PILKADA LANGSUNG: :
RESIKO POLITIK, BIAYA EKONOMI, AKUNTABILITAS POLITIK, 1 DAN DEMOKRASI LOKAL oleh Kacung Marijan
2
P
roses demokratisasi pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru ditandai oleh beragam disain kelembagaan untuk mempercepatnya. Para aktor yang terlibat di dalamnya, barangkali diilhami oleh para penganut pendekatan kelembagaan baru (new institutionalism) yang berpandangan bahwa pilihan disain kelembagaan yang dianut oleh suatu negara itu memiliki pengaruh terhadap wajah demokrasi yang dimiliki. Dua ilmuwan politik yang tergolong pelopor pendekatan kelembagaan baru, James March dan Johan Olsen pernah mengatakan, ‘political democracy
depends not only on economic and social conditions but also on the design of political institutions’ (March dan Olsen 1984:738).
Pada babak awal, disain kelembagaan yang ditempuh untuk menumbuhkan demokrasi adalah melalui pembukaan kran sistem multi partai, dan adanya pemilu yang bebas dan adil (free and fair election). Disain ini dirancang untuk memenuhi kriteria prosedural dari demokrasi (Dahl 1971). Disain lainnya adalah pemberian kekuasaan dan otoritas yang lebih besar kepada lembaga perwakilan rakyat (DPR/D). Maksudnya, untuk menciptakan situasi checks and balances antara eksekutif dan legislatif. Faktanya, disain semacam itu belum cukup kuat menumbuhkan kehidupan demokrasi yang lebih substansial, khususnya berkaitan dengan adanya responsibilitas, akuntabilitas dan transparansi para pejabat politik (elected officers), baik yang duduk di legislatif maupun eksekutif. Dalam berbagai kesempatan kita mendengar, kekuasaan yang besar kepada lembaga perwakilan, misalnya, juga kerap disalahgunakan oleh para wakil rakyat (abuse of power). Untuk menutupi kekurangan semacam itu, disain lanjutan telah diberkenalkan. Sejak 2004, presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan oleh rakyat secara langsung. Di daerah, pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati atau wali kota), sejak 1 Juni 2005, juga diserahkan kepada rakyat secara langsung.
1 2
Disampaikan pada ‘In-house Discussion Komunikas Dialog Partai Politik’ yang diselanggarakan oleh Komunitas Indonesia untuk Demokasi (KID) di Jakarta, 16 November 2007. Guru Besar Fisip Universitas Airlangga. Komunitas Indonesia untuk Demokrasi Jl. Tirtayasa VII No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta 12160 Tlp. +62 21 728 01219, fax +60 21 720 1942 Website: http://www.komunitasdemokrasi.or.id e-mail:
[email protected]
2 Tulisan ini dimaksudkan untuk memperbincangkan implikasi disain kelembagaan pilkada secara langsung terhadap demokratisasi di daerah. Perbincangannya dikaitkan dengan resiko politik dan biaya ekonomi yang mengikutinya, berikut konsekuen-konsekuensinya. Sebelumnya, diperbincangkan pentingnya demokratisasi di daerah. Setelah itu, diarahkan untuk memperbincangkan konflik-konflik yang menyertai. Bagian selanjutnya, memperbincangkan modal yang (harus) dimiliki calon, dan biaya yang harus dikeluarkan. Implikasi ekonomi politik dari biaya itu diperbibcangkan pada bagian berikutnya.Terakhir, refleksi demokrasi setelah adanya Pilkada secara langsung.
Demokratisasi di Daerah Menurut Brian C. Smith, munculnya perhatian terhadap transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa adanya demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional (1998:85-86). Pandangan yang bercorak fungsional ini berangkat dari asumsi bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas demokrasi di tingkat nasional. Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan di sejumlah negara di berbagai belahan dunia, Smith mengemukakann empat alasan untuk ini. Pertama, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis (free societies). Hal ini tidak lepas dari tingkat proximity dari pemerintah daerah dengan masyarakat, yaitu lebih dekat. Kedua, pemerintah daerah dipandang sebagai pengkontrol bagi perilaku pemerintah pusat yang berlebihan dan kecenderungan anti-demokratis di dalam suatu pemerintahan yang sentralistis. Kecenderungan seperti ini, khususnya, terjadi di masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan yang demokratis. Di dalam transisi ini pemerintah daerah memiliki posisi tawar menawar yang lebih tinggi atas kekuasaan dan otoritas dengan pemerintah pusat. Ketiga, demokrasi di daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas partisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjadi di tingkat nasional. Fakta bahwa komunitas di daerah relatif terbatas dan masyarakatnya lebih tahu di antara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa partisipasi masyarakat di daerah itu lebih bermakna apabila dibandingkan di tingkat nasional. Partisipasi politik di daerah lebih memungkinkan adanya deliberative democracy, yakni adanya komunikasi yang lebih langsung di dalam berdemokrasi. Keempat, kasus Kolumbia menunjukkan bahwa legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Penguatan legitimasi ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat. Pandangan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Larry Diamond. Dalam kerangka pikiran Diamond, pemerintah daerah, termasuk DPRD, memiliki peran yang cukup penting untuk mempercepat vitalitas demokrasi (Diamond 1999:121-122). Alasannya, pertama, pemerintah daerah dapat membantu mengembangkan nilai-nilai dan ketrampilan berdemokrasi terhadap warganya. Kedua, pemerintah daerah dapat meningkatkan akuntabilitas dan pertanggung jawaban kepada berbagai kepentingan yang ada di daerah. Ketiga, pemerintah daerah dapat menyediakan saluran dan akses tambahan terhadap kelompok-kelompok yang secara histories termarjinalisasi. Keempat,
3 pemerintah daerah bisa mendorong terwujudnya checks and balance di dalam kekuasaan. Terakhir, pemerintah daerah bisa memberikan kesempatan kepada partaipartai atau faksi-faksi untuk melakukan oposisi di dalam kekuasaan politik. Pilkada secara langsung merupakan disain kelembagaan untuk mempercepat proses demokrasi di daerah. Disain ini dimunculkan setelah melihat realitas bahwa penguatan parlemen (DPRD) tidak mampu meningkatkan kualitas demokrasi secara substansial. Sebagaimana di tingkat nasional, adanya pemilu yang demokratis dan sistem multi-partai telah memungkinkan adanya sistem perwakilan yang melibatkan banyak kekuatan (descriptive representation). Tetapi, corak sistem perwakilan seperti itu, di ditambah kekuasaan dan otoritas yang dimiliki tidak lantas membuat adanya interaksi yang lebih baik antara rakyat dan para wakil. Yang terjadi adalah adanya pergeseran proses politik saja, dari sebelumnya berpusat di eksekutif ke eksekutif-legislatif. Sifat proses politiknya sendiri tetap sama, elitis. Pilkada secara langsung dimaksudkan untuk meminimalisasi kecenderungan demikian.
Konflik-Konflik Pilkada Proses Pilkada di sejumlah daerah berlangsung secara mulus tanpa adanya gangguan yang relatif berarti. Meskipun demikian, seperti tergambar di dalam tabel 1, pelaksanaan Pilkada secara langsung itu telah memunculkan sejumlah permasalahan, mulai dari masalah teknis seperti pendaftaran pemilih sampai pada adanya aksi kekerasan yang melibatkan massa dan pengurasakan-pengurasakan. Kalau mengikuti alur pentahapan di dalam Pilkada, masalah-masalah yang muncul itu bahkan menyeluruh di setiap tahapan pelaksanaan Pilkada. Tabel 1: Kasus-Kasus Pilkada di Beberapa Daerah Tahapan Pilkada Masa Persiapan
Jenis Kasus
Contoh Kasus Menonjol
• •
Hampir semua Pilkada gelombang pertama
Pihak yang Bertanggungjawab KPUD dan Depdagri
Penetapan Daftar Pemilih
•
Kab Bandung, Kota Binjai, Kota J
KPUD; Desk Pilkada
Pendaftaran dan Penetapan Calon
•
DPP Partai Politik
Kampanye
• • • • •
Kab Banyuwangi; Kab Tanah Toraja; Kab Manggarai; Kab Sumba Timur; Kab Flores Timur; Kab Manggarai Barat Kab Flores Timur; Kab Sumba Barat; Kota semarang; Kab Sukabumi, Kab Lampung selatan; Kab Jember; Kab Ogan Ilir, Prop Sumatra Barat; Prop Kalimantan Selatan
•
•
Minimnya pemantau Pilkada Mepetnya pembentukan Panwas, PPK, PPS dan KPPS Kacaunya data pemilih sehingga banyak masyarakat yang tidak masuk DPT Minimnya dana pemutahiran data Perbedaan pasangan calon oleh partai Penolakan calon tertentu oleh massa Curi start kampanye Money politics Transparansi dana kampanye Black campaign Pengrusakan atribut kampanye
KPUD; Panwas
4
Pencoblosan
Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil Pelantikan Calon Terpilih
• • • • • • • •
Pemilih ganda Pemilih yang tidak berhak memilih Pembagian kupon hadiah Pihak yang kalah tidak mau menandatangani BAP Massa yang tidak menerima kekalahan Gugatan kecurangan Penolakan DPRD Penundaan pelantikan
KPPS, Panwas
Kota Medan, Bengkulu, Kota Surabaya, Depok, Gowa
KPUD; Tim Sukses Calon; Pebgadilan
Kab. Banyuwangi, Kota Depdagri; Depok, Kab. Tana Toraja, Gibernur Kab Luwu Utara Sumber: Jawa Pos, ‘Catatan Kritis atas Pilkada di Beberapa Daerah: Depdagri, Akar Koflik Pilkada,’ 3 Oktober 2005.
Di antara kasus yang menyedihkan adalah pembakaran sejumlah kantor pemerintah di Kabupaten Kaur, Bengkulu. Aksi kekerasan ini terjadi ketika muncul kekecewaan dari pasangan calon beserta pendukungnya yang kalah di dalam pemilihan Bupati Kaur pada 27 Juni 2005 (Mahendra 2005). Di dalam aksi ini, gedung DPRD, kantor KPUD, dan Kantor Camat Kaur Selatan dibakar. Tidak hanya itu, massa juga menjarah dan menghancurkan isi kedung-kedung itu, termasuk dokumen-dokumen penting yang ada di dalamnya. Selain itu, massa juga membakar rumah dinas Ketua DPRD, Kantor Urusan Agama, dan Dinas Pekerjaan Umum, dan merusak gedung-gedung lain seperti gedung Pemerintah Kabupaten Kaur. Aksi kekerasan serupa terjadi di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, setelah pelaksanaan Pilkada pada 29 April 2006. Dilihat dari jumlah massa dan kerugian yang diderita, aksi yang terjadi di Tuban itu bahkan jauh lebih besar dan tragis lagi. Yang menjadi korban kekerasan bukan hanya gedung-gedung milik pemerintah daerah, melainkan juga asetaset pribadi milik salah satu calon (Radar Bojonegoro, 30 April). Di beberapa daerah lain, kekerasan politik yang berujung pada pembakaran gedung pemerintah itu juga ditemui. Hanya saja, pengrusakan (dan pembakaran) itu lebih banyak dikonsentrasikan pada gedung tertentu saja seperti kantor KPUD dan pendopo Kabupaten. Hal ini, misalnya, terlihat di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Aksi yang dilakukan pada 14 Juni 2005 ini memang tidak melibatkan massa berjumlah besar. Aksi itu lebih dilakukan secara tertutup karena terjadi pada waktu dini hari. Aksi pembakaran kedung juga terjadi di Bima, terhadap pendopo Kabupaten, juga di beberapa daerah lain, dan yang terakhir adalah di Maluku Utara. Munculnya konflik politik pada saat Pilkada memang sudah diperkirakan jauh hari sebelum pelaksanaannya (Detik.Com 29 Novermber 2004; Haris 2005; Kompas, 5 Februari 2005). Rentang daerah pemilihan (proximity) yang pendek dan terbatas memungkinkan lebih mudahnya terjadi akumulasi perbedaan yang berujung pada intensitas konflik yang meningkat. Di dalam Pilkada, jarak antara pasangan calon dengan pendukungnya sangat dekat. Demikian juga jarak antara pendukung yang satu dengan pendukung yang lain. Konsekuensinya, emosi mereka menjadi lebih kuat dan karena itu lebih sulit dikendalikan manakala masing-masing berusaha memaksakan diri sebagai pemenang. Selain itu, perundang-undangan yang mengatur Pilkada secara langsung juga memiliki cela bagi lahirnya konflik politik yang menjurus ke arah kekerasan. Misalnya, pintu
5 mencalonan di dalam Pilkada hanya melalui partai politik atau gabungan dari partai politik. Aturan demikian hanya memungkinkan tokoh-tokoh yang dekat dengan partai politik saja yang bisa menjadi calon. Padahal, di banyak daerah ditemui tokoh-tokoh lokal yang popular dan dipandang memiliki kualifikasi cukup baik yang tidak berafiliasi kepada partai tertentu. Kalau melihatnya dari sisi pendekatan kelembagaan semata, aturan seperti itu memang tidak bermasalah dan memiliki argumen yang kuat. Partai politik, di dalam pendekatan demikian, dipandang sebagai instrumen dari masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan dari para pendukungnya. Masalahnya, di dalam tahun-tahun belakangan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik mengalami kemunduran, setelah institusi ini dipandang tidak cukup banyak berbuat untuk rakyat dan malah melakukan penyimoanganpenyimpangan. Partai politik, dalam situasi demikian, lalu tidak bisa lagi diklaim sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki fungsi untuk memperjuangkan kepentingankepentingan masyarakat. Perjuangan itu juga bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga lain, bahkan bisa dilakukan oleh suatu kelompok yang tidak melembaga seperti aksi demonstrasi temporer. Di pihak lain, di dalam melakukan aksi penyaringan terhadap pasangan calon yang akan diajukan di dalam pilkada, partai politik tidak jarang melakukannya secara tidak transparan. Partai politik di dalam situasi demikian, lalu tidak bisa menjalankan peran sebagai agent, yaitu bertindak sebagaimana dikehendaki oleh para konstituennya (principal). Sebaliknya, mereka melakukan manipulasi-manipulasi. Di dalam teori principal-agent, keterkaitan antara kelompok yang memiliki kekuasaan (dalam hal ini adalah para konstituen) dengan kelompok yang diberi mandat untuk menjalankan kekuasaan (di dalam hal ini adalah kelompok yang mewakili) sangat erat. Kelompok principal memiliki kekuasaan yang besar di dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para agent. Yang terakhir ini dituntut memiliki accountability terhadap principal. Kalau tidak, mandat yang diberikan itu suatu ketika bisa ditarik. Di dalam Pilkada, partai politik yang seharusnya berperan sebagai agent acapkali menetapkan pasangan calon itu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh para pengelola partai. Dalam beberapa kasus, yang dicalonkan oleh partai bukan saja tokoh yang selama ini dekat partai, melainkan orang-orang yang mampu membangun patronase dengan imbalan materi kepada pucuk-pucuk pimpinan partai. Di sini, mekanisme principal-agent terlihat tidak jalan. Implikasinya, pasangan calon yang diputuskan oleh partai (partai) politik tidak selalu berbanding lurus dengan apa yang dikehendaki oleh konstituen. Munculnya demonstrasi di sejumlah daerah yang menolak pasangan calon dari partai tertentu merupakan refleksi dari realitas seperti ini. Adanya otoritas partai politik yang besar di dalam memutuskan pasangan calon sebagai salah satu sumber yang menyulut terjadinya konflik di dalam Pilkada itu lebih mengemuka manakala di dalam partai (partai) politik itu terdapat konflik internal berkepanjangan. Di dalam menghadapi masalah seperti ini yang menjadi rujukan adalah kepengurusan partai yang sudah terdaftar di KPUD. Hanya saja, masalahnya adalah bahwa konflik internal partai yang ada di daerah itu acapkali berkaitan dengan konflik internal yang ada di DPP. Selain itu, pengelola partai yang terlibat di dalam konflik itu, dalam banyak kasus, samasama memiliki relasi kuat dengan akar rumput (grassroots). Di dalam kondisi demikian,
6 masing-masing elite politik yang berkonflik akan berusaha membawa massa pendukungnya, sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki pendukung yang kuat. Implikasinya, konflik yang lebih terbuka lalu menjadi lebih sulit dihindarkan, karena sama-sama melibatkan aksi massa yang tidak kecil. Di samping itu, kondisi masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat di daerah, yang majemuk, baik secara vertikal maupun horisontal. Sejara politik Indonesia mencatat bahwa konflik-konflik sosial dan politik yang pernah terjadi, tidak lepas dari kemajemukan seperti ini. Bahkan, pasca pemerintahan Soeharto, konflik yang disebabkan oleh kemajemukan horisontal itu cukup mengemuka. Kasus yang terjadi di Poso, Ambon, dan Maluku Utara, cukup menggenaskan. Di daerah-daerah ini konflik yang bernuansa perbedaan agama dan ras berlangsung cukup lama dan menelan korban jiwa. Berangkat dari realitas demikian inilah orang semacam Syamsuddin Haris (2005) lalu menyimpulkan bahwa paling tidak terdapat lima sumber potensial yang dapat menyebabkan konflik di dalam Pilkada. Pertama dalah konflik yang bersumber dari mobilisasi atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negatif antar pasangan calon kepala daerah. Ketiga, konflik yang bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik yang bersumber pada manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil Pilkada. Terakhir adalah konflik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan Pilkada. Secara politik, munculnya konflik seperti itu memang wajar saja terjadi. Di setiap usaha untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan tidak lepas dari konflik. Adanya Pemilu, termasuk Pilkada secara langsung, merupakan mekanisme untuk melembagakan konflik itu agar tidak menjurus kepada aksi kekerasan. Karena itu, masih menguatnya intensitas konflik, bahkan disertai dengan aksi kekerasan, memperlihatkan masih belum kuatnya bangunan kelembagaan (institutional design) di dalam Pilkada secara langsung. Selain itu, kalau kita mau jujur, terdapatnya konflik yang menjurus ke arah munculnya aksi kekerasan itu juga tidak lepas dari masih adanya budaya politik masyarakat yang masih bernuansa konfliktual daripada integratif. Dalam situasi seperti ini, intensitas perilaku konflik itu cenderung meningkat bukan semata-mata karena aspek kelembagaan, melainkan karena pilihan-pilihan (preferences) yang berbeda. Manakala pilihan itu didasarkan pada pembelahan ‘kita’ dan ‘mereka’, dan disertai oleh ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga yang bertindak sebagai penengah, benturan-benturan antara ‘kelompok kita’ dengan ‘kelompok mereka’ lalu tidak bisa dielakkan. Hanya saja, arus massa yang mengarah kepada aksi kekerasan itu juga tidak lepas dari elite politik yang memiliki kepentingan langsung di dalam Pilkada. Di Kabupaten Kaur, misalnya, munculnya aksi kekerasan itu tidak lepas dari sikap yang tidak mau menerima kekalahan serta ketiadaan kepercayaan terhadap lembaga penengah (termasuk di dalamnya adalah MA atau PT) dari pasangan calon. Di Tuban, aksi kekerasan itu juga tidak lepas dari kekecewaan para elite lokal, termasuk para pengusaha lokal yang sudah lama merasa terpinggirkan oleh kelarga incumbent (Chorie 2006).
Modal dan Biaya Pilkada Kalau mencermati prosedur maupun maupun proses pemilihan di dalam Pilkada secara langsung, secara metafora kita bisa mengambarkan bahwa kontestasi itu ibarat
7 perlombaan balapan mobil. Pasangan calon Kepala Daerah itu berkemungkinan memenangkan Pilkada secara langsung manakala memiliki tiga kombinasi di dalam berkendaraan, yakni adanya mobil yang baik, sopir yang piawai, dan bensin yang memadai (Marijan 2005). Secara konseptual, metafora itu terwujud dari tiga modal utama yang dimiliki oleh para calon yang hendak mengikuti kontestasi di dalam Pilkada secara langsung. Ketiga modal itu adalah modal politik (political capital), modal sosial (social capital) dan modal ekonomi (economical capital). Ketiga modal itu memang bisa berdiri sendiri-sendiri tanpa adanya keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Tetapi, di antara ketiganya acapkali berkait satu satu lain. Artinya, pasangan calon Kepala Daerah itu memiliki peluang besar terpilih manakala memiliki akumulasi lebih dari satu modal. Argumen yang terbangun adalah bahwa semakin besar pasangan calon yang mampu mengakumulasi tiga modal itu, semakin berpeluang terpilih sebagai Kepala Daerah. Modal politik berarti adanya dukungan politik, baik dari rakyat maupun dari kekuatankekuatan politik yang dipandang sebagai representasi dari rakyat. Modal ini menjadi sentral bagi semua orang yang bermaksud mengikuti kontestasi di dalam Pilkada secara langsung, baik di dalam tahap pencalonan maupun di dalam tahap pemilihan. Modal politik ini memiliki makna yang sangat penting karena Pilkada secara langsung yang kita ikuti menggunakan mekanisme ‘party system’ (Berman 2000) di dalam proses pencalonannya. Dikatakan menggunakan ‘party system’ karena semua orang yang hendak mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah harus melalui pintu partai politik. UU No 32 tahun 2004 dan PP No 6 tahun 2005 yang mengatur pelaksanaan Pilkada secara langsung mensyarakatkan bahwa ketika hendak memasuki arena kontestasi semua pasangan calon (calon Gubernur/Wakil Gubernur, calon Bupati/Wakil Bupati, dan calon Wali Kota/Wakil Wali Kota) harus diberangkankan oleh partai politik tertentu. Belakangan, ‘party system’ itu (akan) mengalami perubahan. MK, pertama-tama membuat keputusan bahwa yang berhak mencalonkan bukan hanya partai-partai yang memiliki kursi di parlemen, tetapi juga yang tidak memiliki kursi di parlemen. Yang terakhir ini didasarkan pada perolehan suara Pileg. Kedua, MK membuat keputusan tentang diperbolehkannya calon perorangan. Tetapi, perubahan demikian tidak lantas membuat peran partai sebagai pintu masuk pencalonan di dalam Pilkada hilang. Partai tetap memegang peran yang cukup penting sebagai pintu masuk. Modal kedua adalah modal sosial (social capital). Yang dimaksud dengan modal sosial di sini adalah berkaitan dengan bangunan relasi dan kepercayaan (trust) yang dimiliki oleh pasangan calon dengan masyarakat yang memilihnya. Termasuk di dalamnya adalah sejauhmana pasangan calon itu mampu meyakinkan para pemilih bahwa mereka itu memiliki kompetensi untuk memimpin daerahnya. Agar bisa meyakinkan para pemilih, para calon itu harus dikenal oleh masyarakat. Suatu kepercayaan tidak akan tumbuh begitu saja tanpa didahului oleh adanya perkenalan. Tetapi, keterkenalan atau popularitas saja kurang bermakna tanpa ditindaklanjuti oleh adanya kepercayaan. Di dalam Pilkada secara langsung, modal sosial memiliki makna yang sangat penting, bahkan tidak kalah pentingnya kalau dibandingkan dengan modal politik. Melalui modal sosial yang dimiliki, para kandidat tidak hanya dikenal oleh para pemilih. Lebih dari itu, melalui pengenalan itu, lebih-lebih pengenalan yang secara fisik dan sosial berjarak dekat, para pemilih bisa melakukan penilaian apakah pasangan yang ada itu benar-benar
8 layak untuk dipilih atau tidak. Manakala seorang calon dikatakan memiliki modal sosial, berarti calon itu tidak hanya dikenal oleh masyarakat melainkan juga diberi kepercayaan. Di dalam Pilkada secara langsung, modal sosial memiliki peran yang cukup penting. Hal ini terlihat dari fakta bahwa pasangan calon yang diusung oleh partai dominan ternyata tidak otomatis dapat memenangkan Pilkada secara langsung. Terdapat kasus-kasus, partai tengahan, bahkan kumpulan partai-partai yang tidak memiliki kursi di parlemen, mampu memenangkan Pilkada. Hal ini bisa terjadi karena peran figur pasangan calon dipandang lebih kuat daripada peran partai politik. Di dalam situasi seperti ini, kontestasi di dalam Pilkada secara langsung lalu memiliki perbedaan yang substansial dengan Pemilu Legislatif (Pileg). Di dalam Pileg, peran partai politik sangat dominan, sementara itu di dalam Pilpres atau Pilkada secara langsung, peran figur pasangan calon dipandang lebih menentukan. Modal yang ketiga adalah modal ekonomi (economic capital). Pemilu, termasuk Pilkada secara langsung, jelas membutuhkan biaya yang besar. Modal yang besar itu tidak hanya dipakai untuk membiayai pelaksanaan kampanye. Yang tidak kalah pentingnya adalah untuk membangun relasi dengan para (calon) pendukungnya, termasuk di dalamnya adalah modal untuk memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya masa kampanye. Tidak jarang, modal itu juga ada yang secara langsung dipakai untuk mempengaruhi pemilih. Misalnya saja, banyak ditemui kasus ada calon yang membagibagikan barang atau uang kepada para pemilih. Tujuannya, supaya pada saat pemilihan mendukungnya. Biasanya modus pembagian barang atau uang itu tidak diberikan oleh pasangan calon secara langsung, melainkan oleh tim sukses pasangan calon. Bahkan, tim sukses yang bertugas seperti ini sering bukan tim sukses resmi. Tujuannya, ketika diketahui oleh publik dan diancam pidana, yang terkena bukanlah pasangan calon melainkan tim suses ‘siluman’ itu. Tidaklah mengherankan, meskipun ‘tim sukses siluman’ ini ada yang tertangkap basah, tidak ada satupun pasangan calon yang diadili atau terbukti melakukan praktek money politics. Memang dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh PuSDeHAM Surabaya, di sejumlah daerah di Jawa Timur, menunjukkan bahwa pengaruh uang di dalam Pilkada secara langsung itu tidak terlalu besar, ada pada kisaran 10-20 persen. Artinya, betatapun terdapat praktek money politics yang dahsyat, tidak berpengaruh dominan terhadap pilihan para pemilih. Meskipun demikian, modal ekonomi memiliki makna penting sebagai sebagai ‘penggerak’ dan ‘pelumas’ mesin politik yang dipakai. Di dalam musim kampanye, misalnya, membutuhkan uang yang cukup besar untuk membiayai berbagai kebutuhan seperti mencetak poster, mencetak spanduk, membayar iklan, menyewa kendaraan untuk mengangkut pendukung, dan berbagai kebutuhan lainnya, termasuk untuk pengamanan. Bahkan, modal ekonomi itu bisa menjadi praysarat utama ketika calon itu bukan berasal dari partai yang mencalonkannya. Modal ekonomi itu seperti ini dipakai sebagai pelumas untuk meloloskan seseorang di dalam pencalonan, di samping sebagai pelumas untuk menjalankan organ-organ partai yang ada di bawah. Di dalam prakteknya, modal ini tidak berasal dari para calon sendiri. Modal itu berasal dari simpatisan dan pengusaha. Seorang calon Bupati di Jawa Timur bercerita, bahwa ada pengusaha yang menawarkan untuk membiayai pencalonannya dengan nilai milyaran rupiah. Harapannya, proyek-proyek Pemda nanti jatuh ke tangannya. Calon Bupati itu juga bangga bercerita bahwa dia menolak tawaran itu. Belakangan diketahui, pengakuan itu tidak sepenuhnya jujur. Pengusaha yang ikut menyumbang itu
9 mengatakan bahwa dia dan kawan-kawannya ikut membiayai pencalonan sang Bupati itu. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh calon di dalam Pilkada secara langsung itu lebih besar dari biaya Pilkada secara tidak langsung. Kalaupun sebelumnya terdapat ‘transaksi’ dengan anggota DPRD, jumlahnya relatif lebih kecil karena yang terlibat relative kecil atau terlokalisasi. Di dalam Pilkada secara langsung, biaya itu menjadi jauh lebih besar karena aktor-aktor yang terlibat lebih banyak. Kelompok-kelompok masyarakat sendiri, pada akhirnya mengikuti (atau diikuti?) jejak pada angota DPRD yang melakukan ‘transaksi ekonomi’ di dalam Pilkada. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh para calon menjadi lebih besar karena sejumlah calon di dalam Pilkada secara langsung sudah menggunakan ‘political marketing’. Caranya adalah menyewa konsultan politik untuk mendisain ‘political marketing’ agar bisa menang. Biayanya cukup besar, mulai dari Rp 100 juta sampai puluhan milyar. Konsekuensinya, biaya yang dikeluarkan oleh calon cukup besar. Konon, untuk calon bupati/wali kota saja, biaya keseluruhan yang harus dikeluarkan bisa mencapai 5-30-an milyar, bahkan ada yang lebih. Sementara itu, untuk gubernur di daerah-daerah besar bisa mencapai ratusan milyar. Seorang tim sukses calon gubernur dis sebuah propinsi di Jawa berhitung-hitung, biaya yang akan dikeluarkan calonnya mencapai 400-an milyar. Dengan kata lain, biaya di dalam Pilkada secara langsung memang cukup besar. Biaya itu lebih besar lagi kalau dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh KPUD. Untuk kabupaten-kota, biaya yang dikeluarkan oleh daerah di dalam penyelenggaraan Pilkada biasanya ada pada kisaran 5-10 milyar. Di sejumlah daerah kecil, biaya itu lebih kecil. Tetapi di kabuoaten-kota besar, biayanya lebih besar. Kota Surabaya, misalnya, Pilkada 2005 menghabiskan biaya lebih dari Rp 30 milyar. Untuk propinsi, biayanya lebih besar lagi. Propinsi kecil seperti NTB saja, menganggarkan Rp 80 milyar untuk Pilkada. Sedangkan untuk propinsi yang lebih besar bianya ratusan milyar.
Pilkada dan Ekonomi Politik Bayang-Bayang Seperti dikemukakan sebelumnya, diadakannya Pilkada secara langsung tidak hanya sekadar dimaksudkan sebagai instrumen untuk memperbaiki kualitas demokrasi di daerah. Lebih dari itu adalah agar kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Kepala Daerah dirumuskan berdasarkan selera (tastes) dari masyarakat, demikian pula implementasinya, sebagaimana sering dikemukakan oleh para pendukung kebijakan desentralisasi (Oates 1972; Azfar et.al. 1999). Dalam konteks seperti ini, ujung dari perbaikan demokrasi di daerah adalah adanya kebijakan-kebijakan publik yang menguntungkan masyarakat. Kalau mencermati apa yang terjadi pada permukaan landscape politik di daerah, argumen itu sepertinya memperoleh pembenar. Hal ini, misalnya, terlihat dari programprogram yang ditawarkan oleh sebagian besar pasangan calon di dalam Pilkada secara langsung itu. Isu dan program-program yang sering ditawarkan adalah isu dan programprogram yang populis seperti perbaikan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan, di satu sisi. Di sisi lain, para calon itu juga berusaha memberikan pelayanan yang lebih baik kepada para pengusaha, seperti berjanji menyederhanakan prosedur perijinan berusaha. Dalam kanpanye-kampanye yang dilakukan para pasangan calon itu berusaha menarik pemilih melalui tawaran program-program yang lebih atraktif. Paling tidak, setiap pasangan calon berusaha meyakinkan kepada para pemilih bahwa ketika nanti terpilih sebagai Kepala Daerah mereka dapat membawa daerahnya ke arah yang lebih baik.
10 Pilkada secara langsung, dengan demikian, telah mendorong para calon Kepala Daerah untuk berlomba-lomba merebut kepercayaan (trust) melalui program-program yang lebih menguntungkan rakyat. Dalam situasi seperti itu, para calon Kepala Daerah telah berupaya membangun citra sebagai calon yang menjanjikan (promissory representation) di dalam pemerintahan (Mansbridge 2003:15). Di dalam kategori seperti ini, para calon memang berusaha meyakinkan kepada para pemilih bahwa mereka itu memiliki program-program dan keperdulian yang lebih baik kepada rakyat. Sebaliknya, para pemilih, khususnya yang tergolong rasional, bisa melakukan penilaian-penilaian mana di antara program-program para calon itu yang lebih baik dan berkesesuaian dengan selera yang berkembang di antara mereka. Di samping terdapat munculnya fenomena ‘promissory representation’, di sejumlah daerah, di mana terdapat incumbent yang mencalonkan diri kembali, terdapat gerakan untuk merebut hati para pemilih cukup kuat. Fenomena ini menandai adanya upaya untuk memenuhi janji-janji yang sudah dibuat sebelum memerintah, meskipun janji-janji yang dibuat sebelumnya itu tidak dipublikasi secara luas karena para kepala daerah incumbent itu sebelumnya dipilih secara tidak langsung, yakni oleh para anggota DPRD. Fenomena adanya usaha untuk memenuji janji-janji (keeping promises) itu, misalnya, terlihat dari intensitas proyek-proyek pro masyarakat yang lebih meningkat dalam tahun atau bulan-bulan terakhir masa jabatannya. Misalnya, mereka menggalakkan proram pembangunan infrastruktur jalan-jalan di desa-desa melalui bentuk bloc grant. Hal ini, misalnya, terlihat di Lamongan, Gresik, Sidoarjo dan sejumlah daerah lainnya. Munculnya proyek-proyek dadakan ini tidak dapat dilepaskan dari niat untuk merebut hati para pemilih. Para calon incumbent itu berusaha meyakinkan pemilihnya melalui proyekproyek riel yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat. Proyek-proyek itu bisa diklaim sebagai bukti bahwa semasa kepemimpinannya pembangunan di daerah berajalan secara baik. Tidaklah mengherankan, ketika berkampanye, para incumbent itu memilih slogan: ‘Pilihlah pasangan yang sudah terbukti!’, atau: ‘Pilihlah pasangan calon yang sudah berpengalaman memerintah!’. Minimal, ada slogan: ‘Mari kita lanjutkan yang tertunda!’. Tidak lain, harapannya adalah bahwa para calon incumbent itu mampu memberikan accountability secara politik (Mulgan 2003), yakni bisa terpilih kembali sebagai Kepala Daerah. Masalahnya, berangkat dari realitas bahwa Kepala Daerah yang terpilih itu tidak sematamata bermodalkan sosial (social capital), melainkan juga dibarengi oleh modal politik dan modal ekonomi, pandangan bahwa Pilkada secara langsung akan menghasil para Kepala Daerah yang memiliki komitmen besar di dalam membuat dan mengimplementasikan program-program yang pro rakyat itu perlu dikritisi. Betulkan Pilakdal itu mampu mendorong para Kepala Daerah itu mementingkan masyarakat? Bagi Kepala Daerah yang memenangkan pemilihan lebih disebabkan oleh modal sosial, kemungkinan bahwa mereka akan lebih cenderung untuk merumuskan dan melaksanakan program-program pembangunan yang menguntungkan rakyat bisa jadi lebih besar. Masalahnya, semua Kepala Daerah memiliki ketergantungan besar terhadap partai politik, karena proses pencalonannya harus melalui pintu partai politik. Konsekuensinya, Kepala Daerah yang terpilih itu tidak lepas dari kepentingankepentingan dari partai (partai) politik yang mendukungnya. Selain itu, ketika pasangan calon bupati itu memiliki ketergantungan modal kepada kekuatan-kekuatan ekonomi dari luar, di dalam menjalankan pemerintahannya juga tidak lepas dari kepentingan-
11 kepentingan kekuatan ekonomi yang ikut mendanai pencalonannya. Yang terakhir ini berkaitan dengan pentingnya modal ekonomi sebagai alat untuk menggalang dukungan. Di dalam situasi bahwa para Kepala Daerah memiliki ketergantungan besar di dalam modal politik maupun ekonomi pada proses pencalonannya, terdapat kemungkinan untuk tidak otonom di dalam menentukan kebijakan-kebijakan sebagaimana dijanjikan pada masa kampanye. Konsekuensinya, pemerintahan daerah yang dipimpinnya lalu tidak insulated dari kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang mendukungnya. Meminjam istilah Peter Evan (1995), pemerintah daerah memiliki jaringan (embeddedness) dengan kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang mendukungnya. Dalam artian yang positif, jalinan itu memang bisa menjadi energi bagi pemerintah daerah agar kebijakan-kebijakan yang dibuat itu sesuai dengan selera masyarakat serta terimplementasi secara efisien dan efektif. Misalnya saja, partai politik itu akan berusaha mendesakkan kepentingan kepada Kepala Daerah itu agar menepati janji-janji yang diberikan selama masa kampanye. Desakan ini memiliki makna yang sangat penting agar partai yang mengusung pasangan yang menjadi Kepala Daerah itu memiliki citra yang lebih baik di dalam masyarakat. Peningkatan citra seperti ini berkaitan dengan kepentingan partai politik untuk memperoleh dukungan yang lebih besar pada Pemilu berikutnya. Sekiranya pasangan Kepala Daerah yang didukung oleh partai politik itu mampu menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan yang lebih baik, termasuk di dalam memenuhi janji-janji yang telah dilontarkan sebelumnya, masyarakat daerah yang dimpimpinnya itu diharapkan tertarik untuk memilih partai yang mengusungnya pada Pemilu 2009. Sementara itu, kekuatan-kekuatan ekonomi yang memiliki relasi dengan Kepala Daerah terpilih juga berusaha merepresentasikan kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Misalnya saja, mereka akan berusaha mempengaruhi pemerintah daerah agar mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong tergeraknya roda kegiatan ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, seperti memangkas rentang kerja birokrasi, melakukan deregulasi dan memotong biaya-biaya yang tidak perlu (red tape) di dalam berurusan dengan birokrasi. Dengan demikian, pemerintah daerah tidak lagi dipandang sebagai penghambat roda pertumbuhan ekonomi, melainkan sebagai pendorongnya. Yang menjadi masalah adalah bahwa apa yang diperjuangan oleh kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi seperti itu berangkat dari perandaian bahwa kekuatan-kekuatan itu semuanya berjuang untuk kepentingan ‘publik’. Yang menjadi masalah adalah bahwa kekuatan-kekuatan itu juga tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya sendiri. Di dalam situasi seperti ini, kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang telah mendukung para calon Kepala Daerah itu juga akan berusaha memetik buah keberuntungan dari dukungan yang telah diberikan. Kalau hal ini yang terjadi, embeddedness autonomy yang dimiliki oleh pemerintah daerah itu bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan berbagai kekuatan yang ada di dalam masyarakat, melainkan lebih cenderung menguntungkan kekuatankekuatan ekonomi dan politik yang mendukungnya. Melalui kedekatan yang dimiliki dengan Kepala Daerah, misalnya, kelompok-kelompok sosial politik dan ekonomi yang mendukung di dalam pencalonan itu, akan berusaha mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah agar menguntungkan diri mereka. Proyek-proyek pembangunan di daerah, contohnya, bisa diberikan kepada kekuatan-kekuatan itu sebagai balas budi.
12 Dalam konteks seperti itu, embeddedenss autonomy bisa berubah menjadi praktek patronase (clientelism). Di dalam praktek demikian, ada proses saling menguntungkan, baik secara politik maupun ekonomi, antara Kepala Daerah dengan orang-orang atau kelompok-kelompok yang mendukungnya pada saat pemilihan. Secara politik Kepala Daerah itu tidak hanya dihantarkan oleh kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi yang mendukungnya itu. Di dalam proses-proses politik lanjutan di daerah, seperti di DPRD, Kepala Daerah itu juga akan terus menginginkan dukungan, mengingat DPRD masih memiliki kekuasaan yang cukup besar di dalam melakukan fungsi kontrol terhadap Kepala Daerah. Di dalam hal pengajuan APBD, misalnya, Kepala Daerah harus memperoleh persetujuan dari DPRD. Begitu juga di dalam hal pengajuan Peraturanperaturan (Perda) lainnya. Di dalam konteks patronase seperti itu, kekuatan-kekuatan yang memberikan dukungan kepada Kepala Daerah terpilih tentu saja bukan tanpa reserve. Dukungan itu tidak lepas dari keinginan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan manakala orang yang didukung itu telah menempati posisinya. Sekiranya hal seperti ini yang terjadi, Pilkada secara langsung langsung tidak serta merta bisa berfungsi untuk membabat hambatan relasi antara Kepala Daerah dengan rakyat. Eksistensi Kepala Daerah masih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik, yang bisa jadi, terlepas sama sekali dengan kepentingan rakyat pada umumnya. Selain itu, proses-proses politik di daerah juga tidak berhenti pada relasi kelembagaan. Misalnya saja antara Kepala Daerah dengan DPRD, dan antara DPRD dengan dinas-dinas dan badan-badan di daerah. Proses-proses politik juga tidak lepas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luarnya. Kekuatan-kekuatan sosial, politik dan ekonomi yang menghantarkan Kepala Daerah itu menduduku posisinya bisa berfungsi sebagai ‘aktor bayang-bayang’ di dalam proses-proses politik di daerah. Di negara-negara demokrasi, adanya ‘aktor bayang-bayang’ di dalam proses politik itu juga bisa ditemui. Itu sebabnya, orang seperti Robert Putnm (1976) melihat bahwa yang secara riel menjadi elite politik sebenarnya bukan hanya orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan formal, melainkan juga orang-orang yang berpengaruh terhadap prosesproses pembuatan keputusan. Hanya saja, implikasi negatif dari proses-proses itu biasanya bisa diminimalisasi. Misalnya adanya kebijakan yang menguntungkan kepada yang mempengaruhi itu secara tidak adil bisa ditekan. Hal ini terjadi karena prosesproses pembuatan keputusan itu relatif berlangsung secara transparan. Di negara-negara yang demokrasinya belum mapan, apalagi yang otoriter, upaya meminimalisasi pengaruh negatif dari ‘aktor bayang-bayang’ itu tidak mudah dilakukan. Hal ini terjadi karena belum berjalannya transparansi di dalam proses pembuatan kebijakan secara baik. Selama ini, misalnya, ketika proses pembuatan keputusan yang melibatkan lembaga-lembaga formal saja, masih ditemui ketidakberesan. Misalnya saja, ada DPRD yang menitipkan anggaran yang menguntungkan dirinya ke dinas-dinas. Masuknya ‘aktor bayang-bayang’ di dalam proses pembuatan keputusan di daerah bisa jadi akan menambah daftar panjang adanya anggaran titipan seperti itu.
Demokrasi dan Demokratisadi Di Daerah: Mau ke Mana? Tidak dapat dipungkiri, gagasan diadakannya Pilkada secara langsung disemangati oleh realitas empiris, yakni telah terjadinya pembajakan kekuasaan dari rakyat oleh sebagian wakilnya di lembaga perwakilan rakyat (DPRD). Yang terakhir ini merupakan efek samping (by product) dari niat mulya untuk menciptakan adanya checks and balances di antara lembaga eksekutif dan legislatif di daerah melalui penguatan kekuasaan dan
13 otoritas DPRD. Faktanya, tidak sedikit wakil rakyat yang justru memanfaatkan kekuasaan dan otoritas yang lebih besar itu untuk kepentingan dirinya sendiri. Meskupun demikian, munculnya gagasan tentang Pilkada langsung itu pada dasarnya merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi di daerah yang telah dimulai itu. Sebagaimana dikemukakan oleh Robert A. Dahl (1998:45), di samping untuk menghindari munculnya tirani, demokrasi juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain. Di antaranya adalah terwujudnya hak-hak esensial individu, terdapatnya kesamaan politik, munculnya moral otonomi, terdapatnya kesempatan untuk menentukan posisi diri individu, dan adanya kesejahteraan. Di dalam konteks demikian, munculnya demokratisasi di daerah melalui Pilkada secara langsung diharapkan tidak hanya memiliki muara terdapatnya kebebasan rakyat di daerah untuk menentukan pemimpinnya sendiri. Proses itu diharapkan bisa melahirkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di daerah. Kalau ditempatkan di dalam rana perkembangan teori-teori mengenai demokrasi, diadakannya Pilkada secara langsung itu berarti memberi kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk terlibat di dalam berbagai proses politik, sebagaimana dikumandangkan oleh para pendukung gagasan mengenai ‘deliberative democracy’ yang mulai menghiasi khasanah ilmu politik sejak 1990-an. Gagasan demikian muncul berangkat dari kritik bahwa ‘demokrasi pada dasarnya lebih dari sekadar hitungan kepala. Demokrasi harus melibatkan perbincangan yang berbasis pada persamaan dan inklusivitas, yang melibatkan pengetahuan pendalam mengenai isu-isu yang diperbincangan dari para pesertanya, adanya kesadaran mengenai kepentingan orang lain, dan adanya keyakinan untuk bisa berperan aktif di rana-rana publik’ (Saward 2000:5). Tidaklah mengherankan kalau perbedebatan mengenai ‘deliberative demovcracy’ itu termasuk yang terlama di dalam perbincangan yang dilakukan oleh para ilmuwan politik di bidang teori politik. Sebagaimana dikemukakan oleh Michael Saward, perdebatan itu tidak semata-mata pada wacana tentang apa itu esensi dari ‘deliberative democracy’ melainkan juga bagaimana melembagakannya di dalam realitas. Pelaksanaan Pilkada secara langsung sendiri memperoleh tanggapan yang cukup beragam di dalam masyarakat. Di satu sisi, Pilkada dipandang sebagai langkah lanjut untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Rakyat di daerah, di dalam hal ini, bisa lebih otonom ketika mereka harus menentukan pemimpinnya. Sebagai konsekuensinya, mereka juga bisa lebih leluasa meminta pertanggungjawaban dari para pemimpin yang telah dipilihnya itu. Tetapi, di sisi yang lain, pelaksanaannya memperoleh tanggapan yang kritis. Ketika mendengarkan dialog interaktif di sebuah radio beberapa minggu sebelum pelaksanaan Pilkada gelombang pertama, ada seorang pendengar yang berkomentar bahwa Pilkada langsung itu tidak perlu. Pilkada itu hanya membuang-buang uang dan waktu saja. Biaya yang cukup besar itu, katanya, lebih baik dipakai untuk proyek-proyek pembangunan yang menguntungkan rakyat. Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi, termasuk yang kritis terhadap pelaksanaan Pilkada secara langsung. Baginya, Pilkada secara langsung itu terlalu maju bagi rakyat Indonesia, karena itu perlu dikontrol oleh nilai-nilai agama (Kompas Cyber Media, 4 Juni 2005). Lebih lanjut, Hasyim beralasan, ‘Era reformasi perlu dikontrol karena demokrasi yang terlalu maju akan membuat masyarakat kita masuk angin, sebab mereka belum siap akibat mereka miskin, beragama secara teoritis, berpendidikan rendah, dan sebagainya.’ Pandangan seperti ini tidak jauh dengan ‘teori ikan lapar’ yang secara
14 jenaka pernah dikemukakan oleh Mi’ing di dalam sebuah lawakan di stasiun televisi swasta. Kata Mi’ing, ketika lapar, ikan-ikan itu pada rebut melulu, sehingga permuakaan air nampak riuh. Tetapi, manakala ikan-ikan itu sudah kenyang, permukaan air jadi tenang. Argumen seperti itu mengingatkan kita pada perbedatan panjang di dalam literatur ilmu politik tentang kapan proses demokratisasi harus dimulai. Misalnya saja, apakah pelaksanaan demokratisasi itu harus menunggu terjadinya kemakmuran? Argumen seperti ini juga datang dari negara-negara Asia pada 1980-an dan 1990-an, yang ketika itu masih diwarnai oleh situasi otoritarianisme. Di dalam derivasi dari pandangan seperti ini adalah, apakah demokratisasi itu harus menunggu munculnya kelas menengah, yang berperan sebagai pelopor demokratisasi? Ataukah demokratisasi itu bisa dimulau kapan saja, tanpa harus menunggu adanya tahapan-tahapan dari perkembangan masyarakat? Secara teoritis, munculnya demokrasi itu bisa disebabkan oleh sejumlah faktor. Jan-Erik Lane dan Svante Ersson (2003:82) mengelompokkan tiga kondisi atau faktor yang dapat memunculkan demokrasi. Pertama adalah kondisi struktural, yang mencakup factorfaktor sosial dan ekonomi, sebagaimana dikemukakan oleh para penganut teori modernisasi. Berdasarkan realitas bahwa demokrasi itu lebih banyak muncul dan stabil di negara-negara yang berkemakmuran (Lane dan Ersson, 2003:98), teori ini berpandangan bahwa kemakmuran itu merupakan faktor penting yang memunculkan demokrasi. Kedua, kondisi kultural, seperti etnisitas dan agama. Adanya homogenitas etnik lebih cenderung merangsang munculnya demokrasi daripada adanya etnik yang terfragmentasi. Sementara itu, di dalam agama-agama yang mengandalkan tokoh sentral (religious virtuosi) lebih sulit mengembangkan demokrasi daripada di dalam agama-agama yang menghargai kesepadanan. Ketiga, kondisi kelembagaan, seperti aturan main di dalam ekonomi, sosial dan politik. Faktor-faktor ketiga ini didasarkan atas argumen bahwa seperangkat kelembagaan itu memiliki pengaruh yang menentukan di dalam perilaku seseorang, termasuk di dalamnya adalah perilaku berdemokrasi. Di dalam realitasnya, proses demokratisasi itu lebih kompleks lagi. Di dalam perspektif perbandingan memperlihatkan bahwa antara negara atau kawasan yang satu dengan negara atau kawasan yang lain tidaklah selalu sama. Bahkan, faktor-faktor yang mendorong munculnya proses demokratisasi itu tidak hanya tiga hal itu saja. Arus globalisasi, misalnya, merupakan faktor yang tidak kecil sumbangannya. Kalau melihat realitas telah munculnya gelombang demokratisasi di seantero penjuru dunia, di dalam banyak kasus, proses demokratisasi itu tidak harus menunggu masuknya suatu negara-bangsa ke dalam tahapan sebagai kelompok yang sejahtera. Artinya, proses demokratisasi itu bisa saja muncul di negara-negara yang masih tergolong sedang berkembang. Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Jauh sebelum terbukanya ruang demokratisasi secara lebar pada 1998, perbincangan mengenai masalah ini sering dilakukan. Di antaranya muncul analisis bahwa demokratisasi di Indonesia sulit muncul karena kelas menengahnya lemah secara politik (Robison 1995 dan 1996; Tanter dan Young 1990). Secara ekonomi, memang telah muncul kelas menengah pada 1980-an. Hal ini terlihat dari mulai munculnya kelompok baru yang berpenghasilan besar. Tetapi, secara politik,
15 pengaruh kelompok ini kecil. Tetapi, realitas menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan pro demokrasi bisa mengakhiri pemerintahan otoriter pada Mei 1998. Di samping karena adanya krisis ekonomi yang mengguncang tajam, menguatnya aktor-aktor demokrasi, demokratisasi itu muncul tidak lepas dari dinamika yang ada di dalam masyarakat, di samping karena ketidakmampuan negara di dalam mengatasi konflik dan arus reformasi yang sedang berkembang (Tornquist 2000:384). Pelaksanaan Pilkada sendiri merupakan bagian dari proses lanjut tentang pelembagaan demokratisasi di Indonesia. Sebagaimana dikemukakan oleh Brian C. Smith (1998), demokrasi di tingkat lokal merupakan fondasi penting bagi adanya bangunan demokrasi di tingkat nasional. Mengingat diskursus demokrasi belakangan ini menaruh perhatian yang sangat serius tentang perlunya keterlibatan langsung rakyat di dalam proses-proses politiik, pelaksanaan Pilkada secara langsung itu juga sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas demokrasi di tingkat nasional. Bagaimanapun juga, sebagaimana dikemukakan oleh Colin Rallings, Michael Thrasher dan David Denver, adanya Pemilu di tingkat lokal, termasuk di dalamnya adalah Pilkada secara langsung itu, merupakan hal yang pokok bagi sehatnya demokrasi di daerah (the central to the health of local democracy) (Rallings et al. 2005:234). Pemilu lokal seperti itu bisa berfungsi sebagai mekanisme di mana para pemilih bisa meminta pertanggung jawaban para pemimpin di daerah dan berfungsi sebagai saluran bagi adanya partisipasi politik masyarakat biasa terhadap masalah-masalah yang ada di daerah. Selain itu, Pilkada semacam ini juga dimaksudkan untuk meminimalisasi adanya ‘pembajakan kekuasaan’ oleh para elite politik. Meskipun demikian, pandangan kritis terhadap pelaksanaan Pilkada juga memiliki argumentasi empiris. Sebagaimana beberapa kali diiklankan oleh Departemen Dalam Negeri, mayoritas pelaksanaan Pilkada berlangsung secara sukses. Tetapi, di sejumlah daerah, Pilkada juga diiringi oleh munculnya konflik politik dan aksi kekerasan yang memprihatinkan. Dilihat dari perspektif kelembagaan, sejak awal pelaksanaan Pilkada secara langsung memang diperkirakan memunculkan permasalahan. Dari aspek pengaturan, terdapat dualisme titik pandang. Di satu sisi, Pilkada dipandang sebagai bagian dari ‘rezim otonomi daerah’. Pengaturan Pilkada, dengan demikian, berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan desentralisasi. Di sisi yang lain, Pilkada juga menggunakan sebagian instrumen ‘rezim pemilu’. Tetapi, tidak semua prosedur di dalam ‘rezim pemilu’ dipakai. Terobosan yang dilakukan oleh MK dengan mengabulkan sebagian tuntutan para LSM terhadap hal ini tidak tuntas, karena pada dasarnya MK tetap memandang Pilkada sebagai bagian dari ‘rezim otonomi daerah’. Departemen Dalam Negeri berusaha mengantisipasi permasalahan itu dengan membentuk Desk Pilkada. Lembaga ini dimaksudkan bisa membantu pelaksanaan Pilkada yang dilakukan oleh KPUD, di samping bisa mengantisipasi lebih dini manakala terdapat permasalahan di dalam Pilkada. Kenyataannya, lembaga ini tidak berjalan secara baik. Mengingat salah satu penyulut permasalahan yang ada di dalam Pilkada itu adalah problem kelembagaan, terdapat usulan agar pengaturan Pilkada lebih diperjelas. Benar bahwa Pilkada merupakan bagian dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi. Tetapi, proses pemilihan pemimpin di daerah itu merupakan bagian dari mekanisme di dalam Pemilu. Pengaturan Pilkada secara langsung, dengan demikian, harus dikembalikan pada ‘rezim pemilu’. Selain itu, munculnya konflik politik, bahkan aksi kekerasan, di sejumlah daerah, memunculkan analisis bahwa budaya politik di dalam masyarakat masih belum
16 sepenuhnya mendukung pelaksanaan Pilkada secara langsung itu. Pandangan demikian ini lalu memunculkan pertanyaan ‘apakah masyarakat di daerah sudah benar-benar siap di dalam pelaksanaan Pilkada secara langsung?’ Munculnya pertanyaan seperti itu sejurus dengan adanya pandangan bahwa ‘warga negara biasa itu pada dasarnya tidak memiliki kompetensi karena pilihan-pilihan politiknya itu didasarkan atas fakta-fakta yang terbatas’ (Lupia dan Matsusaka 2004:467). Hal ini tidak hanya berkaitan dengan tingkat kemampuan seseorang, melainkan juga berkaitan dengan banyaknya informasi menganai pilihan-pilihan yang ada itu. Kalau ditempatkan di dalam konteks Pilkada secara langsung ini, apakah para pemilih itu, khususnya di daerah-daerah pedesaan, cukup kompeten di dalam menentukan calon-calon yang ada? Pandangan bercorak realis dan elitis itu agaknya tidak sepenuhnya tepat kalau kita melihat pengalaman Pemilu 2004, baik Pileg maupun Pilpres. Di dalam Pemilu ini, kekerasan politik bisa ditekan. Kalau dibandingkan dengan India yang memiliki sejarah demokrasi yang lebih panjang, maupun Philipina, pelaksanaan Pemilu 2004 di Indonesia jauh lebih baik. Karena itu, ketika di dalam Pilkada memunculkan permasalahan, kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa masyarakat di daerah belum siap berdemokrasi. Di samping terdapat realitas bahwa proximity antara calon, calonpendukung, dan antar calon di dalam Pilkada itu lebih dekat, yang perlu direnungkan adalah yang tidak siap itu masyarakat pemilih kebanyakan atau para elite? Pertanyaan demikian ini dikemukakan kalau melihat fakta bahwa serangkaian aksi kekerasan yang terjadi itu tidak lepas dari elite politik yang mengalami kekecewaan. Di samping itu, konflik politik yang menjurus munculnya kekerasan politik pada kenyataannya tidak melanda seluruh wilayah Indonesia yang menyelenggarakan Pilkada secara langsung. Kalau kita percaya pada pendapat Departemen Dalam Negeri, Pilkada yang bermasalah itu hanya mencakup 8 persen saja. Yang bermasalah pun, pada akhirnya bisa diselesaikan secara kelembagaan. Kekisruhan penghitungan suara, misalnya, sebagian besar diselesaikan melalui Pengadilan Tinggi (PT). Ketika sudah diputus, pada akhirnya selesai. Perkecualian adalah apa yang terjadi di Depok, Jawa Barat. Di kota ini, PT telah mengabulkan tuntutan Badrul Kamal, Wali Kota incumbent yang dikalah oleh Nurhmahmudi Ismail. Di samping munculnya permasalahan seperti itu, ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi di dalam pelaksanaan Pilkada ini. Pertama adalah terdapatnya kecenderungan rendahnya tingkat partisipasi pemilih (turn out). Kalau melihat fakta bahwa kecenderungan relatif rendahnya tingkat partisipasi pemilih juga terdapat di negara-negara lain, hal ini memang tidak terlalu mengkhawatirkan. Di Inggris, contohnya, turn out di dalam Pemilu tingkat lokal cukup rendah, rata-rata di bawah 50 persen (Rallings et.al. 2005). Bahkan, pada 1998, di kota metropolitan Boroughs, tingkat partisipasi pemilih hanya mencapai 25,2 persen. Kecenderungan rendahnya partisipasi pemilih tingkat lokal juga ditemukan di Amerika Serikat. Masalahnya adalah, di Indonesia Pilkada secara langsung merupakan babak awal di dalam melibatkan rakyat secara langsung di dalam proses-proses politik di daerah. Sebelumnya, proses-proses itu lebih banyak dilakukan melalui sistem perwakilan, kalau tidak disebut sebagai elitis. Realitas demikian lalu memunculkan pertanyaan lain, kalau Pilkada saja yang proses partisipasi politiknya teragendakan dan terlembaga saja tingkat partisipasinya relatif kurang tinggi, bagaimana dengan partisipasi politik yang lain?
17 Misalnya saja, apakah rakyat di daerah bisa lebih aktif terlibat di dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan daerah? Sekiranya kekhawatiran seperti itu menjadi kenyataan, Indonesia agaknya terlalu dini untuk memasuki suatu tahapan apa yang disebut oleh Anthony Giddens sebagai ‘ironi demokrasi’. Dalam pandangan Gidden, di samping terdapat fenomena demokratisasi yang meluas, negara-negara yang sebelumnya otoriter atau totaliter berubah menjadi lebih demokratis, di negara-negara yang demokrasinya sudah mapan justru ‘kekecewaan’ (disillusionment) terhadap demokrasi. Lebih jauh, Gidden mengatakan: Demokrasi telah menyebar ke penjuru dunia…namun di negara-negara demokasi yang sudah maan, yang seharusnya menjadi contoh, justru terdapat kekecewaan yang meluas terhadap proses-proses yang demokratis. Di banyak negara Barat, peringkat kepercayaan terhadap para politisi menurun dalam beberapa tahun terakhir. Semakin sedikit orang yang datang ke bilik pemungutan suara, khususnya di Amerika Serikat. Semakin banyak orang, khususnya di kalangan muda, yang tidak tertarik pada politik (Gidden 000:90). Di banyak negara, termasuk di Indonesia, ikut di dalam Pemilu merupakan bagian dari apa yang disebut Bruce Ackerman dan James Fishkin (2003:7) sebagai ‘civic privatism’. Mengikuti Pemilu merupakan urusan pribadi, meskipun hal ini menyangkut urusan kenegaraan (publik). Ketika datang ke bilik-bilik suara, pilihan-pilihan yang dibuat juga merupakan bagian dari masalah pribadi. Di dalam bahasa fiqh, datang ke bilik-bilik suara lalu menjadi ‘fadlu khifayah’. Manakala sudah ada yang datang dan melakukan pilihan, bukanlah suatu kewajiban bagi warga yang lain. Tetapi, di dalam situasi demikian, warga negara bisa seenaknya sendiri (selfish), atau bagi yang tidak cukup informasi (uninformed citinzens), ketika menghadapi hari pemilihan. Mereka bisa datang atau tidak ke bilik-bilik suara, itu bukanlah merupakan masalah. Hanya saja, di dalam konteks demokrasi yang partisipatoris, hal demikian bisa memunculkan masalah. Kecenderungan ‘civic privatism’ itu bisa melahirkan sikap apatis yang akhirnya bisa mengarah pada sikap tidak perduli (ignorance) terhadap masalah-masalah politik. Yang kedua adalah berkaitan dengan implikasi dari demokratisasi di daerah. Demokrasi sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan kebebasan (liberalisme), termasuk kebebasan di dalam berbicara, berorganisasi, dan ikut menentkan pejabat-pejabat yang terpilih (elected) secara yang fair. Demokrasi di negara-negara yang sudah mapan (advance democracies), kata Renske Doorenspleet (2005:19), ‘warga negara itu dijamin hak-hak persamaannya dan necara mencegah terjadinya kemiskinan materi secara ekstrim dan kesenjangan social ekonomi’. Di dalam konteks demikian, demokrasi tidak sebatas pada adanya pemberian kesempatan yang sama (equal opportunities), melainkan juga berkaitan dengan alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi secara adil. Equal opportunities berkaitan dengan pemberian kesempatan yang sama terhadap individuindividu warga negara. Sementara itu, alokasi dan distribusi sumber-sumber itu berkaitan dengan pengaturan-pengaturan untuk menciptakan keadilan. Hal ini berkaitan dengan realitas bahwa potensi masing-masing individu, berikut konteks struktural yang ada, pada dasarnya tidaklah sama. Karena itu, manakala mereka harus memanfaatkan equal opportunities, apa yang dihasilkannya juga tetap berwujud adanya ketimpanganketimpangan. Di sini, negara lalu memiliki peran penting untuk menjembataninya, khususnya yang berkaitan dengan produksi, alokasi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa publik (public goods and services).
18 Secara teoritis, pelaksanaan Pilkada secara langsung diharapkan bisa mengarah kepada konstruksi demokrasi seperti itu. Rakyat di daerah bisa secara lebih otonom bisa menentukan pemimpinnya sendiri. Apabila ditempatkan di dalam konteks teori principalagent, misalnya, rakyat yang bersungsi sebagai principal bisa memiliki otoritas yang lebih besar kepada para Kepala Daerah, yaitu melakukan tuntutan-tuntutan untuk lebih diperhatikan aspirasi politiknya. Sebaliknya, para Kepala Daerah itu, yang bertindak sebagai agent, bisa memiliki accountability yang lebih besar kepada rakyat. Di antara wujudnya adalah menciptakan kebijakan-kebijakan daerah yang lebih berpihak dan menguntungkan rakyat. Kalau tidak, rakyat daerah itu bisa mencabut mandat yang telah diberikan itu. Minimal, tidak akan memilihnya kembali pada Pilkada berikutnya. Masalahnya adalah, di dalam realitasnya, rakyat tidak bisa sepenuhnya mampu mengontrol proses-proses yang ada di dalam pelaksanaan Pilkada. Yang dipakai di dalam proses pencalonan adalah pendekatan kelembagaan. Hanya partai atau kumpulan dari partai yang mempu menunjukkan diri memiliki suara tertentu di dalam Pemilu Legislatif yang dapat mengajukan calon. Kelompok-kelompok masyarakat lokal non-politik yang memiliki akar rumput (grassroots) kuat, apalagi orang-orang yang benar-benar independen, tidak bisa mengajukan calon. Implikasinya, di dalam pandangan deliberative democracy, proses pencalonan seperti itu belum sepenuhnya bercorak demokratis. Realitas demikian berbanding lurus dengan sistem kepartaian yang masih sentralistis. Masalah seperti itu bertambah mengemuka karena pada akhirnya para Kepala Daerah tidak bisa begitu saja lepas dari jalinan patronase dengan kekuatan-kekuatan yang mendukungnya, khususnya kekuatan politik dan ekonomi. Jalinan patronase ini bisa mengarah pada adanya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik baying-bayang di dalam pemerintahan daerah. Sekiranya hal demikian yang terjadi, kebijakan-kebijakan daerah tidak lepas dari kendali kekuatan-kekuatan demikian. Implikasinya, yang paling diuntungkan kemudian bukanlah rakyat daerah yang bertindak sebagai principal, melainkan kekuatan tertentu yang memiliki relasi lebih dekat dengan Kepala Daerah itu. Ketika permasalahan yang kedua itu dikaitkan dengan permasalahan pertama, yakni cenderung merendahnya tingkat partisipasi pemilih di dalam Pilkada, permasalahan yang lain juga muncul. Pertama berkaitan dengan tingkat legitimasi para Kepala Daerah yang dihasilkan. Apakah hanya dipilih oleh sebagian warga daerah itu cukup menjadikan Kepala Daerah itu legitimate? Kedua, berkaitan dengan tuntutan adanya Kepala Daerah yang harus mempertimbangkan kepentingan-kepentingan warga dan membangun sebuah accountability. Dalam konteks seperti ini, pertanyaan yang diajukan oleh Bruce Ackerman dan James Fishkin (2003:9) perlu kita renungkan, ‘why should the government consider the interests of all citizens if voters are uninformed and selfish?’ Di dalam praktek politik di banyak negara, kehadiran warga di bilik-bilik suara acapkali tidak dijadikan sebagai ukuran untuk menentukan tingkat legitimasi para pemimpin. Yang sering dijadikan dasar legitimasi adalah apakah ada penerimaan warga terhadap para pemimpin itu atau tidak. Kalaupun ada yang menolak, apakah penolakan itu disertai dengan tindakan pembangkangan-pembangkangan, misalnya saja tidak bersedia membayar pajak dan mematuhi keputusan-keputusan yang lain. Selain itu, betapapun kecilnya para pemilih yang datang ke bilik suara, tidak berarti menghilangkan kewajiban para pemimpin itu untuk mempertimbangkan kepentingan banyak orang, termasuk yang tidak datang. Kewajiban demikian penting dilakukan, di samping karena pemerintah merupakan representasi dari rakyat, juga sebagai bentuk accountability. Bagi yang berkeinginan untuk terpilih kembali, hal ini menjadi sangat
19 penting sebagai upaya untuk meyakinkan rakyat di daerah bahwa mereka adalah para pemimpin yang amanah. Terlepas dari masih banyaknya permasalahan yang ada di seputar pelaksanaan Pilkada secara langsung, arah jarum jam tidak bisa diputar kembali. Proses demokratisasi di daerah akan terus berjalan. Yang menjadi tugas kita adalah terus memperbaiki proses itu, sehingga Pilkada secara langsung tidak berhenti sampai pada demokrasi dalam tataran procedural, melainkan mengarah kepada demokrasi yang lebih esensial, yakni terdapatnya kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang lebih menguntungkan (mensejahterahkan) rakyat banyak.
20
DAFTAR BACAAN Azfar, O., Kahkonen, S., Lanyi, A., Meagher, P. and Rutherford, D., (1999) 'Decentralization, governance and public services, the impact of institutional arrangements: a review of the literature', IRIS Centre, University of Maryland. Bremen, D.R. (2000) State and Local Politics, M.E.Sharpe, New Tork. Dahl, Robert A. (1971) Poliarchy: Participation and Opposition, Yale University Press: New Heaven. Doorenspleet, R. (2005) Democratic Transitions: Exploring the Structural Sources of the Fouth Wave, Lynne Rienner Publishers, Inc., London. Evans, P. (1995) Embedded Autonomy: State & Industrial Transformation, Princeton University Press, Princeton Franklin, M.N. (2002) ‘The Dynamics of Electoral Participation,’ dalam L.LeDuc, R. Nieme, dan P. Norris (eds), Comparing Democracies 2, Sage Publications, London:148-168. Gidden, A. (2000) Runaway World, Roudledge, New York. Haris, S (2005) ‘Mengelola Potensi Konflik Pilkada,’ Kompas, 10 Mei. Mansbridge, J. (2003) ‘Rethinking Representation,’ American Political Science Review, 97(4):515-528. March, J.P. dan J.P. Olsen (1984). ‘The New Institutionalism: Organizational Factors in Political Life’, The American Political Science Review, 78(3):734-749. Marijan, K (2005) Pemilihan Daerah Secara Langsung dan Demokratisasi di Daerah, Airlangga University Press, Surabaya. Marijan, K (2006) Demokratisasi di Daerah: Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung, Eureka, Surabaya. Oates, W.E. (1972) Fiscal Federalism, Harcourth Brace Jovanovich, Inc., New Yor Smith, B.C. (1998) ‘Local Government and the Transition to Democracy: A Review Article’ Public Administration and Development, 18: 85-92.