VII. LOBI DAN TEKANAN POLITIK DI INDUSTRI GULA Aktivitas lobi yang dilakukan produsen pada dasarnya merupakan transmisi informasi satu arah dari kelompok produsen (terutama petani tebu, buruh, karyawan dan manajemen PG) kepada pembuat kebijakan pergulaan nasional (eksekutif dan legislatif). Sementara itu, dari perspektif ekonomi politik program swasembada gula merupakan kebijakan yang berorientasi jangka pendek. Sebagai produsen kebijakan, politisi dan birokrat terpilih memiliki kepentingan jangka pendek untuk tetap bertahan diposisinya selama mungkin. Jika politisi berusaha memaksimumkan dukungan suara agar tetap terpilih sebagai anggota legislatif pusat atau pun daerah, para birokrat berusaha meningkatkan anggaran dan jaminan pendapatan (job security) agar memiliki kesempatan yang lebih besar meningkatkan karir karena promosi di birokrasi pemerintah Indonesia umumnya masih berdasarkan kemampuan menciptakan peluang memberikan penghasilan tambahan (ADB, 2004). Oleh karena itu analisis swasembada gula dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat hubungan antar variabel dengan menggunakan parameter ekonomi politik jangka pendek.
7.1. Aktivitas Lobi Produsen Penjelasan terhadap kebijakan pergulaan yang protektif mencerminkan tingginya potensi dan kemampuan lobi sekelompok kecil individu produsen gula dalam memperjuangkan kepentingan ekonominya dibandingkan dengan potensi dan kemampuan lobi yang rendah dari masyarakat konsumen yang besar namun bersifat heterogen serta menghadapi persoalan free riding dalam melakukan aksi kolektif. Aktivitas lobi dan tekanan politik produsen gula paling tidak memiliki tiga tujuan yaitu meningkatkan Harga Patokan Petani (HPP), mempertahankan
tarif dan kuota impor yang menyebabkan harga gula paritas impor tetap tinggi, dan menjaga segmentasi pasar GKP dengan GKR. Aktivitas lobi dan tekanan politik tersebut tercermin dari meningkatnya bobot politik produsen relatif terhadap konsumen seperti terlihat pada gambar berikut.
Gambar 31. Perkembangan Bobot Politik Produsen dan Konsumen Gula Asumsi: α = 20 %, β= 10 %, η= -0.33, ε= 1.35.
Penentuan
bobot
politik
kelompok
kepentingan
dilakukan
dengan
menggunakan persamaan (4.19), (4.20) dan (4.21) dengan memanfaatkan nilai parameter jangka pendek dari elastisitas permintaan (η = -0.33) dan elastisitas penawaran gula (ε = 1.35) yang dihasilkan dari struktur pasar yang oligopolistik. Pada kondisi pasar tanpa intervensi, bobot politik masing-masing kelompok kepentingan adalah satu. Jika nilai bobot politik sama dengan satu maka pembuat kebijakan bersikap netral terhadap kelompok tersebut. Namun hasil perhitungan menunjukkan bobot politik produsen lebih besar dari satu sementara bobot politik konsumen lebih kecil dari satu. Hal ini mengindikasikan pembuat kebijakan lebih berpihak kepada produsen dengan mengorbankan kepentingan konsumen dalam perumusan kebijakan pergulaan nasional.
Penjelasannya adalah individu petani dan pabrik gula memiliki produktivitas rendah karena menghasilkan gula melalui proses produksi yang tidak efisien. Akibatnya gula yang dihasilkan tidak kompetitif, namun sebagian besar petani dan pabrik gula tidak ingin meninggalkan bisnisnya dalam produksi tebu dan gula (denied easy exit). Mereka kemudian menjalin kontak dengan para pembuat kebijakan untuk mempengaruhi proses pembuatan dan implementasi kebijakan. Agar aktivitas lobi dan tekanan politik lebih efektif maka petani membentuk organisasi petani tebu seperti APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dan BK-APTRI (Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dengan melibatkan politisi daerah dan pusat dalam struktur dan jaringan organisasinya sehingga petani tebu semakin kuat menyuarakan kepentingan ekonominya (voice). Rendahnya
kinerja
petani
dan
pabrik
gula
tidak
lepas
dari
adanya
ketidaksempurnaan pasar, dan dalam arti yang lebih luas ketidaksempurnaan pasar telah menimbulkan persoalan stabilisasi, alokasi, dan pendapatan petani tebu dan buruh pabrik gula. Mengapa dan bagaimana sebuah mekanisme pasar gagal dan menimbulkan persoalan-persoalan tersebut tidak dapat dilepaskan dari karakteristik penawaran gula dan juga permintaannya (lihat Malian dan Saptana, 2003; Siagian, 2004; Indraningsih dan Malian, 2006; Sriati, et al., 2008). Penawaran gula domestik ditandai oleh rendahnya kualitas dan kuantitas pasokan tebu sebagai bahan baku pembuatan gula serta rendahnya produktivitas pabrik gula dalam mengolah tebu menjadi gula (rendemen). Dengan demikian penawaran gula ditentukan oleh aktivitas yang terjadi pada tingkat usahatani tebu pada satu sisi (on-farm) dan juga
aktivitas pada tingkat penggilingan tebu di pabrik gula pada sisi yang lain (offfarm). Kegiatan usahatani tebu sebagian besar dikerjakan oleh petani pada lahan relatif sempit menggunakan bibit keprasan (ratoon), irigasi dan perawatan minimal, dan penggunaan pupuk rendah. Tidak intensifnya pengusahaan tanaman tebu ini untuk sebagian dikarenakan harga relatif tebu cenderung menurun dibanding harga tanaman pangan lainnya. Oleh karena itu areal tanaman tebu bukan saja semakin menyusut tetapi kualitas irigasinya pun semakin berkurang karena lahan yang subur digunakan untuk mengusahakan tanaman padi dan tembakau yang harganya relatif tinggi (lihat Lampiran 3). Akibatnya biaya sewa lahan beririgasi semakin mahal sehingga areal tanaman tebu bergeser ke lahan kering. Pergeseran ini selain menyebabkan produktivitas usahatani tebu menurun juga menyebabkan semakin jauhnya jarak antara kebun dengan lokasi pabrik gula yang semula dibangun dekat dengan persawahan teknis sehingga biaya angkut menjadi mahal dan mengakibatkan menurunnya pendapatan petani (Malian dan Saptana, 2003). Selain itu ketergantungan yang tinggi terhadap sinar matahari menyebabkan kualitas tebu yang dihasilkan sangat tergantung pada keadaan iklim. Curah hujan yang tinggi ketika tanaman berada pada fase pembentukan gula menyebabkan kualitas tebu menurun karena proses pembentukan sukrosa tidak maksimal. Hasil panen tebu ini kemudian diproses di pabrik gula milik negara yang masih menggunakan mesin lama dengan teknologi yang umumnya sudah usang sehingga rendemen yang diperoleh relatif rendah. Selain itu dalam memproses tebu menjadi gula, petani menghadapi tingginya biaya transaksi (high trasaction cost) yang mengindikasikan kompetisi pada pasar gula di tingkat on-
farm tidak sempurna. Penelitian Yustika (2008) menunjukkan biaya transaksi yang ditanggung petani bahkan mencapai 50 persen dari keseluruhan biaya usahatani, baik untuk petani tebu mandiri maupun petani tebu pola kemitraan. Kegagalan pasar pada sistim ekonomi kemudian dimanfaatkan oleh para produsen gula untuk meminta dilakukan intervensi pada sistim politik. Intervensi yang berupa kebijakan dicerminkan melalui keseimbangan ekonomi-politik antara penawaran kebijakan oleh birokrat dan politisi di satu pihak dengan kekuatan permintaan kebijakan dari produsen dan konsumen gula di lain pihak (Gambar 17). Dalam kerangka program swasembada maka keseimbangan yang dihasilkan tersebut bias ke produsen atau asimetrik karena didominasi oleh kekuatan permintaan intervensi oleh kelompok produsen dalam bentuk dukungan harga melalui penetapan harga patokan petani (HPP), hambatan impor (kuota dan tarif), dan segmentasi pasar gula, sementara kelompok konsumen walaupun jumlahnya besar namun secara keseluruhan menghasilkan tekanan politik rendah karena berbagai faktor. Karakteristik kedua dari industri gula Indonesia ditandai oleh tingginya risiko pasar. Hal ini mencerminkan minimnya informasi mengenai harga yang akan terjadi, nilai tukar, dan informasi agroklimat lainya. Oleh karena itu seperti sifat alami industri pertanian pada umumnya, industri gula menghadapi fluktuasi yang tidak sepenuhnya dapat dikenali karena nature dari usaha ditingkat on farm yang sangat tergantung pada iklim dan kondisi alam. Akibatnya penawaran gula berfluktuasi dari musim ke musim dan sangat tergantung pada ketepatan waktu tebang, muat, angkut, dan giling. Hal ini kemudian dipersulit dengan tidak adanya sinkronisasi yang kuat antara kegiatan di tingkat usahatani tebu dengan aktivitas
giling yang terjadi di pabrik gula terutama di Pulau Jawa dimana sekitar 70 persen gula diproduksi. Di Pulau Jawa pengusahaan tebu sebagai bahan baku gula dilakukan di lahan yang dikuasai oleh petani sementara pabrik gula hanya memiliki kebun tebu yang relatif sempit. Tidak adanya integrasi ini menyebabkan produktivitas hablur relatif rendah yaitu rata-rata 6 ton per hektar. Rendahnya efisiensi dan produktivitas gula termasuk gula milik petani tidak memberikan penghasilan yang mencukupi meskipun sistim bagi hasil gula antara petani dengan pabrik gula semakin menguntungkan petani dari semula 65:35 menjadi 68:32. Akibat tingginya risiko pasar tersebut maka penawaran gula domestik sangat tidak stabil. Kondisi penuh risiko ini jika disertai dengan karakteristik petani tebu yang memiliki lahan sempit dan permodalan rendah merupakan legitimasi politik yang sangat kuat untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sehingga menghasilkan kebijakan yang berpihak ke produsen (petani termasuk pabrik gula). Oleh karena itu dari aspek produksi, ketidaksempurnaan pasar telah menciptakan kondisi ketidakamanan pangan, dan jika terjadi pada industri gula dimana petani tebu hanya memiliki lahan sempit (<0.5 ha) maka kegagalan pasar tersebut akan memberikan pendapatan yang relatif rendah tidak peduli seberapa keras petani tersebut berusaha (permanen income problem). Dihadapkan pada situasi ekonomi demikian maka petani memasuki sistim politik untuk menemukan cara lain guna meningkatkan penghasilannya dan menggunakan kesulitan ekonomi tersebut dalam berargumentasi dengan pihak lain. Dari sudut pandang teori pilihan rasional, ketika petani tebu gagal mendapatkan keuntungan pada sistim ekonomi pasar yang tidak sempurna, mereka kemudian mencari kemungkinan lain melalui political rent-seeking
dengan mengorganisasikan diri dalam suatu kelompok kepentingan. Namun seperti dikatakan Nedergaard (2006), organisasi hanyalah sebuah syarat perlu untuk mencapai tujuan dan itu belum cukup. Agar menjadi sebuah pilihan rasional maka manfaat marjinal memasuki organisasi harus lebih besar dari biaya marjinal yang ditimbulkannya. Biaya organisasi diperlukan untuk keperluan administrasi dan koordinasi guna melakukan aksi kolektif untuk memperkuat pengaruh politik organisasi tersebut. Dengan difasilitasi oleh birokrasi (Dinas Perkebunan, dan Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian) maka biaya organisasi menjadi relatif murah sehingga setiap petani dapat bergabung dalam berbagai organisasi petani tebu seperti APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), BK-APTRI (Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), KPTR (koperasi petani tebu rakyat), atau PPTR (paguyuban petani tebu rakyat). Biaya yang relatif rendah ini sangat menguntungkan karena dapat memperkuat organisasi petani. Sementara itu manfaat yang didapat relatif besar dengan tingginya potensi rente ekonomi yang diterima. Dukungan untuk penguatan organisasi petani juga diberikan kalangan pabrik gula bukan semata-mata karena alasan bahwa setiap individu bebas berserikat, tetapi pabrik gula mendapatkan manfaat dari organisasi dan tekanan politik yang dilakukan asosiasi petani tebu terhadap pembuat kebijakan. Itulah sebabnya pada setiap wilayah pabrik gula terdapat banyak asosiasi baik asosiasi petani tebu ataupun serikat buruh perkebunan. Kehadiran organisasi petani dan buruh perkebunan ini pada satu sisi dapat merugikan pabrik gula terutama dalam mendapatkan posisi tawar penentuan rendemen dan bagi hasil gula petani namun secara keseluruhan pabrik gula, terutama PG milik negara, memerlukan
keberadaan petani tebu untuk menyelamatkan pabrik gula yang secara umum beroperasi tidak efisien tersebut dalam mendapatkan perlindungan dan subsidi dari pembuat kebijakan (kebijakan perdagangan gula yang protektif, dan modernisasi mesin dalam kerangka Program Revitalisasi Pabrik Gula). Petani, buruh dan manajemen pabrik gula kemudian membentuk semacam hubungan simbiosis mutualisme. Lobi dan tekanan politik yang dilakukan petani melalui berbagai aksi demontrasi mendapat liputan luas dari berbagai media yang membuat kebijakan politik pergulaan nasional tetap berpihak ke produsen dan pada sisi lain memberikan publikasi yang positif bagi eksistensi asosiasi petani. Namun demikian seperti halnya organisasi kelompok kepentingan lain dengan jumlah anggota banyak, para petani tebu yang tergabung sebagai anggota kelompok menghadapi persoalan free-riding ketika mereka berjuang mendapatkan pengaruh politik untuk memenuhi kepentingan bersama. Pengaruh politik memiliki karakteristik barang publik karena tidak dimungkinkan untuk membatasi manfaat yang dihasilkan oleh organisasi petani kepada mereka yang tidak memberikan kontribusi tekanan politik sekali pun. APTRI memiliki cara mengatasi persoalan free riding ini dengan memanfaatkan besarnya potensi rente ekonomi yang diperoleh untuk memberikan insentif kepada anggota yang berpartisipasi dalam memberikan tekanan politik (separate and selective insentives). Bahkan menurut Tullock (1993) kelompok kepentingan yang mendapat previlege tertentu, seperti APTRI karena tercantum eksplisit dalam SK Menperindag 527/2004, tidak memerlukan selective insentives untuk mengatasi persoalan free riding namun aksi kolektif yang dilakukan tetap dapat merubah
arah kebijakan menjadi lebih spesifik sesuai dengan preferensi mereka dan menjauh dari hasil median voters. Berdasarkan Database of Political Institutions (Beck, et al., 2010), pemerintahan Indonesia pasca reformasi ditandai dengan semakin membaiknya pengawasan oleh legislatif terhadap eksekutif, sehingga berdasarkan pendekatan median voter model aktivitas mencari rente secara umum akan berkurang. Namun hasil empiris untuk industri gula membuktikan sebaliknya bahwa aktivitas mencari rente semakin tinggi di tengah meningkatnya kegiatan check and balances oleh legislatif dan media. Hal ini menegaskan kebijakan pergulaan nasional tidak dapat dijelaskan melalui mekanisme electoral chanel. Meskipun dalam sistim demokrasi para politisi dan birokrat akan membuat keputusan politik sejalan dengan keinginan dan aspirasi sebagian besar masyarakatnya, namun karena biaya proteksi dan subsidi tersebut disebar ke seluruh konsumen maka manfaat yang diperoleh konsumen secara individu relatif kecil untuk menolak keputusan politik yang protektif tersebut. Sementara itu konsumen gula yang jumlahnya besar namun tidak terorganisir --sehingga akan memerlukan biaya besar untuk melakukan aksi kolektif-- berhadapan dengan kelompok kecil produsen gula (petani tebu dan pabrik gula serta berbagai asosiasinya) yang terorganisir. Oleh karena itu resistensi atau upaya penolakan terhadap kebijakan yang melindungi industri gula oleh konsumen tidak akan intensif terjadi terlebih jika kebijakan protektif tersebut dipersepsikan sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak terhadap barang impor (public finance) bukan oleh aktivitas lobi kelompok produsen.
Organisasi produsen gula yang relatif kuat di satu sisi dan lemahnya organisasi konsumen di sisi lain merupakan prasyarat bagi pembuatan keputusankeputusan politik yang pro proteksi dan subsidi terhadap industri gula. Namun itu belum cukup. Syarat cukupnya adalah para pembuat keputusan (politisi dan birokrat) bersedia memenuhi tuntutan dari petani dan pabrik gula untuk sebagian atau keseluruhnya. Sebagian politisi memerlukan dukungan petani tebu dan karyawan pabrik gula untuk memaksimumkan perolehan suara agar tetap duduk sebagai anggota DPRD kabupaten dan propinsi bahkan DPR pusat dan mereka tergabung dalam Panitia Kerja yang mengawasi produksi dan distribusi gula (misalnya Panja Gula Komisi VI DPR). Sementara itu kalangan birokrat terutama di Kementrian Pertanian dan Kementrian Perindustrian dalam menghasilkan kebijakan berkepentingan terhadap penambahan anggaran dan juga demi alasan job security. Jika pada tahun 2010 Kementrian Pertanian memerlukan anggaran peningkatan produksi gula sebesar Rp. 15.2 milyar, maka pada tahun 2011 anggaran tersebut naik 7 kali lipat menjadi Rp. 103 milyar.1 Sementara itu anggaran di Kementrian Perindustrian untuk revitalisasi pabrik gula naik 35 persen atau Rp. 1.24 triliun menjadi Rp. 2.1 triliun pada tahun 2011.2 Permintaan proteksi dan subsidi dari kelompok produsen gula tersebut kemudian dikemas kedalam program swasembada gula oleh birokrasi pemerintah yang untuk mencapainya memerlukan dukungan anggaran besar tadi. Sementara itu penggunaan kata swasembada bukannya tanpa maksud. Pemerintah dengan jeli memanfaatkan expressive interest masyarakat. Ketika konsumen tidak memiliki insentif menolak kebijakan gula yang merugikan dirinya, swasembada yang 1 2
Media Indonesia.com, 29/12/2010. Anggaran Gula Naik 7 Kali Lipat di 2011. Tempo Interaktif, 20/11/2010. Anggaran untuk Revitalisasi Industri Gula Diusulkan Naik
mengandung makna kemandirian, kebanggaan dan nasionalisme memberikan kepuasan non instrumental bagi masyarakat meskipun harus dibayar mahal dengan tingginya harga gula. Ketiga aktor yang terdiri dari legislatif, birokrat, dan produsen gula kemudian membentuk bangunan segitiga penghasil rente. Tullock (1993) menggunakan istilah iron triangle dimana masing-masing pihak yang terdiri dari legislatif, birokrat, dan kelompok kepentingan swasta mengejar kepentingan pribadi atas biaya masyarakat konsumen yang abai (ignorance) terhadap proses pembuatan dan implementasi kebijakan.
7.2. Hubungan Aktivitas Lobi dengan Swasembada Setelah menemukan penjelasan terhadap existing policy pergulaan nasional, langkah berikutnya adalah membuka kotak hitam politik kebijakan gula dengan mengevaluasi hubungan antar variabel ekonomi politik. Untuk mengetahui hubungan antara aktivitas lobi dengan pencapaian swasembada dilakukan analisis regresi antara variabel bobot politik produsen, sebagai proksi terhadap aktivitas lobi dan tekanan politik produsen, dengan variabel tingkat swasembada setelah terlebih dahulu dilakukan pengujian stasioneritas data. Tabel 23. Analisis Derajat Integrasi Variabel Ekonomi Politik Notasi WP WG SSR RENT GDPC AREA
Definisi Bobot politik produsen Bobot politik pemerintah Tingkat swasembada gula (%) Rente ekonomi (miliar rp) GDP per kapita (rp) Luas areal kebun tebu (ha)
I(0) -3.345 -3.346 -1.254 -0.983 -2.751 -2.140
Lag 1 1 5 0 1 0
I(1) -4.806 -4.799 -3.717 -14.843 -4.076 -4.189
P-value 0.0034 0.0035 0.0407 0.0000 0.0039 0.0136
Lag 1 1 4 0 0 0
Hasil pengujian menggunakan uji akar unit Augmented Dickey-Fuller (ADF) menunjukkan bahwa data ekonomi politik bersifat tidak stasioner pada level dan terintegrasi pada ordo satu, I(1), sebagaimana tersaji pada tabel 23.
Oleh karena data time series sudah stasioner pada beda pertama dan analisis ditujukan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam jangka pendek maka regresi dapat dilakukan dengan menggunakan data beda pertama sebagaimana disajikan pada persamaan berikut.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan yaitu tingkat swasembada menurunkan pendapatan nasional seperti ditunjukkan oleh tanda parameter aY < 0 dan perluasan areal mempengaruhi peningkatan swasembada aA > 0. Penjelasannya adalah perluasan areal tebu menyebabkan produksi gula naik sehingga meningkatkan derajat swasembada. Namun demikian semakin banyak lahan dan sumberdaya lain yang digunakan untuk memproduksi gula telah menimbulkan biaya efisiensi seperti ditunjukkan oleh gambar 11. Hasil estimasi lengkap disajikan pada tabel berikut. Tabel 24. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat Swasembada Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 Variable C ∆WP ∆WG ∆AREA ∆GDPC R-squared Adjusted R-squared
Coefficient -0.018689 -0.902073 -1.017010 1.53E-06 -8.64E-09 0.223568 0.094163
Std. Error 0.024309 0.668878 0.697521 8.51E-07 7.15E-08
t-Statistic -0.768787 -1.348635 -1.458035 1.792135 -0.120883
Prob. 0.4495 0.1900 0.1578 0.0857 0.9048
Sementara itu aktivitas lobi justru berhubungan negatif dengan pencapaian swasembada sebagaimana terlihat dari nilai parameter aP < 0. Hal ini sesuai perkiraan karena aktivitas lobi dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pribadi produsen, terutama produsen yang mendapat fasilitas IT. Gambar berikut menunjukkan bahwa pencapaian swasembada sangat ditentukan oleh perilaku permintaan terhadap gula impor bukan oleh perilaku produksi, terutama pada
periode pengaturan impor setelah keluarnya SK Menperindag 527/2004. Keluarnya regulasi tersebut mampu mendorong peningkatan produksi gula namun pada saat bersamaan impor gula yang dilakukan pemegang IP dan IT juga meningkat sehingga tingkat swasembada relatif tetap.
Gambar 32. Perkembangan Produksi, Ekspor Neto dan Swasembada Gula Tahun 1980-2009 Hasil yang diluar perkiraan adalah hubungan antara bobot politik pemerintah dengan pencapaian swasembada juga bertanda negatif (aG < 0) . Dari penelusuran literatur tidak ditemukan interpretasi ekonomi politik yang memuaskan mengenai hal ini namun ia menunjukkan bahwa pemerintah merupakan kelompok yang menerima manfaat dari kebijakan pembatasan impor terutama berupa pajak impor dan rente yang diterima oleh pabrik gula serta IP dan IT gula BUMN. Namun demikian hasil estimasi yang diperoleh kurang memuaskan secara statistik karena menghasilkan koefisien determinasi relatif kecil (R2 = 22.3 %) dan sebagian besar parameter yang dihasilkan hanya signifikan pada α = 20 %.
Sebagai perbandingan, estimasi parameter hubungan antara aktivitas lobi dengan pencapaian swasembada dilakukan dengan menggunakan data level sebagaimana dinyatakan oleh persamaan berikut.
Hasil regrasi menggunakan metode OLS disajikan pada tabel berikut. Tabel 25. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat Swasembada Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 Variable C WP WG AREA GDPC R-squared Adjusted R-squared
Coefficient -1.284765 0.820094 0.810258 2.36E-06 -1.44E-07 0.739003 0.697243
Std. Error 1.933354 0.735472 0.754078 4.78E-07 1.77E-08
t-Statistic -0.664527 1.115058 1.074502 4.939638 -8.121928
Prob. 0.5124 0.2754 0.2929 0.0000 0.0000
Hasil estimasi menunjukkan bahwa parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan yaitu aY < 0 dan aA > 0. Akan tetapi aktivitas lobi kelompok produsen berhubungan positif dengan pencapaian swasembada, hal yang tidak sesuai dengan tujuan lobi mengejar kepentingan pribadi mendapatkan rente ekonomi. Namun demikian hasil yang diperoleh ini memuaskan secara statistik karena menghasilkan koefisien determinasi relatif besar (R2 = 73.9 %) dan sebagian parameter signifikan pada α = 5 %.
7.3. Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Untuk mengkonfirmasi tujuan aktivitas lobi kelompok produsen maka dilakukan regresi antara variabel bobot politik dengan besarnya rente ekonomi berdasarkan persamaan berikut.
Hasil regresi dengan metode OLS disajikan pada tabel berikut yang menunjukkan bahwa aktivitas lobi berhubungan positif dengan rente ekonomi dan signifikan pada α = 5 %. Tabel 26. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 Variable C ∆WP ∆WG ∆AREA ∆GDPC R-squared Adjusted R-squared
Coefficient 262.1849 37324.62 40382.60 -0.001080 0.000379 0.180037 0.043377
Std. Error 643.8655 17716.13 18474.77 0.022550 0.001893
t-Statistic 0.407204 2.106816 2.185825 -0.047915 0.200181
Prob. 0.6875 0.0458 0.0388 0.9622 0.8430
Sebagai perbandingan dilakukan estimasi menggunakan data level sebagaimana dinyatakan oleh persamaan berikut. . Hasil regresi ditampilkan pada tabel berikut yang menunjukkan bahwa parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 27. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 Variable C WP WG AREA GDPC R-squared Adjusted R-squared
Coefficient -140800.1 51068.35 54343.58 -0.006385 0.001694 0.704818 0.657589
Std. Error 38745.08 14739.12 15111.99 0.009578 0.000355
t-Statistic -3.634013 3.464816 3.596057 -0.666588 4.766401
Prob. 0.0013 0.0019 0.0014 0.5111 0.0001
Tabel tersebut menunjukkan bahwa aktivitas lobi produsen telah meningkatkan rente ekonomi baik menggunakan data beda pertama ataupun data level (bP > 0) dan signifikan secara statistik, serta parameter bY > 0. Hal ini sejalan dengan temuan Lopez dan Pagoulatos (1994) bahwa aktivitas lobi yang dilakukan melalui kontribusi dana kampanye di Amerika (Political Action Commettees, PAC)
berhubungan positif dengan hilangnya surplus konsumen yang merupakan transfer bagi kelompok produsen (producers’ economic rent). Sementara itu luas areal tebu berpengaruh negatif terhadap rente ekonomi, (bA < 0). Hal ini mengindikasikan bahwa rente ekonomi selain dipengaruhi oleh aktivitas produksi, ia juga diciptakan melalui aktivitas impor. Ketika areal tebu meningkat maka produksi gula domestik naik, namun permintaan impor independen terhadap peningkatan produksi. Model persamaan tunggal yang digunakan pada penelitian ini memiliki keterbatasan dalam menelusuri jalur transmisi hubungan antara luas areal dengan rente ekonomi.
7.4. Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada Untuk menguji konsistensi teori lobi dan tekanan politik seperti diuraikan sebelumnya maka dilakukan regresi antara variabel tingkat swasembada dengan rente ekonomi seperti dinyatakan oleh persamaan berikut.
Sebagai perbandingan dilakukan estimasi menggunakan data level sebagaimana dinyatakan oleh persamaan berikut.
Hasil regrasi menggunakan metode OLS disajikan pada tabel berikut. Tabel 28. Hasil Regresi Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 Variable C ∆RENT ∆AREA ∆GDPC R-squared Adjusted R-squared
Coefficient -0.013590 -2.52E-05 1.56E-06 4.38E-09 0.547421 0.493112
Std. Error 0.018048 5.23E-06 6.30E-07 5.20E-08
t-Statistic -0.752969 -4.807013 2.481817 0.084276
Prob. 0.4585 0.0001 0.0201 0.9335
Tabel 29. Hasil Regresi Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 Variable C RENT AREA GDPC R-squared Adjusted R-squared
Coefficient 0.827256 1.08E-06 2.18E-06 -1.40E-07 0.725289 0.693592
Std. Error 0.107599 8.05E-06 4.70E-07 2.36E-08
t-Statistic 7.688298 0.133668 4.646343 -5.942620
Prob. 0.0000 0.8947 0.0001 0.0000
Estimasi menggunakan data beda memberikan implikasi yang konsisten dengan teori lobi yaitu terdapat hubungan negatif antara swasembada dengan besarnya rente ekonomi (cP < 0). Sementara jika menggunakan data level hasil yang diperoleh menunjukkan arah hubungan yang sebaliknya yaitu terdapat hubungan positif antara besarnya rente dengan tingkat swasembada. Oleh karena itu penggunaan data level pada analisis ini memberikan hasil yang keliru karena tidak sesuai dengan teori lobi dan perburuan rente. Berdasarkan hasil regresi tersebut dibangun hubungan segitiga antara aktivitas lobi, rente ekonomi dan tingkat swasembada seperti disajikan pada Gambar 33. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pendekatan pressure group model atau lobbying model merupakan alternatif yang memberikan penjelasan konsisten mengenai kebijakan pergulaan nasional. Aktivitas lobi oleh kelompok produsen yang menghasilkan kebijakan protektif berupa tarif dan kuota telah meningkatkan produksi melalui pengaruhnya terhadap harga output maupun biaya faktor. Namun tidak seperti pada pasar kompetitif, pada struktur pasar oligopolistik dengan market power produsen berproduksi pada perceived MR = MC yang menghasilkan output lebih kecil dibandingkan output pasar kompetitif namun produsen mendapatkan rente ekonomi karena menerima harga di atas harga paritas impor. Sementara itu importir menerima rente ekonomi sebagai
akibat pembatasan kuota impor karena importir membeli dengan harga dunia dan menjualnya di pasar domestik dengan harga lebih tinggi. Hal ini tidak sulit dilakukan karena importir umumnya adalah prosesor dan produsen gula yang mendapat lisensi impor melalui fasilitas importir produsen dan importir terdaftar. Akibatnya terdapat hubungan negatif antara aktivitas lobi dengan pencapaian tingkat swasembada. Konsekuaensinya adalah terdapat hubungan negatif antara tingkat swasembada dengan besarnya rente ekonomi gula. Lobi/tekanan politik produsen
Rente ekonomi
Tingkat swasembada
Gambar 33. Hubungan Segitiga Ekonomi Politik Swasembada Gula
7.5. Ikhtisar Pada Bab 7 ini disajikan hasil penentuan bobot politik sebagai proksi terhadap aktivitas lobi dan tekanan politik berbagai kelompok kepentingan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kebijakan pergulaan nasional antara tahun 19802009 bias ke arah produsen yang ditunjukkan dengan nilai bobot politik produsen lebih besar dari satu, sementara bobot politik konsumen lebih kecil dari satu. Penjelasan terhadap kebijakan yang bias ke produsen ini dilakukan dengan menggunakan teori kelompok kepentingan yang oleh Becker-Gardner dikatakan kelompok kepentingan demi mendapatkan manfaat dari suatu kebijakan melakukan lobi dan tekanan politik untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan.
Pada sub bab berikutnya, argumentasi mengenai efektivitas lobi dan tekanan politik kelompok produsen tersebut diuji secara empirik dengan melihat hubungan antara aktivitas lobi produsen gula dengan pencapaian swasembada dan besarnya rente ekonomi menggunakan landasan teori perburuan rente. Hasil pengujian dengan mempertimbangkan stasioneritas data konsisten dengan yang diprediksi teori yaitu terdapat hubungan negatif antara aktivitas lobi produsen dengan pencapaian swasembada namun berhubungan positif dengan besarnya rente ekonomi. Konsekuansinya adalah terdapat hubungan negatif antara pencapaian swasembada dengan besarnya rente ekonomi. Selain itu sebagai perbandingan, pengujian juga dilakukan dengan menggunakan data level yang tidak stasioner. Hasilnya adalah penggunaan data level pada penelitian ini tidak memadai karena tidak konsisten dengan teori perburuan rente.