehan hasil yang berbeda pula.
16