KONTESTASI SAINS DENGAN PENGETAHUAN LOKAL PETANI DALAM PENGELOLAAN LAHAN RAWA PASANG SURUT KALIMANTAN SELATAN
TAUFIK HIDAYAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini Bogor, Juni 2010 Taufik Hidayat NIM I361060021
ABSTRACT TAUFIK HIDAYAT. Contestation of Science with Farmers’ Local Knowledge on South Kalimantan Tidal Swampland. Under direction of NURMALA K. PANDJAITAN, ARYA HADI DHARMAWAN, and WAHYU. Tidal swampland is a marginal land that has two main constraints if reclaimed as agricultural land. These constraints are the high level of acidity and deep flooding. Local farmers with their local knowledge has been successfully manage tidal swamp land to provide their food needs. Science and technology in agriculture through the green revolution has been developed with the aim to fulfill the government's food needs. The program is implemented through increasing agricultural production and business efficiency. Introduction of agricultural science and technology at the tidal swampland has also an extensive social impact, especially with regard to the existence of local knowledge of farmers in tidal swamp land management. Contestation process between science with local knowledge on tidal swampland affected by the tidal swampland system of biophysical and social systems. This study was aimed to analyze the existence of local knowledge in the management of tidal swampland when contestation with science that became basic of recent modern agriculture system. This research is a case study on tidal swampland types A, B, C, and D. Data was collected by triangulation methods through in-depth interviews, life history and secondary data obtained from reports and historical records. The results showed that the forms of owned farmers’ local knowledge on the tidal swampland include: 1) knowledge on rice cultivation; 2) knowledge on land management; 3) knowledge about the maintenance and land conservation; and 4) knowledge on farming equipment. Local knowledge is always a process of change and evolve depending on outside forces that exist. Local knowledge that evolution was mainly driven by contestation with the science that introduced in the farming systems in tidal swampland. In the contestation proces, just a few science in type A tidal swampland can be applied especially in high yielding variety. Local knowledge society about the local rice farming systems still exist, but social institutions have been dominated by the presence of farmers' groups (‘kelompok tani’) that the government introduced as a supporting institution in modern agricultural systems. In the tidal swampland types B, C and D occurred science dominance in the application of agricultural technology such as the use of chemical fertilizers, pesticides and lime for agriculture (‘dolomit’). So was the case with local institutions of farmers (‘handil’) has been replaced by institutional role of farmer groups. Form of hybridization that occured between science and local knowledge in the form of high yielding variety-local rice farming systems called 'sawit dupa' numerous in the tidal swampland type B. Social system response may take the form of receipt of science in their agricultural systems through of adjustment process in fitting together (coadaptation) or otherwise suffered rejection because of not correspond with the biophysical environments and social systems Keywords: local knowledge, science, contestation, tidal swampland
RINGKASAN TAUFIK HIDAYAT. Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh NURMALA K. PANDJAITAN, ARYA HADI DHARMAWAN, dan WAHYU. Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh petani di lahan rawa pasang surut terbentuk dari pengalaman dan pemahaman mereka terhadap kondisi lingkungan spesifik setempat. Melalui pengetahuan inilah sumberdaya alam yang termasuk kategori lahan marjinal tersebut dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidup secara berkelanjutan. Merubah lahan rawa pasang surut menjadi sebuah areal pertanian yang subur bukan hanya memerlukan pengetahuan dan keterampilan teknis semata, tetapi juga pola hubungan sosial spesifik dalam kehidupan masyarakat. Bertolak dari kondisi inilah penelitian dilakukan dengan tujuan untuk melihat eksistensi pengetahuan lokal tersebut dalam menghadapi era globalisasi dan modernisasi pertanian saat ini. Penelitian ini juga menganalisis bagaimana terjadinya kontestasi antara pengetahuan lokal dan sains yang menjadi dasar dalam pertanian modern serta respon sistem sosial terhadap proses kontestasi tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma teori kritis untuk mengungkap struktur yang mendominasi sehingga membantu masyarakat dalam memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami. Penelitian ini dilaksanakan di Kalimantan Selatan dengan lokasi utama di Kabupaten Barito Kuala yang mencakup wilayah lahan rawa pasang surut tipe A, B, C dan D Kegiatan penelitian ini menggunakan triangulasi data, yakni penggunaan beragam sumber data yang meliputi komunikasi dialogis, diskusi (FGD), riwayat hidup topikal, serta data sekunder dalam bentuk penelusuran dokumen, laporan, catatan sejarah dan lainnya. Pengumpulan data dilakukan melalui informan petani, tokoh petani, aparat desa, petugas pertanian dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga provinsi. Pemilihan informan dilakukan secara sengaja (purposive) dengan metode snowball sampling. Pengambilan informan dengan metode ini merupakan pendekatan untuk menempatkan informasi yang kaya dari informan kunci atau kasus kritis. Analisis data dilakukan dalam bentuk pengkodean (coding) yang merupakan proses penguraian data, pengonsepan, dan penyusunan kembali dengan cara baru. Sejarah pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut tidak terlepas dari sejarah pembukaan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan. Pembukaan lahan rawa pasang surut ditujukan untuk tanaman padi didorong oleh kebijakan pemerintah waktu itu untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Pengetahuan lokal petani untuk mengelola lahan rawa pasang surut terbentuk dari interaksi mereka untuk mengatasi dua kendala spesifik, yakni genangan air dan tingkat kemasaman yang relatif tinggi (berupa tanah sulfat masam). Bentukbentuk pengetahuan lokal ini mencakup pengetahuan dalam hal: a) sistem budidaya pertanian berbasis padi lokal; b) sistem pengelolaan lahan; c) sistem peralatan peranian tradisional; dan d) sistem pemeliharaan dan pelestarian lingkungan. Pengetahuan lokal yang dimiliki ini ditransmisikan baik dalam sistem sosial tersebut maupun antar generasi. Proses pembentukan dan transmisi hingga pelanggengan pengetahuan lokal ini sangat terkait dengan sistem sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Proses transmisi dari orang tua kepada anak dikaitkan dengan norma-norma sosial yang menunjukkan kepatuhan anak
kepada orang tuanya untuk ikut membantu orang tuanya bekerja di sawah. Melalui media inilah anak-anak memperoleh pengetahuan tentang bercocok tani padi beserta seluk beluk lahan rawa pasang surut. Begitu juga halnya dengan struktur sosial masyarakat yang umumnya relatif homogen sebagai petani padi memungkinkan transmisi pengetahuan berlangsung dalam kondisi tanpa hambatan dan dominasi. Proses kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal ini dapat menghasilkan bentuk koeksistensi, dominasi, dan hibridisasi. Bentuk-bentuk kontestasi yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi ekosistem dan sistem sosial masyarakat, termasuk berbagai bentuk intervensi pemerintah melalui program pembangunan pertanian. Dalam konteks ini, aspek kepentingan dan proses komunikasi merupakan bagian penting yang akan membawa ke mana arah kontestasi tersebut akan terbentuk. Lahan rawa pasang surut tipe A dengan kondisi genangan air yang relatif dalam kurang sesuai untuk pengembangan padi unggul. Hal ini merupakan faktor utama petani yang menyebabkan petani setempat hanya menerapkan sistem pertanian padi lokal. Sains dan teknologi pertanian modern hanya sedikit yang diterapkan masyarakat dalam sistem pertanian mereka. Teknologi pertanian seperti pupuk dan pestisida sudah dikenal dan digunakan masyarakat dalam sistem pertanian padi lokal mereka. Walaupun demikian, dalam sistem sistem sosial masyarakatnya terjadi perubahan-perubahan yang cukup berarti. Khusus untuk aspek organisasi dan kelembagan sosial, kelembagaan kelompok tani menjadi dominan dan menggeser peranan handil sebagai lembaga lokal petani setempat. Transfer pengetahuan lebih banyak didominasi melalui proses penyuluhan pertanian, dan peranan kepala handil juga semakin berkurang. Eksistensi pengetahuan lokal dalam sistem pertanian masih tetap dipertahankan masyarakat, sebaliknya pada aspek kelembagaan dan organisasi sosial ternyata telah didominasi oleh perkembangan sains melalui rekayasa sosial yang dintroduksi pemerintah dalam program pembangunan pertanian. Pada lahan rawa pasang surut tipe B yang kondisi ekosistem biofisiknya memungkinkan untuk pengembangan sains dan teknologi pertanian tidak menghilangkan eksistensi pengetahuan lokal petani, namun, terjadi perpaduan pengetahuan lokal dengan sains. Perpaduan dalam bentuk hibridisasi ini berupa pola tanam baru penanaman padi dua kali setahun (unggul-lokal yang disebut pola sawit dupa). Sains dan teknologi penggunaan pupuk kimia, pestisida dan kapur pertanian telah meluas penggunaannya bukan hanya untuk padi unggul, tetapi juga dalam pertanian padi lokal. Menyangkut aspek organisasi dan kelembagaan sosial, keberadaan sistem gotong royong, pola kepemilikan lahan, dan tolong menolong tetap ada walaupun masuknya pola baru sistem upah, sistem sewa dan kredit usahatani melalui lembaga keuangan resmi. Kelembagaan handil yang ada tidak beberda jauh dengan kondisi di lahan rawa pasang surut tipe A, dimana telah digantikan peranannya dengan munculnya kelembagaan kelompok tani. Kelembagaan kelompok tani ini muncul sebagai konsekuensi dari modernisasi pertanian yang lebih berorientasi pada produktivitas pertanian. Kondisi biofisik lahan rawa pasang surut tipe C yang mirip dengan lahan tadah hujan juga didominasi oleh perkembangan sains yang menjadi basis dalam pengembangan pertanian padi unggul. Sains dan teknologi pertanian modern seperti penggunaan pupuk kimia, pestisida, kapur juga mendominasi dalam sistem pertanian seperti halnya di tipe B. Sebaliknya pengetahuan lokal tentang penerapan bibit lokal dan penggunaan peralatan olah tanah (tajak) lebih dominan dari bibit unggul maupun teknologi alat olah tanah traktor tangan.
Hibridisasi terjadi dalam bentuk pola tanam unggul-lokal (sawit dupa), sistem pengairan dengan pintu air, dan diversifikasi pertanian dengan sistem surjan. Pada aspek kelembagan sosial, kelompok tani juga mendominasi keberadaan kelembagaan handil seperti halnya di tipe A dan B, namun pada lahan rawa pasang surut tipe C ini terdapat bentuk perpaduan antara kegiatan kelompok tani dengan kelompok arisan menjadi bentuk lumbung kelompok. Kelembagaan lumbung kelompok ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi, terutama dalam pengadaan pupuk kimia. Kontestasi antara sains dan pengetahuan lokal yang terjadi di lahan rawa pasang surut tipe D juga menghasilkan bentuk dominasi sains dan teknologi pertanian dalam penggunaan bahan kimia, pupuk pestisida dan kapur seperti halnya di C. Begitu juga halnya dengan pengetahuan tentang budidaya padi lokal tetap eksis walaupun sistem pertanian padi unggul telah diintroduksi pemerintah melalui program penyuluhan pertanian. Menyangkut aspek organisasi dan kelembagaan sosial, tidak berbeda dengan kondisi pada tipe lahan rawa pasang surut lainnya, dimana peranan kelembagaan handil mulai digeser oleh kelompok tani. Model-model kegiatan kelompok tani dan sekolah lapang juga mendominasi kegiatan penyuluhan pertanian dibandingkan dengan kegiatan petani dalam suatu handil. Masuknya sains yang diimplementasikan dalam sistem pertanian modern melalui pengembangan padi unggul mendapat respon dari sistem sosial petani setempat. Respon ini berupa perubahan yang mengarah pada penyesuaian sistem sosial terhadap masuknya pertanian modern ini. Perubahan pada sistem sosial yang terjadi meliputi perubahan bentuk organisasi dan kelembagaan sosial yang dominan, peranan organisasi dan lembaga sosial tersebut, pola dan bentuk kerjasama petani, pola kepemilikan lahan, tokoh atau elit masyarakat yang berperan, serta nilai dan norma sosial yang berlaku. Respon sistem sosial yang terjadi menunjukkan pola yang berbeda pada beberapa tipe lahan rawa pasang surut. Pada lahan rawa pasang surut tipe A, masuknya sains yang terwujud dalam sistem pertanian modern berbasis padi unggul tidak banyak merubah pola dan teknik pertanian yang ada. Bahkan sistem sosial memberikan respon yang tetap mempertahankan keberadaan pengetahuan lokal melalui sistem pertanian padi lokal. Perkembangan yang cukup berbeda terjadi di lahan rawa pasang surut tipe B, di mana sistem sosial memberikan respon yang lebih dinamis terhadap perubahan yang terjadi pada sistem pertanian padi. Proses koadaptasi antara sistem sosial dengan ekosistem biofisik akibat masuknya sains dan teknologi pertanian modern terjadi secara luas dalam kehidupan masyarakat. Bahkan pada tahap selanjutnya, proses ini berkembang menjadi bentuk koevolusi yang menghasilkan perubahan-perubahan baik pada ekosistem biofisik maupun sistem sosial masyarakat. Respon sistem sosial yang terjadi pada lahan rawa pasang surut tipe C dan D terutama menyangkut perkembangan sains dan teknologi sarana produksi dan peralatan pertanian. Penggunaan peralatan pertanian modern (sabit dan mesin perontok) mendorong berkembangnya sistem upah dalam kegiatan panen. Penggunaan penggunaan bahan kimia (pupuk dan pestisida) mendorong berkembangnya kelembagaan penyedia saprodi baik berupa kios sarana produksi maupun sistem kredit oleh petani kaya (pedagang pengumpul) dalam penyediaan pupuk. Kata kunci: pengetahuan lokal, sains, kontestasi, lahan rawa pasang surut
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulian karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KONTESTASI SAINS DENGAN PENGETAHUAN LOKAL PETANI DALAM PENGELOLAAN LAHAN RAWA PASANG SURUT KALIMANTAN SELATAN
TAUFIK HIDAYAT
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, M.S Dr. Rilus A. Kinseng, M.A Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Irsal Las, M.S Prof. Dr. Ir. Kedi Suradisastra
Judul Disertasi : Nama NIM
: :
Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan Taufik Hidayat I361060021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, M.S., DEA. Ketua
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. H. Wahyu, M.S. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Sosiologi Pedesan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 10 Juni 2010
Tanggal Lulus: 30 Ju ni 2010
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari 2009 ini adalah pengetahuan lokal (local knowledge), dengan judul Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA, Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc, serta Bapak Prof Dr. H. Wahyu, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. M.T Felix Sitorus, M.S yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan hingga ke jenjang Ujian Tertutup. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS atas saran serta masukannya yang disampaikan dalam Ujian Kualifikasi Program Doktor serta Dr. Ir. Rilus Kinseng, M.A dan Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, M.S atas masukan dan arahannya pada Ujian Tertutup. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS dan Prof. Dr. Ir. Kedi Suradisastra yang telah bersedia menjadi penguji pada saat Ujian Terbuka. Begitu juga terima kasih disampaikan kepada semua staf dosen KPM, khususnya Program Studi Sosiologi Pedesaan yang telah banyak memberikan ilmu dan pengetahuan selama penulis mengikuti kegiatan akademik di IPB Bogor. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Rektor Universitas Lambung Mangkurat dan Dekan Fakultas Pertanian Unlam Banjarmasin atas bantuan dan kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarja IPB Bogor. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Nursani) dan ibu (Nur Hamidah), isteri (Maulidah Annazmi) dan anak-anak serta seluruh keluarga atas segala doa dan pengorbanannya selama ini. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh informan tanpa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan banyak bantuan selama pengumpulan data baik yang ada di Kabupaten Barito Kuala, Banjarbaru, maupun di Banjarmasin. Ketulusan dan keterbukan serta tanpa pamrih kepada penulis telah membuka jalan untuk penulisan karya ilmiah ini. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungan kepada rekan-rekan seperjuangan di Program Studi SPD yang selama ini banyak memberikan masukan dalam setiap diskusi, mulai dari angkatan 2005 hingga angkatan 2009, khususnya rekan satu angkatan tahun 2006 yakni Zahri Nasution dan Saifudin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam disertasi ini karena keterbatasan yang ada pada penulis. Saran dan kritik dan masukan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan disertasi ini. Semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi pengembangan pengetahuan lokal dalam era modernisasi pertanian di lahan rawa pasang surut. Bogor, Juni 2010 Taufik Hidayat
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan pada tanggal 31 Agustus 1966 sebagai anak sulung dari pasangan Nursani dan Nur Hamidah. Pendidikan sarjana ditempuh Program Studi Penyuluhan Pertanian, Fakultas Pertanian Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, lulus pada tahun 1992.
Pada tahun 1998, penulis diterima di Program Studi
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kekhususan Sosiologi dan Penyuluhan Lingkungan pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar dan menamatkannya pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa
pendidikan
pascasarjana
(BPPS)
diperoleh
dari
Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru sejak tahun 1993 dan mengampu mata kuliah Ilmu Sosial Dasar, Sosiologi Pedesaan, dan Ekologi Manusia. Sejak tahun 2002 hingga 2006 ditugaskan sebagai Pengelola Program Studi Ekonomi Pertanian pada Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Selama mengikuti program S3, beberapa artikel ilmiah pernah dihasilkan, antara lain: Modal Sosial dalam Sistem Perekonomian Masyarakat Persawahan: Kasus Petani Padi di Jawa dan Petani Lahan Rawa Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Mimbar Demokrasi Vol.8:1, Oktober 2008 Jurusan ISP, FIS UNJ Jakarta), Pengetahuan Lokal dalam Pembangunan: Analisis Ekologi Politik (Jurnal Spatial Vol7:1, Maret 2009 Jurusan Geografi FIS, UNJ Jakarta), Bentuk dan Makna Pengetahuan Lokal Petani Lahan Rawa Pasang Surut (Jurnal Spatial Vol.8:1, Maret 2010 Jurusan Geografi FIS, UNJ Jakarta). Artikel lain dengan judul Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut akan diterbitkan pada Jurnal Sodality, KPM IPB, Bogor Vol 4:2, Agustus 2010) Pada tahun 1992 Penulis menikah dengan Maulidah Annazmi dan dikarunia seorang anak laki-laki, Muhammad Ihsan Rieffani (12 tahun) dan seorang anak perempuan, Haslinda Amalia Hidayati (8 tahun).
DAFTAR ISI Halaman I
II
PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1 Latar Belakang .......................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ...............................................................
6
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................
8
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................
8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian.........................................................
9
1.6 Kebaruan (Novelty)
..........................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
11
2.1 Interaksi Sistem Sosial dengan Ekosistem...............................
11
2.2 Sistem Sosial dan Ekosistem Petani di Lahan Rawa Pasang Surut ..........................................................................
12
2.3 Pengetahuan Lokal .................................................................
15
2.3.1 Makna Pengetahuan Lokal ............................................
15
2.3.2 Perkembangan Pengetahuan Lokal ..............................
17
2.3.3 Kendala Pengembangan Pengetahuan Lokal ...............
20
2.3.4 Perpaduan Pengetahuan Lokal dengan Sains ...............
23
2.4 Pandangan tentang Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan ......
26
III METODOLOGI
............................................................................
29
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................
29
3.2 Paradigma Peneltian ..............................................................
29
3.3 Kerangka Pemikiran ...............................................................
32
3.4 Hipotesis Pengarah ................................................................
35
3.5 Strategi Penelitian ..................................................................
35
3.6 Langkah Penelitian .................................................................
36
3.7 Teknik Pengumpulan Data .....................................................
37
3.8 Analisis Data ...........................................................................
43
IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
..............................
44
4.1 Provinsi Kalimantan Selatan ...................................................
44
4.2 Kabupaten Barito Kuala ..........................................................
46
4.3 Profil Desa Penelitian di Lahan Rawa Pasang Surut .............
49
Halaman 4.3.1 Desa Tabunganen Muara ..............................................
49
4.3.2 Desa Sungai Tunjang ....................................................
53
4.3.3 Desa Tinggiran Darat .....................................................
56
4.3.4 Desa Simpang Nungki ...................................................
60
4.4 Ikhtisar: Perbandingan Desa Peneltian
.................................
63
SISTEM PERTANIAN PADI LOKAL DI LAHAN RAWA PASANG SURUT ..........................................................................
71
5.1 Sejarah Pembukaan Lahan Rawa Pasang Surut ...................
71
5.2 Budidaya Padi Lokal di Lahan Rawa Pasang Surut ...............
76
5.2.1 Pembukaan lahan ..........................................................
77
5.2.2 Pengolahan tanah ..........................................................
79
5.2.3 Pemilihan varietas padi ..................................................
82
5.2.4 Persemaian ....................................................................
84
5.2.5 Proses penanaman padi .................................................
87
5.2.6 Pemeliharaan tanaman...................................................
90
5.2.7 Pemanenan ...................................................................
92
5.2.8 Pascapanen ...................................................................
94
5.3 Ikhtisar: Sistem Pertanian Padi yang Adaptif dengan Lingkungan ..............................................................................
98
VI PENGETAHUAN LOKAL PETANI DI LAHAN RAWA PASANG SURUT ..........................................................................
105
6.1 Bentuk dan makna pengetahuan lokal ...................................
105
6.1.1 Pengetahuan tentang budidaya tanaman padi ...............
106
6.1.2 Pengelolaan tentang pengelolaan lahan .......................
110
6.1.3 Pengetahuan tentang pemeliharan dan kelestarian lingkungan ....................................................................
114
6.1.4 Pengetahuan tentang peralatan usahatani ....................
117
6.2 Proses pembentukan dan transmisi pengetahuan lokal ..........
124
6.3 Peranan dan eksistensi pengetahuan lokal ............................
131
6.4 Pengaruh sistem sosial dalam pengembangan Pengetahuan lokal ..................................................................
134
6.5 Kendala dalam pengembangan pengetahuan lokal ................
140
6.6 Ikhtisar: Mengapa Pengetahuan Lokal Perlu Dikembangkan .........................................................................
144
V
Halaman VII
KONTESTASI SAINS DENGAN PENGETAHUAN LOKAL DI LAHAN RAWA PASANG SURUT.............................................
156
7.1 Sejarah Perkembangan Pertanian Modern di Lahan Rawa Pasang Surut ........................................................................
156
7.1.1 Lahan rawa pasang surut tipe A ..................................
159
7.1.2 Lahan rawa pasang surut tipe B ..................................
162
7.1.3 Lahan rawa pasang surut tipe C ..................................
166
7.1.4 Lahan rawa pasang surut tipe D ...................................
168
7.2 Bentuk-Bentuk Kontenstasi Sains dengan Pengetahuan Lokal di Lahan Rawa Pasang Surut .....................................
170
7.2.1 Bentuk Koeksistensi .....................................................
171
7.2.2 Bentuk Dominasi ..........................................................
178
7.2.3 Bentuk Hibridisasi .........................................................
188
7.3 Ikhtisar: Dinamika kontestasi sains dan Pengetahuan Lokal .................................................................................
193
VIII RESPON SISTEM SOSIAL TERHADAP KONTESTASI ANTARA SAINS DENGAN PENGETAHUAN LOKAL .................
200
8.1 Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut ...
200
8.1.1 Lahan rawa pasang surut tipe A .................................
200
8.1.2 Lahan rawa pasang surut tipe B .................................
208
8.1.3 Lahan rawa pasang surut tipe C .................................
213
8.1.4 Lahan rawa pasang surut tipe D ..................................
217
8.2 Bentuk-bentuk Respon Sistem Sosial dan Sistem Biofisik Di Lahan Rawa Pasang Surut ...............................................
225
8.3 Ikhtisar: Dinamika Respon Sistem Sosial Di Lahan Rawa Pasang Surut .........................................................................
228
SIMPULAN DAN IMPLIKASI ........................................................
231
9.1 Simpulan ...............................................................................
231
9.2 Implikasi ................................................................................
233
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
235
LAMPIRAN ..........................................................................................
243
IX
DAFTAR TABEL No 1
Teks
Halaman
Topik dan paradigma penelitian yang digunakan dalam beberapa penelitian terkait dengan pengetahuan lokal ..............
10
2
Pertautan antara ilmu pengetahuan dan kepentingan ................
27
3
Keterkaitan topik permasalahan, tujuan, hipotesis, konsep utama/hubungan antar konsep, informasi atau data yang dikumpulkan, teknik pengumpulan data, dan sumber data .........
39
Perkembangan penanaman padi sawah di Kalimantan Selatan periode 1995 2008 .......................................................
45
Proporsi penduduk Kabupaten Barito Kuala menurut jenis pekerjaan tahun 2008 ................................................................
47
Luas lahan pertanian berdasarkan jenis penggunaannya tahun 2008 .... .......................................................................................
48
Kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Barito Kuala .... .......................................................................................
49
Ikhtisar perbandingan empat desa lokasi penelitian di lahan rawa pasang surut ......................................................................
65
Pertumbuhan penduduk dan pangan di Kabupaten Barito Kuala selama duapuluh lima tahun terakhir .................................
75
Perbandingan sistem usahatani padi unggul dan padi lokal di lahan rawa pasang surut Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan ....................................................................
97
Bentuk-bentuk pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut ..............................................................
120
Perbandingan bentuk serta proses transmisi antara pengetahuan lokal dengan sains ................................................
129
Perbandingan ekonomi usahatani padi lokal dengan padi unggul di lahan rawa pasang surut per hektar lahan ...................
153
Perbandingan perkembangan teknologi modern di lahan rawa pasang surut.................................................................................
170
Perbandingan antara sistem handipan dengan sistem upah dalam kegiatan pertanian padi di lahan rawa pasang surut ........
174
4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15
No 16
Teks
Halaman
Bentuk-bentuk koeksistensi antara sains dengan pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut ................................................
176
Perbandingan antara penentuan tanam dengan sistem perbintangan dan penyusunan RDK dan RDKK...........................
180
18
Perbandingan antara Lembaga handil dengan kelompok tani ....
183
19
Perbandingan antara sistem lumbung dengan sistem jual beli ...
185
20
Bentuk-bentuk dominasi yang terjadi dalam sistem pertanian padi di lahan rawa pasang surut ..................................................
186
Perbandingan antara sistem pertanian padi lokal dengan sistem pertanian padi unggul di lahan rawa pasang surut ...........
190
Bentuk-bentuk hibridisasi sains dengan pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut .............................................................
192
Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut tipe A ... .......................................................................................
207
Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut tipe B ... .......................................................................................
212
Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut tipe C ... .......................................................................................
216
Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut tipe D ... .......................................................................................
219
Perbandingan perubahan sistem sosial di lahan rawa pasang surut ..... .......................................................................................
221
17
21 22 23 24 25 26 27
DAFTAR GAMBAR No
Teks
Halaman
1
Kerangka pemikiran studi pengetahuan lokal ..............................
34
2
Kedudukan handil terhadap sungai ............................................
72
3
Sawah yang dicetak diantara dua buah handil ...........................
73
4
Proses dan waktu persemaian hingga panen padi di lahan rawa pasang surut ......................................................................
87
5
Proses koadaptasi sistem sosial dengan ekosistem lahan rawa pasang surut .......................................................................
99
6
Sistem budidaya padi lokal di lahan rawa pasang surut ..............
103
7
Pengetahuan tentang peredaran bintang dan bulan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang surut ..............................................
109
Pengetahuan tentang pengelolaan lahan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang surut .... .......................................................................................
114
Pengetahuan tentang pemeliharaan kelestarian lingkungan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang surut ..............................................
117
10
Pengetahuan tentang peralatan pertanian hubungannya dengan sistem sosial di lahan rawa pasang surut ......................
119
11
Taksonomi pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut ............................................................
123
12
Mekanisme pembentukan dan transmisi pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut ........................................................
127
13
Mekanisme pengaruh komponen sistem sosial terhadap pengetahuan lokal dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut .............. .......................................................................................
139
14
Faktor-faktor yang menyebabkan petani kurang berminat mengadopsi usahatani padi unggul ............................................
154
15
Peranan sains dan pengetahuan lokal dalam sistem pertanian padi di lahan rawa pasang surut .................................
198
16
Respon sistem sosial dan sistem biofisik pada sistem pertanian padi lahan rawa pasang surut ....................................
227
8
9
DAFTAR LAMPIRAN No
Teks
Halaman
1
Langkah-langkah analisis data dalam grounded theor ...............
244
2
Peta Provinsi Kalimantan Selatan ...............................................
246
3
Peta Administrasi Kabupatn Barito Kuala ...................................
247
4
Luas lahan sawah (hektar) berdasarkan jenis sawah dan frekuensi penanaman padi di Kalimantan Selatan, tahun 2008 ..... .......................................................................................
248
Luas lahan sawah (hektar) berdasarkan jenis sawah dan kabupaten di Kalimantan Selatan, tahun 2008 ...........................
249
Luas lahan sawah (hektar) pasang surut berdasarkan frekuensi penanaman padi di Kalimantan Selatan, tahun 2007 ..... .......................................................................................
250
Potensi tanaman pangan di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 ..... .......................................................................................
251
Tanaman buah-buahan utama di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 ..................................................................................
251
Tanaman perkebunan utama di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008....................................................................................
251
Potensi tanaman kehutanan di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 ..................................................................................
252
11
Populasi ternak di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 .............
252
12
Produksi perikanan di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 ......
252
13
Perbandingan bentuk serta proses transmisi antara pengetahuan lokal dengan sains .................................................
253
Analisis biaya dan keuntungan usahatani padi lokal di lahan rawa pasang surut ......................................................................
254
Analisis biaya dan keuntungan usahatani padi unggul di lahan rawa pasang surut .............................................................
255
Analisis biaya dan keuntungan usahatani padi unggul di lahan rawa pasang surut (sistem sawit dupa) ............................
256
Perbandingan analisis ekonomi usahatani padi lokal dan padi unggul di lahan rawa pasang surut ......................................
257
5 6
7 8 9 10
14 15 16 17
DAFTAR ISTILAH Gambut. Merupakan material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, tidak mampat dan hanya sedikit mengalami perombakan. Gumbaan. Alat untuk memisahkan gabah yang bernas dengan gabah hampa. Prinsip kerja alat ini menggunakan mekanisme hembusan angin yang berasal dari kipas yang diputar sehingga gabah yang berisi (bernas) dan gabah yang ringan (hampa) terpisah keluarnya pada tempat yang berbeda. Handil. Secara teknis berarti saluran yang dibuat tegak lurus dengan sungai atau anak sungai untuk keperluan pengaliran air pasang dan surut. Secara sosial bermakna sebagai kelembagaan petani yang tergabung dalam saluran pengairan tersebut. Handipan/baharian. Merupakan bentuk kegiatan gotong royong dalam kegiatan penanaman atau pengolahan tanah yang dilakukan secara bergantian antar petani yang mengikutinya. Kakakar. Alat sejenis garu untuk menarik sisa-sisa rumput/gulma yang telah dipotong dengan alat tajak agar proses pembusukannya berlangsung sempurna Sawit dupa. Singkatan dari satu kali mewiwit (menanam) dua kali panen, yang artinya penyemaian padi unggul dan lokal dilakukan serentak sehingga lahan dapat ditanami dua kali setahun dengan padi lokal dan padi unggul. Sundak. Alat tradisional yang berfungsi untuk menggali tanah di lahan rawa pasang surut Tabat. Bendungan sederhana yang dibangun pada handil atau anak sungai untuk menahan agar air hujan tidak keluar(tipe C dan D) dan sekaligus menahan masuknya air asin (tipe A) agar tidak masuk ke areal persawahan. Tajak. Alat pengolahan tanah tradisional, sejenis parang tetapi pada bagian ujungnya diberi tangkai agak panjang yang membengkok ke atas sebagai pegangan. Prinsip kerja alat tajak ini adalah memotong atau memangkas rumput-rumputan, gulma maupun sisa tanaman padi tahun sebelumnya dengan mengupas tipis lapisan tanah (kurang dari 5 cm) Tatajuk/tutujah. Alat bantu dalam kegiatan tanam yang berfungsi membantu membuat lubang agar bibit mudah ditancapkan di tanah. Tembokan atau Surjan. Bagian lahan di persawahan yang ditinggikan dengan cara menimbun tanah berbentuk memanjang di persawahan. Tukungan. Bagian lahan di persawahan yang ditinggikan dengan tanah dan berbentuk bundaran (diameter 1-2 meter)
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan di Indonesia telah banyak membawa perubahan dalam kemajuan kehidupan masyarakat, terutama di pedesaan. Berkembangnya sarana infrastruktur perekonomian, transportasi, komunikasi, industri dan infrastruktur pembangunan lainnya menjadi bukti keberhasilan pembangunan.
Khusus di sektor pertanian, kemajuan yang dicapai dalam
peningkatan produksi telah membawa Indonesia menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhan pangan utamanya, yakni beras pada tahun 1985 dari sebelumnya sebagai pengimpor beras terbesar di dunia. Walaupun kemudian prestasi besar ini tidak bisa dipertahankan dan Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras. Pembangunan pertanian, terutama di wilayah pedesaan berimplikasi terhadap berbagai perubahan sosial terutama dengan adanya pengembangan mekanisasi dan modernisasi pertanian.
Menurut Abbas (1999), walaupun
pengembangan teknologi modern melalui revolusi hijau di bidang pertanian memberikan dampak terhadap peningkatan produksi tetapi juga memunculkan dampak ikutan lainnya.
Dampak ikutan tersebut meliputi aspek ekonomi
(struktur biaya dan risiko yang tinggi), keadilan (ketimpangan dalam penerimaan keuntungan relatif antar golongan petani), kesempatan kerja (pengurangan kesempatan kerja karena mekanisasi), konsumsi energi yang meningkat (peningkatan sarana produksi), dan kerusakan ekologi. Bahkan menurut Fakih (2000), revolusi hijau dinilai selain berdampak buruk terhadap lingkungan secara terselubung bersifat hegemoni kapitalistik yang mengarah kepada pemiskinan masyarakat petani. Begitu juga dengan Sutanto (2001), yang menganggap revolusi hijau telah mereduksi sistem pertanian tradisional dan mengubur pengetahuan lokal yang bernuansa ramah lingkungan. Kondisi ini menunjukkan bahwa dampak yang terjadi merambah luas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di pedesaan. Penggunaan bahan-bahan kimia berupa pupuk anorganik dan pestisida yang merupakan andalan utama dalam revolusi hijau selain benih unggul ternyata kini disadari merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan degradasi lahan pertanian. Bahkan dalam konteks yang lebih luas lagi
2 menurut Goldsmith (1996), kerusakan lingkungan dan sumberdaya pertanian, erosi lahan, pencemaran bahan kimia, kerusakan keanekaragaman genetika, ledakan serangan hama penyakit serta penurunan produktivitas padi merupakan dampak akibat pengembangan pertanian modern.
Hasil penelitian Prasodjo
(2005) tentang pengetahuan lokal masyarakat di DAS Citanduy menunjukkan bahwa pada beberapa desa yang menerapkan pola pertanian sawah dengan teknologi revolusi hijau dan orientasi pasar atau ekonomi semata ternyata telah menimbulkan dampak ekologis dan sosial.
Dampak ekologis berupa
menurunnya keamanan ekologis seperti kesuburan tanah yang berkurang, ledakan hama dan penyakit tanaman, erosi, longsor dan penurunan kualitas air sungai. Dampak sosial yang muncul adalah hilangnya ketahanan pangan akibat penurunan keanekaragaman hayati, ketergantungan dengan input produksi dari luar dan gagal panen. Dampak sosial lainnya berupa lunturnya ikatan sosial dan tradisi pertanian karena kuatnya intervensi industri benih, pupuk, pestisida, dan alat pengolahan tanah. Selain berdampak buruk terhadap kondisi lingkungan, penggunaan bahan kimia berupa pupuk buatan juga memiliki batas-batas untuk mampu meningkatkan produktivitas pertanian padi. Hasil kajian Darwis (2007) di Desa Growok Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro menunjukkan bahwa produktivitas padi yang rendah (rata-rata 4,38 ton/ha pada musim hujan dan 2,68 ton/ha pada musim kemarau, sedangkan produktivitas normal 6-7 ton/ha pada musim hujan dan 4-5 ton/ha pada musim kemarau) salah satunya karena penggunaan pupuk kimia (Urea: 356 kg, TSP: 214 kg dan ZA: 189 kg per hektar) yang jauh di atas rekomendasi pemupukan berimbang (Urea: 300 kg, TSP: 150 kg, dan ZA: 100 kg per hektar). Di Kalimantan Selatan, program revolusi hijau ini dilaksanakan seiring dengan program nasional dalam rangka peningkatan produksi padi. Tanaman padi adalah komoditas pertanian pangan utama di Kalimantan Selatan dan merupakan bahan pangan utama serta menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga sebagian besar masyarakat pedesaan.
Areal persawahan di
Kalimantan Selatan pada tahun 2007 seluas 660.893 ha atau sekitar 17,61% dari luas wilayah Kalimantan Selatan. Jenis sawah yang diusahakan berupa sawah berpengairan (teknis, setengah teknis, sederhana dan non PU), sawah tadah hujan, sawah pasang surut, sawah rawa lebak, polder dan lainnya.
3 Sawah rawa pasang surut luasnya mencapai 196.419 hektar atau sekitar 29,60% dari luas sawah di Kalimantan Selatan. Lahan jenis ini merupakan tipe lahan yang khas yang memerlukan pengelolaan khusus karena sifatnya yang sangat rentan terhadap kerusakan (fragile). Tipe lahan ini terutama terdapat di wilayah Kabupaten Barito Kuala 106.629 hektar (54,29%), Kabupaten Banjar 36.088 hektar (18,37%), Kabupaten Tapin 25.380 hektar (12,92%), sedangkan sisanya 28.322 hektar (14,42%) terdapat di kabupaten lainnya (BPS Kalsel 2009). Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk kegiatan pertanian di Kalimantan Selatan oleh petani banjar telah dimulai sejak tahun 1900 (Sutikno dan Noor 1998). Kegiatan pertanian di lahan rawa pasang surut ini dilakukan dengan sistem tradisional melalui pengaturan tata air. Reklamasi lahan rawa pasang surut menjadi lahan pertanian yang dikembangkan oleh petani Banjar merupakan bentuk adaptasi kehidupan mereka terhadap kondisi lingkungan yang ada. Melalui pengalaman dan pengetahuan lokal (local knowledge) yang mereka miliki
petani Banjar menerapkan sistem pertanian yang disesuaikan
dengan kondisi lahan yang ada. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Soetomo (1997), bahwa perkembangan teknik bertani pada masyarakat tradisional merupakan hasil proses belajar secara alamiah dari mereka sendiri. Alam dan lingkungan berkembang menjadi guru yang baik bagi masyarakat setempat untuk terus mencari cara merekayasa hambatan-hambatan dan potensi yang ada di sekitarnya. Para petani lokal yang umumnya dari suku Banjar telah memiliki pengalaman selama ratusan tahun dalam mengelola dan mengembangkan lahan rawa pasang surut untuk keperluan pertanian. Pengelolaan lahan rawa pasang surut diarahkan untuk menjaga keseimbangan dan keserasian antara sistem lingkungan biofisik dengan sistem lingkungan sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Sistem biofisik lahan rawa pasang surut dikelola melalui nilai-nilai budaya yang berlaku dan menghasilkan pengetahuan spesifik lokal tentang lahan rawa pasang surut. Sistem pertanian lahan rawa pasang surut ini dikembangkan selaras dengan kondisi lahan rawa pasang surut yang bersifat khas dan rentan (fragile).
Hasil penelitian Supriyono dan Jumberi (2007)
menunjukkan bahwa pengelolaan lahan rawa pasang surut dengan sistem surjan yang dilakukan petani merupakan akumulasi dari pengalaman dan pemahaman mereka tentang ketersediaan air dan topografi wilayah pasang
4 surut. Sistem surjan ini juga memungkinkan petani melakukan diversifikasi antara tanaman padi dengan tanaman keras seperti rambutan, mangga, atau jeruk. Oleh karena itulah dalam pandangan Hardiyoko dan Saryoto (2005), sistem pertanian tradisional ini mendasarkan diri pada pengetahuan tentang ekosistem pertanian mikro, di mana kondisi lahan pertanian suatu daerah selalu memiliki keistimewaan sendiri. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, keperluan akan lahan pemukiman dan pertanian pun semakin bertambah. Pengembangan dan reklamasi lahan rawa pasang surut saat ini tidak hanya dilakukan oleh petani Banjar secara tradisonal saja, tetapi juga oleh pemerintah untuk keperluan pemukiman transmigrasi. Reklamasi lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan untuk keperluan transmigrasi sudah dirintis sejak masa pemerintahan orde lama sekitar tahun 1962, dan dilanjutkan oleh pemerintahan orde baru secara intensif pada tahun 1970-an hingga saat ini. Reklamasi dan pengembangan lahan rawa pasang surut yang dilakukan secara besar-besaran dan dalam waktu yang relatif singkat menyebabkan terjadinya perubahan secara drastis pada ekosistem lahan rawa pasang surut.
Menurut Dahuri (1997), jika
dikaji secara holistik dampak negatif proyek ini adalah menurunnya nilai dan fungsi ekonomis maupun ekologis dari ekosistem lahan basah rawa gambut yang
sangat
bermanfaat
bagi
kehidupan
manusia.
Kasus
Proyek
Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah merupakan contoh kerusakan ekosistem akibat eksploitasi besar-besaran tanpa memperhatikan keterbatasan dan karakteristik khas dari lahan rawa pasang surut terutama tanah gambut yang sangat peka terhadap perubahan yang drastis. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan produksi padi sebagai bagian dari program nasional sering tidak sejalan dengan kondisi wilayah spesifik yang ada. Pembukaan areal lahan pasang surut secara besarbesaran yang diintegrasikan dengan program transmigrasi justru berakibat buruk terhadap degradasi lingkungan.
Bahkan beberapa lokasi unit pemukiman
transmigrasi di lahan pasang surut banyak yang mengalami kegagalan. Sebanyak lima dari enam UPT Galam Rabah di Kabupaten Banjar tingkat huniannya rata-rata kurang dari 30% setelah satu tahun ditempatkan (Wuriati 2005).
Pada lokasi lainnya di UPT Barambai Kabupaten Barito Kuala, Wahyu
(2001) menyatakan bahwa transmigran yang meninggalkan lokasi transmigrasi
5 terkait dengan kegagalan dalam pengembangan sawah pasang surut dan kualitas lahan yang rendah.
Periode tahun 1969-1973 telah ditempatkan
sebanyak 160 KK transmigran dari etnis Sunda di lahan rawa pasang surut Barambai, dan pada tahun 1999 yang masih bertahan hanya sebanyak 15 KK. Pembukaan lahan rawa pasang surut yang diintegrasikan dengan program transmigrasi ini semuanya mengalami kegagalan terutama dalam pengembangan
pertaniannya.
Terdapat
beberapa
lokasi
pemukiman
transmigrasi di lahan rawa pasang surut (seperti UPT Danda Jaya, UPT Tarantang, dan beberapa UPT lainya di Kabupaten Barito Kuala) yang berhasil mengelola lahan tersebut untuk keperluan pertanian. Walaupun demikian, pada tahap-tahap awal penempatan mereka banyak menemui kendala dan hambatan teknis terkait dengan sistem pengelolaan air dan sifat fisik tanah yang khas. Usaha yang gigih dan belajar dari pengalaman petani setempat dalam mengelola lahan rawa pasang surut merupakan kunci sukses keberhasilan para transmigran di wilayah ini (Hidayat 2000). Pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat terutama dalam bidang pertanian terbukti telah membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi mereka. Produktivitas padi di lahan rawa pasang surut tipe A ratarata mencapai 3,1 ton/ha, tipe B mencapai 2,5 ton/ha dan di tipe C rata-rata hanya
1,8
ton/ha
(Hidayat
2000).
Berdasarkan
analisis
Rina Y
dan
Noorginayuwati (2007), tentang usahatani padi di lahan rawa pasang surut bergambut, rata-rata produktivitas padi lokal
sebesar 1,8 ton/ha dengan
keuntungan Rp 1.270.000/ha (nilai R/C 1,38) dan padi unggul 2,3 ton/ha dengan keuntungan rata-rata Rp 1.144.743/ha (nilai R/C 1,32). Selain itu pengembangan sistem tukungan dan surjan dengan penerapan sistem tumpang sari padi dengan tanaman hortikultura seperti jeruk, rambutan atau mangga di lahan rawa pasang surut ternyata mampu meningkatkan pendapat petani secara signifikan (Rasmadi 2007;
Noor et.al. 2007).
Walaupun secara nasional tingkat
produktivitas ini tergolong rendah, tetapi jika ditinjau dari aspek kondisi lahannya yang bersifat marjinal kondisi ini justeru menunjukkan bahwa dengan segala keterbatasan
sumberaya
alam
yang
ada,
petani
setempat
mampu
memanfaatkannya untuk keberlanjutan kehidupan mereka. Kondisi biofisik lahan rawa pasang surut yang spesifik dan sistem sosial masyarakat yang mengembangkan pengetahuan lokalnya dalam mencapai keselarasan hidup dengan alam ini penting untuk dikaji terutama dalam konteks
6 era globalisasi.
Hal ini juga terkait dengan eksistensi pengetahuan lokal itu
sendiri ketika sains dan teknologi modern dalam bidang pertanian dianggap sebagai jawaban atas permasalahan pangan umat manusia saat ini dan di masa mendatang. 1.2
Perumusan Masalah Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat berkembang sebagai
proses adaptif terhadap kondisi lingkungan sekitar. Lahan rawa pasang surut yang dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan pertanian berpengaruh terhadap pembentukan sistem pengetahuan mereka. Melalui pengalaman dan berbagai percobaan yang bersifat trial and error mereka akhirnya mampu menyesuaikan dengan kondisi spesifik tersebut. Kemampuan adaptasi terhadap kondisi setempat membuat pengetahuan lokal ini mampu bertahan dalam kehidupan petani di pedesaan Kalimantan Selatan. Sifat spesifik lahan lahan rawa pasang surut yang memerlukan penanganan khusus serta varietas padi yang adaptif untuk kondisi tersebut telah menjadikan pengetahuan lokal tersebut sebagai aset yang sangat berharga dalam praktik-praktik pertanian padi di pedesaan Kalimantan Selatan. Sistem pertanian yang didasarkan atas pengetahuan lokal ini terbukti ramah lingkungan dan mampu menjaga kestabilan ekosistem di lahan rawa pasang surut, tetapi dari sisi produktivitas padi yang dihasilkan masih tergolong rendah (berkisar antara 1,8-3,1 ton/ha).
Seiring dengan meningkatnya
pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan pangan, terutama yang berasal dari padi mendorong pemerintah memacu produksi padi di lahan-lahan marjinal seperti lahan rawa pasang surut melalui perluasan areal dan peningkatan produktivitas. Introduksi teknologi pertanian modern yang dilakukan ternyata berdampak terhadap kerusakan ekologis dan sosial. Penggunaan bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida serta mekanisasi dan pengolahan tanah yang tidak sesuai dengan kondisi spesifik lahan rawa pasang surut ternyata berdampak terhadap degradasi lahan dan kerusakan ekosistem lahan rawa pasang surut.
Dampak negatif yang lebih
mengkhawatirkan justru terjadinya pada sistem sosial petani itu sendiri. Pertanian modern ternyata menuntut input produksi dan modal usaha yang tinggi agar hasil yang dicapai juga tinggi. Padahal, petani umumnya memiliki keterbatasan dalam penyediaan dana segar untuk membeli berbagai sarana
7 produksi yang memang tidak bisa mereka buat atau ciptakan sendiri (seperti pupuk organik, pestisida dan benih unggul). Introduksi berbagai benih varietas unggul nasional yang dianggap memiliki potensi produktivitas tinggi untuk menggantikan varietas lokal ternyata bukan hanya berdampak pada perubahan sistem pengelolaan sawah di lahan rawa pasang surut tetapi juga berbagai pengetahuan lokal masyarakat yang terbukti mampu beradaptasi dengan kondisi spesifik tersebut.
Hilangnya
sejumlah varietas lokal yang adaptif terhadap kondisi lingkungan setempat serta pengetahuan petani tentang varietas tersebut dan teknik budidayanya merupakan kehilangan yang besar dalam hal pengetahuan lokal. Menurut Noor (2004) jumlah varietas padi lokal di lahan rawa pasang surut mencapai ratusan, tetapi kini varietas lokal yang masih ditanam hanya seperti Siam, Unus, Pandak, dan Bayar.
Dengan kata lain, introduksi sistem pertanian modern yang
berbasiskan bahan-bahah kimia dan mekanisasi pertanian telah mengancam eksistensi pengetahuan lokal yang telah menyatu dalam sistem sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut. Di sisi lain, pengetahuan lokal juga memiliki keterbatasan dalam menghadapi tantangan globalisasi, tekanan penduduk dan peningkatan kebutuhan masyarakat. Hanya berharap dengan pengetahuan lokal saja untuk pengembangan pertanian bukanlah hal yang dapat menyelesaikan semua permasalahan tersebut. Menurut Durning (1995), pengetahuan lokal ini juga bersifat rawan terhadap tekanan-tekanan ekonomi, teknologi modern yang merambah cepat, serta pertumbuhan penduduk yang cepat. Ini berarti diperlukan suatu model kombinasi antara pengetahuan lokal dengan sains dalam suatu perpaduan yang harmonis dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pengembangan sains di bidang pertanian pada lahan rawa pasang surut seyogyanya dikembangkan dari sistem pengetahuan lokal masyarakat setempat. Pengembangan sistem tata air mikro untuk mengatasi kemasaman tanah yang tinggi pada lahan rawa pasang surut merupakan salah satu bentuk pengembangan sains dengan mengadopsi sistem pengairan sawah yang dilakukan petani Banjar di lahan rawa pasang surut (sistem tata air mikro H. Idak).
Oleh karena itulah pertanyaan mendasar dalam penelitian ini adalah:
”Bagaimana eksistensi pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut ketika berkontestasi dengan sains yang menjadi basis dalam
8 pertanian modern saat ini?” Untuk menelaah permasalahan ini maka disusun pertanyaan penelitian yang bersifat khusus, yakni : 1.
Bagaimana komunitas petani padi sawah di lahan rawa pasang surut mengembangkan sistem pengetahuan lokal dari dulu hingga sekarang terutama dalam menghadapi era modernisasi pertanian?
2.
Bagaimana terjadinya proses kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal komunitas petani padi sawah di lahan rawa pasang surut?
3.
Bagaimana sistem sosial merespon terjadinya kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis eksistensi pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut ketika berkontestasi dengan sains yang menjadi basis dalam pertanian modern saat ini.
Secara spesifik
tujuan yang ingin dicapai adalah : 1.
Menganalisis sejarah pengembangan sistem pengetahuan lokal, termasuk sejarah lokal perkembangan pertanian padi sawah di lahan rawa pasang surut.
2.
Menganalisis proses kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal.
3.
Menganalisis respon sistem sosial terhadap kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal.
1.4 Manfaat Penelitian Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu sosiologi, khususnya menyangkut pengetahuan lokal dan kontestasinya dengan sains dalam sistem sosial komunitas petani padi di lahan rawa pasang surut. Manfaat secara praktis dari penelitian ini terutama dalam peningkatan
kesejahteraan
petani
padi
melalui
upaya
pengetahuan lokal dan sains di bidang pertanian. kelembagaan
yang
adaptif
diharapkan
dapat
pengembangan
Sistem sosial dan
menjadi
media
menjembatani kontestasi antara pengetahuan lokal dengan sains.
dalam Bagi
pemerintah, pengembangan sains yang didasarkan atas pengetahuan lokal masyarakat setempat diharapkan dapat mempercepat upaya peningkatan
9 produksi padi dalam mengatasi tantangan kebutuhan pangan yang semakin meningkat. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Untuk memfokuskan analisis dan pembahasan dalam studi pengetahuan lokal petani yang memiliki dimensi luas, maka ditetapkan batas-batas analisis sebagai berikut : 1.
Pengetahuan lokal petani yang dikaji meliputi pengelolaan lahan rawa pasang surut untuk kegiatan pertanian dalam arti luas.
2.
Secara spesifik, kasus ini mengkaji pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut pada empat tipe luapan air pasang, yakni lahan rawa pasang surut tipe A, B, C dan D.
3.
Modernisasi pertanian mencakup berbagai program pemerintah untuk mengembangkan usahatani padi di lahan rawa pasang surut yang terutama kegiatan intensifikasi pertanian melalui teknologi benih unggul dan mekanisasi pertanian.
1.6 Kebaruan (Novelty) Kebaruan dari penelitian ini menyangkut topik dan metode penelitian yang digunakan. Topik penelitian tentang proses pembentukan pengetahuan lokal petani serta kontestasinya dengan sains di bidang pertanian, khususnya di lahan rawa pasang surut belum pernah dilakukan. pengetahuan
lokal
ini
dianalisis
hingga
Proses pembentukan
membentuk
sebuah
anatomi
pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat petani di lahan rawa pasang surut. Kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal memberikan analisis kritis tentang eksistensi pengetahuan lokal dalam menghadapi era modernisasi dan globalisasi saat ini.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan hanya
terbatas pada identifikasi bentuk-bentuk kearifan lingkungan dalam praktikpraktik pertanian di lahan rawa pasang surut seperti disajikan pada Tabel 1. Penelitian Shohibuddin (2003) berupaya untuk mencermati secara induktif dinamika sosi-kultural pada masyarakat Toro sepanjang proses artikulasi kearifan tradisional merka dalam pengelolaan sumberday alam. Khusus untuk menggambarkan tentang bentuk-bentuk pengetahuan lokal dalam pelestarian lingkungan hidup pada masyarakat pesisir
diungkapkan melalui penelitian
Yorisetou (2003 ) yang dilakukan di peisisir Teluk Tanah Merah Kabupaten
10 Jayapura Provinsi Papua. Penelitian tentang pengetahuan lokal juga dilakukan oleh
Prasodjo
(2005)
yang
mencoba
menganalisis
kaitannya
dengan
tatapemerintahan dan desentralisasi perngelolaan sumberdaya alam. Penelitian di wilayah lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dilakukan oleh A. Jumberi dan A. Supriyo (2007) terkait dengan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam budidaya padi serta penelitian Noorginayuwati, A.Rafieq, M.Noor, dan A. Jumberi
tentang karifan budaya lokal dalam pemanfaatan gambut untuk
pertanian. Penelitian yang dilakukan ini juga terkait erat dengan yang telah penulis teliti pada tahun 2000 yang memfokuskan pada bentuk-bentuk kearifan budaya dan analisis tingkat pengelolaan lingkungan hidup oleh petani suku Banjar di lahan rawa pasang surut Kabupaten Barito Kuala. Tabel 1. Topik dan paradigma penelitian yang digunakan dalam beberapa penelitian terkait dengan pengetahuan lokal Pendekatan paradigma Postpositivis
Peneliti
Tahun Topik
Taufik Hidayat
2000
Kearifan budaya dalam pengelolaan LRPS
M. Shohibuddin,
2003
Artikulasi kearifan tradisional dalam pengelolaan SDA
Konstruktivis
W. Yorisetou
2003
Bentuk pengetahuan lokal masyarakat pesisir
Konstruktivis
N.W Prasodjo
2005
Pengetahuan lokal kaitannya dengan tatapemerintahan dan desentralisasi pengelolaan SDA
Konstruktivis
Agus Supriyo dan Achmadi Jumberi
2007
Bentuk-bentuk kearifan budaya lokal dalam budidaya padi di lahan rawa paang surut
Konstuktivis
Noorginayuwati, A.Rafieq, M.Noor, dan A. Jumberi
2007
Kearifan budaya lokal dalam pemanfaatan gambut
Konstuktivis
Pada aspek metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan paradigma teori kritis untuk menganalisis kontestasi antara pengetahuan lokal dan sains.
Melalui analisis dengan paradigma teori kritis bukan hanya mampu
memahami realitas yang ada tetapi sekaligus juga proses emansipasi yang mampu membuka selubung dominasi dalam kehidupan masyarakat di lahan rawa pasang surut.
Penelitian-penelitian yang lain umumnya menggunakan
pendekatan paradigma postpositivis dan konstruktivis.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Sistem Sosial dengan Ekosistem Hubungan manusia dengan alam terbentuk sebagai upaya manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup dan mempertahankan eksistensinya melalui eksploitasi terhadap alam. Eksploitasi atas sumberdaya alam ini telah berlangsung selama ribuan tahun, dan manusia dengan kemampuan ilmu pengetahuannya juga semakin merasa berkuasa atas alam.
Pada kondisi
seperti ini berkembanglah hubungan dominasi manusia atas alam dan sebagai penyedia segala kebutuhan manusia alam dianggap tidak memiliki otonomi sedikitpun untuk mengatur dirinya sendiri.
Bahkan pada perkembangan
selanjutnya manusia semakin berupaya untuk meningkatkan dominasinya terhadap alam.
Meningkatnya berbagai kerusakan dan bencana alam yang
mengancam eksistensi kehidupan umat manusia telah memunculkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
Pandangan bahwa
lingkungan juga mempunyai hak-hak untuk mengatur hidupnya sendiri dan eksploitasi yang berlebihan terhadap alam justeru dapat berdampak negatif bagi semua kehidupan mendorong berkembangnya pandangan ecocentric globality. Pandangan ini menganggap perlunya upaya-upaya mempertahankan bumi tanpa kompromi dari aktivitas degradatif yang berlanjut (Duarte 2001). Eksploitasi yang berlebihan ini ternyata telah membawa dampak yang semula tidak diperhitungkan secara cermat. Degradasi sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana bahkan dalam lingkup global (seperti perubahan iklim global yang mengiringi proses deforestrasi, dan pencemaran udara lainnya) telah mengancam kehidupan umat manusia. Oleh Moran (2006), kondisi seperti ini terjadi karena adanya pandangan manusia yang salah tentang alam, perubahan perilaku konsumsi serta perubahan pola hidup. Dalam konteks etika ekologi, semua makhluk memiliki hak-hak hidup yang sama.
Oleh karena itu keseimbangan lingkungan merupakan konsep
filosofis penting dalam menciptakan keberlanjutan kehidupan semua makhluk di bumi ini. Ini membuktikan bahwa bagaimanapun manusia sebagai bagian dari ekosistem memiliki ketergantungan dengan komponen ekosistem yang lain. Bahkan dalam konteks yang lebih luas lagi menurut Gonese dalam Millar, (2004)
12 manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling tinggi kedudukannya di muka bumi ini mempunyai kewajiban utama untuk menjaga kelestarian ekosistem tersebut. Terkait dengan adanya dikotomi antara masyarakat modern dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, masyarakat lokal dianggap lebih mengetahui kondisi lingkungannya secara lebih baik. Mereka mengatur dan mengelola alam dengan cara yang mereka anggap sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka menggunakan rasionalitas dengan caranya sendiri yang dalam pandangan masyarakat modern sering dianggap tidak rasional. Dalam pandangan mereka terdapat hubungan saling ketergantungan antara manusia dan alam/lingkungan dan menganggap bahwa alam merupakan dunia kehidupan bagi mereka, sehingga merusak alam berarti merusak kehidupan mereka (Little 2000).
Oleh karena itu
dalam segala
tindakannya selalu mengarah pada strategi bertahan hidup dan hidup selaras dengan alam. Pemaknaan terhadap alam dengan cara demikian melahirkan bentuk pengetahuan yang disebut pengetahuan lokal (local knowledge).
2.2 Sistem Sosial dan Ekosistem Petani Lahan Rawa Pasang Surut Lahan rawa pasang surut merupakan wilayah yang tergenang dan berhubungan dengan adanya pengaruh pasang surut tinggi muka air laut. Lahan rawa pasang surut umumnya berada pada daerah dataran, dimana air pasang surut masih cukup mempunyai pengaruh terhadap tinggi rendahnya permukaan air di daerah tersebut (Suhardjono 1994).
Widjaja Adhi (1986)
mengelompokkan lahan pasang surut menjadi empat tipologi utama menurut macam dan tingkat masalah fisiko-kimia tanahnya, yaitu : (1) lahan potensial, (2) lahan sulfat masam (bisa berupa sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual, (3) lahan gambut (bisa berupa lahan bergambut, gambut dangkal, gambut sedang, gambut dalam dan gambut sangat dalam), dan (4) lahan salin. Selain pembagian menurut tipologi di atas, lahan rawa pasang surut juga dibedakan menurut tipe luapan airnya. Berdasarkan tipe luapan atau jangkauan air pasang, lahan rawa pasang surut dibedakan menjadi empat tipe, yakni (Suhardjono 1994; Noor 1996): a) Tipe A , yakni lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pasang besar (spring tide) maupun pasang kecil (neap tide)
13 b) Tipe B, yakni lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar. c) Tipe C, yakni lahan yang tidak pernah terluapi walaupun pasang besar. Air pasang mempengaruhi secara tidak langsung, air tanah berada dekat permukaan tanah kurang dari 50 cm. d) Tipe D, yakni lahan yang tidak terluapi air pasang dan air tanah lebih dalam dari 50 cm dari permukaan tanah. Menurut Noor (1996) hampir semua lahan rawa pasang surut yang terdapat di Kalimantan, Sumatera, dan Irian Jaya mempunyai faktor pembatas berupa kendala tata air yang sukar dikendalikan dan tingkat kesuburan lahan yang rendah. Sifat kimia tanah berupa kemasaman tanah yang tinggi (pH 3,0 4,5), kahat hara makro, pada lahan gambut kahat hara mikro (Cu dan Zn), adanya ion atau senyawa yang meracuni (Al, Fe, dan SO4), dan bahan organik atau gambut yang mentah merupakan faktor yang menghambat bagi pertumbuhan tanaman.
Kendala dan faktor pembatas ini berupa tata air yang
sukar dikendalikan dan tingkat kesuburan lahan yang rendah akibat adanya tanah sulfat masam dan gambut (Sarwani 1994; Noor 1996; Widjaya Adi 1997). Karena itulah, memanfaatkan lahan rawa pasang surut untuk kegiatan pertanian membutuhkan ketekunan dan usaha yang sungguh-sungguh. Pemanfaatan lahan rawa pasang surut
untuk kegiatan pertanian
merupakan salah satu bentuk adaptasi masyarakat petani terhadap kondisi biofisik lahan rawa pasang surut yang spesifik. Proses ini telah berlangsung selama ratusan tahun dan telah melembaga dalam kehidupan sosial masyarakat petani di lahan rawa pasang surut.
Melalui pengalaman dan berbagai uji coba
(trial and error) dalam menangani kendala dan keterbatasan lahan rawa pasang surut, para petani mampu memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya dan hidup selaras dengan alam.
Petani setempat juga mengembangkan kelembagaan
sosial spesifik sebagai bentuk adaptasi sistem sosial dengan ekosistem terutama dalam upaya mengatasi kendala pengaturan tata air. Kondisi seperti inilah yang digambarkan oleh Marten (2001) sebagai bentuk koadaptasi (fitting together) antara sistem sosial dengan ekosistem. Pada tahapan lebih lanjut penyesuaian-penyesuaian kedua subsistem ini akan menciptakan mekanisme koevolusi, yakni suatu bentuk perubahan bersama (changing together). Terjadinya perubahan-perubahan pada ekosistem lahan rawa pasang surut oleh aktivitas manusia yang merubahnya menjadi lahan pertanian diikuti dengan pembentukan kelompok-kelompok petani yang
14 menyesuaikan dengan kondisi spesifik lahan rawa pasang surut. Terbentuknya kelompok handil merupakan bentuk adaptasi sistem sosial agar mereka mampu menjalin kerjasama dalam mengelola lahan tersebut. Kelompok petani yang tergabung dalam suatu handil ini selanjutnya berkembang sebagai sebuah kelembagaan sosial yang bukan hanya mengatur aspek-aspek teknis dalam bidang pertanian, tetapi juga nilai dan norma kehidupan petaninya. Koadaptasi antara sistem sosial dengan ekosistem lahan rawa pasang surut juga terlihat dalam model pengelolaan lahan yang berbeda pada masingmasing tipe luapan lahan. Pengembangan pola usahatani yang mengarah pada sistem tanaman campuran antara padi dengan tanaman tahunan (multiple cropping)
dengan
sistem
surjan
(tembokan)
merupakan
suatu
bentuk
pengetahuan mereka dalam upaya mengurangi resiko kegagalan dalam usahatani.
Sistem tanaman campuran antara padi dengan tanaman kelapa
merupakan model dominan di lahan rawa pasang surut tipe A, sedang di tipe B dan C tanaman tahunannya seperti jeruk, rambutan dan mangga (Hidayat 2000; Suhardjono 1994). Faktor
lainnya
menyangkut
penanganan
gambut,
kandungan bahan organik tinggi dan selalu dijenuhi air.
yang
memiliki
Gambut memiliki sifat
khas yakni ’kering tak balik’ dan penyimpan air yang besar. Artinya apabila terjadinya drainase berlebihan akan menyebabkan hilangnya kemampuan daya dukung gambut bagi pertanian dan sebagai penyuplai air yang besar bagi pertanian sekitarnya (Hardjowegeno 1997; Azwar 1997). Berdasarkan hal ini, petani setempat sangat berhat-hati dalam menangani lahan yang mengandung gambut dan tidak melakukan pembakaran habis lapisan gambut tersebut. Pengelolaan lahan sawah dilakukan dengan menanam padi lokal yang toleran dan telah beradaptasi dengan kondisi ekosistem setempat. Padi varietas lokal ini umumnya berumur panjang (9-11 bulan) dan produksi yang relatif rendah (2-3 ton/ha) tetapi rasa nasinya sesuai dengan selera masyarakat setempat. Padi variteas lokal ini umumnya tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif dan kurang responsif terhadap pemupukan sehingga petani memiliki banyak waktu luang serta biaya produksi yang relatif rendah. Oleh karena itu tanaman padi umumnya diusahakan secara subsisten dan untuk keperluan uang tunai biasanya diperoleh melalui kegiatan mencari ikan maupun hasil tanaman tahunan atau sumber lain di luar sektor pertanian. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana adaptasi sistem sosial dilakukan masyarakat untuk menjaga
15 kelangsungan hidupnya dalam mengatasi berbagai kendala dan faktor pembatas di lahan rawa pasang surut. 2.3 Pengetahuan Lokal 2.3.1 Makna Pengetahuan Lokal Menurut Forsyth (2004), makna lokal dalam pengertian pengetahuan lokal merujuk pada pengetahuan yang dibatasi ruang dalam suatu wilayah tertentu, atau mungkin juga didasarkan pada aspek budaya dan etnis tertentu. Ini berarti bahwa pengetahuan lokal merupakan sesuatu yang secara khusus terikat dengan orang atau tempat tertentu. Menurut Chamber (1987), pengetahuan lokal sering juga disebut sebagai ilmu rakyat, ethnoscience, ilmu pedesaan, dan ada juga yang menggunakan istilah ilmu pengetahuan teknis asli. Tidak ada definisi tunggal tentang terminologi pengetahuan lokal (local knowledge).
Beberapa ahli memberikan terminologi yang berbeda untuk
menjelaskan definisi ini dan cenderung mengalami perluasan terminologi seperti : pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge), pengetahuan tradisional (traditional knowledge),
pengetahuan teknis yang berasal dari
pribumi (indigenous technical knowledge), sistem pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge system). Beberapa pengertian dari masingmasing terminologi ini antara lain (Muyungi and Tillya 2003) : a. Vlaenderen (1999) menggambarkan indigenous knowledge sebagai suatu koleksi gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi yang digunakan untuk memandu, mengendalikan dan menjelaskan tindakan-tindakan di dalam suatu pengaturan yang spesifik berdasar pada sistim nilai (religi dan kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib) dan epistemologi. Ia selanjutnya juga memberikan tentang pengertian indigenous knowledge system sebagai pengetahuan yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat asli/pribumi dengan cara yang sistematis. b. Brouwer
(1998)
menggambarkan
kemampuan-kemampuan
kuno,
traditional
adat-istiadat
knowledge
yang
asli
dan
sebagai khusus,
konvensi-konvensi dan rutinitas-rutinitas yang mewujudkan suatu pandangan statis dari kultur masyarakat. Traditional knowledge beroperasi pada level praktis tindakan-tindakan yang diulangi yang didasarkan pada pendapatpendapat dan kepercayaan-kepercayaan.
16 c. Kajembe (1999) mendeskripsikan indigenous technical knowledge meliputi pengetahuan tentang perkakas dan teknik-teknik untuk penilaian/penaksiran, kemahiran, perubahan bentuk dan pemanfaatan sumber daya yang spesifik untuk lokasi tertentu. Terkait dengan karakteristik pengetahuan lokal ini, Ellen and Bicker (2005) menyebutkan beberapa hal, diantaranya : a) merupakan sekumpulan pengalaman, dan berakar serta dihasilkan oleh orang-orang yang tinggal pada suatu tempat tertentu b) ditransmisikan secara oral, melalui peniruan dan demontrasi c) merupakan konsekuensi dari praktik langsung dalam kehidupan sehari-hari dan terus menerus serta diperkuat melalui pengalaman dan trial and error d) cenderung empiris daripada pengetahuan teoretis dalam arti sempit. e) pengulangan merupakan ciri khas dari tradisi, bahkan ketika pengetahuan baru ditambahkan. f)
selalu berubah, diproduksi serta direproduksi, ditemukan juga hilang, sering direpresentasikan sebagai sesuatu yang statis
g) bersifat khas h) terdistribusi tidak merata secara sosial i)
bersifat fungsional
j)
holistik, integratif dan terdapat di dalam tradisi budaya yang lebih luas Sistem pengetahuan lokal juga membentuk dasar untuk pengambilan
keputusan,
yang
diterapkan
melalui
organisasi-organisasi
lokal,
dan
menyediakan pondasi bagi inovasi-inovasi dan percobaan lokal. Sistem pengetahuan lokal berupa keterampilan-keterampilan adaptif dari masyarakat setempat, biasanya diperoleh dari pengalaman yang lama, yang sering dikomunikasikan melalui "tradisi-tradisi lisan" dan pembelajaran melalui para anggota keluarga dan generasi ke generasi.
Oleh karena itulah dalam
pandangan Kalland (2005), pengetahuan lokal sebenarnya bukan merupakan mitos, karena juga memiliki sifat sebagai pengetahuan empiris (menyangkut persepsi tentang lingkungan), pengetahuan paradigmatik (pemahaman), dan pengetahuan institusional (keterlekatan dengan institusi sosial). Pengetahuan lokal adalah informasi dasar bagi suatu masyarakat yang memudahkan komunikasi dan pengambilan keputusan. Pengetahuan lokal adalah bagian sistematis dari pengetahuan yang diperoleh oleh masyarakat
17 lokal melalui akumulasi pengalaman-pengalaman informal, dan pemahaman mendalam tentang lingkungan sebagai suatu kultur. Kadang-kadang persepsi tentang pengetahuan lokal ini berbeda dengan orang luar (di luar komunitas bersangkutan).
Menurut
Geertz (2003), bahasa sebagai sistem simbol dan
dialektika diperlukan untuk memahami tentang pengetahuan lokal ini karena pengertian ‘benar’ dan ‘salah’ haruslah dipahami dalam konstruksi kebahasaan mengenai apa yang ‘benar’ dan apa yang disebut ‘salah’ dalam konteks komunitas lokal. Senada dengan hal tersebut Warren dan Rajasekaran (1993), menyatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan sesuatu yang unik yang terdapat dalam suatu kultur atau masyarakat. Dalam konteks antropologi, Wahyu (2007) menggunakan konsep kearifan lokal, yang dalam terminologi budaya dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Dengan kata lain, merupakan pengetahuan lokal yang unik, berasal dari budaya masyarakat setempat serta menjadi dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan lokal meliputi tradisi-tradisi dan praktik-praktik sudah berlangsung lama dan berkembang di wilayah tertentu, asli berasal dari tempat tersebut atau masyarakat-masyarakat
lokal
yang
terwujud
dalam
kebijaksanaan,
pengetahuan, dan pembelajaran masyarakat. Dalam banyak hal pengetahuan lokal ini disampaikan antar generasi secara lisan dari orang ke orang dan dapat berbentuk kisah-kisah, legenda-legenda, dongeng-dongeng, upacara agama, lagu-lagu, dan bahkan hukum. 2.3.2 Perkembangan Pengetahuan Lokal Sifat dinamis pengetahuan lokal yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungannya membuat pengetahuan lokal dapat berkembang dan eksis
dalam
kehidupan
sosial
masyarakat.
Menurut
Sundar
(2005),
pengetahuan lokal bukan merupakan entitas abadi dan stagnan, tetapi mengalami perubahan sesuai dengan kondisi-kondisi material pengetahuan tersebut, perubahan lingkungan di mana mereka berada dan bagaimana mereka menempatkan penggunaannya. Oleh karena itulah Nababan (1995) menyatakan
18 bahwa pengetahuan masyarakat tentang lingkungan lokalnya berkembang dari pengalaman
sehari-hari.
Berdasarkan
sistem
pengetahuan
lokal
ini,
kebudayaan mereka beradaptasi dan berkembang dalam menjawab berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi.
Kedalaman penghayatan masyarakat
tradisional terhadap prinsip-prinsip konservasi alam tercermin dari sistem budaya dan sosial mereka yang memiliki rasa hormat kepada alam sehingga menjadi bagian darinya.
Prinsip ini juga tercermin dalam perangkat sistem
pengetahuan dan daya adaptasi penggunaan teknologi yang sesuai dengan kondisi alam serta nilai distribusi dan pengalokasian hasil alam yang menjamin kepuasan kepada semua pihak tanpa berlebihan. Melalui sifat dinamis dari pengetahuan lokal ini, masyarakat menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan di dalam
lingkungan mereka dan
menyerap dan mengasimilasi
gagasan-gagasan dari bermacam sumber yang berbeda. Pengetahuan lokal berkembang dari kemampuan masyarakat lokal beradaptasi dengan lingkungannya.
Seperti pandangan teori koevolusi
(coevolution) yang menyatakan bahwa pengetahuan lokal mengacu pada proses dinamis dan berkelanjutan dari adaptasi timbal balik antara lingkungan alamiah dan umat manusia. Teori koevolusi menunjukkan bagaimana sistem sosial (terutama sistem pengetahuan), dan ekosistem saling berhubungan, dan bagaimana mereka mempengaruhi satu sama lain (FAO 2004). Terkait dengan koevolusi antara sistem sosial dan ekosistem dari pertanian tradisional ke arah pertanian modern digambarkan oleh Marten (2001) sebagai perubahan bersama (changing together) kedua sub sistem tersebut dalam menanggapi proses modernisasi. Perubahan dalam sistem sosial, terutama pengetahuan lokal masyarakat terjadi sebagai tanggapan atas perubahan pada sistem pertanian, seperti perubahan dari sistem pertanian polikultur menjadi monokultur, skala usaha dan orientasi produksi, mekanisasi, serta pandangan tentang dunia pertanian sebagai sebuah bisnis (agribisnis). Pengetahuan lokal yang dimiliki petani bersifat dinamis, karena itu dapat dipengaruhi oleh teknologi dan informasi eksternal antara lain kegiatan penelitian para ilmuwan, penyuluhan dari berbagai instansi, pengalaman petani dari wilayah lain, dan berbagai informasi melalui media masa.
Meskipun
berbagai teknologi dan informasi masuk ke lingkungannya, tetapi tidak semua diterima, diadopsi dan dipraktikkan oleh petani lokal. Sebagai aktor yang paling mengenal kondisi lingkungan di mana ia tinggal dan bercocok tanam, petani
19 memiliki kearifan (farmer wisdom) tertentu dalam mengelola sumber daya alam. Kearifan inilah yang kemudian menjadi dasar dalam mengadopsi informasi dan teknologi sehingga menghasilkan pengetahuan lokal yang sesuai dengan kondisi pertanian setempat (Mulyoutami dkk. 2007) Pengetahuan lokal merupakan hasil dari proses belajar berdasarkan persepsi petani sebagai pelaku utama pengelola sumber daya lokal. Dinamisasi pengetahuan sebagai suatu proses sangat berpengaruh pada corak pengelolaan sumber daya alam khususnya dalam sistem pertanian lokal (Mulyoutami dkk. 2007).
Banyak praktik sistem pertanian lokal yang dapat memberikan ide
potensial dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya secara lestari. Petani mengembangkan pengetahuan baru dari pengetahuan dasar yang sudah mereka miliki ditambah dengan masukan eksternal. Apabila ada inovasi baru yang diperkenalkan kepada petani, maka mereka akan melakukan serangkaian penelitian sederhana untuk menguji efektivitas dan manfaat dari inovasi baru tersebut. Berdasarkan uji-coba yang mereka lakukan, kemudian mereka membuat keputusan apakah akan menerapkan inovasi baru tersebut atau tidak. Jika hasilnya seperti yang mereka harapkan maka mereka akan mengadopsi pengetahuan tersebut. Untuk memantapkan keberlanjutan pengembangan pengetahuannya,
masyarakat
dapat
menyerap
pengetahuan
luar,
memahaminya, dan menginterpretasikannya serta menyesuaikan dengan kebutuhan lokal dan selanjutnya menghasilkan pengetahuan lokal yang bersesuaian dengan hal tersebut. Oleh karena itu menurut Hans-Dieter Evers dan Gerke (2003), dalam interaksi dengan pengetahuan luar maka akan terjadi penyesuaian dengan persyaratan-persyaratan lokal sehingga menjadi suatu pengetahuan yang dapat diterima oleh masyarakat. Proses ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal bersifat dinamis dan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Di sisi lain, sistem dan kelembagaan sosial dalam kehidupan masyarakat sangat menentukan perkembangan pengetahuan lokal terutama sebagai perwujudan dan eksistensi pengetahuian lokal tersebut dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Yurisetou (2003), kelembagaan lokal ternyata dapat
menjembatani semua kepentingan dalam kehidupan masyarakat lokal. Bahkan peran pengetahuan lokal menjadi lebih efektif jika terdapat kerjasama dari berbagai pihak yang memberi penguatan terhadap peran lembaga adat. Hal ini ditunjukkan oleh Azhari (2006), di mana lembaga ’Tuah Bano Safakat” di
20 Kabupaten Simeulue sebagai sebuah organisasi lokal berfungsi sebagai pengatur masalah pertanian dan mediator antara petani dengan pemerintah untuk mengangkat permasalahan lokal dalam kebijakan pembangunan daerah. Hal ini bertujuan agar pembangunan pertanian yang dilaksanakan sesuai dengan kondisi daerah. Adanya mekanisme kerja yang tumpang tindih antara sistem dan kelembagaan sosial lokal dengan kelembagaan sosial modern, misalnya antara sistem pemerintahan desa dengan pemerintahan adat dapat menyebabkan terjadinya konflik. Menurut Achadiyat (1995), konflik ini dapat dihindarkan melalui penggabungan subsistem-subsistem dalam masyarakat ke dalam suatu kesatuan yang utuh (crafting institutions), yaitu menjalin hubungan sosial menjadi satuan yang utuh.
Upaya-upaya ini dapat berupa penggabungan
institusi-institusi lokal dengan institusi-institusi yang berlaku dalam kehidupan bernegara. Senada dengan hal tersebut, Kusumaatmadja (1995) menyatakan bahwa untuk menjembatani agar pengetahuan lokal masyarakat tersebut dapat berfungsi dalam kehidupan modern salah satunya dengan membuat padanan organisasi-organisasi adat dengan organisasi modern. 2.3.3 Kendala Pengembangan Pengetahuan Lokal Ketika munculnya dikotomi antara tradisional dengan modern, maka sebenarnya terdapat pandangan yang berbeda mengenai alam.
Bagi
masyarakat tradisional umumnya mereka menganut pikiran harmoni dengan alam sekitar, sedangkan masyarakat modern dibentuk oleh jalan pikiran yang menyatakan bahwa manusia mempunyai hak untuk memanipulasikan dan mengubah alam.
Sistem pengetahuan lokal sebagai bagian dalam kehidupan
masyarakat tradisional sering diabaikan atau dianggap jelek perubahan yang mengintrodusir inovasi.
oleh agen
Kepercayaan yang kuat terhadap
keuntungan relatif dari ide baru sering membimbing para teknokrat untuk berasumsi bahwa dalam kenyataan praktis mereka dapat menanggulangi untuk mengatasi berbagai kekurangan tersebut.
Padahal dalam kenyataannya
berbagai inovasi tersebut diambil atau diperoleh dari praktik-praktik dalam kehidupan masyarakat tradisional (Rogers 2003). Adanya
anggapan
yang
membedakan
secara
dikotomi
antara
pengetahuan lokal dengan sains karena adanya beberapa perbedaan
21 karakteristik dasar antar kedua jenis pengetahuan tersebut.
Agrawal (1995)
melihat perbedaan ini baik dari aspek substansi, metodologis dan kontekstual. Secara substansi pengetahuan
lokal dalam kehidupan masyarakat sangat
terkait dengan adaptasi mereka untuk hidup berinteraksi dengan alam dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sedangkan sains lebih menekankan pada konstruksi dan eksplanasi atas fenomena yang terjadi secara global. Secara metodologis jelas tergambar bahwa pengetahuan lokal berkembang melalui pengalaman dan pemahaman terhadap gejala alam sehingga lebih banyak menggunakan cara trial and error dan tidak berdasarkan logika deduktif, lebih holistik daripada analitis, nonsistematis, dan relatif tertutup.
Sains justru
sebaliknya diperoleh melalui kerangka ilmiah yang objektif analitis dan dikembangkan melalui capaian-capaian rigorus sebelumnya, sistematis, dan terbuka. Secara kontekstual pengetahuan lokal sangat terkait dengan kondisi lingkungan sosial biofisik dengan konteks spesifik lokal, sedangkan sains atau sains lebih menekankan pada pengetahuan global dengan batasan-batasan epistemologi dalam mencapai validitasnya secara universal. Pengaruh luar terhadap masyarakat tradisional di Indonesia mencapai puncaknya
ketika
bangsa
Indonesia
menerapkan
pembangunan
yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Menurut Dove (1985), pembangunan di Indonesia diartikan sebagai perubahan yang dikehendaki dan dibutuhkan sehingga apa saja yang dianggap kuno dan tidak mengalami perubahan dengan sendirinya dianggap sebagai keterbelakangan, termasuk kebudayaan tradisional yang dipandang sebagai penghalang proses pembangunan. Pada konteks ini pembangunan diartikan sebagai modernisasi, sehingga semua yang tradisional harus disingkirkan
Padahal menurut Dove (1985), budaya tradisional tidak
harus ditafsirkan sebagai faktor penghambat pembangunan atau modernisasi, tetapi dalam batas-batas tertentu dapat berperan positif untuk mendorong terjadinya laju modernisasi di dalam kehidupan masyarakat Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan terutama pembangunan pedesaan, Narwoko dan Suyanto (2006), menyatakan bahwa kebijaksanaan pembangunan yang lahir dan serba dikendalikan oleh negara, bukan cuma menelikung pranata-pranata komunitas desa yang tradisional, tetapi dalam banyak kasus juga makin menambah beban kemelaratan golongan miskin desa dan mengakibatkan merebaknya polarisasi sosial di kalangan masyarakat desa. Demi efisiensi, stabilitas, dan ketertiban adminsitrasi, modernisasi dan kegiatan
22 pembangunan yang serba sama dan tersentralistik mungkin benar diperlukan untuk mendukung kelancaran tugas birokrasi. Namun campur tangan negara yang cenderung otoriter dan bersifat sangat sentralistis dalam pelaksanaan kebijaksanaan dikhawatirkan di saat yang bersamaan juga akan melahirkan berbagai masalah. Upaya penyeragaman kegiatan pembangunan nasional yang melalaikan eksistensi adat istiadat, kepercayaan, dan budaya lokal cenderung akan menimbulkan ketegangan daripada kelancaran pelaksanaannya. Bahkan menurut Sundar (2005), pengetahuan mereka akan terpinggirkan oleh retorika pembangunan melalui proses sosial ekonomi. Perspektif klasik pembangunan yang mendasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan hanya akan berlangsung kalau masyarakat desa dipenetrasi dari luar, yaitu dari kota, sektor industri atau dari sektor modern lainnya (Maliki 1999). Pembangunan atau modernisasi dalam hal ini dilihat sebagai proses yang berasal dari luar, yakni dari kota atau sektor modern.
Desa digambarkan
sebagai kelompok tradisional sehingga dengan demikian ditempatkan sebagai pihak yang harus menerima kekuatan perubahan.
Masyarakat desa secara
konstan ditempatkan sebagai masyarakat statik, marginal dan didominasi oleh kekuatan negara. Oleh karena itu dalam pandangan Fakih (1995), proses bagaimana modernisasi berhadapan dengan tradisi adalah proses penjinakan dan dominasi. Pembangunan pertanian yang dilaksanakan dalam konteks modernisasi melahirkan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tetapi ternyata juga disertai berbagai persoalan kesenjangan bagi masyarakat di pedesaan. Keberhasilan modernisasi pertanian ternyata tidak banyak dinikmati oleh masyarakat petani di pedesaan, melainkan justru dinikmati oleh mereka yang terlibat proyek industrialisasi substitusi impor (Maliki 1999). Bahkan dalam perkembangannya tidak mengubah bargaining position para petani, baik secara ekonomi maupun politik dan petani tetap saja diposisikan sebagai komunitas statik, tertinggal, tidak siap menerima inovasi. Kendala yang dihadapi dalam perkembangan pengetahuan lokal juga karena terjadinya pemaksaan kepentingan para elit penguasa terhadap kelembagaan yang tumbuh dalam masyarakat petani. Menurut Gany (2002), kehadiran lembaga dan pranata formal yang sebenarnya dimaksudkan untuk membantu mereka, justru akan menumbuhkan dualisme format kelembagaan, tidak jarang saling bertentangan.
Oleh karena itu akibat pendekatan dan
intervensi yang arusnya lebih banyak dari atas, inisitatif petani justru mengalami
23 pemarjinalan. Bahkan Shiva (1997) menyatakan bahwa pengembangan sains di bidang pertanian melalui pembangunan pertanian dengan teknologi modern ternyata bukan hanya mengikis pengetahuan lokal masyarakat tetapi juga memarginalkan kaum perempuan. Hal ini sejalan dengan pandangan Giddens (2003), yang menyatakan bahwa modernitas dapat menghancurkan tradisi. Menurut
Nababan
(1995),
disintegrasi
sosial
dan
budaya
lokal
merupakan masalah yang umum ditemukan sebagai akibat pemaksaan nilai-nilai baru dari luar yang sudah berlangsung lama. Masuknya sistem pemerintahan yang baru di tingkat desa dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa semakin menjauhkan masyarakat dari adatnya. Hukum adat yang dulu sangat efektif mengatur penggunaan sumberdaya alam untuk kepentingan serta menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat menjadi kehilangan kekuatannya.
Sementara itu, sistem dan peraturan-peraturan baru dari
pemerintah belum bisa diterima dan ditegakkan dengan efektif. Terkait dengan kendala yang dihadapi pengetahuan lokal dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi, Blaike (1992) menyebutkan lima keadaan atau goncangan yang sangat menantang dalam penggunaan dan pemeliharaan pengetahuan lokal: (a) wilayah dengan pertumbuhan penduduk tinggi dan diiringi dengan penurunan sumberdayanya akibat tekanan eksternal memerlukan adaptasi khusus teknologi pertanian baru untuk meningkatkan produksi dan keanekaragaman pencarian nafkah; (b) pada keadaan di mana terjadi perpindahan penduduk yang cepat, dapat menyebabkan struktur sosial ekonomi yang membentuk pengetahuan lokal tidak sesuai dengan kondisi lingkungan yang baru; (c) pada keadaan di mana bencana dan kejadian ekstrim lainnya yang secara material dan budaya menghilangkan pengetahuan lokal karena banyak orang yang memiliki pengetahuan lokal meninggal; (d) adanya proses-proses yang secara perlahan bergerak merubah lingkungan (seperti perubahan
iklim),
meluasnya
deforestrasi,
dan
degradasi
lahan)
yang
menantang daya lentur dan kemampuan adaptasi pengetahuan lokal; dan (e) tekanan ekonomi dan komersialisasi yang berlangsung cepat dapat merusak pengetahuan lokal 2.3.4 Perpaduan Pengetahuan Lokal dengan Sains Pengetahuan lokal umumnya digambarkan sebagai romantika masa lalu, sebagai penghambat utama dalam pembangunan, bukan merupakan sebuah isu
24 penting dan bukan sebagai obat mujarab bagi transaksi dengan permasalahanpermasalahan lingkungan yang utama, dan juga bukan sebagai komponen kritis budaya alternatif dalam modernisasi. Oleh karena itu menurut Nygren (1999) dalam pandangan ahli-ahli pembangunan, pengetahuan lokal dianggap penghambat dalam kemajuan, dan penduduk lokal hidup dibatasi oleh gagasan atau pemikiran tradisional mereka. Dalam pandangan Sillitoe (1998), pengetahuan lokal merupakan pengetahuan praktis masyarakat yang diperoleh secara turun temurun dari nenek moyang mereka dan didasarkan atas pengalaman dan pembelajaran terhadap fenomena alam dan melekat dalam kehidupan sosial budaya mereka. Pengetahuan lokal ini bersifat spesifik secara budaya, lokasi geografi, dan sering meliputi regional ekosistem tertentu. Oleh karena itu dalam menyikapi krisis lingkungan dan pembangunan, pengetahuan lokal memiliki keterbatasan dalam memecahkan isu-isu global dan isu lingkungan atau isu pembangunan pada lokasi atau masyarakat yang berbeda. Sistem pengetahuan lokal sangat jarang dijadikan sebagai dasar dalam pertarungannya dengan sains. Masyarakat lokal akan menggabungkan dan menginterpretasi kembali aspek-aspek pengetahuan dan praktik modern ke dalam tradisi mereka sebagai bagian dari proses globalisasi yang sedang berlangsung. Melalui cepatnya perubahan ini dalam jangka panjang sistem pengetahuan lokal ini mengalami proses modifikasi ke arah perpektif ilmiah. Banyak orang menganggap bahwa pengetahuan lokal bersifat tidak logis, tidak ilmiah dan bahkan terkesan sebagai tahayul. Menurut Nygren (1999), hal ini karena pengetahuan lokal tersebut dianggap lahir dari kebiasaan masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam merubah sikap dan budaya (conformism), keterbatasan dalam inisiatif pemecahan masalah (fatalism), keterbatasan responsibilitas dan tergantung dengan pemerintah (parasitism), percaya dengan hal-hal
magis
(irrationalism)
dan
keterbatasan
dalam
pendidikan
(analphabetism). Oleh karena itu dalam pengembangannya pengetahuan lokal ini menurut Sillitoe (1998) memerlukan advokasi melalui peningkatan komunikasi antara ahli ilmu alam, ahli sosial, dan masyarakat lokal.
Dalam pandangan Habermas
pengembangan pengetahuan lokal ini harus dilakukan dengan komunikasi melalui dialog-dialog yang emansipatoris sehingga terwujud masyarakat
25 demokratis radikal, yakni masyarakat yang berinteraksi dalam suasana komunikasi bebas dari penguasaan (Hardiman 1990). Berbeda
halnya
dalam
pandangan
Escobar
(1999),
di
mana
pengetahuan lokal dalam pertarungan politiknya dengan kepentingan kaum kapitalis dan pakar teknologi (scientist) akan membentuk suatu hibrid melalui proses hibridisasi budaya (cultural hybridization). Dengan kata lain masingmasing pihak yang memiliki basis budaya pemikiran dan basis kepentingan yang berbeda
pada akhirnya akan membentuk satu regim politik tunggal menuju
kesatuan pandangan politik tentang alam. Oleh karena itulah dalam pandangan Forsyth (2004), konsep hibridisasi antara pengetahuan lokal dengan sains merupakan pengintegrasian keduanya untuk mencari penjelasan secara lokal terkait dengan permasalahan lingkungan.
Tujuan hibridisasi ini bukan untuk
mengungkap perubahan biofisik secara lengkap, tetapi untuk mengungkapkan seberapa jauh wacana hegemonik permasalahan lingkungan tersebut sesuai dengan pengalaman orang-orang dalam wilayah tertentu. Terkait dengan penerapan sains ke dalam sistem sosial masyarakat yang memiliki pengetahuan lokalnya, Rogers (2003) dalam model adopsi mengemukakan beberapa sifat dari inovasi yang berpengaruh terhadap penerimaan inovasi itu sendiri antara lain
: a) keuntungan relatif (relative
advantage), kesesuaian (compatibility), kerumitan (complexity), kemungkinan dicoba (trialability), dan kemungkinan diamati (observability).
Kesesuaian
(compatibility) antara inovasi sangat terkait erat dengan pengetahuan lokal. Karena jika inovasi tersebut tidak sesuai dan bertentangan dengan cara-cara dan sistem pengetahuan lokal masyarakat setempat maka sulit untuk bisa diterima oleh masyarakat bersangkutan. Pengembangan model sistem pertanian sawit dupa di Kalimantan Selatan merupakan suatu bentuk perpaduan sistem pengetahuan lokal dengan sains di bidang pertanian padi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi padi sekaligus
pendapatan
petani.
Dalam
model
ini
petani
tetap
dapat
mengusahakan komoditas padi lokal yang memang kualitasnya (terutama rasa dan teksturnya yang sesuai dengan selera masyarakat setempat) dan harga yang tinggi serta sekaligus juga memproduksi padi unggul yang memiliki potensi produksi lebih tinggi dari padi varietas lokal (Abbas 1999). Ini memperlihatkan bahwa pengetahuan lokal bersifat dinamis, sehingga mampu berkembang menyesuaikan dengan kondisi yang ada (kemampuan adaptasi) serta
26 dikembangkan melalui pengalaman langsung di lapangan sehinggga dapat berkelanjutan (sustainable). 2.4 Pandangan tentang Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan Terkait dengan pandangan tentang ilmu pengetahuan yang bebas nilai, Habermas (1990), telah menegaskan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya tidak bebas nilai atau kepentingan tetapi juga menyatakan bahwa ilmu-ilmu hanya dapat terbentuk dalam medium sebuah kepentingan.
Habermas
selanjutnya membedakan kelompok ilmu-ilmu ini berdasarkan kepentingannya menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok ilmu pengetahuan empiris analitis seperti ilmu-ilmu alam.
Kelompok ilmu-ilmu ini berupaya mencari hukum-hukum yang pasti
(nomologis) sehingga manusia dengan cara penyesuaian atas hukum-hukum alam dapat memanfaatkan alam untuk kepentingan hidupnya. Tujuan ilmu-ilmu empiris-analitis ini adalah untuk penguasaan alam. Kedua, adalah ilmu-ilmu historis hermeneutis, seperti ilmu sejarah. Kelompok ilmu-ilmu ini berupaya untuk pemahaman, di mana diusahakan adanya saling pengertian dengan tujuan tindakan bersama untuk menangkap suatu makna. Ilmu-ilmu ini mengorganisasikan obyeknya di bawah kepentingan perluasan intersubyektivitas. Ketiga, ilmu-ilmu tindakan atau ilmu-ilmu kritis seperti
ilmu ekonomi,
sosiologi, politik, kritik ideologi, filsafat, dan lainnya. Kepentingan ilmu-ilmu ini adalah
pembebasan, dan lingkungannya adalah kekuasaan.
Metode dasar
ilmu-ilmu ini adalah refleksi kritis atas sejarah subyek manusia dan bentuk pengetahuan ini hanya dapat dicapai melalui refleksi atas proses pembentukan diri, sehingga dengan cara demikian pengetahuan reflektif tersebut bersifat emansipatoris. Secara sederhana pengelompokan ilmu-ilmu berdasarkan kepentingan ini oleh Hardiman (1990) disusun dalam matrik seperti Tabel 2. Habermas melihat proses interaksi dalam konteks tindakan dasar manusia yang terjadi dalam dunia sosial, yakni berupa tindakan strategis dan tindakan komunikatif.
Tindakan strategis memiliki orientasi pada sukses,
sedangkan tindakan komunikatif beorientasi pada pencapaian pemahaman. Tindakan-tindakan strategis ini adalah tindakan rasional bertujuan yang dikategorikan ke dalam interaksi sosial, tetapi tidak bersifat genuine.
Suatu
interaksi yang bersifat genuine adalah interaksi yang dilakukan dalam tindakan-
27 tindakan komunikatif. Tindakan rasional bertujuan ini ditentukan oleh aturanaturan teknis yang berdasarkan pengetahuan empiris. Tindakan ini juga bersifat strategis dalam arti tergantung pada penilaian yang tepat mengenai pilihanpilihan alternatif yang mungkin berdasarkan perhitungan nilai-nilai dan kaidahkaidah. Berbeda halnya dengan tindakan komunikatif yang mengacu pada tindakan
yang
diarahkan
oleh
norma-norma
yang
disepakati
bersama
berdasarkan harapan timbal balik di antara subyek-subyek yang berinteraksi (Hardiman 1990, 1993). Tabel 2 Pertautan antara ilmu pengetahuan dan kepentingan
Kepentingan
Medium Kerja Dimensi Kerja Teknis
Medium Bahasa Dimensi Komunikasi Praksis
Medium Kekuasaan Dimensi Kekuasaan Emansipatoris
Pengetahuan
Informasi
Interpretatif
Analitis
Tindakan
Rasional bertujuan
Tindakan komunikatif
Tindakan revolusioneremansipatoris
Ungkapan Linguistik
Proposisiproposisi deduktif nomologis (monologal)
Bahasa sehari-hari, permainan bahasa, ungkapan dialogal
Dialog emansipatoris
Metodologi
Empiris analitis
Historishermeneutis
Refleksi diri
Sistematika Metodis
Ilmu-ilmu empiris analitis (ilmu-ilmu pengetahuan alam)
Ilmu-ilmu historis hermeneutis (ilmuilmu pengetahuan sosial-budaya)
Ilmu-ilmu Kritis (Teori kritis)
Sumber : Hardiman, F.B. 1990. Kritik Ideologi. Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan.
Interaksi antara pengetahuan lokal dengan sains ini dalam teori tindakan Habermas
dapat
terwujud
dalam
kerangka
tindakan
strategis
yang
menghasilkan proses dominasi dan koeksistensi, maupun dalam kerangka tindakan komunikatif yang menghasilkan proses hibridisasi.
Dalam proses
dominasi terjadi hegemoni, terutama sains atas pengetahuan lokal, dimana dalam perkembangan masyarakat modern pandangan-pandangan tradisional akan diganti dengan pandangan produksi kapitalis. Begitu juga halnya pada proses koeksistensi, walaupun masing-masing bentuk pengetahuan ini tidak
28 saling mendominasi, tetapi akan ada proses marginalisasi, terutama terhadap bentuk pengetahuan lokal.
Eksistensinya dianggap kurang berperan dalam
mewujudkan kepentingan produktivitas dan efisiensi pada masyarakat modern. Dalam kerangka tindakan komunikatif yang menghasilkan hibridisasi terjadi perpaduan antara pengetahuan lokal dengan sains yang membentuk moda pengetahuan baru sebagai hasil dari pemahaman bersama. Konsep rasionalitas komunikatif yang ditawarkan oleh Habermas ini merupakan rasionalitas kritis untuk menciptakan masyarakat komunikatif yang bebas dominasi. Konsep rasionalitas komunikatif ini mengandung pengertian yang didasarkan pada pengalaman inti yang bebas kendala, padu, dan menjembatani konsensus yang melampaui pandangan subyektif partisipan yang terlibat (Habermas 2006). Dengan demikian melalui tindakan komunikatif inilah pembangunan pertanian berkelanjutan di lahan rawa pasang surut yang menekankan pada aspek ekologis, ekonomis dan sosial diharapkan dapat terwujud. Teori tindakan komunikatif yang diajukan Habermas ini berhubungan dengan rasionalitas tindakan yang terkait dengan sistem sosial masyarakat. Rasionalitas yang muncul ini bukan hanya menyangkut pemahaman atas perilaku berdasarkan tindakan yang disadari tetapi juga terkait dengan proses rasionalisasi masyarakat.
Proses rasionalisasi masyarakat ini menganggap
sesuatu bersifat rasional jika hal tersebut menyentuh aspek-aspek kehidupan serta dapat dipahami oleh masyarakat yang bersangkutan. Proses seperti ini hanya dapat tercapai jika tercipta komunikasi yang bebas dari dominasi. Mengacu
pada
pemikiran
Habermas
tentang
pertautan
antara
pengetahuan dengan kepentingan, maka dalam penelitian tentang pengetahuan lokal dan kontestasinya dengan sains akan diperoleh suatu pemahaman kritis tentang kedua entitas pengetahuan tersebut.
Dengan demikian, klaim-klaim
kebenaran dari kedua entitas pengetahuan tersebut dapat dipahami dan direfleksikan dalam kerangka membangun kesadaran untuk menuju masyarakat komunikatif yang bebas dari dominasi.
29
III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Kalimantan Selatan, yakni di wilayah Kabupaten Barito Kuala. Selain memiliki areal lahan rawa pasang surut yang luas, pada wilayah ini petaninya masih menerapkan sistem pertanian tradisional dengan sistem pengetahuan lokal yang mereka miliki. Sistem pertanian tradisional di wilayah ini bersifat spesifik dan unik, dimana pada lahan marginal yang bersifat rentan (fragile) kegiatan pertanian yang dilaksanakan dapat berkelanjutan hingga sekarang. Kabupaten Barito Kuala juga merupakan wilayah penerima transmigrasi di lahan rawa pasang surut, sehingga terdapat interaksi antara sistem pertanian lokal masyarakat setempat dengan penerapan sistem pertanian yang dibawa para transmigran ke daerah tersebut. Pada sisi lain, wilayah pasang surut pada kabupaten ini menjadi sasaran pembangunan pertanian dalam rangka peningkatan produksi, baik melalui program pemerintah kabupaten, propinsi maupun nasional. Dengan kondisi demikian, wilayah ini dianggap tepat sebagai lokasi penelitian dalam menganalisis pengetahuan lokal dan interaksinya dengan sains di bidang pertanian pada lahan rawa pasang surut. Berdasarkan tipe luapan air di lahan rawa pasang surut, lokasi penelitian akan meliputi lahan rawa pasang surut tipe A, B, C, dan D. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan, mulai dari tahap persiapan lapangan pada bulan Maret 2009 hingga pengumpulan dan interpretasi data lapangan pada bulan September 2009.
3.2 Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma teori kritis, di mana melalui paradigma ini peneliti berupaya untuk membangkitkan kesadaran dan pembebasan (emansipasi) yang dihadapi oleh masyarakat. Teori kritis berupaya untuk memperlihatkan dan membuka ideologi kekuasaan, menunjukkan kesalahan dalam pandangan yang dimiliki dan bagaimana pandangan itu ikut melanggengkan tatanan sosial yang tidak adil dan menindas. Menurut Lubis (2006), teori kritis pertama-tama berupaya untuk memberikan pencerahan dalam
30 arti menyadarkan masyarakat tentang faktor-faktor yang menghimpit dan menindas mereka, serta mereka harus berupaya untuk membebaskan diri dari faktor tersebut, sesuai dengan teori.
Ini berarti teori yang digunakan harus
dibahasakan secara sederhana, teori harus mampu berbicara kepada perasaan masyarakat.
Oleh karena itu dalam penelitian ini peran komunikasi antara
peneliti dengan tineliti menjadi bagian yang sangat penting.
Morrow (1994)
menegaskan bahwa dalam teori kritis hubungan antara peneliti dengan tineliti bersifat dialektikal dan mengakui adanya hubungan hermeunetik peneliti sosial. Paradigma teori kritis klasik ditentukan oleh dua faham fundamental, yakni gaya pemikiran historis dan gaya pemikiran materialis (Suseno 2006). Gaya pemikiran historis ini menyatakan bahwa realitas sosial yang sekarang hanya bisa dipahami dengan melihatnya sebagai sebuah sejarah penindasan yang diselubungi secara ideologis oleh ilmu-ilmu positif sehingga realitas saat ini tampak sebagai obyektivitas yang wajar.
Teori kritis bertugas membuka
selubung ideologis tersebut dan membuka kemungkinan pembebasan dari penghisapan dan penindasan yang diciptakan manusia.
Gaya pemikiran
materialis ini menyatakan bahwa sejarah penindasan tersebut terwujud dalam bidang produksi prasyarat-prasyarat material hidup manusia dan dalam bidang ekonomi. Teori kritis juga memiliki peran edukasi, di mana fungsi peneliti sosial bukan
hanya
memberikan
pengetahuan
tentang
fenomena
sosial
dan
menjelaskan fenomena sosial yang manipulatif, akan tetapi juga menimbulkan kesadaran kepada para pelaku sosial, sehingga dengan menyadari kondisi dan situasi sosial yang mereka alami, mereka dapat mengubah sendiri kondisi yang diinginkan tersebut. Jadi senantiasa diperlukan dialog antara peneliti dengan masyarakat dalam rangka pencerahan dan penentuan arah tindakan yang diharapkan dapat mengubah dan memenuhi tuntutan mereka sendiri. Sejalan dengan pandangan di atas, Kincheloe dan Mc Laren (2000), menyatakan bahwa melalui penelitian dengan paradigma teori kritis seorang peneliti bukan hanya mempelajari tentang kehidupan masyarakat, tetapi juga membantu mereka secara bersama memecahkan persoalan agar mereka mampu
menyusun
strategi
untuk
memecahkan
masalah
tersebut.
Permasalahan-permasalahan yang dipecahkan ini terutama berkaitan dengan masalah kekuasaan dan keadilan yang terkait dengan faktor ekonomi, ras (etnis), kelas sosial, gender, ideologi, pendidikan, kepercayaan dan institusi
31 sosial lainnya yang berinteraksi dengan dinamika kebudayaan yang membentuk suatu sistem sosial. Lebih lanjut juga diungkapkan oleh Lubis (2006), teori kritis berpandangan bahwa dominasi (dalam masyarakat) bersifat struktural. Artinya kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi oleh institusi sosial yang lebih besar seperti : politik, ekonomi, budaya, ideologis, diskursus, etnis, ras dan gender.
Teori sosial kritis berupaya untuk mengungkap struktur yang
mendominasi untuk membantu individu/masyarakat dalam memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami. Penelitian ini juga mencoba untuk melihat bagaimana proses interaksi antara pengetahuan lokal dengan sains yang dalam perjalan sejarah modernisasi pertanian sering menciptakan dominasi. Dengan demikian rentetan waktu menjadi faktor penting dalam penelitian ini. Seperti yang dikemukakan oleh Tar (1997), bahwa teori kritis mendasarkan kajiannya terhadap masyarakat dalam konteks proses dan penjalanan sejarah secara keseluruhan.
Melalui
paradigma teori kritis ini maka kegiatan penelitian ini lebih banyak ditujukan pada kritik, transformasi, pemulihan, dan emansipasi.
Sehingga tujuannya
bukan hanya sekedar pemahaman dan rekonstruksi atau pengembangan pengetahuan praktis maupun prediksi dan kontrol (Lincoln and Guba 2000). Secara ontologi, teori kritik mendasarkan pada realisme historis (historical realism). Realitas yang dapat diamati merupakan realitas semu yang dibentuk oleh sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis dan nilai-nilai gender, dan mengkristalisasi kedalam serangkaian struktur sebagai kenyataan alami yang bertahan (bersifat srtruktural).
Untuk semua tujuan praktis struktur tersebut
adalah ada secara semu atau kenyataan sejarah. Secara epistemologi, bersifat transaksionalitas dan subjektif. Peneliti dan tineliti saling berinteraksi dan nilainilai peneliti serta situasi lainnya mempengaruhi penelitian. Hubungan antara peneliti dan tineliti dijembatani oleh nilai-nilai tetentu (value mediated findings). Secara metodologi, bersifat dialogis dan dialektik. Penelitian dibangun melalui dialog antara peneliti dengan tineliti, di mana dialog bersifat dialektikal secara alamiah untuk merubah ketidaktahuan dan salah pengertian menjadi kesadaran atau sebagai bentuk transformasi intelektual. Menurut
Morrow
(1994),
implikasi
metodologis
membedakannya dengan pendekatan empiris antara lain :
teori
kritis
yang
32 1.
Pemilihan dan cara menggunakan metode (logis dalam penggunaannya) tidak dapat dipisahkan dari metode teori informasi dan klarifikasi permasalahan
2.
Teori kritis bersifat dialektikal dalam hal ini mengakui adanya hubungan hermeunetik peneliti sosial, oleh karena itu struktur sosial ditegaskan melalui perantaraan manusia.
3.
Aspek metodologi neo-empiris dibentuk oleh komponen-komponen eksplisit dari penelitian praktis
4.
Karena penelitian dalam suatu masyarakat yang sudah terbentuk tidak dapat menggunakan ideologi netral, maka legitimasi untuk mensahkan rasionalitas didefinisikan dari bentuk panduan penelitian melalui pemikiran kritik-pembebasan
5.
Dimensi metodologi empiris dibedakan menjadi ekstensif dan intensif, lebih dari sekedar kuantitatif dan kualitatif, dan metode intensif merupakan pertimbangan utama untuk memahami pembentukan teori sosial dalam terminologi interpretatif strukturalis.
6.
Desain penelitian intensif dan ekstensif dapat dibedakan dari perhatian terhadap fokus pada level proses sistem integrasi, integrasi sosial dan mediasi sosial budaya.
3.3 Kerangka Pemikiran Pada dasarnya sistem sosial manusia dan ekosistem alamiah saling berinteraksi satu sama lain sebagai respon berbagai perubahan yang terdapat dalam kedua sistem tersebut.
Dalam pertanian tradisional yang masih
mengupayakan keselarasan dengan daya dukung dan kemampuan alam terjadi proses penyesuaian bersama (fitting together) yang disebut koadaptasi antara sistem sosial masyarakat petani dengan lingkungan biofisik lokal.
Interaksi
antara kedua sistem inilah yang menjadi dasar bagi pembentukan pengetahuan lokal. Melalui pengalaman dan interaksi dengan kondisi lingkungan biofisik yang bersifat spesifik serta berbagai trial and error mereka berupaya menyelaraskan kehidupan dengan alam.
Respon perubahan antar kedua sistem ini pada
tataran yang lebih lanjut menciptakan suatu bentuk koevolusi, yakni proses perubahan bersama (changing together) antara sistem sosial masyarakat dengan lingkungan biofisiknya dan merupakan proses yang terus menerus dan tidak pernah berhenti. (Marten 2001).
33 Pada kondisi lainnya, di era globalisasi saat ini, ilmu pengetahuan ilmiah atau sains berkembang sebagai respon terhadap perubahan pada sistem ekonomi politik dengan kondisi lingkungan global. Kemajuan sains berkembang secara revolusioner dengan penerapan teknologi modern untuk mencapai pemenuhan kepuasan manusia (Kuhn 2000). Dalam bidang pertanian, sains dikembangkan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi seiring dengan pemenuhan kebutuhan pangan dunia yang semakin meningkat. Melalui revolusi hijau program peningkatan produksi pangan di Indonesia, terutama padi dikembangkan dengan penerapan benih unggul dan pupuk anorganik serta pestisida. Pertanian tradisional yang hanya mampu berproduksi rendah dianggap sudah tidak relevan lagi bagi kepentingan pembangunan dan harus digantikan dengan penerapan pertanian modern yang mampu meningkatkan produktivitas tinggi. Pada kondisi seperti ini terjadi interaksi dua kepentingan antara sistem pertanian tradisional yang lebih menekankan pada sistem pertanian adaptif dan berkelanjutan dengan pertanian modern yang menekankan pada produktivitas dan efisiensi. Kontestasi kedua bentuk pengetahuan ini dalam konteks kajian Habermas (2006)
tentang teori tindakan komunikatif dapat dilihat sebagai
proses yang mengarah pada tindakan yang bersifat strategis atau sebaliknya mengarah pada tindakan komunikatif. Tindakan strategis merupakan tindakan rasional bertujuan menentukan tujuan-tujuan di bawah kondisi-kondisi yang telah ada. Aturan-aturan yang mengorientasikan tindakan ini ditentukan oleh aturanaturan yang bersifat teknis.
Komunikasi yang bersifat instrumental memiliki
kepentingan menguasai melalui pengetahuan teknisnya. Kontestasi yang bersifat sebagai tindakan strategis ini dapat membentuk proses koeksistensi dan proses dominasi. Koeksistensi jika masing-masing bentuk pengetahuan tersebut dapat mempertahankan keberadaan masing-masing. Proses dominasi terjadi jika salah satu bentuk unggul dan mengalahkan yang lainnya. Kontestasi yang terjadi dalam ranah tindakan komunikatif ditentukan oleh norma-norma sosial yang dioyektifkan melalui proses komunikasi yang bebas dari penguasaan.
Proses hibridisasi merupakan bentuk kesepakatan yang
dihasilkan dalam kontestasi yang mengarah pada tindakan komunikatif. Proses hibridisasi ini merupakan penyatuan dan pertautan kedua bentuk entitas pengetahuan. Konsep hibridisasi ini juga digunakan oleh Escobar (1999) dalam
34 menganalisis pertautan pengetahuan lokal dan sains dengan orientasi nilai budaya yang berbeda yang saling mendekat satu sama lain dan menyatu menuju kesatuan pandangan politik tentang alam yang ia sebut sebagai hibridisasi kebudayaan (cultural hybridization). Secara skematis kerangka pemikiran yang disusun untuk membingkai penelitian ini seperti diagram pada Gambar 1 berikut :
Sistem Ekonomi Politik dan Birokrasi
Sistem dan Norma Sosial Masyarakat Koadaptasi & Koevolusi
Revolusi
Lingkungan Biofisik Lokal
Lingkungan Global
Adaptif dan keberlanjutan
Produktivitas dan efisiensi
Pengetahuan Lokal (Local knowledge)
Sains (Science)
Tindakan strategis
Kontestasi Pengetahuan
Tindakan strategis
Tindakan komunikatif Koeksistensi (Marginalisasi Pengetahuan)
Hibridisasi (Perpaduan/Hibrid Pengetahuan)
Dominasi (Hegemoni Pengetahuan)
Gambar 1 Kerangka pemikiran studi pengetahuan lokal.
35 3.4 Hipotesis pengarah Berdasarkan latar belakang,
perumusan masalah, dan kerangka
pemikiran teoritis serta tujuan penelitian yang dikemukakan
maka disusun
hipotesis pengarah. Hipotesis pengarah ini digunakan sebagai penuntun dalam pengumpulan dan analisis data serta memiliki kemungkinan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi di lapangan. Rumusan permasalahan pertama, bagaimana komunitas petani padi sawah mengembangkan sistem pengetahuan lokal dari dulu hingga sekarang terutama dalam menghadapi era modernisasi pertanian?
Hipotesis yang
digunakan untuk mengarahkannya adalah : ”pengetahuan lokal komunitas petani padi di lahan rawa pasang surut berkembang sebagai respon timbal balik antara sistem sosial masyarakat dengan ekosistem setempat melalui proses koevolusi.” Rumusan permasalahan kedua, bagaimana terjadinya proses kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal komunitas petani padi sawah di lahan rawa pasang surut? Hipotesis yang digunakan untuk mengarahkannya adalah : ” kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal menghasilkan bentuk hibridisasi, koeksistensi dan dominasi.” Rumusan permasalahan ketiga, bagaimana sistem sosial merespon terjadinya kontestasi antara pengetahuan lokal dengan sains? Hipotesis yang digunakan untuk mengarahkannya adalah : ”respon sistem sosial akibat kontestasi antara pengetahuan lokal dengan sains terjadi melalui proses koadaptasi.”
3.5 Strategi Penelitian Penelitian ini merupakan grounded research yang menggunakan pendekatan kualitatif dan strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus kolektif (collective case study).
Tipe studi kasus ini merupakan kajian atas
sejumlah kasus pada lahan rawa pasang surut tipe A, B, C, dan D yang membantu peneliti untuk melakukan emansipasi atau penyadaran yang menjadi dasar dalam paradigma teori kritis. Pada dasarnya tipe studi kasus kolektif ini menurut Stake (2000), merupakan perluasan dari studi kasus istrumental (instrumental case study) dan bukan kumpulan dari beberapa kasus. Dinamika pengetahuan lokal petani pada berbagai tipe lahan rawa pasang surut sangat terkait erat dengan bentuk koevolusi sistem sosial dengan ekosistem setempat.
36 Begitu juga halnya dengan interaksinya dengan sains dan teknologi pertanian modern. Menurut Yin (2004), studi kasus memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan strategi penelitian lainnya, yakni bahwa studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bila mana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dan menggunakan banyak sumber untuk memperoleh data.
Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila
pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki,
dan
bilamana
fokus
penelitiannya
terletak
pada
fenomena
kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata.
3.6 Langkah penelitian Langkah-langkah untuk menghasilkan teori dengan menggunakan grounded research adalah sebagai berikut (Pandit 1996): 1. Disain penelitian, meliputi kegiatan peninjauan ulang literatur teknis dan pemilihan kasus.
Peninjauan ulang literatur teknis dilakukan melalui
pendefinisian pertanyaan penelitian dan definisi dari konstruk yang apriori. Kegiatan ini dilakukan agar masalah lebih fokus serta menghindari variasi yang tidak relevan sehingga dapat mempertajam validitas eksternal. Dalam pemilihan kasus dilakukan atas dasar teoritik (bukan acak) sehingga tujuan yang diinginkan akan dapat dicapai. 2. Pengumpulan data, meliputi kegiatan pembuatan protokol pengumpulan data yang akurat dan terjun ke lapangan. Pembuatan protokol pengumpulan data dilakukan dengan menyusun basis data kasus serta triangulasi berbagai metode pengumpulan data. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan reliabilitas dan validitas konstruk serta memperkuat sinergi hasil atau temuan. Pada saat di lapangan maka pengumpulan data dan analisis data dilakukan secara simultan dan bersifat fleksibel. Cara ini dapat mempercepat analisis serta mempermudah dalam memanfaatkan tema dan keistimewaan kasus yang muncul.
37 3. Penyajian data, terutama adalah penyusunan data berdasarkan urutan kejadian secara kronologis untuk mempermudah analisis data dan evaluasi proses 4. Analisis data, meliputi analisis data yang berhubungan dengan kasus awal, pengajuan contoh teoritik, dan penyelesaian penelitian. Analisis kasus awal berupa kegiatan coding yang terdiri atas open coding, axial coding, selective coding. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka membuat konsep dan kategori, mengembangkan hubungan antara kategori dan subkategori, serta untuk mengintegrasikan kategori dalam membangun kerangka kerja teoritik. Kegiatan pengajuan kasus teoritik dilakukan secara berulang hingga teori matang dan jenuh sehingga dapat mempertajam kerangka kerja teoritik. Penyelesaian penelitian dapat dilakukan bila penambahan atau peningkatan data yang diperoleh tidak menambah informasi baru lagi. 5. Perbandingan literatur dilakukan atas teori yang muncul dengan literatur yang sudah ada, baikl yang bertentangan maupun yang berselaras.
Ini
penting dilakukan untuk menyempurnakan definisi konstruk dan peningkatan validitas eksternal dan validitas internal.
3.7 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini dilakukan triangulasi data, yakni penggunaan beragam sumber data yang meliputi komunikasi dialogis, riwayat hidup topikal, serta data sekunder dalam bentuk penelusuran dokumen, laporan, catatan sejarah dan lainnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan strategi studi kasus
berupa komunikasi dialogis/dialektis dan
emansipatoris antara peneliti dengan tineliti.
Dalam upaya emansipasi atau
penyadaran dan saling berbagi pengalaman, maka model komunikasi yang dibangun bersifat konvergen. Komunikasi konvergen sebagai suatu proses di mana masing-masing partisipan memberikan dan berbagi informasi satu sama lain untuk memperkaya pemahaman bersama (Eiler 1994). Dalam pemahaman yang serupa, Rogers (1986) menyebutkan bahwa konvergensi adalah kecenderungan pada dua orang atau lebih individu untuk bergerak kesatu pemikiran, atau bagi individu bergerak kepada yang lainnya, dan menyatukan fokus dan perhatian bersama.
Teknik pengumpulan data ini memungkinkan
peneliti dan tineliti memaknai berbagai aspek kehidupan yang terjadi dalam
38 kehidupan masyarakat terutama dalam aplikasi pengetahuan lokal pada praktikpraktik pertanian di lahan rawa pasang surut. Unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas petani. Teknik pengumpulan data berupa riwayat hidup topikal juga digunakan untuk menggali data, terutama pada tahapan atau fase masuknya modernisasi pertanian dalam kehidupan individu atau tineliti yang dipilih pada masing-masing tipe lahan rawa pasang surut tipe (A, B, C, dan D). Selain informan petani, juga dilakukan dialog dengan penyuluh pertanian
atau petugas pertanian dan
pejabat dinas pertanian pada level kabupaten dan propinsi. Informan penelitian juga mempertimbangkan aspek gender dengan pertimbangan bahwa dalam kegiatan usahatani di laha rawa pasang surut wanita juga berperan penting, seperti dalam kegiatan pembibitan, tanam dan pemeliharaan.
Pemilihan informan dilakukan secara sengaja (purposive)
dengan metode snowball sampling.
Menurut Patton (2006), pengambilan
informan dengan metode ini merupakan pendekatan untuk menempatkan informasi yang kaya dari informan kunci atau kasus kritis.
Dalam grounded
research, masalah informan penelitian tidak didasarkan pada jumlah populasi, melainkan pada keterwakilan konsep dalam beragam bentuknya. Teknik ini dilakukan dengan pengambilan informan berdasarkan konsep-konsep yang terbukti berhubungan secara teoritik dengan teori yang sedang disusun. Dengan demikian, pengambilan informan dihentikan apabila; (a) tidak ada lagi data baru yang relevan, (b) penyusunan kategorinya telah terpenuhi; dan (c) hubungan antar kategori sudah ditetapkan dan dibuktikan. Pengumpulan data lainnya berupa data sekunder yang bertujuan untuk menganalisis perkembangan kegiatan modernisasi pertanian yang pernah dilakukan melalui berbagai dokumen dan laporan atau bentuk lainnya yang terdapat pada instansi pemerintah (terutama dinas pertanian, BPS dan Balai Penyuluhan Pertanian). Keterkaitan antara topik masalah penelitian, tujuan, hipotesis, konsep utama/hubungan antar konsep, informasi atau data yang dikumpulkan, teknik pengumpulan data, dan sumber data dapat diringkaskan seperti Tabel 3 berikut.
39
Tabel 3 Keterkaitan permasalahan dengan metode penelitian Topik permasalahan Proses Pembentukan dan pengembangan pengetahuan lokal
Tujuan
Hipotesis
Menganalisis sejarah pembentukan dan pengembangan sistem pengetahuan lokal, termasuk mengkaji sejarah lokal perkembangan pertanian padi sawah di lahan rawa pasang surut
Pengetahuan lokal komunitas petani padi di lahan rawa pasang surut berkembang sebagai respon timbal balik antara sistem sosial masyarakat dengan ekosistem setempat melalui proses koevolusi
Konsep utama/ Hubungan antar konsep • Pengetahuan lokal • Sistem sosial • Lahan rawa pasang surut • Koevolusi
Informasi atau data yang dikumpulkan • Sejarah lokal perkembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. • Sejarah pengembangan sistem pengetahuan lokal • Makna dan bentuk pengetahuan lokal dalam konteks pengelolaan lahan rawa pasang surut • Faktor-faktor pendorong dan penghambat dalam pengembangan pengetahuan lokal • Komponen sistem sosial yang berperan dalam pengembangan pengetahuan lokal
Teknik pengumpulan data • Penelusuran dokumen atau catatan sejarah tentang sejarah pengembangan lahan rawa pasang surut dan sistem pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut • Dialog dengan petani dan informan kunci baik secara perorangan maupun dalam bentuk diskusi kelompok berupa FGD • Riwayat hidup topikal dari petani di lahan rawa pasang surut
Sumber data • Dokumen dan hasil peneilitian pada Balai Penelitian Tanaman Rawa (Balittra), Dinas pertanian propinsi dan kabupaten • Tokoh masyarakat seperti kepala desa, kepala padang atau kepala handil dan petani yang mengetahui tentang sejarah pengembangan pengetahuan lokal dan sejarah lokal pengembangan lahan rawa pasang surut
40 Lanjutan Topik permasalahan Kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal
Tujuan Menganalisis proses kontestasi antara pengetahuan lokal dengan sains
Hipotesis Kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal menghasilkan bentuk hibridisasi, koeksistensi dan dominasi
Konsep utama/ Hubungan antar konsep • Dominasi • Koeksistensi • Hibridisasi • Sains • Hegemoni • Tindakan komunikatif • Pertanian modern
Informasi atau data yang dikumpulkan • Sejarah pengembangan pertanian modern sejak fase revolusi hijau di lahan rawa pasang surut • Model atau bentuk kontestasi antara pengetahuan lokal dengan sains • Pandangan masyarakat tentang eksistensi pengetahuan lokal dalam era modernisasi dan globalisasi saat ini • Makna dominasi dan kesadaran masyarakat tentang hegemoni yang dirasakan. • Pengaruh institusi sosial yang lebih tinggi (politik, ekonomi, dan ideologis) thd pengembangan pengetahuan lokal
Teknik pengumpulan data • Dialog dengan petani dan informan kunci baik secara perorangan maupun dalam bentuk diskusi kelompok berupa FGD • Dialog dengan aparat pemerintah yang terlibat dalam pembangunan pertanian, terutama pengembangan pertanian modern di lahan rawa pasang surut • Riwayat hidup topikal dari petani di lahan rawa pasang surut
Sumber data • Tokoh masyarakat seperti kepala desa, kepala padang atau kepala handil dan tokoh masyarakat lainnya yang mengetahui tentang introduksi pertanian modern dan sains di lahan rawa pasang surut • Petugas penyuluh pertanian dan BPP, aparat dinas pertanian Propinsi Kalsel dan Kabupaten Barito Kuala, Peneliti dari Balittra
41 Lanjutan Topik permasalahan
Tujuan
Hipotesis
Konsep utama/ Hubungan antar konsep
Informasi atau data yang dikumpulkan
Teknik pengumpulan data
Sumber data
• Harapan dan kondisi ideal yang diinginkan dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut untuk perbaikan kehidupan dan upaya untuk mewujudkannya. Respon sistem sosial
Menganalisis respon sistem sosial terhadap kontestasi antara pengetahuan lokal dengan sains
Respon sistem sosial akibat kontestasi antara pengetahuan lokal dengan sains terjadi melalui proses koadaptasi
• Sistem sosial • Kontestasi • Koadaptasi
• Gambaran sistem sosial yang meliputi teknologi, pengetahuan, populasi, organisasi sosial, nilai dan norma sebelum dan setelah era revolusi hijau dalam kehidupan masyarakat • Peranan dan eksistensi sistem sosial sebelum era revolusi hijau dan setelah masuknya revolusi hijau dalam kehidupan masyarakat
• Dialog petani dan informan kunci baik secara perorangan maupun dalam bentuk diskusi kelompok berupa FGD • Data sekunder menyangkut perkembangan penduduk termasuk sejarah perkembangan program transmigrasi di lahan rawa pasang surut
• Tokoh masyarakat seperti kepala desa, kepala padang atau kepala handil dan tokoh masyarakat lainnya yang mengetahui tentang dinamika sistem sosial terkait dengan pengelolaan lahan rawa pasang surut • Data kependudukan dari BPS serta
42 Lanjutan Topik permasalahan
Tujuan
Hipotesis
Konsep utama/ Hubungan antar konsep
Informasi atau data yang dikumpulkan • Model atau bentuk bentuk kontestasi (dominasi, eksistensi dan hibridisasi) antara pengetahuan lokal dengan sains dalam pertanian di lahan rawa pasang surut • Bentuk dan proses koadaptasi sistem sosial terhadap modernisasi pertanian
Teknik pengumpulan data
Sumber data data perkembangan trasmigran dan UPT di lahan rawa pasang surut
43 3.8 Analisis Data Menurut Lincoln dan Guba (2000) secara metodologis teori kritis bersifat dialogis dan dialiktik, sehingga penelitian dibangun melalui dialog antara peneliti dengan subjek penelitian.
Dialog yang bersifat dialektikal secara alamiah
bertujuan untuk merubah ketidaktahuan dan salah pengertian menjadi kesadaran atau sebagai bentuk transformasi intelektual. Pengumpulan data dan analisis data berlangsung secara simultan. Data dalam penelitian ini merupakan pemahaman
bersama
antara
penelti
dengan
tineliti.
Oleh
karena
itu
pengetahuan terdiri atas serangkaian pemahaman struktur/historis yang akan ditransformasikan. Pengetahuan bukan merupakan akumulasi
yang mutlak;
melainkan, tumbuh dan berubah melalui suatu proses dialektikal revisi historis yang secara terus-menerus menghilangkan salah pengertian dan ketidaktahuan dan memperluas pengertian tentang informasi yang diberikan secara lebih mendalam. Untuk menghasilkan teori pada grounded research yang dikembangkan oleh Glaser dan Strauss (1985) analisis data dilakukan dalam bentuk pengkodean (coding) yang merupakan proses penguraian data, pengonsepan, dan penyusunan kembali dengan cara baru. Langkah-langkah dalam analisis ini diawali dengan pengkodeaan terbuka (open coding) yang terdiri atas pelabelan fenomena, penemuan dan penamaan kategori, penyusunan kategori. Berikutnya dilanjutkan dengan pengkodean terporos (axial coding), yakni penempatan data kembali dengan cara-cara baru dengan membuat kaitan antar kategori. Tahap selanjutnya adalah pengkodean terpilih (selective coding) yakni memilih kategorisasi inti dan menghubungkan kategori-kategori lain pada kategori inti. Secara terinci langkah-langkah analisis data dalam grounded research ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
44
IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukotanya Banjarmasin secara geografis terletak di antara 1º21’49” – 4º 0’14” Lintang Selatan dan 114º 9’33” – 116º33’28” Bujur Timur.
Wilayahnya di sebelah utara berbatasan dengan
Provinsi Kalimantan Timur, sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Selat Makassar, dan sebelah barat dengan Provinsi Kalimantan Tengah. Luas wilayahnya 37.530,52 km2 (6,98% dari luas Pulau Kalimantan) dan merupakan wilayah yang terkecil luasnya dibandingkan dengan tiga provinsi lainnya (BPS Kalsel 2008) Berdasarkan topografinya, wilayah Kalimantan Selatan terbagi menjadi dua bagian yakni Wilayah Barat dan Wilayah Timur oleh Pegunungan Meratus yang membentang dari Utara ke Selatan. Wilayah Barat berupa dataran yang didominasi oleh rawa yang merupakan daratan Barito, sedangkan Wilayah Timur didominasi oleh dataran bergelombang dan berbukit. Oleh karena itu, di bagian Wilayah Barat inilah pertanian di lahan rawa (baik rawa lebak maupun rawa pasang surut) banyak dikembangkan oleh penduduk setempat. Sungai Barito merupakan sungai terbesar yang terdapat di provinsi ini dengan bagian hulunya di wilayah Pegunungan Meratus dan bermuara di Laut Jawa. Secara administratif
Provinsi Kalimantan Selatan terdiri atas 11
kabupaten dan 2 kota. Jumlah penduduk pada tahun 2008 sebanyak 3.446.631 jiwa, terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 1.727.817 jiwa dan perempuan 1.718.814 jiwa. Kepadatan penduduknya hanya sekitar 92 jiwa per km2 dengan tingkat pertumbuhan
penduduknya sebesar 1,49% per tahun (2005-2008).
Penduduk Kalimantan Selatan didominasi oleh suku Banjar (76,23%), suku-suku lainnya diantaranya Dayak, Jawa, Madura, Sunda, Bugis, Makassar, Batak, dan lain-lain.
Pekerjaan di bidang pertanian merupakan matapencaharian utama
masyarakat Kalimantan Selatan dengan proporsi mencapai 49,08%. Pekerjaan lain seperti perdagangan (20,14%), usaha jasa (9,60%), industri pengolahan (8,72%), dan selebihnya tersebar di lapangan usaha komunikasi, konstruksi, pertambangan dan penggalian, keuangan dan lainnya. Padi merupakan komoditas utama pertanian pangan di Kalimantan Selatan, yang meliputi padi sawah dan padi ladang.
Produksi padi sawah di
Kalimantan Selatan pada tahun 2008 mencapai 1.809.584 ton (92,60%) jauh
45 lebih
tinggi
dari
padi
ladang
yang
produksinya
hanya
144.699
ton.
Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas padi sawah di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4
Perkembangan penanaman padi sawah di Kalimantan Selatan periode 1995-2008 Tahun
Luas panen (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (kw/ha)
1
1995
359.241
1.081.177
30,10
2
1996
355.378
1.103.402
31,05
3
1997
347.023
1.100.893
31,72
4
1998
361.222
972.315
26,92
5
1999
400.631
1.278.037
31,90
6
2000
391.057
1.243.448
31,80
7
2001
382.421
1.295.880
33,89
8
2002
365.136
1.211.921
33,19
9
2003
399.196
1.316.989
32,99
10
2004
397.998
1.403.249
35,26
11
2005
409.332
1.474.426
36,02
12
2006
416.758
1.520.158
36,48
13
2007
458.995
1.830.409
39,88
14
2008
455.721
1.809.584
39.71
1,85
4,04
2,15
No
Pertumbuhan ratarata (%/tahun)
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Selatan, 2009
Pertanian padi di Kalimantan Selatan sebagian masih diusahakan secara tradisional dengan menggunakan varietas lokal dan dengan masa pertanaman satu tahun sekali. Walaupun ada juga yang mengusahakan dengan intensitas tanam dua kali setahun, tetapi jumlahnya relatif kecil, yakni hanya sekitar 6,26% saja dari luas areal pertanaman padi di Kalimantan Selatan. Hal ini wajar karena dari areal pertanaman padi di Kalimantan Selatan, hanya sekitar 9,68% yang merupakan lahan beririgasi, sedangkan yang lainnya merupakan sawah tadah hujan, sawah rawa pasang surut dan sawah lebak.
46 4.2 Kabupaten Barito Kuala Kabupaten Barito Kuala merupakan salah satu kabupaten di wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Selatan memiliki luas 2.996,96 km2 atau sekitar 7,99% dari luas Kalimantan Selatan. Kabupaten ini secara administratif terdiri atas 17 kecamatan yang terbagi lagi menjadi 200 desa. Wilayahnya secara morfologi merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0,2 sampai 3,0 meter dari permukaan laut. Sungai Barito merupakan sungai utama yang membelah wilayah Kabupaten Barito Kuala dari utara hingga bermuara di selatan, yakni di Laut Jawa.
Sungai lainnya adalah Sungai Nagara, Sungai Alalak, Sungai
Puntik, Sungai Kapuas, serta saluran Anjir Pasar, saluranTamban, saluran Tabukan, dan saluran Tabunganen (BPS Kabupaten Batola 2009). Penduduk Kabupaten Barito Kuala pada tahun 2008 sebanyak 272.332 jiwa yang terhimpun dalam 75.378 rumah tangga, terdiri atas 137.077 laki-laki dan 135.255 perempuan. Kepadatan penduduknya rata-rata 91 jiwa per km2, dengan kisaran kepadatan di wilayah kecamatannya antara 16-388 jiwa per km2. Penduduk asli kabupaten ini berasal dari etnik Banjar (74,90%) dan etnik Bakumpai (7,68%).
Etnik lain umumnya adalah pendatang seperti Jawa
(15,10%), Sunda (0,51%), Madura (0,12%), Bugis (0,09%), dan lainnya (1,61%). Pekerjaan
utama
penduduk
Kabupaten
Barito
Kuala
adalah
sebagai
petani/pekebun. Secara lengkap gambaran pekerjaan penduduk di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 5. Luas lahan pertanian di Kabupaten Barito Kuala sekitar 220.926 hektar yang terdiri atas lahan persawahan seluas 140.702 hektar dan lahan pertanian bukan sawah 80.224 hektar.
Umumnya lahan persawahan ini adalah lahan
rawa pasang surut yang ditanami padi satu kali setahun. Data penggunaan lahan pertanian di Kabupaten Barito Kuala ini dapat dilihat pada Tabel 6. Komoditas pertanian utama di Kabupaten Barito Kuala adalah padi sawah yang umumnya merupakan varietas lokal dengan periode tanam satu kali setahun.
Walaupun demikian, pada tahun 2008 produksi padi sawah di
kabupaten ini mencapai 336.062 ton GKG dan memberikan konstribusi terbesar (18,57%) bagi produksi padi di Kalimantan Selatan diantara semua kabupaten dan kota yang ada.
Komoditas pertanian pangan lainnya berupa jagung,
kedelai, kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar. Untuk tanaman buah-buahan utama yang banyak dikembangkan petani adalah jeruk, mangga, rambutan,
47 pisang, dan nenas. Kelapa dalam merupakan tanaman perkebunan utama yang diusahakan petani, sedang tanaman perkebunan lainnya adalah kelapa hibrida, karet, sagu, purun dan lainnya. Tabel 5
Penduduk Kabupaten Barito Kuala menurut jenis pekerjaan tahun 2008
No
Jenis pekerjaan
1
Mengurus RT
2
PNS
3
Jumlah (jiwa)
Prosentasi (%)
46.278
16,99
6.441
2,37
TNI
185
0,07
4
POLRI
374
0,14
5
Pensiunan
933
0,34
6
Pelajar/Mahasiswa
37.936
13,93
7
Petanji/Pekebun
86.836
31,89
8
BUMN
234
0,09
9
Pedagang
1.882
0,69
10
Peternak/Nelayan
121
0,04
11
Karyawan swasta
11.695
4,29
12
Buruh
10.171
3,73
13
Lainnya
6.292
2,31
14
Belum/tidak bekerja
62.954
23,12
272.332
100,00
Jumlah Sumber : Diolah dari Kabupaten Batola Dalam Angka, 2009
Komoditas kehutanan utama di Kabupaten Barito Kuala berupa kayu galam, rotan, sengon, jati, kayu bulan, dan jenis kayu lainnya yang tidak begitu besar potensinya. Potensi peternakan di Kabupaten Barito Kuala meliputi ternak besar seperti sapi dan kerbau, ternak kecil berupa kambing, domba dan babi, serta ternak unggas seperti ayam pedaging, ayam buras dan itik.
Potensi
perikanan terdiri atas perikanan laut dan perikanan darat. Khusus untuk perikanan laut hanya terdapat di Kecamatan Tabunganen.
Potensi masing-
masing subsektor pertanian ini dapat dilihat pada Lampiran 7 sampai dengan Lampiran 12.
48
Tabel 6 No 1
Luas lahan pertanian berdasarkan jenis penggunaannya tahun 2008
Jenis penggunaan
hektar
%
120.461
54,52
20.241
9,16
a Pekarangan
23.517
10,64
b Tegalan/kebun
11.610
5,25
c Ladang/huma
1.805
0,82
d Pengembalan ternak
9.278
4,20
e Sementara tidak diusahakan
14.973
6,78
f Lain-lain
19.061
8,63
220.946
100,00
Lahan sawah a Pasang surut b Sementara tidak diusahakan
2
Luas
Bukan lahan sawah
Jumlah Sumber : Diolah dari Kabupaten Batola Dalam Angka, 2009
Untuk mendukung kegiatan pembangunan di bidang pertanian, di Kabupaten Barito Kuala terdapat beberapa instansi yang berkaitan dengan bidang pertanian ini. Instansi atau dinas tersebut adalah: a) Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura; b) Dinas Peternakan; c) Dinas Perikanan dan Kelautan; d) Dinas Kehutanan dan Perkebunan; dan e) Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. Pengembangan sektor pertanian ini juga didukung oleh kelembagaan penyuluhan dengan perangkat petugas dari aras kabupaten, kecamatan, hingga desa. Hingga tahun 2009 terdapat 7 Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang melayani 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Barito Kuala. Tenaga penyuluh pertanian yang ada hanya 152 orang, padahal jumlah desa yang harus dilayani dan dibina sebanyak 200 buah. Oleh karena itu, ada penyuluh pertanian yang wilayah kerjanya mencakup 2-3 desa. Kelembagaan petani yang dibentuk untuk mendukung kegiatan penyuluhan pertanian ini meliputi kelompok tani dan kelompok lumbung pangan. Kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Barito Kuala ini dapat dilihat pada Tabel 7.
49
Tabel 7 No
Kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Barito Kuala Jenis lembaga
Jumlah
Satuan
1
Balai Penyuluhan Pertanian (BPP)
7
unit
2
Penyuluh kabupaten
5
orang
3
Personalia BPP
28
orang
4
Koordinator kecamatan
10
orang
5
Penyuluh wilayah binaan
71
orang
6
Penyuluh THL-TB
38
orang
7
Lumbung pangan
33
buah
7
Gabungan kelompok tani
9
Kelompok tani
258
kelompok
1.455
kelompok
Sumber : Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Batola, 2009
4.3 Profil Desa Penelitian di Lahan Rawa Pasang Surut 4.3.1 Desa Tabunganen Muara Desa Tabunganen Muara merupakan ibukota Kecamatan Tabunganen yang letaknya dilewati oleh Sungai Barito dan Sungai Tabunganen.
Luas
wilayahnya sekitar 1.500 hektar dan sebanyak 1.183 hektar merupakan areal persawahan (78,9%). Jumlah penduduknya sebanyak 1.485 jiwa dengan 500 KK dan sebanyak 450 KK (90,0%) merupakan keluarga petani. Masyarakat di Desa Tabunganen Muara didominasi oleh suku Banjar (90,0%), sedangkan sisanya adalah penduduk pendatang seperti Jawa, Bugis, Sunda, dan lainnya. Masyarakat Desa Tabunganen Muara kebanyakan merupakan rumpun suku Banjar yang datang dari wilayah Alalak (Kota Banjarmasin) yang telah datang ke wilayah ini sejak ratusan tahun silam. Pada awalnya mereka datang untuk membuka lahan pertanian padi serta mencari ikan, dengan membuat handil-handil secara berkelompok. Ikatan kekerabatan masyarakat di desa ini cukup kuat dan umumnya mereka membangun pemukiman di sepanjang Sungai Tabunganen. Sungai Tabunganen menjadi urat nadi kehidupan masyarakat di desa ini, karena selain sebagai sumber mata pencaharian juga sebagai sarana
50 transportasi sungai. Hingga sekarang transportasi darat di wilayah ini hanya dapat dilalui oleh kendaraan roda dua. Masyarakat di desa ini memiliki matapencaharian utama sebagai petani padi yang telah diusahakan sejak ratusan tahun yang lalu. Sistem pertanian padi yang diusahakan adalah padi varietas lokal yang berumur panjang (9-11 bulan). Teknik budidayanya bersifat spesifik dan berbeda dengan budidaya padi yang umum dilakukan di daerah lainnya (terutama budidaya padi unggul di lahan beririgasi). Pembibitan padi dilakukan secara bertahap dan berlangsung selama 4-5 bulan. Hingga kini sistem pertanian padi yang mereka laksanakan tidak banyak mengalami perubahan mendasar. Perubahan yang ada hanya dalam penggunaan pupuk kimia buatan seperti Urea dan SP serta penggunaan bahan kimia pestisida. Persawahan di wilayah ini merupakan persawahan pasang surut tipe A, sehingga setiap hari areal persawahannya dipengaruhi oleh pasang dan surut air.
Kondisi inilah yang menyebabkan petani hanya bisa mengusahakan
tanaman padi dengan sistem tradisional.
Kendala pertanian yang utama di
wilayah ini adalah masuknya air asin ke areal persawahan terutama pada saat musim kemarau.
Air asin yang masuk ke areal persawahan ini dapat
mengakibatkan kerusakan pada tanaman padi jika umur tananam masih muda atau belum memasuki tahap pematangan buah. Oleh karena itu pengetahuan tentang perhitungan musim dan penentuan waktu tanam mutlak dimiliki petani untuk mencegah kegagalan panen.
Masalah lain yang dihadapi oleh petani
adalah hama tikus yang banyak menyerang pada fase pembibitan. Selain mengusahakan tanaman padi, masyarakat umumnya juga menanam kelapa dan tanaman buah-buahan seperti jeruk dan mangga. Tanaman kelapa dan buah-buahan ini ditanam di atas surjan yang dibuat di areal persawahan. Tanaman kelapa ini dulu merupakan salah satu pendapatan penting bagi keluarga petani, tetapi sejak lima tahun terakhir harganya turun sehingga petani kurang bersemangat untuk memeliharanya. Harga kelapa di tingkat petani hanya berkisar antara Rp 400,- sampai Rp 700,- per butir. Padahal sebelumnya harga kelapa di tingkat petani bisa mencapai Rp 1.000,per butir atau lebih. Menurut petani, harga kelapa agar menguntungkan bagi petani minimal Rp 900,- per butir. Matapencaharian lainnya adalah mencari ikan, baik menangkap ikan di laut, mencari ikan di sungai maupun memelihara ikan di tambak.
Kegiatan
51 mencari ikan ini merupakan matapencaharian penting yang dapat menambah penghasilan keluarga. Bahkan menurut tokoh petani setempat, hingga tahun tahun 1980, penghasilan dari penangkapan ikan ini lebih besar dari usaha pertanian.
Tetapi sejak dibangunnya saluran Tabunganen dan pembukaan
lokasi transmigrasi pada awal tahun 1980, banyak tempat penangkapan ikan (beje) yang terputus oleh penggalian saluran. Pembangunan saluran inilah yang mengakibatkan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh ikan air tawar dengan hasil yang banyak seperti sebelumnya. Petani di Desa Tabunganen Muara terdiri atas petani pemilik, petani pemilik penggarap, petani penggarap, dan buruh tani. Petani pemilik penggarap proporsinya lebih banyak dari kelas petani lainnya, yakni mencapai 66,7% dari total 450 petani.
Petani pemilik sekitar 5,6%, petani penggarap 22,2% dan
buruh tani 5,6%. Rata-rata kepemilikan lahan sekitar 2,0 hektar dan umumnya tidak dalam satu hamparan, tetapi terpencar-pencar dalam beberapa persil lahan. Berdasarkan data dari penyuluh setempat, dari 1.183 hektar sawah di Desa Tabunganen Muara terbagi dalam 3.549 petak atau persil sawah. Sistem bagi hasil yang umum berlaku dalam usahatani padi adalah 2/3 bagian untuk penggarap dan 1/3 bagian untuk pemilik tanah. Sarana produksi seperti benih merupakan tanggung jawap penggarap, sedangkan pupuk dan pestisida tanggung jawab bersama antara penggarap dengan pemilik lahan. Selain itu juga berlaku sistem sewa, yakni setiap satu borong 1 lahan yang disewakan dibayar dengan dua blek 2 hasil gabah yang diperoleh. Benih dan pupuk maupun pestisida merupakan tanggung jawab penyewa. Kelembagaan sosial petani lainnya di wilayah ini yang masih eksis adalah kelompok tani dan gabungan kelompok tani. Terdapat 8 kelompok tani dan satu gabungan kelompok tani dengan jumlah anggota sebanyak 266 petani. Sejak kegiatan penyuluhan pertanian intensif dilakukan pemerintah sekitar tahun 1982, kelompok handil yang dulu merupakan kelembagaan utama petani di wilayah ini mulai tergeser oleh keberadaan kelompok tani.
Bahkan secara
perlahan, eksistensi kelembagaan handil sudah sangat berkurang dalam sistem sosial masyarakat setempat. Kelembagaan handil yang sebelumnya berperan
1
1 borong = 10 x 10 depa = 17x17 m2 = 289 m2, sehingga 1 hektar = 35 borong
2
1 blek = 20 liter atau sekitar 10 kg GKG
52 dalam pengaturan dan pengordinasian pertanian petani dalam suatu wilayah pengairan, kini dilakukan melalui kegiatan kelompok tani. Kegiatan gotong royong yang menjadi ciri khas petani dalam suatu handil kini sudah mulai memudar dan mulai diganti dengan sistem upah. Kegiatan gotong royong dalam usahatani padi yang masih ada seperti kegiatan tanam, tetapi anggotanya semakin sedikit.
Dalam kegiatan gotong royong seperti
menanam padi, dahulu diikuti 30-50 petani, tetapi kini hanya diikuti sekitar 10-15 petani saja.
Kegiatan gotong royong pembersihan handil yang dilakukan
setahun sekali oleh semua petani dalam handil tersebut kini juga jarang dilakukan. Menurut petani, kegiatan gotong royong ini mulai berkurang sejak pemerintah memberikan bantuan pengerukan dan pembersihan handil dengan menggunakan alat berat (excavator). Para petani beranggapan bahwa handilhandil tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dalam rangka membantu petani untuk meningkatkan produksi padi di lahan rawa pasang surut. Kondisi ini mengindikasikan adanya konflik akibat kelompok tani yang dibentuk dan dibina melalui campur tangan pemerintah tidak mampu memberdayakan petani dalam memelihara saluran air yang ada. Ikatan dan solidaritas sosial petani dalam kelompok tani tidak sekuat seperti mereka yang terhimpun dalam kelompok handil. Apalagi kini, kelompok tani dibentuk berdasarkan kedekatan domisili dan bukan atas kedekatan hamparan usahatani. Sebaliknya, kelompok handil anggotanya didasarkan atas kedekatan hamparan usahatani. Hal lain adalah umumnya antar anggota dalam suatu handil memiliki kedekatan geneologis (asal daerah) serta adanya ikatan emosisonal yang kuat dengan kepala handil. Pemasaran hasil pertanian seperti padi, kelapa dan buah-buahan lainnya hanya dilakukan di tempat tinggal petani. Para pedagang pengumpul dengan menggunakan perahu bermotor (kelotok) akan mendatangi rumah-rumah petani untuk membeli hasil pertanian tersebut. Para pedagang pengumpul ini juga bisa memberikan modal pinjaman bagi petani untuk keperluan pembelian pupuk atau sarana produksi lainnya.
Bunga pinjaman yang harus dibayar petani relatif
tinggi, berkisar antara 20-40% per tahun dan pembayaran dapat dilakukan pada saat panen. Walaupun bunga pinjaman ini relatif tinggi dibandingkan dengan bunga bank yang berlaku, tetapi karena tidak memerlukan administrasi yang rumit (hanya bermodal saling percaya), praktik seperti ini tetap eksis hingga sekarang.
Bagi pedagang pengumpul yang meminjamkan modalnya, selain
53 memperoleh keuntungan berupa bunga, pinjaman ini juga merupakan bentuk ikatan moral agar petani tersebut menjual hasil panen kepadanya. Petani telah mengenal pupuk buatan seperti Urea dan TSP sejak tahun 1983 dan meluas penggunaannya mulai tahun 1990. Begitu juga dengan kapur pertanian sudah digunakan petani sejak tahun 1985.
Penggunaan pestisida
dalam kegiatan usahatani mulai digunakan pada tahun 2003. Pestisida ini hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu saja karena varietas lokal umumnya tidak banyak mengalami gangguan hama dan penyakit (kecuali tikus). Penggunaan peralatan modern seperti sabit dan mesin perontok mulai meluas sejak tahun 2004. 4.3.2 Desa Sungai Tunjang Desa Sungai Tunjang termasuk dalam wilayah Kecamatan Cerbon Kabupaten Barito Kuala dengan luas wilayah 1.750 ha. pertaniannya meliputi persawahan seluas 502 ha (28,7%),
Potensi areal tegalan 210 ha
(12,0%), pekarangan 340 ha (19,4%), kebun rakyat 200 hektar (11,4%), hutan 248 ha (14,2%), dan lainnya 250 ha (14,3%). Jumlah penduduk Desa Sungai Tunjang sebanyak 519 jiwa yang terhimpun dalam 130 KK. Sebanyak 126 keluarga (97%) di wilayah ini merupakan keluarga dengan matapencaharian utama sebagai petani. Masyarakat desa ini umumnya adalah penduduk suku Banjar (80%), Bakumpai (15%) dan lainnya sepeti Jawa dan Bugis (5%). Komunitas masyarakat yang tinggal di wilayah ini sudah sejak lama tinggal dan membuka lahan untuk pertanian padi. Bahkan menurut Atm (64 thn) salah seorang tokoh masyarakat Desa Sungai Tunjang, lahan pertanian di wilayah ini sudah dibuka sebelum tahun 1900. Mereka yang pertama membuka wilayah ini umumnya berasal dari rumpun etnis Banjar yang datang dari wilayah Margasari (Kabupaten Tapin) dan Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan). Pada awalnya mereka membuka wilayah-wilayah di sekitar Sungai Barito dan sepanjang anak sungainya hingga masuk ke daerah pedalaman. Petani di wilayah ini sekitar 85% merupakan petani pemilik penggarap, sebanyak 5% sebagai petani penggarap, dan petani pemilik penggarap sekaligus sebagai pengarap/penyewa sekitar 10%. Artinya selain memiliki lahan sendiri, ia juga menggarap atau menyewa lahan petani lainnya untuk menambah luas areal tanamnya.
Faktor inilah yang juga menyebabkan seorang petani
memiliki lahan yang tersebar pada beberapa tempat.
54 Matapencaharian utama penduduk di wilayah ini adalah bercocok tanam padi yang diusahakan satu kali setahun dengan menggunakan varietas lokal. Varietas Siam Mutiara merupakan varietas yang paling banyak ditanam petani di wilayah ini (luas tanamnya mencapai 300 ha). Varietas Siam Mutiara ini sejak tahun 2008 telah ditetapkan sebagai varietas unggul lokal. Varietas lain yang diusahakan seperti varietas Siam Unus, Siam Sebelas, Siam Rukut, dan lainnya. Produksi rata-rata berkisar antara 2,8-3,5 ton/ha. Wilayah persawahan di desa ini didominasi oleh lahan rawa pasang tipe B yang memungkinkan air masuk ke sawah hanya pada saat pasang besar.
Kondisi inilah yang menjadi faktor
penting sehingga pertanian padi di wilayah ini relatif lebih baik dari wilayah lainnya (wilayah tipe C dan D). Selain menanam padi, para petani juga mengusahakan tanaman buahbuahan seperti rambutan, jeruk dan mangga. Tanaman buah-buahan ini selain ditanam di areal pematang sawah dengan sistem tukungan, juga ditanam di areal kebun yang tanahnya relatif tinggi.
Mata pencaharian lainnya adalah
mencari ikan di sungai/sawah dan mencari kayu galam untuk keperluan konstruksi bangunan.
Areal tanaman galam ini semakin berkurang karena
selain dibuka untuk persawahan juga untuk lokasi transmigrasi dan perkebunan sawit. Beberapa rumah tangga petani, terutama kaum wanita juga ada yang membuat kerajinan tangan berupa tikar dari tanaman purun dalam skala rumah tangga. Sebelum tahun 1990 desa ini hanya dapat dicapai melalui transportasi sungai dan kendaraan roda dua. Kini setelah dibangun jalan yang melintasi desa ini, kendaraan roda empat juga sudah bisa melewati desa ini, bahkan menjadi poros utama perhubungan dari ibukota kabupaten (Marabahan) dengan ibukota provinsi (Banjarmasin).
Keterbukaan akses transportasi darat inilah
yang membuat desa ini mengalami perkembangan yang pesat. Komoditas hasil pertanian dapat dengan mudah dipasarkan baik ke ibukota kabupaten maupun ibukota propinsi. Walaupun demikian, pemasaran gabah yang dilakukan petani masih di desa kepada pedagang pengumpul setempat. Teknologi pertanian modern melalui program revolusi hijau yang diintroduksi kepada petani di desa ini kurang mendapat respon positif, terutama menyangkut penggunaan benih unggul. Bahkan hingga sekarang para petani enggan mengganti sistem pertanian yang selama ini mereka terapkan dengan cara-cara baru yang diintroduksi melalui program pemerintah tersebut. Alasan
55 mereka tidak mau menanam varietas unggul karena harga gabahnya yang relatif rendah dibanding varietas lokal, serta produktivitasnya yang tidak jauh berbeda dengan varietas lokal. Walaupun demikian, respon mereka terhadap pupuk kimia sangat tinggi, dan sejak tahun 1980 penggunaan pupuk kimia seperti Urea dan TSP sudah meluas di kalangan petani setempat. Bahkan keterlambatan dan kelangkaan pupuk kimia ini menjadi masalah utama yang mereka keluhkan dalam musim tanam 2009 ini. Untuk penggunaan kapur pertanian sebagai salah satu bahan yang dapat mengurangi kemasaman lahan telah mereka kenal sejak tahun 2000.
Sebelumnya mereka menggunakan garam untuk meningkatkan
kesuburan dan mengatasi kemasaman tanah.
Bahan kimia pestisida dan
herbisida juga telah dikenal di kalangan petani sejak tahun 1995 dan pada tahun 2000 telah meluas penggunaannya. Terkait dengan mekanisasi pertanian, pada tahun 1995 wilayah ini pernah dijadikan sebagai pusat pengembangan traktor tangan (hand tractor) untuk pengolahan tanah yang merupakan proyek bantuan kerjasama pemerintah Indonesia dengan pemerintah Korea. Ternyata penggunaan traktor tangan ini kurang diminati masyarakat setempat dan sejak tahun 2000 proyek ini terhenti. Hal ini selain karena secara teknis dianggap kurang cocok dengan kondisi lahan rawa pasang surut dan merupakan biaya tambahan bagi petani. Faktor lainnya adalah
karena
kurangnya
tenaga
terampil
yang
mengoperasikan
dan
merawatnya. Introduksi peralatan pertanian modern lainnya seperti penggunaan sabit bergerigi dan mesin perontok mulai diadopsi masyarakat sejak lima tahun terakhir.
Beberapa petani masih ada yang menggunakan cara lama, yakni
dengan alat ani-ani serta perontokkan dengan menggunakan kaki (diirik). Menurut petani setempat, pemilihan cara pemanenan padi ini biasanya tergantung dengan varietas padi lokal yang akan dipanen serta perlu tidaknya mempercepat waktu panen.
Mereka yang menanam varietas Siam Unus
biasanya memanennya dengan menggunakan ani-ani karena jenis padi ini mudah rontok jika disabit. Kelembagaan petani yang ada seperti kelompok tani (5 kelompok), kelompok perikanan (1 kelompok) dan gabungan kelompok tani (1 kelompok). Kelembagaan lainnya seperti lembaga bagi hasil, sistem sewa, sistem upah, peminjaman, dan lainnya.
Bagi petani yang tidak memiliki sawah dapat
56 menggarap sawah milik petani lain dengan sistem bagi hasil atau sewa. Sistem bagi hasil yang umum berlaku di wilayah ini adalah 1/3 bagian untuk pemilik tanah dan 2/3 bagian untuk penggarap, dimana saprodi seperti benih dan pupuk ditanggung bersama.
Pada sistem sewa, penggarap dikenakan biaya sewa
sebanyak 2 blek per borong sawah yang disewa dan semua sarana produksi menjadi tangungjawab penyewa lahan tersebut.
Sistem upah yang berlaku
dapat diperhitungkan dengan volume yang dikerjakan atau upah per setengah hari.
Di Desa Sungai Tunjang untuk kegiatan upahan hanya berlangsung
setengah hari saja dengan upah rata-rata Rp 15.000,- per setengah hari (pukul 07.00 hingga pukul 12.00). Kegiatan gotong royong atau yang sering disebut handipan biasanya dilakukan dalam kegiatan penanaman padi dan dilakukan secara bergilir untuk masing-masing pesertanya.
Setiap orang yang terlibat
wajib ikut serta dalam kegiatan tersebut dan dia berhak untuk memperoleh satu hari kerja pada lahan usahataninya. Konsumsi kegiatan ini berupa makan siang, minuman dan kue ditanggung oleh petani yang lahannya mendapat giliran untuk dikerjakan pada hari itu. 4.3.3 Desa Tinggiran Darat Desa Tinggiran Darat merupakan salah satu desa di Kecamatan Mekar Sari yang terletak di sepanjang Handil Soebardjo 3. Luas wilayah desa ini 2.000 ha dan 846 hektar (42,3%) merupakan areal sawah potensial, 630 hektar (31,5%) kebun, berupa hutan 443 hektar (22,2%), pekarangan 19 hektar (0,9%) dan lainnya 62 hektar (3,1%). Penduduk Desa Tinggiran Darat sebanyak 2.597 jiwa terdiri atas 1.276 laki-laki dan 1.321 perempuan serta terhimpun dalam 770 KK. Masyarakat desa ini didominasi oleh suku Banjar (95%) dan suku lainnya seperti Jawa. Masyarakat di wilayah ini berasal dari wilayah Banjarmasin (Kuin dan Alalak) serta wilayah hulu sungai yang datang sebelum masa kemerdekaan (sekitar tahun 1900).
Rumpun masyarakat dari wilayah hulu sungai terutama
dari Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kelua, Pasar Arba, dan Banua Lawas), Hulu Sungai Selatan, dan Hulu Sungai Tengah.
Mereka umumnya mengelompok
dalam handil-handil yang dibangun untuk tujuan bercocok tanam padi. Oleh
3
Nama handil diambil dari nama Gubernur Kalimantan Selatan yang menjabat pada masa itu (1970-1980)
57 karena itulah umumnya mereka memiliki ikatan sosial yang kuat dan antar tetangga masih dalam ikatan keluarga dekat. Sejak dilakukannya pengerukan kanal yang disebut Handil Soebardjo pada tahun 1970 hingga 1972, pertanian padi di wilayah ini semakin berkembang.
Produksi padi yang sebelumnya rata-rata hanya 1,75 ton/ha
meningkat menjadi 2,45-3,15 ton/ha serta semakin banyak lahan-lahan tidur yang dibuka menjadi areal persawahan. Mata pencaharian utama penduduk di wilayah ini adalah bercocok tanam padi sawah secara tradisional dengan menggunakan bibit lokal yang ditanam satu tahun sekali. Mata pencaharian sampingan penduduk adalah mencari ikan di sungai dan sawah, berkebun kelapa, nanas, dan kerajinan anyaman purun. Petani di wilayah ini sekitar 839 orang dan sebagian besar (62,5%) merupakan petani pemilik penggarap, petani lainnya adalah petani penggarap (19,4%), dan buruh tani (18,1%). Rata-rata kepemilikan lahan sawah adalah 1,0 hektar dan umumnya terpencar dalam beberapa persil lahan. Selain itu, petani di wilayah ini juga memiliki kebun yang ditanami kelapa, nanas, dan jenis buahbuahan lainnya dengan kepemilikan rata-rata 0,75 ha per keluarga. Wilayah ini sebagian besar (80%) merupakan areal persawahan pasang surut tipe C. Kendala utama pertanian di wilayah ini adalah kemasaman tanah yang tinggi, serangan tikus, dan harga produk pertanian seperti nanas dan kelapa yang terus merosot.
Mengingat wilayah ini merupakan lahan rawa
pasang surut tipe C, dimana air pasang hanya mempengaruhi tinggi permukaan tanah saja. Air sawah lebih banyak dipengaruhi oleh hujan dan pembuatan saluran berfungsi untuk menjaga ketinggian air tanah serta untuk drainase saat musim hujan. Oleh karena itulah kapur pertanian merupakan alternatif utama mengatasi permasalahan kemasaman tanah di wilayah ini. Penggunaan kapur berarti biaya tambahan bagi petani, padahal berdasarkan rekomendasi penyuluh pertanian dosis kapur rata-rata untuk wilayah ini adalah 1-2 ton/ha dengan periode pemberian 3-5 tahun sekali. Harga kapur pertanian ini sekitar Rp 600,-/kg, sehingga mereka memerlukan biaya tambahan antara Rp 600.000 hingga Rp 1.200.000,- per hektar dalam periode 35 tahun.
Karena keterbatasan modal, biasanya petani hanya melakukan
pengapuran dengan dosis 300-500 kg per hektar dan diberikan setiap tahun. Untuk mengefektifkan penggunaan kapur, mereka biasanya menaburkannya
58 pada tempat-tempat yang dianggap memiliki tingkat kemasaman tinggi. Seperti yang dituturkan Mhd (65 th), seorang petani di wilayah Handil Mahang: ”Pahumaan nang saban tahun dipupuk lawan Urea tanahnya jadi bakaras lawan batambah masam. Supaya bakurang masamnya, dibarii kapur. Biasanya aku mangapur saadanya haja, paling-paling 5 sak gasan nang 20 borongan ini. Nah supaya tanah pahumaan jangan karas harus dibari uyah. Uyahnya dihambur di tanah-tanah nang karas atau tinggi. Mauyahi pahumaan ini kada saban tahun, tapi bisa 3 tahun atau 5 tahun sakali. Banyaknya paling-paling 2 sampai 3 kilo saborongan tagantung kaadaan pahumannya.” [Sawah yang tiap tahun dipupuk dengan Urea tanahnya menjadi keras dan meningkat kemasamannya. Supaya berkurang kemasamannya, diberi kapur. Biasanya saya memberi kapur secukupnya saja, sekitar 5 sak (150 kg) untuk sawah seluas 20 borong (0,57 ha). Nah, supaya tanah sawah tidak menjadi keras harus diberi garam. Garam ditebar pada tanah yang keras atau tinggi. Pemberian garam ini tidak tiap tahun, tetapi bisa 3-5 tahun sekali. Dosisnya sekitar 2 sampai 3 kg per borong (70-105 kg/ha) tergantung kondisi sawahnya.]
Hama tikus di wilayah ini selain menyerang tanaman padi pada masa pertanaman di sawah juga menyerang lumbung padi yang dimiliki petani. Untuk mengatasi serangan hama tikus di sawah, selain menggunakan bahan kimia, beberapa
petani
menggunakan
peralatan
sederhana.
Alat
ini
dapat
menghasilkan bunyi sehingga tikus seperti kebingungan dan tidak bisa berlari sehingga mudah ditangkap. Alat tersebut mereka buat sendiri dengan bahanbahan sederhana yang terdiri atas kaleng bekas botol pestisida, dinamo pemutar VCD, bambu dan sumber tenaga dari aki baterai sepeda motor.
Alat ini
biasanya digunakan pada malam hari yang dikombinasikan dengan kegiatan gerpyokan dengan beberapa petani lainnya. Untuk mengatasi serangan tikus pada lumbung padi, petani membuat bangunan lumbung secara khusus disamping atau di dekat tempat tinggal mereka. Bangunan yang dibuat dari bahan kayu dengan dinding yang tertutup rapat sehingga tidak ada celah untuk masuknya tikus ke dalam lumbung tersebut. Cara ini agak berbeda dengan petani di wilayah lain yang menyimpan gabah hasil panennya dalam karungkarung. Beberapa petani yang mengusahakan tanaman kelapa dan nanas juga mengalami kendala pemasaran. Merosotnya harga kelapa hingga kini masih belum banyak dapat diatasi, beberapa petani menyiasatinya dengan cara menjual kelapa dalam bentuk kopra untuk meningkatkan harga jual. Walaupun demikian, kebanyakan petani masih menjualnya dalam bentuk butiran karena
59 untuk membuat kopra diperlukan tenaga kerja dan modal tambahan. Khusus untuk komoditas nanas, penurunan harganya lebih disebabkan karena adanya panen raya dan harganya dapat turun hingga 70%. Jika harga normal dapat mencapai Rp 1.000,-/buah, pada masa panen raya hanya mencapai Rp 300,/buah.
Untuk mengatasi kendala ini, para petani menggunakan bahan
perangsang buah, sehingga nanas bisa berbuah sesuai dengan waktu yang diinginkan. Kebun nanas biasanya dibagi dalam beberapa petak, selanjutnya masing-masing petak disemprot dengan bahan kimia perangsang buah dengan selang satu bulan.
Teknik ini dapat menghasilkan panen nanas yang
berlangsung setiap bulan sepanjang tahun, sehingga harga nanas tidak mengalami fluktuasi akibat adanya panen raya. Kegiatan gotong royong yang dikembangkan sejak dulu melalui kelompok handil kini semakin
berkurang intensitasnya dan mulai digantikan
dengan sistem upah serta sistem bagi hasil. Sistem upah kegiatan pertanian yang berlaku umumnya berupa upah borongan atas pekerjaan tertentu. Misalnya upah untuk kegiatan pengolahan tanah (‘menajak’) sekitar Rp 25.000,- Rp 30.000,- per borong (1 hektar = 35 borong), upah tanam Rp 15.000,/borong, dan upah panen Rp 5.000,-/blek (1 blek = 20 ltr). Kegiatan kelompok handil kini sudah jarang dilakukan, dan digantikan dengan kegiatan kelompok tani yang dibentuk berdasarkan domisili atau tempat tinggal petani. Bagi hasil yang umum berlaku adalah 1/3 bagian untuk pemilik lahan dan 2/3 bagian untuk penggarap, serta sarana produksi ditanggung bersama.
Untuk sewa lahan,
sebesar 2 blek/borong per musim tanam atau sekitar 7 kw/ha dan dibayarkan pada saat masa panen berlangsung. Di wilayah ini juga terdapat 16 kelompok tani, 2 gabungan kelompok tani, dan 3 kios sarana produksi (saprodi). Sarana transportasi sungai merupakan moda transportasi utama bagi penduduk Desa Tinggiran Darat. Sejak dibangunnya jalan untuk transportasi darat pada tahun 1978, kendaraan roda dua mulai digunakan. Bahkan sejak tahun 2000-an sudah dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Masuknya listrik pada tahun 1992 menjadi tonggak penting dalam kehidupan masyarakat Desa Tinggiran Darat.
Selain untuk penerangan, masyarakat mulai mengenal
peralatan elektronik seperti televisi, lemari es, VCD/DVD dan lainnya.
Kini
barang-barang elektronik tersebut, telepon genggam (handphone), kendaraan roda dua bukan lagi merupakan barang mewah karena rata-rata setiap rumah tangga di desa ini telah memilikinya.
60 Kegiatan pemasaran produk-produk pertanian selain menggunakan transportasi sungai juga dilakukan dengan angkutan darat, baik roda dua maupun roda empat. Umumnya petani setempat hanya memasarkan produk pertaniannya di dalam desa saja. Pedagang pengumpul yang ada di desa ini selanjutnya membawa hasil pertanian tersebut ke Banjarmasin atau ke wilayah Kalimantan Tengah (terutama Kapuas). Modal usahatani merupakan salah satu kendala petani dalam berusahatani, dan biasanya mereka meminjamnya kepada pemilik modal yang ada di desa atau kepada pedagang pengumpul. Bunga yang harus ditangung petani cukup tinggi, yakni sekitar 30% untuk masa pinjaman 8 bulan (sekitar 45% setahun) yang dibayar pada saat panen padi. Masyarakat Desa Tinggiran Darat telah mengenal berbagai teknik pertanian modern seperti pupuk kimia (Urea) sejak tahun 1975 dan meluas penggunaanya sejak tahun 1980. Kapur pertanian (kapur bakar) sudah mulai digunakan sejak tahun 1980 dan kemudian beralih menggunakan kapur dolomit pada tahun 1990.
Herbisida untuk pengendalian gulma mulai meluas
penggunaannya sejak tahun 2000, begitu juga penggunaan sabit bergerigi dan mesin perontok. Walaupun demikian, masih sedikit sekali petani yang menanam padi lokal, hanya mereka yang ikut dalam program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) yang menanamnya. satunya
memberikan
bantuan
benih
ungul
Kegiatan SLPTT ini salah varietas
Ciherang
untuk
dikembangkan petani. 4.3.4 Desa Simpang Nungki Desa Simpang Nungki merupakan salah satu desa di Kecamatan Cerbon yang hampir semua wilayah persawahannya merupakan sawah lahan rawa pasang surut tipe D. Oleh karena itu sistem pengairannya sangat tergantung dengan air hujan yang turun.
Desa ini memiliki luas 1.950 ha dan 711 ha
(36,5%) merupakan areal sawah potensial, 188 hektar (9,64%) tegalan, berupa hutan 608 ha (31,8%), perkebunan rakyat 195 ha (10,0%), pekarangan 25 ha (1,3%), dan lainnya 223 ha (11,4%).
Penduduk Desa Simpang Nungki
sebanyak 2.599 jiwa yang terhimpun dalam 636 KK (termasuk penduduk transmigran dari Jawa). Masyarakat asli penduduk ini berasal dari suku Banjar dan Bakumpai, Penduduk pendatang umumnya adalah warga transmigran yang didatangkan dari Jawa tahun 2005, 2006, dan 2007 dengan jumlah 325 KK atau 1.296 jiwa.
Bagi warga masyarakat setempat, kedatangan transmigran ini
61 disambut baik dan program ini memang atas keinginan pemerintah Kabupaten Barito Kuala dalam rangka pengembangan wilayah pertanian baru. Wilayah Desa Simpang Nungki ini telah ratusan tahun dibuka untuk keperluan pertanian, terutama padi.
Mereka mengusahakan tanaman padi
secara tradisional dengan periode tanam satu kali setahun. Varietas yang ditanampun adalah varietas lokal yang memang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat yang memiliki kemasaman tanah yang cukup tinggi (pH tanah 4,5 hingga 6,0). Dibandingkan dengan wilayah lainnya (tipe A, B, dan C), produktivitas padi yang dihasilkan tergolong rendah, rata-rata hanya 21,0-2,80 ton/ha. Dalam sejarah kehidupan petani di desa ini, beberapa kali masyarakat mengalami kegagalan yang mengakibatkan mereka harus meninggalkan desa ini untuk berusahatani padi ke wilayah lain, bahkan hingga ke wilayah Kalimantan Tengah.
Menurut petani setempat pada tahun 1950, wilayah ini
terpaksa ditinggalkan karena lahan sawah terendam air dalam jangka waktu yang lama sehingga tanaman padi menjadi rusak. Sebagian dari mereka pergi ke wilayah Kecamatan Gampa (Batola), Anjir, hingga wilayah Margasari (Kabupaten Tapin) dan Talaran (wilayah Kalimantan Tengah).
Pada tahun
1952, dengan dipelopori warga pendatang dari Margasari, wilayah ini dibuka kembali dan ditanami kembali dengan padi varietas lokal. Pada tahun 1965, terkait dengan kekacauan politik dan peristiwa Gestapu hampir semua penduduk di wilayah ini pergi meninggalkan desa. Kebanyakan penduduk pindah ke wilayah Palingkau (Kalimantan Tengah) dan beberapa ada yang pindah ke Kecamatan Sungai Gampa karena memiliki lahan di sana. Setelah kondisi politik normal, pada tahun 1974, mereka kembali lagi ke Desa Simpang Nungki ini dan mulai membuka lahan untuk bertani lagi. Matapencaharian penduduk selain bertani padi adalah mencari kayu galam yang memang banyak terdapat di hutan-hutan sekitar desa mereka. Selain mencari kayu galam, banyak juga penduduk yang menangkap ikan, baik untuk keperluan sendiri maupun untuk dijual.
Sejak pembukaan areal
transmigrasi pada tahun 2004, usaha mencari kayu galam dan ikan ini semakin berkurang. Kini usaha mencari kayu galam ini semakin terdesak dengan adanya pembukaan perkebunan kelapa sawit di wilayah ini dan desa-desa sekitarnya. Tanaman buah-buahan yang diusahakan seperti rambutan dan mangga jumlahnya juga terbatas sehingga
tidak berarti banyak untuk menunjang
62 ekonomi keluarga. Oleh karena itulah, sekitar 80% penduduk desa Simpang Nungki perekonomian keluarganya hanya berasal dari usaha pertanian padi sawah. Usaha sampingan lainnya yang ditekuni oleh masyarakat adalah bekerja sebagai tukang atau buruh bangunan, di ibukota kabupaten maupun ibukota provinsi di Banjarmasin.
Usaha inipun terbatas hanya pada mereka yang
memiliki keterampilan atau keahlian pertukangan saja. Kegiatan ibu-ibu rumah tangga untuk menopang ekonomi keluarganya dilakukan dengan menanam tanaman sayuran di pekarangan atau sekitar rumah maupun di galangan. Usaha inipun sebagian besar hanya untuk konsumsi keluarga sendiri dan sangat sedikit yang dapat dijual atau dipasarkan. Kepemilikan sawah oleh petani di wilayah ini rata-rata 1,25 hektar serta dengan produktivitas 2,1-2,8 ton/ha.
Petani di wilayah ini umumnya adalah
petani pemilik pengarap (85,0%) dan petani penggarap (15%).
Tidak
mengherankan jika banyak petani (sekitar 25%) yang dalam usahataninya mengharapkan modal pinjaman dari pihak luar. Pinjaman modal ini selain dari program bantuan pemerintah melaui dana APBD Pemerintah Kabupaten Batola, mereka juga terpaksa meminjamnya kepada pedagang pengumpul dengan bunga yang cukup tinggi (hingga 40% setahun). Kondisi inilah yang menurut petani setempat semakin memperlemah posisi dan daya saing petani setempat untuk mengembangkan usahanya. Benih unggul sebenarnya telah diperkenalkan sejak tahun 1980, tetapi petani kurang berminat untuk mengusahakannya. Tidak berminatnya petani untuk mengembangkan padi varietas unggul, selain faktor teknis kondisi lahan juga menyangkut ketersediaan perlunya modal dalam jumlah yang relatif besar untuk mengusahakan padi unggul tersebut. Untuk teknologi pertanian modern seperti penggunaan pupuk, petani memberikan respon positif dan sejak tahun 1995 telah meluas di kalangan petani setempat.
Walaupun demikian,
penggunaannya masih sedikit (hanya 50% dari rekomendasi) karena faktor keterbatasan modal usaha.
Begitu juga halnya dengan bahan-bahan kimia
seperti pestisida, walaupun telah dikenal luas sejak tahun 2000, penggunaannya juga masih terbatas dengan dosis yang minimal. Introduksi peralatan pertanian seperti sabit dan mesin perontok gabah mulai diminati sejak tiga tahun terakhir. Penggunaan sabit dianggap dapat mempercepat kegiatan panen serta kapasitas kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan ani-ani. Mesin perontok masih
63 belum banyak digunakan karena jumlahnya yang terbatas, sehingga sebagian mereka merontok gabah dengan cara diinjak atau memukulkannya ke kayu maupun bambu. Kelembagaan sosial utama yang ada di wilayah ini adalah kelompok tani yang dianggap dapat membantu upaya peningkatan produksi padi. Penyaluran pupuk dengan sistem tertutup (melalui RDKK) hanya memungkinkan anggota kelompok tani saja yang boleh atau dapat membeli pupuk. Selain itu bantuan modal dari dana APBD untuk kegiatan usahatani padi hanya diterima oleh mereka yang terdaftar sebagai anggota kelompok tani saja. Kegiatan gotong royong seperti penanaman padi dan pengolahan tanah masih sering ditemui di wilayah ini. Terdapat 7 kelompok tani dan satu gabungan kelompok tani di Desa Simpang Nungki. Hubungan kekerabatan yang relatif dekat merupakan salah satu faktor yang membuat ikatan sosial masyarakat di wilayah ini cukup kuat. Sistem sewa lebih banyak dilakukan di wilayah ini dibandingkan dengan sistem bagi hasil. Sewa lahan sawah untuk yang umum berlaku di wilayah ini adalah 1,5 atau 2 blek gabah per borong. Pemasaran hasil pertanian umumnya dilakukan di desa atau di rumah petani kepada pedagang pengumpul yang biasanya juga bertindak sebagai pemberi pinjaman modal usaha. Dalam setiap musim panen, sekitar 50% gabah terpaksa dijual pada saat musim panen untuk keperluan biaya panen itu sendiri dan membayar hutang. Padahal pada masa-masa ini harga jual gabah berada pada titik harga terendah. Fluktuasi harga gabah antara masa panen (AgustusOktober) dengan masa paceklik (Pebruari-April) berkisar antara Rp 5.000,hingga Rp 10.000,- per blek GKG. 4.4 Ikhtisar: Perbandingan Desa Penelitian Desa-desa penelitian merupakan wilayah yang telah lama ada, bahkan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Keempat desa yang dipilih dalam penelitian ini merupakan desa pertanian dengan komoditas utama tanaman padi, sebagaimana desa-desa lain yang ada di Kabupaten Barito Kuala. Masing-masing desa mewakili karakteristik lahan rawa pasang surut yang dominan di wilayah tersebut, yakni: Desa Tabunganen Muara (lahan rawa pasang surut tipe A), Desa Sungai Tunjang (lahan rawa pasang surut tipe B), Desa Mekarsari (lahan rawa pasang surut tipe C), dan Desa Simpang Nungki (lahan rawa pasang surut tipe D).
64 Secara agro-ekologis wilayah Desa Tabunganen Muara merupakan wilayah lahan rawa pasang surut tipe A.
Gerakan air pasang dan surut
dipersawahan terjadi setiap hari sehingga aktivitas petani dalam sistem budidaya padi sangat dipengaruhi oleh kondisi tersebut. Genangan air sawah di sawah yang mencapai 50 cm pada saat pasang dan kering pada saat surut hanya memungkinkan sawah ditanami dengan varietas lokal dengan sistem pembibitan yang khusus (transplanting).
Kondisi agro-ekologis seperti inilah
yang melahirkan pengetahuan lokal petani untuk mengembangkan varietas padi lokal yang adaptif dengan kondisi setempat. Fluktuasi genangan air yang tinggi merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan sistem pertanian padi unggul hingga hingga kini masih belum bisa diterapkan. Kondisi agro-ekologis di lahan rawa pasang surut tipe B yang hanya terluapi air pada saat pasang besar saja memberikan kemungkinan untuk pengembangan sistem pertanian yang lebih bervariasi.
Begitu juga halnya
dengan agro-ekosistem lahan rawa pasang surut tipe C dan D yang gerakan pasang surutnya hanya berpengaruh pada permukaan air tanah saja.
Kendala
teknis dalam pengembangan pertanian modern berbasis padi unggul lebih disebabkan oleh kemasaman tanah dan senyawa beracun (pirit) yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman padi. Persawahan di lahan rawa pasang surut tipe A merupakan wilayah yang pertama dikembangkan untuk pertanian padi oleh petani setempat. Oleh karena itulah, ikatan sosial dan kelembagaan sosial lokal di wilayah ini lebih berkembang dibandingkan dengan di tipe B, C dan D. Kelembagaan handil sangat berperan, terutama dalam proses pembukaan lahan persawahaan. Komunitas dan desa-desa di lahan rawa pasang surut yang terbentukpun umumnya berada di sepanjang sungai maupun anak-anak sungai.
Berbeda
halnya dengan komunitas di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D, perkembangan komunitas dan desa-desanya lebih banyak dipicu oleh kegiatan pengembangan lahan rawa pasang surut yang dilakukan oleh pemerintah. Pengerukan handil dan pembukaan lokasi transmigrasi merupakan program pemerintah yang turut mendorong perkembangan desa tersebut.
Secara
ringkas perbandingan desa-desa yang menjadi lokasi penelitian pada keempat agro-ekosistem lahan rawa pasang surut ini dapat dilihat pada Tabel 8.
65
Tabel 8 Ikhtisar perbandingan empat desa lokasi penelitian di lahan rawa pasang surut Desa Tabunganen Muara (tipe A)
Desa Sungai Tunjang (tipe B)
Desa Tinggian Darat (tipe C)
Desa Simpang Nungki (tipe D)
No
Parameter
1
Luas wilayah
1.500 hektar
1.750 hektar
2.000 hektar
1.950 hektar
2
Luas sawah
1.183 hektar
502 hektar
846 hektar
711 hektar
3
Jumlah penduduk
1.485 jiwa
519 jiwa
2.597 jiwa
2.599 jiwa
4
Jumlah keluarga
500 KK
130 KK
770 KK
636 KK
5
Matapencaharian utama
Petani padi
Petani padi
Petani padi
Petani padi
6
Matapencaharian sampingan
Kebun kelapa, tanaman buah-buahan (mangga dan jeruk), mencari ikan di sungai dan di laut.
Tanaman buah-buahan (rambutan, jeruk,mangga), mencari kayu galam, mencari ikan di sungai/sawah, kerajinan anyaman ’purun’
Mencari ikan di sungai/handil, dan sawah, berkebun nanas dan kelapa, anyaman ’purun’
Mencari kayu galam, tukang/buruh bangunan, sebagian kecil mengusahakan tanaman buahbuahan (rambutan dan mangga)
7
Aksesibilitas
Transportasi air dan kendaraan roda 2
Kendaraan roda 2 dan 4
Transportasi air serta kendaraan roda 2 & 4
Kendaraan roda 2 dan 4
8
Komposisi penduduk
Suku Banjar (90%), suku lainnya Jawa, Bugis, Sunda
Suku Banjar (80%), bakumpai (15%), Lainnya seperti Jawa dan Bugis (5%)
Suku Banjar (95%) dan Jawa (5%)
Banjar (51%), Jawa (49%), masuknya transmigrasi tahun 2005,2006, dan 2007
66 Lanjutan Desa Tabunganen Muara (tipe A)
Desa Sungai Tunjang (tipe B)
Desa Tinggian Darat (tipe C)
Desa Simpang Nungki (tipe D)
Varietas padi yang dominan ditanam
Varietas lokal, terutama dari kelompok Bayar dan Siam (‘banih ganal’) berumur 10-11 bulan
Varietas lokal Siam Mutiara yang sejak tahun 2008 ditetapkan sebagai varietas unggul lokal (9 bulan)
Varietas lokal dari jenis Siam (Unus, Perak, Putih, dan Kuning) dengan umur sekitar 9-10 bulan
Varietas lokal dari jenis Siam (Unus, sebelas, dan mutiara) dengan umur sekitar 9 bulan
10
Kendala usahatani padi
Masuknya air asin ke sawah dan serangan hama tikus
Serangan hama tikus dan kemasaman tanah
Kemasaman tanah, serangan tikus, harga nanas dan kelapa yang rendah
Kemasaman tanah, serangan tikus, kurangnya modal usahatani.
11
Produksi rata-rata
35,0 – 42,0 kw/ha
28,0 – 35,0 kw/ha
24,5 - 31,5 kw/ha
21,0 - 28,0 kw/ha
12
Sistem pemasaran
Petani (gabah) Æ pengumpul desa (beras) Æ pedagang beras di Banjarmasin dan Kalimantan Tengah (Kapuas)
Petani (gabah) Æ pengumpul desa (beras) Æ pedagang beras di Banjarmasin dan Kalimantan Tengah (Buntok dan Muara Teweh)
Petani (gabah) Æ pengumpul desa (beras) Æ pedagang beras di Banjarmasin
Petani (gabah) Æ pengumpul desa (beras) Æ pedagang beras di Banjarmasin
13
Kepemilikan lahan usahatani padi
Petani pemilik penggarap (66,7%), petani pemilik (5,6%), petani penggarap (22,2%) dan buruh tani (5,6%)
Petani pemilik penggarap (85,0%), petani penggarap (5,0%) dan pemilik penggarap + penggarap/penyewa (10,0%)
Petani pemilik penggarap (62,5%), petani penggarap (19,4%) dan buruh tani (18,1%)
Petani pemilik penggarap (85,0%) dan petani pengarap (15,0%).
No
Parameter
9
67 Lanjutan No
Parameter
14
Kelembagaan ekonomi
Desa Tabunganen Muara (tipe A)
Desa Sungai Tunjang (tipe B)
Bagi hasil : penggarap 2/3 dan pemilik 1/3, saprodi ditanggung bersama, kecuali benih dari penggarap
Bagi hasil : penggarap 2/3 dan pemilik 1/3, saprodi ditanggung bersama
Bagi hasil : penggarap 2/3 dan pemilik 1/3, saprodi ditanggung bersama
Bagi hasil : penggarap 2/3 dan pemilik 1/3, saprodi ditanggung bersama
Sewa lahan : dibayar saat panen sebanyak 2 blek/ borong (7kw/ha).
Sewa lahan : dibayar saat panen, sebanyak 2 blek/ borong (7 kw/ha).
Sewa lahan : dibayar saat panen, sebanyak 1-2 blek/ borong (3,57,0 kw/ ha), tergantung kondisi sawah.
Sewa lahan : dibayar setelah panen 2 blek/borong (7 kw/ha). Upah kerja per setengah hari. Gotong royong (’baharian’) untuk kegiatan tanam
15
Kelembagaan sosial lainnya
Kelompok handil mulai mulai digantikan peranannya dengan kelompok tani. Terdapat 8 kelompok tani dan 1 gapoktan
Upah kerja berdasarkan volume pekerjaan atau upah harian Gotong royong terutama untuk kegiatan penanaman
Kelompok tani 5 buah, 1 kelompok perikanan dan 1 gapoktan.
Desa Tinggian Darat (tipe C)
Upah kerja berdasarkan volume pekerjaan atau upah harian Gotong royong terutama untuk kegiatan penanaman
Kelompok tani 16 kelompok, dan 2 gapoktan, serta 3 buah kios saprodi
Desa Simpang Nungki (tipe D)
Upah kerja berdasarkan volume pekerjaan atau upah harian Gotong royong terutama untuk kegiatan penanaman Terdapat 7 kelompok tani dan 1 gapoktan
68 Lanjutan No
Parameter
16
Pengenalan terhadap introduksi teknologi pertanian modern
Desa Tabunganen Muara (tipe A)
Desa Sungai Tunjang (tipe B)
Desa Tinggian Darat (tipe C)
Desa Simpang Nungki (tipe D)
Pupuk buatan (Urea dan TSP) dikenal sejak 1983 dan meluas pada tahun 1990. Pestisida meluas digunakan sejak 2003. kapur pertanian dikenal sejak 1985. Sabit dan mesin perontok banyak digunakan sejak 2004.
Penggunaan Urea dan TSP meluas tahun 1980-an, Herbisida dikenal sejak 1995 dan meluas pada tahun 2000. Penggunaan kapur telah meluas sejak tahun 2000. Tahun 1995 telah mengenal traktor tangan, tetapi tidak berkembang. Sabit dan mesin perontok meluas penggunaannya sejak 2003.
Urea sudah dikenal sejak 1975 dan meluas penggunaannya 1980, kapur bakar sejak 1980 dan dolomit 1990. Herbisida, sabit bergerigi dan mesin perontok meluas penggunaannya sejak tahun 2000
Benih unggul diperkenalkan sejak tahun 1980. Pupuk buatan baru meluas penggunaannya sejak 1995. Pestisida, terutama herbisida meluas penggunaannya sejak tahun 2000. Sabit dan mesin perontok mulai digunakan secara luas pada tahun 2005
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
69 Secara keseluruhan keempat desa yang mewakili empat agroekosistem lahan rawa pasang surut tersebut memiliki beberapa perbedaan spesifik baik dari aspek biofisik maupun dari aspek sosial ekonomi. Desa Tabunganen Muara yang merupakan tipikal desa di wilayah lahan rawa pasang surut tipe A sistem budidaya padinya hanya menggunakan varietas lokal. Bahkan varietas lokal yang digunakan lebih banyak didominasi oleh varietas Bayar berumur (10-11 bulan).
Kondisi lahan yang selalu tergenang merupakan salah satu alasan
mengapa di wilayah ini tidak ada yang menanam varietas unggul. Sebaliknya di Desa Sungai Tunjang (tipe B), Tinggiran Darat (tipe C), dan Simpang Nungki (tipe D) varietas lokal yang digunakan umumnya dari jenis Siam (berumur 9-10 bulan). Bahkan di Desa Sungai Tunjang (tipe B), varietas lokal yang ditanam merupakan varietas lokal yang telah mendapat sertifikat sebagai varietas unggul lokal (Siam Mutiara). Produktivitas padi yang dihasilkan juga memperlihatkan hasil yang berbeda, berturut-turut yang tertinggi di lahan rawa pasang surur tipe A, B, C, dan terendah di tipe D. Perbedaan ini lebih disebabkan oleh kesuburan dan kemasaman tanah, serta adanya luapan air yang membawa bahan-bahan organik. Pada lahan rawa pasang surut tipe A, luapan air yang masuk ke sawah banyak membawa bahan-bahan organik dan kemasaman tanahnya relatif rendah dibandingkan dengan tipe B, C dan D. Sebaliknya, pada lahan rawa pasang surut tipe C dan D, luapan air pasang tidak sampai ke persawahan dan kebanyakan lahannya merupakan lahan sulfat masam. Hal ini mengakibatkan proses pencucian kemasaman tanah lebih banyak tergantung pada air hujan. Kondisi sosial ekonomi masyarakatnya juga memperlihatkan pola yang berbeda.
Walaupun
matapencaharian
masyarakat
utama
sebagai
pada petani
ke
empat
padi,
desa
tetapi
ini
memiliki
matapencaharian
sampingan mereka menunjukkan pola yang berbeda. Usahatani padi lokal memungkinkan petani memiliki waktu luang yang banyak untuk mengerjakan kegiatan di luar usahatani padi.
Inilah salah satu yang menjadi alasan
masyarakat setempat sehingga mereka lebih tertarik untuk mengusahakan budidaya padi lokal. Matapencaharian sampingan ini biasanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga sehari-hari.
Untuk pengeluaran
yang besar dan bersifat insidentil, biasanya diperoleh dari penjualan hasil padi. Bagi masyarakat Desa Tabunganen Muara (tipe A), usaha tanaman kelapa merupakan kegiatan yang cukup memberikan penghasilan tambahan
70 bagi keluarga mereka. Kondisi desa yang dekat dengan laut juga dimanfaatkan masyarakat setempat untuk mencari ikan dan mengusahakan tambak ikan dan udang (tambak tradisional). Masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe B juga memiliki mata pencaharian berupa usaha tanaman buah-buahan (rambutan dan jeruk) dan mencari ikan di sawah atau sungai.
Untuk masyarakat di Desa
Tinggiran Darat (tipe C) matapencaharian sampingan yang banyak dilakukan adalah mengusahakan tanaman nanas yang terkenal dengan “Nanas Tamban”. Bagi masyarakat di Desa Simpang Nungki, pekerjaan sebagai pencari kayu Galam dan buruh bangunan merupakan matapencaharian sampingan yang banyak terdapat di desa tersebut. Perkembangan organisasi sosial yang utama di wilayah lahan rawa pasang surut seperti organisasi handil memperlihatkan pola perkembangan yang berbeda pula. Pembentukan organisasi sosial petani berupa kelompok tani telah menghilangkan peranan handil ini dalam kehidupan masyarakat.
Kondisi ini
terutama terjadi di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D. Khusus untuk lahan rawa pasang surut tipe A, eksistensi handil ini masih ada, walaupun juga telah berkurang dengan dibentuknya kelompok tani. Terkait dengan masuknya sains dan teknologi pertanian modern, masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe A lebih sedikit menyerap masuknya sains dan teknologi modern ini. Kondisi agroekosistem yang kurang cocok untuk pengembangan pertanian modern melalui pengusahaan padi unggul merupakan faktor utama yang menyebabkan sains dan pertanian modern ini kurang berkembang.
Sebaliknya, di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D,
perkembangan sains dan pertanian modern relatif lebih banyak diterima oleh petani.
Walaupun demikian, sains dan teknologi pertanian yang diterima
masyarakat
masih
terbatas
pada
aspek
yang
mampu
memecahkan
permasalahan kesuburan tanah (seperti pupuk kimia), kemasaman tanah (penggunaan kapur) dan penghematan tenaga kerja (penggunaan alat panen dan mesin perontok).
71
V SISTEM PERTANIAN PADI LOKAL DI LAHAN RAWA PASANG SURUT 5.1 Sejarah Pembukaan Lahan Rawa Pasang Surut Lahan rawa pasang surut termasuk dalam kategori lahan marginal karena adanya berbagai kendala sifat biofisik seperti tingkat kesuburan yang kurang, kendala kemasaman tanah, adanya gambut, dan lainnya. Walaupun demikian, lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan ini telah lama dimanfaatkan oleh petani Banjar untuk kegiatan pertanian, terutama padi. Bahkan pengembangan lahan rawa pasang surut untuk pertanian ini sejak jaman kolonial Belanda.
Menurut Idak (1982), petani setempat sebelumnya
mengenal sawah pasang surut ini dengan sebutan sawah bayar 4. Istilah sawah pasang
surut
digunakan
secara
meluas
sejak
tahun
1958
ketika
dilaksanakannya Rice Project di Kalimantan Selatan (tepatnya di wilayah Balandean, Kabupaten Barito Kuala). Padi yang ditanam di lahan rawa pasang surut ketika itu bukan hanya varietas Bayar saja yang ditanam, tetapi varietas lainnya seperti Lemo 5. Pembukaan lahan yang dilakukan oleh petani Banjar umumnya dilakukan secara berkelompok di sepanjang Sungai Barito. Mengapa lokasi yang dipilih pertama untuk dibuka adalah wilayah sekitar bantaran sungai? Hal ini terkait dengan pengetahuan
yang telah turun temurun, bahwa umumnya lahan di
sepanjang bantaran sungai merupakan lahan-lahan subur dan cocok untuk tanaman padi. Selain itu, masuk dan keluarnya air pada petak sawah lebih mudah diatur sehingga kendala kesuburan lahan dan kemasaman tanah dapat diatasi.
Air sungai yang masuk ke petak-petak sawah mengandung bahan-
bahan organik yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman sekaligus proses pencucian (leaching) kemasaman tanah dan bahan-bahan beracun berlangsung lancar. Wilayah-wilayah sekitar bantaran sungai ini dalam tipologi pembagian lahan rawa pasang surut berdasarkan luapan airnya dikenal dengan wilayah pasang surut tipe A. Inilah sebabnya komunitas-komunitas awal petani 4
Istilah sawah Bayar ini terkenal sejak tahun 1920, karena padi yang ditanam di sawah ini adalah Varietas Bayar. Nama Bayar ini mengandung makna bahwa petani yang menanam padi ini akan mampu melunasi hutang-hutangnya berkat hasil panen yang diperolehnya. Varietas padi Bayar ini seperti : Bayar Putih, Bayar Kuning, dan Bayar Malintang. 5
Ditanam sejak tahun 1956 dan umurnya lebih pendek 1 bulan dari varietas Bayar, rasanya sesuai selera masyarakat setempat serta mutu berasnya lebih baik.
72 Banjar terbentuk di sepanjang Sungai Barito dan mereka mengusahakan tanaman padi di wilayah tersebut. Perkembangan selanjutnya, lahan-lahan sawah dicetak ke daerah pedalaman dengan pembuatan saluran-saluran air yang disebut dengan istilah handil (Gambar 2). Handil ini dibuat secara bergotong royong oleh mereka yang akan terlibat bertani di sepanjang handil tersebut.
Handil dibuat dengan
menggunakan peralatan sederhana yang disebut sundak. Sawah-sawah dicetak di sepanjang handil tersebut dan dilengkapi dengan saluran sederhana untuk masuk dan keluarnya air (Gambar 3).
Setiap tahun handil-handil ini dapat
diperpanjang jika ada petani yang ingin mencetak sawah baru dengan seijin kepala handil atau kepala padang. Kepala handil adalah orang yang dipercaya untuk memimpin dan mengatur pembagian lahan untuk pertanian di sepanjang handil tersebut.
Kepala handil biasanya adalah orang yang pertama
mempelopori pembukaan handil tersebut atau orang yang dituakan serta memiliki kemampuan untuk menjaga keutuhan kelompok handil tersebut. Pencetakan sawah yang disertai perpanjangan handil ini dilakukan sejauh air pasang bisa masuk ke petak-petak sawah tersebut agar proses pencucian kemasaman tanah dapat berlangsung baik. Handil
Handil
Handil Handil
S u n g a i Handil utama / anak sungai
Handil
Handil
Handil Handil
Gambar 2 Kedudukan handil terhadap sungai.
73 Handil-handil ini diberi nama sebagai identitas dan eksistensi kelompok tersebut, dan biasanya yang sering digunakan adalah nama wilayah asal kelompok tersebut, seperti Handil Mahang (nama desa di Kabupaten Hulu Sungai Tengah), Handil Amuntai (nama kota di Kabupaten Hulu Sungai Utara), Handil Pekapuran (nama wilayah di Banjarmasin), dan lain-lain.
Selain itu,
banyak juga digunakan nama-nama orang yang menjadi kepala handil atau orang-orang yang mempelopori pembukaan handil tersebut, seperti Handil Anang, Handil Hasim, Handil Aji dan lainnya. Pemberian nama ini juga bisa dikaitkan dengan kondisi-kondisi khusus yang dianggap memiliki nilai-nilai sejarah atau nilai tertentu seperti Handil Masjid, Handil PU, Handil Gantung, Handil Setia Kawan dan lain-lain.
Sawah H a n d i l
Anak sungai/Handil utama
Gambar 3 Sawah yang dicetak di antara dua buah handil. Pembukaan wilayah lahan rawa pasang surut untuk keperluan pertanian dalam skala yang lebih besar dilakukan seiring dengan pengerukan kanal atau anjir di wilayah Anjir Serapat Kabupaten Barito Kuala. Wilayah persawahan di Anjir Serapat diawali setelah terjadinya kebakaran kebun karet di lahan gambut pada tahun 1928. Petani setempat memanfaatkan bekas kebun karet dengan mencetak sawah-sawah dan menanaminya dengan padi.
Sepanjang Anjir
Serapat (Km.14 hingga Km. 28) ini kemudian berkembang menjadi wilayah persawahan. Anjir Serapat yang menghubungkan Sungai Barito dan Sungai Kapuas (Kalimantan Tengah) sepanjang 28 km ini selesai dikeruk pada tahun
74 1935 dengan menggunakan kapal keruk. Pengerukan yang dilakukan selain untuk memperlancar transportasi air, juga berdampak terhadap lancarnya keluar masuk air ke persawahan. Perkembangan persawahan di wilayah Anjir Serapat ini juga didorong oleh masuknya pendatang dari wilayah hulu sungai, terutama pada tahun 1937 (Idak 1982). Hingga kini wilayah Anjir Serapat merupakan salah satu sentra tanaman padi di Kabupaten Barito Kuala. Setelah pengerukan Anjir Serapat selesai, selanjutnya dilakukan juga pengerukan Anjir atau Sungai Tamban yang menghubungkan antara Sungai Barito di Kalimantan Selatan dengan Sungai Kapuas di Kalimantan Tengah oleh pemerintah kolonial sekitar tahun 1936.
Pembangunan anjir ini sebenarnya
sudah dilakukan sejak tahun 1890 secara manual untuk keperluan transportasi sungai.
Kegiatan pengerukan ini diikuti dengan program kolonisasi dengan
mendatangkan para kolonis dari pulau Jawa pada periode 1932-1940 di bawah pimpinan H.G. Rokmoker (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Selatan 2008).
Pengerukan anjir Tamban ini mendorong para
pendatang dari wilayah Kalimantan Selatan untuk mengembangkan pertanian dengan membuat handil-handil di sepanjang anjir Tamban tersebut. Kegiatan percetakan sawah di wilayah ini diikuti dengan pengembangan tanaman kelapa, hingga sekarang wilayah Tamban menjadi salah satu sentra kelapa di Kalimantan Selatan, khususnya bagi Kabupaten Barito Kuala. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1944 kegiatan pembukaan sawah juga dilakukan dengan pengalian Sungai Puntik hingga ke wilayah Kecamatan Gampa sepanjang 21 km. Penggalian ini bertujuan untuk memasukkan air dari Sungai Barito sehingga lahan-lahan di sepanjang sungai tersebut dapat dicetak menjadi sawah-sawah yang subur. Kegiatan penggalian seperti ini dilanjutkan pada masa NICA Belanda pada tahun 1946 dengan penggalian parit induk di wilayah Alalak, yakni Sungasi Piulan sepanjang 11 km dan Sungai Tanipah sepanjang 14 km (Idak 1982). Kegiatan pengerukan anjir ini selanjutnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yakni Anjir Talaran (1969) yang juga menghubungkan Sungai Barito di Kalimantan Selatan dengan Sungai Kapuas di Kalimantan Tengah. Proyek pembukaan lahan rawa pasang surut secara besar-besaran dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1968 melalui Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut (P4S). Pembukaan lahan rawa pasang surut ini dikaitkan dengan program transmigrasi.
Sejak masa Prapelita hingga tahun
75 2008 di Kabupaten Barito Kuala telah dibangun sebanyak 21 unit pemukiman transmigrasi dengan jumlah transmigran mencapai 9.850 KK (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Selatan, 2008). Berdasarkan sejarah pengembangan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan ini maka terbentuk komunitas-komunitas penduduk lokal yang menempati dan berusaha di sepanjang Sungai Barito serta anak-anak sungainya yakni di lahan rawa pasang surut tipe A dan B. Untuk penduduk pendatang yang mengikuti program transmigrasi umumnya berada di wilayahwilayah lahan rawa pasang surut tipe C dan D serta sebagian kecil di tipe B. Tetapi
dalam
perkembangan
selanjutnya,
seiring
dengan
pertumbuhan
penduduk serta berkurangnya areal-areal di sepanjang sungai yang dapat dicetak menjadi persawahan, banyak penduduk setempat yang membuka lahan di lahan rawa pasang surut tipe C dan D untuk keperluan pertanian, terutama padi.
Selama kurun waktu dua puluh lima tahun terakhir (1983-2008) luas
tanam padi sawah di Kabupaten Barito Kuala hanya mengalami peningkatan sebesar 1,11% pertahun, sedang pertumbuhan penduduknya mencapai 1,57% pertahun.
Walaupun demikian, produksi padi di kabupaten ini mengalami
peningkatan sebesar 3,05% pertahun (Tabel 9). Tabel 9
Pertumbuhan penduduk dan pangan di Kabupaten Barito Kuala selama duapuluh lima tahun terakhir Variabel
Penduduk (jiwa)
1983
2008
Pertumbuhan (%/thn)
184.464
272.332
1,57
Luas tanam (hektar)
72.729
95.869
1,11
Produksi (ton GKG)
158.753
336.062
3,05
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Barito Kuala, 2009
Sejarah pengembangan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan, khususnya Kabupaten Barito Kuala terkait erat dengan kedatangan penduduk dari wilayah hulu sungai (disebut juga orang pahuluan) yang membuka dan mencetak sawah-sawah di sepanjang Sungai Barito. Transportasi sungai yang menghubungkan antara wilayah Sungai Barito dengan Sungai Nagara merupakan jalur utama kedatangan mereka. Oleh karena itu, hampir semua informan dalam penelitian ini berasal dari rumpun keturunan penduduk di wilayah hulu sungai (Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu
76 Sungai Selatan serta Kabupaten Tapin). Mereka datang sejak ratusan tahun silam ke wilayah ini dan berinteraksi dengan penduduk dari etnik Bakumpai dan hidup secara berdampingan. Interaksi dan pemahaman terhadap kondisi lingkungan setempat membentuk suatu sistem pengetahuan lokal yang mampu dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai kendala dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Dalam proses pengembangannya pengetahuan lokal masyarakat ini menjadi dasar utama yang membentuk karakter dan sistem sosial masyarakat petani di lahan rawa pasang surut. Sistem pertanian, terutama padi sawah yang dikembangkan bersifat spesifik untuk wilayah lahan rawa pasang surut.
Walaupun sistem
pengetahuan lokal yang dikembangkan dalam mendukung pertanian padi sawah dianggap masih tradisional, tetapi peranannya sangat berarti dalam mendukung kemajuan pertanian di Kalimantan Selatan, khususnya Kabupaten Barito Kuala.
5.2 Budidaya Padi Lokal di Lahan Rawa Pasang Surut Padi di lahan rawa pasang surut yang dikembangkan petani umumnya adalah padi lokal yang berumur panjang (antara 9-11 bulan) sehingga hanya dapat diusahakan satu kali setahun. Padi jenis ini umumnya memiliki toleransi yang tinggi terhadap kendala utama di lahan rawa pasang surut, yakni kemasaman tanah yang tinggi. Walaupun demikian, produktivitasnya tergolong rendah (umumnya hanya berkisar antara 2,0 hingga 3,5 ton/ha) dibandingkan dengan varietas unggul yang ditanam di luar wilayah lahan rawa pasang surut. Keunggulan dan kelemahan padi varietas lokal ini sudah sejak lama diketahui masyarakat petani setempat, dan dengan kondisi inilah pengetahuan lokal mereka tentang pengelolaan padi di lahan rawa pasang surut dikembangkan. Kekhasan dan sifat spesifik dalam budidaya padi lokal di lahan rawa pasang surut ini melahirkan berbagai pengetahuan lokal petani baik yang menyangkut kondisi biofisik lahan rawa pasang surut serta tanaman padi itu sendiri, juga menyangkut berbagai dimensi sosiologis dalam sistem pertanian padi di lahan rawa pasang surut. Masing-masing tipe luapan lahan rawa pasang surut ternyata juga memiliki kekhasan tersendiri, disamping berbagai persamaan mendasar dalam teknik budidayanya. Perbedaan-perbedaan yang ada ini juga melahirkan berbagai pengetahuan lokal tersendiri pada tipe-tipe lahan rawa pasang surut tersebut. Sistem budidaya tanaman padi varietas lokal di lahan
77 rawa pasang surut mencakup kegiatan pembukaan lahan, pengolahan tanah, pemilihan varietas, pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, hingga pemanenan dan pascapanen. 5.2.1 Pembukaan lahan Pembukaan lahan rawa pasang surut untuk keperluan usaha tanaman padi sawah biasanya hanya dilakukan pada wilayah-wilayah baru yang akan dicetak menjadi persawahan. Lahan-lahan yang akan dicetak untuk menjadi sawah biasanya ditumbuhi oleh berbagai tanaman spesifik pasang surut seperti tumbuhan Piai atau Kelakai (Achrosticum aureum), Pulantan (Alstonia pneumatophora), Galam (Melaleuca leucadendron), Nipah (Nypa fruticans), dan jenis kayu lainnya.
Kegiatan penebangan pohon dan pembersihan lahan ini
dilakukan pada musim kemarau. Sisa-sisa tanaman ini selanjutnya dikumpulkan dan pada akhir musim kemarau kemudian dibakar.
Pembakaran dilakukan
karena cara ini merupakan cara yang paling murah dan mudah.
Karena
dilakukan pembakaran, petani biasanya memilih lokasi lahan yang tidak atau hanya sedikit mengandung gambut.
Jika lahan tersebut bergambut atau
merupakan lahan gambut maka kesuburannya akan berkurang jika terbakar, bahkan sawah tidak akan bertahan lama dan menjadi rusak serta tidak baik bagi pertumbuhan tanaman padi.
Bagaimana mereka mengetahui dan mengenali
jenis atau tipe lahan yang baik untuk dijadikan lahan persawahan? Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang diajarkan orang-orang tua mereka dulu, untuk mengenali suatu lahan yang baik dijadikan sawah dapat dilihat dari posisi atau kedudukannya terhadap sungai atau anak sungai, vegetasi atau jenis tumbuhan, serta sifat fisik tanah tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Atm (64 th) petani di Tabunganen: “Tanah nang parak lawan batang banyu biasanya bagus gasan pahumaan. Kaya itu jua pabila banyak ditumbuhi puhun piai.” [ Lahan yang dekat dengan sungai biasanya baik untuk diajdikan persawahan. Begitu juga halnya lahan yang ditumbuhi dengan tanaman Paku-pakuan ]
Berdasarkan indikator-indikator di atas para petani setempat memiliki pengetahuan tentang bagaimana memperlakukan calon lokasi baru untuk dicetak menjadi sawah agar baik untuk pertumbuhan tanaman padi.
Dalam
kegiatan pembukaan lahan ini terdapat beberapa kegiatan prioritas yang harus dilakukan. Pada wilayah lahan rawa pasang surut tipe A, pembukaan lahan
78 harus diikuti dengan penggalian handil di muka areal sawah serta parit atau saluran di areal persawahan. Pembuatan saluran atau parit-parit (berukuran lebar 50-75 cm dan dalam 40-50 cm) pada bagian tengah lahan dan tegak lurus dengan sungai atau ‘handil’, merupakan suatu bentuk upaya dalam pengaturan tata air. Fungsi saluran ini antara lain (a) mempercepat keluar masuknya aliran pasang surut; (b) mempercepat proses pencucian (leaching) kemasaman tanah; dan (c) mempermudah untuk pengangkutan sarana produksi (pupuk, dan bibit) serta hasil panen, karena perahu atau jukung dapat dimasukkan ke dalam petak sawah. Pengelolaan atau pengaturan tata air ini merupakan salah satu kunci keberhasilan petani Banjar di lahan rawa pasang surut. Menurut Noor (1996), pengelolaan air di lahan rawa pasang surut, terutama di lahan yang mengandung sulfat masam berperan penting dalam meningkatkan produktivitas lahan. Dalam pengembangan selanjutnya dibuat tembokan (surjan atau bedengan) yakni bagian lahan yang ditinggikan dengan cara menimbun tanah ke areal bedengan tersebut. Bagian ini nantinya berfungsi untuk sebagai tempat menanam sayuran, buah-buahan ataupun tanaman keras seperti kelapa. Selain itu bedengan ini juga berfungsi sebagai tempat untuk menaikkan lumpur-lumpur yang setiap tahun masuk dan tertimbun di areal persawahan lahan rawa pasang surut tipe A. Kegiatan menaikkan lumpur ini disebut dengan kegiatan melibur tembokan. Kegiatan ini perlu dilakukan agar lumpur di sawah jangan sampai terlalu tebal (lebih dari 30 cm) karena jika terlalu tebal justeru berakibat tidak baik karena tanaman padi akan mudah roboh. Pada lahan rawa pasang surut tipe B, dimana air pasang hanya masuk pada saat pasang besar (pasang tunggal), pembukaan lahan atau pencetakan sawah diikuti dengan pembuatan galangan yang berfungsi selain sebagai pembatas juga sebagai penahan air pasang surut. Pengembangan selanjutnya adalah dengan membuat tukungan maupun surjan yang nantinya dapat digunakan untuk ditanami dengan jenis sayuran, palawija dan tanaman buahbuahan seperti jeruk, rambutan, atau mangga.
Selain itu para petani juga
banyak yang mengembangkan sitem tata air mikro, yakni pembuatan saluransaluran atau parit cacing di sekeliling lahan untuk menjaga agar proses pengaturan air dapat berlangsung baik, karena air pasang tidak bisa masuk setiap saat (hanya pada saat pasang besar).
79 Pembukaan lahan rawa pasang surut di tipe C dan D yang lahannya tidak sampai terluapi oleh air pasang, bahkan oleh pasang besar sekalipun (hanya mempengaruhi tinggi rendahnya pemukaan air tanah), pembuatan galangan selain sebagai pembatas lahan juga lebih ditujukan sebagai penahan air hujan.
Surjan maupun tukungan dibangun selain untuk keperluan
penamanan palawija dan tanaman keras (rambutan, mangga, jeruk) juga bagian tanah yang digali untuk menimbun tanah pada surjan tersebut digunakan sebagai saluran atau parit dalam petak sawah. Untuk pengaturan air, terutama air dari air hujan dibangun bendungan sederhana atau yang disebut tabat pada muara handil atau anak sungai. Dengan adanya tabat ini diharapkan air hujan dapat ditahan selama mungkin untuk keperluan pertumbuhan tanaman. Berdasarkan gambaran rangkaian kegiatan pembukaan lahan untuk sawah tersebut, ada dua hal yang menjadi pengetahuan umum bagi petani dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Pertama, bahwa lapisan tanah yang mengandung sifat masam (adanya lapisan pirit) jika sampai terbongkar atau terangkat ke permukaan dapat mengakibatkan keracunan bagi tanaman. Kedua, pada kondisi tergenang, sifat masam ini secara alamiah tidak akan mengganggu bagi pertumbuhan tanaman, oleh karena itu pengaturan air menjadi kunci utama dalam keberhasilan mengelola lahan tersebut. Upaya-upaya petani dalam mencegah atau mengurangi kemasaman tanah juga dilakukan dengan pemberian kapur pertanian. Pemberian kapur ini umumnya dilakukan pada lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D yang memang
permasahan
kemasamannya
lebih
berat
dibanding
tipe
A.
Pengetahuan petani tentang manfaat kapur ini sebagai salah satu kegiatan yang dapat mengurangi kemasaman tanah diperoleh setelah era revolusi hijau dan kegiatan penyuluhan pertanian dilakukan secara intensif. 5.2.2 Pengolahan Tanah Kegiatan pengolahan tanah di lahan rawa pasang surut yang dilakukan petani setempat sangat berbeda jauh dengan pengolahan tanah yang dilakukan dalam kegiatan petanian umumnya (terutama seperti di Jawa).
Pengolahan
tanah ini terkait dengan kondisi fisik lahan rawa pasang surut yang umumnya mengandung lapisan masam (pirit) pada lapisan bagian bawahnya.
Pada
dasarnya prinsip pengolahan tanah yang dilakukan hanya ditujukan untuk
80 memotong atau mengikis rumput dan gulma yang tumbuh di sawah serta hanya sedikit lapisan tanah yang ikut terkupas (kurang dari 5 cm). Pengolahan tanah di lahan rawa pasang surut tipe A menggunakan alat ‘parang’ atau golok untuk memotong rumput, gulma dan sisa-sisa bekas tanaman padi musim sebelumnya (disebut juga tampilai banih).
Kegiatan
pengolahan tanah di lahan rawa pasang surut tipe A ini relatif lebih mudah dibandingkan dengan tipe lahan rawa pasang surut lainnya karena rumput atau gulma yang tumbuh umumnya hanya sedikit. Kondisi ini dapat terjadi karena pada areal lahan rawa pasang surut tipe A, air pasang dan surut terjadi setiap hari sehingga rumput dan gulma sulit tumbuh atau berkembang.
Kegiatan
pembersihan rumput ini biasanya hanya pada bagian sekitar galangan maupun tembokan. Pengolahan tanah rawa pasang surut di tipe B, C dan D dilakukan dengan penggunaan alat tajak, yakni sejenis parang tetapi pada bagian ujungnya diberi tangkai agak panjang yang membengkok ke atas sebagai pegangan.
Prinsip kerja alat tajak ini adalah memotong atau memangkas
rumput-rumputan, gulma maupun sisa tanaman padi tahun sebelumnya dengan mengupas tipis lapisan tanah (kurang dari 5 cm). Hal ini seperti dikemukakan oleh Atm (64 th), petani di Desa Sungai Tunjang: “Urang disini matan dahulu mamakai tajak gasan manatak. Pabila mamakai tajak tanahnya kada taumpat tabalik, lamun tanahnya tabalik masamnya bisa naik lawan banih nang ditanam bisa kada baik.” [ Petani di wilayah ini sejak dulu menggunakan ‘tajak’ untuk mengolah tanah. Dengan menggunakan tajak, tanahnya tidak ikut terbalik, sebab jika tanahnya terbalik, lapisan pirit yang bersifat masam akan terangkat dan pertumbuhan padi menjadi tidak baik ]
Alat ini dikembangkan petani sejak ratusan tahun silam sebagai bentuk peralatan adaptif yang sekaligus dapat mencegah terbongkarnya lapisan pirit pada bagian bawah (jika terbongkar dapat menyebabkan kemasaman tanah dan meracuni bagi tanaman). Pengolahan tanah dilakukan ketika lahan di persawahan sudah mulai digenangi air agar proses pelaksanaannya dapat mudah dilakukan serta hasil pengolahan tersebut terendam air dan cepat membusuk.
Alat tajak ini efektif digunakan jika kedalaman air pada saat
pengolahan tanah berkisar 5-15 cm. Sistem pengolahan tanah dengan alat tajak ini dalam bidang pertanian modern dikenal dengan istilah pengolahan tanah
81 secara minimum (minimum tillage). Untuk mengolah tanah dengan peralatan tajak ini rata-rata dibutuhkan sekitar 20-30 HKO per hektar. Periode pengolahan tanah berlangsung antara bulan Oktober hingga Pebruari.
Rumput, gulma dan sisa batang padi tahun sebelumnya setelah
dipangkas, dibiarkan sekitar 15 hari kemudian dikumpulkan dalam bentuk baluran atau memanjang di sawah. Beberapa petani ada yang membentuknya berupa puntalan (berbentuk tumpukan bundar dengan diameter 30-50 cm). Untuk bentuk baluran atau memanjang petani menggunakan alat bantu yang disebut kakakar (sejenis garu dari bahan kayu).
Tumpukan sisa gulma dan
rumputan ini dibiarkan di persawahan agar membusuk. Untuk mempercepat pelapukan dan agar prosesnya lebih merata, tumpukan atau baluran ini setelah sekitar 15-30 hari kemudian dibalik. Biasanya setelah dibalik, sebulan kemudian rumput dan gulma ini sudah melapuk dan kemudian ditebar di persawahan sebagai pupuk organik.
Para petani memiliki pengetahuan tentang cara
mempercepat proses pelapukan sisa potongan rumput dan gulma ini, yakni dengan
cara
pembalikan.
Dan
ternyata
proses
pembalikan
ini
dapat
meningkatkan dan mempercepat proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri aerob. Walaupun petani tidak mengetahui tentang peranan bakteri ini, tetapi pengalaman dan pengetahuan mereka telah memberikan pelajaran tentang cara efektif untuk membusukkan sisa-sisa gulma dan rumput tersebut. Menurut
Noor
(1996),
pemberian
kapur
pada
lahan
pertanian
dapat
meningkatkan jenis, populasi, dan aktivitas mikroba tanah. Jika karena kondisi lahan dan keterlambatan dalam kegiatan pengolahan tanah dan mengakibatkan proses pelapukan tidak berlangsung sempurna, maka tidak dilakukan penebaran di sawah. Bentuk puntalan akan diangkut ke pinggir galangan dan jika bentuk tumpukan tersebut berupa baluran maka tetapt dibiarkan di tempatnya dan akan ditebar pada musim tanam tahun berikutnya. Kegiatan mengangkut sisa potongan gulma dan rumput ini dikenal dengan istilah bahangkut dan dilakukan secara manual atau dengan bantuan alat kakakar. Setelah gulma ditebas atau ditajak, areal persawahan ini kemudian diberi kapur dengan dosis sesuai kemampuan petani (rata-rata hanya sekitar 350 kg/ha). Pada areal sawah yang airnya agak dalam (lebih dari 30 cm), setelah gulma ditebas atau ditajak dan diberi kapur, dibiarkan hingga membusuk (lamanya sekitar satu bulan). Areal sawah yang kedalaman airnya pada saat pengolahan tanah tidak terlalu dalam (15-30 cm) setelah gulma ditebas atau
82 ditajak dan diberi kapur dibiarkan selama 15 hari, kemudian dibalik agar proses pelapukannya merata. Sedangkan areal sawah yang kedalaman airnya pada saat pengolahan tanah agak surut (<15 cm), setelah gulma atau rumputnya ditebas atau ditajak dan diberi kapur kemudian dibiarkan selama 15 hari. Selanjutnya tebasan gulma atau rumput ini dibuat dalam bentuk bundaran atau puntalan maupun dalam bentuk baluran, dan dibiarkan selama 15 hari Setelah itu puntalan dan baluran ini dibalik dan dibiarkan selama 15-30 hari agar proses pelapukannya merata dan sempurna. Puntalan maupun baluran ini selanjutmya disebarkan dipersawahan sebagai pupuk organik. 5.2.3 Pemilihan Varietas Padi Varietas padi yang umum digunakan dalam pertanian di lahan rawa pasang surut adalah varietas lokal yang berumur relatif panjang sehingga hanya dapat diusahakan satu kali setahun. Karakteristik varietas lokal ini antara lain : (a) relatif tahan terhadap genangan dan kemasaman tanah (pH rendah) serta tanah yang mengandung unsur beracun bagi tanaman seperti Alumunium (Al) dan Besi (Fe) yang tinggi; (b) berumur relatif panjang (9-11 bulan); (c) tanaman berbatang tinggi dan malai atau tangkai padi berada di atas sehingga memudahkan pemanenan dengan ani-ani; (d) pemeliharaan tidak terlalu intensif; (e) mempunyai daya saing yang kuat terhadap gulma, bahkan dapat menekan pertumbuhan gulma di persawahan; (f) rasa nasi enak dengan kualitas pera (agak kering dan keras) sesuai dengan selera masyarakat Banjar, dan (g) harga gabah relatif lebih mahal dibandingkan dengan varietas unggul. Menurut Noor (1996), padi varietas lokal di lahan rawa pasang surut termasuk golongan padi berbunga musim (photoperiode sensitive) yang berarti varietas tersebut hanya berbunga pada musim tertentu saja, yakni ketika penyinaran matahari berlangsung lebih pendek daripada panjang hari kritik. Di belahan bumi bagian Selatan (termasuk lokasi penelitian) hal ini terjadi pada bulan
Juni,
dimana
penyinaran
matahari
berlangsung
paling
pendek
dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, yaitu 11 jam 44 menit. Berdasarkan hasil koleksi yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Lahan Rawa (Balittra) di wilayah pasang surut Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Lampung terdapat 175 asesi tanaman padi (Khairullah et. al. dalam Balittra 2007). Khusus di lokasi penelitian Kabupaten Barito Kuala, pada musim tanam 2009 terdapat sekitar 37 asesi
83 vaietas lokal yang diusahakan petani
Dari sejumlah varietas unggul ini,
sebagian besar (sekitar 26 asesi) diusahakan petani di lahan rawa pasang surut tipe A.
Padi-padi yang diusahakan di wilayah ini umumnya berumur relatif
panjang (10-11 bulan) dengan bentuk tanaman yang relatif tinggi. Jenis-jenis padi lokal yang berumur panjang ini dikenal dengan istilah banih barat atau jika dilihat dari butir-butir padinya yang relatif besar disebut juga banih ganal, (jenis yang berumur pendek sekitar 9-10 bulan disebut banih ringan). Padi varietas lokal yang termasuk banih barat ini seperti kelompok Padi Bayar (Bayar Pahit, Bayar Putih, Bayar Kuning, Bayar Rundun, Bayar Kaleker, dan lainnya). Untuk varietas padi di lahan rawa pasang surut tipe B, C dan D umumnya banyak ditanam jenis Padi Siam (Siam Unus, Siam Mutiara, Siam Perak, Siam Kuning, Siam Putih, Siam Sebelas, dan lain-lain). Pengetahuan petani tentang karakteristik masing-masing varietas lokal tersebut memberikan dasar bagi mereka untuk menentukan pilihan jenis mana yang akan mereka tanam. Pemilihan jenis varietas lokal yang akan ditanam ditentukan oleh banyak faktor seperti kesesuaian kondisi lahan (kesuburan dan tata air), harga jual, rasa nasi, produktivitas, rendemen beras, ketersediaan benih, dan lain-lainnya. Dari sejumlah faktor tersebut, hal utama yang menjadi pertimbangan utama adalah kesesuaian varietas dengan kondisi lahan. Terkait hal ini dikemukakan oleh Tlb (64 th), seorang petani di Desa Tinggiran Darat: “Amun baisi pahumaan nang randah kawa haja ditanami banih barat, tapi lamun pahumaan itu andakannya tatinggi biasanya ditanami lawan banih ringan lawan tanamnya tadahulu supaya kada kakaringan.” [ Jika memiliki sawah di wilayah yang rendah atau tergenang, maka dapat ditanami dengan padi berumur panjang, tetapi jika sawah tersebut berada di daerah yang tinggi maka harus ditanami dengan varietas yang berumur pendek serta waktu tanamnya dilakukan lebih awal agar terhindar dari kekeringan ]
Kebanyakan petani memiliki lahan yang terpencar dengan kondisi lahan yang bervariasi (daerah rendah sampai daerah tinggi).
Kondisi inilah yang
menyebabkan seorang petani bisa menanam berbagai jenis varietas lokal sesuai dengan kondisi lahan yang dimilikinya. Selain itu sistem sosial dalam kehidupan masyarakat ternyata juga berpengaruh terhadap preferensi petani dalam memilih jenis varietas lokal yang akan ditanam.
Bagi petani yang biasa
melakukan tanam padi dengan sistem gotong royong atau dengan istilah handipan maka anggota kelompok yang ikut serta dalam kegiatan tersebut cenderung untuk memilih varietas yang berumur relatif pendek (banih ringan)
84 5.2.4 Persemaian Persemaian benih varietas lokal di lahan rawa pasang surut berbeda dengan sistem permaian yang dilakukan pada tanaman padi umumnya. Persemaian dilakukan dalam beberapa tahapan dengan tujuan agar bibit yang dihasilkan dapat tumbuh pada kondisi spesifik lahan rawa pasang surut (kondisi pasang surut air dan tingkat kemasaman tanah).
Tingginya permukaan air di
persawahan pada saat persemaian tidak memungkinkan persemaian dilakukan langsung di sawah seperti halnya persemaian padi unggul. Sistem persemaian di lahan rawa pasang surut dikenal juga dengan istilah transplanting, dimana sistem ini merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap kondisi biofisik dan sosial ekonomi setempat. Beberapa keunggulan sistem persemaian ini antara lain : (a) keperluan benih padi relatif sedikit, rata-rata keperluan benih 5-10 kg/ha; (b) pemindahan bibit padi secara bertahap dari kondisi tanah tinggi ke tanah berair merupakan proses adaptasi bibit terhadap kondisi lahan rawa pasang surut, terutama terhadap kemasaman tanah; (c) bibit padi mempunyai batang yang keras sehingga relatif tahan terhadap aliran air pada saat pasang surut; (d) bibit padi relatif lebih tinggi sehingga cocok untuk daerah yang mempunyai kedalaman air relatif tinggi; (e) proses pembibitan yang dilakukan secara bertahap selama 4-5 bulan memungkinkan persiapan lahan yang juga memerlukan waktu lama (3-4 bulan) dapat dilakukan secara paralel. Persemaian padi di lahan rawa pasang surut tipe A umumnya dilakukan dalam tiga tahapan, yakni : palai, lacak, dan tangkar anak. Kegiatan palai atau memalai dilakukan dengan cara menyemai benih-benih padi tersebut pada lokasi persemaian. Tempat untuk memalai ini dipilih lahan yang tidak terendam pada saat air pasang, biasanya
di halaman atau di sekitar rumah untuk
mempermudah pengawasan dari gangguan binatang seperti ayam atau tikus. Lahan yang sudah dipilih ini kemudian diberi tanah lumpur sawah sekitar 2-5 cm. Beberapa petani ada yang melapisi bagian bawahnya dengan plastik. Tujuannya untuk mempermudah pengambilan atau pemindahan ke tahap berikutnya. Sebelum disemai biasanya benih-benih ini direndam selama satu malam, kemudian ditiriskan satu hari, baru kemudian disemai di tempat persemaian yang telah dipersiapkan.
Perendaman ini bertujuan untuk
mempercepat pertumbuhan bibit padi. Proses pembibitan tahap pertama atau palai ini biasanya dimulai pada akhir Oktober atau Nopember, yakni awal musim penghujan. Untuk keperluan
85 luas tanam satu hektar sebenarnya hanya diperlukan benih padi sekitar 5 kg, tetapi untuk persiapan kalau ada serangan hama (terutama tikus) pada persemaian tahap kedua dan ketiga biasanya digunakan hingga 10 kg. Untuk memalai ini hanya dibutuhkan sekitar 4 m2 untuk menyemai 5-10 kg benih padi. Tahap palai ini biasanya hanya berlangsung selama satu minggu, kemudian dilanjutkan dengan tahap kedua, yakni yang disebut lacak atau melacak. Kegiatan memalai ini biasanya tidak dilakukan secara serempak, tetapi dilakukan beberapa kali dengan selang waktu tertentu dengan pertimbangan bahwa kegiatan penanaman nantinya tidak dapat dilakukan secara serempak dalam waktu singkat, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama (bisa berlangsung hingga satu bulan atau lebih tergantung luas tanah yang akan ditanami) Kegiatan melacak ini dilakukan pada lahan yang juga tidak terendam atau hanya sedikit terendam pada saat air pasang besar. Lokasi untuk kegiatan melacak ini dan biasanya dekat lahan sawah. Persemaian tahap kedua atau lacak ini dilakukan dengan menanam kumpulan bibit tadi dalam bentuk rumpun dengan diameter sekitar 2 cm dan jarak tanamnya sekitar 20x20 cm. Lamanya proses persemaian tahap kedua atau lacak ini sekitar 45-60 hari, tergantung kondisi kesuburan tanaman di persemaian ini dan selanjutnya dipindahkan ke lokasi persemaian tahp ketiga. Persemaian tahap ketiga disebut dengan istilah tangkar anak. Lahan untuk kegiatan tangkar anak ini adalah sawah, dimana bibit nantinya akan ditanam.
Bibit-bibit dari persemaian tahap kedua atau lacak tadi kemudian
dibagi atau dipisahkan lagi dan ditanam dengan jarak 35x35 cm atau 40x40 cm. Serta masing-masing rumpun terdiri atas 3-5 batang bibit. Proses persemaian tahap ketiga atau tangkar anak ini di areal persawahan, yakni pada bagian tengah sawah, dengan jarak tanam satu depa ditanami
7-8 baris (35x35 cm)
dan ditanam dalam bentuk rumpun, yakni 3-5 batang per rumpun tanam. Tahap ini bertujuan untuk memperoleh jumlah anakan yang lebih banyak, dan lamanya proses persemaian ketiga atau tangkar anak ini sekitar 45 hari. Prinsip persemaian di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D pada dasarnya sama dengan yang dilakukan di lahan rawa pasang surut tipe A, yakni dengan prinsip bertahap dan berpindah (transplanting). Perbedannya hanya pada jumlah tahapan yang dilakukan dan istilah yang digunakan. Persemaian di
86 lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D ada yang dilakukan dalam dua tahap dan tiga tahap. Proses persemaian yang umum dilakukan adalah persemaian dengan tiga tahap, yakni tahapan taradak atau tugal, lambak atau ampak, dan lacak. Kegiatan taradak atau tugal dilakukan dengan menyemai benih padi yang sudah direndam dan ditiriskan ke dalam lubang-lubang tanam yang dibuat dengan menggunakan alat tugal atau kayu secukupnya (sekitar 30-50 butir) dengan jarak 20-25 cm. Lokasi tempat taradak atau tugal ini biasanya di lahan kering dan tidak jauh dari sumber air untuk memudahkan penyiraman. Setelah ditutup lokasi taradak atau tugal ini ada yang menutupinya dengan rumput kering, pelepah kelapa atau penutup sisa tanaman lainnya untuk mempertahankan kelembaban dan gangguan dari binatang seperti ayam.
Lamanya proses
pertumbuhan bibit pada fase tugal ini sekitar 25-30 hari, kemudian dipindahkan ke persemaian tahap kedua, yakni lambak atau ampak. Lokasi untuk lambak atau ampak ini adalah pada bagian pinggir sawah dan penanamannya dilakukan dengan cara membagi tiga atau empat bagian dari bibit tugal serta jarak tanamnya sekitar 30x30 cm. Proses lambak atau ampak ini berlangsung sekitar 30-45 hari.
Tujuan dari proses lambak atau
ampak adalah untuk memperoleh jumlah anakan yang lebih banyak.
Oleh
karena itu, pada tahapan ini petani memberikan pupuk urea untuk mempercepat pertumbuhan bibit serta memperbanyak anakan yang dihasilkan.
Tahapan
selanjutnya adalah lacak. Kegiatan lacak dilakukan dengan cara membagi bibit padi dari lambak atau ampak tersebut menjadi 10-15 bagian.
Kegiatan penananam lacak ini
dilakukan juga di bagian pinggir sawah atau bekas lambak atau ampak tersebut dengan jarak tanam 35-40 cm. Proses lacak ini berlangsung 60-75 hari. Proses lacak ini juga bertujuan untuk menghasilkan jumlah anakan atau bibit yang lebih banyak serta bibit tanaman sudah mampu beradaptasi dengan kondisi lahan rawa pasang surut yang ada. Istilah lacak di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D ini berbeda dengan lacak pada lahan rawa pasang surut tipe A. Proses lacak di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D sama dengan pengertian ’tangkar anak’ di lahan rawa pasang surut tipe A. Sistem persemaian dua tahap di lahan rawa pasang surut tipe B ,C, dan D, terdiri atas tahapan taradak atau tugal, dan dilanjutkan dengan tahapan lacak (tanpa ada tahapan lambak atau ampak).
Pemilihan proses persemaian ini
87 tergantung dengan kondisi air di persawahan, saat memulai persemaian dan umur tanaman (varietas berumur pendek atau banih ringan dan varietas berumur panjang atau banih barat). Implikasi dari pemilihan cara persemaian dengan dua tahapan adalah diperlukan jumlah benih yang lebih banyak dibandingkan dengan proses persemaian dengan tiga tahapan. Hal ini karena bibit yang dihasilkan dari persemaian dua tahapan lebih sedikit, tetapi waktu pelaksanaannya menjadi lebih singkat. Secara diagram proses persemaian hingga panen padi lokal dapat dilihat pada Gambar 4 berikut. Tipe lahan
10
11
12
1
2
Bulan 3 4 5
Tipe A
6
PERTANAMAN
PERTANAMAN
7
8
9
Panen
Panen
Tipe B,C, D PERTANAMAN
Panen
Keterangan : - Tahapan persemaian di tipe A : 1) palai ; 2) lacak; 3) tangkar anak - Tahapan persemaian di tipe B, C, dan D : + Tiga tahap : 1) taradak/tugal; 2) ampak/lambak; 3) lacak + Dua tahap : 1) taradak/tugal; 2) lacak Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
Gambar 4
Proses dan waktu persemaian hingga panen padi di lahan rawa pasang surut.
5.2.5 Proses Penanaman Padi Kegiatan penanaman padi biasanya dilakukan pada akhir Pebruari atau awal Maret, dan dapat berlangsung hingga bulan April. Masa pertanaman ini biasanya berlangsung lama dan memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak, diperlukan sekitar 15-20 hari kerja orang (HKO) untuk menyelesaikan areal pertanaman padi seluas satu hektar. Kegiatan pertanaman padi sawah ini terdiri atas dua kegiatan utama, yakni proses pencabutan dan penyiapan bibit dan proses penanamannya.
88 Bibit dari lokasi persemaian (lacak) dicabut dengan menggunakan alat parang, dipangkas batang dan daun bagian atas serta bagian akarnya untuk mempermudah penanaman. Biasanya satu orang yang bertugas mencabut bibit dapat melayani 5-6 orang penanam. Kegiatan penanaman umumnya dilakukan secara berkelompok, baik dalam jumlah kecil (kurang dari 10 orang) maupun dalam kelompok-kelompok besar (lebih dari 10 orang hingga 40 orang). Panjang bibit biasanya disesuaikan dengan ketinggian air di sawah, dan umumnya berkisar antara 25-35 cm. Penanaman bibit padi ini menggunakan alat yang disebut tatajuk atau tutujah untuk mempermudah menancapkan bibit padi ke tanah. Jarak tanam yang digunakan umumnya lebih jarang dibandingkan dengan pertanaman padi unggul, yakni 25x25 cm hingga 35x35 cm. Ukuran jarak tanam ini disesuaikan dengan kondisi lahan, terutama kesuburan tanahnya serta jenis varietas lokal yang digunakan dengan jumlah 1-2 bibit perrumpun tanam. Di daerah-daerah yang relatif subut dan berlumpur serta air pasang surut berlangsung lancar, seperti di tipe A umumnya digunakan jarak tanam yang relatif jarang, sekitar 30x30 cm atau 35x35 cm. Begitu juga halnya dengan jenis varietas yang berbatang tinggi dan berumur relatif panjang (banih barat seperti jenis Bayar dan Datu) juga menggunakan jarak tanam yang relatif jarang, hingga 35x35 cm. Dalam kehidupan sosial masyarakat, dikenal istilah gotong royong untuk kegiatan pertanaman yang disebut handipan atau baharian. Kegiatan ini pada dasarnya berupa pertukaran tenaga kerja antara anggota yang terlibat. Setiap orang yang ikut dalam kegiatan tersebut berhak menggunakan tenaga kerja anggota gotong royong tersebut secara bergantian. Aturan dan urutan dalam pelaksanaannya dilakukan secara musyawarah antar anggota kelompok tersebut. Seiring dengan perkembangan waktu, kegiatan gotong royong dengan anggota yang besar sudah mulai berkurang dilakukan masyarakat. Berdasarkan penuturan masyarakat dalam diskusi kelompok di lahan rawa pasang surut tipe A, mulai berkurangnya kegiatan gotong royong dalam kegiatan tanam ini salah satunya karena pertimbangan harus segera dilakukannya tanam, bibit yang sudah tua, areal lahan terletak di daerah agak tinggi serta digunakannya padi berumur relatif pendek (banih ringan).
Selain itu, untuk kegiatan tanam ini,
banyak tersedia tenaga upahan, baik yang berasal dari desa itu sendiri, desa sekitar (terutama desa eks transmigrasi seperti Desa Wonorejo dan Desa
89 Beringin
Kencana)
maupun
dari
daerah
lain
(Kabupaten
Banjar
dan
Banjarmasin). Pertimbangan penggunaan tenaga kerja upahan ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa cara ini lebih praktis, waktu tanam dapat disesuaikan dengan kondisi bibit dan lahan. Upah untuk kegiatan tanam ini berkisar antara Rp 20.000,- hingga Rp 25.000,- per borong (1 hektar = 35 borong) atau Rp 15.000,- per orang untuk kerja setengah hari. Hal lain yang juga berpengaruh terhadap kondisi ini karena umumnya petani memiliki lahan sawah tidak dalam satu hamparan tipe lahan. Petani di lahan rawa pasang surut tipe A ada yang memiliki sawah seluas tiga hektar, tetapi terpencar dalam 11 tempat, walaupun masih dalam desa yang sama. Kondisi lahan persawahan yang terpencar-pencar ini di satu sisi menjadi salah satu alasan petani yang bersangkutan tidak ikut kegiatan gotong royong (handipan). Hal ini karena dengan kondisi lahan yang beragam (di daerah tinggi hingga rendah) petani tersebut dapat mengatur waktu tanam pada sawahnya, sehingga lahan seluas tiga hektar tersebut dapat ditanami dengan tenaga kerja dalam keluarga sendiri (isteri beserta anaknya). Kegiatan gotong royong atau handipan saat ini lebih banyak yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil (6-10 orang) antar petani petani yang sawahnya berdekatan atau dalam satu handil (saluran air).
Secara sosial
kelompok-kelompok gotong royong ini umumnya masih memiliki ikatan keluarga, sehingga pengaturannya dapat lebih mengakomodir kebutuhan masing-masing anggotanya, terutama untuk menentukan kapan mulai dilakukan dan siapa yang mendapat giliran pertama dan seterusnya hingga terakhir.
Walaupun bukan
merupakan kelompok formal seperti kelompok tani, kelompok dalam handil ini secara sosial memiliki ikatan yang kuat untuk menggalang kebersamaan dalam berusahatani. Dalam kegiatan tanam ini, kaum wanita biasanya lebih mendominasi dibandingkan dengan pria, bahkan hasil kerjanya relatif dianggap lebih baik dibandingkan dengan pria. Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe A, kegiatan tanam tidak bisa dilakukan setiap saat, hanya dilakukan pada saat pasang kecil.
Selain itu
kegiatan tanam ini umumnya hanya bisa dilakukan setengah hari, yakni pada saat air surut. Tabunganen:
Hal ini dikemukakan oleh Utr (54 th), seorang petani di
90 “Urang bagawian di sini kawa satangah hari haja pas waktu banyu pandit, amun banyu pasang kada kawa lagi batanam. Makanya lamun dihitung harinya bisa talawas pada di lain.” [ Petani di wilayah ini bekerjanya hanya setengah hari saja, yakni pada saat air surut, jika air pasang tidak bisa lagi melakukan penanaman. Oleh karena itu jika diperhitungkan jumlah hari kerjanya lebih lama dibandingkan dengan wilayah lainnya ]
Kondisi pasang surut inilah yang turut berperan mengatur ritme dan mekanisme kegiatan pertanian padi di lahan rawa pasang surut tipe A, sehingga bukan hanya kegiatan tanam saja yang hanya dapat dilakukan selama setengah hari, tetapi juga kegiatan seperti pengendalian hama dan pemupukan. 5.2.6 Pemeliharaan tanaman Berbeda halnya dengan pertanaman padi unggul, kegiatan pertanaman padi lokal, teutama di lahan rawa pasang surut tidak banyak memerlukan pemeliharaan khusus.
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan biasanya
diintegrasikan dengan pemeliharaan galangan dan tanaman yang dipelihara di galangan (seperti sayuran dan palawija), bedengan (surjan) dan tukungan, (tanaman jeruk, rambutan atau mangga). Kegiatan seperti pembersihan gulma atau rumput-rumput liar dilakukan hanya di sekitar galangan dan sesekali saja. Pada fase setelah tanam hingga menunggu panen inilah umumnya petani memiliki banyak waktu luang yang digunakan untuk kegiatan lain seperti mencari ikan, mencari kayu Galam (Melaleuca leucadendron), memelihara kebun kelapa, bekerja sebagai tukang, buruh bangunan, dan sebagainya. Periode ini biasanya berlangsung antara bulan April hingga akhir bulan Juli atau menjelang panen. Pemupukan tanaman umumnya dilakukan saat satu minggu setelah tanam dan pada waktu 30 hari setelah tanam. Pupuk yang digunakan terdiri atas pupuk Urea dan SP, dan beberapa petani ada juga yang menggunakan pupuk NPK. Pemupukan kedua, pada saat 30 hari setelah tanam umumnya dilakukan secara sporadis pada tempat-tempat dimana pertumbuhan tanaman terlihat kurang bagus. Biasanya dicirikan dengan daun tanaman yang berwarna agak kekuningan.
Dosis pupuk yang digunakan juga relatrif sedikit, karena
umumnya tanaman padi lokal tidak terlalu responsif terhadap pemupukan. Ratarata digunakan pupuk Urea sebanyak 75-100 kg, SP sekitar 50 kg dan NPK/Ponska sebanyak 25 kg per hektar.
Takaran atau dosis pupuk yang
91 digunakan petani tergantung pada berbagai faktor seperti ketersediaan modal atau dana serta kondisi lahan dan tanaman padi. Petani di lahan rawa pasang surut umumnya menggunakan pupuk dengan dosis yang lebih sedikit, karena umumnya lahan-lahan sawah di wilayah ini termasuk subur karena air pasang yang masuk membawa banyak unsur hara yang diperlukan tanaman. Dosis anjuran yang diberikan oleh Balai Penyuluhan Pertanian setempat adalah Urea 150 kg, SP 100 kg dan NPK atau Ponska 50 kg per hektar. Penggunaan kapur untuk meningkatkan kesuburan tanah juga dilakukan oleh petani, terutama di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D.
Selain
diyakini dapat mengurangi kemasaman lahan, penggunaan kapur ini juga dapat mempercepat proses pelapukan gulma atau rumput-rumputan dan jerami yang ditebas saat pengolahan tanah.
Kapur pertanian ini umumnya diberikan saat
akan dilakukan pengolahan tanah, saat awal musim penghujan agar dapat meresap sempurna ke dalam lapisan tanah.
Jika penggunaan kapur ini
ditujukan untuk mempercepat pelapukan rumput-rumputan maka ditaburkan pada tumpukan atau hamparan potongan rerumputan tersebut. Selain penggunaan pupuk buatan atau anorganik, petani di lahan rawa pasang surut tipe B, C dan D juga menggunakan pupuk organik dari hasil pelapukan rumput-rumput dan jerami saat pengolahan tanah. Pupuk organik ini diyakini petani sebagai bahan yang mampu menambah kesuburan tanah, sehingga penggunaan pupuk anorganik dapat dikurangi.
Bagi petani, pupuk
organik ini juga mampu untuk menjaga keseimbangan tanah sehingga terangkatnya atau naiknya lapisan tanah masam pada bagian bawah dapat dicegah atau dikurangi. Penggunaan pestisida untuk pengendalian serangan hama dan penyakit tanaman seperti tikus, penggerek batang, walang sangit dan lainnya umumnya telah menggunakan pestisida. Walaupun demikian, kegiatan ini tidak intensif dilakukan karena umumnya varietas lokal di lahan rawa pasang surut relatif lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Selain pestisida, petani juga telah mengenal herbisida, yakni bahan kimia untuk pengendalian gulma dan rumput liar. Penggunaan herbisida ini terutama banyak dilakukan oleh petani di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D. Menurut petani penggunaan herbisida ini dapat mempermudah kegiatan pengolahan tanah karena rumput-rumput atau gulma tersebut lebih cepat mengalami pelapukan.
92 Kegiatan pemeliharaan tanaman padi umumnya banyak dilakukan oleh kaum perempuan, terutama untuk kegiatan pembersihan galangan atau bedengan.
Untuk kegiatan pengendalian hama dan penyakit tanaman,
pemberian kapur dan pupuk maupun penyemprotan herbisida umumnya dilakukan oleh laki-laki. Kegiatan pemeliharaan hanya dilakukan pada waktuwaktu tertentu saja, selebihnya digunakan untuk kegiatan lain baik di sektor pertanian maupun di luar sektor pertanian. Khusus kaum perempuan, kalau tidak ada kegiatan di sawah, sebagian dari mereka memanfaatkan dengan membuat kerajinan anyaman dari daun Purun (Lepironia mucronata) terutama tikar. Tikar atau alas dari daun purun ini selain untuk keperluan sendiri yang digunakan pada saat menjemur padi, juga dapat dijual kepada petani lainnya. 5.2.7 Pemanenan Kegiatan panen tanaman padi lokal biasanya sudah mulai dilakukan pada bulan Juli dan berlangsung hingga bulan Agustus. Kegiatan panen ini memerlukan tenaga kerja dalam jumlah yang banyak dan umumnya harus menggunakan tenaga kerja upahan. Tenaga kerja upahan ini baik yang berasal dari desa setempat maupun dari luar desa atau bahkan dari luar kabupaten (dari daerah hulu sungai). Sebagian petani masih menggunakan ani-ani atau ranggaman untuk memanen padi dan sebagian lagi dari mereka menggunakan sabit atau arit. Pemanenan dengan menggunakan sabit lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan
ani-ani,
tetapi
petani
memiliki
alasan
tersendiri
dalam
penggunaan peralatan panen ini. Ani-ani digunakan jika dalam hamparan padi di sawah tersebut tingkat kemasakannya tidak merata, sehingga dalam memanen dapat dipilih malai yang sudah masak siap untuk dipanen. Selain itu petani yang lahannya tidak terlalu luas (kurang dari satu hektar) dan masih banyak terdapat tenaga upahan, mereka umumnya lebih senang menggunakan ani-ani. Penggunaan ani-ani ini juga terkait dengan proses perontokan yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya.
Karena perontokan padi masih
dilakukan dengan cara manual, yakni dinjak-injak dengan kaki atau diirik maka umumnya mereka lebih senang menggunakan ani-ani dalam memanen padi. Selain itu padi yang dihasilkan diyakini lebih bersih dan tidak banyak mengandung kotoran atau potongan daun atau malai padi.
93 Penggunaan sabit atau arit untuk kegiatan pemanenan padi lokal mulai meluas penggunaannya sejak tahun 2000.
Walaupun penggunaan sabit ini
dapat lebih cepat dilakukan, tetapi proses perontokannya relatif lambat, terutama jika dilakukan secara manual (dibanting atau diinjak dengan kaki). Oleh karena itu sebagian petani ada yang telah menggunakan mesin perontok untuk mempercepat proses pemilahan gabah dari malai atau batang padi tersebut. Keterbatasan jumlah mesin perontok di wilayah ini juga menjadi pertimbangan petani untuk memilih cara perontokan secara manual maupun pemanenan dengan ani-ani. Sebagian kecil petani yang tidak menggunakan mesin perontok beralasan bahwa penggunaan mesin perontok tersebut dapat menyebabkan beras yang dihasilkan banyak yang patah, terutama untuk padi-padi dengan bentuk butir panjang (seperti jenis Siam). Perbandingan upah kerja antara menggunakan sabit dengan ani-ani tidak terlalu berbeda yakni berkisar antara Rp 4.000,- sampai Rp 5.000,- per blek hasil padi (1 blek = 20 liter). Upah panen ini sudah termasuk perontokan padi, sehingga jika menggunakan mesin perontok, pekerja panen harus mengeluarkan biaya tambahan sewa mesin sebanyak Rp 1.000,- per blek. Terkait dengan kapasitas kerja petani yang memanen ini dikemukakan oleh Tlb (64 th) seorang petani di Desa Tinggiran Darat: “Lamun mangatam baranggaman, paling pakulihnya sakitar 6 balik sahari, tapi amun baharit lawan maruntuknya mamakai masin paruntuk kawa baulih sampai 15 balik sahari. Mangatam baranggaman atau baharit biasanya tasarah nang ampun pahumaan” [ Jika panen dilakukan dengan menggunakan ani-ani hasilnya hanya mencapai 6 blek per hari, tetapi jika menggunakan sabit serta dikombinasikan dengan mesin perontok hasilnya dapat mencapai 15 blek sehari. Cara panen dengan menggunakan ani-ani atau menggunakan sabit tergantung pada keinginan petani yang memiliki lahannya ]
Sebelumnya (sekitar sepuluh tahun yang lalu) kegiatan pemanenan ini banyak menggunakan sistem bagi hasil, dimana setiap lima bagian hasil panen, pemilik padi memperoleh empat bagian sedangkan pekerja panen memperoleh satu bagian. Seiring dengan perkembangan waktu, sistem ini dianggap kurang praktis karena umumnya pekerja panen memerlukan uang dalam waktu segera untuk keperluan sehari-hari. Jika pembayaran yang diperoleh dalam bentuk padi, maka harga jual pada saat musim panen umumnya rendah dan pekerja tersebut hanya memperoleh uang relatif sedikit jika dibandingkan dengan
94 pembayaran dalam bentuk uang. Selain itu, karena sekarang banyak pekerja panen yang berasal dari luar daerah, mereka umumnya lebih menyukai pembayaran dalam bentuk uang atau sistem tebus. Tenaga kerja upahan selain memperoleh upah kerja juga mendapat minuman dan kue-kue serta makan siang.
Bagi tenaga kerja panen yang didatangkan dari luar desa atau luar
daerah, maka pemilik lahan juga menyediakan penginapan (biasanya di rumah pemilik lahan) serta makan tiga kali sehari. Kegiatan pemanenan ini dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, khusus untuk tenaga kerja upahan biasanya lebih didominasi oleh kaum perempuan.
Pemanenan padi di lahan rawa pasang surut tipe A umumnya
hanya bisa dilakukan setengah hari karena kondisi lahan yang berair pada saat pasang. Alat panen yang digunakanpun kebanyakan adalah ani-ani, dan hasil panen berupa malai padi dibawa ke rumah dengan menggunakan perahu atau jukung maupun perahu motor atau kelotok. Umumnya perontokan padi tidak menggunakan mesin perontok mengingat susahnya membawa mesin perontok tersebut ke areal persawahan. Padi-padi ini selanjunya dirontok dengan cara diinjak-injak atau diirik. 5.2.8 Pascapanen Padi-padi yang telah dirontok, baik yang dilakukan secara manual maupun dengan menggunakan mesin perontok selanjutnya dijemur di bawah sinar matahari. Proses penjemuran ini berlangsung selama 1-3 hari tergantung kondisi gabah saat dijemur.
Setelah gabah ini kering dilakukan proses
pembersihan yakni dengan memisahkan antara gabah yang berisi dengan gabah yang hampa. Proses pembersihan ini menggunakan alat tradisional yang disebut gumbaan. Prinsip kerja alat gumbaan ini adalah dengan menggunakan mekanisme hembusan angin yang berasal dari kipas yang diputar sehingga gabah yang berisi (bernas) dan gabah yang ringan (hampa) terpisah keluarnya pada tempat yang berbeda.
Untuk keperluan penyimpanan jangka panjang,
gabah-gabah yang telah dibersihkan ini kemudian dijemur kembali selama 1-2 hari. Penyimpanan gabah menggunakan dua metode, yakni disimpan dalam lumbung padi dan disimpan dalam karung-karung. Lumbung padi dibangun di samping rumah dari bahan kayu atau papan dan diberi atap seng atau asbes (dahulu menggunakan atap dari daun rumbia). Gabah yang disimpan dalam
95 lumbung ini umumnya dapat bertahan lama hingga tahun berikutnya.
Pada
bagian bawah biasanya dilapisi dengan alas tikar dari tanaman purun. Untuk mencegah serangan hama tikus, petani biasanya membuat dengan sistem berlapis (dua lapis), dimana antara kedua lapisan tersebut diisi dengan gabah hampa atau sekam.
Pada bagian atas, setelah ditutup dengan tikar purun
kemudian diberi lapisan sekam sekitar 15-20 cm. Pemberian sekam pada sekat dinding maupun pada bagian atas bertujuan agar tikus tidak bisa memakan gabah-gabah tersebut. Hal ini seperti dituturkan oleh Hlm (53th), petani di Desa Tinggiran Darat: “Pabila ada tikus nang malubangi tawing panyimpanan banih maka hampa banihnya nang ada di sasalanya nang takaluar. Tikusnya kada mau lagi malubangi lawan kada datang lagi.” [ Jika ada tikus yang membuat lubang pada dinding penyimpanan gabah, maka sekam yang ada disela-sela dinding tersebut akan keuar. Tikus biasanya tidak mau lagi meneruskan membuat lubangnya, dan biasanya tidak akan kembali lagi ]
Teknik ini menurut petani diperoleh dari pengalaman dan pengamatan bahwa tikus tidak akan mengorek lubang lumbung yang sama jika ternyata yang ditemuinya adalah gabah hampa atau sekam. Begitu juga halnya pada bagian atas, yang dilapisi dengan sekam setebal 15-20 cm tidak akan mungkin digali oleh tikus untuk mengambil gabah yang ada di bawahnya. Teknik penyimpanan gabah dengan menggunakan lumbung ini banyak dilakukan petani di daerah tipe A (Kecamatan Tabunganen dan sekitarnya). Pertimbangan penyimpanan dengan teknik ini juga terkait dengan faktor keamanan dari pencurian.
Oleh karena itu, dalam membuat lumbung para
petani sangat memperhatikan ketinggian lantai dari permukaan tanah. Pertimbangan tinggi air pasang besar yang dapat membanjiri lantai lumbung merupakan faktor utama yang harus diperhitungkan. Begitu juga sebaliknya, tidak boleh membangun lantainya terlalu tinggi karena akan mudah dicuri dengan cara membobol bagian lantai lumbung tersebut. Faktor keamanan inilah yang juga menjadi alasan mengapa sangat jarang petani di wilayah ini yang menyimpan gabahnya dalam karung, karena kalau dicuri mudah dibawa. Penyimpanan padi di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D umumnya dengan cara memasukkan ke dalam karung-karung plastik atau karung bekas pupuk. Kapasitas karung ini mampu menampung 3-4 blek gabah (1 blek = 20 liter, dengan berat sekitar 10 kg). Karung-karung ini umumnya
96 disimpan di dalam rumah, dalam ruangan khusus atau hanya ditaruh di ruang tamu.
Bagi mereka yang memperoleh hasil dalam jumlah banyak, maka
biasanya ada ruangan atau kamar khusus untuk menyimpan karung-karung berisi gabah tersebut. Gabah-gabah yang disimpan dalam karung ini sangat rentan terhadap serangan tikus, sehingga petani biasanya tidak menyimpannya dalam waktu yang lama. Setelah panen atau beberapa bulan kemudian, ketika memerlukan uang atau harga gabah meningkat, petani biasanya menjual sebagian dari gabah tersebut.
Untuk keperluan konsumsi sendiri, keluarga petani rata-rata harus
menyimpan padi sebanyak 25 blek gabah perkapita pertahun (250 kg gabah atau setara dengan 125 kg beras).
Sedangkan jika diperhitungkan dengan
kebutuhan sehari hari lainnya maka paling sedikit seorang petani harus memiliki 75 blek gabah perkapita pertahun (750 kg gabah atau setara dengan 375 kg beras perkapita pertahun). Perkiraan ini menjadi salah satu dasar pertimbangan bagi keluarga petani untuk mengusahakan padi, menyangkut luas lahan yang harus dikerjakan serta pertimbangan faktor pembatas berupa modal dan lahan yang tersedia. Berdasarkan perhitungan ini, suatu keluarga petani yang terdiri atas 5 orang (memiliki tiga orang anak) paling sedikit harus memproduksi padi sebanyak 375 blek (sekitar 3,75 ton gabah). Untuk mendapatkan produksi padi sebanyak ini, dengan tingkat produktivitas rata-rata 8 blek perborong (sekitar 2,8 ton gabah) maka paling sedikit keluarga petani tersebut harus mengusahakan lahan sawah seluas 47 borong (setara dengan 1,34 hektar). Berdasarkan gambaran tentang sistem pertanian padi lokal di lahan rawa pasang surut tersebut dapat dilihat bahwa walaupun padi lokal mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat, tetapi produktivitasnya masih rendah.
Introduksi teknologi pertanian modern melalui pengembangan padi
unggul telah lama dilakukan, bahkan sudah diperkenalkan sejak 1975. Beberapa varietas unggul baru padi lahan rawa pasang surut (misalnya varietas Margasari dan Martapura) yang berumur pendek (sekitar 4 bulan) serta relatif adaptif terhadap genangan dan kemasaman tanah telah diintroduksi. Kondisi lingkungan biofisik, sosial, dan ekonomi petani setempat merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap teknologi padi unggul ini. Produktivitas aktual padi unggul di lahan rawa pasang surut ini yang relatif tidak berbeda dengan padi lokal serta masalah harga gabah padi unggul yang rendah
97 merupakan faktor yang membuat tidak banyak petani mau menanam padi unggul. Perbandingan sistem budidaya padi lokal dan padi unggul di lahan rawa pasang surut ini dapat dilihat Tabel 10. Tabel 10 Perbandingan sistem usahatani padi lokal dan padi unggul di lahan rawa pasang surut Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan No Parameter
Padi Lokal
Padi Unggul *)
1
Sifat varietas
Peka fotoperiodik
Tidak peka fotoperiodik
2
Umur tanaman
9 – 11 bulan
3-4 bulan
3
Jenis persemaian
Persemaian bertahap (transplanting)
Persemaian basah
4
Umur persemaian
Tipe A : palai (7 hari), lacak (45-60 hari), tangkar anak (45 hari) Tipe B, C dan D : a) Tiga tahap : tugal/ taradak (25-30 hari), lambak/ampak (30-45 hari), lacak (60-75) b) Dua tahap : tugal/ taradak (30 hari), lacak (75-90 hari)
21-28 hari
5
Tinggi bibit saat ditanam
40-50 cm (bagian atas/daun dipangkas)
15-20 cm
6
Adaptasi terhadap kondisi lingkungan
Relatif tahan terhadap kemasaman tanah
Peka terhadap kemasaman tanah
7
Pengolahan tanah
Menggunakan tajak: tatak, puntal, tebar.
Menggunakan tajak: tatak ampar’, angkut.
8
Cara tanam
Mengunakan alat bantu tutujah
Langsung tanpa alat bantu
9
Respon terhadap pemupukan
Kurang responsif terhadap pemupukan N, P dan K
Responsif terhadap pemupukan N, P & K
10
Pemeliharaan tanaman
Penyiangan rumput umumnya hanya di galangan. Pengendalian hama dan penyakit umumnya jarang dilakukan
Penyiangan rumput diantara tanaman padi dan galangan. Pengendalian hama dan penyakit (terutama tikus, tungro, blast, walang sangit, hama putih)
11
Tinggi tanaman
120 – 175 cm (khusus variteas Datu dapat mencapai 200 cm)
80 – 100 cm
98 Lanjutan 12
Cara panen
Dengan ranggaman atau ani-ani dan beberapa menggunakan sabit
Dengan sabit bergerigi
13
Produksi potensial
35 – 50 kw/ha
40 – 60 kw/ha
14
Produksi aktual
A : 35 – 42 kw/ha B : 28 – 35 kw/ha C : 24 – 32 kw/ha D : 21 – 28 kw/ha
A:B : 28 – 42 kw/ha C : 24 – 35 kw/ha D : 24 – 28 kw/ha
15
Perontokkan gabah
diirik atau dinjak-injak, sebagian petani ada yang sudah menggunakan mesin perontok (thresser)
Perontokan menggunakan mesin perontok (thresser) atau dengan memukulmukulkan ke bambu/ kayu
16
Pembersihan gabah bernas dari gabah hampa atau kotoran
Menggunakan alat gumbaan
Menggunakan alat gumbaan
17
Tekstur nasi
Relatif pera dan disukai masyarakat setempat
Umumnya pulen dan kurang sesuai dengan selera masyarakat setempat
Keterangan : *)
Peka fotoperiodik artinya tanaman padi tersebut hanya berbunga pada musim tertentu saja, yakni ketika penyinaran matahari berlangsung lebih pendek daripada panjang hari kritik. Fotoperiodik kritis untuk tanaman padi sekitar 12-14 jam, sedangkan fotoperiodik optimum sekitar 9-10 jam. Varietas lokal yang disemai pada bulan OktoberNopember umur berbunganya sekitar 162-218 hari dan umur panennya sekitar 300 hari (Sulaiman, S 1998). Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
5.3 Ikhtisar: Sistem Pertanian Padi yang Adaptif Lingkungan Sistem pertanian padi lokal yang dikembangkan oleh masyarakat petani lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan merupakan bentuk adaptasi terhadap kondisi biofisik lahan rawa pasang surut yang bersifat marginal dengan kendala utama kemasaman tanah dan genangan air. Proses adaptasi ini secara bersamaan juga diikuti dengan terbentuknya sistem sosial yang juga beradaptasi dengan kondisi tersebut (Marten 2001). Proses koadaptasi antara sistem sosial dengan sistem biofisik (ekosistem) inilah yang melahirkan budaya pertanian di
99 lahan rawa pasang surut. Pengalaman yang telah diperoleh selama ratusan tahun mampu memberikan pelajaran tentang bagaimana menghadapi kondisi alam dengan berbagai kendalanya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan mereka. Secara skematis proses koadaptasi antara sistem sosial dengan ekosistem lahan rawa pasang surut dapat dilihat pada Gambar 5.
SISTEM SOSIAL
SISTEM PERTANIAN LRPS
Sistem Kerjasama dan Gotong royong
Tata air
Kelembagaan handil Pola kepemilikan lahan
KOMPONEN BIOFISIK LRPS
Kemasaman tanah
Sistem surjan Varietas lokal
Genangan air
Sistem pembibitan Sistem upah / Bagi hasil Pola mata pencaharian
Peralatan usahatani Pupuk organik Sistem Penanaman Pemeliharaan tanaman
Gambar 5.
Proses koadaptasi sistem sosial dengan ekosistem lahan rawa pasang surut
Proses di atas memperlihatkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem sosial masyarakat akan berpengaruh terhadap sistem pertanian dan juga diikuti dengan perubahan pada sistem biofisik di lahan rawa pasang surut. Begitu juga sebaliknya, perubahan pada sistem biofisik ini juga akan berpengaruh terhadap sistem pertanian dan sistem sosial masyarakat. Perubahan yang terjadi pada sistem sosial sebagai reaksi atas perubahan
100 lingkungan biofisik ini menghasilkan pengetahuan lokal masyarakat setempat dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Pengetahuan-pengetahuan lokal ini diwujudkan dalam bentuk praktik-praktik pertanian adaptif dengan kondisi lahan rawa pasang surut.
Sistem pertanian padi lokal yang selama ini dilakukan
masyarakat setempat merupakan bentuk penerapan pengetahuan lokal yang didasarkan atas kekhasan kondisi setempat.
Ini menunjukkan bahwa
pengetahuan lokal memang bersifat dinamis dan tanggap terhadap perubahanperubahan lingkungan (Marten 2001; Little 2000; Kalland 2005; Sundar 2005). Dinamika inilah yang menjadikan pengetahuan lokal petani tetap eksis dalam kegiatan pertanian di lahan rawa pasang surut. masyarakat
dengan
kondisi
biofisik
inilah
Pola interaksi sistem sosial yang
menghasilkan
proses
penyesuaian bersama atau koadaptasi (Marten 2001). Padi lokal merupakan salah satu jenis padi-padian liar yang berumur relatif panjang dan produksi aktualnya di lahan rawa pasang surut relatif rendah (21 - 35 kw/ha). Walaupun demikian jenis padi ini mampu beradaptasi dengan kondisi genangan yang dalam serta kemasaman yang tinggi. Sistem budidaya padi lokal ini relatif berbeda dengan budidaya padi unggul, terutama dalam sistem persemaiannya.
Sistem persemaian secara bertahap (transplanting)
dengan waktu yang relatif panjang (3-4 bulan) pada budidaya padi lokal ini dimungkinkan karena tanaman ini bersifat fotoperiodik.
Sistem ini juga
memungkinkan bibit yang ditanam dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan persawahan dengan genangan air yang tinggi dan relatif masam. Jenis padi lokal ini juga kurang rersponsif terhadap pemupukan kimia (anorganik seperti Urea dan TSP maupun KCl), sehingga tidak memerlukan input luar yang besar. Selain itu dalam fase pertumbuhannya, jenis padi lokal ini mampu bersaing dan menekan pertumbuhan gulma sehingga kegiatan pembersihan atau penyiangan relatif tidak diperlukan. Oleh karena itu, dalam pengusahaan padi lokal ini petani tidak banyak mengeluarkan biaya. Kebutuhan unsur hara sebagian besar diperoleh dari pupuk organik yang diperoleh dari hasil pembusukan rumput atau sisa tanaman pada kegiatan pengolahan tanah. Sistem
pengolahan
tanah
dengan
peralatan
tradisional
tajak
memungkinkan lahan hanya diolah pada bagian atasnya saja (kurang dari 5 cm) sehingga tidak membongkar lapisan pirit yang merupakan senyawa beracun yang umum terdapat di lahan rawa pasang surut. Sisa hasil dari pengolahan tanah inilah yang keudian dibusukkan dan digunakan sebagai pupuk organik
101 bagi tanaman padi. Proses pembusukan sisa tanaman atau rumput ini biasanya berlangsung 2-3 bulan dan berjalan paralalel dengan kegiatan persemaian atau pembbibitan tanaman yang dilakukan.
Pengaturan waktu tanam pada
pertengahan musim penghujan (Pebruari-April) juga terkait dengan proses pencucian kemasaman di sawah secara alamiah oleh air hujan (terutama di lahan rawa pasang surut tipe C dan D). Kegiatan gotong royong dalam penanaman padi merupakan bentuk adaptasi sistem sosial terhadap upaya percepatan waktu tanam dalam suatu petak sawah. Kegiatan gotong royong yang dikenal dengan istilah handipan atau baharian ini dulu diikuti 30-50 petani hingga bisa menyelesaikan kegiatan tanam untuk areal seluas 1-2 hektar sehari.
Kini, kegiatan ini sering
dilaksanakan dalam kelompok-kelompok kecil dengan anggota 15-20 orang, dan sebagian sudah dilakukan dengan sistem upah.
Dalam kegiatan tanam
digunakan alat bantu yang disebut tatajuk atau tutujah. Peralatan ini membantu petani menancapkan bibit padi ke tanah agar dapat menancap kuat dan tidak rebah jika terkena arus pasang atau surut. Pemeliharaan tanaman umumnya tidak dilakukan secara intensif, karena umumnya lahan yang ditanami padi lokal tidak memerlukan penyiangan khusus di sawah. Kegiatan pembersihan lahan hanya dilakukan pada galangan atau surjan yang dilakukan sekaligus pembersihan tanaman hortikultura yang ditanam di surjan tersebut. Karena relatif tidak dilakukan pemeliharaan yang intensif sering disebut sistem pertanian padi lokal ini dengan istilah ‘tanambuang’. Istilah ini menunjukkan bahwa setelah kegiatan tanam bisa ditinggalkan dan kembali didatangi pada saat akan panen. Istilah ini sebenarnya muncul dari strategi adaptasi yang diterapkan oleh petani setempat untuk bekerja di luar kegiatan pertanian seperti mencari kayu galam, mencari ikan, menjadi buruh bangunan atau kegiatan lainnya. Strategi ini dilakukan untuk menambah pendapatan keluarga, karena mereka tahu bahwa padi lokal hanya memberikan produksi yang relatif rendah. Bagi mereka yang memiliki areal sawah luas, hal ini bukan menjadi masalah karena mereka dapat mencukupi kebutuhan keluarganya dari hasil padi tersebut. Berdasarkan perhitungan petani setempat, untuk keperluan konsumsi keluarga dan memenuhi kebutuhan lainnya diperlukan sekitar 75 blek gabah perkapita pertahun (sekitar 7,5 kw). Seorang petani dengan 5 anggota keluarga berarti harus memiliki 37,5 kw gabah untuk keperluan konsumsi keluarga. Untuk
102 menghasilkan produksi padi sebanyak 37,5 kw dengan produksi rata-rata 28 kw/ha maka kira-kira diperlukan areal sawah seluas 1,34 hektar. Petani yang tidak memiliki lahan yang cukup akan menempuh strategi menambah penghasilan keluarganya dari kegiatan lain pada sektor pertanian maupun di luar sektor pertanian. Kegiatan
pemanenan
padi
masih
banyak
dilakukan
dengan
menggunakan ani-ani atau yang dikenal masyarakat setempat dengan nama ranggaman. Umumnya kegiatan ini dilakukan dengan sistem upah atau bagi hasil dan sangat jarang dilakukan secara bergotong royong. Semakin luas areal panen, petani akan memanfaatkan tenaga kerja luar keluarga atau tenaga upahan.
Kesulitan untuk mencari tenaga kerja ini merupakan salah satu
pendorong petani merubah cara panen dengan menggunakan sabit yang dikombinasikan dengan mesin perontok.
Padahal sebelumnya, penggunaan
sabit dan mesin perontok ini kurang diminati petani dengan alasan proses masaknya butiran padi tidak merata dan beras yang dihasilkan berkualitas kurang baik.
Seiring dengan penyempurnaan yang mereka lakukan sendiri
terhadap mesin perontok tersebut (mengatur kecepatan putaran agar tidak terlalu cepat) kini mulai banyak petani yang menggunakan peralatan tersebut. Biaya yang harus dikeluarkan untuk memanen padi antara menggunakan ranggaman dan dirontok dengan kaki diirik dibandingkan dengan penggunaan sabit dan mesin perontok relatif sama. Untuk kegiatan pembersihan padi yakni memisahkan gabah yang bernas dengan gabah yang berisi digunakan alat yang disebut gumbaan. Prinsip kerja alat ini adalah dengan menggunakan kipas berputar diarahkan ke corong tempat menjatuhkan gabah tersebut. Gabah-gabah ini akan terpisah dan ditampung pada bagian yang berbeda, yakni gabah yang bernas, gabah yang masih tercampur antara bernas dan hampa serta kotoran dan gabah hampa yang keluar pada bagian ujung alat ini.
Sebelum dibersihkan, gabah-gabah yang
telah dirontok ini dijemur pada sinar matahari selama 2-3 hari, kemudian dibersihkan dengan alat gumbaan tersebut. Setelah bersih, gabah ini dijemur kembali selama 1-2 hari hingga kering dan disimpan di tempat penyimpanan. Sistem budidaya padi lokal di lahan rawa pasang surut ini secara skematis dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.
103
Pembibitan
Pengolahan tanah
Penanaman
Pertumbuhan tanaman
Pemanenan
Pascapanen Gambar 6 Sistem budidaya padi lokal di lahan rawa pasang surut.
104 Penyimpanan padi atau gabah ini ada yang menggunakan karungkarung bekas pupuk maupun dengan membuat bangunan lumbung yang dialasi dengan tikar purun.
Tikar purun ini merupakan hasil kerajinan masyarakat
setempat yang biasanya dianyam oleh kaum wanita (ibu-ibu dan remaja putri). Selain untuk alas lumbung, tikar purun ini juga digunakan untuk menjemur padi. Gabah-gabah yang disimpan tersebut dapat bertahan hingga tahun berikutnya, bahkan lebih. Lumbung tempat penyimpanan padi ini biasanya dibangun dekat rumah dengan konstruksi khusus untuk menghindari dari gangguan tikus maupun kejahatan pencurian.
VI PENGETAHUAN LOKAL PETANI DI LAHAN RAWA PASANG SURUT 6.1 Bentuk dan makna pengetahuan lokal Pemahaman tentang karakteristik spesifik lahan rawa pasang surut merupakan dasar dalam proses pembentukan pengetahuan petani, terutama bagaimana menjadikan lahan tersebut cocok untuk kegiatan pertanian. Tindakan-tindakan pengelolaan atas lahan rawa pasang surut yang dilakukan berulang-ulang secara coba-coba (trial and error) telah menghasilkan berbagai pengetahuan tentang lahan rawa pasang surut dengan berbagai teknik pengelolaannya (Brouwer 1998). Proses pengenalan dan pemahaman ini tidak lepas dari pengaruh sistem sosial yang melingkupi kehidupan masyarakat di wilayah lahan rawa pasang surut ini.
Nilai dan norma, kelembagaan,
kepercayaan, teknologi serta perkembangan penduduk merupakan faktor internal
yang
turut
berpengaruh
terhadap
proses
pembentukan
perkembangan pengetahuan masyarakat tersebut (Vlaenderen 1999).
dan
Begitu
juga halnya dengan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah dan kondisi global turut menentukan dinamika yang terjadi.
Dengan kata lain, proses
pembentukan dan perkembangan pengetahuan lokal merupakan proses dinamis yang kompleks sebagai suatu bentuk adaptasi masyarakat di lahan rawa pasang surut terhadap lingkungannya. Pemanfaatan lahan rawa pasang surut yang merupakan lahan marginal sebagai areal pertanian memerlukan pengetahuan dan keterampilan spesifik. Penanganan dan pengelolaan yang dilakukan terhadap lahan rawa pasang surut inilah yang membentuk berbagai pengetahuan, baik menyangkut tanaman, tanah, air, mikroorganisme dan infrastuktur yang dibangun. Begitu juga halnya dengan sistem sosial yang dikembangkanpun disesuaikan dengan kondisikondisi spesifik yang ada di lahan rawa pasang surut.
Oleh karena itu,
pengetahuan lokal yang terbentuk ini menyangkut berbagai aspek dalam sistem pertanian yang dikembangkan termasuk nilai dan norma dalam kehidupan petani tersebut.
Keterlekatannya dengan nilai-nilai dan kepercayaan masyarakat
sering menjadikan pengetahuan lokal sebagai mitos dan tidak rasional menurut pandangan
sains.
Padahal
dalam
pandangan
Kalland
(2005),
justeru
pengetahuan lokal memiliki sifat sebagai pengetahuan empiris, terutama menyangkut persepsi tentang lingkungan.
106 Bagi masyarakat berbagai pengetahuan yang mereka miliki dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut merupakan modal utama untuk mampu mengembangkan sistem pertanian di lahan rawa pasang surut. Petani yang ‘ahli’ adalah mereka yang mampu menangkap dan membaca gejala dan tandatanda
alam
dan
mengimplementasikannya
dalam
kegiatan
pertanian.
Pengetahuan tentang ‘perilaku alam’ di lahan rawa pasang surut diperoleh melalui pengalaman dan pemahaman dalam berinteraksi dan mengelola lahan tersebut untuk kegiatan pertanian. Oleh karena itulah, pengetahuan lokal dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut mengandung makna sebagai perwujudan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara manusia dengan alam. Bebagai bentuk selamatan dan pantangan dalam praktik-praktik pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan implementasi dari ungkapan terima kasih mereka terhadap alam sebagai anugrah yang Maha Kuasa yang harus dipelihara dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Pengetahuan lokal ini ternyata tidak hanya berfungsi sebagai basis dalam praktik-praktik pertanian saja tetapi mencakup aspek-aspek kehidupan sosial yang lebih luas lagi. Pengetahuan lokal dalam kehidupan sosial masyarakat juga terkait dengan status dan peranan petani dalam sistem sosialnya. Hal ini karena pengetahuan-pengetahuan tersebut tidak dimiliki merata pada setiap orang dalam suatu masyarakat.
Misalnya, salah satu
pertimbangan dalam memilih atau menunjuk kepala padang adalah karena ia memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang kondisi lingkungan setempat.
Ini berarti bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam
konteks pengelolan lahan rawa pasang surut tidak hanya mengandung makna sarana untuk memenuhi kebutuhan ekonomi saja, tetapi sekaligus sebagai penentu dalam kehidupan sosial. 6.1.1 Pengetahuan tentang budidaya tanaman padi Padi bagi masyarakat petani di lahan rawa pasang surut bukan hanya sebagai komoditas ekonomis semata, tetapi lebih dari itu karena tanaman padi juga merupakan komoditas sosial. Oleh karena itu sistem budidaya padi yang dikembangkan bukan semata-mata menyangkut aspek produksi saja tetapi juga menyangkut eksistensinya sebagai komoditas sosial budaya.
Padi yang
ditanam dan dikembangkan di lahan rawa pasang surut umumnya adalah
107 varietas lokal dan
telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan spesifik
setempat. Pemilihan varietas yang mana yang akan ditanam sangat tergantung pada faktor kondisi kesuburan lahan, tipe luapan lahan, harga jual, rasa nasi, serta pertimbangan sesama petani di lahan yang berdekatan.
Berdasarkan
pengalaman yang mereka peroleh selama ini, jenis banih barat (berumur panjang) umumnya tumbuh baik pada areal lahan yang selalu terluapi dengan pasang surut air, yakni di lahan rawa pasang surut tipe A.
Jenis ini harus
ditanam lebih cepat dibanding dengan jenis varietas lainnya (jenis banih ringan), paling tidak masa tanam harus sudah berakhir pada Akhir Maret atau awal April. Jika terlambat melakukan penanaman, dapat berakibat gagal panen akibat masuknya air asin pada awal kemarau (bulan Juni) dimana tanaman belum memasuki fase pengisian buah.
Tetapi jika fase pengisian buah ini sudah
dilewati, masuknya air asin ke sawah pada saat pasang tidak berpengaruh terhadap produksi padi. Kondisi seperti di atas berimplikasi terhadap strategi penentuan luas dan lokasi sawah yang diusahakan. Terkait dengan luas garapan dan kepemilikan lahan, petani di wilayah ini umumnya mengusahakan lahan yang luas, rata-rata dua hektar serta tersebar/terpencar pada berbagai tempat (dari lahan rawa pasang surut tipe A hingga peralihan A ke B). Dengan kata lain, lokasi lahan yang diusahakan terdapat di daerah rendah dan daerah agak tinggi. Lahanlahan yang berada di daerah yang agak tinggi tinggi umumnya ditanami dengan varietas padi lokal dari kelompok banih ringan untuk menghindari kegagalan akibat kemarau yang datang lebih awal. Sebaliknya lahan-lahan yang berada di daerah rendah dapat dilakukan penanaman lebih belakangan. Oleh karena itu pengetahuan tentang sifat dan karakteristik dari masing-masing varietas padi lokal ini mutlak harus diketahui oleh petani setempat. Begitu juga halnya dengan petani di wilayah pasang surut tipe C dan D, dimana air pasang tidak selancar di tipe A, curah hujan dan kondisi iklim sangat menentukan keberhasilan usaha tani padi. Pengetahuan masyarakat tentang iklim dan penentuan musim hujan atau kemarau lebih berkembang dibandingkan dengan petani di tipe A atau B.
Penentuan awal tanam dengan
mempertimbangkan kedudukan bintang-bintang di langit (petani setempat menyebutnya
sebagai
bintang
karantika
dan
baur
bilah)
merupakan
pengetahuan yang diyakini mampu meramalkan kondisi kemarau atau
108 penghujan dengan akurasi yang cukup tinggi.
Melalui pengetahuan tentang
kedudukan ini para petani dapat memperhitungkan apakah masa tanam dapat dilakukan lebih lama atau harus segera diselesaikan lebih cepat. Ketidaktepatan atau perhitungan yang keliru dapat meningkatkan risiko kegagalan panen akibat kekeringan atau kebanjiran. Menurut Idak (1982), pengetahuan tentang musim inilah yang memungkinkan petani setempat dapat memanfaatkan berbagai jenis sawah untuk mengembangkan budidaya tanaman padi. Pengetahuan-pengetahuan petani menyangkut kondisi iklim dan gerakan pasang surut air juga penting untuk menentukan waktu kegiatan penyemaian bibit. Bagi petani di lahan rawa pasang suru tipe A, waktu penyemaian bibit tahap pertama yang disebut palai harus dilakukan pada saat pasang kecil terjadi, agar lahan yang digunakan untuk persemaian tersebut tidak terendam air pasang.
Dengan demikian, ketika waktu pasang besar mulai datang, umur
persemaian sudah mencapai 7 hari dan siap dipindahkan ke tahap berikutnya (tahap lacak). Begitu juga halnya dengan petani di lahan rawa pasang surut tipe B, C dan D, selain pengetahuan tentang peredaran bulan dan hubungannya dengan pasang surut air, juga menyangkut peredaran bintang dan hubungannya dengan musim yang akan terjadi. Khusus di lahan rawa pasang surut tipe C dan D jika diprakirakan terjadi masa kemarau yang agak panjang, maka kegiatan pembibitan dilakukan lebih cepat (awal Oktober) serta dengan melakukan pembibitan dengan dua tahapan saja (tahapan taradak dan tahapan lacak). Kondisi-kondisi di atas seperti gerakan pasang surut air yang terjadi setiap hari di tipe A, ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi iklim di lahan rawa pasang surut tipe C, dan D berimplikasi dalam sistem sosial kehidupan petani. Gerakan air pasang dan surut yang terjadi setiap hari di lahan rawa pasang surut tipe A tidak memungkinkan kegiatan di sawah dilakukan satu hari penuh, tetapi hanya sekitar setengah hari.
Oleh karena itu kelembagaan
ekonomi terutama sistem upah yang dilakukan di daerah ini diperhitungkan setengah hari saja. Fenomena terjadinya pasang besar yang terjadi dua kali dalam setiap bulan juga membatasi aktivitas-aktivitas dalam usahatani padi di sawah. Kegiatan gotong royong juga tidak setiap saat memungkinkan untuk dilakukan karena kendala genangan air yang dalam pada saat pasang. Faktor inilah yang juga menjadi penyebab mengapa kegiatan gotong royong penanaman padi (handipan) di tipe A hanya dalam kelompok-kelompok kecil, sekitar 10 orang.
109 Perhitungan tentang musim ini juga mendorong petani melakukan aktivitas persemaian secara serentak sehingga nilia-nilai kebersamaan dalam kegiatan pertanian padi dapat lebih terjalin. Kegiatan-kegiatan selamatan yang mengawali penyemaian padi ini masih sering dilakukan karena mereka yakin bahwa keberhasilan penanaman ini sangat ditentukan oleh kondisi musim dan iklim yang datang dari Tuhan semesta alam.
Bagi petani setempat acara
selamatan diyakini dapat menghindarkan mereka dari bencana dan kegagalan baik oleh faktor iklim maupun gangguan hama tanaman. Tokoh masyarakat yang berperan dalam kegiatan ini dahulu adalah kepala handil, tetapi seiring dengan memudarnya peranan kelembagaan handil maka guru agama atau ulama menjadi tokoh dalam upacara selamatan ini. Secara skematis keterkaitan pengetahuan tentang peredaran bintang dan bulan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang surut seperti Gambar 7 berikut. Peredaran / kedudukan bintang di langit
Kedudukan bulan terhadap bumi
Posisi bintang karantika dan haurbilah
Bulan purnama dan bulan sabit
Kondisi iklim (musim kemarau atau penghujan)
Gerakan pasang surut air
Penentuan waktu semai, jenis varietas padi, sistem semai, masa tanam
Kelembagaan upah kerja, Organisasi sosial, Nilai dan Norma
Gambar 7
Pengetahuan tentang peredaran bintang dan bulan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang surut
110 6.1.2 Pengetahuan tentang pengelolaan lahan Lahan atau tanah merupakan modal utama petani dalam kegiatan pertanian yang berperan penting dalam proses produksi. Pemilihan lahan yang sesuai untuk dijadikan sawah dan pengelolaannya memerlukan pengetahuan khusus, mengingat lahan rawa pasang surut merupakan lahan spesifik dengan berbagai kendala dalam pengelolaannya.
Dalam sejarah pembukaan lahan
rawa pasang surut, wilayah yang pertama dibuka untuk dijadikan sawah adalah lahan-lahan yang berada di sepanjang sungai besar karena pengaturan airnya mudah dilakukan. Salah satu kunci keberhasilan pertanian padi di lahan rawa pasang surut dengan kendala menyangkut tata air.
kemasaman tanah yang tinggi adalah
Umumnya daerah-daerah sepanjang pinggiran sungai
merupakan wilayah yang bisa langsung dipengaruhi gerakan pasang surut air. Petani memiliki pengetahuan bahwa air pasang yang masuk ke sawah pada wilayah ini banyak mengandung bahan-bahan organik yang berguna bagi pertumbuhan tanaman. Selain itu proses pasang surut air juga berfungsi untuk proses pencucian (leaching) bahan-bahan yang menyebabkan terjadinya kemasaman tanah. Dalam pengembangan selanjutnya, di mana lahan-lahan di sepanjang pinggiran
sungai
sudah
habis
terbuka,
maka
para
petani
kemudian
memanfaatkan lahan-lahan di bagian dalam yang tidak langsung dapat dipengaruhi oleh gerakan pasang surut air.
Untuk memecahkan kendala ini
maka dibuatlah saluran-saluran yang disebut handil agar gerakan pasang surut air ini dapat mencapai persawahan pada bagian dalam tersebut.
Pada awal
pembuatannya, handil ini dikerjakan secara bergotong royong dan dilakukan secara bertahap hingga handil-handil ini menjangkau jarak yang cukup jauh dari sungai besar (hingga ada yang mencapai 5 km atau lebih). Handil-handil ini diperpanjang sejauh gerakan pasang surut air masih dapat berlangsung lancar. Untuk menjamin kelancaran handil-handil ini, setiap tahun dilakukan gotong royong untuk membersihakannya dari sedimentasi atau tumbuhan-tumbuhan liar yang dapat menghambat aliran air. Sawah-sawah dicetak di sepanjang handil ini untuk kemudian ditanami dengan padi.
Penentuan lahan yang akan dicetak ini juga dipengaruhi oleh
kondisi awal lahan tersebut.
Petani harus mampu menentukan mana lahan
yang subur atau baik untuk ditanami padi.
Pengetahuan tentang lahan di
wilayah pasang surut ini mutlak dimiliki agar usaha pertanian padi yang akan
111 dilakukan dapat memberikan hasil yang baik.
Secara sederhana, petani
mengenali lahan yang subur dengan memperhatikan atau mengamati kondisi fisik tanah tersebut dan vegetasi awal yang tumbuh di lahan tersebut. Tanah subur atau baik untuk dijadikan sebagai sawah adalah tanah yang pada lapisan bagian bawahnya (sekitar 20-30 cm) mengandung tanah liat yang diketahui dengan cara menusukkan parang (golok) ke tanah dengan kedalaman sekitar 30 cm.
Jika parang tersebut dicabut, terdapat tanah liat yang menempel pada
parang tersebut, maka ini menunjukkan bahwa tanah di areal tersebut cocok untuk tanaman padi.
Sebaliknya jika parang yang ditusukkan tersebut tidak
terdapat tanah liat yang menempel atau bagian tanahnya sangat dalam maka tanahnya kurang cocok untuk dijadikan sawah. Cara lain adalah dengan cara menginjakan kaki ke dalam tanah tersebut, jika bagian tanah tersebut tidak banyak menempel di kaki (terlepas sendiri) artinya tanah tersebut mengandung gambut dan kurang baik untuk dijadikan sawah.
Pengetahuan dan teknik
mengidentifikasi kesuburan tanah ini merupakan hasil pengalaman yang diperoleh selama puluhan tahun dan ditularkan secara turun temurun antar generasi. Pengenalan kesuburan lahan ini juga dapat dilakuan melalui pengenalan jenis vegetasi awal yang tumbuh di lahan tersebut. Lahan yang sebelumnya banyak ditumbuhi Piai atau Kelakai (Achrosticum aureum) merupakan tanda bahwa lahan tersebut baik untuk dijadikan sawah. Sebaliknya, lahan-lahan yang sebelumnya didominasi oleh tumbuhan Galam (Melaleuca leucadendron), Purun Tikus atau Purun Bundung (Eleocharis dulcis) dan Karamunting (Melastoma affine) merupakan indikasi bahwa tanahnya mempunyai tingkat kemasaman yang tinggi (pH tanah rendah). Lahan-lahan seperti ini perlu dikelola secara hati-hati agar lapisan pirit atau lapisan yang mengandung bahan-bahan penyebab kemasaman dan mengandung racun bagi tanaman tidak terangkat atau terbongkar ke atas. Pengetahuan mengenai kondisi fisik lahan ini terkait langsung dengan teknik pengolahan lahan yang harus dilakukan. Penggunaan alat tajak untuk kegiatan pengolahan tanah merupakan pilihan tepat pada lahan-lahan yang pada lapisan bawahnya mengandung bahan-bahan beracun bagi tanaman. Pengetahuan tentang sifat-sifat lahan rawa pasang surut dan kendala kemasaman tanah ini mendorong berkembangnya pengetahuan tentang pengendalian kemasaman tanah melalui pembuatan bedengan/surjan atau
112 tukungan untuk keperluan penanaman tanaman tahunan seperti jeruk, mangga, rambutan, kelapa dan lainnya atau tanaman sayuran. Kombinasi pembuatan surjan atau tukungan dengan pengaturan air menjadikan lahan rawa pasang surut yang sebelumnya memiliki tingkat kemasaman relatif tinggi dapat digunakan untuk budidaya tanaman padi sekaligus dengan tanaman tahunan atau tanaman sayuran. Khusus di lahan rawa pasang surut tipe A, pembuatan bedengan atau surjan selain berfungsi untuk penananam kelapa, juga sebagai tempat untuk menaikkan lumpur atau sedimen yang masuk ke areal persawahan. Lumpur sedimen ini perlu dinaikkan ke bedengan atau surjan agar tanaman padi tidak mudah tumbang atau rebah karena lumpur yang terlalu dalam.
Di sisi lain,
pengangkatan lumpur sedimen ini ke bedengan sekaligus berfungsi untuk meningkatkan kesuburan tanaman kelapa atau tanaman lain yang ditanam di atas bedengan atau surjan tersebut. Untuk memperlancar aliran air ke petak sawah dan di dalam sawah, petani membuat saluran kecil yang disebut saluran cacing di sekeliling atau di bagian tengah sawah. Kelancaran air pasang surut ini merupakan salah satu kunci keberhasilan usahatani padi di lahan rawa pasang surut. Pengetahuan tentang pengaturan air dan teknik pembuatan bedengan atau surjan ini merupakan hasil proses adaptasi masyarakat terhadap kondisi lingkungan spesifik yang ada. Kondisi lingkungan lahan rawa pasang surut yang memerlukan penanganan dan pengelolaan khusus mendorong ikatan kerjasama antar petani menjadi lebih erat.
Pengaturan air dan pengelolaan lahan harus dilakukan
secara bersama dalam suatu wilayah hamparan. Kelancaran arus pasang surut air ke persawahan harus dijaga dan membutuhkan kerjasama antar petani. Masalah pengaturan tata air di lahan rawa pasang surut telah lama mereka ketahui dan pahami sebagai faktor penentu keberhasilan usahatani di wilayah ini. Mereka menyadari bahwa tanpa kerjasama dalam pengaturan air maka lahan tersebut tidak akan dapat menghasilkan produksi padi yang tinggi. Pengetahuan dan praktik-praktik yang terkait dengan pengelolaan lahan ini membentuk sistem sosial tersendiri dalam kehidupan masyarakat di lahan rawa
pasang
surut.
Kegiatan
gotong
royong
dalam
pembuatan
dan
pemeliharaan handil menciptakan kelompok-kelompok petani di suatu handil. Terbentuknya struktur sosial masyarakat dalam bentuk kelompok handil ini merupakan implementasi dari sistem kerjasama untuk menghadapi tantangan
113 dan kendala dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Kelompok ini dipimpin oleh seorang tokoh petani yang disebut kepala handil. Norma dan aturan dalam kegiatan berusahatani diterapkan dengan tujuan untuk kepentingan bersama. Keberhasilan usahatani di suatu wilayah atau handil merupakan kebanggaan tersendiri bagi para petani yang tergabung dalam kelompok tersebut. Umumnya anggota kelompok dalam suatu handil berasal dari wilayah asal yang sama (walaupun tidak selalu) sehingga mereka memliki solidaritas sosial yang tinggi. Selain itu organisasi sosial berdasarkan handil ini juga merupakan eksistensi kelompok-kelompok petani pelopor yang memulai usahatani di wilayah itu. Penggunaan nama-nama handil yang terdapat di lokasi penelitian seperti Handil Mahang, Handil Barabai, Handil Amuntai dan lainnya merupakan eksistensi kepeloporan petani-petani yang berasal dari wilayah-wilayah tersebut. Pola dan teknik pengelolaan lahan ini juga memungkinkan petani mengembangkan komoditas tanaman sayuran dan buah-buahan selain padi. Khusus petani di lahan rawa pasang surut tipe A, mereka juga dapat menanaminya dengan tanaman kelapa pada bagian surjannya.
Kepemilikan
lahan umumnya adalah hak milik di mana petani menggarap sendiri lahan tersebut.
Jika-lahan–lahan tersebut disewakan maupun disakapkan kepada
orang lain, maka penyewa atau penggarap hanya mengelola lahan untuk tanaman padi.
Tanaman yang tumbuh di atas surjan atau tukungan tetap
merupakan bagian pemilik lahan, kecuali ada perjanjian sebelumnya untuk membagi hasil dari tanaman yang tumbuh pada tukungan atau surjan tersebut. Norma dan aturan-aturan tentang sistem sakap dan sewa ini berlaku umum di wilayah lahan rawa pasang surut. Pelanggaran akan kesepakatan yang telah dibuat bukan hanya penyewa atau penggarap ini tidak bisa lagi menjalin kerjama dengan pemilik lahan tersebut, tetapi juga kemungkinan dengan pemilik lainnya di sekitar wilayah tersebut. Secara skematis pembentukan pengetahuan lokal petani menyangkut pengelolaan lahan rawa pasang surut dan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi serta sistem sosial masyarakat dapat dilihat pada Gambar 8.
114
Kedudukan lahan terhadap sungai atau anak sungai
Kondisi Lahan
Tata air Kondisi Fisik Tanah V t iA l
Pembuatan saluran/ handil
Karakteristik tanah subur dan tanah masam
Pembuatan surjan Saluran cacing Peralatan kerja Sistem tanaman campuran
Kelembagaan handil Organisasi sosial Kepemimpinan
Gambar 8 Pengetahuan tentang pengelolaan lahan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang surut
6.1.3 Pengetahuan tentang pemeliharaan dan kelestarian lingkungan Lahan rawa pasang surut merupakan lahan marginal yang bersifat rentan (fragile) terhadap penanganan yang salah.
Terbakarnya gambut dan
peningkatan kemasaman tanah merupakan dua hal yang harus dihindari dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut untuk kegiatan pertanian. Bagi petani, pengetahuan tentang kemasaman tanah dan upaya penangannya serta sifatsifat tanah gambut merupakan hasil dari pengalaman dan percobaan-percobaan yang sejak ratuan tahun telah dilakukan.
Sifat tanah gambut yang penting
adalah bahwa gambut menampung air hingga 300-800% dari bobot beratnya
115 dan berfungsi sebagai penampung air di wilayah ini serta adanya sifat “kering tak balik’ (Radjagukguk 1997). Sifat-sifat khas ini membuat petani paham betul bahwa gambut harus diperlakukan dengan hati-hati. Seperti yang dituturkan oleh Mhd (65 tahun) seorang petani di Desa Tinggiran Darat: “Tanah nang ada gambutnya, apalagi nang tabal hampai samitir atau labih kada baik diulah gasan pahumaan. amun gusang ngalih mamajahinya, wan amun gambut ini habis tanahnya kada baik lagi gasan pahumaan. Nang bagus gasan pahumaan itu tanahnya kada banyak bagambut wan banyak ditumbuhi kalakai. Amun banyak bagalam, kada tapi baik jua gasan dijadiakan pahumaan.” [Tanah yang mengandung gambut, terutama dengan ketebalan satu meter atau lebih tidak sesuai dijadikan sebagai sawah. Jika terbakar sulit untuk memadamkannya, dan jika gambut ini habis terbakar maka tidak baik lagi untuk areal persawahan. Yang cocok untuk dijadikan sebagai sawah adalah yang tidak banyak gambutnya dan banyak ditumbuhi Kelakai. Jika banyak tanaman Galam, juga tidak baik dijadikan sebagai sawah]
Begitu juga halnya dengan gambut dan lahan yang memiliki kemasaman tinggi diupayakan untuk selalu dalam kondisi tergenangi air untuk mencegah naiknya lapisan pirit (bersifat masam dan beracun bagi tanaman) ke permukaan tanah. Gambut yang telah mengalami kekeringan (karena proses pembukaan lahan atau kelebihan drainase) tidak akan dapat lagi berfungsi seperti semula sebagai penampung air (sifat ‘kering tak balik’).
Pembuatan surjan dan
tukungan serta pengaturan keluar masuknya air merupakan langkah yang harus ditempuh dalam mengurangi dan mencegah munculnya kemasaman yang tinggi di persawahan. Upaya-upaya untuk mempertahankan kelestarian lingkungan di wilayah pasang surut ini juga dilakukan dengan pemberian pupuk organik dari hasil pelapukan rumput atau gulma yang ditebas pada saat pengolahan tanah. Bahkan
sekarang
petani
telah
menggunakan
kapur
pertanian
untuk
mempercepat proses pelapukan tersebut serta sekaligus sebagai bahan yang mampu mengurangi kemasaman tanah.
Waktu persiapan lahan yang relatif
panjang (3-4 bulan) memungkinkan proses pelapukan gulma dan rumputrumputan hasil tebasan ini berlangsung baik sehingga sifat-sifat fisik serta kimia tanah menjadi lebih baik. Pengetahuan petani tentang bagaimana mempertahankan keberlanjutan usaha pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan hasil pengalaman dan uji coba (trial and error) yang juga terkait dengan sistem sosial dalam kehidupan masyarakat. Sistem gotong royong dalam pengolahan tanah dan penggunaan
116 peralatan adaptif (alat tajak) yang mampu mencegah terbongkarnya lapisan tanah masam merupakan respon sistem sosial untuk menyesuaikan dengan kondisi biofisik lahan rawa pasang surut. Masa pengolahan tanah yang relatif lama (Des-Feb) memungkinkan kegiatan gotong royong dalam pengolahan tanah dilakukan secara bergiliran (sistem handipan). Kegiatan gotong royong ini biasanya dilakukan oleh petani dalam suatu kelompok handil. Terkait dengan upaya pencegahan kerusakan lingkungan akibat kebakaran lahan, petani tiak dibenarkan untuk melakukan pembakaran lahan atau gambut di areal persawahan. Hal ini bukan hanya dapat merusak lahan sawah tetapi juga dapat menjalar ke lahan sawah di sekitarnya.
Membakar
lahan atau gambut merupakan bentuk pelanggaran norma dan dapat diberikan sanksi jika sampai merusak lahan petani lain. Kepala handil memiliki peranan penting dalam hal ini jika sampai terjadi konflik antar petani akibat kebakaran lahan tersebut.
Penyelesaian biasanya dilakukan secara musyawarah antar
pihak yang terlibat dan ganti rugi harus ditanggung pihak yang menjadi penyebab kebakaran tersebut. (jika proses pembakaran lahan tersebut dilakukan secara sengaja). Upaya penyelesaian ini kadang tidak sederhana dan sulit dilakukan karena api dapat menjalar ke lahan di sekitarnya melalui bawah permukaan tanah dan muncul di tempat lain setelah beberapa hari kemudian. Untuk hal-hal seperti ini maka selain kepala handil maka tokoh masyarakat lain juga sering dilibatkan. Tokoh yang sering dilibatkan dalam penyelesaian konflik-konflik antar petani ini seperti kepala desa, ketua RT, ulama atau guru agama. Penyelesaian secara musyawarah ini bertujuan agar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dapat saling memahami dan memaafkan satu sama lain.
Kerugian yang
ditimbulkan dapat diganti rugi sesuai dengan kesepakatan dan kesanggupan pihak yang menanggungnya.
Oleh karena itulah pembakaran lahan ini sangat
dihindari oleh petani setempat karena mengandung potensi konflik antar petani. Secara skematis pembentukan pengetahuan lokal petani menyangkut pemeliharan kelestarian lingkungan lahan rawa pasang surut hubungannya dengan kegiatan pertanian padi serta sistem sosial masyarakat dapat dilihat pada Gambar 9.
117
Karakteristik gambut
Kemasaman tanah
Sifat kering tak balik Penampung air
Lapisan pirit
Penanganan kemasaman tanah dan pengelolaan gambut
Surjan / tukungan Tata air Kapur pertanian Pupuk organik Teknik olah tanah
Sistem gotong royong Sistem teknologi peralatan olah tanah, Nilai dan Norma
Gambar 9
Pengetahuan tentang pemeliharaan kelestarian lingkungan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang surut.
6.1.4 Pengetahuan tentang peralatan usahatani Pengetahuan menyangkut sistem peralatan yang digunakan dalam usahatani di lahan rawa pasang surut merupakan hasil pemikiran dan upaya mencoba-coba (trial and error) sehingga akhirnya ditemukan peralatan-peralatan yang adaptif bagi lingkungan setempat.
Alat pertanian yang disebut tajak
merupakan bentuk alat pengolahan tanah yang sesuai untuk mencegah terangkatnya pirit ke permukaan. Petani di lahan rawa pasang surut sangat paham bahwa pirit yang terangkat ke atas permukaan dapat meracuni tanaman. Pirit ini bukan hanya dapat menurunkan produksi padi, tetapi juga dapat
118 mengakibatkan kematian pada tanaman padi tersebut.
Oleh karena itulah
mengapa petani menolak jika lahannya diolah dengan menggunakan traktor tangan (hand tractor) atau dengan bajak seperti halnya petani di lahan beririgasi. Pengolahan tanah dengan cara hanya mengupas sedikit lapisan tanah ini dalam pertanian modern dikenal dengan pengolahan tanah minimum (minimum tillage). Begitu juga dengan peralatan lain seperti alat bantu untuk menancapkan bibit padi pada saat tanam yang disebut tatajuk atau tutujah.
Dengan
penggunan alat ini maka bibit padi dapat ditancapkan dengan mudah ke tanah dengan kedalaman yang diinginkan (sekitar 5 cm) sehingga cukup kuat untuk menahan aliran pasang surut serta tidak terlalu dalam hingga memasuki area tanah masam. Peralatan tutujah untuk menanam ini merupakan implikasi atas pengolahan tanah dengan menggunakan tajak, karena tanahnya tidak ikut terolah. Oleh karena itu, diperlukan alat yang mampu membuat lubang untuk menancapkan bibit padi dengan posisi membungkuk. Prinsip kerja alat ini pada dasarnya mirip dengan alat tugal pada pertanian di lahan kering, tetapi mempunyai tangkai yang pendek. Alat ini dapat dibuat sendiri oleh petani dari ranting atau cabang pohon-pohon yang ada di sekitar. Pada waktu dulu, alat ini banyak dibuat dari bahan kayu besi (ulin) dan dapat dipergunakan hingga puluhan tahun. Peralatan-peralatan lainnya seperti kakakar untuk mengumpulkan sisasisa gulma yang akan dibusukkan, ani-ani atau ranggaman untuk kegiatan pemanenan, tanggui untuk penutup kepala serta peralatan pascapanen berupa tikar purun, lanjung atau cupikan maupun gumbaan adalah hasil kreasi dari pengetahuan lokal masyarakat untuk mempermudah kegiatan usahatani yang dilakukan.
Beberapa di antara peralatan tersebut diproduksi sendiri oleh
masyarakat setempat, seperti tikar purun untuk menjemur padi, tanggui dan umumnya dikerjakan oleh kaum wanita sebagai kerajinan rumah tangga. Bahan baku untuk pembuatan peralatan tersebut umumnya terdapat di lahan rawa pasang surut di sekitar tempat tingal mereka. Pengetahuan dan keterampilan dalam pemanfaatan bahan-bahan ini sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu dan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Kerajinan tangan ini merupakan salah satu bentuk matapencaharian sampingan yang umumnya dilakukan oleh kaum wanita. Pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat dalam pembuatan dan penggunaan peralatan untuk usahatani di lahan rawa pasang surut ini
119 merupakan
bentuk
penerapan
teknologi
sederhana
yang
tepat
guna.
Pengetahuan tentang kondisi ekosistem lahan rawa pasang surut dengan berbagai kendalanya mendorong berkembangnya pengetahuan masyarakat dalam menciptakan dan menggunakan alat bantu dalam kegiatan usahataninya. Pengembangan atau penyempurnaan peralatan sederhana ini dari waktu ke waktu terus berlangsung seiring dengan perubahan yang terjadi dalam sistem pertanian maupun sistem sosial masyarakat setempat. Secara skematis pembentukan pengetahuan lokal petani menyangkut peralatan pertanian di lahan rawa pasang surut hubungannya dengan sistem sosial masyarakat dapat dilihat pada Gambar 10.
Karakteristik lahan sulfat masam
Karakteristik pasang surut air
Lapisan pirit
Sistem perakaran tanaman
Pengolahan tanah dan teknis penananam bibit
Peralatan pertanian sederhana yang adaptif
Sistem matapencaharian
Gambar 10 Pengetahuan tentang peralatan pertanian hubungannya dengan sistem sosial di lahan rawa pasang surut.
120 Pengetahuan lokal ini merupakan hasil adaptasi melalui proses pemahaman dan pengalaman mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan. Koadaptasi sistem sosial dan sistem biofisik (ekosistem) lahan rawa pasang surut
yang
berlangsung
secara
pengetahuan lokal bersifat dinamis.
terus
menerus
menunjukkan
bahwa
Walaupun demikian, dasar-dasar dalam
pembentukan dan perkembangan pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut ini tidak lepas dari eksistensi mereka dalam berinteraksi dengan alam.
Ini
artinya perubahan-perubahan yang terjadi hanya akan mudah diterima jika perubahan tersebut sesuai (compatible) dengan sistem sosial dan pandangan yang mereka anut selama ini. Beberapa bentuk pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan ini dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11
Bentuk-bentuk pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut
Kegiatan / Aktivitas Pengelolaan
Bentuk Pengetahuan Lokal
1. Pengelolaan lahan
• Teknik pembuatan handil • Teknik pembuatan surjan/tukungan • Karakteristik lahan yang cocok untuk dijadikan sebagai sawah • Teknik pembuatan saluran • Hubungan vegetasi yang tumbuh dengan kondisi kesuburan lahan • Sistem organisasi sosial dan kelembagaan handil untuk menciptakan kebersamaan dalam pengeloalan lahan rawa pasang surut yang berkelanjutan
2. Peralatan usahatani
• Peralatan pengolahan tanah (tajak) yang adaptif untuk kondisi lahan rawa pasang surut yang umumnya dengan tingkat kemasaman tinggi (adanya lapisan pirit) • Teknik pembuatan peralatan sederhana untuk persiapan lahan (kakakar) • Peralatan untuk tanam menanam pada kondisi air yang dalam (arus pasang surut yang kuat) • Peralatan panen yang sesuai dengan karakteristik fisik tanaman (posisi malai padi). • Peralatan pemisah gabah bernas dengan gabah hampa yang sederhana dan efektif (gumbaan) • Lumbung penyimpanan padi yang dapat mencegah gangguan serangan tikus
121 Lanjutan Kegiatan / Aktivitas Pengelolaan
Bentuk Pengetahuan Lokal
3. Sistem budidaya tanaman padi - Pembukaan lahan
• Identifikasi kesuburan melalui vegetasi • Kedudukan terhadap sungai/anak sungai • Sifat fisik tanah (Lapisan tanah permukan dan tanah bagian bawahnya) • Pengaturan tata air untuk mencuci kemasaman • Pembuatan surjan
- Pengolahan tanah
• Adanya lapisan pirit yang beracun bagi tanaman • Penggunaan alat tajak untuk mencegah terangkatnya pirit • Pemanfaatan gulma/sisa pengolahan tanah untuk pupuk organik • Teknik mempercepat pembusukan gulma
- Varietas padi
• Sifat dan karakteristik varietas lokal yang adaftif terhadap kemasaman tinggi • Karakteristik beras yang dihasilkan • Hubungan varietas yang ditanam dengan kelembagan sosial • Teknik seleksi untuk memperoleh benih yang baik
- Persemaian
• Teknik persemaian secara bertahap dengan perpindahan tempat (transplanting) sehingga bibit dapat beradaptasi dengan kondisi lahan • Hubungan antara teknik pembibitan dengan waktu persiapan lahan • Pengetahuan tentang cuaca dan iklim • Pengetahuan tentang kedudukan bintang karantika dan baur bilah • Pengetahuan tentang kedudukan bulan thd bumi • Pengetahuan tentang sistem pasang surut air
- Penanaman
• Sistem gotong royong (handipan atau baharian) dalam kegiatan penanaman • Hubungan antara jarak tanam, jumlah bibit dan jenis varietas • Penentuan awal dan akhir musim hujan • Pengaturan waktu tanam dengan cara memiliki banyak persil lahan dengan kondisi air yang berbeda • Pengaruh air asin terhadap tanaman padi • Sistem kerja harian dan borongan dalam kegiatan tanam
122 Lanjutan Kegiatan / Aktivitas Pengelolaan
Bentuk Pengetahuan Lokal
- Pemeliharaan
• Pemeliharaan yang tidak intensif hubungannya dengan ketersedian waktu luang untuk kegiatan lain • Pengetahuan tentang kondisi tanaman yang perlu dipupuk atau tidak • Pengendalian hama dan penyakit tanaman • Pengetahuan tentang kapur pertanian
- Pemanenan
• Hubungan karakteristik jenis varietas lokal dengan teknik pemanenan • Penggunaan alat panen dan perontok yang sesuai dengan situasi dan kondisi • Sistem pembagian kerja dan tenaga upahan dalam kegiatan panen
- Pascapanen
• Teknik pembersihan gabah dengan menggunakan alat gumbaan • Teknik penjemuran atau pengeringan sehingga padi dapat bertahan lama • Sistem penyimpanan padi (lumbung) agar tidak diganggu tikus
4. Pemeliharaan dan • Karakteristik lahan rawa pasng surut dan lahan pelestarian gambut lingkungan lahan • Pencegahan degradasi lingkungan (misalnya rawa pasang surut kebakaran lahan gambut) • Peranan pupuk organik terhadap kesuburan tanah • Peranan dan dampak pupuk kimia serta pestisida terhadap kelestarian lingkungan • Peranan kapur dalam menjaga agar kemasaman tanah dapat dikurangi • Penyelenggaraan sistem gotong royong dalam pengelolan lingkungan • Teknik pengolahan tanah dan peralatan yang digunakan agar tidak membongkar lapisan pirit • Peranan hutan galam dan gambut dalam sebagai wilayah konservasi Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
123
Pengaturan Air
Pembuatan Handil
Pembuatan Tukungan
Sistem Pengelolaan Lahan Kesuburan Tanah
Sifat Fisik Tanah Jenis Vegetasi
Peralatan Adaptif
Kelembagaan handil
Pola kepemilikan lahan
Kondisi Biofisik Kondisi Sosial Budaya
Sistem Peralatan Pertanian Teknologi Tepat Guna
Bahan Baku Lokal
Pola mata pencaharian
Konstruksi Sederhana
Pengetahuan Lokal Pengetahuan Asronomi
Gerakan Pasang Surut Siklus Musim Hujan
Sistem Budidaya Pertanian Pengetahuan Agronomi
Budidaya dan pascapanen Jenis Varietas Padi Lokal
Lahan Sulfat Masam
Pupuk Organik Pengolahan Tanah MInimum
Sistem Pelestarian Lingkungan Karakteristik Gambut
Sifat Kering Tak Balik Pencegahan Kebakaran
Sistem kerja sama dan gotongroyong
Sistem upah dan Bagi hasil
Sistem kerja sama dan gotongroyong
Kelembagaan Handil dan Sanksi Sosial
Gambar 11 Taksonomi pengetahuan lokal petani dan hubungannya dengan komponen sistem sosial .
124 6.2 Proses pembentukan dan transmisi pengetahuan lokal Pemahaman masyarakat terhadap kondisi biofisik (ekosistem) lahan rawa pasang surut dan upaya-upaya untuk memanfaatkan sumberdaya alam setempat untuk keberlangsungan kehidupan lama kelamaan membentuk berbagai pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lahan rawa pasang surut tersebut. Melalui usaha yang bersifat coba-coba (trial and error) akhirnya mereka menemukan berbagai hubungan antara komponen dalam sistem biofisik dan sistem sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut. Pengetahuan tentang karakteristik tanah masam atau pirit yang beracun bagi tanaman diperoleh melalui pengalaman puluhan hingga ratusan tahun berusahatani di lahan rawa pasang surut. Begitu juga halnya dengan berbagai pengetahuan lainnya tidak diperoleh dalam waktu singkat, tetapi melalui suatu proses yang relatif panjang. Pengetahuan-pengetahuan yang terbentuk ini ternyata terbukti mampu mengantarkan masyarakat di lahan rawa pasang surut untuk mencapai tujuan berusahatani, yakni diperolehnya hasil yang cukup. Karena sifatnya spesifik, pengetahuan-pengetahuan ini hanya dapat digunakan pada aras lokal atau pada wilayah lain yang memiliki karaktersitik biofisik dan sistem sosial tidak jauh berbeda. Keterbatasan dalam luas jangkauan ini membuat pengetahuan lokal yang terbentuk dan dimiliki oleh masyarakat di lahan rawa pasang surut dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Hal ini semakin nampak bagi orang luar, jika sistem atau model pertanian ini dibandingkan dengan pertanian modern yang mampu menghasilkan produksi yang jauh lebih tinggi. Perbandingan ini kurang tepat dilakukan, mengingat bahwa lahan rawa pasang surut termasuk kategori lahan marginal yang memang sebenarnya kurang cocok dijadikan sebagai lahan pertanian.
Kemampuan petani dalam memanfaat lahan yang
marginal sehingga memberikan manfaat atau hasil pertanian yang cukup merupakan sebuah prestasi dan bukti kemampuan pengetahuan yang dimiliki masyarakat mampu mengatasi kendala-kendala yang ada di lahan marginal tersebut. Pengetahuan lokal yang terbentuk sebagai sebuah proses adaptasi terhadap kondisi biofisik dan sistem sosial masyarakat akan menghasilkan sebuah praktik pertanian adaptif dan berkelanjutan. Keberlajutan pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam mengelola ekosistem, sehingga ekosistem tersebut mampu memberikan hasil
125 dalam jangka yang relatif lama. Berdasarkan hasil diskusi dengan para petani di lahan rawa pasang surut, praktik-praktik pertanian yang didasarkan atas pengetahuan
lokal
ternyata
mampu
meningkatkan
produksi
khususnya tanaman padi di lahan rawa pasang surut.
pertanian,
Pada awal-awal
pembukaan lahan, produktivitas lahan yang diusahakan untuk tanaman padi hanya mencapai 3-5 blek per borong (1,05 -1,75 ton/ha). Setelah tiga hingga lima tahun diusahakan, produktivitas tanaman padi sudah mencapai kondisi stabil untuk wilayah ini, yakni mencapai 6-10 blek/borong (2,10 – 3,50 ton/ha). Fluktuasi produksi selanjutnya sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim (terutama lahan rawa pasang surut tipe C dan D) serta serangan hama dan penyakit tanaman. Pengetahuan lokal yang dimiliki ini ditransmisikan baik dalam sistem sosial tersebut maupun antar generasi.
Hubungan sosial yang akrab,
solidaritas sosial yang tinggi, sistem kelembagan handil yang umumnya beranggotakan orang-orang dari daerah asal yang sama merupakan faktor pendorong dalam proses transmisi pengetahuan lokal dalam sistem sosial masyarakat tersebut. Bahkan dalam kegiatan usahatani tidak ada sesuatu hal yang harus dirahasiakan, apalagi menyangkut hal-hal atau upaya untuk meningkatkan produksi. Pengetahuan atau temuan-temuan baru akan cepat beredar dalam masyarakat dan biasanya secara informal.
Informasi baru
tentang berbagai hal dalam konteks peningkatan produksi menyebar cepat secara berantai dari mulut ke mulut. Adanya jenis bibit varietas lokal baru yang dianggap baik akan cepat direspon masyarakat, dan dipraktikkan dalam skala kecil sebagai suatu bentuk uji coba. Proses transmisi secara oral, melalui peniruan dan demonstrasi merupakan salah satu karakteriktik khas dari pengetahuan lokal (Ellen and Bicker 2005). Masyarakat di wilayah lahan rawa pasang surut sebagaimana masyarakat pedesaan pada umumnya akan lebih yakin terhadap sesuatu kalau telah melihat atau membuktikan sendiri kebenarannya. Transmisi pengetahuan juga berlangsung dari satu ke generasi dalam sistem sosial tersebut. Seorang petani akan memberikan berbagai pengetahuan yang dimilikinya kepada anak-anaknya melalui proses pembelajaran langsung atau melalui praktik langsung dalam kegiatan usahatani. Anak-anak yang telah berusia sepuluh tahun biasanya telah diajak orang tuanya untuk membantu ke sawah. Pada tahap-tahap awal pengenalan kegiatan berusahatani, anak-anak
126 ini hanya sekedar dibawa ke lahan pertanian untuk bermain sambil memperhatikan orangtuanya bekerja. Tahap selanjutnya, anak-anak ini akan diminta membantu kegiatan-kegiatan ringan, seperti membersihkan rumput di galangan, membawakan bibit padi yang akan ditanam, hingga ikut memanen padi dengan menggunakan peralatan ani-ani atau sabit, serta merontok padi dengan cara menginjak-injak (meirik). Semakin, meningkat usianya, anak-anak ini selanjutnya ikut membantu orang tuanya dengan pekerjaan-pekerjaan spesifik yang membutuhkan keterampilan dan kehati-hatian, seperti mengolah tanah dengan menggunakan alat tajak, menanam padi dengan menggunakan alat tatajuk hingga pembersihan gabah dengan menggunakan alat gumbaan. Berdasarkan diskusi dengan masyarakat (melalui FGD) pada semua lokasi lahan rawa pasang surut, seorang anak petani yang sering dibawa orang tuanya ke sawah dan ikut membantu bekerja di sawah, sudah mampu mandiri dalam berusahatani padi pada usia sekitar 15 tahun.
Pada usia ini, petani
remaja ini sudah memiliki berbagai pengetahuan dalam berusahatani padi yang secara langsung ditularkan oleh orangtuanya.
Walaupun demikian, anak
tersebut masih belum diserahi lahan untuk dikelola sendiri hingga anak tersebut berkeluarga atau menikah. Jika anak tersebut menikah, maka orang tuanya atau mertuanya akan memberikan pinjaman atau pemberian lahan untuk dikelola sendiri dalam upaya memenuhi kebutuhan keluarganya.
Proses
demikian terus berlangsung, hingga berbagai pengetahuan lokal dalam mengelola lahan rawa pasang surut tersebut berlangsung dari generasi ke generasi. Proses transmisi pengetahuan lokal ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan interaksi dan komunikasi dalam kehidupan masyarakat setempat. Kebiasaan untuk duduk-duduk di warung minum saat siang hari setelah pulang dari sawah atau sore hari menjelang senja merupakan media efektif terjalinnya komunikasi antar petani. Petani pergi ke warung minum ini selain untuk beristirahat sambil minum teh atau kopi, juga memanfaatkannya untuk saling mengobrol atau bertukar informasi. Hubungan informal yang terjalin menjadikan komunikasi ini berjalan secara konvergen. Pada ruang publik (public sphere) seperti
inilah
masing-masing
pihak
bebas
mengajukan
pendapat
dan
pandangannya, baik menyangkut permasalahan pertanian maupun masalahmasalah di luar pertanian.
Umumnya yang duduk-duduk atau mengobrol di
warung ini adalah kaum laki-laki. Oleh karena itu dinding-dinding warung sering
127 dijadikan sebagai media untuk menempelkan pengumuman atau berita-berita yang menyangkut masyarakat desa setempat. Ruang publik lainnya yang sering dimanfaatkan oleh petani dalam proses transfer pengetahuan adalah mushala/masjid dan pada saat pertemuan yasinan /arisan di rumah warga yang dilakukan secara bergantian satu minggu sekali. Biasanya pada sore hari sebelum masuk waktu shalat magrib, petani dudukduduk diteras mushalla/masjid sambil berbincang-bincang.
Pada saat inilah
diperbincangkan berbagai hal atau kejadian tertentu, termasuk misalnya permasalahan perkembangan maupun permasalahan pertanian yang mereka hadapi. Begitu juga halnya pada saat sebelum atau sesudah kegiatan yasinan atau arisan dilakukan. Mereka memperbincangkan berbagai hal dari masalah keagamaan hingga masalah kehidupan sehari-hari. Pertukaran informasi dan pengetahuan berlangsung tanpa ada hambatan atau kendala tekanan dan dominasi. Ruang publik seperti inilah yang berperan dalam proses transmisi pengetahuan lokal dalam kehidupan masyarakat di lahan rawa pasang surut. Mekanisme pembentukan dan transmisi pengetahuan dalam sistem sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut dapat dilihat pada Gambar 12.
Sistem Biofisik (Ekosistem) Lahan Rawa Pasang Surut
Petani A (Generasi I)
Petani B (Generasi I)
Petani Aa (Generasi II)
Petani Bb (Generasi II)
Sistem Sosial Masyarakat Lahan Rawa Pasang Surut = pengaruh Gambar 12
= transmisi
Mekanisme pembentukan dan transmisi pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut.
128 Proses pembentukan dan transmisi hingga pelanggengan pengetahuan lokal ini sangat terkait dengan sistem sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Proses transmisi dari orang tua kepada anak dikaitkan dengan normanorma sosial yang menunjukkan kepatuhan anak kepada orang tuanya untuk ikut membantu orang tuanya bekerja di sawah. Melalui media inilah anak-anak memperoleh pengetahuan tentang bercocok tani padi beserta seluk beluk lahan rawa pasang surut. Begitu juga halnya dengan struktur sosial masyarakat yang umumnya relatif homogen sebagai petani padi memungkinkan transmisi pengetahuan berlangsung dalam kondisi tanpa hambatan dan dominasi. Petani yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai aspek mengenai pengetahuan pertanian di lahan rawa pasang surut memiliki kedudukan yang lebih dalam struktur sosial masyarakat. Pembentukan dan transmisi pengetahuan ini berbeda dibandingkan dengan sains yang umumnya bersumber dari luar sistem sosial. Sains di bidang pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan hasil-hasil penelitian dari berbagai lembaga dan instansi pemerintah. Proses transmisinya melalui agenagen penyuluhan pertanian yang disampaikan sebagai bagian dari program pembangunan pertanian secara nasional. Perbandingan proses pembentukan dan transmisi antara pengetahuan lokal dan sains dalam sistem sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut dapat dilihat pada Tabel 12 Pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut secara umum terbentuk berdasarkan pemahaman dan pengalaman yang kadang diikuti dengan proses mencoba-coba (trial and error). Hal ini berbeda dengan sains yang pembentukannya merupakan hasil dari penelitian dan ujicoba yang dilakukan melalui kerangka ilmiah yang objektif analitis dan dikembangkan melalui capaian-capaian rigorus sebelumnya serta sistematis (Agrawal 1995). Perbedaan proses pembentukan inilah yang juga berimplikasi terhadap proses transmisinya.
129
Tabel 12 Perbandingan bentuk serta proses transmisi antara pengetahuan lokal dengan sains PROSES BENTUK
1
Produksi pengetahuan
Transmisi pengetahuan
Pelanggengan/Pemeliharaan pengetahuan
Pengetahuan Lokal
Sains
Pengetahuan Lokal
Sains
Pengetahuan Lokal
Sains
2
3
4
5
6
7
Pengetahuan tentang pengelolaan lahan
Pemahaman tentang sifat masam, gambut, dan adanya lapisan pirit
Hasil penelitian dan uji coba di lahan rawa pasang surut
Praktek dan pembelajaran langsung di lahan usaha oleh anak maupun pengalaman petani lain (teman/ tetangga)
Kegiatan penyuluhan pertanian, demplot, sekolah lapang, dan lainnya
Pembuatan saluran air (tata air mikro) dan pemeliharaan handil secara gotong royong
Lembaga penyuluhan pertanian dan pembinaan dari Dinas pertanian atau instansi terkait lainnya seperti Dinas Kimpraswil
Pengetahuan tentang peralatan usahatani
Ujicoba (trial and error) tentang peralatan yang sesuai dengan kondisi sosiobiofisik lahan rawa pasang surut
Hasil penelitian tentang peralatan dalam usahatani padi sawah
Praktek dan pembelajaran langsung di lahan usaha oleh anak maupun pengalaman petani lain (teman/ tetangga)
Kegiatan penyuluhan pertanian, demplot, sekolah lapang, dan lainnya
Penggunaan peralatan usahatani yang adaptif untuk kondisi lahan rawa pasang surut (seperti ’tajak’, ’tutujah’, ’kakakar’, ’ani-ani’, ’gumbaan’ dan lainnya)
Pelatihan penggunaan dan bantuan pengadaan peralatan modern seperti handtraktor, power thresser, sabit bergerigi dan lainnya
130
Lanjutan 1
2
3
4
Pengetahuan tentang budidaya tanaman padi
Pengalaman dan pemahaman tentang sifat khas tanaman padi di lahan rawa pasang surut
Hasil penelitian dan uji coba di lahan rawa pasang surut
Praktek dan pembelajaran langsung di lahan usaha oleh anak maupun pengalaman petani lain (teman/ tetangga)
Kegiatan penyuluhan pertanian, demplot, sekolah lapang, dan lainnya
Mengusahakan padi lokal dengan sistem, tradisional yang adaptif dengan lingkungan setempat
Lembaga penyuluhan pertanian dan pembinaan dari Dinas pertanian atau instansi terkait lainnya
Pengetahuan tentang pemeliharaan dan pelestarian lingkungan
Pemahaman tentang sifat rapuh (fragile) dari lahan rawa pasang surut terhadap kesalahan dalam pengelolaannya
Hasil penelitian dan uji coba di lahan rawa pasang surut, Konvensi tentang lingkungan
Praktek dan pembelajaran langsung di lahan usaha oleh anak maupun pengalaman petani lain (teman/ tetangga)
Kegiatan penyuluhan pertanian
Penerapan sistem surjan dan pencegahan kebakaran lahan gambut
Penerapan sistem pertanian terpadu melalui program SLPHT dan SLPTT
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
5
6
7
131 Proses transmisi pengetahuan lokal dilakukan melalui pembelajaran langsung
di
lapangan
terutama
transmisi
antar
generasi.
Transmisi
intergenerasi yang terjadi sesama petani berlangsung dalam ruang publik seperti pada saat perbincangan di warung, sebelum dan setelah kegiatan yasinan atau arisan, maupun di tempat-tempat seperti teras mushala atau masjid. Proses transmisi ini berlangsung dalam bentuk komunikasi yang bersifat konvergen dan bebas dari dominasi.
Sebaliknya proses transmisi sains dilakukan melalui
kegiatan penyuluhan oleh petugas penyuluh baik berupa ceramah, demonstrasi plot maupun praktik lapang yang lebih banyak bersifat komunikasi satu arah, yakni penyuluh sebagai sumber informasi. Pelanggengan atau pemeliharaan pengetahuan lokal dilakukan melalui penerapan sistem petanian spesifik lahan rawa pasang surut yang menekankan pada aspek penggunaan varietas lokal, pengaturan tata air, serta penggunaan peralatan tepat guna yang bersifat adaptif. Pelaksanaan program-program dinas dalam pembinaan petani di lahan rawa pasang surut, pemberian bantuan pengadaan peralatan atau mekanisasi pertanian merupakan bentuk-bentuk yang dilakukan pemerintah dalam upaya pemeliharaan dan pelanggengan sains di bidang pertanian. Semua kegiatan ini diintegrasikan dalam kegiatan penyuluhan pertanian yang mengacu pada kebijakan pemerintah pusat (sentralistik).
6.3 Peranan dan Eksistensi Pengetahuan Lokal Seiring
dengan
perkembangan
waktu
dan
upaya
peningkatan
kesejahteraan masyarakat, terutama di bidang pendidikan, proses penularan pengetahuan ini sekarang tidak selancar hal tersebut di atas. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal yang ditempuh anak tersebut, cenderung untuk semakin tidak terlibat langsung dalam kegiatan pertanian. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Shr (49 thn) salah seorang petani di Tabunganen: “Aku ini baiisi ampat ikung anak, sakulah wan kuliah di Banjarmasin, tapi pinanya kadada nang pina handak jadi patani. Jadi kami baduan haja lawan mamanya manggawi pahumaan ini. Bila inya datang kasini gin kadada nang hakunnya umpat manggawi pahumaan.” [Saya ini memiliki empat orang anak, mereka sekolah dan kuliah di Banjarmasin tetapi sepertinya tidak ada yang ingin jadi petani. Jadi kami cuma berdua, suami isteri saja yang mengerjakan sawah ini. Jika mereka pulang, tidak ada yang berminat ikut bekerja di sawah.]
132 Kasus-kasus seperti ini walaupun tidak banyak tetapi memberikan gambaran bahwa peningkatan pendidikan formal anak seorang petani pada satu sisi cenderung semakin menjauhkannya dari kegiatan-kegiatan pertanian. Pertanian menjadi kurang menarik dibandingkan pekerjaan-pekerjaan lain seperti menjadi pegawai negeri, karyawan perusahaan, dan lainnya. Kondisi seperti ini umumnya terjadi pada mereka yang memiliki anak-anak yang mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dalam sistem pertanian tradisional yang dilakukan masyarakat di lahan rawa pasang surut, pengetahuan-pengetahuan tentang teknis budidaya padi lokal dan seluk-beluk ekosistem lahan rawa pasang surut merupakan hal mutlak yang harus dimiliki. Pengetahuan lokal ini diwujudkan dalam bentuk praktikpraktik pertanian dan sistem sosial yang dikembangkan. Lahan rawa pasang surut bagi masyarakat petani merupakan aset bagi kelangsungan hidup mereka. Pengelolaan lahan yang tepat agar dapat berkelanjutan merupakan langkah yang harus ditempuh dan diwujudkan dalam berbagai praktik kearifan lokal. Hilangnya praktik-praktik spesifik dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut secara langsung akan menghilangkan berbagai pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.
Pengendalian hama tanaman padi tanpa
menggunakan pestisida yang dilakukan oleh petani pada waktu sebelum adanya revolusi hijau (sebelum tahun 1970) hampir tidak dilakukan lagi.
Untuk
mengendalikan serangan ulat dan walang sangit, petani menggunakan caracara mekanis menggunakan asap dengan membakar ranting-ranting pohon dan dedaunan di sekitar sawah untuk mengusir hama tersebut.
Cara lain yang
dilakukan dengan bantuan seorang yang dianggap memiliki kelebihan tertentu (supranatural). Melalui cara ini, seorang petani yang lahannya diserang oleh hama wereng ulat atau hama lainnya cukup meminta bantuan orang tersebut. Tanpa harus melihat atau mendatangi lahan yang terserang hama tersebut, orang yang memiliki kemampuan supranatural tersebut, setelah diberitahu posisi lahannya terhadap kedudukan matahari. Seperti yang dikatakan oleh Zni (65 thn) tokoh pertani di Desa Simpang Nungki: “Sidin ini kawa mahalau hampangau atau hama bilalang matan jauh. Sidin cukup batakun ampah kamana pahumaannya, limbah itu disambur sidin lawan banyu ka ampah pahumaannya. Isuknya hampangau atau bilalang sudah kadada lagi dipahumaan.”
133 [Beliau ini dapat mengusir walang sangit atau hama belalang dari jauh. Beliau cukup bertanya kemana arah sawahnya, setelah itu beliau menyemburkan air ke arah sawah tersebut. Keesokan harinya walang angit dan hama belalang tersebut sudah tidak ada lagi di sawah tersebut]
Praktik-praktik seperti di atas, saat ini sulit dipercaya kebenarannya, terutama oleh petani-petani muda di wilayah ini. Hal ini menunjukkan bahwa praktik-praktik atau pengetahuan yang di luar jangkauan nalar petani saat ini sulit untuk bertahan dan diterima dalam kehidupan masyararakat. Di sisi lain, pengetahuan-pengetahuan lokal yang dianggap masyarakat lebih realistis dan memperlihatkan hasil nyata akan semakin eksis dalam kehidupan masyarakat hingga munculnya pengetahuan-pengetahuan baru yang dianggap lebih baik dari pengetahuan lama tersebut.
Pengetahuan tentang
peranan pupuk kimia, seperti Urea, SP-36 dan SP 18, pupuk NPK (Posnka) yang terbukti mampu meningkatkan produksi padi, cepat diterima masyarakat sebagai suatu pengetahuan baru dan dipraktikan dalam sistem pertanian padi sawah yang mereka kembangkan.
Begitu juga halnya dengan pengetahuan
tentang kapur pertanian yang ternyata dapat mengurangi kemasaman tanah serta mempercepat proses pelapukan gulma yang ditebas melalui kegiatan pengolahan tanah, berkembang menjadi pengetahuan baru dalam kehidupan mereka. Pengetahuan-pengetahuan baru dari luar ini umumnya cepat diterima karena sifatnya sebagai pelengkap yang memperkaya pengetahuan tentang teknik-teknik pertanian yang selama ini dilakukan.
Berbeda halnya dengan
pengetahuan-pengetahuan yang berimplikasi mengganti praktik-praktik lama yang telah dilakukan, seperti penggunaan benih unggul, penggunaan traktor tangan (hand tractor), mesin perontok dan sabit bergerigi.
Perubahan atau
proses penerimaannya berlangsung relatif lama dibandingkan dengan teknologi yang berimplikasi sebagai pelengkap pengetahuan lama (Rogers, 2003) Keterbukaan masyarakat akan masuknya nilai-nilai baru yang dianggap dapat membawa ke arah kehidupan yang lebih baik serta sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial masyarakat akan cepat diterima. Berdasarkan hasil diskusi dengan petani pada semua tipe lahan rawa pasang surut, diperoleh gambaran yang memperlihatkan bahwa pengetahuan yang mereka miliki yang terwujud dalam bentuk praktik-praktik pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan warisan dari orang-orang tua jaman dulu dan mampu bertahan hingga sekarang.
134 Berbagai pengetahuan yang terbentuk akan tatap eksis selama praktik-praktik atau sistem yang digunakan tidak mengalami perubahan. Perubahan penggunaan varietas dari lokal menjadi unggul dan perubahan pola tanam dari satu kali menjadi dua kali setahun dalam pandangan masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe A, akan membawa perubahan besar dalam sistem pengetahuan yang selama ini mereka miliki.
Hal ini karena
perubahan tersebut akan berimplikasi dengan perubahan sistem sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Walaupun demikian, menurut mereka
pengembangan padi unggul dengan sistem pertanian modern seperti sekarang, kecil kemungkinannya untuk diterapkan di wilayah ini. Besarnya fluktuasi air di lahan sawah pasang surut tipe (30-50 cm) serta kuatnya arus pasang surut hampir tidak memungkinkan untuk menanam bibit padi unggul di sawah tersebut. Berbeda halnya dengan kondisi di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D, dimana secara teknis budidaya padi unggul memungkinkan untuk dilakukan asalkan mampu mengatasi permasalahan tata air dan kemasaman tanah yang tinggi. Bagi masyarakat, pengetahuan lokal dalam mengelola lahan rawa pasang surut merupakan bentuk penyesuaian terhadap kondisi spesifik lahan rawa pasang surut yang tegolong marginal dengan kendala utama kemasaman tanah yang tinggi.
Pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki menjadi dasar
penentu dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan pertanian di lahan rawa pasang surut. Dengan demikian, pengetahuan lokal ini merupakan salah satu kearifan masyarakat dalam menjaga keseimbangan ekosistem di lahan rawa pasang surut. pertanian yang
Oleh karena itu, pengelolaan yang salah atau praktik-praktik bersifat
merusak
(seperti
pembakaran
gambut)
berarti
penghancuran terhadap sumber-sumber kehidupan mereka. 6.4 Pengaruh Sistem Sosial dalam Pengembangan Pengetahuan Lokal Selain kondisi biofisik di lahan rawa pasang surut, sistem sosial masyarakat juga turut menentukan peranan dan eksistensi pengetahuan lokal. Komponen sistem sosial ini meliputi perkembangan teknologi, pertumbuhan penduduk, keberadaan organisasi sosial serta nilai dan norma yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Keterkaitan dan hubungan timbal balik antara sistem biofisik dan sistem sosial inilah yang menjadi faktor penentu dalam dinamika pengetahuan lokal masyarakat di lahan rawa pasang surut. Di sisi lain,
135 dinamika
pengetahuan
lokal
masyarakat
ini
juga
berimpliksi
terhadap
perubahan-perubahan pada sistem biofisik dan sistem sosial itu sendiri. Teknologi sebagai suatu bentuk nyata dari penerapan ilmu pengetahuan bertujuan untuk mempermudah kehidupan manusia.
Oleh karena itu ilmu
pengetahuan hanya akan terbentuk dalam sebuah medium kepentingan (Habermas 1990). Perkembangan teknologi pertanian yang dintroduksi dalam kehidupan masyarakat di lahan rawa pasang surut merupakan faktor penting yang mempengaruhi dinamika pengetahuan lokal masyarakat petani. Dengan basis sains di bidang pertanian, teknologi pertanian modern merasuk ke dalam kehidupan masyarakat dan menciptakan ideologi baru sebagai suatu solusi untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Praktik-praktik pertanian yang
didasarkan atas pengetahuan lokal dianggap ketinggalan jaman sehingga tidak mampu untuk berproduksi secara efisien dan memberikan keuntungan ekonomi yang besar. Teknologi pertanian modern yang berbasis pada efisiensi produksi merupakan ciri utama dari sistem kapitalis pada bidang pertanian. Sistem pertanian yang diterapkan masyarakat petani di lahan rawa pasang surut selama ini masih menonjolkan aspek subsistensi yang cukup tinggi. Pemenuhan kebutuhan pangan keluarga merupakan faktor utama dalam sistem pertanian padi, dan jika ada kelebihan produksi baru dijual untuk keperluan hidup sehari-hari. Strategi pengembangan usahatani dengan modal minimal untuk memperoleh hasil tertentu merupakan prinsip ekonomi dasar yang dianut petani di lahan rawa pasang surut selama ini. Teknologi sederhana yang adaptif dikembangkan untuk mendukung sistem pertanian ini merupakan produk utama dari pengetahuan lokal masyarakat petani. Masuknya teknologi pertanian modern
di
bidang
pertanian
telah
menimbulkan
goncangan
dalam
pengembangan pengetahuan lokal yang menjadi basis sistem pertanian yang selama ini dilakukan masyarakat. Sistem pertanian modern dengan komponen teknologi utama pada penggunaan benih unggul dan pemakaian bahan-bahan kimia (pupuk anorganik dan pestisida) bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian, khususnya padi.
Melalui program peningkatan produksi yang dicanangkan pemerintah
(dari model Bimas hingga program Intensifikasi) pertanian padi diarahkan pada upaya peningkatan produksi.
Padahal, dalam kenyataannya sering terjadi
bahwa peningkatan produksi yang dicapai ternyata tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan petani.
Hal ini dapat terjadi karena dalam sistem
136 pertanian modern diperlukan biaya atau modal yang relatif besar. Besarnya peningkatan atau penambahan modal ini ternyata tidak seimbang dengan kenaikan nilai produk yang diperoleh.
Akibatnya walaupun produksi yang
dihasilkan besar tetapi keuntungan yang diperoleh petani tidak mengalami peningkatan. Faktor yang juga menyebabkan penerimaan petani rendah adalah harga jual gabah varietas unggul relatif lebih murah dari varietas lokal. Sebagai perbandingan harga gabah kering giling varietas lokal jenis Siam rata-rata mencapai Rp 35.000,- per blek (sekitar Rp 3.500,-per kg), harga gabah kering giling varietas unggul Ciherang hanya mencapai Rp 20.000,-/blek (sekitar Rp 2.000,- per kg). Pengaruh perubahan teknologi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat bukan hanya semata menghambat pengembangan atau menghilangkan pengetahuan lokal, tetapi di sisi lain juga ada yang mendorong ke arah pengembangan yang lebih dinamis.
Penggunaan kapur pertanian untuk
mengatasi kemasaman dan proses pelapukan sisa potongan gulma di persawahan merupakan teknologi yang memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat tentang cara yang lebih baik dalam sistem pertanian padi. Begitu juga penggunaan pupuk anorganik, terutama Urea dalam pembibitan padi (fase lacak dan tangkar anak) dapat menghasilkan bibit-bibit padi yang berbatang besar dan panjang sehingga cocok untuk kondisi lahan pasang surut yang berair dalam (terutama di lahan rawa pasang surut). Melalui penggunan pupuk ini, petani memiliki pengetahuan tambahan tentang bagaimana menghasilkan bibitbibit padi yang baik dan dalam pertanamannya dapat ditanam hanya dengan satu tanaman per rumpun tanam. Komponen
sistem
sosial
yang
juga
berperan
dalam
dinamika
pengetahuan lokal adalah pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk ini terutama menyangkut semakin meningkatnya kebutuhan pangan. Pemenuhan kebutuhan
pangan
yang
semakin
meningkat
harus
diimbangi
dengan
peningkatan produksi tanaman pangan itu sendiri. Upaya peningkatan produksi ini dapat dilakukan melalui peningkatan luas areal persawahan maupun dengan peningkatan produktivitas lahan. Khusus di Kabupaten Barito Kuala, dalam kurun duapuluh lima tahun terakhir, pertumbuhan penduduknya (1,57%/ pertahun) lebih tinggi dari pertumbuhan luas lahan yang diusahakan (1,11% pertahun).
Walaupun demikian, pertumbuhan produksinya (3,05% pertahun)
ternyata lebih besar dari pertumbuhan penduduk. Dengan keterbatasan jumlah
137 lahan
yang dapat digunakan untuk areal persawahan, peningkatan jumlah
penduduk yang terus berlangsung serta kebutuhan areal pemukiman yang semakin meningkat maka upaya peningkatan produktivitas melalui kegiatan intensifikasi mutlak dilakukan. Selama duapuluh lima tahun terakhir produksi rata-rata tanaman padi hanya mengalami peningkatan sebesar 2,29% pertahun, dari 16,92 kw/ha pada tahun 1983 menjadi 35,10 kw/ha pada tahun 2008. Perubahan strategi peningkatan produksi dari perluasan areal menjadi intensifikas pertanian mendorong petani mengembangkan pengetahuannya dalam rangka meningkatkan produksi persatuan luas lahan. Upaya peningkatan produktivitas ini telah dilakukan petani sejak sebelum revolusi hijau melalui perbaikan kualitas lahan dan pengaturan tata air. Untuk menjaga kesuburan tanah, petani dahulu menaburkan garam pada bagian lahan sawah tertentu yang tanahnya agak keras. Cara ini diyakini dapat memperbaiki kualitas fisik tanah sehingga tanah menjadi gembur dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Praktik-praktik menabur garam di sawah ini umumnya ditemui pada lahan rawa pasang surut tipe C dan D. Untuk lahan rawa pasang surut tipe A dan B, upaya meningkatkan produktivitas lahan dilakukan melalui pengaturan tata air sehingga pasang surut air dapat berjalan lancar sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Teknik-teknik yang dilakukan petani di lahan rawa pasang surut pada era setelah revolusi hijau saat ini selain masih menggunakan teknik atau cara di atas, juga digunakan pupuk anorganik, pestisida, dan kapur pertanian. Pengetahuan tentang manfaat dan teknik penggunaan bahan-bahan kimia ini diperoleh melalui program-program penyuluhan pertanian yang dilaksanakan pemerintah dalam upaya peningkatan produksi padi.
Dengan demikian,
desakan pertambahan penduduk yang diiringi dengan keterbatasan jumlah lahan telah mendorong dinamika pengembangan pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut agar dapat eksis mempertahankan kehidupannya. Organisasi sosial sebagai bagian dari sistem sosial merupakan komponen yang juga berperan dalam dinamika pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut. Ikatan geneologis yang kuat yang terhimpun dalam kelompok-kelompok handil merupakan organisasi sosial petani yang eksis dan adaptif terhadap kondisi lahan rawa pasang surut.
Pengetahuan tentang
gerakan pasang surut air hubungannya dengan ukuran handil, sehingga air dapat lancar keluar masuk ke areal persawahan telah membentuk organisasi
138 handil sebagai organisasi penting dalam proses produksi pertanian. Nilai dan norma
yang
diterapkan
dalam
kehidupan
sehari-hari
mengacu
pada
kebersamaan yang terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan gotong royong. Proses penularan pengetahuan dalam sistem ini menjadi lebih efektif, dimana untuk menjaga kelangsungannya dipilih seorang ‘kepala handil’ yang bertugas mengatur dan menegakkan nilai-nilai dan norma yang telah ditetapkan, walaupun secar tidak tertulis. Berbagai permasalahan dan kendala dalam usaha meningkatkan
produksi
pertanian,
musyawarah antar anggotanya.
khususnya
padi
dilakukan
melalui
Kegiatan pembersihan handil diatur dan
dilaksanakan secara bergotong royong, termasuk jika ada penambahan anggota atau petani yang ingin berusaha di wilayah handil tersebut. Seiring dengan perkembangan pertanian dan program pembangunan pertanian yang dilaksanakan pemerintah, dibentuk kelompok-kelompok tani yang tujuannya untuk mempermudah pembinaan yang dilakukan oleh aparat pemerintah.
Tujuan pembentukan kelompok tani ini lebih berorientasi pada
kepentingan kemudahan pembinaan oleh aparat pemerintah, ketimbang kepentingan petani. Dalam pembentukan kelompok tani ini ada dua dasar yang digunakan, yakni berdasar atas domisili atau tempat tinggal petani dan berdasarkan atas hamparan.
Khusus di lokasi penelitian, pembentukan
kelompok tani didasarkan atas domisili atau tempat tinggal petani.
Hal ini
dilakukan mengingat, umumnya dalam suatu handil terdapat petani yang tempat tinggalnya jauh atau di luar desa. Dengan kedekatan domisili, maka penyuluh lebih mudah memberikan penyuluhan atau mengunjungi rumah petani. Kelemahan pola ini adalah permasalahan spesifik yang dihadapi petani di lokasi lahan pertaniannya berbeda-beda, dan kegiatan gotong royong di lahan pertanian menjadi kurang efektif.
Pola ini berbeda dengan kelompok handil
yang didasarkan atas hamparan lahan, dimana untuk kegiatan gotong royong akan lebih mudah dilaksanakan. Pembentukan kelompok tani seperti ini memunculkan konflik dalam kehidupan masyarakat karena petani yang lahannya berdekatan belum tentu tergabung dalam satu kelompok tani. Akibatnya ketika akan dilakukan gotong royong dalam satu hamparan, mereka mengalami kesulitan. Kegiatan kelompok tani kini lebih pada penataan administrasi petani oleh pemerintah, terutama dalam pemberian bantuan dan subsidi.
Banyak petani yang masuk atau
terdaftar sebagai angota kelompok tani hanya sekedar memenuhi persyaratan
139 adminsitratif semata. Walaupun kegiatan penyuluhan pertanian dilakukan oleh petugas penyuluh tetapi lebih banyak dilakukan dalam bentuk pertemuan kelompok di rumah ketua kelompok tani. Terkait dengan pengembangan pengetahuan lokal, kelompok handil relatif lebih dinamis karena dengan hamparan sawah yang berdekatan, permasalahan dan pengetahuan tentang sistem petanian di wilayah handil tersebut relatif sama. Proses tukar menukar pengetahuan dan pengalaman juga akan mudah dilakukan serta jalinan kebersamaan akan berlangsung semakin erat. Memang pembinaan yang dilakukan dengan basis wilayah hamparan lebih berat dibandingkan dengan kelompok yang dibentuk berdasarkan tempat tinggal, terutama dari sudut pembinaan yang dilakukan oleh aparat penyuluhan. Konsekuensi lainnya adalah bahwa kegiatan penyuluh akan lebih banyak dilakukan di lahan usaha petani, yang umumnya letaknya cukup jauh serta sarana transportasi yang terbatas dengan medan yang berat. Secara
skematis,
pengaruh
komponen
sistem
sosial
terhadap
pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut dapat dilihat pada Gambar 13.
Teknologi
Model penyuluhan / komunikasi
Organisasi Sosial
Teknik produksi
Pengetahuan Lokal
Kelompok / organisasi petani
Populasi
Pola kerjasama / gotong royong
Gambar 13.
Nilai dan Norma
Mekanisme pengaruh komponen sistem sosial terhadap pengetahuan lokal dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut
140 Pembentukan kelompok tani sebagai organisasi sosial petani di pedesaan berpengaruh terhadap eksistensi kelembagaan petani yang telah ada seperti kelompok handil. Peranan kelompok handil dalam mengorganisir dan mengatur kegiatan pertanian digeser oleh kelompok tani, akibatnya kegiatan petani dalam kelompok hamparan menjadi kurang berkembang. Begitu juga nilai dan norma yang dikembangkan dalam kelompok tani lebih berorientasi pada penataan administrasi petani dibandingkan pembinaan petani. penyuluhan yang dikembangkan melalui kelompok tani
Model
kurang menyentuh
kebutuhan mendasar petani dan lebih banyak berfungsi sebagai media diseminasi program-program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah secara nasional. Permasalahan-permasalahan spesifik lokal kurang mendapat perhatian dan pembinaan dari petugas penyuluh.
Faktor ini tentu saja
berpengaruh terhadap perkembangan dan eksistensi pengetahuan lokal. Perkembangan teknologi pertanian dan tekanan jumlah penduduk merupakan faktor lainnya yang mendorong pemerintah lebih berorientasi pada peningkatan produksi dalam pembinaan petani secara nasional.
Program-
program nasional peningkatan produksi ini kebanyakan berbasis pada pengembangan padi unggul yang selama ini
masih belum dapat diterima
masyarakat di lahan rawa pasang surut. Konflik kepentingan ini tercipta dengan penolakan sebagian besar petani untuk mengembangkan padi unggul. Pada sisi lain, program-program pemerintah dalam upaya peningkatan produksi ini lebih mengutamakan teknologi yang dikembangkan secara nasional dan kurang sesuai dengan kondisi spesifik di lahan rawa pasang surut. Faktor inilah yang secara langsung juga berpengaruh terhadap perkembangan dan eksistensi pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut.
6.5 Kendala dalam Pengembangan Pengetahuan Lokal Seiring dengan pembangunan pertanian yang dilaksanakan pemerintah melalui berbagai program intensifikasi pertanian dalam upaya peningkatan produksi padi telah memberikan hasil yang cukup penting. Pembangunan dan rehabilitasi saluran atau handil, pembangunan infrastruktur jalan usahatani, pengembangan kelembagaan kelompok tani, bantuan kredit produksi hingga pengembangan usaha agribisnis pedesaan dilaksanakan pemerintah untuk mencapai sasaran dan target produksi pertanian di lahan rawa pasang surut.
141 Semua program yang pernah dan sedang dilaksanakan ini walaupun diarahkan untuk kepentingan petani, tetapi ternyata masih belum mencapai sasaran akhir untuk mencapai kesejahteraan petani dan keluarganya. Bahkan pada sisi lain justeru melemahkan keberdayaan dan pengetahuan lokal yang dimiliki petani (Fakih 1995, Maliki 1999). Petani selalu diposisikan sebagai komunitas statik, tertinggal, dan tidak siap menerima inovasi. Sebelum pemerintah melaksanakan pengembangan pertanian melalui revolusi hijau, petani dengan kemampuan lokal yang dimilikinya mampu menggalang
kekuatan
mengelola
lahan
rawa
pasang
surut
sehingga
menghasilkan areal pertanian yang dapat mencukupi kebutuhan hidup petani setempat. Melalui jalinan kerjasama dan gotong royong yang terwujud dalam kehidupan sosial, para petani beradaptasi dengan kondisi spesifik lahan rawa pasang surut.
Ketika pemerintah turut campur tangan membenahi sistem tata
air, pengunaan tenaga mesin untuk pengerukan handil, penataan kelembagaan sosial petani melalui kelompok tani, produktivitas padi memang mengalami peningkatan. Pada sisi lain, dampak dari besarnya campur tangan pemerintah ini justeru semakin pemerintah.
meningkatkan ketergantungan petani pada bantuan
Kegiatan gotong royong pembersihan dan pemeliharaan handil
yang sebelumnya selalu dilakukan petani kini sudah jarang sekali dilakukan, karena secara berkala dilakukan pemeliharaan oleh pemerintah. Semakin lama jumlah handil yang harus ditangani pemerintah semakin bertambah, sedangkan anggaran yang tersedia untuk kegiatan pemeliharan tersebut juga terbatas.
Akibatnya frekuensi pemeliharan menjadi berkurang,
biasanya setiap tiga hingga lima tahun selalu dibersihkan atau dikeruk, kini hingga puluhan tahun masih belum dilakukan pemeliharaan.
Seperti yang
dikemukakan Tlb (64 thn), seorang tokoh petani di Desa Tinggiran Darat: “Dahulu kami bagutung ruyung mambarasihi handil saban tahun pabila mulai musim tanam. Limbah handil Anang ini dikarukakan pamarintah, banyunya batambah lancar karana didalami lawan diluasi. Pabila mulai surut lawan banyak kumpainya atau tatapal, tapaksa kami mamuhun lawan pamarintah supaya dikarukakan. Amun sudah dalam lawan luas kaya ini kami kada sanggup lagi manggawi lawan tanaga manusia, jadi harus mamakai masin karuk.” [ Dahulu kami bergotong royong membersihkan handil setiap tahun ketika awal musim tanam. Setelah handil Anang ini dikeruk oleh pemerintah, aliran airnya bertambah lancar karena dilakukan pendalaman dan perluasan. Pada saat handil ini surut serta banyak rumput/gulma atau tersumbat, terpaksa kami memohon kepada pemerintah agar dilakukan pengerukan. Sebab handil yang sudah
142 dalam dan luas seperti ini kami tidak sanggup lagi mengerjakannya dengan tenaga manusia, kecuali memakai peralatan keruk (excavator) ]
Pendapat petani di atas menunjukkan bahwa mereka bahwa kegiatan pengerukan dan pemeliharaan handil adalah tanggung jawab pemerintah, sehingga umumnya mereka bersikap pasif dan menunggu. Mereka beralasan bahwa pembersihan dan pemeliharan handil tersebut harus menggunakan peralatan berat dan kurang efektif jika dikerjakan secara manual dengan tenaga manusia. Untuk kegiatan pembersihan rumput, menurut mereka masih dapat dikerjakan secara bergotong royong dengan tenaga manusia. Pandangan dan sikap ini menunjukkan ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah dan menimbulkan konflik di masyarakat.
Timbul anggapan bahwa pemerintah
kurang memperhatikan nasib dan kehidupan petani.
Mereka menilai bahwa
berbagai program pemerintah yang ada sekarang ini kurang efektif untuk meningkatkan produksi padi jika aliran air pasang dan surut pada handil tersebut tidak lancar. Melemahnya
semangat
gotong
royong
ini
juga
didorong
oleh
berkembangnya sistem upah dan sistem kepemilikan lahan (terutama sistem sewa). Petani yang kaya biasanya lebih banyak menggunakan tenaga upahan untuk mengerjakan kegiatan usahatani padinya.
Mereka lebih banyak
melakukan kegiatan lain seperti berdagang, mengurus penggilingan padi, ataupun mengatur kegiatan-kegiatan pertanian pada lahan-lahan di lokasi lain (baik di dalam desa maupun di desa sekitar). Untuk kegiatan gotong royong, jika berhalangan mereka memberikan konpensasi berupa uang untuk membeli konsumsi gotong royong. Begitu juga dengan petani penyewa, rasa memiliki dan tanggung jawab atas kondisi handil sebagian dari mereka relatif kurang dibandingkan dengan petani yang menggarap lahannya sendiri.
Padahal
berdasarkan norma yang ada, penyewa ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan handil. Terhadap mereka yang sering tidak mau ikut bergotong royong, biasanya disarankan kepada pemilik lahannya untuk tidak menyewakan lagi lahan tersebut kepada yang malsa ikut bergotong royong. Kendala lain dalam pengembangan pengetahuan lokal ini justeru datang dari sistem sosial masyarakat petani itu sendiri. penduduk, tekanan
Desakan pertumbuhan
ekonomi dan komersialisasi yang berlangsung cepat
merupakan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan pengetahuan lokal.
Hasil diskusi dengan petani melalui kegiatan FGD
143 menyimpulkan bahwa meningkatnya berbagai kebutuhan hidup merupakan salah satu faktor yang mendorong perubahan sosial dalam kehidupan petani. Jika sebelumnya berbagai kebutuhan hidup hanya terfokus pada kebutuhan primer semata seperti sandang, pangan dan perumahan. Berbagai kebutuhan hidup ini, terutama pangan dan perumahan dipenuhi dan diproduksi sendiri dengan menggunakan sumberdaya yang ada di lingkungan setempat.
Kini
mulai dari kebutuhan primer, sekunder hingga tersier harus dipenuhi dari hasil pendapatan baik dari usaha pertanian padi maupun di luar usaha tani padi. Kendaraan roda dua seperti sepeda motor, lemari es, televisi, pemutar DVD, antena parabola, telepon genggam dan lainnya bukan merupakan barang mewah lagi, tetapi sudah menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Perubahan gaya hidup ini secara perlahan mulai merubah pandangan hidup sebagian petani di wilayah ini. Walaupun sistem pertanian masih bersifat subsisten, tetapi tingkat subsistensinya sudah mulai berkurang. Komoditas pertanian komersial nonpadi mulai dikembangkan, seperti nanas dan jeruk dengan memanfaatkan lahanlahan bedengan atau surjan.
Perubahan gaya hidup inilah yang menjadi
kendala dalam pengembangan pengetahuan lokal, karena ternyata gaya hidup baru ini dianggap lebih sebagai kemajuan dalam sistem sosial petani setempat. Mulai memudarnya kegiatan gotong royong dan berkembangnya sistem upah merupakan bentuk-bentuk penyesuaian sistem sosial terhadap perubahan yang terjadi.
Sebelumnya, kegiatan gotong royong sering dilakukan untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan tenaga kerja banyak dan harus segera diselesaikan seperti penanaman dan pemanenan
Semakin
meningkatnya luas areal lahan yang diusahakan serta kebutuhan akan penyelesaian kegiatan memaksa petani menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Hal ini terutama dirasakan oleh petani yang mengusahakan lebih dari satu hektar sawah dan hanya memiliki 2-3 orang tenaga kerja dalam keluarga. Masing-masing keluarga petani petani secara bersamaan memerlukan tenaga kerja dalam jumlah yang besar, maka mau tidak mau harus didatangkan tenaga kerja upahan dari luar desa bahkan dari luar daerah.
Seperti yang dituturkan
Ysr (45 thn) seorang penyuluh pertanian di Tabunganen: “Kegiatan gotong royong saat ini umumnya hanya dilakukan pada kegiatan penanaman. Untuk kegiatan panen biasanya berlaku sistem bagi hasil dan sistem tebusan atau upah. Biasanya pada saat kegiatan panen petani kekurangan tenaga kerja padahal padi harus segera dipanen dan mereka masing-masing memanen padinya. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja harus didatangkan dari luar desa,
144 bahkan dari luar Batola. Untuk transportasi dan akomodasi selama dipekerjakan, ditanggung oleh petani pemilik lahan. Selain memperoleh upah kerja, tenaga upahan ini juga memperoleh jaminan makan tiga kali sehari.”
Kegiatan gotong royong yang dilakukan bukan hanya berkurang intensitasnya tetapi jenis kegiatan dan pesertanya pun juga menurun. Kegiatan gotong royong yang masih banyak dilakukan adalah pada saat penanaman (handipan) dan pembersihan saluran handil. Begitu juga dengan jumlah peserta, terutama untuk kegiatan handipan biasanya hanya dalam kelompok-kelompok kecil 10-15 orang, padahal sebelumnya bisa mencapai 25-30 orang. Penurunan ini terkait semakin banyaknya petani yang menggunakan tenaga upahan karena dinilai lebih praktis dan lebih cepat selesai. 6.6 Ikhtisar: Mengapa Pengetahuan Lokal Perlu Dikembangkan? Dalam sejarah perkembangannya pengetahuan lokal yang dimiliki oleh suatu komunitas merupakan sekumpulan strategi adaptasi dalam berinteraksi dengan lingkungan setempat. Proses pembentukannya lebih menekankan pada pengalaman dan pemahaman terhadap gejala alam. Proses trial and error akan selalu
berlangsung sehingga ditemukan suatu pemahaman yang holistik
tentang gejala-gejala alam yang terjadi tersebut (Ellen and Bicker 2005). Oleh karena itu, secara kontekstual pengetahuan lokal sangat terkait dengan kondisi lingkungan sosial-biofisik dengan konteks spesifik lokal. Merubah lahan rawa pasang surut menjadi sebuah areal pertanian yang subur bukan hanya memerlukan pengetahuan dan keterampilan teknis semata terkait sifat-sifat yang melingkupinya. Diperlukan adanya pola hubungan sosial spesifik dalam kehidupan masyarakat sehingga kendala-kendala teknis yang ada dapat diatasi secara lebih holistik. Pola kerjasama kelompok handil yang merupakan cikal bakal dalam terbentuknya komunitas masyarakat pertanian di lahan rawa pasang surut.
Bentuk kerjasama dengan ikatan sosial dan
hubungan kekeluargaan yang kuat menjadi pendorong dalam mengembangkan pertanian di lahan marjinal ini. Pemahaman yang holistik terhadap gejala alam inilah yang melahirkan pengetahuan-pengetahuan lokal dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Pengetahuan lokal petani untuk mengelola lahan rawa pasang surut terbentuk dari interaksi mereka untuk mengatasi dua kendala spesifik, yakni genangan air dan tingkat kemasaman yang relatif tinggi (berupa tanah sulfat
145 masam). Hal ini selaras dengan teori koevolusi (coevolution) yang menyatakan bahwa pengetahuan lokal mengacu pada proses dinamis dan berkelanjutan dari adaptasi timbal balik antara lingkungan alamiah dan umat manusia.
Terkait
dengan aspek metodologis menurut Agrawal (1995) bahwa pengetahuan lokal berkembang melalui pengalaman dan pemahaman terhadap gejala alam. Begitu juga dengan hasil penelitian dari Sunaryo dan Joshi (2003) yang menyatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan hasil dari proses belajar berdasarkan persepsi petani sebagai pelaku utama pengelola sumber daya lokal. Menyangkut persepsi terhadap lingkungan ini, Kalland (2005) menyebut pengetahuan lokal
sebagai pengetahuan yang bersifat empiris, sehingga
mampu menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar. Tata air dengan sistem handil yang dikembangkan secara bertahap seiring dengan pertumbuhan anggota kelompok handil tersebut ternyata mampu menghadapi kendala biofisik yang ada. Aspek kepemimpinan dalam kelompok handil turut menentukan keberhasilan kegiatan pertanian di wilayah tersebut. Seorang kepala handil dipilih karena ia memiliki pengetahuan dan pemahaman baik tentang kondisi di wilayah tersebut, jujur dan bersifat adil. Hal ini penting karena salah satu tugas utamanya adalah mendistribusikan lahan-lahan yang ada kepada mereka yang membutuhkan secara adil.
Lahan yang telah
didistribusikan, tetapi tidak dikelola atau dibiarkan terbengkalai oleh anggota kelompok dapat berpengaruh buruk terhadap lahan-lahan pertanian di sekitarnya.
Semak dan tumbuhan liar pada lahan yang terbengkalai ini
merupakan sarang yang baik bagi beberapa jenis hama seperti tikus, wereng, ulat dan babi.
Oleh karena itu sikap tegas
seorang kepala handil juga
diperlukan untuk menjaga keberhasilan pertanian di wilayahnya. Pengetahuan dan pengalaman tentang bercocok tanam padi di lahan rawa pasang surut yang dimiliki akan saling dipertukarkan antar petani anggota kelompok handil ini. Hingga pada akhirnya mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang komprehensif dalam mengelola lahan rawa pasang surut ini. Bagaimana kemasaman tanah terjadi dan cara mengindari atau mengatasinya agar tanaman tidak terganggu pertumbuhannya merupakan pengetahuan teknis dasar yang mereka miliki sejak ratusan tahun lalu. Pengetahuan ini diturunkan atau ditularkan secara lisan dari satu generasi ke generasi lain secara oral dan praktik langsung di lahan usahatani.
Penggunaan varietas lokal, peralatan
usahatani, serta teknik bercocok tanam yang adaptif dengan kondisi lahan rawa
146 pasang surut merupakan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan kondisi biofisik dan kehidupan sosial masyarakat. Pada lahan rawa pasang surut tipe A pengetahuan petani tentang gerakan air pasang, perhitungan iklim dan cuaca berdasarkan peredaran bintang lebih berkembang dibandingkan dengan di tipe lahan rawa pasang surut lainnnya. Pengetahuan-pengetahuan ini berimplikasi pada pengetahuan tentang teknik pembibitan padi serta penentuan suatu kegiatan usahatani. Kegiatankegiatan seperti penanaman dan pemupukan hanya efektif dilakukan pada saat terjadinya pasang kecil. Pada saat ini genangan air berada pada
tingkat
terendah dan kegiatan tanam maupun pemupukan mudah dilakukan. Kegiatan di sawah hanya berlangsung setengah hari, yakni pada saat air surut sehingga pola ini juga berpengaruh terhadap aktivitas petani sehari-hari. Pengetahuan petani di lahan rawa pasang surut tipe B terutama menyangkut teknik tata air untuk mengatasi kemasaman tanah. Sistem tata air yang baik dapat mencegah terjadinya oksidasi pirit karena lapisan ini secara alamiah akan mengalami oksidasi pada kondisi kering dan dapat meracuni tanaman.
Pengetahuan mereka tentang lapisan pirit ini berimplikasi pada
pengetahuan tentang pembuatan saluran baik yang ada dalam petakan sawah maupun di luar petakan sawah. Pengetahuan tentang peralatan pengolahan tanah (tajak) yang tidak membongkar lapisan pirit merupakan teknik yang dalam istilah pertanian dikenal dengan pengolahan tanah minimum (minimum tillage). Petani di lahan rawa pasang surut tipe C dan D yang kondisi agroekosistemnya tidak memperoleh luapan langsung dari air pasang, lebih dihadapkan pada masalah kemasaman tanah yang tinggi. Pengetahuan tentang ciri-ciri tanah yang baik untuk dijadikan sebagai areal persawahan lebih berkembang dibandingkan dengan masalah pasang surutnya air. Pengetahuan tentang cara mengidentifikasi kesuburan tanah melalui vegetasi yang tumbuh di atas lahan tersebut maupun kondisi fisik tanah merupakan keahlian petani setempat. Pembuatan surjan dan tukungan untuk ditanami dengan tanaman hortikultura merupakan strategi pertanian polikultur (tanaman campuran) untuk mengimbangi produktivitas padi yang relatif rendah.
Penggunaan peralatan
tajak merupakan implementasi dari pengetahuan mereka tentang lapisan pirit yang tidak boleh terbongkar pada saat pengolahan tanah. Teknik pembibitan secara bertahap lebih ditujukan untuk memperoleh bibit yang memiliki adaptasi tinggi terhadap kemasaman tanah.
147 Pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat dalam mengelola lahan rawa pasang surut ini pada kondisi tertentu terbukti mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat.
Sistem sosial berkembang seiring dengan
perubahan-perubahan yang terjadi pada kondisi lingkungan biofisik lahan rawa pasang surut. Terlebih lagi ketika kebijakan pertanian nasional dalam pengadaan pangan kini diarahkan pada wilayah-wilayah di luar jawa akibat penyusutan lahan pertanian subur di jawa akibat konversi ke penggunaan lain. Lahan-lahan marjinal, termasuk lahan rawa pasang surut dan lahan gambut dituntut untuk menghasilkan pangan dengan produktivitas tinggi. Program-program
nasional
dalam
peningkatan
produksi
pangan
selanjutnya dibebankan kepada masyarakat petani di lahan rawa pasang surut. Mereka dituntut untuk menghasilkan pangan dalam jumlah besar dengan merubah pola tanam dan jenis varietas padi yang diusahakan.
Program
penyuluhan melalui bimbingan massal hingga intensifikasi pertanian yang dilaksanakan secara nasional juga diberlakukan di lahan rawa pasang surut. Produktivitas
dan
efisiensi
pertanian
menjadi
semboyan
baru
yang
didengungkan kepada para petani. Teknik-teknik lama dalam bercocok tanam yang menggunakan varietas lokal berproduktivitas rendah harus diganti dengan varietas unggul berproduktivitas tinggi dengan penerapan teknologi pertanian modern. Haruskah sistem pertanian yang dianggap tradisional tetapi adaptif terhadap lingkungan digantikan dengan pertanian modern yang berproduksi tinggi?
Kalau menguntungkan petani, kenapa tidak?
Demikianlah pendapat
yang dikemukakan aparat pembangunan pertanian. Proses seperti inilah yang oleh Fakih (1995) disebut sebagai dominasi dan penjinakan. Pada tataran lebih lanjut hal ini dapat menghilangkan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Untuk mendukung program dan kegiatan peningkatan produksi padi ini dilakukanlah berbagai bimbingan dan penyuluhan tentang sistem bercocok tanam padi unggul yang benar-benar baru bagi masyarakat setempat. Berbagai bentuk bantuan, mulai dari benih unggul, pupuk, hingga modal usaha berupa kredit usahatani dikucurkan demi keberhasilan proyek ini.
Bahkan dalam
beberapa hal terkesan dipaksakan untuk mencapai target luas tanam padi unggul pada satu wilayah.
Penyuluh pertanian yang di wilayahnya banyak
petani menanam padi unggul akan diberi penghargaan, sedangkan yang tidak mampu mengajak petaninya untuk menanam padi unggul akan memperoleh
148 ‘sanksi’ atau dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya. Target luas tanam untuk masing-masing wilayah telah ditetapkan dan harus dilaksanakan oleh petugas penyuluh di lapangan. Eksistensi kelembagaan petani seperti handil digeser oleh kelompok tani melalui penerapan peraturan Menteri Pertanian dalam rangka program nasional peningkatan produksi padi. Kelompok tani ini pada awalnya merupakan kelompok informal bagi petani tetapi dalam pelaksanannya berperan sebagai perpanjangan tangan petugas penyuluh untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan pertanian.
Padahal dalam perjalanan sejarahnya, kelompok
handil ini dapat membangun kebersamaan petani dalam meningkatkan produksi padi.
Bahkan kelembagaan lokal seperti ini dapat menjembatani berbagai
kepentingan dalam kehidupan masyarakat lokal (Yurisetou 2003). Kelompok tani yang menanam padi unggul diberi penghargaan dan berbagai fasilitas bantuan. Sebaliknya, kelompok tani yang tidak mau menanam padi unggul tidak mendapat pembinaan dan perhatian bahkan bantuan dari pemerintah. Hal ini terjadi karena sistem pembangunan pertanian yang dijalankan lebih berorientasi pada program bukan pada kesejahteraan petani. Bahkan kini, kepala daerah (kabupaten dan provinsi) yang mampu meningkatkan poduksi padinya di atas 5% akan memperoleh penghargaan dari presiden. Kenapa bukan pendapatan petani yang menjadi indikatornya?
Konflik kepentingan inilah yang pada
akhirnya dapat menyebabkan kelembagaan sosial yang telah ada di masyarakat mulai kehilangan eksistensinya sedangkan kelompok tani belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan petani. hanya
sebatas
nama
dan
Bahkan banyak kelompok tani yang
kepentingan
administrasi
petugas,
sedang
kegiatannya tidak memberikan manfat bagi petani anggotanya. Kenyataan yang terjadi di wilayah lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan, khususnya di Kabupaten Barito Kuala sedikit sekali petani yang mau menanam padi varietas unggul tersebut.
Bahkan jika varietas lokal Siam
Mutiara tidak ditetapkan sebagai varietas unggul, hanya 1.467 ha (1,55%) dari 94.658 ha luas pertanaman padi di Kabupaten Barito Kuala pada musim tanam 2009 ini.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Berapa kajian dan penelitian yang
dilakukan menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan petani tidak mengadopsi benih unggul antara lain : a) hasil riil di lapangan yang tidak begitu tinggi dibandingkan dengan varietas lokal; b) keuntungan yang diperoleh kecil; c) harga jual yang relatif rendah dibanding varietas lokal; serta d) rasa nasi yang
149 kurang sesuai dengan selera masyarakat setempat (Ismadi dkk 2008, Rina Y dan Noorginayuwati 2007). Mengacu pada berbagai kendala teknis dan sosial ekonomi yang menjadi penyebab tidak banyaknya petani mengadopsi padi varietas unggul, pada tahun 2000 Balai Penelitian Pertanian Tanaman Pangan (Balittan) 6 Banjarbaru melepas dua varietas unggul baru Martapura dan Varietas Margasari. Varietas Martapura merupakan persilangan antara varietas lokal Siam Unus dengan varietas unggul nasional Dodokan. Varietas Margasari merupakan hasil persilangan antara varietas lokal Siam Unus dengan varietas unggul Cisokan. Kedua varietas ini memiliki butiran kecil dan panjang serta rasa nasi yang sesuai dengan selera masyarakat setempat (pera). Ternyata setelah hampir sepuluh tahun sejak dilepas petani juga tidak terlalu berminat menanam varietas baru ini. Alasannya karena mudah rebah dan harga jual yang diberikan pedagang pengumpul disamakan dengan harga padi unggul (lebih murah dari varietas lokal). Pedagang pengumpul menganggap padi jenis ini adalah padi unggul karena umurnya sekitar 4 bulan dan dalam perdagangannya varietas ini mereka sebut IR-Nus (Artinya padi unggul IR yang berpenampilan seperti varietas Siam Unus). Padahal dalam praktik perdagangan beras selanjutnya beras ini sering digunakan sebagai pencampur beras dari varietas Siam Unus yang harganya relatif mahal di antara varietas lokal lainnya. Ini memberikan gambaran bahwa, dalam sistem pemasaran hasil pertanian di tingkat lokal pun petani selalu dirugikan dan berada pada posisi tawar yang lemah. Mengapa petani mempertahankan sistem pertanian tradisional dengan varietas lokal dan enggan menggantinya dengan varietas unggul?
Selain
keuntungan yang diperoleh relatif kecil dibandingkan dengan varietas lokal, pengusahaan varietas unggul ternyata memerlukan biaya nyata (explicit cost) yang relatif besar. Resiko kegagalan panen akibat kondisi lahan rawa pasang surut yang dengan kemasaman tinggi juga menjadi pertimbangan petani untuk mengusahakan varietas unggul. Sistem pembibitan secara bertahap dari lahan kering hingga ke areal sawah yang berair merupakan bentuk penyesuaian bibit tanaman terhadap kondisi lahan rawa pasang surut yang memiliki tingkat kemasaman tinggi. Walaupun varietas unggul memiliki potensi produksi yang 6
Sejak Desember 1994 berubah menjadi Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa (Balittra) dan pada Januari 2002 berubah lagi menjadi Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra)
150 tinggi, tetapi kenyataan di lapangan memberikan hasil yang tidak jauh berbeda ketika ditanam di lahan rawa pasang surut.
Bahkan dalam beberapa kasus
produksinya lebih rendah dari varietas lokal. Bagi petani, peningkatan produksi bukan tujuan akhir dalam kegiatan pertanian padi, karena mereka lebih memperhitungkan pendapatan rumah tangga serta selera masyarakat terhadap rasa dan tekstur nasi. Mengusahakan padi varietas unggul memerlukan biaya tambahan seperti untuk pembelian pupuk dan pestisida, tetapi hasilnya tidak jauh berbeda dengan varietas lokal bahkan harga gabah varietas unggul jauh lebih rendah dari harga gabah varietas lokal 7.
Faktor inilah yang menjadi penyebab mengapa padi varietas unggul
nasional ini sejak diintroduksi tahun 1970-an hingga sekarang tidak banyak diminati petani di lahan rawa pasang surut. Upaya pemerintah mengembangkan pertanian modern berbasis padi unggul melalui program-program berbantuan menghasilkan kesadaran palsu. Program pembinaan justeru lebih mengarah pada hegemoni pemerintah yang mengusung dikotomi antara modern dan tradisional.
Akibatnya segala yang
berbau tradisional harus diubah menjadi modern melalui penerapan sains dan teknologi.
Kondisi inilah yang dikritik oleh Habermas (2006) sebagai bentuk
modernisasi kapitalis yang lebih menekankan pada tindakan strategis dalam bentuk kekuasan politis dan kemakmuran ekonomis.
Proses seperti akan
menutup pintu komunikasi antara penganut entitas pengetahuan lokal dengan sains. Bahkan pada tataran praktis, kegiatan penyuluhan yang dilakukan lebih bermakna pada penyampaian pesan-pesan pembangunan agar mereka mau menerapkan sains dan teknologi baru serta meninggalkan cara-cara lama. Sains dan praktik pertanian modern berbasis benih unggul yang disebarkan kepada petani melalui kegiatan penyuluhan pertanian ternyata kurang mendapat respon positif dari masyarakat di lahan rawa pasang surut. Bahkan penemuan varietas unggul baru 8 yang karakteristiknya menyerupai varietas lokal serta sesuai dengan kondisi di lahan rawa pasang surut juga tidak 7
Biaya pupuk untuk padi varietas lokal sekitar Rp 105.000,- - Rp 240.000,- per hektar, sedang untuk biaya pupuk varietas unggul mencapai Rp 650.000,- per hektar. Harga gabah lokal rata-rata Rp 3.000,- sampai Rp 3.500,- per kg, sedangkan harga gabah varetas unggul hanya Rp 2.000,- sampai Rp 2.500,- per kg. 8 Pada tahun 2000 diintroduksi varietas unggul Margasari dan Martapura yang merupakan hasil persilangan antara varietas lokal peka fotoperiod (Siam Unus) dengan padi sawah varietas unggul introduksi (Cisokan dan Dodokan) yang memiliki butiran kecil dengan rasa nasi yang pera dan cocok dengan selera masyarakat setempat.
151 banyak diadopsi petani.
Beberapa petani menyatakan karena varietas ini
mudah roboh dan harga jualnya di tingkat petani relatif rendah (Rp 2.000,hingga Rp 2.500,- per kg). Walaupun varietas ini berumur relatif pendek (sekitar 4 bulan), tetapi karena sistem budidayanya berbeda dengan teknik bercocok tanam padi yang selama ini dilakukan masyarakat sehingga sampai sekarang tidak banyak petani yang menanamnya. Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe A, pengetahuan mereka tentang kondisi biofisik setempat telah meyakinkan mereka bahwa sistem pertanian dengan teknik baru ini sangatlah sulit dilakukan. Kondisi air pada saat pasang yang cukup dalam tidak memungkinkan bibit ditanam secara baik di sawah. Berbeda halnya dengan yang terjadi di lahan rawa pasang surut tipe C dan D, berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki alasannya bukan hanya permasalahan kondisi biofisik semata, tetapi juga menyangkut aspek sosial ekonomi.
Hasil analisis dalam kegiatan FGD dengan petani di lahan rawa
pasang surut tipe C, dan D menunjukkan bahwa perubahan sistem bercocok tanamlah yang merupakan akar dari sulitnya masyarakat setempat menerapkan pengetahuan baru tentang budidaya varietas unggul. Berdasarkan pengetahuan petani setempat, sistem pertanian padi secara tradisional
dengan
varietas
lokal
merupakan
sistem
pertanian
yang
menggunakan input lokal dengan modal yang rendah serta memerlukan input luar yang kecil.
Kegiatan pengolahan tanah, pembibitan, penanaman,
pemeliharaan hingga panen dan pascapanen lebih banyak dikerjakan dengan tenaga kerja dalam keluarga.
Hanya kegiatan panen yang banyak
menggunakan tenaga upahan. Kegiatan penanaman selain dengan tenaga kerja dalam keluarga juga ada yang menggunakan tenaga upahan maupun dengan sistem handipan. Sarana produksi yang harus dibeli biasanya berupa pupuk buatan dan pestisida, sedangkan untuk bibit digunakan dari hasil panen sebelumnya. Waktu pengolahan tanah dan pembibitan yang relatif panjang dan intensitas curahan waktu kerja yang relatif sedikit memungkinkan masyarakat petani dapat memanfaatkan waktu senggangnya untuk kegiatan produktif baik dibidang pertanian maupun di luar bidang pertanian.
Pemanfaatan waktu
senggang untuk kegiatan pertanian lainnya seperti mengusahakan tanaman sayuran dan hortikultura, tanaman perkebunan
maupun pengumpulan hasil
hutan dan penangkapan ikan. Kegiatan di luar pertanian yang dilakukan seperti
152 bekerja sebagai buruh atau tukang bangunan, kerajinan anyaman, maupun jasa angkutan darat dan sungai. Pola pertanian padi dengan waktu yang relatif panjang ini secara teknis terkait dengan kendala kemasaman tanah di lahan rawa pasang surut. Pengetahuan
petani
setempat
tentang
sifat-sifat
tanam
masam
dan
pengendaliannya secara alamiah terbukti mampu mengatasi permalahan ini dengan biaya murah.
Persawahan petani di rawa pasang surut umumnya
merupakan lahan sulfat masam dan kemasamannya semakin meningkat setelah fase musim kemarau dan air mulai masuk ke sawah pada awal penghujan (terutama di tipe C dan D). Proses pencucian kemasaman tanah ini oleh air hujan terus berlangsung seiring dengan tingginya intensitas hujan pada bulan Desember dan Januari.
Oleh karena itulah petani di wilayah ini akan mulai
melakukan kegiatan penananam setelah bulan tersebut karena kondisi sawah sudah
berkurang
kemasamannya.
Pada
bulan-bulan
dimana
kondisi
kemasaman di sawah masih tinggi (Oktober-Nopember), petani melakukan tahapan pembibitan dan pengolahan tanah. Pengetahuan tentang kondisi iklim (terutama curah hujan) dan sifat dan karakteristik tanah masam inilah yang mendasari mengapa sistem pertanian tradisional petani di lahan rawa pasang surut dilakukan dengan teknik pembibitan bertahap menggunakan varietas lokal yang mulai ditanam sekitar Januari hingga April. Model pertanian tradisional dianggap rendah produksinya sehingga perlu diganti dengan varietas unggul yang berproduksi tinggi dengan penerapan panca usahatani. Petani diperkenalkan dengan benih unggul, pupuk buatan, pestisida dan teknik pengelolaan yang intensif karena tanaman padi tersebut berumur pendek.
Melalui kegiatan penyuluhan pertanian, petani diberi
pengetahuan dan teknik baru dalam bercocok tanam padi sawah. Kelompok tani dibentuk untuk memudahkan pembinaan terhadap para petani dan dilengkapi dengan berbagai demonstrasi tentang teknik atau cara modern dengan menerapkan pancausahatani.
pertanian
Apa yang terjadi hingga
sekarang, ternyata sangat sedikit sekali petani yang mau menerapkan pengetahuan dan teknologi pertanian modern ini. Mengapa mereka berperilaku demikian? Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe C dan D, selain produksinya yang tidak jauh berbeda dengan varietas lokal, ternyata diperlukan input dan modal yang relatif besar, sehingga keuntungannya juga relatif sedikit dibandingkan dengan varietas lokal, seperti ditunjukkan pada Tabel 13.
153 Tabel 13 No
Perbandingan ekonomi usahatani padi lokal dengan padi unggul di lahan rawa pasang surut per hektar lahan
Komponen Perhitungan
Satuan
Padi Lokal
Padi Unggul
1
Produksi (Q)
kg
2.800
3.500
2
Harga Gabah (P)
Rp
3.500
2.500
3
Biaya Eksplisit (EC)
Rp
1.992.500
3.212.500
4
Biaya Implisit (IC)
Rp
5.502.500
4.372.500
5
Biaya Total (TC = EC + IC)
Rp
7.495.000
7.585.000
6
Penerimaan (TR = P x Q)
Rp
9.800.000
8.750.000
7
Pendapatan ( P = TR - EC)
Rp
7.807.500
5.537.500
8
Keuntungan (π = TR - TC)
Rp
2.305.000
1.165.000
9
R/C
1,31
1,15
-
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
Berdasarkan alasan yang dikemukakan oleh petani tersebut, terdapat tiga masalah utama yang menyebabkan praktik budidaya padi unggul kurang diminati dibandingkan dengan praktik budidaya pertanian padi lokal (Gambar 14). Pertama, menyangkut aspek teknis budidaya dan hubungannya dengan kondisi spesifik lahan rawa pasang surut. Kendala kemasaman dan genangan air yang berpengaruh terhadap produksi aktual padi unggul merupakan alasan teknis yang menyebabkan petani kurang berminat mengusahakan padi unggul. Kedua, menyangkut aspek ekonomis dan keuntungan relatif usaha padi unggul yang lebih kecil dibandingkan dengan padi lokal. Biaya produksinya cukup tinggi karena memerlukan input luar serta curahan tenaga kerja yang banyak. Di sisi lain, harga jual gabah yang relatif rendah serta pemasaran yang sulit merupakan kendala ekonomis yang dihadapi petani padi unggul. Ketiga, aspek sosiologis yang menyangkut kebiasaan dan selera atau preferensi terhadap beras dari padi lokal. Hal ini juga tekait dengan pola matapencaharian masyarakat setempat yang terbentuk seiring dengan banyaknya waktu luang yang tersedia jika mengusahakan padi lokal. Ketiga aspek tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi juga memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Aspek teknis seperti kondisi lahan yang relatif masam dengan kesuburan yang rendah memerlukan masukan input seperti kapur dan pupuk kimia. Penambahan input luar ini tentu memerlukan tambahan biaya eksplisit yang harus ditanggung petani.
Begitu juga dengan sistem
154 pemeliharaan yang intensif memerlukan curahan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan usahatani padi lokal. Peningkatan curahan tenaga kerja ini berimplikasi pada berkurangnya kesempatan petani untuk melakukan kegiatan lain (misalnya mata pencaharian sampingan) atau harus mengeluarkan biaya upah tenaga kerja. Aspek Teknis
Aspek Ekonomis
Aspek Sosiologis
Rentan serangan HPT
Input luar tinggi
Selera Konsumen
Ketersediaan benih
Lembaga Pemasaran
Barang imperior
Kemasaman tanah dan pasang surut
Curahan TK banyak
Sistem pemeliharaan intensif
Produksi aktual relatif rendah
Biaya Produksi tinggi
Pemasaran gabah sulit / kurang laku
Ketersediaan waktu untuk kegiatan lain
Harga gabah relatif murah
Pendapatan dan Keuntungan UT padi sedikit
Pendapatan UT nonpadi dan non pertanian rendah
Pendapatan rumah tangga petani kecil
Gambar 14
Faktor-faktor yang menyebabkan petani kurang berminat mengadopsi usahatani padi unggul
155 Melalui pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki, petani mampu menghasilkan produksi pertanian yang tinggi.
Bahkan pada tahun 2008
Pemerintah Kabupaten Barito Kuala memperoleh penghargaan dari Presiden RI karena mampu meningkatkan produksinya di atas 5% (Peningkatan produksi padi Kabupaten Batola pada tahun 2008 sebesar 12,88% dibandingkan dengan tahun 2007).
Peningkatan produksi ini sebenarnya karena konstribusi dari
usaha padi lokal, hampir semua lahan tersebut ditanami padi varietas lokal. Itulah sebabnya mengapa pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut tetap diperlukan dan dipertahankan eksistensinya.
VII KONTESTASI SAINS DENGAN PENGETAHUAN LOKAL DI LAHAN RAWA PASANG SURUT 7.1 Sejarah Perkembangan Sains dan Pertanian Modern di Lahan Rawa Pasang Surut Revolusi hijau muncul sebagai salah satu langkah besar di bidang pertanian dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Revolusi ini diawali dengan penelitian untuk meningkatkan produktivitas tanaman gandum yang dilakukan oleh Ford Foundation dan Rockefeller Foundation pada tahun 1943 hingga 1950. Kegiatan penelitian untuk pengembangan tanaman padi secara internasional dilakukan oleh International Rice Research Institute (IRRI) yang dibentuk pada tahun 1960 di Filipina dengan dukungan
oleh kedua yayasan di atas.
Indonesia sendiri mulai bekerjasama dengan IRRI sejak Desember 1972 dalam rangka intensifikasi pertanian, pengembangan biteknologi, pengendalian hama, serta mekanisasi pertanian. Pengembangan tanaman padi ini dilakukan melalui penggunaan benih unggul, pestisida dan pupuk kimia. Program peningkatan produksi padi di Indonesia pada awalnya dicanangkan pemerintah secara meluas melalui program Bimbingan Masal (Bimas). Latar belakang program ini terkait dengan upaya pemerintah untuk mengurangi impor beras dan menciptakan negara yang mampu mencukupi sendiri kebutuhan pangannya, khususnya beras. Keberhasilan program peningkatan produksi padi mencapai puncaknya pada periode 1984-1989 dan Indonesia yang sebelumnya sebagai pengimpor beras
terbesar
menjadi
negara
yang
mampu
berswasembada
beras.
Peningkatan produksi padi dilakukan melalui penerapan teknik pertanian modern yang dikenal dengan Panca Usaha tani, kebijakan pengaturan harga sarana produksi serta dukungan kredit dan infrastruktur.
Keberhasilan peningkatan
produksi ini ternyata kurang diimbangi dengan penanganan permasalahan sosial masyarakat petani itu sendiri. Berbagai riset yang dilakukan dalam upaya mendukung program ini lebih difokuskan pada peningkatan produksi semata, dan hanya sedikit perhatian langsung terhadap masalah-masalah sosial dalam kehidupan petani. Bahkan berbagai produk kimia yang digunakan dalam kegiatan pertanian seperti pupuk dan pestisida tanpa disadari merupakan sarana bagi perusahaan transnasional untuk meraih keuntungan dari program
157 ini. Para penyuluh pertanian yang menjadi agen dalam pembangunan pertanian yang secara tidak langsung sekaligus berperan sebagai agen perusahaan bahan kimia tersebut. Ketika memasuki era tahun 1990-an penggunaan bahan-bahan kimia ini mencapai titik jenuh dan peningkatan produksi padi semakin sulit dipertahankan. Sebagian masyarakat mulai menyadari tentang bahaya atau pencemaran yang ditimbulkan oleh bahan-bahah kimia tersebut. Di sisi lain, para petani mulai tergantung dengan penggunaan bahan-bahan kimia ini tersebut.
Kehidupan
petani menjadi semakin terdesak ketika kebebasan dalam berusaha tani secara perlahan mulai tercabut dari sistem sosial mereka.
Padahal sebelum era
revolusi hijau, benih atau bibit, pupuk organik dan sarana produksi pertanian mereka usahakan dan produksi sendiri. Kini, para petani harus membeli benih unggul, pupuk, pestisida dan berbagai peralatan mesin pertanian.
Sarana
produksi ini semakin hari semakin meningkat harganya, bahkan dalam kondisi tertentu, pupuk kimia yang menjadi andalan petani sering sulit ditemukan di pasaran pada saat dibutuhkan. Pertanian di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan, khususnya di Kabupaten Barito Kuala sudah dikembangkan sejak ratusan tahun yang lalu dengan komoditas utama padi sawah. Jenis padi sawah yang dikembangkan merupakan padi varietas lokal yang spesifik tumbuh baik di lahan rawa pasang surut dengan toleransi tinggi terhadap kemasaman tanah. Produktivitas padi lokal ini hanya 2,0-3,5 ton perhektar dan tergolong rendah dibandingkan dengan produktivitas padi unggul di wilayah agroekosistem lainnya (terutama pada lahan beririgasi seperti di Jawa yang dapat mencapai 4,0-6,0 ton perhektar). Di sisi lain, pengusahaan padi lokal ini juga hanya dilakukan sekali setahun mengingat umurnya yang relatif panjang, mencapai 9-11 bulan.
Tanaman padi bukan
hanya sekedar sebagai komoditas pertanian semata, tetapi menyangkut sistem sosial yang dikembangkan. Teknis budidaya yang dikembangkan merupakan implementasi kehidupan sosial masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.
Berbagai pengetahuan, teknologi dan kearifan
yang dikembangkan masyarakat sangat terkait dengan kondisi spesifik lahan rawa pasang surut di wilayah ini.
Sistem pertanian padi seperti ini dalam
konteks pembangunan pertanian dianggap tidak efisien danj perlu ditingkatkan, baik menyangkut produktivitasnya maupun indeks pertanamanannya agar dapat diusahakan dua kali setahun dengan produktivitas yang tinggi.
158 Program peningkatan produksi padi di lahan rawa pasang surut mulai dilaksanakan pada tahun 1970-an.
Penggunaan benih unggul dan pupuk
buatan seperti Urea menjadi dasar dalam pengembangan pertanian modern di lahan rawa pasang surut.
Pengembangan pertanian modern dengan
menggunakan bibit unggul berumur pendek yang diawali dengan varietas PB5 dan PB8 yang berumur 120-130 hari ternyata kurang mendapat respon petani di wilayah ini. Faktor penyebabnya adalah penerapan sistem penanaman yang jauh berbeda dengan yang selama ini dilakukan petani, biaya produksi yang relatif tinggi, rasa nasi yang kurang sesuai dengan selera masyarakat setempat, serta produktivitasnya di lahan rawa pasang surut yang tidak jauh berbeda dengan varietas lokal (hanya mencapai 3 ton perhektar). Faktor penting lainnya adalah karena sistem pertanian padi unggul ini akan merubah sistem dan tatanan sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat setempat. Perubahan tatanan sosial ini meliputi perubahan pola matapencaharian, organisasi sosial, penguasaan lahan, serta sistem upah dan bagi hasil. Pengembangan pertanian modern di lahan rawa pasang surut selain diintroduksi melalui kegiatan penyuluhan pertanian, juga diintegrasikan dengan program transmigrasi lahan rawa pasang surut.
Penempatan transmigran di
lahan rawa pasang surut ini selain untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa dan Bali juga untuk menjadi pelopor pertanian modern di lahan rawa pasang surut. memberikan
Oleh karena itu para transmigran ini diharapkan dapat
bimbingan
dan
contoh
bagi
masyarakat
pengembangan pertanian padi unggul yang lebih modern.
setempat
dalam
Beberapa unit
pemukiman transmigrasi (UPT) yang dikembangkan di lahan rawa pasang surut, khususnya di Kabupaten Barito Kuala dapat dilihat pada Lampiran 13. Daerah asal transmigran ini meliputi wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, DKI Jakarta Bali, Nusa Tenggara Barat, dan penduduk lokal di Kabupaten Barito Kuala. Mengingat kondisi spesifik lahan rawa pasang surut dengan kemasaman yang tinggi dan adanya lapisan pirit yang tidak boleh terangkat ke atas, sistem pertanian yang diterapkan oleh para transmigran ini harus menyesuaikan dengan cara-cara yang dilakukan oleh petani setempat, terutama penggunaan alat tajak.
Penggunaan cangkul
sebagaimana yang umumnya digunakan oleh petani di Jawa ternyata justeru berakibat terangkatnya lapian pirit ke permukaan dan meracuni tanaman padi. Dalam tahap selanjutnya ternyata sebagian besar transmigran ini turut
159 mengusahakan padi lokal. Kondisi lahan rawa pasang surut dengan tingkat kemasaman tinggi di lahan rawa pasang surut, pada awal penempatan mereka memaksa mereka untuk menanam varietas lokal yang memang toleran dengan kondisi ini. Perkembangan sains dan pertanian modern pada masing-masing tipe lahan rawa pasang surut memperlihatkan kondisi yang tidak sama. 7.1.1 Lahan rawa pasang surut tipe A Lahan rawa pasang surut tipe A, merupakan lahan yang selalu terluapi oleh air baik pada saat pasang besar maupun saat pasang kecil. Pertanian di lahan
rawa
pasang
surut
tipe
A
merupakan
wilayah
pertama
yang
dikembangkan oleh petani setempat. Sejak ratusan tahun silam petani di lahan rawa pasang surut tipe A mengusahakan varietas lokal. Daerah-daerah yang termasuk kategori pasang surut tipe A ini umumnya terletak di pesisir atau di pinggiran sungai Barito. Semenjak masuknya era revolusi hijau di wilayah ini, terutama di Kecamatan Tabunganen yang sebagian besar wilayahnya merupakan lahan rawa pasang surut tipe A, pertanian modern diintroduksi ke wilayah ini. Untuk mendukung pengembangan pertanian, pada tahun 1983 dibangun Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Benih unggulpun mulai dikenalkan kepada petani, tetapi tidak diminati petani, terutama karena secara teknis tidak cocok untuk ditanam di wilayah yang selalu terluapi air pada saat pasang. Menurut salah seorang petani (Dmw, 65 tahun), beberapa petani pernah menamam padi unggul ini pada lahan-lahan yang agak tinggi. Ternyata jenis padi unggul yang ditanam ini justeru diserang hama walang sangit dan berakibat lahan-lahan di sekitarnya juga ikut terserang hama tersebut. Begitu juga dengan penanaman padi unggul pada musim tanam kedua, karena yang menanamnya hanya beberapa petani, kebanyakan mengalami kegagalan akibat serangan tikus. Akibatnya hingga sekarang petani tidak tertarik lagi untuk mengusahakan padi unggul yang berumur pendek baik pada saat bersamaan dengan varietas lokal maupun pada musim tanam kedua setelah penanam varietas lokal. Secara sosial, budidaya padi unggul ini juga kurang sesuai dengan pola kebiasaan masyarakat setempat.
Padi unggul harus dikelola dengan
pemeliharaan yang intensif sehingga curahan waktu kerja juga lebih banyak. Padahal masyarakat setempat memiliki pola pembagian waktu (baik harian, mingguan, maupun bulanan) yang disesuaikan dengan ritme kondisi alam serta
160 berbagai jenis mata pencaharian lainnya. Selain mengusahakan tanaman padi, masyarakat setempat juga mengusahakan tanaman perkebunan seperti kelapa dan usaha penangkapan ikan (perikanan darat maupun perikanan laut) Berbeda halnya dengan penggunaan pupuk buatan seperti Urea dan pestisida direspon positif oleh masyarakat. Walaupun demikian, pupuk buatan ini baru meluas penggunaannya
semenjak tahun 1990-an.
Selain untuk
memupuk tanaman, pupuk Urea ini juga digunakan pada fase pembibitan (lacak dan tangkar anak). Penggunaan pestisida secara meluas baru lima tahun terakhir, terutama untuk pengendalian walang sangit dan tikus. Penggunaan kapur pertanian untuk mengatasi kemasaman tanah justeru telah lama dikenal dan digunakan oleh petani dibandingkan dengan pupuk buatan dan pestisida. Para petani di wilayah ini telah mengenal kapur untuk mengurangi kemasaman tanah sejak tahun 1985. Kegiatan penyuluhan pertanian di wilayah ini menurut pandangan petani baru dilakukan secara intensif dalam lima tahun terakhir. Kelompok tani sebagai salah satu organisasi sosial dalam kehidupan masyarakat petani di wilayah ini digunakan oleh penyuluh untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan di bidang pertanian. Materi penyuluhan yang
diberikan menyangkut aspek
pengendalian hama tikus pada tanaman padi, diversifikasi pertanian dengan pemanfaatan surjan atau tembokan untuk tanaman sayuran, pemeliharaan saluran air, dan pengembangan ternak itik dan ayam buras. Tata air merupakan faktor utama yang sangat mempengaruhi peningkatan produksi padi di wilayah lahan rawa pasang. Oleh karena itu, kegiatan penyuluhan pertanian di wilayah ini lebih difokuskan pada teknik pembuatan dan pemeliharaan saluran air di sawah petani. Penggunaan peralatan pertanian modern di wilayah pasang surut tipe A terbatas pada peralatan panen dan pasca panen. Peralatan tradisional untuk kegiatan panen yang umum digunakan petani adalah ani-ani (disebut juga ranggaman). Alat panen ini berbahan utama dari kayu, bambu dan potongan pisau silet, selain itu juga banyak di jual di warung atau kios-kios yang ada di desa.
Pemerintah melalui kegiatan penyuluhan pertanian telah lama
memperkenalkan alat panen berupa sabit bergerigi sebagai pengganti ani-ani atau ranggaman ini. Sebelumnya petani enggan mengganti ani-ani dengan sabit bergerigi ini.
161 Penolakan petani ini didasari oleh oleh alasan yang bersifat teknis dan nonteknis.
Secara teknis, menurut mereka menggunakan sabit bergerigi
mengakibatkan malai padi yang masih belum masak sempurna akan ikut terpanen dan akan berpengaruh terhadap kualitas gabah yang diperoleh nantinya.
Begitu
juga
dengan
menggunakan
mesin
perontok,
akan
mengakibatkan beras yang dihasilkan nantinya akan banyak yang patah atau rusak. Aspek nonteknis terkait dengan kepercayaan petani tentang perlakuan terhadap padi sebagai bahan makanan. Padi yang dipanen dengan cara disabit harus dirontok dengan dipukul-pukulkan pada alas kayu atau bambu maupun dengan menggunakan mesin perontok. Menurut kepercayaan sebagian besar petani, merupakan pantangan (pamali) memperlakukan padi dengan cara dipukul-pukul tersebut. Seiring dengan semakin luasnya areal tanam serta semakin susahnya untuk mencari tenaga upahan, sejak empat tahun terakhir petani mulai menggunakan
sabit
bergerigi
untuk
kegiatan
panen.
Dalam
teknis
pelaksanaannya, para petani menyabit tanaman padi lebih dekat ke arah tangkai malai.
Hal ini dilakukan terkait dengan teknik perontokan yang masih
menggunakan cara diinjak-injak (diirik). Mesin perontok juga mulai digunakan tetapi dengan pengaturan khusus pada kecepatan putarannya.
Berdasarkan
pengalaman petani, agar beras yang dihasilkan nantinya tidak banyak yang rusak atau patah, maka putaran mesin perontok harus diatur atau diperlambat. Secara sosial, masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe A memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat dan terhimpun dalam kelompok-kelompok handil. Kegiatan gotong-royong sebagai modal utama dalam usahatani padi masih tetap dipertahankan terutama dalam kegiatan penanaman.
Pengembangan usaha
tani padi modern yang ditujukan untuk peningkatan produksi bagi mereka merupakan program pemerintah yang perlu didukung selama kegiatan tersebut juga mampu meningkatkan kesejahteraan mereka.
Selain itu, kesesuaian
teknologi yang diintroduksi dengan kondisi alam dan sistem sosial masyarakat menjadi pertimbangan utama penerimaan masyarakat.
Bibit unggul nasional
yang diintroduksi ternyata secara teknis sangat tidak cocok dengan kondisi lingkungan yang ada sehingga pada wilayah lahan rawa pasang surut hingga kini tidak ada petani yang menanam bibit unggul tersebut. Bibit unggul yang ditanam pada umur 21-28 hari mempunyai batang kecil dan tinggi 10-15 cm, sementara air di sawah pada saat pasang mencapai kedalaman 40 cm.
162 Sebaliknya, pupuk anorganik dan peralatan baru seperti sabit bergerigi dan mesin perontok mulai meluas digunakan oleh para petani. 7.1.2 Lahan rawa pasang surut tipe B Lahan rawa pasang surut tipe B merupakan tipikal lahan yang hanya terluapi oleh air pada saat pasang besar (pasang tunggal).
Dibandingkan
dengan wilayah di pasang surut tipe A, kegiatan introduksi pertanian modern lebih berkembang dan banyak dilakukan dilakukan di lahan rawa pasang surut tipe B ini. Hal ini karena secara teknis, budidaya padi unggul dapat dilakukan walaupun dengan kendala kemasaman tanah yang cukup tinggi.
Selain itu,
pada wilayah ini juga bisa diterapkan sistem pertanian padi dengan pola dua kali tanam setahun. Introduksi varietas unggul ini menimbulkan konflik kepentingan antara petani dengan pemerintah atau petugas penyuluh.
Petani umumnya
menolak untuk menanam padi unggul sebagai pengganti padi lokal terutama pada musim tanam Maret-Agustus dengan alasan rasa nasi yang kurang cocok maupun masalah harga dan pemasaran yang sulit. Walaupun tidak terjadi pemaksaan kepada petani untuk menanam padi unggul, tetapi banyak bantuan sarana produksi dan kredit usahatani yang dikaitkan dengan kegiatan penanaman padi unggul. Petani yang mau menanam padi unggul akan memperoleh bantuan bibit, pupuk maupun kredit usahatani. Ternyata insentif ini tetap tidak mampu mendorong petani untuk mengganti varietas lokal
yang selama ini dengan varietas unggul yang dianjurkan
pemerintah seperti IR-36,IR-42, IR-66, Cisokan, hingga varietas Ciherang seperti saat ini. Pola dua kali setahun yang memungkinkan diterapkan pada wilayah ini adalah pola tanam padi lokal-unggul, dimana pada musim tanam pertama (Maret-Agustus) ditanam bibit padi lokal, sedangkan pada musim tanam kedua (Oktober-Pebruari) ditanam bibit padi unggul nasional berumur pendek. Walaupun memungkinkan untuk ditanam dengan pola padi unggul-unggul, tetapi secara sosial hal ini sulit dilakukan karena para petani setempat masih belum bisa meninggalkan padi lokal, terutama untuk keperluan konsumsi rumah tangga sendiri.
Pola tanam padi lokal-unggul ini pada tahun 1995 digalakkan
pemerintah Kalimantan Selatan dengan nama program penanaman padi dengan pola sawit dupa yang merupakan singkatan dari ‘satu kali mewiwit dua kali panen’ yang berarti satu kali membibit, dua kali panen. Pola sawit dupa ini
163 dilakukan dengan melaksanakan pembibitan padi lokal dan unggul pada waktu bersamaan, sekitar bulan Oktober. Setelah disemai sekitar 20-25 hari, bibit padi unggul selanjutnya ditanam pada lahan yang telah disiapkan, sedangkan padi lokal proses pembibitannya siap ditanam berlangsung hingga sekitar bulan Maret, setelah selesai panen padi unggul pada akhir Pebruari. Penanaman padi unggul pada musim tanam kedua (Oktober-Pebruari) inipun ternyata kurang banyak diminati petani dengan berbagai pertimbangan teknis dan sosial ekonomi. Petani yang mau menanam padi unggul pada musim kedua ini umumnya hanya dalam luasan yang kecil 0,5-1,0 ha dan terkait dengan program yang dilaksanakan pemerintah, misalnya program SLPTT. Petani yang mengikuti program seperti ini akan memperoleh bantuan benih dengan cuma-cuma serta kredit untuk pembelian sarana produksi lainnya seperti pupuk dan pestisida.
Hasil dari kegiatan ini baik produksi maupun pendapatan
menjadi pertimbangan bukan hanya petani yang mengikuti program ini, tetapi juga petani sekitarnya. Secara teknis, penamanan padi unggul pada musim kedua (OktoberPebruari) mengandung risiko kegagalan yang cukup tinggi karena serangan hama dan penyakit. Hama utama bagi pertanian padi di Kalimantan Selatan, terutama di wilayah lahan rawa pasang surut adalah tikus. Intensitas serangan ini akan semakin besar dirasakan karena pada musim tanam kedua ini hanya sebagian kecil petani yang melakukan penanaman padi. Akibatnya serangan tikus akan terfokus pada wilayah tersebut. Secara sosial ekonomis, biaya yang dikeluarkan relatif besar (terutama untuk biaya pupuk dan pestisida), sedangkan hasil yang diperoleh tidak berbeda jauh dengan padi lokal serta adanya risiko gagal panen akibat serangan tikus. Di sisi lain, harga jual gabah padi unggul relatif rendah serta sulit dipasarkan. Bagi sebagian petani pada bulan-bulan tersebut (Oktober-Pebruari) umumnya mereka menekuni pekerjaan sampingan seperti mencari ikan, mencari kayu galam, maupun bekerja sebagai tukang kayu atau buruh bangunan. Selain itu, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka selama ini, sawah di lahan rawa pasang surut perlu diistirahatkan agar kesuburan tanahnya dapat lebih terjaga. Untuk penggunaan pupuk buatan atau pupuk anorganik telah dikenal dan digunakan petani sejak tahun 1980, penggunaan pestisida sejak tahun 1995 dan mulai meluas penggunaannya pada tahun 2000.
Untuk kapur pertanian
digunakan petani secara meluas sejak tahun 2000. Penggunaan kapur dalam
164 kegiatan pertanian, bagi petani setempat bukan hanya untuk mengatasi kemasaman
tanah
tetapi
juga
digunakan
untuk
mempercepat
proses
pembusukan sisa-sisa gulma dari kegiatan pengolahan tanah dengan peralatan tajak.
Beberapa petani kini juga menggunakan herbisida sebelum kegiatan
pengolahan tanah untuk mempermudah proses pengolahan tanah serta mempercepat proses pembusukan gulma-gulma tersebut. Penggunaan peralatan pertanian seperti traktor tangan walaupun pernah dilakukan pada tahun 2001 melalui program mekanisasi pertanian yang dilaksanakan pemerintah,.
Penggunaan traktor tangan ini terkendala kondisi
lahan yang kurang sesuai (dapat menyebabkan terbongkarnya lapisan pirit) sehingga tidak diminati petani. Untuk penggunaan peralatan panen seperti sabit bergerigi dan mesin perontok mulai digunakan sejak empat tahun terakhir. Penggunaan peralatan panen dan pasca panen ini mulai banyak diminati hingga kini karena areal panen yang cukup luas dan untuk mempersingkat masa panen serta tenaga kerja upahan yang semakin sulit diperoleh dan upah yang relatif mahal. Teknologi pertanian modern lainnya yang diintroduksi ke wilayah sejak tahun 2003 adalah praktik pertanian yang berwawasan lingkungan melalui kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Kegiatan ini dilakukan untuk mengurangi penggunaan pestisida dengan menggunakan pengendalian mekanis dan biologis terutama penggunan musuh alami. Konsep SLPHT ini dikembangkan seiring dengan semakin meningkatnya kekhawatiran akan pencemaran lingkungan dan penggunaan bahan kimia bagi petani pemakainya maupun produk pertanian yang dihasilkan.
Menurut petani,
walaupun konsep ini sangat sesuai dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan, tetapi dalam aplikasinya sulit untuk dilakukan serta memerlukan tenaga kerja tambahan. Di sisi lain, ketergantungan terhadap bahan kimia baik pestisida maupun herbisida sudah cukup tinggi maka sulit untuk menerapkan konsep ini di lapangan. Teknologi pertanian terbaru yang sekarang diintroduksi ke wilayah ini adalah Sekolah Lapang Pengelolan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SLPTT).
Program ini merupakan salah satu program nasional yang
diaplikasikan di lahan rawa pasang surut. Program ini dilatarbelakangi karena kegiatan pertanian yang selama ini ada wilayah pasang surut di dominasi oleh varietas lokal (sekitar 90% produksi disumbangkan oleh padi varietas lokal
165 dengan produksi rendah). Oleh karena itu untuk meningkatkan produkstivitas padi perlu dilakukan efisiensi usahatani dengan penerapan teknologi yang memiliki efek sinergis dimana petani berpartisipasi mulai dari perencanaan ampai pengembangannya.
Terdapat sebelas 15 komponen utama dalam
kegiatan SLPTT ini, yang salah satunya adalah penggunaan variteas unggul. Terkait dengan hal inilah, kemungkinan teknologi SLPTT ini tidak dapat diharapkan dapat diadopsi petani secara cepat. Seperti halnya dengan wilayah pasang surut tipe lainnya, di wilayah ini masyarakat petaninya bersifat terbuka dengan pembaharuan dan modernisasi pertanian yang dilaksanakan pemerintah sejauh kegiatan atau introduksi tersebut
mengarah
pada
upaya
peningkatan
kesejahteraan
mereka.
Terbukanya dan semakin membaiknya akses transportasi darat serta akses informasi di wilayah lahan rawa pasang surut tipe B membuat kehidupan sosial ekonomi masyarakat juga semakin meningkat. Perkembangan ini berimplikasi terhadap pola pikir dan orientasi petani setempat ke arah sistem pertanian yang semakin komersial. rambutan
dan
Pengembangan tanaman hortikultura seperti jeruk,
mangga
semakin
mendorong
petani
setempat
untuk
memanfaatkan surjan atau tukungan yang ada di sawah untuk mengembangkan jenis-jenis tanaman tersebut. Faktor lain yang juga turut berpengaruh adalah banyaknya kegiatan penelitian dan uji coba sistem pertanian modern dengan pola terpadu di lahan rawa pasang surut tipe yang dilakukan oleh lembaga penelitian seperti Balai Penelitian Petanian Lahan Rawa (Balittra) maupun Dinas Pertanian setempat. Keterlibatan petani dalam berbagai uji coba dan penelitian di wilayah ini secara tidak langsung memberikan pengetahuan dan wawasan baru bagi mereka tentang upaya-upaya peningkatan produksi pertanian di lahan rawa pasang surut.
15
Komponen teknologi utama dalam SLPTT meliputi : 1) varietas unggul yang sesuai dengan kondisi lingkungan, 2) benih bermutu/berlabel, 3) pengolahan tanah secara sempurna, 4)umur bibit sesuai anjuran, 5) pengaturan jarak tanam, 6) pemberian pupuk organik, 7) pupuk anorganik sesuai kebutuhan/berimbang, 8) pemberian air secara efektif dan efisien, 9) pengendalian HPT secara terpadu, 10) pengendalian gulma secaar tepat, dan 11) penanganan panen dan pascapanen dengan baik
166 7.1.3 Lahan rawa pasang surut tipe C Lahan rawa pasang surut tipe C adalah tipe lahan yang tidak terluapi air pasang walaupun pasang besar, air pasang hanya berpengaruh secara tidak langsung terhadap permukaan air tanah yang kedalamannya kurang dari 50 cm. Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe C, pertanian modern yang diintroduksi pemerintah melalui kegiatan penyuluhan pertanian ditandai dengan diperkenalkannya bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida.
Pupuk
anorganik seperti Urea dan TSP mulai dikenal petani sejak tahun 1980-an dan mulai meluas penggunaannya sejak tahun 1985. Terhadap introduksi varietas unggul, petani di wilayah ini juga kurang berminat untuk menanamnya.
Menurut mereka varietas unggul memerlukan
modal yang relatif besar terutama untuk keperluan pembelian pupuk, pestisida dan upah kerja (karena ada kegiatan pembersihan gulma atau penyiangan). Rasa nasi yang kurang sesuai dengan selera masyarakat setempat serta harga yang rendah dan sulitnya pemasaran merupakan faktor yang juga membuat petani enggan menanam padi unggul.
Aspek sosial lainnya terkait dengan
berkurangnya kesempatan untuk melakukan kegiatan lain di luar usahatani padi. Hal ini karena padi unggul memerlukan curahan tenaga kerja yang intensif dibandingkan dengan padi lokal. Akibatnya mereka tidak bisa mengerjakan pekerjaan sampingan lainnya untuk menambah ekonomi keluarga. Penggunaan pupuk buatan, terutama Urea pada awalnya hanya sebagai pelengkap untuk menambah kesuburan tanah selain penggunan bahan organik dari sisa-sisa gulma dalam pengolahan tanah.
Dalam perkembangan
selanjutnya Urea ini juga digunakan untuk memupuk bibit padi lokal pada fase lacak dengan tujuan agar diperoleh bibit yang besar dengan anakan yang banyak. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman petani setempat, pupuk Urea sangat cocok untuk mempercepat pertumbuhan bibit dan perkembangan padi pada awal pertanaman. Mereka juga mengetahuan bahwa varietas padi lokal tidak boleh dipupuk dengan Urea dalam jumlah yang banyak karena tanaman akan mudah roboh dan dapat berpengaruh buruk berupa peningkatan kemasaman tanah. Rekomendasi penggunaan pupuk anorganik dari penyuluh pertanian untuk wilayah ini per hektarnya adalah: Urea 150 kg, SP 100 kg, dan NPK atau Ponska 50 kg.
167 Mengenai penggunaan kapur pertanian untuk mengatasi kemasaman tanah telah lama dikenal dan direkomendasikan melalui kegiatan penyuluhan pertanian.
Tetapi penggunaan garam untuk tujuan mengurangi kemasaman
tanah menurut Kepala Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Tamban belum dibuktikan secara ilmiah. Pada awalnya sekitar tahun 1980 petani setempat menggunakan kapur bakar untuk mengatasi kemasaman tanah, dan pada tahun 1990 mulai menggunakan kapur pertanian (dolomit).
Rata-rata penggunaan
kapur pertanian oleh petani di wilayah ini sekitar 1-2 ton/ha tergantung tingkat kemasaman lahannya. Walaupun petani mengetahui dengan pasti bahwa kapur pertanian
dapat
mengurangi
tingkat
kemasaman
tanah,
tetapi
karena
keterbatasan modal usahatani hanya penggunaannya masih di bawah rekomendasi (rekomendasi 3-5 ton/ha). Penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian padi sudah dikenal sejak tahun 1995 dan meluas penggunaannya sejak tahun 2000. Khusus untuk herbisida atau bahan kimia pengendali rumput dan gulma penggunaanya juga meluas sejak tahun 2000.
Herbisida ini digunakan untuk mempermudah
kegiatan pengolahan tanah dan mempercepat proses pembusukan gulma dari hasil pengolahan tanah tersebut. Seiring dengan pesatnya penggunaan pestisida di wilayah lahan rawa pasang surut dan kekhawatiran akan dampak negatifnya. Dinas pertanian setempat melaksanakan kegiatan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPTT) sebagai implementasi dari pertanian yang berwawasan lingkungan. Kegiatan ini telah dilaksanakan di wilayah ini sejak dua tahun terakhir melalui kegiatan kelompok tani. Teknologi pertanian modern lainnya yang saat ini
sedang dilakukan
ujicobanya di wilayah ini adalah penggunaan trichoderma sebagai upaya untuk mengintensifkan penggunaan pupuk organik yang ada di lahan pertanian dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Uji coba penggunaan trichoderma ini dilakukan pada lahan petani dan melibatkan petani setempat dalam kegiatannya. Penggunaan trichoderma dalam kegiatan usahatani padi ini salah satunya dilatarbelakangi dengan seringnya terjadi kelangkaan pupuk anorganik yang berimbas terhadap menurunnya produksi padi. Teknologi baru ini belum menyebar luas di kalangan petani karena masih dalam tahap uji coba lapangan. Peralatan pertanian yang diintroduksi melalui kegiatan penyuluhan pertanian di wilayah ini antara lain penggunaan sabit bergerigi dan mesin perontok. Penggunaan kedua peralatan pertanian ini mulai banyak digunakan
168 petani sejak tahun 2005.
Walaupun demikian, masih ada petani yang
menggunakan ani-ani (ranggaman) dan merontok padi dengan cara diinjak-injak (diirik). Umumnya petani yang memiliki tenaga kerja keluarga yang cukup dan lahan yang diusahakan tidak terlalu luas biasanya lebih senang menggunakan cara lama tersebut.
Salah satu pertimbangannya adalah menyangkut biaya
yang harus dikeluarkan jika menggunakan mesin perontok. 7.1.4 Lahan rawa pasang surut tipe D Pertanian di lahan rawa pasang surut tipe D dapat dikatakan sebagai jenis lahan tadah hujan.
Hal ini karena air pasang besarpun tidak mampu
masuk ke areal persawahan, hanya berpengaruh secara tidak langsung terhadap permukaan air tanah yang kedalamannya lebih dari 50 cm. Introduksi pertanian modern melalui kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan di wilayah ini terkait dengan paket teknologi benih unggul termasuk penggunaan bahan-bahan kimia seperti pupuk buatan dan pestisida serta penggunaan peralatan pertanian modern. Upaya memperkenalkan penggunaan benih unggul di wilayah ini sejak tahun 1985 kurang mendapat respon dari masyarakat, karena menurut petani setempat karakteristik budidaya dan beras atau nasi dari varietas unggul tersebut kurang cocok dengan kondisi lingkungan dan sosial budaya masyarakat. Padi unggul memerlukan pemeliharaan yang intensif, modal yang relatif besar, serta rasa nasi yang kurang sesuai dengan selera masyarakat setempat. Selain itu tanaman padi unggul rentan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga diperlukan biaya tambahan untuk pengendalian hama dan penyakit tersebut.
Kondisi inilah yang menyebabkan introduksi pertanian
modern di lahan rawa pasang surut tipe D ini juga kurang berkembang. Penggunaan pupuk buatan untuk tanaman padi lokalpun baru direspon secara meluas pada tahun 1995 dan dengan dosis yang masih jauh dari anjuran penyuluh. Sebagian besar petani hanya menggunakan Urea untuk memupuk pembibitan (lacak) dan awal pertanaman saja.
Hal ini terkait dengan
ketersediaan modal usahatani dan sifat padi lokal yang memang kurang responsif terhadap pemupukan.
Begitu juga halnya dengan penggunaan
pestisida, hanya sebagian kecil petani yang menggunakannya. Tetapi berbeda halnya dengan herbisida, banyak petani yang mengaplikasikannya untuk mempermudah
kegiatan
pengolahan
tanah
dan
mempercepat
proses
169 pembusukan
sisa-sisa
gulma
dari
hasil
pengolahan
tanah
tersebut.
Penggunaan herbisida ini mulai meluas digunakan sejak tahun 2000. Peralatan pertanian seperti sabit bergerigi dan mesin perontok baru mulai digunakan oleh beberapa petani sejak tiga tahun terakhir. Sebagian besar petani di wilayah pasang surut tipe D ini masih menggunakan ani-ani (ranggaman) untuk kegiatan panen dan merontoknya dengan cara diinjak-injak (diirik).
Berbeda dengan pertanian di tipe lahan rawa pasang surut lainnya,
petani di tipe D ini lebih mengutamakan pengaturan tata air dengan penggunaan bendungan sederhana (disebut juga tabat) untuk meningkatkan produksi padi. Oleh karena itulah, dalam upaya meningkatkan produksi padi di lahan rawa pasang
surut
tipe
D,
pemerintah
telah
membangun
beberapa
tabat.
Pembangunan tabat ini dilakuan sejak tahun 2000 dengan tujuan agar air hujan yang ada dapat ditahan selama mungkin untuk menjaga pertumbuhan tanaman padi. Upaya menjaga kondisi air ini penting untuk mengurangi risiko kekeringan yang dapat mengakibatkan terangkatnya lapisan pirit yang bersifat racun bagi tanaman. Teknologi pertanian modern lainnya sebagai bagian dalam pembinaan petani yang diintroduksi ke wilayah sejak tahun 2005 berupa praktik pertanian yang berwawasan lingkungan melalui kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Program ini merupakan bagian dari program nasional yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan pestisida dengan menggunakan pengendalian mekanis dan biologis terutama penggunan musuh alami. Dalam kenyataannya, di wilayah ini penggunaan pestisida masih jarang digunakan, kecuali penggunan herbisida untuk mempermudah kegiatan pengolahan tanah di persawahan. Gambaran perbandingan teknologi modern di bidang pertanian yang dintroduksi pada masing-masing tipe lahan rawa pasang surut ini dapat diringkaskan seperti Tabel 14.
170 Tabel 14
Perbandingan perkembangan teknologi modern di lahan rawa pasang surut
Komponen teknologi pertanian modern
Desa Tabunganen Muara Lahan rawa pasang surut tipe A
Desa Sungai Tunjang Lahan rawa pasang surut tipe B
Desa Tinggiran Darat Lahan rawa pasang surut tipe C
Desa Simpang Nungki Lahan rawa pasang surut tipe D
Benih unggul
Tidak ada petani yang menanam
Pola tanam unggul – lokal sejak 1995
Diperkenalkan sejak 1980 dan kini dikaitkan dengan program SLPTT
Pernah ditanam tahun 1985, tetapi sekarang tidak lagi
Pupuk kimia
Urea mulai digunakan sejak 1990 terutama pada pembibitan
Mulai digunakan sejak 1980
Dikenal sejak 1980 dan meluas tahun 1985
Mulai digunakan sejak 1995
Pestisida
Mulai digunakan sejak 2004
Mulai digunakan sejak 1995
Mulai dikenal 1995 dan meluas tahun 2000
Digunakan sejak 2000, terutama herbisida
Peralatan pertanian
Sabit bergerigi dan mesin perontok sejak 2005
Traktor tangan pernah dicoba tahun 2001, sabit bergerigi dan mesin perontok sejak 2005
Sabit bergerigi dan mesin perontok sejak 2005
Sabit bergerigi dan mesin perontok sejak 2006
Program pembinaan petani
BPP dibangun SLPHT sejak SLPTT sejak 1983 2003, SLPTT, 2008 2008.
SLPHT tahun 2003
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
7.2 Bentuk-Bentuk Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal di Lahan Rawa Pasang Surut Sebelum era pembangunan pertanian dikembangkan pemerintah di lahan rawa pasang surut, masyarakat setempat telah mengembangkan sistem pertanian padi sawah satu kali setahun dengan menggunakan varietas lokal. Upaya pengelolaan lahan rawa pasang surut untuk kepentingan pertanian didasarkan atas pengetahuan lokal yang bersifat spesifik dan adaptif dengan sistem kehidupan masyarakat setempat. Semenjak era orde baru, pemerintah
171 melalui program pembangunan pertanian telah mengintroduksi sistem pertanian modern dan teknologi baru berbasis sains dalam kehidupan masyarakat petani di lahan rawa pasang surut.
Introduksi ini ini membawa dinamika perubahan
yang bukan hanya terkait pada aspek teknis pertanian semata, tetapi mencakup perubahan pada sistem kehidupan masyarakat setempat. Dinamika perubahan ini dapat terjadi pada aras suprastuktur yang mencakup perubahan nilai-nilai dan norma
dalam
kehidupan
masyarakat,
aras
struktur
yang
mencakup
kelembagaan masyarakat serta aras infrastruktur dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan baru yang masuk dalam kehidupan petani ini berinteraksi dengan pengetahuan lokal yang selama ini telah dimiliki petani setempat. Proses kontestasi kedua entitas pengetahuan ini dapat menghasilkan bentuk koeksistensi, dominasi, dan hibridisasi.
Bentuk-bentuk kontestasi yang terjadi
dipengaruhi oleh kondisi ekosistem dan sistem sosial masyarakat, termasuk berbagai
bentuk
intervensi
pemerintah
melalui
program
pembangunan
pertanian. Dalam konteks ini, aspek kepentingan dan proses komunikasi yang merupakan bagian penting yang akan membawa kemana arah kontestasi tersebut akan terbentuk.
7.2.1 Bentuk Koeksistensi Koeksistensi terjadi jika kedua entitas pengetahuan tersebut masingmasing mempertahankan keberadaannya. Walaupun keberadaan kedua entitas ini diakui dalam kehidupan masyarakat, proses lebih lanjut akan menghasilkan marginalisasi terhadap salah satunya.
Hal ini karena adanya suatu entitas
pengetahuan yang lebih berkembang dan diakui oleh masyarakat setempat. Proses koeksistensi antara sains pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut terkait erat dengan introduksi sistem pertanian padi modern berbasis padi unggul dengan sistem pertanian padi tradisional yang mengusahakan varietas lokal. Walaupun di lahan rawa pasang surut tipe A tidak ada petani yang menanam varietas unggul, tetapi beberapa paket teknologi yang menyertai sistem pertanian modern ini ada yang diadopsi oleh petani setempat. Penggunaan peralatan panen dan pasca panen dalam pertanian modern seperti sabit bergerigi telah digunakan petani di wilayah ini.
Teknologi ini
dikembangkan untuk mempercepat proses pemanenan dan mengurangi kehilangan hasil.
Walaupun demikian, sebagian petani lainnya masih
172 menggunakan cara lama dengan ani-ani atau ranggaman dan merontoknya dengan cara dinjak-injak atau diirik. petani setempat
Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki
bahwa padi varietas lokal mudah rontok sehingga ani-ani
merupakan alat tepat untuk memanen padi. Bagi petani yang menggunakan sabit bergerigi dan mesin perontok pertimbangannya karena keterbatasan tenaga pemanen dan perlunya segera padi yang masak untuk dipanen. Petani yang memiliki lahan relatif luas dan tenaga kerja upahan sulit diperoleh biasanya akan menggunakan sabit bergerigi dan mesin perontok. Pada sisi lain, pertimbangan untuk memilih cara pemanenan ini juga tergantung dari keputusan petani pemilik sawah, sehingga pekerja panen harus mengikuti keinginan pemilik sawah tersebut. Oleh karena itu, hingga sekarang kedua cara memanen dan merontok padi tersebut masih dilakukan di wilayah lahan rawa pasang surut. Pada wilayah-wilayah yang sulit untuk mencari tenaga pemanen, perubahan ini akan cepat berlangsung karena tananam padi yang terlambat dipanen mudah rontok atau rusak. Gambaran di atas menunjukkan bahwa sistem upah yang berkembang di masyarakat turut berpengaruh terhadap eksistensi pengetahuan lokal masyarakat, terutama kaitannya dengan pengetahuan tentang peralatan panen dan pasca panen. Khusus untuk agroeksistem lahan rawa pasang surut tipe B, C dan D, sistem pertanian padi unggul sudah mulai berkembang dan ditanam pada musim tanam kedua (Oktober-Pebruari). Luas pertanaman padi unggul yang ditanam pada musim kedua tahun 2008/2009 mencapai 1.342 hektar (1,26%) dari 106.629 hektar areal sawah pasang surut di Kabupaten Barito Kuala. Pada musim tanam pertama (Nopember-Agustus) para petani di lahan rawa pasang surut sebagai besar tetap mengusahakan tanaman padi lokal. Pada periode Oktober-April merupakan periode bera di mana lahan sawah diistirahatkan dan hanya sebagian kecil (sekitar 20% bagian dari lahan) digunakan untuk proses pembibitan padi lokal (lacak).
Pada periode bera inilah pemerintah melalui
kegiatan penyuluhan mengintroduksi sistem pertanian padi unggul.
Sebagian
besar petani tetap dengan pola lama yakni memberakan lahannya untuk menjaga kesuburan tanah, sedangkan sebagian lagi mengusahakannya dengan padi unggul. Koeksistensi pengetahuan lokal dengan sains ini juga terdapat dalam kelembagaan atau organisasi sosial petani. Proses ini terjadi karena masuknya pengetahuan baru (sains) yang menjadi dasar dalam sistem pertanian modern
173 tersebut juga berpengaruh terhadap kelembagaan dan organisasi sosial petani setempat.
Sistem pertanian modern
lebih menekankan pada aspek
produktivitas dan efisiensi dalam kegiatan pertanian.
Praktik-praktik yang
dianggap memboroskan biaya seperti penggunaan tenaga kerja yang berlebihan harus dihindari. Begitu juga praktik yang menghambat upaya peningkatan produktivitas seperti ketidakjelasan kepemilikan lahan dan pola pembiayaan usahatani harus diubah dengan pola-pola yang baru.
Sebaliknya, sistem
pertanian padi lokal yang dilakukan masyarakat setempat masih memiliki keterkaitan erat dengan sistem sosial yang ada. Sistem gadai (sanda) maupun sistem handipan masih banyak dilakukan masyarakat setempat. Pola penguasaan lahan dalam sistem pertanian modern memegang peranan penting dalam upaya peningkatan produktivitas. Hak milik, sistem sewa maupun bagi hasil telah memberikan batasan yang jelas bagi pelaku atau petani untuk mengelola lahan tersebut. Aturan yang ditetapkan tentang besarnya sewa atau bagian yang harus diserahkan dengan pemilik lahan maupun pihak yang menanggung biaya produksi ditetapkan secara jelas dan telah melembaga. Di sisi lain, sistem pertanian tradisional masih mengenal sistem gadai atau dalam masyarakat setempat dikenal dengan istilah sanda serta status pinjam sementara (biasanya karena ada hubungan keluarga).
Menurut petani
setempat, sistem sanda ini merupakan bentuk kearifan masyarakat untuk saling tolong menolong dalam kegiatan pertanian. Begitu juga halnya dengan modal usaha, selain milik sendiri juga dipinjam dari keluarga dekat. Sistem gotong royong yang lebih dikenal masyarakat setempat dengan istilah handipan umumnya masih digunakan dalam sistem pertanian padi lokal, terutama untuk kegiatan penanaman. relatif
lama
(Pebruari-April)
Periode atau masa pertanaman yang
memungkinkan
petani
menerapkan
praktik
penamanan secara gotong royong dan bergiliran. Berbeda halnya dengan padi unggul, bibitnya harus segera ditanam dan periode tanamnya relatif singkat (satu bulan). Sistem upah menjadi pilihan jika tenaga kerja dalam keluarga yang tersedia tidak mencukupi untuk mengejakan kegiatan tanam tersebut. Sistem upah memungkinkan petani untuk menerapkan efisiensi dan kejelasan dalam perhitungan untung ruginya kegiatan pertanian tersebut. Dalam perkembangannya sekarang ini, sistem upah juga telah digunakan dalam sistem pertanian padi lokal.
Implikasi ekonomis dari
perkembangan sistem upah ini adalah bertambahnya komponen biaya nyata
174 (explicit cost) yang harus dikeluarkan oleh petani.
Padahal dalam sistem
handipan, petani tidak mengeluarkan biaya nyata dan hanya membayarnya dengan sejumlah tenaga kerja secara bergantian dengan petani lain.
Biaya
yang dikeluarkan hanya untuk membeli makanan dan minuman pada saat kegiatan handipan tersebut dilakukan. Bagi masyarakat setempat, handipan bukan hanya sekedar gotong royong biasa tetapi kegiatan ini juga menciptakan hubungan sosial yang erat antar sesama petani dan proses transmisi atau pertukaran pengetahuan antar petani dapat terjadi. Ruang publik (public sphere) yang tercipta memungkinkan terjadinya komuinikasi setara yang bebas dari dominasi. Secara ringkas jika dihadapkan (vis a vis) antara sistem handipan dengan sistem upah ini dapat dilihat pada Tabel 15 berikut. Tabel 15.
Perbandingan antara sistem handipan dengan sistem upah dalam kegiatan pertanian padi di lahan rawa pasang surut
Komponen pembanding Sistem pengetahuan yang menjadi basis pelaksanaan
Sistem Handipan
Sistem Upah
Pengetahuan lokal masyarakat tentang baharian atau batabus hari
Efisiensi tenaga kerja dan peningkatan produktivitas
Prinsip basis utama
Kelompok/Komunitas
Individu
Sistem norma yang mengatur
Kerakatan dalam kelompok atau komunitas
Tingkat upah harian atau borongan
Elit yang berperan
Ketua kelompok atau kepala handil
Pemilik lahan
Tujuan
Kerjasama kelompok dan solidaritas
Ketepatan waktu pelaksanaan usahatani
Kepentingan / Interest Kondisi saat ini (Resultan)
Pengurangan biaya nyata
Volume kerja yang dapat diselesaikan Kedua sistem masih tetap eksis dalam sistem pertanian padi yang dilaksanakan masyarakat (terutama padi lokal) dan sistem handipan kini terutama hanya pada kegiatan penanaman saja.
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
Kontestasi yang menghasilkan bentuk koeksistensi ini memberikan gambaran bahwa kedua entitas di atas akan tetap eksis dianut oleh masyarakat di lahan rawa pasang surut. Sistem handipan sebagai bentuk pengetahuan lokal masyarakat lebih menekankan pada kebersamaan dalam sebuah komunitas
175 atau kelompok terkait erat dengan kepentingan untuk mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh petani.
Sistem handipan ini merupakan bentuk
kooperatif yang sangat tegas dalam memberikan balasan atau pertukaran tenaga kerja.
Bagi petani kecil yang yang tidak mampu membayar tenaga
upahan, kegiatan seperti ini merupakan bentuk strategi dalam menjaga kelangsungan usaha mereka. Nilai-nilai sosial yang terkandung dalam kegiatan ini juga sarat dengan penguatan ikatan sosial dan solidaritas antar petani. Sebaliknya sistem upah merupakan dikenal masyarakat ketika sistem pertanian padi lebih diarahkan pada kegiatan yang bersifat komersial.
Keuntungan,
efisiensi dan produktivitas menjadi dasar pelaksanaan sistem ini.
Petani
yangmemiliki modal (kapital) besar akan mampu membayar sejumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dan hubungan yang terbentuk mengarah pada pola majikan dan buruh. Kedua bentuk sistem ini merupakan pilihan yang dapat diambil petani sesuai dengan pertimbangan dan kebutuhan yang dirasakan sehingga lebih bersifat substitutif. Pada kondisi seperti ini kontestasi yang terjadi cenderung menghasilkan bentuk koeksistensi di mana aspek kepentingan dan sistem rasionalitas memegang peranan besar. mengingatkan
bahwa
rasionalitas
Dalam konteks inilah Habermas
instrumental
cenderung
menciptakan
kepentingan yang menguasai melalui pengetahuan teknisnya sehingga dapat membuat salah satunya menjadi termarjinalkan. Bentuk-bentuk koeksistensi antara pengetahuan lokal dengan sains dalam pertanian padi di lahan rawa pasang surut ini dapat dilihat pada Tabel 16.
176
Tabel 16 Bentuk-bentuk koeksistensi antara sains dengan pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut Parameter Teknik budidaya
Lahan rawa pasang surut Tipe A • Penggunaan alat panen ani-ani dan sabit bergerigi • Perontokan padi dengan cara diinjak dan penggunaan mesin perontok
Tipe B
Tipe C
• Budidaya padi lokal dan budidaya padi unggul
• Penggunaan alat panen ani-ani dan sabit bergerigi
• Penggunaan alat olah tanah (tajak) dan pengolahan dgn traktor tangan
• Perontokan padi dengan cara diinjak dan penggunaan mesin perontok
• Penggunaan alat panen ani-ani dan sabit bergerigi.
Tipe D • Penggunaan alat panen ani-ani dan sabit bergerigi • Perontokan padi dengan cara diinjak dan penggunaan mesin perontok
• Perontokan padi dengan cara diinjak dan penggunaan mesin perontok Organisasi dan kelembagaan sosial
• Sistem gotong royong (handipan) dan sistem upah
• Sistem gotong royong (handipan) dan sistem upah
• Sistem gotong royong (handipan) dan sistem upah
• Sistem gotong royong (handipan) dan sistem upah
• Pola penguasaan lahan dgn cara gadai (sanda), sakap dan pola penguasaan dgn sistem sewa
• Pola penguasaan lahan dgn cara gadai (sanda), sakap dan pola penguasaan dgn sistem sewa
• Pola penguasaan lahan dgn cara gadai (sanda), sakap dan pola penguasaan dgn sistem sewa
• Pola penguasaan lahan dgn cara gadai (sanda), sakap dan pola penguasaan dgn sistem sewa
• Pola pembiayaan UT dgn sistem pinjaman dari keluarga dan pola kredit UT
• Pola pembiayaan UT dgn sistem pinjaman dari keluarga dan pola kredit UT
• Pola pembiayaan UT dgn sistem pinjaman dari keluarga dan pola kredit UT
• Pola pembiayaan UT dgn sistem pinjaman dari keluarga dan pola kredit UT
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
177 Bentuk koeksistensi pada aspek teknik budidaya di lahan rawa pasang surut tipe B memperlihatkan bentuk yang lebih beragam dibandingkan di tipe A, C, dan D.
Hal ini disebabkan sains dan pertanian modern lebih banyak
diintroduksi pada lahan rawa pasang surut tipe B. Secara agroekosistem, lahan rawa pasang surut tipe B merupakan wilayah yang ideal untuk pengembangan sistem pertanian padi unggul dengan pola tanam unggul-lokal. Pengaturan air baik untuk irigasi maupun drainase secara teknis mudah dilakukan. Ujicoba dan demostrasi plot untuk pengembangan padi unggul banyak dilakukan di wilayah pasang surut tipe B.
Petani memiliki alternatif untuk memilih penggunaan
teknologi pertanian yang diinginkan dengan faktor pembatas teknis yang relatif kecil. Eksistensi pengetahuan lokal yang menjadi basis dalam sistem pertanian padi lokal dan sains yang dikembangkan dalam sistem pertanian padi unggul di lahan rawa pasang surut tipe B lebih disebabkan karena faktor preferensi petani dan masuknya program pertanian yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian setempat. Bagi petani yang memilih untuk menanam padi lokal, pertimbangan teknis, ekonomis dan sosial merupakan dasar mengapa mereka menanam padi varietas lokal tersebut.
Sebaliknya petani yang menanam padi unggul lebih
disebabkan karena mereka mengikuti program pemerintah yang sedang berjalan saat itu, seperti program SL-PTT yang menyaratkan petaninya (kelompok tani) mengusahakan varietas unggul (berupa varietas Ciherang).
Mereka yang
mengikuti program ini mendapat bantuan benih gratis, pembinaan dan praktik lapangan yang dibiayai melalui dana program tersebut. Berbeda halnya dengan eksistensi penggunaan peralatan tradisional seperti alat panen (antara ani-ani dan sabit bergerigi) dan perontok (dengan cara diinjak dan dengan mesin), pilihan petani lebih disebabkan karena aspek teknis dan sosial ekonomi. Petani yang memiliki areal pertanian yang luas (lebih dari 2 hektar) cenderung menggunakan peralatan sabit bergerigi dan mesin perontok. Sebaliknya yang berlahan sempit (kurang dari 1 hektar) lebih memilih cara panen dengan ani-ani dan meontoknya dengan cara diinjak.
Pada kondisi,
dimana tenaga upahan sulit diperoleh dan waktu panen yang bersamaan, petani terpaksa memilih penggunaan sabit bergerigi dengan perontokan menggunakan mesin. Pilihan ini tentu juga dipengaruhi oleh ketersediaan mesin perontok yang ada di desa tersebut.
178 Pada aspek organisasi dan kelembagan sosial eksistensi sistem gotong royong dan sistem upah sangat terkait dengan perkembangan teknologi yang digunakan serta kondisi perekonomian petani yang bersangkutan. Begitu juga halnya dengan pola penguasaan lahan dan pembiayaan usahatani tidak memperlihatkan pola yang berbeda pada masing-masing tipe lahan. Bagi petani yang memiliki lahan luas dan modal yang besar mereka lebih memilih sistem upah untuk mengerjakan lahannya. Sebaliknya petani dari golongan menengah ke bawah, pilihan untuk melakukan gotong royong (handipan) adalah salah satu cara untuk mengurangi pengeluaran dalam kegiatan usahatani (menekan biaya eksplisit). Kedua entitas pengetahuan ini memiliki ruang untuk berkembang karena satu sama lain bersifat substitusi.
Masuknya sains dalam sistem pertanian
petani setempat memberikan pilihan atau alternatif bagi petani tempat untuk menentukan pilihan yang sesuai.
Pilihan petani ini umumnya tidak bersifat
individualistis, tetapi menyangkut pertimbangan dan sikap anggota komunitas lainnya.
Proses komunikasi terjalin melalui perbincangan-perbincangan
informal yang bersifat konvergen dan tanpa tekanan baik di warung-warung, teras mushala maupun pertemuan yasinan yang merupakan ruang publik bagi mereka (Habermas 2007).
Secara proporsional, kegiatan pertanian di lahan
rawa pasang surut masih banyak didasarkan pada pengetahuan lokal. Hal ini terkait dengan varietas yang digunakan dalam sistem pertanian yang berimplikasi pada teknik pertanian tradisional yang digunakan. Koeksistensi pengetahuan lokal dan sains ini dapat berlangsung karena adanya praktik pertanaman padi dengan pola sawit dupa (tipe B,C dan D) yang memungkinkan petani masih dapat menanam padi lokal maupun unggul pada dua musim tanam yang berbeda. 7.2.2 Bentuk Dominasi Dominasi suatu bentuk pengetahuan atas pengetahuan lainnya dapat terjadi karena pengetahuan tersebut memiliki keunggulan dan kelebihan dibandingkan dengan yang lain.
Subyektivitas dan kepentingan merupakan
faktor yang berperan sehingga suatu bentuk pengetahuan dianut dan menjadi dominan. Petani di lahan rawa pasang surut telah lama mengusahakan padi lokal dan pengetahuan tersebut berkembang hingga masuknya pengetahuan baru tentang budidaya padi unggul. Pengetahuan baru ini diberikan kepada
179 para petani dalam rangka program peningkatan produksi padi melalui kegiatan penyuluhan pertanian. Intervensi
pemerintah
dalam
mengintroduksi
benih
unggul
menimbulkan konflik kepentingan antara petani dengan pemerintah.
ini
Pada
tataran suprastruktur padi bagi masyarakat setempat bukan hanya sebagai komoditas komersial, tetapi juga merupakan komoditas sosial budaya. Oleh karena
itu,
petani
digambarkan
sebagai
orang
yang
menanam
atau
mengusahakan tanaman padi sehingga pantang bagi petani membeli beras untuk makan sehari-hari. Di sisi lain, pemerintah menganggap padi sebagai komoditas strategis dan komersial sehingga perlu dikembangkan dengan pendekatan
dan
pola
agribisnis.
Dalam
kerangka
inilah
pemerintah
berkepentingan untuk mengembangkan padi unggul untuk meningkatkan produksi padi. Sistem pertanian padi tradisional yang dikembangkan masyarakat sebelumnya terkait erat hubungannya dengan kondisi dan gejala-gejala alam. Penentuan musim dan awal tanam dilakukan dengan pengamatan dan hubungannya dengan benda-benda langit (seperti posisi bintang karantika dan bintang baur bilah). Melalui pengamatan dan prediksi seperti inilah kegiatankegiatan dalam sistem pertanian padi dilakukan sehingga risiko kegagalan panen akibat kekeringan atau kebanjiran dapat dikurangi. Bahkan bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe A penentuan tentang awal kemarau merupakan hal yang krusial. Prediksi yang keliru tentang awal kemarau dapat mengakibatkan kerusakan tanaman dan kegagalan panen akibat masuknya air laut ke lahan sawah, sementara padi masih pada fase pengisian buah. Masuknya air laut ke sawah tidak merusak tanaman padi jika tanaman padi sudah berada pada fase pematangan. Kini dengan masuknya sains dan pertanian modern, praktik-praktik penentuan awal tanam dengan melihat kedudukan atau posisi benda langit sudah mulai ditinggalkan. Sistem peramalan cuaca dan penetapan waktu tanam digunakan untuk penyusunan rencana seperti Rencana Definitif Kelompok (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Melalui pembinaan penyuluh pertanian kegiatan penanaman dilakukan secara serentak dengan menyesuaikannya dengan program-program pemerintah lainnya seperti KUT, SLPHT maupun SLPTT.
Petani harus menyesuaikan kegiatan tanam di
lahannya masing-masing dengan rencana dan kegiatan-kegiatan yang telah
180 ditentukan tersebut.
Dalam konteks keseragaman dan keserentakan waktu
tanam penetapan seperti ini memang harus dilakukan dalam suatu kelompok tani. Salah satu manfaatnya adalah dapat mengurangi risiko kegagalan panen akibat serangan hama penyakit karena hamparan yang relatif luas. Di sisi lain, perbedaan agroekosistem di lahan rawa pasang surut yang relatif bervariasi tingkat luapan airnya menjadi kendala tersendiri untuk menerapkan praktik seperti ini. Secara ringkas jika dihadapkan (vis a vis) antara sistem penentuan tanam menggunakan perhitungan bintang atau benda langit dengan penentuan tanam berdasarkan penetapan RDK dan RDKK ini dapat dilihat pada Tabel 17 berikut. Tabel 17.
Perbandingan antara penentuan tanam dengan sistem perbintangan dan penyusunan RDK dan RDKK
Komponen pembanding
Sistem perbintangan
Basis sistem pengetahuan
Pengetahuan tentang kedudukan bintang atau benda langit lainnya
Prinsip basis utama
Komunitas
Sistem norma yang mengatur
Hubungan antara posisi bintang /benda langit dengan kondisi iklim Tokoh masyarakat
Elit yang berperan Tujuan Kepentingan Kondisi saat ini (resultan)
Penetapan RDK dan RDKK Kegiatan yang disesuaikan dengan program dan kebutuhan kelompok Kelompok tani Prakiraan cuaca, rekomendasi instansi
Ketua kelompok tani, Penyuluh pertanian Penentuan awal dan Perencanan kegiatan dan akhir tanam program sesuai kebutuhan petani Keberhasilan usahatani Keberhasilan usahatani dan pelaksanaan program Penentuan dengan sistem perbintangan sudah mulai ditinggalkan, kecuali oleh sebagian kecil petani tua di LRPS tipe A. Penentuan rencana tanam dan kegiatan lainnya didominasi oleh penetapan melalui RDK dan RDKK yang merupakan bagian dari kegiatan kelompok tani.
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
Pada aras infrastruktur, sains yang dikembangkan dalam paket teknologi pertanian modern lebih mendominasi dalam sistem pertanian padi lokal yang dikembangkan masyarakat setempat. Walaupun petani di lahan rawa pasang surut tidak banyak yang menanam padi unggul, tetapi mereka ternyata justeru menerima dan menerapkan beberapa bagian dari paket teknologi tersebut.
181 Penggunaan pupuk kimia, kapur pertanian dan pestisida sekarang telah meluas penggunaannya. Sebelumnya petani hanya mengandalkan pada pupuk organik yang diperoleh dari sisa jerami dan gulma yang dibusukkan pada saat pengolahan tanah. Pengetahuan petani tentang pentingnya pupuk organik telah digeser oleh pengetahuan tentang pupuk buatan seperti Urea, SP dan pupuk NPK.
Pengalaman mereka dalam mengaplikasikan pupuk anorganik pada
pertanian padi lokal ternyata memberikan bukti bahwa hasil padi yang diperoleh dapat meningkat. Bahkan menurut pendapat petani dalam kegiatan FGD di Desa Tinggiran Darat (tipe C), sejak tahun 1985 telah tercipta ketergantungan petani akan pupuk Urea.
Ketika terjadi kelangkaan atau keterlambatan
penyaluran pupuk Urea, petani menjadi resah dan menganggap usahatani akan gagal tanpa pupuk Urea.
Padahal varietas padi lokal tidak terlalu responsif
terhadap pemupukan dan hanya sedikit memerlukan pupuk buatan. Penggunaan pestisida juga semakin mendominasi dalam pertanian padi lokal yang dilakukan petani. Mereka mulai meninggalkan cara-cara lama dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman seperti penggunaan perangkap tikus, gerpyokan tikus, asap untuk mengusir walang sangit dan cara-cara magis. Bahkan kini banyak petani yang menggunakan herbisida untuk mengendalikan gulma terutama untuk mempermudah saat pengolahan tanah. Zni (65 th) tokoh petani di Desa Simpang Nungki, mengemukakan: “Wayah ini patani katuju mamakai ubat rumput supaya nyaman pabila manajaknya. Ubat-ubat ini nyaman haja mancarinya lawan haraganya kada talalu larang. Pahumaan nang sudah disamprut ini bila pas musim manajak jadi nyaman gawiannya, jadi banyak patani nang manggawi kaya itu.” [Saat ini petani lebih suka menggunakan herbisida agar mudah saat mengolah tanah. Herbisida ini mudah untuk memperolehnya serta harganya relatif tidak mahal. Sawah yang disemprot dengan herbisida ini akan mempermudah pekerjaan saat mengolah tanah, sehingga banyak petani yang melakukan cara seperti itu]
Pengembangan peralatan pertanian modern di lahan rawa pasang surut untuk mendukung sistem pertanian modern juga diintroduksi melalui programprogram bantuan teknik. Petani diperkenalkan dengan peralatan baru seperti traktor tangan (hand tractor), sabit bergerigi, dan mesin perontok gabah (power thresher). Khusus untuk traktor tangan, penggunaannya di lahan rawa pasang surut masih belum banyak diminati. Kendala teknis sifat fisik lahan rawa pasang surut yang umumnya merupakan lahan sulfat masam sehingga pengolahan
182 tanah dengan traktor tangan dapat menyebabkan lapisan pirit teroksidasi serta terangkat ke permukaan tanah dan meracuni tanaman padi.
Secara sosial
ekonomi, penggunaan traktor tangan ini berarti pengeluaran tambahan bagi petani untuk biaya pengolahan tanah. Padahal selama ini pengolahan tanah banyak dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dan petani tidak perlu mengeluarkan biaya.
Kegiatan pengolahan tanah di lahan rawa
pasang surut tipe B, C, dan D masih banyak menggunakan peralatan tajak. Khusus untuk di tipe A, selain peralatan tajak petani menggunakan parang untuk membersihkan gulma pada saat pengolahan tanah. Pada aras struktur, proses dominasi sains terhadap pengetahuan lokal dalam
pertanian
di
lahan
rawa
kelembagaan/organisasi sosial petani.
pasang
surut
juga
terjadi
pada
Dalam sistem kehidupan sosial
masyarakat petani di lahan rawa pasang surut, kelompok handil merupakan bentuk lembaga sosial petani yang terpenting dalam menjaga kelangsungan kegiatan pertanian di wilayah tersebut. Kepala handil sebagai pemimpin dalam kelompok ini bertugas untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan penanaman padi dalam wilayah handil tersebut.
Ia juga memiliki kewenangan untuk
mendistribusikan atau membagi lahan kepada petani yang ingin berusahatani di wilayah tersebut secara adil. Seiring dengan program revolusi hijau dan peningkatan produksi padi secara nasional, pemerintah membentuk organisasi petani yang disebut dengan kelompok tani. Kelompok tani merupakan kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota 16.
Pemerintah melalui Dinas Pertanian
melakukan pembinaan dan penyuluhan kepada petani berdasarkan basis kelompok tani. Ini berarti bahwa penyuluhan pertanian dan berbagai kegiatan pembinaan petani lainnya difokuskan pada kegiatan kelompok tani. Kelompok tani yang berkembang hingga sekarang ternyata lebih mengarah
pada
kepentingan
kepentingan petani.
pemerintah
dalam
pembinaan
dibanding
Keanggotaan dalam kelompok tani hakikatnya bersifat
sukarela dan tidak ada paksaan. Kenyataan yang ada, ternyata secara tidak langsung petani ‘dipaksa’ untuk masuk sebagai anggota kelompok tani. 16
Pengertian kelompok tani menurut Peraturan Menteri Pertanian No.273/Kpts/Ot.160/4/ 2007 tentang Pedoman Pembinan Kelembagan Petani
183 Seorang petani yang tidak terdaftar sebagai anggota kelompok tani tidak akan memperoleh kesempatan untuk menerima berbagai bantuan dan subsidi dari pemerintah.
Kredit usahatani hanya dapat diperoleh jika yang bersangkutan
sudah terdaftar sebagai anggota kelompok tani, bahkan kini dengan sistem penyaluran pupuk secara tertutup seorang petani hanya bisa membeli pupuk bersubsidi jika telah menjadi anggota kelompok tani dan masuk dalam daftar RDK dan RDKK 17. Dalam perkembangan saat ini, kelembagaan handil menjadi semakin terdesak oleh eksistensi kelompok tani yang mendapat sokongan dan dukungan dari pemerintah dibandingkan dengan kelembagaan lokal seperti handil. Secara ringkas jika dihadapkan (vis a vis) antara lembaga handil dengan kelompok tani ini dapat dilihat pada Tabel 18 berikut. Tabel 18.
Perbandingan antara Lembaga handil dengan kelompok tani
Komponen pembanding
Lembaga Handil
Kelompok Tani
Basis sistem pengetahuan
Pengetahuan tentang pengelolaan lahan pertanian melalui sistem pengairan handil
Kesatuan sistem pertanian berdasarkan kesamaan (komoditas, hamparan, domisili, dll)
Prinsip basis utama
Kelompok/komunitas
Kelompok
Sistem norma yang mengatur
Aturan handil yang disepakati bersama
Berdasarkan aturan resmi (permentan 273/2007)
Elit yang berperan
Kepala handil
Ketua kelompok tani, Penyuluh pertanian
Tujuan
Pengembangan usahatani dan identitas kelompok
Peningkatan dan pengembangan usaha
Kepentingan
Pemeliharaan tata air dan peningkatan kesuburan lahan
Pembinaan petani dan penyaluran kredit, introduksi paket teknologi/ program pemerintah
Kondisi saat ini (resultan)
Eksistensi lembaga handil telah digantikan dengan kelompok tani yang menjadi salah satu lembaga sosial petani yang mendapat pembinaan pemerintah
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
17
RDK = Rencana Definitif Kelompok; RDKK = Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok
184 Campur tangan yang besar dari pemerintah dalam pembinaan kelembagaan kelompok tani didorong oleh kepentingan peningkatan produksi yang setiap tahun harus diupayakan demi pemenuhan kebutuhan akan pangan dan prestise daerah 18. Hegemoni yang kuat dari pemerintah terhadap kelembagan sosial petani ini pada satu sisi telah melemahkan kemandirian petani. Akibatnya semakin lama petani memiliki tingkat ketergantungan yang semakin tinggi, baik kepada pemerintah maupun pada input luar seperti pupuk dan bahan-bahan kimia pestisida. Proses komunikasi yang terjalin menjadi tidak setara sehingga petani seakan berada dalam posisi yang tidak berdaya sehingga perlu dilakukan upaya-upaya pemberdayaan melalui kegiatan penyuluhan pertanian
dengan basis kelompok tani.
Kelompok tani menjadi
perpanjangan tangan pemerintah baik dalam penerapan teknologi baru maupun sosialisasi berbagai kebijakan di bidang pertanian. Kelembagaan sosial lainnya yang kini telah hilang eksistensinya adalah lumbung pangan seiring dengan pengembangan padi sebagai komoditas komersial. Sistem jual beli menjadi pilihan yang harus dilakukan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat serta semakin banyaknya input atau sarana produksi yang harus dibeli dan perkembangan sistem upah. Keberhasilan usahatani kini diperhitungkan berdasarkan untung rugi dari usaha yang dilakukan. Walaupun sistem lumbung yang dikenal pada masyarakat di lahan rawa pasang surut lebih bersifat individual atau kelompoki kecil, tetapi keberadaannya dahulu dapat menjadi bagian strategi dalam mengatasi kerawanan pangan.
Melalui sistem lumbung ini para petani dapat terjamin
kebutuhan pangannya maupun modal usaha untuk musim tanam berikutnya. Mereka juga dapat membantu tetangga atau kerabatnya yang kekurangan pangan atau modal dengan pinjaman gabah tanpa bunga (dibayar juga dalam bentuk gabah saat panen berikutnya. Kini petani lebih menyukai sistem jual beli dan modal usaha disimpan berupa tabungan uang di bank. Bagi petani yang tidak memiliki modal uang cukup dapat meminjamnya dengan pedagang pengumpul padi yang ada di desa atau desa sekitar baik dalam
bentuk uang maupun sarana produksi seperti
pupuk. Pinjaman ini tentu dengan bunga yang cukup tinggi serta harus dibayar 18
Daerah yang mampu meningkatkan produksi padinya di atas lima persen setahun akan memperoleh penghargaan dari Presiden. Tahun 2008 Kabupaten Barito Kuala memeperoleh penghargaan tersebut karena produksi padinyanya meningkat sebesar 12,88% dari tahun 2007
185 pada saat panen. Padahal harga gabah pada saat panen selalu berada pada titik terendah dan kondisi ini tentu merugikan bagi petani tersebut.
Pola
pinjaman antara petani dengan pedagang pengumpul padi ini menjadi hubungan patront-client dimana
petani sebagi client menjadi terikat dan tergantung
dengan pedagang pengumpul padi sebagai patront-nya.
Bagi pedagang
pengumpul tersebut ia memperoleh dua keuntungan, yakni memperoleh bunga dari pinjaman uang atau saprodi dan memperoleh gabah dengan harga murah dari petani tersebut. Terciptanya pola seperti ini merupakan implikasi dari perkembangan pertanian padi sebagai komoditas komersial yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari sebuah usahatani dan berkembangnya sistem kapital dalam pertanian di pedesaan. Secara ringkas jika dihadapkan (vis a vis) antara sistem lumbung dengan sistem jual beli ini dapat dilihat pada Tabel 19 berikut. Tabel 19.
Perbandingan antara sistem lumbung dengan sistem jual beli
Komponen pembanding
Sistem Lumbung
Sistem Jual beli
Basis sistem pengetahuan
Pengetahuan tentang persediaan cadangan pangan dan modal usahatani musim berikutnya
Dana segar dalam bentuk uang untuk kelangsungan hidup dan usaha
Prinsip basis utama
Kelompok dan komunitas Kebersamaan
Individu Tingkat harga dan kekuatan pasar
Elit yang berperan
Ketua kelompok
Pedagang pengumpul
Tujuan
Ketersediaan pangan
Keuntungan
Kepentingan
Keamanan pangan
Stabilitas harga
Kondisi saat ini (resultan)
Sistem lumbung sudah memudar, beberapa yang masih ada dikelola dalam kelompok kecil (ikatan keluarga dekat). Kini sistem jual beli mendominasi dalam sistem pertanian padi di wilayah pedesaan LRPS.
Sistem norma yang mengatur
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
Berbagai bentuk dominasi yang terjadi dalam sistem pertanian di lahan rawa pasang surut ini, baik pada aspek budidaya maupun organisasi dan kelembagaan sosial dapat dilihat pada Tabel 20 berikut.
186
Tabel 20. Bentuk-bentuk dominasi yang terjadi dalam sistem pertanian padi di lahan rawa pasang surut
Parameter Teknik budidaya
Lahan rawa pasang surut Tipe A
Tipe B
Tipe C
Tipe D
• Peralatan pengolahan tanah dengan menggunakan tajak terhadap pengolahan dengan traktor tangan
• Peralatan pengolahan tanah dengan menggunakan tajak terhadap pengolahan dengan traktor tangan
• Penggunaan pupuk kimia (anorganik) terhadap pupuk organik
• Penggunaan pupuk kimia (anorganik) terhadap pupuk organik
• Penggunaan pestisida terhadap cara-cara tradisional (mekanis dan ’magis’)
• Penggunaan pestisida terhadap cara-cara tradisional (mekanis dan ’magis’)
• Penggunaan kapur untuk mengatasi kemasaman terhadap garam
• Penggunaan kapur untuk mengatasi kemasaman terhadap garam
• Kelompok tani terhadap kelompok handil
• Kelompok tani terhadap kelompok handil
• Sistem penyuluhan
• Sistem penyuluhan kelompok terhadap kegiatan individu
• Sistem penyuluhan kelompok terhadap kegiatan individu
• Penggunaan pupuk kimia (anorganik) terhadap pupuk organik
• Penggunaan pupuk kimia (anorganik) terhadap pupuk organik
• Penggunaan pestisida terhadap cara-cara tradisional (mekanis dan ’magis’)
• Penggunaan pestisida terhadap cara-cara tradisional (mekanis dan ’magis’) • Penggunaan kapur untuk mengatasi kemasaman terhadap penggunaan garam
Organisasi dan kelembagaan sosial
• Peranan penyuluh pertanian lebih dominan dari kepala handil dalam transfer pengetahuan tentang pertanian • Kelompok tani terhadap kelompok handil
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
kelompok terhadap kegiatan individu • Sistem penyuluhan kelompok terhadap kegiatan individu
187 Kurang berkembangnya sistem pertanian padi unggul di lahan rawa pasang surut tipe A, C dan D memiliki pola dan penyebab yang berbeda. Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe A, petani hanya menanam padi lokal karena memang secara teknis hingga saat ini padi unggul belum bisa ditaman di wilayah ini. Kondisi genangan air yang dalam saat pasang tidak memungkinkan tanaman padi unggul dapat tumbuh dengan baik. Sebaliknya bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe C dan D, mengusahakan padi unggul memerlukan biaya produksi yang relatif besar. Di sisi lain, pemasaran gabah dari padi unggul ini sulit dan harga jualnya lebih rendah dibandingkan dengan padi lokal. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa penolakan petani di lahan rawa pasang surut tipe C dan D lebih kuat dibandingkan dengan petani di lahan rawa pasang surut tipe A. Petani di lahan rawa pasang surut tipe C dan D sudah
memiliki
pengalaman
tentang
kesulitan
dan
kegagalan
dalam
mengusahakan padi unggul. Pengalaman inilah yang membentuk sikap resisten mereka terhadap padi unggul. Walaupun demikian, mereka juga tidak menolak sepenuhnya terhadap modernisasi pertanian.
Penggunaan pupuk kimia,
pestisida dan peralatan modern tetap mereka gunakan pada usahatani padi lokal.
Bahkan penggunaan kapur pertanian mendominasi dalam upaya
mengatasi kemasaman tanah, terutama di lahan rawa pasang surut tipe B, C dan D. Dominasi yang terjadi dalam penggunaan peralatan pengolahan tanah (tajak) terhadap penggunaan traktor tangan yang terjadi di tipe C dan D lebih disebabkan karena pengetahuan lokal masyarakat tentang adanya bahan yang dapat merusak pertumbuhan tanaman (pirit). Peralatan pengolah tanah tajak terbukti dapat mencegah terbongkarnya lapisan pirit yang dapat meracuni tanaman. Sebaliknya dominasi sains dalam hal penggunaan pupuk kimia dan pestisida atas penggunaan bahan-bahan organik
karena melalui program
penyuluhan pertanian serta bantuan dan subsidi pemerintah. Pada tahap awal pengenalan bahan-bahan kimia ini petani memperoleh bantuan dan subsisdi dengan tujuan untuk meningkatkan produksi padi. Kemudahan memperoleh, kepraktisan dan cepat memperlihatkan hasil membuat pengetahuan dan teknologi penggunaan bahan kimia ini juga cepat diterima masyarakat. Bahkan kini mereka sudah sangat tergantung dengan penggunaan bahan-bahan kimia tersebut.
188 Meluasnya
penggunaan
bahan-bahan
‘bumerang’ bagi pemerintah sendiri.
kimia
ini
justeru
menjadi
Adanya bahaya dan potensi kerusakan
lingkungan akibat penggunaan bahan-bahan kimia ini membuat pemerintah melakukan program pengurangan bahan-bahan kimia ini, terutama pestisida. Pelaksanaan program SLPHT merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia pestisida ini.
Kemudahan
memperoleh, harga yang relatif murah serta kepraktisannya membuat petani sulit untuk kembali kepada cara-cara dahulu yang pernah mereka lakukan (mekanis dan botanis). Pada aspek organisasi dan kelembagaan sosial, dominasi kelompok tani atas handil merupakan gejala utama yang terjadi di lahan rawa pasang surut. Proses ini didorong oleh masuknya program pemerintah dalam rangka pembangunan
pertanian,
pembinaan
petani
dan
penyebaran
teknologi
pertanian. Dominasi kelompok tani atas kelompok handil di lahan rawa pasang surut tipe B, C dan D lebih kuat daripada di tipe A. Hal ini karena pada lahan rawa pasang surut tipe A, program-program pembangunan pertanian dan penyebaran teknologi pertanian modern relatif kurang dibandingkan dengan yang ada di tipe B, C, dan D. Program-program pemerintah seperti SLPHT, SLPTT dan lainnya lebih banyak dilakukan di tipe B, C, dan D. 7.2.3 Bentuk Hibridisasi Proses
hibridisasi
merupakan
perpaduan
antara
sains
dengan
pengetahuan lokal yang menghasilkan bentuk pengetahuan baru sebagai hasil pemahaman bersama.
Dalam konteks pengelolaan lahan rawa pasang surut,
hibridisasi ini terjadi ketika kedua entitas pengetahuan ini memiliki pandangan yang sama terhadap suatu obyek. Kondisi seperti ini dapat dijumpai misalnya ketika pengetahuan lokal yang dimiliki petani dalam mengatasi kemasaman tanah bersesuaian dengan pandangan sains dalam mengatasi masalah tersebut. Berdasarkan pengetahuan lokal petani, untuk mengatasi kendala utama kemasaman tanah dapat dilakukan melalui pengaturan tata air.
Petani
setempat dengan pengetahuan yang dimilikinya telah mengembangkan sistem pengaturan tata air yang dikenal dengan sistem anjir dan handil.
Model ini
terbukti mampu menjadikan lahan rawa pasang surut sebagai lahan marjinal menjadi lahan pertanian yang mampu memberikan sumber kehidupan bagi
189 masyarakat setempat sejak ratusan tahun yang lalu. Upaya penyempurnaan sistem
ini
telah
dilakukan
pemerintah
sejak
tahun
1970-an
dengan
mengembangkan sistem garpu dan sistem sisir sebagai model dalam pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. Sistem pengairan sisir dan garpu ini merupakan penyempurnaan dari sistem anjir dan handil yang dikembangkan melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) serta diintegrasikan dengan program transmigrasi di lahan rawa pasang surut. Untuk pengelolaan air di tingkat petani selanjutnya dikembangkan sistem tata air mikro yang berupaya untuk mampu menahan air dalam petak sawah sesuai fase pertumbuhan tanaman dan mengeluarkannya jika tidak diperlukan.
Sistem tata air mikro ini merupakan
bentuk hibridisasi pengetahuan lokal masyarakat setempat dengan sains dalam sistem pengairan di lahan rawa pasang surut. Dalam pengembangan selanjutnya sistem tata air mikro ini diintegrasikan dengan pembuatan surjan sehingga sawah bukan hanya dapat ditanami padi tetapi pada bagian surjannya dapat ditanami dengan tanaman sayuran maupun buah-buhan seperti jeruk, rambutan atau mangga. Pada lahan rawa pasang surut tipe A,
dilaksanakan model pertanian campuran antara padi dengan
kelapa yang ditanam dengan sistem surjan. Pada tahap selanjutnya model ini dikembangkan menjadi pertanaman campuran antara kelapa dengan nanas. Kunci utama pengembangan model-model seperti ini terletak pada pengaturan saluran dan tata air. Pada lahan rawa pasang surut tiper B, C dan D sistem pengaturan saluran dan tata air menghasilkan kombinasi tanaman padi dengan tanaman buah-buahan (terutama jeruk, rambutan dan mangga). Pengembangan lebih lanjut dari sistem ini menghasilkan pola tanam padi dua kali setahun (terutama unggul-lokal) yang disebut dengan sistem sawit dupa. Program ini merupakan salah satu bentuk pendekatan untuk mengembangkan padi unggul tanpa mengurangi kesempatan petani untuk menanam padi lokal.
Pada periode
Nopember-Pebruari lahan sawah hanya digunakan untuk pembibitan padi lokal sekitar 20 persen dari luas areal sawah. Sisa lahan sekitar 80 persen inilah yang dianjurkan untuk ditanami dengan padi unggul nasional berumur pendek. Sistem sawit dupa ini dapat mengakomodir program pemerintah dalam peningkatan produksi padi dan pendapatan petani tanpa menghilangkan kesempatan petani dalam mengusahakan padi lokal. Melalu sistem ini petani
190 dapat menanam lahannya dengan dua kali tanam dengan indeks pertanaman (IP) sebesar 180%. Secara ringkas jika dihadapkan (vis a vis) antara sistem pertanian padi lokal dengan sistem pertanian padi unggul di lahan rawa pasang surut ini dapat dilihat pada Tabel 21 berikut. Tabel 21.
Perbandingan antara sistem pertanian padi lokal dengan sistem pertanian padi unggul di lahan rawa pasang surut
Komponen pembanding
Sistem pertanian padi lokal satu kali setahun
Sistem pertanian padi unggul dua kali setahun
Basis sistem pengetahuan
Pengetahuan lokal yang diperoleh dari interaksi dengan kondisi sosiobiofisik LRPS
Sains dan pertanian modern yang dikembangkan melalui program pembangunan pertanian (revolusi hijau)
Prinsip basis utama
Adaptif dan keberlanjutan Produktivitas dan efisiensi Pengalaman dan Rekomendasi dari instansi pemahaman terhada pertanian dan hasil gejala alam penelitian Tokoh petani, kepala Ketua kelompok, handil penyuluh pertanian Pemenuhan kebutuhan Produksi yang tinggi dan pangan dan keuntungan keuntungan Rasa nasi yang sesuai Pemenuhan kebutuhan dengan selera petani dan pangan lokal, regional dan konsumen nasional Pada LRPS tipe A sistem pertanian padi unggul tidak berkembang, sedangkan pada LRPS tipe B,C, dan D dikembangkan dengan pola khusus, yakni pole tanam sawit dupa yang berartisatu kali mewiwit (tanam) dua kali panen. Indeks pertanamannya sekitar 180% dimana pada musim kemarau diusahakan padi lokal dan musim hujan diusahakan padi unggul yang ditanam bersamaan dengan proses pembibitan (lacak) padi lokal.
Sistem norma yang mengatur Elit yang berperan Tujuan Kepentingan Kondisi saat ini (resultan)
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
Proses hibridisasi dalam kelembagaan dan organisasi sosial yang terbentuk adalah perpaduan kegiatan kelompok arisan dengan kegiatan kelompok tani untuk membantu permodalan usaha tani angota kelompok tersebut.
Kegiatan arisan kelompok yang dilakukannya dapat membantu
memberikan pinjaman kepada anggotanya untuk modal usaha. Untuk tahap awal, masing-masing anggota kelompok menabung gabah sebanyak 8-10 blek setelah kegiatan panen (September).
Pada saat musim tanam (Maret-April)
191 gabah ini dijual dan dibelikan untuk pupuk sesuai dengan keperluan dan jumlah tabungannya. Model ini merupakan perpaduan dari bentuk lumbung pangan dan pembiayaan usahatani yang dilakukan pada aras kelompok tani. Proses hibridisasi ini merupakan implementasi dari terciptanya proses komunikatif antara penganut entitas pengetahuan lokal dengan sains sebagai tindakan komunikatif (Habermas 2006). Pemahaman bersama yang dihasilkan dalam proses komunikasi ini menghasilkan bentuk baru sebagai sebuah konsensus yang disepakati bersama.
Kesadaran yang tercipta melalui
konsensus ini akan menghindarkan kemungkinan relasi yang bersifat koersif dan menempatkan satu sama lain sebagai pihak luar dalam komunikasi.
Dalam
bentuk hibridisasi ini dapat dihindari pemaksaan dan justeru akan lebih menonjolkan sifat-sifat kooperatif dalam mewujudkan kepentingan masingmasing entitas pengetahuan tersebut. Bentuk-bentuk hibridisasi antara sains dengan pengetahuan lokal dalam pertanian padi di lahan rawa pasang surut ini dapat dilihat pada Tabel 22. Bentuk hibrid yang terjadi pada masing-masing tipe lahan rawa pasang surut lebih mengarah pada sistem pengaturan air. Pada lahan rawa pasang surut tipe A, penerapan sistem surjan dengan kombinasi antara tanaman kelapa dan padi lebih ditujukan untuk memperoleh areal lahan perkebunan. Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe A, lahan kering (lahan yang tidak terendam) merupakan barang langka dan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan lahan sawah.
Tanaman kelapa yang diusahakan di atas surjan ini dapat
memberikan penghasilan bulanan bagi keluarga petani. Proses hibridisasi ini memungkinkan petani di lahan rawa pasang surut tipe A memiliki sistem pertanian dengan pola diversifikasi antara tanaman pangan dengan tanaman perkebunan.
Pola hibridisasi yang terbentuk ini lebih disebabkan karena
kesadaran petani akan pentingnya memiliki usaha pertanian yang bervariasi untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Pada lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D, pola hibridisasi yang terjadi
lebih
disebabkan
oleh
adanya
program
pemerintah
untuk
mengembangkan potensi lahan rawa pasang surut. Pola pertanian sawit dupa sebagai model penerapan sistem pertanian dua kali panen setahun merupakan bagian program pemerintah dalam peningkatan produksi padi.
Begitu juga
halnya dengan pengembangan sistem tata air mikro di lahan rawa pasang surut
192
Tabel 22. Bentuk-bentuk hibridisasi sains dengan pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut
Lahan rawa pasang surut
Parameter
Tipe A
Tipe B
• Penerapan sistem surjan dan penataan handil untuk memperlancar aliran air (kombinasi padikelapa dan kelapananas)
Teknik budidaya
Tipe C
Tipe D
• Penerapan sistem tata air mikro yang dikombinasikan dengan sistem surjan untuk pengembangan tanaman buah-buahan (jeruk)
• Penerapan sistem tata air yang dikombinasikan dengan sistem surjan untuk pengembangan tanaman buah-buahan (jeruk, rambutan)
• Pengembangan sistem pola tanam unggul-lokal yang disebut sistem ’sawit dupa’
• Pengembangan sistem pola tanam unggul-lokal yang disebut sistem ’sawit dupa’
• Penerapan sistem tata air yang dikombinasikan dengan sistem surjan untuk pengembangan tanaman buah-buahan (jeruk, rambutan, dan mangga) • Pengembangan sistem pola tanam unggul-lokal yang disebut sistem ’sawit dupa’
• Pengembangan sistem pola tanam unggul-lokal yang disebut sistem ’sawit dupa’
• Pengembangan sistem pengairan dengan pembangunan bangunan bendung air (tabat)
• Pengembangan sistem pengairan dengan pembangunan bangunan bendung air (tabat) Organisasi dan kelembagaan sosial
-
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
-
• Kelembagaan lumbung kelompok yang merupakan perpaduan kegiatan arisan dengan kegiatan kelompok tani.
-
193 tipe B bertujuan untuk pengelolaan air pada tingkat petani dalam mendukung pengembangan padi unggul.
Sistem surjan untuk pengembangan tanaman
buah-buahan, terutama jeruk dan rambutan juga merupakan bagian dari program pemerintah. Bahkan program pengembangan tanaman jeruk dengan sistem surjan yang dilakukan di tipe B dan C juga dibiayai dengan dana pinjaman dari luar negeri (dana loan dari pemerintah Jepang). Pada aspek organisasi dan kelembagaan sosial, dijumpai di lahan rawa pasang surut tipe C yakni berupa kelembagaan lumbung kelompok yang merupakan perpaduan kegiatan arisan dengan kegiatan kelompok tani. Proses ini terbentuk sebagai bentuk kesadaran petani akan pentingnya mempersiapkan pembiayaan usahatani, terutama untuk keperluan pembelian pupuk. Pola ini kemudian banyak diikuti oleh kelompok lainnya terutama dalam konteks pelaksanaan program pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP).
7.3 Ikhtisar: Dinamika kontestasi sains dengan pengetahuan lokal Sejarah perkembangan pertanian modern di lahan rawa pasang surut diawali dengan program peningkatan produksi padi yang dilakukan pemerintah melalui pengembangan padi unggul. Penerapan sains dalam sistem pertanian padi unggul ini dintroduksi melalui kegiatan penyuluhan pertanian agar petani setempat mau menerapkan teknologi pertanian yang baru tersebut. Introduksi yang dilakukan melalui kegiatan penyuluhan pertanian ini dalam praktiknya lebih mengarah pada terbentuknya hegemoni pemerintah terhadap masyarakat petani setempat. Modernisasi pertanian dimaknai dalam arti sempit, yakni hanya menyangkut produktivitas saja. Aspek-aspek sosial yang melingkupi kehidupan masyarakat petani justeru tidak mendapat perhatian yang cukup. Pembentukan kelompok tani yang lebih ditujukan pada upaya peningkatan produktivitas padi justeru menghilangkan peranan handil sebagai organisasi dan kelembagaan sosial masyarakat setempat yang telah eksis sejak ratusan tahun yang lalu (Maliki 1999, Gany 2002). Masalah ini juga karena aspek teknis lebih mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan aspek sosial dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat. Kontestasi yang terjadi antara sains dan pengetahuan lokal dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut, ini menghasilkan proses koeksistensi , dan hidbridisasi.
dominasi,
Bentuk kontestasi yang terjadi menunjukkan
194 kecenderungan yang berbeda-beda tergantung pada sifat dan kedudukan kedua entitas pengetahuan tersebut. Sains dan teknologi yang bersifat mengeliminasi pengetahuan lokal cenderung menghasilkan bentuk dominasi, sedang yang bersifat substitusi cenderung menghasilkan koeksistensi, serta yang bersifat komplementer cenderung menghasilkan bentuk hibridisasi.
Pandangan ini
selaras dengan pendapat Hans-Dieter Evers dan Gerke (2003), yang menyatakan bahwa perlunya penyesuaian dengan kondisi lokal sehingga pengetahuan luar menjadi suatu pengetahuan yang dapat diterima oleh masyarakat.
Pendapat ini lebih mengarah pada proses kontestasi yang
menghasilkan proses koeksistensi dan hibridisasi.
Begitu juga dengan
pandangan Nygren (1999) tentang masih adanya ahli pembangunan yang beranggapan bahwa pengetahuan lokal sebagai penghambat kemajuan. Pandangan seperti inilah yang akan mendorong terciptanya proses dominasi sains terhadap pengetahuan lokal. Dominasi sains terhadap pengetahuan lokal terjadi melalui proses hegemoni, dimana pertanian modern dianggap sebagai tahap lebih lanjut dari pertanian yang didasarkan atas pengetahuan lokal. Terkait dengan proses hibridisasi, Escobar (1999) melihat bahwa pengetahuan lokal dalam kontestasi akan membentuk suatu hibrid melalui proses hibridisasi budaya (cultural hybridization).
Proses hibridisasi seperti ini lebih melihat
adanya perpaduan antara dua kepentingan yang berbeda. Secara teoritis bentuk hibrid ini merupakan hasil reproduksi dari proses kontestasi pengetahuan melalui hibridisasi kebudayaan yang dapat diterima oleh semua pihak. Dengan kata lain pihak yang memiliki basis pemikiran dan basis kepentingan ekonomi/material yang berbeda pada akhirnya akan membentuk satu regim politik tunggal menuju kesatuan pandangan politik tentang alam. Proses hibridisasi ini dapat terjadi jika masing-masing pihak menganggap bahwa pihak lain di luar dirinya memiliki kelebihan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu untuk menciptakan berlangsungnya proses hibridisasi ini maka perlu adanya gerakan emansipasi yang mampu membebaskan perangkap pemikiran bahwa pengetahuan lokal adalah irrasional.
Advokasi untuk membuka
rasionalitas ini diperlukan dalam menunjukkan bahwa pengetahuan lokal merupakan bagian yang tidak terlepaskan (embedded) dalam kehidupan sosial masyarakat dan bahwa banyak sains dan praktik pertanian modern yang berakar dari pengetahuan lokal.
195 Kondisi agroeksistem lahan rawa pasang surut tipe A yang kurang sesuai untuk pengembangan padi unggul merupakan faktor utama petani setempat hanya menerapkan sistem pertanian padi lokal. Sistem sosial masyarakat yang terbentuk cenderung tetap mempertahankan sistem pertanian padi lokal yang selama ini mereka lakukan. Beberapa paket teknologi dalam sistem budidaya padi unggul yang dianggap sesuai dengan kondisi setempat sudah diterima masyarakat setempat, seperti penggunaan peralatan sabit untuk panen dan mesin perontok padi (Rogers 2003). Pengembangan model surjan yang mengkombinasikan antara tanaman padi dengan kelapa merupakan bentuk perpaduan model pengelolaan tata air dengan diversifikasi di bidang pertanian yang merupakan program pertanian modern. Dalam konteks komunikasi yang tercipta dalam proses kontestasi ini, Habermas mengaitkannya dengan aspek kepentingan yang diusung oleh pihak memiliki kekuasaan, sehingga disebutnya sebagai proses dominasi struktural. Kontestasi yang menghasilkan proses dominasi selalu dimuati oleh kepentingan menguasai dan menundukkan, dan disebut sebagai komunikasi instrumental yang terwujud dalam bentuk tindakan strategis. Komunikasi yang diciptakan dalam kondisi ini akan menutup ruang berpendapat masyarakat (public sphere) sehingga masyarakat ‘dipaksa’ menerima apa yang diberikan oleh pihak penguasa.
Pihak yang mendominasi
berupaya mereproduksi pengetahuan
yang menggiring kearah pandangan bahwa pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat ternyata tidak mampu menghadapi berbagai tantangan dan perubahan lingkungan yang terjadi. Khusus untuk aspek organisasi dan kelembagan sosial, kelompok tani menjadi dominan dan menggeser peranan handil sebagai lembaga lokal petani setempat. Transfer pengetahuan lebih banyak didominasi melalui proses penyuluhan pertanian, dan peranan kepala handil juga semakin berkurang. Gotong royong dalam bentuk handipan pada kegiatan penanaman padi masih tetap eksis malaupun sistem upah sudah dikenal di wilayah ini. Begitu juga halnya dengan pola kepemilikan lahan seperti hak milik, gadai, dan sakap masih tetap eksis walaupun berkembang pola baru dengan sistem sewa. Masuknya sistem kredit untuk pembiayaan usahatani juga tetap tidak menghilangkan eksistensi peminjaman modal dengan keluarga dekat. Pada lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D masuknya sains tentang budidaya padi unggul tetap tidak menghilangkan eksistensi pengetahuan lokal
196 petani tentang budidaya padi lokal.
Begitu juga dengan peralatan yang
digunakan dalam kegiatan pertanian tetap eksis walaupun berkembang sains dan teknologi peralatan olah tanah, panen dan pascapanen. Di sisi lain, terjadi perpaduan pengetahuan lokal dengan sains dalam bentuk pola tanam baru penanaman padi dua kali setahun (unggul-lokal yang disebut pola sawit dupa). Dominasi justeru terjadi dalam penerapan teknologi pupuk kimia, pestisida dan penggunaan kapur pertanian terhadap penggunaan bahan-bahan organik yang dahulu digunakan dalam usahatani padi lokal. Menyangkut aspek organisasi dan kelembagaan sosial, keberadaan sistem gotong royong, pola kepemilikan lahan, dan tolong menolong tetap ada walaupun masuknya pola baru sistem upah, sistem sewa dan kredit usahatani melalui lembaga keuangan resmi. Dominasi terjadi pada lembaga handil yang telah hilang peranannya dengan munculnya kelembagaan kelompok tani. Kelembagaan baru ini muncul sebagai konsekuensi dari modernisasi pertanian yang lebih berorientasi pada produktivitas pertanian.
Kelembagaan baru ini
sebenarnya dimaksudkan untuk membantu petani, tetapi dalam kenyataannya akibat pendekatan dan intervensi yang arusnya lebih banyak dari atas, inisitatif petani justru mengalami pemarjinalan (Gany 2002). selanjutnya dapat mengikis pengetahuan lokal
Bahkan pada tahap
yang dimiliki oleh petani (Shiva
1997). Sains yang menjadi basis dalam pertanian padi unggul pada lahan rawa pasang surut tipe C hanya dominan pada penggunaan pupuk kimia, pestisida, kapur.
Sebaliknya pengetahuan lokal tentang penerapan bibit lokal dan
penggunaan peralatan olah tanah (tajak) lebih dominan dari bibit unggul maupun teknologi alat olah tanah traktor tangan. Peralatan panen berupa ani-ani dan perontokan dengan cara diinjak juga masih tetap eksis walaupun dengan masuknya sains dan teknologi sabit bergerigi beserta mesin perontok. Hibridisasi terjadi dalam bentuk pola tanam unggul-lokal (sawit dupa), sistem pengairan dengan pintu air, dan diversifikasi pertanian dengan sistem surjan. Pada aspek kelembagan sosial, kelompok tani juga mendominasi keberadaan kelembagaan handil dan penyuluhan pertanian juga lebih banyak dilakukan melalui media kelompok tani.
Walaupun demikian, eksistensi dari kegiatan
sosial lainnya seperti gotong royong tetap berlangsung meskipun berkembang sistem upah. Pola kepemilikan lahan yang baru, yakni sistem sewa juga tidak menghilangkan eksistensi pola sakap dan gadai. Terdapat bentuk perpaduan
197 antara kegiatan kelompok tani dengan kelompok arisan menjadi bentuk lumbung kelompok yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi, terutama pembelian pupuk kimia. Pola-pola hibrid seperti inilah yang sebenarnya dapat dijadikan teladan bagi pengembangan sains yang tetap mengakomodasi pengetahuan lokal masyarakat setempat. Untuk itulah perlunya advokasi dan dialog emansipatoris agar kesetaraan antara kedua entitas dalam kehidupan petani dapat menghasilkan pola-pola hibridisasi pengetahuan (Hardiman 1990; Sillitoe 1998). Kontestasi antara sains dan pengetahuan lokal yang terjadi di lahan rawa pasang surut tipe D juga menghasilkan bentuk dominasi penggunaan bahan kimia, pupuk pestisida dan kapur terhadap cara-cara lama yang lebih banyak menggunakan bahan organik dan cara mekanis dalam pengendalian hama. Walaupun demikian, pengetahuan tentang budidaya padi lokal tetap eksis seiring dengan program pemerintahn untuk mengintroduksi sistem pertanian padi unggul. Eksistensi peralatan tradisional ani-ani dan teknik perontokan padi dengan kaki masih tetap ada walaupun sains dan teknologi peralatan modern seperti sabit bergerigi dan mesin perontok sudah dikenal di wilayah ini. Terbentuk pola diversifikasi pertanian yang merupakan perpaduan antara pengaturan tata air dengan pembuatan surjan di persawahan.
Menyangkut
aspek organisasi dan kelembagaan sosial, peranan kelembagaan handil mulai digeser oleh kelompok tani. Model-model kegiatan kelompok tani dan sekolah lapang juga mendominasi kegiatan penyuluhan pertanian dibandingkan dengan kegiatan petani dalam suatu handil. Eksistensi kegiatan gotong royong masih ada walaupun
berkembang sistem upah.
Begitu juga halnya dengan pola
penguasaan lahan (sakap dan gadai) serta sistem pembiayaan usahatani dengan bantuan keluarga masih tetap eksis dengan masuknya sistem sewa dan lembaga kredit usahatani baru. Kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut ini juga memberikan seberapa besar gambaran tentang komponen teknologi modern yang telah diterima masyarakat dalam sistem sosialnya. Ditinjau dari aspek teknologi modern utama dalam budidaya padi unggul dapat dilihat seberapa besar sains telah diterima dan diterapkan oleh masyarakat petani pada masing-masing tipe lahan.
Komponen teknologi utama dalam
pertanian modern tersebut meliputi: penggunaan benih unggul, pupuk kimia, pestisida,
kapur
pertanian,
teknologi
pengairan,
penggunaan
peralatan
198 pertanian, dan kelembagaan sosial. Berdasarkan komponen tersebut di atas dapat digambarkan peranan antara sains dan pengetahuan lokal pada masingmasing tipe lahan rawa pasang surut seperti Gambar 15 berikut. Tipe A Pupuk kimia, Kelompok tani Sistem surjan
Benih Lokal, Pupuk Organik, Peralatan tradisional
Tipe B Benih Unggul, Peralatan Modern, Pupuk kimia, Kapur pertanian, Kelompok tani
Sistem surjan, Pola sawit dupa, Tata air mikro
Benih Lokal, Pupuk Organik, Peralatan tradisional
Keterangan :
Tipe C
Tipe D
Benih Unggul, Peralatan Modern, Pupuk kimia., Kapur pertanian, Kelompok tani Sistem surjan, Pola sawit dupa, Sistem tabat, Kelembagaan lumbung kelompok
Benih Lokal, Pupuk Organik, Peralatan tradisional
Benih Unggul, Peralatan Modern, Pupuk kimia, Kapur pertanian, Kelompok tani
Sistem surjan, Pola sawit dupa
Benih Lokal, Pupuk Organik, Peralatan tradisional
: Teknologi berbasis sains : Teknologi hibrid antara sains dengan pengetahuan lokal : Teknologi berbasis pengetahuan lokal
Gambar 15
Peranan sains dan pengetahuan lokal dalam sistem pertanian padi di lahan rawa pasang surut
Pengetahuan lokal masih menjadi sandaran utama dalam sistem pertanian padi bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe A. Kondisi agroekologis yang kurang mendukung bagi pengembangan benih unggul serta sistem sosial masyarakat petaninya yang lebih berorientasi pada benih lokal membuat pengetahuan lokal lebih mendominasi.
Sebaliknya, di lahan rawa
pasang surut tipe B, sains lebih berkembang dan menempati porsi yang lebih banyak dibandingkan dengan pengetahuan lokal.
Kondisi agroekologis yang
sesuai untuk pengembangan padi unggul membuat introduksi pertanian modern yang berbasis sains lebih banyak dilakukan di wilayah ini. Program pemerintah dalam pengembangan padi unggul juga lebih banyak dilakukan di wilayah ini. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat setempat juga lebih banyak menerapkan sains dan teknologi modern dalam sistem pertanian mereka.
199 Khusus untuk wilayah pasang surut tipe C dan D, secara agroekosistem lahan ini lebih mengarah pada bentuk tadah hujan, karena pasang surut air hanya berpengaruh pada muka air tanah saja.
Teknologi pertanian modern
yang dapat dilakukan di wilayah ini juga terbatas dibandingkan dengan lahan rawa pasang surut tipe B.
Program transmigrasi yang dikembangkan pada
wilayah lahan rawa pasang surut tipe C dan D merupakan salah satu pendorong penerapan sains dan teknologi pertanian modern. Lahan rawa pasang surut tipe C dan D ini kini lebih banyak dibuka untuk areal pertanian baru dalam upaya peningkatan produksi pertanian, khususnya padi. Perbedaan kepentingan yang diusung oleh kedua entitas pengetahuan ini diimplementasikan dalam sistem pertanian yang diterapkan. Bagi petani setempat usahatani padi tujuan utamanya adalah untuk memenuhi konsumsi keluarga, kelebihan produksi ini selanjutnya yang dijual untuk memenuhi kebutuhan lain.
Pola produksi seperti ini dapat terealisasi melalui sistem
pertanian padi dengan menggunakan varietas lokal.
Sebaliknya pemerintah
dalam kepentingannya melalui pembangunan pertanian lebih menekankan pada aspek
produksi
padi
melalui
pengembangan
padi
unggul.
Perbedaan
kepentingan inilah yang telah memunculkan konflik semenjak diintroduksinya padi unggul di wilayah lahan rawa pasang surut ini. Jalan tengah yang kini mulai ditempuh melalui upaya peningkatan produksi padi lokal, melalui pengembangan sains berbasis pengetahuan lokal.
Bentuk kegiatan yang dilakukan berupa
penerapan teknologi pertanian modern (sarana produksi dan peralatan pertanian) dalam usahatani padi lokal maupun pengembangan varietas lokal yang memiliki rasa yang sesuai dan produksi tinggi sebagai varietas unggul lokal.
VIII RESPON SISTEM SOSIAL TERHADAP KONTESTASI ANTARA SAINS DENGAN PENGETAHUAN LOKAL 8.1 Perkembangan Sistem Sosial di Lahan Rawa Pasang Surut Sistem sosial mencakup aspek struktural dan aspek kultural dalam kehidupan masyarakat.
Aspek struktural yang dikaji dalam kontestasi antara
sains dan pengetahuan lokal terutama ditekankan pada dinamika struktur sosial yakni perubahan pada kelembagaan dan kelompok sosial. Aspek kultural lebih ditekankan pada perubahan nilai dan norma yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam konsep masyarakat disebutkan bahwa wilayah (space) merupakan wadah terjadinya interaksi sosial (social relationship) dalam kehidupan bersama untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup.
Terdapat
hubungan antara sistem sosial dengan wilayah atau lokasi spesifik tempat tinggal suatu masyarakat (Gidden 2003). Begitu juga halnya, sistem sosial masyarakat petani di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kondisi biofisik setempat yang bersifat khas.
Pada
masing-masing agoekosistem lahan rawa pasang surut perkembangan sistem sosial juga menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan tertentu. Perbedaan ini terutama menyangkut respon sistem sosial terhadap proses-proses perubahan dan dinamika yang berkembang sebagai bentuk koadaptasi terhadap perubahan lingkungan biofisik. 8.1.1 Lahan rawa pasang surut tipe A Lahan rawa pasang surut tipe A merupakan tipe lahan pertama yang dimanfaatkan untuk kepentingan penanaman padi. Pengetahuan petani untuk mengembangkan tanaman padi di wilayah ini tidak lepas dari pemahaman secara teknis tentang kondisi biofisik serta sistem sosial yang melingkupi kehidupan mereka. Pembuatan saluran air serta sistem kerjasama yang disebut handil memungkinkan para petani ini mengembangkan wilayah ini menjadi areal pertanian yang subur untuk tanaman padi dan tanaman lainnya seperti kelapa. Jenis padi yang diusahakan merupakan padi lokal dengan umur yang relatif panjang dan mampu beradaptasi dengan genangan air yang relatif dalam. Kelembagaan handil ini memegang peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat pada waktu itu. Kepala handil berperan sebagai pemimpin kelompok yang berada dalam satu saluran tersebut dan memiliki kedudukan
201 sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani lainnya. Peranannya bukan hanya terbatas dalam masalah pengaturan teknis saja tetapi juga menyangkut pengaturan kepemilikan lahan.
Kepala handil dapat memberikan hak
kepemilikan kepada petani yang mau bergabung atau berusahatani di wilayah handil tersebut dengan sejumlah biaya pengganti tertentu 28. Pola kepemilikan lahan pada waktu itu umumnya adalah hak milik dan hampir semua petani di wilayah ini memiliki lahan sawah paling sedikit 1 hektar. Kelompok handil ini juga memiliki aturan-aturan dasar bagi para anggotanya, terutama yang berkaitan dengan pembukaan lahan baru. Selain pembayaran uang tebusan, petani yang diberikan hak untuk membuka lahan di wilayah tersebut harus segera membersihkan lahannya dan mencetaknya menjadi sawah.
Mengenai hal ini dikemukakan oleh Utr (54 th) petani di
Tabunganen: Tanah gasan pahumaan nang sudah dijulung bila kada diharagu atau digawi jadi wadah tikus basarang. Tanah ini kawa diambil lagi ulih kapala handil wan dijulung lawan urang lain nang handak manggawi tanah itu. Amun tanahnya sudah parnah digawi tapi limbah itu lawas kada dihumai lagi, urang nang manggantiakan itu biasanya mambayar pangalih lawan nang manggawi pamulaan tadi.” [Lahan untuk persawahan yang sudah diserahkan apabila tidak dipelihara atau dikerjakan dapat menjadi tempat tikus bersarang. Lahan ini dapat diambil lagi oleh kepala handil dan diserahkan kepada orang yang mau mengerjakan lahan tersebut. Apabila lahannya sudah pernah pernah digarap, tetapi setelah itu lama tidak ditanami, orang yang menggantikan tersebut biasanya membayar sejumlah uang lelah kepada yang pertama mengerjakan lahan tersebut.]
Setiap penggantian kepemilikan lahan tersebut harus sepengetahuan kepala handil. Bagi mereka yang memerlukan bukti kepemilikan lahan tersebut biasanya dibuatkan semacam surat tanah (segel) yang dikeluarkan oleh kepala desa setempat, juga dengan sepengetahuan kepala handil. Kegiatan utama kelompok handil ini adalah pemeliharaan saluran atau handil yang dilaksanakan secara bergotong royong. Waktu pelaksanaan gotong royong ini dilakukan saat kegiatan persiapan lahan hingga waktu tanam tiba. Pada saat inilah biasanya petani memiliki banyak waktu luang sehingga tidak mengganggu kegiatan berusahatani. 28
Kegiatan gotong royong ini terutama
Biaya tebusan sekedarnya sebagai pengganti untuk jasa pembuatan saluran yang telah dirintis oleh kepala handil. Sebagai gambaran pada tahun 1927, menurut H. Idak, biaya tebusan untuk 1 petak lahan seluas 1,25 ha sebesar Rp 7,50 s/d Rp 15,00. Harga beras saat itu sekitar Rp 0,80 per 20 liter. Dengan demikian nilai pengganti lahan seluas 1,25 ha setara dengan 187,5 s/d 375 liter beras.
202 membersihkan gulma-gulma air yang menutup lancarnya aliran air maupun memperdalam dan memperlebar handil.
Untuk pemeliharaan rutin handil
menjadi tanggung jawab petani yang lahannya berada di pinggir handil tersebut. Pola kerjasama dalam kegiatan pertanian seperti sistem gotong royong yang disebut handipan selalu diterapkan terutama dalam kelompok petani yang tergabung dalam satu handil. Bentuk aktivitas yang dilakukan seperti gotong pada saat penanaman. Masyarakat petani di lahan rawa pasang surut tipe A umumnya tinggal di sepanjang sungai, anak sungai atau handil dengan membangun rumah dengan sistem bertiang yang tingginya disesuaikan dengan kondisi pasangnya air. Pemilihan lokasi ini terkait dengan pola transportasi sungai dan kemudahan untuk mencapai lokasi usaha pertanian. Kondisi ini juga mendorong masyarakat setempat untuk memanfaatkan sungai sebagai tempat mencari ikan sebagai mata pencaharian sampingan.
Perahu kayuh jukung merupakan peralatan
penting bagi masyarakat setempat baik sebagai sarana transportasi sehari-hari maupun untuk keperluan mendukung matapencaharian sebagai petani. Lahanlahan sawah ini sebelumnya hanya bisa didatangi melalui sarana transportasi air. Selain juga terdapat moda transportasi sungai lainnya seperti kelotok, yakni perahu dengan penggerak mesin bermotor. Kondisi ini terkait dengan tingkat kekosmopolitan masyarakatnya yang jarang bepergian keluar desa jika tidak ada hal-hal yang penting. Elit desa yang berperan dalam kehidupan sosial pada saat itu selain kepala desa adalah ulama, kepala handil, dan guru. Tokoh-tokoh masyarakat ini merupakan panutan bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Khusus
untuk masalah pertanian, kepala handil merupakan tokoh yang dihormati bukan hanya
karena
kepemimpinannya
tetapi
juga
pengetahuannya
tentang
pengelolaan lahan rawa pasang surut. Seorang kepala handil biasanya adalah orang yang memiliki pengetahuan yang luas tentang
kondisi lingkungan
setempat, kharismatik dan mampu bersikap adil terhadap anggota kelompoknya. Sebelum era revolusi hijau, masyarakat petani di lahan rawa pasang surut selalu mengaitkan berbagai kegiatan dalam berusahatani dengan hal-hal yang bersifat magis atau pada kepercayaan tertentu. Kedekatan hubungan mereka dengan alam dan lingkungan sekitar memunculkan berbagai nilai-nilai yang menyangkut hubungan manusia dengan alam. Acara-acara selamatan, maupun pantangan-pantangan dalam kegiatan berusahatani selalu dikaitkan dengan
203 keberadaan roh-roh halus atau keyakinan akan adanya penguasa alam. Pengetahuan lokal yang terbentuk atas dasar pemahaman seperti ini sering sulit dipercaya dengan logika yang secara umum dianut kebanyakan orang (Nygren 1999). Padi bukan hanya sebagai komoditas pangan belaka, tetapi sebagai sarana mengekpresikan hakikat sebagai seorang petani. Merupakan hal yang kurang pantas jika seorang petani harus membeli beras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia akan dianggap sebagai pemalas karena tidak mampu memperoleh padi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya untuk masa satu tahun. Sebaliknya seorang petani akan merasa bangga dan dianggap sebagai petani yang berhasil jika hingga musim panen tahun berikutnya ia mampu mencukupi kebutuhan keluarganya dengan hasil panen padinya. Nilai-nilai inilah yang sejak dulu dipegang kuat oleh masyarakat petani dan diwariskan kepada anak-anak mereka. Petani mempunyai perhitungan hari-hari baik untuk melakukan kegiatan penanaman dan panen. Kepercayaan pada halhal yang ghaib merupakan ciri khas pertanian tradisional yang mereka lakukan. Beberapa petani ada yang memiliki keahlian khusus untuk menghusir hama seperti walang sangit dan belalang. Orang-orang ini dipercaya mampu untuk mengusir hama-hama yang menyerang tanaman padi walaupun hanya dilakukan dari jarak jauh, bahkan tanpa melihat areal persawahan tersebut. Praktik-praktik seperti ini waktu itu diyakini keampuhannya karena memang banyak diantaranya yang berhasil diselamatkan dari serangan hama tersebut. Masuknya era revolusi hijau di wilayah ini mulai dirasakan petani sekitar tahun 1980 melalui program penyuluhan pertanian. Petani dikenalkan dengan pengetahuan dan teknologi pertanian modern yang mencakup penggunaan benih unggul, pupuk buatan dan bahan kimia pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman. Untuk mendukung pengembangan pertanian modern ini pada tahun 1983 pemerintah membangun Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di Tabunganen.
Pengembangan pertanian modern di wilayah ini walaupun tidak
merubah teknis pertanian secara mendasar, tetapi memiliki pengaruhnya penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Secara teknis pertanian, sistem budidaya padi unggul tidak berkembang dan petani tetap mengunakan varietas lokal. Teknologi pertanian modern yang diterima mereka adalah penggunaan pupuk buatan dan pestisida serta peralatan atau mesin pertanian seperti sabit bergerigi dan mesin perontok. Tingkat
204 pemakaian atau dosis yang digunakan sangat sedikit dan jauh dari rekomendasi pemupukan yang umumnya dianjurkan (kurang dari 50% dari rekomendasi). Bahan kimia pestisida juga sangat jarang digunakan, hanya pada waktu-waktu tertentu seperti ketika ada serangan wabah walang sangit atau tilkus yang menyerang pembibitan (lacakan). Pupuk kimia lebih banyak digunakan untuk memupuk pada fase pembibitan, sedangkan untuk di sawah hanya sedikit karena adanya pasang surut yang dapat membawa hanyut pupuk tersebut. Peralatan usahatani di lahan rawa pasang surut tipe A tidak banyak mengalami perubahan berarti.
Petani setempat masih menggunakan parang
untuk kegiatan pembersihan lahan. Begitu juga dengan peralatan tanam seperti tutujah atau tatajuk maupun sundak untuk keperluan menggali tanah di lahan rawa pasang surut.
Peralatan panen seperti ani-ani atau ranggaman masih
banyak digunakan walaupun beberapa petani juga sudah menggunakan sabit bergerigi sebagai bentuk teknologi yang diperkenalkan setelah era revolusi hijau. Begitu juga dengan peralatan gumbaan untuk membersihkan gabah masih meluas penggunaannya hingga sekarang. Penggunaan mesin perontok berupa power thresser merupakan bentuk teknologi baru yang diperkenalkan melalui kegiatan pembangunan pertanian. Peralatan ini juga terbatas penggunaannya karena petani masih banyak yang menggunakan cara lama yakni ’diirik’ dengan kaki. Perubahan pada struktur sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut ini terlihat dengan memudarnya kelembagaan handil. Walaupun lembaga handil ini masih ada, tetapi peranannya dalam kegiatan pertanian mulai berkurang seiring dengan dikembangkannya kelompok tani. Kelompok tani merupakan bentukan dan binaan pemerintah dan terkesan sebagai sebuah organisasi formal yang memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Setiap petani diharuskan untuk ikut masuk sebagai anggota kelompok tani agar mereka dapat terlibat dalam kegiatan penyuluhan dan pembinaan. Keberadaan organisasi ini pada satu sisi sebagai bentuk perhatian pemerintah, tetapi pada sisi lain ternyata juga menimbulkan ketergantungan petani pada berbagai bantuan dan subsisdi pemerintah. Kemandirian petani yang diimplementasikan dalam kelompok handil secara perlahan mulai menghilang dan sebagian besar dari mereka menjadi anggota bukan atas kesadaran sendiri. Berdasarkan hasil FGD dengan petani di Tabunganen, memudarnya peranan handil dalam kegiatan pemeliharaan saluran air menurut petani memiliki
205 keterkaitan dengan
pembentukan kelompok tani tersebut.
Kelompok tani
dibentuk berdasarkan atas domisili petani, artinya petani yang tempat tinggalnya berdekatan akan tergabung dalam satu kelompok tani. Kedekatan tempat tinggal ini tidak selalu berkorelasi dengan kedekatan lahan sawahnya.
Kondisi ini
mempersulit untuk menggerakkan petani ketika akan melakukan kegiatan gotong royong. Perubahan kepemilikan lahan karena jual beli juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya melakukan kordinasi untuk pelaksanaan kegiatan dalam satu handil. Usia kepala handil yang sudah lanjut dan tidak bisa melakukan aktivitas di sawah serta tidak adanya pergantian kepemimpinan merupakan faktor internal yang juga berpengaruh terhadap aktivitas kelompok handil. Kegiatan gotong royong dalam kegiatan pertanian masih dilakukan, tetapi intensitasnya mulai berkurang.
Pada waktu dulu kegiatan gotong royong ini
diikuti hingga 25-35 orang, tetapi kini kelompok gotong royong hanya dalam kelompok-kelompok kecil 10-15 orang. Beberapa petani mulai menggunakan tenaga upahan terutama untuk kegiatan penananam. Ini umumnya dilakukan oleh petani yang memiliki areal pertanaman luas (lebih dari 3 hektar), yang termasuk dalam kelompok petani kaya.
Menurut perhitungan mereka sistem
upah lebih efisien dan dapat menjamin penanaman dilakukan tepat waktu. Terbentuknya kelas petani kaya dan petani miskin merupakan dampak dari komersialisasi pada sektor pertanian di wilayah ini. Bahkan ada petani yang mempunyai lahan sawah hingga 30 hektar, sementara ada petani (sekitar 27,8%) yang sama sekali tidak memiliki sawah (sebagai pengarap atau buruh tani). Pola kepemilikan sawah sebelum era revolusi hijau umumnya adalah milik sendiri (petani pemilik penggarap) dengan luas kepemilikan yang tidak terlalu variatif (2-5 hektar). Setelah era revolusi hijau, berkembang pola kepemilikan lainnya seperti petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani. Seiring dengan hal ini juga berkembang sistem sewa 29 dan bagi hasil atau sering disebut sistem karun 30. Sistem kepemilikan lainnya juga terdapat di wilayah ini adalah sistem
29
Sistem sewa yang umum berlaku adalah 1 hektar dibayar dengan gabah sebanyak 70 blek gabah atau setara dengan 700 kg gabah. 30 Sistem bagi hasil atau ’karun’ yang umum berlaku adalah 1/3 bagian untuk pemilik sawah dan 2/3 bagian untuk penggarap. Biaya sarana produksi seperti benih, pupuk dan pestisida bisa oleh pemilik lahan atau penggarap atau tanggungan bersama, sesuai dengan kesepakatan.
206 gadai atau yang disebut sistem sanda 31. Perkembangan ini antara lain disebabkan karena perkembangan jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan perkembangan pembukan lahan, masuknya pendatang yang ingin berusahatani di wilayah tersebut, dan adanya jual beli lahan. Perubahan elit desa juga terlihat dengan masuknya petani kaya dan ketua kelompok tani, selain kepala desa, ulama dan guru, dan kepala handil. Ketua kelompok tani ini umumnya mereka yang juga memiliki kemampuan lebih dari aspek ekonomi.
Ketua kelompok tani menjadi penghubung petani dengan
penyuluh dalam penyampaian materi yang terkait dengan pertanian, dan merupakan mitra kerja penyuluh pertanian.
Beberapa peranan kepala handil
seperti penggalangan petani, sumber informasi teknologi pertanian, dan panutan dalam kegiatan pertanian mulai berpindah kepada ketua kelompok tani. Seiring
dengan
perkembangan
pembangunan
desa,
pemerintah
membangun prasarana jalan serta jalan-jalan usahatani. Transportasi darat ini masih didominasi oleh kendaraan bermotor roda dua, sedang kendaraan roda empat masih terbatas karena kondisi jalannya yang masih belum stabil. Walaupun demikian,
perubahan sitem transportasi ini berpengaruh terhadap
tingkat kekosmopolitan petani.
Kini para petani dapat bepergian ke ibukota
kabupaten maupun ibukota provinsi dengan menggunakan kendaraan roda. Lahan-lahan usahatani sebagian juga sudah dapat dicapai melalui jalan darat (jalan usahatani). Walaupun demikian, sarana transportasi sungai seperti jukung dan kelotok masih eksis hingga sekarang terutama untuk mengangkut hasil pertanian seperti gabah dan kelapa. Perubahan yang terjadi pada aspek kultural terlihat pada perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pertanian.
Walaupun
secara teknis tidak terdapat perubahan yang berarti dalam sistem pertanian padi yang mereka lakukan (masih mengusahakan padi lokal), tetapi mereka memiliki pandangan yang berbeda mengenai pelaksanaan kegiatan pertanaman padi. Jika sebelumnya kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat magis masih melekat dalam kegiatan pertanian yang mereka lakukan, kini sebagian besar sudah mereka tinggalkan. Kegiatan mengusir hama dengan bantuan ’orang 31
Sistem ini berupa peminjaman uang dengan jaminan lahan sawah. Dasar penetapan pembayarannya bisa berupa nilai uang, gabah/padi atau emas dengan jangka waktu yang telah disepakati. Orang yang menggadaikan lahan ini biasanya memerlukan uang untuk kebutuhan yang mendesak. Pihak yang menerima lahan ini berhak untuk mengusahakannya selama proses gadai tersebut berlangsung.
207 pintar’ sudah tidak ditemukan lagi, kini pestisida merupakan pilihan utama jika lahannya terserang hama. Kegiatan selamatan ketika akan memulai penananam dan saat panen pertama masih sering dilakukan. Sikap petani setempat yang menolak untuk menanam padi unggul karena berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki kondisi lahan yang selalu tergenang baik pada saat pasang besar maupun pasang kecil tidak memungkinkan untuk menanam padi unggul. Menurut petani yang dikemukakan pada saat kegiatan FGD, bahwa teknologi padi unggul yang kini ada tidak memungkinkan untuk diterapkan di lahan rawa pasang surut tipe A.
Kondisi
genangan air yang dalam menjadi kendala pada kegiatan pembibitan dan penanamannya. Secara ekonomis, gabah atau beras dari padi unggul ini sulit pemasarannya dan harganya lebih rendah dari varietas lokal.
Mereka juga
menggemukakan bahwa sistem pertanian padi dengan varietas lokal ini hingga kini masih memberikan hasil yang cukup untuk kehidupan mereka. Para petani dalam FGD ini juga mengemukakan bahwa perkembangan perekonomian dengan semakin meningkatnya kebutuhan hidup mendorong mereka untuk berusaha tani lebih giat lagi.
Komoditas padi kini menjadi
komoditas komersial yang diyakini mampu memberikan pendapatan bagi keluarga mereka. Upaya meningkatkan pendapatan keluarga pada sektor pertanian dilakukan dengan menambah luas areal sawah yang diusahakan. Penambahan luas areal tanam ini dilakukan dengan sistem bagi hasil atau dengan cara menyewa kepada petani yang memiliki lahan luas. Beberapa petani di wilayah ini juga ada yang ikut mencoba membuka lahan di wilayah pesisir untuk keperluan tambak udang secara tradisional. Perubahan-perubahan struktural maupun kultural yang terjadi di lahan rawa pasang surut tipe A pada era sebelum dan sesudah revolusi hijau dapat dilihat pada Tabel 23 berikut.
208 Tabel 23 Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut tipe A Aspek perubahan
Waktu Sebelum Era revolusi hijau
Setelah Era revolusi hijau
Struktural (organisasi dan kelompok sosial)
• Organisasi handil memegang peranan penting dalam kegiatan pertanian • Kepala handil memegang peranan penting dalam pembinaan petani anggota handil • Gotong royong atau handipan dilakukan untuk kegiatan penanaman • Pola kepemilikan lahan lahan : milik sendiri dan pinjam/gadai • Elit desa yang berperan: kades, ulama, kepala handil, dan guru • Tingkat kekosmopolitan petani rendah
• Kelompok tani sebagai organisasi utama petani dan peranan handil mulai memudar • Ketua kelompok tani atau kontak tani sebagai mitra dalam penyuluhan pertanian • Gotong royong atau handipan berkurang dan mulai berkembang sistem upah. • Pola kepemilikan lahan: milik sendiri, gadai, sewa dan sakap • Elit desa yang berperan: kades, ulama, ketua kelompok tani dan guru • Tingkat kekosmopolitan petani tinggi
Kultural (nilai dan norma)
• Masih terikat dengan tradisi dan nilai-nilai magis • Makna ‘petani’ sebagai produsen padi shg padi juga sebagai komoditas sosial (tingkat subsistensi masih tinggi)
• Masih memegang tradisi tetapi tdk ada lagi nilainilai magis • Makna ‘petani’ sebagai pekerjaan sehingga ukuran keberhasilan dinilai dari aspek ekonomi (mulai bersifat komersial)
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
8.1.2 Lahan rawa pasang surut tipe B Kondisi lahan lahan rawa pasang surut tipe B yang hanya diluapi pada saat pasang besar memungkinkan sistem pertanian padi dapat dilakukan secara optimal. Pengaturan air juga dilakukan melalui pembuatan handil dan jenis padi lokal yang ditanam satu kali setahun. Kegiatan petani dalam kelompok handil ini dipimpin oleh kepala handil yang merupakan
petani pelopor karena dia
membuka pertama kali usaha pertanian di wilayah handil tersebut. Para petani lain yang ikut bergabung dalam usahatani di handil tersebut diberikan lahan di
209 sepanjang handil sesuai keperluan (1-2 hektar) dengan biaya tebusan tertentu. Setiap
petani
dalam
kelompok
handil
tersebu
bertanggung
pemeliharaan saluran yang ada di sepanjang lahannya.
jawa
atas
Setiap tahun, yakni
pada awal musim pertanaman atau setelah kegiatan pemanenan dilakukan gotong royong pembersihan atau pendalaman handil. Upaya ini perlu dilakukan agar pada musim tanam berikutnya keluar masuknya air tetap lancar. Kegiatan gotong royong dalam aktivitas pertanian yang sering dilakukan adalah pada saat penanaman dan pengolahan tanah. Masing-masing anggota dalam kegiatan gotong royong ini akan mendapat giliran untuk aktivitas di lahan masing-masing.
Penentuan giliran lahan yang akan dikerjakan disesuaikan
dengan kebutuhan dan kesepakatan antar anggota gotong royong tersebut. Kegiatan gotong royong untuk penanaman lebih sering dilakukan dibandingkan dengan kegiatan pengolahan tanah. Hal ini karena dalam kegiatan penananam perlu dilakukan secara serempak terutama dalam satu petakan tertentu. Pengolahan tanah kebanyakan dapat dilakukan oleh anggota keluarga sendiri karena waktunya juga relatif panjang (2-3 bulan). Pola kepemilikan lahan pada era sebelum revolusi hijau umumnya adalah hak milik dan setiap keluarga petani rata-rata memiliki 1-3 hektar lahan usahatani. Untuk memperoleh lahan baru, petani dapat meminta kepala handil dengan uang tebusan/pengganti pada handil yang sama atau pada handil lainnya yang ada di wilayah tersebut. Pada masa itu masih belum berkembang sistem sewa ataupun sistem bagi hasil dan petani masing-masing mengerjakan sawah miliknya.
Pemindahan hak kepemilikan lahan yang sudah terbentuk menjadi
sawah dapat terjadi antar petani dengan sistem jual beli. Menurut Atm (64 th) seorang tokoh petani di Desa Sungai Tunjang, biaya tebusan satu hektar lahan yang masih berupa semak belukar pada suatu handil setara 100-200 kg gabah. Elit desa yang berperan dalam kehidupan sosial petani saat itu adalah ulama atau guru agama, kepala desa, dan kepala handil.
Kepala handil
merupakan tokoh panutan yang dihormati terutama menyangkut aktivitas pertanian.
Hal ini karena kepala handil merupakan pelopor yang membuka
wilayah tersebut sehingga menjadi daerah pertanian. Selain itu, seorang kepala handil juga memiliki pengetahuan yang luas tentang kondisi lahan di wilayah tersebut. Status kepala handil ini dapat diwariskan kepada generasi berikutnya (anak) jika yang bersangkutan sudah tidak mampu melakukan aktivitasnya di sawah atau karena meninggal dunia.
210 Kondisi infrastruktur wilayah, terutama prasarana jalan di wilayah ini sebelum era revolusi hijau hanya berupa jalan desa (tanah) sehingga akses keluar desa harus ditempuh melalui transportasi sungai. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat kekosmopolitan penduduknya.
Umumnya mereka bepergian
keluar desa satu minggu sekali, yakni pada saat hari pasar di ibukota kecamatan (waktu tempuh 30-60 menit) atau ibukota kabupaten (waktu tempuh 1-2 jam) dengan perahu kayuh. Pada aspek kultural, masyarakat di wilayah ini masih memegang tradisi dan kebiasaan dalam kegiatan pertanian yang mereka lakukan.
Sistem
pertanian padi lokal yang dilakukan satu tahun sekali masih kental dengan nuansa magis dan mistis. Padi bagi mereka merupakan sumber kehidupan dan dianggap memiliki jiwa sehingga harus diperlakukan secara hati-hati. Upacara selamatan yang dilakukan pada saat menyemai benih maupun saat panen pertama dimaksudkan untuk memperoleh keberkahan dan hasil yang baik dari yang Maha Kuasa. Nilai-nilai inilah yang menjadi salah satu faktor penghalang ketika perubahan cara bertani diperkenalkan (Nygren 1999). Perubahan cara pemanenan menggunakan ani-ani dengan cara disabit dan merontoknya dengan mesin atau dipukul dianggap sebagai perlakukan yang tidak layak bagi tanaman padi.
Perlakukan seperti ini dianggap menyakiti dan merusak butir-butir padi
sehingga teknologi perontokan dengan mesin ini lama baru diterima petani. Menurut para petani dalam kegiatan FPG di Desa Sungai Tunjang, sebelum era revolusi hijau kegiatan sebagai petani dianggap sebagai pekerjaan mulia. Hubungan antar petani terjalin akrab melalui kebersamaan gotong royong dalam kegiatan pertanian. Kerjasama dan tolong menolong antar petani bukan hanya dalam aktivitas di sawah saja, tetapi juga dalam kehidupan sosial seharihari.
Petani dapat meminta pinjaman uang atau gabah kepada tetangganya
tanpa adanya bunga. Semangat kebersamaan antar petani inilah yang menurut mereka dapat menjaga keberlanjutan usahatani padi di wilayah ini dapat eksis hingga sekarang (sekitar empat hingga lima generasi) sejak wilayah ini dibuka. Setelah era revolusi hijau, terdapat sejumlah perubahan-perubahan pada sistem sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe B ini. Perubahanperubahan ini terutama terkait dengan masuknya teknologi baru di bidang pertanian yang memperkenalkan padi unggul dan penggunaan bahan-bahan kimia. Teknologi baru di bidang pertanian ini dimaksudkan untuk meningkatkan produksi padi, karena produktivitas padi lokal yang mereka usahakan selama ini
211 dianggap masih rendah (hanya sekitar 2,8-3,5 ton/ha). Introduksi teknologi pertanian ini dilakukan melalui kegiatan penyuluhan pertanian dan berbagai paket bantuan sarana produksi seperti benih, pupuk dan pestisida. Teknologi pertanian modern ini melalui proses yang lama baru mendapat tanggapan positif dari masyarakat.
Hal ini karena beberapa paket teknologi yang disampaikan
tersebut masih dianggap tidak bersesuaian dengan tradisi dan kebiasaan yang selama ini mereka anut. Penggunaan pupuk buatan seperti Urea dan TSP merupakan teknologi pertama yang dapat mereka terima, yakni sekitar tahun 1983, sedang pestisida pada tahun 1990. Khusus untuk penggunaan sabit dan mesin perontok baru digunakan pada tahun 2003. Benih unggul sendiri hanya sebagian kecil yang ditanam oleh petani setempat dan umumnya sebagai tanaman pada musim kedua (Oktober-Pebruari) dengan sistem sawit dupa (pola tanam unggul-lokal). Selain sarana produksi dan peralatan pertanian, mereka juga diperkenalkan dengan teknologi tata air dan pengaturan sistem pengelolan lahan melalui pengembangan tata air mikro. Teknologi tata air mikro ini merupakan perpaduan teknologi yang pengairan yang mengadopsi sistem pengaturan air yang telah dilakukan masyarakat selama ini. Melalui teknologi tata air mikro ini petani dimungkinkan untuk menanam padi dua kali setahun dengan pola unggul-lokal sekaligus mengusahakan tanaman hortikultura pada areal surjan yang ada di persawahan. Walaupun teknologi tata air mikro ini sesuai
dengan kondisi agroekosistem
setempat, tetapi karena petani masih belum banyak yang menanam padi unggul pada musim kedua tersebut, teknologi ini menjadi kurang berkembang. Kurangnya minat petani untuk menanam varietas unggul ini terutama disebabkan karena harga jualnya yang rendah serta sulit untuk dipasarkan. Masuknya teknologi pertanian modern dan perubahan-perubahan dalam penerapan paket teknologi ini ternyata juga berpengaruh terhadap sistem sosial di lahan rawa pasng surut tipe B. Pada aspek struktural, pembentukan kelompok tani yang ditujukan untuk pembinaan dan penyuluhan bagi petani telah menghilangkan sama sekali keberadaan handil sebagai bentuk lembaga dan organisasi sosial petani.
Kegiatan petani kini dilakukan dalam organisasi
kelompok tani sebagai satu-satunya organisasi sosail petani di wilayah ini. Walaupun demikian, kegiatan gotong royong pada saat penanaman masih dilakukan dan intensitasnya juga tidak berkurang.
Sistem upah sudah mulai
212 berkembang dalam kegiatan pertanian, terutama pada kegiatan pengolahan tanah, penanaman dan pemanenan. Dalam sistem kepemilikan lahan terjadi perubahan dengan bertambahnya pola-pola kepemilikan lahan yang baru. Jika sebelumnya hanya dikenal pola kepemilikan lahan milik sendiri, kini berkembang pola sewa lahan, sakap atau bagi hasil. Perubahan pola kepemilikan lahan ini disebabkan terbatasnya lahanlahan baru yang dapat dibuka untuk dijadikan sawah sementara jumlah penduduk dari tahun ke tahun
semakin bertambah.
Bahkan di wilayah ini
terdapat sekitar 10% petani yang tidak memiliki lahan sendiri dan hanya sebagai penggarap atau penyewa saja. Perubahan juga terjadi pada pola kepemimpinan dan elit desa yang berperan dalam kehidupan masyarakat. Jika sebelum era revolusi hijau, kepala handil banyak berperan dalam kegiatan pertanian, kini perannya digantikan oleh ketua kelompok tani sebagai mitra penyuluh dalam kegiatan pertanian. Penyuluh pertanian juga telah ditempatkan di desa ini untuk mendukung program-program peningkatan produksi pangan, khususnya padi. Elit lainnya seperti ulama dan kepala desa masih berperan dan diakui keberadaannya ole masyarakat.
Elit
baru yang muncul dalam kehidupan masyarakat selain ketua kelompok tani adalah petani kaya dan pengumpul padi 32. Perkembangan prasarana infrastruktur jalan sejak tahun 1990 telah membuka akses penduduk setempat untuk pergi ke luar desa sehingga tingkat kekosmopolitan penduduknya juga semakin tinggi.
Perubahan ini juga
berdampak terhadap wawasan mereka tentang perkembangan pertanian di wilayah lain. Perkembangan ini ternyata juga membawa perubahan pada nilainilai dan norma yang ada di masyarakat. tangga
Meningkatnya kebutuhan rumah
membuat orientasi petani untuk mengusahakan tanaman padi lebih
bersifat komersial. Budaya tolong menolong melalui pinjaman tanpa bunga kini sudah mulai hilang dan digantikan dengan model pinjaman dengan bunga yang cukup tinggi 33 32 Dalam kehidupan msyarakat pedagang pengumpul padi ini disebut juga pambarasan. Mereka inilah yang biasanya membeli gabah petani dan mengolahnya menjadi beras untuk selanjutnya dijual ke pedagang beras di Banjarmasin atau kota lainnya. Kebanyakan dari mereka juga memiliki mesin penggilingan beras sendiri. 33 Pinjaman biasanya berupa sarana produksi pupuk seperti Urea sebanyak 50 kg (1 sak) senilai Rp 60.000,-pada saat musim tanam (April) dan selanjutnya dibayarkan pada saat panen (Agustus/September) dengan gabah sebanyak 40 kg (4 blek) yang bernilai sekitar Rp 100.000,-
213 Perubahan-perubahan struktural maupun kultural yang terjadi di lahan rawa pasang surut tipe B pada era sebelum dan sesudah revolusi hijau dapat dilihat pada Tabel 24 berikut. Tabel 24 Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut tipe B Aspek perubahan Struktural (organisasi dan kelompok sosial)
Waktu Sebelum Era revolusi hijau • Organisasi handil memegang peranan penting dalam kegiatan pertanian • Kepala handil memegang peranan penting dalam pembinaan petani anggota handil • Gotong royong atau handipan dilakukan untuk kegiatan pengolahan tanah • Pola kepemilikan lahan lahan : milik sendiri • Elit desa yang berperan: ulama/guru agama, kades, kepala handil. • Tingkat kekosmopolitan petani rendah
Kultural (nilai dan norma)
• Masih terikat dengan tradisi dan nilai-nilai magis • Usahatani padi lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga (subsisten) • Sistem pinjaman tanpa bunga
Setelah Era revolusi hijau • Kelompok tani sebagai organisasi sosial utama petani • Ketua kelompok tani atau kontak tani sebagai mitra dalam penyuluhan pertanian • Gotong royong atau handipan masih ada dan mulai berkembang sistem upah. • Pola kepemilikan lahan: milik sendiri, sewa dan sakap • Elit desa yang berperan: kades, ulama, ketua kelompok tani, petani kaya, dan guru • Tingkat kekosmopolitan petani tinggi • Hanya sebagian tradisi yang masih dipegang dalam kegiatan pertanian • Selain untuk pemenuhan kebutuhan keluarga (subsisten) juga untuk dipasarkan (komersial) • Sistem pinjaman dengan bunga
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
8.1.3 Lahan rawa pasang surut tipe C Pada persawahan di lahan rawa pasang surut tipe C air pasang hanya berpengaruh pada permukaan air tanah saja (kurang dari 50 cm dari permukaan
214 tanah). Air hujan lebih banyak berpengaruh terhadap pengairan di wilayah ini, sehingga handil atau saluran air yang dibangun lebih ditujukan pada proses pembuangan air saat musim hujan.
Kondisi sawah yang demikian hanya
memungkinkan petani mengusahakan padi lokal satu kali setahun. Pengaturan waktu tanam dan kegiatan pertanian lainnya dilakukan secara bersama dalam kelompok handil. Umumnya petani dalam satu handil berasal dari wilayah yang sama sehingga nama handil yang dipakai sering menggunakan nama wilayah asal mereka 34. Masuknya teknologi pertanian modern ke wilayah ini telah membawa perubahan pada beberapa bagian dari sistem pertanian yan selama ini mereka usahakan. Perubahan sistem pertanain tersebut antara lain berupa penggunaan benih unggul, pupuk kimia dan pestisida, penggunaan kapur pertanian, peralatan pertanian seperti sabit bergerigi dan mesin perontok gabah. Penggunaan benih unggul merupakan salah satu teknologi yang tidak banyak diterima petani. Sistem budidaya padi unggul ini sangat berbeda dengan sistem pertanian padi lokal yang selama ini mereka lakukan. Walaupun secara teknis padi unggul kini dapat ditanam di wilayah ini, tetapi pemasarannya sulit, harganya rendah dibanding lokal serta memerlukan modal yang besar.
Beberapa petani yang
mengusahakan tanaman padi unggul di wilayah ini karena adanya proyek atau program yang sebagian biaya produksinya (benih dan pupuk) dibantu oleh pemerintah. Perkembangan pertanian setelah era revolusi hijau ini juga membawa implikasi perubahan pada sistem sosial masyarakat, baik menyangkut aspek struktural maupun aspek kultural. Pengembangan sistem penyuluhan dengan menempatkan kelompok tani sebagai organisasi sosial masyarakat tani mengurangi peran handil sebagai organisasi sosial petani.
Walaupun
keberadaan saluran atau handil ini tetap ada, tetapi kegiatan petaninya dilaksanakan atas nama kelompok tani yang dibentuk di wilayah tersebut. Pada beberapa handil, seperti Handil Mahang petaninya tinggal di sepanjang handil tersebut sehingga pembentukan kelompok tani yang didasarkan atas domisili petani juga sekaligus petani yang berusahatani di handil tersebut. 34
Nama-nama seperti Handil Mahang, Handil Barabai, Handil Pakapuran adalah nama daerah yang ada di Kalimantan Selatan yang juga menunjukkan bahwa petani di wilayah pada awalnya dibuka oleh mereka dari daerah tersebut. Oleh karena itu sebagian besar petani di wilayah handil tersebut umumnya berasal dari wilayah tersebut.
215 Peranan kepala handil tidak seperti dulu lagi terutama dalam hal pembagian lahan, sehingga perannya hanya terbatas pada pengorganisasi petani di handil tersebut saja.
Untuk kegiatan pembersihan handil biasanya
dikordinasikan oleh kepala handil bekerjasama dengan kelompok tani yang ada. Biasanya dalam satu handil terdapat lebih dari satu kelompok tani. kegiatan-kegiatan
pertanian
lainnya
seperti
penentuan
waktu
Untuk tanam,
penyusunan rencana pembelian pupuk dan kegiatan penyuluhan pertanian dilakukan melalui kegiatan kelompok tani. Ketua kelompok tani merupakan tokoh yang berperan dalam pembinaan dan pengorganisasi petani di wilayah tersebut. Mereka juga sring disebut sebagai kontak tani karena juga bertindak sebagai mitra penyuluh yang menjadi penghubung bagi petani lainnya. Kegiatan gotong royong sebagai ciri khas masyarakat pedesaan walaupun masih eksis tetapi kini sudah mengalami perubahan, terutama jumlah petani yang mengikutinya. Beberapa petani, terutama yang memiliki lahan luas dan termasuk kelompok petani kaya lebih memilih sistem upah. Kegiatan gotong royong yang sering dilakukan adalah penanaman. Untuk kegiatan pemanenan sebelum era revolusi hijau dikenal dengan sistem bagi hasil (batabus) 35. Kini untuk kegiatan panen selain sistem bagi hasil juga dikenal sistem upah 36 untuk kegiatan panen. Pola kepemilikan lahan juga berkembang dari semula hanya dikenal hak milik, kini selain hak milik dikenal pola sakap atau bagi hasil dan sistem sewa. Hal ini karena tidak semua petani di wilayah ini memiliki lahan sawah sendiri. Terdapat sekitar 37,5% keluarga petani yang tidak memiliki lahan dan hanya sebagai penggarap atau buruh tani saja. Perubahan pola kepemilikan lahan ini tentu berimplikasi pada kesenjangan dalam perolehan pendapatan dari usahatani padi.
Untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka juga mengusahakan
pekerjaan
sampingan.
Jenis pekerjaan sampingan yang umum dilakukan
masyarakat yang tidak memiliki sawah di wilayah ini seperti kerajinan anyaman, mencari ikan di sungai atau sawah, dan sebagai buruh tani.
35
Sistem bagi hasil (batabus) yang umum berlaku adalah 1 bagian untuk pemanen dan 4 bagian untuk pemilik sawah. Gabah yang dibagi adalah gabah yang sudah dibersihkan, sehingga pemanen bertanggung jawab hingga proses perontokan dan pembersihan gabah. 36 Upah yang berlaku pada saat penelitian adalah Rp 5.000,-/blek (1 blek = 20 liter atau sekitar 10 kg gabah kering giling). Pemanen juga bertanggung jawab hingga perontokan dan pembersihan gabah.
216 Elit desa yang berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di wilayah ini sebelumnya adalah kepala desa, kepala handil dan guru agama. Kini terjadi perubahan elit yang ada di wilayah ini menjadi kepala desa, petani kaya, ketua kelompok tani, kepala handil dan guru agama. Petani kaya ini di wilayah ini umumnya juga merangkap sebagai pedagang pengumpul padi dan memiliki mesin penggilingan padi sendiri.
Kekayaan seseorang dapat menjadi ukuran
baru sehingga ia dapat menduduki posisi sosial yang lebih tinggi dan peranan yang lebih banyak dalam struktur sosial masyarakat. Sebelumnya guru agama merupakan status yang sangat dihormati dalam kehidupan masyarakat, tetapi kini orang lebih menginginkan kekayaan untuk jaminan hidupnya. Perubahan pada sarana transportasi dengan terbukanya akses jalan darat membuat masyarakat desa dapat melakukan aktivitas keluar desa setiap saat. Bahkan masuknya listrik pada tahun 1992 membuat sikap masyarakatnya lebih terbuka terhadap perubahan dan inovasi yang dianggap menguntungkan bagi mereka.
Bahkan banyak petani yang kini memiliki telepon genggam untuk
menjalin komunikasi.
Rencana kunjungan penyuluh dan informasi yang
mendesak sering dilakukan melalui media telepon. Hal ini dilakukan karena penyuluh yang ada masih berstatus tenaga kontrak dan tidak bertempat tinggal di desa tersebut. Perubahan yang terjadi juga terlihat pada aspek-aspek kultural yang menyangkut nilai-nilai dan pandangan hidup petani setempat terhadap perubahan yang terjadi. Sebelum era revolusi hijau, petani dianggap sebagai profesi yang mulia dan mereka memiliki keyakinan bahwa kehidupan sebagai petani mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka sekeluarga secara layak. Pekerjaan bertani merupakan pilihan terakhir bagi generasi muda sekarang jika tidak ada lagi pekerjaan lain (walaupun hanya sebagai buruh industri) 37. Perubahan-perubahan struktural maupun kultural yang terjadi di lahan rawa pasang surut tipe C pada era sebelum dan sesudah revolusi hijau dapat dilihat pada Tabel 25 berikut.
37 Sebelum tahun pada periode 1980-2000 banyak generasi muda (laki-laki dan perempuan) yang lebih menyukai bekerja sebagai buruh di pabrik kayu/plywood yang memang banyak terdapat di sekitar wilayah ini.
217 Tabel 25 Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut tipe C Aspek perubahan Struktural (organisasi dan kelompok sosial)
Waktu Sebelum Era revolusi hijau
Setelah Era revolusi hijau
• Handil merupakan organisasi sosial masyarakat tani • Kepala handil merupakan tokoh kunci dalam kegiatan pertanian • Gotong royong atau handipan dilakukan untuk kegiatan pengolahan tanah • Sistem bagi hasil dalam kegiatan pemanenan • Pola kepemilikan lahan lahan : milik sendiri
• Kelompok tani sebagai organisasi sosial utama, handil tetap ada tetapi peranannya berkurang • Ketua kelompok tani atau kontak tani sebagai mitra penyuluh • Gotong royong atau handipan sudah berkurang dan mulai berkembang sistem upah. • Sistem bagi hasil dan sistem upah panen • Pola kepemilikan lahan: milik sendiri, sewa dan sakap • Elit desa yang berperan: kades, petani kaya, ketua kelompok tani, kepala handil • Tingkat kekosmopolitan petani tinggi
• Elit desa yang berperan: kades, kepala handil. guru agama • Tingkat kekosmopolitan petani rendah Kultural (nilai dan norma)
• Masih terikat dengan tradisi dan nilai-nilai magis • Usahatani padi lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga (subsisten) • Sistem pinjaman tanpa bunga
• Hanya sebagian tradisi yang masih dipegang dalam kegiatan pertanian • Selain untuk pemenuhan kebutuhan keluarga (subsisten) juga untuk dipasarkan (komersial) • Sistem pinjaman dengan bunga
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
8.1.4 Lahan rawa pasang surut tipe D Kondisi lahan rawa pasang surut tipe D dapat dikatakan sebagai lahan tadah hujan karean pengaruh air pasang pada muka air tanah berada jauh dari sistem perakaran tanaman padi (pada kedalaman lebih dari 50cm). Pada kondisi seperti ini saluran atau handil yang dibangun biasanya dilengkapi dengan bendung pintu air atau tabat. Pintu air yang dibangun ini selain berfungsi untuk
218 mengatur pembuangan air pada musim hujan juga berfungsi untuk menahan air di handil agar mampu menjaga kelembaban tanah pada saat awal kemarau. Petani umumnya hanya menanam padi lokal satu tahun sekali yang umurnya sedikit lebih pendek (9-10 bln) dari varietas di tipe A. Pengembangan teknologi modern yang dikembangkan di wilayah ini juga ditekankan pada upaya peningkatan produksi pertanian melalui sistem pertanian padi unggul dengan penggunaan pupuk kimia, dan pestisida. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida kini telah banyak diterapkan petani, tetapi benih unggulnya sendiri tidak diterapkan mereka. Menurut petani setempat dalam kegiatan FGD di Desa Simpang Nungki, mengusahakan benih ungul memerlukan modal yang banyak padahal hasilnya belum tentu mampu menutupi biaya-biaya tersebut. Upaya mengatasi kemasaman tanah di wilayah ini sebelum era revolusi hijau dilakukan
secara berkelompok melalui organisasi handil dengan pembuatan
pintu air atau tabat sederhana. Kepala handil memiliki peranan yang penting untuk mengatur kegiatan operasional saluran ini. Kepala handil juga memiliki peranan dalam pembagian lahan-lahan yang akan dicetak menjadi sawah di wilayah tersebut. Setelah revolusi hijau, pembentukan kelompok tani sebagai organisasi petani di wilayah ini telah mengurangi peranan organisasi handil dalam kegiatan pertanian.
Kegiatan pengaturan waktu tanam dan penyuluhan pertanian
dilakukan melalui kegiatan kelompok tani. Pengaturan dan pemeliharaan saluran dan bangunan pintu air juga dilakukan melalui kegiatan kelompok tani. Khusus untuk pembagian dan pengaturan percetakan lahan-lahan baru masih dilakukan oleh kepala handil.
Istilah kepala handil di wilayah ini juga disebut kepala
padang, yang artinya orang yang mengatur pembagian tanah pada wilayah hamparan tertentu.
Walaupun demikian, untuk pengurusan surat-surat tanah
berupa segel tanah tetap dilakukan melalui kewenangan kepala desa. Kegiatan gotong royong seperti handipan di wilayah pasang surut tipe D masih banyak dilakukan, walaupun sekarang sudah mulai berkembang sistem upah.
Petani yang memiliki lahan sawah di atas 2 hektar biasa harus
menggunakan tenaga upahan untuk kegiatan tanam.
Khusus untuk kegiatan
panen, sejak sebelum era revolusi hijau sudah mengenal sistem bagi hasil. Kini sistem panen ini berkembang menjadi sistem bagi hasil dan sistem upah. Pola ini terkait dengan perubahan sistem kepemilikan lahan, yang sebelumnya hanya mengenal pola hak milik saja, kini berkembang menjadi sistem milik, sewa, sakap
219 dan gadai.
Perubahan pola kepemilikan ini terkait dengan banyaknya petani
yang tidak memiliki lahan sendiri (mencapai 15%). Kegiatan pertanian sebelum era revolusi hijau masih berpegang pada adat dan hal-hal yang bersifat magis. Kini kegiatan pertanian walaupun masih tradisional tetapi mulai mengarah pada hal-hal yang bersifat logis dan terbukti nyata dalam praktik. Misalnya penggunaan kapur untuk mengatasi kemasaman tanah telah meluas penggunaannya setelah mereka membuktikan sendiri hasilnya atau melihat keberhasilan petani lainnya. Dalam sistem kehidupan sosial masyarakatnya, kepala desa, guru agama, dan kepala handil merupakan tokoh-tokoh masyarakat yang mendapat kedudukan sosial tinggi.
Setelah era revolusi hijau dan masuknya sistem
pertanian modern, terjadi perubahan elit yang menempati kedudukan sosial tinggi ini. Mereka adalah kepala desa, petani kaya, guru agama, dan ketua kelompok tani, kepala padang. Begitu juga halnya dengan perubahan orientasi pertanian ke arah yang lebih bersifat komersial menjadikan aspek ekonomi penentu
kedudukan
seseorang.
Perubahan
orientasi
ini
menjadi
ternyata
juga
menghilangkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan sosial seperti yang dituturkan Zni (65 th) tokoh petani di Desa Simpang Nungki: “Waktu dahulu sabalum tahun tujuhpuluhan, kira-kira kada lawas limbah jaman garumbulan PKI, patani disini biasa bagawi bagutung ruyung, bababantuan bila ada nang kasusahan. Bila ada nang kada baisi mudal, bisa haja mainjam lawan jiran nang bakalabihan. Mainjam duit gin kada usah babayar bunga. Tapi wayah ini, amun mainjam tapaksa lawan nang sugih atau pambarasan. Amun mainjam ada bunganya, amun dihitung-hitung dasar ganal jua pang bunganya. Napang, jar bila mainjam sajuta, mabulikakannya bisa sampai sajuta dua ratus. Nang mainjam ini kabiasannya gasan ungkus batanam atau batabas, babayarnya kaina limbah katam.” [ Waktu dahulu sebelum tahun 1970-an, tidak lama sekitar masa pemberontakan PKI, petani di sini biasa bekerja secara bergotong royong, saling membantu jika ada yang mengalami kesulitan. Jika ada yang tidak memiliki modal dapat meminjam dengan tetangga yang memiliki kelebihan. Pinjaman ini tidak dikenakan bunga. Tetapi kini, kalau meminjam terpaksa dengan orang kaya atau pedagang pengumpul. Jika meminjam harus membayar bunga. Yah, katanya bila meminjam satu juta, mengembalikannya bisa mencapai satu juta duarats ribu rupiah. Yang meminjam ini biasanya untuk membayar upah tanam atau mengolah tanah, pengembaliannya dilakukan setelah panen.]
Proses peminjaman dengan pedagang pengumpul ini menjadikan petani terikat untuk menjual hasil padinya kepada pengumpul tersebut. Faktor inilah yang juga menjadikan pedagang pengumpul ini dapat tetap eksis menjalin
220 hubungannya dengan petani setempat agar mereka tetap menjual hasil panen kepada mereka. Walaupun tidak ada sanksi bila petani tersebut menjual kepada pedagang pengumpul lainnya, tetapi mereka khawatir jika pada waktu mendatang tidak bisa lagi meminjam kepada pedagang pengumpul tersebut. Perubahan-perubahan struktural maupun kultural yang terjadi di lahan rawa pasang surut tipe D pada era sebelum dan sesudah revolusi hijau dapat dilihat pada Tabel 26 berikut. Tabel 26 Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut tipe D Aspek perubahan Struktural (organisasi dan kelompok sosial)
Waktu Sebelum Era revolusi hijau • Handil merupakan organisasi sosial masyarakat tani • Kepala handil/kepala padang berperan untuk mengatur pengairan, pembagian lahan dan kegiatan pertanian • Gotong royong atau handipan dilakukan untuk kegiatan pengolahan tanah • Sistem bagi hasil dalam kegiatan pemanenan • Pola kepemilikan lahan lahan : milik sendiri • Elit desa yang berperan: kades, kepala handil. guru agama
Kultural (nilai dan norma)
• Masih terikat dengan tradisi dan nilai-nilai magis • Kebersamaan menjadi dasar kehidupan masyarakat • Sistem pinjaman tanpa bunga
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
Setelah Era revolusi hijau • Kelompok tani sebagai organisasi sosial utama petani, organisasi handil masih ada tetapi peranannya berkurang • Ketua kelompok tani berperan dalam mengatur pengairan dan kegiatan pertanian, kepala handil/ padang masih mengatur pembagian lahan • Gotong royong handipan masih dilakukan dan juga berkembang sistem upah. • Sistem bagi hasil dan sistem upah panen • Pola kepemilikan lahan: milik sendiri, sewa dan sakap • Elit desa yang berperan: kades, petani kaya, guru agama, ketua kelompok tani, kepala handil • Hanya sebagian tradisi yang masih dipegang dalam kegiatan pertanian • Aspek ekonomi menentukan kedudukan sosial seseorang • Sistem pinjaman dengan bunga
221 Perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial masyarakat petani di lahan rawa pasang surut ini tidak lepas dari proses masuknya sains yang
menjadi
dasar
dalam
penerapan
teknologi
pertanian
modern.
Perbandingan perubahan komponen sistem sosial yang terjadi pada masingmasing tipe lahan rawa pasang surut ini dapat dilihat pada Tabel 27. Respon
sistem
sosial
terhadap
kontestasi
antara
sain
dengan
pengetahuan lokal pada masing-masing tipe lahan rawa pasang surut menunjukkan beberapa kemiripan dan juga perbedaan dalam beberapa aspek. Dominasi kelompok tani atas kelembagaan handil dalam sistem sosial masyarakat pada lahan rawa pasang surut tipe B telah menghilangkan peranan handil dalam kehidupan masyarakat petani.
Sebaliknya, pada sistem sosial
masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe A, C, dan D peranan ini masih ada walaupun juga telah berkurang.
Dominasi sains yang kuat di tipe B melalui
program pembangunan dan penyuluhan pertanian semakin memantapkan peran kelompok tani dalam kehidupan petani. Semua kegiatan petani terpusat pada kelompok tani sehingga peranan handil sebagai kelompok dan lembaga sosial petani mulai diambil alih. Eksistensi kepala handil di lahan rawa pasang surut tipe C dan D masih ada, terutama dalam hal pembagian lahan.
Untuk kegiatan lainnya sebagai
sebuah organisasi perannya telah digantikan oleh kelompok tani.
Berbeda
dengan yang terjadi di lahan rawa pasang surut tipe A, beberapa kegiatan gotong royong terutama dalam pembersihan saluran masih dilakukan dalam kelompok handil.
Hal ini karena pada beberapa handil, petaninya juga terikat dalam
kelompok tani yang sama.
Khusus untuk kegiatan pembinaan petani, peran
handil secara perlahanmulai digantikan oleh kelompok tani sebagai mitra penyuluh pertanian. Perubahan pola dan bentuk kerjasama petani terjadi seiring dengan berkembangnya sistem upah.
Beberapa bentuk kegiatan gotong royong
(handipan) walaupun masih eksis, tetapi mengalami penurunan baik dari segi jenis kegiatan yang dilakukan maupun jumlah peserta yang mengikutinya. Perubahan ini terjadi seiring dengan masuknya beberapa teknologi peralatan pertanian modern seperti sabit bergerigi untuk pemanenan dan penggunaan mesin perontok.
Khusus untuk tipe A, perubahan ini juga dipicu dengan
kepemilikan areal sawah yang relatif luas dibandingkan dengan tipe lahan rawa pasang surut lainnya.
222
Tabel 27. Perbandingan perubahan sistem sosial di lahan rawa pasang surut Aspek Perubahan
Lahan rawa pasang surut Tipe A
Tipe B
Organisasi/kelompok sosial yang berperan
Peranan handil berkurang dengan munculnya kelompok tani
Peranan handil digantikan oleh kelompok tani
Tipe C Peranan handil berkurang dengan munculnya kelompok tani
Tipe D Peranan handil berkurang dengan munculnya kelompok tani
Peran organisasi/kelompok sosial
Kegiatan penyuluhan, pembinaan petani dilakukan melalui kelompok tani, sebagian kegiatan pemeliharaan saluran masih dilakukan kelompok handil
Semua kegiatan pertanian, baik pembinaan/penyuluhan, pembersihan saluran dan gotong royong dilakukan melalui kelompok tani
Kegiatan pembersihan handil dilakukan bersama kelompok tani. Kegiatan lainnya seperti pembinaan/penyuluhan dan gotong royong dilakukan kelompok tani
Pembagian lahan masih dilakukan oleh kepala handil. Kegiatan lainnya seperti pembinaan/ penyuluhan dan gotong royong, pembersihan saluran dilakukan kelompok tani
Pola dan bentuk kerjasama petani
Kegiatan gotong royong (penanaman) intensitasnya berkurang. Berkembang sistem upah dalam kegiatan usahatani
Kegiatan gotong royong masih eksis. Berkembang sistem upah dalam kegiatan usahatani
Intensitas dan jenis kegiatan gotong royong mulai berkurang. Berkembang sistem upah dalam kegiatan usahatani
Kegiatan gotong royong masih eksis. Berkembang sistem upah dalam kegiatan usahatani
Pola kepemilikan lahan
Pola kepemilikan lahan berkembang menjadi : hak milik, sewa, sakap, gadai
Pola kepemilikan lahan berkembang menjadi : hak milik, sewa, sakap
Pola kepemilikan lahan berkembang menjadi : hak milik, sewa, sakap
Pola kepemilikan lahan berkembang menjadi : hak milik, sewa, sakap
223 Lanjutan Aspek Perubahan
Lahan rawa pasang surut Tipe A
Tipe B
Tipe C
Tokoh atau elit masyarakat
Masuknya elit baru ketua kelompok tani, sedangkan kepala handil tidak lagi.
Masuknya elit baru ketua kelompok tani dan petani kaya, sedangkan kepala handil tidak lagi.
Masuknya elit baru ketua kelompok tani dan petani kaya, sedangkan kepala handil masih ada.
Masuknya elit baru ketua kelompok tani dan petani kaya, sedangkan kepala handil masih ada.
Nilai dan norma sosial yang berlaku
Masih memegang nilainilai tradisi dalam kegiatan usahatani. Nilai-nilai yang bersifat magis sudah mulai ditinggalkan. Aspek ekonomi menjadi acuan baru dalam pola hidup masyarakat
Nilai-nilai tradisi dalam kegiatan usahatani mulai berkurang. Nilai-nilai yang bersifat magis sudah ditinggalkan. Orientasi ekonomi lebih dominan dalam kehidupan masyarakat
Hanya sebagian tradisi yang masih dipegang dalam kegiatan pertanian. Aspek ekonomi menjadi acuan baru dalam pola hidup masyarakat. Nilai kebersamaan mulai berkurang
Hanya sebagian tradisi yang masih dipegang dalam kegiatan pertanian. Aspek ekonomi menjadi acuan baru dalam pola hidup masyarakat. Nilai kebersamaan mulai berkurang
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
Tipe D
224 Berkembangnya wilayah pasang surut sebagai wilayah pertanian potensial dan masuknya teknologi pertanian modern menjadikan wilayah ini sebagai salah satu tujuan usaha pertanian yang menjanjikan dalam peningkatan kesejahteraan keluarga. Masuknya pendatang ke wilayah ini, selain juga karena pertambahan penduduk secara alamiah, turut berpengaruh terhadap tersedianya lahan pertanian untuk persawahan.
Petani yang tidak memiliki sawah dapat
berusahatani dengan cara sewa maupun sakap. Berkembangnya sistem sewa dan sakap ini merupakan salah satu bentuk respon sistem sosial dalam menanggapi ketersediaan lahan yang semakin berkurang.
Perubahan dalam
pola kepemilikan lahan ini secara umum tidak menunjukkan perbedaan yang berarti antara masing-masing tipe lahan rawa pasang surut tersebut. Perkembangan orientasi usahatani yang mengarah pada komersialisasi pertanian dengan masuknya sains dan tekno,logi pertanian modern ternyata juga nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Semakin besar tingkat komersialisasi ini berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, semakin besar pula perubahan-perubahan yang terjadi dalam nilai dan norma masyarakat petani. Pada lahan rawa pasang surut tipe A, para petaninya relatif masih kuat memegang nilai-nilai tradisional dalam kegiatan pertanian padi dibandingkan tipe B, C dan D. Bahkan dalam kehidupan sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe B, C dan D muncul elit baru yakni petani kaya yang umumnya adalah pedagang pengumpul gabah.
Para petani kaya ini juga sekaligus sebagai
pemberi pinjaman bagi petani yang membutuhkan modal untuk kegiatan usahataninya, baik untuk keperluan pembelian pupuk atau pestisida maupun upah kerja untuk kegiatan tanam. Respon sistem sosial yang terjadi pada masing-masing tipe lahan tersebut sangat dipengaruhi oleh sejauh mana perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem pertanian akibat konbtestasi antara sains dengan pengetahuan lokal.
Dominasi sains terhadap pengetahuan lokal merupakan
pemicu utama yang mendorong terjadinya perubahan pada sistem sosial masyarakat.
Hal ini terjadi karena masuknya sistem pertanian baru dalam
kehidupan pertanian masyarakat akan merubah tatanan yang sudah ada. Untuk itulah masyarakat akan berupaya melakukan penyesuaian terhadap perubahan pada sistem pertanian tersebut.
225 8.2 Bentuk-bentuk Respon Sistem Sosial dan Sistem Biofisik di Lahan Rawa pasang Surut Masyarakat petani di lahan rawa pasang surut telah ratusan tahun berinteraksi dengan lingkungan setempat dan mampu menciptakan sebuah sistem pertanian yang spesifik.
Sistem sosial masyarakat yang terbentuk
merupakan proses penyesuaian dengan kondisi ekosistem lahan rawa pasang surut. Para petani setempat dengan pemahaman dan pengalamannya berhasil merubah lahan marjinal dengan kendala genangan dan kemasaman tanah menjadi
lahan
pertanian
yang
mampu
mencukupi
kehidupan
mereka.
Perubahan-perubahan pada lingkungan biofisik ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada sistem sosial masyarakat.
Sebaliknya interaksi
antar komponen sistem sosial juga berpengaruh terhadap perubahan pada ekosistem lahan rawa pasang surut. Sistem pertanian padi di lahan rawa pasang surut secara keseluruhan masih didominasi padi lokal, hanya sekitar 17,93% yang ditanami dengan padi unggul pada musim tanam tahun 2009.
Kondisi ini memberikan gambaran
bahwa petani masih belum sepenuhnya menerima teknologi baru di bidang pertanian ini.
Pengusahaan tanaman padi ini masih menggunakan cara-cara
tradisional, tetapi memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan setempat.
Bahkan di lahan rawa pasang surut tipe A semua petaninya
mengusahakan padi lokal. Pengembangan tanaman padi unggul banyak ditemui pada lahan rawa pasang surut tipe B dan C serta sebagioan kecil di tipe D Introduksi pertanian modern di lahan rawa pasang surut ini juga telah memperkenalkan penggunaan pupuk kimia dan pestisida serta peralatan mesin pertanian sebagai bagian dari paket teknologi budidaya padi unggul. Walaupun petani tidak menanam padi unggul, tetapi teknologi ini diterima masyarakat dan diaplikasikan dalam sistem pertanian tradisional. Penerapan sebagian teknologi pertanian modern ini ternyata dianggap cocok oleh sebagian besar petani di lahan rawa pasang surut. Secara teknis peningkatan produksi padi di wilayah ini dipengaruhi oleh penerapan teknologi tersebut. Penyebaran paket teknologi pertanian modern ini dilakukan melalui kegiatan penyuluhan pertanian yang dikordinasikan melalui Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. Penyuluh pertanian ditempatkan pada masing-masing desa dan organisasi petani ditata melalui kelompok tani. Sarana produksi seperti pupuk dan pestisida mudah diperoleh, baik melalui distributor maupun kios-kios
226 sarana produksi yang tersebar hingga ke wilayah pedesaan. Program-program pembinaan dan percontohan juga dilakukan melalui kegiatan sekolah lapang dan demonstrasi langsung di lahan petani. Semua kegiatan dan program ini bukan hanya berpengaruh terhadap kondisi sistem pertanian petani dan biofisik lahan rawa pasang surut saja, tetapi juga terhadap sistem sosial petaninya. Secara teknis masuknya sains yang melekat pada sistem pertanian modern ini telah merubah sistem pertanian yang selama ini dilakukan petani. Khusus di lahan rawa pasang surut tipe A, pupuk Urea lebih banyak digunakan untuk pembibitan dengan tujuan untuk menghasilkan bibit yang sehat dan memiliki anakan banyak.
Pestisida mulai digunakan, walaupun dalam skala
jumlah petani yang kecil. Begitu juga dengan peralatan modern terutama sabit dan mesin perontok mulai digunakan sebagai pengganti ani-ani dan teknik perontokan dengan kaki. Pada lahan rawa pasang surut tipe B, C dan D pupuk kimia ini justeru lebih meluas penggunaannya, ketergantungan petani terhadap pupuk kimia ini.
bahkan mulai tercipta Pestisida menjadi alternatif
pertama petani dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman. Penerapan pertanian modern pada lahan rawa pasang surut tipe B Penanaman padi unggul dengan sistem sawit dupa yang dikombinasikan dengan sistem tata air mikro juga telah dilakukan oleh sebagian kecil petani setempat. Begitu juga halnya dengan pengembangan sistem agribisnis jeruk yang dikembangkan dalam pola surjan atau tukungan di persawahan petani. Perubahan-perubahan ini berimplikasi pada meningkatnya intensitas interaksi antara kedua sistem tersebut. Perubahan pola orientasi ekonomi dari subsisten ke pertanian komersial akan berimplikasi pada ekosistem alam. Program peningkatan produksi padi dengan basis padi unggul seperti SLPTT telah dilakukan di lahan rawa pasang surut tipe C dan D dengan pembinaan yang intensif dari Dinas Pertanian setempat. Sistem pengetahuan masyarakat mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pengetahuan tentang penggunaan kapur pertanian, pupuk kimia dan pestisida telah menjadi bagian dalam sistem pengetahuan mereka.
Teknologi pertanian berupa mekanisasi pertanian
(terutama peralatan panen dan pasca panen) telah diterima sebagai bagian dalam sistem pertanian mereka. Walaupun penanaman padi unggul ini masih sedikit, tetapi teknologi pendukungnya telah menjadi bagian dalam sistem sosial petani di lahan rawa pasang surut tipe C dan D.
227 Secara skematis respon sistem sosial dan sistem biofisik di lahan rawa pasang surut ini dapat dilihat pada Gambar 16.
Luas lahan
Pola kepemilikan lahan
Tata air
Organisasi /kelompok sosial
Pengolahan tanah
Pembibitan Pupuk kimia Penanaman Penyuluhan Pertanian Pemeliharaan
Pestisida Penyedia saprotan
Pemanenan Peralatan modern
Sistem upah dan Gotong royong
Padi/gabah
Nilai dan norma
Sistem biofisik LRPS
Sistem sosial petani
Pascapanen
Sistem pertanian padi
Gambar 16 Respon sistem sosial dan sistem biofisik pada sistem pertanian padi lahan rawa pasang surut
228 Gambaran di atas menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada sistem budidaya padi ini akan mendapat respon dari sistem biofisik dan sistem sosial petani di lahan rawa pasang surut. Proses inilah yang disebut oleh Marten (2001) sebagai proses koadaptasi.
Pada sistem biofisik, terjadi perubahan-
perubahan fisik pada tanah, air dan udara, vegetasi, hewan dan benda-benda lainya baik senyawa organik maupun anorganik.
Begitu juga yang terjadi pada
sistem sosial petani terjadi perubahan-perubahan sebagai bentuk respon untuk menyesuaikan dengan kondisi biofisik dan sistem budidaya yang telah berubah. Proses saling mempengaruhi ini menghasilkan respon yang saling timbal balik satu sama lain. Proses saling interaksi ini misalnya terjadi pada penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Keperluan akan pupuk dan pestisida ini tentu harus diikuti dengan adanya penyedia sarana produksi agar petani mudah memperolehnya dan penyuluhan agar mereka tahu dan terampil menerapkannya. Begitu juga sebaliknya,
perubahan
pada
model
penyuluhan
yang
digunakan
akan
berpengaruh terhadap organisasi dan kelompok sosial petani. Kelompok tani sebagai mitra penyuluh akan lebih banyak berperan dalam mengatur kegiatan pertanian, baik menyangkut pemeliharaan saluran, penyediaan pupuk dan lainnya.
Respon yang terjadi ini dapat terjadi dalam satu sistem atau antar
sistem tersebut. Perubahan-perubahan dalam sistem pertanian padi di lahan rawa pasang surut ini tentu saja mendapat respon yang beragam dari sistem sosial petani.
Respon sistem sosial dapat terjadi dalam bentuk penyesuaian
terhadap perubahan yang terjadi maupun menekan balik perubahan tersebut dan berupaya bertahan hingga batas-batas toleransi terlampaui. 8.3 Ikhtisar: Dinamika Respon Sistem Sosial Di Lahan Rawa Pasang Surut Pengetahuan lokal masyarakat petani di lahan rawa pasang surut terbentuk sebagai proses adaptasi terhadap ekosistem biofisik maupun sistem sosial. Perubahan-perubahan yang terjadi pada salah satu subsistem ini akan berpengaruh pada subsistem lainnya.
Penyesuaian antara kedua subsistem
inilah yang menciptakan proses koadaptasi antara ekosistem biofisik dengan sistem sosial. Masuknya sains yang diimplementasikan dalam sistem pertanian modern melalui pengembangan padi unggul mendapat respon dari sistem sosial petani setempat.
Respon ini berupa perubahan yang mengarah pada
penyesuaian sistem sosial terhadap masuknya pertanian modern ini. Perubahan
229 pada sistem sosial yang terjadi meliputi perubahan bentuk organisasi dan kelompok sosial yang dominan, peranan organisasi dan kelompok sosial tersebut, pola dan bentuk kerjasama petani, pola kepemilikan lahan, tokoh atau elit masyarakat yang berperan, serta nilai dan norma sosial yang berlaku. Respon sistem sosial juga terkait dengan pola pembentukan dan perkembangan pengetahuan lokal dalam kehidupan masyarakat. Kepercayaan akan hal-hal gaib dan mistis sering menjadi dasar pembentukan pengetahuan lokal masyarakat setempat.
Masuknya perkembangan sains melalui revolusi
hijau pada bidang pertanian ternyata berpengaruh terhadap bentuk dan perkembangan pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal lebih berkembang pada hal-hal yang didasarkan pada hubungan sebab akibat yang lebih logis menurut pandangan masyarakat setempat.
Pengalaman dan praktik sehari-hari
menjadikan mereka mampu mengatasi berbagai kendala spesifik yang terjadi di lingkungan lahan rawa pasang surut dan terwujud sebagai sebuah bentuk pengetahuan.
Gambaran ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal juga
memiliki karakteristik yang lebih bersifat empiris daripada sebagai pengetahuan teoretis dalam arti sempit (Ellen and Bicker 2005; Kalland 2005) Respon sistem sosial yang terjadi menunjukkan pola yang berbeda pada beberapa tipe lahan rawa pasang surut. Pada lahan rawa pasang surut tipe A, masuknya sains yang terwujud dalam sistem pertanian modern berbasis padi unggul tidak banyak merubah pola dan teknik pertanian yang ada. Bahkan sistem sosial memberikan respon yang tetap mempertahankan keberadaan pengetahuan lokal melalui sistem pertanian padi lokal. Begitu juga dengan dinamika sistem sosial. Perubahan dan perkembangnya sistem upah dipicu oleh masuknya peralatan mesin, seperti penggunaan mesin perontok. Tidak terdapat perubahan mendasar dalam sistem pertanian di wilayah ini, bahkan beberapa teknologi yang besesuaian dengan sistem sosial masyarakat diterima sebagai bagian dari sistem sosial mereka (Hans-Dieter Evers and Gerke 2003) Perkembangan yang cukup berbeda terjadi di lahan rawa pasang surut tipe B, di mana sistem sosial memberikan respon yang lebih dinamis terhadap perubahan yang terjadi pada sistem pertanian padi. Proses koadaptasi antara sistem sosial dengan ekosistem biofisik akibat masuknya sains dan teknologi pertanian modern terjadi dengan skala yang cukup luas dalam kehidupan masyarakat. Bahkan pada tahap selanjutnya, proses ini berkembang menjadi bentuk koevolusi yang menghasilkan perubahan-perubahan baik pada ekosistem
230 biofisik maupun sistem sosial masyarakat.
Masuknya mekanisasi pertanian
(traktor tangan), penggunaan sabit dan mesin perontok memungkinkan petani mengusahakan tanaman padi dengan areal yang lebih luas lagi.
Kondisi ini
selanjutnya mendorong berkembangnya sistem upah, sistem sewa, serta komersialisasi dalam pengusahaan tanaman padi.
Padi sudah menjadi
komoditas ekonomi penting bagi keluarga petani. Begitu juga halnya meluasnya penggunaan bahan-bahan kimia memunculkan kelembagaan baru dalam kehidupan ekonomi masyarakat berupa berkembangnya kios-kios sarana produksi dan peralatan pertanian di pedesaan. Pada lahan rawa pasang surut tipe C dan D, sistem sosial juga memberikan respon yang cukup besar terhadap masuknya sains dan teknologi pertanian modern. Menurunnya tingkat kesuburan tanah akibat pengelolaan yang intensif untuk meningkatkan produktivitas memaksa petani untuk menggunakan input luar dalam jumlah yang lebih banyak (terutama pupuk kimia).
Begitu juga
halnya penggunaan peralatan pertanian modern (sabit dan mesin perontok) mendorong berkembangnya sistem upah dalam kegiatan panen. Sebelumnya kegiatan panen dilakukan sendiri oleh petani dengan keluarganya atau dengan sistem bagi hasil. Penggunaan penggunaan bahan kimia (pupuk dan pestisida) mendorong berkembangnya kelembagaan penyedia saprodi baik berupa kios sarana produksi maupun sistem kredit oleh petani kaya (pedagang pengumpul) dalam penyediaan pupuk. Penggunaan bahan-bahan kimia tersebut pada sisi lain mendorong semakin berperannya penyuluh pertanian untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan baru tentang penggunaan bahan-bahan tersebut. Oleh karena itulah respon sistem sosial yang terjadi di lahan rawa pasang surut ditentukan oleh dua hal yakni bentuk kontestasi yang terjadi dan kondisi agroekosistem itu sendiri, dalam hal ini adalah tipe lahan rawa pasang surut. Sains yang mampu mengisi kekurangan dan kelemahan pengetahuan lokal dalam mengatasi permasalahan dalam pengelolan lahan rawa pasang surut mudah diterima sebagai bagian dari sistem sosial masyarakat setempat. Kondisi ini selaras dengan pendapat dari Rogers (203) tentang sifat inovasi yang mempengaruhi penerimaan oleh masyarakat. Habermas justeru melihatnya dari sisi lain, dimana respon sistem sosial terhadap kontestasi antara sains dan pengetahuan lokal lebih ditekankan pada aspek komunikasi melalui dialog emansipatoris.
IX SIMPULAN DAN IMPLIKASI 9.1 Simpulan Simpulan dari hasil penelitian ini terdiri atas simpulan empiris yang didasarkan atas temuan-temuan lapang dan simpulan teoritis yang menyangkut eksistensi pengetahuan lokal dan kontestasinya dengan sains. Simpulan teoritis ini dirumuskan berdasarkan pada temuan-temuan empiris yang bersifat spesifik sehingga mampu menghasilkan suatu generalisasi tentang pengetahuan lokal. 1. Berdasarkan analisis dari temuan lapang terkait dengan pengembangan pengetahuan lokal pada era modernisasi, secara teoritis disimpulkan bahwa Pengetahuan lokal terbentuk dan berkembang dari interaksi masyarakat dengan dinamika kondisi lingkungan lahan rawa pasang surut. Pengetahuan lokal ini selalu mengalami proses perubahan dan berevolusi tergantung pada kekuatan luar yang ada.
Evolusi pengetahuan lokal (evolution of local
knowledge) ini terutama didorong oleh kontestasinya dengan sains yang diintroduksi
dalam
sistem
pertanian
di
lahan
rawa
pasang
surut.
Pengetahuan lokal petani untuk mengelola lahan rawa pasang surut sangat terkait dengan kemampuan petani setempat untuk mengatasi dua kendala spesifik, yakni genangan air dan tingkat kemasaman tanah yang relatif tinggi. Transmisi pengetahuan lokal lebih banyak terjadi melalui ruang publik dalam suasana komunikasi yang bebas dari dominasi. 2. Masuknya sains melalui pengembangan pertanian modern dalam kehidupan petani di lahan rawa pasang surut menciptakan kontestasi dengan pengetahuan lokal petani setempat. Berdasarkan hal ini secara teoritis dapat disimpulkan bahwa : Bentuk kontestasi antara sains dan pengetahuan lokal ditentukan oleh sifat dan peran sains tersebut terhadap pengetahuan lokal. Sains
dan
pengetahuan
lokal
menghasilkan bentuk koeksistensi.
yang
bersifat
substitusi
cenderung
Jika keduanya bersifat komplementer
maka cenderung menghasilkan bentuk hibridisasi. Pengetahuan lokal dan sains yang bersifat saling mengeliminasi akan menghasilkan bentuk dominasi. Koeksistensi memungkinkan kedua entitas pengetahuan ini memiliki ruang untuk berkembang karena satu sama lain bersifat substitusi. Masuknya sains dalam sistem pertanian petani setempat memberikan pilihan atau alternatif bagi petani tempat untuk menentukan pilihan yang sesuai. Proses hibridisasi merupakan hasil proses yang bersifat komunikatif antara
232 penganut entitas pengetahuan lokal dengan sains sebagai tindakan komunikatif yang menghasilkan konsensus bersama dalam suasana bebas dominasi.
Sebaliknya, dominasi sains terhadap pengetahuan lokal terjadi
melalui proses hegemoni, dimana dimunculkan pandangan bahwa pertanian modern merupakan tahap lebih lanjut dari pertanian yang didasarkan atas pengetahuan lokal. Proses dominasi sains atas pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut lebih disebabkan karena pemerintah menggunakan pendekatan komunikasi yang bersifat instrumental. Komunikasi yang dibangun dalam konteks ini selalu dimuati dengan kepentingan menguasai dan menundukkan. Program pembangunan pertanian yang cenderung topdown dengan berbagai proyek atau kegiatan yang bersifat nasional mendorong terjadinya hegemoni pemerintah terhadap para petani sehingga mengakibatkan berkurangnya peran dan eksistensi kelembagaan lokal. 3. Sistem sosial akan memberikan respon terhadap proses kontestasi antara sains dan pengetahuan lokal yang terjadi di lahan rawa pasang surut. Terkait dengan respon sistem sosial ini dapat disimpulkan bahwa : Koadaptasi sistem sosial terhadap proses kontestasi antara sains dan pengetahuan lokal dipengaruhi oleh bentuk kontestasi yang terjadi dan kondisi agroekositem setempat. Respon sistem sosial ini dapat berupa diterimanya sains dalam sistem pertanian mereka melalui proses penyesuaian bersama (koadaptasi) atau justeru mengalami penolakan karena tidak bersesuaian baik dengan lingkungan biofisik maupun dengan sistem sosial masyarakat. Berdasarkan temuan empiris di lapang dapat disimpulkan bahwa sains yang mampu mengisi kekurangan dan kelemahan pengetahuan lokal dalam mengatasi permasalahan dalam pengelolan lahan rawa pasang surut mudah diterima sebagai bagian dari sistem sosial masyarakat setempat. 4. Berdasarkan
keterkaitan
hubungan
antara
sejarah
perkembangan
pengetahuan lokal dan masuknya sains dalam sistem sosial masyarakat serta kontestasi keduanya yang direspon sistem sosial sebagai suatu bentuk koadaptasi, dapat dirumuskan teori tentang eksistensi pengetahuan lokal sebagai berikut : Eksistensi pengetahuan lokal petani dalam pada era modernisasi pertanian saat ini ditentukan oleh: a) bentuk kontestasinya dengan sains, b) perubahan lingkungan biofisik, c) respon sistem sosial, dan d) kebijakan pemerintah di bidang pertanian. Kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal tidak lain adalah pertarungan kepentingan antara petani
233 yang menerapkan sistem pertanian padi lokal dengan pemerintah yang mengintroduksi padi unggul untuk pemenuhan produksi padi nasional. Pada kondisi dimana sistem biofisik tidak memungkinkan menjadi wadah bagi berkembangnya sains tersebut, sistem sosial juga akan merespon negatif terhadap masuknya sains tersebut.
Perkembangan sistem sosial selain
karena dinamika interaksi yang terjadi dalam sistem sosial itu sendiri, juga karena faktor eksternal. Perubahan sistem sosial ini kemudian mendorong terjadinya perubahan-perubahan pada sistem biofisik (ekosistem).
9.2 Implikasi 1. Lahan rawa pasang surut merupakan lahan marjinal yang bersifat spesifik, sehingga nilai keberlanjutannya secara ekologis lebih penting dari tujuan eksploitasi untuk kepentingan ekonomi semata. Untuk menjaga eksistensi pengetahuan lokal ini maka perlu diupayakan pengembangan pengetahuan lokal agar mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dalam era globalisasi dan tekanan populasi perlu dilakukan.
Sains dan teknologi
pertanian modern harus dikembangkan dengan basis pengetahuan lokal dan potensi sumberdaya lokal di lahan rawa pasang surut melalui pengembangan bentuk hibridisasi. 2. Dalam konteks pembangunan pertanian di lahan rawa pasang surut saat ini tidak ada gunanya untuk memaksakan sains dan teknologi yang telah terbukti tidak sesuai dan mendapat penolakan masyarakat. Hegemoni pemerintah melalui program-program peningkatan produksi padi justeru dapat bersifat kontra produktif sehingga merugikan baik bagi masyarakat maupun pemerintah sendiri. Untuk mewujudkan masyarakat yang mampu berkreasi mengembangkan potensi pengetahuan lokalnya maka pemerintah harus membuka
ruang
berpendapat
masyarakat
(public
sphere)
sehingga
terbangun komunikasi yang setara antara pemerintah dengan petani. Walaupun demikian, pada konteks program pembangunan pertanian yang bersifat mendesak dan perlu segera dilaksanakan, maka kekuatan dominasi pemerintah tetap dibutuhkan dengan syarat hal tesebut tidak bersifat mengeleminasi pengetahuan lokal yang selama ini dimiliki masyarakat. Dalam konteks ini perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai proses komunikasi dan aspek psikologis dalam diri individu petani pada saat
234 dilakukan intoduksi teknologi baru di bidang pertanian serta hubungannya dengan pengetahuan lokal yang mereka miliki. 3. Pola hibridisasi antara pengetahuan lokal dengan sains dalam pertanian modern perlu dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi biofisik pada masing-masing tipe lahan rawa pasdang surut. Keberdayaan petani untuk mampu mengembangkan usaha pertaniannya secara mandiri perlu dilakukan dengan memberikan ruang yang cukup bagi perkembangan pengetahuan lokal. Keterbatasan pengetahuan lokal yang umumnya bersifat spesifik lokal bukan menjadi masalah besar, jika kekhasan pengetahuan lokal pada masing-masing agroekosistem lahan rawa pasang surut tersebut dapat berkembang.
Kelembagaan lokal seperti handil harus dihidupkan kembali
sebagai lembaga dalam pembangunan pertanian di lahan rawa pasang surut sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial budaya masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA Abbas, S. 1999. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Jakarta. Sekretariat Badan Pengendali Bimas Departemen Pertanian. Achadiyat, A. 1995. Menyelaraskan Tradisi dan Pembangunan : Tanggapan Terhadap Makalah Mansour Fakih. Analisis CSIS 6:451-454. Adi IR. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Agrawal, A. 1995. Indigenous and Scientific Knowledge: Some Critical Comments. IK Monitor 3(3). http://www.nuffic.nl/ciran/ikdm/3-3/articles/ agrawal.html [2 Mei 2007] Azhari. 2006. Pelibatan organisasi lokal dalam pembangunan pertanian (Studi tentang Tuah Bano Safakat sebagai organisasi lokal di Kecamatan Simeulue Tengah Kabupaten Simeulue) [tesis]. Jakarta. Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP UI. Azwar, M. 1997. Pengelolaan lahan gambut berwawasan lingkungan. Alami 2(1):12-17.
yang berkelanjutan dan
Blaike. 1992. Challenges to Local Konowledge. http://www.fao.org/sd/LINKS/ documents_download/FS10ChallengestoLK.pdf [2 Mei 2007] BPS Kalsel, 2009. Survei Pertanian : Luas lahan menurut penggunaannya di Kalimantan Selatan 2008. Chambers R. 1987. Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang, Pepep Sudradjat, penerjemah; Jakarta: LP3ES. Terjemahan dari: Rural Development: Putting the Last First. Darwis, V. 2007. Lukisan Kemiskinan di Ranah Pertanian. Bogor: Ar-Rahmah. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Selatan. 2009. Buku Data Ketransmigrasian Tahun Anggaran 2008, Banjarmasin Dove R. 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Duarte, F.P. 2001. ‘Save the Earth’ or ‘Manage the Earth’? The Politics of Environmental Globality in High Modernity. Current Sociology, 49(1):91111. Durning, A.T. 1995. Mendukung Penduduk Asli. dalam Lester R. Brown. Masa Depan Bumi, Hermoyo, penerjemah. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: State of the World. Eilers, F.J. 1994. Communicating in Community : An Introduction to Social Communication. Manila: LOGOS Publications.
236 Ellen, R. and H. Haris. 2005. Introduction. dalam Ellen, R., P. Parker, and A. Bicker (ed). Indigenous Environmetal Knowledge and its Transformation. Critical Anthropological Perspectives. Francis: The Taylor & Francis eLibrary. Escobar A. 1999. After Nature: Steps to an Antiessentialist Political Ecology. Current Antrophology 40:1-30. Fakih, M. 1995. Tradisi dan Pembangunan : Suatu Tinjauan Kritis. Analisis CSIS 6:440-450. Fakih, M. 2000. Tinjauan Kritis terhadap Revolusi Hijau. dalam Yuliantara, D (editor). Menggeser Pembangunan, Memperkuat Rakyat: Emansipasi dan Demokrasi Mulai dari Desa. Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama FAO.
2004. Challenges to Local Knowledge. Training Manual “Building on Gender, Agrobiodiversity and Local Knowledge”. FAO, 2004. http://www.fao.org/sd/LINKS/documentsdownload/FS10ChallengestoLK.p df [2 Mei 2007).
Forsyth, T. 2004. Critical Political Ecology. Science. London: Routledge
The Politics of Environmental
Gany, Radi A. 2002. Menyongsong Abad Baru dengan Pendekatan Pembangunan Berbasis Kemandirian Lokal. Makassar: Hasanuddin University Press. Glaser, B.G and A.L. Strauss. Penemuan Teori Grounded: Beberapa Strategi Penelitian Kualitatif, Abd.Syukur Ibrahim dan Machrus Syamsuddin, penerjemah; Surabaya: Usaha Nasional. Terjemahan dari: The Discovery of Grounded Theory: Strateies for Qualitative Research. Geertz C. 2003. Local Knowledge. USA: Basic Book, Inc. Giddens A. 2003. Masyarakat Post-Tradisional, Ali Noer Zaman, penerjemah; Yogyakarta: IRCiSoD. Terjemahan dari: Living in A Post-Traditional Society. Giddens, A. 2003. Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial , Adi Loka Sujono, penerjemah; Pasuruan: Pedati. Terjemahan dari: The Constitution of Society. Goldsmith, J. 1996. Perangkap, Soemitro, penerjemah; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: The Trap. Hans-Dieter Evers and S Gerke. 2003. Local and Global Knowledge: Social Science Research on Southeast Asia. Paper read at an International Conference “Social Science in a Globalising World: Contemporary Issues in Asian Social Transformation”, UNIMAS Kuching 22-23 Sept 2003. http://www.uni-bonn.de/~hevers/papers/Evers-Gerke2003-LocalGlobal Knowledge.pdf [2 Mei 2007]
237 Habermas, J. 1990. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. Hasan Basari, penerjemah; Jakarta: LP3ES. Terjemahan dari: Technik und wissenshcaft als Ideologi. Habermas J. 2006. Teori Tindakan Komunikatif I. Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, Nurhadi, penerjemah; Yogyakarta: Kreasi Wacana. Terjemahan dari: The Theory of Communicative Action : Reasonand Rationalization of Society (Volume I). Habermas J. 2007. Ruang Publik. Sebuah kajian Tentang kategori Masyarakat Borjuis, Yudi Santoso, penerjemah; Yogyakarta: Kreasi Wacana. Terjemahan dari: The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Hardiman, F.B. 1990. Kritik Ideologi. Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius. Hardiman, F.B. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius. Hardiyoko dam P. Saryoto. 2005. Kearifan Lokal dan Stok Pangan Desa. dalam Wahono, F., A.B Widyanta, dan T.O Kusumajati (editor). Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. Pertarungan Bangsa yang Terlupakan. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Hardjowigeno, S. 1997. Pemanfaatan gambut berwawasan lingkungan. Alami 2(1):1-11. Hidayat, T. 2000. Kearifan Budaya Petani Banjar dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Lahan Rawa Pasang Surut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. [tesis]. Makassar. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Huntington S.P. 2003. Benturan antar Peradaban Dan Masa Depan Politik Dunia, M. Sadat Ismail, penerjemah; Yogyakarta: Qalam. Terjemahan dari: The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Idak, H. 1982. Perkembangan dan Sejarah Persawahan Di Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Ifi J. 2002. Community Development. . New South Wales: Pearson Education Australia Pty Limited Jumberi, A. dan A. Supriyo. Kearifan Budaya Lokal dalam Budidaya Padi di lahan Pasang Surut. dalam Mukhlis, I. Noor, M. Noor, dan R.S. Simatupang (penyunting). Kearifan Lokal Petani di Lahan Rawa. Banjarbaru: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Kalland, A. 2005. Indigenous Knowledge: Prospects and Limitations. dalam Ellen, R., P. Parker, and A. Bicker (ed). Indigenous Environmetal Knowledge and its Transformation. Critical Anthropological Perspectives. Francis: The Taylor & Francis e-Library.
238 Kincheloe J.L and P. Mc Laren. 2000. Rethinking Critical Theory and Qualitative Research. dalam Denzin, NK and Y.S Lincoln (ed). Handbook of Qualitative Research. London: Thousand Oaks, Sage Publications. Kuhn, T.S 2000. The Structure of Scientific Revolutions. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Tjun Sujarman, penerjemah; Bandung: Remaja Rosdakarya. Terjemahan dari The Structure of Scientific Revolutions. Kusumaatmadja, S. 1995. Sumbangan Kearifan Tradisional Terhadap Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup : Sebuah Pengantar. Analisis CSIS 6: 413420. Lauer RH. 2003. Perspektif Perubahan Sosial, Alimandan, penerjemah; Jakarta: Rineka Cipta. Ledwith, M. 2005. Community Development. A Critical Approach. Bristol UK. The Policy Press University of Bristol. Lincoln Y.S, and E.G. Guba. 2000. Paradigmatic Controversies, Contradictions, and Emerging Confluences. dalam Denzin, NK dan Y.S Lincoln (ed). Handbook of Qualitative Research. London: Thousand Oaks, Sage Publications. Little A. 2000. Environmental and Eco-Social Rationality : Changes for Political Economi in Late Modernity. New Political Economy 5(1):121-133 Lubis A.Y. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultiral Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu. Maliki Z. 1999. Penaklukan Negara atas Rakyat : Studi Resistensi Petani Berbasis Relegi Politik Santri Terhadap Negaranisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Marten, G.G. 2001. Human Ecology. Basic concepts for Sustainable Development. London: Earthscan Publications Ltd. Miles, N.B. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Tjetjep Rohendi Rohidi, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Qualitative Data Analysis. Millar, D. 2004. Interfacing two Knowledge System : Local Konowledge and Science in Africa. http://ma.caudillweb.com/documents/bridging/papers/ mllar.david.pdf [2 April 2007] Moran. 2006. People and Nature. USA: Blackwell Publishing Ltd. Morrow RA. 1994. Critical Theory and Methodology. Publications Inc.
California: SAGE
Mulyoutami E., E Stefanus, W. Schalenbourg, S. Rahayu dan L. Joshi . Pengetahuan Lokal Petani Dan Inovasi Ekologi Dalam Konservasi Dan Pengolahan Tanah Pada Pertanian Berbasis Kopi Di Sumberjaya, http://www.worldagroforestry.org/SEA/Publications/ Lampung Barat. files/book/BK0063-04/BK0063-04-12.pdf [2 Mei 2007]
239 Muyungi & A. F. Tillya. 2003. Appropriate Institutional Framework for Coordination of Indigenous Knowledge. LinKS Project Gender, Biodiversity and Local Knowledge Systems for Food Security. http://www.fao.org/sd/LINKS/documents download/Rep%209%20TILLA. pdf [2 April 2007] Nababan A. 1995. Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia. CSIS. 6:421-435 Narwoko J.D. dan B. Suyanto. 2006. Sosiologi : Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana. Noor, M. 1996. Padi Lahan Marjinal. Jakarta: Penebar Swadaya Noor, M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. Jakrta: RajaGrafindo Persada. Noor, H.D., M. Alwi, dan Khairil. A. 2007. Kearifan Lokal dalam Perspektif Kesuburan Tanah dan Konservasi Air di Lahan Gambut. dalam Mukhlis, I. Noor, M. Noor, dan R.S. Simatupang (penyunting). Kearifan Lokal Petani di Lahan Rawa. Banjarbaru: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Noor, H.D., Izzuddin Noor, S.S. Antarlina, Y. Rina, dan Noorginayuwati. 2007. Kearifan Lokal dalam Budidaya Jeruk di Lahan Rawa. dalam Mukhlis, I. Noor, M. Noor, dan R.S. Simatupang (penyunting). Kearifan Lokal Petani di Lahan Rawa. Banjarbaru: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Noorginayuwati, A. Rafieq, M.Noor, A. Jumberi. 2007. Kearifan Lokal dalam Pemanfatan Lahan Gambut untuk Pertanian di Kalimantan. 2007. dalam Mukhlis, I. Noor, M. Noor, dan R.S. Simatupang (penyunting). Kearifan Lokal Petani di Lahan Rawa. Banjarbaru: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Nygren A. 1999. Local Knowledge in the Environmen-Development Discourse. Critique of Anthropology 19:267-268. Pandit, N.R. 1996. The creation of theory: a recent application of the grounded theory method. The Qualitative Report 2(4) Patton, M.Q. 2006. Bagaimana Menggunakan Metode Kualitatif dalam Evaluasi. Budi Puspo Priyadi, penerjemah; Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Terjemahan dari How to Use Qualitative Methods in Evaluation. Payne M. 1997. Modern Social Work Theory. Macmillan Press Ltd.
Second Edition.
London:
Pranarka, A.M.W. dan Vidyandika. 1996. Pemberdayaan. dalam Onny, S.P dan A.M.W Pranarka (ed). Pemberdayan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS. Prasodjo, N.W. 2005. Pengetahuan lokal dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy. (Studi desentralisasi pengelolaan dan sistem tata
240 pemerintahan sumberdaya alam. Pusat Studi Pembangunan IPB dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, UNDP. Project Working paper Series 14:1-53. Purnomo, M. 2004. Pembaruan Desa. Mencari Bentuk Penataan Produksi Desa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama Radjagukguk, B. 1997. Pertanian Berkelanjutan Di Lahan Gambut. Alami; 2(1) Rasmadi, M. 2007. Tukungan (Surjan) : Kearifan Lokal Pengelolaan Tanah dan Air di Kawasan Rawa Pasang Surut dan Relevansinya dengan Isu-isu Kekinian. dalam Soendjoto, M.A dan Wahyu. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektof Budaya dan Kearifan Lokal. Banjarmasin. Universitas Lambung Mangkurat Press. Rina, Y dan Noorginayuwati. 2007. Persepsi Petani Tentang Lahan Gambut dan Pengelolaannya. dalam Mukhlis, I. Noor, M. Noor, dan R.S. Simatupang (penyunting). Kearifan Lokal Petani di Lahan Rawa. Banjarbaru: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Rogers, E.M.. 1986. Communication Technology : The New Media in Society. New York: Free Press. Rogers E.M. 2003. Diffusion of Innovation. New York: Free Press. Saderi, D.I., Aidi Noor, dan M. Sabran. 2008. Masalah dan Kendala Adopsi Teknologi Pertanian Di lahan Rawa Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Lahan Rawa. Kerjasama Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru: 56-64 Sarwani, M. 1994. Aspek Lingkungan Dalam Pengembangan Lahan Pasang Surut. Kasus Penyusutan Kawasan Gambut Di Delta Pulau Petak Kalimantan Selatan dan Tengah. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Banjarbaru. Schoorl J.M. 1982. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan NegaraNegara Sedang Berkembang, Soekadjo, penerjemah; Jakarta: Gramedia. Shiva, P. 1997. Bebas dari Pembangunan. Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India, Hira Jhantami, penerjemah; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari Staying Alive: Women, Ekology and Survival in India. Shohibuddin, M. 2003. Artikulasi Kearifan Tradisional dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam sebagai Proses Reproduksi Budaya (Studi Komunitas Toro di Pinggiran Kawasan Taman nasional Lore Liondu, Sulawesi Tengah) [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sillitoe P. 1998. The Development of Indigenous Knowledge: A New Applied in Anthropology. Current Anthropology 39:223-252.
241 Soetomo, G. 1997. Kekalahan Mental Manusia Petani. Dimensi Manusia Dalam Pembangunan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. Stake, R.E. Case Studies. dalam Denzin, NK and Y.S Lincoln (ed). 2000. Handbook of Qualitative Research. London: Thousand Oaks, Sage Publications. Suhardjono. 1994. Pengantar Reklamasi Rawa. Nasional Press.
Malang: Institut Teknologi
Suhendra K. 2006. Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Alfabeta. Sulaiman, S. 1998. Peka Fotoperiod Sifat Penting Padi Untuk Adaptasi Luas Di Lahan Pasang Surut. Prosiding Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Banjarbaru: 263-272. Sundar, N. 2005. The Construction and Destruction of Indigenous Knowledge in India’s Joint Forest Management Programme. dalam Ellen, R., P. Parker, and A. Bicker (ed). Indigenous Environmetal Knowledge and its Transformation. Critical Anthropological Perspectives. Francis: The Taylor & Francis e-Library. Sumodiningrat, G. 2007. Pemberdayaan Sosial. Kajian Ringkas tentang Pembangunan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Supriyono, A dan A. Jumberi. 2007. Kearifan Lokal dalam Budidaya Padi di Lahan Pasang Surut. dalam Mukhlis, I. Noor, M. Noor, dan R.S. Simatupang (penyunting). Kearifan Lokal Petani di Lahan Rawa. Banjarbaru: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Suseno F.M. 2006. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Jakarta: Kanisius. Sutanto, R. 2005. Tantangan Global Menghadapi Kerawanan Pangan dan Peranan Pengetahuan Tradisional dalam Pembangunan Pertanian. dalam Wahono, F., A.B Widyanta, dan T.O Kusumajati (editor). Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. Pertarungan Bangsa yang Terlupakan. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Sutikno, H. dan M. Noor. 1997. Strategi pelestarian lahan gambut pasang surut. Alami; 2(1): 20-26 Tar Z. 1977. The Frankfurt School. The Critical Theories of Max Horkheimer and Theodor W. Adorno. New York: John Wiley & Sons. Inc. Wahyu. 2001. Kemampuan Adaptasi Petani dalam Sistem Usahatani Sawah Pasang Surut dan Sawah Irigasi di Kalimantan Selatan [disertasi]. Bandung. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Wahyu. Makna Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Di Kalimantan Selatan. dalam Soendjoto, M.A dan Wahyu. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pemberdayaan Masyarakat
242 dalam Perspektof Budaya dan Kearifan Lokal. Banjarmasin. Universitas Lambung Mangkurat Press. Warburton H. and A Martin. 1999. Local People’s Knowledge in Natural Resources Research. Natural Resources Institute. http://www.nri.org/ publications/bpg/bpg05.pdf [2 Mei 2007] Widjaja Adhi, I.P.G. 1997. Pengelolaan lahan rawa dan gambut untuk usahatani dalam pembangunan berkelanjutan dan kawasan lingkungan. Alami 2(1):27-34. Widjaya Adhi, IPG. 1986. Pengelolaan lahan pasang surut dan lebak. Jurnal Litbang Pertanian V(1). Wisadirana D. 2004. Sosiologi Pedesaan. Kajian Kultural dan Struktural Masyarakat Pedesaan. Malang: UMM Press. Warren D. M., and B. Rajasekaran. 1993. Putting local knowledge to good use. International Agricultural Development. http://www.ciesin.columbia.edu/ docs/004-171/004-171.html [2 Mei 2007] Wuriati, S. 2005. Potensi dan Kendala Pengembangan transmigrasi di UPT Galam Rabah Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan [tesis]. Banjarbaru. Program Pascasarjana, Universitas Lambung Mangkurat. Yin R.K. 2004. Studi Kasus. Desain dan Metode, M. Djauzi Mudzakir, penerjemah; Jakarta: RajaGrafindo Persada. Terjemahan dari: Case Study Research Design and Methods. Yorisetou, W. 2003. Pengetahuan lokal tentang pemanfaatan dan pelestarian lingkungan hidup di masyarakat pesisir Teluk Tanah Merah Kabupaten Jayapura Propinsi Papua [tesis]. Jakarta. Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP UI
LAMPIRAN
244 Lampiran 1 Langkah-langkah analisis data dalam grounded theory No
Tahapan
Langkah-langkah
Rincian Kegiatan
1
Open Coding (pengkodean terbuka)
Pelabelan fenomena
• Pemberian nama terhadap benda, kejadian atau informasi yang diperoleh melalui pengamatan dan atau wawancara. • Pelabelan fenomena merupakan kegiatan konseptualisasi data. • Cara untuk melakukan pelabelan dengan membandingkan insideninsiden, sampai dapat diberikan nama yang sama untuk fenomenafenomena yang serupa
Penemuan dan penamaan kategori
• Penyederhanakan data ke dalam beberapa kelompok dengan cara mereduksi data sehingga menjadi lebih ringkas dan padat, • Kemudian membagi-baginya ke dalam kelompok-kelompok tertentu (kategorisasi) sesuai sifat dan substansinya • Jika dalam pelabelan fenomena dilakukan proses konseptualisasi, maka dalam pemberian nama kategori dilakukan proses abstraksi • Pemberian nama sebaiknya menggunakan istilah yang dipakai oleh subyek yang diteliti (pendekatan emic yang menjadi ciri dari setiap penelitian kualitatif)
Penyusunan kategori
• Dasar untuk penyusunan kategori adalah sifat dan ukurannya • Sifat adalah karakteristik atau atribut suatu kategori (yang berfungsi sebagai ranah ukuran, dimensional range), sedangkan ukuran adalah posisi dari sifat dalam suatu kontinium
2
Axial coding (pengkodean terporos)
Penentuan jenis kategori
• Setiap kategori harus dikelompokkan ke dalam satu jenis kategori berikut; yaitu kondisi kausal, konteks, kondisi pengaruh, strategi aksi/interaksi, dan konsekuensi • Memberi kode terhadap setiap kategori data, dengan mengajukan pertanyaan, "termasuk jenis kategori apa data ini"?
Penemuan hubungan antar kategori atau
• Sifat pertanyaan yang diajukan dalam pengkodean terporos
245 Lanjutan No
Tahapan
Langkah-langkah antarsubkategori
Rincian Kegiatan mengarah pada suatu jenis hubungan. • Alternatif hubungan-hubungan itu adalah; hubungan antara kondisi kausal dengan strategi aksi/interaksi, hubungan antara konteks dengan strategi aksi/interaksi, hubungan antara kondisi pengaruh dengan strategi aksi/interaksi, hubungan antara strategi aksi/interaksi dengan konsekuensi • Pola hubungan yang perlu ditemukan itu tidak terhenti pada hubungan antara dua kategori, melainkan harus dapat mengungkap hubungan antara semua jenis kategori
3
Selective coding (pengkodean terpilih)
Mereproduksi kembali alur cerita atau susunan data ke dalam pikiran
• Mengidentifikasi data dengan menulis beberapa kalimat pendek yang berisi inti cerita atau data.
Menyimpulkan dan memberi kode terhadap satu atau dua kalimat sebagai kategori inti
• Keriteria kategori inti yang disimpulkan itu ialah bahwa ia merupakan inti masalah yang dapat mencakup semua fenomena/data.
• Pertanyaan yang perlu diajukan peneliti terhadap dirinya sendiri, adalah "apakah yang tampak menonjol dari wilayah penelitian ini?", atau "apa masalah utamanya".
• Kategori inti harus cukup luas agar mencakup dan berkaitan dengan kategori lain. Menentukan pilihan kategori inti.
• Jika ada dua atau tiga kategori inti, maka harus dipilih satu saja. • Kategori inti lainnya dijadikan sebagai kategori tambahan yang tidak menjadi inti pembahasan dalam penelitian ini.
Disarikan dari : http://www.infoskripsi.com/Research-News/Metode-Penelitian-KualitatifGrounded-Theory-Approach.html
246 Lampiran 2 Peta Provinsi Kalimantan Selatan
247 Lampiran 3 Peta Administrasi Kabupaten Barito Kuala
248 Lampiran 4 Luas lahan sawah (hektar) berdasarkan jenis sawah dan frekuensi penanaman padi di Kalimantan Selatan, tahun 2008
No
Jenis sawah
1
Sawah berpengairan 1.1 Teknis 1.2 Setengah teknis 1.3 Sederhana 1.4 Desa non PU
Ditanami padi Dua Satu kali kali/lebih
Tidak ditanami padi
Sementara tidak diusahakan
Total
40.693 12.319
11.591 3.733
1.131 201
7.340 2.735
60.755 18.988
4.725 9.975 13.674
2.929 1.633 3.296
75 334 521
149 1.379 3.077
7.878 13.321 20.568
2
Tadah hujan
143.934
14.809
4.629
3
Pasang Surut
153.405
7.565
4.495
30.954
196.419
4
Lebak
96.295
4.493
13.472
87.266
201.526
5
Lainnya (Polder, rembesan dan lain-lain
4.551
-
487
4.847
9.885
438.878
38.458
24.214
130.407
663.637
Jumlah
31.68
195.052
Sumber : BPS Kalimantan Selatan, Survei Pertanian : Luas lahan menurut penggunaannya di Kalimantan Selatan, 2009
249
Lampiran 5 Luas lahan sawah (hektar) berdasarkan jenis sawah dan kabupaten di Kalimantan Selatan, tahun 2008 Jenis sawah No.
Beririgasi Setengah Sederhana teknis
Kabupaten / Kota Teknis
Tadah hujan
Desa / Non PU
Pasang surut
Lebak
Total
Lainnya
1
Tanah Laut
-
1.750
2.384
5.205
21.591
15.403
29.885
-
76.218
2
Kotabaru
-
2.125
603
1.776
20.419
5.576
103
-
30.602
3
Banjar
6.707
-
128
294
16.374
36.088
12.127
7
71.725
4
Barito Kuala
-
-
-
-
11.867
106.629
1.360
-
119.856
5
Tapin
5.203
-
1.632
3.401
20.350
25.380
50.667
-
106.633
6
Hulu Sungai Selatan
2.342
982
3.400
335
13.685
-
35.549
-
56.293
7
Hulu Sungai Tengah
3.113
1.467
1.588
3.654
20.997
-
16.335
33
47.187
Hulu Sungai Utara
-
-
35
160
1.142
-
28.438
6.007
35.782
8 9
Tabalong
640
200
2.743
3.829
18.716
-
18.723
-
44.851
10
Tanah Bumbu
983
-
608
-
20.823
5.460
2.680
1.117
31.671
11
Balangan
-
1.354
200
1.914
25.768
-
4.957
110
34.303
12
Banjarmasin
-
-
-
-
1
1.883
-
-
1.884
13
Banjarbaru
-
-
-
-
3.319
-
702
2.611
6.632
18.988
7.878
13.321
20.568
195.052
196.419
201.526
9.885
663.637
Jumlah
Sumber : BPS Kalimantan Selatan, Survei Pertanian : Luas lahan menurut penggunaannya di Kalimantan Selatan, 2009
250 Lampiran 6 Luas lahan sawah (hektar) pasang surut berdasarkan frekuensi penanaman padi di Kalimantan Selatan, tahun 2008 No
Kabupaten / Kota
Ditanami padi Satu Dua kali kali/lebih
Tidak ditanami padi
Sementara tidak diusahakan
Total
1
Tanah Laut
8.357
2.486
65
4.495
15.403
2
Kotabaru
3.744
-
-
1.832
5.576
3
Banjar
30.284
3.412
600
1.792
36.088
4
Barito Kuala
89.025
1.342
3.830
12.432
106.629
5
Tapin
16.193
-
-
9.187
25.380
6
Hulu Sungai Selatan
-
-
-
-
-
7
Hulu Sungai Tengah
-
-
-
-
-
8
Hulu Sungai Utara
-
-
-
-
-
9
Tabalong
-
-
-
-
-
4.001
325
-
1.134
5.460
-
-
-
-
-
1.801
-
-
82
1.883
-
-
-
-
-
153.405
7.565
4.495
30.954
196.419
10
Tanah Bumbu
11
Balangan
12
Banjarmasin
13
Banjarbaru Jumlah
Sumber : BPS Kalimantan Selatan, Survei Pertanian : Luas lahan menurut penggunaannya di Kalimantan Selatan, 2009
251 Lampiran 7 Potensi tanaman pangan di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 No Komoditas
Luas panen (ha)
Produksi (ton)
Rata-rata produksi (kw/ha)
95.663
335.777
35,10
1
Padi sawah
2
Jagung
4
12
30,00
3
Kedelai
40
40
10,00
4
Kacang tanah
51
57
11,26
5
Ubi kayu
279
3.906
140,00
6
Ubi jalar
75
752
100,26
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Barito Kuala, 2009
Lampiran 8 Tanaman buah-buahan utama di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 Produksi (ton)
Rata-rata produksi (kw/ha)
No Komoditas
Luas panen (ha)
1
Jeruk
1.709,30
26.320,00
154
2
Mangga
96,10
212,47
22
3
Rambutan
412,87
1.456,28
35
4
Nanas
2.793,20
12.121
434
5
Pisang
81,65
1.456,28
178
Sumber : Diolah dari Kabupaten Batola Dalam Angka, 2009
Lampiran 9 Tanaman perkebunan utama di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 No Komoditas
Luas (hektar) TBM
TM
Produksi (ton)
TTM
1
Karet
1.541
54
104
28,08
2
Kelapa Dalam
1.807
10.986
515
10.293,95
3
Kelapa Hibrida
20
28
-
14,45
4
Kelapa sawit
10.773
-
-
-
5
Purun
391
362
24
232,17
6
Sagu
49
96
15
310,57
7
Kopi
50
32
38
9,30
Sumber : Diolah dari Kabupaten Batola Dalam Angka, 2009
252 Lampiran 10 Potensi tanaman kehutanan di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 , No Komoditas Potensi (m3) 1
Galam
59.999,59
2
Rotan
1.553,48
3
Sengon
4
Jati
44,40
5
Kayu Bulan
15,71
6
Mahoni
38,10
794,48
Sumber : Kabupaten Batola Dalam Angka, 2009
Lampiran 11 Populasi ternak di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 No
Jenis ternak
Populasi (ekor)
1
Sapi
9.486
2
Kerbau
1.020
3
Kambing
4
Domba
5
Babi
6
Ayam pedaging
7
Ayam buras
8
Itik
15.426 46 328 427.618 1.187.665 70.322
Sumber : Kabupaten Batola Dalam Angka, 2009
Lampiran 12 Produksi perikanan di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 No
Jenis usaha perikanan
1
Perikanan laut
2.037,1
2
Perikanan darat
2.291,8
3
Budidaya tambak
1.483,7
4
Budidaya kolam
415,2
5
Budidaya karamba
102,0
Sumber : Kabupaten Batola Dalam Angka, 2009
Produksi (ton)
253 Lampiran 13 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) di lahan rawa pasang surut Kabupaten Barito Kuala yang dibangun sejak era revolusi hijau No
UPT
Tahun
Jumlah KK
Jumlah jiwa
1.
Barambai
1969/1970
890
4.269
2.
Belawang
1977/1978
750
3.242
3.
Tabunganen
1979/1980
500
2.134
4.
Sungai Muhur
1979/1980
200
910
5.
Sakalagun
1979/1980
550
2.235
6.
Sungai Seluang
1979/1980
500
2.263
7.
Sungai Puntik I
1982/1983
800
4.428
8.
Sungai Puntik II
1982/1983
650
2.817
9.
Marabahan SP-1
1997/1998
350
1.226
10.
Marabahan SP-2
1998/1999
380
1.531
11.
Tumih Roham Raya
1999/2001
400
2.200
12.
Bahandang SP-1
2003/2005
500
2.009
13.
Bahandang SP-2
2003/2004
400
1.517
14.
Simpang Arja
2004/2005
250
755
15.
Cahaya Baru/ Sampurna
2004/2005
250
854
16.
Simpang Nungki
2005/2007
325
1.296
17.
Simpang Arja/Sinar Baru
2005/1007
300
1.090
18.
Sawahan
2007/2008
350
1.239
8.345
36.015
Jumlah
Sumber : Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Selatan, 2009
254
Lampiran 14 Analisis Biaya dan Keuntungan Usahatani padi Lokal di Lahan Rawa Pasang Surut No A 1 2 3 4 5 6 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 C D E 1 2 3 4 5
Komponen Biaya Sarana Produksi Kapur Pupuk Urea Pupuk SP Pupuk Ponska Pestisida Benih Upah Kerja Tajak Puntal + tebar/angkut Pembibitan (tugal, ampak, lacak) Penananam Pemupukan Pengendalian HPT Pembersihan gulma Pemanenan Penjemuran Pembersihan Sewa lahan Penyusutan alat Perhitungan Biaya Produksi Keuntungan (TR - TC) Pendapatan (TR - EC) R/C (TR/TC)
Satuan
Jlh
Harga (Rp)
Biaya Total (Rp)
kg kg kg kg ltr blek
250 150 50 50 1 1
600 1.200 1.600 1.800 50.000 35.000
150.000 180.000 80.000 90.000 50.000 35.000
150.000 180.000 80.000 90.000 50.000 -
35.000
brg brg HOK brg HOK HOK brg blek HOK HOK brg thn
35 35 7 35 2 2 35 245 5 3 35 1
25.000 10.000 40.000 15.000 40.000 40.000 15.000 5.000 40.000 40.000 70.000 200.000
875.000 350.000 280.000 525.000 80.000 80.000 525.000 1.225.000 200.000 120.000 2.450.000 200,000
262.500 980.000 200,000
875.000 350.000 280.000 262.500 80.000 80.000 525.000 245.000.00 200.000 120.000 2.450.000 -
1.992.500
5.502.500
280
35,000
Rp blek Rp Rp
7.495.000 9.800.000 2.305.000 7.807.500 1,31
Biaya Eksplisit (Rp)
Biaya Implisit (Rp)
255
Lampiran 15 Analisis biaya dan keuntungan usahatani padi unggul di lahan rawa pasang surut (April-Agustus) No A 1 2 3 4 5 6 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 C D E 1 2 3 4 5
Komponen Biaya Sarana Produksi Kapur Pupuk Urea Pupuk SP Pupuk Ponska Pestisida Benih Upah Kerja Tajak Puntal + tebar/angkut Pembibitan Penananam Pemupukan Pengendalian HPT Pembersihan gulma Pemanenan Penjemuran Pembersihan Sewa lahan Penyusutan alat Perhitungan Biaya Total Produksi Keuntungan (TR - TC) Pendapatan (TR - EC) R/C (TR/TC)
Harga (Rp)
Biaya Total (Rp)
Biaya Eksplisit (Rp)
Biaya Implisit (Rp)
Satuan
Jlh
kg kg kg kg ltr blek
500 150 100 50 2 3
600 1,200 1,600 1,800 80,000 30,000
300,000 180,000 160,000 90,000 160,000 90,000
300,000 180,000 160,000 90,000 160,000 90,000
brg brg HOK brg HOK HOK brg blek HOK HOK brg thn
35 35 2 35 3 4 35 350 5 3 35 1
25,000 10,000 40,000 15,000 40,000 40,000 15,000 5,000 40,000 40,000 50,000 150.000
875,000 350,000 80,000 525,000 120,000 160,000 525,000 1,750,000 200,000 120,000 1,750,000 150.000
420,000 262,500 1,400,000 150.000
875,000 350,000 80,000 105,000 120,000 160,000 262,500 350,000 200,000 120,000 1,750,000 4.372.500
25.000
7.585.000 8.750.000 1.165.000 4.372.500 1,15
3.212.500
350
Rp blek Rp Rp
-
256
Lampiran 16 No A 1 2 3 4 5 6 7 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12 C D E 1 2 3 4 5
Analisis biaya dan keuntungan usahatani padi unggul di lahan rawa pasang surut (Nopember-Pebruari) Komponen Biaya
Sarana Produksi Kapur Pupuk Urea Pupuk SP Pupuk Ponska Pestisida Benih Kandang plastik Upah Kerja Tajak Puntal + tebar/angkut Pembibitan Penananam Pemupukan Pengendalian HPT Pemasangan kandang plastik Pembersihan gulma Pemanenan Penjemuran Pembersihan Sewa lahan Penyusutan alat Perhitungan Biaya Total Produksi Keuntungan (TR - TC) Pendapatan (TR - EC) R/C (TR/TC)
Harga (Rp)
Biaya Total (Rp)
Biaya Eksplisit (Rp)
Satuan
Jlh
kg kg kg kg ltr blek bh
500 150 100 50 2 3 10
600 1.200 1.600 1.800 80.000 30.000 19.000
300.000 180.000 160.000 90.000 160.000 90.000 190.000
300.000 180.000 160.000 90.000 160.000 90.000 190.000
brg brg HOK brg HOK HOK HOK brg blek HOK HOK brg thn
35 35 2 35 3 4 2 35 350 5 3 35 1
25.000 10.000 40.000 15.000 40.000 40.000 40.000 15.000 5.000 40.000 40.000 50.000 150.000
875.000 350.000 80.000 525.000 120.000 160.000 80.000 525.000 1.750.000 200.000 120.000 1.750.000 150.000
420.000 40.000 262.500 1.400.000 -
350
27.500
Rp blek Rp Rp
7.855.000 9.625.000 1.770.000 4.412.500 1,23
Biaya Implisit (Rp) -
150.000
875.000 350.000 80.000 105.000 120.000 160.000 40.000 262.500 350.000 200.000 120.000 1.750.000 -
3.442.500
4.412.500
257
Lampiran 17 Perbandingan analisis ekonomi usahatani padi lokal dan padi unggul di lahan rawa pasang surut No
Komponen perhitungan
Satuan
Padi lokal
Padi Unggul (1)
Padi unggul (2)
Lokal + Unggul (2) (Sawit dupa)
1
Produksi (Q)
kg
2.800
3.500
3.500
2.800 + 3.500
2
Harga Gabah (P)
Rp
3.500
2.500
27.500
3.500 & 2.500
3
Biaya Eksplisit (EC)
Rp
1.992.500
3.212.500
3.442.500
5.435.000
4
Biaya Implisit (IC)
Rp
5.502.500
4.372.500
4.412.500
9.915.000
5
Biaya Total (TC = EC + IC)
Rp
7.495.000
7.585.000
7.855.000
15.350.000
6
Penerimaan (TR = P x Q)
Rp
9.800.000
8.750.000
9.625.000
19.425.000
7
Pendapatan ( P = TR - EC)
Rp
7.807.500
5.537.500
4.412.500
12.220.000
8
Keuntungan (π = TR - TC)
Rp
2.305.000
1.165.000
1.770.000
4.075.000
9
R/C
1,31
1,15
1,23
1,27
-
Keterangan : Padi unggul (1) padi unggul yang diusahakan satu kali setahun pada periode (April-Agustus) Padi unggul (2), yakni padi unggul yang diusahakan pada musim tanam kedua (Nopember-Pebruari)