RESPON DUA AKSESI KUMIS KUCING {Orthosiphon aristatus (BLUME) MIQ.} TERHADAP PERLAKUAN PEMUPUKAN DI DATARAN TINGGI Otih Rostiana1), Rosita SMD1), Agus Ruhnayat1), Nurliani Bermawie1), dan Dyah Iswantini2) 1)
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Jalan Tentara Pelajar No. 3 Bogor
[email protected] 2) Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK Kumis kucing banyak digunakan dalam industri obat tradisional di dalam negeri dan sudah diekspor ke mancanegara, sejak perang dunia II. Di Indonesia tanaman ini tersebar dari dataran rendah sampai dataran tinggi, namun sentra budidaya yang sudah dikenal selama ini adalah di dataran rendah sampai menengah. Penelitian bertujuan mengobservasi potensi produksi dan mutu dua aksesi kumis kucing di dataran tinggi, KP. Manoko, Lembang, Jawa Barat (1.200 m dpl.), dengan mengaplikasikan pupuk organik dan anorganik. Penelitian dilaksanakan sejak Februari sampai Oktober 2013, dan disusun dalam rancangan petak terbagi. Petak utama: dua aksesi (A dan B); Anak petak: empat Paket Pemupukan (P1: 30 t/ha pukan tanpa pupuk anorganik;P2: 30 t/ha pukan + 100 kg/ha Urea + 100 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCl. P3: 30 t/ha pukan + 200 kg/ha Urea + 200 kg/ha SP36 + 100kg/ha KCl. P4: 30 t/ha pukan + 300 kg/ha Urea + 300 kg/ha SP36 + 150kg/ha KCl), diulang lima kali. Hasil penelitian menunjukkan aksesi B yang berbunga putih, mampu menunjukkan ekspresi potensi genetik lebih baik dalam produksi terna segar dan kering, daripada aksesi A. Namun kandungan sinensetin aksesi A pada semua perlakuan lebih tinggi (0,05-0,09%) dari aksesi B (0,003005%). Produksi terna segar dan kering kumis kucing, tidak dipengaruhi oleh aplikasi pupuk anorganik. Pemberian pupuk organik (pukan sapi) 30 ton/ha, mampu meningkatkan bobot segar dan kering terna selama dua kali panen di dataran tinggi. Kata kunci: Orthosiphon aristatus, adaptasi, pemupukan, produksi terna, sinensetin
PENDAHULUAN Kumis kucing {Orthosipon aristatus (Blume) Miq.} banyak digunakan dalam industri obat tradisional di dalam negeri dan sejak perang dunia II sudah diekspor ke Jerman, Belanda, Perancis, Amerika Serikat dan Jepang. Namun pasokan bahan baku yang beredar di pasar kualitasnya belum terstandar, dan secara kuantitas belum terjamin. Daun kumis kucing banyak digunakan sebagai teh herbal sebagai diuretik maupun untuk mengatasi rematik, diabetes, penyakit saluran kencing, oedema, jaundice, biliary lithiasis, dan hipertensi (Sumaryono et al., 1991; Tezuka et al., 2000; Shibuya et al., 1999 dalam Hossain dan Mizanur Rahman, 2011). Di dalam daun kumis kucing terkandung 12% mineral terutama Kalium, 0,2% lipofilik flavon termasuk di dalamnya sinensetin, flavonol glikosida, asam rosmarinik, inositol, beta sitosterol, saponin dan 0,7% minyak atsiri. Lipofilik flavonoid (sinensetin dan tetrametilskutelarein) pada kumis kucing mampu menghambat perkembangan sel tumor (Ehrlich ascites tumour cell) secara in vitro, juga memiliki aktifitas anti inflamasi. Selain dalam bentuk tunggal, aplikasi daun kumis kucing dengan tanaman lain, digunakan untuk mengatasi arteriosklerosis (de Padua et al., 1999). Ekstrak metanol daun kumis kucing mengandung banyak flavonoid dan terbukti berfungsi sebagai antioksidan penangkap radikal bebas serta mampu menghambat peroksidasi lemak (Hossain dan Mizanur Rahman, 2011).
239
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik
Bogor, 18 – 19 Juni 2014
Kumis kucing tersebar di Indonesia dari dataran rendah sampai dataran tinggi, terutama di Jawa, Sumatera dan Sulawesi Utara. Klon kumis kucing (O. aristatus) yang banyak ditanam adalah tipe berbunga ungu dan bunga putih dengan tangkai merah kecoklatan. Untuk menghasilkan varietas unggul kumis kucing dengan kandungan flavonoid tinggi diperlukan material genetik bahan seleksi dengan ragam yang luas. Hasil seleksi plasma nutfah di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), diperoleh dua nomor aksesi yaitu tipe berbunga ungu (aksesi A) dan berbunga putih (aksesi B) yang relatif stabil produksinya di dataran rendah dan menengah pada ketinggian 240-550 m dpl (Rostiana et al., 2012), namun belum diketahui potensinya di dataran tinggi. Kandungan metabolit sekunder flavonoid pada beberapa tanaman, berkorelasi positif dengan ketinggian tempat, rata-rata temperatur tahunan, klon/varietas yang digunakan (Dong et al., 2011), serta cara budidaya (Paunonen et al., 2009; Hakkinen dan Torronen, 2000). Pada tanaman Gongronema latifolium (Benth), pemberian pupuk anorganik NPK (15:15:15) dapat meningkatkan kandungan flavonoid, fenol dan steroid (Osuagwu dan Edeoga, 2012). Untuk mendukung budidaya organik, pupuk sintetis dapat disubstitusi dengan bahan organik berasal dari biomassa tanaman maupun hewan. Flavonoid terdiri atas berbagai kelompok metabolit pada tanaman. Biosintesis flavonoid melibatkan berbagai reaksi ensimatis dan biokatalis seperti chalcone synthase (CHS), chalcone isomerase (CHI), 2-hidroksi isoflavon sintase (IPS), 2-hidroksi isoflavon dehidratase (IFD), isoflavon O-metiltransferase (SAM), isoflavon reduktase (IFR) vestiton reduktase, 7,2’-dihidroksi-4’-metoksi-isoflavonol dehidratase (DMI). Kunci utama dari alur biosintesis flavonoid adalah O2, sitokrom P450, dan NADPH, sehingga ketersediaan asam amino yang optimal sangat penting. Oleh karena itu, untuk menghasilkan biomasa/produksi terna kumis kucing yang tinggi dengan kandungan bahan aktif dan mutu tinggi diperlukan bahan tanaman unggul didukung dengan teknik budidaya yang tepat. Penelitian dilakukan untuk mengobservasi potensi produksi dan mutu dua aksesi kumis kucing di dataran tinggi, dengan mengaplikasikan pupuk organik dan anorganik (NPK).
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di KP. Manoko, Lembang (1.200 m dpl.), Jawa Barat, sejak Februari 2013 sampai Oktober 2013. Bahan tanaman yang digunakan adalah dua aksesi kumis kucing hasil seleksi, yaitu aksesi A berbunga ungu dan aksesi B yang berbunga putih. Penelitian disusun dalam rancangan petak terbagi (Split plot), dengan petak utama: dua aksesi (A dan B) dan anak petak: empat Paket Pemupukan NPK (P1: 30 t/ha pukan tanpa NPK/kontrol. P2: 30 t/ha pukan + 100 kg/ha Urea + 100 kg/ha SP-36 + 50 kg/ha KCl. P3: 30 t/ha pukan + 200 kg/ha Urea + 200 kg/ha SP36 + 100kg/ha KCl. P4: 30 t/ha pukan + 300 kg/ha Urea + 300 kg/ha SP36 + 150kg/ha KCl). Ulangan lima kali. Jarak tanam : 40 m x 60 m, Jumlah tanaman/petak: 50, Ukuran petak : 3 m x 4 m. Pupuk kandang diberikan dalam dua agihan: 60% pada saat tanam dan 40% setelah panen pertama. Demikian juga dengan pupuk anorganik NPK. Panen pertama dilakukan pada umur empat BST, sedangkan panen kedua dilakukan tiga bulan berikutnya. Parameter yang diamati adalah pertumbuhan tanaman dan produksi terna (dua kali panen). Sifat fisik dan kimia tanah kebun percobaan serta kandungan nutrisi pupuk organik (pupuk kandang sapi) yang digunakan seperti pada Tabel 1 dan 2. Kandungan bahan aktif Sinensetin dianalisis menggunakan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography), di Lab uji Balittro.
240
Otih Rostiana et al. : Respon Dua Aksesi Kumis Kucing {Orthosiphon aristatus (Blume) Miq.} terhadap Perlakuan Pemupukan di Dataran Tinggi
Tabel 1. Sifat fisik dan kimia tanah Kebun Percobaan Manoko, Lembang Parameter Tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat (%) pH H2O KCl C-organik (%) N total (%) C/N ratio (%) P2O5 tersedia (ppm) Ca tukar (cmol (+)/kg) Mg tukar (cmol (+)/kg) K tukar (cmol (+)/kg) Na tukar (cmol (+)/kg) Al (cmol (+)/kg) KTK (cmol (+)/kg) Kejenuhan basa (%)
Nilai 62,59 21,62 15,79 5,66 4,98 4,92 0,54 9,11 18,07 8,23 1,06 1,00 0,19 0,32 32,27 32,47
Tabel 2. Kandungan nutrisi pupuk kandang yang diaplikasikan Nutrisi
Nilai
N (%) P (%) K (%) Na (%) Ca (%) Mg (%) C-organik (%) Fe (%) Mn (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) Pb (ppm) Cd (ppm) Co (ppm) S (%) B (ppm)
2,72 0,51 2,23 0,16 2,36 0,52 26,34 0,40 696,90 49,38 178,43 20,20 1,20 8,01 6,63 56,23
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan tanaman pada umur tiga bulan setelah tanam (BST), hampir merata untuk semua perlakuan. Perlakuan paket pupuk N 300 kg/ha, SP36 300 kg/ha dan KCl 150 kg/ha (P4) direspon dengan tinggi tanaman yang merata untuk aksesi A dan B, sedangkan pada perlakuan lainnya aksesi A lebih tinggi daripada aksesi B (Gambar 1). Sebaliknya untuk jumlah tunas dan lebar kanopi, aksesi B lebih besar dari pada aksesi A, untuk semua perlakuan (Gambar 1). Tipe pertumbuhan aksesi A, cenderung tegak, sedangkan aksesi B agak menyebar dengan kanopi melebar.
241
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik
Bogor, 18 – 19 Juni 2014
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa antar aksesi kumis kucing berpengaruh nyata terhadap bobot basah dan kering batang dan daun, untuk panen ke-1 pada semua perlakuan pemupukan NPK (Tabel 3 dan 4). Pengaruh aksesi B lebih besar dibandingkan dengan aksesi A dan dapat meningkatkan rata-rata bobot basah dan kering hasil panen ke-1 masing.masing sebesar 65,04% dan 60,60%. Pengaruh antar perlakuan pemupukan NPK tidak berbeda nyata terhadap hasil panen ke-1, dengan demikian pada awal penanaman kumis kucing cukup diberi pupuk kandang saja sebanyak 18 ton/ha (P1) sebagai pupuk dasar. Bobot segar aksesi B lebih tinggi dari aksesi A, pada semua perlakuan pemupukan NPK. Namun tidak berbeda untuk masing-masing perlakuan pupuk. Demikian juga untuk bobot kering (Tabel 4). Aksesi B, dengan tipe pertumbuhan melebar, memiliki jumlah cabang lebih banyak dan tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan aksesi A, sehingga berpengaruh terhadap produksi simplisia.
Gambar 1. Rata-rata tinggi tanaman (atas kiri), jumlah tunas (atas kanan) dan lebar kanopi (bawah), dua aksesi kumis kucing (A dan B) pada berbagai perlakuan pemupukan NPK (P1-4), pada tiga BST di KP. Manoko, Lembang (1.200 m dpl.)
242
Otih Rostiana et al. : Respon Dua Aksesi Kumis Kucing {Orthosiphon aristatus (Blume) Miq.} terhadap Perlakuan Pemupukan di Dataran Tinggi
Tabel 3. Pengaruh dosis pupuk NPK terhadap bobot basah terna tanaman kumis kucing pada panen pertama di dataran tinggi KP Manoko (1.200 m dpl) Dosis pupuk NPK P1 = 0 P2 = 100 kg urea + 100k g SP-36 + 50 kg KCl P3 = 200 kg urea + 200 kg SP + 100 kg KCl P4 = 300 kg urea + 300k g SP + 150 kg KCl Rata-rata
Bobot basah (g) Aksesi A
Aksesi B
121,38 a (a) 123,75 a (a) 141,50 a (a) 128,35 a (a) 128,75 (a)
209,50 a (b) 210,97 a (b) 207,50 a (b) 222,00 a (b) 212,49 (b)
KK (%)
11,95
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom dan baris (angka dalam kurung) menurut DMRT pada taraf 0,05
tidak berbeda nyata
Tabel 4. Pengaruh dosis pupuk NPK terhadap bobot kering terna tanaman kumis kucing pada panen pertama di dataran tinggi KP Manoko (1.200 m dpl) Dosis pupuk NPK P1 = 0 P2 = 100 kg urea + 100k g SP-36 + 50 kg KCl P3 = 200 kg urea + 200 kg SP + 100 kg KCl P4 = 300 g urea + 300 g SP + 150 g KCl Rata-rata KK (%)
Jenis kumis kucing Aksesi A
Aksesi B
23,39 a (a) 24,80 a (a) 26,67 a (a) 24,32 a (a) 24,80 (a)
41,92 a (b) 38,20 a (b) 37,21 a (b) 41,98 a (b) 39,83 (b) 17,20
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom dan baris (angka dalam kurung) menurut DMRT pada taraf 0,05
tidak berbeda nyata
Panen pada tanaman kumis kucing, dapat dilakukan beberapa kali. Setelah pemangkasan pada panen pertama (4 BST), dilakukan pemupukan ulang sesuai perlakuan. Pada umur tiga bulan setelah pangkas pertama, dilakukan panen kedua dengan cara yang sama seperti pada panen pertama (dipangkas). Penanaman di lokasi yang lebih rendah (200-550 m dpl), panen pertama dilakukan pada tiga BST, dan panen selanjutnya dilakukan setiap dua bulan. Di KP. Manoko, panen pertama dilakukan pada umur empat BST dan panen kedua dilakukan tiga bulan setelah panen pertama, karena pertumbuhan tanaman kumis kucing lebih lambat daripada di dataran rendah. Pada panen kedua, untuk meningkatkan bobot basah terna kumis kucing cukup diberi pupuk kandang saja sebanyak 12 ton/ha (P1) sebagai pupuk dasar baik untuk aksesi A maupun B. Perlakuan tersebut tidak berbeda nyata dengan pemberian pupuk NPK P2 dan P3. Namun demikian untuk lebih meningkatkan bobot basah hasil panen harus diberikan pupuk NPK dosis tinggi (P4). Hal tersebut, sejalan
243
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik
Bogor, 18 – 19 Juni 2014
dengan panen pertama, dimana aksesi lebih berpengaruh terhadap bobot terna, aksesi B lebih tinggi dari aksesi A.Diduga hal tersebut disebabkan kandungan hara yang terkandung dalam tanah sudah cukup (Tabel 1) dengan N total dan K tukar yang tinggi, serta P tersedia dan Ca dan Mg sedang. Jadi dengan penambahan pupuk kandang 30 ton/ha sudah cukup menambah hara yang dibutuhkan tanaman kumis kucing. Pupuk kandang sebagai salah satu bahan organik, sangat penting dalam mempertahankan dan memperbaiki kesuburan tanah. Pupuk kandang mampu meningkatkan produktivitas lahan dan akhirnya produksi tanaman karena dapat meningkatkan unsur hara makro dan mikro, kapasitas memegang air, agregasi tanah, memperbaiki aerasi dan mikro organisme tanah. Namun ketersediaan hara yang seimbang berdampak terhadap tercapainya produktivitas tanaman yang optimal. Unsur hara yang paling banyak diserap tanaman adalah N, P dan K. Unsur hara N dan K merupakan hara makro terbanyak yang diserap tanaman, diikuti unsur hara P. Untuk itu diperlukan pemupukan NPK pada dosis tertinggi, masing-masing 300 kg/ha Urea dan SP36 serta 150 kg/ha KCl. Respon yang baik dari perlakuan pemupukan bisa terlihat pada panen kedua. Sama halnya dengan panen ke-1, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa aksesi kumis kucing berpengaruh nyata terhadap bobot basah dan kering batang dan daun pada semua perlakuan pemupukan NPK (Tabel 5 dan 6). Pengaruh aksesi B lebih besar dibandingkan dengan aksesi A dan dapat meningkatkan rata-rata bobot basah dan kering hasil panen ke-2 masing.masing sebesar 22,62% dan 40,11%. Pengaruh perlakuan pemupukan NPK dosis tinggi (P3 = 300 g urea + 300 g SP + 150 g KCl) adalah yang terbaik dapat meningkatkan hasil panen secara nyata dibandingkan perlakukan P0 dan P1. Namun demikian pemberian pupuk kandang saja sebanyak 12 ton/ha (P0) diperoleh hasil panen ke-2 lebih banyak dibandingkan dengan panen ke-1. Dengan demikian untuk meningkatkan hasil panen ke-2 pemberian pupuk kandang saja lebih efisien dan dapat direkomendasikan untuk budidaya organik pada kumis kucing.
Tabel 5. Pengaruh dosis pupuk NPK terhadap bobot basah terna tanaman kumis kucing pada panen kedua di dataran tinggi KP Manoko (1.200 m dpl) Dosis pupuk NPK P1 = 0 P2 = 100 kg urea + 100k g SP-36 + 50 kg KCl P3 = 200 kg urea + 200 kg SP + 100 kg KCl P4 = 300 kg urea + 300k g SP + 150 kg KCl Rata-rata KK (%)
Jenis kumis kucing Aksesi A
Aksesi B
252,12 a (A) 287,46 ab (A) 296,17 ab (A) 318,49 b (A) 288,56
324,24 a (B) 336,64 a (B) 349,59 ab (B) 404,86 b (B) 353,83 11,84
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom dan baris (angka dalam kurung) menurut DMRT pada taraf 0,05
244
tidak berbeda nyata
Otih Rostiana et al. : Respon Dua Aksesi Kumis Kucing {Orthosiphon aristatus (Blume) Miq.} terhadap Perlakuan Pemupukan di Dataran Tinggi
Tabel 6. Pengaruh dosis pupuk NPK terhadap bobot kering terna tanaman kumis kucing pada panen ke-1 di dataran tinggi KP Manoko (1.200 m dpl) Dosis pupuk NPK P1 = 0 P2 = 100 kg urea + 100k g SP-36 + 50 kg KCl P3 = 200 kg urea + 200 kg SP + 100 kg KCl P4 = 300 kg urea + 300k g SP + 150 kg KCl Rata-rata KK (%)
Jenis kumis kucing Aksesi A
Aksesi B
49,99 a (a) 55,47 a (a) 59,01 a (a) 70,37 a (a) 58,46 (a)
84,12 a (b) 73,15 a (b) 74,32 a (b) 96,06 a (b) 81,91 (b) 14,25
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom dan baris (angka dalam kurung) tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf 0,05
Kandungan sinensetin Pemupukan NPK pada kumis kucing aksesi A maupun B, dapat meningkatkan kandungan sinensetin. Semakin tinggi pupuk NPK, semakin tinggi pula sinensetin didalam jaringan daun dan batang (Tabel 7). Namun, bila dibandingkan dengan kandungan sinensetin pada aksesi A dan B yang dibudidayakan di dataran rendah-menengah (240-550 m dpl.), penanaman di dataran tinggi kandungan sinensetinnya lebih rendah. Kandungan sinensetin daun kumis kucing aksesi A yang ditanam di dataran rendah-menengah (240550 m dpl.) rata-rata mencapai 0,092%, sedangkan aksesi B 0,019%, dengan pupuk standar SOP/P3 (Rostiana et al., 2013). Hasil ini berbeda dengan kandungan flavonoid pada jenis tanaman lainnya yang umumnya lebih tinggi di dataran tinggi, seperti halnya pada tanaman Eucommia ulmoides (Dong et al., 2011). Sinensetin merupakan marker/penanda kimia utama pada kumis kucing, yang tergolong kedalam jenis senyawa flavonoid. Dalam biosintesis flavonoid, berbagai faktor berpengaruh, baik internal maupun eksternal. Aplikasi pupuk pada sebagian jenis tanaman mampu meningkatkan kandungan flavonoid, seperti pada kacang merah (Dardanelli et al., 2008). Aplikasi pemupukan pada tanaman berkhasiat obat, selain meningkatkan biomassa juga dapat meningkatkan kandungan zat berkhasiat. Unsur hara yang diserap dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi metabolisme tanaman baik primer maupun sekunder, bergantung kepada jenis unsur hara asupan dan siklus metabolit.
245
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik
Bogor, 18 – 19 Juni 2014
Tabel 7. Kandungan sinensetin dua aksesi kumis kucing pada berbagai taraf pemupukan di dataran tinggi KP Manoko (1.200 m dpl) Dosis pupuk NPK P1 = 0 P2 = 100 kg urea + 100k g SP-36 + 50 kg KCl P3 = 200 kg urea + 200 kg SP + 100 kg KCl P4 = 300 kg urea + 300k g SP + 150 kg KCl P1 = 0
Kandungan sinensetin (%) Aksesi A Aksesi B 0,05 0,06 0,06 0,09 0,05
0,003 0,004 0,004 0,006 0,003
Perbedaan morfologi, lingkungan tempat tumbuh merupakan ciri spesifik pada setiap jenis tanaman yang berkaitan dengan kandungan kimia spesifik seperti flavonoid, sebagaimana ditemukan pada tanaman Thymus sp (Horwart et al., 2008). Kandungan siensetin aksesi A yang berbunga ungu lebih tinggi dari aksesi B yang berbunga putih. Pada sebagian tanaman, metabolit sekunder berkaitan erat dengan warna seperti halnya pada kumis kucing. Namun tidak demikian halnya dengan tanaman sorgum, warna tidak berkorelasi dengan kandungan flavonoid (Taleon et al., 2012). Peningkatan kandungan sinensetin baik pada aksesi A maupun B sejalan dengan meningkatnya dosis pupuk NPK yang diaplikasikan. Hal ini menunjukkan bahwa, selain faktor internal (genotipe), akumulasi kandungan zat aktif suatu tanaman juga dikontrol oleh faktor lingkungan sebagai faktor pendukung. Selain itu, pengkayaan kandungan sinensetin pada aksesi/varietas unggul dapat dilakukan dengan perbaikan pada metode ekstraksi, yaitu mengaplikasikan pelarut yang tepat. Penggunaan pelarut aceton 70% menghasilkan sinensetin dua kali lebih tinggi (0,32%) dibandingkan dengan pelarut methanol (0,15%), dengan metode TLC (Hossain dan Ismail, 2012).
KESIMPULAN Pemberian pupuk organik (pukan sapi) 30 ton/ha, mampu meningkatkan bobot segar dan kering terna kumis kucing di dataran tinggi, selama dua kali panen. Namun, untuk meningkatkan produksi dan kontinuitas produksi kumis kucing selain pupuk kandang, tetap diperlukan pemupukan NPK pada dosis tertinggi, masing-masing 300 kg/ha Urea dan SP36, serta 150 kg/ha KCl. Aksesi B yang berbunga putih, mampu menunjukkan ekspresi potensi genetik lebih baik dalam produksi terna segar dan kering di KP Manoko. Sedangkan aksesi A menunjukkan ekspressi potensi genetik lebih baik dalam kandungan sinensetin. Peningkatan kandungan sinensetin pada aksesi A maupun B, sejalan engan peningkatan dosis pupuk NPK yang diaplikasikan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kemenristek yang telah mendanai penelitian melalui program Konsorsium SINas Ristek tahun 2013.
246
Otih Rostiana et al. : Respon Dua Aksesi Kumis Kucing {Orthosiphon aristatus (Blume) Miq.} terhadap Perlakuan Pemupukan di Dataran Tinggi
DAFTAR PUSTAKA Dardanelli MS, FJ Cordoba, MR Espuny, MAR Carvajal, Dı´az MES, AMGil Serrano, Y Okon, and M Megıas. 2008. Effect of Azospirillum brasilensecoinoculated with Rhizobium on Phaseolusvulgarisflavonoids and Nod factor production under salt stress. Soil Biology & Biochemistry 40: 2713-2721. De Padua (Editor). 1999. Plant Resources of South East Asia No. 12. Medicinal and Aromatic Crops (2): 49-52. Dong J, Mab X, Weic Q, Peng Sh, Zhang Sh. 2011. Effects of growing location on the contents of secondary metabolites in the leaves of four selected superior clones of Eucommia ulmoides. Industrial Crops and Products 34 (2011) 1607-1614. Hakkinen SH, Torronen AR. 2000. Content of favonols and selected phenolic acids in strawberries and Vaccinium species: infuence of cultivar, cultivation site and technique. Food Research International 33 (2000): 517-524. Horwath AB, Grayer RJ Keith-Lucas DM, and Simmonds MSJ. 2008. Chemical characterisation of wild populations of Thymus from different climatic regions in southeast Spain. Biochemical Systematics and Ecology 36: 117-133. Hossain MA, and Z Ismail. 2012. Quantification and enrichment of sinensetin in the leavesof Orthosiphon stamineus. Arabian Journal of Chemistry (In Press). www.ksu.edu.sa /www.sciencedirect.com. Hossain MA, Mizanur Rahman SM. 2011. Isolation and characterisation of flavonoids from theleaves of medicinal plant Orthosiphon stamineus. Arabian Journal of Chemistry (2011), doi:10.1016/j.arabjc.2011.06.016. Osuagwu GGE, and HO Edeoga. 2012. Effects of inorganic fertilizer application on the flavonoid, phenol and steroid content on the leaves of Ocimum gratissimum (L.) and Gongronema latifolium Benth. Int. J. Med. Arom. Plants. Vol. 2 (2): 254-262. Paunonena R, Tiitto RJ, Tegelberg Rousi M, Heiskaa S. 2009. Salicylate and biomass yield, and leaf phenolics of darkleaved willow (Salix myrsinifolia Salisb.) clones under different cultivation methods after the second cultivation cycle. Industrial crops and products 2 9 (2 0 0 9) 261-268. Rostiana O, Rosita SMD, S Aisyah. 2012. Uji adaptasi kumis kucing. Laporan Tahunan Perkembangan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, tahun 2012 (Unpublished). Rostiana O, Rosita SMD, S Aisyah. 2013. Uji adaptasi kumis kucing. Laporan Tahunan Perkembangan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, tahun 2012 (Unpublished). Taleon V, L Dykes, WL Rooney, and LW Rooney. 2012. Effect of genotype and environment on flavonoid concentration and profile of black sorghum grains. Journal of Cereal Science 56: 470-475.
247