Lokakaiya Nasional Pengembangan Jaringan Litkaji Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
PROSPEK PENGEMBANGAN SAPI BAKALAN DI LAHAN RAWA PASANG SURUT SUMATERA SELATAN SuBowo dan YANTER HUTAPEA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kolonel H. Burlian Km 6, Palembang
ABSTRAK Provinsi Sumatera Selatan dengan keaneka-ragaman tipologi lahan dari dataran tinggi sampai lahan rawa pasang surut memiliki prospek yang baik sebagai lumbung pangan nasional yang mensejahterakan bagi masyarakatnya . Pengembangan berbagai komoditi pertanian dapat dilakukan dengan mempertimbangkan keselarasan daya dukung yang ada. Lahan rawa pasang surut dengan dinamika perubahan daya dukungnya dapat dikembangkan untuk produksi sapi bakalan, selanjutnya penggemukan dilakukan di lahan kering yang memiliki infrastruktur yang kondusif dan efisien untuk proses produksi sapi potong . Sumber hijauan pakan selain berasal dari rumput alam yang tumbuh sepanjang tahun, juga dapat diperoleh dari limbah padi ataupun tanaman perkebunan (sawit, kelapa dalam) . Melalui pengembangan produksi sapi bakalan ini masyarakat pasang surut dapat memperoleh mata pencaharian sepanjang tahun, memperoleh energi dari biogas dan terhindar dari ancaman keamanan oleh pencurian . Pengembangan sapi bakalan ini prospektif untuk dilakukan dengan nilai NPV sebesar Rp 10 .480 .610, IRR 32% dan Net B/C sebesar 1,56 . Kata kunci : Sapi bakalan, lahan pasang surut, mata pencaharian PENDAHULUAN Sejalan dengan visi pembangunan pertanian, visi pembangunan peternakan telah ditetapkan yaitu : "Mewujudkan Peternakan Tangguh Guna Menjamin Kesejahteraan Peternak" . Untuk mencapai target tersebut dilakukan melalui tiga program yaitu : program peningkatan ketahanan pangan, program pengembangan agribisnis dan program peningkatan kesejahteraan petani (MAKKA, 2005) . Searah dengan program pemerintah pusat, pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan menetapkan visi sebagai wilayah "Lumbung pangan" . Sesuai dengan potensi daya dukung sumberdaya lahan yang ada dan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang sejahtera, maka lumbung pangan yang dikembangkan di Sumatera Selatan adalah lumbung pangan dalam arti luas yang meliputi subsektor perkebunan, perikanan, peternakan, tanaman pangan dan hortikultura, serta kehutanan . Pendekatan integrasi secara vertikal maupun spasial sesuai dengan dinamika daya dukung sumberdaya lahan akan mampu memberikan efektivitas usahatani dan kesejahteraan yang berkeadilan bagi seluruh
378
sumberdaya lahan yang ada di seluruh wilayah Sumatera Selatan . Provinsi Sumatera Selatan terletak antara 1 0 - 4°LS dan 102 ° - 108 ° BT dengan Was 8 .701 .742 ha . Di sepanjang bagian barat Sumsel merupakan daerah pegunungan vulkanik dan mengarah ke utara membentuk lereng tunggal sampai pada Selat Malaka (Selat Bangka) dengan membentuk lahan rawa pasang surut. Arah lereng ke timur taut dan berada di Lintang Selatan memberikan peluang pasokan sinar matahari sebagai sumber energi fotosintesa ke permukaan lahan maksimal . Sebagian besar Sumatera Selatan juga beriklim basah dengan curah hujan tahunan >2 .000 mm tanpa bulan kering . Berkaitan dengan hal ini Sumatera Selatan potensial untuk pengembangan berbagai macam komoditi pertanian dan aman untuk investasi jangka panjang . Pencanangan Sumatera Selatan sebagai lumbung pangan dan energi merupakan alternatif yang tepat dalam upaya mengentaskan kemiskinan . YANTER, et al . (2007) menyatakan bahwa masyarakat miskin di Provinsi Sumatera Selatan adalah petani padi yang berada di wilayah lahan rawa lebak dan rawa pasang surut, masing-masing sebesar
Lokakarya Nasional Pengembangan Jaringan Litkaji Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
83,3 dan 63,3% . Selanjutnya dikatakan bahwa 86,82% pendapatan masyarakat rawa pasang surut berasal dari kegiatan usahatani, dan masyarakat rawa lebak hanya 48,24% pendapatannya berasal dari kegiatan usahatani . Hasil pengkajian yang dilakukan BPTP Sumatera Selatan juga didapatkan bahwa nilai B :C rasio kegiatan usahatani padi di lahan rawa lebak sebesar 0,46 - 0,52 dan pasang surut 0,97-1,11 (SuBOwo, 2007) . Ketergantungan masyarakat pasang surut terhadap kegiatan usaha tani sangat besar . Namun dengan kondisi sumberdaya lahan yang memiliki dinamika perubahan kondisi daya dukung yang tinggi, maka kebutuhan teknologi usahatani dengan berbasis sumberdaya lokal dan pilihan komoditi yang memiliki daya adaptif tinggi terhadap dinamika perubahan ekosistem pasang surut merupakan langkah yang strategis . Usahatani produksi bakalan ternak ruminansia besar memiliki prospek yang baik . Selain memiliki daya adaptasi tinggi dengan kemampuan mobilitas maupun dapat memanfaatkan pakan dari berbagai hijauan yang ada di wilayah pasang surut, juga biaya produksi (khususnya transportasi) lebih murah . Selain itu kotoran ternak yang dihasilkan dapat diproses menjadi biogas yang selanjutnya dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat . Bahan bakar biogas dapat digunakan untuk penerangan, pasca panen dan juga untuk prosesing produk olahan . Adanya kegiatan pasca panen dan prosesing olahan akan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat rawa pasang surut pada saat musim kemarau yang selama ini belum optimal pemanfaatannya. PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI DI SUMATERA SELATAN Dalam rangka mencapai target Sumatera Selatan sebagai lumbung pangan dilakukan melalui pendekatan meningkatkan diversifikasi untuk memenuhi pangan masyarakat kebutuhan gizi yang ideal dan menghindari diri dari ketergantungan pada satu jenis pangan (UNSRI dan BAPPEDA SUMATERA SELATAN, 2005) . Bahan pangan asal ternak merupakan sumber utama protein hewani yang perlu
ditingkatkan . Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan dan tingkat pendidikan serta kesadaran akan kepentingan produk-produk hewani, maka permintaan terhadap produk-produk peternakan terus meningkat . Namun hal ini tidak diiringi dengan jumlah produksi . Seperti yang dilaporkan . ;1eh Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), bahwa dari tahun 1999 ke tahun 2003 terjadi pertumbuhan produksi 12,75% sedangkan pertumbuhan konsumsi 14,38% . Wilayah produksi ternak sapi potong yang dominan di Provinsi Sumatera Selatan adalah di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Muara Enim dan OKU Timur, sedangkan wilayah pemotongan terbanyak di Kota Palembang (Tabel 1) . Hal ini seiring dengan jumlah kosumsi yang besar di kota Palembang dan mobilisasi ternak ke konsumen dilakukan melalui pengangkutan sapi hidup, sehingga biaya transportasi menjadi lebih mahal . Akibatnya pengembangan ternak sapi potong di wilayah pasang surut seperti Kabupaten Banyuasin maupun Ogan Ilir menjadi kurang berdaya saing . Hal ini terjadi karena transportasi ternak sapi hidup untuk masuk dan keluar wilayah pasang surut harus melalui perahu/speedboat yang memerlukan biaya tinggi cukup mahal . Selama kurun waktu tahun 2001 - 2005 di terjadi peningkatan populasi, Sumsel pemotongan dan produksi daging sapi . Angka pertumbuhan populasi sapi sebesar 1,95%/ tahun, jumlah pemotongannya 3,23 %/tahun, produksi daging sapi sebesar 0,67 %/tahun dan angka pertumbuhan harga daging sapi sebesar 7,64 % /tahun (diolah dari Tabel 2) . Jika hal ini dibiarkan berlanjut, tanpa adanya tindakan untuk mengatasinya, maka ternak sapi yang akan dipotong harus lebih banyak lagi didatangkan dari luar Sumatera Selatan . Seperti yang sudah terjadi selama ini dan masuknya daging sapi import . Untuk mengatasi hal ini, maka produksi sapi bakalan hendaknya dilakukan pada wilayah yang memiliki keterbatasan transportasi dan selanjutnya digemukan pada daerah yang memiliki sarana transportasi lebih baik dan murah . Untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada di Sumatera Selatan, produksi sapi bakalan yang memerlukan transportasi sapi induk hidup sekali untuk masuk ke lokasi produksi dilakukan di lahan rawa pasang surut,
379
Lokakarva Nasional Pengembangan Jaringan Litkaji Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
dan selanjutnya produk bakalan dikirim/dijual ke lokasi penggemukan yang berada di lahan kering . Dengan pendektan ini, maka biaya transportasi lebih efektif dan masyarakat pasang surut dapat melakukan kegiatan usahatani yang lebih menguntungkan . Keadilan
pemanfaatan lahan bagi masyarakat pasang surut yang tidak memperoleh dukungan infrastruktur seperti halnya masyarakat lahan kering akan mampu memperoleh pendapatan yang lebih baik .
Tabel 1 . Populasi, pemotongan dan produksi daging sapi di Sumatera Selatan, 2005 Populasi (ekor)
Kabupaten Ogan Komering Ulu OKU Timur OKU Selatan Ogan Komering Ilir Ogan Ilir Muara Enim Lahat Musi Rawas Musi Banyuasin Banyuasin Palembang Prabumulih Pagar Alam Lubuk Linggau Jumlah Sumber :
30 .735 73 .960 20 .830 82 .550 21 .737 78 .437 38 .262 34.565 26 .319 20 .460 5 .848 8 .466 4 .945 2 .366 449 .480
Pemotongan (ekor) 898 937 917 1 .396 629 5 .190 4 .092 5 .000 1 .855 502 30.398 2 .803 1 .203 943 56 .763
Produksi daging (ton) 707 737 722 1 .099 495 4 .085 3 .221 3 .935 1 .460 395 23 .925 2 .206 947 742 44.676
BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN (2007)
Tabel 2 . Perkembangan populasi, pemotongan, produksi dan harga daging sapi di Sumatera Selatan Tahun 2001-2005 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber :
Populasi (ekor) 415 .743 419 .858 419 .937 438 .666 449 .480
Pemotongan (ekor) 49 .877 49 .054 49 .223 56 .756 56 .763
Produksi daging (ton) 43 .488 43 .500 44.650 44.663 44 .676
Harga daging (Rp/kg) 29 .975 34 .058 36 .358 37 .167 40 .696
BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN (2007)
Tabel 3 . Kadar mineral contoh hijauan di lahan rawa LU-1 Karang Agung Ulu-Sumatera Selatan Kadar mineral (unsur hara) Hjjauan Fe Zn Mn Al Co Ca P Na K Mg S Cu contoh ppm 14,28 203 67 88 42,7 0,14 Paspalum 0,31 0,12 0,11 0,71 0,55 0,18 Hypomiae 0,40 0,44 0,02 0,63 0,87 0,25 13,72 109 84 96 42,2 0,02 Gliricidia 0,72 0,12 0,02 1,23 0,68 0,18 11,34 651 31 82 101 0,15 69 67,5 Leucaena 0,40 0,13 0,02 0,83 0,58 0,25 11,76 196 37 0,05 3,00 10 10 5 Ttd 0,02 Indikasi 0,10 0,08 0,03 0,30 0,03 0,10 deftsien Sumber:
HERAwATI
dan
HARYONO (1995)
Keterangan : ttd = tidak terdeteksi
3 80
Mo 3,91 3,52 0,70 2,23 0,05
Lokakarya Nasional Pengembangan Jaringan Litkaji Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
SISTEM PRODUKSI TERNAK SAPI Beranjak dari basis agroekosistemnya pada prinsipnya pengembangan ternak sapi di Sumsel dilakukan pada berbagai agroekosistem seperti daerah dataran tinggi, sawah irigasi/ tadah hujan, lahan kering dataran rendah, rawa lebak, dan rawa pasang surut . Terbatasnya infrastruktur, utamanya transportasi mengakibatkan pengembangan ternak sapi di lahan rawa lebak maupun pasang surut kurang berkembang (Tabel 1). Usahatani ternak sapi di lahan rawa ini dilakukan semata-mata karena cukup tersedia pakan alami dan masyarakat belum memiliki kegiatan usaha lainnya yang mampu memberikan pendapatan sepanjang tahun . Faktor yang sementara ini mempersulit pengembangan ternak sapi di lahan rawa lebak maupun pasang surut, selain biaya transportasi mahal juga faktor keamanan rendah . Apabila ternak telah memiliki ukuran siap jual sering terjadi pencurian, karena ternak dapat digiring ke luar melalui daerah yang masih terisolir, sehingga sulit dikejar oleh pemilik ataupun aparat. Apabila kita design untuk produksi bakalan dan selanjutnya dijual keluar, maka peluang pencurian menjadi lebih rendah dan peternak cukup mengamankan induk-induknya . Pola usaha sapi potong di Sumatera Selatan saat ini umumnya dilakukan melalui pembibitan dengan menghasilkan anak, kemudian dibesarkan sendiri . Akibatnya kualitas bakalan yang dihasilkan dan digemukan menjadi semakin rendah. Demikian sebaliknya bagi peternak penggemukan yang membeli sapi bakalan dari tempat lain umumnya tidak memiliki standart kualitas bakalan yang baik, karena bakalan yang ada bukan merupakan hasil bakalan yang sengaja dihasikan dari induk yang baik . Akibatnya potensi produksi karkas yang dihasilkan semakin merosot. Untuk itu penanganan produksi sapi bakalan perlu diatasi secara khusus, sehingga bakalan yang diperjual belikan di masyarakat merupakan jenis bakalan yang memang layak untuk digemukan . Hasil identifikasi dan karakterisasi wilayah pengembangan usaha pertanian lahan pasang surut Sumatera Selatan Tahun 1998 di sepuluh
lokasi, satu lokasi di Kabupaten OKI (wilayah 01 saat ini) dan sembilan lokasi di Kabupaten Musi Banyuasin (wilayah Banyuasin saat ini) menunjukkan bahwa petani yang memelihara ternak sapi sebanyak 16 persen . Bagi petani yang memelihara sapi kisaran pemilikannya 12 ekor . Budidaya sapi dengan jenis sapi k; ~al, Peranakan Ongole dan sapi Bali ini umumnya belum mengikuti anjuran (THAHIR, et al., 1999) . Sumber hijauan pakan ternak dari rumput lokal (alam) ada di sekitar rumah atau perkampungan seperti rumput pahit, rumput karpet, rumput kawat . Rumput unggul seperti rumput raja dan rumput gajah, di samping hijauan dari tanaman lain seperti daun pisang, daun nangka dan jerami padi . Namun ketersediaan rumput unggul ini masih terbatas dibandingkan dengan rumput alam . Dilaporkan oleh ANANTO el al. (1998), bahwa tidak dijumpai petani yang memberikan tambahan pakan berupa konsentrat . Sistem pemeliharaan diikat pindah pada siang hari dan dikandangkan pada sore dan malam hari (semi intensif) . Kandang dibuat sederhana dari kayu, lantai tanah dan becek, tidak tersedia tempat pakan dan minum . Vaksinasi belum dilakukan dan kurang terpenuhi syarat kesehatan . Sapi dapat terserang penyakit cacing hati, mencret dan kembung perut . Perkawinannya masih mengandalkan kawin alam, dimana jumlah pejantan masih terbatas dan jarak beranak lebih dari satu tahun . Langkanya penjantan sebagai bibit juga menjadi permasalahan . Biasanya pejantan hanya mengandalkan sapi jantan yang belum terjual . Dari total pendapatan rumah tangga Rp . 4 .670 .500/tahun dalam tahun 1998 di wilayah karakterisasi pengembangan usaha pertanian lahan pasang surut Sumatera Selatan, maka sumber pendapatan dari ternak hanya 7,5%, sedangkan padi 73,66%, hortilkultura 0,6% kelapa 2,3% dan offfarm 15,94% . Dari nilai penjualan ternak selama satu tahun yang besarnya Rp . 351 .460 maka ternak ruminansia besar (sapi) memberikan sumbangan terbesar 44,6%, sedangkan ruminansia kecil 7,2%, itik 11,5% dan ayam 36,7% (THAHIR et al ., 1999) . Kondisi ini belum banyak mengalami perubahan hingga saat ini .
38 1
Lokakarya Nasional Pengembangan Jaringan Litkaji Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
PROSPEK PENGEMBANGAN PRODUKSI SAPI BAKALAN DI LAHAN PASANG SURUT SUMATERA SELATAN Potensi sumber daya lahan Daerah rawa pasang surut yang telah direklamasi belum semuanya dimanfaatkan . Dari 373 .450 ha lahan pasang surut yang direklamasi sampai tahun 1999, seluas 279 .393 ha sudah dimanfaatkan . Umumnya wilayah pasang surut di Sumatera Selatan dikembangkan untuk menopang produksi padi nasional . Pada tahun 2005, lahan pasang surut yang digunakan untuk persawahan seluas 213 .546 ha, namun selain tanaman padi di wilayah pasang surut tersebut juga dikembangkan untuk menghasilkan tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, kelapa dalam, kopi, dan pengembangan ternak ruminansia besar . HERAWATI dan HARYONO (1995) melakukan inventarisasi kandungan mineral contoh hijauan pakan ternak di lahan rawa pasang surut Karang Agung Ulu (Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan) pada MK 1993 didapatkan bahwa kandungan unsur mikro di atas indikasi defisiensi (Tabel 3) . Keadaan mi menunjukkan bahwa kualitas hijauan pakan ternak ruminansia di lahan rawa pasang surut Sumatera Selatan pada prinsipnya kaya unsur mikro dan layak untuk pakan sapi, bahkan sangat mungkin memiliki kualitas yang baik dengan kandungan unsur-unsur mineral antioksidan yang dikandungnya, seperti : Cu, Fe dan Zn . Peranan pengembangan lahan pasang surut semakin penting artinya tidak hanya untuk menyangga produksi padi nasional, tetapi juga untuk memberi peluang diversifikasi produksi pertanian, industri basil pertanian, peningkatan pendapatan petani dan pengembangan wilayah . Pengembangan lahan pasang surut untuk produksi ternak selain di dukung oleh besarnya
potensi pakan, baik rumput alam maupun limbah pertanian (padi sawah maupun perkebunan) juga masih banyaknya waktu luang bagi petani untuk melakukan kegiatan usahatani di musim kemarau . Hal ini terjadi akibat kegaiatan utama usahatani masyarakat sampai saat ini adalah sebagai petani padi sawah yang dilakukan hanya di musim hujan, karena pada musim kemarau air yang masuk merupakan air laut (salinitas tinggi) dan lahan ditumbuhi rumput . Pada saat musim tanam berikutnya (musim hujan) rumput dibebaskan dengan herbisida dan dibakar . Hasil laporan DINAS PETERNAKAN SUMATERA SELATAN (2004) bahwa kebun hijauan makanan ternak masing-masing di Kabupaten Musi Banyuasin dan Banyuasin dengan dominasi agroekosistem pasang surut seluas 25 dan 65 ha dengan perkiraan produksi hijauan 1 .500 dan 3 .900 ton/tahun . Sedangkan padang pengembalaan masing-masing seluas 9 ha dan 670 ha dengan perkiraan produksi hijauan 540 dan 40 .000 ton/tahun . Dengan pertimbangan besarnya potensi hijauan dan pemilikan lahan rumah tangga petani (2,25 ha/kepala keluarga), lokasi pemeliharaan dapat diletakkan di sekitar rumah (pekarangan) yang relative lebih luas dibanding agroekosistem lain . Lahan pasang surut terutama dengan tipe luapan D diperuntukkan bagi pengembangan tanaman perkebunan sehingga ternak dapat diintegrasikan juga dengan tanaman perkebunan . Kelayakan finansial Analisis finansial usahatani sapi pengembngan dengan menggunakan asumsi tiga ekor induk sapi yang dibeli pada tahun awal (tahun 0) akan berkembang menjadi 15 ekor (kumulatif) selama lima tahun pemeliharaan (tahun ke-nol sampai tahun keempat) (Tabel 4) .
Tabel 4 . Analisis finansial pengembangan sapi bakalan di wilayah pasang surut, Sumatera Selatan 2007 Biaya Penerimaan (Rp) (Rp) 0 16 .400 .625 273 .750 1 3 .085 .750 443 .475 2 2 .464 .000 9 .766 .500 3 2 .682 .850 10.210 .500 4 2 .819 .250 30.807 .625 Jumlah
Tahun
3 82
Df 12% 1 0,892 0,797 0,711 0,635
biaya Present value Present value (Rp) penerimaan (Rp) manfaat (Rp) 16 .400 .625,00 273 .750,00 -16 .126 .875,00 2 .755 .133,92 395 .959,82 -2 .359 .174,10 1 .964 .285,71 7 .785 .794,00 5 .821 .508,29 1 .909 .599,63 7 .267 .632,22 5 .358 .032,58 1 .791 .684,34 19 .578 .802,64 17 .78 .7118,30 10 .480 .610,06
Present value
Lokakatya Nasional Pengembangan Jaringan Litkaji Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Tabel 5. Analisis finansial usaha pengembangan sapi bakalan di wilayah pasang surut Sumatera Selatan, 2007 Tahun ke Uraian Kandang Bibit Obat-obatan vitamin Garam Biaya investasi produksi Biaya tenaga kerja
0 Volume Nilai (Rp)
I
2
Volume Nilai (Rp)
I unit
15 .000.000
3 ekor
13 .500.000
I paket
100 .000
1paket
105 .000
1 paket
100 kg
160 .000
150 kg
251,250
250
Total biaya
1 unit
3
4
Volume Nilai (Rp) Volume Nilai (Rp) Volume Nilai (Rp)
1 .525 .000
kg
paket
paket
121 .575
437.500 300 kg
555.000 300 kg
585 .000
110.250 1
115.775 1
15 .260.000
1 .881 .250
547.750
670.775
706 .575
11 .406.250
1 .204 .500
1 .916 .250
2.012.075
2 .112 .675
16.400.625
3 .085 .750
2.464.000
2.682.850
2 .819 .250
Penerimaan : Bakalan
3 ekor
9 .000 .000 3
ekor
Kotoran Nilai akhir kandang Total penerimaan Pendapatan
1095 kg
273 .750
1642 .5
kg
443 .475 2737 .5
kg
766 .500 3285
kg
ekor
9.450 .000
3 ekor
16 .200 .000
3 ekor
3 .750 .000
9.225.000 3
Dewasa Anak
985.500 3285
kg
1 .067 .625 340 .000
273 .750 -16.126.875
443 .475
9 .766 .500
10.210.500
30 .807 .625
-2 .642 .275
7 .302 .500
7.527 .650
27 .988 .375
Usaha pengembangan sapi bakalan ini dimulai pada tahun awal, dengan membeli 3 ekor bibit. Pada tahun ke-satu, sapi dilahirkan 3 ekor namun belum dijual . Pada tahun ke-dua, sapi yang dilahirkan pada tahun ke-satu tadi dijual dan lahir juga 3 ekor sapi . Pada tahun ke-tiga, sapi yang dilahirkan tahun ke-dua dijual dan lahir juga 3 ekor sapi . Pada tahun ke-empat (sebagai akhir batas masa analisis) sapi yang dilahirkan pada tahun ke-tiga dijual, anak yang dilahirkan 3 ekor juga dijual, demikian juga induknya yang dibeli pada masa dimulai usaha (tahun ke-nol) turut dijual (Tabel 5) . Pada analisis ini, biaya yang dikeluarkan meliputi biaya untuk pengadaan kandang senilai Rp . 1 .500 .000/unit pada tahun awal, dan tahun berikutnya dibuat lagi kandang untuk tempat anak sapi yang lahir (Rp. 1 .525 .000/ unit) . Untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan, ternak sapi diberi pakan tambahan berupa garam dapur, obat-obatan dan vitamin . Biaya untuk pakan diperhitungkan dalam biaya tenaga kerja untuk mencari rumput alam tersebut . Pada tahun ke-nol dan'ke-satu, usaha ini masih mengalami kerugian (bernilai negatif), masing-masing dengan pendapatan sebesar -
Rp . 16.126 .875 ; - Rp . 2 .642 .275 . Meskipun usaha ini pada tahun ke-dua dan ke-tiga memberikan pendapatan yang positif masingmasing sebesar Rp. 7 .302 .500 dan Rp . 7 .527 .650 namun secara kumulatif usaha ini masih menderita kerugian sampai tahun ketiga (empat tahun usaha), karena belum mampu menutupi kerugian pada tahun ke-nol dan kesatu . Usaha pengembangan sapi bakalan ini baru bernilai positif pada tahun keempat (lima tahun usaha) . Selain penerimaan diperhitungkan dari penjualan ternak, usaha ini juga dianalisis dengan memperhitungkan kotoran ternak yang dapat dijual (Tabel 5) . Suatu investasi dikatakan layak jika dapat dikembalikan modal sebelum berakhir masa proyek . Semakin cepat uang dapat kembali, maka semakin baik untuk usaha kegiatan bisnis . Analisis kelayakan investasi dengan usaha pengembangan sapi bakalan selama lima tahun dilakukan pada tingkat discount factor (df) 12%, nilai df adalah bilangan untuk menghitung nilai uang yang akan datang pada nilai sekarang . Hasil analisis menunjukkan, selama lima tahun usaha pengembangan sapi bakalan, besarnya nilai Net present value (NPV) Rp 10 .480 .610,06 ; Net B/C sebesar 1,56 dan nilai Internal rate of return (IRR)
3 83
Lokakarya Nasional Pengembangan Jaringan Litkaji Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
sebesar 32%. Hal ini menandakan bahwa usaha ini layak atau prospektif untuk dilaksanakan
DAFTAR PUSTAKA
karena nilai kini penerimaan bersih (NPV) positif, nilai net B/C > 1 . Nilai IRR lebih besar
ANANTO, E. SUBAGYO, I .G . ISMAIL, U . KUSNADI, T . ALIHAMSYAH, R. THAHIR, HERMANTO dan DKS . SWASTIKA. 1998 . Prospek pengembangan sistem usaha pertanian modern di lah n pasang surut Sumatera Selatan . Proyek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan .
dari suku bunga bank yang berlaku, karena kemampuan mengembalikan sebesar 32% bank) .
modal
usaha
(lebih besar dari suku bunga
Dengan demikian bagi para investor
Iebih menguntungkan menginvestasikan uang pada usaha pengembangan sapi bakalan dari pada menyimpan uang di
bank .
Selain itu
masyarakat pasang surut yang selama ini banyak mengalami kesulitan untuk mendapatkan lapangan kerja, utamanya di musim kemarau, maka dengan adanya kegiatan ini akan memperoleh pendapatan dari sektor tenaga kerja untuk mendapatkan pakan rumput alam yang sangat melimpah .
KESIMPULAN 1.
Wilayah rawa pasang surut Sumatera Selatan layak untuk pengembangan sapi bakalan .
2.
Pengembangan peternakan sapi di lahan rawa pasang surut dapat memberikan
BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SUMATERA SELATAN . 2007 . Sumatera Selatan Dalam Angka 2005/2006 . Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan, Palembang . MAKKA, D . 2005 . Kebijakan sub sektor peternakan dalam mendukung pengembangan sistem integrasi sawit-sapi . Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi di Banjarbaru 22-23 Agustus 2005, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor . Sunowo . 2007 . Inovasi teknologi pertanian mendukung Sumatera Selatan lumbung pangan dan energi untuk pengentasan kemiskinan . Disampaikan dalam Seminar Nasional Hari Kebangkitan Teknologi, Balitbangda Sumsel, Palembang, 27 Agustus 2007, 17p.
lapangan kerja (mata pencaharian) baru dan kondusif bagi masyarakat . 3.
Usaha produksi sapi bakalan di lahan rawa pasang surut prospektif untuk dilakukan dengan nilai NPV yang positif (Rp . 10 .480 .610), IRR 32% dan Net B/C sebesar 1,56 .
4.
Masyarakat akan memperoleh kegiatan usahatani sepanjang tahun, sehingga dapat memberikan pendapatan dan kesejahteraan bagi masyarakat .
384
THAHIR, R ., H . SUBAGYO, T. ALIHAMSYAH, A . ABBAS, A . DJULIN, I .W SUDANA, M . HIDAYAT dan A . NuRHASANAH . 1999. Identifikasi dan karakterisasi wilayah pengembangan sistem usaha pertanian lahan pasang surut Sumatera Selatan Tahap II . Bagian Proyek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan di Bogor . UNIVERSITAS SRIWIJAYA dan BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH SUMATERA SELATAN . 2005 . Master plan lumbung pangan Provinsi Sumatera Selatan, Palembang.