ANALISIS INTEGRASI PASAR GULA DOMESTIK DAN PASAR GULA DUNIA, SERTA PENGARUH ADANYA TARIF IMPOR: PENDEKATAN DENGAN METODE VAR
Oleh:
REINHARD DEMAKO CHRISTIANTO SIANTURI A14301009
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
RINGKASAN
REINHARD DEMAKO CHRISTIANTO SIANTURI. Analisis Integrasi Pasar Gula Domestik dan Pasar Gula Dunia, serta Pengaruh Adanya Tarif Impor: Pendekatan dengan Metode VAR. Di bawah bimbingan ISANG GONARSYAH. Menghadapi krisis ekonomi dan tekanan dari IMF (International Monetary Fund), pada tahun 1998 pemerintah mencabut monopoli impor gula oleh Bulog dan sekaligus mengeluarkan keputusan tentang liberalisasi perdagangan gula. Menarik untuk dikaji, mengapa dengan dicabutnya monopoli impor gula marjin harga antara pasar gula domestik dan pasar dunia cenderung meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis integrasi pasar gula domestik dengan pasar gula dunia, dan (2) menganalisis pengaruh kebijakan tarif impor gula terhadap integrasi pasar gula domestik dan dunia. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data deret waktu (time series) yang berjumlah 84 bulan (Januari 1998 hingga Desember 2004). Data harga gula domestik merupakan harga gabungan dari beberapa kota besar di Indonesia yang dikeluarkan oleh Dewan Gula Indonesia (DGI), sementara harga gula dunia merupakan harga yang terjadi di pasar lelang London (Inggris). Pengolahan data dilakukan dengan pendekatan metode Vector Autoregression (VAR), dan menggunakan perangkat lunak Mickrofit 4.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi integrasi pasar yang lemah antara pasar gula domestik dengan pasar gula dunia. Harga gula di pasar domestik dipengaruhi oleh harga gula dunia jenis raw sugar dan sekaligus menjadi pemimpin harga bagi gula domestik, sementara harga gula domestik tidak mempengaruhi secara nyata kedua jenis harga gula dunia (raw sugar dan white sugar). Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara net importer gula, sehingga kebijakan domestik dan fluktuasi harga gula kurang mempengaruhi harga gula dunia. Tarif impor yang diterapkan pemerintah Indonesia ternyata mempengaruhi integrasi pasar yang terjadi, namun secara umum dapat dikatakan bahwa tarif impor ini masih kurang efektif dan cenderung mendorong terjadinya penyelundupan. Pemerintah sebaiknya meninjau kembali kebijakan tarif impor gula, karena lebih cenderung mendorong terjadinya penyelundupan daripada peningkatan produktivitas dan efisiensi usahatani tebu dan industri gula domestik. Pemerintah diharapkan dapat memacu peningkatan produksi dan efesiensi produksi gula domestik melalui pemberian insentif kepada petani tebu dan industri gula. Penelitian lanjutan diharapkan dapat menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap integrasi pasar gula domestik dan pasar gula dunia, serta mampu menentukan besaran tarif impor gula yang cocok diberlakukan di Indonesia.
ANALISIS INTEGRASI PASAR GULA DOMESTIK DAN PASAR GULA DUNIA, SERTA PENGARUH ADANYA TARIF IMPOR: PENDEKATAN DENGAN METODE VAR
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: REINHARD DEMAKO CHRISTIANTO SIANTURI A14301009
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
Judul
: ANALISIS INTEGRASI PASAR GULA DOMESTIK DAN PASAR GULA DUNIA, SERTA PENGARUH ADANYA TARIF IMPOR: PENDEKATAN DENGAN METODE VAR
Nama
: Reinhard Demako Christianto Sianturi
NRP
: A14301009
Menyetujui, Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah NIP. 130 354 140
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus: 21 Desember 2005
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS INTEGRASI PASAR GULA DOMESTIK DAN PASAR GULA DUNIA, SERTA PENGARUH ADANYA TARIF IMPOR: PENDEKATAN DENGAN
METODE
VAR”
BELUM
PERNAH
DIAJUKAN
PADA
PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Desember 2005
Reinhard D.C Sianturi A14301009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tarutung-Tapanuli Utara, pada 19 Januari 1983. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara, dari keluarga Bapak Rasmin Sianturi dan Ibu Bertua Hutabarat. Penulis menempuh pendidikan pra sekolah di TK Santa Maria Tarutung pada tahun 1988. Pada tahun 1989 sampai tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan di SD Santa Maria Tarutung. Pada tahun 1995 sampai tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Santa Maria Tarutung. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Tarutung dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menempuh pendidikan di SMU, penulis pernah menjabat sebagai Ketua OSIS SMU Negeri 1 Tarutung pada tahun ajaran 2000/ 2001. Selama mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan yaitu UKM-PMK IPB (Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor) di Komisi Pelayanan dan Pemuridan (KPP). Pada semester ganjil tahun ajaran 2003/ 2004, penulis pernah menjadi asisten dosen M.K. Agama Kristen Protestan. Penulis juga aktif di organisasi kedaerahan, dan pernah menjabat sebagai Ketua Partaru (Persatuan Anak Rantau Tarutung) Bogor masa jabatan 2004/ 2005.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Analisis Integrasi Pasar Gula Domestik dan Pasar Gula Dunia, serta Pengaruh Adanya Tarif Impor: Pendekatan dengan Metode VAR”. Skripsi ini merupkan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap tulisan ini dapat diterima dan dimanfaatkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, dan pihak lain yang memerlukannya.
Bogor, Desember 2005
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah selaku dosen pembimbing, atas kesabarannya membimbing penulis selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini. 2. Dr. Ir. Harianto, MS selaku dosen penguji utama, atas segala kritik dan sarannya. 3. Dra. Yusalina, Msi selaku dosen penguji wakil departemen, terima kasih atas masukannya dalam penyempurnaan skripsi ini. 4. Bapak Hadi (Kepala Sekretariat DGI) beserta seluruh staf DGI, yang mengizinkan dan membantu penulis dalam pengambilan data. 5. Papa dan Mama yang senantiasa setia memberikan cinta kasih, dukungan, doa, dan semangat. 6. Ompung Pahae, Keluarga Lae Siagian, Keluarga Pak Juan, K’Minar, Keluarga besar Sianturi, Hutabarat dan Rajagukguk. 7. Adrian, SP, Msi dan John Sri Cay Simbolon, SP atas bantuannya. 8. Keluarga Sakura (Ko’Dre, B’Joe, Imron, Adit, Eko, Rogger, Ernest, Franky, Michael, Manris, Rimpun, Tommy, Boni, Dicky, Sir’Dav, Cardo, Tumpal, Hery, Togu, Kueng), Fina, dan tidak lupa kepada Ibu Kost. 9. Keluarga besar PARTARU Bogor dan MORVIE COMP. 10. EPS 38 dan EPS 39. 11. B’Ucok, Purwandaru, Rina, Tulus 38, Nia, Sari, Vininta, Tulus 39 dan Agus. 12. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR................................................................................
i
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................
ii
DAFTAR ISI .............................................................................................
iii
DAFTAR TABEL......................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
vii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.............................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 1.4. Kegunaan Penelitian...................................................................... 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian..................................
1 1 3 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Tentang Harga Gula ..................................... 2.2. Penelitian Terdahulu Tentang Integrasi Pasar Gula........................ 2.3. Penelitian Terdahulu Tentang Pengaruh Tarif Impor Gula .............
5 6 8
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ......................................................... 3.1.1. Integrasi Pasar ...................................................................... 3.1.1.1. Integrasi Pasar Spasial ................................................. 3.1.1.2. Integrasi Pasar Vertikal................................................ 3.1.2. Pengaruh Intervensi Kebijakan Proteksi Negara Importir Terhadap Harga........................................... 3.1.3. Analisis Model Integrasi Pasar.............................................. 3.1.4. Model Vector Autoregression (VAR) ................................... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .................................................. IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 4.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data........................................... 4.2.1. Penstasioneran Data.............................................................. 4.2.2. Penentuan Ordo Vektor Autoregresi ..................................... 4.2.3. Model Integrasi Pasar Gula................................................... 4.2.4. Pendugaan Koefisien ............................................................ 4.3. Hipotesis Penelitian....................................................................... 4.4. Definisi Operasional......................................................................
10 10 11 15 16 17 19 20 24 25 25 27 27 28 28 29
V. EKONOMI GULA 5.1. Kondisi Pasar Gula Dunia ............................................................. 5.2. Kondisi Pasar Gula Indonesia ........................................................ 5.2.1. Produksi Gula Indonesia....................................................... 5.2.2. Konsumsi Gula Indonesia ..................................................... 5.2.3. Impor Gula Indonesia ........................................................... 5.3. Perkembangan Harga Gula ............................................................ VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Eksplorasi Data ............................................................................. 6.2. Hasil Pendugaan Integrasi Pasar .................................................... 6.2.1. Penstasioneran Data.............................................................. 6.2.2. Penentuan Ordo Vektor Autoregresi ..................................... 6.2.3. Penentuan Model Integrasi Pasar Gula.................................. 6.2.4. Pendugaan Koefisien ............................................................ 6.2.5. Uji Kebaikan Model ............................................................. 6.3. Pembahasan................................................................................... 6.3.1. Analisis Integrasi Pasar Gula Domestik dengan Pasar Gula Dunia.................................................................. 6.3.2. Analisis Pengaruh Tarif Impor Gula dalam Integrasi Pasar ...
31 36 37 38 40 41 44 45 45 46 47 47 51 53 53 55
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ................................................................................... 7.2. Saran .............................................................................................
58 58
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
60
LAMPIRAN ..............................................................................................
63
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Produksi, Penawaran dan Konsumsi Gula Dunia Tahun 1989/1990 sampai 1999/2000 (juta ton) ...............................
32
2. Negara Eksportir Utama Gula Dunia Tahun 1995/1996-1999/2000..........................................................
34
3. Negara Importir Utama Gula Dunia Tahun 1995/1996-1999/2000..........................................................
35
4. Luas Areal Tebu, Produksi Tebu dan Produksi Gula di Indonesia Tahun 1993-1994 ...........................................................................
38
5. Konsumsi, Produksi dan Konsumsi Per Kapita Gula Indonesia Tahun 1993-2002 ...........................................................
39
6. Impor Gula Indonesia Tahun 1993-2002.........................................
41
7. Hasil Uji Kestasioneran Data .........................................................
46
8. Koefisien Model VAR Integrasi Pasar Gula Domestik dengan Pasar Gula Dunia............................................................................
48
9. Diagnostic Test Model VAR .........................................................
52
10. Perbadingan Volume Impor Gula Dunia Jenis Raw Sugar dan White Sugar, Tahun 1999-2004 .....................................................
54
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Fluktuasi Harga Gula Domestik dan Harga Gula Dunia Tahun 1995-2004 ...........................................................................
2
2. Kurva Supply dan Demand Pasar Potensial Surplus dan Pasar Potensial Defisit.................................................
12
3. Kurva Excess Supply (Pasar A) dan Excess Demand (Pasar B) dalam Perdagangan .........................................................
13
4. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor................................................
17
5. Keterkaitan Harga Gula Domestik dengan Harga Gula Dunia.........
21
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data Tentang Gula ........................................................................
63
2. Plot Data .......................................................................................
66
3. Uji Kestasioneran Data ..................................................................
68
4. Hasil Estimasi Model VAR ...........................................................
72
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi pangan pokok yang memiliki arti dan posisi strategis di Indonesia. Permintaan gula cenderung meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat pendapatan perkapita. Permintaan gula yang tinggi ini tidak dapat diimbangi oleh penawaran gula domestik akibat menurunnya produksi gula domestik. Kekurangan supply gula di pasar domestik dipenuhi pemerintah dengan melakukan impor gula oleh Bulog. Menghadapi krisis ekonomi dan tekanan dari IMF (International Monetary Fund), pemerintah kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 1998 tentang pelaksanaan liberalisasi perdagangan gula, artinya impor gula tidak lagi dimonopoli oleh
Bulog.
Kebijakan ini sekaligus mengawali terjadinya persaingan antara gula lokal dan gula dunia, serta keterkaitan antara harga gula di pasar domestik dengan harga gula di pasar dunia.
1.2. Perumusan Masalah Kebijakan
pemerintah
Indonesia
dalam
pemberlakuan
liberalisasi
perdagangan gula telah menimbulkan peningkatan volume impor gula yang cukup tajam, bahkan sering menimbulkan kelebihan impor gula yang mencapai puncaknya pada tahun 1999 yaitu sebesar 1,259,304 ton (Lampiran 1). Hal ini disebabkan oleh pemberlakuan liberalisasi perdagangan yang tidak diikuti oleh penetapan tarif impor.
Tingginya volume gula impor di pasar domestik menyebabkan harga gula domestik cenderung menurun pada saat itu (Gambar 1). Peningkatan impor ini diatasi pemerintah dengan menerapkan tarif impor gula sejak Januari 2000, dengan harapan dapat menurunkan laju volume impor gula dan meningkatkan harga gula domestik agar tidak terlalu rendah akibat rendahnya harga gula impor.
6000
Monopoli Bulog
5000
Era Liberalisasi Perdagangan
P dom (1) P raw (2) P white (3)
(1)
Rp/Kg
4000 3000
(3)
2000
(2)
1000
zero tariffs
specific tariffs
M
EI SE P Ja n98 M EI SE P Ja n99 M EI SE P Ja n00 M EI SE P Ja n01 M EI SE P Ja n02 M EI SE P Ja n03 M EI SE P Ja n04 M EI SE P
Ja
n-
97
0
advalorem tariffs
B ulan
Keterangan
: * Pdom = harga gula domestik; Praw = harga gula dunia jenis raw sugar; Pwhite = harga gula dunia jenis white sugar. * zero tariffs = 0; advalorem tariffs = 20-25 persen per Kg; specific tariffs = Rp 500 - Rp700 per Kg.
Gambar 1. Fluktuasi Harga Gula Domestik dan Harga Gula Dunia, Tahun 1997-2004. Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2005 (diolah).
Keterkaitan pasar gula domestik dengan pasar gula dunia menyebabkan adanya transmisi harga diantara kedua pasar, sehingga fluktuasi harga yang terjadi di pasar gula dunia akan segera direspons oleh pasar gula domestik. Fluktuasi harga gula domestik dan harga gula dunia dapat dilihat pada Gambar 1. Terlihat bahwa setelah Indonesia meliberalisasi pasar gulanya sejak tahun 1998, pergerakan harga gula domestik cenderung mengikuti pergerakan harga gula dunia. Hal ini berbeda dengan kondisi pada era monopoli Bulog (sebelum liberalisasi perdagangan gula).
Apabila diamati perkembangan harga gula domestik dan harga gula dunia pada era liberalisasi perdagangan, marjin harga yang terjadi menunjukkan tren yang meningkat. Tren marjin yang meningkat ini disebabkan oleh peningkatan harga gula domestik dan penurunan harga gula dunia. Selama marjin antara gula domestik dan gula dunia tetap tinggi, volume impor gula akan tetap tinggi, dan dapat memacu terjadinya penyelundupan. Tren marjin yang meningkat ini juga signifikan dengan peningkatan tarif impor yang terjadi di pasar gula domestik. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana sebenarnya integrasi pasar gula domestik dengan pasar gula dunia? Pertanyaan ini muncul dengan melihat harga gula domestik yang menunjukkan tren meningkat, berbeda dengan harga gula dunia yang cenderung menurun, padahal Indonesia telah meliberalisasi perdagangan gulanya. Apakah tarif impor berperan dalam hal ini? Dengan demikian, perlu diketahui bagaimana pengaruh penetapan tarif impor gula terhadap integrasi pasar yang terjadi.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis integrasi pasar gula domestik dengan pasar gula dunia. 2. Menganalisis pengaruh kebijakan tarif impor gula terhadap integrasi pasar gula domestik dan pasar gula dunia.
1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat. Bagi pemerintah, dapat memberikan gambaran tentang keadaan perekonomian gula Indonesia. Dengan demikian pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang tepat dan bermanfaat bagi pelaku ekonomi gula, dengan lebih dahulu meninjau kebijakan yang diterapkan selama ini dan merencanakan kebijakan di masa mendatang. Bagi penulis, untuk mempelajari lebih dalam keadaan pergulaan yang menjadi topik yang diminati dalam tugas akhir dan memperkaya pengetahuan tentang gula. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi perkembangan harga gula di pasar domestik dan pasar dunia. Harga gula yang digunakan adalah harga dari jenis gula yang jumlahnya paling banyak dikonsumsi, diproduksi dan diperdagangkan masyarakat Indonesia yaitu gula pasir (gula tebu). Sementara gula dunia diwakili oleh raw sugar (gula kasar) dan white sugar (gula putih). Penelitian ini dibatasi hanya menganalisis integrasi pasar yang terjadi antara pasar gula domestik dan pasar gula dunia, dimana komponen pasar yang diteliti adalah harga gula. Penelitian ini juga menyertakan analisis pengaruh tarif impor gula terhadap integrasi pasar yang terjadi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu Tentang Harga Gula Abidin (2000) mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga gula dunia dan harga gula domestik serta dampak liberalisasi perdagangan gula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga gula dunia dipengaruhi oleh ekspor dunia, impor dunia dan bedakala harga gula dunia. Dikatakan bahwa harga gula dunia relatif stabil dalam jangka pendek, sementara dalam jangka panjang sulit mencapai harga gula dunia yang stabil, karena ditentukan oleh jumlah ekspor dan impor dunia. Analisis terhadap harga gula domestik dibedakan antara harga gula di pedagang besar dan harga gula di pedagang pengecer. Harga gula di pedagang besar dipengaruhi oleh marjin pemasaran pedagang besar, harga provenue, stok gula domestik oleh Bulog dan variabel bedakala harga gula di pedagang besar. Variabel yang mempengaruhi harga gula di pedagang pengecer adalah marjin pemasaran pedagang pengecer, tingkat inflasi, dan variabel bedakala harga gula domestik di pedagang pengecer. Suhendratno (2004) melakukan analisis tren harga gula impor dan faktorfaktor yang mempengaruhi harga gula domestik. Hasil analisisnya mengatakan bahwa tren harga gula impor di Indonesia terus mengalami peningkatan. Tren harga yang terus meningkat ini disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara permintaan dengan penawaran gula nasional, rantai tataniaga yang tidak normal dan distribusi gula yang tidak merata ke seluruh daerah. Selanjutnya dikatakan
bahwa yang mempengaruhi harga gula domestik adalah volume impor gula (berpengaruh negatif) dan harga gula impor (berpengaruh positif). Berdasarkan penelusuran hasil penelitian terdahulu tentang harga gula, dapat disimpulkan bahwa harga gula dunia cenderung dipengaruhi oleh ekspor dan impor gula dunia. Indonesia sebagai negara net importer gula, harga gula domestik akan dipengaruhi oleh volume dan harga gula di pasar dunia. Hal ini menunjukkan peran Indonesia dalam pembentukan harga gula dunia cukup rendah dan dapat dikatakan hanya sebagai penerima harga (price taker).
2.2. Penelitian Terdahulu Tentang Integrasi Pasar Gula Hutabarat (1988) melakukan penelitian mengenai keterpaduan pasar gula pasir di pulau Jawa dengan menggunakan model Autoregressive Distributed Lag. Data yang digunakan adalah harga konsumen bulanan ibukota propinsi di Jawa mulai dari April 1969 hingga Februari 1986. Pasar acuan dalam penelitian ini adalah Jakarta dan pasar lokal adalah Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya. Berdasarkan hasil analisis terhadap harga mengatakan bahwa harga di pasar acuan (Jakarta) selalu lebih rendah daripada harga di keempat kota lain yang merupakan pasar lokal, namun terdapat keterpaduan pasar yang cukup erat antara pasar Jakarta dengan keempat pasar tersebut. Analisis keterpaduan pasar memperlihatkan bahwa keterpaduan jangka panjang terjadi antara Jakarta dengan pasar di Semarang, Yogyakarta dan Surabaya, sedangkan Jakarta dengan Bandung tidak. Akan tetapi,
Bandung
memiliki keterpaduan jangka pendek yang terbaik dengan Jakarta dibanding ketiga pasar lokal lainnya, dan yang terburuk terhadap Surabaya. Dapat
disimpulkan bahwa keterpaduan pasar jangka panjang dan jangka pendek dipengaruhi oleh jarak pasar acuan dengan pasar lokal. Hermanto (1999) menganalisis integrasi pasar vertikal antara pasar produsen (PT. PG. Rajawali II), pasar pedagang besar di Jakarta dan pasar pedagang pengecer di Jakarta dan Bandung, dengan menggunakan metode autoregresi. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terjadi integrasi pasar jangka pendek maupun jangka panjang antara PT. PG. Rajawali II dengan pasar pedagang besar (Jakarta) dan pasar pedagang pengecer (Jakarta dan Bandung). Hal ini disebabkan oleh tidak sepenuhnya informasi pasar disalurkan ke pasar lokal. Menurut hasil pengamatan, terdapat beberapa hal yang mempengaruhinya, yakni PT. PG. Rajawali II mampu menganalisis kekuatan pasar, sehingga informasi yang dimiliki digunakan untuk mendapatkan profit yang lebih besar. Kedua, karena besarnya biaya tataniaga akibat situasi perekonomian yang tidak stabil, hal ini ditunjukkan dengan tingginya tingkat inflasi dan fluktuasi nilai kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika. Berdasarkan penelusuran penelitian terdahulu terhadap integrasi pasar gula, dapat disimpulkan bahwa apabila dua buah pasar terintegrasi, gejolak harga yang terjadi di pasar acuan akan disalurkan ke pasar lokal. Akan tetapi, pada umumnya harga yang terjadi di pasar acuan lebih rendah daripada harga di pasar lokal. Keterpaduan pasar terjadi karena lancarnya informasi yang mengalir dari pasar acuan ke pasar lokal, apabila terdapat hambatan perdagangan integrasi pasar tidak akan terjadi.
maka
2.3. Penelitian Terdahulu Tentang Pengaruh Tarif Impor Gula Widowati (2003) menganalisis tentang pengaruh tarif impor gula terhadap industri gula Indonesia dengan membandingkan tarif impor nol persen dan 25 persen. Pengaruh penetapan tarif impor sebesar 25 persen adalah peningkatan harga eceran gula di pasar domestik, peningkatan luas areal tanam tebu, peningkatan produksi gula domestik dan mampu mengurangi volume impor, apabila dibandingkan dengan tarif impor sebesar nol persen. Suparno (2004) menganalisis tentang pengaruh penurunan tarif impor gula pasca liberalisasi perdagangan gula, dan hasil analisisnya mengatakan bahwa penurunan tarif impor akan menyebabkan kenaikan impor gula. Peningkatan impor gula ini akan meningkatkan harga gula impor dengan perbandingan 2,5 kali lipat. Kenaikan harga impor tersebut akan menurunkan harga nominal eceran gula domestik, sehingga akan menurunkan permintaan gula domestik dari rumah tangga dan industri. Dampak kenaikan impor gula yang diakibatkan oleh penurunan tarif impor gula ini adalah penurunan produksi tebu dan gula domestik serta terdistorsinya pasar gula dalam negeri. Penelitian terdahulu mengenai tarif impor gula menunjukkan bahwa penurunan tarif impor gula berdampak sangat buruk terhadap pergulaan Indonesia. Namun apabila tarif impor ditingkatkan, dapat memberikan hasil yang positif karena mampu memperbaiki kondisi pergulaan Indonesia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini mengukur tingkat integrasi pasar gula domestik dengan pasar gula dunia, dengan menggunakan metode Vektor Autoregressive (VAR). Kemudian dilanjutkan dengan menganalisis pengaruh retriksi perdagangan berupa kebijakan tarif impor
terhadap integrasi yang terjadi. Sejauh pengamatan dan tinjauan pustaka yang dilakukan oleh penulis, penelitian mengenai integrasi pasar gula domestik dan pasar gula dunia dengan menggunakan metode VAR belum pernah dilakukan.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Integrasi Pasar Goletti dan Christina-Tsigas (1996) mendefinisikan integrasi pasar sebagai kondisi yang dihasilkan akibat tindakan pelaku pemasaran serta lingkungan pemasaran yang mendukung terjadinya perdagangan, yang meliputi infrasruktur pemasaran dan kebijakan pemerintah, yang menyebabkan harga di suatu pasar ditransformasikan ke pasar lainnya. Suryana (1998) mengartikan integrasi pasar sebagai hubungan yang erat antara kekuatan supply dan demand pada suatu pasar terhadap kekuatan supply dan demand pada pasar lainnya. Sementara Simatupang dan Situmorang (1988) mengatakan bahwa dua pasar terpadu apabila perubahan harga di salah satu pasar dirambatkan ke pasar lain, semakin cepat perambatan semakin terpadu pasarnya. Keterpaduan pasar terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai, dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari suatu pasar ke pasar lain. Dengan demikian, fluktuasi perubahan harga yang terjadi pada suatu pasar dapat segera ditangkap oleh pasar lain. Hal ini pada gilirannya merupakan faktor yang dapat digunakan sebagai sinyal dalam pengambilan keputusan produsen. Di samping itu keterpaduan pasar dapat terjadi karena kemajuan tehnologi. Kemajuan tehnologi industri dapat menghasilkan komoditi yang menjadi subtitusi bagi komoditi lain sehingga harga komoditi tersebut tidak independen lagi. Berdasarkan hubungan pasar yang dianalisis, integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a) integrasi pasar spasial, merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional lainnya, dan
b) integrasi pasar vertikal, merupakan tingkat keterkaitan hubungan suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah integrasi pasar spasial, karena pasar domestik terpisah secara geografis dengan pasar dunia.
3.1.1.1. Integrasi Pasar Spasial Menurut Tomek dan Robinson (1990), integrasi pasar spasial digambarkan sebagai hubungan harga dari pasar yang terpisah secara geografis. Konsep ini dapat diterangkan dengan menggunakan model keseimbangan spasial (spatial equilibrium model). Model ini dikembangkan dengan menggunakan kurva excess supply dan excess demand pada dua wilayah yang melakukan perdagangan. Harga yang terbentuk pada masing-masing pasar dan jumlah komoditi yang diperdagangkan dapat diduga melalui model ini. Analisis integrasi pasar spasial membagi pasar dalam dua kategori antara lain pasar yang berpotensi surplus atau berlebih (potential surplus market) dan pasar yang berpotensi defisit atau kekurangan (potential deficit market). Prinsip yang digunakan untuk mengembangkan model perdagangan antar daerah digambarkan dengan bantuan diagram yang menunjukkan fungsi supply dan demand dari masing-masing pasar, dan dijelaskan pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan apabila tidak ada perdagangan maka harga yang terjadi adalah PA di pasar A dan PB1 di pasar B dimana PA < PB1. Kelebihan persediaan di pasar A (ESA) akan mendorong pelaku pasar di pasar tersebut menjual kelebihan persediaanya ke pasar lain, sedangkan pelaku di pasar B akan
mendatangkan komoditi dari pasar lain untuk memenuhi kelebihan permintaan (EDB1) di pasar B.
Pasar A (Potensial Surplus)
Pasar B (Potensial Defisit) SB
ESA
SA
EDB1
Pe PA
PB2 PB1
EDB2
DB2 DB1
DA
Gambar 2. Kurva Supply dan Demand Pasar Potensial Surplus dan Pasar Potensial Defisit. Sumber: Tomek dan Robinson, 1990.
Pengembangan model keseimbangan spasial dapat dilakukan dari Gambar 2 dengan mengembangkan kurva kelebihan penawaran (excess supply) dan kelebihan permintaan (excess demand) untuk menjelaskan hubungan harga akibat perdagangan yang terjadi di antara dua pasar. Kelebihan penawaran adalah selisih antara jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga pada waktu tertentu, yang akan meningkat dengan semakin tingginya harga dan akan bernilai nol pada saat terjadi keseimbangan pasar A (PA). Kelebihan permintaan adalah selisih antara jumlah yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang akan meningkat
dengan semakin rendahnya harga dan akan bernilai nol pada saat terjadi keseimbangan pasar B (PB1). Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah searah dengan perubahan kekuatan supply dan demand pada masing-masing pasar. Apabila terjadi peningkatan demand akibat peningkatan populasi di pasar B, excess demand akan bertambah dari EDB1 ke EDB2, sehingga pasar B membutuhkan tambahan supply dari pasar A. Hubungan antara kurva excess supply dan excess demand dalam keseimbangan pasar spasial dapat ditunjukkan oleh Gambar 3.
P ESA PEB2 PB1 PEB1 PE PEA2 PEA1 PA
EDB1 EDB1
PB2-PA
x’
PB1-PA
x
t y QE1
QE2
y’ QE
QE’
Q
Gambar 3. Kurva Excess Supply (Pasar A) dan Excess Demand (Pasar B) dalam Perdagangan. Sumber : Tomek dan Robinson, 1990.
Apabila tidak ada biaya perdagangan maka kurva excess supply dan excess demand berpotongan pada tingkat harga PE, dan sejumlah QE akan diperdagangkan pasar A ke pasar B. Volume perdagangan akan semakin rendah dengan adanya biaya perdagangan. Efek biaya perdagangan terhadap jumlah dan harga keseimbangan dapat diilustrasikan dengan mengembangkan garis volume perdagangan (volume of trade line), yang digambarkan oleh garis xy. Perdagangan tidak terjadi apabila biaya perdagangan sebesar PB1-PA dan mencapai maksimum jika tidak ada biaya transfer. Apabila terdapat biaya transfer sebesar t, keseimbangan terjadi pada jumlah yang diperdagangkan sebesar QE, dengan harga keseimbangan PEA1 di pasar A dan PEB1 di pasar B. Pergeseran kurva demand di pasar B akibat peningkatan jumlah penduduk akan mengakibatkan peningkatan harga di pasar B. Pergeseran ini menyebabkan excess demand meningkat dan menggeser kurva excess demand ke kanan (EDB1 ke EDB2). Perubahan ini menyebabkan garis perdagangan bergeser ke kanan (xy ke x’y’ ). Perdagangan tidak akan terjadi pada saat biaya transfer sebesar PB2 - PA dan mencapai maksimum (QE’) saat biaya transfer sama dengan nol. Apabila biaya transfer tetap sebesar t maka keseimbangan akan terjadi pada jumlah perdagangan sebesar QE2 dengan harga keseimbagan PEA2 di pasar A dan PEB2 di pasar B. Keterangan di atas menjelaskan bahwa perubahan harga di suatu pasar akibat perubahan kekuatan pasar, akan menyebabkan perubahan harga di pasar lain yang melakukan perdagangan dengan pasar tersebut. Restriksi perdagangan akan meningkatkan biaya transfer sehingga perdagangan akan terus berlangsung sampai biaya transfer sama dengan selisih harga. Jika hal ini terjadi maka pelaku pasar tidak akan memperoleh keuntungan
dalam melakukan perdagangan antar pasar. Hal ini mengakibatkan transfer excess supply maupun excess demand tidak terjadi, dan harga akan bergerak secara individu pada masing-masing pasar. Sementara Barret dan Li (2002) mengemukakan bahwa integrasi pasar dan keterkaitan harga dapat terjadi bila pelaku pasar melakukan perdagangan dan transfer komoditas antar pasar.
3.1.1.2. Integrasi Pasar Vertikal Integrasi pasar vertikal penting diketahui untuk melihat tingkat keeratan hubungan antar pasar produsen dan ritel (pedagang). Pasar produsen adalah pasar yang di dalamnya bekerja kekuatan permintaan dari pedagang dan kekuatan penawaran dari produsen, sedangkan pasar ritel adalah pasar yang di dalamnya bekerja kekuatan permintaan dari konsumen akhir dan penawaran dari pedagang. Suatu pasar dikatakan terintegrasi vertikal dengan baik apabila harga pada suatu lembaga pemasaran ditransformasikan kepada lembaga pemasaran lainnya dalam satu rantai pemasaran. Kajian tentang integrasi pasar penting dilakukan untuk melihat sejauh mana kelancaran informasi dan efisiensi pemasaran pada pasar. Tingkat keterpaduan pasar yang tinggi menunjukkan telah lancarnya arus informasi diantara lembaga pemasaran sehingga harga yang terjadi pada pasar yang dihadapi oleh lembaga pemasaran yang lebih rendah dipengaruhi oleh lembaga pemasaran yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan apabila arus informasi berjalan dengan lancar dan seimbang, tingkat lembaga pemasaran yang lebih rendah mengetahui informasi yang dihadapi oleh lembaga pemasaran di atasnya, sehingga dapat menentukan posisi tawarnya dalam pembentukan harga.
3.1.2. Pengaruh Intervensi Kebijakan Proteksi Negara Importir Terhadap Harga Proses pembentukan harga gula dunia dalam perdagangan bebas ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan dunia. Tetapi saat ini negara eksportir dan importir gula dunia mempunyai kepentingan masing-masing, sehingga proses pembentukan harga gula dunia juga ditentukan oleh intervensi kebijakan dari pemerintah terhadap gula. Dampak pemberlakuan proteksi berupa tarif impor di negara importir (contohnya Indonesia) dapat dilihat pada Gambar 3. Dengan asumsi ada satu negara net importer gula yang mengimpor gula dari pasar dunia, dan proteksi yang dilakukan negara tersebut tidak dapat mengubah harga gula dunia maupun harga gula di negara eksportir (Salvatore, 1997). Harga awal yang terjadi di pasar domestik adalah Pm0, yang merupakan keseimbangan antara permintaan gula domestik (Dm) dan penawaran gula domestik (Sm). Harga gula dunia adalah Pw yang merupakan keseimbangan antara permintaan gula dunia (Dxm0) dan penawaran gula dunia (Sxm0). Posisi harga gula dunia yang lebih rendah dibanding harga gula domestik (Pw < Pm0) mendorong negara importir melakukan impor gula sebesar M1M2. Apabila dengan alasan tertentu negara importir memberlakukan proteksi (tarif impor sebesar Tm), maka harga yang terjadi di negara importir menjadi lebih mahal dibanding harga dunia yakni Pm1 = Pw(1+Tm), dimana Pm1 > Pw. Perubahan harga domestik menjadi Pm1 akan mengakibatkan penurunan jumlah impor menjadi M3M4 dari M1M2, dan sekaligus menurunkan volume perdagangan gula dunia dari XM0 menjadi XM1. Penurunan volume impor ini disebabkan oleh penurunan jumlah permintaan domestik di negara importir sebagai respons dari
kenaikan harga domestik oleh tarif impor. Jadi pengaruh proteksi di negara importir adalah peningkatan harga domestik dan penurunan volume impor.
a. Pasar Dunia
b. Pasar Negara Importir
P Sxm0
P Pm0
Sm
Pm1
Tm
Pw
Dm
Dxm0
XM1 XM0 XM2
M1 M3
M4 M2
Gambar 4. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor Sumber: Salvatore, 1997.
3.1.3. Analisis Model Integrasi Pasar Analisis keterpaduan pasar dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: a) pendekatan metode korelasi, dengan menghitung Total Sum Square Correlation antara harga yang bergerak secara bersamaan pada pasar yang diuji, b) metode regresi sederhana, dan c) Vector Autoregression (VAR). Ketiga metode tersebut menelaah keterpaduan pasar dengan menggunakan harga komoditi dalam deret waktu (time series) sebagai input data untuk melakukan analisis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VAR. Pendekatan
dengan
menggunakan
metode
korelasi
hanya
dapat
menjelaskan tingkat keterkaitan antara pasar tetapi tidak dapat menentukan besarnya pengaruh atau saling mempengaruhi diantara pasar yang diuji. Hutabarat
(1988) mengatakan bahwa pendekatan dengan menggunakan koefisien korelasi dapat memberikan kesimpulan yang keliru, karena pergerakan harga yang terjadi bisa saja dikarenakan pasar memiliki kesamaan faktor yang mempengaruhi harga. Misalkan suatu perdagangan antar pasar dengan biaya tinggi, tetapi pada kedua pasar tersebut terjadi perubahan yang sama terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi harga, maka harga yang berlaku dapat bergerak secara bersamasama. Hal di atas menyebabkan harga di kedua pasar tersebut dapat menunjukkan korelasi yang tinggi meskipun pasarnya tidak terintegrasi. Pendekatan lain yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan model regresi sederhana. Model ini menjelaskan bahwa harga di suatu pasar merupakan fungsi dari harga pada pasar lainnya. Kelemahan dari model ini adalah tidak dapat memisahkan harga sebagai variabel independen dan variabel dependen karena model dari regresi sederhana ini memiliki sifat inverse. Namun pendekatan dengan metode ini relatif lebih unggul dari metode korelasi karena dapat menunjukkan nilai keeratan hubungan antara pasar yang terintegrasi. Sedangkan pendekatan menggunakan metode VAR dapat menunjukkan pasar yang bertindak sebagai pemimpin harga dan pasar yang bertindak sebagai pengikut harga. Metode ini juga dapat menentukan nilai keterkaitan antara pasar yang diuji. Model ini dikembangkan oleh Ravallion pada tahun 1986 dengan dasar bahwa harga di suatu pasar dipengaruhi oleh harga di masa yang lalu (lampau), karena reaksi dari perubahan arus barang terhadap harga membutuhkan waktu untuk terjadi. Keunggulan model VAR antara lain mampu mengungkapkan secara terperinci tentang peran pasar acuan, arah transmisi harga, kecepatan transmisi
harga, tingkat keterisolasian dan tingkat keterpaduan pasar (Natawijaya, 2001). Model ini juga dapat menunjukkan besarnya pengaruh perubahan harga yang terjadi di suatu pasar akibat faktor musiman dan faktor lain yang terjadi di pasar tersebut.
3.1.4. Model Vector Autoregression (VAR) Model Vektor Autoregresi atau yang lebih dikenal dengan VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Jadi peubah penjelas dalam VAR meliputi nilai lag dari peubah tak bebas (dependen) yang ada dalam sistem persamaan. VAR dengan ordo p dan peubah n buah tak bebas pada waktu ke-t dapat dimodelkan sebagai: Yt = a0 + a1yt-1 + a2yt-2 + ... + apyt-p + åt dimana: Yt a0 ai
åt n m
: vektor peubah tak bebas (y1.t, y2.t,..., yn.t) yang berukuran n x 1 : vektor intersep berukuran n x 1 : matriks parameter berukuran n x m untuk setiap i = 1, 2,..., p : vektor sisaan (å1.t, å2.t, ..., ån.t) yang berukuran n x 1 : jumlah baris pada matriks n x m : jumlah kolom pada matriks n x m
atau dapat juga disusun dalam bentuk matriks sebagai berikut: Y1t a0t a11 Y2t a0t a21 Y3t = a0t + a31 Y4t a0t a41
a12 a22 a32 a42
a13 a23 a33 a43
a14 a24 a34 a44
å1t y1t å2t y2t y3t + å3t å4t y4t
Peubah yk (k = 1, 2,..., n) memiliki persamaan parsial sebagai berikut: Yk.t = ak0 + ak1(1)y1.t-1 + ak2(1) y2.t-1 + ... + akn(1)yn.t-1 + ak1(2)y1.t-2 + ak2(2) y2.t-2 + ... + akn(2)yn.t-2 + ... + ak1(p)y1.t-p + ak2(p)y2.t-p + ... + akn(p)yn.t-p + åk.t Dengan akj(L) adalah unsur baris ke-k dan kolom ke-j dari matriks AL, dapat diartikan sebagai koefisien peubah ke-j pada persamaan parsial peubah ke-k, dimana L = 1, 2, ..., p dan j = 1, 2, ..., n. Asumsi yang harus dipenuhi dalam metode VAR adalah: 1. Semua peubah tak bebas harus bersifat stasioner. 2. Semua sisaan bersifat white noise, yakni memiliki rataan nol, ragam konstan dan saling bebas.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Pembentukan harga gula di suatu negara yang menganut perekonomian terbuka akan dipengaruhi oleh harga gula di pasar dunia. Secara garis besar keterkaitan antara harga gula di pasar domestik dan harga gula di pasar dunia dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa perubahan suatu komponen akan dipengaruhi oleh keadaan komponen lain dan biasanya akan terjadi efek balik pada periode yang sama ataupun periode berikutnya. Adanya intervensi kebijakan pemerintah dalam suatu komponen, misalnya harga dasar gula akan mempengaruhi komponen lain secara simultan. Harga gula di pasar dunia dipengaruhi oleh kekuatan penawaran dan permintaan di pasar dunia, disamping adanya pengaruh struktur pasar itu sendiri serta kebijakan protektif yang diterapkan oleh negara eksportir maupun importir. Kebijakan ini dapat berupa tarif impor, subsidi ekspor, tarif ekspor, kuota impor,
kuota ekspor, dll. Penawaran di pasar dunia dipengaruhi oleh jumlah ekspor dari negara produsen gula dunia, sedangkan permintaannya merupakan jumlah total impor dari negara importir utama yang mengalami defisit gula (termasuk Indonesia).
Impor Gula Dunia
Ekspor Gula Dunia
Kebijakan Negara Eksportir dan Importir
Struktur Pasar Dunia
Harga Gula Dunia
Transmisi Harga
Impor Indonesia
Tarif Impor
Struktur Pasar Domestik
Harga Gula Domestik
Total Penawaran
Produksi Gula
Harga Tebu
Total Permintaan
Stok Gula Akhir Tahun
Stok Gula Awal Tahun
Konsumasi Gula
Kebijakan Harga Dasar
Pendapatan Petani
Margin Pemasaran
Ket: Bagian yang akan diteliti adalah bagian yang dicetak tebal
Gambar 4. Keterkaitan Harga Gula Domestik dengan Harga Gula Dunia.
Harga gula di pasar domestik dipengaruhi oleh total penawaran, total permintaan, struktur pasar serta kebijakan domestik seperti tarif impor dan harga dasar gula. Indonesia yang menganut perekonomian terbuka, total penawaran gulanya pada satu tahun tertentu merupakan jumlah produksi gula domestik, jumlah gula impor dan stok gula awal tahun. Sedangkan total permintaan gula merupakan penjumlahan dari total permintaan untuk konsumsi dan stok gula akhir tahun. Sejak tahun 1967, Indonesia telah melakukan impor gula. Hal ini dilakukan pemerintah untuk memenuhi permintaan gula domestik yang cukup tinggi dan melebihi penawaran domestik. Pemerintah menunjuk Bulog sebagai satu satunya lembaga yang berwenang untuk melakukan impor gula. Adanya monopoli impor gula oleh Bulog menimbulkan distorsi pasar di pasar gula domestik. Tahun 1998 pemerintah menghapuskan monopoli impor gula yang selama ini dilakukan Bulog. Keputusan ini sekaligus membuka jalan bagi pihak swasta untuk mengimpor gula. Hal ini mengakibatkan impor gula yang cukup tinggi di awal pemberlakuan liberalisasi, karena pada saat itu tidak ada hambatan perdagangan yang dapat membatasi impor gula. Tingginya impor gula Indonesia mengakibatkan adanya integrasi yang kuat antara pasar gula domestik dengan pasar gula dunia. Sehingga perubahan harga yang terjadi di pasar gula dunia akan langsung ditransmisikan (disalurkan) ke pasar gula domestik. Arus perdagangan ini menyebabkan terbentuknya keterkaitan antara pasar gula domestik dengan pasar gula dunia. Pasar gula domestik yang terpisah secara geografis dengan pasar gula dunia menyebabkan hubungan yang terjadi diantara
keduanya merupakan hubungan spasial. Hubungan keduanya dapat dianalisis dengan pendekatan integrasi pasar spasial, dimana perubahan harga pada suatu pasar akan ditransformasikan ke pasar lainnya yang terhubung dengan pasar tersebut. Hal ini menyebabkan peningkatan harga di suatu pasar merambat menjadi gejolak harga di pasar yang terintegrasi. Sejak liberalisasi perdagangan gula diberlakukan di Indonesia, volume impor gula jauh lebih besar dibanding volume impor sebelum pemberlakuan liberalisasi perdagangan. Volume impor gula yang tinggi disadari pemerintah dapat menekan posisi gula domestik, sehingga pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan keputusan tentang pemberlakuan tarif impor gula. Hal ini dilakukan pemerintah untuk mengurangi impor gula dan memperbaiki posisi harga gula domestik agar tidak terlalu rendah dengan adanya pengaruh harga gula impor. Tarif impor gula ini akan dibebankan importir kepada konsumen melalui peningkatan harga gula di pasar domestik. Analisis keterpaduan pasar gula domestik dan pasar gula dunia menggunakan model Vektor Autoregresi (VAR). Analisis juga memasukkan variabel tarif impor gula, untuk melihat pengaruh penerapan tarif impor gula dalam proses integrasi pasar yang terjadi.
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dalam bentuk data deret waktu (time series) dengan periode waktu 84 bulan yaitu dari bulan Januari 1998 hingga bulan Desember 2004. Jenis data yang dikumpulkan berupa nilai nominal harga gula domestik dan dunia, tarif impor gula Indonesia, produksi gula domestik dan dunia, konsumsi gula domestik dan dunia, volume impor gula Indonesia, kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika, serta data lainnya yang mendukung penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari berbagai instansi, diantaranya adalah Dewan Gula Indonesia (DGI), Ikatan Gula Indonesia (Ikagi), Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Badan Urusan Logistik (Bulog), Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian, Bank Indonesia (BI), dan instansi terkait lainnya. Harga gula domestik diperoleh dari DGI yang bertempat di Jakarta. Data harga gula domestik yang dikeluarkan oleh DGI merupakan gabungan harga gula yang terjadi di beberapa kota besar di Indonesia, diantaranya Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, dan Medan. Alasan pemilihan DGI disebabkan karena mayoritas penelitian terdahulu tentang gula merujuk kepada instansi ini, dan data yang dikeluarkan oleh DGI sudah diakui oleh kalangan akademik dan pemerintah. Harga gula dunia terdiri dari raw sugar (gula kasar) dan white sugar (gula putih). Data harga gula dunia yang digunakan merupakann harga gula yang terjadi di pasar lelang London (Inggris). Pasar lelang London merupakan salah satu pasar
lelang terbesar di dunia. Sebagian besar pasar gula negara di dunia menggunakan harga di pasar ini sebagai referensi dalam penetapan harga gula.
4.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode kuantitatif dengan pendekatan model vector autoregressive (VAR). Tahapan pengolahan data dengan menggunakan metode VAR adalah: a) penstasioneran data, b) penentuan ordo VAR, c) penentuan model integrasi pasar gula, d) pendugaan koefisien dengan metode VAR, e) uji lag dan uji kebaikan model, kemudian ditarik kesimpulan. Sementara untuk mengolah data digunakan software Mickrofit 4.0.
4.2.1. Penstasioneran Data Sebelum dilakukan analisis dengan menggunakan VAR, setiap data yang dimasukkan dalam persamaan model integrasi pasar harus stasioner lebih dahulu. Suatu variabel dikatakan stasioner apabila memiliki mean, variance dan covariance yang konstan. Apabila suatu variabel tidak memiliki mean, variance dan covariance yang konstan, maka variabel tersebut tidak stasioner (mengandung unit root). Eror data tersebut dipengaruhi oleh waktu, yang berarti variabel tersebut tidak memiliki keseimbangan dalam jangka panjang, sehingga sulit diestimasi atau jika diestimasi akan memberikan hasil yang sporius (rancu). Kestasioneran masing-masing peubah tak bebas dapat diperiksa dengan menggunakan uji Dickey-Fuller (Augmented Dickey Fuller). Misalkan data deret waktu tunggal zt adalah:
Zt = a0 + a1zt-1 + a2zt-2 + ... + apzt-p + åt dengan model pendiferensian dapat dituliskan sebagai: •Z t = a0 + ãzt-1 + a2zt-2 + ... + apzt-p + åt Hipotesis ujinya adalah: H0
: ã= 0 (databersifat tidak stasioner)
H1
: ã< 0 (databersifat stasioner) Nilai ã diduga melalui metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square,
OLS) dan pengujian dilakukan dengan menggunakan uji t. Statistik uji dapat dituliskan sebagai: ^
tstatistik =
ã ^
óã dimana: ^
ã ^
óã
: nilai dugaan ã ^
: simpangan baku dari ã
Sumber: Seddighi, Lawler dan Katos, 2000.
Jika nilai mutlak tstatistik > nilai mutlak ttabel dalam tabel Dickey-Fuller, maka keputusan yang diambil adalah tolak H0 yang berarti data bersifat stasioner. Apabila nilai mutlak tstatistik < nilai mutlak ttabel maka data bersifat tidak stasioner, sehingga tidak dapat digunakan dalam metode VAR. Data yang tidak stasioner dapat distasionerkan dengan melakukan pendiferensiasian data sebanyak satu kali (first diference), hal ini disebut order homogenity. Persamaannya adalah sebagai berikut:
DYt
= Ä Y t = Yt – Yt-1 (order pertama/diferensiasi pertama)
Sumber: Seddighi, Lawler dan Katos, 2000.
4.2.2. Penentuan Ordo Vektor Autoregresi Metode yang digunakan dalam menentukan ordo VAR adalah berdasarkan nilai SBC (Schwarz Bayesian Criterion). Penentuan ordo didasarkan pada nilai SBC yang terkecil untuk setiap uji ADF series data. Jumlah lag optimum (ordo) dipilih pada saat data stasioner pada suatu lag yang memiliki SBC terkecil. Sementara nilai SBC dihitung dengan menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF), dengan persamaan sebagai berikut: SBC(n) =
RSS + K L nT ó2 T
dimana: RSS K ó2
= jumlah kuadrat residual (Sum Square Residual) = jumlah variabel penjelas = varian regresi
4.2.2. Model Integrasi Pasar Gula Setelah ordo VAR ditentukan, model integrasi pasar gula domestik dan pasar gula dunia dapat dibangun. Adapun sistem persamaan yang menghubungkan kedua pasar tersebut adalah: PDOMt PRAWt = PWHITEt TIt
a0 a11 a0 + a21 a0 a31 a0 a41
a12 a22 a32 a42
a13 a23 a33 a43
a14 a24 a34 a44
PDOMt å1t PRAWt + å2t PWHITEt å2t å3t TIt
dimana: PDOMt PRAWt PWHITEt TIt
= harga gula domestik = harga gula dunia jenis raw sugar = harga gula dunia jenis white sugar = tarif impor gula
4.2.4. Pendugaan Koefisien Pendugaan koefisien dilakukan berdasarkan ordo yang telah ditentukan. Pada pendugaan koefisien, setiap variabel yang ada dijadikan sebagai variabel endogen, kemudian diestimasi koefisien variabel yang berpengaruh terhadap variabel tersebut. Pendugaan koefisien ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh suatu variabel terhadap variabel lain yang dijadikan sebagai variabel endogen. Jika terdapat n buah persamaan, hasil pendugaan koefisien dapat membentuk matriks sebagai berikut:
Y1t a11 a12 ... a1t Y2t a21 a22 ... a2t ... = ... ... ... ... Ynt an1 an2 ... ant
å1t Yt-1 å2t Yt-2 ... + ... ånt Yt-n
dimana: Yn ant Yt-n
ånt
= vektor variabel dependen = matriks koefisien regresi = vektor variabel penjelas = vektor sisaan
4.3. Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka dan pemaparan kerangka pemikiran serta identifikasi model terhadap integrasi pasar gula domestik dengan pasar gula dunia, maka hipotesis penelitian yang diambil adalah:
1. Terjadi integrasi pasar gula domestik dengan pasar gula dunia. 2. Kebijakan tarif impor gula mempengaruhi integrasi yang terjadi di kedua pasar.
4.4. Definisi Operasional 1. ADF (Augmented Dickey Fuller) merupakan suatu uji statistik untuk menghasilkan distribusi tau-statistik pada deret waktu yang memiliki korelasi error term. 2. Data deret waktu (time series) adalah sekelompok data dari suatu variabel yang disusun menurut urutan waktu. 3. Diferensiasi adalah pembedaan suatu series dengan series sebelumnya pada suatu data, untuk menstasionerkan data. 4. Nilai p (probability) merupakan nilai yang dihasilkan oleh perhitungan komputer dalam uji regresi yang menunjukkan tingkat signifikansi terendah. 5. Tren merupakan kecenderungan meningkat atau menurun pada suatu deret waktu dalam suatu periode pengamatan tertentu. 6. Unit roots adalah keadaan dimana persamaan autoregresif Yt = ô1Yt-1 + åt mempunyai nilai ô1 • 1 sehingga ketika ada shock pada deret akan membuat nilai Y tumbuh tanpa batasan. 7. Endogenous variable merupakan variabel yang nilainya ditetapkan dalam model dan dianggap bersifat stockhastik. 8. Eksogenous variable merupakan variabel yang nilainya sudah ditentukan dan cenderung konstan sepanjang waktu.
9. Distorsi pasar adalah pasar tidak mencerminkan pasar persaingan sempurna. 10. Harga gula domestik merupakan harga gabungan yang terjadi di beberapa kota besar di Indonesia (Jakarta, Medan, Semarang, Bandung dan Surabaya) 11. Raw Sugar merupakan gula kasar yang harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum dipasarkan kepada konsumen. Jenis gula ini berkualitas rendah, sehingga harganya relatif lebih rendah. 12. White Sugar merupakan gula putih yang sudah bersih (hasil pembersihan raw sugar). Jenis gula ini berkualitas tinggi sehingga harganya lebih tinggi dari raw sugar.
V. EKONOMI GULA
5.1. Kondisi Pasar Gula Dunia Pasar gula dunia saat ini sangat berfluktuasi dan arahnya tidak menentu. Paradigma konvensional yang ada tentang pasar gula dunia yang ditentukan hanya oleh faktor penawaran dan permintaan sudah mulai bergeser. Terjadinya konflik politik dan kuatnya intervensi pemerintah baik di negara maju maupun negara berkembang menyebabkan terdistorsinya pasar gula dunia. Munculnya hambatan tarif dan non tarif dalam perdagangan dunia berdampak sangat signifikan terhadap kondisi pergulaan Indonesia. Produksi gula dunia senantiasa mengalami peningkatan selama kurun waktu 1990-2000. Produksi gula dunia tahun 1989/1990 adalah sebesar 109.22 juta ton, meningkat menjadi 133.88 juta ton pada tahun 1999/2000 (Tabel 1). Artinya selama periode waktu tersebut produksi gula mengalami peningkatan ratarata sebesar 1.97 persen per tahun. Pada periode yang sama konsumsi gula dunia sebesar 108.45 juta ton (1989/1990), meningkat menjadi 130.54 juta ton pada tahun 1999/2000, yang berarti terjadi peningkatan rata-rata sebesar 1.82 persen per tahun. Berdasarkan angka pertumbuhan tersebut terlihat bahwa peningkatan konsumsi sedikit lebih rendah dari peningkatan produksi. Akan tetapi stok akhir mengalami penurunan rata-rata sebesar -2.10 persen per tahun, stok awal juga bertambah negatif sebesar -2.83 persen per tahun. Penurunan stok akhir secara tajam terjadi pada tahun 1993/1994 yakni sebesar 19.25 juta ton, padahal tahun
sebelumnya (1992/1993) stok akhir sebesar 37.36 juta ton sementara angka konsumsi tetap. Ada dua hal yang menarik apabila membandingkan laju peningkatan produksi dan konsumsi pada periode tersebut yakni: 1) laju peningkatan produksi gula dunia per tahun tetap lebih tinggi dari laju peningkatan konsumsi meskipun terpaut dengan angka yang sangat kecil, tetapi stok awal maupun stok akhir pada periode 1989/1990-1999/2000 menunjukkan pertumbuhan yang negatif; 2) di lain pihak laju peningkatan konsumsi yang lebih rendah pada periode 1989/19901999/2000 tidak menyebabkan terjadinya laju pertumbuhan yang negatif pada stok awal dan stok akhir. Hal ini telah memberikan pertanda awal bahwa perdagangan gula dunia yang terjadi saat ini tidak lagi menunjukkan situasi perdagangan gula dunia yang sebenarnya. Gula telah menjadi komoditi yang strategis untuk dikuasai dalam percaturan politik dunia seperti komoditi pangan lainnya (Suparno, 2004).
Tabel 1. Produksi, Penawaran dan Konsumsi Gula Dunia Tahun 1989/1990 sampai 1999/2000 (juta ton) Tahun 89/90 90/91 91/92 92/93 93/94 94/95 95/96 96/97 97/98 98/99 99/20 RataRata (%)
Stok Awal 30.49 30.79 36.23 40.18 21.57 19.25 55.50 26.33 26.20 26.34 31.04 28.28
Produksi 109.22 115.26 116.24 111.46 109.73 116.12 122.30 122.91 125.21 130.46 133.88 119.34
Impor 29.38 29.07 28.72 30.31 29.56 30.29 34.14 35.81 34.80 35.57 36.73 32.22
Penawaran 169.09 175.12 180.49 181.95 160.87 165.66 178.94 185.05 186.21 192.36 201.73 179.85
Ekspor 30.04 29.91 29.74 31.65 29.57 30.29 34.14 35.81 34.80 35.57 36.73 32.57
Konsumsi 108.45 110.43 111.26 112.94 112.05 112.87 118.47 123.05 125.07 125.76 130.54 107.09
Stok Akhir 30.45 34.75 39.49 37.36 19.25 22.50 26.33 26.30 26.34 31.04 34.38 29.83
-2.83
1.97
2.12
1.60
1.87
1.82
-2.10
Sumber: World Sugar and Sweeteners Year Book, 2000.
Kecenderungan globalisasi yang melanda ekonomi dunia membawa tantangan dan harapan baru dengan segala kerumitan yang terjadi. Salah satu akibat globalisasi adalah semakin berkembangnya upaya untuk menciptakan pasar baru dengan menggunakan seluruh potensi sumberdaya yang tersedia. Namun upaya tersebut juga mendorong semakin tingginya tingkat persaingan yang menuntut tingkat efisiensi tinggi dalam bidang produksi serta kecanggihan tehnologi yang digunakan untuk meningkatkan atau mempertahankan daya saing yang dimiliki (Amang dan Sawit, 1993). Pemenuhan kebutuhan gula di masa globalisasi sekarang ini sama halnya memperhatikan ketahanan pangan dunia, karena gula merupakan bahan pangan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam konteks internasional, pangan bukan saja merupakan komoditi perdagangan tetapi juga menjadi instrumen politik dan sosial. Ekspor gula dunia setiap tahun cenderung mengalami peningkatan sebesar 3.78 per tahun. Apabila dikategorikan berdasarkan jumlah ekspornya maka terdapat 10 negara utama pengekspor gula selama 6 tahun (Tabel 2). Pada periode 1995-2000 Brazil menjadi negara yang paling tinggi ekspor gulanya, menggeser Kuba yang pada periode sebelumnya merupakan negara yang paling tinggi ekspornya. Rata-rata ekspor gula Brazil pada periode 1995-2000 mencapai 6.92 juta ton, dengan peningkatan rata-rata sebesar 18.28 persen per tahun. Sementara Kuba berada pada posisi keempat setelah Australia dan Thailand. Ditinjau dari negara pengimpor, negara pengimpor gula terbesar adalah Rusia, dimana dalam enam tahun terakhir rata-rata impornya sebesar 11 persen, menyusul Amerika Serikat dan Jepang masing-masing 5.7 persen dan 4.7 persen dari impor gula dunia pada tahun 1995/1996-1999/2000 (Tabel 3). Sedangkan
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan jumlah impor yang cukup tinggi dimana impor gula Indonesia pada tahun 1995/1996 adalah sebesar 0.9 juta ton (2.7%) meningkat menjadi 1,60 juta ton pada tahun 1999/2000 (4.4%). Peningkatan ini akan terus berlangsung mengingat kondisi pergulaan Indonesia mengalami penurunan produksi. Hal ini diakibatkan dengan tidak efisiennya sistem pergulaan di Indonesia disamping sejumlah kebijakan yang disinsentif dan sering terdistorsi dengan keadaan pasar dunia.
Tabel 2. Negara Eksportir Utama Gula Dunia Tahun 1995/1996-1999/2000 No
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Brazilia Australia Thailand Kuba Ukraina Guatemala Afrika Columbia Meksiko China
Volume (000 ton) 95/96
97/98
99/00
5,800 4,242 4,537 3,800 11,487 923 399 694 587 952
7,200 4,554 2,490 2,500 144 1,280 1,160 1,020 1,135 308
9,700 4,200 3,400 3,000 50 1,020 1,325 940 900 470
Rata-Rata 6 Thn
6,925 4,274 3,605 3,117 2,527 1,059 958 823 685 523
Persentase Terhadap Ekspor Gula Dunia 95/96
97/98
99/00
16.99 12.43 13.29 11.13 33.65 2.70 1.17 2.03 1.72 2.79
20.69 13.09 7.16 7.18 0.41 3.68 3.33 2.93 3.26 0.89
26.37 11.42 9.24 8.16 0.14 2.77 3.60 2.56 2.45 1.28
Rata-Rata 6 Thn
19.24 12.42 10.50 9.02 7.46 3.07 2.72 2.36 1.95 1.52
Sumber : World Sugar Situation Outlook, 2000.
Apabila diperhatikan total impor gula kesepuluh negara importir utama gula dunia pada tahun 1995/1996-1999/2000 (Tabel 3), adalah sebesar 108 juta ton atau sebesar 70.26 persen dari nilai impor gula dunia yang tentunya akan mempengaruhi nilai perdagangan gula di pasar dunia. Perkembangan impor ini merupakan kondisi yang harus dipenuhi oleh setiap negara pengimpor gula, terkait dengan upaya menjaga kecukupan pangan (food sufficient) di negaranya. Sehingga secara tidak langsung tercipta suatu ketergantungan kepada negaranegara penghasil dan pengekspor gula terbesar di dunia.
Untuk melihat kecenderungan pasar dunia, maka tidak dapat terlepas dari kemampuan produksi dalam suatu kawasan dalam memenuhi konsumsinya. Dengan melihat imbangan pangsa produksi dan konsumsi antar kawasan, kawasan Asia, Afrika dan Eropa mengalami defisit gula (net importer). Hanya dua kawasan yang diyakini memiliki surplus gula yaitu Amerika dan Oseania (Rusastra dkk,1999). Dari akumulasi jumlah kekurangan seluruh kawasan dibandingkan jumlah kelebihannya maka dapat disimpulkan bahwa dunia sebenarnya tidak mengalami kekurangan gula pasir untuk konsumsi masyarakat dunia.
Tabel 3. Negara Importir Utama Gula Dunia Tahun 1995/1996-1999/2000 No
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rusia Amerika Jepang Korea Malaysia Iran Kanada Indonesia Algeria Mesir
Volume (000 ton) 95/96
97/98
99/00
3,200 3,536 1,673 1,411 1,120 940 1,174 919 1,000 617
4,210 1,962 1,542 1,424 1,065 1,200 1,061 921 925 915
3,800 1,560 1,573 1,480 1,280 1,500 1,110 1,600 960 815
Rata-Rata 6 Thn
3,818 1,979 1,607 1,435 1,147 1,115 1,089 1,103 954 804
Persentase Terhadap Impor Gula Dunia 95/96
97/98
99/00
9.37 7.43 4.90 4.13 3.28 2.75 3.44 2.69 2.93 1.81
12.10 5.64 4.43 4.09 3.06 3.45 3.05 2.65 2.66 2.63
10.35 4.25 4.28 4.03 3.48 4.08 3.02 4.36 2.61 2.22
Rata-Rata 6 Thn
10.99 5.74 4.68 4.16 3.32 3.20 3.16 3.13 2.78 2.31
Sumber : World Sugar Situation Outlook, 2000.
Menurut Rusastra, dkk (1999) jumlah kelebihan di berbagai kawasan dunia hanya sekitar 17 juta ton. Sementara jumlah kekurangan di berbagai kawasan dunia hanya sekitar 15 juta ton. Dengan demikian seluruh dunia rata-rata memiliki kelebihan produksi sekitar dua juta ton per tahun. Walaupun dunia mengalami surplus, suatu negara tidak dapat menggantungkan semua kebutuhan gulanya pada pasar dunia. Hal ini mengingat sangat bergejolaknya jumlah konsumsi gula pasir dunia yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain
peningkatan pendapatan, pertambahan jumlah penduduk, tinggi rendahnya daya beli masyarakat dan masih relatif rendahnya harga eceran di negara produsen sehingga masih terdapat peningkatan konsumsi per kapita di negara bersangkutan.
5.2. Kondisi Pasar Gula Indonesia Kondisi pergulaan Indonesia telah terbagi menjadi dua, yaitu pada masa monopoli BULOG (sebelum tahun 1998) dan era liberalisasi perdagangan gula (sejak tahun 1998). Sebelum adanya liberalisasi perdagangan gula, komoditi gula diatur sepenuhnya oleh Badan Urusan Logistik (BULOG). Terutama dalam hal penetapan harga dasar, stabilisasi harga, operasi pasar dan impor gula. Dengan kata lain BULOG menjadi importir tunggal untuk komoditi gula, dan menyebabkan pasar gula domestik terdistorsi. Sementara sejak diberlakukannya liberalisasi perdagangan gula, dominasi impor oleh BULOG telah dihilangkan, sehingga pihak swasta dapat melakukan impor gula. Pemberlakuan liberalisasi perdagangan gula telah mengakibatkan pasar gula Indonesia sangat terbuka. Semua pihak berhak untuk mengimpor gula, yang mengakibatkan kenaikan impor yang cukup tinggi di awal liberalisasi. Akhirnya pada tahun 2002, pemerintah menunjuk empat pihak yang menjadi Importir Terdaftar (IT), yaitu PTPN IX, X, XI dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Hal ini dilakukan untuk menghindari peningkatan volume impor gula yang berlanjut. Tetapi sampai sekarang impor gula Indonesia tetap tinggi karena kebijakan tarif yang diterapkan masih kurang memadai.
5.2.1. Produksi Gula Indonesia Gula pasir merupakan komoditi olahan dari tebu, sehingga produksi gula sangat tergantung pada produksi tebu. Produksi tebu sendiri dipengaruhi oleh luas lahan panen tebu dan hasil per hektar (produktivitas). Pabrik gula yang ada di Indonesia kebanyakan adalah industri rumah tangga, disamping adanya perusahaan swasta dan BUMN. Secara umum dapat dikatakan bahwa sebagian besar pabrik gula domestik kurang efisien dibandingkan dengan industri gula di luar negeri (Mubyarto, 1984). Produksi gula Indonesia senantiasa masih didominasi oleh pulau Jawa, dimana dari tahun 1993-2004 kontribusi hablur selalu diatas 55 persen (Tabel 4). Pulau Jawa selama ini merupakan sentra produksi gula domestik, tetapi satu dasawarsa terakhir kontribusinya semakin menurun akibat semakin menurunnya luas areal dan produksi tebu. Hal ini juga diakibatkan oleh semakin meningkatnya luas areal dan produksi tebu di luar Jawa terutama di pulau Sumatera. Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa kontribusi hablur pulau Jawa semakin menurun, sementara kontribusi hablur luar pulau Jawa semakin meningkat. Luas areal tebu di Indonesia dari tahun 1993-2004 terlihat menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Penurunan luas areal tebu ini tentu berdampak pada menurunnya produksi tebu, tetapi tidak signifikan dengan fluktuasi hasil gula per hektar (produktivitas). Produksi tebu terbaik pada periode 1993-2004 terjadi pada tahun 1993, dimana dengan luas areal tebu sebesar 420,690 hektar dapat menghasilkan 37,593,150 ton tebu dengan produktivitas sebesar 89.4 ton per hektar. Hasil ini signifikan dengan produksi gula sebesar 2,482,720 ton dengan produktivitas 5.9 ton per hektar.
Tabel 4 menunjukkan produksi gula dari tahun 1993-1999 mengalami tren yang menurun. Produksi gula tahun 1993 sebesar 2,482,720 ton, menurun terus hingga mencapai 1,488,600 ton pada tahun 1999. Kemudian meningkat kembali di tahun 2000 menjadi 1,690,670 ton hingga pada tahun 2004 telah mencapai 2,051,640 ton. Menurunya produksi gula ini disebabkan oleh menurunnya luas areal tebu di pulau Jawa akibat konversi lahan dan menurunnya produktivitas tebu pada masa itu. Akan tetapi, sejak tahun 2000 hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan perbaikan pada sistem pertanaman tebu sehingga produktivitas tebu dan gula dapat ditingkatkan serta rendemen gula meningkat.
Tabel 4. Luas Areal Tebu, Produksi Tebu dan Produksi Gula di Indonesia Tahun 1993-1994 Tahun
Luas Areal (000 ha)
Jumlah Tebu (000 ton)
(ton/ha)
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
420.69 428.73 420.63 403.27 385.67 378.29 340.80 340.66 344.44 350.72 335.72 344.79
37,593.15 30,545.07 30,096.06 28,603.53 27,953.84 27,177.77 21,401.83 24,031.56 25,186.25 25,533.43 22,631.11 26,743.18
89.4 71.2 71.5 70.9 72.5 71.8 62.8 70.5 73.1 72.8 67.4 77.6
Rendemen (%) 6.60 8.02 6.97 7.32 7.83 5.49 6.96 7.04 6.85 6.88 7.21 7.67
Jumlah Hablur (000 ton)
(ton/ha)
2,482.72 2,448.83 2,096.47 2,094.19 2,189.97 1,491.55 1,488.60 1,690.67 1,725.48 1,755.43 1,931.92 2,051.64
5.90 5.71 4.98 5.19 5.68 3.94 4.37 4.96 5.01 5.01 4.86 5.95
Kontribusi % Hablur Luar Jawa Jawa 77.7 22.3 77.4 22.6 74.3 25.7 69.3 30.7 64.0 36.0 64.1 35.9 57.2 42.8 55.9 44.1 55.4 44.6 62.3 37.7 62.8 37.2 58.8 41.2
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2005 (diolah).
5.2.2. Konsumsi Gula Indonesia Konsumsi gula Indonesia selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir dapat dikatakan mengalami tren yang meningkat. Fluktuasi konsumsi ini sejalan dengan fluktuasi tingkat konsumsi per kapita masyarakat. Konsumsi gula tertinggi
terjadi pada tahun 1997, dengan konsumsi sebesar 3,363,300 ton (Tabel 5). Tingkat konsumsi per kapita juga tertinggi pada tahun ini, yaitu sebesar 16.75 kilogram per kapita per tahun. Tingkat konsumsi yang semakin tinggi ini terjadi karena jumlah penduduk yang semakin bertambah dan pendapatan perkapita yang semakin meningkat. Pendapatan per kapita yang semakin meningkat baik di pedesaan maupun di perkotaan, akan semakin meningkatkan konsumsi gula.
Tabel 5. Konsumsi, Produksi dan Konsumsi Per Kapita Gula Indonesia Tahun 1993-2002 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Konsumsi (ton) 2,337,440 2,941,200 3,343,200 3,069,900 3,363,300 3,300,000 3,360,000 3,300,000 3,360,000 3,300,000
Produksi (ton) 2,482,724 2,448,832 2,096,471 2,094,194 2,189,973 1,491,553 1,488,598 1,690,667 1,725,467 1,755,433
Pemenuhan Konsumsi oleh Produksi (%) 106.22 83.26 62.71 68.22 65.11 45.20 44.30 51.23 51.35 53.19
Konsumsi Per Kapita (kg) 14.40 15.30 16.28 15.20 16.75 13.40 14.46 14.10 14.40 14.57
Sumber: Dewan Gula Indonesia (DGI), diolah.
Volume konsumsi dan produksi gula domestik tidak menunjukkan posisi yang balance (seimbang). Pada Tabel 5 terlihat bahwa periode tahun 1994-2002, produksi gula domestik tidak mampu memenuhi konsumsi gula domestik. Persentase pemenuhan konsumsi oleh produksi semakin menurun dari tahun ke tahun. Bahkan pada tahun 1998-1999, produksi gula domestik tidak mampu menutupi setengah dari jumlah konsumsi. Hal ini disebabkan oleh semakin menurunnya produksi domestik sementara konsumsi semakin meningkat. Tingkat konsumsi per kapita penduduk Indonesia diperkirakan akan semakin meningkat di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan karena
pendapatan per kapita diperkirakan akan semakin meningkat, sehingga akan menimbulkan insentif untuk memperbaiki gizi per individu. Peningkatan konsumsi per kapita gula akan terjadi karena konsumsi per kapita gula selama ini masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya yang sudah mencapai angka diatas 50 kilogram per kapita per tahun.
5.2.3. Impor Gula Indonesia Keadaan produksi domestik yang tidak mampu memenuhi konsumsi domestik menjadikan impor sebagai jalan keluar dalam pemenuhan permintaan gula pasir. Impor gula telah dilakukan Indonesia sejak tahun 1967, dimana sebelum tahun ini Indonesia tidak pernah mengimpor gula karena produksinya mencukupi konsumsi domestik. Bahkan pada masa itu Indonesia merupakan produsen gula terbesar di dunia. Perkembangan Impor gula Indonesia pada periode 1993-2002 dapat dilihat pada Tabel 6. Volume impor tertinggi terjadi pada tahun 1999 (satu tahun setelah liberalisasi perdagangan gula), dimana volumenya mencapai 2,187,133 ton. Dari tahun 1993-1999 impor gula menunjukkan tren yang meningkat sejalan dengan meningkatnya konsumsi gula domestik. Akan tetapi, impor gula menunjukkan tren yang menurun setelah tahun 1999. Hal ini disebabkan adanya pemberlakuan tarif impor gula di Indonesia, dengan tujuan untuk menekan volume impor gula. Pada awalnya (2000) tarif impor sebesar 20-25 persen per kilogram (advalorem tariffs), tetapi pada tahun 2002 ditingkatkan menjadi Rp 550 – Rp 700 per kilogram (specific tariffs).
Peningkatan dikhawatirkan
impor
karena
gula
akan
Indonesia
muncul
di
masa
ketergantungan
mendatang
sangat
terhadap
impor.
Ketergantungan impor akan semakin menekan posisi pabrik gula domestik yang kurang efisien. Sebab harga gula impor senantiasa lebih rendah dibanding harga gula domestik. Dengan keadaan seperti itu para pelaku pasar lebih tertarik untuk memperdagangkan gula impor, sehingga gula domestik semakin terpuruk. Ketergantungan impor ini dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu oleh para eksportir gula dunia sebagai alat untuk menekan Indonesia. Karena pada saat ini komoditi gula telah berubah menjadi komoditi yang bersifat politik dan sosial, sama halnya dengan beras.
Tabel 6. Impor Gula Indonesia Tahun 1993-2002 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Impor (ton) 236,719 128,400 688,800 975,800 1,364,600 1,811,732 3.130.706 1,600,600 1,600,000 1,544,013
Tarif Impor (/kg) 0 0 0 0 0 0 0 20-25 % 20-25 % Rp 550-Rp700
Sumber: Asosiasi Gula Indonesia (AGI) dan Dewan Gula Indonesia (DGI), 2004.
5.3. Perkembangan Harga Gula Pasar gula dunia saat ini tergantung kepada negara eksportir gula dunia, terutama lima negara seperti Brazilia, Australia, Thailand, Kuba dan Ukraina, dimana rata-rata volume ekspornya di atas 2.5 juta ton per tahun. Hal ini menyebabkan harga gula dunia tidak stabil dan sangat rentan terhadap gejolak
penawaran dan permintaan. Keadaan seperti ini tidak menguntungkan bagi negara pengimpor gula seperti Indonesia. Karena dengan dibukanya pasar gula Indonesia (liberalisasi perdagangan gula), maka harga gula domestik akan mengikuti harga yang terjadi di pasar dunia. Munculnya kebijakan liberalisasi perdagangan gula telah membawa perubahan baru dalam pergulaan Indonesia. Terutama dampaknya terhadap harga gula domestik. Sebelum liberalisasi perdagangan gula, harga gula tidak dipengaruhi oleh harga gula di pasar dunia. Karena sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah melalui BULOG. Pada masa itu impor dilakukan hanya sewaktu untuk menjaga kestabilan harga gula domestik disamping untuk memenuhi permintaan yang berlebih. Pemberlakuan liberalisasi perdagangan gula telah menimbulkan fluktuasi harga gula domestik. Fluktuasi harga gula yang terjadi di pasar domestik mengikuti fluktuasi harga gula yang terjadi di pasar dunia. Gambar 1 menunjukkan bahwa setelah tahun 1998 harga gula dunia berfluktuatif, sebagai dampak dari melemahnya kurs mata uang beberapa negara di Asia Tenggara terutama Indonesia. Fluktuasi yang terjadi di pasar dunia tersebut direspons dengan kuat oleh pasar domestik. Fluktusi harga gula domestik ternyata merugikan banyak pihak. Penentuan harga dasar gula menjadi suatu keputusan yang dilematis bagi pemerintah, apakah akan berpihak kepada produsen atau kepada konsumen. Kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah menyangkut harga gula domestik diantaranya adalah penetapan harga provenue, impor, operasi pasar sampai penetapan tarif impor gula. Hal ini menunjukkan bahwa harga gula domestik sangat mudah tergoncang
dalam era liberalisasi perdagangan, sehingga pemerintah harus melakukan hal tersebut. Mencermati perkembangan harga gula dunia yang cenderung di bawah harga gula domestik dan dalam upaya peningkatan daya saing di pasar gula domestik,
pemerintah
menerapkan
strategi
pembatasan
impor
melalui
pemberlakuan tarif. Strategi ini diharapkan dapat mewujudkan kestabilan harga gula dan mengurangi beban anggaran pemerintah dalam mengendalikan harga di tingkat konsumen. Perdagangan dunia yang semakin terbuka, transparan dan mengurangi berbagai bentuk proteksi menyebabkan komoditi pangan pokok seperti gula mengalami proses globalisasi sekaligus berhubungan erat dengan pasar global. Harga gula di pasar domestik berkorelasi kuat dengan perubahan nilai kurs dan harga gula di pasar dunia.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Eksplorasi Data Data yang akan digunakan terlebih dahulu diplotkan menurut waktu, tujuannya untuk mengetahui kecenderungan (tren) data tersebut. Data yang diplotkan tersebut terdiri dari harga gula domestik, harga gula dunia (raw sugar dan white sugar) dan tarif impor gula yang berjumlah 84 bulan (Januari 1998 hingga Desember 2004). Data tersebut diplotkan dengan bantuan perangkat lunak Minitab 14, dan gambar pola datanya dapat dilihat pada Lampiran 2. Gambar plot data pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa variabel harga gula domestik memiliki kecenderungan yang meningkat untuk rentang waktu 84 bulan. Peningkatan harga yang terus menerus ini disebabkan oleh inflasi yang terjadi di dalam negeri dan penurunan nilai mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika. Terlihat sedikitnya terjadi tiga kali fluktuasi harga yang cukup tinggi yaitu pada bulan September 1998, April 2002 dan Juni 2002 (Lampiran 2). Berbeda dengan variabel harga gula dunia, kedua jenis gula dunia yaitu raw sugar dan white sugar memiliki kecenderungan harga yang menurun. Hal ini disebabkan oleh produksi gula dunia yang cenderung meningkat, sehingga supply gula dunia juga mengalami peningkatan. Peningkatan suppy gula sementara demand terhadap gula cenderung stabil, akan mengakibatkan penurunan harga gula. Melemahnya nilai Dolar Amerika terhadap mata uang negara-negara di Asia dan Eropa juga mempengaruhi hal tersebut, karena Dolar Amerika merupakan kurs yang digunakan dalam perdagangan gula dunia.
Variabel tarif impor gula terlihat memiliki kecenderungan yang meningkat. Karena dengan diliberalisasinya perdagangan gula Indonesia, mengakibatkan impor gula tinggi, sehingga pemerintah merasa perlu untuk meningkatkan tarif impor gula untuk menekan volume impor tersebut.
6.2. Hasil Pendugaan Integrasi Pasar 6.2.1. Penstasioneran Data Asumsi pertama yang harus dipenuhi dalam metode VAR adalah kestasioneran data yang akan digunakan. Kestasioneran data diuji dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF). Pengujian ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Mickrofit 4.0. Uji ADF dilakukan dengan menggunakan jumlah lag optimal yang ditentukan berdasarkan nilai Schwartz Bayesian Criterion (SBC). Nilai SBC yang digunakan adalah nilai SBC terkecil dari pengujian setiap variabel yang menunjukkan bahwa model yang dianalisis adalah model dengan jumlah lag optimal. Kemudian nilai t-statistik uji ADF dari SBC terkecil tersebut dibandingkan dengan nilai t-statistik tabel (critical value). Jika nilai mutlak t-statistik lebih besar dari nilai mutlak t-tabel maka data tersebut stasioner. Apabila nilai mutlak t-statistik lebih kecil dari nilai mutlak t-tabel maka data tidak stasioner, artinya data tersebut mengandung unit root. Data yang tidak stasioner pada pengujian level (in level) dapat distasionerkan dengan melakukan pendiferensiasian pertama (first diference). Pengujian kestasioneran data perlu dilakukan karena data yang tidak stasioner tidak dapat dimasukkan ke dalam model VAR biasa, melainkan ke dalam model
VECM (Vector Error Correction Model). Hasil pengujian kestasioneran data dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Uji Kestasioneran Data Variabel
Nilai SBC Terkecil
t-Statistik ADF
Lag Optimal
Gula Domestik
- 556.2940 (- 554.2535)
- 2.0493 (- 3.1667)
4(3)
Raw Sugar
- 521.4032 (- 523.3720)
- 2.1478 (- 2.0419)
0(0)
White Sugar
- 544.0148 (- 545.9250)
- 2.3948 (- 2.3747)
0(0)
Tarif Impor
- 439.9386 (- 441.0569)
- 2.1266 (- 2.1763)
4(4)
Gula Domestik (*)
- 552.0427 (- 554.2094)
- 3.3012 (- 3.2160)
4(4)
Raw Sugar (*)
- 515.7200 (- 516.7369)
- 4.2077 (- 4.4431)
4(4)
White Sugar (*)
- 528.7278 (- 528.1500)
- 5.7708 (- 6.2544)
4(4)
Tarif Impor (*)
- 436.7180 (- 437.6347)
- 4.8753 (- 5.1496)
4(4)
Nilai Kritis ADF
In Level
- 2.8981 (- 3.4666)
In First Difference
- 2.8986 (- 3.4673)
Keterangan: - Nilai yang tidak dikurung adalah nilai dengan intercept tanpa linier trend - Nilai dalam kurung adalah nilai dengan intercept dan linier trend - (*) merupakan variabel yang stasioner
Uji kestasioneran data yang dilakukan pada level (in level) menunjukkan bahwa semua variabel yang diuji tidak stasioner. Hal ini terlihat dari nilai mutlak t-statistik ADF yang lebih kecil dibanding nilai mutlak t-tabel ADF. Sehingga untuk menstasionerkan variabel tersebut, dilakukan pendiferensiasian pertama. Terlihat bahwa setelah dilakukan diferensiasi pertama, semua variabel menjadi stasioner. Dengan demikian data pada keempat variabel dapat digunakan dalam metode VAR.
6.2.2. Penentuan Ordo Vektor Autoregresi Penentuan lag optimal atau ordo vektor autoregresi didasarkan pada uji stasioner (uji ADF) yang telah dilakukan. Lag optimal dipilih pada nilai SBC terkecil yang membuat suatu variabel stasioner. Tabel 7 menunjukkan bahwa
semua variabel stasioner pada lag empat (4), dengan demikian lag optimal (ordo) vektor autoregresi yang dipilih pada penelitian ini berjumlah empat (ordo 4).
6.2.3. Penentuan Model Integrasi Pasar Gula Model integrasi pasar gula dapat dibentuk setelah ordo vektor autoregresi ditentukan. Ordo vektor autoregresi telah ditentukan pada ordo empat, sehingga model yang dibentuk untuk setiap variabel endogen menggunakan lag optimal yang berjumlah empat. Persamaannya adalah sebagai berikut: ¬ DPDOMt
= a1DPDOMt-1 + a2DPDOMt-2 + a3DPDOMt-3 + a4DPDOMt-4 + b1DPRAWt-1 + b2DPRAWt-2 + b3DPRAWt-3 + b4DPRAWt-4 + c1DPWHITEt-1 + c2DPWHITEt-2 + c3DPWHITEt-3 + c4DPWHITEt-4 + d1DTIt-1 + d2DTIt-2 + d3DTIt-3 + d4DTIt-4
¬ DPRAWt
= a1DPDOMt-1 + a2DPDOMt-2 + a3DPDOMt-3 + a4DPDOMt-4 + b1DPRAWt-1 + b2DPRAWt-2 + b3DPRAWt-3 + b4DPRAWt-4 + c1DPWHITEt-1 + c2DPWHITEt-2 + c3DPWHITEt-3 + c4DPWHITEt-4 + d1DTIt-1 + d2DTIt-2 + d3DTIt-3 + d4DTIt-4
¬ DPWHITEt = a1DPDOMt-1 + a2DPDOMt-2 + a3DPDOMt-3 + a4DPDOMt-4 + b1DPRAWt-1 + b2DPRAWt-2 + b3DPRAWt-3 + b4DPRAWt-4 + c1DPWHITEt-1 + c2DPWHITEt-2 + c3DPWHITEt-3 + c4DPWHITEt-4 + d1DTIt-1 + d2DTIt-2 + d3DTIt-3 + d4DTIt-4 ¬ DTIt
= a1DPDOMt-1 + a2DPDOMt-2 + a3DPDOMt-3 + a4DPDOMt-4 + b1DPRAWt-1 + b2DPRAWt-2 + b3DPRAWt-3 + b4DPRAWt-4 + c1DPWHITEt-1 + c2DPWHITEt-2 + c3DPWHITEt-3 + c4DPWHITEt-4 + d1DTIt-1 + d2DTIt-2 + d3DTIt-3 + d4DTIt-4
dimana: DPDOM = harga gula domestik, DPRAW = harga gula dunia jenis raw sugar, DPWHITE = harga gula dunia jenis white sugar, DTI = tarif impor gula.
6.2.4. Pendugaan Koefisien Setelah model integrasi pasar gula dibangun, model tersebut dapat diestimasi koefisiennya dengan menggunakan lag optimal yang telah diperoleh
sebelumnya. Estimasi ini dilakukan untuk melihat pengaruh variabel yang satu dengan variabel lainnya dalam model VAR. Estimasi model dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Mickrofit 4.0. Hasil estimasi koefisien model VAR integrasi pasar gula dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Koefisien Model VAR Integrasi Pasar Gula Domestik dengan Pasar Gula Dunia. LAG DPDOM(-1) DPDOM(-2) DPDOM(-3) DPDOM(-4) DPRAW(-1) DPRAW(-2) DPRAW(-3) DPRAW(-4) DPWHITE(-1) DPWHITE(-2) DPWHITE(-3) DPWHITE(-4) DTI(-1) DTI(-2) DTI(-3) DTI(-4)
PDOM - 0.12861 0.08925 0.06512 * 0.18290 * 0.44435 * 0.71940 - 0.01877 - 0.08797 - 0.14811 - 0.08021 0.23160 0.11164 - 0.09619 * 1.50360 * 1.14900 0.01393
VARIABEL ENDOGEN PRAW PWHITE - 0.06765 0.02505 0.00043 0.09209 0.03209 - 0.03167 - 0.08702 - 0.11660 * 0.57486 * 0.62617 - 0.01863 - 0.12789 0.21792 0.05071 0.09575 0.21922 - 0.07718 - 0.04112 - 0.19241 - 0.24450 - 0.10328 - 0.01228 * - 0.28852 * - 0.58083 * - 1.10810 * - 1.25620 0.20104 0.51778 - 0.27719 - 0.40305 0.18772 0.56881
TI * 0.05881 - 0.01057 - 0.00728 0.01186 0.03636 0.03967 - 0.02463 0.00363 - 0.02148 0.00531 * - 0.08240 - 0.02702 - 0.08607 0.00416 0.14008 0.03536
Keterangan: * nyata pada á = 0.15 (15 %)
Harga gula domestik dipengaruhi secara nyata oleh lag harga gula domestik itu sendiri disamping dipengaruhi oleh lag harga gula dunia jenis raw sugar dan lag tarif impor gula. Harga gula dunia jenis raw sugar dipengaruhi secara nyata oleh lag harga gula dunia jenis raw sugar itu sendiri, lag harga gula dunia jenis white sugar dan lag tarif impor gula. Sementara harga gula dunia jenis white sugar dipengaruhi secara nyata oleh lag harga gula dunia jenis white sugar
itu sendiri disamping dipengaruhi oleh lag harga gula dunia jenis raw sugar dan lag tarif impor gula. Sedangkan tarif impor gula dipengaruhi secara nyata oleh lag harga gula domestik dan lag harga gula dunia jenis white sugar. Apabila diamati setiap persamaan parsial pada Tabel 8, semua persamaan selalu dipengaruhi oleh lag variabel itu sendiri, kecuali pada persamaan tarif impor. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menentukan harga gula domestik maupun dunia, pelaku pasar selalu memperhatikan harga gula bulan sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa harga gula pada waktu yang lalu (lampau) sangat diperlukan oleh pelaku pasar gula domestik dan dunia. Sementara tarif impor gula tidak dipengaruhi oleh lag tarif impor itu sendiri, tarif impor lebih dipengaruhi oleh harga gula domestik dan harga gula dunia jenis white sugar. Hal ini berarti bahwa perubahan kebijakan impor gula lebih dipengaruhi oleh faktor harga gula dibanding oleh nilai lagnya.
a. Harga Gula Domestik Koefisien lag harga gula domestik tidak nyata secara statistik ditemukan pada persamaan parsial harga gula dunia (harga raw sugar maupun white sugar). Hal ini berarti bahwa perubahan kedua jenis harga gula dunia tidak dipengaruhi oleh perubahan harga gula domestik. Koefisien lag harga gula domestik yang nyata ditemukan nyata pada persamaan parsial tarif impor gula yaitu pada lag pertama. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tarif impor gula dipengaruhi oleh perubahan harga gula domestik. Koefisiennya bernilai 0.05881, dan terletak pada lag pertama. Artinya apabila harga gula domestik satu bulan yang lampau
meningkat sebesar satu satuan maka tarif impor akan meningkat sebesar 0.05881 satuan.
b. Harga Gula Dunia Jenis Raw Sugar Koefisien lag harga gula dunia jenis raw sugar yang ditemukan nyata pada persamaan harga gula domestik adalah pada lag pertama dan lag kedua dengan koefisien 0.44435 dan 0.71940. Artinya, perubahan harga gula dunia jenis raw sugar satu bulan dan dua bulan yang lampau sebesar satu satuan di pasar dunia, akan dirambatkan ke harga gula domestik berturut-turut sebesar 0.44435 dan 0.71940 satuan. Keadaan ini menunjukkan bahwa peningkatan harga gula dunia jenis raw sugar akan berdampak pada peningkatan harga gula di pasar domestik. Sehingga dengan impor gula jenis raw sugar yang semakin meningkat, akan mengakibatkan harga gula domestik semakin meningkat. Koefisien harga gula dunia jenis raw sugar juga ditemukan nyata pada persamaan harga gula dunia jenis white sugar. Nilai koefisiennya adalah sebesar 0.62617 dan terletak pada lag pertama. Artinya, bahwa peningkatan harga gula dunia jenis raw sugar akan meningkatkan harga gula dunia jenis white sugar sebesar nilai koefisiennya.
c. Harga Gula Dunia Jenis White Sugar Koefisien harga gula dunia jenis white sugar tidak ditemukan secara nyata pada persamaan harga gula domestik. Koefisien harga gula dunia jenis white sugar ditemukan nyata pada persamaan harga gula dunia jenis raw sugar dan tarif impor gula pada lag keempat dan ketiga, dengan nilai koefisien sebesar -0.28852
dan -0.0824. Artinya, peningkatan harga gula dunia jenis white sugar akan menurunkan harga gula dunia jenis raw sugar dan tarif impor sebesar nilai koefisiennya.
d. Tarif Impor Gula Tarif impor gula terlihat nyata mempengaruhi harga gula domestik dan harga kedua jenis gula dunia. Koefisien tarif impor gula yang nyata terhadap harga gula domestik terjadi pada lag dua dan tiga, dengan koefisien sebesar 1.50360 dan 1.14900. Koefisien tarif impor yang nyata terhadap harga gula dunia jenis raw sugar terletak pada lag satu yang bernilai -1.10810. Sementara koefisien tarif impor yang nyata terhadap harga gula dunia jenis white sugar terletak pada lag satu dengan koefisien sebesar -1.25620. Nilai koefisien tarif impor yang nyata terhadap harga gula domestik adalah bernilai positif. Artinya, peningkatan tarif impor gula akan menurunkan harga gula di pasar domestik sebesar nilai koefisiennya. Sementara nilai koefisien tarif impor gula yang nyata terhadap harga gula dunia jenis raw sugar dan white sugar memiliki nilai yang negatif. Artinya, peningkatan tarif impor gula akan menurunkan harga kedua jenis gula dunia sebesar nilai koefisiennya.
6.2.5. Uji Kebaikan Model Setelah dilakukan estimasi model untuk setiap persamaan, langkah selanjutnya adalah menguji kebaikan model yang sudah terbentuk. Hal yang harus diperhatikan pada uji kebaikan model adalah data setiap variabel harus bersifat stasioner dan memiliki sifat white noise. Sifat white noise antara lain memiliki
rataan nol, ragam konstan dan saling bebas. Uji kestasioneran data telah dilakukan pada tahap awal analisis yaitu dengan menggunakan uji ADF, dimana uji tersebut menghasilkan data yang stasioner pada pendiferensiasian pertama. Sementara untuk uji white noise terdapat pada diagnostic test hasil estimasi koefisien model VAR pada Lampiran 4, dan dapat dilihat lebih ringkas pada Tabel 9.
Tabel 9. Diagnostic Test Model VAR No
Test Statistik
p-value DPDOM
DPRAW
DPWHITE
DTI
1
Serial Correlation
0.148
0.085
0.001
0.003
2
Functional Form
0.000
0.111
0.513
0.000
3
Normality
0.171
0.160
0.000
0.000
4
Heteroscedasticity
0.364
0.636
0.010
0.000
5
R-Squared
0.408
0.382
0.416
0.176
6
DW-statistic
1.947
2.029
1.977
2.098
Keterangan: - H0 merupakan tidak terjadi pelanggaran terhadap setiap asumsi Ordinary Least Square (OLS) - T araf nyatapadaá = 0.20 (20 %)
Tabel 9 menunjukkan bahwa tidak ada persamaan yang mengandung masalah serial correlation (autokorelasi). Hal ini terlihat dari nilai t-statistik yang lebih kecil dari taraf nyata sebesar 20 persen, dan didukung dengan nilai statistik Durbin-Watson yang lebih besar dari satu. Sementara variabel yang mengandung masalah fungsional form adalah variabel harga gula dunia jenis white sugar. Variabel yang mengandung masalah heteroscedasticity adalah harga gula domestik dan harga gula dunia jenis raw sugar. Terlihat bahwa terdapat persamaan yang mengandung masalah seperti functional form dan heteroscedasticity. Hal ini bukan berarti persamaan tersebut tidak dapat digunakan lebih lanjut (Riadsyah, 2004). Persamaan tersebut masih
dapat digunakan walaupun validitas model kurang meyakinkan. Nilai R-Squared yang kurang memuaskan menggambarkan keterbatasan ruang lingkup penelitian. Hal ini dapat dijelaskan dengan tujuan penelitian untuk menganalisis hubungan antara variabel yang akan diestimasi (harga gula domestik, harga gula dunia jenis raw sugar dan white sugar serta tarif impor gula). Solusi agar R-Squared model lebih baik adalah dengan menambah variabel di luar model yang signifikan.
6.3. Pembahasan 6.3.1. Analisis Integrasi Pasar Gula Domestik dengan Pasar Gula Dunia Hasil estimasi koefisien model VAR yang dilakukan menunjukkan bahwa perubahan harga gula domestik nyata dipengaruhi oleh variabel itu sendiri dan variabel lainnya kecuali variabel harga gula dunia jenis white sugar. Hal ini terlihat dari uji statistik pada taraf nyata 15 persen yang menunjukkan bahwa koefisien lag yang nyata terhadap harga gula domestik adalah lag harga gula domestik, lag harga gula dunia jenis raw sugar dan lag tarif impor gula. Dapat dikatakan bahwa harga gula dunia jenis raw sugar dan kebijakan tarif yang diterapkan mempengaruhi pembentukan harga gula di pasar domestik. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar pemenuhan konsumsi gula domestik berasal dari gula impor (khususnya gula dunia jenis raw sugar), disamping adanya produksi gula dalam negeri. Dimana rata-rata volume impor gula jenis raw sugar lebih tinggi dibanding jenis white sugar (Tabel 10). Perubahan harga kedua jenis gula dunia ternyata tidak dipengaruhi secara nyata oleh harga gula domestik. Hal ini terlihat dari koefisien lag harga gula domestik yang tidak nyata terhadap harga kedua jenis gula dunia. Harga gula dunia lebih dipengaruhi oleh lag harga gula dunia itu sendiri (raw sugar dan white
sugar) serta lag tarif impor gula. Keadaan ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara net importer gula, sehingga harga gula domestik kurang mempengaruhi harga gula dunia secara nyata. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Indonesia cenderung sebagai penerima harga (price taker).
Tabel 10. Perbadingan Volume Impor Gula Dunia Jenis Raw Sugar dan White Sugar Tahun 1999-2004. Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 * Rata-rata
Impor Gula (Ton) White Sugar Raw Sugar 237,933 2,892,773 228,826 1,371,774 567,717 1,032,283 572,211 971,802 470,381 913,918 336,320 215,597 402,231 1,233,025
Total 3,130,706 1,600,600 1,600,000 1,544,013 1,384,299 551,917 1,635,256
Proporsi (%) White Sugar Raw Sugar 7.60 92.40 14.30 85.70 35.48 64.52 37.06 62.94 33.98 66.02 60.94 39.06 31.56 68.44
Keterangan
: * angka sementara (Januari s.d Juli 2004)
Sumber
: Dewan Gula Indonesia, 2004.
Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Analisis di atas menunjukkan bahwa antara pasar gula domestik dan pasar gula dunia terjadi integrasi pasar yang lemah dan searah, karena kedua pasar tidak saling mempengaruhi. Pembentukan harga gula domestik ditentukan oleh harga gula dunia dan tarif impor gula, dan harga gula dunia jenis raw sugar menjadi pemimpin harga bagi harga gula domestik. Artinya, apabila terjadi peningkatan harga gula dunia, akan segera direspons dengan meningkatnya harga gula domestik pada jangka waktu satu dan dua bulan setelah peningkatan harga gula dunia jenis raw sugar. Sementara harga gula dunia lebih ditentukan oleh harga gula dunia itu sendiri, tanpa ada pengaruh dari harga gula domestik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa posisi harga gula domestik cukup lemah di pasar gula dunia.
Kondisi harga gula dunia sebagai pemimpin harga bagi harga gula domestik (Indonesia sebagai price taker) cukup mengkhawatirkan, terutama bagi produksi gula domestik. Pasar gula dunia yang mengarah ke struktur pasar oligopoli dan tipisnya pasar gula dunia (thin market), akan mengakibatkan pasar gula dunia mudah bergejolak1. Harga gula dunia yang memiliki tren menurun dapat menurunkan harga gula domestik melalui perambatan harga oleh integrasi yang terjadi. Sementara dari sisi produsen, tidak memungkinkan untuk menurunkan harga gula produksi domestik karena biaya produksi gula domestik yang cukup tinggi (karena kurang efisien). Di sisi lain para pelaku pasar dan konsumen cenderung lebih menyukai gula impor dibanding gula domestik, karena kualitasnya tinggi dan harganya relatif rendah. Peran pemerintah sangat diperlukan
untuk
menstabilkan
harga
gula
domestik
dan
menjaga
keberlangsungan petani gula. Selama ini pemerintah melakukannya dengan melakukan operasi pasar gula dan menyalurkan subsidi kepada petani tebu.
6.3.2. Analisis Pengaruh Tarif Impor Gula dalam Integrasi Pasar Dua buah pasar akan semakin terintegrasi apabila hambatan perdagangan yang ada semakin kecil bahkan tidak ada, sehingga tidak menghalangi adanya perdagangan dan transfer komoditi diantara kedua pasar. Apabila hambatan perdagangan cukup tinggi, maka integrasi yang terjadi akan lemah dan bahkan tidak terjadi integrasi pasar karena transfer komoditi tidak terjadi.
1
Stok gula dunia cenderung menurun sementara impor gula dunia cenderung meningkat, dan ekspor gula dunia tidak dapat mengimbangi impor gula dunia (USDA, 2002).
Berdasarkan hasil estimasi, tarif impor gula terlihat nyata mempengaruhi harga gula domestik, harga gula dunia jenis raw sugar dan white sugar. Koefisien tarif impor gula terhadap harga gula domestik adalah bernilai positif, sehingga dengan adanya peningkatan tarif impor gula akan meningkatkan harga gula domestik. Sementara koefisien tarif impor gula terhadap harga gula dunia jenis raw sugar dan white sugar keduanya bernilai negatif, sehingga dengan adanya peningkatan tarif impor gula akan menurunkan harga gula dunia. Peningkatan tarif impor gula yang diterapkan negara importir seperti Indonesia, akan berdampak pada peningkatan harga gula di tingkat konsumen. Peningkatan
tarif
impor
akan
dibebankan
kepada
konsumen,
dengan
meningkatnya harga gula di pasar domestik. Hal ini dapat menguntungkan petani tebu karena harga gula domestik akan terdorong naik. Tarif impor yang semakin tinggi juga dapat mengurangi harga gula dunia, dengan asumsi semua negara importir utama menerapkan tarif impor yang tinggi. Hal ini terjadi karena importir akan mengurangi impor gula sebagai dampak peningkatan tarif impor. Penurunan volume impor mengakibatkan peningkatan stok gula di pasar dunia. Stok gula dunia yang menumpuk ini akan disalurkan negara eksportir gula dunia melalui strategi penurunan harga gula, hal ini dilakukan untuk merangsang kembali peningkatan impor. Perubahan tarif impor gula tidak dipengaruhi secara nyata oleh tarif itu sendiri, yang mempengaruhi adalah harga gula domestik dan harga gula dunia jenis white sugar. Hal ini berarti peningkatan tarif impor selama ini bukan karena dorongan dari lag tarif tersebut, tetapi oleh perubahan harga gula domestik dan harga gula dunia jenis white sugar, disamping bertujuan untuk meningkatkan
hambatan perdagangan. Pemerintah mencoba untuk membatasi volume impor gula yang cukup tinggi dan meningkatkan harga gula domestik dengan meningkatkan tarif impor gula. Analisis yang dilakukan terhadap tarif impor gula menunjukkan bahwa tarif impor gula berpengaruh terhadap integrasi pasar gula domestik dengan pasar gula dunia, tetapi pengaruhnya kecil. Pengaruh yang kecil ini dapat dilihat dari koefisien tarif impor terhadap harga gula domestik yang hanya bernilai 1.5 dan 1.1 (Tabel 8). Hal ini disebabkan oleh penerapan tarif impor gula yang cukup rendah, sementara permintaan dalam negeri akan gula cukup tinggi. Tidak efektifnya tarif impor gula ini, akan menimbulkan peningkatan volume impor gula. Melihat volume impor gula yang cenderung meningkat selama ini, seharusnya tarif impor ditingkatkan agar impor dapat ditekan dan harga gula domestik meningkat. Kebijakan tarif impor gula ini penting diperhatikan karena komoditi strategis seperti gula cukup elastis, apalagi dengan kondisi perdagangan yang telah bebas (trade liberalisation).
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Berdasarkan bahasan pada bagian terdahulu, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pasar gula domestik ternyata terintegrasi secara lemah dengan pasar gula dunia. Harga gula dunia jenis raw sugar berpengaruh secara nyata dan bertindak sebagai pemimpin harga bagi harga gula domestik, sementara harga gula domestik tidak berpengaruh secara nyata terhadap harga gula dunia. 2. Tarif impor gula yang diterapkan oleh pemerintah ternyata berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi, namun pengaruhnya kecil. Dapat dikatakan bahwa tarif impor yang berlaku masih kurang efektif, terbukti dengan impor yang masih tinggi.
7.2. Saran Saran penulis atas penelitian yang telah dilakukan adalah: 1. Pemerintah sebaiknya meninjau kembali kebijakan tarif impor gula, karena lebih cenderung mendorong terjadinya penyelundupan daripada peningkatan produktivitas dan efisiensi usahatani tebu serta industri gula domestik. 2. Pemerintah hendaknya memberikan insentif kepada petani tebu dan industri gula dalam upaya peningkatan efisiensi produksi, sehingga harga gula domestik mampu bersaing dengan harga gula impor. 3. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan besaran tarif impor yang tepat diterapkan di Indonesia, dimana tarif ini harus memperhatikan
kepentingan produsen dan konsumen. Penelitian lanjutan juga diperlukan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap integrasi pasar gula domestik dengan pasar gula dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Industri Gula Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Amang, B dan M. H. Sawit. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional, Pelajaran dari Orde Baru dan Era Reformasi. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor. Barret, C. B. dan J. R. Li. 2002. Distinguishing Between Equilibrium and Integration in Spatial Analysis. American Journal of Agricultural Economics. Vol. 84, No. 2. Bustaman, A. D. 2003. Analisis Integrasi Pasar Beras di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Goletti, F. dan E. Christina-Tsigas. 1996. Analizing Market Integration, dalam Price Product and People, Analizing Agricultural Market in Developing Countries. Scott, Gregory J. Lynne Rienner Publisher. London. Gonarsyah, I. 1984. Landasan Perdagangan Internasional. Diktat Kuliah Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hadi, P. U. dan S. Nuryanti. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi Terhadap Ekonomi Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 23, No.1, Hal:8299. Pusat Studi Ekonomi Bogor. Bogor. Hafsah, M. J. 2002. Bisnis Gula di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Hermanto, B. 1999. Analisis Sistem Tataniaga Gula Pasir Pasca Monopoli Bulog (Kasus PT. PG. Rajawali II Cirebon, Jawa Barat). Skripsi. Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Malian, A. M. 1999. Analisis Komparatif Kebijakan Harga Provenue dan Tarif Impor Gula. Jurnal Agro Ekonomi. Vol.18, No.1, Hal:14-36. Pusat Studi Ekonomi Bogor. Bogor. Hutabarat, B. 1988. Analisis Keterpaduan Gula Pasir di Jawa. Jurnal Agro Ekonomi. Vol.7, No.2, Hal:12-29. Pusat Studi Ekonomi Bogor. Bogor.
Kristiawardani, K. 2002. Model Ekonomi Indonesia dengan Metode VAR. Skripsi. Jurusan Statistika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lipsey, R.G., P. N. Courant, D. D. Purvis, dan P. O. Steiner. 1995. Pengantar Mikroekonomi, penerjemah A. J. Wasana dan Kirbrandoko. Jilid Satu. Edisi Kesepuluh. Penerbit Binapura Aksara. Jakarta. Maddala, G. S. 1979. Econometrics. McGraw-Hill International Book Company Japan. Tokyo. Natawijaya, R. S. 2001. Dinamika Pasar Beras Domestik dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras. LPEM-FEUI. Jakarta. Pambudi, R., S. Mardianto. N. Pribadi, T. E. H. Basuki, A. Suryana. 2004. Ekonomi Gula: 11 Negara Pemain Utama Dunia - Kajian Komparasi dari Perspektif Indonesia. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural Economics. Vol.68, No.1, Hal: 102-105. Riadsyah, I. 2004. Aplikasi Peramalan Produksi dan Penjualan CPO-PKO PTP Nusantara IV Medan Sumatera Utara: Pendekatan dengan Metode Box Jenkins dan Metode VAR. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Salvatore, D. 1996. Ekonomi Internasional, penerjemah H. Munandar. Jilid Satu. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga. Jakarta. Seddighi, H. R., K. A. Lawler dan A. V. Katos. 2000. Econometrics: A Practical Approach. Routledge. London and New York. Simatupang, P. dan J. Situmorang. 1988. Integrasi Pasar dan Keterkaitan Harga Karet Indonesia dengan Singapura. Jurnal Agro Ekonomi. Vol.7, No.2, Hal:12-29. Pusat Studi Ekonomi Bogor. Bogor. Suhendratno. 2004. Analisis Peramalan dan Hubungan Antara Impor dan Harga Gula Pasir di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suparno. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Tataniaga Gula Terhadap Kesejahteraan Petani Tebu di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Susila, W. R. dan B. M. Sinaga. 2005. Analisis Kebijakan Industri Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 23, No.1, Hal:82-99. Pusat Studi Ekonomi Bogor. Bogor. Tomek, W. dan Robinson K.L. 1990. Agricultural Product Prices. Third Edition. Cornell University Press. Ithaca. Widowati, B. 2003. Analisis Pengaruh Tarif Impor Gula Terhadap Industi Gula Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Widyastutik. 2005. Mungkinkah Indonesia Mencapai Swasembada Gula Secara Berkelanjutan? Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
Tabel 1. Ekses Demand dan Kelebihan Impor Gula Indonesia Tahun 1993-2002, dalam Ton. Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Produksi 2,482,724 2,448,832 2,096,471 2,094,194 2,189,973 1,491,553 1,488,598 1,690,667 1,725,467 1,755,433
Konsumsi 2,337,440 2,941,200 3,343,200 3,069,900 3,363,300 3,300,000 3,360,000 3,300,000 3,360,000 3,300,000
Ekses Demand - 145,284 492,368 1,246,729 975,706 1,173,327 1,808,447 1,871,402 1,609,333 1,634,533 1,544,567
Impor 236,719 128,400 688,800 975,800 1,364,600 1,811,732 3.130.706 1,600,600 1,600,000 1,544,013
Kelebihan Impor 236,719 - 363,968 - 557,929 94 191,273 3,285 1,259,304 - 8,733 - 34,533 -554
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2004 (diolah).
Tabel 2. Harga Eceran Gula Pasir di Pasar Domestik Tahun 1998-2004, dalam Rupiah per Kg. BULAN Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember RATA-RATA
1998 1.763 1.756 1.638 2.100 2.238 2.316 2.788 3.731 3.938 3.669 3.406 3.500 2.737
1999 3.500 3.388 2.875 2.397 2.397 2.638 2.269 2.263 2.438 2.390 2.400 2.722 2.640
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2005.
2000 2.616 2.494 2.431 2.510 2.497 2.789 3.235 3.410 3.413 3.366 3.566 3.545 2.989
TAHUN 2001 3.600 3.628 3.712 3.790 3.926 4.069 3.823 3.576 3.572 3.875 3.656 3.719 3.746
2002 3.857 3.784 3.632 3.494 3.263 3.206 3.222 3.241 3.313 3.456 3.913 3.966 3.529
2003 3.963 4.269 4.242 4.945 4.544 4.902 4.282 4.059 4.131 4.138 4.175 4.038 4.307
2004 3.941 3.963 3.944 4.025 4.063 4.066 4.065 4.088 4.081 4.094 4.246 4.797 4.114
Tabel 3. Harga Gula Dunia Jenis Raw Sugar Tahun 1998-2004, dalam US $ per Ton. BULAN Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember RATA-RATA
1998 255.80 234.90 214.73 212.45 201.97 177.77 189.70 186.14 157.65 163.07 176.33 176.56 195.59
1999 177.42 149.22 131.92 121.02 125.88 131.66 118.04 125.61 145.91 148.47 143.94 133.85 137.75
2000 123.71 115.73 112.12 131.59 151.85 183.22 212.22 228.58 221.06 236.40 218.35 219.97 179.57
TAHUN 2001 226.10 217.04 203.16 191.82 210.26 197.35 187.51 177.67 163.22 148.77 168.16 172.18 188.60
2002 171.34 144.00 146.01 150.88 134.57 126.76 139.83 137.93 151.45 164.04 171.08 174.50 151.03
2003 178.20 197.60 181.40 170.60 157.50 147.52 148.76 150.10 130.80 130.10 132.88 137.89 155.28
2004 126.18 126.84 141.52 143.22 139.51 151.65 172.41 165.94 167.63 184.05 178.63 177.90 156.29
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2005.
Tabel 4. Harga Gula Dunia Jenis White Sugar Tahun 1998-2004, dalam US $ per Ton. BULAN Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember RATA-RATA
1998 298.69 281.58 269.41 256.24 263.83 260.20 256.98 254.98 221.18 220.42 237.34 241.47 255.19
1999 242.04 231.62 217.09 195.99 200.21 218.31 209.67 198.42 182.77 173.12 170.12 167.98 200.61
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2005.
2000 169.69 168.90 172.58 190.78 201.10 233.68 250.53 270.49 259.04 259.23 242.99 241.71 221.73
TAHUN 2001 248.38 235.13 226.29 233.94 258.16 279.06 272.96 266.86 245.28 223.70 247.23 254.76 249.31
2002 262.28 238.56 237.87 222.68 227.08 221.52 225.86 227.74 213.51 213.99 223.81 226.14 228.42
2003 233.20 244.90 231.70 223.60 219.60 212.85 216.05 215.30 201.40 185.52 191.10 203.31 214.88
2004 202.88 209.62 232.75 245.86 238.58 236.38 258.96 250.95 246.09 248.30 247.95 244.44 238.56
LAMPIRAN 2
Gambar 1. Plot Data Bulanan Harga Gula Domestik, Bulan Januari 1998 hingga Desember 2004. T r e n d A n aly s is P lot f o r P D O M L in e ar T r e n d M o de l Yt = 2 4 0 9 .8 9 + 2 4 .1 7 8 1 * t
5000
V ar iab le A ctu al F it s
4500
A ccu r acy M A P E M A D M S D
PDOM
4000 3500
M e as u r es 12 385 219325
3000 2500 2000 1500 1
8
16
24
32
40 48 M ONT H
56
64
72
80
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2005 (diolah).
Gambar 2. Plot Data Bulanan Harga Gula Dunia Jenis Raw Sugar, Bulan Januari 1998 hingga Desember 2004. T r en d Analy s is P lot for P R AW L in e ar T r e n d M ode l Y t = 1 6 7 5 .6 3 - 3 .6 2 4 5 6 * t
V ar iab le A ctu al F it s
2500
A ccu r acy M eas u r es MAP E 25 MAD 348 MS D 180881
PR AW
2000
1500
1000
1
8
16
24
32
40 48 M ONT H
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2005 (diolah).
56
64
72
80
Gambar 3. Plot Data Bulanan Harga Gula Dunia Jenis White Sugar, Bulan Januari 1998 hingga Desember 2004. T r e n d A n a ly s is P lo t f o r P W H I T E L in e ar T r e n d M o d e l Y t = 2 1 5 9 .0 0 - 1 .4 2 0 8 6 * t 4000
V ar iab le A ctu al F it s
3500
A ccu r acy M A P E M A D M S D
PWHI T E
3000
M eas u r es 19 373 237449
2500 2000 1500 1000 1
8
16
24
32
40 48 M ONT H
56
64
72
80
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2005 (diolah).
Gambar 4. Plot Data Bulanan Tarif Impor Gula, Bulan Januari 1998 hingga Desember 2004. T r end Analys is P lot for T I L in ear T r e n d M o de l Yt = 9 9 .8 9 9 9 + 8 .0 3 2 6 5 * t
800
V ar i ab l e A c t u al F it s
700
A c c u r acy M e as u r es MAPE 15.2 MAD 86.5 MS D 10469.3
600
TI
500 400 300 200 100 0 1
8
16
24
32
40 48 Index
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2005 (diolah).
56
64
72
80
LAMPIRAN 3 A. Uji Kestasioneran Data pada Level (In Level) Unit root tests for variable PDOM The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend ******************************************************************************* 79 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M6 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -1.6731 -545.9508 -547.9508 -550.3203 -548.9001 ADF(1) -1.8736 -544.7121 -547.7121 -551.2663 -549.1360 ADF(2) -1.9174 -544.5329 -548.5329 -553.2718 -550.4315 ADF(3) -1.8361 -544.4720 -549.4720 -555.3956 -551.8452 ADF(4) -2.0493 -543.1857 -549.1857 -556.2940 -552.0335 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.8981 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable PDOM The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend ******************************************************************************* 79 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M6 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -2.4866 -544.2718 -547.2718 -550.8259 -548.6957 ADF(1) -2.9743 -542.0886 -546.0886 -550.8275 -547.9872 ADF(2) -3.2196 -541.2383 -546.2383 -552.1619 -548.6115 ADF(3) -3.1667 -541.1451 -547.1451 -554.2535 -549.9929 ADF(4) -3.9193 -537.7437 -544.7437 -553.0367 -548.0661 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.4666 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable PRAW The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend ******************************************************************************* 79 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M6 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -2.1478 -517.0338 -519.0338 -521.4032 -519.9830 ADF(1) -3.2375 -508.3770 -511.3770 -514.9312 -512.8009 ADF(2) -2.7936 -507.9299 -511.9299 -516.6688 -513.8285 ADF(3) -2.5872 -507.7990 -512.7990 -518.7226 -515.1722 ADF(4) -2.4509 -507.4982 -513.4982 -520.6065 -516.3460 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.8981 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable PRAW The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend ******************************************************************************* 79 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M6 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -2.0419 -516.8178 -519.8178 -523.3720 -521.2417 ADF(1) -3.1315 -508.2807 -512.2807 -517.0196 -514.1793 ADF(2) -2.6625 -507.7877 -512.7877 -518.7113 -515.1609 ADF(3) -2.4325 -507.6247 -513.6247 -520.7331 -516.4726 ADF(4) -2.2511 -507.2299 -514.2299 -522.5230 -517.5523 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.4666 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion
Unit root tests for variable PWHITE The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend ******************************************************************************* 79 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M6 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -2.3948 -539.6453 -541.6453 -544.0148 -542.5946 ADF(1) -3.5151 -532.4009 -535.4009 -538.9551 -536.8249 ADF(2) -2.9476 -531.8427 -535.8427 -540.5816 -537.7412 ADF(3) -2.6018 -531.5301 -536.5301 -542.4537 -538.9033 ADF(4) -2.1062 -527.8251 -533.8251 -540.9334 -536.6729 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.8981 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable PWHITE The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend ******************************************************************************* 79 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M6 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -2.3747 -539.3709 -542.3709 -545.9250 -543.7948 ADF(1) -3.4885 -532.1209 -536.1209 -540.8598 -538.0194 ADF(2) -2.9129 -531.5264 -536.5264 -542.4500 -538.8996 ADF(3) -2.5543 -531.1729 -537.1729 -544.2812 -540.0207 ADF(4) -2.0208 -527.0498 -534.0498 -542.3428 -537.3722 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.4666 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion
Unit root tests for variable TI The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend ******************************************************************************* 79 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M6 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -2.2221 -427.5284 -429.5284 -431.8978 -430.4777 ADF(1) -2.1971 -427.4895 -430.4895 -434.0437 -431.9135 ADF(2) -2.1759 -427.4725 -431.4725 -436.2114 -433.3711 ADF(3) -2.1426 -426.9369 -431.9369 -437.8605 -434.3101 ADF(4) -2.1266 -426.8302 -432.8302 -439.9386 -435.6780 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.8981 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable TI The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend ******************************************************************************* 79 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M6 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -2.6188 -425.9998 -428.9998 -432.5539 -430.4237 ADF(1) -2.5679 -425.9693 -429.9693 -434.7082 -431.8678 ADF(2) -2.5465 -425.9071 -430.9071 -436.8307 -433.2802 ADF(3) -2.2802 -425.7640 -431.7640 -438.8723 -434.6118 ADF(4) -2.1763 -425.7638 -432.7638 -441.0569 -436.0863 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.4666 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion
B. Uji Kestasioneran Data pada Diferensiasi Pertama (In First Difference) Unit root tests for variable DPDOM The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend ******************************************************************************* 78 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M7 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -7.2722 -540.0678 -542.0678 -544.4245 -543.0113 ADF(1) -5.2180 -540.0022 -543.0022 -546.5372 -544.4173 ADF(2) -4.7546 -539.8141 -543.8141 -548.5276 -545.7010 ADF(3) -3.5380 -538.9883 -543.9883 -549.8800 -546.3468 ADF(4) -3.3012 -538.9726 -544.9726 -552.0427 -547.8029 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.8986 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable DPDOM The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend ******************************************************************************* 78 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M7 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -7.2114 -540.0630 -543.0630 -546.5980 -544.4781 ADF(1) -5.1581 -539.9947 -543.9947 -548.7081 -545.8816 ADF(2) -4.6827 -539.8121 -544.8121 -550.7039 -547.1707 ADF(3) -3.4576 -538.9747 -544.9747 -552.0448 -547.8050 ADF(4) -3.2160 -538.9609 -545.9609 -554.2094 -549.2629 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.4673 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion
Unit root tests for variable DPRAW The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend ******************************************************************************* 78 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M7 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -6.9478 -504.4412 -506.4412 -508.7979 -507.3846 ADF(1) -6.6782 -503.3743 -506.3743 -509.9094 -507.7894 ADF(2) -5.9937 -502.9161 -506.9161 -511.6295 -508.8029 ADF(3) -5.2645 -502.7738 -507.7738 -513.6656 -510.1324 ADF(4) -4.2077 -502.6499 -508.6499 -515.7200 -511.4802 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.8986 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable DPRAW The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend ******************************************************************************* 78 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M7 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -7.0974 -503.4144 -506.4144 -509.9495 -507.8296 ADF(1) -6.8270 -502.2928 -506.2928 -511.0062 -508.1797 ADF(2) -6.1596 -501.7515 -506.7515 -512.6433 -509.1101 ADF(3) -5.4664 -501.5224 -507.5224 -514.5925 -510.3527 ADF(4) -4.4431 -501.4884 -508.4884 -516.7369 -511.7904 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.4673 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion
Unit root tests for variable DPWHITE The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend ******************************************************************************* 78 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M7 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -9.0095 -521.5760 -523.5760 -525.9327 -524.5194 ADF(1) -8.3254 -520.5950 -523.5950 -527.1301 -525.0101 ADF(2) -7.7937 -518.9774 -522.9774 -527.6908 -524.8643 ADF(3) -8.0051 -515.7765 -520.7765 -526.6683 -523.1351 ADF(4) -5.7708 -515.6576 -521.6576 -528.7278 -524.4879 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.8986 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable DPWHITE The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend ******************************************************************************* 78 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M7 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -9.3018 -519.6587 -522.6587 -526.1938 -524.0739 ADF(1) -8.5800 -518.6657 -522.6657 -527.3791 -524.5526 ADF(2) -8.1016 -516.7660 -521.7660 -527.6578 -524.1246 ADF(3) -8.4496 -512.9085 -518.9085 -525.9786 -521.7388 ADF(4) -6.2544 -512.9015 -519.9015 -528.1500 -523.2036 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.4673 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion
Unit root tests for variable DTI The Dickey-Fuller regressions include an intercept but not a trend ******************************************************************************* 78 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M7 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -9.0711 -424.9658 -426.9658 -429.3226 -427.9093 ADF(1) -6.4246 -424.9342 -427.9342 -431.4693 -429.3493 ADF(2) -5.7860 -424.3622 -428.3622 -433.0756 -430.2490 ADF(3) -5.0288 -424.2520 -429.2520 -435.1438 -431.6106 ADF(4) -4.8753 -423.6478 -429.6478 -436.7180 -432.4781 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -2.8986 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion Unit root tests for variable DTI The Dickey-Fuller regressions include an intercept and a linear trend ******************************************************************************* 78 observations used in the estimation of all ADF regressions. Sample period from 1998M7 to 2004M12 ******************************************************************************* Test Statistic LL AIC SBC HQC DF -9.1613 -424.2903 -427.2903 -430.8253 -428.7054 ADF(1) -6.5469 -424.2123 -428.2123 -432.9257 -430.0992 ADF(2) -5.9587 -423.4560 -428.4560 -434.3477 -430.8145 ADF(3) -5.2406 -423.2435 -429.2435 -436.3136 -432.0738 ADF(4) -5.1496 -422.3863 -429.3863 -437.6347 -432.6883 ******************************************************************************* 95% critical value for the augmented Dickey-Fuller statistic = -3.4673 LL = Maximized log-likelihood AIC = Akaike Information Criterion SBC = Schwarz Bayesian Criterion HQC = Hannan-Quinn Criterion
LAMPIRAN 4
A. DPDOM OLS estimation of a single equation in the Unrestricted VAR ******************************************************************************* Dependent variable is DPDOM 79 observations used for estimation from 1998M6 to 2004M12 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] DPDOM(-1) -.12861 .12704 -1.0124[.315] DPDOM(-2) .089249 .11294 .79026[.432] DPDOM(-3) .065124 .10816 .60209[.549] DPDOM(-4) .18290 .10359 1.7657[.082] DPRAW(-1) .44435 .29312 1.5159[.135] DPRAW(-2) .71940 .30798 2.3359[.023] DPRAW(-3) -.018770 .31581 -.059434[.953] DPRAW(-4) -.087974 .29517 -.29804[.767] DPWHITE(-1) -.14811 .20864 -.70990[.480] DPWHITE(-2) -.080205 .20090 -.39922[.691] DPWHITE(-3) .23160 .20113 1.1515[.254] DPWHITE(-4) .11164 .20939 .53318[.596] DTI(-1) .096185 .49191 -.19554[.846] DTI(-2) 1.5036 .48426 -3.1049[.003] DTI(-3) 1.1490 .51925 -2.2128[.031] DTI(-4) .013928 .51578 .027004[.979] ******************************************************************************* R-Squared .40783 R-Bar-Squared .26684 S.E. of Regression 212.9081 F-stat. F( 15, 63) 2.8926[.002] Mean of Dependent Variable 32.3924 S.D. of Dependent Variable 248.6521 Residual Sum of Squares 2855780 Equation Log-likelihood -526.6648 Akaike Info. Criterion -542.6648 Schwarz Bayesian Criterion -561.6203 DW-statistic 1.9470 System Log-likelihood -1922.8 ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 12)= 7.1424[.148]*F( 12, 51)= .42244[.947]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 12.3767[.000]*F( 1, 62)= 11.5179[.001]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 3.5284[.171]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= .82568[.364]*F( 1, 77)= .81328[.370]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
B. DPRAW OLS estimation of a single equation in the Unrestricted VAR ******************************************************************************* Dependent variable is DPRAW 79 observations used for estimation from 1998M6 to 2004M12 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] DPDOM(-1) -.067654 .091024 -.74325[.460] DPDOM(-2) .4278E-3 .080922 .0052868[.996] DPDOM(-3) .032090 .077502 .41405[.680] DPDOM(-4) -.087024 .074223 -1.1725[.245] DPRAW(-1) .57486 .21003 2.7370[.008] DPRAW(-2) -.018631 .22068 -.084427[.933] DPRAW(-3) .21792 .22628 .96302[.339] DPRAW(-4) .095747 .21150 .45271[.652] DPWHITE(-1) -.077179 .14950 -.51626[.607] DPWHITE(-2) -.19241 .14395 -1.3366[.186] DPWHITE(-3) -.10328 .14412 -.71668[.476] DPWHITE(-4) -.28852 .15003 -1.9230[.059] DTI(-1) -1.1081 .35246 -3.1437[.003] DTI(-2) .20104 .34699 .57939[.564] DTI(-3) -.27719 .37206 -.74503[.459] DTI(-4) .18772 .36957 .50794[.613] ******************************************************************************* R-Squared .38186 R-Bar-Squared .23468 S.E. of Regression 152.5547 F-stat. F( 15, 63) 2.5945[.004] Mean of Dependent Variable -5.9878 S.D. of Dependent Variable 174.3830 Residual Sum of Squares 1466194 Equation Log-likelihood -500.3311 Akaike Info. Criterion -516.3311 Schwarz Bayesian Criterion -535.2867 DW-statistic 2.0293 System Log-likelihood -1922.8 ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 12)= 19.1602[.085]*F( 12, 51)= 1.3608[.216]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 2.5360[.111]*F( 1, 62)= 2.0563[.157]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= .30106[.160]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= .0064389[.636]*F( 1, 77)= .0062764[.937]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
C. DPWHITE OLS estimation of a single equation in the Unrestricted VAR ******************************************************************************* Dependent variable is DPWHITE 79 observations used for estimation from 1998M6 to 2004M12 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] DPDOM(-1) .025048 .11871 .21100[.834] DPDOM(-2) .092087 .10553 .87259[.386] DPDOM(-3) -.031666 .10107 -.31330[.755] DPDOM(-4) -.11660 .096797 -1.2046[.233] DPRAW(-1) .62617 .27391 2.2861[.026] DPRAW(-2) -.12789 .28779 -.44438[.658] DPRAW(-3) .050714 .29511 .17185[.864] DPRAW(-4) .21922 .27582 .79478[.430] DPWHITE(-1) -.041121 .19496 -.21092[.834] DPWHITE(-2) -.24450 .18773 -1.3024[.198] DPWHITE(-3) -.012280 .18795 -.065338[.948] DPWHITE(-4) -.58083 .19566 -2.9685[.004] DTI(-1) -1.2562 .45966 -2.7328[.008] DTI(-2) .51778 .45252 1.1442[.257] DTI(-3) -.40305 .48521 -.83067[.409] DTI(-4) .56881 .48197 1.1802[.242] ******************************************************************************* R-Squared .41495 R-Bar-Squared .27565 S.E. of Regression 198.9514 F-stat. F( 15, 63) 2.9789[.001] Mean of Dependent Variable -6.4046 S.D. of Dependent Variable 233.7618 Residual Sum of Squares 2493646 Equation Log-likelihood -521.3086 Akaike Info. Criterion -537.3086 Schwarz Bayesian Criterion -556.2642 DW-statistic 1.9769 System Log-likelihood -1922.8 ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 12)= 32.1150[.001]*F( 12, 51)= 2.9111[.004]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= .42823[.513]*F( 1, 62)= .33791[.563]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 23.4374[.000]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= 6.7139[.010]*F( 1, 77)= 7.1518[.009]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
D. DTI OLS estimation of a single equation in the Unrestricted VAR ******************************************************************************* Dependent variable is DTI 79 observations used for estimation from 1998M6 to 2004M12 ******************************************************************************* Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] DPDOM(-1) .058809 .033910 1.7342[.088] DPDOM(-2) -.010569 .030147 -.35059[.727] DPDOM(-3) -.0072801 .028873 -.25214[.802] DPDOM(-4) .011863 .027651 .42902[.669] DPRAW(-1) .036362 .078246 .46471[.644] DPRAW(-2) .039673 .082212 .48257[.631] DPRAW(-3) -.024634 .084301 -.29221[.771] DPRAW(-4) .0036283 .078792 .046050[.963] DPWHITE(-1) -.021484 .055693 -.38575[.701] DPWHITE(-2) .0053068 .053629 .098954[.921] DPWHITE(-3) -.082402 .053689 -1.5348[.130] DPWHITE(-4) -.027018 .055894 -.48338[.631] DTI(-1) -.086073 .13131 -.65550[.515] DTI(-2) .0041599 .12927 .032181[.974] DTI(-3) .14008 .13861 1.0107[.316] DTI(-4) .035358 .13768 .25681[.798] ******************************************************************************* R-Squared .17622 R-Bar-Squared -.019916 S.E. of Regression 56.8331 F-stat. F( 15, 63) .89846[.569] Mean of Dependent Variable 7.9114 S.D. of Dependent Variable 56.2755 Residual Sum of Squares 203490.1 Equation Log-likelihood -422.3262 Akaike Info. Criterion -438.3262 Schwarz Bayesian Criterion -457.2818 DW-statistic 2.0979 System Log-likelihood -1922.8 ******************************************************************************* Diagnostic Tests ******************************************************************************* * Test Statistics * LM Version * F Version * ******************************************************************************* * * * * * A:Serial Correlation*CHSQ( 12)= 30.0722[.003]*F( 12, 51)= 2.6122[.009]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 38.2856[.000]*F( 1, 62)= 58.3013[.000]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 1676.1[.000]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= 45.2567[.000]*F( 1, 77)= 103.2726[.000]* ******************************************************************************* A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values