VIII. RENTE EKONOMI DAN SWASEMBADA GULA
Aktivitas lobi dan tekanan politik yang dilakukan kelompok produsen dimaksudkan untuk mendapatkan rente ekonomi yang dihasilkan melalui sebuah kebijakan. Rente ekonomi didefinisikan sebagai imbalan yang diterima pemilik sumberdaya melebihi kemampuan sumberdaya tersebut menghasilkan di tempat lain (next best alternative use). Rente ekonomi, dengan demikian, merupakan penerimaan di atas opportunity cost-nya. Sementara itu perburuan rente (rent seeking) mengacu pada pemborosan sumberdaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan rente tersebut. Oleh karena itu teori perburuan rente mencakup kajian teoritis dan empiris tentang rente ekonomi: bagaimana tercipta, cara mendapatkan, mempertahankan, termasuk biaya dan manfaatnya bagi masyarakat (Tollison, 1982, 1997). Penyebab terjadinya rente cukup beragam. Ia dapat tercipta secara alamiah melalui sistem harga atau terjadi
karena intervensi pemerintah dengan
menciptakan pembatasan pada aktivitas ekonomi. Namun demikian konsep perburuan rente pada penelitian ini hanya mengacu pada terjadinya rente ekonomi yang diakibatkan regulasi pemerintah. Di Indonesia perilaku mencari rente semakin tumbuh subur, terutama setelah era reformasi, sejalan dengan tidak adanya rumusan yang tepat dan dapat diterima mengenai sejauh mana negara mesti berperan dalam mewujudkan kesejahteraan bagi segenap anggota masyarakatnya.
Pada rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Suharto hingga tahun 1997, kebijakan nasional dititikberatkan pada penciptaan stabilisasi ekonomi. Tanpa ekonomi yang stabil maka pertumbuhan yang tinggi tidak dapat terwujud. Berdasarkan pemikiran tersebut maka pemerintah pun berusaha menstabilkan harga gula melalui produksi dalam negeri. Impor dilakukan jika produksi diperkirakan tidak akan mencukupi konsumsi domestik. Rente ekonomi yang terjadi selama periode stabilisasi disebabkan oleh monopoli Bulog atas pengadaan gula impor dan produksi gula dalam negeri. Regulasi yang mendasari adalah Keputusan Presiden Nomor 42/1971 mengenai pengadaan, penyaluran dan pemasaran gula serta Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 122/Kp/III/1981 tentang tata niaga gula pasir. Oleh karena fungsi utama Bulog adalah menjaga stabilitas harga dan pasokan gula maka pemerintah memberi keleluasan pada Bulog untuk mengimpor gula dengan tarif nol persen (Wahyuni, et al., 2009). Penyaluran gula oleh Bulog dilakukan melalui tiga jalur yaitu penyalur swasta, koperasi, dan industri. Penyalur memiliki tugas dan kewajiban menjamin stabilitas harga di daerah tempat mereka terdaftar, menjaga kelancaran suplai gula pasir di daerahnya, serta menjamin kecukupan stok gula pasir setiap saat (Kurniawati, 2008). Oleh karena itu harga gula dalam negeri mendekati harga paritas impornya sehingga rente ekonomi yang terjadi relatif kecil. Disparitas harga dikarenakan adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPn) impor sebesar 10 persen, Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 2.5 persen, PPn lokal sebesar 10 persen dan cukai gula 4 persen.
Setelah kejatuhan rezim Suharto karena terjadi krisisi ekonomi tahun 1997 yang berlanjut dengan krisis politik, Indonesia memasuki masa transisi demokrasi yang ditandai oleh pergantian pemerintahan yang begitu cepat. Presiden B.J. Habibi yang menggantikan Suharto pada tanggal 21 Mei 1998 tidak memiliki banyak waktu dan pilihan ketika harus meliberalisasi perdagangan sesuai dengan Letter of Intent (LoI) yang telah disepakati oleh Suharto dengan Dana Moneter International (IMF). Perubahan penting berkenaan dengan pelaksanaan LoI IMF yang menghapus monopoli Bulog dalam sektor gula adalah produksi gula petani tidak lagi dibeli oleh pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan, tetapi petani tebu dapat menjual langsung ke pasar pada harga yang berlaku. Impor gula boleh dilakukan oleh Importir Umum (IU) dan pemerintah tidak lagi menetapkan harga provenue. Akibatnya pasar gula dalam negeri terhubung langsung dengan pasar gula dunia dengan jumlah imporitr gula mencapai 800 perusahaan. Implikasinya adalah alokasi penggunaan lahan tergantung pada harga relatif komoditi yang dihasilkan. Terlebih ketika pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 1998 menghapuskan pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang memaksa petani harus menanam tebu. Menjelang berakhirnya rezim pemerintahan Habibi, Menteri Perindustrian dan Perdagangan
(Menperindag) Rahardi Ramelan
mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 364/MPP/Kep/8/1999 yang menetapkan impor gula tidak lagi dilakukan oleh importir umum tetapi oleh Importir Produsen yang terdiri dari pabrikan gula. Akibatnya harga gula domestik terus naik meskipun harga gula dunia turun dari tahun sebelumnya. Melihat hal tersebut Menperindag Yusuf Kala pada rezim Presiden Abdurrahman Wachid kembali membebaskan impor gula
kepada importir umum untuk menambah suplai gula domestik namun dengan mengenakan tarif ad valorem 20 persen untuk gula mentah dan 25 persen untuk gula kristal putih dan rafinasi melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) 717/MPP/Kep/12/1999 tentang pencabutan tata niaga
impor
gula
dan
364/MPP/Kep/8/1999
beras,
tentang
sekaligus
Tata
Niaga
mencabut Impor
Kepmenperindag Gula.
Keluarnya
Kepmenperindag No. 717/1999 dimaksudkan untuk melindungi petani tebu dan industri gula domestik dari persaingan langsung dengan gula impor. Akibatnya disparitas harga terjadi dan meningkatnya rente ekonomi yang diterima petani, pabrik gula dan importir. Ketika Presiden Megawati menggantikan Abdurahman Wachid melalui proses politik damai, Menperindag Rini S. Soewandi melakukan re-regulasi impor gula
dengan
mengeluarkan
Surat
Keputusan
(SK)
Menperindag
643/MPP/Kep/9/2002 yang kemudian diperbarui dengan SK Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 mengenai Ketentuan Impor Gula (KIG). Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari Penetapan Gula Sebagai Barang dalam Pengawasan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004. Pasal 3 dari SK 57/2004 tersebut menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan perdagangan gula diatur oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan. Latar belakang munculnya regulasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari lobi dan tekanan politik yang dilakukan APTRI (Kurniawati, 2008; Stapleton, 2006). Ketentuan impor gula tidak hanya mengatur tata cara impor tetapi juga secara eksplisit membedakan segmen pasar gula yaitu GKP untuk konsumsi
langsung rumahtangga dan GKR untuk bahan baku industri. Adanya segmentasi menyebabkan kedua jenis gula tersebut tidak dapat saling menggantikan atau melengkapi. Akibatnya ketika salah satu jenis gula mengalami goncangan produksi maka kekurangannya tidak dapat dipenuhi oleh gula yang lainnya meskipun terdapat kelebihan stok, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian harga gula dalam negeri sangat mudah berfluktuasi namun dengan kecenderungan harga untuk meningkat karena permintaan yang tidak elastik dan produksi yang tidak efisien. Segmentasi
pasar
yang
tidak
memungkinkan
terjadinya kompetisi
merupakan arena politik yang kondusif bagi berbagai kelompok kepentingan mencari rente ekonomi. Petani tebu yang memiliki lahan dan modal terbatas semestinya dilindungi dari kompetisi langsung yang tidak seimbang dengan pabrik gula rafinasi besar dan padat modal. Namun jika harga gula yang tinggi tersebut dinikmati oleh kelompok petani daun, --petani yang tidak menanam tebu, pedagang dan pabrik gula yang tidak efisien maka telah terjadi penghamburan sumberdaya riil yang tidak adil bagi masyarakat. Selain itu pasal 3 ayat (2) dari SK 527/2004 menyatakan bahwa perusahaan yang ingin mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen (IP) harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan rekomendasi teknis dari Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian dalam hal impor GKM yang dipergunakan untuk bahan baku pembuatan GKP gula memanfaatkan kapasitas yang belum terpakai (iddle capacity). Untuk mendapatkan rekomendasi teknis tersebut perusahaan harus memenuhi sejumlah kelengkapan antara lain pernyataan tidak keberatan dari Asosiasi Petani Tebu
Rakyat di wilayah kerja perusahaan yang bersangkutan. Tanpa persetujuan dari asosiasi ini maka perusahaan tidak akan mendapat izin impor GKM. Selanjutnya pada pasal 9 dari regulasi tersebut dinyatakan bahwa perusahaan yang ingin mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar (IT) gula adalah perusahaan yang perolehan tebunya paling sedikit 75% bersumber dari petani tebu atau merupakan hasil kerjasama dangan petani tebu setempat. Bukti perolehan tebu sebagaimana dimaksud didasarkan pada surat keterangan perolehan tebu dari
Asosiasi Petani Tebu Rakyat di wilayah kerja perusahaan yang bersangkutan. Tanpa surat keterangan dari asosiasi ini maka perusahaan tidak akan mendapat izin impor GKP. Kedua ketentuan ini juga sangat potensial bagi aktivitas memburu rente terutama oleh APTR melalui kewenangan memberi surat pernyataan tidak keberatan terhadap IP dan bukti perolehan tebu bagi pemegang IT untuk melakukan impor gula. Untuk mendapatkan surat pernyataan dan bukti perolehan tebu tentu bukan tanpa biaya. Rente ekonomi bukan hanya diterima APTR tetapi juga oleh para birokrat pada rezim yang mengeluarkan KIG (Stapleton,2006). Regulasi ini juga mengatur penunjukan investor yang memberikan dana talangan kepada petani sementara menunggu gula produksi petani dilelang (sekitar 2-3 bulan) untuk persiapan petani menanam tebu musim berikutnya. Hal tersebut diatur pada pasal 13 KIG yang menyatakan bahwa penyediaan dana talangan merupakan kewajiban pemegang IT atas lisensi impor gula yang diberikan pemerintah. Dana talangan merupakan pembayaran sementara terhadap gula petani yang nilainya sebesar harga patokan petani (HPP) dikali jumlah gula yang dihasilkan.
Agar dapat ikut serta dalam pemberian dana talangan investor yang berminat harus mendapat persetujuan dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat setempat dan adiministrasinya dilakukan oleh PTPN/RNI di wilayah pabrik gula tempat petani menggiling. Jika terdapat selisih antara dana talangan dengan harga lelang maka keuntungan dibagi antara petani dengan investor dengan perbandingan 60 persen untuk petani dan 40 persen untuk investor atau berdasar perjanjian yang disepakati sebelumnya. Sistim
pemberian
dana
talangan
dengan
menggunakan
jasa
investor/mitra/pedagang telah menciptakan peluang mencari rente. Agar dapat ikut serta dalam program dana talangan maka investor yang berminat harus mendapat persetujuan dari APTR setempat. Untuk mendapatkan surat persetujuan tersebut ada biayanya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika upaya merevisi KIG oleh Menteri Perdagangan Mari E. Pangestu pada rezim pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mendapat penolakan keras dari kelompok-kelompok yang potensial mendapat rente ekonomi besar dari regulasi tersebut. Kerumitan yang terjadi di industri gula menyebabkan peneliti membatasi analisis perburuan rente pada dua kegiatan perburuan yaitu,
(1) rente yang
tercipta dari proses produksi, dan (2) rente yang dihasilkan dari kegiatan impor. Ketika analisis ekonomi konvensional memperlakukan rente tersebut sebagai transfer murni yang tidak memiliki dampak terhadap perekonomian, Tullock memberikan insight dengan melihat transfer tersebut sangat potensial menjadi biaya sosial yang tidak produktif.
8.1. Rente dari AktivitasProduksi
Pada struktur pasar yang oligopolistik, produsen yang jumlahnya terbatas cenderung membuat kesepakatan tidak tertulis mengenai berbagai aspek produksi dan pemasaran guna menciptakan kekuatan pasar. Kesepakatan tersebut dibuat untuk mengurangi tingkat persaingan sesama produsen gula sehinga produsen dapat berperilaku laksana seorang monopolis dan menciptakan marjin yang besar antara harga jual dengan biaya produksi. Guna memudahkan organisasi, para produsen gula membentuk asosiasi yang terdiri dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Asosiasi Gula Indonesia (AGI), dan Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Namun demikian adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mencegah produsen melakukan kolusi untuk mendapatkan kekuatan pasar. Pada gambar 1 terlihat bahwa besarnya rente ekonomi yang dihasilkan dari proses produksi ditunjukkan oleh daerah
PmcaPw yang diterima berbagai kelompok
penghasil gula yaitu petani tebu, PG BUMN dan PG swasta. Dengan menggunakan harga paritas impor pada kondisi free trade sebagai opportunity cost sumberdaya, maka selama rezim pengaturan ini rata-rata rente ekonomi yang diterima berbagai kelompok produsen sekitar Rp. 3.8 triliun per tahun. Tabel berikut menyajikan distribusi rente ekonomi berdasarkan kategori produsen. Tabel 30. Distribusi Rente Ekonomi yang Diterima Produsen Gula Indonesia Tahun 2003-2009 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Petani 1 384 1 142 1 995 1 445 3 580 1 899
Rente Ekonomi (Milyar Rupiah) PG. BUMN PG. Swasta 611 697 426 710 708 1 044 534 739 1 004 1 618 490 910
Jumlah 2 692 2 278 3 747 2 718 6 202 3 298
2009 3 111 Rata-rata 2 079 Keterangan: Ditjen Perkebunan (diolah)
827 657
1 795 1 073
5 732 3 810
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa antara tahun 2003-2009 rente ekonomi dari aktivitas produksi terbesar dinikmati oleh petani tebu (Rp. 2.1 triliun), diikuti oleh PG swasta (Rp. 1.1 triliun) dan PG BUMN (Rp. 657 miliar) per tahun. Komposisi rente ini bersifat proporsional dengan jumlah gula yang dihasilkan oleh masing-masing kategori produsen. Distribusi rente ini seakan-akan menempatkan petani sebagai penerima manfaat terbesar dari kebijakan pergulaan nasional. Namun sebagian dari rente yang diterima petani tebu tersebut dinikmati oleh pedagang perantara (makelar tebu) yang umumnya diperankan oknum pengurus APTRI yang mendapatkan akses giling walaupun tidak memiliki lahan tebu. Para makelar tebu bekerja sama dengan karyawan PG yang mengeluarkan Surat Perintah Tebang Angkut (APTA) telah berperan menciptakan tingginya biaya transaksi yang ditanggung petani sehingga menggerus rente ekonomi tersebut. Penelitian Yustika (2008) menemukan bahwa biaya transaksi yang ditanggung petani tebu mencapai 50% dari keseluruhan biaya usahatani. Tingginya biaya transaksi yang ditanggung petani tebu, terutama petani tebu mandiri, dikarenakan kesulitan mendapatkan akses giling sehingga mereka terpaksa menggunakan jasa perantara atau menjual tebu tersebut kepada oknum APTRI untuk menghindari kehilangan bobot tebu atau menurunnya rendemen jika tebu digiling lebih dari 24 jam sejak ditebang. Sementara itu bagi petani tebu kontrak, mereka mendapatkan akses giling tetapi tidak memiliki kendali terhadap perhitungan pengeluaran karena semua dilakukan oleh manajemen pabrik gula mulai dari perhitungan bunga pinjaman hingga biaya angkut dan penentuan
rendemen. Di akhir proses kerjasama tersebut, petani menerima bagian gula berdasarkan perhitungan biaya yang dilakukan oleh manajemen pabrik gula. Gambar 34 menunjukkan bahwa pembatasan impor gula melalui tarif dan kuota telah meningkatkan produksi gula nasional dari 1.6 juta ton pada tahun 2003 menjadi 2.8 juta ton pada tahun 2009 dengan petani sebagai kontributor terbesar produksi gula yang mencapai 54 persen, diikuti PG swasta sekitar 31 persen dan PG BUMN sekitar 15 persen.
Sumber: Ditjen Perkebunan (diolah)
Gambar 34. Perkembangan Produksi Gula Indonesia Tahun 2003-2009 Selain itu terdapat kecenderungan menurunnya kontribusi PG BUMN dalam menghasilkan gula dari 23 persen pada tahun 2003 menjadi sekitar 15 persen pada tahun 2009 sementara kecenderungan sebaliknya terjadi pada PG swasta yang mengalami peningkatan dari 26 persen menjadi 31 persen. Di sisi lain meskipun secara nominal produksi gula petani mengalami peningkatan namun dilihat dari share gula yang dihasilkan cenderung tetap.
Dari sisi luas areal diketahui bahwa selama periode tersebut luas areal tebu juga meningkat dari 335 ribu hektar menjadi 443 ribu hektar dimana peningkatan tersebut dikarenakan bertambahnya luas areal tebu rakyat milik petani dari semula 172 ribu hektar menjadi 255 ribu hektar (Gambar 35). Sementara itu areal tebu milik PG swasta cenderung tetap sebagai akibat belum tersedianya infrastruktur dan kesulitan memperoleh lahan Hak Guna Usaha (HGU) terutama di luar Pulau Jawa. Hal ini mengindikasikan peningkatan share gula dari PG swasta lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas Oleh karena itu alternatif yang paling mungkin untuk lebih mempercepat peningkatan produksi adalah melalui penggunaan varietas unggul yang memiliki produktivitas tinggi (intensifikasi).
Sumber: Ditjen Perkebunan (diolah)
Gambar 35. Perkembangan Luas Areal Tebu Indonesia Tahun 2003-2009
8.2. Rente dari Aktivitas Impor Evolusi kebijakan perdagangan gula dengan pemberlakuan tarif dan kuota impor memberikan peluang bagi terjadinya aktivitas perburuan rente. Hal ini
dikarenakan produsen gula melakukan lobi terhadap pembuat keputusan agar kebijakan tarif dan kuota tetap dipertahankan. Selain itu kebijakan pemerintah menghapuskan importir umum dan hanya memberikan izin impor gula kepada Impotir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT) sejak tahun 2002 sesuai dengan SK Menperindag 643/2002 yang diperbarui dengan SK No. 527/2004 telah menciptakan peluang tambahan bagi aktivitas mencari rente karena pemegang IP dan IT umumnya adalah pemilik pabrik gula yang juga mendapatkan perlindungan dari tarif dan kuota impor. Bhagwati (1982) menggunakan konsep perburuan rente untuk kegiatan ini dengan istilah Directly Unproductive Profitseeking (DUP) activity. Berdasarkan konsep ini para pemburu rente melakukan tariff-seeking lobbying dengan tujuan mendapatkan policy transfer benefit yang walaupun menciptakan profit namun tidak menambah output ataupun jasa yang masuk dalam fungsi utilitas konvensional.
Tabel berikut menyajikan distribusi
rente yang diterima pemerintah dan importir antara tahun 2003-2009. Tabel 31. Rente Ekonomi yang Diterima Importir dan Pemerintah Indonesia Tahun 2003-2009 Rente Ekonomi (Milyar rupiah) Total Importir 2003 2 383 1 372 2004 1 223 353 2005 3 277 1 728 2006 1 639 540 2007 6 943 4 622 2008 1 809 653 2009 4 949 3 965 Rata-rata 3 175 1 890 Sumber: diolah dari berbagai sumber Tahun
Pemerintah 1 011 870 1 549 1 099 2 320 1 156 984 1 284
Tabel tersebut menunjukkan bahwa rente ekonomi yang diakibatkan aktivitas impor sekitar Rp. 3.2 triliun per tahun yang sebagian merupakan penerimaan pajak impor sedangkan pemegang IP dan IT menerima rata-rata Rp. 1.9 triliun per tahun antara tahun 2003-2009. Selain itu pada tahun 2007 rente ekonomi yang
diterima importir mencapai titik tertinggi yaitu sebesar Rp. 4.6 triliun. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut harga gula dunia mengalami penurunan namun pada saat yang sama harga gula di dalam negeri meningkat dari tahun sebelumnya seperti terlihat pada gambar 36 berikut.
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Gambar 36. Perkembangan Harga Gula di Indonesia Tahun 2003-2009 Selain itu pada saat yang sama volume impor mencapai angka tertinggi yang mencapai 2.6 juta ton. Rente ekonomi kemudian menurun pada tahun 2008 karena sebab yang sebaliknya yaitu harga gula domestik menurun sementara harga gula dunia meningkat dan volume impor turun menjadi 1.5 juta ton (Gambar 37).
Sumber: FAO (diolah)
Gambar 37. Perkembangan Impor Gula Indonesia Tahun 2003-2009
Selanjutnya pada tahun 2009 pemerintah menurunkan besaran tarif dari Rp. 790 menjadi Rp. 400 per kilogram yang menyebabkan penerimaan pajak pemerintah menurun sementara rente ekonomi importir meningkat. Gambar berikut menyajikan volume impor gula Indonesia antara tahun 2003-2009. Berkembangnya industri yang menggunakan gula sebagai bahan baku menyebabkan impor gula rafinasi cenderung meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 2007 ketika Indonesia tercatat sebagai negara importir gula rafinasi terbesar di dunia. Namun sejalan dengan bertambahnya jumlah pabrik gula rafinasi dan efektifnya aktivitas lobi dari AGRI maka sejak tahun 2008 pemerintah hanya mengizinkan impor gula untuk kebutuhan industri dalam bentuk gula mentah untuk dimurnikan menjadi gula rafinasi guna menciptakan nilai tambah yang lebih besar di dalam negeri.
8.3. Distribusi Rente Ekonomi Dengan memperhitungkan peran BUMN (PTPN IX, X, XI, PT RNI, BULOG, dan PPI) dalam importasi gula sekitar 10 % maka tabel berikut menunjukkan negara/pemerintah
merupakan penerima rente ekonomi terbesar dari regulasi
yang mengatur pergulaan nasional (32.7%), diikuti oleh petani tebu (30.71%), importir produsen ( 20.48%) dan PG swasta (16.11%). Namun demikian penelitian Yustika (2008) mengindikasikan bahwa sebagian rente yang diterima petani tebu (50%) hilang dalam bentuk biaya transaksi sehingga berdasarkan temuan tersebut distribusi rente yang diterima petani menjadi 15.4 persen.
Tabel 32. Distribusi Rente Ekonomi Gula yang Diterima Berbagai Kelompok Kepentingan di Indonesia dan Dead Weight Loss Tahun 2003-2009 Tahun
Total Rent Distribusi rente ekonomi (%) DWL (milyar (Milyar Petani2) PG Swasta Importir3) Negara1) rupiah) Rupiah) 2003 5 075 31.96 27.27 13.73 27.03 124.54 2004 3 501 37.02 32.62 20.28 10.08 60.53 2005 7 024 32.13 28.40 14.86 24.60 137.03 2006 4 357 37.48 33.17 16.96 12.39 54.98 2007 13 145 25.29 27.23 12.31 35.16 303.93 2008 5 107 32.23 37.18 17.82 12.79 65.30 2009 10 681 16.96 29.13 16.81 37.12 157.31 Rata-rata 6 984 30.44 30.71 16.11 22.74 129.09 Sumber: diolah dari berbagai sumber Keterangan: 1) Penjumlahan rente PG BUMN dan penerimaan pajak impor 2) Setengahnya hilang dalam bentuk biaya transaksi 3) Termasuk impor yang dilakukan BUMN (IT gula) sekitar 10 % dari volume
Tabel
tersebut
menunjukkan
bahwa
negara/pemerintahlah
yang
paling
berkepentingan terhadap kebijakan pergulaan yang protektif tersebut karena ia merupakan penerima rente terbesar (30.44% + 2.27% = 32.7%), sementara petani tebu yang harus dilindungi ternyata merupakan kelompok yang menerima rente ekonomi gula paling sedikit (15.4%) karena tingginya biaya transaksi. Selain mengakibatkan terjadinya transfer surplus dari konsumen ke importir dan pemerintah, kebijakan tarif dan kuota impor menyebabkan terjadinya kemakmuran yang hilang (welfare loss). Dari tabel tersebut terlihat bahwa kehilangan kemakmuran pasca keluarnya SK Menperindag 643/2002 nilainya rata-rata mencapai 129 milyar rupiah per tahun.
8.4. Biaya Sosial Perburuan Rente Penggunaan segitiga Harberger banyak dikritik karena menghasilkan biaya sosial perburuan rente relatif kecil namun menggunakan metodologi Tullock menghasilkan biaya yang relatif tinggi. Pada penelitian ini segitiga Harberger
digunakan sebagai batas bawah dan kehilangan surplus konsumen seperti digunakan Tullock sebagai batas atas biaya sosial perburuan rente seperti dilakukan Lopez dan Pagoulatos (1994). Hasil perhitungan disajikan pada tabel berikut. Tabel 33. Biaya Sosial Perburuan Rente di Industri Gula Indonesia Tahun 2003-2009 Nilai Konsumsi Gula1) Biaya sosial rent seeking thp nilai konsumsi (%) (ribu rupiah) Batas atas2) Batas bawah3) 2003 11 263 341 863 47.27 1.11 2004 11 027 741 829 32.85 0.55 2005 19 608 116 088 37.22 0.70 2006 18 799 350 463 23.76 0.29 2007 29 030 771 384 45.94 1.05 2008 21 737 282 305 24.09 0.30 2009 34 733 190 885 29.75 0.45 Rata-rata 20 885 684 974 34.41 0.64 Sumber: diolah dari berbagai sumber Keterangan: 1) Luas segi empat PmxQ20; 2) Rasio trapisium PmxzPw terhadap segi empat PmxQ20; 3) Rasio segitiga xbz terhadap segi empat PmxQ20. Tahun
Tabel tersebut memperlihatkan biaya sosial perburuan rente di industri gula Indonesia jika menggunakan Harberger deadweight loss (segitiga xbz pada gambar 1) adalah relatif kecil (Rp. 129 miliar per tahun), jika dibandingkan dengan nilai konsumsi gula nilainya sekitar 0.64 persen. Sementara itu jika menggunakan metodologi Tullock maka biaya sosial rent seeking tersebut mencapai 34.41 persen dari rata-rata nilai konsumsi gula yang mencapai Rp. 20.9 triliun per tahun. Sebagai perbandingan, penelitian Lopez and Pagoulatos (1994) menemukan besarnya biaya sosial perburuan rente di industri gula Amerika (sugar confectionary) antara 3.4 persen hingga 20 persen dari nilai konsumsi sementara untuk gula rafinasi angkanya lebih besar lagi yaitu antara 11.32 persen (Harberger) hingga 56.68 persen (Tullock/Posner). Informasi mengenai aktivitas perburuan rente di industri gula tidak tersedia karena sebagian dari kegiatan tersebut adalah ilegal. Namun dari berbagai sumber
diperoleh informasi bahwa aktivitas perburuan rente di industri gula Indonesia dapat berupa penyuapan,3 kontribusi dana kampanye,4 korupsi,5 penyelundupan,6 pasar gelap,7 mempekerjakan keluarga pejabat (regulator) atau bahkan pejabat tersebut jika pensiun, layanan liburan dan trasportasinya, keanggotaan pada kelompok hobi (golf) atau asosiasi pengusaha, makan malam/siang mewah dan berbagai aktivitas perburuan rente bersifat in-kind dan indirect yang sulit dikuantifikasi. Biaya sosial dari perilaku mencari rente tersebut lebih besar dari manfaat transfer yang diterima produsen, importir dan pemerintah karena adanya kemakmuran yang hilang. Tullock (1993) menyatakan perilaku mencari rente menimbulkan negatif sum game pada situasi pasar politik yang tidak sempurna. Tingginya rente ekonomi berkorelasi negatif dengan pencapaian tingkat swasembada dan ini konsisten dengan hubungan negatif aktivitas lobi dengan pencapaian swasembada. Implikasinya adalah program swasembada telah menyebabkan tingginya biaya sosial yang ditanggung masyarakat. Ketika kotak hitam perburuan rente telah dibuka, kesulitan tetap menghadang setiap upaya perbaikan. Alasannya adalah para pemburu rente akan mengerahkan segenap daya dengan melakukan tekanan politik dan lobi untuk mengamankan rente ekonomi yang telah dinikmati (rent protection). Pengeluaran untuk mempertahankan rente ini analog dengan kegiatan mendapatkan rente itu 3
Stapleton, T. 2006. Kompas.com, 12/5/2009. Kasus PT RNI: Megawati Disebut Terima Rp. 500 Juta. 5 Kabarbisnis.com, 6/2/2010. AMATI Laporkan Direksi 4 Perusahaan Perkebunan Negara ke Kejati Jatim. --------, 5/2/2010. APTRI: Kasus Dana Talangan Untuk Belokkan Kasus Bongkar Ratun. --------, 9/2/2010. PTPN XI Siap Diaudit Terkait Isu Korupsi Dana Talangan. Kontan Online, 26/5/2009. Kasus Korupsi Penjualan Gula Putih: Ranendra akui talangi duit RNI. 6 Tempointeraktif .com. 25/04/2005. TNI AL Membongkar Penyelundupan 15 Ribu Ton Gula. Kompas.com, 24/02/2009. Polisi Sita 90 Ton Gula Ilegal. 7 Suara Merdeka, 24/05/2010. Industri Disinyalir Edarkan Gula Rafinasi. 4
sendiri karena mereka one-for-one dalam arti biaya sosial yang ditimbulkan (Tollison, 1997). Tekanan politik tersebut bukan sekedar untuk menghambat reformasi pergulaan itu sendiri tetapi sekaligus mengalahkan rasionalitas pandangan utilitarian yang mendasari deregulasi industri gula. Para pemburu rente secara intensif melakukan tekanan politik untuk menunjukkan bahwa deregulasi industri gula secara sosial bukan saja tidak bermanfaat, bahkan dapat memperburuk keadaan. Hal ini terlihat dari banyaknya aksi demontrasi dan lobi untuk menolak revisi terhadap SK Menperindag No. 527/2004.8
8.5. Prospek dan Implikasi Swasembada Berdasarkan data historis produksi dan perdagangan gula tahun 1960-2009, swasembada gula Indonesia mencapai tingkat tertinggi 118 persen pada tahun 1963. Namun pasca terjadinya pergolakan politik tahun 1965 produksi dan swasembada gula kemudian menurun. Presiden Suharto kemudian mengeluarkan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intesifikasi (TRI) yang menyebabkan produksi gula meningkat dengan laju 7 persen per tahun sementara impor neto hanya naik dengan laju 2 persen per tahun antara tahun 1965-1984. Hasilnya Indonesia kembali mencapai swasembada gula 100 persen pada tahun 1984-1985. Setelah itu tingkat swasembada terus menurun dan pada tahun 2009 tingkat swasembada hanya mencapai 49.2 persen karena produksi gula 2.5 juta ton sementara impor neto mencapai 2.6 juta ton.
8
Tempo Interaktif, 24/4/2008. Asosiasi Gula Minta Pasar Gula Rafinasi dan Tebu Dibedakan. --------, 13/12/2009. Revisi Tata Niaga Gula Diminta Ditinjau Ulang --------, 21/12/2010. Tolak Gula Rafinasi, APTR Protes Gubernur Jatim
Sumber: FAO (diolah)
Gambar 38. Perkembangan Swasembada Gula Indonesia Tahun 1960-2009
Melihat kecenderungan tersebut Presiden Yudhoyono dalam periode 5 tahun kedua pemerintahannya bertekad mewujudkan kembali swasembada gula tahun 2014 sebagaimana tercantum dalam Road Map Swasembada Gula Nasional tahun 2010-2014. Bagi pemerintah, swasembada merupakan syarat perlu bagi terwujudnya ketahanan dan kemandirian pangan (Azahari, 2008). Kementrian Pertanian kemudian menargetkan produksi gula tahun 2014 sebanyak 5.7 juta ton untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi rumahtangga sebesar 3 juta ton dan 2.7 juta ton untuk kebutuhan industri. Hal ini berarti produksi gula harus dinaikkan rata-rata 23 persen per tahun yang berasal dari penambahan luas areal tebu 16 persen dan peningkatan produktivitas on-farm serta perbaikan efisiensi pabrik gula masing-masing 2 persen per tahun. Demi mencapai target tersebut pemerintah melaksanakan Program Revitalisasi Industri Gula yang meliputi revitalisasi sektor on-farm melalui perluasan areal dan peningkatan produktivitas melalui Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Tebu, serta revitalisasi
sektor off-farm meliputi rehabilitasi, peningkatan kapasitas giling, amalgamasi, peningkatan efisiensi pabrik, dan peningkatan kualitas gula. Tabel berikut menyajikan sasaran produksi gula menuju swasembada tahun 2014. Tabel 34. Sasaran Produksi untuk Mencapai Swasembada Gula Indonesia Tahun 2014 Uraian 2010 Areal (ha) 464 640 Produksi tebu (ton) 37 450 000 Produktivitas (ton/ha) 80.60 Rendemen (%) 8.00 Produksi hablur (ton) 2 996 000 Produktivitas hablur (ton/ha) 6.45 Sumber: Kementrian Pertanian (2010)
2011 572 122 47 743 581 83.45 8,10 3 867 230 6.76
2012 631 846 53 612 133 84.85 8.20 4 396 195 6.96
2013 691 952 58 746 725 84.90 8.40 4 934 725 7,13
2014 766 613 67 061 705 87.48 8.50 5 700 000 7.44
Untuk menggiling tebu dari perluasan areal maka pemerintah menggunakan tiga skenario pembangunan pabrik gula yaitu: (1) 10 unit pabrik gula baru masingmasing berkapasitas 15 ribu TCD; (2) 15 unit dengan kapasitas masing-masing 10 ribu TCD; atau (3) 25 unit dengan kapasitas masing-masing 6 ribu TCD. Perluasan dan pembangunan pabrik gula baru tersebut dilakukan di luar Pulau Jawa. Dari sisi ekonomi-teknis, upaya peningkatan produksi gula dengan laju ratarata 23 persen per tahun merupakan pekerjaan besar dan penuh tantangan, sementara dari sisi ekonomi politik ia merupakan sebuah target yang sangat tidak realistis
bukan
mengakibatkan
saja
karena
swasembada
tingginya menjadi
aktivitas
mahal
tapi
perburuan juga
rente
yang
implikasi
yang
ditimbulkannya. Dengan kata lain, target kembar industri gula yang ingin dicapai pemerintah (twin target) yaitu swasembada gula pada satu sisi dan menyediakannya dengan harga murah bagi masyarakat pada sisi lain merupakan sasaran yang tidak realistis.
Pertama, aktivitas lobi dan tekanan politik terjadi di Pulau Jawa khususnya di Jawa Timur dimana lebih dari 60 persen gula diproduksi. Perluasan areal dan pembangunan pabrik gula baru yang efisien di Luar Jawa tanpa diikuti peningkatan efisiensi produksi di Jawa menyebabkan swasembada berbiaya tinggi. Hal ini dikarenakan penentuan Biaya Pokok Produksi (BPP) sebagai dasar penetapan HPP gula dilakukan dengan mengacu pada efisiensi usahatani tebu milik petani dan pabrik gula PTPN/RNI di Jawa yang umumnya tidak efisien. Ketika BPP tinggi maka pemerintah menetapkan HPP antara 10 sampai 15 persen lebih tinggi dari BPP tersebut. Akibat selanjutnya harga gula di tingkat produsen dan konsumen pun semakin tinggi. Jika harga gula di tingkat produsen (Rp.6974/kg) dan harga paritas impor (Rp. 4963/kg) diasumsikan tetap selama rentang 5 tahun menuju swasembada tahun 2014 maka biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat untuk mencapai swasembada gula 5.7 juta ton mencapai 44 triliun atau rata-rata 8.8 triliun rupiah per tahun. Kedua, manajemen PTPN/PT. RNI, seperti juga produsen kebijakan pada umumnya, lebih mengutamakan perspektif berpikir jangka pendek. Akibatnya revitalisasi pabrik gula di Jawa berjalan sangat lambat terutama pabrik gula dibawah manajemen PTPN/RNI pemegang IT. Hal ini dikarenakan pabrik gula pemegang IT tidak memiliki insentif melakukan revitalisasi yang berorientasi jangka panjang karena rente ekonomi terbesar diperoleh dari fasilitas impor yang sifatnya jangka pendek. Upaya restrukturisasi, rekayasa ulang dan revitalisasi untuk meningkatkan efisiensi ini telah disepakati sejak tahun 1998 yang berarti lebih dari 20 tahun, namun perkembangannya sangat lambat.9 Sementara itu upaya
9
Kompas.com. 20/8/2010. Pergulaan: Mewujudkan Ambisi Swasembada Gula.
perbaikan melalui Kerja Sama Operasi (KSO), amalgamasi, penutupan pabrik gula yang tidak efisien mendapat penolakan dari petani, APTRI, buruh pabrik, manajemen internal pabrik gula, bahkan pemerintah daerah. Lebih dari itu rekomendasi Tim Khusus Pengkajian Kebijakan Komprehensif Agribisnis Gula Nasional yang dibentuk oleh Menteri Pertanian berdasarkan Surat Tugas 134/Kp.440/A/VI/2003 untuk menyehatkan dan menyelamatkan industri gula nasional tidak mendapat dukungan dari pemangku kepentingan lain di industri gula termasuk dari kementrian lain (Sawit, et al., 2004). Hal ini menunjukkan para pemburu rente terus menghalangi setiap upaya perbaikan dan peningkatan efisiensi di industri gula nasional terutama di PG milik negara. Oleh karena itu hal yang sangat penting dilakukan terlebih dahulu sebelum mencanangkan swasembada adalah membuat keputusan politik mengenai penanganan inefisiensi produksi gula di Pulau Jawa yang tidak hanya memiliki dimensi ekonomi politik tinggi tetapi juga memiliki dimensi sosial dan budaya. Ketiga, inefisiensi produksi gula di Jawa menyebabkan ketidakadilan antar wilayah terutama bagi daerah yang tidak memiliki kebun tebu dan pabrik gula karena masyarakatnya harus membeli gula dengan harga mahal dibanding dengan impor langsung dari pasar dunia. Lebih jauh lagi, Sawit (2010) mengatakan persoalan gula sebenarnya adalah persoalan Pulau Jawa karena mayoritas rumahtangga petani tebu (91.4%) dan PG BUMN (85.7%) yang tidak efisien tersebut berada di Pulau Jawa. Dengan demikian swasembada memiliki implikasi pemberian subsidi dari konsumen di daerah bukan penghasil gula, yang tidak lebih makmur, kepada produsen gula di Pulau Jawa yang tidak efisien dan pabrik gula swasta yang justru relatif efisien.
Keempat, persoalan untuk mencapai swasembada gula yang efisien tersebut semakin rumit dengan kehadiran PG rafinasi, industri makanan dan minuman besar serta farmasi yang juga dominan berada di Pulau Jawa. Tingginya desakan pemerintah untuk mendorong industri gula rafinasi menggunakan bahan baku yang berasal dari tebu di dalam negeri dalam rangka mewujudkan swasembada gula, menyebabkan semakin besar tuntutan terhadap lahan yang ketersediaannya semakin terbatas di Pulau Jawa. Sementara itu sebagian besar PG rafinasi dibangun dekat dengan pelabuhan, seperti Banten, Serang, dan Cilacap. Hal tersebut dikarenakan sejak awal strategi pembangunan industri gula refinasi tidak direncanakan untuk terkait dengan sektor pertanian terutama perkebunan tebu dalam negeri tapi justru untuk memudahkan pasokan bahan baku gula mentah yang berasal dari impor (Sawit, 2010). Oleh karena itu adalah tidak realistis untuk mewujudkan swasembada ketika industri gula dalam negeri tidak saling terkait. Di satu sisi PG berbasis tebu umumnya menghasilkan GKP melalui proses sulfitasi dengan ICUMSA 137-370 IU sementara PG rafinasi menggunakan bahan baku gula mentah impor dengan ICUMSA 1000-7000 IU. Dari segi biaya produksi, semakin kecil ICUMSA maka biaya untuk menghasilkan gula tersebut semakin mahal. Jika dalam rangka mewujudkan swasembada, PG rafinasi harus menggunakan KGP sebagai bahan baku industrinya maka biaya produksi GKR semakin mahal, namun mengolah langsung tebu menjadi GKR agar diperoleh gula dengan harga lebih murah dihadapkan pada ketersediaan lahan yang tidak memadai karena PG rafinasi umumnya berada di Jawa dimana ketersediaan lahannya sangat terbatas. Dengan demikian program swasembada gula dari aspek ekonomi adalah tidak efisien jika masih bertumpu pada produksi di Pulau Jawa.