TINJAUAN PUSTAKA
Komoditas Ubi Jalar Ubi jalar (lpomomea batatas L) adalah tanaman bahan pangan yang memiliki nutrisi tinggi dan mudah dibudidayakan, tahan terhadap kekeringan dan air, cepat menghasilkan, mudah disimpan dan tahan lama dan mempunyai rasio produksi dan lahan yang cukup tinggi. Menurut seorang ahli Botani Rusia, Nikolai Ivanovich Vavilov, tanaman ini berasal dari Amerika Tengah yang menyebar ke seluruh dunia terutama negara–negara yang beriklim tropis pada abad ke XVI sampai ke kawasan Asia terutama Filipina, Jepang dan Indonesia. Nama lokal tanaman ubi jalar sangat bervariasi, di Jawa Barat bernama Boled, di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Tela Rambat, di Jepang dikenal dengan nama Shoyu dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Sweet Potato. Mazulla (1994) menyatakan bahwa 17% dari waktu tanam ubi jalar untuk masa pertumbuhan, 26 % untuk persiapan bibit/stek dan penanaman, 13 % untuk pembajakan dan pengolahan tanah, 28% untuk pembalikan tanah selama masa awal pertumbuhan, 16% untuk masa panen. Penggunaan tenaga kerja yang paling banyak adalah saat penanaman dan panen. Untuk menjaga kualitas komoditas ubi jalar, pada saat panen proses pencangkulan dan pemotongan ubi dari tangkainya adalah proses yang harus mendapat perhatian ekstra. Pada saat ini, ada dua metode yang bisa dilakukan untuk proses panen yaitu : (1). Secara konvensial, membongkar tanah dengan menggunakan tangan, dan memotong umbi dari tangkainya; (2). Secara mekanis, membongkar tanah dengan menggunakan mesin, pengumpulan dan sortir dilakukan dengan manual (tangan). Menurut Mtunda et al. (2001), meskipun ubi jalar secara umum dimanfaatkan sebagai bahan pangan untuk konsumsi rumah tangga. Namun pemasaran merupakan masalah penting dan yang menjadi kendala utamanya adalah daya simpan (shelf-life) ubi jalar segar relatif singkat. Perkiraan tingkat kerusakan ubi jalar ketika tiba di kota tujuan pemasaran adalah berkisar 43–93%. Beberapa tipe kerusakan diantaranya pecah, terpotong, terinfeksi cylas spp. (boleng
atau
lanas)
dan
berakar.
Semua
kerusakan
tersebut
dapat
memperpendek shelf-life ubi jalar, berakar dan kehilangan berat (weight-less). Menurut Smit (1997), budaya lokal yang membiarkan hasil panen ubi jalar ditumpuk di tempat panen dan melakukan panen secara bertahap, juga
10 merupakan salah penyebab menurunnya kualitas ubi jalar. Keadaan tersebut dapat menyebabkab ubi jalar rentan terkena hama boleng (cylas). Kerusakan yang terjadi terutama diakibatkan karena buruknya cara menangani panen dan pasca panen. Buruknya kualitas komoditas ubi jalar yang dihasilkan selain akan menyebabkan memperpendek shelf-life ubi jalar juga akan menurunkan nilai komoditas ubi jalar di pasaran, bahkan dapat menghilangkan kesempatan mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih besar. Menurut Fuglie (2004), permintaan komoditas ubi jalar masih sangat terbuka luas untuk pasar Asia. Meskipun konsumsi per kapita ubi jalar cenderung mengalami penurunan, tetapi permintaan ubi jalar dalam bentuk pati dan pakan ternak cenderung mengalami peningkatan
yang cukup
besar.
Prospek
perkembangan komoditas ubi jalar di pasar international sangat tergantung kepada daya saingnya terhadap produk sumber karbohidrat lainnya seperti pati jagung (maizena). Chips ubi jalar dan sawut ubi jalar (grates) merupakan produk turunan dari ubi jalar yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Chips ubi jalar dapat
digunakan sebagai bahan dasar formulasi pakan ternak (Gerona and Sanchez, 1995; Yen, 1982) atau dapat diproses lebih lanjut menjadi tepung ubi jalar (CIATT, 1988; Tan and Orias, 1986; Tan, 1990). Sawut ubi jalar (dried grates) dapat dipakai sebagai bahan dasar pembuatan makanan tradisional (Truong, 1987) dan juga dapat diproses lebih lanjut menjadi tepung ubi jalar. Pengolahan ubi jalar segar menjadi dried chips dan grates diperlukan untuk mempertahankan kualitas produk untuk penyimpanan jangka panjang.
Pengembangan Wilayah Konsep pengembangan wilayah dikembangkan dari kebutuhan suatu daerah untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam menata kehidupan sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Pengaruh globalisasi, pasar bebas dan regionalisasi menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika spasial, sosial, dan ekonomi antar negara, antar daerah (kota/kabupaten), kecamatan hingga perdesaan. Pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu daerah terutama di perdesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan yang berskala global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah yang baik dengan mempertimbangkan aspek internal,
11 sosial dan pertumbuhan ekonomi akan berakibat semakin bertambahnya desadesa tertinggal. Perubahan paradigma perlu dilakukan dalam menata kembali daerah-daerah yang dikatagorikan miskin dan lemah agar mampu meningkatkan daya saing, manajemen produksi dan teknologi tepat guna berbasis lokal yang mampu mempengaruhi daerah lainnya secara timbal balik. Secara sederhana konsep pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan perdesaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan bawah agar dapat mempengaruhi pasar secara berkelanjutan. Terminologi wilayah (region) hingga kini belum ada kesepakatan diantara para
pakar
ekonomi,
pembangunan,
geografi
maupun
bidang
lainnya
(Richardson, 1975; Alkadri 2002). Sebagian ahli mendefinisikan wilayah merujuk pada tipe-tipe, fungsi wilayah atau kawasan dan korelasi unsur-unsur fisik dan non fisik dalam pembentukan suatu wilayah. Namun demikian, secara umum definisi wilayah dapat diartikan sebagai suatu unit geografis yang membentuk suatu kesatuan. Pengertian unit geografis merujuk pada ruang (spatial) yang mengandung aspek fisik dan non fisik seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, lingkungan, biologi dan pendidikan. Dalam konteks pembangunan, penerapan ilmu kewilayahan berpijak pada empat pilar, yaitu: (1) sumber daya alam, (2) lokasi, (3) ekonomi dan (4) sosial-budaya (socio-culture). Pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah dan menjaga kelestarian hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat dibutuhkan untuk mengkaji kondisi sosial, budaya, ekonomi, politik dan geografis secara terpadu yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Penerapan konsep pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan potensi, permasalahan dan kondisi nyata wilayah bersangkutan. Tujuan pengembangan wilayah adalah menyerasikan berbagai kegiatan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumber daya yang ada dapat optimal mendukung peningkatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran program pembangunan yang diharapkan. Optimalisasi berarti tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial budaya dan lingkungan yang berkelanjutan (Anwar, 2001).
12 Keterkaitan Antar Wilayah Salah satu faktor penyebab kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan selama ini adalah terjadinya kecenderungan aliran bersih (transfer netto) sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besarbesaran dengan disertai derasnya proses migrasi penduduk secara berlebihan dari wilayah perdesaan ke kawasan kota-kota besar.
Perpindahan inipun
memberikan dampak dimana di berbagai kota-kota utama mengalami urbanisasi berlebihan (over-urbanization) di lain pihak desapun kehilangan tenaga-tenaga produktif yang seharusnya sebagai bagian dari mata rantai roda kehidupan dan roda ekonomi perdesaan (Anwar dan Rustiadi, 1999). Dari sisi peta kemiskinan kondisi tersebut di atas telah menimbulkan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan dan menghasilkan kemiskinan di perdesaan, sehingga pendekatan pembangunan selama ini yang banyak mengakibatkan urban bias harus menjadi perhatian semua pihak. Apabila proses urbanisasi yang tidak terkendali semakin mendesak produktivitas pertanian dibiarkan akan mengancam ketahanan pangan nasional.
Pengembangan Kawasan Agropolitan Pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif pembangunan perdesaan melalui keterkaitan desa dan kota (urban-rural linkages) untuk mencegah terjadinya urban bias. Pengembangan kawasan perdesaan dengan pendekatan “agro-based development” perlu terus ditingkatkan, sebagai satu kesatuan pengembangan wilayah berdasarkan keterkaitan ekonomi antara desakota
(urban-rural
linkages),
dan
mempunyai
hubungan
yang
bersifat
interdependensi/timbal balik yang dinamis. Sementara itu kawasan-kawasan yang mempunyai produk unggulan, perlu ditumbuhkembangkan menjadi kawasan agribisnis dalam suatu kesisteman yang utuh dan menyeluruh. Selain itu, image desa sebagai pemasok hasil produksi pertanian dalam bentuk produkproduk primer (belum diolah), harus didorong menjadi desa yang mampu menghasilkan bahan-bahan olahan atau industri hasil pertanian sehingga desa dapat menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi baru. Konsep
pengembangan
agropolitan
pertama
kali
diperkenalkan
(Friedmann dan Douglass (1974) dalam Rustiadi et al., 2007) sebagai strategi untuk pengembangan perdesaan. Menurut konsep ini agropolitan terdiri dari beberapa distrik dimana distrik-distrik agropolitan didefinisikan sebagai kawasan
13 pertanian yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian dengan kecenderungan menggunakan pola pertanian modern. Ditinjau dari tata bahasa, agropolitan terdiri dari kata agro yang berarti pertanian dan politan yang berarti kota, dengan demikian agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota. Dalam pedoman pengembangan kawasan agropolitan yang disusun oleh Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian Departemen Pertanian pada tahun 2002. Agropolitan didefinisikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.
Dalam pengertian tersebut sistem agribisnis
adalah suatu sistem yang terdiri dari (1) sub sistem pengadaan infrastruktur, sarana dan prasarana produksi pertanian, (2) sub sistem pengelolaan usaha budidaya pertanian, (3) sub sistem pengolahan hasil-hasil pertanian dan pemasaran, (4) sub sistem kelembagaan penunjang pengembangan agribisnis. Meskipun termaksud banyak hal dalam pengembangan agropolitan, seperti redistribusi tanah, namun konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain yang digunakan oleh Friedmann adalah “kota ladang”. Dengan demikian petani atau masyarakat desa tidak perlu harus pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik dalam pelayanan yang berhubungan dengan masalah produksi dan pemasaran maupun masalah yang berhubungan dengan kebutuhan sosial budaya dan kehidupan setiap hari. Pusat pelayanan diberikan pada setingkat desa, sehingga sangat dekat dengan permukiman petani, baik pelayanan mengenai teknik berbudidaya pertanian maupun kredit modal kerja dan informasi pasar. Berdasarkan penjelasan ini,
semakin tergambar bahwa tujuan dari
pengembangan kawasan agropolitan adalah
meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan
keterkaitan
desa
dan
kota
dengan
semakin
mendorong
berkembangnya sistem agribisnis berbasis kerakyatan, keberlanjutan dan terdesentralisasi di kawasan agropolitan. Kawasan agopolitan dapat merupakan kota menengah, atau kota kecil, atau kota kecamatan atau kota perdesaan atau kota nagari, yang jelas kawasan tersebut merupakan pusat pertumbuhan ekonomi dengan sektor pertanian
14 sebagai fundamennya dan mampu mendorong pertumbuhan wilayah sekitarnya (desa-desa hinterland) di setiap sektor pembangunan. Kawasan agropolitan yang sudah berkembang bercirikan; (1) pendapatan sebagian besar masyarakat bersumber dari sektor pertanian, (2) kegiatan masyarakat didominasi oleh kegiatan agribisnis, (3) hubungan antara kota dan daerah atau antar hinterland agropolitan dan kawasan agropolitan bersifat mandiri dan saling membutuhkan (interdependesi), dan (4) terdapat kemiripan kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan dengan suasana perkotaan (Masterplan Agropolitan, 2005). Pertimbangan utama dalam menentukan kawasan agropolitan adalah faktor ekonomi, seperti skala ekonomi (economic of scale) atau lingkup ekonomi (economic of scope) tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah. Faktor–faktor
tersebut
menjadi
optimal
dengan
adanya
kegiatan
pusat
agropolitan. Jadi peran agropolitan adalah untuk melayani kawasan produksi pertanian di sekitarnya dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para petani setempat. Fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk memberikan kemudahan produksi dan pemasaran antara lain berupa input sarana produksi (pupuk, bibit, obat-obatan, peralatan, dan lain-lain), sarana penunjang produksi (lembaga perbankan, koperasi, listrik, dan lain-lain), serta sarana pemasaran (pasar, terminal angkutan, sarana transportasi, dan lain-lain).
Perkotaan
Perdesaan AGROPOLITAN
Sistem
Agribisnis
Sistem Permukiman
Pusat Pelayanan Agribisnis
Urban Function Center
DPP
Sumber : Rustiadi et al. (2007)
Gambar 1 Keterkaitan Perkotaan dan Perdesaan dalam Agropolitan
15 Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil–hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro–processing skala kecil–menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan teruatama utnuk membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mmapu memfasilitasi lokasi–lokasi pemukiman di perdesaan yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya menyebar. Investasi dalam bentuk jalan yang dapat menghubungkan lokasi–lokasi pertanian denganpasar merupakan suatu hal penting yang diperlukan utnuk menghubungkan anatara wilayah perdesaan dengan pusat kota. (Rustiadi et al., 2007). Interaksi wilayah perkotaan dan perdesaan dalam pengembangan agropolitan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Pengembangan Agropolitan di Kabupaten Kuningan Berdasarkan potensi wilayah Kabupaten Kuningan dan arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat, maka Kabupaten Kuningan perlu mengembangkan 2 sektor unggulannya yaitu agribisnis dan pariwisata. Untuk itu diperlukan arahan dalam kegiatan pengelolaan sumber daya alam dan pemanfaatan ruang sehingga mampu untuk mewadahi dan menampung perkembangan Kabupaten Kuningan. Dengan pertimbangan arahan kebijakan pengembangan wilayah pada tingkat makro serta arahan kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Kuningan sebagaimana dituangkan dalam Perda Kabupaten Kuningan No. 30 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Daerah (Propeda) 2001–2005 dan kebijakan sektoral yang mengarah pada pengembangan kegiatan agribisnis dengan basis ekonomi pertanian yang mantap yang didukung oleh kegiatan industri yang berorientasi kepada agroindustri dan pengembangan sektor pariwisata, maka model pendekatan teoritis yang dapat diaplikasikan dalam proses penyusunan RTRW Kabupaten Kuningan adalah Konsep Agropolitan. Konsep agropolitan yang akan dikembangkan tertuang dalam RTRW Kabupaten Kuningan 2003–2013 dan kemudian rencana yang lebih detil tertuang dalam MasterPlan Agropolitan 2005–2014 . Sehingga terdapat sinergi antara perkembangan yang terjadi di pusat-pusat pertumbuhan dan pelayanan dengan
pertumbuhan
yang
terjadi
di
wilayah
hinterland
yang
16 proses
dalam
perkembangannya akan dilayani melalui pembagian sistem distrik. Secara
konseptual,
model
agropolitan
merupakan
pendekatan
pembangunan yang komprehensif, terintegrasi dan berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dan intensif melalui bottom-up planning. Dilakukan secara sinergis dengan melibatkan multi sektor dan program pembangunan yang secara langsung diarahkan pada peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas dan kualitas
sumberdaya
manusia
dengan
tetap
mempertimbangkan
aspek
keserasian dan kelestarian daya dukung lahan. Konsep ini pada dasarnya merupakan strategi pembangunan wilayah perdesaan yang dipercepat dengan berbasis pada kebutuhan masyarakat dengan tujuan agar proses percepatan pertumbuhan secara lebih merata dapat segera tercapai dan kesejahteraan masyarakat dapat lebih cepat terwujud. Hal ini mengandung pemahaman bahwa fokus model agropolitan diarahkan pada upaya pemberdayaan masyarakat yang pada intinya mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu
pemberdayaan
sosial
kemasyarakatan;
pemberdayaan
ekonomi
masyarakat; dan pendayagunaan prasarana dan sarana, sesuai dengan kondisi potensi dan peluang yang dimiliki (RTRW Kuningan, 2003). Pengelompokan kawasan pertumbuhan akan membentuk kawasan pertumbuhan suatu wilayah dengan demikian akan diketahui pula keunggulankeunggulan yang berbasis local resource wilayah tersebut. Hal ini merupakan dasar untuk pengembangan kawasan agropolitan sehingga kawasan agropolitan yang dibentuk benar-benar tepat sasaran. Bagi Pemerintah Kabupaten Kuningan konsep agropolitan diharapkan dapat mengangkat posisi petani agar mempunyai posisi tawar yang lebih baik terhadap pasar, dengan cara menghasilkan produk yang berkualitas, dengan harga yang bersaing. Grand skenario untuk memberdayakan petani di Kabupaten Kuningan melalui penerapan konsep agropolitan diharapkan dapat menjadi kenyataan dengan cara membuat perencanaan yang komprehensif. Pengembangan
kawasan
agropolitan
dimaksudkan
untuk
meningkatkan
pendapatan/kesejahteraan petani melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing tinggi, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan otonomi di kawasan agropolitan. Sistem usaha agribisnis
17 membangun usaha budidaya (on farm) dan juga usaha lain yang menunjang budidaya
seperti
pasca
panen,
penyediaan
alat-alat/sarana,
pertanian,
pemasaran dan jasa penunjang lainnya (off farm). Menurut hasil kajian dari P4W-IPB, 2004, ada beberapa masalah yang potensial terjadi dalam pelaksanaan agropolitan, yaitu : (1) aspek teknologi yaitu pengolahan hasil pertanian dan peralatannya; (2) aspek ekonomi yaitu modal dan pemasaran hasil produksi; dan (3) aspek sosial yaitu koordinasi antar stakeholder dan pemahaman mengenai konsep agropolitan.
Evaluasi Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan dilakukan melalui evaluasi lahan setelah beberapa
komoditas
unggulan
ditetapkan.
Evaluasi
lahan
adalah
membandingkan persyaratan yang diminta untuk tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan tersebut. Kriteria kualitas lahan yang dijadikan parameter dalam penelitian ini berdasarkan kriteria LREP II Tahun 1994 dan PPT 2003 (Djaenudin et al., 2003) yang mencakup temperatur, ketersediaan air (meliputi bulan kering, curah hujan dan kelembaban) tanah, terrain (meliputi lereng dan topografi), batuan di permukaan dan di dalam tanah, singkapan batuan dan bahaya erosi. Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptibility) suatu lahan untuk tipe penggunaan
lahan
(jenis
tanaman
dan
tingkat
pengelolaan)
tertentu
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Evaluasi kesesuaian lahan pada hakekatnya berhubungan dengan evaluasi untuk satu penggunaan tertentu, seperti
budidaya
tanaman
ubi
jalar.
Hal
ini
dapat
dilakukan
dengan
menginterpretasikan peta–peta yang dapat menggambarkan kondisi biofisik lahan seperti peta tanah, peta topografi, peta geologi, peta iklim dan sebagainya, dalam kaitannya dengan kesesuaian tanaman ubi jalar dan tindakan pengelolaan yang diperlukan. Adapun parameter yang dinilai dalam evaluasi adalah kualitas lahan yang dicerminkan oleh karakteristik lahan yang nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Sistem klasifikasi kesesuaian lahan yang banyak dipakai adalah berdasarkan sistem yang dikembangkan oleh Framework for Land Evaluation (FAO, 1976), secara hierarki kelas-kelas kesesuaian lahan adalah sebagai berikut :
1)
18 Kelas S1, kesesuaian tinggi (highly suitable). Lahan tidak memiliki pembatas penting pada aplikasi terus menerus dari penggunaan yang dinyatakan atau punya
hambatan
minor
yang
tidak
mengurangi
produktivitas
atau
keuntungan dan tidak menambah masukan melebihi yang dapat diterima. 2)
Kelas S2, kesesuaian sedang (moderately suitable).
Lahan mempunyai
pembatas secara gabungan pada tingkat sedang pada penerapan penggunaan yang diterapkan secara terus menerus, hambatan ini dapat mengurangi produktivitas atau keuntungan dan menambah kebutuhan masukan sejauh bahwa keuntungan akan diperoleh dari penggunaan, walaupun masih menarik, akan menurunkan nilai secara nyata dibanding lahan kelas S1. 3)
Kelas S3, kesuaian marginal (marginally suitable).
Lahan mempunyai
pembatas secara gabungan cukup berat pada aplikasi terus menerus penggunaan yang diterapkan, sehingga dapat mengurangi produktivitas atau keuntungan, atau menambah masukan dan pengeluaran. 4)
Kelas N, tidak sesuai (not suitable). Lahan dengan pembatas yang mungkin berat saat sekarang, akan tetapi tidak dapat diperbaiki dengan ilmu pengetahuan yang ada dengan biaya yang dapat diterima.
Pembatas-
pembatas tersebut demikian berat dan atau permanen yang membuat tidak mungkin penggunaan yang lestari dalam jangka panjang. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), inti dari prosedur evaluasi lahan adalah mula-mula menentukan tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat
pengelolaannya)
yang
akan
diterapkan,
kemudian
menentukan
persyaratan dan pembatas pertumbuhannya dan akhirnya membandingkan persyaratan penggunaan lahan (pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan masing-masing satuan peta lahan (SPT), sehingga didapat kesesuaian lahannya secara fisik. dilanjutkan
dengan
Dalam evaluasi lahan ekonomi (kuantitatif) kegiatan
analisis
ekonomi
(sosial
dan
lingkungan)
sehingga
didapatkan penggunaan lahan yang optimal dan berkelanjutan. Evaluasi kesesuaian lahan (land suitability) sangat penting untuk mengidentifikasi
daerah-daerah
yang
mempunyai
potensi
tinggi
untuk
dikembangkan secara intensif. Evaluasi bersifat lebih menekankan peluang atau potensi dari pada mengidentifikasi pembatas-pembatas lahan dan dilakukan untuk berbagai tujuan seperti memilih lahan yang sesuai untuk tanaman tertentu atau memprediksi kelayakan irigasi atau program-program pengembangan
19 infrastuktur lainnya. Evaluasi lahan juga, dapat diintegrasikan dengan tujuan lain selain pertanian (tanaman), seperti kehutanan, budidaya perikanan, irigasi dan (infrastruktur).
Evaluasi lahan memberikan informasi yang beguna untuk ahli
ekonomi, hidrologi dan tehnik yang berhubungan dengan perencanaan. Penilaian ini menguji interaksi dari produktivitas, biaya produksi, biaya pembangunan lahan dan sifat dari interaksi yang menentukan kelas lahan.
Kelayakan Finansial Kegiatan usaha merupakan kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam suatu bentuk kesatuan dengan menggunakan sumbersumber untuk mendapatkan manfaat. Dalam unit usaha, sumber-sumber yang digunakan tersebut dapat berupa barang-barang modal, bahan baku, tenaga kerja dan waktu. Sumber-sumber tersebut sebagian atau seluruhnya dapat dianggap sebagai barang konsumsi yang dikorbankan dari penggunaan masa sekarang untuk memperoleh manfaat (Gittinger, 1986). Pengalokasian
sumberdaya
merupakan
jembatan
yang
dapat
menciptakan jalannya roda perekonomian yang lebih mengarah pada tujuantujuan yang paling mendasar dari pembangunan itu sendiri, misalnya pengentasan kemiskinan, semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat dan menurunnya tingkat ketidakmerataan pendapatan. Dalam segala keterbatasan yang dimiliki suatu wilayah, maka harusnya adanya proses memilih dari berbagai sumberdaya yang tersedia. Pilihan yang tepat harus dapat menjamin bahwa sumberdaya yang dialokasikan kepada alternatif pilihan yang paling baik. Penyajian proses pemilihan alternatif tersebut, sering kita kenal dengan istilah
analisis
proyek.
Pada
prinsipnya
dilakukan
pengujian
terhadap
sejauhmana manfaat dan biaya dari suatu pilihan. Manfaat dan biaya dapat dipilah berdasarkan perbedaan analisisnya, yaitu berdasarkan analisis ekonomi atau analisis finansial. Analisis finansial dari suatu usaha mengidentifikasikan keuntungan berupa uang yang diharapkan akan tumbuh dari pelaksanaan usaha itu sendiri. Sedangkan keuntungan sosial dari suatu analisis ekonomi mengukur seberapa jauh proyek tersebut berpengaruh terhadap tujuan-tujuan fundamental dari keseluruhan sistem perekonomian. Tujuan utama analisis finansial terhadap
20 usaha pertanian (farm) adalah untuk menentukan berapa banyak keluarga petani yang menggantungkan kehidupan mereka kepada usaha pertanian tersebut. Indikator–indikator yang dapat digunakan untuk menilai kelayakan usaha dalam budidaya tanaman pangan (tanaman semusim) cukup beragam. Indikator– indikator yang dipergunakannya agak berbeda dengan kelayakan usahatani untuk
tanaman
tahunan.
Tjiptoningsih
(1996)
menggunakan
parameter
Revenue/Cost Ratio, Benefit/Cost Ratio dan Break Event Point (BEP). Parameter ini cocok untuk mengetahui kelayakan finansial dalam pengelolaan budidaya tanaman semusim seperti tanaman padi, palawija dan sayuran. Selain itu Juanda dan Cahyono (2000) mengemukakan bahwa selain instrumen Revenue/Cost Ratio, Benefit/Cost Ratio dan Break Event Point (BEP), Instrumen Return of Investment (ROI) juga dapat digunakan untuk menilai layak atau tidaknya usahatani ubi jalar. ROI digunakan dalam analisis untuk menggambarkan
tingkat
efisiensi
penggunaan
modal
berkaitan
dengan
keuntungan usahatani yang diperoleh. Besar kecilnya nilai ROI, ditentukan oleh besarnya keuntungan yang dicapai dan perputaran modal yang diinvestasikan.
Marjin Pemasaran Marjin pemasaran mempunyai dua pengertian (Tomek dan Robinson, 1982), yaitu: (1) Perbedaan harga antara dua lembaga pemasaran (seperti petani, pedagang, pengolah dan eksportir); dan (2) Biaya yang dikeluarkan untuk membayar jasa-jasa sepanjang saluran pemasaran. Hal ini terkait dengan peran pemasaran berupa waktu, tempat dan transformasi kepemilikan produk (Malian et al., 2004).
Aspek Produksi Pertanian Dalam
menunjang
keberhasilan
suatu
sistem
agribisnis,
maka
tersedianya bahan baku pertanian secara kontinu dalam jumlah yang tertentu sangat diperlukan. Tersedianya produksi ini akan sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, diantaranya jenis komoditas, luas lahan, tenaga kerja, modal, manajemen usaha dan faktor sosial ekonomi (Soekartawi, 1993). Faktor produksi dalam beberapa literatur dikenal dengan istilah input. Faktor produksi memang sangat menentukan besar kecilnya produksi yang diperoleh. Dalam berbagai pengalaman menunjukkan bahwa faktor produksi lahan, modal untuk membeli bibit, pupuk, obat– obatan, tenaga kerja dan aspek
manajemen merupakan faktor produksi yang memegang peranan penting
21 di
antara faktor produksi yang lainnya. Namun selain faktor–faktor tersebut, sering ditemukan kendala dalam proses peningkatan produksi komoditas pertanian.
Menurut Gomez (dalam
Soekartawi, 1980), beberapa kendala diklasifikasikan menjadi : a. Kendala yang mempengaruhi terdiri dari variabel di luar kemampuan manusia, sehingga sulit dilakukan transfer teknologi yang disebabkan karena perbedaan agroklimat dan teknologi yang sulit diadopsi. b. Kendala yang mempengaruhi terdiri dari variabel teknis biologis (bibit, pupuk, obat–obatan, lahan lainnya) dan variabel sosial– ekonomi (harga, resiko ketidakpastian, kredit bank, adat budaya dan lainnya).
Sistem Agribisnis, Agroindustri dan Nilai Tambah Agribisnis sering diartikan secara sempit, yaitu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian. Konsep agribisnis sebenarnya adalah suatu konsep yang utuh mulai dari proses produksi, mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas lainnya yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Menurut Arsyad et al. (1985), yang dimaksud dengan agribisnis adalah : ”Suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu satau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemsaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas.
Yang dimaksud ’ada
hubungannya dengan pertanian dalam artian yang luas’ adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan pertanian usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian.” Pernyataan tersebut dijelaskan seperti pada Gambar 2 berikut ini :
AGRIBISNIS Kegiatan usaha yang menghasilkan/menyediakan prasarana/sarana/input bagi kegiatanpertanian (industri pupuk, alat–alat pertanian, pestisida, dsb.)
Kegiatan pertanian
Kegiatan usaha yang menggunakan hasil pertanian sebagai input (industri pengolahan hasil pertanian, perdagangan, dsb.)
Gambar 2 Mata Rantai Kegiatan Agribisnis (Arsyad et al., 1985)
Hampir tidak ada daerah di Indonesia yang tidak tergantung pada sektor pertanian, mulai dari tanaman pangan sampai perikanan dan kehutanan.
22 Pembangunan ekonomi pada umumnya belum mengaitkan antara pembangunan pertanian dan industri kecuali agroindustri penggilingan padi.
Pembangunan
agroindustri yang berbasis sumberdaya lokal akan memperkokoh keterkaitan antara pembangunan pertanian dengan pembangunan industri.
Diversifikasi
produk pertanian, terutama pengembangan industri pengolahan, tidak saja meningkatkan nilai tambah, tetapi juga membuka kesempatan kerja non pertanian di wilayah perdesaan dan itu akan meredam arus urbanisasi. Sementara itu, ahli yang lain (Soeharjo, 1991; Soekartawi 1991 dan Badan Agribisnis Deptan, 1995) menyebutkan bahwa agroindustri adalah pengolahan hasil pertanian dan karena itu agroindustri merupakan bagian dari enam subsistem agribisnis yaitu subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usahatani, pengolahan hasil (agroindustri), pemasaran, sarana dan pembinaan. Menurut Soekartawi (2005), agroindustri dapat diartikan sebagai dua hal. Pertama, agroindustri adalah industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian.
Dalam konteks ini agroindustri adalah menekankan pada food
processing management dalam suatu perusahaan produk olahan yang bahan baku utamanya adalah produk. Menurut FAO (Hicks, 1996) suatu industri yang menggunakan bahan baku dari pertanian dengan jumlah minimal 20% dari jumlah bahan baku yang digunakan disebut agroindustri. Kedua, agroindustri bahwa agroindustri itu diartikan sebagai suatu tahpan pembangunan sebagai kelanjutan
dari
pembangunan
pertanian,
tetapi
sebelum
tahapan
pembangunantersebut mencapai tahapan pembangunan industri. Ada beberapa alasan mengapa agroindustri sangat penting untuk mendorong perkembangan perekonomian perdesaan (Soekartawi, 2005), yaitu : a. Agroindustri mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi, mengingat ciri agroindustri perdesaan yang bersifat padat karya dan bersifat massal; b. Sumber daya lokal bisa dipakai sehingga agroindustri bisa meningkatkan nilai tambah dan selanjutnya meningkatkan keuntungan dan pendapatan. c. Produk agroindustri yang baik kualitasnya dan mampu bersaing, bisa dipakai sebagai instrumen untuk meningkatkan devisa negara; d.
Semakin meningkatkan kegiatan agroindustri berarti meningkatnya uang yang beredar di masyarakat perdesaan dan ini akan menimbulkan side effect munculnya kegiatan lain di perdesaan dan akhirnya bisa meningkatkan daya beli masyarakat.
23 e. Karena agroindustri tidak bisa berkembang sendirian, maka akan muncul berkembangnya kegiatan lain yang menjadi komponen pendukung agroindustri tersebut. Berbagai definisi dipakai untuk menjelaskan agroindustri. Austin (1981) misalnya mendefinisikan agroindustri sebagai usaha pengolahan bahan baku yang berasal dari komoditas pertanian termasuk didalamnya perkayuan dan peternakan. Berbagai tingkat pengolahan dapat dilakukan mulai dari kegiatan sederhana seperti, pemisahan (grading) sampai kegiatan yang lebih kompleks seperti penyosohan, pemasakan, pencampuran dan penyulingan. Sejumlah manfaat akan diperoleh dari perubahan (transformasi) itu, antara lain (i) menciptakan nilai tambah produk, karena mengalami perubahan bentuk (form utility), misalnya dari kayu menjadi papan; (ii) memungkinkan penyimpanan yang lebih lama (time utility), yakni melalui proses pengawetan, misalnya dari bahan susu segar menjadi krim; (iii) memudahkan dalam pengangkutan (cost saving), misalnya yang diangkut bukan lagi dalam bentuk ubi jalar segar akan tetapi telah berupa tepung atau chip; dan (iv) mempertahankan nilai nutrisi yang terkandung dalam komoditas tersebut. Secara umum agroindustri dapat digolongkan ke dalam empat tingkatan berdasarkan bahan baku komoditas pertanian yang ditransformasikan menjadi produk lain, baik untuk konsumsi akhir (final demand) maupun sebgai bahan antara (intermediate product). Kategori I adalah kegiatan agroindustri yang relatif sederhana yaitu hanya melakukan kegiatan pembersihan dan pengelompokan produk menurut misalnya besaran, berat atau warnanya. Kegiatan tersebut pada umumnya ditemukan dalam agroindustri yang bahan bakunya mudah rusak dan bahan baku itu biasanya dapat dikonsumsi secara segar seperti buah-buahan, sayuran atau telur. Kategori II adalah agroindustri yang melakukan kegiatan pemisahan, penyosokan, pemotongan dan pencampuran.
Keiatan ini umum
ditemukan pada agroindustri yang mengunakan bahan baku biji-bijian, daging, bjmbu-bumbuan, makanan ternak, kapas dan karet. Kategori III adalah agroindustri yang pada umumnya memerlukan peralatan atau mesin yang lebih kompleks misalnya agroindustri yang menghasilkan sosis, gula pasir, buah atau sayuran dalam kaleng; atau ikan dalam kaleng; dan sebagainya. Terakhir adalah agroindustri kategori IV yaitu agroindustri yang memerlukan proses produksi yang lebih canggih dengan menggunakan mesin dan bahan kimia, misalnya agroindustri pembuatan ban mobil, padi dan mie instan.
24 Pohon Industri Pohon industri merupakan gambaran diversifikasi produk suatu komoditas dan turunannya secara skematis.
Produk ubi jalar dalam dan turunannya
diuraikan dalam suatu skema. Skema ini menggambarkan keragaman produk akhir yang dapat dikembangkan dari komoditas ubi jalar. Menurut Soenarjo (1984), salah satu produk akhir ubi jalar yang sudah berkembang dengan baik saat ini dan memiliki nilai tambah yang sangat tinggi adalah adalah gula cair fruktosa.
Analytical Hierarchy Process Menurut Saaty (1984), asumsi-asumsi yang dipakai oleh AHP adalah sebagai berikut: pertama-tama harus terdapat sedikit (jumlah yang terbatas) kemungkinan tindakan, yakni, 1,2,....,n yang adalah tindakan positif, n adalah bilangan yang terbatas. Responden diharapkan akan memberikan nilai dalam angka yang terbatas untuk memberi tingkat urutan (skala) pentingnya atributatribut. Skala yang dipergunakan dapat apa saja, tergantung dari pandangan responden
dan
situasi
yang
relevan.
Walaupun
demikian,
mengikuti
perkembangan baku AHP dipergunakan metode skala Saaty mulai dari 1 yang menggambarkan ”sama penting” (jadi untuk atribut yang sama, skalanya selalu 1) sampai dengan 9 yang menggambarkan kasus atribut yang paling absolut dibandingkan dengan yang lain (urutan pemastian tertinggi yang mungkin). Pada Tabel 4 berikut menggambarkan tingkat urutan dan definisinya. Langkah-langkah yang dilakukan dalam metode AHP adalah : 1. Mengidentifikasi/menetapkan masalah yang muncul; 2. Menetapkan tujuan, kriteria dan hasil yang ingin dicapai; 3. Mengidentifikasi
kriteria-kriteria
yang
mempunyai
pengaruh
terhadap
masalah yang ditetapkan; 4. Menetapkan struktur hierarki; Hierarki adalah suatu sistem yang tersusun dari beberapa level/tingkatan, dimana masing-masing tingkat mengandung beberapa unsur atau faktor. Pada umumnya, masalah dasar yang muncul dalam penyusunan hierarki adalah menentukan level tertinggi dari berbagai interaksi yang terdapat pada berbagai level;
5. Menentukan
hubungan
antara
masalah
dengan
tujuan,
hasil
25 yang
diharapkan, pelaku yang berkaitan dengan masalah, dan nilai masing– masing . 6. Membandingkan alternatif (comparatif judgement) 7. Menentukan faktor-faktor yang menjadi prioritas (synthesis of priority) 8. Menentukan urutan alternatif dengan memperhatikan logical consistency.
Tabel 4 Sistem Urutan (Ranking) Saaty Intensitas / Pentingnya
Definisi
1
Sama Pentingnya
3
Perbedaan penting yang lemah antara satu dengan yang lain
5
Sifat lebih pentingnya kuat
7
Menunjukkan sifat sangat penting yang menonjol
9
Penting absolut
2,4,6,8
Kebalikan angka bukan nol di atas
Rasional
Nilai tengah diantara nilai diatas/dibawahnya Jika aktifitas i, dibandingkan dengan j, mendapat nilai bukan nol seperti tertera di kolom 1, maka j-bila dibandingkan dengan imempunyai nilai kebalikannya Rasio yang timbul dari skala
Sumber : Saaty (1984)
Penjelasan Dua aktifitas memberikan kontribusi yang sama kepada tujuan Pengalaman dan selera sedikit menyebabkan yang satu sedikit lebih disukai daripada yang lain Pengalaman dan selera yang menyebabkan penilaian yang satu lebih daripada yang lain. Yang satu sangat lebih disukai daripada yang lain Aktifitas yang satu sangat disukai dibandingkan yang lain;dominasinya tampak dalam kenyataan Bukti bahwa antara yang satu lebih disukai daripada yang lain menunjukkan kepastian tingkat tertinggi yang dapat dicapai. Diperlukan kesepakatan (kompromi)
Asumsi yang masuk akal
Jika konsistensi perlu dipaksanakan dengan mendapatkan sebanyak n nilai angka untuk melengkapi matriks.
26 AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk (atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif,
yaitu
dengan
melakukan
perbandingan
berpasangan
(pairwise
comparisons). Kemudian ditentukan cara yang konsisten untuk mengubah perbandingan berpasangan (pairwise), menjadi suatu himpunan bilangan yang merepresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif (Saaty, 1984). AHP
memiliki
banyak
keunggulan
dalam
menjelaskan
proses
pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, proses keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu, AHP juga menguji konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki atau hierarki harus distruktur ulang.