ENACTED STIGMA IBU TERHADAP TUBERKULOSIS DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Feigan Yoshua Axello Simarmata dan Trevino Aristakus Pakasi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya 6, Jakarta, 10430, Indonesia
[email protected]
Abstrak Stigma sosial tentang penyakit merupakan sebuah faktor penting yang mempengaruhi sikap pasien. Tujuan penelitian ini ialah untuk menjelaskan hubungan antara stigma ibu terhadap TB dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Survey berbasis kuesioner pada 2415 ibu yang dipilih secara acak dari 11 kelurahan yang paling padat di Jakarta Timur. Status sosio-ekonomi yang diteliti ialah usia, tingkat pendidikan formal, status kerja dan tingkat pendapatan keluarga per bulan. Pengetahuan tentang TB yang diteliti ialah etiologi dan kurabilitas TB. Analisis univariate menunjukan bahwa 546 (23,5%) ibu akan menjauhi patien TB. Analisis multivariate menunjukkan bahwa ibu yang tidak bekerja (OR 1,464 (CI 1,165-1,773), p<0,05), mengetahui bahwa TB disebabkan oleh infeksi kuman (OR 1,451 (CI 1,110-1,895), p<0,05) dan tidak merasa malu terhadap TB lebih cenderung untuk tidak menjauhi pasien TB (OR 4,184 (CI 3,322-5,197), p<0,001). Hasil ini mengindikasikan bahwa stigma terhadap TB dipengaruhi oleh status sosio-ekonomi dan pengetahuan terhadap TB. Oleh karena itu, intervensi dalam menangani stigma TB sangat diperlukan di daerah-daerah dengan status sosio-ekonomi yang buruk dan tingkat pengetahuan TB yang rendah.
Kata Kunci: enacted stigma, faktor sosio-ekonomi, pengetahuan TB, tuberkulosis
Factors’ Affecting Mother’s Enacted Stigma towards Tuberculosis Abstract Disease-related social stigma is an important factor in altering patient attitude. The objective of this study is to describe the relation between mothers’ stigma on TB patient and factor associated with it. A questionnaire-based survey was carried out with 2415 housewives, selected randomly from 11 most populated districts in East Jakarta as research subject. Inquired socio-economic status were subjects’ age, level of formal education, employment status and level of monthly family income. Questions regarding knowledge on TB were etiology, transmission and curability of TB. Univarate analysis showed that 546 (23,5%) of mothers would avoid TB patient. Multivariate analysis showed that unemployment (OR 1,464 (CI 1,165-1,773), p<0,05), knowing that TB was caused by infection (OR 1,451 (CI 1,110-1,895), p<0,05), and not feeling shameful toward TB (OR 4,184 (CI 3,322-5,197), p<0,001) were significantly associated with not avoiding TB patient. These results suggest that various socio-economic status and knowledge on TB may affect the mother’s enacted stigma on TB. Therefore, intervention on tackling stigma on TB is urgently needed on community with poor socio-economic status and TB knowledge.
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
Keyword: enacted stigma, knowledge on TB, socio-economic factors, tuberculosis.
Pendahuluan Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah diketahui bahkan sejak zaman prasejarah dan dikenal amat mematikan. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan beberapa strain Mycobacteria lainnya ini dapat menginfeksi hampir seluruh bagian tubuh manusia. Medium penyebarannya berupa udara sehingga mempermudah infeksi.1 Tuberkulosis, bersama sebagian besar penyakit menular lainnya, dinilai telah berhasil ditangani sepenuhnya hingga akhir tahun 1992.2 Meskipun demikian, penyebaran dan kematian oleh tuberkulosis dan penyakit menular lainnya mengalami kenaikan signifikan terutama sejak kemunculan HIV.2,3 Pada tahun 2011, WHO mencatat bahwa prevalensi TB global mencapai 9 juta penderita dengan 25% angka kematian.4 Angka-angka ini diperparah dengan kenaikan jumlah kasus MDR-TB (Multidrug-Resistant TB) dan kemunculan XDR-TB (Extensively Drug-Resistant TB). MDR-TB merupakan kasus TB dimana bakteri tuberkulosis resisten terhadap isoniazid dan rifampicin. Kasus MDR-TB telah meningkat sebesar 56% dari tahun 2000 dan diperkirakan telah menginfeksi 1 hingga 2 juta orang per tahunnya.5 Pada tahun 2008 WHO mencatat bahwa terdapat 440.000 kasus MDR-TB di seluruh dunia.4 XDRTB merupakan kasus TB dimana bakteri tuberkulosis resisten terhada isoniazid, rifampicin, obat jenis fluoroquinolone dan obat anti-TB injeksi seperti amikacin, kanamycin atau capreomycin. XDR-TB mulai muncul terutama di daerah Afrika Selatan dengan 996 kasus pada tahun 2007.6 Indonesia menempati urutan kelima sebagai negara penyumbang jumlah penderita TB terbanyak.4 Riset Kesehatan Dasar yang diadakan pada tahun 2007 juga mencatat bahwa tuberkulosis merupakan penyebab utama kematian oleh penyakit menular di Indonesia.7 Pada tahun 2009, diperkirakan terdapat 660.000 penderita TB di Indonesia. Angka ini mengalami kenaikan dari 430.000 penderita pada tahun 2008. Dari 660.00 penderita tersebut, 62.000 meninggal akibat TB.4 Data dari USAID juga menunjukkan bahwa pada tahun 2007, terdapat sekitar 2% (6427) kasus TB baru yang merupakan MDR-TB.8 Dalam menanggulangi TB, Departemen Kesehatan Indonesia telah menerapkan strategi penanggulangan TB komprehensif berbasis DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy) yang diterapkan di seluruh Puskesmas sebagai bagian pelayanan.9
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
Metode DOTS telah terbukti menaikkan tingkat kesuksesan penyembuhan. Meskipun demikian, terdapat disparitas dalam CDR (Case Detection Rate) TB dimana hanya 5 provinsi yang memiliki CDR diatas 85% sedangkan sisanya memiliki CDR kurang dari 70%, kurang dari target CDR global minimal 70%.10 Fenomena ini disebabkan oleh deteksi kasus yang mengandalkan pelaporan dari masyarakat pada strategi DOTS.11 Sayangnya, pelaporan kasus dari masyarakat sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk stigma masyarakat terhadap TB. Sebagai contoh, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa stigma masyarakat terhadap TB dan suspeknya merupakan sebuah penghalang bagi deteksi kasus TB pada masyarakat. Penelitian yang dilakukan di daerah rural Etiopia bahkan menunjukkan hasil yang mengejutkan dimana 51,3% suspek TB merasa orang lain akan menganggap diri mereka rendah jika dinyatakan mengidap TB dan 15,1% meminta agar penyakitnya dirahasiakan bahkan dari keluarga karena takut dikucilkan atau dijauhi masyarakat disekitarnya
12
Studi
lainnya yang dilakukan di Vietnam menunjukkan bahwa stigma terhadap TB berhubungan positif dengan penundaan dalam pencarian tenaga kesehatan dan kepatuhan dalam pengobatan.13 Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui hubungan faktor-faktor sosioekonomi dengan stigma ibu terhadap TB. Stigma yang diteliti ialah enacted stigma, yakni stigma dalam rupa tindakan menjauhi subjek yang memiliki nilai tertentu, yang dalam penelitian ini berupa suspek TB. Peneliti memilih ibu sebagai subjek penelitian karena ibu memiliki peran sentral dalam kesehatan keluarga, yakni sebagai role model dan health provider keluarga.14 Status sosioekonomi merupakan faktor yang penting dalam stigmatisasi penyakit seperti yang telah ditunjukkan oleh berbagai studi sebelumnya.13 Meskipun demikian, studi mengenai stigma TB dengan subjek ibu, baik studi kualitatif maupun kuantitatif, belum pernah dilakukan di Indonesia. Jakarta Timur dipilih sebagai lokasi penelitian karena Jakarta Timur merupakan daerah administratif dengan jumlah penduduk terbanyak serta memiliki tingkat kesembuhan TB paling rendah di provinsi DKI Jakarta, yakni hanya 38,92%.15 Tinjauan Pustaka Tuberkulosis ialah penyakit yang disebabkan oleh bakteri jenis Mycobacteria, yakni spesies Mycobacterium tuberculosis atau spesies Mycobacterium bovis. M. tuberculosis disebarkan lewat udara sedangkan M. bovis disebarkan melalui susu sapi yang tidak diolah dengan higienis dan tidak menjalani proses pasteurisasi.16 Infeksi oleh spesies M. bovis biasa menyebabkan tuberkulosis gastrointestinal dan orofaringeal sedangkan infeksi oleh
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
M.tubercolosis biasa menyebabkan tuberkulosis di paru-paru.16,17 Bakteri jenis Mycobacteria ini memiliki susunan dinding sel yang terdiri dari lipid, peptidoglikan dan arabinomanan. Lapisan lipid pada dinding sel bakteri jenis ini membuat bakteri ini tahan terhadap asam (BTA/ Bakteri Tahan Asam).1 Sebagian besar kasus tuberculosis disebabkan oleh M. tuberculosis. Bakteri ini merupakan bakteri aerob dan obligat (tidak bisa berkembang biak di luar inang) yang berkembang biak di sitoplasma makrofag. Sifat aerobnya ini membuat bakteri ini lebih banyak menginfeksi bagian tubuh yang memiliki kadar oksigen tinggi (bagian apikal paru-paru).1 Bakteri ini mampu menginfeksi seluruh bagian tubuh meskipun sebagian besar kasus tuberkulosis terjadi di paruparu. Tuberkulosis yang terjadi di paru-paru disebut tuberkulosis pulmoner sedangkan tuberkulosis yang terjadi di tempat lain selain paru-paru disebut tuberkulosis ekstra pulmoner.18 Pada strategi DOTS, diagnosis TB pulmoner didasarkan pada hasil dari pemeriksaan sputum yang dilakukan pada sputum yang diambil secara SPS (sesaat-pagi-sesaat) guna mencarai keberadaan bakteri TB (BTA). Penemuan BTA positif pada tiga atau dua dari tiga sputum menandakan bahwa suspek terinfeksi oleh TB. Hasil pemeriksaan dengan satu atau tidak ada BTA positif akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan penunjang seperti foto toraks atau dengan pertimbangan dokter. Diagnosis TB dengan pemeriksaan penunjang saja tidak dibenarkan karena dapat menyebabkan overdiagnosis.9 Pada diagnosis TB ekstra pulmoner, diagnosis dilakukan dengan memperhatikan manifestasi klinis dari infeksi TB pada organ tubuh yang diserang dan dengan berbagai pemeriksaan laboratorium ataupun radiologis.18 Meskipun demikian, penerapan strategi DOTS sendiri tidak maksimal dilakukan di Indonesia. Beberapa studi menunjukkan bahwa pada praktik lapangan, tatalaksana pada suspek atau pasien TB tidak sesuai dengan guideline DOTS.19 Sesuai standar WHO, obat-obat yang digunakan dalam pengobatan TB dibagi kedalam lima kategori. Kategori pertama terdiri dari obat-obat oral first-line seperti isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, dan ethambutol. Kategori kedua terdiri dari obat jenis fluoroquinolone seperti levofloxacin, moxicoflavin atau ofloxacin. Kategori ketiga terdiri dari obat-obat yang diberikan lewat injeksi seperti amikacin, kanamycin, atau capreomycin. Kategori keempat terdiri dari obat-obat oral second-line seperti terizidone, ethionamideatau prothionamide. Kategori kelima terdiri dari obat-obat yang masih dalam tahap uji coba atau efikasinya belum diketahui secara pasti seperti clotazimine, linezolid, atau rifabutin.21 Saat ini, pengembangan obat-obatan baru maupun penelitian terhadap obat-obatan kategori II ke atas sedang dilakukan untuk menjawab ancaman MDR-TB dan XDR-TB.18,20
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
Dalam standar pengobatan pasien TB pada strategi DOTS di Indonesia, pengobatan TB dilakukan dengan kombinasi dari beberapa obat oral first-line. Hal ini dilakukan terutama untuk mencegah timbulnya resistensi bakteri TB. Pengobatan TB yang paling cepat dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan yang dibagi menjadi dua tahap, yakni tahap awal (intensif) dimana pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi oleh PMO (Pengawas Minum Obat), yang berlangsung selama 2 bulan dan tahap lanjutan, dimana pasien mendapat lebih sedikit obat namun tetap harus dikonsumsi secara teratur hingga kurun waktu pengobatan selesai. Terdapat berbagai kombinasi obat yang dipakai yang dapat dibagi menjadi dua kategori. Kategori I ditujukan kepada pasien baru TB pulmoner dengan BTA positif, pasien TB paru dengan BTA negatif namun foto toraks positif dan pasien TB ekstra pulmoner. Kategori II ditujukan kepada pasien relapse, pengobatan gagal dengan kategori I atau default.9 Pengetahuan adalah segenap hal yang seseorang ketahui tentang suatu objek. Pengetahuan dapat dikatakan sebagai alat manusia dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dimana pengetahuan tersebut akan menjadi dasar tindakan yang akan diambil manusia dalam menghadapi masalah. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa pengetahuan tentang TB memiliki pengaruh terhadap proses stigmatisasi TB. Studi yang dilakukan Rajeswari dan kawan-kawan (2005) menunjukkan bahwa pengetahuan akan kurabilitas TB berpengaruh terhadap stigma masyarakat terhadap penderita TB post-pengobatan. Hal ini timbul karena pengetahuan yang inadekuat tentang kurabilitas TB dapatmembuat banyak orang menganggap bahwa penderita TB tidak dapat kembali ke kondisi tubuh sebelum ia mengalami penyakitnya. Pengetahuan akan etiologi dan transmisi TB juga berperan penting dalam stigmatisasi TB karena studi telah menunjukkan bahwa alasan utama masyarakat menjauhi penderita TB ialah karena takut tertular.21 Sikap ialah kecenderungan untuk melihat dan mengajukan interpretasi terhadap suatu hal berdasarkan predisposisi tertentu. Mar’at (1984) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen sikap yang saling beinteraksi, yakni komponen kognitif yang berhubungan dengan belief (persepsi, stereotype, stigma), komponen afeksi yang berhubungan dengan emosi (perasaan) dan komponen kognitif (tendensi).22,23 Sikap masyarakat terhadap TB merupakan sebuah faktor penting dalam keberhasilan penanggulangan TB. Hal ini karena sebaik apapun program penanggulangan TB yang diadakan pemerintah atau instansi terkait, hasil yang didapatkan akan minimal jika masyarakat sendiri tidak merespons dengan baik, misalnya, tidak mencari pengobatan ke dokter sesegera mungkin setelah menderita gejala TB (batuk > 2 minggu). Salah satu sikap yang berpengaruh besar terhadap keberhasilan deteksi dan pengobatan TB ialah stigma terhadap TB.24,25
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
Stigma merupakan sebuah pandangan yang menganggap karakteristik atau sifat tertentu dari suatu kelompok atau individu tidak berharga atau tidak diinginkan. Link dan Phelan menetapkan sebuah konsep yang menyatakan bahwa stigma muncul saat seseorang dicap dengan label yang membedakan orang tersebut dan menghubungkannya dengan stereotipe yang tidak diinginkan.26 Berdasarkan jenisnya, stigma dapat dibedakan menjadi dua, yakni perceived stigma dan enacted stigma. Perceived stigma atau internalized stigma ialah rasa malu atau lebih rendah yang dirasakan penderita TB dibanding dengan orang lain. Enacted stigma ialah sikap atau aksi yang dilakukan orang lain terhadap penderita TB. Enacted stigma biasa diwujudkan dalam bentuk menjauhi diri dari penderita TB.27 Stigma terhadap suatu penyakit biasa timbul akibat prejudice terhadap penyakit tersebut dan penderitanya. Jika ditelaah lebih jauh, prejudice ini dapat dibedakan menjadi instrumental attitude dan symbolic attitude. Instrumental attitude merujuk pada sikap yang didasarkan pada keuntungan atau kerugian material jika orang tersebut berasosiasi dengan objek yang terstigma. Contoh dari instrumental attitude ialah sikap menjauhi penderita TB karena takut tertular. Symbolic attitude merujuk pada sikap yang didasarkan pada nilai-nilai yang akan diterima orang tersebut jika berasosiasi dengan objek yang terstigma. Contoh dari symbolic attitude ialah sikap malu jika menderita TB karena TB diasosiasikan sebagai ‘penyakit orang miskin’.21,24 Hasil dari proses stigmatisasi ini meliputi diskriminasi terhadap individu atau kelompok dengan karakteristik tersebut. Diskriminasi yang timbul bisa berupa self-discrimination, dimana penderita TB, karena merasa malu, bersalah dan kurang percaya diri, mengisolasi dirinya sendiri dari orang lain, atau diskriminasi yang nyata dilakukan oleh masyarakat di sekitar penderita TB.21,24 Seringkali, diskriminasi yang timbul merupakan self-discrimination sebagai akibat rasa bersalah dan rasa malu dari penderita TB setelah mengetahui pandangan masyarakat yang ‘terstigmatisasi’ terhadap penyakit TB. Rasa bersalah dan malu tersebut kemudian dapat mendorong individu bersangkutan untuk menyembunyikan penyakitnya yang dimilikinya dan menarik diri dari interaksi sosial karena takut orang lain tahu bahwa ia menderita TB.28 Stigma masyarakat terhadap individu yang mengidap penyakit TB dapat mempengaruhi deteksi maupun pengobatan kasus karena ketidakinginan individu bersangkutan penyakitnya diketahui orang-orang disekitarnya.28 Meta analisis yang dilakukan oleh Munro SA et al (2007) menunjukkan bahwa stigma masyarakat terhadap TB mempengaruhi tingkat kelanjutan minum obat penderita.25 Studi lain yang dilakukan oleh Johansson E dan kawan-
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
kwan (1998) juga menunjukkan bahwa stigma terhadap TB mempengaruhi lama waktu suspek sebelum mencari bantuan tenaga kesehatan.29 Usia dikaitkan dengan pola pikir, gaya hidup, dan prioritas pencarian layanan kesehatan pada komunitas tertentu.30 Orang dengan kelompok usia tertentu biasanya memiliki sikap yang berbeda terhadap TB. Hal ini dikarenakan setiap kelompok usia memiliki kekhawatiran tersendiri bila mana orang dalam kelompok usia tersebut terkena TB. Penelitian yang dilakukan oleh Abioye et al (2011) di Nigeria juga menunjukkan bahwa stigma TB dipengaruhi kelompok usia responden dimana terdapat asosiasi signifikan antara kelompok usia produktif dengan stigma terhadap TB.31 Tingkat pendidikan telah dianggap secara luas sebagai salah satu faktor sosio-ekonomi yang penting yang mempengaruhi kesehatan dan sikap seseorang terhadap suatu penyakit. Pengaruh ini terjadi lewat gaya hidup, relasi sosial, manajemen psikologis, akses terhadap informasi dan juga lewat jenis pekerjaan maupun penghasilan yang diterima.30 Hubungan antara tingkat pendidikan formal dengan disease-related stigma sendiri berpusat pada pengetahuan seseorang terhadap penyakit tersebut. Orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung akan lebih tanggap terhadap informasi kesehatan yang disebarkan lewat berbagai media. Selain itu, tingkat pendidikan yang tinggi akan mempermudah seseorang untuk mengerti, memahami dan mengaplikasikan pengetahuan yang didapat dari edukasi kesehatan.32 Status kerja mempegaruhi kondisi kesehatan dan sikap seseorang terhadap penyakit lewat prospek kondisi ekonomi seseorang. Seseorang yang sakit, tentunya perlu untuk mengeluarkan biaya ekstra untuk biaya pengobatannya. Status kerja juga dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang, terutama pada orang yang bekerja dengan penghasilan yang ekuivalen dengan lama waktu mereka bekerja (contoh: supir angkutan umum, kuli bangunan) dimana kehilangan waktu karena sakit dapat mempengaruhi sikap mencari pengobatannya. Selain itu, stigma sosial terhadap penyakit-penyakit tertentu dapat memiliki efek tersendiri terhadap status kerja seseorang. Sebagai contoh, stigma masyarakat yang buruk mengenai TB sering membuat seseorang takut akan TB karena pekerjaannya ikut terancam kalau sampai ia mengidap TB.27 Riset yang dilakukan oleh Nair et al (1997) menunjukkan bahwa penurunan kapasitas atau kehilangan pekerjaan merupakan alasan stigma utama TB pada laki-laki sedangkan penolakan oleh suami dan keluarga serta kehilangan pekerjaan merupakan alasan stigma TB pada perempuan.33 Penghasilan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap suatu penyakit. Hal ini karena, dengan penghasilan yang memadai, seseorang akan bisa mencari
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
pengobatan tanpa harus mengorbankan pemenuhan kebutuhan pokoknya yang lain. Riset yang dilakukan oleh Portero dan kawan-kawan (2002) menunjukkan bahwa orang dengan tingkat ekonomi lemah (penghasilan rendah) cenderung tidak memiliki niat untuk mencari pengobatan ke tenaga medis dan berusaha mengobati penyakitnya sendiri.34 Studi yang dilakukan oleh Long et al (2008) menunjukkan bahwa penghasilan yang rendah menjadi barrier tersendiri bagi deteksi kasus TB. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan desain cross-sectional. Lokasi pelaksanaan penelitian ialah Jakarta Timur dari tanggal 1 Maret 2011 hingga 1 April 2012. Data yang diambil ialah data primer berupa kuesioner. Pemilihan responden dilakukan dengan metode polygonal random sampling, yakni pengacakkan rumah penduduk sebagai titik-titik sampel dengan menggunakan aplikasi Google Map beserta Arc View. Pengacakan titik-titik sampel dilakukan dengan pertimbangan luas daerah berbanding dengan jumlah rumah yang terlihat di GPS dan mengeksklusi bangunan yang bukan merupakan tempat domisili seperti perkantoran. Setelah pengacakan, data dikumpulkan dengan metode door to door. Kriteria inklusi antara lain ibu yang tinggal menetap di Jakarta Timur serta bersedia menjadi subjek penelitian dan menandatangani informed consent. Kriteria eksklusi ialah jika di rumah yang didatangi tidak terdapat ibu atau ibu tersebut mengalami kesulitan dalam berkomunikasi seperti kecacatan. Variabel dependen yang dinilai ialah sikap ibu apakah akan menjauhi penderita TB atau tidak dengan variabel independen berupa faktor sosioekonomi ibu antara lain usia, tingkat pendidikan, status kerja, tingkat penghasilan keluarga, pengetahuan ibu tentang etiologi TB, pengetahuan ibu tentang kurabilitas TB dan persepsi ibu apakah TB memalukan atau tidak. Definisi operasional yang digunakan antara lain: (1) Enacted stigma TB: sikap menjauhi penderita TB. (2) Usia: umur responden saat pengambilan data dilaksanakan. (3) Tingkat pendidikan: tinggi (perguruan tinggi), menengah (tamat SMP hingga SMA), rendah (tidak bersekolah hingga tamat SD). (4) Status kerja: bekerja atau tidak. (5) Tingkat pendapatan keluarga: diatas UMR (Rp. 1.290.000) atau dibawah UMR. (6) Pengetahuan tentang etiologi TB: TB disebabkan oleh kuman atau faktor penyebab lainnya. (7) Pengetahuan tentang kurabilitas TB: TB dapat disembuhkan atau tidak. (8) Persepsi ibu terhadap TB: mengidap TB itu memalukan atau tidak.Interpretasi data dilakukan dengan uji hipotesis chi square dan independent T-test untuk analisa bivariate. Jika nilai p < 0.05, hubungan antara variable independen dan dependen dianggap bermakna. Prediktor yang bermakna akan dimasukkan ke
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
model regresi untuk analisis multivariate. Analisis multivariate dilakukan dengan uji hipotesis binary logistic regression.
Hasil Penelitian Sebagian besar ibu (44,2%) berpendidikan SMA. Sebagian besar ibu yang menjadi responde tidak bekerja (70,5%).Dari keseluruhan responden, hanya 525 (24%) responden yang menjawab benar bahwa TB disebabkan oleh infeksi kuman. Sisa responden menjawab bahwa TB disebabkan oleh berbagai sebab yang tidak ditampilkan dalam hasil. Mengenai pengetahuan akan kurabilitas TB, 2067 responden (96,2%) mengetahui bahwa TB dapat disembuhkan. Hanya 1045 (46,9%) ibu yang tidak menganggap TB sebagai suatu hal yang memalukan. Selain itu, jumlah responden yang tidak akan menjauhi penderita TB hanya 546 (23,5%) ibu yang tidak akan menjauhi penderita TB. Kedua angka ini tergolong rendah dan mengindikasikan dibutuhkannya tindakan intervensi untuk menangani stigma ibu terhadap TB. Data-data tersebut dapat dilihat di Tabel 1 berikut. Tabel 1. Gambaran Status Sosio-ekonomi Ibu, Pengetahuan Ibu tentang TB, Persepsi Ibu (Perceived Stigma) terhadap TB dan Sikap Ibu (Enacted Stigma) terhadap TB
Variabel Tingkat Pendidikan
Kategori
Frekuensi
Tidak pernah sekolah (%) Pernah SD tetapi tidak tamat (%) Tamat SD (%) Tamat SMP (setingkat) (%) Tamat SMA (setingkat) (%) Perguruan Tinggi (setingkat) (%)
43 (1,9) 121 (5,2) 412 (17,7) 498 (21,4) 1027 (44,2) 223 (9,6)
Bekerja (%) Tidak Bekerja (%)
685 (29,5) 1639 (70,5)
Di atas UMR (%) Di bawah UMR (%)
1702 (73,2) 622 (26,8)
Infeksi Kuman (%) Lainnya (%)
525 (24) 1657 (76)
Ya (%) Tidak (%)
2067 (96,2) 81 (3,8)
Tidak Memalukan (%) Memalukan (%)
1045 (46,9) 1184 (53,1)
Status Kerja Tingkat Penghasilan Keluarga Pengetahuan Etiologi TB
tentang
Pengetahuan tentang Kurabilitas TB Persepsi Ibu terhadap TB Sikap
Ibu
terhadap
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
Penderita TB Tidak Menjauhi (%) Menjauhi (%)
546 (23,5) 1731 (74,5)
Pada uji Independet T-Test terdapat beda rerata usia signifikan antara ibu yang menjauhi penderita TB dengan yang tidak. Meskipun demikian, beda rerata usia antara kelompok ibu yang akan menjauhi penderita TB dengan kelompok ibu yang tidak hanyalah 1,294 tahun. Dengan beda usia sangat pendek tersebut, kemungkinan terdapatnya perbedaan signifikan antara faktor-faktor yang mempengaruhi stigmatisasi TB sangatlah kecil. Hal ini mengindikasikan signifikansi hubungan ini kemungkinan besar lebih dipengaruhi oleh faktor non-kausa. Hasil ini terangkum dalam tabel 2. Tabel 2 Usia Terhadap Sikap Menjauhi Penderita TB
Sikap Menjauhi Penderita TB
Usia
Menjauhi Tidak Menjauhi
N
Rata-rata
Standar Deviasi
546
46,20
11,971
1731
44,91
11,450
Uji Kemaknaan Independent T-test CI 95%, tahun Beda Batas Batas Rata-rata Bawah Atas
P 0,026
1,294
0,153
2.435
Pada analisis bivariate variabel tingkat pendidikan, status kerja, tingkat penghasilan keluarga, pengetahuan ibu tentang etiologi TB, pengetahuan ibu tentang kurabilitas TB dan persepsi ibu tentang TB dengan uji Chi-Square, didapatkan bahwa semuavariabel memiliki hubungan signifikan dengan sikap ibu terhadap TB. Hasil ini dapat diamati pada tabel 3. Tabel 3. Hubungan antara Status Sosio-ekonomi Ibu, Pengetahuan Ibu tentang TB, Persepsi Ibu (Perceived Stigma) terhadap TB dengan Sikap Ibu (Enacted Stigma) terhadap TB
Variabel
Kategori
Sikap Ibu Menjauhi
Uji Kemaknaan
Tidak Menjauhi
Tingkat Pendidikan
p = 0,004* Rendah (%) Tinggi (%)
771 (73,2) 264 (78,4)
282 (26,8) 960 (21,6)
Bekerja (%) Tidak Bekerja (%)
192 (28,6) 354 (22,0)
479 (71,4) 1252 (78,0)
Status Kerja
p = 0,001*
Tingkat Penghasilan
p = 0,010*
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
Keluarga Di bawah UMR (%) Di atas UMR (%)
168 (27,8) 378 (22,6)
436 (72,2) 1295 (77,4)
Pengetahuan tentang Etiologi TB
p = 0,001* Lainnya (%) Infeksi Kuman (%)
416 (25,1) 96 (18,3)
Tidak (%) Ya (%)
31 (37,8) 476 (21,0)
1241 (74,9) 429 (81,7)
Pengetahuan tentang Kurabilitas TB
p = 0,003* 51 (62,2) 1592 (79,0)
Persepsi Ibu terhadap TB Memalukan (%) Tidak Memalukan (%) *Uji kemaknaan dengan uji chi-square
398 (38,1) 142 (12,0)
647 (61,9) 1042 (88,0)
p = 0,000*
Pada uji multivariate dengan uji binary logistic regression, hanya variabel status kerja, pengetahuan tentang etiologi TB dan persepsi TB saja yang memiliki hubungan signifikan dengan sikap ibu menjauhi penderita TB. Variabel tingkat pendidikan kehilangan signifikansinya setelah variabel pengetahuan tentang etiologi TB dimasukkan kedalam model regresi. Tabel 4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Menjauhi Penderita TB Dengan Analisis Regresi Logistik Biner Prediktor
p
Usia Tingkat Pendidikan Tinggi Rendah Status Kerja Bekerja Tidak Bekerja Tingkat Penghasilan Keluarga Diatas UMR Dibawah UMR Pengetahuan Tentang Etiologi Infeksi Kuman Lainnya Pengetahuan Tentang Kurabilitas Dapat Disembuhkan Tidak Dapat Disembuhkan Persepsi Mengenai TB TB Memalukan TB Tidak Memalukan
0,102 0,835
Adjusted (eβ) 0,992
OR
95% CI 0,982-1,002
1,025 1,000
0,813-1,291
0,683 1,000
0,546-0,858
1,242 1,000
0,974-1,585
1,451 1,000
1,100-1,895
1,552
0,950-2,535
0,001 0,081 0,008 0,079 1,000 0,000 0,239 1,000
0,191-0,298
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
Catatan:
Menjauhi
penderita
TB
=
0;
Tidak
menjauhi
penderita
TB
=
1
Semua prediktor mengalami adjustment dengan semua prediktor lain dalam model regresi
Pembahasan Usia ibu dan dan sikap ibu menjauhi penderita TB. usia ibu tidak berhubungan bermakna dengan sikap ibu terhadap penderita tuberkulosis. Hasil temuan ini berlawanan dengan studi yang dilakukan oleh Abioye et al (2011) pada penderita TB di Nigeria dan studi yang dilakukan oleh Kipp et al (2011) pada penderita TB dan komunitas sehat di Ethiopia. Pada kedua studi tersebut, didapatkan hubungan signifikan antara usia dengan stigma TB.13,31 Perbedaan hasil ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan metode analisis yang dilakukan peneliti dengan kedua studi tersebut. Pada kedua studi tersebut, variabel usia dikelompokkan menjadi beberapa kelompok sedangkan pada penelitian ini, variabel usia dianalisis secara keseluruhan. Pengelompokkan variabel usia tersebut berpotensi untuk menghasilkan kelompok-kelompok usia yang rentan dipengaruhi oleh variabel lain, misalnya kelompok usia produktif. Tingkat pendidikan ibu dan dan sikap ibu menjauhi penderita TB. Variabel tingkat pendidikan ibu berhubungan signifikan pada uji bivariate namun kehilangan signifikansinya setelah variabel pengetahun ibu tentang etiologi TB dimasukkan pada model regresi. Dari sini dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan ibu tidak memberikan pengaruhnya terhadap sikap ibu terhadap penderita TB secara langsung, tetapi melalui variabel pengetahuan ibu tentang etiologi TB. Tidak terdapat studi yang menunjukkan hasil bahwa pengaruh tingkat pendidikan dimediasi oleh pengetahuan TB. Meskipun demikian, studi oleh Mohamed AI et al menyatakan bahwa dengan semakin tingginya tingkat pendidikan subjek, maka akan lebih tinggi kemungkinan bagi subjek untuk menangkap pesan yang disampaikan dari edukasi kesehatan yang dilakukan dari berbagai media. Selain itu, subjek dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah untuk memahami serta mengaplikasikan pengetahuan yang didapatkannya dari edukasi kesehatan tersebut sehingga baik pengetahuan maupun sikap subjek terhadap penyakit tersebut tepat.35
Status kerja ibu dan dan sikap ibu menjauhi penderita TB. Hasil analisis multivariate menghasilkan nilai adjusted OR senilai 0,683 (CI 0,546-0,858) untuk ibu yang bekerja. Hal ini dapat diartikan bahwa ibu yang bekerja lebih cenderung 0,683 kali untuk tidak menjauhi
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
penderita TB dibanding ibu yang tidak bekerja. Hal ini dapat dipahami mengingat seorang pasien TB dewasa diperkirakan rata-rata akan kehilangan 3-4 bulan waktu kerjanya beserta 20-30% pendapatannya.36 Tentu ibu yang memiliki pekerjaan akan cenderung lebih bersikap hati-hati terhadap penderita TB mengingat status sosial mereka dalam keluarga maupun masyarakat serta pekerjaan dan penghasilan mereka akan terancam jika saja mereka tertular TB.35,41 Hasil ini tidak sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Amebe G et al (2010) dimana tidak didapatkan hubungan antara status kerja dengan stigma TB.12 Meskipun demikian, status sosio-ekonomi yang sangat kontras antara subjek pada studi ini dengan subjek pada penelitian tersebut kemungkinan besar mempengaruhi hasil analisis data. Selain itu, metode penilaian stigma TB pada studi tersebut menggunakan sistem poin atas beberapa pertanyaan sedangkan pada studi ini, stigma TB hanya dinilai dengan satu pertanyaan. Tingkat pendapatan keluarga dan sikap ibu menjauhi penderita TB. Variabel tingkat pendapatan keluarga kehilangan signifikansinya setelah variabel tingkat pendidikan ibu dimasukkan ke dalam model regresi. Hal ini mungkin saja terjadi karena tingkat penghasilan keluarga menjadi faktor yang menghalangi akses suspek TB ke pelayanan kesehatan karena masalah biaya.33Akan tetapi, mengingat biaya TB sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah, biaya seharusnya tidak menjadi masalah lagi jika ibu mengetahui fakta bahwa pengobatan TB bebas biaya. Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan ibu serta pengetahuan ibu akan TB, kemungkinan ibu untuk mengetahui bahwa pengobatan TB bebas biaya semakin tinggi pula. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Abioye et al dimana orang dengan penghasilan rendah lebih cenderung untuk memiliki stigma terhadap TB.31
Pengetahuan tentang etiologi TB ibu dan dan sikap ibu menjauhi penderita TB. Analisis multivariate menunjukkan nilai adjusted OR yang dihasilkan bernilai 1,451 (CI 1,100-1,895) untuk ibu yang tahu bahwa TB disebabkan oleh infeksi kuman. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ibu yang mengetahui bahwa TB disebabkan oleh infeksi kuman lebih cenderung 1,441 kali untuk tidak menjauhi penderita TB. Hasil ini kemungkinan besar terjadi karena dengan mengetahui bahwa TB disebabkan oleh kuman, pandangan-pandangan salah tentang etiologi TB (seperti TB disebabkan oleh kutukan atau penyebab lain yang tidak saintifik) akan hilang. Dengan mengetahui secara tepat penyebab dan cara penularan TB, subjek akan dapat mengambil langkah-langkah prevensi agar tidak tertular, namun tidak sampai harus menjauhi penderita TB atau bahkan mengucilkannya.35 Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
oleh Jaramillo (2009) dimana kepercayaan yang tidak saintifik tentang etiologi TB merupakan prediktor dari stigma TB.37 Pengetahuan tentang kurabilitas TB ibu dan dan sikap ibu menjauhi penderita TB. Variabel pengetahuan ibu tentang kurabilitas TB tidak mempengaruhi sikap ibu terhadap penderita TB setelah dilakukan adjustment pada variabel-variabel lainnya dalam model regresi. Menurut teori, pengetahuan akan kurabilitas suatu penyakit dapat mempengaruhi stigma seseorang terhadap penyakit tersebut.27,28 Hal ini dikarenakan, jika suatu penyakit tidak dapat disembuhkan, maka dampak dari tertular penyakit tersebut akan semakin besar sehingga orang akan cenderung lebih berhati-hati dan menjaga diri agar tidak tertular. Kecenderungan ini nantinya akan menyebabkan sikap protektif yang berlebihan seperti menjauhi atau bahkan mengucilkan penderita penyakit tersebut, dalam hal ini TB, agar tidak tertular. Peneliti belum menemukan penelitian sejenis yang menilai poin dari pengetahuan TB secara spesifik sebagai pembanding. Persepsi ibu terhadap TBdan dan sikap ibu menjauhi penderita TB. Hasil analisis multivariate menghasilkan nilai adjusted OR senilai 0,239 (CI 0,191-0,298) untuk ibu yang bekerja. Hal ini dapat diartikan bahwa ibu yang menganggap TB memalukan lebih cenderung 0,239 kali untuk tidak menjauhi penderita TB dibanding ibu yang menganggap TB memalukan. Hal ini dapat dipahami mengingat perceived stigma dan enacted stigma berhubungan erat. Enacted stigma timbul sebagai tindak lanjut dan realisasi dari perceived stigma yang buruk terhadap TB. Karena menganggap TB sebagai suatu hal yang memalukan, maka subjek akan cenderung berusaha agar tidak sampai mengidap TB. Kecenderungan ini dapat menjurus pada perilaku preventif berlebihan seperti berusaha menjauhi atau mengucilkan pasien TB.27,28 Peneliti belum menemukan penelitian sejenis yang dapat dijadikan pembanding studi ini.
Kekurangan Penelitian. Peneliti mengakui bahwa penelitian yang dilakukan memiliki beberapa kekurangan. Pertama, mengingat desain studi yang dilakukan ialah cross-sectional, interpretasi daripada hasil yang didapatkan menjadi lebih terbatas dibandingkan dengan studi dengan pendekatan longitudinal. Kedua, penilaian akan stigma terhadap penderita TB dilakukan dengan penilaian kualitatif saja sehingga hasil yang didapat rawan terhadap bias. Ketiga, subjek penderita TB dalam pertanyaan yang diajukan ialah keluarga atau teman
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
dimana sikap responden terhadap penderita TB mungkin saja berbeda jika penderita TB tersebut adalah orang yang tidak berhubungan dekat dengan responden Kesimpulan Dari 2401 responden yang disurvey, 546 (23,5%) ibu akan menjauhi penderita TB. Dari antara faktor-faktor sosioekonomi yang diteliti, status kerja ibu, pengetahuan ibu tentang etiologi TB dan persepsi ibu terhadap TB mempengaruhi secara bermakna sikap ibu untuk menjauhi penderita TB. Ibu yang tidak bekerja, lebih cenderung 1,464 kali untuk tidak menjauhi penderita TB dibanding ibu yang bekerja. Ibu yang mengetahui bahwa TB disebabkan oleh kuman akan cenderung 1,451 kali untuk tidak menjauhi penderita TB dibanding ibu yang tidak tahu bahwa TB disebabkan oleh kuman. Ibu yang menganggap TB tidak memalukan akan lebih cenderung 4,184 kali untuk tidak menjauhi penderita TB dibanding ibu yang menganggap TB memalukan.
Saran
Intervensi terhadap faktor-faktor sosioekonomi yang dapat mempengaruhi stigma TB perlu dilakukan karena stigma TB dapat mempengaruhi usaha eradikasi TB. Dari studi ini, faktor sosioekonomi yang dapat segera diintervensi dan membawa dampak besar terhadap stigma TB ialah pengetahuan masyarakat akan TB, mulai dari etiologi, dampak pada tubuh, diagnosis, tatalaksana hingga prognosis. Lewat intervensi tersebut, diharapkan perceived stigma masyarakat bahwa TB memalukan dapat ditekan sehingga enacted stigma masyarakat untuk menjauhi penderita TB secara berlebihan dapat dikurangi. Hal ini diharapkan berdampak positif pada deteksi, diagnosis, dan tatalaksana penderita TB yang merasa mendapat dukungan untuk sembuh dari lingkungan.Studi lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi stigma TB juga perlu untuk dilakukan dan diperluas ke kalangan masyarakat lain selain ibu.
Daftar Pustaka 1. Bahar A. Tuberkulosis paru. In: Suyono S, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I,Setiati S, Sundaru H, et al. Buku ajar penyakit dalam jilid 2. Edisi ketiga. Jakarta: Balai FKUI; 2001.
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
2. Snowden FM. Emerging and re) emerging diseases: a historical perspective. Immunol; 2008: 225:9-26. 3. Barrett R, Kuzawa CW, McDade T, Armelagos GJ. Emerging and Re-Emerging Infectious Diseases: The Third Epidemiologic Transition. Annual Review of Anthropology; 1998; 27:247-271. 4. WHO. Global tuberculosis control 2010 (Diunduh 12 Juni 2011). Tersedia di http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241564069_eng.pdf 5. Mitnick CD, Appleton SC, Shin SS. Epidemiology and Treatment of Multi-drug Resistant Tuberculosis. Semir Respir Crit Care Med. 2008; 29(5): 499-504. 6. Shenoi S, Friedland G. Extensively Drug-Resistant Tuberculosis: A New Face to an Old Pathogen. Annu Rev Med. 2009; 60-307-320. 7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007.
2007
(Diunduh
12
Juni
2011).
Tersedia
di
http://kesehatan.kebumenkab.go.id/data/lapriskesdas.pdf 8. USAID. Tuberculosis Country Profile for Indonesia. 2009 (Diunduh 12 Juni 2011). Tersedia
di:
http://www.usaid.gov/our_work/global_health/id/tuberculosis/
countries/asia/indonesia.pdf 9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi Ke 2. Jakarta; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. 10. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Republik Indonesia. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. 11. Obermeyer Z, Klafter JA, Murray CJL. Has the DOTS Strategy Improved Case Finding or Treatment Success? An Empirical Assesment. PLoS ONE. 2008. 3(3): e1721. 12. Abebe G et al. Knowledge, Health Seeking Behaviour and Perceived Stigma towards 47 in A Rural Community in Southwest Ethiopia. Tuberculosis among Tuberculosis Suspects PLoS ONE. 2010; 5(10): e13339. doi:10.1371/journal.pone. 0013339. 13. Kipp AM, et al. Socio-demographic and AIDS-related factors associated with tuberculosis stigma in southern Thailand: a quantitative, cross-sectional study of stigma among patients with TB and healthy community members. BMC Public Health. 2011; 11: 675.
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
14. Sutrisno, Latifa A. Peranan Perempuan Sebagai Health Provider dalam Rumah Tangga. Jakarta: Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2000. 15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2007
[internet].
2007
Dec
31;
[diakses
1
juli
2011];
diunduh
dari:
http://www.depkes.go.id/downloads/profil/prov%20dki%202007.pdf 16. McAdam AJ, Sharpe AH. Infectious Diseases. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran pathologic basis of disease. 8th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. P. 331-398. 17. Levinson W. Review of medical microbiology and immunology. 10th ed. San Francisco, California: McGraw-Hill; 2008. 18. Ahmad S. Pathogenesis, Immunology, and Diagnosis of Latent Mycobacterium tuberculosis Infection. Clin Dev Immunol. 2011; 2011: 814943. 19. Probandari A, Lindholm L, Stendlund H, Utarini A, Hurtig AK. Missed opportunity for standardized diagnosis and treatment among adult Tuberculosis patients in hospitals involved in Public-Private Mix for Directly Observed Treatment Short-Course strategy in Indonesia: a cross-sectional study. BMC Health Serv Res. 2010; 10: 113. 20. Ahmad S. New approaches in the diagnosis and treatment of latent tuberculosis infection. Respir Res. 2010 Dec 03; Vol. 11, pp. 169. 21. Rajeswari R, Muniyandi M, Balasubramanian R, Narayanan PR. Perceptions of tuberculosis patients about their physical, mental and social well-being: a field report from south India. Soc Sci Med. 2005; 60(8): 1845-53. 22. Badran IG. Knowledge, attitude and practice the three pillars of excellence and wisdom: a place
in
medical
profession.
1995
(Diunduh
25
Juni
2011).
Tersedia
di:
http://www.emro.who.int/publications/emhj/0101/01.htm 23. Rahayuningsih, SU. Psikologi Umum. 2008 (Diunduh 30 Juni 2011). Tersedia di: http://nurul_q.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/9095/bab1-sikap-1.pdf 24. Baral SC, Karki DK, Newell JN. Causes of stigma and discrimination associated with tuberculosis in Nepal: a qualitative study. BMC Public Health. 2007; 7:211. 25. Munro SA, Lewin SA, Smith HJ, Engel ME, Fretheim A, Vlomink J. Patient Adherance to Tuberculosis Treatment: A Systematic Review of Qualitative Research. PLoS Med. 2007 July; 4(7): e238.
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014
26. Link B, Phelan J. Conceptualizing Stigma. Annual Review of Sociology. 1001;27:363–85. 27. Macq J, Solis A, Martinez G, Martiny P. Tackling tuberculosis patients' internalized social stigma through patient centred care: An intervention study in rural Nicaragua. BMC Public Health. 2008; 8:154. 28. Courtwright A, Turner AN. Tuberculosis and Stigmatization: Pathways and Interventions. Public Health Rep. 2010 ul-Aug; 125 Suppl 4. P. 34-42. 29. Johansson E, Diwan VK, Huong ND, Ahlberg BM. Staff and patient attitude to tuberculosis and compliance with treatment: an exploratory study in district in Vietnam. Tuber Lung Dis. 1996; 77(2): 178-83. 30. Gjonca E, Calderwood L. Socio-demographic characteristics. 2004 (Diunduh 1 Agustus 2011). Tersedia di: www.ifs.org.uk/elsa/report03/ch2.pdf 31. Abioye IA, Omotayo MO, Alakija W. Socio-demographic determinants of stigma among patients with pulmonary tuberculosis in Lagos, Nigeria. Afr Health Sci. 2011; 11(1): 100-4. 32. Berisha M, Zheki V, Zadzhmi D, Gashi S, Hokha R, Begoli I. Level of knowledge regarding tuberculosis and stigma among patients suffering from tuberculosis. Georgian Med News. 2009 Jan; 166: 89-93. 33. Nair DM, George A, Chacko KT. Tuberculosis in Bombay: new insights from poor urban patients. Health Policy Plan. 1997; 12: 77-85. 34. Portero NJ, Rubio YM, Pasicatan MA. Socio-economic determinants of knowledge and attitudes about tuberculosis among the general population of Metro Manila, Philippines. Int J Tuberc Lung Dis. 2002; 6(4): 301-6. 35. Mohamed AI, Yousif MA, Ottoa P, Bayoumi A. Knowledge of Tuberculosis: A Survey among Tuberculosis Patients in Omdurman, Sudan. (Diunduh 1 Agustus 2011). Tersedia di: http://www.sjph.net.sd/files/vol2i1p21-28.pdf 36. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penanggulangan TB tahun 2009. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. 37. Jaramillo E. Tuberculosis and Stigma: Predictors of Prejudice Against People with Tuberculosis. J Health Psych. 2009; 4(1):71–79.
Enacted stigma…, Feigan Yoshua Axello, FK UI, 2014