55
KINERJA PENYULUH DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Hubungan aspek-aspek Karakteristik Internal dengan Kinerja Penyuluh Beberapa karakteristik internal yaitu pemanfaatan media, persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan, masa kerja, umur, dan pelatihan berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian. Nilai koefisien korelasi yang ditunjukkan masing-masing faktor tersebut secara berturut-turut yakni; pemanfaatan media sebesar 0.508 p-value (0.000 ), persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan sebesar 0.495 p-value ( 0.000), masa kerja sebesar 0.355 p-value (0.007 ), umur 0.343 p-value ( 0.010), dan pelatihan sebesar 0.266 p-value (0.048) < alpha 5 % maka tolak Ho. Artinya, model signifikan atau berkorelasi nyata. Hasil tersebut menunjukkan aspek-aspek tersebut berhubungan erat dengan peningkatan kinerja penyuluh pertanian, terutama aspek pemanfaatan media-media penyuluhan, yang menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi. (dapat dilihat pada Tabel 9). Pendidikan formal, motivasi penyuluh, hubungan interpersonal, dan jumlah kelompok binaan secara umum tidak berkorelasi nyata dengan kinerja penyuluh. Pendidikan formal justru menunjukkan korelasi negatif dengan kinerja penyuluh pada aspek komunikasi. Artinya tingginya tingkat pendidikan yang tidak dibarengi dengan pengetahuan/ ketrampilan berkomunikasi dapat menurunkan kinerja penyuluh pada aspek tersebut. Tidak tampaknya hubungan nyata antara faktor pendidikan formal dan motivasi penyuluh
dengan kinerja penyuluh tersebut diduga karena kualifikasi
pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki penyuluh masih sebatas pada pengetahuan teknis semata, mengingat sebagian besar penyuluh (penyuluh baru) bukan berasal dari lulusan/ perguruan tinggi jurusan penyuluhan atau sekolah-sekolah pertanian seperti STPP dan sejenisnya. Dampak dari permasalahan tersebut adalah menurunnya motivasi kerja bagi penyuluh-penyuluh yang masih baru karena pengetahuan yang dimiliki tidak sebanding dengan tuntutan tugas yang dihadapi. Sedangkan pada penyuluh berusia tua lebih disebabkan oleh faktor rendahnya pendidikan dan kejenuhan, terutama yang sudah bekerja diatas 20 tahun. Jumlah kelompok binaan menunjukkan tidak berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh, akan tetapi berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pada aspek kerjasama. Artinya, semakin banyak jumlah kelompok tani yang dibina seorang
56 penyuluh, semakin baik tingkat kerjasamanya dengan sasaran penyuluhan. Data penelitian (Lihat Tabel 8), menunjukkan rata-rata penyuluh (71 persen) membina kurang dari lima kelompok tani, hal tersebut mencerminkan kinerja penyuluh dalam dimensi ini masih berada pada kategori sedang. Margono Slamet (2001) berpendapat, bahwa tingkat kinerja penyuluh pertanian dikatakan baik apabila penyuluh tersebut mampu membina lima sampai delapan kelompok tani dalam satu wilayah kerja. Tabel 8. Sebaran penyuluh pertanian berdasarkan karakteristik internal (X1) Sub Peubah
Selang Interval
Median
25 – 34 Umur (X1.1)
35 – 44
38 (Sedang)
45 – 54 3 – 12 Masa Kerja (X1.2)
13 – 22 23 – 32 12 – 13
Pendidikan (X1.3)
14 – 15 16 – 17 3–5
Pelatihan (X1.4)
6–8 9 – 11 4–7
Motivasi (X1.5)
8 – 11 12 – 15 6 – 10
Persepsi Terhadap Tugas (X1.6)
11 – 15 16 – 20 2–3
Pemanfaatan Media (X1.7)
4–5 6-7 4–7
Hub. Interpersonal (X1.8)
8 – 11 12 – 15 1–2
Jlh. Kelompok Binaan (X1.9) Keterangan : N = 56
3–4 5–6
9 (Baru) 16 (Tinggi) 7 (Sedang) 9 (sedang) 17 (Tinggi) 4 (sedang) 11 (kurang dekat) 3 (sedang)
Kategori
Jumlah*
Persen
Muda
25
45
Sedang
10
18
Tua
21
37
Baru
28
50
Sedang
13
23
Lama Rendah
15
27
10
18
Sedang
8
14
Tinggi
38
68
Rendah
10
18
Sedang
40
71
Tinggi
6
11
Rendah
11
19
Sedang
42
76
Tinggi
3
3
Rendah
2
4
Sedang
8
14
Tinggi
46
82
Rendah
12
21
Sedang
32
57
Tinggi
16
22
Jauh
1
2
34
64
Dekat
19
34
Sedikit
16
29
Sedang
40
71
Banyak
0
0
Kurang Dekat
57 Faktor umur dan masa kerja yang berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh, terutama pada dimensi perencanaan program, kreativitas dan komunikasi menunjukkan bahwa semakin tua umur dan lamanya seorang penyuluh bekerja, maka semakin baik tingkat kreativitas dalam merencanakan program penyuluhan dan lebih mudah membangun komunikasi dengan sasaran penyuluhan. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat de Cecco (Mardikanto, 1993) bahwa semakin baik kematangan fisik dan emosional seiring dengan bertambahnya umur seseorang, semakin baik kesiapan untuk belajar. Tabel 9 Koefisien korelasi antara aspek-aspek karakteristik internal dengan aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian Koefisien Korelasi dengan Kinerja Penyuluh
Peubah Kinerja Peubah Internal
Kinerja penyul uh (Y)
Perenca naan (Y1)
Pelaksa naan (Y2)
Pengev aluasia n (Y3)
Umur 0.343** 0.303* 0.237 0.130 (X1.1) Masa kerja 0.355** 0.292* 0.237 0.178 (X1.2) Pendidikan formal -0.219 -0.243 -0.150 -0.159 (X1.3) Pelatihan 0.266* 0.166 0.105 -0.002 (X1.4) Motivasi 0.009 0.124 -0.003 -0.018 (X1.5) Persepsi 0.495** 0.371** 0.406** 0.218 (X1.6) Pemanfaatan 0.508** 0.504** 0.482** 0.262 Media (X1.7) Hub Interpersonal 0.244 0.202 0.317* 0.207 (X1.8) Jumlah Kelompok 0.161 0.089 0.162 0.139 Binaan (X1.9) Keterangan : **) nyata pada α = 0.01 *) nyata pada α = 0.05
Inisiatif (Y4)
Kreativ itas (Y5)
Kerjasa ma (Y6)
Komunik asi (Y7)
-0.064
0.366*
0.261
0.466**
-0.012
0.383*
0.259
0.429**
0.040
-0.124
-0.072
-0.348**
0.191
0.231
0.467**
0.294*
0.060
-0.067
-0.153
0.010
0.304*
0.457**
0.427**
0.264*
0.287*
0.288*
0.159
0.426**
0.082
0.169
0.124
0.025
0.026
0.036
0.356**
0.043
Hubungan nyata umur dan masa kerja dengan kinerja penyuluh juga disebabkan karena penyuluh-penyuluh yang berusia muda dan berpendidikan sarjana tersebut rata-rata direkrut dari tenaga harian lepas-tenaga bantu penyuluh pertanian (THL-TBPP) yang telah memiliki cukup komitmen dengan pekerjaan sebagai penyuluh. Sebaliknya pada penyuluh berusia tua, maka hal tersebut lebih disebabkan oleh kematangan usia dan pengalaman kerja yang telah dimiliki, sehingga mereka lebih kreatif dalam membangun kerjasama untuk merencanakan program penyuluhan yang lebih partisipatif. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Dahama dan Bhatnagar (1980), bahwa semakin lama seseorang bekerja semakin baik pula
58 pengalamannya sehingga akan memberikan kontribusi terhadap minat dan harapannya untuk belajar lebih banyak, termasuk memanfaatkan media-media penyuluhan yang tersedia. Pemanfaatan media adalah bentuk motivasi diri seseorang secara kognitif dalam mencari informasi. Penyuluh yang mampu memanfaatkan media, baik cetak maupun elektronik dengan baik sama halnya dengan berupaya untuk memperbaiki kualitas kerja (kinerjanya). Faktor pemanfaatan media berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh, terutama pada aspek perencanaan program penyuluhan, pelaksanaan program penyuluhan, inisiatif penyuluh dalam menyelesaikan masalah, kreativitas terhadap tugas-tugas baru yang diberikan, dan aspek komunikasi penyuluh dengan sasaran secara konvergen. Hasil analisis tersebut sesuai dengan pengamatan di lapangan, dimana program penyebaran media informasi (Sinar Tani) oleh pusat penyuluhan pertanian dirasakan sangat membantu penyuluh dalam melaksanakan tugas, dimana data penelitian (Lihat kembali Tabel 8), menunjukkan pemanfaatan media termasuk dalam kategori sedang/ jarang (57 persen). Tingginya nilai korelasi antara pemanfaatan media dengan kinerja penyuluh tersebut secara teoritis memperkuat pendapat Suryantini (2003), bahwa motivasi kognitif dalam mencari informasi merupakan unsur penting yang memotivasi penyuluh untuk selalu memperbaiki kinerjanya. Artinya, semakin sering penyuluh memanfaatkan media penyuluhan, semakin banyak pula informasi yang diperoleh sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah petani terutama informasi-informasi yang berkaitan dengan teknologi baru. Persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan pada Tabel 9, menunjukkan hubungan nyata dengan semua aspek kinerja penyuluh kecuali kinerja pada aspek pengevaluasian program penyuluhan. Persepsi penyuluh terhadap pekerjaannya semakin meningkat seiring dengan bertambah usia penyuluh dalam lingkup pekerjaan tersebut. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 8) menunjukkan usia penyuluh di Kota Tidore Kepulauan berkisar antara 25 – 51 tahun, dengan rata-rata adalah 35 tahun, artinya penyuluh masih tergolong usia produktif dan memiliki kesempatan belajar lebih banyak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hubeis (2008), bahwa semakin tinggi sikap positif dan komitmen penyuluh terhadap pekerjaan maka produktivitas kerjanya pun semakin tinggi. Hubungan nyata karakteristik internal dengan kinerja penyuluh pertanian juga tampak pada faktor pelatihan. Artinya, faktor pelatihan berhubungan erat dengan
59 kinerja penyuluh pertanian, terutama kinerja penyuluh pada aspek kerjasama dan komunikasi. Data penelitian menunjukkan 71 persen penyuluh yang mengakui jarang mengikuti pelatihan, terutama kepada penyuluh-penyuluh baru. Fakta ini didukung dengan data penenlitian, dimana 50 persen penyuluh memiliki masa kerja kurang dari 13 tahun, sehingga peluang mereka mengikuti beragam pelatihan belum banyak (terlihat pada Tabel 9). Selain itu, minimnya anggaran yang dikelola institusi penyuluhan diduga sebagai penyebab minimnya intensitas penyuluhan yang diikuti penyuluh. Minimnya intensitas pelatihan tersebut secara langsung akan berdampak pada kompetensi penyuluh, sehingga motivasi untuk melaksanakan tugas pun menurun. Hasil penelitian (Lihat kembali Tabel 8) menunjukkan hanya 3 persen penyuluh bermotivasi tinggi. Fakta tersebut yang diduga menjadi salah satu penyebab faktor tersebut tidak berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh. Pada beberapa aspek kinerja justru memiliki nilai negatif (lihat kembali Tabel 9). Fakta lain yang menjadi penyebab adalah motivasi awal ketika melamar pekerjaan sebagai calon pegawai negeri sipil. Hasil pengamatan dan wawancara mendalam di lapangan terhadap beberapa responden diketahui, bahwa pada mulanya motivasi para penyuluh baru adalah menjadi pegawai negeri sipil, apapun profesi dan seperti apa tugasnya bukan menjadi masalah. Namun demikian, setelah penyuluh ditempatkan di lokasi-lokasi tugas yang jauh dari akses informasi dan transportasi, maka motivasinya dalam bekerja pun mulai menurun dan akibatnya mereka tidak lagi disiplin melaksanakan tugas sebagaimana yang diharapkan. Secara eksternal rendahnya motivasi penyuluh tersebut dikarenakan kebijakan-kebijakan organisasi yang tidak sejalan dengan keinginan dan kebutuhan penyuluh sebagaimana pendapat Margono Slamet (2010), bahwa kebijakan kenaikan pangkat dan pola karier yang tidak jelas akan berpengaruh pada motivasi penyuluh. Hasil penelitian Hubeis (2008), bahwa motivasi kerja penyuluh akan berdampak positif terhadap kinerja penyuluh, sehingga kenyataan di lapangan yang menunjukkan motivasi penyuluh di Kota Tidore Kepulauan yang berdampak baik pada kinerja hanya ditemukan pada penyuluh-penyuluh yang ditempatkan pada lokasi tugas yang mudah dijangkau, serta penyuluh yang memperoleh perhatian dan keuntungan secara sepihak oleh pimpinan.
60 Kebijakan-kebijakan organisasi yang menimbulkan pro kontra di kalangan penyuluh berdampak secara tidak langsung pada hubungan interpersonal antara penyuluh dengan pimpinan maupun dengan sesama rekan penyuluh. Hasil penelitian (Lihat kembali Tabel 8) menunjukkan 64 persen penyuluh mengakui hubungannya dengan pimpinan tidak harmonis (kurang dekat). Secara umum faktor ini menunjukkan hubungan, akan tetapi keeratan hubungannya tidak nyata, kecuali dengan kinerja penyuluh pada aspek pelaksanaan program penyuluhan. Artinya, tinggi rendahnya kinerja penyuluh pada aspek-aspek selain pelaksanaan program tidak berhubungan erat dengan hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal antara penyuluh dengan pimpinan maupun dengan sesama penyuluh berjalan baik, ternyata hal tersebut dapat memperlancar pelaksanaan tugas penyuluh. Hubungan aspek-aspek Karakteristik Eksternal dengan Kinerja Penyuluh Beberapa karakteristik eksternal yaitu sistem penghargaan terhadap penyuluh berprestasi, partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan penyuluhan, dan dukungan supervisi monitoring berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh. Berdasarkan hasil uji korelasi memiliki nilai koefisien berturut-turut sistem penghargaan sebesar 0.357 p-value (0.007), dukungan supervisi monitoring sebesar 0.314 p-value (0.019), dan partisipasi aktif masyarakat sebesar 0.306 p-value (0.022) < alpha 5 % maka tolak Ho. Artinya, model signifikan atau berkorelasi nyata dengan kinerja penyuluh. Hasil tersebut menunjukkan bahwa, aspek-aspek tersebut berhubungan erat dengan kinerja penyuluh pertanian, terutama aspek penghargaan menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi (LihatTabel 11). Dukungan sistem penghargaan berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh Artinya, upaya penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang merupakan bagian dari mekanisme sistem penghargaan yang diterima oleh seorang penyuluh berdampak meningkatkan kinerja penyuluh, terutama kinerja pada aspek perencanaan dan pelaksanaan program penyuluhan, kreativitas penyuluh dalam menyelesaikan masalah petani dan aspek berkomunikasi secara konvergen dengan sasaran penyuluhan. Hasil tersebut sejalan dengan pernyataan van den Bann dan Hawkins (1999) bahwa sangat penting memberikan penghargaan kepada penyuluh yang berhasil melakukan tugasnya dengan baik, karena seorang penyuluh yang melihat rekannya memperoleh promosi karena berhasil melaksanakan tugas akan cenderung untuk melakukan hal yang sama.
61
Tabel 10 Sebaran penyuluh pertanian berdasarkan karakteristik eksternal (X2) Sub Peubah
Selang Interval
Median
2–3 Dukungan Administrasi (X2.1)
4–5 6–7
5 (kurang mendukung)
2–3 Ketepatan Kebijakan Organisasi (X2.2)
Ketersediaan Sarana dan Prasarana (X2.3) Dukungan Terhadap Sistem Penghargaan (X2.4) Kondisi Lingkungan Kerja (X2.5) Keterjangkauan Daerah Tempat Bekerja (X2.6) Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat (X2.7) Dukungan Terhadap Supervisi dan Monitoring (X2.8)
4–5
4 (kurang tepat)
Kategori
Jumlah*
Persen
Tidak mendukung Kurang mendukung Sangat mendukung Tidak tepat
9
16
22
39
25
45
11
20
Kurang tepat
32
57
13
23
8
15
6–7 3–5
8
Sangat tepat Tidak tersedia
6–8
(Sangat
Kurang tersedia
36
64
9 – 11
tersedia)
Sangat tersedia
12
21
Tidak Pernah
13
22
Jarang
35
63
8
14
9
16
3–5 6–8 9 – 11
7 (jarang)
3–5
7
Sering Tidak Nyaman
6–8
(kurang
Kurang Nyaman
31
55
9 – 11
nyaman)
Sangat Nyaman
16
29
Jauh
6
11
Sedang
17
30
Dekat
33
59
Rendah
1
2
Sedang
26
46
Tinggi
29
52
Tidak Pernah
9
16
Jarang
24
43
Sering
23
41
2–3 4–5
6 (Dekat)
6–7 2–3 4–5 6–7 3–5 6–8 9 – 11
6 (Tinggi) 7,5 (jarang)
Keterangan : N = 56
Pemberian penghargaan yang bermakna memotivasi menjadi faktor pendorong bagi penyuluh dalam melaksanakan tugas, sebagaimana pendapat (Margono Slamet, 2010) bahwa kebijakan kenaikan pangkat dan pola karier yang tidak jelas dan sesuai dengan keinginan penyuluh dapat menurunkan motivasi penyuluh. Data penelitian pada Tabel 10, menunjukkan bahwa 63 persen penyuluh mengakui kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam memberikan penghargaan (reward) ketika seorang penyuluh berprestasi. Hal tersebut berkaitan dengan proses evaluasi, dimana tidak adanya koordinasi di jajaran pemerintah daerah (BKD dan BP4K) dalam upaya
62 membangkitkan motivasi melalui pemberian penghargaan (reward) kepada penyuluh yang berprestasi atau hukuman (punishment) bagi penyuluh yang tidak disiplin. Hubungan nyata pada faktor partisipasi aktif masyarakat sejalan dengan data hasil penelitian (pada Tabel 10), sebanyak 52 persen penyuluh mengakui partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan kegiatan penyuluhan berada dalam kategori tinggi. Tingginya partisipasi masyarakat tersebut menurut Margono Slamet (Mardikanto, 2009) disebabkan oleh 3 (tiga) unsur pokok yakni; (1) adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi, (2) adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi, dan (3) adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi. Tentang hal ini, Mardikanto (2009) memberikan pengertian bahwa kesempatan yang diberikan sering menjadi faktor pendorong tumbuhnya kemauan, dan kemauan akan sangat menentukan kemampuannya. Tabel 10 Koefisien korelasi antara aspek-aspek karakteristik eksternal dengan aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian Koefisien Korelasi dengan Kinerja Penyuluh
Peubah Kinerja Peubah Eksternal
Kinerja penyul uh (Y)
Perenca naan (Y1)
Pelaksa naan (Y2)
Pengeval uasian (Y3)
Dukungan Adm. 0.205 0.118 0.127 0.091 (X2.1) Kebijakan 0.059 -0.071 -0.033 0.150 Organisasi (X2.2) Sarana Prasarana 0.137 0.019 0.087 0.152 (X2.3) Penghargaan 0.357** 0.347** 0.284* 0.082 (X2.4) Lingkungan Kerja 0.169 0.028 0.074 0.149 (X2.5) Jangkauan lokasi -0.004 0.012 -0.026 0.094 (X2.6) Partisipasi Masy. 0.306* 0.230 0.303* 0.253 (X2.7) Supervisi 0.314* 0.209 0.134 0.139 Monitorig (X2.8) Keterangan : **) nyata pada α = 0.01 *) nyata pada α = 0.05
Inisiatif (Y4)
Kreativ itas (Y5)
Kerjasa ma (Y6)
Komun ikasi (Y7)
0.007
0.243
0.103
0.381**
0.021
0.119
-0.117
0.327*
0.098
0.229
0.028
0.095
0.063
0.347**
0.130
0.470**
0.082
0.266*
0.082
0.227
-0.045
0.080
-0.063
0.113
0.182
0.271*
-0.035
0.244
0.136
0.392**
0.131
0.470**
Hasil penelitian ini memperkuat pendapat Sumardjo (1999), bahwa semakin cerdas kehidupan rakyat, maka semakin tinggi partisipasi masyarakatnya dalam pembangunan, dan proses penyuluhan merupakan upaya nyata dalam mewujudkan kecerdasan tersebut. Bentuk partisipasi masyarakat yang sangat dirasakan sebagaimana yang diakui oleh penyuluh adalah, terutama pada tahapan pelaksanaan penyusunan programa penyuluhan tingkat Desa dan Kecamatan.
63 Faktor dukungan administrasi, ketepatan kebijakan, ketersediaan sarana dan prasarana, lingkungan kerja, dan jangkauan lokasi tugas secara keseluruhan tidak berkorelasi positif dengan kinerja penyuluh. Namun demikian beberapa dari faktor tersebut berkorelasi positif dengan aspek-aspek kinerja penyuluh yang lain. Dukungan administrasi dan ketepatan kebijakan organisasi tampak berkorelasi positif dengan kinerja penyuluh pada aspek komunikasi (Lihat kembali Tabel 11). Artinya, pengelolaan adminsitrasi dan kebijakan-kebijakan organisasi yang tepat dalam mendukung kegiatan penyuluh dapat meningkatkan kinerja penyuluh dalam membangun komunikasi secara konvergen dengan sasaran penyuluhan. Ketersediaan sarana dan parasarana seperti kantor BP3K dengan fasilitas pendukung berupa lahan pengkajian di 6 kecamatan dari 8 kecamatan yang ada, menunjukkan faktor tersebut mempunyai hubungan dengan semua aspek kinerja penyuluh, walaupun hubungannya tidak signifikan. Hasil analisis tersebut sejalan dengan fakta di lapangan yang disajikan pada data penelitian (Lihat kembali Tabel 10), yang menunjukkan 64 persen penyuluh mengakui masih terdapat kekurangan sarana dan prasarana dalam mendukung kegiatan penyuluh. Lingkungan kerja yang mendukung proses belajar seorang penyuluh dapat meningkatkan produktivitas penyuluh. Secara umum hasil analisis menunjukkan faktor lingkungan kerja tidak berkorelasi positif dengan kinerja penyuluh, akan tetapi menunjukkan korelasi positif dengan kinerja penyuluh pada aspek kreativitas penyuluh Artinya, lingkungan kerja yang nyaman dan mendukung penyuluh dalam melakukan proses belajar berdampak meningkatkan kreativitas penyuluh. Data hasil penelitian (Lihat kembali Tabel 10) rata-rata penyuluh mengakui lingkungan kerja penyuluh, terutama dalam organisasi tergolong kurang nyaman. Ketidaknyamanan tersebut diduga berkaitan dengan kebijakan-kebijakan organisasi (pimpinan) yang
terkesan merugikan penyuluh dan menimbulkan pro
kontra dikalangan penyuluh. Dalam konteks penyuluhan sebagai sistem pendidikan orang dewasa dengan falsafah saling “asah-asih-asuh” (Padmowiharjo, 2001), seharusnya institusi penyuluhan harus mampu menciptakan kondisi tersebut sebagai suatu interaksi antar penyuluh sebagai fasilitator motivator dan masyarakat sasaran sebagai warga belajar. Faktor lain yang menunjukkan hubungan nyata dengan kinerja penyuluh adalah dukungan supervisi dan monitoring. Hubungan nyata yang ditunjukkan faktor tersebut, terutama dengan kinerja penyuluh pada aspek kreativitas penyuluh dalam
64 menyelesaikan masalah yang dihadapi dan aspek komunikasi penyuluh dengan sasaran penyuluhan secara konvergen. Artinya, semakin sering pejabat pembina melakukan kegiatan supervisi dan monitoring, semakin meningkat pula kreativitas dan tingkat komunikasi yang terbangun antara penyuluh dengan pimpinan, maupun dengan sasaran penyuluhan. Data penelitian pada Tabel 10, menunjukkan sebanyak 43 persen penyuluh mengakui kurangnya kegiatan supervisi dan monitoring yang dilakukan oleh institusi BP4K selaku instansi pembina. Fakta tersebut menunjukkan bahwa lemahnya pola pembinaan maupun penerapan disiplin terhadap penyuluh yang lalai dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan, terutama terhadap penyuluh-penyuluh baru yang memerlukan perhatian lebih ekstra. Artinya, selain pentingnya rutinitas kegiatan supervisi dan monitoring, namun yang lebih penting lagi adalah tindak lanjut dari kegiatan supervisi dan monitoring tersebut. Perbaikan kinerja akan bisa terjadi manakala penyuluh merasa hasil kerja dinilai dan ditindak lanjuti, sebagaimana pendapat Margono Slamet (2010), bahwa kegiatan supervisi dan monitoring sematamata bukan berorientasi pada pemberian sanksi atau penghukuman, tetapi lebih kepada kombinasi antara pengawasan dan pembinaan. Hubungan aspek-aspek Kompetensi penyuluh dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Beberapa faktor kompetensi penyuluh seperti perencanaan, pelaksanaan, dan pengevaluasian program penyuluhan, kemampuan menerapkan prinsip belajar orang dewasa, serta kemampuan berkomunikasi secara konvergen berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh (Lihat Tabel 14). Koefisien korelasi berturut-turut yaitu; kompetensi perencanaan sebesar 0.583 p-value (0.000), pelaksanaan sebesar 0.563 pvalue (0.000), pengevaluasian sebesar 0.537 p-value (0.000), penerapan prinsip belajar orang dewasa sebesar 0.503 p-value (0.000), dan kompetensi berkomunikasi sebesar 0.322 p-value (0.004) < alpha 5 % maka tolak Ho. Artinya, model signifikan atau berkorelasi nyata. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa aspek-aspek tersebut berhubungan erat dengan kinerja penyuluh, terutama aspek kompetensi penyuluh dalam perencanaan, pelaksanaan menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi. Hubungan nyata yang ditunjukkan faktor-faktor tersebut tampak pada hampir semua aspek kinerja, sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kinerja penyuluh
65 pertanian di Kota Tidore Kepulauan sangat bergantung pada tinggi rendahnya kompetensi yang dimiliki. Hasil penelitian (Lihat Tabel 12 dan 13) menunjukkan kompetensi rata-rata penyuluh tergolong kurang kompeten, kecuali kompetensi dalam perencanaan program penyuluhan tergolong sangat kompeten. Tabel 12 Sebaran penyuluh pertanian berdasarkan kompetensi penyuluh (X3)
Sub Peubah
Selang Interval
Median
≤7 Perencanaan program penyuluhan (X3.1)
7 – 12
15 (Tinggi)
≥ 12 5–8 Pelaksanaan program penyuluhan (X3.2)
9 – 12
11 (sedang)
13 – 16 6 – 11 Pengevaluasian program penyuluhan (X3.3) Penguasaan dan penerapan prinsip belajar orang dewasa (X3.4)
12 – 16
14 (sedang)
17 – 22 4–7 8 – 11
8 (sedang)
12 – 15 4–7
Kemampuan berkomunikasi (X3.5)
8 – 11
10 (sedang)
12 – 15 2–3 Kemampuan bekerjasama (X3.6)
4–5
4 (sedang)
6–7
Kategori
Jumlah*
Persen
Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten
1
3
15
26
40
71
10
17
25
45
21
38
9
16
38
68
9
16
11
20
41
73
4
7
16
29
26
46
14
25
13
24
23
41
20
35
Keterangan : N = 56
Kenyataan tersebut diduga berkaitan dengan tingkat pendidikan dan kualifikasi pendidikan penyuluh. Fakta menunjukkan bahwa banyak penyuluh baru yang direkrut melalui CPNS daerah pada formasi penyuluh adalah para lulusan/ sarjana pertanian umum, sehingga kompetensi-kompetensi dalam bidang penyuluhan
66 sama sekali tidak dimiliki. Sebaliknya pada penyuluh berusia tua yang berasal dari sekolah-sekolah pertaian (SPP/SPMA) cenderung pasrah dan tidak berupaya meningkatkan pengetahuannya ke jenjang pedidikan lebih tinggi. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 14) dari kelima faktor yang mempunyai hubungan nyata tersebut, kompetensi penyuluh dalam perencanaan program yang menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi dengan kinerja penyuluh, terutama dengan kinerja penyuluh pada aspek perencanaan program penyuluhan. Artinya, semakin tinggi kemampuan perencanaan yang dimiliki seorang penyuluh, semakin baik kinerjanya dalam perencanaan program penyuluhan. Hasil analisis yang menunjukkan perbedaan hubungan nyata tampak pada kompetensi penyuluh pada aspek perencanaan dan aspek komunikasi. Disatu sisi kompetensi berkomunikasi tidak menunjukkan korelasi posistif/ nyata dengan kinerja penyuluh dalam perencanaan program penyuluhan, tetapi disisi lain kinerja penyuluh pada aspek komunikasi berkorelasi positif/ sangat nyata denga kompetensi penyuluh pada aspek perencanaan program. Artinya, semakin kompeten penyuluh merencakan program penyuluhan, menunjukkan semakin baik tingkat komunikasi penyuluh tersebut dengan sasaran penyuluhan. Sebaliknya, tinggi rendahnya kompetensi seorang penyuluh dalam berkomunikasi, tidak berhubungan secara langsung dengan kinerja penyuluh dalam merencanakan program penyuluhan. Faktor kompetensi penyuluh pada aspek pelaksanaan program penyuluhan berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pada semua aspek (Lihat Tabel 14). Artinya,
semakin
kompeten
penyuluh
melaksanakan
program
penyuluhan,
menunjukkan semakin baik kinerjanya dalam berbagai aspek, terutama kinerja penyuluh pada aspek perencanaan program penyuluhan Data penelitian pada Tabel 12, menunjukkan 48 persen kompetensi penyuluh pertanian dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan tergolong kurang kompeten. Artinya, hanya 38 persen penyuluh yang sangat kompeten dalam melaksanakan penyuluhan dengan baik sesuai dengan rencana kerja dan programa penyuluhan yang telah disusun. Penyuluh yang mengalami kesulitan dalam melakukan atau mengaplikasikan program/kegiatan yang telah direncanakan lebih disebabkan oleh faktor-faktor diluar kemampuan dirinya, baik yang berkaitan dengan pengamanan program-program pemerintah, kebijakan-kebijakan institusi yang kurang berpihak ke penyuluh, maupun ketidaktersediaan sarana-prasarana penunjang. Sumardjo (1999), berpendapat bahwa selama ini kompetensi yang dimiliki penyuluh lebih banyak diperuntukan untuk
67 mengawal program-program pemerintah, dengan demikian kompetensi untuk melakukan
kegiatan-kegiatan
sebagaimana yang telah direncanakan kurang
dimanfaatkan. Tabel 13 Sebaran kompetensi penyuluh pertanian berdasarkan penilaian petani Sub Peubah Perencanaan program penyuluhan (X3.1) Pelaksanaan program penyuluhan (X3.2) Pengevaluasian program penyuluhan (X3.3) Penguasaan dan penerapan prinsip belajar orang dewasa (X3.4) Kemampuan berkomunikasi (X3.5) Kemampuan bekerjasama (X3.6)
Selang Interval 5-8 9-12 13-16 4-7 8-11 12-15 4-7 8-11 12-15 2-3 4-5 6-7 4-7 8-11 12-15 3-5 6-8 9-11
Median 12 (sedang) 10 (sedang) 10 (sedang) 5 (sedang) 10 (sedang) 6 (sedang)
Kategori
Jumlah*
Persen
Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten
6 14 10 6 16 8 9 15 6 6 14 10 7 16 7 7 22 1
20 47 33 20 53 27 30 50 20 20 47 33 23 54 23 23 74 3
Keterangan : n = 30
Evaluasi kegiatan merupakan kemampuan seorang penyuluh untuk menilai kemajuan kerja yang telah dicapai. Penyuluh yang memiliki kinerja baik adalah penyuluh yang selalu melakukan evaluasi terhadap kegiatan atau pekerjaan yang telah dilaksanakan. Hasil analisis korelasi menunjukkan pelaksanaan program, penerapan prinsip belajar orang dewasa dan komunikasi berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pada aspek pengevaluasian program. Artinya, semakin baik seorang penyuluh melakukan evaluasi kegiatan penyuluhan, berhubungan erat dengan kompetensi penyuluh pada aspek-aspek tersebut. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 12), menunjukkan kompetensi penyuluh pada aspek pengevaluasian tergolong kurang kompeten (68 persen). Angka ini tidak terlampau buruk karena masih terdapat 41 persen penyuluh yang memiliki kompetensi tinggi. Selain itu hasil pengukuran tersebut juga sesuai dengan hasil analisis yang berhubungan nyata terhadap hampir semua aspek kinerja penyuluh, kecuali kinerja dalam mengevaluasi (Tabel 12).
68 Tabel 14 Koefisien korelasi antara aspek-aspek kompetensi dengan aspekaspek kinerja penyuluh pertanian Peubah Kinerja
Koefisien Korelasi dengan Kinerja Penyuluh
Kinerja Perenca Pelaksa Pengeva Peubah penyulu naan naan luasian Kompetensi h (Y) (Y1) (Y2) (Y3) Perencanaan 0.583** 0.582** 0.428** 0.248 Program (X3.1) Pelaksanaan 0.563** 0.495** 0.377** 0.303* Program (X3.2) Pengevaluasian 0.537** 0.469** 0.448** 0.208 Program (X3.3) Penerapan prinsip belajar orang 0.503** 0.381** 0.385** 0.383** dewasa (X3.4) Berkomunikasi 0.322* 0.204 0.252 0.328* (X3.5) Bekerjasama (X3.8) 0.083 0.139 0.041 -0.188 Keterangan : **) nyata pada α = 0.01 *) nyata pada α = 0.05
Inisiatif( Y4)
Kreativi tas (Y5)
Kerjasa ma (Y6)
Komunika si (Y7)
0.289*
0.361*
0.366*
0.547**
0.384**
0.319*
0.466**
0.471**
0.346**
0.346**
0.353**
0.472**
0.298*
0.428**
0.266*
0.328*
0.213
0.237
0.165
0.203
0.106
-0.035
0.123
-0.043
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kompetensi penyuluh pada aspek pengevaluasian program penyuluhan merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat kinerja seorang penyuluh. Penyuluh yang sering melakukan evaluasi berarti penyuluh tersebut akan mampu mempertahankan prestasi kerjanya atau memperbaiki hasil kerja sebelumnya sehingga menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip evaluasi yang dikemukakan oleh Margono Slamet (2010), bahwa evaluasi sangat diperlukan untuk mengukur hasil kerja, baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang dicapai dari suatu kegiatan penyuluhan. Penyuluhan adalah suatu proses pendidikan nonformal yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap petani. Dalam pembelajaran orang dewasa, kegiatan penyuluhan lebih mengacu pada pemecahan masalah (problem solving) yang dihadapi dalam kehidupan petani dan keluarganya. Hasil penelitian (Lihat kembali Tabel 12), menunjukkan bahwa sebanyak 73 persen kompetensi penyuluh pada aspek penguasaan dan penerapan prinsip belajar orang dewasa masih tergolong kurang kompeten, hanya 7 persen yang telah menguasai dan menerapkan prinsip belajar orang dewasa dengan baik. Sejalan dengan kenyataan tersebut, hasil analisis (Tabel 14) juga menunjukkan hubungan nyata antara kompetensi penyuluh dalam penerapan prinsip belajar orang dewasa dengan kinerja penyuluh pada semua aspek. Akan tetapi keeratan hubungan paling tinggi tampak pada kinerja penyuluh dalam aspek kreativitas. Artinya, semakin
69 tinggi kemampuan penerapan metode prinsip belajar orang dewasa, maka semakin baik kreativitas penyuluh dalam melaksanakan tugasnya. Keberhasilan penyuluh juga dapat diukur dari kemampuan penyuluh membangun kerjasama dengan pihak lain sebagai sasaran penyuluhan. Sumardjo (2010) berpendapat bahwa kompetensi kerjasama merupakan salah satu ciri dari kompetensi sosial, maka penyuluh yang mandiri dicirikan oleh kemampuan internal untuk bekerjasama atau berinteraksi dengan pihak lain secara interdependent, sinergis dan berkelanjutan dalam koridor nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama secara bermartabat. Data hasil penelitian
menunjukkan 41 persen kompetensi penyuluh
pada aspek kerjasama tergolong kurang kompeten. Fakta tersebut menunjukkan bahwa, rata-rata penyuluh belum dapat membangun kemitraan usaha dengan pihak lain (lihat kembali Tabel 12). Pengaruh aspek-aspek Karakteristik Internal terhadap Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Beberapa karakteristik internal yaitu intensitas pelatihan, persepsi terhadap pekerjaan/tugas dan pemanfaatan media penyuluhan untuk menyelesaikan masalah petani menunjukkan nilai koefisien sebesar 0.499 p-value (0.000), 0.312 p-value (0.008), dan 0.301 p-value (0.012) < alpha 5 % maka tolak Ho. Artinya, model signifikan atau berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluhan. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu satuan aspek-aspek tersebut dapat meningkatkan kinerja penyuluh pertanian secara berturut-turut yaitu; pemanfaatan media sebesar 0.499 satuan, persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan sebesar 0.312 satuan, dan intensitas pelatihan sebesar 0.301 satuan (Lihat Tabel 15). Pengaruh nyata faktor pemanfaatan media menunjukkan bahwa semakin sering penyuluh memanfaatkan media-media penyuluhan yang tersedia, semakin tinggi pula kinerja yang dicapai seorang penyuluh. Fakta di lapangan menunjukkan (Lihat kembali Tabel 8), rata-rata penyuluh memanfaatkan media penyuluhan (Tabloid Sinar Tani) berada dalam kategori sedang atau jarang. Selain tidak adanya dorongan penyuluh untuk belajar, kenyataan tersebut juga menunjukkan oleh tidak adanya upaya dari institusi penyuluhan (BP4K) untuk meningkatkan kompetensi penyuluh melalui penyediaan materi-materi penyuluhan yang sesuai dengan spesifik lokasi.
70 Tabel 15 Koefisien regresi pengaruh karakteristik internal terhadap kinerja penyuluh pertanian Peubah Karakteristik Internal (X1) Umur (X1.1) Masa Kerja (X1.2) Pendidikan Formal (X1.3) Pelatihan (X1.4) Motivasi (X1.5) Persepsi terhadap pekerjaan (X1.6) Pemanfaatan Media (X1.7) Hubungan Interpersonal (X1.8) Jumlah Kelompok Binaan (X1.9) Keterangan: **) nyata pada α = 0.01
Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Koefisien Regresi Probability (p-value) 0.232 0.524 -0.084 0.817 -0.074 0.577 0.312* 0.012 -0.007 0.949 0.301* 0.008 0.449** 0.000 0.093 0.409 0.109 0.332 *) nyata pada α = 0.05
Pengaruh nyata aspek pelatihan terhadap kinerja penyuluh pertanian (Tabel 15) tersebut menunjukkan bahwa aspek pelatihan merupakan aspek integral penting dalam area pengembangan sumberdaya manusia yang mempengaruhi secara langsung terhadap tinggi rendahnya kinerja penyuluh pertanian. Data penelitian lapangan (Lihat kembali Tabel 8) yang menunjukkan 71 persen penyuluh mengakui jarang dipanggil mengikuti pelatihan, dan hanya 11 persen penyuluh yang sering mengikuti pelatihan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa minimnya anggaran yang dikelola institusi penyuluhan menyebabkan minimnya intensitas pelatihan yang dilaksanakan oleh institusi tersebut. Akibatnya, motivasi kerja penyuluh menurun karena kompetensi sebagian besar penyuluh, terutama penyuluh-penyuluh baru terhadap kompetensikompetensi fungsional masih tergolong kurang. Fakta di lapangan menunjukkan selama ini penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pelatihan penyuluh oleh institusi penyuluhan, maupun oleh lembaga-lembaga diklat lain kurang mampu menyediakan kurikulum yang sungguh-sungguh berisikan kompetensi yang dibutuhan, dan kondisi tersebut sudah berlangsung sejak lama, baik sebelum otonomi daerah maupun sampai saat sekarang. Kondisi yang lebih memperihatinkan lagi adalah pemerintah daerah cenderung membatasi kegiatan pelatihan penyuluhan dengan alasan kekurangan anggaran. Penyelenggaraan pelatihan hanya sebagai kegiatan rutin tahunan bagi penyuluh dan hanya dikemas dalam suatu paradigma kewajiban yakni memenuhi tuntutan angka kredit untuk proses kenaikan pangkat, sehingga belum menjadikan pelatihan sebagai paradigma kebutuhan. Jika terpaksa dilaksanakan, maka jumlah pelatihan dan penganggarannya pun sangat sedikit, sehingga instansi pelaksana tidak dapat maksimal dalam menjalankan kegiatan pelatihan tersebut (Marius et al, 2006).
71 Pengaruh nyata juga tampak pada aspek persepsi penyuluh terhadap kinerja penyuluh pertanian. Artinya, faktor ini memberikan pengaruh secara langsung terhadap tinggi rendahnya kinerja penyuluh. Hasil analisi tersebut sejalan dengan data penelitian (Lihat kembali Tabel 8) yang menunjukkan persepsi penyuluh tergolong tinggi (82 persen). Fakta tersebut bermakna bahwa secara psikologis, hampir semua penyuluh pertanian menyatakan bangga menjadi seorang penyuluh yang oleh banyak pihak diapresiasikan sebagai ujung tombak pembangunan pertanian. Secara sosial ada perasaan nyaman dan aman dalam membangun hubungan sosial, sehingga mereka merasa memiliki relasi sosial dengan kelompok tani maupun dengan tokoh-tokoh masyarakat. Aspek umur, hubungan interpersonal, dan jumlah kelompok binaan masih menunjukkan pengaruh terhadap kinerja penyuluh pertanian, akan tetapi pengaruhnya tidak nyata. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 8), menunjukkan 45 persen penyuluh berusia muda, hubungan interpersonal penyuluh dengan pimpinan tergolong kurang dekat (bermasalah), dan jumlah kelompok yang dibina tergolong kurang (ratarata 2 kelompok). Hasil analisis maupun fakta di lapangan tersebut member gambaran bahwa semakin bertambah usia penyuluh, dan semakin baik hubungan yang terjalin antara penyuluh dengan pimpinan, serta semakin banyak kelompok tani yang dibina, maka semakin baik pula kinerja penyuluh yang bersangkutan. Pengaruh tidak nyata yang tampak pada aspek pendidikan formal, diduga berkaitan dengan kualifikasi pendidikan yang dimiliki penyuluh, terutama penyuluhpenyuluh baru. Fakta di lapangan menunjukkan sebagian besar
(89 persen)
kualifikasi pendidikan penyuluh-penyuluh baru tersebut bukan dari lulusan perguruan tinggi/ jurusan/ sekolah-sekolah penyuluhan. sehingga pengetahuan mereka dibidang penyuluhan pun sangat terbatas. Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan, bahwa jangankan untuk melaksanakan tugas, memahami penyuluhan secara filosofi saja sudah sulit, sehingga metode-metode penyuluhan tidak dapat diterapkan secara optimal. Faktor lain yang diduga menjadi penyebab dari tidak berpengaruhnya pendidikan formal terhadap kinerja penyuluh adalah banyak penyuluh-penyuluh tua yang berpendidikan sarjana dan berpangkat tinggi, memilih beralih status atau dipromosikan oleh pengambil kebijakan untuk menduduki jabatan-jabatan struktural. Sebaliknya, yang berpendidikan rendah dan memiliki masa kerja lama cenderung
72 pasrah dan tidak lagi termotivasi untuk meningkatkan kompetensi dan kinerjanya. Hasil penelitian tersebut memperkuat penelitian Marius, et al (2006) Karakteristik internal lain yang tidak menunjukkan pengaruh nyata adalah karakteristik internal pada aspek motivasi kerja penyuluh. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 8) menunjukkan penyuluh yang memiliki motivasi tinggi hanya 3 persen. Motivasi yang masih tergolong rendah tersebut, secara eksternal disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dan keinginan penyuluh, baik berupa perlengkapan penunjang tugas, maupun kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan kesejahteraan penyuluh seperti; faktor imbalan jasa berupa gaji, biaya operasional penyuluh (BOP) dan fasilitas lainnya. Hal tersebut menimbulkan perasaan jenuh untuk melakukan pekerjaan serupa dari hari ke hari. Pengaruh aspek-aspek Karakteristik Eksternal terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Beberapa karakteristik eksternal yaitu sistem penghargaan, kondisi lingkungan kerja, dan dukungan supervisi dan monitoring menunjukkan nilai koefisien 0.206 pvalue (0.251), 0.301 p-value (0.100), dan 0.051 p-value (0.801) > alpha 10 % maka tidak tolak Ho. Artinya, model tidak signifikan atau tidak berpengaruh nyata. Sebaliknya, hanya aspek partisipasi aktif masyarakat yang menunjukkan pengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh dengan nilai koefisien sebesar 0.284. p-value (0.082) < alpha 10 % maka tolak Ho. Artinya, model siginifikan atau berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh. Hasil tersebut menunjukkan bahwa, setiap peningkatan satu satuan aspek partisipasi masyarakat dapat meningkatkan kinerja penyuluh pertanian sebesar 0.284 satuan (Tabel 16). Tabel 16 Koefisien regresi pengaruh karakteristik eksternal terhadap kinerja penyuluh pertanian Peubah Karakteristik Eksternal (X2) Dukungan Adm. (X2.1) Kebijakan Organisasi (X2.2) Sarana Prasarana (X2.3) Penghargaan (X2.4) Lingkungan Kerja (X2.5) Jangkauan lokasi (X2.6) Partisipasi Masy. (X2.7) Supervisi Monitorig (X2.8) Keterangan: **) nyata pada α = 0.01
Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Koefisien Regresi Probability (p-value) -0.030 0.881 -0.203 0.221 -0.072 0.633 0.206 0.251 0.051 0.801 -0.185 0.204 0.284* 0.082 0.301 0.100 *) nyata pada α = 0.05
73 Salah satu aspek karakteristik eksternal (Tabel 16), yang berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh adalah aspek partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatankegiatan penyuluhan. Pengaruh positif aspek tersebut tercermin dari sikap hidup masyarakat yang sudah menjadi kultur/ budaya masyarakat di Kota Tidore Kepulauan yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kerjasama, sehingga penyuluh tidak mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas. Data hasil penelitian di lapangan yang menunjukkan 52 persen penyuluh mengakui partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan pertanian tergolong tinggi (Lihat kembali Tabel 10). Kehadiran seorang penyuluh di suatu wilayah kerja selalu mendapat respon positif dari masyarakat setempat. Sikap positif yang ditunjukkan masyarakat tersebut akan berpengaruh pada meningkatnya kinerja penyuluh yang bersangkutan. Hasil tersebut sejalan dengan pendapat Sumardjo (2010), bahwa kegiatan penyuluhan dikatakan berhasil manakala program yang disampaikan penyuluh mendapat dukungan dan partisipasi aktif seluruh masyarakat, yang tercermin dari tindakan masyarakat ke arah perbaikan kehidupan diri dan keluarga. Sistem penghargaan, kondisi lingkungan kerja, serta dukungan supervisi dan monitoring merupakan aspek eksternal lain yang berpengaruh, tetapi tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa selama ini komponen-komponen penghargaan sebagaimana digambarkan Wibowo (2007) seperti; tunjangan fungsional, sistem reward, promosi jabatan dan sistem penggajian belum dijalankan dengan baik oleh pemerintah daerah (Badan Kepegawaian Daerah), terutama penyesuaian jabatan fungsional dengan jenjang kepangkatan penyuluh, sehingga tidak terjadi perubahan/ penyesuaian tunjangan fungsional. Kenyataan tersebut menyebabkan secara finansial maupun sistem penggajian penyuluh merasa dirugikan. Kondisi lingkungan kerja (Tabel 16) juga menunjukan pengaruh terhadap kinerja penyuluh, akan tetapi pengaruhnya tidak nyata. Data hasil penelitian (Lihat kembali Tabel 10) menunjukkan sebagian besar penyuluh mengakui kondisi lingkungan kerja di kantor BP4K tidak kondusif dalam mendukung tugas-tugas penyuluh. Kenyataan tersebut disebabkan karena hubungan interpersonal antara penyuluh dengan pimpinan maupun antar penyuluh kurang harmonis. Kaitannya dengan hasil analisis pada Tabel 16 tersebut, memberikan makna bahwa tinggi rendahnya kinerja penyuluh pertanian tidak secara langsung dipengaruhi kenyaman atau ketidaknyamanan lingkungan kerja dalam organisasi.
74 Supervisi dan monitoring merupakan salah satu aspek penting sebagai bentuk pembinaan dan penegakan disiplin. Fakta di lapangan menunjukkan, selain jarang dilakukan kegiatan supervisi monitoring oleh institusi penyuluhan, pada sisi lain hasil supervisi dan monitoring tidak pernah ditindaklanjuti. Tidak adanya upaya tindak lanjut dari hasil-hasil supervisi dan monitoring, menunjukkan bahwa, institusi penyuluhan melaksanakan kegiatan supervisi maupun monitoring terkesan hanya mengejar target realisasi anggaran, tanpa ada indikator supervisi yang jelas. Kondisi tersebut menyebabkan fungsi pembinaan dan pengawasan yang menjadi tujuan kegiatan sebagaimana dikemukakan oleh Margono Slamet (2010) tentang tujuan supervisi dan monitoring yang berorientasi pembinaan tidak berjalan. Fakta-fakta tersebut diduga sebagai penyebab tidak berpengaruhnya kegiatan supervisi dan monitoring secara langsung terhadap kinerja penyuluh pertanian. Pengaruh aspek-aspek Kompetensi Penyuluh terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Beberapa aspek kompetensi penyuluh yaitu kompetensi dalam perencanaan dan pengevaluasian program penyuluhan, penerapan prinsip belajar orang dewasa, kemampuan berkomunikasi, serta kemampuan bekerjasama berpengaruh terhadap kinerja penyuluh, akan tetapi tidak menunjukkan pengaruh positif/ nyata. Salah satu aspek kompetensi yang berpengaruh nyata adalah kompetensi penyuluh pada aspek pelaksanaan program penyuluhan. Hasil analisis menunjukkan nilai koefisien kompetensi pelekasanaan program penyuluhan sebesar 0.275 p-value (0.072) < alpha 10 % maka tolak Ho. Artinya, model signifikan atau berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa, setiap peningkatan satu satuan kompetensi pada aspek tersebut dapat meningkatkan kinerja penyuluh pertanian sebesar 0.275 satuan. Data penelitian menunjukkan 48 persen kompetensi penyuluh dalam pelaksanaan program dalam kategori sedang atau baik. Fakta penelitian sesuai dengan kenyataan di lapangan, bahwa kemampuan rata-rata penyuluh mengaplikasikan kegiatan
di
lapangan
lebih
mudah
dibandingkan
dengan
merencanakan,
mengevaluasi, menerapkan metode belajar orang dewasa, berkomunikasi dan kemampuannya dalam membangun kerjasama.
75 Tabel 17 Koefisien regresi pengaruh kompetensi penyuluh terhadap kinerja penyuluh pertanian Peubah Kompetensi Penyuluh (X1) Perencanaan Program (X3.1) Pelaksanaan Program (X3.2) Pengevaluasian Program (X3.3) Penerapan prinsip belajar orang dewasa (X3.4) Berkomunikasi (X3.5) Bekerjasama (X3.8)
Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Koefisien Regresi Probability (p-value) 0.225 0.140 0.275* 0.072 0.098 0.524 0.168
0.216
0.128 0.078
0.269 0.467
Keterangan: **) nyata pada α = 0.01 *) nyata pada α = 0.05
Tidak nyatanya pengaruh sebagian besar aspek-aspek kompetensi pada (Lihat Tabel 17), menunjukkan bahwa selama ini kompetensi-kompetensi yang dimiliki penyuluh lebih mengarah kepada kompetensi-kompetensi teknis dibandingkan kompetensi fungsional dibidang penyuluhan. Fakta yang terjadi adalah kegiatankegiatan penyuluh diperuntukkan untuk melaksanakan program-program secara teknis dan target-target keproyekan sebagaimana yang dikritisi oleh Sumardjo (1999), bahwa selama ini kompetensi penyuluh diperuntukan untuk mengawal programprogram pemerintah. Dengan demikian kompetensi untuk melakukan kegiatankegiatan sebagaimana yang telah direncanakan kurang dimanfaatkan. Kenyataan tersebut tentunya tidak sejalan dengan filosofi penyuluhan dalam konteks “membantu” yakni penyuluhan pertanian harus mengacu kepada perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan sasaran, dan bukan lebih mengutamakan targettarget fisik yang sering kali tidak banyak manfaatnya bagi perbaikan kualitas hidup sasarannya. Penyuluh pertanian sering kali terjebak pada tataran fisik kegiatan, dibandingkan memerankan fungsi penyuluh sebagai fasilitator pemberdayaan yang menjadi tujuan penyuluhan pertanian yakni perubahan perilaku sasaran penyuluhan. Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Kinerja penyuluh dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program/kegiatan penyuluhan, memiliki inisiatif pada saat menghadapi masalah, kreatif terhadap tugas-tugas baru, membangun kerjasama dengan pihak lain, dan membangun komunikasi secara konvergen dengan sasaran penyuluhan masih tergolong sedang (Tabel 18).
76 Hasil analisis korelasi menunjukkan kinerja penyuluh pertanian berturut-turut berhubungan nyata dengan aspek-aspek karakteristik internal yaitu; intensitas penyuluh memanfatkan media-media yang tersedia, persepsi positif penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan, lamanya masa kerja penyuluh, umur penyuluh, dan intensitas pelatihan. Artinya, aspek-aspek tersebut berhubungan erat dengan kinerja penyuluh, terutama aspek pemanfataan media menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi (Lihat kembali Tabel 9). Tingkat kinerja penyuluh juga menunjukkan hubungan nyata dengan aspekaspek eksternal yaitu; aspek dukungan penghargaan kepada penyuluh berprestasi, tingkat partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan penyuluhan, serta aspek dukungan supervisi dan monitoring institusi penyuluhan terhadap kegiatan penyuluh. Artinya, aspek-aspek tersebut berhubungan erat dengan kinerja penyuluh pertanian, terutama aspek dukungan penghargaan menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi (Lihat kembali Tabel 11). Aspek-aspek kompetensi penyuluh yang menunjukkan hubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian yaitu; kompetensi perencanaan, pelaksanaan, pengevaluasian program penyuluhan, penerapan prinsip belajar orang dewasa, dan aspek
komepetensi
komunikasi.
Artinya,
aspek-aspek
kompetensi
tersebut
berhubungan erat dengan kinerja penyuluh, terutama aspek perencanaan yang menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi (Lihat kembali Tabel 14). Aspek-aspek karakteristik internal, eksternal, dan kompetensi penyuluh yang menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi dengan kinerja penyuluh pertanian berturut-turut yaitu; aspek perencanaan program penyuluhan, pemanfaatan mediamedia penyuluhan yang tersedia, dan aspek dukungan penghargaan kepada penyuluh berprestasi. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 12), menunjukkan kompetensi penyuluh pada aspek perencanaan program penyuluhan 71 persen tergolong tinggi atau sangat kompeten. Fakta tersebut menunjukkan bahwa rata-rata penyuluh sangat kompeten dalam perencanaan program penyuluhan seperti; identifikasi potensi wilayah, penyusunan programa, dan rencana kerja tahunan. Sesuai hasil pengamatan di lapangan rata-rata penyuluh memiliki data monografi desa yang merupakan output dari kegiatan identifikasi potensi wilayah tersebut. Penyuluh pertanian di wilayah penelitian juga memiliki programa penyuluhan desa. Namun demikian, fakta menunjukkan programa yang disusun tersebut belum mencerminkan programa yang partisipatif, sebagaimana yang
77 dilaporkan Sumardjo et al (2010) tentang permasalahan implementasi operasionalisasi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006. Secara eksternal kondisi tersebut disebabkan oleh minimnya anggaran yang dikelola institusi penyuluhan, sehingga menyulitkan penyuluh untuk menghimpun stakeholder terkait di wilayah binaannya untuk bersama-sama dalam kegiatan penyusunan programa tersebut. Tabel 18. Sebaran penyuluh pertanian berdasarkan tingkat kinerja (Y) Sub Peubah
Selang Interval
Kategori
Jumlah*
Persen
Rendah
6
11
Sedang
23
41
16 – 20
Tinggi
27
48
6 – 10
Rendah
9
16
Sedang
37
66
Tinggi
10
18
Rendah
18
32
Sedang
37
66
Tinggi
1
2
Rendah
12
21
Sedang
35
63
Tinggi
9
16
Rendah
10
18
Sedang
43
77
Tinggi
3
5
Rendah
10
18
Sedang
42
75
Tinggi
4
7
Rendah
2
4
Sedang
46
82
Tinggi
8
14
Median
6 – 10 Perencanaan Program (Y1)
Pelaksanaan Program (Y2)
Pengevaluasian Program (Y3)
11 – 15
11 – 15 16 – 20 4–7 8 – 11 12 – 15 3–5
Inisiatif (Y4)
6–8 9 – 11 4–7
Kreativitas (Y5)
8 – 11 12 – 15 3–5
Kerjasama (Y6)
6–8 9 – 11 4–7
Komunikasi (Y7)
8 – 11 12 – 15
15 (sedang)
13 (sedang) 8 (sedang) 7 (sedang) 9 (sedang) 7 (sedang) 10 (sedang)
Keterangan : N = 56
Hasil pengamatan di lapangan juga menunjukkan rata-rata penyuluh melaksanakan tugas berdasarkan rencana kerja tahunan yang telah dibuat, terutama kegiatan-kegiatan kunjungan ke lapangan dan kegiatan demplot penyuluh. Untuk kegiatan demontrasi plot atau demonstrasi cara, para penyuluh terkendala dengan
78 masalah pembiayaan. Kedua jenis kegiatan tersebut jarang dilakukan atau hanya satu kali dalam setahun, itu pun dilakukan secara bersama-sama di lahan-lahan pengkajian BP3K, sehingga kurang berdampak langsung kepada petani. Pemanfaatan media juga merupakan salah satu aspek karakteristik internal yang menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi dengan kinerja penyuluh. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 8), menunjukkan intensitas penyuluh dalam memanfaatkan media-media penyuluhan yang tersedia tergolong sedang (57 persen) yakni dalam kategori jarang. Kondisi tersebut menunjukkan rendahnya motivasi penyuluh dalam memanfaatkan media-media penyuluhan yang tersedia (Tabloid Sinar Tani) dalam menyelesaikan masalah petani. Padahal media-media tersebut tersedia berbagai sumber informasi dan teknologi yang berguna bagi penyuluh sebagai upaya meningkatkan kompetensi. Secara eksternal, kondisi tersebut disebabkan oleh kurangnya perhatian organisasi terhadap upaya peningkatan kompetensi penyuluh. Rendahnya intensitas pelatihan dan identifikasi kebutuhan petani dan kompetensikompetensi yang dibutuhkan penyuluh, diduga ikut mempengaruhi rendahnya motivasi penyuluh memanfaatkan media. Aspek lain yang menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi adalah aspek dukungan penghargaan terhadap penyuluh yang berprestasi. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 10), menunjukkan dukungan pemerintah daerah terhadap aspek penghargaan hanya sebesar 25 persen. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan kenyataan di lapangan, dimana pemerintah daerah jarang sekali atau bahkan belum pernah memberikan penghargaan kepada penyuluh-penyuluh yang berhasil di wilayah kerjanya. Fakta sebaliknya menunjukkan bahwa, terhadap pegawai fungsional lain seperti guru dan tenaga kesehatan sering mendapat penghargaan dari pemerintah daerah. Fakta-fakta
tersebut
menunjukkan
koordinasi
antara
antara
Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) dan institusi penyuluhan selama ini tidak berjalan, sehingga pemberian penghargaan (reward) bagi penyuluh yang berhasil dan pemberian sanksi (punishment) bagi penyuluh yang tidak disiplin tidak pernah diterapkan. Penyuluh yang melihat rekannya memperoleh promosi karena berhasil melaksanakan tugas akan cenderung untuk melakukan hal yang sama, sebagaimana pendapat van den Bann dan Hawkins (1999) tentang pentingnya pemberian penghargaan kepada penyuluh.
79 Nilai koefisien determinan (R square) dari pengaruh aspek-aspek karakteristik internal, eksternal, dan kompetensi penyuluh terhadap kinerja penyuluh pertanian adalah 0,547 atau 54,7 persen. Artinya pengaruh langsung faktor-faktor tersebut secara bersama-sama terhadap kinerja penyuluh pertanian adalah sebesar 54,7 persen. Adapun sisanya yaitu 46,3 persen dijelaskan/ dipengaruhi oleh faktor-fakor lain diluar model. Aspek-aspek yang berpengaruh dan menunjukkan besarnya pengaruh langsung secara sendiri-sendiri (parsial) terhadap kinerja penyuluh pertanian, sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa,
tingkat kinerja penyuluh
pertanian di Kota Tidore Kepulauan dapat diperbaiki dengan meningkatkan kompetensi penyuluh khususnya pada aspek pelaksanaan program penyuluhan, meningkatkan intensitas penyuluh dalam memanfaatkan media-media penyuluhan yang tersedia, meningkatkan persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaannya, meningkatkan
intensitas
pelatihan
dengan
kurikulum
yang
sesuai
dengan
kebutuhansasaran, dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatankegiatan penyuluhan. Berdasarkan data penelitian dan hasil pengamatan di lapangan disimpulkan bahwa, kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan. Kondisi kinerja tersebut apabila diukur berdasarkan Standar Komptensi Kerja Nasional (SKKNI), maka penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan yang memenuhi SKKNI hanya berjumlah tiga orang, yakni satu orang penyuluh pada level supervisor dan dua orang penyuluh pada level advisor. Sesuai pengamatan di lapangan, ketiga orang penyuluh tersebut sudah dipanggil mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi untuk memperoleh sertifikasi profesi penyuluh pertanian. Penyuluh yang memperoleh sertifakat SKKNI tentunya berdampak pada peningkatan kesejahteraan penyuluh yang bersangkutan, harapan ke depannya adalah ketiga orang penyuluh tersebut diharapkan menjadi sumber motivasi bagi rekan-rekan penyuluh lainnya. Dengan meningkatnya kesejahteraan penyuluh, maka produktivitas dan hasil kerjanya pun meningkat.
80
Kompetensi pelaksanaan program penyuluhan (X3.2) 0,563 Pemanfaatan media (X1.7) 0.470 Persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan (X1.6)
R2 = 0,547
0,359 Tingkat kinerja penyuluh (Y) 0,328
Pelatihan (X1.4) 0,306 Tingkat partisipasi aktif masyarakat (X2.7)
Gambar 2 Koefisien regresi aspek-aspek yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kinerja penyuluh