KINERJA INDUSTRI GULA DI INDONESIA
SKRIPSI
ALVINO MARYANDANI
H34080087
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
1
ANALISIS KINERJA INDUSTRI GULA DI INDONESIA Oleh Alvino Maryandani Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Sugar is a strategic commodity and one of the basic needs in Indonesia. But until now, the sugar industry in Indonesia is still not able to fulfill domestic needs. This research is related to the performance and competitiveness of the sugar Industry in Indonesia. The objective of this research was analyze the performance and competitiveness Indonesia sugar industry, in terms of teritory of sugar producer. This research uses an analytical tools performance and commpetitiveness measurement, such as analysis of paired comparison matrix to analyze the performance of industry and the porter’s diamond to analyze competitiveness the industry. The result from this research are; 1) East Java and Lampung is the top teritory in Indonesia that produce sugar and both of them have biggest point in matrix. South sulawesi and Gorontalo have no good performance in sugar industry Indonesia, because both of teritory have lowest point based on the matrix, 2) Mostly relation between components in porter’s diamond doesn’t support each others, this indicates that sugar industry in Indonesia has still weak. Recommendations for Indonesia sugar industry are; 1) It needs more commitment from all stakeholders to improve the industry competitiveness and achieve the goal from self sufficiency, 2) it needs more consistency from goverment to develope the system on industry. Keywords: Sugar, industry, performance, competitiveness
ABSTRAK Gula merupakan komoditas strategis dan salah satu kebutuhan dasar di Indonesia. Namun hingga saat ini, industri gula di Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Penelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kinerja dan daya saing industri Indonesia gula, dalam hal teritori dari produsen gula. Penelitian ini menggunakan alat analisis kinerja dan pengukuran commpetitiveness, seperti analisis matriks perbandingan berpasangan untuk menganalisis kinerja industri dan berlian porter untuk menganalisis daya saing industri. Hasil dari penelitian ini adalah: 1) Jawa Timur dan Lampung adalah wilayah terbaik di Indonesia yang memproduksi gula dan keduanya memiliki bobot terbesar dalam matriks. Sulawesi selatan dan Gorontalo tidak memiliki kinerja yang baik di industri gula Indonesia, karena kedua wilayah tersebut memiliki bobot terendah berdasarkan matriks, 2) Sebagian besar hubungan antara komponen dalam berlian porter tidak mendukung satu sama lain, hal ini menunjukkan bahwa industri gula di Indonesia masih memiliki lemah. Rekomendasi untuk industri gula Indonesia adalah: 1) Perlu komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan untuk meningkatkan daya saing industri dan mencapai tujuan dari swasembada, 2) Pemerintah perlu lebih konsisten untuk mengembangkan sistem pada industri. Kata Kunci: Gula, industri, kinerja, daya saing
RINGKASAN ALVINO MARYANDANI. Kinerja Industri Gula Indonesia. Di bawah bimbingan BAYU KRISNAMURTHI. Gula merupakan salah satu komoditas penting dan strategis bagi masyarakat. Selain itu, gula merupakan salah satu komponen yang diperlukan untuk konsumsi masyarakat, dan juga diperlukan sebagai bahan baku bagi industri terkait. Oleh karena itu, komoditas gula senantiasa dicermati oleh pemerintah terutama dalam hal pergerakan harganya dan pemerintah berusaha untuk menjamin ketersediaan gula di pasar domestik pada tingkat harga yang terjangkau oleh masyarakat. Dari segi produksi, industri gula di Indonesia pada periode 2006 hingga 2010 mengalami kenaikan delapan persen per tahunnya. Kenaikan produksi pada dasarnya adalah hasil dari kinerja dari sektor on farm dan off farm seperti luas lahan pada usahatani dan kuantitas dari pabrik gula sebagai sektor yang off farm. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari kinerja dan dayasaing industri gula dan pelaku dalam industri gula di Indonesia. Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas terhadap kondisi industri gula di Indonesia, dilihat dari segi kinerja dan dayasaing industri tersebut. Lingkup penelitian ini terdiri atas industri gula nasional yang dibagi per wilayah penghasil gula. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Metode analisis data yang digunakan antara lain analisis matriks perbandingan berpasangan dan analisis berlian Porter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah Jawa Timur menepati posisi pertama dengan diikuti oleh Lampung di posisi kedua dalam segi lima komponen pembanding yang ditentukan. Kemudian, Gorontalo dan Sulawesi Selatan menempati dua posisi terbawah dalam peringkat berdasar lima komponen pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Lampung saat ini menjadi wilayah pesaing dari Jawa Timur dalam menopang produksi gula di Indonesia dikarenakan kinerja pabrik gulanya yang dikelola oleh swasta dan efisien secara teknis dan ekonomis. Wilayah Jawa Timur masih menjadi produsen terbesar pada industri gula karena memiliki jumlah pabrik yang lebih banyak daripada wilayah lain, meskipun kinerjanya di bawah pabrik gula swasta yang ada di wilayah Lampung. Sedangkan posisi dua terbawah ditempati oleh Gorontalo dan Sulawesi Selatan yang menjadi wilayah baru pengembangan industri gula di Indonesia. Posisi yang didapatkan oleh dua wilayah tersebut karena dua wilayah tersebut masih dalam proses pengembangan, disamping pabrik gula yang ada di sana masih jauh jumlah dan kinerjanya dibandingkan pabrik-pabrik yang ada di Jawa dan Sumatera yang sudah lama berdiri. Hasil analisis dayasaing menggunakan pendekatan Teori Berlian Porter menunjukkan keterkaitan antar komponen yang saling mendukung seperti faktor sumberdaya yang mendukung faktor persaingan, struktur, dan strategi industri gula Indonesia. Selain itu, adapula keterkaitan tidak saling mendukung dalam tiap komponen dayasaing agribisnis gula seperti faktor persaingan, struktur, dan
2
strategi industri gula Indonesia dengan faktor permintaan. Keterkaitan yang tidak saling mendukung lebih dominan. Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan antara lain: perlu adanya komitmen dari seluruh stake holder industri gula untuk meningkatkan dayasaing industri gula agar lebih baik dan mencapai sasaran yaitu swasembada gula berdayasaing. Konsistensi kebijakan pemerintah akan sangat membantu perkembangan industri gula di Indonesia. Penelitian selanjutnya mengenai industri gula Indonesia, akan lebih baik jika kebijakan industri gula di Indonesia dapat dihitung pengaruhnya terhadap minat petani tebu dan komitmen pabrik dalam kaitannya pencapaian program swasembada gula 2014.
3
KINERJA INDUSTRI GULA DI INDONESIA
Oleh : ALVINO MARYANDANI H34080087
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
4
Judul Proposal
: Kinerja Industri Gula di Indonesia
Nama
: Alvino Maryandani
NIM
: H34080087
Disetujui, Dosen Pembimbing Skripsi
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS NIP. 19641018 198903 1 001
Diketahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
5
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kinerja Industri Gula di Indonesia” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2013
Alvino Maryandani H34080087
6
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Alvino Maryandani lahir pada tanggal 25 Maret 1990 di Gandaria Utara, sebuah kota yang berada di Jakarta Selatan. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Masagus Yancik dan Nila Krisnawati. Penulis menjalani pendidikan di sekolah dasar tahun 1996 sampai dengan tahun 2002 di SDS Tadika Puri, Jakarta Selatan. Selanjutnya meneruskan pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2002 sampai tahun 2005 di SLTPN 19 Jakarta. Pada tahun 2005 sampai dengan 2008 penulis melanjutkan ke SMUN 74 Jakarta. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Agribisnis pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogo sebagai mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi yaitu International Association of Agricutural and related Sciences Local Commitee IPB (IAAS LC IPB), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Izzal IPB (KAMMI IPB), Badan Pengawas Himpunan Mahasiswa Peminat Agribisnis (BP HIPMA), Duta Anti Korupsi IPB (DAK IPB), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (BEM KM IPB)
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kinerja Industri Gula di Indonesia”. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis kinerja dan dayasaing industri gula di Indonesia. Hasil analisis tersebut digunakan untuk menganalisis kinerja dan keunggulan kompetitif industri gula Indonesia, dari segi wilayah penghasil gula. Penulis telah berusaha dengan sebaik-baiknya dalam menyusun skripsi ini. Namun, penulis menyadari bahwa masih ada berbagai kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Karena itu, penulis mengharapkan masukan yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2013
Penulis
8
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis dibantu oleh beberapa pihak. Karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan ilmu dan bimbingan yang sangat berarti bagi penulisan skripsi ini.
2.
Ir. Narni Farmayanti, MSc selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik dan ilmu yang bermanfaat untuk perbaikan penulisan skripsi ini.
3.
Etriya, SP. MM selaku dosen penguji komisi pendidikan Departemen Agribisnis yang telah mengoreksi kekurangan dalam penulisan ini dan menyempurnakan penulisan skripsi ini.
4.
Sekretariat Dewan Gula Indonesia dan Direktorat Perkebunan Kementerian Pertanian atas bantuannya selama proses pengambilan data, semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi stake holder agribisnis gula Indonesia.
5.
Agus Herta, S.E selaku peneliti PRIDE yang telah bekerjasama dalam pengambilan data dan penjelasannya terkait kondisi pergulaan di Indonesia
6.
Dwi Endah Wahyuni yang telah bersedia menjadi pembahas dalam seminar penulis dan Dwi Endah Wahyuni yang telah memberi kepercayaan kepada penulis untuk menjadi pembahas dalam seminarnya.
7.
Dosen dan staf penunjang Program Studi Agribisnis atas ilmu dan bantuan yang diberikan.
8.
Kedua orang tua penulis yaitu Ayahanda Masagus Yancik dan Ibunda Nila Krisnawati, dan adik-adikku tersayang Alfikri Reyhandi Marsha dan Alfatih Fahreza Norsa Audryan beserta keluarga besar atas doa, cinta, kasih sayang, perhatian, dan dukungan yang tercurah tiada henti kepada penulis.
9.
Issantia Retno Sulistiawati atas doa, perhatian dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dengan tulus.
9
10. Teman-teman seperjuangan di Agritrash; Busrol Elkarim, Nursahaldin Sam, Arif Pahlevi, Muhammad Adri, Joko Novianto, Rizky Ilham, Abdul Malik, Dharma Siddiq, Muhammad Fikri, Randy Hazemi, Ryan Iga Septiawan, Ryan Satria, dan Tommy Gunanta Ginting, terima kasih atas dukungan, kebersamaan dan keceriaan yang tidak pernah akan terlupakan sampai kapanpun. 11. Teman satu bimbingan Dwi Endah Wahyuni yang telah memberi semangat dan dukungannya. 12. Seluruh mahasiswa AGB 45 terima kasih atas persahabatan dan bantuan selama proses pembuatan skripsi. Semua pihak yang telah membantu penulis dengan ikhlas dan sukarela yang tidak dapat dicantumkan semuanya. Terima kasih banyak.
10
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................v I.
PENDAHULUAN ................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ........................................................... 3 1.3. Tujuan ................................................................................ 5 1.4. Manfaat ............................................................................. 5 1.5. Ruang Lingkup .................................................................. 5
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 7 2.1. Gambaran Agribisnis Gula ................................................ 7 2.1.1. Subsistem Input ....................................................... 7 2.1.2. Subsistem Usahatani ................................................ 7 2.1.3. Subsistem Pengolahan ............................................. 8 2.1.4. Subsistem Tataniaga ................................................ 8 2.1.5. Subsistem Pendukung .............................................. 8 2.2. Penelitian Terdahulu ......................................................... 8 III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................. 12 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................ 12 3.1.1. Analisis Berlian Porter ............................................ 12 3.2. Kerangkan Pemikiran Operasional .................................... 17 IV. METODE PENELITIAN ..................................................... 20 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................ 20 4.2. Data dan Instrumentasi ...................................................... 28 4.3. Metode Pengumpulan Data ............................................... 21 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................. 21 4.4.1. Matriks Perbandingan Berpasangan......................... 22 4.4.2 Analisis Berlian Porter................................................ 25 4.5. Definisi Operasional .......................................................... 27 V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA ...................................................................................................... 28 5.1. Sekilas Mengenai Komoditas Gula ..............,,................... 28 5.1.1. Raw Sugar ............................................,,.................. 28 5.1.2. Refined Sugar ........................................................... 28 5.1.3. Gula Kristal Putih .................................................... 28 5.2. Kondisi Industri Gula Saat Ini ............................................ 29 5.2.1. Perkembangan Luas Areal, Produktivitas, dan Produksi Tebu ................................................... 29
11
5.2.2. Kebutuhan Konsumsi dan Impor Gula ......... .......... 32 5.2.3. Harga Gula ............................................................... 34 5.3 Kebijakan Pergulaan Indonesia .......................................... 36 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................... 43 6.1. Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan .................... 43 6.1.1. Komponen Pembanding Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan ............................................... 43 6.1.2. Perbandingan Wilayah Berdayasaing....................... 50 6.2. Analisis Komponen Porter’s Diamond ............................. 80 6.1.1. Kondisi Faktor Sumberdaya .................................... 80 6.1.2. Kondisi Permintaan ................................................. 93 6.1.3. Industri Terkait dan Industri Pendukung ..... ........... 96 6.1.4. Persaingan, Struktur, dan Strategi Industri ............. 105 6.1.5. Peran Pemerintah ...................................................... 110 6.1.6. Peran Kesempatan .................................................... 111 6.3. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System ................................................................ 112 6.4. Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen Utama .............................................................. 116 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 121 7.1. Kesimpulan ........................................................................ 121 7.2. Saran .................................................................................. 121 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 123
12
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik pada Tahun 2008-2011 (Rp. /Kg) ............................................. 1 2. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 2006-2010 (juta ton) .............................................................................. 2 3. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil Gula dalam Industri Gula Indonesia ................................. 24 4. Pertumbuhan Luas Areal, Produksi Tebu, Produktivitas Tebu, dan Rendemen di Indonesia Tahun 1993-2011 ...... 30 5. Pertumbuhan Produksi Gula dan Produktivitas Gula Tahun 1993-2011 ................................................................ 31 6. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 2006-2010 ............................................................................................... 33 7. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik pada Tahun 2008-2011 (Rp/Kg) ..................................................... 34 8. Luas Lahan Tebu di Tujuh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011 ............................................................ 44 9. Jumlah Pabrik Gula di Tujuh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011 ............................................................ 46 10. Produktivitas Tebu di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011.............................................................................. 48 11. Produktivitas Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011............................................................................. 50 12. Produksi Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011............................................................................. 51 13. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011..................................................... 51 14. Kinerja Industri Gula di Sumatera Utara Tahun 2007-2011 ......................................................................... 53 15. Hasil Perbandingan Sumatera Utara dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011........... 53 16. Kinerja Industri Gula di Sumatera Selatan Tahun 2007-2011 ......................................................................... 54 17. Hasil Perbandingan Sumatera Selatan dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011............ 55 18. Kinerja Industri Gula di Lampung Tahun 2007-2011 .......................................................................................... 60 19. Hasil Perbandingan Lampung dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011........................ 61 20. Kinerja Industri Gula di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta Tahun 2007-2011......................................... 64 21. Hasil Perbandingan Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011...................................................... 65 22. Kinerja Industri Gula di Jawa Timur Tahun 2007-2011
13
.......................................................................................... 68 23. Hasil Perbandingan Jawa Timur dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011........... 69 24. Kinerja Industri Gula di Gorontalo Tahun 2007-2011 .......................................................................................... 72 25. Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011......................... 73 26.Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan Tahun 2011........................ 74 27.Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Jawa Barat-Jawa Tengah- Yogyakarta dan Jawa Timur Tahun 2011........... 75 28.Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Sulawesi Selatan Tahun 2011....................................................................... 76 29. Kinerja Industri Gula di Sulawesi Selatan Tahun 2007-2011 .......................................................................................... 76 30. Hasil Perbandingan Sulawesi Selatan dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011........... 77 31. Produktivitas Lahan Tebu di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2006-2011 .......................................................... 82 32. Jumlah Petani Tebu Rakyat di Indonesia Tahun 2007-2009 .......................................................... 84 33. Struktur dalam Industri Gula Indonesia ....................... 105 34. Jumlah Impor Raw Sugar Untuk Pabrik Gula Rafinasi .. 108 35. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System ............................................................................. 115 36. Keterkaitan Komponen Penunjang dengan Komponen Utama dalam Porter’s Diamond System ........................ 118
14
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Kerangka Pemikiran Operasional ................................... 19 2. The Complete System of National Competitive Advantage ....................................................................... 26 3. Saluran Tataniaga Gula Milik Petani ............................. 99 4. Jalur Distribusi Gula Kristal Putih ................................. 101 5. Jalur Distribusi Gula Kristal Rafinasi ............................. 102 6. Produksi Gula Kristal Putih Tahun 2009 ....................... 105 7. Keterkaitan Antar Komponen Porter`s Diamond System ........................................................................................ 118
15
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas penting bagi masyarakat. Sebagai komoditas yang strategis, keberadaan komoditas gula khususnya jalannya industri gula memegang peranan penting bagi masyarakat dan sektor industri lainnya karena gula merupakan salah satu komponen yang diperlukan untuk konsumsi masyarakat, dan juga diperlukan sebagai bahan baku bagi industri terkait. Tabel 1. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik Tahun 2008-2011 Bulan Harga (Rp./Kg) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata harga per tahun Pertumbuhan rata-rata (%)
2008 6.414 6.424 6.439 6.307 6.436 6.514 6.449 6.462 6.446 6.409 6.433 6.482 6.435 -
2009 6.649 7.495 7.896 8.076 8.405 8.553 8.468 9.026 9.991 9.840 9.677 10.185 8.688 35,0
2010 11.304 11.198 10.972 10.445 10.242 9.960 10.742 10.692 10.544 10.922 11.026 11.150 10.766 23,9
2011 11.179 11.094 10.806 10.832 10.370 10.383 10.499 10.511 10.500 10.451 10.457 10.754 10.653 -1,1
Sumber : Kementerian Perdagangan, 2012 (diolah)
Tabel 1 menunjukkan bahwa harga gula meningkat dari waktu ke waktu dan hampir tidak pernah terjadi penurunan harga gula. Dilihat pertumbuhan harga gula tiap tahunnya sebesar 35,0 persen pada tahun 2009, 23,9 persen pada tahun 2010 dan -1,1 persen pada tahun 2011. Ketersediaan gula domestik memiliki peranan penting dalam menentukan harga gula. Menurut Dewan Gula Indonesia (2012), hal ini terjadi karena musim giling hanya terjadi pada periode tertentu yaitu sekitar bulan Mei hingga November (masa giling dilakukan terjadi enam
16
hingga tujuh bulan tergantung kapasitas masing-masing pabrik gula), maka secara alami akan terjadi kenaikan harga gula di saat tidak musim giling. Selain terkait dengan musim giling, faktor naiknya konsumsi akibat pertumbuhan penduduk juga menjadi faktor yang penting bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan terhadap industri gula di Indonesia. Hal ini dilihat dari tren konsumsi yang terjadi pada lima tahun terakhir. Kebutuhan konsumsi dari konsumen akhir dan kalangan industri pengolah gula yang semakin meningkat, kenaikan konsumsi terbesar terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 5,01 juta ton yang mengakibatkan angka impor gula nasional melonjak 5,8 persen dari tahun 2009 yang hanya 2,75 juta ton. Fakta ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Susila (2005) menyebutkan bahwa karena gula masih merupakan kebutuhan pokok, maka respon konsumsi terhadap perubahan harga gula dan PDB adalah inelastis, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai contoh, elastisitas jangka panjang terhadap perubahan harga eceran dan PDB masingmasing adalah –0.18 dan 0.11 (Susila, 2005). Namun demikian, konsumsi gula elastis terhadap perubahan jumlah penduduk, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Tabel 2. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 2006-2010 Tahun Konsumsi (juta ton) Impor (juta ton) 2006 4,30 1,71 2007 4,70 2,84 2008 4,34 2,04 2009 4,54 2,75 2010 5,10 2,91 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2011)
Menurut Dewan Gula Indonesia (2012), saat ini Indonesia memiliki 62 pabrik gula yang aktif berproduksi dengan total kapasitas mencapai 200.000 TCD yang mampu memroduksi 2,3 juta ton gula dari total kapasitas produksi 3,45 juta ton. Kebutuhan gula yang tidak mampu dipenuhi dari produksi domestik diperoleh dari impor gula yang berasal dari Thailand, Brazil, dan Amerika (Dewan Gula Indonesia, 2012). Kemudian, adapun kondisi industri gula nasional yang masih kurang memuaskan dilihat dari tingginya impor membuat masyarakat bertanya bagaimana sebenarnya kondisi riil dari industri gula di Indonesia. Selanjutnya,
17
kondisi riil industri gula Indonesia dapat dilihat dari kinerja industri tersebut seperti produktivitas tebu, produktivitas gula, produksi gula, hingga jumlah pabrik gula. Hal ini merupakan salah satu tonggak dalam menilai industri gula nasional yang dapat berdayasaing dan pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan domestik seperti negara penghasil gula di dunia.
1.2 Perumusan Masalah Industri gula di Indonesia adalah salah satu industri tertua yang pernah berjaya pada tahun 1930-an dengan pabrik yang berjumlah 179 pabrik di seluruh Indonesia. Adapun produksiya yang pada saat tersebut mencapai 3 juta ton, ekspor gula sekitar 2,40 juta ton, dan tingkat rendemen sebesar 11-13,80 persen. Akan tetapi, setelah hampir 82 tahun setelah masa kejayaan industri tersebut, pabrik-pabrik gula Indonesia menyusut jumlahnya menjadi 60 pabrik di seluruh Indonesia saat ini (Dewan Gula Indonesia, 2010). Masalah yang dihadapi industri gula di Indonesia terkait masalah produksi dan konsumsi. Dari segi produksi, industri gula di Indonesia pada periode 2006 hingga 2010 mengalami kenaikan per tahunnya yaitu delapan persen. Adapun kenaikan produksi tersebut tidak diimbangin dengan keseimbangan dalam pola konsumsi dari pasar industri gula di Indonesia. Selain itu, kenaikan produksi pada dasarnya adalah hasil dari kinerja dari sektor on farm dan off farm sepeti luas lahan pada usahatani dan kuantitas dari pabrik gula sebagai sektor yang off farm. Adapun dampak tidak seimbangnya produksi dan konsumsi adalah adanya kenaikan impor gula di pasar domestik. Kenaikan impor tersebut disebabkan oleh pertumbuhan positif konsumsi gula per tahunnya yang naik sebesar 8,6 persen pada tahun 2006 hingga 2010, sehingga kenaikan produksi gula harus terus ditingkatkan agar mengimbangi meningkatnya konsumsi yang begitu tinggi dan dapat menekan angka impor. Adapun kenaikan angka konsumsi disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk, kenaikan pendapatan masyararakat, dan pertumbuhan industri makanan dan minuman. Menurut Mardianto (2005) bahwa sebagai negara berpenduduk besar dengan pendapatan yang terus meningkat, Indonesia berpotensi menjadi salah satu konsumen gula terbesar di dunia. Adapun alasan kenaikan impor, antara lain: 1)
18
rendahnya harga gula di pasar internasional sebagi akibat surplus pasokan dan distorsi kebijakan negara-negara eksportir; 2) rendahnya proteksi pemerintah terhadap produk pertanian termasuk gula; dan 3) produksi gula dalam negeri yang belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Kemungkinan peningkatan konsumsi gula pada masa yang akan datang adalah masalah bagi Indonesia apabila Indonesia tidak dapat mengimbanginya dengan peningkatan produksi gula yang lebih besar dan menutupi angka impor. Adapun kenaikan impor yang begitu besar menandakan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap gula dari luar negeri begitu besar dan dapat membebani devisa untuk membiayai gula impor tersebut, adapun nilai impor mencapai 1,7 miliar dolar AS pada tahun 2010 (Asosiasi Gula Indonesia, 2011). Ketergantungan terhadap produk pangan impor berkaitan erat dengan instabilitas ekonomi suatu negara. Menurut Simatupang et al (2000) bahwa ketahanan pangan merupakan salah satu indikator stabilitas ekonomi. Maka apabila keadaan industri gula Indonesia semakin mengalami kemunduran dari segi produksi akan berdampak pada fluktuasi harga gula yang tinggi, inflasi yang meningkat, ketahanan pangan yang menurun, dan mengganggu stabilitas ekonomi Indonesia secara makro. Berdasarkan permasalahan tersebut yang ada maka dilakukan analisis kinerja industri gula di Indonesia untuk mengetahui sejauh mana kinerja dan kemampuan dayasaing industri gula dalam memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri. Penelitian ini berupaya untuk melihat kemampuan bersaing industri gula Indonesia melalui evaluasi kinerja industri, serta melihat kondisi pelaku industri dengan melakukan perbandingan atas indikator yang telah ditentukan. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kinerja industri gula di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kinerja industri gula di Indonesia dari segi wilayah penghasil gula dan mengetahui dayasaing industri gula dari segi keunggulan kompetitif yang terdapat pada industri tersebut.
19
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dalam sektor pertanian, pelaku industri gula, penulis, penulis, maupun pembaca. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi pengambil kebijakan khususnya pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan dalam menentukan kebijkan dan pengambilan keputusan di masa yang akan datnag dalam upaya penyelesaian masalah gula nasional. 2. Bagi stakeholder industri gula, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam upaya mengembangkan industri gula di Indonesia. 3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk menerapkan ilmu dan wawasan yang telah didapatkan selama menuntut ilmu di IPB. 4. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan informasi tambahan, literatur, dan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan suatu hasil kajian terhadap keunggulan kompetitif dari industri gula di Indonesia dan kondisi pelaku industri gula di Indonesia. Penelitian ini ada untuk menjawab seperti dayasaing industri gula dan pelaku di dalam industri tersebut. Penelitian ini merupakan bersifat kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Berlian Porter untuk menganalisis dayasaing industri gula dan untuk melihat kondisi pelaku industri menggunakan pendekatan matriks perbandingan berganda. Fokus untuk pendekatan Berlian porter adalah komponen yang ada di dalam pendekatan tersebut. Kemudian, fokus untuk pendekatan matriks perbandingan berpasangan adalah melihat kondisi pelaku industri melalui indikator yang ditentukan yang kemudian mengurutkannya berdasarkan bobot terbaik sehingga mendapatkan gambaran kondisi pelaku industri gula Indonesia yang berdayasaing melalui posisi teratas yang di tempati. Adapun pelaku industri gula di Indonesia dalam di bagi
20
atas pabrik gula dan wilayah penghasil gula. Untuk pabrik gula berjumlah 62 pabrik, sedangkan untuk wilayah penghasil gula yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat- Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Dengan menggunakan dua indikator perbandingan yaitu produktivitas gula dan produktivitas tebu, yang data diambil berdasarkan data produktivitas gula dan produktivitas tebu pada tahun 2011.
21
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan yang akan digunakan untuk subsistem di depannya, yaitu subsistem usahatani. Adapun contoh usaha dari subsistem input tersebut, antara lain: usaha sarana produksi pertanian, dan alat serta mesin pertanian. Usaha-usaha tersebut menyalurkan produk-produknya untuk subsistem usahatani atau on farm dalam hal kegiatan on farm sebagai bahan baku utama atau bahan baku pendukung. Menurut Dewan Gula Indonesia (2012) bahawa adapun usaha dalam subsistem input gula yang paling strategis adalah usaha pembibitan (kebun bidang datar; KBD) karena menyangkut potensi tanaman tebu yang akan diusahakan pada subsistem usahatani tebu. Usaha ini dilakukan oleh perusahaan besar; baik PTPN maupun perusahaan swasta serta Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Untuk PTPN, usaha pembibitan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan PTPN sendiri dan perkebunan rakyat. Untuk PTPN yang ada di Jawa, usaha ini ini lebih difokuskan untuk memenuhi kebutuhan perkebunan rakyat. Usaha pembibitan tebu dapat dikatakan berbeda dibandingkan usaha pembibitan lain pada umunya. Hal ini dikarenakan pembibitan tebu memerlukan areal yang relatif cukup luas.
2.1.2 Subsistem Usahatani Tanaman tebu yang adalah bahan mentah sebelum menjadi gula, merupakan tanaman yang sangat peka terhadap unsur-unsur iklim. Karena itu, waktu tanam dan panen harus diperhatikan agar tebu dapat membentuk gula dengan optimal. Tanaman tebu banyak membutuhkan air selama masa pertumbuhan vegetatif dan membutuhkan sedikit air saat pertumbuhan
22
generatifnya (Mubyarto dan Dayanti, 1991). Teknologi budidaya yang tepat serta penggunaan varietas unggul yang paling sesuai dengan kondisi lahannya dapat menghasilkan tebu dengan bobot dan rendemen yang tinggi. Selain itu perlu diperhatikan juga kegiatan pasca panen dengan cara menghindari kerusakan tebu pada saat penebangan maupun pengangkutan, serta menjaga kebersihan tebu saat akan dikirim ke pabrik gula. Secara umum, ada dua tipe pengusahaan tanaman tebu. Untuk pabrik gula (PG) swasta, kebun tebu dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan (estate) dimana PG sekaligus memiliki hak guna usaha (HGU) untuk pertanaman tebunya, seperti Indo Lampung dan Gula Putih Mataram. Sedangkan PG milik BUMN, terutama yang berlokasi di Jawa, sebagian besar tanaman tebu dikelola oleh rakyat. PG di Jawa umumnya melakukan hubungan kemitraan dengan petani tebu yang menerapkan sistem bagi hasil, petani memperoleh sekitar 66 persen dari produksi gula petani, sedangkan PG sekitar 34 persen (Badan Litbang Pertanian 2005).
2.1.3 Subsistem Pengolahan Menurut Dewan Gula Indonesia (2012) bahwa perkembangan produksi yang cenderung menurun tidak bisa juga terlepas dari kinerja Pabrik Gula (PG) dan berdampak pula pada keberadaan PG. Pada dekade terakhir, kinerja PG cenderung menurun. Disamping disebabkan oleh umur pabrik yang sudah tua, kapasitas dan hari giling PG cenderung tidak mencapai standar. Sebagai contoh, PG yang ada di Jawa mempunyai kapasitas giling 23,8 juta ton tebu per tahun (180 hari giling). Bahan baku yang tersedia hanya sekitar 12,8 juta ton sehingga PG yang berada di Jawa mempunyai idle capacity sekitar 46,2%. Selanjutnya, PG diluar Jawa yang mempunyai kapasitas 14,2 juta ton, hanya memperoleh bahan baku sebanyak 8,6 juta ton, sehingga idle capacity mencapai 39,4%. Hal ini memberikan indikasi bahwa PG yang berada di Jawa perlu melakukan konsolidasi dan rehabilitasi.
23
2.1.4 Subsistem Tataniaga Pada
subsitem
tataniaga
gula,
dijelaskan
Badan
Penelitan
dan
Pengembangan Pertanian (2009) bahwa tataniaga gula di Indonesia berkaita erat dengan konteks harga gula dan kebijakan tataniaga gula. Kedua hal ini merupakan problem yang kerap dibicarakan oleh berbagai kalangan karena saling mempengaruhi satu sama lain. Harga merupakan salah satu pertimbangan bagi petani untuk memilih komoditas apa yang bakal dipilih. Dalam situasi harga cenderung kurang menguntungkan atau lebih rendah dibanding biaya produksi, sangat besar kemungkinan petani untuk tidak memilih komoditas tersebut. Menurut Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian (2009) bahwa dalam konteks gula, sejak gula menjadi komoditas dengan akses ke pasar global sedemikian luasnya, perubahan sekecil apapun pada lingkungan eksternal akan berdampak terhadap terbentuknya harga gula di pasar domestik. Kemudian, harga gula di pasar domestik secara signifikan oleh kebijakan tataniaga di setiap periode, produksi, harga gula dunia, dan nilain tukar rupiah/US$ (Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian, 2009). Kebijakan tataniaga gula berpengaruh pada dasarnya terhadap harga gula domestik dan tidak berpengaruh terhadap ketersediaan gula. Menurut Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian (2009) bahwa kebijakan tataniaga gula periode Bulog cenderung untuk stabilisasi atau menekan impor dan harga domestik untuk menjaga stabilisasi harga, kebijakan tataniaga pada periode perdagangan bebas hanya signifika mempengaruhi harga domestik dengan korelasi negatif, sedangkan kebijakan tataniaga pada periode pengendalian impor signifikan berpengaruh positif baik terhadap produksi maupun harga gula domestik.
2.1.5 Subsistem Pendukung Menurut Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian (2009) bahwa subsistem pendukung dari sistem agribisnis suatu Komoditas, terdapat pihakpihak yang menyangga subsistem tersebut meliputi lembaga penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi petani, dewan gula Indonesia, lembaga pendidikan, sumberdaya modal untuk pengembangan suatu Komoditas, sumberdaya
24
infrastruktur yang mendukung kegitan pada sistem agirbisnis, dan peran kebijakan pemerintah.
2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian terkait dayasaing industri gula di Indonesia sebelumnya sudah pernah dilakukan. Akan tetapi, penelitian tersebut meneliti dengan ruang lingkup yaitu dayasaing dan strategi pengembangan agribisnis gula di Indonesia. Menurut Cahyani (2008), meneliti tentang dayasaing dan strategi pengembangan agribisnis gula Indonesia dengan menggunakan analisis Berlian Porter, metode SWOT, dan arsitektur strategik. Menurut penelitian tersebut bahwa keterkaitan antar komponen di dalam pendekatan Berlian Porter yang tidak saling mendukung lebih dominan sehingga menyebabkan agribisnis gula Indonesia masih lemah. Setelah pendekatan Berlian Porter lalu di dalam penelitian tersebut terdapat perumusan strategi pengembangan yang menggunakan pendekatan SWOT yang berisi beberapa strategi antara lain optimalisasi sumberdaya yang ada, pemanfaatan hasil samping pengolahan gula, penguatan kelembagaan, penyuluhan penerapan teknologi on farm, menjaga ketersediaan pasokan tebu, peningkatan kualitas dan efisiensi produksi gula, pengaturan produksi dan impor gula rafinasi, menciptakan lembaga permodalan bagi petani dan industri gula, rehabilitasi sarana prasarana penunjang PG, penataan varietas dan pembibitan, pengaturan ketersediaan pupuk dan bibit dalam waktu, jumlah, jenis, dan harga yang tepat, pengembangan industri gula di luar Jawa, perbaikan manajemen tebang muat angkut (TMA), mencari teknik budidaya yang sesuai untuk lahan bukan sawah, dan rehabilitasi tanaman tebu keprasan (bongkar ratoon). Adapun kaitannya dengan penelitian ini adalah merujuk beberapa komponen dayasaing yang menjadi dasar penelitian ini dalam menjelaskan komponen dalam Berlian Porter. Kemudian, perbedaan dari penelitian terdahulu ini dengan penelitian ini adalah fokus penjelasan yang disajikan merujuk kepada kinerja industri gula dengan dijelaskan pula dayasaing kompetitifnya. Ginandjar (2011), melakukan penelitian tentang kebijakan gula rafinasi dalam pembangunan industri gula nasional, di dalam penelitian tersebut
25
menggunakan pendekatan deskriptif yaitu pendekatan Framework Tinbergen dengan menganalisis penyebab timbulnya pertentangan dalam kebijakan pergulaan.hasil dari penelitian tersebut adalah dalam pergulaan di Indonesia terdapat dua kelompok yaitu samurai untuk para pengusaha yang berada di dalam industri gula kristal putih dan naga untuk para pengusaha yang berada di dalam industri gula kristal rafinasi. kendala yang dihadapi oleh perdagangan gula dalam negeri adalah lemahnya penegakan hukum untuk memberantas penyelundupan dan manipulasi dokumen gula impor, setiap eselon satu dalam kementerian terkait impor gula memiliki data dan kebijakan yang berbeda dalam hal yang sama, dan tidak mudahnya mengimpor gula kristal mentah dengan kuota besar karena hal itu yang akan menghentikan industri gula kristal putih dalam negeri. Efek samping kebijakan industri gula kristal rafinasi terhadap pembangunan industri gula nasional adalah menyebabkan pasar gula kristal putih terhambat, terutama saat harga gula kristal mentah rendah dan gula kristal rafinasi merembes ke pasar konsumsi langsung. Adapun kaitannya dalam penelitian ini adalah merujuk kepada kebijakan dalam industri gula yang pernah dikeluarkan agar melengkapi data kebijakan gula yang sudah ada. Wiryastuti (2002), melakukan studi tentang peningkatan dayasaing industri gula di Jawa Tengah dengan menggunakan metode Analytical Hierarkhi Process (AHP). Hasil penelitan menunjukkan bahwa faktor aktor utama yang berperan dalam meningkatkan dayasaing industri gula di Jawa adalah biaya produksi sedangkan aktor utama yang berperan meningkatkan dayasaing industri gula di Jawa adalah manajemen perusahaan dan pemerintah pusat. Penelitian ini juga menghasilkan prioritas strategi utama yang dilakukan untuk meningkatkan dayasaing industri gula di Jawa adalah peningkatan efisiensi dan menjalin kemitraan dengan mitra strategis yang menguasai bahan baku, pasar, modal, dan teknologi. Adapun kaitannya penelitian terdahulu ini dengan penelitian ini adalah mendapat gambaran dayasaing industri gula di wilayah Jawa. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input menunjukkan bahwa terdapat distorsi pada pasar pupuk. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa sistem Komoditas baik input maupun output terdapat proteksi yaitu kebijakan harga output berupa tarif dan harga lelang serta subsidi input yang melindungi pelaku
26
industri gula agar tetap mau berproduksi dan distorsi pasar yang ada pada industri gula, pelaku industri gula diuntungkan karena pelaku industri gula memperoleh keuntungan yang positif lebih tinggi dari seharusnya yang bernilai negatif dan adanya kebijakan pemerintah, pelaku industri gula membayar biaya produksi dengan nilai lebih rendah dari biaya imbangan berproduksinya. Tinjauan untuk penelitian terdahulu di atas mengungkapkan bahwa kajian tentang gula secara umum, seperti dayasaing dan peningkatannya, dampak kebijakan pemerintah terhadap gula, peramalan produksi dan konsumsi gula, dan faktor yang berhubungan dengan harga gula. Namun penelitian yang memfokuskan perhatian pada dayasaing gula relatif belum banyak, terutama tentang dayasaing industri gula dengan melihat keunggulan kompetitif industri dan melihat keunggulan antar pelaku di dalam industri berdasarkan indikator yang ditentukan. Penelitian ini melengkapi penelitian dayasaing industri gula di Indonesia dengan adanya penambahan analisis matriks perbandingan berpasangan untuk mengukur keunggulan wilayah penghasil gula.
27
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Berlian Porter Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas atau tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Menurut Porter (1990) terdapat empat faktor utama yang menentukan dayasaing industri yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, kondisi industri terkaita dan industri pendukung serta kondisi stuktur, persaingan dan strategi perusahaan. Keempat atribut tersebut didukung oleh peranan pemerintah dan peranan kesempatan dalam meningkatkan keunggulan dayasaing industri nasional, dan secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang dikenal dengan the national diamond. Setiap atribut yang terdapat dalam Teori Berlian Porter memiliki poin-poin penting yang menjelaskan secara detail atribut yang ada, dengan penjelasan sebagai berikut: 1) Kondisi Faktor Sumberdaya Posisi suatu bangsa berdasarkan sumberdaya yang dimiliki merupakan faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor produksi digolongkan kedalam lima kelompok: 1.a. Sumberdaya Fisik atau Alam Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing nasional mencakup biaya, aksesibilitas, mutu dan ukuran lahan (lokasi), ketersediaan air, mineral, dan energi sumberdaya pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan (termasuk perairan laut lainnya), peternakan, serta sumberdaya alam lainnya, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak diperbaharui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis, dan lain-lain. 1.b. Sumberdaya Manusia
28
Sumberdaya manusia yang mempengaruhi dayasaing industri nasional terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah), dan etika kerja (termasuk moral). 1.c. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sumberdaya
IPTEK
mencakup
ketersediaan
pengetahuan
pasar,
pengetahuan teknis, dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa. Begitu juga ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan,
asosiasi
pengusaha,
asosiasi
perdagangan,
dan
sumber
pengetahuan dan teknologi lainnya. 1.d. Sumber Modal Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber modal), aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan, tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter, fiskal, serta peraturan moneter dan fiskal. 1.e. Sumberdaya Infrastuktur Sumberdaya infrastuktur yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari ketersediaan, jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastuktur yang mempengaruhi persaingan. Termasuk sistem transportasi, komunikasi, pos, giro, pembayaran transfer dana, air bersih, energi listrik dan lain-lain. 2) Kondisi Permintaan Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing industri, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik merupakan sasaran pembelajaran perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing di pasar global. Mutu permintaan (persaingan yang ketat) di dalam negeri memberikan tantangan bagi setiap perusahaan untuk meningkatkan dayasaingnya sebagai tanggapan terhadap mutu persaingan di pasar domestik. Ada tiga faktor kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing industri nasional yaitu: 2.a. Komposisi Permintaan Domestik
29
Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing industri nasional. Karakteristik tersebut meliputi: i) Stuktur segmen permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing nasional. Pada umumnya perusahaan-perusahaan lebih mudah memperoleh dayasaing pada stuktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan dengan stuktur segmen yang sempit. ii) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan memenuhi standar yang tinggi yang mencakup standar mutu produk, product features, dan pelayanan. iii) Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan bersaing. 2.b. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas, tingkat pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru dan kejenuhan permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan melakukan penetrasi lebih awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat dilakukan jika industri dilakukan dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktivitas. 2.c. Internasionalisasi Permintaan Domestik Pembeli yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong dayasaing industri nasional, karena dapat membawa produk tersebut ke luar negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong meningkatnya dayasaing produk negeri yang dikunjungi tersebut. 3) Industri Terkait dan Industri Pendukung Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang telah memiliki dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat,
30
pengiriman tepat waktu dan jumlah sesuai dengan kebutuhan industri utama, sehingga industri tersebut juga akan memiliki dayasaing global yang tinggi. Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir tersebut dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global. 4) Stuktur, Persaingan, dan Strategi Perusahaan Stuktur industri dan perusahaan juga menentukan dayasaing yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Stuktur industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perbaikan-perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan stuktur industri yang bersaing. Stuktur perusahaan yang berada dalam industri sangat berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan yang bersangkutan dikelola dan dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun internasional. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan dayasaing global industri yang bersangkutan. 4.a. Stuktur Pasar Istilah stuktur pasar digunakan untuk nenunjukan tipe pasar. Derajat persaingan stuktur pasar (degree of competition of market share) dipakai untuk menunjukan sejauh mana perusahaan-perusahaan individual mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga atau ketentuan-ketentuan lain dari produk yang dijual di pasar. Stuktur pasar didefinisikan sebagai sifat–sifat organisasi pasar yang mempengaruhi perilaku dan keragaan perusahaan. Jumlah penjual dan keadaan produk (nature of the product) adalah dimensi–dimensi yang penting dari stuktur pasar. Adapula dimensi lainnya adalah mudah atau sulitnya memasuki industri (hambatan masuk pasar), kemampuan perusahaan mempengaruhi permintaan melalui iklan, dan lain–lain. Beberapa stuktur pasar yang ada antara lain pasar persaingan sempurna, pasar monopoli, pasar oligopoli, pasar monopsoni, dan pasar oligopsoni. Biasanya stuktur pasar yang dihadapi suatu industri seperti monopoli dan oligopoli lebih ditentukan oleh kekuatan perusahaan dalam menguasai pangsa pasar yang ada, dibandingkan jumlah perusahaan yang bergerak dalam suatu industri. 4.b. Persaingan
31
Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu faktor pendorong bagi perusahaan–perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi. Keberadaan pesaing yang handal dan kuat merupakan faktor penentu dan sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain dalam meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan–perusahaan yang telah teruji pada persaingan ketat dalam industri nasional akan lebih mudah memenangkan persaingan internasional dibandingkan dengan perusahaan–perusahaan yang belum memiliki dayasaing yang tingkat persaingannya rendah. 4.c. Strategi Perusahaan Dalam menjalankan suatu usaha, baik perusahaan yang berskala besar maupun perusahaan berskala kecil, dengan berjalannya waku, pemilik atau manajer dipastikan mempunyai keinginan untuk mengembangkan usahanya ke dalam lingkup yang lebih besar. Untuk mengembangkan usaha, perlu strategi khusus yang terangkum dalam suatu strategi pengembangan usaha. Penyusunan suatu strategi diperlukan perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan semua faktor yang berpengaruh terhadap organisasi atau perusahaan tersebut. 5) Peran Pemerintah Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh terhadap faktor–faktor penentu dayasaing global. Perusahaan–perusahaan yang berada dalam industri yang mampu menciptakan dayasaing global secara langsung. Peran pemerintah merupakan fasilitator bagi upaya untuk mendorong perusahaan–perusahaan dalam industri agar senantiasa melakukan perbaikan dan meningkatkan dayasaingnya. Pemerintah dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku–pelaku industri terhadap
berbagai
sumberdaya
melalui
kebijakan–kebijakannnya,
seperti
sumberdaya alam, tenaga kerja, pembentukan modal, sumberdaya ilmu pengetahuan, dan teknologi serta informasi. Pemerintah juga dapat mendorong peningkatan dayasaing melalui penetapan standar produk nasional, standar upah tenaga kerja minimum, dan berbagai kebijakan terkait lainnya. Pemerintah dapat mempengaruhi kondisi permintaan domestik, baik secara langsung melalui kebijakan moneter dan fiskal yang dikeluarkannya maupun secara langsung melalui perannya sebagai pembeli produk dan jasa. Kebijakan penerapan bea
32
keluar dan bea masuk, tarif pajak, dan lain–lainnya yang juga menunjukan terdapat peran tidak langsung dari pemerintah dalam meningkatkan dayasaing global. Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat dayasaing melalui kebijakan yang memperlemah faktor penentu dayasaing industri, tetapi pemerintah tidak dapat secara langsung menciptakan dayasaing global adalah memfasilitasi lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor penentu dayasaing, sehingga
perusahaan–perusahaan
yang
berada
dalam
industri
mampu
mendayagunakan faktor–faktor penentu tersebut secara efektif dan efisien. 6) Peran Kesempatan Peran kesempatan merupakan faktor yang berada diluar kendali perusahaan atau pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing global industri nasional. Beberapa kesempatan yang dapat mempengaruhi naiknya dayasaing global industri nasional adalah penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang tidak berlanjut (misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang), meningkatkan permintaan produk industri yang bersangkutan lebih tinggi dari peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta berbagai faktor kesempatan lainnya.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Gula merupakan komoditas pokok yang berperan penting dalam konsumsi domestik dan juga kegiatan produksi karena gula merupakan bahan dasar dari industri makanan dan minuman. Hal ini membuat konsumsi gula di Indonesia semakin meningkat terutama berkaitan dengan pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan industri pengolahan makanan dan minuman. Sebagai negara berpenduduk besar maka Indonesia sangat potensial menjadi salah satu konsumen gula terbesar di dunia dan bergantung kepada negara lain apabila Indonesia tidak dapat membangun industri gulanya secara baik. Hal ini dilihat dari produksi gula sekarang belum bisa memenuhi kebutuhan gula nasional yang selalu meningkat. Faktanya, terdapat fluktuasi kinerja industri gula di Indonesia pada tiap tahunnya mulai dari luas areal perkebunan, produksi tebu, dan rendemennya sehingga membuat produksi gula di Indonesia tidak menentu dan sulit konsisten memenuhi
33
kebutuhan domestik. Hal ini disebabkan kurangnya penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah. Tingginya volume impor gula di Indonesia juga disebabkan oleh rendahnya harga gula di pasar internasional sebagai akibat surplus pasokan dan distorsi kebijakan dari negara-negara eksportir, rendahnya proteksi pemerintah terhadap produk-produk pertanian termasuk gula, dan produksi gula dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Karena itu, untuk mengurangi volume impor gula perlu adanya perbaikan dari sisi teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula, sehingga dapat menghasilkan gula domestik yang lebih banyak dan harga yang dapat lebih berdayasaing pada pasar domestik maupun pasar internasional. Kebijakan swasembada gula dan didukung pertumbuhan ekonomi yang baik menjadi momentum pemerintah dalam hal pembangunan industri gula domestik secara masif. Penjelasan di atas menggambarkan suatu kondisi yang berhubungan dengan industri gula di Indonesia saat ini. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis kinerja industri gula di Indonesia menggunakan pendekatan Matriks Perbandingan Berpasangan guna melihat kondisi pelaku di dalam industri gula Indonesia yaitu wilayah penghasil gula di Indonesia. Setelah didapatkan, peringkat wilayah penghasil gula yang terbaik hingga terburuk dari sisi lima komponen pembanding, maka dilakukan analisis keunggulan kompetitif dengan menggunakan pendekatan berlian porter. Pendekatan berlian porter ini dilakukan untuk menjelaskan adanya wilayah penghasil gula yang terbaik dan wilayah penghasil gula terburuk di Indonesia. Setalah dilakukan pendekatan berlian porter, maka didapatkan gambaran yang baik untuk menilai kinerja industri gula di Indonesia dari segi wilayah penghasil gula. Hal ini penting karena untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang tepat dalam hal pengembangan industri gula di Indonesia dari segi pengembangan wilayah. Semua hal yang telah dijelaskan sebelumnya terangkum dalam kerangka pemikiran operasional yang terdapat pada Gambar 1.
34
Gula sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Kesempatan dalam pengembangan industri gula di Indonesia yang disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kebijakan swasembada gula nasional.
Peningkatan volume impor ini disebabkan oleh naiknya konsumsi gula nasional dan pertumbuhan industri makanan dan minuman. Adanya fluktuasi kinerja industri gula, sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan gula domestik
Analisis Kinerja Industri Gula di Indonesia.
Analisis Untuk Menilai Kinerja Wilayah Penghasil Gula di Indonesia
Matriks Perbandingan Berpasangan
Gambaran Persaingan Industri Gula di Indonesia dalam Ruang Lingkup Wilayah Penghasil Gula
Pendekatan Berlian Porter
Gambaran Kinerja Industri Gula di Indonesia
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
35
IV.
METODE PENELITIAN
4.1. Ruang Lingkup dan Waktu Penelitian Penelitian ini membahas tentang kondisi industri gula di Indonesia, kinerja dan dayasaing industri gula sebagai komoditas yang pokok di Indonesia. Lingkup penelitian ini meliputi pengolahan data gula secara nasional (makro). Penelitian ini mengambil data industri gula di Indonesia tahun 2007 hingga 2011. Waktu penelitian dilakukan dari bulan Februari hingga Desember 2012 dari mulai penyusunan proposal hingga penyerahan skripsi. Pada peneilitian ini, terdapat beberapa hal yang dijelaskan pada proses penyusunan proposal hingga proses sidang. Proses pra penelitian dilakukan pada awal tahun dengan melakukan pengumpulan data awal di lembaga yangterkait dengan industri gula Indonesia Pada pra penelitian, peneliti melakukan kunjungan langsung ke pabrik gula di Jawa Timur yang mendapatkan gambaran awal terhadap industri gula di Indonesia dan permasalahan yang ada di Indonesia. Serta setelah itu, peneliti melakukan kunjungan ke pabrik gula di Thailand untuk mendapatkan informasi sebagai perbandingan antara industri gula Indonesia dean Thailand. Kemudian, proses penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data inti untuk pembahasan serta pengolahan data yang melibatkan proses secara kualitatif.
4.2. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer. Dalam penelitian ini, data sekunder yang digunakan adalah berupa data laporan tahunan kinerja industri gula Indonesia yang dikeluarkan oleh Dewan Gula Indonesia dan Laporan kinerja perkebunan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Kemudian, data primer dalam penelitian ini data yang didapatkan dari in depth interview dengan peneliti PRIDE tentang keterkaitan antar komponen dayasaing dalam Berlian Porter dan farm visit yang dilakukan ke pabrik gula di Jawa Timur dan Thailand. Dalam konteks sumber data, data yang
36
digunakan adalah data kuantitatif yang berupa data produktivitas tebu dan produktivitas gula untuk ruang lingkup pabrik, wilayah, dan nasional yang ada pada tahun 2011. Selain itu, dalam penelitian ini digunakan data kualitatif yang terkait dengan industri gula di Indonesia. Data kualitatif ini berupa pendapat ahli dari peneliti PRIDE sebagai acuan dalam menilai keterkaitan komponen dayasaing pada Berlian Porter. Serta, data kualitatif yang didapatkan dari farm visit ke pabrik gula di Jawa Timur dan Thailand. Instrumen atau alat pengumpul data yang digunakan berupa daftar panduan wawancara yang telah disusun secara tertulis sesuai dengan masalah, studi literatur, dan alat pencatat.
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis dan pengolahan data dilakukan dalam penelitian ini adalah secara kualitatif. Alasan penggunaan analisis secara kualitatif adalah terdapat beberapa hal yang dapat digali dan diketahui secara mendalam untuk menjawab permasalahan penelitian. Jawaban tersebut dapat diperoleh melalui penggunaan analisis kualitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis situasi dan kondisi faktor penentu kinerja industri, khususnya industri gula. Analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan Matriks Perbandingan Berpasangan dan Teori Berlian Porter. Proses pengolahan data untuk Matriks Perbandingan Berpasangan dilakukan dengan menggunakan Software Microsoft Excel 2007 untuk mendapatkan nilai bobot dari hasil perbandingan antara variabel berdasarkan komponen yang ditentukan. Adapun kesulitan bagi peneliti dalam metode pengolahan dan analisis data adalah sulitnya menggabungkan data kuantitatif dan data kualitatif yang telah dikumpulkan untuk membuat analisis yang komprehensif dan tepat sesuai tujuan penelitian.
4.4.1. Matriks Perbandingan Berpasangan Matriks
perbandingan
berpasangan
merupakan
pendekatan
untuk
meringkas dan melihat keunggulan variabel yang dihadapkan pada indikator yang telah ditentukan. Pendekatan matriks perbandingan berpasangan digunanakan untuk melihat kondisi pelaku industri gula di Indonesia, dengan melihat posisi dari para pelaku industri berdasarkan komponen yang ditentukan. Matriks ini juga
37
dapat memberikan dasar untuk mengidentifikasi variabel yang dapat bersaing melalui posisi yang ditempati oleh variabel tersebut. Langkah-langkah matriks perbandingan berpasangan dibagi menjadi wilayah penghasil gula dalam menilai wilayah penghasil gula yang dapat bersaing pada industri gula Indonesia, antara lain: 1. Menentukan indikator inti dalam melakukan matriks perbandingan berpasangan wilayah agar membatasi ruang lingkup analisis, adapun komponen yang digunakan adalah luas lahan (ha), jumlah pabrik (pabrik), produktivitas tebu (ton tebu/ha), produktivitas gula (ton gula/ton tebu), dan produksi tebu (ton). Data yang digunakan adalah data tahun 2011 agar mendapatkan hasil kinerja terbaru dari industri gula. Perbandingan awal dilakukan dengan menggunakan data numerik sesuai dengan komponen yang ditentukan. 2. Melakukan pembagian wilayah sebagai basis menilai wilayah yang dapat bersaing di industri gula Indonesia, dimana pembagian menjadi tujuh wilayah yaitu Jawa Barat-Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Dasar pembagian wilayah ini adalah menurut lokasi yang memiliki pabrik gula di Indonesia. 2. Mendaftarkan seluruh wilayah penghasil gula yang ada di Indonesia sebagai basis wilayah yang akan digunakan dalam analisis perbandingan wilayah tersebut, dimana keseluruhan wilayah tersebut berjumlah tujuh wilayah di Indonesia. Alasan pemilihan tujuh wilayah ini adalah melihat kondisi sebenarnya dari pelaku industri gula di Indonesia yang notabenenya diisi olehtujuh wilayah tersebut. 3. Analisis matriks perbandingan berpasangan ini dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap kuantitatif dengan memasukkan data-data berdasarkan indikator untuk wilayah ke dalam matriks dan tahap kualitatif dengan mengulas hasil dari matriks tersebut. Pada tahap kuantitatif, perbandingan dilakukan menggunakan matriks berpasangan yang nantinya akan dibagi menurut pasangan perbandingan yang telah ditentukan pada kelima komponen pembanding, yaitu antar wilayah-wilayah. Adapun tahap kualitatif yaitu dengan membandingkan antar wilayah dengan wilayah lain. Dasar dari tahapan
38
yang dilakukan adalah untuk melihat kondisi pelaku industri satu dengan pelaku lain, yang dalam penelitian ini berfokus pada wilayah penghasil gula. 5. Penilaian matriks dengan menggunakan tabel dan rumus menghitung bobot dalam analisis matriks perbandingan berpasangan ini diadaptasi dari teori Internal dan Eksternal Matriks yan terdapat dalam Management Strategies (David, 2006). Penilaian matriks berpasangan yang didasarkan dari komponen pembanding yang telah ditetapkan, komponen 1,2,3,4, dan 5 dalam matriks merupakan komponen pembanding yang akan dibandingkan dari wilayah A dengan wilayah B. Setiap komponen digunakan skala 1, 2, dan 3 untuk menentukan bobot. Bobot ini digunakan untuk mengukur nilai keunggulan antara wilayah A dan wilayah B pada indikator yang telah ditentukan. Skala yang digunakan untuk menetukan bobot adalah: 1 = jika Wilayah A lebih buruk daripada Wilayah B 2 = jika Wilayah A sama dengan Wilayah B 3 = jika Wilayah A lebih baik dari Wilayah B
Tabel 3. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah penghasil gula dalam Industri Gula Indonesia Wilayah A Komponen
1
2
Total 3
4
Bobot
5
Pembanding Wilayah 1 B
Xi
2 3 4 5 Total
Sumber: Internal dan Eksternal Matriks dalam Managemen Strategies (David, 2006)
Wilayah A dalah variabel horizontal, Wilayah B adalah variabel vertikal. Cara membaca perbandingan dimulai dari variabel baris atau variabel horizontal (variabel X) dibandingkan variabel kolom atau variabel vertikal
39
(variabel Y) dan harus konsisten. Dibawah ini adalah matriks perbandingan berpasangan wilayah penghasil gula dalam industri gula Indonesia. Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan dengan menggunakan rumus: ∝i = Dimana, ∝i = Bobot variabel ke-i Xi = Nilai variabel ke-i n = jumlah data i = 1,2,3,...n Sumber: Internal dan Eksternal Matriks (Diadaptasi)
6. Mendaftarkan kembali dengan tabel peringkat wilayah penghasil gula berdasarkan urutan dari bobot yang terbesar hingga terkecil. Bobot terbesar membuktikan bahwa wilayah A tersebut memiliki nilai yang lebih baik dibanding wilayah B menurut komponen yang dibandingkan. Serta bobot terkecil membuktikan bahwa wilayah A tersebut memiliki nilai yang lebih buruk dibanding wilayah B menurut komponen yang dibandingkan. 7. Setelah itu, didapatkan wilayah penghasil gula yang memiliki kinerja yang baik dalam industri gula Indonesia adalah wilayah yang menempati posisi teratas dalam kelima komponen pembanding.
4.4.2. Analisis Berlian Porter Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui dayasaing Industri gula di Indonesia adalah Teori Berlian Porter. Analisis dilakukan pada tiap komponen yang terdapat pada Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory). Komponen tersebut meliputi : 1) Factor Condition (FC), yaitu keadaan faktor–faktor produksi dalam suatu industri seperti tenaga kerja dan infrastuktur. 2) Demand Condition (DC), yaitu keadaan permintaan atas barang dan jasa dalam negara. 3) Related and Supporting Industries (RSI), yaitu keadaan para penyalur dan industri lainnya yang saling mendukung dan berhubungan.
40
4) Firm, Strategy, Structur, and Rivalry (FSSR), yaitu strategi yang dianut perusahaan pada umumnya, stuktur industri dan keadaan kompetisi dalam suatu industri domestik.
Gambar 2. The Complete System of National Competitive Advantage (Porter, 1990) Keterangan: Garis (
), menunjukan keterkaitan antar komponen utama yang saling
mendukung Garis (
), menunjukan keterkaitan antar komponen penunjang yang mendukung
komponen utama Garis (
), menunjukan keterkaitan antar komponen utama yang tidak saling
mendukung Garis (
), menunjukan keterkaitan antar komponen penunjang yang tidak
terjalin atau tidak mendukung komponen utama
Selain itu ada komponen lain yang terkait dengan keempat komponen utama tersebut yaitu faktor pemerintah dan kesempatan. Keempat faktor utama
41
dan dua faktor pendukung tersebut saling berinteraksi. Dari hasil analisis komponen penentu dayasaing kita dapat menentukan komponen yang menjadi keunggulan dan kelemahan dayasaing industri gula di Indonesia. Hasil keseluruhan interaksi antar komponen yang saling mendukung sangat menentukan perkembangan
yang
dapat
menjadi
competitive
advantage
dari
suatu
industri.Komponen–komponen dalam Teori Berlian Porter dapat dilihat pada Gambar 2. Pendekatan analisis Berlian Porter digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi dari setiap atribut yang ada, seperti kondisi permintaan domestik, kondisi faktor sumberdaya, industri pendukung dan terkait, serta struktur, persaingan, dan strategi industri gula di Indonesia. Selain hal tersebut, tedapat juga dua atribut tambahan yaitu peran pemerintah dan peran dari kesempatan yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan industri gula di Indonesia.
4.5 Definisi Operasional 1. Gula yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gula tebu khususnya white sugar. White sugar adalah gula berkualitas baik, putih, persen pol > 99,5 dan dapat dikonsumsi langsung. 2. Produksi gula Indonesia adalah total produksi gula konsumsi masyarakat di Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton per tahun. 3. Konsumsi gula Indonesia adalah total konsumsi gula langsung masyarakat Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton per tahun. 4. Produksi tebu Indonesia adalah total produksi tebu di Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton per tahun. 5. Luas areal perkebunan tebu adalah luas seluruh areal produktif tanaman tebu di Indonesia yang dinyatakan dalam satuan hektar. 6. Produktivitas tebu adalah hasil bagi antara produksi tebu Indonesia dengan luas perkebunan tebu yang dinyatakan dalam satuan ton per hektar. 7. Rendemen adalah kadar kandungan gula dalam setiap batang tebu yang dinyatakan dalam satuan persen.
42
8. Impor gula adalah jumlah seluruh impor gula yang dijual atau dipasarkan di pasar domestik dan tidak termasuk impor ilegal yang dinyatakan dalam satuan ton.
43
V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA
5.1 Industri Pergulaan Indonesia Menurut KPPU (2010) bahwa gula terdiri dari beberapa jenis, dilihat dari keputihannya melalui standar ICUMSA (International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis). Semakin putih gula maka semakin kecil nilai ICUMSA dalam skala internasional unit (IU) seperti berikut ini. 5.1.1 Raw Sugar Raw sugar adalah gula mentah berbentuk kristal berwarna kecoklatan dengan bahan bakun dari tebu. Untuk menghasilkan produk ini dibutuhkan proses sebagai berikut : Tebu – Giling – Nira – Evaporator - kristal merah (raw sugar). Menurut KPPU (2010) bahwa raw sugar ini memiliki nilai ICUMSA sekitar 60012000 UI. Gula tipe ini adalah produksi gula setengah jadi dari pabrik penggilingan tebu yang tidak memiliki unit pemutihan yang biasanya jenis gula inilah yang banyak diimpor untuk nantinya diubah menjadi gula kristal putih ataupun gula rafinasi. 5.1.2 Refined Sugar Refined sugar atau gula rafinasi merupakan hasil olahan lebih lanjut dari gula mentah atau raw sugar melalui proses defikasi yang tidak dapat langsung dikonsumsi oleh manusia sebelum diproses lebih lanjut. Gula rafinasi dihasilkan melalui tahapan produksi yaitu : raw sugar preparation affination – carbonasi – penyaringan – pertukaran ion – evaporasi – sentrifugal – gula rafinasi – pengemasan. Hal yang membedakan antara gula kristal putih dengan gula rafinasi adalah gula rafinasi menggunakan proses carbonasi sedangkan gula kristal putih menggunakan proses sulfitasi. Gula rafinasi mempunyai standar mutu khusus yaitu mutu 1 yang memiliki nilai ICUMSA < 45 dan mutu 2 yang memiliki nilai ICUMSA 46-80. Gula rafinasi ini adalah bahan baku yang digunakan untuk industri makanan dan minuman. Pendistribusian gula rafinasi dilakukan secara khusus, dimana distributor gula rafinasi terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan serta penunjukan dari pabrik gula rafinasi yang kemudian disahkan oleh kementerian
44
perindustrian. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kebocoran gula rafinasi ke rumah tangga. 5.1.3 Gula Kristal Putih Gula kristal putih memiliki nilai ICUMSA antara 250-450 IU. Kementerian perindustrian mengelompokkan gula kristal putih menjadi tiga bagian yaitu gula kristal putih 1 dengan nilai ICUMSA 250, gula kristal putih 2 dengan nilai ICUMSA 250-350, dan gula kristal putih 3 dengan nilai ICUMSA 350-350. Semakin tinggi nilai ICUMSA maka semakin coklat warna dari gula tersebut serta rasanya semakin manis. Gula tipe ini umumnya digunakan untuk konsumen rumah tangga dan diproduksi oleh pabrik-pabrik gula yang dekat dengan perkebunan tebu dengan cara menggiling dan melakukan proses pemutihan, yaitu dengan sulfitasi. Berikut rangkain prosesnya : Tebu – Gilingan – Nira – Evaporator – Kristal – Sentrifugal – Sulfitasi – Gula kristal putih/ gula pasir.
5.2 Kondisi Industri Gula Saat Ini 5.2.1 Perkembangan Luas Areal, Produktivitas, dan Produksi Tebu Pemerintah menyadari bahwa usaha peningkatan produksi gula di Jawa makin sulit karena harus bersaing dengan tanaman pangan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah sejak awal tahun 1980-an telah melakukan perluasan lahan tanaman tebu dan pabrik ke luar pulau Jawa, seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Tetapi kenyataan pada saat ini menunjukkan bahwa kecuali Lampung, pabrik-pabrik gula tersebut belum ada yang optimal kinerjanya. Menurut Utomo dan Soelistyari (1988), bahwa yang menjadi masalah adalah bukan kekurangan lahan untuk menanam tebu, tetapi karena lahan yang tersedia kurang cocok untuk ditanami tanaman tebu. Hal tersebut dikarenakan sifat tanahnya yang tidak cocok sehingga produksinya yang diperoleh rendah. Utomo dan Soelistyari (1988) juga menjelaskan lahan di luar Jawa adalah tergolong podsolik merah kuning. Jadi, pada tanah ini tanaman tebu mempunyai kesempatan besar untuk dikembangkan. Tetapi perlu dikemukakan bahwa tanah podsolik merah kuning merupakan tanah yang memiliki banyak faktor pembatas
45
yang menjadi kendala, baik dalam pemanfaatannya maupun usaha menjaga kelestarian produktivitasnya. Podsolik merah kuning terdapat di daerah dengan curah hujan tinggi. Telah mengalami pelapukan yang lanjut dan pelindian yang amat jauh, miskin hara tanaman, struktur tanah tidak mantap sehingga status pertaniannya rendah (Soeprapto, 1983). Luas areal tebu di Indonesia secara umum berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat dari tahun 2000 hingga tahun 2011. Namun, sebelumnya terjadi penurunan luas areal tanam adalah pada tahun 1999 sebesar 9,91 persen, yang kemudian diikuti penurunan pada tahun 2000. Adapun alasan terjadinya penurunan tersebut adalah akibat dihapuskannya kebijakan TRI dan konversi lahan (Dirjen Perkebunan, 2006). Penurunan luas areal tersebut berdampak pada penurunan produksi tebu sebesar 12,59 persen, dari 71,84 ton/ha pada tahun 1998 menjadi 62,80 ton/ha pada tahun 1999. Adapun pada tahun 2011, luas lahan pengembangan tebu di Indonesia naik sebesar 7,66 persen dari tahun sebelumnya, yang mencapai 450.297 ha pada tahn tersebut. Menurut Dewan Gula Indonesia (2011), bahwa luas lahan tersebut tersebar di beberapa dearah, antara lain: Jawa Timur dengan 192.801 ha, Lampung dengan 128.321 ha, Jawa Tengah dengan 51.955 ha, Jawa Barat dengan 22.487 ha, Sulawesi Selatan dengan 14.039 ha, Sumatera Selatan dengan 15.282 ha, Sumatera Utara dengan 10.046 ha, Gorontalo dengan 8.681 ha, dan DIY dengan 6.681 ha. Dilihat dari angka tersebut dapat dikatakan bahwa pulau Jawa masih menjadi daerah penyangga produksi tebu di Indonesia dengan 273.924 ha atau 60,8 persen luas lahan pengembangan tebu di Indonesia. Hal ini harus dihindari karena sulit apabila pemerintah hanya mengandalkan satu daerah penyangga produksi gula untuk menyukseskan program swasembada gula tahun 2014. Adapun terjadinya kenaikan luas lahan pengembangan tebu pada tahun 2011 dikarenakan program pemerintah terkait swasembada gula tahun 2014 sehingga pemerintah berusaha untuk memperluas lahan tebu petani. Akan tetapi pada tahun tersebut produksi tebu malah menurun sebesar 11,38 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan faktor beyond control yaitu faktor cuaca yang
46
tidak menentu, dimana pada tahun tersebut curah hujan yang tinggi sehingga kuantitas tebu yang dihasilkan menjadi lebih sedikit. Tabel 4. Pertumbuhan Luas Areal, Produksi Tebu, Produktivitas Tebu, dan Rendemen di Indonesia Tahun 1993-2011 Tahun
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Luas Areal Total Pertumb (Ha) uhan (%) 420.687 428.726 1,91 420.630 -1,89 403.266 -4,13 385.669 -4,36 378.293 -1,91 340.800 -9,91 340.660 -0,04 344.441 1,11 350.723 1,82 335.725 -4,28 344.293 2,55 381.759 10,88 396.441 3,85 427.178 7,75 436.504 2,18 422.935 -3,11 418.259 -1,11 450.297 7,66
Produksi Tebu Total Pertum (Ton) buhan (%) 37.593.146 30.545.070 -18,75 30.096.060 -1,47 28.603.531 -4,96 27.953.841 -2,27 27.177.766 -2,78 21.401.834 21,25 24.031.355 12,29 25.186.254 4,81 25.533.431 1,38 22.631.109 -11,37 26.743.179 18,17 31.242.267 16,82 30.232.833 -3,23 33.066.042 9,37 32.960.165 -0,32 32.165.572 -2,41 34.216.549 6,38 30.323.228 -11,38
Produktivitas Tebu Total Pertum (Ton/Ha) buhan (%) 89,36 71,25 -20,27 71,55 0,43 70,93 -0,87 72,48 2,19 71,84 -0,88 62,80 -12,59 70,54 12,33 73,12 3,66 72,80 -0,44 67,41 -7,41 77,68 15,23 81,84 5,36 76,26 -6,81 77,41 1,50 75,50 -2,47 76,10 0,79 81,80 7,49 67,30 -17,73
Rendemen (%)
6,60 8,02 6,97 7,32 7,83 5,49 6,96 7,04 6,85 6,88 7,21 7,67 7,18 7,63 7,35 8,20 7,83 6,47 7,35
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2012 (Diolah)
Produksi gula juga berfluktuasi dari tahun ke tahun dengan kecenderungan mulai ada peningkatan, kecuali tahun 1999, 2003 dan 2010. Pada tahun 1999 terjadi penurunan karena adanya penurunan lahan produksi tebu. Penurunan ini disumbang oleh efek kebijakan pemerintah terkait TRI dan konversi lahan. Pada tahun 2003 terjadi penurunan produksi tebu sebesar 11,37 persen, sehingga menurunkan produksi gula sebesar 6,72 persen. Hal ini terjadi akibat masalah ketersediaan air menurut ruang dan waktu serta pengelolaan sumberdaya iklim yang memegang peranan penting dalam proses produksi tebu, khususnya pada lahan kering. Pada tahun tersebut, sebagian besar tanaman tebu lahan kering yang ditanam periode Mei hingga September mengalani cekaman air (water stress) pada fase kritis yaitu fase pembentukan tunas dan pertumbuhan vegetatif.
47
Tabel 5. Pertumbuhan Produksi Gula dan Produktivitas Gula Tahun 1993-2011 Tahun
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Produksi Gula Total (Ton) 2.482.725 2.448.833 2.096.471 2.094.195 2.189.974 1.491.553 1.488.599 1.690.667 1.725.467 1.749.427 1.631.830 2.051.643 2.241.741 2.307.027 2.448.142 2.703.975 2.624.068 2.214.488 2.228.259
Pertumbuhan (%) -1,37 -14,39 -0,11 4,57 -31,89 -0,20 13,57 2,06 1,39 -6,72 25,73 9,27 2,91 6,12 10,45 -2,96 -15,61 0,62
Produktivitas Gula Total (Ton/Ha) Pertumbuhan (%) 5,90 5,71 -3,22 4,98 -12,78 5,19 4,22 5,68 9,44 3,94 -30,63 4,37 10,91 4,96 13,50 5,01 1,01 5,02 0,20 4,84 -3,59 5,95 22,93 5,87 -1,34 5,82 -0,85 5,71 -1,89 6,19 8,41 6,20 0,16 5,29 -14,68 4,95 -6,43
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2012
Kekeringan yang terjadi berdampak lebih besar pada penurunan produksi tebu dibandingkan dengan fase pembentukan gula maupun fase pematangan. Kondisi tersebut berdampak terhadap penurunan produksi per satuan luas secara signifikan, meskipun secara kuantitas rendemen meningkat. Kondisi yang terjadi sesuai dengan riset FAO (1997), bahwa kehilangan hasil akibat kekeringan (water stress) secara kuantitatif dapat mencapai 40 persen dari potensi produksinya apabila terjadi pada fase kritis tanaman. Pada tahun 2010, yang terjadi adalah penurunan produksi gula yang cukup besar dari tahun sebelumnya sebesar 15,61 persen dari tahun 2009. Hal ini dikarenakan dampak anomali iklim, dimana curah hujan yang tinggi di sepanjang tahun tersebut. Kejadian ini tidak terjadi di Indonesia, tapi di negara-negara produsen gula, seperti Thailand. Faktor beyond control ini memang sulit diantisipasi karena bersifat risiko murni. Penurunan produksi gula dikarenakan menurunnya rendemen sebesar 1,36 persen dari tahun 2009 atau setara penurunan produksi gula sebesar 409.580 ton dari tahun sebelumnya
48
5.2.2 Kebutuhan Konsumsi dan Impor Gula Gula merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok di Indonesia dan memiliki peranan yang krusial dalam stabilitas ekonomi Indonesia. Komoditas ini memiliki peranan penting dalam hal pemenuhan kebutuhan masyarakat dan industri makanan dan minuman yang berbahan baku dari produk olahan tebu ini. Kebutuhan gula di Indonesia berbanding lurus dengan angka jumlah penduduk Indonesia dan industri makanan dan minuman, sehingga penting bagi Indonesia membangun dan melindungi industri gula secara baik dan benar agar tidak berdampak kepada stabilitas ekonomi Indonesia akibat gejolak harga dan ketersedian gula di pasar konsumen akhir atau industri makanan dan minuman. Terlihat pada Tabel 9 bahwa tingkat konsumsi gula nasional meningkat dan begitu pula pada nilai impor gula, dengan catatan pada tahun 2008 terdapat penurunan yang terjadi pada konsumsi dan berdampak juga pada penurunan impor, akan tetapi hal ini tidak membuat konsumsi dan impor gula menurun peda tahun-tahun berikutnya. Secara rata-rata konsumsi pada periode 2006 hingga 2010 adalah mencapai 4,59 juta ton per tahunnya dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi 4,65 persen. Angka di atas adalah respon atas kenaikan pertumbuhan penduduk Indonesia per tahunnya sebesar 1,34 persen. Tabel 6. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 2006-2010 Tahun
2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata per tahun
Konsumsi Jumlah Pertumbuhan (Juta Ton) (%) 4,30 4,70 9,30 4,34 -7,66 4,54 4,61 5,10 12,33 4,59 4,65
Jumlah (Juta Ton) 1,71 2,84 2,04 2,75 2,91 2,45
Impor Pertumbuhan (%) 66,08 -28,17 34,80 5,82 19,63
Proporsi Impor (%) 39,77 60,43 47,00 60,57 57,06 52,87
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2011 (diolah)
Importasi gula yang begitu besar terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar 2,18 juta ton atau 65 persen dari kebutuhan untuk konsumsi nasional. Kemudian, dilihat pada periode tahun 2006 hingga 2010, proporsi impor gula terhadap
49
konsumsi gula total tidak lebih dari 60 persen atau lebih rendah keadaanya dari tahun 1999, dengan rata-rata persentase impor dengan kebutuhan konsumsi nasional per tahunnya mencapai 52,97 persen. Adapun negara-negara yang memasok gula ke Indonesia yaitu Thailand, Brazil, dan India. Akan tetapi ini, fakta harus segera direspon oleh pihak-pihak terkait industri gula nasional karena berarti lebih dari setengah kebutuhan konsumsi gula nasional bergantung kepada importasi sehingga apabila terjadi gejolak pasokan dari negara pengimpor tersebut maka industri gula domestik akan sangat terganggu dan mengancam stabilitas ekonomi nasional karena gula merupakan salah satu komoditas pokok di Indonesia. Untuk mengatur importasi ini pemerintah telah mengeluarkan peraturan yaitu keputusan menperindag No.643/MPP/KEP/2002 tanggal 23 September 2002 yang mengatur jalannya impor gula nasional. Adapun isi keputusan tersebut adalah hak impor gula pasir hanya diberikan kepada kalangan perusahaan gula yang dalam proses produksinya menggunakan lebih dari 75 persen bahan baku dari petani tebu. Tetapi implementasi kebijakan tersebut belum sesuai dengan harapan akibat ketidakjelasan jumlah persediaan gula nasional. Untuk melindungi petani, pemerintah memberi syarat impor gula dapat dilaksanakan apabila harga gula petani sudah di atas Rp 3.100/kg. Pembatasan impor yang hanya dilakukan oleh importir produsen adalah usaha untuk dapat mengatur keseimbangan stok antara gula lokal dengan gula impor. Namun, efektifitas kebijakan pembatasan gula impor tersebut masih harus dipertanyakan mengingat banyaknya kasus penyelundupan dan manipulasi dokumen impor gula.
5.2.3 Harga Gula Harga gula merupakan indikator faktual yang mencerminkan kinerja pasar gula yang baik, antara tingkat konsumsi dengan ketersediaan pasokan gula. Apabila harga gula mengalami gejolak berarti terjadi masalah antara tingkat konsumsi atau ketersediaan pasokan gula. Harga gula di tingkat retail atau eceran terus naik tiap tahunnya. Dilihat dari data harga eceran tahun 2008 hingga 2011, bahwa terjadi kenaikan harga rata-rata yang cukup tinggi pada tahun 2009 yang mencapai 35 persen, hal ini dikarenakan tidak tercapainya sasaran produksi gula
50
tahun 2008 akibat berkurangnya areal pengusahaan tebu rakyat menyusul kurang kondusifnya harga tahun 2008. Tabel 7. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik pada Tahun 2008-2011 Bulan
Harga (Rp/Kg) 2008 2009 2010 Januari 6.414 6.649 11.304 Februari 6.424 7.495 11.198 Maret 6.439 7.896 10.972 April 6.307 8.076 10.445 Mei 6.436 8.405 10.242 Juni 6.514 8.553 9.960 Juli 6.449 8.468 10.742 Agustus 6.462 9.026 10.692 September 6.446 9.991 10.544 Oktober 6.409 9.840 10.922 November 6.433 9.677 11.026 Desember 6.482 10.185 11.150 Rata-rata harga per tahun 6.435 8.688 10.766 Pertumbuhan rata-rata (%) 35,0 23,9 Sumber : Kementerian Perdagangan, 2012 (diolah)
2011 11.179 11.094 10.806 10.832 10.370 10.383 10.499 10.511 10.500 10.451 10.457 10.754 10.653 -1,1
Selain itu, faktor agroklimat pada tahun 2009 juga menjadi penyebab kenaikan gula domestik, mulai dari kelembaban tinggi yang menstimulasi pembungaan tebu lebih cepat dan berakibat stagnasi pertumbuhan, hujan berkepanjangan saat awal giling dengan dampak ketidaklancaran angkutan tebu dari kebun ke pabrik, hingga kemarau esktrim panas setelah Agustus 2009 yang berimplikasi terhadap penurunan berat tebu. Akan tetapi pada tahun 2011 terjadi penurunan harga rata-rata gula domestik sebesar 1,1 persen. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan produksi gula dunia, peningkatan tingkat rendemen domestik, dan peningkatan luas lahan tebu nasional. Ketiga hal tersebut terjadi pada buan Februari hingga Mei sehinggapada medio bulan-bulan tersebut harga gula domestik turun yang membuat rata-rata harga gula domestik pada tahun 2011 menjadi lebih rendah 1,1 persen dibandingkan tahun 2010. Pada Tabel 10, terlihat pada bulan Januari tahun 2011 adalah posisi tertinggi harga gula domestik yang mencapai harga Rp.11.179. Pada bulan Januari, harga rata-rata gula di 33 kota pada Januari 2011 naik sebesar 0,3 persen jika dibandingkan dengan Desember 2010. Perubahan rata-rata harga bulanan 51
adalah sebesar 3,4 persen. Jika dilihat per kota, fluktuasi harga berbeda antar wilayah. Hingga 31 Januari 2011, produksi gula nasional sebesar 55.051,2 ton. Stok fisik GKP di gudang sebesar 707.209 ton (67% milik pedagang; 27,7 % milik PG dan 5,3% milik petani). Harga gula dunia terus naik karena permintaan yang tinggi dari Indonesia, Rusia, Belarusia dan Kazahktan, serta pasokan yang berkurang dari Australia dan Brasil. Untuk bulan Mei tahun 2011 adalah bulan dengan harga gula domestik terendah pada tahun tersebut. Adapun secara rata-rata nasional, fluktuasi harga gula pada bulan Mei 2011 relatif stabil yang diindikasikan oleh perubahan ratarata harga bulanan adalah sebesar 3,4 persen. Harga gula domestik mengalami penurunan yang didukung faktor-faktor antara lain: tingkat rendemen tebu lebih tinggi dari tingkat rendemen tahun lalu,luas areal lahan tebu diperkirakan meningkat 15.000 hektar menjadi 445.000 ton dan harga tender gula mengalami penurunan. Harga gula dunia mengalami penurunan dikarenakan produksi gula di Meksiko naik sebesar 13 persen dibanding periode yang sama tahun kemarin.
5.3 Kebijakan Pergulaan Indonesia Pemerintah merupakan elemen terpenting dalam pengembangan industri gula Indonesia. Pada kontribusinya dalam industri gula nasional, pemerintah telah banyak menerapkan instrumen kebijakan dalam industri tersebut. Kebijakan industri gula Indonesia sangat luas dimensinya, mulai dari sektor input, produksi, distribusi, hingga harga gula. Adapun kebijakan pergulaan Indonesia yang dijelaskan adalah kebijakan pergulaan Indonesia yang ada pada satu setengah dekade kebelakang yaitu medio tahun 1997 hingga tahun 2011. Padamedio tahun 1997 hingga 1998, ketika terjadi resesi ekonomi, perekonomian Indonesia banyak dikendalikan oleh International Moneter Fund (IMF). Sebagai salah satu persyaratan dalam Letter of Intent (LoI) IMF dan pemerintah Indonesia adalah membebaskan perdagangan pangan termasuk gula yang selama itu dipegang oleh Bulog. Untuk memenuhi tuntutan itu, maka pemerintah melakukan reformasi di bidang tataniaga gula dengan mengeluarkan Keppres No. 45/11/1997 yang membatasi wewenang Bulog hanya untuk komoditas beras dan gula. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Inpres No.
52
5/1997, yang bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan pekebunan, dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Hal ini dilakukan karena pada saat itu kinerja pergulaan nasional mengalami penurunan, dari segi areal lahan, produktivitas, maupun produksi. Pada tahun 1998, pemerintah mengeluarkan lagi Keppres No. 19/1/1998 yang membatasi wewenang Bulog hanya untuk komoditas beras. Keppres tersebut ditindaklanjuti oleh Kepmen Perindustrian dan Perdaganangan No. 25/1/1998 dan No. 505/10/1998 yang mengatur tataniaga impor gula menurut mekanisme pasar dan oleh importir umum. Pada setahun Inpres No. 5/1997 itu diterapkan, kemudian dicabut dan digantikan dengan Inpres No. 5/1998 yang menghentikan program pengembangan tebu rakyat dengan alasan untuk membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No.12 Tahun 1996. Hal ini menurunkan minat petani untuk menanam tebu dan beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan, seperti tanaman pangan. Pada Mei tahun 1999, pemerintah mengeluarkan Peraturan No.282/KptsIX/1999 mengenai penetapan harga provenue gula pasir produksi petani sebesar Rp.2.500/Kg dan menyediakan dana talangan sebesar Rp.456 milyar. Kebijakan ini mengatur tataniaga gula pasir yang bertujuan untuk menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi tebu. Pada bulan Juni tahun 1999, pemerintah mencabut Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 505/10/1998 dengan alasan untuk menciptakan iklim perdagangan yang berorienrasi pasar. Selanjutnya pada bulan Agustus di tahun yang sama pemerintah melalui Menteri Perindustrian
dan
Perdagangan
mengeluarkan
Peraturan
No.
364/MPP/Kep/VIII/1999 mengenai tataniaga impor gula, dimana impor gula hanya dapat dilaksanakan oleh pabrik gula di Jawa sebagai impor produsen (IP) melalu perijinan. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi beban anggaran melalui impor gula oleh produsen. Dalam waktu empat bulan, kebijakan itu dicabut kembali melalui Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 717/12/1999 yang memberlakukan impor gula oleh importir umum. Pada waktu yang bersamaan, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 568/12/1999 yang meberlakukan tarif bea masuk impor sebesar 20 persen untuk gula tebu dan 25 persen untuk gula bit yang diberlakukan sejak 1 Januari 2000.
53
Akan tetapi kebijakan ini belum mampu menahan masuknya gula impor, sehingga kemudian pada tahun 2000 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan penetapan harga provenue gula pasir dengan Kepmen Kehutanan dan Perkebunan No. 145/6/2008. Kebijakan ini dilakukan untuk menghindarkan kerugian petani tebu dan meningkatkan gairah menanam tebu dan taraf hidup petani serta menjaga kepentingan konsumen. Kebijakan ini meningkatkan harga provenue gula petani menjadi sebesar Rp.2.600/Kg dengan menyediakan dana talangan sebesar Rp. 859 milyar. Dana tangan tersebut hanya diberikan dalam periode dua tahun, sementara itu masih terdapat banyak gula impor yang masuk, khususnya raw sugar, melalui fasilitas keringanan bea masuk 0 persen yang ditetapkan SK Menkeu No. 301/2000. Selanjutnya pada tahun tersebut juga pemerintah mengeluarkan Keppres No. 109 Tahun 2000 tentang Dewan Gula Nasional. Kebijakan yang merupakan awal terbentuknya Dewan Gula Nasional, yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan produktivitas inudstri gula serta pemberdayaan petani gula memiliki dayasaing di pasar global. Pemerintah memasukkan unsur petani, perusahaan gula, lembaga konsumen, penyalur, pekerja, perguruan tinggi, dan pemerintah dalam pembentukan Dewan Gula Indonesia. Pada
tahun
2002,
pemerintah
mengeluarkan
peraturan
No.
456/MPP/Kep/VI/2002 yang merupakan kebijakan tataniaga impor gula kasar (raw sugar) dikarenakan adanya peningkatan impor gula kasar yang melebihi kebutuhan industri dalam negeri. Kebijakan ini bertujuan untuk mengatur tataniaga impor gula kasar dalam rangka perlindungan konsumen dari konsumsi gula kasar. Selain kebijakan tatniaga impor, pada tahun 2002 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No. 324/KMK.01/2002 yang berisikan perubahan tarif bea masuk atas impor gula yang merupakan kebijakan tataniaga gula impor yang meliputi gula kasar, gula kristal putih, dan gula rafinasi. Hal ini dikarenakan dalam rangka mendukung program restrukturisasi industri gula nasional dengan tetap memperhatikan kepentingan petani tebu dan konsumen gula, sehinnga dipandang perlu mengubah tarif bea masuk atas impor gula. Pada
tahun
2004,
pemerintah
mengeluarkan
Peraturan
No.
61/MPP/Kep/II/2004 yang berisikan perdagangan gula antar pulau. Kebijakan ini
54
dilatarbelakangi oleh momentum dalam menunjang pelaksanaan tata niaga impor gula serta untuk menjamin pasokan dan stabilitas harga gula, perlindungan terhadap industri gula dalam negeri, petani tebu dan konsumen, perlu mengatur perdagangan gula antar pulau. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menunjang pelaksanaan tata niaga impor gula serta untuk menjamin pasokan dan stabilitas harga gula, perlindungan terhadap industri gula dalam negeri, petani tebu dan konsumen. Pada bulan Mei tahun 2004, peraturan No. 61/MPP/Kep/II/2004 diubah degnan menggunakan Peraturan No. 334/MPP/Kep/V/2004. Perubahan ini dikarenakan untuk encapai tujuan dan sasaran pengaturan perdagangan gula antar pulau sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 61/MPP/Kep/2/2004 tentang Perdagangan Gula Antar Pulau dan untuk lebih memudahkan pendistribusian gula sesuai dengan penggunaan dan atau
pemanfaatannya,
dipandang
perlu
mengubah
beberapa
ketentuan
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri dimaksud. Tujuannya adalah untuk mencapai tujuan dan sasaran pengaturan perdagangan gula antar pulau dan untuk lebih memudahkan pendistribusian gula sesuai dengan penggunaan dan atau pemanfaatannya. Selain pemerintah mengatur perdagangan gula antar pulau, pada tahun 2004 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No.57/2004. Peraturan tersebut merupakan kebijakan yang terkait dengan penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan. Kebijakan ini didasarkan karena gula merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis bagi ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia sehingga diperlukan kebijakan yang bersifat pengawasan terhadap Komoditas tersebut. Kebijakan ini bertujuan untuk mewujudkan program pemerintah untuk menciptakan swasembada gula dan meningkatkan pendapatan petani tebu. Pada tahun tersebut terjadi kasus pengadaan gula yang berasal dari impor secara tidak sah dan telah menimbulkan kerugian yang sangat besar pada pendapatan petani tebu/produsen gula dalam negeri. Sehingga pemerintah harus mengeluarkan kebijakan terkait penanganan gula impor yang tidak sah. Kebijakan tersebut adalah Peraturan No.58/2004 yang berisi penanganan gula yang diimpor secara tidak sah, bertujuan untuk mewujudkan program swasembada gula dan
55
meningkatkan pendapatan petani tebu. Selain adanya peraturan mengenai penanganan gula impor yang tidak sah, pada tahun 2004 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004 yang berisikan ketentuan impor gula. Kebijakan ini didasari oleh momentum pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula, sehingga perlu diambil upaya untuk menjaga pasokan gula sebagai bahan baku dan konsumsi yang berasal dari impor. Terjadi perubahan sebanyak dua kali untuk peraturan ini yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan No. 02/M/Kep/XII/2004 dan Peraturan No.18/MDAG/PER/IV/2007. Pada Peraturan No. 02/M/Kep/XII/2004 berisikan perubahan dari Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004, alasannya adalah dalam rangka mewujudkan efektivitas kebijakan serta kelancaran pelaksanaan importasi gula, khususnya berkenaan dengan importasi gula kristal putih (Plantation White Sugar), dipandang perlu untuk lebih memperhatikan kondisi dan kelaziman yang berlaku di bidang pergulaan internasional yang menyangkut perhitungan bilangan ICUMSA atas gula kristal putih (Plantation White Sugar). Untuk itu perlu dilakukan perubahan bilangan ICUMSA Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) yang dapat diimpor sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula. Kemudian pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 18/M-DAG/PER/IV/2007 yang mengubah Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004 dengan alasan bahwa terjadi perkembangan harga gula Kristal putih di luar negeri saat ini cenderung menurun. Dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan baik petani tebu, industri pengguna gula sebagai bahan baku/penolong maupun masyarakat selaku konsumen gula, maka dipandang perlu dilakukan perubahan atas
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.
527/MPP/Kep/IX/2004 tentang Ketentuan Impor Gula yaitu penetapan harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) di tingkat petani dengan Peraturan Menteri Perdagangan.
56
Kemudian pada tahun 2008, pemerintah kembali mengubah Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004 dengan Peraturan No.19/M-DAG/PER/V/2008. Hal ini dilakukan karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak menyebabkan kenaikan biaya produksi GKP di dalam negeri sehingga harga gula di tingkat petani sebesar Rp.4.900, sebagaimana tercantum pada Peraturan Mendag No.18/M-DAG/PER/4/2007 dipandang tidak sesuai lagi. Untuk melakukan penyesuaian harga di tingkat petani perlu mempertimbangkan upaya efisiensi dan produktivitas (rendemen gula) sesuai dengan program revitalisasi industri gula di dalam negeri. Dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan baik petani tebu, industri pengguna gula maupun masyarakat selaku konsumen, maka dipandang perlu
dilakukan
perubahan
atas
Keputusan
Menperindag
No.
572/MRP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula. Pada tahun 2010, pemerintah mengeluarkan Peraturan N0. 11/MIND/PER/1/2010 yang berisi perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
116/M-Ind/Perl10/2009
Tentang
Peta
Panduan
(Road
Map)
Pengembangan Klaster Industri Gula. Latar belakang kebijakan ini adalah pencapaian pengembangan klaster industri gula sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan
Menteri
Perindustrian
Nomor
116/M-IND/PER/10/2009,
perlu
menyempurnakan Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula sebagaimana dimaksud dalam Peta Panduan yang ditetapkan dengan mengubah Peraturan Menteri dimaksud. Tujuannya adalah untuk mencapai pengembangan klastr industri gula dalam peta panduan. Pada tahun yang sama, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No.12/M-IND/1/2010 mengenai tim pelaksana rencana aksi revitalisasi industri gula dengan dimensi kebijakannya adalah on farm dan off farm. Hal ini didasari oleh pelaksanaan Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor. 116/MIND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan Klaster Industri Gula yang diubah dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 11 IM-IND/PERI 1 12010 serta evaluasi, pengkajian dan perumusan Peta Panduan dimaksud sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008, perlu membentuk Tim Pelaksana.
57
Selain Peraturan No.12/M-IND/1/2010, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No. 20/M-DAG/PER/5/2010 yang berisikan penetapan harga patokan petani gula kristal putih. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh pertama, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula perlu dilakukan upaya untuk menjaga persediaan dan stabilitas harga Gula Kristal Putih. Kedua, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (5) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula dan memperhatikan surat Menteri Pertanian selaku Ketua Dewan Gula Indonesia Nomor 97/PP.2010/M/3/2010 tanggal 3 Maret 2010 perihal Usulan Besaran HPP Gula Petani Tahun 2010, perlu menetapkan Harga Patokan Petani (HPP) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar). Ketiga, dalam Penetapan HPP perlu mempertimbangkan upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas (rendemen gula) sesuai dengan program revitalisasi industri gula di dalam negeri. Pada tahun 2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan no.19 tahun 2011 yang berisi pengesahan International Sugar Agreement tahun 1992. Peraturan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerja sama internasional yang berkaitan degan pergulaan dunia dan isu-isu yang terkait dengan gula, serta dalam rangka memajukan industri gula nasional. Kemudian, selain peraturan No.19 tahun 2011 tersebut, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan terkait Penetapan Harga Patokan Petani (HPP) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) dalam rangka mewujudkan
ketahanan
pangan,
menciptakan
swasembada
gula,
dan
meningkatkan daya saing serta jaminan pendapatan petani tebu dan industri gula, perlu dilakukan upaya untuk menjaga persediaan dan stabilitas harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar).
58
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan 6.1.1 Komponen Pembanding Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan Komponen pembanding Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan terbagi atas lima komponen pembanding yang nantinya akan menghasilkan angka perbandingan antar wilayah yang diteliti. Kelima komponen pembanding tersebut adalah Luas Lahan, Jumlah Pabrik, Produktivitas Tebu, Produktivitas Hablur,dan Produksi Hablur. Komponen pembanding ini berpengaruh terhadap dayasaing industri gula Indonesia yang diwakili oleh komponen pembanding yang dapat dikatakan indikator kinerja industri gula. Kelima komponen pembanding tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1.
Luas Lahan Setiap tanaman memiliki karakteristik kondisi lahan yang baik untuk
ditanami, sama halnya dengan tebu. Adapun kondisi lahan khas yang memenuhi kesesuaiannya dengan tanaman tebu antara lain lahan sebaiknya bergelombang antara 0-15 persen, berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2 persen apabila tanahnya ringan dan sampai 5 persen apabila tanahnya lebih berat. Selain itu, tanah yang baik untuk tanaman tebu yanitu tanah dengan lapis tebal, lempeng baik yang berkapur maupun berpasir dan lempung liat. Derajat keasaman (pH) tanah yang cocok untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah berkisar 5,5-7,5. Tanaman tebu dapat tumbuh baik dari pantai hingga dataran tinggi, antara 0-1400 m di atas permukaan laut, tetapi mulai ketinggian 1200 m di atas permukaan laut pertumbuhan tanaman tebu relatif melambat. Kemudian, Suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah berkisar antara 24-300 C, beda suhu musiman tidak lebih dari 60, dan beda suhu siang dan malam hari tidak lebih dari 100 C (Direktorat Budidaya Tanaman Semusim, 2006). Adapaun daerah yang ideal untuk mengusahakan tanaman tebu adala daerah rendah dengan jumlah curah hujan tanaman 1500-3000 mm dengan penyebaran hujan yang sesuai dengan pertumbuhan dan kemasakan tebu. Budidaya tebu di Indonesia mengenal dua macam lahan yang dapat diusahakan untuk penanaman tebu yaitu lahan sawah dan lahan kering. Adapun
59
perbedaan dari dua macam lahan ini adalah lahan sawah memiliki fasilitas pengairan yang cukup Sedangkan untuk lahan kering, memperoleh pengairannya melalui air hujan. Lahan sawah untuk tanaman tebu di Indonesia lebih banyak terdapat di Jawa, sedangkan lahan kering juga terdapat di Jawa dan seluruh areal di luar Jawa. Pada awal tahun 1990-an, petani tebu di pulau Jawa menanam tebu di lahan sawah akan tetapi adanya Undang-Undang Budidaya tahun 1992 yang membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan, sehingga terjadi konversi lahan dari lahan sawah untuk tebu menjadi lahan sawah untuk tanaman pangan. Dengan adanya kejadian tersebut, membuat pergeseran budidaya tebu dari lahan sawah ke lahan kering atau tegalan. Selain itu, petani cenderung menggunakan bibit seadanya dan melakukan keprasan berulang kali. Adanya konversi lahan tanaman tebu menjadi lahan tanaman pangan, pergeseran lahan sawah ke lahan kering, kecenderungan petani menggunakan bibit seadanya, dan petani melakukan keprasan berulang kali adalah faktor yang membuat terjadinya kecenderungan penurunan Produktivitas tebu tebu pada medio tahun 1994 hingga tahun 1999. Berdasarkan syarat-syarat kesesuaian lahan untuk penanaman tebu, di Indonesia lahan untuk penanaman tebu lebih banyak ada di Jawa. Menurut Dewan Gula Indonesia (2011), bahwa pulau Jawa masih menjadi daerah penyangga produksi tebu di Indonesia dengan 273.924 ha atau 60,8 persen luas lahan pengembangan tebu di Indonesia. Menurut data Dewan Gula Indonesia pada tahun 2011, bahwa luas lahan pengembangan tebu di Indonesia adalah yang mencapai 450.297 ha pada tahun, yang naik sebesar 7,66 persen dari tahun sebelumnya. Adapun pulau Jawa masih menjadi daerah penyangga produksi tebu di Indonesia dengan 273.924 ha atau 60,8 persen luas lahan pengembangan tebu di Indonesia dan sisanya sebesar 39,2 persen berada di luar Jawa. Luas areal pengembangan tebu di Indonesia berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat dari tahun 1993 hingga tahun 2011. Kecenderungan meningkat ada pada medio tahun 2004 hingga tahun 2011. Kecenderungan peningkatan tersebut merupakan efek dari program pemerintah untuk meningkatkan produksi dan menciptakan swasembada gula.
60
Tabel 8. Luas Lahan Tebu di Tujuh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011 Wilayah Penghasil Gula Sumatera Utara Sumatera Selatan Lampung Jawa Barat-Yogyakarta-Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan Gorontalo
Luas Lahan (ha) 10.046,7 15.282,6 128.321,5 62.122,4 192.307,6 14.039,8 8.681,7
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel 8 merupakan wilayah penghasil gula dan luas lahan dari tujuh wilayah yang diteliti yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat-Jawa Tengah-Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Luas lahan dari tujuh wilayah di bawah ini berdasarkan data tahun 2011. Luas lahan yang tertinggi dimiliki oleh wilayah Jawa Timur dengan 192.307,6 ha dan luas lahan terendah dimiliki oleh wilayah Gorontalo dengan 8.681,7 ha. 2.
Jumlah Pabrik Di Indonesia, pabrik gula dimiliki oleh pihak pemerintah atau BUMN
yang bergerak pada pergulaan, perusahaan swasta, dan pabrik gula rafinasi. Pabrik gula BUMN dan swasta bertuga untuk mengolah tebu menjadi gula kristal putih, sedangkan pabrik gula rafinasi bertugas mengolah raw sugar menjadi gula kristal rafinasi. Di bawah ini terdapat tabel yang berisi wilayah penghasil gula di Indonesia dengan jumlah pabrik pada setiap wilayahnya. Tabel 9. Jumlah Pabrik Gula di Tujuh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011 Wilayah Penghasil Gula Jumlah (Pabrik) Sumatera Utara 2 Sumatera Selatan 2 Lampung 6 Jawa Barat-Yogyakarta-Jawa Tengah 15 Jawa Timur 33 Sulawesi Selatan 3 Gorontalo 1 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Pabrik gula di Indonesia tersebar di beberapa pulau saja yaitu Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Pada ketiga pulau tersebut tersebar pabrik gula kristal putih dan pabrik gula kristal rafinasi. Untuk pabrik gula di Jawa terdapat 48 pabrik yang tersebar di empat provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Jawa timur. Pada provinsi Jawa Barat terdapat lima pabrik gula 61
yang dikelola oleh PT. Rajawali Nusantara Indonesia II. Untuk provinsi Jawa Tengah terdapat delapan pabrik gula yang dikelola oleh PTPN IX dan satu pabrik gula yang dikelola oleh PT. IGN. Kemudian di provinsi Jawa Timur memiliki pabrik gula dengan jumlah terbanyak di Indonesia karena pada provinsi tersebut terdapat dua BUMN yang fokus pada sektor perkebunan yaitu PTPN X dan PTPN XI. Untuk PTPN X mengelola sebelas pabrik gula dan untuk PTPN XI mengelola enam belas pabrik gula. Selain PTPN X dan PTPN XI, di Jawa Timur juga terdapat PT. Rajawali Nusantara Indonesia I yang mengelola dua pabrik gula, PT. Kebon Agung yang mengelola dua pabrik gula, PT. Pakis Baru yang mengelola satu pabrik gula dan PT. PG Candi mengelola satu pabrik gula. Kemudian untuk provinsi
DI Yogyakarta terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PT.
Madukismo. Untuk Pabrik gula di Sumatera terdapat di tiga provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung. Untuk di provinsi Sumater Utara, terdapat dua pabrik gula yang dikelola oleh PTPN II. Untuk di provinsi Sumatera Selatan, terdapat satu pabrik gula yng dikelola oleh PTPN VII dan satu pabrik gula yang dikelola oleh PT. Laju Perdana Indah. Untuk di provinsi Lampung terdapat pabrik-pabrik gula yang dimiliki oleh BUMN sektor perkebunan dengan perusahaan swasta. Terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PTPN VII, PT. Sugar Group Company mengelola tiga pabrik gula, PT. Pemuka Sakti Manis Indah yang mengelola satu pabrik gula, dan PT. Gunung Madu Plantation yang mengelola satu pabrik gula. Untuk pabrik gula yang terletak di Sulawesi yaitu terdapat di provinsi Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Untuk provinsi Gorontalo terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PT. PG Gorontalo dan untuk di provinsi Sulawesi Selatan terdapat tiga pabrik gula yang dikelola oleh PTPN XIV. Kemudian terdapat rencana pemerintah untuk membangun beberapa pabrik baru dalam hal pencapaian swasembada gula. Rencananya pabrik gula kristal putih tersebut dibangun di Aceh, Merauke, Jambi, Maluku, dan Kalimantan Barat. Dalam kenyataanya, industri pengolahan tebu menjadi gula di Indonesia saat ini memang belum optimal karena belum dapat menahan arus impor dan memenuhi konsumsi domestik. Hal tersebut dikarenakan teknologi yang digunakan sudah tua dan
62
proses regenerasi teknologi yang lambat akibat keterbatasan pendanaan dalam revitalisasi pabrik. Pabrik-pabrik gula yang di atas yang tersebar di tiga pulau di Indonesia tersebut adalah pabrik gula yang memroduksi gula kristal putih, sedangkan untuk pabrik gula yang memroduksi gula kristal rafinasi terdapat di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Adapun di Jawa tersebar di beberapa provinsi yaitu di Jawa Barat terdapat empat pabrik gula, yang dikelola oleh PT. Angles Product, PT. Jawamanis, PT. Sentar Usahatama Jaya, dan PT. Duta Sugar International. Di Jawa Tengah terdapat dua pabrik gula yang dikelola oleh PT. Permata Dunia Sukses Utama dan PT. Dharmapala Usaha Sukses. Di provinsi lampung terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PT. Sugar Labinta. Untuk provinsi Sulawesi Selatan terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PT. Makasar Tene. 3.
Produktivitas Tebu
Produktivitas tebu untuk tanaman tebu merupakan kemampuan daya dukung lahan tebu untuk menghasilkan tanaman tebu pada satuan ton per hektar. Menurut Hartono (2012) bahwa dalam periode 1970 hingga 2009 produktivitas tebu tidak menyumbang terhadap kenaikan produksi tebu, ditunjukkan oleh produktivitas tebu yang tidak meningkat tapi justru menurun sebesar 0,57 persen per tahun. Hal ini terlihat dari produktivitas tahun 2005 hingga 2007 yang mengalami penurunan padahal pada medio tersebut terjadi peningkatan lahan tebu. Tabel 10. Produktivitas Tebu di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011 Tahun Jawa Luar Jawa Produktivitas Pertumbuhan Produktivitas Pertumbuhan Tebu (ton/ha) (%) Tebu (ton/ha) (%) 2006 80,4 - 78,9 2007 82,9 3,11 68,3 -13,43 2008 75,7 -8,69 73,4 7,47 2009 73,9 -2,38 70,4 -4,09 2010 83,1 12,45 79,4 12,78 2011 68,2 -17,93 69,7 -12,22 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Terdapat pada Tabel 10 bahwa rata-rata pertumbuhan Produktivitas tebu di Jawa lebih rendah dibandingkan Produktivitas tebu di luar jawa pada enam tahun terakhir, dimana rata-rata pertumbuhan produktivitas tebu di Jawa adalah -2,69 63
persen sedangkan di luar Jawa adalah -1,90 persen. Hal ini dikarenakan terdapat masalah pada teknologi intensif yang berbeda antara lahan di Jawa dengan luar Jawa, dimana teknologi yang ada di luar Jawa lebih baik dibandingkan di Jawa dalam hal pengelolaan lahan tebu sehingga berpengaruh terhadap produktivitas tebu. Selain masalah teknologi intensif juga terdapat masalah kepemilikan lahan tebu yang berpengaruh kepada pengelolaan lahan oleh petani terkait penyeragaman input yang digunakan. Penyeragaman input yang termasuk penggunaan bibit yang seragam oleh petani agar tercipta kesamaan produksi dan produktivitas antara petani di wilayah tersebut. Terkait masalah kepemilikan lahan dilihat dari data luas lahan tebu antara tebu rakyat dengan tebu swasta. Lahan tebu rakyat merupakan lahan tersebut dikelola oleh petani tebu sepenuhnya tanpa ada campur tangan pabrik gula sehingga untuk kepentingan kegiatan usahataninya maka itu adalah kewenangan penuh petani tebu. Sedangkan lahan tebu swasta merupakan lahan tebu yang dikelola pleh pabrik gula sehingga segala hal tentang kegiatan usahatani tebu diatur sesuai aturan pabrik tebu, sehingga pabrik dengan baik menetapkan varietas dan pupuk yang digunakan agar mereka mendapatkan tebu yang berkualitas. Masalah penyeragaman varietas berawal dari kewenangan petani menanam bibit tebunya, apabila pada lahan tebu rakyat maka petani dapat menanam bibit yang sesuai dengan mereka tapi menimbulkan variasi hasil tebu yang tinggi dihasilkan oleh. Mayoritas lahan tebu di Jawa adalah lahan tebu rakyat sehingga preferensi penanaman bibit tebu bervariasi setiap petani sehingga produktivitas di Jawa menjadi beragam. Berbeda dengan lahan di luar jawa yang lebih banyak lahan tebu swasta sehingga pengelolaan khusus untuk penanaman bibit dapat dilakukan seragam, karena pabrik gula menetapkan standar bagi tiap bibit yang ditanam oleh petani di lahan tebu swasta tersebut. Hal tersebut menghasilkan produktivitas yang seragam dan cenderung lebih baik ketimbang hasil yang ada pada lahan tebu rakyat.
4.
Produktivitas Hablur Produktivitas hablur merupakan kemampuan daya dukung lahan tebu untuk
menghasilkan gula pada satuan ton per hektar. Di bawah ini, terdapat Tabel yang
64
membuktikan bahwa wilayah penghasil gula di Jawa masih unggul dibandingkan wilayah penghasil gula dari luar Jawa. Akan tetapi ada persamaan antara dua wilayah ini untuk lima tahun terakhir yaitu kedua wilayah tersebut mengalami penurunan produktivitas. Hal yang paling menjadi sorotan adalah penurunan produktivitas hablur di pulau Jawa yang dimulai dari tahun 2008 yang rata-rata penurunan per tahun hingga tahun 2011 adalah 4,44 persen. Hal ini cukup mengkhawatirkan karena apabila tren penurunan ini terjadi terus menerus untuk beberapa tahun ke depan maka Indonesia akan kehilangan tumpuan wilayah penghasil gula. Notabenenya bahwa wilayah Jawa masih menjadi pemimpin dalam memenuhi kebutuhan gula domestik. Tabel 11. Produktivitas Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011 Tahun Jawa Luar Jawa Produktivitas Pertumbuhan Produktivitas Pertumbuhan Hablur (ton/ha) (%) Hablur (ton/ha) (%) 2007 5,49 3,66 2008 5,35 -2,74 3,98 8,74 2009 5,05 -5,52 4,35 9,39 2010 4,84 -4,23 3,56 -18,17 2011 4,59 -5,27 2,97 -16,43 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
5.
Produksi Hablur Produksi hablur merupakan hasil dari pengolahan tebu menjadi gula melalui
proses di pabrik gula. Dalam penelitian ini, produksi hablur menjadi salah satu komponen yang dimasukkan sebagai pembanding wilayah penghasil gula yang dikatakan berdayasaing. Di bawah ini, berisi Tabel yang menjelaskan bahwa produksi hablur di Indonesia masih dipimpin oleh wilayah penghasil gula di pulau Jawa. Akan tetapi, persamaan antara wilayah penghasil gula di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa adalah pada tahun 2009 keduanya mengalami penurunan yang cukup tajam yaitu turun di angka 13,27 persen untuk produksi hablur wilayah di pulau Jawa dan 10,51 persen untuk produksi hablur di wilayah luar Jawa.
65
Tabel 12. Produksi Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011 Tahun Jawa Luar Jawa Produktivitas Pertumbuhan Produktivitas Pertumbuhan Hablur (ton/ha) (%) Hablur (ton/ha) (%) 2007 1.582.692,20 827.692,70 2008 1.628.035,80 2,86 911.466,30 10,12 2009 1.411.983,36 -13,27 815.689,31 -10,51 2010 1.373.037,30 -2,76 752.595,40 -7,74 2011 1.358.751,88 -1,04 752.334,45 -0,03 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
6.1.2 Perbandingan Wilayah Berdayasaing Perbandingan wilayah berdayasaing dalam analisis kinerja industri gula di Indonesia ini merupakan hasil dari perbandingan antara tujuh wilayah penghasil gula di Indonesia melalui lima komponen pembanding. Adapun di bawah ini adalah Tabel yang berisi rekapitulasi dari perbandingan tujuh wilayah berdasarkan lima komponen pembanding.
Tabel 13. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011 Komponen Pembanding
Wilayah Sumatera Utara Bobot Rata-rata Sumatera Selatan Bobot Rata-rata Lampung Bobot Rata-rata Jabar, Jateng, Yogya Bobot Rata-rata Jawa Timur
Bobot
RataLuas Jumlah Produktivitas Produktivitas Produksi Lahan Pabrik Tebu Gula Hablur rata (Ha) (Ton/Ha) (Ton/Ha) (Ton) 10.046 2 79,9 4,69 47.122 0,656 0,444
0,500
1,000
0,778
0,556
15.282,6
2
61,15
3,365
52.232,1
0,667
0,500
0,556
0,444
0,667
128.321,5
6
70,875
5,785
708.396,25
0,667
0,778
0,778
1,000
0,889
62.122,4
15
59,45
3,87
235.849,36
0,667
0,889
0,444
0,444
0,778
192.307,6
33
70,4
5,16 1.122.901,94
0,567
0,822
0,644
0,933
66
Lanjutan Tabel 13. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011 Komponen Pembanding
Wilayah Jawa Timur Bobot Rata-rata Gorontalo Bobot Rata-rata Sulawesi Selatan Bobot Rata-rata
Bobot
Luas Jumlah Produktivitas Produktivitas Lahan Pabrik Tebu Gula (Ha) (Ton/Ha) (Ton/Ha) 192.307,6 33 70,4 5,16
RataProduksi Hablur rata (Ton) 1.122.901,94 0,933
1,000
1,000
0,778
0,889
1,000
8.681,7
3
29
1,56
21.938,4
0,444
0,444
0,667
0,556
0,333
154.039,8
1
73,5
4,59
39.817,7
0,778
0,556
0,444
0,444
0,556
0,489
0,556
Pada Tabel ini menjelaskan bahwa Jawa Timur dan Lampung menempati posisi tertinggi dalam penilaian bobot rat-rata terhadap empat wilayah lain. Hal ini mengindikasikan bahwa Jawa Timur masih menjadi andalan Indonesia dalam mendorong produksi gula di Indonesia. Munculnya Lampung sebagai kompetitor Jawa Timur tidak lepas dari kehadiran perusahaan swasta yang menggunakan teknologi modern pada pabrik gula yang mereka kelola. Kemudian, Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang merupakan wilayah baru dari pengembangan industri gula Indonesia masih belum dapat bersaing dengan wilayah produsen lainnya di Indonesia dilihat dari nilai bobot rata-rata yang mereka dapatkan. Adapun hasil dari perbandingan kinerja wilayah penghasil gula ini akan dijelaskan per wilayah sehingga dapat dijelaskan secara baik mengenai kinerja wilayah tersebut. Penjelasan dari perbandingan tiapwilayah dengan region sumatera, jawa, dan sulawesi berguna untuk melihat posisi wilayah tersebut terhadap region-region penghasil gula di Indonesia. 1. Sumatera Utara Sumatera Utara merupakan wilayah penghasil gula di Indonesia yang berada dibawah naungan PTPN II dengan pabrik gula berjumlah 2 pabrik. Kemudian pada periode tahun 2007 hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja yang terjadi. Pada tahun 2011, wilayah Sumatera Utara mengalami pencapainan
67
tertingginya dalam kurun waktu lima tahun. Ini dilihat dari produksi hablur yang dihasilkan. Tabel 14. Kinerja Industri Gula di Sumatera Utara Tahun 2007-2011 Tahun
2007 2008 2009 2010 2011
Luas lahan (ha)
Indikator Kinerja Produktivitas tebu Produktivitas (ton/ha) (ton/ha)
13.350,10 12.366,70 11.559,10 8.360,82 10.046,00
46,40 54,40 47,30 61,60 79,90
gula
2,83 3,28 2,68 3,71 4,69
Produksi hablur (ton) 37.758 40.585 31.008 31.026 47.122
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel 14 menunjukkan bahwa wilayah Sumatera Utara mengalami kenaikan dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan tetapi dalam hasil penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa Sumatera Utara masih belum dapat bersaing dengan wilayah lain seperti Lampung, Jawa Timur, dan gabungan Jawa Barat-Jawa Tengah-Yogyakarta. Tabel 15. Hasil Perbandingan Sumatera Utara dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011 Jumlah Pabrik
1
2
3
3
Lampung Jabar, Jateng, Yogya Jawa Timur
1
1
3
1
1
1
Gorontalo Sulawesi Selatan
Wilayah Sumatera Selatan
Produktivitas Tebu (Ton/Ha)
Sumatera Utara Produktivitas Produksi Gula Hablur (Ton/Ha) (Ton)
Luas Lahan (Ha)
Jumlah
Bobot
1
10
0,667
1
1
7
0,467
3
3
3
11
0,733
1
3
1
1
7
0,467
3
3
3
3
3
15
1,000
1
1
3
3
1
9
0,600
Bobot Rata-Rata
0,656
Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Sumatera Utara mendapatkan nilai bobot sebesar 0,656 terhadap keseluruhan wilayah penghasil gula di Indonesia. Nilai bobot ini berarti Sumatera Utara memiliki daya 68
saing yang baik terhadap ke enam wilayah penghasil gula di Indonesia. Adapun komponen yang membuat Sumatera Utara dikatakan berdaya saing baik adalah pada komponen luas lahan jumlah pabrik, dan produksi hablur. Kemudian, komponen terlemah yang dimiliki Sumatera Utara ada pada produktivitas tebu, Sumatera Utara dikatakan kalah untuk komponen tersebut. 2. Sumatera Selatan Sumatera Selatan merupakan wilayah penghasil gula di Indonesia yang memiliki pabrik gula berjumlah 2 pabrik. Kemudian pada periode tahun 2007 hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja yang terjadi. Pada tahun 2011, wilayah Sumatera Utara mengalami pencapaian tertingginya dalam kurun waktu lima tahun. Ini dilihat dari produksi hablur yang dihasilkan.
Tabel 16. Kinerja Industri Gula di Sumatera Selatan Tahun 2007-2011 Tahun Luas lahan (ha) 2007 2008 2009 2010 2011
Indikator Kinerja Produktivitas tebu Produktivitas gula (ton/ha) (ton/ha)
13.177,60 13.168,40 11.444,60 13.470,60 15.282,60
64,52 68,63 63,90 63,60 61,15
4,57 5,04 6,50 3,88 3,37
Produksi hablur (ton) 59.963,72 66.398,00 54.429,46 52.259,30 52.232,10
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel menunjukkan bahwa wilayah Sumatera Selatan mengalami fluktuasi dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan tetapi dalam hasil penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia pada tahun 2011 bahwa Sumatera Selatan masih belum dapat bersaing dengan wilayah lain seperti wilayah penghasil gula di pulau Sumatera (Lampung dan Sumatera Utara), wilayah penghasil gula di pulau Jawa (Gabungan Jawa Barata-Jawa Tengah-Yogya dan Jawa Timur), dan Sulawesi Selatan.
69
Tabel 17. Hasil Perbandingan Sumatera Selatan dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011 Jumlah Pabrik
3
2
1
1
Lampung Jabar, Jateng, Yogya Jawa Timur
3
1
1
1
1
1
Gorontalo Sulawesi Selatan
3 1
Wilayah Sumatera Utara
Produktivitas Tebu (Ton/Ha)
Sumatera Selatan Produktivitas Produksi Gula Hablur (Ton/Ha) (Ton)
Luas Lahan (Ha)
Jumlah
Bobot
3
10
0,667
1
1
7
0,467
3
1
1
7
0,467
1
1
1
1
5
0,333
3
1
1
3
11
0,733
1
3
3
3
11
0,733
Bobot Rata-Rata
0,567
Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Sumatera Selatan mendapatkan nilai bobot sebesar 0,567 terhadap keseluruhan wilayah penghasil gula di Indonesia. Nilai bobot ini menunjukkan bahwa Sumatera Selatan memiliki dayasaing yang baik walau masih belum optimal karena nilai bobot yang berada di angka 0,560. Keunggulan Sumatera Selatan terhadap wilayah penghasil gula lain dominan pada komponen luas lahan, dimana Sumatera Selatan unggul pada tiga wilayah lain.
3. Lampung Lampung merupakan wilayah penghasil gula di Indonesia yang berada di pulau Sumatera dengan banyak dikenal masyarakat dari daerah penghasil gula yang banyak dikuasai oleh perusahaan swasta. Adapun perusahaan yang terkenal yaitu PT. Sugar Group Companies yang ada di daerah tersebut. Perusahaan swasta tersebut memiliki tiga pabrik gula yaitu pabrik gula PT Gula Putih Mataram, pabrik gula PT Sweet Indolampung, dan pabrik gula PT. Indolampung Perkasa. Adapun pabrik gula yang dimiliki pemerintah adalah pabrik gula Bunga Mayang yang ada di bawah naungan PTPN VII yang berdomisili di Sumatera Selatan. Untuk keseluruahan jumlah pabrik gula, Lampung memiliki enam pabrik gula. Kemudian kinerja wilayah Lampung dalam kinerja industri gulanya pada periode tahun 2007 hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja yang terjadi. Pada tahun 2011, 70
wilayah Lampung mengalami anomali kinerja dimana luas lahan yang ada mencapai 117.801,5 ha yang merupakan luas lahan yang terbesar dari lima tahun tapi produksi yang dihasilkan menjadi yang terndah dari lima tahun terakhir. Hal ini disebabkan cuaca yang terjadi di tahun 2011 yang menyebabkan kualitas tebu menjadi kurang baik sehingga produksi yang dihasilkan tidak memuaskan. tertingginya dalam kurun waktu lima tahun
Tabel 18. Kinerja Industri Gula di Lampung Tahun 2007-2011 Tahun Luas lahan (ha) 107.945,10 111.156,40 105.103,90 97.063,90 117.801,50
2007 2008 2009 2010 2011
Indikator Kinerja Produktivitas tebu Produktivitas gula (ton/ha) (ton/ha) 73,88 6,49 78,29 6,98 77,42 7,84 86,46 6,63 67,98 5,36
Produksi hablur (ton) 709.324,98 783.811,30 719.114,35 648.395,10 638.346,25
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel menunjukkan bahwa wilayah Lampung mengalami penurunan dalam kinerja industri gula di Indonesia. Dalam hasil penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa Lampung dapat bersaing dengan wilayah lain dan dapat dikatakan Lampung merupakan penantang terbesar Jawa Timur dalam wilayah penghasil gula terbesar di Indonesia. Hal ini perlu didukung karena dengan berkembangnya wilayah penghasil gula di luar Jawa berarti mengurangi risiko dampak kegagalan kinerja industri gula di pulau Jawa yang berimbas kepada pemenuhan kebutuhan gula domestik dan harga gula yang ada di pasar domestik.
71
Tabel 19. Hasil Perbandingan Lampung dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011
Wilayah Sumatera Utara Sumatera Selatan Jabar, Jateng, Yogya Jawa Timur Gorontalo Sulawesi Selatan
Produktivitas Tebu (Ton/Ha)
Lampung Produktivitas Gula (Ton/Ha)
Produksi Hablur (Ton)
Jumlah
Bobot
3
1
3
3
13
0,867
1
3
3
3
3
13
0,867
3
1
3
3
3
13
0,867
1
1
3
3
1
9
0,600
3
3
1
3
3
13
0,867
1
3
3
3
3
13
0,867
Luas Lahan (Ha)
Jumlah Pabrik
3
Bobot Rata-Rata
0,822
Dalam keseluruhan komponen dan perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Lampung mendapatkan nilai bobot sebesar 0,822 yang berarti performa komponen dayasaing Lampung pada tahun 2011 adalah sangat baik terhadap wilayah lain di Indonesia, yang merupakan peringkat kedua dari wilayah penghasil gula yang memiliki performa yang baik berdasarkan lima komponen pembanding. Adapun komponen yang dominan unggul dari Lampung terhadap wilayah lain adalah komponen produktivitas gula. 4. Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta merupakan tiga provinsi yang menjadi penghasil gula di pulau Jawa selain Jawa Timur. Adapun alasan dari tiga provinsi ini dijadikan menjadi satu wilayah karena ketiga propinsi ini dapat dikatakan baik untuk diakumulasikan dalam tiap komponen pembandingnya.
72
Tabel 20. Kinerja Industri Gula di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta Tahun 2007-2011 Tahun
2007 2008 2009 2010 2011
Luas lahan (ha)
Indikator Kinerja Produktivitas tebu Produktivitas (ton/ha) (ton/ha)
67.679,70 67.484,80 64.195,40 61.918,50 67.060,20
72,53 64,70 64,80 76,75 59,45
gula
5,04 4,83 4,45 4,57 3,87
Produksi hablur (ton) 327.246,70 326.535,10 274.191,68 278.384,10 235.849,36
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel menunjukkan bahwa wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta mengalami penurunan dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan tetapi dalam hasil penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta masih dapat bersaing dengan wilayah lain seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Lampung. \ Tabel 21. Hasil Perbandingan Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011 Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta Produktivitas Produktivitas Produksi Tebu Gula Hablur (Ton/Ha) (Ton/Ha) (Ton)
Jumlah
Bobot
3
1
1
3
11
0,733
3
3
1
1
3
11
0,733
Lampung Jawa Timur
1
3
1
1
1
7
0,467
1
1
1
1
1
5
0,333
Gorontalo Sulawesi Selatan
3
3
1
1
3
11
0,733
1
3
3
3
3
13
0,867
Wilayah Sumatera Utara Sumatera Selatan
Luas Lahan (Ha)
Jumlah Pabrik
3
Bobot Rata-Rata
0,644
Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta mendapatkan nilai bobot sebesar 0,644 terhadap keseluruhan wilayah penghasil gula di Indonesia. Nilai bobot ini menunjukkan bahwa Jawa barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta memiliki dayasaing yang baik
73
terhadap wilayah-wilayah lain walau masih perlu perbaikan dari sisi komponen pembanding terlemah yaitu produktivitas tebu dan produktivitas gula.
5. Jawa Timur Jawa Timur merupakan wilayah penghasil gula terbesar di Indonesia yang memiliki pabrik gula berjumlah 33 pabrik. Kemudian pada periode tahun 2007 hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja yang terjadi. Pada tahun 2011, wilayah Jawa Timur mengalami pencapaian terendah dalam lima tahun terakhir dalam produktivitas tebu dan produktivitas gula.
Tabel 22. Kinerja Industri Gula di Jawa Timur Tahun 2007-2011 Tahun
Indikator Kinerja Produktivitas tebu Produktivitas gula (ton/ha) (ton/ha) 86,78 5,96 77,72 5,87 78,32 5,66 85,30 5,11 72,30 5,30
Luas lahan (ha) 208.600,20 211.005,90 199.448,60 212.179,60 211.804,00
2007 2008 2009 2010 2011
Produksi hablur (ton) 1.255.445,50 1.301.500,70 1.137.791,68 1.094.653,20 1.122.902,52
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel menunjukkan bahwa wilayah Jawa Timur mengalami penurunan dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan tetapi dalam hasil penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa Jawa Timur masih menjadi wilayah paling berdaya saing dengan wilayah lain di Sumatera seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Lampung.
Tabel 23. Hasil Perbandingan Jawa Timur dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011
Wilayah Sumatera Utara Sumatera Selatan
Luas Lahan (Ha)
Jumlah Pabrik
Produktivitas Tebu (Ton/Ha)
3
3
1
3
3
3
Jawa Timur Produktivitas Gula (Ton/Ha)
Produksi Hablur (Ton)
Jumlah
Bobot
3
3
13
0,867
3
3
15
1,000
74
Lanjutan Tabel 23. Hasil Perbandingan Jawa Timur dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011 Luas Lahan (Ha)
Jumlah Pabrik
Lampung Jabar, Jateng, Yogya
3
3
1
3
3
Gorontalo Sulawesi Selatan
3 3
Wilayah
Produktivitas Tebu (Ton/Ha)
Jawa Timur Produktivitas Gula (Ton/Ha)
Produksi Hablur (Ton)
Jumlah
Bobot
1
3
11
0,733
3
3
3
15
1,000
3
3
3
3
15
1,000
3
3
3
3
15
1,000
Bobot Rata-Rata
0,933
Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain secara kesluruhan, Jawa Timur mendapatkan nilai bobot sebesar 0,933 terhadap keseluruhan wilayah penghasil gula di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa Jawa Timur menjadi wilayah yang menempati posisi pertama dalam lima komponen pembanding. Adapun perbaikan yang harus dilakukan adalah pada komponen yang belum unggul seperti produktivitas tebu yang masih kalah dari Sumatera Utara dan Lampung, serta produktivitas gula yang masih kalah dari Lampung
6. Gorontalo Gorontalo merupakan salath satu wilayah penghasil gula di Indonesia yang berada wilayah timur Indonesia. Gorontalo dan Sulawasei Selatan merupakan wilayah pengembangan industri gula di luar Jawa dan Sumatera, adapun wilayah pengembangan tersebut bermanfaat untuk membagi beban pemenuhan dari permintaan gula domestik agar tidak tersentralisasi di Jawa dan Sumatera.
Tabel 24. Kinerja Industri Gula di Gorontalo Tahun 2007-2011 Tahun
2007 2008 2009 2010 2011
Indikator Kinerja Luas lahan (ha) 7.239,00 5.075,00 6.468,00 5.620,00 8.681,70
Produktivitas tebu Produktivitas gula (ton/ha) (ton/ha) 77,90 5,36 79,30 5,07 49,40 2,98 81,80 4,88 73,50 4,59
Produksi hablur (ton) 39.265,00 25.736,00 19.288,00 27.412,00 39.817,70
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
75
Kemudian pada periode tahun 2007 hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja yang terjadi dilihat dari kelima komponen pembanding. Pada tahun 2011, wilayah Gorontalo mengalami pencapaian yang baik dengan mampu menghasilkan 39.817,70 ton dari produksi hablur dan produkvitas hablurnya bernilai 4,59 ton/ha. Tabel 38 menunjukkan bahwa wilayah Gorontalo mengalami fluktuasi dalam kinerja industri gula di Indonesia pada kurun lima tahun terakhir, akan tetapi dalam hasil penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa Gorontalo masih belum dapat bersaing dengan keenam wilayah lain. Tabel 25. Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011
Wilayah Sumatera Utara Sumatera Selatan Lampung Jabar, Jateng, Yogya Jawa Timur Sulawesi Selatan
Produktivitas Tebu (Ton/Ha)
Gorontalo Produktivitas Gula (Ton/Ha)
Produksi Hablur (Ton)
Jumlah
Bobot
1
1
1
1
5
0,333
1
1
3
3
1
9
0,600
1
1
3
1
1
7
0,467
1
1
3
3
1
9
0,600
1
1
1
1
1
5
0,333
3
3
1
1
1
9
0,600
Luas Lahan (Ha)
Jumlah Pabrik
1
Bobot Rata-Rata
0,489
Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Gorontalo mendapatkan nilai bobot sebesar 0,489 terhadap keseluruhan wilayah penghasil gula di Indonesia atau mendapatkan bobot terendah dari ketujuh wilayah lain. Nilai bobot dari Gorontalo menunjukkan bahwa dayasaing Gorontalo berada pada bobot terendah dalam persaingan industri gula di Indonesia. Hal ini perlu dicermati karena potensi Gorontalo dapat dioptimalkan agar dapat memperbaiki posisinya pada industri gula di Indonesia.
76
7. Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan merupakan wilayah penghasil gula di Indonesia yang berada di pulau Sulawesi bersama dengan wilayah Gorontalo. Kemudian pada periode tahun 2007 hingga 2011, terdapat penurunan kinerja yang terjadi. Pada tahun 2011, wilayah Sulawesi Selatan mengalami penurunan pada komponen produktivitas tebu, produktivitas gula, dan produksi hablur. Tabel 26. Kinerja Industri Gula di Sulawesi Selatan Tahun 2007-2011 Tahun
Indikator Kinerja Produktivitas tebu Produktivitas gula (ton/ha) (ton/ha) 32,80 1,86 49,10 2,78 33,10 4,42 49,40 2,40 29,00 1,56
Luas lahan (ha) 10.289,40 12.760,00 11.115,00 10.237,00 14.039,80
2007 2008 2009 2010 2011
Produksi hablur (ton) 19.139,00 35.521,00 22.857,50 24.529,00 21.938,40
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel 37 menunjukkan bahwa wilayah Sulawesi Selatan mengalami penurunan dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan tetapi dalam hasil penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa Sulawesi Selatan masih belum dapat bersaing dengan wilayah lain di pulau Jawa dan Sumatera. Tabel 27. Hasil Perbandingan Sulawesi Selatan dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011 Sulawesi Selatan Produktivitas Produktivitas Tebu Gula (Ton/Ha) (Ton/Ha)
Produksi Hablur (Ton)
Jumlah
Bobot
3
1
1
3
11
0,733
3
3
1
1
1
9
0,600
Lampung Jabar, Jateng, Yogya Jawa Timur
3
1
1
1
1
7
0,467
3
1
1
1
1
7
0,467
1
1
1
1
1
5
0,333
Gorontalo
1
1
3
3
3
11
0,733
Wilayah Sumatera Utara Sumatera Selatan
Luas Lahan (Ha)
Jumlah Pabrik
3
Bobot Rata-Rata
0,556
77
Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Sulawesi Selatan mendapatkan nilai bobot sebesar 0,556 terhadap keseluruhan wilayah penghasil gula di Indonesia. Adapun nilai bobot yang didapatkan Sulawesi Selatan untuk perbandingan kepada seluruh wilayah penghasil gula di Indonesia menunjukkan dayasaing yang baik namun dalam peringkat wilayah penghasil gula di Indonesia, Sulawesi Selatan menempati posisi kedua dari bawah setelah Gorontalo. Hal ini harus segera diperbaik agar Sulawesi Selatan dapat menjadi salah satu tumpuan produsen gula di wilayah timur Indonesia. 6.2 Analisis Komponen Porter’s Diamond System Pada subbab ini akan dijelaskan terkait dayasaing berdasarkan Porter’s Diamond System yang menjelaskan secara menyeluruh terkait kondisi yang ada dalam industri gula di Indonesia dengan sudut pandang Porter’s Diamond System. Adapun analisis ini dimaksudkan untuk melengkapi dari Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan agar mendapatkan potret industri gula di Indonesia yang baik dan komprehensif. Serta, dengan Porter’s Diamond System diharapkan bisa menjadi acuan dalam memberikan masukan kebijakan yang tepat bagi para pengambil kebijakan. 6.2.1 Kondisi Faktor Sumberdaya Kondisi faktor sumberdaya yang berpengaruh terhadap dayasaing industri gula Indonesia adalah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur. Kelima faktor sumberdaya tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1.
Sumberdaya Alam
a.
Syarat, Kondisi, dan Luas Lahan
(1) Syarat dan Kondisi Lahan Setiap tanaman memiliki karakteristik kondisi lahan yang baik untuk ditanami, sama halnya dengan tebu. Adapun kondisi lahan khas yang memenuhi kesesuaiannya dengan tanaman tebu antara lain lahan sebaiknya bergelombang antara 0-15 persen, berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2 persen apabila tanahnya ringan dan sampai 5 persen apabila tanahnya lebih berat. Selain itu, tanah yang baik untuk tanaman tebu yanitu tanah dengan lapis tebal, lempeng baik
78
yang berkapur maupun berpasir dan lempung liat. Derajat keasaman (pH) tanah yang cocok untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah berkisar 5,5-7,5. Budidaya tebu di Indonesia mengenal dua macam lahan yang dapat diusahakan untuk penanaman tebu yaitu lahan sawah dan lahan kering. Adapun perbedaan dari dua macam lahan ini adalah lahan sawah memiliki fasilitas pengairan yang cukup Sedangkan untuk lahan kering, memperoleh pengairannya melalui air hujan. Lahan sawah untuk tanaman tebu di Indonesia lebih banyak terdapat di Jawa, sedangkan lahan kering juga terdapat di Jawa dan seluruh areal di luar Jawa. Berdasarkan syarat-syarat kesesuaian lahan untuk penanaman tebu, di Indonesia lahan untuk penanaman tebu lebih banyak ada di Jawa. Dari segi syarat lahan yang baik untuk tebu, maka dapat diterima bahwa dayasaing Sulawesi Selatan dan Gorontalo berada pada dayasaing yang lemah dan sebalikanya Lampung dan JawaTimur dapat menjadi yang terbaik pada posisi dayasaing industri gula di Indonesia dikarenakan karakteristik lahan yang ada di Sumatera dan Jawa yang baik untuk ditanami tebu. (2) Luas Lahan Menurut data Dewan Gula Indonesia pada tahun 2011, bahwa luas lahan pengembangan tebu di Indonesia adalah yang mencapai 450.297 ha pada tahun, yang naik sebesar 7,66 persen dari tahun sebelumnya. Adapun pulau Jawa masih menjadi daerah penyangga produksi tebu di Indonesia dengan 273.924 ha atau 60,8 persen luas lahan pengembangan tebu di Indonesia dan sisanya sebesar 39,2 persen berada di luar Jawa. Luas areal pengembangan tebu di Indonesia berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat dari tahun 1993 hingga tahun 2011. Kecenderungan meningkat ada pada medio tahun 2004 hingga tahun 2011. Kecenderungan peningkatan tersebut merupakan efek dari program pemerintah untuk meningkatkan produksi dan menciptakan swasembada gula. Selain di pulau Jawa, Komoditas tebu telah diusahakan di daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan Papua. Menurut Dewan Gula Indonesia (2012) bahwa daerah di luar Jawa yang berpotensi untuk ditanami tebu antara lain Sulawesi Tenggara dan Papua.
79
b. Produktivitas Lahan Produktivitas lahan untuk tanaman tebu merupakan kemampuan daya dukung lahan tebu untuk menghasilkan gula pada satuan ton per hektar. Menurut Hartono (2012) bahwa dalam periode 1970 hingga 2009 produktivitas tebu tidak menyumbang terhadap kenaikan produksi tebu, ditunjukkan oleh produktivitas tebu yang tidak meningkat tapi justru menurun sebesar 0,57 persen per tahun. Hal ini terlihat dari produktivitas tahun 2005 hingga 2007 yang mengalami penurunan padahal pada medio tersebut terjadi peningkatan lahan tebu.
Tabel 28. Produktivitas Lahan Tebu di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2006-2011 Tahun Jawa Luar Jawa Produktivitas Pertumbuhan Produktivitas Pertumbuhan Tebu (ton/ha) (%) Tebu (ton/ha) (%) 2006 80,4 78,9 2007 82,9 3,11 68,3 -13,43 2008 75,7 -8,69 73,4 7,47 2009 73,9 -2,38 70,4 -4,09 2010 83,1 12,45 79,4 12,78 2011 68,2 -17,93 69,7 -12,22 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Pada Tabel 28 terlihat bahwa terjadi fluktuasi produktivitas tebu pada medio 2006-2011 di Jawa dan luar Jawa. Terdapat data bahwa rata-rata pertumbuhan produktivitas lahan di Jawa lebih rendah dibandingkan produktivitas lahan di luar jawa pada enam tahun terakhir, dimana rata-rata pertumbuhan produktivitas tebu di Jawa adalah -2,69 persen sedangkan di luar Jawa adalah 1,90 persen. Hal ini dikarenakan terdapat masalah pada teknologi intensif yang berbeda antara lahan di Jawa dengan luar Jawa, dimana teknologi yang ada di luar Jawa lebih baik dibandingkan di Jawa dalam hal pengelolaan lahan tebu sehingga berpengaruh terhadap produktivitas tebu. Selain masalah teknologi intensif juga terdapat masalah kepemilikan lahan tebu yang berpengaruh kepada pengelolaan lahan oleh petani terkait penyeragaman input yang digunakan. Penyeragaman input yang termasuk penggunaan bibit yang seragam oleh petani agar tercipta kesamaan produksi dan produktivitas antara petani di wilayah tersebut. Terkait masalah kepemilikan lahan dilihat dari data luas lahan tebu antara tebu rakyat dengan tebu swasta. Lahan tebu rakyat merupakan lahan tersebut 80
dikelola oleh petani tebu sepenuhnya tanpa ada campur tangan pabrik gula sehingga untuk kepentingan kegiatan usahataninya maka itu adalah kewenangan penuh petani tebu. Sedangkan lahan tebu swasta merupakan lahan tebu yang dikelola pleh pabrik gula sehingga segala hal tentang kegiatan usahatani tebu diatur sesuai aturan pabrik tebu, sehingga pabrik dengan baik menetapkan varietas dan pupuk yang digunakan agar mereka mendapatkan tebu yang berkualitas. Masalah penyeragaman varietas berawal dari kewenangan petani menanam bibit tebunya, apabila pada lahan tebu rakyat maka petani dapat menanam bibit yang sesuai dengan mereka tapi menimbulkan variasi hasil tebu yang tinggi dihasilkan oleh. Mayoritas lahan tebu di Jawa adalah lahan tebu rakyat sehingga preferensi penanaman bibit tebu bervariasi setiap petani sehingga produktivitas di Jawa menjadi beragam. Berbeda dengan lahan di luar jawa yang lebih banyak lahan tebu swasta sehingga pengelolaan khusus untuk penanaman bibit dapat dilakukan seragam, karena pabrik gula menetapkan standar bagi tiap bibit yang ditanam oleh petani di lahan tebu swasta tersebut. Hal tersebut menghasilkan produktivitas yang seragam dan cenderung lebih baik ketimbang hasil yang ada pada lahan tebu rakyat. 2.
Sumberdaya Manusia Usahatani tebu yang merupakan elemen penting dalam dayasasaing
industri gula Indonesi saat ini, sebagian besar masih bertumpu pada tebu rakyat yang diusahakan oleh para petani sebagai pelaku usaha pemasok bahan baku tebu. Sehingga upaya-upaya untuk mendorong peningkatan produksi tidak akan terlepas dari keterlibatan, kemampuan dan kemauan petani untuk tetap mengelola dan mengembangkan usahatani tebunya secara baik dan berkesinambungan. Adapun kinerja petani tebu Indonesia sangat dipengaruhi oleh luas kepemilikan dan potensi lahan, modal kerja, serta kemampuan memasarkan hasil panennya. Menurut Dewan Gula Indonesia (2010) bahwa jumlah petani tebu rakyat di seluruh Indonesia pada tahun 2009 mencapai 994.966 orang, dimana proporsi penyerapan petani tebu di pulau jawa mencapai 99,28 persen sedangkan luar jawa hanya mencapai 0,72 persen. Pada tahun 2009, jumlah petani di Jawa mengalami kenaikan sebesar 5,58 persen sedangkan di luar jawa mengalami penurunan jumlah sebesar 24,98 persen. Kenaikan jumlah petani di Jawa dan luar Jawa
81
dipengaruhi luas lahan tebu rakyat, dimana pada tahun 2009 di Jawa mengalami peningkatan luas areal tebu rakyat sebesar 5,57 persen sedangkan di luar Jawa mengalami penurunan sebesar 33,29 persen, sehingga penyerapan lahan di dua wilayah tersebut mengalami kondisi yang berbanding terbalik akibat luas lahannya. Namun secara keseluruhan, jumlah petani tebu rakyat di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2009 yaitu 5,27 persen dibanding tahun 2008 yang akibat penambahan luas areal tebu rayat sebesar 3,29 persen. Kemudian, terdapat Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) sebagai wadah petani untuk memperkuat posisi tawarnya dan sebagai wadah untuk mendapatkan informasi dan bantuan dari pemerintah. KPTR di Indonesia berjumlah 109 koperasi di seluruh Indonesia. Setiap KPTR di wilayahnya bekerjasama dengan pabrik gula di wilayah tersebut, setiap pabrik gula mengampu satu hingga lima KPTR di wilayah tersebut. Adanya KPTR ini bermanfaat untuk mempermudah pemerintah dalam pengelolaan bantuan kepada petani tebu, untuk kerjasama pabrik gula dengan petani, dan untuk memperkuat posisi tawar petani dihadapan pabrik gula dan pemerintah ketika ada masalah.
Tabel 29. Tahun
Jumlah Petani Tebu Rakyat di Indonesia Tahun 2007-2009 Jawa
Luar Jawa Jumlah Pertumb Jumlah Pertumb Petani uhan Petani uhan (orang) (%) (orang) (%) 2007 933.378 7.082 2008 935.678 0,25 9.448 33,41 2009 987.878 5,58 7.088 -24,98 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2010)
Indonesia Jumlah Pertumb Petani uhan (orang) (%) 940.460 945.125 0,50 994.966 5,27
Menurut Direktorat Jendral Perkebunan (2011) bahwa untuk menghitung jumlah tenaga kerja yang ada di usahatani tebu dapat dilakukan dengan menghitungnya dari perkalian luas areal tebu yang ada di suatu wilayah (ha) dan standar rasio penggunaan tenaga kerja atau petani di areal tebu tesebut (orang/ha/tahun). Hal ini digunakan untuk memudahkan dalam penghitungan data jumlah tenaga kerja dalam usahatani tebu, karena walau pendataan dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pabrik gula, dimana pabrik gula mencatat
82
data petani yang menjadi mitranya dalam pengumpulan hasil panen tapi terdapat banyak pula petani tebu yang berada di luar kerjasama dengan pabrik gula yang tidak terdaftar. Sehingga diperlukan metode yang dapat mendata jumlah petani tersebut. Menurut Direktorat Jendral perkebunan bahwa standar rasio penggunaan tenaga kerja pada usahatani tebu adalah 1,5 orang/ha/tahun. Untuk subsektor pengolahan dalam agribisnis gula, sumberdaya manusia yang berperan di dalamnya adalah para pengelola pabrik gula. Para pengelola pabrik tersebut antara lain; buruh pabrik, karyawan pabrik, administratur pabrik, dan jajaran direksi. Mayoritas pabrik gula di Indonesia merupakan padat karya, dimana tenaga kerja yang ada pada pabrik banyak karena terkait teknologi yang digunakan yang sudah tua sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengoperasikannya. Kemudian untuk sektor tataniaga, sumberdaya manusia yang memiliki peranan untuk mendukung pengembangan agribisnis gula yaitu agen atau grosir, pengecer, dan penyalur atau pengumpul. 3. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki peranan yang cukup penting dalam pengembangan suatu industri, termasuk agribisnis gula Indonesia. Adapun peranan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut ada dalam seluruh subsektor agribisnis, mulai dari input, budidaya, hingga pasca panen. Untuk agribisnis gula di Indonesia, terdapat beberapa pihak yang berperan pengembangan sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi agribisnis gula yaitu lembaga penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi petani, dewan gula Indonesia, lembaga pendidikan, dan sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya. a. Lembaga Penelitian Lembaga penelitian dalam agribisnis Gula di Indonesia ditangani oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia (P3GI). P3GI memiliki kantor pusat di Pasuruan, Jawa Timur. Tujuan P3GI adalah untuk menunjang kemajuan usaha-usaha pada agribisnis gula Indonesia melalui kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi Peran P3GI meliputi mengkaji tentang gula mulai dari bahan baku, proses produksi, dan teknologi budidaya agar jalannya kegiatan agribinis gula di Indonesia dapat lebih efisien. Adapun pada program P3GI dalam pengkajian tersebut yaitu melakukan perakitan varietas bibit tebu untuk
83
menghasilkan bibit tebu yang unggul, sosialisasi dan percepatan teknologi yang dihasilkan, serta P3GI juga memiliki peranan untuk melakukan ekspor atau impor varietas tebu unggul guna bahan persilangan dalam peningkatan dan pelebaran basic genetic varietas tebu dalam negeri. b. Asosiasi Pengusaha Asosiasi Gula Indonesia (AGI) merupakan asosiasi pengusaha gula di Indonesia, dimana sebagai koordinasi antara PTPN yang merupakan BUMN dan PT yang dimiliki oleh pihak swasta yang khusus bergerak di industri produksi gula. Peran dari asosiasi ini adalah untuk mencari, membagi, dan memberikan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang khusus untuk produsen gula dan konsumen. Adapun salah satu program kerjanya adalah mengadakan seminar terkait masalah dan solusi yang ada di industri gula Indonesia. AGI juga memiliki perwakilan di Dewan Gula Indonesia yang dapat mempermudah anggotanya dalam menyalurkan aspirasi atau permasalahan yang dihadapi kepada pemerintah. c. Asosiasi Petani Asosiasi Petani Tebu di Indonesia terdiri dari dua bentuk yaitu BK-APTRI yang merupakan koordinasi dari 8 DPP APTRI yang tersebar di beberapa wilayah produksi gula di Indonesia dan APTR Wilayah Kerja PTPN XI yang merupakan koordinasi dari APTR unit di Jawa Timur. Adapun fungsi BK-APTRI adalah sebagai (1) wadah berhimpun seluruh petani tebu, (2) wahana bertemunya aspirasi dan komunikasi timbal balik antara sesama petani tebu dan organisasi profesi yang lain, (3) wahana penggerak dan pengarah peran serta petani tebu, dan (4) wadah pembinaan dan pengembangan kegiatan-kegiatan petani tebu. Sedangkan peran APTR PTPN XI yang sudah dilakukan sampai saat ini antara lain melakukan kontrol masuknya gula impor ilegal, melakukan stabilisasi harga gula petani, mempelopori jaringan kerjasama dengan investor melalui sistem dana talangan dengan konsep harga mengambang. Selain itu, APTR PTPN XI juga melakukan perbaikan bagi hasil tetes dan gula. d. Dewan Gula Indonesia Dewan Gula Indonesia (DGI) merupakan lembaga non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab pada Presiden. Dalam penerapan tugas pokoknya tersebut Dewan Gula Indonesia, memiliki visi yaitu menjadi institusi
84
yang efisien dan efektif dalam rangka mendorong pembangunan industri gula nasional sebagai sektor agribisnis yang handal, yang berbasis kemitraan antara perkebunan besar dan petani, sehingga mampu bersaing dengan produk pokok dan produk sampingan yang berasal dari impor. Kemudian misi dari Dewan Gula Indonesia antara lain: a) perumusan kebijaksanaan pengembangan industri pergulaan nasional; b) menyinergikan komponen-komponen dalam industri pergulaa; dan 3) memberdayakan dan melindungi usaha agribisnis pergulaan nasional. Namun dalam kenyataanya bahwa Dewan Gula Indonesia belum dapat maksimal karena kinerja Dewan Gula Indonesia saat ini hanya sebatas pengumpulan data terkait pergulaan Indonesia dan penetapan Biaya Pokok Produksi yang akan dibawa sebagai pijakan dalam penetapan harga jual gula di pasar. e. Lembaga Pendidikan Lembaga pendidikan yang berperan dalam industri gula Indonesia yaitu Lembaga Penelitian Perkebunan (LPP), perguruan tinggi, dan lembaga lain. Lembaga pendidikan dapat berperan dalam menghasilkan informasi dan sumber wawasan terbaru dan ilmiah yang berkaitan erat dengan agribisnis gula. Hal ini akan mendorong pengembangan agribisnis gula Indonesia pada segi budidaya, pengolahan, hingga sumberdaya manusia yang ada dalam agribisnis gula tersebut. 4. Sumberdaya Modal Permodalan merupakan faktor kunci dalam hal pengembangan Industri gula Indonesia, baik dari segi budidaya hingga pabrik gula. Kebutuhan modal yang besar dan berkesinambungan merupakan hal yang penting untuk mendorong perkembangan industri gula. Kebutuhan permodalan yang cukup besar dan periode waktu panen yang cukup lama menjadikan petani mengandalkan modal pinjaman seperti dari kredit. Sedangkan bagi pabrik gula yang mengolah tebu sendiri, permodalannya merupakan satu kesatuan dengan manajemen pabrik. Pengembangan modal dalam industri gula Indonesia penting dalam hal peningkatan kinerja dari tiap pihak yang ada dalam industri tersebut. Adapun pengembangan modal yang telah dilakukan yaitu bantuan sosial, bantuan modal berupa subsidi bunga kredit, perluasan lahan dan juga pembukaan pabrik gula baru di luar Jawa. Adapun pendirian pabrik baru tersebut dilakukan di beberapa
85
daerah, seperti Aceh, Jambi, Maluku, Kalimantan Barat, dan Merauke. Untuk pembangunan pabrik gula di Aceh diestimasikan akan membutuhkan areal seluas 120 ha untuk lahan tanaman tebu pabriknya, sedangkan untuk di Merauke membutuhkan lahan seluas 200 ha untuk tanaman tebu, kedua daerah tersebut akan
diproyeksikan
untuk
menanam
plant
cane
atau
tanaman
baru.
Pengembangan industri gula di Merauke ini masuk dalam perencanaan pengembangan kawasan timur yang dipimpin oleh Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Untuk daerah pengembangan industri gula di Kalimantan Barat, daerah tersebut hanya diproyeksikan untuk areal penanaman tebu tanpa ada pembangunan pabrik gula karena hasil dari areal penanaman tersebut digunakan untuk bahan baku gula merah. Untuk bantuan sosial, pemerintah telah menjalankan beberapa program yang antara lain adalah Kebun Bibit Datar (KBD), perluasan lahan atau ekstensifikasi, dan demplot kebun bibit unggul. Kebun Bibit Datar (KBD) adalah bantuan pemerintah berupa kebun bibit untuk petani yang nantinya digunakan sebagai kebun tebu giling yang hasil panennya masuk ke pabrik. Untuk 1 ha hasil kebun bibit datar ini akan digunakan bagi 7-8 ha kebun tebu giling di Jawa, sedangan di luar Jawa bahwa 1 ha hasil kebun bibit datar akan menghasilkan 5 ha kebun bibit tebu giling. Adapun total dana, luas areal KBD, dan daerah sasaran program ini meningkat pada dua tahun terakhir. Pada tahun 2010, KBD ini diberikan untuk dua propinsi yaitu Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan dengan total dana mencapai Rp.6,6 miliar untuk luas areal 50 ha. Pada tahun 2011, KBD dilakukan pada luas areal lahan 750 ha pada 11 propinsi, meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Papua, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Adapun jumlah dana untuk program KBD pada tahun 2011 adalah sebesar Rp. 24,2 triliun. Untuk perluasan lahan atau ekstensifikasi adalah program pemerintah berupa bantuan pendanaan bagi petani yang melakukan penanaman plant cane atau tanaman baru di areal usahataninya. Terdapat masalah produktivitas pada petani adalah petani kerap melakukan penanaman hingga musim tanam lebih dari 5 atau tanaman tebu dipanen sebanyak lebih dari 5 kali. Padahal menurut arahan dari Subdirektorat Budidaya dari Direktorat Jendral Perkebunan adalah untuk
86
mencapai optimalisasi rendemen maka petani melakukan maksimal 5 kali panen dalam setiap tanaman tebu karena apabila lebih dari 5 kali maka rendemen tersebut akan menurun dan berakibat pada penurunan produktivitas hablur untuk pabrik dan pendapatan yang petani itu sendiri. Sehingga pemerintah berusaha untuk menarik minat petani agar mau mengikuti arahan dari Subdirektorat Budidaya Tanaman Semusim dengan cara memberi insentif bagi petani yang menanam Plant Cane atau tanaman baru agar tercipta keseragaman musim panen dan mencapai optimalisasi hasil rendemen tebu itu sendiri. Mekanisme
program
ini
adalah
Direktorat
Jendral
Perkebunan
mengalirkan dana dan pemetaan daerah sasaran pogram kemudia dimandatkan ke pemerintah daerah sasaran melalui dinas perkebunan daerah sasaran. Wewenang dari pemerintah daerah melalui dinas perkebunan daerah sasaran adalah mengawasi program tersebut agar tepat sebagaimana tujuan program tersebut. Kemudian, dinas perkebunan memandatkan kepada pemerintah kabupaten untuk melakukan proses seleksi terhadap kelompok tani yang dianggap mampu menjalankan program ini dengan baik. Apabila sudah ada nama-nama calon terpilih kelompok tani dan lahan yang menjadi sasaran program maka akan dikeluarkan SK dari dinas propinsi terkait pencairan dana program perluasan lahan tersebut bagi para calon terpilih. Setelah itu, kelompok tani terpilih diwajibkan untuk memiliki rekening sebagai wadah transfer dana bantuan program. Proses pencairan dilakukan melalui aturan penandatanganan dari tiga pihak yang merupakan tim teknis program tersebut. Tiga pihak tersebut adalah pemerintah kabupaten, ketua kelompok tani terpilih, dan ketua KPTR setempat. Setelah itu maka akan dilakukan pengawasan berkala dari dinas perkebunan terhadap jalannya program di tingkat kelompok tani. Program perluasan areal tebu ini mengalami peningkatan dari segi jumlah areal, propinsi sasaran, dan total dana dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2010, program perluasan areal tebu ini mencapai 723 ha dengan total dana adalah Rp. 12,2 miliar terdapat 6 propinsi yang menjadi sasaran program yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo. Pada tahun 2011, luas areal tebu yang meningkat hampir 3 kali lipat dari tahun sebelumnya. Luas areal tebu yang mencapai 2043 ha dengan total dana
87
Rp.36,5 miliar Propinsi yang menjadi sasaran program pada tahun 2011 yaitu 11 propinsi, meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Papua, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Program demplot kebun bibit unggul adalah salah satu program unggulan pemerintah dalam peningkatan kinerja usahatani tebu di Indonesia, yang merupakan bantuan sosial pemerintah terhadap petani. Program ini berbentuk penbangunan demplot kebun bibit unggul tebu di tingkat petani agar dalam kegiatan usahataninya, petani dapat menggunakan bibit yang berkualitas unggul dan diharapkan seragam varietasnya. Program ini mengalami peningkatan dari sisi luas lahan, dana, dan propinsi sasaran dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2010, program demplot kebun bibit unggul ini hanya mencapai 2 ha dengan jumlah dana sekitar Rp.34,2 miliar pada satu propinsi yaitu Gorontalo. Kemudian pada tahun 2011, terdapat peningkatan sekitar 100 kali yaitu pada luas areal mencapai 203 ha dengan total dana Rp.6,9 miliar pada enam propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Selain bantuan sosial, pengembangan agribisnis gula di Indonesia juga terdapat subsidi modal. Subsidi modal untuk petani tebu di Indonesia ini termasuk pada program KKP-E atau Kredit Ketahanan Pangan-Energi. Tebu termasuk dalam komoditas yang menyangga ketahanana pangan Indonesia. Adapun program KKP-E ini dikelola oleh pemerintah dan bank pelaksana. KKP-E ini merupakan subsidi pemerintah terhadap bunga pinjaman yang dilakukan petani sehingga beban bunga petani menjadi lebih ringan. Subsidi pemerintah terhadap beban bunga petani adalah 5 persen dengan bunga komersial bank sebesar 12 persen, sehingga beban bunga yang ditanggung oleh petani adalah sebesar 7 persen. Mekanisme program KKP-E ini adalah kelompok tani mengajukan permohonan subsidi modal kepada Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) di wilayahnya. Kemudian KPTR mengajukan permohonan tersebut ke pabrik gula yang nanti akan memfasilitasi permohonan tersebut ke bank pelaksana. Adapun bank pelaksana yang ditunjuk pemerintah berjumlah 21 bank, dimana terdapat 10 bank umum dan 11 bank daerah. Adapun 10 bank umum tersebut antara lain bank
88
mandiri, bank BRI, bank BNI, bank Bukopin, bank BCA, bank agro niaga, bank BII, bank CIMB Niaga, bank danamon, dan bank Artha Graha. Kemudian, untuk 11 bank daerah tersebut adalah bank daerah yang bertempat pada daerah sasaran program KKP-E untuk tanaman tebu yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Papua, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Untuk tahun 2011, realisasi program KKP-E untuk tanaman tebu mencapai Rp.931.849.200. Adapun plafon KKP-E untuk tanaman tebu hanya Rp.299 miliar berarti penyerapan dana tersebut malah lebih 3 kali lipat dari plafon yang diberikan atau sebesar 311,28 persen. Pemerintah dengan program-program tersebut adalah cerminan bahwa pemerintah ingin mengejar visi swasembada gula tahun 2013. Program bantuan sosial seperti KBD, perluasa lahan, dan demplot kebun bibit unggul adalah termasuk dalam program akselarasi peningkatan produksi tebu yang sudah dicanangkan sejak tahun 2002, serta KKP-E yang merupakan implementasi pemerintah dalam menyelesaikan masalah permodalan di tingkat petani tebu. Dengan tren peningkatan program tersebut dari segi jumlah dana dan areal lahan, juga mencerminkan bahwa animo petani untuk tetap menanam tebu dan tidak terpengaruh untuk
melakukan peralihan tanaman seperti yang
banyak
diwacanakan tentang konversi lahan tebu menjadi tanaman yang lebih bernilai dari segi ekonomi. 5. Sumberdaya Infrastruktur Sumberdaya infrastrutur merupakan sumberdaya yang juga penting dalam mendukung pengembangan agribisnis gula di Indonesia. Sumberdaya infrastruktur tersebut antara lain irigasi, transportasi seperti jalan raya, pasar, dan alat telekomunikasi serta informasi. Tidak semua infrastruktur yang ada tersebut dapat digunakan dengan baik, sebagai contoh irigasi untuk lahan sawah di daerah Jawa sudah menurun kualitasnya kerana kerusakan alam. Industri gula di Jawa secara umum memiliki infrastruktur yang cukup mendukung. Namun, irigasi dan sarana jalan/transportasi untuk mengangkut tebu yang di beberapa tempat belum memadai. Sebagai contoh, infrastruktur industri gula Kebon Agung di Jawa Timur sudah cukup memadai, baik itu jalan maupun sarana komunikasi.
89
Kasus lain di PG Jati Barang, Jawa Tengah, sarana jalan untuk mengangkut tebu di beberapa lokasi kurang memadai. Akibatnya, untuk beberapa lokasi tersebut ongkos angkut tebu sebagai salah satu komponen biaya utama menjadi lebih mahal. Infrastruktur industri gula di luar Jawa seperti di Lampung sudah memadai, khususnya yang dikelola oleh swasta. Sebagai contoh, jalan kebun sangat memadai sehingga berbagai aktivitas usaha sejak dari tanam sampai panen berjalan efisien. Infrastruktur PG di Lampung yang dikelola swasta merupakan salah satu penyebab tingginya efisiensi industri gula tersebut (Dirjen Perkebunan, 2006).
6.2.2 Kondisi Permintaan Kondisi permintaan merupakan faktor yang termasuk penting dalam peningkatan dayasaing agribisnis gula di Indonesia. Kondisi permintaan akan dijelaskan melalui tiga sub faktor yaitu komposisi permintaan domestik, jumlah permintaan dan pola pertumbuhan, dan internasionalisasi permintaan domestik. 1. Komposisi Permintaan Domestik Permintaan gula yang dilihat saat ini sangat berpengaruh erat dengan posisi gula sebagai salah satu bahan pokok dan bahan baku industri makanan serta minuman. Gula merupakan salah satu dari lima bahan pokok yang hingga saat ini masih diimpor, selain beras, jagung, daging, dan kedelai. Sehingga angka permintaannya mengikuti laju penduduk. Kemudian, adanya pertumbuhan industri makanan dan minuman yang positif menimbulkan permintaan gula juga meningkat. Adapun komposisi permintaan gula di Indonesia perlu ditelaah karena dengan komposisi permintaan, khususnya domestik, maka Indonesia dapat melihat kondisi industri gula dari sisi permintaan yang lebih holistik. Sehingga kebijakan pergulaan dapat berjalan tepat dan tidak merugikan segala pihak. Komposisi permintaan gula dicerminkan oleh konsumsi gula yang dibedakan dalam dua pengertian, yaitu konsumsi menurut ketersediaan atau jumlah yang tersedia untuk dikonsumsi dan konsumsi langsung oleh rumah tangga. Konsumsi ketersediaan bersifat agregat, sedangkan konsumsi langsung adalah jumlah yang langsung dikonsumsi oleh rumah tangga. Menurut Hafsah (2002) bahwa konsumsi berdasarkan ketersediaan, meliputi 4 macam penggunaan,
90
yaitu: pemakaian untuk konsumsi langsung oleh rumah tangga, pemakaian oleh industri dan pembuat makanan atau minuman, persediaan untuk perdagangan, dan persediaan tambahan untuk tujuan spekulasi, terutama bila keadaan harga tidak stabil dan cenderung meningkat. Menurut Dewan Gula Indonesia (2011) bahwa pemetaan konsumsi gula nasional dibagi terkait dengan jenis gula, yaitu konsumsi gula rafinasi dan konsumsi gula kristal putih. Untuk pemetaan konsumsi gula rafinasi diperuntuhkan bagi industri makanan dan minuman, seperti konsumsi industri kecil, konsumsi industri menengah, dan konsumsi industri besar. Sedangkan untuk pemetaan konsumsi gula kristal putih diperuntuhkan bagi konsumsi langsung, seperti konsumsi rumah tangga, konsumsi khusus (rapat,warung rumah makan dll), dan konsumsi industri rumah tangga. Pemetaan ini penting dilakukan guna memperkirakan kebutuhan gula Indonesia agar tidak terjadi ekses supply atau ekses demand. Pemetaan ini dilakukan sebagai metode perencanaan yang menjadi pijakan bagi pemerintah untuk melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan gula nasional, mulai dari produksi hingga kebijakan impor gula. Adapun pemetaan tersebut memiliki patron baku yaitu data survei dari lembaga-lembaga yang memiliki kredilbilitas. Data survei tersebut dari sucofindo pada tahun 2007 untuk data kebutuhan konsumsi industri kecil, kebutuhan konsumsi gula khusus (seperti rapat, warung, rumah makan dll), dan kebutuhan industri rumah tangga. Adapun angka baku dari survei sucofindo tersebut yaitu 27.565 ton/bulan untuk kebutuhan konsumsi industri kecil dengan kenaikan 5 persen per tahunnya, 2,14 kg/kap/tahun untuk kebutuhan konsumsi khusus, dan 1,16 kg/kap/tahun untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. Kemudian, data dari susenas tahun 2010 untuk data kebutuhan konsumsi rumah tangga yaitu 7,67 kg/kap/tahun. Serta data dari surveyor Indonesia tahun 2009 untuk data kebutuhan industri menengah dan besar yaitu 144.107 ton/bulan dengan kenaikan 5 persen per tahunnya. 2. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan Peningkatan permintaan merupakan cerminan yang krusial dalam melihat masa depan pergulaan dipandang dari sudut pandang konsumsi. Peningkatan permintaan akan gula berkaitan dengan pertambahan penduduk, peningkatan
91
kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan industri makanan dan minuman. Semakin meningkat jumlah penduduk, kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi dan industri makanan dan minuman maka permintaan akan gula juga akan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pasar untuk gula di Indonesia akan semakin besar. Berdasarkan data Dewan Gula Indonesia (2011), impor gula, konsumsi gula, dan jumlah penduduk Indonesia mengalami peningkatan selama tahun 19932011 seperti pada Lampiran 2. Secara normal, konsumsi gula Indonesia akan mengalami
peningkatan
sejalan
dengan
peningkatan
jumlah
penduduk,
peningkatan pendapatan, dan peningkatan industri berbahan baku gula. Pada tahun 2010, angka konsumsi gula nasional mencapai 5,1 juta ton. Angka ini termasuk dengan konsumsi langsung dan konsumsi industri. Pada tahun 2010, untuk memenuhi angka tersebut pemerintah harus melakukan impor sebesar 2,91 juta ton. Kemudian pada tahun 2011, angka konsumsi tersebut naik 11 persen menjadi 5,75 juta ton. Adapun konsumsi langsung yang tercatat pada tahun 2011 yaitu 2.768.831 ton dan konsumsi industri sebesar 2.985.540 ton. Konsumsi industri yang dicerminkan dari konsumsi gula rafinasi. Adapun data pada konsumsi gula rafinasi tahun 2009 bahwa industri yang menjadi konsumen gula rafinasi digambarkan dalam Gambar 4. Konsumen utama dari gula rafinasi adalah industri makanan dengan jumlah konsumsi mencapai 35% dari total produksi gula rafinasi dalam negeri, sedangkan industri minuman menyerap gula rafinasi sebesar 29%.
Gambar 4.
Konsumsi Gula Rafinasi Tahun 2009
Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)
92
Kebijakan pemerintah sejak tahun 2002 hingga September 2008 adalah memperbolehkan industri makanan dan minuman untuk mengimpor sendiri gula rafinasi. Namun seiring dengan berkembangnya industri gula rafinasi dalam negeri dan terus menurunnya harga dunia gula rafinasi yang ternyata berimbas kepada petani gula, maka kemudian di bulan September 2008 pemerintah membatasi impor gula rafinasi yang dilakukan oleh industri makanan dan minuman sehingga industri-industri tersebut diarahkan untuk melakukan pembelian gula rafinasi dari produksi pabrik gula rafinasi dalam negeri. Saat itu pemerintah membatasi impor gula rafinasi hanya diperbolehkan 500,000 ton10 saja. Di tahun 2008 pun jumlah realisasi impor gula rafinasi menurun menjadi sekitar 100,000 ton. 3. Internasionalisasi Permintaan Domestik Indonesia saat ini belum dapat menyediakan sepenuhnya permintaan gula domestik. Hal ini dikarenakan produksi dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan yang ada. Setelah tahun 1984, Indonesia tidak lagi dapat mempertahankan swasembada gula yang telah dicapai pada tahun tersebut. Sampai saat ini, Indonesia masih terus melakukan impor gula meskipun jumlahnya mulai menurun seiring dengan peningkatan produksi gula. Karena itu Indonesia belum dapat berperan sebagai negara pengekspor di pasar gula dunia.
6.2.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung Faktor industri terkait dan industri pendukung merupakan faktor penting dalam hal menganalisis daysaing suatu industri, khusnya industri gula Indonesia. Adanya industri terkait seperti industri hulu yang memasok input untuk industri utama dengan harga yang lebih murah dan mutu yang berkualitas merupakan faktor penting dalam peningkatan dayasaing suatu industri. Sama halnya juga dengan industri pendukung yang mampu memberikan nilai tambah yang lebih baik bagi industri utama maka semakin meningkatkan industri dari suatu komoditas, seperti gula.
93
1. Industri Terkait a. Industri Pemasok Bahan Baku Industri pemasok bahan baku yang baik mempengaruhi industri utama secara positif, adapun industri pemasok bahan baku dalam konteks industri gula Indonesia meliputi industri saran produksi (pembibitan dan pupuk) dan alat serta mesin pertanian. Khusus untuk industri pembibitan memiliki peranan yang cukup penting karena kualitas gula yang baik adalah hasil dari pembibitan tebu yang berkualitas dalam proses usahataninya. Adapun penyediaan bibit dilakukan secara khusus oleh pabrik gula yang menggunakan varietas dari P3GI. Usaha pembibitan kebun bidang datar atau KBD dilakukan oleh perusahaan besar, seperti PTPN, perusahaan swasta, ataupun P3GI yang terletak di pasuruan. Khusus untuk pembibitan yang dilakukan oleh PTPN yaitu digunakan untuk memenuhi kebutuhan bibit dari lahan tebu PTPN dan lahan tebu rakyat. Akan tetapi di pulau jawa, usaha pembibitan oleh PTPN lebih diperuntuhkan untuk usahatani tebu rakyat. b. Industri Pengolahan Industri pengolahan memiliki peranan yang sangat penting dalam dayasaing sebuah komoditas karena dengan adanya industri pengolahan maka akan ada penambahan nilai dari suatu komoditas menjadi produk. Pada konteks industri gula di Indonesia, industri pengolahan ini adalah pabrik gula. Di Indonesia, pabrik gula dimiliki oleh pihak pemerintah atau BUMN yang bergerak pada pergulaan, perusahaan swasta, dan pabrik gula rafinasi. Pabrik gula BUMN dan swasta bertuga untuk mengolah tebu menjadi gula kristal putih, sedangkan pabrik gula rafinasi bertugas mengolah raw sugar menjadi gula kristal rafinasi. Pabrik gula di Indonesia tersebar di beberapa pulau saja yaitu Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Pada ketiga pulau tersebut tersebar pabrik gula kristal putih dan pabrik gula kristal rafinasi. Untuk pabrik gula di Jawa terdapat 48 pabrik yang tersebar di 4 provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Jawa timur. Pada provinsi Jawa Barat terdapat 5 pabrik gula yang dikelola oleh PT. Rajawali Nusantara Indonesia II. Untuk provinsi Jawa Tengah terdapat 8 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN IX dan 1 pabrik gula yang dikelola oleh PT. IGN. Kemudian di provinsi Jawa Timur memiliki pabrik gula
94
dengan jumlah terbanyak di Indonesia karena pada provinsi tersebut terdapat dua BUMN yang fokus pada sektor perkebunan yaitu PTPN X dan PTPN XI. Untuk PTPN X mengelola 11 pabrik gula dan untuk PTPN XI mengelola 16 pabrik gula. Selain PTPN X dan PTPN XI, di Jawa Timur juga terdapat PT. Rajawali Nusantara Indonesia I yang mengelola 2 pabrik gula, PT. Kebon Agung yang mengelola 2 pabrik gula, PT. Pakis Baru yang mengelola 1 pabrik gula dan PT. PG Candi mengelola 1 pabrik gula. Kemudian untuk provinsi DI Yogyakarta terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PT. Madukismo. Untuk Pabrik gula di Sumatera terdapat di 3 provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung. Untuk di provinsi Sumater Utara, terdapat 2 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN II. Untuk di provinsi Sumatera Selatan, terdapat 1 pabrik gula yng dikelola oleh PTPN VII dan 1 pabrik gula yang dikelola oleh PT. Laju Perdana Indah. Untuk di provinsi Lampung terdapat pabrik-pabrik gula yang dimiliki oleh BUMN sektor perkebunan dengan perusahaan swasta. Terdapat 1 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN VII, PT. Sugar Group Company mengelola 3 pabrik gula, PT. Pemuka Sakti Manis Indah yang mengelola 1 pabrik gula, dan PT. Gunung Madu Plantation yang mengelola 1 pabrik gula. Untuk pabrik gula yang terletak di Sulawesi yaitu terdapat di provinsi Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Untuk provinsi Gorontalo terdapat 1 pabrik gula yang dikelola oleh PT. PG Gorontalo dan untuk di provinsi Sulawesi Selatan terdapat 3 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN XIV. Kemudian terdapat rencana pemerintah untuk membangun beberapa pabrik baru dalam hal pencapaian swasembada gula. Rencananya pabrik gula kristal putih tersebut dibangun di Aceh, Merauke, Jambi, Maluku, dan Kalimantan Barat. Dalam kenyataanya, industri pengolahan tebu menjadi gula di Indonesia saat ini memang belum optimal karena belum dapat menahan arus impor dan memenuhi konsumsi domestik. Hal tersebut dikarenakan teknologi yang digunakan sudah tua dan proses regenerasi teknologi yang lambat akibat keterbatasan pendanaan dalam revitalisasi pabrik. Pabrik-pabrik gula yang di atas yang tersebar di tiga pulau di Indonesia tersebut adalah pabrik gula yang memroduksi gula kristal putih, sedangkan untuk
95
pabrik gula yang memroduksi gula kristal rafinasi terdapat di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Adapun di Jawa tersebar di beberapa provinsi yaitu di Jawa Barat terdapat 4 pabrik gula, yang dikelola oleh PT. Angles Product, PT. Jawamanis, PT. Sentar Usahatama Jaya, dan PT. Duta Sugar International. Di Jawa Tengah terdapat 2 pabrik gula yang dikelola oleh PT. Permata Dunia Sukses Utama dan PT. Dharmapala Usaha Sukses. Di provinsi lampung terdapat 1 pabrik gula yang dikelola oleh PT. Sugar Labinta. Untuk provinsi Sulawesi Selatan terdapat 1 pabrik gula yang dikelola oleh PT. Makasar Tene. Adapun beberapa masalah yang ada pada industri pengolahan gula kristal rafinasi adalah pembatasan impor gula rafinasi ini mendapat tentangan dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) selaku pengguna utama gula rafinasi. Hal ini dikarenakan mutu dari gula rafinasi dalam negeri yang masih dipertanyakan sementara bagi industri makanan, minuman dan farmasi memerlukan kualitas dan standar khusus sehingga tidak bisa sembarangan menggunakan gula rafinasi.
Permasalahan lainnya yaitu
muncul saat gula rafinasi membanjiri pasar ritel/rumah tangga karena harganya yang lebih murah. Hal ini berkaitan erat dengan jalur distribusi dari pabrik gula rafinasi. Secara umum tingkat efisiensi pabrik gula (overall recovery, OR) ≤ 80 persen, sedangkan standar internasional mensyaratkan pencapaian OR ≥ 85 persen. Hal ini merupakan akibat dari terlambatnya program rehabilitasi dan perawatan (maintenance) pabrik. Secara teknis, rendahnya OR tersebut karena kondisi peralatan yang sudah kurang memadai dan rendahnya mutu bahan baku tebu. Hal tersebut merupakan penyebab kehilangan gula di dalam proses produksi tinggi, sehingga pencapaian rendemennya rendah dan menyebabkan biaya produksi tinggi. Sedangkan dari aspek manajemen, belum tercipta budaya korporasi dari bagian-bagian utama di dalam pabrik (tanaman, instalasi, proses, dan keuangan) di sebagian besar PG di Indonesia. Akibatnya, masing-masing bagian lebih mementingkan pencapaian target atau sasaran program bagiannya daripada program pabrik dan perusahaan (Dirjen Perkebunan 2006). Pada umumnya PG di Indonesia mengolah tebu untuk menghasilkan gula pasir sebagai produk tunggal (Single Product Industry). Padahal tebu juga dapat
96
digunakan untuk menghasilkan berbagai produk turunan tebu. Berkaitan dengan produk turunan tebu, PG di Indonesia sebenarnya sudah sejak awal merintisnya, namun pengembangannya kalah cepat dengan investor swasta. Sebelum berbagai jenis produk turunan tebu berkembang seperti saat ini, pada tahun 1960 telah ada 4 pabrik alkohol/spiritus yang dimiliki industri gula.Pada saat ini sudah ada sekitar 45 buah pabrik produk turunan tebu dengan 14 jenis produk turunan tebu. Diantara jumlah tersebut sekitar 9 buah pabrik yang dimiliki industri gula. c. Industri Jasa Tataniaga Industri tataniaga adalah industri yang tidak kalah penting dengan industri pengolah dan bahan baku karena dengan peran industri ini maka kinerja dari industri bahan baku dan pengolahan dapat melihat hasil yang mereka dapatkan secara riil yaitu dengan harga yang mereka terima. Industri ini melibatkan banyak pihak yaitu petani, pengumpul/tengkulak/bakul/mediator, pedagang besar/grosir/ agen, pedagang kecil/pengecer/retail, dan konsumen baik konsumen rumah tangga maupun konsumen industri makan dan minuman.
Adapun dalam industri
tataniaga ini terdapat dua mekanisme tataniaga gula, yaitu mekanisme lelang dan mekanisme jual bebas. (1) Mekanisme Lelang Sistem lelang terutama bisa dilakukan untuk menjual gula milik pabrik gula (PG). Namun, PG sendiri tidak berhak untuk mengadakan lelang. Lelang biasanya dilakukan oleh pihak direksi melalui divisi tataniaga/pemasaran seperti di Jakarta untuk PT RNI (wilayah Jawa Barat), di Solo untuk PTPN IX (Wilayah Jawa Tengah), di Malang/Surabaya untuk PTPN XI (Wilayah Jawa Timur) dan Makasar untuk PTPN XIV. Dalam sistem lelang terdapat dua saluran distribusi yaitu: (1)Gula PG/Gula Petani→Distributor/Grosir/Agen→Pengecer/Retail→ Konsumen Akhir, (2)Gula PG/Gula Petani→Distributor/Grosir/Agen→Konsumen Akhir. (2) Mekanisme Jual Bebas Selain dengan melalui sistem lelang, penjualan gula milik petani sebagian besar dilakukan dengan sistem jual bebas. Mekanisme ini berlaku sejak tahun 1998 yaitu setelah tataniaga gula diserahkan ke pasar bebas. Hal ini berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumya yang dilakukan oleh BULOG. Pada mekanisme
97
jual bebas, terdapat beberapa saluran pemasaran yang umumnya dilakukan oleh petani seperti yang terlihat pada Gambar 5. Dari kelima saluran tersebut, umumnya petani lebih menyukai saluran kelima, saluran kedua/ketiga, saluran pertama dan keempat. Artinya petani lebih suka menjual langsung ke pengecer atau retail. Hal ini disebabkan harga yang diterima akan lebih tinggi. Namun, saluran kelima tersebut jarang dilakukan karena volume gula yang dijual maksimal 5 kuintal. Selain itu apabila petani langsung menjual ke pengecer, biaya tataniaga seperti transportasi, bongkar muat menjadi kewajiban petani. Namun, petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), melakukan kerjasama dengan investor untuk menjamin harga gula yang dimilikinya.
Gambar 3.
Saluran Tataniaga Gula Milik Petani
Sumber: Dirjen Bina Perkebunan (2002)
Adapun industri tataniaga gula ini dapat dijelaskan pula menurut jalur distribusi berdasarkan jenis gula kristal, yaitu jalur distribusi untuk gula kristal putih dan jalur distribusi gula kristal rafinasi. Berikut ini adalah jalur distribusi gula kristal putih:
98
1. Produsen/Importir – Distributor – Sub distributor – Grosir – Retail Jalur ini merupakan jalur terpanjang dari rantai distribusi di industri gula Indonesia. Jalur ini bisa ditemui di daerah yang memang sangat jauh dari jangkauan pedagang utama gula, mereka akhirnya menggunakan jalur tradisional yang melibatkan lebih banyak pedagang dengan skala distribusi yang semakin kecil. Distributor utama sebagian besar keberadaanya dekat dengan produsen/gudang dimana gula diproduksi/diimpor. Khusus untuk gula petani yang dilelang, distributor (pemenang lelang) seperti hanya menjadi kepanjangan tangan saja untuk memindahkan gula yang dimenangkan melalui lelang. Gula hasil lelang dijual saat itu juga kepada sub distributor yang langsung mengambilnya. Margin keuntungan penjualan, hanyalah selisih harga lelang dengan harga tebus oleh sub distributor. Akitivitas distributor lebih terfokus pada upaya memenangkan lelang saja. Dari distributor ini maka kemudian gula mulai tersebar melalui sub distributor yang keberadaannya hampir ada di setiap kabupaten. Setelah itu gula kemudian dijual ke grosir dan akhirnya ke retailer. 2. Produsen/Importir – Distributor – Grosir – Retailer Kondisi distribusi dengan jalur seperti ini memiliki beberapa kemungkinan antara lain: i) Rantai setelah distributor (sub distributor) secara ekonomis tidak lagi dibutuhkan. Artinya grosir dapat melakukan pembelian langsung ke distributor, tanpa melalui sub distributor yang justru menimbulkan inefisiensi. Misalnya karena jarak antara gudang distributor dengan grosir sangat dekat. ii) Sub distributor dimiliki langsung oleh distributor, sehingga dalam jalur distribusi tersebut keberadaan sub distributor menjadi seperti menyatu dengan distributor dan tidak tampak menjadi bagian dari distributor. 3. Produsen/Importir – Distributor – Retailer Jalur distribusi ini mereduksi peran sub distributor dan grosir. Hal ini memiliki dua kemungkinan : i) Secara ekonomis ada keuntungan yang luar biasa bagi distributor ketika dapat menyalurkan langsung ke retailer. Hal ini dimungkinkan
99
karena tidak ada lagi kendala ekonomis yang dihadapi oleh distributor untuk menyalurkan langsung ke retailer yang mampu membeli dengan skala sangat besar. Misalnya tidak ada kendala terkait dengan angkutan dan biaya transportasi lainnya. ii) Dalam pola yang lebih maju seperti yang dilakukan oleh Garuda Panca Arta (Lampung) yang mendistribusikan produk Gulaku, maka tidak ada hambatan berarti untuk langsung mendistribusikan produknya tersebut ke retailer. Dalam hal ini perusahaan industri gula mendirikan anak perusahaan yang bergerak di distribusi gula. 4. Produsen – Retailer Model seperti ini juga dilakukan oleh beberapa PTPN tetapi dalam skala yang sangat kecil, biasanya dilakukan pendistribusian ke beberapa koperasi pesantren di provinsi Jawa Timur yang selama ini menjadi lumbung gula Indonesia. Dari koperasi inilah para anggotanya kemudian mengkonsumsi langsung gula.
100
Berikut ini adalah gambara dari jalur distribusi gula kristal putih yang telah dijelaskan seperti di atas.
Gambar 4.
Jalur Distribusi Gula Kristal Putih
Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)
Sementara itu, jalur distribusi gula rafinasi sangat berbeda dengan jalur distribusi gula kristal putih. Jika distribusi pada gula kristal putih dibebaskan siapa saja boleh berdagang, maka distribusi gula rafinasi ini lebih ketat karena distributor ditunjuk langsung oleh pabrik gula rafinasi dan sub distributor ditunjuk langsung oleh distributor. Tidak sembarangan pihak bisa menjadi distributor maupun sub distributor gula rafinasi.
101
Gambar 5. Jalur Distribusi Gula Kristal Rafinasi Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)
Distributor dan sub distributor yang ditunjuk pun harus didaftarkan di Kementrian Perindustrian terlebih dahulu dan untuk kemudian mendapat persetujuan. Pengaturan yang ketat dalam jalur distribusi gula rafinasi ini dilakukan agar gula rafinasi tidak merembes ke pasaran ritel. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk maka jumlah kebutuhan konsumsi gula juga diperkirakan bertambah. Tidak hanya konsumsi gula secara langsung tetapi juga gula yang digunakan dalam memproduksi makanan dan minuman. Peningkatan jumlah penduduk, perkembangan industri makanan dan minuman serta meningkatnya pendapatan masyarakat meningkatkan kebutuhan akan gula. 2. Industri Pendukung Industri pendukung dalam agribisnis gula adalah industri yang menggunakan gula sebagai salah satu bahan bakunya. Industri tersebut antara lain industri makanan, minuman, dan farmasi. Penggunaan sumber pemanis oleh industri tergantung pada jenis produk yang dihasilkan, teknologi yang digunakan, harga bahan pemanis, serta selera konsumen. Industri tersebut secara tidak langsung mendukung agribisnis gula yang memiliki kontribusi tidak langsung secara vertikal karena industri tersebut menggunakan gula sebagai bahan bakunya. Meskipun secara agregat konsumsi gula masih didominasi oleh rumah tangga, akan tetapi laju pertumbuhan konsumsi oleh industri lebih tinggi (Pakhpahan, 2005). Gula yang dibutuhkan untuk industri biasanya berasal dari gula rafinasi maka kebutuhan gula untuk industri sebagian besar masih dipenuhi dengan gula impor. Meskipun impor gula sebagai bahan baku industri merupakan gula rafinasi namun ada beberapa importir yang menjual gula tersebut langsung ke pasaran
102
dengan harga lebih murah yang menyebabkan gula lokal kalah bersaing dengan gula impor tersebut.
6.2.4 Persaingan, Struktur, dan Strategi Industri Persaingan, struktur, dan strategi industri merupakan salah satu faktor pendukung dalam menganalisis dayasaing 1. Persaingan Usahatani tebu terutama di daerah Jawa sebagian besar dikelola oleh rakyat atau yang sering disebut tebu rakyat. Selain itu, adapula usahatani tebu yang dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan dimana PG sekaligus pemilik lahan HGU. Gula diproduksi oleh PG baik yang dikelola oleh BUMN dan swasta. Seluruh gula yang diproduksi oleh PG digunakan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Karena untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri produksinya belum mencukupi maka Indonesia belum dapat mengekspor produk gulanya. 2. Struktur Menurut Mardianto et al. (2005) perdagangan gula di dalam negeri sebenarnya memiliki struktur pasar yang bersifat oligopolistik. Hal ini dapat dilihat pada setiap lelang yang dilakukan oleh APTRI atau PTPN hanya beberapa pedagang yang terlibat sehingga tingkat kompetisinya tidak mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran gula yang sesungguhnya. Tabel 30. Struktur dalam Industri Gula Indonesia No. Posisi Pelaku Usaha Struktur 1 Produsen Oligopoli 2 Distributor Oligopoli 3 Sub Distributor Banyak pelaku usaha terlibat 4 Grosir Retailer Banyak pelaku usaha terlibat Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)
Seperti yang digambarkan diatas, produsen dan distributor gula merupakan oligopolis dimana hanya sedikit pemain yang terlibat. Pada sisi produsen, pemain utama terdiri dari Sugar Group dan BUMN perkebunan berskala besar seperti PTPN IX, XI dan RNI. Sedangkan distributor gula dikuasai oleh beberapa pedagang besar yang terkenal dengan sebutan ‘8 samurai’. Berbeda dengan sisi
103
sub distributor maupun grosir/ritel dimana banyak pelaku usaha yang terlibat didalamnya. Dengan struktur yang seperti itu maka wajar jika stok gula hanya dikuasai oleh beberapa pelaku/pedagang saja. Dengan kekuatan pedagang itulah maka mereka kemudian tahu bahwa hanya mereka yang akan memasok gula ke masyarakat. Adapun pada industri gula lokal hanyalah industri gula kristal putih. Sementara untuk gula rafinasi masih dilakukan impor. Namun sejak tahun 2000an ketika harga gula dunia (raw sugar) melonjak tinggi, pemerintah mengijinkan untuk dibangunnya pabrik gula rafinasi. Untuk itu pembahasan mengenai struktur industri gula dibagi menjadi dua yaitu struktur industri gula kristal putih dan struktur industri gula kristal rafinasi. 2.1. Industri Gula Kristal Putih Sejak dahulu, pemain dalam industri gula kristal putih didominasi oleh BUMN, yaitu PTPN dan RNI. Jumlahnya mencapai hampir 10 perusahaan yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Bisa dikatakan mulai dari produsen gula hingga distributor gula hanya dikuasai oleh beberapa pemain besar saja (oligopolistik). Pasokan gula kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal dari enam pelaku usaha saja yakni PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, Gunung Madu dan Sugar Group Companies. Adapun struktur industri gula kristal putih dalam negeri pada saat musim giling pada umumnya bersifat oligopsoni sehingga produsen (petani tebu dan pabrik gula, PTPN/RNI) tidak menerima harga yang wajar. Dan sebaliknya saat di luar musim giling, struktur industri gula kristal putih bersifat oligopoli sehingga harga di tingkat konsumen relatif tinggi dan produsen tidak menikmati kenaikan harga tersebut. Hal ini disebabkan karena sebagian besar stok gula kristal putih dikuasai oleh hanya beberapa pedagang besar saja. Secara keseluruhan, jumlah pasokan gula kristal putih dapat dilihat dalam Gambar dibawah ini.
104
Gambar 6.
Produksi Gula Kristal Putih Tahun 2009
Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)
Pada gambar 8 terlihat bahwa PTPN X, PTPN XI dan Sugar Group merupakan tiga pemain utama yang masing-masing pangsa produksinya di tahun 2009 yaitu 18,72%, 15,64% dan 18,96%. Sugar Group mampu menjadi leader dalam industri ini karena perusahaan tersebut merupakan satu-satunya perusahaan yang telah efisien dalam industri gula ini. 2.2. Industri Gula Rafinasi Sebelum tahun 2000, pemenuhan gula rafinasi adalah melalui impor karena harga gula saat itu sedang murah. Namun dengan ekspektasi harga gula dunia yang terus meningkat dan produksi gula dalam negeri yang menurun, kemudian terdorong juga untuk membangun pabrik gula rafinasi. Bahan baku yang digunakan pabrik gula rafinasi tersebut adalah raw sugar yang diimpor. Pada tahun 2004, baru terdapat tiga pelaku usaha gula rafinasi. Dengan tiga pelaku usaha tersebut di tahun 2003-2005 mampu men-supply kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan, minuman dan farmasi sekitar 300.000 ton –1.500.000 ton per tahun. Kemudian di tahun 2006-2008 pelaku usaha di industri gula rafinasi ini bertambah menjadi 7 pelaku usaha dengan total kemampuan pasokan meningkat menjadi sekitar 1,2 juta – 1,5 juta ton per tahun. Baru kemudian di tahun 2009 total pelaku usaha dalam industri gula rafinasi ini menjadi delapan sehingga pada tahun 2009 kemampuan pasokan industri rafinasi mencapai sekitar 2 juta ton per tahun8. Berikut pelaku-pelaku dalam industri gula rafinasi. a. PT. Angles Product, Bojonagara, Serang- Banten
105
b. PT. Jawamanis, Jl. Raya Anyer – Cilegon-Banten c. PT. Sentra Usahatama Jaya, Cilegon-Banten d. PT. Permata Dunia Sukses Utama, Cilacap - Jawa Tengah e. PT. Dharmapala Usaha Sukses, Cilacap – Jawa Tengah f. PT. Sugar Labinta g. PT. Makassar Tene h. PT Duta Sugar International. Pelaku-pelaku dalam industri gula rafinasi dalam negeri sepenuhnya mengimpor raw sugar untuk kemudian diolah menjadi gula rafinasi. Seiring peningkatan jumlah pabrik gula rafinasi dalam negeri maka meningkat juga jumlah raw sugar yang diimpor setiap tahunnya. Peningkatan impor raw sugar yang paling besar terjadi pada tahun 2006 dan 2007 sehingga di tahun-tahun tersebut pabrik gula rafinasi terus meningkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan industri-industri dalam negeri yang membutuhkan gula rafinasi.
Tabel 32. Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah Impor Raw sugar Untuk Pabrik Gula Rafinasi Perusahaan Rekomendasi Izin Impor Jumlah (ton) 5 394.700 398.070 350.582 5 923.000 757.750 478.250 5 1.226.000 999.100 808.200 6 1.081.000 1.056.250 952.387 6 1.492.450 1.447.700 1.255.522 7 1.661.230 1.404.730 1.213.470 8 1.670.000 1.670.000 1.670.000
Sumber: Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (2010)
Di tahun 2009, seluruh raw sugar yang direkomendasi diserap oleh pabrik gula rafinasi. Berikut ini pada gambar 9 terdapat perkembangan industri rafinasi dari sisi realisasi produksi masing-masing perusahaan. Pelaku-pelaku lama dalam industri gula rafinasi merupakan penghasil utama gula rafinasi di Indonesia. Jika dilihat berdasarkan pangsa produksinya di tahun 2009, PT Permata DSU dan PT Sentra Usahatama Jaya meminpin pasar dengan pangsa 20% dan pemain utama lainnya yaitu PT Jawamanis Rafinasi dan PT Angels Products yang masingmasing pangsa produksinya 15% dan 16%.
106
3. Strategi Gula dapat secara langsung dikonsumsi dalam campuran minuman atau membuat aneka makanan. Sebagian besar di Indonesia gula masih dijual dalam bentuk komoditas. Namun, ada beberapa produsen yang mencoba meningkatkan nilai tambah komoditas gula menjadi produk gula yang memiliki merek. Sebagai contoh Sugar Group mengeluarkan produk gula kemasan bermerek Gulaku. Sugar Group mendapatkan nilai tambah lebih tinggi daripada produsen gula lainnya dengan memproduksi gula kemasan yang kualitasnya tentu saja lebih baik daripada komoditas gula tanpa kemasan. Menurut Pakpahan (2005), petani sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk melakukan hal serupa dengan Sugar Group karena setiap tahunnya tidak kurang dari 600.000 ton gula menjadi milik petani. Kalau saja 25 persen dari jumlah tersebut dijual dalam bentuk kemasan tentu akan memberi manfaat yang besar. Namun, potensi tersebut mengalami kendala pada mutu gula petani yang dihasilkan oleh PG BUMN. Mutu gula yang dihasilkan tidak konsisten dari satu musim giling ke musim giling berikutnya, terkadang putih di musim ini tetapi kuning di musim berikutnya. Sejak diberlakukannnya Inpres Tahun 1975 tentang TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi), kedudukan PTPN di atas para petani. Pada waktu itu nilai tawar (bargaining position) petani sangat rendah karena petani hanya berperan pasif dan mau tidak mau harus mengikuti sistem yang telah ada meskipun itu merugikan. Monopoli BULOG juga membuat petani tidak bisa mandiri, bahkan PTPN pun juga demikian. Pada tahun 1998 Inpres tersebut dicabut dan BULOG tidak lagi memonopoli perdagangan gula di Indonesia. Karena petani secara langsung dihadapkan kepada mekanisme pasar, banyak oknum-oknum yang mencari keuntungan dari kebingungan petani menghadapi sistem baru ini. Setelah tahun 2000, para petani tebu secara keseluruhan sepakat untuk menjual gulanya secara bersama-sama agar seluruh petani menikmati harga gula yang sama dan untuk menghilangkan celah bagi oknum untuk memainkan harga gula. Pada tahun 2001 APTRI mencetuskan sistem Dana Talangan dan Jaminan Harga Minimal. Dana talangan membantu petani mendapatkan dana lebih awal
107
untuk mengolah lahannya. Sedangkan Jaminan Harga Minimal menjamin petani untuk mendapatkan jaminan harga agar tidak rugi ketika harga turun. Produsen gula atau PG-PG di Indonesia sebagian besar tidak melakukan promosi untuk meningkatkan konsumsi akan gula. Hal ini dikarenakan, tanpa promosi pun permintaan gula yang ada belum bisa dipenuhi seluruhnya oleh produsen dalam negeri. Promosi dilakukan ketika akan dilakukan pelelangan baik gula PG maupun petani. Adanya website Perusahaan Gula juga membantu mempromosikan gula yang dihasilkan dari pengolahan tebu. Gula yang dihasilkan oleh PG baik itu milik petani atau PG dapat dijual dengan dua sistem, yaitu sistem lelang dan sistem jual bebas. Sedangkan dalam sistem jual bebas terdapat lima saluran distribusi dimana lembaga tataniaga yang terlibat di dalamnya antara lain, Petani tebu, pengumpul/tengkulak/ bakul/mediator, padagang besar/grosir/agen, pedagang kecil/pengecer/retail, dan konsumen baik konsumen rumah tangga maupun konsumen industri.
6.2.5 Peran Pemerintah Peran pemerintah terhadap pengembangan agribisnis gula sangat besar dibuktikan dengan banyaknya kebijakan-kebijakan yang baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan agribisnis gula di Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input dan produksi, distribusi, dan kebijakan harga. Sejalan dengan kebijakan-kebijakan di atas, dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri pemerintah menggulirkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional 2002-2007. Di samping itu untuk menyikapi ketidakadilan pasar dan perdagangan internasional, pemerintah juga menerapkan kebijakan proteksi dan promosi secara simultan. Kebijakan promosi yang telah diterapkan antara lain berupa subsidi bunga dalam kredit KKP-TR sekitar Rp 900 milyar, subsidi pupuk sebesar Rp 1,3 triliun untuk berbagai komoditas termasuk tebu, dukungan prasarana pengairan sebesar Rp 4,5 triliun, dukungan permodalan bagi koperasi tebu untuk pembongkaran ratoon, pembangunan kebun bibit, dan dukungan dana untuk penyehatan lembaga penelitian dan pengembangan. Dalam rangka untuk
108
meningkatkan kepastian berusaha serta meningkatkan dayasaing produksi dalam negeri, tim tarif nasional melakukan harmonisasi tarif tahun 2005-2010 untuk produk-produk dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga sudah mengeluarkan kebijakan pembatasan impor yang hanya dilakukan oleh importir produsen untuk mengatur keseimbangan stok antara gula lokal dengan gula impor. Namun, efektifitas kebijakan pembatasan gula impor tersebut masih harus dipertanyakan mengingat banyaknya kasus penyelundupan dan manipulasi dokumen impor gula. 6.2.6. Peran Kesempatan Peran kesempatan adalah faktor yang ada di luar kendali para stakeholder industri. Dalam konteks industri gula Indonesia, terdapat kesempatan yang dapat dimanfaatkan sebagai modal untuk industri gula Indonesia bersaing dengan gula impor secara kompetitif pada pasar domestik atau memenuhi kebutuhan dalam negeri. kesempatan tersebut adalah kondisi pasa yang makin mengarah kepada pasar dunia yang kompetitif dan proyeksi krisis energi yang dalam jangka panjang tidak dapat dihindari menjadi kesempatan industri gula di Indonesia berkembang. Pasar gula dunia akan semakin kompetitif sebagai akibat distorsi pasar gula dunia akan semakin menurun pada masa mendatang. Selain itu, krisis energi (kenaikan harga BBM) merupakan kecenderungan jangka panjang yang tidak dapat diabaikan karena BBM merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Jika sebagian besar negara produsen gula menggunakan tebu sebagai bahan bakar, maka tebu yang akan digiling menjadi gula akan berkurang dan harga gula dalam jangka panjang akan semakin meningkat, khususnya untuk gula kristal putih. Harga gula dunia dilihat dari tahun 2008 hingga 2010 mengalami kenaikan dua kali lipat. Pada tahun 2008, harga gula dunia yang mengacu pada harga pasar london mencapai rata-rata per bulannya adalah US$ 300an per ton dengan fluktuasi terendah pada US$ 314 per ton dan tertinggi adalah US$397,15 per ton. Kemudian pada tahun 2009, harga gula dunia di pasar london mulai merangkak naik ke angka US$ 400an per ton pada bulan april dan pada penutup tahun yaitu bulan desember, harga gula dunia di pasar london mencapai US$ 656,79 per ton. Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan harga yang lebih dari dua kali lipat pada penghujung tahun 2008 ke penghujung tahun 2009.
109
Pada tahun 2010, harga dunia melonjak pada awal tahun di bulan januari di angka US$ 733,43per ton dan pada sepanjang tahun tersebut harga dunia mengalami fluktuasi yang begitu tajam karena bergerak pada selang US$ 400an per ton hingga US$ 700an per ton. Pada bulan desember tahun 2010, harga gula dunia ditutup pada angka US$ 769,33 per ton. Dilihat dari data tersebut bahwa pasar gula dunia semakin menggeliat dan dapat memacu kesempatan industri gula Indonesia untuk tumbuh karena harga yang semakin naik akan menarik para stakeholder untuk sama-sama ikut andil dalam pasar gula tersebut nantinya. 6.4 Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System Tahapan setelah menganalisis komponen-komponen pada Porter’s diamond system adalah menganalisis keterkaitan antar komponen utama pada Porter’s diamond system. Adapun penjelasan dari keterkaitan antar komponen utama pada Berlian Porter ini didasarkan pada in depth interviews yang dilakukan dengan Peneliti PRIDE dan merujuk kepada penelitian dari Cahyani (2008) adalah sebagai berikut: 1) Persaingan, struktur, dan strategi dengan kondisi faktor sumberdaya Keterkaitan antar komponen utama yang saling mendukung dapat dilihat pada komponen persaingan, struktur, dan strategi dengan kondisi faktor sumberdaya industri gula. Hal ini dikarenakan strategi yang dilakukan oleh komponen dalam industri mengoptimalkan kondisi faktor sumberdaya yang ada, dalam hal ini adalah sumberdaya manusia, dimana pihak APTRI sebagai satuan wadah aspirasi petani tebu yang mencetuskan sistem dana talangan dan jaminan harga minimal pada tahun 2001 yang membuat kondisi sumberdaya manusia yang ada di dalam industri tidak lantas meninggalkan industri akibat kondisi sumberdaya alam yang belum mendukung. Tapi malah mendorong untuk menarik banyak petani tebu untuk mau kembali ke dalam industri gula. Seperti kita ketahui bahwa minat para petani tebu menurun sejak adanya Inpres No. 5/1998 yang menghentikan program pengembangan tebu rakyat dengan alasan untuk membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No.12 Tahun 1996. Hal ini dikarenakan harga yang tidak menarik bagi petani sehingga mereka mengonversi lahan tebunya menjadi lahan tanaman pangan atau tanaman yang lebih menguntungkan. Dengan adanya sistem tersebut, 110
diharapkan para petani non tebu dapat mau menanam tebu karena adanya dana talangan dan juga jaminan harga minimal. Selain menarik sumebrdaya manusia di luar industri, juga menjaga agar sumberdaya manusia yang ada di dalam industri tidak melakukan konversi tanaman tebu ke tanaman lainnya. Karena kita ketahui, bahwa sumberdaya manusia sangat penting dalam hal pengembangan industri, khususnya sumberdaya manusia yang berada di on farm. Selain itu, strategi yang dilakukan untuk mengoptimalkan kondisi faktor sumberdaya oleh persaingan dan struktur industri adalah adanya sistem tataniaga yang terbagi menjadi dua yaitu sistem lelang dan sistem jual bebas. Hal ini memang belum berjalan optimal dalam hal melindungi petani dari kejatuhan harga gula akibat masuknya gula rafinasi ke pasar. Namun dengan strategi ini telah dapat menekan efek dari penyimpangan para spekulan gula rafinasi di pasar kebutuhan rumah tangga. Kemudian, dukungan kondisi faktor sumberdaya untuk peningkatan kinerja persaingan, struktur, dan strategi industri adalah sumberdaya alam seperti luas lahan yang meningkat 7,66 persen pada tahun 2011 dan sumberdaya manusia yang juga meningkat seiring dengan semakin besarnya areal lahan tebu, sehingga dapat memudahkan implementasi strategi pengembangan industri. 2) Kondisi faktor sumberdaya dengan industri terkait dan industri pendukung Keterkaitan tidak saling mendukung dapat dilihat dari kondisi faktor sumberdaya dengan industri terkait dan industri pendukung, dimana kondisi sumberdaya yang ada belum dapat mendorong industri terkait dan industri pendukung kompetitif. Hal ini dilihat dari belum terasanya efek langsung dari peningkatan sumberdaya lahan, adanya bantuan modal yang merupakan sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur yang belum memadai walau sudah berjalan program akselerasi gula nasional. Kondisi industri terkait dan industri pendukung yang masih belum memenuhi kebutuhan domestik dan berdayasaing dengan produk industri luar negeri, seperti Thailand. Kemudian, industri
terkait
dan
industri
pendukung
juga
belum
secara
optimal
mendayagunakan sumberdaya yang ada seperti pemanfaatan produk turunan sebagai pupuk yang nantinya dapat menjadi input bagi tebu.
111
3) Kondisi permintaan dengan industri terkait dan industri pendukung Keterkaitan yang tidak saling mendukung juga terjadi pada kondisi permintaan dengan industri terkait dan industri pendukung, dimana kondisi permintaan yang excess demand belum dapat dimanfaatkan industri terkait dan industri pendukung untuk melakukan peningkatan produksi gulanya. Adapun yang ada adalah semakin banyaknya gula impor yang memenuhi pasar domestik dari tahun ke tahun. 4) Industri terkait dan industri pendukung dengan Persaingan, struktur, dan strategi Keterkaitan yang tidak saling mendukung juga terjadi pada industri tekrait dan industri pendukung dengan persaingan, struktur, dan strategi, dimana industri terkait dan industri pendukung belum dapat berdayasaing akibat adanya perbedaan strategi yang dilakukan oleh industri yang berasal dari swasta dan industri yang berasal dari BUMN. Pada industri pengolahan yaitu pabrik gula, PG yang berasal dari swasta cenderung memiliki strategi yang lebih siap dan baik. Ini terlihat bahwa PG swasta lebih efisien sehingga biaya pengolahan yang dikeluarkan lebih rendah dan keuntungannya lebih tinggi. Hal tersebut membuat PG swasta dapat melakukan strategi diferensiasi produk yang notabenenya meningkatkan nilai tambah produk, seperti membuat kemasan untuk produk gula atau promosi di media massa. Hal ini membuat PG dari BUMN sulit untuk bersaing diakibatkan belum efisiennya pabrik dan revitalisasi pabrik belum berjalan sempurna. Berbeda dengan PG swasta yang pabriknya sudah menerapkan mekanisasi, sehingga biaya pengolahan PG BUMN masih relatif tinggi dan imbasnya PG BUMN belum dapat membuat nilai tambah pada produknya. Selain itu pada industri pengolahan makanan dan minuman masih mendapatkan bahan bakunya dari gula impor sehingga ada stigma negatif bahwa pasokan gula impor untuk indutri pengolahan makanan dan minuman itu banyak yang bocor ke pasar rumah tangga. Hal ini membuat gula lokal yang notabenenya adalah produk asli dalam negeri menjadi sulit bersaing karena harga gula impor yang lebih murah dan kualitasnya yang lebih baik. Kesulitan bersaing itu membuat bargaining position industri gula lokal menjadi menurun dari segi dayasaingnya.
112
5) Kondisi permintaan dengan persaingan, struktur, dan strategi Kondisi permintaan dengan persaingan, stuktur dan strategi memiliki keterkaitan yang tidak saling mendukung. Hal ini disebabkan karena tren konsumsi gula dalam negeri yang meningkat akan berpengaruh positif terhadap kondisi permintaan namun hal ini justru mengakibatkan Indonesia terus mengimpor gula dari negara lain, seperti Thailand. Selain itu, strategi yang telah dilakukan belum mampu meningkatkan produksi gula setara pemenuhan kebutuhan domestik dan mendorong permintaan domestik kepada gula lokal. Kondisi tersebut telah mengakibatkan gula lokal bersaing dengan gula impor dan sulit memperoleh pasar. 6) Kondisi faktor sumberdaya dengan kondisi permintaan Kondisi faktor sumberdaya dengan kondisi permintaan memiliki keterkaitan yang tidak saling mendukung. Hal ini dikarenakan faktor sumberdaya belum mampu memenuhi permintaan domestik. Begitu pula sebaliknya, kondisi permintaan yang semakin meningkat tidak mendukung adanya faktor sumberdaya karena meskipun permintaan domestik semakin meningkat, namun permintaan tersebut merupakan permintaan terhadap gula impor dan bukan terhadap gula lokal. Hal ini dikarenakan gula impor memiliki harga dan kualitas yang lebih baik dari gula lokal. Tabel 33. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System No.
Komponen A
Komponen B
Keterkaitan Antar Komponen Saling mendukung
1
Persaingan, Kondisi faktor struktur, dan sumberdaya strategi
2
Kondisi faktor sumberdaya
Industri terkait Tidak saling dan industri mendukung pendukung
3
Kondisi permintaan
Industri terkait Tidak saling dan industri mendukung pendukung
Keterangan Strategi pada industri digunakan untuk meningkatkan kinerja kondisi faktor sumberdayanya. Kondisi faktor sumberdaya belum dapat membuat industri terkait dan pendukung berjalan kompetitif. Kondisi permintaan yang tinggi belum dapat membuat industri terkait dan industri pendukung berjalan kompetitif .
113
Lanjutan Tabel 33. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System No. 4
Komponen A
Keterkaitan Antar Komponen Industri terkait Persaingan, Tidak saling dan industri struktur, dan mendukung pendukung strategi
5
Kondisi permintaan
6
Kondisi sumberdaya
Komponen B
Persaingan, struktur, dan strategi Kondisi permintaan
Tidak saling mendukung Tidak saling mendukung
Keterangan Strategi yang ada belum dapat meningkatkan industri terkait dan pendukung. Strategi yang digunakan belum dapat mememnuhi kebutuhan domestik Kondisi sumberdaya yang belum dapat memenuhi kebutuhan domestik
6.5. Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen Utama Selain terdapat keterkaitan antar komponen utama, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga terdapat keterkaitan antar komponen penunjang dengan komponen utama. Adapun penjelasan dari keterkaitan antar komponen penunjang dengan komponen utama pada Berlian Porter ini didasarkan pada in depth interviews yang dilakukan dengan Peneliti PRIDE dan merujuk kepada penelitian dari Cahyani (2008) adalah sebagai berikut: 1) Peranan pemerintah dengan semua komponen utama Peran pemerintah sangat mendukung setiap komponen dayasaing industri gula di Indonesia melalui kebijakan dan program-program yang telah dilakukan. Bentuk dukungan pemerintah terhadap kondisi faktor sumberdaya yaitu melalui program-program pengembangan dan percepatan industri gula nasional dan kebijakan yang kerap dikeluarkan terkait on farm dan tataniaga gula selama ini. Adapun kebijakan nyata yang berkembang adalah kebijakan swasembada gula yang diterjemahkan dalam program akselerasi gula, dimana program ini mendorong produksi gula agar dapat memnuhi kebutuhan domestik dengan perluasan lahan areal tebu, revitalisasi pabrik dan pembangunan pabrik baru, dengan fokus pembangunan di luar pulau jawa. Bantuan kredit untuk petani tebu melalui kredit KKP-TR dan KKP-PE juga dilakukan untuk mendorong minat petani dalam menanam tebu agar bahan baku gula dapat meningkat dan diharapkan produksi gula juga ikut meningkat. Pemerintah juga berperan dalam
114
hal mengusahakan temuan-temuan baru dalam industri gula, dengan mendorong P3GI dan Balitbang pertanian untuk menghasilkan varietas-varietas baru yang unggul. Selain itu peran pemerintah juga mendukung industri terkait dan pendukung. Dalam industri pemasok bahan baku, peran pemerintah sebagai penyaluran dan regulator untuk mendistribusikan benih melalui P3GI yang akan disalurkan ke petani dengan bantuan pabrik gula, khusunys pabrik gula di bawah naungan PTPTN. Dalam industri pengolahan, peran pemerintah sebagai pendorong agar pabrik gula BUMN untuk bekerja lebih efisien dan meningkatkan produksinya
dengan cara
memberikan
bantuan revitalisasi
pabrik
dan
pembangunan pabrik baru yang termasuk dalam program akselerasi gula nasional. Dalam industri tataniaga, pemerintah berperan langsung dalam regulasi atau kebijakan pengaturan tataniaga gula yang adil dan melindungi konsumen, petani tebu, serta pabrik gula agar tidak mengalami kerugian dari kegiatan tataniaga gula yang ada. Kondisi permintaan yang diperkirakan akan semakin meningkat tersebut mendorong pemerintah untuk mewujudkan program swasembada gula agar Indonesia tidak tergantung pada gula impor. Dukungan pemerintah juga diberikan pada komponen persaingan, struktur, dan strategi yaitu dengan menetapkan harga patokan agar harga yang fluktuatif tidak merugikan produsen. Serta pemerintah juga menjadi regulator dari persaingan dan struktur industri gula dengan memisahkan antara produsen gula kristal putih dan produsen gula kristal rafinasi agar tidak terjadi kekacauan dalam kegiatan produksinya. 2) Peranan kesempatan dengan semua komponen utama Dari hasil analisis komponen Porter’s Diamond dapat diketahui bahwa komponen penunjang hanya memiliki keterkaitan dengan industri terkait dan industri pendukung, serta persaingan, struktur, dan strategi yang ada dalam industri. Keterkaitan tersebut terlihat dari peran kesempatan yang diwujudkan dalam tren bioethanol yang berbahan baku gula dan harga gula dunia yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perkembangan tren energi dunia ke energi yang terbarui membuat gula diambil sebagai bahan dasar dalam pembuatan bioethanol, hal ini membuat nilai tambah dari komoditas gula menjadi lebih
115
tinggi. Perkembangan tersebut membuka peluang industri pendukung yang ada di dalam negeri untuk dapat memanfaatkannya dengan membangun industri hilir di bidang biethanol. Adapun efek apabila industri pendukung komoditas gula yaitu industri bioethanol dapat membantu menyelesaikan masalah energi di Indonesia. Adanya fakta bahwa harga gula dunia yang semakin meningkat membuat pabrik gula di dalam industri meningkatkan efisiensinya agar dapat mendapatkan profit yang lebih besar. Serta, tingginya harga gula dunia dari tahun ke tahun dapat menarik minat petani tebu untuk meningkatkan produksinya. Adapun hasil analisis keterkaitan komponen penunjang dengan komponen utama, seperti kondisi faktor sumberdaya dan kondisi permintaan belum memiliki keterkaitan dengan komponen peran kesempatan. Pada Gambar 7, akan terlihat bagaimana keterkaitan antar komponen dayasaing industri gula Indonesia. Dari gambar tersebut terlihat bahwa sebagian besar antar komponen inti dayasaing pada industri gula Indonesia tidak saling mendukung. Keterkaitan antar komponen yang tidak saling mendukung lebih dominan dalam penelitian ini. Hal ini berarti bahwa dayasaing industri gula Indonesia masih lemah. Namun adanya peran pemerintah dan kesempatan dapat mendorong upaya peningkatan dayasaing industri gula. Tabel 54. No. 1
Keterkaitan Komponen Penunjang dengan Komponen Utama dalam Porter’s Diamond System
Komponen Penunjang Peran pemerintah
Komponen Utama Kondisi faktor sumberdaya Industri terkait dan industri pendukung
Keterkaitan Antar Komponen Mendukung
Kondisi Permintaan
Mendukung
Persaingan, struktur, dan strategi
Mendukung
Mendukung
Keterangan Pembiayaan bagi kegiatan usahatani tebu dan perluasan lahan. Pemerintah mendukung industri terkait dan pendukung melalui kebijakan dan program akselerasi gula nasional Upaya untuk mewujudkan swasembada gula agar memnuhi kebutuhan domestik Pemerintah mendukung persaingan, struktur, dan strategi dengan mengeluarkan kebijakan harga dan tataniaga
116
Lanjutan Tabel 54. Keterkaitan Komponen Penunjang dengan Komponen Utama dalam Porter’s Diamond System No. 2
Komponen Penunjang Peran kesempatan
Komponen Utama Kondisi faktor sumberdaya
Keterkaitan Komponen Tidak terkait
Industri terkait dan industri pendukung
Mendukung
Kondisi permintaan
Tidak terkait
Persaingan, struktur, dan strategi
Mendukung
Antar Keterangan Peran kesempatan belum memiliki kaitan dengan kondisi faktor sumberdaya Berkembangnya isu bioethanol membuat industri pendukung yang ada dapat memanfaatkan kesempatan dalam pengembangannya di dalam negeri Peran kesempatan belum memiliki kaitannya dengan kondisi permintaan Kesempatan harga gula dunia yang semakin meningkat membuat pabrik gula di dalam industri meningkatkan efisiensinya agar dapat mendapatkan profit yang lebih besar
117
Peran Kesempatan
Persaingan, Struktur, dan Strategi Perusahan
Kondisi Permintaan Domestik
Kondisi Faktor Sumberdaya
Industri Pendukung dan Terkait
Peran Pemerintah
Gambar 7.
Keterkaitan Antar Komponen Porter`s Diamond System
Keterangan:
Garis (
), menunjukkan keterkaitan antar komponen utama yang
saling mendukung
118
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1.
Dari matriks perbandingan berpasangan didapatkan berdasarkan lima komponen pembanding bahwa wilayah Jawa Timur menepati posisi pertama dengan diikuti oleh Lampung di posisi kedua. Kemudian, Gorontalo dan Sulawesi Selatan menempati dua posisi terbawah dalam peringkat berdasar lima komponen pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Lampung saat ini menjadi wilayah pesaing dari Jawa Timur dalam menopang produksi guladi Indonesia dikarenakan kinerja pabrik gulanya yang dikelola oleh swasta dan efisien secara teknis dan ekonomis. Wilayah Jawa Timur masih menjadiprodusen terbesar pada industri gula dikarenakan memiliki pabrikpabrik yang lebih banyak dari pabrik-pabrik di wilayah lain, walau masih kalah kinerjanya dibandingkan pabrik gula swasta yang ada di wilayah Lampung. Sedangkan pada dua posisi terbawah terdapat Gorontalo dan Sulawesi Selatan yang menjadi wilayah baru pengembangan industri gula di Indonesia. Posisi yang didapatkan oleh dua wilayah tersebut dapat dimaklumi karena dua wilayah tersebut masih dalam proses pengembangan, disamping pabrik gula yang ada di sana masih jauh jumlah dan kinerjanya dibandingkan pabrik-pabrik yang ada di Jawa dan Sumatera yang notabenenya sudah lama berdiri.
2.
Dari tiap komponen dayasaing industri gula di Indonesia, terdapat keterkaitan antar komponen yang saling mendukung dan tidak saling mendukung. Keterkaitan yang tidak saling mendukung lebih dominan dalam penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa industri gula di Indonesia memiliki dayasaing yang masih lemah.
119
7.2 Saran Adapun saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini antara lain: 1.
Perlu adanya komitmen dari seluruh stake holder industri gula untuk meningkatkan
dayasaing
industri
gula
untuk
mencapai
sasaran
swasembada gula berdayasaing. Konsistensi kebijakan pemerintah akan sangat membantu perkembangan industri gula di Indonesia. 2.
Penelitian selanjutnya mengenai industri gula Indonesia, adapun kebijakan industri gula di Indonesia dapat dihitung pengaruhnya terhadap minat petani tebu dan komitmen pabrik dalam kaitanna pencapaian program swasembada gula 2014.
120
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian. 2009. Prospek dan arah pengembangan agribisnis tebu. Jakarta: Departemen Pertanian. Badan Pusat Statistika. 2011. Data Strategis. Badan Pusat Statistik. Jakarta Badan Pusat Statistika. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Utama SosialEkonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Departemen Pertanian. Jakarta. Bakrie, F. dan A. Susmiadi. 1999. Prospek pergulaan nasional ditinjau dari perspektif internasional. Gula Indonesia, Ikatan Ahli Gula Indonesia XXIV(2): 35−41. Cahyani, Utari Evy. 2008. Analisis Dayasaing dan Srtategi Pengembangan Agribisnis Gula Indonesia [Skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. David FR. 2006. Management Strategies. Ed ke-10. Budi IS, penerjemah. Jakarta: Salemba Empat. Terjemahan dari: Strategies Management. Dewan Gula Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan Diskusi Reformasi Gula Indonesia, Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Dewan Gula Indonesia. 2000. Pabrik Gula Indonesia. Laporan Intern, Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Dewan Gula Indonesia. 2012. Agribisnis Gula Indonesia. Laporan Intern, Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2000. Statistik Perkebunan: Gula. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Ginandjar, Gina. 2011. Kebijakan Gula Rafinasi dalam Pembangunan Industri Gula Nasional [Disertasi]. Bandung: Program Studi Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran. Mubyarto dan Dayanti. 1991. Gula: Kajian sosial ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media. Meryana E. 2007. Analisis Dayasaing Kopi Robusta Indonesia di Pasar
121
Internasional [skripsi]. Bogor : Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Pakpahan, A. 2000. Membangun Kembali Industri Gula Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press. Purwanti, Eko Bambang. 2006. Analisis peramalan konsumsi dan produksi gula serta implikasinya terhadap pencapaian swasembada gula di Indonesia [skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Simatupang, P., A. Rachman, dan L. Pelitasari. 1999. Gula dalam kebijakan pangan nasional: Analisis historis. hlm. 481−546. Dalam A.H. Sawit, P. Suharno, dan A. Rachman (Ed.). Ekonomi Gula Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Soentoro, V. Indiarto, dan A.M.S. Ali. 1999. Usaha tani dan tebu rakyat intensifikasi di Jawa. hlm. 69−130. Dalam A.H. Sawit, P. Suharno, dan A. Rachman (Ed.). Ekonomi Gula Indonesia, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Soelistiyo. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula terhadap Realokasi Sumber Daya, Produksi Pangan, dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Susila, Wayan R. dan Sinaga, Bonaga M. 2005. Pengembangan industri gula \ Indonesia yang kompetitif pada situasi persaingan yang adil. Jurnal Litbang Pertanian. Bogor. Susila, Wayan R. 2005.Pengembangan industri gula Indonesia: Analisis kebijakan dari keterpaduan sistem produksi [disertasi]. Bogor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Susmiadi, A. 1998. Krisis Moneter dan Pengaruhnya terhadap Industri Gula Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Krisis Moneter dan Langkah Antisipatif Penanggulangan Dampak Kekeringan pada Produksi Gula. Pasuruan, 10 Desember
1998.
Tarsono. 2006. Analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing industri gula: Kasus industri gula di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
122
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tjokrodirdjo, H.S., L.M. Syafein, dan B. Subroto. 1999. Industri gula di luar Jawa. hlm.
131−206. Dalam A.H. Sawit, P. Suharno, dan A. Rachman
(Ed.).Ekonomi Gula Indonesia,
Pusat
Penelitian
Sosial
Ekonomi
Pertanian, Bogor. Widyastutik. 2005. Mungkinkah Indonesia mencapai swasembada gula secara berkelanjutan? [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Wiryastuti. 2002. Strategi peningkatan dayasaing industri gula di Jawa [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
123