Kebijakan Energi Nasional
•
Bondan Gunawan S.
1
Pengantar
Terbitnya The Limits to Growth telah menimbulkan kontroversi. Skenario yang digambarkan adalah pertumbuhan ekonomi yang eksponensial lalu diikuti oleh efek kumulatif. Dengan kuantitas sumberdaya alam yang tersedia, suatu krisis ekonomi diproyeksikan pasti terjadi. Ini adalah aliran Malthus. Para pengritik buku tersebut, umumnya ekonom, memberikan gambaran yang sangat berbeda: ketika pertumbuhan berlangsung, isyarat harga akan mengaktifkan berbagai mekanisme penyesuaian. Berbagai mekanisme tersebut mencakup pengembangan dan aplikasi teknologi baru yang memungkinkan penggunaan sumberdaya berkualitas lebih buruk dan substitusi sumber energi langka dengan sumber energi yang lebih melimpah. Ini adalah aliran Ricardo. Dalam kehidupan nyata, kebenaran biasanya terletak diantara dua ekstrim dari spektrum. Meskipun pandangan Malthusian tentang ketersediaan sumberdaya ditolak dalam konteks produksi agregat, pandangan tersebut masih relevan bagi keputusan produksi individual (Bradley, 1973). Bukan saja prediksi skenario kehancuran yang tidak terjadi, kita menyaksikan kebalikan dari yang diskenariokan dengan adanya substitusi ganda dan perbaikan efisiensi (Fritsch, 1995). Kenaikan harga minyak mentah dunia yang mencapai US$ 145 per barel sempat membuat panik para pemimpin seluruh dunia dan beberapa kalangan menyangka bahwa ramalan Malthus telah menjadi kenyataan. Diskusi pengembangan energi alternatif merebak luas. Lagi-lagi ramalan Malthus belum terbukti, harga minyak kembali ke level US$ 40 - US$ 60 per barel, dan kita kembali dapat minum minyak sambil melupakan peristiwa yang membuat panik tersebut. Memori kolektif kita memang sangat pendek. •
Disampaikan pada acara Dies Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, tanggal 17 Februari 2009.
1
Standard hidup kita tidak dapat ditingkatkan dan dipertahankan tanpa energi. Penyediaan jasa yang terkait energi melibatkan berbagai dampak lingkungan yang semakin tidak dapat diterima oleh masyarakat abad 21 (Kaltschmitt, 2007). Pilihan energi mempunyai konsekuensi bagi pertumbuhan ekonomi, lingkungan dari tingkat lokal hingga global, bahkan bentuk aliansi politik global dan komitmen pertahanan nasional (Chow et. Al., 2003). Oleh karena itu, kebijakan energi sebagai bagian dari kebijakan pembangunan ekonomi nasional harus mendapat perhatian yang lebih serius. Kesalahan dalam kebijakan energi bukan saja mengancam pembangunan ekonomi, tetapi juga akan merusak lingkungan, reputasi bangsa kita, bahkan keberadaan bangsa dan negara kita. Debat kebijakan energi selama tiga dekade terakhir umumnya berkisar pada empat isu utama: (1) apa yang akan terjadi dengan harga energi? (2) apa dampak dari perubahan harga energi di pasar? (3) sampai seberapa jauh intervensi pemerintah diperlukan, dan (4) seperti apakah seharusnya sifat intervensi pemerintah dalam pasar energi bila diperlukan? (Kolstad, 2000). Dua isu terakhir ini kurang memperoleh perhatian di Indonesia karena produksi dan distribusi energi di Indonesia sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Debat kebijakan energi di Indonesia bahkan dipersempit hanya sebatas berapa subsidi yang harus diberikan pemerintah. Meskipun demikian, bukan berarti kita tidak perlu mempertanyakan kembali peran pemerintah dalam penyediaan energi nasional tersebut. Untuk itu, dua isu terakhir tersebut dibahas dalam seksi 2. Setelah pengantar pendek ini, saya akan membagi pidato orasi saya ini menjadi lima bagian. Pertama, konstitusi kita sebagai landasan pokok bagi penyusunan setiap kebijakan, termasuk kebijakan energi. Kedua, sumberdaya energi nasional. Ketiga, letak strategis negara kita sebagai faktor penentu penyusunan kebijakan energi nasional. Keempat, kaitan antara kebijakan energi dengan kebijakan lainnya. Kelima adalah penutup.
2
2
Konstitusi dan Perundangan
Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” (ayat 2) dan “Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (ayat 3). Sebagaimana telah saya sampaikan sebelumnya, kesejahteraan kita tidak mungkin dapat dipisahkan dari energi. Dengan demikian, produksi energi termasuk dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sebagai diamanatkan oleh konstitusi maka produksi energi harus dikuasai oleh negara. Pertanyaan selanjutnya adalah “apakah yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara itu?” Dalam ayat 3, dikuasi oleh negara tersebut disandingkan dengan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan oleh negara tersebut dalam rangkaian untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penafsiran ini mengandung pengertian bahwa sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan tujuan yang bersifat tetap, sedangkan penguasaan oleh negara merupakan instrumen. Sifat instrumental ini memberi ruang penafsiran yang lebih luas, mulai dari tafsir yang paling restriktif hingga tafsir yang paling longgar. Disinilah terbuka ruang diskursus politik ekonomi energi nasional. Pilihan yang diambil haruslah pilihan yang memberikan tingkat kesejahteraan yang paling tinggi bagi rakyat. Tafsir yang paling restriktif adalah bahwa produksi energi harus dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Inilah yang kita tempuh selama ini; bahan bakar minyak oleh Pertamina dan listrik oleh PLN. Meskipun telah dihilangkan melalui keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat, mencermati kembali penjelasan UUD 1945 yang asli sangat berguna untuk menduga ide awal yang terkandung dalam pikiran para penciptanya. Dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 disebutkan sebagai berikut: Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan
3
kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang seorang. Bentuk rumusan di atas mencerminkan paling tidak dua hal, yakti (1) model ekonomi negara-negara Skandinavia waktu itu dan (2) respon Karl Marx terhadap sistem kapitalisme primitif yang menghisap. Jaman terus berkembang, sistem sosialisme ortodoks runtuh, sementara sistem kapitalisme berkembang ke arah yang lebih manusiawi. Dengan bunyi penjelasan seperti di atas, kehadiran BUMN yang memproduksi barang dan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak dengan mudah mendapatkan legitimasi. Banyak kalangan masih sangat keberatan dengan hadirnya produsen minyak dan listrik swasta. Tetapi belum pernah ada orang yang meneriakkan agar beras, yang jelas lebih strategis dibanding minyak dan listrik, diproduksi oleh perusahaan negara. Jelas terjadi inkonsistensi yang luar biasa namun menguntungkan disini. Di beberapa negara yang produksi pangannya dilakukan oleh negara sering terjadi antrian panjang sekedar untuk memperoleh sepotong roti berkualitas rendah. Sukurlah produksi pangan di Indonesia dilakukan oleh swasta dalam bentuk pribadi orang seorang yang berjumlah jutaan. Oleh karena itu, ketakutan seperti tersirat dalam penjelasan atas pasal 33 seperti dikutip di atas sebenarnyalah tidak cukup beralasan. Ingatkah kita pada saat telekomunikasi masih dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan negara? Kita selalu dihimbau dengan kata-kata bicaralah seperlunya. Kini, tatkala swasta
4
telah ikut terlibat dalam industri ini, kita didorong untuk banyak berkomunikasi. Sekarang listrik masih dikuasai secara penuh oleh perusahaan milik negara dan kita selalu dihimbau untuk memakai listrik seperlunya. Himbauan ini mengirimkan pesan singkat dan padat kepada investor bahwa Indonesia kekurangan pasokan listrik sehingga kurang baik bagi investasi. 1 Bepergian dari dan ke Yogyakarta menjadi lebih mudah ketika berbagai perusahaan swasta ikut menyediakannya. Apakah kita menginginkan penerbangan dari dan ke Yogyakarta sebaiknya hanya dilayani oleh perusahaan BUMN? Bukankah sangat beresiko ketika urusan energi yang sangat vital bagi perekonomian dan keamanan negara diserahkan kepada satu pihak saja, meskipun pihak tersebut adalah perusahaan milik negara? Disamping terlalu beresiko, monopoli oleh negara sangat membuka peluang dijadikannya energi sebagai alat politik penguasa demi keuntungannya dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak dan negara. Di masa mendatang, pengembangan, produksi, dan distribusi energi sebaiknya membuka peluang bagi partisipasi masyarakat luas, khususnya untuk energi alternatif. Hal ini hanya mungkin bila kondisi yang dibutuhkan tersedia (lihat seksi 5.3). Pasal 7 angka 2 UU 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi menyebutkan bahwa “kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.” Sedangkan pasal 5 angka 2 mengatur kegiatan usaha hilir yang mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga. Mari kita cermati lebih jauh pernyataan “mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.” Apakah ketika pemerintah memberikan subsidi kepada produk minyak dan gas yang dihasilkan BUMN sehingga harganya menjadi lebih rendah dari yang seharusnya masih termasuk dalam kategori persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan? Menurut saya, subsidi pemerintah yang akhirnya menghalangi lahirnya kegiatan usaha hilir minyak dan gas sebagai pesaing merupakan pelanggaran terhadap UU 22 tahun 2001. 1
Ketika suatu produsen menghimbau pelanggannya untuk melakukan pengurangan konsumsi produk dari produsen tersebut, kita tahu bahwa ada yang salah dengan situasi yang sedang terjadi.
5
Jadi pengertian dikuasai oleh negara sebaiknya ditafsirkan sebagai kewajiban Negara untuk memberi perhatian khusus terhadap suatu proses produksi dan distribusi demi menjamin tercapainya kemakmuran yang maksimum. Dalam kasus proses produksi tersebut dilaksanakan oleh swasta, pemerintah berhak dan berkewajiban melakukan regulasi dengan tujuan mencapai kemakmuran tertinggi. Uji pertama setiap kebijakan pemerintah adalah apakah kebijakan tersebut meningkatkan kesejahteraan rakyat atau tidak. Hanya kebijakan yang tidak mengurangi kesejahteraan rakyat yang pantas untuk dipertimbangkan. Rakyat disini mencakup rakyat Indonesia yang ada saat ini dan generasi berikutnya. Godaan kepentingan politik sesaat sering mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Dalam hal tidak atau belum ada pihak swasta yang bersedia melakukan proses produksi barang atau jasa yang dimaksud, maka pemerintah yang wajib mengambil alih peran tersebut. Disini peran pemerintah sebagai pelopor di wilayah “frontier.” Manakala keterlibatan sektor swasta dalam industri yang dimaksud telah mencapai “critical mass”, maka peran pemerintah harus dikurangi dan memulai wilayah “frontier” lainnya. Demikian proses ini berlanjut hingga pada akhirnya peran pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa terbatas hanya pada barang dan jasa yang tidak akan pernah diproduksi oleh sektor swasta.
3
Sumberdaya Energi Nasional
3.1 Berkah atau Kutukan Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya sumberdaya alam, termasuk sumber energi, tetapi kemiskinan yang mencengkeram rakyat Indonesia seolah enggan pergi. Penilitian empirik menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi negara yang memiliki sumberdaya melimpah cenderung lebih lambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi negara tidak memiliki sumberdaya alam melimpah (Sachs dan Warner, 1999). Fenomena seperti ini kemudian melahirkan istilah “kutukan sumberdaya alam.” Bukan hanya itu, penelitian empirik juga menunjukkan bahwa wilayah tropik
6
cenderung kurang berkembang dibandingkan wilayah di luar tropika (Nafziger, 2006). Pesimisme Malthus dan the Club of Rome memang tidak terbukti dan penduduk dunia terus tumbuh, tetapi ekonomi tidak akan pernah ada tanpa sumberdaya alam dan lingkungan. Setiap aktivitas ekonomi pastilah bersentuhan dengan salah satu atau bahkan keduanya sekaligus. Ekonomi neoklasik “merasa” telah mampu mengatasi kelangkaan sumberdaya alam paling tidak karena tiga gaya ekonomi, yakni kemajuan teknologi, substitusi faktor produksi buatan bagi sumberdaya alam, dan return to scale (Stiglitz, 1974; Agnani, Guti´errez, Iza, 2005). Tetapi suka atau tidak, sistem ekonomi tidak akan pernah mampu keluar dari ekosistem. Berdasarkan informasi yang tersedia, kurang bijaksana menyimpulkan bahwa kelangkaan sumberdaya alam telah dapat diatasi (Smith dan Krutilla, 1984). Aturan yang mengatur dinamika ekosistem, dimana di dalamnya aktivitas manusia berlangsung, pada akhirnya merupakan fungsi dari hukum biologi, bukan fungsi dari sistem ekonomi yang diciptakan manusia (Gowdy dan McDaniel, 1995; Smith, 1996). Untuk membuat sumberdaya alam menjadi berkah ketimbang kutukan, Stiglitz (2005) mengajukan beberapa pendekatan dengan tujuan untuk menjamin perolehan negara pemilik, pertumbuhan ekonomi negara pemilik, dan manfaat yang terdistribusi secara luas: 1. Kebijakan Ekonomi Makro (a) Penentuan laju ekstraksi. Ekstraksi sumberdaya alam mengurangi kekayaan negara, jika penerimaan yang dihasilkannya tidak diinvestasikan dalam bentuk yang lain. Dalam pandangan ekonomi, sumberdaya alam adalah aset, sehingga ekstraksi tidak lebih dari realokasi portofolio dari bentuk sumberdaya alam menjadi bentuk aset yang lain. 2 Jika pemilik sumberdaya belum mampu 2
Dalam sistem akuntansi negara, minyak dan bahan tambang yang masih berada di dalam bumi dan ikan yang masih berenang di laut Indonesia belum tercatat sebagai aset negara. Akibatnya, ketika minyak, bahan tambang, dan ikan tersebut dicuri orang maka aset negara tidak berubah. Artinya, negara tidak dirugikan!
7
menggunakan dana yang diperolehnya dari eksploitasi sumberdaya alam, maka membiarkan sumberdaya tetap dalam tanah dapat lebih menguntungkan, nilainya akan meningkat karena komoditi sumberdaya tersebut semakin langka sehingga harganya semakin tinggi. Penentuan laju ekstraksi optimal sumberdaya alam tidak dapat pulih pertama kali dikemukakan oleh Hotelling (1931) yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh banyak ahli dengan berbagai variasi problem. Namun, kemampuan dari pemilik sumberdaya alam untuk mengelola penerimaan yang diperolehnya umumnya belum dipertimbangkan. Gejala maraknya penambangan batubara setelah lahirnya kebijakan otonomi daerah jelas memperlihatkan gejala ini. (b) Berhati-hati dalam meminjam dana. Bank internasional sering berperan mendorong negara penghasil sumberdaya alam untuk berbelanja melebihi kemampuan membayarnya. Pepatah umum dari bank adalah bahwa mereka lebih memilih meminjami pihak yang sebenarnya tidak membutuhkan uang mereka. Ketika harga komoditi sumberdaya alam tinggi bank berlomba meminjami, tetapi ketika negara peminjam sedang kesulitan karena harga komoditi sumberdaya alam sedang turun bank menarik uangnya. Itulah sebabnya, aliran dana, khususnya dalam jangka pendek cenderung bersifat pro-cyclical yang memperberat fluktuasi ekonomi. Jika dana yang dipinjam digunakan untuk investasi yang produktif, yakni menghasilkan return yang lebih tinggi dari tingkat bunga yang harus dibayar, maka pinjaman dapat dibenarkan. Bila dana pinjaman digunakan untuk membiayai belanja dalam negeri, maka belanja tersebut dapat menyumbang kepada apresiasi mata uang domestik sehingga menghambat ekspor komiditi dari sektor lain. Ini lazim disebut sebagai Dutch Disease. 3 3
Menurut Nafziger (2006), kemungkinan capital inflow ke negara kurang berkembang adalah rendah sehingga pathologi tersebut lebih baik disebut sebagai penyakit Indonesia atau negara pengekspor komoditi sumberdaya
8
(c)
Kerangka akunting. Salah satu alasan mengapa pemerintah sering gagal mengelola penerimaan berkaitan dengan kerangka akunting standard yang banyak digunakan. Pemerintah cenderung menunjukkan keberhasilannya dengan mengemukakan angka laju pertumbuhan. Tetapi produk domestik bruto (PDB) tidak memberikan ukuran yang sesungguhnya dari kesejahteraan. Seperti telah disinggung, bila negara mengekstraksi sumberdaya alamnya dan pendapatan yang diperoleh tidak diinvestasikan dengan baik, maka negara tersebut menjadi lebih miskin, bukan lebih kaya. Dalam konteks ini, Indonesia jelas semakin miskin meskipun ekonomi tercatat terus tumbuh dan pendapatan terus meningkat. Pendapatan adalah aliran (flow), sedangkan sumberdaya alam sebagian besar berbentuk stock. Alternatif terhadap kerangka akunting yang ada adalah apa yang lazim disebut dengan “PDB Hijau,” suatu upaya untuk mengukur kesejahteraan yang lebih tepat. Kerangka akunting alternatif ini memasukkan deplesi dan kerusakan lingkungan seperti halnya perusahaan menghitung depresiasi dari asetnya. (d) Reformasi kelembagaan. Harga komoditi di pasar internasional sangat bergejolak. Hal ini dapat menjadi dorongan bagi terbentuknya “dana stabilisasi” yang akan berfungsi untuk menghaluskan belanja, mengurangi resiko Dutch Disease, memberikan perangkat untuk mengatasi kecenderungan pemerintah membelanjakan seluruh sumberdaya yang ada, dan lebih menjamin bahwa dana diinvestasikan dengan lebih terarah sehingga depleasi sumberdaya alam diimbangi dengan peningkatan sumberdaya manusia dan fisik. Dana stabilisasi juga dapat digunakan untuk menghambat perilaku berburu rente. Melalui proses yang terbuka dan transparan, dana stabilisasi dapat membantu mencegah dan menurunkan konflik
alam lainnya, suatu distorsi ekonomi akibat ketergantungan pada satu hingga tiga ekspor yang sedang melimpah.
9
dengan kekerasan yang sering melanda Negara kaya sumberdaya alam. 2.
Kebijakan Ekonomi Mikro (a) Transparansi. Kebijakan yang dapat meningkatkan transparansi sangat diperlukan; informasi tentang bagaimana pemerintah berinteraksi dengan pihak pengekstraksi sumberdaya alam harus lebih dibuka; kontrak yang disepakati; jumlah komoditi sumberdaya alam yang diproduksi; dan penggunaan pendapatan yang diperoleh. Transparansi akan menghambat perilaku mencari rente dan korupsi. (b) Rancangan lelang. Ketika pemerintah tidak mempunyai informasi yang cukup tentang sumberdaya alam yang di suatu wilayah, maka cara yang paling mudah untuk menangkap rente ekonomi sebesar-besarnya dari sumberdaya alam tersebut adalah melalui lelang kompetitif. Peserta lelang dengan teknologi yang dikuasainya diberi kesempatan untuk mencari informasi potensi sumberdaya alam yang ada. Kesempatan harus diberikan secara adil kepada semua peserta untuk menghindari atau paling tidak mengurangi asymmetries of information yang akan mengurangi tingkat kompetisi dan penerimaan bagi pemerintah. Penawaran kawasan yang terlalu luas sebaiknya dihindari karena akan menambah resiko bagi investor yang dikonversi menjadi harga penawaran yang lebih rendah.
3.2
Potensi Energi Nasional
Indonesia memiliki banyak sumber energi alternatif seperti terlihat pada Tabel 1. Namun, berbagai sumber energi tersebut belum dapat dimanfaatkan karena kebijakan energi murah berbasis minyak dan gas alam yang diambil pemerintah. Sumber energi di luar minyak dan gas yang paling “murah” adalah batu bara. Tetapi apakah harga batu bara masih cukup murah dan kompetitif bila kerugian kerusakan lingkungan ikut diperhitungkan?
10
Tabel 1: Potensi Energi Nasional 2006
Energi Fosil
Minyak Bumi Gas Bumi Batu Bara Coal Bed Methane (CBM)
Unit
Miliar Barel TSCF Miliar ton
Cadangan Sumberdaya (Proven+Possible)
Produksi Per Tahun
Rasio CAD/Prod (tanpa eksplorasi)
86,9 384,7 90,5
9,1 187,0 18,7
0,365 2,770 0,170
25 68 110
453
-
-
-
TSCF Energi Non Fosil Tenaga Air Panas Bumi Mini/Micro Hydro Biomass Tenaga Surya Tenaga Angin Nuklir
Kapasitas Setara Terpasang
Sumberdaya 845,00 jt SBM 219,00 jt SBM 0,45 GW 49,81 GW 9,29 GW 24,112 ton*) atau 3 GW (11 Tahun)
75,67 GW 27,00 GW 0,45 GW 49,81 GW 4,80 kWh/m2/hari 9,29 GW
4,2000 GW 0,8000 GW 0,0840 GW 0,3000 GW 0,0080 GW 0,0005 GW
Hanya di Kalan - Kalimantan Barat Sumber: ESDM (2007)
*)
Kita harus mulai menggarap potensi energi non fosil, minyak dan gas khususnya, yang sangat melimpah di negara kita. Kalaupun kita belum dapat bebas dari ketergantungan kepada subsidi, tetapi jumlah subsidi yang dibutuhkan dapat ditekan tanpa mengurangi kenikmatan yang telah kita capai. Sebagai contoh, biaya produksi listrik menggunakan panas bumi adalah US$ 0,06 per kWh, sedang dengan menggunakan bahan bakar minyak mencapai US$ 0,17 per kWh bila harga minyak US$ 70 per barel dan US$ 0,30 per kWh bila harga minyak US$ 140 per barel.
11
4
Posisi Geografis Indonesia
Suka atau tidak suka, Indonesia sebenarnya mempunyai ciri negara bahari. Luas laut yang jauh lebih besar dari luas daratannya. Garis pantai Indonesia adalah terpanjang di dunia. Kondisi ini seharusnya memacu pemikiran tentang kemaritiman. Industri perkapalan dan riset biologi maritim, misalnya, seharusnya menjadi kiblat dunia. Kesempatan seperti ini bukan sekedar kita lewatkan, tetapi tidak kita sadari. Kita cukup puas bahwa laut kita seperti kolam susu tanpa peduli siapa yang meminum dan menjadi sehat oleh susu tersebut. Pemilik kolam susu tetap miskin dan tidak sehat. Oleh karena itu, sangatlah penting merenungkan kembali pesan lagu kebangsaan kita “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya .....” Saya akan menyoroti panjang garis pantai dalam kaitannya dengan rancangan ekonomi negara dalam menghadapi globalisasi. Menjaga garis pantai yang begitu panjang merupakan pekerjaan yang sulit dan mahal. Dengan angkatan laut yang kuat sekalipun, mengamankan garis pantai yang begitu panjang tetap saja pekerjaan yang sulit dan mahal. Kondisi ini memberi pesan bahwa suka atau tidak suka Indonesia telah dilahirkan sebagai negara ekonomi global! Indonesia sejak awal telah ditakdirkan untuk berinteraksi secara intens dengan bangsa-bangsa lain dan menjadi negara terbuka. Setiap kebijakan ekonomi yang bersifat lebih tertutup dan membuat disparitas harga yang terlalu jauh antara di dalam dan di luar negeri atau antar wilayah akan selalu diikuti oleh penyelundupan yang tidak mungkin dapat diatasi dengan efektif dan efisien. Sementara banyak negara di dunia kesulitan mencari pintu keluar untuk berhubungan dengan dunia luar, Indonesia dapat berinteraksi dengan dunia luar melalui sisi mana saja. Langkah apapun yang mencoba melawan bakat alam ini dipastikan akan gagal. Oleh karena itu, tidak ada piihan lain kecuali mengembangkan mindset bahwa bangsa Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa global. Anehnya, beberapa komponen bangsa Indonesia semakin hari semakin takut menghadapi globalisasi yang pasti tidak dapat dielakkan. Kita lupa bahwa nenek moyang kita merupakan salah satu pelopor berdagangan dunia sebagai salah satu
12
unsur globalisasi ekonomi. Sayangnya, semakin banyak orang-orang terdidik yang semakin menjadi pengecut menghadapi globalisasi. Mereka menggunakan berbagai argumen bahwa Indonesia belum siap menghadapi globalisasi yang merupakan pengejawantahan neoliberalism. Mengapa bangsa ini semakin mudah menyalahkan pihak lain atas kegagalan yang dibuatnya sendiri? Mulai detik ini kita harus berpikir ke arah bagaimana mengkapitalisasi posisi geografis yang sangat strategis ini bagi kemakmuran rakyat Indonesia.
5
Kaitan Antara Kebijakan
Seperti telah disinggung sebelumnya, kebijakan energi merupakan bagian dari kebijakan ekonomi yang lebih luas. Tetapi energi juga sangat berkaitan dengan banyak isu lainnya, seperti lingkungan, sosial, politik, pertahanan dan keamanan nasional. Problem energi tidaklah berdiri sendiri. Sifat kebijakan energi adalah interdisipliner yang meliputi ekonomi, politik, hukum, teknik, geologi, kesehatan, dan lingkungan (Manne et. al., 1979). Oleh karena itu, agar pembangunan nasional dapat lebih efektif, berbagai kebijakan harus saling mendukung, bukan saling meniadakan, seperti yang dipesankan dalam pasal 2 UU 30 tahun 2007. Dalam seksi ini saya akan menguraikan beberapa kebijakan dan isu yang berkaitan langsung dengan kebijakan energi. 5.1 Kebijakan Energi Kebijakan energi nasional dirumuskan dalam ayat (1) pasal 11 UU 30 tahun 2007 yang meliputi, antara lain: 4 a. ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional, b. prioritas pengembangan energi, c. pemanfaatan sumberdaya energi nasional, dan d. cadangan penyangga energi nasional. Adapun tujuan yang ingin dicapai dirumuskan dalam pasal 3 yang secara ringkas meliputi: kemandirian pengelolaan energi; ketersediaan energi dan sumber energi; pengelolaan sumberdaya energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan; pemanfaatan energi yang efisien; pemerataan akses terhadap energi; berkembangnya 4
Penggunaan ungkapan “antara lain” dalam UU 30 tahun 2007 menunjukkan adanya keraguan dalam membatasi ruang lingkup kebijakan energi nasional.
13
industri energi dan jasa energi; terciptanya lapangan kerja; dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Bagaimana menjalankan kebijakan energi untuk mencapai berbagai tujuan tersebut di atas? Jalan apapun yang akan kita tempuh, kita harus berlandaskan pada apa yang kita miliki, bukan pada apa yang kita angan dan inginkan. Subseksi 3.2 telah memaparkan potensi energi yang kita miliki. Banyak sumber energi alternatif non fosil yang belum digarap dengan baik. Sumber energi alternatif diingat hanya ketika harga minyak mendadak naik tajam dan kembali dilupakan ketika harga minyak telah kembali turun. Pengalaman yang baru saja kita alami, harga minyak dunia mendadak naik dengan cepat dan juga menurun dengan cepat pula, perlu dijadikan pelajaran. Ternyata di dunia ini ada pihak yang mempunyai kemampuan untuk membuat goncangan harga yang membuat kita dan penduduk dunia tidak berkutik. Bagi kita sekarang, minyak telah menjadi sumber instabilitas ketimbang stabilitas. 5.2
Kebijakan Investasi
Sementara upaya pengembangan energi alternatif, khususnya energi non fosil, harus terus dilakukan, suka atau tidak kita masih memerlukan minyak dan gas. Memang dalam skala global energi dari bahan bakar fosil masih akan memegang peran penting di abad 21 (Lincoln, 2005). Tetapi di abad 21 ini juga manusia di bumi kemungkinan hidup tanpa minyak dan gas (Armstrong dan Blundell, 2007). Cadangan migas Indonesia diperkirakan akan habis di abad 21 ini (Tabel 1). Cadangan minyak Indonesia sebenarnya masih cukup untuk konsumsi beberapa tahun ke depan tanpa harus menjadikan Indonesia sebagai net importer. Tetapi potensi tersebut tidak dapat direalisasikan karena tidak adanya investasi baru di sektor migas. Pertanyaan lanjutannya adalah mengapa tidak terjadi investasi baru di sektor migas? Ini berkaitan dengan kebijakan investasi, birokrasi, dan pelayanan publik. Paling tidak ada dua faktor penting yang mempengaruhi investasi baru di sektor migas, yakni faktor insentif/disinsentif dan faktor resiko. Sejak diundangkannya UU 22 tahun 2001 timbul persepsi bahwa pada eksplorasi
14
diterapkan bea masuk serta PPN dan PPh impor padahal eksplorasi belum tentu menemukan migas. Tentu saja ini merupakan disinsentif bagi investasi. Problem ini baru diatasi 6 tahun kemudian dengan diterbitkannya surat keputusan Menteri Keuangan No 177/PMK001/2007. Berdasarkan hasil survai dari berbagai lembaga internasional, Indonesia tergolong sebagai negara beresiko tinggi untuk investasi karena masalah korupsi, ketidak pastian hukum, stabilitas politik, kualitas regulasi, dan sumberdaya manusia. Sementara itu, investasi migas sendiri secara inheren memiliki resiko tinggi. Investor migas di Indonesia akan menghadapi resiko ganda. Investasi untuk mengembangkan sumber energi alternatif yang resikonya lebih rendah terhambat oleh kebijakan harga atau fiskal yang diberlakukan pada migas. Kesempatan untuk keluar dari jeratan minyak sebenarnya telah datang ketika masyarakat “dapat menerima” dengan relatif tenang kenaikan harga minyak beberapa waktu yang lalu. Sayang, kesempatan ini tampaknya cenderung lewat begitu saja. Inilah salah satu problem bangsa kita… terlalu mudah membuang kesempatan yang sedang menghampirinya. 5.3
Kebijakan Fiskal
Tanpa harus belajar ilmu ekonomi lebih dahulu, setiap orang dapat merasakan dan mengerti bahwa ketika harga suatu barang dirasakan murah maka konsumsi atas barang tersebut cenderung lebih banyak dibanding ketika harga barang tersebut dirasakan mahal. Oleh karena itu, bila harga suatu barang dimurahkan sehingga lebih rendah dari yang semestinya, maka konsumsi atas barang tersebut lebih banyak dari yang semestinya. Inilah yang terjadi dengan BBM yang dijual pada harga yang lebih rendah dibandingkan nilai terbaiknya. Mari kita perhatikan lebih seksama fenomena di SPBU Setiap kali menjelang kenaikan harga BBM diumumkan, masyarakat berbondong-bondong mengisi tanki mobil atau sepeda motornya sampai penuh karena harga saat itu lebih murah dibanding harga yang akan berlaku beberapa jam kemudian. Seandainya hari ini pemerintah mengumumkan akan
15
menurunkan harga BBM seminggu kemudian, dijamin beberapa hari sebelum waktu penurunan berlaku SPBU bakal sepi pengunjung. Inti dari fenomena tersebut adalah jika harga kini lebih murah dibandingkan harga di hari yang akan datang, maka konsumsi akan ditarik ke masa kini. Sebaliknya, jika harga kini lebih mahal dibanding harga di hari yang akan datang, maka konsumsi akan ditunda. Sekarang menjadi lebih mudah dimengerti bahwa ketika harga BBM hari ini lebih rendah dari yang semestinya, maka konsumsi BBM bangsa Indonesia hari ini lebih tinggi dari yang semestinya. Sementara itu, jumlah bahan dasar BBM di bumi kita ini relative tetap. Apa konsekuensinya bagi generasi mendatang yang juga rakyat Indonesia? Konsekuensi logisnya tidak mungkin lain kecuali bahwa konsumsi BBM rakyat Indonesia di masa mendatang harus lebih rendah dari yang semestinya karena sebagian konsumsi tersebut telah digunakan oleh generasi sebelumnya. Generasi mendatang itulah pemberi subsidi yang sesungguhnya, bukan pemerintah. Pemerintah hanyalah instrumen generasi masa kini yang diberi legitimasi untuk mengurangi hak-hak generasi yang akan datang. Kita harus membela kepentingan rakyat generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Jangan pernah melupakan pepatah peninggalan orang tua kita “jangan lebih besar pasak daripada tiang.” Ketika harga suatu barang lebih murah dibandingkan dengan harga barang substitusinya yang mempunyai fungsi dan kualitas yang sama, orang akan cenderung memilih barang tersebut dibandingkan barang substitusinya. Bila selisih harga tersebut sangat jauh berbeda, maka barang substitusi akan kalah bersaing dan akhirnya tidak menarik untuk diproduksi. Inilah yang terjadi dengan kasus BBM dan barang alternatif sebagai substitusinya. Jadi, implikasi dari subsidi harga BBM yang terlalu banyak adalah tidak kompetitifnya barang substitusinya. Dengan kata lain, subsidi BBM merupakan disinsentif bahkan pembunuhan bagi penggunaan kreatifitas untuk mengembangkan energi alternatif. Jadi, sangat lucu bila kita menuntut pengembangan energi alternatif ketika kita juga menuntut agar BBM disubsidi habis-habisan.
16
Subsidi terhadap BBM berakibat kepada jumlah anggaran yang tersedia untuk membangun dan memelihara infrastruktur transportasi. Pembangunan jaringan jalan baru menjadi sangat terkendala. Saudara-saudara kita yang hidup di daerah terpencil terpaksa harus membayar harga BBM yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga yang harus dibayar oleh penduduk yang tinggal di tempat yang telah memiliki jaringan jalan memadai. Minimnya anggaran untuk perawatan infrastruktur jalan juga berdampak pada lebih mahalnya biaya transportasi karena waktu tempuh yang lebih lama sehingga memakan lebih banyak bahan bakar dan kerusakan kendaraan yang lebih cepat. Anggaran yang tersedia untuk melakukan riset pengembangan energi alternatif menjadi langka. Ringkasnya, kita terjebak semakin dalam oleh ilusi energi murah. Tabel 2 menyajikan harga bensin di beberapa negara. Beberapa negara tersebut sengaja dipilih sebagai cermin untuk melihat wajah kita sendiri. Dari tabel tersebut, kita dapat melihat betapa bangsa Indonesia sangat dimanjakan. [Maaf bapak ibu sekalian, orang Jawa itu kalau dipangku (atau dimanjakan) akan mati! Saya kira hal seperti ini juga berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia]. Dibandingkan dengan harga di beberapa negara yang paling sosialis seperti Cina, Korea Utara, dan Vietnam, harga bensin di Indonesia jauh lebih sosialis. Apalagi dibandingkan dengan harga bensin di negara kesejahteraan tetapi kaya seperti Denmark, Finlandia, dan Swedia, harga bensin di Indonesia sangat jauh di bawah. Dibandingkan dengan Nigeria yang lebih kaya minyak dengan kehidupan rakyatnya yang tidak lebih baik dari rakyat Indonesia, Indonesia masih jauh lebih royal. Disparitas harga yang paling mengkhawatirkan adalah antara Indonesia dan negara tetangga terdekat seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Pilipina. Disparitas harga yang sangat besar tersebut merupakan insentif yang sangat kuat bagi aktivitas penyelundupan yang sangat mudah dilakukan karena posisi geografis Indonesia seperti telah disampaikan pada seksi 4.
17
Tabel 2: Harga Bensin, Cadangan, Produksi, dan Konsumsi Minyak di Beberapa Negara Negara Cina Denmark Finlandia Guatemala India Indonesia Malaysia Nigeria Korea Utara Pakistan Pilipina Rusia Singapura Sri Langka Swedia Thailand Vietnam
Harga (Rp/L) 9.497 18.381 19.088 22.077 16.025 6.000 7.777 7.011 14.022 11.312 14.375 10.699 14.257 17.203 15.554 8.837 10.251
Tanggal
Konsumsi Th. 2007 (Ribu BPD)
Cadangan Terbukti Akhir 2007 (Miliar barrel)
Produksi Th. 2007 (Ribu BPD)
Cadangan/ Produksi
15,5 1,1
3.743 312
11,3 9,8
7.855 197 226
5,5 4,4 5,4 36,2
801 969 755 2.356
18,7 12,4 19,4 8,8
2.748 1.157 514 221
26/6/2008 28/5/2008 9/11/2008 12/5/2008 18/6/2008 16/10/2008 15/10/2008 7/6/2008 20/7/2008 1/11/2008 2/6/2008 27/10/2008 4/11/2008 8/6/2008 12/11/2008 11/11/2008 14/11/2008
79,4
9.978
21,8
0,5
309
4,1
362 298 2.699 917 364 911
US$ 1 = 11.783 rupiah
Ringkasnya, selama kita menghendaki harga BBM terus disubsidi besar-besaran, selama itu pula sebenarnya kita tidak menghendaki dikembangkannya sumber energi alternatif. Oleh karena itu, tidak perlu menyalahkan pemerintah, karena pemerintah pada dasarnya juga sedang tersandera oleh tuntutan kita untuk terus memberi subsidi BBM. Perlu terus diingat bahwa ketika subsidi telah menjadi way of life maka kehancuran sesungguhnya telah mencengkeram kita karena kita telah menghancurkan kreativitas sebagai sumber kemajuan. Kondisi yang harus kita hadirkan adalah berapapun harga energi, bangsa Indonesia harus mampu menjangkaunya tanpa duka cita dan mampu memproduksinya dengan suka cita. Hal ini mustahil dapat diwujudkan bila kita masih berpikir dan berdebat di dalam kotak subsidi. 5.4 Kebijakan Pangan Biomass merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sangat potensial. Pengembangan energi ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya persaingan alokatif antara untuk pangan dan untuk energi. Ada yang berpendapat bahwa biomass untuk energi sebaiknya biomass non pangan. Dari
18
sisi penghasil biomass, produk yang mempunyai banyak kegunaan akan lebih menguntungkan, paling tidak resikonya lebih kecil. Harga pasar yang akan menentukan untuk apa produk tersebut digunakan. Dengan demikian, apakah diversifikasi sumber energi yang mencakup biomass bersifat sebagai kesempatan atau ancaman terhadap ketahanan pangan tergantung bagaimana kita menyikapinya. Untuk itu, kebijakan diversifikasi energi yang mencakup biomass perlu diiringi dengan kebijakan pangan. Produksi biomass memiliki ciri yang menguntungkan, seperti dapat dilakukan secara padat karya, tidak memerlukan ketrampilan tinggi, dapat memanfaatkan lahan terlantar dan tidak produktif, dan mendorong pembangunan daerah terpencil. Kondisi Indonesia yang memiliki lahan luas yang banyak diantaranya tidak produktif, sebagian besar sumberdaya manusia yang berketrampilan kurang, dan banyak daerah yang masih tertinggal sangat sesuai untuk mendukung produksi energi berbasis biomass. 5.5 Kebijakan Kependudukan Peningkatan kesejahteraan per kapita semakin sulit dicapai ketika jumlah penduduk juga ikut tumbuh terlalu cepat dengan distribusi spatial yang sangat timpang. Beberapa daerah mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, baik dari kelahiran maupun migrasi, sementara daerah lain sangat kekurangan penduduk. Oleh karena itu, kebijakan kependudukan dengan tekanan utama pengendalian pertumbuhan dan distribusi penduduk sangat penting. 5.6 Kebijakan Otonomi Daerah Desentralisasi telah membawa dampak yang luar biasa terhadap produksi batu bara. Sesuai dengan PP 38 tahun 2007, ijin penambangan batu bara dapat diperoleh di tingkat kabupaten. Dengan dalih untuk menggenjot pendapatan asli daerah (PAD), banyak ijin penambangan batu bara diterbitkan. Banyak daerah yang mendadak menjadi kaya dari hasil pertambangan tersebut. Tetapi pertanyaan yang belum terjawab adalah apakah pendapatan yang diperoleh
19
pemerintah tersebut sepadan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi? Isu pokoknya bukanlah apakah ijin penambangan batu bara itu sebaiknya ditarik kembali ke pusat, melainkan bagaimana hak yang diterima oleh pemerintah kabupaten tersebut juga disertai dengan tanggung jawab yang sepadan. Kita tidak perlu memutar kembali jarum jam, tetapi mari kita lengkapi otonomi daerah dengan perangkat yang diperlukan untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan. 5.7 Kebijakan Lingkungan Lingkungan telah menjadi isu global. Pemakaian energi fosil akan semakin menghadapi tantangan dari masyarakat dunia. Masyarakat dunia akan memasang persyaratan standard lingkungan yang semakin ketat terhadap produksi, distribusi, dan penggunaan energi. Kita akan semakin sulit untuk mengelak dari penggunaan energi yang harus semakin ramah terhadap lingkungan. Sebaliknya, efek lingkungan terhadap penyediaan energi jarang memperoleh perhatian. Umur pakai bendungan yang jauh lebih pendek dari yang direncanakan akibat dari sedimentasi yang berlebihan. Bendungan Saguling akan segera berubah fungsi dari pembangkit listrik menjadi tempat pengumpulan sedimen, sampah domestik, dan limbah industri dari daerah hulunya. Ada sumur uap di Garut yang berhenti beroperasi karena kekurangan pasokan air akibat pembabatan hutan untuk diganti dengan kebun kentang. Uraian di atas menunjukkan bahwa kebijakan lingkungan yang selaras dengan kebijakan energi sangat diperlukan. Kebijakan lingkungan dapat mengubah alokasi sumberdaya, mendorong pengembangan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi pemakaian bahan dari sumberdaya alam, dan menyelamatkan sumber energi terbarukan. Ringkasnya, kebijakan lingkungan akan mendukung tercapainya pengelolaan sumberdaya energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan. Pada Tabel 1 terlihat bahwa paling tidak ada potensi energi yang setara dengan 100 GW yang akan sangat tergantung pada pengelolaan lingkungan yang baik.
20
5.8 Kebijakan Teknologi dan Pendidikan Batas pertumbuhan lebih ditentukan oleh kemampuan kita memanfaatkan ide-ide baru yang tercipta ketimbang oleh kemampuan kita menghasilkan ide-ide baru tersebut (Fritsch, 1995; Weitzman, 1998). Penciptaan ide-ide baru dan upaya memanfaatkan ide-ide baru tersebut membutuhkan kreativitas. Mengetahui kuantitas dan kualitas sumberdaya di bawah permukaan bumi lebih sulit dibandingkan mengetahui kuantitas dan kualitas sumberdaya di atas permukaan bumi. Jauh lebih sulit lagi adalah menduga kuantitas dan kualitas sumberdaya yang berada di bawah permukaan kepala manusia. Namun kita tahu bahwa tiadanya tantangan yang berarti akan mematikan kreativitas, yang tidak lain adalah sumberdaya paling berharga dalam proses pembangunan ekonomi. Ketika harga minyak dibuat jauh lebih rendah dari yang semestinya, pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek sangat mungkin meningkat. Tetapi bila harga yang terlalu dimurahkan tersebut berlangsung lama, maka pengeringan sumberdaya dalam bentuk kreativitas akan terjadi. Pemanjaan hanya akan mematikan jiwa bangsa Indonesia. Jangan jadikan putra-putri Indonesia ini anak manja yang tidak memiliki kreativitas dan daya juang. Pengembangan teknologi memerlukan penelitian. Kita tahu bahwa penelitian di negara ini masih menjadi anak tiri yang tercermin dari anggaran yang disediakan. Oleh karena itu, untuk mendaya-gunakan anggaran yang tersedia secara lebih optimal sebaiknya semua pihak yang terlibat dalam penelitian pengembangan energi dan pengguna teknologi energi saling berkomunikasi untuk menghindari duplikasi penelitian yang tidak perlu dan sering terjadi. Pengembangan teknologi adalah persoalan pengembangan ide dan kreativitas. Tanpa tantangan yang berarti, ide dan kreativitas seseorang akan lebih sulit muncul. Dengan keterbatasan yang ada, kita harus memilih teknologi apa yang harus diberi prioritas tinggi untuk segera dikembangkan. Teknologi kapal laut yang mampu mengatasi segala cuaca akan menghilangkan alasan terlambatnya pasokan batu bara atau bahan bakar karena cuaca buruk yang terus diulang
21
setiap tahun. Disamping teknologi canggih, kita tidak boleh mengabaikan pengembangan teknologi sederhana yang dibutuhkan masyarakat untuk memanfaatkan sumber energi dan sumberdaya energi yang ada di sekitarnya. Produksi ide dan kreativitas akan sangat didorong oleh cara berpikir lateral (lateral thinking) ketimbang cara berpikir vertikal (vertical thinking). Sayangnya, pendidikan kita hanya mengajarkan cara berpikir vertikal. Meminjam kata-kata Edward de Bono “tidaklah mungkin menggali lubang di tempat lain dengan cara menggali lubang yang sama lebih dalam.” Kedua cara berpikir tersebut bukan saling menggantikan melainkan saling melengkapi.
Penutup Mari secara perlahan, tekun, dan sungguh-sungguh kita mulai mengembangkan sumber energi terbarukan sebagai tumpuan kita di masa depan. Kita harus selalu ingat bahwa subsidi energi tidak terbarukan sesungguhnya tidak datang dari pemerintah yang manapun, melainkan datang dari anak cucu kita. Saya berharap, bahan yang saya sampaikan ini dapat menjadi bahan refleksi dan introspeksi diri bagi seluruh komponen bangsa. Terima kasih.
Pustaka 1.
2. 3. 4. 5.
Agnani, Betty, Mar´ıa-Jos´e Gut`ı´errez, dan Amaia Iza. 2005. “Growth in Overlapping Generation Economies with Non-renewable Resources,” Journal of Environmental Economics and Management (50): 387-407. Armstrong, Fraser dan Katherine Blundell. 2007. ENERGY… BEYOND OIL. Oxford University Press. Oxford. Bradley, Paul G. 1973. “Increasing Scarcity: The Case of Energy Resources,” The American Economic Review (63): 119-125. de Bono, Edward. 1983. THE USE OF LATERAL THINKING. Pinguin Books. Middlesex, UK. Fritsch, Bruno. 1995. “On the Way to Ecologically Sustainable Economic Growth,” International Political Science Review (16): 361-374.
22
6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
17.
18.
Gowdy, John M. dan Carl N. McDaniel. 1995. “One World, One Experiment: Addressing the Biodiversity-Economic Conflict,” Ecological Economics (15): 181-192. Hotelling, Harold. 1931. “The Economics of Exhaustible Resources,” The Journal of Political Economy (39): 137175. Kaltschmitt, Martin. 2007. “Energy System,” In: Kaltschmitt, Martin, Wolfgang Streicher, dan Andreas Wiese (eds), RENEWABLE ENERGY: TECHNOLOGY, ECONOMICS, AND ENVIRONMENT. Springer. Berlin. Kolstad, Charles D. 2000. “Energy and Depletable Resources: Economics and Policy, 1973–1998,” Journal of Environmental Economics and Management (39): 282-305. Lincoln, Stephen F. 2005. “Fossil Fuels in the 21st Century,” Ambio (34): 621-627. Manne, Alan S., Richard G. Richels, John P. Weyant. 1979. “Energy Policy Modeling: A Survey,” Operations Research (27): 1-36. Nafziger, E. Wayne. 2006. ECONOMIC DEVELOPMENT (4 EDN). Cambridge University Press. Cambridge, UK. Sachs, Jeffrey D. dan Andrew M. Warner. 1999. “The Big Push, Natural Resource Booms and Growth,” Journal of Development Economics (59): 43-76. Smith, V. Kerry dan John V. Krutilla. 1984. “Economic Growth, Resource Availability, and Environmental Quality,” The American Economic Review (74): 226-230. Smith, Fraser. 1996. “Biological Diversity, Ecosystem Stability and Economic Development,” Ecological Economics (16): 191-203. Stiglitz, J. E. 1974. “Growth with Exhaustible Natural Resources: Efficient and Optimal Growth Paths,” Review of Economic Studies, Symposium on the Economics of Exhaustible Resources (41): 123-138. _____. 2005. “Making Natural Resources into a Blessing rather than a Curse,”, COVERING OIL: A REPORTER’S GUIDE TO ENERGY AND DEVELOPMENT. Open Society Institute. New York. Weitzman, Martin L. 1998. “Recombinant Growth,” The Quarterly Journal of Economics (113): 331-360.
23