KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG SURUT DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK Elias Wijaya Panggabean1) Bastin Yungga Angguniko 2) 1) 2)
Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jl. Patimura No.20 Gedung Heritage lt.3 Jakarta Selatan Email :
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT This paper provides an alternative policy in the development of tidal swamp irrigation through the model and simulation system. Improvement of irrigation networks, access farm roads, and grain prices were assessed using system dynamics approach model. The research conducted in Siak Kiri Tidal Irrigation Area, Riau, in 2014, shows that, first: revitalization of irrigation networks, which is based solely on the effective area and not based on potential area will further accelerate the pace of paddy land conversion to oil palm plantations. Second, the more efficient access to distribution of goods and connectivity region, the highers selling price of agricultural products and greater income obtained by farmers. Third, there is a relationship between the irrigation system condition and the adequacy of the water with the interest of farmers to develop rice cultivation. Therefore, agriculture and swamp irrigation improvement strategy must be analyzed comprehensively and systemically. Keywords: Tidal Irrigation, system dynamics, causal loop, model simulation, policy ABSTRAK Makalah ini memberikan alternatif kebijakan dalam pengembangan irigasi rawa pasang surut melalui model dan simulasi sistem. Peningkatan jaringan irigasi, jalan akses pertanian, dan jalan akses dan harga gabah dinilai menggunakan pendekatan sistem model dinamis. Penelitian yang dilakukan tahun 2014 di Daerah Irigasi Pasang Surut Siak Kiri, Riau, menunjukkan bahwa, pertama: kebijakan revitalisasi jaringan irigasi yang hanya berdasarkan luas efektif dan bukan berdasarkan areal potensial akan semakin mempercepat laju alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan sawit. Kedua, semakin efektif akses distribusi barang dan konektivitas wilayah, maka akan semakin tinggi harga jual produk pertanian dan semakin besar pendapatan yang diperoleh petani. Ketiga, hubungan berbanding lurus antara kondisi jaringan irigasi dan kecukupan air dengan minat petani mempertahankan eksistensi pertanian sawah. Oleh karena itu, strategi pengembangan pertanian dan irigasi rawa harus dianalisis secara komprehensif dan sistemik. Kata kunci: irigasi pasang surut, sistem dinamik, kausal loop, simulasi model, kebijakan
PENDAHULUAN Program irigasi rawa pasang surut yang telah dimulai sejak tahun 1970-an sampai saat ini ternyata belum mempu memberikan hasil yang maksimal mendukung swasembada pangan nasional. Menurut data Kementerian Pertanian,
produksi 62,56 juta ton gabah kering, hanya 11.5% yang berasal dari sawah lahan rawa (Haryono, 2013 dalam Puslitbang Sosekling, 2014). Luas lahan rawa Indonesia 33,4 juta ha, yang terdiri dari lahan rawa pasang surut sekitar 20 juta ha. Lahan pasang surut yang telah direklamasi 3,84
79
juta ha yang terdiri dari 0,94 juta ha oleh pemerintah dan sisanya oleh swadaya masyarakat (Suriadikarta, 2012). Sementara menurut data Direktorat Irigasi dan Rawa (Kementerian PU, 2010), dari 1,8 juta ha rawa yang telah direklamasi, masih terdapat 38,2% yang belum dimanfaatkan. Kendala rendahnya kesuburan lahan dan tingginya hama (Alwi, 2014), dan pengelolaan jaringan irigasi tidak tepat (Noor, 2012), menjadi beberapa faktor penghambat pengembangan irigasi rawa pasang surut. Kendala-kendala pengembangan irigasi pasang surut ini sangat mempengaruhi minat dan motivasi petani lokal untuk tetap bertahan pada komoditas tersebut. Dorongan ekonomi membuat lahan sawah dikonversi menjadi lahan perkebunan (Sa’ad et al, 2010). Banyaknya ditemukan lahan bongkor juga merupakan dampak dari sistem pengelolaan irigasi pasang surut yang tidak benar (Noor, 2012). Ketersediaan dan kesinambungan air irigasi menjadi syarat mutlak pertanian irigasi pasang surut. Apabila air irigasi tidak mencukupi, berdampak langsung pada penurunan motivasi petani dan beralih perkebunan (Panggabean, 2015). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa upaya pengembangan pertanian lahan rawa sangat kompleks dari hulu (produksi) sampai ke hilir (paska panen). Kompleksitas permasalahan ini juga melibatkan multi-stakeholders dengan kepentingannya masing-masing yang saling terkait satu dengan lainnya (interdependent) dalam satu sistem. Dalam menyediakan infrastruktur mendukung pengembangan pertanian lahan rawa, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat seringkali dihadapkan pada pemahaman kondisi lapangan yang kurang memadai. Akibatnya kebijakan yang diambil juga seringkali hanya pragmatis dan kurang mampu mengatasi persoalan dasar pengembangan pertanian rawa. Melalui pendekatan sistemik, dapat disusun konsep model pengembangan pertanian lahan rawa yang mengedepankan hubungan antar struktur sistem, dan mampu menganalisis perilaku sistem dan peramalan (forecasting) sistem dengan kebijakan yang diterapkan. Dari penelitian Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Kementerian PU (2013), ditemukan kompleksitas permasalahan dalam pengembangan pertanian dengan irigasi rawa: 1) Keterbatasan jaringan irigasi pasang surut,
khususnya daerah pedalaman dengan akses yang sulit; 2) Sifat tanah dengan kadar pirit yang tinggi sehingga kurang subur ditanami. Keterbatasan jaringan irigasi dan suplai air tidak memadai akan menyulitkan pembersihan kadar pirit. Lahan menjadi tidak produktif dan dibiarkan terbengkalai (lahan bongkor). Lahan bongkor (Noor, 2012) telah banyak dialihfungsikan masyarakat menjadi lahan perkebunan sawit atau karet. 3) Keterbatasan akses ke lokasi juga menjadi hambatan. Sebagian besar mengandalkan jalur sungai, sedangkan akses jalan darat masih sangat terbatas. Mahalnya biaya menggunakan moda transportasi air menyulitkan petani menjual hasil produk pertanian ke luar daerah. 4) Maraknya gangguan hama dan tikus juga menurunkan produktivitas lahan. Biaya produksi yang cukup mahal membatasi kemampuan petani meningkatkan produksi pertanian rawa. Pemerintah juga menghadapi kendala keterbatasan anggaran dalam membuka jaringan irigasi baru atau revitalisasi jaringan irigasi yang sudah ada (Balai Wilayah Sungai Sumatera III, 2014). Dari fakta tersebut, terlihat bagaimana permasalahan pertanian irigasi rawa begitu kompleks yang saling kait-mengait. Untuk itu pendekatan komprehensif dan sebab-akibat sangat tepat dilakukan sebagai pendekatan analisis. Untuk itu penelitian ini akan menjawab pertanyaan penelitian: 1) faktor-faktor apa berpengaruh signifikan pada pengembangan rawa? dan 2) kebijakan elementer apa yang dapat ditempuh untuk mendorong pengembangangan pertanian irigasi rawa? Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan alternatif rekomendasi dalam pengembangan irigasi rawa pasang surut dengan pendekatan berpikir sistemik. KAJIAN PUSTAKA Tantangan Pengembangan Irigasi Pasang Surut Lokasi penelitian Siak Kiri merupakan lahan rawa pasang surut dengan tipe A. Tipe A merupakan lahan yang terluapi minimum 4-5 kali dalam 14 hari siklus pasang purnama baik musim hujan maupun musim kemarau (Permen PU Nomor 5 tahun 2010). Pembukaan rawa di Siak sudah dimulai sejak tahun 1980 melalui Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut (P4S) (Noor, 2012 dalam
80
Panggabean, 2014; Hidayat et al, 2010). Reklamasi rawa juga didampingi program transmigrasi penduduk dari Jawa ke luar Jawa (Septiyani, 2014).
mendapatkan struktur model yang sesuai dengan rencana keputusan/kebijakan yang diambil untuk merepresentasikan struktur model dunia nyata.
Kendala yang dihadapi pertanian pasang surut diantaranya adalah tingkat kesuburan lahan rendah, faktor tingginya kemasaman tanah, pirit, kadar aluminium dan besi dan asam organik, serta miskin kation basa seperti Ca, K, Mg (Alwi dan BSI, 2014).
Proses pembuatan keputusan menyangkut dinamika sistem-sistem sosial yang kompleks (Forrester, 1989). Fenomena dinamis ini dimunculkan oleh adanya struktur fisik dan struktur pembuatan keputusan yang saling berinteraksi. Struktur fisik dibentuk oleh akumulasi (stock) dan jaringan aliran orang, barang, energi, dan bahan (flow). Sedangkan struktur pembuatan keputusan dibentuk oleh akumulasi (stock) dan jaringan aliran (flow) informasi yang digunakan oleh aktor-aktor (manusia) dalam sistem yang memiliki struktur umpan-balik (feedback structure).
Rendahnya produktivitas lahan pasang surut juga disebabkan faktor kondisi lahan yang cukup berat untuk dikelola, keterbatasan tenaga kerja, rendahnya tingkat pengetahuan petani, kebiasaan pertanian subsistem, keterbatasan modal, infrastruktur irigasi rawa yang terbatas, serta tingginya tingkat serangan hama-penyakit pada tanaman (Alwi, 2014). Orientasi petani menanam padi cenderung untuk dikonsumsi keluarga sendiri. Dengan ratarata pemilikan sawah 2 ha pada dasarnya mereka tidak mampu menggarap seluruh lahan. Kurangnya tenaga kerja dan minimnya penggunaan teknologi pertanian membuat waktu tanam tidak serentak, sehingga lebih rentan diserang hama (Riyani, 2013). Konsep System Thinking dan System Dynamics Berpikir sistem (system thingking) adalah memahami fenomena sebagai struktur yang memiliki hubungan saling terkait (interdependent), bukan hubungan sebab-akibat searah atau linier (Gambar 1). Fenomena sosial adalah kumpulan proses interaksi yang saling terkait dan terus berlanjut seiring berjalannya waktu (dinamik). Konsep berpikir sistem mengenal struktur dan unsur-unsur pembentuk serta pola keterkaitan antar unsur (Senge, 1990).
Gambar 1. Linear Thinking vs Systems Thinking Sumber: Kim, Daniel H., 1997
System Dynamics adalah proses analisis lebih lanjut dari System Thingking dengan penggambaran model dan perilakunya ke dalam persamaan matematis atau bahasa komputer, menguji perilaku model (simulasi) dan
Dalam metodologi System Dynamic dikenal struktur umpan-balik (feedback loop) menyatakan hubungan sebab-akibat variabel-variabel yang melingkar, bukan menyatakan hubungan korelasikorelasi statistik. Ada dua macam lingkar umpanbalik yaitu: 1) lingkar umpan-balik positif (growth); 2) lingkar umpan-balik negatif (goal seeking) Tahapan yang harus ditempuh dalam menggunakan pemodelan dengan metoda System Dynamics, seperti yang diilustrasikan dalam gambar berikut ini.
Gambar 2. Proses Pemodelan System Dynamics Sumber: Sterman, 1981
Prinsip pembuatan struktur model (Sterman, 1981) adalah: pembedaan keadaan yang diinginkan dan keadaan yang sebenarnya; struktur stock dan flow dalam kehidupan nyata harus dapat direpresentasikan di dalam model; struktur pembuatan keputusan di dalam model harus sesuai dengan praktek-praktek manajerial; model harus robust pada kondisi ekstrim. Pengujian model diperlukan untuk menguji validitas terhadap kondisi empiris untuk analisis kebijakan. Berikut adalah secara garis besar kerangka pikir model pengembangan rawa berkelanjutan
81
Siak Kiri
Gambar 4. Lokasi Penelitian Siak Kiri - Riau Sumber: Google Maps, 2016
Gambar 3. Kerangka Konseptual Sumber : hasil analisis, 2016
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan System Dynamics. Unit analisis dalam penelitian ini adalah daerah irigasi rawa pasang surut. Populasi penelitian adalah daerah irigasi rawa pasang surut Siak Kiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, yang sudah dibuka oleh pemerintah sejak era P4S tahun 1980.
Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan beberapa responden yang merupakan informan-informan kunci meliputi: 1) pejabat di Balai Wilayah Sungai Sumatera III 2) pengamat pengairan di DR. Siak Kiri 3) juru pengairan, beberapa orang petani setempat. Semantara itu data-data sekunder dalam mendukung analisis diperoleh dari data-data Proyek Irigasi Pasang Surut, data-data BPS dan dokumen-dokumen dari internet. Pemodelan pengembangan pertanian rawa dengan metode system dynamics diuraikan dalam variabel, indikator dan parameter sebagai berikut.
Tabel 1. Operasionalisasi Konsep NO 1
VARIABEL Sub Model Irigasi Rawa
1.
2.
4.
Anggaran revitalisasi jaringan irigasi rawa Konstruksi dan perbaikan jaringan Penurunan kinerja jaringan
1.
Lahan sawah
2.
Lahan sawit
3.
Lahan Palawija
4.
Lahan Permukiman
5.
Lahan belum dimanfaatkan
1.
Tingkat kelahiran
3.
2
3
Sub Model Lahan
Sub Model Populasi
INDIKATOR Areal irigasi rawa
PARAMETER Luas reklamasi awal, luas areal peningkatan 1 (1995), luas areal peningkatan 2 (2005), luas target OP dan rehabilitasi, laju penyusutan areal jaringan irigasi Fraksi biaya operasi OP, Fraksi biaya rehabilitasi Waktu konstruksi jaringan irigasi, Periode rehabilitasi jaringan irigasi Waktu penurunan kinerja jaringan , Luas penurunan areal sawah Luas lahan bukaan awal, Waktu pembukaan, Luas sawah terkonversi ke lahan sawit, Luas sawah terkonversi ke lahan palawija, Waktu konversi, Jumlah tenaga kerja sawah Luas sawah terkonversi ke lahan sawit, Luas palawija terkonversi ke lahan sawit, Waktu konversi, Jumlah tenaga kerja sawit Luas sawah terkonversi ke lahan palawija, Luas palawija terkonversi ke lahan sawit, Waktu konversi, Jumlah tenaga kerja palawija, Luas lahan belum dimanfaatkan terkonversi ke palawija, Luas lahan palawija terkonversi ke permukiman Luas lahan palawija terkonversi ke permukiman, Jumlah tenaga kerja total, Jumlah populasi Luas lahan bukaan awal, Waktu pembersihan awal, Luas lahan belum termanfaatkan tervonversi ke sawah, Luas lahan belum termanfaatkan tervonversi ke palawija Rasio kelahiran, Populasi, Fraksi angkatan kerja, Jumlah tenaga kerja pertanian
82
4
Sub Model Produksi
2.
Tingkat kematian
3.
Migrasi masuk
4.
Migrasi keluar
1.
Produksi sawah
2. 3. 4.
Produksi palawija Produksi sawit Aksesibilitas
Rasio kematian, Populasi, Fraksi angkatan kerja, Jumlah tenaga kerja pertanian Populasi, Jumlah KK, Rasio lahan per KK, Pendapatan per kapita, Efek income terhadap migrasi masuk Populasi, Jumlah KK, Rasio lahan per KK, Pendapatan per kapita, Efek income terhadap migrasi keluar Luas sawah irigasi sederhana, Luas sawah irigasi lengkap, Total pendapatan dari sawah, Luas areal irigasi lengkap, Efek pH tanah, Produktivitas lahan Luas lahan palawija, Total pendapatan dari palawija Luas lahan sawit, Total pendapatan dari sawit Efek aksesibilitas jalan, Harga gabah, Pendapatan dari sawah, Intensitas pertanaman
Sumber: Desain penelitian, 2013
Setelah model diformulasikan, perilaku sistem diuji dengan simulasi komputer menggunakan aplikasi Vensim. Simulasi tanpa intervensi kebijakan akan menggambarkan titik permasalahan atau keadaan yang tidak diinginkan. Selanjutnya simulasi dengan intervensi-intervensi kebijakan, khususnya bidang infrastruktur yaitu jaringan irigasi dan akses jalan. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara administratif, daerah irigasi rawa Siak Kiri terdiri dari 12 desa dan dua kecamatan Bunga Raya dan Sabak Auh. Pembukaan daerah rawa di Siak Kiri dimulai pada tahun 1980 dengan sistem irigasi sisir yang merupakan bagian dari Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) oleh Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Pembagian lahan per kepala keluarga transmigran sebanyak 2 hektar, untuk rumah dan pekarangan, serta lahan pertanian. Jumlah penduduk pada awal dibuka sekitar 10.600 jiwa atau sekitar 2.800 KK. Luas rawa yang pertama kali dibuka adalah 13.667 ha. Desain awal lahan sawah adalah seluas + 8.000 ha dengan pembuatan saluransaluran drainase untuk mengeringkan lahan dan membuat pintu-pintu air secara terbatas dekat dengan permukiman. Proses pembangunan ini dilakukan secara bertahap setiap tahunnya. Dalam kurun waktu tahun 1980-1990, terjadi permasalahan pirit dan gambut sehingga produksi padi sangat rendah. Pola tanam padi masih sebatas ditanami diantara tungkul kayu yang dipotong. Tahun 1984 terjadi banjir besar yang menggenani sebagian besar permukiman penduduk, sehingga banyak penduduk transmigran kembali ke daerah asalnya. Jumlah penduduk menjadi 7.145 jiwa. Dalam kurun waktu 1990-1994, permasalahan pirit dan gambut sudah mulai
berkurang, tunggak kayu sudah habis dibakar, lapisan gambut sudah mulai menipis, petak-petak sawah sudah dibentuk, namun lahan masih sering tergenang dan banjir. Selanjutnya pemerintah mulai menggalakkan pengembangan rawa melalui program Integrated Swamps Development ProjectISDP (World Bank, 2001) tahun 1995-2000. Program ini meliputi rehab dan konstruksi struktur tata air (saluran sekunder dan tersier) dan riset kecocokan tanaman serta sertifikasi lahan. Keberhasilan program ini berdampak pada kembalinya transmigran yang sebelumnya pergi ditambah dengan penduduk baru dari daerah lain yang memperkenalkan sawit kepada penduduk transmigran (tahun 1995-1996). Namun tantangan pengembangan rawa masih belum selesai, tahun 1997-1998 terjadi ElNino (musim kemarau panjang) (Supari, 2014) yang menggagalkan panen. Tahun 2001, dimulai membangun pintupintu baru di belakang permukiman dan perubahan fungsi saluran menjadi long storage dengan dimensi saluran sekunder semula 3 meter menjadi 8 meter dan saluran tersier semula 60-80 cm menjadi 3 meter. Dalam kurun waktu tahun 2002-2006 Perkembangan kelapa sawit semakin marak terjadi. Tahun 2005-2006 dilakukan sertifikasi lahan bagi penduduk yang sudah kembali. Tahun 2004-2007, petani mulai menggali saluran untuk menarik air dari daerah tangkapan air (catchment area), serta membangun jalan usaha tani. Tahun 2008 sampai saat ini, pemerintah mulai membangun saluran penangkap air dan penyediaan pintu-pintu air. Mulai terjadi peningkatan produksi padi (7 ton per hektar) kompetisi harga dengan sawit. Namun yang sering terjadi saat ini adalah konflik penggunaan air antara petani padi dengan petani sawah.
83
Dari kronologis di atas ternyata sejak tahun 1980 sampai tahun 1994 sebenarnya reklamasi rawa belum berbentuk petak sawah beririgasi, karena jaringan irigasi yang belum memadai. Oleh sebab itu analisis system dynamics dalam penelitian ini akan dimulai dari tahun 1995, dimana jaringan irigasi dan petak sawah telah terbentuk.
Model System Thingking - Causal Loop Causal loop Daerah Irigasi Rawa Siak Kiri terdiri dari empat sub model yaitu: 1) sub model irigasi, 2) sub model populasi, 3) sub model produksi dan 4) sub model lahan.
Kesejahteraan Petani
+ Partisipasi petani
Anggaran Revitalisasi Jalan Usaha Tani
+ Income Petani +
+ Anggaran Pembangunan dan Revitalisasi Irigasi Loop 2 (+)
+
+ Loop 1 (+)
Luas Revitalisasi + Jaringan Irigasi -
Lahan belum termanfaatkan
Pembeli dari luar Loop 5 (+)
+
+ waktu revitalisasi
+
Harga Produk + Pertanian
Populasi Petani
+ Usaha Tani Modal
+ Akses Distribusi
Jumlah Produk Pertanian yang dijual
+
+ Loop 3 (-)
+ Lahan terkonversi
+
+
Ketersediaan Tenaga Kerja
Loop 4 (-)
Indeks Pertanaman Kesuburan Lahan
Produktivitas + Lahan + +
+ Lahan sawah yang dikerjakan +
Loop 6 (+)
Loop 7 (+)
-
Gambar 5. Causal Loop Pengelolaan Rawa Siak Kiri Sumber: Hasil Analisis, 2014
Keterangan: Loop-1: produksi lahan irigasi pasang surut akan dijual dan memberikan income bagi petani untuk peningkatan kesejahteraan petani. Kesejahteran yang terbangun akan menarik pendatang baik sebagai tenaga kerja atau investasi pertanian di lokasi tersebut (terjadi pertumbuhan populasi penduduk). Loop-2: Kesejahteraan petani yang semakin membaik akan mendorong partisipasi petani dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Partisipasi petani akan membantu pemerintah dalam merevitalisasi infrastruktur irigasi, sehingga cakupan jaringan irigasi yang dapat direvitalisasi semakin luas. Loop-3: Lahan sawah yang sudah direvitalisasi dan dimanfaatkan petani secara tidak langsung menjadi pencegahan konversi sawah menjadi lahan sawit. Loop-4: Lahan rawa yang sebelumnya dibuka untuk lahan pertanian, namun karena dukungan jaringan irigasi kurang memadai menjadi lahan bokor. Lahan seperti ini telah
banyak dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Sehingga luas lahan sawah yang dapat direvitalisasi juga semakin berkurang. Loop-5: Produktivitas lahan yang baik tidak serta merta menghasilkan income yang menguntungkan bagi petani apabila tidak didukung akses jalan usaha tani yang baik dan kemudahan untuk menjual. Terwujudnya kesejahteraan petani akan memperkuat modal usaha tani sehingga produktivitas lahan lebih dari satu kali tanam dapat dicapai. Loop-6: Kemampuan modal usaha juga akan mempermudah daya jangkau petani untuk memperoleh pupuk dan obat-obatan sehingga produktivitas lahan dapat ditingkatkan. Loop-7: Ketersediaan modal usaha tani juga akan menambah kemampuan petani untuk mengerjakan lahan sawah yang lebih luas. Selanjutnya causal loop diinput dalam aplikasi komputer Vensim dengan model sebagai berikut.
84
Target area 1995 fraksi swh ckp air thd coverage area irgs awal
Area Sisa Target 1995
Coverage area irigasi total
<Time> Coverage Area Irgs Awal
Coverage Area Irigasi Lengkap
peningkatan 2
pembangunan
Penyusutan coverage area Laju penyusutan minimum
<Time>
Lama konstruksi saluran
peningkatan 1
Area sisa target peningkatan
Lama konstruksi peningkatan
Laju penyusutan
Rehabilitasi
Target area peningkt irigs
penurunan kinerja
waktu rehab
Target Rehabilitasi
eff pemelharaan
<Time>
Target Irigasi Lengkap
f eff pemeliharaan
tambahan target rehab
penurunan kinerja perceived
AKNOP
Realisasi anggaran OP
Coverage Area Irigasi Lengkap as design
Intervensi Anggrn OP <Time>
periode rehab
tunda waktu perceived
realisasi anggaran rehab
Intervensi Anggrn Rehab
Gambar 6. Sub-Model Irigasi Sumber: Data Diolah, 2014
penghasilan petani per bulan
tenaga kerja pertanian
tenaga kerja non pertanian
kaps tng krj
Fraksi Angktn Kerja
Angkatan Kerja
tingkat kelahiran
f income
<migrasi normal>
Migrasi Keluar
penghasilan per bulan naker non pertanian
f lahan outmig eff pendapatan to out-migrs
Kelahiran
eff lahan to out-migrs
Populasi Kematian init pop harapan hidup Migrasi Masuk
init KK
eff income to health
migrasi normal
pop per KK
f income hh
eff lahan to in-migrs
rasio pendapatan
eff pendapatan to in-migrs
f lahan in-migrs
f income to inmigrs rasio lahan
jumlah KK
lahan per KK normal
pendapatan per kapita
pendapatn perkapita normal
jatah hidup
lahan per KK Luas lahan per KK total pendapatan per bulan per KK
lahan pertanian
<Time>
lahan per naker
lahan produktif per KK
Gambar 7. Sub-Model Populasi Sumber: Data Diolah, 2014
85
f prod kebun
Total Pendapatan
Pendapatan dari non pertanian
Pendapatan dari Pertanian
fraksi pendapatan non pertanian
<Time> produktivitas kebun palawija rata2
f non pertanian
total pendapatan dari palawija
total pendapatan dari sawah
<Time>
pendapatan dari sawah irigasi sederhana
pendapatan dari sawah irigasi lengkap harga gabah eff jalan
produktivitas sawah irigasi sederhana
harga gabah normal
produkitvitas sawah irigasi lengkap
eff aksesibilitas
<Time>
<Time>
intensitas penanaman 1
intensitas penanaman 2
hsl panen swh irgs awal
hsl panen swh irgs lengkap
hsl panen norml swh 2
hsl panen norml swh 1
efek pH balance thd prodktvts swh
f coverage area
efek pH balance awal
total pendapatan dari sawit
total pendapatan dari karet
pendapatan dari sawit
pendapatan dari karet harga TBS
produktivitas karet
f hasil padi
lahan sawit produktf
produktivitas sawit
harga karet
learning tab
cummulative knowledge effect
<Time>
tab naker
efek ketersediaan naker
<satuan tenaga kerja sawah>
surplus lahan lahan palawija per naker
efek ketersediaan lahan
tab lahan
Gambar 8. Sub-Model Produksi Sumber: Data Diolah, 2014
86
gap sawah
luas sawah yg diharapkn
wkt konversi
wkt pembersihn
Lahan Bukaan
satuan tenaga kerja sawah
konversi sawah Lahan Sawah
<efek ketersediaan naker>
kebtuhn pangan
sawah kurang air
wkt mulai sawit
<cummulative knowledge effect>
wkt konversi kebun
Lahan Palawija
Lahan Blm Dimnfatkn
<satuan tenaga kerja sawah>
pembukaan kebun baru
lahan palawija minimum
kebun sawit baru
wkt buka kebun
<efek ketersediaan lahan> <efek ketersediaan naker>
Lahan Sawit waktu pengalihan
penggunaan tenaga kerja sawah
utilisasi naker dan ketersediaan lahan jadi penentu
tambahan pemukiman
penggunaan tenaga kerja palawija
kebutuhan tambahan lahan pemukiman
Lahan Pemukiman
pot pembukn kebun dari tenaga krj
naker used
<jumlah KK>
penggunaan tenaga kerja sawit satuan tenaga kerja sawit
kebtuhn pangan per kapita
<Time> konversi swh ke palawija
lahan sawah pot
konversi kebun
pembersihan lahan
f naker sawah
wkt konvers
wkt buka sawah
<Time>
<cummulative knowledge effect> Pembukn sawah baru
luas sawah subsisten
kebutuhan lahan pemukiman
satuan tenaga kerja palawija
satuan lahan pemukiman
utilisasi naker
Gambar 9. Sub-Model Lahan Sumber: Data Diolah, 2014
Tabel 2. Variabel dan asumsi yang digunakan dalam sub-model irigasi No 1 2 3 4 5
Variabel/parameter Area target tahun 1995 Target irigasi lengkap Lama konstruksi saluran Lama konstruksi peningkatan Fraksi sawah cukup air
6
Laju penyusutan min untuk umur bangunan 25 tahun 7 Periode rehab 8 Waktu rehab 9 Waktu delay penurunan kinerja 10 Anggaran OP Irigasi akan maks apabila AKNOP = 1 Sumber: Data Diolah, (2014)
Nilai 8000 3600 1 2 0.1 1/25
Dimensi ha ha tahun tahun tanpa dimensi ha/tahun
5 1 1
tahun tahun tahun
1
tanpa dimensi
4 5 6
Populasi per KK Tingkat kelahiran Fraksi angkatan kerja
7
Pendapatan per normal: 2 kali UMR / 5 org 8 Lahan per KK normal Sumber: Data Diolah, (2014)
2
3
Variabel/parameter Migrasi normal
Nilai 0.03
Initial KK: Untuk 8000 ha, setiap KK memperoleh 1 ha kebun, 1 ha sawah, 0.25 ha pemukiman dan pekarangan Initial populasi: Transmigran awal rata-rata mempunyai 1 orang anak
8000/2.25
Dimensi tanpa dimensi tanpa dimensi
No 1
2 3 4
5 8000/2.25
kapita
7.600.000
orang per tahun tanpa dimensi rupiah
2
ha
Tabel 4. Variabel dan asumsi yang digunakan dalam sub-model produksi
Tabel 3. Variabel dan asumsi yang digunakan dalam sub-model populasi No 1
3.75 0.03 1/3
tanpa dimensi 6
Variabel/parameter Intensitas penanaman I : Diasumsikan lahan di luar area irigasi lengkap, sawah tadah hujan dan varietas padi rawa lokal intensitas tanam 1x/thn. Masa tanam sekitar 6-8 bulan. Setelah panen diberokan sampai menjelang musim tanam berikutnya saat musim hujan Intensitas penanaman II Hasil panen normal sawah I: 35 kali 5 kaleng (1 kaleng =13 kg) Hasil panen normal sawah II: Naik dari 4 ton ke 7 ton (tahun 2014) Efek pH balance awal: Prod padi pH awal = 1 ton, produktivitas padi normal= 3 ton Efek pH balance terhadap
1
Nilai
Dimensi per tahun
2 3000
per tahun kg
7000
kg
1/3
tanpa dimensi tanpa
87
dimensi
0.8
tanpa dimensi
4000 rupiah/kg 428 x Rupiah/kg/ 12 tahun 2880
Rupiah/kg/ tahun
2 3 4 5 6
7 8 9 11 12 13
14 15
Variabel/parameter Lahan bukaan: 8000-Lahan Pemukiman-Lahan Palawija Waktu pembersihan Waktu pembukaan kebun Satuan tenaga kerja palawija Satuan lahan permukiman Satuan tenaga kerja sawah: Tradisional = 0.57; dengan mekanisasi =1 Waktu pengalihan Waktu mulai kebun sawit Waktu konversi sawah ke sawit: 5/cummulative knowledge effect Waktu konversi sawah ke palawija Kebutuhan pangan (beras) per kapita Luas sawah subsisten: Kebutuhan pangan/(hasil panen normal swh*0.7). Rendemen beras = 70% dari gabah Faktor tenaga kerja sawah tahun 2015 Cummulative knowledge effect: Efek peningkatan pengetahuan petani yang mempengaruhi keinginan konversi ke sawit
Pemanfaatan Lahan 5,000
Tabel 5. Variabel dan asumsi yang digunakan dalam sub-model lahan No 1
optimal (Gambar 10). Pola penanaman padi adalah di antara tungggul kayu yang dipotong. Berarti lahan yang dibuka belum berbentuk petakan sawah, hanya sebatas lahan ladang yang ditanami padi. Peningkatan luas lahan signifikan baru terjadi dengan dibentuknya petak-petak sawah pada tahun 1995. Di sisi lain lahan palawija (jagung, ubi, dan kacang-kacangan) yang awalawal dibuka cukup luas mengalami trend penurunan seiring dengan peningkatan lahan sawah. Lahan palawija ditanam pada lahan non sawah, sedangkan lahan ladang ditanam pada lahan sawah.
Nilai
3 1 0.57 0.05 0.57 1
Dimensi ha tahun tahun ha/org ha/kk ha/org
tahun tahun tahun
2 104.28
tahun kg/org /thn ha
1
tanpa dimensi tanpa dimensi
16
Lahan permukiman: Tiap KK transmigran mendapat 0.25 ha untuk rumah dan pekarangan. Diasumsikan rumah dan halaman 0.1 ha, untuk tanaman pekarangan 0.15 ha masuk di kategori lahan palawija Sumber: Data Diolah, (2014)
2,500 1,250 0 1980
1984
1988
1992
1996 2000 Time (Year)
2004
2008
2012
Lahan Sawah : Kondisi-Eksisting Lahan Sawit : Kondisi-Eksisting Lahan Palawija : Kondisi-Eksisting Lahan Blm Dimnfatkn : Kondisi-Eksisting
Gambar 10. Model Pemanfaatan Lahan 1980 – 2014
1 2002
1980=0.01 2002=0.03 2010=0.9 2015=1 2030=1
3,750
ha
produktivitas sawah: Melalui aktivitas flushing seiring dengan ritme tanam padi, konsentrasi pirit berkurang hingga pH menjadi relatif balance setelah 10 tahun. Produktivitas padi bergerak dari 1 ton/ hektar sampai normal 2275 kg/ hektar 7 Efek jalan maksimal = 1 Kondisi saat ini (tahun 2014) belum maksimal 8 Harga gabah normal 9 Produktivitas karet: Dengan harga 7000/kg bisa memperoleh 3 juta/bulan 10 Produktivitas sawit: 1.2 ton x 2 kali panen x 12 bulan Harga sawit 1200/kg Sumber: Data Diolah, (2014)
ha
Sumber: Hasil Analisis, 2014
Tahun 2005 luas lahan sawah kembali meningkat signifikan lagi seiring dengan dibuatnya saluran-saluran baru dari catchment area (hutan), penyediaan pintu-pintu air, pembangunan tanggul dan jalan usaha tani. Peningkatan produktivitas lahan sampai 7 ton per hektar mulai terjadi pada tahun 2008. Harga gabah juga cukup menguntungkan (Rp.4000 per kg), karena akses jalan sudah mudah dilalui. Efeknya mendorong minat petani untuk menanam padi sampai saat ini. Perkembangan kelapa sawit yang diperkenalkan tahun 1995 oleh pendatang, baru mulai marak terjadi tahun 2002. Model di atas juga memperlihatkan bahwa perkembangan sawit saat ini sudah sangat pesat terlihat dari luas sawit yang berada di atas sawah. Hal ini berarti sudah cukup banyak lahan yang pada awalnya sawah dialihfungsikan. Dampak perkembangan sawit ini juga menyebabkan hampir tidak ada lagi lahan yang belum termanfaatkan.
Pemodelan Kondisi Eksisting Siak Kiri Pembukaan rawa sudah dilakukan sejak tahun 1980, namun sampai tahun 1994 belum
88
Pemanfaatan Lahan
Area Terlayani Irigasi 5,000
8,000
3,750
ha
ha
6,000
2,500
4,000 1,250
2,000
0 1980
0 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 Time (Year)
1984
1988
1992
1996 2000 Time (Year)
2004
2008
Lahan Sawah : BAU Lahan Sawit : BAU Lahan Palawija : BAU Lahan Blm Dimnfatkn : BAU
2012
Coverage Area Irgs Awal : Kondisi-Eksisting Coverage Area Irigasi Lengkap : Kondisi-Eksisting Coverage Area Irigasi Lengkap as design : Kondisi-Eksisting
Gambar 11. Model Luas Layanan Irigasi Eksisting
Gambar 12. Ketersediaan Lahan dengan Model BAU
Sumber: Hasil Analisis, 2014
Sumber: Hasil Analisis, 2014
Dari area terlayani irigasi juga mengindikasikan hal yang sama dengan dinamika pemanfaatan lahan (Gambar 11). Program ISDP (1995-2002) sudah dibangun saluran irigasi dan pintu-pintu air. Luas lahan yang direvitalisasi hanya seluas 8000 hektar, sementara luas semula 13.667 hektar.
Gambar 12 dengan asumsi business as usual atau tidak ada intervensi kebijakan yang dilakukan, menunjukkan apabila kebijakan yang saat ini tetap akan dipertahankan, maka dapat dilihat pola perilaku penurunan luas lahan sawah dan peningkatan yang sangat signifikan dari perkebunan sawit. Lahan yang kosong sudah habis terkonversi menjadi sawit.
Kebijakan revitalisasi atau pemeliharaan jaringan irigasi hanya pada areal produktif saja kontraproduktif dengan upaya mempertahankan eksistensi lahan sawah dari tekanan alih fungsi. Pada saat lahan tidak terjangkau air karena faktor tidak optimalnya fungsi saluran irigasi, maka sangat rentan diganti menjadi lahan sawit. Semakin tertunda revitalisasi dan pemeliharaan, semakin cepat juga lahan dialihfungsikan. Model Business as Usual (BAU)
Area Terlayani Irigasi 8,000
6,000
ha
Tahun 2002 sampai sekarang, program revitalisasi jaringan irigasi semakin menurun jauh dari potensi lahan yang ada. Sebagai gambaran tahun 2014, dari luas yang direncanakan 3.426 hektar, hanya terealisasi sekitar 2.460 hektar karena keterbatasan anggaran pemerintah. Sebaliknya justru semakin meningkat alih fungsi lahan. Kebijakan yang ditempuh selama ini hanya sekedar upaya mengoptimalkan daerah irigasi rawa eksisting yang masih produktif. Itu juga hanya mampu meng-cover kurang lebih 50%.
4,000
2,000
0 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 Time (Year) Coverage Area Irgs Awal : BAU Coverage Area Irigasi Lengkap : BAU Coverage Area Irigasi Lengkap as design : BAU
Gambar 13. Model Area Irigasi dengan Model BAU Sumber: Hasil Analisis, 2014
Pada Gambar 13, trend penurunan luas areal irigasi menunjukkan penurunan apabila revitalisasi hanya dilakukan pada lahan produktif saja. Lahan-lahan yang potensial yang belum terkonversi tidak direvitalisasi, saluran yang tidak dipelihara, pintu-pintu yang rusak tidak diganti, maka pemanfaatan menjadi perkebunan sawit semakin cepat. Dengan pola kebijakan seperti ini juga akan berdampak pada penurunan luas areal irigasi produktif. Model BAU tersebut menunjukkan kemungkinan penurunan luas areal beririgasi sampai di bawah 2.000 hektar di tahun 2030 nanti. Padahal apabila revitalisasi
89
berdasarkan luas areal desain tahun 2002, luas areal beririgasi baik bisa mendekati 4.000 hektar.
Skenario-1 Pada skenario pertama diasumsikan terjadi peningkatan anggaran revitalisasi irigasi rawa sebesar 80% terhadap luas aral irigasi yang masih produktif (lengkap) eksisting, namun kondisi akses jalan belum maksimal (efek akses hanya 80%). Dari hasil simulasi terlihat terjadi perubahan trend luas lahan sawah yang meningkat cukup signifikan apabila dibanding dengan model sebelumnya (BAU). Area Terlayani Irigasi
3,750
ha
Intervensi Kebijakan Revitalisasi dan Akses Jalan Usaha Tani • Skenario-1: dana revitalisasi ditambah menjadi 80% berdasarkan luas coverage irigasi lengkap (eksisting) • Skenario-2: dana revitalisasi ditambah menjadi 100% berdasarkan luas coverage as design 2002 • Skenario-3: skenario 2 ditambah dengan peningkatan akses jalan menjadi 100%.
Lahan Sawit 5,000
2,500 1,250 0 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 Time (Year) Lahan Sawit : BAU Lahan Sawit : Skenario-1 Lahan Sawit : Skenario-2 Lahan Sawit : Skenario-3
Gambar 14. Model dengan Skenario Kebijakan Sumber: Hasil Analisis, 2014
Terjadi peningkatan luas sawah pada tahun 2030 sebesar 476 hektar. Sebaliknya dengan peningkatan luas sawah, maka terjadi trend penurunan luas kebun kepala sawit yang signifikan sebesar 454 hektar (Gambar 14). Artinya, ketersediaan air yang direpresentasikan oleh kinerja jaringan irigasi yang baik sangat sensitif mempengaruhi minat dan motivasi petani mengembangkan pertanian sawah. Dengan kebijakan ini juga luas areal irigasi bisa meningkat 537 hektar pada tahun 2030. Skenario-2
4,000
ha
3,000 2,000 1,000 0 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 Time (Year) Coverage Area Irigasi Lengkap : BAU Coverage Area Irigasi Lengkap : Skenario-1 Coverage Area Irigasi Lengkap : Skenario-2 Coverage Area Irigasi Lengkap : Skenario-3
Lahan Sawah 3,500
ha
2,625 1,750 875 0 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 Time (Year) Lahan Sawah : BAU Lahan Sawah : Skenario-1 Lahan Sawah : Skenario-2 Lahan Sawah : Skenario-3
Intervensi kebijakan diasumsikan dengan peningkatan anggaran revitalisasi mencapai 100% dan berdasarkan luas areal irigasi desain awal (luas areal yang sudah ditingkatkan pada tahun 2002). Dari hasil simulasi terlihat trend peningkatan lebih tinggi lagi pada luas areal sawah yang digarap sebesar 594 hektar dan diikuti trend penurunan luas areal sawit sebesar 689 ha. Berarti salah satu upaya yang efektif yang bisa dilakukan pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mempertahankan eksistensi irigasi pasang surut dari alih fungsi lahan adalah Kebijakan Revitalisasi Jaringan Irigasi pada Lahan-Lahan Potensial dan Lahan Bongkor atau Tidak Produktif. Kebijakan seperti ini akan mendorong minat petani untuk mengembangkan pertanian pasang surut. Dari gambar coverage area terlayani (Gambar 14) juga menunjukkan bahwa luas terlayani akan jauh lebih banyak apabila menerapkan kebijakan dengan skenario kedua ini. Skenario-3 Skenario ketiga diasumsikan skenario kedua ditambah dengan perbaikan akses jalan ke lokasi (akses jalan usaha tani), dengan pemberian
90
efek akses menjadi 100%. Pada gambar causal loop terlihat kaitan antara harga gabah dengan akses transportasi. Semakin baik akses jalan, semakin mudah pembeli datang dan semakin baik harga jual yang bisa diterima oleh petani. Saat ini kondisi akses jalan usaha tani sudah cukup memadai (efek akses 80%). Dari hasil simulasi terlihat perubahan perilaku grafik terjadi peningkatan namun tidak terlalu signifikan. Misalnya untuk lahan sawah terjadi peningkatan luas lahan sekitar 7 ha dan penurunan luas lahan sawit 17 hektar. Perbaikan akses jalan adalah faktor kedua yang paling penting dilakukan oleh Kementerian PUPR. Skenario-4
mendorong harga gabah mencapai Rp.4000 per kilogram, maka akan terjadi peningkatan luas areal sawah yang dapat dikerjakan petani sebesar 50 hektar terhadap luas sawah pada skenario ketiga. Demikian halnya luas sawit, akan terjadi penurunan sebesar 23 hektar. Populasi dan Pendapatan dari Sawah 35,000 500 B
17,500 250 B
0 0 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 Time (Year)
Lahan Sawah
Populasi : Skenario-4 total pendapatan dari sawah : total pendapatan dari sawah : total pendapatan dari sawah : total pendapatan dari sawah : total pendapatan dari sawah :
3,500 ha 3,500 ha
BAU Skenario-1 Skenario-2 Skenario-3 Skenario-4
Gambar 16. Populasi dan Pendapatan Petani Sumber: Hasil Analisis, 2014
1,750 ha 1,750 ha
0 ha 0 ha 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 Time (Year) Lahan Sawah : BAU Lahan Sawah : Skenario-1 Lahan Sawah : Skenario-2 Lahan Sawah : Skenario-3 Lahan Sawah : Skenario-4
ha ha ha ha ha
Lahan Sawit 5,000 ha 6,000 ha
2,500 ha 3,000 ha
0 ha 0 ha 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 Time (Year) Lahan Sawit : BAU Lahan Sawit : Skenario-1 Lahan Sawit : Skenario-2 Lahan Sawit : Skenario-3 Lahan Sawit : Skenario-4
ha ha ha ha ha
Gambar 15. Model Skenario Kebijakan Harga Gabah Sumber: Hasil Analisis, 2014
Pada skenario keempat (Gambar 15) terlihat bahwa aksesibilitas sangat mempengaruhi harga gabah. Harga gabah yang tinggi akan mendorong minat petani untuk beralih ke lahan sawah. Disamping upaya perbaikan akses jalan oleh Kementerian PUPR, menjaga harga gabah juga bisa diintervensi pemerintah. Pada skenario ketiga harga gabah per kilogram adalah Rp.3500, sesuai kondisi saat ini. Apabila pemerintah bisa
Populasi sangat erat kaitannya dengan tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani. Dari Gambar 16 terlihat tren peningkatan populasi penduduk Siak dengan skenario-1 sampai dengan skenario-4 dan peningkatan pendapatan petani. Perbaikan jaringan irigasi, akses jalan dan harga gabah sangat menentukan motivasi petani bertahan pada pertanian irigasi pasang surut dan meningkatkan pendapatan petani. Dari penelitian di Siak Kiri ini sedikit banyak bisa menjawab pertanyaan bahwa dari kurun waktu tahun 1980 sampai tahun 1995 (kurang lebih 15 tahun) relatif tidak ada progress yang signifikan dari program reklamasi rawa. Program ISDP (1995-2000) menjadi pintu masuk peningkatan jaringan irigasi rawa. Lesson learned pertama yang bisa dipetik adalah pengembangan pertanian rawa memang membutuhkan waktu yang lama untuk pengolahan lahan layak ditanami dan untuk membuka akses masuk. Namun apabila pemerintah lebih concern untuk mengintensifkan program, waktu yang dibutuhkan akan bisa dipangkas lebih cepat. Lesson learned kedua adalah terdapat dua faktor elementer yang mempengaruhi minat dan motivasi petani untuk tetap bertahan pada pertanian irigasi pasang surut, yaitu tersedianya air dan akses yang mudah dijangkau. Apabila hal ini tidak terpenuhi, pilihan mengalihfungsikan
91
lahan ke perkebunan yang lebih menguntungkan, menjadi realistis. Lesson learned ketiga terkait dengan perkembangan kelapa sawit pada lahan-lahan produktif keengganan dan keterbatasan anggaran untuk merevitalisasi lahan dan jaringan irigasi potensial (tidak hanya lahan produktif) semakin mempercepat laju alih fungsi lahan. Oleh karena itu sangat dibutuhkan aturan yang jelas mengenai pemanfaatan lahan dan pembatasan alih fungsi lahan. Perda pembatasan alih fungsi lahan serta pemberian insentif bagi petani sawah sangat mendesak diterapkan. KESIMPULAN Maraknya alih fungsi lahan sawah menjadi lahan perkebunan terjadi karena kebijakan pemerintah dalam melakukan revitalisasi atau pemeliharaan jaringan irigasi kurang tepat, hanya mengakomodasi luas efektif (produktif) yang setiap tahun terus menurun. Areal potensial atau yang terlanjur dialihfungsikan tidak ter-cover. Akses jalan usaha tani yang kurang memadai membuat harga jual produk pertanian menjadi rendah. Dari hasil simulasi memperlihatkan eratnya hubungan antara kondisi jaringan irigasi dan kecukupan air dengan minat petani mengembangkan pertanian sawah pasang surut. Disamping itu harga jual gabah sangat erat kaitannya dengan kemudahan akses transportasi. Oleh sebab itu, kebijakan yang paling urgen yang harus dilakukan oleh Kementerian PU sesuai dengan tugasnya adalah revitalisasi (pemeliharaan dan rehabilitasi areal produktif dan potensial) secepat mungkin serta percepatan peningkatan akses jalan. SARAN Disamping kebijakan dari Kementerian PU, upaya pengembangan pertanian lahan rawa juga harus didukung kebijakan yang pro-petani seperti kemudahan memperoleh bibit unggul, kemudahan akses pupuk dan kemudahan memperoleh pinjaman bank. Kebijakan preventif pembatasan alih fungsi lahan dengan penerapan Perda sangat perlu dilakukan demi mempertahankan keberadaan lahan pertanian, disamping tetap memperkuat kinerja jaringan irigasi dan akses jalan keluar-masuk.
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Muhammad. 2014. Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Banjarbaru : Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Balai Wilayah Sungai Sumatera III. 2014. Peta Daerah Irigasi Rawa Siak Kiri. Pekanbaru BSI. Busyra. Adri. Endrizal. 2014. Optimalisasi Lahan Sub Optimal Rawa Pasang Surut Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu dan Peningkatan Idenk Pertanaman. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Palembang 2014. ISBN 979-587-529-9. Forrester, Jay W., 1989. The Beginning of System Dynamics. Banquet Talk at The International Meeting of The System Dynamics Society. Jerman 13/07/1989. Googlemaps. 2016. Peta Daerah Irigasi Rawa Siak Kiri.https://www.google.co.id/maps/place /Pekanbaru,+Pekanbaru+City,+Riau/@0.33 93878,101.318778,10z/data=!4m5!3m4!1s 0x31d5ab80690ee7b1:0x94dde92c3823db e4!8m2!3d0.5070677!4d101.4477793?hl=e n (diakses tanggal 14/10/2016). Hidayat, Taufik. Nurmala, K. Pandjaitan. Arya Hadi Dharmawan. 2010. Kontestasi Sains Dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut. Jurnal Sosiologi Pedesaan 4 (1). Bogor : Institut Pertanian Bogor. Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Peraturan menteri Pekerjaan Umum Nomor 5/PRT/M/2010 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan jaringan Reklamasi Rawa Pasang Surut. Jakarta Kim, Daniel H. dan Lannon, Colleen, 1997. Applying Systems Archetypes. Pegasus. Noor, Muhammad. 2012. Sejarah Reklamasi Rawa. Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan 4 April 2012. Bogor : Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan. Panggabean, Elias Wijaya. 2014. Sistem Pengelolaan Irigasi Rawa Berkelanjutan. Prosiding Kolokium Strategi Penanganan Permasalahan Sosekling dalam Penyelenggaraan Infrastruktur PU dan Permukiman. Jakarta : Puslitbang Sosekling. Badan Litbang PU. Panggabean, Elias Wijaya. 2015. Pengaruh Persepsi Petani terhadap Motivasi Mengembangkan Pertanian pada Irigasi
92
Pasang Surut. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum. Vol.7 No. 2 juli 2015. Jakarta. Puslitbang Sosekling. 2013. Pengembangan Potensi Rawa Berbasis Daya Dukung Masyarakat dan Lingkungan. Laporan Akhir. Jakarta : Puslitbang Sosekling. Badan Litbang PU. Puslitbang Sosekling. 2014. Penyusunan Model Pengelolaan Teknologi Rawa Berkelanjutan. Laporan Akhir. Jakarta : Puslitbang Sosekling, Badan Litbang PU. Riyani, Rita. Radian, Setia Budi. 2013. Pengaruh Berbagai Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Padi di Lahan Pasang Surut. Jurnal Sains Mahasiswa Pertanian 2 (2). UNTAN. Sa'ad, Asmadi. Sabiham, Supiandi. Sutandi, Atang. Sumawinata, Basuki. Ardiansyah, M. 2010. Perubahan Penggunaan Lahan Pasang Surut Setelah Reklamasi Di Delta Berbak, Jambi. Jurnal Hidrolitan 1 (3) Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization New York: Doubleday
Septiyani, Dewi. 2014. Para Transmigran Di Desa Rasau Jaya I Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat Tahun 1971-1979. Journal of Indonesian History 3 (1). Semarang : Universitas Negeri Semarang. Sterman, John D. 1981. Economic Vulnerability and The Energy Transition. Bahan Presentasi pada System Dynamics Research Conference Institute of Man and Science Tahun 1981, Rensselaerville, New York. Supari. 2014. Sejarah Dampak El Nino di Indonesia.https://www.researchgate.net/p ublication/287912080_Sejarah_Dampak_El -Nino_di_Indonesia (diakses 07/10/2016). Suriadikarta, Didi A. 2012. Teknologi Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan 4 Mei 2012. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.. World Bank, 2001. Integrated Swamps Development Project-ISDP. Implementation Completion Report.
93