ANALISIS EKONOMI POLITIK SWASEMBADA GULA INDONESIA: KOMBINASI MODEL OLIGOPOLISTIK DINAMIK DAN FUNGSI PREFERENSI POLITIK
ANAS ZAINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: ANALISIS EKONOMI POLITIK SWASEMBADA GULA INDONESIA: KOMBINASI MODEL OLIGOPOLISTIK DINAMIK DAN FUNGSI PREFERENSI POLITIK adalah benar merupakan gagasan dan hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dicantumkan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Oktober 2011 Anas Zaini NRP.
H363080071
ABSTRACT ANAS ZAINI. Political Economy of the Indonesian Sugar Self Sufficiency: A Combination Approach of Dynamic Oligopolistic Model and Political Preference Function. (HERMANTO SIREGAR as Chairman, DEDI B. HAKIM and M. PARULIAN HUTAGAOL as Members of the Advisory Committee). Sugar industry is among the most developed agricultural industry in Indonesia but it is highly regulated by the government. As regulations create economic rents, many interested parties compete for the rents and involve in rent seeking activities. This paper aims at estimating the economic rents in Indonesia sugar industry and measuring the potential social costs of rent seeking since rents are dissipated through rent seeking activities. In addition, it also tests the relationship between producers’ political lobby on self sufficiency rate and the size of rent obtained. Results show that during 2003-2009 protection on sugar industry has created Dead Weight Loss and the economic rent consecutively as large as Rp. 129 billion and Rp. 6.9 trillion annually. Moreover most of the rent went to the government/state (32.7%) and the rest were collected by importers (20.5%), private sugar mills (16.1%), and local traders (15.3%). Ironically sugar cane farmers only receive 15.4 % of the rents. Since rents were dissipated through rent seeking activities, the social cost of sugar protection would be Rp. 7.1 trillion per annum or approximately 34.41 percent of the value of sugar consumption that achieved Rp. 20.8 trillion. Furthermore, the results indicate that these welfare losses are positively associated with producers’ political lobby/pressure and negatively related to self sufficiency rate. Consequently, in order to minimize rent seeking activities the government should not concentrate on pursuing self sufficiency but rather on removing inefficiencies in sugar industry especially those operating in Java. Without that self sufficiency is simply becoming an arena for rent seeking activities. Key words: sugar, rent seeking, self sufficiency, lobby.
RINGKASAN ANAS ZAINI. Analisis Ekonomi Politik Swasembada Gula Indonesia: Kombinasi Model Oligopolistik Dinamik dan Fungsi Preferensi Politik. (HERMANTO SIREGAR sebagai Ketua, DEDI B. HAKIM dan M. PARULIAN HUTAGAOL sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Pergulaan merupakan salah satu industri pertanian yang paling maju dan paling lengkap di Indonesia, mulai dari research and development hingga industri pengolahannya. Sejumlah regulasi yang mengatur harga, distribusi, perdagangan luar negeri hingga penetapan jumlah dan nama importir dikeluarkan. Tujuannya adalah mendorong industri gula sebagai industri pertanian strategis yang berperan meningkatkan
ketahanan
pangan,
kesempatan
kerja,
dan
pertumbuhan
pendapatan. Karena perannya yang strategis itu pula maka setiap rezim pemerintah berusaha meningkatkan produksi gula. Selain itu struktur pasar gula dunia ditandai dengan rasio konsentrasi eksportir lebih besar dari importir, mengindikasikan volatilitas harga gula dunia sangat ditentukan oleh goncangan pada sisi penawaran. Struktur pasar gula dunia yang demikian merupakan justifikasi logis bagi negara importir termasuk Indonesia untuk mengejar swasembada gula. Dengan demikian dari sudut pandang teori kepentingan publik (Public Interest Theory), dimana pemerintah berperan sebagai agen pelayanan publik, intervensi pemerintah pada industri gula dilakukan untuk mengatasi kegagalan pasar demi mencapai Pareto Improvement. Teori kepentingan publik ini merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam menjelaskan peran regulatif pemerintah terutama jika dikaitkan dengan alasan historis ketika sistim pasar gagal menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata. Argumentasi pemerintah ini tidak pernah dipertanyakan dan hingga sekarang masih menjadi landasan berpikir kebanyakan peneliti pergulaan Indonesia. Pada sisi lain, teori kelompok kepentingan (Interest Group Theory) melihat regulasi yang dikeluarkan pemerintah merupakan respon terhadap permintaan berbagai kelompok kepentingan yang saling bersaing mendapatkan manfaat transfer melalui serangkaian aktivitas perburuan rente. Teori ini tidak pernah
digunakan oleh peneliti Indonesia dalam menganalisis kebijakan pergulaan nasional meskipun sejumlah penelitian di negara lain menunjukkan bahwa dalam upaya mendapatkan rente ekonomi tersebut sejumlah sumberdaya “dihamburkan” yang nilainya sama dengan besarnya rente itu sendiri. Menurut teori ini sekelompok kecil produsen gula yang terorganisir, terutama mereka yang beroperasi tidak efisien, dapat mengatasi persoalan free riding sehingga mampu mempengaruhi regulator dalam proses pembuatan regulasi Jika literatur ekonomi politik tentang rent seeking menekankan aktivitas perburuan rente utamanya dilakukan oleh kelompok kepentingan swasta yang berkolusi dengan pemerintah, maka pada kasus industri gula Indonesia pola perburuan rente tersebut sangat berbeda mengingat besarnya peran pemerintah yang tidak hanya sebagai regulator tetapi juga operator pada industri gula. Peran sebagai operator tersebut antara lain terlihat pada kepemilikan PG dimana 80 persen PG yang ada di Indonesia dimiliki oleh negara. Persoalan menjadi semakin serius mengingat seluruh PG milik negara tersebut secara ekonomi tidak efisien. Keluarnya Keputusan Presiden No. 57/2004 yang menetapkan gula sebagai barang dalam pengawasan dan Surat Keputusan Menperindag No. 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula yang mengatur harga gula patokan petani, tarif dan kuota impor, penentuan importir, serta segmentasi pasar gula memberikan peluang besar bagi pemerintah, pabrik gula milik negara dan BUMN perdagangan mendapatkan rente ekonomi. Terlebih lagi regulasi ini dimaksudkan untuk mencapai swasembada gula tahun 2014 sehingga aktivitas perburuan rente yang ditimbulkannya luput dari perhatian masyarakat dan peneliti. Berdasarkan uraian tersebut peneliti bermaksud mengungkap besarnya rente yang diterima pemerintah dan berbagai kelompok kepentingan lain di industri gula Indonesia selama periode 2003-2009, serta mengestimasi besarnya biaya sosial yang diakibatkan aktivitas perburuan rente tersebut. Selain itu ia juga dimaksudkan untuk mengevaluasi hubungan aktivitas perburuan rente yang dilakukan melalui lobi dan tekanan politik dengan pencapaian tingkat swasembada dan besarnya rente ekonomi gula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kebijakan pergulaan yang protektif telah menciptakan rente ekonomi bagi produsen yang merupakan beban bagi konsumen.
Antara tahun 2003-2009 pembatasan perdagangan melalui tarif dan kuota impor menyebabkan kehilangan surplus konsumen Rp. 7.1 triliun per tahun dimana Rp. 6.9 triliun merupakan rente ekonomi yang diterima produsen, importir dan pemerintah, serta Rp. 129 milyar merupakan dead weight loss. Penerima rente ekonomi terbesar di industri gula Indonesia adalah pemerintah/negara (32.7%) diikuti importir yang terdiri dari industri makanan dan minuman serta pabrik gula rafinasi (20.5%), dan pabrik gula swasta berbasis tebu (16.1%). Ironisnya, petani tebu yang harus dilindungi dan menjadi target utama kebijakan pergulaan yang protektif hanya menerima rente ekonomi terkecil (15.4%) karena 15.3% rente yang diterima terkikis dalam bentuk tingginya biaya transaksi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah merupakan predator utama bagi konsumen gula. Temuan penting lain adalah aktivitas perburuan rente di industri gula menyebabkan potensi pemborosan sumberdaya mencapai 34.41 persen dari nilai konsumsi gula yang rata-rata sebesar Rp. 20.8 triliun per tahun. Hasil analisis regresi menunjukkan terdapat hubungan positif antara tingginya aktivitas lobi/tekanan politik produsen dengan besarnya biaya sosial perburuan rente dan berhubungan negatif dengan pencapaian swasembada. Hal ini membuktikan aktivitas lobi dan tekanan politik produsen bersifat kontra produktif terhadap pencapaian swasembada. Aktivitas lobi dan tekanan politik ditujukan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sehingga produsen gula mendapatkan rente ekonomi melalui hambatan impor. Sumber utama perburuan rente adalah inefisiensi, dan produsen gula yang tidak efisien melakukan lobi dan tekanan politik yang membuat kebijakan pergulaan menjadi tidak efisien. Oleh karena itu swasembada saja belum cukup. Syarat cukupnya adalah menghilangkan inefisiensi industri gula terutama di Pulau Jawa yang terbukti tidak mudah karena menyangkut banyak aspek yang bertabrakan yaitu ekonomi, politik, sosial dan budaya. Oleh karena itu perhatian utama harus ditujukan untuk meningkatkan efisiensi usahatani tebu dan pabrik gula di Pulau Jawa. Tanpa itu program swasembada hanya menciptakan arena perburuan rente bagi para rent seekers.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah.
b.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari IPB.
ANALISIS EKONOMI POLITIK SWASEMBADA GULA INDONESIA: KOMBINASI MODEL OLIGOPOLISTIK DINAMIK DAN FUNGSI PREFERENSI POLITIK
ANAS ZAINI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Disertasi
: Analisis Ekonomi Politik Swasembada Gula Indonesia: Kombinasi Model Oligopolistik Dinamik dan Fungsi Preferensi Politik
Nama Mahasiswa
: Anas Zaini
Mayor
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Nomor Pokok
: H363080071
Menyetujui: 1. Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Ketua
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Anggota
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.Sc. Anggota
Mengetahui: 2. Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian,
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 24 Agustus 2011
Tanggal Lulus: …………….....
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan karunia kesempatan dan kesehatan kepada kami untuk dapat menyelesaikan penulisan Disertasi tentang Analisis Ekonomi Politik Swasembada Gula Indonesia. Guna meningkatkan produksi gula nasional sejumlah regulasi yang mengatur harga, distribusi, dan perdagangan luar negeri dikeluarkan. Selain itu struktur pasar gula dunia ditandai dengan rasio konsentrasi eksportir lebih besar dari importir, mengindikasikan volatilitas harga gula dunia sangat ditentukan oleh goncangan pada sisi penawaran. Struktur pasar gula dunia yang demikian merupakan justifikasi logis bagi negara importir termasuk Indonesia untuk mengejar swasembada gula. Dengan demikian dari sudut pandang teori kepentingan publik (Public Interest Theory), dimana pemerintah berperan sebagai agen pelayanan publik, peran regulatif pemerintah tersebut dilakukan untuk mengatasi kegagalan pasar demi mencapai Pareto Improvement. Pada sisi lain, teori kelompok kepentingan (Interest Group Theory) melihat berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatur industri gula nasional merupakan respon terhadap permintaan berbagai kelompok kepentingan yang saling bersaing mendapatkan manfaat kebijakan melalui serangkaian lobi dan tekanan politik. Dari sudut pandang terori ini maka berbagai kelompok kepentingan terlibat dalam aktivitas perburuan rente. Pada konteks inilah maka disertasi ini berbeda dengan sejumlah penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya yang umumnya menggunakan teori kepentingan publik.
Terima kasih dan penghargaan yang tinggi kami haturkan kepada seluruh komisi pembimbing yang terdiri dari Prof. Dr. Hermanto Siregar, Dr. Dedi B. Hakim, dan Dr. M. Parulian Hutagaol yang telah memberikan bimbingan dan arahan mulai dari penyusunan proposal hingga penulisan disertasi ini. Ucapan yang sama kami sampaikan kepada Prof. Bonar M. Sinaga, Dr. Heni K. Daryanto, Dr. Sri Hartoyo, dan Dr. Yusman Syaukat yang juga memberi masukan melalui sejumlah pertanyaan kritis saat ujian kualifikasi lisan dan ujian tertutup sehingga disertasi ini mengalami banyak perbaikan. Demikian juga kepada Prof. Dr. Didin S. Damanhuri dan Dr. Agus H. Rahman, anggota tim penguji luar komisi pada ujian terbuka, kami ucapkan terima kasih atas kesediaan dan keluangan waktu untuk
menghadiri
dan
memberikan
pertanyaan
demi
perbaikan
dan
penyempurnaan tulisan ini. Ucapan yang sama kami sampaikan kepada Ir. Bambang Priyono, M.Sc., Kepala Sekretariat Dewan Gula Indonesia, dan staf yang telah memberikan dukungan data dan informasi berkaitan dengan industri gula Indonesia. Terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah ucapan terima kasih kepada Ibu, Ibu Mertua, Istri dan ketiga anak-anak tersayang atas segala do’a dan kesabaran menemani penulis selama studi S3. Tanpa dukungan mereka semua, disertasi ini tidak dapat selesai tepat waktu. Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi mereka yang memerlukan. Bogor, Oktober 2011 Salam hormat,
Anas Zaini
RIWAYAT HIDUP SINGKAT Penulis dilahirkan di Denpasar, Propinsi Bali pada tanggal 20 Agustus 1962 sebagi putra keempat dari Bapak Arbani (alm) dan Ibu Asiah. Pendidikan Dasar penulis selesaikan di Mataram, yakni di SD 8 Ampenan (1969-1975), SMP Negeri Ampenan (1975-1978), SMA Ampenan (1980-1982) karena pada tahun 1979 penulis berhenti sekolah ketika duduk di SMA kelas 1. Pada tahun 1982 penulis melanjutkan studi S1 di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Mataram dan lulus pada Januari 1987. Pada tahun 1994 penulis mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 di The Ohio State University, USA, pada Depertemen Ilmu Ekonomi Pertanian dan lulus pada tahun 1996. Setelah kembali bertugas selama 12 tahun penulis melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor dengan jurusan yang sama yaitu Ilmu Ekonomi Pertanian pada tahun 2008. Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian – Universitas Mataram sejak tahun 1989 hingga sekarang. Pada tahun 1991 penulis menikah dengan Halimatus Sa’diyah dan dikaruniai dua puteri yaitu Dea Amanda (19) --saat ini mahasiswi S1 ESL IPB angkatan 2008 dan Bayang Nuansa Salju (14), siswi kelas 1 pada SMA 3 Bogor, dan satu putera yaitu Ahza Maulana Prakarsa (13), siswa kelas 3 SMP Pembangunan Satu Bogor.
Ujian Tertutup : Jumat, 29 Juli 2011 Penguji Luar Komisi : 1. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. Staf Pengajar pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. : 2. Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Ujian Terbuka : Rabu, 24 Agustus 2011 Penguji Luar Komisi : 1. Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, SE., MS., DEA. Guru Besar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. 2. Dr. Ir. Agus Hasanuddin Rahman, M.Sc. Direktur Tanaman Semusim, Ditjen Perkebunan Kementrian Pertanian.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................ .
v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................ .
vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................... .
ix
I. PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian ..........................................................................
8
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................
9
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ................................
10
1.6. Kebaruan Penelitian ......................................................................
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
13
2.1. Teori Intervensi Pemerintah ........................................................ .
13
2.1.1. Teori Kepentingan Publik .................................................
14
2.1.2. Teori Kelompok Kepentingan ............................................
15
2.2. Makroekonomi Politik Kebijakan Pertanian ............................... .
17
2.2.1. Fakta Khas Kebijakan Pertanian ........................................
17
2.2.2. Studi Empiris ......................................................................
21
2.3. Mikroekonomi Politik Kebijakan Pertanian .................................
25
2.3.1. Fungsi Preferensi Politik ...................................................
25
2.3.1.1. Rasionalitas Pemerintah dan Efisiensi Pareto ....................................................................
28
2.3.1.2. Asumsi Dasar ........................................................
29
2.3.1.3. Dimensi Fungsi .....................................................
30
2.3.1.4. Frontier Pareto dan Kurva Transformasi Surplus ..................................................................
34
2.3.2. Studi Empiris ......................................................................
37
2.4. Teori Ekonomi dan Studi Empiris Swasembada ...........................
39
2.4.1. Kebijakan Produksi dan Perdagangan ..................................
39
2.4.1.1. Kebijakan Tarif Impor ............................................
39
2.4.1.2. Kebijakan Kuota Impor ...........................................
41
2.4.1.3. Kebijakan Subsidi Produksi Langsung ...................
42
2.4.1.4. Kebijakan Harga Maksimum dan Harga Minimum .................................................................
43
2.4.1.5. Kebijakan Stabilisasi Harga ....................................
44
2.4.1.6. Biaya Efisiensi Swasembada ...................................
45
2.4.2. Studi Empiris Swasembada Pangan ......................................
47
2.4.3. Studi Empiris Ekonomi Gula ................................................
50
2.4.4. Studi Empiris Ekonomi Politik Kebijakan Pertanian ...........
53
2.5. Model Oligopoli untuk Mengukur Kekuatan Pasar ........................
56
2.5.1. Model Teoritis ......................................................................
56
2.5.1.1. Hall’s Model ...........................................................
56
2.5.1.2. Bresnahan-Lau Model ............................................
57
2.5.1.3. Nishimura-Ohkusa-Ariga Model ............................
59
2.5.2. Studi Empiris ........................................................................
61
2.6. Ikhtisar ........................................................................................... .
64
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
68
3.1. Kerangka Teoritis ...........................................................................
68
3.1.1. Proses Pembuatan Kebijakan Publik ....................................
68
3.1.2. Model Becker-Gardner .........................................................
70
3.1.3. Keseimbangan Ekonomi Politik ......................................... .
73
3.1.4. Kerangka Pemikiran Penelitian .......................................... .
78
3.2. Kerangka Konseptual ................................................................... .
82
3.2.1. Kegagalan Pasar dan Kegagalan Pemerintah .......................................................................... .
82
3.2.2. Penentuan Bobot Politik ..................................................... .
84
3.2.3. Spesifikasi Fungsi Permintaan dan Relasi Penawaran Gula .................................................................................... .
88
3.2.4. Ketidakstasioneran dan Akar Unit ...................................... .
89
3.2.5. Kointegrasi dan Mekanisme Perbaikan Kesalahan ............. .
92
3.2.6. Model Oligopolistik Dinamik ............................................. .
94
3.3. Hipotesis ........................................................................................ .
96
3.4. Ikhtisar ........................................................................................... .
97
IV. METODE PENELITIAN
99
4.1. Sumber Data .................................................................................. .
99
4.2. Uji Ketidakstasioneran dan Akar Unit .......................................... .
99
4.3. Uji Kointegrasi dan Mekanisme Merbaikan Kesalahan ................ . 101 4.4. Model Oligopolistik Dinamik Permintaan dan Relasi Penawaran .......................................................................... . 104 4.5. Pengukuran Aktivitas Lobi ............................................................ . 107 4.6. Model Ekonometrik-Politik ........................................................... . 108 4.7. Definisi Operasional Variabel ....................................................... . 110 V. STRUKTUR DAN PELAKU UTAMA INDUSTRI GULA
113
5.1. Struktur Pasar dan Pelaku Utama Gula Dunia ................................ 113 5.1.1. Brazil ................................................................................... . 115 5.1.2. India .................................................................................... . 118 5.1.3. Thailand .............................................................................. . 120 5.1.4. Australia .............................................................................. . 122 5.2. Struktur Pasar dan Produsen Utama Gula Domestik ...................... 124 5.2.1. Pabrik Gula Berbasis Tebu ................................................. . 127 5.2.2. Pabrik Gula Berbasis Gula Mentah Impor .......................... . 129 5.3. Keterkaitan Industri Gula Nasional dengan Industri Gula Dunia .................................................................................... . 131 5.4. Kelompok Kepentingan di Industri Gula Domestik ...................... . 136 5.4.1. Produsen ............................................................................... 136 5.4.2. Konsumen ........................................................................... . 138 5.4.3. Petani tebu ........................................................................... . 139 5.4.4. Buruh dan Karyawan .......................................................... . 142 5.4.5. Pedagang ............................................................................. . 143 5.4.6. Importir ............................................................................... . 143 5.5.7. Pemerintah .......................................................................... . 144 5.5. Ikhtisar ........................................................................................... . 145
VI. FUNGSI PERMINTAAN DAN RELASI PENAWARAN GULA
147
6.1. Pengujian Akar Unit dan Kointegrasi ........................................... . 147 6.2. Estimasi Fungsi Permintaan .......................................................... . 151 6.3. Estimasi Relasi Penawaran ............................................................ . 154 6.4. Ikhtisar ........................................................................................... . 158 VII. LOBI DAN TEKANAN POLITIK DI INDUSTRI GULA
160
7.1. Aktivitas Lobi Produsen ................................................................ . 160 7.2. Hubungan Aktivitas Lobi dengan Swasembada ............................ . 170 7.3. Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi ......................... 173 7.4. Hubungan Rente Ekonomi dan Swasembada ................................ . 175 7.5. Ikhtisar ........................................................................................... . 177 VIII. RENTE EKONOMI DAN SWASEMBADA GULA
179
8.1. Rente dari Aktivitas Produksi ........................................................ 185 8.2. Rente dari Aktivitas Impor ............................................................. 189 8.3. Distribusi Rente Ekonomi ............................................................... 192 8.4. Biaya Sosial Perburuan Rente ....................................................... . 193 8.5. Prospek dan Implikasi Swasembada ............................................... 196 IX. KESIMPULAN DAN SARAN
202
9.1. Kesimpulan ..................................................................................... 202 9.2. Implikasi Kebijakan ........................................................................ 204 9.3. Saran ............................................................................................... 208 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
210
LAMPIRAN ........................................................................................
218
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Studi Empiris Ekonomi Politik Kebijakan Pertanian …….................
39
2. Penelitian dan Kajian Swasembada Pangan yang Telah Dilaksanakan Sebelumnya …………………………….....................
49
3. Jumlah Pabrik, Luas Areal dan Produksi Gula Indonesia Tahun 2006 …....................................................................................
52
4. Alternatif Spesifikasi Model Ekonometrik-Politik Swasembada Gula ………………………………………….............
109
5. Definisi Operasional Variabel ……………………………...............
111
6. Ekspor dan Produksi Gula Empat Negara Eksportir Utama Tahun 2007-2009 ..............................................................................
113
7. Impor dan Konsumsi Gula Empat Negara Importir Utama Tahun 2007-2009 ..............................................................................
114
8. Produksi Gula Indonesia dan Share Kelompok Produsen Utama Pada Tahun 2009 ..............................................................................
126
9. Kinerja Industri Gula Berbasis Tebu di Indonesia Tahun 2010 ......
128
10. Perbandingan Kualitas GKM, GKP dan GKR di Indonesia Tahun 2008………………...............................................................
129
11. Kapasitas Produksi Gula Rafinasi Indonesia Tahun 2009 …...........
131
12. Neraca Gula Negara Produsen Utama Gula Dunia Tahun 2009/2010 ..............................................................................
133
13. Neraca Gula Dunia Tahun 2007/2008-2009/2010 ...........................
135
14. Analisis Derajat Integrasi Menggunakan Augmented Dickey-Fuller Test .……………………………............
147
15. Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula dengan Metode OLS .......
149
16. Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula dengan Metode OLS …......
149
17. Hasil Uji Kointegrasi Fungsi Permintaan Gula ……………….........
150
18. Hasil Uji Kointegrasi Relasi Penawaran Gula ……………………........
150
19. Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula Model Dinamik dengan Metode 2SLS ………………………………………….............
152
20. Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula Model Statik dengan Metode 2SLS …………………….……………………............
154
21. Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula Model Dinamik dengan Metode 2SLS ………………………………………….............
155
22. Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula Model Statik dengan Metode 2SLS …………………………………………..............
158
23. Analisis Derajat Integrasi Variabel Ekonomi Politik .............................
170
24. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat Swasembada Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 ....................
171
25. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat Swasembada Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 …...............
173
26. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 ………..............
174
27. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 .........................
174
28. Hasil Regresi Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 ……....………….............
175
29. Hasil Regresi Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 …………........................
176
30. Distribusi Rente Ekonomi yang Diterima Produsen Gula Indonesia Tahun 2003-2009 ...................................................................
186
31. Rente Ekonomi Importir dan Pemerintah Indonesia Tahun 2003-2009 ...................................................................................
190
32. Distribusi Rente Ekonomi Gula yang Diterima Berbagai Kelompok Kepentingan di Indonesia dan Dead Weight Loss Tahun 2003-2009 ....
193
33. Biaya Sosial Perburuan Rente di Industri Gula Indonesia Tahun 2003-2009 .........................................................................
194
34. Sasaran Produksi untuk Mencapai Swasembada Gula Indonesia Tahun 2014 ............................................................................................. DAFTAR GAMBAR Nomor
198
Halaman
1. Perkembangan Harga Gula Dunia Tahun 2005-2009 …….................
2
2. Perburuan Rente di Industri Gula Indonesia ……………...................
6
3. Model Ekonomi Tertutup Dampak Kebijakan Dukungan Harga ........
26
4. Karakteristik Fungsi Preferensi Politik yang Memenuhi Pareto Frontier ………………………….............................................
32
5. Hubungan Kurva Transformasi Surplus dengan Pareto Frontier .......
36
6. Dampak Tarif Impor Terhadap Produksi ………………………........
40
7. Dampak Kuota Impor Terhadap Produksi …………………..............
41
8. Dampak Subsidi Langsung Terhadap Produksi ………………..........
42
9. Dampak Kebijakan Harga Maksimum dan Harga Minimum .............
43
10. Stabilisasi Harga Model Massell …………………………...….........
45
11. Kurva Kemungkinan Produksi dan Biaya Swasembada ………........
46
12. Proses Pembuatan Kebijakan dan Konsekuensi Ekonominya ….......
68
13. Dua Sumber Tekanan Politik ………………………………..….......
72
14. Keseimbangan Ekonomi Politik ………………………………........
75
15. Hasil Komparasi Statik Peningkatan Efisiensi Lobi …………….....
77
16. Kerangka Pemikiran Penelitian ………………………………........
79
17. Keterkaitan Kegagalan Pasar dengan Kegagalan Pemerintah ….......
82
18. Proses Pengujian Kointegrasi dan Mekanisme Perbaikan Kesalahan ….......................................................................................
106
19. Perkembangan Produksi dan Ekspor Gula Brazil 1960-2010 ...........
117
20. Perkembangan Konsumsi dan Sasembada Gula Brazil
Tahun 1960-2010................................................................................
117
21. Perkembangan Produksi dan Ekspor Gula India Tahun 1960-2010 …...........................................................................
119
22. Perkembangan Konsumsi dan Sasembada Gula India Tahun 1960-2010 ………………………………………...................
119
23. Perkembangan Produksi dan Ekspor Gula Thailand Tahun 1960-2010 …...........................................................................
121
24. Perkembangan Konsumsi dan Sasembada Gula Thailand Tahun 1960-2010 ………………………………………...................
121
25. Perkembangan Produksi dan Ekspor Gula Australia Tahun 1960-2010 …...........................................................................
122
26. Perkembangan Konsumsi dan Sasembada Gula Australia Tahun 1960-2010 ………………………………………...................
123
27. Perkembangan Harga Gula Domestik dan Dunia 2007-2009 ...........
132
28. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Tahun 1960-2010 ………………………………………..................
134
29. Perkembangan Ekspor dan Impor Gula Dunia Tahun 1960-2010 ....
135
30. Data Produksi Gula yang Stasioner dan Tidak Stasioner Tahun 1960-2009 ………………………………..............................
148
31. Perkembangan Bobot Politik Produsen dan Konsumen Gula Indonesia Tahun 1980-2009 .................................................…........
161
32. Perkembangan Produksi, Ekspor Neto dan Swasembada Gula Indonesia Tahun 1980-2009 ….........................................................
172
33. Hubungan Segitiga Ekonomi Politik Swasembada Gula Indonesia .........................................................................……..........
177
34. Perkembangan Produksi Gula Indonesia Tahun 2003-2009 .............
188
35. Perkembangan Luas Areal Tebu Indonesia Tahun 2003-2009 .........
189
36. Perkembangan Harga Gula di Indonesia Tahun 2003-2009 ……….
191
37. Perkembangan Impor Gula IndonesiaTahun 2003-2009 .................
192
38. Perkembangan Swasembada Gula Indonesia
Tahun 1960-2009 ..............................................................................
197
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1.
Halaman
Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tebu Indonesia Tahun 1960-2009 ……….......................................
219
Perkembangan Produktivitas Tebu dan Tanaman Pangan Lain di Indonesia Tahun 1961-2008 .......……………....................
219
Perkembangan Harga Relatif Tebu Terhadap Komoditas Pangan Utama di Indonesia Tahun 1991-2007 .……......................
220
Perkembangan Tingkat Swasembada Pangan Indonesia Tahun 1961-2007…………………………......……………….......
220
Perkembangan Produktivitas Pabrik Gula Indonesia Tahun 1987-2002 ……………………………................................
221
6.
Negara Eksportir Utama Gula Rafinasi Dunia Tahun 2007….........
221
7.
Negara Importir Utama Gula Rafinasi Dunia Tahun 2007 …. .......
221
8.
Tingkat Swasembada Negara-Negara Pelaku Utama Gula Dunia Tahun 2007-2010 ……………………..................................
222
9.
Kinerja Pabrik Gula PTPN II Tahun 2008 …………………..........
227
10.
Kinerja Pabrik Gula PTPN VII Tahun 2008 ………………….......
227
11.
Kinerja Pabrik Gula PTPN IX Tahun 2008 …………………........
227
12.
Kinerja Pabrik Gula PTPN X Tahun 2008 …………………..........
228
13.
Kinerja Pabrik Gula PTPN XI Tahun 2008 ………………….........
228
14.
Kinerja Pabrik Gula PTPN XIV Tahun 2008 ………………..........
229
15.
Kinerja Pabrik Gula PT. Rajawali I Tahun 2008 …………….........
229
16.
Kinerja Pabrik Gula PT. Rajawali II Tahun 2008 ...………….........
229
17.
Kinerja Pabrik Gula Sugar Group Company Tahun 2008 ...…........
230
18.
Rencana Pengembangan PT. Gunung Madu Plantation
2. 3. 4. 5.
Tahun 2010-2014 …………………………………………….........
230
19.
Kinerja Pabrik Gula PT. Kebon Agung Tahun 2008 ………............
230
20.
Hasil Estimasi Model Oligopolistik Dinamik Fungsi Permintaan dan Relasi Penawaran Gula dengan Metode 2SLS ............................
231
Hasil Estimasi Model Oligopolistik Statik Fungsi Permintaan dan Relasi Penawaran Gula dengan Metode 2SLS ............................
233
Hasil Regresi antara Tingkat Swasembada Gula dengan Variabel Ekonomi Politik dengan Metode OLS ................................
235
Hasil Regresi antara Rente Ekonomi Gula dengan Variabel Ekonomi Politik dengan Metode OLS ................................
237
Hasil Regresi antara Tingkat Swasembada Gula dengan Rente dan Variabel Ekonomi Lain dengan Metode OLS ..................
239
Regulasi yang Mengatur Industri dan Perdagangan Gula Indonesia ............................................................................................
241
21. 22. 23. 24. 25.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Industri dan perdagangan gula Indonesia pascakemerdekaan ditandai oleh kuatnya intervensi pemerintah mulai dari intervensi harga, distribusi, perdagangan luar negeri hingga pengaturan lisensi impor. Wahyuni et al. (2009) bahkan menunjukkan jumlah regulasi yang mengatur industri dan perdagangan gula Indonesia adalah nomor dua terbanyak dan hanya kalah dari regulasi yang mengatur beras. Hal ini dilakukan untuk mendorong industri gula sebagai industri pertanian
strategis
guna
meningkatkan
ketahanan
pangan,
menciptakan
kesempatan kerja, dan pertumbuhan pendapatan. Karena perannya yang strategis itu pula maka setiap rezim pemerintah berusaha meningkatkan produksi gula nasional. Selain itu struktur pasar gula dunia ditandai dengan rasio konsentrasi eksportir lebih besar dari importir, mengindikasikan volatilitas harga gula dunia sangat
ditentukan
oleh
goncangan
pada
sisi
penawaran.
Gambar
1
memperlihatkan perkembangan harga gula dunia yang rentan terhadap goncangan produksi di negara-negara eksportir karena permintaan gula dunia secara umum bersifat inelastik. Eksportir utama gula dunia adalah negara berkembang seperti Brazil, Thailand dan India sehingga volatilitas harga gula dunia sangat tergantung pada kemampuan Brazil meningkatkan dan mengalokasikan produksi tebu untuk kebutuhan pangan dan energi serta situasi politik di perdesaan India. Sementara itu produksi gula Thailand menghadapi kompetisi lahan dan air dengan komoditi
pangan lainnya yang menjadi isu politik domestik (USDA, 2008, 2010). Struktur pasar gula dunia yang demikian seakan-akan merupakan justifikasi logis bagi negara importir termasuk Indonesia untuk mengejar swasembada gula.
$/ton 1400 Gula rafinasi
1200
Gula mentah 1000 800 600 400 200 2005
Sumber
2006
2007
2008
2009
: USDA, 2010
Gambar 1. Perkembangan Harga Gula Dunia Tahun 2005-2009 Keterangan: Data Triwulan
Sebagai negara net importir gula selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir, Indonesia merasakan akibat buruk dari lonjakan harga tersebut karena sebagai salah satu komoditas pangan utama, volatilitas harga gula dunia dapat mengganggu ketahanan pangan nasional. Dengan demikian dari sudut pandang teori kepentingan publik (Public Interest Theory), dimana pemerintah berperan sebagai agen pelayanan publik, intervensi pemerintah pada industri gula dilakukan untuk mengatasi kegagalan pasar demi mencapai Pareto Improvement karena pada kondisi tersebut harga yang terjadi gagal menjelaskan kelangkaan sumberdaya. Teori kepentingan publik ini merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam menjelaskan peran regulatif pemerintah terutama jika dikaitkan dengan alasan historis ketika
sistim pasar gagal menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata. Argumentasi ini tidak pernah dipertanyakan dan hingga sekarang masih menjadi landasan berpikir kebanyakan peneliti pergulaan Indonesia meski pemerintah telah berupaya mencapai swasembada gula sejak tahun 1999. Hal ini terlihat dari sejumlah rekomendasi yang diberikan oleh hampir seluruh peneliti pergulaan Indonesia yang intinya “mengamini” program swasembada melalui berbagai kebijakan pergulaan yang protektif (lihat Wahyudi dan Erwidodo, 2000; Malian dan Saptana, 2003; Mardianto, et al.,2005; Hadi dan Nuryanti, 2005; Susila dan Sinaga, 2005a, 2005b; Indraningsih dan Malian, 2006). Lebih jauh lagi, Wahyuni, et al. (2009) menyebutkan biaya untuk mendukung program tersebut mencapai Rp. 14.8 triliun selama periode 2006-2009, dan kegagalan mencapai swasembada hingga saat ini menurut Arifin (2008) dikarenakan pemerintah kurang memahami ekonomi pergulaan nasional sehingga target swasembada selalu bergerak dari tahun ke tahun berikutnya (moving target). Pada sisi lain, teori kelompok kepentingan (Interest Group Theory) melihat regulasi yang dikeluarkan pemerintah merupakan respon terhadap permintaan berbagai kelompok kepentingan yang saling bersaing mendapatkan manfaat transfer kebijakan (policy transfer benefits) melalui serangkaian aktivitas perburuan rente. Teori ini tidak pernah digunakan oleh peneliti Indonesia dalam menganalisis kebijakan pergulaan nasional. Dalam upaya mendapatkan rente ekonomi tersebut sejumlah sumberdaya dikeluarkan dan menurut Tullock (1967, 1993, 2003), Krueger (1974), dan Posner (1975) nilainya sama dengan besarnya rente itu sendiri. Krueger menghitung besarnya biaya sosial rent seeking di India pada tahun 1964 sekitar 7% dari GNP, sementara estimasi Mohammad and
Whalley (1984) berkisar antara 30% dan 45% dari GNP. Menurut teori ini sekelompok kecil produsen gula yang terorganisir, terutama mereka yang beroperasi tidak efisien, dapat mengatasi persoalan free riding sehingga mampu mempengaruhi regulator dalam proses pembuatan regulasi seperti yang terjadi pada industri gula India (Kamath, 1989). Teori ini sangat relevan untuk kasus Indonesia mengingat 90 persen pabrik gula yang ada (total 61 PG) tidak beroperasi secara efisien, baik tidak efisien secara teknis maupun secara ekonomi (Indraningsih dan Malian, 2006). Sementara itu konsumen meskipun menanggung kerugian dari regulasi yang dihasilkan, kepentingan ekonomi mereka tidak diperhatikan karena tidak ada insentif rasional membangun organisasi untuk menolak regulasi yang merugikan tersebut (Tollison, 1982). Jika literatur ekonomi politik tentang rent seeking menekankan aktivitas perburuan rente utamanya dilakukan oleh kelompok kepentingan swasta yang berkolusi dengan pemerintah, maka pada kasus industri gula Indonesia pola perburuan rente tersebut mungkin berbeda mengingat besarnya peran pemerintah yang tidak hanya sebagai regulator tetapi juga operator pada industri gula. Peran sebagai operator tersebut antara lain terlihat pada kepemilikan PG dimana 80 persen PG yang ada di Indonesia dimiliki oleh negara. Persoalan menjadi semakin serius mengingat seluruh PG milik negara tersebut secara ekonomi tidak efisien (Pakpahan, 2003; Indraningsih dan Malian, 2006). Indikasi lainnya adalah ditetapkannya gula sebagai barang dalam pengawasan seperti tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 57/2004 dan keluarnya Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) No. 643/2002, yang diperbarui dengan SK 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula (KIG), yang
mengatur harga gula patokan petani (HPP), tarif dan kuota impor, penentuan importir, serta segmentasi pasar gula memberikan peluang besar bagi pemerintah, pabrik gula milik negara dan BUMN perdagangan mendapatkan rente ekonomi. Terlebih lagi regulasi ini dikeluarkan dalam kerangka mencapai swasembada gula dan untuk melindungi petani tebu dari persaingan tidak adil dengan gula impor sehingga aktivitas perburuan rente yang ditimbulkannya luput dari perhatian masyarakat dan peneliti. Penelitian, kajian dan rekomendasi untuk meningkatkan kinerja industri dan swasembada gula nasional telah banyak dilakukan. Namun demikian sebagian besar penelitian tersebut lebih menekankan pada pentingnya perbaikan aspek teknologi, kebijakan protektif dan kelembagaan ekonomi namun kurang memperhatikan faktor dinamika politik diantara berbagai kelompok kepentingan. Selain itu berbagai penelitian tersebut menganggap struktur pasar gula bersifat kompetitif, menggunakan model statik dan jika dilakukan analisis pada kondisi oligopolistik itu hanya diasumsikan. Itulah sebabnya analisis swasembada gula yang komprehensif tidak memadai jika dilakukan hanya dari pendekatan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan faktor kompetisi dari berbagai kelompok kepentingan, dan pada bagian inilah penelitian ini memiliki perbedaan dan melengkapi sejumlah penelitian kebijakan pergulaan yang telah dilakukan.
1.2. Perumusan Masalah Karakteristik industri gula Indonesia sejak pemerintah menetapkan gula sebagai barang dalam pengawasan melalui Keppres 57/2004 relatif rumit. Produksi gula dibedakan menjadi Gula Kristal Putih (GKP) berbasis tebu dan
Gula Kristal Rafinasi (GKR) berbasis Gula Kristal Mentah (GKM) impor. Akibatnya pasar gula menjadi tersegmentasi dimana GKP untuk konsumsi rumahtangga sementara GKR untuk keperluan industri, dan untuk kedua jenis produk tersebut Indonesia tercatat sebagai negara importir neto. Segmentasi pasar selanjutnya mempengaruhi kebijakan, prosedur, dan alokasi kuota impor. Struktur pasar gula domestik pun saat ini ditandai dengan tingginya konsentrasi produsen yang didominasi oleh empat kelompok perusahaan penghasil gula terbesar yaitu Sugar Group Company (SGC), PTPN X, XI, dan PT. RNI. Selain itu ketiga kelompok produsen yang disebut terakhir bersama PTPN IX menghasilkan sekitar 50 % produksi GKP dan mereka merupakan Importir Terdaftar (IT) gula yang berdasarkan regulasi pemerintah mendapatkan lisensi untuk melakukan importasi gula berbasis tebu. Dengan demikian produsen GKP berpotensi melakukan pengendalian produksi gula dalam negeri (supply management). Gambar 2 menyajikan model kebijakan impor gula Indonesia ketika volume impor dibatasi dengan tarif dan kuota, dan pasar gula dalam negeri bersifat oligopolistik. Penawaran domestik dinyatakan dengan S sementara permintaan domestik adalah D0. Sebagai negara kecil maka Indonesia adalah penerima harga di pasar gula dunia, sehingga pada perdagangan bebas harga gula domestik sama dengan harga paritas impornya (Pw), dan permintaan domestik adalah 0Q1 sementara produksi domestik 0Q3. Kekurangannya dipenuhi dari impor sebanyak Q3Q1. Jika pemerintah menetapkan kuota impor Q2Q4 dan importir berkompetisi untuk mendapatkan kuota tersebut maka harga yang terjadi adalah Pt. Namun jika pasar gula bersifat oligopolistik dan terjadi pembatasan jumlah importir (hanya
untuk IP dan IT gula) maka produsen gula domestik dalam upaya maksimisasi profit menghadapi kurva permintaan D1, karena Q2Q4 dipenuhi dari impor, dan menghasilkan output ketika penerimaan marjinal (MR) sama dengan biaya marjinal (MC). Harga yang terjadi kemudian adalah Pm karena produsen domestik menghasilkan 0Q3 dan impor menjadi Q3Q2. P S
Pm
c
x g
Pt
a Pw
d
y
b
f D1 (λ=0)
MR (λ=1)
0
Q3
z
Q2
Q4
D0
Q1
Q
Sumber: Diadaptasi dari Kennedy and Schmitz (2009)
Gambar 2. Perburuan Rente di Industri Gula Indonesia Keterangan: λ = parameter kekuatan pasar
Dengan menggunakan harga paritas impor (Pw) sebagai opportunity cost sumberdaya maka pembatasan impor gula pada struktur pasar yang oligopolistik menyebabkan harga gula lebih tinggi dari pada pasar kompetitif. Akibatnya produsen menikmati rente ekonomi PmcaPw sementara rente dari kuota impor sebesar cxab, lebih besar dari rente pada kondisi persaingan dybf. Hal ini dimungkinkan karena para importir umumnya adalah processor dan produsen gula yang mendapatkan fasilitas Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT) sesuai dengan SK Menperindag Nomor 527/2004. Rente dari kuota impor sebagian diterima pemerintah dalam bentuk pajak impor (abdg) dan selebihnya
diterima importir (cxdg) karena importir membeli pada harga dunia (Pw), membayar pajak impor PwPt dan menjual gula impor di dalam negeri dengan harga Pm. Rente ekonomi yang dinikmati produsen dan importir tersebut menurut Tullock, Krueger, dan juga Posner seluruhnya tergerus dalam aktivitas perburuan rente, sementara penerimaan pemerintah habis untuk biaya administrasi dan manajemen. Hal ini dikarenakan penentuan importir dan alokasi kuota tidak dilelang tapi sepenuhnya merupakan diskresi yang dimiliki birokrat. Pada situasi ini maka para calon pemburu rente (potential rent seekers) bersedia mengeluarkan biaya hingga sebesar
Pm-Pw per unit gula yang diimpor untuk mendapatkan
lisensi dan kuota impor. Dengan demikian pemborosan sumberdaya di industri gula nasional adalah penjumlahan segitiga Harberger (xbz) dan segi empat Tullock (PmxbPw). Luas segitiga Harberger (xbz), yang menyatakan Dead Weight Loss
(DWL), dihitung dengan memanfaatkan nilai elastisitas. Jika elastisitas
permintaan gula di dalam negeri (ε ) = ΔQ ⋅ P maka ΔQ = ε ⋅ ΔP ⋅ Q sehingga ΔP Q
P
ε ⋅ ΔP ⋅ Q ⋅ ΔP ε ⋅ (ΔP ) ⋅ Q 1 = ⋅ ΔQ ⋅ ΔP atau DWL = . 2 2P 2P 2
DWL =
Pertanyaannya kemudian adalah apakah produsen gula yang relatif terkonsentrasi tersebut memiliki kekuatan pasar (market power), dan berapa besar, dalam mempengaruhi harga gula domestik? Bagaimana respon konsumen (demand) dan produsen (supply) terhadap perubahan harga pada struktur pasar yang oligopolistik tersebut? Berapa besar dan bagaimana distribusi rente yang diterima pemerintah dan berbagai kelompok kepentingan lain di industri gula Indonesia? Seberapa serius biaya sosial yang diakibatkan aktivitas perburuan
rente tersebut dan bagaimana hubungannya dengan aktivitas lobi produsen dan pencapaian tingkat swasembada? Pertanyaan-pertanyaan tersebut absen dari berbagai penelitian kebijakan pergulaan nasional meskipun ia telah menimbulkan beban ekonomi besar bagi masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini selain memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, ia juga menghasilkan alternatif rekomendasi kebijakan dalam mengatasi persoalan pergulaan nasional.
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan utama menemukan penjelasan mengenai kebijakan pergulaan yang protektif dan merumuskan alternatif kebijakan pergulaan yang kondusif bagi pencapaian swasembada yang efisien. Selain itu ia juga memiliki tujuan tambahan, yaitu: 1.
Mengestimasi tingkat kekuatan pasar yang dimiliki produsen pada pasar gula dalam negeri yang bersifat oligopolistik.
2.
Menentukan tingkat responsivitas konsumen dan produsen terhadap perubahan harga gula domestik.
3.
Mengestimasi nilai rente ekonomi yang terjadi di industri gula dan distribusinya diantara berbagai kelompok kepentingan.
4.
Mengestimasi besarnya biaya sosial yang ditimbulkan dari aktivitas perburuan rente di industri gula nasional.
5.
Menguji hubungan antara aktivitas lobi/tekanan politik yang dilakukan produsen dengan pencapaian tingkat swasembada dan besarnya rente ekonomi.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini selain mengungkap (uncover) persoalan ekonomi dan kelembagaan yang dihadapi industri dan perdagangan gula, ia juga memberikan insight terhadap banyaknya konflik kepentingan diantara berbagai kelompok dalam mengambil manfaat regulasi yang banyak mengatur industri gula. Dari perspektif hak penguasaan (property right), individu atau kelompok akan melakukan “investasi” dengan mempengaruhi spesifikasi penetapan regulasi melalui berbagai lobby terhadap otoritas pembuat regulasi. Investasi dilakukan dalam bentuk kontribusi dana kampanye, pemberian dukungan suara pemilihan, atau sumbangan finansial lainnya. Oleh karena itu kontributor terbesar umumnya adalah mereka yang aktivitas ekonominya dilindungi oleh banyak regulasi dan kebijakan pemerintah dan mereka yang mendapatkan manfaat dari banyaknya regulasi atau kebijakan tersebut antara lain adalah pelaku usaha pergulaan. Oleh karena itu penelitian ini dapat memberikan kontribusi teoritis dan praktis pada pengungkapan hubungan antara aktivitas lobi dengan manfaat transfer kebijakan guna memperbaiki industri pergulaan nasional.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memusatkan perhatian pada kompetisi berbagai kelompok kepentingan yaitu produsen, konsumen, serta pemerintah dalam mempengaruhi proses pembuatan dan implementasi kebijakan swasembada gula. Analisis ekonomi politik yang digunakan adalah kombinasi model oligopolistik dinamik dengan fungsi preferensi politik (political preference function) untuk mengungkap preferensi kebijakan pemerintah terhadap berbagai kelompok kepentingan pada
berbagai rezim kebijakan terutama setelah keluarnya SK Menperindag Nomor 643/2002. Industri gula Indonesia terdiri dari industri gula konsumsi yang dihasilkan dari penggilingan tebu untuk memenuhi konsumsi rumahtangga dan industri gula rafinasi untuk keperluan industri (terutama industri makanan dan minuman serta farmasi) yang bahan bakunya berasal dari gula mentah impor. Bila industri gula konsumsi telah ada sejak zaman penjajahan Belanda tahun 1920an, industri gula rafinasi mulai berkembang di Indonesia sejalan dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman pada awal tahun 2000. Karena pertimbangan ketersediaan data yang relatif terbatas dari industri gula rafinasi tersebut maka analisis ekonomi politik dalam penelitian ini ditekankan pada industri gula konsumsi. Fungsi preferensi politik pada penelitian ini digunakan untuk mendapatkan bobot politik berbagai kelompok kepentingan sebagai proksi terhadap pengeluaran lobi dan tekanan politik yang dilakukan berbagai kelompok kepentingan pada tingkat swasembada tertentu bukan mencari tingkat swasembada optimal pada bobot politik tertentu . Seperti halnya penelitian lain yang menggunakan data sekunder, penelitian ini memiliki keterbatasan dalam menjelaskan aspek kualitatif dari fenomena ekonomi politik pergulaan. Oleh karena itu untuk mengatasi persoalan ini peneliti melengkapi dengan informasi yang relevan dari berbagai sumber lain seperti hasil penelitian terdahulu, informasi dari media masa cetak, elektronik ataupun media online yang relevan dengan fenomena yang dianalisis. Estimasi biaya sosial perburuan rente hanya terbatas pada perburuan yang diakibatkan oleh hambatan perdagangan dalam bentuk tarif dan kuota impor. Oleh
karena itu hasil yang didapat bersifat underestimate karena perburuan rente juga terjadi akibat segementasi pasar gula antara gula konsumsi berbasis tebu dengan gula rafinasi berbasis gula mentah impor. Indikasinya adalah ditemukannya gula rafinasi “illegal” dan yang merembes ke pasar gula konsumsi yang menimbulkan konsekuensi biaya tambahan untuk penanganannya (unnecessary cost).
1.6. Kebaruan Penelitian 1. Intervensi pemerintah terhadap industri gula nasional umumnya didekati dengan teori kepentingan publik sehingga tidak dapat mengungkap banyak kepentingan di balik kebijakan tersebut. Dalam penelitian ini analisis dilakukan dengan pendekatan teori kelompok kepentingan menggunakan lobbying model atau pressure group model sehingga dapat mengungkap motif ekonomi politik yang mendasari lahir dan dipertahankannya sebuah kebijakan meskipun kebijakan tersebut tidak efisien. 2. Penelitian ekonomi politik pertanian umumnya didasarkan pada struktur pasar kompetitif. Pada penelitian ini analisis dilakukan pada struktur oligopolistik dan adanya market power tidak diasumsikan tapi diuji. Selain itu
model
ekonometrik-politik
yang
digunakan
umumnya
tidak
mempertimbangkan ketidak-stasioneran data yang banyak dijumpai pada data ekonomi sehingga hubungan antar variabel ekonomi-politik secara statistik tidak valid (spurious). Pada penelitian ini hubungan antar variabel ekonomi-politik dianalisis dengan mengakomodasikan stasioneritas data.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Intervensi Pemerintah Penjelasan mengenai peranan pemerintah dalam perekonomian dan penentuan kebijakan yang diambil telah menjadi perdebatan yang lama di kalangan pemerhati ekonomi. Intervensi pemerintah pada produksi dan pemasaran produk pertanian merupakan fenomena universal. Beberapa pola intervensi bersifat umum untuk setiap negara terlepas dari latar belakang budaya, sejarah, sosiologis, dan lokasi geografi. Namun demikian terdapat tendensi kebijakan yang mendiskriminasi pertanian di negara berkembang dengan beban perpajakan sementara subsidi yang besar diberikan ke pertanian di negara maju (Swinnen and Zee, 1993). Selain itu lingkungan politik yang melingkupi kebijakan pertanian pada satu negara pun selalu berbeda dari waktu kewaktu seperti halnya perbedaan lingkungan politik antar negara pada waktu tertentu. Oleh karena itu eksaminasi landasan berfikir ekonomi makro dan mikro dari politik kebijakan pertanian tersebut dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan mencolok dalam kebijakan yang diambil. Kajian ekonomi tentang intervensi pemerintah pada produksi, pemasaran dan harga komoditi pertanian dapat diklasifikasikan ke dalam dua tradisi pemikiran berbeda (Swinnen and Zee, 1993), sementara Barret (1999) mengelompokkan menjadi tiga dengan menyertakan model mikroekonomi perilaku individual untuk menyelidiki ekonomi kebijakan pertanian. Namun karena model mikroekonomi merupakan model representasi agen (representative
agent model), maka model tersebut umumnya mengabaikan preferensi yang saling bertentangan diantara anggota masyarakat yang heterogen dan hasil kompetisi untuk mengejar kepentingan yang saling berseberangan.
2.1.1. Teori Kepentingan Publik Tradisi pemikiran pertama berdasarkan ekonomi kesejahteraan Pigovian yang melakukan rekonsiliasi preferensi individu kedalam Teori Kepentingan Publik (Public Interest Theory) dan intervensi pemerintah diperlukan terutama untuk mengatasi persoalan kegagalan pasar yang ditimbulkan karena kompetisi yang tidak sempurna, adanya eksternalitas dan barang publik, serta industri yang memiliki fungsi biaya menurun (decreasing cost industries). Teori ini memandang pemerintah sebagai agen pelayan publik memiliki tujuan mulia untuk memperbaiki kegagalan pasar karena pada kondisi tersebut harga yang terjadi gagal menjelaskan kelangkaan sumberdaya yang digunakan. Namun demikian keterlibatan pemerintah adalah netral dari berbagai kepentingan karena didukung oleh para perencana profesional handal dimana kepentingan politik tidak nampak (Barrett, 1999). Pendekatan ini menekankan mengapa ekonomi pasar gagal berfungsi secara efisien dalam mengalokasikan dan mendistribusikan sumberdaya dan untuk mengatasi kegagalan pasar negara menghasilkan barang publik dengan menginternalisasikan manfaat dan biaya sosial kedalam proses produksi, dan secara efektif mengatur industri yang memiliki struktur biaya menurun serta mendistribusikan manfaat secara optimal. Teori kebijakan ekonomi ortodok yang berlandaskan premis normatif untuk menemukan kebijakan ekonomi optimum
sangat relevan dengan kerangka kerja maksimisasi kemakmuran sosial ini. Namun jika terdapat kebijakan yang non optimal, hal tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan dan buruknya manajemen pemerintah (Swinnen and Zee, 1993).
2.1.2. Teori Kelompok Kepentingan Tradisi yang kedua berasal dari teori kelompok kepentingan (Interest Group Theory) yang memusatkan perhatian pada peranan berbagai kelompok kepentingan (interest group) dan perilaku birokrasi (bureaucratic behavior). Pendekatan ini memberikan penekanan pada ketidaknetralan pemerintah dalam melakukan intervensi, karena seperti pelaku ekonomi lain, pemerintah memiliki interest tertentu sehingga boleh jadi akan melahirkan kebijakan yang gagal. Kehadiran kelompok kepentingan dalam studi merupakan konsekuensi logis dari adanya kepentingan tersendiri dari birokrat, politisi, dan kelompok-kelompok penekan (pressure group). Pendekatan ini dapat dilihat sebagai reaksi terhadap pendekatan pigovian yang menolak anggapan bahwa pemerintah didalam mengatasai ketidaksempurnaan pasar melakukan koreksi dengan cara yang sempurna dan tanpa biaya. Intervensi pemerinah pada pasar mungkin saja gagal memperbaiki ketidaksempurnaan pasar dan bahkan dapat membuatnya menjadi lebih buruk (government failure). Teori ini memusatkan perhatian pada alokasi sumberdaya publik di dalam pasar politik dengan mengkaji perilaku berbagai kelompok kepentingan, termasuk politisi dan birokrat. Menurut pendekatan ini pemerintah tidak lebih dari sekumpulan lembaga eksekutif dan legislatif yang memilki kekuasaan dan keinginannya sendiri. Pendekatan ini menganalisis bagaimana agen-agen
pemerintah berfungsi pada berbagai aransemen kelembagaan untuk menemukan penjelasan antara apa yang direkomendasikan dengan apa yang dilakukan pemerintah dan menganalisis hasil yang dicapai (Barrett, 1999; Swinnen and Zee, 1993). Aliran pemikiran teori pilihan publik merupakan salah satu sudut pandang didalam memahami pembuatan keputusan politik. Teori ini menggunakan argumentasi ekonomi (economic reasoning) di dalam persoalan-persoalan politik. Inti persoalan terletak pada perilaku rasional pemerintah dan berbagai kelompok kepentingan yang melakukan ‘investasi’ untuk meningkatkan kemakmuran. Penyedia manfaat politik (politisi dan birokrat) menawarkan subsidi, manfaat pajak, dan sejumlah regulasi kepada peminat atau demanders (kelompokkelompok kepentingan) dengan imbalan pemberian suara, kontribusi pada kampanye pemilihan umum, atau imbalan lain (Gardner, 1987). Di banyak negara berkembang dimana birokrat dan politisi tidak dimonitor secara ketat, diskresi kebijakan yang mereka miliki sering memunculkan penyuapan melalui kewenangan alokatif dan ketepatan waktu pelayanan. Peminat yang memberikan penawaran tertinggi akan mendapatkan alokasi dan dilayani tepat waktu. Untuk mendapatkan pelayanan tepat waktu maka besarnya nilai penyuapan tergantung pada marjinal benefit of time dari peminat sementara untuk mendapatkan alokasi tertentu ditentukan oleh perbandingan manfaat marjinal dengan pengeluaran marjinal lobi. Untuk kasus Indonesia, hasil penelitian Kuncoro (2004) menunjukkan bahwa besarnya nilai penyuapan ini terhadap keseluruhan biaya produksi untuk industri agribisnis mencapai 11.3 % sementara untuk industri manufaktur adalah 9.3 %.
Kedua tradisi ini meskipun berbeda secara ideologi dan metodologi, namun keduanya mengkaji persoalan bagaimana kepentingan ekonomi eksogen mempengaruhi keseimbangan politik yang melibatkan berbagai kepentingan. Para kelompok
kepentingan
bersifat
rasional
yang
dinyatakan
sebagai
memaksimumkan fungsi tujuan dengan manfaat (lobbies), kemakmuran individu (voters), dan dukungan politik (politiciants) sebagai argumennya. Dengan cara ini maka terdapat kesamaan antara analisis pasar politik dengan pasar ekonomi dimana keseimbangan terjadi ketika manfaat politik marjinal sama dengan biaya politik
marjinal. Selain itu terdapat interaksi yang kuat antara kedua pasar
tersebut dimana pasar ekonomi dapat menciptakan kemakmuran (wealth) yang dapat memperluas kekuasaan politik, sementara itu pasar politik dapat mendistribusikan kemakmuran yang pada gilirannya dapat memperkuat kekuasaan ekonomi (Swinnen and Zee, 1993).
2.2. Makroekonomi Politik Kebijakan Pertanian 2.2.1. Fakta Khas Kebijakan Pertanian Studi ekonomi politik kebijakan pertanian sangat aktif dilakukan pada periode 1980an hingga pertengahan tahun 1990an. Hal ini didukung oleh kombinasi beberapa faktor. Pertama dan yang terutama yaitu fenomena subsidi besar ke sektor pertanian yang diberikan negara-negara maju sementara negaranegara berkembang memberlakukan pajak terhadap sektor pertanian. Kedua adalah munculnya teori baru mengenai ekonomi politik (new political economy) dari Universitas Chicago dengan kontributor utamanya Stigler (1971), Peltzman (1976) dan Becker (1983), pemikiran teori pilihan publik Downs (1957), dan
Olson (1965). Faktor ketiga adalah ketersediaan data baru dari negara berkembang dalam kerangka penelitian oleh Bank Dunia. Kombinasi pertanyaan yang menggoda, teori yang semakin kaya, dan ketersediaan data baru menghasilkan banyak kajian ekonomi politik kebijakan pertanian antara tahun 1980an hingga pertengahan 1990an. Setelah itu penelitian ekonomi politik kebijakan pertanian secara keseluruhan semakin berkurang terutama pada dekade terakhir (Swinnen, 2009). Lebih jauh Swinnen menyatakan studi-studi empiris kebijakan pertanian yang telah dilakukan selama periode 1980an hingga pertengahan 1990an tersebut dapat dikelompokkan kedalam tiga pola yaitu pola pembangunan (development pattern), pola anti perdagangan (anti-trade pattern), dan pola anti keunggulan komparatif (anti-comparative advantage pattern). Pola tersebut menurut Master and Garcia (2009) merupakan fakta khas (stylized facts) yang melanda sektor pertanian. Pola pembangunan mengacu pada hubungan positif antara tingkat proteksi pertanian dengan rata-rata pendapatan nasional negara, dan pergeseran historis dari pengenaan pajak ke proteksi terhadap produsen pertanian seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Pola anti perdagangan mengacu pada observasi terhadap sektor atau komoditi yang bersaing dengan impor (import-competing product) cenderung dibantu (atau dikenai pajak kecil) dibanding dengan sektor yang menghasilkan komoditi ekspor, sementara pola anti keunggulan komparatif mengacu pada observasi proteksi yang relatif kecil (atau pajak tinggi) untuk produk yang memiliki keunggulan komparatif dan proteksi meningkat ketika pendapatan usahatani (pendapatan pada industri pertanian tertentu) menurun
relatif terhadap pendapatan sektor lain. Yang terakhir ini dapat terjadi karena beberapa alasan antara lain menurunnya nilai tukar komoditi tersebut di pasar dunia, fluktuasi nilai tukar, atau karena inovasi teknologi yang menurunkan pendapatan komoditi tertentu (Swinnen, 2009; Rozelle and Swinnen, 2009). Pola global tersebut tidak dapat dijelaskan dengan argumentasi ekonomi, namun ia konsisten dengan prediksi teori ekonomi politik. Ketika argumentasi ekonomi menyertakan banyak variabel dalam model namun dengan resiko menyederhanakan insight dari persoalan, penjelasan ekonomi politik memusatkan perhatian pada faktor-faktor ekonomi struktural penting. Beberapa studi menjelaskan dampak perubahan kondisi struktur ekonomi terhadap biaya distribusi dan distorsi yang berhubungan dengan tingkat proteksi, intensitas aktivitas politik, serta kemampuan mengorganisir dan mempengaruhi pemerintah. Sejalan dengan meningkatnya pendapatan, perubahan struktur ekonomi akan mempengaruhi biaya distribusi dan biaya politik serta manfaat proteksi pertanian, yang berarti meningkatkan insentif politik bagi pemerintah dalam pembuatan keputusan. Misalnya ketika kontribusi pangan dalam total pengeluaran konsumen semakin berkurang, hal tersebut menurunkan penolakan terhadap proteksi pertanian bukan saja oleh konsumen tapi juga oleh pemilik modal di sektor lain yang tidak menginginkan tekanan inflasi dari tingkat upah yang berasal dari mahalnya pangan akibat proteksi (Swinnen, 2009; Master and Garcia, 2009). Faktor lain yang bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi adalah berkurangnya share pertanian dalam menyediakan kesempatan kerja. Dengan menurunnya jumlah petani secara relatif maka biaya per unit peningkatan pendapatan pertanian akibat proteksi semakin kecil bagi anggota masyarakat lain.
Selanjutnya pendapatan non pertanian tumbuh lebih cepat dibanding pendapatan sektor pertanian. Hal ini memberikan insentif politik baik dari sisi permintaan (petani) maupun penawaran (politisi) untuk melakukan pertukaran antara transfer pemerintah dengan dukungan politik. Ketika pendapatan pertanian menurun relatif terhadap sektor lain, petani mencari sumber pendapatan lain tanpa melalui mekanisme pasar ekonomi (non market source) misalkan dukungan pemerintah (government support) baik karena penerimaan lebih besar dari investasi yang dikeluarkan untuk aktivitas lobi atau aktivitas pasar lainnya maupun karena kesediaan yang tinggi untuk memberikan dukungan suara. Dengan alasan yang sama pemerintah cenderung mendukung sektor yang tidak memiliki keungulan komparatif dibanding dengan yang memiliki keunggulan komparatif (Swinnen, 2009; Master and Garcia, 2009). Teori ekonomi politik memprediksi bahwa ekspor menerima subsidi kecil (atau pajak tinggi) dibanding dengan impor karena perbedaan elastisitas permintaan dan penawaran. Distorsi dan biaya transfer intervensi kebijakan meningkat sejalan dengan neraca perdagangan komoditas yaitu ketika net ekspor naik. Oleh karena itu proteksi pada suatu sektor dibanyak negara meningkat ketika surplus neraca perdagangan menurun. Dengan menurunnya share pertanian dalam menyediakan kesempatan kerja, maka studi mengenai argumen aksi kolektif menyatakan bahwa organisasi politik petani menjadi relatif murah yang membuat lobi petani menjadi semakin efektif (Swinnen, 2009). Sebagian besar studi empiris mengenai proteksi pertanian menggunakan data cross section atau menggunakan panel data dengan periode singkat. Meskipun
menghasilkan
insight
penting,
hubungan
yang
diperoleh
mengindikasikan adanya fluktuasi pada tingkat proteksi, umumnya berimpitan dengan periode depresi ekonomi makro dan kelangkaan pangan. Fluktuasi demikian menunjukkan bagaimana sensitif dan responsifnya proteksi pertanian (transfer pendapatan) terhadap perubahan eksternal. Fluktuasi dukungan pertanian terlihat jelas dari studi historis mengunakan data rentang waktu dan analisis ekonometrika. Namun demikian studi historis tersebut fokus pada satu negara sehingga sulit membuat generalisasi (Swinnen, 2009; Master and Garcia, 2009).
2.2.2. Studi Empiris Berbagai fakta khas (stylized facts) pertanian tersebut dapat dijelaskan dengan teori ekonomi politik dan
Master and Garcia (2009) telah menguji
konsistensi teori ekonomi politik terhadap fakta dengan menggunakan data panel untuk negara berkembang dan negara maju.
Rational Ignorance Konsep rational ignorance pertama kali dikemukakan oleh Anthony Downs (1957) untuk menjelaskan minimnya informasi yang dimiliki individu yang berkaitan dengan isu-isu kebijakan dan argumentasi ekonomi yang berkaitan dengan perilaku ini diberikan Stigler (1961) yang mengatakan individu akan mencari informasi sampai suatu tingkat tertentu dimana manfaat marjinal harapan (expected marginal benefit) sama dengan biaya marjinal harapan (expected marjinal cost). Diluar tingkatan tersebut pencarian tambahan informasi menjadi tidak produktif. Oleh karena itu adalah rasional (rational) bagi seseorang untuk bersikap tidak acuh (ignorance) terhadap suatu kebijakan jika biaya yang
dikeluarkan untuk mempelajari atau melakukan aksi terhadap kebijakan tersebut lebih besar dari manfaat yang diberikan secara individual atau secara keseluruhan lebih besar dari biaya organisasi politik. Dengan menggunakan ukuran tingkat bantuan nominal (nominal rate of assistence, NRA) sebagai variabel terikat (dependent variable) dan total biaya per kapita sebagai variabel bebas (independent variable), Master and Garcia menemukan hubungan bahwa naiknya biaya per kapita diikuti dengan penurunan persentase NRA. Hubungan ini menjelaskan mengapa manfaat kebijakan cenderung terkonsentrasi pada sedikit orang sehingga memotivasi mereka untuk melakukan aksi politik dan memanfaatkan kebijakan yang dihasilkan (Master and Garcia, 2009). Dampak tersebut semakin besar untuk masyarakat di perkotaan yang mengindikasikan mereka lebih mudah dimobilisir dari pada masyarakat perdesaan. Bahkan pada kebanyakan kasus manfaat tersebut diperoleh dengan pengorbanan pihak lain dan jika pengorbanan tersebut relatif kecil secara individual maka kebijakan tersebut dipertahankan untuk waktu yang cukup lama. Hal ini dikarenakan ketika seseorang ingin mengevaluasi suatu kebijakan, individu tersebut tidak akan mengumpulkan informasi yang memadai karena mengetahui kemungkinan untuk mempengaruhi aksi bersama (collective actions) sangat kecil.
Absolute Group Size Menurut Olson (1965) kelompok dengan anggota yang relatif banyak cenderung menghadapi persoalan free rider sehingga peranannya dalam mempengaruhi kebijakan tidak akan efektif. Free ride terjadi karena manfaat tidak
dapat dipisahkan untuk dinikmati antara mereka yang memberi kontribusi dengan yang tidak. Namun demikian jika kelompok tersebut lebih berpengaruh karena dapat memobolisasi suara, kontribusi politik, atau tekanan politik lainnya maka akan berdampak sebaliknya. Hasil penelitian Master and Garcia (2009) menunjukkan bahwa kelompok yang lebih besar dapat memperoleh manfaat dari kebijakan yang dibuat. Kemungkinan yang terjadi adalah kelompok tersebut memiliki tingkat freeridership yang sama sehingga kelompok yang besar lebih berpengaruh dari pada kelompok yang relatif kecil. Lebih dari itu pengaruh tersebut lebih besar dimiliki oleh kelompok di perkotaan daripada kelompok di perdesaan yang berarti setiap tambahan penduduk perkotaan memiliki pengaruh politik yang lebih besar daripada setiap tambahan penduduk perdesaan. Mempertimbangkan dua pendekatan ekonomi politik ini maka diperoleh parameter unconditional regression NRA dengan pendapatan nasional relatif kecil jika dibandingkan dengan regresi yang juga menyertakan rational ignorance namun lebih besar pada hasil regresi dengan kontrol group size. Hal ini mengindikasikan rational ignorance merupakan penjelasan penting terhadap fenomena paradoks pembangunan (development paradox) yaitu pertanian di negara maju menerima subsidi besar sementara di negara berkembang dikenai pajak, sedangkan group size memberikan pengaruh tambahan. Namun demikian ketiga regresi tersebut kurang tepat untk diperbandingkan karena memiliki ukuran sampel yang berbeda (Master and Garcia, 2009).
Rent Seeking Behavior Teori pilihan publik (public choice theory) diawali dengan premis bahwa pemerintah
memiliki
keinginannya
sendiri
(self
interest)
yang
ingin
dimaksimumkan dan salah satunya adalah mempertahankan kekuasaan. Dalam demokrasi hal ini berarti mengamankan suara untuk dapat terpilih kembali, sehingga pada lingkungan politik yang demikian pemerintah akan menghasilkan regulasi, perpajakan, atau subsidi yang menguntungkan kelompok tertentu dan sebagai imbalannya kelompok tersebut memberikan dukungan politik untuk mempertahankan pemerinah yang berkuasa. Dengan kata lain dalam konteks kebijakan pertanian, terdapat pasar politik dimana pemerintah menyediakan subsidi untuk para petani dengan imbalan dukungan politik. Teori pilihan publik juga terkait dengan aktivitas mencari rente (rent seeking activities) yang dilakukan individu atau kelompok (misalnya kelompok petani) untuk mendapatkan transfer pemerintah baik melalui subsidi langsung ataupun pembuatan regulasi yang menguntungkan. Aktivitas memburu rente juga dilakukan birokrasi untuk memperbesar organisasinya dan manfaat lain dari organisasi birokrasi yang semakin besar tersebut. Akibatnya adalah para pembuat keputusan akan menghasilkan kebijakan yang tidak memenuhi pareto efisiensi terutama jika mereka dapat menghindar dari proses akuntabilitas. Pendekatan memburu rente menjelaskan pola intervensi kebijakan
melalui check and
balances yang membatasi pembuat keputusan pada berbagai tingkatan dan berbagai sektor (Schmitz, et al., 2002). Hasil penelitian Master and Garcia menunjukkan bahwa pemerintah yang menghadapi kontrol ketat melalui mekanisme check and balances menghasilkan
NRA yang relatif kecil atau menghasilkan kebijakan yang mendekati pareto optimal dibandingkan dengan pemerintah yang melakukan kooptasi. Informasi check and balances mengukur efektifitas pengawasan parlemen terhadap pemerintah yang membuat keputusan atau menurut undang-undang bagaimana parlemen mempengaruhi pengawasan oleh anggotannya. Informasi ini berasal dari database of political institutions yang disusun oleh Beck, Keefer and Clarke (2008).
2.3. Mikroekonomi Politik Kebijakan Pertanian 2.3.1. Fungsi Preferensi Politik Dalam
mengelaborasi
teori
pilihan
publik,
beberapa
penulis
mengkuantifikasi bias kebijakan terhadap kelompok tertentu dalam masyarakat dengan menggunakan Fungsi Preferensi Politik (FPP). mengasumsikan
bahwa
kebijakan
pertanian
yang
Pendekatan ini
berlaku
merupakan
keseimbangan ekonomi politik yang melibatkan semua kekuatan yang relevan (Johnson, 1995).
Pengaruh berbagai kelompok dalam proses penyusunan
kebijakan tercermin dalam fungsi preferensi politik yang dimaksimumkan pemerintah dengan mempertimbangkan semua pembatas ekonomi yang ada, dan bobot politik (political weight) untuk masing-masing kelompok kepentingan merupakan hasil dari proses pembuatan keputusan politik tersebut (Bullock, 1994; Swinnen et al., 2000; Lee and Kennedy, 2007). Secara hipotetis para pembuat kebijakan pertanian memiliki fungsi kemakmuran (welfare function) yang menyertakan bobot politik dari masingmasing kelompok kepentingan (misalkan 3 kelompok) yang dinyatakan dalam model FPP sederhana berikut (Johnson, 1995).
W = wp.Gp + wc.Gc – wt.Lt
(2.1)
dimana wp, wc, dan wt adalah bobot politik untuk kelompok produsen, konsumen, dan pembayar pajak (tax payer), serta Gp, Gc, dan Lt merepresentasikan dampak kemakmuran yang dihasilkan dari kebijakan tersebut yang secara berurutan mewakili surplus produsen, surplus konsumen dan kerugian pembayar pajak. P Supply PS
A E
P0
B
Pd
Demand 0
Q0
QS
Quantity
Sumber: Johnson, 1995
Gambar 3. Model Ekonomi Tertutup Dampak Kebijakan Dukungan Harga Keterangan: P0EAPS = Gp = perubahan surplus produsen P0EBPd = Gc = perubahan surplus konsumen PSABPd= Lt = kerugian pembayar pajak EAB = DLt= dead weight loss.
Misalkan pemerintah menggunakan kebijakan dukungan harga (price suport) untuk meningkatkan produksi maka produsen dan konsumen diuntungkan, tapi pembayar pajak dirugikan. Gambar berikut menunjukkan bahwa kerugian pembayar pajak adalah jumlah dari Gp, Gc, dan ABE (dead weight loss, DLt), sehingga fungsi kemakmuran dapat dinyatakan sebagai, W= (wp - wt) Gp + (wc - wt) Gc – wt DLt
(2.2)
Pengukuran preferensi dapat dilakukan karena ia teramati (observable) yaitu ditunjukkan oleh aktivitas kebijakan, dan argumen yang terdapat pada FPP
mewakili ukuran-ukuran kinerja seperti surplus kemakmuran. Oleh karena itu bobot politik yang dihasilkan dari proses pembuatan keputusan politik pun dapat diketahui dan diukur. Swinnen and Zee (1993) menyebutkan ada tiga pendekatan untuk mendapatkan bobot politik yang terkandung dalam FPP yaitu pendekatan langsung dengan mewawancarai pembuat kebijakan, pendekatan tidak langsung menggunakan revealed preference, dan pendekatan arbitrary dimana peneliti berdasarkan pengetahuan yang dimiliki menentukan sendiri bobot politik dari masing-masing kelompok kepentingan. Namun demikian dalam penelitian ekonomi politik kebijakan pertanian pendekatan yang paling banyak digunakan adalah
pendekatan
tidak
langsung,
revealed
preference,
dengan
mendiferensiasikan fungsi preferensi politik terhadap harga sebagai kondisi pertama (first order condition) dalam memaksimumkan nilai FPP untuk kemudian mendapatkan bobot politik dari masing-masing kelompok kepentingan. Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa proses pembuatan kebijakan dapat
dijelaskan
melalui
persoalan
matematik
dimana
pemerintah
memaksimumkan sebuah fungsi kemakmuran yang terdiri dari kemakmuran berbagai kelompok kepentingan. Fungsi yang akan dimaksimumkan nilainya tersebut dikenal dengan Fungsi Preferensi Politik (FPP). Menurut Bullock (1994) meskipun kajian FPP dalam literatur sering dibahas namun penjelasan mengenai metodologi dan asumsi yang diperlukan relatif sedikit. Metodologi FPP menempatkan frontier Pareto sebagai bagian penting penggunaan model dan kajian FPP mengukur tingkat transformasi marjinal (Marginal Rate of Transformation, MRT) di sepanjang frontier Pareto tersebut. Oleh karena penelitian ini berlandaskan pada kerangka kerja FPP dan Bullock (1994) dalam
artikelnya telah melakukan evaluasi kritis tentang FPP maka bagian berikut (2.3.1.1. hingga 2.3.1.4.) merupakan saduran dari artikel tersebut untuk memberikan pemahaman komprehensif tentang kerangka kerja FPP.
2.3.1.1. Rasionalitas Pemerintah dan Efisiensi Pareto Dalam evaluasi kritisnya terhadap FPP, Bullock (1994) menyajikan rasionalitas dan asumsi Fungsi Preferensi Politik (Political Preference Function). Kajian diawali dengan memberikan beberapa definisi formal, yaitu pemerintah memiliki p ≥ 1 instrumen kebijakan untuk memperbaiki kemakmuran dari q ≥ 2 kelompok kepentingan. Misalkan x* = (x1, …, xp) adalah vektor yang menjelaskan level instrumen kebijakan pertanian yaitu 1, …, p, dan sebuah nilai tertentu dari vektor variabel x* disebut sebuah “kebijakan.” Misalkan u*=(u1, …, uq) adalah sebuah vektor yang menerangkan tingkat kemakmuran kelompok 1, …, q, dan b* = (b1, …, by) adalah vektor yang menjelaskan struktur pasar dan bersifat eksogen terhadap kebijakan pemerintah, misalnya elastisitas permintaan dan penawaran. Misalkan juga
*
Rp adalah set dari semua kebijakan yang dapat
diimplemetasikan jika sumberdaya tidak terbatas, dan X*
*
adalah set dari
kebijakan yang secara teknis layak diimplementasikan dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki pemerintah. Misalkan juga B*
Ry adalah set vektor b*
untuk semua parameter. Tingkat kemakmuran adalah fungsi dari kebijakan dan kondisi pasar: u*= (u1, …, uq) = [h1(x*,b*), …, hq(x*,b*)] = h*(x*,b*) dimana fungsi vektor h* dapat didiferensiasikan secara kontinyu (continuously differentiable) terhadap X* × B*. Untuk struktur pasar yang dijelaskan oleh b*0
B*, set luaran
kebijakan yang secara teknis dapat diimajinasikan adalah I*(b*0) = {u*|u*= h*(x*,b*0), x*
*
} dan set hasil kebijakan yang secara teknis layak adalah
F*(b*0) = {u*|u*= h*(x*,b*0), x*
*
}. Dengan demikian sebuah fungsi preferensi
politik adalah strictly increasing function g*: I*(b*0) → R.
2.3.1.2. Asumsi Dasar Asumsi dasar FPP adalah pemerintah bersikap rasional dalam arti memaksimumkan fungsi preferensi dengan kehadiran pembatas (maximizes a preference subject to a constraint) dan menyelesaikan persoalan yang dapat direpresentasikan sebagai (FPP-MAX)*, dimana FPP g* menjelaskan preferensi atau kemakmuran sosial, (2.3) = h*(x*, b*0)
F*(b*0).
Selanjutnya menurut kaidah Kuhn and Tucker, x*0 adalah kebijakan yang efisien jika dan hanya jika x*0 menyelesaikan persoalan maksimisasi vektor (Vector Maximization Problem, VMP)* yaitu, (VMP)*
V-MAX h*(x*,b*0) s.t. x*
X* ,
(2.4)
dimana x*0 adalah efisien jika dan hanya jika tidak ada x* h*(x*,b*0) ≥ h*(x*0,b*0). Untuk b*0
X* yang memenuhi
B*, frontier Pareto P*(b*0) menyatakan
kumpulan semua hasil kebijakan yang efisien (Bullock, 1994), yaitu: P*(b*0) = {u*|u*= h*(x*,b*0), x* solves (VMP)*}.
(2.5)
Frontier Pareto adalah kurva instrumen kebijakan majemuk (multiple-policyinstrument),
kelompok
kepentingan
majemuk
(multiple-interest-group),
generalisasi dari instrumen kebijakan tunggal (single-policy-instrument), dan transformasi surplus dua kelompok kepentingan (two-interest-group surplus transformation curve). Karena frontier Pareto menyatakan batas terluar kumpulan
dari semua hasil kebijakan yang layak secara teknis (boundary of the set of technically feasible policy oucomes) F*(b*0) maka ia membatasi (FPP-MAX)*. Proposisi berikut menunjukkan bahwa dengan rasionalitas, kemakmuran yang dihasilkan (observed welfare oucome) berada pada frontier Pareto. Proposisi. Untuk b*0
B*, jika sebuah kebijakan x*0 menyelesaikan (FPP-MAX)*,
maka h*(x*0,b*0)
P*(b*0).
Bukti. Misalkan itu tidak benar. Maka untuk b*0 MAX)*, tetapi h*(x*0,b*0) sebuah x*
B*, x*0 menyelesaikan (FPP-
P*(b*0). Karena h*(x*0,b*0)
P*(b*0) maka terdapat
X*, katakan x*’, sedemikian hingga h*(x*’,b*0) ≥ h*(x*0,b*0). Karena
g*(u*) adalah strictly increasing, maka g*[h*(x*’,b*0)] > g*[h*(x*0,b*0)], yang mengimplikasikan bahwa x*0 tidak menyelesaikan (FPP-MAX)* sehingga kontradiktif dengan asumsi awal pembuktian (Bullock, 1994). Proposisi tersebut menunjukkan bahwa implikasi langsung dari asumsi dasar studi FPP adalah hasil kebijakan yang diamati memenuhi Pareto efisien. Pemerintah yang rasional tidak akan memilih sebuah hasil kemakmuran h*(x*0,b*0) yang terletak pada interior pembatas F*(b*0).
2.3.1.3. Dimensi Fungsi Pada realitas sehari-hari banyak kelompok kepentingan mempengaruhi kebijakan (yang sangat ekstrim adalah setiap individu adalah satu kelompok), banyak instrumen kebijakan yang tersedia bagi
pemerintah, dan banyak
parameter yang diperlukan untuk menjelaskan keadaan pasar. Akibatnya peneliti FPP
harus
mengagregasikan
atau
menghilangkan
beberapa
kelompok
kepentingan, mengabaikan beberapa instrumen kebijakan, dan menggunakan model ekonometrik sederhana untuk menjelaskan kondisi pasar. Dengan kata lain
peneliti mengurangi dimensi ekonomi politik FPP, mempertimbangkan m < p instrumen kebijakan, n < q kelompok kepentingan, dan z < y parameter pasar. Oleh karena itu vektor model instrumen kebijakan yang tersedia adalah x = (x1, .., xm), model vektor kemakmuran kelompok kepentingan u = (u1, .., un), dan vektor model paramter pasar adalah b = (b1, .., bz). Demikian juga dengan definisi ,X
, u = h(x,b), I(b0), dan F(b0) untuk model yang serupa
,B
dengan yang bertanda asterik sebelumnya. FPP dengan demikian adalah fungsi yang strictly increasing g: I(b0)→ R, dan peneliti FPP mengasumsikan bahwa terdapat m instrumen, n kelompok kepentingan, dan z paramater yang dipilih sedemikian hingga (FPP-MAX) merupakan representasi dari (FPP-MAX)* (2.6) = h(x, b0)
F(b0).
Frontier Pareto yang diimplikasikan model dengan demikian adalah P(b0) = {u|u= h(x,b0), x solves (VMP)} (VMP)
V-MAX h(x,b0) s.t. x
X.
(2.7)
Studi FPP kemudian menyimpulkan preferensi pemerintah dari laju transformasi marjinal (Marginal Rate of Trasnformation, MRT) (Bullock, 1994). Untuk menjaga konsistensi terhadap asumsi awal, peneliti FPP harus memilih kebijakan yang diamati (observe policy), katakan x0, dan menemukan fungsi g dan h untuk merasionalkan kebijakan x0, sedemikian hingga
x0
menyelesaikan (FPP-MAX). Jika x0 adalah solusi interior dari (FPP-MAX), maka kondisi ordo pertama (FPP-MAX) terpenuhi. Implikasinya adalah bobot politik yang diukur dari FPP sama dengan laju transformasi marjinal di sepanjang frontier Pareto (Bullock, 1994).
Metodologi FPP disajikan pada gambar 4 untuk n = 3 kelompok kepentingan, dan m ≥ 3 instrumen kebijakan. Parameter kondisi pasar diasumsikan tetap pada b0
B. Tujuan pemerintah adalah menyelesaikan
persoalan serupa (FPP-MAX), yaitu memaksimumkan g(u1,u2,u3). Salah satu bagian kontur g pada ruang (u1,u2,u3) disajikan pada gambar 4. Pemerintah memilih kebijakan x0 untuk mendapatkan hasil kemakmuran h(x0,b0) = (u10,u20,u30) pada titik A, yaitu terletak pada frontier Pareto P(b0) dan pada persinggungan dengan kontur FPP tertingi yang dapat dijangkau.
Sumber: Bullock, 1994.
Ukuran kekuatan politik pada FPP ditunjukkan oleh laju substitusi marjinal Gambar 4. Karakteristik Fungsi Preferensi Politik yang Memenuhi Pareto Frontier
(Marginal Rate of Substitution, MRS) pemerintah diantara kelompok kepentingan yaaitu sudut MRS21 dan MRS31 pada gambar 4. Karena FPP tidak dapat diamati secara langsung maka MRS juga tidak dapat diukur secara langsung. Tetapi sejauh derivatif h(x,b) dapat diukur (diketahui) maka MRT di sepanjang frontier Pareto dapat diamati secara langsung (Bullock, 1994). Syarat perlu (necessary
condition) dari (PPF-MAX) dan (V-MAX)
memungkinkan untuk membuat
simpulan MRS dari MRT. Jika x0 adalah solusi interior dari (FPP-MAX) maka,
.
(2.8)
Elemen z(x0,b0) adalah laju substitusi marjinal pemerintah (government’s marginal rate of substitution): MRSi1= -{ g[h(x0,b0)]/ ui}/{ g[h(x0,b0)]/ u1}. dan kolom
Vektor
adalah kemiringan fungsi kemakmuran
kelompok (gradient of group welfare function) h1, .., hn, yang dianalisis pada (x0,b0). Kondisi (2) berikut diperlukan agar x0 menyelesaikan (VMP) sehingga h(x0,b0)
P(b0),
(2.9)
Meskipun fungsi tujuan pada (FPP-MAX) dan (V-MAX) berbeda, solusi unik z(x0,b0) pada (2.8) diperoleh jika dan hanya jika terdapat solusi unik t pada (2.9), serta jika dan hanya jika z(x0,b0) = t. Elemen dari z(x0,b0) adalah koefisien dari hyperplane yang bersinggungan (tangent) dengan kontur FPP pada h(x0,b0) dan koefisien ini juga menyatakan laju transformasi marjinal, MRT. Studi FPP mengukur vektor MRS z(x0,b0) secara tidak langsung dengan langsung mengukur MRT vektor t, sehingga studi FPP secara langsung mengukur karakteristik
frontier Pareto. Elemen t ditunjukkan pada gambar 4 sebagai sudut MRT21 dan MRT31. Kondisi ordo pertama (FPP-MAX) mengimplikasikan MRS21 = MRT21 dan MRS31=MRT31 dan persamaan (2.8) dan (2.9) menyatakan kajian FPP memerlukan dua asumsi, yaitu: (1) pemerintah memiliki fungsi tujuan yang dapat direpresentasikan dengan (FPP-MAX), dan (2) pemerintah dapat mengukur derivatif pertama fungsi kemakmuran kelompok kepentingan h(x,b) untuk menyelesaikan persoalan (FPP-MAX) (Bullock, 1994).
2.3.1.4. Frontier Pareto dan Kurva Trasformasi Surplus Bullock (1994) menunjukkan bahwa untuk dua kelompok kepentingan, sebuah kurva transformasi surplus (Surplus Transformation Curve, STC) dapat digambarkan pada ruang (u1, u2) dengan merubah satu instumen xi, secara kontinyu dengan instrumen lain tetap, dan menggambarkan resultan ordo dua (u1, u2) pada R2. Dengan cara yang sama kurva transformasi surplus STCi dapat digambarkan pada ruang (u1, ..,un) dengan merubah instumen xi, secara kontinyu dengan instrumen lain tetap, dan menggambarkan resultan ordo n (u1,..,un) pada Rn. Jadi paling tidak terdapat n kurva transformasi surplus STC1, .., STCn yang melalui titik h(x0,b0) yang masing-masing diperoleh dengan merubah satu instrumen x1, .., xn, dengan n-1 instrumen lain dipertahankan tetap (constant). Persamaan (2.9) mengimplikasikan bahwa jika h(x0,b0) terletak pada frontier Pareto, STC1, .., STCn adalah bersinggungan dengan hyperplane pada titik tersebut. Hubungan antara STCs dengan frontier Pareto disajikan pada gambar 5 berikut untuk m = 2 instrumen dan n = 2 kelompok kepentingan.
Misalkan dalam konteks swasembada gula instrumen kebijakan yang digunakan adalah subsidi input (s) dan dukungan riset (r) sehingga kebijakan tersebut menurunkan biaya marjinal dan harga gula domestik, dua kelompok kepentingan adalah konsumen-pembayar pajak dan produsen gula yang kemakmurannya CS dan PS merupakan fungsi dari pilihan kebijakan pemerintah (s,r). Hasil kemakmuran dari kebijakan (s0,r0) adalah [CS(s0,r0), PS(s0,r0)] pada titik a. Paling tidak terdapat dua STCs, dinotasikan dengan STCr/s0 dan STCs/r0, yang melalui titik a.
Pemerintah dapat merubah perekonomian di sepanjang
STCr/s0 dengan merubah level penelitian (r) namun subsidi dipertahankan tetap pada s0 (Bullock, 1994).
Sumber: Bullock, 1994
Gambar 5. Hubungan Kurva Transformasi Surplus dengan Pareto Frontier Pemerintah juga dapat merubah perekonomian di sepanjang STCs/r0 dengan cara merubah subsidi (s) namun dukungan penelitian dipertahankan tetap pada r0.
Perhatikan bahwa pada titik a sudut STCr/s0 dan STCs/r0 tidak sama karena pada titik tersebut STCr/s0 dan STCs/r0 tidak menyinggung hyperplane (pada ruang R2 hanya berupa garis). Karena kondisi perlu (necessary condition) dari (VMP) pada persamaan (2.9) tidak terpenuhi, maka kebijakan (s0,r0) tidak efisien, sehingga [CS(s0,r0), PS(s0,r0)] pada titik a tidak terletak pada frontier Pareto. Pilihan lainnya adalah menerapkan kebijakan yang lain misalkan (s1,r1) sehingga perekonomian berada pada titik d yang Pareto-superior dari pada titik a. Oleh karena itu secara umum terdapat banyak pilihan kebijakan yang efisien seperti (r1,s0) dan (r0,s1) karena slope dari STCr/s0 dan STCs/r1 sama di titik b, dan slope dari STCr/s1 dan STCs/r0 sama di titik c (Bullock, 1994).
2.3.2. Studi Empiris Kontribusi FPP didalam analisis ekonomi politik kebijakan pertanian terletak pada, (i) penentuan bobot politik dari berbagai kelompok kepentingan; dan (ii) penentuan level instrumen kebijakan untuk level bobot politik tertentu (Swinnen and Zee, 1993). Kontribusi terhadap penentuan bobot politik dapat ditemukan pada penelitian Lopez (1994) yang menganalisis kebijakan harga gula di Philippine dimana bobot politik produsen gula berubah diantara rezim pemerintah Marcos ke Aquino dan bobot politik tersebut dipengaruhi oleh kebijakan impor kuota gula yang diterapkan Amerika Serikat. Penelitian FPP lain oleh Sarker et al. (1993) menemukan bahwa aktivitas lobi dari kelompokkelompok kepentingan berpengaruh positif terhadap peningkatan bobot politik kelompok dengan mempengaruhi pembuatan kebijakan pemerintah, dan reformasi pertanian mengimplikasikan terjadinya perubahan bobot politik relatif pada FPP
tersebut. Dalam hal efisiensi lobi ditemukan bahwa kelompok produsen lebih efisien dalam melakukan lobi dari pada kelompok konsumen yang tidak terorganisir dengan baik sehingga kebijakan pertanian terutama di negara maju dan di beberapa negara berkembang lebih ramah terhadap produsen daripada terhadap konsumen. Hasil studi empiris mendukung proposisi bahwa terdapat hubungan terbalik antara keunggulan kompatarif pertanian dengan manfaat kebijakan untuk kelompok produsen, baik di negara maju maupun di negara berkembang, namun kurang mendudukung untuk proposisi mengenai adanya hubungan terbalik antara share pertanian di dalam total economy dengan manfaat lobi yang diterima kelompok produsen. Hasil kajian juga mendukung proposisi mengenai adanya hubungan negatif antara nilai tukar pertanian (agriculture’s international term of trade) dan manfaat kebijakan yang dinikmati petani gandum di negara maju namun tidak untuk petani di negara berkembang. Pada penelitian lain yang juga menggunakan pendekatan tidak langsung revealed preference, Lee and Kennedy (2007) menemukan bahwa kebijakan produksi dan perdagangan beras di tiga negara maju Korea, Jepang, dan Amerika Serikat antara tahun 1960-1999 adalah bias ke produsen namun dengan kecenderungan yang semakin kecil yang ditunjukkan dengan tren menurun dari bobot politik produsen walaupun masih tetap lebih besar dari 100%. Selain itu peneliti menemukan bahwa bobot politik untuk masing-masing kelompok kepentingan merupakan fungsi dari harga, parameter proporsionalitas, dan elastisitas permintaan dan penawaran. Hasil simulasi menggunakan game theory menemukan bahwa kebijakan perdagangan terbaik bagi Amerika Serikat terhadap negara mitra dagang Korea dan Jepang adalah dengan mengkombinasikan
kebijakan akses pasar (market access) dengan program pengembangan pasar luar negeri (foreign market development programs) di tengah tantangan kehadiran perusahaan perdagangan negara mitra dagang (state trading enterprise, STE) yang distortif. Tabel 1. Studi Empiris Ekonomi Politik Kebijakan Pertanian
Penelitian (tahun)
Model/Metode
Kelompok kepentingan
Bias kebijakan thdp kelompok
Keterangan
Lopez (1994) Sarker, et al. (1993)
Fungsi preferensi politik (FPP) FPP
• • • •
Produsen Konsumen Produsen Konsumen
Produsen
Lee and Kennedy (2007)
FPP
Swinnen, et al. (1999)
Public Choice Theory
• • • • •
Produsen Konsumen Pemerintah Produsen Konsumen
Vukina and Leegomonchai (2006)
Collective Action Teory
Gula (Philippine) Gandum (12 negara maju dan 13 negara berkembang) Beras (USA, Korea, Jepang) Pengeluaran untuk penelitian dan proteksi pertanian (37 negara) Regulasi kontrak ayam broiler (USA)
•
Perusahaan (integrator) • Peternak
Negara maju bias ke produsen, Negara berkembang bias ke konsumen Produsen
Negara maju bias ke produsen, Negara berkembang bias ke konsumen Perusahaan
2.4. Teori Ekonomi dan Studi Empiris Swasembada 2.4.1. Kebijakan Produksi dan Perdagangan 2.4.1.1. Kebijakan Tarif Impor Sebagai negara kecil dan pengimpor gula maka harga domestik sangat dipengaruhi oleh harga gula dunia. Oleh karena itu maka pemerintah menggunakan kebijakan perdagangan untuk mengendalikan volume perdagangan dan harga gula di dalam negeri. Mekanisme bekerjanya kebijakan tarif dalam mempengaruhi volume impor, produksi dan harga gula domestik disajikan pada gambar berikut untuk kasus negara kecil, pasar komoditi yang kompetitif,
substitusi sempurna antara produk domestik dengan produk impor dan biaya transportasi sama dengan nol. P
P
S
g
Pd Pw
h
k
j
l ES (R )
a
b
c
d
f
e
D 0
ED
ED* q
(a)
t
0
qm (b)
Sumber: Houck, 1986
Gambar 6. Dampak Tarif Impor Terhadap Produksi Jika pemerintah tidak memberlakukan tarif impor (free trade) maka harga gula domestik sama dengan harga gula dunia PW, produksi dalam negeri ab, konsumsi ac dan volume impor adalah df (pada panel b) atau bc (pada panel a). Untuk menarik minat petani tebu dan pabrik gula meningkatkan produksi maka pemerintah mengenakan tarif impor sebesar t sehingga kurva ED yang mencerminkan permintaan dalam negeri atas gula impor bergeser ke kiri menjadi ED* dan memotong ES di titik e pada panel (b). Volume impor berkurang menjadi de dan harga gula domestik Pd, meningkat dan lebih tingi dari harga gula dunia. Dengan naiknya harga domestik maka produksi dalam negeri naik dari semula ab menjadi gh, konsumsi berkurang menjadi gj dan impor menurun manjadi hj. Adanya tarif telah meningkatkan harga gula domestik, meningkatkan produksi, namun mengurangi konsumsi. Pihak yang diuntungkan dengan kenaikan harga karena adanya tarif impor adalah produsen (pabrik gula, petani tebu, suplier sarana produksi, termasuk tenaga kerja yang bekerja di pabrik gula ataupun di ladang tebu) dan pemerintah karena mendapatkan penerimaan sebesar dekl (volume impor dikali tarif) pada panel (b) atau daerah yang diarsir.
2.4.1.2. Kebijakan Kuota Impor Kuota impor merupakan hambatan perdagangan non tarif yang memiliki dampak tidak langsung terhadap harga namun besarnya setara dengan akibat yang ditimbulkan oleh tarif impor (kesetaraan harga dengan volume) jika kuota yang ditetapkan lebih kecil dari volume impor pada free trade (binding quota). Dengan penggunaan kuota maka volume impor telah ditetapkan terlebih dahulu dan ED* patah dan tegak pada besarnya kuota impor tersebut (qq). P
P
S
k
Pd Pw
l ES (R ) d
D 0
ED
ED* q
(a)
f
e
0
qq
qm (b)
Sumber: Houck, 1986
Gambar 7. Dampak Kuota Impor Terhadap Produksi Pada kasus kuota impor adalah binding maka ED* menunjukkan volume kuota impor dan harga domestik yang terjadi adalah Pd lebih tingi dari harga free trade Pw. Dengan naiknya harga maka produsen meningkatkan produksi domestik dan konsumen mengurangi konsumsi. Jika alokasi kuota kepada importir dilakukan dengan lelang (auction) pada kondisi kompetitif maka pemerintah mendapatkan penerimaan yang nilainya setara dengan penerimaan melalui tarif impor sepanjang kondisi lainnya sama.
2.4.1.3.Kebijakan Subsidi Produksi Langsung Subsidi produksi langsung merupakan alternatif peningkatan produksi selain tarif atau kuota. Subsidi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pemberian langsung kepada produsen sejumlah nilai tertentu untuk setiap unit produk yang diproduksi, dan yang kedua dengan mensubsidi input yang paling penting (critical) untuk produksi seperti pupuk, irigasi, dan sebagainya. Dengan subsidi jenis kedua ini maka harga input akan berada di bawah harga pasar bebas (free market) dan dapat dilakukan dengan pemberian melalui produsen input atau ke petani langsung. Analisis keseimbangan parsial dari subsidi produksi langsung disajikan pada gambar berikut. P
S
P
S*
e f
Pd PW
a g
c
h
ES (R )
b D
0
ED*
q (a)
ED qm
0
(b)
Sumber: Houck, 1986
Gambar 8. Dampak Subsidi Langsung terhadap Produksi Subsidi langsung jenis manapun yang digunakan akan menyebabkan biaya produksi menjadi lebih murah yang ditunjukkan dengan pergeseran kurva suplai (S) menjadi S*. Jarak horizontal antara kurva D dengan S* (panel a) merupakan fungsi ED* (panel b), dan merupakan fungsi permintaan impor yang dihadapi eksportir luar negeri dengan adanya subsidi poduksi di negara importir. Jarak horizontal ED dan ED* (panel b) sama dengan jarak horizontal S* dan S (panel
a). Dengan menurunnya kurva permintaan impor maka volume impor berkurang sebesar bc yang ekuivalen dengan peningkatan produksi domestik gh. Peningkatan produksi ini sebagai akibat dari menurunnya biaya produksi (cost lowering subsidy) yang besarnya setara dengan fh untuk setiap unit produksi. Total nilai subsidi adalah daerah yang diarsir pada panel (a).
2.4.1.4. Kebijakan Harga Maksimum dan Harga Minimum Kebijakan harga maksimum dan harga minimum dilakukan untuk mengarahkan kegiatan produksi dan konsumsi. Gambar 9 berikut memberikan ilustrasi
bagaimana
kebijakan
tersebut
berkerja,
dimana
pada
kondisi
keseimbangan harga yang terjadi adalah Pe dan jumlah yang dikonsumsi sama dengan jumlah yang diproduksi (Qe). P Supply A
P Min
B
Pe P Max
C
D Demand
0
Qe
Q
Sumber: Amid, 2007.
Gambar 9. Dampak Kebijakan Harga Maksimum dan Harga Minimum
Jika pemerintah menginginkan produksi untuk meningkat maka itu dilakukan dengan menetapkan harga minimum (floor price), dan pemerintah menjamin untuk membeli hasil panen pada harga tersebut. Harga yang terjadi
adalah PMin berada di atas harga keseimbangan, dan produksi meningkat tapi konsumsi menurun. Pada harga tersebut terdapat surplus produksi sebesar equivalen AB, dan pemerintah harus membeli surplus ini yang dapat digunakan sebagai cadangan atau mengekspornya. Sebaliknya, untuk melindungi konsumen pemerintah menetapkan harga maksimum (ceiling price) yang berada di bawah harga keseimbangan. Pada harga PMax produksi menurun namun konsumsi meningkat dan terjadi kelangkaan sebesar equivalen CD. Pada kondisi ini pemerintah dapat menggunakan cadangan yang ada di gudang dan melakukan rationing terhadap mereka yang berhak atau mengimpor untuk memenuhi kekurangan tersebut.
2.4.1.5. Kebijakan Stabilisasi Harga Model stabilisasi Massell mengindikasikan bahwa masyarakat menyukai harga yang stabil dibanding harga yang tidak stabil. Gambar berikut menunjukkan bagaimana model stabilisasi Massell bekerja. Permintaan konsumen dinyatakan oleh D dan penawaran stokastik (stochastic supply) adalah S1 dan S2 dengan probabilitas kejadian masing-masing sebesar setengah dan harga keseimbangan masing-masing kejadian adalah P1 dan P2. Misalkan harga distabilkan pada Pμ dengan membeli kelebihan produksi Qs1-Qμ (buffer stock) jika produksi yang terjadi S1 dan menjual stok Qμ-Qs2 jika yang terjadi adalah S2. Dengan kebijakan stabilisasi maka jika yang terjadi adalah S1 konsumen rugi daerah arsir c+d dan produsen untung daerah arsir c+d+e, sehingga manfaat neto adalah daerah e. Jika yang terjadi S2 maka produsen rugi daerah a dan konsumen untung daerah a+b
sehingga manfaat neto adalah daerah b. Manfaat dari kebijakan stabilisasi harga secara keseluruhan adalah daerah b+e.
S2
P
S1 P2
a
Pμ P1
b d
c
e
D
0
Qs 2 Q 2
Qμ Q1 Q s 1
q
Sumber: Schmitz, et al. 2002
Gambar 10. Stabilisasi Harga Model Massell Kebijakan stabilisasi harga bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan sepanjang biaya penyimpanan untuk buffer stock tidak lebih besar dari pada daerah b+e dan akan selalu ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan pada masing-masing kejadian. Stabilisasi harga dapat juga dilakukan dengan buka tutup keran impor jika pemerintah tidak melakukan pembelian untuk mengisi stok.
2.4.1.6. Biaya Efisiensi Swasembada Pada tingkat teknologi dan kelembagaan tertentu kurva production possibility frontier ADCB mencerminkan kombinasi produksi maksimum suatu negara yang menghasilkan dua jenis komoditi yaitu pangan dan non pangan. Harga relatif kedua komoditi tersebut di pasar dunia diwakili oleh garis WZ yang
menyinggung kurva pada titik C, sehingga garis WCZ mencerminkan kurva consumption possibility frontier karena masyarakat dapat mengkonsumsi pangan dan non pangan di sepanjang kurva ini melalui perdagangan pada tingkat harga relatif dipasar dunia tersebut.
Pangan W
Biaya efisiensi Y
A F 2
D
Q
C
Q1F
0
Q2N
Q1N
B
Z
Non Pangan
Sumber: Monke and Pearson, 1989
Gambar 11. Kurva Kemungkinan Produksi dan Biaya Swasembada Jika pemerintah menganggap produksi pangan Q1F relatif rendah untuk dapat memenuhi kebutuhan domestik maka pemerintah melakukan berbagai kebijakan sehingga lebih banyak sumberdaya domestik yang digunakan untuk menghasilkan pangan dan produksi pangan naik menjadi Q2F namun produksi non pangan menurun dari Q1N menjadi Q2N. Oleh karena negara tersebut tidak dapat mempengaruhi harga pangan dan non pangan dunia maka consumption possibility frontier bergeser kebagian dalam frontir produksi dan memotong kurva di titik D.
Apabila pendapatan nasional diartikan sebagai produksi dikalikan dengan harga di pasar dunia, maka dinyatakan dalam pangan, kebijakan tersebut telah menurunkan pendapatan nasional dari OW menjadi OY dan selisih pendapatan ini merupakan biaya dari kebijakan ini (efficiency cost).
2.4.2.Studi Empiris Swasembada Pangan Kajian mengenai kebijakan swasembada pertanian di Indonesia telah banyak dilakukan, namun demikian sebagian besar penelitian tersebut mengunakan pendekatan ekonomi yang mengabaikan kompetisi diantara berbagai kelompok kepentingan dalam mempengaruhi pembuatan dan implementasi kebijakan tersebut. Akibatnya adalah pembahasan mengenai kebijakan swasembada tidak komprehensif dan menyisakan banyak pertanyaan yang mememerlukan penjelasan. Barrett (1999) menegaskan bahwa adanya gap yang besar pada penggunaan pendekatan analisis kebijakan pertanian menyebabkan tidak terungkapnya upaya politik (political strugle) dari berbagai kelompok kepentingan dalam memperebutkan manfaat kebijakan bagi masing-masing kelompok, dan penekanan dari aspek politik murni gagal menjelaskan proses ekonomi (economic genesis) dari konvergensi politik yang terjadi. Penelitian Hasan et al., (2000) dengan menggunakan Benefit Cost Analysis menemukan bahwa kebijakan swasembada gandum di Sudan dengan memberikan subsidi input (air) dan perbaikan infrastruktur pertanian (jaringan irigasi) telah meningkatkan luas areal tanam dan produksi pangan (gandum) namun dengan mengorbankan luas tanam dan produksi komoditi non pangan (kapas) yang memiliki efisiensi ekonomi relatif lebih tinggi. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa kebijakan swasembada gandum dengan mengorbankan kapas dari sisi ekonomi tidaklah menguntungkan bagi Sudan. Selain itu budidaya kapas lebih banyak menyerap tenaga kerja dari pada budidaya gandum sehingga investasi pada infrastruktur irigasi untuk meningkatkan produksi pangan telah mengurangi kesempatan kerja di sektor pertanian. Sementara itu kebijakan swasembada pangan (beras) di Jepang diatur dalam undang-undang pangan utama (food basic law) dan hasilnya adalah rata-rata pendapatan rumahtangga petani pangan (food farmer household income) lebih tinggi dari pada rata-rata pendapatan tumahtangga masyarakat kota (Taniguchi, 2001). Hasil simulasi menggunakan model keseimbangan umum (CGE) menunjukkan bahwa dampak liberalisasi perdagangan terhadap kemakmuran petani relatif kecil. Pendapatan rumahtangga petani penuh (full time farmer) hanya berkurang sekitar 6% jika tarif impor nol persen, jauh lebih kecil dari dari manfaat yang didapat konsumen dengan penurunan harga pangan yang terjadi. Dari sisi swasembada ditemukan bahwa liberalisasi perdagangan akan meningkatkan impor yang berarti mengurangi tingkat swasembada (self sufficiensy ratio). Penelitian lain di Republik Dominika oleh Kraybill (2002) yang juga menggunakan model keseimbangan umum (CGE) menunjukkan bahwa perdagangan bebas untuk beras menguntungkan masyarakat terutama penduduk miskin yang membelanjakan sebagian besar penghasilannya untuk pangan. Penghapusan 40% tarif beras menurunkan harga beras impor sebesar 28% (dipengaruhi juga oleh Armington elasticity of substitution). Namun demikian bersama dengan penghapusan subsidi air guna menjaga keberlanjutan pemeliharaan, kebijakan penghapusan tarif impor menurunkan kemakmuran petani karena subsidi tersebut langsung mempengaruhi penerimaan lahan irigasi
(return to irigated land) yang merupakan aset berharga yang dimiliki petani. Dampak dari penghapusan subsidi air dan tarif impor beras terhadap produksi dan impor sangat tergantung pada elastisitas perdagangan. Pada elatisitas perdagangan rendah kebijakan simultan tersebut akan mengurangi produksi beras 11.01% dan meningkatkan impor sebesar 20.06%. Sementara itu pada elastisitas moderat dan tinggi dampaknya secara berurutan adalah mengurangi produksi masing-masing 20.34% dan 39.23% serta meningkatkan impor masing-masing 43.76 % dan 91.93% (Tabel 2). Tabel 2. Penelitian dan Kajian Swasembada Pangan yang Telah Dilaksanakan Sebelumnya Penelitian (tahun) Hassan, et al. (2000)
Metoda/taknik analisis B-C Analysis
Komoditi pert. yang dikaji Gandum
Taniguchi (2001)
CGE
Beras
Kraybill, et al. (2002)
CGE
Beras
Beghin, et al. (2003)
CGE
Duncan, et al. (2003)
CGE
Amid, (2007)
Descriptive
Beras, gandum, barley, jagung, kedele, susu, dan daging Padi, pangan olahan, hasil ternak, hasil perikanan Gandum dan tepung terigu
Instrument kebijakan • Subsidi input • Perbaikan infrastruktur pertanian • Tarif impor • Subsidi domestik • Tarif impor • Subsidi domestik • Tarif impor • Subsidi domestik
Negara
•
Tarif impor
China
•
Subsidi domestik Stabilisasi harga
Iran
•
Sudan
Jepang Republik Dominika Korea
Sementara itu penelitian Beghin et al., (2003) di Korea menunjukkan bahwa pengurangan tarif impor dapat mendistorsi konsumsi dan mengurangi tingkat swasembada.
Penetapan
target
produksi
dengan
mempertimbangkan
ketidakpastian pasar dunia dan membolehkan impor untuk memenuhi kekurangan suplai memberikan hasil yang lebih efisien dari pada pendekatan target swasembada dengan menghambat impor. Jika pada kondisi aktual dead weight loss yang terjadi adalah 6152 (106 Won), maka dengan pendekatan target swasembada dead weight loss adalah 2540 (106 Won) dan dengan pendekatan target produksi besarnya kehilangan adalah 2371 (106 Won).
2.4.3. Studi Empiris Ekonomi Gula Seperti halnya komoditi pangan lainnya, industri gula Indonesia secara historis dilingkupi oleh banyak regulasi yang protektif, namun demikian pada tahun 1998, menjelang kejatuhan rezim Orde Baru, industri dan perdagangan gula mengalami deregulasi dan liberalisasi demi memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pinjaman
Dana Moneter International (IMF). Namun seiring
dengan berkembangnya demokratisasi, industri dan perdagangan gula kembali mengalami regulasi (re-regulated). Pemberlakuan kuota impor musiman (seasonal import quota), pengaturan linsensi impor, pembatasan perdagangan antar pulau, pemberlakuan tarif spesifik, dan kenaikan harga minimum pembelian tebu telah mengakibatkan harga gula yang dibayar konsumen dan berbagai industri hilir yang menggunakan gula tebu semakin mahal. Harga gula di dalam negeri mencapai dua kali lipat harga gula dunia atau sama dengan harga pada
rezim Soeharto dimana Bulog memiliki hak monopoli terhadap impor, pengadaan domestik dan tata niaga gula dalam negeri (Stapleton, 2006). Ketika peran IMF pada perekonomian Indonesia semakin berkurang dan kemudian dihapuskan setelah periode krisis maka terdapat banyak kebijakan perdagangan gula dihasilkan untuk memproteksi pabrik gula dalam negeri yang sebagian besar milik negara dari kompetisi dengan gula impor. Lebih jauh lagi regulasi yang cukup banyak tersebut kemudian diketahui tumpang tindih, kontradiktif, dan sangat protektif (Stapleton, 2006). Menurut Fane and Warr (2007) tingginya tingkat proteksi gula seperti halnya beras adalah untuk menstabilkan harga domestik pada tingkat yang “dapat diterima” dan melindungi pabrik gula milik negara tersebut. Sejak tahun 1970an proteksi yang diberikan mencapai 100 persen yang membuat harga gula domestik adalah dua kali lipat dari harga gula dunia. Namun demikian ditengah banyaknya regulasi yang sangat protektif tersebut produksi gula dalam negeri hanya meningkat relatif kecil dibanding dengan tingginya harga yang dibayar konsumen. Besarnya proteksi yang diberikan pemerintah terhadap industri gula mengindikasikan besarnya potensi memburu rente (rent seeking), karena petani tebu tidak sepenuhnya merasakan kenaikan pendapatan dari proteksi yang diberikan oleh pemerintah. Produktivitas dan rendemen tebu yang diterima petani dari PG umumnya rendah, dan masih menjadi faktor utama belum bersinerginya hubungan antara petani tebu dan pabrik gula. Selama periode 1987-2006, pabrik gula di Jawa memperoleh rendemen yang berkisar antara 5.88-8.66% (dengan rata-rata 7.10%), sementara di luar Jawa antara 5.97-9.77% (dengan rata-rata 8.66%). Dalam waktu yang bersamaan, pabrik di Jawa memberikan produktivitas
gula hablur yang berkisar antara 3.48-7.35 ton/ha (dengan rata-rata 5.66 ton/ha), sedangkan di Luar Jawa antara 2.56-8.18 ton/ha (dengan rata-rata 6.39 ton/ha) (P3GI, 2007 dan 2008). Rendahnya rendemen dan produktivitas gula hablur ini mempengaruhi penerimaan petani yang melakukan kerja sama bagi hasil dengan pabrik gula dengan perbandingan 66 : 34 (lihat tabel 3). Tabel 3. Jumlah Pabrik, Luas Areal dan Produksi Gula Indonesia Tahun 2006 Uraian Jumlah PG Luas Areal (ha) Total Tebu (ton) Rendemen (%) Produksi Gula (ton) Sumber: P3GI (2007)
Jawa
Luar Jawa
Indonesia
47 248 398 19 918 300 7.31 1 455 800
12 148 884 10 325 660 8.25 852 169
59 397 282 30 242 960 7.78 2 307 969
Faktor kedua adalah ketersediaan bahan baku yang terbatas sehingga pabrik beroperasi di bawah kapasitas maksimum. Penurunan areal tebu menyebabkan ketersediaan bahan baku berkurang sehingga PG sering mengalami kesulitan untuk mencapai kapasitas minimal. Dalam 10 tahun terakhir, dari 59 PG di Jawa, 17 PG memiliki total hari giling di bawah standar nasional yaitu 150 hari giling/tahun. Dengan kriteria minimum kapasitas giling 2.000 ton tebu/hari, 28 pabrik tidak memenuhi standar tersebut (Susila dan Sinaga, 2005a). Menurut Arifin (2008) pencapaian swasembada gula dapat ditempuh dengan langkah besar peningkatan rendemen, yang selama ini hanya sekitar 7 persen atau kurang. Kenaikan rendemen 1 persen saja akan memberikan potensi tambahan produksi gula lebih dari 300 ribu ton, yang tentu saja dapat berkontribusi pada pencapaian swasembada gula Indonesia. Kapasitas sumberdaya pabrik dan sumberdaya manusia masih sangat memungkinkan untuk meningkatkan produktivitas hablur menjadi 8 ton per hektar. Strategi tersebut dapat ditempuh dengan “metode konvensional” dalam bidang budidaya berupa perbaikan varietas,
penyediaan bibit sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang, pengendalian organisme pengganggu, dan sebagainya. Dalam aspek panen dan pasca panen, untuk meningkatkan produktivitas beberapa hal bisa dilakukan, misalnya penentuan awal giling yang tepat dan penentuan kebun tebu yang ditebang yang lebih dapat diandalkan, sampai pada aspek konsolidasi lahan pabrik gula, seperti pembentukan sistem blok.
Apabila
kedua
metode
peningkatan
rendemen
tersebut
dapat
dikombinasikan secara baik, maka pencapaian rendemen gula sampai 11 persen bukanlah sesuatu yang sulit. Bahkan, apabila metode tersebut secara konsisten dilaksanakan, maka tidak mustahil rendemen gula pada perkebunan tebu di Indonesia dapat mencapai 13 persen atau lebih.
2.4.4. Studi Empiris Ekonomi Politik Kebijakan Pertanian Pendekatan ekonomi politik memberikan penjelasan teoritis mengenai kebijakan pertanian yang terjadi. Generasi pertama pendekatan ekonomi politik berhasil menjelaskan mengapa kebijakan pertanian seperti yang terjadi selama ini yang tidak dapat dijelaskan dengan pendekatan teori ekonomi mainstream konvensional, namun ia mengabaikan isu tentang pengujian empiris (empirical testing). Analisis ekonomi politik generasi pertama berlandaskan pada terobosan yang dibuat oleh pencetus teori pilihan publik seperti Olson, Down, Buchanan, dan Niskanen yang menjelaskan kebijakan pertanian dengan landasan argumen kualitatif yang diturunkan dari pilihan publik teoritis (theoretical public choice) ataupun berdasarkan hasil regresi statistik. Pada kasus yang terakhir ini hubungan antara teori ekonomi-politik dengan model empirisnnya sangat longgar yang
menunjukkan model yang digunakan bersifat ad-hock tanpa didasari fondasi mikro-ekonomi politik yang kuat (Zee, 1997). Generasi kedua pendekatan ekonomi politik jauh lebih maju dari generasi pendahulunya yang dicirikan oleh kemampuan melakukan deduksi teoritis dengan landasan matematika yang sangat kuat. Lebih dari itu generasi kedua ini mampu menyajikan hubungan antara aktivitas ekonomi politik individu atau kelompok dengan hasil (outcome) dari sebuah kebijakan pertanian. Ciri yang menonjol dari generasi ini adalah kemampuan melakukan aplikasi dan pengujian empiris terhadap hubungan ekonomi-politik dengan ‘kebijakan’ sebagai variabel endogennya. Namun demikian penelitian ekonomi politik pada generasi ini hingga sekarang pun belum memberikan perhatian yang memadai terhadap ketidakstasioneran data terutama pada data rentang waktu (time series), sementara perkembangan metode statistika membuktikan hubungan regresi antar variabel yang tidak stasioner memberikan hasil yang semu (spurious) (Verbeek, 2000; Hallam and Zanoli, 1993; Meyer, 2004; Tambi, 1999; Susanti, 2001). Penelitian ekonomi politik yang dilakukan Lopez (1994) tentang kebijakan penetapan harga gula di Filipina dengan menggunakan data rentang waktu 19521990, yang dikontrol berdasarkan rezim pemerintah yang berkuasa, dilakukan dengan meregresikan variabel harga dengan sejumlah variabel ekonomi makro lainnya menggunakan metode ordinary least square (OLS) tanpa terlebih dahulu menguji stasioneritas data. Sarker (1993) menggunakan data gabungan (pool data) antar negara dan antar waktu 1958-1987 meregresikan variabel bobot politik kelompok produsen dengan sejumlah variabel ekonomi makro menggunakan metode maximum likelihood estimation (MLE) tanpa memperhatikan ketidak-
stasioneran data. Hal senada dilakukan oleh Lee and Kennedy (2007) dalam penelitian ekonomi politik mengenai ekspor beras Amerika ke Jepang dan Korea yang mengabaikan ketidak-stasioneran data meskipun menggunakan data rentang waktu 1960-1999. Kajian ekonomi politik lainnya dalam konteks kebijakan pertanian yang distortif oleh para peneliti Bank Dunia pun tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap ketidak-stasioneran data meskipun mereka menggunakan data rentang waktu atau data gabungan dalam melakukan pengujian statistik mengenai hubungan antar variabel ekonomi-politik (lihat Swinnen, 2009; Rausser and Roland, 2009; Masters and Garcia, 2009). Dalam konteks inilah penelitian ini memiliki siginfikansinya karena ia memiliki kekuatan dalam metode statistika sehingga model yang digunakan dapat memprediksi hubungan antar variabel ekonomi-politik dengan lebih akurat (robust).
2.5. Model Oligopoli untuk Mengukur Kekuatan Pasar Menurut pandangan new-Keynessian pasar tidaklah sempurna (imperfect market) sehingga harga barang lebih tinggi dari biaya marjinalnya. Mekanisme bekerja model adalah permintaan perusahaan terhadap faktor produksi ditentukan dengan menyamakan harga input (input price) dengan penerimaan marjinal faktor produksi (marginal revenue product of input). Jika pada pasar persaingan sempurna nilai produk marjinal sama dengan harga output maka pada pasar yang tidak sempurna harga output ditentukan oleh biaya marjinal ditambah mark-up, dan ukuran kekuatan pasar (market power) diindikasikan dengan besarnya markup.
2.5.1. Model Teoritis 2.5.1.1. Hall’s Model Hall mendifinisikan biaya marjinal suatu perusahaan sebagai derivatif dari biaya total terhadap output. Misalkan tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi maka biaya marjinal dinyatakan sebagai: (2.10) dimana w menyatakan upah per jam dan N menyatakan jumlah tenaga kerja, dan Y menyatakan output. Untuk mengestimasi mark-up Hall mengurangkan penambahan Y akibat perkembangan teknologi yang bersifat eksogen, sehingga persamaan menjadi, (2.11) dengan Ѳ merupakan proksi laju perkembangan teknologi. Hall mengasumsikan juga bahwa perkembangan teknologi merupakan deviasi random terhadap laju perubahan yang konstan yaitu,
Ѳt = Ѳ + εt,
(2.12)
dimana εt tidak berkorelasi dengan siklus bisnis. Dengan menyertakan teknology dan menyatakan p/MC sebagai μ maka diperoleh, Δy = Ѳ + μ.σ.Δn + εt
(2.13)
dengan share penerimaan tenaga kerja sebagai σ=(wN)/pY. Persamaan tersebut menyataka bahwa laju perubahan output sama dengan laju perubahan input tenaga kerja yang dibobot dengan share penerimaan tenaga, σ dan mark-up ditambah dengan elemen konstan dan laju pertumbuhan teknologi yang random. Setelah
menyertakan peran kapital dan mengasumsikan constant return to scale persamaan dapat dimodifikasi menjadi, Δ(y - k) = Ѳ + μ.σ.Δ(n – k) + εt
(2.14)
dengan Δ(y - k) sebagai proporsi perubahan output-kapital ratio dan Δ(n - k) sebagai proporsi perubahan labor-kapital ratio. Persamaan tersebut merupakan titik awal estimasi karena tujuan model adalah untuk mengestimasi μ, dan μ-1 ≥ 0 adalah ukuran dari kekuatan pasar (Beccarello, 1996).
2.5.1.2. Bresnahan-Lau Model Fenomena harga yang lebih tinggi dari biaya marjinal (mark up over marginal cost) merupakan isu penting pada pasar yang tidak sempurna dan ia juga digunakan sebagai ukuran kekuatan pasar pada suatu industri. Namun demikian pengukurannya pada tingkat perusahaan relatif sulit. Penyebab utamanya adalah mark-up merupakan perbandingan (ratio) harga dengan biaya marjinal yang tak teramati (unobserved marginal cost) sebagai akibat peningkatan output. Informasi ini biasanya tidak tersedia karena data perusahaan dan industri merupakan data rata-rata untuk periode tertentu (biasanya satu tahun). Selain itu pada tingkat perusahaan pencatatan input dan output menjadi problematik karena data umumnya berupa penerimaan dan biaya, bukan data fisik input dan output. Permasalahan lain adalah informasi tentang harga output perusahaan, tingkat upah dan harga input lainnya sangat sulit diperoleh, yang juga merupakan persoalan pembukuan perusahaan. Hal ini menyebabkan penelitian kekuatan pasar pada tingkat perusahaan sangat sulit kalau tidak ingin dikatakan mustahil (Nishimura, et al., 1999). Oleh karena itu studi tentang estimasi kekuatan pasar pada tingkat
perusahaan dilakukan dengan mengobservasi besarnya keuntungan sebagai proksi kekuatan pasar. Alternatif lain adalah dengan menggunakan data harga dan kuantitas pada tingkat industri terutama pada industri tertentu dimana data yang tersedia relatif banyak seperti yang dilakukan oleh Bresnahan dan Lau (Steen and Salvanes, 1999). Permintaan yang dihadapi industri dinyatakan oleh persamaan berikut,
Q = D(P, Z;α ) + ε ,
(2.15)
Keterangan Q = kuantitas, P = harga, Z = vektor variabel eksogen, seperti harga barang substitusi, dan pendapatan. α = vektor parameter yang diestimasi, dan ε = error term.
Pada sisi penawaran persamaannya relatif kompleks. Jika penjual adalah penerima harga (price taker) maka harga sama dengan biaya marjinal (price equals marginal cost), dan dinyatakan sebagai,
P = c(Q,W ; β ) + η,
(2.16)
Keterangan, W = variabel eksogen pada sisi penawaran seperti harga faktor produksi, β = parameter fungsi penawaran, dan η = supply error term.
Biaya marjinal dinyatakan oleh c(.), namun jika perusahaan bukan penerima harga maka penerimaan marjinal (perceived marginal revenue), bukan harga, yang sama dengan biaya marjinal. Jadi pada struktur demikian persamaan penawaran yang relevan adalah sebuah relasi penawaran (supply relation), yaitu:
P = c(Q,W ; β ) − λ.h(Q, Z;α ) + η,
(2.17)
dimana P + h(.) adalah penerimaan marjinal (marginal revenue), dan P + λ . h(.) adalah perceived marginal revenue. Pada persamaan tersebut λ adalah satu
parameter yang menyatakan derajat kekuatan pasar (degree of market power) yang pada pasar persaingan sempurna λ=0 sehingga harga sama dengan biaya marjinal, namun jika λ=1 maka terjadi kartel sempurna (perfect cartel). Dengan demikian jika 0< λ<1 maka terdapat variasi rezim oligopoli, dan secara umum λ menyatakan persentase penerimaan marjinal monopoli (monopoly marginal revenue perceived) (Steen and Salvanes, 1999).
2.5.1.3. Nishimura-Ohkusa-Ariga Model Pendekatan ini tidak mengestimasi biaya marjinal secara langsung dan tidak juga menggunakan informasi harga output perusahaan sehingga terhindar dari persoalan data yang tidak teramati dan kesulitan mendapatkan data harga input dan output perusahaan. Metode in berdasarkan hubungan identitas elastisitas input dan output jangka pendek, tingkat mark-up, dan share faktor produksi. Untuk mendapatkan hubungan ini yang diperlukan hanya sebuah asumsi standar yaitu nilai produksi marjinal suatu input sama denga harga input tersebut. Prosedurnya adalah mengidentifikasi biaya produksi tetap jangka pendek (short run fixed cost of production) dan kendala kemampuan manajerial jangka pendek (short-run managerial-ability constraint) dalam menentukan elatisitas jangka pendek output terhadap input (short run elasticity of output to input). Mark-up terhadap biaya marjinal kemudian diestimasi melalui elastisitas jangka pendek output terhadap input tersebut dengan menggunakan data share faktor pada tingkat perusahaan (Nishimura et al., 1999). Fungsi produksi dan biaya tetap jangka pendek (2.18)
dimana
secara berurutan menyatakan output, input kapital, dan
tenaga kerja dari perusahaan i pada periode t, dan peran input kapital proporsional dengan stok kapital. Sementara itu
menyatakan tingkat produktivitas yang
dipengaruhi oleh teknologi. Dalam jangka pendek kapasitas produksi maksimum adalah
yang dibatasi oleh organisasi produksi yang memiliki respon lambat
(sticky production organisation) sehingga persamaan menjadi, (2.19) dimana
sedemikian hingga
≥
≥ 0 dan
adalah parameter yang
menentukan teknologi. Agar formulasi ini memenuhi persyaratan menghasilkan yang memenuhi,
output non negatif diperlukan paling tidak
(2.20) dengan demikian
diperoleh biaya tetap
jangka pendek dan
diinterpretasikan sebagai biaya tetap yang dinyatakan dalam output. Elastisitas jangka pendek
dari output terhadap input kapital dan tenaga
kerja berdasarkan fungsi produksi jangka pendek
dinyatakan sebagai, (2.21)
dimana
menyatakan derivatif Fi terhdap K pada periode t dan demikian juga
merupakan derifatif terhadap L. Dengan demikian diperoleh, (2.22) Dengan menyertakan efisiensi manajerial diperoleh,
dalam fungsi produksi
(2.23) dimana
adalah fungsi produksi yang diperluas dengan menyertakan variasi
efisiensi manajerial. Terlepas dari bentuk persaingan tidak sempurna, perusahaan i akan meminimumkan fungsi biaya berikut, (2.24)
≡
dimana
adalah biaya sewa modal dan
adalah tingkat upah yang bisa
berbeda antar perusahaan dan antar waktu. Kondisi ordo pertama untuk minimisasi dengan demikian menjadi, (2.25) dimana
adalah biaya marjinal. Interaksi strategis antara perusahaan dan
berbagai kondisi permintaan menentukan mark-up terhadap biaya marjinal (markup over marjinal cost) sehingga, (2.26) sehingga mark-up,
diperoleh sebagai parameter hasil estimasi.
2.5.2. Studi Empiris Studi empiris mengenai kekuatan pasar pada industri dengan struktur oligopolistik berkembang pesat semenjak Bresnahan melakukan survai tahun 1989.
Kebanyakan studi memiliki kesamaan pada penggunaan pendekatan
ekonometrika struktural dan pencarian metode untuk menguji hipotesis mengenai perilaku perusahaan pada masing-masing industri dan penentuan pengukuran kekuatan pasar. Beccarello (1996) meneliti kekuatan pasar dengan menggunakan panel data terhadap tujuh negara maju anggota OECD utama yaitu Amerika, Kanada,
Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, dan Italia. Pada masing-masing negara, studi dipusatkan pada sektor industri pengolahan penting yaitu makanan, minuman, tembakau; tekstil; kertas, percetakan dan penerbitan; kimia; produk mineral non metal; produk mineral metal dasar; mesin dan peralatan; produk manufaktur lainnya; kayu dan produk kayu. Model yang digunakan berasal dari model Hall dengan modifikasi menjadi, [Δ(y - k)gi,t] = [Ѳg] + [μgi] . [I
σ gi,t . Δ(ngi,t + hg,t – kgi,t)]
(2.27)
dimana g = 1, ….., 7; i=1,….,9, dan ngi,t + hg,t, memisahkan input tenaga kerja dengan jumlah jam kerja. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar industri pengolahan (93%) memiliki kekuatan pasar, µgi
1 dengan Jepang, Perancis, dan Kanada
menunjukan adanya kekuatan pasar pada semua sektor yang dianalisis dengan rata-rata mark-up secara berurutan 1.89, 1.34, dan 1.47, sedangkan Amerika dan Inggris menunjukkan adanya kekuatan pasar pada delapan dari sembilan sektor dengan rata-rata mark-up masing-masing 1.50 dan 1.47. Sementara itu Italia menunjukkan enam dari delapan sektor dengan rata-rata mark-up adalah 1.72, sedangkan German lima dari delapan sektor dengan rata-rata mark-up adalah 1.07. Besarnya mark-up rata-rata lebih besar dari satu (100%) untuk semua negara yang dianalisis yang berarti industri di negara maju pun memiliki kekuatan pasar yang relatif besar. Sementara itu khusus untuk Jepang hasil penelitian Nishimura et al. (1999) menunjukkan rata-rata mark-up yang relatif kecil yaitu industri trasportasi darat (tidak termasuk kereta api) memiliki mark-up 1.05 sedangkan yang tertinggi adalah mark-up pada indutri perminyakan yaitu 1.57, dan pengujian menunjukkan
hasil yang signifikan. Hal ini berarti industri Jepang memiliki kekuatan pasar untuk mengendalikan harga. Pengujian kekuatan pasar dengan menggunakan Brasnahan-Lau model dilakukan oleh Steen and Salvanes (1999) yang mengukur kekuatan pasar industri budidaya ikan Salmon Norwegia pada pasar ikan salmon Uni Eropa (EU). Norwegia dikenal sebagai negara utama penghasil salmon budidaya dengan produksi mencapai 56 persen dari produksi salmon dunia antara tahun 19861991. Pasar utama salmon Norwegia adalah EU yang mencapai 70% dari seluruh salmon segar yang dipedagangkan di EU. Di Norwegia penjualan salmon pada tingkat petani (farm-gate sale) mengalami regulasi sampai dengan tahun 1991. Organisasi petani ikan diberi wewenang menentukan harga minimum dan menentukan
eksportir
sehingga
Norwegia
memiliki
kemampuan
untuk
menetapkan harga ikan salmon di Eropa. Pada tahun 1992 Uni Eropa melakukan investigasi dan memutuskan bahwa produsen ikan salmon Norwegia bersalah karena melakukan kolusi untuk menentukan harga minimum salmon di Eropa. Berdasarkan alasan tersebut Steen and Salvanes melakukan penelitian kekuatan pasar menggunakan model oligopoli dinamik. Untuk menghindari tingkat agregasi yang sangat tinggi maka penelitian hanya dipusatkan di Perancis yang merupakan pasar salmon utama EU. Hasil penelitian Steen and Salvanes (1999) menunjukkan permintaan salmon adalah elastik dengan long-run own-price elasticity sebesar -1.24, angka ini sesuai dengan yang diprediksikan dan literatur yang ada.
Sementara itu elastisitas
pendapatan jangka panjang adalah 5.69 yang berarti bagi konsumen Perancis salmon merupakan barang mewah (luxury product) dan elastisitas silang jangka
panjang adalah 0.20 yang mengindikasikan bahwa salmon beku Amerika Utara merupakan substitusi dari salmon segar Norwegia. Hal yang sangat mengejutkan adalah hasil estimasi parameter penyesuaian (adjustment parameter, γ*) yang lebih besar dari 1 dalam nilai absolut yaitu -2.07, sementara perkiraan nilai parameter ini antara -1 dan 0. Jika γ* = 0 berarti tidak terjadi perbaikan error sementara jika γ* = -1, deviasi terhadap jalur keseimbangan jangka panjang disesuaikan secara seketika. Estimasi γ* = -2.07 berarti telah terjadi overshooting yaitu deviasi bukan saja dikoreksi seketika tetapi terjadi kelebihan penyesuaian. Sebagai perbandingan peneliti juga mengestimasi menggunakan model statik dan hasilnya adalah elastisitas permintaan jangka panjang (long-run ownprice elasticity) adalah -0.17 dan terdapat hubungan komplementer antara salmon segar dengan salmon beku yang ditunjukkan dengan elastisitas silang sebesar .24, sementara elastisitas pendapatan jauh lebih tinggi yaitu 7.42. Selain itu hasil estimasi kekuatan pasar menunjukkan λ = -0.025 yang berarti Norwegia memiliki kekuatan pasar yang sedang (intermediate) dalam jangka pendek, sementara dalam jangka panjang nilai mark-up relatif lebih tinggi yaitu -0.050.
2.6. Ikhtisar Bagian ini merupakan sintesis dari keseluruhan Bab II yang dimaksudkan untuk mendapatkan benang merah dari masing-masing bagian dan menemukan keterkaitan antar satu bagian dengan bagian yang lainnya. Pada bagian awal diuraikan dua pemikiran ekonomi yang berbeda dalam melihat peran regulatif pemerintah. Pertama adalah Teori Kepentingan Publik, yang melihat peran pemerintah sebagai agen pelayan masyarakat yang budiman karena pemerintah
melakukan intervensi pasar untuk menciptakan Pareto Improvement. Pada sisi lain diuraikan Teori Kelompok Kepentingan yang melihat regulasi yang dikeluarkan pemerintah merupakan hasil kompetisi antara berbagai kelompok kepentingan yang saling bersaing untuk memperoleh manfaat dari setiap regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Menurut teori ini pemerintah, seperti halnya kelompok kepentingan ekonomi lain, tidak lebih dari sekumpulan individu yang dikendalikan oleh kepentingan pribadi. Mereka dapat berada di eksekutif (birokrat) ataupun legislatif (politisi) yang berperan sebagai produsen kebijakan (supplier of policies). Pandangan yang terakhir inilah yang mendasari munculnya pendekatan ekonomi politik untuk menemukan jawaban terhadap kebijakan pertanian yang protektif diberbagai negara yang tidak dapat dijelaskan dengan pendekatan ekonomi konvensional. Perkembangan pendekatan ekonomi politik kebijakan pertanian kemudian diulas lebih jauh dalam kerangka Makroekonomi maupun Mikroekonomi. Pada konteks Makroekonomi politik, kebijakan pertanian yang protektif mengikuti tiga pola yaitu pola pembangunan, pola anti perdagangan dan pola anti keunggulan komparatif.
Ketiga pola tersebut merupakan fakta khas (stylized facts) yang
ditemukan di sektor pertanian. Sementara itu dari sisi Mikroekonomi politik, upaya untuk memberikan fondasi terhadap penjelasan rasional bagi kebijakan pertanian
dilakukan
dengan
memperkenalkan
metode
mengkuantifikasi
diantaranya dengan pendekatan Fungsi Preferensi Politik (FPP) mengingat minimnya ketersediaan data. Dengan pendekatan ini maka pengukuran aktivitas lobi dan tekanan politik dilakukan dengan cara tidak langsung menggunakan revealed preference. Oleh karena analisis ekonomi politik yang digunakan pada
penelitian ini berlandaskan pada pendekatan FPP maka pada bagian tersebut disajikan secara lengkap tentang rasionalitas, asumsi dan dimensi fungsi yang disadur dari Bullock (1994) serta ditampilkan juga beberapa studi empiris analisis kebijakan pertanian yang berlandaskan FPP. Pada bagian berikutnya disajikan berbagai kebijakan ekonomi pertanian konvensional untuk meningkatkan produksi pertanian dalam kerangka mencapai swasembada yang meliputi kebijakan tarif dan kuota impor, subsidi, harga maksimum dan minimum, stabilisasi harga serta konsekuensi dari swasembada yang umum digunakan untuk menjelaskan dampak dari suatu kebijakan pertanian. Tujuan dari penyajian teori ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang kebijakan pergulaan nasional yang menyangkut kebijakan perdagangan dan produksi pada struktur pasar kompetitif yang umumnya digunakan sebagai referensi bagi kebijakan pertanian yang efisien. Bagian akhir dari bab ini menyajikan berbagai teori produksi pada struktur pasar oligopolistik yang kerap terjadi di sektor pertanian termasuk pada komoditi gula. Fenomena harga yang lebih tinggi dari biaya marjinal merupakan isu penting pada pasar yang tidak sempurna dan ia digunakan sebagai ukuran kekuatan pasar pada suatu industri. Namun demikian pengukurannya pada tingkat perusahaan relatif sulit. Penyebab utamanya adalah mark-up merupakan perbandingan harga dengan biaya marjinal yang tak teramati. Selain itu pada tingkat perusahaan pencatatan input dan output menjadi problematik karena data umumnya berupa penerimaan dan biaya, bukan data fisik input dan output. Permasalahan lain adalah informasi tentang harga output perusahaan, tingkat upah dan harga input lainnya sangat sulit diperoleh, yang juga merupakan persoalan pembukuan
perusahaan. Hal ini menyebabkan penelitian kekuatan pasar pada tingkat perusahaan sangat sulit kalau tidak ingin dikatakan mustahil. Alternatifnya adalah menggunakan data harga dan kuantitas pada tingkat industri seperti yang dilakukan oleh Bresnahan dan Lau yang menjadi salah satu landasan teori pada penelitian ini. Parameter elastisitas yang dihasilkan terutama digunakan untuk menghitung bobot politik dari berbagai kelompok kepentingan sebagai proksi terhadap aktivitas lobi dan tekanan politik yang mereka dilakukan, bukan untuk melakukan peramalan atau simulasi.
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Proses Pembuatan Kebijakan Publik Setiap proses pembuatan kebijakan publik di negara demokrasi dilakukan melalui interaksi strategis antar kelompok, termasuk yang memperjuangkan kepentingan publik dan kelompok yang berusaha mencapai kepentingan pribadi. Proses tersebut melibatkan kekuatan ekonomi dan politik sebelum menghasilkan resolusi kebijakan seperti terlihat pada gambar berikut (Rausser and Roland, 2009). Distribusi kekuatan Politik (Distribution of Political power)
Konsekuensi Ekonomi (Economic Consequences)
Struktur Kepemerintahan (Governance Structures) Ekonomi Politik (Political Economics)
Restrukturisasi Insentif dan Penyesuaian Pasar (Restructured Incentives and Market Adjustment) Seleksi Instrumen Kebijakan (Policy Instrument Selection) Insiden Kebijakan (Policy Incidance)
Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) Sumber: Rausser and Roland, 2009
Gambar 12. Proses Pembuatan Kebijakan dan Konsekuensi
Secara historis elemen pada kotak di sisi kanan diagram merupakan domain dari ilmu politik (political science), sementara kotak di sebelah kiri merupakan domain ilmu ekonomi. Pada bagian atas dari kotak sebelah kanan terdapat struktur kepemerintahan yang menetapkan rancangan konstitusional mengenai aturanaturan pemilihan umum, sistem hukum, kepemilikan, ekonomi dan perdagangan, atau landasan bagi pembuatan aturan-aturan lainnya. Struktur pemerintahan dan tata kelola negara juga menentukan lingkup mekanisme umpan balik politik (political feedback mechanism) dari kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh kebijakan publik tersebut. Namun secara umum struktur tersebut menetapkan batas yang mewadahi keterkaitan antara ekonomi dan politik dan hingga beberapa dekade terakhir
ekonom berusaha menghasilkan penjelasan teoritis maupun
empiris mengenai keterkaitan antara struktur pemerintahan, ekonomi politik dan penetapan kebijakan pertanian (Rausser and Roland, 2009). Analisis ekonomi politik mencari penjelasan mengenai pemilihan dan implementasi sebuah kebijakan publik. Hubungan saling terkait tersebut dalam proses pembuatan kebijakan menempatkan instrumen sebagai variabel endogen yang merupakan fungsi dari aktivitas birokrasi dan pemangku kepentingan lain (stakeholders), dan kelompok-kelompok kepentingan, sebagai agen yang mewakili pemangku kepentingan, merupakan unit analisisnya. Dalam kaitan dengan proses pembuatan kebijakan, berbagai kelompok kepentingan bersaing dengan mengorbankan waktu, energi, dan uang yang dikeluarkan untuk melakukan lobi dan menghasilkan tekanan guna mempengaruhi rancangan atau pun implementasi sebuah kebijakan (Rausser and Roland, 2009). Kompetisi
tersebut menghasilkan kebijakan yang bias terhadap kelompok tertentu yang tercermin dari meningkatnya bobot politik kelompok (Swinnen and Zee, 1993).
3.1.2. Model Becker-Gardner Model ekonomi politik kebijakan pertanian, termasuk kebijakan tarif dan kuota, terbagi ke dalam dua kelompok utama. Pertama adalah voting model dimana kebijakan pertanian yang distortif merupakan manifestasi dari program yang dijanjikan dalam kampanye pemilihan umum. Model kedua adalah interest group model yaitu kebijakan yang terjadi (observed policy) merupakan hasil kompetisi dari berbagai kelompok kepentingan dengan kelompok sebagai demander kebijakan melakukan tekanan politik atau lobi terhadap supplier kebijakan (pemerintah) yang membuat kebijakan menguntungkan kelompoknya (Dutt and Mitra, 2009; Zee, 1997). Pada penelitian ini digunakan pendekatan interest group model (model Becker-Gardner) karena besarnya tekanan atau lobi yang dilakukan berbagai asosiasi produsen gula sementara penduduk yang terlibat dalam produksi gula relatif kecil sehingga kebijakan pergulaan tidak tepat didekati melalui electoral channel. Menurut model Becker-Gardner setiap kebijakan mencerminkan kompetisi antara berbagai kelompok kepentingan yang berusaha mendapatkan manfaat dan atau menghindari beban dari suatu kebijakan atau regulasi. Meskipun terdapat berbagai variasi bentuk kebijakan namun luaran dari setiap kebijakan tersebut adalah menghasilkan subsidi tidak langsung (indirect subsidi) atau pajak tidak langsung (indirect tax) terhadap anggota berbagai kelompok kepentingan tersebut. Pembatasan impor gula misalnya akan menghasilkan semacam subsidi kepada
pabrik gula, yang pada saat bersamaan mengurangi surplus konsumen yang serupa dengan pengenaan pajak tidak langsung terhadap konsumen gula (Stevens, 1993; Sarker, et al., 1993). Inti dari model Becker-Gardner dengan demikian terletak pada kompetisi menghasilkan pengaruh politik (political influence) yang bemuara pada siapa mendapatkan subsidi dan berapa banyak, dan siapa yang menanggung pajak. Jika subsidi dan pajak masing-masing dinyatakan dengan S dan T, maka fungsi pengaruh politik (I) dinyatakan sebagai, (3.1) dimana ps dan pt adalah jumlah tekanan politik yang diberikan oleh masingmasing kelompok yang mendapatkan subsidi (s) dan yang menanggung pajak (t), dan (ns/nt) adalah ukuran relatif kelompok. Jika kedua kelompok memiliki kepentingan yang saling bertentangan maka masing-masing kelompok akan menghasilkan tekanan melalui sejumlah lobi terhadap para pembuat keputusan. Keseimbangan tingkat tekanan politik tercapai ketika masing-masing kelompok menghasilkan tekanan yang efisien menurut sudut pandang masing-masing (Stevens, 1993). Upaya swasembada gula Indonesia dilakukan dengan membuat berbagai regulasi pembatasan impor, subsidi input, stabilisasi harga dan berbagai kebijakan produksi dan kelembagaan lainnya yang hakikatnya merupakan subsidi terhadap produsen. Pada sisi lain kebijakan-kebijakan tersebut merupakan pajak terhadap konsumen gula. Oleh karena itu kedua kelompok memproduksi tekanan politik melalui kontribusi dana kampanye, lobi, dan pengeluaran lain dari uang dan waktu (mi), yaitu:
pi = pi(mi,ni), dan i = S,T
(3.2)
dimana mi = ai ni, dengan ai mencerminkan kontribusi per kapita. Gambar 13 menyajikan hubungan kontribusi per kapita dengan ukuran kelompok (group size) dalam menentukan kontribusi politik. Efektivitas tekanan politik kelompok kepentingan bukan saja tergantung pada manfaat yang akan diterima anggota kelompok tetapi juga ditentukan oleh apakah kelompok dapat mengatasi persoalan free riding di dalam kelompok tersebut. Kontribusi politik (mi)
Kontribusi per kapita tinggi (ah)
Kontribusi per kapita rendah (aw)
mi
a2
a1
Jumlah anggota (ni)
Sumber: Stevens, 1993
Gambar 13. Dua Sumber Tekanan Politik Pada gambar 13 fungsi ah menunjukkan kontribusi per kapita tinggi, umumnya terjadi jika outcome merupakan barang privat dan manfaat hanya dinikmati oleh anggota yang memberikan kontribusi. Sementara itu fungsi aw mewakili kontribusi per kapita rendah yang umumnya terjadi jika outcome memenuhi karakteristik barang publik dimana anggota dapat menikmati manfaat meskipun tidak memberikan kontribusi tekanan politik. Pada kasus barang publik diperlukan banyak konsumen (misal a1) untuk mendapatkan tingkat kontribusi
politik (m1) yang sama dengan kontribusi per kapita tinggi namun dengan anggota relatif sedikit (a2) (Stevens, 1993)..
3.1.3. Keseimbangan Ekonomi Politik Model Becker-Gardner sangat populer dikalangan peneliti ekonomi pertanian terutama dalam memberikan penjelasan tentang kekuatan politik (political power) berbagai kelompok kepentingan pada setiap proses pembuatan kebijakan. Penentuan bobot politik tersebut dapat menggunakan metodologi revealed preference dengan bantuan Fungsi Preferensi Politik (FPP). Sarker et al., (1993), menggunakan model FPP sederhana dengan dua kelompok kepentingan yaitu produsen dan konsumen, menggambarkan kondisi keseimbangan setelah kedua kelompok kepentingan melakukan lobi dan tekanan politik untuk mempengaruhi kebijakan agar menguntungkan kelompok masingmasing. Keberhasilan relatif kelompok tergantung pada sejumlah karakteristik tertentu yang menentukan efektifitas lobi. Oleh karena itu model yang digunakan memperlakukan bobot politik sebagai varibel endogenous. W = θPS(t) + CS(t),
(3.3)
PS/ t > 0, dan CS/ t < 0.
Bobot politik θ tergantung pada efektivitas relatif pengeluaran lobi oleh masingmasing kelompok kepentingan, EP untuk kelompok produsen, dan EC untuk kelompok konsumen sehingga,
θ = θ(EP, EC),
dan θ/ EP > 0, sementara θ/ EC < 0.
(3.4)
Sejumlah pilihan yang dihadapi pemerintah direpresentasikan oleh kurva transformasi surplus (surplus transformation curve, STC) TE0K yang dihasilkan dari berbagai kebijakan yang mempengaruhi harga output. Misalkan E0 adalah hasil dari stuktur pasar persaingan sempurna (tidak ada intervensi pemerintah) maka jika terdapat kebijakan dukungan harga, PS > P0, akan menghasilkan kombinasi PS dan CS yang menguntungkan produsen, dan Ē merupakan surplus tertinggi yang dapat diperoleh produsen (Sarker, et al., 1993). Gambar 14 menampilkan beberapa kurva indiferen politik (political indifference curve, PICi) yang mewakili FPP atau W dengan θ>1. Misalkan untuk memaksimumkan nilai W, dengan θ=1, kebijakan akan memberikan hasil kemakmuran (total surplus) pada pasar kompetitif E0. Sementara itu aktivitas lobi produsen menyebabkan peningkatan bobot politik produsen (θ>1) dan menghasilkan PIC yang relatif mendatar sehingga meyinggung STC di titik E* yang meningkatkan surplus produsen dan mengurangi surplus konsumen. Pemerintah memilih level kebijakan t, kondisional terhadap
, untuk
memaksimumkan W. Kondisi ordo pertama dari masalah ini menyatakan bahwa t, pilihan optimal, ditentukan oleh θ seperti ditunjukan oleh persamaan berikut, W/ t = θPS’(t) + CS’(t) = 0.
(3.5)
Dengan teorema fungsi implisit diperoleh, (3.6)
Sumber: Sarker et al., 1993
Gambar 14. Keseimbangan Ekonomi Politik dimana
menyatakan nilai optimum kebijakan. Kondisi ordo kedua untuk
mendapatkan interior solution adalah, .
(3.7)
Kondisi ordo pertama pada persamaan (3.3) mengimplikasikan bahwa tingkat substitusi marjinal antara surplus produsen dan surplus konsumen sama dengan inverse dari bobot politik relatif kedua kelompok kepentingan. Hal ini berarti pemerintah menetapkan level kebijakan t untuk menyeimbangkan penambahan dengan kehilangan bobot politik diantara kedua kelompok. Dari kondisi ordo pertama tersebut juga diperoleh (Sarker, et al., 1993): (3.8)
Dengan demikian nilai optimum variabel kebijakan t bervariasi tergantung pada bobot politik relatif. Karena PS = PS(t), t = t(θ) and θ = θ(EP,EC), maka PS dan CS masing-masing tergantung pada (EP,EC). Pilihan optimal untuk Ei menyamakan manfaat marjinal dengan biaya marjinal lobi. Jadi segala sesuatu yang meningkatkan manfaat marjinal atau menurunkan biaya marjinal lobi akan meningkatkan pengeluaran lobi kelompok. Akibatnya dari perspektif kelompok yang bersangkutan kebijakan akan menguntungkan mereka. Keberhasilan upaya lobi tidak saja tergantung pada pengeluaran yang dilakukan kelompok, tetapi juga ditentukan oleh tingkat aktivitas lobi kelompok lain. Hal ini berarti terdapat hubungan strategis diantara keputusan-keputusan lobi kelompok (Sarker, et al., 1993). Jika proses lobi strategis ini diasumsikan mengikuti permainan tanpa kerjasama Cournot-Nash (non-cooperative Cournot-Nash game) maka masingmasing kelompok beranggapan aktivitas lobi yang mereka lakukan tidak mempengaruhi perilaku lobi kelompok lain. Pada kondisi keseimbangan pilihan pengeluaran lobi masing-masing kelompok adalah optimal pada pilihan pengeluaran lobi kelompok lain yang tertentu. Perilaku strategis masing-masing kelompok disajikan pada gambar 15 berikut, dimana RP dan RC secara berurutan mencerminkan kurva reaksi produsen dan konsumen (Sarker, et al., 1993).
Sumber: Sarker et al., 1993
Gambar 15. Hasil Komparasi Statik Peningkatan Efisiensi Lobi Masing-masing kurva menjelaskan bagaimana pilihan pengeluaran optimal lobi Ei oleh satu kelompok tergantung pada pengeluaran lobi kelompok lain dan kondisi keseimbangan awal terjadi pada titik e0. Penurunan biaya marjinal lobi oleh produsen (atau meningkatnya manfaat marjinal lobi) menyebabkan pergeseran ke atas dari kurva reaksi produsen RP dan menghasilkan keseimbangan baru di titik e1, yang menunjukkan peningkatan pengeluaran lobi oleh produsen dan penurunan pengeluaran lobi oleh kelompok konsumen. Hasilnya adalah peningkatan bobot politik produsen θ, yang berarti merubah arah kebijakan yang lebih menguntungkan produsen yaitu meningkatnya surplus produsen dan mengurangi surplus konsumen dibanding pada kondisi keseimbangan awal (Sarker, et al., 1993).
3.1.4. Kerangka Pemikiran Penelitian Kerangka pemikiran diawali dengan penggunaan FPP yang dihadapi pemerintah. Dengan fungsi ini pemerintah bertujuan
memaksimumkan
kemakmuran sosial yang merupakan penjumlahan tertimbang dari surplus produsen, surplus konsumen, dan pengeluaran pemerintah yang masing-masing ditimbang berdasarkan bobot politik masing-masing kelompok. Gambar 16 menyajikan kerangka pemikiran penelitian menggunakan pressure group model atau lobbying model (model Becker-Gardner) dengan tanda positif dan negatif menunjukkan arah hubungan antar variabel penelitian secara teoritis. Petani tebu dan pabrik gula memiliki produktivitas rendah karena menghasilkan gula melalui proses produksi yang tidak efisien. Akibatnya gula yang dihasilkan tidak kompetitif, namun sebagian besar petani dan pabrik gula tidak ingin meninggalkan bisnisnya dalam produksi tebu dan gula. Mereka kemudian menjalin kontak dengan para pembuat kebijakan untuk mempengaruhi proses pembuatan dan implementasi kebijakan. Agar aktivitas lobi dan tekanan politik lebih efektif maka petani membentuk organisasi petani tebu seperti APTRI, BK-APTRI, KPTR (Koperasi Petani Tebu Rakyat) dan PPTR (paguyuban petani tebu rakyat) dengan melibatkan politisi daerah dan pusat dalam struktur dan jaringan organisasinya sehingga petani tebu semakin kuat menyuarakan kepentingan ekonominya. Hal yang sama dilakukan kelompok konsumen yang terdiri dari pengusaha makanan dan minuman serta rumahtangga pengkonsumsi gula. Namun karena berbagai persoalan yang dihadapi maka efektifitas lobi konsumen relatif rendah sehingga kebijakan pergulaan cenderung bias terhadap kepentingan kelompok produsen.
Gambar 16. Kerangka Pemikiran Penelitian Keterangan : Kelompok kepentingan dan elemennya : Variabel penelitian : Hubungan antar variabel penelitian : Arah aktivitas lobi : Aliaran barang atau hubungan kelembagaan GKM/GKB : gula kristal mentah/baku (raw sugar) GKR
: gula kristal rafinasi (refined sugar)
GKP
: gula kristal rafinasi (white crystal sugar)
WP
: bobot politik produsen
WC
: bobot politik konsumen
WG
: bobot politik pemerintah (atau pembayar pajak)
Biaya yang ditanggung konsumen semakin besar manakala struktur pasar gula domestik bersifat oligopolistik karena produsen gula dapat menentukan harga gula domestik melalui pengaturan jumlah produksi terutama ketika harga gula dunia turun. Pembatasan impor di tengah adanya market power menyebabkan harga gula domestik menjadi relatif mahal bagi konsumen namun mereka tetap menerima karena untuk melakukan aksi kolektif menolak kebijakan memerlukan biaya yang lebih besar dari pada manfaat yang dapat diperoleh secara individual. Akibatnya konsumen bersikap abai (ignorance) terhadap kebijakan pergulaan nasional meskipun itu merugikan mereka. Selain itu karena hasil dari sebuah kebijakan umumnya bercirikan barang publik yaitu non rival dan non excludable maka setiap aksi kolektif akan memunculkan perilaku free ride dari sebagian anggotanya. Semakin besar ukuran kelompok maka terdapat kecenderungan semakin tingginya aksi free riding tersebut. Pada sisi lain, kelompok produsen lebih terorganisir dengan membentuk berbagai asosiasi produsen gula sehingga kontribusi masing-masing anggota dalam memproduksi tekanan politik dapat diidentifikasi dan diukur (selective insentive). Itulah sebabnya lobi yang dilakukan oleh kalangan produsen dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan gula lebih efektif dibanding kelompok konsumen. Lobi dan tekanan politik yang dilakukan produsen dimaksudkan untuk mendapatkan rente ekonomi melalui pembuatan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. Oleh karena itu terdapat hubungan positif antara aktivitas lobi dengan besarnya rente ekonomi gula. Karena rente ekonomi juga berasal dari aktivitas impor maka terdapat hubungan negatif antara aktivitas
lobi dengan pencapaian swasembada. Konsekuensinya adalah terdapat hubungan negatif antara pencapaian swasembada dengan besarnya rente ekonomi. Sejumlah penelitian mengenai perilaku memburu rente (rent seeking behaviour) menunjukkan bahwa perusahaan yang sangat tidak efisien sekalipun dapat tetap bertahan dan memperoleh untung besar jika diproteksi dengan tarif dan subsidi lainnya. Untuk memproduksi kebijakan yang bias ke produsen tersebut maka produsen melakukan aktivitas perburuan rente dan mengeluarkan sejumlah biaya untuk menghasilkan tekanan politik dan lobi terhadap pembuat kebijakan agar kebijakan yang dihasilkan menguntungkan diri dan kelompoknya. Dampak total dari perilaku memburu rente ini sangat serius karena kerugian yang ditimbulkannya sangat besar. Biaya sosial akibat akivitas perburuan rente di India mencapai 7% dari GNP, Turki 15% dari GNP perdagangan, USA 3-13% dari GNP, UK 7% dari GCP (gross corporate product), dan Kenya 38% dari GDP perdagangan (Mueller, 2003). Untuk negara berkembang seperti Indonesia biaya sosial perburuan rente tentu lebih besar lagi bila melihat aktivitas checks and balances sebagai kontrol terhadap pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik tidak berjalan dengan baik. Kompleksitas pergulaan nasional semakin bertambah dengan adanya regulasi yang mengatur segmentasi peruntukan gula. Gula kristal rafinasi (GKR) hanya boleh digunakan untuk industri makanan dan minuman sementara gula kristal putih (GKP) untuk konsumen rumahtangga. Persoalannya adalah beberapa kepala daerah yang tidak memiliki petani tebu dan industri gula (misalnya Kalimantan Selatan dan Bali) memberi rekomendasi yang membolehkan GKR di jual ke konsumen rumahtangga untuk mengatasi kelangkaan gula. Penegakan
aturan kemudian menimbulkan konflik kepentingan antara kepentingan ekonomi daerah dengan kebijakan pemerintah pusat.
3.2. Kerangka Konseptual 3.2.1. Kegagalan Pasar dan Kegagalan Pemerintah Kegagalan pasar, merupakan kosep teori ekonomi dimana alokasi barang dan jasa pada sistim pasar bebas tidak mencerminkan terjadinya efisiensi. Kegagalan pasar berhubungan dengan informasi, persaingan tidak sempurna, eksternalitas dan barang publik. Adanya kegagalan pasar sering digunakan sebagai justifikasi intervensi pemerintah pada pasar tertentu. Menurut teori ekonomi-kesejahteraan
ketidaksempurnaan
pasar
dapat dikoreksi
melalui
pengeluaran dan regulasi publik hanya jika ia didasarkan pada sebuah perencanaan ilmiah (rational and scientific planning). Akan tetapi intervensi pemerintah justru seringkali menyebabkan alokasi sumberdaya menjadi semakin tidak efisien dibanding dengan tanpa intervensi (Nedergaard, 2006). “Ketidaksempurnaan” pada Sistem Ekonomi: Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan
“Ketidaksempurnaan” pada Sistem Politik: Pendekatan Ekonomi Politik
Kegagalan Pasar (market failure)
Kegagalan Pemerintah (government failure)
1. Sisi Penawaran: Produsen(Petani dan PG) 2. Sisi Permintaan: Konsumen
1. Sisi Permintaan: Produsen dan Konsumen 2. Sisi Penawaran: Politisi dan Birokrat
Sumber: diadaptasi dari Nedergaard (2006)
Gambar 17. Keterkaitan Kegagalan Pasar dengan Kegagalan Pemerintah
Seperti halnya kegagalan pasar (market failure) yang tidak berarti pasar gagal menghasilkan solusi efisien yang diinginkan pada tingkat harga tertentu, kegagalan pemerintah pun tidak berarti pemerintah gagal menciptakan solusi yang diinginkan. Kegagalan pemerintah (government failure) lebih dimaksudkan untuk menjelaskan persoalan sistematis yang menghalangi pemerintah menghasilkan solusi yang efisien terhadap suatu persoalan. Lagi pula intervensi pemerintah dapat terjadi tidak hanya pada persoalan kegagalan pasar, karena seringkali suatu kelompok kepentingan justru menghendaki solusi pemerintah meskipun tersedia solusi melalui mekanisme pasar yang lebih efisien (Stiglitz, 2008). Gambar 17 menjelaskan intervensi pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar justru menimbulkan kegagalan pemerintah yang kemudian memperburuk kondisi kegagalan pasar pada tahap berikutnya. Unit analisis pada sistim ekonomi adalah para pembuat keputusan individual yang terdiri dari produsen pada sisi penawaran dan konsumen pada sisi permintaan. Model ekonomi mikro permintaan dan penawaran pada sistim ekonomi tersebut dipadukan dengan unit pembuat kebijakan pada sistem politik yang terdiri dari politisi dan birokrat serta partner politiknya yaitu produsen dan konsumen gula sebagai peminta kebijakan, dengan kepentingannya masing-masing. Kepentingan individualistik inilah yang menjadi fondasi model penelitian.dimana politisi dan birokrat sebagai supplier kebijakan di satu pihak berhadapan dengan produsen dan konsumen gula sebagai demander kebijakan di lain pihak. Seperti pada teori mikroekonomi neoklasik, semua pihak pada sistem politik akan memaksimumkan fungsi utiliti masingmasing yaitu produsen (revenue), konsumen (daya beli), politisi (suara untuk terpilih kembali) atau birokrat (kekuasaan dan pendapatan).
Pada tingkat ekonomi mikro, adanya kegagalan pasar pada sistem ekonomi menyebabkan berbagai aktor ekonomi berpotensi menjadi pencari rente dalam sistem politik yang juga tidak sempurna untuk kemudian menciptakan kegagalan pemerintah (government failure) sehingga mempengaruhi kondisi ekonomi mikro lebih lanjut. Hal ini berarti menambah tingkat kegagalan pasar pada sistem ekonomi. Model tersebut menunjukkan terdapat hubungan kausalitas struktural antara faktor dalam sistem ekonomi dengan faktor dalam sistim politik. Namun demikian tidak ada otomatisasi dalam model karena tidak semua produsen yang menghadapi kegagalan pasar akan mendapatkan rente ekonomi. Keseimbangan politik antara supplier dan demander kebijakan ditentukan oleh besarnya pengeluaran lobi dari sisi permintaan dan bagaimana distribusinya diantara politisi, birokrat, produsen dan konsumen (Nedergaard, 2006).
3.2.2. Penentuan Bobot Politik Kenyataan bahwa informasi mengenai pengeluaran lobi oleh berbagai kelompok kepentingan di satu negara tidak tersedia mengakibatkan estimasi langsung bobot politik relatif masing-masing kelompok tidak dapat dilakukan. Alternatifnya adalah dengan mengunakan pendekatan tidak langsung revealed preference untuk memperoleh bobot implisit berdasarkan harga yang teramati. Berdasarkan pendekatan ini pemerintah memaksimumkan fungsi preferensi politik (FPP) dan menunjukkan preferensinya melalui kebijakan yang dipilih (Sarker, et al., 1993). Pada penelitian ini kelompok kepentingan sebagai unit analisis dibagi kedalam tiga kelompok yaitu produsen, konsumen, dan pemerintah. Penentuan
bobot politik dari masing-masing kelompok mengacu pada hasil derivasi FPP seperti yang dilakukan Lee and Kennedy (2007). Jika PS, PD dan PW masingmasing menyatakan harga di tingkat produsen, konsumen, dan dunia (border price), maka manfaat neto bagi produsen pada harga PS, bukannya PW, adalah sebesar perubahan surplus produsen dan besarnya manfaat bagi konsumen yang berasosiasi dengan deviasi harga PW ke PD dinyatakan sebagai perubahan surplus konsumen. Sementara itu pengeluaran neto pemerintah (GE) dinyatakan sebagai:
GE = (αPS QS − βPD QD ) + ( PW M )
(3.9)
dengan QS, QD, dan M secara berurutan menyatakan tingkat produksi, konsumsi, dan impor neto, dan α, serta β menyatakan proporsi pembelian dan penjualan gula yang dilakukan pemerintah (Lee and Kennedy, 2007). Jika pemerintah tidak melakukan pembelian, penjualan dan impor gula maka GE = 0. Fungsi preferensi politik yang dimaksimumkan dinyatakan sebagai:
MaxFPP PS , PD
PS
Pd
PW
PW
= WP ∫ S ( P)∂P + WC ∫ D( P)∂P
(3.10)
+ WG {[(αPS S ( PS ) − β PD D( PD )] + [ PW ( D( PD ) − S ( PS ))]}. Kebijakan yang optimal diperoleh dengan menderivasikan fungsi PPF terhadap masing-masing harga produsen (PS) dan harga konsumen (PD) sehingga memenuhi ordo pertama maksimisasi berikut: ∂PPF = S ( PS )(WP + αWG ) − WG S ' ( PS )( PW − αPS ) = 0 ∂PS ∂PPF = D ( PD )(WC − β WG ) − WG D ' ( PD )( β PD − PW ) = 0. ∂PD
(3.11)
Agar tetap konsisten dengan maksimisasi fungsi tujuan maka matriks Hessian yang diperoleh dari turunan kedua adalah negative semi definite pada nilai optimal PS dan PD (Lee and Kennedy, 2007). Jika hubungan fungsional antara bobot politik dengan harga telah diketahui maka formula penentuan harga domestik endogen (endogenous domestic price determination) untuk produsen (PS) dan konsumen (PD) dinyatakan sebagai PS* =
PD* =
PW
α PW
β
−
S ( PS ) (W P + αWG ) S ′( PS ) α WG
(3.12)
−
D ( PD ) (W C − β W G ) . D ′( PD ) β WG
(3.13)
Kedua persamaan tersebut menunjukkan bahwa bobot politik produsen, konsumen, dan pemerintah berperan dalam penentuan harga gula. Jika diasumsikan elastisitas penawaran dan permintaan adalah konstan maka rentang harga optimal yang dinyatakan sebagai persentase dari harga optimal (optimal price wedge) adalah sebagai berikut:
PS* − PW ⎛ 1 ⎞ PW 1 WP + αWG A= = ⎜ − 1⎟ − , PS* ⎝ α ⎠ PS ε αWG
(3.14)
PD* − PW ⎛ 1 ⎞ PW 1 WC − βWG B= . = ⎜⎜ − 1⎟⎟ + PD* ⎝ β ⎠ PD η βWG
(3.15)
Rentang harga optimal sebagai persentase dari harga produsen (A) dan dari harga konsumen (B) merupakan hubungan sederhana dari bobot politik, harga, parameter proporsionalitas, dan elastisitas penawaran (ε), dan elastisitas permintaan (η). Persamaan tersebut mengindikasikan peran potensial bobot politik pada setiap intervensi kebijakan harga gula yang dilakukan pemerintah. Jika pembuat keputusan menaikkan bobot politik pemerintah (WG) maka price wedge
produsen meningkat namun price wedge konsumen menurun. Hal ini berarti peningkatan price wedge produsen terjadi atas pengorbanan konsumen (Lee and Kennedy, 2007). Derivasi bobot politik untuk masing-masing kelompok kepentingan dilakukan setelah terlebih dahulu diadakan normalisasi pembobotan. Jika
WP = WC = WG = 1 merepresentasikan tidak adanya intervensi pemerintah, maka bobot
relatif
dari
masing-masing
kelompok
kepentingan
memenuhi
WP + WC + WG = 3 . Untuk penyederhanaan dibangun nilai X dan Y berdasarkan persamaan sedemikian rupa hingga,
⎧ P − PW ⎛ 1 ⎞ PW 1 ⎫ + ⎜1 − ⎟ + ⎬ X =⎨ S ⎝ α ⎠ PS ε ⎭ ⎩ PS
(3.16)
⎧ P − PW ⎛ 1 ⎞ PW 1 ⎫ Y =⎨ D + ⎜⎜1 − ⎟⎟ + ⎬, ⎝ β ⎠ PD η ⎭ ⎩ PD dan dari persamaan optimal price wedge, persamaan (3.14) dan (3.15) serta persamaan normalisasi pembobotan diperoleh,
WG =
3 . 1 − αεX + βη Y
(3.17)
Melalui substitusi persamaan (3.17) ke persamaan (3.14) dan (3.15) maka diperoleh WP, WC, dan WG sebagai berikut:
WP =
− 3αεX 1 − αεX + βη Y
(3.18)
WC =
3βηY 1 − αεX + βηY
(3.19)
WG = 3 − WP − WC .
(3.20)
Dari persamaan (3.18) dan (3.19) diketahui bahwa
∂WP ∂WP ∂WC ∂WC < 0, > 0, > 0, < 0. ∂α ∂ε ∂β ∂η Hal ini mengindikasikan bahwa pembuat keputusan memiliki tendensi untuk menambah bobot kemakmuran bagi produsen dan konsumen jika masing-masing kurva penawaran dan permintaan relatif elastis. Sementara itu pengaruh proporsionalitas menunjukkan bahwa pemerintah memberikan bobot kemakmuran kecil pada produsen jika parameter α relatif tinggi, dan hal sebaliknya terjadi untuk kelompok konsumen (Lee and Kennedy, 2007).
3.2.3. Spesifikasi Fungsi Permintaan dan Penawaran Gula
Dari persamaan (3.18) dan (3.19) diketahui bahwa untuk menghitung bobot politik masing-masing kelompok kepentingan diperlukan informasi mengenai elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran terhadap harga sendiri (own price elasticities). Karena struktur pasar gula mengindikasikan adanya kekuatan pasar dalam penentuan harga maka pada penelitian ini digunakan model oligopolistik Bresnahan-Lau persamaan (2.15) dan (2.17) untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan tersebut seperti dilakukan Steen and Salvanes (1999). Fungsi permintaan Q = α 0 + α P P + α Z Z + α PZ PZ + ε ,
(3.21)
Fungsi biaya marjinal MC = β 0 + β Q Q + βW W
(3.22)
Relasi penawaran1
⎡ ⎤ Q P = β 0 + β QQ + βWW − λ ⎢ ⎥ +η, ⎣α P + α PZ Z ⎦
(3.23)
Keterangan Q = kuantitas, P = harga, Z = vektor variabel eksogen, harga barang substitusi, dan pendapatan. α = vektor parameter yang diestimasi, dan ε = demand error term. W = variabel eksogen pada sisi penawaran seperti harga faktor produksi, β = parameter fungsi penawaran, dan η = supply error term.
Jika αP dan αPZ diketahui (diestimasi melalui persamaan permintaan 3.21), maka λ dapat diidentifikasi. Misalkan Q*= -Q/(αP + αPZ Z), maka λ diidentifikasi sebagai koefisien Q*. Dalam hal ini penyertaan variabel rotasi PZ dalam fungsi perintaan sangat krusial2. Pengeluaran variabel PZ dari persamaan permintaan menjadikan Q*= -Q/αP sehingga tidak dapat dibedakan dengan Q pada persamaan relasi penawaran. Implikasi ekonomi dari penyertaan variabel rotasi ini adalah fungsi permintaan tidak dapat dipisahkan dari variabel Z (Steen and Salvanes, 1999).
3.2.4. Ketidakstasioneran dan Akar Unit
Literatur mengenai akar unit mulai mengemuka sejak Nelson and Polser (1982) mempublikasikan sebuah artikel yang mengatakan sebagian besar data seri ekonomi makro mengandung akar unit. sehingga hal tersebut harus diperhatikan pada setiap analisis kebijakan ekonomi. 1
Pada tingkat industry perusahaan berusaha memaksimumkan keuntungan yang dinyatakan sebagai dimana D-1(Q) adalah inverse demand function, C(Q) adalah fungsi biaya. (untuk penyederhanaan Z, W, α, dan β dikeluarkan dari persamaan). Kondisi ordo pertama untuk maksimisasi keuntungan adalah atau Perusahaan menerima porsi keuntungan λ sehingga sama dengan persamaan
dan
2
Keluarkan PZ dari fungsi permintaan sehingga persamaan relasi penawaran menjadi dimana
Relasi penawaran masih teridentifikasi namun kita tidak mengetahui apakah yang ditelusuri
tersebut adalah P=MC atau MR=MC.
Terdapat perbedaan substansial antara data stasioner dengan data tidak stasioner sehingga implikasinya pun berbeda. Jika data tidak stasioner dianalisis dengan regresi standar (misalnya OLS) maka terdapat persoalan serius yang diakibatkan oleh nilai variance dan standar error yang sangat besar. Untuk mengatasi data yang tidak stasioner tersebut peneliti umumnya melakukan differencing data guna menghilangkan random walk dan trend yang menyebabkan ketidak-stasioneran data. Namun demikian jika menggunakan data difference maka peneliti kehilangan informasi mengenai hubungan jangka panjang dari variabel-variabel yang dianalisis. Engle
dan
Granger
(1987)
memperkenalkan
konsep
kointegrasi
(cointegration) untuk mengatasi data tidak stasioner tersebut sekaligus tetap mendapatkan informasi hubungan jangka panjang antar variabel karena first differencing tidak diperlukan untuk mendapatkan stasioneritas data. Namun demikian sebelum dilakukan uji kointegrasi terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap adanya akar unit (unit root) yang terkandung pada data time series tersebut. Sebuah data time series dikatakan covariance stationary jika nilai rata-rata (mean) data seri tersebut tertentu dan tidak tergantung terhadap waktu (time independent), dan pada setiap periode waktu data seri memiliki rata-rata yang sama (Verbeek, 2000), E(xt) = E(xt-s) =
x
Variance dari data seri juga tertentu dan tidak dipengaruhi waktu, Var(xt) = Var(xt-s) =
atau
Autocovariance tertentu dan tidak dipengaruhi waktu,
.
dengan
adalah konstan dan stasioner.
Jika ketiga kondisi terpenuhi maka data seri memenuhi weak stationarity. Namun jika probabilitas distribusi P(x1, ….., xt) juga stasioner maka data seri dikatakan strictly stationary. Jika data seri xt stasioner maka untuk t, j, dan s,
Jika probabilitas distribusi data time series berubah dengan berjalannya waktu maka data time seri tersebut dikatakan tidak stasioner dan sebagian besar data ekonomi time series adalah tidak stasioner dalam level (variabel sebelum dilakukan
differencing).
Salah
satu
cara
mengatasinya
adalah
dengan
menghilangkan pengaruh waktu melalui proses detrending. Dengan cara ini variabel ekonomi diregresikan terhadap waktu dan menggunakan nilai rasidualnya sebagai detrended series. Jika hasilnya adalah stasioner maka variabel tersebut dikatakan sebagai detrending stationary variable karena proses trend strationary terjadi karena adanya deterministic trend. Cara kedua adalah dengan melakukan differencing terhadap variabel yang tidak stasioner dan menggunakannya sebagai detrended series. Jika stasioneritas tercapai setelah dilakukan differencing maka variabel tersebut dikatakan sebagai difference stationary, dan sebuah proses difference stationary adalah random walk karena mengandung stochastic trend. Engle and Granger (1987) memberikan cara untuk menguji stisioneritas dari seri individu dengan menggunakan statistik Dickey-Fuller (DF) dan Augmented Dickey-Fuller (ADF). Pengujian in berdasarkan t statistic terhadap δ yang diperoleh dari hasil regresi dengan OLS terhadap masing-masing seri, yaitu,
(3.24) (3.25) dimana lag length k untuk menjamin bahwa et secara empiris adalah white noise. H0 : X adalah I(1) dan Ha adalah I(0). H0 ditolah jika nilai t statistic dari δ adalah negatif dan significant dibandingkan dengan nilai kritis yang digunakan untuk menguji stasioneritas. Jika properti stasioneritas data seri individual telah dilalui maka kombinasi linear dari seri yang terintegrasi perlu diuji untuk mengetahui adanya kointegrasi. Jika kombinasi linear dari seri individual yang non stasioner menghasilkan seri data yang stasioner maka diantara variabel terdapat kointegrasi yang berarti terdapat hubungan atau keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Jika tidak terintegrasi maka regresi I(1) variabel terhadap variabel lainnya akan semu (spurious), namun menghasilkan R2 tinggi dan cenderung menolak H0 tidak adanya korelasi meskipun tidak terdapat hubungan antara variabel tersebut
3.2.5. Kointegrasi dan Mekanisme Perbaikan Kesalahan
Kointegrasi semakin mendapat perhatian terutama pada analisis untuk menjelaskan hubungan atau keseimbangan jangka panjang, dan hubungan keseimbangn terjadi jika varibel-variabel yang terdapat di dalam model terkointegrasi. Kondisi yang diperlukan untuk terjadinya kointegrasi adalah data seri dari masing-masing veriabel menunjukkan properti statistik yang sama yaitu terintegrasi pada ordo yang sama yang ditunjukkan oleh adanya hubungan atau kombinasi linear dari seri data yang terkointegrasi tersebut. Suatu variabel dikatakan terintegrasi dengan ordo I(0) jika ia stasioner dalam level (stationary in
level form) yaitu memiliki variance dan autokorelasi konstan dengan berjalannya waktu (Tambi, 1999). Namun demikian sebagian besar data seri ekonomi cenderung mengikuti proses stokastik yang tidak stasioner, yaitu: (3.26) dengan α adalah konstant drift, β=1, dan et adalah komponen kesalahan (error term). Jika et memiliki nilai rata-rata nol, variance konstan dan covariance nol maka Xt adalah random walk dan dikatakan terintegrasi dengan ordo I(1). Variabel Xt terintegrasi karena merupakan penjumlahan dari nilai dasar X0 (base value) dan perbedaan X sampai waktu t. Karena β adalah unity (satu) maka X dikatakan memilki akar unit (unit root), dan jika X tidak stasioner maka variance menjadi tidak terbatas (infinite) dan setiap goncangan (shock) tidak menuju pada nilai rataratanya (mean level). Satu data seri yang tidak stasioner perlu dilakukan differencing untuk membuatnya stasioner. Xt dikatakan terintegrasi dengan ordo Dx atau Xt~I(D) jika memerlukan differencing Dx kali untuk membuatnya stasioner (Tambi, 1999). Prosedur untuk menguji kointegrasi melalui dua tahap yaitu: (1) OLS standar yang dilakukan pada level variabel untuk mendapatkan ordo integrasi dari kombinasi linear tertentu. Nilai estimasi e diperoleh melalui (3.27) dengan H0 bahwa e mengandung unit root sehingga merupakan random walk diuji dengan Ha bahwa ia stasioner dengan uji DF dan ADF. Uji DF dilakukan berdasarkan OLS untuk regresi
dan uji ADF yang analog dengan uji DF didasarkan pada regresi dengan OLS berikut (3.28) dimana et adalah estimasi tahap pertama dari nilai lag difference residual error dan panjang lag k untuk mendapatkan white noise empiris (Tambi, 1999). Model data seri yang memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang namun memiliki divergensi jangka pendek dapat diakomodasi dengan representasi perbaikan kesalahan (error-correction representation). Model mekanisme perbaikan kesalahan menangkap dinamika jangka pendek dan membuatnya konsisten dengan dinamika jangka panjang. Hal ini dilakukan melalui tahap (2) dari prosedur Engel-Granger yaitu mengestimasi model perbaikan kesalahan dimana residual dari regresi keseimbangan kointegrasi digunakan sebagai regresor perbaikan kesalahan (EC dengan lag period) pada model dinamik, yang dinyatakan sebagai, (3.29) dengan
menyatakan perubahan tingkat keseimbangan yang diinginkan
(desired equilibrium level) dan
merupakan bentuk lag dari persamaan
hubungan jangka panjang. Persamaan perbaikan kesalahan diestimasi dengan memasukkan regresor ECt-1 untuk menangkap dinamika jangka pendek (Tambi, 1999).
3.2.6. Model Oligopolistik Dinamik
Pasar dengan sendirinya bersifat dinamis dan perusahaan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi struktur dan juga tingkat persaingan (degree of competition). Dengan mempengaruhi struktur maka harga dan atau kuantitas menjadi veriabel keputusan yang strategis. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan model dinamik dengan mekanisme perbaikan kesalahan (error correction mechanism, ECM). Pertimbangan utama penggunaan pendekatan dinamik adalah untuk mengetahui dinamika jangka pendek sekaligus mengatasi persoalan data yang tidak stasioner karena regresi terhadap data yang tidak stasioner akan menghasilkan informasi hubungan jangka panjang yang semu (spurious). Kerangka model ECM memungkinkan untuk mengakomodasikan deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang sebagai akibat random shock, kekakuan harga, kontrak dan juga perubahan musiman dari penawaran dan permintaan (Steen and Salvanes, 1999). Dengan menyertakan lag dari variabel endogen, model ECM memungkinkan untuk menganalisis faktor dinamis kebiasaan (habit) dari sisi permintaan, seperti juga adanya adjustment cost yang ditanggung produsen pada sisi penawaran. Dengan demikian ECM mengatasi dua persoalan sekaligus yaitu masalah statistik dinamika jangka pendek data dan mengakomodasi pentingnya faktor dinamis seperti kebiasaan dan biaya penyesuaian (adjustment cost). Model oligopolistik dinamik untuk fungsi permintaan persamaan (3.21) menjadi,
dengan
dan
(3.30)
Sementara itu model relasi penawaran dinamik dari persamaan (3.23) adalah,
dengan
, dan
(3.31)
3.3. Hipotesis
Aktivitas lobi oleh kelompok produsen dapat meningkatkan produksi melalui pengaruhnya terhadap harga output maupun biaya faktor. Kebijakan kuota dan tarif impor gula meningkatkan harga gula di dalam negeri sehingga produsen mendapatkan insentif untuk meningkatkan produksi. Namun tidak seperti pada pasar kompetitif, pada struktur pasar oligopolistik dengan market power produsen berproduksi pada perceived MR = MC yang menghasilkan output lebih kecil dibandingkan output pasar kompetitif namun produsen mendapatkan rente ekonomi karena menerima harga di atas harga paritas impor. Sementara itu importir menerima rente ekonomi sebagai akibat pembatasan jumlah importir karena importir membeli dengan harga dunia dan menjualnya di pasar domestik
dengan harga lebih tinggi. Hal ini tidak sulit dilakukan karena importir gula umumnya adalah prosesor dan produsen gula yang mendapat lisensi impor melalui fasilitas importir produsen dan importir terdaftar. Oleh karena itu, berdasarkan proposisi tersebut diajukan tiga hipotesis untuk diuji kebenarannya. 1.
Terdapat hubungan negatif antara aktivitas lobi yang dilakukan para produsen gula dengan tingkat swasembada yang dicapai.
2.
Terdapat hubungan positif antara aktivitas lobi produsen dengan biaya sosial perburuan rente.
3.
Terdapat hubungan negatif antara pencapaian swasembada dengan besarnya rente ekonomi.
3.4. Ikhtisar
Pada Bab 3 dibangun kerangka pemikiran yang dibagi menjadi kerangka teoritis dan kerangka konseptual. Pada bagian pertama disajikan kristalisasi teori yang secara umum telah diulas pada bab sebelumnya yang menjadi landasan berfikir untuk penelitian ini. Bagian ini diawali dengan uraian mengenai proses pembuatan kebijakan dan keterkaitan antar elemen yang menjadi domain ilmu ekonomi dengan elemen yang menjadi domain ilmu politik. Dalam memberikan penjelasan terhadap proses pembuatan kebijakan ini terdapat dua pilihan teori ekonomi politik yang tersedia yaitu voting model dan interest group model. Ketika kebijakan pergulaan cenderung protektif sementara jumlah produsen gula relatif kecil maka hal ini mengindikasikan kebijakan pergulaan tidak tepat didekati melalui electoral channel. Oleh karena itu bagian ini menguraikan secara rinci kerangka kerja model kelompok kepentingan yang oleh Becker disebut dengan
pressure group model sementara Gardner menggunakan istilah lobbying model. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan istilah model Becker-Gardner sebagai operasionalisasi dari model kelompok kepentingan seperti dilakukan oleh Sarker, et al. (1993). Ketika kerangka teoritis model kelompok kepentingan secara umum telah diperoleh maka ia kemudian digunakan untuk membangun kerangka pemikiran penelitian. Setelah kerangka pemikiran penelitian yang sekaligus menjadi model teoritis telah dibangun maka pada bagian berikutnya disajikan kerangka konseptual penelitian sebagai cara mengoperasionalkan model teoritis tersebut. Pada bagian ini disajikan berbagai kerangka konseptual penelitian untuk memberikan penjelasan terhadap kompleksitas pergulaan nasional. Secara spesifik, interaksi antara produsen dan konsumen gula dijelaskan pada sistem ekonomi dalam kaitannya dengan produsen dan konsumen kebijakan pada sistem politik. Untuk menjelaskan bekerjanya pasar kebijakan pada sistem politik maka diperkenalkan variabel bobot politik sebagai proksi dari kemampuan lobi berbagai kelompok kepentingan di industri gula. Namun karena penentuan bobot politik memerlukan informasi mengenai elastisitas permintaan dan penawaran gula pada struktur pasar gula dalam negeri yang oligopolistik maka dibangun model permintaan dan penawaran gula berdasarkan model oligopolistik Bresnahan-Lau. Persoalan muncul karena data ekonomi rentang waktu (time series) yang digunakan umumnya bersifat non stasioner pada level namun stasioner pada beda pertama. Oleh karena itu untuk menghindari hasil estimasi yang semu (spurious) maka model oligopolistik Bresnahan-Lau dimodifikasi menjadi bentuk dinamik melalui mekanisme perbaikan kesalahan (error correction mechanism).
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari berbagai sumber yaitu: (1) harga produsen, harga konsumen, harga dunia, produksi, impor, jumlah cadangan (stock), luas tanam, produktivitas gula berasal dari FAO (Food and Agriculture Organization), USDA (United States Department of Agriculture), BPS (Badan Pusat Statistik, DGI (Dewan Gula Indonesia, Kementrian Pertanian, dan berbagai sumber elektronik lainnya seperti Journal dan koran; (2) Nilai tukar, GDP (Gross Domestic Product), jumlah penduduk, checks and balances berasal dari WB (World Bank), IMF (International Monetary Fund), dan Bank Indonesia. Data rentang waktu yang digunakan adalah periode 1980-2009, dengan penekanan analisis pada periode pasca reformasi yaitu setelah keluarnya Surat Keputusan Menperindag 643/MPP/Kep/9/2002 yang kemudian diperbarui dengan SK Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 mengenai Ketentuan Impor Gula (KIG) dan. Keppres 57/2004 tentang Penetapan Gula sebagai barang dalam pengawasan.
4.2. Uji Ketidakstasioneran dan Akar Unit
Karena sebagian besar data ekonomi time series tidak stasioner maka dilakukan pengujian ketidakstasioneran untuk menentukan teknik analisis berikutnya yang paling tepat. Dalam penelitian ini digunakan uji Dickey-Fuller (DF) dan Augmented Dickey-Fuller (ADF) untuk mengetahui apakah data mengandung akar unit (data tidak stasioner) atau tidak mengandung akar unit (data stasioner). Misalkan
(4.1) kedua sisi dikurangi Xt-1 sehingga diperoleh
, atau ditulis sebagai (4.2) dengan Xt mewakili data ekonomi time series,
(first
difference) dan jika ρ=1 berarti terdapat akar unit (proses random walk). Pada prinsipnya pengujian persamaan tersebut dapat dilakukan terhadap β = 0 pada persamaan (4.2) karena β = (ρ-1). Uji ketidak-stasioneran Dickey-Fuller dilakukan terhadap β = 0 dengan standar t-statistik mengacu pada tabel DickeyFuller, bukan pada tabel distribusi normal t, karena pada hipotesis null Xt adalah I(1), t-statistik tidak mengikuti distribusi normal t. Pegujian akar unit dapat menyertakan trend waktu pada persamaan yaitu, (4.3) denga hipotesis H0:ρ1 = 1 (ada akar unit), diuji terhadap hipotesis alternatif Ha:ρ1 < 1 (tidak ada akar unit). Uji statistik akar unit dilakukan dengan mencari nilai tau hitung . Kriteria pengujian adalah jika tolak H0,
(4.4) > τ-tabel (Dickey-Fuller) atau P-value < α maka
yang berarti data stasioner, namun
jika sebaliknya H0 diterima
(Verbeek, 2000; Wang and Tomek, 2007). Untuk pengujian stasioneritas dengan Augmented Dickey-Fuller maka disertakan trend waktu dan perubahan autoregressive dari Xt yaitu:
(4.5) dengan jumlah autoregressive lag p ditentukan berdasarkan nilai AIC (Akaike Information Criterion) yang menyatakan jumlah ordo autoregressive dan mengandung semua informasi relevan untuk mempredisksi nilai akan datang dari data time series. AIC dihitung berdasarkan formula berikut, AIC = -2ln (L) + 2k dengan L menyatakan nilai fungsi likelihood pada angka parameter estimasi dan k jumlah parameter estimasi. Hipotesis H0:β1 = 0 (ada akar unit), diuji terhadap hipotesis alternatif Ha:β1 < 0 (tidak ada akar unit). Uji statistik akar unit dilakukan dengan mencari nilai , jika (
(4.6)
lebih besar dari nilai kritis seperti yang terdapat pada τ-tabel (Dickey-
Fuller) maka tolak H0 atau P-value < α maka H0 ditolak, jika sebaliknya H0 diterima (Verbeek, 2000; Wang and Tomek, 2007).
4.3. Uji Kointegrasi dan Mekanisme Perbaikan Kesalahan
Jika dua variabel time series tidak stasioner I(1) namun kombinasi linearnya adalah stasioner I(0) maka kedua variabel dikatakan terkointegrasi, namun jika kombinasi linearnya tidak stasioner maka kedua variabel tidak terkointegrasi. Uji kointegrasi diawali dengan menemukan hubungan statik antar variabel, yaitu: Fungsi permintaan (4.7)
Relasi penawaran (4.8) dengan Setelah estimasi parameter diperoleh maka ia digunakan untuk mencari nilai residual dugaan masing-masing. Pada hipotesis null tidak terdapat kointegrasi maka Ut dan Vt masing-masing adalah I(1) series (mengandung akar unit) namun jika Ut dan Vt masing-masing adalah I(0) maka tidak terdapat akar unit yang berarti terdapat kointegrasi diantara variabel-variabel penyusun persamaan. Posedur pengujian kointegrasi adalah dengan mencari nilai dugaan residual dengan menggunakan parameter hasil estimasi persamaan (4.7) dan (4.8) yaitu, (4.9) (4.10) adalah parameter hasil estimasi regresi OLS
dengan
persamaan (4.7) dan (4.8) sebelumnya. Pengujian kointegrasi terhadap persamaan fungsi permintaan dilakukan dengan menggunakan uji ADF terhadap residualnya yaitu: (4.11) denga hipotesis H0:αt-1 = 0 (ada akar unit atau tidak stasioner), diuji terhadap hipotesis alternatif Ha: αt-1 < 0 (tidak ada akar unit atau stasioner). Uji statistik akar unit dilakukan dengan mencari nilai ,
yaitu,
(4.12)
Sementara itu pengujian kointegrasi terhadap persamaan relasi penawaran adalah,
(4.13) denga hipotesis null H0:δt-1 = 0 (ada akar unit atau tidak stasioner), diuji terhadap hipotesis alternatif Ha: δt-1 < 0 (tidak ada akar unit atau stasioner). Uji statistik akar unit dilakukan dengan mencari nilai ,
(4.14)
Kriteria pengujian: lebih negatif dari τ-tabel (Dickey-Fuller) atau P-value < α maka tolak H0
Jika
yang berarti tidak ada akar unit sehingga kombinasi linear antara variabel tersebut adalah stasioner, namun jika sebaliknya H0 diterima (Verbeek, 2000; Tambi 1999). Jika terdapat nilai-nilai α dan β yang membuat Ut dan Vt masing-masing stasioner (tidak mengandung akar unit) maka variabel Qt dan Pt dikatakan terkointegrasi. Implikasinya adalah terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara kuantitas dengan harga gula. Namun jika Ut dan Vt tidak stasioner maka Qt dan Pt tidak terkointegrasi sehingga tidak terjadi keseimbangan jangka panjang antara kuantitas dengan harga. Menurut Engle dan Granger (1987) jika variabel-variabel tersebut terkointegrasi maka variabel-variabel tersebut dapat disertakan dalam suatu model mekanisme perbaikan kesalahan (error correction mechanism, ECM). Tujuannya adalah untuk mendapatkan penjelasan mengenai dinamika hubungan keseimbangan jangka panjang dengan memasukkan residual yang diperoleh dari persamaan kointegrasi sebagai error correction term, sekaligus mendapatkan informasi hubungan jangka pendek.
4.4 Model Oligopolistik Dinamik Permintaan dan Relasi Penawaran
Untuk mendapatkan elastisitas permintaan dan penawaran gula sebagai ukuran tingkat responsivitas konsumen dan produsen terhadap perubahan harga dan juga untuk penentuan bobot politik masing-masing kelompok kepentingan maka dibangun model oligopolistik dinamik berdasarkan persamaan (3.30) dan (3.21) dengan panjang lag k = 1 guna mempertahankan derajat bebas tinggi. Fungsi permintaan gula
(4.15)
Relasi penawaran gula
(4.16)
dimana Qt* = Qt/(θp + θPYYt + θPZ Zt), serta λ dan Λ masing-masing menyatakan kekuatan pasar jangka pendek dan jangka panjang (SR dan LR market power). Keterangan: Q = Konsumsi Gula Kristal Putih (GKP) (ton); P = harga GKP (Rp/kg); Y = Pendapatan per kapita (Rp. 1,000); Z = Harga gula rafinasi (Rp/kg); W = Biaya Pokok Produksi gula (Rp/kg).
Untuk mengatasi persoalan endogenitas digunakan variabel instrumen W pada fungsi permintaan dan untuk persamaan relasi penawaran digunakan variabel instrumen Y dan Z. Estimasi dilakukan dengan bantuan perangkat lunak EVIEWS 5.0 menggunakan metode 2SLS (Two-Stage Least Squares) setelah terlebih dahulu dilakukan identifikasi parameter. Metode ini selain relatif sederhana dalam konsep dan komputasinya, ia memberikan hasil yang paling memuaskan dibanding metode estimasi lainnya sepanjang asumsi dan properti yang diperlukan terpenuhi (Koutsoyiannis, 1978).
Model oligopolistik dinamik dalam bentuk perbaikan kesalahan selain memberikan informasi hubungan jangka pendek, ia juga memberikan informasi hubungan jangka panjang (Thomas, 1997). Oleh karena itu penentuan elastisitas dibedakan antara elatisitas jangka pendek dan elastisitas jangka panjang. Elastisitas dihitung menggunakan persamaan berikut: Elastisitas permintaan jangka pendek, (4.17) Elastisitas permintaan jangka panjang, . Sementara itu perhitungan elastisitas penawaran relatif rumit karena melibatkan variabel Q*. Melalui derivasi fungsi relasi penawaran maka elastisitas penawaran dihitung dengan persamaan berikut: Elastisitas penawaran jangka pendek, (4.18) Elastisitas penawaran jangka panjang, .
Data time series tidak stasioner pada level (Uji akar unit dengan ADF) Persamaan akar unit Hipotesis null H0:β1 = 0 (ada akar unit), Ha:β1 < 0 (tidak ada akar unit). , jika (
> τ-tabel (Dickey-Fuller) atau P-value < α
maka H0 ditolak, jika sebaliknya H0 diterima.
Lakukan regresi dengan OLS untuk mendapatkan nilai residual Fungsi permintaan Relasi penawaran
Pastikan residual tidak mengandung akar unit I(0) dengan uji kointegrasi Residual fungsi permintaan
Residual relasi penawaran
Lakukan mekanisme perbaikan kesalahan (Error correction mechanism, ECM) Fungsi permintaan
Relasi penawaran
Gambar 18. Proses Pengujian Kointegrasi dan Mekanisme Perbaikan Kesalahan
4.5. Pengukuran Aktivitas Lobi
Pengukuran aktivitas lobi dan tekanan politik dilakukan secara tidak langsung dengan menghitung bobot politik implisit dari berbagai kelompok kepentingan menggunakan bantuan Fungsi Preferensi Politik. Penentuan bobot politik produsen (WP), konsumen (WC) dan bobot politik pemerintah atau pembayar pajak (WG) dilakukan dengan menggunakan persamaan (3.18) dan (3.19) yaitu: WP =
− 3αε X 1 − αε X + βη Y
(4.19)
WC =
3 βη Y 1 − αε X + βη Y
(4.20)
WG = 3 − WP − WC ,
(4.21)
dengan
⎧P − P ⎛ 1 ⎞ P 1⎫ X = ⎨ S W + ⎜1 − ⎟ W + ⎬ ⎝ α ⎠ PS ε ⎭ ⎩ PS ⎧P − P ⎛ 1 ⎞ P 1 ⎫ Y = ⎨ D W + ⎜⎜1 − ⎟⎟ W + ⎬. ⎝ β ⎠ PD η ⎭ ⎩ PD Keterangan, η = elastisitas permintaan jangka pendek ε = elastisitas penawaran jangka pendek α = proporsi pembelian pemerintah β = proporsi penjualan pemerintah PS = harga di tingkat produsen PD = harga di tingkat konsumen PW = harga paritas impor tanpa bea masuk.
Berdasarkan persamaan (4.19) dan (4.20) diketahui bahwa besarnya nilai variabel bobot politik masing-masing kelompok kepentingan dipengaruhi oleh parameter-
parameter proporsionalitas dari pembelian dan penjualan gula yang dilakukan pemerintah, elastisitas penawaran dan permintaan gula serta variabel harga gula di tingkat produsen, konsumen, dan dunia pada masing-masing tahun (Lee and Kennedy, 2007).
4.6. Model Ekonometrik-Politik
Penentuan
besarnya
biaya
sosial
rent
seeking
dilakukan
dengan
menjumlahkan rente ekonomi dari kegiatan produksi, impor dan welfare loss, yaitu: RE = {( PS − PW ) × Q S } + {{( PS − PW ) × M } + DWL}
(4.22)
Keterangan RE = Biaya sosial perburuan rente QS = jumlah gula yang diproduksi di dalam negeri M = volume impor gula DWL = dead weight loss
Untuk menganalisis tingkat swasembada gula digunakan ukuran selfsufficiency ratio (SSR) yang didefinisikan sebagai perbandingan antara produksi dibagi dengan jumlah produksi dan impor neto (Duncan et al., 2003): (4.23) Keterangan Y = produksi domestik (ton) X = jumlah ekspor (ton) M = jumlah impor (ton)
Justifikasi terhadap keberadaan struktur pasar gula yang oligopolistik dilakukan dengan menggunakan indikator konsentrasi pasar dari empat produsen (CR4) dan Herfindal-Hirschman Index (HHI) yang dirumuskan sebagai: 4 ⎛X ⎞ CR4 = ∑ ⎜ i ⎟ i =1 ⎝ T ⎠
dan
(4.24)
4
HHI =
∑(MarketShare) . 2
i =1
(4.25)
dengan Xi menyatakan volume ekspor atau produksi individual negara atau produsen ke i, dan T adalah total ekspor atau produksi. Berdasarkan ukuran organisasi industri jika empat negara eksportir (CR4) menguasai lebih dari 50% pangsa pasar ekspor atau nilai HHI antara 1000 dan 1800, maka struktur pasar komoditi tersebut mendekati oligopoli, dan eskportir atau produsen memiliki kekuatan pasar cukup besar untuk
mengeksploitasi
pembeli Analisis ekonomi politik swasembada gula dilakukan dengan menggunakan model ekonometrik-politik persamaan tunggal seperti yang dilakukan Sarker, et al., (1993). Pertimbangan utama pemilihan model dilakukan berdasarkan argumentasi ekonomi yang menyangkut tanda dan besaran parameter. Hal ini disebabkan variabel bobot politik sebagai proksi terhadap pengeluaran lobi dan tekanan politik tidak memiliki satuan sehingga analisis hubungan antar variabel ekonomi politik dilakukan dengan melihat arah hubungan antar variabel tersebut. Tabel 4. Alternatif Spesifikasi Model Ekonometrik-Politik Swasembada Gula Model
Spesifikasi
A1 SSR = ƒ(WP, WG, AREA, GDPC) A2 RENT = ƒ(WP, WG, AREA, GDPC) A3 SSR = ƒ(RENT, AREA, GDPC) Keterangan SSR = tingkat swasembada WP = bobot politik produsen WG = bobot politik pemerintah AREA = luas panen tebu RENT = kerugian akibat rent seeking GDPC = produksi domestik bruto per capita
Estimasi parameter dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Eviews 5.0 menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) setelah terlebih dahulu
dilakukan pengujian terhadap stasioneritas data, sedangkan evaluasi parameter dilakukan berdasarkan kriteria ekonomi dan statistik. Berdasarkan kriteria ekonomi apakah tanda dan besaran estimator yang dihasilkan sesuai dengan yang diprediksi teori atau tidak (theoretically meaningful). Seperti yang dikatakan Koutsoyiannis (1978) jika parameter yang dihasilkan memiliki tanda dan besaran yang tidak sesuai dengan yang diprediksi teori maka hasil yang diperoleh harus ditolak kecuali terdapat alasan kuat yang membuktikan sebaliknya dan penjelasan itu harus dinyatakan secara eksplisit. Kriteria berikutnya adalah kriteria statistik, yaitu parameter yang dihasilkan memuaskan secara statistik (statistically satisfactory), memiliki koefisien determinasi (R2) tinggi, dan standard error kecil. R2 yang tinggi menunjukkan explanatory variable yang digunakan dapat menjelaskan sebagian besar variasi dari nilai variabel endogen dan standard error parameter yang kecil menunjukkan reliabilitas model. Selain itu analisis dilakukan menggunakan metode deskriptif terhadap data kualitatif untuk dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai ekonomi politik pergulaan nasional.
4.7. Definisi Operasional Variabel Definisi operasional masing-masing variabel yang digunakan pada model ekonomtrik-politik dalam penelitian ini disajikan pada tabel berikut beserta sumber datanya. Sejumlah variabel seperti luas panen, GDP per kapita, jumlah populasi, dan harga gula merupakan variabel yang langsung diperoleh dari sumber data, namun sebagian lainnya (variabel tingkat swasembada, rente ekonomi dan
bobot politik) merupakan hasil perhitungan dan pengolahan data sehingga verifikasi nilai variabel mengikuti prosedur pengolahan yang disajikan.
Tabel 5. Definisi Operasional Variabel Variabel
Definisi
Sumber data
Biaya pokok produksi gula (BPP)
Biaya untuk menghasilkan 1 kilogram gula dinyatakan dalam Rp/kg
DGI
Bobot politik produsen (WP)
Variabel yang mewakili aktivitas lobi kelompok produsen dalam mempengaruhi kebijakan pergulaan nasional yang diperoleh dengan derivasi fungsi preferensi politik (FPP) terhadap harga produsen (PS)
Hasil perhitungan
Bobot politik konsumen (WC)
Variabel yang mewakili aktifitas lobi kelompok konsumen dalam mempengaruhi kebijakan pergulaan nasional yang diturunkan dengan menderivasi fungsi preferensi politik (FPP) terhadap harga konsumen (PD)
Hasil perhitungan
Bobot politik pemerintah (WG)
Variabel yang mewakili preferensi pemerintah yang diperoleh melalui normalisasi bobot politik masing-masing kelompok (3-WP-WC)
Hasil perhitungan
Harga gula di konsumen (PD)
Rata-rata harga gula di tingkat pengecer yang dinyatakan dalam rupiah per kg.
DGI
Harga gula di produsen (PS)
Rata-rata harga yang diterima pabrik gula dan dinyatakan dalam rupiah/kg.
DGI
Harga gula dunia (PW)
Harga paritas impor tanpa bea masuk yang dinyatakan dalam Rp/kg
FAO, USDA
Harga paritas impor gula rafinasi (HGKR )
Harga paritas impor GKR tanpa bea masuk dinyatakan dalam Rp/kg
DGI, FAO, USDA
Harga patokan petani sebagai harga penyangga gula (HPP)
Harga minimum GKP yang diterima petani (rp/kg) dari pabrik gula
DGI
Impor GKM (IMGKM )
Volume impor GKM yang dinyatakan dalam ton
DGI, FAO, USDA
Indeks harga konsumen (CPI)
Indeks harga sebagai proksi laju inflasi
Bank Dunia
Konsumai gula kristal putih (QGKPK)
Dinyatakan dalam ton per tahun dihitung berdasarkan (stok awal + produksi + impor – ekspor – stok akhir)
DGI, FAO, USDA
Kurs (EXCH )
Nilai tukar (Rp/USD)
IMF
Luas panen tebu (AREA)
rupiah
terhadap
dollar
Diukur berdasarkan luas panen tebu dibagi dengan jumlah penduduk dan
Persamaan (4.19)
Persamaan (4.20)
Persamaan (4.21)
DGI, FAO
dinyatakan dalam satuan hektar (ha)
Tabel 5. Lanjutan Variabel
Definisi
Sumber data
Populasi (POP)
Jumlah penduduk dalam ribu jiwa
Bank Dunia
Produksi domestik bruto per kapita (GDPC)
Ukuran pendapatan nasional yang dinyatakan dalam rupiah per kapta per tahun
Bank Dunia
Produksi gula kristal putih (QGKP)
Jumlah gula kristal putih yang dihasilkan dari penggilingan tebu pada masingmasing tahun yang dinyatakan dalam ton
DGI, FAO, USDA
Produksi gula kristal rafinasi (QGKR)
Jumlah gula rafinasi yang dihasilkan dari pemurnian GKM dengan tingkat konversi 95 % ditambah dengan impor GKR pada masing-masin tahun yang dinyatakan dalam ton
DGI, FAO, USDA
Jumlah gula bagian petani dari penggilingan tebu melalui bagi hasil dengan PG dinyatakan dalam ton
Dirjen Tanaman Semusim, Kemtan
Produksi gula PG BUMN (QGKPN )
Jumlah gula milik PG BUMN baik dari kebun tebu milik sendiri atau dari bagi hasil dinyatakan dalam ton
Dirjen Tanaman Semusim, Kemtan
Produksi gula PG swasta (QGKPS )
Jumlah gula milik PG BUMN dari kebun tebu milik sendiri
Dirjen Tanaman Semusim, Kemtan
Jumlah tebu yang dihasilkan dinyatakan dalan ton
DGI, FAO, USDA
Produksi tebu (QTEB)
Keuntungan di atas opportunity cost yang diperoleh melalui pemanfaan market power dan hambatan impor dan dinyatakan dalam rupiah.
Hasil perhitungan
Ukuran swasembada yang dinyatakan sebagai rasio produksi gula dalam negeri terhadap produksi dalam negeri ditambah impor neto dan dinyatakan dalam persen (%)
Hasil perhitungan
Produksi gula petani (QGKPP )
Rente ekonomi (RENT)
Tingkat swasembada (Self sufficiency ratio, SSR)
Persamaan (4.22)
Persamaan (4.23)
VI. FUNGSI PERMINTAAN DAN RELASI PENAWARAN GULA
6.1. Uji Akar Unit dan Kointegrasi Uji akar unit dimaksudkan untuk mengetahui apakah data dari masingmasing variabel penelitian bersifat stasioner. Selain itu ia juga digunakan untuk mengetahui ordo integrasi dari masing-masing variabel penelitian. Pengujian akar unit menggunakan prosedur Augmented Dickey Fuller (ADF) test persamaan (4.3) sedangkan untuk mengetahui ordo integrasinya menggunakan persamaan (4.5). Hasil pengujian disajikan pada tabel berikut. Tabel 14. Analisis Derajat Integrasi Menggunakan Augmented Dickey-Fuller Test Notasi
Definisi
Variabel ekonomi Q Konsumsi gula kristal putih (ton) P Harga gula kristal putih (Rp/kg) Y GDP per kapita (Rp) Z Harga gula kristal rafinasi (Rp/kg) W Biaya pokok produksi gula (Rp/kg)
I(0)
Lag
I(1)
P-value
Lag
-1.905 0.447 -2.751 0.179 -0.869
0 1 1 7 0
-5.130 -5.138 -4.076 -4.943 -3.828
0.0015 0.0003 0.0039 0.0005 0.0072
0 0 0 1 0
Dari table tersebut terlihat bahwa semua data ekonomi gula bersifat tidak stasioner pada level dan terintegrasi pada ordo satu, I(1). Jadi penggunaan data level yang tidak stasioner tersebut untuk mengestimasi fungsi permintaan dan relasi penawaran akan memberikan hasil yang keliru karena adanya pengaruh tren seperti terlihat pada gambar 30. Namun karena data time series ekonomi gula sudah stasioner pada beda pertama (first difference) maka regresi dapat dilakukan dengan menggunakan data beda pertama tersebut. Akan tetapi penggunaan data beda yang sudah stasioner tersebut akan menghilangkan informasi jangka panjang dari hubungan antar variabel.
Gambar 30. Data Produksi Gula yang Stasioner dan Tidak Stasioner Tahun 1960-2009 Tahap selanjutnya dari penentuan kekuatan pasar adalah menguji ada tidaknya kointegrasi dari variabel ekonomi yang tidak stasioner tersebut. Pengujian dilakukan menggunakan prosedur dua tahap Engle-Granger terhadap residual dari masing-masing fungsi permintaan dan penawaran secara parsial (persamaan 4.7 dan 4.8). Tahap pertama adalah mengestimasi persamaan tunggal fungsi permintaan dan relasi penawaran menggunakan metode OLS dan mendapatkan nilai masing-masing residualnya. Fugsi permintaan gula dinyatakan oleh persamaan berikut dengan menyertakan variabel interaksi antara harga dengan semua variabel shifternya :
Penyertaan variabel interaksi antara harga barang bersangkutan dengan pendapatan (PY) dan dengan harga barang lain (PZ) merupakan prasyarat bagi estimasi parameter kekuatan pasar (imposibility theorm). Teorema tersebut
menyatakan bahwa identifikasi derajat persaingan dengan menggunakan data harga dan kuantitas pada tingkat industri tidak mungkin dilakukan jika dan hanya jika vektor variabel Z pada inverse demand function dapat dipisahkan (separable) dari harganya (lihat penjelasannya pada bagian 3.2.3). Estimasi paramter dilakukan menggunakan metode OLS dan hasil regresi disajikan pada tabel berikut: Tabel 15. Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula dengan Metode OLS Variable
Parameter
Std. Error
t-Statistic
Prob
Constant P Y Z PY PZ R-squared Adjusted R-squared
498224.6 -179.1702 0.356728 -448.7888 -1.03E-05 0.089985 0.656552 0.585001
392212.6 425.5115 0.088479 198.3211 6.77E-05 0.057355
1.270292 -0.421070 4.031760 -2.262940 -0.151356 1.568922
0.2162 0.6775 0.0005 0.0330 0.8810 0.1298
Sementara itu persamaan relasi penawaran dinyatakan sebagai:
dengan
dan nilai parameter αP, αPY, dan αPZ
diperoleh dari hasil estimasi fungsi permintaan sebelumnya seperti terdapat pada tabel 15. Estimasi relasi penawaran dilakukan menggunakan metode OLS dan hasil regresi disajikan pada tabel berikut. Tabel 16. Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula dengan Metode OLS Variable Constant Q W Q* R-squared Adjusted R-squared
Parameter -368.6348 0.000145 1.271608 0.000227 0.978516 0.976037
Std. Error 297.2643 0.000158 0.040644 0.000489
t-Statistic -1.240091 0.919620 31.28663 0.464609
Prob 0.2260 0.3662 0.0000 0.6461
Estimasi menggunakan metode OLS memberikan hasil yang sesuai dengan prediksi teori ekonomi yaitu αP < 0 dan αY, βQ, βW > 0. Untuk mengetahui adanya hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang menyusun fungsi permintaan dan relasi penawaran dilakukan pengujian stasioneritas terhadap residual masing-masing. Uji akar unit terhadap residual fungsi permintaan dan residual relasi penawaran dilakukan dengan menggunakan ADF persamaan (4.12). Hipotesis null dari pengujian menyatakan bahwa residual fungsi permintaan dan relasi penawaran adalah tidak stasioner. Residual fungsi permintaan dinyatakan sebagai:
Hasil pengujian kointegrasi fungsi permintaan disajikan pada tabel berikut: Tabel 17. Hasil Uji Kointegrasi Fungsi Permintaan Gula Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic -2.685346 -3.679322 -2.967767 -2.622989
Prob.* 0.0887
Sementara itu residual relasi penawaran dinyatakan sebagai:
Hasil pengujian kointegrasi relasi penawaran disajikan pada tabel berikut: Tabel 18. Hasil Uji Kointegrasi Relasi Penawaran Gula Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic -4.948429 -3.679322 -2.967767 -2.622989
Prob.* 0.0004
Hasil pengujian menggunakan α = 10.% menunjukkan bahwa residual tidak mengandung akar unit yang berarti eror dari fungsi permintaan dan relasi penawaran bersifat stasioner sehingga semua variabel penyusun fungsi permintaan dan relasi penawaran terkointegrasi. Dengan demikian dapat disimpulkan terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara variabel yang menyusun fungsi permintaan dan relasi penawaran tersebut.
6.2. Estimasi Fungsi Permintaan Oleh karena terdapat kointegrasi maka fungsi permintaan dan relasi penawaran tersebut dapat dinyatakan dalam mekanisme perbaikan kesalahan (error correction mechanism) untuk mendapatkan informasi mengenai hubungan keseimbangan jangka panjang sekaligus dinamika hubungan jangka pendeknya. Model oligopolistik dinamik fungsi permintaan gula kristal putih dengan demikian dinyatakan sebagai:
Estimasi dilakukan dengan metode 2SLS (Two Stage Least Squares) untuk mengatasi persoalan endogenitas dengan menggunakan perangkat lunak Eviews 5. Hasil estimasi menujukkan bahwa hubungan antar variabel yang menyusun fungsi permintaan sesuai dengan yang diprediksi teori ekonomi yaitu αP < 0, αY > 0 yang menunjukkan bahwa gula merupakan barang normal dan γ terletak antara 0 dan -1. Namun demikian hubungan antara gula kristal putih dan gula rafinasi bersifat komplementer, seperti ditunjukkan oleh αZ < 0, adalah diluar harapan mengingat keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai pemanis makanan dan
minuman. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya pembedaan pasar yang tegas antara GKP dan GKR dimana GKP untuk konsumsi rumahtangga dan GKR untuk konsumsi industri sehingga tidak dimungkinkan terjadinya substitusi antar keduanya. Hasil selengkapnya dari estimasi fungsi permintaan disajikan pada tabel berikut. Tabel 19 . Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula Model Dinamik dengan Metode 2SLS Variable C ∆Pt ∆Yt ∆Zt ∆PYt ∆PZt ∆Qt-1 Ut-1
Parameter α0 αP αY αZ αPY αPZ αQ γ
R-squared (R2) Adjusted R-squared
Coefficient 46757.65 -609.1526 0.183292 -185.0525 3.98E-05 0.018255 0.580154 -0.133513
Std. Error 82059.12 685.3905 0.292444 239.9838 8.66E-05 0.057092 0.421688 0.375770
t-Statistic 0.569804 -0.888767 0.626759 -0.771104 0.460303 0.319753 1.375789 -0.355306
P-value 0.5752 0.3847 0.5379 0.4497 0.6503 0.7525 0.1841 0.7261
0.334662 0.101794
Long run parameters P Y Z PY PZ
θP θY θZ θPY θPZ
-4562.4965 1.3728401 -1386.0261 0.0002981 0.1367283
Own price demand elasticity Short run Long run
ηSR ηLR
-0.33 -2.45
Selain itu parameter elastisitas mengindikasikan permintaan gula dalam jangka pendek bersifat inelastik (ηSR = -0.33) namun dalam jangka panjang bersifat elastik (ηLR = -2.45). Prosedur penghitungan elastisitas tersebut dilakukan berdasarkan
persamaan
(4.17).
Sebagai
perbandingan
Pakpahan
(2003)
menyatakan elastisitas permintaan terhadap perubahan harga gula di negara berkembang China, India, Indonesia, Thailand, Pakistan, dan Korea bersifat inelastik yaitu masing-masing -0.29, -0.76, -0.61, -0.24, -0.15, dan -0.79 dan di
negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Jepang, Australia dan bekas Uni Soviet masing-masing -0.11, -0.07, -0.12, -0.81, -0.02, dan -0.05. Jika dibandingkan dengan angka-angka elastisitas tersebut maka nilai elastisitas harga jangka pendek yang diperoleh melalui estimasi model permintaan oligopolistik dinamik ini cukup memadai baik dilihat dari sisi teori maupun hasil kajian empiris di negara lain untuk digunakan pada analisis selanjutnya. Sementara itu nilai parameter penyesuaian, γ, (adjustment paramter) sesuai dengan yang diharapkan yaitu terletak antara 0 dan -1. Jika γ = 0 berarti tidak terjadi perbaikan kesalahan (no error correction take place) dan jika γ = -1 berarti deviasi terhadap jalur keseimbangan jangka panjang dikoreksi seketika itu juga (instantly). Oleh karena itu hasil estimasi γ = -0.13 mengindikasikan terjadinya penyesuaian sebesar 13%
manakala terjadi deviasi terhadap keseimbangan
permintaan jangka panjangnya. Namun demikian hasil estimasi tersebut kurang memuaskan secara statistik karena menghasilkan koefisien determinasi yang kecil (R2 = 33.5% dan Adjusted R2 = 10.2) dan sebagian besar parameter estimasi yang yang dihasilkan tidak signifikan pada tingkat kepercayaan yang ditetapkan (α = 20%). Tetapi karena penentuan model lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan semua parameter, terutama parameter penting elastisitas yang digunakan untuk menentukan bobot politik kelompok kepentingan bukan untuk prediksi dan simulasi, menghasilkan tanda dan besaran yang sesuai dengan prediksi teori ekonomi dan hasil empiris maka model tersebut tetap digunakan untuk analisis berikutnya. Namun sebagai perbandingan selain mengestimasi model dinamik tersebut, estimasi fungsi permintaan juga dilakukan terhadap model statiknya dengan metode 2SLS. Hasil estimasi disajikan pada tabel berikut:
Tabel 20. Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula Model Statik dengan Metode 2SLS Variable Constant P Y Z PY PZ R-squared Adjusted R-squared
Parameter α0 αP αY αZ αPY αPZ 0.651021 0.578317
Coefficient 344671.7 85.38294 0.389397 -539.1350 -4.99E-05 0.118728
Std. Error 657190.6 1001.008 0.142931 367.9256 0.000152 0.114011
t-Statistic 0.524462 0.085297 2.724372 -1.465337 -0.328778 1.041370
Prob. 0.6048 0.9327 0.0118 0.1558 0.7452 0.3081
Hasil estimasi fungsi permintaan statik lebih memuaskan dari pertimbangan statistik karena menghasilkan R2 relatif tinggi (lebih dari 50%) dan parameter yang signifikan pada tingkat kepercayaan yang ditetapkan namun tanda parameter utama, αP > 0 berbeda dengan yang diprediksi teori ekonomi mengenai permintaan. Oleh karena itu penggunaan model statik tidak memadai pada penelitian ini.
6.3. Estimasi Relasi Penawaran Jika fungsi permintaan dinamik menghasilkan prediksi elastisitas permintaan yang sesuai dengan teori ekonomi dan hasil empiris di beberapa negara berkembang dan maju, maka pada bagian ini disajikan hasil estimasi relasi penawaran gula. Model oligopolistik dinamik relasi penawaran dinyatakan sebagai:
Estimasi fungsi relasi penawaran dilakukan dengan menggunakan metode 2SLS dan hasilnya disajikan pada tabel 21. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa hasil estimasi relasi penawaran sesuai dengan prediksi ekonomi yaitu tanda βQ dan βW > 0. Namun demikian nilai parameter penyesuaian lebih kecil dari -1 (ψ = -1.2) sehingga interpretasi
ekonominya adalah deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang penawaran, ketika biaya marjinal tidak sama dengan perceived marginal revenue, maka deviasi tersebut bukan saja dikoreksi seketika bahkan terjadi overshooting sebesar 20% menuju keseimbangan (lihat Steen and Salvanes, 1999). Selain itu hasil perhitungan
parameter
elastisitas
menggunakan
persamaan
(4.18)
mengindikasikan penawaran gula, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, bersifat elastik (εSR=1.35 dan εLR=1.64) yang berarti produsen gula sangat responsif terhadap perubahan harga baik dalam jangka pendek terlebih lagi dalam jangka panjang. Tabel 21. Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula Model Dinamik dengan Metode 2SLS Variable C ∆Qt ∆Wt ∆ ∆Pt-1 Vt-1
Parameter β0 βQ βW λ βP t-1 ψ
R-squared (R2) Adjusted R-squared
Coefficient -1.831892 0.000729 2.593927 -0.000493 -1.441378 -1.215036
Std. Error 103.5619 0.000690 0.591003 0.000741 0.425435 0.522391
t-Statistic -0.017689 1.056764 4.389024 -0.665313 -3.388013 -2.325914
P-value 0.9860 0.3021 0.0002 0.5128 0.0026 0.0296
0.493950 0.378939
Long run parameters Q W Q*
ξQ ξW Λ
0.000599982 2.134856087 -0.00040575
Own price supply elasticity Short run Long run
εSR εLR
1.35 1.64
Selain itu nilai parameter kekuatan pasar yang menjadi perhatian utama model, baik parameter jangka pendek (λ) maupun parameter jangka panjangnya (Λ), juga sesuai dengan yang diharapkan yaitu tertelak antara 0 dan -1. Jika λ = 0 berarti produsen gula domestik dalam jangka pendek bersifat kompetitif, namun jika λ = -1 maka produsen berperilaku laksana monopolis (perfect cartel) dengan
mengeksploitasi kekuatan pasar yang dimiliki. Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai λ = -0.0005 dan Λ= -0.0004 yang berarti produsen gula dalam negeri memiliki kekuatan pasar yang sangat kecil dalam mempengaruhi harga gula domestik baik dalam jangka pendek terlebih lagi dalam jangka panjang. Dengan kata lain meskipun struktur pasar gula domestik bersifat oligopolistik namun tidak cukup alasan untuk mengatakan terjadinya kartel pada industri gula yang dilakukan produsen. Kemungkinan lain dari kecilnya nilai parameter kekuatan pasar jika dikaitkan dengan tingginya konsentrasi rasio (CR4) produsen yang mencapai 63.1 persen disebabkan oleh karakteristik model oligopolistik yang digunakan pada penelitian. Seperti dikatakan Corts (1999) bahwa selain keunggulannya yang tidak memerlukan data rinci pada tingkat perusahaan, kelemahan Conduct Parameter Model (CPM) --dimana model oligopolistik Bresnahan-Lau berada di dalamnya-adalah kecenderungan CPM untuk menghasilkan nilai parameter kekuatan pasar yang relatif kecil dibandingkan dengan nilai parameter yang dihasilkan melalui perhitungan langsung dari marjin harga dan biaya marginal (direct measurement of price-cost margin). Hal ini dapat dilihat pada penelitian Steen and Salvanes (1999) yang mengestimasi tingkat kekuatan pasar yang dimiliki produsen ikan salmon Norwegia di pasar ikan salmon Perancis dengan nilai paramater kekuatan pasar jangka pendek yang relatif kecil (λ = -0.025) sementara pangsa pasar yang dikuasai mencapai lebih dari 70 persen. Oleh karena itu salah satu cara mengatasinya adalah dengan menggunakan normalisasi rentang mark-up dari Indeks Learner, (P-MC)/P = - λ/η, dengan η menyatakan nilai absolut dari elastisitas permintaan jangka pendek η = |-0.33|. Setelah dilakukan normalisasi
maka nilai mark-up menjadi lebih besar yaitu -0.0014 namun tetap relatif kecil jika melihat tingginya konsentrasi pasar yang dimiliki produsen gula. Penjelasan ekonominya adalah meskipun struktur pasar gula bersifat oligopolistik dan produsen menghimpun diri ke dalam asosiasi produsen gula namun mereka tidak dapat leluasa mengendalikan harga karena perilaku harga gula domestik sangat tergantung pada perilaku harga gula dunia yang umumnya lebih murah. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya volume gula impor yang dalam 10 tahun terakhir berkisar 50 persen dari kebutuhan. Selain itu ketika harga gula domestik tinggi maka pemerintah memperbanyak kuota impor bahkan dengan menurunkan tarif impor gula sehingga peredaran gula di dalam negeri bertambah yang selanjutnya akan menurunkan harga gula di dalam negeri. Hal ini terlihat ketika pada tahun 2009 pemerintah menurunkan tarif impor gula mentah dari Rp. 550 per kilogram menjadi Rp. 150 per kilogram dan gula kristal putih dari Rp. 790 per kilogram menjadi Rp. 400 per kilogram pada saat harga gula dunia tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi antar waktu (intertemporal competitions) dengan gula impor dapat menurunkan kekuatan pasar yang dimiliki kelompok produsen seperti ditemukan Steen dan Salvanes (1999). Sebagai tambahan proses penjualan gula petani dan tabrik gula PTPN/RNI dilakukan melalui lelang yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan produsen. Implikasi politik dari parameter kekuatan pasar tersebut adalah rente ekonomi yang diakibatkan oleh adanya monopoly power relatif kecil. Namun demikian berdasarkan pertimbangan statistik, model relasi penawaran dinamik memberikan nilai koefisien determinasi relatif tinggi (R2=49,4% dan Adjusted-R2=37.9%) dan sebagian parameter jangka pendek yang
diperoleh menunjukkan besaran yang signifikan pada tingkat kepercayaan yang digunakan. Oleh karena itu model oligopolistik dinamik relasi penawaran gula sangat memadai untuk digunakan pada analisis selanjutnya. Namun seperti halnya fungsi permintaan, sebagai perbandingan dilakukan estimasi terhadap relasi penawaran statik dan hasil estimasi dengan metode 2SLS disajikan pada tabel berikut: Tabel 22 . Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula Model Statik dengan Metode 2SLS Variable Constant Q W Q* R-squared Adjusted R-squared
Parameter β0 βQ βW λ 0.977994 0.975454
Coefficient -596.1897 0.000270 1.258943 0.000258
Std. Error 381.4748 0.000205 0.043157 0.000496
t-Statistic -1.562855 1.316731 29.17152 0.519775
Prob. 0.1302 0.1994 0.0000 0.6076
Hasil estimasi relasi penawaran statik juga sesuai dengan prediksi teori ekonomi yaitu βQ dan βW > 0 bahkan memuaskan secara statistik karena menghasilkan R2=97%. Namun demikian tanda positif (+) dari parameter kekuatan pasar (λ) tidak sesuai dengan teori ekonomi. Oleh karena itu model relasi penawaran statik tidak digunakan dalam penelitian ini.
6.4. Ikhtisar Setelah diketahui struktur pasar gula domestik bersifat oligopoli seperti telah diidentifikasi pada Bab 5 maka pada bagian selanjutnya disajikan prosedur analisis data untuk mengestimasi fungsi permintaan dan relasi penawaran gula pada struktur oligopolistik tersebut. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan sejumlah parameter seperti kekuatan pasar serta elastisitas permintaan dan
penawaran gula pada kondisi pasar yang relevan untuk selanjutnya digunakan dalam estimasi kemampuan lobi berbagai kelompok kepentingan. Sebelum proses estimasi parameter, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap stasioneritas data karena data ekonomi rentang waktu umumnya tidak stasioner. Setelah dilakukan pengujian menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF test) diketahui seluruh data ekonomi gula yang digunakan tidak stasioner namun terintegrasi pada ordo satu, I(1). Oleh karena itu untuk mengatasi persoalan data yang tidak stasioner tersebut maka digunakan mekanisme perbaikan kesalahan dengan memodifikasi fungsi permintaan dan relasi penawaran gula kedalam bentuk oligopolistik dinamik. Prosedur ini memiliki kelebihan --selain dapat mengatasi persoalan data yang tidak stasioner tersebut-yaitu peneliti dapat mengetahui dinamika hubungan jangka pendek dari fungsi permintaan dan relasi penawaran gula sekaligus tetap mendapatkan informasi hubungan jangka panjangnya. Guna mengatasi persoalan endogenitas maka estimasi parameter dilakukan dengan metode 2SLS dan hasil estimasi menunjukkan bahwa permintaan gula dalam jangka pendek bersifat inelastik namun dalam jangka panjang bersifat elastik. Sementara itu penawaran gula bersifat elastik, baik jangka pendek terlebih dalam jangka panjang. Parameter yang dihasilkan tersebut konsisten dengan teori dan hasil empiris. Nilai parameter elastisitas ini kemudian digunakan untuk menghitung bobot politik berbagai kelompok kepentingan menggunakan bantuan Fungsi Preferensi Politik sebagai proksi terhadap efektivitas lobi. Hasil perhitungan penentuan bobot politik masing-masing kelompok secara empirik disajikan pada bab selanjutnya.
VI. FUNGSI PERMINTAAN DAN RELASI PENAWARAN GULA
6.1. Uji Akar Unit dan Kointegrasi Uji akar unit dimaksudkan untuk mengetahui apakah data dari masingmasing variabel penelitian bersifat stasioner. Selain itu ia juga digunakan untuk mengetahui ordo integrasi dari masing-masing variabel penelitian. Pengujian akar unit menggunakan prosedur Augmented Dickey Fuller (ADF) test persamaan (4.3) sedangkan untuk mengetahui ordo integrasinya menggunakan persamaan (4.5). Hasil pengujian disajikan pada tabel berikut. Tabel 14. Analisis Derajat Integrasi Menggunakan Augmented Dickey-Fuller Test Notasi
Definisi
Variabel ekonomi Q Konsumsi gula kristal putih (ton) P Harga gula kristal putih (Rp/kg) Y GDP per kapita (Rp) Z Harga gula kristal rafinasi (Rp/kg) W Biaya pokok produksi gula (Rp/kg)
I(0)
Lag
I(1)
P-value
Lag
-1.905 0.447 -2.751 0.179 -0.869
0 1 1 7 0
-5.130 -5.138 -4.076 -4.943 -3.828
0.0015 0.0003 0.0039 0.0005 0.0072
0 0 0 1 0
Dari table tersebut terlihat bahwa semua data ekonomi gula bersifat tidak stasioner pada level dan terintegrasi pada ordo satu, I(1). Jadi penggunaan data level yang tidak stasioner tersebut untuk mengestimasi fungsi permintaan dan relasi penawaran akan memberikan hasil yang keliru karena adanya pengaruh tren seperti terlihat pada gambar 30. Namun karena data time series ekonomi gula sudah stasioner pada beda pertama (first difference) maka regresi dapat dilakukan dengan menggunakan data beda pertama tersebut. Akan tetapi penggunaan data beda yang sudah stasioner tersebut akan menghilangkan informasi jangka panjang dari hubungan antar variabel.
Gambar 30. Data Produksi Gula yang Stasioner dan Tidak Stasioner Tahun 1960-2009 Tahap selanjutnya dari penentuan kekuatan pasar adalah menguji ada tidaknya kointegrasi dari variabel ekonomi yang tidak stasioner tersebut. Pengujian dilakukan menggunakan prosedur dua tahap Engle-Granger terhadap residual dari masing-masing fungsi permintaan dan penawaran secara parsial (persamaan 4.7 dan 4.8). Tahap pertama adalah mengestimasi persamaan tunggal fungsi permintaan dan relasi penawaran menggunakan metode OLS dan mendapatkan nilai masing-masing residualnya. Fugsi permintaan gula dinyatakan oleh persamaan berikut dengan menyertakan variabel interaksi antara harga dengan semua variabel shifternya :
Penyertaan variabel interaksi antara harga barang bersangkutan dengan pendapatan (PY) dan dengan harga barang lain (PZ) merupakan prasyarat bagi estimasi parameter kekuatan pasar (imposibility theorm). Teorema tersebut
menyatakan bahwa identifikasi derajat persaingan dengan menggunakan data harga dan kuantitas pada tingkat industri tidak mungkin dilakukan jika dan hanya jika vektor variabel Z pada inverse demand function dapat dipisahkan (separable) dari harganya (lihat penjelasannya pada bagian 3.2.3). Estimasi paramter dilakukan menggunakan metode OLS dan hasil regresi disajikan pada tabel berikut: Tabel 15. Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula dengan Metode OLS Variable
Parameter
Std. Error
t-Statistic
Prob
Constant P Y Z PY PZ R-squared Adjusted R-squared
498224.6 -179.1702 0.356728 -448.7888 -1.03E-05 0.089985 0.656552 0.585001
392212.6 425.5115 0.088479 198.3211 6.77E-05 0.057355
1.270292 -0.421070 4.031760 -2.262940 -0.151356 1.568922
0.2162 0.6775 0.0005 0.0330 0.8810 0.1298
Sementara itu persamaan relasi penawaran dinyatakan sebagai:
dengan
dan nilai parameter αP, αPY, dan αPZ
diperoleh dari hasil estimasi fungsi permintaan sebelumnya seperti terdapat pada tabel 15. Estimasi relasi penawaran dilakukan menggunakan metode OLS dan hasil regresi disajikan pada tabel berikut. Tabel 16. Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula dengan Metode OLS Variable Constant Q W Q* R-squared Adjusted R-squared
Parameter -368.6348 0.000145 1.271608 0.000227 0.978516 0.976037
Std. Error 297.2643 0.000158 0.040644 0.000489
t-Statistic -1.240091 0.919620 31.28663 0.464609
Prob 0.2260 0.3662 0.0000 0.6461
Estimasi menggunakan metode OLS memberikan hasil yang sesuai dengan prediksi teori ekonomi yaitu αP < 0 dan αY, βQ, βW > 0. Untuk mengetahui adanya hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang menyusun fungsi permintaan dan relasi penawaran dilakukan pengujian stasioneritas terhadap residual masing-masing. Uji akar unit terhadap residual fungsi permintaan dan residual relasi penawaran dilakukan dengan menggunakan ADF persamaan (4.12). Hipotesis null dari pengujian menyatakan bahwa residual fungsi permintaan dan relasi penawaran adalah tidak stasioner. Residual fungsi permintaan dinyatakan sebagai:
Hasil pengujian kointegrasi fungsi permintaan disajikan pada tabel berikut: Tabel 17. Hasil Uji Kointegrasi Fungsi Permintaan Gula Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic -2.685346 -3.679322 -2.967767 -2.622989
Prob.* 0.0887
Sementara itu residual relasi penawaran dinyatakan sebagai:
Hasil pengujian kointegrasi relasi penawaran disajikan pada tabel berikut: Tabel 18. Hasil Uji Kointegrasi Relasi Penawaran Gula Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic -4.948429 -3.679322 -2.967767 -2.622989
Prob.* 0.0004
Hasil pengujian menggunakan α = 10.% menunjukkan bahwa residual tidak mengandung akar unit yang berarti eror dari fungsi permintaan dan relasi penawaran bersifat stasioner sehingga semua variabel penyusun fungsi permintaan dan relasi penawaran terkointegrasi. Dengan demikian dapat disimpulkan terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara variabel yang menyusun fungsi permintaan dan relasi penawaran tersebut.
6.2. Estimasi Fungsi Permintaan Oleh karena terdapat kointegrasi maka fungsi permintaan dan relasi penawaran tersebut dapat dinyatakan dalam mekanisme perbaikan kesalahan (error correction mechanism) untuk mendapatkan informasi mengenai hubungan keseimbangan jangka panjang sekaligus dinamika hubungan jangka pendeknya. Model oligopolistik dinamik fungsi permintaan gula kristal putih dengan demikian dinyatakan sebagai:
Estimasi dilakukan dengan metode 2SLS (Two Stage Least Squares) untuk mengatasi persoalan endogenitas dengan menggunakan perangkat lunak Eviews 5. Hasil estimasi menujukkan bahwa hubungan antar variabel yang menyusun fungsi permintaan sesuai dengan yang diprediksi teori ekonomi yaitu αP < 0, αY > 0 yang menunjukkan bahwa gula merupakan barang normal dan γ terletak antara 0 dan -1. Namun demikian hubungan antara gula kristal putih dan gula rafinasi bersifat komplementer, seperti ditunjukkan oleh αZ < 0, adalah diluar harapan mengingat keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai pemanis makanan dan
minuman. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya pembedaan pasar yang tegas antara GKP dan GKR dimana GKP untuk konsumsi rumahtangga dan GKR untuk konsumsi industri sehingga tidak dimungkinkan terjadinya substitusi antar keduanya. Hasil selengkapnya dari estimasi fungsi permintaan disajikan pada tabel berikut. Tabel 19 . Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula Model Dinamik dengan Metode 2SLS Variable C ∆Pt ∆Yt ∆Zt ∆PYt ∆PZt ∆Qt-1 Ut-1
Parameter α0 αP αY αZ αPY αPZ αQ γ
R-squared (R2) Adjusted R-squared
Coefficient 46757.65 -609.1526 0.183292 -185.0525 3.98E-05 0.018255 0.580154 -0.133513
Std. Error 82059.12 685.3905 0.292444 239.9838 8.66E-05 0.057092 0.421688 0.375770
t-Statistic 0.569804 -0.888767 0.626759 -0.771104 0.460303 0.319753 1.375789 -0.355306
P-value 0.5752 0.3847 0.5379 0.4497 0.6503 0.7525 0.1841 0.7261
0.334662 0.101794
Long run parameters P Y Z PY PZ
θP θY θZ θPY θPZ
-4562.4965 1.3728401 -1386.0261 0.0002981 0.1367283
Own price demand elasticity Short run Long run
ηSR ηLR
-0.33 -2.45
Selain itu parameter elastisitas mengindikasikan permintaan gula dalam jangka pendek bersifat inelastik (ηSR = -0.33) namun dalam jangka panjang bersifat elastik (ηLR = -2.45). Prosedur penghitungan elastisitas tersebut dilakukan berdasarkan
persamaan
(4.17).
Sebagai
perbandingan
Pakpahan
(2003)
menyatakan elastisitas permintaan terhadap perubahan harga gula di negara berkembang China, India, Indonesia, Thailand, Pakistan, dan Korea bersifat inelastik yaitu masing-masing -0.29, -0.76, -0.61, -0.24, -0.15, dan -0.79 dan di
negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Jepang, Australia dan bekas Uni Soviet masing-masing -0.11, -0.07, -0.12, -0.81, -0.02, dan -0.05. Jika dibandingkan dengan angka-angka elastisitas tersebut maka nilai elastisitas harga jangka pendek yang diperoleh melalui estimasi model permintaan oligopolistik dinamik ini cukup memadai baik dilihat dari sisi teori maupun hasil kajian empiris di negara lain untuk digunakan pada analisis selanjutnya. Sementara itu nilai parameter penyesuaian, γ, (adjustment paramter) sesuai dengan yang diharapkan yaitu terletak antara 0 dan -1. Jika γ = 0 berarti tidak terjadi perbaikan kesalahan (no error correction take place) dan jika γ = -1 berarti deviasi terhadap jalur keseimbangan jangka panjang dikoreksi seketika itu juga (instantly). Oleh karena itu hasil estimasi γ = -0.13 mengindikasikan terjadinya penyesuaian sebesar 13%
manakala terjadi deviasi terhadap keseimbangan
permintaan jangka panjangnya. Namun demikian hasil estimasi tersebut kurang memuaskan secara statistik karena menghasilkan koefisien determinasi yang kecil (R2 = 33.5% dan Adjusted R2 = 10.2) dan sebagian besar parameter estimasi yang yang dihasilkan tidak signifikan pada tingkat kepercayaan yang ditetapkan (α = 20%). Tetapi karena penentuan model lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan semua parameter, terutama parameter penting elastisitas yang digunakan untuk menentukan bobot politik kelompok kepentingan bukan untuk prediksi dan simulasi, menghasilkan tanda dan besaran yang sesuai dengan prediksi teori ekonomi dan hasil empiris maka model tersebut tetap digunakan untuk analisis berikutnya. Namun sebagai perbandingan selain mengestimasi model dinamik tersebut, estimasi fungsi permintaan juga dilakukan terhadap model statiknya dengan metode 2SLS. Hasil estimasi disajikan pada tabel berikut:
Tabel 20. Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula Model Statik dengan Metode 2SLS Variable Constant P Y Z PY PZ R-squared Adjusted R-squared
Parameter α0 αP αY αZ αPY αPZ 0.651021 0.578317
Coefficient 344671.7 85.38294 0.389397 -539.1350 -4.99E-05 0.118728
Std. Error 657190.6 1001.008 0.142931 367.9256 0.000152 0.114011
t-Statistic 0.524462 0.085297 2.724372 -1.465337 -0.328778 1.041370
Prob. 0.6048 0.9327 0.0118 0.1558 0.7452 0.3081
Hasil estimasi fungsi permintaan statik lebih memuaskan dari pertimbangan statistik karena menghasilkan R2 relatif tinggi (lebih dari 50%) dan parameter yang signifikan pada tingkat kepercayaan yang ditetapkan namun tanda parameter utama, αP > 0 berbeda dengan yang diprediksi teori ekonomi mengenai permintaan. Oleh karena itu penggunaan model statik tidak memadai pada penelitian ini.
6.3. Estimasi Relasi Penawaran Jika fungsi permintaan dinamik menghasilkan prediksi elastisitas permintaan yang sesuai dengan teori ekonomi dan hasil empiris di beberapa negara berkembang dan maju, maka pada bagian ini disajikan hasil estimasi relasi penawaran gula. Model oligopolistik dinamik relasi penawaran dinyatakan sebagai:
Estimasi fungsi relasi penawaran dilakukan dengan menggunakan metode 2SLS dan hasilnya disajikan pada tabel 21. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa hasil estimasi relasi penawaran sesuai dengan prediksi ekonomi yaitu tanda βQ dan βW > 0. Namun demikian nilai parameter penyesuaian lebih kecil dari -1 (ψ = -1.2) sehingga interpretasi
ekonominya adalah deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang penawaran, ketika biaya marjinal tidak sama dengan perceived marginal revenue, maka deviasi tersebut bukan saja dikoreksi seketika bahkan terjadi overshooting sebesar 20% menuju keseimbangan (lihat Steen and Salvanes, 1999). Selain itu hasil perhitungan
parameter
elastisitas
menggunakan
persamaan
(4.18)
mengindikasikan penawaran gula, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, bersifat elastik (εSR=1.35 dan εLR=1.64) yang berarti produsen gula sangat responsif terhadap perubahan harga baik dalam jangka pendek terlebih lagi dalam jangka panjang. Tabel 21. Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula Model Dinamik dengan Metode 2SLS Variable C ∆Qt ∆Wt ∆ ∆Pt-1 Vt-1
Parameter β0 βQ βW λ βP t-1 ψ
R-squared (R2) Adjusted R-squared
Coefficient -1.831892 0.000729 2.593927 -0.000493 -1.441378 -1.215036
Std. Error 103.5619 0.000690 0.591003 0.000741 0.425435 0.522391
t-Statistic -0.017689 1.056764 4.389024 -0.665313 -3.388013 -2.325914
P-value 0.9860 0.3021 0.0002 0.5128 0.0026 0.0296
0.493950 0.378939
Long run parameters Q W Q*
ξQ ξW Λ
0.000599982 2.134856087 -0.00040575
Own price supply elasticity Short run Long run
εSR εLR
1.35 1.64
Selain itu nilai parameter kekuatan pasar yang menjadi perhatian utama model, baik parameter jangka pendek (λ) maupun parameter jangka panjangnya (Λ), juga sesuai dengan yang diharapkan yaitu tertelak antara 0 dan -1. Jika λ = 0 berarti produsen gula domestik dalam jangka pendek bersifat kompetitif, namun jika λ = -1 maka produsen berperilaku laksana monopolis (perfect cartel) dengan mengeksploitasi kekuatan pasar yang dimiliki. Hasil estimasi menunjukkan bahwa
nilai λ = -0.0005 dan Λ= -0.0004 yang berarti produsen gula dalam negeri memiliki kekuatan pasar yang sangat kecil dalam mempengaruhi harga gula domestik baik dalam jangka pendek terlebih lagi dalam jangka panjang. Dengan kata lain meskipun struktur pasar gula domestik bersifat oligopolistik namun tidak cukup alasan untuk mengatakan terjadinya kartel pada industri gula yang dilakukan produsen. Kemungkinan lain dari kecilnya nilai parameter kekuatan pasar jika dikaitkan dengan tingginya konsentrasi rasio (CR4) produsen yang mencapai 63.1 persen disebabkan oleh karakteristik model oligopolistik yang digunakan pada penelitian. Seperti dikatakan Corts (1999) bahwa selain keunggulannya yang tidak memerlukan data rinci pada tingkat perusahaan, kelemahan Conduct Parameter Model (CPM) --dimana model oligopolistik Bresnahan-Lau berada di dalamnya-adalah kecenderungan CPM untuk menghasilkan nilai parameter kekuatan pasar yang relatif kecil dibandingkan dengan nilai parameter yang dihasilkan melalui perhitungan langsung dari marjin harga dan biaya marginal (direct measurement of price-cost margin). Hal ini dapat dilihat pada penelitian Steen and Salvanes (1999) yang mengestimasi tingkat kekuatan pasar yang dimiliki produsen ikan salmon Norwegia di pasar ikan salmon Perancis dengan nilai paramater kekuatan pasar jangka pendek yang relatif kecil (λ = -0.025) sementara pangsa pasar yang dikuasai mencapai lebih dari 70 persen. Oleh karena itu salah satu cara mengatasinya adalah dengan menggunakan normalisasi rentang mark-up dari Indeks Learner, (P-MC)/P = - λ/η, dengan η menyatakan nilai absolut dari elastisitas permintaan jangka pendek η = |-0.33|. Setelah dilakukan normalisasi
maka nilai mark-up menjadi lebih besar yaitu -0.0014 namun tetap relatif kecil jika melihat tingginya konsentrasi pasar yang dimiliki produsen gula. Penjelasan ekonominya adalah meskipun struktur pasar gula bersifat oligopolistik dan produsen menghimpun diri ke dalam asosiasi produsen gula namun mereka tidak dapat leluasa mengendalikan harga karena perilaku harga gula domestik sangat tergantung pada perilaku harga gula dunia yang umumnya lebih murah. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya volume gula impor yang dalam 10 tahun terakhir berkisar 50 persen dari kebutuhan. Selain itu ketika harga gula domestik tinggi maka pemerintah memperbanyak kuota impor bahkan dengan menurunkan tarif impor gula sehingga peredaran gula di dalam negeri bertambah yang selanjutnya akan menurunkan harga gula di dalam negeri. Hal ini terlihat ketika pada tahun 2009 pemerintah menurunkan tarif impor gula mentah dari Rp. 550 per kilogram menjadi Rp. 150 per kilogram dan gula kristal putih dari Rp. 790 per kilogram menjadi Rp. 400 per kilogram pada saat harga gula dunia tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi antar waktu (intertemporal competitions) dengan gula impor dapat menurunkan kekuatan pasar yang dimiliki kelompok produsen seperti ditemukan Steen dan Salvanes (1999). Sebagai tambahan proses penjualan gula petani dan tabrik gula PTPN/RNI dilakukan melalui lelang yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan produsen. Implikasi politik dari parameter kekuatan pasar tersebut adalah rente ekonomi yang diakibatkan oleh adanya monopoly power relatif kecil. Namun demikian berdasarkan pertimbangan statistik, model relasi penawaran dinamik memberikan nilai koefisien determinasi relatif tinggi (R2=49,4% dan Adjusted-R2=37.9%) dan sebagian parameter jangka pendek yang
diperoleh menunjukkan besaran yang signifikan pada tingkat kepercayaan yang digunakan. Oleh karena itu model oligopolistik dinamik relasi penawaran gula sangat memadai untuk digunakan pada analisis selanjutnya. Namun seperti halnya fungsi permintaan, sebagai perbandingan dilakukan estimasi terhadap relasi penawaran statik dan hasil estimasi dengan metode 2SLS disajikan pada tabel berikut: Tabel 22 . Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula Model Statik dengan Metode 2SLS Variable Constant Q W Q* R-squared Adjusted R-squared
Parameter β0 βQ βW λ 0.977994 0.975454
Coefficient -596.1897 0.000270 1.258943 0.000258
Std. Error 381.4748 0.000205 0.043157 0.000496
t-Statistic -1.562855 1.316731 29.17152 0.519775
Prob. 0.1302 0.1994 0.0000 0.6076
Hasil estimasi relasi penawaran statik juga sesuai dengan prediksi teori ekonomi yaitu βQ dan βW > 0 bahkan memuaskan secara statistik karena menghasilkan R2=97%. Namun demikian tanda positif (+) dari parameter kekuatan pasar (λ) tidak sesuai dengan teori ekonomi. Oleh karena itu model relasi penawaran statik tidak digunakan dalam penelitian ini.
6.4. Ikhtisar Setelah diketahui struktur pasar gula domestik bersifat oligopoli seperti telah diidentifikasi pada Bab 5 maka pada bagian selanjutnya disajikan prosedur analisis data untuk mengestimasi fungsi permintaan dan relasi penawaran gula pada struktur oligopolistik tersebut. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan sejumlah parameter seperti kekuatan pasar serta elastisitas permintaan dan
penawaran gula pada kondisi pasar yang relevan untuk selanjutnya digunakan dalam estimasi kemampuan lobi berbagai kelompok kepentingan. Sebelum proses estimasi parameter, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap stasioneritas data karena data ekonomi rentang waktu umumnya tidak stasioner. Setelah dilakukan pengujian menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF test) diketahui seluruh data ekonomi gula yang digunakan tidak stasioner namun terintegrasi pada ordo satu, I(1). Oleh karena itu untuk mengatasi persoalan data yang tidak stasioner tersebut maka digunakan mekanisme perbaikan kesalahan dengan memodifikasi fungsi permintaan dan relasi penawaran gula kedalam bentuk oligopolistik dinamik. Prosedur ini memiliki kelebihan --selain dapat mengatasi persoalan data yang tidak stasioner tersebut-yaitu peneliti dapat mengetahui dinamika hubungan jangka pendek dari fungsi permintaan dan relasi penawaran gula sekaligus tetap mendapatkan informasi hubungan jangka panjangnya. Guna mengatasi persoalan endogenitas maka estimasi parameter dilakukan dengan metode 2SLS dan hasil estimasi menunjukkan bahwa permintaan gula dalam jangka pendek bersifat inelastik namun dalam jangka panjang bersifat elastik. Sementara itu penawaran gula bersifat elastik, baik jangka pendek terlebih dalam jangka panjang. Parameter yang dihasilkan tersebut konsisten dengan teori dan hasil empiris. Nilai parameter elastisitas ini kemudian digunakan untuk menghitung bobot politik berbagai kelompok kepentingan menggunakan bantuan Fungsi Preferensi Politik sebagai proksi terhadap efektivitas lobi. Hasil perhitungan penentuan bobot politik masing-masing kelompok secara empirik disajikan pada bab selanjutnya.
VII. LOBI DAN TEKANAN POLITIK DI INDUSTRI GULA Aktivitas lobi yang dilakukan produsen pada dasarnya merupakan transmisi informasi satu arah dari kelompok produsen (terutama petani tebu, buruh, karyawan dan manajemen PG) kepada pembuat kebijakan pergulaan nasional (eksekutif dan legislatif). Sementara itu, dari perspektif ekonomi politik program swasembada gula merupakan kebijakan yang berorientasi jangka pendek. Sebagai produsen kebijakan, politisi dan birokrat terpilih memiliki kepentingan jangka pendek untuk tetap bertahan diposisinya selama mungkin. Jika politisi berusaha memaksimumkan dukungan suara agar tetap terpilih sebagai anggota legislatif pusat atau pun daerah, para birokrat berusaha meningkatkan anggaran dan jaminan pendapatan (job security) agar memiliki kesempatan yang lebih besar meningkatkan karir karena promosi di birokrasi pemerintah Indonesia umumnya masih berdasarkan kemampuan menciptakan peluang memberikan penghasilan tambahan (ADB, 2004). Oleh karena itu analisis swasembada gula dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat hubungan antar variabel dengan menggunakan parameter ekonomi politik jangka pendek.
7.1. Aktivitas Lobi Produsen Penjelasan terhadap kebijakan pergulaan yang protektif mencerminkan tingginya potensi dan kemampuan lobi sekelompok kecil individu produsen gula dalam memperjuangkan kepentingan ekonominya dibandingkan dengan potensi dan kemampuan lobi yang rendah dari masyarakat konsumen yang besar namun bersifat heterogen serta menghadapi persoalan free riding dalam melakukan aksi kolektif. Aktivitas lobi dan tekanan politik produsen gula paling tidak memiliki tiga tujuan yaitu meningkatkan Harga Patokan Petani (HPP), mempertahankan
tarif dan kuota impor yang menyebabkan harga gula paritas impor tetap tinggi, dan menjaga segmentasi pasar GKP dengan GKR. Aktivitas lobi dan tekanan politik tersebut tercermin dari meningkatnya bobot politik produsen relatif terhadap konsumen seperti terlihat pada gambar berikut.
Gambar 31. Perkembangan Bobot Politik Produsen dan Konsumen Gula Asumsi: α = 20 %, β= 10 %, η= -0.33, ε= 1.35.
Penentuan
bobot
politik
kelompok
kepentingan
dilakukan
dengan
menggunakan persamaan (4.19), (4.20) dan (4.21) dengan memanfaatkan nilai parameter jangka pendek dari elastisitas permintaan (η = -0.33) dan elastisitas penawaran gula (ε = 1.35) yang dihasilkan dari struktur pasar yang oligopolistik. Pada kondisi pasar tanpa intervensi, bobot politik masing-masing kelompok kepentingan adalah satu. Jika nilai bobot politik sama dengan satu maka pembuat kebijakan bersikap netral terhadap kelompok tersebut. Namun hasil perhitungan menunjukkan bobot politik produsen lebih besar dari satu sementara bobot politik konsumen lebih kecil dari satu. Hal ini mengindikasikan pembuat kebijakan lebih berpihak kepada produsen dengan mengorbankan kepentingan konsumen dalam perumusan kebijakan pergulaan nasional.
Penjelasannya adalah individu petani dan pabrik gula memiliki produktivitas rendah karena menghasilkan gula melalui proses produksi yang tidak efisien. Akibatnya gula yang dihasilkan tidak kompetitif, namun sebagian besar petani dan pabrik gula tidak ingin meninggalkan bisnisnya dalam produksi tebu dan gula (denied easy exit). Mereka kemudian menjalin kontak dengan para pembuat kebijakan untuk mempengaruhi proses pembuatan dan implementasi kebijakan. Agar aktivitas lobi dan tekanan politik lebih efektif maka petani membentuk organisasi petani tebu seperti APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dan BK-APTRI (Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dengan melibatkan politisi daerah dan pusat dalam struktur dan jaringan organisasinya sehingga petani tebu semakin kuat menyuarakan kepentingan ekonominya (voice). Rendahnya
kinerja
petani
dan
pabrik
gula
tidak
lepas
dari
adanya
ketidaksempurnaan pasar, dan dalam arti yang lebih luas ketidaksempurnaan pasar telah menimbulkan persoalan stabilisasi, alokasi, dan pendapatan petani tebu dan buruh pabrik gula. Mengapa dan bagaimana sebuah mekanisme pasar gagal dan menimbulkan persoalan-persoalan tersebut tidak dapat dilepaskan dari karakteristik penawaran gula dan juga permintaannya (lihat Malian dan Saptana, 2003; Siagian, 2004; Indraningsih dan Malian, 2006; Sriati, et al., 2008). Penawaran gula domestik ditandai oleh rendahnya kualitas dan kuantitas pasokan tebu sebagai bahan baku pembuatan gula serta rendahnya produktivitas pabrik gula dalam mengolah tebu menjadi gula (rendemen). Dengan demikian penawaran gula ditentukan oleh aktivitas yang terjadi pada tingkat usahatani tebu pada satu sisi (on-farm) dan juga
aktivitas pada tingkat penggilingan tebu di pabrik gula pada sisi yang lain (offfarm). Kegiatan usahatani tebu sebagian besar dikerjakan oleh petani pada lahan relatif sempit menggunakan bibit keprasan (ratoon), irigasi dan perawatan minimal, dan penggunaan pupuk rendah. Tidak intensifnya pengusahaan tanaman tebu ini untuk sebagian dikarenakan harga relatif tebu cenderung menurun dibanding harga tanaman pangan lainnya. Oleh karena itu areal tanaman tebu bukan saja semakin menyusut tetapi kualitas irigasinya pun semakin berkurang karena lahan yang subur digunakan untuk mengusahakan tanaman padi dan tembakau yang harganya relatif tinggi (lihat Lampiran 3). Akibatnya biaya sewa lahan beririgasi semakin mahal sehingga areal tanaman tebu bergeser ke lahan kering. Pergeseran ini selain menyebabkan produktivitas usahatani tebu menurun juga menyebabkan semakin jauhnya jarak antara kebun dengan lokasi pabrik gula yang semula dibangun dekat dengan persawahan teknis sehingga biaya angkut menjadi mahal dan mengakibatkan menurunnya pendapatan petani (Malian dan Saptana, 2003). Selain itu ketergantungan yang tinggi terhadap sinar matahari menyebabkan kualitas tebu yang dihasilkan sangat tergantung pada keadaan iklim. Curah hujan yang tinggi ketika tanaman berada pada fase pembentukan gula menyebabkan kualitas tebu menurun karena proses pembentukan sukrosa tidak maksimal. Hasil panen tebu ini kemudian diproses di pabrik gula milik negara yang masih menggunakan mesin lama dengan teknologi yang umumnya sudah usang sehingga rendemen yang diperoleh relatif rendah. Selain itu dalam memproses tebu menjadi gula, petani menghadapi tingginya biaya transaksi (high trasaction cost) yang mengindikasikan kompetisi pada pasar gula di tingkat on-
farm tidak sempurna. Penelitian Yustika (2008) menunjukkan biaya transaksi yang ditanggung petani bahkan mencapai 50 persen dari keseluruhan biaya usahatani, baik untuk petani tebu mandiri maupun petani tebu pola kemitraan. Kegagalan pasar pada sistim ekonomi kemudian dimanfaatkan oleh para produsen gula untuk meminta dilakukan intervensi pada sistim politik. Intervensi yang berupa kebijakan dicerminkan melalui keseimbangan ekonomi-politik antara penawaran kebijakan oleh birokrat dan politisi di satu pihak dengan kekuatan permintaan kebijakan dari produsen dan konsumen gula di lain pihak (Gambar 17). Dalam kerangka program swasembada maka keseimbangan yang dihasilkan tersebut bias ke produsen atau asimetrik karena didominasi oleh kekuatan permintaan intervensi oleh kelompok produsen dalam bentuk dukungan harga melalui penetapan harga patokan petani (HPP), hambatan impor (kuota dan tarif), dan segmentasi pasar gula, sementara kelompok konsumen walaupun jumlahnya besar namun secara keseluruhan menghasilkan tekanan politik rendah karena berbagai faktor. Karakteristik kedua dari industri gula Indonesia ditandai oleh tingginya risiko pasar. Hal ini mencerminkan minimnya informasi mengenai harga yang akan terjadi, nilai tukar, dan informasi agroklimat lainya. Oleh karena itu seperti sifat alami industri pertanian pada umumnya, industri gula menghadapi fluktuasi yang tidak sepenuhnya dapat dikenali karena nature dari usaha ditingkat on farm yang sangat tergantung pada iklim dan kondisi alam. Akibatnya penawaran gula berfluktuasi dari musim ke musim dan sangat tergantung pada ketepatan waktu tebang, muat, angkut, dan giling. Hal ini kemudian dipersulit dengan tidak adanya sinkronisasi yang kuat antara kegiatan di tingkat usahatani tebu dengan aktivitas
giling yang terjadi di pabrik gula terutama di Pulau Jawa dimana sekitar 70 persen gula diproduksi. Di Pulau Jawa pengusahaan tebu sebagai bahan baku gula dilakukan di lahan yang dikuasai oleh petani sementara pabrik gula hanya memiliki kebun tebu yang relatif sempit. Tidak adanya integrasi ini menyebabkan produktivitas hablur relatif rendah yaitu rata-rata 6 ton per hektar. Rendahnya efisiensi dan produktivitas gula termasuk gula milik petani tidak memberikan penghasilan yang mencukupi meskipun sistim bagi hasil gula antara petani dengan pabrik gula semakin menguntungkan petani dari semula 65:35 menjadi 68:32. Akibat tingginya risiko pasar tersebut maka penawaran gula domestik sangat tidak stabil. Kondisi penuh risiko ini jika disertai dengan karakteristik petani tebu yang memiliki lahan sempit dan permodalan rendah merupakan legitimasi politik yang sangat kuat untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sehingga menghasilkan kebijakan yang berpihak ke produsen (petani termasuk pabrik gula). Oleh karena itu dari aspek produksi, ketidaksempurnaan pasar telah menciptakan kondisi ketidakamanan pangan, dan jika terjadi pada industri gula dimana petani tebu hanya memiliki lahan sempit (<0.5 ha) maka kegagalan pasar tersebut akan memberikan pendapatan yang relatif rendah tidak peduli seberapa keras petani tersebut berusaha (permanen income problem). Dihadapkan pada situasi ekonomi demikian maka petani memasuki sistim politik untuk menemukan cara lain guna meningkatkan penghasilannya dan menggunakan kesulitan ekonomi tersebut dalam berargumentasi dengan pihak lain. Dari sudut pandang teori pilihan rasional, ketika petani tebu gagal mendapatkan keuntungan pada sistim ekonomi pasar yang tidak sempurna, mereka kemudian mencari kemungkinan lain melalui political rent-seeking
dengan mengorganisasikan diri dalam suatu kelompok kepentingan. Namun seperti dikatakan Nedergaard (2006), organisasi hanyalah sebuah syarat perlu untuk mencapai tujuan dan itu belum cukup. Agar menjadi sebuah pilihan rasional maka manfaat marjinal memasuki organisasi harus lebih besar dari biaya marjinal yang ditimbulkannya. Biaya organisasi diperlukan untuk keperluan administrasi dan koordinasi guna melakukan aksi kolektif untuk memperkuat pengaruh politik organisasi tersebut. Dengan difasilitasi oleh birokrasi (Dinas Perkebunan, dan Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian) maka biaya organisasi menjadi relatif murah sehingga setiap petani dapat bergabung dalam berbagai organisasi petani tebu seperti APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), BK-APTRI (Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), KPTR (koperasi petani tebu rakyat), atau PPTR (paguyuban petani tebu rakyat). Biaya yang relatif rendah ini sangat menguntungkan karena dapat memperkuat organisasi petani. Sementara itu manfaat yang didapat relatif besar dengan tingginya potensi rente ekonomi yang diterima. Dukungan untuk penguatan organisasi petani juga diberikan kalangan pabrik gula bukan semata-mata karena alasan bahwa setiap individu bebas berserikat, tetapi pabrik gula mendapatkan manfaat dari organisasi dan tekanan politik yang dilakukan asosiasi petani tebu terhadap pembuat kebijakan. Itulah sebabnya pada setiap wilayah pabrik gula terdapat banyak asosiasi baik asosiasi petani tebu ataupun serikat buruh perkebunan. Kehadiran organisasi petani dan buruh perkebunan ini pada satu sisi dapat merugikan pabrik gula terutama dalam mendapatkan posisi tawar penentuan rendemen dan bagi hasil gula petani namun secara keseluruhan pabrik gula, terutama PG milik negara, memerlukan
keberadaan petani tebu untuk menyelamatkan pabrik gula yang secara umum beroperasi tidak efisien tersebut dalam mendapatkan perlindungan dan subsidi dari pembuat kebijakan (kebijakan perdagangan gula yang protektif, dan modernisasi mesin dalam kerangka Program Revitalisasi Pabrik Gula). Petani, buruh dan manajemen pabrik gula kemudian membentuk semacam hubungan simbiosis mutualisme. Lobi dan tekanan politik yang dilakukan petani melalui berbagai aksi demontrasi mendapat liputan luas dari berbagai media yang membuat kebijakan politik pergulaan nasional tetap berpihak ke produsen dan pada sisi lain memberikan publikasi yang positif bagi eksistensi asosiasi petani. Namun demikian seperti halnya organisasi kelompok kepentingan lain dengan jumlah anggota banyak, para petani tebu yang tergabung sebagai anggota kelompok menghadapi persoalan free-riding ketika mereka berjuang mendapatkan pengaruh politik untuk memenuhi kepentingan bersama. Pengaruh politik memiliki karakteristik barang publik karena tidak dimungkinkan untuk membatasi manfaat yang dihasilkan oleh organisasi petani kepada mereka yang tidak memberikan kontribusi tekanan politik sekali pun. APTRI memiliki cara mengatasi persoalan free riding ini dengan memanfaatkan besarnya potensi rente ekonomi yang diperoleh untuk memberikan insentif kepada anggota yang berpartisipasi dalam memberikan tekanan politik (separate and selective insentives). Bahkan menurut Tullock (1993) kelompok kepentingan yang mendapat previlege tertentu, seperti APTRI karena tercantum eksplisit dalam SK Menperindag 527/2004, tidak memerlukan selective insentives untuk mengatasi persoalan free riding namun aksi kolektif yang dilakukan tetap dapat merubah
arah kebijakan menjadi lebih spesifik sesuai dengan preferensi mereka dan menjauh dari hasil median voters. Berdasarkan Database of Political Institutions (Beck, et al., 2010), pemerintahan Indonesia pasca reformasi ditandai dengan semakin membaiknya pengawasan oleh legislatif terhadap eksekutif, sehingga berdasarkan pendekatan median voter model aktivitas mencari rente secara umum akan berkurang. Namun hasil empiris untuk industri gula membuktikan sebaliknya bahwa aktivitas mencari rente semakin tinggi di tengah meningkatnya kegiatan check and balances oleh legislatif dan media. Hal ini menegaskan kebijakan pergulaan nasional tidak dapat dijelaskan melalui mekanisme electoral chanel. Meskipun dalam sistim demokrasi para politisi dan birokrat akan membuat keputusan politik sejalan dengan keinginan dan aspirasi sebagian besar masyarakatnya, namun karena biaya proteksi dan subsidi tersebut disebar ke seluruh konsumen maka manfaat yang diperoleh konsumen secara individu relatif kecil untuk menolak keputusan politik yang protektif tersebut. Sementara itu konsumen gula yang jumlahnya besar namun tidak terorganisir --sehingga akan memerlukan biaya besar untuk melakukan aksi kolektif-- berhadapan dengan kelompok kecil produsen gula (petani tebu dan pabrik gula serta berbagai asosiasinya) yang terorganisir. Oleh karena itu resistensi atau upaya penolakan terhadap kebijakan yang melindungi industri gula oleh konsumen tidak akan intensif terjadi terlebih jika kebijakan protektif tersebut dipersepsikan sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak terhadap barang impor (public finance) bukan oleh aktivitas lobi kelompok produsen.
Organisasi produsen gula yang relatif kuat di satu sisi dan lemahnya organisasi konsumen di sisi lain merupakan prasyarat bagi pembuatan keputusankeputusan politik yang pro proteksi dan subsidi terhadap industri gula. Namun itu belum cukup. Syarat cukupnya adalah para pembuat keputusan (politisi dan birokrat) bersedia memenuhi tuntutan dari petani dan pabrik gula untuk sebagian atau keseluruhnya. Sebagian politisi memerlukan dukungan petani tebu dan karyawan pabrik gula untuk memaksimumkan perolehan suara agar tetap duduk sebagai anggota DPRD kabupaten dan propinsi bahkan DPR pusat dan mereka tergabung dalam Panitia Kerja yang mengawasi produksi dan distribusi gula (misalnya Panja Gula Komisi VI DPR). Sementara itu kalangan birokrat terutama di Kementrian Pertanian dan Kementrian Perindustrian dalam menghasilkan kebijakan berkepentingan terhadap penambahan anggaran dan juga demi alasan job security. Jika pada tahun 2010 Kementrian Pertanian memerlukan anggaran peningkatan produksi gula sebesar Rp. 15.2 milyar, maka pada tahun 2011 anggaran tersebut naik 7 kali lipat menjadi Rp. 103 milyar.1 Sementara itu anggaran di Kementrian Perindustrian untuk revitalisasi pabrik gula naik 35 persen atau Rp. 1.24 triliun menjadi Rp. 2.1 triliun pada tahun 2011.2 Permintaan proteksi dan subsidi dari kelompok produsen gula tersebut kemudian dikemas kedalam program swasembada gula oleh birokrasi pemerintah yang untuk mencapainya memerlukan dukungan anggaran besar tadi. Sementara itu penggunaan kata swasembada bukannya tanpa maksud. Pemerintah dengan jeli memanfaatkan expressive interest masyarakat. Ketika konsumen tidak memiliki insentif menolak kebijakan gula yang merugikan dirinya, swasembada yang 1 2
Media Indonesia.com, 29/12/2010. Anggaran Gula Naik 7 Kali Lipat di 2011. Tempo Interaktif, 20/11/2010. Anggaran untuk Revitalisasi Industri Gula Diusulkan Naik
mengandung makna kemandirian, kebanggaan dan nasionalisme memberikan kepuasan non instrumental bagi masyarakat meskipun harus dibayar mahal dengan tingginya harga gula. Ketiga aktor yang terdiri dari legislatif, birokrat, dan produsen gula kemudian membentuk bangunan segitiga penghasil rente. Tullock (1993) menggunakan istilah iron triangle dimana masing-masing pihak yang terdiri dari legislatif, birokrat, dan kelompok kepentingan swasta mengejar kepentingan pribadi atas biaya masyarakat konsumen yang abai (ignorance) terhadap proses pembuatan dan implementasi kebijakan.
7.2. Hubungan Aktivitas Lobi dengan Swasembada Setelah menemukan penjelasan terhadap existing policy pergulaan nasional, langkah berikutnya adalah membuka kotak hitam politik kebijakan gula dengan mengevaluasi hubungan antar variabel ekonomi politik. Untuk mengetahui hubungan antara aktivitas lobi dengan pencapaian swasembada dilakukan analisis regresi antara variabel bobot politik produsen, sebagai proksi terhadap aktivitas lobi dan tekanan politik produsen, dengan variabel tingkat swasembada setelah terlebih dahulu dilakukan pengujian stasioneritas data. Tabel 23. Analisis Derajat Integrasi Variabel Ekonomi Politik Notasi WP WG SSR RENT GDPC AREA
Definisi Bobot politik produsen Bobot politik pemerintah Tingkat swasembada gula (%) Rente ekonomi (miliar rp) GDP per kapita (rp) Luas areal kebun tebu (ha)
I(0) -3.345 -3.346 -1.254 -0.983 -2.751 -2.140
Lag 1 1 5 0 1 0
I(1) -4.806 -4.799 -3.717 -14.843 -4.076 -4.189
P-value 0.0034 0.0035 0.0407 0.0000 0.0039 0.0136
Lag 1 1 4 0 0 0
Hasil pengujian menggunakan uji akar unit Augmented Dickey-Fuller (ADF) menunjukkan bahwa data ekonomi politik bersifat tidak stasioner pada level dan terintegrasi pada ordo satu, I(1), sebagaimana tersaji pada tabel 23.
Oleh karena data time series sudah stasioner pada beda pertama dan analisis ditujukan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam jangka pendek maka regresi dapat dilakukan dengan menggunakan data beda pertama sebagaimana disajikan pada persamaan berikut.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan yaitu tingkat swasembada menurunkan pendapatan nasional seperti ditunjukkan oleh tanda parameter aY < 0 dan perluasan areal mempengaruhi peningkatan swasembada aA > 0. Penjelasannya adalah perluasan areal tebu menyebabkan produksi gula naik sehingga meningkatkan derajat swasembada. Namun demikian semakin banyak lahan dan sumberdaya lain yang digunakan untuk memproduksi gula telah menimbulkan biaya efisiensi seperti ditunjukkan oleh gambar 11. Hasil estimasi lengkap disajikan pada tabel berikut. Tabel 24. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat Swasembada Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 Variable C ∆WP ∆WG ∆AREA ∆GDPC R-squared Adjusted R-squared
Coefficient -0.018689 -0.902073 -1.017010 1.53E-06 -8.64E-09 0.223568 0.094163
Std. Error 0.024309 0.668878 0.697521 8.51E-07 7.15E-08
t-Statistic -0.768787 -1.348635 -1.458035 1.792135 -0.120883
Prob. 0.4495 0.1900 0.1578 0.0857 0.9048
Sementara itu aktivitas lobi justru berhubungan negatif dengan pencapaian swasembada sebagaimana terlihat dari nilai parameter aP < 0. Hal ini sesuai perkiraan karena aktivitas lobi dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pribadi produsen, terutama produsen yang mendapat fasilitas IT. Gambar berikut menunjukkan bahwa pencapaian swasembada sangat ditentukan oleh perilaku permintaan terhadap gula impor bukan oleh perilaku produksi, terutama pada
periode pengaturan impor setelah keluarnya SK Menperindag 527/2004. Keluarnya regulasi tersebut mampu mendorong peningkatan produksi gula namun pada saat bersamaan impor gula yang dilakukan pemegang IP dan IT juga meningkat sehingga tingkat swasembada relatif tetap.
Gambar 32. Perkembangan Produksi, Ekspor Neto dan Swasembada Gula Tahun 1980-2009 Hasil yang diluar perkiraan adalah hubungan antara bobot politik pemerintah dengan pencapaian swasembada juga bertanda negatif (aG < 0) . Dari penelusuran literatur tidak ditemukan interpretasi ekonomi politik yang memuaskan mengenai hal ini namun ia menunjukkan bahwa pemerintah merupakan kelompok yang menerima manfaat dari kebijakan pembatasan impor terutama berupa pajak impor dan rente yang diterima oleh pabrik gula serta IP dan IT gula BUMN. Namun demikian hasil estimasi yang diperoleh kurang memuaskan secara statistik karena menghasilkan koefisien determinasi relatif kecil (R2 = 22.3 %) dan sebagian besar parameter yang dihasilkan hanya signifikan pada α = 20 %.
Sebagai perbandingan, estimasi parameter hubungan antara aktivitas lobi dengan pencapaian swasembada dilakukan dengan menggunakan data level sebagaimana dinyatakan oleh persamaan berikut.
Hasil regrasi menggunakan metode OLS disajikan pada tabel berikut. Tabel 25. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat Swasembada Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 Variable C WP WG AREA GDPC R-squared Adjusted R-squared
Coefficient -1.284765 0.820094 0.810258 2.36E-06 -1.44E-07 0.739003 0.697243
Std. Error 1.933354 0.735472 0.754078 4.78E-07 1.77E-08
t-Statistic -0.664527 1.115058 1.074502 4.939638 -8.121928
Prob. 0.5124 0.2754 0.2929 0.0000 0.0000
Hasil estimasi menunjukkan bahwa parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan yaitu aY < 0 dan aA > 0. Akan tetapi aktivitas lobi kelompok produsen berhubungan positif dengan pencapaian swasembada, hal yang tidak sesuai dengan tujuan lobi mengejar kepentingan pribadi mendapatkan rente ekonomi. Namun demikian hasil yang diperoleh ini memuaskan secara statistik karena menghasilkan koefisien determinasi relatif besar (R2 = 73.9 %) dan sebagian parameter signifikan pada α = 5 %.
7.3. Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Untuk mengkonfirmasi tujuan aktivitas lobi kelompok produsen maka dilakukan regresi antara variabel bobot politik dengan besarnya rente ekonomi berdasarkan persamaan berikut.
Hasil regresi dengan metode OLS disajikan pada tabel berikut yang menunjukkan bahwa aktivitas lobi berhubungan positif dengan rente ekonomi dan signifikan pada α = 5 %. Tabel 26. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 Variable C ∆WP ∆WG ∆AREA ∆GDPC R-squared Adjusted R-squared
Coefficient 262.1849 37324.62 40382.60 -0.001080 0.000379 0.180037 0.043377
Std. Error 643.8655 17716.13 18474.77 0.022550 0.001893
t-Statistic 0.407204 2.106816 2.185825 -0.047915 0.200181
Prob. 0.6875 0.0458 0.0388 0.9622 0.8430
Sebagai perbandingan dilakukan estimasi menggunakan data level sebagaimana dinyatakan oleh persamaan berikut. . Hasil regresi ditampilkan pada tabel berikut yang menunjukkan bahwa parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 27. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 Variable C WP WG AREA GDPC R-squared Adjusted R-squared
Coefficient -140800.1 51068.35 54343.58 -0.006385 0.001694 0.704818 0.657589
Std. Error 38745.08 14739.12 15111.99 0.009578 0.000355
t-Statistic -3.634013 3.464816 3.596057 -0.666588 4.766401
Prob. 0.0013 0.0019 0.0014 0.5111 0.0001
Tabel tersebut menunjukkan bahwa aktivitas lobi produsen telah meningkatkan rente ekonomi baik menggunakan data beda pertama ataupun data level (bP > 0) dan signifikan secara statistik, serta parameter bY > 0. Hal ini sejalan dengan temuan Lopez dan Pagoulatos (1994) bahwa aktivitas lobi yang dilakukan melalui kontribusi dana kampanye di Amerika (Political Action Commettees, PAC)
berhubungan positif dengan hilangnya surplus konsumen yang merupakan transfer bagi kelompok produsen (producers’ economic rent). Sementara itu luas areal tebu berpengaruh negatif terhadap rente ekonomi, (bA < 0). Hal ini mengindikasikan bahwa rente ekonomi selain dipengaruhi oleh aktivitas produksi, ia juga diciptakan melalui aktivitas impor. Ketika areal tebu meningkat maka produksi gula domestik naik, namun permintaan impor independen terhadap peningkatan produksi. Model persamaan tunggal yang digunakan pada penelitian ini memiliki keterbatasan dalam menelusuri jalur transmisi hubungan antara luas areal dengan rente ekonomi.
7.4. Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada Untuk menguji konsistensi teori lobi dan tekanan politik seperti diuraikan sebelumnya maka dilakukan regresi antara variabel tingkat swasembada dengan rente ekonomi seperti dinyatakan oleh persamaan berikut.
Sebagai perbandingan dilakukan estimasi menggunakan data level sebagaimana dinyatakan oleh persamaan berikut.
Hasil regrasi menggunakan metode OLS disajikan pada tabel berikut. Tabel 28. Hasil Regresi Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 Variable C ∆RENT ∆AREA ∆GDPC R-squared Adjusted R-squared
Coefficient -0.013590 -2.52E-05 1.56E-06 4.38E-09 0.547421 0.493112
Std. Error 0.018048 5.23E-06 6.30E-07 5.20E-08
t-Statistic -0.752969 -4.807013 2.481817 0.084276
Prob. 0.4585 0.0001 0.0201 0.9335
Tabel 29. Hasil Regresi Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 Variable C RENT AREA GDPC R-squared Adjusted R-squared
Coefficient 0.827256 1.08E-06 2.18E-06 -1.40E-07 0.725289 0.693592
Std. Error 0.107599 8.05E-06 4.70E-07 2.36E-08
t-Statistic 7.688298 0.133668 4.646343 -5.942620
Prob. 0.0000 0.8947 0.0001 0.0000
Estimasi menggunakan data beda memberikan implikasi yang konsisten dengan teori lobi yaitu terdapat hubungan negatif antara swasembada dengan besarnya rente ekonomi (cP < 0). Sementara jika menggunakan data level hasil yang diperoleh menunjukkan arah hubungan yang sebaliknya yaitu terdapat hubungan positif antara besarnya rente dengan tingkat swasembada. Oleh karena itu penggunaan data level pada analisis ini memberikan hasil yang keliru karena tidak sesuai dengan teori lobi dan perburuan rente. Berdasarkan hasil regresi tersebut dibangun hubungan segitiga antara aktivitas lobi, rente ekonomi dan tingkat swasembada seperti disajikan pada Gambar 33. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pendekatan pressure group model atau lobbying model merupakan alternatif yang memberikan penjelasan konsisten mengenai kebijakan pergulaan nasional. Aktivitas lobi oleh kelompok produsen yang menghasilkan kebijakan protektif berupa tarif dan kuota telah meningkatkan produksi melalui pengaruhnya terhadap harga output maupun biaya faktor. Namun tidak seperti pada pasar kompetitif, pada struktur pasar oligopolistik dengan market power produsen berproduksi pada perceived MR = MC yang menghasilkan output lebih kecil dibandingkan output pasar kompetitif namun produsen mendapatkan rente ekonomi karena menerima harga di atas harga paritas impor. Sementara itu importir menerima rente ekonomi sebagai
akibat pembatasan kuota impor karena importir membeli dengan harga dunia dan menjualnya di pasar domestik dengan harga lebih tinggi. Hal ini tidak sulit dilakukan karena importir umumnya adalah prosesor dan produsen gula yang mendapat lisensi impor melalui fasilitas importir produsen dan importir terdaftar. Akibatnya terdapat hubungan negatif antara aktivitas lobi dengan pencapaian tingkat swasembada. Konsekuaensinya adalah terdapat hubungan negatif antara tingkat swasembada dengan besarnya rente ekonomi gula. Lobi/tekanan politik produsen
Rente ekonomi
Tingkat swasembada
Gambar 33. Hubungan Segitiga Ekonomi Politik Swasembada Gula
7.5. Ikhtisar Pada Bab 7 ini disajikan hasil penentuan bobot politik sebagai proksi terhadap aktivitas lobi dan tekanan politik berbagai kelompok kepentingan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kebijakan pergulaan nasional antara tahun 19802009 bias ke arah produsen yang ditunjukkan dengan nilai bobot politik produsen lebih besar dari satu, sementara bobot politik konsumen lebih kecil dari satu. Penjelasan terhadap kebijakan yang bias ke produsen ini dilakukan dengan menggunakan teori kelompok kepentingan yang oleh Becker-Gardner dikatakan kelompok kepentingan demi mendapatkan manfaat dari suatu kebijakan melakukan lobi dan tekanan politik untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan.
Pada sub bab berikutnya, argumentasi mengenai efektivitas lobi dan tekanan politik kelompok produsen tersebut diuji secara empirik dengan melihat hubungan antara aktivitas lobi produsen gula dengan pencapaian swasembada dan besarnya rente ekonomi menggunakan landasan teori perburuan rente. Hasil pengujian dengan mempertimbangkan stasioneritas data konsisten dengan yang diprediksi teori yaitu terdapat hubungan negatif antara aktivitas lobi produsen dengan pencapaian swasembada namun berhubungan positif dengan besarnya rente ekonomi. Konsekuansinya adalah terdapat hubungan negatif antara pencapaian swasembada dengan besarnya rente ekonomi. Selain itu sebagai perbandingan, pengujian juga dilakukan dengan menggunakan data level yang tidak stasioner. Hasilnya adalah penggunaan data level pada penelitian ini tidak memadai karena tidak konsisten dengan teori perburuan rente.
VIII. RENTE EKONOMI DAN SWASEMBADA GULA
Aktivitas lobi dan tekanan politik yang dilakukan kelompok produsen dimaksudkan untuk mendapatkan rente ekonomi yang dihasilkan melalui sebuah kebijakan. Rente ekonomi didefinisikan sebagai imbalan yang diterima pemilik sumberdaya melebihi kemampuan sumberdaya tersebut menghasilkan di tempat lain (next best alternative use). Rente ekonomi, dengan demikian, merupakan penerimaan di atas opportunity cost-nya. Sementara itu perburuan rente (rent seeking) mengacu pada pemborosan sumberdaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan rente tersebut. Oleh karena itu teori perburuan rente mencakup kajian teoritis dan empiris tentang rente ekonomi: bagaimana tercipta, cara mendapatkan, mempertahankan, termasuk biaya dan manfaatnya bagi masyarakat (Tollison, 1982, 1997). Penyebab terjadinya rente cukup beragam. Ia dapat tercipta secara alamiah melalui sistem harga atau terjadi
karena intervensi pemerintah dengan
menciptakan pembatasan pada aktivitas ekonomi. Namun demikian konsep perburuan rente pada penelitian ini hanya mengacu pada terjadinya rente ekonomi yang diakibatkan regulasi pemerintah. Di Indonesia perilaku mencari rente semakin tumbuh subur, terutama setelah era reformasi, sejalan dengan tidak adanya rumusan yang tepat dan dapat diterima mengenai sejauh mana negara mesti berperan dalam mewujudkan kesejahteraan bagi segenap anggota masyarakatnya.
Pada rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Suharto hingga tahun 1997, kebijakan nasional dititikberatkan pada penciptaan stabilisasi ekonomi. Tanpa ekonomi yang stabil maka pertumbuhan yang tinggi tidak dapat terwujud. Berdasarkan pemikiran tersebut maka pemerintah pun berusaha menstabilkan harga gula melalui produksi dalam negeri. Impor dilakukan jika produksi diperkirakan tidak akan mencukupi konsumsi domestik. Rente ekonomi yang terjadi selama periode stabilisasi disebabkan oleh monopoli Bulog atas pengadaan gula impor dan produksi gula dalam negeri. Regulasi yang mendasari adalah Keputusan Presiden Nomor 42/1971 mengenai pengadaan, penyaluran dan pemasaran gula serta Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 122/Kp/III/1981 tentang tata niaga gula pasir. Oleh karena fungsi utama Bulog adalah menjaga stabilitas harga dan pasokan gula maka pemerintah memberi keleluasan pada Bulog untuk mengimpor gula dengan tarif nol persen (Wahyuni, et al., 2009). Penyaluran gula oleh Bulog dilakukan melalui tiga jalur yaitu penyalur swasta, koperasi, dan industri. Penyalur memiliki tugas dan kewajiban menjamin stabilitas harga di daerah tempat mereka terdaftar, menjaga kelancaran suplai gula pasir di daerahnya, serta menjamin kecukupan stok gula pasir setiap saat (Kurniawati, 2008). Oleh karena itu harga gula dalam negeri mendekati harga paritas impornya sehingga rente ekonomi yang terjadi relatif kecil. Disparitas harga dikarenakan adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPn) impor sebesar 10 persen, Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 2.5 persen, PPn lokal sebesar 10 persen dan cukai gula 4 persen.
Setelah kejatuhan rezim Suharto karena terjadi krisisi ekonomi tahun 1997 yang berlanjut dengan krisis politik, Indonesia memasuki masa transisi demokrasi yang ditandai oleh pergantian pemerintahan yang begitu cepat. Presiden B.J. Habibi yang menggantikan Suharto pada tanggal 21 Mei 1998 tidak memiliki banyak waktu dan pilihan ketika harus meliberalisasi perdagangan sesuai dengan Letter of Intent (LoI) yang telah disepakati oleh Suharto dengan Dana Moneter International (IMF). Perubahan penting berkenaan dengan pelaksanaan LoI IMF yang menghapus monopoli Bulog dalam sektor gula adalah produksi gula petani tidak lagi dibeli oleh pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan, tetapi petani tebu dapat menjual langsung ke pasar pada harga yang berlaku. Impor gula boleh dilakukan oleh Importir Umum (IU) dan pemerintah tidak lagi menetapkan harga provenue. Akibatnya pasar gula dalam negeri terhubung langsung dengan pasar gula dunia dengan jumlah imporitr gula mencapai 800 perusahaan. Implikasinya adalah alokasi penggunaan lahan tergantung pada harga relatif komoditi yang dihasilkan. Terlebih ketika pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 1998 menghapuskan pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang memaksa petani harus menanam tebu. Menjelang berakhirnya rezim pemerintahan Habibi, Menteri Perindustrian dan Perdagangan
(Menperindag) Rahardi Ramelan
mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 364/MPP/Kep/8/1999 yang menetapkan impor gula tidak lagi dilakukan oleh importir umum tetapi oleh Importir Produsen yang terdiri dari pabrikan gula. Akibatnya harga gula domestik terus naik meskipun harga gula dunia turun dari tahun sebelumnya. Melihat hal tersebut Menperindag Yusuf Kala pada rezim Presiden Abdurrahman Wachid kembali membebaskan impor gula
kepada importir umum untuk menambah suplai gula domestik namun dengan mengenakan tarif ad valorem 20 persen untuk gula mentah dan 25 persen untuk gula kristal putih dan rafinasi melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) 717/MPP/Kep/12/1999 tentang pencabutan tata niaga
impor
gula
dan
364/MPP/Kep/8/1999
beras,
tentang
sekaligus
Tata
Niaga
mencabut Impor
Kepmenperindag Gula.
Keluarnya
Kepmenperindag No. 717/1999 dimaksudkan untuk melindungi petani tebu dan industri gula domestik dari persaingan langsung dengan gula impor. Akibatnya disparitas harga terjadi dan meningkatnya rente ekonomi yang diterima petani, pabrik gula dan importir. Ketika Presiden Megawati menggantikan Abdurahman Wachid melalui proses politik damai, Menperindag Rini S. Soewandi melakukan re-regulasi impor gula
dengan
mengeluarkan
Surat
Keputusan
(SK)
Menperindag
643/MPP/Kep/9/2002 yang kemudian diperbarui dengan SK Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 mengenai Ketentuan Impor Gula (KIG). Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari Penetapan Gula Sebagai Barang dalam Pengawasan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004. Pasal 3 dari SK 57/2004 tersebut menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan perdagangan gula diatur oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan. Latar belakang munculnya regulasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari lobi dan tekanan politik yang dilakukan APTRI (Kurniawati, 2008; Stapleton, 2006). Ketentuan impor gula tidak hanya mengatur tata cara impor tetapi juga secara eksplisit membedakan segmen pasar gula yaitu GKP untuk konsumsi
langsung rumahtangga dan GKR untuk bahan baku industri. Adanya segmentasi menyebabkan kedua jenis gula tersebut tidak dapat saling menggantikan atau melengkapi. Akibatnya ketika salah satu jenis gula mengalami goncangan produksi maka kekurangannya tidak dapat dipenuhi oleh gula yang lainnya meskipun terdapat kelebihan stok, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian harga gula dalam negeri sangat mudah berfluktuasi namun dengan kecenderungan harga untuk meningkat karena permintaan yang tidak elastik dan produksi yang tidak efisien. Segmentasi
pasar
yang
tidak
memungkinkan
terjadinya kompetisi
merupakan arena politik yang kondusif bagi berbagai kelompok kepentingan mencari rente ekonomi. Petani tebu yang memiliki lahan dan modal terbatas semestinya dilindungi dari kompetisi langsung yang tidak seimbang dengan pabrik gula rafinasi besar dan padat modal. Namun jika harga gula yang tinggi tersebut dinikmati oleh kelompok petani daun, --petani yang tidak menanam tebu, pedagang dan pabrik gula yang tidak efisien maka telah terjadi penghamburan sumberdaya riil yang tidak adil bagi masyarakat. Selain itu pasal 3 ayat (2) dari SK 527/2004 menyatakan bahwa perusahaan yang ingin mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen (IP) harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan rekomendasi teknis dari Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian dalam hal impor GKM yang dipergunakan untuk bahan baku pembuatan GKP gula memanfaatkan kapasitas yang belum terpakai (iddle capacity). Untuk mendapatkan rekomendasi teknis tersebut perusahaan harus memenuhi sejumlah kelengkapan antara lain pernyataan tidak keberatan dari Asosiasi Petani Tebu
Rakyat di wilayah kerja perusahaan yang bersangkutan. Tanpa persetujuan dari asosiasi ini maka perusahaan tidak akan mendapat izin impor GKM. Selanjutnya pada pasal 9 dari regulasi tersebut dinyatakan bahwa perusahaan yang ingin mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar (IT) gula adalah perusahaan yang perolehan tebunya paling sedikit 75% bersumber dari petani tebu atau merupakan hasil kerjasama dangan petani tebu setempat. Bukti perolehan tebu sebagaimana dimaksud didasarkan pada surat keterangan perolehan tebu dari
Asosiasi Petani Tebu Rakyat di wilayah kerja perusahaan yang bersangkutan. Tanpa surat keterangan dari asosiasi ini maka perusahaan tidak akan mendapat izin impor GKP. Kedua ketentuan ini juga sangat potensial bagi aktivitas memburu rente terutama oleh APTR melalui kewenangan memberi surat pernyataan tidak keberatan terhadap IP dan bukti perolehan tebu bagi pemegang IT untuk melakukan impor gula. Untuk mendapatkan surat pernyataan dan bukti perolehan tebu tentu bukan tanpa biaya. Rente ekonomi bukan hanya diterima APTR tetapi juga oleh para birokrat pada rezim yang mengeluarkan KIG (Stapleton,2006). Regulasi ini juga mengatur penunjukan investor yang memberikan dana talangan kepada petani sementara menunggu gula produksi petani dilelang (sekitar 2-3 bulan) untuk persiapan petani menanam tebu musim berikutnya. Hal tersebut diatur pada pasal 13 KIG yang menyatakan bahwa penyediaan dana talangan merupakan kewajiban pemegang IT atas lisensi impor gula yang diberikan pemerintah. Dana talangan merupakan pembayaran sementara terhadap gula petani yang nilainya sebesar harga patokan petani (HPP) dikali jumlah gula yang dihasilkan.
Agar dapat ikut serta dalam pemberian dana talangan investor yang berminat harus mendapat persetujuan dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat setempat dan adiministrasinya dilakukan oleh PTPN/RNI di wilayah pabrik gula tempat petani menggiling. Jika terdapat selisih antara dana talangan dengan harga lelang maka keuntungan dibagi antara petani dengan investor dengan perbandingan 60 persen untuk petani dan 40 persen untuk investor atau berdasar perjanjian yang disepakati sebelumnya. Sistim
pemberian
dana
talangan
dengan
menggunakan
jasa
investor/mitra/pedagang telah menciptakan peluang mencari rente. Agar dapat ikut serta dalam program dana talangan maka investor yang berminat harus mendapat persetujuan dari APTR setempat. Untuk mendapatkan surat persetujuan tersebut ada biayanya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika upaya merevisi KIG oleh Menteri Perdagangan Mari E. Pangestu pada rezim pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mendapat penolakan keras dari kelompok-kelompok yang potensial mendapat rente ekonomi besar dari regulasi tersebut. Kerumitan yang terjadi di industri gula menyebabkan peneliti membatasi analisis perburuan rente pada dua kegiatan perburuan yaitu,
(1) rente yang
tercipta dari proses produksi, dan (2) rente yang dihasilkan dari kegiatan impor. Ketika analisis ekonomi konvensional memperlakukan rente tersebut sebagai transfer murni yang tidak memiliki dampak terhadap perekonomian, Tullock memberikan insight dengan melihat transfer tersebut sangat potensial menjadi biaya sosial yang tidak produktif.
8.1. Rente dari AktivitasProduksi
Pada struktur pasar yang oligopolistik, produsen yang jumlahnya terbatas cenderung membuat kesepakatan tidak tertulis mengenai berbagai aspek produksi dan pemasaran guna menciptakan kekuatan pasar. Kesepakatan tersebut dibuat untuk mengurangi tingkat persaingan sesama produsen gula sehinga produsen dapat berperilaku laksana seorang monopolis dan menciptakan marjin yang besar antara harga jual dengan biaya produksi. Guna memudahkan organisasi, para produsen gula membentuk asosiasi yang terdiri dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Asosiasi Gula Indonesia (AGI), dan Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Namun demikian adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mencegah produsen melakukan kolusi untuk mendapatkan kekuatan pasar. Pada gambar 1 terlihat bahwa besarnya rente ekonomi yang dihasilkan dari proses produksi ditunjukkan oleh daerah
PmcaPw yang diterima berbagai kelompok
penghasil gula yaitu petani tebu, PG BUMN dan PG swasta. Dengan menggunakan harga paritas impor pada kondisi free trade sebagai opportunity cost sumberdaya, maka selama rezim pengaturan ini rata-rata rente ekonomi yang diterima berbagai kelompok produsen sekitar Rp. 3.8 triliun per tahun. Tabel berikut menyajikan distribusi rente ekonomi berdasarkan kategori produsen. Tabel 30. Distribusi Rente Ekonomi yang Diterima Produsen Gula Indonesia Tahun 2003-2009 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Petani 1 384 1 142 1 995 1 445 3 580 1 899
Rente Ekonomi (Milyar Rupiah) PG. BUMN PG. Swasta 611 697 426 710 708 1 044 534 739 1 004 1 618 490 910
Jumlah 2 692 2 278 3 747 2 718 6 202 3 298
2009 3 111 Rata-rata 2 079 Keterangan: Ditjen Perkebunan (diolah)
827 657
1 795 1 073
5 732 3 810
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa antara tahun 2003-2009 rente ekonomi dari aktivitas produksi terbesar dinikmati oleh petani tebu (Rp. 2.1 triliun), diikuti oleh PG swasta (Rp. 1.1 triliun) dan PG BUMN (Rp. 657 miliar) per tahun. Komposisi rente ini bersifat proporsional dengan jumlah gula yang dihasilkan oleh masing-masing kategori produsen. Distribusi rente ini seakan-akan menempatkan petani sebagai penerima manfaat terbesar dari kebijakan pergulaan nasional. Namun sebagian dari rente yang diterima petani tebu tersebut dinikmati oleh pedagang perantara (makelar tebu) yang umumnya diperankan oknum pengurus APTRI yang mendapatkan akses giling walaupun tidak memiliki lahan tebu. Para makelar tebu bekerja sama dengan karyawan PG yang mengeluarkan Surat Perintah Tebang Angkut (APTA) telah berperan menciptakan tingginya biaya transaksi yang ditanggung petani sehingga menggerus rente ekonomi tersebut. Penelitian Yustika (2008) menemukan bahwa biaya transaksi yang ditanggung petani tebu mencapai 50% dari keseluruhan biaya usahatani. Tingginya biaya transaksi yang ditanggung petani tebu, terutama petani tebu mandiri, dikarenakan kesulitan mendapatkan akses giling sehingga mereka terpaksa menggunakan jasa perantara atau menjual tebu tersebut kepada oknum APTRI untuk menghindari kehilangan bobot tebu atau menurunnya rendemen jika tebu digiling lebih dari 24 jam sejak ditebang. Sementara itu bagi petani tebu kontrak, mereka mendapatkan akses giling tetapi tidak memiliki kendali terhadap perhitungan pengeluaran karena semua dilakukan oleh manajemen pabrik gula mulai dari perhitungan bunga pinjaman hingga biaya angkut dan penentuan
rendemen. Di akhir proses kerjasama tersebut, petani menerima bagian gula berdasarkan perhitungan biaya yang dilakukan oleh manajemen pabrik gula. Gambar 34 menunjukkan bahwa pembatasan impor gula melalui tarif dan kuota telah meningkatkan produksi gula nasional dari 1.6 juta ton pada tahun 2003 menjadi 2.8 juta ton pada tahun 2009 dengan petani sebagai kontributor terbesar produksi gula yang mencapai 54 persen, diikuti PG swasta sekitar 31 persen dan PG BUMN sekitar 15 persen.
Sumber: Ditjen Perkebunan (diolah)
Gambar 34. Perkembangan Produksi Gula Indonesia Tahun 2003-2009 Selain itu terdapat kecenderungan menurunnya kontribusi PG BUMN dalam menghasilkan gula dari 23 persen pada tahun 2003 menjadi sekitar 15 persen pada tahun 2009 sementara kecenderungan sebaliknya terjadi pada PG swasta yang mengalami peningkatan dari 26 persen menjadi 31 persen. Di sisi lain meskipun secara nominal produksi gula petani mengalami peningkatan namun dilihat dari share gula yang dihasilkan cenderung tetap.
Dari sisi luas areal diketahui bahwa selama periode tersebut luas areal tebu juga meningkat dari 335 ribu hektar menjadi 443 ribu hektar dimana peningkatan tersebut dikarenakan bertambahnya luas areal tebu rakyat milik petani dari semula 172 ribu hektar menjadi 255 ribu hektar (Gambar 35). Sementara itu areal tebu milik PG swasta cenderung tetap sebagai akibat belum tersedianya infrastruktur dan kesulitan memperoleh lahan Hak Guna Usaha (HGU) terutama di luar Pulau Jawa. Hal ini mengindikasikan peningkatan share gula dari PG swasta lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas Oleh karena itu alternatif yang paling mungkin untuk lebih mempercepat peningkatan produksi adalah melalui penggunaan varietas unggul yang memiliki produktivitas tinggi (intensifikasi).
Sumber: Ditjen Perkebunan (diolah)
Gambar 35. Perkembangan Luas Areal Tebu Indonesia Tahun 2003-2009
8.2. Rente dari Aktivitas Impor Evolusi kebijakan perdagangan gula dengan pemberlakuan tarif dan kuota impor memberikan peluang bagi terjadinya aktivitas perburuan rente. Hal ini
dikarenakan produsen gula melakukan lobi terhadap pembuat keputusan agar kebijakan tarif dan kuota tetap dipertahankan. Selain itu kebijakan pemerintah menghapuskan importir umum dan hanya memberikan izin impor gula kepada Impotir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT) sejak tahun 2002 sesuai dengan SK Menperindag 643/2002 yang diperbarui dengan SK No. 527/2004 telah menciptakan peluang tambahan bagi aktivitas mencari rente karena pemegang IP dan IT umumnya adalah pemilik pabrik gula yang juga mendapatkan perlindungan dari tarif dan kuota impor. Bhagwati (1982) menggunakan konsep perburuan rente untuk kegiatan ini dengan istilah Directly Unproductive Profitseeking (DUP) activity. Berdasarkan konsep ini para pemburu rente melakukan tariff-seeking lobbying dengan tujuan mendapatkan policy transfer benefit yang walaupun menciptakan profit namun tidak menambah output ataupun jasa yang masuk dalam fungsi utilitas konvensional.
Tabel berikut menyajikan distribusi
rente yang diterima pemerintah dan importir antara tahun 2003-2009. Tabel 31. Rente Ekonomi yang Diterima Importir dan Pemerintah Indonesia Tahun 2003-2009 Rente Ekonomi (Milyar rupiah) Total Importir 2003 2 383 1 372 2004 1 223 353 2005 3 277 1 728 2006 1 639 540 2007 6 943 4 622 2008 1 809 653 2009 4 949 3 965 Rata-rata 3 175 1 890 Sumber: diolah dari berbagai sumber Tahun
Pemerintah 1 011 870 1 549 1 099 2 320 1 156 984 1 284
Tabel tersebut menunjukkan bahwa rente ekonomi yang diakibatkan aktivitas impor sekitar Rp. 3.2 triliun per tahun yang sebagian merupakan penerimaan pajak impor sedangkan pemegang IP dan IT menerima rata-rata Rp. 1.9 triliun per tahun antara tahun 2003-2009. Selain itu pada tahun 2007 rente ekonomi yang
diterima importir mencapai titik tertinggi yaitu sebesar Rp. 4.6 triliun. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut harga gula dunia mengalami penurunan namun pada saat yang sama harga gula di dalam negeri meningkat dari tahun sebelumnya seperti terlihat pada gambar 36 berikut.
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Gambar 36. Perkembangan Harga Gula di Indonesia Tahun 2003-2009 Selain itu pada saat yang sama volume impor mencapai angka tertinggi yang mencapai 2.6 juta ton. Rente ekonomi kemudian menurun pada tahun 2008 karena sebab yang sebaliknya yaitu harga gula domestik menurun sementara harga gula dunia meningkat dan volume impor turun menjadi 1.5 juta ton (Gambar 37).
Sumber: FAO (diolah)
Gambar 37. Perkembangan Impor Gula Indonesia Tahun 2003-2009
Selanjutnya pada tahun 2009 pemerintah menurunkan besaran tarif dari Rp. 790 menjadi Rp. 400 per kilogram yang menyebabkan penerimaan pajak pemerintah menurun sementara rente ekonomi importir meningkat. Gambar berikut menyajikan volume impor gula Indonesia antara tahun 2003-2009. Berkembangnya industri yang menggunakan gula sebagai bahan baku menyebabkan impor gula rafinasi cenderung meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 2007 ketika Indonesia tercatat sebagai negara importir gula rafinasi terbesar di dunia. Namun sejalan dengan bertambahnya jumlah pabrik gula rafinasi dan efektifnya aktivitas lobi dari AGRI maka sejak tahun 2008 pemerintah hanya mengizinkan impor gula untuk kebutuhan industri dalam bentuk gula mentah untuk dimurnikan menjadi gula rafinasi guna menciptakan nilai tambah yang lebih besar di dalam negeri.
8.3. Distribusi Rente Ekonomi Dengan memperhitungkan peran BUMN (PTPN IX, X, XI, PT RNI, BULOG, dan PPI) dalam importasi gula sekitar 10 % maka tabel berikut menunjukkan negara/pemerintah
merupakan penerima rente ekonomi terbesar dari regulasi
yang mengatur pergulaan nasional (32.7%), diikuti oleh petani tebu (30.71%), importir produsen ( 20.48%) dan PG swasta (16.11%). Namun demikian penelitian Yustika (2008) mengindikasikan bahwa sebagian rente yang diterima petani tebu (50%) hilang dalam bentuk biaya transaksi sehingga berdasarkan temuan tersebut distribusi rente yang diterima petani menjadi 15.4 persen.
Tabel 32. Distribusi Rente Ekonomi Gula yang Diterima Berbagai Kelompok Kepentingan di Indonesia dan Dead Weight Loss Tahun 2003-2009 Tahun
Total Rent Distribusi rente ekonomi (%) DWL (milyar (Milyar Petani2) PG Swasta Importir3) Negara1) rupiah) Rupiah) 2003 5 075 31.96 27.27 13.73 27.03 124.54 2004 3 501 37.02 32.62 20.28 10.08 60.53 2005 7 024 32.13 28.40 14.86 24.60 137.03 2006 4 357 37.48 33.17 16.96 12.39 54.98 2007 13 145 25.29 27.23 12.31 35.16 303.93 2008 5 107 32.23 37.18 17.82 12.79 65.30 2009 10 681 16.96 29.13 16.81 37.12 157.31 Rata-rata 6 984 30.44 30.71 16.11 22.74 129.09 Sumber: diolah dari berbagai sumber Keterangan: 1) Penjumlahan rente PG BUMN dan penerimaan pajak impor 2) Setengahnya hilang dalam bentuk biaya transaksi 3) Termasuk impor yang dilakukan BUMN (IT gula) sekitar 10 % dari volume
Tabel
tersebut
menunjukkan
bahwa
negara/pemerintahlah
yang
paling
berkepentingan terhadap kebijakan pergulaan yang protektif tersebut karena ia merupakan penerima rente terbesar (30.44% + 2.27% = 32.7%), sementara petani tebu yang harus dilindungi ternyata merupakan kelompok yang menerima rente ekonomi gula paling sedikit (15.4%) karena tingginya biaya transaksi. Selain mengakibatkan terjadinya transfer surplus dari konsumen ke importir dan pemerintah, kebijakan tarif dan kuota impor menyebabkan terjadinya kemakmuran yang hilang (welfare loss). Dari tabel tersebut terlihat bahwa kehilangan kemakmuran pasca keluarnya SK Menperindag 643/2002 nilainya rata-rata mencapai 129 milyar rupiah per tahun.
8.4. Biaya Sosial Perburuan Rente Penggunaan segitiga Harberger banyak dikritik karena menghasilkan biaya sosial perburuan rente relatif kecil namun menggunakan metodologi Tullock menghasilkan biaya yang relatif tinggi. Pada penelitian ini segitiga Harberger
digunakan sebagai batas bawah dan kehilangan surplus konsumen seperti digunakan Tullock sebagai batas atas biaya sosial perburuan rente seperti dilakukan Lopez dan Pagoulatos (1994). Hasil perhitungan disajikan pada tabel berikut. Tabel 33. Biaya Sosial Perburuan Rente di Industri Gula Indonesia Tahun 2003-2009 Nilai Konsumsi Gula1) Biaya sosial rent seeking thp nilai konsumsi (%) (ribu rupiah) Batas atas2) Batas bawah3) 2003 11 263 341 863 47.27 1.11 2004 11 027 741 829 32.85 0.55 2005 19 608 116 088 37.22 0.70 2006 18 799 350 463 23.76 0.29 2007 29 030 771 384 45.94 1.05 2008 21 737 282 305 24.09 0.30 2009 34 733 190 885 29.75 0.45 Rata-rata 20 885 684 974 34.41 0.64 Sumber: diolah dari berbagai sumber Keterangan: 1) Luas segi empat PmxQ20; 2) Rasio trapisium PmxzPw terhadap segi empat PmxQ20; 3) Rasio segitiga xbz terhadap segi empat PmxQ20. Tahun
Tabel tersebut memperlihatkan biaya sosial perburuan rente di industri gula Indonesia jika menggunakan Harberger deadweight loss (segitiga xbz pada gambar 1) adalah relatif kecil (Rp. 129 miliar per tahun), jika dibandingkan dengan nilai konsumsi gula nilainya sekitar 0.64 persen. Sementara itu jika menggunakan metodologi Tullock maka biaya sosial rent seeking tersebut mencapai 34.41 persen dari rata-rata nilai konsumsi gula yang mencapai Rp. 20.9 triliun per tahun. Sebagai perbandingan, penelitian Lopez and Pagoulatos (1994) menemukan besarnya biaya sosial perburuan rente di industri gula Amerika (sugar confectionary) antara 3.4 persen hingga 20 persen dari nilai konsumsi sementara untuk gula rafinasi angkanya lebih besar lagi yaitu antara 11.32 persen (Harberger) hingga 56.68 persen (Tullock/Posner). Informasi mengenai aktivitas perburuan rente di industri gula tidak tersedia karena sebagian dari kegiatan tersebut adalah ilegal. Namun dari berbagai sumber
diperoleh informasi bahwa aktivitas perburuan rente di industri gula Indonesia dapat berupa penyuapan,3 kontribusi dana kampanye,4 korupsi,5 penyelundupan,6 pasar gelap,7 mempekerjakan keluarga pejabat (regulator) atau bahkan pejabat tersebut jika pensiun, layanan liburan dan trasportasinya, keanggotaan pada kelompok hobi (golf) atau asosiasi pengusaha, makan malam/siang mewah dan berbagai aktivitas perburuan rente bersifat in-kind dan indirect yang sulit dikuantifikasi. Biaya sosial dari perilaku mencari rente tersebut lebih besar dari manfaat transfer yang diterima produsen, importir dan pemerintah karena adanya kemakmuran yang hilang. Tullock (1993) menyatakan perilaku mencari rente menimbulkan negatif sum game pada situasi pasar politik yang tidak sempurna. Tingginya rente ekonomi berkorelasi negatif dengan pencapaian tingkat swasembada dan ini konsisten dengan hubungan negatif aktivitas lobi dengan pencapaian swasembada. Implikasinya adalah program swasembada telah menyebabkan tingginya biaya sosial yang ditanggung masyarakat. Ketika kotak hitam perburuan rente telah dibuka, kesulitan tetap menghadang setiap upaya perbaikan. Alasannya adalah para pemburu rente akan mengerahkan segenap daya dengan melakukan tekanan politik dan lobi untuk mengamankan rente ekonomi yang telah dinikmati (rent protection). Pengeluaran untuk mempertahankan rente ini analog dengan kegiatan mendapatkan rente itu 3
Stapleton, T. 2006. Kompas.com, 12/5/2009. Kasus PT RNI: Megawati Disebut Terima Rp. 500 Juta. 5 Kabarbisnis.com, 6/2/2010. AMATI Laporkan Direksi 4 Perusahaan Perkebunan Negara ke Kejati Jatim. --------, 5/2/2010. APTRI: Kasus Dana Talangan Untuk Belokkan Kasus Bongkar Ratun. --------, 9/2/2010. PTPN XI Siap Diaudit Terkait Isu Korupsi Dana Talangan. Kontan Online, 26/5/2009. Kasus Korupsi Penjualan Gula Putih: Ranendra akui talangi duit RNI. 6 Tempointeraktif .com. 25/04/2005. TNI AL Membongkar Penyelundupan 15 Ribu Ton Gula. Kompas.com, 24/02/2009. Polisi Sita 90 Ton Gula Ilegal. 7 Suara Merdeka, 24/05/2010. Industri Disinyalir Edarkan Gula Rafinasi. 4
sendiri karena mereka one-for-one dalam arti biaya sosial yang ditimbulkan (Tollison, 1997). Tekanan politik tersebut bukan sekedar untuk menghambat reformasi pergulaan itu sendiri tetapi sekaligus mengalahkan rasionalitas pandangan utilitarian yang mendasari deregulasi industri gula. Para pemburu rente secara intensif melakukan tekanan politik untuk menunjukkan bahwa deregulasi industri gula secara sosial bukan saja tidak bermanfaat, bahkan dapat memperburuk keadaan. Hal ini terlihat dari banyaknya aksi demontrasi dan lobi untuk menolak revisi terhadap SK Menperindag No. 527/2004.8
8.5. Prospek dan Implikasi Swasembada Berdasarkan data historis produksi dan perdagangan gula tahun 1960-2009, swasembada gula Indonesia mencapai tingkat tertinggi 118 persen pada tahun 1963. Namun pasca terjadinya pergolakan politik tahun 1965 produksi dan swasembada gula kemudian menurun. Presiden Suharto kemudian mengeluarkan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intesifikasi (TRI) yang menyebabkan produksi gula meningkat dengan laju 7 persen per tahun sementara impor neto hanya naik dengan laju 2 persen per tahun antara tahun 1965-1984. Hasilnya Indonesia kembali mencapai swasembada gula 100 persen pada tahun 1984-1985. Setelah itu tingkat swasembada terus menurun dan pada tahun 2009 tingkat swasembada hanya mencapai 49.2 persen karena produksi gula 2.5 juta ton sementara impor neto mencapai 2.6 juta ton.
8
Tempo Interaktif, 24/4/2008. Asosiasi Gula Minta Pasar Gula Rafinasi dan Tebu Dibedakan. --------, 13/12/2009. Revisi Tata Niaga Gula Diminta Ditinjau Ulang --------, 21/12/2010. Tolak Gula Rafinasi, APTR Protes Gubernur Jatim
Sumber: FAO (diolah)
Gambar 38. Perkembangan Swasembada Gula Indonesia Tahun 1960-2009
Melihat kecenderungan tersebut Presiden Yudhoyono dalam periode 5 tahun kedua pemerintahannya bertekad mewujudkan kembali swasembada gula tahun 2014 sebagaimana tercantum dalam Road Map Swasembada Gula Nasional tahun 2010-2014. Bagi pemerintah, swasembada merupakan syarat perlu bagi terwujudnya ketahanan dan kemandirian pangan (Azahari, 2008). Kementrian Pertanian kemudian menargetkan produksi gula tahun 2014 sebanyak 5.7 juta ton untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi rumahtangga sebesar 3 juta ton dan 2.7 juta ton untuk kebutuhan industri. Hal ini berarti produksi gula harus dinaikkan rata-rata 23 persen per tahun yang berasal dari penambahan luas areal tebu 16 persen dan peningkatan produktivitas on-farm serta perbaikan efisiensi pabrik gula masing-masing 2 persen per tahun. Demi mencapai target tersebut pemerintah melaksanakan Program Revitalisasi Industri Gula yang meliputi revitalisasi sektor on-farm melalui perluasan areal dan peningkatan produktivitas melalui Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Tebu, serta revitalisasi
sektor off-farm meliputi rehabilitasi, peningkatan kapasitas giling, amalgamasi, peningkatan efisiensi pabrik, dan peningkatan kualitas gula. Tabel berikut menyajikan sasaran produksi gula menuju swasembada tahun 2014. Tabel 34. Sasaran Produksi untuk Mencapai Swasembada Gula Indonesia Tahun 2014 Uraian 2010 Areal (ha) 464 640 Produksi tebu (ton) 37 450 000 Produktivitas (ton/ha) 80.60 Rendemen (%) 8.00 Produksi hablur (ton) 2 996 000 Produktivitas hablur (ton/ha) 6.45 Sumber: Kementrian Pertanian (2010)
2011 572 122 47 743 581 83.45 8,10 3 867 230 6.76
2012 631 846 53 612 133 84.85 8.20 4 396 195 6.96
2013 691 952 58 746 725 84.90 8.40 4 934 725 7,13
2014 766 613 67 061 705 87.48 8.50 5 700 000 7.44
Untuk menggiling tebu dari perluasan areal maka pemerintah menggunakan tiga skenario pembangunan pabrik gula yaitu: (1) 10 unit pabrik gula baru masingmasing berkapasitas 15 ribu TCD; (2) 15 unit dengan kapasitas masing-masing 10 ribu TCD; atau (3) 25 unit dengan kapasitas masing-masing 6 ribu TCD. Perluasan dan pembangunan pabrik gula baru tersebut dilakukan di luar Pulau Jawa. Dari sisi ekonomi-teknis, upaya peningkatan produksi gula dengan laju ratarata 23 persen per tahun merupakan pekerjaan besar dan penuh tantangan, sementara dari sisi ekonomi politik ia merupakan sebuah target yang sangat tidak realistis
bukan
mengakibatkan
saja
karena
swasembada
tingginya menjadi
aktivitas
mahal
tapi
perburuan juga
rente
yang
implikasi
yang
ditimbulkannya. Dengan kata lain, target kembar industri gula yang ingin dicapai pemerintah (twin target) yaitu swasembada gula pada satu sisi dan menyediakannya dengan harga murah bagi masyarakat pada sisi lain merupakan sasaran yang tidak realistis.
Pertama, aktivitas lobi dan tekanan politik terjadi di Pulau Jawa khususnya di Jawa Timur dimana lebih dari 60 persen gula diproduksi. Perluasan areal dan pembangunan pabrik gula baru yang efisien di Luar Jawa tanpa diikuti peningkatan efisiensi produksi di Jawa menyebabkan swasembada berbiaya tinggi. Hal ini dikarenakan penentuan Biaya Pokok Produksi (BPP) sebagai dasar penetapan HPP gula dilakukan dengan mengacu pada efisiensi usahatani tebu milik petani dan pabrik gula PTPN/RNI di Jawa yang umumnya tidak efisien. Ketika BPP tinggi maka pemerintah menetapkan HPP antara 10 sampai 15 persen lebih tinggi dari BPP tersebut. Akibat selanjutnya harga gula di tingkat produsen dan konsumen pun semakin tinggi. Jika harga gula di tingkat produsen (Rp.6974/kg) dan harga paritas impor (Rp. 4963/kg) diasumsikan tetap selama rentang 5 tahun menuju swasembada tahun 2014 maka biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat untuk mencapai swasembada gula 5.7 juta ton mencapai 44 triliun atau rata-rata 8.8 triliun rupiah per tahun. Kedua, manajemen PTPN/PT. RNI, seperti juga produsen kebijakan pada umumnya, lebih mengutamakan perspektif berpikir jangka pendek. Akibatnya revitalisasi pabrik gula di Jawa berjalan sangat lambat terutama pabrik gula dibawah manajemen PTPN/RNI pemegang IT. Hal ini dikarenakan pabrik gula pemegang IT tidak memiliki insentif melakukan revitalisasi yang berorientasi jangka panjang karena rente ekonomi terbesar diperoleh dari fasilitas impor yang sifatnya jangka pendek. Upaya restrukturisasi, rekayasa ulang dan revitalisasi untuk meningkatkan efisiensi ini telah disepakati sejak tahun 1998 yang berarti lebih dari 20 tahun, namun perkembangannya sangat lambat.9 Sementara itu upaya
9
Kompas.com. 20/8/2010. Pergulaan: Mewujudkan Ambisi Swasembada Gula.
perbaikan melalui Kerja Sama Operasi (KSO), amalgamasi, penutupan pabrik gula yang tidak efisien mendapat penolakan dari petani, APTRI, buruh pabrik, manajemen internal pabrik gula, bahkan pemerintah daerah. Lebih dari itu rekomendasi Tim Khusus Pengkajian Kebijakan Komprehensif Agribisnis Gula Nasional yang dibentuk oleh Menteri Pertanian berdasarkan Surat Tugas 134/Kp.440/A/VI/2003 untuk menyehatkan dan menyelamatkan industri gula nasional tidak mendapat dukungan dari pemangku kepentingan lain di industri gula termasuk dari kementrian lain (Sawit, et al., 2004). Hal ini menunjukkan para pemburu rente terus menghalangi setiap upaya perbaikan dan peningkatan efisiensi di industri gula nasional terutama di PG milik negara. Oleh karena itu hal yang sangat penting dilakukan terlebih dahulu sebelum mencanangkan swasembada adalah membuat keputusan politik mengenai penanganan inefisiensi produksi gula di Pulau Jawa yang tidak hanya memiliki dimensi ekonomi politik tinggi tetapi juga memiliki dimensi sosial dan budaya. Ketiga, inefisiensi produksi gula di Jawa menyebabkan ketidakadilan antar wilayah terutama bagi daerah yang tidak memiliki kebun tebu dan pabrik gula karena masyarakatnya harus membeli gula dengan harga mahal dibanding dengan impor langsung dari pasar dunia. Lebih jauh lagi, Sawit (2010) mengatakan persoalan gula sebenarnya adalah persoalan Pulau Jawa karena mayoritas rumahtangga petani tebu (91.4%) dan PG BUMN (85.7%) yang tidak efisien tersebut berada di Pulau Jawa. Dengan demikian swasembada memiliki implikasi pemberian subsidi dari konsumen di daerah bukan penghasil gula, yang tidak lebih makmur, kepada produsen gula di Pulau Jawa yang tidak efisien dan pabrik gula swasta yang justru relatif efisien.
Keempat, persoalan untuk mencapai swasembada gula yang efisien tersebut semakin rumit dengan kehadiran PG rafinasi, industri makanan dan minuman besar serta farmasi yang juga dominan berada di Pulau Jawa. Tingginya desakan pemerintah untuk mendorong industri gula rafinasi menggunakan bahan baku yang berasal dari tebu di dalam negeri dalam rangka mewujudkan swasembada gula, menyebabkan semakin besar tuntutan terhadap lahan yang ketersediaannya semakin terbatas di Pulau Jawa. Sementara itu sebagian besar PG rafinasi dibangun dekat dengan pelabuhan, seperti Banten, Serang, dan Cilacap. Hal tersebut dikarenakan sejak awal strategi pembangunan industri gula refinasi tidak direncanakan untuk terkait dengan sektor pertanian terutama perkebunan tebu dalam negeri tapi justru untuk memudahkan pasokan bahan baku gula mentah yang berasal dari impor (Sawit, 2010). Oleh karena itu adalah tidak realistis untuk mewujudkan swasembada ketika industri gula dalam negeri tidak saling terkait. Di satu sisi PG berbasis tebu umumnya menghasilkan GKP melalui proses sulfitasi dengan ICUMSA 137-370 IU sementara PG rafinasi menggunakan bahan baku gula mentah impor dengan ICUMSA 1000-7000 IU. Dari segi biaya produksi, semakin kecil ICUMSA maka biaya untuk menghasilkan gula tersebut semakin mahal. Jika dalam rangka mewujudkan swasembada, PG rafinasi harus menggunakan KGP sebagai bahan baku industrinya maka biaya produksi GKR semakin mahal, namun mengolah langsung tebu menjadi GKR agar diperoleh gula dengan harga lebih murah dihadapkan pada ketersediaan lahan yang tidak memadai karena PG rafinasi umumnya berada di Jawa dimana ketersediaan lahannya sangat terbatas. Dengan demikian program swasembada gula dari aspek ekonomi adalah tidak efisien jika masih bertumpu pada produksi di Pulau Jawa.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1. Kesimpulan Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi permintaan dan relasi penawaran gula menghasilkan parameter estimasi yang konsisten dengan teori dan hasil empiris. Model dinamik ini menjadi pilihan yang disukai karena ia memberi informasi dinamika hubungan jangka pendek dari fungsi permintaan dan relasi penawaran gula selain informasi hubungan jangka panjang dengan hasil estimasi parameter yang konsisten. Permintaan gula dalam jangka pendek bersifat inelastik (η = -0.33) namun dalam jangka panjang bersifat elastik (η = -2.45), sementara itu elastisitas penawaran gula bersifat elastik, baik dalam jangka pendek (ε = 1.35) terlebih dalam jangka panjang (ε = 1.64). Estimasi relasi penawaran gula menghasilkan parameter kekuatan pasar relatif kecil (λ = -0.0005 dan Λ = -0.0004) dibanding tingginya rasio konsentrasi produsen (CR4 = 63.1%), membuktikan bahwa selain keunggulannya yang tidak memerlukan data rinci pada tingkat perusahaan, model yang digunakan cenderung menghasilkan nilai parameter kekuatan pasar yang relatif kecil dibandingkan dengan nilai parameter yang dihasilkan melalui perhitungan langsung dari berbedaan harga dan biaya marginal. Estimasi parameter penyesuaian (adjustment parameters) untuk fungsi permintaan gula mengindikasikan terjadinya penyesuaian sebesar 13% manakala terjadi deviasi terhadap keseimbangan permintaan jangka panjangnya. Sementara itu estimasi parameter penyesuaian untuk relasi penawaran menunjukkan adanya
overshooting sebesar 20% menuju kondisi keseimbangan jangka panjang manakala biaya marjinal menyimpang dari penerimaan marjinal. Hasil penentuan bobot politik kelompok kepentingan menunjukkan bahwa kebijakan pergulaan nasional bias terhadap kepentingan produsen (PG milik negara, PG swasta, dan petani tebu) dan pemerintah. Kebijakan pergulaan protektif yang bias ke produsen tersebut telah menciptakan rente ekonomi yang membebani konsumen. Antara tahun 2003-2009 pembatasan perdagangan melalui tarif dan kuota impor menyebabkan kehilangan surplus konsumen Rp. 7.1 triliun per tahun yang terdiri dari transfer kemakmuran sekitar Rp. 6.9 triliun per tahun yang diterima produsen, importir, pemerintah, dan pedagang perantara sedangkan Rp. 129 milyar hilang dalam bentuk dead weight loss sementara tingkat swasembada yang dicapai relatif tetap pada kisaran 50 persen. Penerima rente ekonomi terbesar di industri gula Indonesia adalah pemerintah/negara (32.7%), membuktikan bahwa negara merupakan predator utama bagi konsumen yang harus membayar gula dengan harga relatif mahal. Penerima rente berikutnya adalah importir swasta (IP dan IT) yang terdiri dari industri makanan dan minuman serta pabrik gula rafinasi (20.5%), serta pabrik gula swasta berbasis tebu (16.1%). Ironisnya, petani tebu yang harus dilindungi dan menjadi target utama kebijakan pergulaan yang protektif hanya menerima rente ekonomi terkecil (15.4%) karena 15.3% rente yang diterima terkikis dalam bentuk tingginya biaya transaksi. Selain itu aktivitas perburuan rente di industri gula tersebut menyebabkan potensi pemborosan sumberdaya mencapai 34.41 persen dari nilai konsumsi gula yang rata-rata sebesar Rp. 20.8 triliun per tahun.
Hasil analisis regresi menunjukkan terdapat hubungan positif antara tingginya aktivitas lobi/tekanan politik produsen dengan besarnya biaya sosial perburuan rente dan berhubungan negatif dengan pencapaian swasembada. Hal ini membuktikan aktivitas lobi dan tekanan politik produsen bersifat kontra produktif terhadap pencapaian swasembada. Aktivitas lobi dan tekanan politik ditujukan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sehingga produsen gula mendapatkan rente ekonomi melalui hambatan impor.
9.2. Implikasi Kebijakan Swasembada memerlukan prasyarat, yaitu peningkatan efisiensi produksi gula di Pulau Jawa. Tanpa perbaikan efisiensi, program swasembada merupakan arena bagi pemburu rente untuk melakukan kegiatan tidak produktif (directly unproductive profit seeking, DUP) yang bertujuan mendapatkan manfaat transfer dari kebijakan pergulaan. Upaya peningkatan efisiensi melalui berbagai program on farm dan off farm tersebut dalam rangka mencapai swasembada terbukti tidak mudah karena setelah 10 tahun mengejar swasembada (sejak tahun 1999 hingga tahun 2009) tingkat swasembada gula nasional tetap berada pada kisaran 50 persen sementara biaya sosial yang ditimbulkan relatif besar yang merupakan beban bagi konsumen gula. Hal ini seharusnya memberi pelajaran berharga karena memaksakan pencapaian swasembada dengan memperluas areal tanam tebu ke luar Pulau Jawa dan membangun pabrik gula baru tanpa diikuti oleh peningkatan efisiensi produksi di Pulau Jawa hanya mengalihkan rente ekonomi gula dari yang semula diterima importir ke produsen gula namun tetap membebani konsumen. Hal ini dikarenakan penentuan harga gula tidak sepenuhnya ditentukan melalui
mekanisme pasar tapi sebagian ditentukan melalui proses politik ketika pemerintah melalui Dewan Gula Indonesia (DGI) menetapkan biaya pokok produksi (BPP) gula. Perhitungan BPP tersebut mengacu pada kinerja industri gula yang memberikan bobot lebih besar pada industri gula di Pulau Jawa yang relatif tidak efisien. Ketika BPP tinggi maka harga gula patokan petani (HPP), yang menjadi harga referensi gula, juga semakin tinggi yang selanjutnya membuat harga gula ditingkat produsen dan konsumen menjadi mahal. Lebih dari itu, hasil kajian Kuncoro (2008) menemukan bahwa kebijakan penetapan BPP ini sangat menentukan tingkat laba dan kelangsungan hidup (survival) PG PTPN. Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah tidak lagi mengejar swasembada yang hanya menciptakan arena perburuan rente tapi lebih memusatkan perhatian pada peningkatan efisiensi produksi gula. Sebagai catatan, ketika pemerintah mengambil alih kepemilikan pabrik gula dari asing pada tahun 1958, saat itu tingkat swasembada mencapai 110 persen dan Indonesia tercatat sebagai produsen utama gula nomor 2 dunia, produktivitas hablur rata-rata 17.6 ton per hektar dengan tingkat rendemen 12.8 persen. Namun setelah lebih dari 50 tahun dikelola sebagai perusahaan perkebunan negara, produktivitas hablur justru merosot yang saat ini hanya 5.7 ton per hektar dan rendemen sekitar 7.8 persen. Selain itu, upaya mencapai swasembada gula dengan mengandalkan produksi di Pulau Jawa melalui pendekatan intensifikasi menghadapi persoalan levelling off karena keterbatasan teknologi (lihat Lampiran 1). Pada sisi lain, upaya ekstensifikasi menghadapi kompetisi untuk mendapatkan lahan subur dengan komoditas pangan lainnya terutama padi, jagung dan kedele yang juga merupakan komoditi yang ditargetkan untuk swasembada (lihat Lampiran 2). Oleh karena itu
besar kemungkinan terjadinya trade off untuk mencapai swasembada diantara komoditas pangan strategis tersebut jika masih mengandalkan pada ketersediaan lahan di Pulau Jawa. Implikasinya adalah jika pemerintah bertekad mengejar swasembada maka itu harus dilakukan di luar Pulau Jawa sehingga memungkinkan untuk mendapatkan sistem yang terintegrasi antara kegiatan usahatani tebu dengan pabrik gula seperti yang terjadi pada PG swasta di Propinsi Lampung. Alternatif ini tentu saja akan di tolak oleh berbagai kelompok kepentingan yang mendapatkan manfaat dari inefisiensi PG di Jawa tersebut, terlebih jika dikaitkan dengan UU Perkebunan Nomor 18/2004 yang menegaskan bahwa perkebunan memiliki fungsi sosial budaya dan lingkungan hidup selain fungsi ekonomi semata. Lebih dari itu fungsi sosial budaya dari industri gula ditempatkan sebagai “pemersatu bangsa”. Sementara itu alternatif konsolidasi lahan tebu rakyat dengan PG melalui sebuah mekanisme pembagian saham antara petani dan PG dimana petani menyerahkan lahan untuk dikelola PG seperti disarankan IPB (2002), Sawit, et al., (2004) dan Sawit, (2010) merupakan solusi jangka pendek mengatasi persoalan tidak terintegrasinya manajemen on farm dengan off farm namun itu bukanlah solusi untuk menghindari terjadinya trade off tersebut. Alternatif lain untuk mempercepat peningkatan efisiensi PG BUMN secara keseluruhan adalah dengan melakukan privatisasi. Hal ini dikarenakan proses peningkatan efisiensi BUMN Perkebunan termasuk PTPN yang menangani gula telah dilakukan sejak tahun 1996 melalui berbagai proses konsolidasi dan restrukturisasi. Pada tahun 1996 pemerintah menggabungkan 36 PTP yang mengusahakan komoditi tunggal menjadi 14 PTPN yang mengusahakan multi
komoditi. Namun hasil yang didapat dari proses konsolidasi tersebut tetap tidak memadai dalam meningkatkan efisiensi produksi termasuk produksi gula. Menurut Pakpahan (2010), hal ini dikarenakan manajemen PTPN seringkali dihadapkan pada berbagai persoalan struktural yang menghambat pencapaian best management practice.10 Membandingkan dengan komoditi minyak goreng yang telah mampu berswasembada, maka pelajaran yang dapat diambil adalah perusahaan perkebunan swasta lebih cepat dalam merespon sinyal pasar karena manajemen perusahaan lebih fokus dalam menjalankan perusahaan tanpa kuatir dengan adanya intervensi dari berbagai kepentingan yang mengatasnamakan negara. Jika pada awal tahun1980an kontribusi minyak sawit yang dihasilkan perusahaan BUMN mencapai 80 persen dari produksi nasional, maka saat ini -sekitar 30 tahun kemudian-- kontribusinya tinggal 10 persen karena 90 persen produksi
minyak
sawit
dilakukan
oleh
perusahaan
swasta.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa menyerahkan produksi pertanian pada swasta bukan saja dapat mempercepat peningkatan efisiensi tapi lebih dari itu ia merupakan cara untuk mengurangi aktivitas perburuan rente. Selain itu dalam kerangka mewujudkan perdagangan bebas ASEAN melalui skema Common Effective Preferential Tariff for AFTA (CEPT-AFTA) dan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) pemerintah memasukkan gula, bersama beras, kedalam komoditi pertanian yang sensitif (sensitive agricultural product) yang dikecualikan dari keharusan untuk menghapus tarif impornya. Hal ini memberikan peluang bagi industri gula dan pemerintah untuk memusatkan perhatian pada upaya meningkatkan efisiensi PG BUMN bukan mengejar 10 Menyoal Holding BUMN Perkebunan, http://www.suarakarya‐
online.com/news.html?id=249476
swasembada dengan kebijakan yang protektif. Jika yang terakhir ini yang dilakukan, maka industri gula nasional telah menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga untuk berbenah karena industri gula tidak dapat menahan gempuran gula impor yang lebih murah pada saat pengecualian penghapusan tarif impor tersebut tidak diberlakukan lagi. Akhirnya kebijakan pergulaan selain telah menimbulkan ketidakadilan antar kelompok masyarakat (konsumen mensubsidi produsen), ia juga mengakibatkan ketidakadilan antar wilayah. Untuk mengurangi ketidakadilan yang terakhir ini, maka revisi terbatas terhadap SK Menperindag 527/2004 perlu dilakukan dengan menghilangkan segmentsi pasar GKR dan GKP di daerah bukan penghasil gula (terutama di luar Pulau Jawa). Kebijakan ini tidak mengorbankan petani tebu sebagai kelompok yang harus dilindungi karena instrumen untuk melindungi petani tebu dilakukan melalui penetapan HPP. Petani tebu yang menolak revisi adalah mereka yang merangkap dan memiliki penghasilan utama sebagai pedagang yang mendapatkan keuntungan besar dari segmentasi pasar gula tersebut.
9.3. Saran Berdasarkan hasil analisis dan implikasi kebijakan maka diajukan dua rekomendasi penting. Pertama adalah rekomendasi yang berkaitan dengan kebijakan untuk mencapai swasembada gula yang efisien. Dalam konteks ini, keputusan pemerintah memasukkan gula sebagai komoditi pertanian yang sensitif pada berbagai organisasi perdagangan dunia sudah tepat. Namun keputusan tersebut harus disertai dengan kebijakan pergulaan yang lebih radikal jika
pemerintah tetap menginginkan pencapaian swasembada. Langkah radikal tersebut termasuk menutup PG milik negara yang tidak efisien, terutama di Pulau Jawa yang menghadapi kompetisi mendapatkan lahan subur dan tenaga kerja dengan komoditi pangan lain yang juga ditargetkan mencapai swasembada (padi, jagung, kedele), disertai pemberian insentif bagi swasta untuk membangun PG serta menyediakan areal HGU di luar Jawa. Saran ini senada dengan rekomendasi yang diberikan oleh Tim Khusus Pengkajian Kebijakan Komprehensif Agribisnis Gula Nasional untuk menutup PG yang tidak sehat (lihat Sawit, et al., 2004). Dengan demikian industri gula nasional ke depan memiliki struktur yang lebih kokoh karena perkebunan tebu menjadi terintegrasi dengan PG baru dengan peralatan modern, sekaligus menciptakan distribusi pembangunan yang lebih merata antara Jawa dan luar Jawa. Rekomendasi kedua berkaitan dengan penelitian lanjutan karena sejumlah penelitian mengindikasikan adanya hubungan positif antara tingginya aktivitas perburuan rente dengan banyaknya insiden korupsi (Abdullah, 2008; Ngo, 2008). Perburuan rente yang dilakukan melalui tariff-quota seeking lobbying umumnya terjadi karena adanya diskresi besar yang dimiliki birokrat yang memberikan lisensi impor dan penetapan alokasi quota yang rentan terhadap penyuapan. Hal ini dikarenakan penentuan kuota impor gula terutama untuk gula mentah dan rafinasi tidak dilakukan melalui lelang (auction) tapi berdasarkan permohonan yang disampaikan oleh importir produsen sesuai “kebutuhan”. Oleh karena itu terbuka peluang untuk dilakukan penelitian lanjutan mengenai keterkaitan antara tingginya tingkat proteksi dan besarnya rente ekonomi gula dengan korupsi, yang sampai sekarang masih menjadi persoalan serius di negeri ini.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, N.R.W. 2008. Eradicating Corruption: The Malaysian Experience. Journal of Administration and Governance, 3 (1): 42-53. ADB. 2004. Country Governance Assessment Report, Republic of Indonesia. Asian Development Bank, Manila. Agusta, I. 2007. Komunikasi untuk Kemitraan Pabrik Gula dan Petani Tebu. Makalah disampaikan pada Workshop Peningkatan Peran Organisasi Petani dalam Peningkatan Efektivitas Kemitraan PTPN X di Kediri. Amid, J. 2007. The Dilemma of Cheap Food and Self-Sufficiency: The Case of Wheat in Iran. Food Policy, 32 (4): 537-552. Arifin, B. 2008. Ekonomi Swasembada Gula Indonesia. Economic Review, No. 211. Azahari, D.H. 2008. Membangun Kemandirian Pangan dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian, 8 (2): 174-195. Barrett, C. B. 1999. The Microeconomics of the Developmental Paradox: On the Political Economy of Food Price Policy. Agricultural Economics, 20 (2): 159-361. Beccarello, M. 1996. Time Series Analysis of Market Power: Evidance From G-7 Manufacturing. International Journal of Industrial Organization, 15: 123136. Beck, T., P.E. Keefer, and G.R. Clarke. 2010. Database of Political Institutions, accesible at http://go.worldbank.org. Becker, G.S. 1983. A Theory of Competition among Pressure Group for Political Influence. Quarterly Journal of Economics, 98 (3): 371-400. Beghin, J.C., J.C. Bureau, and S.J. Park. 2003. Food Security and Agricultural Protection in Korea. Amer. J. Agr. Econ., 85 (3): 618-632. Bhagwati, Jagdish. 1982. Directly Unproductive Profit-Seeking (DUP) Activities. Journal of Political Economy, 90 (5): 988-1002. Bullock, D.S. 1994. In Search of Rational Government: What Political Preference Function Studies Measure and Assume. Amer. J. Agr. Econ., 76 (3): 347361.
Corts, K.S. 1999. Conduct Parameters and the Measurement of Market Power. Journal of Econometrics, 88 (2): 227-250. DGI. 2005. Informasi Singkat Pelaku Industri Gula Indonesia. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Jakarta. ------. 2008. Profil Pabrik Gula di Indonesia. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Downs, A. 1957. An Economic Theory of Political Action in a Democracy. Journal of Political Economy, 65 (2): 135-50. Duncan, R., L. Rees, and R. Tyers. 2003. Revisiting the Economic Costs of Food Self-Sufficiency in China. Working Paper in Economics and Econometrics No. 432. The Australian National University, Canberra. Dutt, P. and D. Mitra. 2009. Explaining Agricultural Distortion Patterns: The Role of Ideology, Inequality, Lobbying and Public Finance. Agricultural Distortions Working Paper 84. World Bank, accesible at www.worldbank.org/agdistortions. Engle, R.F. and W.J. Granger. 1987. Cointegration and Error Correction: Representation, Estimation, and Testing. Econometrica, 55 (2): 251-276. Fane, G. and P. Warr. 2007. Agricultural Protection in a Food Importing Country: Indonesia. Paper Presented to Australian Agricultural and Resource Economics Society Annual Conference, Queenstown, New Zealand. FAO Web Site, Food and Agriculture Organization of the United Nations. Available at http://faostat.fao.org/site/535/default.aspx. GAIN. 2010. Indonesia Sugar Annual Report. Global Agricultural Information Network, Foreign Agricultural Service, United States Department of Agriculture. Gardner. B.L 1987. Causes of U.S. Farm Commodity Programs. Journal of Political Economy, 95 (2): 290-310. Hadi, P.U. dan S. Nuryanti. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 23 (1): 82-99. Hallam, D. and R. Zanoli. 1993. Error Correction Models and Agricultural Supply Response. European Review of Agricultural Economics, 20 (2): 151-166. Hasan, R.M., H. Faki, and D. Byerlee. 2000. The Trade-Off between Economic Efficiency and Food Self-Sufficiency in Using Sudan’s Irrigated Land Resources. Food Policy, 25 (1): 35-54.
Houck, J.P. 1986. Elements of Agricultural Trade Policies. MacMillan Publishing Company, New York. Indraningsih, K.S. dan A.H. Malian. 2006. Perspektif Pengembangan Industri Gula di Indonesia. E-Jurnal Socio-economic of Agriculture and Agribusiness (SOCA), 6 (1): 1-20. IPB. 2002. Studi Pengembangan Sistem Industri Pergulaan Nasional. Laporan Penelitian, Kerjasama Ditjen Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Johnson, R.W.M. 1995. Modelling Government Processes and Policies in Agriculture: A Review. Contributed Paper to the 39th Annual Conference of the Society, 14-16 February 1995. Perth. Kamath, S.J. 1989. Concealed Takings: Capture and Rent-Seeking in the Indian Sugar Industry. Public Choice, 62: 119-138. Kementrian Pertanian. 2009. Rencana Strategis Kementrian Pertanian Tahun 2010-214. -----------------------------. 2010. Cetak Biru Road Map Swasembada Gula Nasional 2010-2014. Kennedy, P.L. and A. Schmitz. 2009. Production Response to Increased Imports: The Case of U.S. Sugar. Journal of Agricultural and Applied Economics, 41 (3):777–789. Koutsoyiannis, A. 1978.Theory of Econometrics. 2nd edition. Harper and Row Publishers, New York. Kraybill, D., I. Diaz-Rodriguez, and D. Southgate. 2002. A Computable General Equilibrium Analysis of Rice Market Liberalization and Water Price Rationalization in the Dominican Republic. Paper presented at 14th International Conference on Input-Output Technique, Montreal. Krueger, A.O. 1974. The Political Economy of the Rent-Seeking Society. The American Economic Review, 64 (3): 291-303. Kuncoro, M. 2008. Riset Pasar Gula dan Molases PTPN: Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penetapan Harga Gula dan Molases. Kantor Pemasaran Bersama PT Perkebunan Nusantara, Jakarta. Kuncoro, A. 2004. Bribery in Indonesia: Some Evidance from Micro-Level Data. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40 (3): 329-354.
Kurniawati, D.E. 2008. Menentang Neoliberalisme IMF: Studi tentang Munculnya Kebijakan Tata Niaga Impor Gula di Indonesia Tahun 2002. Publica, 4 (1): 32-40. Lee, D.S. and P. L. Kennedy. 2007. A Political Economic Analysis of U.S. Rice Export Programs to Japan and South Korea: A Game Theoretic Approach. Amer. J. Agr. Econ., 89 (1): 104–115. Lopez, R.A. 1994. Political Economy of Pricing Policies: The Case of Philippine Sugar. The Developing Economics, 32 (2): 155-166. Lopez, R.A. and E. Pagoulatos. 1994. Rent Seeking and the Welfare Cost of Trade Barriers. Public Choice, 79 (1-2): 149-160. Malian, A.H. dan Saptana. 2003. Dampak Peningkatan Tarif Impor Gula Terhadap Pendapatan Petani Tebu. E-Jurnal Socio-economic of Agriculture and Agribusiness (SOCA), 3(2): 1-30. Mardianto, S., P. Simatupang, P.U. Hadi, H. Malian, dan A. Susmiadi. 2005. Peta Jalan (Road Map) dan Kebijakan Pengembangan Industri Gula Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 23 (1): 19-37. Master, W.A. and A.F. Garcia. 2009. Agricultural Price Distortion and Stabilization: Stylized Facts and Hypothesis Tests. Agricultural Distortions Working Paper 86. World Bank. www.worldbank.org/agdistortions. Meyer, J. 2004. Measuring Market Integration in the Presence of Transaction Cost: A Threshold Vector Error Correction Approach. Agricultural Economics, 31 (3): 327-334. Mohammad, S. and J. Whalley. 1984. Rent Seeking in India: Its Cost and Policy Significance. Kyklos, 37: 387-413. Monk, E.A. and S.R. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press, Ithaca, New York. Mueller, D.C. 2003. Public Choice III. Cambridge University Press, Cambridge. Nedergaard, P. 2006. Market Failures and Government Failures: A Theoretical Model of the Common Agricultural Policy. Public Choice, 127 (3): 393– 413. Nelson, C.R. and C.I. Polser. 1982. Trends and Random Walks in Macroeconomic Time Series. Journal of Monetary Economics, 10 (2): 139-162. Nishimura, K.G., Y. Ohkusa, and K. Ariga. 1999. Estimating the Mark-up over Marginal Cost: A Panel Analysis of Japanese Firms 1971–1994. International Journal of Industrial Organization, 17: 1077–1111.
Ngo, T.W. 2008. Rent-Seeking and Economic Governance in the Structural Nexus of Corruption in China. Crime Law Soc. Change, 49: 27-44. Olson, M. 1965. The Logic of Collective Action. Harvard University Press, Cambridge. P3GI. 2007. Evaluasi Perkembangan Ekonomi, Perbangkan dan Sistem Pembayaran Jawa Timur Triwulan III. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, Pasuruan. -------. 2008. Konsep Peningkatan Rendemen untuk Mendukung Program Akselerasi Industry Gula Nasional. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, Pasuruan. Pakpahan, A. 2003. Ada Apa dengan Gula? Agrimedia, 8(2): 44-51. Pasour Jr, E.C. 1983. Rent Seeking: Some Conceptual Problems and Implications. Paper Presented at New York University – Liberty Fund Research Seminar in Austrian Economics. Peltzman, S. 1976. Towards a More General Theory of Regulation. Journal of Law and Economics, 19 (2): 211-40. Pomeroy, R.S. and A.C. Trinidad. 1995. Industrial Organization and Market Analysis: Fish Marketing. In Scott G.J. (Editor), Prices, Products, and People. Lynne Rienner Publisher Inc., Boulder. Posner, R.A. 1975. The Social Cost of Monopoly and Regulation: Journal of Political Economy, 83 (4): 807-827. Rausser, G.C. and G. Roland. 2009. Special Interests versus the Public Interest in Policy Determination. Agricultural Distortions Working Paper 78. World Bank. www.worldbank.org/agdistortions. Rozelle, S. and J. Swinnen. 2009. Political Economy of Agricultural Distortions in Transition Countries of Asia and Europe. Agricultural Distortions Working Paper 82. World Bank. www.worldbank.org/agdistortions. Sarker, R., K. Meilke, and M. Hoy. 1993. The Political Economy of Systematic Government Intervention in Agriculture. Canadian Journal of Agricultural Economics, 41 (3): 289-309. Sawit, M.H. 2010. Kebijakan Swasembada Gula: Apanya yang Kurang? Analisis Kebijakan Pertanian, 8 (4): 285-302. Sawit, M.H., Erwidodo, T. Kuntohartono, dan H. Siregar. 2004. Penyelamatan dan Penyehatan Industri Gula Nasional. Dalam Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Ekonomi Gula: 11 Negara Pemain Utama Dunia, Departemen Pertanian, Jakarta.
Schmitz, A., H. Furtan, and K. Baylis. 2002. Agricultural Policy, Agribusiness, and Rent-Seeking Behaviour. University of Toronto Press, Toronto. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. 2004. Ekonomi Gula: 11 Negara Pemain Utama Dunia, Kajian Komparasi dari Perspektif Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta. Siagian, V. 2004. Efisiensi Unit-Unit Kegiatan Ekonomi Industri Gula yang Menggunakan Proses Karbonatasi di Indonesia. E-Jurnal Socio-economic of Agriculture and Agribusiness (SOCA), 4 (3): 1-16. Sriati, Y., Junaidi, dan L.A. Gusnita. 2008. Pola Kemitraan antara Petani Tebu Rakyat dengan PTPN VII Unit Usaha Bunga Mayang dalam Usahatani Tebu: Kasus di Desa Karang Rejo Kecamatan Sungkai Selatan, Lampung Utara. E-Jurnal Socio-economic of Agriculture and Agribusiness (SOCA), 8 (2): 1-20. Stapleton, T. 2006. Institutional Determinants of Indonesian’s Sugar Trade Policy. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 42 (1): 95-103. Steen, F. and K.G. Salvanes. 1999. Testing for Market Power Using a Dynamic Oligopoly Model. International Journal of Industrial Organization, 17 (2): 147–177. Stevens, J.B. 1993. The Economics of Collective Choice. Westview Press, Boulder. Stigler, G.S. 1971. The Theory of Economic Regulation. Bell Journal of Economics and Management Science, 2 (1): 137-46. Stiglitz, J.E. 2008. Government Failure vs. Market Failure: Principle of Regulation. Paper presented at Tobin Project’s conference on Government and Market: Toward a New Theory of Regulation, held in Yulee, Florida. Susanti, Y.F. 2001. The Effect of Exchange Rate on Indonesian Agricultural Exports. Ph.D. Dissertation. Oklahoma State University, Oklahoma. Susila, W.R. dan B.M. Sinaga. 2005a. Analisis Kebijakan Industri Gula. Jurnal Agro Ekonomi, 23 (1): 30-53. -------------------------------------. 2005b. Pengembangan Industri Gula Indonesia yang Kompetitif pada Situasi Persaingan yang Adil. Jurnal Litbang Pertanian, 24 (1): 1-9. Swinnen, J. and F.A. van der Zee. 1993. The Political Economy of Agricultural Policies: A Survey. European Review of Agricultural Economics, 20 (3): 261-290.
Swinnen, J.F.M. 2009. Political Economy of Agricultural Distortion: The Literature to Date. Agricultural Distortions Working Paper 94. World Bank. www.worldbank.org/agdistortions. ----------------------, H.de Gorter, G.C. Rausser, and A.N. Banerjee. 2000. The Political Economy of Public Research Investment and Commodity Policies in Agriculture: An Empirical Study. Agricultural Economics, 22 (2): 111122. Tambi, N.E. 1999. Cointegration and Error-Correction Modelling of Agricultural Export Supply in Cameroon. Agricultural Economics, 20 (1): 57-67. Taniguchi, K. 2001. A General Equilibrium Analysis of Japanese Rice Market Trade Liberalization. Paper Presented at Annual Meeting of the AAEA, Chicago. Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics: An Introduction. Addison-Wesley, Harlow. Tollison, R.D. 1982. Rent Seeking: A Survey. Kyklos, 35: 575-602. -----------------. 1997. Rent Seeking. In D.C. Mueller (Editor), Perspectives on Public Choice: A Hand Book. Cambridge University Press, Cambridge. Tullock, G. 1967. The Welfare Cost of Tariffs, Monopolies, and Theft. Western Economic Journal, 5 (3): 224-232. -------------. 1993. Rent Seeking. Edward Elgar, Vermont. -------------. 2003. The Origin Rent-Seeking Concept. International Journal of Business and Economics, 2 (1):1-8. USDA. 2008. World Sugar Situation. Foreign Agricultural Service, United States Department of Agriculture, Washington, D.C. --------. 2010. Sugar: World Production Supply and Distribution. Foreign Agricultural Service, United States Department of Agriculture, Washington, D.C. Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. John Willey & Son, New York. Vukina, T. and P. Leegomonchai. 2006. Political Economy of Regulation of Broiler Contracts. Amer. J. Agr. Econ., 88 (5): 1258-1265. Wahyudi, A. dan Erwidodo. 2000. Analisis Pendugaan Tarif Impor Optimum pada Perdagangan Gula Indonesia. Jurnal Sosial Ekonomi, 1 (1): 1-16.
Wahyuni, S., Supriyati, and J.F. Sinuraya. 2009. Industri dan Perdagangan Gula di Indonesia: Pembelajaran dari Kebijakan Zaman Penjajahan – Sekarang. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 27 (2): 151-167. Wang, D. and W.G. Tomek. 2007. Commodity Prices and Unit Root Test. Amer. J. Agr. Econ., 89 (4): 873-889. Yustika. A.E. 2008. The Transaction Cost of Sugarcane Farmers: An Explorative Study. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 23 (3): 283-301. Zee, F.A. van der. 1997. Political Economy Models and Agricultural Policy Formation: Empirical Applicability and Relevance for CAP. Ph.D. Dissertation. Wageningen University, Wageningen.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tebu Tahun 1960-2009
Produksi (skala kanan) Produktivitas (ton/ha)
Luas areal panen (10,000 ha)
Sumber: DGI (diolah)
Lampiran 2. Perkembangan Produktivitas Tebu dan Tanaman Pangan Lain Tahun 1961-2008 Ton/ha
Ton/ha
tebu skala kanan
Sumber: FAO (2010)
Lampiran 3. Perkembangan Harga Relatif Tebu Terhadap Komoditas Pangan Utama Tahun 1991-2007
Sumber: FAO (2010)
Lampiran 4. Perkembangan Tingkat Swasembada Pangan Indonesia Tahun 1961-2007 %
Sumber: FAO (2010)
Lampiran 5. Perkembangan Produktivitas Pabrik Gula Indonesia Tahun 1960-2009
Sumber: Sekretariat DGI
Lampiran 6. Negara Eksportir Utama Gula Rafinasi Dunia Tahun 2007 No Negara 1 Brazil 2 Thailand 3 India 4 France Sumber: FAO, 2010
Kuantitas (ton)
Nilai (1000 $)
Harga per unit ($/ton)
6 915 800 2 316 754 2 261 228 1 893 039
1 970 721 732 087 648 174 1 438 172
285 316 287 760
Lampiran 7. Negara Importir Utama Gula Rafinasi Dunia Tahun 2007 No
Negara
1 Indonesia 2 Italy 3 Germany 4 Spain Sumber: FAO, 2010
Kuantitas (ton) 2 262 762 867 375 483 559 484 530
Nilai (1000 $) 767 720 731 833 430 470 386 842
Harga per unit ($/ton) 339 844 890 798
Lampiran 8. Tingkat Swasembada Negara Pelaku Utama Gula Dunia Tahun 2007-2010 Country
Production
Domestic Consumption
SSR
………..........……….. 1000 tons …..................…...………… SUG - North America Canada 2007/08 126 1 416 77 1 465 2008/09 87 1 444 38 1 500 2009/10 100 1 450 42 1 454 Mexico 2007/08 5 852 226 677 5 144 2008/09 5 260 215 1 270 5 540 2009/10 5 400 710 690 5 300 United States 2007/08 7 396 2 377 184 9 715 2008/09 6 789 2 796 124 9 650 2009/10 6 998 2 200 181 9 412 Total SUG - North America 2007/08 13 374 4 019 938 16 324 2008/09 12 136 4 455 1 432 16 690 2009/10 12 498 4 360 913 16 166
(%)
SUG – Caribbean Cuba 2007/08 1 420 2008/09 1 250 2009/10 1 250 Dominican Republic 2007/08 500 2008/09 520 2009/10 525 Other SUG – Caribbean 2007/08 218 2008/09 215 2009/10 185 Total SUG – Caribbean 2007/08 2 138 2008/09 1 985 2009/10 1 960 SUG - Central America Guatemala 2007/08 2 274 2008/09 2 247 2009/10 2 250
Imports
Exports
8.60 5.83 6.63 108.35 125.09 99.63 77.13 71.76 77.61 81.28 80.06 78.38
210 200 290
1 025 730 800
710 710 710
234.71 173.61 168.92
40 40 20
217 217 217
335 338 338
154.80 151.60 160.06
429 426 423
162 172 142
469 465 466
44.95 45.84 39.70
679 666 733
1 404 1 119 1 159
1 514 1 513 1 514
151.31 129.57 127.77
0 0 0
1 333 1 490 1 515
742 744 745
241.66 296.83 306.12
Lampiran 8. Lanjutan Country Production
Domestic Consumption
SSR
…………............…….. 1000 tons ……...............………… Other SUG - Central America 2007/08 2 078 2 756 1 164 2008/09 2 041 2 811 1 147 2009/10 2 076 11 900 1 173 Total SUG - Central America 2007/08 4 352 2 2 089 1 906 2008/09 4 288 2 2 301 1 891 2009/10 4 326 11 2 415 1 918
(%)
SUG - South America Brazil 2007/08 31 600 2008/09 31 850 2009/10 35 750 Colombia 2007/08 2 245 2008/09 2 050 2009/10 2 575 Argentina 2007/08 2 190 2008/09 2 420 2009/10 2 250 Other SUG - South America 2007/08 3 082 2008/09 3 256 2009/10 3 255 Total SUG - South America 2007/08 39 117 2008/09 39 576 2009/10 43 830 SUG - Western Europe EU-27 2007/08 15 614 2008/09 13 570 2009/10 15 485 Other SUG - Western Europe 2007/08 270 2008/09 275 2009/10 270
Imports
Exports
156.95 165.67 174.89 192.14 215.59 225.08
0 0 0
19 500 21 550 23 850
11 400 11 650 11 800
261.16 309.22 300.42
103 120 110
661 630 1 035
1 615 1 585 1 605
133.08 133.12 156.06
10 26 4
343 585 600
1 805 1 750 1 720
117.93 130.04 136.03
1 375 1 459 1 279
455 490 567
3 748 4 103 4 093
77.01 77.07 82.05
1 488 1 605 1 393
20 959 23 255 26 052
18 568 19 088 19 218
199.11 220.77 228.63
2 948 3 250 3 500
1 656 1 105 1 475
16 496 16 670 16 500
92.36 86.35 88.44
410 391 391
80 50 50
703 678 648
45.00 44.64 44.19
Lampiran 8. Lanjutan Country Production
Domestic Consumption
SSR
…………............…….. 1000 tons ........……………… Total SUG - Western Europe 2007/08 15 884 3 358 1 736 17 199 2008/09 13 845 3 641 1 155 17 348 2009/10 15 755 3 891 1 525 17 148
(%)
SUG - Eastern Europe Russia 2007/08 3 200 2008/09 3 480 2009/10 3 350 Ukraine 2007/08 2 020 2008/09 1 710 2009/10 1 625 Other SUG - Eastern Europe 2007/08 1 386 2008/09 1 376 2009/10 1 311 Total SUG - Eastern Europe 2007/08 6 606 2008/09 6 566 2009/10 6 286 SUG - Africa South Africa 2007/08 2008/09 2009/10 Other SUG – Africa 2007/08 2008/09 2009/10 Total SUG – Africa 2007/08 2008/09 2009/10 SUG – MiddleEast Turkey 2007/08 2008/09 2009/10
Imports
Exports
90.73 84.78 86.94
3 100 2 800 2 400
200 200 200
5 990 5 880 5 850
52.46 57.24 60.36
76 100 275
1 40 50
2 300 2 100 1 900
96.42 96.61 87.84
1 282 1 442 1 378
1 041 1 278 964
1 635 1 650 1 661
85.19 89.35 76.00
4 458 4 342 4 053
1 242 1 518 1 214
9 925 9 630 9 411
67.26 69.93 68.89
2 360 2 350 2 380
165 175 200
1 154 1 000 900
1 590 1 655 1 685
172.14 154.10 141.67
5 852 5 894 6 271
6 651 6 925 6 904
2 573 2 434 2 682
10 271 10 367 10 492
58.93 56.75 59.76
8 212 8 244 8 651
6 816 7 100 7 104
3 727 3 434 3 582
11 861 12 022 12 177
72.67 69.22 71.07
1 700 2 100 2 100
5 5 5
10 5 10
2 000 2 000 2 000
100.29 100.00 100.24
Lampiran 8. Lanjutan Country Production
Domestic Consumption
SSR
…………..........…….. 1000 tons ……............…......……… Egypt 2007/08 1 511 1 390 50 2 690 2008/09 1 612 1 410 100 2 720 2009/10 1 750 1 410 250 2 720 Other SUG – MiddleEast 2007/08 1 306 8 438 3 125 6 680 2008/09 705 7 602 2 982 6 559 2009/10 1 465 7 578 2 996 6 551 Total SUG – MiddleEast 2007/08 4 517 9 833 3 185 11 370 2008/09 4 417 9 017 3 087 11 279 2009/10 5 315 8 993 3 256 11 271
(%)
SUG - Asia – Oceania Japan 2007/08 2008/09 2009/10 India 2007/08 2008/09 2009/10 China 2007/08 2008/09 2009/10 Thailand 2007/08 2008/09 2009/10 Australia 2007/08 2008/09 2009/10 Pakistan 2007/08 2008/09 2009/10
Imports
Exports
53.00 55.17 60.14 19.73 13.24 24.23 40.46 42.69 48.09
921 912 939
1 372 1 450 1 313
2 2 0
2 326 2 283 2 220
40.20 38.64 41.70
28 630 16 130 17 300
0 2 800 6 000
5 830 190 10
23 500 24 200 23 500
125.57 86.07 74.28
15 898 13 317 13 161
972 1 077 900
56 75 65
14 250 14 820 15 413
94.55 93.00 94.03
7 820 7 200 7 700
0 0 0
4 914 5 500 5 800
2 000 2 000 2 100
269.10 423.53 405.26
4 939 4 814 4 900
9 9 9
3 700 3 522 3 700
1 250 1 250 1 250
395.75 370.02 405.29
4 163 3 512 3 520
110 125 800
70 75 70
4 100 4 175 4 250
99.05 98.60 82.82
Lampiran 8. Lanjutan Country
Production
Imports
Exports
Domestic Consumption
………….........…….. 1000 tons …............…………… Indonesia 2007/08 1 900 2008/09 2 680 2009/10 2 960 Philippines 2007/08 2 455 2008/09 2 100 2009/10 2 200 Other SUG - Asia - Oceania 2007/08 2 371 2008/09 2 059 2009/10 2 226 Total SUG - Asia - Oceania 2007/08 69 097 2008/09 52 724 2009/10 54 906 World 2007/08 2008/09 2009/10
163 297 143 781 153 527
Sumber: USDA (2010) Keterangan: SSR = Self Sufficiency Ratio
SSR (%)
2 420 1 570 1 500
0 0 0
4 400 4 400 4 400
43.98 63.06 66.37
0 0 0
240 225 160
1 930 2 100 2 150
110.84 112.00 107.84
8 848 8 709 8 861
1 341 1 290 1 356
9 818 9 686 9 633
24.00 21.72 22.88
13 731 15 740 19 383
16 153 10 879 11 161
63 574 64 914 64 916
103.63 91.56 86.98
44 384 46 568 49 921
51 433 48 180 51 277
152 241 154 375 153 739
104.51 101.13 100.89
Lampiran 9. Kinerja Pabrik Gula PTPN II Tahun 2008 Pabrik gula 1.
PG. Kwala Madu 2. PG. SEI Semayang Rata-rata Jumlah Sumber: DGI (2008)
Kapasitas TCD 3 700
Areal (ha) 6 516
Produksi tebu (ton) 376 848
Rendemen (%) 6.20
Hablur (ton) 23 365
Hari giling 111
Tetes (ton) 16 958
3 500
5 887
322 824
6.20
20 015
97
14 527
3 600 7 200
6 202 12 403
349 836 699 672
6.20
21 690 43 380
104
15 743 31 485
Lampiran 10. Kinerja Pabrik Gula PTPN VII Tahun 2008 Pabrik gula 1.
PG. Bunga Mayang 2. PG. Cinta Manis Rata-rata Jumlah Sumber: DGI (2008)
Kapasitas TCD 6 175
Areal (ha) 16 234
Produksi tebu (ton) 1 678 437
Rendemen (%) 5.58
Hablur (ton) 93 608
Hari giling 237
Tetes (ton) 70 494
5 173
12 511
393 417
6.95
66 675
189
16 524
5 674 11 348
14 373 28 745
1 035 927 2 071 854
6.27
80 142 160 283
213
43 509 87 018
Lampiran 11. Kinerja Pabrik Gula PTPN IX Tahun 2008 Kapasitas TCD
Areal (ha)
Produksi tebu (ton)
1 175
2 011
114 909
6.61
7 591
98
4 240
2.
1 741
3 310
211 128
8.70
18 358
122
10 039
7.
2 438 1 666 2 261 2 695 1 803
5 269 3 526 5 734 5 746 3 918
337 555 228 317 367 183 378 660 213 628
8.25 8.17 7.20 7.23 7.23
27 864 18 649 26 441 27 389 18 732
139 138 163 147 119
19 257 11 077 17 024 18 231 9 558
2 791
5 953
358 347
6.73
24 099
129
16 347
2 071 16 570
4 433 35 467
276 216
7.52
21 140 169 123
132
2 209 727
12 678 88 749 (2008)
Pabrik gula 1.
PG. Gondang Baru
PG. Jatibarang PG. Mojo 3. PG. Pangka 4. PG. Rendeng 5. PG. Sragi 6.
8.
PG. Sumberharjo
PG. Tasikmadu Rata-rata Jumlah Sumber:
DGI
Rendemen (%)
Hablur (ton)
Hari giling
Tetes (ton)
Lampiran 12. Kinerja Pabrik Gula PTPN X Tahun 2008 Pabrik gula
Kapasitas TCD
Areal (ha)
Produksi tebu (ton)
Rendeme n (%)
Hablur (ton)
Hari giling
Tetes (ton)
PG. Cukir PG. Gempolkrep PG. Jombang Baru PG. Kremboong PG. Lestari PG. Merican
3 750
6 345
583 044
7.87
45 899
174
24 488
6 500
13 356
1 157 201
8.01
92 908
172
48 602
2 290
4 783
365 940
7.84
28 687
184
15 369
1 450
3 116
299 223
7.10
21 251
206
12 567
3 750
7 762
600 004
7.44
44 631
161
25 200
2 360
4 624
356 852
7.38
26 338
185
14 988
PG. Mojopanggung
1 974
3 200
255 919
6.56
16 783
tad
10 749
PG. Ngadirejo
5 800
10 984
992 694
8.13
86 743
194
41 693
9.
PG. Pesantren Baru
6 000
13 493
1 130 000
8.08
91 284
185
47 460
10. 11.
PG. Tulangan PG. Watutulis
1 360
2 718
240 019
7.57
18 160
184
10 081
2 250
4 845
405 000
7.61
30 170
171
Rata-rata Jumlah
3 408
6 839
580 536
7.60
45 714
37 484
75 226
6 385 896
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8.
182
502 854
18 225 24 493 269 422
Sumber: DGI (2008)
Lampiran 13. Kinerja Pabrik Gula PTPN XI Tahun 2008 Pabrik gula
1.
PG. Asembagus 2. PG. Gending 3. PG. Jatiroto 4. PG. Kanigoro 5. PG. Kedawung 6. PG. Olean 7. PG. Pagotan 8. PG. Pajarakan 9. PG. Panji 10. PG. Purwodadi 11. PG. Prajekan 12. PG. Rejosari 13. PG. Semboro 14. PG. Soedhono 15. PG. Wonolangan 16. PG. Wringinanom Rata-rata Jumlah
Sumber: DGI (2008)
Kapasitas TCD
Areal (ha)
Produksi tebu (ton)
Rendem en (%)
Hablur (ton)
Hari giling
Tetes (ton)
2 389
4 868
415 879
7.41
30 830
161
18 715
1 365 5 700 1 595 2 215 898 2 267 1 160 1 562 2 077 2 498 2 028 4 900 2 330 1 379
3 496 10 743 3 455 4 670 1 662 5 791 2 690 3 681 4 186 6 808 4 477 12 028 5 057 3 890
269 790 1 027 271 262 847 342 350 150 258 424 702 181 356 250 000 309 551 468 070 339 575 1 100 819 362 626 273 013
7.09 8.11 8.09 7,04 7.03 8.07 6.95 7.07 8.04 7.40 7.97 6.41 7.48 7.07
19 113 83 274 21 273 24 096 10 560 34 275 12 606 17 680 24 894 34 645 27 058 186 533 27 129 19 309
164 183 158 151 151 149 153 143 149 187 152 n.a 144 144
11 331 43 145 10 040 15 406 6 762 15 837 7 617 10 500 13 930 19 659 15 281 48 010 15 230 11 467
898
1 662
150 258
7.03
10 560
170
6 396
2 204 35 261
4 948 79 164
395 523 6 328 365
7.41
36 490 583 835
157
16 833 269 326
Lampiran 14. Kinerja Pabrik Gula PTPN XIV Tahun 2008 Produksi Produksi Rendemen Hari tebu gula (%) giling (ton) (ton) 194 877 6.25 12 180 89 274 810 6.00 16 489 115
Kapasitas TCD
Areal (ha)
PG. Bone PG. Camming 3. PG. Takalar
1 706 2 321
3 408 4 675
2 352
4 754
224 174
7.50
16 813
93
10 088
Rata-rata Jumlah Sumber: DGI (2008)
2 126 6 379
4 279 12 837
231 287 693 861
6.58
15 161 45 482
99
10 408 31 223
Pabrik gula 1. 2.
Tetes (ton) 8 769 12 366
Lampiran 15. Kinerja Pabrik Gula PT. Rajawali I Tahun 2008 Pabrik gula
Kapasitas TCD
Areal (ha)
Produksi tebu (ton)
Rendemen (%)
Hablur (ton)
Hari giling
Tetes (ton)
8 317
19 468
1 835 112
7.40
135 785
170
82 580
4 547 6 432 12 864
8 791 14 130 28 259
750 000 1 292 556 2 585 112
7.28 7.34
54 612 95 199 190 397
143 157
33 750 58 165 116 330
1.
PG. Krebet Baru 2. PG. Rejoagung
Rata-rata Jumlah Sumber: DGI (2008)
Lampiran 16. Kinerja Pabrik Gula PT. Rajawali II Pada Tahun 2008 Pabrik gula 1. 2.
PG. Jatitujuh PG. Karangsuwung 3. PG. Sindangjati PG. Subang 4. PG. Tersana 5. Baru Rata-rata Jumlah Sumber: DGI (2008)
Kapasitas TCD 4 006 1 295
Areal (ha) 8 232 2 835
Produksi tebu (ton) 420 515 198 434
Rendemen (%) 8.41 7.60
Hablur (ton) 35 367 15 075
Hari giling 93 138
Tetes (ton) 15 841 9 094
1 536 2 752 3 119
3 451 5 151 3 268
230 741 311 850 382 903
6.80 8.36 7.62
15 681 26 083 29 165
134 103 124
9 644 14 807 17 998
2 542 12 708
4 587 22 937
308 889 1 544 443
7.76
24 274 121 371
118
13 477 67 384
Lampiran 17. Kinerja Pabrik Gula Sugar Group Company Tahun 2008 Pabrik gula 1.
Gula Putih Mataram 2. Sweet Indo Lampung 3. Indo Lampung Perkasa Rata-rata Jumlah
Kapasi -tas TCD 10 870
Luas areal (ha) 22 541
Produksi tebu (ton) 1 753 205
Rendemen (%) 9.60
9 000
20 703
1 675 304
9 000
19 290
9 623 28 870
20 845 62 534
168 385
Lama giling (hari) 158
9.68
162 322
168
66 311
1 575 438
8.59
135 259
171
57 778
1 667 982 5 003 947
9.29
155 322 465 966
166
64 521 193 563
Produksi gula (ton)
Tetes (ton) 69 474
Sumber: DGI (2008)
Lampiran 18. Rencana Pengembangan PT. Gunung Madu Plantation Tahun 2010-2014 Uraian Luas panen (ha) TCH (ton/ha) Total tebu giling (ton) Kapasitas giling (TCD) Hablur (ton) Produktivitas (ton/ha) Sumber: GMP (2010)
2010 28 316 82.00 2 322 000 122 000 216 000 7.63
2011 27 500 82.73 2 275 000 12 200 214 000 7.78
2012 28 000 83.57 2 340 000 12 500 218 000 7.79
2013 28 500 83.68 2 385 000 12 800 223 000 7.82
2014 29 000 83.79 2 430 000 13 000 227 000 7.83
Lampiran 19. Kinerja Pabrik Gula PT. Kebon Agung Tahun 2008 Pabrik gula 1. PG. Kebon Agung 2. PG. Tangkil Rata-rata Jumlah Sumber: DGI (2008)
5 773 4 081
Luas areal (ha) 16 067 11 721
4 927 9 854
Kapasitas TCD
1 293 431 760 500
Rende men (%) 7.22 6.74
13 894
1 026 966
6.98
27 788
2 053 931
Produksi tebu (ton)
Produksi gula (ton)
Hari giling
Tetes (ton)
93 416 51 221
182 170
55 618 32 702
72 319
176
144 637
44 160 88 320
Lampiran 20. Hasil Estimasi Model Oligopolistik Dinamik Fungsi Permintaan dan Relasi Penawaran Gula dengan Metode 2SLS 20.1. Fungsi Permintaan Dependent Variable: D(QGKPK,1) Method: Two-Stage Least Squares Date: 12/07/10 Time: 09:11 Sample (adjusted): 1982 2009 Included observations: 28 after adjustments Instrument list: GDPC HGKR HGKPGDPC HGKPHGKR U1K BPP QGKPKS V1K Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(HGKP,1) D(GDPC,1) D(HGKR,1) D(HGKPGDPC,1) D(HGKPHGKR,1) D(QGKPK(-1)) U1K(-1)
46757.65 -609.1526 0.183292 -185.0525 3.98E-05 0.018255 0.580154 -0.133513
82059.12 685.3905 0.292444 239.9838 8.66E-05 0.057092 0.421688 0.375770
0.569804 -0.888767 0.626759 -0.771104 0.460303 0.319753 1.375789 -0.355306
0.5752 0.3847 0.5379 0.4497 0.6503 0.7525 0.1841 0.7261
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
0.334662 0.101794 208507.0 2.153105
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Second-stage SSR
45336.50 220005.0 8.70E+11 7.26E+11
20.2. Relasi Penawaran Dependent Variable: D(HGKP,1) Method: Two-Stage Least Squares Date: 12/08/10 Time: 19:49 Sample (adjusted): 1982 2009 Included observations: 28 after adjustments Instrument list: GDPC HGKR HGKPGDPC HGKPHGKR U1K BPP QGKPKS V1K Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(QGKPK,1) D(BPP,1) D(QGKPKS) D(HGKP(-1)) V1K(-1)
-1.831892 0.000729 2.593927 -0.000493 -1.441378 -1.215036
103.5619 0.000690 0.591003 0.000741 0.425435 0.522391
-0.017689 1.056764 4.389024 -0.665313 -3.388013 -2.325914
0.9860 0.3021 0.0002 0.5128 0.0026 0.0296
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
0.493950 0.378939 349.1451 2.436481
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Second-stage SSR
236.0357 443.0356 2681850. 975300.2
Lampiran 21. Hasil Estimasi Model Oligopolistik Statik Fungsi Permintaan dan Relasi Penawaran Gula dengan Metode 2SLS 21.1. Fungsi Permintaan Dependent Variable: QGKPK Method: Two-Stage Least Squares Date: 12/04/10 Time: 12:03 Sample: 1980 2009 Included observations: 30 Instrument list: GDPC HGKR HGKPGDPC HGKPHGKR BPP QGKPKS Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C HGKP GDPC HGKR HGKPGDPC HGKPHGKR
344671.7 85.38294 0.389397 -539.1350 -4.99E-05 0.118728
657190.6 1001.008 0.142931 367.9256 0.000152 0.114011
0.524462 0.085297 2.724372 -1.465337 -0.328778 1.041370
0.6048 0.9327 0.0118 0.1558 0.7452 0.3081
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
0.651021 0.578317 246738.3 0.947246
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Second-stage SSR
1976386. 379964.8 1.46E+12 1.45E+12
21.2. Relasi Penawaran Dependent Variable: HGKP Method: Two-Stage Least Squares Date: 12/04/10 Time: 12:05 Sample: 1980 2009 Included observations: 30 Instrument list: GDPC HGKR HGKPGDPC HGKPHGKR BPP QGKPKS Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C QGKPK BPP QGKPKS
-596.1897 0.000270 1.258943 0.000258
381.4748 0.000205 0.043157 0.000496
-1.562855 1.316731 29.17152 0.519775
0.1302 0.1994 0.0000 0.6076
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
0.977994 0.975454 299.5447 1.840937
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Second-stage SSR
1946.167 1911.946 2332903. 2196026.
Lampiran 22. Hasil Regresi antara Tingkat Swasembada Gula dengan Variabel Ekonomi Politik dengan Metode OLS 22.1. Regresi Menggunakan Data Beda Dependent Variable: D(SSR,1) Method: Least Squares Date: 02/01/11 Time: 10:26 Sample (adjusted): 1981 2009 Included observations: 29 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(WP,1) D(WG,1) D(AREA,1) D(GDPC,1)
-0.018689 -0.902073 -1.017010 1.53E-06 -8.64E-09
0.024309 0.668878 0.697521 8.51E-07 7.15E-08
-0.768787 -1.348635 -1.458035 1.792135 -0.120883
0.4495 0.1900 0.1578 0.0857 0.9048
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.223568 0.094163 0.101267 0.246118 28.00475 2.283669
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.009310 0.106400 -1.586534 -1.350794 1.727656 0.176775
22.2. Regresi Menggunakan Data Level Dependent Variable: SSR Method: Least Squares Date: 02/01/11 Time: 10:27 Sample: 1980 2009 Included observations: 30 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C WP WG AREA GDPC
-1.284765 0.820094 0.810258 2.36E-06 -1.44E-07
1.933354 0.735472 0.754078 4.78E-07 1.77E-08
-0.664527 1.115058 1.074502 4.939638 -8.121928
0.5124 0.2754 0.2929 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.739003 0.697243 0.100656 0.253290 29.04812 1.551939
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.731000 0.182933 -1.603208 -1.369675 17.69663 0.000001
Lampiran 23. Hasil Regresi antara Rente Ekonomi Gula dengan Variabel Ekonomi Politik dengan Metode OLS 23.1. Regresi Menggunakan Data Beda Dependent Variable: D(RENT,1) Method: Least Squares Date: 02/01/11 Time: 10:15 Sample (adjusted): 1981 2009 Included observations: 29 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(WP,1) D(WG,1) D(AREA,1) D(GDPC,1)
262.1849 37324.62 40382.60 -0.001080 0.000379
643.8655 17716.13 18474.77 0.022550 0.001893
0.407204 2.106816 2.185825 -0.047915 0.200181
0.6875 0.0458 0.0388 0.9622 0.8430
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.180037 0.043377 2682.180 1.73E+08 -267.3424 3.245024
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
364.6207 2742.316 18.78223 19.01797 1.317408 0.291929
23.2. Regresi Menggunakan Data Level Dependent Variable: RENT Method: Least Squares Date: 02/01/11 Time: 10:17 Sample: 1980 2009 Included observations: 30 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C WP WG AREA GDPC
-140800.1 51068.35 54343.58 -0.006385 0.001694
38745.08 14739.12 15111.99 0.009578 0.000355
-3.634013 3.464816 3.596057 -0.666588 4.766401
0.0013 0.0019 0.0014 0.5111 0.0001
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.704818 0.657589 2017.178 1.02E+08 -268.1170 1.767194
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
1776.667 3447.229 18.20780 18.44133 14.92336 0.000002
Lampiran 24. Hasil Regresi antara Tingkat Swasembada Gula dengan Rente dan Variabel Ekonomi Lain dengan Metode OLS 24.1. Regresi Menggunakan Data Beda Dependent Variable: D(SSR,1) Method: Least Squares Date: 02/01/11 Time: 10:05 Sample (adjusted): 1981 2009 Included observations: 29 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(RENT,1) D(AREA,1) D(GDPC,1)
-0.013590 -2.52E-05 1.56E-06 4.38E-09
0.018048 5.23E-06 6.30E-07 5.20E-08
-0.752969 -4.807013 2.481817 0.084276
0.4585 0.0001 0.0201 0.9335
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.547421 0.493112 0.075753 0.143461 35.83109 1.295368
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.009310 0.106400 -2.195247 -2.006655 10.07967 0.000155
24.2. Regresi Menggunakan Data Level Dependent Variable: SSR Method: Least Squares Date: 02/01/11 Time: 10:02 Sample: 1980 2009 Included observations: 30 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RENT AREA GDPC
0.827256 1.08E-06 2.18E-06 -1.40E-07
0.107599 8.05E-06 4.70E-07 2.36E-08
7.688298 0.133668 4.646343 -5.942620
0.0000 0.8947 0.0001 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.725289 0.693592 0.101261 0.266599 28.27997 1.300786
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.731000 0.182933 -1.618665 -1.431838 22.88166 0.000000
Lampiran 25. Regulasi yang Mengatur Industri dan Perdagangan Gula Indonesia KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN GULA SEBAGAI BARANG DALAM PENGAWASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa Gula merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis bagi ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat indonesia sehingga perdagangan gula di dalam negeri menjadi kegiatan yang penting dan oleh karenanya perlu diawasi. b. Bahwa sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1962 tentang perdagangan barang-barang dalam pengawasan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2004, penunjukan barang tertentu sebagai barang dalam pengawasan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. c. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a dan huruf b, dipandang perlu menetapkan gula sebagai barang dalam pengawasan dengan Keputusan Presiden. Mengingat: 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945. 2. Undang-undang Nomor 8 Prp Tahun 1962 tentang Perdagangan Barangbarang dalam Pengawasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2469). 3. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barangbarang dalam Pengawasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2473) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2004 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4402). MEMUTUSKAN : Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENETAPAN GULA SEBAGAI BARANG DALAM PENGAWASAN. Pasal 1 Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan :
1. 2. 3. 4.
Gula adalah Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar), Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar), dan Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar). Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar) adalah Gula yang dipergunakan sebagai bahan baku proses produksi, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS. 1701.11.00.00 dan 1701.12.00.00. Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar) adalah Gula yang dipergunakan sebagai bahan baku proses produksi, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS.1701.99.11.00 dan 1701.99.19.00. Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) adalah Gula yang dikonsumsi langsung tanpa proses lebih lanjut, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS. 1701.91.00.00 dan 1701.99.90.00
Pasal 2 Dengan Keputusan Presiden ini, Gula ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Prp Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-barang dalam Pengawasan. Pasal 3 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan perdagangan Gula diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab dibidang perdagangan. Pasal 4 Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, segala ketentuan yang ada mengenai pengawasan perdagangan Gula dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan yang baru berdasarkan Keputusan Presiden ini. Pasal 5 Keputusan presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 26 Juli 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd MEGAWATI SOEKARNO PUTRI Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 26 Juli 2004 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 69. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 527/MPP/Kep/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.
b.
c.
bahwa dangan telah diterbitkannya Keputusan Presidan Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula Sebagai Barang Dalam pengawasan dan Keputusan Presidan Republik Indonesia nomor 58 tahun 2004 tentang Penanganan Gula Yang Diimpor Secara Tidak Sah, maka dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri Gula, perlu diambil upaya untuk menjaga pasokan Gula sebagai bahan baku dan konsumsi yang berasal dari impor; bahwa sehubungan dangan hal tersebut dalam huruf a, dipandang perlu mencabut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 643/MPP/Kep/9/2002 tentang Tata Niaga Impor Gula dangan mengatur kembali Ketentuan Impor Gula dimaksud; bahwa untuk itu perlu dikeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan;
Mengingat: 1. 2.
3.
Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 (Staatsblad Tahun 1938 Nomor 86); Undang-undang Nomer 7 D rt Tahun 1955 tentang pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 801) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dangan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1964 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2695); Undang-undang Nomor 8 Prp Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang Dalam Pengawasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2469);
4. 5. 6.
7. 8. 9. 10.
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274); Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564); Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612); Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656); Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821); Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang Dalam Pengawasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2473) sebagaimana telah diubah dangan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4402); Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4254); Keputusan Presidan Republik Indonesia Nomor 260 Tahun 1967 tentang Penegasan Tugas Dan Tanggung Jawab Menteri Perdagangan Dalam Bidang Perdagangan Luar Negeri; Keputusan Presidan Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong; Keputusan Presidan Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Departemen; Keputusan Presidan Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Departemen; Keputusan Presidan Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula Sebagai Barang Dalam Pengawasan; Keputusan Presidan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2004 tentang Penanganan Gula Yang Diimpor Secara Tidak Sah; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 229/MPP/Kepn/1997 tentang Ketentuan Umum Di Bidang Impor; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang Yang Diatur Tata Niaga Impornya sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dangan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 406/MPP/Kep/6/2004;
20. 21. 22. 23.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 86/MPP/Kep/3/2001 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Perindustrian Dan Perdagangan; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 141/MPP/Kep/3/2002 tentang Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK); Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 40/MPP/Kep/1/2003 tentang Angka Pengenal Importir (API); Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK01/2003 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Impor; MEMUTUSKAN:
Mencabut
: Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nornor 643/MPP/Kep/9/2002 tentang Tata Niaga Impor Gula;
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA. Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dangan : 1. Gula adalah Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar), Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugary, dan Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar). 2. Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugary adalah Gula yang dipergunakan sebagai bahan baku proses produksi, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS. 1701.11.00.00 dan 1701.12.00.00. 3. Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar) adalah Gula yang dipergunakan sebagai bahan baku proses produksi, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS. 1701.99.11.00 dan 1701.99.19.00. 4. Gula Kristal Putih (Plantation White Suga) adalah Gula yang dapat dikonsumsi langsung tanpa proses lebih lanjut, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS. 1701.91.00.00 dan 1701.99.90.00. 5. Bilangan ICUMSA adalah suatu parameter nilai kemurnian yang berkaitan dangan warna gula yang diukur berdasarkan standar internasional, dalam satuan internasional unit (IU). 6. Rekomendasi adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dari instansi/unit terkait yang memberikan penjelasan secara teknis dan bukan merupakan izin/persetujuan impor. 7. Verifikasi atau penelusuran teknis impor gula adalah pemeriksaan atas impor Gula oleh surveyor yang menyangkut kelengkapan dan kebenaran dokumen perizinan dan persyaratan administratif yang dimiliki importir gula serta keterangan teknis mengenai Gula yang diimpor. 8. Menteri adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan. 9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Pasal 2 (1) Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 2 yang dapat diimpor harus memiliki bilangan ICUMSA minimal 1200 IU dan Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 3 yang dapat diimpor harus memiliki bilangan ICUMSA maksimal 45 lU. (2) Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar) dan Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Gula, selanjutnya disebut IP Gula. (3) Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar) dan Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar) yang diimpor oleh IP Gula sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dipergunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi dari industri yang dimiliki oleh IP Gula dan dilarang diperdagangkan maupun dipindahtangankan. (4) Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar) hasil industri yang dimiliki oleh IP Gula yang sumber bahan bakunya berupa Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar) berasal dari impor hanya dapat diperjualbelikan atau didistribusikan kepada industri dan dilarang diperdagangkan ke pasar di dalam negeri. Pasal3 (1) Pengakuan IP Gula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan oleh Direktur Jenderal. (2) Perusahaan yang ingin mendapat pengakuan sebagai IP Gula sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dangan melampirkan : a. Izin Usaha IndustrilTanda Daftar Industri atau izin usaha lainnya yang setara yang diterbitkan oleh instansi berwenang; b. Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) atau Angka Pengenal Importir Terbatas (API- T); c. Tanda Daftar Perusahaan (TDP); d. Nomor Pengenallmportir Khusus (NPIK) Gula; e. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); f. Rekomendasi dari : 1) Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian dan Perdagangan delam hal impor gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar) dan Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar) untuk penggunaan sebagai bahan baku industri rafinasi atau industri lainnya; atau 2) Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian dalam hal impor Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar) yang dipergunakan sebagai bahan baku pabrik Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar).
(3)
Pengakuan sebagai IP Gula sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menyangkut antara lain tentang masa berlaku pengakuan sebagai IP Gula, jumlah Gula, jenis Gula dan pelabuhan tujuan. Pasal 4 (1) Atas permohonan tertulis perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pagel 3 ayat (2), Direktur Jenderal menerbitkan atau menolak pengakuan sebagai IP Gula paling lambat dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima. (2) Bentuk dokumen pengakuan sebagai IP Gula tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini. Pasal 5 Pengakuan sebagai IP Gula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang kembali. Pasal6 (1) Perusahaan yang telah memperoleh pengakuan sebagai IP Gula wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada : a. Direktur Jenderal cq. Direktur Impor, Departemen Perindustrian dan Perdagangan setiap bulan tentang pelaksanaan importasi Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar) dan Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar), paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya dari setiap bulan pelaksanaan importasi; b. Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan cq. Direktur Industri Agro, Departemen Perindustrian dan Perdagangan setiap 6 (enam) bulan tentang realisasi produksi dan distribusi produk olahan dari industri rafinasi atau industri lainnya, paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya dari setiap 6 (enam) bulan realisasi produksi dan distribusi produk olahan dimaksud; c. Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan cq. Direktur Tanaman Semusim, Departemen Pertanian setiap 6 (enam) bulan tentang realisasi produksi dan distribusi produk olahan dari pabrik Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) , paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya dari setiap 6 (enam) bulan realisasi produksi dan distribusi produk olahan dimaksud. (2) Bentuk laporan tertulis dari perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai IP Gula sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. sebagaimana tercantum dalam Lampiran " Keputusan ini dalam hal realisasi pelaksanaan importasi kepada Direktur Jenderal cq. Direktur Impor, Departemen Perindustrian dan Perdagangan. b. ditetapkan masing-masing oleh Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian dalam hal realisasi produksi dan distribusi produk olahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c.
Pasal 7 (1) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 4 yang dapat diimpor harus msmiliki bilangan ICUMSA antara 100 IU sampai dangan 300 IU. (2) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diimpor: a. di luar masa : - 1 (satu) bulan sebelum musim giling tebu rakyat; - musim giling tebu rakyat; dan - 2 (dua) bulan setelah musim giling tebu rakyat; b. apabila harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) di tingkat petani mencapai di atas Rp. 3.410,-/kg (tiga ribu empat ratus sepuluh rupiah per kilogram); dan atau c. apabila produksi dan atau persediaan Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) di dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan. (3) Musim giling tebu rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a ditentukan oleh Menteri Pertanian. (4) Penentuan keadaan harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) di tingkat petani mencapai di stag Rp. 3.410,-/kg (tiga ribu empat ratus sepuluh rupiah per kilogram) dan atau keadaan produksi dan atau persediaan Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar') di dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b dan c didasarkan pads hasil rapat koordinasi antar instansi/lembaga dan asosiasi terkait. (5) Harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar') di tingkat petani sebesar Rp. 3.410,-/kg (tiga ribu empat ratus sepuluh rupiah per kilogram) dapat diubah dan ditetapkan lain oleh Menteri setelah mempertimbangkan hasil rapat koordinasi antar instansi/lembaga dan asosiasi terkait. (6) Jumlah Gula yang perlu diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri ditentukan berdasarkan hasil rapat koordinasi antar instansi/lembaga dan asosiasi terkait setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana dimuat dalam ayat (4) dan ayat (5). Pasal 8 Impor Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan yang telah mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar Gula, selanjutnya disebut IT Gula. Pasal 9 (1) Penunjukan IT Gula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
(2)
(3) (4)
Perusahaan yang ingin mendapat penunjukan sebagai IT Gula sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah perusahaan yang perolehan tebunya paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen): a. bersumber dari petani tebu; atau b. merupakan hasil kerjasama dangan petani tebu setempat. Bukti perolehan tebu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan surat keterangan perolehan tebu dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat setempat. Perusahaan yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dangan melampirkan : a. Surat Izin Usaha Perdagangan atau izin usaha lainnya yang setara yang diterbitkan oleh instansi berwenang; b. Angka Pengenallmportir (API); c. Tanda Daftar Perusahaan (TDP); d. Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK) Gula; e. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pasal 10 (1) Atas permohonan tertulis perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), Direktur Jenderal menerbitkan persetujuan atau penolakan penunjukan sebagai IT Gula paling lambat dalam jangka waktu 15 (lima betas) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima. (2) Bentuk dokumen penunjukan sebagai IT Gula tercantum dalam lampiran III Keputusan ini. Pasal 11 Penunjukan IT Gula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 berlaku paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang kembali. Pasal 12 (1) Setiap importasi Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) oleh IT Gula harus mendapat persetujuan impor terlebih dahulu dari Direktur Jenderal. (2) Persetujuan impor sebagaimana dimaksud. dalam ayat (1) menyangkut antara lain masa berlaku persetujuan impor, jumlah Gula, jenis Gula dan pelabuhan tujuan. Pasal 13 (1) Terhadap perusahaan yang telah mendapat penunjukan sebagai IT Gula wajib melakukan penyanggaan harga gula apabila harga Gula Kristal Putih di tingkat petani berada di bawah Rp. 3.410,/kg (tiga ribu empat ratus sepuluh rupiah per kilo gram), bekerjasama dangan pihak lain yang mendapat persetujuan Asosiasi Petani Tebu Rakyat setempat. (2) Selain IT Gula sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menunjuk perusahaan lain untuk melaksanakan impor
dalam rangka penyanggaan harga Gula Kristal Putih dan penyediaan Gula nasional.
Pasal 14 (1) Setiap pelaksanaan importasi Gula Kristal Mentah/Gula Kasar, Gula Kristal Rafinasi dan Gula Kristal Putih oleh IP Gula dan IT Gula wajib terlebih dahulu dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis yang mencakup pemeriksaan : a. dokumen perizinan dan persyaratan administratif; b. teknis di negara muat barang. (2) Pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh surveyor yang ditunjuk oleh Menteri. (3) Hasil verifikasi atau penelusuran teknis yang telah dilakukan surveyor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterbitkan dalam bentuk Laporan Surveyor (LS) yang dijadikan sebagai dokumen impor. (4) Atas pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis yang dilakukannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), surveyor dapat memungut imbalan jesa yang diberikannya dari IP Gula dan IT Gula atau dari pemberi hibah dalam hal importasi dilaksanakan dalam rangka pemberian hibah. (5) Untuk dapat ditunjuk sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis pelaksanaan importasi gula, surveyor harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : . a. berpengalaman sebagai surveyor minimal 5 (lima) tahun; dan b. memiliki cabang atau perwakilan atau afiliasi di luar negeri. (6) Ketentuan dan tatacara pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Pasal 15 Kewajiban verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak diberlakukan terhadap importasi Gula yang merupakan : (1) (2) (3) (4) (5)
barang keperluan penelitian dan pengembangan teknologi; barang contoh; barang pribadi penumpang atau awak sarana pengangkut atau pelintas batas; barang promosi; barang kiriman melalui jesa kurir dengan menggunakan jesa pesawat udara.
Pasal 16 Kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis importasi Gula oleh surveyor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak mengurangi kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan pemeriksaan kepabeanan. .
Pasal 17 (1) Perusahaan yang telah memperoleh penunjukan sebagai IT Gula wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Direktur Jenderal cq Direktur Impor, Departemen Perindustrian dan Perdagangan setiap bulan tentang pelaksanaan importasi Gula Kristal Putih dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian, paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya dari setiap bulan pelaksanaan importasi. (2) Bentuk laporan tertulis dari perusahaan yang telah mendapat penunjukan IT Gula sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan ini. Pasal 18 Perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai IP Gula atau penunjukan sebagai IT Gula dan atau persetujuan impor dilarang untuk mengalihkan dan mengatasnamakan IP Gula atau IT Gula dan atau persetujuan impor tersebut kepada pihak lain. Pasal 19 (1) Pengakuan IP Gula atau penunjukan IT Gula dibekukan apabila: a. tidak melaksanakan kewajiban menyampaikan laporan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 17 sebanyak 2 (dua) kali; atau b. terdapat dugaan melakukan pelanggaran dan tindak pidana ekonomi yang berkaitan dangan penyalahgunaan pengakuan IP Gula atau penunjukan IT Gula dan atau persetujuan impor Gula. (2) Pembekuan pengakuan IP Gula dan penunjukan IT Gula sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta pencairannya dilakukan oleh Direktur Jenderal. Pasal 20 (1) Pengakuan IP Gula atau penunjukan IT Gula dicabut apabila : a. mengubah, menambah dan atau mengganti isi yang tercantum dalam dokumen pengakuan IP Gula atau dokumen penunjukan IT Gula; atau b. dinyatakan bersalah oleh pengadilan atas pelanggaran dan tindak pidana ekonomi yang berkaitan dangan penyalahgunaan pengakuan IP Gula atau penunjukan IT Gula dan atau persetujuan impor Gula. (2) Pencabutan pengakuan IP Gula atau penunjukan IT Gula sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal.
Pasal 21 (1) Gula yang diimpor secara tidak sah dan melanggar ketentuan dalam Keputusan ini ditetapkan sebagai barang yang dikuasai dan dimiliki negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presidan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2004. (2) Terhadap Gula yang ditetapkan sebagai barang yang dikuasai dan dimiliki negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pelelangan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan dimanfaatkan untuk memenuhi: a. kebutuhan industri sebagai bahan baku/penolong; dan atau b. kebutuhan konsumsi di luar Pulau Jawa. (3) Gula yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) butir a semata-mata hanya dapat digunakan untuk keperluan industri dan dilarang untuk diperdagangkan ke pasar di dalam negeri. (4) Besaran jumlah Gula yang dilelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diperhitungkan sebagai bagian dari jumlah Gula yang perlu diimpor. Pasal 22 (1) Dangan ditetapkannya Keputusan ini, maka segala akibat hukum yang timbul dan seluruh perizinan yang telah dikeluarkan berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 643/MPP/Kep/9/2002 tentang Tata Niaga Impor Gula dinyatakan tetap berlaku sampai selesainya akibat hukum dan berakhirnya masa berlaku perizinan dimaksud. (2) Ketentuan kewajiban verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimuat dalam Pasal 14 mulai diberlakukan 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya Keputusan ini. Pasal 23 Pengecualian terhadap ketentuan dalam Keputusan ini hanya dapat ditetapkan oleh Menteri. Pasal 24 Ketentuan pelaksanaan dan hal-hal teknis yang belum diatur dalam Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Pasal 25 Keputusan ini mulai barlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dangan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 September 2004
MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI. RINI M. SUMARNO SOEWANDI