II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang
merupakan anggota Allium yang paling banyak diusahakan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi selain bawang putih dan bawang Bombay. Tanaman bawang merah banyak dibudidayakan di daerah dataran rendah yang memiliki iklim kering dan suhu yang cukup tinggi. Jika dilihat secara ilmiah, kedudukan bawang merah dalam tata nama atau sistematika tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut : Divisio
: Spermatophyta
Sub division
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Lilialaes (Liliflorae)
Famili
: Liliales
Genus
: Allium
Spesies
: Allium ascalonicum L.
Menurut Rahayu (1998), bawang merah tergolong tanaman semusim atau setahun yang berbentuk rumpun dengan akar serabut. Tanaman bawang merah memiliki batang yang sangat pendek, sehingga hampir tidak tampak dengan daun yang memanjang dan berbentuk silindris. Pangkal daunnya akan berubah bentuk dan fungsinya hingga membentuk umbi lapis. Umbi tersebut kemudian membentuk tunas baru yang kemudian tumbuh membesar dan setelah dewasa akan membentuk umbi kembali. Karena sifat pertumbuhan tersebut maka dari satu umbi dapat membentuk satu rumpun tanaman yang berasal dari hasil peranakan umbi. Cukup banyak varietas bawang merah yang ditanam di Indonesia seperti varietas Bima Brebes, Kuning, Timor, Sumenep, dan varietas bawang merah impor seperti dari Filipina dan Bangkok (ditanam pada musim kemarau), tetapi umumnya tingkat produktivitasnya masih terhitung rendah. Saat ini, varietas bawang merah yang sebagian besar diusahakan di Kelurahan Brebes adalah jenis
8
Bima dan jenis Kuning. Menurut Wibowo (1999), varietas Bima merupakan salah satu varietas yang memiliki tingkat produktivitas tertinggi dibanding dengan varietas lainnya. Varietas Bima sangat terkenal dengan produksinya yang sangat tinggi hingga mencapai 10.000 kilogram per hektar. Varietas ini sangat unik, karena memiliki ketahanan yang tinggi terhadap tingkat curah hujan yang tinggi. Umbi yang dihasilkan berukuran besar, bercincin kecil dengan warna merah muda. Umur panen dari varietas Bima termasuk pendek, yaitu sekitar 60-65 hari. Sedangkan varietas Kuning memiliki tingkat produktivitas yang sedikit lebih rendah dari varietas Bima, yaitu sekitar 7.000 kilogram per hektar. Varietas ini sangat cocok untuk ditanam pada musim kemarau. Umbi yang dihasilkan berbentuk bulat dengan cincin-cincin umbi lapis yang jelas. Umur panen dari varietas ini tergolong panjang, yaitu sekitar 80 hari. 2.2.
Syarat Tumbuh dalam Budidaya Bawang Merah Menurut Rukmana (1994), dalam budidaya bawang merah terdapat
beberapa syarat dan perlakuan agar tanaman bawang merah dapat berproduksi dengan baik, yaitu : 1. Iklim Bawang merah akan berproduksi dengan sangat baik jika ditanam di daerah yang berikilim kering dengan suhu yang cenderung panas dan cuaca cerah. Tanaman bawang merah memiliki akar yang pendek, sehingga walaupun ditanam di daerah yang beriklim kering, tanaman ini harus diberikan pengairan yang baik. Musim yang sangat tepat untuk menanam bawang merah adalah pada akhir musim hujan atau pada awal musim kemarau. 2. Suhu dan Ketinggian Tempat Tanaman bawang merah sangat baik diusahakan di tempat yang memiliki ketinggian kurang dari 30 meter di atas permukaan laut atau di dataran rendah dengan suhu rata-rata berkisar antara 25 - 32oC. Pada suhu di bawah 22oC, tanaman bawang merah akan mengalami kesulitan untuk berumbi, sehingga tingkat produktivitasnya akan sangat rendah.
9
3. Tanah Bawang merah dapat ditanam di sawah setelah panen padi atau dapat juga ditanam di tanah darat seperti tegalan, kebun dan pekarangan. Tanah yang sangat baik untuk pertumbuhan bawang merah adalah tanah yang gembur, subur, dan banyak mengandung bahan organis atau humus. Selain itu, dibutuhkan tanah yang memiliki aerasi yang baik dan tidak becek. Tanah yang gembur dan subur akan mendorong perkembangan umbi, sehingga umbi yang dihasilkan akan berukuran lebih besar. 2.3.
Perlakuan Pasca Panen Penanganan panen dan pasca panen merupakan satu rangkaian dengan
kegiatan budidaya tanaman. Kegiatan ini juga perlu mendapat perhatian khusus dan hati-hati agar hasil yang akan dipasarkan mempunyai kualitas baik dan bernilai ekonomis tinggi. Penanganan pasca panen yang dapat dilakukan untuk menghindari kerusakan bawang merah setelah panen meliputi pembersihan, pengeringan, sotrasi dan grading, penyimpanan, pengemasan dan pengangkutan. 1. Pembersihan Umbi bawang merah yang baru dipanen keadaannya masih sangat kotor, karena banyak tanah yang melekat pada umbi. Pembersihan umbi dapat dilakukan bersamaan dengan proses pengikatan daun dari beberapa rumpun tanaman. Setelah pengikatan selesai, pembersihan umbi dapat dilakukan dengan menggerak-gerakkan ikatan bawang merah tersebut dibantu juga dengan tangan sehingga tanah yang menempel berjatuhan. Setelah bawang merah bersih, ikatan dapat diletakkan di tempat penjemuran. 2. Pengeringan Proses pengeringan bawang merah dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu penjemuran, pengasapan dan pengeringan mekanis. Penjemuran bawang merah umumnya dilakukan di lahan-lahan bekas penanaman. Areal yang dibutuhkan untuk penanaman sekitar 50 hingga 60 persen dari luas area penanaman. Saat penjemuran berlangsung, bagian umbi bawang merah 10
tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung untuk menghindari terjadinya sengatan luka bakar pada umbi. Pada saat penjemuran, umbi diletakkan di bagian bawah dengan daun di bagian atas. Cara pengasapan dilakukan apabila kondisi cuaca sedang buruk dan tidak mungkin dilakukan penjemuran. Pengasapan dilakukan di tempat khusus dengan membuat tungku-tungku berbahan bakar kayu atau sekam. Untuk mengatur suhu, tempat pengasapan dilengkapi dengan jendela yang dapat dibuka dan thermometer sebagai pengatur suhu. Agar bawang merah kering secara merata, perlu dilakukan pembalikan atau pertukaran tempat. Bila panas ruangan dipertahankan secara normal, dalam 12 jam umbi sudah cukup kering. Umbi bawang merah dapat juga dikeringkan dengan menggunakan pengering mekanis. Prinsip kerja alat tersebut yaitu dengan menggunakan sumber pemanas kompor. Pipa-pipa pemanas dipanaskan dengan kompor hingga udara di dalam pipa ikut memanas. Kemudian udara tersebut dialirkan ke dalam ruangan pengering yang berisi rak-rak penyimpanan bawang dengan menggunakan blower atau kipas angin. Selama berada di dalam bilik pengeringan, air yang terkandung di dalam umbi akan menguap, hingga umbi akan mengering. 3. Sortasi dan Grading Kegiatan sortasi dan grading dilakukan untuk memisahkan umbi bawang merah yang baik dengan yang cacat, busuk, terkena hama penyakit atau kerusakan lainnya. Ukuran yang dijadikan acuan biasanya adalah keseragaman, umur umbi, tingkat kekeringan, penyakit, bentuk umbi dan ukuran besar kecilnya umbi. 4. Penyimpanan Dalam kegiatan penyimpanan bawang, diperlukan ruangan khusus berupa gudang penyimpanan yang bersuhu sekitar 25 hingga 30oC dengan tingkat kelembapan 60 hingga 70 persen dan memiliki ventilasi yang baik. Bila bawang merah disimpan di ruangan dengan tingkat kelembapan tinggi, bawang merah akan mudah terserang penyakit, terutama oleh jamur. Untuk mempermudah dalam kegiatan pengangkutan, bawang merah sebaiknya
11
dimasukkan dalam kemasan karung yang anyamannya jarang, sehingga udara dapat masuk. 5. Pengangkutan Pengangkutan bawang merah dilakukan ke beberapa tempat seperti gudang, pasar, supermarket atau ekspor. Agar bawang merah tidak rusak selama proses pengangkutan berlangsung, diperlukan kendaraan yang dapat memberikan tempat yang luas dan aman selama perjalanan. Agar kualitas bawang merah terjamin, hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan terhadap umbi, seperti benturan fisik, kontaminasi kotoran, ataupun terkena air hujan. 2.4.
Studi Penelitian Terdahulu Tentang Tataniaga Beberapa penelitian terdahulu yang menganalisis mengenai tataniaga
komoditas hortikultura adalah penelitian Rosantiningrum (2004), tentang Analisis Produksi dan Pemasaran Usahatani Bawang Merah (Studi Kasus Desa Banjaranyar, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah), penelitian Anggraini (2000) tentang Analisis Usahatani dan Pemasaran bawang Merah (Kasus di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah), penelitian Maulina (2001) mengenai Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Bawang Merah (Kasus :
Desa Kemukten, Kecamatan Kersana,
Kabupaten Dati II Brebes, Jawa tengah), penelitian Ariyanto (2008) mengenai Analisis Tataniaga Sayuran Bayam (Kasus Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor), dan penelitian Agustina (2008) mengenai Analisis Tataniaga dan Keterpaduan Pasar Kubis (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat). Penelitian Rosantiningrum (2004) didasari adanya fakta bahwa sistem pemasaran bawang merah yang terjadi pada tahun 2004 belum memberikan insentif yang besar bagi peningkatan kesejahteraan petani. Permasalahan tersebut disebabkan oleh harga bawang merah yang fluktuatif yang perubahannya terjadi dalam waktu kurang dari satu bulan. Akibat dari fluktuasi harga bawang merah tersebut dinilai oleh peneliti dapat merugikan petani. Nilai koefisien variasi perubahan harga bawang merah yang terjadi pada tahun 2001 dan 2002 lebih dari
12
10 persen yaitu 19,68 persen dan 22,35 persen yang berarti terjadi ketidaksempurnaan sistem pemasaran dengan perbedaan harga yang sangat signifikan setiap bulannya. Penelitian Anggraini (2000) juga didasari adanya fakta bahwa belum sempurnanya sistem pemasaran bawang merah yang terjadi pada tahun 2000. Sistem pemasaran yang ada selama ini belum memberikan kesejahteraan bagi petani, karena keuntungan terbesar berada di tangan pedagang perantara. Permasalahan tersebut disebabkan oleh harga bawang merah yang fluktuatif yang perubahannya terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Akibat dari fluktuasi harga bawang merah tersebut dinilai oleh peneliti dapat merugikan petani. Penelitian Maulina (2001) didasari adanya fakta bahwa adanya peningkatan permintaan bawang merah yang signifikan setiap tahunnya antara tahun 1986 hingga tahun 1995 yaitu dengan rata-rata sebesar 6,39 persen per tahun, sehingga bawang merah dianggap memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan ke di masa depan dan dapat memberikan keuntungan bagi petani. Penelitian Ariyanto (2008) didasari atas informasi yang diterima di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, yaitu saluran tataniaga bayam memiliki jalur tataniaga yang panjang dan farmers’s share rendah dengan kisaran antara 28 persen - 42,8 persen. Perbedaan harga bayam di tingkat petani dengan di tingkat konsumen terjadi begitu besar. Petani di Desa Ciaruten Ilir sebagai produsen sekaligus sebagai pihak yang menerima harga. Dalam posisi tawar-menawar sering tidak seimbang, petani dikalahkan dengan kepentingan pedagang yang lebih dulu mengetahui harga. Keluhan ini semakin diperkuat karena fluktuasi harga selalu berubah-ubah. Penelitian Agustina (2008) didasari oleh fakta bahwa harga yang terjadi pada komoditas kubis setiap saat dapat berubah. Fluktuasi harga tersebut pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara volume permintaan dan penawaran dimana tingkat harga meningkat jika volume permintaan melebihi penawaran dan sebaliknya. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena selain banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat, informasi yang tersedia untuk semua pihak masih relatif kurang, kemudian kelemahan dalam mencari dan menentukan peluang pasar serta belum kuatnya segmentasi pasar. Hal ini menyebabkan adanya
13
margin atau perbedaan harga di tingkat produsen dan di tingkat konsumen yang cukup besar, serta tidak adanya keterpaduan harga di tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen. 2.4.1.
Sistem dan Pola Saluran Pemasaran Hasil dari penelitian Rosantiningrum (2004) mengenai pola saluran
pemasaran menyatakan bahwa terdapat tiga pola saluran pemasaran bawang merah yang terjadi di Desa Banjaranyar, yaitu pola I dari petani – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen non lokal, pola II dari petani – pedagang pengumpul – pedagang besar atau grosir – pedagang pengecer – konsumen non lokal, dan pola III yaitu dari petani – pedagang pengumpul – konsumen lokal. Dari ketiga pola tersebut, Rosantiningrum menyatakan bahwa pola II merupakan pola yang paling banyak digunakan oleh pelaku tataniaga di Desa Banjaranyar yaitu sebesar 86,87 persen. Di Desa Wanasari, Kecamatan Brebes, terdapat lebih banyak pola saluran pemasaran. Pola saluran tersebut yaitu pola I dari petani – pedagang pengumpul desa – pedagang besar – pedagang grosir Pasar Induk – pedagang pegecer Pasar Induk – konsumen Pasar Induk, pola II dari petani – pedagang besar – pedagang grosir Pasar Induk – pedagang pengecer Pasar Induk – konsumen Pasar Induk. Pola saluran III merupakan saluran terpanjang yang dilalui komoditas bawang merah di Desa Wanasari, yaitu dari petani – pedagang pengumpul desa – pasar bawang – pedagang besar – pedagang grosir Pasar Induk – pedagang pengecer Pasar Induk – konsumen Pasar Induk. Pola saluran IV merupakan pola yang terjadi dalam lingkup pemasaran lokal yaitu dari petani – pedagang pengumpul desa – pasar bawang – pedagang pengecer lokal – konsumen lokal. Berdasarkan hasil penelitian Anggraini (2000), pola saluran pemasaran I dan II yang paling banyak digunakan yaitu sebesar 46,67 persen dan 33,33 persen. Penelitian Maulina (2001) memiliki pola saluran pemasaran yang hampir menyerupai pola saluran pemasaran dari penelitian Rosantiningrum (2004). Pada penelitian ini, pola saluran pemasaran yang terjadi terbagi dalam tiga pola, yaitu pola I dari petani – pedagang besar - konsumen, pola II dari petani – pedagang pengumpul – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen non lokal, dan
14
pola III dari petani – pedagang pengumpul – pedagang pengecer – kosumen lokal. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pola saluran yang paling banyak digunakan di Desa Kemukten adalah pola III, yaitu sebesar 77,78 persen. Penelitian Ariyanto (2008) menyatakan bahwa pola saluran pemasaran sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir terbagi dalam tiga saluran pemasaran yaitu Saluran pemasaran 1 : petani – pedagang pengumpul – pedagang pengecer – konsumen. Saluran pemasaran 2 : petani – pedagang pengecer – konsumen. Saluran pemasaran 3 : petani – konsumen. Berdasarkan analisis marjin tataniaga diketahui bahwa saluran tataniaga tiga petani yang paling efisien. Petani memperoleh keuntungan terbesar yaitu sebesar Rp 368 per ikat, rasio keuntungan dan biaya yaitu sebesar 9,43 dan bagian harga yang terbesar (farmer’s Share) diterima oleh petani sebesar 100 persen. Pada saluran tataniaga tiga petani berprofesi sebagai pedagang pengecer dan produk yang dijual sedikit sehingga keuntungan secara total yang diperoleh tidak begitu besar dan hanya sebagian kecil dari jumlah petani yang di wawancarai yang melakukan kegiatan tataniaga ini. Di Desa Cimenyan, terdapat tiga saluran tataniaga kubis yaitu: (1) Petani Pedagang Pengumpul I - Grosir – Pengecer - Konsumen (2)Petani - pedagang pengumpul II - Grosir - Pengecer - Konsumen (3) Petani – Grosir - Pengecer Konsumen. Saluran dua dibagi menjadi dua bagian, pertama pemasaran di daerah produksi (lokal) dan kedua pemasaran di luar daerah produksi. Alternatif saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar bagi petani dibandingkan dengan saluran lainnya berdasarkan nilai total margin, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya adalah saluran tiga dengan nilai total margin sebesar Rp 1.681,87, farmer’s share terbesar yaitu 55,81 persen, rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 2,28. 2.4.2.
Fungsi Lembaga Pemasaran Mengenai fungsi yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemasaran,
hasil dari penelitian Rosantiningrum (2004) memiliki kesamaan dengan penelitian Maulina (2001). Fungsi yang dilakukan oleh petani meliputi fungsi pertukaran berupa penjualan dan fungsi fasilitas berupa fungsi informasi pasar, sedangkan
15
pedagang pengumpul melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa penyimpanan dan pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa informasi pasar. Pedagang grosir atau pedagang besar dan pedagang pengecer melakukan fungsi yang sama dengan pedagang pengumpul. Hasil penelitian Anggraini (2000) menunjukkan perbedaan dalam fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran dibandingkan dengan kedua penelitian lainnya. Pada penelitian tersebut, petani melakukan fungsi yang lebih banyak yaitu fungsi pertukaran berupa penjualan, fungsi fisik berupa penyimpanan dan fungsi fasilitas berupa informasi pasar. Pedagang pengumpul melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa informasi pasar. Pedagang besar dan pedagang pengecer melakukan fungsi yang hampir sama, yaitu meliputi fungsi pertukaran berupa penjualan, pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan, dan fungsi informasi pasar berupa informasi pasar, dan ditambah fungsi pengangkutan pada fungsi yang dilakukan oleh pedagang besar. Sedangkan pedagang grosir melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan, pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan dan fungsi fasilitas berupa fungsi informasi pasar. Hasil penelitian Ariyanto (2008) menunjukkan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani sayuran bayam adalah fungsi pertukaran berupa fungsi penjualan, fungsi fisik berupa kegiatan pengemasan, pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa informasi pasar, penanggungan risiko dan pembiayaan. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah fungsi pertukaran berupa fungsi pembelian dan penjualan, fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan, fungsi fasilitas berupa informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah fungsi pertukaran berupa fungsi pembelian dan penjualan, fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan, fungsi fasilitas berupa informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan. Hasil penelitian Agustina (2008) menyatakan bahwa petani melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan, fungsi fisik berupa pengemasan dan fungsi pengangkutan. Pedagang pengumpul melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan, dan pengangkutan serta fungsi fasilitas berupa fungsi penanggungan risiko dan fungsi informasi
16
pasar. Pedagang pengumpul II melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa fungsi standarisasi dan grading, informasi harga, pembiayaan dan penanggungan risiko. Pedagang grosir melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan, serta fungsi fasilitas berupa sortasi dan grading. Pedagang pengecer melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan dan penyimpanan serta fungsi fasilitas berupa fungsi penanggungan risiko dan informasi pasar. 2.4.3.
Analisis Struktur dan Perilaku Pasar Analisis struktur dan perilaku pasar dilakukan dalam penelitian
Rosantiningrum (2004), Ariyanto (2008) dan Agustina (2008) sedangkan kedua penelitian
lainnya
tidak
melakukan
analisis
tersebut.
Pada
penelitian
Rosantiningrum, struktur pasar dianalisis dengan melihat jumlah lembaga yang terlibat, jenis produk, hambatan keluar masuk pasar, dan informasi pasar. Di tingkat petani hingga pedagang pengumpul, jenis produk yang dipasarkan seragam atau homogen, sedangkan di tingkat pedagang grosir hingga pedagang pengecer produk yang dijual lebih beragam atau heterogen dari ukuran dan harganya. Hambatan keluar masuk pasar pada tingkat petani dan pedagang pengecer rendah dilihat dari kebutuhan modal yang rendah untuk dapat masuk pasar. Sedangkan bagi pedagang pengumpul dan pedagang grosir, dibutuhkan modal yang besar untuk dapat masuk ke dalam kegiatan pemasaran bawang merah, sehingga hambatan masuk dan keluar pasar relatif tinggi. Informasi pasar diperoleh pelaku kegiatan pemasaran melalui pedagangpedagang yang terlibat dalam kegiatan pemasaran. Berdasarkan analisis tersebut, Rosantiningrum menyimpulkan bahwa struktur pasar yang terjadi di tingkat petani dan pedagang pengumpul adalah struktur pasar oligopoli, pada tingkat pedagang grosir adalah struktur pasar monopolistik, sedangkan pada tingkat pedagang pengecer adalah pasar persaingan sempurna. Analisis perilaku pasar diamati dengan melihat sistem penentuan harga bawang merah serta kerjasama diantara berbagai lembaga pemasaran yang
17
terlibat. Sistem penentuan harga yang dilakukan oleh petani hingga pedagang pengecer di Desa Banjaranyar dilakukan dengan sistem tawar menawar. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing lembaga pemasaran menghadapi harga yang telah ditentukan oleh lembaga pemasaran diatasnya sehingga semua lembaga pemasaran yang terlibat hanya sebagai price taker. Dalam penentuan harga pasar, tidak ada kerjasama antara pedagang, sehingga harga yang terbentuk berdasarkan mekanisme kerja hukum permintaan dan penawaran. Pada penelitian Ariyanto (2008), struktur pasar yang dihadapi petani sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir bersifar pasar bersaing sempurna karena jumlah petani yang banyak, tidak dapat mempengaruhi harga dan petani bebas untuk keluar masuk pasar. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul di Desa Ciaruten Ilir adalah Oligopsoni. Terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengumpul. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer adalah pasar persaingan sempurna, karena jumlah pedagang pengecer cukup banyak, produk yang diperjualbelikan bersifat homogen dan pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi pasar sehingga bertindak sebagai price taker. Perilaku pasar yang dilakukan oleh pedagang pengumpul berupa praktek pembelian sayuran bayam dan menjual kepada pedagang pengecer. Secara umum sistem pembayaran antar lembaga tataniaga dan petani dilakukan secara tunai dan harga produk berdasarkan mekanisme pasar. Kerjasama anatara petani dan pedagang pengumpul terjalin dengan baik melalui kegiatan jual-beli produk sayuran bayam. Hal yang sama juga terjadi diantara pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Pada penelitian Agustina (2008), struktur pasar yang dihadapi petani kubis yaitu oligopsoni. Hal ini dikarenakan jumlah lembaga tataniaga kubis tidak sebanding dengan jumlah petani. Jumlah petani lebih banyak dibandingkan jumlah pedagang pengumpul I maupun pedagang pengumpul II. Sedikitnya jumlah pedagang pengumpul desa (I dan II) menyebabkan harga lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul, sehingga petani hanya bertindak sebagai price taker akibat posisi tawar yang lemah walaupun dalam proses transaksi dilakukan secara tawar-menawar. Pedagang pengumpul I menghadapi struktur
18
pasar oligopsoni. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pedagang pengumpul desa yang menjual kubis, namun dihadapkan pada jumlah pedagang grosir yang terbatas yaitu hanya dua orang. Hambatan masuk bagi pedagang pengumpul I terletak pada modal yang harus digunakan untuk membeli kubis dari petani. Komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu kubis green cronet. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul II adalah oligopoli. Hal ini dilihat dari jumlah pedagang grosir yang lebih besar dari jumlah pedagang pengumpul II. Hambatan masuk bagi pedagang pengumpul II terletak pada modal yang harus digunakan untuk membeli kubis dari petani. Komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu kubis green cronet. Pedagang grosir menghadapi pasar oligopoli dimana jumlah pedagang pengecer lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pedagang grosir. Komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu kubis green cronet. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer bersifat oligopoli. Komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen dan jumlah pedagang pengecer sedikit dibandingkan jumlah konsumen yang sangat banyak. Pada kegiatan penentuan harga kubis di lokasi penelitian, antara pedagang pengumpul I dan pedagang pengumpul II didasarkan pada harga yang berlaku di pasaran dan proses tawar-menawar, dimana pedagang memperoleh informasi harga dari grosir atau sesama pedagang pengumpul. Sistem pembayaran yang terjadi dalam kegiatan pertukaran komoditas kubis ini terbagi dalam tiga sistem pembayaran, yaitu sistem pembayaran tunai, sistem pembayaran kemudian dan sistem pembayaran di muka. 2.4.4.
Analisis Efisiensi Saluran Pemasaran Analisis efisiensi pemasaran pada penelitian di atas dilakukan dengan
menganalisis margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya dari masing-masing saluran pemasaran. Pada penelitian Rosantiningrum (2004), margin pemasaran terbesar terjadi pada pola II, yaitu sebesar 57,3 persen dari harga jual pedagang pengecer. Farmer’s share terbesar terjadi pada pola III, sebesar 56,4 persen, sedangkan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar terjadi
19
pada pola I, yaitu sebesar Rp 4.2 untuk setiap Rp 1,- yang dikeluarkan. Rosantiningrum menyimpulkan bahwa pola saluran pemasaran yang paling efisien adalah pola saluran pemasaran III dimana bagian yang diperoleh petani cukup tinggi yaitu 56,4 persen dengan total margin 43,6 persen. Pada penelitian Anggraini (2000), margin pemasaran dan farmer’s share yang terjadi untuk setiap saluran pemasaran sama, yaitu sebesar 44,29 persen untuk farmer’s share dan 55,71 persen untuk margin pemasaran. Hal tersebut dikarenakan harga yang berlaku di tingkat petani dan di tingkat pedagang pengecer pada masing-masing saluran pemasaran sama. Sedangkan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar terjadi pada pola IV, yaitu sebesar 11,73 persen. Pada penelitian ini, peneliti tidak menyimpulkan pola pemasaran yang paling efisien dari hasil analisis margin pemasaran, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pada penelitian Maulina (2001), farmer’s share terbesar terdapat pada pola II yaitu sebesar Rp 3.825,00 atau 90,00 persen. Hal ini terjadi karena petani pada pola II langsung menjual bawang merahnya di pasar-pasar yang berada di luar kota dan petani juga melakukan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh pedagang pengumpul. Berdasarkan total margin yang terjadi, pola III memiliki margin terbesar yaitu 34,66 persen dari harga jual pengecer dan pola II memiliki margin paling kecil yaitu sebesar 10,00 persen. Pola III memiliki margin terbesar karena pola III memiliki saluran pemasaran yang paling panjang diantara seluruh pola pemasaran yang terjadi. Rasio keuntungan terhadap biaya dalam penelitian Maulina (2001) menunjukkan bahwa pola III memberikan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar, yaitu sebesar Rp4,80 untuk setiap Rp1,00 yang dikeluarkan dan pola II memberikan keuntungan terkecil yaitu Rp1,93 untuk setiap Rp1,00 yang dikeluarkan. Dari hasil analisis tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pola saluran pemasaran II merupakan pola saluran pemasaran yang peling efisien, dimana bagian yang diperoleh petani cukup tinggi yaitu 90,00 persen dengan total margin 10,00 persen. Pada penelitian Ariyanto (2008), berdasarkan analisis marjin tataniaga diketahui bahwa saluran tataniaga tiga petani yang paling efisien, karena hasil
20
produksi sayuran bayam langsung dibawa ke pasar dan dijual langsung ke konsumen dalam bentuk ikat dan petani bertindak sebagai pedagang pengecer. Petani memperoleh keuntungan terbesar yaitu sebesar Rp 368 per ikat, rasio keuntungan dan biaya yaitu sebesar 9,43 dan bagian harga yang terbesar (farmer’s Share) diterima oleh petani sebesar 100 persen. Pada saluran tataniaga tiga petani berprofesi sebagai pedagang pengecer dan produk yang dijual sedikit sehingga keuntungan secara total yang diperoleh tidak begitu besar dan hanya sebagian kecil dari jumlah petani yang di wawancarai yang melakukan kegiatan tataniaga. Berdasarkan penelitian Agustina (2008), Alternatif saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar bagi petani dibandingkan dengan saluran lainnya berdasarkan nilai total margin, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya adalah saluran tiga dengan nilai total margin sebesar Rp 1.681,87, farmer’s share terbesar yaitu 55,81 persen, rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 2,28. Berdasarkan studi dari beberapa penelitian terdahulu, dapat terlihat bahwa peneliti menggunakan beberapa alat analisis yang digunakan untuk menjabarkan kegiatan tataniaga produk agribisnis bawang merah yang berupa analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan meneliti sistem dan pola saluran pemasaran bawang merah dari petani hingga sampai ke konsumen akhir, fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran yang terlibat, serta analisis struktur dan perilaku pasar yang dihadapi oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan pemasaran. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan dengan menganalisis tingkat efisiensi saluran pemasaran yang digunakan dalam memasarkan produk bawang merah hingga sampai ke konsumen akhir dengan menggunakan alat analisis margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya dari masing-masing saluran pemasaran. Dalam penelitian ini peneliti melakukan analisis serupa, untuk melihat apakah dengan kondisi harga bawang merah pada bulan Februari hingga Maret 2011, kegiatan pemasaran komoditas bawang merah di Kelurahan Brebes telah dianggap efisien. Penelitian bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat margin yang diterima pedagang perantara, rasio keuntungan terhadap biaya dan farmer’s share yang diterima petani jika harga yang diterima konsumen
21
akhir memiliki selisih yang besar dibanding harga rata-rata yang diterima konsumen akhir dan harga yang terdapat dalam penelitian terdahulu. Tabel 3. Tinjauan Penelitian Terdahulu No
Nama
Judul Penelitian
Alat Analisis
1
Rosantiningrum
Analisis Produksi dan Pemasaran Usahatani Bawang Merah (Studi Kasus Desa Banjaranyar, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, analisis struktur dan perilaku pasar, efisiensi saluran pemasaran.
Analisis Usahatani dan Pemasaran bawang Merah (Kasus di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, efisiensi saluran pemasaran.
Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Bawang Merah (Kasus : Desa Kemukten, Kecamatan Kersana, Kabupaten Dati II Brebes, Jawa tengah)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, efisiensi saluran pemasaran.
Analisis Tataniaga Sayuran Bayam (Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, analisis struktur dan perilaku pasar, efisiensi saluran pemasaran.
Analisis Tataniaga dan Keterpaduan Pasar Kubis (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, analisis struktur dan perilaku pasar, efisiensi saluran pemasaran.
(2004)
2
Anggraini (2000)
3
Maulina (2001)
4
Ariyanto (2008)
5
Agustina (2008)
22