ANALISIS STRUKTUR DAN KINERJA INDUSTRI GULA INDONESIA : PERIODE 1982-2011
MARIA MONTESORI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Struktur dan Kinerja Industri Gula di Indonesia: Periode 1982-2011 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum dianjurkan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cifta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor Bogor, Juli 2014 Maria Montesori NIM H451100081
RINGKASAN MARIA MONTESORI. Analisis Struktur dan Kinerja Industri Gula Indonesia: Periode 1982-2011. Dibimbing oleh RATNA WINANDI, dan ANDRIYONO KILAT ADHI. Sub sektor perkebunan merupakan salah satu agroindustri yang paling mampu bertahan selama krisis ekonomi, di tahun 2009 hanya sub sektor perkebunan yang bernilai plus, sedangkan sektor lain bernilai minus (BPPP 2011). Dekade terakhir kinerja industri gula belum terlihat membaik, terdapat gap antara produksi dan konsumsi gula nasional, sehingga impor selalu menjadi konsekuensi dari gap yang terjadi, sementara itu struktur industri gula yang terindikasi tidak kompetitif menyebabkan turunnya daya saing industri dan kinerja industri (GAPPMI 2010). Sehingga dibutuhkan upaya yang integratif agar industri ini kembali kompetitif. Penelitian ini menganalisis bagaimana variabel-variabel independen seperti concentration ratio empat perusahaan besar (CR4), concentration ratio delapan perusahaan besar (CR8), dan keterbukaan pasar/pasar bebas (OPEN) yang merupakan variabel-variabel struktur pasar, serta variabel efisiensi industri (Xeff), rasio input tenaga kerja atau unit labour cost (ULC), dan rasio input bahan baku atau unit material cost (UMC) yang merupakan variabel-variabel kinerja pasar, mempengaruhi variabel dependen yakni keuntungan industri atau price cost-margin (PCM) merupakan variabel kinerja pasar. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pada taraf nyata 15%, hanya variabel X-eff dan CR8 berkorelasi positif terhadap PCM, yakni mampu meningkatkan PCM sebesar 0.091% dan 0.08%. Sedangkan variabel lain seperti CR4, ULC, dan UMC berkorelasi negatif terhadap PCM, yakni mampu menurunkan PCM dengan masing-masing sebesar 0.10%, Rp 337.329 ribu , dan Rp 12.835 ribu. Sementara itu variabel OPEN tidak signifikan terhadap PCM. Industri gula Indonesia periode 1982-2011, memiliki rata-rata konsentrasi rasio CR4 sebesar 32.46%, dan rata-rata konsentrasi delapan perusahaan besar (CR8) sebesar 51.41%, menurut klasifikasi Shepherd (1992), struktur pasar termasuk oligopoli kuat, sedangkan menurut Baye (2010) struktur pasar termasuk pasar weak oligopsony market structure. Industri gula periode 1982-2011, memiliki rata-rata PCM industri gula putih 57.62 %. Nilai PCM terendah bernilai negatif yaitu sebesar -18.20 % pada tahun 1991, sedangkan PCM tertinggi mencapai 147.21 % pada tahun 2011. Berdasarkan nilai rata-rata, , margin keuntungan yang diperoleh rata-rata masih tinggi. Artinya untuk berinvestasi di sektor industri ini masih menguntungkan karena masih memiliki return yang tinggi. Implikasi kebijakan yang diambil pemerintah terkait kebijakan mendorong peningkatan efisiensi industri gula, disertai dengan kebijakan yang saling mendukung tentang kebijakan pasar, produksi, tenaga kerja dan bahan baku industri. Kata kunci: SCP, konsentrasi rasio, efisiensi, industri gula
SUMMARY MARIA MONTESORI. Analysis of Structure and Performance of Indonesian Sugar Industry: The period from 1982 to 2011. Supervised by RATNA WINANDI, and Andriyono KILATADHI. Plantation sub-sector is one of the most agro-industry can survive during the economic crisis, in 2009 only estates valued sub-sectors plus, while the other sector is minus (BPPP 2011). The last decade has not been shown to improve the performance of the sugar industry, there is a gap between national production and consumption of sugar, so it imports has always been a consequence of the gap, while the structure of the sugar industry which indicated uncompetitive cause a decline in the competitiveness of the industry and the performance of the industry (GAPPMI 2010). So it takes an integrative effort to make this industry competitive again. This study analyzes how the independent variables such as the ratio Concentratión four large companies (CR4), eight large companies Concentratión ratio (CR8), and the openness of the market / free trade (OPEN) which is a market structure variables, as well as the efficiency of the industries (X-eff), the ratio of labor input or unit labor cost (ULC), and the ratio of raw material inputs or material unit cost (UMC), which is the market performance variables, which affect the dependent variable industry profits or price-cost margins (PCM) is a variable market performance. Research results showed that the 15% significance level, only the variable X-eff and CR8 positively correlated to the PCM, the PCM increase by 0.091% and 0.08%. While other variables such as CR4, ULC, UMC and negatively correlated to the PCM, the PCM can decrease respectively by 0.10%, 337.329 thousand rupias and 12.835 thousand rupias. Meanwhile OPEN variable is not significant to the PCM. Indonesian sugar industry 1982-2011 period, had an average concentration ratio CR4 at 32.46%, and the average concentration of eight large companies (CR8) amounted to 51.41%, according to the classification of Shepherd (1992), including an strong oligopoly market structure, while according to Baye (2010) market structure including weak oligopsony market structure. The sugar industry 1982-2011 period, had an average PCM 57.62%. The lowest of PCM negative value that is equal to -18.20% in 1991, while the highest PCM reached 147.21% in 2011 Based on the average value, profit margins earned on average is still high. That is to invest in the industrial sector is still beneficial because it still has a high return. Implications of measures taken by relevant government policies encouraging increased efficiency of the sugar industry, coupled with policies that are supportive of policy markets, production, labor and raw materials industries. Keywords: SCP, the concentration ratio, the efficiency, the sugar industry
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindung Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya unutk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS STRUKTUR DAN KINERJA INDUSTRI GULA INDONESIA: PERIODE 1982-2011
MARIA MONTESORI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi Penguji Program Studi
: Dr Ir Suharno, MAdev : Dr Ir Amzul Rifin
Judul Tesis Nama NIM
: Analisis Struktur dan Kinerja Industri gula Indonesia: Periode 1982- 2011 : Maria Montesori : H451100081
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Ratna Winandi, MS Ketua
Dr Ir Andriyono Kilat Adhi, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitiaan ini adalah “Analisa Struktur dan Kinerja Industri Gula di Indonesia: Periode 1982-2011”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Andriyono Kilat Adhi, MSc selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya untuk seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Agribisnis. Selanjutnya terima kasih penulis ucapkan kepada Badan Pusat Statistik yang telah memberikan bantuan dalam pengumpulan data. Serta atas dorongan dan motivasi Ketua Program Studi Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS dan Dr Ir Suharno, MAdev, berserta staf Departemen Agribisnis. Juga Dr Ir Amzul Rifin, sebagai dosen penguji. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada suami Ma’ruf Terrence Allison, PHd, kedua orangtua Ibunda Nursaniah dan Ayahanda M Iksan, serta Adinda drh Murniati, serta kakak-kakak yang selama ini telah memberikan dukungan semangat, materi, do’a dan kasih sayang kepada penulis, dan selanjutnya kepada semua teman-teman mahasiswa pascasarjanan IPB, khususnya Program Studi Agribisnis atas dukungan dan semangatnya. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penyelesaian tesis ini meskipun namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga hasil penelitian ini berguna dan memberikan kontribusi bagi semua pihak terutama pemerintah dan kalangan akademisi. Bogor, Agustus 2014
Maria Montesori
ix
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Structure, Conduct, Performance (SCP) Struktur Pasar dan Pengukurannya Kinerja Pasar Konsep Keuntungan Rasio Biaya Input Unit labor Cost (ULC) dan Unit Material Cost (UMC) Konsep Efisiensi Karakteristik Produk Klasifikasi Gula di Indonesia Gula Kristal Putih Perkembangan Produksi Tebu di Indonesia Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia Perkembangan Impor Gula di Indonesia Perkembangan Harga Gula di Indonesia Struktur Industri Gula di Indonesia Struktur Industri Gula Kristal Putih Pusat dan Jalur Distribusi Gula di Indonesia Kebijakan Industri Gula di Indonesia Penelitian Terdahulu 3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Structure-Conduct-Performance (SCP) Konsep Structure-Performance (SP) Struktur Pasar Kinerja Pasar Kerangka Pemikiran Operasional 4 METODE PENELITIAN Ruang Lingkup Penelitian Jenis dan Sumber Data Teknik Pengolahan dan Analisa Data Analisis Struktur Industri Analisis Rasio Konsentrasi (Concentration Ratio) Analisis Kinerja Industri Analisis Price cost—margin (PCM) Analisis Efisiensi Rasio Unit Labour Cost (ULC) dan Unit Material Cost (UMC) Analisis Hubungan Struktur dan Kinerja
ix x xi 1 1 4 6 6 7 7 7 9 12 14 15 15 15 16 16 16 17 17 19 20 20 21 23 27 28 28 28 30 31 31 32 33 33 33 33 34 34 35 35 35 35 35
x
Perumusan Model Hipotesis Analisis Time Series (Runtun Waktu) Analisis Regresi Uji Statistika dan Ekonometrika 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Industri Gula Indonesia Tahun 1982-2011 Analisis Struktur Industri Analisis Kinerja Industri Hubungan Struktur dan Kinerja Industri Gula Indonesia Implikasi Kebijakan 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
36 37 37 38 39 42 42 44 45 45 48 49 49 49 50 53 60
DAFTAR TABEL 1 Regim kebijakan dan dampaknya terhadap impor dan kinerja pergulaan nasional 2 Karakteristik suatu pasar 3 Perkembangan produksi tebu Indonesia (Ton) tahun 2010-2012 4 Perkembangan impor gula Indonesia tahun 2010-2012 5 Negara pemasok gula impor Indonesia 6 Alokasi impor gula kristal putih wewenang bulog 7 Serapan gula oleh lini distribusi 8 Kebijakan Industri gula Indonesia regim stabilisasi 9 Regim kebijakan dan dampaknya terhadap impor dan kinerja pergulaan nasional 10 Kebijakan industri gula Indonesia regim liberalisasi 11Kebijakan industri gula Indonesia regim terkendali 12 Hasil estimasi dengan model ordinary least square (Least Square Model) struktur dan kinerja gula di Indonesia tahun 1982-2011
2 10 16 18 19 19 21 24 24 25 26
46
DAFTAR GAMBAR 1 Perkembangan produksi konsumsi dan impor gula Indonesia Tahun 2005-2012 2 Perbandingan harga bulanan gula domestik tahun 2009-2012 3 Pengaruh struktur pasar yang tidak kompetitif terhadap terhadap harga 4 Hubungan kekuatan pasar dengan kemampuan memaksimumkan keuntungan maksimum
3
5 13
xi
5 Kondisi MR=MC untuk memperoleh laba maksimum 6 Negara pengimpor gula di dunia dan volume impor gula 7 Komposisi produksi gula kristal putih Indonesia tahun 2009 8 Pusat distribusi gula di Indonesia 9 Jalur distribusi gula kristal putih di Indonesia 10 Hubungan struktur, perilaku dan kinerja berdasarkan konsep SCP 11 Kerangka pemikiran operasional 12 Perkembangan nilai input, nilai output dan nilai tambah industri gula Indonesia periode 1982-2011 13 Perkembangan biaya input industri gula Indonesia periode 1982-2011 14 Perkembangan perusahaan besar dan sedang industri gula Indonesia Periode 1982-2011
14 18 20 21 23 30 31 42 43 43
DAFTAR LAMPIRAN 1 Unit labour Cost (ULC) industri gula Indonesia tahun 1982-2011(Rupiah) 53 2 Unit material cost (UMC) industri gula Indonesia tahun 1982-2011(Rupiah) 54 3 Price cost margin (PCM) industri gula Indonesia tahun 1982-2011(Rupiah) 55 4 Tingkat efisiensi (X-eff) industri gula Indonesia tahun 1982-2011(Rupiah) 56 5 Output hasil etimasi OLS 57 6 Matriks korelasi variabel eksogen yang terdapat pada model analisis PCM 57 6 Data mentah total nilai input, total nilai otput, nilai tambah, total upah tenaga kerja, nilai input tenaga kerja, nilai input bahan baku, PCM, X-eff, ULC, dan UMC industri gula besar dan sedang tahun 1982-2011 58 7 Data mentah output empat perusahaan terbesar, delapan perusahaam terbesar, nilai CR4, dan CR8 industri gula besar dan sedang tahun 1982-2011 59
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor industri merupakan leader-sector bagi sektor-sektor lain dalam kemajuan ekonomi di Indonesia. Produk-produk industri menciptakan nilai tambah yang lebih dibandingkan produk-produk sektor lain. Hal ini karena sektor industri memiliki variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marjinal yang tinggi kepada konsumennya (BPS 2011). Sektor Pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam perekonomian, dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar sekitar 14.44% pada tahun 2012 atau urutan kedua setelah sektor industri pengolahan (BPS 2012). Subsektor perkebunan memiliki potensinya yang cukup besar, meskipun kontribusi terhadap PDB belum begitu besar yaitu sekitar 1.94 persen pada tahun 2012 (urutan ketiga di sektor pertanian setelah sub sektor tanaman bahan makanan dan perikanan) akan tetapi sub sektor ini merupakan penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerap tenaga kerja, dan penghasil devisa (BPS 2012). Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor pertanian yang paling mampu bertahan selama krisis ekonomi, di tahun 2009 subsektor perkebunan memberikan kontribusi positif (US$ 19.967.000) pada neraca perdagangan, sedangkan subsektor lain bernilai minus (BPPP 2011). Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian. Dengan luas areal sekitar 450 ribu hektar pada tahun 2012, industri yang berbahan baku tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi ribuan petani tebu dan pekerja di industri gula. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat dan kalori yang relatif murah (BPS 2012). Peningkatan konsumsi gula di Indonesia dari tahun ke tahun memberikan peluang luas bagi peningkatan kapasitas produksi pabrik gula. Selain itu dari jumlah produksi gula di dalam negeri saat ini dirasakan belum mampu memenuhi kebutuhan gula (BPS 2012). Kebutuhan nasional hanya dapat dipenuhi sekitar 55% oleh industri gula, sedangkan 45% sisanya dipenuhi dengan mengimpor gula dari negara lain (Sudradjat 2010). Secara historis industri gula Indonesia mengalami pasang-surut, dalam menyikapi hal ini berbagai kebijakan dilakukan pemerintah untuk menghadapi situasi tersebut. Menurut Susila WR (2005), terdapat tiga periode kebijakan gula yang diterapkan di Indonesia (Lihat Tabel 1.1), kebijakan tersebut terdiri dari kebijakan stabilisasi, kebijakan liberalisasi, dan kebijakan terkendali.
2 Tabel 1 Regim kebijakan dan dampaknya terhadap impor dan kinerja pergulaan nasional Regim Stabilisasi Liberalisasi Terkendali
Stabilisasi Liberalisasi Terkendali
Periode
Pertumbuhan (%) Konsumsi Impor 4.2 17.5 -0.6 2.4 1.5 -5.2
1984-1996 1997-2001 2002-2004
Produksi 1.0 -5.8 8.1
1984-1996 1997-2001 2002-2004
Volume Rata-rata (Juta Ton) Produksi Konsumsi Impor 2 207 2 573 0 312 1 718 3 060 1 519 2 034 2 800 0 762
Sumber: Susila (2005) Berdasarkan Tabel 1, setiap kebijakan yang diterapkan memiliki dampak yang berbeda terhadap kinerja gula nasional. Pada periode stabilisasi produksi nasional mengalami peningkatan dengan laju 1.0%, dan impor bersifat residual. Adapun pada periode liberalisasi ditandai dengan dibukanya pasar impor Indonesia secara dramatis, dimana impor gula dilakukan dengan tarif impor 0% dan pelaku dilakukan oleh perusahaan importir. Akibatnya, impor gula meningkat yang puncaknya sebesar 1.73 juta ton pada tahun 1998, serta terjadi penurunan produksi nasional sebesar 5.8% pada periode ini.Sedangkan pada periode terkendali yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen dan importir terdaftar, kebijakan ini mampu mendorong produksi dengan peningkatan sebesar 8.1% dan impor turun sebesar 5.2%. Berdasarkan Tabel 1, meskipun pada periode terkendali industri gula nasional menunjukkan peningkatan, namun secara umum pada dekade terakhir kinerjanya mengalami penurunan, baik dari sisi produksi maupun tingkat efisiensi (Sudradjat 2010), sedangkan proporsi impor gula nasional masih bersifat residual dan masih menjadi kendala dalam industri. Besarnya proporsi impor diakibatkan oleh adanya kecenderungan penurunan produksi nasional yang tidak seimbang dengan kenaikan konsumsi domestik (baik rumah tangga maupun industri) terus mengalami peningkatan. (Sudradjat 2010). Menurut BPS (2012), berdasarkan perkembangan produksi, konsumsi, dan impor gula Indonesia (Lihat Gambar 1), terdapat gap antara produksi dan konsumsi gula nasional, dari 2005-2012 (lihat Gambar 1), dimana produksi nasional Produksi gula nasional berfluktuatif dengan variasi yang kecil, hal ini tidak sebanding dengan konsumsi dan impor yang justru cenderung meningkat sepanjang tahun. Pada tahun 2010 mencapai 2.29 juta ton dan turun 1.95 persen pada tahun 2011 menjadi 2.24 juta ton. Pada tahun 2012 produksi mengalami peningkatan sebesar 15.87% atau menjadi 2.60 juta ton.
3
Gambar 1 Perkembangan produksi konsumsi dan impor gula Indonesia Tahun 2005-2012(Sumber : BPS 2012). Kondisi struktur gula nasional yang tercermin dari harga gula domestik juga masih fluktuatif dan cenderung meningkat. Berdasarkan Gambar 2, jika dibanding pada Juni 2012 dengan Juni 2011, terjadi peningkatan harga sebesar 20.2%. Begitu juga pada Juni 2012 dengan Juni 2010, peningkatan terjadi sebesar 25.3%. Sedangkan harga bulan Juni 2012 dengan Juni 2009 terjadi peningkatan sebesar 45.9% (Disperindag 2012). Berdasarkan keterangan di atas, fluktuasi harga domestik erat kaitannya dengan perubahan struktural dan peran kebijakan. Ketidaksiapan struktural dan pengaruh perubahan kebijakan berimplikasi terhadap harga gula domestik dan tingkat ketergantungan impor gula di masa mendatang (Kemenperin 2013).
Gambar 2 Perbandingan harga bulanan gula domestik Tahun 2009-2012 (Sumber: Disperindag 2012) Menurut Sudradjat (2010), Struktur pasar gula Indonesia bersifat oligopolistik. Dimana dalam setiap lelang gula yang dilakukan oleh Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) atau PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) hanya beberapa pedagang yang terlibat, kondisi ini menggambarkan
4 bahwa hanya beberapa produsen saja sebagai penentu harga di pasar. Pada tahun 2009 hanya ada 4 perusahaan yang memimpin pasar dan berikut, PT Permata Dunia Sukses Utama dan PT Sentra Usahatama sebesar 20%, PT Angels Product 16%, serta PT Jawamanis 15% (GAPPMI 2010).
Perumusan Masalah Industri gula masih menjadi sektor yang potensial untuk dikembangkan, dengan tingkat efisiensi yang masih belum memadai serta pasar yang terdistorsi, revitalisasi pada industri gula perlu melakukan berbagai perubahan dan penyesuaian guna meningkatkan produktivitas, dan efisiensi, sehingga menjadi industri yang kompetitif, mempunyai nilai tambah yang tinggi (BPPP 2007). Gula merupakan salah satu kebutuhan primer yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Peningkatan jumlah penduduk, pendapatan dan perkembangan industri makanan dan minuman mengakibatkan permintaan gula meningkat dari waktu ke waktu. Sementara ketersediaan yang berasal dari produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan, hal ini menjadi daya tarik impor gula baik yang legal maupun yang ilegal. Kondisi ini menghantarkan industri gula menghadapi banyak persoalan, diantaranya yang paling menonjol dalam hal kinerja (gap produksi, konsumsi dan impor nasional) serta dalam hal struktur industri (persaingan, distorsi pasar, serta fluktuasi dan trend kenaikan harga domestik). Dekade terakhir kinerja industri belum terlihat membaik, terdapat gap antara produksi dan konsumsi gula nasional, sehingga impor selalu menjadi konsekuensi dari gap yang terjadi, sementara itu struktur industri gula yang terindikasi tidak kompetitif menyebabkan turunnya daya saing industri dan kinerja industri (GAPPMI 2010). Sehingga dibutuhkan upaya yang integratif agar industri ini kembali kompetitif. Berdasarkan keterangan di atas, industri gula penting untuk diteliti, terutama terkait struktur dan kinerjanya, dikarenakan upaya mengembalikan kejayaan industri gula tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai organisasi industri, dimana industri merupakan bagian dari disiplin ekonomi mikro yang khusus mengkaji tentang perusahaan, pasar, dan interaksi antara keduanya. Banyak paradigma yang berkembang untuk menjelaskan interaksi tersebut, diantaranya yang paling poluler adalah konsep Structure-ConductPerformance (SCP). Paradigma SCP pertama kali dikenalkan oleh Edward S. Mason (1939) yang kemudian dikembangkan oleh oleh Joe S. Bain (1941). Perspektif dalam SCP adalah bahwa struktur industri mempengaruhi perilaku pelaku usaha, dan selanjutnya interaksi antara struktur pasar dan perilaku pengusaha akan berdampak pada kinerja industry (Baye 2010). Adapun menurut model Carlton dan Perloff (2000), struktur, perilaku dan kinerja merupakan hubungan yang bersifat simultan. Sehingga konsep struktur industri juga bisa digunakan untuk mengetahui kinerja. Dalam struktur pasar terdapat tiga elemen pokok yaitu pangsa pasar (market share),
5 konsentrasi (concentration), dan hambatan (barriers of entry). Pangsa pasar merupakan tujuan perusahaan, peranannya adalah sebagai sumber keuntungan bagi perusahaan. Sedangkan konsentrasi merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopolis dimana terdapat adanya saling ketergantungan diantara perusahaan-perusahaan tersebut. Kombinasi pangsa pasar perusahaan-perusaaan tersebut membentuk suatu tingkat konsentrasi dalam pasar (Wihana Kirana 2001). Menurut Church dan Ware (2000), ada beberapa cara mengamati kaitan antara struktur, perilaku dan kinerja. Pertama; hanya memperhatikan secara mendalam dua aspek, yaitu kaitan antara struktur dan kinerja industri, sedangkan aspek perilaku kurang ditekankan. Kedua; pengamatan kinerja dan perilaku, dan kemudian dikaitkan lagi dengan struktur. Ketiga; menelaah kaitan struktur terhadap perilaku dan kemudian diamati kinerjanya. Keempat; kinerja tidak perlu diamati lagi, oleh karena telah dijawab dari hubungan struktur dan perilakunya. Dalam penelitian ini akan digunakan cara yang pertama. Dengan kata lain lebih menekankan aspek struktur dan kinerja industri gula. Sedangkan pertanyaan penting dalam penelitian tentang apakah struktur industri mempengaruhi kinerja dengan menggunakan metode rasio konsentrasi. Metode rasio konsentrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah CR-4 (concentration ratio-4) dan CR-8 (concentration ratio-8). Secara teoritis, pasar yang tidak kompetitif karena adanya perilaku oligopoli dapat menyebabkan kenaikan harga gula di atas harga pasar (P2 > P1) (lihat Gambar 3), meningkatnya suplus produsen dan berkurangnya surplus konsumen. Kondisi ini berimplikasi pada struktur industri gula menjadi tidak kompetitif dan terjadinya inefisiensi teknis (P2 > AC > MC) dan inefisiensi alokatif (Q2 < Q1). Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, apalagi mengingat industri gula sebagai industri yang strategis dan sekaligus komoditas yang protektif. Sehingga kajian bagaimana struktur terhadap kinerja menjadi perlu untuk dilakukan.
MC AC P2
P1
D
Q2
Q1
MR
Gambar 3 Pengaruh struktur pasar oligopoli terhadap terhadap harga
6 Berdasarkan Gambar 3, ketidaksempurnaan struktur pasar produk mempengaruhi kinerjanya, di antara yang paling penting adalah efek pada penetapan harga perusahaan. Pasar produk yang tidak kompetitif menyebabkan perusahaan melakukan strategi harga (mark- up) atas biaya marjinal mereka dan melakukan praktik monopoli. Jika praktik ini bertahan dari waktu ke waktu dan menyebabkan hambatan kompetisi, maka harga lebih tinggi bisa terjadi pada kondisi yang seharusnya harga output bisa lebih rendah. Tindakan kebijakan mungkin bertujuan untuk mendorong persaingan yang lebih kuat, untuk mengurangi praktik mark- up harga (Martin 1996). Oleh karena itu perlu juga menganalisis bagaimana implikasi hasil analisis penelitian ini dengan kebijakan industri terutama pada variabel-variabel yang diamati. Berdasarkan latar belakang dan uraian permasalahan di atas, maka perlu dilakukan suatu kajian sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi struktur dan kinerja industri gula di Indonesia. 2. Bagaimana keterkaitan hubungan antara struktur dan kinerja dalam Industri gula di Indonesia. 3. Bagaimana implikasi analisa terhadap kebijakan untuk mendorong kembalinya industri gula yang kompetitif. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan struktur struktur industri terhadap kinerja industri gula di Indonesia dan implikasinya terhadap kebijakan. Sedangkan secara spesifik tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi kondisi struktur dan kinerja industri gula di Indonesia. 2. Menganalisis hubungan antara struktur dan kinerja dalam Industri gula di Indonesia 3. Menganalisis implikasi kebijakan untuk mendorong kembalinya industri gula yang kompetitif
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi pemikiran dalam kajian industri gula. Kajian ini juga diharapkan memberi pemahaman yang lebih baik tentang perkembangan dan permasalahan industri gula dan kebijakan pemerintah terhadap industri gula di Indonesia. Selain itu diharapkan bisa menjabarkan ketahanan pangan dengan konteks yang lebih luas sistem pasar dan menggabungkan banyak unsur struktur dan kinerja, sehingga memungkinkan untuk lebih mengantisipasi respon pasar, lebih lengkap menentukan skenario yang relevan dan komprehensif sehingga dapat membantu mengarahkan waktu intervensi pemerintah, melengkapi dan mengubah skenario kebijakan.
7 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada industri gula gula pasir di Indonesia, dengan Kode ISIC (Internasional Standard of Industrial Classification) 31181dan 15421. Menitik beratkan kepada analisa keterkaitan struktur industri terhadap kinerja industri gula di Indonesia, serta bagaimana implikasi kebijakan guna mendorong kembalinya industri gula yang kompetitif.
8
2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Structure, Conduct, Performance (SCP) Industri dapat dikaji menggunakan pendekatan organisasi industri yang mencakup struktur (structure), perilaku (conduct), kinerja (performance). Aspek yang diterapkan dalam konsep SCP salah satunya dapat mengkaji struktur pasar dan kaitannya dengan kinerja perusahaan (Shepherd 1992). Struktur dan perilaku akan memengaruhi kinerja seperti yang ditunjukkan dalam harga pasar dan efisiensi dan tingkat inovasi. Industri didefinisikan sebagai kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen, atau barang-barang yang mempunyai sifat saling mengganti secara erat (Hasibuan 1994). Sedangkan secara mikro, industri didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah (Hasibuan 1993). Dalam arti luas industri adalah kumpulan perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang mempunyai elastisitas permintaan silang (cross elasticities of demand) yang positif dan tinggi. Mengkaji hubungan antara struktur dan kinerja industri, tidak bisa dilepaskan dengan teori organisasi industri, dikarenakan aspek ini bagian dari disiplin ilmu ekonomi mikro yang khusus mengkaji tentang perusahaan, pasar, dan interaksi antara keduanya. Konsep SCP adalah teori yang popular untuk menjelaskan interaksi antara struktur pasar dan kinerja industry. Konsep SCP pertama kali dikenalkan oleh Edward S. Mason (1939) yang kemudian dikembangkan oleh oleh Joe S. Bain (1941). Perspektif dalam SCP adalah bahwa struktur industri mempengaruhi perilaku pelaku usaha, dan selanjutnya interaksi antara struktur pasar dan perilaku pengusaha akan berdampak pada kinerja industri (Baye 2010). Kinerja suatu industri menunjukkan bagaimana pengaruh kekuatan pasar terhadap keuntungan, nilai dan efisiensi. Kinerja secara lebih rinci dapat dilihat dari tingkat keuntungan, nilai tambah dan efisiensi (Hasibuan 1994). Sedangkan menurut model Silvester (1993), dalam penelitian perilaku terhadap kinerja industri, hubungan ini dapat diukur dari nilai price cost-margin (PCM), yang dihitung melalui perbandingan antara nilai tambah dan upah dan nilai output total dalam industri. Berdasarkan keterangan tentang kinerja di atas, maka alam penelitian kinerja industri gula akan dianalisis dengan melibatkan variabel efisiensi, rasio input produksi, dan kondisi kekuatan pasar dengan variabel konsentrasi rasio industri dan variabel dummi keterbukaan pasar. Diharapkan beberapa variabel ini dapat menjelaskan kinerja industri gula lebih lengkap. Daryanto (2004) mengungkapkan yang dimaksud dengan kinerja adalah:1) Apakah perusahaan-perusahaan meningkatkan kesejahteraan ekonomi?; 2) Apakah mereka bekerja secara efisien, menghindari pemborosan faktor-faktor produksi yang langka sifatnya?; 3) Apakah alokasi faktor-faktor produksi telah efisien secara ekonomis?;4) Apakah
9 perusahaan-perusahaan secara efektif meningkatkan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi? Ada beberapa pertimbangan yang digunakan untuk menjadikan perusahaan tertentu mempunyai kinerja yang baik sebagai barometer harga. Pertama, jika terjadi persaingan yang kurang sehat dalam suatu industri oligopoli. Kedua, dapat mengurangi kerja administrasi, karena perhitungan ongkos-ongkos yang berulang-ulang. Ketiga, perusahaan yang menjadi barometer itu telah menunjukkan prestasi yang bagus, yang hampir tidak meleset ramalan-ramalannya (Hasibuan, 1994). Dalam kinerja pasar terdapat konsekuensi dan kekuatan pasar yaitu kemampuan perusahaanperusahaan untuk mempengaruhi harga produk-produk yang mereka jual kepada konsumen. Pada kenyataannya kekuatan pasar dapat mempengaruhi secara mencolok terhadap harga, keuntungan, dan nilai-nilai lainnya. Dalam kinerja juga memperhatikan pertumbuhan dan kemungkinan pengaruhpengaruh monopoli yang ditimbulkannya (Jaya 2001). Berdasarkan keterangan tentang kinerja di atas, maka dalam penelitian kinerja industry gula bisa melibatkan variabel efisiensi, rasio input produksi, dan kondisi kekuatan pasar dengan variabel rasio konsentrasi industri dan variabel keterbukaan pasar. Dengan harapan dapat menjelaskan kinerja industri gula lebih lengkap. Struktur Pasar dan Pengukurannya Struktur pasar merupakan kunci penting dari pola konsep konvensional dalam ekonomi industri. Menurut Shepherd (1992), struktur pasar terwujud dengan melihat ukuran distribusi perusahaan-perusahaan yang bersaing. Jika perusahaan semakin banyak jumlahnya maka dapat menurunkan pangsa pasarnya. Untuk memperluas pangsa pasar, suatu perusahaan menghadapi sejumlah rintangan. Setiap struktur pasar berada di antara pasar monopoli dan persaingan.Setiap perusahaan memiliki struktur pada masing-masing keadaan tertentu.
10 Tabel 2 Karakteristik suatu pasar berdasarkan pangsa pasar No
Tipe pasar
1
Natural Monopoli
2
Oligopoli ketat
3
4
5
6
Kondisi Utama
Hambatan Masuk
Efisiensi
Menguasai 100% pangsa pasar
Sangat Kurang baik tinggi
empat perusahaan yang tergabung dan memiliki pangsa pasar 60-100% persen, sehingga mudah menentukan kesepakatan harga relatif Perusahaan dominan Menguasai min 50-100% pangsa pasar tanpa pesaing kuat Oligopoli longgar Gabungan empat perusahaan yang menguasai pangsa pasar 40% Persaingan Banyak pesaing efektif monopolistic dan tidak satupun yang memiliki pangsa pasar bih dari 10% Persaingan murni Pesaing > dari 50 dan tidak ada satupun yang Memiliki pangsa pasar yang berarti.
Tinggi Kurang baik
Tinggi Kurang baik
Tinggi Kurang baik
Rendah
Cukup baik
Sangat rendah
Baik
Sumber: Shepherd (1992) Berdasarkan Tabel 2, karakteristik suatu pasar ditinjau dari tipe pasarnya, kondisi utama, hambatan masuk dan efisiensi pasar (Shepherd 1992). Karakteristik ini yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini untuk menentukan struktur industri gula yang diketahui dari besarnya konsentrasi industri gula. Dasar pengelompokkan berdasarkan pangsa pasar terbagi menjadi tujuh. Pertama; termasuk monopoli murni (natural monopoly), jika menguasai 100% pangsa pasar. Kedua; oligopoli penuh (tight oligopoly), jika empat perusahaan terbesar menguasai 60%, atau delapan perusahaan menguasai 99% pasar. Ketiga; termasuk perusahaan dominan, jika 4 empat perusahaan terbesar menguasai 72% pasar atau delapan perusahaan terbesar menguasai 88% pasar. Keempat; termasuk oligopoli longgar, jika 4 empat perusahaan terbesar menguasai 61% atau delapan perusahaan terbesar menguasai 77% pasar. Kelima; termasuk oligopsoni, jika 4 empat perusahaan terbesar menguasai 33% atau delapan perusahaan terbesar menguasai 45% pangsa pasar. Kelima; jika 4 empat perusahaan terbesar menguasai 32% pasar. Keenam; termasuk persaingan monopolistik, jika tidak satu pun yang memiliki pangsa pasar lebih dari 10 persen. Dan ketujuh; termasuk persaingan murni, jika lebih besar dari 50% dan tidak satu pun yang memiliki pangsa pasar yang berarti (Shepherd 1992) .Struktur ini mempengaruhi perilaku perusahaan. Struktur dan perilaku mempengaruhi kinerja pasar. Kinerja yang baik mencakup harga yang rendah dan efisien. Struktur pasar juga menggambarkan ukuran distribusi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi di suatu pasar yang
11 terdiri dari pangsa pasar dan tingkat konsentrasi. Struktur pasar juga dapat dilihat dari jumlah penjual dan pembeli dan entry condition. Hal utama dari struktur, perilaku dan kinerja adalah determinan-determinan yang membentuk struktur itu sendiri. Stuktur pasar didefinisikan sebagai kumpulan berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat kompetisi di pasar. Struktur pasar sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat penguasaan teknologi, elastisitas permintaan terhadap suatu produk, lokasi, ada atau tidaknya hambatan masuk pasar (entry barrier) ataupun keterbukaan pasar, tingkat efisiensi serta beberapa faktor lainnya. Jenis struktur pasar bervariasi, namun pada dasarnya secara ekstrim bisa dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu, pasar pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Yang termasuk kedalam pasar persainagn tidak sempurna adalah pasar monopoli, oligopoli, dan pasar persaingan monopolistik. Ukuran biasa digunakan untuk menjelaskan struktur pasar adalah rasio konsentarasi. Selain rasio konsentrasi, struktur pasar juga dapat diukur dengan variabel nilai tambah, rasio tenaga kerja dan bahan baku, modal yang dimiliki perusahaan atau lebih luas lagi dengan variabel aset perusahaan (Fitriani 2005). Perlu dipahami bahwa konsep struktur pasar bersifat dinamis, artinya struktur pasar yang tadinya mengarah ke persaingan sempurna, dapat saja berubah menjadi monopolistis karena adanya intervensi pemerintah atau aksi dari produsen. Kondisi struktur pasar selanjutnya akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam menentukan harga jual, promosi produk, juga dalam strategi interaksi dengan perusahaan lain. Terdapat dua jenis strategi interaksi antara pelaku usaha, yaitu (1) interaksi yang bersifat nonkooperatif, dimana strategi yang diambil akan menguntungkan dirinya sendiri atau bahkan merugikan pesaingnya, dan (2) interaksi yang bersifat kooperatif, dimana terjadi berbagai kesepakatan antara pelaku usaha dalam bentuk kartel dan kesepakatan harga. Pilihan strategi oleh pelaku usaha sangat penting karena akan berdampak pada penetapan harga. Interaksi antara struktur pasar dan perilaku perusahaan pada akhirnya akan melahirkan keputusan pelaku usaha dalam hal penetapan harga jual (Baye 2010). Ukuran biasa yang digunakan untuk menjelaskan struktur pasar adalah rasio konsentarasi. Selain rasio konsentrasi, struktur pasar juga dapat diukur dengan variabel nilai tambah, rasio tenaga kerja dan bahan baku, modal yang dimiliki perusahaan atau lebih luas lagi dengan variabel aset perusahaan (Fitriani 2005). Menurut Jaya (2001), konsentrasi adalah kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopolis dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan. Kombinasi pangsa pasar membentuk suatu tingkat pemusatan dalam pasar. Untuk menentukan konsentrasi suatu perusahaan dapat menggunakan metode rasio konsentrasi empat atau delapan perusahaan terbesar (CR4 dan CR8)) dan Indeks Hirschmann-Herfindahl (HHI). CR4 memerlukan ukuran pasar secara keseluruhan dan ukuran perusahaan yang memimpin pasar, sedangkan HHI merupakan penjualan kuadrat pangsa pasar semua perusahaan dalam suatu industri.
12 CR4 = (Total jumlah penjualan 4 perusahaan terbesar/Total Penjualan…………..(1) CR8 = (Total jumlah penjualan 8 perusahaan terbesar/Total Penjualan…………..(2)
Nilai yang dihasilkan antara 0-100. Semakin besar nilai CR4 maka pasar cenderung ke arah monopoli dan semakin kecil nilainya pasar cenderung ke arah persaingan sempurna. Sedangkan menurut Baye (2010) konsentrasi rasio merupakan ukuran seberapa jumlah output dalam sebuah industri yang diproduksi dari empat atau delapan perusahaan terbesar dalam sebuah industri. CR4 = (Q1+Q2+Q3+Q4)/QT Q1 = Output perusahaan 1 Q2 = Output perusahaan 2 Q3 = Output perusahaan 3 Q4 = Output perusahaan 4 Menurut Shepherd (1992) ada atau tidaknya hambatan masuk pasar (entry barrier) ataupun keterbukaan pasar juga mempengaruhi kinerja pasar dalam memperoleh keuntungan (meningkatkan PCM), sehingga dalam penelitian ini juga memasukkan variabel keterbukaan pasar (OPEN). Variabel ini diadopsi dari model Culha dan Yihan (2005), dimana OPEN dianggap variabel yang mempengaruhi kinerja pasar (PCM), adapun dalam penelitian ini, variabel OPEN merupakan variabel dummy, yang mengindikasikan keterbukaan pasar, dimana 0 adalah industri gula sebelum pasar bebas dan 1 adalah periode industri gula setelah pasar bebas. Kinerja Pasar Menurut Sudibiyo (2002) kinerja pasar merupakan hasil keputusan akhir yang diambil dalam hubungan dengan persaingan harga atau dalam perolehan margin/keuntungan. Kinerja pasar dapat digunakan untuk melihat sejauh mana pengaruh struktur pasar terhadap kemampuan perusahaan memperoleh keuntungan. Menurut Hasibuan (1992), kinerja industri adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri yang terdiri dari tingkat keuntungan, efisiensi dan nilai tambah. Perilaku produsen yang memaksiumkan keuntungan dalam industri dapat dilihat dari price-cost margin (PCM), yaitu persentase penerimaan kotor (sebelum pajak) terhadap penjualan (Fitriani 2005). Menurut Dahl dan Hammond (1977), kinerja pasar merupakan keadaan sebagai akibat dari struktur dan perilaku pasar yang kenyataan sehari-hari ditunjukkan dengan harga, biaya, dan volume produksi, yang pada akhirnya akan memberikan penilaian baik atau tidaknya kinerja perusahaan. Berdasarkan teori kekuatan pasar terdapat hubungan antara struktur pasar dengan perilaku harga, hubungan ini dapat diukur dari perolehan margin atau PCM perusahaan dalam industri, yang dalam beberapa model penelitian merupakan salah satu ukuran kinerja pasar. Menghitung PCM juga dapat diturunkan dari fungsi keuntungan, dikarenakan tidak memungkinkan tersedianya harga barang domestik untuk setiap barang industri KLBI. Maka variabel PCM didekati dari selisih antara
13 harga dan biaya yang dihitung dari nilai tambah dikurangi biaya tenaga kerja dibagi nilai output. Berdasarkan Culha dan Yihan (2005) variabel rasio biaya input merupakan variabel pelengkap dan berdasarkan ketersediaan data, maka model ini bisa diadopsi. Efisiensi digunakan untuk melihat perbandingan antara input yang dipakai dengan output yang dihasilkan. Efisiensi terdiri atas dua jenis, yaitu efisiensi internal dan efisensi alokatif. Berdasarkan teori kekuatan pasar terdapat hubungan antara struktur pasar dengan kinerjanya, hubungan ini dapat diukur dari perolehan margin perusahaan dalam industri yang merupakan salah satu ukuran kinerja pasar. MC
AC
MC P1
AC P2
D MR Q Q1
Q2
4a
4b
Gambar 4 Hubungan kekuatan pasar dengan kemampuan memaksimumkan keuntungan maksimum) (Sumber: Koch dalam Robiani 2002) Berdasarkan Gambar 4 a, terlihat bahwa P1 > AC > MC dan output perusahaan yang memaksimumkan keuntungan adalah Q1, pada kondisi struktur pasar monopolis. Sedangkan Pada Gambar 4 b, terlihat bahwa P2 = AC > MC dan output perusahaan yang memaksimumkan keuntungan adalah Q2, pada kondisi tidak ada kekuatan pasar karena P2 = AC atau struktur pasar kompetitif (Robiani 2002).
Konsep Keuntungan Teori yang digunakan dalam mengetahui kondisi keuntungan perusahaan adalah marginal cost pricing melalui maksimisasi biaya. Motivasi bagi produsen untuk melakukan kegiatan ekonomi adalah memperoleh keuntungan, yang merupakan kepentingan perusahaán individual/pribadi (self interest). Harga merupakan petunjuk yang sangat berguna dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang jumlahnya tertentu sehingga dapat di perkirakan apakah biaya produksi rata-rata masih memberikan keuntungan, baik keuntungan ekonomi (supernormal profit) atau keuntungan yang normal. Bila perusahaan memutuskan untuk menghasilkan output pada saat menghasilkan 1 unit output tambahan
14 akan menghasilkan MR yang lebih besar dari biaya yang harus dikeluarkan. Begitu juga jika MR<MC, biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi 1 unit barang terakhir lebih besar dari penerimaan yang akan diperoleh seandainya barang tersebut dijual (Nicholson ' 1994). .Perusahaan yang menginginkan laba maksimum akan mengambil keputusan secara marginal. Untuk memperoleh keuntungan yang maksimum perusahaan dalam kondisi dimana MR=MC (marginal revenue=marginal cost). MR = dR/dQ = dC/dQ = MC (lihat Gambar 5).
Gambar 5 Kondisi MR=MC untuk memperoleh laba maksimum (Sumber: Nicholson ' 1994) Adapun secara akuntansi, keuntungan adalah kelebihan penghasilan dari biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan. Secara matematika, hal ini dirumuskan menjadi (R-C); dimana R adalah penghasilan, sedangkan C adalah komponen ongkos pada satuan waktu tertentu. Menurut konsep ekonomi, keuntungan merupakan bagian nilai tambah atau pendapatan yang diciptakan oleh perusahaan (Robiani B 2002). Berdasarkan konsep pola keuntungan, kinerja dapat digambarkan melalui PCM (Price Cost Margin). Menghitung PCM juga dapat diturunkan dari fungsi keuntungan, dikarenakan tidak memungkinkan tersedianya harga barang domestik untuk setiap barang industri KLBI. Maka variabel PCM didekati dari selisih antara harga dan biaya yang dihitung dari nilai tambah dikurangi biaya tenaga kerja dibagi nilai output (Robiani 2002), secara matematis dapat di tulis: PCM = (Nilai tambah – Upah total)/Nilai Input) X 100%… …..(4) Dimana: NA : Nilai tambah UT : Upah Total TI : Total Input
15
Rasio Biaya Input Unit labor Cost (ULC) dan Unit Material Cost (UMC) Variabel rasio Unit labor Cost (ULC) dan Unit Material Cost (UMC) merupakan rasio antara input/biaya tenaga kerja dan biaya bahan baku per nilai output. Berdasarkan Culha dan Yihan (2005) variabel rasio biaya input merupakan variabel pelengkap dan berdasarkan ketersediaan data, maka model ini bisa diadopsi, dimana model tersebut dimodifikasi dari model berikut ini: PCM = f (CR4, ULC, UMC, OPEN….……(5)
Konsep Efisiensi Nilai output suatu industri pengolahan merupakan nilai keluaran yang dihasilkan dari proses kegiatan industri yang berupa barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, jasa industri, keuntungan jual beli, pertambahan stok barang setengah jadi dan penerimaan lain. Sedangkan biaya input adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses industri yang berupa bahan baku, bahan bakar, barang lainnya diluar bahan baku/bahan penolong, jasa industri, sewa gedung, dan biaya jasa non industri (Statistik Indonesia, 2009). Menurut Baye (2010) dan ketersediaan data, efisiensi dapat dihitung melalui pendekatan nilai tambah, sehingga dirumuskan: Nilai Tambah Efisiensi = X100% .......... (6) Nilai Output Menurut Badan Pusat Statistik (2000), efisiensi merupakan hasil dari biaya input yang dibagi dengan nilai output. Efisiensi ini digunakan untuk melihat perbandingan antara input yang dipakai dengan output yang dihasilkan. Efisiensi terdiri atas dua jenis, yaitu efisiensi internal dan efisensi alokatif. Efisiensi internal menunjukkan perusahaan dikelola dengan baik dan ada usaha maksimum dari dari para pekerja. Efisensi alokatif menggambarkan sumber daya ekonomi yang dialokasikan sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi perbaikan dalam berproduksi yang dapat menaikkan nilai dari output. Karakteristik Produk Tebu merupakan bahan baku industri gula. Dilihat dari aspek agronomis tebu merupakan tanaman perkebunan/industri berupa rumput tahunan. Tanaman ini merupakan komoditi penting karena di dalam batangnya terkandung 20% cairan gula. Tanaman ini diperkirakan berasal dari India, di Jawa Barat tebu dikenal dengan naman tiwu sejak 400 tahun yang lalu. Adapun klasifikasi tanaman tebu adalah sebagai berikut: Divisi Sub Divisi
: Spermatophyta : Angiospermae
16 Kelas Keluarga Genus Spesies
: : : :
Monocotyledonae Poaceae Saccharum Saccharum officinarum
Klasifikasi Gula di Indonesia Gula terdiri dari beberapa jenis berdasarkan standar ICUMSA (International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis). Semakin putih gula maka semakin kecil nilai ICUMSA dalam skala international unit (IU), berdasarkan standar tersebut gula dibedakan seperti berikut ini. Gula Kristal Putih Kementerian Perindustrian mengelompokkan gula kristal putih ini menjadi tiga bagian yaitu Gula kristal putih 1 dengan nilai ICUMSA 250, Gula kristal putih 2 dengan nilai ICUMSA 250-350 dan Gula kristal putih 3 dengan nilai ICUMSA 350-4507. Semakin tinggi nilai ICUMSA maka semakin coklat warna dari gula tersebut serta rasanya pun yang semakin manis. Gula tipe ini umumnya digunakan untuk rumah tangga dan diproduksi oleh pabrik-pabrik gula didekat perkebunan tebu dengan cara menggiling tebu dan melakukan proses pemutihan, yaitu dengan teknik sulfitasi. Perkembangan Produksi Tebu Indonesia Perkembangan produksi tebu di Indonesia selama tiga tahun terakhir terus mengalami penurunan. Tahun 2010 mencapai 2.29 juta ton dan turun 1.95 persen pada tahun 2011 menjadi 2.24 juta ton. Pada tahun 2012 produksi tebu mengalami peningkatan sebasar 15.87% atau menjadi 2.60 juta ton. Adapun komposisi produksi secara lengkap dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3 Perkembangan produksi tebu Indonesia tahun (Ton) 2010-2012 Tahun
2010 2011 2002
Perkebunan Rakyat (PR) 1.208.897 1.191.161 1.450.720
Perkebunan Besar Negara (PBN) 331.400 314.228 410.068
Perkebunan Besar Swasta (PBS) 748.438 621.280 739.564
Jumlah
2.288.735 2.126.669 2.600.352
Pertum buhan (%) -1.93 -7.08 15.86
Sumber : BPS (2012) Produksi tebu (setara gula) terbesar berasal dari propinsi jawa timur. Pada tahun 2012 produksi tebu jawa timur sebesar 1.24 juta ton atau sekitar 48.40% dari total produksi tebu Indonesia. Sementara itu propinsi lainnya yang juga merupakan penghasil tebu yang cukup besar yakni Lampung
17 sebesar 747.08 ribu ton (28.7%), Jawa Tengah sebesar 247.48 ribu ton (9.52 %), dan Jawa Barat sebesar 114.48 ribu ton (4.40%). Persentase produksi tebu yang diusahakan oleh perkebunan rakyat (PR) selama periode 2010-2012 yakni berkisar 52.82 – 57.23%, sedangkan perkebunan besar negara (PBN) berkisar 14.48-16.71%, dan untuk perkebunan besar swasta (PBS) berkisar 29.21-32.70%. Produksi tebu Indonesia tahun 2012 sebesar 2.60 juta ton yang berasal dari PR sebesar 1.45 juta ton (55.79%), PBN sebesar 0.41 juta ton (15.77%), dan PBS sebesar 0.74 juta ton (28.44%). Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia Berdasarkan Gambar 1, Gula pasir Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya. Di tahun 2012 konsumsi nasional sebesar 5.34 juta ton (BPS, 2012). Sebagai salah satu komoditas startegis di Indonesia. secara historis, kebutuhan gula per kapita relatif stagnan sekitar 12 kg per tahun sejak tahun 1990 dengan tren pertumbuhan yang meningkat pertambahan jumlah penduduk. Sebaliknya, perkembangan konsumsi gula industri dalam kurun waktu 1990-2007 cenderung berfluktuatif mengikuti perkembangan kinerja industri penggunanya. Pada periode krisis, konsumsi gula industri menurun secara signifikan hingga di bawah level konsumsi tahun 1990 sejalan dengan penurunan kinerja industripenggunannya. Namun demikian, sejak 2000 konsumsi gula industri mulai mengalami peningkatan hingga mencapai 1 juta ton di 2007. Diantara industri pengguna gula, industry minuman merupakan konsumen terbesar (7%), disusul oleh industri pengolahan susu (6%) dan industri roti dan biskuit (3%) (GAPPMI 2010). Perkembangan Impor Gula Indonesia Indonesia merupakan negara pengimpor gula terbesar kelima di dunia setelah Eropa Timur, Timur Tengah, Afrika, dan Uni Eropa (lihat Gambar 6) dengan volume lebih dari 2 juta ton per tahun.
18 Gambar 6 Negara pengimpor gula di dunia dan volume impor gula (Sumber: GAPPMI 2010) Secara historis, perkembangan impor gula sangat jelas dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Periode 1996-1998, impor gula mengalami peningkatan sangat tajam karena pemberlakuan tarif impor 0%, hilangnya hak monopoli impor Bulog sejak tahun 1998, sehingga jumlah importir tumbuh pesat dan harga gula dunia yang lebih rendah daripada biaya produksi dalam negeri. Selain mempengaruhi impor, kebijakan pemerintah juga berperan penting dalam stabilisasi harga gula di tingkat eceran. Sepanjang 1993-2007 perkembangan harga gula di tingkat konsumen cenderung stabil di bawah Rp 1000/kg. relatif stabilnya harga gula tidak terlepas dari peran Bulog sebagai stabilisator harga gula melalui penetapan harga jual gula di tingkat petani (harga provenue) yang didasarkan atas target harga eceran pemerintah, tingkat inflasi sebagai representasi biaya produksi dan transportasi, dan harga pupuk sebagai representasi biaya produksi. Sebaliknya, pada periode setelah krisis di mana Bulog sudah tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga di tingkat petani, tren harga di tingkat konsumen cenderung meningkat dengan tingkat volatilitas yang lebih tinggi mengikuti perkembangan pasar (GAPPMI 2010). Berdasarkan Tabel 4, Selama periode 2010-2012 impor gula tebu Indonesia memiliki pola yang cenderung meningkat. Pada tahun 2010 volume impor gula mencapai 1.38 juta ton (US$ 803 juta), pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 71.52% menjadi 2.37 juta ton dengan nilai sebesar US$ 1.64 miliar. Kemudian meningkat kembali di tahun 2012 menjadi 2.74 atau naik sekitar 15.71% dan mencapai nilai sebesar US$1.62 miliar. Tabel 4 Perkembangan impor gula Indonesia Tahun 2010-2012 Tahun 2010 2011 2012
Volume (Ton) 1 382 525 2 371 250 2 743 778
Nilai (000US$) 803 114 1 638 729 1 618 307
Pertmbuhan (%) 0.66 71.52 15.71
Sumber: BPS (2012) Tahun 2011 lima Negara terbesar yang menjadi pemasok gula Indonesia berturut-turut dengan volume dan persentase yaitu Thailand sebesar 1.09 juta ton atau sebesar 46.24%, Brazil sebesar 757 ribu ton atau 32.93%, Australia sebesar 315 ribu ton atau 13.27%, Guatemala sebesar 50 ribu ton atau 2.12%, dan India sebesar 49 ribu ton atau 2.06% seperti yang tertera dalam tabel berikut ini:
19 Tabel 5 Negara pemasok gula impor Indonesia No
Negara Asal Thailand 2 Brazil 3 Australia 4 Guatemala 5 India 6 Lain-lain Jumlah
Volume (ton) 1 096 392 757 220 314 584 50 350 48 750 103 954 3 371 250
Persentase Volume (%) 46.24 31.93 13.27 2.12 2.06 4.38 100.00
Sumber: BPS (2011) Selain itu Perum Bulog juga berperan dalam impor gula kristal putih sesuai dengan ijin impor yang diberikan oleh pemerintah cq. Kementrian Perdagangan RI. Pada tahun 2010 kuota impor yang diberikan kepada Perum Bulog sebanyak 50.000 ton dengan rincian sebagai berikut. Tabel 6 Alokasi impor gula kristal putih wewenang Bulog Pelabuhan Bongkar Tanjung Priok Panjang Boom Baru Pulai Bai Teluk Bayur Dumai
Tujuan/Lokasi
Kuantum (Ton)
DKI Jabar Lampung Sumatera Selatan Bengkulu Sumatera Barat Riau
7 000 21 000 5 000 5 000 2 000 5 000 5 000
Sumber: GAPPMI ( 2010) Perkembangan Harga Gula Indonesia Harga gula domestik selama tiga dekade terakhir cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnnya, pada tahun 2011 saja kenaikan harga gula domestic meningkat sebesar 20.2% (lihat Gambar 1.2). Perkembangan harga gula di tingkat eceran dipengaruhi harga pembelian pemerintah (HPP) tingkat petani. Namun demikian, pengaruh dari HPP terhadap harga eceran gula di tingkat konsumen relatif kurang dominan dibandingkan pengaruh harga impor terutama sejak 1998 ketika pemerintah menyerahkan pembentukan harga di tingkat petani pada mekanisme pasar, sehingga Bulog sudah tidak memiliki wewenang tunggal dalam pembelian gula petani. Kondisi tersebut diperburuk lagi dengan struktur pasar gula yang sejak 2002 hanya dikuasai oleh 8 perusahaan besar. Kedelapan perusahaan tersebut memiliki peran ganda sebagai pembeli gula di tingkat petani dan sebagai importir terdaftar. Dengan demikian, kedelapan perusahaan tersebut dapat menguasai pasokan dalam negeri baik yang berasal dari domestik maupun lokal dan imbasnya berpengaruh pula pada pembentukan harga gula di tingkat konsumen. Permasalahan gula lainnya adalah tidak ada perhitungan neraca gula yang akurat. Pada Desember 2009 diperkirakan ada shortage sebanyak 500 ton sehingga Bulog sebagai buffer kemudian membeli gula. Akan tetapi
20 kemudian harga gula menurun tiba-tiba pada Maret 2010 setelah sebelumnya sempat mencapai angka Rp.12.000/Kg (GAPPMI 2010). Struktur Industri Gula Indonesia Industri gula lokal pada awalnya hanyalah industri gula kristal putih. Sementara untuk gula rafinasi masih dilakukan impor. Akan tetapi sekitar tahun 2000-an, ketika harga raw sugar meningkat tajam, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembangunan pabrik gula rafinasi. Struktur Industri Gula Kristal Putih Industri gula kristal putih pada awalnya didominasi oleh BUMN, yaitu PTPN dan RNI. Jumlahnya mencapai hampir 10 perusahaan yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Dimana mulai dari produsen gula hingga distributor gula hanya dikuasai oleh beberapa pemain besar saja. Pasokan gula kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal dari enam pelaku usaha saja yakni PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, Gunung Madu dan Sugar Group Companies. Secara keseluruhan komposisi pasokan gula kristal putih dapat dilihat dalam Gambar 7 berikut.
Gambar 7 Komposisi produksi gula kristal putih Indonesia Tahun 2009 (Sumber: GAPPMI 2010) Berdasarkan komposisi di atas, PTPN X, PTPN XI dan sugar group merupakan tiga pemain utama yang masing-masing pangsa produksinya di tahun 2009 yaitu 18.72%, 15.64% dan 18.96%. Sugar group mampu menjadi leader dalam industri ini karena perusahaan tersebut merupakan satu-satunya perusahaan yang telah efisien dalam industri gula ini.
21 Struktur industri gula kristal putih dalam negeri pada saat musim giling pada umumnya bersifat oligopsoni sehingga produsen (petani tebu dan pabrik gula, PTPN/RNI) tidak menerima harga yang wajar. Sebaliknya di luar musim giling, struktur industri gula kristal putih bersifat oligopoli sehingga harga di tingkat konsumen relatif tinggi dan produsen tidak menikmati kenaikan harga tersebut. Hal ini disebabkan karena sebagian besar stok gula kristal putih dikuasai oleh hanya beberapa pedagang besar (Arifin 2008). Memecahkan persoalan tersebut dan dalam rangka memperkuat sinergi BUMN, pada tahun 2008 pemerintah menunjuk Perum Bulog menjadi agen pemasaran gula kristal putih milik PTPN/RNI, dengan pangsa pasar hanya sekitar 14%. Pemasaran yang dilakukan oleh Perum Bulog dinilai berhasil meningkatkan peran segmen pasar distributor tingkat 2 (D2) dan D3 yang sebelumnya didominasi oleh D1 Peran Bulog dinilai memberikan dua dampak positif yaitu efisiensi margin akibat rantai pemasaran yang lebih pendek serta distribusi margin yang lebih merata pada pelaku usaha, khususnya D2 dan D3 sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 7. Serapan gula oleh lini distribusi Pembeli (Distributor) D1 D2 D3 Total
Jumlah 12 10 94 126
% Jumlah 9.50 15.90 74.60 100
Volume (Ton) 204.600 169.550 128.613 502.763
% Volume 40.70 33.70 25.60 100
Sumber: GAPPMI (2010) Pusat dan Jalur Distribusi Gula di Indonesia Berdasarkan peta penyebaran (Gambar 8), distribusi gula Indonesia hanya terpusat di Jakarta dan Surabaya.
Gambar 8. Pusat distribusi gula di Indonesia (Sumber: GAPMI 2010) Dengan produsen utama yang berada di Lampung dan Surabaya, maka tidak heran jika pusat distribusi gula hanya berada di sekitar dua wilayah tersebut. Lampung dan Jakarta menjadi satu pusat distribusi sedangkan Surabaya dan Semarang menjadi satu untuk wilayah timur. Jalur distribusi antara gula kristal putih dan gula rafinasi berbeda. Secara lengkap jalur
22 distribusi gula kristal putih dapat dilihat pada Gambar 9. Sedangkan pembagian jalur distribusi sebagai berikut: 1. Produsen/Importir – Distributor – Sub distributor – Grosir – Retail Jalur ini merupakan jalur terpanjang dari rantai distribusi di industri gula Indonesia. Jalur ini bisa ditemui di daerah yang memang sangat jauh dari jangkauan pedagang utama gula, mereka akhirnya menggunakan jalur tradisional yang melibatkan lebih banyak pedagang dengan skala distribusi yang semakin kecil. Distributor utama sebagian besar keberadaanya dekat dengan produsen/gudang dimana gula diproduksi/diimpor. 2. Produsen/Importir – Distributor – Grosir – Retailer Kondisi distribusi dengan jalur seperti ini memiliki beberapa kemungkinan antara lain: 1. Rantai setelah distributor (sub distributor) secara ekonomis tidak lagi dibutuhkan. Artinya grosir dapat melakukan pembelian langsung ke distributor, tanpa melalui sub distributor yang justru menimbulkan inefisiensi. Misalnya karena jarak antara gudang distributor dengan grosir sangat dekat. 2. Sub distributor dimiliki langsung oleh distributor, sehingga dalam jalur distribusi tersebut keberadaan sub distributor menjadi seperti menyatu dengan distributor dan tidak tampak menjadi bagian dari distributor. 3. Produsen/Importir – Distributor – Retailer Jalur distribusi ini mereduksi peran sub distributor dan grosir. Hal ini memiliki dua kemungkinan: 1. Secara ekonomis ada keuntungan yang luar biasa bagi distributor ketika dapat menyalurkan langsung ke retailer. Hal ini dimungkinkan karena tidak ada lagi kendala ekonomis yang dihadapi oleh distributor untuk menyalurkan langsung ke retailer yang mampu membeli dengan skala sangat besar. Misalnya tidak ada kendala terkait dengan angkutan dan biaya transportasi lainnya. 2. Dalam pola yang lebih maju seperti yang dilakukan oleh Garuda Panca Arta (Lampung) yang mendistribusikan produk Gulaku, maka tidak ada hambatan berarti untuk langsung mendistribusikan produknya tersebut ke retailer. Dalam hal ini perusahaan industri gula mendirikan anak perusahaan yang bergerak di distribusi gula. 4. Produsen – Retailer Model seperti ini juga dilakukan oleh beberapa PTPN tetapi dalam skala yang sangat kecil, biasanya dilakukan pendistribusian ke beberapa koperasi pesantren di provinsi Jawa Timur yang selama ini menjadi lumbung gula Indonesia. Dari koperasi inilah para anggotanya kemudian mengkonsumsi langsung gula.
23
Gambar 9 Jalur Distribusi Gula Kristal Putih di Indonesia (Sumber: GAPMI 2010) Kebijakan Industri Gula di Indonesia Gula merupakan komoditi yang harganya dikontrol oleh pemerintah sehingga harga yang terjadi sangat tergantung pada kebijakan gula yang ada. Bagian ini akan menjabarkan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam industri gula. Kebijakan pergulaan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga regim yaitu (i) periode stabilisasi (1971-1996); (ii) perdagangan bebas/liberalisasi (1997-2001); dan (iii) pengendalian impor (2002sekarang) (DGI 2005). Periode regim stabilisasi ditandai oleh berbagai kebijakan pemerintah untuk mendorong produksi dalam negeri, stabilitas persediaan dan harga di pasar domestik (Gambar 8). Pada periode ini, kebijakan yang diterapkan pemerintah sangat intensif baik pada sisi produksi, distribusi, dan harga. Sebagai langkah awal, pemerintah mengeleluarkan Keppres No. 43/1971 yang pada dasarnya memberi wewenang kepada Bulog untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir. Surat Keputusan ini menandai era dimulainya peran Bulog sebagai lembaga stabilisator.
24
Tabel 8 Kebijakan industri gula Indonesia regim stabilisasi Regim Kebijakan Suportif dan Stabilisasi
Nomor SK/Keppres/Kepmen Keppres No. 43/1971, 14 Juli1971
Perihal Pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula
Surat mensekneg No. B.136/ABN SEKNEG/33/74, 27 Maret 1974 Inpres No. 9/1975, 22 April 1975
Penguasaan, pengawasan, dan penyaluran gula pasir non PNP
Kepmen Perdagangan dan koperasi No. 122/kp/III/81, 12 Maret 1981 Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987
Tataniaga gula pasir dalam negeri
Intensifikasi tebu (TRI)
Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor
Tujuan Menjaga stabilitas gula sebagai bahan pokok Penjelasan mengenai Keppres No. 43/1971 yang meliputi gula PNP Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuian pendapatan petani dan pabrik
Sumber: Susila (2005) Pada periode stabilisasi ini, secara umum kinerja industri gula Indonesia menunjukkan stabilitas dan kemajuan yang gradual. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju 2.2% per tahun, dengan rata-rata luas areal mencapai 381.341 ribu ha. Pada akhir periode ini (1997), areal tebu nasional mencapai 386.878 ribu ha. Produksi juga mengalami peningkatan dengan laju 1.0% per tahun, dengan rata-rata produksi mencapai 2.207 juta ton dengan produksi nasional pada akhiri periode ini mencapai 2.191 juta ton. Tabel 9 Periode kebijakan dan dampaknya terhadap impor dan kinerja pergulaan nasional Periode
Tahun
Pertumbuhan (%) Konsumsi Impor 1.0 4.2 17.5 -5.8 -0.6 2.4 8.1 1.5 -5.32 Volume Rata-rata (Juta Ton) Produksi Konsumsi Impor 2.207 2.573 0.312 1.719 3.060 1.519 2.034 2.800 0.762 Produksi
Stabilisasi Liberalisasi Terkendali
1984-1996 1997-2001 2002-2004
Stabilisasi Liberalisasi Terkendali
1984-1996 1997-2001 2002-2004
Sumber: Susila 2005) Karena periode ini adalah periode stabilisasi, maka impor menjadi bersifat residual. Bulog sebagai lembaga yang mengelola impor gula menjadikan impor sebagai selisih antara konsumsi dengan produksi domestik. Karena bersifat residual, maka volume impor cenderung fluktuatif pada periode tersebut. Pada periode 1984-1991, impor cenderung meningkat. Kemudian menurun mencapai titik terendah pada tahun 1994 dimana impor gula hanya 15 ribu ton. Pada posisi ini, Indonesia sudah dapat
25 mengklaim mencapai swasembada gula. Akhir periode stabilisasi ditandai oleh meningkatnya kembali impor. Tabel 10 Kebijakan industri gula Indonesia regim liberalisasi Regim Kebijakan
Nomor SK/Keppres/Kepmen
Liberalisasi
Inpres No. 5/1997, 29 Desember 1997 Inpres No. 5/1998, 21 Januari 1998 Kepmen perindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 Kepmenhutbun No. 282/KptsIX/1999, 7 Mei 1999 Kepmen Perindag No. 363/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999 Kepmen perindag No. 320/MPP/Kep/6/1999, 5 Juni 1999
Perihal
Tujuan
Program pengembangan tebu rakyat Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5 tahun 1997 Komoditas yang diatur tata niaga impornya Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani Tataniaga impor gula
Pemberian peranan pada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas Kebebasan kepada petani untuk memilih komoditas sesuai Inpres No. 12//1992 Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi Pengurangan anggaran pemerintah melalui impor gula oleh produsen
Kepmen Perindag No. 363/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999
Pembebanan tarif impor gula melindungi industri dalam negeri
untuk
Sumber: Susila (2005) Berdasarkan Tabel 10, pada periode perdagangan bebas/liberalisasi (1997-2002), pemerintah membuka pasar impor Indonesia secara dramatis. Dalam hal ini, pelaku impor dibebaskan, atau tidak dimonopoli oleh Bulog. Dengan argumen untuk peningkatan efisiensi ekonomi, pemerintah mengeluarkan Kepmenperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli pada Bulog untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk mengimpor gula. Era ini merupakan akhir dari peran Bulog sebagai lembaga yang memonopoli impor, sekaligus dimulainya era perdagangan bebas untuk gula di pasar Indonesia. Karena tidak ada tarif impor pada periode ini, maka impor gula dilakukan dengan tarif impor 0% dan pelaku dilakuakn oleh perusahaan importir. Akibatnya, impor gula melonjak pesat pada periode ini. Jika pada tahun 1996 impor masih dibawah 1 juta ton, maka pada tahun 1977 sudah mencapai 1.36 juta ton dan mencapai puncaknya menjadi 1.73 juta ton pada tahun 1998. Banjirnya gula impor dengan harga murah membuat industri gula dalam negeri mengalami kontraksi/kemunduran. Pada periode ini areal turun drastis dari 446 ribu ha pada tahun 1996 menjadi sekitar 350 ribu ha pada periode liberalisasi. Sebagai akibatnya, produksi menurun dari lebih diatas 2 juta ton pada akhir periode stabilisasi menjadi sekitar 1.5 juta ton pada periode liberalisasi. Kebijakan tersebut yang diduga berkaitan dengan tekanan IMF merupakan suatu perubahan kebijakan yang sangat drastis sehingga mempunyai dampak yang cukup luas terhadap industri gula Indonesia. Hal ini diperkuat lagi oleh krisis ekonomi Indonesia yang semakin parah yang menyebabkannya terjadinya kenaikan biaya produksi. Pada tingkat usahatani tebu, kenaikan biaya produksi tersebut terutama sebagai akibat kenaikan upah dimana usaha tani tebu memerlukan tenaga kerja yang cukup besar yaitu 600 HOK/ha untuk lahan sawah dan 400 HOK/ha untuk lahan kering. Pada tingkat pabrik, biaya tenaga kerja mencapai sekitar 30% dari keseluruhan biaya produksi (Susmiadi 1998). Ketika krisis ekonomi Indonesia mulai berkurang pada tahun 1999, harga gula di dalam negeri justru mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan tersebut disebabkan tiga faktor yaitu harga gula dunia terus menurun, nilai tukar Rupiah yang menguat, serta tidak adanya tarif impor.
26 Pada tahun 1999, rata-rata harga dunia di pasar internasional adalah US$ 137.3/ton, sedangkan nilai tukar Rupiah pada saat tersebut rata-rata mencapai Rp 7100/US$. Sebagai akibatnya, harga paritas impor gula pada saat itu mencapai titik terendah yaitu antara Rp 1800-1900 per kg. Hal ini membuat harga gula dalam negeri mengalami tekanan. Untuk melindungi produsen, maka pemerintah mengeluarkan SK Menhutbun No. 282/KPTSIV/1999 yang kembali menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2500 per kg. Kebijakan harga provenue tersebut ternyata merupakan kebijakan yang tidak efektif karena tidak didukung oleh rencana tindak lanjut yang memadai. Sebagai contoh, untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, pemerintah tidak memiliki dana yang memadai. Di sisi lain, BUMN perkebunan yang mengelola gula juga tidak memiliki dana yang memadai untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sebagai akibatnya, kebijakan tersebut menjadi tidak dapat diwujudkan sehingga harga gula petani masih tetap mengalami ketidak-pastian. Mengatasi masalah tersebut, maka pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan SK Menperindag No. 364/MPP/Kep/8/1999. Instrumen utama dari kebijakan tersebut adalah pembatasan jumlah importir dengan hanya mengijinkan importir produsen. Dengan kebijakan ini, pemerintah dapat membatasi dan mengendalikan volume impor di samping memiliki data yang lebih valid mengenai volume impor dan stok. Dengan demikian, harga gula dalam negeri dan harga gula di tingkat petani dapat ditingkatkan. Kebijakan importir produsen tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume impor. Walau tidak ada data pendukung yang memadai, kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh stok gula dalam negeri sudah terlalu banyak serta masih adanya gula impor ilegal. Situasi ini membuat harga gula di pasar domestik tetap melemah. Desakan petani dan pabrik gula terhadap pemerintah untuk melindungi industri gula dalam negeri semakin kuat (DGI 1999). Menanggapi tekanan ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan tarif impor dengan SK Menperindag No.230/MPP/Kep/6/1999 yang memberlakukan tarif impor gula sebesar 20% untuk raw sugar dan 25% untuk white sugar. Tabel 11 Kebijakan industri gula Indonesia regim terkendali Regim Kebijakan
Nomor SK/Keppres/Kepmen
Terkendali
Kepmenkeu No. 324/KMK.01/2002 Kepmen perindag No. 643/MPP//Kep/9/2002, 23 September 2002
Perubahan bea masuk Tataniaga impor gula
Peningkatan efektifitas bea masuk
Kepmen Perdag No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kepmen perindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kepmen perindag No. 08/MDag/Per/4/2005
Pengaturan impor, kualitas gula, dan harga referen gula petani
Pembatasan pelaku impor gula; waktu impor, dan harga penyangga/jaminan
Sumber: Susila (2005)
Perihal
Tujuan
Pembatasan pelaku impor gula hanya menjadi importir gula produsen dan importir gula terdaftar untuk meningkatkan pendapatan petani/produsen
27 Ketika harga gula domestik terus merosot dan industri gula sudah diambang kebangkrutan dan tekanan produsen (PG dan petani) semakin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen dan importir terdaftar. Era ini merupakan era dimulainya regim pengendalian impor. Gula yang diimpor oleh importir produsen hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75% berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/ 2002, 23 September 2002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3100/kg. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkat harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen. Kebijakan tataniaga gula tersebut dinilai masih memiliki beberapa kelemahan seperti belum jelas spesifikasi mutu gula, waktu impor, dan jaminan harga untuk petani. Untuk itu, pemerintah menyempurnakan kebijakan tersebut dengan Kep Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menperindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kep Menperindag No. 08/MDAG/Per/4/2005. Esensi kebijakan adalah ketentuan ICUMSA yang secara nyata membedakan gula kristal putih, gula rafinasi, dan raw sugar; kejelasan waktu dan pelabuhan impor, serta kenaikan harga referensi di tingkat petanui menjadi Rp 3800/kg. Jika kebijakan ini diikuti oleh perbaikan efisiensi di tingkat usahatani dan PG, kebijakan ini diperkirakan akan efektif untuk mendorong perkembangan industri gula nasional. Kebijakan-kebijakan pada periode ini cukup efektif untuk membangkitkan kembali industri gula nasional, walaupun faktor eksternal seperti kenaikan harga gula di pasar internasional juga turut menolong industri gula nasional. Dari sisi areal, dampaknya mulai tampak dan pada tahun 2005 areal diperkirakan mulai meningkat secara signifikan. Produksi mulai meningkat dan mulai tahun 2004 produksi sudah kembali diatas 2 juta ton. Sebagai akibatnya, impor mulai menurun dari sekitar 1.5 juta ton menjadi sekitar 1.3 juta ton. Jika kebijakan-kebijakan ini dipertahankan dan didukung oleh program revitalisasi pembangunan industri gula nasional, Indonesia dapat berharap mencapai swasembada gula pada tahun 2010 (proporsi impor adalah sekitar 90% dari konsumsi nasional). Paling tidak, kebijakan-kebijakan tersebut akan memberi landasan yang memadai untuk kebangkitan industri gula nasional.
Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian yang menggunakan metode SCP. Indiani (2006) meneliti Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Susu di Indonesia. Data yang digunakan adalah sekunder time-series dari tahun 1983-2002 dengan analisis OLS (Ordinary Least Square). Dari penelitian tersebut diperoleh bahwa struktur pasar yang dimiliki oleh
28 industri susu di Indonesia adalah oligopoli ketat dengan rasio konsentrasi sebesar 73.79 %. Hasil pengujiannya menunjukkan bahwa semua variabel (CR4, prod, growth, X-EFF) signifikan pada taraf nyata 10%. Darmayanti (2007) Analisis Struktur, Kinerja dan Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia. Jenis data yang digunakan data sekunder time-series selama tahun 1995-2004 dengan metode OLS, analisis cluster dengan SIG (Sistem Informasi Geografis). Analisis kinerja dalam industri ini diamati dari kontribusi tenaga kerja, nilai tambah, dan jumlah unit usaha industri logam dasar besi dan baja Indonesia terhadap total industri manufaktur. Selain itu, kinerja industri ini juga dilihat dari sudut profit yang diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur industri logam dasar besi dan baja Indonesia adalah oligopoli ketat dengan rata-rata rasio konsentrasinya (CR4) sebesar 71.15%. Agustina (2009) Analisis StrukturPerilaku-Kinerja Industri Pakan Ternak di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data time-series dengan metode OLS selama tahun1981-2005. Untuk pendekatan struktur, penelitian ini menggunakan analisis konsentrasi pasar (CR4), Indeks HHI. Dalam pendekatan perilaku industri menggunakan strategi produk, promosi, kemitraan, dan distribusi. Untuk kinerja industri, penelitian ini menggunakan indikator keuntungan dengan Price Cost Margin (PCM). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur pasar merupakan oligopoli longgar dengan pangsa pasar sebesar 41.33 % dan nilai MES sebesar 16.61 % yang berarti hambatan untuk masuk pasar termasuk tinggi. Tingkat keuntungan pada industri pakan ternak dikatakan masih kecil dengan rata-rata 19.56 %. Hal ini disebabkan oleh biaya input yang terlampau besar terutama besarnya biaya untuk bahan baku. Dari hasil analisis regresi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi PCM industri pakan ternak adalah CR4, MES, GROWTH, dan Xeff. Kuncoro dkk (2002) dalam penelitian yang berjudul Struktur, Kinerja, dan Kluster Industri Rokok Kretek Indonesia 1996-1999. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa struktur pasar mampu menjelaskan perilaku industri, hal ini ditunjukkan oleh adanya indikasi semakin tingginya rasio konsentrasi industri, maka pasar semakin mengarah pada perilaku oligopoli. GAPPMI (2010) indikator inefisiensi pemasaran adalah margin pemasaran sangat besar sehingga meskipun harga gula dunia rendah, dengan monopolisasi impor, harga eceran akan dapat membumbung tinggi. Adanya kebijakan pemerintah dengan SK 643 mampu menurunkan margin pemasaran dan mengontrol perilaku produsen di pasar domestik. Deaton dan Laroque (1992) dan Tomek (2000) menyimpulkan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga komoditas pangan, yakni faktor produksi/panen (harvest disturbance) dan perilaku penyimpanan (storage/inventory behavior). Yang dan Hwang (2001), mengkaji dampak liberalisasi perdagangan terhadap harga barang industri domestik Korea. Dengan model proksi PCM sebagai pelaku monopoli, maka harga domestik tergantung pada tingkat kompetisi industri tersebut dan pangsa impor. Indikator liberalisasi perdagangan terhadap perilaku perusahaan yang tercermin dari kinerja
29 marjin keuntungannya. Model PCM baik digunakan pada industri domestik yang lebih terkonsentrasi. Penelitian Hall (1988) terhadap industri di Amerika Serikat dan Small (1997) terhadap industri manufaktur dan jasa di Inggris, menyimpulkan bahwa PCM industri menunjukkan perilaku harga produsen bersifat procyclical. Sedangkan penelitian Martins et al (1996) terhadap industri di 15 negara OECD, menyimpulkan bahwa PCM industri menunjukkan perilaku harga produsen bersifat counter-cyclical. Studi empiris yang mengidentifikasi kekuatan pasar seperti Geroski et al (1996), menjelaskan penelitian perilaku produsen dengan model siklus bisnis merupakan metodologi untuk memperkirakan mark-up harga di tingkat agregat/industri. Metode ini menggunakan fluktuasi jangka pendek dari perbedaan antara tingkat pertumbuhan output dan input produksi. Roeger (1995) menyatakan metode perkiraan mark-up dengan menambahkan terkait dengan struktur pasar yang berlaku dalam suatu industri, diharapkan mampu menilai tingkat mark- up harga, dan menilai apakah sebuah kasus dapat dibuat untuk aksi kebijakan, karena itu penting untuk menetapkan jenis kompetisi yang berlaku pada industri dan menyediakan gambaran yang komprehensif untuk mempertahankan proses yang industri yang kompetitif. Secara tradisional struktur pasar terkait dengan kondisi teknologi, seperti skala ekonomi dan ruang lingkup (Panzar 1989), sehingga perusahaan mungkin dapat mempengaruhi permintaan untuk produk mereka di bawah rezim persaingan monopolistik ( Dixit dan Stiglitz 1977), di mana kekuatan pasar yang terbatas dapat timbul dari kombinasi atas skala dan diferensiasi produk horisontal.
30 3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Structure-Conduct-Performance (SCP) Menurut Baye (2010), konsep SCP terdiri dari tiga aspek yang berhubungan. Berdasarkan dasar konsep SCP Mason (1939), mengemukakan bahwa struktur suatu industri akan menentukan perilaku industri, yang pada akhirnya menentukan kinerja industri. Karena konsep SCP merupakan hubungan yang timbale balik diantara variabel—variabel SCP, sehingga pendekatan ini menunjukkan bahwa struktur, perilaku, dan kinerja dalam satu waktu berada pada system, dimana struktur dan perilaku adalah penentu kinerja, dilain waktu struktur dan perilaku ditentukan oleh kinerja. Adapun hubungan antara struktur, perilaku, dan kinerja dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan hubungan konsep dasar SCP, maka memungkinkan melakukan analisa keterkaitan antara struktur dan kinerja industri gula di Indonesia. Kinerja Industri
Kinerja Industri
Kinerja Industri
Gambar 10 Hubungan Struktur, Perilaku, dan Kinerja Berdasarkan Konsep SCP Mason (1939) (Sumber: Baye (2010))
Konsep Structure-Performance (SP) Terkait konsep struktur terhadap kinerja (SP), dalam penelitian ini, struktur pasar diidentifikasi dari variabel rasio konsentrasi empat dan delapan perusahaan besar industri gula dan variabel keterbukaan industri. Sedangkan kinerja pasar diidentifikasi dari variabel keuntungan, efisiensi dan rasio input. Kedua komponen ini akan membentuk hubungan S-P yang selanjutnya digunakan untuk mengetahui keterkaitan antar faktor-faktor ini dalam Industri gula Indonesia. Analisa struktur pasar dalam industri gula di Indonesia yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja melalui perilaku perusahaan. Hal pertama yang akan dilakukan adalah menganalisis struktur pasar dengan melihat konsentrasi rasio empat perusahaan besar (CR4) dan rasio konsentrasi delapan perusahaan besar (CR8) industri gula. Selain itu juga mengidentifikasi variabel keterbukaan pasar (OPEN) yang merupakan variabel dummy. Menggunakan pendekatan SP diharapkan mampu mengidentifikasi dan mengantisifasi respon kinerja pasar terhadap struktur pasar atau
31 sebaliknya, serta lebih membantu dalam menentukan arah intervensi pemerintah yang tepat dan relevan.
Struktur Pasar Analisa struktur pasar dalam industri gula di Indonesia yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja melalui perilaku perusahaan. Hal pertama yang akan dilakukan adalah menganalisis struktur pasar dengan melihat konsentrasi rasio empat perusahaan besar (CR4) dan rasio konsentrasi delapan perusahaan besar (CR8) industri gula. Selain itu juga mengidentifikasi variabel keterbukaan pasar (OPEN) yang merupakan variabel dummy.
Kinerja Pasar Analisa kinerja pasar dalam industri gula di Indonesia merupakan manifestasi karena adanya hubungan dengan struktur pasar. Dalam analisis ini yang akan dilakukan adalah menganalisis miabel-variabel kinerja pasar yang nilai memiliki saling keterkaitan dengan struktur. Adapun berdasarkan teori dan studi literatur, variabel-variabel yang dianggap mewakili antara lain: variabel keuntungan yang diukur dengan PCM, variabel efisiensi yang diukur dengan tingkat efisiensi (X-eff), dan rasio input yang diukur dengan rasio biaya tenaga kerja (ULC), dan rasio penggunaan bahan baku (UMC). Mengadopsi model Silvester (1993), dalam analisa kinerja,variabel price cost-margin (PCM), X-eff, rasio input (ULC dan UMC) dijadikan ukuran untuk menilai kinerja dalam industri gula.
32 Kerangka Pemikiran Operasional
Gambar 11 Kerangka Pemikiran Operasional
33
4
METODE PENELITIAN Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada industri gula gula pasir di Indonesia, dengan Kode ISIC (Internasional Standard of Industrial Classification) 31181dan 15421. Dipilihnya industri gula dikarenakan gula merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special products) dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), bersama beras, jagung dan kedelai. Selain itu indusri gula juga merupakan industri dengan tingkat kegagalan pasar terbesar kedua setelah beras. Penelitian menganalisa ini struktur, perilaku dan kinerja industri gula dan hubungan keterkaitannya. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang menggunakan data time-series tahun 1982-2011. Sebagian besar data diperoleh dari terbitan data Statistik Industri Besar dan Sedang dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang digunakan adalah industri gula skala besar dan sedang dengan menggunakan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang berbasis pada Internasional Standard of Industrial Classification (ISIC) lima digit dengan kode ISIC 31181, 15421, dan 10721. Data tersebut memuat berbagai indikator variabel struktur industri dan kinerja industri yang dibutuhkan untuk analisis, seperti seperti jumlah perusahaan, nilai tambah, nilai tenaga kerja, nilai bahan baku, nilai serta nilai input dan output industri. Akan tetapi, agar penjelasan lebih terarah digunakan juga data pendukung dari berbagai sumber, antara lain berasal dari berbagai referensi berupa jurnal penelitian, surat kabar warta pertanian, buletin ilmiah, website, dan literatur-literatur yang relevan dengan penelitian ini.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini secara umum bersifat deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Teknik analisis deskriptif kualitatif yaitu dengan menggunakan tabulasi, grafik, dan deskripsi tentang industri gula dan teori yang melandasi. Sedangkan analisis deskriptif kuantitatif yaitu dengan melakukan analisis regresi metode ordinary leastsquare (OLS) terhadap variabel yang diamati, untuk melihat hubungan antara variabel yang dianalisis. Kemudian melakukan pengujian hipotesis sesuai dengan teori, serta melakukan intepretasi hasil analisis untuk memecahkan dan menjawab permasalahan penelitian. Dalam analisis kuantitatif pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan E-Views 6.
34 Analisis Struktur Industri Analisis Rasio Konsentrasi (Concentration Ratio) Metode yang umum yang dipakai untuk mengukur konsentrasi industri adalah rasio konsentrasi (CR). Dalam penelitian ini akan dianalisis rasio konsentrasi empat perusahaan besar (CR4) dan delapan perusahaan besar (CR8). CR4 dan CR8 digunakan untuk menunjukkan pangsa pasar empat dan delapan perusahaan terbesar. Rasio konsentrasi yang standar memerlukan data mengenai ukuran pasar secara keseluruhan dan ukuran perusahaan-perusahaan yang memipin pasar terutama empat dan delapan perusahaan terbesar yang menguasai pasar. Menurut Baye (2010) rasio konsentrasi adalah jumlah pangsa pasar (market share) dari sejumlah perusahaan terbesar. Akan tetapi berdasarkan data yang dimiliki BPS, untuk mengukur rasio konsentrasi bisa diperoleh dari persentase antara total output empat dan delapan perusahaan terbesar dengan total output industri. Sehingga pengukuran rasio konsentrasi untuk empat dan delapan perusahaan terbesar adalah sebagai berikut: CRi = (Qi/TQ) x 100 %.....…………………………..(7) Dimana CR : Rasio konsentrasi i : empat atau delapan perusahaan terbesar Q : Nilai output TQ : Total nilai ouput industri Nilai CR4 berkisar antara 0-100. Nilai konsentrasi perusahaan yang mendekati nol menunjukkan bahwa pangsa pasar perusahaan kecil (menuju persaingan sempurna). Sedangkan jika nilai rasio konsentrasi mendekati 100 mengindikasikan adanya monopoli dari perusahaan terbesar. Nilai CR ≤ 33% menunjukkan pasar tergolong competitive market structure, 33-50% menunjukkan pasar weak oligopsony market structure, dan jika ≥ 50% maka menunjukkan pasar strongly oligopsony market structure (Baye 2010). Menurut Shepherd (1992), dasar pengelompokkan berdasarkan pangsa pasar terbagi menjadi tujuh. Pertama; termasuk monopoli murni (natural monopoly), jika menguasai 100% pangsa pasar. Kedua; oligopoli penuh (tight oligopoly), jika empat perusahaan terbesar menguasai 60%, atau delapan perusahaan menguasai 99% pasar. Ketiga; termasuk perusahaan dominan, jika 4 empat perusahaan terbesar menguasai 72% pasar atau delapan perusahaan terbesar menguasai 88% pasar. Keempat; termasuk oligopoli longgar, jika 4 empat perusahaan terbesar menguasai 61% atau delapan perusahaan terbesar menguasai 77% pasar. Kelima; termasuk oligopsoni, jika 4 empat perusahaan terbesar menguasai 33% atau delapan perusahaan terbesar menguasai 45% pangsa pasar. Kelima; jika 4 empat perusahaan terbesar menguasai 32% pasar. Keenam; termasuk persaingan monopolistik, jika tidak satu pun yang memiliki pangsa pasar lebih dari 10 persen. Dan ketujuh; termasuk persaingan murni, jika lebih besar dari 50% dan tidak satu pun yang memiliki pangsa pasar yang berarti.
35 Analisis Kinerja Industri Analisis Price Cost-margim (PCM) Analisa PCM dinyatakan sebagai indikator kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga diatas biaya produksi (mark up ratio), PCM juga didefenisikan sebagai persentase keuntungan dari kelebihan penerimaan atas biaya langsung (Robiani 2002). PCM = (Nilai Tambah – Upah Total)/Nilai Input x 100 %……..…..(8)
Analisis Efisiensi Analisis efisiensi industri gula di Indonesia ini dilakukan dengan menggunakan analisis rasio efisiensi (Baye 2010), dengan rumus sebagai berikut: X-eff = (Nilai Tambah/Nilai Input) x 100 %…………..………….…..(9) Rasio Unit labor Cost (ULC) dan Unit Material Cost (UMC) Variabel rasio Unit labor Cost (ULC) dan Unit Material Cost (UMC) merupakan rasio antara input/biaya tenaga kerja dan biaya bahan baku per nilai output (Culha dan Yihan 2005). ULC = (Nilai input tenaga kerja/nilai output)………………………….(10) UMC = (Nilai input bahan baku/nilai ouput)…………………………..(11) Analisis Hubungan Struktur dan Kinerja Struktur suatu pasar dapat menjelaskan bagaimana kinerja pasar, dimana setiap industri memiliki struktur dan kinerja yang berbeda-beda. Struktur pasar yang optimal dapat memberikan atau menciptakan suatu kombinasi yang baik bagi suatu kinerja. Sedangkan struktur yang alami (natural structure) adalah struktur yang hanya terdapat dalam pasar yang nyata, struktur alami cenderung ke arah oligopoli yang ketat. Adapun untuk melihat hubungan struktur dan kinerja dalam penelitian ini, digunakan model regresi berganda. Variabel dependen adalah variabel kinerja pasar yaitu ukuran keuntungan yang diukur dengan PCM (%). Sedangkan variabel independen ada yang merupakan struktur yang diukur dengan CR4 (%) dan CR8 (%), serta OPEN (Dummy 0-1) 0 merupakan tahun sebelum pasar bebas dan 1 tahun setelah pasar bebas. Sedangkan variabel-variabel eksogen lainnya merupakan unsur kinerja, yang diukur dengan tingkat efisiensi (X-eff (%)), serta rasio input tenaga kerja (ULC (Rp 000), dan rasio input bahan baku (UMC (Rp 000)). Penggunaan variabel PCM sebagai variabel endogen telah dilakukan oleh Collins dan Preston (1968,1969), lalu kemudian digunakan pula oleh Shepherd (1972) dan kini PCM semakin banyak digunakan dalam penelitianpenelitian ilmiah.
36 Rasio konsentrasi (CR) juga telah banyak digunakan Shepherd (1992) sebagai variabel struktur yang akan dinilai mempengaruhi profitabilitas. Sedangkan Katrak dalam Alistair (2004) menggunakan CR sebagai variabel bebas utama yang menentukan keuntungan pasar. Penggunaan variabel efisiensi-X didasarkan pada pendapat Shepherd (1979) yang mengatakan bahwa kinerja merupakan fungsi dari pangsa pasar, konsentrasi, hambatan masuk, efisiensi internal, dan kondisi eksternal. Efisiensi-X juga digunakan oleh Robert (1995) dan Alistair (2004) dalam model PCM mereka.
Perumusan Model Model penelitian yang digunakan untuk melihat hubungan antara struktur dan kinerja industri gula di Indonesia adalah dengan menggunakan pendekatan SCP (Structure-Conduct-Performance), dengan metode regresi ordinary least-square (OLS). Penggunaan metode OLS dikarenakan metode ini merupakan metode yang paling populer dan sangat berpengaruh dalam analisis garis regresi serta memiliki ketepatan estimasi. Estimator-estimator yang diperoleh dengan menggunakan metode least square dikenal dengan estimatorestimator least square. Estimator-estimator least square tersebut memilki sifat-sifat sebagai berikut: 1. Estimator-estimator OLS hanya mengeskpresikan nilai-nilai yang dapat diamati (yaitu, Y dan X) sehinga mudah dihitung, 2. Estimator-estimator itu merupakan estimator-estimator titik. Untuk sampel tertentu, tiap estimator hanya memberikan satu nilai tunggal pada parameter populasi yang relevan. Berbeda dengan estimatorestimator dalam interval yang memberikan kemungkinan-kemungkinan berbagai nilai-nilai pada parameter-parameter populasi yang tidak diketahui, 3. Sekali estimator-estimator dengan OLS diperoleh dari daata sampel, garis regresi sampel dapat ditentukan dengan mudah. Struktur pasar dapat menjelaskan kinerja pasar, dimana dasar model ekonometrikanya adalah: PCM = f (CR4, CR8, OPEN, ULC, UMC, X-eff) Berdasarkan model di atas, maka model regresi hubungan struktur dan perilaku industri gula di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: PCMt = α 0 + α 1 CR4t + α 2 CR8t + α 3 X-efft + α 4 ULCt + α 5 U M C t + α 6 O P E N t +U t …………………………..….(11) Dimana : PCMt=Rasio keuntungan industri gula pada tahun ke-t (%), ULCt= Rasio biaya tenaga kerja pada tahun ke-t(Rp. 000) UMCt= Rasio biaya bahan baku pada tahun ke-t (Rp. 000) X-eff t = Tingkat efisiensi industri gula pada tahun ke-t (%),
37 OPENt = Variabel dummy keterbukaan pasar industri gula Indonesia (0-1), α 0 = Intercept, α 1, α 2, α3 = Koefisien kemiringan parsial, Ut = Unit error Hipotesis Penelitian mengenai SCP telah banyak dilakukan oleh peneliti ekonomi. Namun, hubungan antara berbagai variabel dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Berdasarkan teori-teori yang mendasari penelitian ini, maka hipotesisnya antara lain: 1. Struktur pasar yang ada memengaruhi kinerjanya. 2. Variabel struktur pasar yakni CR4 dan CR8 diduga memiliki hubungan positif terhadap PCM yang merupakan variabel perilaku industri. Semakin tinggi rasio konsentrasi, maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang akan diperoleh perusahaan. Sedangkan variabel OPEN diduga memiliki hubungan yang negatif, hal ini menunjukkan semakin terbukanya pasar, maka semakin turun kemampuan perusahaan meningkatkan keutungan, atau dengan kata lain adanya pasar bebas menurunkan keutungan perusahaan. 3. Variabel efisiensi diduga memiliki hubungan yang positif terhadap PCM. Semakin efisien suatu perusahaan maka semakin besar kemampuan perusahaan meningkatkan keuntungan. 4. Adapun variabel struktur pasar yakni ULC dan UMC diduga memiliki hubungan negatif terhadap PCM. ULC dan UMC adalah rasio penggunan input tenaga kerja dan bahan baku, dimana secara teoritis biaya merupakan unsur pengurang kinerja keuntungan. Sehinga semakin tinggi rasio, maka semakin turun kemampuan perusahaan meningkatkan keuntungan. Analisis Time Series (Runtun Waktu) Uji stasioneritas dimaksudkan untuk mengetahui sifat dan kecenderungan data yang dianalisis, apakah mempunyai pola yang stabil, stasioner atau tidak, apabila ditemukan data yang tidak memiliki sifat-sifat di atas, maka berbagai indikator yang menyertai hasil analisis empiris atau hasil analisis model regresi tidak menunjukkan sifat-sifat yang valid. Pengujian akar unit (unit root) dilakukan untuk mengetahui kestasioneran data, apakah data itu stasioner atau tidak stasioner. Untuk mengetahui ada tidaknya unit root yaitu dengan menggunakan uji ADF (Augmented Dickey-Fuller) pada program E-Views, data dikatakan stasioner jika nilai ADF test statistik lebih kecil dari nilai Tabel Mackinnon. Hipotesis yang digunakan adalah: H0 ρ = 0, data tidak stasioner (mengandung unit root). H1 ρ ≠ 0, data stasioner (tidak mengandung unit root). Penolakan hipotesis nol menunjukkan data yang dianalisis adalah stasioner. Variabel dikatakan tidak stasioner, jika terdapat hubungan antara variabel tersebut dengan waktu atau trend. Model yang mengandung variabel yang tidak stasioner sering menimbulkan masalah regresi lancung
38 (spurious regression), yaitu dimana hasil estimasi yang diperoleh dari model secara stastistik signifikan tetapi pada kenyataannya secara ekonomi tidak memiliki arti apapun, atau tidak sesuai dengan teori ekonomi yang ada. Setelah data diketahui tidak stasioner, langkah selanjutnya yaitu dengan uji derajat integrasi. Perbedaan antara data time series yang stasioner dan yang tidak yaitu, jika stasioner dampak shock atau guncangan yang terjadi pada data time series yang stasioner bersifat sementara. Sejalan dengan waktu, dampak dari shock tersebut akan berkurang dan data time series akan kembali ke long run mean yang berfluktuasi di sekitar mean (rata-rata) tersebut. Perilaku dari data time series yang stasioner adalah sebagai berikut: 1). Mean dari data menunjukkan perilaku yang konstan 2). Data stasioner menunjukkan varians (ragam) yang konstan 3). Correlogram (diagram korelasi) yang menyempit seiring dengan penambahan waktu Data yang tidak stasioner adalah data yang cenderung mengalami perubahan yang mendasar seiring dengan berjalannya waktu (time dependent). Perilaku data yang tidak stasioner yaitu sebagai berikut : 1). Data time series yang tidak stasioner tidak memiliki long run mean. 2). Memiliki ketergantungan terhadap waktu, dan varians akan memperbesar tanpa batas seiring dengan perubahan waktu. 3). Correlogram dari data tersebut cenderung melebar.
Analisis Regresi Ekonometrika adalah integrasi dari teori ekonomi, matematika dan statistik, untuk menduga nilai parameter dari hubungan-hubungan ekonomi dan menguji teori ekonomi (Koutsoyiannis 1978). Sedangkan menurut Roefiq (2002), analisis regresi adalah suatu metode yang berguna untuk menentukan pola hubungan satu variabel yang disebut sebagai variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen. Tujuan analisis regresi adalah untuk memperkirakan nilai rata-rata dari variabel dependen apabila nilai variabel yang menerangkan sudah diketahui. Dari persamaan regresi yang telah diperoleh, terlebih dahulu harus diuji apakah memenuhi kriteria yang ditetapkan, dalam arti tidak terjadi penyimpangan yang cukup serius dari asumsi-asumsi yang diperlukan dalam model regresi. Beberapa asumsi yang harus diuji terlebih dahulu dalam model regresi adalah: Kenormalan, Multikolinearitas, Heteroskedastisitas dan Autokorelasi. Jika asumsi yang ada dalam penerapan model regresi dapat terpenuhi, maka dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) akan dapat dihasilkan koefisien regresi yang memenuhi sifat-sifat Best Linear Unbiased Estimator (BLUE), yaitu koefisien regresi yang linear, tidak bias, konsisten (walaupun sampel diperbesar menuju tak terhingga, taksiran yang didapat akan tetap mendekati nilai parameternya), serta efisien (memiliki varians yang minimum).
39 Adapun untuk menggambarkan hubungan yang terjadi antar variabel yang kita duga dapat diwujudkan dengan membuat model. Model sendiri adalah representasi dari keadaan nyata. Suatu model dikatakan baik jika memenuhi kriteria yang ditetapkan, dalam arti tidak terjadi penyimpangan yang cukup serius dari asumsi-asumsi yang diperlakukan dalam model regresi. Kriteria-kriteria yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan baik adalah diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Kriteria Ekonomi Kriteria ini ditentukan oleh dasar-dasar ekonometrika dan berhubungan dengan tanda dan besar parameter dari hubungan ekonomi. Model yang diperoleh akan dievaluasi berdasarkan teori-teori ekonomi yang ada (Koutsoyiannis1978). 2. Kriteria Statistik Kriteria ini menyangkut uji statistik untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan dari variabel-variabel eksogen terhadap variabel endogen pada masing-masing persamaan maupun secara bersamaan, kemampuan variabel eksogen dalam menjelaskan variasi atau keragaman variabel endogen. 3. Kriteria Ekonometrika Kriteria Ekonometrika didasari oleh asumsi-asumsi dari OLS sebagai berikut (Gujarati1978): a). Nilai rata-rata kesalahan pengganggu sama dengan nol, yaitu E (ei) = 0 untuk I = 1,2,3,...n. b). Varian (ej) = E(Ej) = ó2 sama untuk kesalahan pengganggu (asumsi homoskedastisitas). c). Tidak ada autokorelasi antara kesalahan pengganggu yang berarti kovarian (ei,ej) = 0; i ≠ j. d). Variabel eksogen X1, X2, X3, ..., X n konstan dalam sampling yang terulang dan bebas terhadap kesalahan pengganggu, E(Xi,ei) = 0. e). Tidak ada kolinier ganda diantara variabel eksogen X. f). ei ≈ N(0,ó2), artinya kesalahan pengganggu mengikuti distribusi normal dengan rata-rata nol dan varian ó2. Dengan dipenuhinya asumsi diatas, maka koefisien atau parameter yang diperoleh merupakan penduga linier terbaik yang tidak bias atau Blue Linier Unbiased Estimator (BLUE).
Uji Statistika dan Ekonometrika Uji statistik dan ekonometrika dilakukan untuk melihat hasil regresi yang didapatkan setelah melakukan pengujian-pengujian, apakah hasil regresi tersebut telah memenuhi asumsi-asumsi dalam uji statistik dan ekonometrika sehingga didapatkan model yang dikatakan baik. Pertama, kriteria statistik yaitu menyangkut uji terhadap koefisien dari variabel penduga atau variabel bebas melalui uji t. Koefisien penduga perlu berbeda dari nol secara signifikan atau P-value sangat kecil. Uji kedua adalah Uji F atau uji model secara keseluruhan. Uji F ini dilakukan untuk
40 melihat apakah semua koefisien regresi berbeda dengan nol atau model diterima. Pengujian ketiga yaitu melihat koefisien determinasi R2 atau R2 adjusted. Koefisien determinasi ini menunjukkan kemampuan garis regresi menerangkan variasi variabel terikat (proporsi (persen) variasi variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas). Nilai R2 atau R2 adjusted berkisar antara 0 sampai dengan 1, semakin mendekati satu semakin baik. Kedua, kriteria ekonometrika yaitu menyangkut pelanggaran asumsi Ordinary Least Square (OLS) yaitu meliputi multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Jika asumsi tersebut telah dipenuhi maka akan memperoleh nilai parameter yang BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Ketiga, kriteria ekonomi yaitu uji tanda dan besaran untuk melihat kecocokan tanda variabel dan nilai koefisien penduga dengan teori atau nalar. a. Uji t Pengujian ditujukan untuk mengetahui tingkat signifikansi variabel bebas. H0 : b1 = 0 atau bi = 0 H 1 : b 1 ~ 0 atau b i ~ 0 Kriteria uji : Probability t-statistic ( a , maka tolak H0 Probability t-statistic ) a , maka terima H0 Jika H0 ditolak, maka variabel bebas berpengaruh nyata pada tarafa terhadap variabel tak bebasnya. Sebaliknya, jika H0 diterima berarti variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. b. Uji F Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Hipotesis : H0 : b1 = 0 atau bi = 0 H 1 : minimal ada salah satu b 1 ~ 0 atau bi ~ 0 Kriteria uji : Probability F-statistic ( taraf nyata (a ), maka tolak H0 Probability F-statistic ) taraf nyata (a ), maka terima H0 Jika H0 ditolak, berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dan model layak digunakan. Sebaliknya jika H0 diterima, maka tidak ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh nyata. c. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas muncul apabila diantara masing-masing variabel independen saling berhubungan secara linear artinya adanya korelasi yang kuat pada sesama variabel bebas (eksogen). Uji Multikolinearitas dilakukan dengan melihat koefisien korelasi antar variabel eksogen yang terdapat pada matriks korelasi. Suatu model tidak mengandung gejala multikoliniearitas apabila nilai mutlak koefisien korelasi antar variabel eksogen lebih besar dari |0.8|. Multikolinearitas muncul apabila di antara masing-masing variabel independen saling berhubungan secara linear. Jika hubungan itu sangat erat yaitu (r= 1), berarti terjadi multikolinearitas sempurna, yang berakibat
41 tidak dapat ditentukannya koefisien dari variabel independen dan standar deviasi dari koefisien tersebut menjadi sangat besar. Jika dari hasil pengujian statistikanya didapatkan R2 besar, F-test besar, dan t-test juga besar, berarti tidak terjadi multikolinearitas. Kalaupun terjadi, maka derajat multikolinearitasnya rendah. d. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas merupakan suatu kondisi dimana nilai varian dari variabel eksogen tidak memiliki nilai yang sama. Untuk mengetahui ada tidaknya masalah heteroskedastisitas yaitu dengan melihat nilai Obs* R-square, jika nilai Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka persamaan tidak memiliki masalah heteroskedastisitas. Namun dengan adanya heteroskedastisitas, taksiran parameter berdasarkan Ordinary Least Square (OLS) akan tetap unbiased dan konsisten tetapi tidak efisien, artinya memiliki varians yang lebih besar dari varian yang minimum. Gejala adanya Heteroskedastisitas dapat ditunjukkan oleh probability Obs*R-square pada uji White Heteroskedasticity. H0 : y = 0 H1 : y = 0 Kriteria uji : probability Obs*R-square ( a , maka tolak H 0 probability Obs*R-square ) a , maka terima H0 Jika H0 ditolak, maka terdapat gejala heteroskedastisitas pada model. Sebaliknya jika H0 diterima, maka pada model tidak terdapat gejala heteroskedastisitas. e. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah hasil estimasi model tidak mengandung korelasi serial di antara disturbance term. Autokorelasi adalah tingkat hubungan linier antara pengamatan ke-t dengan pengamatan ke t + k, dimana k adalah selisih waktu (lag). Autokorelasi terjadi jika nilai error tidak bersifat bebas antara yang satu dengan yang lainnya. Artinya terjadi korelasi antar error, sehingga model yang baik menghasilkan error yang acak dan tidak berpola. Akibatnya varian (keragaman) yang diperoleh under estimate. Untuk mendeteksi autokorelasi, dapat digunakan uji DurbinWatson atau dengan melihat nilai Obs* R-squared pada Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test, jika nilai Obs*R squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka persamaan tidak memiliki autokorelasi. Hipotesis : H0 : p = 0 H1 : p = 0 Kriteria uji probability Obs*R-square ( a , maka tolak H 0 probability Obs*R-square ) a , maka terima H0 Jika H0 ditolak maka terjadi autokorelasi (positif atau negatif) dalam model. Sebaliknya jika H0 diterima maka tidak ada autokorelasi dalam model.
42
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Industri Gula Indonesia Tahun 1982-2011 Berdasarkan Gambar 12, perkembangan Industri gula terlihat konstan mulai dari tahun 1982 hingga tahun1995, dimana perkembangan nilai output dan nilai tambah konstan seperti tahun sebelumnya. Akan terjadi peningkatan yang signifikan tahun 1996 hingga tahun 2001, namun kemudian turun di dua tahun terakhir yakni tahun 2002 dan 2003, dan kembali trend meningkat mulai tahun2006 hingga 2008, kemudian turun ditahun 2009, kembali meningkat ditahun 2010, hingga kembali turun di tahun 2011. Selama periode 1982 hingga 2011, industri gula Indonesia masih dihadapkan pada tingginya pengeluaran untuk input bahan baku. Mulai 1982 hingga tahun 1987 pemakaian input bahan baku masih bersifat konstan.Akan tetapi mulai terjadi kenaikan yang fluktuatif menjelang tahun 1988 hingga tahun 1999, dan kemudian trend meningkat drastic menjelang tahun 2000 hingga 2006, lalu turun 2007 hingga 2009, kemudian meningkat kembali di tahun 2010 dan turun di tahun 2011.
Gambar 12 Perkembangan nilai input, nilai output dan nilai tambah Industri gula Indonesia periode 1982-2011 (Sumber: BPS)
43
Gambar 13 Perkembangan biaya input industri gula Indonesia periode 19822011 (Sumber: BPS) Berdasarkan Gambar 13, selama periode 1982 hingga 2011, industri gula Indonesia masih dihadapkan pada tingginya pengeluaran untuk input bahan baku. Mulai 1982 hingga tahun 1987 pemakaian input bahan baku masih bersifat konstan.Akan tetapi mulai terjadi kenaikan yang fluktuatif menjelang tahun 1988 hingga tahun 1999, dan kemudian trend meningkat drastic menjelang tahun 2000 hingga 2006, lalu turun 2007 hingga 2009, kemudian meningkat kembali di tahun 2010 dan turun di tahun 2011. Berdasarkan Gambar 14 di atas, jumlah total perusahaaan besar dan sedang dalam industri gula cenderung konstan fluktuatif, hanya terjadi perbedaan komposisi antara PMDN dan PMA di setiap tahunya. Jumlah perusahaan tertinggi terjadi pada tahun 1985 sebanyak 72 perusahaan, sedangkan jumlah perusahaan terendah terjadi pada tahun 1982 sebanyak 58 perusahaan.
Gambar 14 Perkembangan jumlah perusahaan besar dan sedang industri gula Indonesia periode 1982-2011 (Sumber: BPS)
44 Analisis Struktur Industri Industri pengolahan gula merupakan salah satu industri yang selalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah dikarenakan industri ini berdampak besar terhadap kebutuhan hidup masyarakat luas. Industri gula di Indonesia berawal dari industri gula lokal dan hanya industri gula kristal putih. Sementara untuk gula rafinasi masih dilakukan impor. Akan tetapi sekitar tahun 2000-an, ketika harga raw sugar meningkat tajam, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembangunan pabrik gula rafinasi. Awalnya industri gula kristal putih didominasi oleh BUMN, yaitu PTPN dan RNI. Jumlahnya mencapai hampir 10 perusahaan yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Dimana mulai dari produsen gula hingga distributor gula hanya dikuasai oleh beberapa pemain besar saja. Pasokan gula kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal dari enam pelaku usaha saja yakni PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, Gunung Madu dan Sugar Group Companies. Secara keseluruhan komposisi pasokan gula kristal putih dapat dilihat dalam (Gambar 7). Berdasarkan komposisi di atas, PTPN X, PTPN XI dan Sugar Group merupakan tiga pemain utama yang masing-masing pangsa produksinya di tahun 2009 yaitu 18,72%, 15,64% dan 18,96%. Sugar Group mampu menjadi leader dalam industri ini karena perusahaan tersebut merupakan satu-satunya perusahaan yang telah efisien dalam industri gula ini (GAPPMI 2010) . Struktur industri gula kristal putih dalam negeri pada saat musim giling pada umumnya bersifat oligopsoni sehingga produsen (petani tebu dan pabrik gula, PTPN/RNI) tidak menerima harga yang wajar. Dan sebaliknya di luar musim giling, struktur industri gula kristal putih bersifat oligopoli sehingga harga di tingkat konsumen relatif tinggi dan produsen tidak menikmati kenaikan harga tersebut. Hal ini disebabkan karena sebagian besar stok gula kristal putih dikuasai oleh hanya beberapa pedagang besar (Arifin 2008). Berdasarkan keterangan di atas, struktur industri gula putih di Indonesia mengindikasikan adanya dominasi produsen gula yang diduga telah menciptakan suatu tindakan monopoli yang masih diperdebatkan oleh pakar hukum dan pejabat pemerintah. Berdasarkan keterangan di atas, struktur industri gula putih di Indonesia mengindikasikan adanya dominasi produsen gula yang diduga telah menciptakan suatu tindakan monopoli yang masih diperdebatkan oleh pakar hukum dan pejabat pemerintah. Berdasarkan data konsentrasi pasar yang diperoleh dari BPS selama periode 1982-2011, rata-rata konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4) adalah sebesar 32.46%. Dengan konsentrasi rasio CR4 tertinggi terjadi di tahun 2009 yaitu sebesar 64.25%. Sedangkan untuk konsentrasi rasio delapan perusahaan terbesar (CR8) adalah sebesar 51.41%. Dengan konsentrasi rasio CR8 tertinggi yaitu sebesar 74.2% yang juga terjadi pada tahun 2009. Hal ini diduga karena pada tersebut, terjadi peningkatan jumlah perusahaan besar dalam industri gula. Peusahaan Milik Dalam Negeri (PMDN) meningkat dari 51
45 perusahaan menjadi 53 perusahaan, begitupula perusahaan dengan besar milik swasta (PMA) meningkat dari 2 perusahaan menjadi 4 perusahaan. Meskipun secara total pada tahun tersebut kenaikan jumlah perusahaan tidak besar, hanya persentase perusahaan besar meningkat jauh dan menurunkan presentase perusahaan kecil dalam industri. Kondisi ini memberikan peluang bagi perusahaan-perusahaan besar menguasai pasar, kondisi ini diduga bisa menyebabkan sedikit sekali perusahaan baru yang berani bersaing artinya tingkat persaingannya menurun sehingga menyebabkan naiknya tingkat konsentrasi rasio perusahaan industri. Berdasarkan keterangan di atas, kondisi struktur pasar gula Indonesia, dilihat dari rata-rata konsentrasi rasio CR4 sebesar 32.46%, dan rata-rata konsentrasi delapan perusahaan besar (CR8) sebesar 51.41%. Menurut Shepherd (1992), termasuk oligopoli kuat, sedangkan menurut Baye (2010) jika menguasai 33-50% pangsa pasar termasuk pasar weak oligopsony market structure. Analisis Kinerja Industri Kinerja pasar mencerminkan bagaimana pengaruh kekuatan pasar terhadap keuntungan dan efisiensi. Tingkat keuntungan suatu perusahaan merupakan salah satu ukuran dari kinerja perusahaan. Tingkat keuntungan dapat dicerminkan melalui PriceCost-Margin (PCM) dan tingkat efisiensi dapat dilihat melalui efisiensi-X (X-eff). Data mengenai nilai besarnya PCM dan efisiensi-X tahun 1982 sampai 2011 dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Berdasarkan pengamatan, selama kurun waktu 31 tahun mulai tahun 1982-2011 didapat nilai rata-rata PCM industri gula putih Indonesia sebesar 57.62 %. Nilai PCM yang didapat sangat berfluktuasi, pada tahun 2011 besarnya PCM bernilai negatif yaitu sebesar -18.20 %, hal ini dikarenakan pengeluaran untuk tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan kapasitas barang yang dihasilkan. Sedangkan pada tahun 1991 PCM mencapai 147.21 %, angka ini merupakan nilai PCM tertinggi. Artinya margin keuntungan yang diperoleh rata-rata masih tinggi. Hal ini berarti untuk berinvestasi di sektor industri masih menguntungkan karena masih memiliki return yang tinggi, akan tetapi secara teori pasti akan high-risk (risiko tinggi). Hal ini disebabkan modal yang dibutuhkan lebih besar, teknologi yang tinggi, dan perlunya tenaga-tenaga ahli yang lebih kompeten untuk meningkatkan keuntungan industri.
Hubungan Struktur dan Kinerja Industri Gula Indonesia Untuk melihat hubungan antara struktur dengan kinerja maka digunakan analisis SCP, paradigm ini dinilai mampu menunjukkan bagaimana hubungan antara struktur dan kinerja pasar, dimana struktur pasar adalah karakteristik dan komposisi pasar/industri dalam suatu perekonomian sedangkan kinerja pasar mengacu pada tingkat keberhasilan
46 pasar dalam meraih keuntungan, meningkatkan margin, memberikan manfaat kepada konsumen. Paradigma SCP mengasumsikan bahwa struktur akan mempengaruhi profitabilitas secara positif. Kinerja industri adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri. Di negara-negara yang sedang berkembang, kinerja laba sulit untuk diukur sehingga untuk memudahkan bagaimana melihat kinerja industri dapat digunakanlah variabel proksi keuntungan (PCM) untuk mengukurnya (Baye 2010). Hubungan struktur dan kinerja dapat dilihat dengan suatu model ekonometrika yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, misalnya tidak adanya autokolerasi, heteroskedastisitas dan multikolinearitas sehingga model ekonometrika tersebut memang layak untuk digunakan. Hasil estimasi model dan uji ekonometrika dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil estimasi dengan model ordinary least squares (least squares model) struktur dan kinerja industri gula di Indonesia Tahun Periode 19822011 Variabel ULC UMC X_EFF OPEN CR4 CR8 C Adjusted R-squared
Koefisien
Prob T-statistic 0.000 0.132 0.000 0.487 0.138 0.048 0.236
-337.329 -12.385 0.901 -4.562 -0.104 0.080 16.736 0.976
Prob (F-Statistic)
Uji Breusch-Godfrey Correlation LM Adjusted R-squared Prob Obs*R-Squared Uji White Heteroskedasticity
Prob Obs*R-Squared
0.000
0.523 0.370
Keterangan: Menggunakan taraf nyata 15 persen Berdasarkan hasil estimasi, model regresi penelitian sebagai berikut PCM = C(1)*ULC + C(2)*UMC + C(3)*X_EFF + C(4)*OPEN + (5)*CR4 + C(6)*CR8 + C(7) + [AR(1)=C(8)] Sehingga jika dimasukkan nilai koefisiennya masing-masing, dapat dituliskan sebagai berikut: PCM = -337.329*ULC - 12.385*UMC + 0.901*X_EFF 4.562*OPEN - 0.104*CR4 + 0.080*CR8 + 16.736 *C Pengujian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji BreuschGodfrey Correlation LM. Apabila nilai probability obs*Rsquared lebih besar dari taraf nyata (á ) yang digunakan maka hasil regresi ini tidak mengandung autokorelasi. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan (Tabel 12) diperoleh nilai probability obs*R-squared sebesar 0.523 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 15 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil regresi pada penelitian ini tidak mengandung autokorelasi.
47 Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroskedasticity. Apabila nilai probability obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (á ) yang digunakan maka hasil regresi tidak mengandung heteroskedastisitas. Berdasarkan hasil uji dilakukan ditunjukkan (Tabel 12) diperoleh nilai probability obs*R-squared sebesar 0.370 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 15 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil regresi pada penelitian ini tidak mengandung heteroskedastisitas. Syarat yang terakhir dalam metode Ordinary Least Square (OLS) adalah pengujian multikolinearitas. Multikolinearitas muncul apabila di antara masingmasing variabel independen saling berhubungan secara linear. Uji Multikolinearitas dilakukan dengan melihat koefisien kolerasi antar variabel eksogen yang terdapat pada matriks kolerasi. Suatu model tidak mengandung gejala multikolinieritas apabila nilai mutlak koefisien korelasi antar variabel eksogen lebih besar dari 0.8. Dari hasil yang ditunjukkan pada Lampiran 6, dalam model regresi ini tidak ditemukan adanya gejala multikolinearitas hal ini dapat dilihat tidak adanya nilai antar variabel eksogen yang nilainya lebih besar dari |0.8|, artinya tidak terdapat hubungan kausalitas pada variabel-variabel bebasnya. Setelah dilakukan uji ekonometrika pada model penelitian langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap hasil dugaan persamaan PCM pada industri gula (Tabel 12). Berdasarkan hasil uji model, diperoleh nilai koefisien determinasi (Adjusted R-Square) sebesar 0.976, ini menunjukkan bahwa variasi endogen yaitu PCM industri gula sebagai variabel terikat mampu dijelaskan sebesar 97.6% oleh variabel-variabel bebasnya (Prod, ULC, UMC, dan X-eff) secara bersamaan. Sisanya sebesar 2.40% dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Berdasarkan hasil estimasi model PCM yang diperoleh dari Tabel 12, menunjukkan bahwa variabel bebas CR4, CR8, X-eff, ULC, dan UMC siqnifikan pada taraf nyata 15% (α = 0,15). Akan tetapi hanya variabel Xeff dan CR8 yang berpengaruh positif terhadap PCM dan kondisi ini sesuai dengan hipotesis bahwa efisiensi memiliki hubungan yang positif terhadap PCM. Sedangkan CR4 berpengaruh negatif terhadap PCM, kondisi ini tidak sesuai dengan hipotesis yang menyatakan CR4 memiliki hubungan yang positif dengan PCM. Adapun variabel ULC dan UMC bernilai negatif dan kondisi ini sesuai dengan hipotesis, yang menyatakan ULC dan UMC memiliki hubungan yang negatif dengan PCM. Sementara itu variabel OPEN tidak signifikan pada taraf nyata 15%, atau dengan kata lain tidak berpengaruh terhadap PCM. Kondisi ini tidak sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa OPEN berhubungan positif dengan PCM. Atau dalam penelitian ini disimpulkan bahwa konsentrasi empat perusahaan dalam industri gula tidak berpengaruh terhadap peningkatan margin keuntungan. Variabel CR8 signifikan terhadap PCM pada taraf 15%, dengan koefisien sebesar 0.080, Artinya setiap peningkatan CR8 satu persen maka akan meningkatan keuntungan industri sebesar 0.080%.
48 Variabel X-eff signifikan pada taraf 15 persen dan nilai koefisiennya sebesar 0.901, hasil ini menunjukkan bahwa diduga setiap peningkatan efisiensi-X sebesar satu persen, akan meningkatkan keuntungan industri sebesar 0,901%. Hal ini karenakan semakin efisien suatu perusahaan maka memungkinkan untuk suatu perusahaan untuk memproduksi sebuah produk dengan sumber daya yang lebih sedikit atau sama, karena efisiensi merupakan pengurangan biaya sehingga biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam jangka panjang akan lebih murah. Dengan demikian semakin meningkatnya efisiensi, maka semakin meningkat tingkat keuntungan. Variabel ULC dan UMC berpengaruh negatif terhadap PCM. Dari hasil estimasi nilai koefisien variabel ULC diperoleh sebesar -337.329, yang berarti bahwa diduga setiap peningkatan biaya tenaga kerja perusahaan sebesar Rp 1 ribu, maka akan menurunkan PCM perusahaan sebesar Rp 337.329. Sedangkan nilai koefisien UMC diperoleh sebesar -12.835, yang berarti bahwa diduga penambahan bahan baku sebesar Rp 1 ribu akan menurunkan PCM perusahaan sebesar Rp 12.835 ribu. Semakin kecil bahan baku yang digunakan perusahaan akan semakin meningkatkan keuntungan industri. Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil uji dan interpretasi hasil uji, maka dibuatlah beberapa implikasi kebijakan yang terkait dengan variabel-variabel yang dipakai dalam penelitian, adapun analisis kebijakan-kebijakan tersebut antara lain: 1. Efisiensi dan konsentrasi industri berpengaruh signifikan terhadap PCM, maka kebijakan yang yang mendorong meningkatnya tingkat efisiensi, dan perlu kebijakan yang kondusif agar perusahaan yang memimpin industri mencapai skala usaha yang efisien dan menguntungkan bagi industri. 2. Input tenaga kerja (ULC) dan bahan baku (UMC) berpengaruh negatif terhadap PCM, maka kebijakan yang ditempuh adalah peningkatan efisiensi agar beban biaya input tidak menurunkan kemampuan perusahaan meningkatkan margin. Khusus solusi terhadap industri gula yang cenderung padat karya, sehingga butuh peran pemerintah mendorong industri gula yang lebih padat modal. Begitu pula dengan kebijakan bahan baku, mengingat saat ini industri gula masih sangat tergantung kepada bahan baku impor, sehingga kebijakan peningkatan produktivitas gula nasional harus terintegrasi dengan kebijakan impor bahan baku pada industri gula. 3. Pangsa pasar (CR4) berpengaruh negatif terhadap PCM, artinya konsentrasi rasio 4 perusahaan terbesar dalam industri gula bisa menurunkan keuntungan industri. Sehingga perlu kebijakan pemerintah untuk menciptakan persaingan usaha yang kompetitif dan efisien.
49
6
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1. Industri gula Indonesia selama periode 1982-2011 memiliki rata-rata CR4 adalah sebesar 32.46%, dengan CR4 tertinggi terjadi di tahun 2009 yaitu sebesar 64%. Adapun rata-rata CR8 diperoleh sebesar 51.41%, dengan CR8 tertinggi yaitu sebesar 74.60% yang juga terjadi pada tahun 2009. 2. Berdasarkan criteria Shepherd (1992), industri gula Indonesia termasuk oligopoli kuat. Sedangkan menurut Baye (2010) industri gula Indonesia termasuk pasar weak oligopsony market structure. 3. Industri gula Indonesia memiliki rata-rata PCM sebesar 57.62%. Nilai PCM terendah terjadi pada tahun 2011 sebesar -18.20 %, hal ini dikarenakan pengeluaran untuk tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan kapasitas barang yang dihasilkan. Sedangkan nilai PCM tertinggi terjadi pada tahun 1991 sebesar 147.21 %. 4. Tingkat efisiensi (X-eff) dan konsentrasi industri 8 perusahan besar (CR8) signifikan meningkatkan keuntungan industri gula. Sedangkan konsentrasi industri 4 perusahaan besar (CR4), rasio input tenaga kerja (ULC) dan rasio input bahan baku (UMC) signifikan menurunkan keuntungan industri. 5. Pasar bebas (OPEN) tidak signifikan terhadap kenaikan maupun penurunan keuntungan industri. 6. Kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan yang mendorong peningkatan efisiensi industri gula, disertai dengan kebijakan produksi, pasar, tenaga kerja, dan bahan baku.
Saran 1. Produsen gula Indonesia perlu meningkatkan efisiensi untuk meningkatkan keuntungan industri, karena berdasarkan penelitian variabel ini memiliki pengaruh paling besar terhadap peningkatan keuntungan industri. 2. Produsen gula di Indonesia harus dapat meningkatkan kualitas bahan baku industri gula sehingga mampu bersaing untuk meningkatkan keuntungan industri, karena berdasarkan penelitian variabel ini memiliki pengaruh besar dalam menurunkan keuntungan industri. 3. Perlunya peran pemerintah mendorong daya saing tenaga kerja agar industri gula efisien dalam alokasi input tenaga kerja.. 4. Perlunya upaya pemerintah dalam mendorong tersedianya bahan baku domestik yang berdaya saing agar industri lebih efisien dan menguntungkan.
50
DAFTAR PUSTAKA Alistair A. 2004. Analisis Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja Pada Industri Tepung Terigu Di Indonesia Pasca Penghapusan Monopoli Bulog [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Agustina 2009. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Pakan Ternak di Indonesia.[skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arifin B 2008. Ekonomi Swasembada Gula Indonesia. Economic Review. Edisi Maret, No. 211. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian [BPPP] 2011. Bangunkan Pertanian Indonesia sebagai Jiwa dan Karakter Macan Asia. Makalah pada Seminar Pertanian Nasional di Institut Pertanian Bogor Tanggal 8 Oktober 2011. Kementerian Pertanian. Badan Pusat Statistik [BPS] 2012. Statistik Tebu Indonesia. Jakarta. Indonesia Badan Pusat Statistik [BPS] 2011. Statistik Tebu Indonesia. Jakarta. Indonesia Bain JS 1956. Barriers to New Competition. Harvard University Press, Cambridge. Baye M 2010. Managerial Economics and Business Strategy. Seventh Edition. Mc Graw-Hill/Irwin. Singapore Biro Pusat Statistik [BPS] 2001. Survey Tahunan Perusahaan Besar dan Sedang. Jakarta: BPS. Carlton DM dan JW Perloff 2000. Introduction to Industrial Organizzation. MIT Press. Church J R dan Ware R. 2000. Industrial Organization: A Strategic Approach. New York: McGraw-Hill. Collins, Norman R, Preston LE 1969. “Price-cost Margin and Industry Structure”. Review Economics and Statistics 51, hlm 304-314. Culha, A., dan Cihan, Y. 2005. The Determinant of the Price-Cost Margin of the Manufacturing Firms in Turkey. METU Studies in Development. Review 32. Page 303-331. Dahl D C dan J W Hammond. 1977. Market and Price Analysis. Mc Graw Hill, New York. Darmayanti 2007. Analisis Struktur, Kinerja dan Kluster Industri LogamDasar Besi dan Baja di Indonesia. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Daryanto A 2004. Ekonomi Industri [Bahan Kuliah]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Deaton A and Laroque G 1992. On the behavior of commodity prices. Review of Economic Studies, Number 59, pages 1-23. Disperindag 2012 Tinjauan Pasar Gula Pasir. Komoditi Spesialis Gula.Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Edisi 6.
51 Dixit A and Stiglitz J 1977. Monopolistic Competition and Optimum Product Diversity. American Economic Review. Vol. 67, pp. 297-308. Fitriani D 2005. Pengaruh Konsentrasi Industri Terhadap Kinerja Keuntungan dan Efisiensi Plywood di Indonesia. Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya. Palembang. GAPPMI 2010. Position Paper KPPU terhadap Kebijakan dalam Industri Gula. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia. Geroski P, Gregg P, Reenen JP 1996. Market Imperfections and Employment. OECD Economic Studies. Vol. 26, l996/11, pp. I 17- 156. Gujarati D 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah].Erlangga, Jakarta Hall RE I988. The relation between price and marginal cost in U.S. industry. Journal of Political Economy. Vol. 96, No. 5, pp. 921947. Hasibuan N 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi. Penerbit PT Pustaka LP3EM Indonesia, Jakarta. Hasibuan N 1994. Ancaman Kerapuhan Struktural dan Kinerja Industri Pengolahan di Indonesia. Kelola Gadjah Mada business Review, No 6/III. Yogyakarta. Indiani I 2006. Analisis Struktur-perilaku-kinerja industry susu di Indonesia. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jaya WK 2001. Ekonomi Industri. BPFE, Yogyakarta. Kemenperin 2013. Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. Koutsoyiannis A 1978. Theory of Econometrica. Edisi Kedua. Barnes dan Noble Books, New Jersey.Improved Procurement Systems (ELIPS). USAID-Pemerintah Indonesia. Kuncoro, dkk 2002. Struktur, Kinerja, dan Kluster Industri Rokok Kretek Indonesia 1996-1999. Universitas Gajah Mada. Martins, JO et al. 1996. Mark-up Pricing, Market Structure, and the Business Cycle. OECD Economic Studies. Number 27/II. Page 77-105 Miller, Roger L, Roger EM 2000. Teori Mikroekonomi Intermediate. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Nicholson W 1994. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions, 9th edition. Robiani 2002. Pengaruh Konsentrasi Industri Terhadap Perilaku dan Kinerja Industri Pengolahan Susu di Indonesia. Program Pascasarjana. Universitas Padjadjaran. Roeger W 1995. Can imperfect competition explain the difference between primal and dual productivity measures? Estimates for US manufacturing. Journal of Political economy. Vol. 103, NO. 2, pp. 3 16-330.
52 Rofieq M 2002. ”Pengujian Asumsi Dalam Penerapan Model Regresi”. Jurnal Penelitian Edisi Ilmu-Ilmu Teknik, 13: 347-358. Scherer FM 1990. Industrial Market Structure and Economics Performance. Houghton Miffing. Boston. Shepherd 1992. The Economics of Industrial Organization. Third Edition. Prentice Hall International. Silvester J 1993. The Market-power Foundations of Macroeconomic Policy. Journal of Economic Literature. Vol. 3 I, March, pp. 105- I4 I. Sudibiyo. 2002. Pemasaran Pertanian. Universitas Muhamadiyah Malang. Malang. Sudradjat H 2010. Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan Partisifasi Masyarakat. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Susila 2005. Analisis Kebijakan Industri Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 23 No. 1, Edisi Mei, halaman 30-53. Susila WR 2005. Pengengembangan Industri Gula Indonesia: Analisis Kebijakan dan Keterpaduan sistem Produksi. Desertasi S3. Institut Pertanian Bogor. Panzar J 1989. Technological determinants of firm and indussry structure. R. Schmalensee, and R. Willig (eds.). Handbook of Industrial Organization. North Holland. Amsterdam. PERHEPI 2012. Simposium Gula Nasional.News Paper PERHEPI. Edisi Nonvember. Wihana KJ 2001. Ekonomi Indusri. Edisi Revisi. Jogjakarta: BPFE UGM. Yang and Hwang 2001. Effects of Trade Liberalization on Domestic Prices: The Evidence From Korea, 1983-1995. Department of Economics California State University, Sacramento and Department of Economics University of California, Berkeley Yunianti S 2001. Implikasi Kebijakan Tepung Terigu Terhadap Industri Tepung Terigu dan Industri Makanan: Studi Kasus Industri Mi Instan [tesis]. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia, Jakarta.
53 LAMPIRAN 1 Unit Labour Cost (ULC) Industri Gula di Indonesia Tahun 1982-2011 (Rupiah) No Tahun 1 1982 2 1983 3 1984 4 1985 5 1986 6 1987 7 1988 8 1989 9 1990 10 1991 11 1992 12 1993 13 1994 14 1995 15 1996 16 1997 17 1998 18 1999 19 2000 20 2001 21 2002 22 2003 23 2004 24 2005 25 2006 26 2007 27 2008 28 2009 29 2010 30 2011 Sumber : BPS (Diolah)
ULC (Rp 000) 0.10976 0.116521 0.117309 0.137975 0.117139 0.12019 0.121219 0.108499 0.05529 0.062538 0.055403 0.063084 0.060166 0.071726 0.073164 0.08334 0.062098 0.068904 0.126681 0.126253 0.051109 0.050256 0.057415 0.068177 0.077826 0.045684 0.024918 0.032024 0.010036 0.10862
54 LAMPIRAN 2 Unit Material Cost (UMC) Industri Gula di Indonesia Tahun 1982-2011 (Rupiah) No Tahun 1 1982 2 1983 3 1984 4 1985 5 1986 6 1987 7 1988 8 1989 9 1990 10 1991 11 1992 12 1993 13 1994 14 1995 15 1996 16 1997 17 1998 18 1999 19 2000 20 2001 21 2002 22 2003 23 2004 24 2005 25 2006 26 2007 27 2008 28 2009 29 2010 30 2011 Sumber : BPS (Diolah)
UMC (Rp 000) 0.474996 0.5436 0.525323 0.474063 0.538305 0.632672 0.608387 0.706874 0.488724 0.248828 0.430123 0.051444 0.485862 0.469119 0.465478 0.448699 0.490779 0.379343 0.373323 0.306841 0.378146 0.392872 0.433799 0.421902 0.548958 0.452105 0.420792 0.358212 0.465348 0.938199
55 LAMPIRAN 3 Price Cost-margin (PCM) Industri Gula Indonesia Tahun 1982-2011 (%) No Tahun PCM (%) 1 1982 44.47177 2 1983 26.44835 3 1984 30.51748 4 1985 32.11896 5 1986 26.33219 6 1987 19.85133 7 1988 19.41457 8 1989 8.731876 9 1990 49.34895 10 1991 147.2089 11 1992 67.98516 12 1993 42.91104 13 1994 45.84979 14 1995 44.96757 15 1996 47.7143 16 1997 49.62396 17 1998 56.2097 18 1999 77.6861 19 2000 85.19353 20 2001 84.4215 21 2002 92.4854 22 2003 83.93719 23 2004 92.10544 24 2005 86.09839 25 2006 34.178 26 2007 60.73212 27 2008 105.2879 28 2009 89.21008 29 2010 95.80979 30 2011 -18.1974 Sumber : BPS (Diolah)
56 LAMPIRAN 4 Tingkat Efisiensi (X-eff) Industri Gula di Indonesia Tahun 1982-2011 (%) No Tahun 1 1982 2 1983 3 1984 4 1985 5 1986 6 1987 7 1988 8 1989 9 1990 10 1991 11 1992 12 1993 13 1994 14 1995 15 1996 16 1997 17 1998 18 1999 19 2000 20 2001 21 2002 22 2003 23 2004 24 2005 25 2006 26 2007 27 2008 28 2009 29 2010 30 2011 Sumber : BPS (Diolah)
X-eff (%) 62.80777 43.42328 48.25289 54.21429 43.55946 35.86736 36.21735 22.20748 67.06715 178.7012 87.14177 60.67511 66.03642 67.37847 70.27474 74.63349 72.31042 98.58448 119.7177 126.6637 107.7139 98.76316 109.9063 105.021 45.50189 72.11421 112.3046 100 99.92899 31.36618
57 LAMPIRAN 5 Ouput Hasil Estimasi OLS Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 08/28/14 Time: 13:39 Sample (adjusted): 1983 2011 Included observations: 29 after adjustments Convergence achieved after 11 iterations Variable
Coefficient
Std. Error
tatistic
ULC UMC X_EFF OPEN CR4 CR8 C AR(1)
-337.3288 -12.83483 0.901925 -4.562421 -0.104331 0.078584 16.73632 0.864397
38.70123 8.180271 0.037860 6.444647 0.062200 0.037427 13.70534 0.139231
R-squared Adjusted Rsquared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.981907
Mean dependent var
58.07525
0.975876 5.437125 620.8088 -85.57326 162.8118 0.000000
S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
35.00636 6.453328 6.830514 6.571458 1.500766
Inverted AR Roots
.86
-8.716231 -1.568998 23.82287 -0.707940 -1.677341 2.099698 1.221153 6.208376
Prob. 0.0000 0.1316 0.0000 0.4868 0.1083 0.0480 0.2356 0.0000
LAMPIRAN 6 Matriks Kolerasi Variabel Eksogen yang Terdapat pada Model Analisis PCM OPEN
ULC
UMC
X_EFF
CR4
1.000000
-0.391821
-0.076079
0.422222
0.329462
0.239509
ULC
-0.391821
1.000000
0.369710
-0.451448
0.011931
-0.077991
UMC
-0.076079
0.369710
1.000000
-0.653035
-0.050670
0.066913
X_EFF
0.422222
-0.451448
-0.653035
1.000000
0.138648
0.049918
CR4
0.329462
0.011931
-0.050670
0.138648
1.000000
0.769113
CR8
0.239509
-0.077991
0.066913
0.049918
0.769113
1.000000
OPEN
Sumber : BPS (Diolah)
CR8
Sumber: BPS
Tahun 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Total Nilai Input (000.Rp) 312329128 420867354 445965744 521575829 637800917 779463199 797177494 1107721037 993684128 557046307 1020611841 1270563122 1197519994 1167866414 1225540090 1181901000 1857617172 1791715624 2415021410 2355425052 4040213718 4800854797 4137760297 4584733312 8966218150 9690095454 15454722247 10738775227 20189235843 8704591987
Total Output (000.Rp) 521761489 613122847 674237968 835249973 937991474 1038684472 1105009336 1375788281 1661053279 1579505103 1932777204 2067668785 2044154427 2002334665 2134967663 2090072000 3246072287 3658302434 5332817261 6465357929 8441870336 9596192024 8760979074 9485417817 13046016705 17114143795 32811080669 28634041751 40364135840 11928298330
Nilai Tambah (000.Rp) 196166949 182754401 215191366 282768621 277822655 279572858 288716542 245996883 666435592 995448319 889379229 770915552 790799356 786890575 861245143 882094000 1343250843 1766353511 2891207717 2983467721 4351873107 4741476137 4547657526 4814930631 4079798555 6987936263 17356358422 10738775227 20174899997 2730297668
Total Upah Tenaga Kerja (000.Rp) 57268654 71441923 79093845 115243881 109875726 124839012 133947922 149272056 176062926 175426797 195514646 225703646 241738894 261729471 276487232 295587904 299089759 374439497 833765656 994982559 615265152 711773530 736555134 867549228 1015320378 1102935674 1084413545 1158704766 831635509 4314302749 Nilai Input Nilai Bahan Upah Baku (000.Rp) (000.Rp) 57268654 247834671 71441923 333293580 79093845 354192376 115243881 395961129 109875726 504925676 124839012 657146513 133947922 672273254 149272056 972509394 91840153 811796301 98779228 393024640 107081737 831331343 130436356 106368461 122988433 993177459 143619564 939332956 156201748 993779829 174186151 937813000 201575707 1593103556 252071668 1387752310 675564549 1990863361 816268718 1983839494 431458744 3192259990 482261732 3770073929 503013051 3800504702 646688605 4001921272 1015320378 7 161 716 882 781841160 7737383865 817591496 13806644932 916972916 10257051420 405103534 18783371989 1295654065 11191121527 PCM (%) 44.47177 26.44835 30.51748 32.11896 26.33219 19.85133 19.41457 8.731876 49.34895 147.2089 67.98516 42.91104 45.84979 44.96757 47.7143 49.62396 56.2097 77.6861 85.19353 84.4215 92.4854 83.93719 92.10544 86.09839 34.178 60.73212 105.2879 89.21008 95.80979 -18.1974
X-eff (%) 62.80777 43.42328 48.25289 54.21429 43.55946 35.86736 36.21735 22.20748 67.06715 178.7012 87.14177 60.67511 66.03642 67.37847 70.27474 74.63349 72.31042 98.58448 119.7177 126.6637 107.7139 98.76316 109.9063 105.021 45.50189 72.11421 112.3046 100 99.92899 31.36618
ULC 0.10976 0.116521 0.117309 0.137975 0.117139 0.12019 0.121219 0.108499 0.05529 0.062538 0.055403 0.063084 0.060166 0.071726 0.073164 0.08334 0.062098 0.068904 0.126681 0.126253 0.051109 0.050256 0.057415 0.068177 0.077826 0.045684 0.024918 0.032024 0.010036 0.10862
UMC 0.474996 0.5436 0.525323 0.474063 0.538305 0.632672 0.608387 0.706874 0.488724 0.248828 0.430123 0.051444 0.485862 0.469119 0.465478 0.448699 0.490779 0.379343 0.373323 0.306841 0.378146 0.392872 0.433799 0.421902 0.548958 0.452105 0.420792 0.358212 0.465348 0.938199
LAMPIRAN 7 Data Mentah Total Nilai Input, Total Nilai Output, Nilai Tambah, Total Upah Tenaga Kerja, Nilai Input Tenaga Kerja, Nilai Input Bahan Baku, PCM, X-eff, ULC, dan UMC Industri Gula Besar dan Sedang Tahun 1982-2011
58
ouput 4 Besar (000 Rp) 91976846 1.21E+08 1.13E+08 1.41E+08 1.67E+08 1.65E+08 1.91E+08 2.38E+08 3.2E+08 2.79E+08 2.88E+08 6.07E+08 3.11E+08 3.29E+08 1.54E+09 3.07E+08 3.05E+08 1.06E+09 1.75E+09 2.1E+09 1.83E+09 2.15E+09 2.17E+09 2.57E+09 2.8E+09 2.21E+09 9.8E+08 1.84E+10 3.77E+09 3.53E+09
Sumber : BPS
Tahun 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
Output 8 Besar (000 Rp) 1.56E+08 1.93E+08 1.13E+08 2.32E+08 2.79E+08 2.82E+08 3.29E+08 1.59E+09 5.35E+08 4.84E+08 4.94E+08 8.43E+08 5.54E+08 5.72E+08 6.07E+08 5.16E+08 5.15E+08 1.52E+09 2.46E+09 2.92E+09 2.65E+09 3.04E+09 3.08E+09 3.57E+09 4.72E+09 3.87E+09 4.8E+09 2.13E+10 6.66E+09
Output Total Industri 5.12E+08 6.02E+08 6.67E+08 8.02E+08 8.76E+08 1.07E+09 1.04E+09 1.33E+09 1.66E+09 1.58E+09 1.93E+09 2.07E+09 2.04E+09 2E+09 2.13E+09 2.09E+09 2.09E+09 3.15E+09 4.82E+09 6.47E+09 8.44E+09 8.99E+09 8.17E+09 9.49E+09 8.98E+08 1.71E+10 3.34E+10 2.87E+10 3.96E+10 2.69E+10
CR4 (%) 30.51 32.05636 17.00857 28.94569 31.85315 26.31109 31.81974 118.7943 32.22691 30.65172 25.54248 40.75692 27.08879 28.5891 28.41599 24.69657 24.65536 48.48492 51.11756 45.22777 31.38242 33.80612 37.65639 37.60441 525.6364 22.60557 14.37374 74.29235 16.83039 23.22643 51.40558
CR8 (%) 17.96389 20.0268 17.00857 17.61033 19.01789 15.39576 18.44533 17.82316 19.2864 17.63683 14.89246 29.37965 15.22148 16.42835 71.91739 14.68753 14.57067 33.67278 36.32528 32.43209 21.71954 23.86949 26.51894 27.08332 312.0613 12.90573 2.930703 64.24877 9.53691 13.08998 32.45691
LAMPIRAN 8 Data Mentah Output Empat Perusahaan Terbesar, Delapan Perusahaam Terbesar, Nilai CR4, dan CR8 Industri Gula Besar dan Sedang Tahun 1982-2011
59
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang Sumatera Selatan pada tanggal 27 September 1980, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak M Iksan dan Ibu Nursaniah. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar pada SD N 02 Tanjung Kemala kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan pada Tahun 1992, Tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP N 02 Mura Kuang Kecamatan Ogan Kombring Ilir Sumatera Selatan. Tahun 1998 penulis menyelesaikan studi di SMKN 1Gelumbang Muara Enim Sumatera Selatan. Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan Diploma 3 Pengelola Perkebunan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tahun 2009 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai peneliti dan konsultan di Kementerian Koperasi dan UKM sejak tahun 2002—2005, menjadi kepala Administrasi Bimbingan Belajar Bina Ilmi sejak tahun 2004-2005, pengelola dan pengajar Full Day Free School Aqwati, Bogor, serta menjadi pengelola dan pengajar home schooling Khairu Ummah Bogor hingga sekarang. Selama mengikuti program S-2, penulis menjadi anngota Perhepi, Bussiness Community Institut Pertanian Bogor, serta menjadisalah penulis buku gula dan telah diterbitkan oleh IPB press.