DINAMIKA INFLASI DAN KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL Oleh: Mudrajad Kuncoro (Tim Ahli Ekonomi Kadin Indonesia) DINAMIKA INFLASI Tahun 2006 bagi Indonesia adalah tahun yang memberikan banyak keuntungan, sebagaimana tercermin dari derasnya ekspor kita ke negara-negara mitra dagang utama. Akan tetapi, bagi sebagian besar masyarakat kita, tahun 2006 adalah benar-benar tahun ujian. Ujian terhadap resiliensi dan kesabaran karena imbas kenaikan harga-harga yang merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari kenaikan harga BBM pada tahun sebelumnya. Tekanan inflasi yang masih cukup tinggi terjadi di awal tahun 2006, secara perlahan tapi pasti menunjukkan penurunan di sepanjang tahun 2006 (Lihat Grafik 1). BPS mengumumkan inflasi sepanjang 2006 tercatat 6,6% (yoy), atau lebih rendah dari target APBN-P 2006 sebesar 8%. Harga makanan masih menjadi penyumbang terbesar laju inflasi tersebut. Pencapaian inflasi sebesar 6, 6 % terutama disebabkan kenaikan harga kelompok bahan makanan 3,05% dengan harga beras sebagai komoditas yang kontribusinya paling dominan, 1,63%. Selama bulan Desember dari 45 kota IHK, tercatat 40 kota mengalami inflasi dan 5 kota deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Sibolga sebesar 3,37 persen dan inflasi terendah di Palangkaraya 0,13 persen. Sedangkan deflasi terbesar terjadi di Ternate 0,70 persen dan terendah terjadi di Sampit 0,06 persen. Walaupun masih terjadi inflasi yang tinggi di beberapa wilayah namun secara total keberhasilan pengendalian inflasi di tahun 2006 tersebut menunjukkan pula bahwa kebijakan moneter telah mampu memitigasi dampak lanjutan kenaikan harga BBM di penghujung 2005 pada ekspektasi inflasi. Stabilisasi inflasi di tahun 2006 dan kinerja Neraca Pembayaran Indonesia yang relatif baik dengan surplus sebesar 3,7% dari PDB telah pula menyumbang pada stabilitas nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2006, setelah sempat terjadi depresiasi yang cukup signifikan di tahun 2005. Memasuki tahun 2006, volatilitas nilai tukar juga semakin rendah.
Sumber: Bank Indonesia (2007)
1
J un07 Jul- 0 7 A ug07
J an07 F eb07 Mar 07 A pr07 May - 07
Oct 06 N ov06 D ec06
J un06 Jul- 0 6 A ug - 06 S ep - 06
05 J an06 F eb -06 Mar 06 A pr06 May - 06
05
D es-
N ov-
A gs05 S ep05 Okt 05
Inflasi (%)
Grafik 1. Perkembangan Inflasi Inti dan IHK: Agustus 2005-2007 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Grafik 2 menunjukkan komponen penyusun inflasi. Pada tahun 2006 dua komponen yang paling memberikan kontribusi pada inflasi adalah bahan makanan dan pendidikan, rekreasi dan olah raga. Pada awal tahun 2007 terlihat bahan makanan memberikan kontribusi negatif pada inflasi terutama pada bulan April dan Mei. Pada bulan Juni sampai Agustus 2007 komponen pendidikan, rekreasi dan olah raga kembali memberikan kontribusi yang paling besar dikarenakan adanya musim liburan dan tahun ajaran baru untuk pelajar dan mahasiswa. Grafik 2. Komponen Penyusun Inflasi: Desember 2005-2007 5
3 2
6 Ma r -0 6 Ap r-0 6 Ma y- 0 6 Ju n -06 Ju l - 06 Au g- 0 6 Se p- 0 6 Oc t -0 6 No v- 0 6 De c- 0 6 J an -07 Fe b-0 7 Ma r -0 7 Ap r-0 7 Ma y- 0 7 Ju n -07 Ju l - 07 Au g- 0 7
b-0
-06
Fe
-1
J an
0
5
1
De s- 0
Inflasi (%)
4
-2 Bahan Makanan Makanan Jadi, Minuman Rokok, Tembakau Gas dan bahan bakar Sandang Kesehatan Pendidikan Rekreasi dan Olah Raga Transportasi, Komunikasi dan Keuangan
Sumber: Bank Indonesia (2007) Di tahun 2007 ini diperkirakan bahwa pola laju inflasi tidak akan jauh berbeda dengan tahun tahun sebelumnya. Dengan kata lain, outlook untuk inflasi tahun 2007 terutama yang terjadi karena efek musiman tidak akan jauh terdeviasi dari pola-pola normal tahunan. Diperkirakan beberapa bulan terakhir menjelang akhir tahun 2007 tingkat inflasi akan meningkat. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah hari raya lebaran, natal, dan juga tahun baru. Menjelang hari raya lebaran biasanya inflasi ditimbulkan terutama oleh bahan makanan pokok dan bahan bakar. Peningkatan permintaan bahan makanan pokok menjelang lebaran sudah sewajarnya terjadi, akan tetapi yang harus diperhatikan pemerintah adalah ketersediaan stok bahan makanan tersebut. Ini untuk mengantisipasi kenaikan inflasi pada tingkat di luar batas kewajaran.
2
Pada bulan September 2007 inflasi (yoy) mencapai 6,95 persen, naik 0,44 persen dari bulan Agustus 2007 (lihat Grafik 3). Kenaikan inflasi ini besar kemungkinan diakibatkan oleh situasi bulan puasa dan menghadapi lebaran yang semakin dekat. Inflasi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat mulai mengantisipasi kelangkaan bahan makanan pokok. Ada empat bahan pokok yang harus mendapat perhatian dari pemerintah mengenai kelancaran arus distribusinya, yaitu beras, minyak goreng, gula, dan BBM.
Inflasi (%)
Grafik 3. Tingkat Inflasi YoY: Januari-September 2007 8 7 6 5 4 3 2 1 0
6.26
6.3
6.52
6.29
Jan-07 Feb-07 Mar-07 Apr-07
6.01
5.77
6.06
6.51
6.95
May- Jun-07 Jul-07 Aug-07 Sept07 07 Bulan Series1
Sumber: Diolah dari BI Keempat bahan makanan ini merupakan komoditas yang berpotensi menyebabkan inflasi semakin tinggi bila tidak diperhatikan kelancaran arus distribusinya. Untuk stok kebutuhan sembilan bahan pokok, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menjamin keamanannya dalam rangka mengantisipasi kebutuhan menjelang bulan puasa dan Lebaran. Sedangkan untuk gula pasir stoknya masih cukup. Bahkan diperkirakan bulan Desember stok gula akan bertambah 500 ribu ton dari PTPN dan Rajawali. Untuk minyak goreng, pemerintah melakukan tiga langkah dalam rangka menstabilkan harganya. Pertama, menyesuaikan pungutan ekspor bagi minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan turunannya. Kedua, menyelenggarakan operasi pasar. Ketiga, mempertimbangkan subsidi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk minyak goreng. Pungutan ekspor dan operasi pasar sudah dilakukan. Sedangkan untuk subsidi PPN sedang dalam proses konsultasi dengan DPR. Untuk stok beras di pasar, Menko Perekonomian Boediono mengatakan bahwa stoknya masih aman sampai dengan akhir tahun. Begitu pun untuk BBM, pasokannya sudah mencukupi dan sudah dilakukan penumpukan di beberapa wilayah yang diperkirakan permintaannya akan membludak. Kenaikan inflasi juga disumbang oleh inflasi yang terjadi di luar negeri (imported inflation). Ini terjadi karena, Indonesia banyak mengimpor bahan makanan dari luar negeri, seperti gandum, beras, gula pasir, kacang kedelai, daging, susu, dan lain-lain. Jika terjadi kenaikan pada barang-barang tersebut maka otomatis di Indonesia pun akan mengalami kenaikan. Apalagi menjelang hari raya, peningkatan permintaan akan barang-barang seperti itu akan sangat tinggi. Inilah yang
3
menyebabkan peningkatan inflasi bulan September 2007 di Indonesia juga dipengaruhi oleh peningkatan inflasi di luar negeri.
Amburadulnya Manajemen Kebutuhan Pokok Persoalan tentang harga barang kebutuhan pokok yang saat ini sedang melonjak merupakan cermin dari tidak jelasnya pengaturan pasar serta kebijakan makro dan sektoral negara ini. Ibarat sebuah nyanyian, menteri-menteri sekarang ini punya nyanyian sendiri-sendiri. Tidak ada dirigen. Kasus barang-barang kebutuhan pokok ini membuktikan koherensi dan koordinasi menjadi barang mewah di negeri ini. Respons terhadap masalah selalu sektoral, parsial, reaktif, dan karitatif. Persoalan birokrasi adalah biang keladi utama. Kasus susu, minyak goreng, dan beras tidak bisa dilepaskan dari pertanian dan industri. Kasus itu menunjukkan program revitalisasi pertanian dan pengembangan industri tidak berjalan. Revitalisasi pertanian hanya bagus di wacana, bagus di desain kebijakan dan perencanaan, tetapi implementasinya nol besar. Seharusnya peternakpeternak susu dikembangkan dan diberdayakan sehingga kita tidak lagi mengimpor dari luar. Kenapa peternak susu di Boyolali tidak bisa memasok kebutuhan pabrik susu kita? Pasti ada sebabnya. Salah satunya terkait higienitas dan kualitasnya yang rendah. Ini yang tidak disentuh. Keberpihakan pemerintah dinilai tidak ada. Salah satu contoh gamblang adalah dalam penyaluran kredit untuk sektor pertanian atau agroindustri yang sangat kecil. Alokasi anggaran untuk menggerakkan sektor riil atau sektor produktif juga kecil karena 60-70 persen anggaran daerah dan pusat habis untuk belanja pegawai, studi banding, dan mobil dinas. Bunga SBI sudah diturunkan menjadi 8,25 persen, tetapi sektor riil belum mulai bergerak. Ada missing link antara sektor riil dan moneter, antara meta (grand design), makro, meso (makro dan mikro) dan mikro. Yang dilakukan pemerintah sekarang ini belum mengatasi akar masalah sehingga tidak heran jika kasus sekarang ini masih akan terus terulang lagi. Hal yang krusial adalah penyakit atau sumber penyakitnya sendiri belum disembuhkan. Seperti high cost economy (ekonomi biaya tinggi), korupsi yang multilevel, struktur industri yang tidak sehat dan dikuasai oleh oligopoli. Kasus susu dan minyak goreng merupakan bukti adanya kegagalan pasar (market failure) jika semua diserahkan kepada pasar. Namun, pada saat bersamaan timbul juga kegagalan pemerintah (government failure). Itu akibat dari kebijakan "kapitalisme malu-malu dan sosialisme ragu-ragu" yang dianut pemerintah. Produksi sawit nasional dikuasai oleh lima pemain besar yakni: Raja Garuda Mas Grup, Wilmar Group, Guhtrie Bhd, Sinar Mas Grup dan Astra Agro Lestari (lihat Grafik 4). Sementara jika kita lihat pelaku industri minyak goreng Indonesia, tiga dari
4
lima produsen sawit terbesar adalah juga pemain penting dalam industri minyak goreng. Grafik 4.Kelompok Perkebunan Sawit Swasta Terbesar 676.1
Lainnya (200 perusahaan)
20.7 40.5 42.9 46.8 60.9
Bakrie Grup Lonsum Grup Kurnia Grup Sucofindo Grup Cilandra Perkas Grup
189.9 208
Astra Agro Lestari Sinar Mas Grup
288.9 350
Guhtrie Bhd (eks Salim) Wilmar Grup
467.9
Raja Garuda Mas Grup
0
100
hektar500 300ribu400
200
600
Sumber : Kompas, 21 Juli 2007 Grafik 5. Tata Niaga Beras PETANI Pedagang Pengumpul Desa
KUD
Penggilingan Padi
Bulog: Raskin Operasi Pasar Beras Berkualitas Konsumsi Umum
Grosir Misal : Pasar Induk Cipinang
Pengecer
Konsumen
Konsumen
Sumber: Kompas, 21 Juli 2007
5
700
800
KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL Inflasi tinggi pada tahun 2005 lalu merupakan dampak langsung kenaikan harga minyak internasional. Peningkatan harga minyak yang tinggi terjadi mulai tahun 2003 hingga tahun 2006 dengan kenaikan hingga 124 persen. Dari harga tahun 2003 senilai US$28,1 menjadi US$61,08 di tahun 2006. Kenaikan harga minyak yang mulai terjadi pada pertengahan 2002 hingga saat ini terjadi karena meningkatnya permintaan akan minyak mentah sebagai input produksi. Cina, India, Amerika Serikat adalah pengguna sekaligus importir migas terbesar. Upaya serius berbagai negara untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi bakal menyedot penggunaan energi dalam jumlah yang terus membesar. Diperkirakan harga minyak bumi akan menembus angka US$ 100 per barel bahkan dapat mencapai titik psikologis US$ 200 per barel jika permintaan terus bertambah. Harga gas juga akan turut meningkat seiring kenaikan harga minyak bumi. Di sisi lain, kenaikan harga minyak ini tentunya menambah pundi-pundi penerimaan negara penghasil minyak. Sektor migas sendiri merupakan sektor andalan pemerintah Indonesia dari sisi penerimaan negara. Penerimaan migas akhir tahun 2006 atau tepatnya realisasi per 1 Desember 2006 mencapai Rp207,472.22 miliar (Ditjen ESDM, 2007). Ini terdiri dari penerimaan sektor minyak bumi sebesar Rp121,816.66 miliar dan gas alam mencapai Rp35,190.4 miliar. Apabila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun sebelumnya sebesar Rp72.822,3 miliar, maka perkiraan realisasi penerimaan SDA minyak bumi tahun 2006 tersebut, berarti meningkat Rp50.141,5 miliar atau 68,9 persen. Di masa depan prospek minyak sebagai pundi-pundi penerimaan negara masih sangat potensial karena resources yang kita miliki sangat berlimpah. Cadangan minyak yang belum tereksplorasi mencapai 4.727 miliar barel dan gas 91.17 TSCF padahal prduksi kita baru sebesar 500 juta barel per tahun (lihat Tabel 1). Begitu kayanya potensi migas yang kita miliki sehingga negara-negara luarpun berlombalomba datang untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Dan ironisnya kita sebagai pemilik SDA migas tersebut belum mampu menjadi leader dan malah kalah bersaing dengan perusahaan migas luar negeri. Tabel 1. Potensi Migas Indonesia JENIS ENERGI FOSIL Minyak Gas
SUMBER DAYA
CADANGAN
PRODUKSI (per Tahun)
RASIO CAD/PROD (tanpa eksplorasi) Tahun
86,9 miliar barel
4.727 miliar barel
500 juta barel
11
384.7 TSCF
91.17 TSCF
2.9 TSCF
30
Sumber: Departemen ESDM dalam Kurtubi (2004)
Dua dari ‘top ten’ produsen minyak Indonesia —Conoco Phillips, dan Chevron Indonesia— berasal dari AS. Begitu pula tiga ‘top ten’ produsen gas bumi, yakni Conoco Phillips, Exxon Mobil Oil Indonesia, dan Chevron Indonesia Company. Sudah sejak awal abad ke-19 perusahaan AS mengeksploitasi migas di Indonesia minyak (lihat Tabel 2).
6
Chevron Pacific merupakan perusahaan dengan produksi minyak terbanyak hampir 43 persen dari total produksi. PT Pertamina sebagai perusahaan negara menempati urutan kedua dengan produksi 136,12 ribu barel per hari. Dari sepuluh penghasil minyak dan gas terbesar, hanya ada dua perusahaan nasional yakni Medco dan Pertamina yang masuk ke dalam daftar. Pada industri gas, pada April 2007 produksi gas terbesar dipegang oleh Total yang produksinya mencapai 2,5 juta kubik gas per hari. Sekitar 67,4% produksi gas Indonesia juga jatuh ke tangan asing. Ironis memang, di negara yang kaya akan sumber daya tidak ada satupun perusahaan nasional yang mampu unggul di produksi migas. Tabel 2. Sepuluh Besar Produsen Minyak dan Gas Indonesia Minyak
ribu barel/hari
2005 Chevron Pacific Indonesia Pertamina + JOB + TAC ConocoPhillips Ltd. Total CNOOC (SES) B.V. PetroChina Int. Ind. Ltd. Medco E & P Indonesia Unocal
452.63 136.12 92.8 69 65.93 53.8 52.95 45.24
2006 Chevron Pacific Indonesia Pertamina + JOB + TAC Total ConocoPhillips Ltd. CNOOC (SES) B.V. Medco E & P Indonesia PetroChina Int. Ind. Ltd. Chevron Indonesia Company
Vico BP Indonesia
25.7 23.12
BP Indonesia BOB Bumi Siak Pusako
440.45 101.97 61.89 53.65 52.78 48.51 42.54 35.94 31.93 25.17
Gas 2005 Total 2679 Pertamina 1107 ExxonMobil Oil Indonesia 986 ConocoPhillips Ltd. 839 Vico 613 Unocal 191 Premier Oil 151 Medco E & P Indonesia 115.6 Kodeco 113.7 PetroChina Int. Ind. Ltd. 82.68 Sumber: Pertamina EP (2007)
2006 Total Pertamina ConocoPhillips Ltd. ExxonMobil Oil Indonesia Vico PetroChina Int. Ind. Ltd. Chevron Indonesia Company Premier Oil Medco E & P Indonesia Kodeco
April 2007 Chevron Pacific Indonesia Pertamina + JOB + TAC Total CNOOC (SES) B.V. ConocoPhillips Ltd. PetroChina Int. Ind. Ltd. Medco E & P Indonesia Chevron Indonesia Company
430.2 110.5 56.14 55.68 54.9 52.93 48.17 37.26
BP Indonesia BOB Bumi Siak Pusako
27.21 26.13
ribu kubik/hari April 2007 2524 955.5 921.7 891 537.6 263.7 230.9 141.2 135 107.8
Total ConocoPhillips Ltd. Pertamina ExxonMobil Oil Indonesia Vico PetroChina Int. Ind. Ltd. Chevron Indonesia Company Medco E & P Indonesia Premier Oil Kodeco
Salah satu blunder lain dalam usaha migas adalah kegagalan mempertahankan blok Cepu yang diduga memiliki potensi minyak sebesar 1 milyar barel dan merupakan penemuan minyak terbesar dalam 25 tahun (Hertzmark, 2007). Proses menuju kesepakatan dalam blok ini cukup mengundang banyak opini publik. Pertamina seharusnya kembali menjadi operator blok ini pada tahun 2010 dan Cepu berada di wilayah kerja Pertamina. Melalui proses yang panjang Memorandum of Understanding (MoU) akhirnya disepakati oleh Exxon dan Pertamina. Blok ini diambil alih hak operatornya oleh Exxon dan Pertamina mendapatkan hak dari operasi tersebut yakni 45 persen dari hasil penerimaan yang dibagi merata.
7
2553 895 881 760 462 333 244 136 131 108
Kegagalan menjadi tuan di negeri sendiri ini tentunya harus menjadi perhatian bersama. Migas merupakan sumber daya alam nonrenewable atau tak terbarukan, yang nantinya jika terus menerus dieksploitasi, cadangan minyak dunia, cepat atau lama, akan habis terkuras. Jika pemerintah tidak aware akan hal ini dapat dipastikan dalam beberapa dekade ke depan kita akan benar-benar menjadi negara net importer migas. Negara maju telah lebih dulu menyadari hal ini, dan mereka sedang menggalakkan usaha untuk mengurangi ketergantungan akan SDA migas untuk membatasi adanya pengurasan sumber migas. Strategi yang mereka terapkan adalah menggunakan migas dari negara berkembang, negara yang memperhatikan dan menyadari keterbatasan sumber daya alamnya dan dahsyatnya laju konsumsi energi dunia. Cadangan migas AS dan sejumlah negara maju masih cukup besar. Cadangan itu baru dieksploitasi setelah cadangan migas di negara berkembang habis terkuras. Inilah strategi negara maju yang bukan saja unggul di bidang teknologi migas, melainkan visioner, dan piawai dalam menetapkan strategi jangka panjang. Melihat hal ini pemerintah tampak tenang-tenang saja seakan tidak ada masalah serius dengan kebijakan energi nasional. Yang tampak ke permukaan adalah kebijakan pemerintah yang begitu menggebu-gebu untuk menarik minat pemodal asing dengan mengobral cadangan minyak dan gas bumi, kekayaan alam yang tak terbarukan. Begitu banyak blok-blok yang dikuasai oleh pihak asing dan sekarang sektor hilirpun telah dibuka untuk investasi pihak asing. Pada tahun 2006, sesuai catatan dari BPH Migas, terdapat 16 perusahaan yang telah terdaftar dalam industri hilir minyak. Dari 16 perusahaan tersebut terdapat dua pemain asing seperti Petronas, dan Shell (lihat Tabel 2). Berita yang berkembang menyatakan bahwa Total dan Gulf Air, dua perusahaan minyak asing bakal turut meramaikan bisnis SPBU di Indonesia (Business Review, Juli 2007).
8