V. EKONOMI POLITIK KORUPSI NASIONAL DAN FAKTOR BUDAYA YANG MEMPENGARUHINYA : SOFISTIKASI STRUKTUR RENTE WARISAN ORDE BARU 5.1. Ekonomi Politik Korupsi dan Faktor Budaya Pemicu Korupsi di Era Orde Baru Tidak bisa dipungkiri bahwa korupsi yang meluas di tingkat nasional dan berbagai daerah saat ini, tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan perkembangan perjalanan Bangsa Indonesia dari mulai zaman kerajaan-kerajaan, penjajahan (kolonial), Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi saat ini. suburnya perilaku suap-menyuap
Tumbuh
terkait dengan warisan kondisi historis
kultural yang telah berjalan berabad-abad akibat represi yang dilakukan oleh penjajah 1 . Akibatnya secara terus menerus masyarakat dan penguasa (birokrasi) terbiasa dengan upeti, uang sogokan untuk menjaga loyalitas terhadap atasan atau penguasa. Akibat
penjajahan
Belanda,
muncul
sikap
mental
priyayi.
Koentjaraningrat (1974) mengidentifikasi bahwa mentalitas priyayi menganggap bahwa tujuan dari bekerja adalah untuk kebahagiaan yang terwujud dalam kedudukan yang tinggi, kekuasaan dan pemilikan lambang-lambang kekayaaan seperti rumah mewah, pakaian mewah, mobil mentereng dan seterusnya. Hal ini, jika diterapkan di birokrasi maka akan menghasilkan program-program fisik sebagai simbol dan gengsi sosial yang kurang bermanfaat bagi karya produktif yakni peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat luas. Sikap mental priyayi juga akan berpengaruh pada pola perasaan tentang kesalahan. Bila dia bersalah, asal tidak ketahuan, sehingga tidak menggoyahkan kedudukannya dan dia tidak terganggu oleh perasaaan menyesal. Jika kita lihat keadaan sekarang, apa yang diidentifikasi oleh Koentjaraningrat ini banyak benarnya. Banyak mantan pejabat pada masa Orde Baru yang diduga melakukan korupsi, tanpa merasa bersalah dan perasaan malu, malah menduduki posisi penting jabatan publik saat ini. Hal ini sangat berbeda dengan budaya bersalah (guilt culture) bangsa Jepang yang memilih bunuh diri (harakiri) karena malu 1
Lihat Alatas dalam Damanhuri, 2006. Triesman (2000) menujukkan bahwa negara-negara yang dijajah oleh Belanda mengalami tingkat korupsi yang lebih besar dibandingkan negaranegara yang dijajah oleh Inggris.
76
telah melakukan kesalahan (shame culture) dan kebudayaan Barat (Eropa) yang terus terganggu oleh perasaan bersalah (budaya dosa) yang mendalam (Benedict,1946 dalam Zainuri, 2007) Mentalitas priyayi juga beranggapan bahwa segala tindakan harus diarahkan
untuk pelayanan dan penghormatan pada atasan, senior, dan
pemimpin. Atasan harus dihormati dan dilayani. Jiwa feodal ini menyebabkan seorang bawahan akan merasa mulia bila mampu memberi pelayanan terbaik pada atasan, dan pada tahap tertentu, adalah kebanggaan bila bawahan memberi cinderamata dan bingkisan kepada atasan. Sikap mental yang diuraikan diatas, sebagaimana dijelaskan oleh Koentjaraningrat (1974) berakar pada budaya feodalistik dan paternalistik yang berkembang pada masa-masa kerajaan dan pada masa kolonial.
Mentalitas
birokrasi waktu itu lebih menonjolkan sikap sebagai seorang aristokrat (priyayi). Aparat birokrasi waktu itu lebih memposisikan diri sebagai penguasa yang harus dilayani daripada melayani masyarakat sehingga, pemerintahan diurus dengan tanpa akuntabilitas publik dan jauh dari kepentingan publik. Di sinilah awal terjadinya praktek kolusi dan korupsi di kalangan aparat birokrasi. Tumbuhnya kultur korup birokrasi merupakan ekses dari adanya sikap mental aristrokat di kalangan birokrasi yang ingin dilayani dan dihormati. Berkembangnya sikap feodalisme
di dalam tubuh birokrasi kolonial
waktu itu, berakibat pada akuntabilitas birokasi hanya ditujukan kepada pejabat di atasnya, bukan kepada publik. Demikian pula loyalitas dan pertanggung jawaban aparat di tingkat bawah semata-mata hanya ditujukan kepada pejabat di atasnya. Prestasi kerja hanya dinilai dari loyalitas bawahan terhadap atasan. Akibatnya bawahan akan selalu menjaga kepuasan pimpinan sehingga memunculkan budaya kerja yang selalu menyenangkan pimpinan, seperti membuat laporan yang menyenangkan pimpinan tanpa berdasar fakta, berlombalomba menghormati pimpinan secara berlebihan guna mengambil hati pimpinan dengan cara pemberian parsel, cinderamata,
uang dan segala sesuatu yang
menjadi kesenangan pimpinan. Pembentukan etos kerja juga mengalami feodalisasi, penyelesaian tugas menunggu petunjuk pimpinan, munculnya citra (image) bahwa pimpinan selalu
77
bertindak benar, pimpinan tidak dapat disalahkan.
Bawahan yang tidak loyal
dan tunduk pada perintah pimpinan dianggap “mbalelo”.
Akhirnya yang
muncul adalah sifat inferior dalam diri seorang bawahan dan sifat superior dalam diri seorang atasan dan menyebabkan sikap paternalistik. Akibatnya ada rasa enggan atau ewuh pakewuh muncul dari pegawai bawahan dan masyarakat, bahkan disertai rasa hormat yang berlebihan kepada pejabat birokrasi, seperti gubernur, bupati atau walikota. petunjuk atasan.
Dalam
menjalankan tugas selalu minta
Masih lengket dalam ingatan kita bagaimana
budaya
paternalistik ini tumbuh subur pada zaman Orde Baru. Hal ini ditunjukkan oleh Menteri Penerangan zaman Orde Baru, di mana dalam setiap kesempatan selalu mengucap “menurut petunjuk Bapak Presiden”. Budaya paternalistik dan ewuh pakewuh ini juga membawa akibat pada tidak beraninya bawahan atau atasan mengemukakan pendapat secara terang-terangan, sehingga seringkali sesuatu yang sangat jelas dibuat menjadi ‘kabur’. Sebagai contoh misal dalam soal kenaikan harga yang sudah jelas bahwa harga memang dinaikkan, tetapi disamarkan dengan menggunakan harga “disesuaikan”.
Hal demikian
merupakan budaya koruptif. Budaya feodalistik yang mewarnai birokrasi tersebut pada masa Orde Baru makin tumbuh subur, seiring dengan makin berkembangnya sistem politik yang berbasis pada budaya politik Jawa. Kondisi ini tidak lepas dari figur Presiden Soeharto waktu itu, yang berasal dari Jawa dengan mengadopsi kepemimpinan model kerajaan Jawa yang salah kaprah. Model budaya Jawa yang menganut prinsip “mikul dhuwur mendhem jero” (mengangkat tinggi dan mengubur dalam-dalam), menyebar keseluruh daerah bersamaan dengan ditempatkannya orang-orang Jawa di posisi penting birokrasi di berbagai daerah. Prinsip budaya “mikul dhuwur mendem jero” ini biasanya digunakan oleh anak untuk memuliakan orang tua. Tetapi faktanya prinsip ini juga digunakan dalam birokrasi zaman Orde Baru, dimana yang dimuliakan adalah memuliakan adalah bawahan.
atasan dan yang
Akibatnya, hanya keberhasilan-keberhasilan
pimpinan saja yang diungkap, sementara jika pimpinan melakukan kesalahan maka kesalahan ini harus disembunyikan dalam-dalam. Hal inilah yang kemudian menyebabkan berbagai praktek bad governance, karena pimpinan
78
menjadi tidak accountable dan tidak transparans dalam mengelola kebijakan publik dan akhirnya memicu korupsi. Hegemoni budaya Jawa sedemikian ini tumbuh subur dalam praktek birokrasi zaman Orde Baru. Budaya feodalistik dan paternalistik tersebut sebenarnya merupakan pengejawantahan budaya birokrasi patrimonial.
Birokrasi patrimonial ini
bersandarkan diri pada tiga unsur yakni klientisme, kaburnya wilayah publik dengan wilayah pribadi (private), dan kultur nonrasional. Klientisme merujuk pada pola hubungan kekuasaan yang dibangun oleh penguasa dan lingkungan sekitarnya. Dalam birokrasi modern, pusat loyalitas ada pada impersonal order (hukum). Namun dalam birokrasi klientisme, loyalitas ada pada diri penguasa. Dalam birokrasi modern, pembagian wewenang yang dihormati seperti yang digariskan dalam trias politika (eksekutif, legislatif, yudikatif). Tetapi dalam klientisme, penguasa mengintervensi wewenang legislatif dan yudikatif. Dalam budaya patrimonial, hubungan antara pimpinan dan bawahan bersifat patron-klien dan loyalitas penguasa diikat oleh
karisma individu
imbalan berupa materi ekonomi yang didistribusikan secara tertutup.
ataupun Dalam
birokrasi patrimonial, banyak ditemui ada pengusaha yang “dipelihara” oleh penguasa. Pengusaha ini diberi perlindungan politik serta mendapat fasilitas kemudahan dalam mengembangkan jejaring rentenya.
Sebagai imbalannya
mereka menyetor dana dalam jumlah yang sangat besar
bagi kas politik
penguasa untuk menjalankan politik patrimonialnya. Dalam budaya modern, wilayah publik dan wilayah pribadi sangat terpisah. Sedangkan dalam birokrasi yang patrimonial, batas wilayah publik dengan wilayah privat dibuat kabur.
Kaburnya batas wilayah publik dengan
wilayah pribadi inilah yang menjadi sumber maraknya korupsi di negara yang bergaya patrimonial. Budaya patrimonial yang ada dalam birokrasi di Indonesia masa Orde Baru dicerminkan oleh pola-pola rekrutmen politik yang umumnya masih berbasis patron-client. Rekrutmen ini tidak hanya rekrutmen pejabat birokrasi, perusahaan negara, pejabat polisi, tetapi juga
rekrutmen pejabat
militer. Dan dalam relasi patron–client, rente adalah “bahan bakar” sekaligus pelumas yang menghidupi dan memperlancar, termasuk dalam pencapaian target-target kekuasaan dan politik (Simanjuntak, 2005).
79
Melalui
penerapan
sistem
politik
sentralistik
dan
hegemoni,
penyeragaman diberlakukan di lingkungan birokrasi pemerintah di era Orde Baru. Loyalitas para aparat birokrasi pemerintah ditujukan kepada negara dan pemerintah, bukan kepada rakyat.
Politik penyeragaman dan membangun
loyalitas birokrat tersebut merupakan embrio bagi munculnya penyeragaman aspirasi dan kepentingan politik birokrasi pemerintah yang diarahkan untuk mendukung Golkar waktu itu atau mendukung kekuasaan 2 . Sentralisasi birokrasi pada masa Orde Baru telah menyebabkan parkinsonisasi birokrasi yang menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk tindakan penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan oleh birokrasi. Elite birokrasi menempatkan dirinya lebih dari pada masyarakat dan menempatkan dirinya lebih tinggi dari masyarakat, sehingga mereka perlu dihormati dan dihargai karena merupakan figur yang berkuasa, yang dapat menentukan nasib orang lain. Perilaku elite birokrasi demikian makin nyata setelah birokrasi digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan oleh oligarki Orde Baru. Melalui tiga kaki oligarkinya Orde Baru berhasil menguasai dan mengendalikan seluruh jajaran birokrasi mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah. Ketiga kaki oligarki Orde Baru tersebut adalah istana (pengusaha kroni Presiden Soeharto), tangsi (militer) dan partai politik penguasa (Golkar). Dengan ketiga jalurnya yakni Jalur A (ABRI), Jalur B (birokrasi) dan Jalur G (kader Golkar yang berasal dari ormas pendiri Golkar yakni MKGR, KOSGORO dan SOKSI), partai penguasa ini menjadi benteng yang sakti dalam melindungi bisnis istana dan sekaligus men-sipil-kan bisnis keluarga Soeharto 3 . Birokrasi baik di tingkat pusat maupun di daerah sebagai pengatur alokasi dan distribusi sumber daya negara
serta sebagai pengatur kegiatan
ekonomi praktis dikuasai dan dikendalikan oleh oligarki tersebut.
Bahkan
lembaga legislatif di pusat (DPR) dan di daerah (DPRD) semua dalam kendali oligarki tersebut. Pemilu memang setiap lima tahun dilaksanakan dan setiap lima tahun pula hasilnya sudah bisa dipastikan. Pada masa ini DPR dan DPRD
2 3
Lihat Dwiyanto, et al (2005) Lihat Aditjondro (2006), halaman 7-16
80
dikuasai oleh Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI 4 .
Bahkan
untuk menjamin
dominasi Golkar pada tahun 1985 disahkanlah UU yang berimplikasi pada meningkatnya jumlah anggota DPR dari 470 menjadi 500. Hal ini menyebabkan jumlah para “wakil rakyat” yang diangkat oleh pemerintah menjadi lebih banyak 5 . Lembaga-lembaga legislatif hasil bentukan Orde Baru tersebut hanya berfungsi untuk legitimasi kekuasaan saja.
Semua kebijakan, UU, bahkan
proyek-proyek pembangunan lewat APBN dan APBD di daerah semua dalam kendali eksekutif yang dikuasai oleh jejaring rente oligarki tersebut. Lewat kekuasaan yang sentralistik dan mayoritas tunggal partai Golkar serta didukung oleh militer, semua pejabat di pusat (yakni di departemen-departemen) dan di daerah baik itu Gubernur dan Bupati/Walikota
dikendalikan dan diatur oleh
Presiden bersama keluarga dan kroninya. Sudah menjadi hal yang lumrah waktu itu kalau Bupati dan Gubernur berasal dari militer, agar oligarkinya tetap kuat sampai ke daerah. Oleh karena itu, mana kala di suatu daerah muncul Kepala Daerah yang dipilih DPRD tidak sesuai dengan skenario oligarki ini, maka melalui tangan Menteri Dalam Negeri, hal tersebut dapat dibatalkan. Sekedar memberikan contoh bagaimana Orde Baru mengendalikan pejabat di daerah adalah pemilihan Bupati Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan pada tahun 1996 6 . Untuk memperoleh dukungan militer yang makin besar dalam birokrasi dan oligarkinya, di samping memberikan jabatan kepada para petinggi militer dalam jabatan sipil, banyak militer yang telah diikat kesetiaannya pada keluarga batih Soeharto melalui perkongsian bisnis milik keluarga Soeharto dengan yayasan-yayasan milik satuan-satuan TNI dan POLRI.
Keterkaitan antara
berbagai perusahaan negara (BUMN), perusahan militer dan perusahaan Soeharto menyebabkan makin kuatnya oligarki tersebut, sehingga mampu menguasai dan mengatur serta mengendalikan seluruh sektor ekonomi negara dan swasta di Indonesia. Sebagai contoh adalah dalam hal pengaturan dan pengelolaan sumber daya alam. 4
Hak pemanfaatan sumber daya alam, seperti kehutanan dan
Saat itu lewat dwi fungsinya, ABRI terlibat dalam aktivitas politik Lihat Elson (2001) 6 Lihat Majalah Gatra, Edisi 18 Mei 1996 5
81
pertambangan selama pemerintahan Orde Baru diatur dan dikendalikan oleh oligarki tersebut melalui tangan-tangan di pusat-pusat pemerintahan. Akibatnya Orde Baru dengan oligarkinya merajalela membangun struktur jejaring rente yang kian hari kian kuat.
Alih-alih kebijakan ekonomi yang diterapkan dari
pusat sampai daerah berpihak kepada rakyat, malahan praktis semua kebijakan baik itu melalui APBN maupun pengelolaan sumber daya alam selalu berpihak dan menguntungkan individu-individu yang ada dalam tiga kekuatan oligarki tersebut. Dalam konteks teori Representative Government (Breton, 1974) dimana aturan dan kebijakan merupakan hasil bakumain (interplay) antara pemerintah, perusahaan (swasta) dan masyarakat umum, maka apa yang terjadi pada masa Orde Baru adalah dominannya oligarki tersebut yakni istana, tangsi dan partai penguasa yang menguasai seluruh pemerintahan dalam mengatur dan mengambilan kebijakan serta menyusun regulasi. Dengan demikian mereka berperan sebagai pemasok (supplier) dan sekaligus peminta (demander) dari suatu regulasi, sehingga dipastikan adanya konflik kepentingan (conflict of interest). Dan seperti yang diperkirakan oleh Breton (1974), pola demikian akan mengakibatkan semua keputusan, kebijakan dan regulasi akan berpihak kepada kepentingan oligarki tersebut. Sementara masyarakat umum sama sekali tidak punya akses dalam penentuan kebijakan dan regulasi pembangunan dan akhirnya menjadi “obyek penderita”. Dalam konteks teori ekonomi politik (Breton, 1974; Stvens, 1993) , model yang berlaku pada Orde Baru adalah model pemerintahan administratif (administrative government), di mana birokrasi mendominasi semua keputusan kebijakan publik.
Bahkan lembaga legislatif hanya dijadikan sebagai alat
legitimasi birokrasi dalam mengambil kebijakan publik. Akhirnya yang berlaku pada waktu itu adalah munculnya segitiga besi (oligarchy) antara birokrasi (eksekutif) – militer – kelompok kepentingan, dimana birokrasi dan kelompok kepentingan (jejaring rente Orde Baru) mendominasi dalam setiap kebijakan publik. Munculnya subgovernment dengan segitiga besi
(iron triangle)
memberikan suatu keadaan di mana partisipasi yang sangat dihambat, stabilitas yang mempertahankan status quo, dan pengambilan keputusan yang terpusat
82
pada elite birokrasi.
Jadi sub government merupakan bukti bahwa sistem
pengambilan kebijakan yang berorientasi kolektif sangat kurang dan tidak mendorong pemerintahan yang demokratis (representative) atau cenderung kediktatoran. Seperti yang diprediksi oleh model Buchanan dan Tullock (1962), pengambilan keputusan bersama yang demikian, akan memunculkan biaya eksternalitas yang sangat mahal. Birokrasi menjelma seperti tukang sihir yang jahat (wicked witch model) sebagaimana diduga oleh Niskanen atau yang oleh Buchanan (1989) disebut sebagai ‘Leviathan’ (semacam ikan paus yang besar). Akibatnya pada era Pemerintahan Orde Baru, korupsi tumbuh subur melalui jalur birokrasi (agen pemerintah, pejabat) bersama dengan individu dan kelompok yang ada dalam oligarki Orde Baru tersebut. Pada dekade awal kekuasaan Orde Baru hubungan antara pengusaha dan birokrat sering diistilahkan sebagai hubungan usaha Ali Baba, di mana Ali yang pejabat dan Baba yang pemodal.
Lewat hubungan ini kontrak-kontrak dalam
APBN dan lisensi-lisensi impor diberikan oleh Ali yang pejabat dan Baba yang pemodal, yang sekaligus keluarga dekat dan kroni Soeharto. Model usaha Ali Baba ini terus berlangsung karena pada akhirnya pengusaha-pengusaha yang terlibat hubungan usaha Ali Baba ini menjadi salah satu kaki dari kekuatan oligarki Orde Baru yang berfungsi sebagai penyandang dana politik (political financiers). Model usaha Ali Baba ini juga kemudian meluas dalam kontrakkontrak APBN. Dalam hal pengelolaan keuangan negara melalui APBN, korupsi dilakukan dengan melakukan kolusi antara birokrat (pejabat) dengan pengusaha. Program-program pembangunan dan kebijakan yang disusun tersebut merupakan hasil kolusi antara birokrat-pengusaha yang ingin mencuri uang negara melalui jejaring rente.
Cara yang dilakukan adalah
ikut sertanya pejabat tertentu
dengan perusahaan yang memenangkan tender proyek dari APBN, karena jasa pejabat tersebut. Imbalannya atau uang sogokannya adalah berupa dana yang berupa persentase dari nilai proyek di APBN hingga jatah saham bagi pejabat yang bersangkutan di perusahaan tersebut. Lewat jatah saham tersebut, pejabatpejabat banyak yang menduduki dewan komisaris atau dewan direksi, sehingga mereka secara terus-menerus dapat mengeruk keuntungan
tanpa terlibat
83
langsung dalam roda bisnis perusahaan. Dengan cara demikian maka lahirlah birokrat- pengusaha 7 . Dalam pengelolaan sumber daya alam dan kebijakan pengaturan ekonomi, terjadi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk membela dan menguntungkan individu atau kelompok yang ada dalam tiga kekuatan oligarki tersebut.
Dalam pengelolaan hutan misalnya bagaimana keluarga dan kroni
Soeharto melalui Kepres dan Departemen Kehutanan
menggasak kekayaan
hutan Indonesia. Sebut saja BH, pada masa pemerintahan Soeharto. Melalui berbagai manipulasi regulasi (melalui pemberian konsesi perizinan HPH, melalui RKT ( Rencana Kerja Tahunan) dan RKL (Rencana Kerja Lima Tahunan), melalui Timber Cruising, menunggak dan memalsu dana reboisasi, dan sebagainya), kekayaan hutan dikeruk oleh kroni dan anak-anaknya Soeharto 8 . Lewat Kasus yang terakhir inilah BH dengan PT MPD yang dimilikinya terlibat dalam penggelapan dana rebosiasi dan dana pemetaan hutan antara tahun 1986-1988. Pola korupsi dengan menggunakan regulasi berupa Kepres dan lain-lain yang dilakukan oleh kroni Soeharto ini dari sisi budaya didorong oleh sikap ingin mencapai tujuan dengan cepat dan tak ingin berusaha selangkah demi selangkah. Sehingga yang terjadi adalah sikap mentalitas menerabas atau sikap mental jalan pintas. Mental ini memang bukan hanya dimiliki sebagian besar bangsa Indonesia, tetapi juga banyak dijumpai di negara lain. Tetapi mentalitas demikian kemudian memperoleh peluang yang lebih besar karena mempunyai akses kekuasaan dan politik. Di tingkat pusat sebut saja
Keputusan Presiden No 44/1987 yang
memberikan wewenang perusahaan Nyonya SHR untuk membangun dan mengoperasikan jalan-jalan tol di seluruh negeri.
Keputusan Presiden No
4/1996 yang menunjuk BPPC yang diketuai oleh HMP untuk memonopoli pembelian dan penjualan cengkeh di Indonesia. Keputusan Presiden No 86/1994 dan No 14/1997 yang menunjuk sebuah perusahaan milik bersama BT dan HMP 7
sebagai distributor tunggal bahan peledak produksi perusahaan milik
Lihat ICW ,2002, halaman 42. Lihat Laporan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2000 dalam Tempo, Edisi 3-9 April 2000.
8
84
negara.
Juga Kepres tentang Mobil Nasional yang menunjuk
perusahaan
HMP sebagai pelaksana proyek tersebut yang bekerjasama dengan PT KIA dari Korea.
Contoh di atas hanya sekedar memberikan gambaran saja dan masih
banyak lagi perilaku rent seeking keluarga cendana dan kroninya yang menggunakan keputusan presiden atau pemerintah. Pada level daerah perilaku korupsi dengan pola oligarki Soeharto pada masa Orde Baru juga tidak kalah banyak. Sebagaimana yang pernah diungkap oleh SMERU (1999) keluarga dan kroni Soeharto menekan Kepala Daerah (terutama Gubernur) untuk membuat SK Gubernur dan sejenisnya kepentingan usaha kroni dan keluarga Soeharto.
demi
Misalnya dalam soal
perdagangan jeruk di Kalimantan Barat (Kalbar). Pada tahun 1991 Gubernur Kalbar mengeluarkan surat keputusan (SK) yang menunjuk PT BCM sebagai koordinator perdagangan jeruk di Kalbar. Semua jeruk harus dijual melalui KUD yang kemudian menjualnya kepada pedagang pengumpul yang telah ditentukan. Pedagang Pengumpul selanjutnya harus menjual kepada PT BCM untuk perdagangan antar pulau, khususnya ke Pulau Jawa. Contoh lain
misalnya dalam soal pemrosesan Teh di Jawa Barat.
Kelompok usaha NSB (milik BH yang merupakan kroni Keluarga Cendana) membangun empat pabrik pemrosesan di Jawa Barat.
Pada hal jumlah pabrik
teh (kecil dan menegah) di Jawa Barat waktu itu sudah kelebihan kapasitas, terutama disebabkan menurunnya areal perkebunan teh. hanya berupa pabrik, tanpa membangun perkebunan.
Investasi PT NSB
Petani dan pedagang
pengumpul menolak menjual pucuk teh ke Pabrik tersebut karena harga yang lebih rendah dibandingkan yang ditawarkan di Pabrik lainnya. Oleh karena itu, kelompok usaha NSB minta tolong kepada pemerintah melalui dua cara agar petani menjual pucuk teh kepada pabriknya. Pertama, dengan dukungan Ditjen Perkebunan melalui SK yang menunjuk empat pabrik Teh NSB sebagai mitra usaha petani yang memperoleh bantuan ADB melalui proyek pengembangan budi daya teh rakyat.
Dengan bantuan itu, petani terikat harus menjual pucuk
tehnya kepada PT NSB sebagai pembeli monopsoni dengan harga yang ditetapkan perusahaan. Dukungan kedua berasal dari SK Gubernur Jawa barat No 525.22/3671-Bonprod/90, perihal peningkatan pemasukan produksi pucuk
85
teh ke PT Teh Nusamba Indah. SK ini secara khusus menunjuk daerah-daerah tertentu agar petani menjual pucuk tehnya hanya kepada perusahaan yang ditunjuk.
Kebijakan ini
kemudian dikenal dengan istilah Rayonisasi.
Selanjutnya melalui SK Bupati di beberapa daerah Kabupaten mengeluarkan instruksi yang menyatakan agar petani yang dekat dengan PT Teh Nusamba menjual pucuk tehnya ke pabrik ini.
Semua ini telah menciptakan hak
monopsoni yang makin memperkecil kesempatan petani
untuk ikut
merundingkan harga produknya. Dalam konteks ekonomi politik, korupsi demikian dilakukan dengan menggunakan regulasi formal dengan cara melalui perumusan regulasi. Melihat situasi dan kondisi yang belum menguntungkan usahanya, perusahaanperusahaan tersebut berusaha mempengaruhi pengambil kebijakan untuk membuat kebijakan yang berpihak kepadanya. Untuk kasus Orde Baru, dimana kelompok usaha merupakan bagian dari oligarki Orde Baru, maka dengan mudah hal ini dilakukan. Secara politik, korupsi demikian tumbuh karena adanya monopoli bilateral antara penguasa dan pengusaha. Dalam soal SK Gubernur dan Bupati,
karena mereka bagian dari birokrasi Orde Baru, maka
untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada kelompok Orde Baru waktu itu, Gubernur bisa disuap dan ditekan.
Dari sisi penyuapan Gubernur diiming-
imingi untuk terus berlanjut masa jabatannya dan uang, sementara ancamannya adalah pencabutan jabatan gubernur atau jabatan bupati. Dengan pola korupsi demikian, seolah-olah apa yang dilakukan oleh kelompok usaha kroni Soeharto menjadi legal, karena didukung oleh keputusan legal formal oleh birokrasi ditingkat pusat maupun daerah.
Dalam hal ini,
kasus demikian semacam korupsi terlegalisasi (legalized corruption).
Hampir
semua korupsi dibungkus dengan kebijakan pemerintah. Jadi pola korupsi yang demikian telah berkembang lama di bumi Indonesia hingga saat ini dengan pelaku yang melibatkan kekuatan politico- business oligarchy di mana didukung oleh tiga kekuatan yaitu pengusaha hitam yang merupakan kroni dan keluarga besar cendana, penguasa).
militer (tangsi) dan birokrat
(yang dikuasai oleh partai
86
Menurut Syed Hussein Alatas, pakar Sosiologi Korupsi dari Singapura, (Aditjondro, 2006), akibat korupsi yang dilakukan oligarki tersebut menjadikan Indonesia suatu masyarakat yang dicirikan sebagai korupsi tingkat ke-tiga, yakni tingkat dimana korupsi yang merusak jaringan masyarakat, menjadi self destructive.
Sebagaimana digambarkan oleh Alatas: ”Korupsi merangsang
perkembangan korupsi yang lebih besar
dan tingkat yang lebih jauh ini
selanjutnya mendorong meningkatnya korupsi yang lebih besar lagi. Ketika pemerasan telah meluas di kalangan pegawai negeri dan digunakan oleh polisi yang bertugas, petugas di loket, perawat di rumah sakit,
ini biasanya
merupakan dampak dari korupsi sebelumnya di level yang lebih tinggi. Bagi negara yang melahirkan korupsi luas di kalangan pegawai negerinya, dibutuhkan keberadaan situasi korupsi sebelumnya yang menyebabkan munculnya kondisi ini”. Argumen inilah yang dapat menjelaskan mengapa pada era Orde Baru korupsi dari tingkat rendah yang dalam istilah politik disebut suap kompetitif yang dilakukan oleh pegawai rendahan sampai korupsi tingkat tinggi yang melibatkan kontrak-kontrak besar dan melalui berbagai kebijakan yang memberikan hak monopoli dan monopsoni, merebak di mana-mana. Dengan kondisi demikian, terjadilah apa yang disebut kapitalisasi birokrasi yakni setiap urusan dengan birokrasi memerlukan uang tambahan sebagai sarana transaksi antara birokrasi dan masyarakat dalam pelayanan publik. Pada tingkatan korupsi
pada level birokrasi rendahan,
pajak dan
retribusi serta berbagai pungutan di jalan raya terhadap barang-barang yang diperdagangkan di berbagai daerah digunakan sebagai ajang untuk melakukan korupsi 9 . Hal ini diperparah oleh tingkat gaji pegawai negeri yang demikan rendah, sehingga untuk menambah pendapatan, mereka menerima suap dengan terlebih dulu mempersulit urusan administrasi publik. Birokrasi warisan Orde Baru inilah yang masih beroperasi di berbagai daerah yang kemudian ikut andil dalam munculnya berbagai permasalahan 9
Lihat SMERU (1999), halaman 6-21. SMERU mencatat berbagai pungutan di jalan raya terhadap komoditi pasir dan buah-buahan di Lebak (Banten). Juga terhadap ternak sapi potong di NTT dan NTB serta di Sulawesi Selatan yang dikenai 16-24 jenis pungutan (pajak dan retribusi daerah) sehingga menyebabkan disparitas harga. Peternak sapi hanya menerima 69% dari harga sapi di Jakarta. Dan apa yang terjadi, pada saat otonomi daerah diimplementasikan sejak tahun 2001, pola-pola korupsi melalui ajang pungutan pajak dan retribusi ini meluas di berbagai daerah
87
reformasi dan desentralisasi, khususnya korupsi.
Secara faktual Orde Baru
runtuh setelah Soeharto lengser, tetapi secara ekonomi dan politik, serta pengaruh kultur birokrasi yang diwariskannya, kekuatan serta pola-pola korupsi yang telah tertanam sekian lama baik di birokrasi maupun di masyarakat masih terus tumbuh dan berkembang biak mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat hingga saat ini. 5.2. Konfigurasi Ekonomi Politik di Level Nasional pada Era Reformasi Dengan pola kekuasaan Orde Baru yang sentralistik dan kuatnya pengaruh
oligarki
menyebabkan
dalam
setiap
pengambilan
kebijakan
pembangunan
berbagai kebijakan pembangunan yang diambil cenderung
menyesatkan (misleading). Korupsi terjadi hampir di semua lini pemerintahan. Korupsi yang masif dan kolosal yang dilakukan oleh rezim Orde Baru tersebut menyebabkan terjadinya krisis nasional yang mulai dirasakan pada media tahun 1997.
Dipicu oleh regulasi keuangan dan perbankan yang
sangat rentan
bersamaan dengan krisis pengelolaan perbankan akibat kolusi antara bankir– pengusaha–birokrat, krisis ekonomi 1998 pun terjadi. Krisis tersebut berdampak pada merosotnya kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat banyak. Pertumbuhan ekonomi tahun 1998 mengalami kontraksi sampai lebih dari 13%, nilai tukar rupiah merosot tajam hingga menyentuh Rp 16 000/US $ dan inflasi mencapai lebih dari 80% pada kuartal ke-3 tahun 1998 (Hill, 1999 dan MacIntyre,1999) Krisis ekonomi tersebut merambat ke
krisis politik tahun 1998.
Demonstrasi mahasiswa terjadi di mana-mana menuntut pengunduran diri Soeharto. Puncaknya adalah terjadinya kerusahan Mei 1998 yang dipicu oleh tertembaknya empat mahasiswa Universitas Trisakti.
Puncak krisis politik
tersebut adalah mundurnya Presiden Soeharto pada tgl 21 Mei 1998 dari kursi Kepresidenan yang telah 32 tahun digenggamnya (Elson, 2001). Secara legal formal kekuasaan otoritarian Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, memang sudah “habis” sejak 21 Mei 1998. Tetapi secara politik, pola dan jejaring rente Soeharto belum pernah mati.
Hal ini didukung
oleh beberapa alasan berikut. Pertama, begitu Soeharto mengundurkan diri,
88
yang menggantikannya adalah bukanlah seteru politiknya yang memenangkan perkelahian melawannya. Melalui berbagai kebijakan politik pada masa transisi yang dipegang oleh Habibie beberapa UU Politik waktu itu masih mengakomodasi dan melindungi kepentingan Orde Baru. UU Politik tersebut juga belum menjamin netralitas birokrasi pada pemilu. Alih-alih Presiden Habibie memberantas korupsi warisan Orde Baru, malahan berbagai kebijakan diambil untuk menyelamatkan jejaring rente Orde Baru. Berbagai tuntutan untuk mengusut dan mengadili Soeharto, sama sekali tak dihiraukannya. Bahkan praktek korupsi masih dan terus meluas dengan memanfaatkan kontrak-kontrak melalui keuangan negara dan juga melalui perusahaan-perusahaan negara (BUMN). Kasus seperti Skandal Bank Bali dan BLBI adalah puncak gunung es korupsi pada masa pemerintahan Habibie 10 . Skandal Bank Bali ini melibatkan Partai Golkar dan Tim Sukses Habibie untuk pencalonan Presiden tahun 1999, karena dua aktor utama pembobol Bank Bali yakni SN dan JT tertera menjadi tim suksesnya.
Dua kasus inilah yang
kemudian menjungkalkan Habibie dari pencalonan kursi presiden pada tahun 1999 (Aditjondro,2006). Alasan ke-dua adalah bahwa secara jaringan bisnis dan ekonomi modal Soeharto sangat besar. Hal ini tidak diragukan lagi, karena selama memerintah dan berkuasa dengan oligarkinya, kemampuan keuangan dan ekonomi yang dikumpulkannya beserta keluarganya cukup untuk membuat perekonomian Indonesia bergantung padanya.
Kekayaan ini relatif tidak berkurang ketika
Soeharto turun dari tahta. Tak ada tindakan yang membekukan kekayaannya, sehingga cukup banyak waktu baginya untuk mengkonsolidasikan dana tunainya. Belum lagi dana-dana dari jejaring rente yang diperoleh semasa dia berkuasa (Tempo, Edisi 29 Desember 1998 - 4 Januari 1999). Alasan yang ke-tiga adalah basis kekuatan dan kekuasaan pejabat, sipil dan militer serta seluruh jaringan birokrasi dari pusat sampai ke daerah adalah merupakan hasil binaan Orde Baru selama 32 tahun berkuasa. Semua berhutang budi padanya. Banyak rahasia yang menyangkut mereka ada ditangan Soeharto terkait keterlibatan mereka dalam oligarki Orde Baru. Meskipun ada yang 10
Lihat Aditjondro (2006), halaman : 297-386
89
berusaha menjauhi agar tidak dicap sebagai kroni Soeharto, tetapi secara mental tak ada yang berani terang-terangan melabrak Soeharto kalau berhadap-hadapan langsung. Lebih dari itu seluruh sistem birokrasi dari pusat sampai ke daerah sudah terjangkiti praktek-praktek kotor Orde Baru yakni korupsi, kolusi dan nepostisme (KKN). Budaya birokrasi yang bersifat patrimonial dan feodalisme ikut memperparah perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme 11 . Lamanya Orde Baru memerintah membuat kanker KKN tersebut selalu mewarnai kehidupan masyarakat. Ibarat kanker, intinya sudah diangkat, tetapi jaringan lainnya yang sudah terjangkiti, tetap ada dan masih dapat menjadi bibit kanker ganas lanjutannya. Itulah analogi bagaimana “kanker ganas” korupsi pada era Orde Baru yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi dan politik di era reformasi. Alasan ke-empat mengapa pengaruh dan pola-pola Soeharto belum mati hingga saat ini adalah karena kekuatan reformasi tidak cukup siap mengambil alih kekuasaan dan menawarkan alternatif yang lebih baik 12 .
Adaptasi
demokrasi liberal yang secara efektif sejak tahun 1999 melalui empat kali amandemen konstitusi memang membawa Indonesia pada kualitas demokrasi formal prosedural yang lebih baik. Selain itu terdapat peningkatan yang cukup berarti dalam kebebasan berorganisasi dan berpendapat serta kebebasan pers. Partai-partai politik bermunculan. Lihat saja ada 48 Parpol yang ikut pemilu tahun 1999.
Mereka semua mengaku sebagai kekuatan reformasi. Bahkan
karena keberhasilannya dalam penyelenggaraan pemilu tahun 1999 yang berlangsung aman dan demokratis itu, Indonesia disebut sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Namun, kekuasaan birokratik otoritarian yang telah digantikan dengan kekuasaan partai-partai politik faktanya sampai hari ini tidak mampu mengubah 11
Lihat Dwiyanto, et al (2006). Wardaya (dalam Kompas, 6 Juni 2007) melihat bahwa gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa memang mampu menumbangkan sebuah rezim, tetapi gagal membangun alternatif yang lebih sesuai dengan aspirasi rakyat. Dibandingkan dengan gerakan mahasiswa zaman pergerakan melawan pemerintah kolonial, mahasiswa dan kaum terpelajar relatif berhasil. Mereka sukses dalam menumbangkan rezim kolonial represif, tetapi juga berhasil dalam menciptakan sistem alternatif. Hal ini disebabkan era gerakan reformasi mahasiswa enggan menekuni berbagai bacaan di luar studi formal, khususnya bacaan-bacaan sosial politik atau dasar-dasar pemikiran filsafat. Hal ini juga disebabkan oleh tidak adanya pendidikan politik yang sehat. Akibatnya reformasi gegap gempita di jalan raya, namun sepi dalam teori, sehingga ketika rezim yang mereka lawan runtuh, para mahasiswa tidak mampu menyodorkan alternatif. 12
90
pola-pola akumulasi kekuasaan politik dan kekayaan ekonomi berbasis jejaring rente yang merupakan warisan melekat dari rezim Orde Baru 13 . Fakta lainnya adalah hampir semua partai-partai politik yang ada, masih berorientasi pada kepentingan sesaat, myopic, dan oportunis.
Mereka lebih
mementingkan kepentingan kelompok masing-masing. Bahkan di antara mereka terkesan membagi-bagi kekuasaan yang diperolehnya dari Soeharto. Imbal beli serta politik dagang sapi yang berbasis pada pola patron klien dan jejaring rente yang menghidupinya, dengan memanfaatkan irasionalitas politik massa-massa akar rumput menjadi faktor utama kalkulasi politik dari parpol-parpol hingga saat ini 14 . Parpol-parpol sama sekali tidak punya platform untuk membangun kesejahteraan masyarakat secara serius. Tidak juga punya platform progresif dalam arti bertujuan untuk melakukan perubahan-perubahan subtansial terhadap struktur-struktur ekonomi politik Indonesia dan tidak ada juga yang berniat mengubah kestabilan pola patron-klien dan jejaring rente yang menjadi basis keberadaan politik formal Indonesia. Rasionalitas politik yang bertumpu pada partisipasi elemen-elemen masyarakat sipil dalam panggung politik nasional serta pertarungan kepentingan yang berdasarkan cita-cita dan platform kesejahteraan rakyat belum menjadi parameter penentu dalam konfigurasi politik nasional Indonesia pasca Pemilu 1999 dan pasca Pemilu 2004.
Dengan kata
lain, bangsa Indonesia saat reformasi ini surplus politisi, tetapi defisit negarawan baik di level pemerintahan pusat maupun di daerah-daerah. Lihat saja hasil pemilu 1999 (Tabel 2) dan apa yang dilakukan oleh parpol-parpol pemenang “bersama” pemilu tersebut.
Pemenang “bersama”
pemilu tersebut bukan partai-partai modern yang mempunyai platform kuat dan jelas. Partai-partai besar pemenang bersama pemilu 1999 tersebut seperti PDIP, Partai Golkar, PPP, PAN dan PKB (serta Partai Demokrat dan PKS pada pemilu 13
Itulah mengapa kemudian timbul paradox : disamping disebut sebagai negara demokratis karena keberhasilan Pemilu 1999, secara bersamaan Indonesia menurut laporan Transparancy Internasional tahun 1999 masuk sebagai negara paling korup ke-tiga. 14 Lihat Laporan majalah Tempo, Edisi 1-7 November 1999 yang memaparkan bagaimana politik “dagang sapi” dipraktekkan dalam menyusun kabinet pada masa Presiden Abudurrahman Wahid. Lewat laporannya yang berjudul “Tangan-tangan dibalik Kabinet Kompromi” tergambar dengan jelas bagaimana Abudurrahman Wahid, Amin Rais, Megawati, Wiranto dan Akbar Tanjung melakukan politik dagang sapi. Oleh karena itu kabinetnya disebut juga sebagai kabinet pelangi.
91
2004) tidak punya visi yang jelas dalam membangun bangsa dan hanya berkepentingan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan politiknya dan kekayaan ekonominya. Hal ini terlihat dengan apa yang dilakukan oleh tokohtokoh dan pimpinan partai pasca pemilu 1999.
Politik “dagang sapi”
dalam
menyusun kabinet dan juga pimpinan lembaga-lembaga negara. Jika ditelisik lebih dalam lagi politik dagang sapi ini menghasilkan kabinet yang “superkompromi” 15 Konon orang-orang yang duduk dalam kabinet tersebut digaransi kualitas dan integritasnya oleh elite ketua umum parpol-parpol yang memperoleh suara cukup banyak pada pemilu 16 .
Jika kabar ini benar, maka
Pemilu tahun 1999 yang menghabiskan dana dengan jumlah yang sangat besar dan melibatkan seluruh rakyat Indonesia,
secara prosedural memang
demokratis, tetapi secara subtansial belum demokratis, karena orang-orang yang duduk dalam kabinet dan jabatan publik lainnya mengindikasikan adanya oligarki politik oleh 5 orang yang dianggap sebagai elite politik waktu itu17 . Di sini terlihat bagaimana dominannya elite politik dalam mengambil keputusan strategi jabatan menteri. Dalam konteks budaya, pola pengambilan keputusan yang didominasi oleh elite parpol ini mencerminkan budaya paternalistik yang masih menghinggapi kehidupan ekonomi dan politik pada Era Reformasi ini. Babak berikut dari drama politik hasil pemilu tahun 1999 selain berhasil memproduksi UU sebagai penegasan pengadopsian demokrasi liberal dan ekonomi pasar dalam tata kehidupan bernegara kita, pasca Pemilu 1999 parpolparpol yang duduk dalam kursi DPR dan di kabinet serta jabatan publik lain berhasil memperluas jejaring cengkeraman partainya terhadap sumber-sumeber keuangan negara. Pembagian kekuasaan melalui bagi-bagi kursi di kabinet dan pejabat negara antar parpol-parpol tersebut berujung pada penguasaan sumbersumber keuangan parpol dari pundi-pundi negara. Kasus-kasus seperti Bulogate (seri 1-3), Skandal Bank Mandiri, Skandal Tanker Pertamina, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) serta berbagai kasus lainnya memberikan indikasi kuat bahwa partai-partai politik benar-benar berusaha mengontrol pundi-pundi 15
http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg09449.html Lihat Tempo, Edisi 1-7 November 1999 17 Simak apa yang dilaporkan oleh Majalah Tempo edisi 1-7 November 1999 lewat laporan utamanya yang berjudul “Tangan-tangan di Balik Kabinet Kompromi”. 16
92
negara sebagai sapi perahnya. Pola-pola ini tidak jauh beda dengan yang terjadi pada masa Orde Baru, dimana penguasa mencoba memanfaatkan perusahaan negara (BUMN) untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompoknya. Lewat berbagai kekuasan dan keputusan yang menjadi wewenangnya mencoba mengeruk rente. Jadi masih persis sama dengan korupsi yang dilakukan oleh Orde Baru, yakni menggunakan kekuasaan dan regulasi/kebijakan yang menjadi wewenangnya untuk mengeruk rente. Tabel 2. Distribusi Kursi DPR Hasil Pemilu 1999 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Partai PDIP Golkar PPP PKB PAN PBB PK PDKB PNU PKP PDI PBI PKD PDR IPKI PP PSII PNI-MM PNI-FM PPI Masyumi PKU TNI POLRI Total
Kursi
Persentase 153 120 58 51 34 13 7 5 5 4 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 38 500
30.60 24.00 11.60 10.20 6.80 2.60 1.40 1.00 1.00 0.80 0.40 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 7.60 100
Sumber : Tempo, 12 September 1999
Presiden Abdurrahman Wahid akhirnya tumbang dan harus turun dari kursi kepresidenan, karena diduga tersangkut kasus Bulogate dan Bruneigate. Lewat Sidang Istimewa MPR tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid diimpeach dan Megawati, Sang Wakil Presiden naik menjadi Presiden. Lewat Sidang Istimewa tersebut, MPR juga mengangkat Hamzah Haz sebagai wakil Persiden. Pergantian pemerintahan ini pun tidak mampu memberikan perubahan berarti dalam pola jejaring rente dalam lingkaran Presiden Megawati. Rebutan
93
jabatan dalam posisi-posisi strategis dalam BUMN, parpol-parpol
marak dilakukan oleh
yang memperoleh kekuasaan waktu itu.
Praktek budaya
patrimonial marak di mana-mana. Tujuannya tentu satu, memperbesar pundipundi parpol dan kantong kelompoknya dengan memanfaatkan dana publik. Di sini batas publik dan batas wilayah pribadi atau kelompok menjadi kabur. Untuk memperkuat kekuasaan dan struktur jejaring rentenya lewat birokrasi, pejabat di berbagai daerah juga ditentukan oleh Sang Presiden yang juga ketua umum PDI-P. Perebutan kursi Gubernur, Bupati/wali Kota
di
berbagai daerah pada era desentralisasi merupakan usaha elite kekuasaan nasional untuk memperluas struktur jejaring rentenya ke daerah 18 .
UU No
22/1999 memberi peluang bagi Megawati untuk memainkan peran dalam penentuan Bupati/Walikota dan Gubernur, karena setelah dipilih oleh DPRD, Bupati/Walikota atau Gubernur baru bisa dilantik jika Presiden menyetujuinya. Demikianlah UU 22/1999 mengaturnya. Sebagai bukti bagaimana Presiden dan beberapa parpol lainnya terlibat dalam penetrasi birokrasi di daerah adalah kasus pemilihan Gubernur di Kalimantan Timur, di Jakarta, dan di Jawa Tengah. Kemudian juga Pemilihan wali kota Malang. Kasus ini melibatkan kepentingan salah satu partai ke daerah dan juga kepentingan orang lokal sendiri. TS orang dekat Megawati dan juga pengurus PDI-P diduga terlibat penyuapan uang miliaran rupiah dalam menggolkan salah satu kandidat dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Timur 19 . Dalam kasus pemilihan Gubernur maupun Bupati ini pengaruh elite parpol di pusat dan kebetulan duduk dalam pemerintahan sangat kuat. Kasus Pemilihan Gubernur Lampung dapat digunakan sebagai contohnya. ADT yang berduet dengan ASY yang dicalonkan oleh DPD PDI-P Lampung, tetapi tidak mendapat “restu“dari DPP PDI-P di Jakarta. Walaupun kemudian ADT dan ASY menang, tetapi
Hari Sabarno yang menjabat sebagai Mendagri (Menteri
Dalam Negeri) waktu itu yang merupakan kepanjangan tangan dari Megawati
18
Zaman Orde Baru Soeharto juga melakukan penetrasi kekuasaan lewat Bupati/Wali Kota. Hanya saja sekarang posisi itu harus diperoleh melalui pertarungan di daerah dengan berbagai kelompok kepentingan lainnya dan sering kali politik dagang sapi digunakan sebagai cara untuk berkompromi antar kelompok kepentingan tersebut. 19 Tempo, edisi 13 Juli 2003
94
tidak bersedia melantik. Contoh ini menunjukkan besarnya pengaruh pusat dalam menetapkan pejabat di daerah. Dengan model pemilihan Kepala Daerah demikian, maka bisa dikatakan bahwa Kepala Daerah terpilih adalah kepanjangan tangan elite pusat untuk memperkuat struktur jejaring kekuasaan dan jejaring rentenya. Inilah yang kemudian banyak mewarnai proses desentralisasi dan pembangunan wilayah di Indonesia. Sementara itu pengaruh parpol di pusat terhadap daerah terutama persoalan desentralisasi juga dilakukan melalui DPR.
Pada pemerintahan
Megawati dan saat-saat awal penerapan otonomi daerah, bahkan mungkin sampai sekarang, Dana Alokasi Umum (DAU) yang setiap tahun diberikan ke daerah digunakan sebagai instrumen
DPR untuk arena penyuapan.
Pada
awalnya daerah meminta kepada oknum di Depdagri dan Depkeu agar DAU daerahnya sebesar yang diminta. Tetapi, jika ini ditolak pihak Depdagri maupun Depkeu, maka daerah (lewat pejabat yang diutus) meminta anggota DPR untuk “memperjuangkan” DAU buat daerah
tersebut di Panitia Anggaran DPR.
Imbalannya adalah persentase dari besarnya DAU.
Hal ini sudah menjadi
tradisi setiap tahunnya. Indikasi ini dapat dilihat dari anggaran di beberapa daerah yang mencantumkan item pengurusan DAU yang besarnya ratusan juta rupiah setiap tahunnya 20 . Hal yang sama juga dilakukan oleh elite daerah untuk menggolkan rancangan UU Pemekaran Wilayah di daerahnya. Menjelang Pemilu 2004, partai-partai politik sudah semakin gencar melakukan konsolidasi. Mereka semakin intensif meraup dana sebesar-besarnya, secepat-cepatnya, terutama untuk dana kampanye. Tokoh-tokoh partai yang berada di dalam pusaran kekuasaan paling berpeluang secara langsung maupun tak langsung memeras sumber-sumber dana publik dan badan usaha milik negara (BUMN). Konsesi-konsesi ditawarkan kepada para pengusaha besar, terutama yang masih dibelit masalah. Tender-tender proyek dan pengadaan barang dan jasa pemerintah juga cenderung akan semakin kotor (Basri, 2003). Sekedar untuk memberikan ilustrasi adalah terungkapnya korupsi di Bulog pada masa kepemimpinan WP dan korupsi di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang melibatkan RD pada masa pemerintahan Presiden 20
Lihat http://antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=7896
95
Megawati. Aliran dananya ke berbagai Tim Sukses Pasangan Calon Presiden dan Wapres serta ke beberapa anggota DPR periode 1999-2004 sampai DPR periode 2004-2009 menunjukkan bagaimana rente dikeruk dari dana publik. Seperti diketahui bahwa dana nonbudgeter di DKP yang dikorupsi tersebut berasal dari pungutan 1% terhadap proyek DKP dari tahun 1999-2005. Lewat Dirjen dan Kepala Kanwil propinsi DKP (1999-2005) berhasil terkumpul dana sebesar Rp 24 Miliar. Kasus Dana DKP tersebut dan pasti banyak kasus-kasus dana nonbudgeter lain di departemen-departemen
lain,
menunjukkan bagaimana
orang-orang parpol berusaha memperbesar pundi-pundi keuangan partai untuk dana kampanye dan kepentingan pribadinya. Kasus Korupsi di DKP hanyalah puncak gunung es dari berbagai kasus korupsi yang terjadi hingga saat ini. Diperkirakan di departemen-departemen dan di berbagai BUMN telah menjadi ajang parpol untuk memperbesar pundi-pundi keuangan parpol menjelang pemilu.
Memang sulit untuk mengungkap dan membuktikan secara hukum
korupsi pada masa itu, tetapi hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menemukan banyaknya ”rekening liar” departemen yang nilainya mencapai trilyunan rupiah.
di setiap
Audit BPK terhadap
LKPP tahun 2004-2005 menemukan rekening liar sebanyak 1892 dengan nilai Rp 9.08 Trilyun. Sementara audit LKPP tahun 2006 menemukan adanya 2 114 rekening senilai Rp 2.6 trilyun. Sangat mungkin rekening-rekening liar tersebut asal muasal dananya dan penyalurannya sama dengan pola skandal korupsi di DKP. Hal krusial lainnya yang kemudian sangat menentukan perjalanan demokrasi di Indonesia berikutnya adalah ditetapkannya UU Pemilu Presiden tahun 2003 untuk penyelenggaraan pemilu tahun 2004. UU Pemilu Presiden yang ditetapkan pemerintahan Megawati bersama anggoata DPR periode 19992004 menetapkan bahwa Presiden dan Wapres dipilih langsung oleh rakyat dan pencalonannya harus dilakukan melalui parpol atau gabungan parpol. Adopsi demokrasi demikian memang tidak salah. Di beberapa negara maju yang partai politiknya modern dan mapan, proses pemilihan langsung dan pencalonan lewat parpol dan gabungan parpol mampu menghasilkan pemimpin yang mempunyai
96
integritas dan berjiwa kenegarawanan.
Tetapi ditengah lemahnya parpol dan
sistem kepartaian yang dimiliki Indonesia saat ini,
”monopoli” pengusulan
calon Presiden oleh parpol lewat UU tersebut menimbulkan banyak persoalan. Melihat karakter parpol beserta elite-elite parpol yang ada di dalamnya, maka mekanisme yang terdapat dalam dua UU tersebut dapat digunakan sebagai arena untuk mengeruk rente oleh anggota parpol. Aturan inilah yang membuat kandidat yang terpilih akan melakukan politik balas budi terhadap parpol yang mendukungnya, apalagi kalau si calon berasal dari luar parpol. Pola demikian akan makin berbahaya manakala orang yang duduk dan menetukan dalam parpol adalah pengusaha. Dan fenomena yang menarik pada Pemerintahan Megawati, terutama menjelang Pemilu 2004 yakni masuknya beberapa mantan pejabat dan pengusaha besar (yang pada zaman Soeharto ikut menopang oligarkinya) ke dalam partai politik yang bertarung pada pemilu 2004. Masuk dan duduknya berbagai pengusaha besar di partai-partai politik ini menegaskan bahwa kontrol korporasi terhadap parpol dan kemudian terhadap pemerintahan makin besar. Melalui keterlibatan pengusaha yang duduk dalam kepengurusan parpol, pengusaha tersebut secara intens dalam membiayai kampanye Pemilu Presiden. Hal ini akan membuat semacam hutang budi bagi mereka yang didanai oleh pengusaha tersebut. Akhirnya ketika, kandidat berhasil terpilih, politik balas budi kepada penyandang dana saat kampanye pun harus dilakukan. Jabatanjabatan publik banyak yang akhirnya jatuh ke tangan pengusaha.
Lahirlah
pengusaha-birokrat dalam satu nyawa. Akhirnya, lisensi-lisensi dan proyekproyek pembangunan dengan berbagai cara akhirnya jatuh ke tangan-tangan pengusaha yang menyandang dana kampanye tersebut. Sebagai ilustrasi Tabel 3 di bawah
memberikan gambaran beberapa proyek-proyek yang tendernya
dimenangkan oleh beberapa kelompok pengusaha. Hal itulah yang merupakan bahaya demokrasi, dimana pengusaha (yang dalam teori Representative Government adalah peminta (demander) terhadap regulasi), berperan sekaligus sebagai
penentu regulasi dalam
pemerintahan atau sebagai pemasok (supplier) regulasi. Jadi bisa diperkirakan apa yang akan terjadi jika pengatur (regulator) sekaligus pemain bisnis. Jangankan birokrat yang sekaligus pengusaha, politisi-politisi yang duduk di
97
DPR pun juga pengusaha atau berperan sebagai broker-broker pengusaha untuk memperoleh proyek pemerintah, menggolkan proyek pemerintah untuk kelompok usahanya bahkan menjadi broker bagi pemerintah daerah untuk memperjuangkan DAU daerah-daerah dalam rangka desentralisasi. Tabel 3. Kelompok Usaha , Perusahaan dan Proyek yang Dimenangkan dalam Tender tahun 2005 Pemilik Usaha Group Kalla (Yusuf Kalla)
Nama Perusahaan PT Bukaka Teknik Utama, Tbk
PT Buaka Utama
Grup Bosawa (Akhsa Mahmud, Wakil Ketua MPR dan Adik Ipar Yusuf Kalla)
Marga
Konsursium Bosawa Marga Nusantara PT Bosawa Trading
PT Bosowa Energi Keluarga Bakri
PT South East Asia Pipe Industries PT Energi Mega Persada PT Bakri Power PT Bakrie Investindi PT Bakri Telecom
Proyek yang Dimenangkan dalam Tender Bersama PT INKA, PT LEN Industri dan Siemens Technology Inc., Bukaka memenangi tender proyek monorel di Jakarta, dengan nilai proyek S $ 498 juta Membangun tiga ruas jalan tol. Pertama ruas Ciawi- Sukabumi (54 kilometer dengan nilai US $ 420 juta) Kedua, Pasuruan Purbalinggo (40 km, US $ 192 juta), Ketiga CikampekPalimanan (114 km, Bukaka Menggarap 37 km) Pembangunan Jalan Tol Makasar Seksi IV (11 km, US $ 49 juta) Membangun jalan Tol Depok – Antasari (18,2 km, US $ 237 juta) bersama konsursium dengan anggota PT CMNP Tbk, PT Waskita Karya, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Hutama Karya Membangun PLTU , Jeneponto Sulawesi Selatan Pipa Gas Bawah laut PT PGN Tbk Pemasok Gas Ke PT PLN di Jawa Timur dan juga untuk PT PGN, PT Pertamina, dan PT Petrokimia Gresik Melanjutkan Proyek PLTU Tanjung Jati A di Cilacap Jalan Tol Kanci -Pejagan Memperluas wilayah layanan telekomunikasi ke seluruh Indonesia melalui kerjasama dengan Indosat (StarOne)
Sumber : Elfri Ritonga (ICW) dalam Tempo, 4 Desember 2005, Halaman 122-123
Dan akhirnya, apa yang dikhawatirkan tersebut terjadi pasca pemilu 2004. Hal ini terlihat dari bagaimana komposisi jabatan menteri di kabinet Indonesia Bersatu yang diumumkan oleh Presiden SBY, di mana dihuni banyak pengusaha yang berkontribusi besar terhadap dana kampanye. Hal tersebut menyebabkan makin kuatnya lobi pengusaha untuk menempatkan wakilnya di jabatan menteri. Bahkan ditengarai jabatan setingkat eselon I yakni Dirjen dan
98
direktur-direktur di BUMN dan lembaga non departemen seperti Bulog pun menjadi rebutan parpol besar di mana pengusaha mempunyai akses untuk mempengaruhi keputusan di departemen ini 21 . Acara reshuffle kabinet yang setiap tahun digulirkan merupakan usaha parpol untuk memperoleh jabatan menteri. Itulah mengapa kendati SBY-JK terpilih lewat Pemilu Langsung tahun 2004 yang diadakan pertama kali di bumi Indonesia, secara ekonomi politik, SBY tidak bebas dalam menentukan susunan kabinetnya. Bahkan pengaruh parpol dan pengusaha sangat besar untuk menentukan siapa yang akan duduk di jabatan-jabatan publik tersebut. Karakter kepemimpinannya yang lemah dan peragu serta kurangnya dukungan dari partai politik pendukungnya yakni Partai Demokrat di parlemen membuat posisi kepemimpinan SBY menjadi sangat lemah dalam mengambil setiap keputusan. Akhirnya Yusuf Kalla, sang Wakil Presiden yang juga saudagar menjadi lebih dominan, baik dalam menyusun kabinet atau berbagai keputusan strategis penting yang lain. Orang-orang Yusuf Kalla, seperti Aburizal Bakrie, Fahmi Idris dan Hamid Awalludin, melalui lobi Kalla ke SBY akhirnya masuk ke kabinet.
Terbentuklah kabinet pedagang atau
“kabinet saudagar” karena banyak pengusaha yang menjadi anggota kabinet. Dominasi Golkar di DPR dan di eksekutif makin kuat ketika Yusuf Kalla yang juga wakil Presiden terpilih sebagai ketua Umum Golkar periode 2004-2009 lewat Musyawarah Nasional ke-7 di Nusa Dua Bali. Akhirnya Sang Wakil Presiden, adalah Ketua Umum Parpol dan juga pengusaha. Memang perangkapan jabatan wakil Presiden dan Ketua Umum Partai bukan hal yang baru di Indonesia.
Tetapi perangkapan jabatan ini akan menjadi persoalan
ditengah harapan masyarakat terhadap janji-janji kampanye SBY-JK dalam Pemilu Presiden. Seperti diketahui, sejak era reformasi masyarakat berharap banyak dapat menyalurkan aspirasinya melalui lembaga DPR dan DPRD. Harapan ini ternyata masih jauh panggang dari api.
Apalagi setelah
menyaksikan Sang Wakil Presiden, yang juga sekaligus sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Bagaimana kontrol legislatif atau parpol bisa dilakukan terhadap eksekutif, jika parpol yang punya wakil di DPR dikendalikan oleh Sang Wakil Presiden. Akhirnya, fungsi checks and balances tidak berjalan. 21
Tempo, edisi 11-17 April 2005
99
Tabel 4. Proporsi Anggota DPR 2004-2009 yang Juga Pengusaha No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Komisi di DPR Pertahanan Pemerintahan Dalam Negeri Hukum Pertanian Perhubungan Perdagangan Energi Agama Kependudukan Pendidikan Keuangan Total (550 orang)
Persentase Pengusaha 30.4 24.5 26.7 54.0 54.7 52.8 51.0 27.9 37.8 17.4 51.8 39.8 (219 orang)
Sumber : Elfri Ritonga (ICW) dalam Tempo, Edisi 4 Desember 2005 Halaman 122-123
Dan perubahan ke arah yang lebih baik sebagaimana dijanjikan pasangan SBY-JK ini makin sulit diwujudkan mana kala kita menyaksikan masuknya pengusaha-pengusaha besar dalam parpol dan kemudian ke dalam kabinet dan DPR. Kontrol pengusaha terhadap parpol dan kemudian terhadap kebijakankebijakan pemerintah akan semakin besar. Dalam perumusan kebijakan publik misalnya, maka yang dominan adalah kepentingan pengusaha melalui pengaruhnya terhadap parpol dan lewat jabatannya di pemerintahan. Lebih dari itu, melalui lembaga DPR pun penguasa ini bisa mengontrol berbagai aturan dan anggaran. Maka lahirlah yang namanya mafia calo anggaran di DPR yang bersidang setiap tahun dan sudah menjadi semacam tradisi.
Fenomena ini
menunjukkan bahwa jejaring rente pengusaha besar –yang pada masa Orde Baru lebih berperan sebagai penyandang dana politik (political financiers) bermetamorfosa menjadi aktor-aktor penentu kebijakan publik. Dengan polapola demikian terbentuklah jejaring rente pengusaha besar yang makin solid dan kuat
karena dapat mengontrol partai politik, pemerintahan dan birokrasi. Melihat fakta yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa model
jejaring rente di tingkat nasional pasca Pemilu 2004 merupakan duplikasi dan sofistikasi model korupsi Orde Baru yakni berbentuk
politico – business
oligarchy. Peta bumi korupsi di Indonesia dari Orde Baru ke Orde Reformasi disebut sebagai dari oligarki satu ke oligarki lainnya. Struktur jejaring rente saat ini merupakan pemantapan dan penyempurnaan jejaring rente warisan Orde
100
Baru. Dalam oligarki tersebut model jejaring rente Ali Baba yang pada masa Orde Baru ditopang oleh dua entitas yang berbeda yaitu Ali yang pejabat (birokrat) dan Baba yang pengusaha, saat ini model pengusaha-birokrat-politisi melekat pada satu entitas. Fenomena Jusuf Kalla sebagai wakil presiden yang memiliki kelompok usaha Grup Kalla dan sekaligus sebagai Ketua Umum Golkar, kemudian Abu Rizal Bakrie dengan kelompoknya Bakrie Group yang juga pengurus Golkar sebagai Menko Perekonomian dan kemudian di-reshuffle menjadi Menko Kesra, serta Fahmi Idris yang sekarang menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan sekaligus sebagai kapitalis birokrat Partai Golkar yang merupakan salah seorang tokoh inti Kodel (Kelompok Delapan) merupakan gambaran nyata metamorfosa jejaring rente Orde Baru. Posisi mereka dengan jabatan rangkap sebagai pengusaha, anggota parpol dan juga duduk dalam jabatan publik dalam “kabinet saudagar”
sangat
rentan dengan konflik kepentingan antara penguasa politik dan penguasa ekonomi. Hal inilah yang kemudian memicu korupsi, karena sebagaimana dikatakan oleh
Lord Acton (1887) bahwa kekuasaan cenderung korup dan
kekuasaan yang mutlak akan korup secara mutlak (power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely). Fenomena pejabat yang berbisnis ini memang pernah dikhawatirkan oleh Presiden SBY. Presiden mengkhawatirkan akan munculnya oligarki ekonomiyakni konsentrasi kekayaan di tangan beberapa orang tertentu. Oleh sebab itu Presiden SBY melontarkan gagasan untuk membatasi pejabat dalam berbisnis. Regulasi untuk membatasi hal tersebut akan berbentuk Kepres. Tetapi anehnya sampai sekarang tidak pernah diimplementasikan, karena hampir seluruh jajaran pejabat bawahan Presiden SBY
sama sekali tidak mendukung untuk
implementasi Kepres tersebut. Kalau mau sebenarnya SBY tidak usah membuat Kepres, karena mengenai larangan pejabat negara yang merangkap pengusaha swasta ini sudah ada dalam Peraturan Pemerintah sejak 33 tahun lalu, yakni PP 6 Tahun 1974 22 . Sekian lama keharusan itu tak pernah ditunaikan sepenuhnya.
22
PP No 6 tahun 1974 berisi (1) larangan dan pembatasan bagi PNS, Anggota ABRI, dan Isteri PNS/anggota ABRI berada dalam perusahaan swasta serta usaha dagang resmi/sambilan; (2)Pembatasan bagi PNS, Anggota ABRI, dan Isteri PNS/anggota ABRI dalam Badan Sosial; (3) Kewajiban Pimpinan mengenakan sanksi atas pelanggaran ketentuan dimaksud.
101
Undang-undang hukum pidana dan antikorupsi juga tak kurang banyaknya yang melarang penyalahgunaan jabatan. Aturan tinggal aturan. Nyatanya sampai detik ini pejabat yang berbisnis tidak tersentuh oleh kebijakan SBY tersebut. Seharusnya aturan-aturan tersebut secara tegas dan konkrit dijalankan seperti di Amerika Serikat yakni setiap pengusaha yang menduduki jabatan publik harus melepas keterlibatannya dalam bisnis. Uraian di atas menunjukkan bagaimana lemahnya kepemimpinan SBY ketika harus mengambil keputusan dan kebijakan manakala berhadapan dengan bawahannya baik itu Wakil Presiden dan menteri-menterinya yang berasal dari pengusaha. Dominannya pengusaha dalam kabinet SBY membuat implementasi berbagai regulasi yang mengusik kepentingan pengusaha menjadi tidak efektif. Contoh
lain yang menunjukkan lemahnya
kepemimpinan tersebut adalah
bagaimana SBY tidak berdaya menghadapi persoalan lumpur Lapindo di Sidoarjo, dimana anggota kabinetnya yakni Aburizal Bakrie (yang didukung oleh Yusuf Kalla) punya kepentingan bisnis di PT Lapindo Brantas. Alih-alih Pemerintahan SBY membela rakyat (khususnya rakyat korban lumpur Lapindo), dengan Peraturan Presiden No 14 tahun 2007 pemerintah malah melegitimasi ketidakadilan dengan memaksa korban lumpur Lapindo hanya menerima 20% pembayaran transaksi jual beli harta. Sisanya dibayarkan dua tahun kemudian tanpa bunga. Dengan alasan bencana, Aburizal Bakrie yang juga Menko Kesra mencoba agar dana penanganan lumpur lapindo ini dialokasikan dalam APBN. Dan seperti yang kita lihat, isi Perpres No 14/2007 tersebut juga membebankan sebagian besar biaya penanggulangan lumpur kepada negara yang mencakup membiayai pengalihan infrastruktur, kanalisasi lumpur, dari Sungai Porong sampai ke laut, dan biaya sosial kemasyarakatan di luar daerah dalam peta yang disetujui tanggal 22 Maret 2007. Bahkan dengan menggunakan trik bisnis 23 , PT Lapindo Brantas mencoba untuk berkelit dan lari dari berbagai tanggung jawab berkaitan dengan lumpur di Sidoarjo. Kelemahan kepemimpinan SBY bukan hanya saat menghadapi bawahannya di kabinet.
Kebijakan lain yang menunjukkan lemahnya
pengambilan kebijakan publik adalah munculnya PP 37 tahun 2006. 23
Majalah Tempo, edisi 27 November- 3 Desember 2006
Atas
102
desakan anggota-anggota DPRD dan DPR serta asosiasi DPRD, PP 37 tahun 2006 ini diteken oleh presiden. Sebenarnya PP 37/2006 terkait dengan PP 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD yang akhirnya menjebloskan anggota DPRD dan Kepala Daerah dari berbagai daerah ke penjara karena melakukan korupsi. PP 110/2000 memungkinkan DPRD mengatur atau menentukan anggarannya sendiri. Kemudian, PP 110/2000 tersebut diubah menjadi PP 24/2004 yang diubah lagi menjadi PP 37/2006. Dikarenakan kran kesejahteraan mengucur deras pada era PP 110/2000, rupanya DPRD tidak siap dengan adanya ‘pemangkasan’ dalam PP 24/2004 tersebut. Asosiasi DPRD pun akhirnya menyampaikan rancangan perubahan PP 24/2004. Munculah PP 37/2006 (Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 24/2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota) yang memiliki penambahan fasilitas kesejahteraan dan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi keluarga pimpinan dan anggota DPRD dalam bentuk pembayaran premi asuransi kesehatan. Masih merasa tidak puas, lahirlah PP 37/2006 yang memanjakan DPRD dengan pemberlakuan surut pembayaran tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional. PP 37/2006 tersebut mengatur tentang Kedudukan Protokoler Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.
dan
Isi kontroversi dalam PP yang
memancing reaksi keras adalah adanya dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Dana Operasional (DO) bagi anggota DPRD yang disamping naik sampai dua tiga kali lipat, juga diberlakukan surut. Seperti diketahui bahwa PP ini diteken pada bulan November 2006 tetapi TKI dan DO dihitung mulai Januari 2006. Dengan demikian anggota DPRD mendapat dana rapelan yang jumlahnya sangat besar. Tunjangan rapelan ini sangat membebani APBD di daerah. Bahkan ada daerah yang 60% APBD nya hanya untuk membayar dana rapelan ini.
Inilah pokok soal PP 37/2006 yang mengiris rasa keadilan
masyarakat. Oleh karena itu banyak yang menyebut cara ini sebagai legalized corruption.
Walaupun kemudian PP 37/2006 tersebut direvisi, tetapi beberapa
daerah telah membayarkan dana rapelan ini. Dikhawatirkan juga bahwa revisi dari PP ini dikemudian hari menimbulkan masalah yakni apakah benar dana
103
yang sudah terlanjur diterima anggota DPRD dikembalikan ke kas daerah. Tidak ada yang bisa menjamin hal tersbut. Kasus penanganan lumpur Lapindo menunjukkan betapa lemahnya presiden dalam memutuskan sesuatu yang terkait dengan kepentingan bisnis pengusaha yang duduk dalam kabinetnya.
Sementara skandal PP 37
menunjukkan lemahnya kepemimpinan SBY dalam menghadapi lobi DPR dan DPRD. Dalam konteks otonomi daerah PP 37/2006 ini mencerminkan lemahnya administrasi-politik dari pusat yang menyangkut rumusan regulasi pelaksanaan otonomi daerah. Diperkirakan masih banyak PP atau Keputusan menteri yang terkait regulasi otonomi daerah yang kemudian menimbulkan masalah 24 . Dua kasus di atas hanyalah sekedar contoh yang kemudian mendapat perhatian luas dari masyarakat. Diperkirakan masih banyak contoh-contoh lain, di mana para pengusaha tersebut mampu mendikte SBY dalam perumusan kebijakan publik baik lewat jabatan menteri maupun melalui tekanan dari DPR atau DPRD. 5.3. Dari Orde Baru ke Era Reformasi : Pola Korupsi dan Kinerja Perekonomian Dari uraian sub bab 5.1 dan 5.2 di atas terlihat bahwa, walaupun derajat korupsi pada era Orde Baru dan Era Reformasi relatif tidak berbeda dan kedua model korupsi tersebut sama-sama menggunakan regulasi sebagai pintu masuk melakukan korupsi, tetapi pola korupsi antara keduanya tidak bisa disamakan. Pola korupsi zaman Orde Baru adalah model korupsi kleptokrasi, di mana Presiden Soeharto waktu itu menjadi pengatur dan pengendali kehidupan sosial ekonomi dan politik. Dengan kata lain, korupsi ada dalam kendali Soeharto. Sementara pola korupsi pada Era Reformasi adalah model korupsi di mana negara di dominasi oleh swasta. Pada era Orde Baru kepemimpinan Soeharto sangat kuat, sedangkan pada Era Reformasi kepemimpinan sangat lemah, terutama pemerintahan SBY-JK saat ini. Dengan kepemimpinan yang lemah inilah kemudian swasta menjadi lebih dominan mengatur kehidupan ekonomi dan politik negara, melalui jabatan publik dalam pemerintahan SBY-JK.
24
Secara lebih mendalam dan rinci, PP dan Keputusan Menteri yang berdampak terhadap otonomi daerah ini akan dibahas pada Bab VI.
104
Perbedaan pola korupsi dan kualitas kepemimpinan antara pemerintahan Orde Baru dengan pemerintahan Era Reformasi tersebut memberikan implikasi yang berbeda terhadap kinerja pembangunan ekonomi Indonesia. Sebagaimana disajikan pada Tabel
5, kinerja pembangunan ekonomi relatif cukup baik,
walaupun derajat korupsi di era Orde Baru sangat tinggi. Sementara di Era Reformasi korupsi juga merajalela dan kinerja pembangunan ekonomi memburuk. Pertumbuhan ekonomi pada era Orde Baru mencapai rata-rata 7.5% per tahun. Sementara pertumbuhan ekonomi pada era reformasi masih berkisar antara 5 % - 6.5%. 28.56%
Angka kemiskinan yang pada tahun 1980 mencapai
menurun menjadi 11.34% pada tahun 1996.
Sementara pada Era
Reformasi angka kemiskinan masih tetap tinggi yaitu menjadi 17.75% pada tahun 2006. Di era Orde Baru pengangguran juga cukup rendah hanya sekitar 4.89% pada tahun 1996.
Sementara pada tahun 2005, pengangguran
diperkirakan mencapai 11.24% atau hampir 12 juta orang. Tabel 5. Indikator Kinerja Perekonomian Indonesia dari Era Orde Baru sampai Era Reformasi Era
Tahun
Pertumbuhan Angka Ekonomi Kemiskinan (%) (%) 1976 6.89 40.08 1980 9.88 28.56 Orde Baru 1990 7.24 15.08 1996 7.82 11.34 1997 4.78 17.18 1998 -13.10 26.87 1999 0.85 23.43 Era 2003 4.35 17.42 Reformasi 2004 7.16 16.60 2005 5.00 15.97 2006 6.11 17.75 2007 6.19 Sumber : BPS, beberapa tahun penerbitan
Tingkat Pengangguran Persen Jumlah Orang 2.51 1 951 702 4.89 4 407 769 4.68 4 275 155 5.46 5 062 483 6.36 6 030 319 9.50 9 531 090 9.86 10 251 300 11.24 11 899 266 10.28 10 932 000 -
Dari Tabel 5, juga terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi pada era Orde Baru relatif mampu mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Sementara pada Era Reformasi, kualitas pertumbuhan ekonomi memburuk, karena pertumbuhan ekonomi meningkat, tetapi kemiskinan dan pengangguran bertambah. Pada era
105
Orde Baru, harga-harga kebutuhan pokok relatif stabil sementara
dan terjangkau,
pada era Reformasi, terutama dua tahun terakhir harga-harga
cenderung meningkat dengan tingkatan yang lebih besar (Lihat Gambar 4).
200.00 180.00 160.00 140.00
IHK
120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 2006Q3
2005Q4
2005Q1
2004Q2
2003Q3
2002Q4
2002Q1
2001Q2
2000Q3
1999Q4
1999Q1
1998Q2
1997Q3
1996Q4
1996Q1
1995Q2
1994Q3
1993Q4
1993Q1
1992Q2
1991Q3
1990Q4
1990Q1
0.00
Gambar 4. Kecenderungan Kenaikan Indeks Harga Konsumen Periode 1990 -2006 Sumber : LPEM FEUI, 2007 Dengan trilogi pembangunannya yaitu (1) pertumbuhan ekonomi yang tinggi, (2) pemerataan hasil-hasil pembangunan, dan (3) stabilitas politik dan keamanan, Orde Baru berhasil membuat kinerja perekonomian yang relatif baik. Itulah mengapa walaupun kebebasan politik rakyat, kebebasan pers, partisipasi politik rakyat dihambat dan tokoh politik serta mahasiswa yang “vokal” meneriakan kebebasan dan demokrasi dibungkam, tetapi pada zaman Orde Baru rakyat merasa mudah mencari penghidupan, karena lapangan kerja cukup terbuka dan harga barang terjangkau. Korupsi memang merajalela, tetapi rakyat mudah mencari penghidupan. Hal ini mengisyaratkan adanya fenomena korupsi yang “menetes” ke bawah. Sementara itu di Era Reformasi saat ini, kebebasan politik, kebebasan pers, transparansi dan akuntabilitas sering digembar-gemborkan.
Tetapi
faktanya rakyat merasa hidupnya tambah sulit. Proses demokratisasi baru sebatas
106
demokrasi prosedural, di mana pengusaha yang duduk dalam elite kekuasaan berusaha mengeruk rente sebesar-besarnya. Korupsi merajalela dan tidak “menetes” ke bawah, sehingga muncul kecenderungan, yang kaya tambah kaya dan yang miskin semakin miskin. Laporan majalah Forbes Asia edisi bulan Desember 2007 menunjukkan kekayaan "orang-orang terkaya di Indonesia" mengalami peningkatan yang sangat besar. Dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia tersebut terdapat Abu Rizal Bakrie dan keluarga (di urutan pertama) dengan kekayaan 5.4 miliar USD.
Aksa Mahmud dan Yusuf Kalla masing-
masing berada di urutan ke-24 dan ke-30 dengan kekayaan masing-masing sebesar 340 juta USD dan 230 juta USD 25 . Faisal Basri menulis di Kompas, 14 Januari 2008 tentang bagaimana usaha berbagai kelompok usaha yang pada tahun 1998 dihantam krisis dengan cepat bisa pulih usahanya. Berikut petikan paragraf dari tulisan dengan judul “Usaha Kecil Guncang” tersebut : “Dalam kurun waktu singkat, banyak dari usaha mereka segar bugar kembali, bahkan telah menjelma menjadi kekuatan yang jauh lebih besar ketimbang pada masa prakrisis. Aset-aset lama mereka kuasai kembali dengan tebusan sangat murah setelah "dicuci bersih" di Badan Penyehatan Perbankan Nasional sehingga terbebas dari berbagai jenis kewajiban kepada pihak ketiga. Segala biaya yang dibenamkan untuk menyelamatkan perbankan dan pengusaha hingga kini telah mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun, yang semuanya ditanggung rakyat. Sebagian lagi masuk ke relungrelung kekuasaan untuk menghirup darah segar baru lewat konsesi dan fasilitas baru dan bentuk-bentuk praktik pemburuan rente gaya lama” Data indeks Gini yang disajikan pada Gambar 5, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2003 – 2007, ketimpangan pendapatan masyarakat meningkat cukup tajam yang ditunjukkan oleh membesarnya indeks Gini dari 0.316 pada tahun 2003 menjadi 0.376 pada tahun 2007. Indeks ukuran ketimpangan pendapatan tahun 2007 ini bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 1995 yang hanya 0.327. Secara kualitatif ukuran ketimpangan ini, bisa disimak dalam beberapa berita di media massa akhir-akhir ini yang isinya sangat kontras dengan bertambahnya kekayaan pejabat publik yang diuraikan sebelumnya. Kemiskinan yang menimpa korban lumpur Lapindo di Sidoarjo
25
Lihat http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=5480
107
dan
adanya penduduk yang makan nasi “aking” adalah sedikit contoh
ketimpangan yang makin membesar.
Gambar 5. Perkembangan Indeks Gini Indonesia, 1994-2007 Sumber : Data BPS, beberapa tahun penerbitan Ketimpangan tersebut makin tergambar jelas, jika kita simak petikan paragraf yang ditulis oleh Faisal Basri di Kompas, 14 Januari 2008 berikut: “…….belakangan ini daya beli masyarakat berpendapatan menengah ke bawah cenderung terseok-seok. Kecenderungan tersebut sangat kentara sejak tahun 2006, terutama di Jawa. Kemerosotan daya beli tercermin dari penurunan upah riil buruh tani di Jawa dan pekerja informal. Pada tahun 2007 (berdasarkan data bulan Desember tahun 2007), dari tiga jenis kegiatan sektor informal, hanya upah riil buruh bangunan yang meningkat, itu pun hanya naik 0,75 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ternyata kemerosotan upah riil sudah merembet ke sektor industri manufaktur, bahkan dengan kondisi yang lebih parah. Data terakhir menunjukkan, upah nominal di tiga jenis industri padat karya yang tersedia seluruhnya merosot. Ketiga industri tersebut adalah industri rokok, industri pakaian jadi, dan industri batu bata/ubin. Dengan demikian, bisa kita bayangkan, betapa kemerosotan daya beli praktis telah terjadi merata di kalangan masyarakat berpendapatan rendah” .
108
Studi ini tidak berpretensi untuk menyimpulkan bahwa korupsi pada era Orde Baru lebih baik dari pada korupsi pada Era Reformasi. Apa yang ingin disampaikan adalah bahwa
korupsi yang terjadi saat ini mempunyai
konsekuensi yang sangat serius terhadap buruknya kinerja pembangunan ekonomi. Jika hal tersebut terus terjadi dan ketimpangan terus membesar sebagai akibat dari korupsi yang merajalela di kalangan elite pejabat-pengusaha, maka bukan tidak mungkin akan terjadi revolusi sosial.
5.4. Simpulan Berdasarkan
hasil
penelusuran
berbagai
informasi
mengenai
perkembangan kehidupan ekonomi politik dan budaya sebagaimana telah dibahas dan dianalisis di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat korupsi di level pemerintah pusat dari Orde Baru ke Orde Reformasi cenderung meningkat dan meluas. Faktor-faktor yang mempengaruhi masih tingginya tingkat korupsi di tingkat Pemerintah Pusat tersebut adalah : 1. Faktor historis kultural yang membentuk masyarakat dan birokrasi hidup dalam budaya feodalistik paternalistik, muncul sikap mental priyayi di kalangan birokrasi, sehingga terbentuk budaya birokrasi patrimonial yang selanjutnya melahirkan patologi dalam bentuk tindakan penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan oleh birokrasi. 2. Faktor politik yakni rendahnya akuntabilitas partai politik. Sebagian besar partai politik (parpol) masih berorientasi myopic, untuk kepentingan kelompok dan opportunis, parpol tidak punya serius untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. politik didominasi oleh
sikap pragmatisme.
platform
Atmosfir kehidupan Faktor kultural yakni
feodalistik dan paternalistik ikut berperan membentuk pola hubungan dalam parpol, sehingga parpol didominasi oleh kepentingan politik eliteelite parpol yang haus dengan kekuasaan. 3. Kondisi birokrasi yang patologis dan rendahnya akuntabilitas politik tersebut
selanjutnya
memicu
pertarungan
politik
parpol-parpol
memperebutkan kedudukan dan jabatan dalam birokrasi sebagai sarana akses terhadap keuangan negara dan kekayaan sumber daya alam.
109
4. Masuknya pengusaha ke parpol dan kemudian menduduki jabatanjabatan strategis dalam eksekutif maupun legislatif semakin menambah maraknya perilaku pencarian rente. Dengan menggunakan kerangka pikir The Economic Theory of Representative Government (Breton, 1974 dan Stevens, 1993), metamorfosa pengusaha menjadi aktor-aktor penentu kebijakan publik tersebut membuat peminta (demander) dan pemasok (supplier) regulasi sejatinya berada dalam satu entitas. Oleh karena itu kehidupan ekonomi politik yang terjadi dari Orde Baru ke Orde Reformasi adalah munculnya jejaring rente dari oligarki Orde Baru ke oligarki politisi-pengusaha (politico-business oligarchy). Lemahnya leadership Pemerintahan SBY, makin menambah dominasi politicobusiness oligarchy dalam berbagai proses pengambilan kebijakan publik, sehingga banyak regulasi yang ditunggangi oleh kepentingan ekonomi politik oligarki. Hal tersebut akhirnya memicu terjadinya korupsi yang dijustifikasi oleh regulasi sehingga seolah-olah menjadi legal (legalized corruption). 5. Pola korupsi yang terjadi pada era Orde Baru adalah model kleptokrasi dengan kepemimpinan Soeharto yang sangat kuat,
sementara pola
korupsi yang terjadi pada Era Reformasi merupakan model korupsi negara didominasi swasta. Dibandingkan pada era Orde Baru, model korupsi pada Era Reformasi mempunyai konsekuensi yang sangat serius terhadap buruknya kinerja perekonomian, terutama pengaruhnya terhadap
ketimpangan
pertumbuhan
pendapatan
yang
cenderung
membesar,
ekonomi yang lebih rendah dan cenderung stagnan,
kemiskinan dan pengangguran yang cenderung meningkat.
Hal ini
karena korupsi tersebut tidak “merembes” ke bawah seperti zaman Orde Baru, sehingga yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Kondisi demikian
pada akhirnya akan mengarah kepada
terjadinya revolusi sosial. Sebagai catatan akhir dalam bab ini, kembali ingin ditegaskan bahwa konfigurasi ekonomi politik Orde Baru yang dicirikan oleh kleptokrasi dan Orde Reformasi, terutama pemerintahan SBY-JK yang didominasi oleh swasta akan
110
sangat berpengaruh berbagai regulasi
terhadap
kebijakan otonomi daerah. Hal ini karena
yang mengatur proses desentralisasi mulai dari undang-
undang sampai berbagai aturan lainnya, dirancang dan dirumuskan di pusat. Lebih dari itu, pengaruh parpol di pusat juga akan sangat mewarnai pelaksanaan desentralisasi. Pengaruh mereka bisa lewat struktur hierarki partai yaitu DPP, DPD dan DPC parpol atau melalui hasil interaksi antara DPRD (di mana parpol menempatkan wakilnya) dengan pemerintah daerah yang menyusun regulasi di daerah.
Dominannya elite parpol di DPP terhadap
DPD dan DPC dalam
mengambil setiap keputusan, menyangkut calon Kepala Daerah dan Perda, akan sangat berpengaruh dalam konfigurasi ekonomi politik di daerah pada era desentralisasi.