TINJAUAN PUSTAKA Botani Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth) merupakan salah satu tanaman obat-obatan yang sudah terkenal di dalam dan di luar negeri. Tanaman ini diduga berasal dari daerah Afrika, kemudian menyebar ke wilayah Georgia (Kaukasus), Kuba, Asia dan Australia. Penyebaran kumis kucing di Asia meliputi Indonesia, India, Malaysia, Vietnam dan Thailand (Mahendra dan Fauzi 2005). De Padua et al (1999) menjelaskan bahwa kumis kucing tumbuh di Pulau Jawa sejak tahun 1928. Selanjutnya tanaman ini menyebar ke pulau-pulau lain seperti Sumatera dan Sulawesi. Sentra produksi kumis kucing yaitu Jawa Tengah (Ambarawa, Kopeng dan Blora), Jawa Barat (Sukabumi dan Bogor), Jawa Timur, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh dan Sulawesi Utara. Kumis kucing termasuk tanaman tahunan yang tumbuh pada ketinggian 100150 cm. Batang berbentuk persegi empat agak beralur, berwarna hijau keunguan, bercabang dengan akar yang kuat. Sedangkan bentuk daun tunggal, bundar telur, elips atau memanjang, berambut halus, tepi bergerigi, ujung dan pangkal runcing, tipis dengan panjang 2-10 cm, lebar 1-5 cm dan berwarna hijau. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi. Bagian tanaman yang dipanen untuk dimanfaatkan sebagai obat adalah daunnya. Klon kumis kucing yang ditanam di Indonesia adalah klon berbunga putih dan ungu seperti pada Gambar 1. Menurut Dalimartha (2000) dan Anonim (2005a) bunga kumis kucing berupa tandan yang keluar di ujung cabang, berwarna ungu pucat, putih dan ada juga yang biru, benang sari lebih panjang dari tabung bunga. Buah berbentuk kotak, bulat telur dan berwarna hijau setelah tua berwarna cokelat. Bijinya kecil dan berwarna hitam. De Padua et al (1999) menjelaskan bahwa tanaman kumis kucing di berbagai daerah disebut dengan nama yang berbeda-beda, antara lain remujung (Jawa Tengah), kumis ucing (Jawa Barat), kumis kucing (Melayu), soengot koceng (Madura), mau xu cao (Cina), balbasdusa (Filipina), kapen prey (Kamboja) dan java tea (Inggris).
(a)
(b)
Gambar 1 Tanaman kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth); (a) Kumis kucing berbunga putih, (b) Kumis kucing berbunga ungu (Anonim 2005b).
Kandungan Kimia Daun Kumis Kucing Dalimartha (2000) menjelaskan bahwa daun kumis kucing mengandung banyak
komponen
bioaktif
seperti
ortosiphonin
glikosida
(glikosides
orthosiphonins), polifenol (polyphenols), minyak atsiri (atsiri oil), minyak lemak (fat oil), saponin, sapofonin, garam kalium (potassium salt (0.6-3.5%)), mioinositol, dan sinensetin. Ditambahkan oleh de Padua et al (1999), kumis kucing mengandung 12% mineral dengan kandungan paling tinggi potassium (600-700 mg per 100 g daun segar), 0.2% lipophilic flavones, sinensetin, flavonol glicosides, turunan caffeic acid (terutama rosmarinic acid dan 2,3-dicaffeoyltartaric acid), inositol, phytosterol (β-sitosterol), saponin dan 0.7% essential oil. Olah et al (2003) menemukan komponen utama daun dan ekstrak alkohol kumis kucing adalah senyawa polifenol aktif polymethoxylated flavonoid dan turunan caffeic acid. Identifikasi lebih lanjut menunjukkan adanya kandungan caffeic acid, cichoric acid, rosmarinic acid, sinensetine dan eupatorin. Menurut Loon et al (2005), penentuan tiga jenis flavonoid dari kumis kucing di dalam plasma mencit dengan metode HPLC dan dideteksi dengan sinar ultraviolet menghasilkan sinensetin, eupatorin dan 3’-hydroxy-5,6,7,4’ tetramethoxyflavone. Menurut Ohashi et al (2000), komponen kimia yang telah diisolasi dari fraksi
larut
kloroform
atau
heksana
antara
lain benzochromene
baru
(orthochromene A), dua isopimarane baru jenis diterpenes (orthosiphonone A dan orthosiphonone B) dan dua pimarane baru jenis diterpenes (neoorthosiphol A dan neoorthosiphol B) serta delapan senyawa lainnya yang telah diketahui dan ditemukannya senyawa utama methylripariochromene dari air rebusan daun kumis kucing. Schmidt dan Bos (1986) menambahkan bahwa minyak essensial (essential oil) dari daun kumis kucing mengandung senyawa β-caryophyllene, βelemene, α-humulene, β-bourbonene, 1-octen-3-ol dan caryophyllene oxide.
Khasiat Daun Kumis Kucing Daun kumis kucing berkhasiat sebagai peluruh urine (diuretik), antiradang (antiinflammasi), menghilangkan panas dan lembab, serta menghancurkan batu kandung kemih (Dalimartha 2000). Menurut Anonim (2000) dalam pengobatan tradisional daun kumis kucing dipercaya memiliki sifat antialergi, antihipertensi, anti-inflammasi dan diuretik serta digunakan juga untuk mengobati gout, diabetes dan rematik. Van deer Veen et al (1979) melaporkan bahwa senyawa kalium (potassium), inositol dan lipophilic flavones yang terdapat pada daun kumis kucing mempunyai sifat diuretik dan bakteriostatik. Sedangkan de Padua et al (1999) menyatakan sifat diuretik daun kumis kucing diberikan oleh senyawa kalium (potassium), inositol dan 3’-hydroxy-5,6,7,4’ tetramethoxyflavone, sifat anti bakteri karena adanya senyawa turunan caffeic acid dan saponin serta lipophilic flavonoid sebagai antitumor dan anti- inflammasi yang menghambat proses cyclo-oxygenase dan lipoxygenase. Khasiat daun kumis kucing sebagai diuretikum dilaporkan oleh Sari (1985), efek maksimal terhadap sifat diuretikum dari rata-rata 1 ml infus dengan kandungan 5%, 10% dan 20% daun kumis kucing berturut-turut adalah 275.22%; 376.64% dan 646.12%. Penelitian lebih lanjut pada kelinci membuktikan daun kumis kucing dapat mengatasi gangguan saluran urin karena adanya kandungan kalium yang berfungsi sebagai pelarut batu ginjal dan batu saluran kemih. Casadebaig-Lafon et al (1989) dan Beaux et al (1999) menjelaskan bahwa ekstrak air dan ekstrak alkohol dari Orthosiphon stamineus Benth juga dapat meningkatkan aktivitas diuretik pada tikus dengan meningkatnya pengeluaran urin
serta ekskresi sodium dari kandung kemih. Adapun Garnadi (1998) menambahkan bahwa potensi diuretikum daun kumis kucing lebih baik dari pada batangnya dan daun muda lebih efektif sebagai diuretikum dibandingkan daun tua. Selain itu Nirdnoy dan Muangman (1991) menyatakan bahwa penelitian farmakologis yang dilakukan terhadap responden sehat yang meminum teh kumis kucing dapat mencegah asam urat dan terbentuknya batu yang mengandung asam urat dalam kandung kemih. Anonim (2000) menyatakan bahwa senyawa bioaktif sinensetin pada daun kumis kucing menunjukkan aktivitas antibakteri dengan konsentrasi terendah penghambatan (MIC/ Minimal Inhibitory Concentration) 7.8-23.4 mg/ml. Hal ini didukung oleh Sofiani (2003) yang melaporkan bahwa senyawa sinensetin daun kumis kucing memberikan daya hambat lebih tinggi terhadap bakteri S. epidermis dari pada E. coli. Ditambahkan de Padua et al (1999) bahwa kandungan sinensetin yang tertinggi (0.4%) terdapat dalam daun kumis kucing tua dari bunga berwarna blue-violet dan yang terendah (0.1%) dalam daun kumis kucing muda dari bunga berwarna putih. Yuvadee et al (1990) melakukan penelitian mengenai toksisitas (LD50 ) daun kumis kucing, dimana pemberian dosis 1 g/kg berat badan dapat menjadi lethal untuk tikus dan mencit setelah satu injeksi intraperitoneal, tetapi tidak ditemukan adanya pengaruh yang mematikan atau merugikan dengan pemberian makan sampai 5 g/kg berat badan. Ini memperlihatkan bahwa daun kumis kucing mempunyai toksisitas yang rendah ketika diberikan secara oral pada hewan percobaan. Padilla et al (1996) menyatakan ekstrak air daun kumis kucing tidak toksik pada dosis 2000 mg/kg (2 g/kg). Selanjutnya Anonim (2002) menyatakan bahwa batas toksisitas akut Orthosiphon stamineus dengan menggunakan dosis 5 g/kg berat badan selama 14 hari menunjukkan semua tikus Spraque Dawley tetap hidup. Kusumaningrum (2005) menyatakan pemberian minuman seduhan bubuk daun kumis kucing dosis 0.3 dan 0.6 g/kg/hari menunjukkan kadar sitokrom hati tikus semakin meningkat dengan meningkatnya dosis minuman yang diberikan (0.954 dan 1.207 nmol/mg protein) dibandingkan kontrol (0.759 nmol/mg protein). Pemberian minuman seduhan ini pada dosis rendah (0.3 g/kg/ha ri) lebih dapat meningkatkan aktivitas glutation S-transferase (GST) dalam hati sehingga senyawa yang dihasilkan tidak bersifat radikal dan tidak berbahaya bagi tubuh.
Botani Bunga Kenop (Gomphrena globosa L.) Gomphrena globosa merupakan salah satu jenis tanaman yang berasal dari famili Amaranthaceae. Tanaman ini banyak dijumpai di Panama dan Guatemala, tetapi di Indonesia juga telah banyak dibudidayakan. Nama daerah dari bunga kenop adalah bunga kenop, kembang puter, ratnapakaja (Sumatera dan Melayu), bunga kancing, adas-adasan (Jawa), taimantulu (Sulawesi) dan ratna (Bali) (Dalimartha 2000).
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 2 Tanaman bunga kenop (Gomphrena globosa L.); (a) Bunga kenop putih, (b) Bunga kenop merah jambu, (c) Bunga kenop orange, dan (d) Bunga kenop merah tua keunguan (Anonim 2006). Bunga kenop berasal dari Amerika tropis dan dapat tumbuh pada ketinggian 1-1300 m dari permukaan laut dan termasuk kedalam tanaman semusim. Batangnya berwarna hijau kemerahan, membesar pada ruas percabangan. Berdaun tunggal, bertangkai pendek dengan bentuk memanjang, ujung meruncing, tepi
rata, berwarna hijau, berambut kasar yang berwarna putih di permukaan atas dan berambut halus di permukaan bawah. Bunga tunggal dan berbentuk bulat seperti bola dengan beberapa warna seperti putih, merah jambu, orange, dan merah tua keunguan. Sedangkan buahnya kotak berbentuk segitiga yang dibungkus lapisan tipis berwarna putih dan berbiji satu (Gambar 2).
Kandungan Kimia Bunga Kenop Bunga kenop memiliki kandungan kimia yang khas yaitu Gomphrenin I, Gomphrenin II, Gomphrenin III, Gomphrenin V, Gomphrenin VI, amaranthin, minyak atsiri, flavon, atau saponin (Dalimartha 2000). Cai et al (2001) melaporkan bahwa bunga Amaranthaceae banyak mengandung komponen pigmen alami betasianin. Pada bunga kenop kandungan betasianin sebesar 1.3 mg/g bunga segar. Betasianin ini terdiri dari komponen gomphrenin I (betanidin 6-O-ß-glukosida) sebesar 16.9%, isogomphrenin I (isobetanidin 6-O-ß-glukosida) sebesar 8.8%, gomphrenin II (betanidin 6-O-(6’-O-E-4-coumarooyl)-ß-glukosida) sebesar 11.1%, isogomphrenin II (isobetanidin 6-O-(6’-O-E-4-coumarooyl)-ß-glukosida sebesar 3.5%, gomphrenin III (betanidin 6-O-(6’-O-E-4-feruroyl)-ß-glukosida sebesar 40.8%, isogomphrenin III (isobetanidin 6-O-(6’-O-E-4-feruroyl)-ß-glukosida) sedangkan komponen yang paling sedikit adalah amaranthine. Struktur kimia gomphrenin disajikan pada Gambar 3. Pigmen betasianin dikenal juga dengan nama betalain. Betalain adalah grup komponen warna yang mendekati warna visual flavono id yaitu kuning dan antosianin yaitu kemerah- merahan. Betalain terdapat juga pada buah kaktus, bunga bougenville dan amaranthus. Lebih kurang 70 jenis betalain yang telah dikenal dan semuanya mempunyai struktur yang sama yaitu 1,7-diazoheptamethyn (Cai et al 2001). Wettasinghe et al (2002) menjelaskan bahwa betasianin merupakan pigmen alami yang dapat larut di dalam air dan berwarna red-violet. Di dalam tanaman terdapat dalam bentuk glikosida yang membentuk ester dengan monosakarida. Betasianin pertama kali diisolasi dan diidentifikasi dari gula bit (Beta vulgaris) dan sudah dapat dimanfaatkan sebagai pigmen alami pada bahan pangan. Betasianin dari gula bit ternyata dapat menaikkan enzim fase II secara in vitro. Cai et al (2001)
menambahkan bahwa betasianin merah (betanin dan amaranthin) bersifat tahan terhadap panas dalam sistem buffer, tetapi bersifat tidak stabil pada suhu diatas 40oC dan bersifat lebih stabil pada suhu 40o C tanpa adanya udara dan cahaya.
Gambar 3 Struktur kimia komponen gomphrenin dan isogomphrenin (Cai et al 2001). Khasiat Bunga Kenop Bunga kenop berkhasiat sebagai obat batuk, obat sesak nafas (asma), peluruh dahak (ekspektoran), obat radang mata, disentri, panas pada anak, penambah nafsu makan dan bronkhitis kronis (Dalimartha 2000). Bagian yang digunakan dalam pengobatan tradisional adalah bunga atau seluruh herba segar maupun yang telah dikeringkan.
Stintzing et al (2004) melakukan penelitian terhadap Amaranthus spinosus L., tanaman yang biasa digunakan sebagai obat di Afrika menunjukkan adanya kandungan betalain yang diidentifikasi sebagai amaranthin dan isoamaranthin. Selain itu tanaman ini juga mengandung hidroksisinamat, quersetin dan kaempferol glikosida yang kesemuanya merupakan senyawa fenolik. Kapiszewska et al (2005) melakukan pengujian terhadap kandungan polifenol Amaranthus sp. yang menunjukkan bahwa penambahan ekstrak Amaranthus sp. dengan konsentrasi polifenol sampai dengan 0.2 mug/ml dapat meningkatkan perlindungan terhadap stress oksidatif oleh H2 O2 yang menginduksi kerusakan DNA dari limfosit. Pengujian ekstrak air Amaranthus sp. terhadap sel splenosit mencit BALB/c menunjukkan kemampuan ekstrak ini untuk menstimulasi proliferasi sel splenosit. Sel B yang diisolasi dapat distimulasi juga oleh ekstrak ini. Pemurnian ekstrak air dari Amaranthus sp menghasilkan protein (GF1) dengan berat molekul 313 kDa. GF1 mempunyai aktivitas imunostimulasi 309 kali ekstrak air yang belum dimurnikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air Amaranthus sp mempunyai aktivitas imunostimulasi yang secara langsung menstimulasi aktivitas proliferasi sel B dan proliferasi sel T secara in vitro (Lin et al 2005).
Pengeringan Bahan Pangan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan dengan menggunakan energi panas. Kandungan air bahan dikurangi sampai batas tertentu dimana mikroba tidak dapat tumbuh lagi pada bahan tersebut. Pengeringan mempunyai keuntungan yaitu bahan menjadi tahan lama disimpan dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan (Muchtadi 1997). Pengembangan daun kumis kucing dan bunga kenop agar nilai ekonomisnya meningkat dapat dilakukan dalam bentuk produk teh daun kumis kumis kucing dan bunga kenop. Pengeringan juga dapat mempengaruhi retensi zat gizi dalam bahan pangan karena zat gizi dapat terdegradasi oleh panas. Menurut Jayaraman dan Das Gupta (1995) selama proses pengeringan terjadi degradasi senyawa-senyawa yang terkandung dalam daun seperti klorofil yang memberi warna hijau pada daun. Sokhansanj dan Jayas (1995) menambahkan bahwa degradasi klorofil tergantung
pada pH, waktu, kerja enzim, oksigen dan cahaya. Selain itu pengeringan dapat pula meningkatkan kualitas dan nilai nutrisi suatu produk pangan dan pakan seperti rasa yang lebih enak dan daya cerna serta perubahan metabolik yang meningkat. Berbagai cara pengeringan telah banyak dilakukan dalam proses pengolahan hasil pertanian dan bahan pangan. Salah satu metode pengeringan yang banyak dipakai dinegara berkembang adalah pengeringan matahari. Pengeringan dengan matahari adalah suatu metode pengeringan tradisional yang paling sering dilakukan dan lebih praktis. Metode ini sebagian besar digunakan untuk pengeringan buahbuahan seperti anggur dan prune kering (Jayaraman dan Das Gupta 1995). Pengeringan daun kumis kucing secara alami dengan bantuan sinar matahari dilakukan dengan mengangin-anginkan daun terlebih dahulu selama 24 jam agar stomata daunnya menutup sehingga tidak terjadi penguapan zat-zat yang terkandung didalamnya, selanjutnya daun kumis kucing di jemur dibawah sinar matahari langsung. Bila matahari bersinar penuh, lama pengeringan sekitar 2-3 hari atau setelah kadar airnya berkisar 7%. Sementara pengeringan dengan oven dapat dilakukan dengan suhu 60o C selama 3-6 jam (Mahendra dan Fauzi 2005). Masalah yang mungkin timbul pada pengeringan dengan sinar matahari adalah terjadinya hujan atau cuaca mendung, kontaminasi oleh debu, serangga, burung dan binatang lainnya, kurangnya pengawasan sehingga terjadi pengeringan melewati batas dan kemungkinan terjadi pembusukan baik secara kimiawi, enzimatis atau mikrobiologis karena waktu pengeringan yang lama (Jayaraman dan Das Gupta 1995). Selain itu dapat terjadi loss tambahan lainnya selama penyimpanan karena terjadi ketidakseragaman pengeringan (Imre 1995). Menurut Fellow (1990), ketika udara panas berada di atas suatu produk pangan, panas akan langsung ditransfer pada permukaan produk. Pengeringan makanan merupakan suatu proses yang lambat. Waktu yang dibutuhkan untuk proses pengeringan dapat mencapai 6 sampai 8 jam bahkan lebih dan ditentukan juga oleh jenis produk (Parker 2002). Menurut Buckle et al (1987) faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan dari suatu bahan pangan adalah: (1) Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komposisi, kadar air); (2) Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau media perantara pemindah panas (seperti nampan untuk
pengeringan; (3) Sifat-sifat dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban dan kecepatan udara); dan (4) Karakteristik alat pengering (efisiensi pemindahan panas). De Padua et al (1999) menyatakan bahwa daun kumis kucing yang berkualitas bagus berwarna hijau, mempunyai aroma yang bagus, kadar air dibawah 14%, rasa pahit, kadar abu sekitar 10%, kadar kontaminasi kurang dari 2% dan tidak mengandung serangga atau jamur. Daun kumis kucing yang berwarna kehitam-hitaman disebabkan oleh kelebihan panas selama pengeringan atau terjadinya kontak dengan wadah logam.
Polifenol Sebagai Antioksidan Halliwell dan Gutteridge (2001) menjelaskan bahwa antioksidan adalah suatu substansi yang menghentikan atau menghambat kerusakan oksidatif terhadap suatu molekul target. Ditambahkan Pratt (1992) berdasarkan sumbernya, antioksidan dibagi menjadi antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Beberapa contoh antioksidan sintetik seperti Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), Propil Galat (PG) dan Tert-Butil Hidroksi Quinon (TBHQ) sedangkan sumber antioksidan alami banyak terdapat pada tumbuhan dan umumnya merupakan senyawa fenolik atau polifenolik yang berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam-asam organik polifungsional yang letaknya tersebar di seluruh bagian tumbuhan baik di kayu, biji, buah, daun, akar, bunga maupun serbuk sari. Ho et al (1997) menjelaskan flavonoid terdiri atas katekin, proantosianin, flavon, flavonol dan glikosida. Berdasarkan laporan Su et al (2003) flavonoid dikenal mempunyai aktivitas antioksidan dan kemampuan mengikat logam (metal chelating). Aktivitas antioksidan flavonoid meningkat dengan bertambahnya grup hidroksil pada cincin A dan B. Polifenol dan flavonoid merupakan antioksidan yang sangat kuat dan aktivitasnya berhubungan dengan struktur kimianya. Fuhrman (2002) menyatakan bahwa polifenol tumbuhan bersifat multifungsi dan bertindak sebagai senyawa pereduksi, antioksidan pendonor atom hidrogen, penangkap singlet oksigen dan beberapa polifenol juga bertindak sebagai antioksidan penangkap ion logam. Antioksidan fenolik (PPH) dapat menghambat peroksidasi lipid dengan cara mendonorkan atom hidrogennya dengan cepat pada radikal peroksil (ROO*) yang
dihasilkan dalam pembentukan hidroperoksida alkil (ROOH) seperti ditunjukkan reaksi berikut : ROO* + PPH
ROOH + PP*
Radikal polifenol fenoksil (PP*) yang dihasilkan dapat distabilkan oleh atom hidrogen donor dan pembentukan quinones, atau oleh reaksi dengan radikal lain termasuk radikal fenoksil lainnya, sehingga dapat memutus inisiasi rantai reaksi yang baru (Fuhrman 2002). Cai et al (2003) menyatakan aktivitas antioksidan pigmen betalain dari beberapa tanaman yang termasuk famili Amaranthaceae dengan menggunakan metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picryhydrazyl) menunjukkan adanya aktivitas antioksidan yang kuat untuk semua tanaman yang diteliti (3.4-8.4 µM). Gomphrenin jenis betasianin (3.7 µM) dan betaxanthin (4.2 µM) menunjukkan aktivitas antioksidan yang sangat kuat, 3-4 kali lebih kuat dari asam askorbat (13.9 µM), rutin (6.1 µM) dan katekin (7.2 µM). Penelitian ini juga mempelajari hubungan antara struktur kimia dengan aktivitas antioksidan betalain. Aktivitas antioksidan dari betalain biasanya meningkat dengan meningkatnya jumlah gugus hidroksil dan juga tergantung dari posisi gugus hidroksil dan glikosilasi dari aglikon dalam molekulnya. Sejalan dengan pendapat Fukumoto dan Mazza (2000) bahwa aktivitas antioksidan biasanya meningkat dengan adanya peningkatan jumlah gugus hidroksil dan menurun dengan adanya glikosilasi.
Respon Imun Respon imun merupakan sistem interaktif komplek dari beragam jenis sel imunokompeten yang bekerjasama dalam proses identifikasi dan eliminasi mikroorganisme patogen dan zat-zat berbahaya lainnya yang masuk ke dalam tubuh. Semakin baik respon imun tubuh, semakin baik status kesehatan seseorang (Roitt dan Delves 2001). Respon imun dibedakan dalam respon imun spesifik dan nonspesifik. Respon imun nonspesifik timbul sebagai reaksi terhadap serangan mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya melalui fagositosis oleh neutrofil dan monosit (makrofag), barier kimia melalui sekresi internal dan eksternal (lisozim dalam mucus, air mata, laktoperoksidase dalam saliva), protein darah (interferon, sistem kinin dan komplemen) dan sel Natural Killer (NK) (Bellanti 1993).
Respon imun menjalankan tiga fungsi yaitu pertahanan (defense), homeostatis dan pengawasan (surveillance). Fungsi pertahanan bertujuan untuk melawan invasi mikroorganisme
dan
senyawa
asing
lainnya.
Fungsi
homeostatis
untuk
mempertahankan dari jenis sel tertentu dan memusnahkan sel-sel yang rusak. Sedangkan fungsi pengawasan bertujuan untuk memonitor jenis-jenis sel yang abnormal atau sel mutan (Bellanti 1993).
Limfosit Darah adalah suspensi yang terdiri dari sel-sel dan plasma, yaitu larutan yang mengandung berbagai molekul organik dan anorganik. Sel-sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan butir pembeku (platelets) atau trombosit. Sel darah putih atau leukosit (bahasa Yunani leuko = putih) penampakannya bening, tidak berwarna, bentuknya lebih besar dari sel darah merah akan tetapi jumlahnya kecil. Bellanti (1993) menyatakan jumlah sel darah putih normal sekitar 4000-11.000 sel/µm darah manusia. Roitt dan Delves (2001) menyatakan leukosit disebut juga sel darah putih yang merupakan salah satu sel dalam sistem pertahanan tubuh dan apabila dibandingkan dengan eritrosit, leukosit memiliki ukuran molekul yang lebih besar dan bergerak bebas. Ditambahkan Baratawidjaja (2002) leukosit terdiri dari 75% sel granulosit dan 25% sel agranulosit yang terbentuk di dalam sumsum tulang belakang. Roitt dan Delves (2001) menjelaskan yang termasuk kelompok agranulosit adalah sel limfosit dan monosit, sedangkan basofil, neutrofil dan eosinofil termasuk dalam kelompok yang granulosit (bergranula). Komposisi dan jumlah normal sirkulasi masing-masing elemen seluler pada darah manusia, mencit dan tikus disajikan pada Tabel 1. Baratawidjaja (2002) menyatakan limfosit adalah sel darah putih (leukosit) yang berukuran kecil, berbentuk bulat (diameter 7-15 µm) dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti limpa, kelenjar limfe dan timus. Sel limfosit dibentuk dalam kelenjar timus dan sum-sum tulang belakang dan tidak mempunyai kemampuan bergerak seperti amuba. Sel ini merupakan 20% dari semua sel leukosit yang beredar dalam darah manusia dewasa. Fungsi utama limfosit adalah memberi respon terhadap antigen (benda asing) dengan membentuk antibodi (immunoglobulin/Ig) yang bersirkulasi dalam darah (imunitas humoral) atau
dalam pengembangan imunitas seluler. Menurut Kresno (1991), sel limfosit mampu mengenal setiap jenis antigen, baik antigen yang terdapat intraselular maupun ekstra selular misalnya dalam cairan tubuh atau dalam tubuh. Tabel 1 Komposisi dan jumlah normal sirkulasi masing- masing elemen seluler pada darah manusia, mencit dan tikus Elemen-elemen seluler
Manusia
Mencit
Tikus
4.5-11
5-11
6-18
* Limfosit (%)
25-33
63-80
65-83
* Monosit (%)
3-7
1-14
1-4
* Neutrofil (%)
54-62
9-37
14-27
* Eosinofil (%)
1-3
0.3-4
0.1-4
0-0.75
-
-
Platelets ( x 109 /l)
150-350
250-1500
500-1000
Eritrosit ( x 1012 /l)
4.2-6.2
8.8-10.5
6.5-9.0
Leukosit (total x 109 /l)
* Basofil (%)
Sumber: Delves (1994)
Menurut Kresno (1991) sel limfosit berdiferensiasi menjadi sel T dan sel B. Sel T berfungsi dalam imunitas seluler yang sebagian besar terdapat dalam sirkulasi darah, yaitu berjumlah 65-85% dan berasal dari sel hematopoetik di sumsum tulang belakang yang kemudian pindah ke timus dan menjadi dewasa. Pada proses pendewasaannya sel ini berdifferensiasi menjadi sel T-helper (Th) yang berfungsi untuk membantu pembentukan antibodi, sel T-supressor (Ts) menekan pembentukan antibodi dan sel T-cytotoxic (Tc) berfungsi membunuh selsel yang terinfeksi patogen intraselular. Roitt dan Delves (2001) menambahkan bahwa sel T dapat berproliferasi menjadi sel T memori dan berbagai sel effektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin ini berpengaruh pada aktivasi sel B, sel Tc, sel NK dan sel lain yang terlibat dalam respon imun. Limfosit dalam sistem imun mengikat antigen dengan menggunakan protein membran yang bersifat antigen-spesifik, yang disebut reseptor. Reseptor pada sel T atau TCR (T Cell Receptor) memiliki struktur serupa antibodi. Setiap TCR mengikat sebuah epitop antigen, yang merupakan peptida dengan panjang 9-20
asam amino. Peptida ini akan berikatan dengan molekul protein pada permukaan Antigen
Presenting
Cells
(APC)
yang
bertugas
mencocokkan
dan
mempresentasikan antigen kepada sel T, peptida tersebut dikenal sebagai molekul Major Histocompatibility Complex (MHC). Sel Th berikatan dengan peptida pada MHC kelas II pada APC yang memiliki antigen ekstraselular seperti bakteri, tetapi telah terinternalisasi ke dalam sel. Hal ini membuat sel Th teraktivasi sehingga terjadi sekresi interleukin yang menstimulasi pembelahan dan diferensiasi sel B, sehingga sel B mampu menghasilkan antibodi untuk melawan antigen. Sel Tc teraktivasi oleh MHC kelas I pada membran sel berinti yang terinfeksi virus. Dengan demikian, sel Tc akan mampu menbunuh sel yang terinfeksi tersebut (Roitt dan Delves 2001).
Proliferasi Limfosit Tejasari (2000) menjelaskan bahwa proliferasi limfosit merupakan fungsi biologis mendasar limfosit, yaitu proses diferensiasi dan pembelahan (mitosis) sel. Limfosit adalah sel tunggal yang bertahan baik saat dikultur dalam media sederhana dan secara konsisten tetap dalam tahap diam dan tidak membelah sampai ditambahkan mitogen, respon proliferatif kultur limfosit menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu. Menurut Zakaria et al (1992) Perhitungan jumlah limfosit pada kontrol yang hanya mengandung media dan serum janin sapi saja dan membandingkannya dengan jumlah limfosit media yang diberi bahan uji, maka dapat diketahui aktivitas dari senyawa pemacu proliferasi limfosit yang ada pada bahan uji. Mitogen adalah agen yang mampu menginduksi pembelahan sel baik sel T maupun sel B dalam persentase yang tinggi. Mitogen merupakan sumber ligan polipeptida yang berperan pada pelepasan sinyal dari tempat yang berdekatan parakrin dan diterima oleh reseptor membran plasma. Beberapa mitogen merupakan faktor pertumbuhan yang mengaktivasi tirosin kinase. Sinyal permulaan oleh mitogen mengakibatkan adanya urutan-urutan sinyal lain yang berpengaruh terhadap berbagai faktor transkripsi dan berpengaruh terhadap aktivitas gen di dalam sel (Decker 2001). Menurut Baratawidjaja (2002) pada umumnya mitogen berasal dari tumbuhan (lektin) atau merupakan gula terikat seperti concanavalin A (Con-A),
pokeweed (PWM) dan fitohemaglutinin (PHA). Mitogen ini tidak spesifik dan mempunyai daya mengaktifkan sejumlah sel limfosit tanpa memandang reaktifitas antigenik sel-sel yang bersangkutan. Hal ini dapat terjadi karena adanya gangguan pada membran yang dirangsang oleh ikatan silang makromolekul sehingga dapat merangsang limfosit untuk membelah. Bellanti (1993) menyatakan mitogen PHA dan Con-A dapat merangsang transformasi blast subpopulasi sel T. Ditambahkan Kresno (1991) sebanyak 5060% sel T mampu memberikan respon terhadap stimulasi PHA dan Con-A. Selanjutnya Kuby (1992) menyatakan PWM dapat berikatan dengan di-Nacetylchitobiose dan bersifat mitogenik terhadap sel T dan sel B. Con-A berasal dari tanaman jack bean (Canavalia ensiformis), PHA berasal dari kacang merah (Phaseolus vulgaris) dan PWM berasal dari tumbuhan pokeweed (Phytolacca americana). Con-A adalah mitogen asal lektin legum yang bersifat sebagai imunomodulator karena dapat merangsang proliferasi limfosit, fungsinya pada sistem biologis adalah sebagai perekam informasi yang diikuti dengan produksi informasi sel. Lektin fitohemaglutinin (PHA) adalah protein non enzimatik yang berikatan dengan karbohidrat secara reversibel. Fungsi biologis dari lektin adalah kemampuan mengenal dan berikatan dengan struktur karbohidrat spesifik, khusus nya berikatan dengan oligosakarida. Lektin terdiri dari enam famili yang telah dikenal antara lain lektin legum, lektin sereal, lektin jenis P, C, S dan pentraxis (Letwin dan Quimby 1987). Tidak semua mitogen adalah lektin. Lipopolisakarida (LPS) merupakan komponen dinding sel bakteri gram negatif yang dapat juga berfungsi sebagai mitogen sel B. Aktivitas mitogenik LPS berasal dari bagian lipidnya yang berinteraksi dengan membran plasma sehingga menghasilkan aktivasi selular (Kuby 1992). Menurut Kresno (1991) stimulasi limfosit oleh mitogen berakibat pada serangkaian reaksi biokimia seperti fosforilasi nukleoprotein, sintesa DNA dan RNA serta peningkatan metabolisme lemak. Perubahan yang terjadi adalah transformasi blast yang di tunjukkan dengan pembesaran limfosit karena nukleus juga membesar, retikulum endoplasmik menjadi kasar dan tubulus mikro jelas, serta kecepatan sintesa DNA meningkat menuju mitosis.
Faridah (1996) melaporkan proliferasi limfosit dapat dilihat dari nilai Indeks Stimulasi (IS) yaitu rasio count per minute (cpm) sel yang dikultur dengan stimulan (mitogen/antigen) terhadap cpm sel yang hanya dikultur dengan medium pertumbuhan saja (tanpa stimulan/kontrol). Nilai IS menunjukkan kemampuan limfosit yang secara tidak langsung menggambarkan respon imunologik seseorang. Semakin tinggi nilai IS semakin tinggi pula respon imunologiknya. Pada kelompok remaja yang banyak mengkonsumsi makanan jajan tercemar dengan status gizi yang rendah ternyata dapat menurunkan respon imunologik yang ditandai dengan nilai IS limfosit yang rendah. Zakaria et al (1992) menyatakan bila sel dikultur dengan senyawa mitogen, maka limfosit akan berproliferasi secara tidak spesifik. Begitu juga, jika limfosit dikultur dengan antigen spesifik, misalnya kasein susu, maka kemampuan limfosit untuk merespon secara spesifik dapat diukur. Kresno (1991) mengatakan bahwa respon terhadap mitogen dianggap menyerupai respon limfosit terhadap antigen, sehingga uji proliferasi dengan rangsangan mitogen, banyak dipakai untuk menguji fungsi limfosit. Zakaria (1996) melaporkan berbagai jenis bahan pangan seperti jahe, kunyit, bawang putih telah diketahui dan diteliti memiliki aktivitas imunostimulan antara lain meningkatkan kemampuan proliferasi limfosit.
Kultur Sel Limfosit Doyle dan Griffiths (1997) menyatakan kultur sel limfosit secara in vitro merupakan suatu cara untuk mengembangbiakkan atau menumbuhkan sel limfosit di luar tubuh hewan atau manusia. Lingkungan dan bahan makanan untuk pertumbuhan sel secara in vitro diusahakan menyerupai keadaan sel secara in vivo. Oleh karena itu diperlukan suatu media pertumbuhan yang berisi asam-asam amino, vitamin, garam- garam anorganik, glukosa dan serum. Menurut Freshney (1994) media pertumbuhan yang digunakan disesuaikan dengan jenis sel yang akan ditumbuhkan namun sampai saat ini media yang paling baik untuk kultur sel limfosit adalah Roswell Park Memorial Institute (RPMI)-1640 yang merupakan media sintetis yang kaya nutrisi. Freshney (1994) menyatakan penggunaan kultur sel lebih menguntungkan karena lingkungan tempat hidup sel dapat dikontrol dan diatur, seperti pH,
tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2 sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan, kultur dapat terekspos secara langsung dengan pereaksi pada konsentrasi rendah, beberapa jenis sel yang dibiakkan dapat disimpan dalam nitroge n cair. Namun teknik ini juga memiliki beberapa kelemahan antara lain (1) Kultur sel harus dilakukan dalam kondisi yang steril karena sel hewan tumbuh lebih lambat dari kontaminan, (2) Untuk pertumbuhan sel dalam kultur dibutuhkan lingkungan yang kompleks seperti di dalam tubuh, (3) Sel yang tumbuh akan mengalami perubahan sifat karena beberapa sifat dari sel akan hilang atau berubah seperti laju pertumbuhan dan kemampuan untuk berdiferensiasi dalam tiap populasi berbeda (sel menjadi tidak stabil). Serum yang biasa digunakan untuk kultur adalah Fetal Bovine Serum (FBS). Fungsi dari serum ini adalah sebagai protein pembawa hormon untuk menstimulasi pertumbuhan sel, faktor yang membantu terjadinya pelengketan sel dari jaringan ataupun cairan tubuh. Kultur sel limfosit manusia biasanya menggunakan serum manusia. Komponen serum sebagian besar adalah protein dan komponen lainnya seperti polipeptida, hormon-hormon, mineral dan bahan makanan seperti asam amino, glukosa, lemak, asam keto, etanolamin, fosfoetanol amin dan hasil- hasil metabolit lainnya (Freshney 1994). Untuk pertumbuhan sel limfosit diperlukan kondisi nilai pH 7.4, gas CO2 5% dengan suhu 37 + 0.5o C. Penambahan HEPES (N-2-hydroxyethylpiperazine-N’-2ethanesulfonic acid) pada media adalah sebagai buffer dan NaHCO3 berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan nilai pH. Kebutuhan gas oksigen sebesar 95% dan ketebalan medium kultur tidak boleh lebih dari 2-5 mm (0.2-0.5 ml/cm2 ) karena dapat mempengaruhi difusi oksigen kedalam sel (Freshney 1994). Penambahan antibiotik kedalam media berfungsi untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Menurut pendapat Cartwright dan Shah (1994), faktor utama dalam memilih jenis antibiotik untuk kultur sel adalah tidak bersifat toksik, memiliki spektrum antimikroba yang luas, ekonomis dan kecenderungan minimum untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal. Agen antibakteri yang terbanyak digunakan adalah campuran penisilin (100 IU/ml) dan streptomisin (50 µg/ml). Gentamisin 50 µg/ml sering juga digunakan untuk mencegah kontaminasi
mikroba yang daya tahannya lebih besar. Agen antifungi yang banyak digunakan adalah amfoterisin B (2.5 µg/ml) dan nystatin (25 µg/ml). Doyle dan Griffiths (1997) menyatakan pengujian proliferasi sel dapat dilakukan dengan pewarnaan MTT (3-[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide). Prinsip metode MTT adalah konversi MTT menjadi senyawa formazan yang berwarna ungu oleh aktivitas enzim suksinat dehidrogenase dari mitokondria sel hidup yang kemudian diukur absorbansinya dengan Spectrophotometer Microplate Reader. James et al (1994) menjelaskan enzim suksinat dehidrogenase merupakan enzim yang disintesa oleh semua sel pada mitokondria. Kandungan suksinat dehidrogenase relatif konstan di antara berbagai sel dengan tipe spesifik, sehingga jumlah formazan yang terbentuk proporsional terhadap jumlah sel limfosit yang hidup. Selain metode MTT, penghitungan sel dapat pula dilakukan dengan metode tryphane blue. Metode ini menggunakan prinsip penyerapan zat warna melalui membran sel, pewarna tryphane blue hanya dapat mewarnai jika membran sel rusak. Oleh karena itu pewarna tryphane blue dapat digunakan untuk membedakan sel hidup dan sel mati atau rusak. Sel hidup tidak akan berwarna (terang) dan berbentuk bulat, sedangkan sel mati akan berwarna biru dan mengkerut (Doyle dan Griffiths 1997).