MODEL SWASEMBADA GULA KRISTAL PUTIH (GKP) NASIONAL DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK
RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional Dengan Pendekatan Sistem Dinamik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2013 Rizka Amalia Nugrahapsari NIM H451110211
RINGKASAN RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI. Model Swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional dengan Pendekatan Sistem Dinamik. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan HENY KUSWANTI SUWARSINAH. Gula Kristal Putih (GKP) merupakan jenis gula dari tebu yang ditujukan untuk konsumsi langsung masyarakat. Perkebunan tebu di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat dengan produktivitas yang rendah. Hal ini menyebabkan produksi GKP Indonesia rendah dengan laju produksi yang lebih rendah dari laju konsumsi. Ketidakseimbangan antara sisi penyediaan dan kebutuhan gula telah menimbulkan ketergantungan terhadap gula impor. Upaya mengurangi ketergantungan terhadap GKP impor mendorong pemerintah untuk menerapkan program Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN) dengan target swasembada GKP tahun 2014. Tercapainya swasembada GKP di masa datang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan penyediaan bahan baku, pengolahan, perdagangan dan kebutuhan gula, baik secara sendiri-sendiri maupun sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu perlu dianalisis dinamika nya dengan membuat suatu model swasembada GKP yang mencakup keempat submodel tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji kemungkinan pencapaian swasembada GKP tanpa kebijakan RIGN, (2) mengkaji dampak kebijakan RIGN terhadap pencapaian swasembada GKP, dan (3) menyusun skenario dan kebijakan alternatif pencapaian swasembada GKP. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut digunakan pendekatan sistem dinamik dengan menggunakan software powersim studio. Model ini menggunakan tahun 2010 sebagai tahun dasar dengan periode simuasi hingga tahun 2025. Dampak kebijakan RIGN dianalisis dengan menggunakan tiga skenario, yaitu: (1) skenario 1 (peningkatan luas areal tebu sebesar 3.2 persen per tahun), (2) skenario 2 (peningkatan produktivitas tebu sebesar 1.6 persen per tahun), (3) skenario 3 (peningkatan rendemen sebesar 1.41 persen per tahun). Sementara untuk menyusun kebijakan alternatif digunakan empat skenario yaitu: (1) skenario 4 (penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.3 persen per tahun), (2) skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal 3.2 persen per tahun dan penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.3 persen per tahun), (3) skenario 6 (gabungan peningkatan produktivitas tebu 1.6 persen per tahun dan penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.3 persen per tahun, (4) skenario 7 (gabungan peningkatan rendemen 1.41 persen per tahun dan penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.3 persen per tahun. Ketujuh skenario tersebut disimulasikan dengan asumsi utama bahwa swasembada akan tercapai apabila secara netto jumlah produk dalam negeri minimal mencapai 90% dari jumlah konsumsi domestiknya. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi aktual, swasembada GKP tidak akan terwujud hingga akhir periode simulasi. Pada tahun 2010, ketersediaan GKP nasional defisit sebesar 0.12 juta ton. Apabila tidak dilakukan kebijakan, defisit ketersediaan GKP ini akan meningkat hingga akhir periode simulasi. Defisit ketersediaan GKP nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 1.23 juta ton. Sementara pada tahun 2014, defisit ketersediaan GKP nasional adalah sebesar
0.30 juta ton. Hal ini berarti swasembada GKP yang ditargetkan oleh pemerintah pada tahun 2014 tidak akan tercapai pada kondisi aktual. Analisis dampak kebijakan RIGN terhadap pencapaian swasembada GKP menunjukkan bahwa skenario peningkatan rendemen memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan skenario peningkatan luas areal dan skenario peningkatan produktivitas tebu. Skenario ini berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2014 hingga akhir periode simulasi. Ketersediaan GKP pada tahun 2014 mengalami defisit sebesar 0,2 juta ton dengan skenario 1 dan defisit sebesar 0.19 juta ton dengan skenario 2. Sementara ketersediaan GKP pada tahun 2014 mengalami surplus sebesar 0,06 juta ton dengan skenario 3. Skenario kebijakan alternatif dilakukan dengan menggabungkan antara kebijakan dari sisi penyediaan dan kebutuhan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa gabungan skenario peningkatan rendemen dan pengelolaan penduduk memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan skenario kebijakan alternatif lainnya. Skenario ini berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2013 hingga akhir periode simulasi. Hal ini dikarenakan peubah rendemen merupakan peubah yang very sensitive dan penduduk merupakan peubah yang highly sensitive berpengaruh terhadap kinerja model berdasarkan hasil analisis sensitivitas. Defisit ketersediaan GKP pada tahun 2014 berdasarkan skenario 4, 5 dan 6 berturut turut adalah sebesar 0.27 juta ton, 0.17 juta ton dan 0.16 juta ton. Sementara surplus ketersediaan GKP pada tahun 2014 berdasarkan skenario 7 adalah sebesar 0.05 juta ton. Hasil analisis switching value menunjukkan bahwa pencapaian swasembada GKP pada tahun 2014 melalui kebijakan alternatif peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk dapat dicapai apabila peningkatan rendemen tidak kurang dari 0.99 persen per tahun. Dengan kata lain, agar swasembada GKP dapat terwujud melalui skenario 7, maka tingkat keberhasilan skenario tersebut harus mencapai minimal 70.21 persen dari target peningkatan rendemen yang ditetapkan. Kebijakan alternatif yang sebaiknya diterapkan oleh pemerintah dalam upaya pencapaian swasembada GKP adalah: (1) tetap melaksanakan program RIGN, (2) memfokuskan pelaksanaan RIGN pada upaya peningkatan rendemen dan (3) mengupayakan penurunan pertumbuhan penduduk. Langkah langkah operasional yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rendemen adalah penataan varietas dan pembibitan, penerapan baku teknis budidaya tebu, penentuan awal giling yang tepat, manajemen tebang muat dan angkut yang baik serta peningkatan efisiensi pabrik. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan pengembangan model industri gula dengan memasukkan industri gula rafinasi di dalam simulasinya. Kata kunci: swasembada, gula, sistem dinamik
SUMMARY RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI. National Self Sufficiency Model of White Crystal Sugar With System Dynamics Approach. Supervised by RITA NURMALINA and HENY KUSWANTI SUWARSINAH. White Crystal Sugar (GKP) is a type of direct consumption sugar from sugarcane. Sugarcane plantations in Indonesia is dominated by smallholder farmers with low productivity. This led to the low production rate of white crystal sugar, moreover this rate is actually lower than the consumption rate. As a result, sugar production cannot meet domestic consumption, thus importing sugar is the easy solution to fill the gap. Efforts to reduce dependency on imports of white crystal sugar prompted the government to implement the National Sugar Industry Revitalization program (RIGN) to achieve self-sufficiency of white crystal sugar on 2014. Achieving self-sufficiency of white crystal sugar in the future will be influenced by factors related to the supply of raw materials, processing, trading and sugar demand, either individually or as a result of the interaction between these factors. Therefore, it was important to analyze the dynamic of selfsufficiency thru a self sufficiency model of white crystal sugar which covers all the four sub-models. The purpose of this study were to (1) study the possibility of achieving selfsufficiency of white crystal sugar, (2) study the impact of RIGN policy on selfsufficiency of white crystal sugar achievement, and (3) formulate scenario and alternative policies to reach the national self sufficiency of white crystal sugar. Data were analyzed by building the system dynamic model using powersim studio tool. The simulation period was from 2010 to 2025. RIGN policy impacts were analyzed using three scenarios: (1) scenario 1 (increasing land area 3.2 percent per year), (2) scenario 2 (increasing productivity of sugarcane 1.6 percent per year, (3) scenario 3 (increasing yield 1.41 percent per year). While to formulate alternative policies used four scenarios, which were: (1) scenario 4 (decreasing population growth to 1.3 percent per year), (2) scenario 5 (a combination of increasing land area 3.2 percent per year and decreasing of population growth to 1.3 percent per year), (3) scenario 6 (a combination of increasing productivity 1.6 percent per year and decreasing population growth to 1.3 percent per year, (4) scenario 7 (a combination of increasing yield 1.41 percent per year and decreasing population growth to 1.3 percent per year. The results showed that, on actual conditions, national self sufficiency of white crystal sugar will not be realized during simulation period. In 2010, the deficit of white crystal availability is 0.12 million tonnes. If there is no policy, the deficit of white crystal sugar availability will increase to the end of the simulation. The deficit of white crystal sugar availability in 2025 is 1.23 million tons. While in 2014, the deficit of white crystal sugar availability is 0.30 million tons. This means self-sufficiency of white crystal sugar targeted by the government in 2014 will not be achieved in actual conditions. The results of RIGN policy impacts analysis showed that increasing sugarcane yield policy would have better performance compare to increasing productivity and increasing land area policies. Thru increasing sugarcane yield policy, Indonesia is predicted to reach self-sufficiency of white crystal sugar on
2014 to the end of analysis period. The deficit of white crystal sugar availability in 2014 is 0.2 million tons by scenario 1 and 0.19 million ton by scenario 2. While the surplus of white crystal sugar in 2014 by scenario 3 is 0.06 millions ton. The results suggested that policy scheme which combines provision and needs is necessary. A combination of increasing sugarcane yield and population management policy would give the best performance. By this combination policy, Indonesia is predicted to reach self-sufficiency of white crystal sugar in 2013 to the end of simulation period. This is because the results of sensitivity analysis showed that sugarcane yield is a very sensitive variable and population is a highly sensitive variable. The deficit of white crystal sugar availability in 2014 is 0.27 million tons by scenario 4, 0.17 million ton by scenario 5 and 0.16 millions ton by scenario 6. While surplus of white crystal sugar availability in 2014 by scenario 7 is 0.05 millions ton. The results of switching value analysis indicate that the attainment of selfsufficiency of white crystal sugar in 2014 through increasing sugarcane yield and decreasing population growth can be achieved when an increasing of sugarcane yield is not less than 0.99 percent per year. In other words, self-sufficiency of white crystal sugar can be realized when the achievement rate of scenario 7 at least 70.21 percent from the target. Alternative policies that should be implemented by the government to achieve self-sufficiency of white crystal sugar are: (1) continue to implement the RIGN program, (2) implement RIGN by focusing on increasing sugarcane yield and (3) reduce population growth. Operational steps that can be taken to improve sugarcane yield are varieties and seeding arrangement, the application of technical raw cane cultivation, the proper determination of starting grinding, a good cutting, unloading and transporting management, and increasing overall recovery. For further research, it is suggested to develop the sugar industry model by including refined sugar industry in the simulation.
Key words: self-sufficiency, sugarcane, system dynamics
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MODEL SWASEMBADA GULA KRISTAL PUTIH (GKP) NASIONAL DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK
RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr Ir Anna Fariyanti, MSi
Penguji Program Studi
: Dr Ir Suharno, M.Adev
Judul Tesis : Model Swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional Dengan Pendekatan Sistem Dinamik Nama : Rizka Amalia Nugrahapsari NIM : H451110211
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Ketua
Dr Ir Heny Kuswanti Suwarsinah, MEc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Model Swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional dengan Pendekatan Sistem Dinamik” dapat diselesaikan. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada: 1. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr Ir Heny Kuswanti Suwarsinah, MEc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 2. Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik. 3. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku dosen penguji luar komisi dan Dr Ir Suharno, M.Adev selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis yang telah memberikan banyak kritikan membangun dalam penyempurnaan tesis ini. 4. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr Ir Suharno, M.ADev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan. 5. Dr Aris Toharisman selaku Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam penyusunan tesis. 6. Kepala sekretariat Dewan Gula Indonesia atas bantuan dan kerjasamanya dalam memberikan data dan informasi yang diperlukan. 7. Peneliti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia atas bantuan dan kerjasamanya dalam memberikan informasi yang diperlukan. 8. Teman-teman seperjuangan pada Program Studi Agribisnis atas diskusi, masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan. 9. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Untung Slamet Riyadi, S.Pd dan Sri Budi Utami M.Pd, Adik Khairul Adhi Kurniawan, keponakan Callysta Griselda Solekha Kurniawan serta keluarga besar Temu Sastro Soemardjo. 10. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suamiku tercinta Sigit Purnomo ST yang telah memberikan dukungan penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, April 2013
Rizka Amalia Nugrahapsari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1
2
3
4
5
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi Gula Kebijakan Pengembangan Industri Gula di Indonesia Analisis Swasembada Gula di Indonesia Pendekatan Neraca Ketersediaan Untuk Menganalisis Dinamika Swasembada Pendekatan Sistem Dinamik untuk Merumuskan Strategi dan Kebijakan Pengembangan Industri Gula
xii xii xiii
1 4 6 6 6
7 8 8 10 11
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Swasembada dan Ketahanan Pangan Konsep Revitalisasi Teori Permintaan dan Penawaran Pendekatan Sistem Dinamik Pemodelan Sistem Dinamik Kerangka Pemikiran Operasional
13 13 14 15 16 16 20
METODE PENELITIAN Cakupan Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Analisis Kebutuhan Formulasi Masalah dalam Sistem Identifikasi Sistem Ketersediaan GKP Nasional Formulasi Model Validasi Model Simulasi Kebijakan
22 22 22 23 23 24 27 37 39
KERAGAAN SISTEM INDUSTRI GKP Perkembangan Keragaan Penyediaan GKP di Indonesia Perkembangan Luas Areal Tebu dan Produksi GKP di Indonesia Perkembangan Industri GKP di Indonesia Perkembangan Keragaan Kebutuhan GKP di Indonesia
40 40 45 47
6
7 8
HASIL DAN PEMBAHASAN Model dan Dinamika Swasembada GKP Validasi Model Perilaku Submodel Penyediaan Bahan Baku Perilaku Submodel Pengolahan Perilaku Submodel Kebutuhan Perilaku Submodel Perdagangan Model Swasembada GKP Kondisi Aktual Dampak Kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional Terhadap Pencapaian Swasembada GKP Skenario 1: Peningkatan Luas Areal Skenario 2: Peningkatan Produktivitas Tebu Skenario 3: Peningkatan Rendemen Perbandingan Antara Kondisi Aktual dengan Skenario Kebijakan Skenario Kebijakan Alternatif Pencapaian Swasembada GKP Skenario 4 (Penurunan Pertumbuhan Penduduk) Gabungan Skenario Penyediaan dan Kebutuhan Perbandingan Antara Kondisi Aktual dengan Skenario Kebijakan Alternatif Analisis Switching Value Model Analisis Sensitivitas Model Strategi Pencapaian Swasembada GKP Strategi Peningkatan Rendemen Strategi Penurunan Pertumbuhan Penduduk SIMPULAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
50 50 51 53 54 56 57 58 58 59 60 61 62 62 63 65 66 67 68 68 72 73 73 74 80 87
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Analisis kebutuhan stakeholder dalam model swasembada GKP Analisis formulasi permasalahan stakeholder dalam model swasembada GKP nasional Asumsi yang digunakan pada submodel penyediaan bahan baku Asumsi yang digunakan pada submodel pengolahan Asumsi yang digunakan pada submodel perdagangan GKP Asumsi yang digunakan pada submodel kebutuhan Asumsi yang digunakan pada model sistem swasembada GKP Hasil uji validitas kinerja model swasembada GKP nasional Ketersediaan GKP nasional hasil analisis switching value model Sensitivitas perubahan peubah kunci ketersediaan GKP nasional
23 24 28 32 34 36 37 51 67 68
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Luas areal tebu dan produksi GKP Indonesia, tahun 1967-2010 Proporsi luas areal tebu di Indonesia berdasarkan status pengusahaan Tahun 2010 Rata-rata konsumsi gula per kapita dunia pada tahun 2006-2010 Perkembangan produksi, konsumsi dan defisit GKP Indonesia Tahapan pendekatan sistem Kerangka pemikiran operasional Diagram input output model swasembada GKP nasional Diagram alir sebab akibat model swasembada GKP nasional Struktur sub model penyediaan bahan baku Struktur sub model pengolahan Struktur sub model perdagangan Struktur sub model kebutuhan Produksi GKP Indonesia menurut status pengusahaan tahun 1995-2010 Luas areal tebu Indonesia menurut status pengusahaan tahun 1995-2010 Produktivitas GKP Indonesia menurut status pengusahaan tahun 1995-2010 Produksi GKP dan luas areal tebu di Indonesia berdasarkan wilayah tahun 2010 Perbandingan produksi tebu menurut provinsi dan status pengusahaan tahun 2010 Perbandingan luas areal tebu menurut provinsi dan status pengusahaan tahun 2010 Perkembangan rendemen gula di Indonesia tahun 2000-2010 Perkembangan pol tebu dan efisiensi pabrik gula di Indonesia tahun 2004-2007 Kapasitas terpasang dan terpakai industri gula Indonesia 2005-2010 Persentase jam henti giling terhadap jam giling tahun 2004-2007
2 2 3 5 18 21 25 26 30 31 33 35 41 42 43 43 44 44 45 46 46 47
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Perkembangan konsumsi GKP dan jumlah penduduk tahun 2005-2010 Perkembangan konsumsi GKP per kapita rumah tangga tahun 2007-2010 Proporsi konsumsi GKP tahun 2010 Luas areal perkebunan tebu kondisi aktual 2010-2025 Produktivitas tebu kondisi aktual tahun 2010-2025 Produksi tebu kondisi aktual aktual tahun 2010-2025 Produksi GKP kondisi aktual tahun 2010-2025 Kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai industri gula kondisi aktual, tahun 2010-2025 Kebutuhan GKP kondisi aktual tahun 2010-2025 Impor GKP kondisi aktual tahun 2010-2025 Harga domestik dan harga impor GKP kondisi aktual Ketersediaan GKP nasional kondisi aktual tahun 2010-2025 Ketersediaan GKP nasional skenario 1 tahun 2010-2025 Ketersediaan GKP nasional skenario 2 tahun 2010-2025 Ketersediaan GKP nasional skenario 3 tahun 2010-2025 Perbandingan ketersediaan GKP pada skenario swasembada Ketersediaan GKP nasional skenario 4 tahun 2010-2025 Ketersediaan GKP nasional skenario 5 tahun 2010-2025 Ketersediaan GKP nasional skenario 6 tahun 2010-2025 Ketersediaan GKP nasional skenario 7 tahun 2010-2025 Perbandingan ketersediaan GKP pada alternatif skenario swasembada Strategi peningkatan rendemen
48 48 49 51 52 53 53 54 55 56 56 57 59 60 60 61 62 64 64 65 66 69
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Struktur model sistem industri GKP nasional Formula matematis sistem industri GKP nasional kondisi aktual Ketersediaan GKP nasional kondisi aktual Ketersediaan GKP nasional skenario 1 (peningkatan luas areal) Ketersediaan GKP nasional skenario 2 (peningkatan produktivitas) Ketersediaan GKP nasional skenario 3 (peningkatan rendemen) Ketersediaan GKP nasional skenario 4 (penurunan pertumbuhan penduduk) Ketersediaan GKP nasional skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal dan penurunan pertumbuhan penduduk) Ketersediaan GKP nasional skenario 6 (gabungan peningkatan produktivitas dan penurunan pertumbuhan penduduk) Ketersediaan GKP nasional skenario 7 (gabungan peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk)
80 81 83 83 84 84 85 85 86 86
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang memainkan peran penting dalam pembangunan nasional dari sisi ekonomis, ekologis dan sosial budaya (Ditjenbun 2010). Sejalan dengan pendapat tersebut, Susila dan Goenadi (2004) menyatakan bahwa dengan pertumbuhan yang cukup konsisten, subsektor perkebunan mempunyai peran strategis baik dalam pembangunan ekonomi secara nasional maupun dalam menjawab isu-isu global. Subsektor perkebunan berperan dalam penyediaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, sumber devisa, pengentasan kemiskinan, dan konservasi lingkungan. Salah satu komoditas unggulan perkebunan yang memberikan kontribusi pada pencapaian fungsi subsektor perkebunan adalah tebu. Tanaman tebu yang memiliki nama latin Saccharum officinarum L merupakan tanaman asli tropika basah yang memiliki sejarah cukup panjang di Indonesia. Tanaman ini menjadi komoditas unggulan karena peran nya sebagai bahan baku pembuatan gula. Berdasarkan perundingan perdagangan internasional (WTO), gula merupakan salah satu dari empat komoditas pertanian strategis (Pambudy 2003) karena memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) yang sangat tinggi (Hanani et al. 2012). Gula berperan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan kalori bagi masyarakat maupun industri di satu sisi, sementara di sisi lain merupakan sumber bagi pendapatan dan kehidupan sekitar satu juta petani dan hampir dua juta tenaga kerja yang terlibat langsung dalam sistem industri tersebut (Litbang Deptan 2007 dan Wibowo 2012). Gula juga ditetapkan sebagai Barang Dalam Pengawasan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa gula memegang peranan penting dalam sistem ekonomi (pangan) dunia khususnya di Indonesia. Kedudukan industri gula dalam ekonomi Indonesia dapat dilihat dari sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja (Pambudy 2003). Dengan demikian dinamika produksi, konsumsi dan harga akan berpengaruh langsung maupun tidak langsung pada parameter parameter ekonomi, seperti inflasi, kesempatan kerja, pendapatan serta kesejahteraan petani dan masyarakat (Wibowo 2012). Dinamika produksi gula bisa dilihat dari perkembangan luas areal tebu dan produksi GKP beberapa tahun terakhir. Pada tahun 1990, luas areal tebu di Indonesia adalah sebesar 363 968 hektar dengan produksi sebesar 2 119 585 ton. Jumlah ini menurun pada 10 tahun kemudian dengan luas areal menjadi 340 660 hektar dan produksi menjadi 1 690 004 ton. Namun pada tahun 2010, kembali terjadi peningkatan luas areal menjadi 454 111 hektar dan produksi menjadi 2 290 116 ton. Peningkatan ini sejalan dengan diterapkannya program akselerasi peningkatan produksi gula nasional pada tahun 2003 hingga 2008. Perkembangan tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat ke delapan negara dengan luas areal tebu terbesar di dunia dan peringkat ke sebelas negara produsen tebu terbesar di dunia pada tahun 2008 yang memproduksi 1.5 persen tebu dunia (Gambar 1).
500 0000
300 00000 250 00000 200 00000 150 00000 100 00000 50 00000 0
400 0000 300 0000 200 0000 100 0000 0
Luas Areal Tebu (Hektar)
Produksi GKP (ton)
2
Tahun Pro oduksi
Luas Areal
Gambar 1 Luas areaal tebu dan produksi GKP G Indonessia, tahun 1967-2010 Sumbeer: Ditjenbuun (2011) mum perkebbunan tebuu di Indonesia didominnasi oleh pperkebunan Secara um rakyaat dengan proporsi p luas areal menncapai 60.76 6 persen darri total luass areal tebu di Inndonesia (Gaambar 2). Pada P tahun 2010, 2 produ uktivitas GK KP perkebuunan rakyat adalaah sebesar 4.95 4 ton/hekktar. Nilai ini i jauh di bawah b tingkkat produktiivitas GKP perkeebunan bessar swasta yaitu sebesar 6.60 to on/hektar, namun n massih di atas tingkkat produktiivitas GKP perkebunann besar negaara yaitu seebesar 4.63 ton/hektar. Besaarnya luas areal a tebu yang y dikuassai oleh pettani dengann tingkat prooduktivitas yangg jauh di bawah b prodduktivitas perkebunan p besar swaasta berdam mpak pada rendaahnya produuktivitas GK KP Indonessia. Perkebunan P swasta 24.24%
Perkkebunan neegara 15.01%
Perkebunan rakyat 60.76%
Gambbar 2 Propoorsi luas areeal tebu di Indonesia I beerdasarkan status pengusaahaan tahunn 2010 Sumber: Ditjenbunn (2011) Faktor yaang menyeebabkan renndahnya prroduktivitass GKP di Indonesia terbaagi ke dalam m permasallahan dari sisi s on farm m dan off faarm. Permassalahan on farm meliputi: (1) keterbbatasan penngetahuan dan permoodalan pettani dalam melaaksanakan bongkar b rattoon dan raawat ratoon n, (2) kuranngnya penciptaan dan perseediaan bibitt unggul baru, (3) peenyediaan agro a input budidaya tebu sering
3
Konsumsi Gula (Kg/Kap/Thn)
mengalami ketidaktepatan jumlah, waktu, harga dan kualitas, (4) kurangnya sarana irigasi terutama pada wilayah pengembangan/lahan kering, dan (5) kelangkaan tenaga kerja di sektor budidaya. Sementara permasalahan dari sisi off farm meliputi: (1) keterbatasan kapasitas giling PG sehingga kurang mampu bersaing, (2) tingkat efisiensi pabrik (overall recovery) di bawah standar dan (3) umumnya mesin produksi perusahaan gula putih sudah tua (Pambudy 2004; Ditjen Industri Agro dan Kimia 2009; Kementerian BUMN 2011). 70 60 50 40 30 20 10 0
60
61
56
50
48
43
34
34
37
36 27 17
16
30
34
18
7
Negara
Gambar 3 Rata-rata konsumsi gula per kapita dunia pada tahun 2006-2010 Sumber: USDA dalam Koo dan Taylor (2011) Apabila dilihat dari sisi kebutuhan, konsumsi gula dibedakan atas gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi langsung masyarakat dan gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri (Asmarantaka 2012; Ginandjar 2012; Zaini et al. 2012). Data Kementerian BUMN (2011) menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan 5.7 juta ton gula untuk memenuhi konsumsi langsung sebanyak 2.96 juta ton dan keperluan industri sebanyak 2.74 juta ton pada tahun 2014. Sementara produksi gula nasional baru memenuhi 53 persen dari kebutuhan total dan sisanya dipenuhi melalui impor. Di sisi lain meskipun Indonesia merupakan negara pengimpor gula terbesar kelima di dunia, namun tingkat konsumsi gula perkapita Indonesia masih rendah apabila dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data USDA dalam Koo dan Taylor (2011), konsumsi gula per kapita Indonesia diketahui sebesar 16 kilogram per kapita per tahun. Nilai ini masih di bawah konsumsi per kapita dunia yaitu sebesar 21 kilogram per kapita per tahun (Gambar 3). Namun akan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan perkembangan industri makanan dan minuman (Hartono 2012 dan Asmara et al. 2012). Selain sebagai strategic product, gula juga merupakan bahan makanan pokok berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 115/MPP/KEP/2/1998. Hal ini berarti gula merupakan bahan pangan yang esensial bagi masyarakat Indonesia dan pemerintah berkewajiban menyediakan gula secara cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan
4 sesuai dengan konsep ketahanan pangan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012. Pentingnya komoditas gula dengan berbagai potensi pengembangan yang dimiliki serta berbagai masalah yang menghambat ketersediaannya mendorong pemerintah menerapkan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut adalah Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN). RIGN merupakan rencana jangka panjang industri gula selama lima tahun (2010-2014) sebagai pedoman dalam rangka meningkatkan produksi gula untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. RIGN diharapkan dapat meningkatkan produksi gula untuk konsumsi langsung yaitu jenis Gula Kristal Putih (GKP) sebanyak 3.54 juta ton pada tahun 2014, terdiri dari produksi gula dari perkebunan besar negara (PBN) sebanyak 2.32 juta ton dan produksi gula dari perkebunan besar swasta (PBS) sebanyak 1.22 juta ton. Dengan demikian kebutuhan konsumsi gula langsung akan dapat dicukupi dari produksi gula nasional yang berbahan baku tebu lokal, bahkan diperkirakan akan mengalami surpus gula konsumsi sekitar 584 ribu ton (Kementerian BUMN, 2011). Namun target swasembada gula ini dihadapkan pada berbagai tantangan dari sisi on farm, off farm dan manajemen serta melibatkan kepentingan berbagai macam stakeholders mulai dari pemerintah, industri (PBN dan PBS), petani, pedagang besar, lembaga keuangan dan masyarakat. Untuk itu diperlukan sebuah pendekatan sistem dengan cara membangun model yang mampu merepresentasikan sistem industri GKP nasional, sehingga berbagai dinamika swasembada GKP dapat disimulasikan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang tepat. Model swasembada GKP nasional ini dibangun dengan pendekatan sistem dinamis. Pendekatan ini dipilih karena mampu menangkap sistem pergulaan nasional yang bersifat dinamis dimana setiap kebijakan pergulaan yang dibuat didasarkan pada kondisi politik, sosial, ataupun ekonomi yang dinamis dari waktu ke waktu. Pendekatan ini juga tepat karena mampu menangkap kompleksitas permasalahan yang terjadi pada sistem industri gula nasional dan menyederhanakannya dalam bentuk model. Dari pemodelan ini, akan dapat diketahui dinamika swasembada GKP, serta dapat dilakukan simulasi dampak kebijakan RIGN dan penyusunan skenario kebijakan alternatif untuk mendukung swasembada GKP.
1.2 Perumusan Masalah Industri gula Indonesia pernah mencapai kejayaan pada tahun 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar di dunia setelah Kuba. Namun pada perkembangan selanjutnya, industri gula Indonesia lambat laun mengalami penurunan kinerja sehingga menjadi salah satu importir gula utama (Susilohadi et al.2012). Secara umum permasalahan ini disebabkan adanya ketidakseimbangan antara sisi penyediaan dan kebutuhan gula. Ketidakseimbangan penyediaan dan kebutuhan gula akan menimbulkan ketergantungan terhadap gula impor. Hal ini mengingat permintaan gula diperkirakan terus bertambah seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan pertumbuhan industri makanan dan minuman. DGI (2002) dalam Susila dan Sinaga (2005) mengungkapkan bahwa salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor
5 yang meningkat selama periode 1991-2001 dengan laju 16.6 persen per tahun. Peningkatan ini terjadi karena laju konsumsi meningkat sebesar 2.96 persen per tahun, sedangkan produksi menurun sebesar 3.03 persen per tahun. Laju impor ini terus meningkat pada periode selanjutnya. Data AGI (2011) menunjukkan adanya peningkatan laju impor GKP sebesar 29.49 persen per tahun selama 2005-2010. Peningkatan laju impor tersebut salah satunya disebabkan oleh adanya peningkatan defisit GKP sebesar 27.65 persen per tahun, hingga pada tahun 2010 defisit GKP terhitung sebesar 511 612 ton. Hal ini dikarenakan peningkatan laju konsumsi GKP yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan laju produksi GKP. Selama periode 2005-2010 laju produksi meningkat sebesar 0.63 persen per tahun, sedangkan laju konsumsi meningkat sebesar 1.28 persen per tahun (BKP 2010). Gambar 4 menunjukkan perkembangan produksi, konsumsi dan defisit GKP Indonesia periode 2005 hingga 2010. 3000000 2500000 2000000 1500000
Produksi
1000000
Konsumsi
500000
Surplus/Defisit
0 ‐500000
2005
2006
2007
2008
2009
2010
‐1000000
Gambar 4 Perkembangan produksi, konsumsi dan defisit GKP Indonesia Sumber: BKP (2010) Peningkatan permintaan yang tidak dibarengi peningkatan produksi pada masa yang akan datang akan mengancam industri gula nasional karena gula impor akan mengalahkan gula dalam negeri yang umumnya mempunyai kualitas lebih rendah (Asmarantaka et al. 2012). Disamping itu membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok yang harganya sangat fluktuatif dengan koefisien keragaman harga tahunan sekitar 48 persen akan berpengaruh negatif terhadap upaya mencapaian ketahanan pangan (Pakpahan 2000; Simatupang et al. 2000 dalam Natawidjaja et al. 2012). Selanjutnya beban devisa untuk mengimpor juga akan terus meningkat. Upaya mengurangi ketergantungan terhadap GKP impor menuntut industri gula untuk merealisasikan swasembada GKP. Tercapainya swasembada GKP di masa datang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dalam penyediaan bahan baku, pengolahan gula, perdagangan dan kebutuhan gula, baik secara sendirisendiri maupun sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor tersebut. Faktor faktor ini akan membentuk perilaku sistem industri GKP nasional. Penelitian, kajian dan rekomendasi untuk meningkatkan kinerja industri dan swasembada gula nasional telah banyak dilakukan. Namun demikian sebagian besar penelitian tersebut lebih menekankan pada pentingnya perbaikan aspek
6 teknologi, kebijakan protektif dan kelembagaan ekonomi (Zaini et al. 2012), tetapi kurang memperhatikan dinamika pengadaan bahan baku, pengolahan gula, konsumsi dan perdagangan secara bersama sama dengan pendekatan sistem dinamis dalam menganalisis swasembada gula. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Mungkinkah swasembada Gula Kristal Putih akan terwujud tanpa kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional? 2. Bagaimana dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional terhadap pencapaian swasembada Gula Kristal Putih? 3. Bagaimana skenario dan kebijakan alternatif pencapaian swasembada Gula Kristal Putih?
1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dinamika swasembada Gula Kristal Putih nasional dengan membangun model sistem dinamik. Secara spesifik tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Mengkaji kemungkinan pencapaian swasembada Gula Kristal Putih tanpa Revitalisasi Industri Gula Nasional. 2. Mengkaji dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional terhadap pencapaian swasembada Gula Kristal Putih. 3. Menyusun skenario dan kebijakan alternatif pencapaian swasembada Gula Kristal Putih.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dinamika swasembada GKP nasional. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk mengevaluasi kebijakan RIGN yang telah diterapkan oleh pemerintah dalam upaya pencapaian swasembada GKP tahun 2014. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khazanah penelitian yang terkait dengan komoditas gula dan penggunaan sistem dinamik dalam menganalisis kebijakan di bidang pertanian serta menjadi bahan rujukan bagi penelitian lanjutan.
1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Ruang lingkup dan batasan penelitian yang digunakan adalah penelitian hanya difokuskan untuk menganalisis dinamika swasembada GKP nasional dengan pendekatan sistem dinamik melalui penyusunan model swasembada GKP nasional. Penyusunan model dalam penelitian ini dibatasi pada submodel penyediaan bahan baku, pengolahan gula, perdagangan dan kebutuhan. Penelitian ini juga tidak menganalisis sistem industri GKR nasional dan tidak meninjau aspek keberlanjutan swasembada berdasarkan dimensi.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi Gula Dinamika ketersediaan gula tidak dapat dilepaskan dari dinamika produksi dan konsumsi gula. Produksi gula nasional dipengaruhi secara signifikan oleh luas lahan tebu, produktivitas dan rendeman (Priyono 2008; P3GI 2008; Asmara et al. 2012), efisiensi pabrik (Asmarantaka 2012), jumlah tebu, rendemen, jam mesin, dan tenaga kerja (Widarwati 2008), bahan baku tebu, tenaga kerja dan mesin (Cahyono 2009), hari hujan, tenaga kerja dan rendemen efektif (Istianto 2008). Hasil penelitian Tchereni et al. (2012) juga menunjukkan bahwa ukuran lahan merupakan faktor penting dalam meningkatkan produksi. Faktor penentu efisiensi teknis lainnya antara lain pengalaman petani, pendidikan dan jenis kelamin. Sementara hasil penelitian Widhaningsih (2007) menunjukkan bahwa ketersediaan dan produksi gula domestik hanya dipengaruhi oleh luas area. Luas area dan manajemen stok memberikan kontribusi yang besar terhadap produksi dan ketersediaan gula. Senada dengan pendapat tersebut, hasil penelitian Zaini (2008) menyimpulkan bahwa peningkatan produksi gula dapat dilakukan dengan memperluas areal perkebunan tebu di luar pulau Jawa dan mengurangi konversi (alih guna) lahan perkebunan tebu di pulau Jawa. Dari berbagai faktor tersebut, faktor yang paling mendapat perhatian masyarakat industri gula adalah rendemen. Rendemen adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen (Trisnawati et al. 2012). Peningkatan rendemen merupakan upaya praktis yang berdampak positif dan signifikan terhadap produksi gula (Wibowo 2012). Oleh karena itu salah satu upaya menuju swasembada gula nasional 2014 adalah peningkatan rendemen. Tanaman tebu harus dapat diberdayakan sehingga kapasitasnya untuk menghasilkan dan menyimpan sukrose menjadi lebih baik (Soemarno 2010). Secara umum dapat disimpulkan bahwa produksi gula nasional dipengaruhi oleh luas areal, produktivitas tebu, rendemen, kapasitas giling dan efisiensi pabrik. Sementara apabila dilihat dari sisi permintaan, Ginandjar (2012) dan Hanani et al. (2012) berpendapat bahwa peningkatan konsumsi gula terutama berkaitan dengan dua faktor yaitu pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan atau pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hartono (2012) dan Asmara et al. (2012) yang menyatakan bahwa konsumsi gula akan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan perkembangan industri makanan dan minuman. Hasil penelitian Fitriadi (2007) menunjukkan bahwa elastisitas pendapatan gula pasir bertanda positif artinya konsumsi langsung gula pasir per kapita akan meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Menguatkan pendapat tersebut, hasil penelitian Sugiyanto (2007) menunjukkan bahwa elastisitas permintaan gula terhadap pendapatan menurun, jangka pendek 0,4 dan jangka panjang 0,2. Selain dorongan kenaikan pendapatan, permintaan gula terus meningkat seiring laju pertumbuhan penduduk.
8 2.2 Kebijakan Pengembangan Industri Gula di Indonesia Pembangunan pertanian selama lima tahun ke depan (2010-2014) difokuskan kepada pencapaian empat target utama pembangunan pertanian, yaitu: (1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) peningkatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani (Kementan 2011). Oleh karena itu, sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan pertanian, kebijakan umum pembangunan perkebunan diarahkan untuk mensinergikan seluruh sumberdaya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing, nilai tambah, produktivitas dan mutu produk perkebunan melalui partisipasi aktif masyarakat perkebunan dan penerapan organisasi modern yang berlandaskan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi serta didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik (Ditjenbun 2010). Hal ini tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian 2010-2014 dan Rencana Strategis Pembangunan Perkebunan 2010-2014. Salah satu komoditas yang menjadi sasaran swasembada dalam Renstra Kementerian Pertanian adalah gula. Swasembada yang dimaksud adalah swasembada gula konsumsi langsung rumah tangga, industri dan sekaligus menutup defisit neraca perdagangan gula nasional yang diupayakan akan dicapai pada tahun 2014 (Kementan 2011). Sasaran tersebut diimplementasikan dalam program Revitalisasi Industri Gula Nasional. Program RIGN merupakan salah satu program unggulan pemerintah dalam rangka swasembada gula nasional tahun 2014 (Kementrian BUMN 2011). Adapun langkah langkah operasional untuk mengimplementasikan strategi pencapaian swasembada gula tersebut difokuskan kepada: (1) peningkatan produktivitas melalui rasionalisasi atau penataan varietas, penerapan teknologi budidaya, percepatan bongkar/rawat ratoon, efisiensi hara dan penggunaan pupuk organik serta suplesi air (embung dan pompa), (2) perluasan areal melalui kebun bibit untuk pabrik gula baru, optimalisasi atau pemanfaatan lahan dan penyediaan lahan pertanaman tebu, (3) revitalisasi dan pembangunan industri gula berbasis tebu melalui rehabilitasi/peningkatan kapasitas giling PG dan mutu produk, optimalisasi atau efisiensi hari giling, pemanfaatan idle capacity PG dan pembangunan PG baru, (4) kelembagaan dan pembiayaan, melalui penguatan kelembagaan riset dan pengembangan, penguatan kelembagaan usaha petani, penyiapan pengembangan SDM, fasilitasi KKP-E/guliran PUMK, serta pembiayaan untuk revitalisasi dan pembiayaan PG baru, (5) kebijakan pemerintah melalui pengaturan tata niaga (penetapan BPP/HPP, stabilisasi harga), perpajakan dan infrastruktur (Kementan 2011).
2.3 Analisis Swasembada Gula di Indonesia Kebijakan pertanian memiliki tiga tujuan utama yaitu mendorong kemajuan dan meningkatkan diversifikasi produksi, meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam dan meningkatkan jaminan produksi pangan yang cukup (Stergides 1992). Tujuan kebijakan yang ketiga menunjukkan pentingnya swasembada pangan bagi suatu negara. Oleh karena itu diperlukan penelitian terhadap ukuran swasembada
9 yang tepat agar kebijakan dapat berjalan efektif Nielsen-Farrel (2006). Swasembada pangan telah menjadi isu dunia, hal ini terlihat dari banyaknya penelitian mengenai swasembada pangan, baik yang terkait dengan gula maupun komoditas lain. Amid (2007) melakukan penelitian mengenai swasembada gandum di Iran. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan harga roti yang murah menjadi penyebab ketidakseimbangan permintaan dan penawaran dalam negeri sehingga impor meningkat. Salah satu komoditas yang menjadi sasaran swasembada oleh pemerintah Indonesia adalah gula. Swasembada gula bisa terwujud bila ketergantungan pada impor sedikit demi sedikit dikurangi dan harus memiliki paradigma swasembada dengan menaikkan produksi dalam negeri melalui penambahan luas tanam (Ginandjar, 2012). Namun strategi pemenuhan kebutuhan gula belum terintegrasi dengan upaya pencapaian swasembada pangan secara keseluruhan, kebijakan pemenuhan kebutuhan gula berorientasi pada pemenuhan dalam arti swasembada fisik, tanpa memperhatikan pertimbangan ekonomis (Natawidjadja et al. 2012). Di sisi lain intervensi kebijakan atau pemihakan pada sistem produksi gula di Indonesia menjadi salah satu prasyarat pencapaian swasembada gula (Arifin 2012). Secara umum keamanan nasional juga menjadi faktor penting dalam mewujudkan swasembada (Hollander 2005). Hasil penelitian Widyastutik (2005), Cahyani (2008), Sawit (2010), Zaini (2011), Asmarantaka (2012) dan Trisnawati et al. (2012) menunjukkan bahwa swasembada gula yang berkelanjutan akan sulit dicapai artinya produksi gula dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Widyastutik (2005) menyatakan bahwa untuk mencapai DRC =1, analisis simulasi menunjukkan perlunya upaya peningkatan efisiensi pengusahaan gula (dari subsistem agribisnis hulu hingga ke subsistem agribisnis hilir) yang sangat tinggi dan dalam waktu yang sangat singkat, sehingga upaya mencapai swasembada gula secara berkelanjutan tidak mungkin terwujud. Hal ini terlihat dari nilai DRC > 1 yang mengindikasikan bahwa pengusahaan gula pada berbagai pola tidak memiliki keunggulan komparatif. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian Asmarantaka (2012) yang menyatakan bahwa agroindustri gula belum efisien atau belum memiliki keunggulan komparatif berdasarkan hasil analisis integrasi, RCA dan EPD, sehingga sukar untuk mencapai swasembada gula pada tahun 2014. Cahyani (2008) melakukan peramalan produksi dan konsumsi gula di Indonesia dan sampai pada kesimpulan bahwa konsumsi gula akan terus meningkat sampai tahun 2025. Sedangkan produksi gula cenderung konstan. Pesatnya perkembangan kebutuhan gula sementara peningkatan produksi relatif belum seimbang menjadikan Indonesia sebagai importir gula baik untuk gula kristal mentah maupun gula industri (Ditjen Industri dan Agro Kimia 2009). Ketidakmampuan produksi dalam negeri mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas hablur terkait persoalan teknis dan non teknis agronomis, antara lain kesalahan dalam rekomendasi pemupukan yang dibuat atas dasar hasil analisis tanah saja dan mengabaikan beragam varietas, iklim, kondisi tanaman, dan hama/penyakit tanaman (Hakim 2006). Selain permasalahan yang terkait dengan on farm, Widyastutik (2005) menjelaskan bahwa ketidakmampuan swasembada dikarenakan perusahaan gula belum memiliki keunggulan komparatif. Sementara Zaini (2011) berpendapat jika pencapaian swasembada hanya dilakukan dengan memperluas areal tanam tebu ke
10 luar Pulau Jawa dan membangun pabrik gula baru tanpa diikuti oleh peningkatan efisiensi produksi di Pulau Jawa, maka hanya mengalihkan rente ekonomi gula dari yang semula diterima importir ke produsen gula namun tetap membebani konsumen. Sawit (2010) juga menilai bahwa kebijakan gula yang dibuat oleh pemerintah belum terintegrasi dengan baik dan belum mengarah ke tujuan yang sama. Pada umumnya, masing masing kementerian atau lembaga lebih berorientasi pada kepentingan jangka pendek daripada jangka panjang, dan dirancang secara ad hoc dan parsial. Disamping itu, kebijakan distribusi/perdagangan yang dirancang pemerintah belum mampu mengoreksi konsentrasi perdagangan gula, akibatnya pasar gula semakin menjauhi struktur pasar yang adil dan yang muncul adalah pasar oligopoli/oligopsoni. Priyono (2008) menyebutkan bahwa untuk mencapai program swasembada diperlukan pembukaan lahan tebu dan pendirian pabrik gula baru di sejumlah wilayah oleh investor baik dari dalam dan luar negeri. Untuk mewujudkan swasembada gula 2014 pemerintah juga perlu menitikberatkan sektor off farm, diantaranya peremajaan mesin pabrik gula serta perbaikan kelembagaan pemasaran (Asmarantaka et al. 2012). Sementara menurut Ditjen Industri Agro dan Kimia (2009), diperlukan pengembangan industri gula (pengolahan tebu) yang terpadu mulai dari perkebunan, pengolahan, pemasaran dan distribusi yang didukung oleh pemangku kepentingan termasuk lembaga pendukung seperti litbang, SDM, keuangan/perbankan dan transportasi. Selain itu juga diperlukan upaya upaya merevitalisasi koperasi tebu rakyat (Hanani et al. 2012). Peningkatan produktivitas secara global juga dapat tercapai bila pemangku penentu kebijakan mengambil keputusan kebijakan Pengembangan Produk Alternatif, lalu diikuti keputusan Dukungan Kebijakan Moneter, dan terakhir kebijakan Penentuan Tarif Bea Masuk. Dengan mengikuti pola pemeringkatan kebijakan tersebut, maka diharapkan pada tahun 2014 dapat dicapai swasembada gula (Dibyoseputro 2012). Sejalan dengan pendapat tersebut, Susila (2005) menunjukkan bahwa berbagai kombinasi kebijakan harga provenue, tarif impor, Tariff Rate Quota (TRQ), dan subsidi input merupakan instrument kebijakan yang efektif untuk mengembangkan industri gula nasional dan mengurangi impor. Namun dalam mewujudkan swasembada gula, terdapat berbagai kondisi yang kontra produktif terhadap upaya pencapaian swasembada antara lain aktivitas lobi dan tekanan politik produsen. Zaini (2011) melalui analisis regresi menunjukkan adanya hubungan positif antara tingginya aktivitas lobi/tekanan politik produsen dengan besarnya biaya sosial perburuan rente dan berhubungan negatif dengan pencapaian swasembada. Aktivitas lobi dan tekanan politik ditujukan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sehingga produsen gula mendapatkan rente ekonomi melalui hambatan impor.
2.4 Pendekatan Neraca Ketersediaan Untuk Menganalisis Dinamika Swasembada Penelitian mengenai neraca ketersediaan telah banyak dilakukan baik itu terkait dengan komoditas gula maupun komoditas lain. Irawan (2005) melakukan penelitian ketersediaan beras nasional dengan menggunakan data sekunder. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan yaitu tidak mencakup sub sistem
11 distribusi dan tata niaga, mengabaikan pengaruh faktor lingkungan dan pengaruh faktor harga gabah beras terhadap tingkat penawaran. Sementara Nurmalina (2007) melakukan penelitian ketersediaan beras nasional secara komprehensif dengan memanfaatkan data primer dan data sekunder. Analisis dimulai dengan menilai indeks dan status keberlanjutan ketersediaan beras nasional dengan metode multi dimensional scalling (MDS), menganalisis peubah yang dominan mempengaruhi ketersediaan beras dengan analisis prospektif, kemudian membuat model neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan dengan pendekatan sistem dinamik. Pendekatan yang sama juga digunakan oleh Utami (2006) dan Soemantri dan Machfud (2008) untuk membangun model ketersediaan ubi kayu. Model ketersediaan ubi kayu terdiri dari tiga submodel yaitu sub model persediaan, sub model kebutuhan konsumsi dan submodel kebutuhan industri. Terdapat lima skenario menurut tujuan model yaitu skenario tanpa kebijakan (usaha pemeliharaan), skenario dengan pemberdayaan sumberdaya lahan, skenario dengan kebijakan peningkatan produktivitas, skenario kebijakan pemberdayaan lahan dan peningkatan produktivitas serta skenario dengan kebijakan peningkatan konsumsi dan peningkatan kebutuhan industri. Supriyati (2011) melakukan penelitian terkait dengan neraca gula. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konsep FAO yang diacu oleh BKP lebih tepat untuk dijadikan format neraca gula baik oleh DGI dan BKP. Sementara Widhaningsih (2007) melakukan penelitian mengenai pengaruh kebijakan tataniaga gula terhadap ketersediaan dan harga domestik gula pasir di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa indeks ketersediaan dapat diproyeksikan dengan trend polynomial (kuadratik). Berdasarkan trend ini maka ketersediaan akan meningkat tapi pada titik/periode terentu akan mencapai puncak dan kembali mengalami penurunan. Secara umum hasil hasil penelitian terdahulu tersebut menggambarkan bahwa pendekatan neraca ketersediaan merupakan pendekatan yang tepat untuk mengetahui ketersediaan suatu komoditas. Selanjutnya neraca ketersediaan tersebut dapat digunakan sebagai dasar simulasi kebijakan untuk menganalisis dinamika swasembada.
2.5 Pendekatan Sistem Dinamik untuk Merumuskan Strategi dan Kebijakan Pengembangan Industri Gula Beberapa penelitian dengan pendekatan sistem dinamik terkait dengan komoditas gula telah dilakukan. Rancang bangun modal yang telah dibuat memiliki tujuan yang bervariasi, mulai dari peningkatan produksi gula (Sriwana 2006), optimasi produksi gula (Prabawa 1998), produktivitas sistem kerja (Haskari 2008), peningkatan pendapatan petani tebu (Novitasari dan Wirjodirdjo 2010), efektifitas kelembagaan rantai pasok pergulaan nasional (Khumairoh 2010) serta sebagai alat pemeta dan simulasi (Dibyoseputro 2012). Dari aspek on farm, analisis pemodelan dan sistem dinamik dapat digunakan untuk mendapatkan model sistem pengadaan alat dan mesin budidaya tebu di lahan kering, sebagai bagian dari manajemen industri gula. Model pengadaan pada penelitian ini meliputi pemilihan jenis, penentuan jumlah dan analisis biaya
12 alat dan mesin budidaya tebu, serta penentuan tingkat keprasan yang optimum (Prabawa 1998). Dari aspek off farm, analisis pemodelan dan sistem dinamik dapat digunakan untuk merancangbangun model peningkatan produksi gula tebu melalui perbaikan aspek aspek jadwal pemeliharaan mesin produksi gula, penentuan kapasitas operasional pabrik, penentuan jadwal tebang tebu dan analisa sistem antrian transportasi tebu (Sriwana 2006). Sementara Haskari (2008) menggunakan analisis pemodelan dan sistem dinamik untuk mempelajari dan menentukan parameter ergonomi mikro dan makro pada sistem kerja pengolahan tebu di pabrik gula. Parameter tersebut diaplikasikan dalam perancangan model faktor ergonomi makro terhadap produktivitas sistem kerja pada pabrik gula. Pendekatan sistem dinamik yang komprehensif dilakukan oleh Novitasari dan Wirjodirdjo (2010) yang menggunakan pendekatan sistem dinamik untuk menggambarkan model secara keseluruhan dan melakukan simulasi skenario kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani tebu. Pendekatan sistem dinamik yang komprehensif juga dilakukan oleh Dibyoseputro (2012) untuk membangun model sebagai alat pemeta sekaligus alat simulasi dalam pengambilan keputusan kompleks pengembangan agroindustri gula tebu. Model yang dibangun dalam penelitian Novitasari dan Wirjodirdjo (2010) terbagi ke dalam lima submodel yaitu submodel persediaan tebu di Indonesia, submodel persediaan gula kristal, submodel persediaan gula rafinasi, submodel impor gula kristal dan submodel impor gula rafinasi. Hasilnya menunjukkan bahwa skenario yang memberikan dampak paling signifikan terhadap peningkatan profit petani tebu Indonesia adalah melakukan revitalisasi pabrik gula dan penetapan bea masuk gula impor sebesar 20 persen. Sementara model yang dibangun dalam penelitian Dibyoseputro (2012) terbagi ke dalam tiga submodel yaitu submodel perkebunan tebu, submodel PG dan submodel kebijakan. Hasil simulasi menunjukan bahwa peningkatan produktivitas secara global dapat tercapai bila pemangku penentu kebijakan mengambil keputusan kebijakan pengembangan produk alternatif, lalu diikuti keputusan dukungan kebijakan moneter, dan terakhir kebijakan penentuan tarif bea masuk. Dari sisi pemasaran, Khumairoh (2010) melakukan analisis keterkaitan pelaku pergulaan nasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan pemodelan sistem dinamis, karena obyek kajian bersifat makro dan strategis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterkaitan pada pelaku distribusi terlihat pada variabel harga jual dan jumlah persediaan gula. Selain itu, dinamika harga gula lebih sering terjadi di retailer serta sangat dipengaruhi oleh supplai gula dan persediaan gula. Berdasarkan skenario yang disusun, pengurangan jumlah impor dapat dilakukan dengan revitalisasi industri gula, penurunan bea impor, serta pembatasan konsumsi gula kristal oleh industri. Secara umum pemodelan yang dibuat pada penelitian gula yang telah ada difokuskan pada teknologi peningkatan produksi gula dari sisi penyediaan baik itu off farm saja, on farm saja atau gabungan dari keduanya. Namun belum ada yang membuat model ketersediaan gula secara terintegrasi dengan menggabungkan antara faktor penyediaan bahan baku, pengolahan, perdagangan dan kebutuhan.
13
3 KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Swasembada dan Ketahanan Pangan Pemilihan konsep swasembada pangan harus dikaitkan dengan pertimbangan hal hal berikut: (a) sejauh mana bahan pangan tersebut merupakan hajat hidup masyarakat banyak; (b) perkembangan teknis dan teknologi serta tipe dari bahan pangan tersebut dalam pola pangan pokok; (c) situasi dan kondisi lain dari daerah ditinjau dari local specific; dan (d) kedudukan bahan pangan tersebut dalam pasar global/internasional. Jadi dalam waktu yang sama untuk bahan pangan yang berbeda terdapat konsep swasembada pangan yang berbeda pula. Untuk perekonomian yang relatif maju, dimana sistem pasar telah berjalan, konsep swasembada yang paling tepat adalah dalam pengertian kemampuan ekonomi untuk ekspor dan impor dengan pertimbangan sejauh mana pengembangan bahan pangan tersebut mempunyai keterkaitan kuat dalam ekonomi (Bunasor 1993). Swasembada akan tercapai apabila secara netto jumlah produk dalam negeri minimal mencapai 90% dari jumlah konsumsi domestiknya, baik untuk memenuhi konsumsi rumah tangga, industri maupun neraca perdagangan gula nasional. Dengan pengertian tersebut yang dimaksud swasembada gula adalah produksi gula berbasis tebu dalam negeri telah mencapai 90% dari kebutuhan nasional (Kementan, 2010). Konsep swasembada memiliki keterkaitan yang erat dengan konsep ketahanan pangan dimana hasil rumusan International Congress of Nutrition (ICN) yang diselengarakan di Roma tahun 1992 mendefinisikan ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari hari (Arabi 2002). Senada dengan definisi tersebut, UU No 18 Tahun 2012 mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sementara menurut FAO (1996) ketahanan pangan adalah situasi dimana semua orang dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman (safe) dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif. Maleha dan Sutanto (2006) menambahkan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut. Dengan demikian kebijakan swasembada gula yang direalisasikan oleh pemerintah dalam program RIGN harus memperhatikan kedelapan syarat ketahanan pangan yang tercantum dalam UU No 18 tahun 2012 tersebut. Disamping itu, operasionalisasi RIGN juga harus mengacu kepada arahan
14 strategis dalam operasionalisasi ketahanan pangan menurut Deptan (2006) yaitu sebagai berikut: 1. Terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang diindikasikan oleh adanya jaminan ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang. 2. Terjaminnya ketersediaan dan akses terhadap pangan secara merata dalam rangka mewujudkan hak setiap warga negara atas kecukupan pangan secara layak, dan dapat mendukung stabilitas dan keberlanjutan pembangunan perekonomian nasional. 3. Pemerintah dan masyarakat luas diharapkan dapat meningkatkan komitmen dan kerjasamanya secara partisipatif dalam membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berbasis pedesaan. 4. Urgensi komitmen bersama dalam memandang pangan bukan saja sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga sebagai komoditas strategis (politis dan ekologis) untuk mencapai ketahanan pangan dan keamanan nasional serta kedaulatan bangsa. 3.1.2 Konsep Revitalisasi Krisnamurthi (2006) merumuskan 3 definisi penting revitalisasi pertanian, yaitu sebagai berikut: 1. Revitalisasi pertanian merupakan kesadaran untuk menempatkan (kembali) arti penting (re-vital-isasi) pertanian, perikanan dan kehutanan secara proporsional dan kontekstual. Secara proporsional pertanian memiliki arti penting dalam posisinya bersama dengan bidang dan sektor lain dilihat dari perannya bagi kesejahteraan dan berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Arti penting pertanian juga dilihat secara kontekstual sesuai perkembangan masyarakat. Pertanian tidak dipentingkan hanya karena pertimbangan masa lalu, tetapi karena pemahaman atas kondisi saat ini dan antisipasi masa depan dalam masyarakat yang mengglobal, semakin modern dan menghadapi persaingan yang semakin ketat. 2. Revitalisasi pertanian merupakan usaha, proses dan kebijakan untuk menyegarkan kembali daya hidup pertanian, memberdayakan kemampuannya, membangun daya saingnya, meningkatkan kinerjanya serta mensejahterakan pelakunya, terutama petani, nelayan dan petani hutan sebagai bagian dari usaha untuk mensejahterakan seluruh rakyat. 3. Revitalisasi pertanian adalah strategi dan alat untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama juga merupakan tujuan yang harus dicapai (a mean and an end of its own) setidaknya sebagai tujuan antara yang harus dapat diwujudkan. Ketiga definisi tersebut menegaskan arti strategis revitalisasi pertanian di satu sisi, sementara di sisi lain menegaskan besarnya lingkup revitalisasi pertanian itu sendiri. Sementara Saragih (2010) menyatakan bahwa revitalisasi berasal dari kata vital yang berarti sangat penting atau vitalitas yang bermakna daya hidup. Dengan demikian makna pertama revitalisasi perkebunan adalah menempatkan kembali perkebunan sebagai sektor pembangunan yang penting. Makna kedua adalah mengembalikan kinerja perkebunan yang saat ini mengalami penurunan atau keterpurukan ke tingkat semula atau lebih tinggi.
15 Sementara berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permentan/OT.140/7/2006 Program Revitalisasi Perkebunan adalah upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra dalam pengembangan perkebunan, pengolahan dan pemasaran hasil. 3.1.3 Teori Permintaan dan Penawaran Kurva permintaan merupakan kurva yang menggambarkan jumlah barang yang diminta oleh konsumen pada berbagai tingkat harga, sedangkan harga barang terkait, pendapatan, iklan dan variabel lain dianggap konstan (Baye 2006). Kurva permintaan juga merupakan titik titik yang masing masing menggambarkan tingkat maksimum pembelian pada harga tertentu dengan ceteris paribus (keadaan lain tetap sama). Senada dengan pendapat tersebut, Lipsey et al. (1995) mendefinisikan kurva permintaan sebagai hubugan antara jumlah yang diminta dengan harga, dengan faktor lain tetap sama. Faktor faktor yang menentukan jumlah kuantitas yang diminta antara lain harga komoditi itu sendiri, rata rata penghasilan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan, selera, distribusi pendapatan diantara rumah tangga dan populasi (Lipsey et al. 1995). Perubahan jumlah barang yang diminta akibat perubahan harga dengan asumsi variabel lain konstan akan mengakibatkan pergerakan di sepanjang kurva permintaan (Lipsey et al. 1995 dan Baye 2006). Sementara pergeseran kurva permintaan akan terjadi akibat perubahan faktor lain pada harga yang sama, antara lain perubahan pendapatan konsumen, harga barang terkait, iklan, selera konsumen, populasi dan harapan konsumen (Baye 2006). Permintaan suatu komoditi berdasarkan penggunaannya dapat dibedakan menjadi permintaan untuk konsumsi langsung dan permintaan untuk penggunaan antara (derived demand) yaitu sebagai bahan baku industri pengolahan. Untuk permintaan langsung, total permintaan merupakan perkalian antara konsumsi per kapita dengan jumlah penduduk. Konsumsi per kapita akan ditentukan oleh tingkat pendapatan, tingkat harga dan karakteristik demografis. Bila dalam jangka pendek tingkat harga dan faktor faktor lainnya dianggap konstan, maka pendapatan adalah sebagai penentu utama. Kurva penawaran merupakan kurva yang menggambarkan jumlah barang yang diproduksi oleh produsen pada berbagai tingkat harga, sementara harga input, teknologi dan variabel lain dianggap konstan (Baye 2006). Kurva penawaran juga merupakan hubungan antara jumlah atau kuantitas yang ditawarkan dan harga jika faktor lainnya tetap sama (Lipsey et al. 1995). Faktor faktor yang menentukan jumlah yang ditawarkan antara lain harga komoditi itu sendiri, harga input, tujuan perusahaan dan perkembangan teknologi (Lipsey et al. 1995). Perubahan jumlah barang yang ditawarkan akibat perubahan harga dengan asumsi variabel lain konstan akan mengakibatkan pergerakan di sepanjang kurva penawaran. Sementara pergeseran kurva penawaran akan terjadi akibat perubahan faktor lain pada harga yang sama, antara lain perubahan harga input, teknologi atau kebijakan pemerintah, jumlah perusahaan, substitusi dalam produksi, pajak dan ekspektasi produsen (Baye 2006).
16 3.1.4 Pendekatan Sistem Dinamik America National Standards Institute dalam Squire (1992) mendefinisikan sistem sebagai serangkaian metode, prosedur atau teknik yang disatukan oleh interaksi yang teratur sehingga membentuk suatu kesatuan yang terpadu. Sistem juga merupakan gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu (Hartrisari 2007). Sementara menurut Muhammadi et al. (2001), sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Sistem dinamik adalah metode untuk meningkatkan pembelajaran dalam sistem yang kompleks (Sterman 2000). Sementara Hartrisari (2007) menjelaskan bahwa sistem dinamik merupakan metoda yang dapat menggambarkan proses, perilaku dan kompleksitas dalam sistem. Simulasi dengan menggunakan model dinamik dapat memberikan penjelasan tentang proses yang terjadi dalam sistem dan prediksi hasil dari berbagai skenario atau input model. Berdasarkan hasil simulasi model tersebut diperoleh alternatif alternatif untuk menunjang pengambilan keputusan. Secara substansial terdapat dua alasan yang mendasari pentingnya perspektif sistem dinamik. Pertama, pendekatan sistem dengan sistem dinamis adalah proses berpikir menyeluruh dan terpadu yang mampu menyederhanakan kerumitan tanpa kehilangan unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian. Kedua, metode sitem dinamis cocok untuk menganalisis mekanisme, pola dan kecenderungan sistem berdasarkan analisis terhadap struktur dan perilaku sistem yang rumit, berubah cepat dan mengandung ketidakpastian (Muhammadi et al. 2001). 3.1.5 Pemodelan Sistem Dinamik Hartrisari (2007) menjelaskan bahwa pendekatan sistem merupakan cara pandang yang bersifat menyeluruh yang memfokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen, sedangkan model merupakan penyederhanaan dari sistem. Sedangkan Muhammadi et al. (2001) berpendapat bahwa model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model juga merupakan jembatan antara dunia nyata dengan dunia berpikir untuk memecahkan suatu masalah. Proses penjabaran atau merepresentasikan ini disebut sebagai pemodelan yang merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis (Fauzi dan Anna 2005). Sejalan dengan pendapat tersebut Forrester (1965) dalam Hartrisari (2007) menyatakan bahwa model adalah representasi sebuah sistem, namun tidak akan sama persis dengan sistem sebenarnya. Semakin banyak variabel yang dimasukkan dalam model, semakin sulit untuk menjelaskan proses yang terjadi. Muhammadi et al. (2001) membagi tahapan pendekatan sistem ke dalam lima tahap yaitu: identifikasi proses menghasilkan kejadian nyata; identifikasi kejadian diinginkan; identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan; identifikasi dinamika menutup kesenjangan; dan analisis kebijakan. Eriyatno (1999) membagi analisis metodologi sistem ke dalam enam tahap: analisa kebutuhan; identifikasi sistem; formulasi masalah; pembentukan alternatif; determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik; serta penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. Sementara Fauzi dan Anna (2005) merumuskan tahapan proses pemodelan ke dalam tujuh tahapan yaitu identifikasi; membangun asumsi; konstruksi model; analisis; interpretasi; validasi dan implementasi.
17 Tahapan pemodelan dalam penelitian ini merupakan kombinasi antara pendapat Sterman (2000) dengan pendapat Manetsch dan Park (1977) dalam Hartrisari (2007). Sterman (2000) merumuskan proses pemodelan menjadi lima tahapan yaitu: 1. Perumusan masalah Tahapan perumusan masalah mencakup pemilihan tema, variabel kunci, waktu dan pendefinisian permasalahan dinamis. Pemilihan tema harus memperhatikan permasalahan yang melatarbelakangi dan mengapa permasalahan tersebut terjadi. Variabel kunci yaitu mencakup konsep dan variabel kunci apa yang harus dipertimbangkan. Waktu yaitu seberapa jauh rentang waktu di masa depan dan masa lalu yang akan diperhatikan. Sementara pendefinisian permasalahan dinamis mencakup perilaku variabel kunci di masa lalu dan prediksi perilaku variabel tersebut di masa yang akan datang. 2. Formulasi hipotesis Tahapan formulasi hipotesis mencakup penurunan hipotesis awal, endogenous focus dan pemetaan. Penurunan hipotesis awal didasarkan kepada teori terbaru yang dilanjutkan dengan endogenous focus. Pada tahap endogenous focus dilakukan perumusan hipotesis dinamis yang menjelaskan dinamika sebagai konsekuensi endogen dari struktur umpan balik. Sementara pada tahap pemetaan akan dibuat causal structure yang didasarkan kepada hipotesis awal, variabel kunci, referensi dan data lainnya yang tersedia dengan menggunakan model boundary diagrams, subsystem diagrams, causal loop diagrams, stock and flow maps, policy structure diagrams dan alat lainnya. 3. Perumusan model simulasi Tahapan perumusan model simulasi meliputi spesifikasi, estimasi dan pengujian. Spesifikasi yang dimaksud meliputi spesifikasi struktur dan aturan. Estimasi yang dimaksud meliputi estimasi parameter, hubungan perilaku dan kondisi awal. Sementara pengujian dilakukan untuk menguji konsistensi terhadap tujuan dan batasan yang telah ditetapkan. 4. Pengujian Tahapan pengujian meliputi perbandingan dengan model referensi, ketahanan di bawah kondisi ekstrim dan sensitivitas. Perbandingan dengan model referensi ditujukan untuk mengetahui apakah model mereproduksi perilaku masalah dengan cukup baik sesuai dengan tujuan. Ketahanan di bawah kondisi ekstrim ditujukan untuk mengetahui apakah model berperilaku realistis ketika dihadapkan pada kondisi ekstrim. Sementara sensitivitas ditujukan untuk mengetahui bagaimana model berperilaku atas ketidakpastian parameter, kondisi awal dan agregrasi. 5. Desain kebijakan dan evaluasi Tahapan desain kebijakan dan evaluasi meliputi spesifikasi skenario, desain kebijakan, what if analysis, analisis sensitivitas dan interaksi kebijakan. Spesifikasi skenario yaitu pembahasan mengenai kondisi lingkungan yang mungkin terjadi. Desain kebijakan meliputi pembahasan mengenai struktur, aturan dan strategi baru yang mungkin terjadi di dunia nyata dan bagaimana hal hal tersebut bisa terwakili ke dalam model. What if analysis yaitu analisa untuk melihat bagaimana dampak dari suatu kebijakan. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat seberapa kuat rekomendasi kebijakan yang diberikan di bawah skenario yang berbeda dan ketidakpastian yang terjadi. Sementara interaksi
18 kebijakan digunakan untuk melihat apakah kebijakan saling berinteraksi dan apakah terdapat sinergi atau respon yang saling melengkapi. Mulai Analisis
Formulasi Identifikasi Pemodelan
Verifikasi dan Validasi Implementasi Selesai Gambar 5 Tahapan pendekatan sistem Sumber: Manetsch dan Park dalam Hartrisari (2007)
Gambar 5 merupakan gambar tahapan pendekatan sistem. Manetsch dan Park (1977) dalam Hartrisari (2007) merumuskan tahapan pendekatan sistem ke dalam 6 tahapan yaitu: 1. Analisis kebutuhan Pengkajian suatu sistem diawali dengan analisis kebutuhan. Pada tahap ini diidentifikasi kebutuhan kebutuhan dari masing masing pelaku (stakeholders) sebagai dasar pertimbangan dalam memahami sistem yang dikaji. Setiap pelaku sistem memiliki kebutuhan yang berbeda beda yang dapat mempengaruhi kinerja sistem, dimana masing masing pelaku berharap agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi jika mekanisme sistem tersebut dijalankan. Tahapan analisis kebutuhan ini sangat penting untuk dilakukan karena apabila pelaku merasa bahwa mekanisme sistem tidak dapat mengakomodasi kebutuhannya, maka pelaku sebagai komponen sistem tidak mau atau tidak akan menjalankan fungsi secara optimal sehingga mengakibatkan kinerja sistem terganggu. 2. Formulasi masalah Kebutuhan yang sinergis antar semua pelaku sistem tidak akan menimbulkan permasalahan dalam pencapaian tujuan sistem karena semua pelaku menginginkan kebutuhan tersebut. Sebaliknya permasalahan akan muncul jika
19 terdapat kebutuhan yang saling kontradiktif antar pelaku. Kebutuhan yang saling kontradiktif dapat dikenali berdasarkan dua hal, yaitu: kelangkaan sumberdaya (lack of resources) dan perbedaan kepentingan (conflict of interest). Kebutuhan pelaku yang saling kontradiktif ini memerlukan solusi penyelesaian yang didapatkan dari pemahaman terhadap mekanisme yang terjadi dalam sistem. Berdasarkan mekanisme tersebut, hubungan antar faktor dapat diketahui sehingga solusi dapat ditentukan berdasarkan pengetahuan keterkaitan antar faktor. 3. Identifikasi sistem Identifikasi sistem dilakukan untuk memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah dengan menyusun diagram lingkar sebab-akibat (causal loop diagram) atau diagram input output (black box diagram). Hal ini bertujuan untuk mengenali hubungan antara “pernyataan kebutuhan” dengan “pernyataan masalah” yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. 4. Pemodelan sistem Prosedur dalam pemodelan adalah menyatakan kembali permasalahan yang akan diselesaikan sesuai dengan tujuan kajian sistem, menyusun hipotesis, memformulasi model, menguji serta menganalisis model. Model disusun untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Suatu model dikatakan efektif apabila model tersebut mampu menyederhanakan sistem yang akan dicapai yaitu memiliki keterkaitan antara dunia maya yang dinyatakan dalam model dengan dunia nyata. 5. Verifikasi dan validasi Tujuan dari verifikasi dan validasi model adalah menguji kebenaran struktur model untuk menunjukkan kesalahan minimal dibandingkan dengan data aktual termasuk menggunakan berbagai teknik statistika. Sementara Muhammadi et al. (2001) berpendapat bahwa validasi diperlukan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan kecil. Secara umum, pengujian model meliputi tiga hal yaitu pengujian kesesuaian model, evaluasi model dan validasi model. Pengujian kesesuaian model bertujuan untuk melihat apakah persamaan persamaan yang digunakan sudah benar, melihat kesesuaian prosedur perhitungan dan meyakinkan bahwa model telah bebas dari kesalahan kesalahan teknis. Evaluasi model bertujuan untuk melihat kesesuaian antara hasil model dengan realitas dan hasil model dengan tujuan yang ditentukan pada awalnya. Sementara validasi model bertujuan untuk melihat kesesuaian hasil model dengan realitas bila model dijalankan dengan data yang lain. 6. Implementasi model Implementasi sistem merupakan tahapan uji coba sistem, operasi parallel dan pelatihan bagi pemakai. Suatu sistem yang bagus di atas kertas, belum tentu bagus pada saat implementasinya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian (Squire 1992).
20 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Program RIGN dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan antara produksi dan konsumsi GKP, dimana produksi tidak mampu memenuhi kebutuhan. Hal ini terlihat dari defisit GKP yang terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu penelitian model swasembada GKP nasional ini menjadi perlu dilakukan, terutama untuk mendukung strategi pencapaian swasembada GKP 2014. Penelitian ini diawali dengan menganalisis keragaan penyediaan dan kebutuhan GKP nasional sebagai dasar dalam membuat model swasembada GKP dengan pendekatan sistem dinamis. Pendekatan sistem dinamis ini diawali dengan menganalisis kebutuhan dan permasalahan stakeholder melalui analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan. Kedua analisis ini dilakukan dengan berbasiskan studi pustaka, penelitian terdahulu dan kebijakan pemerintah. Tahapan selanjutnya adalah memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem industri gula nasional melalui tahapan identifikasi sistem dengan membuat diagram input output dan diagram lingkar sebab-akibat. Prosedur selanjutnya adalah menyatakan kembali permasalahan yang akan diselesaikan sesuai dengan tujuan kajian sistem dalam sebuah model swasembada GKP yang mampu menyederhanakan dan merepresentasikan sistem industri GKP nasional melalui tahapan pemodelan sistem dengan membuat diagram stock and flow. Model yang telah dibuat kemudian diuji struktur dan kebenarannya melalui tahap validasi model dengan uji RSMPE, AME dan AVE. Apabila hasil uji validasi menunjukkan bahwa model yang dibuat mampu merepresentasikan sistem industri GKP, maka simulasi dapat dilakukan. Namun apabila hasil validasi menunjukkan bahwa model yang dibuat belum mampu merepresentasikan sistem industri GKP nasional, maka penelitian akan kembali ke tahap rancang bangun model. Hasil simulasi dari model yang telah valid tersebut akan menunjukkan dinamika swasembada GKP nasional pada kondisi aktual dan apabila terjadi perubahan perilaku pada beberapa variabel. Perubahan perilaku tersebut akan dianalisis untuk mengkaji dampak RIGN terhadap pencapaian swasembada GKP dan untuk menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan alternatif. Secara ringkas kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 6.
21 Produksi GKP meningkat 0,63 % per tahun
Defisit GKP meningkat 27,65 % per tahun
Konsumsi GKP meningkat 1,28 % per tahun
RIGN dengan target swasembada GKP
Perlunya penelitian Model Swasembada GKP
Keragaan Penyediaan dan Kebutuhan GKP
Model Swasembada GKP Nasional
Pendekatan analisis sistem dinamis
Analisis kebutuhan stakeholder Analisis formulasi permasalahan stakeholder
Identifikasi sistem
Menganalisis kebutuhan dan permasalahan stakeholder
Memahami mekanisme sistem
Pemodelan sistem
Membuat Model Sistem Industri GKP
Validasi Model
Menguji kebenaran struktur dan kinerja model
T
Studi pustaka Studi penelitian terdahulu Studi kebijakan pemerintah Diagram input output Diagram sebab akibat
Diagram stock and flow
Uji RMSPE, AME, AVE
Y
Simulasi Model
Menganalisis dinamika swasembada GKP nasional
Skenario: Dampak kebijakan RIGN Kebijakan alternatif
Rekomendasi Keterangan
: alur berfikir : tahapan pemodelan
: analisis sistem dinamis : operasionalisasi alur berfikir
Gambar 6 Kerangka pemikiran operasional
22
4 METODE PENELITIAN
4.1 Cakupan Penelitian Penelitian ini dianalisis secara makro pada tingkat nasional. Perhitungan ketersediaan GKP nasional dilakukan dengan pendekatan sistem dinamis. Model ini menggunakan tahun 2010 sebagai tahun dasar dengan pertimbangan tahun tersebut merupakan tahun dimulainya program RIGN. Analisis perilaku model ini akan dilakukan hingga tahun 2025 dengan pertimbangan tahun tersebut merupakan tahun berakhirnya rencana aksi jangka panjang program pengembangan klaster industri gula yang diatur dalam peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 11/M-IND/PER/2010. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu dari bulan November hingga Desember 2012.
4.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu data luas areal tebu, produktivitas tebu, rendemen, kapasitas giling pabrik, harga GKP impor, harga GKP domsetik, penduduk dan konsumsi GKP. Data dikumpulkan dari berbagai sumber seperti laporan, dokumen dan hasil penelitian dari berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian antara lain Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Dewan Gula Indonesia (DGI), Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) dan perguruan tinggi (PT).
4.3 Metoda Analisis Data Data dan informasi yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis secara kualitatif (deskriptif) dan kuantitatif. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui keragaan penyediaan dan kebutuhan gula di Indonesia. Analisis kuantitatif dilakukan dengan pendekatan sistem dinamis. Analisis sistem dinamis digunakan untuk menyusun model dinamika swasembada GKP nasional dan simulasi terhadap model tersebut dengan menggunakan software Powersim studio. Model swasembada GKP tersebut dibangun dengan pendekatan sistem dinamis. Secara substansial terdapat dua alasan yang mendasari pentingnya perspektif sistem dinamik menurut Muhammadi et al. (2001), yaitu (1) pendekatan sistem dengan sistem dinamis adalah proses berpikir menyeluruh dan terpadu yang mampu menyederhanakan kerumitan tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian, (2) metode sitem dinamis cocok untuk menganalisis mekanisme, pola dan kecenderungan sistem berdasarkan analisis terhadap struktur dan perilaku sistem yang rumit, berubah cepat dan mengandung ketidakpastian.
23 4.2.1 Analisis Kebutuhan Tahapan pengkajian sistem diawali dengan analisis kebutuhan. Analisis kebutuhan dilakukan dengan mengidentifikasi para stakeholder yang terkait dengan industri gula. Selanjutnya akan dilakukan identifikasi kebutuhan dari para stakeholder tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam pemahaman sistem industri gula yang akan dikaji. Setelah kebutuhan tersebut dirumuskan, baru kemudian dilakukan tahap pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut. Bedasarkan pada studi pustaka dan hasil penelitian, stakeholder industri gula dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Pemerintah, (2) Swasta (PBS, pedagang besar, retailer), (3) BUMN (PBN), (4) Konsumen dan (5) Petani dan kelompok tani. Setiap pelaku sistem tersebut memiliki kebutuhan yang berbeda beda yang dapat mempengaruhi sistem ketersediaan GKP. Tabel 1 Analisis kebutuhan stakeholder dalam model swasembada GKP nasional Stakeholder Pemerintah
Swasta
BUMN
Konsumen Petani
Kebutuhan stakeholder
Peningkatan produksi tebu dan gula Peningkatan rendemen Neraca ketersediaan GKP positif Swasembada GKP tahun 2014 Produksi gula tinggi Harga gula tinggi Efisiensi pabrik tinggi Bahan baku memadai Revitalisasi industri gula swasta mencapai target Produksi gula tinggi Harga gula tinggi Efisiensi pabrik tinggi Bahan baku memadai Revitalisasi industri gula BUMN mencapai target Harga gula murah Gula tersedia sepanjang waktu Harga gula tinggi Rendemen tinggi Produktivitas tebu tinggi
Sumber: Diadaptasi dari Pambudy (2004), Mardianto et al. (2005), Ditjen Industri Agro dan Kimia (2009), Kementrian BUMN (2011)
4.2.2
Formulasi Masalah dalam Sistem Berdasarkan hasil analisis kebutuhan, terlihat adanya keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda di antara stakeholder. Perbedaan kebutuhan ini mengindikasikan adanya perbedaan kepentingan dan kelangkaan sumberdaya yang akan mengakibatkan tujuan sistem menjadi sulit untuk dicapai. Oleh karena itu diperlukan solusi penyelesaian dengan memetakan berbagai kepentingan stakeholder agar dapat memahami mekanisme yang terjadi di dalam sistem melalui analisis formulasi masalah seperti terlihat pada Tabel 2.
24 Tabel 2 Analisis formulasi permasalahan stakeholder dalam model dinamika sistem industri GKP Stakeholder Pemerintah
Swasta BUMN
Konsumen Petani
Permasalahan stakeholder
Perluasan lahan terkendala kesesuaian lahan untuk tebu dan persaingan dengan komoditas lain serta pemukiman penduduk Rendemen rendah Prioritas kebijakan belum jelas Produktivitas rendah Kontinuitas bahan baku kurang terjamin Mutu tebu tidak MBS (manis, bersih, segar) Kontinuitas bahan baku kurang terjamin Mesin tua Efisiensi pabrik rendah Produktivitas rendah Rendemen rendah Harga gula tinggi di luar musim giling Mutu gula kurang terjamin Rendemen rendah Produktivitas rendah Tingginya jumlah tanaman keprasan Sistem penentuan rendemen yang tidak adil
Sumber: Diadaptasi dari Pambudy (2004), Mardianto et al. (2005), Ditjen Industri Agro dan Kimia (2009), Kementrian BUMN (2011)
4.2.3 Indentifikasi Sistem Industri GKP Nasional Tahapan identifikasi ketersediaan GKP nasional ditujukan untuk memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem dengan cara menangkap hubugan antara analisis kebutuhan dengan formulasi masalah. Tujuan utama pemodelan swasembada GKP ini adalah untuk menangkap perilaku ketersediaan GKP di masa yang akan datang. Dalam penelitian ini model swasembada GKP dibagi ke dalam empat submodel yaitu submodel penyediaan bahan baku, submodel pengolahan, submodel kebutuhan dan submodel perdagangan. Pendekatan yang digunakan adalah dengan menyusun diagram sebab akibat (causal loop diagram) dan diagram input output (black box diagram). a. Diagram Input Output Diagram input output menggambarkan hubungan antara output yang dihasilkan dengan input berdasarkan tahapan analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan (Hartrisari 2007). Diagram input output untuk model swasembada GKP nasional disajikan pada Gambar 7.
25 Input Tak Terkendali
• Iklim dan cuaca • Topografi lahan
Input Lingkungan Kebijakan Pemerintah
Output yang Diinginkan
• Neraca ketersediaan GKP positif
• Peningkatan produksi GKP • Penurunan konsumsi GKP
Sistem industri GKP Nasional Input Terkendali
Output Tidak Diinginkan
• Lahan • Produktivitas tebu • Rendemen • Jumlah penduduk
• Neraca ketersediaan GKP negatif
• Penurunan produksi GKP • Peningkatan konsumsi GKP
Revitalisasi Industri Gula Nasional (Umpan balik)
Gambar 7 Diagram input output model sistem industri GKP nasional Pada diagram input output terdapat empat faktor penting yang merupakan input dan output dalam sistem yang dikaji yaitu input tak terkendali, input terkendali, output yang diinginkan dan output yang tak diinginkan. Selain empat faktor tersebut juga terdapat faktor lain yang berpengaruh pada sistem yaitu lingkungan dan umpan balik. Input yang terkendali adalah input yang secara langsung mempengaruhi kinerja sistem industri GKP dan bersifat dapat dikendalikan, yaitu lahan, produktivitas tebu, rendemen dan jumlah penduduk. Input tidak terkendali merupakan input yang diperlukan agar sistem ketersediaan GKP dapat berfungsi dengan baik namun tidak dapat dikendalikan, yaitu iklim dan cuaca serta topografi lahan. Input lingkungan merupakan elemen yang mempengaruhi ketersediaan GKP secara tidak langsung dalam mencapai tujuan, yaitu kebijakan pemerintah. Ketiga input tersebut akan menghasilkan output yang diinginkan dan output yang tidak diinginkan. Output yang diinginkan dalam model swasembada GKP adalah neraca ketersediaan GKP positif, peningkatan produksi GKP dan penurunan konsumsi GKP. Sementara output yang tidak diinginkan adalah neraca ketersediaan GKP negatif, penurunan produksi GKP dan peningkatan konsumsi
26 GKP. Output yang tidak diinginkan ini perlu dijadikan umpan balik melalui RIGN agar input dapat berubah menjadi output yang diinginkan. b. Diagram Sebab Akibat (Causal Loop) Diagram simpal kausal adalah pengungkapan tentang kejadian hubungan sebab akibat (causal relationship) ke dalam bahasa gambar tertentu. Bahasa gambar tersebut adalah panah yang saling mengait, sehingga membentuk sebuah diagram simpal (causal loop), dimana hulu panah mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat (Muhammadi et al. 2001). Diagram sebab akibat sistem industri GKP nasional ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Diagram alir sebab akibat model swasembada GKP nasional
27 Diagram sebab akibat ini digunakan untuk menggambarkan keterkaitan hubungan antar elemen dalam sistem industri GKP. Apabila penambahan pada satu variabel menyebabkan penambahan pada variabel lain maka hubungan tersebut bersifat positif. Sementara apabila penambahan pada satu variabel menyebabkan pengurangan pada variabel lain maka hubungan tersebut bersifat negatif. 4.2.4 Formulasi Model Formulasi model dilakukan dengan menggambarkan stock and flow diagram. Selanjutnya permasalahan pergulaan akan dirumuskan ke dalam bentuk matematis yang dapat mewakili sistem nyata industri gula Indonesia. Fokus utama model dalam penelitian ini adalah ketersediaan GKP nasional, dimana model tersebut memiliki empat sub model yaitu sub model penyediaan bahan baku, sub model pengolahan, sub model kebutuhan dan sub model perdagangan. a. Sub Model Penyediaan Bahan Baku Submodel penyediaan bahan baku merupakan subsistem usahatani dalam industri gula yang melibatkan petani dan pabrik gula dalam bentuk kemitraan. Tujuan pengamatan terhadap submodel ini adalah untuk mengetahui perilaku penyediaan tebu sebagai bahan baku GKP. Submodel ini dipengaruhi oleh berbagai variabel antara lain produksi tebu, luas areal tebu, susut dan produktivitas tebu. Luas areal tebu adalah luas lahan yang ditanami tebu (Ha). Luas areal tebu memiliki hubungan yang positif dengan produksi tebu, dengan demikian memiliki hubungan yang positif pula dengan produksi GKP. Semakin tinggi luas areal tebu maka semakin tinggi produksi tebu yang dihasilkan, sehingga semakin banyak tebu yang tersedia sebagai bahan baku pembuatan gula. Luas areal tebu terbagi dua berdasarkan status pengusahaan yaitu luas lahan yang dimiliki oleh swasta atau perkebunan besar swasta (PBS) dan luas lahan yang dimiliki oleh BUMN atau perkebunan besar negara (PBN). Luas areal tersebut sudah termasuk luas lahan tebu perkebunan rakyat (PR) yang menggilingkan tebunya ke pabrik gula. Di sisi lain luas areal tebu dipengaruhi oleh pembukaan lahan. Semakin tinggi luas areal tebu maka semakin tinggi peluang adanya pembukaan lahan dan semakin tinggi pembukaan lahan maka semakin tinggi pula luas areal tebu. Keduanya memiliki hubungan feedback positif. Luas areal tebu juga dipengaruhi oleh konversi lahan. Semakin tinggi luas areal tebu maka semakin tinggi peluang terjadinya konversi lahan lahan dan semakin tinggi konversi lahan maka semakin rendah luas areal tebu. Keduanya memiliki hubungan feedback negatif. Gabungan antara laju pembukaan lahan dan laju konversi lahan akan menghasilkan laju pertumbuhan lahan. Laju pertumbuhan lahan yang positif mengindikasikan bahwa laju pembukaan lahan lebih tinggi dari laju konversi lahan, sebaliknya laju pertumbuhan lahan yang negatif mengindikasikan bahwa laju pembukaan lahan lebih rendah dari laju konversi lahan. Produktivitas tebu adalah banyaknya tebu yang dihasilkan per hektar (ton/ha). Produktivitas tebu memiliki hubungan yang positif dengan produksi tebu, dengan demikian memiliki hubungan yang positif pula dengan produksi GKP. Semakin tinggi produktivitas tebu maka semakin tinggi produksi tebu yang dihasilkan atau semakin banyak tebu yang tersedia sebagai bahan baku pembuatan
28 gula. Produktivitas tebu terbagi dua berdasarkan status pengusahaan yaitu produktivitas tebu PBN dan PBS. Susut memiliki hubungan yang negatif dengan produksi tebu, dengan demikian memiliki hubungan yang negatif pula dengan produksi GKP. Semakin tinggi susut maka semakin rendah produksi tebu yang siap untuk digiling atau semakin sedikit tebu yang tersedia sebagai bahan baku pembuatan gula. Data susut diperoleh dari hasil penelitian tahun 2003 yang besarnya 0,98 persen dari produksi (BKP, 2002 dalam Supriyati, 2011). Tabel 3 Asumsi yang digunakan pada submodel penyediaan bahan baku No
Variabel
1
Luas_lhn_ PBN
2
Fraksi_pertum buhan_lhn_ PBN
3
Goal_lhn_ PBN
4
Definisi operasional
Unit
Nilai
Sumber data
Jumlah luas areal tebu yang diusahakan oleh PBN pada tahun 2010 di Indonesia Tingkat laju pertumbuhan luas areal tebu per tahun yang diusahakan oleh PBN periode 2005-2010 di Indonesia Target luas lahan PBN maksimum
ha
278 155.5
DGI (2012)
%/thn
1.44
DGI (2012)
ha
312 100.6
Kementan (2010)
Lj_pertumbu han_lhn_PBN
Jumlah penambahan luas areal tebu yang diusahakan oleh PBN per tahun di Indonesia
ha/ thn
Hasil perhitungan
5
Produktivitas_ PBN
ton/ha
DGI (2012)
6
Fraksi_pertum buhan_ prdktvts_PBN
%/thn
-0.36
DGI (2012)
7
Lj_pngktn_ prdktvts_PBN
Produktivitas tebu PBN merupakan rasio antara produksi dan luas areal pada tahun 2010 di Indonesia Tingkat laju pertumbuhan produktivitas tebu per tahun yang diusahakan oleh PBN periode 20052010 di Indonesia Jumlah peningkatan produktivitas tebu PBN di Indonesia
IF(Luas_lhn_PB N
>) 80.32
ton/ha/ thn
’Produktivitas_ PBN’*’Fraksi_ pertumbuhan_ prdktvts_PBN’
Hasil perhitungan
8
Produksi_tebu _PBN
Jumlah produksi tebu yang dihasilkan PBN di Indonesia
ton
’Luas_lhn_PBN ’*’Produktivitas _PBN’
Hasil perhitungan
29 Tabel 3 (Lanjutan) No
Definisi operasional
9
Luas_lhn_ PBS
ha
154 559
DGI (2012)
10
Fraksi_pert umbuhan_ lhn_ PBS
Jumlah luas areal tebu yang diusahakan oleh PBS pada tahun 2010 di Indonesia Tingkat laju pertumbuhan luas areal tebu per tahun yang diusahakan oleh PBS periode 2005-2010 di Indonesia
%/thn
5.16
DGI (2012)
11
Goal_lhn_ PBS Lj_pertum buhan_lhn _PBS
Target luas lahan PBS maksimum Jumlah penambahan areal yang diusahakan PBS per tahun
Ha
379 062.5
ha/ thn
13
Produktivi tas_PBS
ton/ ha
DGI (2012)
14
Fraksi_per tumbuhan_ prdktvts_ PBS
%/thn
1.56
DGI (2012)
15
Lj_pngktn _prdktvts_ PBS
Produktivitas tebu PBS merupakan rasio antara produksi dan luas areal pada tahun 2010 Tingkat laju pertumbuhan produktivitas tebu per tahunyang diusahakan oleh PBS periode 2005-2010 di Indonesia Jumlah peningkatan produktivitas tebu PBS
IF(Luas_lhn_PBS >) 84.87
Kementan (2010) Hasil perhitungan
ton/ ha/ thn
’Produktivitas_ PBS’*’Fraksi_ pertumbuhan_ prdktvts_PBS’
Hasil perhitungan
16
Produksi_ tebu_PBS
Jumlah produksi tebu yang dihasilkan oleh PBS
ton
’Luas_lhn_PBS’* ’Produktivitas_ PBS’
Hasil perhitungan
17
Fraksi_su sut
Persentase tebu yang hilang terhadap produksi tebu
%/thn
0.98
18
Susut
Jumlah tebu yang hilang
ton/ thn
’Fraksi_susut’* ’Produksi_tebu’
BKP (2002) dalam Supriyati (2011) Hasil perhitungan
19
Produksi_ tebu
Jumlah produksi tebu yang dihasilkan oleh PBN dan PBS
ton
’Produksi_tebu_ PBN’+’Produksi_ tebu_PBS’
Hasil perhitungan
20
Total_pro duksi_tebu
ton
’Produksi_tebu’’Susut’
Hasil perhitungan
21
Luas_lhn_ total
Jumlah produksi tebu yang dihasilkan oleh PBN dan PBS setelah memperhitungkan susut Jumlah luas areal tebu yang diusahakan oleh PBN dan PBS
ha
’Luas_lhn_PBN’+ ’Luas_lhn_PBS’
Hasil perhitungan
12
Unit
Nilai
Sumber data
Variabel
30 Gambar 9 menunjukkan struktur sub model penyediaan bahan baku. Sementara Tabel 3 menunjukkan asumsi yang digunakan pada submodel penyediaan bahan baku.
Prdktvts_PBS
Fraksi_susut
Lj_pngktn_prdktvts _PBS
Produksi_tebu_PBS Init_prdktvts_PBS
Fraksi_pertumbuha n_prdktvts_PBS
Fraksi tahun Luas_lhn_PBS Lj_pertumbuhan_lh n_PBS Fraksi_pertumbuha n_lhn_PBS
Total_produksi_teb u Produksi_tebu
Init_luas_lhn_PBS
Luas_lhn_total Goal_lhn_PBS
Produktivitas_PBN Lj_pngktn_prdktvta s_PBN
Produksi_tebu_PBN
Init_prdktvts_PBN Fraksi_pertumbuha n_prdktvts_PBN
Luas_lhn_PBN Lj_pertumbuhan_lh n_PBN Fraksi_pertumbuha n_lhn_PBN
Susut
Fraksi_tahun
Init_luas_lhn_PBN
Goal_lhn_PBN
Gambar 9 Struktur sub model penyediaan bahan baku
31 Berikut ini adalah persamaan matematis yang menggambarkan hubungan antar variabel yang terkait dengan submodel penyediaan bahan baku: Luas_lhn_PBN (t)=Init_luas_lhn_PBN (t-dt)+ (Lj_pertumbuhan_lhn_PBN)*dt..................................................................(1) Produktivitas_PBN(t)=Init_prdktvts_PBN(t-dt)+ (Lj_pngktn_prdktvts_PBN)*dt....................................................................(2) Produksi_tebu_PBN = Luas_lhn_PBN*Produktivitas_PBN.......................(3) Luas_lhn_PBS (t)=Init_luas_lhn_PBS (t-dt)+ (Lj_pertumbuhan_lhn_PBS)*dt...................................................................(4) Produktivitas_PBS(t)=Init_prdktvts_PBS(t-dt)+ (Lj_pngktn_prdktvts_PBS)*dt.....................................................................(5) Produksi_tebu_PBS = Luas_lhn_PBS*Produktivitas_PBS.........................(6) Produksi_tebu=’Produksi_ tebu_PBN’+’Produksi_tebu_PBS’..............................................................(7) Susut = ’Fraksi_susut’*’Produksi_tebu’......................................................(8) Produksi_tebu_nas = ’Produksi_tebu’-’Susut’............................................(9) Luas_lhn_total = ’Luas_lhn_PBN’+’Luas_lhn_PBS’...............................(10) b.
Submodel Pengolahan Gula Submodel pengolahan gula dipengaruhi oleh berbagai variabel antara lain rendemen, kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai. Gambar 10 menunjukkan struktur sub model pengolahan gula. Rendemen adalah gula yang terkandung di dalam tebu (%). Rendemen memiliki hubungan yang positif dengan produksi GKP. Semakin tinggi rendemen maka semakin tinggi kandungan gula di dalam tebu sehingga semakin tinggi pula gula yang dihasilkan.
Gambar 10 Struktur sub model pengolahan
32 Tabel 4 Asumsi yang digunakan pada submodel pengolahan No
Variabel
Definisi operasional
1
Kap_terpasang _industri
2
Lj_pngktn_ kap_terpasang
Jumlah kapasitas terpasang industri pengolahan gula pada tahun 2010 di Indonesia Rata-rata peningkatan kap terpasang industri pengolahan gula
3
Fraksi_lj_kap_ terpasang
4
Kap_terpakai_ industi
5
Init_utilisasi_ kap_terpakai
6
Lj_pngktn_ utilisasi_kap_ terpakai
7
Fraksi_lj_ pngktn_util_ kap_terpakai
8
Lj_penamba han_kap_terpa kai
9
Produksi_ GKP_nas
Jumlah diproduksi
10
Rendemen
11
Fraksi_pngktn _rendemen
12
Lj_pngktn_ren demen
Kadar kandungan gula yang terkandung dalam tebu Persentase peningkatan rendemen per tahun selama periode 2005-2010 di Indonesia Jumlah peningkatan rendemen
13
Lama_Giling
Waktu yang diperlukan untuk menggiling tebu
Hari/ thn
Persentase peningkatan kapasitas terpasang per tahun industri pengolahan gula periode 2005-2010 di Indonesia Jumlah kapasitas terpakai industri pengolahan gula
Tingkat utilsasi kapasitas terpasang industri gula pada tahun 2010 di Indonesia Peningkatan kapasitas terpakai industri akibat peningkatan utilisasi kapasitas terpasang industri pengolahan Persentase peningkatan utilisasi kapasitas terpakai industri pengolahan gula per tahun selama periode 20052010 di Indonesia Peningkatan kapasitas terpakai industri pengolahan gula akibat perubahan kapasitas terpasang GKP
yang
Unit
Nilai
Sumber data
ton tebu/ hari
229 285
DGI (2012)
ton tebu/ hari/thn
’kap_terpasang_in dustri’*’fraksi_lj_ kap_terpasang’
Hasil perhitu ngan
%/thn
3.69
DGI (2012)
ton tebu/ hari
’kap_terpasang_in dustri’*’init_ utilisasi_kap_ terpakai’ 84.28
Hasil perhitu ngan
%
DGI (2012)
ton tebu/ha ri/thn
’Fraksi_lj_pngktn _kap_terpakai’*’k ap_terpakai_indus tri’
Hasil perhitu ngan
%/thn
-1.18
DGI (2012)
ton tebu/ hari/ thn
’Init_utilisasi_kap _terpakai’*’Laju_ pngktn_kap_terpa sang’
Hasil perhitu ngan
ton
Hasil perhitu ngan
%
’Rendemen’* ’Lama_giling’*’K ap_terpakai_indus tri 6,46
%/thn
-1.67
%/thn
’Rendemen’* ’Fraksi_pnkrtn_ rendemen’ ’Total_produksi_ Tebu’/’Kap_inclu sive_industri’
DGI (2012) DGI (2012)
Hasil perhitu ngan Hasil perhitu ngan
33 Kapasitas terpasang merupakan kemampuan PG untuk menggiling tebu per harinya tanpa memperhatikan jam berhenti giling. Sementara kapasitas terpakai merupakan kemampuan PG untuk menggiling tebu per harinya setelah memperhitungkan jam berhenti giling yang disebabkan oleh kerusakan mesin atau kekurangan pasokan tebu. Kapasitas terpasang dan terpakai memiliki hubugan yang positif dengan produksi GKP. Semakin besar kapasitas terpasang dan terpakai maka semakin besar pula jumlah tebu yang mampu digiling per harinya. Tabel 4 menunjukkan asumsi yang digunakan pada submodel pengolahan. Berikut ini adalah persamaan matematis yang menggambarkan hubungan antar variabel yang terkait dengan submodel pengolahan tebu menjadi gula. Kap_terpasang_industri (t) = Init_kap_terpasang (t-dt)+ (Lj_pngktn_kap_terpasang)*dt..................................................................(11) Kap_terpakai_industri (t) = Init_kap_terpakai (t-dt) + (Lj_pngktn_ utilisasi_kap_terpakai)*dt + (Lj_penambahan_kap_terpakai)*dt..............(12) Init_kap_terpakai = ’Init_utilisasi_kap_terpakai’ * ’Kap_terpakai_ Industri’......................................................................................................(13) Rendemen = Init_rendemen (t-dt)+(Lj_pnktn_rendemen)*dt...................(14) Lama_giling = ’Total_produksi_tebu’/’Kap_terpakai_industri’ ...............(15) Produksi_GKP = ’Lama_giling’*’Rendemen’*’Kap_terpakai_ industri’......................................................................................................(16) c.
Submodel Perdagangan Submodel perdagangan dibangun untuk melihat dinamika impor GKP yang akan mempengaruhi ketersediaan GKP nasional. Variabel-variabel yang mempengaruhi submodel ini antara lain harga domestik, harga paritas impor, kebutuhan GKP dan impor GKP. Impor ditetapkan maksimal sebesar 10 persen dari kebutuhan GKP. Hal ini sesuai dengan konsep swasembada yang dirumuskan oleh Kementan. Gambar 11 menunjukkan struktur sub model perdagangan gula, sedangkan Tabel 5 menunjukkan asumsi yang digunakan pada submodel perdagangan gula.
Harga_impor Lj_prtmbhn_harga_i mpor
Impor
Init_harga_impor Fraksi_prtmbhn_har ga_impor
Kebutuhan GKP_Nas Harga_domestik
Lj_prtmbhn_harga_ domestik
Fraksi_prtmbhn_har ga_domestik
Init_harga_domesti k
Gambar 11 Struktur sub model perdagangan
34 Tabel 5 Asumsi yang digunakan pada submodel perdagangan GKP No
Variabel
1
Harga_domes tik
2
Lj_prtmbhn_ harga_domes tik
3
Fraksi_ prtmbhn_harga_ domestik
4
Harga_impor
5
Lj_prtmbhn_ harga_impor
6
Fraksi_ prtmbhn_harga_ impor
7
Fraksi_impor
8
Impor
Definisi operasional
Unit
Nilai
Sumber data
Nilai harga eceran GKP rata rata pada tahun 2010 di Indonesia Rata-rata peningkatan harga domestik GKP Indonesia
Rp/ kg
10 691
Nahdodin (2010)
Rp/ thn
Hasil perhitu ngan
Persentase peningkatan harga domestik GKP per tahun periode 2005-2010 di Indonesia Nilai harga paritas impor gula rata rata pada tahun 2010 di Indonesia Rata-rata peningkatan harga paritas impor GKP Indonesia Persentase peningkatan harga paritas impor GKP per tahun periode 2005-2010 di Indonesia Persentase impor terhadap kebutuhan GKP maksimum sesuai definisi swasembada dari Kementan Jumlah impor GKP Indonesia
%/thn
’Harga_domestik’ * ’Fraksi_prtmbhn_ harga_domestik’ 15.77
Rp
6 825.71
Nahdodin (2010)
Rp/ thn
Hasil perhitu ngan
%/thn
’Harga_lelang’*’ Fraksi_prtmbhn_ harga_lelang’ 16.85
%
10
Kementan (2010)
ton
IF(Harga_domesti k>Harga_impor,0. 0982*Kebutuhan_ GKP_nas,Kebutu han_GKP_ns*0.1)
Hasil perhitu ngan
Nahdodin (2010)
Nahdodin (2010)
Berikut ini adalah persamaan matematis yang menggambarkan hubungan antar variabel yang terkait dengan submodel perdagangan gula: Harga_domestik (t) = Init_harga_domestik (t-dt)+(Lj_prtmbhn_harga_ domestik)*dt...............................................................................................(17) Harga_impor (t) = Init_harga_impor (t-dt) + (Lj_prtmbhn_harga_ impor)*dt....................................................................................................(18) Impor = IF(Harga_domestik
35 d.
Sub Model Kebutuhan Submodel kebutuhan GKP merupakan submodel yang menggambarkan dinamika permintaan GKP, baik yang berasal dari produksi dalam negri maupun impor. Submodel ini terdiri dari konsumsi GKP rumah tangga dan kebutuhan khusus. Konsumsi GKP dalam penelitian ini dipengaruhi oleh variabel konsumsi gula per kapita dan jumlah penduduk. Hal ini sejalan dengan pendapat Sudaryanto (1996), Purwoko et al. (1998) dan Susila dan Sinaga (2005) dalam Supriyati (2011) yang menyebutkan bahwa peningkatan permintaan langsung dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan per kapita. Konsumsi GKP per kapita memiliki hubungan yang positif dengan konsumsi GKP nasional. Semakin tinggi konsumsi GKP per kapita maka semakin tinggi konsumsi GKP nasional. Jumlah penduduk adalah jumlah penduduk Indonesia pada tahun tertentu (jiwa). Jumlah penduduk memiliki hubungan yang positif dengan konsumsi GKP nasional. Semakin tinggi jumlah penduduk maka semakin tinggi konsumsi GKP nasional. Tabel 6 menunjukkan asumsi yang digunakan pada sub model kebutuhan, sedangkan Gambar 12 menunjukkan struktur sub model kebutuhan.
Konsumsi_per_kapita Lj_pertumbuhan_ko nsumsi Fraksi_pertumbuha n_konsumsi
Init_konsumsi
Kebutuhan GKP_Nas
Sugar_intake Konsumsi_GKP_RT
Konsumsi_khusus_i nd
Konsumsi_khusus Lj_prtmbhn_kon_kh usus Fraksi_prtmbhn_kns msi_khusus
Penduduk Lj_pertumbuhan_pd dk
Init_knsmsi_khusus
Init_pddk
Fraksi_pertumbuha n_pddk
Gambar 12 Struktur sub model kebutuhan Berikut ini adalah persamaan matematis yang menggambarkan hubungan antar variabel yang terkait dengan submodel kebutuhan: Penduduk (t) = Init_pddk (t-dt) + (Lj_pertumbuhan_pddk)*dt.................(20) Konsumsi_per_kapita (t) = Init_Konsumsi (t-dt) + (Lj_pertumbuhan_ konsumsi)*dt..............................................................................................(21) Konsumsi_GKP_RT = Konsumsi_per_kapita*Penduduk.........................(22) Konsumsi_khusus = Init_Knsmsi_khusus (t-dt) + (Lj_pertumbuhan_ Knsmsi_khusus)*dt....................................................................................(23) Konsumsi_GKP_Nas = Konsumsi_GKP_RT + Konsumsi_khusus_ind...(24)
36 Tabel 6 Asumsi yang digunakan pada submodel kebutuhan No
Variabel
Definisi operasional
Unit
Nilai
Sumber data
1
Penduduk
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010
orang
237 641 326
BPS (2012)
2
Fraksi_pertum buhan_pddk
%/thn
1.57
BPS (2012)
3
Lj_pertumbu han_pddk
Tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun periode 2006-2010 Jumlah pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun
orang/ thn
’Fraksi_pertumbuhan_ pddk’*’Penduduk’
Hasil perhitu ngan
4
Konsumsi_per _Kapita
ton/ orang
0.00769
DGI (2012)
5
Fraksi_pertum buhan_konsu msi
%/thn
-3.72
DGI (2012)
6
Sugar_intake
ton/ orang
0.0073
www.roda le.com
7
Lj_pertumbu han_konsumsi
ton/ thn
IF(Konsumsi_per_kapi ta>Sugar_intake,Fraksi _pertumbuhan_konsum si*Konsumsi_per_kapi ta,0<<(ton/jiwa)/yr>>)
Hasil perhitu ngan
8
Konsumsi_ GKP_RT
Jumlah konsumsi langsung GKP penduduk Indonesia
ton
’Penduduk’*’Konsum si_per_kapita’
Hasil perhitu ngan
9
Konsumsi_ khusus
Konsumsi GKP per kapita untuk kebutuhan khusus
ton
3.78
10
Lj_prtmbhn_ knsmsi_khu sus
ton/ thn
’Konsumsi_khusus’* ’Fraksi_prtmbhn_knsm si_khusus’
11
Fraksi_prtmbh n_knsmsi_khu sus
%/thn
5.3477
www.kem enpe rin.go.id
12
Konsumsi_kh usus_ind
Jumlah peningkatan konsumsi GKP untuk kebutuhan khusus penduduk Indonesia Tingkat pertumbuhan konsumsi GKP untuk kebutuhan khusus penduduk Indonesia yang mengacu kepada tingkat pertumbuhan industri makanan dan minuman 2007-2010 Jumlah konsumsi khusus GKP penduduk Indonesia
DGI (2012) dan BKP (2012) diolah Hasil perhitu ngan
ton
’Penduduk’*’Konsum si_khusus’
Hasil perhitu ngan
Konsumsi langsung GKP per kapita penduduk Indonesia tahun 2010 Tingkat pertumbuhan konsumsi GKP langsung penduduk Indonesia per tahun periode 2005-2010 Jumlah rata-rata konsumsi gula pria dan wanita dewasa yang direkomendasikan Jumlah peningkatan konsumsi GKP langsung penduduk Indonesia
37 e.
Model Swasembada GKP Nasional Model swasembada GKP nasional merupakan hasil interaksi antara submodel penyediaan bahan baku, submodel pengolahan gula, submodel perdagangan dan submodel kebutuhan. Keempat submodel tersebut dapat disederhanakan kembali menjadi submodel penyediaan dan kebutuhan. Hubungannya akan diterjemahkan ke dalam diagram alir (stok dan flow) yang formula matematisnya dapat dirumuskan sebagai berikut: Ketersediaan_GKP = Penyediaan_GKP_nas-Kebutuhan_GKP_nas..................(25) Dimana: Penyediaan_GKP = (Produksi_GKP-Gula_hilang)+(tambahan_surplus_thn_lalu/ 'Fraksi tahun') Kebutuhan_GKP_nas = Konsumsi_GKP_RT+Konsumsi_khusus_ind Impor = IF(Harga_domestik0,KETERSEDIAAN_GKP,0) Ketersediaan GKP dalam persamaan (25) merupakan indikator swasembada GKP. Tabel 7 menunjukkan asumsi yang digunakan pada model sistem industri GKP nasional. Tabel 7 Asumsi yang digunakan pada model swasembada GKP nasional No 1
Variabel Ketersediaan _GKP_nas
Definisi operasional Jumlah ketersediaan GKP Indonesia
Unit ton
Sumber data Hasil perhitungan
ton/ thn
Nilai ’Penyediaan_GKP_nas ’’Kebutuhan_ GKP_nas’ (Produksi_GKPGula_hilang)+(tambah an_surplus_thn_lalu/ 'Fraksi tahun') IF(KETERSEDIAAN_ GKP>0<>,KETE RSEDIAAN_GKP,0<< ton>>) (Surplus+Impor)* 'Fraksi tahun'
2
Penyediaan_ GKP
Jumlah penyediaan GKP Indonesia
ton
3
Surplus
Jumlah kelebihan ketersediaan GKP
ton
4
Gula_untuk_ stok
Gula yang tersedia untuk stok
5
Jumlah tahun
6
Tambahan_ surplus_thn_ lalu Init_Stok
akhir
ton/ thn
'Fraksi tahun'*Stok_tahunan
Hasil perhitungan
Jumlah stok yang tersedia tahun 2010 Jumlah GKP yang hilang
ton
352 852
DGI (2012)
7
Gula_hilang
ton
’Produksi_GKP_ nas’*’Fraksi_gula_hi lang’ 1
Hasil perhitungan
8
Fraksi_gula_ hilang
9
Kebutuhan_ GKP_nas
stok
Persentase GKP yang hilang terhadap produksi GKP Jumlah kebutuhan GKP Indonesia
%
ton
’Konsumsi_GKP_ RT’+’Konsumsi_ khusus_ind’
Hasil perhitungan
Hasil perhitungan
Hasil perhitungan
Khumairoh (2010) Hasil perhitungan
38 4.2.5 Validasi Model Validitas atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektivan dari suatu pekerjaan ilmiah (Muhammadi et al. 2001). Umumnya validasi dimulai dengan uji sederhana seperti pengamatan atas: (1) tanda aljabar/sign, (2) tingkat kepangkatan dari besaran/order of magnitude, (3) format respons, yaitu linier, eksponensial, logaritmik dan sebagainya, (4) arah perubahan peubah apabila input atau parameter diganti ganti, dan (5) nilai batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem (Eriyatno 1999). Teknik validasi terbagi menjadi dua jenis yaitu validasi struktur model dan validasi kinerja model. Teknik validasi yang utama dalam metode berpikir sistem adalah validasi struktur model, yaitu sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Keserupaan struktur model dengan struktur nyata ditunjukkan dengan sejauh mana interaksi variabel model dapat menirukan interaksi kejadian nyata. Sementara validasi kinerja adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem. Tujuannya untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata, sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta (Muhammadi et al. 2001). Variabel yang akan divalidasi pada model adalah variabel produksi GKP dan konsumsi GKP. Tahun untuk mengukur validasi kinerja model adalah tahun 2010-2012. Sementara uji validasi untuk mengukur keakuratan output simulasi yang digunakan adalah berdasarkan Barlas (1996) dalam Muhammadi (2001) yaitu Root Mean Square Percentage Error (RMSPE), Absolute Mean Error (AME) dan Absolute Variance Error (AVE). Rumus matematikanya adalah sebagai berikut:
∑
RMSPE =
……………………………..…………….(26)
AME
=
…………………………………………………...…(27)
AVE
=
…………………………………………………….…(28)
Dimana: Y1i = nilai data aktual periode ke-i Y2i = nilai simulasi model periode ke-i n = jumlah periode Y1i = Y1i/n Y2i = Y2i/n Sa = ((Y1i – Y1i)2/n) Ss = ((Y2i – Y2i)2/n) Batas penyimpangan dari kriteria kriteria di atas yang dapat diterima adalah 5 persen.
39 4.2.6 Simulasi Kebijakan Analisis kebijakan yaitu menyusun alternatif tindakan atau keputusan (policy) yang akan diambil untuk mempengaruhi proses nyata (actual transformation) sebuah sistem dalam menciptakan kejadian nyata (actual state). Keputusan tersebut dimaksudkan untuk mencapai kejadian yang diinginkan (desired state) (Muhammadi et al. 2001). Dalam penelitian ini dilakukan 2 jenis simulasi kebijakan terhadap model dinamika sistem industri GKP. Simulasi kebijakan yang pertama adalah simulasi untuk menganalisis dampak pelaksanaan kebijakan RIGN terhadap pencapaian swasembada GKP. Asumsi dampak kebijakan RIGN yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan RIGN diasumsikan mampu meningkatkan luas areal tebu perkebunan negara sebesar 3,2 persen per tahun (target RIGN). 2. Pelaksanaan RIGN diasumsikan mampu meningkatkan produktivitas tebu perkebunan negara sebesar 1,6 persen per tahun (target RIGN). 3. Revitalisasi pada tingkat on farm diharapkan mampu meningkatkan pol tebu, sedangkan revitalisasi pada tingkat off farm diharapkan mampu meningkatkan efisiensi pabrik. Peningkatan pol tebu dan efisiensi pabrik diasumsikan mampu meningkatkan rendemen sebesar 1,41 persen per tahun (target RIGN). Skenario yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan RIGN berdasarkan asumsi tersebut di atas dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Skenario 1 yaitu jika kebijakan RIGN hanya berhasil dari sisi peningkatan luas areal. 2. Skenario 2 yaitu jika kebijakan RIGN hanya berhasil dari sisi peningkatan produktivitas. 3. Skenario 3 yaitu jika kebijakan RIGN hanya berhasil dari sisi peningkatan rendemen. Simulasi kebijakan yang kedua merupakan upaya untuk memperoleh kebijakan alternatif. Langkah ini dilakukan untuk memperoleh kebijakan alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi aktual dan kebijakan yang ada saat ini. Skenario alternatif kebijakan yang digunakan adalah: 1. Skenario 4 (skenario penurunan pertumbuhan penduduk), jika kebijakan RIGN sama sekali tidak berhasil dan yang berhasil hanyalah kebijakan penurunan pertumbuhan penduduk. 2. Skenario 5 (gabungan skenario 1 dan 4), jika kebijakan yang berhasil adalah kebijakan peningkatan luas areal dan penurunan pertumbuhan penduduk. 3. Skenario 6 (gabungan skenario 2 dan 4), jika kebijakan yang berhasil adalah kebijakan peningkatan produktivitas tebu dan penurunan pertumbuhan penduduk. 4. Skenario 7 (gabungan skenario 3 dan 4), jika kebijakan yang berhasil adalah kebijakan peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk.
40
5 KERAGAAN SISTEM AGROINDUSTRI GKP
5.1 Perkembangan Keragaan Penyediaan GKP di Indonesia Keragaan penyediaan GKP dipengaruhi oleh keragaan usahatani tebu pada tingkat on farm dan proses pengolahan tebu menjadi gula pada tingkat off farm. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyediaan GKP pada tingkat on farm antara lain luas areal tebu, produktivitas tebu dan susut, sedangkan faktor faktor yang mempengaruhi penyediaan GKP pada tingkat off farm antara lain rendemen, kapasitas terpasang, kapasitas terpakai, gula hilang, impor dan stok. Keragaan penyediaan GKP pada tingkat on farm dapat dibedakan berdasarkan jenis ekosistem dan status pengusahaan. Apabila dibedakan berdasarkan jenis ekosistemnya maka terdapat luas tanam tebu pada lahan sawah dan lahan tegalan. Apabila dibedakan berdasarkan status pengusahaannya maka terdapat luas tanam tebu yang dikuasai oleh rakyat atau perkebunan rakyat (PR), swasta atau perkebunan besar swasta (PBS) dan BUMN atau perkebunan besar negara (PBN). Sementara pada tingkat off farm, petani belum mampu melakukan pengolahan tebu menjadi gula sehingga kegiatan tersebut dilakukan dengan bermitra baik dengan perkebunan besar negara maupun perkebunan besar swasta. Oleh karena itu keragaan subsistem penyediaan GKP pada penelitian ini dibedakan berdasarkan dua status pengusahaan yaitu perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara, dimana di dalamnya sudah termasuk luas areal tebu yang dikuasai oleh perkebunan rakyat. 5.1.1 Perkembangan Luas Areal Tebu dan Produksi GKP di Indonesia Produksi GKP Indonesia cenderung berfluktuasi namun memiliki tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 produksi GKP mencapai 2 290 116 ton. Jumlah ini meningkat sebesar 230 540 ton dibandingkan dengan produksi GKP pada tahun 1990 yaitu sebesar 2 059 576 ton. Pada periode tersebut terjadi peningkatan produksi rata-rata sebesar 1.68 persen per tahun. Peningkatan produksi terbesar dihasilkan dari perkebunan besar swasta dimana terjadi peningkatan produksi rata-rata sebesar 11.51 persen per tahun. Perkebunan rakyat juga mengalami peningkatan produksi dengan besaran yang lebih kecil yaitu sebesar 1.27 persen per tahun, sedangkan perkebunan besar negara justru mengalami penurunan produksi rata-rata sebesar 0.78 persen per tahun (Gambar 13). Sementara pada periode lima tahun (2005-2010) terjadi peningkatan produksi rata-rata sebesar 1.13 persen per tahun. Peningkatan produksi terbesar dihasilkan dari perkebunan besar swasta dimana terjadi peningkatan produksi sebesar 3.16 persen per tahun. Perkebunan rakyat juga mengalami peningkatan produksi dengan besaran yang lebih kecil yaitu sebesar 2.59 persen per tahun, sedangkan perkebunan besar negara mengalami penurunan produksi sebesar 5.59 persen per tahun. Proporsi produksi GKP sebagian besar disumbang oleh perkebunan rakyat dengan pangsa sebesar 56.56 persen dari total produksi GKP Indonesia. Sementara perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara berkontribusi sebesar 29.68 persen dan 13.76 persen (Gambar 13). Peningkatan
41
Produksi GKP (ton)
produksi tersebut merupakan dampak dari program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional pada tahun 2003 sampai 2008. 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0
Tahun PR
PBN
PBS
Indonesia
Gambar 13 Produksi GKP Indonesia menurut status pengusahaan tahun 1995-2010 Sumber: Ditjenbun (2011) Apabila dilihat dari aspek on farm, salah satu faktor yang menyebabkan pertumbuhan produksi GKP adalah pertumbuhan luas areal tebu di Indonesia. Pada Gambar 13 terlihat bahwa luas areal tebu di Indonesia mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 luas areal tebu di Indonesia adalah sebesar 457 615 hektar atau meningkat sebesar 21 578 hektar dari tahun 1995 yang hanya sebesar 436 037 hektar. Pertumbuhan luas areal pada periode 1995-2010 lebih rendah dibandingkan pertumbuhan produksi yaitu sebesar 0.47 persen per tahun. Perkebunan swasta mengalami pertumbuhan terbesar yaitu 6.12 persen per tahun, diikuti perkebunan rakyat 1.11 persen per tahun. Sementara perkebunan besar negara justru mengalami penurunan luas areal rata-rata sebesar 2.48 persen per tahun. Menurut Hartono (2012), peningkatan luas areal perkebunan swasta dan perkebunan rakyat tersebut disebabkan karena pendirian pabrik gula baru terutama di luar Jawa. Selama periode 1970 – 2009, jumlah pabrik gula (PG) mengalami kenaikan sebesar 0.25 persen per tahun. Sementara pada periode lima tahun (2005-2010) peningkatan luas areal ratarata adalah sebesar 3.62 persen per tahun. Peningkatan luas areal terbesar dihasilkan dari perkebunan rakyat dimana terjadi peningkatan luas areal rata-rata sebesar 5.76 persen per tahun. Perkebunan besar swasta juga mengalami peningkatan luas areal dengan besaran yang lebih kecil yaitu sebesar 4,31 persen per tahun, sedangkan perkebunan besar negara mengalami penurunan luas areal rata-rata sebesar 2.90 persen per tahun. Proporsi luas areal tebu sebagian besar disumbang oleh perkebunan rakyat dengan pangsa sebesar 60.76 persen dari total luas areal tebu di Indonesia. Sementara perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara berkontribusi sebesar 24.24 persen dan 15.01 persen (Gambar 14).
Luas Areal (Hektar)
42 500000 400000 300000 200000 100000 0
Tahun PR
PBN
PBS
Indonesia
Gambar 14 Luas areal tebu Indonesia menurut status pengusahaan tahun 1995-2010 Sumber: Ditjenbun (2011) Secara umum terlihat bahwa pertumbuhan produksi GKP lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan luas areal tebu pada periode 1995-2010. Hal ini menunjukkan bahwa pada periode tersebut terjadi peningkatan produktivitas GKP nasional yaitu sebesar 1.68 persen per tahun. Produktivitas GKP nasional pada tahun 1995 adalah sebesar 4.72 ton/ha, sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 5.29 ton/ha. Peningkatan produktivitas tertinggi terjadi pada perkebunan besar swasta yaitu sebesar 5.35 persen per tahun, diikuti oleh perkebunan besar negara sebesar 2.29 persen per tahun, sedangkan perkebunan rakyat mengalami pertumbuhan yang relatif kecil sebesar 0.43 persen per tahun (Gambar 15). Sementara pada periode lima tahun (2005-2010) pertumbuhan produktivitas tebu justru mengalami penurunan sebesar 1.58 persen per tahun. Tren penurunan tersebut disumbang oleh penurunan produktivitas GKP perkebunan besar negara dan perkebunan rakyat yaitu sebesar 2.22 dan 2.18 persen per tahun. Dengan proporsi luas areal tebu yang cukup besar yaitu sebesar 60.76 persen untuk perkebunan rakyat dan 15.01 persen untuk perkebunan negara, penurunan produktivitas per tahun tersebut mampu membuat penurunan produktivitas GKP nasional. Di sisi lain produktivitas perkebunan besar swasta justru mengalami peningkatan yaitu sebesar 0.31 persen per tahun. Namun dengan proporsi luas areal yang hanya 24.24 persen dari total luas areal tebu di Indonesia, peningkatan tersebut tidak mampu mengimbangi penurunan produktivitas GKP perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara (Gambar 15).
Produktivitas Gula (Ton/ha)
43 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
Tahun PR
PBN
PBS
Indonesia
Gambar 15 Produktivitas GKP Indonesia menurut status pengusahaan tahun 1995-2010 Sumber: Ditjenbun (2011) Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kenaikan produksi GKP selama lima tahun terakhir terutama karena kenaikan produksi tebu yang disebabkan karena peningkatan luas areal. Produktivitas tebu dan rendemen justru mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hartono (2012) yang menyatakan bahwa selama ini peningkatan produksi gula hanya bertumpu pada peningkatan luas lahan tebu. Upaya ini akan semakin sulit tercapai mengingat semakin terbatasnya lahan yang cocok untuk budidaya tebu. Perkebunan tebu di Indonesia terpusat di tiga wilayah yaitu Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Pada tahun 2010 dari total luas areal tebu di Indonesia sebesar 63.58 persen berada di Jawa, 32.68 persen berada di Sumatera dan 3.74 persen berada di Sulawesi. Pada tahun yang sama, dari total produksi GKP di Indonesia, sebesar 60.18 persen dihasilan oleh Jawa, 37.43 persen dihasilkan oleh Sumatera, dan 2.39 persen dihasilkan oleh Sulawesi (Gambar 16).
Proporsi (persen)
100%
2.39
3.74
80% 60% 40%
60.18
63.58
20% 37.43
32.68
Produksi
Luas Areal
0%
Sumatera
Jawa
Sulawesi
Gambar 16 Produksi GKP dan luas areal tebu di Indonesia berdasarkan wilayah tahun 2010 Sumber: Ditjenbun (2011)
Produksi GKP (ton)
44
2500 0000 2000 0000 1500 0000 1000 0000 500 0000 0 Sumatera
J Jawa
Sulawesi S
Indonesia
Wilayah h PR
PBN
PBSS
Gambar 17 Perbanddingan prodduksi tebu menurut m provvinsi dan staatus pengusaahaan tahunn 2010 Sumberr: Ditjenbunn (2011)
Luas Areal Tebu (Ha)
Secara um mum perkebbunan tebuu di Indonesia didominnasi oleh pperkebunan rakyaat. Apabila dilihat darri status pengusahaann nya, sebesarr 1 295 319 ton atau 56.566 persen prroduksi tebbu di Indonnesia dihasillkan oleh PR, P disusul kemudian PBS sebesar 6779 623 ton atau 29.68 persen dan n PBN sebeesar 315 1774 ton atau 13.766 persen. Sedangkan S apabila diliihat pada masing m massing provinnsi, sebesar 646 528 5 atau 755.43 persen produksi teebu di Sumaatera dan seebesar 27 4112 ton atau 50.166 persen prooduksi tebuu di Sulawessi dihasilkan n oleh PBS S. Sementaraa sebesar 1 193 621 6 ton atauu 86.60 perrsen produkksi tebu di Jaawa dihasilkan oleh PR R (Gambar 17).
5000 000 4000 000 3000 000 2000 000 1000 000 0 Sumaatera
Jaawa
Su ulawesi
Indonesia
Wilayah PR
PBN
PBSS
1 Perbanddingan luas areal a tebu menurut m provinsi dan sttatus Gambar 18 pengusahhaan tahun 2010 Sumber: Ditjenbun (2011)
45 Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya sumbangan perkebunan rakyat terhadap produksi GKP Indonesia adalah besarnya luas areal tebu yang dikuasai. Apabila dilihat dari status pengusahaannya, sebesar 275 908 ha atau 60.76 persen luas areal tebu di Indonesia dikuasai oleh PR, disusul kemudian PBS sebesar 110 062 ha atau 24.24 persen dan PBN sebesar 68 141 atau 15.01 persen. Sedangkan apabila dilihat pada masing masing provinsi, sebesar 253 794 atau 87.91 persen luas areal tebu di Jawa dikuasai oleh PR, sebesar 103 417 ha atau 69.69 persen luas areal tebu di Sumatera dikuasai oleh PBS dan sebesar 10 386 atau 61.11 persen luas areal tebu di Sulawesi dikuasai oleh PBN (Gambar 18).
Rendemen (%)
5.1.2 Perkembangan Industri GKP di Indonesia Apabila dilihat dari aspek off farm, salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan produksi GKP adalah pertumbuhan rendemen gula di Indonesia. Pada Gambar 19 terlihat bahwa rendemen gula di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 rendemen gula di Indonesia adalah sebesar 6.46 persen atau menurun sebesar 1.11 persen per tahun dari tahun 2000. Sementara pada periode lima tahun (2005-2010) penurunan rendemen gula rata-rata adalah sebesar 1.67 persen per tahun. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun
Gambar 19 Perkembangan rendemen gula di Indonesia tahun 2000-2010 Sumber: DGI (2012) dan Ikagi dalam Arifin (2012) Nilai rendemen tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai pol tebu dan efisiensi pabrik. Sementara efisiensi pabrik merupakan gabungan antara efisiensi stasiun gilingan dengan efisiensi stasiun pengolahan. Gambar 20 menunjukkan bahwa pada periode tersebut nilai pol tebu mengalami penurunan sebesar 0.76 persen per tahun, sedangkan nilai efisiensi pabrik mengalami penurunan sebesar 0.26 persen per tahun. Penurunan nilai efisiensi pabrik disebabkan karena penurunan efisiensi stasiun gilingan sebesar 0.09 persen per tahun dan penurunan efisiensi stasiun pengolahan sebesar 0.18 persen per tahun.
9.5
75.60 75.40 75.20 75.00 74.80 74.60 74.40 74.20 74.00 73.80 73.60
Pol Tebu (%)
9.4 9.3 9.2 9.1 9 8.9 8.8 2004
2005
2006
Efisiensi Pabrik (%)
46
2007
Tahun Pol Tebu
Efisiensi Pabrik
Gambar 20 Perkembangan pol tebu dan efisiensi pabrik gula di Indonesia tahun 2004-2007 Sumber: P3GI (2007)
Kapasitas Giling (ton tebu per hari)
Perkembangan industri gula juga bisa dinilai dari perkembangan kapasitas terpasang (exclusive) dan kapasitas terpakai (inclusive) industri gula. Data DGI (2012) menunjukkan bahwa kapasitas terpakai industri gula Indonesia masih rendah jika dibandingkan kapasitas terpasangnya. Pada tahun 2010, kapasitas terpasang industri gula adalah 229 285 ton tebu per hari atau meningkat sebesar 3.69 persen per tahun dari tahun 2005. Sementara kapasitas terpakai industri gula pada tahun 2010 adalah sebesar 198 232 atau meningkat sebesar 2.28 persen per tahun. Sementara tingkat utilisasi kapasitas terpasang pada tahun 2010 adalah sebesar 84.28 persen dengan laju pertumbuhan yang menurun sebesar 1.18 persen per tahun (Gambar 21). 250000 200000 150000 100000 50000 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun Kapasitas Terpasang
Kapasitas Terpakai
Gambar 21 Kapasitas terpasang dan terpakai industri gula Indonesia tahun 2005-2010 Sumber: DGI (2012)
47
Jam Henti Giling Terhadap Jam Giling (%)
Lajuu peningkattan kapasitaas terpasang g yang lebiih tinggi diibandingkan n laju peningkataan kapasitaas terpakai menunjukka m an adanya peningkatan p n persentasee jam berhenti giling g terhaddap jam gilling. Jam berhenti giling pada tahhun 2007 adalah a sebesar 144.37 persenn dari jam giling atau mengalam mi peningkattan sebesarr 8.16 persen perr tahun darri tahun 20004 yang haanya sebesaar 12.2 perssen. Pening gkatan jam berheenti giling tersebut t lebbih banyak disebabkann oleh sebaab di luar pabrik p yang menngalami penningkatan sebesar 33.16 persen per tahun. Sebesar 57.65 persen darri jam berhhenti di luarr pabrik terrsebut disebbabkan kareena kurang tebu, 16.65 perrsen disebabbkan karenna hari libu ur dan sisannya karenaa penyebab lain. Sementaraa jam berheenti giling yang y disebab bkan oleh sebab s di dallam pabrik justru j mengalam mi penurunann sebesar 2..29 persen per p tahun (G Gambar 22).
20 15 10 5 0 2004
2005
2006
2007 7
Taahun Sebab Dalaam Pabrik
Sebab di Luaar Pabrik
Gambarr 22 Persenntase jam henti giling terhadap t jam m giling tahhun 2004-20 007 Sumbber: P3GI (22007)
5.2 Perk kembangan n Keragaan Kebutuhaan GKP di IIndonesia KP Indonessia tidak teerlepas darri perkembaangan Keeragaan kebbutuhan GK konsumsi GKP per kaapita dan juumlah pendu uduk. Konssumsi GKP pada tahun 2010 adalah seebesar 2 6229 256 tonn. Jumlah ini meninggkat sebesaar 172 473 3 ton dibandinggkan dengann konsumsi GKP pada tahun t 2005 yaitu sebessar 2 629 25 56 ton. Pada perioode tersebuut terjadi peeningkatan konsumsi GKP G rata-rrata sebesarr 1.28 persen peer tahun. Konsumsi K teersebut meliputi konsuumsi GKP secara lang gsung oleh rumaah tangga maupun m perrmintaan kh husus yang mencakup penyediaan n jasa boga, sepeerti rumah makan, m hoteel dan restorran (Gambaar 23).
24000000
2850000
23500000
2800000 2750000
23000000
2700000
22500000
2650000
22000000
2600000
21500000
2550000
21000000
2500000 2005
2006
2007
2008
2009
Konsumsi GKP (ton)
Penduduk (Jiwa)
48
2010
Tahun Jumlah Penduduk
Konsumsi
Gambar 23 Perkembangan konsumsi GKP dan jumlah penduduk tahun 2005-2010 Sumber: BKP (2010), DGI (2011) dan BPS (2012)
Konsumsi Rumah Tangga (Kg/Kap/Thn)
Salah satu faktor yang menyebabkan pertumbuhan konsumsi GKP adalah pertumbuhan Jumlah penduduk. Pada Gambar 23 terlihat bahwa jumlah penduduk di Indonesia mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 jumlah penduduk di Indonesia adalah sebesar 237 641 000 jiwa atau meningkat sebesar 1.57 persen per tahun dari tahun 2005 yang hanya sebesar 219 852 000 jiwa. Secara umum terlihat bahwa pertumbuhan konsumsi GKP lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk pada periode tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pada periode tersebut terjadi penurunan konsumsi GKP per kapita yaitu sebesar 0.36 persen per tahun. Konsumsi GKP per kapita pada tahun 2005 adalah sebesar 11.96 Kg/Kap/Tahun, sedangkan pada tahun 2010 menurun menjadi 11.79 Kg/Kap/Tahun. 8.8 8.6 8.4 8.2 8 7.8 7.6 7.4 7.2
8.62 8.43
7.91 7.69
2007
2008
2009
2010
Tahun
Gambar 24 Perkembangan konsumsi GKP per kapita rumah tangga tahun 2007-2010 Sumber: DGI (2012)
49 Penurunan konsumsi GKP per kapita disumbang oleh penurunan konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2010 konsumsi GKP rumah tangga adalah sebesar 7.69 Kg/Kap/Tahun atau menurun sebesar 3.72 persen per tahun dari tahun 2007. Pada tahun 2007 Konsumsi GKP rumah tangga adalah sebesar 8.62 Kg/Kap/Tahun (Gambar 24). Selain dikonsumsi oleh rumah tangga, terdapat juga permintaan khusus GKP untuk penyediaan jasa boga dengan proporsi yang lebih kecil. Gambar 25 menunjukkan proporsi konsumsi GKP antara konsumsi GKP rumah tangga dan kebutuhan khusus. Pada tahun 2010, konsumsi GKP untuk kebutuhan khusus adalah sebesar 3.78 Kg/Kap/Tahun atau memiliki proporsi sebesar 32.96 persen dari total konsumsi GKP.
3.78 kg/kap/thn
Rumah tangga
7.69 kg/kap/thn
Khusus (Rapat, warung, rumah makan dll)
Gambar 25 Proporsi konsumsi GKP tahun 2010 Sumber: Diolah dari DGI (2012) dan BKP (2010)
50
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Model dan Dinamika Swasembada GKP Pembangunan model swasembada GKP nasional bertujuan untuk mengetahui perilaku ketersediaan GKP nasional beserta submodel submodel yang menyusunnya. Struktur model disajikan pada Lampiran 1, sedangkan persamaan model disajikan pada Lampiran 2. Berikut ini adalah validasi model dan perilaku submodel yang menyusun model swasembada GKP nasional. Validasi model penting dilakukan untuk menguji apakah model tersebut merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji dimana dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Selanjutnya model yang telah valid tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku submodel. Perilaku submodel merupakan indikator yang sangat penting untuk menjelaskan perilaku model secara keseluruhan. Perilaku model yang diukur dalam penelitian ini adalah penyediaan, kebutuhan dan ketersediaan GKP nasional. 6.1.1 Validasi Model Mengacu pada pendapat Muhammadi et al. (2001), validasi terhadap model dinamika swasembada GKP nasional meliputi uji validitas struktur dan uji validitas kinerja/output model. Uji kestabilan struktur yang dilakukan dengan menguji konsistensi dimensi. Pengujian ini dilakukan secara langsung oleh perangkat lunak. Hasil pengujian menunjukkan bahwa model dinamika sistem industri GKP yang dikembangkan memiliki dimensi yang konsisten sehingga tidak terdapat kesalahan (error). Tabel 8 Hasil uji validitas kinerja model swasembada GKP nasional Variabel No 1 2 3
Kriteria RMSPE (Root Mean Square Percentage Error) AME (Average Mean Error) AVE (Average Variance Error)
Produksi GKP (%)
Konsumsi GKP (%)
1.57
1.15
1.12
2.28
2.18
1.97
Sementara kriteria yang digunakan dalam uji validasi kinerja adalah RMSPE (Root Mean Square Percentage Error), AME (Average Mean Error) dan AVE (Average Variance Error). Variabel yang diuji adalah produksi GKP dan konsumsi GKP selama tahun 2010-2012. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai RMSPE, AME dan AVE untuk produksi GKP masing masing sebesar 1.57 persen, 1.12 persen dan 2.18 persen. Sementara nilai RMSPE, AME dan AVE
51 untuk konsumsi GKP adalah sebesar 1.15 persen, 2.28 persen dan 1.97 persen. Nilai tersebut lebih rendah dari batas maksimum yang dipersyaratkan sebesar 5 persen, sehingga model dinamika swasembada GKP nasional dinyatakan valid. 6.1.2 Perilaku Submodel Penyediaan Bahan Baku Perilaku submodel penyediaan bahan baku diindikasikan oleh jumlah produksi tebu. Komponen yang paling menentukan dalam produksi tebu adalah luas areal yang mewakili aspek kuantitas dan produktivitas tebu yang mewakili aspek kualitas. Luas areal dan produktivitas tebu yang dianalisis terbagi 2 berdasarkan status pengusahaan yaitu luas areal tebu yang dikuasai oleh perkebunan negara dan perkebunan swasta serta produktivitas tebu yang dihasilkan perkebunan negara dan perkebunan swasta. Luas areal tersebut sudah mencakup luas areal perkebunan rakyat yang menggilingkan tebunya ke pabrik gula dan produktivitas tersebut sudah mencakup produktivitas tebu perkebunan rakyat yang berada lingkungan kerja pabrik gula. Pembagian status pengusahaan tersebut terkait perbedaan tren pertumbuhan luas areal dan produktivitas. Hasil simulasi perkembangan luas areal tebu menurut status pengusahaan disajikan pada Gambar 26. Sementara hasil simulasi produktivitas tebu berdasarkan status pengusahaan disajikan pada Gambar 27. ha
Luas areal tebu
600,000 500,000 Luas_lhn_PBN
400,000
Luas_lhn_PBS Luas_lhn_total
300,000 200,000 20102011201220132014201520162017201820192020 2021202220232024
Tahun
Gambar 26 Luas areal perkebunan tebu kondisi aktual 2010-2025
Gambar 26 menunjukkan terjadinya peningkatan luas areal tebu selama periode simulasi dengan pola exponential growth, namun diperkirakan akan mengalami pola goal seeking pada tahun tahun berikutnya. Peningkatan luas areal tersebut sebagian besar disumbang oleh perkebunan swasta dengan pertumbuhan rata rata per tahun sebesar 5.16 persen. Sementara perkebunan negara mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun yang lebih rendah yaitu sebesar 1.44 persen. Pertumbuhan luas areal perkebunan swasta dibatasi oleh target rencana aksi on farm swasta dimana ditargetkan luas areal perkebunan swasta mencapai 379 062.5 Ha. Pertumbuhan luas areal perkebunan negara dibatasi oleh target rencana aksi on farm BUMN dimana ditargetkan luas areal perkebunan negara mencapai 312 100,6 Ha. Kedua target luas areal tersebut menjadi goal lahan dalam submodel penyediaan bahan baku. Hal ini dikarenakan pertumbuhan lahan tebu tidak dapat
52 terus terjadi karena adanya kendala kesesuaian lahan dan persaingan dengan tanaman lain. Adanya goal lahan tersebut menyebabkan pertumbuhan luas areal akan tetap pada periode tertentu. Hasil simulasi menunjukkan bahwa luas areal tebu perkebunan negara tidak lagi mengalami pertumbuhan pada 2020 hingga akhir periode simulasi. Pertumbuhan lahan setelah tahun 2020 hanya disumbang oleh perkebunan swasta. Hal ini dikarenakan pertumbuhan lahan perkebunan swasta belum mencapai goal yang ditetapkan hingga akhir periode simulasi. Pada tahun 2025, jumlah luas areal perkebunan tebu di Indonesia mencapai 640 840,91 ha, dengan komposisi 48.70 persen dikuasai oleh perkebunan negara dan 51.29 persen dikuasai oleh perkebunan swasta.
Produktivitas tebu
ton/ha
100
Produktivitas_PBN
90
Prdktvts_PBS
80
201020112012201320142015201620172018201920202021202220232024
Tahun
Gambar 27 Produktivitas tebu kondisi aktual tahun 2010-2025 Gambar 27 menunjukkan terjadinya peningkatan produktivitas tebu perkebunan swasta yaitu sebesar 1.56 persen per tahun dengan pola exponential growth, sedangkan produktivitas tebu perkebunan negara justru mengalami penurunan sebesar 0.36 persen per tahun. Namun meskipun terjadi penurunan produktivitas tebu perkebunan negara, Gambar 28 menunjukkan terjadinya peningkatan total produksi tebu di Indonesia. Peningkatan produksi tebu perkebunan swasta yang memiliki pola exponential growth mampu mengimbangi pola produksi tebu perkebunan negara yang mengalami overshoot pada tahun 2010-2019 dan collapse selama periode 2020 hingga akhir periode simulasi. Secara umum peningkatan produksi tebu di Indonesia memiliki pola exponential growth selama periode simulasi.
53 ton
Produksi tebu
50,000,000
40,000,000 Produksi_tebu_PBN Produksi_tebu_PBS 30,000,000
Produksi_tebu
20,000,000
201020112012201320142015201620172018201920202021202220232024
Tahun
Gambar 28 Produksi tebu kondisi aktual tahun 2010-2025
Pada tahun 2025, produksi tebu di Indonesia diperkirakan mencapai 58.94 juta ton, dimana 23.75 juta ton dihasilkan oleh perkebunan negara dan 35.19 juta ton dihasilkan oleh perkebunan swasta. Sementara pada tahun 2014, produksi tebu di Indonesia diperkirakan mencapai 40.38 juta ton, dimana 23.32 juta ton dihasilkan oleh perkebunan negara dan 17.06 juta ton dihasilkan oleh perkebunan swasta. Jumlah ini masih lebih rendah dari sasaran produksi tebu kementrian pertanian yang mentargetkan total produksi tebu pada tahun 2014 sebesar 42,51 juta ton. 6.1.3 Perilaku Submodel Pengolahan Perilaku sumbodel pengolahan diindikasikan oleh jumlah GKP yang diproduksi oleh pabrik gula. Komponen yang paling menentukan dalam produksi GKP adalah rendemen, kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai. Dua komponen yang terakhir terkait langsung dengan kebutuhan bahan baku berupa tebu dan lama giling. Hasil simulasi produksi GKP disajikan pada Gambar 29. ton
Produksi_GKP
2,900,000 2,800,000 2,700,000 2,600,000 2,500,000 2,400,000 2,300,000 201020112012201320142015201620172018201920202021202220232024
Tahun
Gambar 29 Produksi GKP kondisi aktual, tahun 2010-2025
54 Gambar 29 menunjukkan bahwa selama periode 2010-2025 terjadi peningkatan produksi GKP dengan pola exponential growth. Pada tahun 2025 produksi GKP diperkirakan mencapai 2.93 juta ton. Sementara pada tahun 2014 produksi GKP diperkirakan mencapai 2.41 juta ton. Jumlah ini masih lebih rendah dari sasaran produksi GKP kementrian pertanian yang mentargetkan total produksi GKP pada tahun 2014 sebesar 3.57 juta ton.
Kapasitas giling
ton/da 400,000
350,000
300,000
Kap_terpakai_industri Kap_terpasang_industri
250,000
200,000 201020112012201320142015201620172018201920202021202220232024
Tahun
Gambar 30 Kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai industri gula kondisi aktual, tahun 2010-2025 Peningkatan produksi GKP selama periode simulasi disebabkan karena peningkatan kapasitas terpasang industri gula, sedangkan tingkat utilisasi kapasitas terpasang dan rendemen justru mengalami penurunan masing masing sebesar 1.18 persen per tahun dan 1.67 persen per tahun selama periode simulasi. Penurunan tingkat utilisasi kapasitas terpasang dapat terlihat pada Gambar 30 yang menunjukkan jarak semakin lebar antara kapasitas terpasang dengan kapasitas terpakai. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk meningkatkan produksi GKP, maka diperlukan upaya untuk menarik minat investor untuk berinvestasi pada industri pengolahan gula sehingga mampu meningkatkan kapasitas giling industri gula. Peningkatan kapasitas giling ini diperlukan untuk mengimbangi peningkatan produksi tebu. Apabila peningkatan kapasitas giling tidak mampu mengimbangi peningkatan produksi tebu, maka akan menyebabkan waktu giling menjadi tidak tepat. Hal ini menimbulkan resiko tebu tidak digiling dalam kondisi MBS (manis, bersih dan segar) sehingga rendemen akan turun. Disamping itu, secara sosial akan menimbulkan resiko adanya “tebu lari” yaitu petani yang menggilingkan tebunya ke pabrik gula lain akibat keterlambatan jadwal tebang yang diakibatkan oleh keterbatasan kapasitas giling pabrik. 6.1.4 Perilaku Submodel Kebutuhan Perilaku submodel konsumsi diindikasikan oleh jumlah konsumsi GKP nasional yang merupakan penjumlahan antara konsumsi GKP rumah tangga dengan konsumsi GKP khusus yang meliputi kebutuhan untuk rapat, warung, rumah makan dan industri kecil. Komponen yang paling menentukan adalah konsumsi GKP per kapita dan jumlah penduduk. Hasil simulasi konsumsi GKP disajikan pada Gambar 31.
55 ton
Konsumsi (ton)
4,000,000
3,000,000
Konsumsi_GKP_RT Konsumsi_khusus_ind Kebutuhan GKP_Nas
2,000,000
1,000,000 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Tahun
Gambar 31 Kebutuhan GKP kondisi aktual tahun 2010-2025 (ton)
Gambar 31 menunjukkan bahwa selama periode simulasi, jumlah kebutuhan GKP Indonesia mengalami peningkatan dengan pola exponential growth. Peningkatan kebutuhan GKP ini disumbang oleh peningkatan konsumsi GKP khusus dan peningkatan konsumsi GKP rumah tangga. Peningkatan konsumsi khusus disumbang oleh peningkatan konsumsi khusus per kapita dengan laju peningkatan sebesar 5.35 persen per tahun dan peningkatan jumlah penduduk dengan laju peningkatan sebesar 1.57 persen per tahun. Peningkatan jumlah penduduk tersebut mampu mengimbangi konsumsi GKP rumah tangga per kapita yang mengalami laju penurunan sebesar 3.72 persen per tahun. Penurunan konsumsi GKP rumah tangga per kapita ini berhenti pada tingkat 7.3 kg/kap/tahun. Nilai tersebut merupakan nilai rata-rata konsumsi gula pria dan wanita dewasa yang direkomendasikan. Kondisi ini menyebabkan mulai tahun 2023, proporsi konsumsi GKP khusus lebih besar dibandingkan konsumsi GKP rumah tangga. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sugiyanto (2007) yang menunjukkan adanya penurunan persentase konsumsi gula secara langsung oleh rumah tangga. Penurunan tersebut mencerminkan tiga hal. Pertama, pergeseran pola konsumsi gula, dari mengkonsumsi gula di dalam rumah tangga menjadi konsumsi di luar rumah tangga sebagai akibat dari perubahan pola kerja dan semakin meningkatnya jumlah rumah makan yang menyediakan fast food. Kedua, peningkatan konsumsi penduduk atas produk makanan dan minuman olahan yang mengandung gula sehingga penggunaan gula sebagai bahan baku dalam industri pengolahan makanan dan minuman meningkat pula. Ketiga, tingkat penghasilan masyarakat, dimana rumah tangga dengan pendapatan semakin tinggi cenderung semakin banyak mengkonsumsi makanan olahan dan minuman kemasan. Pada tahun 2025, konsumsi GKP di Indonesia diperkirakan mencapai 4.61 juta ton, dimana 2.13 juta ton merupakan konsumsi GKP rumah tangga dan 2.48 juta ton merupakan konsumsi khusus industri. Sementara pada tahun 2014, konsumsi GKP di Indonesia diperkirakan mencapai 2.97 juta ton, dimana 1,80 juta ton merupakan konsumsi GKP rumah tangga dan 1.18 juta ton merupakan konsumsi khusus industri. Jumlah ini sama dengan proyeksi konsumsi GKP kementrian pertanian yang memprediksikan total konsumsi GKP pada tahun 2014 sebesar 2.96 juta ton.
56 6.1.5 Perilaku Submodel Perdagangan Perilaku sumbodel perdagangan diindikasikan oleh jumlah impor GKP yang ditentukan oleh produksi GKP, konsumsi GKP, harga impor dan harga domestik. Apabila harga GKP domestik lebih murah dari harga GKP impor, maka jumlah impor adalah sebesar 9.82 persen dari kebutuhan GKP. Nilai tersebut merupakan rata-rata persentase impor terhadap kebutuhan GKP selama 2005-2010. Namun jika harga GKP domestik lebih mahal dari GKP impor maka jumlah impor adalah sebesar 10 persen dari kebutuhan GKP. Nilai tersebut merupakan persentase impor terhadap kebutuhan GKP maksimal yang diperbolehkan untuk mencapai swasembada. Hasil simulasi impor GKP disajikan pada Gambar 32. ton 450,000
Impor
400,000
350,000
300,000
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
Tahun
Gambar 32 Impor GKP kondisi aktual tahun 2010-2025 Gambar 32 menunjukkan bahwa jumlah impor GKP mengalami peningkatan dengan pola exponential growth selama periode simulasi. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan kebutuhan GKP nasional, serta didukung oleh keragaan harga GKP domestik yang senantiasa berada di atas harga GKP impor selama periode simulasi (Gambar 33), sehingga menciptakan insentif untuk melakukan impor. Pada tahun 2025, impor GKP di Indonesia diperkirakan mencapai 0.46 juta ton. Sementara pada tahun 2014, impor GKP di Indonesia diperkirakan mencapai 0.30 juta ton. Jumlah ini masih lebih jauh dari rencana Kementrian Pertanian yang mentargetkan adanya surplus GKP sebesar 584 013 pada tahun 2014). Rp
Harga
80,000
60,000
Harga_domestik Harga_impor
40,000
20,000
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Tahun
Gambar 33 Harga domestik dan harga impor GKP kondisi aktual
57 6.2 Model Swasembada GKP Kondisi Aktual Pemodelan swasembada GKP nasional ditujukan untuk menganalisis swasembada GKP dengan melihat perilaku penyediaan, kebutuhan dan ketersediaan. Diharapkan ketersediaan GKP selalu positif yang menunjukkan bahwa kebutuhan GKP selalu dapat dipenuhi baik melalui produksi dalam negri maupun impor dengan persentase impor yang tidak lebih dari 10 persen sesuai dengan konsep swasembada GKP yang dirumuskan oleh Kementan (2010). Hasil simulasi analisis swasembada GKP kondisi aktual dapat dilihat pada Gambar 34. ton
4,000,000
3,000,000
2,000,000
Kebutuhan GKP_Nas Penyediaan_GKP KETERSEDIAAN_GKP
1,000,000
0
-1,000,000 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Tahun
Gambar 34 Ketersediaan GKP nasional kondisi aktual tahun 2010-2025
Gambar 34 menunjukkan bahwa grafik penyediaan GKP memiliki kecenderungan yang terus meningkat dengan pola exponential growth. Pertumbuhan penyediaan GKP ini disumbang oleh pertumbuhan luas areal, produktivitas tebu swasta dan kapasitas terpasang. Sementara itu konsumsi GKP juga mengalami pertumbuhan dengan pola exponential growth sebagai akibat adanya pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan konsumsi per kapita GKP untuk kebutuhan khusus. Secara umum terlihat bahwa grafik kebutuhan GKP berada di atas grafik penyediaan GKP mulai tahun 2010 hingga akhir periode simulasi. Hal ini berarti tanpa kebijakan RIGN, swasembada GKP tidak akan terwujud hingga akhir periode simulasi. Pada tahun 2010, ketersediaan GKP nasional defisit sebesar 0.12 juta ton. Apabila tidak dilakukan kebijakan, defisit ketersediaan GKP ini akan meningkat hingga akhir periode simulasi. Defisit ketersediaan GKP nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 1.23 juta ton. Sementara pada tahun 2014, defisit ketersediaan GKP nasional adalah sebesar 0.30 juta ton. Hal ini berarti swasembada GKP yang ditargetkan oleh pemerintah pada tahun 2014 tidak akan tercapai tanpa kebijakan RIGN. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Widyastutik (2005), Cahyani (2008), Sawit (2010), Zaini (2011), Asmarantaka (2012) dan Trisnawati et al. (2012) menunjukkan bahwa swasembada gula yang berkelanjutan akan sulit dicapai artinya produksi gula dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri.
58 6.3 Dampak Kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional Terhadap Pencapaian Swasembada GKP Hasil kinerja sistem kondisi aktual memperlihatkan bahwa swasembada GKP nasional tidak akan tercapai selama periode simulasi. Dengan demikian target swasembada GKP pemerintah pada tahun 2014 diprediksikan tidak akan tercapai jika dijalankan secara business as usual. Oleh karena itu diperlukan kebijakan pendukung yang dapat menurunkan defisit ketersediaan GKP nasional hingga mencapai swasembada. Berikut ini adalah dampak kebijakan RIGN terhadap pencapaian swasembada GKP dalam berbagai skenario. 6.3.1 Skenario 1: Peningkatan Luas Areal Skenario 1 adalah skenario kebijakan pemerintah untuk mendayagunakan sumberdaya lahan dengan memperluas lahan melalui pencetakan lahan secara bertahap dan menekan laju konversi lahan tebu. Pertumbuhan luas areal tebu lebih banyak diupayakan di luar Jawa. Hal ini karena tingginya persaingan penggunaan lahan di Jawa dengan komoditas lain maupun untuk penggunaan non pertanian. Beberapa telaah lahan potensial untuk tebu pernah dilakukan, diantaranya oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor (PPTA) pada tahun 1992-2002 dan oleh P3GI pada 1994-2006. Dari hasil telaah ini diperkirakan areal potensial sesuai untuk tebu mencapai 751 125 ribu ha tersebar di 7 propinsi. Areal yang terluas yaitu di Kabupaten Merauke, Papua dengan potensi lahan mencapai sekitar 727 925 ribu ha. Namun demikian, areal potensial ini diduga akan semakin menyusut luasannya dikarenakan tingkat keragaman bentuk wilayah, faktor penghambat kemampuan tanah dan penggunaan lahan. Luas lahan yang direkomendasikan dan siap dapat dikembangkan untuk perkebunan tebu sekitar 141 279 ha, terdiri dari 28 079 ha hasil interpretasi tinjau mendalam dan 113 200 ha hasil interpretasi semi detil (Mulyadi et al. 2009). Berdasarkan informasi dan hasil penelitian tersebut, maka peningkatan luas areal selalu menghadapi kendala keterbatasan lahan. Oleh karena itu perluasan lahan ini ditentukan juga oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut berupa rencana aksi on farm BUMN yang mentargetkan luas lahan mencapai 317 165.5 ha (goal lahan) dan rencana aksi on farm swasta yang mentargetkan luas lahan mencapai 390 082 ha (goal lahan). Dalam skenario 1 pertumbuhan luas lahan perkebunan negara ditargetkan mencapai 3.2 persen per tahun. Angka tersebut merupakan target pertumbuhan luas areal tebu dalam Revitalisasi Industri Gula BUMN (Kementerian BUMN 2011). Gambar 35 menunjukkan bahwa grafik kebutuhan GKP terus meningkat selama periode simulasi. Sementara grafik penyediaan GKP pada awalnya menurun selama tahun 2010 hingga 2011, kemudian mengalami peningkatan dari tahun 2012 hingga akhir periode simulasi. Ketersediaan GKP nasional terus menurun selama periode simulasi. Pada tahun 2010, ketersediaan GKP dengan skenario 1 defisit sebesar 0.122 juta ton dan terus meningkat pada tahun berikutnya, hingga defisit ketersediaan mencapai 1.27 juta ton pada tahun 2025. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan perluasan areal saja tidak cukup membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2014. Hal ini dikarenakan adanya kendala keterbatasan lahan yang membuat pertumbuhan lahan perkebunan negara terhenti hanya sampai tahun 2014.
59 ton
4,000,000
3,000,000
2,000,000
Kebutuhan GKP_Nas Penyediaan_GKP
1,000,000
KETERSEDIAAN_GKP
0
-1,000,000 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Tahun
Gambar 35 Ketersediaan GKP nasional skenario 1 tahun 2010-2025
6.3.2 Skenario 2: Peningkatan Produktivitas Tebu Skenario 2 adalah skenario peningkatan produktivitas tebu. Skenario ini dapat menjadi alternatif peningkatan produksi GKP pada kondisi keterbatasan lahan. Dalam skenario 2 pertumbuhan produktivitas tebu perkebunan negara ditargetkan mencapai 1.6 persen per tahun. Angka tersebut merupakan target pertumbuhan produktivitas tebu dalam Revitalisasi Industri Gula BUMN (Kementrian BUMN 2011). Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas tebu adalah melalui program bongkar ratoon, yaitu pergantian tanaman keprasan dengan tanaman baru (plant cane). Rekomendasi teknis yang dianjurkan oleh Litbang, Deptan (2005) mengenai tanaman keprasan ini adalah sebanyak maksimal tiga kali kepras. Program bongkar ratoon ini dilakukan untuk menanggulangi masalah tanaman keprasan yang sudah jauh melampaui rekomendasi teknis tersebut. Menurut Litbang Deptan (2005), salah satu persoalan yang berkaitan dengan usahatani tebu adalah masih dominannya tanaman keprasan (ratoon) yang frekuensinya sudah jauh melampaui rekomendasi teknis yang dianjurkan. Setelah bongkar ratoon, langkah selanjutnya adalah menggantikannya dengan tanaman baru (plant cane) yang memiliki produktivitas tinggi sesuai dengan rekomendasi teknis P3GI. Kegiatan ini telah dilakukan oleh P3GI secara rutin melalui program penataan varietas. Gambar 36 menunjukkan bahwa grafik kebutuhan GKP terus meningkat selama periode simulasi. Sementara grafik penyediaan GKP pada awalnya menurun selama tahun 2010 hingga 2011, kemudian mengalami peningkatan dari tahun 2012 hingga akhir periode simulasi. Perubahan penyediaan GKP nasional melalui peningkatan produktivitas tebu belum mampu membuat ketersediaan GKP positif. Hasil penelitian menunjukkan ketersediaan GKP nasional terus menurun selama periode simulasi. Pada tahun 2010, ketersediaan GKP dengan skenario 2 defisit sebesar 0.12 juta ton dan terus meningkat pada tahun berikutnya, hingga defisit ketersediaan mencapai 0.87 juta ton pada tahun 2025. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan peningkatan produktivitas saja tidak cukup membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2014.
60 ton
4,000,000
3,000,000
2,000,000
Kebutuhan GKP_Nas Penyediaan_GKP KETERSEDIAAN_GKP
1,000,000
0
201020112012201320142015201620172018201920202021202220232024
Tahun
Gambar 36 Ketersediaan GKP nasional skenario 2 tahun 2010-2025
6.3.3 Skenario 3: Peningkatan Rendemen Skenario 3 adalah skenario peningkatan rendemen. Dalam skenario 3 pertumbuhan rendemen ditargetkan mencapai 1.41 persen per tahun. Angka tersebut merupakan target pertumbuhan rendemen dalam Road Map Swasembada Gula Nasional (Kementan, 2010). Rendemen adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen (Trisnawati et al. 2012). Peningkatan rendemen merupakan upaya praktis yang berdampak positif dan signifikan terhadap produksi gula (Wibowo 2012). Oleh karena itu salah satu upaya menuju swasembada gula nasional 2014 adalah peningkatan rendemen. Tanaman tebu harus dapat diberdayakan sehingga kapasitasnya untuk menghasilkan dan menyimpan sukrose menjadi lebih baik (Soemarno 2010). Peningkatan produktivitas melalui rendemen mempunyai keunggulan yaitu tidak diperlukannya peningkatan kapasitas giling dan tidak diperlukannya peningkatan biaya tebang angkut serta dapat mengurangi biaya prosesing gula. Peningkatan kapasitas pabrik berarti peningkatan biaya dimana saat ini tidak direkomendasikan untuk melaksanakan investasi peningkatan kapasitas pabrik (P3GI 2008). ton
6,000,000
4,000,000 Kebutuhan GKP_Nas Penyediaan_GKP KETERSEDIAAN_GKP 2,000,000
0 201020112012201320142015201620172018201920202021202220232024
Tahun
Gambar 37 Ketersediaan GKP nasional skenario 3 tahun 2010-2025
61 Gambar 37 menunjukkan bahwa grafik kebutuhan dan penyediaan GKP terus meningkat selama periode simulasi. Perubahan penyediaan GKP nasional melalui peningkatan rendemen mampu membuat ketersediaan GKP positif mulai tahun 2014 hingga akhir periode simulasi. Pada tahun 2014, ketersediaan GKP dengan skenario 4 surplus sebesar 0.016 juta ton dan terus meningkat pada tahun berikutnya, hingga mencapai surplus sebesar 2.59 juta ton pada tahun 2025. Secara umum dapat dikatakan bahwa apabila kebijakan peningkatan rendemen sebesar 1.41 persen per tahun berhasil dilakukan, maka Indonesia akan mencapai swasembada GKP pada tahun 2014. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat P3GI (2008) yang menyatakan bahwa peningkatan rendemen merupakan pilihan untuk peningkatan produksi yang lebih unggul. Pilihan ini adalah pilihan yang rasional mengingat kinerja rendemen selama 27 tahun terakhir masih berada di bawah potensi yang sebenarnya. Bahkan kinerja rendemen selama lima tahun terakhir hampir hanya setengah dari yang pernah dicapai sebelum tahun 1975. Jadi peningkatan rendemen hanya mengembalikan kinerjanya seperti waktu lalu. 6.3.4 Perbandingan Antara Kondisi Aktual dengan Skenario Kebijakan Hasil simulasi dari ketiga skenario dapat dibandingkan satu sama lain untuk mengetahui dampak dari berbagai skenario tersebut terhadap ketersediaan GKP nasional. Perbandingan tersebut juga dapat menjadi dasar dalam mengevaluasi kebijakan RIGN yang telah berjalan. Berdasarkan simulasi seperti yang terlihat pada Gambar 37, kinerja model kondisi aktual memperlihatkan bahwa swasembada GKP tidak akan tercapai. Hal ini ditunjukkan oleh grafik ketersediaan GKP yang negatif selama periode simulasi. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang dapat meningkatkan ketersediaan GKP. Kebijakan tersebut telah diupayakan oleh pemerintah dari sisi penyediaan berupa program RIGN, yaitu melalui peningkatan luas areal, produktivitas tebu dan rendemen.
Ketersediaan GKP (ton)
3000000 2500000 2000000 1500000
Aktual
1000000
Skenario 1
500000
Skenario 2
0
Skenario 3
‐500000 ‐1000000 ‐1500000
Tahun
Gambar 38 Perbandingan ketersediaan GKP pada skenario swasembada Gambar 38 menunjukkan bahwa semua skenario memiliki ketersediaan GKP yang sama pada tahun dasar yaitu 2010. Hal ini sesuai dengan asumsi awal yang dibangun bahwa program RIGN baru digulirkan tahun 2010, maka dampaknya baru akan terlihat pada musim giling tahun 2011. Skenario
62 peningkatan rendemen memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan skenario peningkatan produktivitas tebu dan skenario peningkatan luas areal. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa skenario yang membuat Indonesia mampu mencapai swasembada GKP adalah skenario peningkatan rendemen. Skenario ini berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2014 hingga akhir periode simulasi.
6.4 Skenario Kebijakan Alternatif Pencapaian Swasembada GKP Pada subbab sebelumnya, telah dilakukan analisis dampak kebijakan RIGN terhadap pencapaian swasembada GKP nasional. Kebijakan yang disimulasikan tersebut merupakan kebijakan yang sudah berjalan. Sementara pada subbab ini akan dilakukan simulasi skenario kebijakan alternatif pencapaian swasembada GKP yang berpeluang untuk diterapkan. Skenario kebijakan yang akan disimulasikan merupakan kebijakan alternatif dari sisi kebutuhan maupun gabungan antara kebijakan dari sisi kebutuhan dan penyediaan. Dalam skenario kebijakan alternatif ini, pertumbuhan penduduk diasumsikan menurun dari 1.57 persen per tahun menjadi 1.3 persen per tahun. Nilai tersebut merupakan target penurunan pertumbuhan penduduk dari BKKBN. Berikut ini adalah skenario kebijakan alternatif pencapaian swasembada GKP. 6.4.1
Skenario 4 (Penurunan Pertumbuhan Penduduk) Pada skenario 4 diasumsikan jika kebijakan RIGN sama sekali tidak berhasil dan yang berhasil hanyalah kebijakan penurunan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk ditekan melalui kebijakan keluarga berencana dan program generasi berencana, sehingga pertumbuhan penduduk menurun dari 1.57 persen per tahun menjadi 1.3 persen per tahun. Nilai ini merupakan nilai rata rata pertumbuhan penduduk Indonesia yang ditargetkan oleh BKKBN. ton 4,000,000
3,000,000
2,000,000 Kebutuhan GKP_Nas Penyediaan_GKP KETERSEDIAAN_GKP
1,000,000
0
-1,000,000 201020112012 20132014 20152016 20172018 201920202021 20222023 2024
Tahun
Gambar 39 Ketersediaan GKP nasional skenario 4 tahun 2010-2025
63 Gambar 39 menunjukkan bahwa grafik kebutuhan GKP terus meningkat selama periode simulasi. Sementara grafik penyediaan GKP pada awalnya menurun selama tahun 2010 hingga 2011, kemudian mengalami peningkatan dari tahun 2012 hingga akhir periode simulasi. Keragaan penyediaan pada skenario 4 ini sama dengan keragaan penyediaan pada kondisi aktual. Hal ini dikarenakan asumsi yang dibangun adalah jika kebijakan RIGN sama sekali tidak berhasil dan yang berhasil hanyalah kebijakan penurunan pertumbuhan penduduk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan GKP nasional terus menurun selama periode simulasi. Pada tahun 2010, ketersediaan GKP dengan skenario 4 defisit sebesar 0.12 juta ton dan terus meningkat pada tahun berikutnya, hingga defisit ketersediaan mencapai 1.11 juta ton pada tahun 2025. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan penurunan pertumbuhan penduduk saja tidak cukup membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2014. Hal ini dikarenakan penurunan pertumbuhan penduduk tersebut tidak mampu mengimbangi penurunan produktivitas tebu perkebunan negara dan penurunan rendemen. 6.4.2 Gabungan Skenario Penyediaan dan Kebutuhan Hasil simulasi skenario 1, 2 dan 4 menunjukkan bahwa kebijakan dari sisi penyediaan saja atau sisi kebutuhan saja tidak cukup membuat Indonesia mencapai swasembada GKP, dengan asumsi apabila hanya salah satu skenario kebijakan yang berhasil. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan suatu skenario kebijakan yang merupakan penggabungan antara kebijakan dari sisi penyediaan dan kebutuhan. Skenario 5: Gabungan Skenario Peningkatan Luas Areal dan Penurunan Pertumbuhan Penduduk Skenario 5 merupakan penggabungan dari skenario 1 dan 4 yaitu skenario peningkatan luas areal tebu dan penurunan pertumbuhan jumlah penduduk. Dalam skenario 5 pertumbuhan luas areal perkebunan negara ditargetkan mencapai 3.2 persen per tahun bersamaan dengan penurunan pertumbuhan jumlah penduduk menjadi 1.3 persen per tahun. Kedua skenario tersebut tepat untuk digabungkan karena memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Penurunan pertumbuhan penduduk diharapkan akan menekan pertumbuhan laju konversi lahan menjadi pemukiman. Gambar 40 menunjukkan bahwa grafik kebutuhan GKP terus meningkat selama periode simulasi. Sementara grafik penyediaan GKP pada awalnya menurun selama tahun 2010 hingga 2011, kemudian mengalami peningkatan dari tahun 2012 hingga akhir periode simulasi. Gabungan antara kebijakan peningkatan luas areal tebu dan kebijakan penurunan pertumbuhan penduduk belum mampu membuat ketersediaan GKP positif. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ketersediaan GKP nasional terus menurun selama periode analisis. Pada tahun 2010, ketersediaan GKP dengan skenario 5 defisit sebesar 0.12 juta ton dan terus meningkat pada tahun berikutnya, hingga defisit ketersediaan mencapai 1.11 juta ton pada tahun 2025. Secara umum dapat dikatakan bahwa gabungan kebijakan peningkatan luas areal dan penurunan pertumbuhan penduduk tidak dapat membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2014. Hal ini dikarenakan penurunan pertumbuhan penduduk tersebut tidak mampu
64 mengimbangi penurunan produktivitas tebu perkebunan negara dan rendemen dalam kondisi keterbatasan luas areal. ton 4,000,000
3,000,000
2,000,000 Kebutuhan GKP_Nas Penyediaan_GKP KETERSEDIAAN_GKP
1,000,000
0
-1,000,000 201020112012201320142015201620172018201920202021202220232024
Tahun
Gambar 40 Ketersediaan GKP nasional skenario 5 tahun 2010-2025 Skenario 6: Peningkatan Produktivitas Tebu dan Penurunan Pertumbuhan Penduduk Skenario 6 merupakan penggabungan dari skenario 2 dan 4 yaitu skenario peningkatan produktivitas tebu dan penurunan pertumbuhan penduduk. Dalam skenario 6 pertumbuhan produktivitas tebu perkebunan negara yang ditargetkan mencapai 1,6 persen per tahun dilakukan bersamaan dengan penurunan pertumbuhan jumlah penduduk menjadi 1,3 persen per tahun. ton 4,000,000
3,000,000
2,000,000
Kebutuhan GKP_Nas Penyediaan_GKP KETERSEDIAAN_GKP
1,000,000
0
201020112012201320142015201620172018201920202021202220232024
Tahun
Gambar 41 Ketersediaan GKP nasional skenario 6 tahun 2010-2025 Gambar 41 menunjukkan bahwa grafik kebutuhan GKP terus meningkat selama periode simulasi. Sementara grafik penyediaan GKP pada awalnya menurun hingga tahun 2011, kemudian mengalami peningkatan dari tahun 2012 hingga akhir periode simulasi. Gabungan antara kebijakan peningkatan produktivitas tebu dan kebijakan penurunan pertumbuhan penduduk tidak mampu
65 membuat ketersediaan GKP positif hingga akhir periode simulasi. Pada tahun 2010, ketersediaan GKP dengan skenario 6 defisit sebesar 0.12 juta ton dan terus meningkat pada tahun berikutnya, hingga defisit ketersediaan mencapai 0.71 juta ton pada tahun 2025. Secara umum dapat dikatakan bahwa gabungan kebijakan peningkatan produktivitas tebu dan penurunan pertumbuhan penduduk tidak dapat membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2014. Skenario 7: Peningkatan Rendemen dan Penurunan Pertumbuhan Penduduk Skenario 7 merupakan penggabungan dari skenario 3 dan 4 yaitu skenario peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk. Dalam skenario 9 peningkatan rendemen yang ditargetkan mencapai 1.41 persen per tahun dilakukan bersamaan dengan penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.3 persen per tahun. Gambar 47 menunjukkan bahwa grafik kebutuhan dan penyediaan GKP terus meningkat selama periode simulasi. Gabungan antara kebijakan peningkatan rendemen dan kebijakan penurunan pertumbuhan penduduk mampu membuat ketersediaan GKP positif pada tahun 2013 hingga akhir periode simulasi. Pada tahun 2013, ketersediaan GKP dengan skenario 7 surplus sebesar 0.006 juta ton dan terus meningkat pada tahun berikutnya, hingga surplus ketersediaan mencapai 3.66 juta ton pada tahun 2025. Secara umum dapat dikatakan bahwa gabungan kebijakan peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk dapat membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2014. ton
6,000,000
Kebutuhan GKP_Nas Penyediaan_GKP KETERSEDIAAN_GKP
3,000,000
0 201020112012201320142015201620172018201920202021202220232024
Tahun
Gambar 42 Ketersediaan GKP nasional skenario 7 tahun 2010-2025 6.4.3 Perbandingan Antara Kondisi Aktual dengan Skenario Kebijakan Alternatif Hasil simulasi dari berbagai skenario di atas dapat dibandingkan satu sama lain untuk merumuskan kebijakan alternatif yang paling baik dalam mencapai swasembada GKP. Dalam analisis ini, akan dilakukan perbandingan antara keragaan ketersediaan GKP pada kondisi aktual dengan skenario kebijakan alternatif untuk mendapatkan kebijakan alternatif yang memiliki kinerja paling baik.
66 Berdasarkan simulasi seperti yang terlihat pada Gambar 48, kinerja model kondisi aktual memperlihatkan bahwa swasembada GKP tidak akan tercapai. Hal ini ditunjukkan oleh grafik ketersediaan GKP yang negatif selama periode simulasi. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang dapat meningkatkan ketersediaan GKP. Kebijakan tersebut dapat diupayakan oleh pemerintah dari sisi penyediaan dan kebutuhan.
Ketersediaan GKP (ton)
4000000 3000000 Aktual
2000000
Skenario 4 1000000
Skenario 5
0
Skenario 6
‐1000000
Skenario 7
‐2000000
Tahun
Gambar 43 Perbandingan ketersediaan GKP pada alternatif skenario swasembada
Gambar 43 menunjukkan bahwa semua skenario memiliki ketersediaan GKP yang sama pada tahun dasar yaitu 2010. Hal ini sesuai dengan asumsi awal yang dibangun bahwa program RIGN baru digulirkan tahun 2010, maka dampaknya baru akan terlihat pada musim giling tahun 2011. Gabungan skenario peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan skenario kebijakan alternatif lainnya. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa skenario yang membuat Indonesia mampu mencapai swasembada GKP adalah gabungan skenario peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk. Skenario ini berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2013 hingga akhir periode simulasi.
6.4.4 Analisis Switching Value Model Hasil simulasi terhadap kebijakan alternatif menunjukkan bahwa gabungan kebijakan peningkatan rendemen sebesar 1.41 persen per tahun dan penurunan pertumbuhan penduduk menjadi sebesar 1.3 persen per tahun mampu membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2013. Swasembada dapat tercapai dengan asumsi apabila kebijakan tersebut memiliki tingkat keberhasilan 100 persen. Namun upaya peningkatan rendemen adalah kebijakan yang tidak mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan analisis switching value untuk menunjukkan tingkat kegagalan dalam peningkatan rendemen yang dapat diterima untuk mencapai swasembada GKP tahun 2014. Hasil analisis switching value menunjukkan bahwa pencapaian swasembada GKP pada tahun 2014 melalui kebijakan alternatif peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk dapat dicapai apabila peningkatan rendemen
67 tidak kurang dari 0,99 persen per tahun. Dengan kata lain, agar swasembada GKP dapat terwujud melalui skenario 7, maka tingkat keberhasilan skenario tersebut harus mencapai minimal 70.21 persen dari target yang ditetapkan. Hasil simulasi ketersediaan GKP nasional pada tingkat pertumbuhan rendemen sebesar 0,99 persen per tahun dan pertumbuhan penduduk sebesar 1.3 persen per tahun disajikan pada Tabel 9. Tabel 10 menunjukkan bahwa ketersediaan GKP nasional mulai mengalami surplus pada tahun 2014 hingga akhir periode simulasi. Surplus ketersediaan GKP pada tahun 2014 adalah sebesar 723.31 ton, dan terus mengalami peningkatan hingga surplus ketersediaan mencapai 1.90 juta ton pada tahun 2025. Tabel 9 Ketersediaan GKP nasional hasil analisis switching value Waktu Neraca Ketersediaan GKP Nasional (ton) Kebutuhan GKP Penyediaan GKP Ketersediaan GKP Jan 01, 2010 2 720 993.18 2 598 364.89 -122 628.30 Jan 01, 2011 2 736 341.89 2 612 250.39 -124 091.50 Jan 01, 2012 2 756 854.29 2 714 162.01 -42 692.28 Jan 01, 2013 2 848 112.47 2 822 744.25 -25 368.22 Jan 01, 2014 2 944 279.63 2 945 002.94 723.31 Jan 01, 2015 3 045 669.63 3 075 559.74 29 890.11 Jan 01, 2016 3 152 617.24 3 242 685.40 90 068.16 Jan 01, 2017 3 265 479.48 3 449 540.33 184 060.85 Jan 01, 2018 3 384 637.14 3 699 565.92 314 928.78 Jan 01, 2019 3 510 496.40 3 996 509.73 486 013.34 Jan 01, 2020 3 643 490.47 4 296 769.56 653 279.09 Jan 01, 2021 3 784 081.46 4 626 997.86 842 916.40 Jan 01, 2022 3 932 762.31 4 991 352.20 1 058 589.88 Jan 01, 2023 4 090 058.83 5 394 405.65 1 304 346.82 Jan 01, 2024 4 256 531.91 5 841 184.70 1 584 652.79 Jan 01, 2025 4 432 779.91 6 337 210.45 1 904 430.54
6.5 Analisis Sensitivitas Model Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variabel dan hubungan antar variabel dalam model. Perlakuan/intervensi terhadap model, sebagai sebuah tindakan adalah berdasarkan kondisi yang mungkin terjadi dalam dunia nyata, maupun berdasarkan pilihan kebijakan yang mungkin dilakukan (Muhammadi et al. 2001). Peubah yang diuji dalam analisis sensitivitas pada penelitian hanya peubah yang menjadi skenario kebijakan pencapaian swasembada GKP. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa dari 4 peubah yang diuji ternyata yang paling sensitif berpengaruh pada kinerja model dengan kategori highly sensitive adalah penduduk yaitu sebesar 36.80 ini artinya bahwa bila pertumbuhan penduduk menurun satu persen akan meningkatkan ketersediaan GKP nasioanal sebesar 36,80 persen. Peubah yang cukup tinggi mempengaruhi ketersediaan GKP nasional dengan kategori very sensitive adalah rendemen yaitu
68 sebesar 32.42 persen, artinya bila rendemen dinaikkan satu persen akan menaikkan ketersediaan GKP nasional sebesar 32.42 persen. Peubah yang juga mempengaruhi ketersediaan GKP nasional dengan kategori very sensitive adalah produktivitas sebesar 16.23 persen, artinya bila produktivitas dinaikkan satu persen akan menaikkan ketersediaan GKP nasional sebesar 16.23 persen. Sementara luas areal merupakan peubah yang memiliki sensitivitas paling rendah sebesar 5.54 persen dengan kategori sensitive, artinya bila luas areal dinaikkan satu persen akan menaikkan ketersediaan GKP nasional sebesar 5.54 persen. Tabel 10 Sensitivitas perubahan peubah kunci ketersediaan GKP nasional No Perubahan 1% Dari Perubahan Terhadap Ketersediaan Peubah/Parameter GKP Nasional 1 Luas Areal 5.54 2 Produktivitas 16.23 3 Rendemen 32.42 4 Penduduk 36.80 Secara umum dapat disimpulkan bahwa peubah yang paling mempengaruhi ketersediaan GKP berdasarkan hasil analisis sensitivitas adalah rendemen dan penduduk. Kedua peubah tersebut merupakan parameter penting dalam menentukan skenario kebijakan swasembada GKP, karena dalam simulasi model, parameter yang sensitive adalah jenis parameter yang dapat mencapai tujuan (goal) dalam periode waktu tertentu.
6.6 Strategi Pencapaian Swasembada GKP Berdasarkan hasil analisis dampak kebijkan RIGN, skenario peningkatan rendemen sebesar 1.41 persen per tahun merupakan skenario yang mampu membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2014. Sementara berdasarkan analisis kebijakan alternatif, gabungan skenario peningkatan rendemen sebesar 1.41 persen dan penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.30 persen per tahun mampu membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2013. Hal ini dikarenakan peubah rendemen dan penduduk merupakan peubah yang sensitif berpengaruh terhadap kinerja model berdasarkan hasil analisis sensitivitas. Oleh karena itu perlu diupayakan kebijakan yang dapat menunjang peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk. Strategi kebijakannya adalah sebagai berikut: 6.6.1 Strategi Pencapaian Swasembada GKP Sisi Penyediaan Dalam upaya meningkatkan daya saing industri atau ekspor gula, mutlak diperlukan peningkatan produktivitas dan efisiensi di tingkat usahatani melalui peningkatan rendemen tebu menjadi gula (Asmarantaka 2012) sebagai strategi pencapaian swasembada GKP dari sisi penyediaan. Rendemen merupakan bentuk efisiensi pengolahan tebu mulai dari usahatani hingga proses produksi di pabrik (Susilohadi et al. 2012). Pada prinsipnya peningkatan rendemen dilaksanakan
69 dengan cara meningkatkan gula yang dapat diperoleh pada tebu di meja giling dan menurunkan kehilangan gula selama prosesing tebu menjadi gula (P3GI 2008). Dalam prosesnya rendemen yang dihasilkan oleh tanaman dipengaruhi oleh keadaan tanaman dan lingkungan tumbuhnya serta proses penggilingan di pabrik (Soemarno 2010). Oleh karena itu, upaya peningkatan rendemen harus dilakukan secara bersama sama baik dari sisi on farm maupun off farm, seperti Gambar 44 berikut ini:
Gambar 44 Strategi peningkatan rendemen Peningkatan efisiensi pabrik dapat dicapai melalui optimasi kapasitas giling dan menjaga kelancaran giling. Sementara optimasi kapasitas giling tidak akan tercapai jika tidak ada keseimbangan antara pasokan bahan baku tebu dan kapasitas giling pabrik. Peningkatan pasokan bahan baku yang tidak diimbangi oleh peningkatan kapasitas giling akan menyebabkan tebu terlambat digiling sehingga rendemen menjadi turun, sebaliknya peningkatan kapasitas giling yang tidak diimbangi dengan peningkatan pasokan bahan baku tebu akan menyebabkan terjadinya kompetisi antar pabrik gula dalam mendapatkan bahan baku. Pabrik gula yang kinerjanya kurang baik akan mengalami kekurangan bahan baku karena petani akan lebih memilih menggilingkan tebu nya ke pabrik gula dengan kinerja yang lebih baik. Akibatnya pabrik gula tersebut akan bekerja di bawah kapasitasnya yang berakibat tingginya jam henti giling, sehingga akan mempengaruhi efisiensi pabrik gula dan kualitas produk yang dihasilkannya. Oleh karena itu, peningkatan efisiensi pabrik harus dilakukan secara bersama sama dengan peningkatan pasokan bahan baku. Peningkatan pasokan bahan baku dapat dilakukan melalui penataan varietas untuk menghasilkan komposisi varietas yang seimbang antara masak awal, tengah dan akhir. Penataan varietas tidak dapat dilakukan tanpa adanya pembibitan yang baik yang menghasilkan bibit yang benar, murni dan sehat. Penataan varietas ini baru akan membuahkan hasil berupa rendemen yang tinggi jika diimbangi oleh penerapan baku teknis budidaya tebu yang benar. Namun meskipun pasokan bahan baku dan efisiensi pabrik telah sama sama baik, rendemen akhir tidak akan tinggi tanpa dukungan manajemen tebang, muat dan angkut (TMA) yang baik. Manajemen TMA yang kurang baik akan menyebabkan antrian tebu di emplasemen menjadi panjang, sehingga menyebabkan penurunan pol tebu yang berarti penurunan rendemen. Sementara
70 manajemen TMA yang baik ini sangat tergantung kepada penentuan awal giling yang tepat, dan penentuan awal giling yang tepat sangat tergantung kepada komposisi varietas yang baik. Berikut ini adalah penjelasan rinci langkah langkah yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan rendemen: 1. Penataan Varietas dan Pembibitan Penataan varietas dimulai dari perbaikan mutu bibit atas varietas unggul yang akan dikembangkan (P3GI 2008), penggantian varietas unggul baru dengan melakukan bongkar ratoon dan melakukan penataan varietas sesuai dengan komposisi kemasakan yang ideal (Susilohadi et al. 2012). Penggunaan benih unggul sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan produktivitas dan rendemen (Asmarantaka 2012). Salah satunya melalui penyelenggaraan kebun bibit secara benar dan terencana untuk menghasilkan bibit yang baik, yaitu bibit yang terjaga kebenaran varietas, kemurnian dan kesehatannya. Bibit yang sehat adalah bibit yang bebas dari serangan hama dan penyakit, khususnya harus bebas dari penyakit penyakit sistemik, seperti penyakit pembuluh (RSD), mosaik, blendok (leaf scald) dan luka api (smut). Berbagai teknologi penyediaan bibit sehat telah dikembangkan, antara lain metode perawatan air panas dan mikropropagasi. Pemakaian bibit yang sehat juga harus diikuti dengan pemakaian pisau pemotong bibit yang dioles disinfektan,seperti 20% lysol dan 70% alcohol (P3GI 2008). Bibit yang murni adalah bibit yang bebas dari campuran varietas lain. Bibit yang murni akan menghasilkan tingkat pertumbuhan dan kemasakan yang seragam. Untuk mendapatan bibit yang murni, diperlukan teknik pencandraan varietas yang baik. Dengan mengenal karakter morfologi setiap varietas, maka upaya membuang campuran varietas lain pada tahap kebun bibit dapat dilakukan secara dini sehingga kemurnian bibit untuk tanaman tebu giling dapat dijamin. Penataan varietas dan pembibitan yang baik akan mempermudah penyusunan rencana tebang yang mengacu kepada kategori kemasakan sehingga diperoleh hasil tebu dengan tingkat rendemen tinggi (P3GI 2008). Soemarno (2010) menambahkan bahwa optimalisasi rendemen yang dimulai dari kebun bibit merupakan perbaikan jangka panjang sehingga evaluasinya harus dilakukan dalam kurun waktu yang memadai. Perubahan teknologi melalui benih unggul dan mekanisasi diharapkan akan meningkatkan produktivitas dan menghemat penggunaan sumberdaya (input) sehingga menggeser kurva produksi total ke atas (Asmarantaka 2012). Nahdodin (1993) menyatakan bahwa pemakaian bibit yang murni dan bermutu mampu meningkatkan produksi sebesar 19%, dengan peningkatan penerimaan pendapatan hampir dua kali tambahan biaya pengadaan bibit tersebut. 2. Penerapan Baku Teknis Budidaya Tebu Memelihara tanaman dengan baik sesuai dengan baku teknis budidaya tebu merupakan salah satu upaya meningkatkan rendemen (Susilohadi et al. 2012). Penerapan baku teknis budidaya tebu yang menunjang peningatan rendemen antara lain melalui pengaturan waktu tanam, kebutuhan air, pemupukan berimbang dan pengendalian hama penyakit. Masa tanam yang tepat merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam budidaya tebu. Keterlambatan waktu tanam akan berdampak signifikan terhadap penurunan produktifitas. Pemupukan terkait dengan keseimbangan neraca hara di dalam tanah. Pemupukan yang berimbang
71 akan menjaga keseimbangan neraca hara di dalam tanah, sehingga produktivitas tanah akan meningkat. Peningkatan produktivitas tanah akan meningkatkan kualitas hasil panen yang diukur dalam bentuk rendemen. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pengendalian hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit akan menyebabkan batang batang tebu tidak dapat digiling karena mati dan penurunan rendemen akibat kerusakan pada ruas ruas batang (P3GI 2008). Hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman tebu antara lain hama penggerek pucuk dan batang, serta penyakit pembuluh dan luka api. Alternatif terbaik untuk mengatasi serangan penggerak pucuk dan batang adalah melalui pengendalian hama terpadu (PHT) yang menekankan pada pengendalian hayati. Alternatif terbaik untuk mengatasi penyakit pembuluh adalah dengan perawatan air panas 500C selama 2 jam terhadap bibit tebu dan penggunaan varietas yang tahan terhadap penggerek pucuk dan batang. 3. Penentuan awal giling yang tepat Penentuan awal giling merupakan upaya efisiensi usaha industri gula, dalam menekan kerugian akibat penyimpangan masa giling, disamping itu sangat berarti bagi PG yang menganut sistem manajemen tunggal (P3GI 2008). Penentuan awal giling dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu awal giling diletakkan sepanjang musim kemarau, memanfaatkan data analisis pendahuluan (faktor kemasakan atau koefisien kemasakan), penentuan awal giling berdasarkan kurva rendemen rata-rata dan penentuan awal giling yang dimulai dengan pengaturan masa tanam, varietas dan kategori tanaman. 4. Manajemen tebang, muat dan angkut (TMA) yang baik Tujuan utama manajemen tebang, muat dan angkut adalah mendapatkan tebu giling yang masak, bersih dan segar (MBS) sebanyak banyaknya sejak ditebang hingga digiling dalam tempo yang secepatnya (P3GI 2008). Manajemen TMA yang kurang baik akan menyebabkan antrian tebu di emplasemen menjadi panjang, sehingga menyebabkan penurunan pol tebu yang berarti penurunan rendemen. Menurut Susilohadi et al. (2012) hal ini disebabkan karena terkonversinya sukrosa yang terkandung dalam tebu menjadi glukosa selama masa tunggu giling. Hasil pengamatan P3GI (2008) di sebuah pabrik gula di Jawa menunjukkan bahwa penurunan % pol tebu bisa mencapai 6.0 poin dalam perjalanannya mulai dari kebun, di cane yard atau emplasemen dan terakhir di pabrik. Dari kebun ke cane yard atau emplasemen mencapai 2.5%, sedangkan dari cane yard atau emplasemen hingga ke luar dari proses pabrik mencapai 3.5%. Salah satu cara pengaturan jadwal tebang muat angkut yang baik adalah dengan menggunakan decision support system (DSS). DSS ini akan memperhitungkan tebu di lokasi mana yang telah siap untuk ditebang berdasarkan analisis kematangan oleh petugas serta perhitungan jarak tempuh dari kebun tebu hingga sampai ke pabrik, sehingga dapat ditetapkan areal kebun mana yang akan ditebang terlebih dahulu serta menentukan areal mana saja yang akan ditebang untuk memenuhi kapasitas giling pabrik yang normal sambil memperhitungkan estimasi sisa persediaan tebu yang belum diolah di cane yard. Sistem ini kemudian akan menotifikasi pihak pabrik, areal mana saja yang telah siap untuk ditebang dan dijadikan input untuk pabrik ke depannya (Susilohadi et al. 2012). 5. Peningkatan efisiensi pabrik Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rendemen adalah melalui penggunaan varietas unggul tebu di tingkat usahatani dan peningkatan efisiensi
72 penggilingan tebu di pabrik gula (Asmarantaka 2012). Untuk mengurangi kehilangan gula selama proses di pabrik maka diperlukan optimasi kapasitas giling dan menjaga kelancaran giling dan mengurangi kehilangan gula di stasiun gilingan dan pengolahan (P3GI 2008). Dalam upaya peningkatan produktivitas dan rendemen, Susilohadi et al. (2012) menyatakan bahwa peningkatan efisiensi di tingkat usahatani dan pabrik merupakan hal yang harus diprioritaskan. Perbaikan sistem pabrik berkontribusi sebesar 30% terhadap peningkatan rendemen. Hal ini dikarenakan masalah utama yang menyebabkan hasil rendemen gula tidak maksimal adalah karena tidak optimalnya kinerja mesin (Prabowo 2012). Ariesa dan Tinaprilla (2012) menambahkan bahwa penggunaan mesin tua telah menyebabkan banyaknya gula yang hilang dalam proses produksi. Oleh karena itu pemerintah mencanangkan program revitalisasi pabrik gula dengan fokus penggantian mesin produksi yang sudah tua. Penggantian mesin yang sudah tua dengan teknologi baru akan meningkatkan efisiensi pabrik dan mengurangi biaya produksi. Keseimbangan antara pasokan bahan baku tebu dan kapasitas giling pabrik harus dipertimbangkan seharmonis mungkin karena akan berpengaruh baik pada kuantitas/kualitas produk (rendemen) maupun biaya produksi (Wibowo 2012). Gangguan pada kelancaran giling akan berakibat pada rendahnya pencapaian kapasitas giling. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pemborosan pemakaian energi dan tingginya kehilangan gula karena kerusakan sukrosa. Semakin lama jam berhenti, semakin boros dan mahal pemakaian energi dan semakin tinggi kehilangan gula yang terjadi. Oleh karena itu kelancaran giling harus dijaga dengan meminimalkan jam berhenti giling. Minimalisasi jam berhenti dilakukan dengan memelihara kondisi peralatan, agar layak beroperasi dan melakukan pengawasan pengoperasian sebaik mungkin (P3GI 2008). 6.6.2 Strategi Pencapaian Swasembada GKP Sisi Kebutuhan Strategi pencapaian swasembada GKP sisi kebutuhan adalah melalui penurunan pertumbuhan penduduk yang dilakukan dengan menurunkan laju pertumbuhan penduduk. Untuk pengendalian laju pertumbuhan penduduk, perlu dilakukan penguatan BKKBN dan upaya politik yang sangat serius agar laju pertumbuhan penduduk kurang dari 1.3 persen per tahun. Salah satu program yang saat ini tengah digalakkan oleh BKKBN adalah program generasi berencana. Melalui program tersebut, remaja atau mahasiswa memiliki wadah pusat informasi dan penyuluhan, sehingga dapat merencanakan masa depan tanpa terhambat permasalahan naroba dan pergaulan bebas. Dengan terhidar dari pergaulan bebas diharapkan angka pernikahan di usia muda dapat detekan, dengan demikian laju kelahiran pun dapat ditekan.
73 7 SIMPULAN Perilaku model pada kondisi aktual menunjukkan bahwa swasembada GKP tidak akan terwujud tanpa kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN). Hal ini ditunjukkan dengan ketersediaan GKP yang negatif selama periode simulasi. Oleh karena itu diperlukan kebijakan RIGN dalam upaya mencapai swasembada GKP nasional. Kebijakan RIGN berupa peningkatan rendemen memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan kebijakan peningkatan produktivitas tebu dan luas areal tebu. Melalui skenario kebijakan tersebut, Indonesia diprediksikan akan mencapai swasembada GKP pada tahun 2014. Namun apabila hanya mengandalkan kebijakan dari sisi penyediaan akan sangat beresiko dalam upaya pencapaian swasembada GKP apabila terjadi kegagalan pada kebijakan tersebut. Oleh karena itu diperlukan skenario kebijakan yang menggabungkan antara sisi penyediaan dan kebutuhan. Kebijakan alternatif dengan skenario 7 (gabungan peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk) memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal dan penurunan pertumbuhan penduduk) dan 6 (gabungan peningkatan produktivitas tebu dan penurunan pertumbuhan penduduk). Skenario 5 dan 6 tidak mampu membuat Indonesia mencapai swasembada GKP selama periode simulasi. Sementara skenario 7 mampu membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2014 dengan asumsi apabila tingkat keberhasilan program tersebut minimal mencapai 70.21 persen dari target yang ditetapkan. Dengan kata lain, agar swasembada GKP dapat terwujud melalui skenario 7, maka tingkat keberhasilan skenario tersebut harus mencapai minimal 70.21 persen dari target yang ditetapkan.
8 SARAN 1.
2.
3.
Pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih besar pada kebijakan intensifikasi melalui peningkatan rendemen. Kebijakan tersebut merupakan solusi peningkatan produksi GKP pada kondisi keterbatasan lahan. Peningkatan rendemen dapat dicapai melalui upaya peningkatan pol tebu (jumlah gula yang ada dalam setiap 100 gram larutan) dan efisiensi pabrik. Langkah langkah operasional yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rendemen adalah penataan varietas dan pembibitan, penerapan baku teknis budidaya tebu, penentuan awal giling yang tepat, manajemen tebang muat dan angkut yang baik serta peningkatan efisiensi pabrik. Pemerintah perlu mengkombinasikan kebijakan RIGN dengan kebijakan penurunan pertumbuhan penduduk agar swasembada GKP dapat tercapai. Hal ini penting untuk dilakukan agar permintaan GKP dapat dipenuhi oleh produksi GKP domestik. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan untuk pengembangan model industri gula dengan memasukkan industri gula rafinasi di dalam simulasinya.
74 DAFTAR PUSTAKA Amid J. 2007. The Dilemma of Cheap and Self Sufficiency: The Case of Wheat in Iran. Jurnal Food Policy. Vol 32 (4): 537-552. Arabi M. 2002. Ketahanan Pangan Masyarakat Tani Dalam Perspektif Kemandirian Lokal di Sulawesi Selatan. Makasar (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah. Ariesa FN, Tinaprilla N. 2012. Komparasi Industri Gula di Beberapa Negara. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 193-214. Arifin B. 2012. Ekonomi Politik Pergulaan Indonesia. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 107130. Asmara R, Fahriyah, Hanani N. 2012 Tingkat Penerapan Teknologi Petani dalam Usahatani Tebu. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 77-82. Asmarantaka RW. 2012. Usahatani Tebu dan Daya Saing Industri Gula Indonesia. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 31-60. Asmarantaka RW, Baga LM, Suprehatin, Maryono. 2012. Analisis Usahatani Tebu Rakyat di Lampung. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 61-76. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2010. Statistik Ketahanan Pangan Tahun 2009. Jakarta (ID): BKP. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Neraca Bahan Makanan 2008 dan Pola Pangan Harapan 2008-2020 Kota Tarakan. Tarakan (ID): Badan Perencanaan dan Pengembangan Daerah Kota Tarakan. ______________________. 2012. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Jakarta (ID): BPS. [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005a. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Jakarta (ID): Balitbang. _________________________________________________. 2005b. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Jakarta (ID): Balitbang. _________________________________________________. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Edisi Kedua. Jakarta (ID): Balitbang. Baye MR. 2006. The Fundamentals of Managerial Economics. Bunasor. 1993. Kebijaksanaan Harga, Pengadaan dan Distribusi Dalam Rangka Swasembada Pangan. Seminar Kebijakan dan Strategi Menuju Tercapainya Swasembada Pangan; 5 Juni 1993; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
75 Cahyani UE. 2008. Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gula Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Cahyono A. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Gula Pada PG Tasik Madu PTPN IX (Persero) [Tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Dibyoseputro MAB. 2012. Rancang Bangun Sistem Dinamis Pengambilan Keputusan Kompleks Pengembangan Agroindustri Gula Tebu [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Ditjen Agrokim] Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. 2009. Roadmap Industri Gula. Jakarta (ID): Ditjen Agrokim. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Rencana Pembangunan Perkebunan 2010 – 2014. Jakarta (ID): Ditjenbun.
Strategis
________________________________________. 2011. Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012: Tebu. Jakarta (ID): Ditjenbun. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [FAO] Food Agricultural Organization. 1996. Rome Declaration and World Food Summit Plan of Action. Rome (IT): FAO; [diunduh 2012 Juli 24]. Tersedia pada www.fao.org/docrep/003/X8346E/x8346e02.htm#P1_10. Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan: Untuk Analisis Kebijakan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Ginandjar GR. 2012. Pengalihan Pabrik GKP Menjadi Pabrik GKM Sebagai Solusi Penanganan Permasalahan Gula Nasional. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 259270. Hakim M. 2006. Variabel Penting Dalam Pembuatan Rekomendasi Pemupukan. [diunduh 2012 September 20]. Tersedia pada anekaplanta.wordpress.com. Hanani N, Sujarwo, Asmara R. 2012. Peran Koperasi Dalam Sistem Agribisnis Tebu Rakyat. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 305-318. Hartono S. 2012. Efisiensi Produksi Tebu dan Gula Indonesia. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 17-30. Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan Untuk Industri dan Lingkungan. Bogor (ID): Southeast Asian Regional Centre For Tropical Biology. Haskari FA. 2008. Perancangan Model Faktor Ergonomi Makro Terhadap Produktivitas Sistem Kerja Pada Pabrik Gula [Tesis]. Bogor (ID): Intitut Pertanian Bogor.
76 Hollander GM. 2005. Securing Sugar: National Security Discourse and The Establishment of Florida’s Sugar Production. Economic Geography [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]; 84 (4): 339-358. Tersedia pada: http://search.proquest.com/docview/235572104/13C2E2EDED63B70F6FC/ 1?accountid=32819. Irawan. 2005. Analisis Ketersediaan Beras Nasional: Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis. Prosiding Multi Fungsi Pertanian. Istianto H. 2008. Analisis Produksi Tebu dan Gula di PT Gunung Madu Plantations Lampung [Tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Kementerian BUMN. 2011. Revitalisasi Industri Gula BUMN Tahun 2010 – 2014. Jakarta (ID): Kementrian BUMN. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2010. Cetak Biru Road Map Swasembada Gula Nasional 2010-2014. Jakarta (ID): Kementan. _____________________________. 2011. Rencana Strategis Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta (ID): Kementan.
Kementrian
Khumairoh L. 2010. Kajian Keterkaitan Antar Pelaku Pergulaan Nasional: Suatu Penghampiran Model Dinamika Sistem [Skripsi]. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Koo WW, Taylor RD. 2011. Outlook of The US and World Sugar Markets, 20102020. US (ID): North Dakota State University. Krisnamurthi B. 2006. Langkah Awal Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Di dalam: Soekarno, Sajogyo, Saragih B, Krisnamurthi B, Sumardjo, Harianto, Dharmawan AH, Indaryanti Y, Utomo BS. 22 Tahun Studi Pembangunan: Pengurangan Kemiskinan, Pembangunan Agribisnis dan Revitalisasi Pertanin. Bogor (ID): Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-LPPM IPB. Maleha, Sutanto. 2006. Kajian Konsep Ketahanan Pangan. Jurnal Protein [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]; 13 (2): 193-202. Tersedia pada http://ejournal.umm.ac.id/index.php/index/search/results. Muhammadi EA, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi dan Manajemen. Jakarta (ID): UMJ Press. Mulyadi M, Toharisman A, Nugroho MPD. 2009. Identifikasi Potensi Lahan Untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis Tebu di Wilayah Timur Indonesia. [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]. Tersedia pada: http://sugarresearch.org/. Natawidjaja RS, Sulistyowati L, Ginandjar GR. 2012. Peningkatan Produktivitas Melalui Kepemilikan Saham Petani di Pabrik Gula. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. hlm 387304.
77 Nielsen-Farrel J. 2006. Refining Measures of Economic Stability: The 2005 Self Sufficiency Standard for Indiana. Indiana Business Review [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]; 81 (1): 1-5. Tersedia pada http://search.proquest.com / docview / 230318243 / fulltextPDF / 13C2E4F37D8DAC3131 / 1?accountid = 32819. Novitasari R, Wirjodirdjo B. 2010. Mampukah Kebijakan Pergulaan Nasional Meningkatkan Perolehan Pendapatan Petani Tebu: Sebuah Penghampiran Dinamika Sistem [Skripsi]. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh November. Nurmalina R. 2007. Model Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pambudy R. 2003. Pengantar Editor. Di dalam: Pambudy R, Mardianto S, Pribadi N, Basuki TEH, Suryana A. Ekonomi Gula: Kajian Komparasi dari Perspektif Indonesia. Jakarta (ID): Dewan Ketahanan Pangan. Hlm viii-xx. Pambudy R. 2004. Pengantar Editor. Di dalam: Pambudy R, Mardianto S, Pribadi N, Basuki TEH, Suryana A. Ekonomi Gula: Kajian Komparasi dari Perspektif Indonesia. Jakarta (ID): Dewan Ketahanan Pangan. Hlm vii-xxxi. Prabawa S. 1998. Model Pengadaan Alat dan Mesin Budidaya Tebu Bagi Pabrik Gula di Lahan Kering [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Prabowo HE. 2012. Pembangunan Pabrik Gula di Jawa. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 249258. Priyono. 2008. Analisis Kebijakan Industri Gula Nasional Dengan Model Ekonometrika. Jurnal Perencanaan Iptek BPPT [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]; 2 (8): 1-11. Tersedia pada: http://isjd.pdii.lipi.go.id / index.php / Search.html?act = tampil&id = 71466&id = 72. [Puslitbangbun] Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Jakarta (ID): Puslitbangbun. [P3GI] Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. 2008. Konsep Peningkatan Rendemen Untuk Mendukung Program Akselerasi Industri Gula Nasional [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]. Tersedia pada: http://sugarresearch.org/index.php?s=Konsep+Peningkatan+Rendemen+Unt uk+Mendukung+Program+Akselerasi+Industri+Gula+Nasional+&x=0&y= 0. [Pusdatin] Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2010. Outlook Komoditas Pertanian Perkebunan. Jakarta (ID): Pusdatin. Saragih B. 2010. Suara Agribisnis: Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. Jakarta (ID): PT Permata Wacana Lestari.
78 Sawit MH. 2010. Kebijakan Swasembada Gula: Apanya Yang Kurang?. Analisis Kebijakan Pertanian [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]; 8 (4): 285-602. Tersedia pada: http://isjd.pdii.lipi.go.id / index.php / Search.html?act = tampil&id = 87460&idc = 35. Soemantri AS, Machfud. 2006. Analisis Sistem Dinamik Untuk Kebijakan Penyediaan Ubi Kayu (Studi Kasus di Kabupaten Bogor). Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]; 2: 36-48. Tersedia pada: digilib.litbang.deptan.go.id/repository. Soemarno. 2010. Bagaimana Meningkatkan Rendemen Tebu?. [diunduh 2012 Juni 2006]. Tersedia pada: marno.lecture.ub.ac.id. Squire E. 1992. Mendesain Sistem. Cetakan Kedua. Jakarta (ID): PT Pustaka Binaman Pressindo. Sriwana IK. 2006. Pemodelan Sistem Untuk Peningkatan Produksi Gula Tebu: Studi Kasus di PT PG Rajawali II Unit PG Subang [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Stergides C. 1992. Achieving Self Sufficiency in Food Production. Institutional Investor [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]; 26 (4): 13. Tersedia pada: http://search.proquest.com/docview/221481258/fulltextPDF/13C2EDFB454 4CF1FE83/1?accountid=32819. Sterman, John D. 2000. Business Dynamics: Systems Thinking and Modelling for a Complex World. USA (US): McGraw-Hill. Supriyati 2011. Kaji Ulang Konsep Neraca Gula Nasional. Konsep Badan Ketahanan Pangan vs Dewan Gula Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]; 9 (2): 109-124. Tersedia pada: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=87492&idc =35. Susila WR. 2005. Pengembangan Industri Gula Indonesia: Analisis Kebijakan Dari Keterpaduan Sistem Produksi [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Susila W, Sinaga BM. 2005. Analisis Kebijakan Industri Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]; 23 (1): 30-53. Tersedia pada: isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/231053053.pdf. Susila WR, Goenadi DH. 2004. Peran Subsektor Perkebunan Dalam Perekonomian Indonesia [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]. Tersedia pada: http://www.ipard.com/art_perkebun/des14-04_wrs-I.asp. Susilohadi GN, Herawati, Budiati NH, Feryanto. 2012. Integrasi Antara Kebijakan Sosial Ekonomi dan Aplikasi Teknologi Proses Produksi di Industri Gula. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 337-360.
79 Tchereni BHM, Ngalawa HPE, Sekhampu TJ. 2012. Technical Efficiency of Smallholder Sugarcane Farmers In Malawi: The Case of Kasinthula Cane Growing Scheme. Studia UBB, Oeconomica [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]; 57 (2): 3-13. Tersedia pada: http://search.proquest.com / docview/1034970139/fulltextPDF/13C3205A66471CE36C2/1?accountid=3 2819. Utami R. 2006. Simulasi Dinamika Sistem Ketersediaan Ubi Kayu: Studi Kasus di Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wibowo R. 2012. Ekonomi Gula Indonesia: Prospek Industri Berbasis Tebu. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 1-16. Widarwati T. 2008. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Gula di PG Pagottan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Widhaningsih I. 2007. Pengaruh Kebijakan Tataniaga Gula Terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia [Tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Widyastutik. 2005. Mungkinkah Indonesia Mencapai Swasembada Gula Secara Berkelanjutan? [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yanuar. 2010. Untuk Mewujudkan Swasembada Gula, Pemerintah Akan Melakukan Revitalisasi Pabrik Gula [Internet]. [diunduh 2012 September 12]. Tersedia pada: http://ditjenbun.deptan.go.id / index.php?option = com_content&view = article&id = 179:untuk-mewuj. Zaini A. 2011. Analisis Ekonomi Politik Swasembada Gula Indonesia: Kombinasi Model Oligopolistik Dinamik dan Fungsi Preferensi Politik [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zaini A, Siregar H, Hakim DB, Hutagaol MP. 2012. Perburuan Rente di Industri Gula Indonesia. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. hlm 165-192.
80 Lampiran 1 Struktur model sistem industri GKP nasional
Rendemen
Prdktvts_PBS
Fraksi_susut
Lj_pngktn_prdktvts _PBS
Produksi_tebu_PBS Init_prdktvts_PBS
Fraksi_pertumbuha n_prdktvts_PBS
Fraksi_prtmbhn_ren demen
Init_rendemen
Luas_lhn_PBS Fraksi tahun Lj_pertumbuhan_lh n_PBS Fraksi_pertumbuha n_lhn_PBS
Lj_pngktn_rendeme n
Susut
Total_produksi_teb u Kap_terpakai_industri
Produksi_tebu
Lj_pngktn_utilisasi_ kap_terpakai
Init_luas_lhn_PBS
Luas_lhn_total
Goal_lhn_PBS
Fraksi_lj_pngktn_uti l_kap_terpakai
Lj_penambahan_ka p_terpakai
Lama_giling
Init_utilisasi_kap_te rpakai
Produksi_GKP Produktivitas_PBN Lj_pngktn_prdktvta s_PBN
Kap_terpasang_indus Init_kap_terpakai tri Lj_pngktn_kap_terp asang
Produksi_tebu_PBN
Init_prdktvts_PBN Fraksi_pertumbuha n_prdktvts_PBN
Penyediaan_GKP Gula_hilang
Luas_lhn_PBN Lj_pertumbuhan_lh n_PBN
Fraksi_tahun
Konsumsi_per_kapita
Fraksi_gula_hilang
Lj_pertumbuhan_ko nsumsi
Fraksi tahun Fraksi_pertumbuha n_lhn_PBN
Gula_untuk_stok
Init_luas_lhn_PBN
Fraksi_pertumbuha n_konsumsi
Init_konsumsi Stok_tahunan
Goal_lhn_PBN
Init_stok Sugar_intake
Ketersediaan_GKP Harga_impor Lj_prtmbhn_harga_i mpor Init_harga_impor
Surplus
Impor
tambahan_surplus_ thn_lalu
Konsumsi_GKP_RT
Kebutuhan_GKP
Fraksi_prtmbhn_har ga_impor
Konsumsi_khusus_i nd Harga_domestik
Lj_prtmbhn_harga_ domestik
Fraksi_prtmbhn_har ga_domestik
Fraksi_lj_kap_terpa sang
Init_kap_terpasang
Konsumsi_khusus Lj_prtmbhn_kon_kh usus
Init_harga_domesti k
Fraksi_prtmbhn_kns msi_khusus
Init_knsmsi_khusus
Penduduk Lj_pertumbuhan_pd dk
Init_pddk
Fraksi_pertumbuha n_pddk
81 Lampiran 2 Formula matematis model swasembada GKP nasional kondisi aktual
82 Lanjutan lampiran 2 Formula matematis model swasembada GKP nasional kondisi aktual
83 Lampiran 3 Ketersediaan GKP nasional kondisi aktual Neraca Ketersediaan GKP Nasional (ton) Time
Kebutuhan GKP_Nas
Penyediaan_GKP
KETERSEDIAAN_GKP
Jan 01, 2010
2,720,993.18
2,598,364.89
-122,628.30
Jan 01, 2011
2,743,635.20
2,550,612.59
-193,022.62
Jan 01, 2012
2,771,569.84
2,588,021.17
-183,548.68
Jan 01, 2013
2,870,946.88
2,628,207.58
-242,739.30
Jan 01, 2014
2,975,795.50
2,677,896.63
-297,898.87
Jan 01, 2015
3,086,475.46
2,730,606.60
-355,868.86
Jan 01, 2016
3,203,371.36
2,786,494.64
-416,876.73
Jan 01, 2017
3,326,894.34
2,845,726.46
-481,167.88
Jan 01, 2018
3,457,483.95
2,908,476.85
-549,007.10
Jan 01, 2019
3,595,610.13
2,974,930.15
-620,679.98
Jan 01, 2020
3,741,775.34
3,008,768.28
-733,007.06
Jan 01, 2021
3,896,516.82
3,065,189.99
-831,326.83
Jan 01, 2022
4,060,409.03
3,126,410.58
-933,998.44
Jan 01, 2023
4,234,066.23
3,192,647.93
-1,041,418.30
Jan 01, 2024
4,418,145.29
3,264,132.65
-1,154,012.63
Jan 01, 2025
4,613,348.63
3,341,108.89
-1,272,239.74
Lampiran 4 Ketersediaan GKP nasional skenario 1 (peningkatan luas areal) Neraca Ketersediaan GKP Nasional (ton) Time
Kebutuhan GKP_Nas
Penyediaan_GKP
KETERSEDIAAN_GKP
Jan 01, 2010
2,720,993.18
2,598,364.89
-122,628.30
Jan 01, 2011
2,743,635.20
2,575,009.47
-168,625.73
Jan 01, 2012
2,771,569.84
2,636,936.47
-134,633.38
Jan 01, 2013
2,870,946.88
2,701,765.08
-169,181.80
Jan 01, 2014
2,975,795.50
2,776,222.41
-199,573.09
Jan 01, 2015
3,086,475.46
2,791,832.20
-294,643.26
Jan 01, 2016
3,203,371.36
2,827,124.43
-376,246.94
Jan 01, 2017
3,326,894.34
2,866,295.98
-460,598.36
Jan 01, 2018
3,457,483.95
2,909,510.07
-547,973.88
Jan 01, 2019
3,595,610.13
2,956,939.72
-638,670.41
Jan 01, 2020
3,741,775.34
3,008,768.28
-733,007.06
Jan 01, 2021
3,896,516.82
3,065,189.99
-831,326.83
Jan 01, 2022
4,060,409.03
3,126,410.58
-933,998.44
Jan 01, 2023
4,234,066.23
3,192,647.93
-1,041,418.30
Jan 01, 2024
4,418,145.29
3,264,132.65
-1,154,012.63
Jan 01, 2025
4,613,348.63
3,341,108.89
-1,272,239.74
84 Lampiran 5 Ketersediaan GKP nasional skenario 2 (peningkatan produktivitas) Neraca Ketersediaan GKP Nasional (ton) Time
Kebutuhan GKP_Nas
Penyediaan_GKP
KETERSEDIAAN_GKP
Jan 01, 2010
2,720,993.18
2,598,364.89
-122,628.30
Jan 01, 2011
2,743,635.20
2,578,272.66
-165,362.54
Jan 01, 2012
2,771,569.84
2,643,542.89
-128,026.95
Jan 01, 2013
2,870,946.88
2,711,796.27
-159,150.61
Jan 01, 2014
2,975,795.50
2,789,761.39
-186,034.10
Jan 01, 2015
3,086,475.46
2,870,960.38
-215,515.08
Jan 01, 2016
3,203,371.36
2,955,554.25
-247,817.12
Jan 01, 2017
3,326,894.34
3,043,712.64
-283,181.70
Jan 01, 2018
3,457,483.95
3,135,614.32
-321,869.63
Jan 01, 2019
3,595,610.13
3,231,447.64
-364,162.49
Jan 01, 2020
3,741,775.34
3,287,045.98
-454,729.36
Jan 01, 2021
3,896,516.82
3,368,135.79
-528,381.03
Jan 01, 2022
4,060,409.03
3,453,495.90
-606,913.12
Jan 01, 2023
4,234,066.23
3,543,354.90
-690,711.32
Jan 01, 2024
4,418,145.29
3,637,953.94
-780,191.35
Jan 01, 2025
4,613,348.63
3,737,547.43
-875,801.19
Lampiran 6 Ketersediaan GKP nasional skenario 3 (peningkatan rendemen) Neraca Ketersediaan GKP Nasional (ton) Time
Kebutuhan GKP_Nas
Penyediaan_GKP
KETERSEDIAAN_GKP
Jan 01, 2010
2,720,993.18
2,598,364.89
-122,628.30
Jan 01, 2011
2,743,635.20
2,621,982.67
-121,652.53
Jan 01, 2012
2,771,569.84
2,735,233.02
-36,336.82
Jan 01, 2013
2,870,946.88
2,856,126.48
-14,820.39
Jan 01, 2014
2,975,795.50
2,991,816.32
16,020.82
Jan 01, 2015
3,086,475.46
3,152,307.94
65,832.48
Jan 01, 2016
3,203,371.36
3,356,035.98
152,664.61
Jan 01, 2017
3,326,894.34
3,606,948.01
280,053.66
Jan 01, 2018
3,457,483.95
3,909,356.08
451,872.13
Jan 01, 2019
3,595,610.13
4,267,970.72
672,360.59
Jan 01, 2020
3,741,775.34
4,638,234.23
896,458.89
Jan 01, 2021
3,896,516.82
5,048,601.05
1,152,084.23
Jan 01, 2022
4,060,409.03
5,504,274.11
1,443,865.08
Jan 01, 2023
4,234,066.23
6,010,998.71
1,776,932.48
Jan 01, 2024
4,418,145.29
6,575,114.50
2,156,969.21
Jan 01, 2025
4,613,348.63
7,203,612.28
2,590,263.65
85 Lampiran 7 Ketersediaan GKP nasional skenario 4 (penurunan pertumbuhan penduduk) Neraca Ketersediaan GKP Nasional (ton) Time
Kebutuhan GKP_Nas
Penyediaan_GKP
KETERSEDIAAN_GKP
Jan 01, 2010
2,720,993.18
2,598,364.89
-122,628.30
Jan 01, 2011
2,736,341.89
2,550,612.59
-185,729.31
Jan 01, 2012
2,756,854.29
2,587,291.84
-169,562.46
Jan 01, 2013
2,848,112.47
2,626,736.02
-221,376.45
Jan 01, 2014
2,944,279.63
2,675,613.19
-268,666.44
Jan 01, 2015
3,045,669.63
2,727,455.02
-318,214.62
Jan 01, 2016
3,152,617.24
2,782,414.05
-370,203.19
Jan 01, 2017
3,265,479.48
2,840,651.05
-424,828.43
Jan 01, 2018
3,384,637.14
2,902,335.36
-482,301.78
Jan 01, 2019
3,510,496.40
2,967,645.47
-542,850.93
Jan 01, 2020
3,643,490.47
3,000,256.90
-643,233.56
Jan 01, 2021
3,784,081.46
3,055,361.50
-728,719.96
Jan 01, 2022
3,932,762.31
3,115,167.05
-817,595.27
Jan 01, 2023
4,090,058.83
3,179,883.26
-910,175.57
Jan 01, 2024
4,256,531.91
3,249,731.91
-1,006,800.00
Jan 01, 2025
4,432,779.91
3,324,947.55
-1,107,832.36
Lampiran 8 Ketersediaan GKP nasional skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal dan penurunan pertumbuhan penduduk) Neraca Ketersediaan GKP Nasional (ton) Time
Kebutuhan GKP_Nas
Penyediaan_GKP
KETERSEDIAAN_GKP
Jan 01, 2010
2,720,993.18
2,598,364.89
-122,628.30
Jan 01, 2011
2,736,341.89
2,575,009.47
-161,332.42
Jan 01, 2012
2,756,854.29
2,636,207.13
-120,647.16
Jan 01, 2013
2,848,112.47
2,700,293.52
-147,818.95
Jan 01, 2014
2,944,279.63
2,773,938.97
-170,340.66
Jan 01, 2015
3,045,669.63
2,788,680.61
-256,989.02
Jan 01, 2016
3,152,617.24
2,823,043.85
-329,573.40
Jan 01, 2017
3,265,479.48
2,861,220.57
-404,258.91
Jan 01, 2018
3,384,637.14
2,903,368.59
-481,268.55
Jan 01, 2019
3,510,496.40
2,949,655.04
-560,841.35
Jan 01, 2020
3,643,490.47
3,000,256.90
-643,233.56
Jan 01, 2021
3,784,081.46
3,055,361.50
-728,719.96
Jan 01, 2022
3,932,762.31
3,115,167.05
-817,595.27
Jan 01, 2023
4,090,058.83
3,179,883.26
-910,175.57
Jan 01, 2024
4,256,531.91
3,249,731.91
-1,006,800.00
Jan 01, 2025
4,432,779.91
3,324,947.55
-1,107,832.36
86 Lampiran 9 Ketersediaan GKP nasional skenario 6 (gabungan peningkatan produktivitas dan penurunan pertumbuhan penduduk) Neraca Ketersediaan GKP Nasional (ton) Time
Kebutuhan GKP_Nas
Penyediaan_GKP
KETERSEDIAAN_GKP
Jan 01, 2010
2,720,993.18
2,598,364.89
-122,628.30
Jan 01, 2011
2,736,341.89
2,578,272.66
-158,069.23
Jan 01, 2012
2,756,854.29
2,642,813.56
-114,040.73
Jan 01, 2013
2,848,112.47
2,710,324.71
-137,787.76
Jan 01, 2014
2,944,279.63
2,787,477.95
-156,801.67
Jan 01, 2015
3,045,669.63
2,867,808.79
-177,860.84
Jan 01, 2016
3,152,617.24
2,951,473.66
-201,143.58
Jan 01, 2017
3,265,479.48
3,038,637.23
-226,842.25
Jan 01, 2018
3,384,637.14
3,129,472.83
-255,164.31
Jan 01, 2019
3,510,496.40
3,224,162.96
-286,333.44
Jan 01, 2020
3,643,490.47
3,278,534.60
-364,955.86
Jan 01, 2021
3,784,081.46
3,358,307.30
-425,774.16
Jan 01, 2022
3,932,762.31
3,442,252.37
-490,509.95
Jan 01, 2023
4,090,058.83
3,530,590.23
-559,468.60
Jan 01, 2024
4,256,531.91
3,623,553.20
-632,978.71
Jan 01, 2025
4,432,779.91
3,721,386.10
-711,393.81
Lampiran 10 Ketersediaan GKP nasional skenario 7 (gabungan peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk) Neraca Ketersediaan GKP Nasional (ton) Time
Kebutuhan GKP_Nas
Penyediaan_GKP
KETERSEDIAAN_GKP
Jan 01, 2010
2,720,993.18
2,598,364.89
-122,628.30
Jan 01, 2011
2,736,341.89
2,621,982.67
-114,359.22
Jan 01, 2012
2,756,854.29
2,734,503.69
-22,350.60
Jan 01, 2013
2,848,112.47
2,854,654.93
6,542.46
Jan 01, 2014
2,944,279.63
2,996,075.34
51,795.71
Jan 01, 2015
3,045,669.63
3,184,931.24
139,261.61
Jan 01, 2016
3,152,617.24
3,425,384.52
272,767.28
Jan 01, 2017
3,265,479.48
3,721,975.26
456,495.78
Jan 01, 2018
3,384,637.14
4,079,656.72
695,019.57
Jan 01, 2019
3,510,496.40
4,503,833.48
993,337.08
Jan 01, 2020
3,643,490.47
4,950,699.35
1,307,208.89
Jan 01, 2021
3,784,081.46
5,449,522.55
1,665,441.09
Jan 01, 2022
3,932,762.31
6,006,387.44
2,073,625.12
Jan 01, 2023
4,090,058.83
6,627,994.08
2,537,935.25
Jan 01, 2024
4,256,531.91
7,321,716.53
3,065,184.61
Jan 01, 2025
4,432,779.91
8,095,666.35
3,662,886.44
87
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Batang, Jawa Tengah pada tanggal 24 Februari 1985 dari Bapak Untung Slamet Riyadi, S.Pd dan Ibu Sri Budi Utami, M.Pd. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan formal penulis diawali di TK Tunas Ceria Batang dari tahun 1989-1990. Kemudian penulis melanjutkan studi di SD Negeri Warungasem 02, Batang dan lulus tahun 1996. Pada tahun 1999 penulis lulus dari SLTP 06 Pekalongan dan pada tahun 2002 penulis lulus dari SMU 01 Pekalongan. Pada tahun yang sama penulis diterima pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 2006. Lima tahun kemudian penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Program Studi Magister Sains Agribisnis melalui Beasiswa Unggulan Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2011. Selama tahun 2007 – 2009 penulis bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Penulis berhenti bekerja karena mengikuti domisili suami. Penulis kemudian bekerja sebagai Call Center Agent di PT Vads Indonesia. Selama bekerja di perusahaan tersebut penulis pernah mendapat penghargaan sebagai the best customer service representative. Penulis juga aktif membuat tulisan yang telah dipublikasikan, antara lain: “Peran Riset dan Teknologi dalam Peningkatan Produktivitas Gula” yang diterbitkan pada Majalah Media Perkebunan edisi 63 pada Mei 2008, “121 Tahun Kiprah P3GI dalam Kancah Pergulaan Nasional” yang diterbitkan pada Majalah Media Perkebunan edisi 66 pada September 2008, “Mewujudkan Swasembada Gula untuk Mendukung Ketahanan Pangan” yang diterbitkan pada Majalah Media Perkebunan edisi 67 pada Oktober 2008, dan “P3GI Mencari Status Pada Usia Seabad Lebih” yang diterbitkan pada Majalah Media Perkebunan pada tahun 2009. Bagian dari tesis ini juga direncanakan akan dipublikasikan pada jurnal Majalah Penelitian Gula. Penulis menikah dengan Sigit Purnomo, ST pada 6 Januari 2008. Suami penulis bekerja sebagai asisten manajer pada PT Smartfren.