TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kucing Domestik Kucing domestik (Felis catus, Linneaus 1758) (Gambar 1) menempati sebagian besar penjuru dunia. Bukti arkeologi menunjukkan domestikasi kucing terjadi di Near East sekitar 9000 hingga 10 000 tahun yang lalu namun inisiasi domestikasi mungkin dimulai ribuan tahun yang lalu saat manusia dan nenek moyang kucing menjadi semakin saling tergantung. Proses domestikasi mungkin dimulai selama periode ketika manusia berhenti berburu kawanan hewan liar dan mengadopsi lebih banyak gaya hidup pertanian. Perubahan ini terjadi 10 000 sampai dengan 11 000 tahun yang lalu dan dimungkinkan oleh domestikasi serealia liar tertentu dan rumput-rumputan yang menyebabkan manusia membutuhkan kucing untuk mengontrol tikus yang merusak tanaman (Lipinski et al. 2007). Menurut Wastlhuber (1991) kucing domestik yang ada sekarang ini kemungkinan merupakan evolusi dari kucing liar Afrika (F. silvestris lybica) di zaman Mesir kuno sekitar 3000 hingga 4000 tahun lampau. Meskipun banyak kucing telah dipelihara, kucing tidak sepenuhnya kehilangan kemampuannya untuk berburu sehingga sifat kucing pada saat ini bervariasi, yaitu dari tidak dapat dijinakkan hingga sangat lembut (Lipinski et al. 2007). Adapun klasifikasi kucing menurut Linneaus (1758) adalah : Kingdom : Animalia Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Carnivora
Famili
: Felidae
Genus
: Felis
Spesies
: Felis catus
4
Gambar 1 Kucing domestik. Organ Reproduksi Kucing Alat kelamin jantan pada kucing terbagi dalam empat subbagian seperti karnivora pada umumnya. Subbagian pertama meliputi testis, epididimis, duktus deferens, korda spermatikus, dan tunika. Subbagian kedua terdiri dari kelenjarkelenjar asesoris, subbagian ketiga penis, dan yang terakhir uretra. Testis kucing (Gambar 2) turun dan menempati skrotum antara minggu kedua dan ketiga setelah kelahiran. Epididimis melekat pada perbatasan dorsolateral dari testis. Kaput epididimis dimulai dari medial permukaan testis, namun saat mencapai posisi dorsolateral dilanjutkan menjadi korpus dan kauda. Duktus deferens merupakan saluran berdinding otot tebal dan berfungsi menyalurkan sperma dari kauda epididimis ke dalam uretra (Schatten & Constantinescu 2007). korda spermatikus duktus deferens korpus epididimis
kauda epididimis
kaput epididimis testis
arteri testikuler
Gambar 2 Testis kucing dari sisi lateral (Schatten & Constantinescu 2007).
5
Kelenjar asesoris yang berkembang pada kucing adalah kelenjar prostat dan bulbouretralis sedangkan kelenjar vesikular tidak berkembang. Kelenjar prostat memiliki dua bagian yaitu bagian badan dan diseminasi. Kelenjar bulbouretralis bentuknya sangat kecil (memiliki diameter lebih dari 5 mm) (Schatten & Constantinescu 2007). Penis pada kucing (Gambar 3) berada di ventral skrotum. Penis disusun oleh dua buah korpora cavernosa, satu pada tiap sisi dan sebuah korpus spongiosum yang berada di tengah. Pejantan dewasa memiliki glans penis pada bagian ujung penis dengan panjang 5 sampai dengan 10 mm, berbentuk kerucut yang mengarah ke kaudal dan memiliki 120 hingga 150 buah duri penis (penile spines). Peran duri pada proses kopulasi belum diketahui secara pasti namun diperkirakan duri ini berfungsi memberikan stimulasi seksual pada jantan atau betina, menghalangi penarikan penis dari vagina atau meningkatkan stimulasi betina untuk induksi ovulasi. Os penis pada kucing berukuran panjang 3 sampai dengan 5 mm dan berada di ujung glans penis pada kucing jantan dewasa (Johnston et al. 2001).
papila kerucut
glans penis
Gambar 3 Penis kucing (Schatten & Constantinescu 2007). Spermatogenesis Spermatozoa dihasilkan dari stem sel (sel induk) melalui suatu siklik dan proses yang terorganisir serta kompleks. Proses ini disebut spermatogenesis dan terjadi di dalam tubulus seminiferus dari hewan yang dewasa seksual. Pembentukan spermatozoa adalah salah satu sistem pembaharuan paling produktif yang terjadi dalam tubuh hewan. Setiap hari jutaan spermatozoa diproduksi dari induk spermatogonium (Costa et al. 2006).
6
Proses perkembangan sel germinal jantan dari spermatogonia menjadi spermatozoa disebut spermatogenesis. Perkembangan ini terjadi di dalam tubuli seminiferi. Spermatogenesis terbagi menjadi tiga fase, yaitu spermatositogenesis (tahap proliferasi; Costa et al. 2006), meiosis dan spermiogenesis (tahap diferensiasi; Costa et al. 2006). Proses spermatositogenesis diawali dengan perkembangan sel-sel germinal primordial menjadi spermatogonia tipe A yang diploid. Sel-sel ini tetap berada dekat membran basal dan selanjutnya akan membelah. Spermatogonia tipe A secara ekstrim tahan terhadap paparan toksik dan apabila diperlukan dapat membentuk kembali sel germinal di dalam tubuli seminiferi. Beberapa spermatogonia tipe A berdiferensiasi menjadi spermatogonia tipe B diploid yang selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi spermatosit primer (spermatosit I) diploid. Sel spermatosit primer adalah produk akhir dari proses spermatositogenesis (Schatten & Constantinescu 2007). Selama fase meiosis, materi genetik spermatosit diduplikasi, direkombinasi dan dipisahkan (Costa et al. 2006). Proses ini terdiri dari dua tahap, yaitu meiosis I yang mengubah spermatosit primer menjadi spermatosit sekunder (spermatosit II) dan meiosis II yang mengubah spermatosit sekunder menjadi spermatid haploid. Spermatosit sekunder sulit ditemukan pada preparat histologi karena keberadaannya langsung menginisiasi terjadinya meiosis II (Schatten & Constantinescu 2007). Tahap akhir spermatogenesis disebut spermiogenesis yang mencakup pengembangan dari spermatid dengan bentuk membulat menjadi spermatozoa yang berbentuk memanjang dan siap untuk keluar dari tubulus seminiferus (Schatten & Constantinescu 2007). Empat peristiwa utama terjadi sebagai bagian dari tahap ini, yaitu fase golgi, fase tudung, fase akrosom, dan fase pematangan. Di akhir tahap spermiogenesis, spermatozoa yang telah matang disimpan dalam epididimis dan menunggu hingga dapat keluar dari tubuh jantan untuk melaksanakan fungsi reproduktifnya, yaitu membuahi oosit (Theunissen 2011). Meskipun proses spermatogenesis mirip dalam semua mamalia, terdapat karakteristik khusus antar spesies dalam hubungannya dengan kronologi peristiwa, proporsi volumetrik yang dihasilkan oleh komponen parenkim testis, jumlah generasi spermatogonium, populasi sel di tubulus seminiferus, produksi
7
sperma harian, tingkat sel sertoli, dan hasil spermatogenesis secara umum (Costa et al. 2006). Morfologi Spermatozoa Spermatozoa pada hewan mamalia merupakan sel panjang yang motil. Sebuah sel sperma memiliki kepala dan ekor (Gambar 4). Kepala terdiri dari sebuah nukleus dengan kepadatan tinggi, kromatin kental yang diselimuti teka perinuklear, sebuah akrosom dan membran plasma. Fungsi utama dari bagian kepala adalah untuk penetrasi pada oosit, membawa genom haploid jantan, dan inisiasi perkembangan embrionik setelah fertilisasi. Ekor dapat terbagi menjadi bagian penghubung (connecting piece), bagian tengah (midpiece), bagian utama (principle piece), dan bagian ujung (end-piece). Bagian penghubung merupakan bagian rangkaian penghubung yang pendek antar kepala dengan ekor yang terdiri dari segmen-segmen, jaringan fibrosa dan kapitulum. Bagian tengah berfungsi sebagai membran pelindung mitokondria yang merupakan pengatur energi untuk motilitas sperma. Bagian ini dimulai dari distal bagian penghubung sampai annulus (struktur yang membatasi bagian tengah dengan bagaian utama). Bagian utama ekor merupakan daerah yang dimulai dari annulus sampai ujung ekor. Secara keseluruhan, ekor berguna untuk mendorong spermatozoa bergerak melalui uterus dan tuba falopii hingga bertemu dan berpenetrasi pada oosit (Schatten & Constantinescu 2007). Berdasarkan kejadiannya, abnormalitas morfologi spermatozoa dapat dibedakan menjadi abnormalitas primer dan sekunder. Abnormalitas morfologi juga dapat dibagi berdasarkan dampaknya, yaitu abnormalitas mayor dan minor. Abnormalitas primer terjadi pada bagian kepala, bersifat genetik dan berdampak mayor terhadap fertilitas sedangkan abnormalitas sekunder umumnya terjadi pada bagian ekor dan mudah terseleksi pada pengujian motilitas (Arifiantini et al. 2010).
8
a
b
c
d
e
f
g
h
Kepala
Ekor
Gambar 4 Morfologi spermatozoa dari beberapa mamalia (a) sapi, (b) babi, (c) domba, (d) kuda, (e) anjing, (f) kucing, (g) manusia, (h) tikus (Schatten & Constantinescu 2007). Barth dan Oko (1989) mengatakan bahwa abnormalitas primer dapat terjadi karena kelainan pada saat proses spermatogenesis yang terjadi di tubuli seminiferi, sedangkan abnormalitas sekunder terjadi kerusakan spermatozoa selama perjalanan melalui epididimis, selama fase ejakulasi atau setelah ejakulasi terjadi. Kerusakan spermatozoa setelah ejakulasi bisa terjadi akibat kesalahan dalam penanganan dan perlakuan terhadap spermatozoa seperti pemanasan yang berlebihan, heat shock, kontaminasi dengan zat lain seperti air, urin dan antiseptik. Morfometri Spermatozoa Morfometri didefinisikan sebagai pengukuran bentuk. Pengkajian terhadap morfometri spermatozoa yang masih jarang dilaporkan ini perlu dilakukan untuk mengetahui karakteristik ukuran-ukuran spermatozoa pada berbagai hewan. Arruda et al. (2002) berpendapat bahwa pengetahuan terhadap morfometri spermatozoa diperlukan untuk pengkajian terhadap upaya kriopreservasi semen
9
mengingat terdapat perbedaan yang signifikan terhadap ukuran spermatozoa semen segar dengan semen yang telah mengalami kriopreservasi. Panjang spermatozoa manusia dan hewan domestik secara umum adalah sekitar 50 µm sedangkan spermatozoa rodensia dapat mencapai panjang 100 hingga 250 µm. Hewan mamalia yang memiliki spermatozoa terpanjang adalah Homey opossum (Tarsipens rostratus), yaitu sepanjang 350 µm (Schatten & Constantinescu 2007). Pewarnaan Spermatozoa Pewarnaan yang umum digunakan untuk spermatozoa adalah eosin, eosinnigrosin (EN) dan William’s. Eosin merupakan zat warna dengan sifat asam dan termasuk ke dalam kelompok molekul yang memiliki cincin kuinoid yang ditautkan pada cincin non-kuinoid melalui atom-atom C dan O. Pewarnaan EN merupakan pewarnaan ganda untuk memberikan efek kontras sehingga memberi batas yang jelas pada sel. Zat warna dasar yang digunakan dalam pewarnaan William’s adalah basic fuchsin dan eosin. Baik basic fuchsin, yang merupakan zat warna yang termasuk dalam golongan trifenil metan, maupun eosin dapat mewarnai sitoplasma (Gunarso 1989). Salah satu pewarnaan yang sering digunakan untuk spermatozoa adalah pewarnaan William’s. Pewarnaan ini mempunyai kelebihan dalam hal kejernihan hasil yang didapatkan sehingga pengamatan morfologi dan morfometri spermatozoa dapat dilakukan dengan mudah. Selain itu pewarnaan ini tidak perlu dilakukan bersamaan dengan evaluasi semen. Preparat ulas yang dikeringudarakan dari sampel yang ada dapat langsung diwarnai atau didiamkan dalam waktu yang cukup lama. Kekurangan pewarnaan William’s adalah tidak dapat digunakan untuk membedakan dan menghitung jumlah spermatozoa yang hidup dan mati seperti pada pewarnaan eosin-nigrosin (Arifiantini 2006a).